Materi Elearning
Materi Elearning
BAHAN AJAR
Potensi Diri
Materi e-learning
1
KATA PENGANTAR
Dengan mengagungkan asma Allah Yang Maha Bijaksana, penulis panjatkan rasa syukur
atas segala limpahan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan bahan e-
learning “Pengembangan Potensi ASN” ini sesuai dengan yang diharapkan. Penulis merasa
yakin bahwa karya tulis ini tidaklah mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa petunjuk
dan bimbingan-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW, Uswatun Hasanah kita beserta keluarga, sahabat, dan pengikut-
pengikutnya yang senantiasa setia mengikuti dan mencontoh ajaran-ajarannya hingga akhirul
zaman.
Mengamati perubahan zaman yang begitu cepat di era globalisasi sekarang ini dibutuhkan
kecepatan pula bagi manusia untuk mengimbanginya. Disektor pemerintahan kecepatan
perubahan tersebut juga sangat dirasakan. Hal ini disebabkan karena salah satu fungsi
pemerintahan adalah pelayanan. Saat ini tuntutan kualitas pelayanan yang cepat sudah
menjadi kelaziman yang harus dipenuhi. Untuk itu sudah tidak ada ruang bagi ASN untuk
tidak berlomba-lomba meningkatkan kemampuan kapasitas potensinya.
Penyusunan bahan ajar ini merupakan ikhtiar Pemerintah Kota Surabaya dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas ASN yang dilakukan melalui jalur e-
learning. Dengan menyajikan pembelajaran “Pengembangan Potensi ASN” melalui metode
pembelajaran jarak jauh ini diharapkan dapat membuka kesempatan yang lebih luas kepada
ASN di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya untuk mempelajarinya. Diharapkan dengan
semakin banyaknya ASN yang mengikuti pembelajaran ini, hal ini dapat meningkatkan
pemahaman tentang besarnya potensi diri yang dimiliki yang perlu dikembangkan untuk
menunjang pelaksanaan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Tidak itu saja kebutuhan
untuk meningkatan potensi ini juga menjadi sangat penting guna memenuhi kebutuhan
standard kompetensi jabatan yang saat ini sedang digalakkan oleh Pemerintah Pusat.
Namun sayang selama ini banyak karyawan di lingkunga Pemerintah Kota Surabaya yang
belum betul-betul mengenal potensinya, baik potensi fisik, IQ, EQ, AQ. Kondisi ini tentu saja
2
memiliki implikasi yang kurang baik bagi penerapan manajemen ASN berbasis merit.
Dihadirkannya buku ini, mudah-mudahan dapat mengisi gap yang masih kosong sehingga
peningkatan potensi ASN bukan lagi menjadi “utopia”, atau sesuatu yang hanya ada di ide
atau gagasan tapi sulit untuk direalisasikan.
Penulis sangat menyadair bahwa bahan ajar ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.
Berbagai kelemahan yang meliputinya telah menghiasi proses penulisan ini. Namun berkat
pertolongan Allah SWT-lah materi ini dapat hadir menghiasi khasanah pembelajaran dalam
diklat dan bimtek di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya.
Menyadari berbagai kelemahan yang ada, Penulis membuka diri untuk menerima segala
bentuk masukan guna perbaikan dan penyempurnaannya Mudah-mudahan karya tulis ini
dapat membawa kemanfaatan bagi diri penulis pada khususnya dan para pembaca pada
umumnya.
Penulis
3
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..............................................................................................
DAFTAR ISI ...........................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN ................................................ .....................................
1.1. Latar Belakang..............................................................................
1.2. Diskripsi Singkat............................................................................
1.3. Manfaat Bahan Ajar Bagi Peserta.................................................
1.4. Tujuan Pembelajaran....................................................................
1.4.1. Hasil Belajar......................................................................
1.4.2. Indikator Hasil Belajar.......................................................
1.5. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok.............................................
1.6. Petunjuk Belajar..............................................................................
BAB II. Konsep Pengembangan............................................……………………….
2.1. Etimologi ………………………………………………………………...
2.2. Potensi Manusia …………………….…………………………………
2.3. Tujuan Pengembangan…………….………………………………….
BAB III. Pelaksanaan Pengembangan……………………………………………….
3.1. Mengenal Potensi Diri Sendiri...………………………………………
3.1.1. Cara Mengenal Potensi Diri……………………………………
3.1.2. Ciri Orang Yang Mengenal Potensi Dirinya………………….
3.1.3. Manfaat Mengenal Potensi Diri……………………………….
3.2. Tahapan Pengembangan………………......…………………………
3.2.1. Menentukan Tujuan……………………………………………
3.2.2. Rancangan Pengembagan…………………………………...
3.2.3. Implementasi Pengembangan………………………………..
BAB IV. Faktor Pendukung dan Manfaat Pengembangan......................................
4.1. Faktor Pendukung dan Penghambat…….……………………………
4
4.2. Manfaat Pengembangan………………......…………………...………
BAB V. PENUTUP .................................................................................................
Kesimpulan.................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………….
5
BAB I
Pendahuluan
Sejak dilahirkan, manusia telah dikaruniai berbagai macam potensi untuk menunjang
kehidupannya, termasuk ASN yang telah disumpah untuk senantiasa mendedikasikan
pengabdiannya bagi kepentingan bangsa dan negara. Mereka semua dikaruniai
berbagai potensi, termasuk Phisical Quotient (PQ), Intellectual Quotient (IQ),
Emotional Quotient (EQ), Adversity Quotient (AQ) dan Spiritual Quotient (SQ).
Dengan potensinya ini, seorang ASN tidak hanya mampu menggunakannya untuk
melaksanakan tugas yang diembannya dengan baik, memecahkan berbagai masalah
kantor yang dihadapi dengan adil, tapi juga untuk membangun budaya pelayanan
yang prima untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang didambakan masyarakat.
Dalam beberapa decade terakhir, dunia pemerintahaan bahkan berhasil
7
mengembangkan sistem pemerintahan yang dilandasi prinsip “good governance”
sehingga memungkinkan organisasi pemerintah lebih berdaya untuk menciptakan dan
menerapkan tipe ideal birokrasi yang telah dicanangkan oleh Max Webber beberapa
tahun silam.
Itulah potensi manusia yang berada dibalik semua peristiwa yang dulu dikatakan tidak
mungkin (impossible) tapi kemudian terbukti menjadi possible. Karena itu, Robbie
Vorhaus, seorang penulis buku tranformasi personal yakin bahwa, potensi yang
dimiliki manusia sejatinya melebihi dari keyakinan yang dipercayainya. Karena itu dia
menyarankan manusia untuk menjadi orang yang berani dan memilih sesuatu yang
tidak masuk akal (Goodreads: 2020). Pendapat yang sama juga diyakini oleh Dalai
Lama, seorang kepala Tibetan Buddhism yang bahkan mempercayai bahwa dengan
potensi dan kepercayaan diri yang dimiliki, seseorang akan memiliki kesanggupan
untuk dapat membangun dunia dengan lebih baik (Goodreads: 2020).
Tidak ada satu orangpun di kolong bumi ini yang menyangkal tentang keunggulan
potensi yang dimiliki oleh setiap orang. Semuanya diberi kelebihan dengan derajat
yang berbeda-beda antara yang satu dengan lainya. Ada yang sangat menonjol
dalam Kecerdasan Ketahan Malangannya (AQ) tapi lemah dalam Kecerdasan
Fisiknya (PQ), ada yang “luar biasa” dalam me-manage Kecerdasan Emosinya (EQ)
tapi kurang berprestasi dalam hal Kecerdasan Intellektualnya (IQ) dan ada pula yang
Kecerdasan Spiritualnya (SQ) menjadi identitas kelebihannya sehingga mampu
menempatkannya pada posisi “premium” dalam menjalani interaksi kehidupan social
di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan
kelemahannya masing-masing. Kondisi inilah yang menjadikan manusia saling
bergantung satu dengan yang lainya, sehingga proses pencarian “kesempurnaan
hidup” untuk saling mengisi dan berbagi menjadi suatu keniscayaan untuk
dihindarkan.
Semua kelebihan dan kekurangan ini, apabila dikembangkan dengan baik, tentu akan
dapat menjelma menjadi aset yang paling esensial yang dimiliki oleh setiap ASN. Ia
dapat menjadi factor penentu bagi kemajuan atau kemunduran sebuah organisasi.
8
Peran keunggulannya tidak hanya ditampakkan sebagai “engine” untuk
menggerakkan dan me-manage “organisasi”, tapi juga mengembangkannya sesuai
dengan tuntutan perubahan zaman yang terus berjalan. Namun sayang, dalam
kehidupan sehari-hari banyak kita temui orang-orang yang berstatus sebagai abdi
negara dan abdi masyarakat yang tidak mampu menemukan potensinya, bahkan
hanya untuk sekedar mengenalinya saja. Dengan ketidakmampuannya ini, maka
besar kemungkinannya individu tersebut mengalami kesulitan dalam mengekplorasi
potensinya secara maksimal, sehingga output prestasinya hanya “biasa-biasa” saja,
tidak ada sesuatu yang istimewa. Hal ini tentu sangat merugikan, mengingat potensi
diri yang tidak dikembangkan akan menjadi factor penghambat dalam menjalani
kehidupan pribadi dan profesionalnya.
9
Latar belakang inilah yang menjadi alasan mengapa setiap pegawai ASN “wajib”
untuk mengenali dan mengembangkan potensinya secara maksimal agar
pelaksanaan tugas yang diamanatkan dapat dijalankan dengan baik sehingga
produktivias dan pelayanan kepada masyarakat dapat dicapai dan ditingkatkan
kualitasnya. Guna menunjang harapan tersebut di atas, Pemerintah telah mengambil
langka-langkah strategis untuk mempercepat proses transformasi sumber daya
manusia yang dimilikinya. Beberapa kebijakan yang diharapkan mampu meng-
akselerasi cita-cita tersebut diantaranya adalah diterbitkannya Peraturan LAN No 5
Tahun 2018 Tentang Pengembangan Kompetensi Pegawai ASN, Permenpan dan RB
No. 38 Tahun 2017 Tentang Standar Kompetensi Jabatan ASN dan Permenpan dan
RB Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Manajemen Talenta. Peraturan-peraturan tersebut
tidak hanya dirancang untuk mengelola kemampuan, kompetensi dan potensi ASN
dalam memenuhi standad kompetensi jabatan saja, tapi juga untuk mempersiapkan
karyawan untuk menduduki jabatan berdasarkan tingkatan potensi dan kinerja
tertinggi melalui penerapan sistem merit dalam rangka optimalisasi pencapaian tujuan
organisasi dan akselerasi pembangunan nasional.
10
Demikian urain pendahuluan yang disajikan dalam buku ini. Semoga usaha ini dapat
memperkaya khasanah keilmuan kita dan menjadi ladang amal kita untuk bekal
kehidupan yang akan datang. Selamat membaca.
