Anda di halaman 1dari 39

KATA PENGANTAR

Kisah wali songo dari dulu hingga sekarang masih tetap memikat banyak orang. Terutama
salah satu kisah wali dari Tuban yaitu Sunan Kalijaga.

Kisah penyebaran agama islam di Tanah Jawa secara besar-besaran ini mengundang rasa
kekaguman semua pihak, baik dari kalangan islam sendiri maupun dari kalangan pemeluk
agama lain.

Sebagai contoh, misionaris kristen telah berjuang selama ratusan tahun untuk
mengkristenkan penduduk Jawa dan indonesia pada umumnya namun mereka tak bisa
mencapai kebehasilan gemilang sebagaimana telah dicapai oleh wali songo.

Salah satu wali songo yaitu Sunan Kalijaga mencapai kebehasilan dakwah dari Jawa
Tengah hingga Jawa Barat. Sunan Kalijaga sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah
sehingga dapat diterima dan diaanggap sebagai guru suci setanah Jawa.

Apa rahasia Keberhasilan dakwah Sunan Kalijaga?


Anda dapat mengetahui setelah membaca makalah ini.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................. i

DAFTAR ISI …………………………………………. ii

BAB I : PENDAHULUAN ………………………………………… 3

A.Latar Belakang ………………………………………... 3

B.Rumusan Masalah ………………………………………… 4

C.Tujuan Pembahasan ……………………………………….... 4

BAB 2 : PEMBAHASAN ………………………………………... 5

A.Biografi Sunan Kalijaga ………………………………………… 5

B.Masa Muda Sunan Kalijaga ………………………………………… 7

C. Sunan Kalijaga dan Kesenian ………………………………………… 18

BAB 3 PENUTUP …………………………………........... 36

KESIMPULAN ……………………………………….. 36

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………… 37


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak zaman prasejarah penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-
pelayar handal yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada
rute-rute pelayaran dan perdagangan antar pulau Indonesia dengan daerah di daratan Asia
Tenggara. Wilayah barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan
wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil yang dijual disana menarik
para pedagang dan menjadi lintasan penting antara Cina dan India
Masuknya Islam ke daerah-daerah di Indonesia tidak dalam waktu bersamaan. Pada
abad ke-7 sampai ke-10 kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya sampai ke Malaka
dan Kedah. Hingga sampai akhir abad ke-12 perekonomian Sriwijaya mulai melemah.
Keadaan seperti ini dimanfaatkan Malaka untuk melepaskan diri dari Sriwijaya hingga
beberapa abad kemudian Islam masuk ke berbagai wilayah Nusantara, dan pada abad ke-
11 Islam sudah masuk di pulau Jawa.
Pada abad 15 para saudagar muslim telah mencapai kemajuan pesat dalam usaha
bisnis dan dakwah hingga mereka memiliki jaringan di kota-kota bisnis di sepanjang
pantai Utara. Komunitas ini dipelopori oleh Walisongo yang membangun masjid pertama
di tanah Jawa, Masjid Demak yang menjadi pusat agama yang mempunyai peran besar
dalam menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa. Walisongo berasal dari keturunan syeikh
ahmad bin isa muhajir dari hadramaut. Beliau dikenal sebagai tempat pelarian bagi para
keturunan nabi dari arab saudi dan daerah arab lain yang tidak menganut syiah.
Penyebaran agama Islam di Jawa terjadi pada waktu kerajaan Majapahit runtuh
disusul dengan berdirinya kerajaan Demak. Era tersebut merupakan masa peralihan
kehidupan agama, politik, dan seni budaya. Di kalangan penganut agama Islam tingkat
atas ada sekelompok tokoh pemuka agama dengan sebutan Wali. Zaman itu pun dikenal
sebagai zaman “kewalen”. Para wali itu dalam tradisi Jawa dikenal sebagai “Walisanga”,
yang merupakan lanjutan konsep pantheon dewa Hindhu yang jumlahnya juga Sembilan
orang.
Meski Kisah Walisongo sebenarnya penuh kontrioversi, tetapi kisah itu cukup
menarik dan memikat hati. Bahkan banyak sekal hikmah yang dapat kita petik untuk
berjuangmenegakkkan Islam didaerah ki masing-masing. Strategi mereka dalam
menjaring masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura untuk memeluk agama Islam benar-
benar patut diacungi jempol. Mereka bisa diterima di berbagai kalangan masyarakat, dari
kelas bawah hingga kelas atas yaitu bangsawan dan raja-raja.
Secara umum, yang dianggap Sunan atau Walisongo di Tanah Jawa adalah
sebagai berikut :
1. Syeikh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
2. Raden Rahmat atau Sunan Ampel
3. Raden Paku atau Sunan Giri
4. Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang
5. Raden Qosim atau Sunan Drajad
6. Raden Said atau Sunan Kalijogo
7. Raden Umar Said atau Sunan Muria
8. Jakfar Sodiq atau Sunan Kudus
9. Syarif Hidayatulloh atau Sunan Gunungjati
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan saran yang membangun
sungguh akan kami hargai sekali.
B. Rumusan Masalah
A. Bagaimanakah perkembangan Islam di Jawa pada masa permulaan?
B. Bagaimanakah sejarah kehidupan sunan kalijaga?
C. Bagaimanakah peranan sunan kalijaga dalam penyebaran Islam di
Jawa?

C. Tujuan pembahasan
a. untuk memenuhi tugas makalah
b. mengetahui peranan sunan kalijaga dalam penyebaran islam dijawa
c. untuk mengetahui sejarah hidup dari sunan kalijaga beserta karya-
karyanya
BAB 2
PEMBAHASAN
BIOGRAFI SUNAN KALIJAGA

Banyak perbedaan mengenai nama Sunan Kalijaga. Ada pendapat berasal dari Arab,
Cina atau dari kata Jawa asli. Sebagian orang mengatakan bahwa nama Kalijaga itu berasal
dari kata-kata bahasa Arab yang telah disesuaikan menurut lidah orang Jawa, yaitu dari kata
“Qodli Zaka”, yang berarti hakim suci atau penghulu suci. Sebagai alasan, mereka
mengatakan bahwa di dalam hidupnya Sunan Kalijaga terkenal sebagai tokoh yang banyak
menghakimi segala pertentangan di antara raja-raja Demak yang berselisih dan bertengkar,
bahkan peristiwa Siti Jenar pun Sunan Kalijaga yang menjadi hakimnya.

Ada pula yang mengatakan bahwa nama Kalijaga ini berasal dari bahasa cina, yaitu
nama Mas Said (nama kecilnya) berasal dari kata “Oei Sam Ik”, kemudian diucapkan
menurut lidah Jawa menjadi Said, atau R.M Syahid yang kemudian bergelar dengan
sebutan Sunan Kalijaga.

Menurut cerita, dinamakan Kalijaga juga karena dia bertapa di sungai sampai semak
belukar tumbuh merambati badannya. Kalijaga artinya menjaga kali, berasal dari kata-kata
kali yang berarti air yang mengalir, dan kata jaga yang berarti menjaga. Jadi berarti orang
yang menjaga semua aliran atau kepercayaan yang hidup di dalam masyarakat. Selain Mas
Said (R.M. Syahid) dan Kalijaga, ia juga mempunyai nama Brandal Lokajaya, Syeikh
Malaya, pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman.

Tentang silsilah Sunan Kalijaga inipun ada perbedaan, karena memang tidak ada
catatan resmi dan bahan sejarah berupa naskah yang dapat dijadikan pegangan. Ada yang
mengatakan bahwa Sunan Kalijaga itu dari keturunan bangsa Cina, Arab atau dari
keturunan Jawa asli.

Pendapat Sunan Kalijaga dari Keturunan Cina

Menurut buku Kumpulan Ceritera Lama dari Kota Wali (Demak), yang ditulis oleh
S. Wardi dan diterbitkan oleh Wahyu, menuturkan bahwa Sunan Kalijaga sewaktu kecil
bernama Said. Beliau anak seorang cina yang bernama Oei Tik Too. Oei Tik Too ini
mempunyai putera yang kemudian menjadi bupati Tuban, namanya Wirotikto (bukan
Wilotikto). Bupati Wirotikto ini mempunyai anak laki-laki bernama Oei Sam Ik, dan
terakhir di panggil Said.

Catatan-catatan yang diketemukan oleh Residen Poortman pada tahun 1928 dari
klenteng Sam Poo Kong Semarang mengatakan bahwa banyak sekali tokoh-tokoh raja-raja
Jawa pada jaman Demak dan Para Wali adalah dari keturunan Cina. Disebutkan bahwa
orang yang bernama Gang Si Cang (Sunan Kalijaga) ikut membuat atau mendirikan Masjid
Demak. Jadi ini menunjukkan bahwa Sunan Kalijaga dari keturunan bangsa Cina.
Pendapat Sunan Kalijaga dari Keturunan Arab

Menurut buku De Hadramaut et ies Colonies Arabes Dans ’I Archipel Indien, karya
Mr. C. L. N. Van De Berg, Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab asli. Dan di dalam buku
tersebut diceritakan pula bahwa tidak hanya Sunan Kalijaga saja, tetapi semua Wali di Jawa
adalah dari keturunan Arab.

