HUKUM SYIRKAH 2 FIQIH MUAMALAH - Kelompok 8
HUKUM SYIRKAH 2 FIQIH MUAMALAH - Kelompok 8
Disusun oleh :
Eko Aris Suwardi (21241014)
Muhamad Kurniawan (21241024)
Yudi Mario Herwindo ( 21241042)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada awal abad 18, mulai lah banyak pemikiran mengenai sistem ekonomi islam yang
dianggap sebagai salah satu solusi terbaik untuk diterapkan. Segala jenis produk syariah
mulai banyak dipertimbangkan dan dibanding-bandingkan dengan sistem yang konvensional.
Maka dari itu, segala jenis bidang mulai diarahkan sesuai ajaran Islam, tak lain kami
akan membahas salah satu syirkah yang belum banyak terpublikasi, padahal syirkah ini
memiliki peranan penting dalam investasi (saham), yaitu syirkah musahamah. Bagaimana
kita dapat bekerja sama sesuai ajaran Islam dan mengaplikasikan dalam kehidupan.
BAB II
PEMBAHASAN
B. Pembahasan
ِ ان َع ْن بَع
ْض ِه َما ُ ْن بِا اْل َخ ِربِ َحيFِ اَِإْل ْختِالَطُ َأىْ َخ ْلطُ َأ َح ِد ْال َمالَي.
ِ ْث الَ يَ َم ْت َز
Artinya:
”Percampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya, tanpa
dapat dibedakan antara keduanya.”
Menurut terminologi, ulama fiqh beragam pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:
- Menurut Malikiyah
ِ ف لَهُ َما َمعًا اَ ْنفُ ُسهُ َما اَيْ َأ ْن يَْأ َذ َن ُكلُّ َو
د ِم َنFٍ اح َ َّن فِى التFْ ِه َي اِ َذ
ِ ُّصر
ف َ َّق الت
ِ ُّصر ِّ ال لَهُ َما َم َع ِإ ْبقَا ِء َح
ٍ ف فِى َم َ احبِ ِه فِى َأ ْن يَتَص ََّر
ِ ص َ ِال َّش ِر ْي َكي ِْن ل
لِ ُكلٍّ ِم ْنهُ َما.
Artinya:
“Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua orang
secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah
satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak
untuk bertasharruf.”
- Menurut Hanabilah
ِ ق فِى َش ْى ٍء ِال ْثنَي ِْن فَا َ ْكثَ َر َعلَى ِجهَ ِةال ُّشي ُْو
ع ِّ ت ْال َح
ُ ثُب ُْو.
Artinya:
“ketetapan hak pada sesuatu yang dimiliki dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur
(diketahui).”
- Menurut Hanafiyah
“Ungkapan tentang adanya transaksi (akad) antara dua orang yang bersekutu pada pokok
harta dan keuntungan.”[1]
Secara garis besar, syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam sebuah usaha
dengan konsekuensi keuntungan dan kerugiannya ditanggung secara bersama.
Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Menurut ulama
Hanafiah, rukun syirkah hanya ijab dan qabul atau serah terima. Sedangkan orang yang
berakad dan obyek akad bukan termasuk rukun, tapi syarat. Menurut jumhur ulama, rukun
syirkah meliputi shighat (lafaz) ijab dan qabul, kedua orang yang berakad, dan obyek akad.
1. Syirkah itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan, artinya salah satu pihak jika
bertindak hukum terhadap obyek syirkah itu, dengan izin pihak lain, dianggap sebagai wakil
seluruh pihak yang berserikat. Juga, anggota serikat saling mempercayai.
3. Keuntungan diambil dari hasil laba harta perserikatan, bukan dari harta lain.
b. Pengertian Syirkah Musahamah
Syirkah musahamah adalah penyertaan modal usaha yang dihitung dengan jumlah lembar
saham (bukan dengan nilai nominal) yang diperdagangkan di pasar modal sehingga
pemiliknya dapat berganti-ganti dengan mudah dan cepat.[2] Syirkah musahamah bermanfaat
bagi pengembangan bisnis karena saham disebar dalam jumlah yang besar; modal syarik
tidak berubah karena keluarnya pemegang saham lama (dengan cara jual dijual) atau
masuknya pemegang saham baru (dengan cara membeli).
Dapat dikatakan pula bahwa syirkah musahamah adalah Akad (kontrak) dua orang atau lebih
yang masing-masing terikat untuk berkontribusi dalam proyek bisnis dengan menyetor bagian
harta (modal), untuk berbagi keuntungan dan kerugian yang muncul dari proyek itu.
