Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA NY.S DENGAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN: CHOLELITHIASIS

DI RUANG MAWAR,KAMAR NO.4, RSUD DR. SOEKARDJO

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Praktik Klinik Keperawatan

Dosen pengampu : Ibu Hana Ariyani, M.Kep.

oleh :

Selma Nursyamsiah

C2214201115

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA

2023
LAPORAN PENDAHULUAN
CHOLELITIASIS
A. Konsep Dasar Medis
1. Definisi
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya.
Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam
kandung empedu (Wibowo, 2010). Hati terletak di kuadran kanan atas abdomen di
atas ginjal kanan, kolon, lambung, pankreas, dan usus serta tepat di bawah
diafragma. Hati dibagi menjadi lobus kiri dan kanan, yang berawal di sebelah
anterior di daerah kandung empedu dan meluas ke belakang vena kava. Kuadran
kanan atas abdomen didominasi oleh hati serta saluran empedu dan kandung
empedu. Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi utama
hati(Wibowo, 2010).
Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang
mengonsentrasikan dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam usus.
Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu, tetapi ada
juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu. Batu empedu bisa terbentuk
di dalam saluran empedu jika empedu mengalami aliran balik karena adanya
penyempitan saluran. Batu 10 empedu di dalam saluran empedu bisa
mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu (kolangitis). Jika saluran empedu
tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di
dalam saluran. Bakteri bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan
infeksi di bagian tubuh lainnya. Adanya infeksi dapat menyebabkan kerusakan
dinding kandung empedu, sehingga menyebabkan terjadinya statis dan dengan
demikian menaikkan batu empedu. Infeksi dapat disebabkan kuman yang berasal
dari makanan. Infeksi bisa merambat ke saluran empedu sampai ke kantong
empedu. Penyebab paling utama adalah infeksi di usus. Infeksi ini menjalar tanpa
terasa menyebabkan peradangan pada saluran dan kantong empedu sehingga
cairan yang berada di kantong empedu mengendap dan menimbulkan batu. Infeksi
tersebut misalnya tifoid atau tifus. Kuman tifus apabila bermuara di kantong
empedu dapat menyebabkan peradangan lokal yang tidak dirasakan pasien, tanpa
gejala sakit ataupun demam. Namun, infeksi lebih sering timbul akibat dari
terbentuknya batu dibanding penyebab terbentuknya batu.
2. Anatomi Fisiologi Kandung Empedu
Kandung empedu bentuknya seperti kantong, organ berongga yang
panjangnya sekitar 10 cm, terletak dalam suatu fossa yang menegaskan batas
anatomi antara lobus hati kanan dan kiri. Kandung empedu merupakan kantong
berongga berbentuk bulat lonjong seperti buah advokat tepat di bawah lobus
kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, dan kolum. Fundus
bentuknya bulat, ujung buntu dari kandung empedu yang sedikit memanjang di
atas tepi hati. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum
adalah bagian yang sempit dari kandung empedu yang terletak antara korpus dan
daerah duktus sistika. Empedu yang disekresi secara terus-menerus oleh hati
masuk ke saluran empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil
bersatu membentuk dua saluran lebih besar yang keluar dari permukaan bawah
hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri yang 12 segera bersatu membentuk
duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus
membentuk duktus koledokus (Syaifuddin, 2011).
a. Anatomi kandung empedu
- Struktur empedu Kandung empedu adalah kantong yang berbentuk
bush pir yang terlerak pada permukaan visceral. Kandung empedu
diliputi oleh peritoneum kecuali bagian yang melekat pada hepar,
terletak pada permukaan bawah hati diantara lobus dekstra dan lobus
quadratus hati.
- Empedu terdiri dari:
1) Fundus Vesika fela: berbentuk bulat, biasanya menonjol di
bawah tepi inferior hati, berhubungan dengan dinding anterior
abdomen setinggi rawan ujung kosta IX kanan.
2) Korpus vesika fela: bersentuhan dengan permukaan visceral
hati mengarah ke atas ke belakang dan ke kiri.
3) Kolum vesika felea: berlanjut dengan duktus sistikus yang
berjalan dengan omentum minus bersatu dengan sisi kanan
duktus hepatikus komunis membentuk doktus koledukus.
- Cairan empedu
Cairan empedu merupakan cairan yang kental berwarna kuning
keemasan (kuning kehijauan) yang dihasilkan terus menerus oleh sel
hepar lebih kurang 500-1000ml sehari.Empedu merupakan zat esensial
yang diperlukan dalam pencernaan dan penyerapan lemak.
- Unsur-unsur cairan empedu:
1) Garam – garam empedu: disintesis oleh hepar dari kolesterol,
suatu alcohol steroid yang banyak dihasilkan hati. Garam
empedu berfungsi membantu pencernaan lemak,mengemulsi
lemak dengan kelenjar lipase dari pancreas
2) Sirkulasi enterohepatik: garam empedu (pigmen empedu)
diresorpsi dari usus halus ke dalam vena portae, dialirkan
kembali ke hepar untuk digynakan ulang.
3) Pigmen-pigmen empedu: merupakan hasil utama dari
pemecahan hemoglobin. Sel hepar mengangkut hemoglobin
dari plasma dan menyekresinya ke dalam empedu. Pigmen
empedu tidak mempunyai fungsi dalam proses pencernaan
4) Bakteri dalam usus halus: mengubah bilirubin menjadi
urobilin, merupakan salah satu zat yang diresorpsi dari usus,
dubah menjadi sterkobilin yang disekresi ke dalam feses
sehingga menyebabkan feses berwarna kuning.
5) Saluran empedu Saluran empedu berkumpul menjadi duktus
hepatikus kemudian bersatu dengan duktus sistikus, karena
akan tersimpan dalam kandung empedu. Empedu mengalami
pengentalan 5-10 kali, dikeluarkan dari kandung empedu oleh
aksi kolesistektomi, suatu hormon yang dihasilkan dalam
membran mukosa dari bagian atas usus halus tempat masuknya
lemak. Kolesistokinin menyebab kan kontraksi otot kandung
empedu. Pada waktu bersamaan terjadi relaksasi sehingga
empedu mengalir ke dalam duktus sistikus dan duktus
koledukus(Syaifuddin, 2011).
b. Fisiologi empedu
Empedu adalah produk hati, merupakan cairan yang mengandung
mucus, mempunyai warna kuning kehijauan dan mempunyai reaksi basa.
Komposisi empedu adalah garam-garam empedu, pigmen empedu,
kolesterol, lesitin, lemak dan garam organic. Pigmen empedu terdiri dari
bilirubin dan bilverdin. Pada saat terjadinya kerusakan butiran-butiran
darah merah terurai menjadi globin dan bilirubin, sebagai pigmen yang
tidak mempunyai unsur besi lagi. Pembentukan bilirubin terjadi dalam
system retikulorndotel di dalam sumsum tulang, limpa dan hati. Bilirubin
yang telah dibebaskan ke dalam peredaran darah disebut hemobilirubin
sedangkan bilirubin yang terdapat dalam empsdu disebut kolebilirubin.
Garam empedu dibentuk dalam hati, terdiri dari 15 natrium glikokolat dan
natrium taurokolat. Garam empedu ini akan menyebabkan kolesterol di
dalam empedu dalam keadaan larutan. Garam-garam empedu tersebut
mempunyai sifat hirotropik. Garam empedu meningkatkan kerja enzim-
enzim yang berasal dari pancreas yaitu amylase tripsin dan lipase. Garam
empedu meningkatkan penyerapan meningkatkan penyerapan baik lemak
netral maupun asam lemak. Empedu dihasilkan oleh hati dan disimpan
dalam kandung empedu sebelum diskresi ke dalam usus. Pada waktu
terjadi pencernaan, otot lingkar kandung empedu dalam keadaan relaksasi.
Bersamaan dengan itu tekanan dalam kantong empedu akan meningkat
dan terjadi kontraksi pada kandung empedu sehingga cairan empedu
mengalir dan masuk ke dalam duodenum. Rangsangan terhadap saraf
simpatis mengakibatkan terjadinya kontraksi pada kandung
empedu(Suratun, 2010).
3. Klasifikasi
Adapun klasifikasi dari batu empedu menurut (Suratun, 2010) adalah sebagai
berikut:
a. Batu kolestrol
Biasanya berukuran beasar, soliter, berstruktur bulat atau oval, berwarna
kuning pucat dan seringkali mengandung kalsium dan pigmen. Kolesterol
yang merupakan unsur normal pembentuk empedu bersifat tidak larut dalam
air. Kelarutannya bergantung pada asam-asam empedu dan lesitin
(fosofolipid) dalam empedu. Pada klien yang cenderung menderita batu
empedu akan terjadi penurunan sintesis asam empedu dan peningkatan sintesis
kolesterol dalam hati
b. Batu pigmen
Terdiri atas garam kalsium dan salah satu dari anion (bilirubinat, karbonat,
fosfat, atau asam lemak rantai panjang). Batu-batu ini cenderung berukuran
kecil, multipel, dan berwarna hitam kecoklatan, batu pigmen berwarna coklat
berkaitan dengan infeksi empedu kronis (batu semacam inilebih jarang di
jumpai). Batu pigmen akan berbentuk bila pigmen tidak terkonjugasi dalam
empedu dan terjadi proses presipitasi (pengendapan) sehingga terjadi batu.
Resiko terbentuknya batu semacam ini semakin besar pada klien sirosis,
hemolisis, dan infeksi percabangan bilier.

