Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam setiap konstitusi atau Undang-Undang Dasar, peran negara

yang utama adalah mewujudkan cita-cita bangsa itu sendiri, dan cita-cita

bangsa Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar konstitusi Negara Republik Indonesia,

baik sebelum maupun sesudah diamandemen, memiliki semangat yang kuat

untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh warga negara Indonesia serta

membentuk negara kesejahteraan.

Konsep negara kesejahteraan menurut Bagir Manan adalah negara atau

pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban

masyarakat, tetapi memikul tanggung jawab utama untuk mewujudkan

keadilan sosial, kesejahteraan umum, dan sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.1 Sejalan dengan pendapat Bagir Manan, menurut Sjahran Basah,

berkaitan dengan negara kesejahteraan tersebut, maka tujuan pemerintah tidak

semata-mata di bidang pemerintahan saja, melainkan harus melaksanakan

kesejahteraan sosial dalam rangka mencapai tujuan negara melalui

pembangunan nasional.2

1
Bagir Manan, Politik Perundang-undangan Dalam Rangka Mengantisipasi
Liberalisasi Perekonomian, Fakultas Hukum UNILA, Lampung, 1996, hal. 16.
2
Sjahran Basah, Eksistensi Dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Di
Indonesia, Alumni, Bandung, 1986, hal. 3.

1
2

Negara Indonesia menunjukkan keinginan untuk membentuk negara

kesejahteraan tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu: “Membentuk

suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia

dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.3

Dalam mencapai tujuan yang diamanatkan Pembukaan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, maka

dilakukanlah pembangunan nasional di dalam segala bidang kehidupan baik

fisik maupun pembangunan non fisik. Dalam rangka penyelenggaraan

pemerintahan negara dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat

adil, makmur, dan merata berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar

1945, maka Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945menetapkan bahwa: “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang

berbentuk Republik”.

Di dalam mencapai tujuan tersebut, maka penyelenggaraan

pemerintahan negara membagi Negara Kesatuan Republik Indonesia atas

daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah

kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan

3
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung, 1991, hal. 2
3

efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada

masyarakat.

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004,

merupakan momentum yang sangat baik untuk melaksanakan otonomi daerah.

Adapun yang dimaksud dengan Otonomi Daerah menurut Pasal 1 angka (5)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu:

“Hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

sesuai peraturan perundang-undangan“.

Lebih lanjut Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa daerah otonom yaitu:

“Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Adanya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah,

tentunya akan membawa konsekuensi penyerahan sebagian sumber-sumber

keuangannya. Hal ini dilakukan guna menjamin kelancaran penyelenggaraan

urusan tersebut, sehingga akan terjadi suatu keseimbangan antara urusan yang

dibebankan serta sumber-sumber keuangan untuk pembiayaannya. Keadaan


4

inilah yang kemudian menimbulkan hubungan keuangan antara pemerintah

pusat dengan daerah.

Hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah atau dalam arti yang

lebih sempit sering disebut sebagai perimbangan keuangan pusat dan daerah

merupakan salah satu bentuk hubungan dari sekian banyak hubungan antara

pemerintah pusat dan daerah. Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 33 Tahun 2004, Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan

Daerah, yaitu: “Suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional,

demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan

desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan

daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas

pembantuan”.

Adapun yang dimaksud dengan Desentralisasi berdasarkan Pasal 1

ayat (8) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, yaitu: “Penyerahan

wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia”.

Kemudian Dekonsentarasi menurut Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang

Nomor 33 Tahun 2004, yaitu: “Pelimpahan wewenang kepada gubernur

sebagai wakil pemerintah”, dan Tugas Pembantuan berdasarkan Pasal 1 ayat

(10) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, yaitu: “Penugasan dari

pemerintah kepada daerah dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban

melaporkan pelaksanaannya kepada yang menugaskannya”.


5

Ketentuan perundang-undangan tentang perimbangan keuangan pusat

dan daerah sebagaimana diuraikan di atas dimaksudkan untuk mendukung

pendanaan atas penyerahan urusan kepada pemerintahan daerah. Adapun

sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintahan daerah dalam rangka

pelaksanaan desentralisasi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor

33 Tahun 2004 Bab IV Pasal 5 yang menyebutkan bahwa sumber penerimaan

daerah terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Mardiasmo

mengemukakan:

Secara sosiologis, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat


dipandang sebagai suatu strategi yang memiliki tujuan ganda. Pertama,
pemberian otonomi daerah merupakan strategi untuk merespon
tuntutan masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu
sharing of power, distribution of income, dan kemandirian sistem
manajemen di daerah. Kedua, otonomi daerah dimaksudkan sebagai
strategi untuk memperkuat perekonomian daerah dalam rangka
memperkokoh perekonomian nasional untuk menghadapi era
perdagangan bebas.4

Namun demikian, pemberian otonomi daerah tidak berarti

permasalahan bangsa akan selesai dengan sendirinya. Bertambahnya urusan

yang menjadi kewenangan daerah sebagai konsekuensi dari otonomi daerah

menimbulkan pengaruh bertambahnya volume urusan terutama berkenaan

dengan pengurusan atau pengelolaan barang milik daerah/kekayaan daerah.

Oleh karena itu, otonomi daerah tersebut harus diikuti dengan serangkaian

reformasi pemerintah daerah. Dimensi reformasi pemerintahan daerah tersebut

tidak saja sekadar perubahan struktur organisasi pemerintahan daerah, akan

tetapi mencakup berbagai instrumen yang diperlukan untuk mendukung

4
Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Andi, Yogyakarta,
2002.
6

berjalannya lembaga-lembaga daerah tersebut secara ekonomis, efisien,

efektif, transparan, dan akuntabel, salah satunya penataan mengenai

pengelolaan kekayaan/barang milik daerah daerah. Chabib Soleh dan Heru

Rochmansyah mengemukakan:

Barang milik daerah adalah semua kekayaan daerah baik yang dibeli
atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
maupun yang berasal dari perolehan lain yang sah baik yang bergerak
maupun yang tidak bergerak beserta bagian-bagiannya atau pun yang
merupakan satuan tertentu yang dapat dinilai, dihitung, diukur, atau
ditimbang termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan kecuali uang dan
surat-surat berharga lainnya.5

Sesuai Permendari Nomor 17 Tahun 2007, Barang Milik Daerah

digolongkan berupa barang persedian dan barang inventaris (barang dengan

penggunaannya lebih dari 1 tahun) yang terdiri dari 6 (enam) kelompok yaitu:

1) Tanah;

2) Peralatan dan Mesin;

3) Gedung dan Bangunan;

4) Jalan, Irigasi dan Jaringan;

5) Barang milik daerah Tetap Lainnya; dan

6) Konstruksi dalam Pengerjaan.

