Anda di halaman 1dari 56

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS JAMBI
MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

TUGAS MATA KULIAH

HUKUM KEUANGAN DAN PERBENDAHARAAN NEGARA

KELAS: A

MAKALAH

POLITIK HUKUM KEUANGAN NEGARA TERHADAP PENGADAAN


BARANG/JASA PEMERINTAH DALAM PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN DI INDONESIA

DOSEN PENGAMPU MATAKULIAH

1. Dr. Hj. Kosariza, S.H., M.H.


2. Dr. H. Syamsir, S.H., M.H.
3. Dr. H. Ridham Priskap, S.H., M.H., M.M.

OLEH:

SERGIUS BOSCHO NITUNG


NIM. P2 B121040

Semester Ganjil 2022/2023


Oktober
KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Allah SWT yang mana telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas mata kuliah ini yang berjudul “Politik Hukum Keuangan Negara
Terhadap Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan di Indonesia,”, sebagai tugas perkuliahan untuk mata kuliah
Hukum Keuangan dan Perbendaharaan Negara.
Terima kasih saya ucapkan kepada dosen mata kuliah Dr. Hj. Kosariza,
S.H., M.H., Dr. H. Syamsir, S.H., M.H., dan Dr. H. Ridham Priskap, S.H., M.H.,
M.M., yang telah membimbing kami serta, tidak lupa saya ucapkan terima kasih
kepada teman-teman yang telah membantu penulis dalam proses penyusunan
tugas mata kuliah Hukum Keuangan dan Perbendaharaan Negara ini.
Dalam penyusunan tugas mata kuliah Hukum Keuangan dan
Perbendaharaan Negara ini terdapat banyak kesulitan. Oleh karena itu, penulis,
mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan dalam penyusunan tugas mata
kuliah ini. Kritik dan saran yang membangun selalu penulis nantikan, demi
perbaikan dan pembangunan penyusunan tugas mata kuliah selanjutnya.

( Penulis )
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah keuangan negara diatur dalam Pasal 23 Ayat (1) Undang

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan:

“Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud pengelolaan

keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan

dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”. Pasal 23C disebutkan: “Hal-hal lain mengenai

keuangan negara diatur dengan undang-undang”. Kelemahan perundang-

undangan dalam bidang keuangan negara menjadi salah satu penyebab

terjadinya beberapa bentuk penyimpangan dalam pengelolaan keuangan

negara.

Dalam rangka menghilangkan penyimpangan tersebut dan

mewujudkan sistem pengelolaan fiskal yang berkesinambungan (sustainable)

sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang

Dasar dan asas-asas umum yang berlaku secara universal dalam

penyelenggaraan pemerintahan negara diperlukan suatu undang-undang yang

mengatur pengelolaan keuangan negara. Upaya menyusun undang-undang

yang mengatur pengelolaan keuangan negara telah dirintis sejak awal

berdirinya negara Indonesia. Oleh karena itu, penyelesaian Undang-Undang

tentang Keuangan Negara merupakan kelanjutan dan hasil dari berbagai

1
upaya yang telah dilakukan selama ini dalam rangka memenuhi kewajiban

konstitusional yang diamanatkan oleh Undang Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Keuangan negara yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2003 adalah: “Semua hak dan kewajiban negara

yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang

maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan

pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut” 1. Pengertian yang sangat luas

tersebut, keuangan negara dapat diartikan sebagai keseluruhan kekayaan

negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan,

termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan

kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan

pertanggung jawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun

di daerah. Termasuk dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung

jawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan,

badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau

perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian

dengan Negara.

Tata Pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance and


Clean Government) adalah seluruh aspek yang terkait dengan kontrol
dan pengawasan terhadap kekurangan yang dimiliki pemerintah dalam
menjalankan fungsi melalui institusi formal dan informal. Untuk
melaksanakan prinsip Good Governance and Clean Government,
pemerintah harus melaksanakan prinsip-prinsip akuntabilitas dan
pengelolaan sumber daya secara efisien, serta diwujudkan tindakan
dan peraturan yang baik dan tidak berpihak (Independen), serta
menjamin interaksi ekonomi dan sosial antara pihak terkait secara
1
Periksa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
3

adil, transparan, profesional, dan akuntabel.2

Dalam rangka mendukung good governance dalam penyelenggaraan

negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara

profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok

yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Sesuai dengan amanat

Pasal 23C Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Undang-Undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok

yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar tersebut dalam asas-asas

umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam

pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas

kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan

penerapan kaidah-kaidah yang baik dalam pengelolaan keuangan negara,

antara lain:

1. akuntabilitas berorientasi pada hasil;

2. profesionalitas;

3. proporsionalitas;

4. keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara;

5. pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.

Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggara

prinsip-prinsip pemerintahan daerah sebagaimana yang telah dirumuskan

dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam Undang-undang tentang


2
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
Penjelasan, I. Umum, hlm. 1.
4

Keuangan Negara, pelaksanaan Undang-undang ini selain menjadi acuan

dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk

memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Peningkatan kualitas pelayanan publik melalui penyelenggaraan


pemerintahan yang baik dan bersih, perlu didukung dengan
pengelolaan keuangan yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan keuangan
negara yang dibelanjakan melalui proses pengadaan barang/jasa
pemerintah, diperlukan upaya untuk menciptakan keterbukaan,
transparansi, akuntabilitas serta prinsip persaingan/kompetensi yang
sehat dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibiayai
oleh APBN/APBD, sehingga diperoleh barang/jasa yang terjangkau
dan berkualitas serta dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi
fisik, keuangan, maupun memperkaya bagi kelancaran tugas
Pemerintah dalam pelayanan masyarakat.3

Pelayanan publik sebagai salah satu fungsi utama pemerintah adalah

upaya untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat atas pengadaan barang dan

jasa yang diperlukan masyarakat. Pemenuhan kepentingan dan kebutuhan

masyarakat sangat menentukan bagi kelangsungan dan tegaknya system

pemerintahan. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 mengamanatkan kewajiban pemerintah untuk memberikan kemakmuran

sebesar-besarnya bagi rakyat, yaitu membangun Negara kesejahteraan dan

tanggung jawab pemerintah memenuhi kebutuhan warga Negara.

Dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada

kondisi yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai

bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini bisa

disebabkan oleh ketidaksiapan untuk menanggapi terjadinya transformasi

3
Ibid.
5

nilai yang berdimensi luas serta dampak berbagai masalah pembangunan

yang komplek. Sementara itu, tatanan baru masyarakat Indonesia dihadapkan

pada harapan dan tantangan global yang dipicu oleh kemajuan di bidang ilmu

pengetahuan, informasi, komunikasi, transportasi, investasi, dan perdagangan.

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945merupakan

konstitusi yang tertulis merupakan aturan-aturan dasar yang tertinggi dalam

penyelenggaraan negara. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 merupakan norma dasar yang tertinggi yang dijadikan dasar

dalam pembuatan ketentuan perundang-undangan di bawahnya. Undang

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat: asas-asas

hukum dan tujuan negara, serta aturan-aturan dasar mengenai kerangka

pemerintahan, tugas pokok, wewenang dan hubungan-hubungan dalam garis-

garis pokok atau sendi-sendi, hak-hak dasar warga negara, hubungan negara

dengan warga negara/penduduk, arah dan ideologi, politik, ekonomi, sosial,

budaya, dan lain sebagainya.

Disadari atau tidak, fakta emperik menunjukkan, bahwa banyaknya

diskresi yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah dalam rangka pelaksanaan

tugas-tugas pemerintahan berpotensi menimbulkan permasalahan hukum dan

administratif, sehingga perlu diawasi oleh masyarakat beserta organisasi-

organisasi NGO yang concern terhadap good governance. Melihat rawannya

potensi kekacauan hukum dan administrasi yang ditimbulkan, maka diskresi

harus dapat dipertanggungjawabkan (responsibility) sekaligus

dipertanggunggugatkan (accountability). Oleh karena itu, penggunaan


6

diskresi secara tepat sesuai dengan ketentuaan yang ada, yakni dengan

senantiasa bersandar kepada asas-asas umum pemerintahan yang baik

tentunya akan membawa manfaat bagi masyarakat.

Dalam perspektif ini, perlu ditekankan bahwa seorang pejabat

adminisatrasi pemerintahan dituntut harus dapat mempertanggungjawabkan

tindakan diskresi yang dibuat olehnya kepada masyarakat tanpa perlu

menunggu adanya gugatan secara legalisitik. Mengingat hal tersebut

merupakan suatu kewajiban yang sifatnya melekat pada kewenangan yang

menjadi dasar akan adanya tindakan diskresi itu sendiri. Dalam konteks yang

lebih luas, perdebatan tentang penafsiran dimaksud sebenarnya akan lebih

komprehensif bila dipahami sebagai persoalan yang berkisar mengenai sejauh

manakah `diskresi' dapat digunakan. Diskresi dikatakan lebih mencakup di

sini karena tidak hanya berkenaan dengan pembacaan atau penafsiran,

melainkan jugs lanjut hingga penerapan dan penegakan hukum pada

umumnya. Permasalahan Dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam

pemerintahan, seringkali pemerintah dalam hal ini pejabat administrasi negara

diberikan suatu kewenangan yang bebas. Kewenangan yang bebas tersebutlah

yang disebut dengan diskresi dan kewenangan tersebut melekat pada

kewenangan pejabat administrasi negara.