Menurut buku tersebut, silsilah Sunan Kalijaga sebagai berikut; Abdul Muthalib
(Kakek Nabi Muhammad), berputra Abbas, berputra Abdul Wakhid, berputra Mudzakkir,
berputra Adullah, berputra Khasmia, berputra Abdullah, berputra Madro’uf, berputra
‘Arifin, berputra Hasanuddin, berputra Jamal, berputra Akhmad, berputra Abdullah,
berputra Abbas, berputra Kourames, berputra Abdurrakhim (Ario Tejo, bupati Tuban),
berputra Tejo Laku (Bupati Majapahit), berputra Lembu Kusuma (Bupati Tuban), berputra
Tumenggung Wilotikto (Bupati Tuban), berputra Raden Mas Said (Sunan Kalijaga).

Pendapat Sunan Kalijaga dari Silsilah Jawa

Menurut keterangan salah seorang pembantu majalah penyebar semangat Surabaya


dari Yogyakarta (Sdr. Tj M: Tjantrik Mataram) yang mendapat keterangan dari Sdr.
Darmosugito (Wartawan Merdeka) yang juga trah Kalinjangan, mengatakan bahwa Sunan
Kalijaga adalah asli orang Jawa atau keturunan Jawa. Silsilahnya adalah sebagai berikut.

Adipati Ranggalawe (Bupati Tuban), berputra Ario Tejo I (Bupati Tuban), berputra
Ario Tejo II (Bupati Tuban), berputra Ario Tejo III (Bupati Tuban), berputra Raden
Tumenggung Wilotikto (Bupati Tuban), berputra Raden Mas Said (Sunan Kalijaga).

Menurut keterangan, Ario Tejo I dan II ini masih memeluk agama Syiwa. Hal ini
bisa saksikan dari bukti makamya yang berada di Tuban, yang memakai tanda Syiwa.
Tetapi Ario Tejo III sudah memeluk agama Islam, hal ini juga terlihat dari tanda yang ada
dimakamnya.

Sebagaimana tersurat dalam sejarah Indonesia Walisongo (termasuk Sunan


Kliajaga), adalah pelopor dan pemimipin dakwah Islam yang berhasil merekrut murid-
murid untuk menjalankan dakwah di setiap penjuru negeri. Dan orang-orang Indonesia
mengenal dai dari Alawiyyin (tokoh-tokoh asyraf, keturunan Ali dan Fatimah binti
Rosulullah Saw) tersebut dengan sebutan ”wali-wali”, sedangkan di Jawa khususnya
mereka dikenal dengan nama sunan.

Mengenai kapan tepatnya kelahiran Sunan Kalijaga pun menyimpan misteri. Ia


diperkirakan lahir pada tahun 1430-an, dihitung dari tahun pernikahan Sunan Kalijaga
dengan putri Sunan Ampel. Ketika itu ia berusia 20-an tahun. Sunan ampel yang diyakini
lahir pada 1401, ketika menikahkan putrinya dengan Sunan Kalijaga, ia berusia 50-an
tahun. Tetapi ada juga yang mengatakan ia lahir ada tahun 1450 dan 1455. ayahnya
bernama Tumenggung Wilotikto (Wiwatikta atau Raden sahur), dan ibunya bernama Dewi
Retno Dumilah.

Dikisahkan bahwa Sunan Kalijaga mempunyai tiga orang isteri. Nama istri dan
anak-anaknya adalah sebagai berikut. Pertama, Dewi Saroh binti Maulana Ishak, yang
dikarunia 3 orang anak, yaitu; Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rukayah, dan Dewi
Sofiah. Kedua, Siti Zaenab binti Sunan Gunung Jati, yang dikarunia 5 orang anak, yaitu;
ratu Pambuyan, Nyai Ageng Panegak,, Sunan Hadi, Raden Abdurrahman, dan Nyai Ageng
Ngerang. Ketiga; dengan Siti Khafsah binti Sunan Ampel (tidak ada keterangan
selengkapnya).

Sunan Kalijaga dikenal sebagai muballigh, ia sangat populer dan pandai bergaul
dengan semua lapisan masayarakat. Dari kalangan bawah sampai kalangan atas. Hal ini
dapat dimengerti, karena Sunan Kalijaga adalah sebagai muballigh keliling yang
mendatangi daerah-daerah sampai jauh ke pelosok dan kota-kota, dan memang dalam hal
ini ada wali yang hanya berdakwah di daerahnya saja, mendirikan padepokan atau
pesantren di tempat domisilinya.

Sunan Kalijaga merupakan ulama termuda yang diangkat menjadi wali, tetapi
memiliki ilmu paling tinggi dan paling lama pula menjalankan tugas dakwahnya. Pola
dakwah yang dikembangkan mirip dengan guru sekaligus sahabatnya, Sunan Bonang.
Kedua wali ini cenderung menganut faham sufistik berbasis salaf, bukan sufi-panteistik
(pemujaan semata). Sunan Kalijaga juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana
yang efektif untuk berdakwah.

MASA MUDA SUNAN KALIJAGA

Kisah masa muda Raden Sa’id ada dua versi. Menurut versi pertama, pada waktu
masih kecil Raden Sa’id sudah disuruh mempelajari agama Islam oleh ayahnya di Tuban.
Akan tetapi, karena ia melihat kondisi lingkungan yang kontradiksi dengan ajaran agama
itu, maka jiwa Raden Sa’id memberontak. Ia melihat rakyat jelata yang hidupnya sengsara,
sementara bangsawan Tuban hidup berfoya-foya. Pejabat kadipaten menarik upeti kepada
rakyat miskin dengan semena-mena dan para prajurit kadipaten menghardik rakyat kecil
dengan sewenang-wenang. Ketika ia tidak tahan lagi melihat penderitaan orang-orang
miskin pedesaan, maka pada waktu malam, ia sering mengambil sumber bahan makanan
dari gudang kadipaten dan memberikannya kepada rakyat miskin (Rahimsah, 2002: 74).

Lama kelamaan tindakan Raden Sa’id itu diketahui oleh ayahnya, sehingga ia
mendapat hukuman yang keras, yakni diusir dari istana. Ia akhirnya mengembara tanpa
tujuan yang pasti. Ia kemudian menetap di hutan Jatiwangi. Di hutan itu, ia menjadi
seorang yang berandal. Ia merampok orang-orang kaya yang pelit kepada rakyat kecil dan
hasil rampokannya diberikannya kepada rakyat miskin (Rahimsah, 2002:78).
Versi kedua menyatakan bahwa Raden Sa’id benar-benar seorang yang nakal sejak
kecil dan kemudian berkembang menjadi penjahat yang sadis. Ia suka merampok dan
membunuh tanpa segan. Ia berjudi ke mana-mana. Setiap habis botoh-nya ia merampok
kepada penduduk. Selain itu digambarkan Raden Sahid adalah seorang yang sangat sakti.
Karena kesaktianya beliau mendapat julukan berandal Lokajaya (Marsono, 1996).

Pada suatu ketika, Lokajaya merampok Sunan Bonang di hutan. Namun, ia bertekuk
lutut sebab Sunan Bonang sangat sakti. Dia lalu berguru kepada Sunan Bonang. Setelah
mendapat ilmu dari Sunan Bonang, beliau pulang ke Tuban, akan tetapi ayahnya menolak
kehadirannya.

Raden Sa’id kemudian kembali kepada Sunan Bonang, dan Sunan Bonang menyuruh
Raden Sa’id untuk bertapa. Setelah bertapa, dia diberi pelajaran ilmu agama oleh Sunan
Bonang. Pelajaran itu diberikan di tengah laut di dalam sebuah perahu berwarna putih.
Perahu itu dikatakan sebagai pemberian Nabi Khidir. Setamat Sunan Bonang memberi
pelajaran pada Raden Sa’id, beliau memberi Raden Sa’id gelar Sunan Kalijaga.

Jalan hidup sunan ini tercantum dalam berbagai naskah kuna dengan versi yang
berbeda-beda pula. Begitu pula halnya dengan asal-usul Sunan Kalijaga. Ada yang
menyatakan asalnya dari kata jaga dan kali. Versi ini didasarkan pada penantian Lokajaya
akan kedatangan Sunan Bonang selama tiga tahun di tepi sungai. Pengertian ini umumnya
disebut di dalam babad, misalnya Babad Banten, Babad Tanah Jawi, Babad Tanah Djawi
jilid II, dan Babad Demak.

Ada juga yang menulis, kata Kalijaga berasal dari nama sebuah desa di Cirebon,
tempat Sunan Kalijaga pernah berdakwah. Di dalam Babad Cirebon diceritakan, Sunan
Kalijaga menetap beberapa tahun di Cirebon, persisnya di Desa Kalijaga, sekitar 2,5 km
arah selatan kota. Pada awal kedatangannya, Kalijaga menyamar dan bekerja sebagai
pembersih Masjid Keraton Kasepuhan. Di sinilah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan
Gunung Jati.
Dalam pertemuan itu dikisahkan bahwa Sunan Gunung Jati sengaja menguji Sunan
Kalijaga dengan sebongkah emas. Emas itu ditaruh di padasan, tempat orang mengambil
wudhu. Sunan Kalijaga sendiri tidak kaget mengingat ajaran Sunan Ampel, ‘’ojo gumunan
lan kagetan ‘’ yang artinya jangan mudah heran dan terkejut. Selanjutnya, Sunan Kalijaga
menyulap emas tersebut menjadi batu bata, dan menjadikannya tempat menaruh bakiak
bagi orang yang berwudlu. Giliran Sunan Gunung Jati yang takjub. Beliau pun kemudian
menganugerahkan adiknya, Siti Zaenab, untuk diperisteri Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga
dikisahkan menetap di Cirebon selama beberapa tahun.

