OG(K)
i|Page
ii Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
iii | P a g e
iv Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
3. Anggota:
- Mayor Jenderal TNI (Purn) DR. Dr. Heridadi, MSc
- Mayor Jenderal TNI (Purn) Dr. Ben Yura Rimba
- Mayor Jenderal TNI (Purn) DR. Dr. Tugas Ratmono, Sp.S, MARS, MH
- Prof. DR. Dr. Errol U Hutagalung, Sp. B, Sp. OT (K)
- Prof. DR. Dr. Farid Anfasa Moeloek, Sp. OG (K)
- Prof. DR. Dr. Abdul Razak Thaha, M.Sc, Sp. GK
- Prof. DR. Dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD-KHOM
- Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH
- Prof. DR. Dr. David Perdanakusumah, Sp.BP-RE (K)
- Prof. DR. Dr. M. Ahmad Djojosugito, M.H, Sp.B, Sp.OT
- Prof. DR. Dr. Idris Idham, Sp.JP (K)
- Prof. DR. Dr. Samsuridjal Djauzi, Sp. PD-KAI
- Prof. Dr. Menaldi Rasmin, Sp.P (K)
- Prof. DR. Dr. Agus Purwadianto, DFM, S.H, M.Si, Sp.F (K)
- Prof. DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes
- Prof. DR. Dr. Ari Fachrial Syam, Sp.PD-KGEH, MMB
- Prof. DR. Dr. Bambang Supriyatno, Sp.A (K)
- DR. Dr. Prijo Sidipratomo, Sp.Rad (K)
- Prof. DR. Dr. Sukman Tulus Putra, Sp.A (K)
- Prof. Dr. Fasli Jalal, Ph.D
- Prof. Dr. Ali Ghanie, Sp.PD-KKV
- Dr. Merdias Almatsier, Sp.S (K)
- Dr. Zaenal Abidin, S.H, M.H
- DR. Dr. Poedjo Hartono, Sp.OG (K)
- Dr. Pranawa, Sp.PD-KGH
- Dr. H. M. Subuh, MPPM
- Dr. Ario Djatmiko, Sp.B-K.Onk
- DR. Dr. Muhammad Rizal Chaidir, SpOT (K), MMRS, MH.Kes, FICS, M.Kes
Dalam perjananan waktu ada beberapa masalah yang dihadapi IDI, antara lain perubahan
suasana politik di pemerintahan,DPR dan situasi adanya stagnasi poltik pendidikan
kedokteran di Indonesia dilihat adanya perubahan Prolegnas DPR 2022-2023 akibat tekanan
pihak pemerintah (Kemenkes, Kemen Ristek Dikti, dan KemenKumHam, dan Presiden (?)
untk Mengajukan RUU Kesehatan OB , RUU Sisdiknas, yang saat ini dalam pembahasan di
Baleg DPR yang kemungkinan dipaksakan masuk pada Prolegnas DPR 2023. Bahkan
dipersiapkan PERPU KesNas bilamana RUU Kes OB gagal.
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Yang menjadi pertanyaan apa yang akan dilakukan IDI kedepan. Dengan beberapa. Pilihan
Alternatif. Pilihan alternatif (Diputuskan dalam Rapat Koordinasi IDI, Wantim IDI,Tim Kuhusus
Dikdok IDI – pada tanggal 16 Januari 2022
1. DISKURSUS ISU-ISU PENDIDIKAN KEDOKTERAN DALAM RUU KESEHATAN
(OMNIBUS)
v|Page
vi Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
vii | P a g e
viii Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
ix | P a g e
x Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
xi | P a g e
xii Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
xiii | P a g e
xiv Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
xv | P a g e
xvi Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
xvii | P a g e
xviii Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
xix | P a g e
xx Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
xxi | P a g e
xxii Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
xxiii | P a g e
xxiv Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
xxv | P a g e
xxvi Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
xxvii | P a g e
xxviii Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
xxix | P a g e
xxx Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
xxxi | P a g e
xxxii Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
xxxiii | P a g e
xxxiv Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Resume Rapat hari Selesa sore 28 Maret 2023 dari DR.Fika 1. IDI HARUS BERANI
BERTINDAK bukan hanya debat dan diskusi terus (terlampir video) 2. RUU Dikdok hrs
diperjuangkan DIM nya, RUU kesehatan tidak diperlukan 3. Pengaturan penambahan dan
distribusi dokter dan dokter spesialis dpt dilakukan tanpa menjadi ruu kesehatan (video
terlampir). Lampiran:
a. Video Prof. Dr. Menaldi
Prof. Dr. Menaldi (1).mp4 - Google Drive
b. Video Prof. Dr. Menaldi
Prof. Dr. Menaldi (2).mp4 - Google Drive
c. Video Prof. Dr. Menaldi
Prof. dr. Menaldi (3).mp4 - Google Drive
d. Video Prof. Dr. Menaldi
Prof. Dr. Menaldi (4).mp4 - Google Drive
e. Video Prof. Dr. Menaldi
Prof. Dr. Menaldi (5).mp4 - Google Drive
f. Video Bapak Willy
Bapak Willy.mp4 - Google Drive
g. Video Bapak Willy
Bapak Willy (2).mp4 - Google Drive
h. Video Prof. Ilham Oetama Marsis
Prof. Ilham Oetama Marsis.mp4 - Google Drive
i. Perizinan dan Praktitik Dokterdan Tenaga Medis
1.jpeg - Google Drive
j. Resume Perizinan
2.jpeg - Google Drive
xxxv | P a g e
xxxvi Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
• Akibat berbagai reaksi penolakan terhadap RUU Kes (OB Law- versi awal)dari
berbagai pihak, pihak pemerintah pernah mempunyai pemikiran utk lolosnya RUU Kes
dgn menggunakan mekanisme PERPU, yang tidak jadi utk diterapkan, tetapi melalui
jalan merubah RUU Kes dgn Versi Perubahan (lihat lampiran).
• Ternyata RUU Kes versi baru (VB), juga banyak kekurangan dan kesalahan-
kesalahannya (dibahas dalam Forum Komunikasi (Forkom- Webinar IDI pada tanggal
12 Februari 2023 y.l.Sebagai contoh dalam kebutuhan tenaga dokter yang disusun
PPSDMK pada tahun 2014, yang tidak sesuai dgn target sasaran (lihat lampiran 1),
karena tidak mempunyai pengertian yang sama tentang telehealth dan telemedicine,
dimana pada telehealth kita harus mempunyai big data (lihat lampiran 1 program
artificial intelegensia (AI)) .Ini merupakan PRnya Kemenkominfo.
• Perubahan berjalan cepat, giant investor tancap gas. Private Hospital berkembang
luar biasa. Banyak pertanyaan yang harus dijawab:
- Siapa yang akan kerja disana dan siapa yang menjaga BPJS?
- Peran dokter semakin jelas, pekerja medis di RS yang dijalankan oleh
corporation
- Global Brand need Global Doctor
- Dokter lokal kerja dimana?
- IDI, Trade Union?
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, hidayah,
dan karunia-Nya sehingga buku ini dapat terwujud dan hadir di tengah-tengah pembaca yang budiman.
Buku ini merupakan upaya penulis untuk menggambarkan perjalanan waktu yang tak terelakkan dan
tantangan yang dihadapi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sebagai organisasi profesi medis terkemuka di
Indonesia, IDI telah menjalani berbagai masa perubahan, baik dalam suasana politik pemerintahan,
DPR, maupun dalam bidang pendidikan kedokteran di tanah air.
Dalam perjalanannya, penulis dihadapkan pada beragam masalah yang kompleks dan
menantang. Perubahan politik di tingkat pemerintahan dan DPR telah berdampak signifikan terhadap
kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan dunia kesehatan, termasuk pendidikan kedokteran.
Stagnasi politik di sektor pendidikan kedokteran, ditambah perubahan Prolegnas DPR Prioritas 2022-
2023 akibat tekanan dari pihak pemerintah, menjadi tantangan tersendiri bagi IDI dalam
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan profesi medis.
