Anda di halaman 1dari 20

KULIAH 2

Persamaan Schrödinger

Persamaan Schrödinger adalah persamaan yang paling fundamental dalam mekanika


kuantum. Persamaan ini dapat menjelaskan perilaku partikel-partikel yang memiliki
massa, misalnya elektron, yang bergerak cukup lambat dibandingkan dengan cahaya.
Persamaan Schrödinger telah mencakup aspek-aspek unik mekanika kuantum seperti
keberadaan tingkat energi eigen serta dualitas partikel dan gelombang. Persamaan
Schrödinger merupakan suatu persamaan gelombang, tetapi dapat digunakan untuk
menjelaskan perilaku partikel. Pada bagian ini kita akan memperkenalkan bentuk paling
sederhana dari persamaan Schrödinger, yakni persamaan Schrödinger tak bergantung
waktu. Versi bergantung waktu akan diberikan belakangan.

Dari de Broglie ke Schrödinger

Kebanyakan fisikawan meyakini bahwa persamaan Schrödinger tidak dapat diturunkan


dari persamaan lainnya karena menjadi suatu persamaan pokok ataupun induk dari
mekanika kuantum. Meski demikian, kita bisa memperoleh persamaan ini berdasarkan
hipotesis de Broglie terkait dualitas partikel dan gelombang.
Hipotesis de Broglie menyebutkan bahwa elektron memiliki panjang gelombang, λ,
yang didefinisikan sebagai berikut:
h
λ= , (2.1)
p
dengan p sebagai momentum elektron dan h adalah konstanta Planck:

h ≈ 6, 626 × 10−34 J s ≈ 4, 136 × 10−15 eV s.

Sebagai contoh, elektron dapat berperilaku seperti suatu gelombang datar (plane wave)
dengan “fungsi gelombang” ψ ∝ exp(2πiz/λ), yang berarti bahwa elektron tersebut
merambat pada arah z. Bentuk kompleks dari fungsi gelombang sengaja digunakan
karena memudahkan operasi matematika dalam mekanika kuantum. Selain itu, kelak

1
2 Kuliah 2. Persamaan Schrödinger

kita akan memahami bahwa keterlibatan bilangan kompleks dalam fungsi gelombang
merupakan karakteristik alami mekanika kuantum.
Sesuatu yang berperilaku seperti gelombang memerlukan persamaan gelombang
yang bersesuaian dengan gelombang tersebut. Dari beberapa jenis ataupun bentuk
persamaan gelombang, elektron dengan fungsi gelombang semacam ψ ∝ exp(2πiz/λ)
dapat memenuhi persamaan Helmholtz. Di antara alasannya adalah karena amplitudo
fungsi gelombang elektron ψ berupa skalar (bukan vektor) dan asumsi bahwa elektron
hanya memiliki satu panjang gelombang seperti gelombang monokromatis, yang dapat
diakomodasi dalam persamaan Helmholtz.
Persamaan Helmholtz pada satu dimensi dapat dituliskan sebagai:
d2 ψ 2π
= −k 2 ψ, k= , (2.2)
dz λ
dengan k merupakan bilangan gelombang (wave number). Persamaan ini memiliki
solusi-solusi yang mengandung suku-suku semacam sin(±kz), cos(±kz), exp(±ikz). Pada
tiga dimensi, persamaan Helmholtz untuk fungsi gelombang ψ(r) adalah:
∂2ψ ∂2ψ ∂2ψ
∇2 ψ ≡ + + = −k 2 ψ, (2.3)
∂x2 ∂y 2 ∂z 2
dengan r = (x, y, z) koordinat Cartesius. Solusi persamaan tiga dimensi ini memiliki
suku-suku semacam sin(±kr), cos(±kr), exp(±ikr), dengan k adalah vektor gelombang
yang besarnya k = |k| = 2π/λ seperti bilangan gelombang yang sudah didefinisikan.
Kita ingin mengubah persamaan Helmholtz menjadi suatu persamaan yang memiliki
suku massa, momentum, dan energi, supaya gelombang dapat “dikaitkan” dengan suatu
partikel bermassa. Dari hipotesis de Broglie λ = h/p dan definisi bilangan gelombang
k = 2π/λ, kita bisa tuliskan:
p p
k = 2π = . (2.4)
h ~
Konstanta ~ (dibaca “h bar”) adalah bentuk reduksi dari konstanta Planck h, yakni:
h
~= ≈ 1, 055 × 10−34 J s ≈ 6, 582 × 10−16 eV s.

Substitusikan k = p/~ ke persamaan Helmholtz sehingga:
p2
∇2 ψ = − ψ, (2.5)
~2
atau

−~2 ∇2 ψ = p2 ψ. (2.6)

Untuk elektron bermassa m0 , kita dapat bagi kedua ruas persamaan di atas dengan m0 :
~2 2 p2
− ∇ ψ= ψ = T ψ, (2.7)
2m0 2m0
3

dengan T adalah energi kinetik elektron yang rumusnya kita ketahui dari mekanika
klasik:

p2
T = .
2m0

Dari mekanik klasik, secara umum kita juga dapat menuliskan energi total E sebagai
energi kinetik T ditambah dengan energi potensial V (r):

E = T + V (r). (2.8)

sehingga energi kinetik yang dinyatakan dalam energi total dan energi potensial adalah:

T = E − V (r).

Substitusikan hubungan ini ke persamaan (2.7) untuk mendapatkan:

~2 2
− ∇ ψ = [E − V (r)] ψ, (2.9)
2m0

yang dapat disusun menjadi

~2 2
 
− ∇ + V (r) ψ = Eψ. (2.10)
2m0

Persamaan ini adalah persamaan Schrödinger untuk elektron bermassa m0 . Selanjutnya,


kita dapat membuat postulat bahwa persamaan ini berlaku untuk partikel apapun yang
memiliki massa m:

~2 2
 
− ∇ + V (r) ψ = Eψ (2.11)
2m

Persamaan (2.11) secara formal dikenal sebagai persamaan Schrödinger tak bergantung
waktu (time-independent Schrödinger equation).
Perhatikan bahwa kita telah mengubah persamaan Helmholtz menjadi persamaan
Schrödinger. Namun, perlu diingat, kita tidak benar-benar “menurunkan” persamaan
Schrödinger. Persamaan ini awalnya merupakan postulat bahwa partikel bisa dijelaskan
sebagai gelombang sehingga dualitas partikel dan gelombang berdasarkan hipotesis
de Broglie (yang terbukti melalui eksperimen difraksi elektron) perlu dimasukkan ke
dalam suatu persamaan gelombang. Pada akhirnya, persamaan Schrödinger dianggap
valid karena sejauh ini dibuktikan oleh banyak eksperimen dapat menjelaskan perilaku
partikel-partikel pada skala mikroskopis dengan sangat akurat. Status persamaan ini
bisa dikatakan setara dengan hukum Newton dalam mekanika klasik yang juga tidak
bisa “diturunkan” karena menjadi landasan utama dari suatu fenomena alam.
4 Kuliah 2. Persamaan Schrödinger

Contoh Soal: Solusi Persamaan Schrödinger

Dari fungsi-fungsi berikut ini: (a) ψ(x) = eikx , (b) ψ(x) = sin(kx), dan
(c) ψ(x) = e−x , manakah yang dapat menjadi solusi persamaan Schrödinger tak
bergantung waktu untuk kasus partikel bebas? [Catatan: partikel bebas adalah
partikel yang tidak dipengaruhi potensial apapun, yakni V (r) = 0]

Jawaban:
Sebelum menguji setiap fungsi, untuk V (r) = 0, kita bisa tuliskan persamaan
Schrödinger tak bergantung waktu:

~2 2
− ∇ ψ = Eψ.
2m
Variabel E dapat dikaitkan dengan bilangan gelombang k melalui momentum
p = ~k:

p2 ~2 k 2
E= = ,
2m 2m
sehingga persamaan Schrödinger untuk kasus ini adalah

∇2 ψ = −k 2 ψ

Perhatikan bahwa fungsi ψ(x) dalam soal adalah fungsi berdimensi satu. Dengan
demikian, operasi ∇ pun harus dilakukan dalam satu dimensi:

d2 ψ
∇2 ψ(x) = = −k 2 ψ(x).
dx2
Sekarang kita uji satu per satu apakah ψ(x) dalam soal dapat memenuhi
hubungan di atas.
2 2
(a) ψ(x) = eikx → ddxψ2 = dxd
2 [e
ikx d
] = (ik) dx [eikx ] = (ik)2 eikx = −k 2 eikx =
−k 2 ψ(x). Fungsi (a) memenuhi syarat sebagai solusi.
2 2
(b) ψ(x) = sin(kx) → ddxψ2 = dx
d d 2
2 [sin(kx)] = k dx [cos(kx)] = −k sin(kx) =
2
−k ψ(x). Fungsi (b) memenuhi syarat sebagai solusi.
2 2
(c) ψ(x) = e−x → ddxψ2 = dx d
2 (e
−x d
) = − dx (e−x ) = e−x = ψ(x). Fungsi (c)
tidak memenuhi syarat sebagai solusi karena pasti menghasilkan k 2 =
−1. Nilai k 2 tidak boleh negatif karena energi kinetik dalam ruang bebas
tidak bisa bernilai negatif. Dengan demikian, fungsi (c) bukanlah solusi
fisis.
5

Sifat linear persamaan Schrödinger

Salah satu aspek matematis terpenting dari persamaan Schrödinger adalah sifat linear
persamaan tersebut. Perhatikan bahwa jika kita mengalikan kedua ruas persamaan
Schrödinger dengan suatu konstanta a, persamaan ini tetap akan berlaku. Kita bisa lihat
pada persamaan Schrödinger, fungsi gelombang ψ hanya muncul dalam orde pertama,
tidak ada suku-suku ψ berorde lebih tinggi semacam ψ 2 atau ψ 3 . Sebagai akibatnya,
jika ψ adalah solusi persamaan Schrödinger, demikian pula aψ dapat menjadi solusi
dari persamaan tersebut.
Lebih jauh lagi, sifat linear persaman Schrödinger bermakna bahwa jika ada beberapa
fungsi gelombang yang menjadi solusi persamaan Schrödinger, superposisi linear dari
fungsi-fungsi itu pun merupakan solusi persamaan Schrödinger. Sebagai contoh, jika
dua buah fungsi yang berbeda, u(x) dan v(x), masing-masing adalah solusi persamaan
Schrödinger, kita bisa katakan ψ(x) = au(x) + bv(x) turut menjadi solusi persamaan
Schrödinger (dengan a dan b adalah suatu konstanta bilangan riil atau kompleks).
Secara sederhana, kita dapat membuktikan superposisi linear yang menjadi solusi
dari persamaan Schrödinger dengan pertama-tama menuliskan persamaan Schrödinger
pada satu dimensi,
 2 2 
−~ d
+ V (x) ψ = Eψ. (2.12)
2m dx2

Selanjutnya, misalkan u(x) dan v(x) sebagai solusi persamaan Schrödinger sehingga
persamaan untuk keduanya masing-masing adalah

−~2 d2 u
+ V (x)u(x) = Eu(x),
2m dx2
dan
−~2 d2 v
+ V (x)v(x) = Ev(x).
2m dx2
Kalikan persamaan u(x) dengan a, sedangkan persamaan v(x) dengan b:

−~2 d2
[au(x)] + V (x)au(x) = E[au(x)],
2m dx2
−~2 d2
[bv(x)] + V (x)bv(x) = E[bv(x)].
2m dx2
Jumlahkan dua persamaan terakhir ini, hasilnya adalah:

−~2 d2
[au(x) + bv(x)] + V (x)[au(x) + bv(x)] = E[au(x) + bv(x)].
2m dx2
Jika dimisalkan ψ(x) = au(x) + bv(x), kita akan kembali mendapatkan persamaan
Schrödinger seperti pada bentuk (2.12). Berdasarkan argumen ini, terbukti bahwa
superposisi linear au(x) + bv(x) merupakan solusi persamaan Schrödinger.
6 Kuliah 2. Persamaan Schrödinger

