Anda di halaman 1dari 213

Psiko_ogi

Perkembangan
Kaiian TeoriPiaget. Selman.
Kohlberg dan
erapannua dalam Riset

Oipindai dengan CamScamei


Psikologi Perkembangan
Kaiian Teori Piaget. Selman.
Kohlberg
dan Terapannua dalam
Riset

Prof. ,Dr. Kusdwiratri Seti,ono, Psi

widya PADIAOJAilAN

Dlplndni dengon ComScomer


ISBN 978-602-8323-15-4

©Prof.Dr. Kusdwiratri Setiono, Psi.


Hak cipta ada pada penulis:
Hak penerbitan ada pada Widya Padjadjaran
Cetakan Pertama, Agustus 1008
Cetakan Kedua, Agustus 2009

Penulis
: Prof. Dr. Kusdwiratri Setiono, Psi.
Editor
: Tim Widya Padjadjaran
Penata Letak : Nanang Purwoko
Design Cover : Damang C. Sarumpaet

Dipindai dengan CamScomei


Pengantar
Buku ini dimaksudkan sebagai satu contoh dari penguasaan teori, riset
yang mengacu pada teori dan bagaimana menerapkan teori sebagai perspektif •
untuk memandang fenomen. dalam kehidupan sehari-hari. Penulisan buku •••·••·•
ini didasari o!eh kebutuhan mahasiswa dalam mata kuliah Teori-teori dalam ! L.

C:

Psikologi Perkembangan di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, yang


sudah diemban penulis selama lebih dari 15 tahun.
Sebagai mata kuliah wajib yang harus diikuti oleh mahasiswa
Psikologi semester VI, Teori-teori dalam Psikologi Perkembangan harus
dapat memberikan motivasi kepada mahasiswa untuk mempelajari dan
menyadari betapa kaya dan besar manfaat penguasaan teori. Semua teori yang
diuraikan dalam buku ini, yaitu teori Piaget (Perkembangan Kognitif), Selman
(Perkembangan Koordinasi Perspektif Sosial), dan Kohlberg (Perkembangan
Penalaran Mor I) merupakan teoriserumpun, dalam arti berorientasi kognitif.
-
Walaupun ketiga teori yang diungkap mempunyai asumsi keberlakuan konsep-
konsepnya secara universal, harus disadari perlunya pertimbangan konteks
sosio-budaya dalam interpretasi hasil-hasil penelitian yang menggunakan
teori tersebut. Dalam hal ini ditunjukkan pembahasan hasil-hasil penelitian
tentang perkembangan penalaran moral Kohlberg dalam perspektif lintas
budaya. Ulasan tersebut disusun penulis pada tahun 200 I dan dimuat dalam
International Encyclopedia of the Social & Behavioral Science, yang diterbitkan
oleh Elsevier Science Limited, England. Ulasan lengkap dari salah satu yang
disebutdalam encyclopedia tersebut adalah tulisan penulis tentang
Perkembangan Moralitas dari Sudut Pandang Budaya Jawa, yang pernah dimuat
dalam Jurnal Ps·kologi, nomor 2 - 1994. Diharapkan pemahaman teori menjadi
lengkap dengan ilustrasi riset - riset tersebut.

Dipindai dengan CamScomei


Kiranya penerbitan awal dengan model teor.i dan terapannya dalam riset
ini dapat diberikan umpan balik. agar untuk pengungkapan teori-teori lainnya
yang direncanakan akan diterbitkan di masa .mendatang, dapat lebih sempurna.

Penulis menyampaikan terimakasih sebelumnya atas masukan-masukan yang


diberikan.

Kusdwiratri Setiono

Dipindai dengan CamScanner


DAFTAR ISi

Halaman
PENGANTAR ••t11••····•..t•••t••·········..•••••..••••••...........t••···..··••·••·......................................,.............. V

DAFTAR ISi ■•■••ii i,,iii, i,1 II.,,,_••• ■•■■•••■■ ■■■■ ■ ■ ■..ti• ti■■•■.•■■ ■
it+ II • 1 ,t, I I ■••■ ■■..■■It ■■ ■■•■■
I I I I II ltl ••• ■ ■ ■•
41 ! ■!t ... 11-1 ■ ■ ■■•
l' I •• I•
ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. ,u ... ,,.... X

DAFTAR LAMPIRAN

l TEORI PERKErrlBAn6Rn K06n1Tlf' .............................................


• 1.1 Pengertian Kognisi dan Ruang Lingkupnya ...................................... 2
1.2 Asumsi-asumsi Teori Perkembangan Kognitif ................................... 5
1.3Ciri khas Teori Perkembanganognitif............................................. 8

2 PERKEfllBRn6An KOGnlSI PlEnURUT PIR6ET.................11


2.1 Latar Belakang Jalan Pikiran Piaget ................_.................................... I I

• 2.3 Tahap-tahap Perkembangan Kognisi ..w.................................. 20


2.4 Konsep Peningkatan Tahap Perkembangan Kognisi dan Belajar.......29
2.5 lmplikasi Teori Piaget dalam Pendidikan.........................................34

3_ PERKEf11BAn6An PEnALARAn fllDRAL


(l)EnURUT KOHLBER6........................................... 39
3.1 Penalaran Moral sebagai Konstruk.................................................41
3.2 Tahap-tahap Perkembangan Penalaran Moral.................................46
3.3 Dasar Penyusunan Tahap-tahap Perkembangan Penalaran Moral 62
3.4 Peningkatan Tahap Perkembangan Penalaran Moral.......................73

Dipindai dengan CamScanner


'-t PERKE[TlBAnsnn KOORDlnRSI PERSPEKTIF SOSIRL
m• .. E• nURUT SEL m .An............................................ 83
I I ■ ·••ii!l!l!!ldllf••······ -

4.1 Koordinasi Perspektif Sosial sebagai Konstruk ........................;,,.. .. 84

4.2 Tahap·-tahap Perkembangan Koordrnasi Perspektif Sosial............. 91


4.3 Peningkatan Tahap Perkembangan Ko,ordinasi Perspektif Sosial 96

S. RELRSI AnTRRA PERKErrlBAn6An K06nlSI.


KDORDlnASI 99
PERSPEKTIF SOSIAL DAn PEnALARAn fTIORAL ................
5.1Penjelasan Teorit1s ........................................................+....................... 99
5.2 Penemuan Empiris .................................................................................... I 03
5.3 Model Relasi Kondisional antarTiga Aspek ..................................... I03
5.4 Penelitian dengan Model Relasi Kondisional antar Tiga Aspek ,m I 07

6. PERKEfTlBAnsAn PEnALARAn PlORAL


PERSPEKTIF unTA5 BUDAYA...................................r 09
6.1 Teori Kohl berg Tentang Perkembangan Penalaran Moral ............. I I0
6.2 Perspektif Lintas Budaya dan Hasil-Hasil Penetitian........................;112
6.3 Arah Penelitian Mendatang.......................................:.....................15

,_ PERKEfTIBAn6nn fllORALITAS DARI SUDUT


PAnDAn6 BUDAYA JAWR ......................................................................... I 17
7.1 Sudut Pandang Budaya Jawa ............................................................... I 17
7.2 Kejawaan dan Sosiafisasinya Dalam Keiuarga................................... I I 7
7.3 Moralitas Dari Sudut Pandang Budaya Jawa...................................120
7.4 lnterpelasi Hasil Penelitian Dengan-AcuanTeori Kohlberg
Dari Sudut Pandang Moralitas Jawa..............................................123
7.5 Epilog.......................,...'!,,, ••• , ...,............................................. 126
•••••• .......................+,1,, ....... ,.. •

DAFTAR PUSTAKA •
LAMPIRAN - LAMP,IRAN

Dipindai dengan CamScanner


DAFTAR 6AfTIBAR

Gambar Halaman
I.. Kognisi sosial .............................................................................................
3-
2. Tahap Penalaran mora.l sebagal fungsl dari umur 56.............·
...........................
i...

3. Kecenderungan umur dafarn penalaran moral pada


57
J
0
anak laki-lakl kelas menengah dari tiga bangsa ............................... l
4. Kecenderungan umur dafarn penalaran moral anak anak desa
yang terisolir dari dua bangsa.......................................................58
5. Norma umur dari tahap penalaran moral·....................................61
6. Relasi hierarkis antar aspek kognisi fisik dan sosial.......................00
7. Model relasi kondisional antar K,S,M...........................................06

Oipindai dengan ComSca


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
.•;.•
I. llustras_i perspektif sosial tiap tingkatan pena1aran moral.................39
2. llustrasi perspektif social tiap tahap penalaran sosial....................145
3. llustrasi gejala regre i penalaran sosial ¥tl7•-·t1•l4ff\:b··r,:·--·-· ·149

---
Dipindai dengon CamScamei
J
Teori Perke_mtJangan
Kognitif

T
iga pokok yang dibahas dalam urai'.'" t o. i perkemban
kognitifadalah pertama pengertian kognisi dan ruang fingkupnya,
kedua asumsi-asumsi dan ketiga ciri khasnya. Pertama, teori
perkembangan kognitif berakar
dari teori kognisi.. Dengan demikian ruang llngkup teori ini dapat diterangkan
melalui pengertian kognis_i. Kedua, kalau kita teliti ·nti ulasan-u1asan m ngenai
perkembangan psikologis, tpada hakekatnya adalah m nge-n perubahan
•i
- -
tingkah _laku seseorang sepanjang masa
.
hidupnya (Linger, 1986; Wohwill,
.
. -.
1973). Dalam hasanah pustaka mengenai konsep dasar perkembangan
psikologis, perubahan yang terjadi sepanjang hidup manusia dinyatakan
dalam berbagai konsep yang berbeda. Selain itu tentang manusia itu sendiri,
di mana perubahan tersebut diatribusikan, dinyatakan·dalam·berbagaf
konsep yang berbeda pula. Perbedaan pandangan mengenai konsep
perubahan dan konsep manusia tersebut merupakan perbedaan asumsi yang
menjadi titik tolak teori mengenai perkembangan psikologis. Ketiga, atas·
dasar pengertian kognisi dan asumsi-asumsi mengenai perkembangan
psikologis akan diungkapkan ciri khas t,eori perkembangan kognitif, ialah
adanya penahapan perkembangan
psikologis.
i.
Oipindai dengon CamScannef
1.1 Pengertian Kognisi dan Ruang lingkupnya
Secara umum kognisi diartikan seba,gai apa yang diketahui serta
dipikirkan oleh seseorang. Flavell ( 1977) menyatakan bahwa definisi kognisi
sulit diura;lkan. Sesungguhnya semua proses psikologis dalam diri manusia
saHng ber.interaksi. Sebagai saJah satu contoh diutarakan, apa yang
diketahui dan dip',kf rkan• seseorang (kognisi) jelas berinteraksi dengan
bagaimana orang tersebut merasakannya (emosi).
Kalau kita telaah gambaran klasik mengenai kognisi maka kognisi meliputi
uhigher-mental p.roce.sses" seperti pengetahuan, kesadaran, intelligensi,
plkiran, imajinasi, daya c pta, perencanaan,. penafaran, pengumpulan,
pemecahan masalah, pembuatan :konsep, pembuatan kfasifikasi dan kai
kaitan, pembuatan simbot-simbdl dan mungkin juga fantasi serta mimpi.
Gambaran masa kini mengenai kognisi mencakup batasan-batasan yang
lebih luas. Ada yang menambahkan koordinas1i motorik (terutama pada
bayi), persep " bayangan (imagery), ingatan, perhatian dan belajar. Ada .pula
yang menambahkan kompone·n yang lebih bersifat sosial..psikologis. Dalam
hal ini kita sampai pada kognisi sosial, yang didefinisikan FlaveH ( 1977, hal. 49)
sebagai berikut:

"... social cognition means cognition of human objects and their


doings. It includes perception. thinking and knowledge regarding the
self, other peop'le, social relationst social organizations and
institutions
=. .--- in general, our human, social world.....

Dalam definis•i tersebut terkandung pengertian bahwa obyek kognisi


sosiaf ialah proses-proses psikologis yang diasumsikan ada di dalam diri
seseorang mengenai dirinya sendiri dan/atau orang lain, juga mengen3:.i
hubung:m
,manusia. Dengan demikian kognisi sosial dapat kita gunakan untuk jawaban
tentang apa yang dilakukan seseorang dalam hubungan dengan lingkungan
sosialnya. Kognisi sosial juga meliputi ide-ide seseorang mengenai norma-
Dipindai dengan CamScame,
\
\

norma dan n'ilai-nHai moral (benar/sa'lah, baik/buruk). Pengertian yang


disebutkan terakhlr, merupakan usaha untuk mencari ;awaban tentang
apa
yang seharusnya/sebaiknya dilakukan seseorang dalam, hubungannya dengan
\
Ungkungan sosialnya.

Secara skematis apa yang termasuk dalam kognisi sosial dapat dilihat pada
gambar I.
........

,_ , e
..,
·

Gambar I : Kognisi sosial (Flavel'I, 1977, hal. 120)

S = diri (the self)

O = orang rain atau kelompok orang lain (other person or group of

persons)
.. - - - - -► = aktifitas dan hasil kognisi sosial (social cognition), berupa
kesimpulan seseorang, kepercayaan atau konsep
mengenai proses psikologis datam diri seseorang -
mengenai dirinya sendiri ataupun ,mengenai diri orang lain.
Maka panah •ini digambarkan ke dalam "dirin yang dituju.
,... = • aktifitas ,sosial (social act), yang lebih • overt.. daripada aktifitas
m ntal yang "covert". Maka panah ini digambarkan tidak
dapat ke dalam "dirt yang dituju.

Dipindai dengan CamScamei-


Bagian atas dari skema tersebut menun;ukkan bahwa seseorang dapat
nd
mempunyai berbagai kognlsi sosial, balk terhadap dirinyase iri maupun
tentang diri orang lain atau kelompok orang lain. Bagianbawah.dari kema
tersebut menunjukkan berbagal hubungan·dalam interaksi antar individu
atau kelompok. Jadl : aku (the self) dapat mengetahui dan berpikir
rnengenai diri
·, saya sendiri dalam ··solasi (panah putus-putus no. I), mengenai akdfltas sosial
dan kognisi sosial orang lain (other person) dalam isolasi (panah putus-
putus no.2 dan juga mengenai aktifitas sosial dan kognisi sosial dalam hubungan
saya (atau orang lain) dengan orang lain (panah putus-putus no.3).
Lingkup studi kognisi sosial itu luas, meliputi perkembangan
pengetahuian seseorang mengenai fenomen sosiaL Damon ( 1979, hal 206)
menyusun daftar ringkasan fenomen sosial yan,g dimaksud di atas, ialah:
(I) other persons
{2) the feeling of others.
(3) the motives of others
(4) the social perspective of others
{5) social relations l'ike friendship or authority
(6) interpersonal acts like kindness
(7) social rules and conventions
(8) s-ocial jnstitutions
(.9) the self
(10) the self's own thought
processes ( I I) ·communication skills
( 12) moral judgment
. ·•
Kesimpulan yang diperoleh.dari uraian di atas ad I h b -h -- . .
.... . . aa a wa ruang hn,gkup
kogms1 itu amat luas, mehput1 segala sesuatu a . . . -
Y ng diketahu1-serta dipikirkan
seseorang. Obyeknya bisa dunia flsik t - d . - .
sendiri orang lain •t ks' . . a au uma sos1al' yang me1·1put1, • d'1rmya
- ,- •
' in era - I dmnya deng-an oran a.I·n· atau .mt. ,ks· I•
gI
. -
dengan orang - era I orang am

:, · lain. 4
ft
'•,
Oipindai dengan CamScamei
I.2Asumsi - asumsi Teori Perkembangan Kognitif
Orientasi kognitif merupakan ciri utama dari aliran "cognitive
paychology", Aliran ini memiHki asumsi bahwa manusia dalam keanekragaman
budaya memiliki tentang hakekat lingkungan hidupnya. Tugas utama "Cognitive

"••• to understand the nature and origin of the mental structure


Psychology'' menurut Harris ( l 978, hal. I):
...... . .. ..
, •·•


·.::s
which permit such universally - shared assumtion " ·2
ti,()
C:
:0
_Cg
Asumsi pertama dari teori perkembangan kognitif adalah universal_itas daJam E
j!I..
perkembangan psiko1ogis.
·c
0
Pada awal abad ke-20 orientasi kognjtif mempengaruhi psikologi
perkembangan melalui melalui sumbangan pikiran tokoh-tokoh seperti
J.M. Baldwin, Lewin, Piaget dan Werner. Dalam kurun waktu 1930 - 1960
sumbangan pikiran kognitif dalam psikologi perkembangan_ kurang
mendapat tanggapan, sebab pada saat ltu pengaruh aliran psikologi
eksperimental sangat besar Orientasi kognitif kalah pengaruhnya oleh
teori-teorj behaviorisme teruta.ma dalam bahasan mengenai belajar.
Namun . ekitar 1960 or entasi behaviorisme menjadi kurang populer
sebab kontradiski-kontradiksi internal serta kekurang-mampuan teori ini
menerangkan gejala-gejala psikologis, khususnya dalam bidang
perkembangan bahasa. Di lain pihak sumbangan prkiran dan penelitian
yang ber,orientasi kognitif mulai membanjir dengan djketengahkannya
buah pikiran Piaget secara lebih mudah daripada tulisan tulisannya sendiri
yang asli.
Upaya pemahaman tentang pengaruh orientasi kognitif terhadap
perkembangan psikologis harus didasari oleh pemahaman konsep-
konsep dasar mengenal perkembangan psikologis. Hakekat perkembangan
psikologis ialah perubahan, dinyatakan dalam konsep y.ang berJainan. Konsep
perubahan ini adalah:

Dipindai dengan CamScanner


1

(I) konsep perubahan kuantitatif, dan


(2) konsep perubahan kualitatif (Lerner, 1976).

Perubahan dikatakan kuantitatif bila menyangkut banyaknya fungsi


psikologis yang berubah dengan pertambahan usia. Misalnya perubahan
perbendaharaan kata pada anak. Perubahan dikatakan klfalitatif bila tidak
mempersoalkan tentang jumlah perubahan, tetapi bagaimana perubahan
itu terjadi. Mungkin saja dalam perubahan itu muncul sesuatu yang baru.
Sebagai contoh .: pada masa remaja muncul dorongan baru, ialah
dorongan seksual. Dengan dorongan baru ini remaja.mulai mempunyai
perasaan-perasaan baru, pikiran-pikiran, dan bahkan tingkah laku yang
berbeda dengan sebelumnya. Timbulnya dorongan baru ini merupakan
contoh dari perubahan kualitatif. Teori perkembangan kognitif
berasumsi bahwa da'lam perkembangan psikologis
perubahan tersebut bersifat kualit3;tif.
J<onsep d ar lain dari perkembangan psikologis adalah tentang sumber
dari perubahan yang terjadi. Dalam hal ini ada dua konsep yang muncut, disatu
pihak menganggap sumber perubahan tersebut berasal dari dalam
'individu, di lain pihak meoganggap perubahan sumber perubahan tersebut
berasal dari lingkungan. Dua konsep sumber pei-ubahan tersebut menimbulkan
kontroversi pandangan antara nativisme - empirisme, pembawaan
(innate, perolehan (acquired), kematangan {maturation) - belajar, atau
keturunan (heredity)
- lingkungan. Untuk menyelesaikan kontroversi tersebut Anne Anastasi
(Lerner, 1976) mengutarakan bahwa yang terpent,in,g bukan menanyakan
: "yang mana", atau "seberapa banyak" pengaruh pembawaaan atau
lingkungan sebagai sumber perubahan. Dengan pertanyaan °yang mana"
berarti kita asumsikan ada dua komponen yang terpisah, padahal dalam
kenyatannya, kita tak dapat memisahkan pengaruh dua komponen tersebut.
Kita juga tak dapat me·nanyakan•seberapa banyak pengaruhnya masing-
masing, sebab keduanya sama-sama perlu untuk perkembangan
psikologis. Atas dasar itu Anne
Anastasi menyarankan perubahan pertanyaan menjadi: "Bagaimana perubahan
atau lingkungan ·mempengaruhi perkembangan psikologis?" Pertanyaan
ini menuntun kita pada konseptualisasi bahwa interaksi antara pembawaan
dan lingkungan mempengaruhi perubahan. lnteraksi berarti interelasi yang
multiplikatlf (a muliplicative type of interrelation), ialah adanya pengaruh dari
kedua komponen secara kait-mengkait satu dengan yang lain. Sebagai
contoh dapat dikemukakan mengenai perkembangan tidak tergantungnya •••••••••
seorang anak yang mempunyai cacad bawaan, misalnya bibir sumbing. '2DO

Cacad si anak (pembawaan) anak mewarnai sikap ibu dalam r::

1l
mengasuhnya (lingkungan), misalnya ibu cenderung melindungi dan . a
E.,
-L"."
meno·long anak. Sikap ibu tersebut merupakan rangsang bagi anak untuk
.i:
tidak perlu berusaha sendiri. Hal ini berarti perkembangan tidak 0

tergantungnya si anak mengalami hambatan. Teori perkembangan kognitif


berasumsi bahwa dalam perkembangan psikologis sumber yang
menentukan perubahan rarah interaksi antar pembawaan dan lingkungan.
Konsep dasar dari perkembangan psikologis berikutnya ialah yang
berhubungan dengan konseptualisasi nianusia dalam hubungan dengan
lingkungannya. Ada dua konsep yang muncul, yaitu: manusia itu aktif dalam
hubungan dengan lingkungannya atau manusia itu pasif. Manusia sebagai
makhluk yang aktif dirumuskan Langer ( 1968, hal. 7) sebagai berikut:

... "Man as an active agent and his development as a self -


constructive process. Man develops to be what he makes himself by
his own action"...

Jadi manusia dipandang sebagai aktor yang secara spontan mempunyai


inisatif terhadap tindakannya yang menyebabkan lingkungan bereaksi.
Pandangan ini bertentangan dengan konsep manusia sebagai makhluk pasif
yang dirumuskna Langer ( 1968, hal. 4) sebagai berikut:

Oipindai dengan CamScamei


"man grows to be what he is made to be by his enviro.ment"•

Menurut pandangan inl tingkah laku manusia merupakan reaksi


terhadap ling,kungannya. Teorl perkembangan kognitif berasumsi bahwa
manusia itu adalah makhluk yang aktif dal'am hubungan dengan
lingkungannya, sehingga perubahan yang terjadt dalam perkembangan
pslkologis adalah hasil dari aktivltasnya tersebut.
Konsep perkembangan pslkologis berikutnya masih berhubungan dengan
manusia. khususnya hakekat tlngkah laku manusia. Dalam hal ini ada dua
konsep yang muncul, di .satu pihak rnenganggap bahwa tingkah laku
manusia dapat diural menjadi kom,ponen-komponen yang sifatnya l•ebih
sederhana (atomistis),.di lain pihak tingkah laku manusia merupakan suatu
organisasi yang kompleks dari komponen-komponen yang saUng
berinteraksi: (gestaltis). Teori perkembangan kognitif berasumsi bahwa
manusia adalah suatu sistem kognisi yang kompleks, merupakan organisasi
yang te.rbentuk dari proses-proses kognisi yang interdependen.

1.3 Ciri Khas Teori Perkembangan Kogniti.f


.Asumsi - asumsi teori perkembangan kognitif mendasari penyusunan
tahap - tahap perkembangan yang merupakan cirii khas dan merupakan
topik bahasan utama teori perkembangan kognitif. Atas dasar asumsi
bahwa perubahan bersifat kualitatif, implikasi pada pengertia tahap
perkembangan ialah; bahwa pada diri tiap orang akan kita temukan
perbedaan kualitatif dalam cara memecahkan problem yang sama, bila
tahap perkembangan berbeda.
Tahap - tahap perkembangan ini selain• mempunyai karakeristik bahwa
antar tahap ada perbedaan kualitatif, iuga mempunyai karakteristik lain, yaitu
b.ahwa tahap-tahap perkembangan mengikuti urutan yang tetap (invariant
sequenc:e). Hal ini berarti bila.tahap paling awal tahap I, kemudian tahap2
dan
berikutnya tahap 3J perkembangan selalu mengikuti urutan tahap I, 2 dan3
1

Dipindai dengan CamScanner


tldak terjadi urutan meloncat (dari tahap I ke tahap 3); dan tidak terjadi regresi
atau urutan mundur (setelah mencapal tahap 3 kembali ke tahap 2). Apabila
karakteristik ketetapan urutan tahap perkembangan tersebut dikaitkan dengan
asumsi adanya universalltas dalam perkembangan pslkologi, maka menurut
teorl perkembangan kognltif semua orang secara universal tentu mengikuti
urutan tahap perkembangan pslkolog[s yang sama. Faktor lingkungan mungkin •
menyebabkan percepatan/perlambatan tempo perkembangan atau membatasi ••••••
penc:apaian tahap perkembangan tertinggl, tetapi urutan tahap selalu tetap. JC
Karakteristik lain dari tahap perkembangan psikologis tersebut ialah
J
nl
.D
bahwa tiap tahap m,enunjukkan keseluruhan terstruktur (structured whole).
L

HaJ ini berarti bahwa respons seseorang terhadap suatu tugas pada tahap rf
·;:
0
perkembangan tertentu bukanlah rnerupakan respon spesifik yang ditentukan fl!
oleh kenal-tidaknya s.eseorang pada tugas-tugas itu, tetapi lebih
merupakan respons yang mencerminkan cara.seseorang mengorganisasikan
pikiran pada umumnya, yang dis_ebut struktur penalarannya. Bila kita tahu
seorang anak pada tahap perkembangannya kognitif tertentu, kita bisa
meramalkari cara pemecahan berbagai niasalah yang dihadapinya.
Tahap perkembangan psik logis juga mernpunyai karakteristik integrasi
yang hierarkis (hierarchical integration). Maka tinggi tahap perkembangan
makin· terlihat diferensi:asi dan integrasi. Deferensiasi terjadi. bika makin
bertambahnya bagian-bagian yang fungsinya unik. Dikatakan makin terjadi
integrasi, bila makin dimungkinkannya berbagai bagian fungsi bersama-
sama melalui suatu pengaturan tertentu atau kombinasi yang baru. lntegrasi
yang hierarkis dalam tahap-tahap perkembangan berarti tahap yang baru,
dibentuk atas dasar tahap sebelumnya, tetapi diintegrasikan dalam struktur
tahap yang
baru.
Selain mempunyai topik bahasan utama tahap-tahap perkembangan,
kekhasan teori perkembangan kognitif adalah lebih menekankan pembahasan
pada kognisi atau berpikir, daripada emosi atau asosiasi-asosiasi yang
diperoleh

Dipindaidengan CamScanner
P 1'\ ,,,toc, n h09nit'1 r'l'\ ounJ
norm,,!.

2
Perk mflangan Kognisi
(T)enurut Piag;et.
·
okok-pokok pikiran Piaget mengenai perkembangan kognisi akan
mudah dipahami dengan menelaah latar belakang jalan pikirannya.
Dengan demikian ulasan ini akan didahului dengan asal:mula
timbut:nya pokok-pokok pikiran Piaget mengenai perkembangan kognisi,
setelah itu baru diketengahkan ide-ide dasarnya, kemudian disusul oleh
uraian yang lebih operasional mengenai ciri masing-masing tahap.
Diketengahkan juga konsep
-Piaget mengenai peningkatan tahap perkembangan clan belajar, kemudian
dia hiri dengan implikasi pokok pikiran Piaget dalam bidang pendidikan.

2. I Latar Belakang Jalan Pikiran Piaget


Jean Piaget yang lahir di Swiss memperoleh gelar doktor dalam Biologi.
Sejak masa remaja Piaget juga tertarik pada filsafat. Hal ini mengarahkan
minatnya yang besar pada epistemolog·i, suatu cabang Filsaf t yang
mempelajari pengetahuan ( = kn«?w'ledge == the nature of man's concept of
realisty).
Piaget berpendapat bahwa cara terbaik untuk memahami pengetahuan
adalah mempelajari asal-usulny serta bagaimana pengetahuan itu
berkembang pada diri manusia. la menyebut dirinya sebagai (fgenetic
epistemologist"
(Thomas, 1879). H_a l ini berarti bahwa pertanyaan sentral yang mendasari
teori danpenelitian-pene.litian adalah: •iBagaimana pengetahuan berkembang
0

pada manusia?" Lebih spesifik lagi: "Bagaimana hubungan antara the


knower" dan 4'the known" berubah sepanjang masa kehidupan manusia?''
Sehubungan Dipindai dengan CamScame,
dengan itu Elkind ( 1974) mengemukakanabahwa studi tentang
perkembangan kognisi yang dilakukan Piaget dapat didefinisikan sebagai
suatu studi tentang pengetahuan dan proses mental yang terlibat, tentang
bagaimana perole annya. dan penggunaannya. Satu langkah utama untuk
memahami jalan pikiran Piaget ialah dengan mempelajari konsepsinya
mengenai pengetahuan dan bagaimana perolehannya,• sebab konsepsinya
berbeda dengan pandangan kita sehari hari.
jalan pikiran Piaget adalah, Pertama, Piaget tidak setuju dengan anggapan
bahwa pe.ngetahuan a(Jalah informasi atau kepercayaan yang telah
dipunyai oleh .s-eseorang..la memandang pengetahuan sebagai suati proses.
Mengetahui sesuatu berarti bertindak pada sesuatu, baik tindakan fisik

dan/atau mental. Pada anak umur 2 tahun pengetahuan tentang bolah


terdiri dari memegang, meremas dengan jari-jari dan menggelindingkannya.
Dengan bertambahnya usia dan banyak sekali menga1ami pengalaman-
pengalaman fisik dengan obyek
- obyek, ia mampu memproduksi "mental image" dan simbol-simbol. lnilah
yang dimaksud oleh Piaget bahwa pengetahuan anak menjadi aktifitas
mental. Menurut Piaget, pengetahuan merupakan suatu proses atau rentetan
tindakan, bukan sekedar simpanan informasi saja.
Jalan pikiran Piaget yang kedua adalah, bahwa Piaget tidak setuju dengan
. anggapan bahwa persepsi yang merupakan pencatatan dari obyek atav
kejadian ke dal'am "mind" anak, merupakan representasi terpercaya dari
apa yang sesungguhnya disaksikan (realitas obyektif). Piaget berpendapat
bahwa

persepsi anak tergantung dari pengalaman masa lampau dan kematangan


i ta
internal pada saat itu.
a
:
"::":, Jalan pikiran Piaget yang ketiga adalah, bahwa ia setuju dengan an
'
;J
C
ii)

:I: apan bahwa ngatan kita terdiri dari simpanan pengetahuan yang akan
bertambah dengan bertambahnya pengalaman dan kematangan seseorang.
C 1a ;uga setujll
_g bahwa kita dapat memanggil kembali (recall) ingatan itu bila diperlukan.
E
QI

. .ti.G.I.
.: , ,t . Tetapi Piaget tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa
' Dipindai dengan CamScanner
i
n
g
a
t
a
n

k
i
t
a

Dipindai dengan CamScanner


tepat sama dengan asUnya. Piaget menyebutnya sebagai "active memory-".c--------------------.
yaitu suatu rekonstruksi dari masa lampau yang berubah dengan tambahan
pengalaman dan kematangan seseorang.
Atas dasar uraian tersebut, Jal.an pikiran Piaget dapat diringkas sebagai
berikut:pengetahuan merupakan proses dari ti ndakan,baik fisik dan/atau mental
pada obyek, images dan slmbol-simbol (keterangan: obyek dapat diperoleh -
. dari
pengalaman langsung, sedang images dan simbol dapat diperoleh tidak ·;··....
hanya dari dunia nyata tetapi juga dari ingatan). Maka perkembangan ii:
mental ...
:J

merupakan suatu usaha yang terus menerus pada anak untuk memperluas dan j
memperhalus pengetahuan atau rentetan tindakan mentalnya. ' I E:
l;;O

Minat Piaget pada.epistemologi serta pendjdikan formalnya dalam


-=
biologi me!atar belakangi epistem.ologi terlalu spekul.atif dan• pendekatan g o r,I
..0

biologis terla[u faktual. Maka yang diperlukan adalah jembatan antar E


j!
. ...
keduanya, ialah bagaimana seseorang dapat meneliti masalah-masalah rf.
yang menarik dalam epistemotogi dengan pendekatan ilmiah dari biologi.
Jawabannya ditentukan semasa Piaget bekerja di Laboratoriurn Binet di Paris
yang pada saat itu sedang ada proyek menstandarisasi tes inteUgensi.
Piaget mengemukakan bahwa psikologilah yang menjembatani
epistemologi dan biologi (Ginsburg & Opper, 1979).
Dalan, menekuni perkembangan berpikir anak-anak, Piaget
menemukan
bahwa pikiran anak kecU berbeda secara kualitatif dibandingkan dengan
anak yang lebih besar. Dengan kata la'in, Piaget menolak definisi tentang
inteligensi yang didasarkan pada jumlah jawaban yang betul dari suatu tes
inteligensl. Masa!ah inteligensi yang sesungguhnya adalah menemukan
perbedaan berpikir pada anak-anak pada berbagai usia. Piaget juga
mempunyai anggapan bahwa mempelajari inteligensi dengan tes yang
terstandardisasi adalah terlalu kaku, dalam arti kita terlalu banyak
kehilangan informasi bHa anak tidak mengerti pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan, maka ia memakar metode wawancara klinis yang sangat
flexible", dalam arti anak diberi kesempatan untuk
11

Dipindai dengan CamScanner


menjawab pertanyaan dengan bebas, serta pewawancara diberi kesempatan
untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan dengan bebas pula. Tujuan utama
dari metode ini adalah untuk mengikuti jalan pikiran si anak sendiri, agar m
ngertj mengapa timbu, respon demik an pada si anak.
Penemuan Piaget yang lain mengenai perkembangan berpikir pada
anak-anak ada kaitannya dengan logika. Semasa mempelajari perkembangan
berpikir pada anak-anak tersebut Piaget banyak membaca tentang logika. la
berpendapat bahwa logika mungkin sangat relevan pada pikiran anak-anak.
Misalnya, ia menemukan bahwa anak-anak di bawah usia 11 tahun belum
dapat menggunakan kaidah-kaidah logika dala111 pikirannya. Piaget juga
menemukan bahwa pikiran itu merupakan struktur yang mengintegrasikan
(dari unit-unit yang tidak dapat diisolasi), misalnya ia menemukan bahwa
struktur mental remaja ditandai oleh operasi logika tentang deduksi. Piaget
bermaksud menemukan sejauh mana hubungan pikiran dan logika. Konsepi
ini adalah konsepsi yang sangat berbeda dengan konsepsi yang sudah ada
dalam psikologi tentang inteligensi.(Ginsburg & Opper, 1979).
Dengan penemuan mengenai perkembangan berpikir pada anak anak,
Piaget mendapat jalan bagaimana mengintegrasikan minatnya terhadap
biologi dan epistemologi, ialah dengan mengadakan studi dalam psikologi
tentang inteligensi manusia. Dengan studi dalam psikologi ia dapat
mempelajari pengetahuan individu tentang dunia, tentang usaha individu
untuk mengerti realitas. Dengan kata lain, psikologi yang dipelajari Piaget

...
Q)
diarahkan pada bahan bahasan epistemologi.
a: • Selain itu apa yang dipelajari Piaget juga berorientasi biologis. Menurut
.
::,

.
L.
::,
C:
Piaget,
Q)

E
II) (I) penjabaran psikologis dapat menggunakan konsep-konsep biologis
·2:
b,(J

sebagai landasan pemikiran. Misalnya, inteligensi dapat dipandang


sebagai proses adapatasi.organisme terhadap lingkungan.

Dipindai dengan CamScame,


(2) Psikologi hendaknya rnemusatkan bahasannya pada proses
perkembangan intelektuaJ atau perkembangan kognisi pada individu.
Piaget berpendapat bahwa pengetahuan manusia hanya dapat
sepenuhnya dipahami dengan mempelajari bentuk dan perkembangan
pada masa anak.
Dengan memahami latar belakang yang mempengaruhi jalan pikiran Piaget
tersebut kiranya lebih mudah memahami pokok-pokok pikirannya mengenai
.........
00
perkembangan kognisis.
...
ii:
::,
L-

Ill
l:
2.2 Ide Dasar
Lingkup studi Piaget dapat dikatakan terpusat pada karakteristik inteligensi :
c:;
00

dan baga.imana struktur serta fungsinya. Latar beJakang biologis I::.


nl

mempengaruhi jalan pikiran Piaget bukan dafam arti mencari penjelasan


.J:I
E
fisiologis-dari tingkah laku manusia, melainkan bagaimana penyesuaian dan &
;::
<I.I

perkembangan struktur
biologis manusia terhadap lingkungannya. Definisi inteligensi menurut Piaget a..

