Anda di halaman 1dari 26

1

TUGAS MATA KULIAH

PENERAPAN KONSEP CYBER NOTARY DI INDONESIA DITINJAU


DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014

DIAN FEBRIANI
NIM. P2B220003

UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

JAMBI
2021

KATA PENGANTAR
2

Assalammu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Allah SWT yang mana telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Penerapan Konsep Cyber Notary Di Indonesia
Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014,”, sebagai tugas
perkuliahan untuk mata kuliah.
Terima kasih saya ucapkan kepada dosen mata kuliah yang telah
membimbing kami serta, tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada teman-
teman yang telah membantu penulis dalam proses penyusunan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kesulitan. Oleh karena
itu, penulis, mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan dalam penyusunan
makalah ini. Kritik dan saran yang membangun selalu penulis nantikan, demi
perbaikan dan pembangunan penyusunan makalah selanjutnya.

( Penulis )
1
PENERAPAN KONSEP CYBER NOTARY DI INDONESIA DITINJAU
DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014

DIAN FEBRIANI

ABSTRACT

Notary has the authority to certify the electronic transaction (cyber notary)
according to the Elucidation of Article 15 paragraph (3) of Law Number 2 of
2014 (Law 2/2014). Thus, the authority has been the milestone for the concept of
cyber notary in Indonesia. Although the enactment of Law 2/2014 presented a new
concept in Notary in Indonesia, but it does not give a wide chance to the
application of cyber notary itself. One of the roots that causes the obstacles are
the absence of definite law in regulating cyber notary. Law 2/2014 mentioned
cyber notary but did not give a normative definition on it. Therefore, the concept
of cyber notary is limited to conduct the certification of electronic transaction.
Several challenges on performing the authorities and obligations of notary could
be found in the context of the implementation of cyber notary, as follows: 1)
Notary is bounded to the form and procedure in drawing up authentic deeds set by
Article 38 Law 2/2014; 2 ) The appearers shall be known to Notary or introduced
to him/her; 3 ) Reading and signing of deeds have to done in specific procedure;
and 4) Drawing up deeds in the form of Minutes of Deed and keep the same as a
part of Notarial Protocols. This article was classified as legal normative research
and meant to analyze the concept of regulation on cyber notary in Indonesia by
using statute and conceptual approach.

Keywords: Cyber Notary, Notary

I. Pendahuluan

Fungsi dan wewenang yang dimiliki oleh notaris yang tiada lain fungsi

dan wewenangnya adalah membuat akta-akta otentik, seperti akta pemisahan

harta warisan, akta peminjaman uang di bank, akta jual beli atas sebidang

tanah dengan rumah/bangunan yang ada di atasnya, akta untuk mendirikan

perusahaan, akta pengesahan rapat pemegang saham dan akta-akta dibidang

pertanahan lainnya. Di samping itu notaris berwenang pula untuk melegalisir

akta-akta di bawah tangan yang dibuat oleh para pihak dan sekaligus

mendaftarkan akta-akta di bawah tangan tersebut kepada pengadilan di

wilayah pejabat umum setempat.


2

Jabatan notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan

hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang

membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan,

peristiwa, atau perbuatan hukum. Dengan dasar ini mereka diangkat menjadi

notaris harus memiliki semangat untuk melayani masyarakat.1

Sehubungan dengan perkembangan teknologi informasi dan

komunikasi yang memanfaatkan internet tersebut, tentu saja berpengaruh

terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang bagi notaris. Notaris selaku pejabat

umum yang berwenang untuk membuat akta otentik yang pada awalnya

menggunakan cara-cara konvensional (masih terpaku dengan cara harus

bertemu secara langsung dihadapan notaris dan data-data penghadap diberikan

secara langsung kepada notaris dengan akta yang dibuat dan disahkan dalam

kertas) dalam pembuatan akta otentik dan memiliki kekuatan hukum yang

sempurna oleh pihak-pihak yang membutuhkannya dalam fungsi pembuktian,

menuju ke arah jasa pelayanan notaris secara elektronik atau memanfaatkan

ruang maya/cyber space dalam menjalankan fungsi notaris yang dikenal

dengan cyber notary.

