Penjabaran Kasus 14 - 07 - 2023

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 45

Penjabaran Kasus 14/07/2023

1A/ Ny. Qonita Qurotaayuni/ 22 th/ G1P0A0, hamil 11 mgg, ab imminens, HPHT 29/04/23,
HPL 6/2/24
Dasar Diagnosis :
Anamnesis :
RPS : keluar flek kecoklatan dari jalan lahir sejak jam 12:00, pasien 2 hari yang lalu post
coitus , riwayat jatuh (-) riwayat pijat perut (-)
Status obstetri :
Menikah 1x pada usia 22 tahun,
Riw. Menarche: Siklus 28 hari/ durasi 3-6 hari/ 1-2x ganti pembalut per hari/ dismenorea (-)
Riw. ANC: 3x di puskesmas,dokter
Riw. operasi sebelumnya (-)
Riw. penyakit lainnya (-)
Pemeriksaan Fisik:
KU baik
TD :120/60 mmHg
Status generalis dalam batas normal
VT: Fluksus (+) fluor (-), v/u/v : tidak ada kelainan, OUE : menutup, Portio : nyeri goyang
portio (-), portio sebesar jempol tangan, licin, Korpus Uteri : sebesar telur angsa, Ap/cd :
tidak ada kelainan, PPV: flek kecokelatan
Tatalaksana :
Inf RL 20 tpm
PO nobor 2x1
Pada pasien ini masih dilakukan observasi flek/darah yang keluar dari jalan lahir.
Abortus Imminens
Definisi: Abortus imminens adalah peristiwa terjadinya perdarahan vaginal pada setengah
awal kehamilan. Abortus imminens adalah peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada
kehamilan sebelum 20 minggu, dengan hasil konsepsi masih dalam uterus dan viabel, dan
serviks tertutup. Abortus imminens adalah wanita yang mengandung bayi hidup dengan usia
kehamilan kurang dari 24 minggu yang mengalami perdarahan vaginal dengan atau tanpa
nyeri abdomen ketika kondisi serviks masih tertutup.

Etiologi:
1. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi, menyebabkan kematian janin atau cacat,
penyebabnya antara lain:
● Kelainan kromosom, misalnya lain trisomi, poliploidi dan kelainan kromosom seks.
● Endometrium kurang sempurna, biasanya terjadi pada ibu hamil saat usia tua,
dimana kondisi abnormal uterus dan endokrin atau sindrom ovarium polikistik.
● Pengaruh eksternal, misalnya radiasi, virus, obat-obat, dan sebagainya dapat
mempengaruhi baik hasil konsepsi maupun lingkungan hidupnya dalam uterus,
disebut teratogen.
2. Kelainan plasenta, misalnya endarteritis terjadi dalam vili korialis dan menyebabkan
oksigenasi plasenta terganggu, sehingga mengganggu pertumbuhan dan kematian
janin. Keadaan ini dapat terjadi sejak kehamilan muda misalnya karena hipertensi
menahun.
3. Penyakit ibu, baik yang akut seperti pneumonia, tifus abdominalis, pielonefritis,
malaria, dan lain-lain, maupun kronik seperti, anemia berat, keracunan, laparotomi,
peritonitis umum, dan penyakit menahun seperti brucellosis, mononukleosis
infeksiosa, toxoplasmosis.
4. Kelainan traktus genitalis, misalnya retroversi uteri, mioma uteri, atau kelainan
bawaan uterus. Terutama retroversio uteri gravidi inkarserata atau mioma submukosa
yang memegang peranan penting. Sebab lain keguguran dalam trimester dua ialah
serviks inkompeten yang dapat disebabkan oleh kelemahan bawaan pada serviks,
dilatasi serviks berlebihan, konisasi, amputasi, atau robekan serviks yang luas yang
tidak dijahit.
Gejala:
Adanya perdarahan pada awal kehamilan melalui ostium uteri eksternum, disertai nyeri perut
ringan atau tidak sama sekali.
Adanya gejala nyeri perut dan punggung belakang yang semakin hari bertambah buruk
dengan atau tanpa kelemahan dan uterus membesar sesuai usia kehamilan.
Diagnosis:
● Tanda dan gejala abortus imminens
● Pemeriksaan dalam: Serviks tertutup, perdarahan dapat terlihat dari ostium, tidak ada
kelainan pada serviks, tidak terdapat nyeri goyang serviks atau adneksa
● Tes kehamilan positif
● Pemeriksaan USG: Tampak janin masih hidup.
Pencegahan:
● Vitamin: Diduga mengonsumsi vitamin sebelum atau selama awal kehamilan dapat
mengurangi risiko keguguran, namun dari 28 percobaan yang dilakukan ternyata hal tersebut
tidak terbukti.
● Antenatal care (ANC) disebut juga prenatal care, bertujuan untuk mencegah atau
mengidentifikasi dan mengobati kondisi yang mengancam kesehatan fetus/bayi baru lahir
dan/atau ibu, dan membantu wanita dalam menghadapi kehamilan dan kelahiran sebagai
pengalaman yang menyenangkan.
Penelitian observasional menunjukkan bahwa ANC mencegah masalah kesehatan pada ibu
dan bayi.Pada suatu penelitian menunjukkan, kurangnya kunjungan rutin ibu hamil dengan
risiko rendah tidak meningkatkan risiko komplikasi kehamilan namun hanya menurunkan
kepuasan pasien. Perdarahan pada kehamilan disebabkan oleh banyak faktor yang dapat
diidentifikasi dari riwayat kehamilan terdahulu melalui konseling dan anamnesis. Pada
penelitian Herbst, dkk ibu hamil yang tidak melakukan ANC memiliki risiko dua kali lipat
untuk mengalami risiko kelahiran prematur.

Tatalaksana:
● Tirah baring: Tirah baring merupakan unsur penting dalam pengobatan abortus imminens
karena cara ini menyebabkan bertambahnya aliran darah ke uterus dan berkurangnya
rangsang mekanik. Pada suatu penelitian, 1228 dari 1279 (96%) dokter umum meresepkan
istirahat pada perdarahan hebat yang terjadi pada awal kehamilan, meskipun hanya delapan
dari mereka yang merasa hal tersebut perlu, dan hanya satu dari tiga orang yang yakin hal
tersebut bekerja baik. Sebuah penelitian randomised controlled trial (RCT) tentang efek tirah
baring pada abortus imminens menyebutkan bahwa 61 wanita hamil yang mengalami
perdarahan pada usia kehamilan kurang dari delapan minggu yang viabel, secara acak diberi
perlakuan berbeda yaitu injeksi hCG, placebo atau tirah baring. Persentase terjadinya
keguguran dari ketiga perlakuan tersebut masing-masing 30%, 48%, and 75%. Perbedaan
signifikan tampak antara kelompok injeksi hCG dan tirah baring namun perbedaan antara
kelompok injeksi hCG dan plasebo atau antara kelompok plasebo dan tirah baring tidak signii
kan. Meskipun pada penelitian tersebut hCG menunjukkan hasil lebih baik dibandingkan
tirah baring, namun ada kemungkinan terjadi sindrom hiperstimulasi ovarium, dan mengingat
terjadinya abortus imminens dipengaruhi banyak faktor, tidak relevan dengan fungsi luteal,
menjadikan hal tersebut sebagai pertimbangan untuk tidak melanjutkan penelitian tentang
penggunaan hCG. Dalam sebuah penelitian retrospektif pada 226 wanita yang dirawat di RS
dengan keluhan akibat kehamilannya dan abortus imminens, 16% dari 146 wanita yang
melakukan tirah baring mengalami keguguran, dibandingkan dengan seperlima wanita yang
tidak melakukan tirah baring. Sebaliknya, sebuah studi kohort observasional terbaru dari 230
wanita dengan abortus imminens yang direkomendasikan tirah baring menunjukkan bahwa
9,9% mengalami keguguran dan 23,3% baik-baik saja (p=0,03). Lamanya pendarahan vagina,
ukuran hematoma dan usia kehamilan saat diagnosis tidak mempengaruhi tingkat terjadinya
keguguran. Meskipun tidak ada bukti pasti bahwa istirahat dapat mempengaruhi jalannya
kehamilan, membatasi aktivitas selama beberapa hari dapat membantu wanita merasa lebih
aman, sehingga memberikan pengaruh emosional. Dosisnya 24-48 jam diikuti dengan tidak
melakukan aktivitas berat, namun tidak perlu membatasi aktivitas ringan sehari-hari.
● Abstinensia: Abstinensia sering kali dianjurkan dalam penanganan abortus imminens,
karena pada saat berhubungan seksual, oksitosin disekresi oleh puting atau akibat stimulasi
klitoris, selain itu prostaglandin E dalam semen dapat mempercepat pematangan serviks dan
meningkatkan kolonisasi mikroorganisme di vagina.
● Progesteron: Progestogen merupakan substansi yang memiliki aktivitas progestasional atau
memiliki efek progesteron, diresepkan pada 13-40% wanita dengan abortus imminens.
Progesteron merupakan produk utama korpus luteum dan berperan penting pada persiapan
uterus untuk implantasi, mempertahankan serta memelihara kehamilan. Sekresi progesteron
yang tidak adekuat pada awal kehamilan diduga sebagai salah satu penyebab keguguran
sehingga suplementasi progesteron sebagai terapi abortus imminens diduga dapat mencegah
keguguran, karena fungsinya yang diharapkan dapat menyokong defisiensi korpus luteum
gravidarum dan membuat uterus relaksasi. Sebagian besar ahli tidak setuju namun mereka
yang setuju menyatakan bahwa harus ditentukan dahulu adanya kekurangan hormon
progesteron. Berdasarkan pemikiran bahwa sebagian besar keguguran didahului oleh
kematian hasil konsepsi dan kematian ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, maka
pemberian hormon progesteron memang tidak banyak manfaatnya. Meskipun bukti terbatas
percobaan pada 421 wanita abortus imminens menunjukkan bahwa progestogen efektif
diberikan pada penatalaksanaan abortus imminens sebagai upaya mempertahankan
kehamilan. Salah satu preparat progestogen adalah dydrogesterone, Penelitian dilakukan pada
154 wanita yang mengalami perdarahan vaginal saat usia kehamilan kurang dari 13 minggu.
Persentase keberhasilan mempertahankan kehamilan lebih tinggi (95,9%) pada kelompok
yang mendapatkan dosis awal dydrogesterone 40 mg dilanjutkan 10 mg dua kali sehari
selama satu minggu dibandingkan kelompok yang mendapatkan terapi konservatif 86,3%.14
Meskipun tidak ada bukti kuat tentang manfaatnya namun progestogen disebutkan dapat
menurunkan kontraksi uterus lebih cepat daripada tirah baring,1 terlepas dari kemungkinan
bahwa pemakaiannya pada abortus imminens mungkin dapat menyebabkan missed abortion,4
progestogen pada penatalaksanaan abortus imminens tidak terbukti memicu timbulnya
hipertensi kehamilan atau perdarahan antepartum yang merupakan efek berbahaya bagi ibu.
Selain itu, penggunaan progesteron juga tidak terbukti menimbulkan kelainan kongenital.
Sebaiknya dilakukan penelitian dengan jumlah lebih besar untuk memperkuat kesimpulan.
● hCG (Human Chorionic Gonadotropin): hCG diproduksi plasenta dan diketahui bermanfaat
dalam mempertahankan kehamilan. Karena itu, hCG digunakan pada abortus imminens untuk
mempertahankan kehamilan. Namun, hasil tiga penelitian yang melibatkan 312 partisipan
menyatakan tidak ada cukup bukti tentang efektivitas penggunaan hCG pada abortus
imminens untuk mempertahankan kehamilan. Meskipun tidak terdapat laporan efek samping
penggunaan hCG pada ibu dan bayi, diperlukan penelitian lanjutan yang lebih berkualitas
tentang pengaruh hCG pada keguguran.
● Antibiotik: Hanya diberikan bila terdapat tanda infeksi bakteri

Sumber: Ilhaini Nur Sucipto. Abortus Imminens: Upaya Pencegahan, Pemeriksaan, dan
Penatalaksanaan. jurnal CDK. 2013; 40(7): 492-49

1B/ Ny. Rina Yunita/ 22 th/ G2P0A1 hamil 15 mgg 6 hr, riw reproduksi kurang baik (AB 1x
th 2022), HEG, GEDS
Dasar Diagnosis
Anamnesis
RPS: Pasien datang dengan keluhan nyeri ulu hati sejak 1 hari SMRS disertai diare cair
warna hitam kehijauan >5x sejak pagi hari, muntah >4x sejak pagi hari, dan demam
Riw. Menarche: Siklus 28 hari/ durasi 3-6 hari/ 1-2x ganti pembalut per hari/ dismenorea (-)
Riw. Obstetri:
1. Abortus kuretase
2. Hamil ini
Riw. ANC: 1x di bidan
Riw. operasi sebelumnya (-)
Riw. penyakit lainnya (-)
Pemeriksaan Fisik
KU baik
Tanda vital TD 126/85 mmHg, HR 78x/menit, T 37,7°C
Status generalis nyeri tekan epigastrium (+), turgor kulit agak lambat
Status obstetri: TFU belum teraba, DJJ belum terdengar, PPV (-), VT tidak dilakukan
Tatalaksana
Terapi : Ranitidine, Ondansetron, Sucralfat
Pada pasien ini masih dilakukan terapi obat serta observasi diare dan muntah.
Hiperemesis Gravidarum
Hiperemesis gravidarum adalah mual muntah yang berlebihan pada wanita hamil sampai
mengganggu aktivitas sehari-hari karena keadaan umum pasien yang buruk akibat dehidrasi.
Mual dan muntah adalah gejala yang umum dan wajar terjadi pada usia kehamilan trimester I.
Mual biasanya terjadi pada pagi hari, akan tetapi dapat juga timbul setiap saat dan pada
malam hari. Gejala-gejala ini biasanya terjadi 6 minggu setelah hari pertama haid terakhir dan
berlangsung selama kurang lebih 10 minggu.

Epidemiologi:
Penelitian-penelitian memperkirakan bahwa mual dan muntah terjadi pada 50-90% dari
kehamilan. Mual dan muntah terjadi pada 60-80% primigravida dan 40-60% multigravida.
Dari seluruh kehamilan yang terjadi di Amerika Serikat 0,3-2% diantaranya mengalami
hiperemesis gravidarum atau kurang lebih lima dari 1000 kehamilan. Mual dan muntah yang
berkaitan dengan kehamilan biasanya dimulai pada usia kehamilan 9- 10 minggu, puncaknya
pada usia kehamilan 11-13 minggu, dan sembuh pada kebanyakan kasus pada umur
kehamilan 12-14 minggu. Dalam 1-10% dari kehamilan, gejala-gejala dapat berlanjut
melampaui 20-22 minggu. Kejadian hiperemesis dapat berulang pada wanita hamil. J.
Fitzgerald (1938-1953) melakukan studi terhadap 159 wanita hamil di Aberdeen, Skotlandia,
menemukan bahwa hiperemesis pada kehamilan pertama merupakan faktor risiko untuk
terjadinya hiperemesis pada kehamilan berikutnya. Berdasarkan penelitian, dari 56 wanita
yang kembali hamil, 27 diantaranya mengalami hiperemesis pada kehamilan kedua dan 7 dari
19 wanita mengalami hiperemesis pada kehamilan ketiga.