11
1.5. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok
1.5.1. Materi Pokok
1.5.1.1. Konsep pengembangan potensi ASN;
1.5.1.2. Pelaksanaan pengembangan potensi ASN;
1.5.1.3. Faktor pendukung dan manfaat pengembangan potensi ASN.
Bagi peserta
Sebagaimana konsep pembelajaran e-learning, para peserta dituntut untuk lebih
berperan aktif, karena dalam proses ini peserta dianggap memiliki pengetahuan dan
pengalaman yang dapat di ekplorasi. Hal lain yang juga perlu digaris bawahi adalah
karena dalam proses pembelajaran orang dewasa, peserta telah dianggap siap dan
memiliki motivasi dan orientasi yang kuat dalam mengikuti kegiatan sehingga dapat
menjadi modal yang kuat dalam pencapaian hasil yang maksimal.
12
BAB II
Konsep Pengembangan Potensi Diri
(Saya yakin bahwa tidak ada yang kita lakukan lebih penting daripada
mempekerjakan dan mengembangkan sumber daya manusia. Pada akhirnya,
anda bertaruh pada orang yang melakukannya bukan pada rancangan
strateginya).
-– Lawrence Bossidy
2.1. Etimologi
Secara bahasa, kata “potensi” yang berakar dari bahasa Latin “potentia" yang diartikan
sebagai kemampuan atau kekuatan, dalam Bahasa Inggris artinya adalah power,
strength, might, force, dll. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ini diartikan
sebagai kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan. Pihadhi
(2004) dalam pemahaman yang hampir sama mengartikannya sebagai kekuatan, energi,
atau kemampuan yang terpendam yang dimiliki dan belum dimanfaatkan secara optimal.
Sementara Habsari (2005) mendefinisikannya sebagai kemampuan dan kekuatan yang
dimiliki oleh seseorang, baik fisik maupun mental dan mempunyai kemungkinan untuk
dikembangkan bila dilatih dan ditunjang dengan sarana yang baik.
Dari beberapa pengertian diatas, kesimpulan yang dapat ditarik apabila istilah ini
dikaitkan dengan ASN sebagai profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah
dengan perjanjian kerja, maka pemahamannya dapat dimaknai sebagai sumber daya
atau kemampuan yang dimiliki oleh pegawai ASN yang terpendam atau belum
digunakan secara maksimal dan masih mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan
jika dididik dan dilatih serta difasilitasi dengan sarana dan prasarana yang baik dan
memadai.
Jadi, mengembangkan potensi diri bagi pegawai ASN yang belum dimaksimalkan adalah
sangat dimungkinkan untuk dilakukan. Bahkan melihat perkembangan dan perubahan
13
zaman yang begitu cepat di era globalisasi sekarang ini, dimana tuntutan peningkatan
kualitas pelayanan masyarakat begitu massive didengungkan, maka pengembangan
potensi bagi ASN sudah bukan lagi sekedar angan-angan, tapi sudah menjadi
“kebutuhan”. Kebutuhan yang harus dipenuhi, baik untuk keperluan pribadi ASN itu
sendiri maupun untuk kepentingan besar organisasinya yang dilakukan melalui jalur
pendidikan dan pelatihan.
Jadi kalau demikian, apa sebenarnya arti pengembangan potensi diri itu? Bagaimana
para ahli mendefinisikanya sehingga dapat dipahami secara lebih comprehensive?
Secara umum istilah “pengembangan” dapat diartikan sebagai sebuah proses atau cara
untuk mengembangkan sesuatu. Secera terminologi, kata ini menurut Wiryokusumo,
dkk., (1982), dapat diartikan sebagai upaya pendidikan, baik formal maupun non formal
yang dilaksanakan secara terencana dalam rangka menambah, meningkatkan dan
mengembangkan kepribadian menuju tercapainya kemampuan manusiawi yang optimal
dan pribadi yang mandiri.
Penggabungan istilah ini menjadi pemgembangan potensi diri memiliki beberapa arti.
Menurut Tarmudji (1998), pengembangan potensi diri diartikan sebagai pengembangan
bakat yang dimiliki, mewujudkan impian-impian, meningkatkan rasa percaya diri, menjadi
kuat dalam menghadapi percobaan, dan menjalani hubungan yang baik dengan
sesamanya. Sementara Fanani, (2003), mengartikannya sebagai pengembangan segala
potensi yang ada pada diri sendiri, dalam usaha meningkatkan potensi berfikir dan
berprakarsa serta meningkatkan kapasitas intelektual yang diperoleh dengan jalan
melakukan berbagai aktivitas.
Dari dua pemahaman di atas, secara umum dapat dipahami bahwa pengembangan
potensi ASN merupakan sebuah proses perwujudan aktualisasi diri yang dilakukan oleh
pegawai ASN untuk meningkatkan kapasitas potensinya, baik fisik, IQ, EQ, AQ maupun
SQ. Pengembangan ini dilakukan melalui proses pembelajaran dan maturase
(pematangan) secara berkesinambungan sejalan dengan pemenuhan kebutuhan
kehidupan sehari-hari, baik yang bersifat personal maupun untuk memenuhi kompetensi
pekerjaan/ jabatan.
14
2.2. Potensi Manusia
Sebagai seorang insan, potensi yang dimiliki oleh pegawai ASN tidaklah berbeda
dengan potensi yang dimiliki oleh manusia pada umumnya. Dalam diskursus akademik,
para ahli berbeda pendapat dalam memetakan potensi yang dimiliki manusia. Wiyono
(2006) berkeyakinan bahwa potensi yang terdapat dalam diri manusia terbentuk dari akal
pikiran, hati dan indera. Potensi ini mencerminkan gambaran diri manusia secara utuh
sebagai suatu sistem yang diciptakan secara sempurna yang tidak dimiliki oleh makhluk
lainya. Sementara Wibowo, (2007) mengidentifikasi bahwa sejak dilahirkan manusia
dikaruniai minimal empat kategori potensi, yaitu, potensi otak, emosi, fisik dan spiritual.
Sejalan dengan pertumbuhan jiwa dan raganya, semua potensi yang dimiliki tersebut
dapat dimaksimalkan kapasitasnya sampai dengan tingkat yang tidak terbatas. Pendapat
lain diusulkan oleh Jalaluddin (2003) yang mendefinisikannya melalui pendekatan
agama. Dalam keyakinannya beliau berpendapat bahwa di dalam diri manusia terdapat
empat bentuk potensi utama, yaitu “Hidayat al-ghariziyyat (potensi naluriah), Hidayat al-
hasiyyat (potensi inderawi), Hidayat al-aqliyat (potensi akal), Hidayat al diniyyat (potensi
agama)”. Keempat potensi inilah yang selanjutnya dirangkum sebagai potensi dasar
manusia yang terdiri dari: jasmani, akal, nafs dan ruh. Semuanya merupakan fitra
manusia yang dibawa sejak lahir dan dapat dikembangkan melalui proses pendidikan
dan lingkungan, sehingga dapat dimanfaatkan untuk menjalankan fungsinya sebagai
mahluk ciptaan Tuhan.
Dari beragam definisi yang diutarkan di atas tersebut, tanpa mengurangi esensinya
dapat disarikan bahwa sebagai mahluk yang diciptakan secara sempurna, pegawai ASN
dilengkapai oleh lima komponen potensi yang dapat digunakan sebagai modal untuk
mendukung pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat
dengan penuh rasa tanggung jawab. Kelima potensi yang dimaksud adalah:
a. Potensi Fisik
Potensi yang juga sering disebut physical quotient (PQ) ini merupakan potensi
jasmaniah yang dapat dimanfaatkan secara maksimal sesuai dengan fungsi dan
manfaatnya. Potensi ini meliputi seluruh organ tubuh manusia yang memiliki
15
struktur dan fungsi yang dapat dipergunakan untuk menunjang berbagai aktivitas
dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dalam banyak hal, potensi ini tidak hanya
digunakan untuk membuat gerakan fisik yang efektif dan efisien tapi juga
membentuk kekuatan yang tangguh. Orang yang berbakat dalam bidang ini
biasanya memiliki kemampuan untuk mempelajari olah raga secara lebih cepat,
disamping selalu menunjukkan keunggulan dalam melakukan aktivitas permainan,
perlombaan atau pertandingan yang bernuans fisik.
Bagi pegawaiASN, potensi fisik yang dimiliki dapat membantu melaksanakan tugas
sehari-hari yang menjadi kewajibannya. Contohnya: tangan, berfungsi untuk
menulis resume rapat, mengetik surat, menelphone, menggambar site plan,
melakukan operasi bedah mulut, menyapu jalan, dll.; Kaki, anggota badan yg yang
terdiri dari 28 tulang dan 34 otot ini sangat vital dalam membantu karyawan untuk
mendukung berat badan saat mengajar di kelas, berdiri dan duduk saat melayani
masyarakat, berjalan dan berlari memadamkan api kebakaran, dst.; dan mulut,
rongga tubuh di kepala yang terdiri dari gigi dan lidah ini sangat menunjang
aktivitas pekerjaan yang dilakukan, terutama untuk berdiskusi dalam rapat,
melakukan sosialisasi program kerja, mengajar di ruang kelas, dan yang lainnya.
b. Potensi Intelektual
Sering juga disebut sebagai Intelectual Quotient (IQ), potensi ini merupakan bentuk
kecerdasan yang tersimpan dalam otak manusia, terutama otak sebelah kiri yang
didominasi oleh kemampuan daya pikir rasional dan logika. Potensi yang pertama
kali diperkenalkan oleh William Stern, seorang psikolog berkebangsaan Jerman
yang dikenal karena keterlibatannya dalam pengembagan personalistic psychology
ini secara jasmaniyah tertanam dalam setiap diri manusia sejak dalam kandungan
hingga ajal menjemput. Kemampuan ini dapat ditingkatkan kapasitasnya melalui
proses belajar.
16
pengaruh yang kuat terhadap kuantitas dan kualitas manusia dalam proses belajar
mengajar.
17
Seiring dengan perputaran waktu, saat ini keunggulan IQ tidak lagi dijadikan
sebagai factor satu-satunya yang menentukan kecerdasan seseorang. Hasil
penelitian terkini menunjukkan bahawa terdapat beberapa kecerdasan lain yang
juga memiliki kontribusi terhadap keberhasilan seseorang yang tidak hanya diukur
melalui keunggulan logis-matematis saja. Kecerdasan lain tersebut termasuk
kecerdasan dalam bidang verbal-linguistik, spasial-visual, kinestetic, musikal,
intrapersonal, naturalis, interpersonal, dan eksistensialis.