Peran serta aktif IDI dalam berbagai diskusi dan pembahasan RUU Kesehatan OB serta RUU
Sisdiknas yang tengah berlangsung di Baleg DPR menandai komitmen IDI dalam memastikan bahwa
kebijakan dan peraturan yang akan dihasilkan mendukung peningkatan kualitas layanan kesehatan dan
pendidikan kedokteran di Indonesia. Meskipun tantangan yang dihadapi begitu kompleks, penulis
berupaya untuk tetap berperan aktif dalam membentuk perubahan positif demi kemajuan sistem
kesehatan dan pendidikan kedokteran Indonesia.
Pada periode kepengurusan PB.IDI 2018-2020, penulis ditujunjuk sebagai Ketua Tim RUU
DIKDOK Nas utk mempersiapkan UU.Dikdok Nasonal untuk persiapan Pelaksanaan Sistim Pelayanan
Kesehatan Indonesia untuk abad 21 yang diperjuangkan melalui Prolegnas Prioritas DPR 2017-2018.
Pada tanggal 29 September 2021 pada rapat Baleg DPR melahirkan pengaturan baru dunia pendidikan
kedokteran untuk menyelesaikan menyelesaikan masalah pelayanan kesehatan Indonesia untuk abad
21.
PENDAHULUAN
Pada Rapat Paripurna DPR RI pada 30 September 2021 menetapkan menjadi RUU Dikdok
Baru menjadi RUU Inisiatif DPR RI. Dengan keputusan tersebut lahir Surpres Bapak Jokowi yang
memerintahkan Menteri Dikbud dan Diknas menyiapkan DIM terhadap RUU Diknas (Baru) yang akan
dibahas pada Pembahasan RUU Dikbud dan RistekDikti Baru antara Pemerintah dan DPR. Sangat
disayangkan Menteri Dikbud dan RistekDik tidak mengindahkan perintah tersebut bahkan mengajukan
RUU Kesehatan Omni Buslaw, sebagai tandingan (yang akan meniadakan RUU Diknas Baru,yang
diharapkan akan menjadi cluster pendidikan di RUU Kesehatan Omni Buslaw).
xxxvii | P a g e
xxxviii Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Kumpulan pemikiran Wantim dan Small Goup Wantim IDI coba disusun dalam bentuk E-book
yang memberikan asupan pemikiran kepada PB.IDI dalam bentuk tahapan2 perjuangan melawan upaya
penerapan RUU Kesehatan Omni Buslaw dengan lampiran,referensi-referensi kepustakaannya
(terlampir) hanya sayangnya.PB.IDI terlalu lambat bereaksi dan hanya melakukan upaya yang kurang
efektif.
Pada tanggal 8 Agustus 2023 Upaya kelompok Oligarki berhasil menggoalkan RUU Kesehatan
Omni Buslaw dalam Rapat Pembahasan RUU Kes Omnis Bus Law antara Pemerintah dan DPR
diputuskan menerima RUU Kes Omni Buslaw menjadi UU No 17 tahun 2023 (versi final, walaupun
belum ditandatangani oleh Presiden Jokowi)
Reaksi IDI dan OP lainya adalah akan melakukan perlawanan hukum dalam bentuk Judicia Review.
Banyak issue dalam UU Kesehatab yang dapat jadi topik uji formil (Formale toetsing) dan uji materi
(materile toetsing) dalam JR. Setiap Issue berpotensi menghasilkan keputusan tak terduga.
Buku ini berisi refleksi dan analisis mendalam untuk upaya JR.Setiam gerak perjalanan IDI di
tengah-tengah perubahan politik dan pendidikan kedokteran. Penulis berharap buku ini dapat menjadi
bahan pembelajaran dan referensi bagi para pembaca, khususnya para tenaga medis, akademisi, dan
pemangku kepentingan lainnya, untuk lebih memahami dinamika yang sedang terjadi dan ikut
berkontribusi dalam merumuskan solusi yang baik bagi Indonesia kedepan dan menghasilkan
pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan Indonesia di masa depan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan dukungan,
kontribusi, dan inspirasi dalam penulisan buku ini. Semoga buku ini dapat memberikan pemahaman
yang mendalam dan mencerahkan mengenai peran serta IDI dalam menghadapi perubahan politik dan
pendidikan kedokteran di Indonesia dan memperhitungkan pendidikan kedokteran yang bersifat
universal (WFME).
Akhir kata, semoga buku ini bermanfaat dan menjadi sumbangan kecil bagi upaya peningkatan kualitas
pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan di negeri ini.
Jakarta, Juli 2023
Daftar Isi
xxxix | P a g e
xl Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
xli | P a g e
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
BAB 1
Pendahuluan
1|Page
2 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
BAB I. PENDAHULUAN
Dewan Pertimbangan IDI memiliki peran strategis dalam organisasi, yang mencakup:
1 Profesi Dokter dan Standar pendidikan Tim Adhoc RUU *Bidang Legislasi
Ikatan Dokter Dikdok Baru dan Advokasi *MKKI
Indonesia Standar Kompetensi (Prioritas *Bidang Pendidikan
Menuju Masa Depan Utama). Tim & Pengembangan
→ Partisipasi Kemajuan Adhoc ini Praktik Kedokteran
Terkait dengan IPTEK dibentuk dan *Komite
Undang-Undang ditetapkan oleh Transformasi SKN
Dikdok Baru PB.IDI.
(2022) yang dalam
proses
pembahasan
antara DPR dan
Pemerintah
Partisipasi Kemajuan
IPTEK dalam
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Pelayanan
Kesehatan Global,
P21, Era New
Normal.