Dalam perjalanan hidupnya selanjutnya, Sunan Kalijaga diceritakan mengembara


sampai ke Bintoro, Demak. Beliau sangat gigih membantu perjuangan Sultan Fatah dalam
menyebarkan Islam di Pulau Jawa, khususnya di daerah Pantai Utara Jawa. Raden Fatah
adalah pendiri kerajaan Islam di Demak pasca keruntuhan Majapahit di bawah kekuasaan
Prabu Brawijaya V. Sebagai imbalan atas bantuan yang diberikan oleh Sunan Kalijaga,
Sultan Fatah memberikan bumi Kadilangu sebagai tanah perdikan kepada Sunan Kalijaga.

Di Kadilangu, daerah Demak, Sunan Kalijaga menetap lama hingga akhir hayatnya.
Kadilangu merupakan tempat Sunan Kalijaga membina kehidupan rumah tangga. Isteri
Sunan Kalijaga yang disebut-sebut hanyalah Dewi Sarah, puteri Maulana Ishaq. Sunan
Kalijaga dengan Dewi Sarah mempunyai tiga orang putera yaitu Raden Umar Said (Sunan
Muria), Dewi Ruqayah dan Dewi Sofiah.

Sunan Kalijaga adalah salah satu wali yang sangat terkenal karena kesaktian dan
kecerdasannya. Ia juga seorang politikus yang “mengasuh” para raja beberapa kerajaan
Islam. Selain itu Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai budayawan yang santun dan seniman
wayang yang hebat. Cara beliau berdakwah dianggap berbeda dengan metode para wali
yang lain. Ia dengan berani memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar di
masyarakat. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila dalam mempraktikkan pengajaran
syariat Islam banyak dicampuri dengan unsur-unsur adat lama dan cenderung berkompromi
dengan kepercayaan pra Islam, misalnya melalui wayang, gamelan, tembang, ukir, dan
batik.

Sunan Kalijaga terkenal pandai mendalang. Sebagai dalang, Sunan Kalijaga dikenal
dengan nama Ki Dalang Sida Brangti. Sunan Kalijaga mengarang lakon-lakon wayang dan
menyelenggarakan pagelaran-pagelaran wayang kulit dengan upah berupa Jimat
Kalimasada atau ucapan Kalimat Syahadat. Beliau mau memainkan lakon wayang yang
biasanya untuk meramaikan suatu pesta peringatan-peringatan asal yang memanggil itu
mau bersyahadat sebagai kesaksian bahwa ia rela masuk Islam. (Siswoharsoyo, 1957).

Ketika mendalang itulah Sunan Kalijaga menyisipkan ajaran-ajaran Islam. Lakon


yang dimainkan tak lagi bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabarata yang bernuansa
Hindu, melainkan menggubah beberapa lakon wayang untuk keperluan dakwah Islam.
Kisah-kisah ciptaan Sunan Kalijaga ini di antaranya adalah lakon Jimat Kalimasada, Dewa
Ruci, dan Petruk Dadi Ratu. Jimat Kalimasada tak lain perlambang dari Kalimat Syahadat.
Lakon Jimat Kalimasada inilah yang paling sering dia pentaskan. Dengan lakon ini Sunan
Kalijaga mengajak orang-orang untuk mengucapkan syahadat, dengan kata lain untuk
masuk agama Islam. Lakon Dewa Ruci ditafsirkan sebagai kisah Nabi Khidir
(Siswoharsoyo, 1957).

Ahli sejarah mencatat, wayang yang digemari masyarakat sebelum kehadiran Sunan
Kalijaga adalah wayang beber. Wayang beber berupa kain bergambar kisah pewayangan.
Sunan Kalijaga mengubah wayang kulit dari bentuk beber menjadi terpisah. Tiap tokoh
dipisah satu persatu dan diberi tangan yang bisa digerakkan. Tiap tokoh wayang dibuat
gambarnya dan disungging di atas kulit kerbau. Bentuknya dikembangkan dan
disempurnakan pada era kejayaan Kerajaan Demak.

Pada mulanya penggambaran tokoh wayang yang mirip manusia dinilai bertentangan
dengan syara’ oleh sebagian ulama. Para wali, terutama Sunan Kalijaga kemudian
menyiasatinya dengan mengubah menjadi lukisan yang menghadap ke samping. Dahulu
sebelum memakai pahatan pada bagian mata, telinga, perhiasan, dan lain-lainnya, wayang
hanya digambar saja. Dengan mengubah bentuk dan lukisan wayang berbeda dengan
bentuk manusia sesungguhnya, maka tidak ada alasan lagi untuk menuduh bahwa wujud
wayang melanggar hukum Islam. Selain itu, atas saran para wali, Sunan Kalijaga juga
membuat tokoh Semar, Petruk, Gareng dan Bagong sebagai tokoh Punakawan yang lucu.
Kadangkala, ia menggunakan tokoh Bancak dan Doyok (Efendy Zarkasi, 1977: 28-29).

Ada peneliti yang mengatakan bahwa Semar dari kata Arab simaar atau ismarun
artinya paku. Paku itu alat untuk menancapkan suatu barang, agar tegak, kuat, tidak goyah.
Semar juga memiliki nama lain yakni Ismaya, yang berasal dari kata asma-ku atau simbol
kemantapan dan keteguhan. Adapun maksudnya adalah ibadah harus didasari keyakinan
kuat agar ajarannya tertancap sampai mengakar. Tokoh Panakawan lain yakni anak Semar,
Nala Gareng. Kata nâla qarîn artinya memperoleh banyak kawan. Hal ini serupa dengan
tujuan dakwah yaitu memperbanyak kawan, memperluas sahabat dan mengajak mereka
menyembah Allah swt (Endraswara, 2003: 105).

Di samping terus menyebarkan kebaikan, umat Islam juga harus mampu seperti tokoh
Petruk dan Bagong. Petruk berasal dari kata fatruk yang artinya tinggalkan yang jelek atau
nahi munkar. Bagong berasal dari kata baghâ yang berarti pertimbangan makna dan rasa,
antara rasa yang baik dan buruk, benar dan salah. Harus berani melawan siapa pun yang
zalim (Endraswara, 2003: 105).

Selanjutnya disebutkan bahwa bentuk wayang dilengkapi dengan hiasanhiasan seperti


kelat bahu (hiasan pangkal lengan), gelang keroncong (gelang kaki), anting telinga, badong
(hiasan pada pinggang), dan jamang (hiasan pada kepala). Penyempurnaan bentuk ini
dilakukan oleh Sunan Giri, sedangkan yang mengarang lakon wayang dan suluknya adalah
Ratu Tunggal di Giri tatkala mewakili Istana Demak tahun 1478 Çaka. Dimulainya wayang
pahat bergaris-garis gambir (garis-garis lembut pada rambut misalnya) itu adalah atas
perintah Raden Trenggana Kemudian pada zaman Jaka Tingkir, Sultan Hadiwijaya Raja
Pajang, wayang dipahat gayaman, tetapi tangan masih sambung dengan badan. Wayang
ditatah halus benar sejak jaman Panembahan Senapati ing Ngalaga Sayidin Panatagama
Mataram tahun 1541 Çaka (Zarkasi, 1977: 29-30).

Sunan Kalijaga juga melakukan dakwah melalui kidung. Kidung Rumeksa ing Wengi
merupakan sarana dakwah dalam bentuk tembang yang populer dan menjadi semacam
“kidung wingit” karena dipercaya membawa tuah seperti mantra sakti. Dakwah itu
dirangkai menjadi sebuah tembang bermetrum Dhandhanggula dan seolah-olah abadi
sampai saat ini. Hingga saat ini, orang-orang pedesaan masih banyak yang hapal dan
mengamalkan syair kidung ini. Sebagai warisan kepada anak cucu, nasihat dalam bentuk
tembang lebih langgeng dan awet dalam ingatan. Sepeninggal penggubahnya, kidung ini
telah menjadi milik rakyat.

Fungsi kidung Rumeksa ing Wengi ini bagi rakyat Jawa adalah : (a) penolak bala di
malam hari, seperti teluh, tenung, duduk, ngama, maling, penggawe ala dan bilahi; (b)
pembebas semua denda; (c) penyembuh penyakit, termasuk gila; (d) pembebas bencana; (e)
mempercepat jodoh; (f) doa menang perang; (g) penolak hama tanaman; (h) memperlancar
mencapai cita-cita luhur. Nafas dakwah yang tersurat dalam kidung tersebut adalah (a)
disebutnya nama Allah, malaikat, rasul dan nabi-nabi, serta keluarga dan para sahabat Nabi
Muhammad seperti Baginda Ali, Usman, Abu Bakar, Umar, Aminah dan Fatimah; (b)
disebutnya istilah-istilah seperti puasa, subuh, sabar, subur, syukur, insya Allah, dzat,
malaikat, nabi, rasul, dan syara’. Jadi secara maknawi kidung ini merupakan dakwah Islam
yang sangat kental yang membuktikan bahwa Sunan Kalijaga adalah guru spiritual rakyat
Jawa. Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai pencipta tembang Ilir-ilir yang masih populer
hingga saat ini. Adapun syairnya sebagai berikut :

Ilir-ilir

Ilir-ilir tandure wis sumilir

tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar

bocah angon penekna blimbing kuwi

lunyu-lunyu ya penekna kanggo masuh dodotira

dodotira kumitir bedhah ing pinggir

dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore

mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane

Terjemahan :

Ilir-ilir

Ilir-ilir tanaman sudah bersemi

tampak menghijau ibarat penganten baru

wahai penggembala panjatlah blimbing itu

meski licin panjatlah untuk mencuci kain

kain yang sedang robek pinggirnya

Jahitlah dan tamballah untuk

menghadap nanti sore

mumpung bulan terang dan lebar tempatnya.