Dengan pemikiran ini dimungkinkan setiap setiap orang untuk dapat memiliki
derajat keunggulannya sendiri-sendiri. Seperti Ibnu Sina/Avicenna, Albert Einstein,
dan Newton adalah orang-orang yang diberi kejeniusan dibidang science, tetapi
Valentino Rossi, Kareem Abdul Jabbar dan Maradona adalah punggawa-punggawa
papan atas yang namanya berkibar di dunia olah raga. Demikian halnya dengan
Mozart, Sebastian Bach dan Cat Stevens adalah nama-nama melegenda di dunia
music yang hasil karyanya masih “enak” untuk dinikmati sampai hari ini.
c. Potensi Emosi
Lebih dikenal dengan sebutan Emotional Quotient (EQ), potensi ini secara umum
dapat diartkan sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan
orang lain, kemampuan untuk melakukan self-motivation (memotivasi diri sendiri)
dan kemampuan untuk mengelola emosi dengan dalam berinteraksi dengan orang
lain.
Dalam penelitiannya Watson, D., (1988), membagi emosi menjadi dua, yaitu emosi
positif dan emosi negatif. Emosi positif adalah perasaan pribadi yang ditujukan
secara intens kepada orang lain atau sesuatu secara positif. Contohnya rasa
gembira mendapatkan promosi jabatan baru, rasa syukur karena penyerapan
anggaran sesuai dengan target waktu yang dibebankan, rasa kagum terhadap
inovasi pelayanan baru yang lebih efisien, rasa cinta terhadap pekerjaan, dll.
Penelitian terkini membuktikan bahwa emosi ini tidak hanya bermanfaat untuk
meningkatkan kesehatan fisik, menumbuhkan kepercayaan diri dan memupuk rasa
kasih sayang, tapi juga dapat menjauhkan diri dari depresi dan stres, serta
18
mengendalikan amarah akibat emosi yang negative. Sebaliknya emosi negatif
adalah perasaan yang tidak dikelola dan dikendalikan secara positive sehinga
dapat berdampak buruk bagi diri sendiri dan orang lain. Contohnya adalah
perasaan marah karena pekerjaan di kantor belum selesai sesuai dengan target
waktu yang ditentukan, perasan benci terhadap staf yang sering terlambat,
perasaan kecewa karena capaian pendapatan asli daerah tidak terpenuhi, dsb.
Sejak tahun 1995 istilah EQ telah menjadi “viral,” yakni ketika Goleman
menerbitkan buku best seller berjudul “Emotional Intelligence.” Buku yang pernah
menjadi Best Seller versi The New York Times dan diterjemahkan kedalam puluhan
bahasa asing di seluruh dunia ini menjadi titik tolak perubahan paradigma
keunggulan IQ di bidang psikologi. Selama lebih dari 100 tahun ini, orang selalu
memandang IQ lebih penting dari EQ. Namun sejak saat itu, EQ tidak lagi dinilai
lebih rendah disbanding IQ. Hasil-hasil riset membuktikan sebaliknya (Goleman:
1995). Goleman dalam Sunar (2010) mengklaim bahwa kontribusi IQ dalam
menentukan keberhasilan seseorang hanya sekitar 20% saja, selebihnya yang
80% ditentukan oleh unsur-unsur dari EQ. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Robber Copper dalam Pasiak (2005) bahkan menyebutkan angka yang lebih
rendah yakni hanya berkisar 4 % saja.
Karena itu tidak mengherankan kalau dalam kehidupan sehari-hari kita sering
menemui orang-orang ber-IQ tinggi namun kurang berprestasi di dunia pekerjaanya
atau sebaliknya orang-orang yang IQ-nya “pas-pasan” ternyata mampu
menunjukkan kinerja yang luar biasa karena disuport EQ yang tinggi.
19
Kenapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya karena EQ dapat mempengaruhi sikap
dan prilaku seseorang dalam menjalani kehidupan sosialnya dan mempengaruhi
keputusannya dalam melakukan tindakan. Sehingga orang yang ber-EQ tinggi
akan senantiasa berusaha untuk menciptakan dan menjaga keseimbangan dirinya
dalam berinteraksi social, baik di lingkungan rumah maupun di tempat kerja, seperti
selalu memahami perasaan orang lain, tidak ingin menaruh dendam, selalu
menjauhkan diri dari pikiran negative, mampu mengontrol emosi, memilika empati
terhadap sesama, dll. Terciptanya kondisi yang harmonis ini tentu akan
menciptakan symbiosis mutualisme bagi orang-orang yang terlibat dalam kegiatan
interaksi ini, sehingga kebiasaan saling berbagi, saling membantu, saling
meringankan beban akan tercipta dengan sendirinya.
Keuntungan bagi pegawai ASN apabila memiliki kecerdasan emosi yang tinggi
dalam mendukung pelaksanaan pekerjaan di kantor, antara lain: (a). Mudah
mengenali emosi diri sendiri, sehingga dapat mengetahui kekuatan dan
kelemahannya yang selanjutnya dapat digunakan untuk membangun kepercaya
diri; (b). mampu mengelola emosi dengan baik sehingga dapat mengendalikan
amarah dan berhati-hati dalam mengambil keputusan. Dengan sifat ini biasanya
mereka akan menjadi orang dapat dipercaya, bertanggungjawab dan berintegritas,
walaupun tidak kehilangan sifat fleksibel dan terbuka; (c). mampu memotivasi diri
sehingga akan terus terbangun sifat optimis dalam menjalani kehidupan yang
penuh dengan tantangan dan hambatan; (d). mampu berempati untuk membantu
mencarikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi orang lain; (e). mampu
membangun interaksi social secara baik dengan orang lain, termasuk membangun
kerjasama untuk mencapai tujuan yang lebih baik.
20
a) Tingkat Quitters. Adalah tingkatan orang yang memiliki AQ paling lemah.
Orang seperti ini ketika menghadapi berbagai macam hambatan, kesulitan,
dan tantangan hidup, biasanya cenderung untuk langsung menyerah. Mereka
lebih memilih untuk keluar atau menghindar dari pada harus menjalankan
segala macam kewajiban dan tugas yang menjadi kewenangannya. Tidak ada
kamus dalam diri mereka untuk memanfaatkan peluang dan kesemapatan
yang mungkin hanya sekali dalam seumur hidup. Contohnya: seorang ASN
yang merasa putus asa ketika di akhir tahun laporan pendapatan asli daerah
yang harus dihimpun ternyata masih sekitar 50% dari total target yang harus
diselesaikan. Ia merasa sudah tidak mungkin lagi untuk mengejar target yang
masih tersisa sangat besar tersebut. Sebagai responnya dia hanya mengeluh
dan menyerah untuk tidak mau lagi mengerjakan tugas yang seharusnya dia
selesaikan.
b) Tingkat Campers. Adalah daya tahan tingkat sedang. Orang yang berada di
tingkat ini biasanya pada awalnya sangat antusias untuk melakukan pekerjaan
yang diamanatkan kepadanya. Tak jarang dalam mencapai tujuan ini, mereka
berjuang “mati-matian” dengan mengeluarkan sumber daya yang dimiliki untuk
menyelesaikan berbagai masalah yang ditemui. Namun, sampai ditengah
jalan, biasanya mereka tidak lagi memiliki keinginan untuk melanjutkan
perjalanan. Perasaan capek, malas, jenuh dan bosan melingkupi pikiran dan
perasaan mereka. Tidak ada lagi semangat yang membakar seperti sedia
kala. Contohnya: Seorang Kepala Seksi di sebuah dinas menolak untuk
melaksanakan tugas mengikuti diklat kepemimpinan yang belum dia perolah.
Dia merasa sudah tidak perlu lagi meningkatkan kapasitasnya karena dia
merasa sudah terlalu tua untuk belajar guna memenuhi kompetensi yang
harus di penuhi.
c) Tingkat Climbars. Daya tahan yang dimiliki oleh pendaki sejati. Orang seperti
ini biasanya memilkik kecerdasan yang cukup tinggi dalam menghadapi
berbagai masalah, hambatan dan rintangan yang dihadapi. Mereka adalah
orang-orang selalu “total” dalam menyelesaikan pekerjaan, sehingga tidak ada
istilah dalam kehidupan mereka untuk berhenti di tengah jalan dalam
menyelesaikan pekerjan. Sekali kaki dilangkahkan pantang mereka untuk
21
pulang “kendang” sebelum sampai di tujuan. Ciri-ciri orang seperti ini adalah
optimis, kreatif, pantang menyerah, dan memiliki motivasi yang tinggi.
e. Potensi Spiritual
Sering juga disebut sebagai Spiritual Quotient (SQ), potensi ini merupakan
kemampuan terakhir yang tidak kalah pentingnya dibanding potensi-potensi
lainnya. Gagasan original-nya disampaikan pertama kali oleh Danah Zohar,
seorang professor tamu di Universitas Guizhou Cina yang pernah dinobatkan
sebagai salah seorang "the world's greatest management thinkers" oleh Financial
Times Prentice Hall book Business Minds pada tahun 2002. Sejak kemunculan
pertamanya, diskursus ini telah mendapat perhatian yang luas dari masyarakat
untuk didiskusikan. Dalam prakteknya, gagasan ini sering dipergunakan untuk
memotivasi manusia dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang
berhubungan dengan nilai-nilai dan prinsip hidup (2000). Karena itu Covey,
Stephen, (2004), Penulis buku The 7 Habits of Highly Effective People yang telah
menginspirasi puluhan juta orang untuk menerapkan prinsip-prinsip SQ dalam
dunia bisnis, pemerintahan, dan pendidikan menyakini bahwa SQ adalah potensi
manusia yang paling penting dan mendasar dibanding semua kecerdasan yang
yang lain, karena ia merupakan sumber bimbingan yang paling utama.
Apa iya seperti itu? Kalau memang demikian apa sih sebenarnya potensi spiritual
itu? Bagaiman pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat
memberi manfaat kepada manusia secara paripurna?
Dalam diskusi akademik, SQ memiliki definisi yang bervariasi yang diambil dari
berbagai sudut pandang yang berbeda. Ada yang pembahasannya cenderung
diarahkan kepada unsur kejiwaan (rohani, batin), seperti Vaughan, (2002) yang
mendefinisikannya sebagai kecerdasan yang berkaitan dengan kehidupan jiwa dan
pikiran sehubungan dengan keberadaanya di dunia. Ada juga yang memfokuskan
kajiannya pada makna nilai yang berhubungan dengan sikap dan prilaku manusia,
seperti Zohar dan Marshall yang mendefinisikannya sebagai kecerdasan untuk
menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan yang menempatkan
perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan
22
untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna
dibandingkan dengan yang lain, (Jaya, Yahya: 1994). Namun tidak sedikit pula
yang pendekatannya dikaitkan dengan unsur ketuhanan, seperti Michael Levin
dalam Safaria, (2007) yang meyakini bahwa kecerdasan spiritual adalah sebuah
perspektif yang mengarahkan cara berpikir kita menuju kepada hakekat terdalam
kehidupan manusia, yaitu penghambaan diri pada Sang Maha Suci dan Maha
Meliputi. Karena itu kecerdasan ini hanya bisa dilihat jika individu telah mampu
mewujudkannya dan terefleksi dalam kehidupan sehari-harinya. Artinya sikap-sikap
hidup individu mencerminkan penghayatannya akan kebajikan dan kebijaksanaan
yang mendalam, sesuai dengan jalan suci menuju pada Sang Pencipta (Safaria,
2007). Pemahaman ini juga didukung oleh Ginannjar, (2001) yang berpendapat
bahwa SQ adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap
perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah,
menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran integralistik serta
berprinsip hanya karena Allah.
