Makalah
Makalah
KEWARGANEGARAAN
Kelompok 4
Anggota Kelompok:
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................................II
Daftar Isi........................................................................................................................III
Bab I Pendahuluan........................................................................................................4
Bab II Pembahasan.....................................................................................................17
2.4 Masalah – masalah yang berhubungan dengan keragaman dan kesetaraan WNI
.......................................................................................................................................27
2.5 Peran Pancasila dan UUD 1945 dalam keragaman dan kesetaraan WNI...............30
Daftar Pustaka...............................................................................................................36
iii
BAB 1. Pendahuluan
5
Kedua, sebagai suatu ideologi yang bertujuan untuk melegitimasi
masuknya keragaman etnis dalam struktur umum masyarakat. (3) Ketiga,
sebagai kebijakan publik yang didesain untuk menciptakan kesatuan
nasional dalam etnis yang berbeda-beda (Rahayu, 2017).
Keberagaman yang terdapat pada masyarakat Indonesia merupakan
identitas yang menjadi ciri khas dari bangsa lain di dunia. Pembentukan
keragaman dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan dari adanya
perkembangan dalam hal informasi dan komunikasi yang berdampak pada
banyaknya kelompok-kelompok baru dalam masyarakat yang tubuh dari
pertukaran budaya melalui informasi dan komunikasi.
Kelompokkelompok tersebut hidup pada satu wilayah Indonesia serta
mendapatkan pengakuan dari pemerintah dalam daerah tersebut.
Selanjutnya, Parekh (2000) mengatakan bahwa keragaman komunal yang
muncul bila terdapat anggota-anggota masyarakat yang hidup dalam
kelompok-kelompok yang terorganisir dengan baik dan berbagi sistem dan
praktik kehidupan tertentu yang berbeda dari masyarakat pada umumnya,
misalnya pada kelompok-kelompok keagamaan baru, kelompok etnis atau
imigran yang hidup di wilayah tertentu (Wahyu, 2016).
6
pengalaman dan pengetahuan telah menyebabkan timbulnya perbedaan
suku bangsa dengan budaya yang beranekaragam di Indonesia.
b. Perbedaan Kondisi Geografis
Perbedaan-perbedaan kondisi geografis telah melahirkan berbagai suku
bangsa dan keberagaman budaya Indonesia. Hal itu berkaitan dengan pola
kegiatan ekonomi, perwujudan kebudayaan yang ada, contohnya: nelayan,
pertanian, kehutanan, dan perdagangan. Sehingga mereka akan
mengembangkan corak kebudayaan yang khas dan cocok dengan
lingkungan geografis mereka tanpa mengganggu kebudayaan yang
lainnya.
c. Keterbukaan terhadap Kebudayaan Luar
Bangsa Indonesia adalah contoh bangsa yang terbuka. Hal ini dapat
dilihat dari besarnya pengaruh asing dalam membentuk keanekaragaman
masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Pengaruh asing pertama yaitu
ketika orang-orang India, Cina, dan Arab di susul oleh bangsa Eropa.
Bangsa tersebut datang membawa kebudayaan yang beranekaragam.
Daerah-daerah yang relatif terbuka, khususnya daerah pesisir paling cepat
megalami perubahan. karena:
1) Dengan semakin banyaknya sarana dan prasaranatransportasi,
2) Hubungan antar kelompok semakin intensif dan
3) Semakin sering mereka melakukan pembauran
C. Prinsip Keberagaman
Pluralitas dan heterogenitas yang tercermin pada masyarakat
Indonesia diikat dalam prinsip persatuan dan kesatuan bangsa yang kita
kenal dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang mengandung
makna bahwa meskipun Indonesia berbhinneka, tetapi terintegrasi dalam
kesatuan. Hal ini merupakan sebuah keunikan tersendiri bagi bangsa
Indonesia yang bersatu dalam suatu kekuatan dan kerukunan beragama,
berbangsa dan bernegara (Lestari, 2015).