3|Page
4 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
BAB 2
Profesi Dokter dan Ikatan Dokter Indonesia Menuju Masa Depan:
Terkait dengan Undang-Undang Dikdok Baru (2022) yang dalam proses
pembahasan antara DPR dan Pemerintah
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
LAMPIRAN 1 ........................................................................................................................ 6
Transformasi Sistem Pendidikan Kedokteran Kedepan dalam Mendukung Sistem
Pelayanan Kesehatan di Era Digital .................................................................................. 6
Paparan IDI dalam Dengar Pendapat dengan Komisi IX - Tentang Defisit Keuangan
BPJS-K............................................................................................................................ 34
Konsep IDI Menjawab Tantangan Global ........................................................................ 42
Concept of Indonesian Doctor Responding to Global Challenges 4.0 .............................. 65
Transformasi dan Regulasi Baru Pendidikan Kedokteran di Indonesia Untuk Menghadapi
Sistem Pelayanan Kesehatan Global Di Era Digital 4.0, P.21, dan Era Normal Baru ....... 92
Diperlukan Regulasi Baru untuk Sinergitas O.P dan Pemerintah untuk Menghadapi Sistem
Pelayanan Kesehatan Global di Era Digital 4.0, P.21, dan Era Normal Baru ................. 118
Tinjauan Penyelenggaraan JKN untuk Hindari Pelayanan JKN yang Substandar ......... 132
Diperlukan Regulasi Baru Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dokter Spesialis - Subspesialis
di Indonesia Pada Era Digital 4.0,P21, dan Era Normal Baru ........................................ 149
Diperlukan Transformasi Pendidikan Kedokteran Indonesia pada masa depan yang
universal untuk menghadapi pelayanan kedokteran pada Era Digital 4,0, P 21, dan Era
Normal Baru .................................................................................................................. 164
KONSEP IDI MENJAWAB TANTANGAN GLOBAL 4.0 ................................................. 171
Dengan UU Dikdok Baru Indonesia menyiapkan Pendidikan Kedokteran Masa Depan dan
pelayanan kesehatan pada Era Global 4.0 Oktober 2021 .............................................. 195
Posisi strategis sistem pendidikan kedokteran dan sistem pembiayaan dalam mendukung
kesehatan kedepan (2025) ............................................................................................ 217
Forum Diskusi Kemendikbud Ristek Dikti & Tim Inti DikDok Ikatan Dokter Indonesia .... 236
The Role Of Artificial Intelligence In Obsetric and Gynecology ...................................... 240
The Role Of Robotic Surgery In Gynecology ................................................................. 252
Fetal Surgery In Esophageal Atresia .............................................................................. 260
Fetal Intervention Therapy in Congenital Heart Failure .................................................. 268
Pengembangan Pendidikan Kedokteran Masa Depan 276
5|Page
6 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
LAMPIRAN 1
7|Page
8 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
9|Page
10 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
11 | P a g e
12 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
13 | P a g e
14 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
15 | P a g e
16 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
17 | P a g e
18 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
19 | P a g e
20 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
21 | P a g e
22 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
23 | P a g e
24 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
25 | P a g e
26 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
27 | P a g e
28 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
29 | P a g e
30 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
31 | P a g e
32 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
33 | P a g e
34 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
35 | P a g e
36 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
37 | P a g e
38 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
39 | P a g e
40 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
41 | P a g e
42 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
43 | P a g e
44 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
45 | P a g e
46 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
47 | P a g e
48 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
49 | P a g e
50 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
51 | P a g e
52 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
53 | P a g e
54 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
55 | P a g e
56 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
57 | P a g e
58 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
59 | P a g e
60 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
61 | P a g e
62 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
63 | P a g e
64 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
65 | P a g e
66 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
67 | P a g e
68 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
69 | P a g e
70 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
71 | P a g e
72 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
73 | P a g e
74 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
75 | P a g e
76 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
77 | P a g e
78 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
79 | P a g e
80 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
81 | P a g e
82 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
83 | P a g e
84 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
85 | P a g e
86 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
87 | P a g e
88 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
89 | P a g e
90 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
91 | P a g e
92 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
93 | P a g e
94 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
95 | P a g e
96 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
97 | P a g e
98 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
99 | P a g e
100 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
101 | P a g e
102 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
103 | P a g e
104 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
105 | P a g e
106 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
107 | P a g e
108 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
109 | P a g e
110 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
111 | P a g e
112 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
113 | P a g e
114 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
115 | P a g e
116 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
117 | P a g e
118 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
119 | P a g e
120 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
121 | P a g e
122 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
123 | P a g e
124 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
125 | P a g e
126 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
127 | P a g e
128 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
129 | P a g e
130 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
131 | P a g e
132 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
133 | P a g e
134 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
135 | P a g e
136 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
137 | P a g e
138 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
139 | P a g e
140 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
141 | P a g e
142 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
143 | P a g e
144 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
145 | P a g e
146 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
147 | P a g e
148 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
149 | P a g e
150 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
151 | P a g e
152 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
153 | P a g e
154 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
155 | P a g e
156 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
157 | P a g e
158 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
159 | P a g e
160 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
161 | P a g e
162 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
163 | P a g e
164 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
165 | P a g e
166 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
167 | P a g e
168 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
169 | P a g e
170 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
171 | P a g e
172 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
173 | P a g e
174 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
175 | P a g e
176 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
177 | P a g e
178 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
179 | P a g e
180 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
181 | P a g e
182 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
183 | P a g e
184 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
185 | P a g e
186 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
187 | P a g e
188 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
189 | P a g e
190 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
191 | P a g e
192 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
193 | P a g e
194 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
195 | P a g e
196 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
197 | P a g e
198 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
199 | P a g e
200 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
201 | P a g e
202 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
203 | P a g e
204 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
205 | P a g e
206 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
207 | P a g e
208 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
209 | P a g e
210 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
211 | P a g e
212 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
213 | P a g e
214 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
215 | P a g e
216 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
217 | P a g e
218 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
219 | P a g e
220 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
221 | P a g e
222 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
223 | P a g e
224 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
225 | P a g e
226 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
227 | P a g e
228 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
229 | P a g e
230 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
231 | P a g e
232 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
233 | P a g e
234 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
235 | P a g e
236 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Forum Diskusi Kemendikbud Ristek Dikti & Tim Inti DikDok Ikatan
Dokter Indonesia
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
237 | P a g e
238 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
239 | P a g e
240 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
241 | P a g e
242 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
243 | P a g e
244 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
245 | P a g e
246 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
247 | P a g e
248 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
249 | P a g e
250 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
251 | P a g e
252 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
253 | P a g e
254 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
255 | P a g e
256 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
257 | P a g e
258 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
259 | P a g e
260 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
261 | P a g e
262 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
263 | P a g e
264 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
265 | P a g e
266 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
267 | P a g e
268 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
269 | P a g e
270 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
271 | P a g e
272 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
273 | P a g e
274 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
275 | P a g e
276 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
277 | P a g e
278 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
279 | P a g e
280 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
281 | P a g e
282 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
283 | P a g e
284 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
285 | P a g e
286 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
LAMPIRAN 2
287 | P a g e
288 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
LAMPIRAN 2
289 | P a g e
290 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
291 | P a g e
292 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
293 | P a g e
294 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
295 | P a g e
296 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
297 | P a g e
298 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
299 | P a g e
300 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
301 | P a g e
302 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
303 | P a g e
304 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
305 | P a g e
306 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
307 | P a g e
308 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Adapun tiga hal yang menjadi poin keberatan pada saat itu
dimuat dalam rilis pers. Pertama, menolak RUU Kesehatan
Omnibus Law dan memintanya mengeluarkan dari prioritas
legislasi. Kedua, menolak liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan.
Ketiga, menolak pelemahan profesi kesehatan dan penghilangan
peran-peran penting organisasi profesi.
309 | P a g e
310 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Selain itu kata dia terkait kesetaraan, dalam draf UU ini juga
tidak dibahas. Dalam hal ini adalah soal spesialisasi perawat yang
seharusnya mulai diatur apabila pemerintah ingin memberikan
ruang karier dan keahlian yang lebih baik. Dia mengatakan akses
itu bisa berupa pendidikan spesialisasi perawat hingga kepastian
aturan klinik pratama memiliki perawat spesialisasi.
Selain itu kata dia terkait kesetaraan, dalam draf UU ini juga
tidak dibahas. Dalam hal ini adalah soal spesialisasi perawat yang
seharusnya mulai diatur apabila pemerintah ingin memberikan
ruang karier dan keahlian yang lebih baik. Dia mengatakan akses
itu bisa berupa pendidikan spesialisasi perawat hingga kepastian
aturan klinik pratama memiliki perawat spesialisasi.
311 | P a g e
312 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Poin kedua, soal garansi keselamatan pasien dari dokter yang tak
baik. Menurut dia, hilangnya rekomendasi organisasi profesi
untuk bisa praktik seorang dokter akan berbahaya. Umumnya
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan
Pasal 34 ayat 3
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak
313 | P a g e
314 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
"Perlu penjelasan khusus agar lebih jelas dan tidak ada persepsi
yang salah berupa upaya liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan
melalui RUU Kesehatan Omnibus Law," kata pakar kesehatan
yang juga dosen FKM UI ini.
315 | P a g e
316 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
LAMPIRAN 3
LAMPIRAN 3
317 | P a g e
318 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
319 | P a g e
320 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
321 | P a g e
322 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
323 | P a g e
324 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
325 | P a g e
326 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
LAMPIRAN 4
LAMPIRAN 4
327 | P a g e
328 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
(Penulis adalah Ketua Umum PB IDI periode 2012-2015 dan Sekjen PB IDI periode
2006 - 2009)
Dokter itu profesi luhur (noble profession), sebab dalam pengabdiannya lebih
mengutamakan kepentingan masyarakat (altruistic). Dan profesi luhur itu sepantasnya
hanya dipercayakan kepada orang yang memiliki etika luhur pula.
Profesi dokter pernah mengalami sejarah masa kelam pada lampau. Setelah
Hippokrates meninggal banyak muridnya yang tidak patuh pada ajaran, misalnya,
“dokter tidak seharusnya bekerja untuk keuntungan pribadi, melainkan karena cinta
pada manusia.”