Postulat Born dan normalisasi fungsi gelombang

Setelah memahami sekilas bentuk persamaan Schrödinger dan contoh fungsi gelombang
ψ(r) yang dapat memenuhinya, masalah kita sekarang adalah seputar tafsiran dan
makna dari ψ(r) itu sendiri. Jika kita tinjau gelombang klasik seperti gelombang air
dan gelombang suara, fungsi gelombang pada kedua contoh ini memiliki makna yang
bisa langsung dipahami sebagai amplitudo dari besaran riil yang bisa kita ukur. Untuk
gelombang air, contoh besaran yang bisa diukur diukur ketinggian permukaan air. Untuk
gelombang suara, contoh besaran yang diukur adalah tekanan udara. Lantas, bagaimana
dengan fungsi gelombang sebagai solusi persamaan Schrödinger?
Tafsiran gelombang mekanika kuantum tampaknya tidak bisa langsung dikaitkan
dengan besaran tertentu. Bahkan, sampai sekarang para fisikawan masih berdebat
apakah kita bisa benar-benar mengukur fungsi gelombang itu sendiri. Meski demikian,
pada tahun 1926, Max Born mengusulkan sebuah tafsiran untuk fungsi gelombang, yang
dipegang mayoritas fisikawan hingga saat ini dan masih selalu berhasil digunakan untuk
menjelaskan berbagai fenomena kuantum. Born menyatakan bahwa kuadrat modulus
fungsi gelombang pada titik tertentu haruslah sebanding dengan probabilitas (peluang)
menemukan suatu partikel di sekitar titik tersebut. Dengan demikian, |ψ(r)|2 dapat
dipandang sebagai kerapatan probabilitas (perhatian: bukan probabilitas itu sendiri),
sedangkan ψ(r) kerap disebut sebagai amplitudo probabilitas atau amplitudo mekanika
kuantum.
Postulat Born

Probabilitas P (r) untuk menemukan sebuah elektron di dekat titik r berbanding


lurus dengan kuadrat modulus dari amplitudo gelombang ψ(r):

P (r) ∝ |ψ(r)|2 ,

sehingga

|ψ(r)|2 ≡ kerapatan probabilitas,

dan

ψ(r) ≡ amplitudo probabilitas.

Postulat Born murni merupakan tafsiran probabilistik terhadap mekanika kuantum


sehingga menyebabkan sebagian fisikawan agak “terganggu” dengan ide tersebut. Pada
masanya, Albert Einstein adalah tokoh paling terkenal yang tak sepakat dengan deskripsi
dunia probabilistik, yang tertuang dalam pernyataan fenomenal beliau, “Tuhan tidak
bermain dadu dengan alam semesta (God does not play dice with the universe).” Einstein
tampaknya keberatan bahwa, meski ujung-ujungnya tafsiran probabilitas ini bekerja
7

dengan baik, bisa saja ada suatu teori yang bersifat lebih “pasti” (atau deterministik)
dan sebenarnya yang kita amati dalam mekanika kuantum hanyalah keluaran statistik
dari teori deterministik itu. Sebagai contoh klasik, nilai temperatur suatu gas bisa
dijelaskan sebagai keluaran statistik dari teori kinetik gas yang bersifat “deterministik”
karena berdasarkan pada posisi “pasti” dan momentum “pasti” dari atom-atom atau
molekul-molekul penyusun gas tersebut.
Terlepas dari perbedaan penafsiran mekanika kuantum dari beberapa fisikawan, kita
akan selalu menggunakan postulat Born untuk menghitung besaran-besaran riil yang
dapat terukur. Ingat bahwa fungsi gelombang pada dasarnya adalah bilangan kompleks.
Dengan cara Born mengambil kuadrat modulus fungsi gelombang, ia berhasil menjamin
bilangan tersebut merupakan bilangan riil yang tak mungkin negatif. Tentunya kita
tidak ingin berurusan dengan kerapatan probabilitas yang negatif, bukan? Deskripsi
ini juga konsisten dengan beberapa penggunaan kuadrat amplitudo gelombang dalam
mekanika klasik. Misalnya, kuadrat amplitudo gelombang dalam mekanika klasik terkait
erat dengan intensitas gelombang. Akan tetapi, kita mesti selalu ingat bahwa analogi
dengan fenomena klasik tersebut tidak sepenuhnya akurat karena (sekali lagi) amplitudo
fungsi gelombang pada mekanika kuantum tidak langsung terkait dengan besaran riil
tertentu.
Perhitungan amplitudo probabilitas dan kerapatan probabilitas merupakan salah
satu konsep yang paling krusial dalam mekanika kuantum. Kita akan selalu menghitung
amplitudo tersebut (fungsi gelombang) dengan menjumlahkan seluruh kontribusi yang
terlibat (misalnya seluruh seluruh lintasan hamburan gelombang pada suatu eksperimen
difraksi), lalu ambil kuadrat modulus dari amplitudo tersebut untuk memperoleh suatu
besaran yang dapat terukur. Efek dari penjumlahan amplitudo semacam itu, yakni
interferensi, tampak jelas pada fenomena difraksi elektron (eksperimen yang dilakukan
Davission-Germer pada tahun 1927) sebagai bukti dualitas partikel dan gelombang yang
diusulkan de Broglie beberapa tahun sebelumnya. Nanti kita akan lihat sepintas tentang
difraksi elektron ini melalui contoh difraksi dua celah (eksperimen celah ganda).
Sekarang perhatikan kembali postulat Born. Kita telah mendefinisikan probabilitas
P (r) untuk menemukan sebuah partikel di dekat titik r sebanding dengan kerapatan
probabilitas |ψ(r)|2 . Artinya, untuk suatu volume yang sangat kecil sekitar r (yakni
d3 r = dxdydz), probabilitas ditemukannya partikel pada volume tersebut sebanding
dengan |ψ(r)|2 d3 r. Sedikit masalah yang kita hadapi di sini adalah bahwa probabilitas
total di seluruh ruang (volume) tersebut haruslah bernilai 1:
Z
P (r)d3 r = 1. (2.13)

Padahal, ketika kita memecahkan persamaan Schrödinger, sangat besar kemungkinan


solusi ψ(r) tidak memberikan hasil integral ruang sebesar satu, yakni |ψ(r)|2 d3 r 6= 1,
R

karena memang integral tersebut bisa bernilai bilangan riil positif apa saja. Lalu, fungsi
gelombang macam apa yang dapat memenuhi persamaan (2.13)? Jawabnya adalah
8 Kuliah 2. Persamaan Schrödinger

fungsi gelombang yang ternormalisasi. Secara umum, kita bisa tuliskan


Z
1
|ψ(r)|2 d2 r = 2 , (2.14)
|a|
dengan a adalah suatu bilangan yang biasanya riil, tetapi boleh juga kompleks. Dari sifat
linear persamaan Schrödinger, kita ketahui bahwa jika ψ adalah sebuah solusi, ψN = aψ
akan turut menjadi solusi dari persamaan Schrödinger. Jadi,
Z
|ψN (r)|2 d3 r = 1 (2.15)

Fungsi gelombang ψN (r) inilah yang disebut sebagai fungsi gelombang ternormalisasi.