Menurut Surya Jaya, bahwa; “cyber notary adalah penggunaan atau

pemanfaatan teknologi informasi misalnya komputer, jaringan komputer, dan

atau media elektronik lainnya misalnya telekonferensi atau video konferensi

dalam pelaksanaan tugas kewenangan notaris”2. Pengertian tersebut juga

memberikan gambaran bahwa dalam penerapan cyber notary, akta yang dibuat
1
Periksa R.A. Emma Nurita. 2012. Cyber Notary (Pemahaman Awal Dalam Konsep
Pemikiran). Cetakan Ke-1, Refika Aditama, Bandung, 2012, hlm. 15.
3

dapat berbentuk akta elektronik. Akta elektronik digambarkan dengan notaris

dalam membuat akta otentik dengan memanfaatkan media elektronik.

Berkembangnya wacana cyber notary menjadikan seorang notaris

dapat menjalankan fungsi serta kewenangan jabatannya dengan berbasis

teknologi, seperti membuat akta secara elektronik. Konsep akta elektronik

dimaksudkan untuk mempermudah serta mempercepat tugas dan kewenangan

notaris dalam membuat akta otentik, mengenai semua perbuatan, perjanjian

serta ketetapan yang diharuskan Undang-Undang atau yang dikehendaki oleh

para pihak berkepentingan agar dinyatakan dalam akta otentik.

Cyber notary merupakan suatu konsep notaris pada umumnya yang

menjalankan fungsi notaris dengan mengaplikasikannya ke dalam transaksi

atau hubungan secara elektronik melalui internet sebagai media utama dalam

kinerjanya untuk membuat suatu akta notaris dan mengarah kepada bentuk

akta yang awalnya sah apabila tertuang dalam kertas, menuju ke akta secara

elektronik (akta elektronik) atau dalam bentuk dokumen elektronik.

Asal-usul konsep cyber notary dapat dilacak pada dua sistem hukum,

yaitu pada sistem common law dan civil law. Berdasarkan pembagian tersebut,

diketahui bahwa terdapat dua istilah hukum yang sering dipersamakan, yaitu

“Electronic Notary” (E-Notary) dan “Cyber Notary”. Istilah yang pertama,

pertama kali dikenalkan oleh delegasi Perancis dalam sebuah forum legal

workshop yang diselenggarakan oleh Uni Eropa pada tahun 1989 di Brussel,

Belgia. Esensinya, konsep E-Notary menjadikan notaris sebagai suatu pihak

2
Surya Jaya, http://muhammadrizalrustam. wordpress.com/tag/cyber-notary/, akses 14
November 2021.
4

yang menyajikan independent record terhadap suatu transaksi elektronik yang

dilakukan para pihak.3

Sedangkan, istilah cyber notary dikenalkan pertama kali oleh

American Bar Association (ABA) pada tahun 1994. Konsep ini mengandung

makna bahwa seseorang yang melaksanakan kegiatan cyber notary adalah

seseorang yang mempunyai spesialisasi kemampuan dalam bidang hukum dan

komputer. Lebih lanjut, dalam konsep ini dipersepsikan bahwa fungsinya

dipersamakan layaknya notaris latin dalam memfasilitasi suatu transaksi

internasional, dapat melakukan otentikasi dokumen secara elektronik, dan

diharapkan dapat memverifikasi kapasitas hukum dan tanggung jawab

keuangan.4

Berdasarkan penjelasan tersebut dapatlah diklasifikasikan bahwa

konsep E-Notary yang diusulkan oleh Perancis mewakili cara pandang sistem

hukum civil law atau Eropa Kontinental, sedangkan usulan ABA tentang

cybernotary merupakan perspektif sistem common law atau Anglo-Amerika.

Dengan demikian, Indonesia sebagai negara yang pada prinsipnya menganut

sistem civil law lebih tepat mengadopsi konsep E-Notary, namun senyatanya

pada penjelasan Pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang

Jabatan Notaris (perubahan UUJN) justru secara eksplisit mencantumkan

istilah cyber notary. Berdasarkan fakta tersebut, terdapat pendapat yang


3
Edmon Makarim, 2011, Modernisasi Hukum Notaris Masa Depan: Kajian Hukum
Terhadap Kemungkinan Cybernotary di Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan:
Fakultas Hukum UI, No. 3 Juli-September 2011.
4
Ibid.
5

menyatakan bahwa Indonesia seharusnya tidak mengadopsi konsep cyber

notary secara apa adanya, dan menyarankan untuk mengkonsepsikan sendiri

apa yang dimaksud dengan cyber notary itu dalam konteks Indonesia5.