Setidaknya ada tiga alasan yang bisa saya kemukakan untuk menjawab pertanyaan
ini. Pertama, karena profesi kedokteran melayani masyarakat. Boleh dikata semua
orang membutuhkan pelayanan dokter. Dalam pelayanan kedokteran terjadi
hubungan kepercayaan antara dua insan, dokter dan pasien (fiduciary relationship).
Begitu pula hubungan antara dokter peneliti dan orang coba. Hubungan kepercayaan
yang amat tinggi inilah yang memunculkan tanggung jawab dokter sebagai profesi.
Kedua, untuk mencegah dokter berbuat tercela kepada pasien yang awam. Ketiga,
menjaga martabat dan keluhuran profesi kedokteran. Seorang dokter harus
bertanggung jawab menjaga martabat dan keluhuran profesinya. Dalam dimensi
tanggung jawab ini pula yang menempatkan pofesi dokter sebagai warisan
kemanusiaan tertua, yang tetap abadi selamanya.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam etika kedokteran, yakni: etika jabatan
kedokteran (medical ethics) dan etik asuhan kedokteran (ethics of the medical care).
Etika jabatan menyangkut masalah yang berhubungan dengan sikap para dokter
terhadap sejawat, para pembantunya, serta terhadap masyarakat dan pemerintah.
Sedang etika asuhan adalah etika kedokteran dalam kehidupan sehari-hari, peraturan
tentang sikap dan tindakan seorang dokter terhadap pasien yang menjadi tanggung
jawabnya.
Dikenal empat prinsip etika kedokteran. Pertama, tidak merugikan (non maleficence).
Perbuatan baik tidak boleh dicapai dengan perantaraan buruk. Kedua, berbuat baik
(beneficence), merupakan segi positif dari prinsip tidak merugikan. Ketiga, otonomi,
berarti adanya kebebasan untuk bertindak dan mengambil keputusan. Keempat,
keadilan, berarti adanya perlakuan yang sama untuk orang yang sama pada situasi
yang sama.
Kewajiban dan larangan dalam etika kedokteran ada empat macam, sebagaimana
yang termuat di dalam Kode Etik Kedokeran Indonesia (Kodeki). Pertama, kewajiban
umum. Kedua, kewajiban dokter terhadap masyarakat/pasien. Ketiga, Kewajiban
terhadap teman sejawat. Keempat, Kewajiban terhadap diri sendiri.
Kode etik kedokteran adalah aturan-aturan atau pedoman tentang sikap dan perilaku
yang harus dimiliki dan dipatuhi oleh seorang dokter. Memuat hal yang boleh
dilakukan dan yang harus dihindari. Dengan berpedoman pada kode etik seorang
dokter diharapkan dapat mengamalkan profesinya dengan baik.
329 | P a g e
330 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Dalam penerapannya, tidak semua perilaku spesifik dokter dapat dirumuskan dalam
kode etik. Hal ini mengingat kode etik hanyalah merupakan daftar ketentuan tertulis
dari moral rules. Sedang, moral rules sendiri baru dapat dirumuskan apabila perilaku
spesifik tersebut hampir selalu benar atau hampir selalu salah. Dalam kenyataannya,
banyak hal-hal yang tidak dapat dipastikan moral rules-nya secara hitam-putih.
Karena itu, moral standards dan moral principles perlu dijadikan acuan manakala kode
etik tidak mampu menjawab isu-isu etika.
Siapa yang Untung? Sebetulnya tidak ada yang diuntungkan oleh dokter minus etika
ini. Bahkan hanya kerugian. Pihak pertama yang paling dirugikan tentu masyarakat
sebagai pengguna layanan. Pihak kedua, dokter dan fasilitas pelayanan kesehatan
tempatnya bekerja, sebab seputasinya akan rusak dan tidak dipercaya. Pihak ketiga
ialah profesi kedokteran yang tercoreng martabat dan keluhurannya. Jadi, sebetulnya
dokter minus etika itu merugikan manusia dan ke-manusiaan.
Untuk mencegah terjadinya dokter minus etika tentu harus dimulai dari dokter itu
sendiri. Dokter tersebut harus sadar bahwa ia sedang menerima amanah dan
tanggung jawab atas kepercayaan pasien. Ia harus menjunjung tinggi kepercayaan
yang diterimanya dengan memberikan pelayanan dan perawatan sebaik-baiknya.
Terus, bagaimana dengan organisasi profesi? Organisasi profesi harus mengambil
tanggung jawab untuk mencegah terjadinya minus etika. Menghimbau dan melarang
perilaku tercela anggotanya demi menjaga kehormatan masyarakat dan keluhuran
profesinya.
Membina anggotanya agar mematuhi sumpah dokter dan kode etik kedokteran dalam
kesehariannya. Apabila telah diingatkan namun tetap minus etika, maka organisasi
profesi dituntut untuk memberi sanksi etik. Sanksi dapat berupa teguran, pengasingan
atau pengucilan, skorsing sampai dikeluarkan dari keanggotaan organisasi profesi.
Jadi, pengucilan, skorsing, dikeluarkan dari organisasi, hal biasa bagi suatu profesi.
Bila sanksi diterima, dijalani dengan tulus maka organisasi profesi akan merehabilitasi
namanya agar dapat kembali diterima oleh para sejawatnya. Namun, jika tidak setuju
atau berkeberatan dengan sanksi tersebut maka ia berhak mengajukan pembelaan
diri. Begitulah sejatinya profesi dokter manjaga harkat dan keluhuran profesinya.
Wallahu a'lam bishawab.
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
(Penulis adalah Ketua Umum PB IDI periode 2012-2015 dan Sekjen PB IDI periode
2006 - 2009)
Yudi Latif menulis dalam buku “Pendidikan yang Berkebudayaan” bahwa karena
pemerintah membutuhkan tenaga-tenaga medis terampil maka sejak tahun 1822
dimulailah pelatihan juru medis melalui kursus-kursus vaksinator. Kursus-kursus ini
kemudian dikembangkan menjadi Sekolah Dokter Djawa tahun 1851.
Awalnya sekolah kejuruan ini diperuntukkan untuk anak priyai, namun anak priyai
lebih suka bersekolah di Sekolah Radja. Nah, untuk menarik minat pendaftar
pemerintah memberi sejumlah insentif berupa beasiswa dan janji menjadi pegawai
pemerintah.
Khusus untuk Sekolah Dokter Djawa sejak 1891 dibuatkan pengaturan khusus yang
memungkinkan para siswa yang berminat masuk sekolah ini bisa masuk ke
Europeesch Lagere School (ELS). Dan pada akhirnya banyak dari keluarga priyai
rendahan yang berminat. Bahkan sering dari keluarga pedagang serta penduduk
desa. Tahun 1900-1902,
Sekolah Dokter Djawa diubah menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Artsen).
Masa belajar pun diperpanjang menjadi enam tahun tahap geneeskundige (inti
persekolahan kedokteran), setelah sebelumnya mengikuti tiga tahun masa persiapan
dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
331 | P a g e
332 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
PDI lahir pada awal revolusi kemerdekaan sehingga berfungsi pula sebagai badan
perjuangan di daerah-daerah pendudukan Belanda. Pada waktu yang hampir
besamaan, berkembang juga Persatuan Perthabiban Indonesia (Perthabin) Cabang
Yoyakarta. Organisasi ini dianggap sebagai kelanjutan dari Vereniging van
Indonesische Geneeskundige.
Dua tahun setelah berdirinya PDI dan Perthabin, para pimpinan kedua organisasi
profesi itu mengadakan pertemuan guna mendirikan sebuah organisasi kedokteran
Indonesia yang baru. Tanggal 30 Juli 1950 pimpinan PDI dan Perthabin mengadakan
rapat di rumah dr. Soeharto, Jalan Kramat 106 Jakarta (kini adalah Apotek Titimurni).