Lagu Ilir-ilir di atas, memberi rasa optimis kepada seseorang yang sedang melakukan
amal kebaikan, amal itu berguna untuk bekal di hari akhir. Kesempatan hidup di dunia ini
harus dimanfaatkan untuk berbuat kebaikan. Jangan hendak membunuh nanti akan berganti
dibunuh. Pada intinya semua yang dilakukan manusia itu ada balasannya.

Cara dakwah Sunan Kalijaga yang lain adalah melalui bidang karawitan. Hal ini
diketahui dari gamelan yang diduga sebagai peninggalan Sunan Kalijaga. Gamelan-
gamelan ini diberi nama Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Madu. Kini,
gamelan-gamelan, yang dikenal sebagai gamelan Sekaten, itu disimpan di Keraton
Yogyakarta dan Keraton Kasunanan Surakarta, seiring dengan berpindahnya Islam ke
Mataram (Handoko, 2001).

Sunan Kalijaga juga mengganti puja-puji dalam sesaji yang biasa dilakukan umat
Hindu pada waktu itu dengan doa dan bacaan dari kitab suci al-Quran. Di awal syiarnya,
Sunan Kalijaga selalu berkeliling ke pelosok desa. Menurut catatan Husein Jayadiningrat,
Sunan Kalijaga berdakwah hingga ke Palembang dan Sumatera Selatan, setelah dibaiat
sebagai murid Sunan Bonang. Di Palembang, ia sempat berguru pada Syekh Sutabaris.
Cuma, keberadaan Sunan Kalijaga di Palembang itu tidak meninggalkan catatan tertulis.
Setelah beberapa lama di Palembang, Sunan Kalijaga diperintahkan balik ke Jawa oleh
Syeh Maulana Maghribi. Babad Cirebon menceritakan, Sunan Kalijaga tiba di kawasan
Cirebon setelah berdakwah dari Palembang.

Sunan Kalijaga adalah seorang sufi yang ajaran-ajarannya diikuti oleh para penguasa
waktu itu. Sunan Kalijaga mengajarkan sikap narima ing pandum yang diurainya menjadi
lima sikap yakni rela, narima, temen, sabar dan budi luhur . Kelima sifat itu sebenarnya
bersumber dari ajaran agama Islam yakni : rela dari ridha atau ikhlas, narima dari qana’ah,
temen dari sifat amanah, sabar dari kata shabar, dan budi luhur adalah al-akhlak al-
karimah. Tentang budi luhur, kata budi berasal dari bahasa Sansekerta dan mempunyai arti kemampuan,
atau kecerdasan otak (Gonda, 1925: 56). Salah satu ciri satria utama adalah alus ing budi. Demikian pula
budi pekerti luhur syarat untuk dikatakan sebagai manusia yang baik. Orang yang luhur ing pambudi,
adalah orang yang bijaksana. Sedangkan orang yang asor bebudene tidak hanya orang yang
bodoh belaka, akan tetapi juga berbahaya. Budi mempunyai arti yang luas yang meliputi
seluruh pribadi manusia, yang menggambarkan individualitasnya, yang menjiwai segala
aktifitasnya, sehingga menjadikan ia orang yang berbudi atau tidak berbudi (Supadjar,
1993: 37).

Sunan Kalijaga juga mengajarkan jalan menuntut ilmu menuju kesempurnaan hidup.
Ajaran yang terdapat dalam Serat Wali Sanga ini pada intinya mengajarkan manusia agar
dapat mencapai kedamaian dan ketenteraman. Adapun caranya adalah dengan
mengendalikan nafsu manusia seperti nafsu amarah, nafsu birahi, nafsu lawwamah
(mementingkan diri sendiri), dan nafsu muthma-innah (cenderung dekat kepada Tuhan).
Menurut Sunan Kalijaga, ketika seseorang sudah bisa menyingkirkan tiga nafsu amarah,
birahidan lawwamah, maka ia akan sampai kepada muthma-innah.

Dalam mengajarkan agama Islam tersebut, Sunan Kalijaga menggunakan sarana


masjid sebagai tempat penyampaian dakwah. Salah satu bukti arkeologisnya adalah Masjid
Demak. Menurut cerita, beliau berperan aktif dalam pendirian masjid pertama di tanah
Jawa itu. Sunan Kalijaga dikisahkan membuat tiang tatal. Kisah tatal untuk sokoguru
dalam pendirian Masjid Agung Demak sendiri banyak bercampur dengan dongeng. Sunan
Kalijaga dikisahkan mempertemukan puncak Masjid Demak dengan Ka’bah setelah Masjid
Demak berdiri. Selain itu, masih belum jelas benar apakah kesembilan wali berada di
tempat ini dalam satu waktu pada waktu pembangunan Masjid Demak tersebut atau tidak.

Masjid Demak ini sampai kini masih dikunjungi muslim dari seluruh Nusantara.
Berdasarkan candra sengkala lawang trus gunaning janma yang bermakna angka 1399
tahun Çaka ini diketahui bahwa masjid ini didirikan pada tahun 1477 TU. Dalam
perkembangannya, masjid ini menjadi pusat agama terpenting di Jawa dan memainkan
peran besar dalam upaya menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa, termasuk daerah-daerah
pedalaman.

Nancy Florida dari Michigan University, USA, menulis tentang pendirian Masjid
Demak sebagai berikut.

“The establishment of the Demak Mosque by the Walis as an heirloom, meant to embody in it
their enduring legacy for Islamic kingship in Java. It was also a monument that would
stand permanently as a concrete material site both for pilgrimage and of supernatural
power. It was to be the sacred post of power of the realism of Java and, at the same time, a
talisman, a pusaka, for the rulers of that realism (Djamil, 2000)”.

Masjid Demak bukan saja sebagai pusat ibadah, tetapi juga sebagai ajang pendidikan
mengingat lembaga pendidikan pesantren pada masa awal ini belum menemukan bentuknya
yang final.

Sunan Kalijaga tidak hanya berperan dalam bidang agama, melainkan juga dalam
politik pemerintahan. Sebagaimana dikemukakan di depan, kiprah beliau di bidang politik
dimulai sejak awal berdirinya Kasultanan Demak sampai akhir dari Kasultanan tersebut.
Sunan Kalijaga nampaknya menjadi orang penting di Kerajaan Demak. Pada masa
pemerintahan Raja Trenggana ia cukup mendapat tempat, terutama karena ia adalah
seorang keturunan bangsawan tinggi. Keadaan tersebut menyebabkan imam besar Masjid
Demak (kelak bernama Sunan Kudus) menyingkir dan mendirikan masjid sendiri di Kudus.
Sunan Kalijaga kemudian diangkat sebagai imam besar Masjid Demak menggantikan
Sunan Kudus.

Kapan Sunan Kalijaga wafat, sampai hari ini belum jelas. Keterangan yang ada adalah
bahwa Sunan Kalijaga hidup diperkirakan hidup selama sekitar 150 tahun. Demikian pula
halnya dengan letak makam Sunan Kalijaga. Namun, sebagian besar masyarakat percaya
bahwa makam Sunan Kalijaga berada di Desa Kadilangu, Kecamatan Kota, Kabupaten
Demak, tepatnya sebelah timur laut alun-alun kota Demak.

Sunan Kalijaga : dari Brandalan menjadi Begawan


Raden Sahid atau kelak lebih dikenal sebagai Sunan Kalijaga merupakan sosok
yang sangat masyhur dan dikenal di tanah Jawa. Sampai detik ini kharismanya tidak pudar.
Mengapa bisa demikian? Bagi masyarakat Jawa, ada pepatah, “wong mati ninggali jeneng”.
Orang meninggal mewariskan nama. Nama dikenang, sebab laku amal perbuatannya
kepada manusia lain. Sehingga bagi mereka yang merasa tersentuh laku amal tersebut, akan
mengenangnya sebagai bentuk rasa terima kasih dan syukurnya.

Menjadi Brandal Lokajaya : Pembebasan Duniawi

Raden Sahid adalah putra bupati, pewaris “tahta” pemerintahan kabupaten Tuban.
Secara genealogis dan tradisi, dialah kelak yang akan mewarisi itu. Sungguh Allah sedari
awal sudah membuat skenario buat Raden Sahid. Dalam usia muda, yang memang
digadang menjadi pewaris pemerintahan, telah dibukakan kesadarannya untuk mencari
bekal yang hakiki dalam memimpin masyarakat. Kondisi masyarakat yang kebanyakan
hidup dalam kekurangan menyadarkan Raden Sahid, bahwa ada sesuatu yang salam dalam
sistem pemerintahan. Apa yang akan diperbuat? Jika saat itu harus langsung bertindak
kepada rakyat, maka tak pantas seorang putra kepala daerah melangkahi sistem yang sudah
ada. Dengan begitu dia akan berhadapan dengan ayahnya sendiri, Raden Wilwatikta.
Sungguh sebuah pilihan yang sulit. Maka, pilihan yang paling bisa dijalankan adalah keluar
dari sistem, dan bertindak bukan atas nama sistem. Ya, Raden Sahid menjalani dirinya
sebagai seorang Brandalan (kamus : orang yang tidak patuh pada aturan/sistem), yaitu
Brandal Lokajaya. Dia mengambil harta orang-orang kaya untuk dibagikan kepada fakir
miskin. Dalam pandangannya, sistem yang berjalan tidak memungkinkan terjadinya
pengambilan hak tersebut secara legal dan terdistribusi dengan rapi dan adil. Pengambilan
dan pendistribusian model “brandal lokajaya” telah melawan sistem yang ada, tanpa
melalui pemerintah yang sah.