4. Etiologi
Batu Empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
dibentuk pada bagian saluran empedu lain. Etiologi batu empedu masih belum
diketahui. Satu teori menyatakan bahwa kolesterol dapat menyebabkan
supersaturasi empedu di kandung empedu. Setelah beberapa lama, empedu yang
telah mengalami supersaturasi menjadi mengkristal dan mulai membentuk batu.
Akan tetapi, tampaknya faktor predisposisi terpenting adalah gangguan
metabolisme yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, stasis
empedu, dan infeksi kandung empedu.
Berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan batu empedu, diantaranya:
a. Eksresi garam empedu
Setiap faktor yang menurunkan konsentrasi berbagai garam empedu atau
fosfolipid dalam empedu. Asam empedu dihidroksi atau dihydroxy bile acids
adalah kurang polar dari pada asam trihidroksi. Jadi dengan bertambahnya
kadar asam empedu dihidroksi mungkin menyebabkan terbentuknya batu
empedu.
b. Kolesterol empedu
Apa bila binatanang percobaan di beri diet tinggi kolestrol, sehingga kadar
kolesrtol dalam vesika vellea sangat tinggi, dapatlah terjadi batu empedu
kolestrol yang ringan. Kenaikan kolestreol empedu dapat di jumpai pada orang
gemuk, dan diet kaya lemak.
c. Substansia mukus Perubahan dalam banyaknya dan komposisi substansia
mukus dalam empedu mungkin penting dalam pembentukan batuempedu.
d. Pigmen empedu Pada anak muda terjadinya batu empedu mungkin disebabkan
karena bertambahya pigmen empedu. Kenaikan pigmen empedu dapat terjadi
karena hemolisis yang kronis. Eksresi bilirubin adalah berupa larutan bilirubin
glukorunid.
e. Infeksi Adanya infeksi dapat menyebabkan krusakan dinding kandung
empedu, sehingga menyebabkan terjadinya stasis dan dengan demikian
menaikan pembentukan batu.
5. Faktor Resiko
Faktor resiko untuk kolelitiasis, yaitu:
a. Usia
Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang dengan usia yang lebih muda. Di Amerika Serikat,
20 % wanita lebih dari 40 tahun mengidap batu empedu. Semakin meningkat
usia, prevalensi batu empedu semakin tinggi. Hal ini disebabkan:
- Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan.
- Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai dengan
bertambahnya usia
- Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin bertambah.
b. Jenis kelamin
Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu.
Hingga dekade ke-6, 20 % wanita dan 10 % pria menderita batu empedu dan
prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia, walaupun umumnya
selalu pada wanita.
c. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini dikarenakan dengan tingginya BMI maka kadar
kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam
empedu serta mengurangi kontraksi/pengosongan kandung empedu.
d. Makanan
Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak hewani berisiko
untuk menderita kolelitiasis. Kolesterol merupakan komponen dari lemak. Jika
kadar kolesterol yang terdapat dalam cairan empedu melebihi batas normal,
cairan empedu dapat mengendap dan lama kelamaan menjadi batu. Intake
rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat mengakibatkan gangguan
terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan
kontraksi kandung empedu
e. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
f. Nutrisi intra-vena jangka lama
Nutrisi intra-vena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.
6. Patofisiologi
Empedu adalah satu-satunya jalur yang signifikan untuk mengeluarkan
kelebihan kolesterol dari tubuh, baik sebagai kolesterol bebas maupun sebagai
garam empedu. Hati berperan sebagai metabolisme lemak. Kira-kira 80 persen
kolesterol yang disintesis dalam hati diubah menjadi garam empedu, yang
sebaliknya kemudian disekresikan kembali ke dalam empedu sisanya diangkut
dalam lipoprotein, dibawa oleh darah ke semua sel jaringan tubuh. Kolesterol
bersifat tidak larut air dan dibuat menjadi larut air melalui agregasi garam empedu
dan lesitin yang dikeluarkan bersamasama ke dalam empedu. Jika konsentrasi
kolesterol melebihi kapasitas solubilisasi empedu (supersaturasi), kolesterol tidak
lagi mampu berada dalam keadaan terdispersi sehingga menggumpal menjadi
kristal-kristal kolesterol monohidrat yang padat.
Etiologi batu empedu masih belum diketahui sempurna. Sejumlah
penyelidikan menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi
empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Batu empedu kolesterol dapat
terjadi karena tingginya kalori dan pemasukan lemak. Konsumsi lemak yang
berlebihan akan menyebabkan penumpukan di dalam tubuh sehingga sel-sel hati
dipaksa bekerja keras untuk menghasilkan cairan empedu. Kolesterol yang
berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu dengan cara yang belum
dimengerti sepenuhnya.
Patogenesis batu berpigmen didasarkan pada adanya bilirubin tak terkonjugasi di
saluran empedu (yang sukar larut dalam air), dan pengendapan garam bilirubin
kalsium. Bilirubin adalah suatu produk penguraian sel darah merah. Batu empedu
yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan berdasa`rkan bahan
pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigmen dan batu campuran.
7. Pathway