Etiologi:
Penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui secara pasti. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan pada 1.301 kasus hiperemesis gravidarum di Kanada diketahui beberapa hal
yang menjadi faktor risiko terjadinya hiperemesis gravidarum diantaranya komplikasi dari
kelainan hipertiroid, gangguan psikiatri, kelainan gastrointestinal, dan diabetes
pregestacional. Tidak ada bukti bahwa penyakit ini disebabkan oleh faktor toksik, juga tidak
ditemukan kelainan biokimia. Beberapa faktor predisposisi dan faktor lain yang telah
ditemukan adalah sebagai berikut:
● Primigravida, mola hidatidosa, dan kehamilan ganda. Pada mola hidatidosa dan
kehamilan ganda, faktor hormon memegang peranan dimana hormon korionik
gonadotropin dibentuk berlebihan.
● Masuknya vili khorialis dalam sirkulasi maternal dan perubahan metabolik akibat
hamil serta resistensi yang menurun dari pihak ibu terhadap perubahan tersebut.
● Alergi, sebagai salah satu respons dari jaringan ibu terhadap anak.
● Faktor psikologis seperti depresi, gangguan psikiatri, rumah tangga yang retak,
kehilangan pekerjaan, takut terhadap kehamilan dan persalinan, takut terhadap
tanggung jawab sebagai ibu, tidak siap untuk menerima kehamilan memegang
peranan yang cukup penting dalam menimbulkan hiperemesis gravidarum.
Menurut Goodwin, dkk. (1994) dan Van de Ven (1997), hiperemesis nampaknya terkait
dengan tingginya atau peningkatan bertahap kadar hormon korionik gonadotropin, estrogen
atau kadar keduanya di dalam serum. Selain itu, pada beberapa kasus yang berat mungkin
terkait dengan faktor psikologis. Namun adanya hubungan dengan serum positif terhadap
Helicobacter pylori sebagai penyebab ulkus peptikum tidak dapat dibuktikan oleh beberapa
peneliti.

Patofisiologi:
Muntah adalah suatu cara dimana saluran cerna bagian atas membuang isinya bila terjadi
iritasi, rangsangan atau tegangan yang berlebihan pada usus. Muntah merupakan refleks
terintegrasi yang kompleks terdiri atas tiga komponen utama yaitu detektor muntah,
mekanisme integratif dan efektor yang bersifat otonom somatik. Rangsangan pada saluran
cerna dihantarkan melalui saraf vagus dan aferen simpatis menuju pusat muntah. Pusat
muntah juga menerima rangsangan dari pusat-pusat yang lebih tinggi pada cerebral, dari
chemoreceptor trigger zone (CTZ) pada area postrema dan dari aparatus vestibular via
serebelum. Beberapa signal perifer mem-bypass trigger zone mencapai pusat muntah melalui
nukleus traktus solitarius. Pusat muntah sendiri berada pada dorsolateral daerah formasio
retikularis dari medula oblongata. Pusat muntah ini berdekatan dengan pusat pernapasan dan
pusat vasomotor. Rangsang aferen dari pusat muntah dihantarkan melalui saraf kranial V, VII,
X, XII ke saluran cerna bagian atas dan melalui saraf spinal ke diaphragma, otot iga dan otot
abdomen. 1-4 Patofisiologi dasar hiperemesis gravidarum hingga saat ini masih kontroversial.
Hiperemesis gravidarum dapat menyebabkan cadangan karbohidrat dan lemak habis terpakai
untuk keperluan energi. Karena oksidasi lemak yang tidak sempurna, maka terjadilah ketosis
dengan tertimbunnya asam aseton asetik, asam hidroksi butirik, dan aseton dalam darah.
Kekurangan cairan yang diminum dan kehilangan cairan akibat muntah akan menyebabkan
dehidrasi, sehingga cairan ekstravaskuler dan plasma akan berkurang. Natrium dan klorida
darah turun, demikian juga dengan klorida urine Selain itu dehidrasi menyebabkan
hemokonsentrasi, sehingga aliran darah ke jaringan berkurang. Hal ini menyebabkan zat
makanan dan oksigen ke jaringan berkurang dan tertimbunya zat metabolik dan toksik.
Kekurangan kalium sebagai akibat dari muntah dan bertambahnya ekskresi lewat ginjal,
meningkatkan frekuensi muntah yang lebih banyak, merusak hati, sehingga memperburuk
keadaan penderita.

Manifestasi klinis:
Batasan seberapa banyak terjadinya mual muntah yang disebut hiperemesis gravidarum
belum ada kesepakatannya. Akan tetapi jika keluhan mual muntah tersebut sampai
mempengaruhi keadaan umum ibu dan sampai mengganggu aktivitas sehari-hari sudah dapat
dianggap sebagai hiperemesis gravidarum. Hiperemesis gravidarum, menurut berat ringannya
gejala dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu:
1. Muntah terus menerus yang mempengaruhi keadaan umum penderita, ibu merasa
lemah, nafsu makan tidak ada, berat badan menurun dan merasa nyeri pada
epigastrium. Nadi meningkat sekitar 100 per menit, tekanan darah sistolik menurun,
turgor kulit menurun, lidah mengering dan mata cekung.
2. Penderita tampak lebih lemas dan apatis, turgor kulit lebih menurun, lidah
mengering dan nampak kotor, nadi kecil dan cepat, suhu kadang-kadang naik dan
mata sedikit ikterus. Berat badan turun dan mata menjadi cekung, tensi turun,
hemokonsentrasi, oliguria dan konstipasi. Aseton dapat tercium dalam bau
pernapasan, karena mempunyai aroma yang khas dan dapat pula ditemukan dalam
kencing.
3. Keadaan umum lebih buruk, muntah berhenti, kesadaran menurun dari somnolen
sampai koma, nadi kecil dan cepat, suhu meningkat dan tensi menurun. Komplikasi
fatal terjadi pada susunan saraf yang dikenal sebagai Encephalopathy Wernicke
dengan gejala nistagmus, diplopia, dan perubahan mental. Keadaan ini terjadi akibat
defisiensi zat makanan, termasuk vitamin B kompleks. Timbulnya ikterus
menunjukan adanya gangguan hati.

Diagnosis:
● Anamnesis:
Dari anamnesis didapatkan amenorea, tanda kehamilan muda, mual, dan muntah.
Kemudian diperdalam lagi apakah mual dan muntah terjadi terus menerus, dirangsang
oleh jenis makanan tertentu, dan mengganggu aktivitas pasien sehari-hari. Selain itu
dari anamnesis juga dapat diperoleh informasi mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan terjadinya hiperemesis gravidarum seperti stres, lingkungan sosial pasien,
asupan nutrisi dan riwayat penyakit sebelumnya (hipertiroid, gastritis, penyakit hati,
diabetes mellitus, dan tumor serebri).
● Pemeriksaan fisik:
Pada pemeriksaan fisik perhatikan keadaan umum pasien, tanda-tanda vital, tanda
dehidrasi, dan besarnya kehamilan. Selain itu perlu juga dilakukan pemeriksaan tiroid
dan abdominal untuk menyingkirkan diagnosis banding.
● Pemeriksaan penunjang:
Pemeriksaan yang dilakukan adalah darah lengkap, urinalysis, gula darah, elektrolit,
USG (pemeriksaan penunjang dasar), analisis gas darah, tes fungsi hati dan ginjal.
Pada keadaan tertentu, jika pasien dicurigai menderita hipertiroid dapat dilakukan
pemeriksaan fungsi tiroid dengan parameter TSH dan T4. Pada kasus hiperemesis
gravidarum dengan hipertiroid 50- 60% terjadi penurunan kadar TSH. Jika dicurigai
terjadi infeksi gastrointestinal dapat dilakukan pemeriksaan antibodi Helicobacter
pylori. Pemeriksaan laboratorium umumnya menunjukan tanda-tanda dehidrasi dan
pemeriksaan berat jenis urin, ketonuria, peningkatan blood urea nitrogen, kreatinin
dan hematokrit. Pemeriksaan USG penting dilakukan untuk mendeteksi adanya
kehamilan ganda ataupun mola hidatidosa.

Tatalaksana:
● Medikamentosa:
Berikan obat-obatan seperti yang telah dikemukakan diatas. Namun harus diingat
untuk tidak memberikan obat yang teratogenik. Obat-obatan yang dapat diberikan
diantaranya suplemen multivitamin, antihistamin, dopamin antagonis, serotonin
antagonist, dan kortikosteroid. Vitamin yang dianjurkan adalah vitamin B1 dan B6
seperti pyridoxine (vitamin B6). Pemberian pyridoxin cukup efektif dalam mengatasi
keluhan mual dan muntah. Antihistamin yang dianjurkan adalah doxylamine dan
diphendyramine. Pemberian antihistamin bertujuan untuk menghambat secara
langsung kerja histamin pada reseptor H1 dan secara tidak langsung mempengaruhi
sistem vestibular, menurunkan rangsangan di pusat muntah. Selama terjadi mual dan
muntah, reseptor dopamin di lambung berperan dalam menghambat motilitas
lambung. Oleh karena itu diberikan obat dopamin antagonis. Dopamin antagonis yang
dianjurkan diantaranya prochlorperazine, promethazine, dan metoclopramide.
Prochlorperazine dan promethazine bekerja pada reseptor D2 untuk menimbulkan
efek antiemetik. Sementara itu metoclopramide bekerja di sentral dan di perifer. Obat
ini menimbulkan efek antiemetik dengan cara meningkatkan kekuatan sfingter
esofagus bagian bawah dan menurunkan transit time pada saluran cerna. Pemberian
serotonin antagonis cukup efektif dalam menurunkan keluhan mual dan muntah. Obat
ini bekerja menurunkan rangsangan pusat muntah di medula. Serotonin antagonis
yang dianjurkan adalah ondansetron. Ondansetron biasanya diberikan pada pasien
hiperemesis gravidarum yang tidak membaik setelah diberikan obat-obatan yang lain.
Sementara itu pemberian kortikosteroid masih kontroversial karena dikatakan
pemberian pada kehamilan trimester pertama dapat meningkatkan risiko bayi lahir
dengan cacat bawaan.
● Nutrisi: Pada kasus hiperemesis gravidarum jalur pemberian nutrisi tergantung pada
derajat muntah, berat ringannya deplesi nutrisi dan penerimaan penderita terhadap
rencana pemberian makanan. Pada prinsipnya bila memungkinkan saluran cerna harus
digunakan. Bila peroral menemui hambatan dicoba untuk menggunakan nasogastric
tube (NGT). Saluran cerna mempunyai banyak keuntungan misalnya dapat
mengabsorbsi banyak nutrien, adanya mekanisme defensif untuk menanggulangi
infeksi dan toksin. Selain itu dengan masuknya sari makanan ke hati melalui saluran
porta ikut menjaga pengaturan homeostasis nutrisi. Bila penderita sudah dapat makan
peroral, modifikasi diet yang diberikan adalah makanan dalam porsi kecil namun
sering, diet tinggi karbohidrat, rendah protein dan rendah lemak, hindari suplementasi
besi untuk sementara, hindari makanan yang emetogenik dan berbau sehingga
menimbulkan rangsangan muntah. Pemberian diet diperhitungkan jumlah kebutuhan
basal kalori sehari-hari ditambah dengan 300 kkal per harinya.
● Isolasi: Penderita disendirikan dalam kamar yang tenang, cerah, dan memiliki
peredaran udara yang baik. Sebaiknya hanya dokter dan perawat saja yang
diperbolehkan untuk keluar masuk kamar tersebut. Catat cairan yang keluar dan
masuk. Pasien tidak diberikan makan ataupun minum selama 24 jam. Biasanya
dengan isolasi saja gejala-gejala akan berkurang atau hilang tanpa pengobatan.
● Terapi psikologis: Perlu diyakinkan kepada pasien bahwa penyakitnya dapat
disembuhkan. Hilangkan rasa takut oleh karena kehamilan dan persalinan karena itu
merupakan proses fisiologis, kurangi pekerjaan serta menghilangkan masalah dan
konflik lainnya yang melatarbelakangi penyakit ini. Jelaskan juga bahwa mual dan
muntah adalah gejala yang normal terjadi pada kehamilan muda, dan akan
menghilang setelah usia kehamilan 4 bulan.
● Cairan parenteral: Resusitasi cairan merupakan prioritas utama, untuk mencegah
mekanisme kompensasi yaitu vasokonstriksi dan gangguan perfusi uterus. Selama
terjadi gangguan hemodinamik, uterus termasuk organ non vital sehingga pasokan
darah berkurang. Pada kasus hiperemesis gravidarum, jenis dehidrasi yang terjadi
termasuk dalam dehidrasi karena kehilangan cairan (pure dehydration). Maka
tindakan yang dilakukan adalah rehidrasi yaitu mengganti cairan tubuh yang hilang ke
volume normal, osmolaritas yang efektif dan komposisi cairan yang tepat untuk
keseimbangan asam basa. Pemberian cairan untuk dehidrasi harus memperhitungkan
secara cermat berdasarkan: berapa jumlah cairan yang diperlukan, defisit natrium,
defisit kalium dan ada tidaknya asidosis. Berikan cairan parenteral yang cukup
elektrolit, karbohidrat, dan protein dengan glukosa 5% dalam cairan garam fisiologis
sebanyak 2-3 liter sehari. Bila perlu dapat ditambahkan kalium dan vitamin, terutama
vitamin B kompleks dan vitamin C, dapat diberikan pula asam amino secara intravena
apabila terjadi kekurangan protein. Dibuat daftar kontrol cairan yang masuk dan yang
dikeluarkan. Urin perlu diperiksa setiap hari terhadap protein, aseton, klorida, dan
bilirubin. Suhu tubuh dan nadi diperiksa setiap 4 jam dan tekanan darah 3 kali sehari.
Dilakukan pemeriksaan hematokrit pada permulaan dan seterusnya menurut
keperluan. Bila dalam 24 jam pasien tidak muntah dan keadaan umum membaik dapat
dicoba untuk memberikan minuman, dan lambat laun makanan dapat ditambah
dengan makanan yang tidak cair. Dengan penanganan ini, pada umumnya
gejala-gejala akan berkurang dan keadaan aman bertambah baik.

Terapi alternatif:
● Vitamin B6:
Vitamin B6 merupakan koenzim yang berperan dalam metabolisme lipid, karbohidrat
dan asam amino. Peranan vitamin B6 untuk mengatasi hiperemesis masih
kontroversi. Dosis vitamin B6 yang cukup efektif berkisar 5-25 mg per hari tiap 8
jam. Selain itu Czeizel melaporkan suplementasi multivitamin secara bermakna
mengurangi kejadian mencegah insiden hiperemesis gravidarum. Vitamin B6
merupakan koenzim berbagai jalur metabolisme protein dimana peningkatan
kebutuhan protein pada trimester I diikuti peningkatan asupan vitamin B6. Vitamin
B6 diperlukan untuk sintesis serotonin dari tryptophan. Defisiensi vitamin B6 akan
menyebabkan kadar serotonin rendah sehingga saraf panca indera akan semakin
sensitif yang menyebabkan ibu mudah mual dan muntah. Pada wanita hamil terjadi
peningkatan kynurenic dan xanthurenic acid di urin. Kedua asam ini diekskresi
apabila jalur perubahan tryptophan menjadi niasin terhambat. Hal ini dapat juga
terjadi karena defisiensi vitamin B6. Kadar hormon estrogen yang tinggi pada ibu
hamil juga menghambat kerja enzim kinureninase yang merupakan katalisator
perubahan tryptophan menjadi niacin, yang mana kekurangan niacin juga dapat
mencetuskan mual dan muntah.
● Jahe (Zingiber officinale): Pemberian dosis harian 250 mg sebanyak 4 kali perhari
lebih baik hasilnya dibandingkan plasebo pada wanita dengan hiperemesis
gravidarum. Salah satu studi di Eropa menunjukan bubuk jahe (1 gram per hari) lebih
efektif dibandingkan plasebo dalam menurunkan gejala hiperemesis gravidarum.
Belum ada penelitian yang menunjukan hubungan kejadian abnormalitas pada fetus
dengan jahe. Namun, harus diperhatikan bahwa akar jahe diperkirakan mengandung
tromboksan sintase inhibitor dan dapat mempengaruhi peningkatan reseptor
testosteron fetus.
Prognosis:
Semua wanita dengan mual dan muntah pada kehamilan merasakan awal terjadinya sebelum
usia kehamilan 9 minggu. Jumlah tersebut menurun 30% pada kehamilan 10 minggu, turun
lagi 30% pada kehamilan 12 minggu, dan menjadi 30% pada kehamilan 16 minggu. Sepuluh
persen mengalami mual dan muntah setelah 16 minggu dan hanya 1% tetap mengalaminya
setelah usia kehamilan 20 minggu.17 Dengan penanganan yang baik prognosis hiperemesis
gravidarum sangat memuaskan. Sebagian besar penyakit ini dapat membaik dengan
sendirinya pada usia kehamilan 20-22 minggu, namun demikian pada tingkatan yang berat,
penyakit ini dapat membahayakan jiwa ibu dan janin.