Tujuan umum dari syirkah adalah untuk menciptakan kesejahteraan pelakunya, sedangkan
tujuan dari syirkah musahamah dilakukan guna menciptakan kesejahteraan umum (bukan
hanya pebisnisnya).[3]
Syirkah kapitalis adalah istilah yang digunakan dalam konteks hukum Islam untuk mengacu
pada bentuk kemitraan yang melibatkan modal atau kepemilikan sebagai kontribusi utama
dari salah satu atau beberapa pihak dalam perusahaan. Dalam syirkah kapitalis, salah satu
pihak atau beberapa pihak menyediakan modal finansial sebagai investasi dalam usaha
tersebut.
Syirkah kapitalis dapat dibedakan dari syirkah kerja (syirkah 'amanah), di mana kontribusi
utama yang diberikan oleh pihak-pihak yang terlibat adalah tenaga kerja atau keahlian
mereka. Dalam syirkah kapitalis, kontribusi modal yang diberikan oleh para mitra
memberikan hak kepemilikan terhadap modal tersebut.
Dalam syirkah kapitalis, pembagian keuntungan dan kerugian umumnya didasarkan pada
proporsi kepemilikan modal. Para mitra yang menyediakan modal lebih besar umumnya akan
mendapatkan bagian keuntungan yang lebih besar. Namun, pembagian keuntungan dan
kerugian dapat disesuaikan sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara para pihak.
Syirkah kapitalis dalam konteks ekonomi Islam harus mematuhi prinsip-prinsip syariah,
seperti larangan riba (bunga), larangan gharar (ketidakpastian yang berlebihan), larangan
maysir (perjudian), dan larangan muḍārabah (pengelolaan dana tanpa ikut serta dalam risiko).
Dalam syirkah kapitalis, ada keharusan untuk berinvestasi dalam usaha yang halal dan
mematuhi prinsip-prinsip etika Islam dalam pengelolaan bisnis.
Penting untuk dicatat bahwa pendekatan syirkah kapitalis dapat bervariasi tergantung pada
interpretasi dan implementasi dalam praktik ekonomi Islam. Prinsip-prinsip hukum Islam
yang mengatur syirkah kapitalis dapat diterapkan dengan berbagai cara oleh komunitas dan
lembaga keuangan yang berlandaskan pada ajaran Islam.
Perseroan Terbatas yaitu persekutuan untuk menjalankan perusahaan yang mempunyai modal
usaha yang terbagi atas beberapa saham, setiap sekutu turut mengambil bagian sebanyak satu
saham atau lebih.
4. Perusahaan yang berbadan hukum PT didirikan dengan akta notaris yang antara lain
membuat nama PT dan modal.
Jenis-jenis PT dibedakan menjadi empat bagian yaitu :
1. PT Tertutup yaitu PT yang saham-sahamnya hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu
3. PT Kosong yaitu PT yang sudah tidak lagi menjalankan kegiatannya, tinggal namanya saja
4. PT Asing yaitu PT yang didirikan di Negara lain yang berkedudukan di Negara tersebutdan
tunduk pada hukum Negara.[4]
Pendirian perseroan terbatas seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, dalam hubungannya dengan syirkah terlihat bahwa:
1) Perseroan didirikan dua orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam Bahasa
Indonesia; dan
2) Setiap pendiri perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan.
Perseroan terbatas dari segi konsep syirkah yang kontemporer disebut syirkah musahamah;
yaitu kerja sama antara dua pihak atau lebih guna melakukan usaha untuk memperoleh
keuntungan yang modalnya dinyatakan/dinilai dalam bentuk saham (bukan dengan nilai
nominal) yang diperdagangkan di pasar modal; pertanggungjawaban pemegang saham sesuai
dengan jumlah yang dimiliki; keuntungan dan kerugian yang diterima oleh pemegang saham
sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki. Perseroan terbatas termasuk subjek hukum
yang di dalamnya terdapat investor (pemodal), komisaris yang mewakili kepentingan
investor, masyarakat dan pihak otoritas; pengurus dan pegawai.
Syirkah musahamah dari sudut praktik memberlakukan dua akad karena menyangkut banyak
pihak. Bagi sesama investor berlaku akad syirkah; bagi komisaris dan pengurus berlaku akad
ijarah yang besar ujrahnya ditetapkan dalam RUPS; sedangkan bagi pegawai juga berlaku
akad ijarah yang besar ujrahnya ditetapkan oleh pengurus.
