Modul 13 Etika Pemerintahan
Modul 13 Etika Pemerintahan
ETIKA PEMERINTAHAN
Etika merupakan dasar dalam kehidupan sosial. Bahkan, etika dijadikan barometer
peradaban bangsa. Suatu bangsa dikatakan berperadaban tinggi jika warganya bertindak
sesuai dengan peraturan yang disepakati bersama. Perilaku dan sikap taat pada peraturan
memungkinkan aktivitas dan relasi antarsesama warga berjalan secara wajar, efisien, dan
tanpa hambatan berarti. Etika yang juga sering disebut unggah-ungguh, tata krama, sopan
santun, dan budi pekerti membuatnya mampu secara baik menempatkan diri dalam
pergaulan sosial. Hal itu akan sangat menentukan keberhasilan dalam hidup bermasyarakat.
Demikian pula, dalam kehidupan sosial, etika akan menjelaskan tingkah laku yang baik, yang
pantas, dan yang secara substansi mengandung kebaikan dan sebaliknya. Bagi bangsa timur
seperti Indonesia, etika telah mendarah daging yang dimiliki dan diterapkan dalam kerangka
penghormatan terhadap nilai kebaikan, kemanusiaan, dan keadilan kolektif. Oleh karena itu,
kita masih yakin dan percaya bahwa etika menjadi bagian dari kultur sosial dan antropologis
bangsa Indonesia.
Dalam konteks organisasi, etika organisasi dapat berarti pola sikap dan perilaku yang
diharapkan dari setiap individu dan kelompok anggota organisasi, yang secara keseluruhan
akan membentuk budaya organisasi (organizational culture) yang sejalan dengan tujuan
ataupun filosofi organisasi yang bersangkutan.
Secara konseptual, model organisasi yang ideal sebagaimana dirumuskan oleh Max Weber,
yaitu birokrasi memiliki karakteristik yang sekaligus menjadi nilai-nilai perilaku bagi para
anggota organisasi.
Beberapa karakteristik organisasi yang ideal atau birokrasi yang penting menurut Weber
dalam Indrawijaya, di antaranya:
a. spesialisasi atau pembagian pekerjaan;
b. tingkatan berjenjang (hierarki);
c. berdasarkan aturan dan prosedur kerja;
d. hubungan yang bersifat impersonal;
e. pengangkatan dan promosi anggota/pegawai berdasarkan kompetensi (sistem merit).
Adapun menurut Willms, setiap anggota birokrasi diharapkan memiliki beberapa
karakteristik sebagai berikut:
a. bebas dari segala urusan pribadi (personally free) selain yang berkaitan dengan tugas-
tugas yang telah ditetapkan;
b. memahami tugas dan ruang lingkup jabatan atau kedudukannya dalam hierarki
organisasi;
c. mengerti dan menerapkan kedudukan hukumnya dalam organisasi, dalam arti
memahami aturan yang menetapkan kewajiban dan kewenangannya dalam organisasi;
d. berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja dengan kompensasi tertentu sesuai dengan
tugas dan tanggung jawab yang dibebankan organisasi kepadanya;
e. diangkat dan dipromosikan berdasarkan merit atau prestasi dan kompetensi;
f. mendapatkan kompensasi berdasarkan tarif standar yang sesuai dengan kedudukannya
ataupun tugas pokok dan fungsinya;
g. wajib mendahulukan tugas pokok dan fungsinya daripada tugastugas lain selain yang
telah dibebankan kepadanya oleh organisasi;
h. ditempatkan dengan struktur karier yang jelas;
i. berdisiplin dalam perilaku kerjanya sehingga dilakukan pengawasan.
Pandangan Max Weber tentang model organisasi ideal tersebut secara ringkas
mendudukkan setiap anggota organisasi dalam hierarki struktural, yaitu setiap pekerjaan
diselesaikan berdasarkan prosedur dan aturan kerja yang berlaku, setiap orang terikat
dengan ketat terhadap aturan-aturan dalam organisasi tersebut, dan hubungan di antara
setiap anggota ataupun kelompok dan hubungan dengan pihak luar terbatas hanya pada
urusan-urusan pekerjaan yang menjadi tugas dan tanggung jawab setiap anggota. Jadi,
dalam model organisasi yang ideal ini sifatnya mekanistis, kaku, dan impersonal (tidak
pribadi).