Dari berbagai pendapat di atas, dapat dipahami bahwa kecerdasan ini dari
berbagai macam sudut pandangnya dapat memberi nilai positif bagi
keberlangsungan kehidupan manusia. Beberapa sumbangsih kecerdasan ini yang
dapat digunakan secara adaptif untuk membantu memecahkan masalah yang
dihadapi manusia, sebagaimana yang ditulis Emmons, (2000), dalam Jurnal
Internasional Psikologi Agama yang berjudul "Is spirituality an intelligence?" adalah:
1) Memiliki kemampuan memahami hakekat kehidupan secara seimbang
antara unsur materi yang bersifat fana dan dimensi transcendental yang
terhubung dengan Dzat Yang Maha Kekal. Konsekuensi logis dari
kemampuan ini adalah manusia senantiasa dituntut untuk melaksanakan
kewajibannya, termasuk menyembah dan memohon pertolongan kepada
Allah Tuhan Semesta Alam atas segala permasalahan yang dihadapi dan
menjaga hubungan silaturahmi dengan sesama manusia dan mahluk lain
yang tinggal di alam semesta ini. Keseimbangan menjaga urusan di atas
akan menjadi jaminan bagi manusia untuk mendapatkan kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.
23
2) Memiliki kemampuan untuk senantiasa mematuhi segala peraturan dan
norma yang berlaku, baik yang berkaitan dengan urusan dunia maupun hari
akhir. Dengan kemampuan seperti ini akan terlahir sifat-sifat berikut ini: (a).
Memiliki disiplin yang tinggi yang sangat berguna dalam menjalankan tugas
dan kewajibannya, seperti tidak pernah terlambat masuk kantor, dapat
menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan tepat, dapat menggunakan
waktu dengan sebaik-baiknya, dapat menumbuhkan rasa percaya diri, dll.;
(b). Melatih tanggung jawab, baik untuk urusan pribadi maupun yang non-
pribadi; (c). Melatih kemandirian dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan
tanpa menggantungkan pada orang lain; (d). Menciptakan keteraturan yang
dapat menciptakan harmonisasi kehidupan di tempat kerja sehingga semua
pekerjaan dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar; (e). Menjaga
kenyamanan lingkungan; dll.
3) Memiliki kemampuan untuk senantiasa menyucikan jiwa dari sifat-sifat
tercela, seperti dusta, iri, dengki, sombong, takabur, angkuh, dll. dan
kemudian merubahnya dengan sifat-sifat yang baik atau terpuji.
4) Kemampuan untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi yang
tidak hanya bersandar pada ikhtiar atau usaha-usaha yang bersifat materiil
saja, tapi juga harus ikhlas, sabar, berbaik sangka, berdoa dan
memasrahkan segala urusan kepada Sang Pemilik-Nya.
5) Kemampuan untuk senantiasa berbuat baik kepada seluruh mahluk ciptaan
Tuhan, termasuk memiliki sifat rendah hati, mudah memaafkan, tidak egois,
dll.
24
a) Tujuan Secara Personal
Mengembangkan potensi diri secara maksimal untuk melatih dan mengembangkan
potensinya dengan menambah pengetahuan melalui membaca buku-buku, koran,
majalah, menonton tv, mendengarkan radio, mengikuti kegiatan seminar, lokakarya,
pertemuan-pertemuan ilmiah, penelitian, dan lain-lain untuk menunjang pelaksanaan
tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
25
4) Mengurangi turnover. Meningkatnya komitmen akan berdampak terhadap
pengurangan tingkat turn over, yakni kejenuhan pegawai terhadap pekerjaan
yang dilakukannya sehingga dapat berakhir pada keputusan untuk keluar dan
mencari tempat kerja baru yang dirasa lebih baik.
BAB III
Pelaksanaan Pengembangan
Sebaliknya, tidak sedikit pula orang yang gagal memaksimalkan potensinya untuk
menghasilkan output yang “excellent” meskipun dianugerahi keunggulan comparative
yang lain. Contohnya adalah Getulio Vargas. Pria yang pernah berprofesi sebagai
lawyer dan politisi ini, sukses membangun karier politiknya hingga pernah
mencatatkan dirinya sebagai Presiden Brasil dua periode. Namun naas, beliau diduga
mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri karena merasa gagal membebaskan
negaranya untuk keluar dari krisis ekonomi. Ada banyak lagi cerita-cerita lain yang
mengisahkan orang-orang yang diberi kelebihan ilmu bahkan dengan title yang
berderet dan jabatan “mentereng” di pemerintahan, namun gagal memaksilmalkan
potensi emosi dan spiritualnya. Mereka tersandung kasus-kasus korupsi yang
menghancurkan kredibilitas profesionalnya yang dibangunnya selama bertahun-tahun.
Ada banyak factor yang menjadi penyebabnya. Salah satunya adalah ketidak
mampuan memaksimalkan potensi diri. Walaupun mereka sangat jenius dan “hebat,”
namun pada kenyataanya mereka gagal mengembangkan potensi yang lain yang
dibiarkan tetap berada di level inferior atau level pupuk bawang. Di lapangan, tidak
jarang pula kita temui orang-orang yang bahkan tidak mengenal potensinya. Ada
sebagian dari mereka yang mungkin tahu, tapi tidak mau peduli dengan kondisinya.
Kebanyakan dari mereka asyik dengan zona nyaman yang mebius pikiran dan
perasaan. Padahal ada pepatah yang mengingatkan kita, “There is no growth in
comford zone, and there is no comford in growh zone,” (Tidak ada pertumbuhan di
zona nyaman, dan tidak ada rasa nyaman di zona pertumbuhan).
Melihat kondisi seperti ini memang terasa sangat meprihatinkan, apalagi kalau sampai
terjadi pada aparat pemerintah. Tentu hal ini akan sangat merugikan, baik untuk
27
dirinya, sendiri institusinya, terlebih masyarakat yang dilayaninya. Karena orang
dengan tipikal seperti ini, cenderung memiliki kinerja dan produktivitas yang biasa-
biasa saja atau mungkin malah lebih buruk dari yang dibayangkan. Mereka biasanya
diliputi oleh suasana keraguan, ketidakpastian dan ketidakpercayaan diri yang tinggi
dalam segala macam urusan yang dikerjakan, termasuk dalam mengambil keputusan
dan menjawab peluang dan tantangan yang dihadapi. Karena itu jadilah benih kata
Matshona Dhliwayo, (Goodreads: 2020). “… tanpa diragukan lagi potensinya, mereka
akan tumbuh menjadi hutan belantara.”
Untuk alasan inilah, kita harus memantapkan diri untuk menemukan potensi yang
tertanam dalam diri kita, karena menurut Travis Rive, “Kita tidak akan pernah
mengetahui potensi maksimal kita kecuali kita memaksakan diri untuk
menemukannya” (Indigo Medical news & events: 2018). Ya, memang pernyataan ini
tidak salah, karena mengenali potensi diri sifatnya adalah conditio sine qua non,
sesuatu yang “wajib” dan “mutlak” diperlukan. Karena itu tidak mengherankan kalau
kemudian frase “identify all your potential” (kenali semua potensimu) menjadi
ungkapan yang sangat umum yang kita temui di berbagai lokasi, termasuk di tempat-
tempat kerja, di sekolah-sekolah, maupun di public facilitas.
Pentingnya mengenal diri sendiri, tidak ubahnya seperti pentingnya mengenal gadget
yang kita miliki, seperti smartphone, kamera, laptop, tablet atau barang elektronik
lainnya. Sebelum mengoperasionalkannya, kita dituntut untuk mengenal terlebih
28
dahulu tombol dan fitur-fiturnya. Biasanya, pada saat kita membeli produk, produsen
sudah menyediakan manual book-nya. Dengan mempelajari buku petunjuk ini,
pembeli dapat mengenal secara detail cara penggunaannya, sehingga dapat
menggunakan kemampuannya secara lebih maksimal.
a) Introspeksi Diri
Secara bahasa, istilah yang sering diidentikkan dengan kata kontemplasi atau
refleksi diri yang secara umum diartikan sebagai proses pengamatan untuk
melihat diri sendiri dan melakukan pengungkapan terhadap pikiran dan perasaan
yang dialami. Meskipun penggunaan istilah ini masih bersifat debatable, karena
sifatnya yang subyektif dan tidak bisa diukur, namun harus diakui bahwa
29
introspeksi diri adalah salah satu metode yang masih digunakan sampai saat ini
untuk memecahkan berbagai macam permasalahan kehidupan manusia. Karena
itu Leroy Chiao, seorang mantan astronaut NASA yang pernah menjadi the
commander of Expedition NASA yang ke-10, tidak ragu dengan manfaat
introspeksi diri dalam menentukan perkembangan kehidupan manusia. Dia
mengatakan, “Tidak mungkin ada orang yang terbang ke luar negeri tanpa
melakukan instrospeksi diri tentang apa itu hidup” (Brainy Quote: 2001-2020).
30
Perlu diketahui Bersama bahwa semakin detail identifikasi dilakukan, maka
semakin sempurna pula kita akan mengenal diri kita sendiri. Dan tentunya, kita
akan semakin mudah untuk mengetahui potensi minat dan bakat kita yang masih
bisa dioptimalkan kapasitasnya. Untuk itu, lakukan brainstorming dengan mengisi
form di bawh ini, dengan menyebutkan secara detail kelebihan dan kekurangan
semua potensi yang kita miliki, baik PQ, IQ, EQ, AQ dan SQ. Setelah itu, beri
uraian masing-masing kelebihan dan kekuranganya di kolom keterangan
sebagaimana table di bawah ini.
Tabel 1
Kelebihan dan Kekurangan Potesi Diri
No. Potensi Kelebihan Kekurangan Keterangan
1. PQ
2. IQ
3. EQ
4. AQ
5. SQ
Isian form diatas kelihatannya mudah untuk dipahami, namun nampaknya tidak
gampang untuk mengisinya. Banyak diantara kita yang merasa gugup dan
binggung, bahkan kadang-kadang harus mengambil nafas panjang untuk memulai
memikirkan dan mengisinya. Alasannya, disamping karena belum terbiasa atau
belum pernah menggali informasi seperti ini sebelumnya, tidak sedikit pula yang
bahkan merasa sungkan untuk “menetapkan” keunggulannya. Kenapa hal ini bisa
terjadi? Karena bagi mereka yang menjunjung tinggi kebiasaan ketimuran ada
perasaan takut untuk dikatakan “pamer” atau takut dikatakan “riya’” atau takut
karena menceritakan kekurangan diri sendiri yang masih dianggap tabu oleh
sebagian masyarakat.