Perseroan terbatas dilihat dari sifatnya dibedakan menjadi dua: Perseroan Terbatas Tertutup,
dan Perseroan Terbatas Terbuka (Tbk). Perseroan terbatas terbuka secara konseptual
berhubunngan dengan syirkah mas’uliyah mahdudah; karena terdapat kriteria mengenai
jumlah pemilik saham dari perseroan yang bersangkutan. Dalam kitab al-Fiqh al-Islami bi al-
Adillah, al-Zuhaili menginformasikan bahwa jumlah pemilik saham dalam perseroan terbatas
yang terbuka adalah 50 syarik/pihak; kriteria perseroan yang termasuk terbuka tidaklah
seragam di berbagai negara.[5]
1) Objek yang haram seperti khamr (minuman beralkohol) dan babi; dan
2) Cara usaha yang diharamkan seperti usaha yang ribawi dan judi.
Perseroan terbatas dilihat dari sifatnya dibedakan menjadi dua: Perseroan Terbatas Tertutup,
dan Perseroan Terbatas Terbuka (Tbk). Perseroan terbatas terbuka secara konseptual
berhubunngan dengan syirkah mas’uliyah mahdudah; karena terdapat kriteria mengenai
jumlah pemilik saham dari perseroan yang bersangkutan. Dalam kitab al-Fiqh al-Islami bi al-
Adillah, al-Zuhaili menginformasikan bahwa jumlah pemilik saham dalam perseroan terbatas
yang terbuka adalah 50 syarik/pihak; kriteria perseroan yang termasuk terbuka tidaklah
seragam di berbagai negara. [6]
Pada prinsipnya, Islam tidak melarang umatnya untuk mencari harta dari mana pun. Tapi,
harta tersebut haruslah halal dan thoyib. Maksudnya, cara mendapatkannya halal, tapi barang
yang didapat tidak halal, berarti tidak baik. Begitu pun sebaliknya. Jadi harus semuanya
bagus, baik cara mendapatkannya maupun barangnya. Dalam hal jual beli hukumnya boleh
dan halal. Tapi bagaimana dengan hukum jual beli saham?
Para ahli fikih kontemporer sepakat, bahwa haram hukum jual beli saham di pasar modal dari
perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang haram. Misalnya, perusahaan yang bergerak
di bidang produksi minuman keras, bisnis babi dan apa saja yang terkait dengan babi, jasa
keuangan konvensional seperti bank dan asuransi, dan industri hiburan, seperti kasino,
perjudian, prostitusi, media porno, dan sebagainya. Dalil yang mengharamkan jual beli saham
perusahaan seperti ini adalah semua dalil yang mengharamkan segala aktivitas tersebut.
Namun mereka berbeda pendapat jika saham yang diperdagangkan di pasar modal itu adalah
dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha halal, misalnya di bidang transportasi,
telekomunikasi, produksi tekstil, dan sebagainya. Syahatah dan Fayyadh berkata,”Menanam
saham dalam perusahaan seperti ini adalah boleh secara syar’i. Dalil yang menunjukkan
kebolehannya adalah semua dalil yang menunjukkan bolehnya aktivitas tersebut.”
Tapi ada fukaha yang tetap mengharamkan hukum jual beli saham walau dari perusahaan
yang bidang usahanya halal. Mereka ini misalnya Taqiyuddin an-Nabhani, Yusuf as-Sabatin
dan Ali As-Salus Ketiganya sama-sama menyoroti bentuk badan usaha (PT) yang
sesungguhnya tidak Islami. Jadi sebelum melihat bidang usaha perusahaannya, seharusnya
yang dilihat lebih dulu adalah bentuk badan usahanya, apakah ia memenuhi syarat sebagai
perusahaan Islami (syirkah Islamiyah) atau tidak.
Aspek inilah yang nampaknya betul-betul diabaikan oleh sebagian besar ahli fikih dan pakar
ekonomi Islam saat ini, terbukti mereka tidak menyinggung sama sekali aspek krusial ini.
Perhatian mereka lebih banyak terfokus pada identifikasi bidang usaha (halal/haram), dan
berbagai mekanisme transaksi yang ada, seperti transaksi spot (kontan di tempat), transaksi
option, transaksi trading on margin, dan sebagainya.
Yang ada hanyalah transaksi sepihak dari para investor yang menyertakan modalnya dengan
cara membeli saham dari perusahaan atau dari pihak lain di pasar modal, tanpa ada
perundingan atau negosiasi apa pun baik dengan pihak perusahaan maupun persero (investor)
lainnya. Tidak adanya ijab kabul dalam PT ini sangatlah fatal, sama fatalnya dengan
pasangan laki-laki dan perempuan yang hanya mencatatkan pernikahan di Kantor Catatan
Sipil, tanpa adanya ijab dan kabul secara syar’i.