Setiap tahun, pengadaan barang/jasa menyangkut nilai uang yang

sangat besar. Dari anggaran belanja pemerintah baik yang bersumber dari

APBN maupun APBD dibelanjakan melalui proses pengadaan. Terhadap

pertumbuhan ekonomi, APBN maupun APBD yang di dalamnya terkandung


7

pengadaan memberikan konstribusi yang cukup signifikan. Karena besarnya

nilai pengadaan dan sumbangannya pada perekonomian serta banyaknya

pihak yang terlibat dalam proses pengadaan, maka perwujudan sistem

pengadaan yang baik akan berdampak luas bagi perubahan perilaku, baik di

birokrasi maupun dikalangan pelaku usaha dan masyarakat pada umumnya.

Pengadaan barang/jasa didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara/Daerah (APBN/D), dan dari tahun ke tahun umumnya selalu

meningkat.Demikian juga halnya komponen dari belanja APBN/APBD

berupa belanja modal (investasi)/belanja langsung, yang pelaksanaannya

dilakukan melalui pengadaan barang/jasa. Untuk merealisasikan belanja

modal/langsung dilakukan melalui pengadaan barang dan jasa yang

melibatkan berbagai pihak, yaitu pengguna, adalah pihak yang membutuhkan

barang/jasa, dan penyedia barang/jasa, adalah pihak yang melaksanakan

pekerjaan atau layanan jasa, yang dilakukan berdasarkan permintaan atau

perintah resmi atau kontrak dari pihak pengguna. Pengadaan barang/jasa pada

hakikatnya merupakan upaya pihak pengguna untuk mendapatkan atau

mewujudkan barang/jasa yang diinginkannya, maka masing-masing pihak

harus tunduk pada etika serta norma/peraturan yang berlaku terkait proses

pengadaan barang/jasa.

Pengadaan barang/jasa sangat penting untuk menyerap anggaran, dan

untuk mendapatkan barang/jasa dapat melalui swakelola, pelelangan,

penunjukan langsung dan penunjukan langsung. Untuk menghindari hal-hal

yang berlawanan dengan hukum, maka aspek hukum dalam pengadaan


8

barang/jasa perlu dipahami, karena pemahaman terhadap aspek hukum akan

dapat menyesuaikan dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Pemahaman terhadap aspek hukum juga akan mengetahui akibat atau

kelemahan/kekurangan dalam Pelaksanaan pengadaan barang/jasa, yang akan

berguna untuk lebih mengefisienkan dan mengefektifkan pelaksanaan

pengadaan barang/jasa. Jika dilihat dari sisi hukum pengadaan barang/jasa ini

memiliki aspek hukum terutama dalam lapangan hukum administrasi dan

dalam lapangan hukum perdata.

Hukum Administrasi Negara mengatur hubungan hukum antara

penyedia dan pengguna pada proses persiapan sampai dengan proses

penerbitan surat penetapan penyedia barang/jasa. Hubungan hukum antara

pengguna dengan penyedia barang/jasa terjadi pada proses persiapan

pengadaan sampai dengan proses penerbitan surat penetapan penyedia

barang/jasa instansi pemerintah merupakan hubungan hukum administrasi

negara (HAN) atau tata usaha negara. Dalam proses ini, pengguna barang/jasa

instansi pemerintah yaitu Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran

bertindak sebagai pejabat negara/daerah bukan mewakili negara/daerah

sebagai individu/pribadi. Semua keputusan yang dikeluarkan pada proses ini

merupakan keputusan pejabat negara/daerah atau publik.

Keputusan pengguna barang/jasa instansi pemerintah merupakan

keputusan pejabat negara/daerah, maka apabila ada pihak yang dirugikan

penyedia barang/jasa, akibat dikeluarkannya keputusan tersebut dapat

mengajukan gugatan pembatalan secara tertulis atas keputusan tersebut


9

melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan atau tanpa disertai

tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 53

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, terakhir Undang-Undang Nomor 9

Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Sedangkan pada sisi hukum perdata mengatur hubungan hukum antara

penyedia dan pengguna barang /jasa sejak penandatanganan kontrak sampai

dengan berakhirnya kontrak pengadaan barang/jasa. Hubungan hukum antara

pengguna dengan penyedia yang terjadi pada proses penandatanganan

kontrak pengadaan barang/jasa sampai dengan proses berakhirnya kontrak

merupakan hubungan hukum perdata khususnya hubungan kontraktual.

Dalam proses ini pengguna barang/jasa adalah negara yang diwakili oleh

PA/KPA/Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)/Pejabat Pengadaan atau sebagai

individu/pribadi. Sedangkan penyedia barang/jasa adalah orang atau badan

hukum (privat). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH

Perdata) pada buku III tentang Perikatan, dimana disebutkan bahwa perikatan

dapat lahir karena undang-undang atau perjanjian. Perjanjian dalam

pengadaan barang/jasa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang

menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain dengan penerima suatu

harga tertentu. Perjanjian merupakan dasar pelaksanaan kegiatan. Perjanjian

menurut R. Subekti4 adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada

orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu

hlm.
4
Subekti R, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 152
10

Hukum perjanjian yang sifatnya timbal balik dimana hak pada satu

pihak merupakan kewajiban pihak lain dan sebaliknya. Hak dan kewajiban

para pihak adalah ketentuan mengenai hak-hak yang dimiliki serta kewajiban-

kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pengguna barang/jasa dan penyedia

barang/jasa dalam melaksanakan kontrak. Di dalam perjanjian pemborongan

maka hak-hak dan kewajiban para pihak adalah Pengguna barang/jasa

menerima hasil pekerjaan sesuai dengan perjanjian.Kewajibannya adalah

membayar harga dari pekerjaan yang telah direncanakan.Hak pihak

pemborong adalah menerima pembayaran sesuai dengan harga kontrak dari

pihak yang memborongkan pekerjaan.Kewajiban pemborong adalah

menyelesaikan pemborongan sesuai dengan harga kontrak.

Hak dan kewajiban para pihak di atas bisa disebut juga sebagai hak

dan kewajiban yang utama dari para pihak, sementara hak dan kewajiban

tambahan diatur secara khusus dalam kontrak pemborongan.Untuk

melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa berpedoman kepada peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Peraturan pokok mengenai pengadaan

barang/jasa adalah Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang

Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sedangkan peraturan tambahan atau

yang terkait antara lain adalah:

a. Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor

3 Tahun 2021 tentang Pedoman Swakelola.


11

b. Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor

4 Tahun 2021 tentang Pembinaan Pelaku Usaha Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah.

c. Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor

5 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa yang

Dikecualikan pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

d. Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor

6 Tahun 2021 tentang Pedoman dan Penyusunan Rencana Aksi

Pemenuhan Pengelola Pengadaan Barang/Jasa.

e. Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor

7 Tahun 2021 tentang Sumber Daya Manusia Pengadaan Barang/Jasa.

f. Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor

10 Tahun 2021 tentang Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa.

g. Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor

11 Tahun 2021 tentang Pedoman Perencanaan Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah.

h. Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor

12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah Melalui Penyedia.

Sistem pengadaan yang mampu menerapkan prinsip-prinsip tata

pemerintahan yang baik akan mendorong efisiensi dan efektivitas belanja

publik sekaligus tata perilaku pemerintah, swasta dan masyarakat dalam

penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik (good governance). Birokrasi


12

akan memiliki norma-norma yang menyimpang apabila secara terus menerus

tidak mampu menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik, karena

sistem pengadaan yang tidak mendukung diterapkannya dan dilaksanakan

prinsip-prinsip tersebut. KKN dan berbagai penyimpangan menjadi sesuatu

yang lazim dan biasa. Oleh karena itu, birokrasi harus dimungkinkan

mewujudkan nilai-nilai berdasarkan prinsip-prinsip tersebut dengan

membenahi sistem pengadaan, demikian pula halnya dikalangan pelaku

usaha.

Dunia usaha yang tidak terbiasa dengan lingkungan yang


mengedepankan persaingan yang sehat, tidak akan dapat
menghasilkan barang/jasa yang berdayasaing, karena usaha tumbuh
dari inefisiensi yang dibebankan kepada masyarakat. Dengan sistem
pengadaan yang dapat menjamin terciptanya persaingan sehat, pelaku
usaha akan dituntut untuk secara terus menerus meningkatkan
kompetensinya untuk menghasilkan barang/jasa yang berdaya saing
dan memenangkan persaingan. Pada akhirnya, interaksi positif kedua
pelaku utama pengadaan barang/jasa akan menghasilkan manfaat yang
lebih besar kepada masyarakat. Dalam konteks inilah peninjauan
kembali secara mendasar serta pembaharuan sistem pengadaan
barang/jasa pemerintah bersama-sama dengan langkah-langkah
pembaharuan dibidang keuangan negara menjadi prioritas nasional5.

