Anda di halaman 1dari 7

Modul 4

ETIKA DALAM ORGANISASI


Bagian I

A. Memahami Etika dalam Organisasi

Sebuah organisasi adalah sebuah kelompok yang terdiri atas dua sampai puluhan ribu orang
yang sengaja berusaha untuk mencapai tujuan bersama atau serangkaian tujuan. Selain itu,
organisasi juga merupakan sebuah sistem yang berarti bahwa organisasi terdiri atas bagian
atau kelompok yang sangat terintegrasi untuk mencapai tujuan bersama. Sistem organisasi
terdiri atas input (sumber daya moneter dan manusia), proses (cara organisasi bergerak ke
tujuan), output (produk atau jasa), dan hasil (hasil akhir atau keuntungan untuk konsumen).

Ketika membicarakan etika organisasi, kita mengacu pada seperangkat nilai yang
mengidentifikasi sebuah organisasi, dari dalam (memahami cara orang-orang bekerja dalam
organisasi), dan dari luar (persepsi organisasi dari orang-orang yang memiliki urusan dengan
organisasi). Seperti nilai-nilai yang dapat dipertimbangkan dalam arti luas (yaitu penataan
organisasi dan praktik, proses atau nilai akhir, positif atau negatif) atau dalam arti sempit
(kita hanya mengacu pada visi, alasan keberadaannya dan komitmen organisasi, serta yang
berkaitan dengan identitas organisasi dan moral mereka).

Secara umum, dapat dikatakan bahwa dalam kasus pertama, kita akan menemukan orang-
orang dalam organisasi yang bertanya pada diri sendiri, "Bagaimana membuat kemajuan
dalam mencari keunggulan?", Kedua, organisasi-organisasi yang bertanya pada diri sendiri,
"Apa yang diperlukan untuk keunggulan organisasi?".

Artinya ketika membicarakan etika organisasi, seseorang dapat berbicara dari berbagai
perspektif, yaitu sebagai berikut:
1. Praktik, artinya untuk menjadi sadar dan mencari tahu apa saja yang relevan untuk
mengidentifikasi nilai-nilai yang sebenarnya pada struktur organisasi.
2. Pernyataan resmi, yaitu menguraikan wacana yang diusulkan sebagai acuan nilai
organisasi yang pada dasarnya melibatkan deklarasi resmi atau pernyataan.
3. Proses, yaitu organisasi sebagai proses pembelajaran yang memungkinkan
pengembangan terus-menerus dan meningkatkan hubungan antara pernyataan dan
praktik.
4. Proyek, yaitu menekankan hal-hal yang relevan dengan inovasi dan penciptaan identitas
organisasi. Kedua hal tersebut harus dilihat sebagai kontribusi bahwa organisasi turut
membangun masyarakat sebagai pelaku ekonomi dan aktor sosial.

Selama beberapa tahun terakhir telah terjadi perubahan substansial, baik dalam wacana
organisasi maupun harapan masyarakat tentang organisasi. Salah satu wacananya yaitu
mendefinisikan perubahan dengan melihat secara simultan berperan dalam bidang ekonomi
dan sosial. Dapat dikatakan bahwa pandangan organisasi dari sudut pandang ekonomi dan
sosial telah muncul.
Perubahan ini telah terwujud dalam berbagai inisiatif, seperti usulan kelembagaan,
penciptaan metodologi baru untuk audit atau akuntabilitas, peluncuran indeks baru dan
peringkat, pengembangan alat investasi baru, atau kampanye sosial terhadap aksi korporasi.

Tren ini tidak terlepas dari transformasi mendalam yang dijalani oleh para aktor ekonomi
dan masyarakat. Joseph M. Lozano dalam jurnalnya, An Approach to Organizational Ethic,
percaya bahwa perdebatan mengenai pemahaman baru tentang hubungan antara
organisasi dan masyarakat merupakan bagian intrinsik (nilai asal) dari transformasi ini.
Secara ekstrinsik, istilah seperti globalisasi, pengetahuan masyarakat atau jaringan sosial
juga merupakan faktor yang menjadi acuan bagi organisasi (mengenai tindakan dan
pengambilan keputusan serta interpretasi mereka).

Selain itu, perkembangan wacana mengenai organisasi juga menunjukkan bahwa


pengetahuan adalah kunci sumber daya, bahwa sumber tersebut berhubungan dengan
orang-orang dan proses belajar mereka, serta paradigma untuk memahami organisasi,
bukan semata-mata faktor produksi atau hierarki birokrasi lagi. Seharusnya tidak
mengejutkan jika istilah-istilah, seperti tanggung jawab sosial organisasi, corporate
citizenship, akuntabilitas, triple bottom line atau dialog antar-pemangku kepentingan
digunakan untuk menempati dan menonjolkan tempatnya pada agenda organisasi.

