Anda di halaman 1dari 23

LANDASAN FILOSOFIS PENGEMBANGAN KURIKULUM

DOSEN PENGAMPU:Dr.K.Panjaitan,M.PD

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2

1. LUKAS SANJAYA NAPITUPULU


2. MARTOGI SIMBOLON
3. RAFIF AZIZI
4. RIZAL SIBORO
5. YUDHI LEOPARD SILABAN

PRODI S-1 PENDIDIKAN TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan
Karunia-Nya sehingga makalah Landasan Filosofi Pengembangan Kurikulum
ini dapat terselesaikan sebagaimana mestinya..
Ucapan terimakasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Telaah
Kurikulum yang telah memberikan kami kesempatan untuk membuat makalah ini
sebagai acuan dan referensi untuk tugas-tugas selanjutnya.
Akhir kata, Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kesalahan baik
dari segi bahasa, tulisan, maupun kalimat yang kurang tepat dalam makalah ini,
Dari itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah
berikutnya.

Medan, 23 september 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................................... i

Daftar Isi.................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................1


B. Rumusan Masalah .......................................................................................3
C. Tujuan Penulisan .........................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Landasan Filosofi .......................................................................4


B. Dasar Filsafat menurut Dewey ....................................................................6
C. Teori Pendidikan menurut Dewey .............................................................7
D. Asas-asas Filosofi ......................................................................................7
E. Jenis-jenis Filosofi Pendidikan ................................................................12
F. Penerapan Filosofi sebagai Landasan Pengembangan Kurikulum ......15

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................20
B. Saran ...........................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tahun 2018 mendatang, kurikulum 2013 akan diberlakukan di seluruh


sekolah. Sampai saat ini kurikulum 2013 masih mendapatkan berbagai pendapat
dari para pakar, serta para pendidik yang akan melaksanakannya dilapangan.
Kurikulum ini dinilai memiliki kelebihan dan juga tentunya kekurangan. Kenyataan
yang ada adalah dalam waktu satu tahun lagi semua sekolah harus menerapkan
kurikulum ini, sedangkan hingga saat ini masih banyak para pendidik yang masi
belum begitu paham dengan cara kerja kurikulum tersebut. Hal ini seringkali
menjadi perdebatan antar berbagai pihak karena penggantian kurikulum yang
terbilang signifikan ini terkesan agak dipaksakan dan belum tentu sesuai dengan
keadaan dibeberapa sekolah.

Nasution dalam bukunya mengataka bahwa Kebutuhan masyarakat perlu


ditampung untuk dianalisis, diseleksi dan diambil suatu keputusan, karenanya
dalam proses pengembangan kurikulum ditemukan istilah a matter of choice, yakni
persoalan pilihan”1 hal ini membuktikan bahwa kurikulum dapat diterapkan jika
sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat. Fenomena kurikulum 2013
merupakan salah satu pengembangan kurikulum di Indonesia yang tentunya tak
luput dari kendala karena untuk menerapkan sesuatu yang baru harus
mempertimbangkan berbagai hal, tidak hanya dari tingkat pendidikan dan juga
kemampuan para peserta didik namun juga dari masyarakat.

Di Indonesia, kurikulum dibuat dengan memperhatikan aspek pedagogik dan


juga aspek didaktis. Kurikulum di Indonesia bertujuan agar siswa dapat mencapai
kompetensi tertentu, memberikan bekal akademik kepada siswa untuk melanjutkan
ke jenjang pendidikan tinggi dan juga siswa dapat menyelesaikan masalah dengan
baik dan menjalankan hidupnya sesuai harapan masyarakat. Dalam prosesnya,
kurikulum di Indonesia menjadikan guru sebagai fasilitator. Pembelajaran akan

1
Nasution, Asas-asas kurikulum (Jakarta: Bumi aksara, 1995), h. 78

1
berpusat pada siswa dan sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dicapai.
Kurikulum disusun oleh Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS).
Penyusunan kurikulum ini berdasarkan Badan Nasional Standar Pendidikan
(BPNS) untuk sekolah umum dan dinaungi Departeme Agama untuk sekolah yang
berbasis

Kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia diantara lain kurikulum 1947,


kurikulum 1954, kurikulum 1964, kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum
1984, kurikulum 1994 (CBSA), kurikulum 2004 (KBK), kurikulum 2006 (KTSP).
Saat ini sudah ada kurikulum 2013, yaitu kurikulum yang berlaku dalam dalam
Sistem Pendidikan Indonesia. Kurikulum ini disebut juga kurikulum yang berbais
karakter. Kurikulum ini masih dalam masa percobaan mulai dari tahun 2013
dengan menjadikan beberapa sekolah sebagai sekolah rintisan.

Wina Sanjaya dalam bukunya mengatakan ada tiga landasan pengembangan


kurikulum, yakni landasan filosofis, psikologis, dan landasan sosiologis-
teknologis.2 Berangkat dari hal tersebut, maka penulis akan membahas mengenai
landasan pengembangan kurikulum berdasarkan filosofinya. Kurikulum dapat
dikemabangkan dan diterapkan pada pendidikan suatu Negara tidak hanya secara
sengaja dan tanpa pertimbangan. Kurikulum dibuat harus memiliki landasan yang
kuat.

