Anda di halaman 1dari 8

Modul XII

Filosofi Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan

A. Hakikat Masalah

Dalam perjalanan hidupnya, manusia dipastikan pernah menghadapi masalah. Akan tetapi,
jenis dan tingkat masalah yang dihadapi berbeda-beda. Ada yang masalahnya ringan, artinya
mudah dipecahkan, ada pula yang masalahnya berat sehingga sulit dipecahkan.

Dengan ilustrasi di atas, setiap masalah memiliki ciri-ciri berikut:


1) kesukaran yang sedang dihadapi,
2) kesukaran yang akan terjadi,
3) situasi kompleks yang membutuhkan tindakan untuk menyelesaikan,
4) suatu yang menyimpang dari yang diharapkan,
5) pilihan yang sulit.

Ada tiga segi untuk mengukur kelayakan suatu masalah, yaitu:


1) keilmuan, yaitu masalah harus jelas kedudukannya dalam struktur keilmuan yang sedang
dipelajari.
2) profesionalitas, yaitu masalah berkaitan secara langsung dengan profesi tertentu,
misalnya masalah pada bagian kepegawaian.
3) kepentingan dan kegunaannya, yaitu masalah harus relevan dengan kepentingan dan
kegunaan yang akan dituju oleh organisasi.

Masalah harus dirumuskan dengan langkah-langkah berikut:


1) mengumpulkan informasi atau data yang melatarbelakangi munculnya masalah;
2) menyeleksi penyebab-penyebab permasalahan yang paling memungkinkan;
3) merumuskan masalah;
4) merumuskan ide-ide solusi masalah;
5) memilih metode pemecahan masalah;
6) menentukan dan menyusun instrumen;
7) mengomunikasikan masalah dalam bentuk rapat-rapat atau musyawarah;
8) mengumpulkan pengalaman dari semua pihak yang berkaitan dengan masalah yang
dihadapi;
9) menyusun cara-cara memecahkan masalah (problem solving);
10) mengambil keputusan.

Seluruh kriteria masalah yang dihadapi biasanya bersifat kumulatif. Oleh karena itu,
pemimpin dituntut untuk memahami dan mencermati sesuatu yang dipandang sebagai
masalah sehingga permasalahan dapat diklasifikasi dan diurutkan menurut berat-ringannya
masalah.
B. Ontologi Pemecahan Masalah

Bagaimana pemecahan masalah yang harus ditempuh? Banyak cara yang dapat dilakukan
untuk memecahkan masalah, tetapi yang harus dihindarkan oleh organisasi adalah
memecahkan masalah dengan cara yang menimbulkan masalah baru.

Contoh klasik yang sering terjadi di tanah air, di antaranya, kenaikan harga bahan bakar
minyak (BBM) yang berdampak pada kenaikan bahan kebutuhan pokok masyarakat.

Metode pemecahan masalah dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan berikut.


1) Pendekatan ilmiah, yaitu metode yang menggunakan teori ilmiah dan sistematika ilmu
melalui observasi, pengumpulan data, pengolahan, dan uji validitas data. Pendekatan
ilmiah pada umumnya berkaitan dengan masalah-malasah keilmuan, tetapi dapat
diterapkan dalam organisasi, terutama secara operasional dalam melihat latar belakang
munculnya masalah dan langkah-langkah pemecahannya.
2) Pendekatan fungsional-organis, yaitu pendekatan fungsional organisasi yang
mempertemukan antara penyebab dan akibat yang ditimbulkan, baik berkaitan dengan
perencanaan maupun pelaksanaan kegiatan organisasi.
3) Pendekatan kekuasaan, yaitu mengambil alih semua persoalan dan menyusun kembali
tugas dan kewajiban anggota organisasi secara proporsional. Dalam pendekatan ini,
terjadi mutasi, pemecatan, dan pendelegasian wewenang secara sepihak yang langsung
dilakukan oleh pimpinan utama.
4) Pendekatan filosofis, yaitu pemecahan masalah melalui tahapan pemikiran yang
sistematis, yang dimulai dari pencarian masalah yang sebenarnya, penerapan metode
pemecahan, dan penelusuran kembali tujuan dari alternatif pemecahan yang
ditetapkan.
5) Pendekatan destruktif-rekonstruktif, yaitu pemecahan masalah dengan cara yang
ekstrem, seperti membubarkan organisasi dan melakukan pembaharuan. Biasanya
organisasi yang bermasalah berganti nama dan manajemen (rekonstruktif), sedangkan
pendekatan destruktif yakni menyatakan bubar tanpa ada pembaharuan, misalnya
menjual perusahaan.