Selain itu, aktor-aktor sosial lainnya memiliki semangat tinggi untuk bergabung dalam
perdebatan tentang peran organisasi di masyarakat. Hal tersebut terjadi karena dalam
kerangka globalisasi, organisasi:
1. menjadi bertanggung jawab atas tata organisasinya;
2. harus menyadari semua dimensi dalam jaringan hubungan mereka;
3. bertindak menciptakan modal sosial dan kepemimpinan dalam organisasi;
4. harus dapat membangun legitimasi mereka dalam mata masyarakat.

Dalam konteks ini, etika organisasi adalah cara setiap organisasi merespons, melalui praktik
tentang struktur kompleks dan tanggung jawab organisasi yang baru dan tuntutan sosial
harus diakui dan dikelola.

Ketika seseorang membahas etika organisasi sebagai kesempatan untuk belajar dan
berinovasi, pertanyaan yang sering muncul yang merupakan berbagai isu etika organisasi
yang nyata. Pengembangan etika organisasi dapat menyebabkan organisasi memperhatikan
hal eksistensial, seperti “Siapakah kita?”, “Apa yang organisasi perjuangkan?", "Apa nilai-
nilai inti organisasi?", "Bagaimana seharusnya organisasi merenungkan identitas dan
tanggung jawab?", "Bagaimana seharusnya organisasi mengukur, mengevaluasi, dan
melaporkan identitas pengembangan serta keberhasilan organisasi?”

Dengan kata lain, analisis pencarian etika organisasi tidak terlepas dari pertanyaan,
"Bagaimana korporasi berkontribusi membangun masyarakat yang baik?". Gareth Morgan'
dalam bukunya membahas image organization. Ia menunjukkan bahwa pemahaman
tentang organisasi sering berhenti pada metafora dan gambar yang terstruktur dari cara
berpikir tentang organisasi dan bahwa bayangan ini juga terstruktur dalam tindakan dan
keputusan.
Setiap model organisasi dan setiap model manajemen juga bertumpu pada model
antropologis. Hal ini membentuk profil manusia yang sesuai dengan konsep tentang model
organisasi dan manajemen. Dengan demikian, yang membuatnya mungkin bagi kita untuk
memahami dan mengelola organisasi tidak hanya adanya hati nurani yang jelas, tujuan dan
strategi, tetapi juga pengakuan dari model antropologis yang telah disadari atau
diasumsikan dengan sadar.

Etika organisasi kadang-kadang dapat diidentifikasi pada tindakan orang-orang dalam


organisasi sebagai agen moral yang dapat bertanggung jawab atas tindakannya sehingga
etika organisasi disebut "fokus pada pilihan individu dan organisasi”.

Etika organisasi secara luas merupakan konsep umum yang tidak hanya mencakup budaya
dan kepercayaan, tetapi juga proses, hasil, karakter, dan tindakan. S.D. Pearson et al.
menekankan, "cara bertindak bukanlah prinsip dasar, melainkan terdapat dalam jantung,
yang memompa darah dalam menggerakkan seluruh organisasi dengan tujuan yang masuk
akal dan seperangkat nilai bersama”.

Etika organisasi mengacu pada upaya organisasi untuk mendefinisikan misi dan nilai-nilai,
menggambarkan nilai-nilai yang dapat menyebabkan permasalahan, mencari solusi terbaik
untuk permasalahan ini, dan mengelola berbagai tindakan untuk mempertahankan nilai-
nilai tersebut. Proses etika berfungsi sebagai mekanisme bagi organisasi untuk menangani
isu-isu mengenai keuangan, bisnis, manajemen, dan pengambilan keputusan.

Walaupun etika organisasi sering merujuk pada citra organisasi, orang-orang yang bekerja
dalam organisasilah yang sering berperilaku tidak etis atau ilegal. Oleh karena itu,
berpengaruh pula pada bentuk suasana dan karakter organisasi. Sekalipun demikian, banyak
perilaku tidak etis organisasi yang tampak legal (bahkan dilegalkan) sehingga garis antara
etika dan hukum menjadi kabur.