8. Manifestasi Klinik
Menurut ((Nurarif & Kusuma, 2013) tanda dan gejala kolelitiasis adalah :
a. Sebagian bersifat asimtomatik
b. Nyeri tekan kuadran kanan atas atau midepigastrik samar yang menjalar ke
punggung atau region bahu kanan
c. Sebagian klien rasa nyeri bukan bersifay kolik melainkan persisten
d. Mual dan muntah serta demam
e. Icterus obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan
menimbulkan gejala yang khas, yaitu: getah empedu yang tidak lagi dibawa ke
dalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini
membuat kulit dan membrane mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering
disertai dengan gejala gatal-gatal pada kulit
f. Perubahan warna urine dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan
membuat urine berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh
pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut “clay
colored”
g. Regurgitas gas: flatus dan sendawa h. Defisiensi vitamin obstruksi aliran
empedu juga akan membantu absorbsi vitamin A, D, E, K yang larut lemak.
Karena itu klien dapat memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini
jika obstruksi atau sumbatan bilier berlangsumg lama. Penurunan jumlah
vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang normal.
9. Penatalaksanaan
Menurut ((Nurarif & Kusuma, 2013) penatalaksanaan pada kolelitiasis
meliputi
a. Penanganan Non bedah
1) Disolusi Medis
Oral dissolution therapy adalah cara penghancuran batu dengan
pemberian obat-obatan oral. Disolusi medis sebelumnya harus
memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya batu kolestrol
diameternya
2) ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)
Batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau
balon ekstraksi melalui muara yang sudah besar menuju lumen
duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja. Untuk batu besar,
batu yang terjepit di saluran empedu atau batu yang terletak di atas
saluran empedu yang sempit diperlukan prosedur endoskopik
tambahan sesudah sfingerotomi seperti pemecahan batu dengan
litotripsi mekanik dan litotripsi laser.
3) ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy)
Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) adalah pemecahan batu
dengan gelombang suara.
b. Penanganan bedah
1) Kolesistektomi laparaskopik Indikasi pembedahan karena menandakan
stadium lanjut, atau kandung empedu dengan batu besar, berdiameter lebih
dari 2cm. kelebihan yang diperoleh klien luka operasi kecil (2- 10mm)
sehingga nyeri pasca bedah minimal.
2) Kolesistektomi terbuka Kolesistektomi adalah suatu tindakan pembedahan
dengan cara mengangkat kandung empedu dan salurannya dengan cara
membuka dinding perut (Sahputra, 2016). Operasi ini merupakan standar
terbaik untuk penanganan klien dengan kolelitiasis sitomatik.

10. Pemeriksaan diagnostic


Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada klien kolelitiasis menurut
(Sandra Amelia,2013) adalah:
a. Pemeriksan sinar-X abdomen, dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan akan
penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang
lain. Namun, hanya 15-20% 27 batu empedu yang mengalami cukup
klasifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.
b. Ultrasinografi, pemeriksaan USG telah menggantikan pemeriksaan
kolesistografi oral karena dapat dilakukan secara cepat dan akurat, dan dapat
dilakukam pada penderita disfungsi hati dan ikterus. Pemeriksaan USG dapat
mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus koledokus yang
mengalami dilatasi.
c. pencitraan radionuklida atau koleskintografi. Koleskintografi menggunakan
preparat radioaktif yang disuntikkan secara intravena. Preparat ini kemudian
diambil oleh hepatosit dan dengan cepat diekskresikan ke dalam sistem bilier.
Selanjutnya dilakukan pemindaian saluran empedu untuk mendapatkan
gambar kandung empedu dan percabangan bilier.
d. ERCP (Endoscopic Retrograde CholangioPancreatography), pemeriksaan ini
meliputi insersi endoskop serat-optim yang fleksibel ke dalam eksofagus
hingga mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanul dimasukkan ke
dalam duktus koledokus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk memingkinkan visualisasi
langsung struktur bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus
bagian distal untuk mengambil empedu.
e. Kolangiografi Transhepatik Perkutan, pemeriksaan dengan cara menyuntikkan
bahan kontras langsung ke dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi
bahan kontras yang disuntikkan itu relatif besar, maka semua komponen pada
sistem bilier (duktus hepatikus, duktus koledokus, duktus sistikus dan kandung
empedu) dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.
f. MRCP (Magnetic Resonance Cholangiopancreatography), merupakan teknik
pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat kontras, instrumen,
dan radiasi ion. Pada MRCP saluran empedu akan terlihat sebagai struktur
yang terang karena mempunyai intensitassinyal tinggi, sedangkan batu saluran
empedu akan terlihat sebagai intensitas sinyal rendah yang dikelilingi empedu
dengan intensitas sinyal tinggi, sehingga metode ini cocok untuk mendiagnosis
batu saluran empedu.
11. Komplikasi
Adapun jenis komplikasi sebagai berikut:
a. Kolesistis
Kolesistitis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu
tersumbat oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan kandung
empedu.
b. Kolangitis Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena
infeksi yang menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-
saluran menjadi terhalang oleh sebuah batu empedu.
c. Hidrops Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops
kandung empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom
yang berkaitan dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus
sistikus sehingga tidak dapat diisi lagi empedu pada kandung empedu yang
normal. Kolesistektomi bersifat kuratif.
d. Empiema Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat
membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera.