Berdasarkan lingkup barang milik daerah dan penggolongan Barang

Milik Daerah tersebut di atas, Barang Milik Daerah merupakan bagian dari

Barang milik daerah Pemerintah Daerah yang berwujud yang tercakup dalam

Barang milik daerah Lancar dan Barang milik daerah Tetap.

5
Chabib Soleh dan Heru Rochmansjah, Pengelolaan Keuangan Dan Barang milik
daerah Daerah, Sebuah Pendekatan Struktural Manuju Tata Kelola Pemerintahan
Yang Baik, Fokusmedia, Bandung, 2010, hlm. 158.
7

Secara sederhana pengelolaan kekayaan (barang milik daerah) daerah

meliputi tiga fungsi utama, yaitu: (1) Adanya perencanaan yang tepat; (2)

Pelaksanaan/pemanfaatan secara efisien dan efektif; dan (3) Pengawasan

(monitoring).6

Pengelolaan barang milik daerah mengalami distorsi dengan adanya

konsep pemekaran daerah. Pasal 4 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menentukan:

(3) Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah


atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu
daerah menjadi dua daerah atau lebih.
(4) Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah
mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.

Pemekaran daerah bertujuan utama agar ada ruang partisipasi bagi

politik daerah serta masuknya uang dari pusat ke daerah. Namun, untuk

melakukan pemekaran pada suatu daerah harus ada penjelasan terlebih dahulu

kepada masyarakat yang menginginkan pemekaran tentang masalah yang

harus dihadapi setelah pemekaran. Sebab, pemekaran daerah tidaklah mudah

dan murah. Pemekaran wilayah seharusnya menjadi solusi atas suatu

permasalahan yang dihadapi, bukannya justru menambah masalah atau

menciptakan masalah baru.

Salah satu dampak negatif dari pemekaran daerah pasca diterbitkannya

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 adalah banyak terjadi sengketa barang milik daerah yang berlarut-larut.

Chobib Soleh dan Heru Rochmansyah mengemukakan: “Bertambahnya

6
Ibid., hlm. 151.
8

urusan yang menjadi kewenangan daerah sebagai konsekuensi dari otonomi

daerah otomatis akan menimbulkan volume urusan terutama berkenaan

dengan pengurusan atau pengelolaan barang milik daerah atau kekayaan

daerah”.7

Sehingga sengketa barang milik daerah menjadi hal yang terus saja

terjadi setiap dilakukannya pemekaran daerah. Salah satu tudingan yang

dialamatkan sebagai penyebabnya adalah karena produk kebijakan yang

menaungi hal tersebut tidak disertai dengan anggaran yang cukup dari Pusat,

di samping kemampuan fiskal daerah itu sendiri. Agung Pribadi

mengemukakan:

Padahal dalam evaluasi pemekaran yang dilakukan Depdagri tahun


2005 terlihat bahwa pemekaran wilayah ini masih banyak bermasalah.
Dari hasil evaluasi kemampuan daerah otonom baru yang dilakukan
Depdagri, umumnya pengalihan barang milik daerah mengalami
berbagai kendala. Misalnya, ketidaklengkapan dokumen barang milik
daerah, tidak adanya penyerahan resmi, sebagai barang milik daerah
bermasalah, dan penyerahan yang dilakukan bertahap. Dari 148 daerah
baru, 87,71 persen belum mendapatkan P3D (pembiayaan, personel,
peralatan, dan dokumen) dari daerah induk dan 89,48 persen daerah
belum mendapat bantuan dari daerah induk.8

Konflik barang milik daerah yang sering terjadi ini seolah

menegasikan tujuan ideal dari pemekaran itu sendiri, yakni: meningkatkan

pelayanan kepada masyarakat, mempercepat pertumbuhan demokrasi,

mempercepat pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, mempercepat

pengelolaan potensi daerah, meningkatkan keamanan-ketertiban, dan

meningkatkan hubungan yang serasi antara Pusat dengan Daerah.


7
Chabib Soleh dan Heru Rochmansjah, Pengelolaan Keuangan dan Barang milik
daerah Daerah, Gaza Publishing, Bandung, 2010, hal. 166.
8
Agung Pribadi, Evaluasi Pemekaran Wilayah di Era Otonomi Daerah,
http://www.agungpribadi.com, diakses tanggal 07 November 2015.
9

Ada daerah yang mampu merespons secara positif pelaksanaan

desentralisasi yang berjalan beriringan dengan demokratisasi, yang kemudian

diikuti pula dengan pergeseran kekuasaan dari eksekutif ke legislatif mulai

tingkat pusat hingga daerah. Erlan Suwarlan mengemukakan:

Banyak pula yang kedodoran merespons ketiga hal tersebut.


Setidaknya pernah tercatat dalam laporan Depdagri pada tahun 2006
yang menyatakan bahwa 80% pemekaran daerah bermasalah dan
masuk dalam kategori gagal. Namun dalam perkembangannnya fakta
tersebut pun tidak menyurutkan aspirasi pemekaran daerah. Sengketa
barang milik daerah memang bukan satu-satunya masalah sebagai
dampak negatif pemekaran. Lebih dari itu dampak lainnya diikuti
sejumlah masalah lain yang tidak kalah rumitnya, seperti korupsi
DAU, rekrutmen pegawai yang sarat kolusi dan nepotisme, munculnya
bisnis dadakan politisi lokal/keluarga, konflik penetapan ibu kota,
konflik antarelit, dan bahkan sampai konflik horisontal.9

Beberapa kasus penyerahan barang milik daerah dari daerah induk ke

daerah pemekaran dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Kota Sungaipenuh untuk menguasai barang milik daerah secara penuh

adalah hal yang wajar sebagai konsekuensi yuridis berlakunya Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kota Sungaipenuh.