Contoh Soal: Normalisasi Fungsi Gelombang

Hitunglah konstanta riil A dari fungsi gelombang



A 2
ψ(x) = 1/4 e−2x
π
sehingga ψ(x) menjadi fungsi gelombang yang ternormalisasi. Asumsikan batas
R∞ 2 √
integral dari −∞ ke ∞. Petunjuk tambahan: −∞ e−x dx = π

Jawaban:
Untuk menormalisasi fungsi gelombang, integral dari kuadrat modulus fungsi
tersebut harus bernilai satu,
Z ∞ √ !2 Z ∞
A −2x2 A 2

1/4
e dx = √ e−4x dx = 1.
−∞ π π −∞

Untuk menyelesaikan permasalahan integral ini, kita bisa melakukan substitusi


u2 = 4x2 → u = 2x sehingga du = 2dx → dx = du/2. Setelah substitusi pada
integral, kita peroleh
Z ∞
A 2
√ e−u du = 1.
2 π −∞
R∞ 2 √
Sekarang masukkan nilai integral −∞ e−u du = π:
A √ A
√ π= =1
2 π 2
∴ A = 2.

Dengan demikian, nilai A = 2 akan menormalisasi ψ(x). Fungsi gelombang


ternormalisasi dapat dituliskan sebagai:

2 2
ψN (x) = 1/4 e−2x .
π
9

Eksperimen celah ganda

Kita telah menyebutkan elektron dapat berkelakuan seperti gelombang dan memenuhi
persamaan Schrödinger, disertai dengan asumsi bahwa kerapatan probabilitas |ψ(r)|2
sebanding dengan peluang menemukan elektron pada posisi r. Sekarang kita akan
membahas salah satu eksperimen yang dapat menunjukkan sifat gelombang elektron,
yakni difraksi elektron, khususnya dengan menggunakan dua celah yang menghasilkan
interferensi gelombang. Eksperimen ini biasa disebut sebagai eksperimen celah ganda
(double-slit experiment).
Dalam ranah fisika klasik, eksperimen celah ganda telah dilakukan Thomas Young
pada tahun 1801, jauh sebelum mekanika kuantum dirumuskan, untuk membuktikan
teori gelombang cahaya. Pada tahun 1927, Davisson dan Germer beranggapan bahwa
jika elektron memiliki sifat gelombang, seharusnya elektron memiliki kelakuan yang
sama seperti gelombang cahaya dalam eksperimen celah ganda, yakni menghasilkan
pola interferensi berupa sinyal gelap dan terang. Sesuai dugaan mereka, elektron yang
melalui dua celah pada perangkat eksperimen celah ganda terbukti menghasilkan pola
interferensi.
Gambar 2.1 menunjukkan skema eksperimen celah ganda jika dilihat dari atas. Mari
kita perhatikan gambar 2.1(a). Sejumlah elektron diasumsikan sebagai gelombang
bidang dengan vektor gelombang sebesar k memasuki dua celah yang terbuka. Celah 1
dan 2 terpisah sejauh s, sementara layar fosforesens yang dapat mendeteksi keberadaan
elektron diletakkan pada jarak z0 dari kedua celah tersebut. Layar fosforesens akan
berpendar dengan intensitas tertentu ketika elektron yang melewati celah menumbuk
permukaan layar. Kedua celah dianggap sangat sempit dibandingkan dengan panjang
gelombang λ = 2π/k dan jarak s.

(a) (b) (c)

?
Layar

Intensitas

Gambar 2.1 Skema eksperimen celah ganda, tampak atas. Pada subgambar (a), berkas-berkas
elektron yang diasumsikan sebagai gelombang bidang akan memasuki celah 1 dan celah 2.
Kedua celah ini terpisah sejauh s. Layar fosforesens diletakkan pada jarak z0 dari kedua celah.
Subgambar (b) menunjukkan pola yang terbentuk setelah berkas elektron melewati celah 1 dan
2. Jarak antara dua pola terang (atau pola gelap) terdekat direpresentasikan oleh d. Subgambar
(c) adalah diagram bantu untuk perhitungan fungsi gelombang pada suatu titik yang berjarak x
dari tengah layar.
10 Kuliah 2. Persamaan Schrödinger

Selanjutnya, setiap celah menjadi sumber gelombang sendiri-sendiri dengan bentuk


muka gelombang yang tersebar melingkar, seperti pada gambar 2.1(b). Gelombang
ini secara matematis (dan dalam aproksimasi yang paling sederhana) dapat dituliskan
dalam bentuk eikr , dengan r adalah jarak terpendek untuk titik tertentu diukur dari
salah satu celah. Perpotongan dari garis-garis gelombang akan terlihat sebagai pola
terang pada layar, yakni intensitasnya maksimum. Pola terang (serta pola gelap) muncul
secara periodik dengan jarak dua garis pola terang (atau pola gelap) terdekat dinyatakan
dalam notasi d.
Sekarang kita akan hitung fungsi gelombang elektron yang menerpa layar pada
posisi x yang diukur dari tengah layar. Diagram bantu perhitungan diberikan pada
gambar 2.1(c). Karena setiap celah dianggap sebagai sumber gelombang, pada kasus
ini kita memiliki dua sumber gelombang yang berkontribusi terhadap fungsi gelombang
total. Celah 1 terletak pada posisi s/2, sedangkan celah 2 terletak pada posisi −s/2.
Sesuai dengan aproksimasi yang telah disebutkan, efek gelombang yang bersumber di
celah 1 terhadap titik x berbanding lurus dengan eiks1 , dengan s1 adalah jarak titik x
dari celah 1. Demikian pula, efek gelombang dari celah 2 pada titik x sebanding dengan
eiks2 . Kita bisa hitung s1 and s2 dengan asumsi bahwa sudut-sudut yang dibentuk
s1 dan s2 terhadap garis horizontal z0 cukup kecil (x  z0 ) sehingga uraian Taylor

1 +  ≈ 1 + /2 + . . . (dengan  suatu angka yang kecil) dapat berlaku. Dari sini, kita
bisa tuliskan
r s
2
 s 2 (x − s/2)2
s1 = z0 + x − = z0 1 +
2 z02
(x − s/2)2
' z0 +
2z0
2
x s2 sx
= z0 + + − ,
2z0 8z0 2z0
dan
r s
 s 2 (x + s/2)2
s2 = z02 + x + = z0 1+
2 z02
(x + s/2)2
' z0 +
2z0
x2 s2 sx
= z0 + + + .
2z0 8z0 2z0

Fungsi gelombang total, ψs (x), dapat dinyatakan sebagai penjumlahan kontribusi


dari setiap sumber gelombang:

ψs (x) ∝ eiks1 + eiks2 . (2.16)

Substitusikan ekspresi s1 dan s2 pada persamaan (2.16), kita peroleh


h i
ψs (x) ∝ eiα eik(sx/2z0 ) + e−ik(sx/2z0 ) , (2.17)
11

 
x2 s2
dengan α = k z0 + 2z0 + 8z0 adalah bilangan riil.