Pemecahan masalah dapat dilakukan dengan melakukan langkah-langkah berikut.


a. Analisis situasi dan identifikasi masalah, yaitu meneliti dan mencermati keadaan dan
peristiwa yang sedang dialami. Kemudian, mengidentifikasikan masalahnya agar
memudahkan pencarian solusi.
b. Analisis masalah dan mencari penyebab masalah. Setiap masalah ditafsirkan dan dicari
faktor-faktor yang menjadi penyebabnya.
c. Analisis keputusan dan menyusun tindakan. Melakukan pengambilan keputusan dan
menyusun langkah-langkah konkret untuk memulai suatu tindakan sesuai dengan
keputusan.
d. Analisis persoalan potensial dan mengamankan tindakan. Permasalahan yang paling
krusial diselesaikan lebih dahulu dan mengamankan tindakan dari pengaruh yang
mengakibatkan munculnya masalah baru.
e. Pelaksanaan pemecahan masalah dan tindakan. Seluruh masalah yang sudah
terpecahkan dijadikan barometer untuk tindakan berikutnya.
Ada tiga dasar dalam melakukan analisis masalah sebelum pengambilan keputusan, yaitu:
1) menetapkan sasaran-sasaran atau membuat kriteria yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasikan hasil-hasil yang diharapkan dan sumber-sumber yang disediakan
untuk digunakan;
2) mempertimbangkan alternatif-alternatif yang dapat memenuhi sasaran dan
menentukan alternatif yang paling dapat memenuhi kebutuhan;
3) menilai akibat-akibat yang merugikan atau risiko-risiko yang terkandung dalam
alternatif-alternatif terbaik sebelum diadakan komitmen untuk bertindak.

Dengan demikian, dalam analisis keputusan dapat dilakukan penentuan pilihan-pilihan,


alternatif pemecahan, sasaran-sasaran yang tepat, dan akibat-akibat yang dapat merugikan.

Analisis persoalan potensial dapat membantu memperkirakan kesulitan-kesulitan yang


mungkin timbul dan mengambil tindakan untuk mencegahnya atau menawarkan
perlindungan seandainya kesulitan-kesulitan itu terjadi. Hasil akhir adalah suatu tindakan
atau rencana yang telah diperbaiki dan dapat dimonitor serta dilaksanakan dengan optimal.

Ide-ide kuncinya adalah:


1) memperkirakan persoalan-persoalan masa depan dalam daerah-daerah tindakan atau
rencana yang kritis;
2) mengidentifikasi sebab-sebab yang mungkin dari persoalan-persoalan masa depan itu;
3) merencanakan tindakan pencegahan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
persoalan itu dan tindakan penanggulangan yang menawarkan perlindungan jika
tindakan pencegahan gagal.

Dalam menganalisis persoalan, ada beberapa pertimbangan yang dapat digunakan, yaitu
sebagai berikut:
a. ilmu pengetahuan;
b. peraturan yang berlaku;
c. norma yang berlaku;
d. logika berpikir yang benar.

Melalui analisis masalah, penyebab masalah dapat ditemukan meskipun masih dalam
perkiraan. Ketepatan memperkirakan sebab masalah sangat ditentukan oleh kemampuan
dan sikap deskriptif dalam melakukan analisis masalah.

C. Pengambilan Keputusan

Semua masalah perlu diidentifikasi karena identifikasi masalah merupakan langkah awal
dalam perumusan masalah. Tanpa melakukan identifikasi masalah secara teliti, tidak akan
ditemukan masalah yang sebenarnya sedang dihadapi. Untuk itu, seorang atau sekelompok
orang yang terlibat dalam upaya pemecahan masalah harus mengumpulkan semua fakta
yang bersifat negatif terhadap proses yang sedang berjalan.
Fakta-fakta negatif tersebut dapat berupa: (1) hal-hal yang tidak menyenangkan; (2) hal-hal
yang tidak layak terjadi menurut norma yang berlaku; (3) hal-hal yang cocok dengan target
atau tujuan yang ingin dicapai.