Kesejahteraan merupakan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup orang banyak. Itu


adalah model kesejahteraan yang palng sederhana dan dasar. Harta, emas dari orang-orang
kaya sebagai simbol kesejahteraan dipaksa untuk terdistribusikan. Maka, nama brandal
Lokajaya adalah nama yang tepat untuk menggambarkan itu. Namun, usaha seperti itu
ternyata tidak lantas merubah masyarakat dengan baik. Ya sekedar memberi rasa kenyang
masyarakat miskin, tetapi tetap saja tidak merubah perilaku mereka untuk terbebas dari
kemiskinan dan problem kehidupan lainnya. Di sisi lain, perlawanan terhadap sistem,
memaksanya harus menghadapi pemerintahan yang kuat. Meski anak sendiri, ketika
melawan sistem yang sudah tertata rapi, maka dia adalah tetap pemberontak. Dus layak
untuk diberi hukuman seperti pemberontak lain. Maka diusirlah Raden Sahid dari kadipaten
dan tidak layak menjadi pewaris.

Kala Bertemu Sunan Bonang : Pencerahan


Jika, dalam peran sebagai Brandal Lokajaya, lebih bersifat “memberi ikan” kepada
masyarakat, maka Raden Sahid sudah mencapai titik klimaks, dimana upaya pengentasan
kemiskinan dengan model seperti itu tidak efektif dan cenderung distruktiv bagi sistem
sosial itu sendiri. Dalam kondisi seperti itu, maka Allah menakdirkan Raden Sahid bertemu
dengan Sunan Bonang. Pertemuan pertama, Raden Sahid digoda dengan pohon emasnya.
Bahwa jika hanya sekedar membagi kekayaan, itu urusan gampang, asal saja seseorang itu
kaya harta. Tapi apakah itu semua akan menyelesaikan persoalan? Pengalaman sebagai
Brandal Lokajaya telah mengajarkan bahwa upaya-upaya model seperti tidak akan berhasil
dalam jangka panjang.

Disinilah, peran Sunan Bonang dalam membantu Raden Sahid menemukan apa yang
seharusnya diperbuat untuk membantu masyarakat. Sunan Bonang mengenalkan kepada
ajaran-ajaran keluhuran, ajaran Islam, keteledanan Rasulullah SAW dan para nabi-nabi
terdahulu. Waktu yang dilalui Raden Sahid kemudian adalah perjalanan dalam berguru,
mencari kesejatian hidup dan kehidupan. Mengapa itu dilakukan? Untuk membantu
manusia lain, maka seseorang harus mampu membantu dirinya sendiri. Untuk mencerahkan
orang lain, maka dia harus tercerahkan. Untuk mensejahterakan orang lain, maka dia juga
harus sejahtera.

Kisah ini telah menegaskan apa yang sudah didapat Raden Sahid pada awalnya, yaitu
kesadaran untuk membantu masyarakatnya. Konsistensi untuk mencari bekal dalam
memperjuangkan rakyatnya terus berlanjut. Pencarian ilmu Raden Sahd dan kemudian
mendapat Gelar Sunan Kalijaga adalah proses pematangan atas kesadaran yang sudah
didapat di usia mudanya.

Menjadi Begawan : Menjadikan Lainnya Lebih Berguna

Setelah proses perjalanan panjang dalam menempuh Ilmu, baik melalui para wali
(ulama-ulama) lain, bertemu nabi khidzir, dan sebagainya telah memberikan bekal sangat
cukup bagi Sunan Kalijaga untuk mempejuangkan apa yang dahulu diperjuangkannya,
yaitu membantu masyarakat dalam hidup dan kehidupannya. Maka Raden Sahid sekarang
sudah menjadi begawan, orang yang mumpuni dalam keilmuwan, lelaku, dan keteladanan.
Pilihan untuk membantu masyarakat sudah bukan urusan harta lagi, tetapi lebih pada
pencerahan kepada masyarakat. Meski, membantu dalam bidang ekonomi tetap dilakukan.
Dalam tahap ini, Sunan Kalijaga sudah menjalankan prinsip “menjadikan dirinya dan yang
lain bermanfaat”. Penerapan prinsip tersebut tidak sebatas pada manusia saja.
Wayang kulit yang semula hanya hiburan dan tontonan, dialihfungsikan menjadi sumber
inspirasi tuntunan dan ajaran, dijadikan media dakwah ajaran Islam. Tembang mocopat
yang awalnya sebagai tembang, dijadikan lebih berbobot dan sarat makna dakwah Islam.
Tembang-tembang dolanan sebagai hiburan dijadikan wahana menyampaikan pesan
keluhuran dan Islam. Dan masih banyak lagi.

Demikian pula, para penjahat takluk dalam adu kekuatan, sehingga tunduk pada ajaran
Islam. Para pejabat yang lupa rakyat, disadarkan dengan berbagai cara dan metode agar
lebih memperhatikan kesejahteraanya. Ajaran-ajaran yang sebelumnya menyesatkan,
dialihkan untuk kembali kepada kebenaran.

Sungguh tidak gampang melakukan itu semua. Sungguh besar pula jasa yang sudah
ditanamkan. Sehingga layaklah, beliau dikenang sepanjang masa, karena apa yang sudah
diperbuat dan ditanamkan kepada masyarakatnya. Jelas sekali bahwa ada konsistensi dalam
diri Sunan Kalijaga, baik tatkala masih muda, kemudian menjadi Brandal Lokajaya, dan
akhirnya menjadi Sunan Kalijaga, Guru Tanah Jawa, yaitu konsistensi pengabdian kepada
masyarakatnya.

Sunan Kalijaga; Politikus Empat Zaman

Sunan Kalijaga hidup dalam empat dekade pemerintahan. Yakni masa Majapahit
(sebelum 1478), Kesultanan Demak (1481 – 1546), Kesultanan Pajang (1546-1568), dan
awal pemerintahan Mataram (1580-an).

Di antara anggota Dewan Wali, Sunan Kalijaga merupakan wali yang paling populer di
mata orang Jawa. Ketenaran wali ini adalah karena ia seorang ulama yang cerdas. Ia juga
seorang politikus yang “mengasuh” para raja beberapa kerajaan Islam. Selain itu Sunan
Kalijaga jiga dikenal sebagai budayawan yang santun dan seniman wayang yang hebat.

Bila para wali lain seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat mendapat
pendidikan dan pengkaderan Islam sejak kecil oleh Sunan Ampel. Maka Sunan Kalijaga
tergolong berbeda karena masa mudanya tergolong “anak kolong” anak pejabat yang
“brandal”. Konon Raden Sahid ini suka mencuri dan merampok meskipun hasilnya suka
dibagikan kepada rakyat jelata, solidaritas yang tinggi sehingga ia tak segan-segan masuk
dan bergaul ke dalam lingkungan rakyat jelata. Raden Sahid adalah seorang yang sangat
sakti. Karena saktinya beliau mendapat julukan Berandal Lokajaya.

Raden Sahid selanjutnya menjadi kaderan Sunan Bonang, konon pernah menjadi da’i di
desa Kalijaga di wilayah Cirebon sehingga dikenal dengan Sunan Kalijaga. Menurut
catatan Husein Jayadiningrat, Kalijaga berdakwah hingga ke Palembang, Sumatera Selatan.
Kalijaga tiba di kawasan Cirebon setelah berdakwah dari Palembang.
Dalam Babad Cirebon dikisahkan Sunan Kalijaga menetap beberapa tahun di Cirebon,
persisnya di Desa Kalijaga, sekitar 2,5 kilometer arah selatan kota. Pada awal
kedatangannya, Kalijaga menyamar dan bekerja sebagai pembersih Masjid Kraton
Kasepuhan. Disinilah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung Jati.