Begitu juga sebaliknya adalah hal yang wajar pula ketika Pemerintah

Kabupaten Kerinci merasa keberatan dan mempersoalkan beberapa pasal

dalam undang-undang tersebut, khususnya yang berkaitan dengan barang

milik daerah. Tidak dapat dipungkiri sengketa barang milik daerah ini

muncul setelah dimekarkannya Kabupaten Kerinci menjadi dua wilayah

yakni Kabupaten Kerinci dan Kota Sungaipenuh. Sebagian pihak

menganggap pemekaran Kabupeten Kerinci masih menyisakan polemik

9
Erlan Suwarlan, Sengketa Barang milik daerah, Kapan Selesai?,
http://www.kabar-priangan.com, diakses tanggal 07 November 2015.
10

terutama masalah barang milik daerah yang berimbas memburuknya

hubungan antara pejabat Kota Sungaipenuh dengan pejabat Kabupaten

Kerinci yang juga tentunya akan berpengaruh buruk terhadap percepatan

pembangunan di kedua wilayah ini.

Namun apa yang terjadi sekarang, Pemekaran Kabupaten Kerinci


dengan dibentuknya Kota Sungaipenuh yang awalnya diharapkan
dapat meyelesaikan masalah ternyata malah sebaliknya. Pemekaran
terkesan telah melahirkan masalah baru. Salah satunya adalah
sengketa barang milik daerah, khususnya barang milik daerah yang
dianggap produktif. Beberapa barang milik daerah yang
disengketakan diantaranya adalah Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) Tirta Sakti dan Kincai Plaza yang menjadi pusat
perbelanjaan terbesar di wilayah Kerinci dan Sungaipenuh.10

2. Konflik barang milik daerah yang terjadi di Tasikmalaya terbilang

berlarut-larut, meski berbagai upaya sudah dilakukan. Namun memasuki

tahun kedua belas belum terlihat tanda-tanda adanya titik temu dari sekitar

85 barang milik daerah senilai Rp 600 miliar yang diperebutkan.

Di satu sisi Pemkot Tasikmalaya bersikeras terhadap ketentuan


Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2001 beserta sejumlah produk
turunan lainnya, misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2006 j.o Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, Perda Kota Tasikmalaya
Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Daerah,
Rekomendasi BPK RI pada hasil pemeriksaan nomor
07/s/v-xviii/12/2009 tanggal 31 desember 2009, Surat Gubernur
Jabar Nomor 030/2817/otdaksm tanggal 20 Juli 2010 perihal
penyelesaian barang milik daerah, dan Keputusan Wali Kota
No.030/kep.301/barang milik daerah/2010, tentang Pengakuan
Seluruh Barang milik daerah Milik Pemkab Tasikmalaya yang ada
di wilayah Pemkot sebagai barang milik daerah milik Pemkot
Tasikmalaya.11

10
Mohammad Zaki, Sengketa Barang milik daerah di Daerah Pemekaran,
Jambiekspresnews.com, diakses tanggal 07 November 2015.
11
Erlan Suwarlan, Loc. Cit.,
11

Pengaturan penyerahan barang milik daerah dari daerah induk ke

daerah pemekaran menimbulkan permasalahan. Permasalahan ini mengakar

pada ketentuan yang tidak secara tegas dan jelas tentang lingkup dan pola

penyerahan barang milik daerah tersebut. Yang dapat dikemukakan sebagai

berikut:

1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

yang menentukan:

Pasal 178

(1) Barang milik daerah yang dipergunakan untuk melayani kepentingan


umum tidak dapat dijual, diserahkan haknya kepada pihak lain,
dijadikan tanggungan, atau digadaikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Barang milik daerah dapat dihapuskan dari daftar inventaris barang
daerah untuk dijual, dihibahkan, dan/atau dimusnahkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pelaksanaan pengadaan barang dilakukan sesuai dengan kemampuan
keuangan dan kebutuhan daerah berdasarkan prinsip efisiensi,
efektivitas, dan transparansi dengan mengutamakan produk dalam
negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Pelaksanaan penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan berdasarkan kebutuhan daerah, mutu barang, usia pakai,
dan nilai ekonomis yang dilakukan secara transparan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2008 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang

Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah

Pasal 2

(1) Barang milik negara/daerah meliputi:

a. barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/D; atau


b. barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah.
(2) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;
12

b. barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari


perjanjian/kontrak;
c. barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; atau
d. barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dalam ketentuan tidak dikemukakan mengenai pengelolaan barang milik

daerah yang dilakukan pemindahtanganan ke pihak lain dalam hal ini

berupa penyerahan barang milik daerah ke daerah pemekaran.

3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman

Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah

Pasal 4

(1) Pengelolaan barang milik daerah dilaksanakan berdasarkan asas


fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi,
akuntabilitas, dan kepastian nilai.
(2) Pengelolaan barang milik daerah meliputi:
a. perencanaan kebutuhan dan penganggaran;
b. pengadaan;
c. penerimaan, penyimpanan dan penyaluran;
d. penggunaan;
e. penatausahaan;
f. pemanfaatan;
g. pengamanan dan pemeliharaan;
h. penilaian;
i. penghapusan;
j. pemindahtanganan;
k. pembinaan, pengawasan dan pengendalian;
l. pembiayaan; dan
m. tuntutan ganti rugi.

Dalam ketentuannya tidak dijelaskan lingkup pemindahtanganan barang

milik daerah tersebut termasuk penyerahan barang milik daerah dari

daerah induk ke daerah pemekaran.