Pelaksanaan pembangunan nasional berupa pembangunan

infrastruktur dalam bentuk pembangunan gedung, pembangunan perumahan,

pembangunan jalan dan lain sebagaimana ditujukan bagi peningkatan

kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai hal ini, pemerintah berupaya

meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat yang dilakukan dalam

bentuk kebijakan maupun regulasi. Pemerintah, baik pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah dalam pembangunan infrastruktur untuk

5
Kementerian Keuangan, Kerukunan Pensiunan, “Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah Dan Keuangan Negara”, hlm. 6.
13

menyediakan kebutuhan masyarakat merupakan bagian penting dari

penyelenggaraan tugas pemerintah.

Tindakan pemerintah dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan

tersebut dilakukan melalui kegiatan pengadaan barang/Jasa pemerintah yang

merupakan salah satu aktivitas pemerintah dalam rangka pelayanan publik.

Pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia saat ini didasarkan pada

Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan

Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

(selanjutnya disebut Perpres Nomor 12 Tahun 2021).

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Perpres Nomor 12 Tahun 2021,

pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh

barang/jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat

Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan

sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa.

Dalam aktivitas suatu organisasi, baik swasta, maupun pemerintah,

yang sehari-harinya melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tugas pokok dan

fungsinya, akan selalu dijumpai suatu kegiatan yang aktifitasnya melakukan

pengadaan. Pengadaan perlu dilakukan untuk mendukung pekerjaansehari-hari

yang bersifat rutin (operasi, pemeliharaan, atau pemenuhan kebutuhankerja

setiap hari), maupun pekerjaan yang bersifat sementara yang bersifat investasi,

penambahan kepasitas terpasang, atau proyek, yang dilakukan untuk mencapai

suatutujuan tertentu yang telah ditargetkan.


14

Di dalam organisasi swasta pengadaan seperti itu diatur dalam

mekanisme dan aturan internal badan usaha yang bersangkutan yang bertujuan

agar dapat diwujudkan barang/jasa yang diperlukan dengan cara yang efisien,

efektif, tidakbirokratis, dapat dikendalikan dan dikontrol oleh manajemen

perusahaan. Cara pengadaannya juga dapat dilakukan langsung oleh badan

usaha yang bersangkutan, yang biasanya memiliki unit untuk pengadaan,

dengan cara membeli langsung di pasar, atau dengan mempergunakan

jasapihak kedua, yaitu pemasok (supplier), pemborong (contractor), dan

konsultan. Tatacara hubungan dengan pihak kedua, yang dapat berupa

pelelangan umum, pelelangan terbatas, pelelangan sederhana, penunjukan

langsung, pengadaan langsung, kontes/sayembara, bentuk kontrak, cara

pembayaran, cara penyerahan pekerjaan, perawatan danjaminan, serta yang

lain-lain sepenuhnya ditentukan dalam aturan yang telahdisepakati dan

disetujui oleh manajemen perusahaan.

Demikian juga pada pemerintahan, yang pada dasarnya pengadaan

barang/jasa pemerintah sama dengan pengadaan barang/jasa di lingkungan

swasta. Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah tata cara yang dilakukan

oleh suatu kementerian/lembaga/instansi (pihak pengguna) untuk

mendapatkan barang/jasa yang telah direncanakan, dengan menggunakan

metode dan proses tertentu, seperti pelelangan umum, pelelangan terbatas,

pelelangan sederhana, penunjukan langsung, pengadaan langsung dan

kontes/sayembara. Hasil proses pengadaan dituangkan dalam kesepakatan

tertulis (kontrak) yang disetujui oleh dua belah pihak (pihak pengguna dan
15

pihak penyedia), yang meliputi kesepakatan harga, waktu, spesifikasi

barang/jasa, waktu penyelesaian/penyerahan, jaminan kualitas, jaminan purna

jual, jaminan perawatan/pemeliharaan dalam waktu tertentu, dan

kesepakatan-kesepakatan lainnya yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan

barang/jasa yang diadakan.

Pelaku yang utama dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah

Pengguna Anggaran (PA) dan penyedia barang/jasa. Pengguna Anggaran

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 5 Perpres Nomor 12 Tahun

2021 berserta perubahan-perubahannya adalah sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan. Selanjutnya,

dalam Pasal 4 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara disebutkan “Menteri/pemimpin lembaga selaku

pengguna anggaran mempunyai kewenangan dan bertanggung jawab penuh

atas anggaran yang dikelola oleh kementerian yang dipimpinnya”. Pada

dasarnya pertanggungjawaban dari keberhasilan pengadaan barang/jasa

pemerintah yang berarti mencapai tujuan seperti yang direncanakan, terletak

pada pihak Pejabat Pembuat Komitmen sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 7

Perpres Nomor 12 Tahun 2021, Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya

disebut PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan

Pengadaan Barang/jasa. Pihak penyedia barang/jasa bertanggung jawab untuk

menghasilkan barang/jasa sesuai dengan seluruh persyaratan kontrak yang

telah dibuat.
16

Pengadaan barang dan jasa adalah proyek besar yang dilakukan setiap

intansi Pemerintah. Dana APBN dan APBD memberikan banyak sekali porsi

untuk proyek pengadaan. Setiap Pegawai Negeri tidak dapat menghindarkan

diri dari proyek-proyek pengadaan, apapun resikonya harus tetap dijalankan

karena merupakan kewajiban setiap pegawai negeri sebagai abdi negara.

Kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah bertujuan

meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia melalui program pembangunan

nasional. Tetapi pada kenyataannya banyak juga yang memanfaatkan

pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan kelompok atau diri sendiri, dan

celakanya kegiatan pengadaan barang dan jasa justru menjadi boomerang

bagi abdi negara, baik itu kesalahan yang tidak disengaja maupun akibat

memanfaatkan kelemahan sistem pengadaan yang disengaja.

Semua hal yang diuraikan di atas mendorong penulis untuk membahas

lebih lanjut mengenai; “Politik Hukum Keuangan Negara Terhadap

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan di Indonesia”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan apa yang diuraikan di atas sesuai dengan tema makalah

yang dipilih maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1 Bagaimana konsep pengelolan keuangan negara?

2 Bagaimana mekanisme dan sanksi hukum pengadaan barang/jasa melalui

penunjukan langsung menurut peraturan perundang-undangan di

Indonesia?
17

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Makalah

Tujuan Penulisan makalah ini yaitu:

1. Untuk mengetahui konsep pengelolaan keuangan negara;

2. Untuk mengetahui konsep mekanisme dan sanksi hukum pengadaan

barang/jasa melalui penunjukan langsung menurut peraturan perundang-

undangan di Indonesia.

Sedangkan manfaat untuk penulisan makalah ini, yaitu:

1. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan pemikiran berupa

kajian lebih lanjut dalam hal politik hukum keuangan negara terhadap

pengadaan barang/jasa pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan

di Indonesia dan sebagai bahan masukan bagi pihak yang mempunyai

kepentingan.

2. Sebagai tugas mata kuliah Hukum Keuangan dan Perbendaharaan Negara

Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi.


18

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Umum Tentang Keuangan Negara

Terdapat beberapa ahli hukum di Indonesia yang memberikan

kontribusi pemikiran terhadap tatanan hukum keuangan publik, khususnya

terhadap hukum tentang Keuangan Negara, antara lain:

a. Arifin P. Soeria Atmadja

Penafsiran dilakukan dengan beberapa metode penafsiran terhadap

pengertian dan ruang lingkup Keuangan Negara pra dan pasca

Amandemen Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Adapun metode penafsiran yang digunakan yaitu metode interpretasi

teleologis (teleologische interpretatie) di samping interpretasi sistematik

(systematische interpretatie), interpretasi gramatikal (grammaticale

interpretatie) dan interpretasi sejarah (historische interpretatie).

Keuangan Negara dapat didefiniskan secara garis besar dalam dua

makna yaitu dalam arti sempit dan arti luas, tergantung dari sudat pandang
19

yang digunakan. Pertama, dalam arti sempit. Sudut pandang yang

digunakan ditinjau dari pengurusan dan/atau pengelolaan serta

pertanggungjawaban sebagaimana diatur antara lain pada ICW, Undang-

Undang tentang APBN dan Undang-Undang tentang Perbendaharaan

Negara. Keuangan Negara adalah urat nadi negara, tanpa uang negara

tidak dapat menjalankan hidupnya. Keuangan dari rumah tangga negara ini

dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Adapun hakikat atau falsafah APBN itu menurut Rene Stourm adalah

kedaulatan. Pasal 23 Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 pra-Amandemen memiliki hak begrooting Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR), yang menyatakan bahwa dalam hal menetapkan

pendapatan dan belanja, kedudukan DPR lebih kuat dari pemerintah. Hal

ini tanda kedaulatan rakyat.