Setelah melakukan identifikasi masalah, selanjutnya adalah langkah-langkah pemilihan


prioritas masalah dengan menggunakan skala penilaian yang didasarkan pada hal-hal
berikut.
1) Aspek keseriusan (seriousness), yaitu dengan melihat pengaruh masalah tersebut atas
hasil atau produk dari suatu proses, organisasi, dan sebagainya. Andaikata masalah
tersebut tidak dipecahkan secara kuantitas dan kualitas, hasil proses yang sedang
berjalan akan terganggu.
2) Aspek kepentingan (urgency), yaitu dengan melihat ketersediaan waktu yang diperlukan
untuk pemecahan masalah yang ada.
3) Aspek kemungkinan meluasnya/berkembangnya masalah (growth), yaitu dengan
melihat kemungkinan meluasnya masalah yang sedang dihadapi apabila tidak segera
dipecahkan atau kemungkinan munculnya masalah-masalah lain yang bisa lebih berat
dari masalah yang sedang dihadapi sekarang.¹

Setelah memisahkan rumusan masalah berdasarkan komponennya, langkah berikutnya


adalah melakukan analisis masalah yang berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
1) memperkirakan sebab yang mungkin;
2) menentukan sebab yang paling mungkin dengan cara:
a. melihat hubungan hierarki sebab akibat dari beberapa sebab;
b. kalau sebab itu dapat diatasi, apakah masalahnya akan selesai? Oleh karena itu,
harus dicari dan diyakini bahwa pemecahannya merupakan salah satu jalan terbaik
yang paling memungkinkan menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Setelah penentuan skala prioritas pemecahan masalah dengan tawaran berbagai alternatif,
barulah menentukan langkah-langkah pengambilan keputusan. Ngalim Purwanto
menjelaskan bahwa pengambilan putusan merupakan kegiatan dalam aktivitas
kepemimpinan. Cara pengambilan putusan yang dilakukan oleh seorang pemimpin
menunjukkan gaya kepemimpinannya. Dengan demikian, pengambilan putusan merupakan
fungsi kepemimpinan yang turut menentukan proses dan tingkat keberhasilan
kepemimpinan itu sendiri.

Mengingat pentingnya pengambilan keputusan itu, berikut ini akan diuraikan langkah-
langkah dan beberapa model pengambilan putusan. Secara teoretis, ada enam langkah
proses pengambilan keputusan, yaitu sebagai berikut.

1) Mendefinisikan/menetapkan masalah.
2) Menentukan pedoman pemecahan masalah, mencakup menetapkan pembatasan dan
syarat-syarat pemecahan masalah. Beberapa pertanyaan yang harus dicarikan
jawabannya adalah:
1) Berapa waktu akan dialokasikan untuk memecahkan masalah tersebut?
2) Apakah pemecahan masalah itu dibatasi oleh kebijakankebijakan tertentu?
3) Apa kriteria pemecahan yang baik?
3) Mengidentifikasi alternatif.
4) Mengadakan penilaian terhadap alternatif yang telah didapat. Untuk menilai alternatif
pemecahan yang ada, diperlukan cukup informasi. Berdasarkan informasi itu, dikaji
kebaikan dan keburukan setiap alternatif, dan diteliti kemungkinan akibatnya jika
alternatif itu dilaksanakan.
Dalam hubungan ini, Kohler mengemukakan tipe-tipe alternatif pengambilan putusan
sebagai berikut:
1) alternatif yang baik: dapat dilaksanakan dan menghasilkan dampak positif;
2) alternatif yang mudah: tidak mempunyai akibat positif atau negatif;
3) alternatif campuran: mempunyai kemungkinan menghasilkan dampak positif atau
negatif;
4) alternatif yang jelek: menyebabkan akibat negatif;
5) alternatif yang tidak pasti: mempunyai akibat yang tidak menentu.
5) Memilih alternatif yang "baik".
Dalam memilih alternatif perlu dipertimbangkan kriteria yang telah ditetapkan dalam
langkah sebelumnya. Alternatif yang "baik" bukan berarti yang mudah atau dapat
"diterima", melainkan dapat dilaksanakan dan diduga akan menghasilkan dampak
positif.
6) Implementasi alternatif yang dipilih.
Setelah alternatif-alternatif yang telah ditemukan itu dinilai baik buruknya, dipilih
alternatif yang dianggap paling baik untuk dilaksanakan. Langkah terakhir adalah
melaksanakan alternatif pemecahan tersebut, yaitu melaksanakan keputusan yang telah
diambil.

Beberapa tindakan yang mungkin dilakukan dalam melaksanakan keputusan adalah:


1) memberi kekuatan legal kepada keputusan tersebut; misalnya dengan membuat surat
keputusan;
2) mengusahakan agar keputusan tersebut dapat diterima oleh orang yang terkena
keputusan itu;
3) melakukan persuasi dan pengarahan bagaimana menyalurkan hasil putusan itu.

Kohler mengemukakan tiga model pengambilan putusan, yaitu sebagai berikut.

