Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH MATA KULIAH UMUM PENDIDIKAN

KEWARGANEGARAAN

“Keragaman dan kesetaraan sebagai Warga Negara Indonesia (WNI)”

Kelompok 4

Anggota Kelompok:

1. Dinda Atika (161610101019)


2. Pramita Wahyu (161610101020)
3. Paramudibta Lungit (161610101021)
4. Nia Nurmayanti (161610101022)

Dosen Pengajar : Wajihuddin, S.Pd, M.Hum

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS JEMBER
2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahhirobbil’alamin, puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang


telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Keragaman dan Kesetaraan sebagai
Warga Negara Indonesia (WNI)” dengan baik dan selesai tepat waktu. Makalah
ini disusun bertujuan untuk melengkapi tugas mata kuliah umum Pendidikan
Kewarganegaraan kelompok IV pada semester empat ini.
Penulisan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena
itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Wajihuddin, S.Pd, M.Hum. selaku dosen pengajar pada mata kuliah
umum Pendidikan Kewarganegaraanyang telah membantu dan memberi
arahan untuk tercapainya tujuan belajar.
2. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini.
Dalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan
yang belum kami ketahui. Maka dari itu kami meminta kritik dan saran yang
membangun untuk perbaikan-perbaikan agar kedepannya dapat tercipta
kesempurnaan dalam pembuatan makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Jember, 05 April 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................................II

Daftar Isi........................................................................................................................III

Bab I Pendahuluan........................................................................................................4

1.1 Latar Belakang Masalah ...........................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................15

1.3 Tujuan Penulisan.....................................................................................................16

Bab II Pembahasan.....................................................................................................17

2.1 Makna Keragaman dan kesetaran sebagai WNI......................................................17

2.2 Hakikat Keragaman dan kesetaran sebagai WNI....................................................19

2.3 Keragaman dan kesetaraan yang terjadi di Indonesia.............................................23

2.4 Masalah – masalah yang berhubungan dengan keragaman dan kesetaraan WNI
.......................................................................................................................................27

2.5 Peran Pancasila dan UUD 1945 dalam keragaman dan kesetaraan WNI...............30

Bab III Penutup...........................................................................................................35

Daftar Pustaka...............................................................................................................36

iii
BAB 1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


1.1.1 Keragaman
A. Pengertian Keragaman
Negara Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di
dunia, hal ini dapat terlihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis
Indonesia yang begitu kompleks, beragam, dan luas. Indonesia terdiri atas
sejumlah besar kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain yang masing-
masing plural (jamak) dan sekaligus juga heterogen atau aneka ragam.
Sebagai negara yang plural dan heterogen, Indonesia memiliki potensi
kekayaan multi etnis, multi kultur, dan multi agama yang kesemuanya
merupakan potensi untuk membangun negara multikultur yang besar atau
“multikultural nationstate” (Lestari, 2016).
Dalam bahasa Indonesia ada istilah khusus untuk merujuk pada
keberagaman, yaitu kebhinnekaan, meski demikian, pengertian atas
konsep mengenai pluralisme dan multikulturalisme tetap populer
digunakan dalam wacana sehari-hari mengenai keragaman di Indonesia.
Teori klasik terkait masyarakat plural yang sering dirujuk oleh para sarjana
adalah buku J.S Furnivall tentang Indonesia dan M.G. Smith mengenai
British West Indies. Furnivall, seorang ahli ekonomi dan staff penjajah
pada waktu itu, mendefinisikan masyarakat plural sebagai "comprising
two or more elements or social orders, which live side by side, yet without
mingling, in one political unit”. Berdasar observasinya, Furnivall melihat
penguasa dan rakyatnya berasal dari dua ras yang berbeda dan tinggal
saling berjauhan satu sama yang lain (Rahayu, 2017).
Di Amerika Serikat, multikulturalisme adalah sebuah istilah yang
secara politik digunakan untuk mengakui hak asasi manusia dan
kesetaraan warga negara sebagai respon atas meningkatnya klaim atas
perbedaan kelompok, seperti etnis Afrika, kelompok etnis minoritas,
perempuan, gay dan lain sebagainya. Di Amerika Serikat,
multikulturalisme adalah sebuah istilah yang secara politik digunakan
4
untuk mengakui hak asasi manusia dan kesetaraan warga negara sebagai
respon atas meningkatnya klaim atas perbedaan kelompok, seperti etnis
Afrika, kelompok etnis minoritas, perempuan, gay dan lain sebagainya
(Rahayu, 2017).
Multikulturalisme dapat dipahamai sebagai pengakuan tentang
keanekaragaman dari masyarakat yang majemuk, heterogen dan plural.
Apabila hal itu diperluas bisa juga dimaknai sebagai suatu
keanekaragaman budaya, tradisi, gaya hidup, agama dan bentuk-bentuk
perbedaan yang lainnya. Bagi bangsa indonesia yang memang dianugerahi
oleh Tuhan Yang Maha Esa kemajemukan dan pluralitas tersebut, sudah
seharusnya menjadi satu kebanggaan dan kekuatan yang besar bagi bangsa
indonesia. Multikulturalisme tidak saja diakui tetapi juga bisa diterima
akan adanya perbedaan, suku, agama, ras, antar golongan dan etnis.
Masyarakat indonesia yang hidup didalamnya harus mampu hidup
berdampingan antara satu dengan yang lainnya, sehingga harmonisasi
yang selama ini didambakan oleh bangsa indonesia bisa terwujud dengan
baik.
Multikulturalitas bangsa merupakan realitas dalam komunitas
indonesia yang tak mungkin dipungkiri dan dihindari, bangsa Indonesia
yang terdiri dari ribuan pulau, ratusan bahasa, suku, bangsa dan agama.
Kondisi ini merupakan berkah dan hikmah apabila kita mampu
mengaransemennya dalam sebuah keterpaduan yang menghasilkan
keindahan dan kekuatan, tetapi juga bisa menjadi musibah disintregasi
bangsa manakala multikulturalitas itu tidak terakomodasi dengan baik.
Oleh karena itu, dapat dimengerti jika desain dari pendirian bangsa dan
negara kesatuan republik Indonesia adalah negara yang bersatu, berdaulat
adil dan makmur, untuk mewujudkan sebuah negara kebangsaan “ yang
bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial
dan perikemanusiaan.”
Multikulturalisme memiliki banyak makna: (1) Pertama, digunakan
sebagai respon atas banyaknya keragaman budaya di suatu masyarakat. (2)

5
Kedua, sebagai suatu ideologi yang bertujuan untuk melegitimasi
masuknya keragaman etnis dalam struktur umum masyarakat. (3) Ketiga,
sebagai kebijakan publik yang didesain untuk menciptakan kesatuan
nasional dalam etnis yang berbeda-beda (Rahayu, 2017).
Keberagaman yang terdapat pada masyarakat Indonesia merupakan
identitas yang menjadi ciri khas dari bangsa lain di dunia. Pembentukan
keragaman dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan dari adanya
perkembangan dalam hal informasi dan komunikasi yang berdampak pada
banyaknya kelompok-kelompok baru dalam masyarakat yang tubuh dari
pertukaran budaya melalui informasi dan komunikasi.
Kelompokkelompok tersebut hidup pada satu wilayah Indonesia serta
mendapatkan pengakuan dari pemerintah dalam daerah tersebut.
Selanjutnya, Parekh (2000) mengatakan bahwa keragaman komunal yang
muncul bila terdapat anggota-anggota masyarakat yang hidup dalam
kelompok-kelompok yang terorganisir dengan baik dan berbagi sistem dan
praktik kehidupan tertentu yang berbeda dari masyarakat pada umumnya,
misalnya pada kelompok-kelompok keagamaan baru, kelompok etnis atau
imigran yang hidup di wilayah tertentu (Wahyu, 2016).

B. Faktor-Faktor Penyebab Keberagaman Budaya Indonesia


Ada 3 (tiga) faktor utama yang mendorong terbentuknya keberagaman
budaya Indonesia sebagai berikut:
a. Latar Belakang Historis
Dalam perjalanan sejarah menyebutkan bahwa nenek moyang bangsa
Indonesia berasal dari Yunani. Sebelum tiba di Nusantara mereka berhenti
di berbagai tempat dan menetap dalam jangka waktu yang lama, bahkan
mungkin hingga beberapa generasi. Selama bermukim di tempat-tempat
tersebut, mereka melakukan adaptasi dengan lingkungannya. Mereka
mengembangkan pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan-
keterampilan khusus sebelum melakukan perjalanan. Dengan perbedaan

6
pengalaman dan pengetahuan telah menyebabkan timbulnya perbedaan
suku bangsa dengan budaya yang beranekaragam di Indonesia.
b. Perbedaan Kondisi Geografis
Perbedaan-perbedaan kondisi geografis telah melahirkan berbagai suku
bangsa dan keberagaman budaya Indonesia. Hal itu berkaitan dengan pola
kegiatan ekonomi, perwujudan kebudayaan yang ada, contohnya: nelayan,
pertanian, kehutanan, dan perdagangan. Sehingga mereka akan
mengembangkan corak kebudayaan yang khas dan cocok dengan
lingkungan geografis mereka tanpa mengganggu kebudayaan yang
lainnya.
c. Keterbukaan terhadap Kebudayaan Luar
Bangsa Indonesia adalah contoh bangsa yang terbuka. Hal ini dapat
dilihat dari besarnya pengaruh asing dalam membentuk keanekaragaman
masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Pengaruh asing pertama yaitu
ketika orang-orang India, Cina, dan Arab di susul oleh bangsa Eropa.
Bangsa tersebut datang membawa kebudayaan yang beranekaragam.
Daerah-daerah yang relatif terbuka, khususnya daerah pesisir paling cepat
megalami perubahan. karena:
1) Dengan semakin banyaknya sarana dan prasaranatransportasi,
2) Hubungan antar kelompok semakin intensif dan
3) Semakin sering mereka melakukan pembauran

C. Prinsip Keberagaman
Pluralitas dan heterogenitas yang tercermin pada masyarakat
Indonesia diikat dalam prinsip persatuan dan kesatuan bangsa yang kita
kenal dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang mengandung
makna bahwa meskipun Indonesia berbhinneka, tetapi terintegrasi dalam
kesatuan. Hal ini merupakan sebuah keunikan tersendiri bagi bangsa
Indonesia yang bersatu dalam suatu kekuatan dan kerukunan beragama,
berbangsa dan bernegara (Lestari, 2015).

7
1.1. 2 Kesetaraan
A. Pengertian Kesetaraan
Kesetaraan manusia bermakna bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan
memiliki tingkatan atau kedudukan yang sama. Tingkatan atau kedudukan
yang sama bersumber dari pandangan bahwa semua manusia tanpa dibedakan
adalah diciptakan dengan kedudukan yang sama yaitu sebagai makhluk mulia
dan tinggi derajatnya dibanding makhluk lain. Dihadapan Tuhan semua
manusia memiliki derajat, kedudukan atau tingkatan yang sama , yang
membedakannya adalah ketaqwaan manusia tersebut terhadap Tuhan.
Kesederajatan merupakan suatu kondisi dimana dalam perbedaan dan
keragaman yang ada, manusia tetap memiliki suatu kedudukan yang sama
dalam satu tingkatan hierarki. Kesederajatann adalah persamaan harkat, nilai,
harga dan taraf yang membedakan makhluk yang satu dengan yang lainnya.
Kesederajatan dalam masyarakat adalah suatu keadaan yang menunjukkan
adanya pemeliharaan kerukunan dan kedamaian yang saling menjaga harkat
dan martabat masyarakatnya.
Di Indonesia unsur keragamannya dapat dilihat dari suku bangsa, ras,
agama dan keyakinan, ideologi dan politik, tata krama serta kesenjangan
ekonomi dan kesenjangan sosial. Semua unsur tersebut merupakan hal yang
harus dipelajari agar keragaman yang ada tidak membawa dampak yang buruk
bagi kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Dampak buruk dari tidak adanya sikap terbuka, logis dan dewasa atas
keragaman masyarakat, antara lain munculnya disharmonisasi (tidak adanya
penyesuaian atas keragaman antara manusia dengan lingkungnnya), perilaku
diskriminatif terhadap kelompok masyarakat tertentu, eksklusivisme/rasialis
(menganggap derajat kelompoknya lebih tinggi daripada kelompok lain) dan
disintegrasi bangsa.
Diskriminasi adalah setiap tindakan yang melakukan pembedaan terhadap
seseorang atau sekelompok orang berdasarkan ras, agama, suku,etnis,
kelompok, golongan,status, kelas sosial ekonomi, jenis kelamin, kondisi fisik

8
tubuh, usia, orientasi seksual, pandangan ideologi dan politik, serta batas
negara dan kebangsaan seseorang.
Selain diskriminasi juga terdapat problematika lain yang harus diwaspadai
yaitu adanya disintegrasi bangsa. Ada enam faktor yang menjadi penyebab
utama proses tersebut yaitu kegagalan kepemimpinan, krisis ekonomi yang
akut dan berlangsung lama, krisis politik, krisis sosial, demoralisasi tentara
dan polisi serta intervensi asing. Untuk menghindari dampak buruk diatas, ada
beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu dengan meningkatkan Semangat
religius, semangat masionalisme, semangat pluralisme, semangat humanisme,
dialog antar umat beragama, serta membangun suatu pola komunikasi untuk
interaksi ataupun konfigurasi hubungan antaraagama, media massa dan
harmonisasi dunia.
Sementara salah satu hal yang dapat dijadikan solusi dari masalah-masalah
diatas adalah Bhineka Tunggal Ika, ungkapan yang menggambarkan
masyarakat Indonesia yang majemuk (heterogen). Masyarakat Indonesia
terwujud sebagai hasil interaksi sosial dari banyak suku bangsa dengan
beraneka ragam latar belakang kebudayaan, agama, sejarah dan tujuan yang
sama yang disebut kebudayaan nasional.

B. Prinsip-prinsip kesetaraan
Sejak zaman dahulu hingga sekarang, hal yang sangat fundamental dari
hak asasi manusia itu adalah ide yang meletakkan semua orang terlahir bebas
dan memiliki kesetaraan dalam hak asasi manusia. Demikian pula dalam
kehidupan masyarakat yangmajemuk seperti Indonesia, prinsip kesetaraan
sangat perlu diterapkan.
Namun apakah semua harus diperlakukan sama untuk menciptakan suatu
keadilan, tanpa memandang tingkat pendidikan, kedudukan atau jabatan,
status dan peran sosial? Memang tak dapat dipungkiri bahwa tingkat
pendidikan, kedudukan dan jabatan, status dan peran sosial telah membuat
seolah-olah setiap orang tersebut mempunyai hak istimewa dan mendapat
perlakuan yang lebih pula. Namun, mereka punya kewajiban yang sama

9
seperti halnya orang-orang disekitarnya. Dalam hal kewajiban sebagai warga
negara tak ada yang diperlakukan berbeda, semuanya setara. Demikian pula
halnya dengan hak, setiap orang mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan pendidikan yang tinggi, memperoleh kedudukan atau jabatan
dan memiliki status dan peran sosial yang sama dalam masyarakatnya.
Kesetaraan memungkinkan setiap orang untuk mendapatkan kesempatan dan
memperoleh pendidikan yang layak, pekerjaan dan menempati jabatan atau
keudukan dalam masyarakatnya. Tak ada seorangpun yang berhak untuk
menghalangi orang lain untuk mencapai itu semua. Bahkan negara
diperbolehkan ubtuk menerapkan suatu tindakan afirmatif. Tindakan afirmatif
adalah tindakan atau kebijakan yang diambil untuk tujuan agar kelompok atau
golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara
dengan kelompok atau golongan lain dalam bidang yang sama.
Prinsip-prinsip kesetaraan telah menjadi amanat dalam konstitusi Negara
Kesatuan Republik Indonesia yaitu dalam UUD 1945 dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Pasal-pasal dalam UUD 1945 tersebut sudah
menyebutkan prinsip-peinsip kesetaraan tersebut, baik secara implisit maupun
eksplisit. Adanya pengaturan persamaan hak dan kewajiban dalam pasal-pasal
UUD 1945 tersebut telah menunjukkan bahwa kesetaraan dalam kehidupan
negara dan berbangsa kita sudah diakui dan dijamin oleh negara. Pasal 27
Ayat 1 UUD 1945 secara eksplisit menegaskan pengakuanakan prinsip
kesetaraan, “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

C. lima kategori kesetaraan:


a. Kesetaraan hukum, kesamaan dihadapan hukum
b. Kesetaraan politik, kesetaraan dalam bidang pembangunan
c. Kesetaraan sosial, tidak adanya dominasi oleh pihak tertentu
d. Kesetaraan ekonomi, pembagian sumber daya yang dilakukan secara adil
e. Kesetaraan moral, memiliki nilai yang sama

10
D. tiga konsep kesetaraan:
1. Kesetaraan kesempatan, akses ke semua posisi sosial harus di atur oleh
kriteria universal

2. Kesetaraan sejak awal, kompetisi yang adil dan setara mensyaratkan


bahwa semua peserta mulai dari garis start yang sama

3. Kesetaraan hasil, semua orang harus menikmati standar hidup dan peluang
kehidupan yang setara.

1.1.3 Warga Negara Indonesia (WNI)


A. Pengertian Warga Negara
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) warga negara adalah
penduduk sebuah negara atau bangsa berdasarkan keturunan, tempat
kelahiran, dan sebagainya yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai
seorang warga dari negara itu. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Pasal 1angka (1)
pengertian warga Negara adalah warga suatu Negara yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan (Rahman dkk., 2017)
Dalam konteks Indonesia, istilah warga negara seperti yang tertulis
dalam UUD 1945 pasal 26 dimaksudkan: “Warga negara adalah Bangsa
Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga
negara” (Rahman dkk., 2017).
Pasal 1 UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI (UU
Kewarganegaraan), menegaskan bahwa “Warga Negara Indonesia adalah
orang -orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan dengan undang-undang sebagai warga negera Indonesia”. Hal
mengenai warga Negara Indonesia tersebut juga tertuang dalam Pasal 26
UUD 1945 yang menegaskan bahwa :

11
a. Yang menjadi Warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disyahkan dengan undang-undang sebagai
Warga Negara.
b. Syarat-syarat yang mengenai kewargaan negara ditetapkan dengan
undang-undang.
Warga Negara merupakan salah satu unsur pokok sebuah Negara dan
masing-masing memiliki hak dan kewajiban terhadap negaranya. Sebaliknya
Negara memiliki kewajiban dalam memberikan perlingdungan kepada setiap
warga negaranya (Rahman dkk., 2017)
Warga negara memiliki peran dan tanggung jawab yang sangat penting
bagi kemajuan dan bahkan kemunduran sebuah bangsa. Oleh karena itu,
seseorang yang menjadi anggota atau warga suatu negara haruslah ditentukan
oleh Undang-undang yang dibuat oleh negara tersebut. Sebelum negara
menentukan siapa saja yang menjadi warga negaranya, terlebih dahulu negara
harus mengakui bahwa setiap orang berhak memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meningggalkannya serta
berhak kembali sebagaimana dinyatakan oleh pasal 28E ayat (1) UUD 1945.
Pernyataan ini mengandung makna bahwa orang-orang yang tinggal dalam
wilayah negara dapat diklasifikasikan menjadi: (Rahman dkk., 2017)
a. Warga Negara Indonesia, adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orangorang bangsa lain yang disahkan dengan dengan undang-undang
sebagai warga negara.
b. Penduduk, yaitu orang-orang asing yang tinggal dalam negara bersifat
sementara sesuai dengan visa (surat izin untuk memasuki suatu negara
dan tinggal sementara yang diberikan oleh pejabat suatu negara yang
dituju) yang diberikan Negara melalui kantor imigrasi.

B. Kriteria Warga Negara Indonesia


Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam UU
No. 12 tahun 2006 pasal 4-6 tentang Warga Negara Indonesia, dijelaskan
bahwa orang yang dapat menjadi warga Negara Indonesia antara lain:

12
a. Bagi setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi
WNI
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu
warga negara asing (WNA), atau sebaliknya
d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah
yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah
tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
e. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya
meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
f. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui
oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan
sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin
h. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu
lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
i. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik
Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui
j. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan
ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui
keberadaannya
k. Anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan
ibu WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut
dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
l. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia
sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi:

13
a. Anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun
dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang
berkewarganegaraan asing
b. Anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah
sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan
c. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan
bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh
kewarganegaraan Indonesia
d. Anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah
menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.

Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang


termasuk dalam situasi sebagai berikut:
a. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan
bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya
memperoleh kewarganegaraan Indonesia
b. Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat
anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga
negara Indonesia
Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas,
dimungkinkan pula perolehan kewarganegaraan Republik Indonesia melalui
proses pewarganegaraan. Warga negara asing yang kawin secara sah dengan
warga negara Indonesia dan telah tinggal di wilayah negara Republik Indonesia
sedikitnya lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut
dapat menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat
yang berwenang, asalkan tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda.

C. Syarat memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia


Berdasarkan UU UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia dapat diperoleh melalui proses pewarganegaraan dimana

14
permohonan tersebut dapat diajukan oleh pemohon apabila memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a) Telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin;
b) Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah
negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima ) tahun berturut-turut
atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut;
c) Sehat jasmani dan rohani;
d) Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e) Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih;
f) Jika dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak
menjadi berkewarganegaraan ganda;
g) Mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap; dan
h) Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana makna Keragaman dan kesetaraan sebagai WNI?
1.2.2 Bagaimana hakikat keragaman dan kesetaraan sebagai WNI?
1.2.3 Bagaimana keragaman dan kesetaraan yang terjadi di Indonesia?
1.2.4 Apa saja masalah – masalah yang berhubungan dengan keragaman
dan kesetaraan sebagai WNI?
1.2.5 Bagaimana peran pancasila dan UUD 1945 dalam keragaman dan
kesetaraan sebagai WNI?

15
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Mengetahui dan memahami makna keragaman dan kesetaraan sebagai
WNI
1.3.2 Mengetahui dan memahami hakikat keragaman dan kesetaraan
sebagai WNI
1.3.3 Mengetahui dan memahami keragaman dan kesetaraan yang terjadi di
Indonesia
1.3.4 Mengetahui dan memahami masalah – masalah yang berhubungan
dengan keragaman dan kesetaraan sebagai WNI
1.3.5 Mengetahui dan memahami peran pancasila dan UUD 1945 dalam
keragaman dan kesetaraan sebagai WNI

16
Bab 2. Pembahasan

2.1 Makna Keragaman dan kesetaraan sebagai WNI


2.2.1 Makna Keragaman Manusia
Keseragaman berasal dari kata ragam. Berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) ragam berarti, 1. tingkah, cara; 2.macam, jenis;
3. musik, lagu, langgam; 4. warna, corak; 5. laras (tata bahasa). Merujuk
pada arti nomor dua di atas, ragam berarti jenis, macam. Keragaman
menunjukkan adanya banyak macam, banyak jenis. Keragaman manusia
yang dimaksud di sini yakni manusia memiliki perbedaan. Perbedaan itu
ada karena manusia adalah mahkluk individu yang setiap individu
memiliki ciri khas tersendiri. Perbedaan itu terutama ditinjau dari sifat-
sifat pribadi, misalnya sikap, watak, kelakuan, temperamen, dan hasrat.
Selain individu terdapat juga keragaman sosial. Jika keragaman individu
terletak pada perbedaan secara individu atau perorangan sedangkan
keragaman sosial terletak pada keragaman dari masyarakat satu dengan
masyarakat lainnya.
Keragaman atau kemajemukan merupakan kenyataan sekaligus
keniscayaan dalam kehidupan di masyarakat. Keragaman merupakan salah
satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa
silam, kini dan di waktu-waktu mendatang. Sebagai fakta,  keragaman
sering disikapi secara berbeda. Di satu sisi diterima sebagai fakta yang
dapat memperkaya kehidupan bersama, tetapi di sisi lain dianggap sebagai
faktor penyulit. Kemajemukan bisa mendatangkan manfaat yang besar,
namun juga bisa menjadi pemicu konflik yang dapat merugikan
masyarakat sendiri jika tidak dikelola dengan baik. Keragaman manusia
bukan berarti manusia itu bermacam-macam atau berjenis-jenis seperti
halnya binatang dan tumbuhan. Manusia sebagai makhluk tuhan tetaplah
berjenis satu. Keragaman manusia dimaksudkan bahwa setiap manusia
memiliki perbedaan. Perbedaan itu ada karena karena manusia adalah
makhluk individu yang setiap individu memiliki ciri-ciri khas tersendiri.

17
Perbedaan itu ditinjau dari sifat-sifat pribadi, misalnya sikap, watak,
kelakuan, temperamen, dan hasrat. Contoh, sebagai mahasiswa baru kita
akan menjumpai teman-teman mahasiswa lain dengan sifat dan watak
yang beragam. Dalam kehidupan sehari-hari, kita akan menemukan
keragaman akan sifat dan ciri-ciri khas dari setiap oorang yang kita
jumpai. Jadi manusia sebagai pribadi adalah unik dan beragam.

2.2.3 Makna Kesetaraan


Kesetaraan berasal dari kata setara atau sederajat. Jadi, kesetaraan juga
dapat disebut kesederajatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), sederajat artinya sama tingkatan (kedudukan, pangkat). Dengan
demikian, kesetaraan atau kesederajatan menunjukkan adanya tingkatan
yang sama, kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi atau tidak lebih
rendah antara satu sama lain. Kesetaraan manusia bermakna bahwa
manusia sebagai mahkluk Tuhan memiliki tingkat atau kedudukan yang
sama. Tingkatan atau kedudukan yang sama itu bersumber dari pandangan
bahwa semua manusia tanpa dibedakan adalah diciptakan dengan
kedudukan yang sama yaitu sebagai mahkluk mulia dan tinggi derajatnya
dibanding makhluk lain. Dihadapan Tuhan, semua manusia adalah sama
derajat, kedudukan atau tingkatannya. Yang membedakan nantinya adalah
tingkatan ketakwaan manusia tersebut terhadap Tuhan.
Kesetaraan manusia bermakna bahwa manusia sebagai makhluk tuhan
memiliki tingkat atau kedudukan yang sama. Tingkatan atau kedudukan
yang sama itu bersumber dari pandangan bahwa semua manusia tanpa
dibedakan adalah diciptakan dengan kedudukan yang sama, yaitu sebagai
makhluk mulia dan tinggi derajatnya dibanding maklhluk lain. Persamaan
kedudukan atau tingkatan manusia ini berimplikasi pada adanya
pengakuan akan kesetaraan atau kesederajatan manusia. Jadi, keserataan
atau kesederajatan tidak sekedar bermakna adanya persamaan kedudukan
manusia. Implikasi selanjutnya adalah perlunya jaminan akan hak-hak
ituagar setiap manusia bisa merealisasikannya serta perlunya merumuskan

18
sejumlah kewajiban-kewajiban agar semua bisa melaksanakan agar
tercipta tertib kehidupan. Berkaitan dengan dua konsep diatas, maka dalam
keragaman diperlukan adanya kesetaraan atau kesederajatan. Artinya,
meskipun individu maupun masyarakat adalah beragam dan berbeda-beda,
tetapi mereka memiliki dan diakui akan kedudukan, hak-hak dan
kewajiban yang sama sebagai sesama baik dalam kehidupan pribadi
maupun bermasyarakat. Terlebih lagi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, jaminan akan kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dari
berbagai ragam mamsyarakat didalamnya amat diperlukan.

2.2 Hakikat keragaman dan kesetaraan sebagai WNI


2.2.1 Hakikat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, Hakikat memiliki dua
definisi, yaitu :
1. Definisi berarti : intisari atau dasar. Contoh : dia yg menanamkan
“hakikat” ajaran Islam di hatiku;
2. Definisi berarti : kenyataan yg sebenarnya (sesungguhnya): Contoh :
pada “hakikat”nya mereka orang baik-baik; syariat palu-memalu, pd
-- nya adalah balas-membalas, pb kebaikan harus dibalas dengan
kebaikan.
Kata hakikat (Haqiqat)  merupakan kata benda yang berasal dari
bahasa Arab yaitu dari kata “Al-Haqq”, dalam bahasa indonesia
menjadi kata pokok yaitu kata “hak“ yang berarti milik (kepunyaan),
kebenaran, atau yang benar-benar ada, sedangkan secara etimologi
Hakikat berarti inti sesuatu, puncak atau sumber dari segala sesuatu.
Dapat disimpulkan bahwa Hakikat adalah kalimat atau ungkapan
yang digunakan untuk menunjukkan makna yang yang sebenarnya atau
makna yang paling dasar dari sesuatu seperti benda, kondisi atau
pemikiran, Akan tetapi ada beberapa yang menjadi ungkapan yang
sudah sering digunakan dalam kondisi tertentu, sehingga menjadi

19
semacam konvensi, hakikat seperti disebut sebagai hakikat secara adat
kebiasaan.

2.2.2 Hakikat keragaman dan kesetaraan sebagai WNI


Indonesia adalah bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai suku
bangsa, ras, bahasa, adat istiadat, agama dan budaya. Masyarakat
Indonesia juga dikenal sebagai masyarakat multikultural karena
anggotanya terdiri dari berbagai latar belakang agama dan budaya yang
beragam. Multikukturalisme merupakan kekayaan bangsa yang tak ternilai
harganya, sebagai potensi yang harus dikembangkan dan dibina.
Sebaliknya apabila keberagaman ini tidak dimanfaatkan dan dibina secara
benar akan berkembang menjadi suatu yang menakutkan. Dulu
keberagaman merupakan kekayaan bangsa yang paling dibanggakan,
dibangun atas dasar tujuan dan kepentingan bersama yaitu kemerdekaan
Indonesia. Saat ini, keberagaman sering dipandang sebagai perbedaan,
perbedaan semakin dipertajaam dan sering dimanfaatkan sebagain orang
untuk memenuhi ambisi dan kepentingan pribadi atau golongannya. Ini
menimbulkan konflik horizontal yang menyebabkan terpuruknya bangsa
Indonesia,yang menyebabkan kerusuhan terjadi dimana-mana. (Dwintari,
J.W., TT)
Ada tiga point penting yang dapat dilakukan untuk mendorong
multikulturalisme ini. Pertama adalah rekognisi. Rekognisi adalah
pengakuan dan penghargaan pada yang berbeda. Dalam tatanan kehidupan
sehari – hari, rekognisi ini dapat terlihat dari sejauh mana entitas yang ada
di masyarakat mengakui perbedaan dan keberagamaan. Pengakuan ini
kemudian tidak lantas membiarkan otherness hidup sendiri setelah
mengakui mereka tetapi juga menghargai keberadaan kelompok ini di
dalam relasi antar kelompok. Sedangkan di tataran nasional, rekognisi
dapat dilihat pada sejauh mana negara (baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah) mampu mengeluarkan kebijakan yang memberikan
jaminan akan pengakuan keberagaman di masyarakat dan penghormatan

20
pada hak sipil politik dan hak ekonomi sosial budaya yang melekat pada
kelompok tersebut. kebijakan yang mengakomodasi perbedaan ini menjadi
penting karena kebijakan yang bersifat menyeragamkan dan diskriminatif
adalah salah satu bentuk penghancuran eksistensi kelompok minoritas.
Poin kedua adalah representasi. Representasi merupakan
penghadiran warga negara di dalam ruang publik terkait dengan aspirasi
yang mereka bawa. Representasi ini sudah tentu menuntut adanya
partisipasi menyeluruh pada seluruh warga negara karena mereka
membawa kepentingan mereka sendiri. Selama ini representasi dimaknai
sebagai perwakilan dan mereka yang duduk di lembaga perwakilan formal.
Padahal sebenarnya representasi ini dapat dimaknai beragam tidak hanya
di ranah formal saja tetapi juga di ranah informal. Bentuk – bentuk
representasi dibagi ke dalam beberapa bentuk. Pertama adalah representasi
formalistik, dimana perwakilan dimakna di dalam dua dimensi yaitu
otoritas dan akuntabilitas. Otoritas terkait dengan otorisasi apa saja yang
diberikan kepada wakil. Jadi ketika wakil melakukan tugas – tugas yang
diluar otoritasnya, maka dia tidak lagi menjalankan fungsi perwakilan.
Sedangkan dimensi akuntabilitas terkait dengan pertanggungjawaban dari
wakil kepada pemberi mandat tentang apa yang sudah mereka lakukan.
Kedua, representasi deskriptif, dimana wakil berasal dari kelompok yang
diwakilkan (standing for). Wakil ini merefleksikan kelompok – kelompok
yang ada di masyarakat tetapi seringkali tidak secara inheren melakukan
sesuatu kepentingan orang yang diwakilinya. Ketiga, representasi simbolik
dimana wakil membawa simbol – simbol dari kelompok yang diwakilkan
seperti misalnya kultur, kepercayaan, identifikasi, dll. Wakil yang
dianggap baik adalah wakil yang mampu diterima sebagai bagian dari
yang diwakilinya. Keempat, adalah representasi substantif dimana wakil
berusaha sebaik mungkin atas keinginan dan kehendak orang – orang yang
diwakilkan. Wakil membawa kepentingan tertentu yang kemudian
direpresentasikan di dalam ruang publik. Representasi ini kemudian akan
terkait dengan sejauh mana kelompok – kelompok yang ada di masyarakat

21
baik mayoritas maupun minoritas mampu merepresentasikan gagasan dan
kepentingan mereka di dalam ruang publik.
Ketiga, adalah redistribusi. Redistribusi ini menuntut peran aktif
lebih besar dari negara. Karena negaralah yang akan memastikan bahwa
setiap pembangunan yang dilakukan akan terdistribusi secara adil kepada
seluruh pemeluk agama. Dan negara juga harus dipastikan memiliki
mekanisme peran aktif masyarakat jika negara gagal dalam menjalankan
fungsi redistribusi ini. Namun Parekh mengungkapkan bahwa sebenarnya
kehadiran multikulturalisme ini sendiri belum mampu digunakan sebagai
sarana pembelaan pada minoritas. Hal ini dikarenakan multikulturalisme
hanya hadir sebagai bentuk ideal pola relasi antara komunitas yang
berbeda. Homi Bahabha mengungkapkan selanjutnya bahwa persoalan
tentang minoritas sebenarnya berawal dari pendefinisian tentang minoritas
itu sendiri. Minoritas sendiri tidak bisa didefinisikan secara gamblang
dengan hanya melihat fakta – fakta yang ada di lapangan. Hal itu
dikarenakan identitas selalu berada di dalam ruangan in between dan
tumpang tindih antara satu kultur dengan kultur yang lain. Inilah yang
menyebabkan fenomena bahwa agama yang di suatu negara menjadi
agama mayoritas belum tentu di agama lainnya berposisi sebagai
mayoritas juga. Cara lain untuk mengakomodasi minoritas adalah dengan
memberikan perlakuan berbeda pada kelompok minoritas ini. Perlakuan
berbeda dibutuhkan untuk menjamin kesempatan yang sama dan
kesetaraan. Namun rupanya perlakuan yang berbeda ini juga
memunculkan perdebatan. Perlakuan yang berbeda berpotensi untuk
memunculkan ketidaksetaraan dan bahkan diskriminasi. Hal ini karena
kelompok yang merasa diperlakukan berbeda akan merasa diistimewakan
dan mengundang kecemburuan dari kelompok yang lain (Indriyany, I.A.,
2017) .
Keberadaan kepentingan, golongan dan ideologi ini semakin tajam
dan mengarah pada konflik antarkelompok. Kelompok yang satu tidak
mau lagi hidup berdampingan dengan kelompok lainnya. Keberagaman

22
yang semula menjadi kebanggaaan bisa berubah menjadi suatu yang
sumber konflik yang menakutkan, yaitu terganggunya stabilitas nasional
dan disintegrasi bangsa. Munculnya kesadaran akan perlunya
keberagaman dalam masyarakat multicultural akan sangat membantu
menemukan titik temu ketika ada perbedaan pandagan sosial, ekonomi,
mauapun politik. Multikultural menurut Rawls (2001), adalah suatu
masyarakat yang adil bukanlah hanya menjamin the greatest happiness for
the greatest number yang selama ini dikenal dalam prinsip demokrasi,
tetapi, masyarakat yang adil adalah adanya pengakuan dan penerimaan
terhadap perbedaan dan keberagaman.

2.3 Keragaman dan Kesetaraan yang terjadi di Indonesia


Secara empirik, masyarakat Indonesia adalah sebuah masyarakat yang
majemuk. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk itu, ada dua istilah
yang penting dipahami yaitu kemajemukan (pluralitas) dan keanekaragaman
(heterogenitas). Pluralitas sebagai kontraposisi dari singularitas
mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, dan bukan
ketunggalan (Kusumohamidjojo, 2000, p. 45). Artinya, dalam “masyarakat
Indonesia” dapat dijumpai berbagai subkelompok masyarakat yang tidak bisa
disatukelompokkan satu dengan yang lainnya. Adanya tidak kurang dari 500
suku bangsa di Indonesia menegaskan kenyataan itu. Demikian pula halnya
dengan kebudayaan mereka. Sementara heterogenitas yang merupakan
kontraposisi dari homogenitas mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan
yang menyimpan ketidaksamaan dalam unsur-unsurnya (Kusumohamidjojo,
2000, p. 45). Artinya, masing-masing subkelompok masyarakat itu beserta
kebudayaannya bisa sungguh-sungguh berbeda satu dari yang lainnya
(Handoyo dkk., 2015)
Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat
unik, yaitu: (1) secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-
kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan kedaerahan, (2) secara
vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-

23
perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam
(Handoyo dkk., 2015)
Secara horizontal, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
majemuk atau masyarakat plural karena masyarakatnya terbagi-bagi menurut
kebudayaan, kekerabatan, suku bangsa, etnik, ras, dan agama. Secara vertikal
keberagaman masyarakat Indonesia dapat dilihat dari tingkatan-tingkatan
sosial, misalnya tingkatan kekayaan dan status sosial (Handoyo dkk., 2015)

2.3.1 Dampak dari keberagaman masyarakat Indonesia


Dalam masyarakat Indonesia yang plural dan sekaligus heterogen,
tersimpan kekuatan yang sangat besar (sebagai modal sosial dan budaya)
berupa beragam adat istiadat, agama dan kepercayaan, bahasa yang
berjenis-jenis yang menjadi pengikat kelompok-kelompok masyarakat
untuk bersatu menentang penjajahan. Sifat kebhinnekaan Indonesia justru
lebih memperkuat keinginan untuk bersatu dalam mencapai cita-cita
bersama. Oleh karena itu kebhinnekaan masyarakat Indonesia perlu dilihat
sebagai sesuatu yang cair dengan tujuan adil, makmur dan bermartabat
bagi tiap warga negara. Cair dalam arti bahwa ada kebutuhan situasional
dan konstekstual yang perlu diperbaharui dan/atau direvisi dari waktu ke
waktu atau perubahan waktu (Handoyo dkk., 2015)
Selain memberikan side effect (dampak) positif sebagaimana
diuraikan di atas, dalam masyarakat Indonesia yang plural dan heterogen,
tersimpan dampak negatif, sebab karena faktor kebhinnekaan itulah justru
sering memicu timbulnya konflik antarkelompok masyarakat. Konflik-
konflik antarkelompok masyarakat tersebut akan melahirkan distabilitas
keamanan, sosio-ekonomi, dan ketidakhar-monisan sosial (social
disharmony) (Handoyo dkk., 2015)
2.3.2 Upaya untuk membingkai keberagaman masyarakat Indonesia
Upaya membingkai masyarakat Indonesia yang berbhinneka tidak
bisa taken for granted atau trial and error (Azra, 2006, p. 153), tetapi
sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated dan

24
berkesinambungan. H.A.R Tilaar mengemukakan bahwa suatu masyarakat
yang pluralistis dan multikultural tidak mungkin dibangun tanpa adanya
manusia yang cerdas dan bermoral (Tilaar, 2004, p. 100). Selain berperan
untuk meningkatkan mutu bangsa agar dapat duduk sama rendah, berdiri
sama tinggi dengan negara-negara lain, pendidikan juga berperan memberi
perekat berbagai perbedaan di antara komunitas kultural atau kelompok
masyarakat yang memiliki latar belakang budaya berbeda agar komitmen
dalam berbangsa dan bernegara semakin meningkat (Arif, 2013).
Menurut ketentuan pasal 1 angka (1) UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara (Handoyo dkk., 2015)
Dalam kerangka itu, posisi PKn/PPKn sebagai program kurikuler
di sekolah memiliki peran penting dalam mendukung rekomendasi
UNESCO tersebut. Hal ini terkait karakteristik dan tujuan mata pelajaran
PKn/PPKn. Dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan diartikan sebagai mata
pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang
memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk
menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter
yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Tujuan PKn adalah
untuk mewujudkan para siswa untuk memiliki kemampuan: (Handoyo
dkk., 2015)
a. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan.
b. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak
secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, serta anti-korupsi.

25
c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara
langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi (Lampiran Permendiknas RI No. 22 Tahun
2006:272, 280, 287)

2.3.3 Kesetaraan masyarakat Indonesia


Salah satu jawaban untuk hidup dengan baik dan saling
menghargai keanekaragaman adalah “multikulturalisme”.
Multikulturalisme adalah ideologi yang menghargai perbedaan dan
kesederajadan (Bennett, 1995; Jary and Kary, 1991; Nieto, 1992; Watson,
2000). Perbedaan individual maupun perbedaan kelompok dilihat sebagai
perbedaan kebudayaan. Dalam perbedaan ada kesederajadan.
Kesederajadan terutama ditekankan pada perbedaan-perbedaan askriptif,
seperti perbedaan suku bangsa dan kebudayaannya, ciri-ciri fisik atau ras,
keyakinan keagamaan, gender, dan umur. Menurut Willett (1998)
multikulturalisme bukan hanya memperjuangkan kesetaraan
kesukubangsaan, ras, gender, dan umur, tetapi juga memperjuangkan
kelas-kelas sosial yang tertindas (Handoyo dkk., 2015)
Kesetaraan atau kesederajatan dapat dimaknai dengan adanya
persamaan kedudukan manusia. Kesederajatan adalah suatu sikap untuk
mengakui adanya persamaan derajat, hak, dan kewajiban sebagai sesama
manusia. Oleh karena itu, prinsip kesetaraan atau kesederajatan
mensyaratkan jaminan akan persamaan derajat, hak, dan kewajiban.
Indikator kesederajatan adalah sebagai berikut: (Ridwan, 2015)
a. Adanya persamaan derajat dilihat dari agama, suku bangsa, ras,
gender, dan golongan.
b. Adanya persamaan hak dari segi pendidikan, pekerjaan dan kehidupan
yang layak.

26
c. Adanya persamaan kewajiban sebagai hamba Tuhan, individu, dan
anggota masyarakat.
Kesetaraan melibatkan kebebasan atau kesempatan untuk menjadi
berbeda, dan memperlakukan manusia secara setara yang menuntut kita
mempertimbangkan kesamaan beserta keberbedaan. Hak yang setara
bukan berarti hak yang identik. Hak “setara” bukan “sama rata sama rasa”,
melainkan adanya penghargaan yang sama bagi individu (baik laki-laki
maupun perempuan) dengan latar belakang budaya dan kebutuhan yang
berbeda. Pemahaman kesetaraan yang matang tentang manusia dan
budayanya inilah yang diperlukan untuk membangun tumbuhnya nilai-
nilai multikulturalisme (Handoyo dkk., 2015)

2.3.4 Persamaan kedudukan di dalam Hukum


Dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945
selanjutnya disingkat UUD 1945 NKRI Pasal 27 Ayat (1) mengaskan
“Semua warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan utuh
dengan tidak ada kecualinya”. Dijelaskan pula dalam BAB XA UUD 1945
pasal 28A-28J mengenai kesetaraan Hak Asasi Manusia didalam hukum.
Ketentuan- ketentuan tersebut mengandung makna bahwa semua orang
sebagai pendukung hak dan kewajiban adalah sama kedudukannya dalam
hukum

2.4 Masalah – masalah yang berhubungan dengan keragaman dan kesetaraan


WNI
2.4.1 Kasus Nenek Asyani Potret Buram Hukum
Koran SINDO
Rabu, 11 Maret 2015 - 10:09 WIB
JAKARTA - Kasus pengadilan terhadap nenek Asyani, 70, di
Situbondo Jawa Timur (Jatim) menunjukkan potret buram penegakan
hukum di Tanah Air. Penegak hukum semestinya mengedepankan

27
restorative justice (keadilan restoratif) dalam menangani kasus dugaan
pencurian 7 batang kayu jati tersebut.
Pandangan demikian disampaikan pakar hukum tata negara Universitas
Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, dan anggota Komisi III Arsul
Sani. Mereka pun prihatin karena sang nenek didakwa dengan pasal illegal
logging karenatidakdilakukansecara terorganisasi dengan jumlah yang
besar. Karena itu mereka berharap hakim nantinya bisa cermat melihat
kasus tersebut.
“Ini kan dugaan pencurian 7 batang kayu, apalagi terdakwa (nenek
Asyani) memiliki bukti kepemilikan tanah dan ini bukan tuduhan
pengambilan lahan. Khawatirnya ada kriminalisasi, yang semula bukan
kejahatan dijadikan kejahatan,” ujar Asep saat dihubungi kemarin.
Menurut Asep, dakwaan jaksa yang menjerat nenek Asyani dengan Pasal
12 juncto Pasal 83 Undang-Undang (UU) Tahun 2013 tentang
IllegalLogging dengan ancaman 5 tahun penjara tidak tepat, bahkan
keterlaluan. 
Apalagi apa yang dilakukan nenek Asyani tidak dapat dikategorikan
sebagai illegal logging. Para penegak hukum khususnya penyidik,
lanjutnya, harus bisa melihat ini bukanlah pencurian kayu secara besar-
besaran yang merugikan negara secara besar hingga dijerat dengan UU
Illegal Logging. 
Dia pun menekankan penegak hukum harus membawa dugaan
pencurian ini dalam penyelesaian melalui restorative justice, yakni
penyelesaian yang tidak berfokus pada hukuman penjara, melainkan
perbaikan atau pemulihan perilaku terdakwa. “Hukum memang harus
ditegakkan, tetapi masih ada upaya lain selain menghukum seseorang
dengan hukum pidana,” tandasnya. 
Asep juga berharap pengadilan bijaksana dalam mengambil putusan,
yang bukan hanya menghukum orang, tetapi juga mengedepankan hati
nurani. Sebab, kasus pencurian beberapa buah atau batang kayu bukan saja
kali ini terjadi. “Keadilan bukan sekadar menghukum orang, tapi juga

28
memperbaiki perilaku. Hukuman itu tidak selalu adil, tapi bergantung pada
kasus dan dampaknya,” katanya. 
Senada, Arsul Sani menilai dakwaan yang disampaikan kepada Nenek
Asyani tidak berwawasan social justice. Dalam pandangannya dakwaan
terlalu berat dan tidak sesuai dengan kesalahannya yang mencuri tujuh
batang kayu jati. Menurut dia, dalam kasus seperti ini baik jaksa penuntut
umum (JPU) maupun majelis hakim perlu menerapkan konsep social
justice yang bermuara pada keadilan retributif, yakni memeriksa,
menuntut, dan memutus perkara dengan mengedepankan rasa keadilan. 
“Jangan hanya melihat bunyi pasal-pasal pidana yang ada dalam
KUHP,” ucapnya. Ia juga mengatakan agar nenek tersebut sebagai seorang
terdakwa agar menempuh jalur hukum untuk melakukan banding dan
menyampaikan ketidakadilan yang diterimanya dalam pengadilan. “Nenek
sebagai terdakwa dapat menggunakan haknya untuk banding dan
menyampaikan tentang ketidakadilan yang dialaminya,” tandasnya. 
Komisioner Komisi Yudisial (KY) Bidang Hubungan Antarlembaga
Imam Anshori Saleh pun berharap pihak aparat penegak hukum melihat
kasus ini secara komprehensif. Jika memang dikatakan melanggar UU
Illegal Logging, harus dipertimbangkan juga kriterianya, apakah unsur-
unsurnya terpenuhi atau tidak. Baginya, pendekatan secara formal, yakni
pengadilan, maupun secara progresif restoratif bisa saja dilakukan. 
Jika memang proses sidang sudah berjalan, dia berharap hakim
memberikan pertimbangan hukum yang luas. “Terutama apakah benar
nenek itu mengambil kayu dengan sengaja mencuri? Kalau memang benar,
kayu itu milik negara, berapa sih kerugian yang ditimbulkan? Jadi kita
berharap hakim tidak hanya memperhatikan kepastian hukum, tapi juga
keadilan dan kemanfaatan,” papar Imam di Jakarta kemarin. 
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur saat
dikonfirmasi menyatakan pihaknya belum bisa memberikan tanggapan apa
pun mengenai kasus tersebut. Pasalnya, untuk kasus atau perkara yang
sedang berjalan di tingkat pertama, hanya PN yang tahu persis bagaimana

29
detail perkaranya. “Kita belum dapat info apa pun terkait itu, mungkin bisa
ditanyakan langsung pada PN Situbondo,” sebut Ridwan. (P
juliatmoko/Nurul adriyana/Mula akmal)

B. Masalah – masalah yang berhubungan dengan keragaman dan kesetaraan


sebagai WNI
Indonesia sebagai negara yang sangat plural memiliki sejarah konflik
multicultural seperti Konlflik Poso yang terjadi sejak 1998, Bom Bali tahun
2000, Konflik Sampit yang terjadi Tahun 2001, dan Konflik Mesuji 2003.
Tercatat dari tahun 2014 ada 74 kasus intoleransi beragama, tahun 2015
tambah menjadi 87 kasus, dan tahun 2016 lebih dari 87 kasus (Zulfikar,
2017), serta berbagai konflik berdasar agama, suku, maupun ekonomi
lainnya. Sementara, akhir-akhir ini konflik tersebut mengalami perubahan
yang cukup signifikan, bukan semata terjadi karena perbedaan agama, etnik
atau budaya, tetapi karena perbedaan ideologi dan kepentingan.
Tawuran dan bentrokan terjadi di mana-mana, antarpendukung
kesebelasan sepak bola, tawuran antamahasiswa. Tawuran antarpelajar, dan
tawuran antarkelompok seperti yang baru terjadi tanggal 9 November 2017 di
di Jembatan Persakih Kelurahan Duri Kosambi, Kecamatan Cengkareng,
Jakarta Barat, yang melibatkan grup Persakih dengan Kampung Duri
Kosambi hingga menyebabkan satu orang tewas. Tawuran antarsuporter bola
juga sempat terjadi pada 11 Oktober 2017 antarsuporter PSMS Medan versus
Persita Tangerang yang mengakibatkan 1 orang tewas dan 18 orang luka.
Tawuran-tawuran tersebut menunjukkan bahwa rasa kebersamaan warga
masyarakat sudah hilang, yang ada perbedaan ideologi dan kepentingan,
apabila berbeda kepentingan dan ideologi dianggap lawan (Tim Viva, 2017).

2.5 Peran pancasila dan UUD 1945 dalam keragaman dan kesetaraan pancasila
2.5.1 Pancasila: Falsafah Bangsa dan Pemersatu Bangsa Sampai Akhir Masa
Indonesia adalah negara yang multikultural yang berdasarkan atas
multi etnik, multi bahasa, multi agama dan multi budaya. Jika kenyataan

30
ini tidak bisa diolah dan di aransemen dengan baik, maka akan bisa
menimbulkan kekacauan yang bisa membahayakan persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia (Shofa, 2016).
Ideologi memberi bangsa Indonesia hal-hal yang ideal untuk
diyakini akan kebenaranya, fungsi penting dari ideologi adalah
membentuk identitas kelompok yang majemuk dan multikultural. Ideologi
memiliki kecenderungan untuk memisahkan kita (ingrouop) dari mereka
(outgroup). Dengan demikian maka ideologi berfungsi mempersatukan.
Apabila dibandingkan dengan agama, agama juga berfungsi
mempersatukan manusia dari berbagai kalangan yang majemuk dengan
berbagai pandangan hidup. masing-masing, bahkan mempersatukan
manusia dari berbagai negara yang diikat dengan ideologinya
masingmasing. Sebaliknya ideologi mempersatukan orang dari berbagai
agama dan untuk mengatasi konflik atau ketegangan sosial (Shofa, 2016).
Perbedaan budaya, kebiasaan, dan adat istiadat haruslah dipandang
sebagai potensi kekuatan. Komitmen kebangsaan dan cinta tanah air harus
terus ditumbuhkembangkan dan dibina secara berlanjut dan
berkesinambungan untuk mewujudkan kesadaran bela negara, dan
persatuan nasional, dalam suasana saling menghargai keberagaman.
Persatuan dalam keragaman budaya, adat istiadat, dan tradisi harus dibina
dan ditingkatkan secara demokratis, terpola, dan terus menerus.
Keberagaman budaya bangsa yang diikat menjadi kekuatan nyata
persatuan bangsa dan hal ini secara simbolis telah dicantumkan dalam
slogan Bhinneka Tunggal Ika (Shofa, 2016).
Menurut Darmodiharjo (1991) persatuan Indonesia adalah
persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. Bangsa yang
mendiami wilayah Indonesia ini bersatu karena didorong untuk mencapai
kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan
berdaulat. Persatuan Indonesia merupakan faktor yang dinamis dalam
kehidupan bangsa Indonesia, bertujuan memajukan kesejahteraan umum,
dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut mewujudkan perdamaian

31
dunia yang abadi. Sementara itu, menurut Poespowardjojo (1991) salah
satu peranan Pancasila yang menonjol sejak permulaan penyelenggaraan
Negara Republik Indonesia adalah fungsinya dalam mempersatukan
seluruh rakyat Indonesia menjadi bangsa yang berkepribadian dan percaya
pada diri sendiri (Suryawandan dan Danial, 2016).
Pancasila adalah common platform sekaligus rasionalitas publik di
mana keberagaman dari budaya, agama, etnis dan ras bertemu dan disana
terbentuk suatu negara bangsa. Di dalam negara bangsa kita identitas
kedaerahan, identitas keagamaan semua merasa terwakili. Tidak berlaku
yang namanya mayoritas minoritas atau superior inferior karena semua
tertampung dengan sama. Demokrasi yang berlaku bukanlah demokrasi
mayoritarian tetapi adalah demokrasi Pancasila (Shofa, 2016).

2.5.2 Peran Pancasila Sebagai Pandangan Hidup


Peran Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara
memegang peranan penting. Pancasila menjadi filter nilai-nilai mana saja
yang bisa diserap untuk disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila sendiri.
Dengan begitu, nilai-nilai baru yang berkembang nantinya tetap berada di
atas kepribadian bangsa Indonesia. Pasalnya, setiap bangsa di dunia sangat
memerlukan pandangan hidup agar mampu berdiri kokoh dan mengetahui
dengan jelas arah dan tujuan yang hendak dicapai. Dengan pemahaman
terhadap ideologi Pancasila, keberagaman dalam kehidupan sosial budaya
masyarakat Indonesia baik dari segi ras, etnis, budaya, bahasa, dan agama,
tidak menjadikan bangsa ini tercerai-berai, akan tetapi justru merupakan
kekuatan bangsa dan Negara Indonesia di tengah pergaulan dunia (Shofa,
2016).

2.5.3 Peran UUD 1945 dalam Keberagaman Warga Negara Indonesia


Dalam penyelenggaraan negara modern yang demokratis prinsip
konstitusionalisme yakni paham yang berintikan perlu adanya pembatasan
terhadap kekuasaan penyelenggara negara. Konstitusi sebagai dasar dalam

32
penyelenggaraan negara memiliki nilai sebagai the living constitution
(konstitusi yang hidup) jika di dalamnya terkandung beberapa komponen
sebagai berikut:
1. Konstitusi harus dipandang sebagai sesuatu yang berubah setiap
waktu dan merupakan suatu hal dari keharusan sosial;
2. Konstitusi harus dipandang sebagai dokumen yang hidup yang
mensyaratkan secara konstitusional adanya kesetaraan di depan hukum
yang juga dapat diberlakukan bagi standar kesetaraan masa kini;
3. Konstitusi yang hidup yang secara sengaja dibuat secara tertulis
dengan cakupan yang lebih luas dan fleksibel untuk mengakomodir
perubahan-perubahan sosial dan teknologi setiap saat;
4. Konstitusi yang hidup adalah kebutuhan akan suatu penafsiran atas
tuntutan zaman dan keadaan yang selalu berubah (Ropii, 2017)..

Gagasan terhadap isi konstitusi yang hidup tersebut sangat menarik


di era sekarang. Sebab konstitusi sebagai dokumen dan dasar dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan negara harus mampu menampung
sebesar-besarnya dan seluas-luasnya kondisi dan dinamika kehidupan
rakyat dan daerah-daerah dengan segala kekhasannya masing-masing.
Konstitusi harus mencerminkan kepentingan dan kondisi objektif bangsa
dalam membangun masa depan menuju kemajuan dan kejayaan serta cita-
cita bangsa yang hendak diwujudkan. Kondisi objektif bangsa yang
heterogen dalam suku, budaya, bahasa, agama dan lain-lain yang berbasis
pada pluralitas atau kemajemukan harus dapat hidup, tumbuh, dan
berproses serta terjaga dengan nyaman serta terjamin keberadaannya di
bawah rumah besar bangsa yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Penguatan dalam menjaga keberagaman yang telah
dijamin dalam konstitusi harus dilakukan dan ditingkatkan melalui sistem
dan mekanisme ketatanegaraan sebagaimana diatur dalam konstitusi
(Ropii, 2017).

33
Pengakuan dan penghormatan terhadap pluralitas secara yuridis
konstitusional dalam UUDRI 1945 antara lain diatur dalam Pasal 18 B,
Pasal 28 I ayat (3). Berikut dikutif Pasal 18 B (1) Negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang; (2) Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Kemudian Pasal 28I (3)
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban. Kandungan Pasal-Pasal dalam UUD
NRI 1945 tersebut sebagai dokumen penting pememberikan jaminan
perlindungan atas pluralitas daerah (satuan-satuan pemerintahan daerah)
dan masyarakat (kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya) dengan segala identitasnya (Ropii, 2017).

34
Bab 3. Penutup

Kesimpulan

Negara Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia,


hal ini dapat terlihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang
begitu kompleks, beragam, dan luas. Indonesia terdiri atas sejumlah besar
kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain yang masing-masing plural (jamak)
dan sekaligus juga heterogen atau aneka ragam.
Kesederajatan merupakan suatu kondisi dimana dalam perbedaan dan
keragaman yang ada, manusia tetap memiliki suatu kedudukan yang sama dalam
satu tingkatan hierarki. Kesederajatann adalah persamaan harkat, nilai, harga dan
taraf yang membedakan makhluk yang satu dengan yang lainnya. Kesederajatan
dalam masyarakat adalah suatu keadaan yang menunjukkan adanya pemeliharaan
kerukunan dan kedamaian yang saling menjaga harkat dan martabat
masyarakatnya.
Munculnya kesadaran akan perlunya keberagaman dalam masyarakat
multicultural akan sangat membantu menemukan titik temu ketika ada perbedaan
pandagan sosial, ekonomi, mauapun politik.

35
Daftar Pustaka

Arif, D. B. 2013. Membingkai Keberagaman Indonesia: Perspektif Pendidikan


Kewarganegaraan Kurikuler. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
Dwintari, J.W., TT. Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Multikultural
dalam Pembinaan Keberagaman Masyarakat Indonesia. “Civic-Culture:
Jurnal Ilmu Pendidikan PKn dan Sosial Budaya” Hal. 69-81
Fakih, Mansour. 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Handoyo, E., T. M. P. Astuti, R. Iswari, M. Y. Alimi, M. S. Mustofa. 2015. Studi


Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Indriyany, I.A. 2017. Keberagaman beragama sebagai tantangan mewujudkan
masyarakat multikultural. Jurnal Polinter Prodi Ilmu Politik FISIP UTA’45
Jakarta Vol. 2 No. 2
Lestari, Gina. 2015. Bhinneka Tunggal Ika: Kasanah Multikultural Indonesia di
tengah Kehidupan Sara. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,
Th. 28, Nomor 1.
Rahayu, Mustaghfiroh. 2017. Keragaman di Indonesia dan Politik Pengakuan
(Suatu Tinjauan Kritis). Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2.
Rahman, A. dan B. Madiong. 2017. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan
Tinggi. Makassar: Celebes Media Perkasa
Ridwan. 2015. Problematika Keragaman Kebudayaan dan Alternatif Pemecahan.
Jurnal Madaniyah 2 Ed. IX: 254-270
Ropii, Imam. 2017. Penghormatan Pluralitas Hukum Masyarakat Dalam Bingkai
Hukum Nasional Sebagai Sarana Meneguhkan Integrasi Bangsa. Jurnal
Prasada, Vol. 4, No. 1
Shofa, Abd M. A. 2016. Memaknai Kembali Multikulturalissme Indonesia Dalam
Bingkai Pancasila. JPK: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 1,
No. 1
Suryawandan, N. W., dan E. Danial. 2016. Implementasi Semangat Persatuan
Pada Masyarakat Multikultural Melalui Agenda Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) Kabupaten Malang. HUMANIKA Vol. 23 No.1
Sztompka, Piotr. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta : Prenada Media
Group.

36
INSTRUMEN HUKUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

37

Anda mungkin juga menyukai