12. Pencegahan dan Penanganan


Pencegahan Cholelithiasis dapat di mulai dari masyarakat yang sehat yang
memiliki faktor risiko untuk terkena Cholelithiasis sebagai upaya untuk mencegah
peningkatan kasus Cholelithiasis pada masyarakat dengan cara tindakan promotif
dan preventif. Tindakan promotif yang dapat dilakukan adalah dengan cara
mengajak masyarakat untuk hidup sehat, menjaga pola makan, dan perilaku atau
gaya hidup yang sehat. Sedangkan tindakan preventif yang dapat dilakukan adalah
dengan meminimalisir faktor risiko penyebab Cholelithiasis, seperti menurunkan
makanan yang berlemak dan berkolesterol, meningkatkan makan sayur dan buah,
olahraga teratur dan perbanyak minum air putih. Pada pasien yang sudah
didiagnosa mengalami Cholelithiasis dapat dilakukan tindakan dengan cara bedah
maupun non-bedah. Penanganan secara bedah adalah dengan cara kolesistektomi.
Sedangkan penanganan secara non-bedah adalah dengan cara melarutkan batu
empedu menggunakan MTBE, ERCP, dan ESWL (Bruno, 2019)
Kolesistektomi merupakan prosedur pembedahan yang dilakukan pada
sebagian besar kasus cholelithiasis. Jenis kolesistektomi laparoskopik adalah
teknik pembedahan invasif minimal didalam rongga abdomen dengan
menggunakan pneumoperitoneum sistim endokamera dan instrumen khusus
melalui layar monitor tanpa melihat dan menyentuh langsung kandung
empedunya. Keuntungan dari kolesistektomi laparoskopik adalah meminimalkan
rasa nyeri, mempercepat proses pemulihan, masa rawat yang pendek dan
meminimalkan luka parut (Paasch, Salak, Mairinger, & Theissig, 2020)
Penanganan Cholelithiasis non-bedah dengan cara melarutkan batu empedu yaitu
suatu metode melarutkan batu empedu dengan menginfuskan suatu bahan pelarut
(monooktanion atau metil tertier butil eter) ke dalam kandung empedu. Pelarut
tersebut dapat diinfuskan melalui jalur berikut ini: melalui selang atau kateter
yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu; melalui selang atau
drain yang dimasukkan melalui saluran T-Tube untuk melarutkan batu yang
belum dikeluarkan pada saat pembedahan; melalui endoskop ERCP atau kateter
bilier transnasal. Pengangkatan non-bedah digunakan untuk mengeluarkan batu
yang belum terangkat pada saat kolesistektomi atau yang terjepit dalam duktus
koledokus. (Baloyi et al., 2020). Endoscopi Retrograde Cholangi Pancreatography
(ERCP) terapeutik dengan melakukan sfingterektomi endoskopik untuk
mengeluarkan batu saluran empedu tanpa operasi, pertama kali dilakukan tahun
1974. Batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon-
ekstraksi melalui muara yang sudah besar tersebut menuju lumen duodenum
sehingga batu dapat keluar bersama tinja atau dikeluarkan melalui mulut bersama
skopnya. Extracorporeal Shock-Wave Lithoripsy (ESWL) merupakan prosedur
non-invasif yang menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves)
yang diarahkan kepada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus
koledokus dengan maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sebuah fragmen.
Gelombang kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu
piezoelektrik, atau oleh muatan elektromagnetik (Bini, Chan, Rivera, & Tuda,
2020) Setelah penanganan bedah maupun non-bedah dilakukan, maka selanjutnya
dilakukan perawatan paliatif yang fungsinya untuk mencegah komplikasi penyakit
yang lain, mencegah atau mengurangi rasa nyeri dan keluhan lain, serta
meningkatkan kualitas hidup pasien. Perawatan tersebuit bisa dilakukan dengan
salah satu cara yaitu 32 memerhatikan asupan makanan dengan intake rendah
lemak dan kolesterol (Bini et al., 2020).