4. Kepmendagri Nomor 42 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan

Penyerahan Barang dan Hutang Pada Daerah Yang Baru Dibentuk, yaitu
13

pada Pasal 2 ayat (1) yang menentukan: ”Barang milik daerah atau yang

dikuasai dan atau yang dimanfaatkan oleh pemerintah Provinsi atau

Pemerintah Kabupaten/Kota induk yang lokasinya berada dalam wilayah

daerah yang baru dibentuk, wajib diserahkan dan menjadi milik daerah

yang baru dibentuk.

Pasal 9 Kepmendagri Nomor 42 Tahun 2001 tentang Pedoman

Pelaksanaan Penyerahan Barang dan Hutang Pada Daerah Yang Baru

Dibentuk menentukan:

(1) Pelaksanaan Penyerahan Barang dan Hutang Piutang dilakukan


paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal peresmian
Propinsi/Kabupaten/Kota yang baru dibentuk.
(2) Bagi Daerah yang pelaksanaan penyerahan barang dan atau hutang
piutang telah melebihi 1 (satu) tahun sejak peresmian
Propinsi/Kabupaten/Kota, diselesaikan paling lambat 6 (enam)
bulan sejak ditetapkan Keputusan ini.

Dalam ketentuan Kepmendagri Nomor 42 Tahun 2001 tentang Pedoman

Pelaksanaan Penyerahan Barang dan Hutang Pada Daerah Yang Baru

Dibentuk, tidak dikemukakan mengenai mekanisme penyerahan barang milik

daerah tersebut apakah secara serta merta atau bertahap dan mengenai jangka

waktu paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal peresmian

Provinsi/Kabupaten/Kota yang baru dibentuk apakah bersifat mutlak atau

relatif seperti yang dikemukakan oleh Soni Sumarsono, yakni:

Penyerahan barang milik daerah antara kabupaten pemekaran dengan


kota yang dilakukan selambat-lambatnya lima tahun filosofinya bahwa
kabupaten induk masih beribukota pada kota otonom baru yang
dimekarkan. Oleh sebab itu kurun waktu lima tahun tersebut diberikan
kesempatan kepada kabupaten induk untuk menggali Pendapatan Asli
Daerah baru di wilayah kabupatennya termasuk harus membuat rencana
pemindahan ibukota kabupaten baru dan hal ini tidak gampang
mewujudkannya karena memerlukan dukungan dana yang sangat besar.
14

Oleh sebab itu penyerahan barang milik daerah yang awalnya milik
kabupaten induk kepada daerah otonom baru tidak dapat dilakukan serta
merta sekaligus diserahkan, apalagi kepada kota otonom baru hasil
pemekaran dan harus dilakukan secara bertahap.12

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan

penulisan dalam rangka penyusunan makalah dengan judul: “Pengaturan

Tentang Penyerahan Barang Milik daerah Dari Daerah Induk ke Daerah

Pemekaran Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di latar belakang masalah di

atas, dapat diidentifikasikan perumusan masalah yang akan diteliti, yaitu:

1. Bagaimana pengaturan tentang penyerahan barang milik daerah dari

daerah induk ke daerah pemekaran dalam pelaksanaan otonomi daerah?

2. Bagaimana implikasi hukum terhadap pengaturan tentang penyerahan

barang milik daerah dari daerah induk ke daerah pemekaran dalam

pelaksanaan otonomi daerah?

12
Siswoyo, Penyerahan Barang milik daerah Kepada DOB Harus Sesuai Dengan
Peraturan, Harian Waspada, www.waspadamedan.com, Diakses tanggal 07
November 2015.
15

BAB II

PEMBAHASAN

A. Penyerahan Barang Milik Daerah Dari Daerah Induk Ke Daerah


Pemekaran

Penyerahan barang milik daerah dari daerah induk ke daerah

pemekaran dalam pelaksanaan otonomi daerah tidak bisa dilepaskan dari

mekanisme pengelolaan barang milik daerah daerah yang ditentukan dalam

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2001 tentang Pedoman

Pelaksanaan Penyerahan Barang dan Hutang Piutang Pada Daerah Yang Baru

Dibentuk, dilakukan dengan mengingat peraturan perundang-undangan

sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 2043);

2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3839);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1971 tentang Penjualan Kendaraan

Perorangan Dinas Milik Negara (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 69,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 2967);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara

(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3573 );

15
16

5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan

Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran

Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor

3953);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan

Pertanggung Jawaban Keuangan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2000

Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4022);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pengalihan Barang

Milik/Kekayaan Negara dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah

Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah (Lembaran Negara Nomor 6

Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4073);

8. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 11 Tahun

2001 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah;

Dalam perkembangannya, beberapa ketentuan peraturan perundang-

undangan tersebut di atas, sudah direvisi dan diganti. Hal ini sebagaimana

dikemukakan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3839); sudah diganti dengan diundangkannya Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah,

terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang


17

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4844);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan

Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran

Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor

3953); diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007

tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah

Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2005 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4737);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan

Pertanggung Jawaban Keuangan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2000

Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4022); diganti dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan

Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005

Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4578);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pengalihan Barang

Milik/Kekayaan Negara dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah

Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah (Lembaran Negara Nomor 6

Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4073); diganti dengan


18

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang

Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006

Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4609); yang kemudian direvisi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38

Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun

2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah terakhir direvisi

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan

Barang Milik Negara/Daerah yang menentukan:

Pasal 109

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan


Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4609) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4855), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.

Pasal 110

(1) Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 6


Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/ Daerah dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
(2) Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik
19

Negara/Daerah harus disesuaikan paling lama 2 (dua) tahun


terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.

5. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 11 Tahun

2001 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah; diganti dengan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman

Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah

Penyerahan barang milik daerah daerah dari daerah induk ke daerah

pemekaran, tidak diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di

atas, hanya pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2001

tentang Pedoman Pelaksanaan Penyerahan Barang dan Hutang Piutang Pada

Daerah Yang Baru Dibentuk, hal tersebut ditentukan.

Penyerahan barang milik daerah dalam hal ini dilakukan dengan

penghapusan dan pemindahtanganan asset daerah. Mekanisme pengelolaan

asset daerah pada umumnya, khusus mengenai penyerahan barang milik

daerah dari daerah induk ke daerah pemekaran dalam pelaksanaan otonomi

daerah karena yang menjadi pokok permasalahan berupa barang milik daerah

berupa tanah dan bangunan, akan dilakukan mekanisme berupa penghapusan

barang daerah berupa barang tidak bergerak seperti Tanah dan/atau Bangunan

ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan

DPRD, sedangkan untuk barang-barang inventaris lainnya selain Tanah

dan/atau Bangunan sampai dengan Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)

dilakukan oleh Pengelola setelah mendapat persetujuan Kepala Daerah.


20

B. Implikasi Hukum Terhadap Pengaturan Penyerahan Barang milik


daerah Dari Daerah Induk Ke Daerah Pemekaran Dalam Pelaksanaan
Otonomi Daerah

Untuk memberikan kepastian hukum terhadap penyerahan barang

milik daerah dari daerah induk ke daerah pemekaran dalam pelaksanaan

otonomi daerah, maka ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar pembenar

adanya penyerahan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

pokok Agraria atau yang lazim disebut dengan UUPA,

4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah,

6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Pemerintah Pusat dan Daerah,

7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,

8. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan

Keuangan Daerah,

9. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi

Pemerintahan yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71

Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan,


21

10. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang

Milik Negara/Daerah yang kemudian direvisi dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik

Negara/Daerah terakhir direvisi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27

Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah

11. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah,

12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang

Perubahan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006

tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah,

13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pembentukan

Rekening Kas Umum Daerah, dan

14. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman

Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Kepmendagri Nomor 42 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan

Penyerahan Barang dan Hutang Pada Daerah Yang Baru Dibentuk, dengan

berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, sudah

kuat akan adanya implikasi hukum apabila ketentuan tersebut tidak diindahkan

oleh pemerintah daerah yang tidak melakukan penyerahan barang milik daerah

daerah yang menjadi kewenangan daerah pemekaran untuk mengelolanya.

Adanya penekanan konsep barang milik daerah/barang milik daerah

untuk secepatnya diserahkan daerah induk ke daerah pemekaran mengingat


22

semua kekayaan daerah baik yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD

maupun yang berasal dari perolehan lain yang sah baik yang bergerak maupun

yang tidak bergerak beserta bagian-bagiannya atau pun yang merupakan

satuan tertentu yang dapat dinilai, dihitung, diukur, atau ditimbang termasuk

hewan dan tumbuh-tumbuhan kecuali uang dan surat-surat berharga lainnya,

yang dapat dioptimalkan dengan menyerahkan pemanfaatan barang milik

daerah daerah tersebut kepada pihak ketiga.

Sehingga daerah pemekaran akan dapat melakukan bentuk-bentuk

optimalisasi pemanfaatan barang milik daerah milik daerah tersebut dapat

berupa penyewaan barang milik daerah, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan

(KSP), Bangun Guna Serah (BGS) dan Bangun Serah Guna (BSG). Yang

dimaksud dengan optimalisasi pemanfaatan barang milik daerah adalah usaha

yang dapat dilakukan dengan pertimbangan untuk mengoptimalkan daya guna

dan hasil guna barang milik daerah. Pemanfaatan barang milik daerah yang

optimal akan membuka lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan

masyarakat sekaligus mengatrol pendapatan daerah.

Tetapi penyerahan barang milik daerah tersebut masih menyisakan

persoalan, karena daerah induk tidak diyakini secara baik melakukan

pengelolaan barang milik daerah secara bijak. Banyaknya permasalahan yang

meliputi barang milik daerah daerah juga akan dirasakan daerah pemekaran

saat menerima barang milik daerah tersebut. Bukannya menguntungkan

daerah pemekaran malahan menjadi beban baru pemerintah daerah

pemekaran. Hal ini dapat dikemukakan sebagai berikut:


23

1) Keberadaan dan pengelolaan barang milik daerah milik pemerintah


daerah dalam kondisi yang memprihatinkan. Di beberapa daerah,
banyak pejabat dan aparat daerah yang kurang peduli dan belum
mengelola barang milik daerah itu secara efektif, efisien dan profit.
Akibatnya, tidak sedikit barang milik daerah daerah yang pindah
tangan secara tidak wajar atau dikelola oleh pihak lain dengan
sewa yang sangat kecil. Kurangnya profesionalisasi manajemen
barang milik daerah daerah menimbulkan persoalan serius
dibelakang hari. Akibatnya, potensi besar yang sudah ada di depan
mata tidak tergarap secara optimal. Seharusnya barang milik
daerah daerah yang luar biasa besarnya itu dikelola lebih baik
sehingga menghasilkan keuntungan optimal.
2. Tidak terinventarisirnya barang milik daerah daerah, sehingga
menimbulkan modus-modus penggelapan seperti sertifikat ganda
yang telah menggerogoti barang milik daerah daerah dan
menyebabkan ketidakjelasan status tanah yang berpengaruh
terhadap pembangunan dan investasi. Pemerintah desa banyak
yang belum tergerak untuk mendaftarkan dan mengelola barang
milik daerahnya secara benar. Kalaupun ada, itupun hanya bersifat
insidentil atau proyek sesaat dan belum sistematis dalam kerangka
manajemen barang milik daerah.
3. Optimalisasi barang milik daerah daerah pada saat ini masih jauh
dari yang diharapkan, banyak barang milik daerah daerah yang
dibiarkan terlantar, diserobot atau disewakan semurah-murahnya
kepada pihak lain dengan cara di bawah meja. Oleh sebab itu
pentingnya evaluasi Optimalisasi Pemanfaatan Barang milik
daerah/Barang Milik Daerah dengan cara mengevaluasi secara
detail terhadap pemanfaatan barang milik daerah saat ini (existing
use) dengan hal yang sama diluar barang milik daerah daerah.
Misalnya besarnya sewa, tingkat produksi, harga barang dan
parameter lainnya. Juga pentingnya evaluasi perbandingan
pendapatan dari barang milik daerah atau Return on Asset (ROA).
Dari hasil evaluasi terhadap penerimaan dari masing-masing
barang milik daerah tersebut dapat diambil tindakan tegas dan
langkah strategis ke depan.13

Sehingga untuk itu dapat ditempuh upaya penyelesaian kerugian

terhadap pengelolaan barang milik daerah daerah tersebut. Mengenai pola dan

mekanismenya sebagai berikut:

1. Penyelesaian Kerugian Barang Milik Daerah Terhadap Bendahara.


13
Erlan Suwarlan, Loc. Cit.,
24

Penyelesaian kerugian barang daerah terhadap bendahara

mengacu pada Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 3 Tahun

2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap

Bendahara. Jika menelusuri Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor

3 Tahun 2007, tidak akan menemukan peraturan khusus mengenai

penyelesaian kerugian barang milik negara/daerah. Namun jika

mencermati ketentuan Pasal 1 angka 3 yang mengatur tentang pengertian

kerugian negara, maka dapat menemukan jawabannya di dalam Pasal 1

angka 3 tersebut. Pasal 1 angka 3 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan

Nomor 3 Tahun 2007, “Kerugian negara adalah kekurangan uang, surat

berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat

perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”.

Dari pengertian kerugian negara yang termasuk juga lingkup

kerugian daerah maka kerugian negara selain mengatur terjadinya

kekurangan uang atau surat berharga maka juga mengatur kekurangan

barang yang dalam penguasaan bendahara sebagai akibat perbuatan

melawan hukum baik sengaja maupun karena kelalaian bendahara.

Sehingga dengan demikian maka proses atau tata cara

penyelesaian kerugian barang milik daerah terhadap bendahara mengikuti

proses dan tata cara penyelesaian kerugian negara/daerah yang sudah

dijelaskan sebelumnya di dalam catatan atau bagian penyelesaian kerugian

negara/daerah terhadap bendahara berdasarkan Peraturan Badan Pemeriksa

Keuangan Nomor 3 Tahun 2007.


25

2. Penyelesaian Kerugian Barang Milik Daerah Terhadap Pegawai

Negeri bukan Bendahara.

Penyelesaian kerugian barang milik daerah terhadap pegawai

negeri bukan bendahara mengacu pada (dalam hal ini pendekatan kasus

yang terjadi di Kabupaten Gorontalo) Peraturan Bupati Gorontalo Nomor

54 Tahun 2009 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Daerah

Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara.

Sebelum membahas pengaturan kerugian barang milik daerah

sebagaimana yang diatur di dalam Peraturan Bupati Gorontalo Nomor 54

Tahun 2009, maka terlebih dahulu disajikan mengenai pengertian kerugian

barang milik daerah yang diatur di dalam Pasal 1 angka 11 Peraturan

Bupati Gorontalo Nomor 54 Tahun 2009, “Kerugian Negara/Daerah

adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti

jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun

lalai”. Kemudian di dalam Pasal 1 angka 8 Peraturan Bupati Gorontalo

Nomor 54 Tahun 2009 diatur pengertian, “barang daerah adalah semua

kekayaan atau barang milik daerah daerah baik yang dimiliki maupun

yang dikuasai, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, beserta

bagian-bagiannya ataupun yang merupakan satuan tertentu yang dapat

dinilai, dihitung, diukur, atau ditimbang termasuk hewan dan tumbuh-

tumbuhan, kecuali uang dan surat-surat berharga lainnya”.

Selanjutnya pengaturan kerugian barang milik daerah diatur di

dalam Bab XVI Pasal 54 Peraturan Bupati Gorontalo Nomor 54 Tahun


26

2009, “(1) Kerugian negara/daerah atas uang atau barang daerah oleh

karena force majeure atau keadaan di luar kemampuan manusia antara lain

bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor, banjir, kebakaran, atau

disebabkan oleh proses alamiah seperti membusuk, mencair, menyusut,

mengurai, menguap dibebaskan dari ganti kerugian negara/daerah; (2)

Kerugian negara/daerah atas uang atau barang daerah oleh karena hilang,

pencurian, penodongan, perampokan, penggarongan dan lain-lain

merupakan kelalaian yang harus dikenakan ganti kerugian negara/daerah”.

Dan Pasal 55 Peraturan Bupati Gorontalo Nomor 54 Tahun 2009,

“Penyelesaian kerugian negara/daerah atas barang daerah atau

sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 dilakukan dengan penyelesaian

kerugian negara/daerah dengan peraturan ini”.

Dari ketentuan Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 55

Peraturan Bupati Gorontalo Nomor 54 Tahun 2009 dapat dipahami bahwa:

Pertama, Kerugian negara/daerah atas uang atau barang daerah oleh

karena force majeure atau keadaan di luar kemampuan manusia antara lain

bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor, banjir, kebakaran, atau

disebabkan oleh proses alamiah seperti membusuk, mencair, menyusut,

mengurai, menguap dibebaskan dari ganti kerugian negara/daerah; Kedua,

kerugian negara/daerah atas uang atau barang daerah oleh karena hilang,

pencurian, penodongan, perampokan, penggarongan dan lain-lain

merupakan kelalain yang harus dikenakan ganti kerugian negara/daerah;

Ketiga, Surat Keterangan Kehilangan dari Kepolisian bukan merupakan


27

dokumen untuk membebaskan bendahara atau pegawai negeri bukan

bendahara dari tuntutan kerugian negara/daerah; Keempat, laporan polisi

atas hilang, pencurian, penodongan, perampokan, penggarongan dan lain-

lain, penyelidikan/penyidikan, penuntutan, sampai dengan putusan yang

mempunyai kekuatan hukum tetap bukan merupakan dokumen untuk

membebaskan bendahara atau pegawai negeri bukan bendahara dari

tuntutan kerugian negara/daerah; Kelima, penggantian dalam bentuk uang

ditetapkan berdasarkan harga standar, contoh sebagaimana yang ditetapkan

dalam pedoman nilai jual kendaraan bermotor untuk menghitung Bea

Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) pada saat kejadian; Keenam,

penggantian dalam bentuk barang ditetapkan berdasarkan nilai perolehan

pembeliannya antara satu sampai tiga tahun; Ketujuh, penyelesaian

kerugian negara/daerah atas barang daerah dilakukan dengan penyelesaian

kerugian negara/daerah dengan peraturan ini; Kedelapan, informasi

kerugian barang milik daerah bersumber dari hasil pengawasan dan/atau

pemberitahuan atasan langsung atau kepala SKPD, hasil pemeriksaan

BPK, hasil pemeriksaan oleh aparat pengawasan intern/fungsional, serta

hasil pemeriksaan oleh aparat penegak hukum.

Selain permasalahan di atas, terjadinya keadaan bahwa tidak

sepenuhnya barang milik daerah yang menjadi kewenangan daerah

pemekaran diserahkan oleh daerah induk dan jangka waktu yang tidak

sesuai dengan ketentuan Kepmendagri Nomor 42 Tahun 2001 tentang

Pedoman Pelaksanaan Penyerahan Barang dan Hutang Pada Daerah Yang


28

Baru Dibentuk, implikasi hukum tidak dirasakan, karena tidak sanksi

hokum yang dikenakan kepada daerah induk atas ketidaktaatan pemerintah

daerah induk untuk melakukan penyerahan tersebut.

Hal ini dicontohkan pada permasalahan penyerahan barang milik

daerah yang diselesaikan bukannya berdasarkan kepatuhan atas ketentuan

Kepmendagri Nomor 42 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan

Penyerahan Barang dan Hutang Pada Daerah Yang Baru Dibentuk tetapi

melainkan melalui suatu pertemuan antara pihak pemerintah. Seperti yang

terjadi di Kota Sungai Penuh, yang dapat dikemukakan bahwa penyerahan

barang milik daerah dan bantuan hibah dari kabupaten/kota induk kepada

daerah otonomi baru harus dilaksanakan dalam tempo paling lambat 5

(lima) tahun sejak berdirinya daerah otonomi baru.

Jika sampai batas waktu 5 (lima) tahun sejak terbentuknya daerah


otonomi baru masalah penyerahan barang milik daerah dan
bantuan hibah belum selesai, maka secara otomatis barang milik
daerah-barang milik daerah yang belum diserahkan tersebut
menjadi milik daerah otonomi baru. Dengan demikian, untuk
kondisi di Sungaipenuh selaku daerah otonomi baru hasil
pemekaran dari Kerinci, masih tersisa waktu sekitar 19 bulan
untuk menyelesaikan masalah penyerahan barang milik daerah.
Ini mengingat Kota Sungaipenuh dibentuk pada 8 November
2008 berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2008. Pembahasan
masalah penyelesaian barang milik daerah dan bantuan hibah
antara Sungaipenuh sebagai daerah otonomi baru dengan Kerinci
dilakukan secara marathon.14

Dalam pertemuan itu, Pemkot Sungaipenuh meminta agar

penyerahan barang milik daerah mengacu sesuai dengan Memorandum of

Understanding (MoU) yang telah ditandatangani Bupati Kerinci dengan

14
Mohammad Zaki, Sengketa Barang milik daerah di Daerah Pemekaran,
Jambiekspresnews.com, diakses tanggal 07 November 2015.
29

Walikota Sungaipenuh pada Januari 2010. Sementara itu, pihak Pemkab

Kerinci menyatakan bakal menyerahkan barang milik daerah kepada

Sungaipenuh secara bertahap, dimulai dari penyerahan fasilitas-fasilitas

umum dan sosial.

Dilakukannya Memorandum of Understanding, akan

berimplikasi pada penerapan ranah hukum perdata. Karena Memorandum

of Understanding adalah jenis kontrak. Sehingga penyelesaiannya melalui

mediasi antara pihak pemerintah daerah induk dengan pemerintah daerah

pemekaran. Kekuatan hukum hasil mediasi berupa perjanjian bersama

yang didaftar pada Pengadilan Negeri apabila para pihak yang berselisih

mencapai kesepakatan dalam mediasi yang dilakukan oleh mediator untuk

mendapatkan akta bukti pendaftaran pada kepaniteraan Pengadilan Negeri

(Pasal 6 Ayat (7), untuk ini dirasakan tidak sinkron dengan asas-asas

hukum perjanjian bila dikaji melalui buku III KUH Perdata yang dikenal

dengan 4 (empat) asas yang bersifat universal, yaitu asas kebebasan

berkontrak, asas pacta sunt servanda, asas itikad baik dan asas

konsensualisme. Dengan demikian perjanjian yang timbul pada dasarnya

sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak

diperlukan sesuatu bentuk formalitas untuk menjadikannya adalah sah.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
30

1. Pengaturan penyerahan barang milik daerah dari daerah induk ke daerah

pemekaran dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, tidak dilakukan

secara jelas dan tegas. Mekanisme pengelolaan asset daerah pada

umumnya, khusus mengenai penyerahan barang milik daerah dari daerah

induk ke daerah pemekaran dalam pelaksanaan otonomi daerah karena

yang menjadi pokok permasalahan berupa barang milik daerah berupa

tanah dan bangunan, akan dilakukan mekanisme berupa penghapusan

barang daerah berupa barang tidak bergerak seperti Tanah dan/atau

Bangunan ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah setelah mendapat

persetujuan DPRD, sedangkan untuk barang-barang inventaris lainnya

selain Tanah dan/atau Bangunan sampai dengan Rp.5.000.000.000,00

(lima milyar rupiah) dilakukan oleh Pengelola setelah mendapat

persetujuan Kepala Daerah.

2. Kepmendagri Nomor 42 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan

Penyerahan Barang dan Hutang Pada Daerah Yang Baru Dibentuk, dengan

berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas,

sudah kuat akan adanya implikasi hukum apabila ketentuan tersebut tidak

diindahkan oleh pemerintah daerah yang tidak melakukan penyerahan

barang milik daerah daerah yang menjadi kewenangan daerah pemekaran

untuk mengelolanya.

