Anda di halaman 1dari 8

Tradisi Perkawinan Dalam Masyarakat Adat Lampung

Oleh : Zainudin Hasan,S.H.,M.H.

Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Pepadun


Masyarakat adat Lampung Pepadun merupakan salah satu dari dua masyarakat adat di
Lampung yaitu Lampung Pepadun dan Sai Batin. Pada umumnya masyarakat adat Lampung
pepadun bermukim di daerah-daerah pedalaman seperti Abung (Siwo Mego), Way Kanan
(Buay Lima), Sungkai Bunga Mayang, (Megou Pak) Tulang Bawang, serta Pubiyan (Telu
Suku). Masyarakat adat Lampung pepadun merupakan masyarakat yang memiliki hukum adat
perkawinan tersendiri yang biasa disebut dengan istilah Hibal Muhibal.
Masyarakat adat Lampung merupakan masyarakat lingkungan hukum adat bagian
wilayah Sumatera bagian Selatan dengan kategori masyarakat hukum genealogis yaitu suatu
kesatuan masyarakat yang teratur, dimana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan
yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung karena hubungan darah atau secara tidak
langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat, dengan sistem Patrilinial yang
merupakan sistem yang susunan masyarakatnya ditarik menurut garis keturunan bapak (garis
laki-laki). Ini berarti dalam pelaksanaan hukum perkawinan pun harus mengikuti aturan dari
garis bapak atau garis laki-laki yang biasanya disebut dengan mekhanai. Walaupun ada pula
dalam perkawinan pihak laki-laki yang mengikuti keluarga Perempuan yang disebut dengan
Semanda (mengikuti) karena faktor perempuan tersebut merupakan anak tunggal atau karena
faktor lain yang mengharuskan laki-laki mengikuti keluarga istrinya.
Hibal Muhibal adalah proses atau tata cara yang pertama kali dilakukan pada saat
akan melangsungkan perkawinan dengan konsep diambil-mengambil atau hibal muhibal
dapat disamakan dengan proses pelamaran atau khitbah. Konsep ambil-mengambil
merupakan konsep dasar dalam hibal muhibal, diambil berlaku bagi muli dan mengambil
berlaku bagi mekhanai. Walaupun dalam perkembangan dan praktek hibal muhibal dapat
terjadi menjadi bermacam-macam seperti Nunggang atau hibal pengatu, hibal bambang
padang atau Intar Terang, hibal Intar Padang, hibal Sereba atau Payu, hingga kemudian ada
istilah perkawinan dalam adat lampung yaitu sebambangan atau Larian.