Setelah beberapa tahun menetap di Cirebon, Kalijaga kembali ke Demak di wilayah


Kadilangu dan melanjutkan misi dakwahnya di daerah pesisir Demak hingga daerah-daerah
pedalaman. Peran dakwah Sunan Kalijaga bersama-sama Raden Fatah adalah menjadikan
Demak sebagai wilayah kondusif sebagai basis Negara Islam. Selanjutnya Sunan Kalijaga
dikenal dengan guru spiritul rakyat Jawa
SUNAN KALIJAGA DAN KESENIAN

Sunan Kalijaga Dan Dakwah Islam Melalui Seni Dan Budaya


MUNGKIN anda sering mendengar lagu “Gundul-Gundul Pacul” atau “lir-lir” (ada
yang menduga ini karya Sunan Bonang dan sudah dicantumkan diatas) yang dulu sering
dinyanyikan oleh anak-anak dalam suatu acara daerah di tv. lagu itu merupakan salah satu
warisan berharga dari Sunan Kalijaga. Menurut Babad Tanah Jawi, Sunan kalijaga adalah
anak Wilwatikta, Adipati Tuban. Nama asalnya, Raden Said, atau Raden Sahid. Menurut
sejarah, Sunan Kalijaga juga disebut Lokajaya, Syeikh Malaya Raden Abdurrahman dan
Pangeran Tuban. Gelaran “Kalijaga” sendiri ada beberapa tafsir. Ada yang menyatakan
asalnya dari kata jaga (menjaga) dan kali (sungai) - maksudnya ‘Penjaga Sungai’. Versi ini
didasarkan pada penantian Lokajaya akan kedatangan Sunan Bonang selama tiga tahun di
tepi sungai. Ada juga yang menulis kata itu berasal dari nama sebuah kampung di Cirebon,
tempat Sunan Kalijaga pernah berdakwah. Kelahiran Sunan Kalijaga pun menyimpan
misteri. Ia dikatakan lahir pada 1430 an, dikira dari tahun pernikahan Kalijaga dengan
puteri Sunan Ampel. Ketika itu Sunan Kalijaga diperkirakan berusia 20an tahun. Sunan
Ampel yang diyakini lahir pada 1401, ketika mengahwinkan puterinya dengan Sunan
Kalijaga, berusia 50an tahun. Sunan Kalijaga dilukiskan hidup dalam beberapa era
pemerintahan, yakni masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak
(1481-1546), Kesultanan Cirebon dan Banten, Kerajaan Pajang (1546-1568), dan awal
pemerintahan Mataram (1580an) di bawah pimpinan Panembahan Senopati. Tidak lama
setelah itu, Sunan Kalijaga meninggal dunia dalam usia yang agak panjang, dikatakan
sekitar usianya 150an tahun. Ia dimakamkan di kampung Kadilangu, dekat kota Demak
(Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai di ziarahi orang baik dari dalam atau
luar negeri. Selama hidupnya, Sunan Kalijaga dikenal dengan pendekatan dakwah
budayanya. Ia sangat toleran pada seni dan budaya tempatan. Ia berpendapat bahawa
masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara
bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan bahawa jika
Islam sudah difahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak menghairankan
ajaran Sunan Kalijaga terkesan dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir,
wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana atau cara dakwah. Ternyata dakwah
seperti ini terbukti efektif. Sebagian besar Adipati (Ketua Daerah) di Jawa memeluk Islam
melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah Adipati Pandaran, Kartasura, Kebumen,
Banyumas dan Panjang. Sejarah mencatat Sunan Kalijaga sebagai penggubah beberapa
syair, di antaranya Dandanggula Semarangan - paduan irama atau melodi Arab dan Jawa.
Peninggalan Sunan Kalijaga lainnya adalah gamelan, yang di beri nama Kanjeng Kyai
Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan itu kini di simpan di Keraton
Yogyakarta dan Keraton Sukarta, seiring dengan berpindahnya kekuasaan Islam ke
Mataram. Pasangan gamelan itu kini dikenal sebagai gamelan Sekatan. Karya Sunan
kalijaga yang juga menonjol adalah wayang kulit. Ahli sejarah mencatat, wayang yang
digemari masyarakat sebelum kehadiran Sunan Kalijaga adalah ‘wayang beber’. Wayang
jenis ini berupa kertas yang bergambar kisah pewayangan Sunan Kalijaga diyakini sebagai
penggubah wayang kulit. Tiap tokoh wayang dibuat gambarnya dan diabadikan di atas kulit
lembu. Bentuknya berkembang dan disempurnakan pada era kejayaan Kerajaan Demak,
1480an. Cerita dari mulut ke mulut menyebutkan bahawa Sunan Kalijaga juga mahir
sebagai ‘dalang’ wayang kulit. Di wilayah Pajajaran, Sunan Kalijaga lebih dikenal sebagai
Ki Dalang Sida Brangti. Bila sedang mendalang di kawasan Tegal, Sunan Kalijaga berganti
nama menjadi Ki Dalang Bengkok. Ketika mendalang itulah Sunan Kalijaga menyisipkan
dakwahnya. Lakon yang dimainkan tak lagi bersumber dari kisah Ramayana dan
Mahabarata. Sunan Kalijaga mengangkat kisah-kisah karangan. Beberapa di antara yang
terkenal adalah lakon Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, dan Petruk Dadi Ratu. Dewa Ruci di
tafsirkan sebagai kisah Nabi Khidir. Sedangkan Jimat Kalimasada tak lain perlambang dari
kalimat syahadat. Bahkan kebiasaan mengadakan majlis kenduri pun jadi sarana syiarnya.
Sunan Kalijaga mengganti puji-puji dalam persembahan itu dengan doa-doa dan bacaan
dari kitab suci al-Quran. Diawal syiarnya, Sunan Kalijaga selalu mengembara ke pelosok
kampung-kampung. Menurut catatan Profesor Husein Jayadiningarat, Sunan Kalijaga
berdakwah hingga ke Palembang, Sumatera Selatan, setelah di baiah sebagai murid Sunan
Bonang. Di Palembang, ia sempat berguru pada Syeikh Sutabaris..

Lagu Gundul-gundul Pacul

Salah satu diantara beberapa karya sastra Sunan Kalijaga yang terkenal adalah tembang
dolanan (mainan) lagu “gundul-gundul pacul" yang ternyata mempunyai filosofi yang
sangat dalam. Lagu Gundul gundul pacul ini konon diciptakan tahun 1400-an oleh Sunan
Kalijaga dan teman-temannya yang masih remaja.

Berikut petikan lirik lagu gundul-gundul pacul:

gundul-gundul pacul-cul
gembelengan
nyunggi-nyunggi wakul-kul
gembelengan
wakul ngglimpang segane dadi sak latar
wakul ngglimpang segane dadi sak latar

‘Gundul’ adalah kepala plonthos tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan,
kemuliaan seseorang. Rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. jadi ‘gundul’
adalah kehormatan tanpa mahkota.
‘Pacul’ adalah cangkul (red, Jawa) yaitu alat petani yang terbuat dari lempeng besi segi
empat. jadi pacul adalah lambang kawula rendah, kebanyakan petani.

‘Gundul pacul’ artinya adalah bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang
diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan
kesejahteraan bagi rakyatnya.

Orang Jawa mengatakan pacul adalah ‘Papat Kang Ucul’ (empat yg lepas). Kemuliaan
seseorang tergantung 4 hal, yaitu bagaimana menggunakan mata, hidung, telinga dan
mulutnya.

1. Mata digunakan untuk melihat kesulitan rakyat/masyarakat.


2. Telinga digunakan untuk mendengar nasehat.
3. Hidung digunakan untuk mencium wewangian kebaikan.
4. Mulut digunakan untuk berkata adil.

Jika empat hal itu lepas, maka lepaslah kehormatannya. ‘Gembelengan’ artinya besar
kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya.

Arti harafiahnya jika orang yg kepalanya sudah kehilangan 4 indera itu mengakibatkan:

GEMBELENGAN (congkak/sombong).
NYUNGGI-NYUNGGI WAKUL (menjunjung amanah rakyat/orang banyAk)
GEMBELENGAN ( sombong hati), akhirnya
WAKUL NGGLIMPANG (amanah jatuh tidak bisa dipertahankan)
SEGANE DADI SAK LATAR (berantakan sia2, dan tidak bermanfaat bagi kesejahteraan
orang banyak)

Subhanallah..

Satu hal yang bisa kita petik hikmahnya dari penciptaan karya sastra tokoh walisanga
tersebut ialah, hal sekecil apapun dalam sebuah penciptaan karya sastra itu haruslah
memberikan pembelajaran yang bermanfaat bagi para pembacanya. Karena sastra selain
sebagai sebuah karya seni atau pengekspresian perasaan pengarangnya, juga diharapkan
mampu memberi kontribusi positif bagi kemaslahatan umat.
Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat

Sunan Kalijaga, alias Raden Syahid. Dia seorang putra tumenggung.Tetapi dia tidak
mau mewarisi kekuasaan dari ayahandanya.Justru dia memilih menjadi pegiat spiritual
Islam di Tanah Jawa, yang pada akhirnya oleh Dewan Wali Sanga, dia diangkat sebagai
salah satu anggotanya untuk menggantikan Syekh Subakir yang kembali ke
Persia.Namanya akrab di telinga Islam Jawa.Dan, nyatanya dialah satu-satunya Wali yang
bisa diterima oleh berbagai pihak, baik oleh mutihan atau abangan, santri atau awam.

Banyak buku mengungkapkan kisah Sunan Kalijaga.Sebatas kisah hidupnya


belaka.Buku yang ada di hadapan Anda ini tidak bertutur kata tentang kisah Sunan
Kalijaga.Meski kisahnya banyak diketahui orang, tapi tak banyak orang yang tahu tentang
ajaran yang dibawanya.Nah, yang dikemukakan dalam tulisan ini adalah kupasan tentang
ajaran dan kearifannya. Anda akan tahu bahwa banyak praktik-praktik agama Islam di
Nusantara, khususnya di Jawa, berasal dari Sunan Kalijaga.