1. Model perilaku

Model perilaku atau behavioral model adalah model pengambilan keputusan yang
didasarkan atas pola tingkah laku orang yang terlibat dalam organisasi atau lembaga itu.
Menurut model ini, pengambilan putusan menyangkut tiga hal, yaitu:
a. tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi/lembaga;
b. harapan tentang konsekuensi pengambilan putusan tersebut;
c. pilihan alternatif.

Dalam setiap pengambilan putusan terjadi "koalisi" antara pemegang kekuasaan di dalam
organisasi. Koalisi ini menggunakan tiga hal di atas sebagai pedoman pengambilan putusan.
Dalam keadaan yang tidak menentu, kriteria yang paling menonjol dalam pengambilan
keputusan adalah “tujuan organisasi/lembaga". Adapun dalam pengambilan putusan
bersama, kriteria yang menonjol adalah "harapan" atau ekspektasi. Jika dalam proses
pengambilan putusan itu tidak dapat ditetapkan dengan pasti kriteria antara "tujuan
organisasi" dan "harapan tentang konsekuensi", digunakan pilihan alternatif.

2. Model informasi

Model informasi merupakan model pengambilan putusan yang didasarkan atas asumsi
berikut:
a. informasi merupakan kondisi yang harus dipenuhi dalam proses pengambilan putusan;
b. informasi yang berasal dari dalam organisasi yang diberikan oleh seorang yang
mempunyai posisi tinggi dan dikenal, akan lebih dipercaya sebagai bahan pengambilan
keputusan;
c. informasi yang diperoleh sehubungan dengan proses pengambilan putusan selalu diuji
dengan informasi yang sudah ada. Dengan demikian, informasi yang berasal dari sumber
yang tidak atau kurang dipercaya cenderung tidak dipakai dalam proses pengambilan
keputusan.

3. Model normatif

Pengambilan putusan dengan model normatif dimulai dari mengidentifikasi apa yang
dilakukan oleh manajer atau pemimpin yang baik, kemudian memberikan pedoman tentang
cara manajer itu mengambil putusan.

Pengambilan putusan harus mengikuti proses dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan


berikut:
a. Apakah ada syarat kualitas, misalnya suatu putusan harus lebih rasional dari yang lain?
b. Apakah pengambil putusan mempunyai cukup informasi?
c. Apakah masalahnya berstruktur?
d. Apakah diterimanya putusan oleh bawahan merupakan hal yang sangat penting dalam
pengambilan putusan?
e. Apakah diambil putusan sendiri (oleh pimpinan) dan dia yakin bahwa akan diterima oleh
bawahannya?
f. Apakah bawahan merasa memiliki tujuan yang akan dicapai dengan pemecahan masalah
itu?
g. Apakah pemecahan masalah akan menimbulkan konflik di antara bawahan?
h. Apakah bawahan mempunyai cukup informasi untuk mengambil putusan yang
didelegasikan kepadanya?

4. Participative decision making

Model ini mengemukakan tata cara proses pengambilan putusan dengan mengikutsertakan
bawahan. Participative decision making atau shared decision making adalah cara
pengambilan putusan dengan mengikutsertakan bawahan. Hasil-hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengambilan putusan yang partisipatif dapat meningkatkan
keefektifan organisasi atau lembaga.

Partisipasi dalam proses pengambilan putusan, yaitu:


a. relevansi: ada relevansi antara masalah yang dipecahkan dengan kepentingan bawahan.
b. keahlian: bawahan cukup mempunyai pengetahuan tentang masalah yang akan
dipecahkan.
c. jurisdiksi: anggota atau bawahan mempunyai hak secara legal untuk ikut serta
mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan.
d. kesediaan: bawahan mempunyai kemauan dan bersedia untuk ikut serta dalam
pengambilan keputusan.

Ada tiga jenis partisipasi yang dapat digunakan dalam pengambilan putusan, yaitu:
1) sentralisasi demokratis, yaitu semua bawahan dimintai pendapat dan gagasannya dalam
menyelesaikan masalah, lalu pemimpin mengambil keputusan;
2) parlementer, yaitu pendapat dan musyawarah bawahan menjadi penentu dan alternatif
pengambilan keputusan. Artinya, para peserta atau semua bawahan ditugaskan
mengambil keputusan. Jika musyawarah para bawahan tidak menemukan kesepakatan,
dilakukan voting:
3) penentuan oleh peserta, yaitu pengambilan putusan yang pelaksanaannya
mengutamakan konsensus. Prosedur ini dipakai jika masalah yang diputuskan sangat
penting artinya bagi bawahan, dan telah diperkirakan sebelumnya bahwa konsensus
akan tercapai.