7
1.1. 2 Kesetaraan
A. Pengertian Kesetaraan
Kesetaraan manusia bermakna bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan
memiliki tingkatan atau kedudukan yang sama. Tingkatan atau kedudukan
yang sama bersumber dari pandangan bahwa semua manusia tanpa dibedakan
adalah diciptakan dengan kedudukan yang sama yaitu sebagai makhluk mulia
dan tinggi derajatnya dibanding makhluk lain. Dihadapan Tuhan semua
manusia memiliki derajat, kedudukan atau tingkatan yang sama , yang
membedakannya adalah ketaqwaan manusia tersebut terhadap Tuhan.
Kesederajatan merupakan suatu kondisi dimana dalam perbedaan dan
keragaman yang ada, manusia tetap memiliki suatu kedudukan yang sama
dalam satu tingkatan hierarki. Kesederajatann adalah persamaan harkat, nilai,
harga dan taraf yang membedakan makhluk yang satu dengan yang lainnya.
Kesederajatan dalam masyarakat adalah suatu keadaan yang menunjukkan
adanya pemeliharaan kerukunan dan kedamaian yang saling menjaga harkat
dan martabat masyarakatnya.
Di Indonesia unsur keragamannya dapat dilihat dari suku bangsa, ras,
agama dan keyakinan, ideologi dan politik, tata krama serta kesenjangan
ekonomi dan kesenjangan sosial. Semua unsur tersebut merupakan hal yang
harus dipelajari agar keragaman yang ada tidak membawa dampak yang buruk
bagi kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Dampak buruk dari tidak adanya sikap terbuka, logis dan dewasa atas
keragaman masyarakat, antara lain munculnya disharmonisasi (tidak adanya
penyesuaian atas keragaman antara manusia dengan lingkungnnya), perilaku
diskriminatif terhadap kelompok masyarakat tertentu, eksklusivisme/rasialis
(menganggap derajat kelompoknya lebih tinggi daripada kelompok lain) dan
disintegrasi bangsa.
Diskriminasi adalah setiap tindakan yang melakukan pembedaan terhadap
seseorang atau sekelompok orang berdasarkan ras, agama, suku,etnis,
kelompok, golongan,status, kelas sosial ekonomi, jenis kelamin, kondisi fisik
8
tubuh, usia, orientasi seksual, pandangan ideologi dan politik, serta batas
negara dan kebangsaan seseorang.
Selain diskriminasi juga terdapat problematika lain yang harus diwaspadai
yaitu adanya disintegrasi bangsa. Ada enam faktor yang menjadi penyebab
utama proses tersebut yaitu kegagalan kepemimpinan, krisis ekonomi yang
akut dan berlangsung lama, krisis politik, krisis sosial, demoralisasi tentara
dan polisi serta intervensi asing. Untuk menghindari dampak buruk diatas, ada
beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu dengan meningkatkan Semangat
religius, semangat masionalisme, semangat pluralisme, semangat humanisme,
dialog antar umat beragama, serta membangun suatu pola komunikasi untuk
interaksi ataupun konfigurasi hubungan antaraagama, media massa dan
harmonisasi dunia.
Sementara salah satu hal yang dapat dijadikan solusi dari masalah-masalah
diatas adalah Bhineka Tunggal Ika, ungkapan yang menggambarkan
masyarakat Indonesia yang majemuk (heterogen). Masyarakat Indonesia
terwujud sebagai hasil interaksi sosial dari banyak suku bangsa dengan
beraneka ragam latar belakang kebudayaan, agama, sejarah dan tujuan yang
sama yang disebut kebudayaan nasional.
B. Prinsip-prinsip kesetaraan
Sejak zaman dahulu hingga sekarang, hal yang sangat fundamental dari
hak asasi manusia itu adalah ide yang meletakkan semua orang terlahir bebas
dan memiliki kesetaraan dalam hak asasi manusia. Demikian pula dalam
kehidupan masyarakat yangmajemuk seperti Indonesia, prinsip kesetaraan
sangat perlu diterapkan.