(Ginsburg &Oppers, 1"979, hal. 13 dan 14),.ialah:

"intelligence is a.particular instance of biological adaptation... ;

intelligence is the form of equilibrium towards which the


successive adaptations and exchanges between the organism and
his enivornment are directed... ;

intelligence is a system of living and acting operations... ;


.,
intelligence is intelectuaI competence...

Deflnisi pertama dan kedua menekankan pentingnya penyesuaian


penyesuaian yang_harmonis antara individtJ atau struktur kognitif dengan
lingkunga nya, yang secara gradual mencapai hubungan yang s•emakin
efektif menuju keseimbangan antara individu_dengan lingkungannya. Definisi
ketiga menunjukkan minat Piaget pada aktifitas mental, ialah apa yang
dilakukan

Dipindol denoon CamScamei-


Dipindol denoon CamScamei-
individu dala - -. caya bahwa
u n gan dengan fingkungannya. P iaget per
hub

pengetahuan tentangrealitas.harus ditemukan dandikonstruksikanoleh aktifitas


anak. Definisi keempat menunjukkan bahwa menurut Piaget inteligens_i tidak
perlu m-erupakan aktifitas yang biasa pada seseorang, melainkan mengenai apa
yang dapat dilakukan atau paling baik dapat dil'akukanseseorang.
Kompetensi ini dapat terganggu oleh kondlsi sesaat, misalnya kelelahan,
penyakit atau kejemuan, yang menyebabkan performance" seseorang
11

lebjh rendah dari


"competence".
Dari definisi tersebut terlihat bahwa inteligensi mengandung
adaptasi biologis,keseimbanganantar individu danlingkungan, kemajuangraduaJ,
aktifitas mental dan kompetensi. Untuk lebih jelasnya l<lta bisa meneJusuri,
apa yang tidak ditekankan daJam definisi inteligensi menurut Piaget
tersebut. Pertama, tidak ditekankan perbedaan ind"vidual dalam inteligensi.
Maka bahan bahasan inteligensi menurut Piaget, bukanlah: mengapa
seorang bayi mulai berbicara pada umur 18 bulan sedang kedua bayi
tersebut, se ktu masing-masing mulai
• berbicara. Kedua,_kurang ditekankan segi emosi. Tentu saja Piaget mengetahui
bahwa emosi mempengaruhi pikiran, tetapi dalam pelieJitian empiris dan
detil teorinya ia mengabaikan faktor emosi dalam·struktur intelig,en i.
Bagaimana pandangan Piaget mengenai struktur dan fungsi
intelig:ensi? Pikiran manusia dapat dilihat dari isinya1.yang menunjukkan apa
yang dipikirkan
seseorang serta apa yang menjadi minatnya pada saat tertentu. Menurut
.
Piaget kalau kita hanya melihat .isi pikiran manusia. maka tak dapat diterangkan
mengapa seseorang berpikir demikian. Memahami proses yang mendasari
dan menentukan isi pikiran tersebut bagi Piaget rnerupakan haJ yang lebih
penting. Di sinilah muncuf konsep struktur dan fungsi:inteligensi. Ulasan
Piaget mengenai struktur d a n• fungsi inteligensi ini mengetengahkan
peranan faktor biologis. Fa}<tor biologis ini beroperasi dafam berbagai cara
:
(I) Struktur fisik yang diwariskna atau keturunan yan,g spesifik, yang
Dipindai dengan CamScanner
meUputi Jenis spes;es, reaksi tingkah laku otomatis (misalnya refleks)

Dipindai dengan CamScanner


dan kematangan fisik Physical maturation).
I) struktur fisik yang berbeda antar spesies, misalnya susunan saraf
cacing berbeda dengan manusia, menyebabkan perbedaan pul'a
dalam struktur inteligensinya.


2) Refleks juga termasuk struktur fisik yang diturunkan. Contoh refleks
ialah menghisap dan memegang. Biasanya refleks-refleks tersebut
berguna untuk penyesuaian individu terhadap lingkungannya. Tetapi -••••••
:;o
sesungguhnya refleks-refleks tersebut kecil peranannya dalam 'E
2
inteUgensi manusia. Hanya pada bayi, terutama bayi baru lahir yang 5
I:
tingkah lakunya sangat tergantung pada refleks-refleks. Kemudian "'
-
refleks-refleks tersebut segera diubah oleh pengalaman bayi dan
C'

ditransformasikan menjadi mekanisme baru, yaitu struktur psikologis C


.D "'
E
yang tidak langsung berasal dari keturunan.
L
V
3) ematangan fisik juga akan mempengaruhi aktifitas psikologis,
misalnya dengan pertumbuhan otak, anak dapat bicara; dengan
bertambah kuatnya otot, anak febih mobil sehingga memungkinkan
daya eksp1orasi yang lebih .luas terhadap dunia. sekitarnya.. Tetapi
Piaget juga berpendapat bahwa meskipun perlu, ketnatangan fisik
saja kurang cukup sebagai penyebab perkembangan. Faktor lain
seperti pengalaman juga diperlukan.
(2) Keturunan yang umum, yang meliputi dua kecenderungan dasar atau fungsi
yang selalu ada pada semua makhfuk hidup, yaitu organisasi dan adaptasi.
I) Organisasi merupakan kecenderungan yang ada pada semua
makhluk hidup untuk mengintegrasikan struktur fisik dan psikologis
menjadi struktur yang lebih tinggi dalam hubungan dengan

lingkungannya. Sebagai contoh, organisasi di bidang psikol·ogi pada

anak. Pada mulanya


anak,mempunyai struktur melihat dan struktur meraba secara
terpisah.
Dalam perkembangannya anak mengorganisasikan kedua struktur
Dlplndni dengon ComScomer
t bu-tk d lam trulctur yan leblh tl,nggi, yang memungkinkan la
1

bf m mb .. mbll m-Uhat
2) K c nd rung, o d r l< du 1.-1.h ad pt: -1. Scmua 1makhluk
f idup dU. hlrl< n cJ ng-n k nd rung n untuk :1duptast tcrhadap
Un. kun. . rtn)r.l C -. _• d p I t r but, b rboda ntar s_pcsic• antar
Jndfv du, m upun n . r c h-p p rk. mb ng n pada satu lndivldu.
Ad;pc-.- 11Inf I rdirl d rl du:i pro c yang komplomenter·serta erjadi
:_.- .,_ ,11t1ultJn, y. l1ttA' fmll I dan akomod "'· Proses akomodas·1
. d kh I< c nd· rung.an Ind vldu untuk mcf'\gubah responnya sesuai
d n ,••n tun :Ut_. n llngkung" n. sc.dang aslm,lf I adalah proses dlmana
.ndfvfdu rt I, kukain tindakan t rhada:p llngkungan sesual dengan
stnJk,tur p'lklr.1nny.1 p:id.a saat ltu.,Proses aslmilasi dan akcmodasi
ini n nunfukkan dcng..n jolas konscp Piaget mengenal interaksi
antara
, ,dividu dan Ungkungannya ..Ag,ar tercapai adaptasi yang optimaJ,.perJu
,3d:mya kesel'mibangan_antara asiml1asi dan akomodasi.
Apabila r·efleks yang telah diuralkan terdahulu merupakan struktur
fisik yang diwariskna. organlsasi da·n adapwo lni belum merupakan
stnJktur fisik, melainkan baru merupakan suatu kec.enderunganiyang
ditunmkan. Hal fn.:1berarti·bahwa proses organisasi dan :adaptasi ;uga
tergantung pada lingkungan dan pengalaman-pengaJamannya.
(3,) Stru'ktur ps·ikologis. Kecenderungan individu untuk mengorganlsasikan
tingkah l'aku dan pikiran serta me-ngadaptasikan te.rhadap.fingkungan.
menghasilkan struktur psiklogis yang berbeda bentuknya pada
tali1:ap perke·mbangan yang berbeda. Pada awaJ masa kehidupan
struktur
psikof:ogjs ini dfsebut skema (scheme) perilaku yang merupakan pola
J:
tingkah 1aku anak dalam hubungan dengan Ungkungannya, sedang
1

pada anak yang lebih besar disebut skema operasionaJ, yang juga
merupakan tindakan anak ke dunia sekitarnya, tetapi yang
1

dilakukan secara inte lektual, Skema dapat berupa refleks-refleks


maupun
tingkah laku bawaan y - I •
a ng a rn, apat Juga berupa gkah laku yang
d .
tm
terb-entuk atas dasar pengaIaman. p .
eng,ert1 an skema termasuk apa
yang dilakukan anak, juga struktur yang mendasari tingkah laku
"over,t"
yang merupakan abstraks1· dar;•1·berbaga1• ragam tingkah laku
yang berbeda dalam detilnya.

Tipe struktur psikologis yang lain ialah operasi klasifikasi yang terlihat
pada anakumur 7 - I I tahun. Misalnya, pada anak ditunjukkan . . .......
:0
sepuluh manik-manik plastik, tiga warna merah dan tujuh warna
biru.
Kemudian ditanyakan mana yang lebih banyak, manik-manik biru atau QI

manik-manik plastik. Anak umur 7 - I I tahun yang sudah ·2


berkembang ; 1
kemampuan operasi klasifikasinya akan menjawab bahwa manik-
c:
manik plastik lebih banyak. Operasi klasifikasi ia:lah operasi untuk i
..0
E
menempatkan benda-benda dalam kelompok-kelompok, menyusun
'-
hierarki antar kelompok, dan sebagainya.

Dalam ulasan terdahulu diutarakan adanya struktur psikologi dan


fungsi psikologisyang selalu adapada-organisme.Fungsi psikologisyangselalu-
adapada organisasi dan adaptasi. Piaget berpendapat bahwa antara struktur
psikologis, organisasi dan adaptasi, terdapat hubungan yang saling
berkaitan. Misalnya, adaptasi tak dapat dilepaskan dari organisasi. Dalam
mengorganisasikan aktifi:tas-aktifitasnya individu melakukan asimilasi dan
akomodasi. Organisasi dan adaptasi tersebut erat hubungannya dengan
struktur inteligensi. Sebagai hasiJ dari kecenderungan adaprasi dan
organisasi. selalu dibentuk struktur baru guna membantu individu dalam
interaksi dengan lingkungannya. Dengan kata
lain, struktur perlu untuk adaptasi dan organisasi.
Menurut Piaget, individu selalu berusaha mencapai keseirnbangan
dengan lingkungannya, dengan jalan mengembangkan struktur yang efektif
dalam interaksi dengan reaHtas. Dengan bertambahnya pengalaman,
individu
Dipindui dengan CamScanner
memperoleh struktur makin banyak dan oleh karena itu akan lebih siap
menyesuaikan diri dalam berbagai situasi.
Selain terdapat saling keterikatan antara struktur psikologis dao fungsi
psikol'ogis ( organisasi dan adaptasi), antara keduanya terdapat perbedaan
yang penting sebagal berikut: bila individu berkembang sepanjang masa
hidupnya, fungsi psikologis tetap sama, tetapl strukturnya berbeda.
Perbedaan struktur inilah yang mendasari tahap-tahap (stages)
perkembangan kogn:isi. Perkembangan kog. isi berjalan melalui serangkaian
tahap yang tiap tahap ditandai oleh struktur psiko!ogis yang berbeda dan tipe
interaksi antar individu dan lingkungan yang berbeda pula. lnilah titik tolak
Piaget mengenai konsep tahap-tahap perkembangan kognisi dengan ciri
khas pada tiap-tiap tahapnya.

2.3 Tahap - tahap Perkembangan Kognisi


Piaget membagi perkembangan kognisi menjadi empat tahap, yaitu
"sensori otor" (lahir - 2 tahun),."pre-operational" (2 - 7 tahun),. ''concrete
11
operational,. (7 - I_Itahun) dan formal operational" ( I I tahun ke atas). Per1u
dicatat bahwa yan.g disebutkan hanyalah suatu perkiraan kasar, sebab -akan
terdapat perbedaan·3:ntar individu maupun antar latar belakang sosio-budaya
(Ginsburg & Opper, 1979). Uraian mengenai perkembangan kognisi. ini akan
dimulai daritahap perkembangan "pre-operational" untuk memahami asal mula
perkembangan berpikir pada manusia atau yang disebut Piaget sebagai suatu
operasi. Walaupun demikian, ada pokok-pokok dalam tahap perkembangan
"sensori motor" yang akan diungkapkan pula; sebab pokok-pokok tersebut

mendasari pengertian kita untuk tahap perkembangan berikutnya. Pokok


pokok dalam tahap perkembangan 'sensori motor" yang perlu dicatat ialah
bahwa perkembangan adalah proses "decentration". Bayi mulai kehidupannya
di dunia ini dalam keadaan tak terdiferensiasi, dalam arti tak ada pemisahan
antara diri dan lingkungannya. la ''centeredu pada dirinya sendiri. Baru dalam
perkembangan berikutnya, bayi mampu 'decentered" dari dirinya sendiri.
(.

I
Dipiridai dengon CamScomei-
Piaget meriekankan beberapa pokok mengenai perkembangan pada
tahap
sensori motor:
(I) Perkembangan adalah fungsi dari interaksi yang kompleks dari banyak
faktor, anta.ra. lain faktor kecepatan fisik, dan faktor lingkungan
sosial. Maka perkembangan bayi menunjukkan banyak perbedaan
individual. ••·• ......
(2) Walaupun demikian, Piaget yakin bahwa urutan tahap perkembangan ::,0

adalah tetap (invariant sequence).


(3) Piaget menekankan bahwa perkembangan adalah proses gradual dan o:
kontinu. tni berarti kita tak dapat menemukan perubahan yang
-:,.
'-

mendadak, I:
C:
misalnya hari ini seseorang berada pada tahap 3, besok berpindah ke tahap IIO

4. menurut Piaget perkembanganperluwaktu, maka kita


jarangbisamelihat
contoh tingkah laku yang murni dari satu tahap. Selain itu perkembangan ;
i
..0

juga tidak selalu konsisten pada area tingkah laku. Misalnya, bayi yang - :E
7:
¢1

berada pada sub tahap 4 mungkin konsepsi tentang obyek menunjukkan a..

ciri-ciri sub tahap 4, imitasinya pada sub hap 3. 'inilahyang disebut


Piaget "horizontal decalage"..
(4) Piaget menekankan bahwa ting,kah laku pada sub tahap tertentu tidak
menghilang bila bayi mencapai sub tahap berikutnya. Misalnya, bayi
sub tahap 5 yang dihadapkan pada rintangan mungkin akan
menggunakan skema yang telah berhasil memecahkan masalah pada
situasi terdahulu, ialah sub tahap 4, kemudian ba.rulah bayi mencoba
menemukan cara baru
(sub tahap 5).

Khususnya mengenai penahapan perkembangan inii, Ginsburg dan


Opper (I 979) berpendapat konsep Piag.et merupakan penahapan yang
sifatnya teoritis, berbee dengan konsep Gesell yang merupakan daftar dari
tingkah laku khas pada tahap perkembangan tertentu.
Pada tahap "pre-operational" anak mulai menggunakan simbol-simbol
(terrnasuk bahasa dan "image '). Penggunaan simbol-simbol ini merupakan
Dipindai dengan CamScarTief
su tu perubnhan besar. Anak harus mengorganisasikan kembali pikirannya.
11
Meskipun sudah mampu mcnggunakan slmbol-slmbol, pada tahap pre
op rntlonnl'" nnak b lum marnpu melakukan penafaran ilmlah. Salah satu
lndlkasiny.t adalah anak b0lum mampu menalar konservasi kuant:itas. Piaget
mengndakan ekspc.rlmen dcngan memmyakan kepada anak: Apabila ada
segel:is :ilr dituang,kan dalam gclas y.mg sama, 'kemudian dituangkan ke dalam
gelas yang leblh besnr. tetapl leblh pendek, apakah jumlah airnya sama?
Pada tahap ..pre operasiona1'', untuk keadaan
C anak menjawab isi air lebih sedikit. Di sini
akan memusatkan pik,rannya hanya - pada
\ /
satu dimensi, yaitu tinggt air saja. Pada tahap
uconcrete operation" ana.1< baru dapat menalar
A B C
adanya dua dimensi yang secara s·multan harus
diperhatikan, yaitu tinggi air dan lebar gellas, maka anak dapat menjawa.b
bahwa isi air C = A. Ha'I ini berarti anak mencapai tahap konservasi, artinya
adanya ketetapan obyek meskipun penampilan fisik berubah.
Bagaimana anak belajar konservasi? Piaget mengatakan bahwa anak
menguasai konservasi secara spontan..Mula-mula mendasarkan keputusannya
pada satu dimensi. Bila anak menjawab gelas A isinya lebih banyak daripada
C sebab lebih tinggi, tetapi kemudian anak juga mengatakan C isinya lebih
banyak sebab lebih besar alasnya. Menghadapi dua macam penalaran ini
anak menjadi bingung. Piaget mengatakan bahwa anak yang bingung itu ada
dalam kontradiksi internal, yang mengarahkan anak untuk menyelesaikan
kontradiksi

tersebut. ApabHa anak berhasil menyelesaikannya, tahap perkembangan


kognisinya akan meningkat ke tahap. co11crete operation''. Dalam eksperimen
11

Piaget terdapat gumam si anak sebagai berikut: ''lsi air C lebih banyak.. .tidak,
ini lebih besar, tidak! Tunggu! lsi air Adan C sama. lni terlihat leblh tinggi tetapi
11
,gelas C lebih lebar. Pada tahap concrete operation" bila anak ditanya mengapa
isi air pada C sama dengan A, mungkin akan dijawab:

Dipindaidengan CamScanner
- ''sebab anda tidak membuang atau menambah air" (penalaran atas d a
identitas).
- "sebab air pada ge,las C lebih rendah, tetapi Jebih lebar alasanya;; (penalaran
atas dasar kompensasi).


- "sebab anda dapat menuangkan air pada gelas C ke gelas A kembali dan
iumlah air tetap" (penalaran atas dasar inversi). ..........

Perlu diterangkan bahwa salah satu indikasi penaJaran ilmiah ialah


...
IIJ
,

bO

. .. . : :,

kemampuan konservasi. tidak hanya mengenai cairan, tetapi juga mengenai


::E
panjang, jumlah, bentuk, dan sebagainya. Semua bentuk lkonservasi tersebut :
I;>().

mengandung pikiran dengan konsep logika yang sama, Haha identitas inversi, 1
dan kornpensasi.

t
C

..c

Kemampuan anak daJam penalaran terhadap masalah-masa,ah fisik


...j
tersebut akan tercermin pula dalam penalarannya terhadap masalah-masalah
II}
a..

sosial. Piaget percaya ba wa tiap tahap perkernbangan terdapat kaitan antar:a


berp.ikir masafah fisik dan masalah sosial. Contoh pada tahap pre-operational",
11

di mana anak gagal mengkoordinasikan dua dimensi pada tugas


konservasi; dalam, interaksinya• dengan orang lain anak juga tak mampu
memakai dan
menggunakan lebih dari satu perspektff. Anak pada tahap "pre-operational"
. -
seri]lgkali egosentris, artinya memandang segala sesuatunya hanya dari satu
sudut pandangan sendiri saja. Menurut Piaget, egosentrisme•ini dapat diatasi
bila anak berinteraksi dengan orang dewasa dan terutama dengan teman
sebayanya. lnteraksi dengan teman sebayanya menyebabk anak belajar
mengenal perspektif orang lain yang berbeda dengan dirinya, sebab biasanya
anak-anak tidak mau saling mengalah dengan teman sebayanya. lnteraksi
dengan orang dewasa - yang biasanya mau mengalah meskipun perspektif
anak ,egosentris - tak akan menghilangkan egosentrisme si anak.
Giri berpikir satu dimensi pada tahap 'pre - operationa 1" ters·ebut juga
1

terlihat dalam penalaran moralnya. Pada tahap "pre-operational", anak hanya

Dipindai dengan CamScanner


sekedar menurut aturan-aturan yang dibuat orang dewasa. Tahap ini
dlsebut ''moral heteronomy u.. Pada tahap concrete operation" t anak sudah
11

memahami bahwa.pada hakekatnya aturan adalah kesepakatan bersama.

Tahap ini cUsebut


tahap "moral autonomy". Menurut Plag,et, pencapaian ..moral autonomy"
sama dengan mengatasl egosentrisme, ialah melalui lnteraksi dengan teman

sebaya.
Ge]ala yang ada pada tahap "pre-operational° tersebut, antara lain
egosentrisme dan ilmoFal heteron_omy0, menurut Piaget bersurnber pada
ketidak-mampuan anak un·tuk menangani beberapa aspek dari situasi
yang dihadap; secara simultan. Hal ini1disebabkan oleh ciri pemiki'ran yang
egosentris pada anak dan ketidak-mampuan mengalihkan perhatian darj satu
aspek ke aspek yang lain dalam situasi tertentu. Dengan bertambahnya usi,
anak berhubungan dengan cara pandang yang kadang-kadang berlawanan
daJam berhubungan dengan berbagai institusi sosial. Maka seperti pada bayi,
anak juga mengalami proses ''decentrationJt. Hanya bila bayi berkembang
dari perilaku yang ucenteredu ke arah perilaku yang Hdecentered" sedang pada
anak yang berkembang dari tahap "pre-operational" ke tahap "operationa.l"
terjadi perkembangan dari pemikiran yang "centered" dalam.arti perspektifnya
terbatas . ke arah pemikiran yang udecentered".
Rada tahap Hconcrete operation'' anak dapat berpikir sistematis, tetapi
terbatas pada obyek yang merupakan akt vitas kongkrit. Pada tahap formal 11

operational't remaJa mampu berpikir abstrak dan hipotites. Apabila dihadapkan


padamasafah ilmiah, ia tidak memulai dengan mengamati hal-hal
empiri s,tetapi berpikir mengenai kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam
1

suatu situasi. la beranggapan bahwa banyak hali yang mungkin terjadi dan
banyak interpretasi yang mungkin diajukan, serta bahwa apa yang
sesungguhnya terjadi hanyalah
safah satu kemungkinan yang ada Rema1·a berkedm pung· d . 1 ••
• • eg n propos1s1,
• • . •

dan bukan dengan obyek. Baru setelah membuat anat·1s"'"!I'.


e·t-'IS, rema·
h'ip·ot
J·a k a- r-ena
mengumpulkan data untuk membukti·kan hi·po-te·s·1·sn·ya. 01·eh ,
c-ara

Dipindai dengan CamScanner


berpikir remaja terlihat mendahulukan kemungkinan daripada realitas
tersebut, Piaget menyebutkan sebagai cara berpikir hhypothetico-deductive".
Dapat dikatakan bahwa pikiran remaja sudah mencapaikeadaan
ekuilibrium yang lanjut (Ginsburg & Opper, 1979). lni berarti bahwastruktur
kognisi'remaja dapat menyesuaikan diri terhadap berbagai macam problem
secara efektif. Struktur tersebut cukup stabil untuk dapat mengasimilasi
..........
berbagai situasi yang
ber be• d a dengan keadaan yang dialami sehari-hari. Remaja tak perlu secara ...
drastis mengakomodasikan strukturnya terhadap problem yang baru. Hal ini i5£o
:::,
L.

tidak berarti bahwa perkembangan kognisi remaja berhenti sampai di sini.


Piaget hanya mengemukakan bahwa p da akhir remaja struktur kognisi sudah ·;;;
-
bulat terbentuk, sehingga tambahan peQgetahuan dan pengalaman baru tak
•• i::
banyak mengubah struktur tersebut. ffl>
_g
Selain cirj-dri "hypothetico-deductive" dan ekuilibrium tersebut di atas

pikiran remaja menunjukkan cir i f:Jeksibilitas.Remajasudah mempunyai


berbagai macam operasi yang sudah siap digunakan untuk memecahkan
berbagai masalah. Remaja mampu memandang suatu masalah yang dihadapi
dariberbagai perspektrd serta dengan berbagai macam cara. Remaja
tampaknya juga tidak bingung bila mendapatkan hasil yang tidak diharapkan,
karena sebelumnya_ia sudah memperhitungkan semua kemungkinan yang
dapat terjadi.
Kemampuan penalaran pada tahap "formal operation'' tak hanya terbatas
untuk memecahkan masalah-masalah ilmiah. Remaja yang mencapai tahap
ini terfihat dri ja'lan pikiran "formal operation" pada beberapa area kehidupan.
DaJam kehidupan intelektual, remaja cenderung melibatkan·diri pada hal-hal
yang abstrak dan teoritis, misalnya menyusun teori politik untuk mengorganisir
masyarakat, atau menemukan doktrin-doktrin filosofis yang kompleks.
Setelah menemukan kemampuan berpikir abstrak, remaja senantiasa melatih
dirinya untuk menggunakan kemampuan tersebut. Dalam proses menjelajah
kemampuan baru tersebut remaja kadang-kadang kehilangan pegangan pada
realitas, dan merasa ba.hwa ia dapat menyelesaikan segala macam
persoalan

Dipindai dengan CamScanner


'h tl'UJ fl • n- t. r m; I dapar
.,, tlr pd jd
CJ .\ f1 ul,1 tu , tip ,1 • r1 , ba,v.,, ..
• m f.1 ,t.1, "'' ,r
n nnd n.
11r.d
t\ \ m a d_pannya crta
, yJn1, h n kd uk ny . 0 Jam ro in1kckuatan
llY..lr.il kM1 Jd rnik , 1 y ng d • ,,. d n utop ..M'ercka.
nj r P.ka I prin ip-pril ip J,n "d id yan,g ab trak sepertJ
:1 Iii. n, d, n jach m·,mpin. membangun
t - , dunl yang I blh bark. Baru d rk mb ngan se'lanjutnya,
d_w · a, m r k nya k terbawan dan
m
at:tn pada ptkir,an yang id tis.
r lb h va konstniksi 'teoritis
andang:m utop,, hany rn 1pun i ml ,.
:.I m I ubungan dengan kerja
n • dafam kchidupan.
Elkind (1974) berpcndap t. bah va. rcmJ.J:1 ad mhap "formal operation••

n mampu meng impun pikir.mnya sendiri menjad, suafi.J konsep, ia


i mampu menghrmpun konsep pikiran orang lajn, Kemampuan tersebut
mcnimbulkan gejata,egosentrisme pada remaja Egosentrisme ini· muncul,
sebab kcmampuan. mengkonseptuaJisa.sikan pikiran orang lain tersebut
masih
terialu diwarnaJ oleh pliklrannya sendiri. Remaja tersebut belum mampu
m - m'sahkan antara : bagaim:ana memlkirkan pikiran orang lain dari sudut
... pandangan orang terscbut. dengan memikirkan pikiran orang lain dari sudut
pandangannya sendl:ri.
Pcnufi_s bcrpcndapat bahwa gefala egosentrisme serta ciri berpikir
ideaH - ti pada -r maf a mcrupakan suatu lndirkas'I bahwa apabila remaja
memikirkan m al:ih-masalah sos.la!, ciri pemlklrannya adalah satu dimensi.
Dimensl pem'kiran .ren,aj.1 adalah dlmc,nsi lde-idenya sendiri yang kurang,
rea:Hstis dan dimcnsi Ide idenya send1ri yang k:urang kurang berhasil daJam
m m,perhirtung.kan sudut pandang oran,g lain.
Menurut Piaget (Ginsburg & Opper, 1979) berpikir "formal operation;'
tersebut tidak selalu dipakai dalam semua upaya pemecahan masalah.
Kemampuan ini lebih merupakan suatu kapasitas yang tidak selalu muncul
dalam "performance" seseorang, Banyak faktor yang mungkin menghambat
0
pemakaian kemampuan berpikir formal operation" ini, misalnya kondisi lelah
atau jemu. Selain itu kita dihadapkan pada pertanyaan, apakah
kemampuan
fl
•t•••••••
berpikir 'formal operation" itu universal untuk semua remaja dan orang
dewasa? Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan (Neimark, 1975) :;I
L.

ternyata tidak semua remaja dan orang dewasa mencapa:i tahap uformal L
operation" ini. !idak tercapainya tahap ''formal operation" dapat dijelaskan :
i:.o

dengan dua kemungkinan:


re,
(I) Hal ini disebabkan oleh lingkungan yang kurang memberi rangsang atau C
nl
.c
E
pendidikan formal yang tidak mencukupi, sehingg_amengurangi .I L.

&.
kecepatan atau membatasi perkembangan berpikir.
(2) Hal itu disebabkan oleh keterbatasan prosedur pengukuran,·sebab
kemampuan berpikir "formal operation" inihanya dipakaiuntuk
pemecahan masalah yang sesuai·dengan minat atau bidang profesi
seseorang. Untuk mencapai pengukuran yang tepat perlu memakai
tugas-tugas yangs sesuai dengan minat, profesi, serta latar belakang
sosio budaya. ,,

Butir-butir yang dikemukakan t rsebut merupakan penemual') Piaget


- 1· ya "Intellectual Evolution from Adolescence
to dalam isann
yang diutarakan tu .
. b p· et ·uga mengutarakan
1 terse iag I
bahwa. •
Adulthood" ( 1972). Dafarn tul san ut

d I sence to adulthood raises a number of


Hthe passage froma o e - . . - ."
. h . d to be studies in greater detail
unrosolved questions t at nee

(hal.11).
Oipindai dengon ComScamei
Adapun pertanyaan yang bel:um terselesaikan tersebut antara lain
. ·yang biasany a
menyangkut c1 keh1. dupan I5
-
20 tahun

. .
n rema1 a
.
us1 a
E
{
0..

....
Cl)

0:::
µ
.:.:,
..::,
C
C

:: r
l)

:
'vi
'i::
t>()

C:

l'
.. c
!I
Dipindai dengan CamScarTief
d
nat seseorang. Maka perlu diperta yakan, dapat· k· ah pada tahap
i
t perkembangan tersebut ses·e·oran. g men. demonstrasikan struktur kognisi ya
g sama seperti orang-orang lain, padahal aplikasi dalam
n kehidupannya sehari-hari sangat berbeda? Seandainya pertanyaan tersebut
d - atas dasar penelitian empiris - dapat dijawab, masih timbul pertanyaan
a
berikutnyar apakah struktur kognisi yang sama tersebut dapat diaplikasikan
i
dalam kehidupan sehari-hari - yang untuk setiap orang akan berbeda-beda
s - atau apakah akan muncul struktur khusus yang masih harus ditemukan
p dan dipelajari?
e Pertanyaan ter:sebut rupany.a mendapat tanggapan antara lain dari Arlin
s
(1975). Dalam tulisannya "Cognitive Development in Adulthood: A Fifth Stage?
i
ia mencoba mencari tahap perkembangan kognisi yang baru, setelah
0

a
tercapainya tahap uformal operation•;. Kalau tahap uformal operationu
l
i menurut Piaget merupakan suatu tahap penyelesaian masalah (problem
s solving stage), Arlin r:nengetengahkan tahap baru, ialah tahap penemuan
a masalah (problem finding stage). Ciri tahap penemuan masalah ters-ebut
s adalah berpikir kreatif, menemukan pertanyaan-pertanyaan baru dan
i menemukan pikiran baru yang menyeluruh (new heuristics thought)..Hasil
studi empiris yang dilakukan untuk menguji hipotesis adanya tahap
p
penemuan masalah, menunjukkan bahwa
r
o belum dapat dirarik kesimpulan adanya tahap perkembangan kognisi yang
f baru te·rsebut.
e Area penelitian mengenai tahap perke· mbangan kognis1
1

• • memang mas1'h
, •

s terbuka lebar. Adakah tahap perkembangan baru setela h of • . 1


. orma,, op erati on .
11

i Bagaimana kaitan antara profesi minat dengan ta ha k b • · ?


• P per e m angan kognis 1 s .
Dan,masih banyak lagi. Namun perlu tahu leb.,h · h b • •
d 1au1

aga1mana konsep
a peningkatan tahap perkembangan kognisi menurut Piaget.
n

r
n
i
Dipindai dengan CamScarTief
2, Kons P m ng n I p ningkatan tahap perkembangan dan belajar
t m nyu un kons p mckanlsmc translsl antar tahap
1
B '- Im, n. Pl, '
P rkcrnb ngan? I, g tbcrp nd. p tbahwtj.pcrkcmbanganmentalmcngandung
du pro • Y.,ilu pros s pork mb:mgL n dan proses bel'aJar dalam artl sempit.
P rk mb n ·.•n t rj:idl cat·. pontan dan vital, sedang belaJar dalam .arti
scmplt dip n ruhl ol h kojadlan-kcjadlan di luar lndlvidu dan terbatas pada
.•... ...
situ I t rt ntu. .., ,

F.aktor f ktor yang mcmpcngaruhl pcrkembangan ialah (Ginsburg & c..e,


:;:J

Opper, 1979: Flav 1,1, 1977) : : ,


L.

C :
c u
L
( I) Kcmat.u g:m. Scpcrti telah dlutarakan terdahulu, Piaget berpendapat
bahw.i keturunan yang spesifik memberikan perangkat struktur fisik J C:

yang berbeda pada anak, yang mempengaruhi perkembangan kognisinya. i


.s:J

Struktur fisik ini merupakan alat untuk mempengaruhi (organ of


knowing)
.j.
yang menentukan garis besar perkembangan kognisi, tetapl tidak £
mempengaruhi isinya. Struktur fisik tersebut, termasuk susunan saraf
.
pusat, membutuhkan waktu untuk mencapai tingkat perkembangannya
yang tertingg1. Secara umum dapat- dikatakan bahwa kematangan otak
atau susunan saraf memungkinkan anak untuk menggunakan pikiran dan
bahasa Dalam pandangan Piaget. yang penting bukan menanyakan
apakah kematangan mempunyai pengaruh, tetapi se:jauh mana pentingnya
peran kematangan dan bagaimana pengaruhnya berlangsung. Hal ini
berarti bahwa pentingnya kematangan dalam perkembangan yang
dikemukakan Piaget tidak sama dengan yang dikemukakan Gesell. Piaget
menganggap
bahwa kematangan fisik hanya merupakan salah satu faktor saja. •
(2) Pengala.man. Menurut Piaget, pengalaman ialah kontak dengan
ling.kungan. Dia meriremukakan adanya dua macam pengalaman. Yang
pertarna pengalaman fisik atau usimple abstraction". Contohnya adalah
anak yang bermain dengan bola berwarna merah. Dengan aktifitas
persepsinya ia tahu bahwa bola itu bulat dan merah. Anak menyarikan
obyek tersebut

Dipindoi dengan ComScomei


dari perangkat flsiknya. Oleh karenaya dikatakan bahwa pengalaman
fisik mengandung sensitifitas pa.da perangkat fisik dari benda-benda.
Penyarian obyek tersebut sangat dipengaruhi ol·eh sistem pengetahuan
anak yang sedang mengalami perkembangan. Yang kedua adalah
pengalaman logika matematist suatu pengalaman yang bukan berasal
dari obyek, melainkan sebagal r,efleksi dari tindakan individu.

00000000000000 Misalnya pada gambar ini set A


Set A merupakan lingkaran-lingkaran
kecil yang berderett sedang set
B merupakan susunan lingkaran
lingkaran besar.. Dikatakan bahwa
pengalaman fisik anak mengenai set
4
Adan Set B berbeda dalam artu ' lay
out"nya. Pengalaman fisik saja belum
mencakup pengetahuan
SetB sesungguhnya tentang dua set
tersebut, sebab tanpa melihat
penampilan luar, kita tahu
bahwa jumlah lingkaran pada dua set tersebut adalah sama. Apabila.
anak mengetahui kesamaan dua set tersebut dalam jumlahnya,
dikatakan bahwa anak memperoleh pengalaman logika-matematis.
Dalam hal ini pengetahuan anak bukan hasil langsung dari obyek yang
dipersepsi, melainkan pencerminan dari tindakan anak terhadap obyek,
misalnya tindakan menghitung;

... (3) Transmisi sosialj istUah transmisi sosial dipergunakan dalam arti luas,
:,
L..
:::I
C
(lj
yang menunjukkan pengaruh sosio-budaya pada pikiran anak. Hal
I:
tersebut dapat berupa penjelasan orang tua,. hasi°l membaca buku,
ajaran guru, hasil diskusi dengan teman sebaya atau imitasi anak t
rhadap model. Transmisi sosial ini miemungkinkan anak belajar dari
pengalaman orang lain. Piaget menekankan bahwa transmisi sosial saja
belum cukup. Anak
Dipindai dengan CamScanner
baru dapat menangkap transmisi sosial, bila struktur kognisi anak sudah
dapat mengasimilasikannya. Misalnya anak umur dua tahun belum dapat
menerima ajaran tentang matematika. Sekolah sebagai suatu wadah
transmisi sosi,al sep,ert·1 1·uga ·wad• yang a·m, apat mempercepat
ah I
·d
perkembangan kognisi, meskipun. ditemukan juga baHwa
pengaruhnya tidak mutlak {Ginsburg & Opper, 1979);
(4) Ekuilibrasi. Ekuilibrasi merupakan proses pengaturan diri (self-
f l
. ....,.. ,

regulatory process) yang dilakukan anak untuk berkembang. Proses ini '5
memungkinkan tercapainya ekuilibrium pada tahap perkembangan yang j
l bih tinggi. Dengan demikian ekilibrasi merupakan tutang punggung dar1 ;
·2:
perkembangan mental.
:!
C:
mi
C:

Ekuilibrium berartu keseimbangan antara paling sedikit dua elemen yang


semula tidak dalam keadaan seimbang. Menurut Piaget ekuilibrium dalam I..
(I)
0..

proses kognisi merupakan keseimbangan aktif, berupa suatu sistem pertukaran


.
antara sistem terbuka (individu) dengan•lingkungannya. lndividu selal aktif
berhubungan dengan lingkungan sesuai dengan struktur psikologisnya
(asimilasi) dan dapat mengubah dirinya sendiri dengan tuntutan
lingkungannya (akomodasi). Sistem kognisi dikatakan dalam keadaan
ekuilibrium bila berada dalam keadaan yang r latif seimbang dengan
lingkungannya. Adapun ciri-ciri
keadaan ekuilibrium ialah :
(.I) adanya area aplikasi dari ,ekuilibrium, berupa obyek atau perangkat obyek
dimana individu bertindak atasnya. Misalnya dalam persepsi visual, maka
area ekuilibrium yang merupakan area visual adalah obyek-obyek yang
dapat ditangkap individu dengan sepintas pandang;
(2) adanya mobilitq.S. dalam arti sejauh mana jarak s asial dan temporal
memisahkan individu dengan elemen dari area tersebut diatas. Semakin

besar .·Jara
nya, sema.. kin mobil ekuilibrium atau semakin fleksibel oper.asi
k
mental yang diperlukan untuk menjangkau jarak tersebut. Sebagai contoh,
Dipindai dengan CamScarnei
mobllltas pers,epsldlkatakan terbatas karena larak spasial maupun temporal
antar el •men , rca vlsua.l sangat kecil, sehingga relatif membatasl
jumlah aktifltas mentil. Sedangkan mobllitas klasifikasl dikatakan lebih besar,
k;'lrena dapat mellputl obyek-obyek yang tidak ada pada saat itu. Dengan
dem\klan,, lark temporal dan spaslal antar elemen pada klasifikasi tidak
terbatas, sehl,ngga dlslmpulkan bahwa ekuillbrium dari struktur klasifikasi
lebih mobll daripada struktur persepsl;
(3) adanya stabilitas, dalam arti kapasitas ind"vidu untuk mengadakan
kompensasi dengan tindakan atau operasi mental bila ada perubahan pada
elemen-elemen, tanpa mengganggu 'keseluruhan .struktur sebelumnya.
Pada persepsi, bila ada el·emen. baru dimasukkan dalam area vi,sual,
persepsi akan berubah. Tetapi pada kJasifikasi, hadimya elemen baru
tak akan mengganggu sistem yang ada. Struktur yang ada dengan mudah
:menggabungkan elemen baru tanpa terjadi perubahan,. sebagai contoh,
bila kita mengklasifikasikan binatang _menjadi gajah dan bukan gajah,
dan kemudian ada elemen baru, misalnya, kuda zebra., 1m,aka dengan
mudah kita .m1engklasiflkasikannya pada bukan gajah. D"bandingkan
dengan struktur persepsi, dikatakan bahwa. struktur Jdasifikasi
menunjukkan derajat ekuilibrium yang lebih tinggi.

Dalam perkembangannya anak bergerak dari derajat ekuilibrium yang


rendah ke arah yang tinggi. Gerakan atau mekanisme tersebut disebut proses
ekuilibras.i.
Bagaimana sesungguhnya proses eku1ibrasi tersebut terjadi? Piaget dan
sejawatnya (lnhetder, Sinclair dan Bovet, 1974) mengadakan penelitian,
antara lain sebagai berikut. Pertama-tama sekelompok anak ditentukan level
perkembangan kognisinya, kemudian diberi latihan yang menyangkut berbagai
operasi kognisi dengan tujuan,menimbulkan konflik, yaitu dengan
memi·nta

Dipindai dengan CamScamer


anak menjawab beberapa pertanyaan berkenaan dengan tiga gambar seperti
di ba.wah ini.

-frfiftfififi Ditanyakan : Apakah pada B, C terdapat

@ jumlah rumah yang sama? .)t.,

Apakah ialan didepan rumah A, B, C sama?


-frftfifififi@
fl
Konflik yan.g ing,in ditimbulkan adalah,
G
£]

fi
i > misalnya anak menyadari bahwa jumlaah
rumah sama, tetapi apakah panjang jalan
••••••••
. ..:: : J

'\ □ □
juga sarna? BiJa anak tetap berpegang pada 5
I:
pikirannya bahwa juml;;lh rumah A lebih panja'ng daripada C, ini berarti anak :
bO

tidak menangkap konflik yang ditimbulkan. Keadaan seperti ini disebut tidak memper
ekulibrasi. Apabi!a terjadi ekuilibrasi1 prosesnya meliputi tiga fase: oJeh
Fase pertama. anak melihat bahwa jalan di depan rumah Adan C tidak sama manfaat
panjang, tetapi ia juga melihat bahwagaris dasar rumah yang merupakan dari
ukuran dari jalan di depan rumah tersebut, jumlahnya sama. Di sini anak meny latihan
dari adanya konflik, ialah adanya perbedaan an ra struktur pikiran yang ada yang
dengan r:ealitas yang dihadapi. Fase kedua, anak mencoba mengat;lSi diberika
mengatasi konflik tersebut secara tidak semestinya, misalnya dengan
n, sebab
mematahkan garis dasar
mereka
rumah .menjadi dua, sehingg:a deretan yang tampak lebih panjang, lebih banyak-:,.._,
tak
pula jumlah garis dasar rumah. Fase ini disebut penjelasan kompromistis. Fase
dapat
ketiga, anak mampu mengkoordinasikan dua struktur pikiran, dalam arti anak
mampu mengadakan kompensasi. Misalnya, anak melihat bahwa meskipun
titik akhir barisan A lebih jauh daripada C, tetapi barisan C lebih banyak
kelok-keloknya,. maka kelok-kelok tersebut merupakan kornpensasi dari akhir
barisan yang lebih jauh tersebut.
Dari penelitian ini, lnhelder, Sinclair dan Bovet mengutarakan beberapa
penemuannya. Pertama, kegunaan latihan hanyalah sebatas kesesuaiannya
dengan tahap perkembangan kognisinya. Anak-anak pada tahap satu tak
Dipindai dengan CamScarTief
C
C
..ncl

. ..

if

Dipindai dengan CamScarTief


111 lit tk nHik n d t mbul,k. not hi rlh. nt · but.An k-;n kdu1am n
rk mb n Ftn k }:n t h tu h. p du, , d p. c rn •101 t
konfUk l r b It. n. IU I k. l J<. n k nn k (y, llP. di·u J,Iol
kulibr da at d b r kln h.u,y.,,·'I . b I. k ,n.. nak u ; h pm •n •r
m( ny • and ngan nl nt t1. untukI r di lk.m y.u,g k, n cl ut4' r
k; n k mucllan. dua, kon'Oik
y. n rt jidl bll m m 1b kognlUf ( pcru panjang dan
un l.\h lmult..n d n . p fah r;wtu mcna pal kcadaan
h n ;11, d. rtp.1d. y nJ? I. In. K tlit, , d l:in pro cku'I br;ul tcrllhat peran
nru d:m lni l:itilf . n. k. S b. g,"I contoh, g j I pcnyclc atiUl kompromistis
,n-nun ukkan ktlfic;i an. k dalam u""aha pen mu n pcnycl afan masalah
. n, dihad:1pl. Dcngan domlk an t rllhat . kulibr.u mcngandung konOlk
antar s st m yang ad;i1 ak,omodasl yang d lakukan olcl1 ..i anak terhadap
problem p lem baru ke dalam struktur plk ranny.i d, n p nyc5uaian diri
terhadap cara pik,imya.

2.5 lmplikasi teon Piaget dalam p ndld1kan


Meskipun Piaget• sendiri tid.1k banyak menyinggung masalah tieknik
pendidikan dalam ulasan-ulasannya, tetapi pokok-pokok pkirannya dapat
mewam3JI·"settingn pendidikan, antara lain (Ginsburg & Opper, I '979):
(I) pendekatan terpusat pada anak. Salah satu sumban.gan pikiran Piaget
yang sangat berarti ba,gi dunia pendidikan adalah, bahwa pada
hakekatnya jaJan plkiran anak terhadap realitas maupun cara
pandangannya terhadap dunia sekitar. Guru harus menyadari hal ini dan
mengobervas1 anak dengan cermat untu menemukan pe·rspektifnya
yang uni. Jadi yang penting adalah sensltifitas guru.
(2) Aktivitas. Untuk blsa mcmpclajari scsuatu. anak membutuhkan
kesempatan untuk mengadakan tindakan terhadap obyek yang dipelajari.
Kons·ep Piaget bahwa bagi individu - berapapun umurnya - proses
belajar yang p Ung baik didapatkan dari aktivitas yang me.rupakan inisatif
sendiri, sanga't

Dipindaidengan CamScanner
penting implikasinya di bidang pendidikan. Piaget selalu menekankan
perlunya aktivitas tersebut baik fisik maupun mental. Menurut Piaget,
mengetahui suatu obyek adalah dengan merakukan sesuatu pada
obyek tersebut. Karena itu tugas guru adalah mendorong aktifitas anak
didiknya. Guru hendaknya memaparkan materi atau situasi yang
mendorong anak untuk merancang eksperimennya sendiri. Hal ini
mengarahkan anak pada
G
pengetahuan yang lebih mendalam dan tahan lama daripada sekedar ••••••••
l>O

s... :
ingatan terhadap fakta..fakta yang diinformasikan olehguru atau dari ta

buku buku teks. ;JI

=
L

(3) Belajar secara individual. Menurut Piaget C


QI
1::
1 str ktur kognisi anak yang ·;;;
1/ b-0
V
berinteraksidengan·pengalamanbaru.Menimbulkanminat danmenstimulir
perkembangan kognisi yang lebih laniut. Minat belajar akan dimudahkan
C

i .c

oleh adanya pengalaman baru yang selain relevan dengan struktur E


L

kognisi yang telah di:milikinya, juga cukup berbeda, sehingga rf.


menimbulkan konflik pada anak. O'.leh karena pada usia yang sama
struktur kognisi anak mungkin berbeda, hal yang menarik bagi mereka
pun tidaklah sama, sehingga sebaiknya belaiar secara individual, dengan
kebebasan pada tugas yang dipilihnya sendiri. Guru dapat
mengkoordinasikan ajaran individu dan_ kelompok.Sesungguhnya
yangdibutuhkanmurid adalah kesempatan untuk befajar dalam
lingkungan yang kaya, yang secara potensial mengandung elemen-
elemen yang menarik. Murid membutuhkan guru yang sensitif terhadap
kebutuhan kognisinya. Selain itu murid membutuhkan guru yang dapat
menilai materi apa yang akan menantang bagi muridnya pada waktu
tertentu. dapat mengevaluasi tahap kognisi muridnya, serta menyajikan
ide-ide baru yang konsisten dengan perkembangan kognisinya,, Guru
hendaknya juga dapat menyajikan pengetahuan dengan cara yang
menarik minat dan mendorong aktifitas anak, serta dapat membantu
murid bila
diperlukan.

Dipindaidengan CamScanner
(4) lnteraksi sos'ial. Faktor lain yang mempengaruhi perkembangan adalah
pengalaman sosial, atau interaksi dengan orang lain, memang, mula-
mula pikiran anak egosentrls sifatnya. dalam arti anak hanya
memandang orang lain, obyek atau kejadian sekitarnya dalam kaftan
dengan dirinya sendiri. Hal ini berarti bahwa pandangannya terhadap
realitas tidak obyektif.. Dalam perkembangan kemudian anak- mampu
mengerti sudut pandangn orang lain.:Mulai saat itulah terbentuk
pengertian yang lebih obyektif terhadap real.iltas, sehingga salah satu
cara untuk mengurangi egosentrisme adalah interaksi sos.ial. Bila anak
berbicara dengan orang lain, ia akan sampai pada kesadaran bahwa cara
pandang terhadap sesuatu bukanlah satu..satunya cara pandang. Orang
lain pun mempunyai pandangan tersendiri, yang mungkin berada
dengan pandangan anak. lnteraksi sosial mengarahkan anak pada
penyusunan argumentasi dan diskusi, sehingga cara pandang anak
dipertanyakan kebenarannya dan si anak harus mempertahankana dan
membuktikan kebenaran cara pandangnya. Tindakan ini memaksa anak
memperjelas cara pandangnya sendiri, agar dapat meyakinkan orang lain.
Dengan demikian, interaksi sosial akan menolong anak mengenal
kekurangan dalam pikirannya sendiri dan memaksanya untuk melihat
cara pandang lain, yang mungkin menimbulkankonflik dengan cara
pandangnya sendiri. K nflik semacam itu merupakan salah satu
mekanisme dari perkembang,an. lmplikasi pandangan Piagetiniialah
bahwaperanan interaksi sosial di sekolah perlu dibina. Murid-murid
perlu bertukar pengalaman, mem:berikan alasan dan mempertahankan
pendapatnya, semuanya itu akan merupakan cara yang penting untuk
rnemperoleh pengetahuan.
Sebagai penutup bab ini perlu disitir apa yang dipikirkan Piaget ( 1964,
hal:5) mengenai tujuan pendidikan sebagai berikut:

u the principal goal of education is to create men who are capable


of doing new things, no simply of repeating what other generations
have done - men who are creative, inventive, and discovers. The
second goal of education is to form minds which be critical, can ••••••••

verify, and not accept everything they are offered. The great
danger today is of slogan, collective opinions; ready-made trends
of thought. We have to be able to resist individually, to criticiz, to
distinguish between what is proven and what is not. So we need
pupils whoa are activet who learn early to find out by themselves,
partly by their own spontaneous activity and partly through
material we set up for them; who learn early to tell what is
verifiable and what is simply the first idea to come to them".
Diplndoi deogan ComScornet
3
Perkemflanoan Penalaran
11loral fllenurut Koflllierg

alau Piaget dapat dikatakan sebagai tokoh yang,b.anyak


berpengaruh dalarr, psikologi perkembangan, khususnya
perkembangan
;,:.·· ,1isi, maka KohIberg profesor dalam psikologi sosial dan_
pe- J.,s·-- , dapat dikatakan sebagai tokoh yang banyak berpengaruh dalam
r. :-r-. mbangan dan pendidikan moral. Kohlberg mengutarakan pendapatnya
tentang perkembangan penalaran moral dalam desertasinya tahun 1958.
Pada tahun 1·974 Kohlberg mendirikan "Center for Moral D velopment
and Moral Educ tion" di universitas Harvard, Amerika Serikat. Pusat ini
banyak merangsang dan membantu berbagai penelitian, mempunyai proyek
pendidikan moral di sekolah dan di penjara setempat, juga menyelenggarakan
berbagai lokakarya secara tetap mengenai teori dan rnetode perkembangan
penalaran moral·serta aplikasinya di bidang pendidikan.
Orientasi teoritis dan metode yang dianut Kohlberg serupa dengan
Piaget. Keduanya tergolong kedalam satu rumpun teori perkembangan
kognitif. Teknik pengumpulan datanya juga melalui wawancara k1inis.
Walaupun demikian dalam membahas perkembangan penalaran mora'I kedua
tokoh tersebut berbeda dalam dua hal (Arbuthnot & Faust, 1981) :
I . Teori Kohlberg tentang perkembangan penalaran moral [ebih spesifik
dan lebih kompleks daripada Piaget. Teori Kohlberg yang lebih kompleks
tersebut memungkinkan kita memperoleh pengertian yang lebih kaya
tentang hakekat perkembangan penalaran moral dan faktor faktor yang
m 11 p n .. ruh ny .. s t In llu lug,. m mungklnkan penyusunan
hipot,esas. yan, I b h p 'Ink, y ng d _p,.t dibuktlkan. Dlmungkinkan
juga bagi kita un'luk mpuny,;\\ d . d y. ng I bit pc flk mcngcnal
bagaimana usaha
kt m n . p I k m t:mgan noral dan p rkombangan moral yang
nl:tk m.1.
1. O;ttl Kohlb rg m nunfukkan bahwa periode perkembangan
p n laran moral I blh p:mlLng d bandlngkan Piaget. Kalau Piaget: hanya
n on . 111 . kOkJan d. nya tlga tahap pcrkembangan penalaran,moral,
Kohlbcr mcngcmukakan Hrna tahap (pada publikas,i se'belum 1979,
enam t1h:1p). Dlkcmukakan pula oleh KoMberg bahwa individu pada
umumnya baru mencapal kematangan moral sampai usia duaputuh lima tahun
atau matahan leblh akhir (bukan pada masa remaja s,eperti yang diutarakan
Pia,get). Jadi proses perkembangan moral berlang.sung terus melampaui
tahap usia remaja sampai ke tahap usia dewasa awal, bahkan mungkin
dewasa tengah. Malah banyak pula indiv'·du yang tidak pernah
mencapai
tahap terakhir perkenibangan moralnya..
Ufasan mengenai perkem angan kognisi 1
menurut Pia.get yang
dikemukakan sebelumnya dimaksudkan sebagai ulasan dasar untuk
memahami alur pikiran Piaget yang. dianut juga oleh kohlberg. Ulasan
Piaget lebih dipusatkan pada perkembangan penalaran terhadap
masa1ah-masalah fisik atau iogika s.edangkan ulasan Kohlberg lebih
dipusatkan pada penalaran terhadap masalah-masa'lah sosialt khususnya
mengenai perkembangan penalaran moral.
Oleh karena penalaran moral (Koh1berg) sebagai mana halnya kognis"
(Piaget) atau koordinasi perspektif sosial (Selman) merupakan suatu
konstruk (construct), maka ulasan ini akan diawali dengan uraian
penalaran moral sebagai suatu 'konstiruk. Kemudian dibahas proses
perkembangannya, terutama tentang penahapan perkembangan, cirt ciri
Dipindai dengan CamScarTief
proses perkembangan serta rangsang untuk peningkatan ke tahap yang
Ieb1.h f_mgg1• .


3.1. Penalaran Moral sebagai,Konstruk
'

Kerlinger ( 1979, hal 28 dan 29) mengutarakan bahwa istilah konstruk


serupa dengan konsep, tetapi ada perbedaannya. Konsep mengekspresikan ..
i suatu bentuk abstraksi mela'!;ui generalisasi dad sesuatu yang spesifik. Misalnya ·•....."

berat adalah suatu konsep yang mengekspresikan berbagai observasi ..0


:E
mengenai
benda-benda yang berat dan ringan. Dalam psikologi konsep-k<:>nsep lebih 2::I
C:
abstrak, misalnya "achievement" merupa'kan abstraksi dari erbagai observasi
G;I
I:
I:'!
tentang tingkah laku anak yang ada hubungannya dengan penguasaan atau 0
:E
belajar tugas-tugas sekolah : membaca, menggambar1 menulis dan C
nl
sebagainya. 7,6
,c;
Konstruk adal,ah konsep tetapi memi iki arti ta:mbahan, ialah perumusan
C:
yang sengaja dilakukan untuk tujuan ilmiah tertentu. lnteligensi merupakan
_g
suatu konsep, dalam arti merupakan abstraksi dari tingkah laku yang
,::
inteligen dan
non-inteligen.Tetapi sebagai suatu konstruk, inteligensi mengandung pengertian

cf. bahwa ilmuwan me:nggunakannya dengan dua tuJuan. Pertam,aipakai dalam


suatu skema teoritis dan berhubungan dengan konstruk fain dalam berbagai
macam cara. Misalnya kita bisa mengatakan bahwa "achievement" sekolah
adalah fungsi dari inteligensi dan motivasi. Kedua,. inteligensi didefinisikan
secara spesifik sedemikian rupa sehingga ia dapat diobservasi dan diu'kur.
Misalnya, ibahwa inteligensi adalah hasil tes inteligensi X.
Dalam bukunya "Moral Development and Behavior", Thomas Lickona
_(1976) sebagai editor memulai bab pendahuluan dengan
mengetengahkan percakapan Meno dan Socrates sebagai berikut:
"Dapatkah anda mengatakan kepada saya, Socrates, apakah kebaikan itu
diperoleh dengan diajarkan atau diperoleh melalui pengalaman; atau bila
bukan kedua-duanya, apakah kebaikan itu datang dengan sendirinya atau
sudah dibawa sejak lahir, atau datang dengan cara lain ?'' Socrates menjawab
: ..Sungguh saya ingin tahu bagaimana kebaikan
Dipindai dengan CamScarTiei
ltu di,peroleh. Tetapi jauh dari mengetahui apakah kebaikan .ltu diajarkan,
faktanya adalah bahwa saya tldak mengerti apa sesungguhnya kebaikan itut'.•
Jawaban Socrates tersebut tentunya dimaksudkan agar kita menjelaiahi
terleblh dahulu suatu pertanyaan dasar sebagai titik tolak dari segala
masalah yang menyangkut moralitas, yaltu :·apakah sesungguhnya keba'ikan
itu ?
J,awaban terhadap pertanyaan tersebut tak dapat dilepaskan dar:i posisi
teoiritis yang dianut oleh orang yang men;awab, Penganut teori behavioristis
mengekuivalenkan ·moralitas dengan usodal conditioning"'. Eysenck,
misalnya mengemukakan bahwa : conscience as a iicondlti'oned reflex;;, an
anxiety based avoidance of acts that have been punished by society.
Berkowitz mendefinisikan nilai moral sebagai : evaluations of action believed
by .members of a given society to be "right"..
Mendefinisakn moralitas dengan cara menyamakannyadengan
konformitas terhadap lingkungan sosial seperti tersebut diatas menyebabkan
kita harus pula membenarkan, bahwa berarti orang--orang Nazi yang loyal,
atau di Indonesia orang-orang PKI yang loyal, telah menampilkan tmgkah
laku bermo.ral. Jal·an pikiran t rsebut menuntun kita kepada satu
pemikiran bahwa apa yang
bermoral" itu lebih dari atau berbeda dari apa yang SOsial.,,.
11 41

Adanya fakta-fakta bahwa harapan masyarakat kadang-kadang tidak


mencerminkan apa sesungguhnya moralitas tersebut. membawa kita pada
pertanyaan mendasar yang diajukan oleh Kohlberg, apa sesungguhnya prinsip
moral itu ? Kohlberg ( 1971) mengutarakan bahwa konsep moralitas lebih
merupakan konsep yang filosofis (etis) daripada sekedar konsep tingkah
laku. Dengan analisa filosofis Kohlbergsampai pada suatu kesimpulan bahwa
struktur esenslal moralitas adalah prinsip keadilan (the principle of justice)
dan bahwa inti dari keadilan adafah distribusi hak dan kewaiiban yang diatur
oleh konsep uequality', dan ureciprocit:y". Kohlberg ( 1970,. hal 76)
mengemukakan:

Dipindai dengan CamScame


Dipindai dengan CamScame
"Justice is not a rufe or a set of rules; it is a moral principle. By a
moral principle we mean a mode of choosing which is universal, a
rule of choosing which we want all people to adopt always in all
situations. We know it is aU right to be dishonest and steal to save a
life because it is it is just,.because aman's right to life comes before
another man's right to property. We know it is sometimes right to .LI
Q)

::E
...........
kil.l, because it is sometimes just. The Germans who tried to kill ... ::,
I..
Hitler were doing right because respect for the equal values of lives ::,
C
Q)
l::
demands that we kill someone murdering others in order to save their e
0
lives. There are exceptions to rules, than, but no exception to l:
C

principles. A moral obligation is an ob:Hgation to respect the right or -;A;l


c::
cf
claim of another person. A moral princip]e is a principle for resolving C
m ,
C
competing claims, you versus me, you versus a third person. There is rd
.LI
E
di
only one prindples basis for reso.lving claims: justice or equality. L..

cf
Treat every man's claim impartially regardless of the man. A moral
principle is not only a rule of action but a reason .for action. As a
reason for action, justice-is called respect for persons".

Dari kutipan tersebut jefas bahwa prinsip moral adalah keadHan; juga
jefas anggapan Kohlberg bahwa prinsip moral bukannya merupakan aturan-
aturan untuk suatu tindakan, tetapi merupakan alasan untuk suatu tindakan.
Oleh karena itu KohIberg memakai istilah "moral reasoning", ''moral thinking"
atau "moral judgment., secara bergantian dalam pengertian yang sama.
lstilah istilah tersebut diterjemahkan ke daram bahas_aIndonesia oleh penulis
dengan istilah penalaran moral. Anggapan Kohlberg bahwa prinsip moral
merupakan alasan untuk suatu tindakan, sesuai dengan teori perkembangan
kognitif yang dianutnya, ialah memandang penalaran moral seb gai struktur,
bukan isi (content). Jadi penalaran moraf bukannya apa yang baik atau buruk,
melainkan bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa sesuatu
itu baik atau

Dipindai dengan CamScanner


. . . oral merupakan suatu alasan atau
buruk. Hal ini berart1 bahwa penalaranm
pertimbangan. mengapa sesuatu d.ianggap . baik atau buruk.
.
Ada. dua keuntungan yang d1dapat k an dengan •menganggap penalaran
• • pr t apabila kita menganggap
moral sebagai struktur dan bukan 1 s1 . e a
ma
'
. . . . baik atau buruk itu terkait pa da
penalaran moral sebagat 1 s1 , berart1 apa yang •- •
sos1• 0-b ud aya tertentu.A pa yang df anggap· d'1 negara Barat belum ten• tu
ba'1k•

dianggap baik pula di Indonesia. sedangkan kalau kita menganggap penalaran


morat,sebagai struktur. dengan berpegang pada prinsip filosofis dari moralitas.
maka penalaran mora'Iitu universal. UnVersalitas moralitas itudimungki:nkan,
karena semua kultur mempunyai:konsep dasar moralitas yang sama, misalnya
dnta, hormat, kemerdekaan dan kekuasaan.
Semua masyarakat mempunyai pranata sosial dasar (basic social
instirtution) yang sama, yaitu pranata keluarga, ekonomi, stratiflkasi sosial,
hukum dan pemerintahan. Memang terdapat perbedaan antar kultur dalam
perincian batasan mengenai pranata-pranata sosial tersebut, tetapi di batik
perbedaan-perbedaannya, semua pranata sosial mempunyai arti fungsional
0
yang "melampaui kultur. Sebagai contoh, meskipun terdapat perbedaan antar
bangsa dalam perincian keharusan-keharusan hukum, tetapi semua bangsa
mempunyai pranata hukum yang san;a nila.i fungsionalnya. Kedua, apabila
kita menganggap penalaran moral sebagai isi, k:ita tak dapat me:mbedakan
". ' penalaran moral anak dan dewasa. Misal nya, jawaban terhadap pertanyaan
1

.° apakah mencuri itu baik atau buruk, akan sama untuk anak dan orang dewasa.
Cl.I
.o ,
.J:. Kedua-keduanya akan menjawab "buruk,.. sedangkan kalau kita menanyakan
....
..:
::,
mengapa mencuri itu baik atau buruk - dengan menganggap penalaran m.oral
C:

I:.
:GJ
,
sebagai struktur- akan kita dapatkan perbedaan antara iawaban anak dan
...
0 jawaban orang dewasa. Dengandemikian, anggapan bahwa penalaranm.oral
l:

s
,:j
C

C:
merupakan struktur. memungkinkan kitauntukmengindentifikasi perkembangan

&.
C:

moral• lndentifikasi perkernbangan moral tersebut d . k 'k d


"'
..0
C
. 1 mung m . an
n
eng a
E
jJ
. mendasarkan penahapan perkembangan moral atas n-.ak·,nt
l 11 .
·r . . . serta
en erens1as1
..
&

Oipindai dengan CamSca


makin universalnya bentuk "reciprocity" penalarannya. Kohlberg sampai pada
11 0

konsep reciprocity tersebut setelah dia menemukan konsep alih peran (role
taking).

Sejalan deng,an pendapatnya mengenai kesamaan dalam pranata-


pranata sosial yang melampaui kultur, ia juga menemukan bahwa semua
masyarakat mempunyai sistem untuk mendefinisikan harapan terhadap peran-
peran sosiaf yang komplementer. Dalam tulisannya di buku Goslin, Kohlberg •••••••
G
Cl)

( r 969, hal.
. 0
: : :c
348) mengemukakan bahwa :

"In Cognitive-developmental or "symbolic interactional." theories


of society, the primary meaning of the word "social" is the
distinctively hu anstructur ing of action and thought by role taking,
1

by the tendency
to react to the se]f's behavior in the role of the other (Mead, I 934;
Baldwin, 1906, J. Piaget, 1948).
There are two subsidiary meanings of "social", the first that of
affectional attachment, the second that of imitation. Both human love
and human identification, however, presuppose the more general
. sociality of symbolic communication and role taking. Before one
can love the other or can model his attitudes, one must take his
role through communicative processes".

Jadi Kohlberg menganggap bahwa alih peran merupakan konsep sentral


dalam penyusunan teorinya mengenai tahap-tahap perkembangan penalaran
moral.
Adapun kaitan konsep alih peran dengan konsep "reciprocity" diterangkan
oleh KohIberg ( 1969) sebagai berikut :
Struktur masyarakat dan moralitas adalah struktur interaksi antara "diri"
(self) dan "diri" Jain yang serupa dengan "diri", tetapi yang bukan "diri".
Bila terjadi konflik antara "diri" _dan udiri" lain tersebut, maka hal tersebut
merupakan area dari moraUtaS, atatJ konflik mo.ral. Cara aJih peran yang
dilaku''·-- r,t-• • _ k .n·k s.emacam iru merepresentaSikan berbagai
11\411 LNJanl Wa.D , 0011l.

truiurp.enalaran dan pem-. _ moral yang rn,endasari bataSan tahap-tahap


-,,'---r
angan pena- laran mu-n.-u1,. "vo. h1lbe•", 'c , meng.indentifikasi adanyadua.putuh
-m b

11·.ma !"'- mera1 a.till.I yangd '1.S e Lu aspe, v .-:i ·in• g dapat dipakai sebaga• i
on· umya• k,
un,.·",,'k. me-nyuiun-- ......1. -11. rnbancr.in m·0- Namun dia mengambil
1
d
1.61 lap pe,...e ,·, · 0-. ' d.•l

· t.c ori kcadilan sebagaj kategori primer. talah ''reciprocity .. dan e..quality".
D _n an demik.ian menjadi jela.s,.bahV'a penyu:sunan tahap-tahap perkembangan
11
11
pcnal'aran moral K,ohlberg merupakan ururan bentuk reciprocity dalam
nt raks antara din dan orang lain ·sebagai1cara penyel'esaian konflik moral
yang teriadi
Memandang penallaran mor:al sebag,ai struktur merupakan suatu konstruk
yang tepat da1am kaitan dengan sudut pandangan psikologi perkembangan
dan upaya ke arah konsep yang universal. Selanjutnya konstruk p nalaran
moral ini akan lebih jelas dalam ulasan perkembangan penaJaran moral,
khususnya cfalam tahap-tahap perkembangan dan kaitan antara tahap
perke:mbangan penalaran moral dengan tahap perkemban.gan kognisi dan
koordinasi perspektif sosial.

3.2 Tahap-tahap Perkembangan Penalaran Moral


Pada:awal karyanya Kohlberg menyusun enam tahap (stage) perkembangan
penalaran moral yang dibagi dalam tiga tingkatan (level) yaitu tingkatan "pre
conventional". Dalam tulisan-tulisannya yang diterbitkan tahun 1979jumlah
2 tahap menjadi lima,. sebab tahap ke-6 merupakan tahap •. .- - kal'
l" ; ; ;::i

dapat dicapai. Kohlberg menyebutkan contoh to, koh yang m. en-


• yang Jaran,g se .1

pena1aran
capa1.
£ moraJ tahap 6, yrutu Gandhi. Martin Luther King dan Galileo.
Untuk rnengertii tahap-tahap perkembana-:in .. _ ,
: - b ..... • pena1aran moral per1 u
1
c
dicelusuri lebih du'lu pengertian penalaran moral Tingk ............
• •
.
pre-convent1ona1
all.QJ,
,.

5 ialah tingkatan dari kebanyakan anak di bawah usia 9 tahun, beberapar,emaja,

.
E dan kebanya'.kan pelaku kriminal. baik remai·a •
- maupun dewasa. Tingkatan
Dipindaidengan CamScanner
11
convent,ional ialah tfngkatan kebanyakan remaja dan orang dewasa di
masyarakat Amerika dan masyarakat lain. Tingkatan "post-conventional" ialah
tingkatan yang dicapai oleh sejumlah minoritas orang dew a dan biasanya
dicapai baur setelah usia 20 tahun. lstilah uconventional" berarti ses ai dengan,
atau mematuhi aturan-aturan. harapah-harapan serta konvensi masyarakat
atau penguasa. hctnya karena semua itu merupakan aturan-aturan, harapan •
serta konvensi masyarakat. lndividu pada tingkatan upre-conventional" belum ·;·······
G I
sampai pada pengertian yang sesungguhnya untuk mematuhi konvehsi atau :: e
..c

aturan • masyarakat. lndividu pada tingkatan ''post-conventional" mengerti 2


::I
C:
aturan-aturan masyarakat dan pada dasarnya menerima aturan-aturan tersebut, ,J:
tetapi penerimaannya didasarkan atau penerimaan prinsip-prinsip moral yang
mendasari aturan-aturan tersebut. Apabila pada suatu ketika terdapat konflik ...
j.j

1
antara prinsip-prinsip moral dengan aturan-aturan masyarakat, individu pada
C
taraf "post onventional" akan membuat keputusan moral dengan lcbih
15
mengutamakan prinsip-prinsip moral daripada konvensi. E
(,)
..¥ •
L.

Salah satu cara untuk rnemahami ketiga tingkatan penalaran moral ialah rf
dengan memikirkannya sebagai tiga tipe hubungan yang berbeda antara diri
(self) dan aturan-aturan serta harapan-harapan masyarakat (society's rules
and expectations). Dari sudut pandangan ini berarti bahwa bagi individu
pada tingkatan I (tingkatan "pre-conventional") aturan-aturan dan harapan
harapan masyarakat adalah sesuatu di luar dirinya; bagi individu pada tingk
tan
II (tingkatan "conventional"), diri diidentifikasikan dengan aturan-aturan
atau harapan-harapan orang lain terutama dari penguasa, atau dikatakan ia
telah menginternalisasikannya; dan bagi individu pada tingkatan 111
(tingkatan "post-conventional"). ia tefah mampu memisahkan diri dari aturan-
aturan dan harapan-harapan orang lain dan mendefinisikan nilai yang baik
atau benar atas

dasar prinsip-prinsip yang dipilihnya sendiri.


Dalam tiap tingkatan penalaran moral terdapat dua tahap. Tahap kedua
menunjukkan bentuk perspektif dari tingkatannya yang lebih luas dan

Oipindai dengon CamScannef


Oipindai dengon CamScannef
terorganisasikan. Pada·bab ini penulis kutip n enam tahap penalaran
moral yang ditulis KohIberg ( .1976) dalam buku Lickona. Keenam tahap
tersebut diungkapkan at dasar apa yang benar, alasan untuk
menganggap bahwa sesuatu itu benar dan perspektif sosial di belakang
tiap tahap.
Dalam tahap tersebut Kohlberg mengemukakan perspektif sosial yang ada
di belakang tiap tahap, untuk mempertanggung-iawabkan bahwa tahap-tahap
penalaran moral adalah struktu:ral. Perspektif sosi31 dianggap oleh
Kohrberg sebagai konstruk tunggal (asingle unifying construct) yang mendasari
gambaran dari tiap-tiap tahap perkembangan penalaran moral. Perspektif
sosiaJ tersebut dibedakan dengan alih peran yang diutarakan oleh Sel'man
(Lickona, 1976). Selman mendefinisikan alih peran sebagai cara
seseorang membedakan perspektifnya dari perspektif orang lain dan cara
seseorang menghubungkan tersebut satu sama fain.

l>O
L..
QJ
g
5
'5,.,
j

Dipindai dengan CamScanner


Enam Tahap Penalaran Moral (Kohlberg, I,976, hal.34 - 35)
Content of StaS;e
Level and Stage I What rs Right I Reason for Doing Right I Social Perspective of Stage
LEVEL 1.- To avoid breaking rules backed Avoidance -of punishment, Egocentric point of view.
PRECONVENTl,ONAL by punishment1 obedience and the superior power of Doesn't consider the
interests
Stage 1-Heteronomous for its own sake, and avoiding authorities. of others or recognize that
Morality physical damage to persons their differ from the actor's;
and property
1, doesn't r,elate two points of
view. Actions are considered
physically rather than in terms
of psychological interests,
of others. Confusion of
authority's perspective with
one's own.

Stage 2-lndivialism, Following rules only when it To serve one's own needs or Concrete individualistic
Instrumental Purpose, is to someone's immediate interests in a world where you p.erspective. Aware that
and Exchange interest; acting to meet one's have to recognize that other everybody has his own
own interests and needs and people have their interests, interest·to pursue and these
letting others do the same. too. conflict, so that right is
relative
Right is also what's fair, what's. • (in the concrete individualistic
an equal exchange, a deal,. an sense).
agreement.
Perkembangan Penalaran Moral Menurut Kohlberg

.• •
Perkemba.ngan Pena.laran Moral Menurut Kohlberg

LEVEL II Living up to what is expected The need to be a good person Perspective of the individual
CONVENTIONAL by people dose to you 'or in your own eyes and those of in relationships with other
Stage 3-Mutual what people generally expect others. Your caring for others. jndividuals. Aware of shared
Interpersonal of people in your role as sont Beliefin the Golden Rule.Desire feelings,. agreements,
'Expectations. and brother, friend, etc. • to maintain rul:es and author.ity expectations which take
Relat'ionships "Being good" is .important and which support stereotypical.primacy over individual
, means having good motives, good behavior. interests. Relates points of
and lnterpersonaI shoeing concern about others. view through the
Conformity concrete
It also means keeping mutual Golden Rule, putting yourse'lf
relationshi:ps. such as trust, in the other guy's shoes.
Does
loyalty, respect and gratitude. not yet consider generalized
system perspective.
Stage 4-Social System Fulfilling the actual duties to To keep the institution going Differentiates societal point
and Conscien e which you have agreed. Laws as a whole, to avoid the break of view from interpersonal
1are to be uphefd except in down in the system "if everyone agree.mentor motives. 1

Takes:
extreme cases where they did it", or the imperative of the point o,f view of the
conflict with other fixed Iconscience to meet one's system that defines roles and
social duties. Right is also defined obligations (Easily I rules. Considers individual
contributing to society, the confused with Stage 3 belief in relations in terms of place in
group or institution. rules and authority; see text.) the system.

LEVEL HI-POST Being aware that people hold a A sense of obligation to law Prior-to-society perspective.
CONVENTIONAL. or variety of values and opinions, because of one's social contra.ct Perspective of a rationaJ
PRINCIPLED that most values and rules are to make and abide by laws individuaJ aware of values
Stage 5-Social Contract relative to your group. These for the welfare of all and for and rights prior to sociaJ
or Utility and Individual relatives rules should usually. be the protection of all people's attachm·e_nts and contracts.
Rights upheld, owever in interest of rights. A feeling of contractual Integrates perspectives
impartiality and because they commitment, feely entered by formal mechanisms of
are the social contract. Some upon, to family, friendship, trust,
agreement,contract,objective non relative values nd rights and work obligations. Concern
impartiality, and due process. like life and liberty•, however, that laws and duties be based
Considers_moral and legal must be uphefd in any society on rational calculation of overall
points of view; recognizes that and regardless of majority utility, 'the greatest good for the
they sometimes conflict and opinion. greatest number". finds it
difficult to integrate
them.

lA
Perkembangan Penalara.nMoral Menurut l«>hlbe r g
Perkembangan Penalaran Moral Menurut Kohlberg

,Stage 6-U Following self-chosen ethical The belief as a rational person Perspective of a mora, l
niversal Ethical principles. in the val,idity of universal point ·of view from which
Principles Particular laws or social moral principles, and a sense of social arrangements derive.
agreements are usually valid personal commitment to them. Perspective is that of any
because they rest on such rational individual recognizing
principles. When laws violate the nature of morality or the
thes-e principles, one. acts in fact that persons are ends
accordance with the principle. in themselves and must be
Principles are universal' treated as such.
principlesofjustice:theequality
of human rights and re·spect
for the dignity of human beings
ii as individual persons.
Menurut !Kohlberg: ( 11976) ada suatu konstruk yang lebih umum, yang
mendasari alih peran maupun penalaran moral, ialah perspektif .sosiomoral.
Perspektif sosiomoral menunjukkan cara pandang seseorang, baik dafam
memandang fakta..fakta sosial maupun nilai-nilai moral. Apabila dikaitkan
deng,an ketiga. tingkatan penalaran moraf, KohIberg mengemukakan tiga
perspektif soslomoral sebagai berlkut : -

Penararan moral Perspektif Sosial


I. 11
Pre-conventional" Perspektif "concrete individual"
II.
"Conventional" Perspektif "member of society"
Ill.
"Post-conventional" Perspektif "'prior of society"
C:
f!
f,:I
.;
Gambaran yang lebih jelas mengena· bagaimana Kohlberg ( 1976)
C
mengilustrasikan perspektif sosial pada tiap-tiap tingkatan serta • tahap
. "0 '

perkembangan penalaran moral berdasarkan data penelitian longitudinal di s


..J...
Amerika, dapat dilihat pada lampiran I dan 2.
Secara s·ngkat perspe1<tif sosial dan cir.i penalaran moral tiap-tiap tingkatan
diungkapkan oleh Arbuthnot dan F.aust ( 198 J; hal. 49-50) sebagai berikut :

(I) Tingkatan "pre-conventional". yang mempunya'i ciri-ciri bahwa apa


yang benar atau salah itu terbatas pada atuan-aturan yang konkrit
atau atas dasar kekuasaan atau hukuman. Bila tak ada aturannya, yang
benar adalah yang sesuai dengan interes diri saja atau interes orang
lain saja. AJasan untuk menyatakan bahwa sesuatu itu benar atau
salah adalah
; menghindar, hukuman, mematuhi otoritas, atau memenuh·, interes
1
diri. Titik tolak perspektif sosial dari tin,.:katan ' pre-conventional"
kemungkinan berada pada diri (egosentris), dimensi fisik,
konsekuensi aturan•aturan, dan tingkah laku ''overt''.
Dipindai dengan CamScanner
(2) Tingkatan uconventi,onal": yang " b ,, adalah yang sesu ai dengan
- enar •
• harapan masyarakat atau kelompok tertentu m,eng:enai. perilaku yang
"baik"'. Seseorang yang ada pada taraf ini sangat memperhatikan
aturan-:aturan sosial, harapan-harapant serta peran-peran. Tindakan
yang dianggap benar dilakukan karena adanya motivasi yang ada dal'am
diiri seseorang untuk melakukan apa yang diterima dan diharapkan
oleh masyarakat. Alasan yang dibenikan berhubungan dengan opini
sosial, kepatuhan, dan penerimaan oran,g lain. Perspektif sosialnya
berorientasi pada kelompok atau masyarakat umum,. dimana ia
menjadi anggotanya.

(3) Tingkatan ••post-conv,entional'" : yang "ben:ar" didefinisikan atas


dasar hak azasi manusia yang umum dan universal, nilai-nilai atau
prinsip prinsip yang ·wajib digunakan baik oleh masyarakat maupun
ind vidu. Seseorang, yang ada pada tahap ini percaya bahwa sebagai
anggota masyarakat harus membuat kontrak untuk menjamin hak
dari semua anggotanya, dan harus bertingkat laku sesuai dengan
prinsip nilai etis yang akan diakui oleh seti•ap orang, yang bermoral.
Meskipun aturan-aturan dan hu'kum..hukum dipandang p rlu
.aga.ira.minan akan keadHan dalam masyarakat dapat berf ung i,
,D_O
CII
namun aturan-aturan dan huikum-hukum terse'but hanya b nar bila.
0
2
: diteri:ma o'l,ch ornua angg,ota masyarakat s·ecara s.ama.. Jadi
...
2 se.seorang tidak bcrorientasl pada aturan-aturan jtu sendiri tetapi
C:

berorjemasi pada pr·n ip-prinf:•ip atau tujuan yang hendak dicapai di 1

belakang aturan-aturan t, r .cbut. Perspektif sosial tahap ini adalah '


melamp.aui" masyarakat, dalam arti seseorang sadar pada ha'k dan ni!
ai-ntlai yang s•eharusnya mendasari aturan-atur.m masyarakat, jadi
perspektif nya terhadap masyaraka.t atau hubungannya dengan
masyarakat berdasarkan hak dan nilai-nilai dasar tersebut.
Dipindai dengan CamScarTiei
Tahap-tahap dan urutan tahap perkembangan merupakan konsep
sentral dalam teori Kohlberg mengenai perkembangan penalaran moral.
Ol1eh karena itu untuk memperdalam pengertian kita mengenai konsep
sentral tersebut, akan diungkapkan secara lebih terperinci mengenai urutan

Cl
tahap-tahap yang tetap (invariant), universalitas dari tahap-tahap, fenomen
regresi, dan tahap·
tahap dalam kaitannya dengan perbedaan individual.
Pertama, ketetapan urutan tahap-tahap perkembangan penalaran morat · •••••
GJ

Telah diuraikan terdahulu bahwa ketetapan urutan tahap-tahap perkembangan ;


kognisi juga berlaku pada perkembangan penalaran moral, dalam arti tidak ada e:,
C:
tahap yangdiloncati dan tidak terjadi suatu regresi. Tiap tahap yangmengandung -I_
struktur p'ikiran tahap sebelumnya,.tetapi telah diintegrasikan sedemikian
l:0
rupa sehingga terbentuk struktur pikiran baru yang secara kualitatif berbeda
sC

,;
serta lebih luas jangkauannya dibandingkan dengan struktur pikiran tahap C:
&.
sebelumnya. Tempo perkembangan antar tahap tersebut berlangsung C:

<'ll
selama ..0

eberapa tahun. Penelitian Colby dan kawan-kawan ( 1979 a) yang dilakukan ]


L.

untuk mernbuktikan ketetapan urutan tahap perkembangan penalaran mo,ral &.


dapat dilihat hasilnya pada Gambar 2. Pada Gambar 2 dilukiskan penyebaran
tahap perkernbangan penalaran moral sebagai fungsi dari. usia responden.
Terlihat bahwa proporsi dari respon kelima tahap tersebut berubah sesuai
dengan meningkatnya usia. Misalnya. respon tahap I pada usia IO tahun
hampir mencapai dua puluh lima persen dari seluruh respon, tetapi pada usia
16 - 19 tahun menurun sampai nol. Respon tahap 2 kalau dilihat rnulai dari
usia IO tahun sampai 36 tahun ternyata menurun, rnulai dari 63 persen (usia
I0tahun) menjadj 45 persen (usia B-I4tahun) 25 persen (usia 16- 18
tahun) dan seterusnya. Respon tahap 3 mula-mul!a meningkat
persentasenya dari usia Io tahun sampai dengan 16 - 18 tahun, kemudian
rnenurun pada usia selanjutnya. Respon tahap 4 muncul pada usia 13 - 14
tahun dan terus meningkat persentasenya pada usia lebih lanjut. Respon 5
mulai muncul pada usia 20 _ 22 tahun, meningkat pada usia selanjutnya,
tetapi persentase
Dipindoi deogon C11mSCOrlllef
peningkatannya kecll.
Penelltian-penelitian longl,tudlnal Juga mendukung adanya ketetapan
urutan tahap perkembangan penalaran moral tersebut (Kramer, 1968;
Kohlberg dan Kramer, 1969; Colby dkk., 1979 a).
Kedua, mengenal unlversalitas tahap perkembangan. Menurut teorl
perkembangan kognitif, urutan tahap-tahap perkembangan harus sama di
semua sosio-budaya. lni 'berarti bahwa meskipun perbedaan sosio budaya
akan menyebabkan perbedaan isl moralitas atau perbedaan nilai spesifik,
namun struktur dari penalaran moral harusfah tidak tergantung dari
perbedaan is.i moralitas ata.u nllai-nilai tersebut. Mungkin kecepatan
perkembangan antar sosio-budaya berbeda, tergantung sejauh rnana
sosio-budaya tertentu memberi kesempatan dan rangsangan untuk
peningkatan tahap, walaupun demikian urutan perkembangan tetap sama.

-1


.Aac ,.
b
, e '°
I- '°
. . .... "'°
I

- r t
\
ca ID
4S
":D• ...

I
0 I

l
C:!E .

"
I

11t C •l
EC JO
C
k-
J.'> .u.
l ,,
ID ..-4
II co r ii
Ni
k C 1
... m Ill tS ..
:;J

:. ,
I. a. a. 10
I
' .l

, ,.., ,aa...,
ll
C
C!,I -,
I: I
1? 1 :&)..ti
ta.,..,
0

.
E 1)•14 1G•U 1.4..,t,C Z.l•)Q
C

&. Gambar2 Tahap penalaran moral sebagai fongsi dari


C

C: umur (Arbuthnot dan Faust, I 981, hal. 77)


I'll
.D
E
L.

cf
Dipindai dengan CamScanner
Kohlberg ( 1969) mengutarakan hasil studi llntas sosio-budaya
mengenai penalaran moral di Amerika Serikat, Taiwan Meksiko, Turki dan
Yukatan. Dari penelitlan tersebut pada semua kelompok ditemukan urutan
tahap perkembangan penalaran moral yang sama, seperti tertera pada


Gambar 3 dan 4. Beberapa penelltian lain mendukung hasil yang
ditemukan Kohlberg tersebut, yaitu p nelitian di Honduras (Gorsuch &
Barnes, 1973), New Zealand (Moir; 1974), Kenya (Edwards, 1975),
..........
e._o
Q)
..0
70 J:

...
oJ
60 :I

...1, :E
:I
C:
IV

.. . _ C )
50•

40
1!
0
:E
-n•i
a "C:'

.
111 ;; ,
'"D E
a,
ll..
I::
"
• m• 20
Ii) •
.., +1 c:::
00

. . . ,.. 10
C
I DI CC ...'
a•.• •
a,
,CL.
Q ,
o- J!: ::!JL • • - ===
_!! .A.:::::a:L.-1
U■u·r %0 16 10 13 l.B,, 10 13 16
Taiwan fll•ksiko

Gambar3 Kec.enderungan umur dalam penalaran moral


pada anak raki laki kelas menengah dari tiga bangsa
(Kohlberg, 1969, haJ. 384)

Oipindai dengon ComScamei


....
r ..•
70.
so \
r ,.
\
\

.'
1 11 \ \
. .. . \ \
0
t- 50 \
..- \
. . .. ..
,'
. .. 4. n l \
!Q D
40 • 1,0-- -01
'O
I
•c 3U L::,, >
• D ,..,e,
'
II II - / I.
lqhof,l#'
...
•>- 20
•cMM I. -w.,.J
••
0. C. 10 I

0
U■ur 10 13 16 10 13 16
Ttu:ki Yukatan
Gambar4 Kecenderungan umur dalam penalaran
moral anak-anak desa yang terisolir dari dua bangsa
(Kohlberg, 1969, hal. 384)

India (Parikh, 1975). Bahama (White, 1975) dan Turki (Turiel, Edwards &
Kohlberg, 1977; Nisan & Kohlberg, 1978).
Ketetapanu rutantahapperkembangan penalaran moral tersebutdjtemukan
baik untuk subyek bermacam usia yang diukur tahap perkembangannya
pada satu waktu, maupu·n untuk subyek dari usia yang sama yang diukur
eo
CJ tahap perkembangarmya pada waktu yang berbeda (Arbuthnot & Faust,
..0
..t:::.

...:, 1981). Penelitian lintas sosio-budaya tersebut menyimpulkan bahwa urutan


.:, . tahap perkembangan penalaran moral adalah universal. Tahap tertinggi yang
.
r::
Cl1 dapat dicapai dipengaruhi oleh sejauh mana sosio-budaya tertentu memberi
l:
0
e kesempatan dan rangsangan untuk peningkatan tahap perkembangan penalaran
l:
:r
moral.
r:
: Ketiga, mengenai gejala regresi. Kalau konsisten dengan sudut pandangan
f'::
-;:;
C
,QI
I)..
perkembangan kognitif, maka dalam perkembangan seseorang tak akan terjadi
C:

C:
regrasi (perkembangan mundur) ..Tetapi pada penelitian-penelitian tahun enam
_
g
E
j!
L
_ell
D.. -

Dipindaidengan CamScanner
puluhan (Haan, Smith & Block, 1968) ditemukan gejala regresi pada
mahasiswa mahasi:swa yang diteliti, ialah terdapat perkembangan mundur
tahap 5 menjadi tahap 2. Kohlberg dan Kramer ( 1969) menemukan bahwa
regresi yang erjadj mempunyai pola tertentu, ialah terjadi di antara kurun
waktu siswa sekolah menengah atas tingkat akhir dan mahasiswa tingkat 2

atau 3, khususya pada ketas sosial menengah di Amerika. Dua puluh persen
dari mahasiswa tersebut
.......
menunjukkan gejala regresi. Jadi pada-waktu kelas.akhir sekolah menengah t<'
41

atas mereka mencapai tahap penalaran moraJ campuran 4 dan 5, tetapi


...
waktu mahasiswa tingkat 2 atau 3 menunjukkan penalaran moral tahap 2. •.
.:, ::.:.:l
C:
Penalaran moral tahap 2 berarti terdapat ciri-ciri relatifitas hedonistis
dengan ditandai bualan filosofis dan sosio-politis (philosopic and sociopolitical 0f
l:
C
jargon). Tetapi bila diteliti, penalarao mereka lebih "sophisticated" daripada f
-<;;d
penalaran tahap 2 yang sesungguhnya. Apabila ada yang berminat rf. C:

C
mengetahui contoh perbedaan struktur penalaran moral dari individu yang
co
.c
mengalami regresi dan individu yang sesungguhnya pada tahap 2, dapat
...
melihatnya pada petikan penelitian Kohlberg & Kramer, 1969, pada Lampiran
3.
Turjel ( 1974) menerangkan regresi tersebut sebagai suatu gejala
transisi. Untuk mencapai tahap perkembangan yang lebih tinggi, seseorang
menolak penalaran tahap perkembangan sebelumnya, tetapi penalaran tahap
perkembangan berjkutnya belum sepenuhnya terbentuk. Hal ini dikemukakan
Turiel, sebab data penefitiannya menunjukkan struktur penalaran yang lebih
tinggi dari pada struktur penalaran tahap 2. penelitian Kohlberg & Kramer
(1969) mendukung adanya gejala transisi perkembangan penalaran moral
tersebut,.sebab semua mahasiswa yang mengalami regresi tersebut, pada
usia duapuluh lima tahun menunjukkan struktur penalaran moral lebih banyak
tahap 5 dan. sedikit tahap 4. Dari penelitian-penelitian tersebut dapat
disimpulkan bahwa sesungguhnya tak ada gejala regresi, melainkan suatu
gejala transisi

dalam tahap perkembangan penalaran moral.


Oipindoi dengan CamScarue•
dengan karakteristik
Keempat, mengenai kaitan tahap penalaran mora 1
. . is kelamin. Antara tahap
r individual, yaitu umur, inteligensi dan perbedaan Jen
perkembangan penalaran moral denganumurtaka re iyangpasti(Arbuthnot
as •
ad I

& Faust 1981). lndividu berkembang dengan kecepatan erkembangan yang


. . d. anP umum relasi tahap
berbeda pula. Namun demikian terdapat kecen erung
.
penalaran moral dan umur. Sebaga1 contoh dapat d'lihat dhasH penelitian
1
dengan contoh dari Amerika dan Kanada, pada Gambar 5 • pada gambar 5
tersebut dapat dilihat tahap perkemban,gan mana yang dominan pada berbagai
usia. Dala.m m.engamati Gambar 5 klta harus waspada bahwa kecenderungan
tersebut merupakan campuran dari semua kelas sosial, ienis kelamin, tingkat
pendidikan dan sebagainya. Tentu saja perbedaan individual akan ditemukan,
terutama pada tahap perkembangan yang tinggi. Kecepatan perkembangan
pun akan sangat tergantung pada kelas sosial, pendidikan, inteligensi dan
sebagainya. Maka gambar 5 hanya dimaksudkan sebagai pegangan umum
untuk melihat relasi normatif antara umur dan tahap erkembangan penalaran
moral.
Adapun relasi antara tahap perkembangan penalaran moral deng n
inteligensi, dalam penelitian-penelitian diperoleh relas·1 k ·
ya b er 1 sar antara
ng
moderat ke kuat (Arbuthnot & Faust, 1981. Studi korelas1·. •
. antara skor IQ (atas

dasar berbaga1 macam tes) dengan skor tahap p·enalara· .
n mora 1 berk1sar antara
0,30 - 0,55 (Arbuthnot,. 1973; Faust & Arbuthn0 t . . .
1978
.o ,
Kohlberg, 1964, I 069; Taylor & Arbuthnot, ?'!
1975).
::::J
L..
::::,
r : :
cu
f
0
l:
C
f
"ni
a ..
i
c::
• , Holstein, 1976;

Dipindai dengan CamScomei


Skor
tahap Yang diharapkan:
so ..,
ber.garis ' 15
Oaerah putih,
Daarah .. 70·:
Daerah bertitik,

·..C l.
1

I 10

U ur dala tahun
Gambar 5. Norma umur dari tahap penalaran
C
Moral. (Arbuthnot & Faust, 198 I , hal 87) C
r::I
.CJ
E
L.

PeneJitian-penelitian mengenai" relasi antara tahap penalaran moral


dengan perbedaan jenis kelamin didasarkan atas anggapan bahwa kematangan
moral merupakan hasH sosialisasi individu sedang sosialisasi prra dan wanita
berbeda. Pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab rnelalui penelitian-
penelitian mengenai relasi tersebut antara lain ralah : apakah terdapat sebaran
frekuensi tahap-tahap perkembangan penalaran moral yang sama pada pria
dan wanita? Turiel ( 1966) mendapatkan bahwa sebaran frekuensi tahap
penalaran moral pria dan wanita pada siswa-siswa sekolah menengah atas kira-

kira sama. Studi yang fain (Haanj Smith & Block, r 968; Holstein, 1973)
menemukan bahwa pada tahap 3 proporsi wanita l,ebih besar secara nyata
daripada pria. Bila dilihat lebih mendalam data pada penelitian Holstein
tersebut, ditemukan bahwa pada usia 13 tahun kebanyakan wanita pada tahap
3, sedang Wanita pada tahap 3 (4),
sedang pria pada tahap 4.

Dipindai dengan CamScanner


Turiel ( 1972) mengadakan penelitian terhadap pria dan wanita usia tua
dan menemukan bahwa kebanyakan wanita pada tahap 3 (4) sedang padapria
tahap 5 (4). Lebih besarnya proporsi wanita pada tahap 3 diinteprestasikan
kon isten dengan teori Kohlberg. yang menyatakan bahwa tahap 3
mempunyai ciri-ciri rnengutamakan hubungan antar individu, berlaku baik
dan mengutamakan harapan oranglain. Ciri-ciri tahap 3 tersebut sesuai
dengan ciri-ciri peran wanita sebagai ibu rumah tangga atau sebagai lsteri.
Dalam kecepatan perkembangan, wanita sampai usia remaja tengah/akhir
sama atau 1:ebih cepat dari pada pria, tetapi tuntutan peran wanita
menyebabkan menetapnya penalaran moral wanita pada tahap 3, sedang
p:ria berkembang terus.

3.3 Dasar Penyusunan Tahap-tahap Perkembangan Penalaran Moral


Dalam usaha menemukan apa yang sebenar-benarnya moral, Kohlerg
mengambil posisi seperti Piaget. Kohlberg berpendapat bahwa
sumbangan Piaget yang utama untuk Psikologi Perkembangan ialah
bahwa Piaget telah mengadakan observasi tingkah laku anak anak atas
dasar kategori-kategori filosofis, khususnya epistemologi (filsafat tentang
4
' knowing"). Misalnya, Piaget telah mempelajari perkembangan pengertian
anak mengenai konsep ruang, waktu, kausalitas, dan sebagainya, ialah
l<ategori-kategori yang dianggap sentral untuk knowing" dalam filsafat
11

epistemologi.
Kohlberg ( 1978, hal. 132) memang memulai usahanya untuk
menemukan apa yang sebenar-benarnya moral dengan pertanyaan:
(I) Dapatkan stud:i psikologi tentang perkembangan konsep-konsep
menjelaskan kepada kita tentang status epistemologi?
(2) Apakah studi psikologis tentang perkembangan konsep-konsep
membutuhkan asumsi-asumsi epistemologi tentang 11knowing0?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab oleh Kohlberg dengan


mengungkapkan adanya kegagalan studi-studi kognisi oleh psikolog-
psikolog

Dipiridai dengan CamScomei-


anak di Amerika. Menurut Kohlberg, tidak adanya kemajuan selama dua

generasi dalam studipsikologi anak di Amerika disebabkan oleh ketidak


sesuaian statusepistemologisnya. Studi-studi tersebut dilakukan dengan
pendek tan
positivisme logis atau behaviorisme. Ketidak se uaian epistemologis pada

Cl
pendekatan behaviorisme adalah tidak dimungkinkannya para psikolog
anak tersebut berpikir mengenai proses-proses kognitlf yang menyangkut

1
"knowing". Pendekatan behaviorisme adalah pendekatan "learning'' dan ·; .......
CII

bukan "knowing", dimana dalam konsep learning tersebut·belum tercakup


11
knowing". Hal ini berarti bahwa pendekatan behaviorisme mengasumsikan 2::l
C:
proses untuk belajar kebenaran adalah sama dengan belajar CI I
kebohongan. :r"ii :
Seperti telah dikemukakan terdahulu, Kohlberg berpendapat bahwa o
l::
C
mempelajari moralitas sebagai struktur kognisi, titik tolaknya harus dari I!
c"i"'
angg,apan bahwa konsep moralitas lebih merupakan konsep -filosofis atau C:
C:
etis (khususnya epistemologis) daripada konsep behavioral. Kohlberg (
(<:
.c
1971) menulis mengenai pentingnya konsep filosofis dalam studi E
L-

perkembangan
moral terebut dengan judul Is (The Facts of Moral Development)·To
"From
. .

Ought (The Ideal Content and Epistemological Status of Moral Ideal)".. •


Dengan pandangan bahwa moralitas adalah konsep filosofis, Kohlberg
berpegang pada kategori primer dari moralitas. Meskipun •dalam filsafat
Kohlberg menemukan empat kemungkinan kategori primer dari moralitas
1 yang berbeda-b da, tetapi para filosof setuju bahwa penilaian moral harus
berakar dari referensi suatu prinsip atau nilai yang universal, yang berbeda
denganaturan-aturan dari budaya tertentu. Lagi pula perbedaan tersebut
kecil bila dibandingkan dengan konsep psikologis mengenai moralitas
seperti yang

diutarakan Eysenck atau Berkowitz.

Suat u pn·ns1· p adalah universal bi•la keputus• an yang dibuat tidak terkait
pada aturan masyarakat yang kongkrit. Misalnya ungkapan: ..Kita harus
mematuhi
" kan suatu aturan untuk suatu tingkahlaku dalam situasi
Or ang tua t merupa
Oiplndoi dengon ComScarTiet
yang spesifik dan dalam suatu masyarakat yang berorientasi vertikal.
Sebaliknya,

Oiplndoi dengon ComScarTiet


..Catagorkaf Imperative" dari Kant yang tergambar dalam ungkapan :

"Bertindaklah sesuatu hanya bila kamu menghendaki semua orang


seharusnya bertindak yang sama bila menghadapl situasi yang sama",
merupakar- suatu prinsip. Prinsip itu merupakan pegangan untuk memilih
tingkah laku yang
.sesual dengan situasi tertentu dan bukan suatu preskripsi dari suatu
tingkah laku. Kohlberg juga beranggapan bahwa apapun orientasi
filosofisnya, dapat dikembalikan pada satu prlnslp moral yang dianutnya, iatah
keadilan. Anggapan terebut diiungkapka.n Kohlberg (1976, hal. 40) sebagai
berikut :
Untuk mendefinislkan yang sebenar-benamya moral ada empat
orientasi filosofis yang merupakan kategori primer dari moralitas, yaitu:
pertama,
..normative order", berarti orientasi pada kepatuhan terhadap aturan-aturan
dan peranan-peranan sosial atau moral. Dasar untuk mengambil
keputusan terpusat pada aturan-aturan. Penganut faham jni iaJah Kant,
Durkheim, dan Piaget. Kedua, uutility consequences", berarti orientasi
pada kebaikan atau keburukan untuk kesejahteraan orang lain dan/atau
untuk diri sendiri. Penganut faham ini ialah Mill dan Dewey. Ketiga, ";ideal
self", berarti orientasi pada gambaran pelaku-sebagai diri yang baik (a good

f.O self) atau sebagai' seorang yang mempunyai hati nurani (conscience) dan
a,
.a
:::2 terhadap motivasi atau kebaikan (yang relatif tidak tergantung pada
.;;J penerimaan orang lain). Penganut faham ini ialah Bradley, Royce, dan
.
I..
::I
C
GI
l:
Baldwin. Keempat, "justice or f irness", berarti orientasi pada relasi antar
0 manusia atas dasar kemerdekaan, kesamaan, timbal balik, dan kontrak
l:
C:
(orientation to relation of liberty, equality, reciprocity and contract between

:
lC:
cf
persons). Dalam kenyataannya seseorang dapat menggunakan salah satu
atau .semua orientasi moral tersebut. Sebagai contoh dalam menjawab
pertanyaan: mengapa kamu tidak mencuri dari toko, respon yang
ditunjukkan oleh seseorang pada tahap ladalah, pertama "normative order"
: "mencuri itu selalu salah. Apabila kamu mulai melanggar hukum untuk
Dipindai dengan CamScomei
m g lain. Pemi1ik toko mempunyai keluarga yang sangat memerlukannya •
e
n
c
u
r
i
.

s
e
g
a
J
a
n
y
a
akan
pora
k-
pora
nda"
.
Ked
ua.
"utilit
arian
":
0
Den
gan
men
curi
kam
u
melu
kai
,
t

oran
Dipindai dengan CamScomei
0
Ketiga, ideal self"."Seseorang yang tidak jujur tidak berguna. Mencuri dan
membohong keduanya sama saja, keduanya menunjukkan ketidak jujuran".
Keempat "justice": "Pemilik toko telah bekerja keras untuk memperoleh u_ang
dan kamu tidak. Mengapa kamu yang mendapat keuntungan dan bukan dia?0
Meskipun semua orientasi mungkin dipakai oleh seseorang, tetapi struktur
moralitas yang esensial adalah struktur keadilan. Situasi moral sesungguhnya
merupakan suatu konflik perspektif dan interes, maka prinsip keadilan adalah
Cl
•• •••••••
f.OC l . I
konsep untuk menyelesaikan konflik terebut. Prinsip keadiJan dapat melipud j
keempat orientasi moral terebut di atas..Patuh pada aturan mungkin bisa 2
::,
C
dipandangsebagai keadilan. Memaksimalkan kesejahteraan kelompok mungkin ,;!,
dapat dipandang pula sebagai keadilan. Tetapi pada akhirnya inti keadilan
I:
adaJah pembagian hak clan kewajiban yang diatur O:leh konsep "equality" dan
"reciprocity". Keadilan adalah penyeimbangan dalam situasi konflik moral, -;ls;S;

seperti ekuilibrium yang diutarakan Piaget dalam logika. ,C..,


04
·C:
Kohlberg menyimpulkan bahwa perasaan keadilan pada diri seseorang ] .0ti:!
-
merupakan yangsebenar-benarnyamoraJ. Seseorang dapat bertindak bermoral ..
dan mempertanyakan kebaikan yang lebih besar, tetapi seseorang tak dapat
bertindak bermoral dan mempertanyakan kebutuhan akan keadilan.
Untuk meyakinkan kebenaran pendapatnya tersebut Kohlberg
mengemukakan data penelitian 1:ongitudinaJnya. Apabila orientasi keadilan
memang merupakan orientasi yang lebih matang daripada orientasi lain,
kebenarannya tentu akan didukung oleh data empiris. Dalam penelitiannya
Kohlberg ( 1976) mengelompokkan jawaban terhadap dilema moral pada tiap
• tahap m njadi dua tipe, tipe A merupakan jawaban yang berorientasi pada
aturan-aturan aan manfaat, sedangtipe B merupakan jawaban
yangberorientasi pada keadilan clan diri yang ideal (ideal self). Tipe A
membuat keputuan moral lebih deskriptif dan p.rediktif, dalam arti
mengutarakan alasan "sesuatu yang ada di luar diri". Tipe B membuat
keputusan yang lebih preskriptif, ialah tentang apa yang seharusnya, tentang
apa yang secara internal diterima oleh

Dipindol dengan CamScorvlel


diri. Orang yang berorientasi tipe B dianggap sadar akan aturan-aturan dan
membuat keputusan atas dasar "fairness". Dari data longitudinal penelitian
Kohlberg terlihat bahwa dua tipe tersebut merupakan sub tahap. Sub tahap
B lebih matang dari sub tahap A dalam arti seseorang dari sub tahap 3 A
mungkin meningkat ke 3 B, tetapi tak ada orang pada sub tahap 3 B yang
berkembang menjadi 3 A, ia mungkin meningkat ke 4 A. lndividu dapat
meniadakan sub
tahap B, jadi berkembang dari 3 A ke 4 A. namun apabila terjadi.perubahan
sub tahap, tentu dari A ke B. Maka sub tahap B merupakan konsolidasi atau
ekuilibrasi dari perspektif sosial yang terkandung dalam sub tahap A. Berikut
ini akan digambarkan.contoh·dasar pertimbangan sub tahap 3 A·: Apakah
yang harus diperbuat oleh suami yang baik? Apakah yang diharapkan oleh
isteri?·Adapun contoh dasar pertimbangan sub tahap 3 B :·Apakah yang
harus dilakukan seorang suami sebagai "partner" dalam hubungan timbal
balik yang baik? Apakah yang diharapkan oleh tiap-tiap pasangan?. Dari
contoh tersebut terlihat bahwa pada sub tahap 3 B .terdapat keseimbangan
dari dua belah pihak. Conteh dasar pertimbangan sub tahap 4·A: Apakah
yang diinginkan oleh sistem sebagai keselu_ruhan? Adapu:n contoh dasar
pertimbangan sub tahap 4 B : Apakah yang diinginkan oleh individu dalam.
sistem sosial yang dihadapinya? Apa pula yang diinginkan oleh sistem sosial
yang dihadapinya? Apa pu]a yang diinginkan oleh sistem sosial sebagai
ClJ
:f!
..s=
0
keseluruhan? Seandainya terjadi konflik antara dua. keinginan tersebut,
apakah penyelesaiannya menunjukkan keseimbangan? Dapat dikatakan
bahwa sub tahap 4 B memperhitungkan sistem sebagai suatu keseluruhan.
tetapi merupakan sistem yang demokratis dengan menghargai hak- ak
individu. Apabila keseimbangan pada sub tahap· B tercapai, dapat dikatakan
bahwa sub tahap B lebih preskriptif dan internal artinya lebih memusatkan
pada keputusan apa yang seharusnya dilakukannya. Sub tahap B juga lebih
universal, artinya 1ebih berusaha mengangkat batas kategori nilai-nilai,
misalnya nilai hidup manusia.
Dipindai dengan CamScamei-
Secara r·ingkas dapat dikatakan bahwa
k _b _ . .
per em angan dan konsolidast
yang utuh dari penalaran moral pada tiap tahap dapat didefinisikan atas dasar
st
kategori atau ruktur keadilan, meskipun dalam tiap-tiap tahap p
rkembangan terdapat keempat orientasi moral. 01eh karena itu jelas bahwa
dalam tahap
tahap perkembangan penalaran moral Kohlberg, terkandung pula tahap-tahap
perkembangan prinsip keadilan. Menurut Kohlberg ( 1973), makin tinggi tahap
perkembangan seseorang, makin :matang penalaran moralnya. Bukan hanya •••••••

Cl
cu
dalam a:rti bahwa penalarannya Jebih ulogically sophisticated", tetapi juga ;
dafam arti bahwa tahap yang 1.ebih tinggi prinsip moralnya lebih "baik'' atau ·
lebih diinginkan {desirable). Walaupun demikian tak dapat dikatakan dengan
-
:

l
:J

(U
pasti bahwa individu yang memilih tahap perkembangan penalaran moral [ebih 5
E
tinggi akan bertingkah laku moral lebih tinggi pula, bila dibandingkan dengan f
,,s

individu yang tahap perkembangannya lebih rendah. Menurut Kohlberg ( 1976), cf


untuk bertingkah laku moral yang tinggi memerlukan tahap penala n moral C:

(d

yang tinggi pura, sebab sese(?rang tak akan dapat melakukan tingkah 1aku .c

moral I..

tahap 5 misalnya, tanpa mengerti penalaran moral tahap 5. Namun sebaliknya, rf


seseorang yang memiliki penalaran moral tahap 5 -belum tentu bertingkah

laku moral tahap 5. hal ini disebabkan b_anyaknya faktor yang mempengaruhi
tingkah laku seseorang pada situasi tertentu. Namun demikian telah terbukti
dalan, berbagai penelitian (Kohlberg, 1969), bahwa tahap perkembangan•

moraf merupakan prediktor untuk tingkah laku moral.


• v h-lb t - akan bahwa kita harus berusaha mencapai tahap
-
l'\.O erg mengu ar
pena rt· ggi sebab tahap ini merupakan tahap penalaran
Iaran mora1 yang te in. ,

yang secara filofofis .h _ dekuat dan diinginkan. Superioritasnya terlihat


I_ b I a
e
_ . . but prinsip keadilan (untuk memaksimalkan
• ahwa pada tahap tert1ngg1 terse
• b .
. .) rup-akan tahap perkembangan yang paling
k eseJahteraan umat manus1a me

matang dan mencakup komprehensif.


. • onentasi
·
Kohlberg ( 1971, hal. I 78) rnengemukakan bahwa:

"human welfare is always the core •Of morality but that, at the
principle level,. welfare considerations subsumed under the heading
ujustice" take priority over other uprinciples" for considering welfare
whenever there is a conflict between the two, and that there is no
strong uprinciple" for deciding between the various welfare
alternatives other than justice"

Dengan ungkapan tersebut bukan berarti bahwa perhatian terhadap


kesejahteraan manusia dan keadilan tidak dipakai sebagai penalaran pada
tahap yanglebih rendah (mulai tahap I sampai dengan tahap
4).Kohlbergberpendapat bahwa perhatian terhadap kesejahteraan manusia
dan keadilan tersebut baru mencapai arti yang sebenarnya sebagai prinsip
moral setelah tercapai tahap 5. Pada tahap-tahap sebelumnya, perhatian
terhadap kesejahteraan manusia dan keadilan terpaut pada aturan-aturan,
stere.otip atau perasaan dan alasan untuk menyesuaikan diri terhadap hal-
hal tersebut bukan atas dasar pertimbangan kesetiaan berbuat baik atau
demi keadilan, tetapi juga atas dasar otoritas. Pada tahap 5 prinsip moral
menjadi apa yang disebut Kohlberg sebagai "metarules ialah merupakan
11

L..
(I.I
aturan-aturan yang dipakai untuk mengevaluasi aturan-aturan lain, dan bukan
.. 0 11
:c: aturan-aturan an sich" yang kongkrit. Pada tahap 5 prinsip keadilan
...
mencapai tingkat universalitas maksimal, sebagai tuntunan bagi semua tingkah
::J
L. .
: ; :,
c;
IIJ
laku manusia. Arbuthnot & Faust ( 1981) menambahkan, dalam empid
1:
kita melihat bahwa individu dengan penalaran moral tahap perkembangan
0 \

I:
·C: yang lebih tinggi mampu mengerti dan melakukan penalaran moral tahap
f
"'
;a
C:
sebelumnya dan mampu memecahkan lebih banyak dilema moral dalam
cf
C: cara yang konsisten.
. Uraian mengenai ciri-ciri tahap perkembangan penalaran moral
tersebut sekaligus menunjukkan upaya-upaya untuk mempertanggung
l jawabkan
8
Dipindoi deogan ComScarnei-
111,irl/e •

Dipindoi deogan ComScarnei-


bah- wa adanya.tahap-tahap perke- mbanga- pen
aran moral tersebut m1emang
- I
n a
,ib - . oh lberg(l9 76)
en a r • • menerangkan kebenaran dari konsep tahap sebagar
"K

suatudeskri:psi perkembangan moral, atas dasar dua alasan. Pertama, konsep
tahap adalah benar bila dldukung oleh observasi emprri. Kriteria kebenaran
konsep tahap dalam empiri adalah munculnya ciri urutan tahap perkembangan
dal'am studilongitudinal. ApabUa seseorang,mengadakanwawancara mengenai

dilema moral dan mengikuti perkembangannya secara longitudinal, ia cuakan

f.-0
sampai padakeenam tahap perkembangan penalaran moral yang diutarakan
1

oleh Kohlberg, dan bukan yang lain.. Kriteria empiri y.ang kedua adalah 2
::,
C
munculnya ffstructured wholelt, ialah individu akan selalu konsisten pada satu- l :
tahap perkembangan tertentu, kecual.i mereka yang ada dalam transisi ke tahap
l:
perkembangan berikutnya (mereka yang termasuk dalam tahap campuran atau
,.mixed stages"). Fakta yang mendukung kriteria ini ialah bahwa "'ii

kebanyakan individ·u rnenunjukkan lebih dari 50 % jawabannya berada pada r::

(!I
satu ta.hap yang tunggal. K dua, konsep tahap adalah benar, dalam arti ..o-E
G:I
struktur konseptual dari tahap tersebut tidak berpan_gkal pada teor:i i:
&.
psikologis yang spesifik, melalnkan merupakan anaUsa l'ogis. Adapun yang
dimaksud analisa fogis oleh Kohlberg (1976) adalah:
(I) lde-ide yang dipakai untuk mendefinisikan tahap perkembangan
penararan moral adalah ide-·de subyek, bukan ide..ide kita. Definisi
tahap perkembangan penalaran moral didasarkan pada analisa
hubungan--hubungan logis yang terdapat diantara ide-ide subyek.
AnaI,.s og·,s ·t _erseb u- --t secara teori adalah netraL Artin·ya tidak terkait
aI
pada t eo- r·t i te·rtent•u melainkan merupakan analisa filosofis.
p 5·,kolog,
(2) Fakta bahwa tahap perkembangan moral berikutnya mencakup dan
1

ercapainya tahap perkembangan sebelumnya, lagi-lagi


mensyaratkan t
Dipindai dengan CamScamei-
adaIa n anali sa logis dan tidak ada kaitannya dengan teori
persoaIa -
h
psikologi.

Dipindai dengan CamScamei-


(3) Pernyataan bahwa i.de-ide seseorang terorganisir dalam suatu tahap
perkembangan juga merupakan persoalan analisa logis mengenai
hubungan internal antara berbagai ide yang ada pada tahap

perkembangan tertentu.
Ringkasnya dapat dikatakan bahwa kebenaran tahap-tahap sebagai suatu
deskripsi perkembangan moral merupakan masalah observasi empiri dan
analisa hubungan-hubungan logis .dalam ide seseorang, bukan merupakan
masalah teori ilmu sosial.
Walaupun tahap-tahap itu sendiri bukan suatu teori (bukan sesuatu yang
teoritis saja adanya), tetapi sebagai deskripsi perkembangan moral, konsep
tahap tersebut mempunyai implikasi yang pasti dan radikal untuk teori ilmu
sosial tentang moralitas. Atas dasar ini Kohlberg memberi ulasan m.engenai
teori perkembangan kognitif tentang moralitas yang menerangkan fakta-
fakta dalam urutan perkembangan moral dan membandingkannya dengan
teori sosialisasi tentang moralitas.
.Dikemukakan oleh Kohlberg ( 1976), bahwa kalau kita
membicarakan teori perkembangan kognitif tentang moralitas, ki,ta segera
teringat pada konsep yang diajukan oleh Piaget, 1932. Tetapi konsep Piaget
tersebut hanya merupakan satu contoh dari pendekatan perkembangan
kognitif untuk moralitas, yang telah diutarakan alam berba i cara oleh J.M.
Baldwin, Bull,
a,
. c
:: J. Dewey & J.H. Tufts, Harvey, Hunt & Schroeder. Hobhause, Kohlberg,
c
0
µ
McDougall, dan G.H. Mead. Ciri yang paling utama dari teori perkembangan
::,
L .
:,. : kognitif ialah pengguanaan beberapa tipe konsep tahap, pengutaraan
C:
Q)
!: adanya reorganisasi berurutan dalam perkembangan moral yang bertalian
(ii
0
L..
dengan bertambahnya usia, serta beberapa asumsi umum yang lain. Bila
L
C:
ra
L.. dibandingkan dengan teori sosialisasi atau "social learning'', terlihat perbedaan
"'C
"j;i

0..
QJ yang menyolok dari asumsi-asum·sinya sebagai berikut (Kohlberg, 1976 hal.
C.
4B):

_g
C:
E
Dipindai dengan CamScamei-
41
.,u
.a... .._

Dipindai dengan CamScamei-


:Asumsi
Teori Perkembangan Teori Sosialisasi
Kosmitif
(I)• Perkembangan moral - perubahan struktur - pertumbuhan ke
I

kognisi sesuaian terhadap


norma-norma so
sial

(2) Motivasi dasar untuk - lebih merupakan upa- berakar pada


moralitas - kebutuhan bi- e.o
ya untuk penerimaan,
kemampuan, harga
diri, reaJisasi diri,
ologis atau untuk
mendapat hadiah
..
daripada pemenuhan dan menghindari
5
kebutuhan biologis hukuman dari : E

atau pengurangan Iingkungan sosial e


ketakutan/"anxiety" :E
Q

C
f
-";;'
(3) Dasar norma moral - lebihmerupakan intemalisasi dari C
&.
pen-'1- strukturan aturan-aturan kul C
S'o
(dala·m diri . tural dari luar C
"'
.; O
seseorang) dan inter E
aksi antara diri dan ...
.

(LI
Cl..
orang lain, darlpada
internalisasi aturan
aturan kultural (dari
luar)

(4) universaft sebab se- - tergantung kultur


Aspek utama dari per-
i kembarigan morai mua kultur mem-
punya1 sumber yang
umum dari interaksi
sosial, ••role taking"
& konflik sosial yang
memerlukan integra-
si moral

• Pe,pustakaan Pribadi
Khairani MusUm
O•R"t":2V3.59..··070r8

Dipindai dengan CamScanner


Dipindai dengan CamScanner
(5) Pengaruh lingkungan - seberapa jauh stimu- - kekuatan &
terhadap per- lus kognitif dan variasi
kembangan moral sosial hadiah,
sesuai dengan hukuman
dan modelling"
0
tahap
perkembangan ses- mengenai tingkah
eorang l'aku yang sesuai,
,, dari orang tua dan
orang dewasa lain

Para penganut teori sosialisasi tersebut antara lain ialah Aron Freed,
Bandura & Walters, Berkowitz, Hoffman, Miller &. Swanson, Sears,, Rau &
Alpert,•Whiting & Child.
Adapun penelitian-penelitian yang didasarkan pada teori Freud yang
klasik, di satu pihak dapat juga digolongkan teori sosialisasi, daJarn arti
mempunyai asumsi yang sama bahwa moralitas adalah proses internalisasi
dari norma norma kultur atau norma orang tua. Di lain pihak teori psikoanalisa
yang klasik tersebut tak dapat disamakan dengan teori sosialisasi, sebab
mempunyai postulat mengenai tahap-tahap perkembangan. Dalam hal
postulasi tahap tahap perkembangan teori Psikoanali:sa dapat disamakan
dengan teori perkembangan kognitif.
Namun kalau ditinjau febih lanjut, terdapat perbedaan da1am konsep
tahap perkembangan, ialah bahwa tahap perkembangan menurut psikoanalisa
eo
CII lebih uUbidinal-instinctual" daripada moral, dan moralitas-sepertiyang
.0
:::E
diekspresikan oleh superego - dianggap terbentuk dan sudah ditetapkan
...::,
I..
:, melalui internalisasi norma-norma orang tua yang terjadi pada tahap
C
CII
I: perkembangan awal. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa
e
0
I: penelitian-penelitian atas dasar teori moral dari Freud tidak memusatkan pada
C
[:
.!! aspek "internalisasi° (Kohlberg, 1963). Untuk lebih mendaJ. i konsep tahap
C

f dalam perkembangan menurut


C

C
teori perkehib rtgitfi;llofXi i·{·; t njutnya akan diungkapkan bagaimana teori
B
perkembaiiti ik 6gnlti.fr"ilenera gka11
....
peningkatan tahap perkembangan
Oipindai dengon ComScamei
p
e
n
a
l
a
r
a
n

m
o
r
a
l
.

,
.

'

Oipindai dengon ComScamei


3.4Peni11gkatan Tahap Perkembanga n
- oral
p_ 1 M Menurut teori kognitif penin k --
ena aran
- g a.tan tahap perkembangan moral terjadi
oleh karena adanya rangsangan. -
Rangsangan ini tentu didefln' 'k d
151 an a am pengertian struktur kognitif,
namun rangsangan tersebut1 ·uga • t
ers1 1 at sos,•al, 1. alah sesuatu yang datang
.
ha b
rus
dariinkt raksraJisoRas'ial dan dari pembuatan keputusan moral, dialog moral dan •
intera s1 mo • ngsang- an yang hanya
ung aspek kogm.s,. •e•:o••••·•••
mengand (penalaran
1

logis) saja, memang merupakan dasar dari terjadinya peningkatan tahap


perkembangan moral (prerequisite contition), tetapi tidak secara langsung 2 :::,
mempen_garuhi perkembangan moral. i
I:
Kohlberg ( 1976) mengutarakan bahwa terdapat paralelisrrie "terbatas" l:
C'terbatas" = tambahan penulis) antara perkembangan kognisi dan f
< 'd
,; C;
perkembangan penalaran moral. Seseorang dengan tahap perkembangan (I)
,a .
i:
kognisi pada "concrete operational" akan terbatas tahap penalaran moralnya .,,
.0
pada tahap I dan 2. Seseorang denga':l tahap perkembangan kognisi pada E
J!
L-

"formal operation" yang rendah, akan terbatas pada penalaran nioral tingkatan t!!.
"conventional" (tahap 3 dan 4). Meskipun perkembangan kognisi merupakan
kondisi yang penting untuk perkembangan penalaranmoral. tetapi belum
cukup (necessary but nor sufficient condition). Menurut penelitian Colby &
Kohlberg
(dalam persiiapan penerbitan), banyak individu yang tahap perkembangan
kognisinya lebih tinggi daripada tahap perkembangan penalaran moral: yang
seharusnya merupakan parafeJnya, tetapi tak ada seorangpun yang
mempunyai tahap penalaran moral yang lebih tinggi dari pada tahap
perkembangan

kognisinya.
S e- ,• a •m· para e1.,·sme antara tahap· perkembangan penalaran moral dengan
I

tah - , k. _ • - · Kohlbergjugamengutarakanbahwaadahubunga n
ap em banga n ,1<ogni s r ,
per _
kembangan
- penalaran moral
. dengan tahap alih
Yang erat pula antara tahap per
Dipindai dengan CamScanner
Peran (role taking) atau i sosial atau perspektif sosial yang
diutarakan perseps
_
• ga merupakan 11prerequisite condition" dari
0 I e h Selman. Tahap alih peran JU

Dipindai dengan CamScanner


tahap penalaran moral. Meskipun terdapat hubungan yang erat antara tahap
penalaran moral dengan tahap alih peran, tahap peran, tahap alih peran
lebih umum, sebab tidak mempersoalkan keadilan" dari pertimbangan ben
11

r/salah atau baik/buruk. Untuk membuat keputusan mengenai ukeadilan"


pada tahap tertentu lebih sukar dari pada sekedar melihat realitas pada
tahap yang sama. Maka dapat dikatakan (hanya untuk memudahkan logika)
bahwa tahap alih peran mendahului atau lebih mudah dari tahap penalaran
moral yang paralel.
Kohlberg mengemukakan bahwa selain terdapat urutan vertikal tahap
perkembangan dari tiap-tiap aspek dari tahap I ke 2 ke 3 dan seterusnya,
juga terdapat urutan horisontal dari langkah-langkah perkembangan· antar
aspek, ialah dari perkembangan kognisi ke perkembangan alih peran ke
perkembangan penaJaran moral. Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa
masih ada satu tahap urutan horisontal berikutnya, ia1ah perkembangan
tingkah 1:aku moral. Kohlberg memberi ilustrasi urutan horisontal
perkembangan antar aspek tersebut. Pertama-tama, seseorang mencapai
tahap perkembangan kognisi, misalnya ''partial formal operation", yang
memungkinkannya meli:hat "sistem" di dunia ini, melihat suatu set dari
variabel-variabel yang berhubungan sebagai suatu sistem. Berikutnya, ·ia
mencapai tahap alih peran·yang memungkinkan adanya_saring pengertian
antara individu atas dasar tempatnya masing-masing dalam sistem tersebut.
Yangterakhir barulah iamencapai penalaran moral tahap 4, dimana
kesejahteraan atau aturan-aturan dari keseluruhan sistem sosial atau
keseluruhan masyarakat merupakan referensi untuk menilai yang "benarn
atau yang "adil'\ Penelitian Colby & Kohlberg (dalam persiapan penerbitan)
menunjukkan bahwa individu-indivjdu yang menampil.kan peningkatan tahap
pada program pendidikan moral, telah memiliki kapasitas logika dan
kapasitas alih peran untuk tahap penalaran moral yang palaleismenya lebih
tinggi. .
Melanjutkan catatan tentang urutan horisontal dari tahap perkembangan
antar aspek setelah penalaran moral, ialah tingkah laku moral. Bagaimana

Dipindai dengan CamScanner


hubungan antara penalaran moral dan tingkah laku moral. terah diterangkan
terdahulu.
Urutan horisontal dari perkembangan antar tiga aspek tersebut membawa
konsekuensi dan konseptualisasi rangsangan yang menyebabkan peningkatan
tahap penalaran moral. Telah diutarakan terdahulu bahwa untuk m,encapai

tahap perkembangan penalaran moral t-ertentu memerlukan pencapaian


tahap perkembangan kognisi tertentu. dan ketiadaan rangsangan kognisi dapat ·;·•••••
Cl
menerangkan batas tahap tertinggi penalaran moral yang dicapai. Kohlberg l GI

( 1976) memberi contoh di suatu desa di Turki tahap "formal operation" jarang 2::,
C

ditemui (apabila dianggap bahwa teknik Piaget untuk penilaian kognisi L


Q.I

E
dapat dipakai dalam ..s.etting;, desa tersebut). Sehubungan dengan hal itu, 0
l:
kita dapat mengharapkan bahwa penafaran moral "conventional" tak dapat rd
'j;j
berkembang dalam konteks budaya semacam itu. C:

C
Faktor lain yang penting sebagai rangsangan peningkatan tahap
.0rd
penalaran
moral adalah faktor pengalaman sosial yang umum. yang disebut oleh 5
..!,!
J..

Kohlberg kesempatan-kesempatan alrh peran (role taking opportunities). Yang rf.


membedakan pengal'aman sosial' dengan pengalaman interaksi fisik/kebendaan
adalah bahwa pengalaman sosial tersebut mencakup alih peran, ialah
mengarnbi.l sikap dari sudut orang lain, menjadi sadar terhadap pikiran-
pikiran dan perasaan-perasaan orang lain dan menempatkan diri pada
posisi orang lain. Apabila segi em.osional ditekankan, alih peran ini biasanya
disebut empati (empathy). Kohfberg ( 1976) lebih senang memakai istilah
"role taking", ialah istilah yang didptakan oleh G.H. Mead, 1934. lstilah
"r,ole taking" atau yang diterjemahkan ke daJam bahasa Indonesia oleh
11
penufis dengan alih peran" leb.ih tepat, sebab : (I) menekankan segi
kognitif maupun afektif, (2) mencakup hubungan struktural yang
terorganisasikan antara diri dan orang lain, (3) menekankan bahwa proses
alih peran meliputi pengertian dan penghubungan terhadap semua peran-
peran dalam masyarakat di mana seseorang menjadi bagiannya, dan (4)
menekankan bahwa alih peran ada dalam semua situasi

Dipindai dengan CamScomei


int r,_ks,I sosial dan komunikasi sosial, tidak hanya dalam situasi-situasi yang
menimbulkan emosi sepertl pada empati.

Meskipun pencapaian penalaran moral tahap tertentu me,mbutuhkan

pencapaian tahap alih peran (menempatkan diri pada tempat berbagai


orang yang termasuk dalam konflik moral) paling rendah pada tahap
paralelnya, pencapaian tahap alih peran tertentu merupakan kondisi yang
diperlukan tetapi tidak mencukupl untuk teriadinya peningkatan tahap
penalaran moral (necessary but not sufficient condition). Sebagai contoh,
untuk mencapai penalaran moral tahap 2 diperlukan alih peran tahap kesadaran
bahwa tiap orang
dalam suatu situasi dapat dan memang mempertimbangkan niat (intention)
atau sudut pandangan orang-orang lain yang terlibat dalam situasi tersebut.
Seorang anak mungkin mencapai tahap alih peran tersebut, tetapi penaJaran
moralnya masih tetap tahap satu. di mana ia menganggap arti kebenaran atau
keadilan adalah kepatuhan terhadap aturan-aturan yang tetap yang secara
otomads harus diikuti. Bila anak dapat meli_hat kebenaran atau keadilan sebagai
keseimbangan atau saling pertukaran atau keadilan sebagai keseimbangan.atau
saling pertukaran antara interes-pe·laku-pelaku individual (tahap 2), ia tentu
telah mencapai tahap alih peran paralelnya. Dengan d mikian dapat dikatakan
bahwa tahap alih peran merupakan jembatan antara tahap perkembangan
kognisi dan tahap perkembaogan penalaran moral. Paralelisme antara tahap
(1,1

.:
:c0 perkembangan kognisi, tahap alih peran dan tahap penalaran moral tersebut

.... akan dibahas lebih lanjut pada Bab 5.


::,
:'::,
c:: Dari uraian di atas menjadi jelas, bahwa peningkatan tahap perkembangan
41
l: pena-laran moral tergantung pada kesempatan alih peran yang dialami oleh
[:!
0
l: seseorang. Ada beberapa kesempatan aUh peran yang mungkin dialami oleh
c::
seseorang, ialah melalui hubungan anta•r individu dalam keluarga, dalam
.at
tl
i::
QI
c.. kelompok sebaya, di sekoJah dan dalam masyarakat luas. DaJam hubungan
C
keluarga, salah satu faktor yang menentukan peningkatan tahap
r1
-':
perkembangan moraf adalah bila orang tua mendorong terjadinya dialog
mengeni isue nilai
11
' .I< t n t h p t r but d mun k nk n. kar na dalam
tuk. n udut p. nd. ng n rta ikap-
I -p, y" d fHJ • t.-n I m h bunp,. n d n an ·t
bay . b man
n n t .1y.,. ny-k rpu r ,I Ip I d I m pergaulan

"'"I
blh-
k mun kJn n p nln
• r d b.mdlr1 k h
n t p perk mbangan
d ng n mer k yang edlkit
G
••••I•••
man baya. Dafam hubungan t."
.tl;un m y.1r k;i t.lu. , Kohl rg t I h m ngadakan penelttian .c;
:!l
• 1- k n mt d ng.in perk mbangan pen laran moral
I5
kultur. K hlb rg b ;mgg:1pan bahwa anak-anak dengan mtus ,:
s n n, m n I gah I blh mcmpunyai kcscmpatan untuk mengambil e
0
l::
, d 1 n Jik dari t.1raf at._,s maupun bawah. Dengan demiklan dapat C :'

n ah umumnyL tahap pcrkcmbangan penalaran moraJ anak- ,e2 .,


c ,,
a..
C:

tus o ial konoml menengah l ebih tinggi dari pada status s.osial- .,
1

.D
I innya.. 5
Seara. umum dapat. dislmpulkan bahwa makin banyak seseorang
iberpartisipasi dalam kelompok soslal atau prana.ta sosiaJ, makin
besa•r
- mpar.an baginya untuk mengambil sudut pandangan orang lain. Atas dasar
dangan terebut. dapat dipahami bahwa partisipasi dalam satu kelompok
sos· atau pranata sosial bukan merupakan faktor·penentu yang esensia,I
untuk peningkatan tahap perkembangan penalaran moral, tetapi yang penting,
tetapi yang febih penting adaJah partlslpasl dalam beberapa kelompok atau
pranata sosiaJ. Bukan hanya partlsipasl saja yang pentlng, tetapi kebersamaan
alih peran (mutuality of role taking) juga pentlng. Mlsarnya bila orang
dewasa dalam pergaulannya dcngan anak selalu memakai sudut pandangan
anak, anak tak
akan dapat mengambil alih sudut pandangan orang dewasa yang sebenamya.
Sebagai llustrasi pcrbedaan menyolok antara pemberlan kesempatan alih
p ran antaran dua lingkungan, d;-ipat dilihat llngkungan pantl asuhan di Amerika
I n lingkungan Kibbutz di Israel. Dad s,omua lingkungan yang telah diteliti,
Dipindai dengan CamScamei
nak-anak dari Hngkungan panti asuhan di Amerika mempunyai tahap
penalaran paling rendah, ialah tahap I dan 2,. bahkan sampai remaja (Thrower,

dalam persiapan penerbitan). Dari semua lingkungan yang telah diteliti,


anak-anak
dari lingkungan Kibbutz di Israel mempunyai tahap perkembangan penalar n
moral yang tertinggit di mana para remajanya kebanyakan mencapai tahap 4
dan ada beberapa yang mencapai tahap 5 (Bar-Yam, Reimer & Kohfberg, daJ'am
persiapan penerbitan). Kedua lingkungan tersebut mempunyai ciri rendahnya
interaksi dengan orang tua, tetapi terdapat perbedaan yang menyolok dalam
cara interaksi dengan orang 'lain. Anak-anak di Panti Asuhan Amerika bukan
hanya kurang dalam interaksi dengan orang tua, tetapi kesempatan untuk
komunikasi dan alih peran antara anak-anak dengan staf panti ·asuhan
sangat terbatas. Hubungan antar juga terbatas, lagi pula rangsangan· serta
bimbingan dari staf panti asuhan terhadap hubungan antar anak sebaya
tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa keterlantaran alih peran menyebabkan
keterlambatan dalam pencapaian tahap alih peran maupun tahap penalaran
moral. Gejala
keterlambatan tercapainya tahap alih peran dari anak-anak di panti asuhan
.
Amerika tersebut dibuktikan dengan kegagalan remaja dari panti asuhan

tersebut untuk menyelesai:kan tugas alih peran, padahal tugas yang sama
dapat diselesaikan oleh kebanyakan remaja dengan usia kronologis atau usia
mental sebaya..Sebaliknya, anak-anak di Kibbutz banyak memperoleh
kesempatan alih peran, sebab mereka secara intens bergaul dengan teman
sebaya, mendapat bimbingan dari pemimpin kelompok yang berusaha
dengan sungguh-sungguh
membina anak-anak tersebut menjadi partisipan komunitas Kibbutz yang aktif
dan berdedikasf Kegiatan mereka sehari hari adalah berdiskusi, menalar,
mengkomunikasikan perasaan, dan membuat keputusan kelompok. Jadi jelas
bahwa dalam kegiatan sehari-hari anak di Kibbutz banyak sekali memperoleh
kesempatan alih peran. lnilah yang menjelaskan, mengapa anak anak di
Kibbutz tahap penalaran moralnya paling tinggi.
Dipindai dengan CamScarnei
Selain tersedianya kesempatan alih peran, peningkatan tahap penalaran
moral juga dapat dipengaruhi oleh iklim moral (Kohlberg1 1976). Apabila kita
ingat bahwa inti komponen penalaran moral adalah rasa keadilan, dan.alih

peran merupakanprinsip dalam penyelesaian konflik moral, maka dikatakan


bahwa inti iklim moral dari suatu pranata atau lingkungan sosial adarah struktur
keadilan; ialahcara bagaimana pranata sosial tersebut mendistribusikan hak -
dan kewajiban yang fundamental (Rawls, 1971). Menurut Kohlberg ikUm moral ·;·•· ••••
(lJ

dari suatu lingkungan lebih dari sekedar penjumlahan penalaran moral masing-
masing individu yang menjadi anggotanya. Data empiris Kohlberg (1976) 2
;;;;i
C

menunjukkan bahwa lingkungan tertentu dipersepsi pada tahap tertentu L


(lJ

f
oleh anggotanya. Persepsi anggota mengena:i pranata sosial di lingkungannya 0
:E
C
tak akan lebih tinggi dari tahapnya- sendiri, malahan mungkin lebih rendah. frd
rd
Sebagai contoh, seorang anak panti asuhan yang dalam tes penalaran moral C:
11)
a..
C
menunjukkan permulaan tahap 3 (yang ciri-cirinya antara fain ialah memberikan
..c
perhatian pada afeksi dan janji), namun karena lingkungan panti asuhan tersebut ]
L

merupakan suatu lingkungan di man afeksi dan janji tak ada artinya sama sekali; . cf
anak asuhan terebut mempersepsi lingkungannya lebih ren-dah dari tahap 3.
Walaupun moralitas pengasuhnya ada pada tingkatan "conventional". tetapi
anak mempersepsikannya atau lebih jelas dapat dikatakan
.menterjemahkannya
menjadi tahap I.
Yang telah diuraikan di atas adalah suatu ilustrasi iklim moral dari
lingkungan sosial yang cenderung untuk dipersepsi lebih rendah dari tahap
penalaran moral anggotanya. Ada pula iklim moral dari lingkungan sosial yang
mempunyai potensi untuk dipersepsi lebih tinggi dari tahap penalaran-moral
anggotanya.
Lingkungan semacam inilah yang merangsang peningkatan tahap
perkembangan mora.l. RangsanganI·1ng.i,·ungan sosial untuk peningkatan

tahap penalaran moral tersebut tak hanya terbatas pada rangsangan


penalaran terhadap masalah-
rnasalahmoral, melainkan juga harus mel.iputi peragaan tindakan bermoral
I
I dan 1 .
era gaan penga
turan

p
'
Dipindai dengan CamScarTief
yang bermoral. Studi empiris atas dasar pemikiran

Dipindai dengan CamScarTief


t rsebut di atas dilakukan oleh Hickey, Scharf & Kohlberg (dalam persiapan
penerbitan) dengan mengembangkan komunitas yang adU (iust community)
dalam lembaga pemasyarakatan wanita. Yang dimaksud komunitas yang adil
41
adalah adanya kesempatan untuk mengatur pemerintahan" sendiri melalui
keputusan komunitas. Selain itu juga dilakukan diskusi masalah-masalah
moral dalam kelompok-kelompok kecH. Program ini ternyata dapat
meningkatkan tahap perkembangan penalaran moral para nara pldana
wanita.
Telah diutarakan terdahulu adanya dua faktor yang memungkinkan
penlngkatan tahap perkembangan penalaran moral, ialah kesempatan alih
peran dan iklim moral lingkungan atau ke1ompok sosial yang potensial
dapat dipersepsi lebih tinggi dari tahap penalaran moral anggota-anggotanya.
Proses peningkatan tahap yang memungkinkan peningkatan tahap
penalaran moral ialah konflik sosio-kognitif. Teori perkembangan kognitif
menekankan bahwa p,eningkatan tahap terjadi melalui reorganisasi yang
timbul dar·iadanya konflik internal-eksterna1atau konfliksosio-kognitif atau
konflik moral-kognitif. Konflik internaf-eksternal adalah adanya kontradiksi
antara struktur tahap seseorang pada suatu saat dengan struktur lingkungan
yang tidak mungkin dipersepsi atas dasar struktur: tahap yang dimiliki.
Pengalaman konflik sosio-kognitif dapat terjadi baik melalui peragaan situasi
pengambilan keputusan yang menimbulkan kontradiksi internal daram struktur
penalaran moral indi1vidu pada saat itu, atau
melalui peragaan penalaran moral orang lain yang berarti (significant person)
0
cu
:i= ;
2
::I
: C
uc

0
I:
C
,f
.,
2
,f

Dipindai dengan CamScame,


b ividu yang diusahakan peningkatan tahapnya. Struktur penalaran moral orang
a lain tersebut haruslah satu tahap lebih tinggi dari pada struktur penalaran mral
g individu yang diusahakan peningkatan tahapnya. Prinsip ini sangat penting
i dalam program diskusi moral yang dicobakan di sekolah (Blatt & Kohlberg,
1973). Colby ( 1975) menemukan pula adanya peningkatan tahap dalam
i pro,gram diskusi masalah-masalah moral, meskipun tanpa peragaan penalaran
n satu tahap lebih tinggi.
d

Dipindai dengan CamScame,


Kalau melalui program diskusi masalah-masalah moral diusahakan
peningkatan tahap penalaran moral melalui konflik moral-kognitif (moral
cognitive conflict), tanpa melalui program diskusipun mungkin terjadi konflik
rnoral kognitif. Hal ini berarti bahwa situasi kehidupan yang nyata
mempunyai pengaruh pula terhadap peningkatan tahap perkembangan
penalaran pula terhadap peningkatan tahap perkembangan penalaran
moral. Kesimpulan tersebut d1ambil dari hasil studi longitudinal yang .........
ct)

dilakukan Kohlbe g (dalam persiapan penerbitan) pada peningkatan .Q


.J:

tingkatan "conventional" ke tingkatan


:::,.

post-conventional". Satu faktor yang mempercepat terjadinya


11

peningkatan C
11
ke tingkatan post-conventional,. pada para mahasiswa adalah penangguhan -1 :
pengalaman untuk bertan ung jawab dan bebas dari otoritas, disertai peragaan
kemungkinan terjadi konflik antar nilai-nilai dan norma, serta relativitas dari C

-;;

nilai-nilai dan norma-norma. Konflik yang dimaksudkan ialah antara tingkatan if


"conventional" dengan lingkungan yang secara potensial tidak C

.c
memungkinkan tindakan yang sesuai dengan penalaran moral ti11gkatan E
ci:I
...
"conventionar' ke tingkatan "post-conventional" sewaktu menjalani tugas &
.:,(.

militernya di Vietnam, disebabkan timbulnya kesadaran akan • danya


konflik antara aturan-aturan "moralitas tentara" dan hak yang lebih
universal dari bangsa Vietnam.

Diplndai dengan CarnScanner


Perkembangan Koorclinasi Perspektif
4
Sosial fllenurut Selman
-

I
i'.ah. or inasi. persp ktif sosial merupakan terjemahan penulis dari
st1lah social perspective coordination''. Telah diutarakan dalam bab
erkembangan Penalaran Moral menurut Kohlberg, bahwa Kohlberg
rnenggunakan istilah ''role taking", yang diterjemahkan penulis menjadi alih
peran. Namun Selman sendiri membedakan pengertian "role taking'' dengan
soc'al perspe.ctive coordination", yang akan dijelaskan kemudian. Selman
11

juga menggunakan istilah "social perspectiv taking';, "social perspective


understandingrl, "i_nterpersonal understanding" atau "interpersona]
, awareness" dengan arti yang sama. Secara umum dapat dikatakan bahwa

pengertian koordinasi perspektif social ialah apa yang diketahui dan


dipikirkan seseorang mengenai dunia interpersonalnya, bagaimana
.
seseorang mengkonseptualisasikan diri dan orang lain.
Shantz menulis artikel mengenai uThe Development of Social Cognition"
dalam Review of Child Development Research (1975). Dikemukakannya
bahwasampai tahun 1960-an, pengertiananakmengenaiduniainterpersonalnya
sangat sedikit diketahui, dibandingkan dengan banyaknya informasi tentang
J pengertian anak mengenai dunia non sosialnya. Tetapi setelah tahun 1960-an,
; rninat danpenelitian peneliti·an untuk menelu uri pengertian anak mengenai

I dunia interpersonalnya rneningkat.


Ada dua kelompok pendekatan teoritis mengenai konseptualisasi diri dan
I orang lain tersebut, ialah teori psikologi sosial dan teori perkembangan kognitif.

Dipindai dengan CamScamei


Teori psikologi sosial yang membahas konseptualisasi diri. dan orang lain
ialah teori atribusi yang diutarakan oteh Bern, Heider, KeUy. Pusat perhatian
dari teori atribusi ialah pada penyimpulan yang dibuat oleh seseorang
mengenai mengapa ·seseorang bertindak seperti apa yang ditampilkannya,
yang disebut causal attribution". Area lain dari penelitian psikologi sosial
11

mengenai kons ptualisasi dlri dan orang- lain di.sebut "person perception".
Pertanyaan yang ingin dijawab da i penelitiail lni ialah, bagaimana individu
mendeskripsikan atau mengkategorikan orang lain atau tindakannya, dan
disposisi atau traitment mana yang diatr.ibusikannya pada orang lain.
Teori perkembangan kognitif tentang pengertian seseorang mengenai
dunia interpersonalnya, yang disebut kognisi sosial,_didasari oleh teori Piaget
. .
dan Werner.. Belum ada teori tunggal yang umurn mengenai perkembangan
ko. gnisi sosial, yang ada ialah model-model. Model yang p a. ling ekstensif
menurut Shantz ialah model yang dikemukakan oleh Selman, seorang
psikolog dari Harvard, Amerika Serikat. _
Dalam bah ini akan ditelusuri mode'I Selman tersebut. Pertama-tama akan
diuraikan koordinasi perspektif sosial sebagai konstruk, disusul uraian tentang.
perkembangannya, yang meliputi tahap-tahap perkembangan dan peningkatan
. .

i,s
i:: tahapnya.
E
"a;
...::
V)

,_
, 4.1 Koordinasi Perspektif Sosial sebagai Konstruk
::,
C
QJ
l:
Dalar:n pembahasannya men enai perkembangan penalaran moral,
Kohlberg telah m.engajukan konstruk alih peran (role taking) sebagai-
struktur tahap-tahap perkembangan penalaran moral. Tetapi menurut Selman,
Kohlberg tidak merumuskan secara spesifik, atau tidak mempetajari
perkembangan alih
peran._Setman ( 1980) memang mernbedakan konstruk yang merupakan aspek
. . .

dari modelnya ialah perspektif sosial dengan konstruk lain yang


berdekatan, misalnya persepsi sosial atau alih peran..
, ::1 p ., n •· 11 untuk m nlnjau kon truk koordinasl perspektif sosial,
•lrt11n 1980) rn ng muk. k n tiga p ramctcr.
P rtilrllJ, koordin. i p ·r p ktif o i. 1 mcl,putl pcrkcmbang,an pengertian
m ng n I udut , ncl.,-
·or, n,g dihubungkan atau dtkoordJnaslkan satu
n
dn n yang I. n, d. n buk n kodar mcngcnal lnformasl soslal atau informasi
pslkolo is men
peran.
n I ornng laln. Yang discbut tcrakhlr ialah konstruk alih
Cl
Jadi kosntruk koordln, I p _r p ktif sosial' dibedakan dengan konstruk allh · •······
p ran. E

K dua koordinasl p r p ktif sosI, I juga mel putl perkembangan


pengertian m•ng nal karakt ri· t ik p lkol,0gls yang intrinsik mengenai
1

·;;;
kapasitas individu, dlll bukan sckcd. r pongcrtlan mengenal koordinasi
yang kompleks dari i
op rasi kognisi1yang "dccentered 1'. Jadi dalam konstruk koordinasi perspektif X.
t::
sos1al tedcandung komponen sosial yang intrinsik. Bila dikaitkan dengan
"i::'
model pe.mikiran yang "decentered" dalam teori Piaget, isi sosial atau isi: :.a..
0
psikologis
sama pentingnya dengan 5truktur logis, yang mungk'n memang _mendasari isi
i::

pemikiran sosial tersebut. Jadi konstruk koordinasi perspektif sosial dibedakan

dengan konstruk kognisi an sich". yang


11

Ketiga, karena koordinasi perspektif sosiaJ mendeskripsikan dasar utama


pengertian menge·nai perkembangan hubungan antara diri dan orang lain,
konstruk ini dapat melengkapl infrastruktur teoritis tentang bagaimana
pengertian mengenai beberapa hubungan-hubungan psikologis sosial dapat
dipandang sebagai suatu alat analitis untuk para peneliti, juga dapat dilihat
s,ebagai' kunci untuk mengembangkan keterampilan kognisi sosial atau

kemampuan kognisi sosial pada anak.


Untuk memahami apa sesungguhnya konstruk koordinasi perspektif
sosial, terlebih dahulu harus ditelusuri latar belakang teoritis dari penyusunan
konstruk tersebut. Seperti telah diutarakan terdahulu, model Selman ini
termasuk dalam satu rumpun teori pe,rkembangan kognitif. Sejalan dengan
pendekatan teori perkembangan kognitif, salah satu ciri pendekatan teoritis
Dipindol dengan CamScamei
J:J
E
'-

Dipindol dengan CamScamei


pada model Selman ialah perkembangan struktural. Akar dari pendekatan
perkembangan struktural tersebut adalah dari James Mark Baldwin pada tahun

1906 dan George Herbert Mead pada tahun 1934. Namun hasil karya Piaget
{misalnya tahun 1932, 1964), baik karya teoritis maupun empiris yang sangat
luas, mendasari garis besar gagasan teoritis dan banyak merangsang
penelitian penelitian dalam area tersebut. Selain pendekatan perkembangan
struktural, model Selman mengenai perkembangan Koordinasi perspektif sosial
juga berpegang pada kriteria ustructured wholeness", "invariant sequence" dan
0
"universality , yang merupakan pengembangan dari teori Piaget. Pendekatan
·selman memang sejalan dengan Piaget, sebab lebih memusatkan perhatian
pada bentuk pikiran dan hubungan-hubungan dari pikiran yang diekspresikan
- yang mendasari- struktur kognitif - dari pada efektifitas, atau perbedaan
individual ·maupun kelompok. Perspektif kognisi sosial menurut jalan pikiran
Piaget telah diutarakan oleh KohIberg pada tahun 1969 (dan diulangi
padatahun 1976). ·oalam tulisannya tersebut, Kohlberg membandingkan
pendekatan perkembangan kognitif, sosialisasi clan psikoanalisa mengenai
mqralitas dan menyatakan bahwa pendekatan perkembangan kognitif
mempunyai beberapa keunggulan, yaitu karena adanya pendekatan potensi
lintas budaya dan dapat menerangkan perkembangan psikologis. Menurut
Selman pernyataan Kohlberg tersebut merupakan pernyataan yang tajam,
jelas, seksama dan sangat berpengaruh.
Hal lainyangmempengaruhi penyusunan model Selman adalah
kepercayaan bahwa seseorang tak dapat memisahkan teori tentang
bagaimana individu berhubungan satu sama lain, dengan teori tentang
karakteristik psikologis dari individu. Maka pengertian tentang "diri° dan
0
pengertian tentang hubungan antar perspektif dari bermacam "diri merupakan
konsep yang berinteraksi, yang memperluas dan melengkapi satu sama lain.
Dalam hal ini Selman dipengaruhi Mead, yang pada tahun 1934 mengajukan
postulat bahwa kapasitas manusia untuk mengkoordinasikan peran-peran
merupakan sumber dari "sense of self"

Dipindai dengan CamScame,


dan inti dari inteHgensi sosi.al. Menurut Mead, menempatkan diri pada
po,sisi orang lain, yang disusul dengan posisi yang dipilihnyat merupakan
sesuatu yang khas manusiawi dan hal itulah yang menyebabkan meng "ada"
nya "diri". Tanpa interaksi s.osial seperti yang dimaksudkan oleh Mead, tak

G
.mungkin ada psychologica'I self". Mead juga berpendapat bahwa
11

perkembanganj'diri'' dan pengertian soslal terjadl melalui serangl<aian "tahap-


tahap". Yang pertama ialah
!!play stage". Padatahap ini anak kecii mempraktekkan (mengadakan permainan · ft!······
E
peran) tindakan-tindakan dirinya sendiri dan tindakan-tindakan orang-orang
...
yang berarti baginya. Misalnya, pertama-tama anak meniadi ibu. lalu berganti
Q)

menjadi dirinya sendiri; pertama sebagai penjua'I, kemudian pembe:ti; pertama :


meniadi anak yang baik, kemudian penjahat. Tahap selanjutnya adalah ·:3
"game .V _)
stage". Pada tahap ini koordinasi sosialnya lebih terorganisasLdan beroperasi 8..
...
II)•

daJam perma·nan yang lebih kompleks. Misalnya sebagai pelempar bola


pada permainan kasti anak harus mempunya1 antisipasi mental mengenai " C'
t
0
intensi dari
lawannya. KaJau dalam "play stage" koordin i perspektif hanya dalam taraf c:

tindakan, maka dalam "game stage'' ada dalam taraf mental atau But
koordinasi internal. Menurut Mead, melalui permainan perailan maupun at
the
11
games;', anak yang pada saat tetcapainya "game stage'" mungkin sudah
menjadi remaja - dapat meningkat perkembangannya ke tahap "perspective
of the generalized other,,. Pada tahap ini su:dah tercapai konsep sistem
yang terorganlsir atau konsep komunitas. Tahap generalized other"
11

merepresentasikan perspektif sosial yang abstrak dan normatif. Tahap ini


dapat tercapai bila seseorang sudah dapat menangkap adanya konsensus
sosial atau norma-norma sosial. Menurut Mead peningkatan antar tahap
juga merepresentasikan perubahan dalam pengertian reflektif dari '"diri".
Mead mengemukakan:

1
;\t (the game .state), the individual,s self is constituted simply by
an organization of the particular of other individuals toward one
another in specific s,odal acts in which he participates with them.
Dipindai dengan CamScomei
C
" ''
.. c ,
,v,
e:
-t

Dipindai dengan CamScomei


(generalized other) stage in the full development of the individual's
self, that self is constituted not only by an organization of these

particular individual attitudes. but also by an organization of the social


attitudes of the ge.neralized other or the social group as a whole to
which he belongs".
(1934, hal. 158)

Apabila individu dalam "game stage" dapat menempatkan diri pada posisi
11
orang lain, ia dapat iuga me bedakan "diri" nya sebagai pelaku dengan dirin
nya sebagai penonton. dan mengadakan percakapan internal. Menurut Mead
inilah esensi inteligensi sosial, atau refleksi diri. ApabUa selanjutnya individu •
dapat mengadakan percakapan internal dengan kelompok atau masyarakat, ia
akan mampu keluar dari penalaran sosial dan refleksi diri menuju ke rasionalitas
sosial.
Pengaruh jalan pikiran Piaget dan Mead tersebut di atas sangat besar
dalam model Selman. Selain pengaruh penqekatan teoritis ter.sebut. dalam.
menyusun modelnya Selman juga dipengaruhi penelitian-penelitian empiris.
Dari penelitian-penelitian empiris yang dipelopori oleh FJavell, Selman

C:
berpendapat bahwa penelitian yang memusatkan pada koordinasi perspektif
(,:I

E
V)
Cl) seperti konsep Mead sangat terbatas jumlahnya. Kebanyakan peneUtian
-&-I
:::J
L
:::J
penelitian yang dilakukan untuk meneliti perubahan perkembangan dari
C:
Cl.I
E
rd
pengetahuan anak mengenai pikiran-pikirant perasaan-perasaan atau motif
·;;;
0 m.otif indivudu, jadi titik beratnya pada pengertian subyektifitas perspektif
i
- GJ orang lain. Penelitian-penelitian semacam itu menurut Selman termasuk

.-
V )
datam konstruk uperson perception° yang dikembangkan oleh beberapa
a

,,. psikolog sosial, misalnya Livesley & Bromley ( 1973), dan bukan mengenai
L.

konstruk "perspective takingJI.


C
al /
..

Penelitian empiris yang memakai konstruk "decentration,, Piaget adalah


dari Feffer ( 1959; Feffer & Gourevitch, 1960). Dalam penelitian tersebut sudah

.
Dipindai dengan CamScamei-
terliha,at danya upaya untuk menjaring struktur •4perspective taking".
Penelitian tersebut menggunakan tugas soslal, dimana anak dirninta untuk
membuat cerita dengan menggunakan kartu-kartu bergambar manusia dalam
"setting"so•sial
1

tertentu.misa lnya "setting" keluarga. Anak yang diperiksa diminta bercerita


denganmen,ggunakan sudut pandang,an dari tiap-tiap karakter yang ada dafam
gambar. Jawaban atas dasar sefauh mana subyek memperhatika11 hubungan
antar karakter satu sama l in sehingga tersusun cerita yang konsisten.
MenurutSel'.mant walaupun model Feffer yang dipengaruhi oleh konstruk ...]

c
.•·••·....

..decentration° Piaget telah menunjukkan upaya untuk menjaring struktur i fl.I


"'perspective taking", tetapi secara esensiat tidak memperdulikan ''social I:
-;;;
content" di mana struktur tersebut beroperasi, ialah suatu pengertian tentang V,.0....
diri atau individu seperti yang diutarakan Mead. 8.
."..'
Pengaruh-pengaruh teori:tis dad Mead & Piaget, serta penelitian empiris ·;;;
Flavell & Feffer tersebut, menuntun Selman pada awal penyusunan "C '
modelnya 0
untuk mengikuti model Mead, dengan masih tetap beroperasi dalam model c
perkembangan struktural dari Piaget. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan _g
pada awal karyanya Selman ( 1971) berkesimpulan bahwa untuk mendefinisikan ,QJ
E
.l o, _:
tahap koordinasi perspektif sosial perlu diperhatikan konsepsi seseorang
tentang manusia sebagai "social cogni:zers'\ juga pengertian .seseorang tentang
koordinasi dari beberapa sudut pandangan.
Setelah berhasiJ dalam penelitian awal tersebut, Se.Iman
berusaha
menemukan kekhasan konstruk mengenai koordinasi perspektif sosial,

d1.ban k d ko. n·struk kons• truk• fain. Up, aya tersebut dilandasi oleh
g an .
dm'
engan • -

asums1·M. ead ,b wa aI am p-erke, bangannyaanak mengkonstruksikan model


ah d m
-
ko- as,• yan- erart·I ag•,n· ya • Setiap aktifitas pengkonstruksian tersebut akan
ordm' gb b
, . ta ng apa yang dimaksud sebagai seorang individu
mengub ah konseps1 en -
kt
ana
• . .. - fain'') Menurut Mead, manusia adalah ''uniquely
( m1 salnya "di r1 " ora ng •
"
atau
. . . " dan anak harus menemukan keunikan yang
perspective taking ammas 1 . . _ .
mendasar tersebut dalam per
_ kem . bangannya.
- Keunikan koordinas1 perspekt1f
sosi.altersebutadalahkemampunan untuk mengintegrasikanperbedaan
dialektis antara diri sebagai subyek (disebut Mead "the I" atau "perspective
taker") dan d1ri sebagai obyek (11the Me" atau ..the perspective being
taken'} lntegrasi kedua komponen tersebut membuat koordinasi perspective
sosial benar benar sosial dan bukan sekedar aplikasl kemampuan berpikir
logis ke dalam area soslal. Selman memberikan contoh adanya
kemampuan operasi kognisi dalam area sosial yang tidak menjaring
pengertian anak mengenai koordinasi diri dan orang lain. Studi yang
dilakukan Mi.lier, Kessel & Flavell ( 1970), dengan iudul studl yang menarik,
yaitu "Thinking about people thinking about people thinking about ........ : A
study of Social Cogn·itive Development". Dalam studi tersebut ditun,jukkan
gambar-gambar pada anak-anak dari berbagai usia. Pada tiap ga.mbar ada
lukisan orang yang di atas kepalanya terdapat semacam "balon". Balon
tersebut mem.mjukkan bahwa orang itu sedang memikirkan sesuatu; yakni
sedang memikirkan orang lain. Pada beberapa gambar, terlihat orang yang
digambar dalam "balon" tersebut mempunrai "baton" pula, yang
meriunjukkan bahwa ia_sedang memikirkan orang ketiga, dan seterusnya.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak yang lebih tua, dapat

C
lebih mengerti repres ntasi yang kompleks (misalnya "balonlt dalam "bal?
r:
E n"), dari pada anak yang lebih muda.
a
.
c ;
:i
., , Selman berpendapat bahwa studi tersebut adalah stud; mengenai
.:::,
I..
:::,
C:
kognisi tentang area sosial, meski sesungguhnya bukan termasuk studi
CV
I: yang mencerminkan dasar kognisi sosial. Studi ini mempelajari perubahan
ontogenetis yaitu tentang bagaimana anak berpikir mengenai kualitas
manusia yang unik sebagai manusia. Dikemukakan oleh Selman, bahwa
gambar-gambar orang dalam studi Miller tersebut dapat saja diganti dengan
gambar-gambar lain,.dengan has:il yang sama.
Ringkasnya; Selman beranggapan bahwa model yang mengungkapkan
sebenar-benarnyaperkembangan koordinasi perspektif sosial; haruslah
me1iputi perubahan pengertian tentang relasi antar manusia dan
perubahan dalam

Dipindui dengan CamScanner


kons p rdasl d lam dirl soseorang (misalnya relasi tentang perasaan-
perasaan atau pik'ran-plkiran). Dcngan dcmiklan sojak 1972 Selman
mengadakan penolitkm di bldang kognlsl soslal yang mellputl perubahan
struktural yang m ndasar tcntang !konscp so al hakekat m.anusia dan
koordinasi manusiawJ darl perspektlf-1Perspektlf. Penel:itlan-penelltian
11
tersebut dilakukan dengan
c "problng penalaran subyek yang dltelid da'lam suatu dlskusi yang agak •
b bas. Dengan c;ara t,ersebut Selman yakin bahwa hasil penelitiannya akan lij
E
membuahkan pokok-pokok plikiran yang khas kognisl sosial, bukan sekedar a
::, ..,
struktur kognitif yang diapllkasikan dalam area sosial. '
: :,
C:

E
-;;;
·;;;
0
4.2. Tahap-tahap Perkembangan Koordinasi Perspektif SosiaJ .·o_
V ')

Selman memuIai penelitiannya men,genai koord·nasi perspektif sosiaJ X .


."' ..
dengan menggunakan dilema moral KohIberg. Pada awal studinya. dilema yang ·
,a
C:
sama dengan Kohlberg, kemudian disusul dilema lain. Ada dua alasan yang
0

dikemukakan Selman, m,eng:apa ia memakai dilema moral Kohlberg.


Pertama adanya kaitan teoritis dan empiris antara koordinasi kedua
onstruk tersebut berakar dar,i teori Piaget dan Mead. Kohlberg sendiri te:lah
menyatakan adanya kaitan tersebut. Kedua. metode dan isi dilema moral
sangat tepat untuk menanyakan kepada subyek berbagai sudut pandang
dan sekaligus diikud jawabannya masing-masing. Dilema semacam itu
mendorong responden secara spontan menjelaskan ..teori" nya
mengenai relasi antar manusia,
atau kepercayaannya tentang individu, motif..motif, perasaan-perasaan dan
1

strateginya untuk menyelesaikan konflikpkonflik.


Hasil penelitian Selman adalah tersusunnya suatu model
perkembangan koordinasi perspektif sosial yang terdiri dari lima tahap
(level), yang untuk jelasnya penulis kutipkan dari bu:ku S.e:lman ( 1980).

Dipindai dengan CamScanner


Tahap Koordinasi Perspektlf Soslal
(Selman, 1980 hal. 37-40)

Level 0: Undifferentlated and Egocentric Perspective Taking (about


Ages 3 to 6)

Concepts of Persons: Undifferentiated. At this level, young children


do not clearly differentlate physical and psychologkal characteristics of
persons. Feelings and thoughts can be observed and recognized, but
the confusion between the subjective-psychological and the objective-
physical leads to confusion between acts and feelings or between
intentional and unintentional behavior.
Concepts of Relations : Egocentric. Selves and others are dearly
differentiated only as physical entities, not psychological entities. Thus
_subjective perspectives are undifferentiated and that another may
interpret the same situation differently is·not recognized. Concepts of
reratrons of perspectives are limited by inability to differentiate dearly
and by·concomitant reduction of differences in perspectives to merely
differences in perceptual perspectives.

Level I: Differentiated and Subjective Perspective Taking (about


Ages 5 to 9)

Concepts of Persons: Differentiated. At level I , the key conceptual


advance is the clear differentiation of physical and psychological
characteristics of persons. As a result, intentional and unintentional acts
are differentiated and a new awareness is generated that each person
has a unique subjective covert psychological life. Though, opinion, or
feeling

Dipindai dengan CamScarnei


states within an individual, however. are seen as unitary. not mixed.
Concepts of Relations: Subjective. The subjective perspectives of
self and other are clearly differentiated and recognized as potentiaUy
different. Ho,wever. another's subjective state is still thought to be legible
by simple physical observation. Relating of perspectives ,is conceived of
in one-way, unilateral terms, in terms of the perspective of and impact
on one actor For example. in this simple one-way conception of refating
. C l..
e
c

of perspectives and iinterpersonal causality, a gift makes someone happy.


....
Where there is any understanding of two-way reciprodty,. it is limited•-
cu
to the physical-the hit child hits back. Individuals are seen to respond to ;..,,

action with like:action.


-a
1:
"ii
C.
.cu.,
Level 2: Self-reflective/second-person and Reciprocal Perspective a ....
-
Taking (about Ages 7 to 12)
o,
·
Concepts of Person: Self-reflective/Second person. Key conceptual
..Q

advances at Level 2 are the growing child's abiltty to step mentaUy E

himself or herself and take a self-reflective or second-person perspective &.


on his or her own thoughts and actions and o the realizationing states
are seen as potentially multiple, for example, curious, frightened, and
happy, but stiH as groupings of mutually isolated and sequential or
weighted aspects, for example, mostly curious and happy and a little
scared. Both selv,es and others are thereby understood to be capable of
doing things (overt actions) they may not want (intend) to do. And
persons are understood to have a dual,.layered social, orientation:
visible appearance, possibly put

on for shovv, and the truer hidden reality;


Concepts of Relations: Reciprocal. Differences among perspectiv,es
are s•een relativistically because of the Level 2 Child's recognition of
the uniqueness of ,each person's ordered set of values and purposes, A

Dipindlli dengan ComScon


new two-way reciprocity is the hallmark of Level 2 concepts of Level 2
concepts of relations. It is areciprocity of thoughts and feelings, not

merely actions. The child puts himself or herself in an-other,s shoes and
rea1izes
the other will do the same. In strictly mechanical-logical terms, the child
now sees the infinite regress possibility of perspective taking ( I know that

she knows that I knows that I know that she knows..... etc.). The child
also recognizes that the outer appearance-inner reality distinction means
selves can deceive others as to their inner states, which places accuracy
limits on taking another's inner perspective. In essence, the two-way
reciprocity of this level has the practical result of detente, wherein both
parties are satisfied, but in relative isolation: two single individuals seeing
self and other, but not the relationship system between them.

Level 3: Third-person and Mutual Perspective Taking (about Ages I 0


to IS)

Concepts of Persons: Third-persons. Persons are seen by the young •


adolescent thinking at Level 3 as systems of attitudes and values fairly
consistent over the long haul, as opposed to randomly changeable
assortments of states as at Level - The critical conceptu3:I advance Is
toward abi1ity to take a true third-person perspective, to step outside
not only one's own immediate perspective, but outside the self as a
system, a totality. There are generated notions of what we might call, an
uobserving ego,n such that adolescents do (and perceive other persons to)
simultaneously see themselves as both actors and objects, simultaneously
acting and reflecting upon the effects of action on themselves, reflecting
upon the self in interaction with the self.

Dipindai dengan CamScarnei


Concepts of Relations : Mutual. The third-person perspective
permits more than the taking of another's perspective 00 the self; the
truly third-person perspective on relations which is characteristic of level
3 simultaneously includes and coordinates the perspectives of •self and
other(s), and thus the system or situation and all parties are seen from
the third-person or generalized other perspective. Whereas at Level 2, 4fl
the logic of infinite regress., chaining back and forth, was indeed apparent, ·;· ••••••
r:J

its Implications were not. At level 3, the limi:tations and ultimate futility E

w
of attempts to understand interactions on the basis of the infinite
regress model become apparent and the third-person perspective on 4J

this level ! "'


allows the adolescent to abstractly step outside an interpersonal
G.I
g_
interaction and simultaneously and mutually coordinate and consider the "' L.

perspectives
(and their interactions) of self and other(s). Subjects thinking at this level .,,
see the need to coordinate reciprocal perspectives, and believe social " " C:

0
satisfaction, understanding, o_r resolution must be mutual and coor
inated
to be g•enuine and effective. Relations are viewed more as ongoing systems
EC
]
'o
in which thoughts and experiences are mutually shared. l

Level 4: In-depth and Societal-Symbolic Perspective Taking (about


Ages 12. to Adult)

Concepts of Persons: In-depth. Two new notions are characteristic


of Level 4 conceptions of persons. First actions, thoughts, motives, or
feelings

are understood to be psychoI og1• ca1·Y1 det er.m but not necessarily
,ne- d•

self-reflectively understood. there •a•re more complicated


In th, 1•s
vi•ew,
· • - I ys be
interactions within a person t h at cann ot a wa -
Dipindoi deogan ComScarnei-
comprehended by the
" - w-h- ether or not is so named,
• obse ing ego" of level 3. thus, we se
e,

the generat.ion of-a noti•on of the ,unconscious in fndividuals. Persons are


. . h ' t that t,111.. ey 0
want. to
thereby seen to be capable of dom g t 1 ngs no
'•'•don't

Dipindoi deogan ComScarnei-


do. t L v I '2, but that they don't understand why they don't. Second,
, t L v I 4 a now notion of personality as a product of
traits, beliefs, V:\lu , . _nd atdtud , a system with I.ts own developmental
history.

Cone pts of Relations : Societal - Symbolk. The indi iduaJ now


cone ptu:illz.os subf ctlvc perspccdves of persons toward each other
(mutu;ility) as xlstlng not only on tho plane o,f common expectations of
awareness, but als,ocommunication. For examplei, in a dyadt
perspective, perspectives can be shared at the level of superficial
information, of common Interest's. or of deeper unverbalized
feelings.and communication. At this level. the adolescent or young adult
can abstract multiple mutuaJ (generated other) perspectives to a
societal conventional, legal or moral, perspective in whkh all individuals
can share. Each s·elf is believed to consider this shared point of view
of the generaliz d other or social system in other to facUitate accurate
communicati.on and understanding.

4.3 Peningkatan tahap Perkembangan Koordinasi Perspektif Sosial


Sesuai dengan pokok pikiran dalarn teori perkembangan kognitif,
peningkatan tahap koordinasi perspektif sosi:al terjadi atas dasar konflik
konseptuaJ. KonfHk konseptual dapat dilihat dari adanya kesadaran anak
mengenai kejadian-kejadian atas realitas sosial "di luar" diri yang
11
menimbulkan konflik dengan pengertian internar' yang ada dalam dirinya.
Selain itu konflik konseptual juga terjadi bila tiba-tiba timbul kesadaran akan
adanya konflik dan dan tidak adanya konsistens'i atau ketidakesua·ian
dalam sistem internalnya (misalnya kepercayaan atau nilai-nilai yang
di.miliki). Sebagai contoh konflik int rnal-eksternal tersebutt misalnya anak
kecil yang berpikir bahwa orang y, n b rtengkar berarti tidak berteman.
Kaiau ia melihat bahwa kakaknya yang

Dipindai dengan CamScame,


lebih tua dapat tetap berteman dengan seorang sahabatnya, meskipun mereka
habis bertengkar, maka akan timbul konflik mengenai konsep persahabatan.
Data eksternal sebagai rangsangan, mungkin akan masuk dalam
"jangkauan" seseorang, mun.gkin juga tidak. Rangsangan yang
memungkinkan teriadinya konflik konseptual.sehi.ngga memungkinkan pula
peningkatan tahap, ialah rangsangan struktur sosio-kognitif satu tahap lebih •• •••••••
g
tinggi dari tahap perkembangan seseorang (Rest, 1974; Turiel, 1973).
11
Kondisi semacam ini disebut o'leh Selman (1980) sebagai kondisi optimum 2
<LI
l:
mismatch''. j;j
·.;

-
·p
< LI
n.
Q)
0. .

-
,:Ca:!,..,
0
-- - - 1
}
! G)

CL

Dipindei dengan Ca
E,
Relasi Rntara Perkembanoan KognisL Koordinasi
Perspektif Sosial dan Penalaran flloral

Teori perkembangan kognitif mempunyai asumsi mengenai relasf antara


tiga aspek, yaitu tahap perkembangan kognisi (K), koordinasi perspektif sosial
(S) dan·penalaran moral (M). Dalam bab ini akan diuraikan penjelasan
teoritis mengenai relasi antar tiga aspek tersebut, kemudian diketengahkan
pula penemuan empiris. Bab ini diakhiri dengan pengutaraan ciri khas re'lasi
antar tiga aspek tersebut yaitu relasi kondisional.

5.I Penjelasan Teoritis


Dalam bab terdahulu Selman telah mengemukakan adanya kognisi
fisik dan sosial. Kognisi fisik adalah kognisi yang diungkapkan oleh Piaget (K),
sedangkan kognisi sosial adalah kognisi yang diungkapkan oleh Selman (S) dan
KohIberg (M). Selman (1976, hal. 175) membuat bagan relasi hierarkis antar
ketiga aspek (lihat gambar 6). Dari bagan tersebut terlihat bahwa baik aspek K
maupun S dan M berakar dari tahap logiko-matematis yang dirumuskan
Piaget. Melalui analisa hierarkis yang pertama ditemukan kognisi fisik dan
kognisi sosial. Pemisahan kognisi sosial menjadi koordinasi perspektif sosial
dan penararan moral baru terjadi pada analisa hierarkis yang kedua. Analisa
hierarkis ketiga memisahkan berbagai rnacam koordinasi perspektif sosial
yang dikemukakan oleh Selman, ialah S rnengenai orang (persons),
hubungan antar dua orang

(dyadic). kelompok, dan institusi.

Dipindai dengan camScamei


Dlbedakannya kognisi flsik dan kognisi sosial tersebut mengundang
pertanyaan mendasar, tentang apakah hakekat masing-masir1g.

Tahap logika - matematis dari kognisi


(seperti didefinisikan oleh Piaget)

Analisa
.......... ••••••••·••• .. OOf•oo ••............................UUUIHHH--••ottHo♦U

Hierarkis
Pertama

Kognisi Fisik Kognisi Sosial


(koordinasi perspektif sosiaf)

Analisa
Hierarkis
Kedua

Penalaran Sosial Deskriptif Penilaian p rspektif


Relasi peran interpersonal konsep relasi keadilan

Analisa
··· · -- ..,,. ,,......,. .... •..".....·--"..······Hierarkis
Ketiga

Orang Hµbungan dua orang Kelompok lnstitusi


(contoh:Teman) (contoh:"gengs") (Contoh: Masyarakat)

Gambar 6. Relasi hierarkis antar aspek kognisi fisik dan sosial


(Selman, 1975, hai 175)

Dipindoi dengan ComScomei


Damon ( 1979) mengetengahkan dua kelom . k d •
. . po pen apat yang berbeda
• . . .
rnengenat relas1 antara kognisi fisik dan os, a1 p d apat p e rtama dan
kognisis en
.
Chandler (
1979 ) menganggap bahwa semua kogniss pada dasarnya bersifat
sosial. Kontruksi pengetahuan yang dilakukan oleh· . d I
• • • •
1
manus1a aIam sega a
manisfestasinya selalu berakhir pada interaksi subyek dan obyek dan tak
0
pernah hanya terdiri dari penemuan" obyektif impersonal (realitas fisik).
Lebih lanjut diutarakan oleh Chandler; bahwa subyek dalam perkembangan .........
kognisinya secara terus menerus dituntun oleh konteks sosrar. di mana
semua
pengetahuan dipresentasikan dan diciptakan. Perolehan kategori fisik atau ;
,f
sosial pada .seorang anak bukan berasal dari dalam diri sendiri semata-mata. "0

Perolehan kategori itu berasal dari pertukaran sosial yang tidak terhitung j
banyaknya. Dalam pertukaran sosiaJ tersebut perhatian anak diarahkan pada f
aspek tertentu dan pada interaksi subyek-obyek yang mempunyai arti .f" ' L.

khusus sesuai dengan budayanya. Dapat dikatakan- bahwa pengetahuan di -


0
"ko- kontruksikan" oleh anak dal'am hubungan deng n orang lain.
Pengetahuan bukan hanya mengenai ilmu fisik, tetapi juga meliputi ilmu sosial. · -
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa logiko-matematis (kognisi fisik) C

_g
dan persahabatan atau keadilan (kognisi sosial), memiliki kadar konstruksi E

,f
sosial yang sama.
Berdasarkan pendapat Chandler tentang tidak adanya perbedaan antara C!

kognisi fjsik dan kognisi sosial tersebut, maka bolehkah kita menstrukturkan !·::a
bentuk substansi kognisi sosial secara unik untuk dapat dimengerti dunia 111
a!

sosial? Pertanyaan tersebut masih menjadi perdebatan yang sengit dalam


khasanah pustaka di bidang filsafat, psikol gi dan sosial. Ketiga ilmu itu
saling merasuki (interpenetrate), sehingga apa yang kelihatannya merupakan
aspek kehidupan fisik sesungguhnya juga merupakan aspek kehidupan
sosial, contohnya pada bidang seksualitas. Sebaliknya apa yang kelihatanya

1
khas sosial mungkin mengandung aspek fisik. Sejalan dengan pendapat
Broughton
: tersebut, Mischel ( 1974) berpendapat bahwa perbedaan sosial dan fisik
adalah
perbedaan artifisial, suatu pembedaan·yang diperoleh setelah lahir. Pada awal
Dipindoi dengan ComScElrrlel
masa hidupnya bayi masih mengacaukan orang dan barang. Sering kita
meUhat anak kedl memperlakukan obyek yang tidak bernyawa sebagai obyek
yang bernyawa.
Berbeda dengan pertama, pendapat kedua adalah yang menekankan
adanya kekhasan dalam kognisi sosiaL Kekhasan tersebut membawa
implikasi terhadap kekhasan struktur kognisi fisik yang berbeda dari kekhasan
struktur kognisi sosial.
Kekhasan dari sesuatu yang Interpersonal adalah, berbeda dengan
komponen-komponen ilain yang ada di dunia, manusia lain (sebagai "obyek")
mempunyai kapasitas untuk bersama-sama membangun re.lasi intersional
dengan subyek.. Relasi intersiona'I tersebut ters.usun oleh serangkaian
interaksi antar manusia, di mana subyek menyertai persepektif orang lain dan
mengkoordinasikan aksi reaksinya dengan •orang lain..Mutualitas tindakan
dan komunikasi itulah yang menyebabkan bahwa aksi sosial atau
interpersonal tidak sama dengan per]stiwa fisik, kar,ena merupakan pe.ristiwa
sosial yang memerrukan kekhasan dalam pemahamannya. ·
Menengahi dua pendapat tersebut. Kohlberg telah mengemukakan adanya
relasi antara tiga aspek kognisi (K), ko_ordinasi perspektif sosial (S) dan
penalaran moral (M), yang dapat difihat pada bab 3. Relasi antar ketiga aspek
tersebut adalah suatu relasi yang mensyaratkan adanya hubungan antara yang
satu atas yang 1lain (bukan relasi linier). Tahap perkembangan K merupakan
persyaratan untuk tahap S yang parallel, sementara tahap S merupakan
persyaratan untuk tahap M yang parafel. Relasi hipotesis yang dikemukakan
Kohlberg tersebut didasarkan atas pendapat Piaget mengenai adanya

paralelisme struktur antar berbagai aspek kognisi (Piaget, 1·947& 1958).


Paralelisme struktur tidak berarti bahwa tiap-tiap aspek harus identik,
melainkan bahwa proses yang m,enjadi dasar perkembangan satu aspek juga
menjadi dasar untuk aspek yang lain.
Atas dasar refasi hipotetis antar tiga aspek yang diutarakan Kohlberg
tersebut, banyak penelitian-penelitian empiris yang dilakukan.

Dipindai dengan CamScamei


S.l Penem,uan Empr·is
,lau ditelusuri lapornn•laporan penelitian emp1ns mengenai studi
ko•r-elasional antar :aspck. dapat diHhat beberapa variasi studi korelasional yang

rnellputi:
(!) Korel3Sl antar aspek K dan S ( Feffer, 1960; Hollos & Cowan, 1973; Selman-

& Byrne 1974; Ho\los, I 975). ,.............


, l) Korelas, antar aspe'k S dan M (Selman&.Damon, 1975; Kurdeck, 1979). e
0

(3) Korelasi antar aspek K dan M (Keasey & Keasey, 1974; Damon, 1975;
1
s
Gottlieb dkk., I 9·7S·.;walker & Richards 1979). J
(4) Koretasi antar aspek K, S dan M (Walker, I9'80). "'C
"';:J
vi
0
V)

]
Hasil pene\itian empiris tersebut di atas mendukung adanya relasi kondisionaf,
antar dua aspek maupun antar tiga aspek. I

5.3 Model r,elasi kondisional ntar tiga aspek :


Walker ( 19,80) menyusun paralelisme tahap perkembangan K,.S dan M ,!
untuk ielasnya penulis kutipkan susunan Walker (1980, hal. 132) tersebut.

IParaf.efisme tahap kognisi, koordinasi perspektif sosial clan penalaranmora I


(Walker, 1980, hal. I 32)

I Perspective Taking Stage Moral Stage (c)


Cognitive Stage (a) '
: (b) '

Stage I Stage I
Preoperations (hetermony)
(Subjectivity)
There isan understanding The physical
The synibo1ic un tio
of the subjectivity consequences of an action
a pears but thinkm -'
P rked by centrat1on of persons but no and the didicates of
realization that persons authorities define right and
irreversibility- can cons·der each other wrong..
as subjects.

-
Dipindai denga
Concrete operations Stage 2 (Self-reflectlon) Stage 3 (exchange)
The object'ive There is a sequential Right is defined as serving
characteristics of an understanding that the one's own interests
and object are separated other can view the self desires, and
cooperative from action relating as a subject just as the
interaction Is based on to it and classification, s,elf can view
the other terms of simple exchange serlation,
and as subject.
conservation skills
develop
Beginning formal Stage 3 Stage 3 (expectations)
operations (!mutual perspective)
There is development It is realized that the Emphasis is on good
:
of the coordination self and the other can person stereo-types and a
of reciprocity with view each other as concern for approval
inversion; and perspective - taking
prepositional logic can subjects ( a generalized
be handled perspective)
-
I
Early basic formal Stag,e 4 (social and Stage 4 (social system and
C
0
operations conventional system) conscle ce)
E 1

C
The _ hypothetico- The.re is arealization that Focus isin the
.IS
"C ' maintenance
rt!.
C
deductive approach each self can consider of the social order by
" "'tl'l emerges, involving: the shared point of view obeying the law and doing
«i
·.:; abilites to develop of the generalized other one.'s duty
-
0
V)

Ji possible relations (the socia'I


QJ

; system) among variables and to


a. I
I:'.!
,f organize experimental
·c:;;
anaI ys1. s
(<I
C
. ..
' 6
0
0 Cosolidated bask Stage 5 (symbolic Stage 5 (soda,
·;:;:;
· contract) formal operations interaction)
{2
Operations are now A social system Right is defined by mutual
f E
QJ
completely exhaustive perspective can be standards. that have been
and systematic understood from a agreed upon by the whole
.;,L

J! '
beyond- society point of society
e
a

Dipindai dengan CamScame,


Keterangan :
(a) Adapatasi dari Colby & Kohlberg( 1975)
(b) Adaptasi dari Selman & Byrne ( )d ,
1974 an Selman ( 1976)
(c) Adaptasi dari Kohlberg (1976)

Dalam susunan tersebut Walker - .- · _ • . . . ••·


meme r m c I tahap perk embangan kogn1 s1
11 11
formal operation" m- enJ· a-•d1'·egmnmg
b formal operation", early basic formal •••••••
f
• d ' b-
0

operatlonl!, dan uconsolidated format oper·at·10- n". P'e_ r·1· nc1• an t, ut - r uat
_erseb

ataS dasar adanya sub tahap 11


formal operation" yang diutarakan oleh lnhelder
&Pia,get 1955/ 1958, ialah subtahap early forma.l operation" dan consolidated.
11

formal operation". Kemudian subtahap ' formal operation" tersebut juga


1
j
ditambah oleh Colby & Kohlberg ( 1975) dengan subtahap "beginning formal
l 1
op,eration ', yang diperoleh dari deskripsi Piaget mengenai tahap uformal i- c..

operation° tahun 1924/1928.


-

0

Adapun ciri "beginning formal op ration" adalah adanya koordinasi dari ·:;;'

"r,eciprocity" (misalnya relasi yang berbalikan}, dengan "irw rsi" (misalnya }


negasi dari • kelas). Pada tahap "concrete operation" bentuk pengertlan .c
t
yang merupakan ciri subtahap ubeginning formal operation" tersebut hanya !
ada secara implisit, sedang dalam subtahap "beginning formal operation"
fl
reversibilitas tersebut dikoordinasikanlebih umum, dengan carayang kualitatif. --<
ai
Cara early basic formal operations" mencakup pengertian logis yang eksplisit ,a.::
11

dan koordinasi dari diversibilitas tersebut, sehingga jetas menjadi bagian


dari metode uhypotheticoMdeductive,.. Hasil penelitian Walker ialah, baik
tahap kognisi maupun koordrnasi per.spektif s,osial, merupakan kondisi yang
diperlukan tetapi belum mencukupi u11tuk perkembangan penalaran moral
pada tahap yang paralel. Hasi,I penelitian ini mendukung relasi hipotesis
antar
tiga aspek yang diutarakan Kohrberg.
Atas dasar pararelisme Walker tersebut disusun suatu model rel'asi
kondisional (lihat gambar 7) yang secara skematis menunjukkan relasi antar
Dipindai dengan CamScanner
d. i perspektif sosial Selman dan
tah, p perkcmbangan kognisi Piaget koor mas
ponalaran moral Kohlberg.

M,.

s..

= Aspek kognisi Piaget


K S = Aspek M = Aspek
koordinasi penalaran
= Tahap nconcrete
perspektif moral Kolberg
operation"
sosial Selman
= Tahap ••emergent M = tahap I
K S1 = level I· M 1 = tahap 2
1.2.3
2
formal & transitional S2 = level M3 = tahap 3
formal" (beginning 2 S3 = level M4 = tahap4
formal & early basic
3 S-4 = M5 = tahap 5
formal
level 4 M6 = tahap 6 .
K
4
= Tahap .,formal
operation"
("consolidated formal
operation)

Gambar 7. Model relasi kondisional antara K, S, M

Oipindai dengan CamScamef


' S.4 Penelitian dengan Model Rclasi Kondislonal antarTiga Aspek.
Dalnm disertasl Kusdwlratrl Sctiono (1982) model relasi kondjsional
.near tiga 'spckt rsebut dlgunakan untuk mengujl valldltas konstruk, dalam
rd dilakukm valu. sl, sej,auh mana data empiris sesuai dengan prediksi
sesuaidcngan gambar 7, dengan cara Froman dan Hubert ( 1981). Mereka


mengajukan ko Oslcn nabla, yang menunjukkan sejauh mana kombinasl
urutan perkembangan darl dua aspek menyalahl (violation) kombinasi "f!•·•
0
urutan perkembangan yang, d prcdlksikan, bukan merupakan kebetulan l:
relasi antar dua aspek yang, sebenarnya tak ada hubungannya. Koefisien 2"'
cf
nabla berkisar l;

anbra -1 dan + I. Nllal + I menunjukkan tidak adanya kombinasi yang


. .... , , ,
-;; ,

salah.
Rumus untuk menghitung koefisien nabla yang diajukan Froman & Hubert hanya ]
dapat dipakai dalam penelitian relasi antar dua aspek. Oleh karena penelitian g_
e
ini melibatkan 3 aspek, perlu dikonstruksi rumus baru. Heymans ( 1982)
C:
mengadakan modifikasi rumus tersebut sehingga dapat dipakai untuk meneliti 0

tigaaspek (Kusdwiratri Setiono, 1982). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa ;;;


terdapat validitas konstruk antar K (kognisi), S (koordinasi perspektif sosial) }
dan M (penalaran moral). Data yang dikumpulkan ada umumnya 'ibertingkah }
E
Ic-
sepert1·1pred"Iks1• t•eoriti,s ialah adanya relasi kondisional antar aspek K, cJf!
" -
t K S,
U
"

danM..

Diplndoi deogan ComScornet


Diplndoi deogan ComScornet
Ptt,,u1t1t1an P ribadl 1

Khalranl Muslim
08526359071:;0

rk mtJ n an f11oral. Perspektif


Lintas Budaya•l

n Im •.m .1
011 l nr.,n' tn litJ· nl ,i p u t i ap yang baik dan buruk,

d.u ", l;1h. I Hrn·I rnt; ng moraH dari sudut

' t.,k b" . clipi " hkan da.r tcori yang mendasar-
inya, t, . r m nd Onltikan mor Ii ;_ ccara berbeda. Ada
] C
Jf1 y;1ng m mbah, ., mo lit .., yaitu teori tJngkah laku
n .111 ko nltif(Pi _g t, Kohl'b r . dan p ikoanalisJs (Freud),
n.. n ya g b rbeda tent.mg moralitaS (Turiel. 1998). Freud
n pt ntmgkata hati, yang did Onisikan sebagai intemaJisasi
. r-,, oralitas yang didcfinislkan oleh Skinner merupakan tingkah laku
n pcn,guatan (baik positif maupun negatif) dengan judgment
t rk.ait dengan norma ku1tural. DaJam teori Piaget pengetahuan
d , J>enilaian tencang relasl sosial merupakan sesuatu yang sentral dalam
mo 'itas .
.Sctiap teon 1uga. berbeda dalam mendeskripsikan perkembangan
(perubahan yang terkait dengan waktu - change ov,er time). Gambaran yang
paling ;eras rncngcnal perkembangan penal'aran moral diungkapkan dalam teori
Kohlberg (yang didasari oleh teori Piaget) tentang tahap-tahap perkembangan

I Tulis.an penuhi lni dalam bahasa lnggris telah dlmuat dala.m Encyclopedia of the
nd [Behavioral Selene s, ISSN : 0A0B-043076-7,. diterjemahkan kedalam bahasa
ia untul< membcrik n k cmp:ltan kcpada rckan-rckan y.'\ng tldnk dapat 1

memperoleh
ydop dia. tcr but.

Dipindai dengan CamScanner


f'.t:Jbap penalaran moral KohIberg telah
p·enalaran moral. Pe.rk rppiJJl& n I'.· -.•·i d b d 01 h
• I,,•/ · t lba i negara an u aya. e karena
:· •

menstimulasi peneUtian<:.f!> l;l Jt1 ,(J I pe .-· 9::.- -


• • . . k"..sllcar:i:nerl<embangan penalaran moral
itu teori KohIberg dipilih nt.uk. mendisu . -.;··r,. • . . .
. . . kan diungkapkan benkut in1 meliputi
d al am perspekt1 f tas buda_ ya. _
. v.
lm ,anga
: a)tahap-tahap perkembangan penaIaran moral dan alasan mendasari
yang

perumusan tahapan te.rsebut, proses dan °
k ndisi yang memberikan kontribus·
1

pada perk·em. 'bangan a r an dan asesmen tahapan penailaran


pe. naI
mo·ral,
moral; b) ringkasan perspektif dan hasil-hasil penelitian di pelbagai
budaya yang mendukung atau tidak mendukung konsep Kohlberg tentang
per- kembangan penalaran moral.

6.1. Teori Kohlberg tentang Perkembangan Penalaran Moral


Kohlberg mengungkapkan, bahwa moralitas berkenaan dengan
alasan, pertimbangan, dan penilaian yang mendasari keputusan seseorang
tentang hal hal yang baik dan buruk, atau benar dan salali. KohIberg juga
mengajukan enam
.
tahapan (stages) perkembangan penalaran moral, yang dapat diklasifikasikan
menjadi tiga tingkatan (levels) ..

6. . I Tahapan .
Tingkatan pertama dari penalaran moral, yaitu tingkatan pra-
konvensional, biasanya ditemui pada anak sekolah dasar. Pada tahap satu,
tingkatan pertama anak memberikan alasan untuk tingkah lakunyakonsisten
dengan norma-norma yang diterima masyarakat, karena ia diberitahu oleh
tokoh yang diturutinya t:entang hal tersebut, misalnya orang tua, atau guru.
Ta.hap dua, berada dalam tingkatan pertama, yaitu pra konvensi anak,
ditandai oleh pandangan, bahwa yang benar adalah yang sesuai dengan
minatpribadi.
Dipindai dengan CamScarnei
Tingkatan kedua penalaran moral biasanya ditemui dalam masyarakat,
oleh karena itu disebut mo:ralitas konvensional -r.ah ·kt· rupakan
• • • 1i ap e 1ga yang
tingkatan kedua yaitu tingkatan Konvens ional ditanda ,· me h • menun-
- . o1e pena1aran
g
ya n

Dipindai dengan CamScarnei


kh m. !.y. k. t. h p mp c yang
11 I 1p I ·"' In I p n . tuh. n p. da hukum,,

I. 11 11 ·r If 'la. tJ I> "•· J.,w.,b n k,•w, Jib. n.
1111
c ., P ruf.u rn m r. 11 y tu l "J'k t. r p,uC konv, n .. onaf,
It
I •1'Y 1 .J tJ . t hap,I ITl , yang m rupakan
,
1\.111. I In lhl)tk,,t.u
rtJmb n • n yang mcncakup
dan mlnat yang l I yang . ma
l r i\ rn tu k r, ,,ht r.1t n , . >'il,11,. ;1hap nam, yaJtu tahapan kcdua dalam j
'r ,. ·''·" ' • th1.,11d.,1 I hp nalar. n y ng dld;i• ri ol h prin:slp universal, dan j
,1 C\Jl. n f ;\d,,, .,1. h, t ndivldu. ]
g_
t:!
rumu u I, h.,p, n d,,I. mp dcmb-ngan p-nalarnn moral didasari oleh ,f
'n p n r.11. Y"ltu k d ll n. y.ing, d tanda ,ol h pcrsamaan hak dan saling
l:
"'Jruh nt. r._ dir den oran,g l;un au antarn hak ctan kewajiban. daJam eC ,,
C
m mutusk. n ::ip._,k:-tl sc uatu tu bc,nar atau salah. DidMarkan pada studi . a
E

n ,itudin. I di p lbag. nogara, Kohlb rg ( 11969) mengutarakan bahwa urutan


I-
\
cf
- ap, pcrkcmbangan p nillaran mor.11 scnantias,a mengik11tJ tahapan berurut
(invariant).

6.1.l. Proses .Perkembangan Moral


Kohlberg mengajukan konsep tentang perkembangan penaJaran mora'f,
yaitu tcrjadinya penyelesaian konflik moral cognitive dafam diri individu.
Konsep konRlk moral cognitive analog dengan konsep disequilibrium dafam

• pcrkcmbangan kognidf Piaget. Adapun konflikmoral cognitive menurut


KohIberg akan tcrjadl, bila dalam inte,raksinya dengan orang lain, individu
mengalami kescmpatan alih pcran (role taking opportunitles) dan
memperoleh umpan balik dalam bentuk pcnala.ran yang satu tahap leblh
tinggi dari struktur penalarannya
.-c:ndlrLHasilnya adalah, lndivldu tersebut akan merevisi penalaran -yang
semula dipakainya. Apabila indlvldu bcrhasll menyelesaikan konflik moral

cognitive, tahapan penalaran moralnya akan meningkat. Namun apabUa


individu tersebut
I'

Dipindai dengan CamScamei


Dipindai dengan CamScamei
· - ora , ·t,·ve t a hap-pena1aran moralny a
t 1 dak berhasil menye'l esaikan cog m -• - - .
• - I
konfh k m
akan tetap (Setiono. 1980). Pengalaman konflik moral cognitive pada individu
dapat distimulasi (can be induced}, apabifa indiviidu berpartisipasi-dal'.am djskusi
moral.
Teknik disiplln bina·kaslh (induktive) dan pengasuhan yangdemokratis/
otoritatif keduanya dapat berpengaruh positif terhadap perkembangan
penaJar an mopll. Tekik di_siplin lepas kasih (love withdrawaf) dan teknik
disiplin unjuk kuasa (power assertion), serta pengasuhan otoritarian, ketiganya
berpengaruh negatif terhadap perkembangan penalaran mo:ral (Salztein
1976,,Eckerisberger 1994).

6. I .3. Cara Asesmen


Ban penelitian mendasarkan diri pada teori Kohlberg, karena selain
mengungkapkan keran1gkakonseptual yangcukup rind_,Kohlberg dan s,ejawatnya
juga menyusun manual untuk mengidentifikasi tahap penalaran moral.
Jawaban terhadap ditema hipotetis dapat dikelompokkan menjadi tahapan
penalaran moral melalui criterion judgment.. Dengan cara membandingkan
jawaban individu dengan criterion judgment yang tercantum dalam manual,
dapat ditentukan tahap penalaran moral individu. Criterion judgment
di,rumuskan atas dasar penelitian dengan sampel anak-anak dan remaja dari
keluarga kelas
sosial menengah dan tinggi, yang dilakukan di Pusat Perkembangan
Moral, Universitas Harvardt USA.

6.2 .. Perspektif Lintas Budaya dan Hasil-hasil Penelitian


Dalam bagian ini akan didiskusikan perspektif (lintas) budaya, isyu-isyu:
1

hakikat prins'ip moral, tahapan penalaran moral, proses peningkatan tahap,


termasuk determinan yang berpengaruh, dan cara asesmen. Apabila
temuan penelitian lintas budaya menduk mg konsep Kohlberg tentang
penalaran moral, hal itu berarti ada universitalitas dari konsep yang
diajukan. Apabila

Dipindai dengan CamScanner


tl I k. dap. t d Int rpr I
bagat bi budaya daJam teori Kohlberg, atau
111, y _ . k, t dap. t fikl fik
k n cbao-- 01 m-..
c., , c• yara
kat yang lebfh tradrsional.
.
6.2. I Prln Ip M'or. I

tontang perkembangan moral menunjukkan


1 Jhw.;, .I rln If k adUan cbagai lnta tcori Kohlberg nampaknya kurang
g ·r, 1996 a). Ada prinsip moral non Barat yang berbeda
d n •111 Kohlbr dlantar.wnya adaJah prlnsip Kong Hu Cu tentang glri-nfnjo '8
I
!
k val ban), yan t mpaknya dckat dengan konsep India tentang "kewajiban j
tnik'' MUI r 1994, Schweder et al. 1987). Prlnslp moral Jawa tentang hormat J0.

m n hargai o,rang lain), dan rukun (r,elasl soslaf yang harmonis) (Seciono, cE
1994).,. prinslp tentang '"kebahaglaan kolektif" dari Kibbutz (Snary, 1996), dan S
r:
prinsip 'keterkaitan' dari China (Ma.1988). Sebagal tambahan temuan lintas . C:

budaya tersebut. dalam studi tentang moralitas perempuan , Gilligan ( I'982) .c""
...§1
menemukan bahwa tanggung Jawab dan pemefiharaan adalah prinsip moral. L..

&.

6.2.2 Tahap-tahap Penalaran Moral


Penelitian lintas budaya mengu:ngkapkan, adanya ta.hap 2, .3, 4,
secani universal, tetapi tidak untuk tahap I dan 5 (Eckensberger. 1996b). Tahap
I hampir tidak dapat diternukan di USA, Bahama, Turki dan Tibet. Yang
menarik adalah tahap 5 juga tidak ditemukan dalam data longitudinal
Kohlberg yang terakhir di USA (Cofby et al. 1983), namun muncul pada
Kibbutz di Israel ( Snary 1996, Bar;.Yam ,et al 1'996), Jerman (Eckensbe,rged
996b) dan China (lei 1994). Di beberapa negara yang sedang berkembang
penalaran moral
tahap t·,·dak (Eckensberger 1996 a}, dan ini diinterpretasikan
5 d' k
1temu
n
a
b h . . k d"I da teori Kohtberg tidak sesuai dengan dengan
il wa prms,p ea I an
Setiono D I m hal tahap
, •pa Pnns1p moral setempat. a a, penalaran
- moral
- tertinggi,
19 - - b orang jawa yang dinUai pada tahap 3 menurut
( - 94) mengungkapkan, a,1wa - . . . .
. . . ,- moralitas yang tertmgg1 apab1ta d1dasarkan
manual Kohlberg memil1k1 ta ,ap -
Diplndai dengan CarnScanner
Diplndai dengan CarnScanner
.kian tidak munculnya tahapan
pada prinsip moral setempat. Dengan demi . _ _.
moral 'd k d • . at dHnterpretas1kan sebaga1
yang tinggi, yaitu tahap 5 dan 6, t1a ap
. _ b Prinsip moral yang be.rbeda
morahtas setempat yang kurang berkem· ang.
dengan Kohlberg {keadilan) mungkin . merupa k anpenyebab mengapa dalam

masyarakat tertentu tidak muncul tahapan tinggi.

·6.2.3 Peningkatan Tahap dan Faktor Penentunya


Penelitian (lintas) budaya tentang peningkatan tahap penalaran moral
dapat dilihat pada Vaan Dorn (1982), Asih Menanti ( 1988), dan Hessy (
1999). Penelitian yang dilakukan di Indonesia ini mencoba mengungkap
adanya kesempatan alih peran dan konflik moral cognitive serta
penyelesaiannya. Hasilnya menunjukkan bahwa diskusi isyu moral dan
pengalaman membuat keputusan tentang isyu moral, berguna untuk
peningkatan tahap penalaran moral. Temuan penelitian lintas budaya
tentang proses perkembangan moral, termas1:.1k peneliti n tentang
kesempatan alih peran,.konflik moral cognitive dan penyelesaiannya,
memberikan dukungan terhadap konsep peningkatan tahap menurut
Kohlberg. Penelitian-penelitian lintas budaya tentang faktor pen.entu
peningkatan tahap penalaran moralt•yaitu teknik disiplin dan pengasuhan
yang dilakukan oleh orang tua, ditunjukkan oleh penelitian Mayarina ( 1984)
dan Prameswari ( 1990) di Indonesia, dan beberapa studi di India
(Eckensberger 1994).. Temuan penelitian lintas budaya menunjukkan
bahwa teknik disiplin
• d'
induksi dan peng.asuhan ratik memu;ng an teq a mya
otoritatif/dem• ok• k"mk
peningkatan tahap penalaran moral. Hal ini em 'k d
bera rt·,m en an ungan
• b
k
.u
terhadap konsep Kohlberg tentang peran konfl'ik .. d
mora 1 cogmt,ve a1am
perkembangan penalaran moral.

6.2 .4 Ct1ra Asesmen


• Penelitian (lintas) budaya yang menggunak
- an cara asesmen menurut Dipindai dengan CamScanner
Kohlberg menunjukkan bahwa respon-respon t
ertentu tidak dapat diskor

Dipindai dengan CamScanner


1
berdasarkan criterion judgment seperti yang tercantum dalam manual
Kohlberg. Lei dan Cheng ( 1996) menunjukkan bahwa beberapa hasil
intervew individual
: dengan masyarakat China sukar dianalisis, karena subyek-subyek tersebut
rnenunjukkan tipe strategi penyelesaian konflik kolektif yang berbeda, yang
I tidak disebutkan oleh Kohlber.g. Titjen dan Walker ( 199,6) menghadapi masalah
I yang sama di Papua New Guinea, •
Menurut Eckensberger ( 1996a) kriteria berikut harus djpenuhi dalam ·······
"'
penelitian lintas budaya : J.,,

-
(a) Berisi konflik moral yang nyata untuk individu l3
i=.
::l
(b) Semua fakta yang disebut dalam dilema dikenal oleh cu
subyek
i
0..

(c) Tidak ada faktor situasional (sosial dan bahasa) yang berpengaruh
terhadap tahap moral individu.

f
C:

6.3. Arah Penelitian Mendatang


Has.ii studi tentang pelbagai prinsip moral di budaya yang berbeda dan
perbedaan antara laki-laki dan perempuan, memuncul:kan pertanyaan
sebagai berikut : Seharusnyakah penelitian didasari oleh perbedaan prinsip
moral dalam orientasi budaya yang kolektivistik dan individualistik?
Seharusnyakah penelitian senantiasa menspesifikasikan subyek laki-laki dan
perempuan ?
Baru sedikit penelitian yang mengungkap proses peningkatan tahap
pe alaran mo.ral dan hubungan antara penalaran moral dan tingkah laku
mora. Oleh karena itu akan sangat menarik bila dilakukan penelitian lintas
budaya, apakah ada kekhasan budaya dalam hal kesempatan alih peran,
konflik moral cognitive dan tehnik disiplinyangd"terapkan oleh orangtua da'lam
perkembangan penalaran moral. Apakah pernyataan Kohlberg
tentang,konsistensi penataran
: moral dantingkah laku moral pada tahap 5 dan 6 berlaku di semua kondisi
budaya ? Dalam budaya yang tidak muncul tahap 5 dan 6; apakah hal ini
berarti
, bahwa tidak ada konsistensi sama sekali antara penaralaran moral dan tingkah
Dipindai dengan CamScamei-
laku moral?

Dipindai dengan CamScamei-


7
Perkembangan rrloralitas Dari
Sudut Pandang Budaya Jawa

7.1. Sudut P'andang Budaya Jawa


Sudut pandang budaya Jawa didasari oleh "kejawaan,.. (?leh karena itu
pertama-tama akan diutarakan bagaimana sosialisasi dari ''kejawaan" tersebut,
kemudian akan dipaparkan bagaimana kaitannya dengan perkembangan
moral. Sosialisasi "kejawa n" dalam tulisan ini didasarkan pada studi dua
orang antropolog, yaitu Hildred Geertz (Keluarga Jawa, 1982) dan Niels
Mulder (Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasiona , 1986, serta
"Individual and Society in Java - A Cultural Analysi:5", 1992). Selanjutnya
sudut pandang
, budaya Jawa tentang perkembangan moral tersebut akan digunakan untuk
menginterpretasikan kembali temuan empirik hasit penelitian tentang
perkembangan moral di Indonesia.

7.2. Kejawaan dan Sosialisasinya dalam Keluarga


Pemahaman perkembangan manusia Jawadidasari:olehKejawaan.
Kejawaan memberikan pengetahuan yang dapat digunakan untuk
menginterpretasikan makna hidup dan kehidupan manusia sehari-hari
(Mulder, 1992). Dal'am
masyarakat. Jawa. kel:uarga adalah jembatan antara individu dan budaya.
Terdapat dua niJai budaya yang sangat penting dalam kehidupan keluarga
Jawa, yaitu "hormat'' dan "rukun" (Geertzt 1982).
Hormat pada orang lain didasari oleh sudut pandang Jawa bahwa relasi
sosial pada dasarnya tertata secara hierarkis. Oleh karena itu orang Jawa

Dipindai dengan CamScomei


Dipindai dengan CamScomei
, k metestarikan keteraturan hierarkis
mempunyai tanggung jawab moral untu .
. . _. enuntut anaknya untuk memperhatikan
dalam relas1 sos1al. Orang tua Jawam .
bungan dengan orang lam. Pada anak
cara-cara bersopan santun dalam be ruh
I

. . tus dan posisi yang berbeda dalarn


ditanamkan seiak dini bahwa terdapat sta
, b. • ggota keluarga anak harus tahu
keluarga. Hal ini berarti bahwa _s e aga1 an
- • " nggah-ungguh', Y:
tempatnya. lnilah yang disebut anak harus mengerti u - • ang
- • b'h b wahan- harus menghormati atasan
mud a harus menghormat1 yang Ile tua, a - ,
pembantu harus menghormati panutannya. Sejak usia dinianakeanak Jawa
dididik tata cara bersopan santun. Tata cara bersopan santun tersebut selalu
harus ditampilkan di depan orang lain, tanpa peduli apakah yang ditampilkan
merupakan pancaran dari dalam atau hanya tampilan luarnya sa_ja (Kusdwiratri,
1994).Sebetulnya hormat" merupakan konsep yang kompleks. Dalam konsep
11

"hormat" terkandung beberapa macam perasaan (Geertz, 1982), yailu "wedi"


(takut) ''isinH (malu) dan "sungkan" (malu dan segan). "Wedi" berarti takut
terhadap obyek fisik maupun sosial. Contoh aP.abila anak menangis karena ada
orang asing, ibu akan membujuk anak dengan mengatakan: Jangan takut, dia
tak akan menggigitmu. "lsin,. mengandung perasa-an malu dan takut terhadap
pandangan orang lain. Contoh apabila seseorang ada dikamar atasannya,
dan sewaktu mencoba duduk di kursi atasan tiba-tiba atasan masuk kamar,
dikatakan orang tersebut "isin''. "Sungkan,. mengandung rasa malu disertai
rasa segan terhadap orang yang dihormati, tanpa merasa bersalah. Contoh
seorang karyawan perusahaan golongan rendah yang ada di satu ruangan

bersama bapak direktur perusahaa,n tidak mau dudukb- ek , atan, ab d1'a


erd seb
sungkan".
11

Perasaan malu diinternatisasi pada anakseh'·


_ . _ mgga rnenjadi sikap yang men·
dorong tercapamya konformitas terhadapk I - •
• • e ompok. Perasaan malu sekahgus
juga sebagai pengontrol tingkah laku ben .
. . ' ungs1 sebagai kata hati. P.erasaan
malu d1 satu p, ak merupakan rasa kha . ·-
_ . .. · . . . watir akan penampilan diri, khawatir
akan d1kr1t1k atau d1tertawakan orang Dilai . _
. • • n pihak perasaan malu memberika

Dipindai dengan CamScarTiei


otr bu I P ti ' P •rk A 1b an,• n • . horm t k · . d or ng I In dan k lnginan
1 nt 1km ' :hin J.ut , n. tu m no lali aslkan

1 r :1 111 n ,I I y. 110 lrri}:,.m m -ng n.t t n n· k rn n cnai


Ull uy 111 11.u p.
np. m, j •l:i..kan"m ng. p."ny .P rtanyaan
u1 kl ··u1 ">'"'I d' ny.i

a
• .1ny.1 dijaw
b : ' or: . lok" (K . dwiratri. 1994).
" P-' dldn, k alU n k lompok dcngan satu tuJuan dan atu
~

-- s
n JMI rnju.m t r.. but Rukun juga bcrarti tidak terjadi
P',
p f. K rukunan tld k d ung dcngan send rinya, tetapJ
1 '

f
n r uanuntuk·al ngm ngh.arg Jdans.aJingmenyesuaHcan
• m. n nu I • l<cmaua111cncbut bcrakar dari anggapan bahwa
,;u EPUn yang cmpurna dafam k endiriannya, dan bahwa h1idup
::,
MT a ol •h k butuhan .akan orang lain (Mufder. 1992.). Orang Jawa
• dar akan kcbcradaan orang lain. DaJam hidup bersama orang lain 8
p :in id , I adal h adanya pen alaman hidup yang rulcun. ea
0
:E
Dari kon p rukun terse but terlihat bahv,a identitas orangjawa cenderung IC:
r:: •
lcbih rsifat sosial, bahkan hampir seluruhnya sosiaJ. Lingkungan atau dunia .8
E
objektif t+d k pcnting blla dipandang dari sudut pandang sosio-emosional. -f
&
O ng J!awa biasanya mengalami kesulitan untuk bergerak sendiri, terpi.sah
I

dasi k lompoknya. 1

DaJam sosialisasi. nilai hormat dan rukun telah dctanamkan sejak usia dini.
lbu mefati:h anak agar sensitif dan sangat sadar akan keberadaan orang lain.
lstHah Jawa tentang hal itu adalah "tanggap ing sasmito', berarti menggunakan
potensi intu'tlf untuk memahami pesan terselubung/apa yang ada di balik
tingbh 1:aku yang:ditampilkan. Dalam melatih anaknya, ibu biasanya.berulang..
ulangimcnggunakan kata "isin" (malu), apabHa anak menampilkan tingkah laku
yang dianggap tidak pantas.

Dipindai dengan CamScanner


- wa
. . .S d t Pandang Budaya aJ
7.3. Morabtas dar1 u u , hkluk sosial. Oleh karena itu
Orang Jawa d arnya merupakan ma Setiap orang ha
pada as .. ..
I' . kungan s0s1a1nya. . n1s
nilai pribadinya ditentukan ole h
ing .
k ara langsung mengontrol
t1ngkah patuh pada norma kelompok. Kelompo sec . .
. . ak tidak henti hentmya
mengmgatkan lakunya. Orang tua dalam pend1d1kan an - .
. Dengan demikian dapat d1katakan
anak tentang· tmgkah laku yang pantas.
_ J. a terletak pada relasi sosial
yang bahwa sumber tingkah iaku moral orang aw
_. . ang-lain sangat penting.
kongkrit, yang menganggap pandangan or
.. d'd'k anak dalam keluarga bukannya menghasilkan
apun tu1 uan pen
Ad 1 1 an

pn 'bad· .1 erd'1r1· mela, inka • lebih menekankan pentin-gnya relasi


yangb send·1r·,• n

sosial. Hal ini berarti bahwa umumnya kita tidak dapat mengharapkan orang
Jawa yang berorientasi moral individualistis, sebab dta-cita orang Jawa
adalah hidup dalam masyarakat yang rukun. Dalam masyarakat yang rukun,
makna individu tidak terlalu penting. Namun orang Jawa berharap bahwa
masyarakat yang rukun·tersebut akan mengayomi masing-masing individu.
Oleh karena
itu setiap individu mempunyai kewajiban moral untuk ·mempertahankan
. -

kerukunan dalam masyarakat. dengan cara menjalankan kewajiban-


kewajiban sosiaL Pelaksanaannya berkaitan dengan potensi seseorang dalam
«I
relasi sosia\ yang hierarkis. Benar atau salah selalu dikaitkan pada posisi
-""!
hierarkis. Apabila yang berbuat safah adalah orang yang tinggi posisinya,
-
"C
:::,
a:i
r.o
!= orang Jawa cenderung memberikan toleransinya, walaupun dia tidak setuju
""'

C' prinsip mereka; Ada kataw kata mutiara yang berkaitan dengan kondisi
C:
n:I
D..
+-'
::i
""Cl
tersebut, yaitu ,,ngeli nanging ora keli", yang berarti mengikuti arus tetapi
tidak ikut terhanyut.
Prinsiptoleransiterhadapyangposisinyaleb·,-ht· • b 'k·· d .b
:i
VJ
·;: mgg1, a1 1tu _ a1am1a
C atan, atau da1am usia, sebenarnya bertujuan untu km_ _hk .
"l encega onfhk terbuka antara
atasan dan anak buah, antara yang tua dany -- d- . . d h
' . . . . . ang mu a. Prms1p tersebut su•a
-
VI
d1aJarkan se1ak dm1, seperti terlihat padat b ...
em ang M11II berikut ini:
0
:I:

Dipindai dengan CamScanner


(bahasa Jawa):
Oedalane guna.lawan sekti
Kudu andap asor
Wani ngalah duwur wekasane
Tumungkula yen dipun dukani
Bapang den simpangi. Ana calUr mungkur
...........

(bahasa Indonesia):
jafan kearah kebajikan dan kesaktian.
Adalah kerendahan hati dan kesopanan.
Berani m•engalah karena ]ustru akan luhur pada akhirnya.
Tundukkan kepala jika dimarahi
Jangan tunjukkan sikap yang menentang
Sekalipun dibelakang dapat dikemukakan apa yang kau kehendaki.
(Raharjo Soewandi,, 1979). re,
C :

C:
<'Iii
..c
E
a,
Kata-kata dalam ternbang tersebut mengungkapkan bet-apa •
pentingnya tingkah laku moral bagi orang Jawa. Orang Jawa senaritiasa
dituntut untuk bertingkah laku yang baik, yang memperhatikan .sopan santun,
menunjukkan hormat kepada orang lain. Apakah tingkah laku yang
ditampilkan tersebut didasari oleh keinginan dari dalam diri atau sekedar
basa-basi, tidak menjadi masa'lah bagi1orang Jawa. Memang adanya perbedaan
prinsip dengan orang lain dimungkinkan, namun dianggap bijaksana bila
perbedaan tersebut tidak ditunjukkan, terutama apabila perbedaan prinsip
tersebut menyangkut orang yang lebih tinggi posisinya atau lebih .senior. Hal ini
perlu diperhitungkan da1am penel,itian, antara lain alat ukur penelitian harus
mampu menggali prinsip dalam

diri individu responden.

Dipindoi deogan ComScarnei-


--
'·. .. dengan Acuan Teori Kohlberg dar·
i1'-.
't. - 7.4 lnterpretasi Hasil Penehtian . - I

Sudut Pandang Moralitas Jawa . . .


.k konsep moralitas d1pandang dan
pe_nalaran mengaJU • - .
Kohlberg (1976) an _
. _ . b lakangi keputusan ba1k/buruk, benar/salah
atau pert1mbangan yang me 1atare -
• - naan dengan keluasa n w awas
Penalaran atau pertimbangan tersebut . - • - an
b ke
er •
. ..:,
mengena1• re1as1. ar d1' r•id·a_n orang la,in men•genai hak dan kewajiban. Relasi
a,
ant
diri dan orang lain di dasari prinsip equaUty. Artinya orang lain sama derajatnya
dengan diri. Dengan demikian antara diri dan diri lain dapat dipertu arkan,
lni disebut prinsip reciprocity. Moralitas pada hakekatnya merupakan
penyelesaian konflik antara diri dan diri lain, antara hak dan kewajiban.
Perkembangan moral merupakan perubahan luasnya wawasan seseorang
dalam menalar atau mempertimbangkan relasi antara diri dan diri lain
tersebut, antara hak dan kewajiban dalam konvensi. Apabila baik-buruk
yang dianut dalam konvensi sesuai dengan prinsip moralindividu,
makaindividu tersebutmengikuti konvensi. Namun apabila baik-buruk yang di
anut dalam konvensi tidak sesuai dengan prinsip moral individu, maka
seorang individu tidak terbawa arus mengikuti konvensi, melainkan tetap
berpegang pada prinsip moralnya sendiri. Jadi yang dianggap baik adalah
yang.tidak terkungkung oleh sistem, sehingga dapat memandang
. konvensjdari luarsistem sosialitusendrri,.dengan memegang teguh prinsip yang
! dianut (Kohlberg, 1976).. Perbedaan antara norma. aturan atau harapan
..... masyarakat dengan prinsip mora'I individu akan terjadi, bila terdapat suatu
-0
a)
:::,
kondisi seperti yang digambarkan Ronggowarsito sebagai ''jaman edad'
00
C:
M
""O
C:
(jaman gila). Dalam jaman gila dikatakan o!eh Ron,ggowarsito bahwa kalau kita
if...
:::, tidak ikut -ikuta.n (gila) kita tidak akan mendapatkan bagian. Namun
"'O
::,,
V)
'i: masih
0
nl
lebih baik orang yang ingat dan waspada lndividu 5 akan
_ •·. h • yang ap . •
men capa1 ta
VI 0

- ·tetap berpegang pada p rinsip moralny a t .d k


en una t1
e gt
yan • ,
• ya
Dipindai dengan CamScanner
·dengan
sesua1
:E
C:
prinsip moral yang dianut dalam jaman tersebut.
Tahap 6 wawasan pertimba . I
r!i
.Ll -- ngannya universal. Namun karena da arn
E sejarah yang dianggap dapat mencapai t • . . tara
h_
Q.I

L
Q.I
0..
a ap 6 tersebut langka, ya1tu an

Dipindai dengan CamScanner


lain: Gandhi, Galileo dan Martin L .h ... .
. ut er King, maka d I .
tahun I 979 d1sebutkan bahwa tah. . . . a am tuhsan Kohlberg
ap 6. in1 t1dak perlu d" k
penelitian. ,,guna an sebagai acuan

Tahap penalaran moral se . . •


. . ,, . • seorang dapat d1ukur melal'ui "Moral Judgment
. Interview atas dasar manual Colb d
. . . - Y a kawan- kawan ( 1979) atau
menggunakan alat ukur James Rest ( 1974). n •
Apabila dibandingkan d e .. ,. _
• ngan mora1, tas menurut Kohtberg, .moralitas dari •• • •••••
sudut pandang budaya Jawa sang• at b erb eda. Pertama, prinsip moral Kohlberg m
1
adalahupenalaran-individu", sedangkan prinsip moralitas Jawa adalah "rasa- l
sosiaJ yang hierarkis,,. Tingkah laku bermoral sangat di pertimbangkan, yaitu f
tingkah laku yang senantiasa mempertimbangkan keberadaan orang lain.
Dikatakan bahwa tingkah laku bermoral adalah tingkah laku yang pantas dan
0
tingkah laku yang tak bermoral adalah tingkah laku yang tidak pantas. Kedua
-
prinsip moral Kohlberg adalah "equality" dan "reciprocity" antaradiri dan orang C!
()
l:
lain, antara hak dan kewajiban; sedangkan prinsip moralitas Jawa berkenaan
dengan kewajiban kepada orang lain yan-glebih besar dari pada hak i dividu.
Hak individu harus dipandang dari sudut pandang kepentingan orang lain.
Terdapat beberapa penelitian yang dilakukan dalam rangka skripsi
mahasiswa program sarjana atau tesis dan disertasi mahasiswa program I

pascasarjana yang didasari teori Kohlberg. Hasil penelitian dan implikasinya


akan diinterpretasikan berdasarkan prinsip moraJitas Jawa.
Pertama, mengena.i tahap penalaran moral. Kusdwiratri Setiono ( 1982)
menemukan bahwa dari 180 mahasiswa Universitas Padjadjaran peserta
KKN yang di ukur penaJaran moralnya berdasarkan Moral Judgment
Interview atau disingkat MJI (Colby, 1979) : I% tahap 2, 56% tahap3 dan
43% tahap
4. Penelitian Budi Susilo (1986) yang menggunakan alat ukur yang sama,
menemukan diantara 71 mahasiswa di Yogyakarta yang aktif dan yang tidak
aktif dalam kegiatan Lembaga Sosial Masyarakat jugamemperolehhasiladanya
4
perbedaanantaramahasiswa yang aktif, yaitu 39% mencapai tahap sedang
4
mahasiswa yang tidak aktif hanya 8% mencapai tahap •
. kk
Hasil penelitian tersebut menunI u an bahwa tahap penalaran •moral
- · .
m ahas 1swa umumnya berk1 sar taha p
- 3 4 malahan lebih banyak tahap
t •

dan
3. Apakah hal ini berarti bahwa mahasiswa Indonesia yangmenjadi subyek
penelitian •belum mencapai perkembangan penalaran moral, yang optimal?
Dengan demikian apakah perlu dilakukan program intervensi untuk
meningkatkan tahap penalaran moral mahasiswa? Dari sudut pandang teori
Kohlberg tentang perkembangan penalaran moral harus dilaku'kan program
intervensi, sebab mahasiswa yang telah mencapai peri.ode perkembangan
dewasa muda hendaknya telah mencapai tahap 5. Seseorang mencapai tahap
5 berarti memiliki prinsip moral sendiri yang bisa sama atau berbeda dengan
sistem moral·masyarakat. Manusia yang mencapai tahap 5 penalaran
moralnya tidak akan terbawa arus mengikuti apa yang dianggap baik atau
buruk oleh m kat. Dengan demikian pencapaian tahap 5 tersebut
diperlukan untuk menempati posisi kunci dalam masyarakat.
Ap"abilate.muan dalam penel'itian tersebut d"interpretasi dari sudut
pandang mora.litas Jawa,penalaran moral tahap 3 tersebut sesuai dengan
prinsip moral yang didasari perhatian terhadap orang [ain dalam masyarakat
yang hierarkis. Hal ini berarti bahwa kebanyakan mahasiswa telah mencapai
perkembangan penalaran m-oral yang optimal. Dalam sudut pandang
moralitas Jawa, yang

... menganggap tingkah laku moral sangat penting, perlu dipertanyakan bagaimana
::::,
""Cl
V)
::::J dngkah laku moral mahasiswa, apakah sudah sesuai dengan tihgkah laku yang
·c
"'
0 pantas, antara lain seberapa jauh tingkah laku mahasiswa l;>erorientasi pada
.a nilai kerukunan•.
I!
0
I: Kedua, mengenai m kanisme perubahan. Asih menanti( 1990) menemukan
i:

• bahwadiskusi terpimpin tentang c-erita dilema mor 1 , . • i·k· f k


1 1 e e _ter
a , mem1 I
hadap
peningkatan tahap penalaran moral 24 remai,,a•·la d" k. an_
_g an mg
.
memb Dipindai dengan CamScanner
penalaran
E
moral dua kelompok remaia pelajar SMA . d" kusi
ya
. ng rnenga1am perlakuan Is
I:!. .

Dipindai dengan CamScanner


kelompok te d' • d .
. · _r iri an tahap yang sama, yaitu tahap 3
n k lompok latn memUiki taha
. P yang berbeda, yaitu tahap 3 dan 4. Kedua
k lompok men1ngkat tahapanpc I • .
. , na aranmoralnya.Adapunsumberpeningkatan
cahap d1temukan tcrjadinya
c elaboras1,.yaitu p·engkayaan wilayah terapan tahap

enalaran moral, dan bukan kon. fl 'k .

4I
p- I mo ral-kognltif. Atas dasar sudut

pandang mk·oraklttdS JawMa, tkemuan tcrsebut sesual dengan prlnsle untuk


mempertahankan
eru unan. e ·anisme peningkatan ap menurut Kqhlberg, ya.Itu konfh.k ! •····•·
tah
moral-kognitif ddak terjadl, sebab rnenurut pandangan Jawa terjadinya konflik i
"'
dengan orang lai.n harus dihlndari. Kondlsi ini m•enuntun pemikiran Jawa yang J
bO
peneI1tI
daJam berdiskusi tidak mencari argurnentasi untuk mempertentangkan konflik an

antar konsep yang dihadapi, melainkan mencari musyawarah untuk mufakat. .
. r
Menurut pandangan Jawa perbedaan pendapat antar pribadi dianggap dapat
"love
memperluas wawasan seseorang. Oleh karena itu pendapat yang berbeda withdra
wal''
dan
diupayakan untuk masuk sebagai pendapatnya sendiri. "inductio
n",
Ketiga, berkenaan dengan pendidikan moral. Kita pahami bersama bahwa hanya
tua,
ya1tu
di Indonesia terdapat program nasional pendidikan m-orar, yang didasari oleh powe
'
Pancasila serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu P-4.
Pendidikan moral Pancasiia tersebut sudah dimulai sejak anak sekolah di
Taman kanak kanak, bahkan selalu disarankan agar dalam pendidikan anak
dalam keluarga
sudah dijiwat oleh moral Pancasila. Adanya pendidikan moral Pancasila sejak
usia dini tersebut menimbulkan iklim moral di Indonesia. lklim moral yang
ditumbuhkan adalah kesadaran manusia Indonesia sebagai makhluk sosial
yang selalu diingatkan akan pentingnya mendahulukan pelaksanaan
kewajiban dari

pada menuntut hak pribadi.


Penelitian yang dilakukan lriani Mayarina ( 1984) tentang peran disiplin
orang tua terhadap perkembangan penalaran moral a.11ak (yang diukur

melalui "Moral Judgment Interview" dari Colby et.al., 1979), hasi1nya berbeda
dengan s
. ,. I tein ( 1976) Menurut Salztein dari ketiga tehnik disiptin orang
Dipindai dengan CamScarTiei
"'O

r,I

DO
C
.0 "'
E
L...

cf

Dipindai dengan CamScarTiei


'kan kontn·busi untuk penge·mbangan
tehnik disiplin u induct , on yang memben . d •plin i•induct1· on" t erseb ut
0
• • • •

anak•
penataran moral . t-
Ad ·a,s-,
kontribusi tehn1k
any tua anak, ya1tu oral)g ua
. ntara orang -
dijelaskan melalui kekhasan relasia ._ kan baik-buruk kepada
- dalam menanam
senantiasa memberikan afasan da anak untuk melihat
berikan peluang pa .
anak. Alasan tersebut akan mem . D ngan kata lain tehmk
-h dap orang lain. e •.
konsekuensi suatu tindakan tera . . ·adinya kesempatan
b 'k n peluang terJ
disiplin uinduction" tersebut akan mem ena - h penalaran moral.
k peningkatan ta ap ·
alih peran,.yang sangat dibutuhkan untu • k· 'k d' 1·f

- • ak ad a kaitan antara te. mLs1p


Penelitian lria ni Mayar ina menemukan tad ·
m
orang tua "inductiontl dengan penalaran moral anak. _ .
- Dari sudut pandang m-orah.tas Ja- -w- a, has·,1peneUtian tersebut dapat di1elaskan

dart sedikitnya penerimaan argumentas_1•• pada penanaman baik-buruk pada


anak. Orang tua sering menanamkan
gk ah 1a-ku yang kepada anak
tm• pantas-
tanpa memberikan pe jelasan umengapa,,nya. Kalau anak bertanya
mengenai a,asan suatu tingkah laku dian.ggap buruk,_sering hanya
ijawab "ora ilok"
(tabu).•

7.5. Epilog
Upaya untuk mengungkap moralitas menurut sudut pandang budaya
- Jawa tersebut merupakan upaya untuk menunjukkan adanya kekhasan
! budaya yang perlu diperhitungkan dalam konseptua'lisasi fungsi-fungsi psikis
-. manusia.
f
:,

; ,nterpretasi hasil penelitian yang didasari teori Barat perlu memperhitungkan


i kekhasan sudut pandang berdasarkan budaya dimana penelitian dilakukan.
l V> Pertanyaan yang perlu dicari jawabannya tentang konsep moral dan
pengembangannya adalah sejauh mana konseptualisasi Barat, dalam tulisan
Dipindai dengan CamScanner
i ni
.:il diwakili oleh teorl Kohlberg, dapat dipakal untuk memahami moralitas dan
pengembangannya di Indonesia. Sebagai contoh, moralitas dari sudut
pandang
j budayaJawa yang berakar pada konsep manusia sebagai mahkluk sosial, apakah
J cocok dengan era globalisasi yang menuntut konse t . . . . b gai
cf - • • P ua11sas, manus1a se a

Dipindai dengan CamScanner


n,ahkluk ind!viduaJ,yang rasional?Perubahan sos1al yang cepat, yang
melanda negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, juga
mendorong ke arah pemikiran apakah nilai rukun masih dapat
dipertahankan? Untu_kmenjawab pertanyaan- pertanyaan tersebut perlu
dilakukan penelitian tentang moralitas yang berorientasi pada pengaruh
kekhasan sosio budaya lokal disatu pihak,. G
•••••••••
dan era gl,obalisasi di lain pihak.

Dipindoi deogan ComScarnei-


DAFTAR PUSTAKA

Arbuthnot, J & D. Faust. 1981. Teaching Moral Re .. •


ason mg: eory -.
pract i ce.
th d
an
Harper and Row, New York.·

Arlin, P. K. 1975. Cognitive·development in. adulthood: a fifth. stage?


Development Psychology, vol. 2, 5: 602-606.

Asih Menanti. 1990.Peranan "Stimulasi DiskusiMoral" didalamMengembangkan


Penalaran Moral Remaja. Tesis·Program Studi Psikologi. Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

Blatt, M. & L. Kohlberg. 1973. The effect of classroom discussion upon


children's level of moral judgment. In Kohlberg & Turiel, eds.
Recent Research in Moral Development. Holt, Rinehart &
Winston, New
York.

Broughton, j. 1978. The Development of concept of self, mind, reality, and


knowledge. In W Damon ed. Social Cognition: new directions for
child development. Jossey Bass, San Francisco.

Budi Susilo. 1986. Perbedaan Tahap Penalaran Moral antara Mahasiswa


yang Aktifdan yang tidak Aktif dalam Kegiatan Lembaga Swadaya
Masyarakat di Yogyakarta.
Chadler, M. J. 1977. . _. .A lective review of current research
Cogn1t1on.. se • •
Social
her eds. Knowledge and develop ent
In W. F. Overton & J. M. GaIaI •
th ory Plenum Press New York
(voL I): Advances in Research and e • •

3nd
Colby, A. ,L. Kohleberg&J;Gibbs. 1979. The Measurement
Longitudinal Study of Moral Judgment. Final Progress report
toNIH Center for

Moral Educat.ion,'H- arvard n·ivers·,,ty· C-ambridge, Mass.

Colby, A. 1975. The Relation Between Logical and Moral Development.


Naskah yang belum dipublikasikan . Center for Moral Education,
Harvard University, Cambridge, Mass.

Colby, A. et.a!.1979. Standard Form Scoring Manual. Center for Moral


EducationHarvard University..USA..

Damon, D. 1979. Why study social cognitive development? Human


Development, 22: 206-21 I ..

Elkind,. D. 1974. Children and Adokents: lnterpretiye Essay on Jean


Piaget (2nd edition). Oxford University Press. New York.

Feffer, M ..H.1959. The cognitive implication of role taking behavior. Journal


of Personality, vol. 27: 152-168.

Feffer,.M. J., &.V. Gourevitch. 1960. Cognitive aspects of role taking in children.
Journal of Personality, vol. 28: 383-396.

Flavell, J. H. 1977. Cognjtive Development. Prentice:-Hall, Inc., Englewood


Cliffs. New Jersey.

Froman, T. & L.J Hubert. 1980. Application of prediction analysis to


Oipindai dengan CamScanner
developmental priority. Psychological Bulletin, vol. 87, I: l 36-146-

Oipindai dengan CamScanner


GeertI, H. 1982. Keluarga Jawa. Grafiti Pe Jk . .
rs, _a arta.1nam Mayarina.I984.
Hubungan antara Disiplin o - li _ .
_ - rang ua dan Penalaran MoralRemaja
Awali. Skripsi Faku!ltas Psikologi Universitas Pad· d'
ra Jaran.

Ginsburg, H. & S. Opper. 1979. Plaget"s Theory of Intellectual


Development.
Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. -
............
Haan, N., N. B. Smith& T. Block. I 968. The moraj reasoning of young
adults:

Poli.tical social behavior, family backgroun d 4 , personality and 1


soc1a.lcorrelates. journal cf Personality and Sociar Psychorogy IO: ,e
183-201. d

Harris, P. L. 1978. Cognitive Development. Naskah yang tidak


dipubfikasikan. Penataran Pasca Sarjana Psikologi Perkembangan
Fakultas Psikologj Universitas Indonesia.

Heymans,P.G. 1979. A secondary analysis of Kuhn's longitudinal data


on moral judgment devel'opment, with a- special emphasis on
regression on developmental rate. Paper presented at .the Tagung
Enwickelungspsicologie.

Holstein, C. B. 1968. Parental determinants of the development of moral


judgment. Unpublished doctoral dissertation. University of
California, Berkeley.

Holstein, C. B. 1973. Moral Judgment change in early adolescence and


middle age: A longitudinal study. Paper presented at the Society for
Research in Child Development, Philadelph·a.

lnhefder, B., H. Sinclair, & M. Bovet. 1974.. Learning and the development
of cognition. Harvard University Press, Cambridge, Mass.

Kerlinger, F. N .. 1964. Foundafon of Behavioral Research (2nd ed.). Holt,


Rinehart and Winston, London.

Oipindoi dengon ComScamei


. ..
and discontinuities in childhood
Kohlberg, L. & R. Kramer. 1969.Contsnu1t1es t 12·93·I 20 •
- Human Developmen, •• • .
and adult moral development.
. The Cognitive Developmental
KohIberg, L. 1969. Stage and Sequence.
. . .. D A. Goslin, ed. Handbook of
Approach to Soc1ahzatmn. In • • _.
. . . _ , h Rand McNally, Chicago.
Soc1ahzat1on Theory and Researc •

Kohlberg, L. 1971. From is to ought How to commit the naturalistic fallacy


;
and get away wi•t·h ·It m• the study of moraf development. In T. Mischel
ed. Cognitive development and epistemology. Academic Press, New

York.

Kohlberg,L. I976.MoralStagesand Moralization:TheCognitive-developmental


Approach; Dalam Likona, Th. Editor. Moral Development and
Behavior.Holt, Rinehart & Winston, New York, USA.

I b e r g_,L . 1976.Moral Stages and Moralization: The Cognitive-Development


Approach. In R. Uckona ed. Moral Development . and Behavior;
Theoryt Research, and Social Issues. Holt, Rinehart & Winston, New·
York.

Kohlberg, L. 1978. Essays in Moral Development. Center for Moral education


Harvard University, Cambridge, Mass.

Kohlberg, L. ed. Dalam persiapan penerbitan. RECENT research in Moral

Development. New York: Holt, Rinehart and w·inston.

Kramer, R. 1968. Changes in Moral Judgment Re sp p D ur Late


· onse attern g
.
m
Adolescence and Young Adulthood· Retr •...........................................tal

ogressIon m adeve1opmen
sequence. Ph. D•.Dissertation Univer 't v fCh' _
' sI . ., o 1cago.

Kusdwiratri S. 1982. Perkem bangan Ko . •gmsI


•S. . Mahasiswa. Diserta5
os,al
•I Fakultas Pascasarjana

Universitas p d'- d'


a Ja 1aran. Dipindai dengan CamScanner
..·1·
1.- 1.=,
·. ,'.

Dipindai dengan CamScanner


Kusdwiratri S. I 994. An lndi · A
genous pproach to Javanese Adolescence. Paper
yang di presentasikan pada pertemuan ilmiah International Association
for theStudy of Behavioral Development, Amsterdam, Nederland.

Langer, J. l 968••Theories of Development. Holt, Rinehart and Winston, Inc.,


New York.
GI
Lerner. R. M. I 976. Concepts and Theories of Human Development. Addison... ;·······
Wesley Publishing Company, Massachusetts. ti:::,
a.
1-
Uckonat T. ed. 1976. Moral Development and Behavior, theory, reearch and
social issues. Holt, Rinehart & Winston, Inc. New York.

Mead. G. H. 1934. Mind, Self and Society. University of Chicago Press.


Chicago.

Miller, P. H., F. S. Kessel & J. H. Flavell 1970. Thinking about peop'le


thinking

about p eople thinking about .. . : A Study of social cognitive


. .
development. Child Development, vol. 41: 613-623.

Mischel, T. 1974. Understanding other persons. Blackwell, Basit and Mott,


Oxford.
Mulder, N. 1992. Individual and Society in Java a Cultural Analysis. Gajah
MadaUniversity Press, Yogyakarta. .

-
Mulder. N. 1986. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Gaiah Mada
University Press, Yogyakarta.

Neimark, ,E, 1975. Intellectual development dur·ing adolescence. In F. D.


Horowitz .ed. Review of child development research.. University of
Chicago Press, Chicago.

.
P iaget, . I 958. The growth of logical thinking from childhood to adolescence.
J Trans. A. Persons &,Seagrin. Basic Books, Inc. New York.

Dipindoi dengan ComScomei


Dipindoi dengan ComScomei
Piaget, . R E. rupple & V. N. Rockastle
I 964. Development and Learning.In •
J.
U • ersity, New York.
eds. Pia.get rediscovered. CornelI rnv
. . . . d O. i·scence to adulthood. Human
Piaget, J. J'972. Intellectual evolution from a e
Development, 15:1-12.

Raharjo, S. 1979. Terna Egaliratian Hirarkhi dalam Sistem Nilai-Budaya


MasyarakatJawa, Masyarakat Indonesia. Majalah llmu-llmuSosialjilid

IV No.I . UPI Jakarta

Rawls, J. 1971. A Theory of Jusdce. Oxford University Press, Oxford.

Rest, j. 1974. Judging the important issues in moral dilemmas. Development


Psychology, I 0(4):491-40I.

Rest, J. 1974. Manual for The Defining lssuesTest - An Objective Test of


MoralJudgment Development. University of Mirmesosa. USA.

Selman, R. L. & D. F. Byrne. 1974. A structural dev,elopmental analysis of


levels of rore taking in middle childhood Child Development. 45:803-
806.

Selman, R. L. 1971. The reJation of roJe taking to the development of moral


judgment in children. Child Development, 42 ( I ):79-91.

Serman. R L. 1975. A Structural Development Mode·I of Social: Cognition:


rmpUcations for intervention research. Symposium Developmental
Counseling Psychology; early childhood and primary years. Harvard
University Press,.Cambridge, Mass.

Selman.R L J 976. Towardsa structural analysis of developing interpersonal


relation concepts: research with normal and disturbed preadolescent •
boys. rn Pick,A. De. d . Minnesota Sympos.ia on Child
Psychologyv, ol.
t,;

I 0.The University of Minnesota Press M' 11•


, , Inneapo11s.
t;


Dipindai dengan CamScanner
.i. ., 134'
. !.', ··1
1...i..:

Dipindai dengan CamScanner


Selman, R.L. 19BO.TheGrowthoflnter•pers-onalUnderst-and,_'ng d;
opm- a1·
e v er and clinical analysis. Academic Press. ent

Shantz. C. U. 1975. 5 The development of social cognition. fn E. M.


H,etherington ed. Review of Child Development Research. 5; J 27-

41
'l8 I. Universitas Chicago Press.

Thomas, R. M.1979. Comparing Theories of Child Development. Wadsworth ••••••


Publishing Companv,
/I
Inc., Befmot, California.
I..

Turie-1, E. 1966. An experimental test of the sequentiality of deveJopmental j


stages in the child's moral judgments.Journal of Personality and
Social Psychology, 3:611-618.

Turiel, E.. 1972 Experimentally Induced Developmental Change. Naskah


yang tidak dipublikasikan. Laboratory of Human Development.
Harvard University, Cambridge.

Turiel, E. 'I973. Stage transition in moral devel«:>pment, pp. 732-758. In R.


W. Travers ed. Second Handbook of Research on Teaching. Rand
McNally, Chicago.

Turiel. E. 1974. Conflict and transition fn adolescent moral.development.


Child Development. 45:14-29.

Walker, L. J. 1980. Cognitive and perspective-tak ing Prerequisites for moral


1

development. Child Development, 5 l: 131-139.


Lampiran-Lampiran
·

Dipindai dengan CamScanner


Lampiran I. llustrasi Perspektif sosial tiap
tingkatan penalaran moral
(Kohlbe.rg, 1976, hal. 36-3-8)

The case of Joe, 17 years old.

Why shouldn•t you steal from a store?


It's a matter of law. Ifs one of our rules that we're trying to help protect
everyone, protect property, not just to protect a store·. It's something that's
need in our society. If we didn't have these laws, people would steal, they
would not have to work for a living and our whole sodety would get out of
kilter.
Joe is concerned about keeping the law, and hisreason for being
concerned is the good of society as a whole. Clearly, he is speaking as a
member of society. It's one of our rules that we're making to protect everyone
in our society. This concern for the good of society arises from his taking the
point of view of "us members of society,'' which goes beyond the point of view
of Joe as a concrete, indi,vidual self.
Let us contrast this conventional member-of-s,odety perspective with the
pre conventional concrete individual perspective. The latter point of view
is that of the i n doo tfh e r individuals he may care about. Seven years
earlier, at age IO, Joe illustrated the concrete individual perspective in
response to the same question:

Why shouldn't you steal from a store?


It's not good to steal from the stor,e. It's against the law. Someone could see
you and call the police.
Being "against the law''. then, means something very different at the two
levels. At Level II, the law is made by and for "everyone", as Joe indicates at

Oipindai dengan CamScarnef


age 17. at level I, it is something enforced by the police and,accordingl_y,
the reason for obeying the law is to avoid punishment. This reason derives
from the limits of a Level I perspective. the perspective of an individual
considering his own interests and those of other isolated indiv1duars.
Let us now cons.Ider the perspective of the post conventional level. It is
like the pre conventional perspective in chat it returns to the standpoint of
1
the individual rather than taking the paint of view of ''us members of society.'
The individual point o.f view taken at the post conventional tevel, however,
can be universal; it is that of any rational mo-ral individual. Aware of the
member-of soc:iety perspectivet the pos-tconventional person questions and
redefines it in terms ofan individuaJ moral perspective, so that sociaJ
obligation are defined in ways that can be justified to any moral individual. An
individual's commitment to basic morality or mora[ pr:indples j:sseen as
preceding, or being necessary "for. his taking society's perspective or
accepting sodety,s laws and values, Society's law and values, in turn, should
be ones which any reasonable person courd c.omm1it himself to -whatever
his place in society and whatever society he belongs to. The post
conventional perspective, then is prior to society; it is the perspective of an
individual who has made the mo:ral commitments or hofds the standards on
which a good or just society must be based. This is a perspective by which
(I) a part,icular society or set of social.practices may be· judged and (2) a
person may rationally commit himself to a society.
An example is joe, our longitudinal subject, interviewed at age 24:

Why shouldn't someone steal from a store?


It's violating another person's rights, in this case to pr·operty.

Does the law enter- in?


wen, the law in most cases is based on what ism . h . , t a
ora11.y r, g · t so 1 t s n o
separate subject, it's a consideration.
What does 'jmorality" or umorally right" mean to you?
Recognizing the rights of other individuals first to l'f d h -
' 1e an t en to do as he

Pleases as long as it doesn't interfere with someb d . ..


- o Yeses1 rights.

The wrongness of stealing is that it violates the moraI1r;ghts of


individuars, which are prior to law and society. Property rights follow from

more universal human rights (such as fr edoms which do not interfere with ••••••••
the like freedom
,oof thers). Thedemands of law and society derive from universaf
moraJrights,
rather than vice versa.

It should be noted that reference to the words rights or morally right or


conscience does not necessarily distinguishconventionar frompost
conventional morality. Orienting to the morally right thing, or following
conscience as a inst following the law need not indicate the post
conventional perspective of the rational moral.individual..The terms
morality" and "conscience" may be used to refer to group rules and value.s
11

which conflict with civil laws or with the rules of he majority group. To a
Jehovah's Witness, who has gone to ;ail for ' consdence''_, conscience may
1

mean god's law as interpreted by his religious sect or group rather than the
standpoint of any individual oriented to universal moral principles or values.
To count as post conventional, such Ideas or terms must be used in a way that
makes is clear that they have a foundation for a rational or moral individual
who has not yet committed himself to any group or society or ·.ts morality.
"Trust/' for example, is a basic value at both the c:onventional and the post
conventional levels..At the conventional level, trustworthinessis something
you expect of other In your society.Joe exp:resse·s
this as follows at age 17:
Oipindai dengan CamScamei-
Why should a promise be kept, anyway?
·- d • • · on there's little grounds
Frren ship 1s based on trust. If you can't trust a pers '
to deal with him. You should try to be as reliable as possible because people
nd
remember y,ou by this, you're more respected if you can bedepe edupon.

At this conventional level, Joe views trust as a truster, as well as


someone who could break a trust. He sees that the individual needs to

betru5tw0rthy notonly to secure respect and to maintain social relationships


with others, but also because as a member of society he expects trust of
others in g·eneral.
At the post conventional level, the individual takes a further step. He
does not automatically assume that he is in asociety in which he needs the
frielldship and respect of other individuals. Instead he considers why any
society or social relationship presupposes trust. and why the individual, i.f he
is to contract into society, must be trustworthy. At age 24, Joe is post
conventional in his explanation of why a promise _should be kept:

I think human relationships iri general are based on trust, on believing in


other individuals. If you have no way of believing in someone else. you can't
deal with anyone else and it becomes every man for himself. Everything you
do jn a day's time is related to somebody else and if you can,t deal on a fair
basis, you have chaos.

We have defined a post conventional moral perspective in terms of the


individual's reasons why something is right or wrong. We need to illustrate
this perspective as it enters into making an actual decision or defining what
is right. The post conventional person is aware of the moral point of view
that each individual in a moral conflict situation ought to adopt. Rather than
defining expectations and obligations from the standpoint of societal roles, ...
as someone at he conventional level wouldt the pos conventional individual
Dipindoi dengan ComScElrrlel
---

h Jds that persons in these roles whould orientt " . " ·


o •0 a moral pomt of view".
While the post conventional moral view1pointd .. .
• oes a1so recognize fixed legal-
socia1obligations,recogn'ition of moral obligations may tak . ·ty h h
e pnon w :en t e
moral and legal viewpoint conflict.

At age 24 Joe reflects the post conventional moral point of view asa
decision-making perspective in response to Heinz's dilemma about stealinga ........
c
:
drug to save his wife: "g-
_j

It is the husband's duty to save his wife. The fact that her fife is in danger
transcends every other standard you might use to judge his action.. Ufe is
more important than property.

Suppose it were a friend. not his wife?


I don•t think that would be much different from a moral poin of view..It'sstill
a human being in danger.

Suppose it were a stranger?


To be consistent, yes, from a moral standpoint.

What is this moral standpoint?


I think every • d ' . d·
m 1 v , ua1 has a right to live and if there is a way of saving an
individual, he should be,saved.

Should the judge punish the husband?


Usually the moraI and the legal standpoints coincide. Here they conflict. The
judge should we,•gh the mo·ral standpoint more heavily but preserve the legal
'law in punishing Heinz lightly.
Lampiran 2. llustrasi
perspektif sosial
tiap tahap penal'aran moral
(Kohlberg, 1976, hal. 38-39)

SOCIAL PERSPECTIVE OF THE SIX STAGES

We will start With the easiest pair of stages to explain in thi way- Stages
3
• ·• •••• ..

and 4, comprising the conventional l,evel. In the preceding section we quoted l


0
the isolated individual" perspective of Stages I and 2 and contrasted it with .1•
Joe's full-fledged member-of-society perspective at age .I7, a perspective
which is Stage 4. Joes's statements about the importance of trust in dealing
with others dearly reflect the perspective of someone taking the point of
view of the social system. The social perspective at Stage 3 is less aware of
society's point of view, or of the good of the whole of society. As an example
of Stage 3, let us consider Andy's response to a dilemma about whether to
. -
tell your father about a brother's disobedi,ence after the brother has co111fid d
in you.

He,should think of his brother; but it's more·important to be a good son.

Your father has done so much for you. I'd have a conscience if I didn't tell,
more than to my brother, bec:ause my father couldn't trust me. My brother
would understand; our father has done so much for him, too.

Andy's perspective is not based on a social system. It is rather one in


whkh he has two relationships: one to his brother, one to his father. His
father as authority and helper comes first. Andy expects his brother to share
this perspective, but as someone centered on their father. There is no
reference
to the organization of the family in general.

Dipindai dengan CamScanner


Dipindai dengan CamScanner
·. Being a good son is said to be more important not because it isa more
important role in the eyes of, o,r in terms of; society as a whole or even in
terms of the family as a system.
The stage 3 member of-a group perspective is that of the average good
person, not that.of society or an institution as a whole. The Stage 3
perspective sees things from the point of view .0f shared relationships
between t!No or more individuals-relations of caring, trust, respect,.and so on -
rather than from the viewpoint of institutional wholes. In summary, whereas
the Stage 4 mernber of-society perspective is a "syste " perspective, the
Stage 3 perspective is that of a participant in a shared relationship or
shared group.
Let us tum to the pre conventional level. Whereas Stage I involv s
only the concrete individual's point of view, Stage 2 is aware of a
number.of other individuals, each having other points of view. At Stage 2, in
serving my interests I anticipate the other guy's reaction, negative or
positive, and he anticipates mine. Unless we make a deat each will put his
own point of.v1iew first. If we make a deal, each of us will do something
for the other.
An example of the shift from Stage·, toStage 2 is shown by the foll,owinl_,,
change in another subject's response between age I O and age 13 to a question
about whether an older should tell his father about his younger brother's
misdeed, reveal!ed in confidence. At '.I0, the subject gives a Stage I answer:

In one way it was right to tell because his father might beat Mm up. In
another way it's wrong because his brother will beat him up if he tells.

At age 13, he has moved to Stage 2:

The b;other should not tell or he'H get his brother in trouble. If he wants
his brother to keep quiet for him sometime, he'd better not squeal now.

Dipindai dengan CamScanner


In the second response, therei . . .
• s an extension of concern to the brother's
elfare as it affects the subject's ,ow •
W n interests through anticipated exchange.
There isa much clearer picture of the b h , . . .
• •rot er s point of view and 1ts
relationship to,his own.

Turning to the post t' I . . .


1ona 1eve1, a typi cal Stage S ori entati on
• conve
n
distinguishes between a moral point of view and a legal point of view, but •c••••••••

finds it difficult to define a moral perspective independent of the perspective l


behindcontractual,--legal rights. Joe, an advanced Stage 5, says with regard to

.1

Heinz's dilemma of whether to steal the drug to save his wife:

Usually the moral and the legal standpoint coincide. Here they conflict.
The judge should weigh the moral standpoint more...

For Joe. the moral point of view is not yet something prior to the legal
point of view. Both law and morality for Joe derive from individual rights and
values, and both are more or less on an equal plane. At Stage 6, obligation
is defined in terms of universal ethical principles of justice Here is a Stage 6
response to Heinz's dilemma:

It is wrong legally but right morally. Systems of law are valid only insofar
as they reflect the sort of moral law all rational people can accept. On must
consider the persona justice involved, which is the root of the social
contract. The ground of creating a society is 1individual justice, the right of
every person to an equal consideration of his claims in every situation, not
just those which
· can be•codified in law. Personal justice means, "Treat each person as an end,
not a means."

Dlplndni dengon ComScomer


This response indicates a very dear awareness of a moral point of view
based on a principle ('1Treat each pers n as an end. not a means") which
is more basic than, and from which one can derive, the socio-legal point of
view.
Lampiran 3 II t . . . •
• US ras1ge1ala regresi penalaran

moral (Kohlberg & Kramer,


1969, hal. I I 0-1I I )

The first response is that of . .. .. .


. . . . . • a genuine Stage 2 reasoner, a 12-year-old
from a Turkish village. The seco d _ .
n r,esponse 1s that of a "regressed" new .left
college student. at Berkeley in the late 19605_

Hamza (Turkish vi,llage, age 12):

(Should Hernz stea{ the rug?)


Yes, because nobody would give him the drug nd he had no money,
because his wife was dying it was right..
(Does the druggist have the right to charge that much for the
drug?)
Yes, because he is the only stor in the village it is right to sell.
(Should he steal the drug if he doesn't lov.e his wife?
U he doesn't love his wife he should not steal because he doesn't care
for her, doesn't care for what she says.
(How about if it is a good friend?
Yes - because he loves him friend and one day when he is hungry

his fri·end will help him.

Roger (age 20, a Berkeley Free Speech Movement Student):


He was a victim of drcumstance and can only be judged by other
men whose varying value and interest frameworks produce
subjective decisions which are neither permanent nor absolute. The
same is true of the druggist. I'd do it. As far as duty,.a husband's

duty is up to the husband to decide, and anybody can j;udge him,


and h,ecan judge him,
Dipindai dengan CamScarTief
and he can ;udge anybody's judgment. If he values her life over the
consequences of theft, he should do it.
(Did the druggist have a:right?)
one can ta.lk about rights until doomsday and never say anythip,g.
Does the lion have a right to the zebra's life when he starves?
When he
wants sport? Or when he will take it at will? Does he cons;der
rights? Is man so different?

Anda mungkin juga menyukai