Perthabin diwakili oleh dr. Abdul Rasjid dan dari PDI hadir dr. Soeharto, dr. Bahder
Djohan, dr. Seno Sastroamidjojo dan lain-lain.
Dokter Bahder Djohan menuturkan kesannya pada rapat tanggal 30 Juli 1950 itu
dalam Majalah Kedokteran Indonesia 1962 berikut ini. “Kalau bukan karena moral
yang tinggi dan tanggung jawab yang penuh keinsyafan dan kesadaran yang tinggi
dari pemuka kedua pihak, maka kemungkinan akan terjadi suatu perpecahan. Tetapi
moral yang tinggi dari kedua mereka yang bertanggung jawab telah membawa
penyelesaian yang mulia...”
Pelajaran yang dapat dipetik dari para pendiri IDI di atas adalah bila ingin mendirikan
organisasi profesi dokter maka para pendirinya harus memiliki moral tinggi, tanggung
jawab yang penuh keinsyafan, disertai kesadaran yang tinggi bahwa mereka akan
mendirikan organisasi profesi yang luhur. Tanpa nilai luhur seperti yang dikatakan dr.
Bahder Djohan di atas maka organisasi IDI tidak terbentuk. Andai pun lahir, tidak akan
bertahan sampai sekarang. Sebab, pasti ditolak oleh para dokter serta tidak akan
diterima masyarakat. Ibarat bunga, “layu sebelum berkembang.”
Keinsyafan dan moral tinggi para pendiri IDI perlu diteladani oleh Indonesia
setelahnya. Moral etik profesi sudah melekat pada diri mereka masing-masing. Melalui
kebiasaan berdialog secara demokratis, moral etik individu berkembang menjadi
moral etik komunitas, yang menjadi modal dasar untuk mendirikan dan
mengembangkan organisasi profesi dokter
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
(Penulis adalah Ketua Umum PB IDI periode 2012-2015 dan Anggota Dewan
Pertimbangan PB IDI periode 2022-2025)
Belakangan ini Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mendapat sorotan, dituding super body
dan terlampau berkuasa. Akibatnya, ada yang mengusulkan agar kewenangan IDI
dibatasi. Ada pula yang mau bubarkan.
Empat kekeliruan
Setidaknya ada empat kekeliruan dalam memandang IDI. Pertama, dituding
penyebab belum berpraktiknya 3.457 calon dokter berdasarkan data Panitia Nasional
Uji Kompetensi
Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter (UKMPPD) 2020. Kedua, menghambat praktik
dokter warga negara Indonesia (WNI) lulusan luar negeri. Ketiga, melarang
penggunaan metode pengobatan baru dan obat baru yang belum berbasis bukti.
Keempat, dianggap kuasa keluarkan surat izin praktik dokter (SIP). Belum
berpraktiknya retaker calon dokter bukan karena IDI, melainkan karena belum lulus,
belum memperoleh setifikat profesi (ijazah) dokter menurut Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, dan belum mengangkat sumpah. Jadi
masih menjadi tanggung jawab Perguruan Tinggi tempat mereka belajar. Kondisinya
sangat berbeda dengan 2500 retaker sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Sebab retaker ini sudah berstatus
dokter. Hanya saja ketika ikut Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) ternyata belum
lulus. Karena jumlahnya cukup banyak maka Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi
IX DPR RI, meminta IDI untuk menyelesaikan. Tentu jelas alasanya, sebab mereka
telah berstatus dokter dan sudah menjadi anggota IDI.
Upaya penyelesaiannya tidak mudah. IDI harus mengeluarkan dana cukup besar dan
menuai kritik dari pihak tertentu sebab dianggap ingin meluluskan begitu saja. Dalam
prosenya,
IDI mengumpulkan para retaker yang masih berminat berpraktik di beberapa regional.
Membimbingnya dengan bahan ajar yang sama, yakni: “Panduan Praktik Klinik bagi
Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer” dan “Panduan Keterampilan Klinis
bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Primer.” Soal UKDI pun dibuat terstandar, mengacu
pada kedua bahan ajar tersebut. Semangat retaker dibangkitkan dengan
mendatangkan psikolog dan psikiater untuk memotivasinya. Dokter WNI lulusan luar
negeri. Perlu diketahui, tidak semua fakultas kedokteran di luar
333 | P a g e
334 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Keterlibatan IDI dalam hal ini kolegium, hanya membantu memastikan bahwa dokter
tersebut telah kompeten menangani kasus penyakit di Indonesia. Mengapa kolegium?
Sebab kolegium yang merupakan satu kesatuan dengan perhimpunan adalah
pengampu pendidikan dan pelatihan. IDI juga dituding berkuasa menghambat
penemuan baru bidang kedokteran. Pasalnya, karena melarang penggunaan
metodologi pengobatan baru atau obat baru dalam pelayanan bila belum berbasis
bukti. Di lain sisi ada sebagian orang yang karena kepentingan atau ketidaktahuan,
mendesak IDI agar melonggarkannya. Sebagai organisasi profesi tentu IDI akan
memegang prinsipnya, bahwa seorang dokter wajib menjunjung tinggi kepercayaan
yang diterima dari pasien dengan memberikan pelayanan dan perawatan sebaik-
baiknya. Melayani dan merawat dengan penuh tanggung jawab, dibarengi perilaku
luhur.
Terkait dengan SIP dokter. Sejak lahirnya, IDI belum pernah diberi kewenangan
menerbitkan SIP. Kewenangan tersebut selalu dipegang oleh pemerintah daerah.
Bahkan setelah terbitnya Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, IDI Cabang setempat hanya diberi wewenang untuk memberi
rekomendasi ditujukan kepada dinas kesehatan.
Mengapa IDI cabang? Sebab IDI cabang-lah yang lebih mengetahui kompetensi dan
catatan perilaku anggotanya. Karena itu, IDI cabang diharap terlibat dalam mengawasi
dan membina anggotanya.
Standar profesi
Sebagai profesi mulia, pekerjaan dokter membutuhkan “body of knowledge” sebagai
dasar bagi perkembangan teori yang sistematis untuk, menghadapi berbagai
tantangan. Profesi dokter juga perlu standar profesi dan kode etik yang orientasi
utamanya adalah memberi pelayanan kepada pasien. Kenapa demikian? Sebab,
dokter selalu dituntut pertanggung jawaban dalam menjalankan pekerjaan profesinya.
Itu sebabnya Wilensky (1964) menyebutnya bukan sembarang pekerjaan.
Pekerjaannya dokter tidak dapat digantikan oleh yang bukan dokter.
Menurut WTO, standar profesi itu dibatasi oleh kisi-kisi yang merupakan kumpulan
ukuran-ukuran untuk digunakan sebagai pedoman atau norma-norma dalam profesi.
Pada pokoknya terdiri dari: 1) standar pendidikan, 2) etika profesi, 3) standar
kompetensi 4) standar
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
pelayanan. Adapun menurut Leenen standar profesi adalah perbuatan teliti, seksama,
yang dikaitkan dengan kelalaian (culpa). Bila bertindak tidak teliti, tidak berhati-hati,
maka ia memenuhi unsur kelalaian. Dan, bila sangat tidak berhati-hati, ia memenuhi
kelalaian berat (culpa lata).
Undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan standar
kompetensi adalah pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam
menjalankan profesi secara baik. Sementara Undang-undang No. 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran, standar kompetensi adalah batasan kemampuan
(knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang
individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara
mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi.
Keempat tudingan keliru terhadap IDI di atas perlu mendapatkan klarifikasi secara
proporsional dan santun. Misalnya, dengan meningkatkan intensitas dialog dengan
lingkungan ekternal dan internal tanpa kecuali. IDI perlu banyak silaturrahim, dialog
publik, gagasan segar, dan inovasi baru terkait pelayanan kesehatan dan
pembangunan bangsa, sebagai bagian dari gagasan IDI Reborn. Wallahu a'lam
bishawab.
335 | P a g e
336 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
16 FEBRUARI 2023
Topik : Mengupas dan Ulasan terhadap RUU Kesehatan (Omnibus Law) sesuai
undangan Nomor : 2630/PB/A.5/2/2023.
Dihadiri :
-Prof.DR, Dr. I Oetama Marsis, Sp.OG
- Prof. DR. Dr. Sukman Tulus Putra, Sp.A(K) (Via Zoom)
-Dr. Zaenal Abidin, SH, MH
-Dr. Mayor Jenderal TNI (Purn) Dr. Ben Yura Rimba
-Mayor Jenderal TNI Dr. Budiman, Sp. BP-RE (K), MARS.
-Dr. Hadi Wijaya, MPH, MHKes.
Kesimpulan :
- RUU Kesehatan (Omnibus Law) sudah memasuki babak berikutnya, yang
mana sebagian besar masalah yang dianggap merugikan masyarakat sudah
dibicarakan dan direvisi oleh Baleg sebelum diserahkan ke Komisi 9 DPR untuk
dibahas.
- Namun begitupun masih ada kerawanan dgn dicabutnya 10 UU existing maka
kita akan menghadapi kekosongan hukum dalam pelayanan kesehatan kepada
masyarakat selama dalam masa pembahasan yang panjang dan melelahkan.
- Lahirnya UU Kesehatan (OBL) yang sapu jagad ini diharapkan akan
menyelesaikan masalah kesehatan ke depannya, sebab masalah kesehatan
itu bukan hanya masalah Jumlah Sumber Daya Manusia Kesehatan dan
Fasilitas Kesehatan saja, namun juga masalah pembiayaan kesehatan yang
perlu dipertajam dalam RUU Kesehatan ini misalnya Badan Publik BPJS
Kesehatan akan berada dibawah Menteri Kesehatan, ini tentu akan terjadi
jeterbatasan indepedensi suatu Lembaga Negara. Ada banyak hal lagi yang
menjadi konsern IDI namun sebagai organisasi Profesi IDI membatasi diri
hanya pada ruang lingkup Tupoksi IDI sesuai AD ART nya.
- Hal hal seperti isu membanjirnya Tenaga Kesehatan Asing yang disinyalir akan
memasuki NKRI, sudah ada tractat internasional yang mengaturnya di Asean
Chapter dan pastinya kepentingan nasional akan diutamakan. Simulasi
permasalahan antara masuknya Tenaga Medis Asing, dengan keluar nya
devisa Indonesia keluar negeri demi berobat, dibandingkan dengan tingginya
pajak Alkes dan tidak adanya subsidi pemerintah untuk alkes berteknologi
tinggi yang sangat mahal, serta program pendidikan dokter dokter yang paham
hospitality perlu di wargaming kan dengan sangat hati hati, sehingga
menghasilkan sebuah solusi yang holistik komprehensif.
337 | P a g e
338 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Keprihatinan lainnya adalah sistem informasi medis, data intelijen medis para pejabat
tinggi negara scr berjenjang perlu penanganan aspek pendekatan securitive strategis,
sebab Health Security is apart of National Security. Ketika bicara tentang National
Security atau Keamanan Nasional maka tidak ada harga yang dapat dibantarkan
untuk itu.
-Masalah lain seperti pemenuhan Tenaga kesehatan dokter spesialis bisa kita
tingkatkan produksinya dengan membuka seluas luasnya Program Pendidikan
Spesialis di Fakultas Kedokteran yang memenuhi syarat serta pelaksanaan program
adaptasi dokter spesialias tamatan luar negeri .
Dan yang paling penting adalah dari sudut pandang Aspek Pertahanan Negara,
seperti yang sudah ditulis oleh Baleg dalam revisi terakhir RUU Kesehatan, organisasi
profesi bersifat tunggal. Dan dalam aturan penjelasannya yang dimaksud tunggal
adalah IDI untuk profesi dokter. Dan ini sangat penting sebab IDI Reborn yang
beranggotakan 210 ribu dokter sudah mendeklarasikan dirinya sebagai Dokter Anak
Bangsa, Agent of Defense. Dan ini sudah terbukti betapa solidnya IDI saat
penanggulangan Pandemi Covid 19.
Para anggota IDI di Puskesmas adalah bagian ujung tombak Biodefense, Biosecurity
dan Health Security bersama unsur unsur Polsek dan Koramil. IDI selama ini adalah
mitra strategis pemerintah. Bila sekali waktu menjadi mitra kritis
adalah wajar wajar saja. Sebagai organisasi independen IDI sudah menunjukkan
kerjasama yang luar biasa bersama TNI Polri. Keinginan memecah IDI menjadi
multiorganisasi adalah pikiran yang memecah unsur bela negara khusus nya dalam
menghadapi perang generasi kelima , biological warfare. Pembiaran pikiran bebas ini
akan melahirkan ikatan ikatan dokter berdasarkan Sara dan kewilayahan.
339 | P a g e
340 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Dua minggu lalu, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan undang-undang (UU) Kesehatan.
Ini terjadi ditengah maraknya pro dan kontra terkait UU ini. Pihak pendukung yakin bahwa
UU ini adalah terobosan krusial dalam meningkatkan pelayanan kesehatan yang selama ini
dianggap belum optimal. Pihak kontra berpandangan lain. Menurut mereka, UU ini cacat
prosedur dan tidak memenuhi azas pembentukan UU. Juga, gagal mengakomodir beragam
isu kesehatan penting. Bila diteruskan, UU ini dapat menimbulkan dampak negatif yang
serius terhadap sistem dan layanan kesehatan.
Saat ini, sejumlah organisasi masyarakat dan profesi kesehatan siap-siap mengajukan
judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). JR memang merupakan mekanisme
hukum yang dapat ditempuh ketika timbul keberatan atau penolakan UU. Esensi JR adalah
menilai apakah UU yang disahkan tidak tabrakan dengan konstitusi negara atau hukum
yang berlaku. Di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat dan Inggris, JR menjadi bagian
penting dari sistem hukum. Jadi bukan sesuatu yang tabu, apalagi dianggap pelanggaran
hukum.
Locus Minoris
Banyak issu dalam UU Kesehatan yang dapat menjadi topik uji formil (formele toetsing) dan
uji materi (materiile toetsing) dalam JR. Setiap issu berpotensi menghasilkan keputusan tak
terduga.
Pertama, uji formil terkait prosedur dan pemenuhan prinsip pembuatan UU. Bagi pihak
kontra, UU ini bermasalah secara formil karena tidak memenuhi prinsip-prinsip pembuatan
UU. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peratutan Perundang-
undangan mengharuskan pemenuhan tujuh prinsip, yaitu kejelasan tujuan, ketepatan
institusi atau pejabat yang terlibat dalam pembuatan, konsistensi antara jenis, hirarki, dan
materi muatan, keterlaksanaan, keberlanjutan, kejelasan rumusan dan keterbukaan.
Menurut pihak kontra, enam dari tujuh prinsip ini dilanggar. Salah satunya adalah tidak
adanya transparansi dan partisipasi publik yang cukup dalam pembuatannya. Draf awal
RUU Kesehatan muncul pada bulan Oktober 2022 tanpa ada penjelasan terkait
pembuatnya. Saat itu, DPR dan Kementerian Kesehatan sama-sama lepas tangan.
Penolakan lima organisasi profesi dan berbagai organisasi masyarakat memberi sinyal
minimnya keterlibatan pemangku kepentingan. Padahal, kelima organisasi profesi ini diakui
dalam UU sebagai representasi formal profesi dan sangat layak dilibatkan dalam
pembuatannya. Selain itu, salah satu prinsip penting yang sangat diperlukan dalam
pembuatan UU, yaitu meaningful participation (partisipasi bermakna), juga diabaikan. Pihak
kontra bernarasi bahwa proses pengesahan UU ini mengabaikan tiga elemen penting
partisipasi bermakna, yaitu hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya,
dan hak untuk mendapatkan jawaban atas pendapat yang diberikan.
Pihak DPR dan pemerintah tentu punya jawaban terhadap argumen diatas. Namun jawaban
mereka mereka mesti sangat rasional, adekuat dan berbasis bukti. Alasannya, uji formil
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
terkait prosedur dan pemenuhan azas ini sangat krusial. Jika terdapat bukti tentang adanya
cacat prosedur dan azas, maka keseluruhan UU ini bisa dibatalkan. Beberapa bulan lalu,
MK memutuskan status UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional karena dinilai cacat formil.
341 | P a g e
342 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Sekarang bola ada ditangan pemerintah; apakah mereka ingin membiarkan JR ini
menggelinding atau melakukan upaya pencegahan. Pasalnya, hingga saat ini JR belum
diajukan. Bila mereka membiarkan JR terjadi, mereka harus mempersiapkan argumen
rasional dan alat bukti adekuat untuk diuji dipersidangan. Bila mereka ingin mencegah
diajukannya JR, mereka perlu segera membuka ruang dialog dengan pihak kontra.
Mendengarkan masukan dan keprihatinan mereka serta berusaha mencari solusi bersama
dapat membantu mengurangi kemungkinan pengajuan JR dengan segala konsekuensinya.
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Jika masukan dan kritik dari pihak kontra beralasan, pemerintah perlu mempertimbangkan
dan mengakomodir usulan tersebut, termasuk diantaranya memutuskan penundaan masa
berlaku UU ini atau memasukkan berbagai usulan relevan dalam peraturan turunan yang
sementara digodok.
343 | P a g e
344 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Iqbal Mochtar
Di negeri ini, sekolah dokter lagi booming. Lagi on sale. Banyak institusi berlomba membuka
sekolah dokter (baca : fakultas Kedokteran atau FK).
Catatan terakhir, ada 12 institusi pendidikan yang membuka FK baru.
Menariknya, beberapa institusi tersebut selama ini terkenal solid dan loyal dengan bidang
sangat teknis, seperti ITB, ITS dan IPB. Sekarang kok mau cawe-cawe dengan kedokteran?
Apa yang terjadi?
Akhir-akhir ini, Kemenkes begitu gandrung mengangkat issu bahwa negeri ini kekurangan
dokter. Di Jawa Barat, katanya, negeri ini kekurangan 37 ribu dokter; di Jawa tengah butuh
tambahan 24 ribu.
Ini mereka jadikan alasan dokter kurang. Padahal alasan ini sebenarnya delusi atau
mengada-ada.
WHO sama sekali tidak pernah mengeluarkan rasio standar 1:1.000. WHO jelas tahu bahwa
penetapan standar begini tidak relevan karena setiap negara punya kapabilitas dan
permasalahan pendidikan berbeda.
Tidak layak menerapkan standar universal pada negara-negara dengan beda kondisi.
Memang pada sejumlah referensi, narasi rasio 1:1.000 disebut. Namun penyebutannya
hanya dalam konteks metrik perbandingan dan bukan standar.
Yang menarik, beberapa tahun lalu Kemenkes justru menggunakan metrik rasio dokter 1:
2500 dan bukan 1: 1000.
Metrik ini sepertinya didasarkan pada pasal hak kesehatan yang disebutkan dalam
Permenkumham 34/2016 yang menyebutkan bahwa standar rasio dokter terhadap
penduduk mestinya 1: 2500.
Kalau rasio ini yang dipakai, tentu statemen kekurangan dokter menjadi sangat tidak tepat.
Makanya, beberapa tahun lalu pemerintah melakukan moratorium; membatasi produksi
dokter.
Entah mengapa, hanya dalam waktu beberapa tahun saja Kemenkes merubah paradigma
rasionya dari 1: 2500 menjadi 1: 100. Tidak ada penjelasan gamblang.
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Kedua, data Konsil Kedokteran Indonesia perhari ini menunjukkan terdapat 170 ribu dokter
umum dan 52 ribu dokter spesialis di negeri ini. Totalnya, 222 ribu dokter.
Bila jumlah penduduk Indonesia 270 juta, artinya rasio dokter terhadap penduduk saat ini
adalah 1: 1236. Ini tidak jauh dari rasio 1: 1000 yang menjadi dasar Kemenkes ingin
menambah jumlah dokter.
Katakanlah Kemenkes ngotot ingin mencapai rasio 1: 1000, maka jumlah tambahan dokter
yang diperlukan berkisar 50 ribu.
Walaupun tanpa pendirian FK baru, tambahan jumlah 50 ribu ini dapat dipenuhi dalam 4
tahun. Saat ini saja, FK di Indonesia memproduksi 12-13 ribu dokter pertahun.
Artinya, dalam 4 tahun, kebutuhan ini dapat terpenuhi tanpa perlu membuka FK baru
dengan segala konsekuensinya. Apalagi waktu 4 tahun tidak terlalu panjang.
Bukankah bila membuka FK baru juga butuh waktu 6-7 tahun sebelum bisa memproduksi
dokter? Jadi mending tunggu 4 tahun dan issu rasio 1: 1000 akan kelar.
Kalau mau pakai rasio 1: 2500, outcome-nya lain lagi. Dengan rasio 1: 2500 ini, jumlah
dokter Indonesia menjadi sangat berlebihan. Kelebihannya 112ribu dokter. Jumlah ini tidak
sedikit.
Bila sudah kondisi surplus demikian dan pemerintah masih mau membuka FK, maka
fenomena yang muncul beberapa tahun kedepan adalah ‘gelombang alih profesi’.
Akan banyak dokter berubah profesi menjadi bankir, petugas partai, pengusaha atau
bahkan menjadi pengangguran. Ini tentu sangat menyedihkan.
Sudah sekolah lama dan sulit, ujung-ujungnya beralih profesi atau menganggur.
Pemerintah mestinya membuka mata bahwa persoalan utama stok dokter di Indonesia
bukanlah produksi yang kurang tapi distribusi yang tidak merata.
Di Jakarta, tersedia satu dokter setiap 680 penduduk, sementara di Sulawesi barat, satu
dokter tersedia buat 10.417 penduduk.
Densitas di Jakarta 15 kali lipat dibanding di Sulawesi Barat. Hal yang sama terjadi untuk
dokter spesialis.
Ini sebenarnya masalah yang harus dituntaskan Kemenkes. Mereka harus bekerja keras
membuat pemerataan distribusi. Bukan justru membuka FK-FK baru yang akan memicu
over-production.
Sudah beberapa dekade issu distribusi ini menjadi bisul kronis dunia kesehatan.
345 | P a g e
346 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Tidak usah bicara terlalu tinggi tentang proyek genom atau proyek internetisasi puskesmas
kalau issu distribusi ini belum tuntas.
Ini persoalan klasik namun sangat krusial. Ini wicked problem negeri ini.
#UUKesehatanPotensiBahaya
https://twitter.com/DrEvaChaniago/status/1690966392336773120?s=20
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai satu-
satunya organisasi profesi kedokteran yang sah di Indonesia. Keberadaan IDI
sebelumnya digugat oleh sejumlah dokter ke MK karena menganggap ada praktik
monopoli yang dilakukan IDI dalam mengeluarkan sertifikasi profesi dokter.
Para penggugat sebelumnya meminta agar frasa ‘organisasi profesi’ dalam Undang-
undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bukan hanya IDI, tapi dimaknai
dengan ‘meliputi juga Perhimpunan Dokter Spesialis’. Namun dalam pertimbangannya,
hakim menyatakan Perhimpunan Dokter Spesialis sebagai salah satu unsur yang
menyatu dan tidak terpisah dari IDI.
“Justru apabila logika permohonan para pemohon diikuti akan timbul ketidakpastian
hukum karena menjadi tidak jelas kapan organisasi profesi dimaknai IDI atau sebagai
Perhimpunan Dokter Spesialis,” kata Palguna.