Perilaku dimaksud, antara lain:


1. penipuan perusahaan;
2. penipuan pelayanan kesehatan;
3. kerakusan;
4. bekerja di tempat rahasia;
5. memproduksi jasa yang menyesatkan;
6. pengingkaran atau berlaku licik dalam aturan atau pelaksanaan negosiasi;
7. menciptakan kebijakan yang tidak sesuai atau tidak jelas (ambigu) yang dapat
menyebabkan orang lain berbohong ketika melaksanakan pekerjaan;
8. menunjukkan kepercayaan diri yang berlebih pada saat penilaian;
9. ketidaksetiaan;
10. memperlihatkan mutu yang buruk dalam pelaksanaan dan pencapaian tujuan;
11. menghina dan meniru-niru;
12. bekerja dalam fanatisme, seksisme, atau rasisme;
13. pilih kasih;
14. penindasan;
15. mematuhi otoritas tanpa pertimbangan;
16. mempromosikan orang-orang tanpa penilaian;
17. menaikkan harga tanpa pertimbangan;
18. menyembunyikan kesalahan ketika melakukan kesalahan;
19. menginjak orang lain untuk promosi;
20. mengorbankan orang-orang tidak bersalah untuk memperoleh pekerjaan, seperti
menyalahkan para bawahan;
21. melebih-lebihkan keuntungan dengan sadar untuk memperoleh dukungan dalam suatu
rencana;
22. kurangnya kerja sama;
23. berbohong demi bisnis;
24. tidak bertanggung jawab dalam melaksanakan yang berbahaya;
25. menyalahgunakan sumber daya tambahan;
26. mengorupsi hak masyarakat meskipun melalui proses yang sesuai dengan undang-
undang;
27. merusak, merampok, memotong tindakan dan proses yang seharusnya dilakukan;
28. melakukan pemborosan.

Untuk lebih memahami tentang etika organisasi, berikut ini beberapa sudut pandang dari
etika organisasi, yaitu etika organisasi dengan sudut pandang yang lebih deskriptif, dan etika
organisasi dengan sudut pandang yang lebih pragmatis, yang akhirnya membawa kita
menuju etika organisasi reflektif yang tidak begitu berbeda dari perjalanan yang diikuti oleh
refleksi pada pendekatan stakeholder dan kepemimpinan. Akan tetapi, kita juga harus
menyadari bahwa etika organisasi tidak dapat dipahami secara independen dari asumsi
pendekatan stakeholder dan tanggung jawab sosial organisasi atau dari proses transformasi
pribadi dan pengembangan (ke dalam). Dalam kerangka ini kita dapat mulai membicarakan
arti reflektif etika organisasi.

Etika organisasi reflektif membentuk dan mengungkapkan identitas organisasi. Namun,


identitas organisasi tidak dapat dilihat dari siapa kita, tetapi akan ditunjukkan oleh grafik.
Dari sini kita akan fokus pada perspektif dalam etika organisasi. Dalam konteks pluralisme
moral, yang merupakan sifat modern masyarakat, acuan etis tidak dapat dimasukkan ke
dalam organisasi dari luar atau diterapkan melalui dekrit dari tingkat tertinggi. Sebaliknya,
etika organisasi harus dipahami sebagai praktik berbagi nilai secara horizontal yang
memfasilitasi transformasi dan berorientasi praktik organisasi sehingga menciptakan makna
etika yang signifikan pada waktu yang sama.

Sebuah proses organisasi yang mengintegrasikan dimensi etis harus memungkinkan untuk
penciptaan nilai yang terintegrasi dan hidup di dalamnya terus-menerus. Karena iitu sebagai
suatu proses juga bukan sesuatu yang diberikan dari awal, melainkan sesuatu yang harus
diciptakan dan dibangun dengan semua anggota, atau berbagi dalam penciptaan atau
pembangunan organisasi.

Inovasi yang dibutuhkan hari ini tidak hanya mengacu pada produk, jasa, dan proses. Tetapi
juga perlu untuk belajar cara berinovasi dalam hal institusi, nilai, dan sikap. Dalam
pengetahuan yang muncul pada masyarakat, organisasi harus belajar untuk membangun
legitimasi mereka sendiri dan harus memutuskan cara mereka ingin diakui. Ini adalah
pertanyaan yang jelas berkaitan dengan identitas organisasi. Artinya, etika organisasi harus
menilai secara bersamaan pada isi dan proses, proses mengekspresikan isi, dan konteks
yang memaknai proses. Hal ini sangat penting karena etika organisasi adalah sesuatu yang
sangat praktis.

Ketika berbicara tentang etika organisasi, pasti berbicara tentang identitas, tetapi
melakukannya dalam praktik dan proyek organisasi.

Mengenai hal ini, Nonaka dan Konno membedakan antara dua jenis pengetahuan, yaitu
eksplisit dan implisit. Pengetahuan eksplisit dapat dinyatakan dalam kata-kata dan angka
dan biasanya mudah dan cepat ditransmisikan dalam cara yang formal dan sistematis.
Adapun pengetahuan implisit sangat pribadi dan sulit untuk tidak formal. Pengetahuan
implisit sangat berakar pada tindakan individu dan pengalaman, serta cita-cita, nilai-nilai
dan emosi yang melekat pada individu.

Ditambahkan pula bahwa terdapat dua dimensi dari pengetahuan implisit. Pertama adalah
dimensi teknis, meliputi jenis keterampilan pribadi informal atau sering disebut sebagai
'know-how'. Kedua adalah dimensi kognitif, terdiri atas keyakinan, cita-cita, nilai, skema, dan
model mental yang tertanam dalam diri kita dan yang sering kita anggap biasa.

Dengan demikian, penciptaan pengetahuan merupakan proses kontinu dari interaksi antara
pengetahuan implisit dan eksplisit. Proses ini merupakan rangkaian yang tidak pernah
berakhir, dengan urutan: (1) sosialisasi -berbagi pengetahuan implisit antara individu
melalui kedekatan fisik; (2) eksternalisasi-ekspresi diam-diam dalam memperoleh
pengetahuan dan menerjemahkannya ke dalam bentuk komprehensif yang dapat
dimengerti oleh orang lain; (3) kombinasi-konversi pengetahuan eksplisit yang lebih
kompleks, yang memerlukan komunikasi, difusi, dan sistematisasi pengetahuan; (4)
internalisasi –yang mengkonversi pengetahuan eksplisit ke dalam pengetahuan implisit yang
terorganisasi.

Kita dapat menyatakan bahwa etika organisasi reflektif dapat sempurna dipahami dari
urutan ini. Etika organisasi reflektif mempertimbangkan proses ini (sosialisasi, eksternalisasi,
kombinasi, dan internalisasi) secara mendalam dan berfokus pada nilai-nilai dan identitas
organisasi.

Dengan demikian, etika organisasi adalah proses yang tidak pernah berakhir dalam
menerjemahkan nilai-nilai organisasi dari pengetahuan eksplisit ke pengetahuan implisit,
dan sebaliknya. Ini adalah suatu proses yang memungkinkan kita untuk secara kritis
menyusun proyek organisasi yang seimbang dan berkomitmen.

B. Nilai dan Keutamaan dalam Organisasi

Kepercayaan adalah kebajikan universal yang berfungsi sebagai payung di atas nilai-nilai
kunci dalam organisasi. D.A. Shore (2007) menyatakan, "Kepercayaan organisasional adalah
unsur penting, sebagai pelumas yang memfasilitasi bisnis dan interaksi sehari-hari. Orang-
orang dapat percaya oleh orang lain untuk mengikuti pekerjaan dan komitmen mereka,
sama seperti orang-orang dalam masyarakat dapat bergantung pada organisasi untuk
menegakkan kata-kata dan janji-janji organisasi untuk masyarakat”.
Hubungan saling percaya ini memegang nilai tinggi dalam organisasi karena hubungan ini
mewakili tugas formal untuk orang lain yang dikenakan atas dasar loyalitas, komitmen, dan
struktur organisasi, yang berarti orang telah menempatkan kepercayaan pada orang lain
untuk melaksanakan kegiatan dengan penerimaan moral yang baik berkaitan dengan suatu
posisi.

L.L. Williams (2006) menekankan bahwa ketika keadilan menjadi elemen kunci, kepercayaan
akan berkembang di organisasi. Menciptakan budaya dari keadilan dengan kus pada
kepercayaan adalah penting bagi sebuah organisasi untuk berkembang. Membiasakan
keadilan sebagai keutamaan dapat mendistribusi keadilan antarindividu dalam organisasi,
sedangkan kepercayaan adalah "perekat yang mengikat anggotanya".

Menurut A. Gutmann (1995), ada dua prinsip yang menunjukan bahwa sebuah organisasi
harus dipelihara agar setiap individu dapat memiliki keadilan, yaitu nondiskriminasi sebagai
landasan moral yang utama dari setiap orang, dan non-repression, tidak ada paksaan
sehingga tiap-tiap orang dapat memiliki suara yang disadari. Tanpa kedua prinsip tersebut,
suatu organisasi tidak dapat menjadi organisasi yang penuh rasa percaya.