Pandangan Weber tersebut mendapatkan banyak kritik karena model organisasi yang ideal
tersebut tidak mengakomodasi hubungan yang bersifat personal dan sangat membatasi
perilaku para anggota organisasi dengan berbagai aturan yang ketat. Model birokrasi ideal
seperti itu tidak menjamin terciptanya interaksi yang dinamis dalam hubungan kerja antara
anggota kelompok, antarkelompok, ataupun organisasi dan klien atau masyarakat yang
dilayani. Karakteristik birokrasi atau model organisasi yang ideal menurut Weber sangat
mewakili kondisi-kondisi berbagai organisasi dalam pemerintahan.
Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa perilaku manusia dalam organisasi
dengan nilai-nilai etikanya mencakup beberapa dimensi, yaitu:
a. hubungan antara anggota dan organisasi yang tertuang dalam perjanjian atau aturan-
aturan legal;
b. hubungan antara anggota organisasi dan sesama anggota lainnya, antara anggota dan
pejabat dalam struktur hierarki;
c. hubungan antara anggota organisasi yang bersangkutan dan anggota organisasi lainnya;
d. hubungan antara anggota dan masyarakat yang dilayaninya.
Bagi aparatur pemerintah, budaya dan etika kerja merupakan hal pemerintahan pusat
ataupun daerah, pada tingkat departemen atau organisasi ataupun unit-unit kerja di
bawahnya.
Adapun nilai-nilai filosofis yang melandasinya adalah ideologi negara, yaitu Pancasila.
Ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 beserta ketentuan dalam amandemennya menjadi
kerangka pedoman kebijakan dan tindakan pemerintah dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara.
Presiden dan wakil presiden, anggota dan pimpinan lembaga tertinggi dan tinggi negara
lainnya juga diwajibkan untuk mengangkat sumpah/janji sebelum menjalankan jabatannya
itu. Para menteri, Kepala LPND, gubernur, bupati, walikota beserta para wakil mereka, serta
para pejabat eselon dan pejabat fungsional dan jabatan-jabatan lainnya juga diwajibkan
untuk mengangkat sumpah/janji. Sumpah/ janji inilah yang menjadi kesepakatan dan
komitmen terhadap nilainilai, standar-standar sebagai kode etik jabatan.
Dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 5 ditetapkan mengenai kewajiban
setiap penyelenggara negara sebagai berikut:
a. mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku
jabatannya;
b. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat;
c. melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat;
d. tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
e. melaksanakan dan golongan; tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras,
f. melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan
tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun
kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
g. bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dalam perkara
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun hak sebagai penyelenggara negara diatur dalam Pasal 4 UU No. 28 tahun 1999, yang
meliputi hak-hak:
a. menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. menggunakan hak jawab terhadap setiap teguran, tindakan dari atasannya, ancaman
hukuman, dan kritik masyarakat;
c. menyampaikan pendapat di muka umum secara bertanggungjawab sesuai dengan
wewenangnya; dan
d. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut ditegaskan ketentuan bahwa: Hubungan
antar Penyelenggara Negara dilaksanakan dengan menaati norma-norma kelembagaan,
kesopanan, kesusilaan, dan etika yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Bagi PNS yang duduk dalam Jabatan Struktural Eselon V sampai dengan Eselon I pada
dasarnya masih berlaku ketentuan disiplin sebagai etika perilaku dalam jabatan,
sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980, seperti telah
diuraikan sebelumnya, selain ketentuan dalam UU Nomor 28 tahun 1999 tersebut di atas.
Etika berkaitan dengan nilai-nilai dan pola perilaku dari setiap individu. Perhatian dan rasa
terhadap nilai-nilai dalam diri setiap aparatur berkaitan dengan latar belakang sejarah,
budaya, dan perkembangan kondisi sosial dan lingkungan kehidupan saat ini. Dalam konteks
negara, perbedaan tersebut jelas ada sesuai dengan perbedaan sejarah, budaya, dan
lingkungannya sehingga dapat dikatakan bahwa setiap individu juga akan memiliki
pandangan yang berbeda tentang nilai-nilai dan setiap negara akan memiliki standar dan
ketentuan etika yang berbeda satu sama lain.
