Anda di halaman 1dari 2

UPACARA PERKAWINAN BUMBANG AJI

Oleh : Zainudin Hasan,SH,MH

Upacara perkawinan adat Lampung (Pepadun) memiliki banyak tata cara, dimana
perkawinan tersebut pada umumnya memakai uang jujur, dimana setelah terjadi
perkawinan istri masuk kedalam kerabat pihak suami (patrilokal). Bentuk upacara
perkawinan adat yang bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, yang zaman dahulu
berdasarkan tingkat kedudukan kepunyimbangan, tetapi dimasa sekarang telah berubah,
tergantung pada keinginan dan kemampuan dari keluarga yang akan menyelenggarakan
dengan meminta persetujuan kepunyimbangan yang ada. Upacara adat perkawinan itu
dapat berbentuk sederhana dan dapat berbentuk mewah tergantung kepada kemampuan
dan kemauan keluarga yang akan menyelenggarakan. Upacara perkawinan adat lampung
yang relatif sederhana seperti upacara yang disebut dengan Tar atau Intar Padang, Tar
Manem, Tar Selep atau Cakak Manuk. Sedangkan upacara perkawinan adat yang cukup
mewah atau sedang disebut dengan istilah Bumbang Aji dan Hibal Serbo.
Bumbang Aji adalah upacara perkawinan adat yang termasuk besar namun belum
termasuk lengkap karena tidak dilaksanakan dengan Begawi Balak atau Cakak Pepadun
(Mupadun). Upacara perkawinan Bumbang Aji dilakukan dengan acara-acara prosesi seperti
Cakak Pun atau Cakak Ngumung, Ngakuk Maju, Nyambuk Maju, dan Sujud Mengian. Prosei
pertama yang dilakukan adalah acara Cakak Pun yang artinya naik pada orang tua. Cakak
Pun atau Cakak Ngumung berarti melaksanakan perundingan antara tua-tua adat kedua
belah pihak dalam rangka pelamaran untuk perkawinan. Acara ini dilaksanakan beberapa
kali, dimana pihak pria berkunjung dan berunding ditempat kediaman pihak wanita sampai
adanya persetujuan mengenai persyaratan biaya adat, acara adat dan penentuan waktu
pelaksanaan pengambilan mempelai wanita.
Langah selanjutnya apabila telah dicapai kesepakatan adalah dilakukannya proses
Ngakuk Maju, Ngakuk Maju artinya mengambil mempelai wanita. Dalam acara ini mempelai
pria dengan berpakaian adat yaitu memakai bidak (kain lampung) atau tumpal, keris, dan
kikat kepala atau kepiah berangkat dengan rombongan perwatin, tua-tua punyimbang,
kaum ibu (bebai, mirul,maju) dan muli meranai menuju tempat kediaman mempelai wanita.
Rombongan ini berjalan dikurung dengan lingkaran kain putih (kandang rarang) dengan
membawa semua biaya adat berupa daw adat, sekapur sirih, daw isi, dan barang-barang,
pakaian perhiasan dan makanan.
Rombongan mempelai pria kemudian diterima keluarga mempelai perempuan
dengan upacara adat disambut tetabuhan tala oleh para tua-tua adat pihak mempelai
wanita. Para tua-tua adat kedua belah pihak duduk berhadapan ditempat terhormat
menghadapi biaya adat dan barang-barang dari pihak mempelai pria. Mempelai pria duduk
disekitar tua-tua adat kaum ibu, muli meranai ditempat yang telah disediakan oleh keluarga
mempelai perempuan.
Kemudian penglaku dari pihak pria angkat bicara sebagai perwakilan menyerahkan
biaya adat dan barang-barang yang telah dibawa oleh mereka, setelah itu dilanjutkan
dengan permhonan untuk dapat mengambil mempelai wanita. Penglaku pihak wanita
kemudian menerima penyerahan barang-barang itu, lalu menyerahkan secara simbolis
mempelai wanita. Setelah proses sesumbahan selesai kemudian mempelai pria dan wanita
sembah sujud kepada orang tua dan keluarga perempuan serta para punyimbangnya, maka
dengan upacara kebesaran yang diiringi tabuh tala kedua mempelai dan rombongan dilepas
oleh pihak wanita untuk kembali ketempat kediaman pria.
Kedatangan kembali rombongan mempelai di tempat pria disambut pula dengan
upacara kebesaran, dengan tabuh tala dan tembakan meriam atau senjata api lainnya.
Sebelum kedua mempelai masuk rumah keduanya disambut oleh Ibu mempelai pria dan
kedua mempelai mencuci atau mencelupkan kedua kakinya dibejana air berisi bunga-bunga
yang telah tersedia yang lalu dipersilahkan masuk kedalam rumah untuk duduk tindih sila
dan dipusok (mosok) nasi dan lauk pauknya oleh kaum ibu dari pihak wari, adik wari, lebu,
dan kelamo. acara ini diakhiri dengan tukar sepah yaitu makan sirih berganti dari mulut
mempelai pria kemulut mempelai wanita.
Setelah selesai acara mosok, maka mempelai pria melepas kalung dari leher
mempelai wanita (netang sabik) sebagai simbol telah mengakhiri masa gadisnya. Mempelai
pria berkata “kutetang sabikmu dik, marai jadi cahyo berito”, yang artinya kulepas kalungmu
dik, maka menjadi cahaya berita. Setelah itu mahkota siger mempelai wanita diganti dengan
kanduk liling (mahkota bertutup kudung putih) untuk selanjutnya menerima inai adek
panggilan dari kerabat yang ditetapkan dan diumumkan. Setelah acara itu selesai maka
kedua mempelai menjalani proses akad nikah.
Beberapa hari setelah dilaksanakan akad nikah dilaksanakan lagi acara Sujud
Mengiyan atau sungkem menantu pria ketempat pihak mempelai wanita. Dalam acara ini
mempelai pria diantar oleh rombongan tua-tua adatnya dengan membawa bahan makanan
dan pemberian-pemberian. Rombongan diterima pula oleh tua-tua adat pihak wanita, dan
mempelai pria dipersilahkan menuju tempat yang telah disediakan untuk menikmati
hidangan nasi yang sudah ada dihadapannya. Kemudian mempelai pria dipersilakan netang
sabuk, yaitu melepaskan ikat pinggangnya sebagai tanda telah menjadi menantu lalu
melakukan sembah sujud orang tua istrinya dan menyalami semua tua-tua adat pihak
istrinya yang hadir. Setelah itu mertua mempelai pria menyampaikan maro penyapuh, yaitu
memberikan semua barang-barang pemberian dari pihak kerabat wanita, termasuk barang
bawaan istri atau sesan.
Demikianlah salah satu bentuk upacara perkawinan adat lampung yang disebut
dengan istilah Bumbang Aji, melihat perkembangan adat budaya lampung khususnya dalam
upacara adat perkawinan diberbagai daerah untuk saat ini sebagian masih tetap
berlangsung meskipun lambat laun terdesak oleh pengaruh budaya modern. Kaidah-kaidah
hukum adat tradisional yang bersifat ritual eksplisit sebagian masih dipertahankan oleh
pemuka adatnya, namun secara implisit generasi muda sudah banyak tidak mengenalnya
lagi, apabila tradisi tersebut tidak disampaikan oleh pemangku adat dan dipelihara melalui
pembinaan, penelitian, pencatatan, pembukuan, dan pengajaran dengan tujuan untuk
kelestarian kekayaan budaya maka acara-acara adat tersebut suatu saat nanti bukan tidak
mungkin akan tinggal sebagai sejarah saja.

BIODATA SINGKAT PENULIS:


Zainudin Hasan,S.H.,M.H
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung
Mengajar Mata Kuliah Hukum Adat, Sosiologi Hukum
Tinggal di Jl. Untung Suropati, Gang Raja Ratu No.82, Labuhan Ratu, Bandar Lampung
TLP/SMS/WA/LINE : 0813 1733 1084
Facebook : Zainudin Hasan
Instagram : zainudinhasan_sbm
Email: zainudinhasan@ubl.ac.id
No Rekening BSM : 7093 638012

Anda mungkin juga menyukai