Ada sebuah doa bahasa Jawa yang masih diamalkan oleh orang-orang Islam di
Nusantara. Khasiat doa ini untuk menolak bala. Menyingkirkan penyakit. Mengusir hama
dan penyakit tanaman. Membebaskan diri dari jeratan hutang.Bahkan untuk melindungi diri
dalam pertempuran. Itulah doa "Rumeksa ing Wengi". Sebuah doa yang disusun oleh
Sunan Kalijaga. Sunan pun melakukan dakwah dengan pendekatan budaya.Mungkin Anda
pernah mendengar Gerebeg Mulud dan Sekaten. Itulah cara-cara Sunan Kalijaga untuk
mengajak orang lain masuk agama Islam.

Dalam Islam "wasilah" merupakan cara mendekatkan diri kepada Tuhan. Cara yang
ditempuh seseorang untuk sampai kepada-Nya.Namun, bentuk wasilah itu diperdebatkan
kebenarannya oleh para ulama.Sunan tak hendak berdebat masalah teologi.Tapi dia
memberikan contoh wasilah ala Jawa.Yang jika dipelajari ternyata menyentuh hakikat
keislaman.Sekaligus menanamkan rasa cinta terhadap para nabi, sahabat dan keluarga
Rasul.Sunah Rasul pun tidak sesempit sebagaimana yang kita kenal selama ini.Bahkan
diwujudkan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari secara nyata, misalnya
penggunaan baju takwa.

Diri manusia juga dikupas dengan sisi pandang yang berbeda. Mungkin Anda
pernah dengar "Sedulur papat kalima pancer", saudara empat yang pusatnya adalah Diri
manusia. Itulah ajaran makrifat Islam.Di situ keimanan dalam Islam bukan semata-mata
dipandang sebagai kepercayaan, tapi oleh Sunan diamalkan untuk membangkitkan Sang
Pribadi.Agar dapat kembali dengan sempurna ke Hadirat-Nya.

Syariat, tarekat, dan hakikat dirajut menjadi satu.Dirajut menjadi makrifat dalam
bentuk mistik Jawa.Sehingga agama tidak sekadar menjadi formalitas kehidupan.Tapi
menjadi bagian kehidupan itu sendiri.Mistik dan makrifat yang umumnya dipandang
sebagai klenik [dalam pengertian negatif], oleh Sunan diolah menjadi ajaran yang
bermakna bagi kehidupan.Selamatan pun tak ketinggalan.Jika selama ini selamatan
hanyalah tradisi yang tidak diketahui maksudnya, maka dalam buku ini makna dari
selamatan sehari hingga seribu hari itu disajikan dengan bahasa yang sederhana.Karena
hakikat kebenaran itu satu.Maka, dengan satu ikatan yang benar, yang juga disebut tauhid,
itulah seseorang menghadap ke Hadirat Tuhannya.

Yang terakhir mengenai reinkarnasi atau dilahirkan kembali.Banyak yang salah


paham tentang ajaran ini.Dikiranya ajaran menitis atau dilahirkan kembali itu pengaruh dari
ajaran Hindu atau Buddha.Itulah hikmah Islam yang diambil oleh Sunan.Hikmah yang
ditemukan di Jawa. Sebagaimana pesan Rasul, hikmah adalah barang orang mukmin yang
hilang, maka ambillah di manapun hikmah itu ditemukan! Memang benar, ajaran
reinkarnasi itu ada di Hindu dan Buddha.Tapi, sebelum kedua agama itu masuk Jawa,
hikmah tentang reinkarnasi itu sudah ada di ajaran Jawa.Oleh Sunan Kalijaga ajaran
reinkarnasi ini dipadukan dengan konsep kebangkitan dari Islam.

Ajaran makrifat
Pengertian dan Sejarah Suluk Linglung Sunan Kalijaga

Secara etimologi suluk berarti mistis, atau jalan menuju kesempurnaan batin. Di
samping pengertian tersebut dalam perspektif lain suluk diartikan sebagai khalwat,
pengasingan diri dan ilmu-ilmu tentang tasawuf atau mistis. Dalam sastra Jawa suluk
berarti ajaran, falsafah untuk mencari hubungan dan persatuan manusia dengan Tuhan,
sedangkan dalam seni pendalangan suluk dapat diartikan sebagai nyanyian dalang untuk
menimbulkan suasana tertentu.

Dalam komunitas tarekat suluk diartikan sebagai perjalanan untuk membawa


seseorang agar dekat dengan Tuhan sedangkan orang yang melakukan perjalanan tarekat
dinamakan salik. Dalam tarekat pengertian suluk cenderung bersifat mistis dan aplikasi
ritual tasawuf untuk mencapai
kehidupan rohani.

Linglung merupakan struktur bahasa Jawa yang artinya "bingung". Bingung di sini
diartikan ketidakpastian, atau dapat diartikan sebagai kumpulan dari cerita, aplikasi ritual
tasawuf Sunan Kalijaga ketika ia mengalami kebingungan dalam mencapai hakekat
kehidupan.

Suluk dalam Jawa adalah ajaran filsafat untuk mencari hubungan dan persatuan
manusia dengan Tuhan, suluk merupakan salah satu bentuk ajaran yang termanifestasikan
dalam sebuah kitab atau karya. Suluk Linglung Sunan Kalijaga merupakan salah satu dari
sekian ajaran filasafat yang digubah oleh Iman Anom.

Suluk Linglung merupakan salah satu karya sastra Sunan Kalijaga yang sampai saat
ini masih jarang ditemukan diliteratur Jawa. Buku ini merupakan terjemahan dari kitab
kuno warisan dari sepuh Kadilangu Demak, R.Ng. Noto Subroto kepada ibu R.A.Y
Supratini Mursidi, yang keduanya adalah anak cucu Sunan Kalijaga yang ke-13 dan 14.39
Kitab kuno yang diberi nama Suluk Linglung ini memuat tentang pengobatan dengan
menggunakan berbagai ramuan tradisional, azimah yang berbentuk rajah huruf arab serta
memakai isim, berbagai macam do'a. Disamping itu suluk merupakan sebuah goresan
dalam bentuk bibliografi dari proses kehidupan batin seseorang atau tokoh.

Buku kuno ini menggunakan simbol-simbol prasastri penulisan ngrasa sirna sarira
aji yang berarti bermakna 1806 caka bertepatan dengan tahun 1884 Masehi. Buku kuno ini
ditulis diatas kertas yang dibuat dari serat kulit hewan yang merupakan transliterasi dari
kitab Duryat yang diwariskan secara turun temurun oleh keluarga Sunan Kalijaga.

Kondisi Teks dan Kandungan Ajaran Suluk Linglung Sunan Kalijaga Tentang
Makrifat.
Dalam kehidupan tasawuf, seorang yang ingin menyempurnakan dirinya harus
melalui beberapa tahap-tahap dalam perjalanan spiritualnya. Dimana tahap paling dasar
adalah syari'at, yaitu tahap pelatihan badan agar dicapai kedisiplinan dan kesegaran
jasmani. Dalam syari'at hubungan antar manusia dijalin menjadi umat, syariat dimaksudkan
untuk membawa seseorang ke dalam sebuah bangunan kolektif, yang disebut umat,
bangunan persaudaraan berdasarkan kepercayaan atau agama yang sama.

Begitu juga yang diajarkan dan dilaksanakan oleh Sunan Kalijaga di dalam kitab
Suluk Linglung, ia sangat menekankan pentingnya menjalankan syari'at Islam seperti yang
diajarkan oleh Rasulullah saw, termasuk sholat lima waktu, puasa ramadhan, membayar
zakat dan menjalankan ibadah haji. Agar dapat menjalankan ajaran Islam yang sempurna
dan sungguh-sungguh (kaffah), baginya harus melalui berbagai tirakat dan perenungan diri
yang sungguh-sungguh pula. Dengan begitu manusia akan dapat mengerti makna hidup
sejati dan mencapai makrifat yang diajarkan Sunan Kalijaga dalam suluk tersebut, adalah
sebagai berikut;
Pertama, Brahmara Ngisep Sari Pupuh Dhandanggula (Kumbang Menghisap Madu).
Dalam teks aslinya, "pawartane padhita linuwih, ingkang sampun saget sami pejah, pejah
sajroning uripe, sanget
kepenginipun, pawartane kang sampun urip, marma ngelampahi kesah, tan uningeng luput,
anderpati tan katedah, warta ingkang kagem para nabi wali, mila wangsul kewala".

Artinya: "menceritakan tentang seorang alim ulama' yang cerdik dan pandai yang sudah
bisa merasakan mati, mati dalam hidup yang mempunyai keinginan besar untuk
memperoleh petunjuk dari seorang yang sudah menemukan hakekat kehidupan dan
perjalanan untuk tidak memperdulikan dampak yang terjadi. Beliau bernafsu untuk
mendapatkan petunjuk, petunjuk yang dipegang oleh para nabi dan wali, itulah tujuan
yang diharapkan semata-mata".

Pada bagian ini mengupas tentang Sunan Kalijaga berhasrat besar untuk mencari
ilmu yang menjadi pegangan para Nabi dan wali. Dengan kondisi bimbang dan tidak
menentu Sunan Kalijaga selalu berusaha untuk mengabdi dan mencari petunjuk, salah satu
usaha yang ditempuh adalah dengan mengendalikan segala hawa nafsunya yang selanjutnya
berserah diri kepada Allah, yang diibaratkan sebagai kumbang ingin mengisap madu / sari
kembang.

Dalam hal ini Sunan Kalijaga berusaha untuk mengendalikan segala hawa nafsunya.
Rendah hati dalam bersikap, prihatin, tidak bermewah-mewah (memikirkan kehidupan
dunia), membunuh segala nafsu jiwa raga dan berserah diri pada Allah.