Pada kenyataannya, kecenderungan yang terjadi saat ini cukup mengherankan karena
perbedaan pandangan tentang etika tampaknya sangat tipis, bahkan terdapat
kecenderungan upaya menerapkan sistem etika pemerintahan secara global. Dalam hal ini
kita dapat melihat kenyataan bahwa perubahan paradigma pemerintahan yang terjadi saat
ini sangat bersifat global.
Demikianlah berbagai kecenderungan isu mengenai etika pemerintahan telah menjadi isu
global dan cenderung mengarah pada penerapan kode etik global dalam bidang
pemerintahan, khususnya dalam rangka menghapuskan praktik-praktik korupsi dan suap.
C. Etika Kepegawaian
Kode etik profesi Pegawai Negeri Sipil merupakan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya
serta kebaikan yang ditimbulkannya apabila dapat diwujudkan dalam sikap dan perilaku
seorang Pegawai Negeri Sipil, baik dalam kedinasan maupun dalam kesehariannya di
tengah-tengah masyarakat. Kode etik Pegawai Negeri Sipil mencakup seluruh aspek
kehidupan, baik kedinasan maupun dalam kehidupan kesehariannya, yaitu kode etik
bernegara, kode etika berorganisasi, kode etik bermasyarakat, kode etika sesama Pegawai
Negeri Sipil, dan kode etika terhadap diri sendiri.
Butir-butir kode etik tersebut akan bermakna jika dapat teraplikasikan dalam sikap dan
perilaku serta menjadi internalisasi dalam diri seorang Pegawai Negeri Sipil. Butir kode etik
Pegawai Negeri Sipil tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2004 sebagai
berikut.
a. Etika Bernegara
6) Tanggap, terbuka, jujur dan akurat, serta tepat waktu dalam melaksanakan setiap
kebijakan dan program pemerintah.
Nilai etika ini berarti bahwa setiap Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya harus cekatan, memahami dan mengetahui maksud dan tujuan pekerjaan,
sehingga dapat melaksanakan pekerjaan itu sesuai tujuannya, kemudian dalam
melaksanakan pekerjaan tersebut selalu berperilaku jujur, akurat, serta tepat waktu.
7) Menggunakan dan memanfaatkan semua sumber daya negara secara efektif dan efisien.
Indonesia memiliki sumber daya alam yang kaya dan luas. Oleh karena itu, kekayaan alam
harus benar-benar dikelola sesuai dengan kemanfaatannya untuk kepentingan negara
dan bangsa secara efektif dan efisien tidak boleh mengelolanya untuk kepentingan
pribadi maupun golongan apalagi untuk memperkaya diri sendiri.
b. Etika Berorganisasi
Organisasi merupakan wadah berkumpulnya beberapa orang untuk saling kerja sama dalam
mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Organisasi dalam etika berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2004 institusi dimana Pegawai Negeri Sipil bekerja dan
mengabdikan diri.
5) Menjamin kerja sama secara kooperatif dengan unit kerja lain yang terkait dalam rangka
pencapaian tujuan.
Kerja sama merupakan pola kerja yang harus menjadi budaya kerja aparatur. Nilai etika
ini memberikan makna bahwa setiap Pegawai Negeri Sipil di dalam melaksanakan
tugasnya harus dapat membangun kerja sama dan tidak boleh lagi kerja hanya
dilaksanakan secara individu ataupun sektoral. Suatu pola kerja akan memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkan dengan kerja secara individual dalam mencapai tujuan
organisasi.
8) Mengembangkan pemikiran secara kreatif dan inovatif dalam rangka peningkatan kinerja
organisasi.
Suatu pekerjaan akan semakin membaik jika ditopang oleh pemikiran kreatif dan inovatif.
Etika ini menuntut setiap pekerja untuk mengembangkan pemikiran kreatif untuk
mencapai hasil yang lebih baik dari waktu ke waktu. Hasil hari ini akan lebih baik
dibandingkan dengan hari kemarin, dan hasil kerja hari esok akan lebih baik dibandingkan
hasil kerja hari ini. Kunci dari kesemuanya itu adalah pengembangan pemikiran dan
inovatif dalam setiap pekerjaan.
c. Etika Bermasyarakat
2) Memberikan pelayanan dengan empati, hormat dan santun, tanpa pamrih dan tanpa
unsur pemaksaan.