Penjabaran potensi diri di atas akan memberikan gambaran awal tentang berbagai
keunggulan dan kelemahan yang dimiliki. Namun, apabila hal ini dikaitkan dengan
validitas, tentu hasilnya masih perlu diverifikasi agar datanya dapat medekati nilai
obyektif yang diharapkan. Harus diakui bahwa, introspeksi diri masih seringkali
31
diwarnai dengan unsur-unsur subyektifitas yang dalam banyak hal justru dapat
menutupi kekurangan dan melebih-lebihkan keunggulan.
Karena itu, diperlukan bantuan orang lain untuk menegaskan gambaran awal yang
sudah dibuat dan dipetakan. Untuk itu langkah selanjutnya yang harus ditempuh
adalah melakukan kegiatan feedback (umpan balik) dari orang-orang yang kita
kenal di sekitar kita.
Contoh kasus: Atasan anda datang ke kantor dan memperhatikan cara anda
mengajar, kemudian dia berkata "well done” kerjamu bagus!" Setelah itu dia
pergi meninggalkan ruangan tanpa menjelaskan maksud ucapannya.
Statemen singkat seperti ini tentu akan membuat anda merasa puas sesaat,
namun juga bingung dan menanyakan kepada diri sendiri, apa yang
32
membuat kepala sekolah merasa senang dengan cara anda mengajar?
Apakah karena penampilan, ketlatenan, keramahan atau yang lainnya,
semuanya belum jelas. Feedback seperti ini walaupun niatnya baik namun
secara umum tidak terlalu membantu karyawan untuk mengenali kinerjanya
sendiri dalam mencapai prestasi yang diharapkan.
33
radiasi layar computer agar tidak membahayakan mata, bagaimana cara
mengingat tulisan panjang yang akan diketik dalam waktu singkat, dll.
Penjelasannya cukup clear, tapi siapa sebenarnya pihak-pihak yang akan kita
mintai untuk memberikan feedback? Dan bagaimana caranya agar feedback yang
diberikan dapat berjalan secara efektif?
Biasanya orang yang paling tahu diri kita adalah orang yang paling dekat dengan
kehidupan kita sehari-hari, misalnya orang tua, kakak atau adik, saudara, atau
teman-teman di sekolah atau perguruan tinggi, teman kerja, dll. Merekalah yang
selama ini berinteraksi dalam kehidupan kita, baik dikala senang dan susah,
marah dan bahagia, gagal dan berhasil, mandiri dan bergantung, takut dan nekat,
dst. Jadi tidak salah kalau kita menganggap mereka sebagai orang-orang yang
“paling tahu” tentang diri kita bahkan “rahasia kita”.
34
1) Pilihan Waktu.
Untuk menghasilkan feedback yang efektif, lakukan umpan balik tersebut
sesegera mungkin saat kondisi yang diharapkan sedang berlangsung atau
ketika kita sedang menghadapi sebuah keadaan yang harus segera
diperbaiki. Intinya “the closer, the better” (semakin dekat feedback tersebut
diberikan, semakin baik hasilnya). Artinya feedback yang diberikan secara
cepat dapat memberikan peningkatan performance yang lebih baik dibanding
dengan feedback yang ditunda. Karena menunggu terlalu lama dapat
mengakibatkan kesulitan-kesulitan dalam memahami perubahan-perubahan
yang terjadi.
Karena itu, feedback dalam bentuk tulisan, adalah opsi yang sangat
disarankan untuk dilakukan. Keuntungannya, feedback seperti ini, akan
memberikan keleluasaan waktu yang lebih panjang bagi pemberi feedback
untuk menjelaskan masukannya, baik yang berupa pujian ataupun kritikan.
Selain itu, feedback seperti ini juga lebih memberikan privasi kepada
keduabelah pihak karena hanya dilakukan secara berdua antara orang yang
memberi dan menerima feedback.
c) Psikotest
Setelah mendapatkan gambaran yang lebih “akurat” maka langkah terakhir yang
dapat dilakukan untuk menyempurnakannya adalah dengan melakukan psikotest.
Test ini diyakini dapat memberikan penilaian terhadap konstruksi psikologi atau
potensi / kompetensi individu, sehingga dapat diketahui kelebihan dan
kelemahannya, baik potensi intelektual, kemampuan menganalisa, berpikir kreatif,
potensi kerja, vitalitas tubuh, motivasi, ketahanan terhadap stress kerja, serta
kemampuan social, kepekaan perasaan, kemampuan membina relasi sosial dan
potensi kepemimpinan, dll. Selain itu, pelaksanaan penilaian seperti ini juga dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan kompetensi kader yang potensial dalam
rangka mempersiapkan diri untuk menduduki jabatan struktural setingkat lebih
tinggi atau posisi/ jabatan lain yang dianggap strategis.
37
3.1.2. Ciri Orang Yang Mengenal Potensinya
Bagaiman tanda-tandanya orang yang mampu mengenal potensinya?
Orang yang mengenal potensinya memiliki beberapa ciri-ciri yang dapat dilihat.
Menurut La Rose (Sugiharso dkk: 2009) tanda-tandanya bisa dilihat dari sikap dan
perilakunya saat berinteraksi dengan orang lain, antara lain: (a). Suka belajar untuk
memperluas wawasan dan mau melihat kekurangan dirinya sendiri; (b). Memilki sikap
yang luwes dan toleran yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan
persamaan hak; (c). Berani melakukan perubahan secara total, apapun konsekuensi
yang harus dihadapi, demi perbaikan yang lebih baik; (d). Jika terjadi permasalahan,
cenderung tidak mencari kambing hitam untuk menyalahkan orang lain maupun
keadaan; (e). Memilki sikap yang tulus bukan kelicikan yang hanya mengejar
keuntungan sesaat dengan cara-cara yang tidak elegan, bahkan cara-cara “kotor” yang
dapat menghancurkan karakter orang lain; (f). Memiliki rasa tanggung jawab yang
tinggi terhadap kewajiban yang menjadi kewenangannya; (g). Menerima dengan
sukarela segala bentuk kritik dan saran dari luar untuk melakukan perbaikan; (h).
Berjiwa optimis dan tidak mudah putus asa jika mengalami kegagalan.
Dari perbedaan pengenalan ini, dapat dipastikan bahwa orang dengan kategori
pertama tentu akan mendapat manfaat yang paling maksimal dibanding dengan yang
lainya. Karena dengan pengenalannya yang mendalam, ia tidak hanya dapat
memanfaatkannya sebagai media untuk mencari informasi, media untuk berkmunikasi,
media untuk hiburan, sarana untuk menunjang pendidikan, sarana untuk
38
mempermudah pekerjaan saja tapi juga sarana untuk mencari penghidupan secara
lebih luas. Dengan pengetahuannya yang mendalam, mereka dapat memberdayakan
ilmunya sebagi teknisi, hardware enginer, system analis, web developer, information
analyst atau bahkan dosen pengajar.
Manfaat yang berpotensi untuk dipetik oleh orang-orang yang mengenal potensinya
dengan baik, diantaranya adalah:
39
kita yakin bahwa kemampuan bahasa asing kita “layak”. Memaksakannya
mungkin hanya akan membawa mimpi buruk yang akan kita kenang sepanjang
masa. Kompromi yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan menunda
keinginan tersebut dan memotivasi diri untuk dapat memperbaiki kekurangan
dengan mengikuti program-program kursus Bahasa Inggris.
e) Mudah bersosialisasi. Sikap dan prilaku masyarakat sangat heterogen. Untuk
dapat berinteraksi dengan baik kita harus mengenal mereka secara lebih dekat
one by one. Namun pengenalan seperti ini tentu saja belum cukup apabila kita
tidak mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri secara lebih baik pula.
Dengan memahami diri sendiri dan orang lain dengan lebih baik, manusia akan
memiliki potensi yang kuat untuk dapat mengikat tali silaturahmi secara lebih baik,
sehingga interaksi yang dibangun mudah untuk diterima oleh masing-masing
pihak karena didasari atas perasaan saling menghormati dan menghargai satu
sama lainya. Tidak hanya itu saja, Jalaluddin Rumi, seorang penyair sufi yang oleh
Unesco digambarkan sebagai “penyair besar milik semua umat manusia” dalam
sebuah syairnya bahkan mengatakan bahwa dengan mengenal diri kita sendiri kita
akan lebih mengenal Tuhan kita.
40
Ada banyak tujuan dan motivasi seseorang mengembangkan potensi dirinya. Sebagai
abdi negara dan masyarakat, tujuan secara umum pengembangan ini adalah untuk
lebih mengetahui dan mengenali diri sendiri sehingga dapat meaksimalkan kualitas
dan daya saing yang dimiliki dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan
yang baik dan pelayanan publik yang berkualitas.
Masing-masing orang memiliki potensi yang tidak sama satu dengan lainya. Ada yang
menonjol di IQ, tapi lemah di EQ atau kuat di PQ tapi kurang di SQ atau lemah
disemua potensi kecuali EQ, dst. Semua perbedaan ini tentu mempengaruhi tujuan
mereka dalam mengembangkan potensi yang dimiliki. Bagi yang merasa kurang
menonjol PQ-nya, tentu tujuan pengembangannya adalah untuk melatih
meningkatkan kapasitas fisiknya menjadi lebih baik. Demikian halnya bagi yang
merasa EQ-nya “bermasalah,” sehingga interaksi sosialnya juga terhambat, tentu
prioritas tujuannya adalah untuk memperbaiki kualitas kecerdasn emosinya agar
menjadi lebih baik lagi, dsb. Dengan kata lain, setiap orang memiliki tujuan yang
berbeda dalam mengembangkan potensi untuk mendukung capaian kinerja yang
diharapkan.
Untuk dapat memformulasikan tujuan yang hendak dicapai tersebut secara efektif
maka harus mengikuti Langkah-langkah yang terstruktur. Dalam pembelajaran ini,
penyusunannya disarankan untuk mengikuti kaidah SMART (Spesific, Measurable,
Applicabe, Realistic dan Time bound), sebagaimana yang dijabarkan Meyer, (2006),
dalam bukunya yang berjudul, Attitude is Everything. Penjabaran kaidah ini adalah
sebagai berikut:
41
b) M (Measurable). Target yang hendak dicapai bersifat terukur. Pertanyaan yang
dapat diutarakan, diantarnya: Berapa banyak target yang hendak dicapai? Apa
indicator kalau target tersebut telah tercapai? dsb.;
c) A (Attainable). Target hendaknya bersifat realistis dan dapat dicapai. Contoh
pertanyaannya: How: Bagaimana target tersebut akan dicapai? Apa sarana dan
prasarana yang akan digunakan untuk mencapai target terebut, dsb.?
d) R (Relevant). Menekankan pada pentingnya memilih target yang tepat, dengan
mengajukan beberapa pertanyaan, seperti: Apakah program ini layak untuk
dilakukan, jelaskan alasannya? Apakah program ini sudah sesuai dengan
kebutuhan yang diharapkan? Apakah anda orang yang tepat untuk mengejar
target ini? Dll.;
e) T (Timely). Menekankan pada pentingnya ketepatan waktu yang dibatasi oleh
deadline pencapaian target. Beberapa pertanyaan yang harus dijelaskan, adalah:
Kapan program akan dilaksanakan? Apa program tersebut dapat diselesaikan
dalam yang telah ditentukan? Apakah ada alternatif lain apabila program tidak
dapat diselesaikan sesuai batas waktu yang telah ditentukan? dll.