Ketentusn Pasal 15 Ayat (3) pada batang tubuh UUJN mengatur

mengenai adanya kewenangan-kewenangan lain yang dimiliki oleh notaris

selain yang telah diatur dalam UUJN itu sendiri. Pada bagian Penjelasan Pasal

tersebut barulah kemudian menerangkan bahwa kewenangan-kewenangan lain

tersebut adalah “kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara

elektronik (cyber notary), membuat Akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat

terbang.” Bunyi Penjelasan tersebut dianggap sebagai pintu masuk berlakunya

konsep cyber notary dalam sistem hukum Indonesia. Namun demikian, belum

ditemukan adanya pengaturan lebih lanjut mengenai hal tersebut dan

bagaimana tata cara pelaksanaan kewenangan cyber notary tersebut dalam

tataran implementasi.

Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk-bentuk penerapan dari konsep cyber notary ditinjau

dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014?

2. Bagaimana peraturan pelaksanaan yang mengatur penerapan dari konsep

cyber notary tersebut?

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, adapun

tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:
5
Andes Willi Wijaya, 2018, “Konsep Dasar Cyber Notary: Keabsahan Akta dalam Bentuk
Elektronik”, diakses dari https://vivajusticia.law.ugm.ac.id/2018/11/29/konsep-dasar-
cyber-notary-keabsahan-akta-dalam-bentuk-elektronik, tanggal akses 14 November 2021.
6

1. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk-bentuk penerapan dari konsep

cyber notary ditinjau dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis peraturan pelaksanaan yang mengatur

penerapan dari konsep cyber notary tersebut.

II. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau doktrinal.

Penelitian hukum doktrinal suatu eksposisi sistematis mengenai aturan yang

menentukan kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan antara aturan-

aturan, menjelaskan area-area kesulitan dan prediksi pembangunan di masa

mendatang.6

Sumber bahan hukum yang diperoleh dengan cara menginventarisasi

sekaligus mengkaji penelitian dari studi kepustakaan, aturan perundang-

undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan

norma untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Teknik analisis dengan

menggunakan teknik analisis sumber hukum dengan logika deduktif.

III. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Bentuk-Bentuk Penerapan Dari Konsep Cyber Notary Ditinjau Dari

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

Konsep cyber notary di Indonesia pertama kali termaktub dalam

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya

disebut “UUJN 2014”) yang disebutkan mengenai kewenangan-

kewenangan dari Notaris sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UUJN


6
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 32.
7

2014. Dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN 2014 disebutkan mengenai

kewenangan notaris, salah satunya ialah terdapat frasa “…kewenangan

lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”.

Penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan “kewenangan

lainnya” terdapat dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3) yang berbunyi: “Yang

dimaksud dengan “kewenangan lain yang diatur dalam peraturan

perundangundangan”, antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi

yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat Akta ikrar

wakaf, dan hipotek pesawat terbang.” Namun demikian, dalam UU Jabatan

Notaris, masih belum terdapat definisi normatif dari cyber notary.

Sehingga dalam hal ini, konsep cyber notary dapat merujuk kepada

pengertian dari para ahli.

Sistem yang digunakan dan teknologi saat ini sudah memungkinkan

para notaris untuk go digital. Sistem pendaftaran di e-commerce harus

digabungkan dengan verifikasi identitas di perbankan. Teknologi tanda

tangan digital saat ini, sudah bisa menggabungkan keduanya, kemudahan

e-commerce dan verifikasi identitas perbankan. Bicara soal landasan

hukum yang menentukan boleh tidaknya notaris menggunakan tanda

tangan digital sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014 tentang jabatan notaris. Bagian penjelasan dari ayat 3 Pasal 15

undang-undang ini menyebutkan: “Yang dimaksud dengan “kewenangan

lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”, antara lain,


8

kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik

(cyber notary), membuat Akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang”

Landasan hukum ini dianggap cukup bagi sebagian notaris untuk

melakukan pekerjaan notaris secara elektronik. Ada beberapa istilah yang

digunakan untuk menggambarkan pemanfaatan teknologi oleh seorang

notaris dalam melakukan pekerjaannya seperti e-notary, ada pula yang

memilih istilah cyber notary, di Indonesia sendiri konsep yang seringkali

dikemukakan menggunakan istilah cyber notary.