Maka dari itu, pendapat kedua yang mengharamkan bisnis saham ini (walau bidang usahanya
halal) adalah lebih kuat (rajih), karena lebih teliti dan jeli dalam memahami fakta, khususnya
yang menyangkut bentuk badan usaha (PT). Apalagi, sandaran pihak pertama yang
membolehkan bisnis saham asalkan bidang usaha perusahaannya halal, adalah dalil al-
Mashalih Al-Mursalah, sebagaimana analisis Yusuf As-Sabatin. Padahal menurut Taqiyuddin
An-Nabhani, al-Mashalih Al-Mursalah adalah sumber hukum yang lemah, karena
kehujjahannya tidak dilandaskan pada dalil yang qath’i.
· Membuka pasar tetap yang memudahkan penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi.
Akan tetapi, dampak negatif yang ditimbulkan dari transaksi saham, terutama pada pasar
sekunder jauh lebih besar seperti:
· Transaksi berjangka dalam bursa saham ini sebagian besar bukan jual beli sebenarnya,
yakni tidak adanya unsur serah terima sebagai syarat sah jual beli menurut hukum Islam.
· Kebanyakan dari transaksi saham adalah penjualan sesuatu yang tidak dimiliki, baik berupa
uang, saham, giro piutang dengan harapan akan dibeli di pasar sesungguhnya dan diserahkan
pada saatnya nanti, tanpa mengambil uang pembayaran terlebih dahulu.
· Pembeli dalam pasar ini kebanyakan membeli kembali barang yang dibelinya sebelum dia
terima. Hal ini juga terjadi pada orang kedua, ketiga atau berikutnya secara berulang. Peran
penjual dan pembeli selain yang pertama dan terakhir, hanya untuk mendapatkan keuntungan
semata secara spekulasi (membeli dengan harga murah dan mengharapkan harga naik
kemudian menjualnya kembali).
· Penodal besar mudah memonopoli saham di pasaran agar bisa menekan penjual yang
menjual barang-barang yang tidak mereka miliki dengan harga murah, sehingga penjualan
lain kesulitan.
· Pasar saham memilki pengaruh merugikan yang sangat luas. Harga-harga pada pasar ini
tidak bersandar pada mekanisme pasar yan benar, tetapi oleh banyak hal yang lekat dengan
kecurangan, seperti dilakukan oleh pemerhati pasar, monopoli barang dagangan dan kertas
saham, atau dengan menyebarkan berita bohong dan sejenisnya.
Suatu transaksi dianggap sah dalam Islam kalau ada akad. Bila pembelian saham
hanya terjadi transaksi sepihak tanpa adanya akad dengan penjual langsung atau perusahaan
yang bersangkutan, maka transaksi itu batal. Hal ini dikaitkan dengan sepasang laki-laki dan
wanita yang akan menikah. Perbedaannya hanyalah pada akad nikah.
Tanpa adanya ijab dan kabul, maka pernikahan itu tidak sah. Jadi kalau mau
menanamkan modal, harus ada perundingan atau negosiasi dengan perusahaan yang
bersangkutan. Hal inilah yang membuat jual beli saham yang ada di bursa saham. menjadi
haram walaupun jenis usahanya halal.
Perusahaan yang menjual sahamnya di bursa saham terutama di bursa saham Islam,
telah menyerahkan penjualan sahamnya kepada bursa saham. Dalam hal ini pihak bursa
saham menjadi ‘perwakilan’ dari perusahaan-perusahaan tersebut.
Dengan demikian, akad yang terjadi cukup dengan ‘perwakilan’ saja tidak harus
berhubungan dengan perusahaan yang bersangkutan. Jadi, asalkan bidang usahanya halal,
maka membeli sahamnya juga halal. Dengan kecanggihan teknologi, akad jual beli bisa
dilakukan lebih sederhana dan cepat.
Hal ini pun merupakan ijtihad para ulama yang juga para pakar ekonomi
kontemporer. Mengingat bahwa perkembangan zaman sudah sangat cepat, maka umat Islam
pun harus berpacu, tapi dengan tidak mengabaikan tuntunan dan hukum Islam yang ada.[7]
BAB III
KESIMPULAN
C. Kesimpulan
1) Objek yang haram seperti khamr (minuman beralkohol) dan babi; dan
2) Cara usaha yang diharamkan seperti usaha yang ribawi dan judi.
Dalam jual beli saham, terdapat dampak positif maupun dampak negatif, tetapi lebih banyak
dampak negatif daripada dampak positifnya. Hal itu menyebabkan alasan dalam menentukan
hukum jual beli saham itu sendiri.
Daftar Pustaka
.http://www.anneahira.com/hukum-jual-beli-saham.html
[1] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalat, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 183-185
[3] Ibid , hlm. 70
[5] Ibid, hlm. 147-148
[6] Ibid, hlm. 171
[7] http://www.anneahira.com/hukum-jual-beli-saham.html