42
interaksi dengan yang lainya (Rakhmad, 2004). Sementara Calhoun dan Acocella
(1995) membedakan konsep ini menjadi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep
diri negatif. Menurutnya apabila seseorang memiliki konsep diri positif, maka
perilaku yang muncul cenderung positif. Sebaliknya, apabila seseorang menilai
dirinya negatif, maka perilaku yang muncul pun cenderung negatif.
Dengan berpedoman pada konsep diri di atas, seorang pegawai ASN dapat
“merekonstruksi” kembali konsep dirinya untuk melakukan pengembangan
potensinya. Pengembangan ini dasarkan pada penilaian yang sudah dilalukan,
baik dari hasil instrospeksi diri, feedback, psikotest, maupun segala hal yang
berkaitan dengan pengalaman hidup yang sudah dijalani. Untuk membandingkan
konsep diri dengan standar harapan yang diinginkan, maka pertanyaan
selanjutnya yang harus dijelaskan adalah: Apakah konsep diri ini sudah sesuai
dengan gambaran kinerja ASN sebagaimana yang dituangkan dalam UU No. 5
tahun 2014 yang ingin membangun ASN memiliki integritas, profesional, netral
dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat
dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan
bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945? Semua penulisan konsep ini
harus dilakukan secara obyektif, yakni dari sudut pandang yang bisa menghargai
siapa diri kita sendiri apa adanya. Seandainya dalam konsep diri tersebut
terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan standar kopentensi yang ada, maka
itulah gambaran riil potensi kita yang akhirnya terbangun menjadi persepsi diri.
Dan persepsi ini akan mempengaruhi pandangan dan perilaku kita dalam
43
menjalani kehidupan sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Konsep diri yang
positif maupun negative akan berdampak secara langsung maupun tidak
langsung terhadap pengembangan potensi diri kita dan lingkungan disekitarnya.
Dengan menyajikan gambaran diri secara benar, maka kita sudah menggambar
konsep diri kita yang baru dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Contoh: Seorang pegawai ASN yang sering dimarahi atasan karena sering
terlambat, atau dijauhi teman sejawat karena sering berkata dusta, atau tidak
pernah dipuji karena tidak pernah berprestasi, pada umumnya konsep dirinya
cenderung negatif. Persepsi yang terbentuk dari konsep diri di atas juga akan
negative, karena pegawai tersebut akan menganggap semua perlakuan yang
diterimanya adalah bentuk hukuman atas segala kesalahan yang dilakukannya
atau kelemahan yang dimiliknya. Sebaliknya, kalau konsep dirinya positive,
seperti ia sering dipuji atasan karena tidak pernah terlambat, atau disenangi
teman karena sering membantu, dll., maka persepsi yang dibangun juga akan
positive. Apalagi kalau lingkungan tempat kerjanya juga kondusive, maka mereka
juga akan merasa dihargai dan tumbuh menjadi pribadi yang positif pula. Namun
demikian patut dicatat bahwa konsep diri bukanlah sesuatu yang statis, yang
tidak berubah selamanya. Sebaliknya, konsep ini sifatnya sangat dinamis. Sangat
mugkin untuk terus berubah, tergantung pada situasi dan kondisi yang
mempangaruhinya.
b) Meminimalisasi Hambatan
Membuat kesalahan adalah sesuatu yang lumrah terjadi bagi seorang karyawan
walaupun mengakuinya adalah sesuatu yang berat. Namun bagi orang yang bijak
yang tahu akan tanggung jawab tentu bukan hal yang sulit untuk tetap
mengakuinya walau mungkin memalukan. Di sinilah dibutuhkan kebesaran hati
seseorang. Coba hal ini kita tanyakan pada diri sendiri, apakah kita termasuk
golongan orang-orang yang berbesar hati mau mengakui kesalahan sendiri atau
orang-orang yang “coward” (pengecut) yang mengingkarinya dan mencari
“kambing hitam” untuk menimpakan kesalahan tersebut kepada orang lain?
44
Jadilah orang yang kuat karena menurut Debasish Mridha “Dengan menyalahkan
orang lain anda tidak pernah menang, tetapi anda benar-benar kehilangan hati
nurani anda sendiri, lagi dan lagi, (Goodreads: 2020). Lagian menyalahkan orang
lain hanya membuang-buang waktu dan energi yang sama sekali tidak
menyelesaikan masalah. “Problems are only resolved when solutions are sought"
(Problem hanya dapat diselesaikan ketika kita mencari solusinya), kata Catherine
Pulsifer. Karena itu ambillah tanggung jawab ini ditangan kita sendiri. Akui
kesalahan tersebut sebagai kelemahan kita dan berniat untuk memperbaikinya.
Dengan pikiran positif seperti ini, proses pengembangan potensi akan lebih
mudah untuk dilakukan.
1) Hambatan internal, yaitu hambatan yang berasal dari diri kita sendiri.
Hambatan ini adalah hambatan terbesar yang kita hadapi dibanding dengan
factor eksternal. Contohnya: Sikap enggan untuk mengenal diri sendiri,
selalu berprasangka negative terhadap setiap proses pengembangan yang
dilakukan, ketidak mampuan untuk memecahkan masalah, tidak memiliki
kreativitas yang kuat, tidak dapat mengelola waktu secara efektif, sehingga
cenderung menunda-nunda pogram pengembangan yang sedang dilakukan,
terlalu membatasi diri sehingga tidak mampu untuk berpikir secara imajiner
(thinking out of the box), takut melakukan kesalahan dan juga takut
melakukan kegagalan.
2) Hambatan eksternal, yaitu hambatan yang berasal dari luar diri kita sendiri.
Hambatan ini bisanya berasal dari lingkungan keluarga maupun lingkungan
kerja yang tidak mendukung pelaksanaan pengembangan potensi diri.
Contohnya diantaranya adalah atasan yang tidak mau tahu atau bahkan
menentang program pengembangan potensi yang dianggap buang-buang
45
waktu atau teman sejawat yang tidak mau memberikan feedback sebagai
bahan untuk melakukan evaluasi diri, dll.
46
4) Tentukan bagaimana cara mencapainya. Pilihlah sarana dan prasarana apa
yang akan digunakan untuk menyelenggarakan prses pengembangan ini.
Contoh: cara untuk mencapainya dilakukan dengan mengikuti kursus
berenang.
5) Tentukan tolok ukur untuk menilai keberhasilannya. Contoh tolok ukurnya
adalah program akan diselesai selama dua bulan dengan harapan hasil
memuaskan.
47
Yaitu pengembangan potensi yang dilakukan individu untuk melatih dan
mengembangkan potensinya guna menunjang pelaksanaan tugas yang
menjadi tanggung jawabnya dan untuk memenuhi kebutuhan standard
kompetensi jabatan yang dipersyaratkan.
48
b) Bentuk Pengembangan
Bentuk pengembangan potensi diri dapat dilakuan melalui jalur: (a). Pendidikan.
Pengembangannya dapat dilakukan melalui kegiatan yang menekankan pada
proses pembelajaran tatap muka di dalam kelas, seperti: pelatihan struktural
kepemimpinan; pelatihan manajerial; pelatihan teknis; pelatihan fungsional;
pelatihan sosial kultural; seminar/konferensi/sarasehan; workshop atau lokakarya;
kursus; penataran; bimbingan teknis; sosialisasi; (b). Pelatihan.
Pengembangannya terdiri atas: pelatihan klasikal dan pelatihan non-klasikal.
Pengembangan non-klasikal dilakukan melalui kegiatan yang menekankan pada
proses pembelajaran praktik kerja dan/atau pembelajaran di luar kelas yang
dilakukan melalui jalur: coaching; mentoring; e-learning; outbond; benchmarking;
pertukaran pegawai; komunitas belajar; bimbingan di tempat kerja; magang/praktik
kerja.
c) Tips Pengembangan
Pengembangan potensi diri dilakukan dengan memanfaatkan waktu yang dimiliki
untuk menggali bakat dan kemampuan yang sudah tertanam untuk dioptimalkan
kapasitas kemampuannya. Terdapat berbagai cara atau metode untuk dapat
memaksimalkan potensi diri yang semuanya saling berkaitan dan saling
melengkapi satu dengan yang lainya, diantarnya adalah sebagai berikut:
49
before you have started” (dengan kepercayaan diri anda akan menang
sebalum memulainya). Sebaliknya, tanpa kepercayaan diri yang kuat manusia
hanya akan diliputi oleh rasa ragu-ragu, bingung, rendah diri, takut dan kuatir
sehingga tidak berani untuk mengambil suatu keputusan atau tindakan yang
diperlukan. Namun demikian, tidak semua bentuk percaya diri adalah positif.
Kepercayaan diri yang berlebihan tentu tidak baik. Karena karyawan yang
terlalu percaya diri biasayna tidak hati-hati, bahkan terkesan “semau gue”.
Tidak jarang sikap seperti ini akan menimbulkan potensi konflik dengan orang
lain, baik dengan kolega di kantor maupun dengan masyarakat.
50
berbekal kepercayaan diri seperti ini, permasalahan yang muncul akan mudah
untuk diselesaikan dengan lebih tenang.
Hal lain yang juga dirasa penting untuk dilakukan agar prose pemulihan dapat
berjalan lancar adalah melakukan pengembangan potensi fisik (PQ). Dengan
latihan yang rutin kondisi fisik akan kembali bugar dan kepercayaan diri juga
akan ikut meningkat. Beberapa kegiatan yang dapat meningkatkan PQ,
diantaranya adalah: melatih keseimbangan tubuh, berlatih dengan alam,
seperti mengikuti kegiatan outdoor, mengikuti seni pertunjukan drama,
comedy, dll., Mengembangkan hobi olah raga, temasuk jogging, cycling,
badminton, tenis meja, dst.
51
vi. Mempertahankan prinsip hidup yang diyakini sehingga dapat
memberikan semangat yang jelas pada tujuan hidup sebagai pelayan
masyarakat.