B. Konsep Masalah Keperawatan Nyeri


1. Definisi
IASP International Association for the Study of Pain mendefinisikan nyeri
merupakan suatu sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial. Nyeri akut
merupakan pengalaman sensorik yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual
dengan onset mendadak dan berintensitas ringan hingga berat dan berlangsung
kurang dari tiga bulan ( Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016 ).
2. Etiologi
Penyebab nyeri akut salah satunya adalah agen pencedera fisik (prosedur
operasi) (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Nyeri merupakan suatu kondisi
yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang disebabkan oleh stimulus tertentu.
Nyeri bersifat subjektif dan individual (Potter & Perry, 2010). Nyeri juga
merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Smeltzer & Bare, 2001).
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit atau intervensi
bedah, dan memiliki awitan bedah yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi
(ringan sampai berat) serta berlangsung singkat (kurang dari enam bulan) dan
menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang
rusak. Nyeri akut biasanya berlangsung singkat, misalnya nyeri pada fraktur.
Klien yang mengalami nyeri akut biasanya menunjukkan gejala perspirasi
meningkat, denyut jantung dan tekanan darah meningkat. Nyeri ini biasanya
berlangsung tidak lebih dari enam bulan. Awitan gejalanya mendadak dan
biasanya penyebab serta lokasi nyeri sudah diketahui. Nyeri akut ditandai dengan
peningkatan tegangan otot dan kecemasan yang keduanya meningkatkan persepsi
nyeri.
Terdapat tiga komponen fisiologis dalam nyeri yaitu resepsi, persepsi, dan
reaksi. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut saraf
perifer. Serabut nyeri memasuki medula spinalis dan menjalani salah satu dari
beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam masa berwarna abu-abu di
medula spinalis. Terdapat pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf
inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi
tanpa hambatan ke korteks serebral, maka otak menginterpretasi kualitas nyeri dan
memproses informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki serta
asosiasi kebudayaan dalam upaya mempersiapkan nyeri (Potter & Perry, 2010).

3. Tanda dan gejala


a. Mual
b. Muntah
c. Kehilangan nafsu makan
d. Kelelahan dan kelemahan
e. Masalah tidur
f. Perubahan volume dan frekuensi buang air kecil
g. Otot berkedut dank ram h. Pembengkakan kaki dan pergelangan kaki
h. Gatal terus menerus
i. Nyeri dada jika cairan menumpuk di dalam selaput jantung
j. Sesak napas jika cairan menumpuk di paru-paru
k. Tekanan darah tinggi yang sulit dikendalikan
4. Patofisiologi Nyeri
Timbul akibat adanya rangsangan oleh zat-zat algesik pada reseptor nyeri yang
banyak dijumpai pada lapisan superficial kulit dan pada beberapa jaringan di
dalam tubuh, seperti periosteum, permukaan sendi, otot rangka dan pulpa gigi.
Zat-zat algesik yang mengaktifkan reseptor nyeri adalah ion K, H, asam laktat,
serotonin, bradikinin, histamin dan prostaglodin. Respon terhadap stimulus untuk
stimulus nyeri disebut nosiseptor yang merupakan ujung-ujung saraf bebas tidak
bermielin yang mampu mengubah berbagai stimulus menjadi impuls saraf, yang
diinterpretasikan oleh otak sebagai sensasi nyeri. Badan-badan sel saraf tersebut
terdapat pada ganglia radiks dorsalis, atau saraf trigeminal pada ganglia
trigeminal, dan badan-badan sel saraf tersebut mengirimkan satu cabang serat
saraf menuju ke perifer, serta cabang lainnya menuju medula spinalis atau batang
otak. Nosiseptor diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu saraf-saraf tidak
bermielin dan berdiameter kecil yang mengkonduksikan impuls saraf dengan
lambat, yaitu serabut saraf C dan saraf-saraf bermielin berdiameter lebih besar
yang mengkonduksikan impuls-impuls saraf lebih cepat yaitu serabut saraf Aδ.
Impuls-impuls saraf yang dikonduksikan oleh serat nosiseptor Aδ menghasilkan
sensasi nyeri yang tajam dan cepat, sedangkan serat nosiseptor C menghasilkan
sensasi nyeri yang tumpul dan terlambat. Kebanyakan nosiseptor beujung bebas
yang mendeteksi adanya kerusakan jaringan. Selama proses inflamasi, nosiseptor
menjadi lebih peka dan mengakibatkan nyeri yang terus menerus. Rangkaian
proses yang menyertai antara kerusakan jaringan sebagai sumber stimuli nyeri
sampai dirasakannya persepsi nyeri adalah suatu proses elektrofisiologik yang
disebut sebagai nosisepsi. Terdapat empat proses dalam nosisepsi, yakni :
transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.
a. Transduksi
Transduksi merupakan proses pengubahan stimuli nyeri (noxious stimuli)
menjadi suatu impuls listrik pada ujung-ujung saraf. Proses transduksi dimulai
ketika nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor ini (nociceptors) merupakan sebagai bentuk
respon terhadap stimulus yang datang seperti kerusakan jaringan atau trauma.
Trauma tersebut kemudian menghasilkan mediatormedator nyeri perifer
sebagai hasil dari respon humoral dan neural. Prostaglandin beserta ion H+
dan K+ berperan penting sebagai activator primer nosiseptor perifer serta
menginisiasi respon inflamasi dan sensitisasi perifer yang menyebabkan
pembengkakan jaringan dan nyeri pada lokasi cedera.

b. Transmisi
Transmisi merupakan serangkaian kejadian-kejadian neural yang membawa
impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi melibatkan
saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke sedang serta
yang berdiameter besar. Saraf aferen akan ber-axon pada dorsal horn di
spinalis. Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan melalui sistem contralateral
spinalthalamic melalui ventral lateral dari thalamus menuju cortex serebral.
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensoris setelah proses transduksi.
Impuls ini akan disalurkan oleh serabut Aδ fiber dan C fiber sebagai neuron
pertama dari perifer ke medula spinalis. Proses tersebut menyalurkan impuls
noxious dari nosiseptor primer menuju ke sel di dorsal horn medulla spinalis

c. Modulasi
Modulasi adalah proses yang mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya
mengontrol jalur transmisi nociceptor tersebut. Proses modulasi melibatkan
sistem neural yang komplek. Impuls nyeri ketika sampai di saraf pusat akan
dikontrol oleh sistem saraf pusat dan mentransmisikan impuls nyeri ini
kebagian lain dari system saraf seperti bagian cortex. Selanjutnya impuls nyeri
ini akan ditransmisikan melalui saraf-saraf descend ke tulang belakang untuk
memodulasi efektor.

d. Persepsi
Persepsi adalah proses yang subjective. Persepsi merupakan hasil akhir dari
proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi,
transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatui perasaan
yang subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri. Proses persepsi ini tidak
hanya berkaitan dengan proses fisiologis atau proses anatomis saja, akan tetapi
juga meliputi cognition (pengenalan) dan memory (mengingat). Oleh karena
itu, faktor psikologis, emosional, dan berhavioral (perilaku) juga muncul
sebagai respon dalam mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut. Proses
persepsi ini jugalah yang menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena yang
melibatkan multidimensional. Beberapa traktus asenden berperan dalam
mentransmisikan impuls nosisepsi dari dorsal horn ke target supraspinal, yaitu
traktus spinomesencephalic, spinoreticular dan spinotalamikus, dimana traktus
spinotalamikus merupakan traktus yang utama untuk jalur persepsi. Akson
dari sel dorsal horn bersinaps dengan sel thalamus, yang mengubah transmisi
impuls nosiseptif langsung ke korteks somatosensoris.

5. Respon Tubuh Terhadap Nyeri


Nyeri sebagai suatu pengalaman sensoris dan emosional tentunya akan
menimbulkan respon terhadap tubuh. Respon tubuh terhadap nyeri merupakan
terjadinya reaksi endokrin berupa mobilisasi hormon-hormon katabolik dan
terjadinya reaksi imunologik, yang secara umum disebut sebagai respon stres.
Efek nyeri terhadap psikologi Pasien yang menderita nyeri akut yang berat akan
mengalami gangguan kecemasan, rasa takut dan gangguan tidur. Hal ini
disebabkan karena ketidaknyamanan pasien dengan kondisinya, dimana pasien
menderita dengan rasa nyeri yang dialaminya kemudian pasien juga tidak dapat
beraktivitas. Bertambahnya durasi dan intensitas nyeri, pasien dapat mengalami
gangguan depresi, kemudian pasien akan frustasi dan mudah marah terhadap
orang sekitar dan dirinya sendiri. Kondisi pasien seperti cemas dan rasa takut akan
membuat pelepasan kortisol dan katekolamin, dimana hal tersebut akan merugikan
pasien karena dapat berdampak pada sistem organ lainnya, gangguan sistem organ
yang terjadi kemudian akan membuat kondisi pasien bertambah buruk dan
psikologi pasien akan bertambah parah.

6. Pengukuran Intensitas Nyeri


Derajat nyeri dapat diukur dengan berbagai macam cara yang sering digunakan
untuk menilai intensitas nyeri pasien sebagai berikut:
a. Visual Analog Scale
Skala Analog Visual (Visual Analog Scale/VAS) adalah cara yang paling
banyak digunakan untuk menilai nyeri. (Metode ini paling sering digunakan
untuk mengukur intensitas nyeri. Metode ini menggunakan garis sepanjang 10
cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat.
Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang
dirasakan. Keuntungan menggunakan metode ini adalah sensitif untuk
mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah di mengerti dan dikerjakan, dan
dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak
dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar
diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.

b. Numeric rating scale (NRS)


Skala numeric merupakan alat bantu pengukur intensitas nyeri pada pasien
yang terdiri dari skala horizontal yang dibagi secara rata menjadi 10 segmen
19 dengan nomor 0 sampai 10. Pasien diberi pengertian yang menyatakan
bahwa angka 0 bermakna intensitas nyeri yang minimal (tidak ada nyeri sama
sekali) dan angka 10 bermakna nyeri yang sangat (nyeri paling parah yang
dapat mereka bayangkan). Pasien kemudian dimintai untuk menandai angka
yang menurut mereka paling tepat dalam mendeskripsikan tingkat nyeri yang
dapat mereka rasakan pada suatu waktu
Skala penilaian numeric lebih digunakan sebagai pengganti alat
pendeskripsian kata. Dalam hal ini, pasien meniai nyeri dengan menggunakan
skala 0-10. Skala ini paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri
sebelum dan sesudah intervensi. Keterangan:
0 : tidak nyeri
1-2 : nyeri ringan secara obyektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik
3-4 : nyeri sedang secara obyektif pasien mendesis, menyeringai, dan
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
6-7 : nyeri berat secara obyektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tetapi masih respon terhadap tindakan, dapay menunjukkan lokasi
nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi
nafas panjang dan distraksi.
8-10 : nyeri sangat berat pasien sehingga sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi.

c. Verbal descriptive scale (VDS)


Verbal Descriptive Scale merupakan pengukuran derajat nyeri yang sering
digunakan. Verbal Descriptive scale merupakan sebuah garis yang terdiri dari
tiga sampai lima kata yang mendeskripsikan perasaan nyeri, tersusun dengan
jarak yang sama di sepanjang garis. Kata-kata yang digunakan untuk
mendeskripsikan tingkat nyeri di urutkan dari “tidak terasa nyeri”sampai nyeri
yang tidak tertahankan.
ASUHAN KEPERAWATAN

PADA NY.H DENGAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN: CHOLELITIASIS

DI RUANG MAWAR,KAMAR NO.4, RSUD DR. SOEKARDJO

A. Pengkajian
1. Identitas
a. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Usia : 38 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat tanggal lahir :07 Agustus 1984
Agama : Islam
Alamat : Mangkubumi
Status Perkawinan : Kawin
Pekerjaan : IRT
Pendidikan Terakhir :-
Tanggal Masuk : 05 Agustus 2023
Tanggal Pengkajian : 08 Agustus 2023

b. Identitas Penanggungjawab
Nama : Tn. A
Usia :-
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
Agama : Islam
Alamat : Mangkubumi
Hubungan dg pasien : Suami

2. Keluhan utama
Pasien mengatakan nyeri abdomen
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Sebelum dibawa ke fasilitas kesehatan pasien mengidap Cholelitiasis
Pada saat dilakukan pengkajian Pada hari Selasa tanggal 08 Agustus 2023 pasien
mengatakan nyeri abdomen,bertambah ketika pasien batuk dan berkurang ketika
pasien beristirahat,nyeri dirasakan seperti tertimpa benda berat,nyeri
terlokalisisr,dengan skala nyeri 4, dan dirasakan hilang timbul.
Pasien juga mengatakan lemas, nyeri ulu hati,nafsu makan menurun,mual, dan
muntah. Terapi yang dianjurkan adalah terapi RL 20tpm.
4. Riwayat kesehatan dahulu
Pasien mengatakan pernah dirawat di Rumah Sakit TMC dan didiagnosa
Cholelitiasis

5. Riwayat kesehatan keluarga


Pasien mengatakan tidak ada keluarga pasien yang mengidap penyakit serupa
dengan yang diderita oleh pasien
6. Data biologis
a. Penampilan umum
klien tampak lemah dan terbaring
b. Activity Daily Living
ADL Sebelum sakit Saat sakit
Nutrisi
a.makan
-jenis menu Nasi, lauk pauk Bubur
-frekuensi 3kali/hari 3kali/hari
-porsi 1 porsi 1/2 porsi
-pantangan Tidak ada pantangan Tidak ada pantangan
-keluhan Tidak ada keluhan Tidak nafsu makan
b.minum
-jenis menu Air putih Air putih
-frekuensi 2000ml 1500ml
-porsi 8 gelas 6 gelas
-pantangan Tidak ada pantangan Tidak ada pantangan
-keluhan Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
Istirahat dan tidur
a.malam
-berapa jam 8 jam 8 jam
-dari jam s/d 21.00-05.00 21.00-05.00
-kesukaran tidur Tidak ada Tidak ada
b.siang
-berapa jam 2 jam 2 jam
-dari jam s/d 12.30-14.30 12.30-14.30
-kesukaran tidur Tidak ada Tidak ada
Eliminasi
a.BAK
-frekuensi 5x/hari 5x/hari
-jumlah -+ 1000cc -+ 1000cc
-warna Kuning jernih Kuning jernih
-bau Khas Khas
-kesulitan Tidak ada Tidak ada
b.BAB
-frekuensi 1x/hari Belum BAB 1 minggu
-konsistensi Lembek
-warna Kuning kecoklatan
-bau khas
Personal Hygine
a.mandi
frekuensi 2x/hari Dilap
memakai sabun 2x/hari Tidak
keramas 2hari sekali Tidak
gosok gigi 2x/hari 1x/hari
b.berpakaian
ganti pakaian 2x/hari 1x/hari
Mobilitas dan
aktivitas
-aktifitas Mandiri Mandiri
-kesulitan Tidak ada Tidak ada

c. Pemeriksaan Fisik
-TTV
T; 36oc
P; 99 x/menit
R; 24 x/menit
S; 107/74 mmHg
SPO2; 98%
GCS; CM

- Kepala
Inspeksi, kepala simtris, tidak ada lesi,penyebaran rambut
merata,kebersihan rambut baik,tidak ada alovesia,warna rambut hitam
Palpasi, tidak teraba benjolan
- Mata
Inspeksi, bentuk kedua mata simetris, warna lensa hitam, konjungtiva
ananemik, sclera anikterik, luas pandang baik
Palpasi, tidak teraba benjolan
- Telinga
Inspeksi, kedua telinga simetris,kebersihan telinga baik, tidak ada lesi
Palpasi, tidak teraba benjolan
Auskultasi, pendengaran klien baik
- Hidung
Inspeksi, bentuk hidung simetris,kebersihan hidung baik, tidak terdapat
secret
Palpasi, tidak ada nyeri tekan pada bagian hidung, tidak ada benjolan
- Mulut
Inspeksi, bibir simetris,warna bibir merah muda,gigi kekuningan,
mukosa bibir kering
Palpasi, mukosa bibir teraba kering
- Leher
Inspeksi, bentuk leher simetris,warna kulit merata, tidak terdapat
pembesaran kelenjar tiroid
Palpasi, tidak teraba benjolan, tidak teraba pembesaran kelenjar
tyroid,nadi karotis teraba dengan jelas
- Dada
Inspeksi, bentuk dada simetris, tidak ada lesi, warna kulit merata
Palpasi, tidak ada nyeri tekan
Perkusi, perkusi paru resonan, perkusi jantung dullnes
Auskultasi, irama jantung regular
- Abdomen
Inspeksi, warna kulit merata, tidak ada lesi, perut kembung
Auskultasi, bising usus 12x/menit, thympani
Palpasi, terdapat nyeri ulu hati
Perkusi,perkusi abdomen thympani
- Ekstremitas bawah
Inspeksi, kaki simetris, integritas kulit baik, bersih
Palpasi, tidak ada nyeri, dorsalis pedis teraba jelas
Perkusi, reflex normal
- Ekstremitas atas
Inspeksi, tangan simestris, integritas kulit baik, warna kulit merata
Palpasi, nadi radialis teraba jelas, nadi brahialis teraba jelas, terpasang
infus pada tangan sebelah kanan
Perkusi, reflex normal
- Genetalia
Inspeksi, tidak ada kemerahan, kebersihan baik,tidak ada lesi

7. Data psikososial dan spiritual


pasien tampak lemas dan mampu berinteraksi baik dengan perawat ditandai
dengan pasien mampu bertanya dan mampu menjawab pertanyaan yang diberikan
oleh perawat. Support system pasien adalah keluarga. Pasien juga sering berdoa
kepada allah untuk kesembuhan penyakit yang dideritanya saat ini.

8. Data penunjang
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai normal Interpretasi
Hemoglobin 12 P;12-16 l;14-18 g/dl Normal
Hematocrit 36 P;35-47 l; 40-50% Normal
Leukosit 21.500 5.000-10.000 g/dl Meningkat
Trombosit 614.00 150.000-350.000 mm^3 Meningkat
0
Cito SGOT Normal
SGOT 19 P;10-31 l;10-38 u/L37c
Cito SGPT Normal
SGPT 26 P;9-32 l;9-40 u/L37c

Terapi obat

Nama obat dosis waktu manfaat


Ceftriaxone 2x1 12jam Mengobati infeksi bakteri pada tubuh
Ranitidine 2x1 12jam Menurunkan produksi asam lambung
Ondansetron 2x8mg 12jam Mecegah mual muntah
Keterolak 2x1 12jam Meredakan nyeri
Sprinolactone 1x100 24jam Mengeluarkan cairan berlebih
Codein 3x10 8jam Meredakan nyeri
Curcuma 3x1 8jam Menambah nafsu makan
Levofloxacin 1x500 24jam Mengobati penyakit infeksi