Sumber:
Prawirohardjo S, Wiknjosastro H. Hiperemesis Gravidarum. Dalam: Ilmu Kebidanan;
Jakarta; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta;2002; hal. 275-280.
Verberg MF, Gillott DJ, Al-Fardan N. Hyperemesis gravidarum, a literature review. Hum
Reprod Update. Sep-Oct 2005;11(5):527-39.
Quinlan JD, Hill DA. Nausea and vomiting of pregnancy. Am Fam Physician. Jul 2003;68
(1):121-8. Goodwin TM. Hyperemesis Gravidarum. Obstet Gynecol Clin N Am. Sept
2008;35:401-417.

4A/ Ny. Sayidatul Maghfiroh/ 31 th/ G2P1A0 hamil 41 mgg 3 hr, J1HIU, Preskep Puki,
belum inpartu, HT gestasional, serotinus, primi sekundi 7 th.
(HPHT: 27/09/22), hamil 40 mgg 2 hr (USG: 12/07/23) HPL: 04/07/23
Anamnesis :
Menikah 1x umur 23 th, lama menikah 8 tahun
Riw. Menarche: Siklus 28 hari/ durasi 3-6 hari/ 1-2x ganti pembalut per hari/ dismenorea (-)
Riw. Kehamilan: tahun 2016, aterm, spontan induksi, pembukaan tidak bertambah2
Riw. ANC: >5x di BPM Syarifah, baik, bulan ini tensi tinggi
Minum obat penurun tensi
Riw. KB: pil KB selama 2 th
Riw. operasi sebelumnya (-)
Riw. penyakit lainnya : DM(-) HT(+)
Pemeriksaan Fisik:
KU baik
TD :120/60 mmHg
Status generalis dalam batas normal
TFU: 33cm
DJJ: 132x/menit
HIS: 1x/10m/10d
PPV: lendir
VT: pembukaan belum ada
Lakmus -
Edem: -/-
Tatalaksana:
Inf RL 20 tpm
MgSO4 4gr bolus
Dopamet 500mg

HT Gestasional
Definisi
Hipertensi dalam kehamilan ialah tekanan darah sistolik dan sistolik ≥ 140/90 mmHg,
pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. Kenaikan
tekanan darah sistolik ≥ 30 mmHg dan kenaikan tekanan darah diastolik > 15 mmHg sebagai
parameter hipertensi sudah tidak dipakai lagi (Prawirohardjo, 2013).

Hipertensi dalam pada kehamilan adalah hipertensi yang terjadi saat kehamilan berlangsung
dan biasanya pada bulan terakhir kehamilan atau lebih setelah 20 minggu usia kehamilan
pada wanita yang sebelumnya normotensif, tekanan darah mencapai nilai 140/90 mmg, atau
kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg dan tekanan diastolik 15 mmH di atas nilai normal
(Junaidi, 2010)

Etiologi:
Prawirohardjo (2013), menjelaskan penyebab hipertensi dalam kehamilan belum diketahui
secara jelas. Namun ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya hipertensi dan
dikelompokkan dalam faktor risiko. Beberapa faktor risiko sebagai berikut :
1. Primigravida, primipaternitas
2. Hiperplasentosis, misalnya : mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes melitus,
hidrops fetalis, bayi besar.
3. Umur
4. Riwayat keluarga pernah pre eklampsia/ eklampsia
5. Penyakit- penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
6. Obesitas

Klasifikasi:
Klasifikasi Hipertensi Gestasional :
1. Hipertensi Gestasional Ringan
jika usia kehamilan setelah 37 minggu, hasil kehamilan sama tau lebih baik dari pasien
normotensit, namun peningkatan kejadian induksi persalinan dan operasi caesar terjadi.
2. Hipertensi Gestasional Berat
pasien in memiliki tingkat yang lebih tinggi morbiditas ibu atau janin, lebih tinggi bahkan
dibandingkan pasien preeklampsia ringan, kasus in termasuk plasenta dan kelahiran prematur
dengan kecil untuk usia gestasional normal.

MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala yang ditunjukkan pada ibu hamil dengan hipertensi adalah pusing, muka merah,
sakit kepala, keluar darah dari hidung secara tiba-tiba dan tengkuk terasa pegal. Tekanan
darah absolut 140/90 mmH atau 160/110 mmHg yang diambil jarak dalam keadaan istirahat
(Prawirohardjo, 2010).
PATOFISIOLOGI
Prawirohardjo (2013), menjelaskan beberapa tori yang mengemukakan terjadinya hipertensi
dalam kehamilan diantaranya adalah :
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-cabang
arteri uterina dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus
miometrium berupa uteri arkuarta dan member cabang arteri radialis.
Arteri radialis menembus endometrium meniadi arteri basalis dan artrei basalis
member cabang arteri spiralis. Kehamilan normal akan terjadi invasi trofoblas ke
dalam lapisan tot arteri spiralis yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut
sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar
arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan arteri
spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Keadaan ini akan memberi dampak
penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan tekanan
darah pada daerah utero plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan
perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan
baik. Proses in sering dinamakan dengan remodeling arteri spiralis.
Sebaliknya pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada
lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarrya. Lapisan otot arteri spiralis
menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan
mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami
vasokonstriksi dan terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis.
Sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadi hipoksia dan iskemia
plasenta
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan yang
disebut juga radikal bebas. Iskemia plasenta tersebut akan menghasilkan oksidan
penting, salah satunya adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap
membran sel endotel pembuluh darah. Radial hidroksil tersebut akan merusak
membran sel yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida
lemak. Peroksida lemak tersebut selain akan merusak membran sel, juga akan
merusak nukleus, dan protein sel endotel.Peroksida lemak sebagai oksidan akan
beredar diseluruh tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membran sel endotel.
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel
endotel, yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel. Kerusakan membran
sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh
struktur sel endotel. c.
Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin HLA-G (human leukocyte antigen
protein G) merupakan prakondisi untuk teriadinva invasi trofoblas kedalam jaringan
desidua ibu, disamping untuk menghadapi sel natular killer.
HLA-G tersebut akan mengalami penurunan jika terjadi hipertensi dalam kehamilan.
Hal ini menyebabkan invasi desidua ke trofoblas terhambat. Awal trimester kedua
kehamilan perempuan yang mempunyai kecendrungan terjadi pre-eklampsia, ternyata
mempunyai proporsi helper sel yang lebih rendah bila dibanding pada normotensif.
3. Teori adaptasi kardiovaskuler
Daya refrakter terhadap bahan konstriktor akanhilangjika terjadi hipertensi dalam
kehamilan, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan
vasopresor. Artinya daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang
hingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor.
4. Teori Genetik
Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial
jika dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang
mengalami pre-eklampsia, 2,6% anak perempuannya akan mengalami preeklampsia
pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklampsia.
5. Teori defisiensi gizi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi berperan dalam
terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Misalnya seorang ibu yang kurang
mengkonsumsi minyak ikan, protein dan lain-lain.
6. Teori stimulus inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah
merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Plasenta juga akan
melepaskan debris trofoblas dalam kehamilan normal. Sebagai sisa-sisa proses
apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibar reaksi stres oksidatif. Bahan-bahan in sebagai
bahan asing yang kemudian merangsangtimbulnya proses inflamasi. Proses apoptosis
pada preeklampsia terjadi peningkatan stress oksidatif, sehingga terjadi peningkatan
produksi debris apoptosis dan dan nekrotik trofoblas. Makin banyak sel trofoblas
plasenta maka reaksi stress oksidatif makin meningkat, sehingga jumlah sisa debris
trofoblas juga makin meningkat. Keadaan in menimbulkan beban reaksi inflamasi
dalam darah ibu menjadi jauhlebih besar dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan
normal(Prawirohardjo, 2013).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Manuaba dkk (2013) dan Purwaningsih & Fatmawati(2010) menyebutkan pemeriksaan
diagnostik yang dilakukan pada bu hamil dengan hipertensi diantaranya:
1. Uji urin kemungkinan menunjukkan proteinuria
Pengumpulan urin selama 24 jam untuk pembersihan kreatinin dan protein.
Fungsi hati
meningkatnva enzim hati (meningkatnya alamine
aminotransferaseatau meningkatnya aspartate).
4. Fungsi ginjal: profil kimia akan menunjukkan kreatinin dan elektrolit abnormal, karena
gangguan fungsi ginjal.
5. Tes non tekanan dengan profil biofisik.
6. USG seri dan tes tekanan kontraksi untuk menentukan status janin.
7. Evaluasi aliran doppler darah untuk menentukan status janin dan ibu.

PENATALAKSANAAN
Manuaba dkk(2013), menjelaskan beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada
pasien dengan hipertensi dalam kehamilan diantaranya :
Penatalaksanaan Medis
Pemberian obat-obatan untuk menghindari kejang (anti kejang), antihipertensi, pemberian
diuretik, pemberian infus dekstrosa 5%, dan pemberian antasida
Penggunaan obat- obatan anti hipertensi dalam kehamilan tidak diharuskan, karena obat anti
hipertensi yang biasa digunakan dapat menurunkan perfusi plasenta dan memiliki efek yang
merugikan bagi janin. Tetapi pada hipertensi berat, obat-obatan diberikan sebagai tindakan
sementara. Terapi anti hipertensi dengan agen farmakologi memiliki tujuan untuk
mengurangi tekanan darah perifer, mengurangi beban kerja ventrikel kiri, meningkatkan
aliran darah ke uterus dan sisitem ginjal serta mengurangi resiko cedera serebrovaskular.

Penatalaksanaan Non Medis


a) Pasien diberi nasehat untuk menurunkan gejala klinis dengan tirah baring
2x2 jam/hari dengan posisi miring. Pasien juga dianjurkan segera berobat jika terdapat gejala
kaki bertambah berat (edema), kepala pusing, gerakan janin terasa berkurang dan mata makin
kabur.
b) Hindari kafein, merokok, dan alkohol.
c) Diet makanan yang sehat dan seimbang, yaitu dengan mengkonsumsi makanan yang
mengandung cukup protein, rendah karbohidrat, garam secukupnya, dan rendah lemak.
d) Menganjurkan agar ibu melakukan pemeriksaan secara teratur, yaitu minimal 4 kali selama
masa kehamilan. Tetapi pada ibu hamil dengan hipertensi dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan kehamilan yang lebih sering, terutama selama trimester ketiga, yaitu harus
dilakukan pemeriksaan setiap 2 minggu selama 2 bulan pertama trimester ketiga, dan
kemudian menjadi sekali seminggu pada bulan terakhir kehamilan.
e) Lakukan pengawasan terhadap kehidupan dan pertumbuhan janin dengan
USG
f) Pembatasan aktivitas fisik.

Sumber:
Huda,Amin Nurarif.2016. Asuhan Keperawatan Praktis Jilid 1 Media. Action: Yogyakarta
NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2018-2020.2018.EGC: Jakarta
Prawirohardjo, 2013.Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono.
Prawirohardjo, Jakarta
Manuaba, Chandranita.dkk. 2013.Gawat Darurat Obstetri Ginekologi & Obstetri Ginekologi
Sosial Untuk Profesi Bidan . Jakarta : EGC

Serotinus
Definisi
Kehamilan post matur menurut Prof. Dr. dr. Sarwono Prawirohardjo adalah kehamilan yang
melewati 294 hari atau lebih dari 42 minggu lengkap di hitung dari HPHT. Sedangkan
menurut Ida Bagus Gde Manuaba kehamilan lewat waktu adalah kehamilan yang melebih
waktu 42 minggu belum terjadi persalinan.
Etiologi
Penyebab pasti belum diketahui, faktor yang dikemukakan adalah :
1. Hormonal, yaitu kadar progesteron tidak cepat turun walaupun kehamilan telah cukup
bulan sehingga kepekaan uterus terhadap oksitosin berkurang.
2. Herediter, karena post naturitas sering dijumpai pada suatu keluarga tertentu
Kadar kortisol pada darah bayi yang rendah sehingga disimpulkan kerentanan akan stress
merupakan faktor tidak timbulnya His
4. Kurangnya air ketuban
Insufiensi plasenta

Permasalahan Kehamilan Lewat Waktu


Permasalahan kehamilan lewat waktu adalah plasenta tidak sanggup memberikan nutrisi dan
pertukaran CO,/O2 sehingga mempunyai risiko asfiksia sampai kematian adalam rahim.
Makin menurunnya sirkulasi darah menuju sirkulasi plasenta dapat mengakibatkan :
1. Pertumbuhan janin makin lambat
terjadi perubahan metabolisme janin
Air ketuban berkurang dan makin kental
Sebagian janin bertambah berat, serhingga memerlukan tindakan persalinan
Berkurangnya nutrisi dan O2 ke janin yang menimbulkan asfiksia dan setiap saat dapat
meninggal di rahim.
6. Saat persalinan janin lebih mudah mengalami astiksia.
(Menurut Manuaba dalam Buku Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan KB Untuk
Pendidikan Bidan, 1998)

Tanda Bayi Post Matur


Tanda postterm dapat di bagi dalam 3 stadium (Sarwono Prawirohardjo) :
● 1. Stadium I
● Kulit menunjukkan kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa kulit kering,
rapuh dan mudah mengelupas.
● 2. Stadium II
● Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium (kehijauan) pada kulit
● 3. Stadium III
● Terdapat pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit dan tali pusat

Tanda bayi Postmatur (Manuaba, Ida Bagus Gde, 1998)