D. Solusi Filosofis terhadap Masalah

Sudah hampir satu dasawarsa proses reformasi dijalankan bangsa Indonesia, yaitu sejak
orde baru runtuh dari panggung kekuasaan politik pada akhir Mei 1998. Reformasi
memerlukan proses yang cukup panjang dan tidak mungkin mengubah segala sesuatunya
secara cepat sesuai dengan tuntutan dan keinginan yang diharapkan rakyat.

Masalah serius yang harus dilalui dalam proses reformasi ini adalah krisis moneter yang
berkembang menjadi krisis ekonomi, meletusnya berbagai kerusuhan, mencuatnya kembali
pertentangan etnis dan agama, munculnya kelompok-kelompok kepentingan yang saling
berebut pengaruh dan sebagainya. Baik langsung maupun tidak, masalah-masalah tersebut
sangat berpengaruh terhadap stabilitas negara dan ketenteraman masyarakat.

Ekses-ekses reformasi yang merugikan tersebut tentunya tidak diharapkan oleh masyarakat
dan sedapat mungkin harus dicarikan jalan keluarnya.

Sudah banyak lontaran gagasan yang dikemukakan oleh banyak kalangan, mulai pejabat
pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, ilmuwan, dan lain-lain untuk memberikan
solusi terhadap krisis yang tengah dihadapi masyarakat. Bermacam-macam teori dan
retorika pun dikemukakan untuk meyakinkan masyarakat. Akan tetapi, pada umumnya,
mereka melihat berbagai peristiwa dan permasalahan bangsa dari kacamata atau sudut
pandang sendiri-sendiri, jarang yang berpikir secara sistemik, melalui pendekatan yang lebih
menyeluruh dan komprehensif.

Banyaknya konsep dan gagasan belum sepenuhnya membawa hasil optimal ke arah
penyelesaian yang konkret. Masyarakat awam yang hidup serba miskin fasilitas, menjadi
semakin bingung karena semua pendapat mengaku yang terbaik, meskipun dalam
praktiknya, pendapat tersebut ternyata sulit pula untuk diaplikasikan (non aplicable). Hal ini
membuktikan bahwa penyelesaian krisis yang menimpa bangsa Indonesia, memerlukan
alternatif pendekatan yang lebih relevan, yang mampu mengakomodasikan berbagai
kepentingan yang ada.

Memang, harus diakui bahwa untuk memberikan jalan keluar dari krisis ini tidak mudah
karena permasalahan yang melatarbelakanginya begitu kompleks. Melihat kenyataan
tersebut, sudah selayaknya kalangan dunia pendidikan tinggi mencoba mencari alternatif
yang tepat untuk diterapkan dalam mengatasi krisis yang menimpa bangsa ini.

Para sarjana tentunya tidak sekadar melihat persoalan dari salah satu pedekatan yang
normatif, tetapi dapat ditempuh dengan pendekatan yang lebih mendasar, rasional,
reflektif, dan komprehensif melalui pengkajian dan analisis filsafati, terutama bertitik tolak
dari kerangka tinjauan ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

Permasalahan yang kemudian muncul adalah bagaimanakah peran dan sumbangan yang
dapat diberikan filsafat dalam memecahkan masalah-masalah manajemen pada era
reformasi ini. Dalam wujud apakah filsafat memberikan kontribusinya. Kemudian, apakah
mungkin filsafat dapat dijadikan salah satu terapi untuk membantu memecahkan berbagai
krisis yang terjadi dalam organisasi pascareformasi?

Solusi filosofis dalam memecahkan suatu persoalan adalah sebagai berikut.


1) Mengkaji hakikat masalah yang dihadapi dengan cara menemukan latar belakang atau
penyebab munculnya permasalahan. Penyebab munculnya masalah harus dipandang
sebagai penyakit yang harus disembuhkan.
2) Mengkaji sumber-sumber pengetahuan dan berbagai metode, serta pendekatan yang
dapat dijadikan paradigma penyelesaian masalah. Apabila masalah yang dihadapi
berkaitan dengan kehidupan sosial, solusinya dapat menggunakan pendekatan
sosiologis, antropologis, dan psikologis. Apabila masalah berkaitan dengan organisasi
dan manajemen, solusinya dapat menggunakan pendekatan teori-teori manajemen dan
organisasi.
3) Mengkaji kegunaan dan nilai yang terkandung pada masalah yang dihadapi. Hal ini
dilakukan karena dari setiap masalah yang dihadapi dapat diambil pelajaran dan
mengandung hikmah yang bernilai tinggi untuk perbaikan organisasi ke depan.

***

Anda mungkin juga menyukai