B. Saran

30 milik daerah dari daerah induk ke


1. Untuk pengaturan penyerahan barang

daerah pemekaran dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah maka


31

pemerintah perlu menyiapkan instrumen yang tepat untuk melakukan

pengelolaan/manajemen barang milik daerah daerah secara profesional,

transparan, akuntabel, efisien, dan efektif, mulai dari perencanaan,

pendistribusian, pemanfaatan, serta pengawasan pemanfaatan barang milik

daerah daerah tersebut dan pada saat penyerahan barang milik daerah dari

daerah induk ke daerah pemekaran.

2. Untuk menghindari terjadinya implikasi hukum yang mengarah pada

kebijakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maka

hendaknya setiap permasalahan penyerahan barang milik daerah dari

daerah induk ke daerah pemekaran dilakukan tetap dalam ranah hukum

pemerintahan bukan ke ranah hukum perdata.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
32

Agussalim Andi Gadjong. 2007. Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan


Hukum. Ghalia Indonesia, Bogor.

Bagir Manan. 2001. Menyongong Fajar Otonomi Daerah. Pusat Studi Hukum
Fakultas Hukum UII, Bandung.

-----------------. 1996. Politik Perundang-undangan Dalam Rangka


Mengantisipasi Liberalisasi Perekonomian. Fakultas Hukum UNILA,
Lampung.

BN Marbun. 2005. Otonomi Daerah 1945-2005 Proses dan Realita.Pustaka


Sinar Harapan, Jakarta.

C.F.G. Sunaryati Hartono. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional. Alumni, Bandung.

CST Kansil dan Christine ST. Kansil. 2004. Pemerintahan Daerah Di


Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta.

Chabib Soleh dan Heru Rochmansjah. 2010. Pengelolaan Keuangan dan


Barang milik daerah Daerah. Gaza Publishing, Bandung.

---------------. 2010. Pengelolaan Keuangan Dan Barang milik daerah Daerah,


Sebuah Pendekatan Struktural Manuju Tata Kelola Pemerintahan Yang
Baik. Fokusmedia, Bandung.

Dasril Radjab. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Rineka Cipta, Jambi.

HAW. Widjaja. 2007. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia. RajaGrafindo


Persada, Jakarta.

Made Suwandi. 2000. Konsepsi Dasar Otonomi Daerah Indonesia. Ditjen


Otda Departemen Dalam Negeri. Jakarta.

Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Andi,


Yogyakarta.

Muhammad Djumhana. 2007. Pengantar Hukum Keuangan Daerah. Citra


Aditya Bakti, Bandung, 2007.

Ni’matul Huda. 2012. Hukum Pemerintahan Daerah. Nusa Media. Bandung.


Rahardjo Adisasmita. 2011. Manajemen Pemerintahan Daerah. Graha Ilmu,
Yogyakarta.
32
33

Rendy R. Wrihatnoto. 2007. Proyeksi Otonomi Daerah Prospek Ekonomi


Global dan Kabinet Baru. Direktorat Industri, Perdagangan dan
Pariwisata BAPPENAS, Jakarta.

Rozali Abdullah. 1999. Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme


Sebagai Suatu Alternatif. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Ryaas Rasyid. 2007. Otonomi Daerah Latar Belakang dan Masa Depannya.
LIPI Press, Jakarta.

Sarundajang. 2008. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Kata Hasta


Pustaka, Jakarta.

Siswanto Sunarto. 2005. Hukum Pemerintahan Daerah. Sinar Grafika,


Makasar.

Sjahran Basah. 1986. Eksistensi Dan Tolok Ukur Badan Peradilan


Administrasi Di Indonesia. Alumni, Bandung.

B. Kamus

Tim Penyusun Kamus. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka,
Jakarta.

C. Peraturan Perundang-Undangan

Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004


Tentang Pemerintahan Daerah. UU Nomor 32 Thn 2004. LN Tahun
2004 Nomor 125.

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang


Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4609);

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2008 Tentang


Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang


Milik Negara/Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman


Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah

Kepmendagri Nomor 42 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan


34

Penyerahan Barang dan Hutang Pada Daerah Yang Baru Dibentuk

TUGAS MATA KULIAH

HUKUM DAN KONSTITUSI


35

MAKALAH

PENGATURAN TENTANG PENYERAHAN BARANG MILIK DAERAH


DARI DAERAH INDUK KE DAERAH PEMEKARAN DALAM
PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

OLEH:

RONA INDARA
P2B 113010

UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

JAMBI
2015

KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum Wr. Wb.


36

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang mana telah

memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

makalah ini yang berjudul “Pengaturan Tentang Penyerahan Barang Milik

daerah Dari Daerah Induk ke Daerah Pemekaran Dalam Pelaksanaan

Otonomi Daerah”, sebagai tugas perkuliahan untuk mata kuliah Hukum dan

Konstitusi.

Terima kasih saya ucapkan kepada dosen mata kuliah Hukum dan

Konstitusi yang telah membimbing kami serta, tidak lupa saya ucapkan terima

kasih kepada teman-teman yang telah membantu penulis dalam proses

penyusunan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kesulitan. Oleh karena

itu, penulis, mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan dalam penyusunan

makalah ini. Kritik dan saran yang membangun selalu penulis nantikan, demi

perbaikan dan pembangunan penyusunan makalah selanjutnya.

( Penulis )

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
37

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................. 14

BAB II PEMBAHASAN
A. Penyerahan Barang Milik Daerah Dari Daerah Induk Ke Daerah
Pemekaran .......................................................................................... 15
B. Implikasi Hukum Terhadap Pengaturan Penyerahan Barang milik daerah
Dari Daerah Induk Ke Daerah Pemekaran Dalam Pelaksanaan Otonomi
Daerah ............................................................................................ 20

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ......................................................................................... 30
B. Saran .................................................................................................... 31

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai