Anda di halaman 1dari 4

CEMPALA, PELANGGARAN DALAM HUKUM ADAT LAMPUNG

Oleh: Zainudin Hasan,S.H.,M.H.

Dalam masyarakat adat Lampung, Kaidah atau Norma adalah nilai yang dijunjung
tinggi sehingga apabila ada yang melanggar memiliki konsekuensi hukum dengan
mendapatkan hukuman berupa denda atau hukuman lain disesuaikan dengan tingkat
kesalahan yang dilakukan oleh pelaku. Kaidah Sosial ini merupakan nilai-nilai positif yang
dikongkritkan kedalam tingkah laku dan merupakan patokan untuk berkepribadian secara
pantas dan dijadikan sebagai pedoman dalam hidup bermasyarakat khususnya dalam
pergaulan masyarakat adat. Adapun isi dari kaidah sosial itu antara lain adalah keharusan,
kebolehan, dan larangan yang masuk kedalam ranah hukum adat.
Soepomo mengemukakan bahwa di dalam sistem hukum adat segala perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan ilegal dan hukum
adat mengenal pula ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki kembali hukum jika hukum itu
diperkosa. Selanjutnya dikatakan apabila terjadi suatu pelanggaran hukum, maka petugas
hukum (tokoh adat dan sebagainya) mengambil tindakan kongkrit (adat reactive) guna
membetulkan hukum yang dilanggar itu. Sehingga dapat dicapai kembali keserasian dalam
masyarakat.
Sementara itu Hilman Hadikusuma mengatakan yang dimaksud pelanggaran hukum
adat atau delik adat adalah peristiwa atau perbuatan yang mengganggu keseimbangan
masyarakat dan dikarenakan adanya reaksi dari masyarakat maka keseimbangan itu harus
dipulihkan kembali. Peristiwa pelanggaran atau perbuatan itu apakah berwujud atau tidak
berwujud, apakah ditujukan terhadap manusia atau yang ghaib, yang telah menimbulkan
kegoncangan dalam masyarakat harus dipulihkan dengan hukuman denda, ganti kerugian
(nyukak) dan atau dengan melakukan ritual upacara adat seperti memotong sejumlah
kerbau, melakukan musyawarah adat dan makan besar bersama.
Dalam hukum pidana adat khususnya hukum adat Lampung dalam penerapannya
khususnya upacara-upacara adat sangat jarang sekali menggunakan hukuman badan karena
dalam pelaksanaanya lebih banyak menggunakan denda bagi pelaku. Menurut Hilman
Hadikusuma dalam bukunya Hukuman dan Peradilan dalam Hukum Adat bahwa Peradilan
adat tidak dapat dibayangkan sebagaimana peradilan pemerintah, karena kedudukannya
yang bersifat insidentil, sewaktu-waktu diperlukan, dan kalau disebut Hakim Adat ia
merupakan orang yang berperanan sebagai penengah (mediator), pemakat dan pemutus
diantara dua pihak atau berbagai pihak yang berselisih. Apa yang dikatakan sidang adat
bukan merupakan sidang pengadilan negara, melainkan suatu pertemuan, suatu
musyawarah, yang dilaksanakan dan dihindari oleh pemuka adat, pemuka masyarakat, dan
para wakil-wakil dari para pihak yang berselisih. Fungsi dan perannya adalah bersifat
mengembalikan keseimbangan yang terganggu dalam masyarakat setempat dan bukan
mencari siapa yang benar atau yang salah, melainkan mencari titik temu yang merupakan
kesepakatan antara para pihak ke arah perdamaian dan kerukunan. Oleh karenanya
penyelesaian dengan hukum adat lebih tepat dikatakan bukan melalui proses peradilan akan
tetapi melakukan penyelesaian secara damai secara musyawarah mufakat dan penuh
kekeluargaan.
Dalam hukum masyarakat Lampung, melanggar adat disebut sebagai Cempala
(Sebagian masyarakat adat Lampung menyebutnya Cempalo atau Cepalo) pelanggarnya
dapat dikucilkan dan dikeluarkan dari pergaulan masyarakat adat dan untuk bisa
memperoleh kembali kedudukan ditengah masyarakat adat hanya dapat dilakukan dengan
cara didenda, ganti kerugian (nyukak) dan atau melakukan prosesi “bebasuh”
(membersihkan diri) dalam suatu upacara adat.
Melanggar adat dalam prakteknya tidak serta merta harus melanggar hukum karena
melanggar adat pada dasarnya sama dengan melanggar Kaidah atau norma dalam
pergaulan masyarakat sehingga dalam masyarakat adat sangat kental sekali adanya
berperilaku sopan santun, menghormati orang lain, menghormati orang yang lebih tua atau
secara strata tingkatannya lebih tinggi, berpakaian yang pantas, bersikap yang memenuhi
nilai kepatutan dan menghormati aturan-aturan tata titi adat yang berlaku dalam
masyarakat.
Menurut I Made Widnyana dalam bukunya Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan
Hukum Pidana bahwa untuk menentukan tindak pidana adat tidak dikenal adanya asas
legalitas sebagaimana diatur oleh sistem KUHP yaitu yang mengharuskan adanya suatu
aturan atau undang-undang terlebih dahulu yang mengatur perbuatan tersebut, sebagai
perbuatan yang dilarang atau perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Tindak pidana adat itu
terjadi apabila perbuatan tersebut dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak
patut, dipandang akan dapat mengganggu keseimbangan kosmis dan menimbulkan
kegoncangan dalam masyarakat.
Ada beberapa bentuk dan macam cempala, berikut ini saya jelaskan tentang cempala
rua belas. Yaitu cempala terhadap 12 pelanggaran dan hukumannya yang harus dijalani bagi
pelaku yang melakukan cempala dua belas tersebut. Cempala dua belas antara lain adalah
sebagai berikut :1.Dilarang melihat istri dan anak gadis orang lain dengan pandangan
mencurigakan, 2.Dilarang berbicara yang kotor, menghasut, memfitnah orang, 3.Dilarang
duduk lebih tinggi tempatnya dari pada orang yang lebih tua. 4.Dilarang terbuka
kemaluannya ditempat orang ramai. 5.Dilarang tidur tengkurap di gardu kampung pada
waktu siang hari, sedang para ibu dan gadis lewat situ. 6.Dilarang memukul perut sendiri di
dekat wanita yang sedang hamil. 7.Dilarang naik rumah orang lain dari pintu belakang.
8.Dilarang seorang tamu masuk ruang tamu atau ruang tengah rumah tanpa izin tuan
rumah. 9.Dilarang orang laki-laki ditepian kakus tempat wanita atau sebaliknya. 10.Dilarang
mengambil buah-buahan milik orang lain tanpa meminta lebih dahulu. 11.Dilarang
melarikan istri orang lain. 12.Dilarang berbuat mesum. Untuk hukuman Cempala No 1-10
mendapatkan hukuman denda, Nomor 11 mendapat pengucilan dari adat dan keluarga, dan
Nomor 12 mendapat ancaman hukuman mati.
Dalam prakteknya, saat ini hukum adat dengan ancaman hukuman mati sudah tidak
lagi dilakukan, hukuman mati dalam adat ditinggalkan seiring dengan berjalannya hukum
positif di Indonesia. Hukuman adat saat ini hanya sebatas denda, ganti rugi (nyukak) sampai
pengucilan dari pergaulan adat dan keluarga.
Dalam kitab kuntjara raja niti (yang disalin ulang oleh ST Jaya Penatih Teruna Tahun
1947) di dalamnya terdapat aturan tentang tata cara dan aturan hidup orang lampung
(Pepadun), terdapat 248 Pasal yang mengatur tentang banyak hal termasuk Delik adat atau
pidana adat seperti aturan apabila merusak tanaman tumbuh milik orang (nyadangko tanom
tumbuh), perkara mencuri (ngamaling), mengambil istri orang (ngakuk bubbai), merusak
surat perjanjian (nyadang ko surat perjanjian), sumpah palsu, hamil diluar nikah (nganak
mak kahwin), sampai 12 perkara orang yang tidak boleh menjadi saksi (jelema sai mak
dapok jadi saksi), serta aturan-aturan berupa anjuran dalam berperilaku sehari-hari seperti :
Manan di Induk Bapak (Tidak nakal, berbuat baik atau berbakti dengan Ibu dan Bapak),
Rabai di ama kemaman (Takut pada paman atau saudara), Simah belebah (murah hati pada
semua), Hampang Injak (Ringan tangan, tidak malas), Tunai ke kain (Mudah dimintai tolong),
dan manis kata manis muka.
Selain berisi larangan, keharusan, dan kebolehan Kitab Kuntjara Raja Niti juga
memuat tentang penyelesaian perkara secara hukum adat yaitu dengan cara membayar
ganti rugi (nyukak), mengembalikan yang dicuri (ulang ko sai di maling), membayar denda
sejumlah uang, memotong sejumlah kerbau (mesol kibau), dan hukuman sosial seperti
diasingkan dari keluarga dan masyarakat adat.
Saat ini penyelesaian perkara pidana menggunakan hukum adat sudah sangat jarang
sekali dilakukan, padahal penyelesaian perkara pidana melalui hukum adat bisa menjadi
alternatif jalan tengah bagi permasalahan hukum pidana di Indonesia seperti penjara yang
over kapasitas, statistik kejahatan yang terus meningkat, kriminalisasi pidana, ketidak
amanan bahkan goncangan-goncangan sosial ditengah masyarakat sebagai akibat dari
semakin banyaknya tindak kejahatan. Dengan dipakainya hukum adat sebagai alternatif
dalam penyelesaian suatu delik sebagai contoh dilampung sudah adanya rembug pekon
maka akan memaksimalkan peran hukum adat sehingga hukum pidana sebagai Ultimum
remedium yakni sebagai upaya akhir dalam menyelesaikan sudah masalah dapat berjalan
dengan baik dan maksimal.
Dengan demikian peyelesaian perkara dengan hukum adat bisa menjadi salah satu
cara dalam model pendekatan penegakan hukum Restorative of Justice yakni sebagai jalan
tengah dalam penyelesaian suatu delik atau tindak pidana khususnya delik adat. Adanya
pemulihan hubungan antara pelaku dan korban maupun antara pelaku dengan masyarakat
disekitarnya, sehingga dapat tercapai kembali keseimbangan dan tujuan hukum itu sendiri
yakni menciptakan keamanan dan ketertiban ditengah masyarakat.

BIODATA SINGKAT PENULIS:


Zainudin Hasan,S.H.,M.H
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung
Tinggal di Jl. Untung Suropati, Gang Raja Ratu No.82, Labuhan Ratu, Bandar Lampung
HP/WA/LINE : 081317331084
Email: zainudinhasan@ubl.ac.id
Blog: http://www.zainudinhasan.blogspot.com
No Rekening BSM : 7093 638012

Anda mungkin juga menyukai