1. Biasanya lebih berat dari bayi matur ( > 4000 gram)
2. Tulang dan sutura kepala lebih keras dari bayi matur
3. Rambut lanugo hilang tau sangat kurang
4. Verniks kaseosa di bidan kurang
5. Kuku-kuku panjang
6. Rambut kepala agak tebal
7. Kulit agak pucat dengan deskuamasi epitel
Diagnosa
1. Bila tanggal HPHT di catat dan diketahui wanita hamil, diagnosis tidak sukar
2. Bila wanita tidak tahu, lupa atau tidak ingat, atau sejak melahirkan yang lalu tidak dapat
haid dan kemudian menjadi hamil, hal ini akan sukar memastikannya. Hanyalah dengan
pemeriksaan antenatal yang teratur dapat diikuti tinggi dan naiknya fundus uteri, mulainya
gerakan janin dan besarnya janin dapat membantu diagnosis.
3. Pemeriksaan berat badan diikuti, kapan menjadi berkurang, begitu pula lingkaran perut dan
jumlah air ketuban apakah berkurang.
4. Pemeriksaan rontgenologik, dapat dijumpai pusat-pusat penulangan pada bagian distal
femur, bagian proksimal tibia, tulang kuboid, diameter bipariental 9,8 cm atau lebih.
5. USG: ukuran diameter bipariental, gerakan janin dan jumlah air ketuban
6. Pemeriksaan sitologik air ketuban : air ketuban diambil dengan amniosentesis, baik
transvaginal maupun transabdominal. Air ketuban akan bercampur lemak dari sel-sel kulit
yang dilepas janin setelah kehamilan mencapai lebih dari 36 minggu. Air ketuban yang
diperoleh dipulas dengan sulfat biru nil maka sel-sel yang mengandung lemak akan berwarna
jingga. Bila:
● Melebihi 10% : kehamilan di atas 36 minggu
● Melebihi 50% : kehamilan di atas 39 minggu
7. Amnioskopi : melihat derajat kekeruhan air ketuban, menurut warnanya karena dikeruhi
mekonium.
8. Kardiotografi: mengawasi dan membaca DJJ, karena insufiensi plasenta
9. Uji Oksitosin (stress test) : yaitu dengan infus tetes oksitosin dan diawasi reaksi janin
terhadap kontraksi uterus. Jika ternyata reaksi janin kurang baik, hal ini mungkin janin akan
berbahaya dalam kandungan.
10. Pemeriksaan kadar estriol dalam urin
11. Pemeriksaan PH darah kepala janin
12. Pemeriksaan sitologi vagina
(Menurut Rustam Mochtar, Sinopsis Obstetri Jilid I, 1998)

Pengaruh terhadap ibu dan janin


Terhadap ibu : parts lama, kesalahan letak, insersia uteri, perdarahan postpartum.
Terhadap janin : jumlah kematian janin/bayi pada kehamilan 43 minggu 3 kali lebih besar
dari kehamilan 40 minggu, karena postmaturitas akan menambah bahaya pada janin.
Pengaruh post maturitas pada janin bervariasi : berat badan janin dapat bertambah besar, tetp,
dan ada yang berkurang, sesudah kehamilan 42 minggu. Ada pula yang bisa terjadi kematian
janin dalam kandungan. Bayi besar dapat menyebabkan disproporsi sefalopelvik.
Oligohidramnion dapat menyebabkan kompresi tali pusat, gawat janin sampai bay meninggal.
Keluarnya mekoneum yang dapat menyebabkan aspirasi mekoneum.
(Menurut Rustam Mochtar, Sinopsis Obstetri Jilid I, 1998)

Penatalaksanaan
1. Setelah usia kehamilan > 40-42 minggu yang penting adalah monitoring janin
sebaik-baiknya.
2. Apabila tidak ada tanda-tanda insufisiense plasenta, persalinan spontan dapat
ditunggu dengan pengawasan ketat
3. Lakukan pemeriksaan dalam untuk menilai kematangan serviks, kalau sudah matang
boleh dilakukan induksi persalinan dengan atau tapa amniotomi.Bila:
● Riwayat kehamilan yang lalu ada kematian janin dalam rahim
● Terdapat hipertensi, pre-eklampsia
● Kehamilan ini adalah anak pertama karena infertilitas
● Pada kehamilan > 40-42 minggu

Maka ibu dirawat di rumah sakit


1. Tindakan operasi seksio sesarea dapat dipertimbangkan pada
● Insufisiensi plasenta dengan keadaan serviks belum matang
● Pembukaan yang belum lengkap, persalinan lama dan terjadi gawat janin, atau
● Pada primigravida tua, kematian janin dalam kandungan, pre-eklampsia, hipertensi
menahun, anak berharga (infertilitas) dan kesalahan leak janin.
2. Pada persalinan pervaginam harus diperhatikan bahwa parts lama akan sangat merugikan
bayi, janin postmatur kadang-kadang besar; dan kemungkinan diproporsi sefalo-pelvik dan
distosia janin perlu dipertimbangkan. Selain itu janin postmatur lebih peka terhadap sedatif
dan narsoka, jadi pakailah anestesi konduksi.

Sumber:
Bagian Obsetri dan Patologi Fakultas Kedokteran Universitas Pdjajaran bandung.Obsetri
patologi, FK UNPAD, Bandung, hal 18-19.Prawirohardjo Sarwono.
Pedoman Diagnosis dan Terapi Obsetri danGinekologi RS.Dr. Hasan Sadikin, BagianObsetri
dan Ginekologi FK UNPAD, Bandung,2005.

5A/ Ny. Siti Rohmah/ 44 th/ G4P3A0 hamil 6 minggu 4 hari, usia tua, HEG
Dasar Diagnosis:
Anamnesis :
RPS : mual muntah cairan kuning >5x sejak 01/06/23, muntah darah segar setiap malam
jumat (terakhir senin kemarin), pusing muter2, perut kenceng terasa penuh dan panas, nyeri
seluruh bagian perut, riw vertigo HPHT 27/05/23, Pijat perut (+)
Menikah 1x umur 23 th
Riw. Menarche: Siklus 28 hari/ durasi 3-6 hari/ 1-2x ganti pembalut per hari/ dismenorea (-)
Riw. operasi sebelumnya (-)
Riw. penyakit lainnya : DM(-) HT(-)
Pemeriksaan Fisik:
KU baik
TD :120/60 mmHg
Status generalis dalam batas normal
Tatalaksana :
Inf RL 20 tpm
Inj Ranitidin 2x1 amp
Inj Difenhidramin 1 amp
Inj Ondansetron 3x4 mg
Betahistine 3x1 tab
Hiperemesis Gravidarum
Hiperemesis gravidarum adalah mual muntah yang berlebihan pada wanita hamil sampai
mengganggu aktivitas sehari-hari karena keadaan umum pasien yang buruk akibat dehidrasi.
Mual dan muntah adalah gejala yang umum dan wajar terjadi pada usia kehamilan trimester I.
Mual biasanya terjadi pada pagi hari, akan tetapi dapat juga timbul setiap saat dan pada
malam hari. Gejala-gejala ini biasanya terjadi 6 minggu setelah hari pertama haid terakhir dan
berlangsung selama kurang lebih 10 minggu.

Epidemiologi: Penelitian-penelitian memperkirakan bahwa mual dan muntah terjadi pada


50-90% dari kehamilan. Mual dan muntah terjadi pada 60-80% primigravida dan 40-60%
multigravida. Dari seluruh kehamilan yang terjadi di Amerika Serikat 0,3-2% diantaranya
mengalami hiperemesis gravidarum atau kurang lebih lima dari 1000 kehamilan. Mual dan
muntah yang berkaitan dengan kehamilan biasanya dimulai pada usia kehamilan 9- 10
minggu, puncaknya pada usia kehamilan 11-13 minggu, dan sembuh pada kebanyakan kasus
pada umur kehamilan 12-14 minggu. Dalam 1-10% dari kehamilan, gejala-gejala dapat
berlanjut melampaui 20-22 minggu. Kejadian hiperemesis dapat berulang pada wanita hamil.
J. Fitzgerald (1938-1953) melakukan studi terhadap 159 wanita hamil di Aberdeen,
Skotlandia, menemukan bahwa hiperemesis pada kehamilan pertama merupakan faktor risiko
untuk terjadinya hiperemesis pada kehamilan berikutnya. Berdasarkan penelitian, dari 56
wanita yang kembali hamil, 27 diantaranya mengalami hiperemesis pada kehamilan kedua
dan 7 dari 19 wanita mengalami hiperemesis pada kehamilan ketiga.

Etiologi: Penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui secara pasti. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan pada 1.301 kasus hiperemesis gravidarum di Kanada diketahui
beberapa hal yang menjadi faktor risiko terjadinya hiperemesis gravidarum diantaranya
komplikasi dari kelainan hipertiroid, gangguan psikiatri, kelainan gastrointestinal, dan
diabetes pregestacional. Tidak ada bukti bahwa penyakit ini disebabkan oleh faktor toksik,
juga tidak ditemukan kelainan biokimia.
Beberapa faktor predisposisi dan faktor lain yang telah ditemukan adalah sebagai berikut:
- Primigravida, mola hidatidosa, dan kehamilan ganda. Pada mola hidatidosa dan
kehamilan ganda, faktor hormon memegang peranan dimana hormon korionik
gonadotropin dibentuk berlebihan.
- Masuknya vili khorialis dalam sirkulasi maternal dan perubahan metabolik akibat
hamil serta resistensi yang menurun dari pihak ibu terhadap perubahan tersebut.
- Alergi, sebagai salah satu respons dari jaringan ibu terhadap anak.
- Faktor psikologis seperti depresi, gangguan psikiatri, rumah tangga yang retak,
kehilangan pekerjaan, takut terhadap kehamilan dan persalinan, takut terhadap
tanggung jawab sebagai ibu, tidak siap untuk menerima kehamilan memegang
peranan yang cukup penting dalam menimbulkan hiperemesis gravidarum. Menurut
Goodwin, dkk. (1994) dan Van de Ven (1997), hiperemesis nampaknya terkait dengan
tingginya atau peningkatan bertahap kadar hormon korionik gonadotropin, estrogen
atau kadar keduanya di dalam serum. Selain itu, pada beberapa kasus yang berat
mungkin terkait dengan faktor psikologis. Namun adanya hubungan dengan serum
positif terhadap Helicobacter pylori sebagai penyebab ulkus peptikum tidak dapat
dibuktikan oleh beberapa peneliti.

Patofisiologi:
Muntah adalah suatu cara dimana saluran cerna bagian atas membuang isinya bila
terjadi iritasi, rangsangan atau tegangan yang berlebihan pada usus. Muntah
merupakan refleks terintegrasi yang kompleks terdiri atas tiga komponen utama yaitu
detektor muntah, mekanisme integratif dan efektor yang bersifat otonom somatik.
Rangsangan pada saluran cerna dihantarkan melalui saraf vagus dan aferen simpatis
menuju pusat muntah. Pusat muntah juga menerima rangsangan dari pusat-pusat yang
lebih tinggi pada cerebral, dari chemoreceptor trigger zone (CTZ) pada area postrema
dan dari aparatus vestibular via serebelum. Beberapa signal perifer mem-bypass
trigger zone mencapai pusat muntah melalui nukleus traktus solitarius. Pusat muntah
sendiri berada pada dorsolateral daerah formasio retikularis dari medula oblongata.
Pusat muntah ini berdekatan dengan pusat pernapasan dan pusat vasomotor. Rangsang
aferen dari pusat muntah dihantarkan melalui saraf kranial V, VII, X, XII ke saluran
cerna bagian atas dan melalui saraf spinal ke diaphragma, otot iga dan otot abdomen.
1-4 Patofisiologi dasar hiperemesis gravidarum hingga saat ini masih kontroversial.
Hiperemesis gravidarum dapat menyebabkan cadangan karbohidrat dan lemak habis
terpakai untuk keperluan energi. Karena oksidasi lemak yang tidak sempurna, maka
terjadilah ketosis dengan tertimbunnya asam aseton asetik, asam hidroksi butirik, dan
aseton dalam darah. Kekurangan cairan yang diminum dan kehilangan cairan akibat
muntah akan menyebabkan dehidrasi, sehingga cairan ekstravaskuler dan plasma akan
berkurang. Natrium dan klorida darah turun, demikian juga dengan klorida urine
Selain itu dehidrasi menyebabkan hemokonsentrasi, sehingga aliran darah ke jaringan
berkurang. Hal ini menyebabkan zat makanan dan oksigen ke jaringan berkurang dan
tertimbunya zat metabolik dan toksik. Kekurangan kalium sebagai akibat dari muntah
dan bertambahnya ekskresi lewat ginjal, meningkatkan frekuensi muntah yang lebih
banyak, merusak hati, sehingga memperburuk keadaan penderita.

Manifestasi klinis:
Batasan seberapa banyak terjadinya mual muntah yang disebut hiperemesis
gravidarum belum ada kesepakatannya. Akan tetapi jika keluhan mual muntah
tersebut sampai mempengaruhi keadaan umum ibu dan sampai mengganggu aktivitas
sehari-hari sudah dapat dianggap sebagai hiperemesis gravidarum.
Hiperemesis gravidarum, menurut berat ringannya gejala dapat dibagi dalam tiga
tingkatan, yaitu:
- Muntah terus menerus yang mempengaruhi keadaan umum penderita, ibu merasa
lemah, nafsu makan tidak ada, berat badan menurun dan merasa nyeri pada
epigastrium. Nadi meningkat sekitar 100 per menit, tekanan darah sistolik menurun,
turgor kulit menurun, lidah mengering dan mata cekung.
- Penderita tampak lebih lemas dan apatis, turgor kulit lebih menurun, lidah mengering
dan nampak kotor, nadi kecil dan cepat, suhu kadang-kadang naik dan mata sedikit
ikterus. Berat badan turun dan mata menjadi cekung, tensi turun, hemokonsentrasi,
oliguria dan konstipasi. Aseton dapat tercium dalam bau pernapasan, karena
mempunyai aroma yang khas dan dapat pula ditemukan dalam kencing.
- Keadaan umum lebih buruk, muntah berhenti, kesadaran menurun dari somnolen
sampai koma, nadi kecil dan cepat, suhu meningkat dan tensi menurun. Komplikasi
fatal terjadi pada susunan saraf yang dikenal sebagai Encephalopathy Wernicke
dengan gejala nistagmus, diplopia, dan perubahan mental. Keadaan ini terjadi akibat
defisiensi zat makanan, termasuk vitamin B kompleks. Timbulnya ikterus
menunjukan adanya gangguan hati.
Diagnosis:
Anamnesis: Dari anamnesis didapatkan amenorea, tanda kehamilan muda, mual, dan
muntah. Kemudian diperdalam lagi apakah mual dan muntah terjadi terus menerus,
dirangsang oleh jenis makanan tertentu, dan mengganggu aktivitas pasien sehari-hari.
Selain itu dari anamnesis juga dapat diperoleh informasi mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan terjadinya hiperemesis gravidarum seperti stres, lingkungan
sosial pasien, asupan nutrisi dan riwayat penyakit sebelumnya (hipertiroid, gastritis,
penyakit hati, diabetes mellitus, dan tumor serebri).
Pemeriksaan fisik: Pada pemeriksaan fisik perhatikan keadaan umum pasien,
tanda-tanda vital, tanda dehidrasi, dan besarnya kehamilan. Selain itu perlu juga
dilakukan pemeriksaan tiroid dan abdominal untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Pemeriksaan penunjang: Pemeriksaan yang dilakukan adalah darah lengkap,
urinalysis, gula darah, elektrolit, USG (pemeriksaan penunjang dasar), analisis gas
darah, tes fungsi hati dan ginjal. Pada keadaan tertentu, jika pasien dicurigai
menderita hipertiroid dapat dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid dengan parameter
TSH dan T4. Pada kasus hiperemesis gravidarum dengan hipertiroid 50- 60% terjadi
penurunan kadar TSH. Jika dicurigai terjadi infeksi gastrointestinal dapat dilakukan
pemeriksaan antibodi Helicobacter pylori. Pemeriksaan laboratorium umumnya
menunjukan tanda-tanda dehidrasi dan pemeriksaan berat jenis urin, ketonuria,
peningkatan blood urea nitrogen, kreatinin dan hematokrit. Pemeriksaan USG penting
dilakukan untuk mendeteksi adanya kehamilan ganda ataupun mola hidatidosa.

Tatalaksana:
Medikamentosa: Berikan obat-obatan seperti yang telah dikemukakan diatas. Namun
harus diingat untuk tidak memberikan obat yang teratogenik. Obat-obatan yang dapat
diberikan diantaranya suplemen multivitamin, antihistamin, dopamin antagonis,
serotonin antagonist, dan kortikosteroid. Vitamin yang dianjurkan adalah vitamin B1
dan B6 seperti pyridoxine (vitamin B6). Pemberian pyridoxin cukup efektif dalam
mengatasi keluhan mual dan muntah. Antihistamin yang dianjurkan adalah
doxylamine dan diphendyramine. Pemberian antihistamin bertujuan untuk
menghambat secara langsung kerja histamin pada reseptor H1 dan secara tidak
langsung mempengaruhi sistem vestibular, menurunkan rangsangan di pusat muntah.
Selama terjadi mual dan muntah, reseptor dopamin di lambung berperan dalam
menghambat motilitas lambung. Oleh karena itu diberikan obat dopamin antagonis.
Dopamin antagonis yang dianjurkan diantaranya prochlorperazine, promethazine, dan
metoclopramide. Prochlorperazine dan promethazine bekerja pada reseptor D2 untuk
menimbulkan efek antiemetik. Sementara itu metoclopramide bekerja di sentral dan di
perifer. Obat ini menimbulkan efek antiemetik dengan cara meningkatkan kekuatan
sfingter esofagus bagian bawah dan menurunkan transit time pada saluran cerna.
Pemberian serotonin antagonis cukup efektif dalam menurunkan keluhan mual dan
muntah. Obat ini bekerja menurunkan rangsangan pusat muntah di medula. Serotonin
antagonis yang dianjurkan adalah ondansetron. Ondansetron biasanya diberikan pada
pasien hiperemesis gravidarum yang tidak membaik setelah diberikan obat-obatan
yang lain. Sementara itu pemberian kortikosteroid masih kontroversial karena
dikatakan pemberian pada kehamilan trimester pertama dapat meningkatkan risiko
bayi lahir dengan cacat bawaan.

Nutrisi: Pada kasus hiperemesis gravidarum jalur pemberian nutrisi tergantung pada
derajat muntah, berat ringannya deplesi nutrisi dan penerimaan penderita terhadap
rencana pemberian makanan. Pada prinsipnya bila memungkinkan saluran cerna harus
digunakan. Bila peroral menemui hambatan dicoba untuk menggunakan nasogastric
tube (NGT). Saluran cerna mempunyai banyak keuntungan misalnya dapat
mengabsorbsi banyak nutrien, adanya mekanisme defensif untuk menanggulangi
infeksi dan toksin. Selain itu dengan masuknya sari makanan ke hati melalui saluran
porta ikut menjaga pengaturan homeostasis nutrisi. Bila penderita sudah dapat makan
peroral, modifikasi diet yang diberikan adalah makanan dalam porsi kecil namun
sering, diet tinggi karbohidrat, rendah protein dan rendah lemak, hindari suplementasi
besi untuk sementara, hindari makanan yang emetogenik dan berbau sehingga
menimbulkan rangsangan muntah. Pemberian diet diperhitungkan jumlah kebutuhan
basal kalori sehari-hari ditambah dengan 300 kkal per harinya.

Isolasi: Penderita disendirikan dalam kamar yang tenang, cerah, dan memiliki
peredaran udara yang baik. Sebaiknya hanya dokter dan perawat saja yang
diperbolehkan untuk keluar masuk kamar tersebut. Catat cairan yang keluar dan
masuk. Pasien tidak diberikan makan ataupun minum selama 24 jam. Biasanya
dengan isolasi saja gejala-gejala akan berkurang atau hilang tanpa pengobatan.

Terapi psikologis: Perlu diyakinkan kepada pasien bahwa penyakitnya dapat


disembuhkan. Hilangkan rasa takut oleh karena kehamilan dan persalinan karena itu
merupakan proses fisiologis, kurangi pekerjaan serta menghilangkan masalah dan
konflik lainnya yang melatarbelakangi penyakit ini. Jelaskan juga bahwa mual dan
muntah adalah gejala yang normal terjadi pada kehamilan muda, dan akan
menghilang setelah usia kehamilan 4 bulan.

Cairan parenteral: Resusitasi cairan merupakan prioritas utama, untuk mencegah


mekanisme kompensasi yaitu vasokonstriksi dan gangguan perfusi uterus. Selama
terjadi gangguan hemodinamik, uterus termasuk organ non vital sehingga pasokan
darah berkurang. Pada kasus hiperemesis gravidarum, jenis dehidrasi yang terjadi
termasuk dalam dehidrasi karena kehilangan cairan (pure dehydration). Maka
tindakan yang dilakukan adalah rehidrasi yaitu mengganti cairan tubuh yang hilang ke
volume normal, osmolaritas yang efektif dan komposisi cairan yang tepat untuk
keseimbangan asam basa. Pemberian cairan untuk dehidrasi harus memperhitungkan
secara cermat berdasarkan: berapa jumlah cairan yang diperlukan, defisit natrium,
defisit kalium dan ada tidaknya asidosis. Berikan cairan parenteral yang cukup
elektrolit, karbohidrat, dan protein dengan glukosa 5% dalam cairan garam fisiologis
sebanyak 2-3 liter sehari. Bila perlu dapat ditambahkan kalium dan vitamin, terutama
vitamin B kompleks dan vitamin C, dapat diberikan pula asam amino secara intravena
apabila terjadi kekurangan protein. Dibuat daftar kontrol cairan yang masuk dan yang
dikeluarkan. Urin perlu diperiksa setiap hari terhadap protein, aseton, klorida, dan
bilirubin. Suhu tubuh dan nadi diperiksa setiap 4 jam dan tekanan darah 3 kali sehari.
Dilakukan pemeriksaan hematokrit pada permulaan dan seterusnya menurut
keperluan. Bila dalam 24 jam pasien tidak muntah dan keadaan umum membaik dapat
dicoba untuk memberikan minuman, dan lambat laun makanan dapat ditambah
dengan makanan yang tidak cair. Dengan penanganan ini, pada umumnya
gejala-gejala akan berkurang dan keadaan aman bertambah baik.

Terapi alternatif:
- Vitamin B6: Vitamin B6 merupakan koenzim yang berperan dalam metabolisme
lipid, karbohidrat dan asam amino. Peranan vitamin B6 untuk mengatasi hiperemesis
masih kontroversi. Dosis vitamin B6 yang cukup efektif berkisar 5-25 mg per hari tiap
8 jam. Selain itu Czeizel melaporkan suplementasi multivitamin secara bermakna
mengurangi kejadian mencegah insiden hiperemesis gravidarum. Vitamin B6
merupakan koenzim berbagai jalur metabolisme protein dimana peningkatan
kebutuhan protein pada trimester I diikuti peningkatan asupan vitamin B6. Vitamin
B6 diperlukan untuk sintesis serotonin dari tryptophan. Defisiensi vitamin B6 akan
menyebabkan kadar serotonin rendah sehingga saraf panca indera akan semakin
sensitif yang menyebabkan ibu mudah mual dan muntah. Pada wanita hamil terjadi
peningkatan kynurenic dan xanthurenic acid di urin. Kedua asam ini diekskresi
apabila jalur perubahan tryptophan menjadi niasin terhambat. Hal ini dapat juga
terjadi karena defisiensi vitamin B6. Kadar hormon estrogen yang tinggi pada ibu
hamil juga menghambat kerja enzim kinureninase yang merupakan katalisator
perubahan tryptophan menjadi niacin, yang mana kekurangan niacin juga dapat
mencetuskan mual dan muntah.
- Jahe (Zingiber officinale): Pemberian dosis harian 250 mg sebanyak 4 kali perhari
lebih baik hasilnya dibandingkan plasebo pada wanita dengan hiperemesis
gravidarum. Salah satu studi di Eropa menunjukan bubuk jahe (1 gram per hari) lebih
efektif dibandingkan plasebo dalam menurunkan gejala hiperemesis gravidarum.
Belum ada penelitian yang menunjukan hubungan kejadian abnormalitas pada fetus
dengan jahe. Namun, harus diperhatikan bahwa akar jahe diperkirakan mengandung
tromboksan sintase inhibitor dan dapat mempengaruhi peningkatan reseptor
testosteron fetus.

Prognosis: Semua wanita dengan mual dan muntah pada kehamilan merasakan awal
terjadinya sebelum usia kehamilan 9 minggu. Jumlah tersebut menurun 30% pada
kehamilan 10 minggu, turun lagi 30% pada kehamilan 12 minggu, dan menjadi 30%
pada kehamilan 16 minggu. Sepuluh persen mengalami mual dan muntah setelah 16
minggu dan hanya 1% tetap mengalaminya setelah usia kehamilan 20 minggu.17
Dengan penanganan yang baik prognosis hiperemesis gravidarum sangat memuaskan.
Sebagian besar penyakit ini dapat membaik dengan sendirinya pada usia kehamilan
20-22 minggu, namun demikian pada tingkatan yang berat, penyakit ini dapat
membahayakan jiwa ibu dan janin.

Sumber: Prawirohardjo S, Wiknjosastro H. Hiperemesis Gravidarum. Dalam: Ilmu


Kebidanan; Jakarta; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta;2002; hal.
275-280.
Verberg MF, Gillott DJ, Al-Fardan N. Hyperemesis gravidarum, a literature review. Hum
Reprod Update. Sep-Oct 2005;11(5):527-39.
Quinlan JD, Hill DA. Nausea and vomiting of pregnancy. Am Fam Physician. Jul 2003;68
(1):121-8.
Goodwin TM. Hyperemesis Gravidarum. Obstet Gynecol Clin N Am. Sept 2008;35:401-417.

6B/ 1A/ Ny. Siti Rohmah/ 33 th/ G4P2A1 33 tahun hamil 7 minggu, asthma attack, riw.
Reproduksi kurang baik (ab 1x) ( pindahan icu )
Dasar Diagnosis :
Anamnesis : sesak nafas (-) , pusing (-) , mual (-) , muntah (-)
Pemeriksaan fisik :
KU baik
SpO2 : 98%
Tatalaksana :
O2 canule 3 lpm
Inj resfar 2x600 mg
Inj dexametason 2x1
pada pasien ini di lakukan observasi tanda tanda vital.
Kehamilan dengan Asthma
Asma bronkial (BA) dianggap sebagai penyakit kronis yang paling umum dalam
kehamilan, mempersulit 4% hingga 8% kehamilan. Eksaserbasi asma bronkial pada
kehamilan merupakan masalah klinis utama yang dapat menyebabkan morbiditas dan
mortalitas ibu dan janin pada pasien hamil dengan asma. Persentase wanita yang
dirawat di rumah sakit karena eksaserbasi asma selama kehamilan adalah 5,8% pada
penelitian sebelumnya. Kegiatan ini mengulas evaluasi dan pengelolaan asma
bronkial dan menyoroti peran tim interprofessional dalam mengevaluasi dan
meningkatkan perawatan pasien dengan kondisi ini.

Etiologi
Mekanisme, prediktor, dan hasil eksaserbasi asma selama kehamilan tidak dipahami
dengan baik. Banyak penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa tingkat
eksaserbasi asma bronkial pada kehamilan berhubungan dengan peningkatan
keparahan asma. Studi lain menganggap ketidakpatuhan dengan obat pengontrol asma
bronkial karena kekhawatiran tentang efek teratogeniknya selama kehamilan menjadi
faktor risiko penting untuk eksaserbasi asma selama kehamilan. Infeksi virus
pernapasan juga merupakan faktor risiko yang memicu eksaserbasi asma bronkial
pada kehamilan

Patofisiologi
Perubahan fisiologis terjadi selama kehamilan yang dapat mempengaruhi perjalanan
asma bronkial termasuk:
Peningkatan laju metabolisme wanita hamil sekitar 15%, dengan hasil peningkatan
konsumsi oksigen 20% dengan peningkatan berikutnya dalam ventilasi semenit
(terutama oleh peningkatan volume tidal) sebesar 30% hingga 40%. Hiperventilasi ini
dimediasi oleh pusat pernapasan rangsangan hormon progesteron. Hiperventilasi
menyebabkan alkalosis respiratorik selama kehamilan, di mana terdapat penurunan
tekanan parsial karbon dioksida arteri, penurunan bikarbonat, dan peningkatan pH.
Ukuran uterus meningkat dengan dorongan ke atas pada diafragma dan selanjutnya
penurunan kapasitas residual fungsional.
Perubahan kekebalan ibu saat kehamilan diusulkan untuk dikaitkan dengan
pergeseran dari produksi sitokin tipe T-helper 1 dan menuju respons imun tipe Th2,
yang wajib bagi janin untuk bertahan hidup.
Peningkatan regulasi Th2 dan perubahan imunitas lainnya dapat menyebabkan
eksaserbasi asma bronkial selama kehamilan.
Edema mukosa dan laring dapat dimediasi ole hormon estrogen yang menyebabkan
rinosinusitis pada sekitar 20% wanita hamil.

Evaluasi
Seperti asma bronkial pada populasi mum, spirometri dapat membantu diagnosis
asma bronkial pada kehamilan dengan mendeteksi pola obstruksi jalan napas
reversibel dan membantu memantau respons terhadap pengobatan asma.
Tes tantangan metakolin dikontraindikasikan selama kehamilan karena dapat
menyebabkan bronkospasme akut. Tes kontrol asma (ACT) dapat digunakan untuk
menilai kontrol asma bronkial selama kehamilan. ACT terdiri dari lima item, dengan
penarikan gejala selama 4 minggu dan fungsi sehari-hari (kuesioner yang dikelola
sendiri). Skor berkisar dari 5, menunjukkan kontrol asma yang buruk, hingga 25
untuk kontrol penuh. Skor kurang dari 20 pada ACT didefinisikan sebagai asma yang
tidak terkontrol. Pasien asma bronkial dianggap mengalami eksaserbasi asma bronkial
jika mereka mengalami perubahan kondisi basal yang mengarah ke salah satu dari
berikut ini:
•Menambahkan kortikosteroid oral untuk pengobatan BA
•Kunjungan rawat jalan yang tidak terjadwal
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan asma bronkial pada kehamilan adalah untuk mengontrol gejala
asma, mempertahankan fungi paru yang optimal, dan menghindari eksaserbasi asma
bronkial selain menjaga oksigenasi janin dengan menghindari serangan hipoksia ibu.
Program Pendidikan dan Pencegahan Asma Nasional merekomendasikan pengobatan
dan penatalaksanaan asma bronkial pada wanita hamil sama seperti pada pasien yang
tidak hamil Bukti B). Salbutamol adalah pereda yang disukai karena profil
keamanannya yang tinggi. Kortikosteroid inhalasi (ICS) adalah obat pengontrol
pilihan. Aman menggunakan ICS, teofilin, dan montelukast selama kehamilan.
Penggunaan jangka panjang steroid sistemik telah dikaitkan dengan komplikasi terkait
kehamilan, terutama pada trimester pertama. Tetapi steroid sistemik jika diindikasikan
harus digunakan sama seperti pada non-kehamilan (Bukti C). Penelitian telah
menyarankan bahwa manajemen asma pada kehamilan berdasarkan fraksi oksida
nitrat dihembuskan (FENO) dan gejala secara signifikan mengurangi eksaserbasi
asma. [9] Pada asma persisten sedang, agonis beta 2 kerja lama dikombinasikan
dengan agen antiinflamasi inhalasi atau kortikosteroid inhalasi direkomendasikan
untuk pengobatan. Pada asma berat, kortikosteroid oral dan agonis beta kerja lama
direkomendasikan. Glukokortikoid inhalasi relatif aman meskipun ada potensi risiko
gangguan endokrin dan metabolik pada janin. Penggunaan berkelanjutan steroid
sistemik dapat meningkatkan risiko malformasi kongenital, prematuritas, insufisiensi
neonatal, berat badan lahir rendah, preeklamsia, dan diabetes gestasional. [10] Jika
anestesi diindikasikan selama persalinan, anestesi regional lebih disukai.
Prognosis
Asma yang tidak terkontrol pada kehamilan telah dikaitkan dengan insiden yang lebih
tinggi dari berat lahir janin yang rendah dan kelahiran prematur. [13] Namun, secara
mum, prognosis asma pada kehamilan mirip dengan asma pada populasi lain. Pasien
yang hamil dan didiagnosis menderita asma bronkial harus mendapatkan penilaian
dan pengobatan asma yang memadai. Asma bronkial harus diobati dan dikelola pada
wanita hamil sama seperti pada pasien tidak hamil. (Tingkat Il)
Komplikasi
Komplikasi asma bronkial pada kehamilan berhubungan dengan tingkat keparahan
dan intensitas pengobatan asma bronkial. Eksaserbasi asma bronkial dianggap sebagai
faktor terpenting yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu dan janin pada
kehamilan yang berhubungan dengan asma bronkial. Faktanya, asma yang tidak
terkontrol dengan baik telah dikaitkan dengan banyak hasil perinatal yang merugikan,
termasuk yang berikut:
● Preeklampsia
● Hipertensi yang dinduksi kehamilan
● Persalinan prematur dan kelahiran prematur
● Anomali bawaan
● Berat lahir rendah
● Hipoglikemia neonatus, kejang
Asma juga dapat menyebabkan morbiditas berikut pada wanita hamil: Kegagalan
pernapasan dan kebutuhan ventilasi mekanis Barotrauma
Sumber:
1.Kwon HL, Triche EW, Belanger K, Bracken MB. Epidemiologi asma selama kehamilan:
prevalensi, diagnosis, dan gejala. Immunol Allergy Clinic North Am. Februari 2006; 26
(1):29-62. [ PubMed ]
2.Gluck JC, Gluck PA. Efek kehamilan pada perjalanan asma. Immunol Allergy Clinic North
Am. Februari
2006; 26 (1):63-80. [ PubMed ]
3.Contreras G, Gutiérrez M, Beroíza T, Fantín A, Oddó H, Villarroel L, Cruz E, Lisboa C.
Penggerak ventilasi dan fungsi otot pernapasan pada kehamilan. Am Rev Respir Dis. 1991
Oktober; 144 (4):837-41. [
PubMed
4.Chaouat G, Ledee-Bataille N, Dubanchet S, Zourbas S, Sandra O, Martal J. Reproductive
immunology
2003: menilai kembali paradigma Th1/Th2? Lett Immunol. 2004 15 April; 92 (3):207-14. [
PubMed ]
5.Ellegärd EK. Karakteristik klinis dan patogenetik rinitis kehamilan. Clin Rev Allergy
Immunol. 2004 Juni;
26 (3):149-59. [ PubMed ]
6.Belanger K, Hellenbrand ME, Holford TR, Bracken M. Pengaruh kehamilan pada gejala
asma ibu dan penggunaan obat. Obstet Ginekol. Maret 2010; 115 (3):559-567. [ Artikel gratis
PMC] [ PubMed ]
7.Maselli DJ, Adams SG, Peters JI, Levine SM. Penatalaksanaan asma selama kehamilan.
Ada Adv Respir Dis. April 2013; 7 (2):87-100. [ PubMed ]
8. Nathan RA, Sorkness CA, Kosinski M, Schatz M, Li JT, Marcus P, Murray JJ, Pendergraft
TB.
Pengembangan tes kontrol asma: survei untuk menilai kontrol asma. J Alergi Klinik
Immunol. 2004
Januari; 113 (1):59-65. _ PubMed ]
9.Powell H, Murphy VE, Taylor DR, Hensley MJ, McCaffery K, Giles W, Clifton VL,
Gibson PG.
Penatalaksanaan asma pada kehamilan dipandu oleh pengukuran fraksi oksida nitrat yang
dihembuskan:
uji coba terkontrol acak tersamar ganda. Lanset. 10 September 2011; 378 (9795):983-90. [
PubMed ]
10.Eltonsy S, Forget A, Beauchesne MF, Blais L. Risiko malformasi kongenital untuk wanita
hamil asma yang menggunakan kombinasi kortikosteroid inhalasi dan agonis B2 kerja lama
versus monoterapi kortikosteroid inhalasi dosis tinggi. J Alergi Klinik Immunol. Januari
2015; 135 (1):123-30. [ PubMed ]
11.Reddel HK, Bateman ED, Becker A, Boulet LP, Cruz AA, Drazen JM, Haahtela T, Hurd
SS, Inoue H, de Jongste JC, Lemanske RF, Levy ML, O'Byrne PM, Paggiaro P, Pedersen SE,
Pizzchini E, Soto-Quiroz M, Szefler SJ, Wong GW, FitzGerald JM. Ringkasan strategi GINA
baru: peta jalan menuju pengendalian asma. Eur Respir J. 2015 Sep; 46 (3):622-39. [ Artikel
gratis PMC] [ PubMed ]

8A/ Ny. Yudhit Restika Putri/ 34 th/ G3P1A1 hamil 5 minggu 5 hari (HPHT) 4 minggu 1 hari
(USG), HT kronis, riw obstetri kurang baik (bekas SC th 2015 a/i PEB), riw reproduksi
kurang baik (AB 1x)
Dasar Diagnosis
Anamnesis
RPS: Pasien datang membawa rujukan dari RS Primaya dengan G3P1A1 hamil 4 minggu
dengan HT emergency, keluhan pusing, pandangan kabur, mual muntah disangkal
Riw. Menarche: Siklus 30 hari/ durasi 3-6 hari/ 1-2x ganti pembalut per hari/ dismenorea (-)
Riw. Obstetri:
1. Perempuan/ 2800 gr/ lahir SC a.i PEB/ sehat
2. Abortus tanpa kuret
3. Hamil ini
Riw. ANC: 1x di bidan
RPD: HT konsumsi kaptopril tidak rutin
Pemeriksaan Fisik
KU baik
Tanda vital TD: 188/111 mmHg
Status generalis dalam batas normal
Status obstetri: TFU belum teraba, Leopold belum teraba
Pemeriksaan Penunjang
SGOT/SGPT tinggi
Protein urin +2 Tatalaksana
Tirah baring, terapi medikamentosa anti-hipertensi

Hipertensi dalam Kehamilan


Hipertensi pada kehamilan apabila tekanan darahnya ≥140/90 mmHg. Dibagi menjadi
ringan-sedang (140 – 159 / 90 – 109 mmHg) dan berat (≥160/110 mmHg).
Klasifikasi:
1. Pre-eklampsia: Preeklampsia merupakan hipertensi (tekanan darah sekurang
kurangnya 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik) spesifik yang disebabkan
kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas
20 minggu.
2. Hipertensi kronis pada kehamilan: Hipertensi kronis pada kehamilan adalah hipertensi
(≥ 140/90 mmHg) yang telah ada sebelum kehamilan. Dapat juga didiagnosis sebelum
minggu ke- 20 kehamilan. Ataupun yang terdiagnosis untuk pertama kalinya selama
kehamilan dan berlanjut ke periode post-partum.
3. Hipertensi kronis disertai preeklampsia: Hipertensi yang disertai pre-eklampsia
biasanya muncul antara minggu 24-26 kehamilan berakibat kelahiran preterm dan
bayi lebih kecil dari normal (IUGR).
4. Hipertensi gestational: Hipertensi gestasional berat adalah kondisi peningkatan
tekanan darah >160/110 mmHg. Tekanan darah baru menjadi normal pada post
partum, biasanya dalam sepuluh hari. Pasien mungkin mengalami sakit kepala,
penglihatan kabur, dan sakit perut dan tes laboratorium abnormal, termasuk jumlah
trombosit rendah dan tes fungsi hati abnormal.

Sumber: Malha et al., 2018. Hypertension in Pregnancy in Hypertension: A Companion to


Braunwald's Heart Disease (ThirdEdition) Ch 39. Elsevier.
9B/ Ny. Kusuma Harumi/ 41 th/ P1A0, neoplasma ovarium kistik (NOK), CHF

Dasar Diagnosis
Anamnesis
Keluhan utama: Perut membesar
RPS: Pasien datang ke poli obgyn dengan keluhan perut membesar, pasien sudah melakukan
USG 2 minggu yang lalu dengan kesan massa ovarium
Riw. Menarche: Siklus 28 hari/ durasi 7 hari/ 1-2x ganti pembalut per hari/ dismenorea (-)
Riw. Obstetri:
RPD: Mioma uteri (2013)
Pemeriksaan Fisik
KU baik, hemodinamik stabil, status generalis dalam batas normal
VT: Fluksus (-), fluor (-), portio sebesar jempol tangan, korpus uteri sebesar telur angsa,
adneksa nyeri goyang (-)
Pemeriksaan Penunjang
Tes gravindex (-)
USG transabdominal: Massa solid inhomogen bentuk lobulated batas tegas tepi regular
bersepta di aspek superior uterus ukuran 14,93 x 10,99 x 14,23 cm cenderung massa ovarium
Tumor marker CA125 meningkat
Tatalaksana
Pasien direncanakan dilakukan TAH-BSO a.i massa ovarium susp malignan dan pasien tidak
perlu mempertahankan fungsi reproduksinya
Analisis: Pasien dapat dilakukan laparaskopi/ laparatomi untuk dilakukan kistektomi terlebih
dahulu untuk dilakukan pemeriksaan Patologi Anatomi (PA). Apabila hasil PA
mengkonfirmasi adanya keganasan, maka dapat dilanjutkan untuk dilakukan tindakan yang
lebih radikal (seperti histerektomi).

Kista Ovarium
Pertumbuhan jaringan abnormal yang berbentuk kantung dan berisi air pada sekitar ovarium.
Kista ovarium memiliki beragam etiologi mulai dari fisiologis (follicular/luteal cyst) hingga
keganasan ovarium dan lebih banyak terjadi pada wanita dalam usia reproduktif.
Faktor risiko:
● Pasien terapi dengan gonadotropin
● Pasien terapi obat-obat stimulan —> dapat menyebabkan sindroma hiperstimulasi
● Penggunaan tamoxifen
● Hipertiroid
● Merokok
● Ligase tuba
Klasifikasi:
Klasifikasi tersebut adalah neoplasma ovarium dan kista ovarium fungsional.
Kista ovarium fungsional terdiri dari kista folikuler dan luteal yang terjadi akibat adanya
disrupsi dari siklus normal ovulasi.
1) Kista ovarium fungsional
Kista folikuler : berawal dari folikel yang gagal pecah saat terjadinya ovulasi terutama pada
fase folikuler. Jika terjadi kelebihan FSH atau kekurangan LH pada fase puncak LH, ovum
dapat tidak dilepas saat proses ovulasi.
Kista lutein : kista korpus luteum, terjadi kegagalan degradasi pada korpus luteum. Kista
lutein memiliki 2 jenis, kista granulosa dan kista teka.
2) Kista neoplasma : akibat adanya pertumbuhan yang abnormal pada daerah ovarium.
Pertumbuhan ini dapat bersifat ganas ataupun jinak. Beberapa jenis kista jinak diantaranya
adalah kistadenoma serosum, kista dermoid, dan kista musinosum.
Gejala:
● Ukuran kecil : Bersifat asimptomatis terutama saat ukurannya kecil
● Ukuran besar : dapat menyebabkan gejala seperti terjadi perasaan begah, mudah
kenyang, keinginan untuk berkemih, dan rasa nyeri pada perut
● Ukuran ganas : gejalanya dapat lebih beragam akibat kemungkinan terjadinya
metastasis, baik di daerah sekitar abdomen bahkan dapat mencapai payudara.
● Malaise
● Penurunan berat badan
● Nyeri pada daerah yang terdampak (nyeri abdomen atau nyeri dada)
● Kesulitan untuk bernapas.
Diagnosis:
Kista ovarium yang jinak umumnya bersifat asimtomatis, maka diperlukan pendekatan klinis
yang baik mengenai keluhan yang dimiliki pasien. Pemahaman mengenai onset, durasi,
pemicu, dan karakteristik perlu didalami dengan baik untuk dapat menentukan derajat
keparahan dari kista ovarium.
Anamnesis
Pemahaman mengenai onset, durasi, pemicu, dan karakteristik perlu didalami dengan baik
untuk dapat menentukan derajat keparahan dari kista ovarium. Riwayat keluarga dengan
keluhan serupa atau riwayat ditemukannya kista ovarium perlu ditelusuri.Riwayat menstruasi,
ada atau tidaknya rasa nyeri saat haid, peningkatan volume darah haid, serta pemendekan
siklus haid juga perlu ditanyakan pada kasus suspek kista ovarium.Riwayat menstruasi, ada
atau tidaknya rasa nyeri saat haid, peningkatan volume darah haid, serta pemendekan siklus
haid juga perlu ditanyakan pada kasus suspek kista ovarium. Riwayat operasi serta
penggunaan kontrasepsi juga perlu untuk ditanyakan
Pemeriksaan fisik :
1. TTV
2. Pemeriksaan abdomen, dan pemeriksaan dalam.
Jika kista sudah membesar, dapat dirasakan adanya masa atau benjolan pada
pemeriksaan abdomen. Deskripsi masa yang perlu diberikan adalah lokasi, ukuran,
batas, kepadatan, mobilitas, dan ada atau tidaknya nyeri. Pada pemeriksaan dalam
dilakukan pemeriksaan inspeksi, inspekulo, VT atau RT untuk menentukan massa
pada adneksa
Pemeriksaan penunjang
USG: USG transvaginal menjadi modalitas pilihan awal pada pemeriksaan ginekologi massa
adnexa. Akan tetapi pada kasus dimana USG transvaginal tidak dapat dilakukan, USG
transabdominal dapat dijadikan alternatif. Ukuran USG ovarium normal adalah 20 cm3 pada
wanita usia subur dan 10 cm3 pada wanita menopause. Selain ukuran, USG dapat melihat
komposisi massa, bentuk papiler, ada tidak cairan di pelvis, dan lateralisasi.
Pemeriksaan CT scan: Untuk melihat apakah adanya metastasis, asites, ataupun tumor primer
pada organ lainnya sedangkan pemeriksaan MRI dapat memberikan gambaran yang lebih
tajam untuk penentuan diagnosis.
Tatalaksana
Penentuan terapi didasarkan pada ukuran kista, tingkat keganasan, dan gejala yang
ditimbulkan.
Observasi
Pembedahan: Pembedahan dapat dilakukan apabila kista berukuran cukup besar sehingga
menimbulkan gejala ataupun pada kecurigaan keganasan. Terapi pembedahan dapat
dilakukan dengan dua metode yaitu metode minimal invasif seperti laparoskopi serta
pembedahan terbuka seperti laparotomi. Pada kista yang berukuran kecil dan jinak dapat
dilakukan cystectomy dan oophorectomy secara laparoskopik. Namun jika kista sudah
berukuran besar, pengangkatan laparoskopi tidak dianjurkan karena akan mengganggu
mobilitas instrument dan tidak muat pada saat pengangkatan.
- Cystectomy (pengangkatan kista tanpa mengangkat seluruh ovarium) umumnya dilakukan
untuk lesi yang berukuran kecil dan pasien masih dalam usia reproduktif dan masih ingin
untuk hamil
- Oophorectomy : mengangkat seluruh ovarium karena pada kista yang berukuran lebih besar
lebih rendah untuk terjadi ruptur pada saat dilakukan enukleasi. Pada wanita postmenopause,
oophorectomy lebih dianjurkan karena risiko keganasan kelompok tersebut lebih tinggi dan
juga keuntungannya lebih besar dibandingkan dengan risikonya
- Minimal invasif seperti laparoskopi serta pembedahan terbuka seperti laparotomi.
Terapi menggunakan pil KB oral kombinasi (belum ada studi yang cukup untuk mendukung
efektivitas terapi dengan pil KB oral kombinasi kista yang ditemukan pada perempuan pra
pubertas dan wanita yang berada dalam masa reproduksi ataupun pada kista yang
asimptomatik dan pada kelompok tersebut kebanyakan kista ovarium yang diderita
merupakan kista fungsional yang akan ter regresi spontan dalam waktu 6 bulan.
Wanita post menopause memiliki risiko yang lebih tinggi untuk berkembang menjadi
keganasan. tetapi, terdapat kriteria seorang wanita post menopause dengan kista ovarium
simpel yang hanya memerlukan observasi ketat saja seperti: (1) kista unilokuler berdinding
tipis yang didapatkan dari hasil USG; (2) kista dengan diameter <5 cm; (3) tidak ada
pembesaran kista pada periode observasi; (4) kadar CA125 serum yang normal. Kista yang
berdiameter sampai dengan 10 cm masih dapat dilakukan observasi, jika lebih besar maka
dapat dipertimbangkan untuk pembedahan.