Dakir dalam bukunya mengatakan bahwa falsafah atau way of live suatu
bangsa akan menjiwai segala kegiatan lembaga pada bangsa yang bersangkutan.3
Sebagaimana mestinya, kurikulum harus dibuat dengan memperhatikan filosofi
yang dianut oleh bangsanya. Dalam hal ini Indonesia harus mengembangkan
kurikulum berlandaskan pancasila.

B. Rumusan Masalah

2
Sanjaya, Kurikulum dan pengembangan (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 42
3
.rineka cipta. Dakir, Perencanaan & Pengembangan Kurikulum (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h.
84

2
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam makalah ini
dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah pengertian dari landasan filosofis?


2. Bagaimana dasar filosofis menurut Dewey?
3. Bagaimana teori pendidikan menurut Dewey?
4. Apasaja asas-asas filosofi pendidikan?
5. Apa saja jenis-jenis falsafah dalam dunia pendidikan?
6. Bagaimana penerapan filosofi sebagai landasan pengembangan kurikulum?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk:

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Kurikulum.


2. Untuk mengetahui konsep landasan filosofi.
3. Untuk mengetahui filosofi pendidikan menurut pandangan Dewey.
4. Untuk mengetahui asas-asas filosofi dalam pendidikan.
5. Untuk mengetahui jenis-jenis falsafah dalam dunia pendidikan.
6. Bagaimana penerapan filosofi sebagai landasan pengembangan kurikulum.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Landasan Filosofi


1. Pengetian Landasan
Landasan adalah dasar tempat berpijak atau tempat di mulainya suatu
perbuatan. Dalam bahasa Inggris, landasan disebut dengan istilah foundation, yang
dalam bahasa Indonesia menjadi fondasi. Fondasi merupakan bagian terpenting
untuk mengawali sesuatu.
Adapun menurut S. Wojowasito, (1972: 161), bahwa landasan dapat diartikan
sebagai alas, ataupun dapat diartikan sebagai fondasi, dasar, pedoman dan sumber.
Istilah lain yang hampir sama (identik) dengan kata landasan adalah kata
dasar (basic). Kata dasar adalah awal, permulaan atau titik tolak segala sesuatu.
Pengertian dasar, sebenarnya lebih dekat pada referensi pokok (basic reference)
dari pengembangan sesuatu. Jadi, kata dasar lebih luas pengertian dari kata fondasi
atau landasan. Karena itu, kata fondasi atau landasan dengan kata dasar (basic
reference) merupakan dua hal yang berbeda wujudnya, tetapi sangat erat
hubungannya (Sanusi Uwes, 2001: 8).
Maka, setiap ilmu yang berhubungan dan berkenaan dengan pelaksanaan
pendidikan, merupakan hasil dari pemikiran tentang alam atau manusia. Oleh
karenanya, ilmu-ilmu itu dapat dikatakan sebagai fondasi atau dasar pendidikan
(Sunasi Uwes, 2001: 8)
Jadi, dilihat dari pengertian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
landasan filosofis adalah fondasi atau dasar yang berbeda wujudnya tetapi sangat
erat hubungannya pada dasar pendidikan.
2. Landasan Filsafat

4
Secara etimologis filsafat berasal dari dua kata yaitu philare yang berarti cinta
dan sophia yang berarti kebijaksanaan. Filsafat adalah cinta pada kebijaksanaan
(love of wisdom). Agar seseorang dapat berbuat bijak, maka ia harus
berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses berpikir, yaitu
berpikir secara sistematis, logis dan mendalam. Pola pikir semacam itu biasa
disebut sebagai pemikiran radikal (radic), yang berarti berpikir sampai ke akar-
akarnya.
Orang belajar berfilsafat agar ia menjadi orang yang mengerti dan berbuat
secara bijak. Untuk dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak, ia harus tahu
atau berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses berpikir, yaitu
berpikir secara sistematis, logis, dan mendalam. Pemikiran demikian dalam filsafat
sering disebut pemikiran radikal, atau berpikir sampai ke akar-akarnya (radic
berarti akar). Berfilsafat diartikan pula berpikir secara radikal, berpikira sampai ke
akar. Secara akademik, filsafat berarti upaya untuk menggambarkan dan
menyatakan suatu pandangan yang sistematis dan konprehensif tentang alam
semesta dan kedudukan manusia di dalamnya. Berfilsafat berarti menangkap
synopsis peristiwa-peristiwa yang simpang siur dalam pengalaman manusia.4
Suatu cabang ilmu pengetahuan mengkaji suatu bidang pengetahuan manusia,
daerah cakupannya terbatas. Filsafat mencakup keseluruhan pengetahuan manusia,
berusaha melihat segala yang ada ini sebagai satu kesatuan yang menyeluruh dan
mencoba mengetahui kedudukan manusia didalamnya. Sering dikatakan bahwa
filsafat merupakan ibu dari segala ilmu.
Filsafah diartikan sebagai cara pandang hidup seseorang. Setiap orang atau
masyarakat memiliki pandangan yang berbeda-beda, ini mengartikan bahwa
filosofi setiap orang atau masyarakat itu tidak sama. Tolak ukur akan kebenaran
dan nilai-nilai yang diyakini oleh setiap orang atau masyarakat tidak semuanya
sama. Hal tersebut terjadi karena tergantung apa landasan yang dimiliki atau
diyakini oleh tiap individu atau masyarakat tersebut.
Dalam pengembangan kurikulum tentunya dibutuhkan landasan yang jelas.
Pengembangan kurikulum harus berlandasakan pada beberapa hal salah satunya

4
Sukmadinata, Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum T eori dan Praktek,PT Remaja Rosda
Karya, Bandung, 2004,h.39.

5
adalah filosofi. Dalam kaitannya antara pengembangan kurikulum dengan filosofi
adalah sebagai acuan agar tujuan yang dicapai tidak menyimpang dari filosofi yang
dianut. Bagaimana suatu kurikulum dikembangkan akan berpengaruh nantinya
terhadap filosofi yang digunakan, karena tentunya pendidikan bertujuan untuk
mendidik anak menjadi individu yang sesuai dengan harapan dan ideal dengan
filosofi yang diterapkan.
Filsafat berperan dalam landasan pengembangan kurikulum sebagai suatu
jawaban mengenai akan kearah manakah pendidikan membawa seorang anak,
masyarakat seperti apa yang harus diciptakan melalui kurikulum yang diterapkan,
pengetahuan apa yang harus dipelajari oleh anak, norma-norma apa dan nilai-nilai
yang bagaimana yang akan diterapkan pada anak, dan seperti apa pendidikan akan
dilangsungkan.
Nasution dalam bukunya mengatakan bahwa filsafah memiliki 4 fungsi dalam
pengembangan kurikulum. Pertama, filsafah dapat menunjukkan arah dan tujuan
pendidikan. Kedua, filsafat dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus
diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Ketiga, filsafat dapat
menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan.

B. Dasar-dasar Filsafat Dewey


Ciri utama filsafat Dewey adalah konsepsinya tentang dunia yang selalu
berubah, mengalir, atau on going-ness. Prinsip ini membawa komsekuensi yang
cukup jauh, bagi Dewey tidak ada yang menetap dan abadi semuanya berubah. Ciri
lain filsafat Dewey adalah anti dualistic. Pandangan tentang dunia adalah minstik
dan tidak lebih dari sebuat hipotesis.
Filsafat Dewey lebih berkenaan dengan epistemology dan tekanannya
kepada proses berpikir.Proses berpikir merupakan satu dengan pemecahan yang
bersifat tentative, antara ide dengan fakta, antara hipotesis dengan hasil. Proses
berpikir merupakan proses pengecekan dengan kejadian-kejadian nyata. Dalam
filsafat Dewey, kebenaran itu terletak dalam berbuatan atau truth is in the making,
yaitu adanya persesuaian antara hipotesis dengan kenyataan.

6
Dewey sangat menghargai peranan pengalaman, merupakan dasar bagi
pengetahuan dan kebijakan. Menurut Dewey dalam Nanan Syaodih Sukmadinata
Experience is the only basis for knowledge and wisdom.5

C. Teori Pendidikan Dewey


Bagi Dewey, Education is growth, development, life. Ini berarti bahwa proses
pendidikan itu tidak mempunyai tujuan diluar dirinya, tetapi terdapat dalam
pendidikan itu sendiri. Proses pendidikan juga bersifat kontinu, merupakan
reorganisasi, rekontruksi, dan pengubahan pengalaman hidup. Jadi pendidikan itu
merupakan organisasi pengalaman hidup, pembentukan kembali pengalaman
hidup, dan juga pengubahan pengalaman hidup sendiri.
Tujuan pendidikan diarahkan untuk mencapai suatu kehidupan yang
demokratis. Demokratis bukan arti politik, melainkan sebagai cara hidup bersama
sebagai way of life, pengalaman bersama dan komunikasi bersama. Tujuan
pendidikan merupakan usaha agar individu melanjutkan pendidikannya. Tujuan
pendidikan terletak pada proses pendidikan itu sendiri, yakni kemampuan dan
keharusan individu meneruskan perkembangannya.
John Dewey menegaskan bahwa pendidikan itu tidak mempunyai tujuan,
hanya orang tua, guru dan masyarakat yang mempunyai tujuan.

D. Asas-asas Filosofis aliran

Filsasat mencangkup keseluruhan pengetahuan manusia, berusaha melihat


segalayang ada sebagai satu kesatuan yang menyeluruh dan mencoba mengetahui
kedudukan manusia di dalamnya. Oleh karena itu filsafat dipandang oleh banyak
kalangan sebagai induk segala ilmu (the mother of knowledge).

Tahap berikutnya filsafat mempersoalkan tentang hidup dan eksistensi


manusia, sebagai makhluk yang beragama, makhluk sosial dan makhluk yang
berbudaya. Dari telaah tersebut, filsafat mencoba mengkaji tiga pokok persoalan,
yakni hakikat benar-salah (logika), hakikat baik-buruk (etika), dan hakikat indah

5
Sukmadinata, Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum T eori dan Praktek,PT Remaja Rosda
Karya, Bandung, 2004,h.41.