Sementara terkait sertifikat kompetensi dari IDI yang dipermasalahkan pemohon, menurut
hakim, hal itu justru menjadi bukti bahwa seorang dokter bukan hanya teruji secara
akdemik tapi juga teruji dalam penerapan ilmu. Untuk memperoleh sertifikat kompetensi,
seorang dokter harus memiliki sertifikat profesi atau ijazah terlebih dulu.
Namun hakim sepakat dengan permohonan yang menyatakan bahwa anggota IDI tak
boleh rangkap jabatan sebagai anggota Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Penggugat
sebelumnya menyatakan bahwa rangkap jabatan anggota IDI dan KKI berpotensi
menimbulkan konflik kepentingan. Sebab, semua kewenangan konsil dan profesi
kedokteran ujungnya tetap bertumpu pada IDI.
347 | P a g e
348 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
praktik kedokteran. Tugas itu, menurut hakim, berpotensi berkaitan dengan IDI sebagai
salah satu institusi asal anggota KKI.
“Oleh karena itu untuk mencegah potensi benturan kepentingan maka anggota IDI yang
duduk dalam KKI seharusnya mereka yang bukan pengurus IDI,” ucap hakim.
Dari sejumlah keterangan ahli sebelumnya juga menyatakan bahwa organisasi profesi
kedokteran termasuk organisasi yang cukup vital karena menyangkut kesehatan raga dan
keselamatan nyawa. Jika ada lebih dari satu organisasi profesi kedokteran, justru
dikhawatirkan akan membuat keselamatan masyarakat terpecah belah.
Di sisi lain, sesuai putusan MK tentang tenaga kesehatan telah menyatakan secara jelas
bahwa hanya perlu satu wadah organisasi profesi untuk satu jenis tenaga kesehatan. Di
Indonesia sendiri, organisasi yang dimaksud adalah IDI.
Ketentuan soal kewenangan IDI sebelumnya digugat oleh 32 dokter, di antaranya yakni
Judilherry Justam, Nurhadi Saleh, dan Pradana Soewondo. Mereka menganggap ada
praktik monopoli yang dilakukan IDI dalam mengeluarkan sertifikasi profesi dokter.
Pasal yang diuji yakni Pasal 1 angka 4, angka 12, angka 13, serta Pasal 14 ayat (1) huruf
a, Pasal 29 ayat (3) huruf d, dan Pasal 38 ayat (1) huruf c Undang-Undang Praktik
Kedokteran. Pemohon juga menguji ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), dan
Pasal 39 ayat (2) dalam Undang-Undang Pendidikan Dokter.
Sumber : cnnindonesia.com
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
BAB 3
#TULISANPROFIOM
349 | P a g e
350 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
RUU Dikdok Baru telah menyiapkan konsep pendidikan dan pelayanan kedokteran
yang baik dan lengkap untuk abad 21. Pada Mei 2023 Menkes mengajukan Draft
RUU Kes Obl, sebagai "tandingan". Menkes menyiapkan Draft RUU Kes Obl. Di
mana disiapkan 6 Opsi Pilar Kesehatan Kedepan, di mana tidak Jelas Sumber Dana
/ Anggaran untuk Pengembangan dan Aplikasi High Technology di Indonesia.
(Bandingkan Draft RUU Dikdok Baru dan RUU Kes Obl).
IOM
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
351 | P a g e
352 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Saya menjelaskan pada RI 1 bahwa kita akan merencanakan Muktamar IDI pada
bulan September 2018. Saya jelaskan PB.IDI ingin mempersiapkan SDM
Kesehatan/Dokter Indonesia untuk abad 21, yaitu sistem pelayanan
kesehatan/kedokteran modern (masa depan). Beliau mulai tertarik ketika bicara
tentang desain pendidikan kedokteran dengan sistem kesehatan teknologi industri
4.0, dengan lompatan ke depan (dengan mempersiapkan road map pendidikan dan
pelayanan kedokteran untuk tahun 2045 - lihat lampiran slide presentasi). Pada
waktu saya tawarkan undangan beliau untuk membuka dan memberi pengarahan
pada Muktamar IDI di Samarinda, beliau menyatakan kesediaannya untuk hadir di
Samarinda. Dan saya diminta memberikan asupan untuk pengarahan beliau di
Samarinda, walaupun ada upaya dari kelompok seberang menggagalkan rencana
beliau ke Samarinda, dan berhasil kita gagalkan.
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Untuk internal DPR kita coba mengubah pola pikir teman-teman di DPR ke arah
pendidikan modern masa depan (high technology) dengan menyiapkan RUU Dikdok
Baru, dan lolos pada Prolegnas 2022 dan 2023, dan Alhamdulillah turun Surat
Perintah pada tahun 2022 kepada MenRistek DikBud untuk mempersiapkan DIM
RUU Dikdok Baru, untuk masuk dalam tahap pembahasan antara DPR dan
Pemerintah. Sampai saat ini Bapak Nadim dan Menkes belum juga menyerahkan
DIM RUU Dikdok pada DPR, malah membuat kehebohan baru dengan
mempersiapkan Draft RUU Kes OBL yang kontroversial, dan ditolak oleh berbagai
pihak.
Saya memberanikan diri untuk mengajukan diri untuk bertemu RI 1 untuk
mengajukan solusi menghindari stagnasi kebuntuan politik pendidikan kedokteran di
DPR, dan pemaksaan kekerasan politik oleh pemerintah, sampai saat ini belum ada
jawaban dari beliau atas permohonan saya. Semoga beliau berkenan untuk
menerima saya dan PB.IDI.
IOM
353 | P a g e
354 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
BAB V
Penutup
Prof.Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
BAB V. Penutup
Semoga buku ini telah memberikan wawasan yang berharga, membuka pikiran,
dan memicu gagasan kreatif yang akan membawa perubahan positif dalam pendidikan dan
praktik kedokteran di Indonesia.
Tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan kedokteran mungkin tidak akan
pernah berhenti. Namun, dengan semangat perubahan dan kemauan untuk terus belajar dan
berkembang, kita mampu menghadapinya dengan penuh keyakinan. Revolusi industri 4.0
membawa peluang luar biasa untuk meningkatkan mutu pendidikan kedokteran, memperkuat
kualitas pelayanan kesehatan, dan meningkatkan taraf kesehatan masyarakat.
Terakhir, mari kita menjaga semangat kolaboratif ini tetap berkobar. Mari terus
berbagi pengetahuan, berdiskusi, dan mengimplementasikan ide-ide inovatif untuk mencapai
kesuksesan bersama dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 ini. Bersama-sama, kita
dapat menciptakan fondasi yang kokoh bagi masa depan pendidikan kedokteran di Indonesia
yang lebih baik.
Tetapi kenyataan yang dihadapi berbeda, terlihat dari ranking posisi pendidikan
kedokteran di Indonesia yang masih dalam posisi yang rendah. FKUI perangkat 251-
300,sedangkan FK NUS menduduki peringkat 24.Apalagi dengan akan diterapkannya UU Kes
no 17 /2023 akan semakin menurunkan perangkat Indonesia (FKUI) didunia. Kita akan
menuju kearah kehancuran pendidikan kedokteran di Indonesia.Wawllahu’alam.
Apakah IDI akan diam dan pasif saja.Dalam masa pra Kemerdekaan para dokter
Indonesia berjuang melawan penjajahan kolonial Belanda, dan melahirkan kelompok dokter
pejuang, dan banyak dari mereka yang merelakan darahnya untuk kemerdekaan dari
Penjajah
355 | P a g e
356 Prof. Dr.I.O.Marsis,Sp.OG(K)
Sekali lagi, terima kasih atas dedikasi Anda dalam membaca buku ini. Semoga
kita dapat terus bersama dalam mewujudkan masa depan pendidikan kedokteran yang
gemilang dan bermanfaat bagi generasi mendatang.
Regards,
357 | P a g e