Konsep ini memunculkan berbagai pendapat, ada yang mendukung

dan ada yang menolak. Problematika utama yang timbul adalah perdebatan

terkait keabsahan akta yang dibuat dalam sistem kerja cyber notary. Ada

juga yang berpendapat bahwa cyber notary bertentangan dengan asas yang

selama ini dipegang yaitu asas tabellionis officium fideliter exercebo, yang

artinya bahwa seorang notaris harus bekerja secara tradisional.

Cyber notary justru dapat meringankan tugas notaris, khususnya

dalam melakukan tugas pokok jabatannya. Yakni, salah satunya terkait

kewajiban notaris dalam menyimpan minuta akta yang pernah

dibuatnya.Tak hanya itu, notaris juga berkewajiban menyimpan protokol

yang diwariskan kepadanya oleh notaris yang telah meninggal dunia.

Dapat dibayangkan berapa luasnya lahan yang diperlukan hanya untuk

menyimpan minuta-minuta akta tersebut. Cyber notary adalah konsep

yang memanfaatkan kemajuan teknologi dalam menjalankan tugas-tugas

dan kewenangan notaris.


9

Digitalisasi dokumen merupakan tantangan bagi notaris, terutama

berkaitan dengan otentikasi dan legalisasi dokumen. Pembahasan konsep

cyber notary dilakukan dalam rangka penyusunan Rancangan Peraturan

Pemerintah tentang Penyelenggaraan Informasi dan Transaksi Elektronik.

“RPP ini akan menyangkut sertifikat digital yang dikaitkan dengan peran

dari notaris sebagai trusted third party. Meski demikian, penerapan konsep

cyber notary bukan tanpa hambatan. Profesor hukum perdata Universitas

Indonesia, Rosa Agustina, mengingatkan masih ada hambatan dalam

Undang-Undang. Undang-undang yang dimaksudnya adalah Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Sebab, UU

ini mengatakan pembuatan akta harus dilakukan di hadapan notaris dan

dibacakan oleh notaris. Selain itu, undang-undang ini juga mewajibkan

notaris membacakan akta di hadapan penghadap dan dua saksi sebelum

ditandatangani. Pasal 1 angka 7 UUJN merumuskan Akta Notaris adalah

akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan

tata cara yang ditetapkan Undang-Undang ini. Selanjutnya, Pasal 16 ayat

(1) huruf i merumuskan, “Dalam menjalankan jabatannya, notaris

berkewajiban membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri

oleh paling sedikit (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga

oleh penghadap, saksi, dan notaris.”

Tidak menampik bahwa konsep cyber notary bisa diterapkan di

Indonesia. Penghilangan klausul “di hadapan dan dibacakan oleh notaris”

bukan tidak mungkin dilakukan. Hal itu (penghapusan) mungkin saja.


10

Hukum kan harus mengikuti perkembangan zaman dan teknologi juga.

Dengan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, konsep cyber notary

dapat segera diimplementasikan. Hal ini perlu segera didorong. Konsep

cyber notary mendorong efisiensi sehingga memudahkan banyak hal.

Masalah karena mempersyaratkan pertemuan fisik para pihak di hadapan

notaris. Padahal, dalam konsep cyber notary, pertemuan fisik itu tidak

mutlak. Konsep cyber notary justru menghilangkan aspek pertemuan fisik

para pihak dengan notaris, melihat ada sedikit kesalapahaman ketika ada

beberapa notaris menafsirkan frase “di hadapan” sesuai Pasal 1868

KUHPer yang dikaitkan dengan cyber notary.

Selama ini, konsep cyber notary selalu diidentikkan dengan

pelayanan jarak jauh. Pembuatan akta yang dilakukan secara jarak jauh.

Padahal tidak. Dengan adanya prinsip kerja cyber notary tidak jauh

berbeda dengan notaris biasa. Para pihak tetap datang dan berhadapan

dengan para notarisnya. Hanya saja, para pihak langsung membaca draft

aktanya di masing-masing komputer, setelah sepakat, para pihak segera

menandatangani akta tersebut secara elektronik di kantor notaris. Jadi,

aktanya bukan dibuat melalui jarak jauh menggunakan webcam, tetapi para

pihak berhadapan langsung kepada notarisnya. Kalau caranya

menggunakan webcam, negara lain juga belum menggunakan metode itu.

Maka Negara Indonesia bisa terus belajar untuk dapat menyesuaikan

perkembangan. Dengan adanya peralatan yang canggih dan mendukung

bagi kita untuk terus berkembang terutama dengan meningkatkan ke


11

efisien elektronik seperti adanya tanda tangan digital yang bila, kita

berhubungan dengan klien yang berada jauh dari Negara Indonesia bisa

menggunakana PrivyID.

Penerapan dari konsep cyber notary dapat dilakukan pada

kewenangan notaris dalam membuat akta. Salah satunya yang memberikan

kemungkinan untuk dilakukannya Rapat Umum Pemegang Saham

(selanjutnya disebut “RUPS”) secara remote. Organ-organ Perseroan

Terbatas terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan

Komisaris yang di mana ketiga organ tersebut memiliki fungsi, tugas, dan

tanggungjawab masing-masing, sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 1

butir 4, 5, dan 6 Undang-Undang Perseroan Terbatas. Ketiga organ

Perseroan tersebut di atas kekuasaan tertinggi ada pada Rapat Umum

Pemegang Sama yang di mana RUPS tidak dapat dipisahkan dari

perseroan, melalui RUPS.

Menurut M. Yahya Harahap sebagaimana dikutip oleh Musriansyah,

para pemegang saham sebagai pemilik Perseroan melakukan kontrol

terhadap kepengurusan yang dilakukan direksi maupun terhadapkekayaan

serta kebijakan keengurusan yang dijalankan manajemen perseroan.7

Definisi normatif dari RUPS termaktub dalam Pasal 1 angka 4 UU

PT, yang menentukan: “Organ Perseroan yang mempunyai wewenang

yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas

7
Musriansyah, Sihabudin. “Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham Dalam
Penjualan Aset Perseroan Berdasarkan Pasal 102 Ayat (4) UU Nomor 40 Th.2007 Tentang
Perseroan Terbatas”. JIPPK. Vol. 2, No, 2 (2017), diakses pada 14 November 2021
Sumber. doi: http://dx.doi. org/10.17977/um019v2i22017p125.
12

yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.”

Hasil risalah RUPS merupakan akta Notaris berupa akta pejabat (relaas

acten). Dalam hal pelaksanaan RUPS melalui media telekonferensi,

tercantum pada Pasal 77 Ayat (1) yang berbunyi: “Selain penyelenggaraan

RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan

melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media

elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling

melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.”

Pada Undang-Undang tersebut dilakukan perubahan atas ketentuan

yang menyangkut penyelenggaraan RUPS dengan memanfaatkan

perkembangan teknologi. Dengan demikian, penyelenggaraan RUPS dapat

dilakukan melalui media elektronik seperti telekonferensi, video

konferensi, atau sarana media elektronik lainnya. Ketentuan tersebut dapat

dikatakan merupakan salah satu terobosan hukum yang memanfaatkan

kemajuan teknologi dalam pengimplementasiannya.

Mekanisme pembuatan akta RUPS secara telekonferensi adalah

dimulai dengan Mekanisme pembuatan akta dari hasil Rapat Umum

Pemegang Saham yang dilakukan secara telekonferensi terdiri atas

pembuatan akta oleh Notaris, kemudian dibacakan secara telekonferensi

agar para pihak yang mengikuti RUPS dapat mengetahui isi akta. Setelah

para pihak setuju dengan isi akta, kemudian dilakukan penandatanganan

akta secara elektronik menggunakan digital signature. Pihak yang

menandatangani adalah para pihak peserta RUPS, para saksi, dan Notaris.
13

Semua dilakukan secara digital. Setelah penandatanganan, maka akta

RUPS sudah sah dan mengikat para pihak sebagai Undang-undang.”8

Peluang mengenai konsep cyber notary, walaupun bukan dalam

perspektif pembuatan akta, kembali dapat ditinjau dalam hal penyimpanan

protokol Notaris. Indah Kusuma Dewi menuturkan bahwa peluang

terselenggaranya penyimpanan protokol Notaris dalam bentuk elektronik

sangat dimungkinkan untuk dilaksanakan, mengingat notaris sudah

menerapkan aplikasi elektronik sesuai yang diatur pada: a) Peraturan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 4

Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan

Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar serta Penyampaian

Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan

Terbatas; b) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 5 Tahun 2014

tentang Pengesahan Badan Hukum Yayasan; dan c) Peraturan Menteri

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014

tentang pengesahan Badan Hukum Perkumpulan.9

Lebih lanjut dijelaskan, bahwasanya membuat pengalihan

penyimpanan data secara elektronik hanya dapat berfungsi sebagai back up

bukan sebagai salinan yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Dengan demikian, secara normatif, peluang terhadap pembuatan akta hasil

Rapat Umum Pemegang Saham oleh UU PT dan penyimpanan protokol

8
Dewi, Indah Kusuma. 2015. Kajian tentang Penyimpanan Protokol Notaris..., Tesis tidak
diterbitkan. Yogyakarta. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
9
Ibid.
14

Notaris dalam bentuk elektronik sebenarnya telah terbuka terhadap

kemungkinan untuk melakukan pembuatan akta dengan memanfaatkan

perkembangan teknologi, namun problematika konsep cyber notary,

terdapat dalam kewajiban Notaris dalam pembuatan akta, sebagaimana

termaktub dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf m yang menyebutkan bahwa

Notaris berkewajban untuk “membacakan Akta di hadapan penghadap

dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat)

orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan

ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris.”.

Pasal tersebut lebih lanjut diterangkan dalam Penjelasan bahwa Notaris

harus hadir secara fisik dan menandatangani Akta di hadapan penghadap

dan saksi.

Frasa “secara fisik” inilah yang menyebabkan konsep cyber notary

atau pembuatan akta dengan memanfaatkan perkembangan teknologi.

Dalam hal ini, dalam hemat Penulis antara kewajiban dan kewenangan

Notaris mengalami benturan (conflict of norm). Tidaklah memungkinkan

untuk pelaksanaan pembuatan akta yang dalam konsepnya dilaksanakan

secara remote dan praktis, untuk kemudian dibebankan kewajiban untuk

menghadiri secara fisik. Kewajiban tersebut sejatinya menghilangkan

unsur esensial dari konsep cyber notary.

Apabila Notaris tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m, maka kekuatan pembuktian

akta Notaris tersebut akan terdegradasi menjadi sebatas akta di bawah


15

tangan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Ayat (9) yang berbunyi:

“Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dan

ayat (7) tidak dipenuhi, Akta yang bersangkutan hanya mempunyai

kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.” Dengan demikian,

dengan tidak dilaksanakannya kewajiban Notaris tersebut akan

mengakibatkan seorang notaris dapat dikenai sanksi perdata. Sanksi ini

berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga merupakan akibat yang

akan diterima Notaris atas tuntutan para penghadap jika akta yang

bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di

bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum.10

Berdasarkan kepada pemaparan tersebut, teranglah bahwasanya UU

Jabatan Notaris walaupun telah menghadirkan konsep cyber notary dalam

kewenangan Notaris, namun pada UU Jabatan notaris masih belum

memberikan peluang terhadap penerapan konsep cyber notary di

Indonesia.

2. Peraturan Pelaksanaan Yang Mengatur Penerapan Dari Konsep Cyber

Notary Tersebut

a) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 102 Tahun 2019 tentang

Pemberian Hak Akses dan Pemanfaatan Data Kependudukan

Penghadap yang datang menghadap ke Notaris adalah orang

yang dapat bertindak atas nama dirinya sendiri ataupun bertindak atas

10
Habib Adjie. Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat
Publik. Bandung. Refika Aditama, 2017, hlm. 93-94.
16

nama suatu badan hukum. Dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014, diatur bahwa:

(1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:


1. paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah
menikah; dan
2. cakap melakukan perbuatan hukum.
(2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan
kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur
paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah
dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan
oleh 2 (dua) penghadap lainnya.
(3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dinyatakan
secara tegas dalam Akta.”

Apabila terdapat pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 39

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, maka akan mengakibatkan akta

hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014.

Sehubungan dengan cyber notary, ketentuan Pasal 39 Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 belum membuka kesempatan untuk

terlaksananya pengenalan penghadap secara elektronik atau melalui

perangkat elektronik. Dalam rangka mendukung terlaksananya cyber

notary, maka perlu melibatkan pihak ketiga yang membantu Notaris

mengidentifikasi dan melakukan verifikasi kebenaran identitas

penghadap. Pihak ketiga (third party) adalah pihak yang diberikan hak

akses data kependudukan berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 102 Tahun 2019 tentang Pemberian Hak Akses dan

Pemanfaatan Data Kependudukan. Terkait hak akses, perlu dilakukan


17

penelitian lebih lanjut mengenai apakah pemberian hak akses tersebut

dapat diberikan kepada Notaris. Hal ini karena pada pokoknya bukan

merupakan kewenangan dari Notaris untuk mengecek kebenaran

materiil dari para penghadap. Notaris hanya memiliki kewajiban untuk

mengecek kebenaran formil dari identitas yang diserahkan.

Dalam rangka menyongsong cyber notary pada masa yang akan

datang, bila kehadiran fisik dapat digantikan dengan kehadiran virtual,

maka pengenalan fisik juga dapat digantikan dengan pengenalan virtual.

Karena pengenalan yang dimaksudkan adalah pengenalan identitas

yang menunjukkan kecakapan serta kewenangan bertindak orang

tersebut, maka dibutuhkan pihak ketiga yang membantu Notaris untuk

melakukan verifikasi kebenaran materiil dokumen yang diserahkan,

contohnya KTP-el. Tidak hanya melakukan verifikasi, harapannya

pihak ketiga juga memberikan sidik jari sesuai yang tertera pada KTP-el

kepada Notaris sesuai perintah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

bahwa Notaris wajib melekatkan sidik jari pada minuta akta. Dengan

demikian, tentu akan meminimalisir adanya dokumen identitas palsu.

b) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11 Tahun 2018

tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik

Dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor

11 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik

(Permenkominfo 11/2018), secara khusus dalam Pasal 25, Pasal 27,

Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 30, juga mengatur bahwa pada pokoknya
18

Notaris dapat ditunjuk sebagai otoritas pendaftaran dalam suatu

permohonan penerbitan sertifikat elektronik. Selain dapat ditunjuk

sebagai otoritas pendaftaran, Notaris juga melakukan pemeriksaan

berupa verifikasi kebenaran identitas dan pengecekan kelengkapan

dokumen. Namun, pemeriksaan yang berupa verifikasi kebenaran

identitas dan pengecekan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud

dalam Permenkominfo 11/2018 memiliki kompleksitas tersendiri.

Dalam Pasal 33 Permenkominfo 11/2018 dikenal ada 2 level verifikasi

identitas, yakni level 3 untuk verifikasi identitas secara tatap muka

langsung menggunakan kartu identitas pemohon, dan level 4 untuk

verifikasi identitas menggunakan sarana elektronik dengan

memanfaatkan data administrasi kependudukan.

Selain peraturan di atas, juga terdapat peraturan lainnya, yaitu:

1. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 4 Tahun

2014 tentang Tata cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan

Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar serta Penyampaian

Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data

Perseroan Terbatas jo. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2014 tentang

Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan

Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar serta Penyampaian


19

Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data

Perseroan Terbatas.

2. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 14 Tahun

2019 tentang Pengesahan Koperasi

3. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 2 Tahun

2016 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan

Hukum dan Persetujuan Anggaran Dasar serta Penyampaian

Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data

Yayasan jo. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor

13 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan

Hak Asasi Manusia Nomor 2 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan

Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Anggaran

Dasar serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar

dan Perubahan Data Yayasan

4. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun

2016 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan

Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Perkumpulan jo.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun

2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan

Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan

Anggaran Dasar Perkumpulan


20

5. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 17 Tahun

2018 tentang Pendaftaran Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma,

dan Persekutuan Perdata.

6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2015

tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan

Akta Jaminan Fidusia

7. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 58/POJK.04/2017 tentang

Penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau Pengajuan Aksi Korporasi

secara Elektronik.

IV. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 menghadirkan konsep cyber notary

namun belum memberikan peluang yang luas terhadap penerapan cyber

notary. Terhadap kewenangan Notaris dalam membuat akta autentik

misalnya, Notaris dibatasi oleh bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, seperti Pasal 38 Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2014. Walaupun Pasal 77 UU PT 40/2007 jo. Pasal 46

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 memungkinkan pembuatan akta

risalah RUPS melalui media elektronik, namun belum terdapat aturan

teknis penyelenggaraan e-RUPS. Di sisi lain, kewajiban Notaris dalam

mengenal penghadap sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 39 Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014, juga belum membuka kesempatan untuk

terlaksananya pengenalan secara elektronik atau melalui perangkat


21

elektronik. Kewajiban Notaris dalam membacakan akta dan

menandatangani akta juga belum diakomodir dalam Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2014 boleh dilakukan secara elektronik. Sebaliknya,

dalam Penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014 menegaskan keharusan bertemu fisik antara Notaris,

penghadap dan saksi. Kewajiban lain yang belum didukung Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 dan UU ITE untuk terlaksananya cyber

notary adalah kewajiban Notaris dalam membuat minuta akta dan

menyimpannya sebagai bagian dari protokol Notaris. Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2014 belum memberikan kemungkinan pembuatan minuta

akta dan protokol Notaris lainnya dalam bentuk lainnya. Terlebih lagi,

Pasal 5 ayat (4) huruf b UU ITE 11/2008 telah mengatur sekaligus

melimitasi bahwa surat dan dokumen yang menurut undang-undang harus

dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat

pembuat akta, tetap harus dibuat dalam bentuk akta notaril ataupun akta

yang dibuat pejabat pembuat akta.

2. Peraturan pelaksanaan yang mengatur penerapan dari konsep cyber notary

tersebut di antaranya berupa a) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

102 Tahun 2019 tentang Pemberian Hak Akses dan Pemanfaatan Data

Kependudukan berkaitan dengan kewajiban Notaris dalam mengenal

penghadap karena perlu melibatkan pihak ketiga yang membantu Notaris

mengidentifikasi dan melakukan verifikasi kebenaran identitas penghadap.

Pihak ketiga (third party) adalah pihak yang diberikan hak akses data
22

kependudukan berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 102 Tahun 2019 tentang Pemberian Hak Akses dan Pemanfaatan

Data Kependudukan; b) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika

Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik,

Pasal 25, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 30, juga mengatur bahwa

pada pokoknya Notaris dapat ditunjuk sebagai otoritas pendaftaran dalam

suatu permohonan penerbitan sertifikat elektronik.

B. Saran

Indonesia masih membutuhkan usaha serta dukungan dari berbagai

pemangku kepentingan, terutama pembuat kebijakan, Notaris dan

masyarakat. Kepastian hukum baru dapat tercapai bila sudah ada landasan

yuridis yang mengatur dengan jelas terkait cyber notary. Dimulai dengan

merumuskan definisi cyber notary, kewenangan dan tanggung jawab Notaris

dalam cyber notary, hingga pihak-pihak yang membantu, mengawasi bahkan

pihak yang memberikan sanksi serta rumusan sanksi-sanksi terhadap

pelanggaran dalam cyber notary. Sedangkan dari sisi Notaris, perlu juga

dikaji kesiapan para Notaris Indonesia dalam menyongsong cyber notary.


23

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Habib Adjie. 2017. Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris


Sebagai Pejabat Publik. Bandung: Refika Aditama.

Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.

R.A. Emma Nurita. 2012. Cyber Notary (Pemahaman Awal Dalam Konsep
Pemikiran). Cetakan Ke-1. Bandung: Refika Aditama.

B. Jurnal/Tesis

Dewi, Indah Kusuma. 2015. Kajian tentang Penyimpanan Protokol Notaris...,


Tesis tidak diterbitkan. Yogyakarta. Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada.

Edmon Makarim, 2011, Modernisasi Hukum Notaris Masa Depan: Kajian


Hukum Terhadap Kemungkinan Cybernotary di Indonesia, Jurnal
Hukum dan Pembangunan: Fakultas Hukum UI, No. 3 Juli-September
2011.

Musriansyah, Sihabudin. “Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham


Dalam Penjualan Aset Perseroan Berdasarkan Pasal 102 Ayat (4) UU
Nomor 40 Th.2007 Tentang Perseroan Terbatas”. JIPPK. Vol. 2, No, 2
(2017).

C. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana


diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris.

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11 Tahun 2018 tentang


Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik.
24

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11 Tahun 2018 tentang


Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik
D. Artikel Internet

Andes Willi Wijaya, 2018, “Konsep Dasar Cyber Notary: Keabsahan Akta
dalam Bentuk Elektronik”, diakses
dari https://vivajusticia.law.ugm.ac.id/2018/11/29/konsep-dasar-cyber-
notary-keabsahan-akta-dalam-bentuk-elektronik, tanggal akses 14
November 2021.
Surya Jaya, http://muhammadrizalrustam. wordpress.com/tag/cyber-notary/,
akses 14 November 2021.

Anda mungkin juga menyukai