Pertanggungjawaban Keuangan Negara dapat dilihat dari dua

pandangan, yakni secara horisontal dan vertikal. Pertanggungjawaban

Keuangan Negara secara horisontal adalah pertanggungjawaban

pelaksanaan APBN yang diberikan pemerintah kepada DPR, sedangkan

Pertanggungjawaban Keuangan Negara secara vertikal adalah

pertanggungjawaban keuangan yang dilakukan oleh setiap otorisator atau

ordonator dari setiap Kementerian atau Lembaga Negara non-kementerian

yang menguasai bagian anggaran. Tampak dari konsep

pertanggungjawaban tersebut di atas bahwa pertanggungjawaban atas


20

Keuangan Negara merupakan pertanggungjawaban atas pelaksanaan

APBN.

Terkait pertanggungjawaban tersebut di atas, tersirat pula pada

Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan

Pemeriksa Keuangan, bahwa apa yang disebut sebagai tanggung jawab

keuangan negara adalah kewajiban Pemerintah dan lembaga negara

lainnya untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib,

taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan

transparan dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Kedua, karena sifat plastis dari definisi Keuangan Negara yang ada

maka Keuangan Negara pun dapat didefinisikan dalam arti luas. Sudut

pandang yang digunakan ditinjau dari sudut pemeriksaan dan/atau

jangkauan ruang lingkup pengawasan/pemeriksaan atau dengan kata lain

apabila pendekatannya dilakukan dengan menggunakan cara penafsiran

sistematik dan teleologis untuk mengetahui sistem pengawasan atau

pemeriksaan pertanggungjawaban, maka pengertian Keuangan Negara itu

adalah termaksud di dalamnya keuangan yang berada dalam APBN,

APBD, BUMN serta BUMD.

Pengertian Keuangan Negara di atas sebagai hasil amandemen

ketiga Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atas

Pasal 23 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 yang mendistorsi

pengertian Keuangan Negara menjadi kabur dan cenderung mereduksi

pengertian keuangan daerah, keuangan BUMN (Persero) dan BUMD,


21

bahkan keuangan badan lain yang memperoleh fasilitas dari pemerintah,

dimana pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangannya telah diatur

secara rinci dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Distorsi arti

Keuangan Negara demikian hanya mengaburkan esensi otonomi daerah

dan mengurangi kemandirian yang menjadi ciri dasar suatu badan hukum

dan badan usaha.

Amandemen ketiga dan diundangkannya paket peraturan Keuangan

Negara menjadi pembuka kerumitan dalam pengaturan Keuangan Negara

karena semua keuangan dalam APBD dan BUMN (Persero) serta BUMD

disebut sebagai Keuangan Negara, padahal sangat jelas dari sudut sistem

maupun ketentuan peraturan perundang-undangan, pengelolaan dan

pertanggungjawaban keuangan tersebut berbeda dengan APBN sebagai

Keuangan Negara. Dengan demikian, secara tegas dari segi yuridis dan

fungsinya sangat berbeda antara Keuangan Negara, keuangan daerah

maupun keuangan BUMN (Persero) dan BUMD.

BUMN (Persero) menjadi tidak jelas karena BUMN (Persero)

masuk dalam tataran hukum publik, padahal berdasarkan Pasal 11

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, pengelolaan

BUMN (Persero) dilakukan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun

2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya.

Kondisi demikian pun telah diadopsi oleh Pasal 6 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa “BPK bertugas

memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara yang


22

dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara

lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan

Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang

mengelola Keuangan Negara.” Secara yuridis, pemberian fungsi

pemeriksaan BPK untuk memeriksa pengelolaan Keuangan Negara

melalui Pasal 23E Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 justru melemahkan kedudukannya sebagai lembaga

negara. Apabila mendasarkan pada konsep hukum administrasi negara,

BPK telah berubah dari bentuk organisasi negara menjadi organisasi

administrasi negara.

b. Harun Al Rasyid

Penafsiran dilakukan atas bunyi Pasal 23 Ayat (5) Undang Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945pra-Amandemen dimana

dalam sejarah perundang-undangan RI istilah “Keuangan Negara” pertama

kali digunakan. Adapun penafsiran tersebut dilakukan sebagai berikut:

Pertama, penafsiran menurut tata bahasa (grammaticale

interpretatie). Awalan “ke” dan akhiran “an” yang ditambahkan pada kata

“uang” maksudnya adalah segala sesuatu yang bertalian dengan uang.

Pengertian ini tentu saja terlalu luas sehingga tidak memberikan kepastian

bahkan dapat memberikan kesulitan baik yang melakukan pemeriksaan,

yaitu BPK, maupun bagi yang memberikan tanggung jawab, yaitu

Pemerintah.
23

Kedua, penafsiran menurut sejarah (historische interpretatie).

Ditemukan dalam ketentuan Indische Staatsregeling (IS) Pasal 117 Ayat

(1) dan (2), yang pada Ayat (1) kurang lebih berarti “dibentuk sebuah

Algemeene Rekenkamer yang diberikan tugas untuk melakukan

pengawasan terhadap pengelolaan Keuangan Negara dan terhadap

pertanggungjawaban perhitungan.” Bahwasanya lingkungan kerja

Algemeene Rekenkamer ialah mengenai kontrol terhadap pelaksanaan

anggaran dapat ditemukan dalam kepustakaan Hindia Belanda.

Ketiga, penafsiran sistematis (systematische interpretatie).

Penafsiran sistematis dilakukan dengan menghubungkan susunan Pasal 23

Ayat (5) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dan Pasal 117 Ayat (1) IS yang mengatur soal anggaran negara. Dapat

dikemukakan bahwa yang diperiksa oleh BPK adalah pelaksanaan

Keuangan Negara seperti yang diuraikan dalam Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN). Sebagaimana telah diungkapkan oleh Wirjono

Prodjodikoro bahwa pemeriksaan Keuangan Negara ditujukan kepada

APBN. Pun sebagaimana diungkapkan oleh Soepomo dalam rapat besar

Dokuritzu Zyunbi Coosakai, “Untuk memeriksa tanggung jawab tentang

Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang dulu

dinamakan Rekenkamer, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-

Undang.”

Keempat, penafsiran menurut tujuan kaidah hukum (teleologische

interpretatie). Tugas Badan Pemeriksa Keuangan dalam memeriksa


24

tanggung jawab Pemerintah tentang Keuangan Negara dihubungkan

dengan APBN yang sudah disetujui oleh DPR. Kebenaran dari analisis di

atas dapat diuji dengan penjelasan Pasal 23 Ayat (5) Undang Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Alhasil, istilah “Keuangan

Negara” yang tercantum dalam Pasal 23 Ayat (5) Undang Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus diartikan secara restriktif,

yaitu mengenai pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

c. A. Hamid S. Attamimi

Penafsiran dilakukan atas Pasal 23 Undang Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 pra-Amandemen. Untuk dapat

menentukan apakah kata-kata Keuangan Negara sebagaimana tercantum

dalam Ayat (5) Pasal 23 Undang Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 tersebut harus diartikan APBN semata-mata

ataukah APBN “plus” lainnya. Terdapat 2 (dua) konstruksi hukum yang

dapat digunakan untuk menjelaskan definisi Keuangan Negara

sebagaimana tercantum dalam Undang Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Konstruksi pertama: Ayat (1) menetapkan APBN harus ditetapkan

dengan Undang-Undang. Ayat (5) menetapkan BPK diadakan untuk

memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang Keuangan Negara.

Penjelasan Ayat (5) menyebutkan untuk memeriksa tanggung jawab

pemerintah tentang tata mempergunakan uang belanja yang sudah disetujui

DPR itu, perlu adanya BPK. Jadi, meskipun di dalam Ayat (5) sendiri
25

tidak disebut APBN melainkan hanya Keuangan Negara, tetapi penjelasan

ayat tersebut menunjukan kepada APBN. Dengan demikian, yang

dimaksud dengan Keuangan Negara adalah APBN.

Konstruksi kedua: Ayat (1) menyatakan APBN harus ditetapkan

dengan Undang-Undang dan Ayat (4) menetapkan hal Keuangan Negara

harus diatur dengan Undang-Undang. Pengertian Keuangan Negara dan

APBN perlu dikaji kembali sebab apabila keduanya memiliki arti yang

sama tidak perlu diatur dalam ayat terpisah. Pengertian kata ditetapkan

pada Ayat (1) berarti Undang-Undang tersebut bersifat formal, sedangkan

pada Ayat (4) pengertian diatur berarti Undang-Undang tersebut bersifat

material disamping formal.

Penjelasan Ayat (5) menyebutkan bidang konkret tanggung jawab

Pemerintah dalam Keuangan Negara (cara mempergunakan uang belanja

negara yang sudah disetujui DPR agar sepadan dengan Undang-Undang

APBN). Karena Ayat (5) yang menyebut tentang “Keuangan Negara” itu

oleh penjelasannya disebut bidang konkret penggunaan APBN, dalam

pengertian Keuangan Negara sebagaimana terdapat dalam Ayat (4) dan

demikian juga dengan Ayat (5) dapat ditarik kesimpulan lebih lanjut yang

dimaksud dengan Keuangan Negara ialah antara lain APBN. Dengan kata

lain, pengertian Keuangan Negara meliputi APBN “plus” lainnya.

