Anda di halaman 1dari 19

HUKUM PERORANGAN TENTANG PERKAWINAN

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Hukum Perdata yang diampuh oleh :
Saepul Rahman., S.Sy., M.H

Disusun Oleh:

Sri Nurhayati

SEMESTER IV

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-ANDINA
SUKABUMI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah swt. Atas rahmat dan hidayah-Nya penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Hukum Perorangan Tentang
Perkawinan” dengan segala keterbatasannya.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Perdata.
Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang Hukum
Perorangan Tentang Perkawinan bagi pembaca dan juga penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Saepul Rahman., S.Sy.,


M.H selaku dosen pengampuh Mata Kuliah Hukum Perdata. Ucapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini.

Perlu penulis sampaikan bahwa besar harapan penulis agar makalah ini
dapat menjadi bahan pendamping bagi mahasiswa yang mengikuti smata kuliah
Hukum Perdata. Penulis juga menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna.
Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun diharapkan demi perbaikan pada
makalah berikutnya.

Sukabumi, Mei 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................

DAFTAR ISI........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................

A. Latar Belakang...........................................................................................
B. Rumusan Masalah.....................................................................................
C. Tujuan Masalah.........................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................

A. Pengertian Anuitas dan Anuitas Biasa......................................................


B. Cara Menghitung Besar Cicilan...............................................................
C. Cara Menghitung Nilai Anuitas Akan Datang..........................................
D. Bunga Flat Dan Bunga Efektifssssssss......................................................

BAB III PENUTUP.............................................................................................

A. Kesimpulan................................................................................................
B. Kritik dan Saran.........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia mempunyai kecendrungan untuk hidup bersama dengan manusia


lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup berrsama itu dimulai dengan
adanya sebuah keluarga yang terbentuk paling tidak oleh seorang laki-laki dan
perempuan. Hidup bersama antara lelaki dan perempuan dalam sebuah ikatan
yang memenuhi persyaratan inilah yang disebut dengan perkawinan.
Perkawinan, ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang
perempuan dan memerlukan pertimbangan yang matang agar dapat bertahan
dalam jangka waktu yang lama. Sikap saling menghargai satu sama lain dan
saling percaya serta harus mau menjalankan hak dan kewajiban suami istri
yang seimbang merupakan syarat mutlak untuk bertahannya sebuah
perkawinan agar tidak muncul masalah dalam sebuah perkawinan.
Perkawinan yang sah haruslah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan
dalam KUHPerdata. Burgerlijk Wetboek mempunyai asas yaitu poligami
dilarang. Ada beberapa larangan tentang perkawinan yaitu, seseorang tidak
diperbolehkan kawin dengan saudaranya ataupun iparnya. Tidak boleh juga
menikah tanpa izin dari orangtua atau walinya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Akibat Hukum Perkawinan Dan Hak Serta Kewajiban Suami Istri?
2. Bagaimana Hukum Perkawinan Menurut Undang-Undang No 1 Tahun
1974?
3. Bagaimana Hukum Perkawinan Tentang Perjanjian Perkawinan Dan Harta
Perkawian?
4. Bagaimana Perceraian Dan Akibat Hukumnya, Tata Cara Perceraian, Pisah
Rumah, Akibat Putusnya Perkawinan Karena Percerain?
5. Bagaimana Perjanjian Perkawinan Dan Harta Perkawinan, Perkawinan
Campuran?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk Mengetahui Akibat Hukum Perkawinan Dan Hak Serta Kewajiban


Suami Istri
2. Untuk Mengetahui Hukum Perkawinan Menurut Undang-Undang No 1
Tahun 1974
3. Untuk Mengetahui Hukum Perkawinan Tentang Perjanjian Perkawinan
Dan Harta Perkawian
4. Untuk Mengetahui Perceraian Dan Akibat Hukumnya, Tata Cara
Perceraian, Pisah Rumah, Akibat Putusnya Perkawinan Karena Percerain
5. Untuk Mengetahui Perjanjian Perkawinan Dan Harta Perkawinan,
Perkawinan Campuran
BAB II

PEMBAHASAN

A. Akibat Hukum Perkawinan Dan Hak Serta Kewajiban Suami Istri


Perkawinan oleh undang-undang dipandang sebagai suatu “perkumpulan”.
Dalam ketentuan hukum perdata Eropa bahwa seorang perempuan yang telah
kawin tidak cakap untuk bertindak sendiri di dalam hukum dan dipersamakan
dengan seseorang yang berada dibawah curatele atau seseorang yang belum
dewasa, yang berarti suami mengurus kekayaan mereka bersama di samping
berhak juga mengurus kekayaan isteri. Pengurusan kekayaan si isteri itu, oleh
suami harus dilakukan sebaik-baiknya dan si istri dapat minta
pertanggungjawaban. Didalam pasal 105 ayat 5 B.W menyatakan bahwa
suami tak diperbolehkan menjual atau menggadaikan benda-benda yang tak
bergerak kepunyaan isteri tanpa izin. Pasal 104 membuka kemungkinan bagi
si isteri untuk (sebelum melangsungkan pernikahan) mengadakan perjanjian
bahwa ia berhak untuk mengurus kekayaannya sendiri.
Akibat- akibat lain dari perkawinan:
1) Anak-anak yang lahir dari perkawinan, adalah anak sah (wettig)
2) Suami menjadi waris dari si isteri dan begitu sebaliknya apabila salah
satu meninggal
3) Dilarang jual beli antara suami dan isteri
4) Perjanjian perburuan antara suami dan isteri tak diperbolehkan
5) Suami tak diperbolehkan menjadi saksi di dalam suatu perkara
isterinya dan sebaliknya
6) Suami tak dapat dituntut tentang beberapa kejahatan terhadap isterinya
dan begitu sebaliknya

B. Hukum Perkawinan Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974


Di dalam negara Republik Indonesia, semua hal yang memiliki
sangkut paut dengan penduduk harus lah mendapat legalitas dari pemerintah
dan tercatat secara resmi, seperti perkawinan, kelahiran ataupun kematian.
Pernikahan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Di dalam
rangka tertib administrasi dan tertib hukum, maka tata cara untuk
melakukan pernikahan wajib mengikuti prosedur sebagaimana diatur di dalam
peraturan pemerintah tentang pelaksanaan undang-undang no 1 tahun 1974.
Di Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dalam pasal 1 disebutkan bahwa
pernikahan adalah sebuah ikatan baik lahir maupun bathin diantara seorang
wanita dan seorang pria sebagai sebuah pasangan suami istri dan memiliki
tujuan untuk memiliki rumah tangga yang kekal dan bahagia berdasarkan pada
ketuhanan yang maha esa. Dan proses pencatatan pernikahan seperti yang
termaktub di dalam BAB II pasal 2 ialah dilakukan oleh PPN (pegawai
pencatat nikah) yang berada di wilayahnya masing-masing. Karena itu pegawai
pencatat nikah memiliki kedudukan yang sangat penting di dalam peraturan
perundang-undangan di indonesia yang diatur dalam UU no. 32 tahun 1954.
Dan hingga sampai sekarang pun pegawai pencatat nikah ialah satu-
satunya pejabat yang memiliki wewenang untuk mencatat perkawinan yang
telah dilakukan berdasarkan hukum islam di wilayah.
Artinya, siapapun yang ingin melangsungkan perkawinan berdasarkan
hukum islam, berada dibawah pengawasan PPN.
Maka dari itu setelah mengenai mengenai pernikahan dalam Undang
undang, hendaklah jangan sampai ada lagi yang namanya nikah siri krena
sangat merugikan pihak wanita, pihak wanita lah yang paling rugi dengan
nikah siri. Status pun tidak diakui oleh negara bahwa sudah menikah dan tidak
memiliki dokumen dokumen resmi.

C. Hukum Perkawinan Tentang Perjanjian Perkawinan Dan Harta


Perkawinan
Jika seorang yang hendak kawin mempunyai benda-benda yang berharga
atau mengharapkan akan memperoleh kekayaan, misalnya suatu warisan
makanya ada kalanya diadakan perjanjian perkawinan. Mengenai bentuk dan
isi perjanjian, kepada kedua belah pihak diberikan kemerdekaan seluas-
luasnya, kecuali satu dua larangan yang termuat dalam UU dan asal saja
mereka tidak melanggar ketertiban umun dan kesusilaan. Terdapat dua
perjanjian yang banyak terpakai, yaitu perjanjian “percampuran laba rugi”
(“gemeenschap van winst en erlies”) dan perjanjian “percampuran
penghasilan” (“gemeenschap van vruchten en inkomsten”)
Seseorang yang berumur dibawah 21 tahun dan ingin membuat perjanjian
perkawinan haruslah “dibantu” orangtua atau wali. Selanjutnya diperingatkan
apabila dalam di dalam waktu antara pembuatan perjanjian dan penutupan
pernikahan orangtua atau wali yang membantu terjadinya perjanjian itu
meninggal, maka perjanjian batal dn harus diulangi. Jikalau salah satu pihak
terlebih dahulu kawin dengan orang lain, dan baru kemudian menikah dengan
tunangannya yang lama, perjanjajian batal.
Pertama-tama ada larangan untuk membuat suatu perjanjian yang
menghapuskan kekuasaan suami atau kekuasaanya sebagai ayah. Maksud
larangan ini agar jangan sampai suami istri itu menguntungkan diri. Bagi
seorang yang kawin ada empat macam kemungkinan untuk memperoleh
kekayaan dari perkawinannya yaitu,:
a) Karena kekayaannya sendiri yang tidak begitu besar tercampur dengan
kekayaan suami atau isteri yang lebih besar sebagai akibat kawin dengan
percampuran kekayaan. Cara perolehan ini dinamakan “boedelmenging”
b) Karena ia menerima pemberian suami atau isteri dalam perjanjian
perkawinan
c) Karena ia mendapat warisan menurut UU dari kekayaan suami atau
isterinya
d) Karena ia menerima pemberian dalam suatu wasiat dari suami atau
isterinya
Bagi seorang suami atau istri kedua oleh UU diadakan pembatasan jikalau
ada anak-anak yang berasal dari perkawinan pertama maka suami atau istri
kedua itu tidak boleh mendapat keuntungan yang melebihi bagian seorang
anak, dengan ketentuan bagian itu tak dapat melebihi seperempat dari orang
yang telah kawin lagi itu.
D. Perceraian Dan Akibat Hukumnya, Tata Cara Perceraian, Pisah Rumah,
Akibat Putusnya Perkawinan Karena Percerain
Perceraian (divorce) adalah upaya pelepasan ikatan suami istri dalam suatu
perkawinan karena suatu alasan tertentu dengan putusan hakim, atau tuntutan
salah satu pihak dalam perkawinan tersebut. Suatu perceraian terjadi karena
tidak terpenuhinya kebutuhan antara kedua belah pihak sehingga tidak ada
jalan keluar (dissolution marriage).
Perceraian merupakan berakhirnya ikatan pernikahan antara suami dan
istri karena tidak terpenuhi kebutuhannya atau tidak dapat lagi hidup bersama
dimana perceraian ini dapat dilakukan secara hukum maupun di luar hukum.
Perceraian merupakan suatu proses yang di dalamnya menyangkut banyak
aspek seperti; emosi, ekonomi, sosial, dan pengakuan secara resmi oleh
masyarakat melalui hukum yang berlaku layaknya sebuah perkawinan.
Perceraian adalah peristiwa yang traumatis bagi semua pihak yang terlibat
bagi pasangan yang tak lagi dapat hidup bersama dan juga bagi anak-anak,
mertua, ipar dan sahabat. Perceraian dalam keluarga merupakan perubahan
besar khususnya bagi anak-anak karena akan mengalami reaksi emosi dan
perilaku akibat kehilangan satu orang tua.
Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tahapan,
proses atau tata cara perceraian dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Cerai Talak
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat
kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan
bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-
alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang
untuk keperluan itu.
Adapun tahapan prosesnya adalah:
 Setelah Pengadilan menerima surat pemberitahuan itu,
Pengadilan mempelajari surat tersebut.
 Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima
surat itu. Pengadilan memanggil suami dan istri yang akan
bercerai itu, untuk meminta penjelasan.
 Setelah Pengadilan mendapat penjelasan dari suami-istri,
ternyata memang terdapat alasan-alasan untuk bercerai dan
Pengadilan berpendapat pula bahwa antara suami-istri yang
bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup
rukun lagi dalam rumah tangga, maka Pengadilan memutuskan
untuk mengadakan sidang untuk menyaksikan perceraian itu.
 Sidang Pengadilan tersebut, setelah meneliti dan berpendapat
adanya alasan-alasan untuk perceraian dan setelah berusaha
untuk mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil,
kemudian menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami
dalam sidang tersebut.

Sesaat setelah menyaksikan perceraian itu, Ketua Pengadilan memberi


surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut; a) Surat keterangan
tersebut dikirimkan kepada Pegawai Pencatatan di tempat perceraian itu terjadi
untuk diadakan pencatatan perceraian; b) Perceraian itu terjadi terhitung pada
saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan.

b. Cerai Gugat
Cerai Gugat adalah Perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu
gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada Pengadilan dan
dengan suatu putusan Pengadilan. Gugatan perceraian dimaksud dapat
dilakukan oleh seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam dan oleh seorang suami atau seorang istri yang
melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya
itu selain agama Islam.
Adapun tahapan prosesnya adalah:
 Pengajuan gugatan. Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau
istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat tinggal tergugat atau penggugat.
 Pemanggil. Pemanggilan terhadap para pihak ataupun kuasanya,
dilakukan setiap kali akan diadakan persidangan. Yang
melakukan panggilan tersebut adalah juru sita (Pengadilan
Negeri) dan petugas yang ditunjuk (Pengadilan Agama).
Pemanggilan harus disampaikan kepada pribadi yang
bersangkutan, yang apabila tidak dapat dijumpai, panggilan
disampaikan melalui surat atau yang dipersamakan dengannya.
Panggilan tersebut harus dilakukan dengan cara yang patut dan
sudah diterima oleh para pihak atau kuasanya selambat-lambatnya
3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka.
 Persidangan. Persidangan untuk memeriksa gugatan perceraian
harus dilakukan oleh Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari setelah diterimanya surat gugatan di
Kepaniteraan.
 Perdamaian. Ditentukan bahwa sebelum dan selama perkara
gugatan belum diputuskan, Pengadilan harus berusaha untuk
mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara. Apabila
tercapai suatu perdamaian maka tidak dapat diajukan gugatan
perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada
sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada
waktu dicapainya perdamaian.
 Putusan. Walaupun pemeriksaan perkara gugatan perceraian
dilakukan dalam sidang tertutup, tapi pengucapan putusannya
harus dilakukan dalam sidang terbuka. Kapan suatu perceraian itu
dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya itu, terdapat
perbedaan antara orang yang beragama Islam dan yang lainnya.
Bagi yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan
Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
sedangkan bagi yang tidak beragam Islam terhitung sejak saat
pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh
pegawai pencatat.

Syarat mengajukan Gugatan Perceraian ke Pengadilan adalah harus ada


alasan perceraian. Salah satu alasan tersebut adalah “Antara suami dan
Termohon terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (Pasal 19 huruf F PP
Nomor 9 Tahun 1975)”.

Akibat dari adanya perselisihan dan pertengkaran tersebut adalah salah


satu pihak, entah suami atau istri yang meninggalkan kediaman bersama dan
hidup masing-masing ditempat tinggal sendiri, tidak lagi hidup bersama
dibawah naungan satu atap.

Dalam beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung, adanya fakta pasangan


suami istri tersebut sudah tidak tinggal bersama/tidak serumah sudah cukup
menjadi alasan adanya perselisihan dan pertengkaran sehingga dianggap
rumah tangga pasangan tersebut telah pecah dan tidak ada harapan untuk
hidup rukun dalam rumah tangga. Beberapa Yurisprudensi tersebut antara
lain:

Putusan MARI nomor 285 K/AG/2000 Tanggal 10 November


2000.Bahwa dikarenakan perselisihan yang terus menerus dan sudah tidak
dapat didamaikan kembali serta sudah tidak satu atap lagi/tidak serumah
karena tidak disetujui oleh keluarga kedua belah pihak, maka dapat
dimungkinkan jatuhnya ikrar talak”.

Putusan MARI nomor 1354 K/Pdt/2000 Tanggal 8 September


2003.“Suami isteri yang telah pisah tempat tinggal selama 4 (empat) tahun
dan tidak saling memperdulikan sudah merupakan fakta adanya perselisihan
dan pertengkaran sehingga tidak ada harapan untuk hidup rukun dalam rumah
tangga dapat dijadikan alasan untuk mengabulkan gugatan perceraian”
Putusan MARI Nomor 379 K/AG/1995 tanggal 26 Maret 1997“abstraksi
hukumnya menyatakan apabila suami isteri terjadi perselisihan dan
pertengkaran serta terjadi pisah tempat tinggal, maka rumah tangga mereka
telah pecah dan gugatan cerai telah memenuhi ketentuan Pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974”

Bahwa secara sosiologis suatu perkawinan yang didalamnya sering terjadi


perselisihan dan pertengkaran akan sulit untuk mewujudkan rumah tangga
bahagia yang penuh dengan mawaddah dan rahmah seperti yang diharapkan
oleh setiap pasangan suami isteri, justru sebaliknya akan menimbulkan
kemudharatan dan perselisihan yang berkepanjangan bagi salah satu pihak
atau kedua belah pihak, sehingga sudah sewajarnya apabila majelis hakim
mengabulkan perceraian yang didasarkan adanya alasan perselisihan dan
pertengkaran.

Adapun menurut Cole (2004), bagi pasangan yang telah memiliki anak,
perceraian dapat memberikan akibat atau dampak sebagai berikut:

1. Penyangkalan. Penyangkalan adalah salah satu cara yang sering


digunakan untuk mengatasi luka emosinya dan melindungi dirinya dari
perasaan dikhianati dan kemarahan. Penyangkalan yang
berkepanjangan merupakan indikasi bahwa anak yakin dialah penyebab
perceraian yang terjadi pada orang tuanya.
2. Rasa malu. Rasa malu merupakan suatu emosi yang berfokus pada
kekalahan atau penyangkalan moral, membungkus kekurangan diri dan
memuat kondisi pasif atau tidak berdaya.
3. Rasa bersalah. Rasa bersalah adalah perasaan melakukan kesalahan
sebagai suatu sikap emosi umumnya menyangkut konflik emosi yang
timbul dari kontroversi atau yang dikhayalkan dari standar moral atau
sosial, baik dalam tindakan atau pikiran.
4. Ketakutan. Anak menderita ketakutan karena akibat dari
ketidakberdayaan mereka dan ketidakberdayaan yang disebabkan oleh
perpisahan kedua orang tuanya. Anak menunjukkan ketakutan ini
dengan cara menangis atau berpegangan erat pada orang tuanya atau
memiliki kebutuhan untuk bergantung pada benda kesayangannya
seperti boneka.
5. Kesedihan. Kesedihan adalah reaksi yang paling mendalam bagi anak-
anak ketika orang tuanya berpisah. Anak akan menjadi sangat bingung
ketika hubungan orang tuanya tidak berjalan baik terutama jika mereka
terus menerus menyakiti, entah secara fisik maupun verbal.
6. Rasa marah/kemarahan. Beberapa anak khususnya menunjukkan
kemarahan mereka pada orang tua yang ditinggal bersama mereka,
karena mereka merasa aman melampiaskan frustasi mereka pada orang
tua yang tidak meninggalkan mereka. Anak biasanya menyalahkan
orang tuanya karena telah menimbulkan ketakutan baginya yang
disebabkan oleh banyaknya perubahan setelah perceraian.