Bermula dari pengalaman pahit, banyak tokoh-tokoh dan ilmuwan hebat dunia
yang dulunya pernah gagal dan bahkan diremehkan kemudian bangkit dan
merubah kekurangannya menjadi keberhasilan yang sepektakuler. Contohnya
adalah Benjamin Franklin, orang yang pernah mengalami keterpurukan hidup
dengan pengalaman pahit putus sekolah namun kemudian dengan
kegigihannya berubah menjadi ilmuwan serbabisa dan tokoh sentral Revolusi
Amerika tahun 1700-an; Tak kalah serunya cerita Thomas Alfa Edison yang
juga banyak membuat orang tertegun-tegun membaca biografinya yang
“fantastis.” Sebagai penemu besar di dunia yang memiliki 2,332 patent
diseluruh dunia, ayah dari enam orang anak ini, walaupun pernah mengalami
pengalaman pahit dengan 9000 kali kegagalan dalam melakukan percobaan,
akhirnya sukses membuat lampu pijar yang menggemparkan dunia.
Contoh di atas adalah cermin otentik dari orang-orang yang memiliki semangat
yang kuat meski diuji dengan berbagai macam kegagalan dan
ketidakberuntungan. Mereka membuktikan bahwa tidak ada kata menyerah
ketika kegagalan dan keterbatasa menghadang. Bahkan yang dilakukan
52
adalah sebaliknya, mereka mengambilnya sebagai pengalaman berharga
untuk menapaki tangga keberhasilan yang diliputi dengan semangat dan
motivasi tinggi. Seperti halnya pepatah yang mengatakan, “Usaha dan kerja
keras tidak akan kembali dengan sia-sia.” “Saya sukses, karena saya telah
kehabisan apa yang disebut kegagalan,” Kata Thomas Alfa Edison.
3) Menambah Pergaulan.
Janganlah “Seperti katak dalam tempurung.” Itulah pribahasa yang secara
umum artinya adalah picik, yaitu orang-orang yang berpikiran sempit dan tidak
memiliki wawasan yang luas. Orang-orang seperti ini biasanya merepresentasi
golongan yang mengalami stagnasi potensi, terutama potensi emosi (EQ).
Berebeda dengan orang yang memiliki wawasan yang luas, mereka biasanya
memiliki daya pikir yang kritis, teoritis dan aktif. Karena itu mereka sering
disebut orang yang berpengetahuan, yaitu orang yang mengetahui banyak hal.
Ketika diajak diskusi, biasanya mereka selalu nyambung apapun tema yang
dibahas dan pertanyaan yang diajukan. Disamping itu mereka juga akan
bersenang hati utuk dapat menerima saran, kritik dan masukan yang bersifat
membangun dari orang lain. Dengan membuka diri secara luas, hal ini tidak
hanya mempercepat proses pengembangan potensi yang dilakukan, tapi juga
dapat digunakan untuk membangun jaringan, menjadi tempat untuk saling
sharing satu dengan lainnya, tempat menyalurkan bakat, serta wahana untuk
pemenuhan kebutuhan hidup, dll.
Sangat mudah untuk mengenali ciri-ciri orang dengan tipikal seperti ini.
Beberapa sifat tersebut yang dapat diidentifikasi diantaranya adalah: selalu
menumbuhkan rasa ingin tahu melalui kegiatan membaca, browsing, tidak
malu bertanya; ingin selalu keluar dari zona nyaman (comfort zone) atau selalu
mencari tantangan baru, bahkan melakukan hal-hal yang selama in sangat
dibenci; mempelajari tokoh-tokoh yang dapat meningkatkan motivasi; dan
sering membagi ilmu kepada yang lain karena bersendikan kepada pepatah
yang mengatakan “The more you give, the more you get” (Semakin banyak
yang kita beri, semakin banyak pula yang kita dapatkan).
53
Penjelasan tentang pergaulan di atas mereupakan salah satu bagian dari
potensi manusia yang disebut Emotional Quotient. Secara umum, orang yang
memiliki pergaulan yang baik menandakan tingkat EQ-nya tinggi. Jadi
meningkatkan kemampuan berinteraksi social berarti juga meningkatkan
kepasitas EQ-nya. Pertanyaanya, adakah kiat-kiat untuk meningkatkan EQ.
Tentu saja jawabannya ada. Berikut ini adalah, cara-cara yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kecerdasan Emosi (EQ) seseorang,
diantaranya adalah: (1). Mengurangi emosi negative. Caranya adalah dengan
mengubah cara berpikir, tidak mudah berprasangka buruk, mencoba
berlapang dada, mengalah, mencoba tersenyum, dll.; (2). Berlatih tetap tenang
dalam mengatasi masalah yang dapat menimbulkan stress. Beberapa cara
yang cukup efektif, diantaranya adalah dengan membasuh tangan dan wajah
dengan air untuk mendinginkan gelora tubuh yang membara atau mulai
kegiatan berolah raga ringan untuk mengurangi stress; (3). Berlatih
mengekspresikan karakter yang tidak mudah dan tidak biasa dilakukan, seperti
memberanikan diri untuk tidak sependapat, berusaha sekuat mungkin untuk
mendapatkan apa yang menjadi haknya, melindungi diri sendiri dari segala
macam bentuk ancaman, hambatan, dan gangguan; (4). Berusaha untuk
selalu bersikap proaktif dalam menghadapi permasalahan untuk mencari
solusi yang dibutuhkan, namun bukan bersifat reaktif yang bahkan dapat
memicu emosi dan pertengkaran; (5) Belajar untuk selalu kuat dalam
menghadapi ujian kehidupan.
4) Menambah Pengetahuan
Mengembangkan potensi tentu saja harus diikuti dengan penambahan
pengetahuan. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menambah
pengetahuan yang akhirnya juga dapat meningkatkan kecerdasan kita,
terutama IQ, diantaranya adalah: (a). Membaca buku, koran, majalah dan
jurnal, serta laporan-laporan institusi; (b). Mendengar melalui diskusi dengan
rekan kerja dan tenaga profesional di sekitar kita, mengikuti kegiaan seminar,
workshop, konferensi atau webinar, dll., (c). Menggunakan teknologi dengan
54
cara nonton TV, radio, menggunakan mesin pencari di internet (searching
engine), program daring, dl., (d). mengembangkan keterampilan otak dengan
kegiatan-kegiatan positive, seperti menjawab puzzle, tebak kata, teka teki
silang, dan lain-lain., (e). Makan makanan secara teratur dan bergizi untuk
kesehatan otak, serta melakukan istirahat yang cukup, dll.
55
memberikan perhatian kepada kebutuhan diri sendiri; bersikap jujur pada diri
sendiri; memaafkan diri sendiri, dll.
Salah satu tokoh yang layak untuk dijadikan sebagai contoh dalam topik ini
adalah BJ Habibie, mantan presiden RI ketiga yang dijuluki Bapk Teknologi
Indonesia. Karena prestasi dan personalitinya, banyak sifat-sifat beliau yang
kemudian dijadikan teladan oleh anak-anak Indonesia, termasuk dorongan
untuk berprestasi. Sifat inilah yang akhirnya menjadikannya sebagai orang
yang jenius yang berhasil menciptakan berbagai inovasi di dunia aviasi,
termasuk keberhasilannya menemukan rancangan DO-31, pesawat
transportasi berbaling-baling tetap pertama yang memiliki kemampuan untuk
56
mendarat dan tinggal landas secara vertical yang kemudian hak patennya
dibeli oleh Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA. Tidak itu saja beliau juga
mampu membidani kelahiran N-250 Gatotkaca, pesawat kebanggaan
Indonesia pertama yang melakukan penerbangan perdana lima puluh tahun
setelah Indonesia merdeka.
7) Menghargai waktu.
Salah satu indicator keberhasilan dalam pengembagan potensi adalah
bagaimana kita dapat menghargai waktu dengan sebaik-baiknya. Kita
menyadiari bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat penting dalam
kehidupan ini. Ia terus berjalan tanpa henti, dari detik berganti menit dan dari
menit berubah menjadi jam, dst. Dan apabila sudah berlalu, ia tidak akan
kembali lagi ke titik awal sebagaimana ia memulai. Karena itu, dengan waktu
yang kita miliki, kita bisa merencanakan masa depan, namun masa lalu
tidaklah mungkin bisa dihidupkan kembali.
57
Oleh karena itu, memanfaatkan waktu adalah sesuatu yang bijaksana yang
dapat dilakukan oleh seseorang karyawan dalam menjalani kehidupan ini. Kita
akan menyesal ketika waktu yang kita miliki berlalu begitu saja tanpa dapat
memanfaatkannya menjadi sesuatu yang positif dan produktif. Leo Buscaglia,
professor di Universitas Soutern California yang dijuluki "Dr. Love," menyakini
bahwa: “Waktu tidak memiliki arti kecuali jika kita memilih untuk membuat
waktu tersebut menjadi penting” (Time has no meaning in itself unless we
choose to give it significance). Apalagi kalau kita meyadari bahwa
sesungguhnya manusia adalah mahluk yang “terbatas”. Mereka senantiasa
berada dalam kerugian apabila tidak dapat memanfaatkan waktu degan
sungguh-sungguh. Karena itu, pengembangan potensipun juga akan lebih
efektif jika kita mampu memanfaatkan lima perkara sebelum datang lima
perkara, yaitu: (1) memanfaatkan waktu muda sebelum datang waktu tua, (2)
memanfaatkan waktu sehat sebelum datang waktu sakit, (3) memanfaatkan
masa kaya sebelum datang masa kefakiran, (4) memafaatkan masa luang
sebelum datang masa sibuk, dan (5) memanfaatkan hidup sebelum datang
mati” (HR. al-Hakim).
58
BAB IV
Faktor Pendukung dan Manfaat
Pengembangan
―Brian Tracy
59
bertaubat dan tidak mengulangi kesalahan, keinginan untuk meraih cita-cita,
keinginan utk menjaga nama baik keluarga dan diri sendiri, dan keinginan utk tdk
gagal.
60
h) Semakin besarnya pengakuan atas kemampuan seseorang,
i) Makin besar bagi pegawai untuk bersikap mandiri,
j) Mengurangi ketakutan dalam menghadapi tugas-tugas baru.
BAB V
Penutup
―John Dryden
“He who would search for pearls must dive below.” Ungkapan yang disampaikan oleh John
Dryden, seorang kritikus sastra yang mendapat Poet Laureate pertama asal Inggris pada
1668 ini sangat pas dengan irama perjuangan yang saat ini sedang diperdendangkan di
seantero negeri. Perjuangan bangsa Indonesia untuk meningkatkan “gengsinya” di tengah-
tengah iklim persaingan yang semakin “brutal” akibat pandemic covid 19 yang meruntuhkan
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, tidaklah membuatnya “lunglai”. Bangs ini
telah melewati rentang sejarah perjuangan yang begitu panjang yang membuatnya semakin
memahami akan arti sebuah kemenangan.
“Barang siapa yang mengharapkan permata, maka dia harus meraihnya dengan berenang
sampai kelaut terdalam”, adalah kalimat yang senada dengan semangat perjuangan bangs ini
ketika mati-matian membebaskan dirinya dari belenggu penjajah, “Rawe-rawe rantas malang-
malang putung”, segala sesuatu yang merintangi maksud dan tujuan harus disingkirkan.