Sehingga pendapat ini memandang bahwa Keuangan Negara pada

hakikatnya adalah seluruh kekayaan dan/atau asset negara.

B. Konsep Dasar Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah


26

Pelaksanaan Penggadaan Barang/Jasa Pemerintah dikenal beberapa

prosedur memborongkan proyek:

1. Pelelangan Umum, yaitu metode pemilihan barang/jasa yang dilakukan

secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa dan

papan pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat

luas dan dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat

mengikutinya.

2. Pelelangan terbatas, yaitu dalam hal jumlah penyedia barang/jasa yang

mampu melaksanakan diyakini terbatas yaitu untuk pekerjaan yang

kompleks, diumumkan secara luas melalui media massa dan papan

pengumuman resmi dengan mencantumkan penyedia barang/jasa yang

telah diyakini mampu, guna memberi kesempatan kepada penyedia

barang/jasa lainnya yang memenuhi kualifikasi.

3. Pemilihan langsung, yaitu pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan

dengan membandingkan sebanyak-banyaknya penawaran, sekurang-

kurangnya 3 (tiga) penawaran dari penyedia barang/jasa yang telah lulus

prakualifikasi serta dilakukan negosiasi baik teknis maupun biaya serta

harus diumumkan minimal melalui papan pengumuman resmi untuk

penerangan umum dan bila diumumkan melalui internet.

4. Penunjukkan langsung, yaitu pemilihan penyedia barang/jasa dapat

terhadap 1 (satu) penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi

baik teknis maupun biaya sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara

teknis dapat dipertanggungjawabkan.


27

Dalam proses pemborongan bangunan terdapat kegiatan-kegiatan yang

harus dilakukan sebelum terjadinya perjanjian pemborongan bangunan.

Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dikatakan merupakan fase yang mendahului

terjadinya perjanjian. Fase sebelum kontrak atau lazim disebut prosedur

pelelangan, hal tersebut terjadi bila pemborongan bangunan tersebut

dilakukan melalui pelelangan, dimulai sejak adanya

pemberitahuan/pengumuman sampai dengan pelulusan dari pelelangan

sebagai berikut:

1. Pemberitahuan/pengumuman secara umum atau secara terbatas tentang

adanya pelelangan pekerjaan. Penjelasan mengenai pekerjaan sesuai

dengan bestek dan persyaratan-persyaratan pekerjaan.

Pengumuman tentang adanya pelelangan umum atau terbatas

memuat petunjuk-petunjuk dimana bestek harus diambil, dimana

penjelasan tentang pekerjaan (aanwijzing) akan disampaikan, yang

memungkinkan adanya penambahan ataupun perubahan terhadap bestek

yang telah disusun, dimana tempat lokasi proyek/pekerjaan, dimana

tempat pendaftaran dan batas waktu pendaftaran, dimana dan kapan saat

pelelangan akan diadakan.

Pemborong yang berminat untuk melaksanakan pekerjaan tersebut

setelah memenuhi persyaratan yang diwajibkan dapat mendaftarkan secara

tertulis yaitu melakukan penawaran secara tertulis dengan mengingat batas

waktu yang telah disebutkan dalam pengumuman, untuk kemudian ikut

dalam pelelangan (tender).


28

2. Persyaratan prakualifikasi, kualifikasi, dan klasifikasi terhadap

pemborong.

Dalam prosedur pmborong bangunan setelah adanya

pemberitahuan kepada para pemborong melalui advertensi atau undangan,

maka sebelum ikut dalam penawaran dan pelelangan, para pemborong

disyaratkan memenuhi persyaratan prakualifikasi terlebih dahulu.

Calon peserta lelang yang mengikuti pelelangan umum

dipersyaratkan harus mempunyai:

1. Neraca dan rugi/laba tahunan perusahaan;

2. Akte Pendirian Perusahaan beserta perubahan-perubahannya;

3. Surat Izin Usaha yang masih berlaku;

4. Surat Ketetapan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

5. Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP);

6. Ketentuan-ketentuan lain yang dipandang perlu oleh Panitia

Pelelangan.

Pesyaratan prakualifikasi ditunjukkan untuk dapat mengadakan

penilaian terhadap pemborong mengenai kemampuan ataupun mutu dari

pemborong. Prakualifikasi disyaratkan khusus bagi pemborong yang akan

ikut serta dalam penawaran dan pelelangan dalam pemborongan

bangunan.

Dalam praktek penggolongan pemborong menurut

mutu/kemampuan atau kualifikasi pemborong yang dilakukan melalui

penyaringan, terdapat 3 (tiga) golongan pemborong sebagai berikut:


29

1. Golongan A3 untuk pekerjaan berat

2. Golongan A2 untuk pekerjaan sedang

3. Golongan A1 untuk pekerjaan ringan

3. Pemenuhan jaminan yang diwajibkan dalam pemborongan bangunan:

Jaminan tender, jaminan pelaksana, jaminan uang muka, jaminan

pemeliharaan, bouwgaransi, kontra garansi, pencarian jaminan

Khususnya mengenai masalah jaminannya dalam perjanjian

pemborongan bangunan disyaratkan adanya jaminan bank yang harus

dipenuhi oleh si pemborong, berlakunya ketentuan dari perbankan dan

ketentuan-ketentuan dari Kepres tentang pelaksanaan APBN. Jaminan

Bank adalah suatu jenis penanggungan dimana yang bertindak sebagai

penanggung adalah Bank. Bank garansi terjadi jika Bank selaku

penanggung diwajibkan untuk menanggung dipenuhinya prestasi tertentu

atau menanggung dipenuhinya pembayaran tertentu kepada kreditur, jika

debitur wanprestasi.

Dalam perjanjian pemborongan bangunan disyaratkan adanya

Bank Garansi yang berupa jaminan penawaran atau jaminan tender dan

jaminan pelaksanaan yang harus dipenuhi oleh si pemborong sebelum

pelaksanaan tender dan sebelum pelaksanaan pekerjaan, jaminan uang

muka harus dipenuhi sebelum pembayaran uang muka. Ditentukan juga

adanya kontra garansi dari pemborong sebelum pemberian Bank Garansi

oleh Bank. Adanya ketentuan demikian menyangkut pada satu pihak

kebijaksanaan dalam perbankan sebagai pihak yang harus memberikan


30

Bank Garansi atau memberikan fasilitas kredit dalam perjanjian

pemborongan, pada lain pihak menyangkut kebijaksanaan dalam APBN

sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Presiden tentang pelaksanan

APBN.

Bank Garansi/jaminan Bank yang berwujud tender garansi, adalah

bentuk perjanjian penanggungan Bank menjamin pembayaran sejumlah

uang tertentu (1 sampai 3 % dari penawaran) untuk memenuhi syarat

penawaran di dalam pelelangan pemborongan pekerjaan. Khususnya untuk

pemborongan pekerjaan yang dilakukan pemerintah sebagai pihak yang

memborong untuk dapat menunjuk/memilih memborong yang bonafit dan

dapat memenuhi persyaratan-persyaratan pelaksanaan pemborongan

dengan biaya yang murah dan bertanggung jawab, maka kepada para

pemborong itu diwajibkan mengadakan penawaran-penawaran yang

kemudian diadakan pelelangan.

4. Pelelangan, pelelangan umum, pelelangan terbatas, cara menentukan

pelulusan.

Ukuran untuk menentukan pelulusan ialah penawaran yang paling

menguntungkan bagi negara dan yang dapat dipertanggungjawabkan

sebagai calon pemenang, dengan memperhatikan keadaan umum dan

keadaan pasar baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka menengah.

Dalam praktek pelaksanaan pelelangan penentuan pelulusan pelelangan

didasarkan atas penawaran yang terendah yang dapat


31

dipertanggungjawabkan. Dokumen lelang terdiri atas rencana kerja dan

syarat-syarat (RKS) disertai dengan gambar dan bilangan lainnya.

a. Dokumen Administasi:

1) Instruksi Umum kepada Penawar;

2) Instruksi Khusus kepada Penawar;

3) Syarat-syarat Umum Kontrak;

4) Syarat-syarat Khusus Kontrak;

5) Tata Cara dan Kriteria Evaluasi Harga;

6) Bentuk-bentuk: Surat Penawaran Harga, Surat Pengantar

Dokumen Administrasi dan Teknis, dan lain-lain.;

7) Dokumen-dokumen lainnya yang dianggap perlu.

b. Dokumen Teknis:

1. Syarat-syarat teknis dan/atau spesifikasi teknis serta gambar-

gambar (untuk keperluan pekerjaan pengadaan barang);

2. Syarat-syarat teknis dan/atau detail disain serta gambar-gambar

(untuk pekerjaan jasa pemborongan);

3. Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan gambar-gambar (untuk

pekerjaan jasa konsultansi)

c. Dokumen Harga:

1. Daftar Kuantitas dan Harga;

2. Analisis harga satuan, upah, harga bahan dan harga jadi.


32

BAB III

PEMBAHASAN

A. Konsep Pengelolaan Keuangan Negara

Dalam Pasal 23 Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 pasca Amandemen dinyatakan bahwa APBN merupakan

perwujudan dari pengelolaan Keuangan Negara yang pelaksanaannya

diperuntukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Undang-Undang

Keuangan Negara mendefinisikan APBN sebagai rencana keuangan tahunan

pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam hukum tentang Keuangan Negara telah ditentukan pihak-pihak

yang terkait dengan pengelolaan Keuangan Negara tersebut beserta tanggung


33

jawab yang berbeda-beda sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya

masing-masing. Pengelolaan Keuangan Negara dalam hukum tentang

Keuangan Negara memiliki berbagai sebutan atau penamaan yang berbeda-

beda. Perbedaan penyebutan atau penamaan bagi pegelola Keuangan Negara

didasarkan pada kewenangan dan kewajiban yang diberikan oleh ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Para pihak yang terlibat dalam

pengelolaan anggaran Keuangan Negara meliputi Presiden, Menteri Keuangan,

Pimpinan para Lembaga/Menteri, Bendahara, dan Pegawai Non-Bendahara.

Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat

dikelompokan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan

moneter dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam

rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan

negara, pengelolaan Keuangan Negara perlu diselenggarakan secara

profesional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai dengan aturan pokok yang

telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Sesuai dengan amanat Pasal 23

C Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-

Undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah

ditetapkan dalam Undang-Undang dasar tersebut ke dalam asas-asas umum

yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan

Keuangan Negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan

asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practises

(penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan Keuangan Negara,

antara lain akuntabilitas berorientasi hasil, profesionalitas, proporsionalitas,


34

keterbukaan dalam pengelolaan Keuangan Negara, pemeriksaan keuangan oleh

badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.

Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin


terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahaan daerah sebagaimana
telah dirumuskan dalam Bab VI Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan dianutnya asas-asas umum
tersebut di dalam Undang-Undang tentang Keuangan Negara,
pelaksanaan Undang-Undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi
manajemen Keuangan Negara, sekaligus dimaksudkan untuk
memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah
di Negara Kesatuan Republik Indonesia.6

Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003,


Belanja Negara dibedakan atas pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan (dual-budgeting). Pemisahan anggaran rutin dan
anggaran pembangunan tersebut semula dimaksudkan untuk
menekankan arti pentingnya pembangunan, namun dalam
pelaksanaannya telah menunjukan banyak kelemahan.7

Pertama, duplikasi antara belanja rutin dan belanja pembangunan oleh

karena kurang tegasnya pemisahan antara kegiatan operasional organisasi dan

proyek, khususnya proyek-proyek non-fisik. Kedua, penggunaan dual

budgeting mendorong dualisme dalam penyusunan daftar perkiraan mata

anggaran keluaran (MAK) karena untuk satu jenis belanja, ada MAK yang

diciptakan untuk belanja rutin dan ada MAK lain yang ditetapkan untuk

belanja pembangunan. Ketiga, analisis belanja dan biaya program sulit

dilakukan karena anggaran belanja rutin tidak dibatasi pada pengeluaran untuk

operasional dan belanja anggaran pembangunan tidak dibatasi pada

pengeluaran untuk investasi. Keempat, proyek yang menerima anggaran

6
Anggito Abimanyu, Format Anggaran Terpadu Menghilangkan Tumpang Tindih,
Kompas, Mei 2014 dalam Suminto, Pengelolaan APBN dalam Sistem Manajemen Keuangan
Negara, Makalah sebagai bahan penyusunan Budget in Brief 2004 (Ditjen Anggaran, Kementerian
Keuangan).
7
Ibid.
35

pembangunan diperlakukan sama dengan satuan kerja, yaitu sebagai entitas

akuntansi, walaupun proyek hanya bersifat sementara. Jika proyek sudah

selesai atau dihentikan tidak ada kesinambungan dalam pertanggungjawaban

terhadap asset dan kewajiban yang dimiliki proyek tersebut. Hal ini selain

menimbulkan ketidakefisienan dalam pembiayaan kegiatan pemerintahan, juga

menyebabkan ketidakjelasan keterkaitan antara output/outcome yang dicapai

dengan penganggaran organisasi.

Selanjutnya, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor


17 Tahun 2003, maka sistem penganggaran mengacu pada praktek-
praktek yang berlaku secara internasional. Menurut GFS (Government
Financial Statistics) Manual 2001, sistem penganggaran belanja negara
secara implisit menggunakan sistem unified budget, dimana tidak ada
pemisahan antara pengeluaran rutin dan pembangunan, sehingga
klasifikasi menurut ekonomi akan berbeda dari klasifikasi sebelumnya.8

Dalam melaksanakan perubahan format dan struktur belanja negara

telah dilakukan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian, namun tetap

mengacu GFS Manual 2001 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003.

Beberapa catatan penting berkaitan dengan perubahan dan penyesuaian format

dan struktur belanja negara yang baru antara lain:

Pertama, dalam format dan struktur I-account yang baru, belanja negara
tetap dipisahkan antara belanja pemerintah pusat dan belanja untuk
daerah, karena pos belanja untuk daerah yang berlaku selama ini tidak
dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu pos belanja negara
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003;
Kedua, semua pengeluaran negara yang sifatnya bantuan/subsidi dalam
format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai subsidi; dan Ketiga,
semua pengeluaran negara yang selama ini mengandung‟ nama lain-
lain yang tersebar di hampir semua pos belanja negara, dalam format
dan struktur baru diklasifikasikan sebagai belanja lain-lain.9

8
Ibid., hlm.25
9
Ibid., hlm.26.
36

Sistem administrasi Keuangan Negara sesuai dengan Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangaan Negara dan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, mengatur pemisahan

fungsi pejabat pengelola Keuangan Negara yang terdiri dari: Menteri

Keuangan selaku manajer Keuangan Negara dan Bendahara Umum Negara

(BUN), serta pimpinan kementerian/lembaga selaku pengguna anggaran.

Struktur organisasi dan pejabat yang berwenang dalam pengelolaan

Keuangan Negara dapat digambarkan sebagai berikut:

Anggaran secara teknis dilaksanakan oleh kementerian dan lembaga


terkait dengan menteri/pimpinan lembaga sebagai pengguna
anggaran/pengguna barang. Pada awal tahun anggaran,
menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran menetapkan para
pejabat di lingkungannya. Pejabat tersebut di antaranya yang akan
memverifikasi. Pelaksanaan pembayaran dalam proses Pengadaan
Barang/Jasa pemerintah. Pejabat-pejabat dimaksud ditunjuk sebagai:
1) Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Barang (KPA/KPB);
2) Pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan negara
(PNBP);
3) Pejabat yang melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran
anggaran belanja negara
4) Pejabat yang bertugas melakukan pengujian dan perintah
pembayaran;
5) Bendahara penerimaan untuk melaksanakan tugas kebendaharaan
dalam rangka pelaksanaan anggaran penerimaan;
6) Bendahara pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan
dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja.10

Selanjutnya merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor

606/PMK/2004 tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan APBN dan

Surat Edaran Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor SE-050/PB/2004

bahwa menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran menerbitkan

keputusan tentang penunjukan:


10
Pusdiklatwas BPKP, Pedoman Pelaksanaan Anggaran II, Diklat Pembentukan Auditor
Ahli, Edisi VI, 2010, hlm. 7-8.
37

1) Kuasa Pengguna Anggaran;

2) Pejabat yang melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran

anggaran;

3) Bendahara pengeluaran;

4) Pejabat yang diberi kewenangan untuk menerbitkan dan

menandatangani SPM.

B. Konsep Mekanisme dan Sanksi Hukum Pengadaan Barang/Jasa Melalui


Penunjukan Langsung Menurut Peraturan Perundang-Undangan Di
Indonesia

1. Mekanisme Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah Melalui Penunjukan


Langsung

Mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah melalui penunjukan

langsung, dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan Pengadaan Melalui Penunjukan Langsung Untuk Penanganan

Darurat

1) Setelah adanya pernyataan darurat dari pejabat yang berwenang, maka

PA/KPA:

a) mengusulkan anggaran kepada pejabat yang berwenang; dan/atau

b) memerintahkan PPK dan ULP/Pejabat Pengadaan untuk

memproses Penunjukan Langsung.

2) Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan menunjuk Penyedia yang

dinilai mampu untuk melaksanakan pekerjaan darurat yang

dibutuhkan, dengan ketentuan:


38

a) Penyedia terdekat yang sedang melaksanakan pekerjaan sejenis;

atau

b) Penyedia lain yang dinilai mampu melaksanakan pekerjaan

tersebut, bila tidak ada Penyedia sebagaimana dimaksud pada

huruf a).

3) PPK menerbitkan Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK).