Tugas pokok Pegawai Negeri Sipil adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat
dengan jujur, adil dan simpatik tanpa pamrih. Nilai etika harus dikedepankan karena
sebagai bagian dari pekerjaan PNS, dan dalam memberikan pelayanan harus tanpa
pamrih, bukan pekerjaan yang dikerjakan ketika dijanjikan akan diberikan imbalan atau
hadiah. Akan tetapi, pemberian pelayanan itu benar-benar karena rasa tanggung jawab.
3) Memberikan pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, adil serta tidak diskriminatif.
Pemberian pelayanan kepada masyarakat tidak saja dilakukan secara sopan, santun, dan
tanpa pamrih, tetapi pelayanan itu juga harus cepat, tepat, terbuka serta tidak
diskriminatif. Hal ini karena pelayanan yang tidak tepat waktu akan berakibat pada
lambatnya pelayanan yang berakibat pada kerugian masyarakat. Pelayanan izin usaha
misalnya jika diperlambat sehingga tidak tepat waktu, tentu akan menimbulkan kerugian
bagi masyarakat yang bergerak di bidang usaha.
4) Tanggap terhadap keadaan lingkungan masyarakat.
Etika bermasyarakat ini merupakan bagian dari kehidupan PNS, karena Pegawai negeri
Sipil berasal dari masyarakat dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu,
dalam kehidupan keseharian, ia harus tahu apa yang diinginkan oleh masyarakat tentang
kehidupannya. Misalnya, keinginan masyarakat tentang perbaikan infrastruktur, tata
kelola lingkungan yang sehat, serta kerukunan hidup antarumat beragama, yang
kesemuanya harus ditangkap oleh seorang Pegawai Negeri Sipil.
1) Jujur dan terbuka serta tidak memberikan informasi yang tidak benar.
Jujur adalah nilai etika yang sangat tinggi bagi seorang Pegawai Negeri Sipil. Dengan
kejujuran semua pekerjaan akan berhasil dengan baik dan benar. Jujur tidak hanya etika
bagi seorang PNS, tetapi juga menunjukkan tingginya moralitas. Kejujuran inilah sangat
diutamakan ketika harus memberikan informasi, sebab dengan informasi yang benar
tentu akan lahir konsep kerja yang benar dan hasilnya pun akan memberikan kebaikan.
Oleh karena itu, kejujuran ini adalah etika seorang Pegawai Negeri Sipil, artinya ia harus
melekat pada diri seorang PNS dan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam
jiwa dan raga PNS.
3) Saling menghormati antarteman sejawat baik secara vertikal maupun horizontal dalam
suatu unit kerja, instansi, maupun antarinstansi.
Rasa saling menghormati antarteman sejawat, baik secara vertikal maupun horizontal
sangat diperlukan untuk menciptakan suasana kerja yang baik dan menyenangkan. Hal ini
penting karena SIKAP saling menghormati dapat menghilangkan kecemasan dalam
bekerja sebagai akibat ketidakharmonisan hubungan antar sesama Pegawai Negeri Sipil.
6) Menjaga dan menjalin kerja sama yang kooperatif sesama Pegawai Negeri Sipil.
Kerja sama dalam suatu pekerjaan akan membawa hasil yang maksimal.
7) Terhimpun dalam satu wadah Korps Pegawai Republik Indonesia yang menjamin
terwujudnya solidaritas dan solidaritas sesama Pegawai Negeri Sipil dalam
memperjuangkan hak-haknya.
Pegawai Negeri Sipil perlu ditopang oleh suatu wadah organisasi yang dapat menampung
aspirasi dan memperjuangkannya demi mencapai kesejahteraan anggotanya. Adanya
wadah tersebut berarti pembinaan Pegawai Negeri Sipil dapat dilakukan secara mudah
dan mewujudkan ras solidaritas akan cepat terjalin dengan berhimpunnya seluruh PNS
dalam wadah Korps Pegawai Negeri Sipil.
Selain Kode Etik yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2004 disyaratkan
pula kepada pejabat Pembina kepegawaian untuk membuat kode etik instansi atau kode
etik profesi sesuai dengan jabatan fungsional yang ada di instansi tersebut dengan
memperhatikan karakteristik instansi tersebut.
***