7
jelek (estetika). Hakikat pandangan hidup manusia mencangkup ketiga hal tersebut
(logika, etika, dan estetika). Kaitannya dengan kurikulum dari ketiga pandangan
tersebut sangat diperluhkan terutama dalam menerapkan arah dan tujuan
pendidikan. Dengan pengertian lain, ke arah mana pendidikan akan dibawa. Untuk
itu perlu adanya kejelasan mengenai pandangan hidup manusia atau suatu bangsa.
Setiap bangsa atau negara mempunyai tatanan dan pandangan hidup masing-masing
berbeda-beda sesuai dengan ideologi yang mereka anut. Bagi bangsa Indonesia,
sudah barang tentu menganut asas falsafah kita, yakni falsafah Pancasila yang
menjadi acuan dasar kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk
di dalamnya dalam menentukan arah pendidikan. Tujuan pendidikan pun
ditentukan oleh filsafat yang dianut oleh negara mereka yang berkuasa dan
memerintah suatu negara. Kalau pemerintah bertukar, berubah pula tujuan
pendidikannya.

Filsafat sangat penting karena harus dipertimbangkan dalam mengambil


keputusan tentang setiap aspek kurikulum. Untuk tiap keputusan harus ada
dasarnya. Filsafat adalah cara berpikir yang sedalam-dalamnya, yakni sampai
akarnya tentang hakikat sesuatu.

Para pengembang kurikurum harus memiliki filsafat yang jelas tentang apa
yang mereka junjung tinggi. Filsafat yang kabur akan menimbulkan kurikulum
yang tak menentu arahnya. Kini terdapat berbagai aliran filsafat, masing-masing
dengan dasar pemikiran tersendiri. Di bawah ini dijelaskan beberapa aliran filsafat
yang dominan, antara lain:
1. Perennialisme

Perkataan Perennialisme berasal dari kata Perenial yang berarti abadi, terus
menerus tiada akhir. Aliran ini bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual
anak memalui pengetahuan yang “abadi, universal dan absolut” atau “perennial”
yang ditemukan dan diciptakan para pemikir unggul sepanjang masa, yang
dihimpun dalam “the Great Books” atau “Buku Agung”. Kebenaran dalam buku itu
tertahan teguh terhapad segala berubahan zaman.

8
Kurikulum yang diinginkan oleh aliran ini terdiri atas subject atau mata
pelajaran terpisah sebagai disiplin ilmu denan menolak penggabungan seperti IPA
dan IPS. Hanya mata pelajaran yang sungguh mereka anggap dapat
mengembangkan kemampuan intelektual seperti matematika, fisika, kimia, biologi
yang diajarkan, sedangkan yang berkenaan emosi dan jasmani seperti seni rupa,
olah raga sebaiknya dikesampingkan. Pelajaran yang diberikan termasuk pelajaran
sulit karena memerluhkan intelegensi tinggi.

2. Idealisme

Berpendapat bahwa kebenaran itu berasal dari “atas”, dari dunia supra-
natural dari Tuhan. Boleh dikatakan hampir semua agama menganut filsafat
idealisme. Kebenaran dipercaya datangnya dari Tuhan yang diterima melalui
wahyu. Kebenaran ini, termasuk dogma dan norma-normanya bersifat mutlak. Apa
yang datang dari Tuhan baik dan benar. Tujuan hidup manusia adalah kehendak
Tuhan.

Filsafat ini umumnya diterapkan di sekolah yang berorientasi religius.


Semua siswa diharuskan mengikuti pelajaran agama, menghadiri khotbah dan
membaca Kitab Suci. Biasanya disiplin termasuk ketat, pelanggaran diberi
hukuman yang setimpal bahkan dapat dikeluarkan dari sekolah. Namun pendidikan
intelektual juga sangat diutamakan dengan menentukan standar mutu yang tinggi.

3. Realisme

Filsafat realisme mencari kebenaran di dunia ini sendiri. Melalui


pengamatan dan penelitian ilmiah dapat ditemukan hukum-hukum alam. Mutu
kehidupan senantiasa dapat ditingkatkan melalui kemajuan dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi. Tujuan hidup ialah memperbaiki kehidupan melalui
penelitian ilmiah.

Sekolah yang beraliran realisme mengutamakan pengetahuan yang sudah


mantab sebagai hasil penelitian ilmiah yang dituangkan secara sistematis dalam
berbagai disiplin ilmu atau mata pelajaran. Di sekolah akan dimulai dengan teori-
teori dan prinsip-prinsip yang fundamental, kemudian praktik dan evaluasi.

9
Karena mengutamakan pengetahuan yang esensial, maka pelajaran dengan
“embel-embel” seperti keterampilan dan kesenian dianggap tidak perlu.

4. Pragmatisme

Aliran ini juga disebut aliran instrumentalisme atau utilitarianisme dan


berpendapat bahwa kebenaran adalah buatan manusia berasarkan pengalaman.
Tidak ada kebenaran mutlak, kebenaran adalah tentatif dan dapat dirubah. Yang
baik, ialah yang berakibat baik bagi masyarakat. Tujuan hidup adalah mengabdi
kepada masyarakat dengan peningkatan kesejahteraan manusia.