4) Proses Penunjukan Langsung dilakukan secara simultan, sebagai

berikut:

a) opname pekerjaan di lapangan dilakukan bersama antara PPK,

Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan, dan Penyedia (apabila

diperlukan);

b) PPK, Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan, dan Penyedia

membahas jenis, spesifikasi teknis, volume pekerjaan, dan waktu

penyelesaian pekerjaan;

c) PPK menyusun dan menetapkan HPS untuk diserahkan kepada

Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan;

d) Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan menetapkan Dokumen

Pengadaan sesuai hasil pembahasan;

e) Dokumen Pengadaan disampaikan kepada Penyedia;

f) Penyedia menyampaikan Dokumen Kualifikasi dan Dokumen

Penawaran dalam 1 (satu) sampul yang berisi: formulir isian

kualifikasi, administrasi, teknis, dan harga kepada Kelompok Kerja

ULP/Pejabat Pengadaan;
39

g) Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan membuka Dokumen

Penawaran dan melakukan evaluasi administrasi, teknis, dan harga;

h) Dalam melakukan evaluasi, Kelompok Kerja ULP/Pejabat

Pengadaan melakukan klarifikasi dan negosiasi teknis dan harga

untuk mendapatkan harga yang wajar serta dapat

dipertanggungjawabkan;

i) Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan menyusun Berita Acara

Hasil Penunjukan Langsung yang memuat:

(1) uraian singkat pekerjaan

(2) nama dan alamat Penyedia;

(3) harga penawaran terkoreksi dan harga hasil negosiasi;

(4) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

(5) unsur-unsur yang dievaluasi;

(6) keterangan lain yang dianggap perlu; dan

(7) tanggal dibuatnya Berita Acara.

j) Pejabat Pengadaan menetapkan Penyedia berdasarkan Berita Acara

Hasil Penunjukan Langsung untuk nilai sampai dengan

Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);

k) Kelompok Kerja ULP menetapkan Penyedia berdasarkan Berita

Acara Hasil Penunjukan Langsung untuk nilai sampai dengan

Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);

l) Kelompok Kerja ULP mengusulkan Penetapan Pemenang untuk

nilai di atas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) kepada


40

PA yang ditembuskan kepada PPK dan APIP

Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi yang

bersangkutan.

m) PA menetapkan pemenang sebagaimana dimaksud pada huruf l)

berdasarkan usulan dari Kelompok Kerja ULP. Apabila PA tidak

setuju dengan usulan Kelompok Kerja ULP dengan alasan yang

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka PA

memerintahkan evaluasi ulang atau menyatakan pelelangan gagal.

n) Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan mengumumkan hasil

penetapan Penyedia yang ditunjuk di website

Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi masing-masing

dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat kecuali untuk

pekerjaan yang bersifat rahasia, yang memuat:

(1) uraian singkat pekerjaan;

(2) nama, NPWP, dan alamat Penyedia; dan

(3) harga penawaran terkoreksi dan harga hasil negosiasi;

o) masyarakat dapat menyampaikan pengaduan kepada APIP

Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi yang

bersangkutan apabila dalam proses Penunjukan Langsung

menemukan bukti penyimpangan prosedur dan/atau KKN; dan

p) PPK menerbitkan SPPBJ dan segera mempersiapkan proses

Kontrak/SPK.
41

2. Pelaksanaan Pengadaan Melalui Penunjukan Langsung Bukan Untuk

Penanganan Darurat

1) Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan mengundang sekaligus

menyampaikan Dokumen Pengadaan untuk Penunjukan Langsung

kepada Penyedia yang dinilai mampu dan memenuhi kualifikasi untuk

mengerjakan pekerjaan tersebut.

2) Penyedia yang diundang memasukkan Dokumen Kualifikasi.

3) Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan melakukan evaluasi

kualifikasi seperti pada Pelelangan Umum.

4) Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan melakukan pembuktian

kualifikasi seperti pada Pelelangan Umum

5) Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan memberikan penjelasan.

6) Penyedia menyampaikan Dokumen Penawaran dalam 1 (satu) sampul

yang berisi: dokumen administrasi, teknis, dan harga secara langsung

atau dikirim melalui pos/jasa pengiriman kepada Kelompok Kerja

ULP/Pejabat Pengadaan.

7) Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan membuka penawaran dan

melakukan evaluasi administrasi, teknis, dan harga dengan sistem

gugur.

8) Dalam melakukan evaluasi, Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan

melakukan klarifikasi dan negosiasi teknis dan harga untuk

mendapatkan Penyedia dengan harga yang wajar serta dapat

dipertanggungjawabkan.
42

9) Apabila hasil evaluasi dinyatakan tidak memenuhi syarat, Kelompok

Kerja ULP/Pejabat Pengadaan mengundang Penyedia lain.

10) Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan menyusun Berita Acara

Hasil Penunjukan Langsung yang memuat:

a) nama dan alamat Penyedia;

b) harga penawaran atau harga penawaran terkoreksi dan harga hasil

negosiasi;

c) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

d) unsur-unsur yang dievaluasi;

e) keterangan lain yang dianggap perlu; dan

f) tanggal dibuatnya Berita Acara.

11) Pejabat Pengadaan menetapkan Penyedia berdasarkan Berita Acara

Hasil Penunjukan Langsung untuk nilai sampai dengan

Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

12) Kelompok Kerja ULP menetapkan Penyedia berdasarkan Berita Acara

Hasil Penunjukan Langsung untuk nilai sampai dengan

Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

13) Kelompok Kerja ULP mengusulkan Penetapan Pemenang untuk nilai

di atas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) kepada PA yang

ditembuskan kepada PPK dan APIP Kementerian/

Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi yang bersangkutan.

14) PA menetapkan pemenang sebagaimana dimaksud pada angka 2)

berdasarkan usulan dari Kelompok Kerja ULP. Apabila PA tidak


43

setuju dengan usulan Kelompok Kerja ULP dengan alasan yang sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka PA

memerintahkan evaluasi ulang atau menyatakan pelelangan gagal.

15) Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan mengumumkan hasil

penetapan Penyedia yang ditunjuk untuk pekerjaan dimaksud di

website Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi masing-

masing dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat, yang

memuat:

a) uraian singkat pekerjaan;

b) nama, NPWP, dan alamat Penyedia; dan

c) harga penawaran terkoreksi dan harga hasil negosiasi.

16) Masyarakat dapat menyampaikan pengaduan kepada APIP

Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi yang bersangkutan

apabila dalam proses Penunjukan Langsung menemukan bukti

penyimpangan prosedur dan/atau KKN.

17) PPK menerbitkan SPPBJ dan segera mempersiapkan proses

Kontrak/SPK.

2. Sanksi Hukum Penyimpangan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah


Melalui Penunjukan Langsung

Demi terlaksananya penegakan hukum diseluruh sektor

pemerintahan, maka penyimpangan dalam bentuk apapun, baik yang bersifat

administratif maupun yang berpotensi menimbulkan kerugian negara, wajib

ditindak secara tepat dan tegas. Terkait pengklasifikasian aneka penyimpangan

yang dapat ditemukenali dalam proses Pengadaan Barang/Jasa pemerintah,


44

terdapat beberapa sanksi hukum yang dapat diterapkan sesuai penyimpangan

yang terjadi. Sanksi hukum yang akan dibahas adalah sanksi hukum yang

dibebani kepada pejabat/organ pemerintahan sebagai pihak yang menjadi

titikberat dalam tulisan ini.

Pihak penyedia barang/jasa yang melakukan penyimpangan terhadap

proses Pengadaan Barang/Jasa dikenai sanksi sesuai dengan pelanggaran yang

dilakukannya dimulai dari dimasukannya ke dalam Daftar Hitam yang

berakibat tidak dapat mengikuti proses tender kurang lebih selama 2(dua)

tahun hingga sanksi pidana atas perbuatan seperti pemalsuaan dokumen

penawaran, percobaan penyuapan dan penyuapan.

Hukum tentang Keuangan Negara dalam proses Pengadaan

Barang/Jasa telah mengantisipasi terjadinya keerugian Keuangan Negara yang

mungkin ditimbulkan oleh penyedia barang/jasa, yakni memberikan sanksi

pengenaan denda keterlambatan sebesar 1 ‰ dari harga kontrak atau bagian

kontrak untuk setiap hari keterlambatan dan tidak melampaui besarnya

jaminan pelaksanaan.

1. Sanksi Hukum Penyimpangan Administrasi dan Pemborosan Keuangan

Negara

Pada prakteknya banyak sekali terjadi pengabaian atas

pemberlakuan sanksi hukum atas penyimpangan administrasi. Kondisi

demikian tidak sejalan dengan semangat penegakan hukum yang wajib

dilaksanakan oleh semua pihak. Pengenaan sanksi administratif oleh

Undang-Undang Keuangan Negara telah disebutkan dalam Pasal 34 Ayat


45

(3) yang menyatakan bahwa “Presiden memberi sanksi administratif

sesuai dengan ketentuan Undang-Undang kepada pegawai negeri serta

pihak-pihak lain yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana

ditentukan dalam Undang-Undang ini.”

Ketentuan sanksi dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2021

menyatakan bahwa apabila terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam

proses Pengadaan Barang/Jasa, maka Unit Layanan Pengadaan (ULP)

salah satunya dapat dikenai sanksi administrasi. Sejalan dengan hal

tersebut dinyatakan pula apabila kecurangan terjadi terkait dengan

pelaksanaan pengumuman Pengadaan, sanksi diberikan kepada anggota

ULP/Pejabat Pengadaan sesuai peraturan perundang-undangan.