61
Saat ini, hidup dalam dimensi perjuangan yang berbeda, bangs ini sedang menjalani fase
perjuangan tidak kalah sulitnya untuk mengangkat derajat sumber daya manusia yang
dimilikinya kelevel peradaban yang katanya lebih “menjanjikan.” Berbagai usaha telah
dilakukan terutama sejak Pemerintah mengeluarkan PP No. 81 Tahun 2010 Tentang Grand
Design Revormasi Birokrasi 2010-2025. Sejak saat itu perombakan besar-besaran untuk
memperbaiki kualitas SDM telah dilakukan secara massive dan terstruktur. Pengembangan
potensi ASN juga telah menjadi focus perhatian untuk di “poles”. Suatu usaha besar yang
patut diacungi dua “jempol”. Tentu saja kita yakin, walaupun tantangannya tidaklah ringan.
Kedepan, entah 10 atau 15 atau bahkan 100 tahun lagi, insyaaAllah, dengan semakin
meningkatnya potensi dan kompetensi SDM yang dimiliki, tentu hal ini akan melengkapi
“keunggulan” sumber daya alam yang selama ini menjadi “satu-satunya” comparative
advantage bangsa Merah Putih.
Hanya kepasrahan dan ketawakalan saja kita haturkan semua ini di hadapannya. Dia Yang
Menciptakan, Dia Yang Memelihara, dan Dia pula Yang akan Mengakhirkan.
Pengembangan potensi ASN akan membawa angin segar bagi perbaikan tata kelola
pemerintahan di Indonesia menuju good governance. Dengan pengembangan ini, ASN
tidak hanya memililki kapasitas maksimal untuk menunjang pelaksanaan tugas yang
menjadi tanggung jawabnya, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan standard kompetensi
jabatan yang dipersyaratkan.
Namun sayang selama ini banyak karyawan di lingkunga Pemerintah Kota Surabaya yang
belum betul-betul mengenal potensinya, baik potensi fisik, IQ, EQ, AQ. Kondisi ini tentu saja
memiliki implikasi yang kurang baik bagi penerapan manajemen ASN berbasis merit.
Dihadirkannya buku ini, mudah-mudahan dapat mengisi gap yang masih kosong sehingga
62
peningkatan potensi ASN bukan lagi menjadi “utopia”, atau sesuatu yang hanya ada di ide
atau gagasan tapi sulit untuk direalisasikan.
Artinya secara kelembagaan tujuan ini digunakan untuk memastikan bahwa organisasi
mempunyai orang orang yang berkualitas untuk mencapai tujuannya dalam meningkatkan
kinerja dan pertumbuhan (Armstrong: 1997). Karena itu untuk mencapainya harus
dipastikan bahwa setiap karyawan harus mempunyai kualifikasi, kompetensi dan kinerja
sesuai dengan tingkat kemampuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas yang
diamanatkan secara efektif dan efisien. Dengan demikian, harapan untuk menciptakan
produktivitas kerja yang tinggi dapat dicapai secara optimal dan pelayanan prima kepada
masyarakat juga semakin dapat ditingkatkan kualitasnya. Secara lebih rinci menurut
Schuler dalam Sondang P Siagian (1991) tujuan dari pengembangan potensi dalam dunia
pekerjaan adalah untuk:Ten
Penyusunan bahan ajar ini merupakan ikhtiar Pemerintah Kota Surabaya dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas ASN yang dilakukan melalui jalur e-
learning. Dengan menyajikan pembelajaran “Pengembangan Potensi ASN” melalui metode
pembelajaran jarak jauh ini diharapkan dapat membuka kesempatan yang lebih luas
kepada ASN di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya untuk mempelajarinya. Diharapkan
dengan semakin banyaknya ASN yang mengikuti pembelajaran ini, hal ini dapat
meningkatkan pemahaman tentang besarnya potensi diri yang dimiliki yang perlu
dikembangkan untuk menunjang pelaksanaan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Tidak itu saja kebutuhan untuk meningkatan potensi ini juga menjadi sangat penting guna
memenuhi kebutuhan standard kompetensi jabatan yang saat ini sedang digalakkan oleh
Pemerintah Pusat.
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Michael, (1994), “Seri Pedoman Manjemen, Manajemen Sumber Daya Alam,”
Gramedia, Jakarta.
63
Brainy Quote, (2001-2020), “Paul Watson Quotes,” https://www.brainyquote.com/quotes
/paul_watson_641839, diakses pada tanggal 26 Oktober 2020
Brainy Quote, (2001-2020), “Introspection Quote,” https://www.brainyquote.com/topics/
introspection-quotes, diakses pada tanggal 29 Oktober 2020.
Calhoun, J.F., dan Acocella, J.R., (1995), “Psikologi tentang penyesuaian dan hubungan
kemanusiaan,” Alih bahasa: R.S. Satmoko, Ikip Semarang Press, Semarang.
Covey, Stephen, (2004), “The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness,” Free Press, New
York.
Emmons, R.A., (2000), "Is spirituality an intelligence? Motivation, Cognition, and the
Psychology of Ultimate Concern,” The International Journal for the Psychology of
Religion, Volume 10, Issue 1.
Fanani, Abd. Chayyi, (2003), “Studi tentang Metode Belajar Mahasiswa Pendidikan Agama
Islam dalam Upaya Pengembangan Diri di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel
Surabaya Periode 2000-2002, skripsi, fakultas tarbiyah UIN Sunan Ampel
Surabaya.
Gardner, Howard, (1993), “Multiple Intelligences,” Basic Books, New York.
Ginanjar, Agustian Ary, (2001), “Emotional Spiritual Quotient (ESQ),” Arga Publishing,
Jakarta.
Goleman, D., (1995), “Emotional Intelligence,” Bantam Books, Inc., New York.
Goodreads, (2020), ”Dalai Lama>Quotes,” https://www.brainyquote.com/quotes/dalai_lama
_387284, diakses pada tanggal 27 Oktober 2020.
_________, (2020), ”Robbie Vorhaus>Quotes,” https://www.goodreads.com/author/quotes/
8526444.Robbie_Vorhaus, diakses pada tanggal 27 Oktober 2020.
_________, (2020), “Lao Tzu > Quotes > Quotable Quote,”
https://www.goodreads.com/quotes
/2979-knowing-others-is-intelligence-knowing-yourself-is-true-wisdom-mastering,
diakses pada tanggal 28 Oktober 2020.
_________, (2020), ”Doubt Quotes Quoter,” https://www.goodreads.com/quotes/tag/doubt-
quotes, diakses pada tanggal 28 Oktober 2020.
_________, (2020), “Blaming Others Quotes,”
https://www.goodreads.com/quotes/tag/blaming-others, diakses pada tanggal 29
Oktober 2020.
Habsari, Sri, (2005), “Bimbingan & Konseling SMA kelas XI,” Grasindo, Jakarta.
Halford, Scott, (2020), “5 Steps for Giving Productive Feedback,”
https://www.entrepreneur.com/ article/219437, diakses pada tanggal 21
September 2020.
Hasibuan, M., (2003), ”Organisasi dan Motivasi Dasar Peningkatan Produktivitas,” Bumi
Aksara, Jakarta.
Indigo Medical news & events, (2018), “If we want authenticity, we have to initiate it,”
https://www.indigomedical.co.uk/2018/02/14/591/, diakses pada tanggal 28
Oktober 2020.
Jalaluddin, (2003), “dkk,” PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Jaya, Yahya, (1994), “Spiritual Islam,” Ruhama, Jakarta.
Meyer, Paul J., (2006), “Attitude is Everything,” Attitude & Motivation Vol. 2., The Leading
Edge Publishing Co.
Mulyaningtyas, B. R. dan Hadiyanto, Y. P., (2007), “Bimbingan dan Konseling untuk SMP,”
Esis Erlangga, Jakarta.
Sunar, (2010), “Edisi Lengkap Tes IQ, EQ dan SQ,” Flash Books, Jogjakarta.
64
Palmer, Joy A., (2001), “Fifty Modern Thinkers on Education,“ Routledge,
https://openlibrary.org/works/OL8091924W/Fifty_Modern_Thinkers_on_Education,
diakses pada tanggal 16 Oktober 2020.
Pasiak, Taufik, (2005), “Revolusi IQ / EQ / SQ Antara Neurosains dan Al-Quran,” Mizan,
Bandung.
Population Matters, (2020), “Population: the Numbers,” diakses pada tanggal 24 Juli 2020.
Prihadhi, Endra K., (2004), “My Potensi,” Elek Media Komputindo, Jakarta
Pryana, Irvan Surya, (2019), “Pengertian dan Fungsi Manual Book,”
https://solusiprinting.com/pengertian-dan-fungsi-manual-book/, diakses pada
tanggal 10 September 2020.
Rakhmat, J., (2004), “Psikologi komunikasi,” PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Safaria, (2007), “Spritual Intellegence: Metode Peengembangan Kecerdasan Spritual Anak,”
Graha Ilmu, Yogyakarta.
Sondang P. Siagian, (1991), “Manajemen Sumber Daya Manusia,” Bumi Aksara, Jakarta.
Stoltz, Paul G., (2000), “Adversity Quotient; Mengubah Hambatan Menjadi Peluang,”
Grasindo, Jakarta.
Sugiharso, dkk., (2009), “Pendidikan Kewarganegaraan,” Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional, Jakarta.
Suherman, Adang, (1998), “Umpan Balik. Strategi belajar mengajar pendidikan jasmani dan
kesehatan.”
Suprapti, Wahyu, (2015), “Bahan Ajar Diklatpim Tingkat III, Agenda Inovasi, Pengembangan
Potensi Diri,” Lembaga Administrasi Negara, Jakarta.
Vaughan, F., (2002), "What is Spiritual Intelligence?" Journal of Humanistic Psychology, Vol
42, No. 2.
Watson, D., (1988), ”Development and Validation of Brief Measures of Positive and Negative
Effect", Jurnal Kepribadian dan Priskologi Sosial.
Wibowo, Hery, (2007), “Fortune Favor the Ready,” OASE Mata Air Makna, Bandung.
Wiryokusumo, Iskandar, dkk., (1982), “Kumpulan-Kumpulan Pemikiran dalam Pendidikan,”
CV. Rajawali, Jakarta.
Wiyono, Slamet, (2006), “Managemen Potensi Diri,” PT Grasindo, Jakarta.
Worldometers, (2019), "Current World Population,” https://www.worldometers.info/world-
population/, diakses pada tanggal 24 Juli 2020
World Wide Fund For Nature, (2020), “How many species are we losing?”
https://wwf.panda.org/our_work/biodiversity/biodiversity/, di akses pada tanggal 22
Juli 2020.
Zohar, Danah., (2000), ”SQ: Connecting with Our Spiritual Intelligence,” Bloomsbury, London.
65
66