Walaupun demikian, kebajikan kunci dari keadilan, kejujuran, integritas, menghormati orang
lain, janji menjaga, dan kehati-hatian adalah nilai-nilai yang khas terlihat pada organisasi,
dan visi-misi sering akan menentukan nilai-nilai diferensial dalam tiap-tiap organisasi.

Beberapa nilai ini, yaitu kerja sama tim, komunitas, prestasi, kompetensi, pengetahuan,
kreativitas, inovasi, kelincahan, memiliki, menyenangkan, memimpin dengan contoh,
menghargai keragaman, mendorong orang lain, dan mendorong pengambilan risiko.
Organisasi perlu mendefinisikan nilai-nilai secara operasional melalui filsafat mereka sendiri
dan misi organisasi. Demikian pula, organisasi harus mendefinisikan praktik etika secara
tertulis dan dalam komunikasi verbal.

Kepercayaan dalam organisasi telah terkikis selama bertahun-tahun ke titik paling rendah
sepanjang masa. Pesatnya transformasi dalam organisasi telah menjadi faktor dalam erosi
kepercayaan. Sebagai organisasi, dengan cepat harus berubah untuk memenuhi standar
peraturan, tuntutan stakeholder internal dan eksternal, dan kebutuhan yang mereka layani,
kompleksitas yang lebih besar dari etika telah muncul dan lebih sulit untuk diselesaikan.

Eksekutif menyalahgunakan kekuasaan dan pelayanan atas keputusan organisasi yang


mengakibatkan munculnya perilaku tidak etis dalam organisasi. Kepercayaan dalam
organisasi merupakan konsep jelas yang terdiri atas jaringan hubungan yang sangat rumit.
Sebuah pelanggaran kepercayaan dalam organisasi akan memunculkan verbalisasi, seperti
komentar marah dan sarkasme oleh individu, terutama jika kepercayaan sebelumnya telah
berada di seluruh tingkat organisasi. Sebuah pelanggaran kepercayaan dalam organisasi
akan sulit dimaafkan daripada dalam hubungan yang di dalamnya terdapat kepercayaan
historis antara dua orang.

Para peneliti telah menemukan bahwa kepercayaan kritis penting dalam organisasi karena
kepercayaan mempromosikan nilai ekonomi dalam organisasi.
C. Moral Organisasi

Mengutip Alan Doig (1998), “jika organisasi hanya berfokus pada produk dan kinerja, tetapi
dalam proses mengabaikan karyawan, organisasi akan menciptakan ruang untuk perilaku
tidak etis”. Dengan demikian, perlu ditekankan bahwa untuk mencegah situasi tersebut,
harus ada perhatian agar menegakkan disiplin.

Mendefinisikan perilaku etis dan tidak etis sangat membantu untuk memahami konsep
anomi. Menurut Robert K. Merton, anomi adalah kondisi tanpa norma dan
ketidakseimbangan sosial sehingga aturan yang mengatur perilaku telah kehilangan daya
paksa yang dimilikinya. Untuk menentukan anomi, individu harus memahami cara perilaku
memengaruhi organisasi.

Merton mengusulkan bahwa perilaku tidak etis, ilegal, dan antisosial terjadi dalam sistem
sosial yang tidak terstruktur begitu kuat, ditempatkan pada pencapaian tujuan tertentu
tanpa penekanan yang sesuai dan mengikuti prosedur yang sah untuk mencapai tujuan.

Untuk bertindak berdasarkan moral ketika motivasi membangun reputasi adalah murni
bermotif ekonomi. Adapun motivasi membangun etika secara ketat dianggap sebagai
tindakan nonekonomi.

Beberapa penulis percaya bahwa tidak mungkin menghindari anomi karena tujuan utama
organisasi adalah pengembalian positif atas investasi. Kadang-kadang untuk mencapai
tujuan keuntungan, organisasi merasa perlu untuk bertindak tidak etis. Ini adalah kebenaran
yang sangat disayangkan bahwa keuntungan kadang-kadang bisa lebih berarti bagi individu
dan organisasi daripada praktik bisnis dengan moral dan etika.

M.D. Cohen menyebutkan kadang-kadang anomi dapat menyebabkan orang merasa


terasing dan dapat mendorong mereka mengabaikan kebijakan organisasi.

Masalah lain yang muncul dalam organisasi adalah gagasan individu lebih cenderung untuk
bertindak tidak etis ketika orang lain bertindak dengan cara yang sama. Jika karyawan
terlibat dalam perilaku yang sama dengan karyawan lain, mereka cenderung untuk merasa
nyaman dengan keputusan tersebut.

***

Anda mungkin juga menyukai