Sebambangan
Sebambangan dilakukan oleh mekhanai dan muli yang sudah memiliki hubungan
spesial dan memiliki janji sebelumnya untuk melakukan sebambangan dengan cara gadis
meninggalkan surat dan uang peninggalan sebagai tanda bahwa si muli telah melakukan
sebambangan. Sama halnya dengan nunggang, sebambangan juga memiliki tata cara atau
tata tertib penyelesaiannya sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku di masyarakat
Sebelum sebambangan dilakukan, maka terdapat proses yang harus dilewati oleh
bujang dan gadis yaitu negosiasi antara keduanya. Hal tersebut dilakukan karena pada
dasarnya sebambangan dilakukan atas dasar kesepakatan antara keduanya sebagaimana yang
telah diatur dalam asas perkawinan hukum adat. Sebambangan dapat dilakukan apabila
bujang dan gadis telah sepakat untuk melangsungkan sebambangan, hal terebut diawali dari
proses negosiasi antara keduanya yaitu bermula dari bujang merayu dengan cara yang baik
ataupun gadis yang meminta agar dirinya dilarikan yang biasanya disebut dengan Muli kak
wat kiluan yang berarti gadis sudah memiliki permintaan untuk dilarikan.
Setelah mengutarakan maksud atau permintaan tersebut, maka gadis akan meminta
sejumlah uang sebagai uang peninggalan (tengepik) kepada bujang dengan jumlah sesuai
dengan permintaan gadis, dan selanjutnya keduanya menentukan perjanjian waktu yaitu
tanggal hari dan jam untuk melangsungkan sebambangan.
Untuk mempersiapkan dan menyambut proses sebambangan biasanya sudah
diketahui oleh pihak keluarga laki-laki dan sudah direncanakan sesuai dengan kesepakatan
antara bujang dan gadis dan sebelum sebambangan dilakukan oleh muli meranai antara
keduanya laiknya negosiasi sudah dimulai dan sudah selesai dipihak mereka berdua. Oleh
karena itu, dalam hukum adat Lampung Pepadun khususnya di Sungkai bukan hanya
penyelesaiannya yang menggunakan prinsip musyawarah, artinya sejak pra sebambangan
pun sudah melakukan musyawarah yaitu negosiasi untuk mendapatkan hasil yang terbaik.
Surat dan uang peninggalan merupakan bukti yang harus ada dalam proses melakukan
sebambangan. Surat yang ditulis dan dibuat oleh gadis merupakan surat yang berisi tentang
pemberitahuan bahwa gadis telah melakukan sebambangan dengan menerangkan siapa
bujang yang melarikannya, dimana alamat rumahnya, dan bahkan bagaimana silsilah
keluarganya atau dapat dikatakan bahwa surat yang ditinggalkan oleh gadis merupakan surat
yang memberikan keterangan kepada pihak keluarga mengenai identitas dan latar belakang
bujang secara umum.
Surat dan uang peninggalan diletakkan oleh gadis pada tempat yang diperkirakan
mudah untuk ditemui oleh keluarganya, misalnya diletakkan di dalam lemari, di bawah kasur,
di bawah bantal, atau di bawah taplak meja. Hal ini dilakukan agar pihak keluarga tidak
mengalami kebingungan saat mengetahui anak gadisnya sudah tidak ada dirumah. Dalam
masyarakat adat Lampung Sungkai, tidak ada ketentuan berapa jumlah uang peninggalan
yang harus ditinggalkan pada saat melangsungkan sebambangan, karena memang perihal
uang peninggalan adalah kesepakatan antara bujang dan gadis yang telah melakukan
negosiasi. Biasanya jumlah uang peninggalan adalah sesuai dengan permintaan dari gadis
sebagai salah satu syarat untuk melangsungkan sebambangan.
Uang peninggalan dengan jumlah yang sesuai dengan permintaan gadis, selanjutnya
dapat bertambah sesuai dengan permintaan keluarga gadis pada saat proses penyelesaian
sebambangan, adapun fungsi uang peninggalan tersebut bukan sebagai uang pembelian gadis
melainkan untuk dibelikan peralatan rumah tangga (Sansan atau Sesan) bagi gadis dan
suaminya sebagai modal dalam menjalani kehidupan yang baru bersama suami pilihannya.
Setelah semua syarat dan permintaan gadis sudah terpenuhi dan telah melakukan
negosiasi, maka bujang dan gadis akan menentukan waktu untuk melakukan sebambangan.
Adapun proses selanjutnya adalah gadis dilarikan ke rumah keluarga bujang, baik kerumah
orang tua bujang maupun rumah sanak saudaranya. Proses melarikan gadis dapat dilakukan
pada pagi hari, siang hari, atau malam hari sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Dalam
melakukan proses melarikan gadis, bujang akan ditemani atau dikawal oleh sanak saudara
untuk membantu melancarkan proses sebambangan. Setelah gadis dilarikan dan dibawa
kerumah orang tua atau saudara bujang, maka gadis akan dijaga oleh keluarga bujang seperti
menjaga anak sendiri sampai dengan proses penyelesaian selesai dan acara akad nikah sampai
resepsi dilakukan.
Ada beberapa faktor terjadinya sebambangan seperti tidak direstui oleh orang tua,
uang serah yang tidak mencapai kesepakatan, atau memang semata-mata keinginan dari
kedua muli meranai. Adapun selain proses sebambangan yang merupakan keinginan kedua
belah pihak ada pula kejadian pengambilan gadis dengan nama Nunggang (Hibal Pengatu),
Nunggang atau kadang disebut dengan istilah hibal pengatu (mengambil muli secara paksa)
merupakan salah satu cara masyarakat adat Lampung untuk melangsungan perkawinan yang
biasanya terjadi dikarenakan muli makkung haga baibai atau muli sangun mak suka jama
mekhanai sina (Gadis belum menginginkan untuk menikah atau muli memang tidak
menyukai mekhanai tersebut).
Nunggang atau hibal pengatu dalam masyarakat adat Lampung Sungkai merupakan
salah satu pelanggaran yang dikenal dengan istilah Ila Ila dan harus dihindari atau apabila
nunggang terjadi maka akan dikenakan denda, karena pada dasarnya nunggang merupakan
suatu proses pemaksaan terhadap muli untuk menikah dengan mekhanai yang tidak
disukainya akan tetapi mekhanai sangat berharap menikah dengan muli dan orangtua
mekhanai setuju sehingga dilakukan pemaksaan. Hal ini merupakan suatu perbuatan yang
dapat mengarah ke jalaur hukum, akan tetapi dalam masyarakat adat Lampung terlebih
dahulu setiap pelanggaran adat memiliki tata tertib penyelesaiannya tersendiri dengan
mengedepankan musyawarah dan mufakat.

Ngantak Salah
Ngantak salah merupakan tahapan pertama dalam penyelesaian sebambangan dengan
cara musyawarah mufakat yang harus dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki. Ngantak salah
atau dapat diartikan mengantar salah yang memiliki makna suatu proses pengakuan akan
kesalahan atas perbuatan melarikan anak gadis. Ngantak salah merupakan adat peranti atau
kebiasaan dan merupakan proses yang wajib dilaksanakan sebagai itikad baik dari keluarga
bujang untuk menyelesaikan sebambangan dengan cara musyawarah dan mufakat sehingga
keinginan bujang dan gadis untuk membangun rumah tangga dapat terlaksana. Ngantak salah
bila diartikan secara bebas adalah mengakui atas kesalahan yang telah dilakukan, hal ini
merupakan salah satu karakter orang lampung yang gentle, berani mengakui kekeliruan
secara terbuka dan kesatria.
Waktu pelaksanaan ngantak salah atau ngantak pengundoran atau sebagian
masyarakat adat Lampung lain menyebutnya Penerangan atau Kayunan dilakukan paling
lambat dua hari dari pelaksanaan sebambangan, akan tetapi terdapat pengecualian bagi
bujang yang rumahnya cukup jauh sehingga batas waktu pelaksanaan ngantak salah yaitu
bisa sampai satu minggu dari pelaksanaan sebambangan.
Ngantak salah dilakukan oleh perwakilan dari keluarga bujang, baik tokoh adat
maupun pihak lain yang dapat menjadi delegasi atau perwakilan keluarga bujang dengan
membawa sesuatu yang menjadi sarana ngantak salah yaitu bias siwok (Beras ketan) sekitar
2 Kg, Gula suluh (Gula merah) 1 Kg, Kelapa 2 buah, Gula handak (gula putih/gula pasir),
roti, dan lain-lain sesuai dengan kemampuan, senjata linggis atau keris yang dibungkus
dengan kain putih (Bagian mata linggis atau keris yang ditutup menggunakan kain putih).
Adapun tujuan dari ngantak salah adalah agar pihak yang kehilangan anak gadis mengetahui
kondisi anaknya saat ini berada dimana dan diambil oleh siapa serta bagaimana keadaan anak
gadis tersebut. Oleh karena itu, ngantak salah dapat dikatakan sebagai tindak lanjut dari surat
yang telah ditinggalkan oleh gadis pada saat sebambangan serta perbuatan itikad baik untuk
menyelesaikan sebambangan dengan cara yang baik. Sebagaimana penggalan kalimat pada
saat pelaksanaan ngantak salah berikut ini :

“Kantu mak nyaman dia kuti rumpok wat kelebonan. Kelebonan kuti rumpok ganta hiji
wat di tangan hikam di tiyuh..... buai ....dan kak dijaga dan dirawat...” (Apabila dari
pihak saudara merasa ada yang kehilangan. Kehilangan saudara saat ini berada di tangan
kami di desa.......anak dari....sudah dijaga dan diwarat...).

Berdasarkan penggalan ungkapan pada saat ngantak salah tersebut, maka pada dasarnya
ngantaksalah merupakan suatu proses pengakuan bahwa adalah benar gadis telah diambil
atau dilarikan oleh bujang. Kalimat tersebut menjelaskan keadaan si gadis kepada pihak
keluarga. Selain untuk memberi tahu keadaan si gadis, tujuan dari ngantak salah adalah
sebagai gerbang awal penyelesaian sebambangan. Hal tersebut dapat dilihat dari penggalan
kalimat yang biasanya diungkapkan pada saat ngantak salah, yaitu :

“...Sai panas kilu ngison, sai tajom kilu tumpul...” (...yang panas minta agar menjadi
dingin, yang tajam minta menjadi tumpul...)
Berdasarkan penggalan ungkapan diatas maka ngantak salah memiliki tujuan untuk
meminta penyelesaian terbaik yang dilakukan dengan cara yang baik. Setelah ngantak salah
dinyatakan diterima oleh pihak gadis, maka semua sesuatu atau bawaan yang dibawa oleh
perwakilan pihak laki-laki seperti gula merah dan sebagainya dibagi dua yaitu setengah untuk
pihak gadis dan setengah untuk pihak bujang sebagai simbol perdamaian.
Ngantak salah adalah proses mediasi atau musyawarah tahap pertama antara dua
keluarga dalam lingkup hukum perkawinan sudah dimulai dan akan terus ke proses
perundingan-perundingan selanjutnya untuk menentukan hasil yang terbaik bagi bujang dan
gadis dan kedua keluarga sampai kemudian akad nikah dan resepsi dilaksanakan.

Manjau Ngemian
Manjau Ngemian adalah kunjungan kepada pihak keluarga perempuan, dimana calon
mempelai pria diantar oleh keluarganya (orang tua, kelama, kemaman, benulung) bersama
perwatin dan tokoh-tokoh adatnya untuk memperkenalkan diri kepada orang tua gadis dan
keluarganya serta tetangga disekitar tempat tinggalnya.
Manjau Ngemian adalah tahapan proses selanjutnya setelah Ngantak Salah, tujuan
manjau ngemian adalah untuk mengenal lebih dekat antara keluarga laki-laki dan calon
pengantin laki-laki dengan keluarga perempuan dengan membawa bawaan alat makan
minum, beras, ayam atau kambing, bumbu cukup dan tungking yang berisi sekapur sirih
untuk diberikan kepada keluarga pihak calon istri.
Pelaksaan Manjau Ngemian selain untuk mengenal lebih dekat dengan keluarga juga
membahas tentang permintaan (Kiluan) tambahan dari pihak keluarga perempuan. Terkadang
dalam pembahasan permintaan tambahan ini berlangsung dengan alot sehingga tidak cukup
hanya dibahas sekali pertemuan saja. Namun, apabila sudah didapat kan kesepakatan
mengenai jumlah tambahan permintaan keluarga si gadis selanjutnya dilakukan pembahasan
mengenai waktu pelaksanaan akad nikah dan resepsi serta kegiatan acara-acara lain yang
selanjutnya akan segera dilaksanakan
Dalam acara manjau ngemian juga dilakukan Ngurau (mengundang) Perwatin Tiyuh
yang ada disekitar tempat tinggal keluarga si gadis untuk turut juga menyaksikan sosok calon
mempelai pria yang yang telah melarikan gadis di tiyuh tersebut. Sebenarnya untuk tradisi
proses Pra Pernikahan selain manjau ngemian ada juga prosesi manjau sabai (kunjungan
besan), dan sujud perlop. Sujud Perlop atau sujud permulaan merupakan tahapan
penyelesaian setelah ngantak salah dan tahapan permohonan maaf yang dilakukan oleh
bujang secara langsung kepada keluarga gadis tanpa perantara. Sujud perlop dilakukan pada
malam hari, sedangkan perlengkapan makan dan minum untuk acara sujud perlop diantarkan
pada siang hari bersamaan dengan orang yang akan memasaknya.
Sujud perlop hanya diiringi oleh keluarga bujang, karena pada dasarnya sujud perlop
hanya diketahui oleh keluarga besar bujang dan keluarga gadis saja, tidak mengundang tokoh
adat ataupun masyarakat adat di desa setempat, sujud perlop merupakan tahap pengenalan
bujang kepada keluarga besar gadis yang diawali dengan permohonan maaf atas perbuatan
melarikan gadis meskipun sudah kesepakatan antara bujang dan gadis. Makna yang
terkandung dalam sujud perlop adalah adanya suatu permohonan maaf dan harapan bujang
dapat diterima dalam keluarga besar gadis yang bermula dari memijat kakek/nenek sebagai
tanda “senyawa-sebadan” yang artinya telah diangap sebagai bagian dari keluarga besar
gadis. Sujud perlop merupakan tahap musyawarah lanjutan antara kedua keluarga untuk
menentukan langkah apa yang selanjutnya akan diambil untuk menyelesaikan sebambangan,
termasuk persyaratan yang diberikan oleh orangtua atau keluarga gadis.
Oleh karena untuk efektifitas waktu dan secara substantif memiliki kegiatan yang
sama namun bertahap kegiatan-kegiatan tersebut terkadang di rampungkan kedalam prosesi
manjau ngemian, namun walaupun dibeberapa tempat tertentu di Lampung masih
menggunakan rangkaian prosesi tersebut secara utuh atau bahkan memilih
merampungkannya menggunakan satu acara dengan penamaan yang berbeda dari salah satu
rangkaian prosesi acara tersebut (Manjau ngemian/ manjau sabai/ sujud perlop).
Sedangkan untuk pasca pernikahan ada tradisi Manjau Pirul yaitu kedatangan pihak
keluarga baru (perempuan dan suaminya) yang sudah menikah datang kepada keluarganya
berilaturahim membangun persaudaraan dengan status nya dan kedudukan yang berbeda dari
sebelumnya statusnya saat ini telah menjadi Pirul.

Ngantak Daw (Nguperadu Daw)


Ngantak daw atau nguperadu daw merupakan tahap atau proses ketiga yang harus dilakukan
dalam penyelesaian sebambangan (ninjuk). Kegiatan ngantak daw dilaksanakan sebelum
perkawinan berlangsung. Secara harfiah, nguperadu daw atau ngantak daw berasal dari dua
kata yaitu Ngantak yang berarti mengantarkan atau nguperadu yang berarti menyelesaikan
dan Daw memiliki arti biaya, sehingga nguperadu daw dapat diartikan sebagai proses
penyelesaian berupa pemenuhan semua syarat yang ditentukan oleh orangtua atau keluarga
gadis serta menyelesaikan semua syarat-syarat yang telah ditentukan dalam hukum adat
(biaya adat perkawinan dalam masyarakat hukum adat). Adapun tingkatan daw yang harus
dipenuhidalam menyelesaikan sebambangan sudah permanen yaitu angka 24 baik Rp24,00.,
Rp240,00., Rp2.400,00., Rp24.000,00., Rp240.000,00., Rp2.400.000,00. dan seterusnya
sesuai dengan kemampuan, akan tetapi harus tetap berada di angka 24. Adapun cara dan
syarat ngupuradu daw adalah sebagai berikut :
Pertama, Ngantakko bahan mengan nginum (Mengantarkan bahan makan dan
minum). Pelaksanaan nguperadu daw merupakan kegiatan penyelesaian yang dilakukan di
kediaman keluarga gadis, akan tetapi bahan makan dan minum merupakan tanggungjawab
dari keluarga bujang. Kegunaan bahan makan dan minum bukanlah untuk keluarga gadis,
melainkan untuk perlengkapan acara penyelesaian sebambangan.
Kedua, Sai lapah keluarga, perwatin sai jumlah ne terbatas (yang jalan keluarga,
tokoh adat yang jumlahnya terbatas). Adapun yang menghadiri pelaksanan nguperadudaw
adalah keluarga dan beberapa tokoh adat yang menjadi delegasi masyarakat adat. Fungsi
dari tokoh adat atau perwatin adalah sebagai perwakilan masyarakat adat untuk menghadiri
acara dan menyaksikan penyelesaian sebambangan.
Ketiga, Sarana ngantak daw/bia-bia nguperadu daw (Semua biaya). Tujuan utama
dalam nguperadudaw adalah menyelesaikan semua syarat dan biaya adat dalam hukum
perkawinan masyarakat adat Lampung Sungkai.
Keempat, Penyerahan bia/daw dilakuko oleh wakil/juru bicara (Penyerahan
dilakukan oleh juru bicara). Penyerahan seluruh biaya dilakukan oleh juru bicara dari pihak
bujang yang biasanya dilakukan oleh tokoh adat.
Pelaksanaan nguperadu daw memiliki kaitan yang sangat erat dengan tahap
sebelumnya yaitu sujud perlop dan manjau ngemian yang berkenaan dengan musyawarah
lanjutan yang dilakukan oleh kedua keluarga. Proses musyawarah lanjutan pada sujud perlop
dan manjau ngemian, orangtua atau keluarga gadis akan memberikan beberapa syarat (jika
ada) kepada bujang dan keluarganya untuk dapat dipenuhi. Adapun pemenuhan semua
persyaratan dilakukan pada nguperadu daw bersamaan dengan menyelesaikan semua biaya
perkawinan dalam hukum adat Lampung khususnya di adat Lampung Sungkai.
Melihat latar belakang tersebut, maka jelas bahwa perkawinan dalam adat Lampung
bukan hanya sebatas perikatan antara satu orang dengan yang lainnya akan tetapi merupakan
ikatan pribadi, ikatan keluarga, ikatan kekerabatan, dan bahkan ikatan tetangga. Hal tersebut
terlihat dalam proses penyelesaian nguperadu daw yang melibatkan keluarga, perwatin
(tokoh adat) yang merupakan tetangga dari keluarga yang memiliki acara perkawinan.
Pada proses penyelesaian sebambangan, tidak ada larangan bagi keluarga gadis untuk
memberikan syarat tertentu kepada pihak bujang selama syarat yang diajukan tidak
bertentangan dengan syariat Islam, undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Hal
tersebut menekankan bahwa proses negosiasi antara kedua belah pihak dalam menyelesaikan
sebambangan sangat mengedepankan akal sehat dan dengan cara yang baik yaitu
musyawarah mufakat yang konsep penyelesainnya sama dengan negosiasi dengan tujuan
untuk menemukan jalan keluar yang terbaik.

Sujud
Sujud atau sungkem dilaksanakan sebelum perkawinan berlangsung di kediaman
gadis, hal ini berbeda dengan proses nguruk maju atau nguruk diway yang dilakukan setelah
perkawinan berlangsung. Adapun tujuan utama dari proses sujud atau sungkem adalah bujang
dan keluarga memohon restu kepada orangtua dan keluarga gadis untuk melangsungkan
perkawinan. Selain itu, terdapat tujuan lain yaitu meminta izin kepada keluarga besar gadis
(termasuk tokoh adat) untuk melangsungkan semua tahapan atau proses adat di kediaman
bujang sesuai dengan tata tertib hukum adat yang diakui, serta mengundang keluarga besar
gadis untuk dapat hadir dalam acara yang akan dilaksanakan di kediaman bujang.
Adapun syarat dan tata cara sujud atau sungkem yaitu Ngantakko sarana mengan
nginum (biasani kambing), artinya mengantarkan sarana untuk makan dan minum. Biasanya
adalah kambing. Penganten (mengian dan kebayanni) diantakko keluarga ridik sekelik
disertai perwatin tuhha raja, pirul sai berpakain adat, artinya pengantin laki-laki dan
perempuan diantarkan keluarga dan sanak saudara beserta tokoh adat tetua raja, pirul yang
menggunakan pakaian adat. Adapun sarana yang dibawa adalah kue dodol 60 buah, alat sirih
dan rokok, pesalin mekhanai (kawai, kupiah, sinjang, selop, badik). Adapun yang dimaksud
dengan pesalin mekahanai adalah perlengkapan yang digunakan untuk menyalini bujang
yang memiliki makna yaitu setelah salin mekhanai maka bujang sudah memiliki status yang
berbeda.
Selesai seserahan, mengian ampai kuruk nua dan sujud di kelama sua nyerahko
senjata (punduk) sebagai tanda patuh jama kelama, dan kelama ngejuk amai adok (mak
diiringi canang). Selanjutni mari sujud jama sai barih. Artinya bahwa pengantin laki-laki
(bujang) masuk ke dalam rumah setelah selesai seserahan dan bujang sujud (sungkem)
dengan kelama dan menyerahkan senjata (biasanya keris atau badik) sebagai tanda patuh
kepada kelama, dan selanjutnya kelama memberikan adok kepada bujang. Setelah sujud
dengan kelama barulah sujud dengan yang lainnya kesemua perwatin yang hadir.
Selanjutnya para perwatin tokoh akan adat mengadakan himpun musyawarah dengan
sesumbahan antara pihak keluarga pengantin pria dan pihak keluarga pengantin wanita
dihadiri oleh tokoh-tokoh adat bidang suku setempat bermusyawarah untuk segera
melanjutkan proses selanjutnya yaitu pelaksanaan akad nikah yang akan dilaksanakan
ditempat kediaman calon mempelai pria.
Setelah musyawarah adat selesai selanjunya pihak keluarga calon mempelai pria akan
berpamitan untuk pulang dan segera mempersiapkan segala sesuatu untuk pelaksanaan
prosesi akad nikah dikediaman mempelai pria yang kemudian keluarga calon mempelai
wanita menyusul kerumah calon mempelai pria untuk menghadiri pelaksanaan akad nikah.
Dalam pelaksanaan prosesi ngantak salah, manjau ngemian, manjau sabai, sujud
perlop sampai sujud menunjukkan bahwa Sebambangan bukanlah proses perkawinan yang
dilakukan tanpa restu dari orang tua melainkan sebaliknya, dalam proses perkawinan yang
dilakukan dengan proses sebambangan akan sangat mengedepankan do’a restu dari orangtua
dan keluarga besar. Salah satunya dengan adanya proses sujud atau sungkem. Sujud atau
sungkem merupakan proses yang tidak bisa ditinggalkan, karena merupakan keharusan dalam
penyelesaian pernikahan khususnya dengan cara sebambangan.

Ngantak Sansan
Masyarakat Suku Lampung Pepadun (Sungkai Bunga Mayang, Way Kanan Buway
Lima, Abung Siwo Mego, Mego Pak Tulang bawang, dan Pubian Telu Suku) pada saat
melangsungkan pernikahan anak Perempuannya memiliki budaya memberikan barang baik
berupa surat dan atau "harta bergerak dan tidak bergerak" seperti seperangkat perabot rumah
tangga lengkap kepada anak perempuan dan calon suaminya yang dinamakan Sansan
(sebagian Lampung Pepadun menyebutnya Sesan). Jadi pengertian Sansan adalah barang
baik berupa surat dan atau "harta bergerak dan tidak bergerak" seperti seperangkat perabot
rumah tangga sebagai sarana pindah Jenganan (rumah keluarga yang baru penganten)
sebagai tanda kenang-kenangan dari orang tua, handai taulan dan saudara pengantin
perempuan (Kelama, Kemaman, Kenubi, Lebu, Pirul, benulung dan tetangga kampung) mulai
dari yang besar sampai pada yang paling kecil yang diberikan oleh keluarga mempelai
perempuan.
Berupa barang atau surat dan atau harta bergerak dan tidak bergerak karena selain
berupa perabotan rumah tangga yang sudah jamak kita lihat pada tradisi Sansan, ada juga
Sansan yang berupa Rumah/atau tempat tinggal, Mobil/atau kendaraan, Emas, Perak, berlian,
surat berharga dan lain-lain yang pada intinya diberikan oleh pihak keluarga pengantin
perempuan untuk menjalani mahligai rumah tangganya bersama sang suami. Sansan tersebut
akan diserahkan kepada pihak keluarga laki-laki umumnya pada saat acara resepsi pernikahan
berlangsung yang sekaligus sebagai penyerahan mempelai wanita kepada keluarga laki-laki.
Sansan yang telah dibelanjakan dalam bentuk barang tersebut berasal dari: 1)
Tengepik (uang yang ditinggalkan oleh calon pengantin perempuan, hal ini berlaku untuk
perempuan yang Bakbai atau Sebambangan); atau 2) Serah (apabila calon pengantin
perempuan melalui proses hibal muhibal lamaran atau khitbah); dan 3) Tulung (berasal dari
kerabat calon pengantin perempuan seperti: Orang tua, Mehani (saudara laki-laki), kelepah
(saudara perempuan), Kelama (saudara laki-laki ibu dan keturunannya), Kemaman (saudara
laki-laki bapak), Kenubi (sepupu dari pihak saudara perempuan ibu), dan/atau uang tambahan
dari pihak pengantin laki-laki sesuai kesepakatan antara kedua belah pihak sebelum
pernikahan berlangsung.
Apabila dilihat dari sumber dan barang-barang yang diberikan oleh pihak keluarga
perempuan sudah selayaknya apabila uang Tengepik atau Serah pada orang Lampung
terbilang cukup besar, sansan inilah yang merupakan salah satu sumbernya (diluar biaya-
biaya nikah, acara adat, begawi, hingga ke resepsi/pesta/walimah). Sehingga adalah salah
kaprah apabila ada penilaian bahwa ‘mengambil’ gadis Lampung itu ‘biayanya mahal’, hal
itu tidak lain dan tidak bukan uang yang telah diberikan oleh pihak laki-laki akan kembali
dalam bentuk barang-barang perabotan rumah tangga bahkan biasanya dalam jumlah nilai
yang lebih besar.
Sansan merupakan perabotan rumah tangga siap pakai mulai dari Furniture (Meja,
kursi, lemari, Tempat tidur), Perlengkapan Kamar mandi, Perlengkapan dapur dan
perlengkapan makan, sehingga fungsi dari sansan tersebut memang benar-benar untuk
digunakan oleh keluarga pengantin baru pada kegiatan sehari-harinya di rumah tangganya
mulai dari memasak, mencuci, mengepel, menyetrika dan lain sebagainya.
Tujuan utama ngantak sansan adalah memenuhi undangan dari pihak keluarga bujang
dan mengantarkan sansan atau peralatan rumah tangga untuk gadis yang akan memulai
kehidupan berumahtangga. Sansan merupakan peralatan rumah tangga yang dibelikan dari
uang peninggalan. Dengan terlaksananya ngantak sansan maka berakhirlah proses
penyelesaian sebambangan.
Melihat latar belakang tersebut, pada hakikatnya ngantak sansan merupakan suatu
proses orang tua dan keluarga besar gadis mengantarkan gadis pindah ke hukum adat
suaminya, dengan demikian status bujang dan gadis sudah berubah sebagai akibat dari
perkawinan yang dilakukan. Semua tahapan penyelesaian sebambangan harus dilewati dan
tidak boleh ada yang dilompati karena keseluruhannya merupakan sistem hukum adat yang
satu sama lain saling berkaitan.
Waalahualam bisshawab.

BIODATA SINGKAT PENULIS:


Zainudin Hasan,S.H.,M.H
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung
Tinggal di Jl. Untung Suropati, Gang Raja Ratu No.82, Labuhan Ratu, Bandar Lampung
HP/WA/LINE : 081317331084
Email: zainudinhasan@ubl.ac.id
Blog: http://www.zainudinhasan.blogspot.com
No Rekening BSM : 7093 638012

Anda mungkin juga menyukai