9. Analisa data

Symptom Eiologi Problem


DO: Kolelitiasis Nyeri akut
-Pasien tampak terbaring |
-pasien tampak merasakan Batu empedu menuju ductus
nyeri sistikus
-pasien tampak memegang |
bagian abdomen ketika nyeri Distensi kandung empedu
- |
DS: Fundus menyentuh dinding
-Pasien mengatakan nyeri abdomen pada kartilago
pada abdomen koste 9 dan 10
-pasien mengatakan nyeri |
bertambah ketika batuk Gesekan empedu
-pasien mengatakan nyeri |
seperti tertimpa benda berat Nyeri abdomen
-pasien mengatakan nyeri |
terlokasir, skala 4, dan Nyeri akut
hilang timbul
DO: Kolelitiasis Kekurangan volume cairan
-Pasien tampak lemas |
terbaring Batu empedu menuju ductus
-turgor kulit kering sistikus
-crt 3 |
-mukosa bibir kering Obstruksi ductus sistikus
- TTV; |
T; 36oc Iritasi dinding ductus
P;99x/menit sistikus akibat gesekan
R;25x/menit dengan batu
S; 107/74mmHg |
SPO2;98% Respon inflamasi
DS: |
-Pasien mengatakan mual Peningkatan permeabilitas
-pasien mengatakan sering vasa dan perubahan
munrtah hemodinamik
-pasien mengatakan lemas |
Penumpukan cairan
diintestinal
|
Peningkatan intra abdomen
|
Penekanan pada lambung
|
Mual
|
Muntah,anoreksia
|
Kekurangan volume cairan
DO Kolelitiasis Ketidakseimbangan nutrisi
-pasien tampak tidak | kurang dari kebutuhan tubuh
bertenaga Batu empedu menuju ductus
-pasien tampak tidak sistikus
menghabiskan makanannya |
-pasien tampak lemas Obstruksi ductus sistikus
DS |
-pasien mengatakan adanya Iritasi dinding ductus
penurunan nafsu makan sistikus akibat gesekan
-pasien mengatakan mual dengan batu
-pasien mengatakan setiap |
makan hanya menghabiskan Respon inflamasi
½ porsi |
-pasien mengatakan nyeri Peningkatan permeabilitas
ulu hati vasa dan perubahan
hemodinamik
|
Penumpukan cairan
diintestinal
|
Peningkatan intra abdomen
|
Penekanan pada lambung
|
Mual
|
Muntah,anoreksia
|
Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh

10. Diagnosa keperawatan


a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis
b. Kekurangan volume cairan b.d asupan cairan tidak adekuat
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake tidak
adekuat
11. Proses Keperawatan
a. Rencana tindakan

Rencana Tindakan
Diagnosa Keperawatan
Kriteria hasil Intervensi Rasional
Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan 1.tentukan 1.dapat dijadikan
pencedera fisiologis tindakan keperawatan tingkat nyeri acuan untuk
selama 1x24 jam tindakan
diharapkan nyeri pasien penghilang nyeri
berkurang dengan
kriteria hasil: 2.ajarkan 2.menurunkan
1.nyeri berkurang teknik intensitas nyeri
2.mampu mengontrol relaksasi nafas dengan relaksasi
nyeri dalam otot pernafasan

Kekurangan volume Setelah dilakukan 1.kaji riwayat 1.menilai


cairan b.d asupan tindakan keperawatan jumlah dan keseimbangan
cairan tidak adekuat selama 1x24 jam tipe intake intake dan output
diharapkan asupan cairan cairan dan
yang adekuat dengan pola eliminasi
kriteria hasil: 2.menilai
1.keseimbangan intake 2.monitor keseimbangan
dan output intake dan intake dan output
2. kelembapan mukosa output
baik (mukosa bibir tidak
kering)

Ketidakseimbangan Setelah dilakukan 1.monitor BB 1.mengetahui


nutrisi kurang dari tindakan keperawatan kecukupan nutrisi
kebutuhan tubuh b.d 1x24jam diharapkan 2.monitor 2. mengetahui
intake tidak adekuat nutrusi dapat terpenuhi adanya mual intake dan output
dengan kriteria hasil; muntah cairan
1.asupan makanan
adekuat
2.tingkat energi adekuat

b. Implementasi keperawatan

Diagnosa keperawatan Implementasi


Nyeri akut b.d agen 09 Agustus 2023
pencedera fisiologis 1.Mentukan tingkat nyeri
Hasil; nyeri berkurang dengan skala nyeri 2
09 Agustus 2023
2.Mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam
Hasil; pasien mampu melakukan relaksasi nafas dalam
dan nyeri berkurang
Kekurangan volume 09 Agustus 2023
cairan b.d asupan 1.Mengkaji riwayat jumlah dan tipe intake cairan dan
cairan tidak adekuat pola eliminasi
Hasil; intake 1800cc,eliminasi urine normal,tetapi
belum BAB 1 minggu
09 Agustus 2023
2.monitoring intake dan output
Hasil; intake 1800cc,output 900cc
Ketidakseimbangan 09 Agustus 2023
nutrisi kurang dari 1.monitoring BB
kebutuhan tubuh b.d Hasil; tidak ada penurunan BB
intake tidak adekuat 09 Agustus 2023
2.monitoring adanya mual muntah
Hasil; mual dan muntah berkurang

c. Evaluasi keperawatan

Diagnosa Keperawatan Evaluasi


Nyeri akut b.d agen 09 Agustus 2023
pencedera fisiologis S: pasien mengatakan nyeri berkurang dengan
skala nyeri 2
O: Pasien tampak memulih
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan
Kekurangan volume 09 Agustus 2023
cairan b.d asupan cairan S: pasien mengatakan eliminasi urine normal tapi
tidak adekuat belum BAB 1 minggu
O: Pasien tampak perutnya sedikit kembung
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan

Ketidakseimbangan 09 Agustus 2023


nutrisi kurang dari S: pasien mengatakan tidak terjadi penurunan BB
kebutuhan tubuh b.d O: pasien tampak mulai pulih
intake tidak adekuat A: masalah teratasi
P: intervensi dihentikan
DAFTAR PUSTAKA

https://www.studocu.com/id/document/universitas-andalas/fakultas-ilmu-keperawatan/batu-
empedu-kolelitiasis/45202870
https://repository.poltekkes-kaltim.ac.id/1055/1/KTI%20EVA%20MEYLINDA.pdf

Anda mungkin juga menyukai