E. Perjanjian Perkawinan Dan Harta Perkawinan, Perkawinan Campuran


Perkawinan campuran menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan
salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Disisi lain Perkawinan
campuran dan perkawinan yang dilakukan di luar Indonesia sangat berkaitan
dengan 2 (dua) sistem hukum yang mempengaruhi sah atau tidaknya
perkawinan tersebut serta akibat hukumnya perlu memperhatikan sistem
hukum masing-masing mempelai.
Pengaturan mengenai harta benda dalam suatu perkawinan juga diatur
dalam undang-undang perkawinan, dari sisi keperdataan hal tersebut seringkali
menimbulkan permasalahan mengingat sifatnya yang sensitif dan dapat
menimbulkan adanya Konflik yang diakibatkan oleh beberapa pengaturan
hukum yang menjadi landasan aturan terhadap perkawinan campuran ini.
Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974, apabila pihak suami adalah
Warga Negara Indonesia, maka ketentuan hukum materiel berkaitan dengan
harta kekayaan diatur berdasarkan hukum suami. Namun harta benda
perkawinan campuran jika tidak dilakukan perjanjian perkawinan yang
menyangkut harta perkawinan maka harta perkawinan ini akan tunduk.
Mengenai harta benda yang diperoleh selama perkawinan Undang Undang
Perkawinan mengaturnya dalam pasal 35 bahwa Harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama (Pasal 1). Harta bawaan dari
masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 2). Apabila para pihak
menentukan bahwa mereka akan mengadakan Perjanjian Kawin yaitu
perjanjian kawin pisah harta maka perjanjian harus dibuat secara notaril atau
dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan yaitu Kantor
Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.
Penggunaan harta bersama dalam perkawinan harus dengan persetujuan
suami isteri tersebut dimana suami istri mempunyai hak penuh atas harta
bersama secara bersama sama dengan kedudukan yang seimbang. Sedangkan
harta bawaan, suami istri mempunyai hak sepenuhnya sendiri untuk mengelola
terhadap harta benda tersebut. Dalam perkawinan campuran, disarankan
kepada calon suami istri tersebut untuk membuat Perjanjian Kawin pisah harta
atau disebut Perjanjian Kawin.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkawinan adalah hidup bersama antara dua manusia yang berlangsung
lama dan saling mempunyai hak dan kewajiban yang harus saling dilaksanakan
dengan baik agar terhindar dari perceraian. Perceraian dapat diatasi dengan
perpisahan meja dan tempat tidur. Perpisahan meja dan tempat tidur adalah
solusi untuk sepasang suami-steri yang tidak ingin menginginkan perceraian
tetapi tidak bisa hidup bersama lagi. Perpisahan meja dan tempat tidur
bukanlah perceraian yang sah di mata hukum sehingga hak orangtua tidak
terhapus.
Maraknya perceraian membuat kasus tentang harta gono gini menemukan
jalan buntu dan kadang berakhir dengan ketidakjelasan. Padahal harta gono-
gini sebenarnya adalah harta yang didapatkan ketika sudah menjalani
pernikahan. Sedangkan, barang atau harta/ warisan yang dibawa sebelum
pernikahan tidak termasuk harta gono-gini tsb. Perjanjian perkawinan adalah
solusi untuk medapatkan jawaban tentang masalah harta gono-gini. Karena,
perjanjian perkawinan adalah perjanjian sebelum perkawinan yang membahas
tentang percampuran kekayaan antara si suami dan si isteri.
Jikalau sepasang suami isteri masih mempunyai hutang ketika perkawinan
masih berlangsung, maka suami istri itu harus melunasinya bersama dengan
ketentuan bahwa hutang iitu hutang gemeenschap (hutang bersama) yakni
hutang yang dibuat oleh si suami atau isteri untuk keperluan rumah tangga.
Sedangkan jika hutang itu bukan hutan bersama melainkan hutang prive maka
pihak yang berhutang lah yang harus melunasinya.

B. Saran
Dari beberapa penjelasan di atas pemakalah pasti tidak lepas dari
kesalahan penulisan dan rangkaian kalimat. Dan kami sebagai penyusun
makalah ini menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
seperti yang diharapkan para pembaca, khususnya pembimbing mata kuliah
hadits-hadits ekonomi. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang sifatnya konstruktif (membangun), agar dapat dibuat acuan dalam
terselesainya makalah kami yang berikutnya.
DAFTAR PUSAKA

https://www.scribd.com/document/377418517/Makalah-Hukum-Perkawinan

Wijaya, Putri Novita. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perceraian dalam


Perkawinan. Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata.

Subekti. 1994. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.

Simanjuntak, P.N.H. 2007. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta:


djambatan.

Kompilasi Hukum Islam. 2008. Bandung: Nuansa Aulia.

Hurlock, Elizabeth B. 2011. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan


Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Emery. 1999. Marrage, Divorce, and Chidren. New york: Prentice Hall.

Soemiyati. 2007. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan.


Yogyakarta: Liberty.

Dariyo, Agoes. 2004. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: Grasindo.

Fauzi, Dodi Ahmad. 2006. Perceraian Siapa Takut. Jakarta: Restu Agung.

Cole, K. 2004. Mendampingi Anak Menghadapi Perceraian Orang Tua. Jakarta:


Aneka Prestasi Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai