Anda di halaman 1dari 19

Resume modul 1

HAKIKAT PENDIDIKAN KHUSUS

KB 1. Definisi dan Jenis Kebutuhan Khusus

A. Definisi Berbagai Istilah

Keluarbiasaan merupakan kata benda yang berasal dari kata sifat luar biasa, yang
dapat disejajarkan dengan kata exceptional dalam bahasa Inggris. Dengan demikian, secara
harfiah keluarbiasaan berarti menggambarkan sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang luar
biasa dapat berupa sesuatu yang sangat positif atau sebaliknya sesuatu yang negatif.
Sejalan dengan pemikiran inilah istilah keluarbiasaan digunakan dalam pendidikan luar biasa
(PLB). Dengan demikian, anak luar biasa (ALB) adalah anak yang mempunyai sesuatu yang luar
biasa yang secara signifikan membedakannya dengan anak-anak seusia pada umumnya.
Keluarbiasaan yang dimiliki anak tersebut dapat merupakan sesuatu yang positif, dapat pula
yang negatif. Dengan demikian, keluarbiasaan itu dapat berada di atas rata-rata anak normal,
dapat pula berada di bawah rata-rata anak normal. Oleh karena itu, jika kita berbicara tentang
anak luar biasa maka yang kita maksud bukan hanya anak-anak yang mempunyai kekurangan,
tetapi juga anak-anak yang mempunyai kelebihan.

Kebutuhan khusus dapat dimaknai sebagai kebutuhan khas setiap anak terkait dengan
kondisi fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau kecerdasan atau bakat istimewa yang
dimilikinya. Tanpa dipenuhinya kebutuhan khusus tersebut, potensi yang dimiliki tidak akan
berkembang optimal. Misalnya, anak tuna rungu akan terbantu dalam pembelajaran jika
kebutuhan khususnya, yaitu lebih banyak berinteraksi melalui penglihatan daripada
pendengaran dipenuhi. Sementara itu, anak dengan kecerdasan atau bakat istimewa akan
terbantu dalam proses pembelajaran jika materi yang harus dia pelajari diperkaya. Mengapa
istilah-istilah ini terus berubah? Alasan yang utama adalah menekankan sisi positif dari anak-
anak ini. Setiap anak mempunyai potensi, namun karena kondisi yang dialaminya, ia
memerlukan bantuan khusus agar kesulitan dapat diatasi dan potensi yang dimiliki dapat
berkembang optimal. Bantuan khusus inilah yang disebut sebagai kebutuhan khusus.

Dari uraian di atas, dapat disimak bahwa istilah anak berkebutuhan khusus (ABK)
memang mewakili semua anak yang mempunyai kelainan atau penyimpangan dari anak
normal, baik penyimpangan tersebut bersifat fisik, tingkah laku maupun kemampuan. Istilah
yang lebih halus digunakan untuk menggambarkan kondisi setiap jenis penyimpangan,
terutama yang penyimpangannya berada di bawah normal, seperti tunanetra, tunarungu,
tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras. Istilah-istilah ini meskipun menggambarkan
kekurangan, tetapi mengandung rasa bahasa yang dapat diterima.

B. Klasifikasi Anak dengan Kebutuhan Khusus

Kategori anak/ peserta didik dengan kelainan atau kebutuhan khusus berdasarkan jenis
penyimpangan, menurut Mulyono Abdulrachman (2000) dibuat untuk keperluan
pembelajaran. Kategori tersebut adalah sebagai berikut
1. Kelompok yang mengalami penyimpangan atau kelainan dalam bidang intelektual,
terdiri dari anak yang luar biasa cerdas (intellectually superior) dan anak yang
tingkat kecerdasannya rendah atau yang disebut tunagrahita.
2. Kelompok yang mengalami penyimpangan atau keluarbiasaan yang terjadi karena
hambatan sensoris atau indra, terdiri dari anak tunanetra dan tunarungu.
3. Kelompok anak yang mendapat kesulitan belajar dan gangguan komunikasi.
4. Kelompok anak yang mengalami penyimpangan perilaku, yang terdiri dari anak
tunalaras dan penyandang gangguan emosi, termasuk autis.
5. Kelompok anak yang mempunyai keluarbiasaan/penyimpangan ganda atau berat
dan sering disebut sebagai tunaganda.
Di Indonesia, ternyata keluarbiasaan atau kelainan seperti ini, merupakan satu
kebanggaan sehingga anak-anak yang dianggap luar biasa tersebut dikumpulkan dalam satu
sekolah, yang disebut sebagai sekolah unggul atau kelas unggul. Beberapa SLTP dan SMU
mencoba menjaring anak-anak yang dianggap mempunyai kemampuan di atas normal,
kemudian mengumpulkan anak-anak tersebut dalam satu kelas. Tujuan utamanya tentu agar
mampu memberi layanan yang sesuai dengan kebutuhan anak tersebut sehingga potensinya
dapat berkembang secara optimal. Bersaing dengan teman-teman yang mempunyai
kemampuan hampir sama tentu merupakan tantangan tersendiri bagi anak-anak ini. Namun,
tidak jarang terjadi, anak yang berkemampuan luar biasa menjadi frustrasi yang akhirnya
berujung pada timbulnya masalah sehingga harus mendapat penanganan khusus. Oleh karena
itu, masalah yang dihadapi anak berkebutuhan khusus yang berada di atas normal ini, tidak
jauh berbeda dengan masalah yang dihadapi anak berkebutuhan khusus yang berada di bawah
normal.
Jika kelainan di atas normal hanya dikenal dengan satu istilah maka kelainan di
bawah normal dikenal dengan berbagai istilah karena memang kondisi kelainan di bawah
normal sangat beragam. Jenis-jenis kelainan di bawah normal adalah (1) tunanetra, (2)
tunarungu, (3) gangguan komunikasi, (4) tunagrahita, (5) tunadaksa, (6) tunalaras, (7)
berkesulitan belajar, dan (8) tunaganda, yang masing-masing mempunyai kebutuhan khusus
sendiri-sendiri.

1. Tunanetra

Tunanetra berarti kurang penglihatan. Sejalan dengan makna tersebut, istilah ini
dipakai untuk mereka yang mengalami gangguan penglihatan yang mengakibatkan fungsi
penglihatan tidak dapat dilakukan. Oleh karena gangguan tersebut, penyandang tunanetra
menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan mereka yang penglihatannya berfungsi secara
normal. Sehubungan dengan itu, anak tunanetra mempunyai kebutuhan khusus yang menuntut
adanya pelayanan khusus sehingga potensi yang dimiliki oleh para tunanetra dapat
berkembang secara optimal

2. Tunarungu
Istilah tunarungu dikenakan bagi mereka yang mengalami gangguan pendengaran, mulai
dari yang ringan sampai dengan yang berat. Gangguan ini dapat terjadi sejak lahir
(merupakan bawaan), dapat juga terjadi setelah kelahiran. Istilah lain yang sering digunakan
untuk menggambarkan anak yang mengalami gangguan pendengaran adalah anak tuli. Namun,
sebenarnya istilah anak tuli ini hanya merupakan salah satu klasifikasi dari gangguan
pendengaran. Dalam bahasa Inggris sering disebut sebagai hearing impaired atau hearing
disorder. Oleh karena kondisi khusus ini, anak tunarungu memerlukan bantuan khusus, baik
dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pendidikan. Dalam derajat tertentu, tidak mustahil
anak-anak ini berada di kelas Anda.
3. Gangguan Komunikasi
Gangguan komunikasi atau dalam bahasa Inggris disebut communication disorder,
merupakan gangguan yang cukup signifikan karena kemampuan berkomunikasi
memungkinkan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain. Jika kemampuan ini
terganggu maka proses interaksi pun akan terganggu pula. Secara garis besar, gangguan
komunikasi dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu gangguan bicara (karena
kerusakan organ bicara) dan gangguan bahasa (speech disorder dan language disorder).
Gangguan bicara yang sering disebut sebagai tunawicara dapat disebabkan oleh
gangguan pendengaran yang terjadi sejak lahir atau kerusakan organ bicara, misalnya
lidah yang terlampau pendek sehingga anak tidak dapat memproduksi bunyi secara
sempurna. Gangguan pendengaran yang terjadi sejak lahir cenderung menjurus kepada
gangguan bicara karena yang bersangkutan tidak pernah mendengar suara sehingga
tidak mengenal suara. Sebagai akibatnya, anak tidak pernah punya persepsi tentang
suara. Oleh karena itulah, dikenal atau digunakan istilah tunarungu-wicara. Namun,
dengan adanya berbagai usaha untuk membantu anak tunarungu maka tunarungu tidak
selalu diasosiasikan dengan tunawicara.

4. Tunagrahita

Tunagrahita atau sering dikenal dengan cacat mental adalah kemampuan mental
yang berada di bawah normal. Tolok ukur yang sering dikenakan untuk ini adalah
tingkat kecerdasan atau IQ. Anak yang secara signifikan mempunyai IQ di bawah
normal dikelompokkan sebagai anak tunagrahita. Sebagaimana halnya anak
tunarungu, tunagrahita juga dapat dikelompokkan menjadi tunagrahita ringan,
sedang, dan berat. Meskipun yang menonjol dalam hal ini adalah kemampuan
mental yang di bawah normal, namun kondisi ini berpengaruh pada kemampuan
lainnya, seperti kemampuan untuk bersosialisasi dan menolong diri sendiri.
5. Tunadaksa
Tunadaksa secara harfiah berarti cacat fisik. Oleh karena kecacatan ini, anak tersebut
tidak dapat menjalankan fungsi fisik secara normal. Anak yang kakinya tidak normal karena
kena polio atau yang anggota tubuhnya diamputasi karena satu penyakit dapat dikelompokkan
pada anak tunadaksa. Istilah ini juga mencakup gangguan fisik dan kesehatan yang dialami
oleh anak sehingga fungsi yang harus dijalani sebagai anak normal, seperti koordinasi,
mobilitas, komunikasi, belajar, dan penyesuaian pribadi, secara signifikan terganggu. Oleh
karena itu, ke dalam kelompok ini juga dapat dimasukkan anak-anak yang menderita penyakit
epilepsy (ayan), cerebral palsy, kelainan tulang belakang, gangguan pada tulang dan otot, serta
yang mengalami amputasi.

6. Tunalaras
Istilah tunalaras digunakan sebagai padanan dari istilah behavior disorder dalam bahasa
Inggris. Kelompok tunalaras sering juga dikelompokkan dengan anak yang mengalami
gangguan emosi (emotionally disturbance). Gangguan yang muncul pada anak-anak ini berupa
gangguan perilaku, seperti suka menyakiti diri sendiri (misalnya mencabik-cabik pakaian atau
memukul-mukul kepala), suka menyerang teman (agresif) atau bentuk penyimpangan
perilaku yang lain. Termasuk juga dalam kelompok ini adalah anak-anak penderita autistik,
yaitu anak-anak yang menunjukkan perilaku menyimpang yang membahayakan, baik bagi
dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Misalnya, memukul-mukul secara berkelanjutan,
melempar/membanting benda-benda di sekitarnya, dan jari tangan yang diputar-putar. Di
samping autistik atau autism, dalam kelompok ini juga termasuk attention deficit disorder
(ADD) dan attention deficit hyperactive disorder (ADHD).
7. Anak Berkesulitan Belajar
Anak berkesulitan belajar merupakan anak-anak yang mendapat kesulitan belajar bukan
karena kelainan yang dideritanya. Anak-anak ini pada umumnya mempunyai tingkat
kecerdasan yang normal, namun tidak mampu mencapai prestasi yang seharusnya karena
mendapat kesulitan belajar.
8. Tunaganda
Sesuai dengan makna istilah tunaganda, kelompok penyandang kelainan jenis ini adalah
mereka yang menyandang lebih dari satu jenis kelainan. Misalnya, penyandang tunanetra dan
tunarungu sekaligus, penyandang tunadaksa disertai tunagrahita atau bahkan tunadaksa,
tunarungu, dan tunagrahita sekaligus. Tentu dapat dibayangkan betapa besarnya kelainan yang
disandang, yang tentu saja berdampak pada kompleksnya layanan pendidikan yang seyogianya
disiapkan.

KB 2. Penyebab dan Dampak Munculnya Kebutuhan Khusus


A. Penyebab Munculnya Kebutuhan Khusus

Berdasarkan waktu terjadinya, penyebab kelainan dapat dibagi menjadi tiga kategori seperti
berikut.
1. Penyebab Prenatal, yaitu penyebab yang beraksi sebelum kelahiran. Artinya, pada
waktu janin masih berada dalam kandungan, mungkin sang ibu terserang virus,
misalnya virus rubela, mengalami trauma atau salah minum obat, yang semuanya ini
berakibat bagi munculnya kelainan pada bayi. Berdasarkan penyebab ini, Anda tentu
dapat memahami kehati-hatian yang ditunjukkan oleh seorang calon ibu selama masa
kehamilan. Kehati-hatian ini merupakan satu usaha untuk mencegah beraksinya
berbagai penyebab yang memungkinkan terjadinya kelainan.
2. Penyebab Perinatal, yaitu penyebab yang muncul pada saat atau waktu proses
kelahiran, seperti terjadinya benturan atau infeksi ketika melahirkan, proses
kelahiran dengan penyedotan (di-vacuum), pemberian oksigen yang terlampau lama
bagi anak yang lahir premature. Dari uraian ini Anda dapat menduga betapa pentingnya
proses kelahiran tersebut. Keteledoran yang kecil dapat berakibat fatal bagi bayi.
Misalnya, keterlambatan memberi oksigen, kecerobohan menggunakan alat-alat atau
kelebihan memberi oksigen akan mengundang munculnya kelainan yang tentu saja
akan mengagetkan orang tua bayi.
3. Penyebab Postnatal, yaitu penyebab yang muncul setelah kelahiran, misalnya
kecelakaan, jatuh, atau kena penyakit tertentu. Penyebab ini tentu dapat dihindari
dengan cara berhati-hati, selalu menjaga kesehatan, serta menyiapkan lingkungan yang
kondusif bagi keluarga.

Di samping berdasarkan masa terjadinya, penyebab kelainan dapat dikelompokkan


berdasarkan agen pembawa kelainan. Banyak jenis pengelompokan yang dibuat oleh berbagai
organisasi, namun pada dasarnya pengelompokan ini bertitik tolak dari jenis kelainan.
Misalnya, tunagrahita dapat terjadi karena virus infeksi dan keracunan. Trauma, gangguan
metabolisme atau kekurangan gizi, serangan/gegar otak, kelainan kromosom, dan pengaruh
lingkungan atau karena bawaan (keturunan).
Tunarungu dapat disebabkan oleh keturunan, meningitis, influenza yang berkepanjangan,
penyakit gondok, campak, serta pengaruh lingkungan seperti perubahan tekanan udara yang
ekstrim, ada benda asing yang masuk dalam telinga, dan bunyi yang sangat keras. Tunanetra,
selain disebabkan oleh keturunan, juga disebabkan oleh penggunaan obat yang salah/berlebihan
selama hamil, pemberian oksigen yang berlebihan pada bayi premature, kecelakaan, tumor, dan
penyakit yang berhubungan dengan pembuluh darah.

B. Dampak Kelainan dan Kebutuhan Khusus


1. Dampak Kelainan bagi Anak
Kelainan yang terjadi pada anak akan membawa dampak tersendiri. Jenis dan
tingkat kelainan akan menentukan dampaknya bagi anak. Kelainan yang di atas normal,
yaitu anak yang mempunyai kemampuan/bakat luar biasa atau yang disebut anak
berbakat, barangkali akan mempunyai dampak sangat positif terhadap anak-anak ini.
Mereka akan merasa bangga dengan kelainan yang dimilikinya. Namun, jika anak
tersebut tidak tertangani secara baik, ada kemungkinan kelebihan yang dimilikinya
membuat dia sombong, merasa superior, dan merendahkan teman-temannya. Jika ini
yang terjadi, tentu anak tersebut dalam masalah. Di samping itu, kelainan atau
kelebihan yang dimiliki oleh anak berbakat dapat mempengaruhi berbagai aspek dalam
hidupnya.
2. Dampak Kelainan bagi Keluarga
Reaksi/sikap keluarga terhadap kelainan yang menimpa salah satu anggota keluarganya
dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya tingkat pendidikan, latar belakang budaya,
status sosial ekonomi keluarga, dan tentu saja jenis dan tingkat kelainan yang diderita.
Keluarga yang berpendidikan dan berasal dari latar belakang budaya tertentu mungkin
akan menerima kelainan yang diderita oleh anaknya karena anak dianggap sebagai
anugerah Tuhan yang wajib diberi kasih sayang. Meskipun dapat dipastikan bahwa reaksi
orang tua akan sama ketika harus menerima kenyataan yang jauh dari harapan, namun
tindak lanjut dari reaksi tersebut akan bervariasi. Ada yang secara sadar berusaha
mencari jalan untuk menolong anaknya agar mampu berkembang, ada yang pasrah saja
tanpa berbuat apa-apa karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, bahkan ada
juga yang menjadi tidak peduli atau lebih parah lagi, ada keluarga yang
menyembunyikan anaknya karena rasa malu. Kasus seperti ini, masih terjadi sehingga
tidak mudah untuk mendata ABK yang ada di satu daerah. Oleh karena itu, angka-angka
yang didapat tentang jumlah penyandang kelainan dapat dipastikan lebih kecil dari
keadaan yang sebenarnya.
Jenis dan tingkat kelainan juga menentukan reaksi keluarga terhadap kelainan ini.
Keluarga yang memiliki anak berbakat akan menjadi sangat bangga akan anaknya. Oleh
karena kebanggaan ini, tidak jarang keluarga memeras habis kemampuan anaknya
sehingga menimbulkan masalah bagi anak. Namun, tidak jarang juga ada keluarga yang
tidak peduli sehingga kemampuan luar biasa yang dimiliki anak tidak berkembang. Dalam
hal ini, kita harus selalu ingat bahwa perkembangan seseorang dipengaruhi oleh faktor
bawaan dan faktor lingkungan. Berbeda dengan anak berbakat, setiap keluarga yang
menyadari ada anggota keluarganya yang menyandang kelainan di bawah normal, lebih-
lebih yang tingkat keparahannya cukup tinggi, akan merasa terpukul. Mungkin diperlukan
waktu yang cukup lama sampai keluarga dapat menerima kenyataan tersebut

3. Dampak Kelainan bagi Masyarakat


Jika di lingkungan Anda ada ABK, baik yang memiliki kelainan di atas normal maupun di
bawah normal, cobalah amati bagaimana sikap masyarakat di sekitar Anda. Sikap
masyarakat mungkin sangat bervariasi tergantung dari latar belakang sosial budaya dan
pendidikan. Ada masyarakat yang bersimpati bahkan ikut membantu menyediakan
berbagai fasilitas, ada yang bersikap acuh tak acuh, bahkan tidak jarang ada yang bersikap
antipati sehingga melarang anak-anaknya bergaul atau berteman dengan ABK (terutama
yang di bawah normal). Tidak jarang pula keberadaan ABK di satu daerah dianggap
sebagai hukuman bagi masyarakat sekitar

KB 3. Kebutuhan Serta Hak dan Kewajiban Anak Berkebutuhan Khusus


A. Kebutuhan Anak Berkelainan ( Berkebutuhan Khusus)
Sebagaimana dikemukakan oleh Maslow (dalam Kolesnik, 1984) manusia sebagai
makhluk tertinggi memang mempunyai kebutuhan yang sangat kompleks, mulai dari
kebutuhan yang sangat mendasar (basic needs), seperti makan, tempat tinggal, dan rasa
aman, sampai dengan kebutuhan yang tertinggi, yaitu aktualisasi diri. Tidak berbeda
dengan orang-orang normal, para penyandang kelainan juga mempunyai kebutuhan yang
sama
1. Kebutuhan Fisik/Kesehatan
Kebutuhan fisik dan kesehatan yang akan kita bahas lebih banyak dikaitkan dengan
kondisi fisik para penyandang kelainan. Sebagaimana halnya orang normal, para
penyandang kelainan memerlukan fasilitas yang memungkinkan mereka bergerak
sesuai dengan kebutuhannya atau menjalankan kegiatan rutin sehari-hari tanpa
harus selalu tergantung pada bantuan orang lain. Kebutuhan fisik ini tentu terkait
erat dengan jenis kelainan yang disandang
2. Kebutuhan Sosial-Emosional
Bersosialisasi merupakan kebutuhan setiap makhluk, termasuk para penyandang
kelainan. Sebagai akibat dari kelainan yang disandangnya, kebutuhan tersebut kadang-
kadang susah dipenuhi. Berbagai kondisi/ keterampilan, seperti mencari teman,
memasuki masa remaja, mencari kerja, perkawinan, kehidupan seksual, dan
membesarkan anak merupakan kondisi yang menimbulkan masalah bagi penyandang
kelainan

3. Kebutuhan Pendidikan
Kebutuhan pendidikan penyandang keluarbiasaan, meliputi berbagai aspek
yang terkait dengan keluarbiasaan yang disandangnya. Misalnya, secara khusus,
penyandang tunarungu memerlukan bina persepsi bunyi yang diberikan oleh seorang
speech therapist, tunanetra memerlukan bimbingan khusus dalam mobilitas dan huruf
Braille, dan tunagrahita memerlukan keterampilan hidup sehari-hari. Namun secara
umum, semua penyandang kelainan memerlukan latihan keterampilan/vokasional dan
bimbingan karier yang memungkinkan mereka mendapat pekerjaan dan hidup mandiri
tanpa banyak tergantung dari bantuan orang lain. Para profesional yang terlibat dalam
memenuhi kebutuhan pendidikan penyandang keluarbiasaan antara lain guru
pendidikan khusus, psikolog yang akan membantu banyak dalam mengidentifikasi
kebutuhan pendidikan ABK, audiolog, speech therapist, dan ahli bimbingan. Guru
pendidikan khusus dapat merupakan guru tetap di sekolah luar biasa, dapat pula
sebagai guru pembimbing khusus di sekolah-sekolah terpadu. Di samping itu, akhir-
akhir ini muncul kebutuhan akan guru Pendidikan Jasmani yang khusus menangani
ABK. Diharapkan guru Pendidikan Jasmani ini akan mampu menyediakan
program/latihan yang sesuai dengan kondisi fisik/kebutuhan ABK yang diajarnya.
B. Hak Penyandang Kelainan
1. setiap anak punya hak yang fundamental untuk mendapat pendidikan, dan
harus diberi kesempatan untuk mencapai dan memelihara tahap belajar
yang dapat diterimanya;
2. setiap anak punya karakteristik, minat, kemampuan, dan kebutuhan
belajar yang unik;
3. sistem pendidikan harus dirancang dan program pendidikan diimplementasikan
dengan mempertimbangkan perbedaan yang besar dalam karakteristik dan
kebutuhan anak;
4. mereka yang mempunyai kebutuhan belajar khusus (ABK) harus mempunyai akses
ke sekolah biasa yang seyogianya menerima mereka dalam suasana pendidikan
yang berfokus pada anak sehingga mampu memenuhi kebutuhan mereka;
5. sekolah biasa dengan orientasi inklusif (terpadu) ini merupakan sarana paling efektif
untuk melawan sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang mau
menerima kedatangan ABK, membangun masyarakat yang utuh terpadu dan
mencapai pendidikan untuk semua; dan lebih-lebih lagi sekolah biasa dapat
menyediakan pendidikan yang efektif bagi mayoritas anak-anak serta meningkatkan
efisiensi dan efektivitas biaya bagi seluruh sistem pendidikan.

C. Kewajiban Penyandang kelainan

Sebagai warga negara para penyandang kelainan juga mempunyai kewajiban


yang harus dipenuhi. Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sisdiknas, Bab IV, Pasal
6, menetapkan bahwa:
1. setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar;
2. setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
penyelenggaraan pendidikan.

Dari Pasal 6 tersebut dapat disimak bahwa mengikuti pendidikan dasar merupakan
kewajiban bagi semua warga negara termasuk ABK. Hak dan kewajiban selalu
berdampingan. Penyandang kelainan bukanlah orang yang istimewa yang hanya
menuntut hak, tetapi mereka adalah orang biasa yang wajib menghormati hak orang lain,
mentaati berbagai aturan yang berlaku, berperan serta dalam berbagai kegiatan bela
negara sesuai dengan kemampuan mereka, berperilaku sopan dan santun, serta
kewajiban lain yang berlaku bagi setiap warga negara.
Resume Modul 2

MODUL 2 : HAKIKAT PENDIDIKAN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)


KB.1. Pengertian Pelayanan Pendidikan dan Sejarah Perkembangan Pendidikan Khusus di
Indonesia
A. Makna dan Jenis Pelayanan Pendidikan Bagi ABK
1. Makna Pelayanan Pendidikan
 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997:571), pelayanan diartikan sebagai :
- Perihal atau cara melayani
- Usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh imbalan (uang)
- Kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa.
Dengan demikian, kalau dikaji secara cermat, dalam konteks pelayanan terhadap kebutuhan
dari pencari layanan dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut dari penyedia
layanan. Suatu pelayanan dikatakan berhasil atau berkualitas tinggi jika layanan yang
diberikan sesuai dengan kebutuhan para pengguna layanan. Inilah yang merupakan kata kunci
dalam keberhasilan pelayanan, lebih-lebih dalam konteks pelayanan pendidikan bagi ABK.
Oleh karena itu, kaitan kebutuhan dan pelayanan harus selalu dipegang oleh seorang guru.
 Makna pendidikan yang terdapat dalam UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas. Dalam Bab 1,
pasal 1, ayat 1, ditetapkan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”
Dengan mencermati makna pelayanan dan pendidikan, kita dapat menyimak bahwa istilah
pelayanan pendidikan atau layanan pendidikan mengacu kepada penyediaan jenis layanan
yang sesuai dengan kebutuhan yang dilayani sehingga memungkinkan seseorang
mengembangkan potensi dirinya. Istilah pelayanan pendidikan atau layanan pendidikan
sengaja ditekankan untuk anak berkelainan karena anak ini memang mempunyai kebutuhan
khusus yang perlu pelayanan khusus pula.
Bagi penyandang kelainan, layanan pendidikan mempunyai makna yang cukup besar
karena memerlukan pelayanan ekstra, yang berbeda dari layanan yang diberikan kepada
orang-orangyang tidak menyandang kelainan. Sesuai dengan jenis kelainan yang mereka
sandang, ada perbedaan dalam kemampuan belajar, perkembangan sosio-emosional yang
berdampak pada kemampuan bersosialisasi, serta kondisi fisik dan kesehatan. Kelainan ini
dapat berkombinasi sehingga kebutuhan pelayanan yang diperlukan semakin kompleks, dan
makin jauh berbeda dari layanan yang dibutuhkan orang biasa. Dengan demikian, kebutuhan
para ABK merupakan suatu yang khas yang harus dijadikan landasan dalam pendidikan agar
pelayanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan.

2. Jenis Pelayanan Pendidikan bagi ABK


Sesuai dengan kebutuhan para penyandang kelainan, jenis pelayanan pendidikan dapat
dibedakan menjadi 3 kategori, yaitu :
a. Layanan pendidikan yang berkaitan dengan bidang kesehatan dan fisik, seperti kebutuhan
yang berkaitan dengan koordinasi gerakan anggota tubuh dan berbagai jenis gangguan
kesehatan, melibatkan berbagai tenaga profesional, seperti ahli terapi fisik (physical
therapist, occupational therapist, dan berbagai dokter ahli)
b. Layanan pendidikan yang berkaitan dengan kebutuhan emosional sosial, seperti
kebutuhan yang berkaitan dengan konsep diri, penyesuaian diri dengan
lingkungan/masyarakat sekitar, menghadapi peristiwa penting dalam hidup, dan
kebutuhan bersosialisasi. Layanan ini melibatkan para psikolog dan pekerja sosial.
c. Layanan pendidikan yang berkaitan langsung dengan kebutuhan pendidikan, yang
merupakan kebutuhan terbesar para penyandang kelainan, melibatkan ahli pendidikan
dari berbagai bidang dan psikolog. Sesuai dengan luasnya bidang pelayanan pendidikan
ini, berbagai model pelayanan pendidikan telah dikembangkan yang dapat disediakan
untuk ABK.
Ketiga jenis pelayanan pendidikan di atas tentu sangat bermakna bagi ABK karena tanpa
tersedianya layanan tersebut, para ABK kemungkinan besar tidak akan mampu
mengembangkan potensinya secara optimal. Oleh karena itu pelayanan pendidikan bagi ABK
merupakan kebutuhan dasar yang seharusnya disediakan oleh negara dan masyarakat.

B. Sejarah Perkembangan Layanan Pendidikan Khusus


Pendidikan khusus tumbuh dari satu kesadaran awal bahwa beberapa anak membutuhkan
sejenis pendidikan yang berbeda dari pendidikan biasa agar dapat mengembangkan potensi
mereka. Akar dari kesadaran ini dapat ditelusuri di Eropa pada tahun 1700-an ketika para
pionir tertentu mulai membuat upaya-upaya terpisah untuk pendidikan anak berkebutuhan
khusus.
Salah satu upaya tersebut dengan mendirikan lembaga-lembaga residensial yang didirikan
di Amerika Serikat untuk mengajar penyandang cacat terbanyak di awal 1800-an. Hal ini
membuat Amerika Serikat menjadi negara yang memimpin negara-negara lain dalam
pengembangan pendidikan khusus di seluruh dunia.
Dewasa ini, peran lembaga pendidikan sangat menunjang tumbuh kembang dalam
mengolah system maupun cara bergaul dengan orang lain. Selain itu lembaga pendidikan tidak
hanya sebatas untuk system bekal ilmu pengetahuan, namun juga memberi skil hidup yang
diharapkan bermanfaat di masyarakat.
Lembaga pendidikan tidak hanya ditunjukkan kepada anak yang normal saja, tapi juga
anak-anak keterbelakangan mental.
Di Indonesia dimulai ketika Belanda masuk ke Indonesia (1596-1942), dimana dengan
memperkenalkan system persekolahan dengan orientasi barat, untuk pendidikan bagi anak
penyandang cacat dibuka lembaga-lembaga khusus. Lembaga pertama untuk anak tunanetra,
tunagrahita tahun 1927 dan untuk tunarungu tahun 1930 yang ketiganya terletak di Kota
Bandung.
Tujuh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Pemerintah RI mengundang-undangkan
tentang pendidikan. Undang-undang tersebut menyebutkan pendidikan dan pengajaran luar
biasa diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan (pasal 6 ayat 2) dan untuk itu
anak-anak tersebut berhak dan diwajibkan belajar di sekolah sedikitnya 6 tahun (pasal 8).
Dengan ini dapat dinyatakan berlakunya undang-undang tersebut maka sekolah-sekolah
baru yang khusus bagi anak-anak penyandang cacat, termasuk untuk anak tunadaksa dan
tunalaras yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB).
Berdasarkan urutan berdirinya SLB pertama untuk masing-masing kategori kecacatan SLB
dikelompokkan menjadi:
1. SLB A untuk anak tunanetra (Buta)
2. SLB B untuk anak tunarungu (Tuli)
3. SLB C untuk anak tunagrahita (keterbelakangan mental)
4. SLB D untuk anak tunadaksa (cacat fisik)
5. SLB E untuk anak tunalaras (cacat pengendalian diri)
6. SLB F untuk anak berbakat
7. SLB G untuk anak tunaganda (cacat kombinasi)
Pemerintah juga mendirikan sekolah terpadu, yaitu sekolah dasar biasa yang juga melayani
anak berkebutuhan khusus, dan SDLB yaitu sekolah dasar yang memberi layanan kepada ABK
dari semua jenis. Sekolah terpadu diniatkan untuk memberi kesempatan kepada ABK yang
memenuhi syarat bersekolah bersama dengan anak-anak normal lainnya sehingga jurang yang
memisahkan antara ABK dan anak normal dapat dipersempit.
Pada perkembangan selanjutnya, Sekolah terpadu tidak hanya diselenggarakan pada
jenjang sekolah dasae, tetapi juga pada jenjang sekolah dasar, tetapi juga pada jenjang
pendidikan yang lebih tinggi, yaitu SMP dan SMA. Di lain pihak, swasta juga memberikan
pelayanan pendidikan bagi ABK sehingga jumlah sekolah untuk ABK meningkat tajam.
Perhatian yang besar terhadap ABK ditunjukkan oleh yayasan yang bergerak di bidang sosial
dan pada umumnya diprakarsai oleh para orang tua yang mempunyai ABK. Dari hasil survei
yang dilakukan pada tahun 1988 oleh Tim Konsultan PLB, ternyata pendirian SLB kadang-
kadang dimulai di sebuah garasi keluarga, yang menampung ABK dari sekitarnya. Data dari
Direktorat Pendidikan Dasar menunjukkan adanya kenaikan jumlah sekolah negeri dan swasta,
seperti pada tabel berikut :
Jumlah Sekolah Jumlah Siswa
No Jenis Sekolah
1993/1994 1998/1999 1993/1994 1998/1999
1 SLB Negeri 23 35 2.055 2.875
2 SLB Swasta 583 811 27.930 33.974
3 SDLB (Negeri) 209 218 8.385 9.135
4 Pendidikan Terpadu 84 184 246 961
(Negeri)
Jumlah 899 1.248 38.616 46.945
Pada tahun 2010 , terbit Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010
(PP No. 17/2010) tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam PP No.
17/2010 tersebut, Pasal 130 ayat 1 dan 2 berbunyi sebagai berikut :
1. Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan pada
semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
2. Penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui datuan pendidikan
khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan
pendidikan keagamaan.
Dalam PP No. 17/2010 iini membuka peluang bagi ABK untuk mendapatkan pelayanan
pendidikan bagi semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah. Sebutan SLB A, SLB B, dan sebagainya tidak ada lagi, diganti dengan SDLB,
SMPLB, dan SMALB. Ketentuan-ketentuan ini menyiratkan bahwa anak berkelainan tidak
selalu harus dipisahkan dari anak normal atau dipisahkan menurut jenis kelainan yang
disandangnya

Anda mungkin juga menyukai