Tugas guru bukan mengajar dalam artian menyampaikan pengetahuan,


melainkan memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan berbagai kegiatan
guna memecahkan masalah, atas dasar kepercayaan bahwa belajar itu hanya dapat
dilakukan oleh anak sendiri, bukan karena “dipompakan kepada anaknya”. Yang
penting ialah bukan “what to think” melainkan “how to think” yakni melalui
pemecahan masalah. Pengetahuan diperoleh bukan dengan mempelajari mata
pelajaran, melainkan karena digunakan secara fungsional dalam memecahkan
masalah.

Aliran pragmatisme sering sejalan dengan aliran rekonstruksionisme yang


berpendirian bahwa sekolah harus berada pada garis depan pembangunan dan
perubahan masyarakat. Sekolah ini menjauhi indokrinasi dan mengajak siswa
secara kritis menganalisis isu-isu sosial.

Dalam perencanaan kurikulum orang tua dan masyarakat sering dilibatkan


agar dapat memadukan sumber-sumber pendidikan formal dengan sumber sosial,
politik dan ekonomi guna memperbaiki ekonomi kondisi hidup manusia. Banyak di
antaranya penganut aliran ini memandang sekolah sebagai masyarakat kecil.

5. Eksistensialisme

Filsafat ini mengutamakan individu sebagai faktor dalam menentukan apa


yang baik dan benar. Norma-norma hidup berbeda secara individual dan ditentukan
masing-masing secara bebas, namun dengan pertimbangan jangan menyinggung
perasaan orang lain. Tujuan hidup adalah menyempurnakan diri, merealisasika diri.

10
Sekolah yang didasarkan eksitensialisme mendidik anak agar ia
menentukan pilihan dan keputusan sendiri dengan menolak otoritas orang lain. Ia
harus bebas berpikir dan mengambil keputusan sendiri secara bertanggung jawab.
Sekolah ini menolak segala kurikulum, pedoman, instruksi, buku wajib, dan lain-
lain dari pihak luar. Anak harus mencari identitas sendiri, menentukan standarnya
sendiri dan kurikulumnya sendiri.

Dari segala mata pelajaran, mungkin ilmu-ilmu sosial yang paling menarik
mereka. Pendidikan moral tidak diajarkan kepada mereka, juga tidak ditetapkan
aturan-aturan yang harus mereka patuhi. Bimbingan yang diberikan sering bersifat
non-directive, di mana guru banyak mendengarkan dan mengajukan pertanyaan
tanpa mengingatkan apa yang harus dilakukan anak.

Pentingnya filsafat bagi pendidikan nyata bila kita ketahui besar manfaatnya
bagi kurikulum yakni:

1. Filsafat pendidikan menentukan arah ke mana anak-anak harus dibimbing.


Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan oleh masyarakat untuk mendidik anak
menjadi manusia dan warga negara yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Jadi
filsafat menentukan tujuan pendidikan.

2. Dengan adanya tujuan pendidikan ada gambaran yang jelas tentang hasil
pendidikan yang harus dicapai, manusia yang bagaimana yang harus dibentuk.

3. Filsafat juga menentukan cara dan proses yang harus dijalankan untuk mencapai
tujuan itu.

4. Filsafat memberi kebulatan kepada usaha pendidikan, sehingga tidak lepas-lepas.


Dengan demikian terdapat kontinuitas dalam perkembangan anak.

5. Tujuan pendidikan memberi petunjuk apa yang harus dinilai dan hingga mana
tujuan itu telah dicapai.

6. Tujuan pendidikan memberi motivasi dalam proses belajar mengajar, bila jelas
diketahui apa yang ingin dicapai.

11
E. Jenis-jenis Falsafah Pendidikan

Jenis-Jenis Falsafah yang termasuk dalam Landasan Filosofis dalam buku


nasution :

a. Falsafah Bangsa

Dalam ketetapan MPR-RI No. IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar


Haluan Negara, dikemukakan bahwa “ pendidikan pada hakikatnya adalah usaha
sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar
sekolah serta berlangsung seumur hidup, oleh karenanya ,agar pendidikan dapat
dimiliki oleh seluruh rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing individu,
maka pendidikan tersebut merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan
pemerintah. Pancasila yang kita akui dan diterima sebagai filsafat dan pandangan
hidup bangsa kita, yang dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari hari, dijadikan
pula filsafat pendidikan kita.

Setiap negara tentu mempunyai filsafat yang berbeda. Artinya landasan


filosofis dan tujuan pendidikannya juga berbeda. Di Indonesia, landasan filosofis
pengembangan sistem pendidikan nasional secara formal adalah Pancasila yang
terdiri atas lima sila, yaitu:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa,


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Persatuan Indonesia,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Implikasinya bagi pengembang kurikulum adalah :

1. Nilai-nilai pancasila harus dipelajari secara mendalam dan komprehensif


sesuai dengan sifat kajian filsafat, baik dari segi ontologi, epistemologi dan
aksiologi.
2. Kelima sila tersebut berisi nilai-nilai moral yang luhur sebagai dasar dan
sumber dalam merumuskan tujuan pendidikan pada setiap tingkatan memilih

12
dan mengembangkan isi/bahan kurikulum ,strategi pembelajaran .media
pembelajaran dan sistem evaluasi.

b. Falsafah Lembaga Pendidikan

Salah satu komponen system pendidikan yang memungkinkan proses


pendidikan berlangsung konsisten dan berkesinambungan untuk mencapai tujuan
adalah kelembagaan atau instuisi pendidikan. Lembaga pendidikan (instuisi) adalah
wahana pemenuhan kebutuhan pokok yang melahirkan system yang stabil dan
universal. Lembaga merupakan norma-norma yang integrative antara cita-cita
pendidikan dan masyarakat sebagai pengelola dan konsumen pendidikan. Lembaga
atau instuisi merupakan bagian dari system dan norma yang mengatur aktivitas
masyarakat tertentu.

Tiap Lembaga Pendidikan sebagai contoh UNJ/UPI, mempunyai visi dan


misi yang berbeda diantara keduanya, tapi keduanya juga merupakan bagian dari
system lembaga pendidikan nasional. Nasution (1989:21) mengungkapkan bahwa
dalam merumusukan falsafah lembaga pendidikan secara tertulis, perlu memiliki
komponen-komponen berikut : a) Alasan rasional mengenai eksistensi lembaga
pendidikan itu, b) prinsip-prinsip pokok yang mendasarinya, c) nilai-nilai dan
prinsip-prinsip yang dijunjung tinggi, dan d) prinsip-prinsip pendidikan mengenai
hakikat anak didik, hakikat proses belajar mengajar, dan hakikat pengetahuan.

c. Falsafah Pendidikan

Berupaya mengkaji berbagai permasalahan yang dihadapai manusia,


termasuk masalah pendidikan. Bidang telaahan filsafat pada awalnya
mempersoalkan siapa manusia itu? Kajian terhadap persoalan ini berupaya untuk
menelusuri hakikat manusia, sehingga muncul beberapa asumsi tentang manusia.
Misalnya manusia adalah makhluk religius, makhluk sosial, makhluk yang
berbudaya, dan lain sebagainya. Dari beberapa telaahan tersebut filsafat mencoba
menelaah tentang tiga pokok persoalan, yaitu hakikat benar-salah (logika), hakikat
baik-buruk (etika), dan hakikat indah-jelek (estetika). Oleh karena itu maka ketiga
pandangan tersebut sangat dibutuhkan dalam pendidikan. Terutama dalam

13
menentukan arah dan tujuan pendidikan. Artinya ke mana pendidikan akan dibawa,
terlebih dahulu harus ada kejelasan pandangan hidup manusia atau tentang hidup
dan eksistensinya.

Filsafat akan menentukan arah kemana peserta didik akan dibawa, filsafat
merupakan perangkat nilai-nilai yang melandasi dan membimbing ke arah
pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, filsafat yang dianut oleh suatu
bangsa atau kelompok masyarakat tertentu atau bahkan yang dianut oleh
perorangan akan sangat mempengaruhi terhadap tujuan pendidikan yang ingin
dicapai. Tujuan pendidikan nasional di Indonesia tentu saja bersumber pada
pandangan dan cara hidup manusia Indonesia, yakni Pancasila. Hal ini berarti
bahwa pendidikan di Indonesia harus membawa peserta didik agar menjadi manusia
yang berPancasila. Dengan kata lain, landasan dan arah yang ingin diwujudkan oleh
pendidikan di Indonesia adalah yang sesuai dengan kandungan falsafah Pancasila
itu sendiri.

Sebagai implikasi dari nilai-nilai filsafat Pancasila yang dianut bangsa


Indonesia, dicerminkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional seperti terdapat
dalam UU No.20 Tahun 2003, yaitu : Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila
dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadimanusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta
bertanggung jawab (Pasal 2 dan 3). Dalam rumusan tujuan pendidikan nasional
tersebut, tersurat dan tersirat nilai-nilai yang terkandung dalam rumusan Pancasila.

Melalui rumusan tujuan pendidikan nasional di atas, sudah jelas tergambar


bahwa peserta didik yang ingin dihasilkan oleh sistem pendidikan kita antara lain
adalah untuk melahirkan manusia yang beriman, bertaqwa, berilmu dan beramal
dalam kondisi yang serasi, selaras dan seimbang. Di sinilah pentingnya filsafat
sebagai pandangan hidup manusia dalam hubunganya dengan pendidikan dan
pembelajaran.

14
F. Penerapan Filosofi sebagai Landasan Pengembangan kurikulum

Oliva (1992: 207) menyarankan agar pengembangan kurikulum dilaksanakan


dengan pendekatan holistik. Mengacu pada pendapat tersebut, penyusun kurikulum
turut mempertimbangkan segi-segi filosofis dalam pengembangan kurikulum.
Kesadaran untuk berfilosofi sangat diperlukan ketika merencanakan pernyataan
tujuan pendidikan. Dasar-dasar filosofi penyusunan kurikulum juga harus selalu
direview dalam jangka waktu sesuai dengan masa perubahan kurikulum pada
umumnya, yakni 5 tahunan atau 10 tahunan.

Pedoman kurikulum yang baik salah satunya bahkan dicirikan dengan adanya
sketsa filosofi, jadi tidak hanya berbicara mengenai tujuan umum, tujuan khusus,
pengalaman belajar, sumber belajar, dan bagaimana melakukan penilaian. Masih
menurut situs yang sama, kejelasan filosofis yang terkandung dalam sebuah
kurikulum akan sangat membantu pelaksanaannya di tingkat paling mikro, karena
memandu keseluruhan program dan kebijakan yang akan dilakukan nantinya.
Dengan kata lain, filosofi pada pengembangan kurikulum akan menggambarkan
kerangka kerja secara mendasar, sehingga akan sangat membantu guru ketika
penerapan kurikulum berlangsung. Terlebih, hal-hal baru biasanya tidak akan
terlepas dari kritik, termasuk diantaranya kurikulum. Adanya muatan filosofis yang
sesuai dengan sistem sekolah pada umumnya, akan sangat memudahkan
diterimanya kurikulum baru.

Dari sisi keterlibatan kita dalam pengembangan kurikulum, pemahaman


tentang beberapa jenis aliran filosofi akan membantu dalam dua hal (Amstrong,
2003: 116). Hal pertama adalah jika kita telah mengenali berbagai macam sudut
pandang maka kita dapat lebih mudah mengapresiasi nilai yang dibawa oleh
masing-masing individu dalam mengembangkan kurikulum. Pengetahuan
mengenai prioritas masing-masing aliran atau paradigma yang mungkin diusung
oleh tiap-tiap orang akan membantu kita memahami keprihatinan mereka dan
tentunya akan mempermudah kita dalam mempertimbangkan segala sesuatunya
guna kemajuan tugas pengembangan kurikulum yang sedang dilaksanakan. Hal
kedua menurut Amstrong adalah jika sebuah program dinyatakan layak atau
disetujui seringkali kita dihadapkan dengan reaksi masyarakat baik secara

15
individual maupun kelompok. Reaksi-reaksi ini biasanya menggambarkan jenis
aliran filosofi yang dianut. Jika kita memahami keyakinan filosofi apa yang dianut
oleh seseorang, maka kita dapat memberikan respon atas komentarnya dengan cara
yang masuk akal baginya. Sebagai contoh jika orangtua mengkhawatirkan
penekanan pemecahan masalah akan mengalihkan perhatian siswa dari
pengetahuan dasar (misal karena siswa harus menghadapi ujian berstandar
nasional), kita tahu bahwa yang sedang dihadapi adalah orang tua yang memiliki
pandangan esensialisme. Kita dapat merespon kekhawatiran ini dengan
menunjukkan bahwa ada pula jenis program sekolah lainnya yang tetap mendorong
guru menekankan pengetahuan mendasar, sehingga alokasi sesungguhnya sama
dengan program pengembangan kemampuan berpikir.

Berdasarkan pendapat diatas data disimpulkan bahwa landasan filosofi


pengembangan kurikulum merupakan proses penyusun kurikulum turut
mempertimbangkan segi-segi filosofis dalam pengembangan kurikulum.
Kesadaran untuk berfilosofi sangat diperlukan ketika merencanakan pernyataan
tujuan pendidikan dan mengenali berbagai macam sudut pandang maka kita dapat
lebih mudah mengapresiasi nilai yang dibawa oleh masing-masing individu dalam
mengembangkan kurikulum

Berikut ini disajikan tentang penekanan kandungan dalam kurikulum sesuai


dengan berbagai paradigma dalam filosofi (Dikutip dari Amstrong, 2003: 115).

Paradigma Filosofi Penekanan Kurikulum

Progresivisme Isi pelajaran dan pengalaman melibatkan siswa ke arah


pemecahan persoalan dan refleksi. Siswa harus diberi kesempatan
untuk belajar di situasi yang tidak terpencil dari dunia luar
sekolah. Isi pelajaran yang diambil dari kajian ilmiah social
biasanya memiliki relevansi dengan program yang menggunakan
aliran progresivisme.

16
Esensialisme Semua siswa harus diajarkan mengenai inti umum
pengetahuan karena mereka diasumsikan membutuhkannya untuk
berperan sebagai anggota masyarakat kelak. Pengetahuan yang
dipandang penting adalah ilmu alam dan bidang teknik. Menurut
pandangan ini, kandungan ilmu seni dan kemanusiaan biasanya
gagal membekali manusia muda, sehingga ilmu jenis tersebut
dianggap tidak penting. Teknologi pembelajaran model baru yang
diharapkan meningkatkan efisiensi pengajaran seharusnya turut
disertakan ke dalam pelajaran di sekolah.

Perennialisme Pelajaran di sekolah telah terlalu jauh menekankan pada


percobaan ilmiah dan teknologi. Hasilnya ada pengurangan
tekanan pada pengertian mendalam tentang kehidupan berkualitas
yang selama ini sebenarnya terdapat dalam banyak literatur. Hal
tersebut bagi kalangan perennialisme seharusnya ditonjolka.
Pelajaran yang berfokus pada vokasi dan hal-hal lain yang kurang
jelas berpengaruh pada pengembangan akal seharusnya diabaikan
saja.

Rekonstruktivisme Masyarakat telah kehilangan arah karena adanya segelintir


kelompok yang secara egois memberikan pengaruh nilainya
melalui kekuatan paksa. Hasilnya, ada pengurangan terhadap nilai
keterbukaan, keadilan, dan kemanusiaan. Program di sekolah
seharusnya menyiapkan siswa untuk mempelajari ketidakadilan
sosial dalam rangka menumbuhkembangkan mereka sebagai
pembaharu sosial sehingga perannya nanti tidak hanya sebagai
rakyat biasa.

Eksistensialisme Karena pada akhirnya semua orang akan mengalami


kematian, maka yang paling penting adalah memberikan
kebebasan semaksimal mungkin bagi individu untuk memilih apa
yang harus dilakukan dan dipikirkan dalam hidupnya. Jadi, aliran
ini tidak memperkenankan adanya pemaksaan bagi semua siswa

17
untuk menggunakan kurikulum yang sama. Idealnya, siswa harus
merasa bebas dalam memilih apa yang akan dipelajari, selain itu
mereka juga harus memiliki pengaruh kuat pada tata sekolah.

Postmodernisme Aliran ini menganggap bahwa pengetahuan dibentuk oleh


masing-masing orang, dimana kesemuanya ditentukan oleh
bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain dengan
berdasar pada perspektif budaya mereka. Dikarenakan begitu
beragamnya orang dan kondisi yang dihadapi siswa, program
sekolah seharusnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk
belajar tentang orang dan budaya yang berbeda-beda. Untuk
melaksanakan pola aliran ini dalam rangka menemukan kebenaran
tidak diperkenankan keyakinan yang terlalu dalam pada ilmu
pengetahuan. Sebaliknya siswa hendaknya diberi kesempatan
untuk menerima mitos, legenda, cerita, dan informasi dalam
bentuk lainnya agar mereka tetap memiliki hubungan dengan cara
pandang orang dan masyarakatnya. Guru dalam hal ini hendaknya
bertindak dengan demokratis dan bekerja keras melibatkan siswa
dalam suasana dialog terbuka dan penemuan sendiri.

Berkenaan dengan penerapan filsafat dalam kurikulum, Oliva (1992: 209)


tidak menampik adanya permasalahan yang muncul, antara lain adanya perbedaan
anggapan pada proses pembelajaran dan kebutuhan masyarakat serta peran individu
dalam masyarakat. Issu lainnya adalah berkaitan dengan adanya perbedaan
perbedaan interpretasi dari pernyataan-pernyataan kurikulum yang telah dibuat.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1) landasan filosofis adalah fondasi atau dasar yang berbeda wujudnya tetapi
sangat erat hubungannya pada dasar pendidikan.
2) Filsafat berperan dalam landasan pengembangan kurikulum sebagai suatu
jawaban mengenai akan kearah manakah pendidikan membawa seorang
anak dalam norma norma dan nilai pendidikan yang akan dilangsungkan.
3) Pentingnya filsafat bagi pendidikan nyata bila kita ketahui besar manfaatnya
bagi kurikulum yakni;
• Filsafta pendidikan menentukan arah
• Adanya tujuan pendidikan dan gambaran yang jelas
• Menentukan cara berproses
• Memeberi kebulatan pada usaha pendidikan
• Memeberi petunjuk apa yang harus dinilai
• Memeberi motivasi dalam proses belajar mengajar
4) landasan filosofi pengembangan kurikulum merupakan proses penyusun
kurikulum turut mempertimbangkan segi-segi filosofis dalam
pengembangan kurikulum. Kesadaran untuk berfilosofi sangat diperlukan
ketika merencanakan pernyataan tujuan pendidikan dan mengenali berbagai
macam sudut pandang maka kita dapat lebih mudah mengapresiasi nilai
yang dibawa oleh masing-masing individu dalam mengembangkan
kurikulum

19
B. Saran

Setelah mempelajari materi tentang landasan filosofi dalam pengembangan


kurikulum ini diharapkan tidak lagi terjadi salah dalam mengartikannya. Oleh
karena itu, sudah seharusnya kita memperdalam ilmu pengetahuan agar kita mampu
memahami materi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Amstrong, David G. (2003). Curriculum Today. New Jersey: Merril Prentice Hall.

Idi, Abdullah. 2007. Pengmbangan kurikulum: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media.

Nasution, S. 2008. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara

Oliva, Peter F. (1992). Developing The Curriculum. New York: Harper Collins
Publisher.

Syaodih, Sukmadinata Nana. 2013. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek.


Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

https://www.slideshare.net/wenymanies/landasan-dalam-pengembangan-
kurikulim-filosofis-psikologus-sosial-budaya-dan-perkembangan-iptek,
diakses pada tanggal 19 Maret 2017 pukul 13.15

20

Anda mungkin juga menyukai