Subjek hukum yang akan diberikan sanksi adalah berstatus sebagai

pegawai negeri sipil yang tunduk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun

2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dalam undang-undang tersebut

dikenal istilah Hukuman Disiplin yakni hukuman yang dijatuhkan kepada

PNS karena melanggar peraturan disiplin PNS yakni kesanggupan menaati

kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan.

Penyimpangan administrasi Pengadaan Barang/Jasa pemerintah

merupakan suatu bentuk pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-

undangan, dalam hal ini Perpres Nomor 12 Tahun 2021. Oleh karenanya

pihak yang melakukan penyimpangan administrasi dapat dikenai hukuman


46

disiplin ringan. Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari: (a) teguran

lisan; (b) teguran tertulis; (c) pernyataan tidak puas secara tertulis.

2. Sanksi Hukum atas Kerugian Keuangan Negara

Penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk

mengembalikan kekayaan negara yang hilang/berkurang serta

meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat

negara pada umumnya dan para pengelola keuangan pada khususnya.

Sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif serta

berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-Undang tentang APBN

yang bersangkutan.

Undang-Undang tentang Keuangan Negara dalam Pasal 35 Ayat

(1) menyatakan bahwa “Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan

bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik

langsung atau tidak langsung yang merugikan Keuangan Negara

diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.”

Sebagaimana ditegaskan lebih lanjut dalam Undang-Undang

tentang Perbendaharaan Negara bahwa setiap kerugian negara/daerah yang

disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus

diganti oleh pihak yang bersalah. Dengan penyelesaian kerugian tersebut

negara/daerah dapat dipulihkan dari kerugian yang telah terjadi.

Sehubungan dengan itu, setiap pimpinan kementerian negara/

lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah wajib segera melakukan

tuntutan ganti rugi setelah mengetahui bahwa dalam kementerian


47

negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan terjadi

kerugian. Pengenaan ganti kerugian negara terhadap bendahara ditetapkan

oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). pengenaan ganti kerugian

negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa

Keuangan, sedangkan pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap

pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh menteri/pimpinan

lembaga/gubernur/bupati/walikota.

Penggantian kerugian Keuangan Negara tidak dapat hapus karena

adanya putusan pidana. Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan

pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah

dapat dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana apabila terbukti

melakukan pelanggaran administratif dan/atau pidana.

3. Sanksi Hukum atas Kerugian Keuangan Negara yang Mengarah pada

Tindak Pidana Korupsi

Dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi, Menteri Negara

Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor

SE/03/M.PAN/4/2007 tanggal 18 April 2007 tentang Perlakuan Terhadap

Pejabat yang Terlibat Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Surat

Edaran tersebut ditujukan kepada para Menteri Kabinet Indonesia bersatu,

Panglima TNI, Jaksa Agung, Kepala POLRI, para Kepala Lembaga

Pemerintah Non Departemen, para Pimpinan Sekretariat Lembaga Tinggi

Negara, para Pimpinan Sekretariat Dewan/Komisi/Badan, para Gubernur,

dan para Bupati/Walikota.


48

Melalui Surat Edaran tersebut, Men.PAN mengharapkan perhatian

dan bantuan dari pihak-pihak yang disebutkan di atas agar meningkatkan

kerja sama dan dukungan upaya-upaya penanganan perkara korupsi yang

dilakukan oleh aparat penegak hukum. Kerja sama dan dukungan tersebut

dilakukan melalui mekanisme, antara lain sebagai berikut: (a) segera

memberikan izin pemeriksaan terhadap pejabat atau pegawai baik sebagai

saksi atau sebagai tersangka, jika memang ijin tersebut diperlukan sesuai

peraturan perundang-undangan; (b) memberhentikan sementara dari

jabatannya, terhadap pejabat yang terlibat perkara korupsi, berstatus

sebagai tersangka/terdakwa, dan dilakukan penahanan oleh aparat penegak

hukum sampai dengan adanya keputusan yang mempunyai kekuatan

hukum tetap (inkracht) atau resmi dinyatakan dihentikan proses hukumnya

oleh aparat penegak hukum; (c) menjatuhkan sanksi administratif sesuai

dengan peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil terhadap pejabat/pegawai

yang telah mendapatkan vonis bersalah.

Kerugian negara sebagai unsur dari tindak pidana korupasi secara

gamblang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. Sampai saat ini ada dua Pasal yang paling sering

digunakan untuk memidanakan koruptor. Kedua Pasal ini mengandung

“unsur kerugian negara”. Para praktisi menyebut pasal-Pasal ini “Pasal

sapu jagad” dan “Pasal pamungkas”. Selengkapnya, kedua Pasal ini

menentukan:
49

Pasal 2

1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan


memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi
yang dapat merugikan Keuangan Negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat
dijatuhkan.

Pasal 3

Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau


orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan Keuangan Negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

Perumusan pasal-Pasal di atas berkenaan dengan kerugian

Keuangan Negara dan perekonomian negara, sangat tegas. Perumusannya

menggunakan frasa “dapat”, artinya kerugian negara bisa sudah terjadi,

atau mempunyai potensi (“dapat”) terjadi. Tanpa istilah “dapat merugikan

Keuangan Negara”, ada keraguan apakah ada atau tidak kerugian

Keuangan Negara.
50

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya,

maka pada kesempatan ini penulis akan mengemukakan beberapa kesimpulan

sebagai berikut:

1. Keuangan Negara pada hakikatnya adalah seluruh kekayaan dan/atau asset

negara. Para pihak yang terlibat dalam pengelolaan anggaran Keuangan

Negara meliputi Presiden, Menteri Keuangan, Pimpinan para

Lembaga/Menteri, Bendahara, dan Pegawai Non-Bendahara.

2. Mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah melalui penunjukan

langsung, terdiri atas pelaksanaan pengadaan melalui penunjukan langsung


51

untuk penanganan darurat dan pelaksanaan pengadaan melalui penunjukan

langsung bukan untuk penanganan darurat. Terkait pengklasifikasian

aneka penyimpangan yang dapat ditemukenali dalam proses Pengadaan

Barang/Jasa pemerintah, terdapat beberapa sanksi hukum yang dapat

diterapkan sesuai penyimpangan yang terjadi. Sanksi hukum yang akan

dibahas adalah sanksi hukum yang dibebani kepada pejabat/organ

pemerintahan

B. Saran

Penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Terdapat pengertian Keuangan Negara dalam arti luas yang diungkapkan

beberapa ahli hukum dan dicantumkan dalam peraturan perundang-

undangan membuat distorsi terhadap filosofi atas pengertian Keuangan

Negara yang telah diletakan pembuat Undang-Undang Dasar terdahulu.

Demi terciptanya peraturan di bidang Keuangan Negara yang tepat dan

tersinergi dengan peraturan lainnya maka sudah saatnya Pemerintah

kembali melakukan penyelarasan atas peraturan yang telah ada dan

mempercepat revisi Undang-Undang Keuangan Negara serta harmonisasi

terkait peraturan Pengadaan Barang/Jasa di BUMN.

2. Demi terlaksananya penegakan hukum diseluruh sektor pemerintahan,

maka penyimpangan dalam bentuk apapun, baik yang bersifat

administratif maupun yang berpotensi menimbulkan kerugian negara,

wajib ditindak secara tepat dan tegas.


52

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Kementerian Keuangan. Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa


Pemerintah Dan Perbendaharaan Negara.

Goedhart C., Garis-Garis Besar Ilmu Keuangan Negara, Terjemahan oleh


Ratmoko, Penerbit Jembatan, Jakarta, 2005.

Hadjon, Philipus M., Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Univ.


Airlangga, Cetakan Pertama, Surabaya, 1985.

Handayaningrat, Soewarno, Pengantar Studi Ilmu Administrasi Manajemen.


Cet 16, Gunung Agung, Jakarta, 1996.

Indroharto. Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata


Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Cetakan Kedua, Jakarta, 1991.

Lotulung, Paulus Effendi, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum


terhadap Pemerintahan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
53

Muhammad Djafar Saidi. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Rajawali Pers,


2008.

Soemitro, Rochmat H., Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Eresco, Cetakan
Ketiga, Bandung, 1993.

Soeria Atmadja, Arifin, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara,


PT Gramedia, Jakarta, 2000.

Pusdiklatwas BPKP, Pedoman Pelaksanaan Anggaran II, Diklat


Pembentukan Auditor Ahli, Edisi VI, 2010.

Yani, Ahmad, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Di


Indonesia, Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, Cetakan kedua, April, 2004.

B. Jurnal/Karya Ilmiah

Suminto, Pengelolaan APBN dalam Sistem Manajemen Keuangan Negara,


Makalah sebagai bahan penyusunan Budget in Brief 2004 (Ditjen
Anggaran, Depkeu).

C. Kamus

Tim Penyusun Kamus. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka,
Jakarta.

D. Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

--------- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

-------- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20


Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

--------.Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas


Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah
54

Anda mungkin juga menyukai