Ingat dari hubungan Euler pada pelajaran kalkulus, eiθ = cos θ + i sin θ, sehingga
eiθ + e−iθ = 2 cos θ. Dengan menggunakan hubungan tersebut, disertai k = 2π/λ, kita
bisa sederhanakan ψs (x) sebagai berikut:
   
iα sx iα πsx
ψs (x) ∝ 2e cos k = 2e cos .
2z0 λz0
Jadi, intensitas berkas gelombang yang muncul pada layar adalah
    
2 2 πsx 1 2πsx
|ψs (x)| ∝ cos = 1 + cos , (2.18)
λz0 2 λz0
atau lebih sederhananya
 

|ψs (x)|2 ∝ cos x , (2.19)
d
yang diperoleh dengan mendefinisikan:

λz0
d= (2.20)
s

Untuk memahami makna fisis dari d, perhatikan bahwa fungsi cosinus bersifat periodik.
Berdasarkan persamaan (2.19), nilai maksimum dan minimum masing-masing berulang
dengan periode d. Nilai maksimum |ψs (x)|2 terkait dengan pola terang, sedangkan nilai
minimumnya terkait dengan pola gelap. Implikasinya, jarak antara dua pola terang
(atau pola gelap) terdekat pada layar haruslah sebesar d, seperti yang sudah diasumsikan
pada gambar 2.1(b) dan memang teramati demikian pada eksperimen celah ganda.
Kita bisa memvariasikan eksperimen celah ganda dengan menutup salah satu celah
(misalkan celah 1) sehingga elektron hanya dapat melalui celah yang lain (celah 2).
Pada kondisi itu, kita akan melihat intensitas tumbukan elektron yang melebar sepanjang
layar. Dengan kata lain, elektron terdifraksi oleh celah, suatu hal yang bertolak belakang
dengan anggapan elektron sebagai partikel. Seharusnya satu titik yang sangat cerah
dapat muncul pada layar ketika elektron berkelakuan sebagai partikel karena elektron
mestinya melintasi celah dalam garis lurus.
Sekarang jika celah 1 yang tadinya ditutup itu mendadak kita buka, beberapa bagian
layar yang tadinya memiliki intensitas akan tiba-tiba berubah menjadi gelap sehingga
muncul pola interferensi gelap dan terang seperti yang sudah dijelaskan. Tentunya
aneh, bagaimana mungkin celah bertambah (dari satu celah menjadi dua celah), tetapi
intensitas tumbukan elektron pada layar fosforesens malah berkurang di beberapa bagian
layar? Kita tidak bisa memahami fenomena ini dengan menganggap elektron sebagai
partikel. Mau tidak mau, kita harus menerima kenyataan bahwa elektron bisa memiliki
perilaku seperti gelombang.
12 Kuliah 2. Persamaan Schrödinger

Gambar 2.2 Akumulasi titik-titik lokasi elektron yang tiba pada layar berpendar, dari kondisi
ketika masih sedikit elektron yang menumbuk layar (gambar paling kiri) hingga sangat banyak
elektron (gambar paling kanan). Sumber: Wikipedia.

Variasi lain dari eksperimen celah ganda adalah dengan mengontrol jumlah elektron
yang masuk ke dalam celah. Salah satu caranya dengan “meredupkan” sumber elektron.
Misalkan sumber elektron ini dapat dibuat sangat redup sehingga rata-rata hanya satu
titik tertentu pada layar fosforesens yang berpendar setiap sekian detik. Perlakuan
ini ditujukan untuk menjamin elektron bergerak “sendiri-sendiri” dari sumber ke layar,
tidak bersama-sama elektron yang lain. Jika elektron adalah partikel, mestinya elektron
akan selalu menumbuk lokasi yang sama pada layar, berbeda dengan gelombang yang
menyebar mengisi ruang, seredup apapun intensitasnya.
Apa yang terjadi setelah ada cukup banyak elektron yang menumbuk layar? Pola apa
yang akan terbentuk? Di sinilah keajaiban mekanika kuantum dapat terlihat. Perhatikan
gambar 2.2. Dari data eksperimen, diperoleh akumulasi titik-titik yang pada akhirnya
menunjukkan pola interferensi (gelap dan terang) seperti dalam eksperimen celah ganda
dengan gelombang. Artinya, elektron memang memiliki sifat gelombang meskipun
sekumpulan elektron tidak secara kolektif membentuk gelombang yang persis seperti
gelombang klasik.
Contoh Soal: Difraksi Elektron dan Pola Interferensinya

Misalkan kita melakukan eksperimen celah ganda dengan menggunakan


elektron sampai teramati pola interferensi pada layar.

(a) Jika energi elektron yang datang ke celah ganda diperbesar, sedangkan
variabel lainnya dijaga konstan, apa yang akan terjadi dengan periode pola
interferensi pada layar?

(b) Elektron pada eksperimen diatur agar memiliki energi E = 1 eV yang


masuk melalui celah ganda dengan jarak antara kedua celah sebesar
0, 6 mm. Jika jarak antara layar dan celah ganda adalah 1 m, berapakah
jarak antara dua pola terang terdekat yang teramati pada layar? Nyatakan
jawaban dalam satuan µm.
13

Jawaban:

(a) Periode pola interferensi, d, berbanding lurus dengan panjang gelombang


de Broglie dari elektron, λ. Sementara itu, λ = h/p, dengan momentum
elektron p terkait energi melalui formula energi kinetik, E = p2 /2m, atau
√ √
p = 2mE. Dari sini dapat disimpulkan bahwa d ∝ 1/ E. Jika energi
elektron diperbesar, kita akan dapatkan periode pola yang mengecil, tetapi
tidak linear.