Namun apakah semua harus diperlakukan sama untuk menciptakan suatu
keadilan, tanpa memandang tingkat pendidikan, kedudukan atau jabatan,
status dan peran sosial? Memang tak dapat dipungkiri bahwa tingkat
pendidikan, kedudukan dan jabatan, status dan peran sosial telah membuat
seolah-olah setiap orang tersebut mempunyai hak istimewa dan mendapat
perlakuan yang lebih pula. Namun, mereka punya kewajiban yang sama
9
seperti halnya orang-orang disekitarnya. Dalam hal kewajiban sebagai warga
negara tak ada yang diperlakukan berbeda, semuanya setara. Demikian pula
halnya dengan hak, setiap orang mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan pendidikan yang tinggi, memperoleh kedudukan atau jabatan
dan memiliki status dan peran sosial yang sama dalam masyarakatnya.
Kesetaraan memungkinkan setiap orang untuk mendapatkan kesempatan dan
memperoleh pendidikan yang layak, pekerjaan dan menempati jabatan atau
keudukan dalam masyarakatnya. Tak ada seorangpun yang berhak untuk
menghalangi orang lain untuk mencapai itu semua. Bahkan negara
diperbolehkan ubtuk menerapkan suatu tindakan afirmatif. Tindakan afirmatif
adalah tindakan atau kebijakan yang diambil untuk tujuan agar kelompok atau
golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara
dengan kelompok atau golongan lain dalam bidang yang sama.
Prinsip-prinsip kesetaraan telah menjadi amanat dalam konstitusi Negara
Kesatuan Republik Indonesia yaitu dalam UUD 1945 dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Pasal-pasal dalam UUD 1945 tersebut sudah
menyebutkan prinsip-peinsip kesetaraan tersebut, baik secara implisit maupun
eksplisit. Adanya pengaturan persamaan hak dan kewajiban dalam pasal-pasal
UUD 1945 tersebut telah menunjukkan bahwa kesetaraan dalam kehidupan
negara dan berbangsa kita sudah diakui dan dijamin oleh negara. Pasal 27
Ayat 1 UUD 1945 secara eksplisit menegaskan pengakuanakan prinsip
kesetaraan, “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
10
D. tiga konsep kesetaraan:
1. Kesetaraan kesempatan, akses ke semua posisi sosial harus di atur oleh
kriteria universal
3. Kesetaraan hasil, semua orang harus menikmati standar hidup dan peluang
kehidupan yang setara.
11
a. Yang menjadi Warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disyahkan dengan undang-undang sebagai
Warga Negara.
b. Syarat-syarat yang mengenai kewargaan negara ditetapkan dengan
undang-undang.
Warga Negara merupakan salah satu unsur pokok sebuah Negara dan
masing-masing memiliki hak dan kewajiban terhadap negaranya. Sebaliknya
Negara memiliki kewajiban dalam memberikan perlingdungan kepada setiap
warga negaranya (Rahman dkk., 2017)
Warga negara memiliki peran dan tanggung jawab yang sangat penting
bagi kemajuan dan bahkan kemunduran sebuah bangsa. Oleh karena itu,
seseorang yang menjadi anggota atau warga suatu negara haruslah ditentukan
oleh Undang-undang yang dibuat oleh negara tersebut. Sebelum negara
menentukan siapa saja yang menjadi warga negaranya, terlebih dahulu negara
harus mengakui bahwa setiap orang berhak memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meningggalkannya serta
berhak kembali sebagaimana dinyatakan oleh pasal 28E ayat (1) UUD 1945.
Pernyataan ini mengandung makna bahwa orang-orang yang tinggal dalam
wilayah negara dapat diklasifikasikan menjadi: (Rahman dkk., 2017)
a. Warga Negara Indonesia, adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orangorang bangsa lain yang disahkan dengan dengan undang-undang
sebagai warga negara.
b. Penduduk, yaitu orang-orang asing yang tinggal dalam negara bersifat
sementara sesuai dengan visa (surat izin untuk memasuki suatu negara
dan tinggal sementara yang diberikan oleh pejabat suatu negara yang
dituju) yang diberikan Negara melalui kantor imigrasi.
12
a. Bagi setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi
WNI
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu
warga negara asing (WNA), atau sebaliknya
d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah
yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah
tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
e. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya
meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
f. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui
oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan
sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin
h. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu
lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
i. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik
Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui
j. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan
ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui
keberadaannya
k. Anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan
ibu WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut
dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
l. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia
sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi:
13
a. Anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun
dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang
berkewarganegaraan asing
b. Anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah
sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan
c. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan
bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh
kewarganegaraan Indonesia
d. Anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah
menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.
14
permohonan tersebut dapat diajukan oleh pemohon apabila memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a) Telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin;
b) Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah
negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima ) tahun berturut-turut
atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut;
c) Sehat jasmani dan rohani;
d) Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e) Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih;
f) Jika dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak
menjadi berkewarganegaraan ganda;
g) Mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap; dan
h) Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.
15
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Mengetahui dan memahami makna keragaman dan kesetaraan sebagai
WNI
1.3.2 Mengetahui dan memahami hakikat keragaman dan kesetaraan
sebagai WNI
1.3.3 Mengetahui dan memahami keragaman dan kesetaraan yang terjadi di
Indonesia
1.3.4 Mengetahui dan memahami masalah – masalah yang berhubungan
dengan keragaman dan kesetaraan sebagai WNI
1.3.5 Mengetahui dan memahami peran pancasila dan UUD 1945 dalam
keragaman dan kesetaraan sebagai WNI
16
Bab 2. Pembahasan
17
Perbedaan itu ditinjau dari sifat-sifat pribadi, misalnya sikap, watak,
kelakuan, temperamen, dan hasrat. Contoh, sebagai mahasiswa baru kita
akan menjumpai teman-teman mahasiswa lain dengan sifat dan watak
yang beragam. Dalam kehidupan sehari-hari, kita akan menemukan
keragaman akan sifat dan ciri-ciri khas dari setiap oorang yang kita
jumpai. Jadi manusia sebagai pribadi adalah unik dan beragam.
18
sejumlah kewajiban-kewajiban agar semua bisa melaksanakan agar
tercipta tertib kehidupan. Berkaitan dengan dua konsep diatas, maka dalam
keragaman diperlukan adanya kesetaraan atau kesederajatan. Artinya,
meskipun individu maupun masyarakat adalah beragam dan berbeda-beda,
tetapi mereka memiliki dan diakui akan kedudukan, hak-hak dan
kewajiban yang sama sebagai sesama baik dalam kehidupan pribadi
maupun bermasyarakat. Terlebih lagi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, jaminan akan kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dari
berbagai ragam mamsyarakat didalamnya amat diperlukan.
19
semacam konvensi, hakikat seperti disebut sebagai hakikat secara adat
kebiasaan.
20
pada hak sipil politik dan hak ekonomi sosial budaya yang melekat pada
kelompok tersebut. kebijakan yang mengakomodasi perbedaan ini menjadi
penting karena kebijakan yang bersifat menyeragamkan dan diskriminatif
adalah salah satu bentuk penghancuran eksistensi kelompok minoritas.
Poin kedua adalah representasi. Representasi merupakan
penghadiran warga negara di dalam ruang publik terkait dengan aspirasi
yang mereka bawa. Representasi ini sudah tentu menuntut adanya
partisipasi menyeluruh pada seluruh warga negara karena mereka
membawa kepentingan mereka sendiri. Selama ini representasi dimaknai
sebagai perwakilan dan mereka yang duduk di lembaga perwakilan formal.
Padahal sebenarnya representasi ini dapat dimaknai beragam tidak hanya
di ranah formal saja tetapi juga di ranah informal. Bentuk – bentuk
representasi dibagi ke dalam beberapa bentuk. Pertama adalah representasi
formalistik, dimana perwakilan dimakna di dalam dua dimensi yaitu
otoritas dan akuntabilitas. Otoritas terkait dengan otorisasi apa saja yang
diberikan kepada wakil. Jadi ketika wakil melakukan tugas – tugas yang
diluar otoritasnya, maka dia tidak lagi menjalankan fungsi perwakilan.
Sedangkan dimensi akuntabilitas terkait dengan pertanggungjawaban dari
wakil kepada pemberi mandat tentang apa yang sudah mereka lakukan.
Kedua, representasi deskriptif, dimana wakil berasal dari kelompok yang
diwakilkan (standing for). Wakil ini merefleksikan kelompok – kelompok
yang ada di masyarakat tetapi seringkali tidak secara inheren melakukan
sesuatu kepentingan orang yang diwakilinya. Ketiga, representasi simbolik
dimana wakil membawa simbol – simbol dari kelompok yang diwakilkan
seperti misalnya kultur, kepercayaan, identifikasi, dll. Wakil yang
dianggap baik adalah wakil yang mampu diterima sebagai bagian dari
yang diwakilinya. Keempat, adalah representasi substantif dimana wakil
berusaha sebaik mungkin atas keinginan dan kehendak orang – orang yang
diwakilkan. Wakil membawa kepentingan tertentu yang kemudian
direpresentasikan di dalam ruang publik. Representasi ini kemudian akan
terkait dengan sejauh mana kelompok – kelompok yang ada di masyarakat
21
baik mayoritas maupun minoritas mampu merepresentasikan gagasan dan
kepentingan mereka di dalam ruang publik.
Ketiga, adalah redistribusi. Redistribusi ini menuntut peran aktif
lebih besar dari negara. Karena negaralah yang akan memastikan bahwa
setiap pembangunan yang dilakukan akan terdistribusi secara adil kepada
seluruh pemeluk agama. Dan negara juga harus dipastikan memiliki
mekanisme peran aktif masyarakat jika negara gagal dalam menjalankan
fungsi redistribusi ini. Namun Parekh mengungkapkan bahwa sebenarnya
kehadiran multikulturalisme ini sendiri belum mampu digunakan sebagai
sarana pembelaan pada minoritas. Hal ini dikarenakan multikulturalisme
hanya hadir sebagai bentuk ideal pola relasi antara komunitas yang
berbeda. Homi Bahabha mengungkapkan selanjutnya bahwa persoalan
tentang minoritas sebenarnya berawal dari pendefinisian tentang minoritas
itu sendiri. Minoritas sendiri tidak bisa didefinisikan secara gamblang
dengan hanya melihat fakta – fakta yang ada di lapangan. Hal itu
dikarenakan identitas selalu berada di dalam ruangan in between dan
tumpang tindih antara satu kultur dengan kultur yang lain. Inilah yang
menyebabkan fenomena bahwa agama yang di suatu negara menjadi
agama mayoritas belum tentu di agama lainnya berposisi sebagai
mayoritas juga. Cara lain untuk mengakomodasi minoritas adalah dengan
memberikan perlakuan berbeda pada kelompok minoritas ini. Perlakuan
berbeda dibutuhkan untuk menjamin kesempatan yang sama dan
kesetaraan. Namun rupanya perlakuan yang berbeda ini juga
memunculkan perdebatan. Perlakuan yang berbeda berpotensi untuk
memunculkan ketidaksetaraan dan bahkan diskriminasi. Hal ini karena
kelompok yang merasa diperlakukan berbeda akan merasa diistimewakan
dan mengundang kecemburuan dari kelompok yang lain (Indriyany, I.A.,
2017) .
Keberadaan kepentingan, golongan dan ideologi ini semakin tajam
dan mengarah pada konflik antarkelompok. Kelompok yang satu tidak
mau lagi hidup berdampingan dengan kelompok lainnya. Keberagaman
22
yang semula menjadi kebanggaaan bisa berubah menjadi suatu yang
sumber konflik yang menakutkan, yaitu terganggunya stabilitas nasional
dan disintegrasi bangsa. Munculnya kesadaran akan perlunya
keberagaman dalam masyarakat multicultural akan sangat membantu
menemukan titik temu ketika ada perbedaan pandagan sosial, ekonomi,
mauapun politik. Multikultural menurut Rawls (2001), adalah suatu
masyarakat yang adil bukanlah hanya menjamin the greatest happiness for
the greatest number yang selama ini dikenal dalam prinsip demokrasi,
tetapi, masyarakat yang adil adalah adanya pengakuan dan penerimaan
terhadap perbedaan dan keberagaman.
23
perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam
(Handoyo dkk., 2015)
Secara horizontal, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
majemuk atau masyarakat plural karena masyarakatnya terbagi-bagi menurut
kebudayaan, kekerabatan, suku bangsa, etnik, ras, dan agama. Secara vertikal
keberagaman masyarakat Indonesia dapat dilihat dari tingkatan-tingkatan
sosial, misalnya tingkatan kekayaan dan status sosial (Handoyo dkk., 2015)
24
berkesinambungan. H.A.R Tilaar mengemukakan bahwa suatu masyarakat
yang pluralistis dan multikultural tidak mungkin dibangun tanpa adanya
manusia yang cerdas dan bermoral (Tilaar, 2004, p. 100). Selain berperan
untuk meningkatkan mutu bangsa agar dapat duduk sama rendah, berdiri
sama tinggi dengan negara-negara lain, pendidikan juga berperan memberi
perekat berbagai perbedaan di antara komunitas kultural atau kelompok
masyarakat yang memiliki latar belakang budaya berbeda agar komitmen
dalam berbangsa dan bernegara semakin meningkat (Arif, 2013).
Menurut ketentuan pasal 1 angka (1) UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara (Handoyo dkk., 2015)
Dalam kerangka itu, posisi PKn/PPKn sebagai program kurikuler
di sekolah memiliki peran penting dalam mendukung rekomendasi
UNESCO tersebut. Hal ini terkait karakteristik dan tujuan mata pelajaran
PKn/PPKn. Dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan diartikan sebagai mata
pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang
memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk
menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter
yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Tujuan PKn adalah
untuk mewujudkan para siswa untuk memiliki kemampuan: (Handoyo
dkk., 2015)
a. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan.
b. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak
secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, serta anti-korupsi.
25
c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara
langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi (Lampiran Permendiknas RI No. 22 Tahun
2006:272, 280, 287)
26
c. Adanya persamaan kewajiban sebagai hamba Tuhan, individu, dan
anggota masyarakat.
Kesetaraan melibatkan kebebasan atau kesempatan untuk menjadi
berbeda, dan memperlakukan manusia secara setara yang menuntut kita
mempertimbangkan kesamaan beserta keberbedaan. Hak yang setara
bukan berarti hak yang identik. Hak “setara” bukan “sama rata sama rasa”,
melainkan adanya penghargaan yang sama bagi individu (baik laki-laki
maupun perempuan) dengan latar belakang budaya dan kebutuhan yang
berbeda. Pemahaman kesetaraan yang matang tentang manusia dan
budayanya inilah yang diperlukan untuk membangun tumbuhnya nilai-
nilai multikulturalisme (Handoyo dkk., 2015)
27
restorative justice (keadilan restoratif) dalam menangani kasus dugaan
pencurian 7 batang kayu jati tersebut.
Pandangan demikian disampaikan pakar hukum tata negara Universitas
Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, dan anggota Komisi III Arsul
Sani. Mereka pun prihatin karena sang nenek didakwa dengan pasal illegal
logging karenatidakdilakukansecara terorganisasi dengan jumlah yang
besar. Karena itu mereka berharap hakim nantinya bisa cermat melihat
kasus tersebut.
“Ini kan dugaan pencurian 7 batang kayu, apalagi terdakwa (nenek
Asyani) memiliki bukti kepemilikan tanah dan ini bukan tuduhan
pengambilan lahan. Khawatirnya ada kriminalisasi, yang semula bukan
kejahatan dijadikan kejahatan,” ujar Asep saat dihubungi kemarin.
Menurut Asep, dakwaan jaksa yang menjerat nenek Asyani dengan Pasal
12 juncto Pasal 83 Undang-Undang (UU) Tahun 2013 tentang
IllegalLogging dengan ancaman 5 tahun penjara tidak tepat, bahkan
keterlaluan.
Apalagi apa yang dilakukan nenek Asyani tidak dapat dikategorikan
sebagai illegal logging. Para penegak hukum khususnya penyidik,
lanjutnya, harus bisa melihat ini bukanlah pencurian kayu secara besar-
besaran yang merugikan negara secara besar hingga dijerat dengan UU
Illegal Logging.
Dia pun menekankan penegak hukum harus membawa dugaan
pencurian ini dalam penyelesaian melalui restorative justice, yakni
penyelesaian yang tidak berfokus pada hukuman penjara, melainkan
perbaikan atau pemulihan perilaku terdakwa. “Hukum memang harus
ditegakkan, tetapi masih ada upaya lain selain menghukum seseorang
dengan hukum pidana,” tandasnya.
Asep juga berharap pengadilan bijaksana dalam mengambil putusan,
yang bukan hanya menghukum orang, tetapi juga mengedepankan hati
nurani. Sebab, kasus pencurian beberapa buah atau batang kayu bukan saja
kali ini terjadi. “Keadilan bukan sekadar menghukum orang, tapi juga
28
memperbaiki perilaku. Hukuman itu tidak selalu adil, tapi bergantung pada
kasus dan dampaknya,” katanya.
Senada, Arsul Sani menilai dakwaan yang disampaikan kepada Nenek
Asyani tidak berwawasan social justice. Dalam pandangannya dakwaan
terlalu berat dan tidak sesuai dengan kesalahannya yang mencuri tujuh
batang kayu jati. Menurut dia, dalam kasus seperti ini baik jaksa penuntut
umum (JPU) maupun majelis hakim perlu menerapkan konsep social
justice yang bermuara pada keadilan retributif, yakni memeriksa,
menuntut, dan memutus perkara dengan mengedepankan rasa keadilan.
“Jangan hanya melihat bunyi pasal-pasal pidana yang ada dalam
KUHP,” ucapnya. Ia juga mengatakan agar nenek tersebut sebagai seorang
terdakwa agar menempuh jalur hukum untuk melakukan banding dan
menyampaikan ketidakadilan yang diterimanya dalam pengadilan. “Nenek
sebagai terdakwa dapat menggunakan haknya untuk banding dan
menyampaikan tentang ketidakadilan yang dialaminya,” tandasnya.
Komisioner Komisi Yudisial (KY) Bidang Hubungan Antarlembaga
Imam Anshori Saleh pun berharap pihak aparat penegak hukum melihat
kasus ini secara komprehensif. Jika memang dikatakan melanggar UU
Illegal Logging, harus dipertimbangkan juga kriterianya, apakah unsur-
unsurnya terpenuhi atau tidak. Baginya, pendekatan secara formal, yakni
pengadilan, maupun secara progresif restoratif bisa saja dilakukan.
Jika memang proses sidang sudah berjalan, dia berharap hakim
memberikan pertimbangan hukum yang luas. “Terutama apakah benar
nenek itu mengambil kayu dengan sengaja mencuri? Kalau memang benar,
kayu itu milik negara, berapa sih kerugian yang ditimbulkan? Jadi kita
berharap hakim tidak hanya memperhatikan kepastian hukum, tapi juga
keadilan dan kemanfaatan,” papar Imam di Jakarta kemarin.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur saat
dikonfirmasi menyatakan pihaknya belum bisa memberikan tanggapan apa
pun mengenai kasus tersebut. Pasalnya, untuk kasus atau perkara yang
sedang berjalan di tingkat pertama, hanya PN yang tahu persis bagaimana
29
detail perkaranya. “Kita belum dapat info apa pun terkait itu, mungkin bisa
ditanyakan langsung pada PN Situbondo,” sebut Ridwan. (P
juliatmoko/Nurul adriyana/Mula akmal)
2.5 Peran pancasila dan UUD 1945 dalam keragaman dan kesetaraan pancasila
2.5.1 Pancasila: Falsafah Bangsa dan Pemersatu Bangsa Sampai Akhir Masa
Indonesia adalah negara yang multikultural yang berdasarkan atas
multi etnik, multi bahasa, multi agama dan multi budaya. Jika kenyataan
30
ini tidak bisa diolah dan di aransemen dengan baik, maka akan bisa
menimbulkan kekacauan yang bisa membahayakan persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia (Shofa, 2016).
Ideologi memberi bangsa Indonesia hal-hal yang ideal untuk
diyakini akan kebenaranya, fungsi penting dari ideologi adalah
membentuk identitas kelompok yang majemuk dan multikultural. Ideologi
memiliki kecenderungan untuk memisahkan kita (ingrouop) dari mereka
(outgroup). Dengan demikian maka ideologi berfungsi mempersatukan.
Apabila dibandingkan dengan agama, agama juga berfungsi
mempersatukan manusia dari berbagai kalangan yang majemuk dengan
berbagai pandangan hidup. masing-masing, bahkan mempersatukan
manusia dari berbagai negara yang diikat dengan ideologinya
masingmasing. Sebaliknya ideologi mempersatukan orang dari berbagai
agama dan untuk mengatasi konflik atau ketegangan sosial (Shofa, 2016).
Perbedaan budaya, kebiasaan, dan adat istiadat haruslah dipandang
sebagai potensi kekuatan. Komitmen kebangsaan dan cinta tanah air harus
terus ditumbuhkembangkan dan dibina secara berlanjut dan
berkesinambungan untuk mewujudkan kesadaran bela negara, dan
persatuan nasional, dalam suasana saling menghargai keberagaman.
Persatuan dalam keragaman budaya, adat istiadat, dan tradisi harus dibina
dan ditingkatkan secara demokratis, terpola, dan terus menerus.
Keberagaman budaya bangsa yang diikat menjadi kekuatan nyata
persatuan bangsa dan hal ini secara simbolis telah dicantumkan dalam
slogan Bhinneka Tunggal Ika (Shofa, 2016).
Menurut Darmodiharjo (1991) persatuan Indonesia adalah
persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. Bangsa yang
mendiami wilayah Indonesia ini bersatu karena didorong untuk mencapai
kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan
berdaulat. Persatuan Indonesia merupakan faktor yang dinamis dalam
kehidupan bangsa Indonesia, bertujuan memajukan kesejahteraan umum,
dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut mewujudkan perdamaian
31
dunia yang abadi. Sementara itu, menurut Poespowardjojo (1991) salah
satu peranan Pancasila yang menonjol sejak permulaan penyelenggaraan
Negara Republik Indonesia adalah fungsinya dalam mempersatukan
seluruh rakyat Indonesia menjadi bangsa yang berkepribadian dan percaya
pada diri sendiri (Suryawandan dan Danial, 2016).
Pancasila adalah common platform sekaligus rasionalitas publik di
mana keberagaman dari budaya, agama, etnis dan ras bertemu dan disana
terbentuk suatu negara bangsa. Di dalam negara bangsa kita identitas
kedaerahan, identitas keagamaan semua merasa terwakili. Tidak berlaku
yang namanya mayoritas minoritas atau superior inferior karena semua
tertampung dengan sama. Demokrasi yang berlaku bukanlah demokrasi
mayoritarian tetapi adalah demokrasi Pancasila (Shofa, 2016).
32
penyelenggaraan negara memiliki nilai sebagai the living constitution
(konstitusi yang hidup) jika di dalamnya terkandung beberapa komponen
sebagai berikut:
1. Konstitusi harus dipandang sebagai sesuatu yang berubah setiap
waktu dan merupakan suatu hal dari keharusan sosial;
2. Konstitusi harus dipandang sebagai dokumen yang hidup yang
mensyaratkan secara konstitusional adanya kesetaraan di depan hukum
yang juga dapat diberlakukan bagi standar kesetaraan masa kini;
3. Konstitusi yang hidup yang secara sengaja dibuat secara tertulis
dengan cakupan yang lebih luas dan fleksibel untuk mengakomodir
perubahan-perubahan sosial dan teknologi setiap saat;
4. Konstitusi yang hidup adalah kebutuhan akan suatu penafsiran atas
tuntutan zaman dan keadaan yang selalu berubah (Ropii, 2017)..
33
Pengakuan dan penghormatan terhadap pluralitas secara yuridis
konstitusional dalam UUDRI 1945 antara lain diatur dalam Pasal 18 B,
Pasal 28 I ayat (3). Berikut dikutif Pasal 18 B (1) Negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang; (2) Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Kemudian Pasal 28I (3)
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban. Kandungan Pasal-Pasal dalam UUD
NRI 1945 tersebut sebagai dokumen penting pememberikan jaminan
perlindungan atas pluralitas daerah (satuan-satuan pemerintahan daerah)
dan masyarakat (kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya) dengan segala identitasnya (Ropii, 2017).
34
Bab 3. Penutup
Kesimpulan
35
Daftar Pustaka
36
INSTRUMEN HUKUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
37