Sumber:
Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. 4th ed. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono;
Mobeen S, Apostol R. Ovarian Cyst. [Updated 2022 Jun 13]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-

10A/ Ny. Nur Aini/ 30 th/ P2A0, post SC luar H+8 a/i PEB, anemia sedang
Dasar Diagnosis
Anamnesis
Keluhan utama: Kenceng-kenceng sejak 1 hari SMRS
RPS: Berdasarkan HPHT pasien hamil 36 minggu dengan keluhan kenceng-kenceng sering
disertai keluar lendir darah, keluar cairan dari jalan lahir (-), gerak janin aktif. Keluhan
disertai pusing (+)
Riw. Menarche: Siklus 28 hari/ durasi 5-7 hari/ 1-2x ganti pembalut per hari/ dismenorea (-)
Riw. Obstetri:
1. Laki-laki/ 3200 gr/ lahir SC a.i lilitan tali pusat/ sehat
2. Hamil ini
Riw. ANC: Rutin sesuai jadwal ke bidan
Riw. operasi sebelumnya (-)
RPD: Kolesterol tinggi, asam urat (+)
Pemeriksaan Fisik
KU baik
Tanda vital 171/95 mmHg
Status generalis tampak oedem ekstremitas +/+
Status obstetri: TFU 2 jari di atas simfisis, lochea serosa, luka bekas jahitan operasi tampak
bersih dan kering
Pemeriksaan Penunjang
Protein urin +2
Hb 7,7 g/dL
Tatalaksana
Tirah baring
terapi medikamentosa anti-hipertensi
Transfusi PRC

Preeklampsia
Preeklampsia merupakan hipertensi (tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik
atau 90 mmHg diastolik) spesifik yang disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan
sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20 minggu.
Salah satu gejala dan gangguan lain pada sistem organ dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis preeklampsia, yaitu:
Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes
urin dipstik > positif 1
Trombositopenia: trombosit < 100.000 / mikroliter
Gangguan ginjal: kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar kreatinin
serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
Gangguan liver: peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya nyeri
di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
Edema Paru
Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta :
Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan adanya absent or reversed
end diastolic velocity (ARDV)
Anamnesis:
● Umur > 40 tahun
● Nulipara
● Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
● Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
● Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
● Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan
● Kehamilan multiple
● IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
● Hipertensi kronik Penyakit Ginjal
● Sindrom antifosfolipid (APS)
● Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio
● Obesitas sebelum hamil
Pemeriksaan fisik:
● Indeks masa tubuh > 35
● Tekanan darah diastolik > 80 mmHg
● Proteinuria (dipstick >+l pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau secara
kuantitatif
● 300 mg/24 jam)
Tatalaksana:
Magnesium sulfat sebagai antikonvulsan. Pemberian magnesium sulfat bermakna dalam
mencegah kejang dan kejang berulang.
● Dosis awal: 4g MgSO4 (10 ml konsentrasi 40% atau 20 ml konsentrasi 20%) IV
selama 5-8 menit (kecepatan 0,5-1 gr/menit). Untuk 10 ml Konsentrasi 40%
dilarutkan menjadi 20 ml dengan aquadest.
● Dosis lanjutan: Lanjutkan dengan 15 ml MgSO4 (40%) atau 6 gr dalam larutan ringer
asetat/ ringer laktat selama 6 jam (1 gr/jam). Jika terjadi kejang ulangan, berikan
MgSO4 2 gr IV selama 5 menit Infus MgSO4 1gr/jam diberikan hingga 24 jam pasca
persalinan/setelah bayi lahir
Antihipertensi: Pada preeklampsia nifedipine adalah obat yang digunakan sebagai lini
pertama sedangkan methyldopa adalah obat yang digunakan sebagai lini kedua. Nifedipine
adalah penghambat saluran kalsium yang digambarkan sebagai obat yang aman, efektif, dan
obat non teratogenik. Alpha-methyldopa adalah agonis reseptor a- adrenergik yang juga obat
yang efektif dan aman untuk Ibu hamil

Sumber: Malha et al., 2018. Hypertension in Pregnancy in Hypertension: A Companion to


Braunwald's Heart Disease (ThirdEdition) Ch 39. Elsevier.

10B/ Ny. Intania Puspitasari/ 23 th/ P1A0, post SC H+0 a/i KPD, eklampsia

Dasar diagnosis :
Anamnesis : Keluar air merembes sejak jam 08.00,
kenceng-kenceng(+) lendir darah (-) pandanganmata agak kabur. Mual muntah (-) HPHT
4/10/22 HPL 11/7/23 ANC> 4x di bidan hasil baik Riw HT (-), Batuk (+)
Pemeriksaan fisik : tampak sakit sedang , lemas
Pemeriksaan Fisik sebelum sc : oedem tungkai +/+
TFU 33cm, DJJ 136x/m, His 1x/10menit/20detik
VT 1cm, eff 25% kk(-) kepala hodge 1
PPV air ketuban dan lendir darah
Tatalaksana :
IVFD RL20tpm
Protap PEB
Inj Cefotaxim 1 gr iv

Ketuban Pecah Dini (KPD)


Ketuban pecah dini memiliki bermacam-macam batasan, teori dan definisi. Ketuban pecah
dini (KPD) atau Premature Rupture of the Membranes (PROM) adalah keadaan pecahnya
selaput ketuban sebelum terjadinya proses persalinan pada kehamilan aterm. Sedangkan
Preterm Premature Rupture of the Membranes (PPROM) adalah pecahnya ketuban pada
pasien dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu.

Patofisiologi: Disebabkan oleh kontraksi uterus dan peregangan berulang. Perubahan


biokimia membuat selaput ketuban inferior rapuh. Selaput ketuban sangat kuat pada
kehamilan muda. selaput ketuban mudah pecah karena berhubungan dengan pembesaran
uterus, kontraksi Rahim, dan Gerakan janin. Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm bersifat
fisiologis. KPP pada premature disebabkan oleh adanya faktor eksternal misalnya infeksi
yang menjalar ke vagina.

Faktor risiko :
- Berkurangnya asam askorbik sebagai komponen kolagen
- Kekurangan tembaga dan asam askorbat yang berakibat pertumbuhan struktur
abnormal, antara lain karena merokok
- Riwayat KPP pada kehamilan sebelumnya Infeksi tractus genitalis
- Perdarahan antepartum
- Hidramnion
- Inkompetensi serviks

Diagnosis:
- Berdasarkan anamnesis pasien merasakan basah pada vagina, atau mengeluarkan
cairan yang banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir atau “ngepyok”. Cairan berbau
khas dan perlu diperhatikan warnanya. Menentukan usia kehamilan dari hari pertama
menstruasi terakhir (HPHT) atau dari USG kemudian dari Inspeksi didapatkan
pecahnya selaput ketuban dengan adanya cairan ketuban keluar dari vagina.
Pemeriksaan dengan spekulum dilakukan untuk mengkonfirmasi keluarnya cairan
ketuban dari vagina,
- Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan dari Orifisium
Uteri Eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri ditekan,
penderita diminta batuk, mengejan, atau bagian terendah digoyangkan, akan tampak
keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada fornix anterior. Pada pemeriksaan
dalam terdapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi.
- Pemeriksaan Vaginal Toucher (VT) perlu dipertimbangkan, terutama pada kehamilan
yang kurang bulan yang belum dalam persalinan sangat dibatasi dilakukan
pemeriksaan dalam (VT), karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan
mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang normal.
Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen. Pemeriksaan dalam
vagina hanya dilakukan pada kasus KPD yang sudah dalam persalinan atau yang
dilakukan induksi persalinan.
- Berdasarkan Pemeriksaan penunjang (pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
ultrasonografi) dilakukan untuk menentukan ada atau tidaknya infeksi, kriteria
laboratorium yang digunakan adalah adanya leukositosis maternal (WBC yang lebih
dari 16.000/uL), adanya peningkatan C-reactive protein cairan ketuban dan gas-liquid
chromatography, serta amniosentesis untuk mendapatkan bukti yang kuat (misalnya
cairan ketuban yang mengandung leukosit yang banyak atau bakteri pada pengecatan
gram maupun pada kultur aerob maupun anaerob). Tes lakmus (tes Nitrazin)
digunakan, yaitu jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukkan adanya
air ketuban (alkalis). Normalnya pH air ketuban berkisar antara 7-7,5. Darah dan
infeksi vagina dapat menghasilkan tes yang positif palsu. Mikroskopik (tes pakis),
yaitu dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering.
Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis. Pada pemeriksaan
Ultrasonografi (USG) dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam
kavum uteri. Dikenal tiga cara pengukuran cairan ketuban, yaitu secara subyektif,
semi kuantitatif (pengukuran satu kantong), dan pengukuran empat kuadran menurut
Phelan. Sayangnya tidak ada satupun metode pengukuran volume cairan ketuban
tersebut yang dapat dijadikan standar baku emas. Penilaian subyektif oleh seorang
pakar dengan menggunakan USG “real-time” dapat memberikan hasil yang baik.

Komplikasi:
- Persalinan premature : ketuban pecah biasanya disusul oleh persalinan
- Infeksi ibu: korioamnionitis, bayi: sepsis, pneumonia
- Hipoksia dan asfiksia : pecahnya ketuban -> oligohidramnion yang menekan tali pusat
-> asfiksia hipoksia
- Sindrom deformitas janin : KPP terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat

Tatalaksana:
- Antibiotic (ampicillin 4x500 mg selama 7 hari atau cefotaxime 3x1 g)
- UK 32-34 minggu (dexamethasone 2x6 mg selama 2 hari)
- UK <32 minggu (rawat inap, observasi ibu dan janin 48-72 jam )
- Aktif kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal seksio sesarea.
Dapat pula diberikan misoprostol 25 pg - 50 pg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4
kali. Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan persalinan
diakhiri. Bila skor pelvik <5, lakukan pematangan serviks, kemudian induksi. Jika
tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea

Sumber: Negara KS, Mulyana RS, Pangkahila ES. Buku Ajar Ketuban Pecah Dini. 1st ed.
Yusrizal A, Desiree F, Pramana IGN, editors. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana; 2017.

Eklampsia

Definisi:
Eklampsia adalah kejang yang terjadi pada ibu hamil dengan tanda-tanda preeklampsia.
Preeklampsia sendiri merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari hipertensi (Tekanan darah
≥140/90 mmHg) bersamaan dengan proteinuriamasif yang terjadi pada usia kehamilan lebih
dari 20 minggu.
Eklampsia dibagi menjadi tiga yaitu, eklampsia antepartum, eklampsia intrapartum, dan
eklampsia postpartum.
Eklampsia banyak terjadi pada trimester terakhir dan semakin meningkat saat mendekati
persalinan.

Epidemiologi:
Sekitar 60-75% eklampsia dapat terjadi sebelum persalinan, dansekitar 40-50% terjadi saat
persalinan dan 48 jam pertama setelah melahirkan. Ancaman kejang dapat tetap terjadi
hingga 6 minggu pasca persalinan yang sering disebut dengan eclampsia late onset

Etiologi:
Mekanisme terjadinya preeklampsia dan eklampsia masih belum dimengerti, halini
digambarkan sebagai “disease of theory”.
Teori-teori tersebut di antaranya adalah;
a. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel,
b. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin,
c. Teori kelainan pada vaskularisasi plasenta,
d. Teori adaptasi kardiovaskular,
e. Teori inflamasi,
f. Teori defisiensi gizi, dan
g. Teori genetik.

Patofisiologi:

Fase Kejang:
Kejang pada eklampsia terdiridari beberapa fase.
- Fase pertama terjadi adanya twiching pada wajah pada 20 detik pertama
- Diikuti pada fase kedua timbulnya sentakan tonik klonik pada pada badan dan
ekstremitas pasien diikuti dengan fase penurunan kesadaran saat setelah kejang pasien
dapat menjadi agitasi serta terjadi hiperventilasi, keadaan ini merupakan kompensasi
dari keadaan asidosis laktat yang terjadi selama kejang.
Pada wanita hamil → penurunan kadar magnesium darah, walaupun tidak ditemukan
perbedaan yang bermakna antara kehamilan normal dan preeklampsia atau eklampsia,
Penurunan kadar magnesium dalam darah pada penderita preeklampsia dan eklampsia
mungkin dapat diterangkan atas dasar hipervolemia yang fisiologis pada kehamilan.

Pengaruh yang paling berbahaya dari ion Mg2+ adalah hambatan pelepasan Asetilkolin. Ion
Magnesium → berperan dalam proses pelepasan ion Ca2+ , Na+ dan K+ trans membran pada
fase depolarisasi dan repolarisasi, melalui aktivitas enzim Ca-ATPase dan Na6ATPase.
Defisiensi Mg2+ → menurunkan konsentrasi Kalium dalam sel → meningkatkan konsetrasi
Na+ dan Ca2+ dalam sel → mengurangi ATP intraseluler, sehingga Mg2+ dianggap sebagai
stabilisator dari berbagai kanal ion tidak berfungsi → penurunan jumlah ion Mg2+ akan
meningkatkan ambang batas eksitasi sehingga dapat menyebabkan kejang.

Ion Mg2+ memiliki efek inhibisi pada potensial post junctional dan menyebabkan penurunan
eksitabilitas dari serabut-serabut otot, sehingga dengan 4 gram MgSO4 pada keadaan
preeklampsia mampu meningkatkan ambang kejang, dengan penjelasan tersebutlah MgSO4
memberi efek anti kejang pada tatalaksana preeklampsia.

Penatalaksanaan:
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada penolongan persalinan pada pasiendengan
preeklampsia berat (PEB), Pasien dengan PEB sebaiknya tidak diperkenankan untuk
mengejan terlalu hebat, hal ini dikarenakan proses mengejan dapat memicu terjadinya
peningkatan tekanan darah.
Peningkatan tekanan darah pada wanita dengan PEB → berbanding lurus dengan terjadinya
eklampsia.
Hal yang perlu dilakukan pada pasien dengan PEB adalah mempercepat proses persalinan
kala dua dengan Sectio caesarea atau dapat juga melakukan tindakan ekstraksi forsep dan
ekstraksi vacuum bertujuan untuk mengurangi efek komplikasi yang mungkin terjadi.

Kejang Masih Mungkin Akan Terjadi Walau Tatalaksana MgSO4 telah diberikan, angka
kejadian ini terjadi sekitar 10%dari seluruh kasus. Keadaan ini dapat diatasi dengan
pemberian 2gram bolus MgSO4 atau dapat diberikan sodium amoborbital 250 mg intra
venasecarapelanselama 3 sampai 5 menit.

Tatalaksana Medikamentosa
Penatalaksanaan preeklampsia lebih ditekankan pada pencegahan kejang dan pengontrolan
hipertensi.
Pemberian anti kejang Magnesium sulfat (MgSO4) → pilihan pertama dalam tatalaksana
preeklamsia berat, pemberian jalur intravena dapat diberikan dengan loading dose 4 gram
diencerkan dalam 10 ml cairan aquades diberikan selama 15 hingga 20 menit bolus lambat.
Selanjutnya dapat memulai dosis rumatan MgSO4 6 gram dalam 500 mL cairan Ringer laktat
dengan kecepatan dosis 1gram/jam atau sekitar 28 tetes makro permenit. (6,7,9)
Penatalaksanaan hipertensi dan pencegahan kejang dapat menurunkan risiko komplikasi.
Pemberian obat anti hipertensi yang direkomendasikan → nifedipin 10 mg diberikan setiap
20 menit sampaitekanan darah turun mencapai 25% dari mean arterial pressure(MAP).

Sumber: Andalas M, Ramadana AK, Rudiyanto. EKLAMPSIA POSTPARTUM: SEBUAH


TINJAUAN KASUS. JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA. 2017 Apr;17(1):33–7.

Vk2B/Ny. Miftahur Rahmawati/26th/P2A0 post partum spontan H0, hepatitis B ,HPP


Dasar diagnosis
Anamnesis : pasien saat masuk rs merasakan perut kenceng-kenceng gerak janin aktif ,
sempat keluar cairan dari jalan lahir, saat ini pasien sudah melahirkan secara spontan. pasien
mengatakan hepatitis b didapat dari nenek - ibu pasien
Pemeriksaan Fisik : tampak sakit sedang , cm perut masih besar
Sudah tidak perdarahan
Tatalaksana :
amoxicilin 3x500
asmef 3x500
methyl ergometrin 3x1 tab
domperidon 3x10
tambah darah 2x1 tab
vit a 1x1
HPP (Hemorrhagic postpartum)/ perdarahan post partum
Definisi
Diartikan sebagai kehilangan darah 500 ml atau lebih setelah janin dan plasenta lahir (akhir
kala III) pada persalinan pervaginam atau 1000 ml atau lebih pada persalinan seksio sesarea.
Definisi ini dirasakan terlalu sederhana apabila dikaitkan dengan adanya pertambahan
volume plasma darah yang normal pada kehamilan yaitu rata-rata sebesar 30 – 60% atau
1500 – 2000 ml selama kehamilan.
Oleh karena itu pengukuran kadar hematokrit sangat penting menilai jumlah perdarahan yang
terjadi selain pengukuran secara kwantitatif. Secara umum diterima apabila kadar hematokrit
turun sebesar 3% itu berarti sudah terjadi kehilangan darah sebanyak pertambahan volume
darah kehamilan normal (30-60%) ditambah dengan 500 ml

Etiologi
Penyebab perdarahan postpartum dapat dibagi menjadi 4 T yaitu
- tone (tonus; atonia uteri),
- tissue (jaringan; retensio plasenta dan sisa plasenta),
- tears (laserasi; laserasi perineum, vagina, serviks dan uterus) dan
- thrombin (koagulopati; gangguan pembekuan darah).
Atonia uteri merupakan penyebab utama perdarahan postpartum yaitu sebesar 70% dan
sekaligus penyebab utama kematia maternal. Trauma seperti laserasi, ruptura uteri dll.
sebesar 20%, tisuue (jaringan) seperti retensio plasenta, sisa plasenta sebesar 10% serta
thrombin (koagulopati) atau gangguan pembekuan darah seperti idiopathic thrombocytopenic
purpura (ITP), thombotic thrombocytopenic purpura, penyakit von Willebrand dan hemofilia,
menyumbang 1% sebagai penyebab PPH.

Klasifikasi
Perdarahan dibagi menjadi
- minor yaitu 500-1000 ml atau
- mayor >1000 ml
- sedang yaitu 1000-2000 ml atau
- berat >2000 ml

Pengelolaan dan Penatalaksanaan


Manajemen aktif persalinan kala tiga terbukti mencegah terjadinya perdarahan postpartum.
Manajemen aktif persalinan kala tiga terdiri dari tiga tindakan yaitu injeksi oksitosin segera
setelah bayi lahir, penegangan tali pusat terkendali, dan masase uterus pasca kelahiran
plasenta.
Prosedur penanganan perdarahan postpartum dapat disingkat dengan HAEMOSTASIS.
Tatalaksana ini terdiri dari tatalaksana awal diantaranya meminta bantuan, memasang jalur
intravena dengan kateter ukuran besar, mencari etiologi dan melakukan masase uterus.
Langkah selanjutnya yaitu memberikan obatobatan berupa preparat uterotonika, diantaranya
oksitosin, metilergometrin, dan misoprostol. Oksitosin diberikan 10-20 unit dalam 500 mL
NaCl 0,9% atau 10 unit intramuskular. Misoprostol merupakan analog prostaglandin E1
diberikan dengan dosis 600-1000 mcg dengan rute pemberian per oral, rektal atau vaginal.
Setelah memberikan obat-obatan, langkah selanjutnya adalah memberikan tatalaksana
konservatif non bedah, seperti menyingkirkan faktor sisa plasenta atau robekan jalan lahir,
melakukan kompresi bimanual atau kompresi aorta abdominal, serta memasang tampon
uterus vagina dan kondom kateter.
Langkah selanjutnya dari tatalaksana perdarahan postpartum adalah melakukan tatalaksana
konservatif bedah, yakni metode kompresi uterus dengan teknik B-Lynch, devaskularisasi
sistem perdarahan pelvis, atau embolisasi arteri uterina dengan radiologi intervensi.
Langkah terakhir adalah melakukan histerektomi subtotal atau total. WHO membuat
rekomendasi penanganan perdarahan postpartum yang kurang lebih sama dengan langkah
HAEMOSTASIS. Berikut penjabaran praktis upaya tatalaksana perdarahan postpartum dan
persiapan rujukan pada berbagai kondisi :
Sumber : Simanjuntak L. PERDARAHAN POSTPARTUM (PERDARAHAN
PASKASALIN). Jurnal Visi Eksakta (JVIEKS). 2020 Jul;1(1):1–10.

VK3a/ Ny. Miftahul Jannah/23 th /G3P1A1 hamil 36 minggu 3 hari Preskep , puki , PE , PPI
, KPD Riwayat obstetri kurang baik ( bekas sc 1x) , riwayat reproduksi kurang baik ( ab 1x)
Dasar Diagnosis :
Anamnesis : keluar air dari jalan lahir sejak jam 7:00 , kenceng-kenceng (+) , gerak janin (+)
, riwayat anak pertama PE
Menikah usia 17 th
Riwayat Anc >6x di bidan
Riwayat curet 2018 di rswn
Riwayat sc 2019 di rswn
Pemeriksaan Fisik :
Nyeri kepala (-), pandangan kabur (-), nyeri ulu hari (-)
Tfu : 27 cm djj : 146 x/menit protein urin +2
HPL : 8/8/2023
VT : pembukaan 1 cm
HIS (+)
PP : protein urin +2
Tatalaksana:
Inf RL 20 tpm
Inj cefotaxim 1 gr
Inj dexa 2x6 mg
Dopamet 250 mg
Nifedipin 30 mg
Bolus MgSo4 1gr / jam
Preeklampsia
Preeklampsia merupakan hipertensi (tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik
atau 90 mmHg diastolik) spesifik yang disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan
sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20 minggu.
Salah satu gejala dan gangguan lain pada sistem organ dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu:
1. Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi 300 mg dalam 24 jam
atau tes urin dipstik > positif 1
2. Trombositopenia: trombosit < 100.000 / mikroliter
3. Gangguan ginjal: kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar
kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
4. Gangguan liver: peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau
adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
5. Edema Paru
6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
7. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta
: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan adanya absent or
reversed end diastolic velocity (ARDV)

Anamnesis:
● Umur > 40 tahun
● Nulipara
● Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
● Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
● Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
● Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan
● Kehamilan multiple
● IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
● Hipertensi kronik Penyakit Ginjal
● Sindrom antifosfolipid (APS)
● Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio
● Obesitas sebelum hamil

Pemeriksaan fisik:
● Indeks masa tubuh > 35
● Tekanan darah diastolik > 80 mmHg
● Proteinuria (dipstick >+l pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau secara
kuantitatif 300 mg/24 jam)
Tatalaksana:
Magnesium sulfat sebagai antikonvulsan. Pemberian magnesium sulfat bermakna dalam
mencegah kejang dan kejang berulang. Dosis awal: 4g MgSO4 (10 ml konsentrasi 40% atau
20 ml konsentrasi 20%) IV selama 5-8 menit (kecepatan 0,5-1 gr/menit). Untuk 10 ml
Konsentrasi 40% dilarutkan menjadi 20 ml dengan aquadest. Dosis lanjutan: Lanjutkan
dengan 15 ml MgSO4 (40%) atau 6 gr dalam larutan ringer asetat/ ringer laktat selama 6 jam
(1 gr/jam). Jika terjadi kejang ulangan, berikan MgSO4 2 gr IV selama 5 menit Infus MgSO4
1gr/jam diberikan hingga 24 jam pasca persalinan/setelah bayi lahir
Antihipertensi: Pada preeklampsia nifedipine adalah obat yang digunakan sebagai lini
pertama sedangkan methyldopa adalah obat yang digunakan sebagai lini kedua. Nifedipine
adalah penghambat saluran kalsium yang digambarkan sebagai obat yang aman, efektif, dan
obat non teratogenik. Alpha-methyldopa adalah agonis reseptor aadrenergik yang juga obat
yang efektif dan aman untuk Ibu hamil

Sumber: Malha et al., 2018. Hypertension in Pregnancy in Hypertension: A Companion to


Braunwald's Heart Disease (ThirdEdition) Ch 39. Elsevier.

Ketuban Pecah Dini (KPD)


Ketuban pecah dini memiliki bermacam-macam batasan, teori dan definisi. Ketuban pecah
dini (KPD) atau Premature Rupture of the Membranes (PROM) adalah keadaan pecahnya
selaput ketuban sebelum terjadinya proses persalinan pada kehamilan aterm. Sedangkan
Preterm Premature Rupture of the Membranes (PPROM) adalah pecahnya ketuban pada
pasien dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu.

Patofisiologi: Disebabkan oleh kontraksi uterus dan peregangan berulang. Perubahan


biokimia membuat selaput ketuban inferior rapuh. Selaput ketuban sangat kuat pada
kehamilan muda. selaput ketuban mudah pecah karena berhubungan dengan pembesaran
uterus, kontraksi Rahim, dan Gerakan janin. Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm bersifat
fisiologis. KPP pada premature disebabkan oleh adanya faktor eksternal misalnya infeksi
yang menjalar ke vagina.

Faktor risiko :
- Berkurangnya asam askorbik sebagai komponen kolagen
- Kekurangan tembaga dan asam askorbat yang berakibat pertumbuhan struktur
abnormal, antara lain karena merokok
- Riwayat KPP pada kehamilan sebelumnya Infeksi tractus genitalis
- Perdarahan antepartum
- Hidramnion
- Inkompetensi serviks

Diagnosis:
- Berdasarkan anamnesis pasien merasakan basah pada vagina, atau mengeluarkan
cairan yang banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir atau “ngepyok”. Cairan berbau
khas dan perlu diperhatikan warnanya. Menentukan usia kehamilan dari hari pertama
menstruasi terakhir (HPHT) atau dari USG kemudian dari Inspeksi didapatkan
pecahnya selaput ketuban dengan adanya cairan ketuban keluar dari vagina.
Pemeriksaan dengan spekulum dilakukan untuk mengkonfirmasi keluarnya cairan
ketuban dari vagina,
- Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan dari Orifisium
Uteri Eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri ditekan,
penderita diminta batuk, mengejan, atau bagian terendah digoyangkan, akan tampak
keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada fornix anterior. Pada pemeriksaan
dalam terdapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi.
- Pemeriksaan Vaginal Toucher (VT) perlu dipertimbangkan, terutama pada kehamilan
yang kurang bulan yang belum dalam persalinan sangat dibatasi dilakukan
pemeriksaan dalam (VT), karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan
mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang normal.
Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen. Pemeriksaan dalam
vagina hanya dilakukan pada kasus KPD yang sudah dalam persalinan atau yang
dilakukan induksi persalinan.
- Berdasarkan Pemeriksaan penunjang (pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
ultrasonografi) dilakukan untuk menentukan ada atau tidaknya infeksi, kriteria
laboratorium yang digunakan adalah adanya leukositosis maternal (WBC yang lebih
dari 16.000/uL), adanya peningkatan C-reactive protein cairan ketuban dan gas-liquid
chromatography, serta amniosentesis untuk mendapatkan bukti yang kuat (misalnya
cairan ketuban yang mengandung leukosit yang banyak atau bakteri pada pengecatan
gram maupun pada kultur aerob maupun anaerob). Tes lakmus (tes Nitrazin)
digunakan, yaitu jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukkan adanya
air ketuban (alkalis). Normalnya pH air ketuban berkisar antara 7-7,5. Darah dan
infeksi vagina dapat menghasilkan tes yang positif palsu. Mikroskopik (tes pakis),
yaitu dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering.
Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis. Pada pemeriksaan
Ultrasonografi (USG) dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam
kavum uteri. Dikenal tiga cara pengukuran cairan ketuban, yaitu secara subyektif,
semi kuantitatif (pengukuran satu kantong), dan pengukuran empat kuadran menurut
Phelan. Sayangnya tidak ada satupun metode pengukuran volume cairan ketuban
tersebut yang dapat dijadikan standar baku emas. Penilaian subyektif oleh seorang
pakar dengan menggunakan USG “real-time” dapat memberikan hasil yang baik.

Komplikasi:
- Persalinan premature : ketuban pecah biasanya disusul oleh persalinan
- Infeksi ibu: korioamnionitis, bayi: sepsis, pneumonia
- Hipoksia dan asfiksia : pecahnya ketuban -> oligohidramnion yang menekan tali pusat
-> asfiksia hipoksia
- Sindrom deformitas janin : KPP terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat

Tatalaksana:
- Antibiotic (ampicillin 4x500 mg selama 7 hari atau cefotaxime 3x1 g)
- UK 32-34 minggu (dexamethasone 2x6 mg selama 2 hari)
- UK <32 minggu (rawat inap, observasi ibu dan janin 48-72 jam )
- Aktif kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal seksio sesarea.
Dapat pula diberikan misoprostol 25 pg - 50 pg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4
kali. Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan persalinan
diakhiri. Bila skor pelvik <5, lakukan pematangan serviks, kemudian induksi. Jika
tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea
Sumber: Negara KS, Mulyana RS, Pangkahila ES. Buku Ajar Ketuban Pecah Dini. 1st ed.
Yusrizal A, Desiree F, Pramana IGN, editors. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana; 2017.

Anda mungkin juga menyukai