(b) Besaran yang ditanyakan di sini adalah nilai periode pola interferensi. Kita
hitung dulu panjang gelombang elektron,

h h
λ= =√
p 2mE
6, 626 × 10−34 J s
=p
2(9, 11 × 10−31 kg)(1, 602 × 10−19 J)
≈ 1, 22 nm.

Dengan demikian, nilai periode pola interferensi adalah

λz0 1, 22 × 10−9 m × 1 m
d= = ≈ 2, 033 µm.
s 0, 6 × 10−6 m

Partikel dalam kotak

Setelah mengetahui beberapa ciri khas persamaan Schrödinger serta menerima fakta
adanya dualitas sifat partikel-gelombang untuk objek-objek kuantum semacam elektron,
sekarang saatnya kita gunakan persamaan Schrödinger untuk memecahkan berbagai
permasalahan dalam mekanika kuantum. Kita mulai dari sistem yang sangat sederhana,
yakni sebuah partikel yang terperangkap dalam suatu kotak. Sistem ini tak hanya
memunculkan keadaan-keadaan “diskret” (discrete states) yang khas dalam mekanika
kuantum berupa tingkat-tingkat energi, tetapi juga memberikan model matematis yang
sangat berguna untuk aplikasi beberapa perangkat elektronik.
Mari kita tinjau sebuah partikel dengan massa m yang dipengaruhi oleh potensial
satu dimensi, V (x), yang bervariasi hanya pada arah sumbu x. Kita dapat menuliskan
persamaan Schrödinger satu dimensi:

~2 d2 ψ(x)
− + V (x)ψ(x) = Eψ(x), (2.21)
2m dx2
dengan E sebagai energi partikel dan ψ(x) adalah fungsi gelombang. Untuk model
partikel dalam kotak, potensial V (x) dapat diasumsikan sebagai suatu “sumur potensial”
dengan kedalaman tak hingga dan ketebalan L seperti ditunjukkan pada gambar 2.3(a).
14 Kuliah 2. Persamaan Schrödinger

(a) (b)

Kotak
(Sumur Potensial) E4 n=4

Partikel
E3 n=3

E2 n=2
E1 n=1

0 L 0 L

Gambar 2.3 Sketsa dari (a) potensial V (x) untuk partikel dalam kotak dan (b) tingkat-tingkat
energi En dan fungsi gelombang ψn yang menjadi keadaan partikel dalam kotak.

Partikel yang terperangkap di dalam sumur potensial ini merasakan potensial V (x) = 0
untuk 0 < x < L serta merasakan V (x) = ∞ untuk x ≤ 0 dan x ≥ L. Sebagai
akibatnya, kita tidak mungkin berpeluang menemukan partikel di luar sumur. Partikel
ini hanya bisa berada di dalam sumur dengan V (x) = 0 sambil memenuhi persamaan
Schrödinger:
~2 d2 ψ(x)
− = Eψ(x), (2.22)
2m dx2
yang disertai syarat batas pada kedua dinding sumur:

ψ(0) = 0, ψ(L) = 0. (2.23)

Fungsi gelombang ψ = 0 berlaku juga pada x < 0 dan x > L. Oleh karena itu, kita
akan fokus pada keadaan partikel di interval 0 < x < L yang memungkinkan kita untuk
menemukan partikel di dalamnya.
Solusi umum untuk persamaan (2.22) dapat dituliskan dalam kombinasi fungsi sinus
dan cosinus:

ψ(x) = A sin(kx) + B cos(kx), (2.24)

dengan A dan B adalah koefisien yang nilainya ditentukan dari syarat batas. Selain itu,
supaya persamaan (2.24) bisa menjadi solusi untuk persamaan (2.22), kita memerlukan
p
k = 2mE/~2 yang bisa dibuktikan dengan substitusi persamaan (2.24) ke (2.22).
Berdasarkan syarat batas pada persamaan (2.23), ψ(0) = A sin(0) + B cos(0) = 0
sehingga kita dapatkan B = 0 karena sin(0) = 0 dan cos(0) = 1. Dari perhitungan
ini, hanya fungsi sinus yang tersisa sebagai solusi ψ(x), yakni

ψ(x) = A sin(kx). (2.25)

Perhatikan kita masih memiliki syarat batas ψ(L) = 0 atau ψ(L) = A sin(kL) = 0.
Kondisi ini membuat kL menjadi kelipatan bulat dari π, yakni kL = nπ atau
r
2mE nπ
k= = . (2.26)
~2 L
15

Jadi, fungsi gelombang dan energi partikel dalam kotak akan bertingkat mengikuti
keadaan (state) n. Kita bisa tuliskan fungsi gelombang ψ(x) menjadi:
 nπx 
ψn (x) = An sin , (2.27)
L
sedangkan tingkat energi partikel dalam kotak dapat dituliskan dari relasi E = ~2 k 2 /2m,
yakni

~2  nπ 2
En = ; n = 1, 2, . . . (2.28)
2m L

Gambar 2.3(b) menunjukkan ilustrasi tingkat-tingkat energi En untuk n = 1 sampai


n = 4 beserta fungsi gelombang ψn yang bersesuaian.
Nilai n dapat dibatasi hanya bilangan bulat positif n = 1, 2, . . . karena sifat fungsi
sinus sin(−a) = − sin(a) untuk sembarang bilangan riil a. Artinya, fungsi gelombang
dengan n negatif pada dasarnya memiliki bentuk yang sama seperti fungsi gelombang
dengan n positif terlepas dari pengali −1 yang terkait dengan faktor fase. Tingkat-tingkat
energi En dengan n negatif pun memiliki nilai yang sama seperti n positif karena
En berbanding lurus dengan n2 . Sementara itu, n = 0 akan menghasilkan fungsi
gelombang yang trivial, ψ0 = 0, yang tidak terkait dengan keadaan fisis apapun.
Kita juga bisa menormalisasi fungsi gelombang untuk partikel dalam kotak sehingga
konstanta An memiliki nilai tertentu:
Z L  nπx  L
|An |2 sin2 dx = |An |2 = 1
0 L 2
r
2
∴ |An | = .
L
p
Perhatikan bahwa ekspresi normalisasi |An | = 2/L mengisyaratkan An secara umum
merupakan bilangan kompleks. Namun, untuk kemudahan pembahasan, kita cukup
ambil An yang berupa bilangan riil. Dengan demikian, fungsi gelombang ψn yang sudah
dinormalisasi untuk partikel dalam kotak adalah:

r
2  nπx 
ψn (x) = sin ; n = 1, 2, . . . (2.29)
L L

Solusi persamaan Schrödinger seperti yang telah dijabarkan, dengan himpunan spesifik
nilai yang dibolehkan untuk suatu parameter (misalnya energi) dan juga fungsi yang
terkait erat dengan parameter tersebut, dikenal dengan istilah solusi eigen. Jadi, En
bisa disebut sebagai energi eigen, sedangkan ψn adalah fungsi eigen.
Dari solusi permasalahan partikel dalam kotak ini, ada beberapa poin mendasar
yang juga terpenuhi untuk efek pengurungan kuantum (quantum confinement) secara
16 Kuliah 2. Persamaan Schrödinger

umum, yang karakteristiknya cukup berbeda dengan apa yang mungkin kita bayangkan
dalam fisika klasik. Pertama, kita telah melihat bahwa nilai energi partikel membentuk
himpunan diskret atau dengan kata lain terkuantisasi. Kedua, ada energi minimum
untuk keberadaan partikel. Untuk kasus partikel dalam kotak ini, energi terendah terkait
dengan n = 1, yakni E1 = (~2 /2m)(π/L)2 . Energi minimum semacam ini biasanya
disebut dengan “energi titik nol” (zero point energy). Terakhir, peluang menemukan
partikel yang direpresentasikan oleh |ψn |2 tidaklah tersebar merata sepanjang kotak,
tetapi berbeda-beda untuk setiap tingkat energinya. Untuk n 6= 1 pada gambar 2.3 kita
bahkan bisa melihat ada beberapa titik simpul fungsi sinus dengan ψn = 0 yang tidak
mungkin menjadi tempat keberadaan elektron meskipun bukan di dinding kotak.
Contoh Soal: Energi Eigen dan Peluang Menemukan Partikel dalam Kotak

Sebuah elektron berada pada suatu sumur potensial tak hingga pada kedua
sisinya dengan ketebalan 1 nm.

(a) Berapakah selisih tingkat energi pertama (terendah) dan ketiga? Nyatakan
jawaban dalam satuan eV.

(b) Misalkan elekron berada pada tingkat energi terendah dari sumur potensial
tersebut. Hitunglah probabilitas untuk menemukan elektron di antara
posisi 0, 1 dan 0, 2 nm yang diukur dari salah satu sisi sumur?

Jawaban:

(a) Energi eigen atau tingkat-tingkat energi untuk suatu partikel dalam kotak
dapat dihitung dengan rumus
~2  nπ 2
En = .
2m L
Tingkat energi pertama (n = 1) adalah:
~2 π 2 (1, 055 × 10−34 J s)2 × π 2 1 eV
E1 = = ×
2mL2 2 × 9, 11 × 10−31 kg × (10−9 m)2 1, 602 × 10−19 J s
≈ 0, 376 eV.

Tingkat energi ketiga (n = 3) adalah


9~2 π 2
E1 = = 9E1 .
2mL2
Jadi, selisih tingkat energi pertama dan ketiga adalah:

E3 − E1 = 9E1 − E1 = 8E1 = 8 × 0, 376 eV ≈ 3 eV.

(b) Probabilitas atau peluang menemukan elektron berbanding lurus dengan


kuadrat modulus amplitudo fungsi gelombang (kerapatan probabilitas).
17

Fungsi gelombang ternormalisasi untuk partikel dalam kotak adalah


r
2  nπx 
ψn (x) = sin .
L L
Masukkan n = 1 dan L = 1 (dalam nm), kita peroleh ψ1 = 2 sin(πx).
Selanjutnya, kita bisa lakukan integrasi kerapatan probabilitas |ψ1 (x)|2
dengan batas bawah 0, 1 nm dan batas atas 0, 2 nm untuk menghitung
peluang menemukan elektron di antara kedua batas tersebut:
Z 0,2 Z 0,2
P = |ψ1 (x)|2 dx = 2 sin2 (πx)dx
0,1 0,1
Z 0,2
= [1 − cos(2πx)]dx
0,1
Z 0,2
= 0, 1 − cos(2πx)dx
0,1
1
= 0, 1 − [sin(2π × 0, 2) − sin(2π × 0, 1)]

= 0, 042.

Degenerasi dan paritas

Dalam beberapa permasalahan mekanika kuantum, kita bisa menemukan sifat simetris
sistem yang ditinjau. Di sini kita akan mengenal sekilas tentang degenerasi tingkat
energi dan paritas fungsi gelombang.
Konsep degenerasi dalam mekanika kuantum terkait dengan kondisi ketika satu
tingkat energi (nilai eigen) memiliki lebih dari satu fungsi eigen. Banyaknya fungsi eigen
dengan nilai eigen yang sama disebut dengan degenerasi dari keadaan eigen tersebut.
Jika ada (misalkan saja) tiga keadaan yang memiliki nilai eigen yang sama, atau dengan
kata lain memiliki tingkat energi yang sama, maka nilai degenerasi dari keadaan tersebut
adalah tiga dan keadaannya disebut sebagai keadaan terdegenerasi (degenerate state).
Sementara itu, tingkat energi lainnya yang hanya memiliki satu fungsi eigen dikatakan
sebagai tingkat energi yang tidak terdegenerasi (nondegenerate state). Contoh keadaan
terdegenerasi dapat ditemukan pada kasus partikel dalam kotak kubus tiga dimensi.
Untuk kotak tiga dimensi, kita misalkan setiap dinding kotak pada arah sumbu x,
sumbu y, maupun sumbu z memiliki panjang yang sama, L, dan masing-masing dinding
dipengaruhi potensial V (x, y, z) = ∞, sedangkan di dalam kotak berlaku V (x, y, z) = 0.
Sebagai akibat dari simetri, permasalahan ini dapat dipecah menjadi tiga persamaan
Schrödinger satu dimensi yang tidak terkopel, masing-masing untuk arah sumbu x,
sumbu y, dan sumbu z. Dengan demikian, fungsi gelombang yang memenuhi persamaan
18 Kuliah 2. Persamaan Schrödinger

Schrödinger untuk partikel dalam kotak tiga dimensi merupakan perkalian dari tiga
solusi independen permasalahan partikel dalam kotak satu dimensi, yaitu
r  n πx  r 2  n πy  r 2
2 x y
 n πz 
z
ψnx ,ny ,nz (x, y, z) = sin × sin × sin
L L L L L L
r
8  nx πx   ny πy   nz πz 
= sin sin sin .
L3 L L L
Untuk mempermudah penulisan, kita dapat menggunakan notasi (nx , ny , nz ) sebagai
representasi fungsi gelombang ψnx ,ny ,nz .
Energi eigen total yang terkait dengan keadaan (nx , ny , nz ) pada kasus tiga dimensi
ini diperoleh dengan menjumlahkan kontribusi energi eigen satu dimensi dari setiap
sumbu:
~2 π 2 2
En = Enx + Eny + Enz = (n + n2y + n2z )
2mL2 x
Kita bisa hitung beberapa keadaan energi:

n = 1 → (nx , ny , nz ) = (1, 1, 1) → E1 = 3~2 π 2 /2mL2 ,


n = 2 → (nx , ny , nz ) = (2, 1, 1) → E2 = 6~2 π 2 /2mL2 ,
n = 3 → (nx , ny , nz ) = (1, 2, 1) → E3 = 6~2 π 2 /2mL2 ,
n = 4 → (nx , ny , nz ) = (1, 1, 2) → E4 = 6~2 π 2 /2mL2 ,

dan seterusnya. Jika kita perhatikan, keadaan kedua, keadaan ketiga, dan keadaan
keempat memiliki nilai energi yang sama, yakni E2 = E3 = E4 = 6~2 π 2 /2mL2 ,
meskipun fungsi gelombang dari ketiga keadaan itu berbeda-beda. Dengan demikian,
keadaan-keadaan itu adalah keadaan terdegenerasi dengan degenerasi tiga, sedangkan
keadaan pertama (keadaan terendah) tidak terdegenerasi.
Kembali ke persoalan satu dimensi, kita bisa lihat bahwa fungsi gelombang dari
partikel dalam kotak memiliki bentuk simetris tertentu terhadap garis lurus vertikal

n=4

n=3

n=2

n=1

Gambar 2.4 Pada kasus partikel dalam kotak satu dimensi, keadaan n = 1, 3, . . . memiliki paritas
genap, sedangkan n = 2, 4, . . . memiliki paritas ganjil.
19

yang melewati tengah kotak seperti ditunjukkan pada gambar 2.4. Untuk n = 1, 3, . . .
(bilangan ganjil), fungsi gelombang di sisi kanan adalah cerminan fungsi gelombang
di sisi kiri jika kita mengambil garis tengah sebagai referensi. Fungsi semacam ini
adalah fungsi genap, atau bisa juga disebut memiliki “paritas” genap (even parity).
Sementara itu, untuk n = 2, 4, . . . (bilangan genap), fungsi gelombang di sisi kanan
adalah cerminan terbalik dari fungsi gelombang di sisi kiri. Fungsi ini adalah fungsi
ganjil, atau paritas ganjil (odd parity).
Perlu diperhatikan, tidak semua sistem mekanika kuantum memiliki paritas ataupun
degenerasi seperti partikel dalam kotak yang potensialnya sangat simetris. Meskipun
demikian, kita nanti akan belajar lebih jauh bahwa sifat simetris tertentu (semacam
paritas dan degenerasi) dari suatu permasalahan mekanika kuantum akan memudahkan
kita menghitung besaran fisis yang dapat teramati atau yang tidak dapat teramati.
Contoh Soal: Paritas Suatu Fungsi

Dari dua buah fungsi ini, sin(x) dan eix , manakah yang memiliki paritas tertentu
terhadap titik x = 0? Tentukan apakah paritasnya genap atau ganjil!

Jawaban:

Kita bisa menentukan paritas untuk fungsi dalam soal dengan meninjau perilaku
f (−x) terhadap f (x).

• Untuk f (x) = sin(x), kita bisa cek:

f (−x) = sin(−x) = − sin(x) = −f (x).

Jadi, sin(x) memiliki paritas ganjil.

• Untuk f (x) = eix :

f (x) = eix = cos(x) + i sin(x),


f (−x) = e−ix = cos(x) − i sin(x).

Jadi, kita tidak bisa menyatakan paritas tertentu untuk eix .

Latihan

1. Untuk fungsi-fungsi gelombang berikut ini, tentukan fungsi mana saja yang sudah
ternormalisasi!

(a) ψ(x) = eix pada interval [− 12 , 21 ].


(b) ψ(x) = sin(πx) pada interval [0, 1].
1/4 −4x2
(c) ψ(x) = (8/π) e pada interval [−∞, ∞].
20 Kuliah 2. Persamaan Schrödinger

2. Dalam suatu eksperimen celah ganda, berkas-berkas proton (inti atom hidrogen)
ditembakkan pada dua celah yang memiliki jarak antarcelah sebesar 5 nm. Massa
proton sekitar 1836 kali massa elektron. Proton ini dipercepat oleh potensial
sebesar 1 V. Pola interferensi teramati pada layar fosforesens yang berjarak 10 cm
dari celah. Berapa jarak antara dua pola terang (atau pola gelap) terdekat yang
dapat muncul pada layar?

3. Misalkan kita memiliki partikel dalam kotak satu dimensi dengan sumur potensial
tak hingga yang memiliki lebar Lz pada arah z (dengan kata lain, energi potensial
bernilai tak hingga untuk z ≥ 0 dan z ≤ Lz , sedangkan pada z lainnya energi
potensial bernilai nol). Apakah fungsi-fungsi f (z) di bawah ini merupakan solusi
dari persamaan Schrödinger (tak bergantung waktu) untuk kasus partikel dalam
kotak tersebut?

(a) f (z) = sin(7πz/Lz )


(b) f (z) = cos(2πz/Lz )
(c) f (z) = 0, 5 sin(3πz/Lz ) + 0, 2 sin(πz/Lz )
(d) f (z) = e(−0,4i) sin(2πz/Lz )

4. Terhadap titik x = 0, tentukanlah paritas (genap atau ganjil) dari fungsi-fungsi


f (x) berikut ini!

(a) f (x) = (x − a)(x + a)


(b) f (x) = eix + e−ix
(c) f (x) = x(x2 − 1)

Anda mungkin juga menyukai