Maksud mengalirnya madu adalah orang yang diberi kemuliaan oleh suksma. Dia
tetap kokoh dalam budi. Arti menjalankan tapa adalah menyakiti badan dari waktu muda
sampai tua, masuk hutan yang sunyi, masuk gua bersemadi di tempat yang sepi, membunuh
jiwa raga. Dengan begitu bila mendapat hidayah Ilahi, maka pengetahuan tentang Allah
akan sampai kepadanya, begitulah yang dilakukan Sunan Kalijaga. Manfaat orang yang
suka prihatin, seluruh cita-citanya akan dikabulkan Allah, apabila belajar ilmu akan mudah
paham, apabila mencari rizki akan mudah didapatkan dan apabila melakukan sesuatu
pekerjaan akan cepat selesai.

Demikian tapanya para ulama dan wali Allah yang telah sempurna tekadnya. Bila
orang ingin seperti itu hendaklah jiwa raga disiksa, raga selalu disakiti lupakan tidur. Bila
ingin tahu tentang asal mulanya, jasadnya disiksa dengan maksud agar menyatu pada
suksma. Dalam teksnya dijelaskan:

"……Dennya amrih wekasing urip, dadya napsu ingobat kabanjur kalantur, eca dhahar
lawan nendra, saking tyas awon poerang lan napsu neki,…….
Artinya "………berbagai usaha ditempuh agar akhir hidupnya nanti, mampu mengatasi
atau mengobati nafsunya, jangan sampai terlanjur nafsunya, puas makan dan tidur sebab
hatinya kalah perang dengan nafsunya".

Kedua, Kasmaran Branta Pupuh Asmara Dana (rindu kasih sayang pupuh asmara
dana) pada bagian ini mengupas tentang Sunan Kalijaga berguru kepada Sunan Bonang,
serta wejangan-wejangan (petunjuk-petunjuk) yang diterimanya.

Untuk memperkuat ketajaman batin, maka Sunan Kalijaga mengajarkan berbagai


jenis tapa agar diikuti para murid-muridnya. Sunan Kalijaga sendiri pernah menjadi petapa
ketika berguru kepada Sunan Bonang.

Pertama ia bertapa menunggui tongkat Sunan Bonang dan kedua bertapa ngidang
menyamar menjadi kijang, makan daun-daunan dan tinggal di hutan belantara. Dalam
teksnya dijelaskan:
Pada bait ketiga " wonten setengah wanadri, gennya ingkang gurdagurda. Pan sawarsa ing
lamine, anulya kinene ngaluwat, pinendhen madyeng wana, setahun nulya dinudhuk,
dateng jeng suhunan benang"

Artinya ", berada ditengah hutan belantara, tempat tumbuhnya pohon gurda yang banyak
sekali, dengan tenggang waktu setahun lamanya, kemudian disuruh "ngaluwat" ditanam
ditengah hutan. Setahun kemudian dibongkar oleh kanjeng Sunan Bonang"

Dan pada bait ketujuh belas, " pan angidang lampah neki, awor lan kidang
manjangan, atenapi yen asare pan aturu tumut, lir kadya sutaning kidang"

Artinya, "untuk menjalankan laku kijang, berbaur dengan kijang menjangan, bilamana
ingin tidur, ia mengikuti cara tidur terbalik, seperti tidurnya kijang, kalau pergi mencari
makan seperti caranya anak kijang".

Tapa-tapa yang dianjurkan Sunan Kalijaga diantaranya:


a. Badan, tapanya berlaku sopan santun, zakatnya gemar berbuat kebajikan.
b. Hati atau budi, tapanya rela dan sabar, zakatnya bersih dari prasangka buruk.
c. Nafsu, tapanya berhati ikhlas, zakatnya tabah menjalani cobaan dalam sengsara dan
mudah mengampuni kesalahan orang.
d. Nyawa atau roh, tapanya belaku jujur, zakatnya tidak mengganggu orang lain dan tidak
mencela.
e. Rahsa, tapanya berlaku utama, zakatnya duka diam dan menyesali kesalahan atau
bertaubat.
f. Cahaya atau Nur, tapanya berlaku suci dan zakatnya berhati ikhlas.
g. Atma atau hayu, tapanya berlaku awas dan zakatnya selalu ingat.

Di samping itu diajarkan pula tapa dan perbuatan yang berhubungan dengan tujuh
anggota badan;
1. Mata, tapanya mengurangi tidur, zakatnya tidak menginginkan kepunyaan orang lain.
2. Telinga, tapanya mencegah hawa nafsu, zakatnya tidak mendengarkan perkataan-
perkataan yang buruk
3. Hidung, tapanya mengurangi minum, zakatnya tidak suka mencela keburukan orang
lain
4. Lisan, tapanya mengurangi makan, zakatnya dengan menghindari perkataan-
perkataan buruk
5. Aurat, tapanya menahan syahwat dan zakatnya menghindari perbuatan zina
6. Tangan, tapanya mencegah perbuatan mencuri, zakatnya tidak suka memkul orang
lain
7. Kaki, tapanya tidak untuk berjalan berbuat kejahatan dan zakatnya menyukai berjalan
untuk istirahat dan intropeksi.
8.
Ketiga, Pupuh Durna, yang berisikan tentang Sunan Kalijaga yang diperintahkan ibadah
haji ke Makkah dan bertemu dengan nabi Khidir di tengah samudera. Dalam teks tersebut
disebutkan:

"Sang pendeta wus lajeng hing lampahira, mring benang dhepok sepi, nyata kawuwusa,
Lampahe Syeh Melaya, kang arsa amunggah kaji, dhateng hing makkah, lampahnya
murang margi".

Artinya, " Sunan Bonang sudah lebih dulu melangkahkan kaki, menuju desa Benang yang
sepi. Dan selanjutnya kita ikuti, perjalanan Syeikh Malaya, yang berkehendak naik haji
menuju Makkah dia menempuh jalan pintas
.
Setelah melalui proses tafakkur Sunan Bonang kemudian menyuruh Sunan Kalijaga
untuk pergi ke makkah menunaikan ibadah haji yang kemudian diperintahkan untuk
bertemu nabi Khidzir dan berguru kepadanya.

Sunan Kalijaga bertemu Nabi Khidzir ditengah samudera yang kemudian nabi
khidzir memberikan wejangan kepada Sunan Kalijaga tentang Hidayatullah (petunjuk
Allah).

Hidayatullah dapat diartikan sebagai petunjuk Allah. Petunjuk merupakan sebuah


anugerah yang tidak diterima oleh setiap orang. Sebagaimana dalam teks tersebut
dijelaskan "nyuwun wikan kang sifat hidayatullah munggah kajiyo miring Makkah marga
suci", artinya bahwa untuk mencapai petunjuk dari Allah manusia harus dalam kondisi suci,
suci secara dhahiriyah dan bathiniah dan dilakukan hati tulus dan ikhlas.

Sebagaimana Sunan Bonang menyarankan kepada Sunan Kalijaga untuk mencari


kepandaian dan hidayatullah di Makkah. Makkah merupakan kota suci, kota sebagai kiblat
bagi seluruh umat Islam yang mampu naik haji, sehingga dalam Islam pun diwajibkan bagi
umat Islam yang mampu naik haji
sebagai perwujudan pelaksanaan rukun Islam yang kelima.

Keempat, sang Nabi Khidzir (Pupuh Dhandhang Gula), mengupas tentang dialog
antara Syeh Malaya dengan nabi Khidzir yang berisikan wejangan tentang hidayatullah dan
kematian dengan berbagai aspeknya.

Dalam teks aslinya "….nadyan wus haji iku yen tan weruh paraning kaji ,...margone tan
kanggo lunga, mring ka'bah yen arsa wruh ing ka'bah jati, jati iman h idayat".

Artinya, "…oleh karena itu, biarpun kamu sudah naik haji bila belum tahu tujuan yang
sebenarnya dari ibadah haji, kamu akan rugi besar…ka'bah yang hendak kau kunjungi itu
sebenarnya ka'batullah (ka'bah Allah). Demikian itu sesungguhnya iman hidayat yang harus
kamu yakinkan dalam hati. Kalau seseorang akan melakukan ibadah haji, maka harus
diketahui tujuan yang sebenarnya, kalau tidak, apa yang dilakukan itu sia-sia belaka, itulah
yang dinamakan iman hidayat. Dan sebelum seseorang melakukan sesuatu hendaklah
diteliti agar tidak tertipu oleh nafsu, supaya tetap dalam jati diri yang asli (pancamaya).
Penghalang tingkah laku kebaikan ada tiga golongan, dan siapa berhasil menjauhi
penghalang tersebut akan berhasil menyatukan dirinya dengan yang ghaib. Yang dimaksud
dengan penghalang tersebut adalah marah, sakit hati, angkara murka, sombong dan
semacam itu.

Dalam teksnya dijelaskan, "pan isine jagad amepeki, iya iku kang telung prakara,
pamurunge laku kabeh kang bisa pisah iku, yekti bisa amoring ghaib, iku mungsuhe tapa,
ati kang tetelu, ireng, abang,
kuningsamya, angadhangi cipta karsa kang lestari, pamore sulama mulya".

Artinya, " sebab isinya dunia ini sudah lengkap, yaitu terbagi ke dalam tiga golongan,
semuanya adalah penghalang tingkah laku kalau mampu menjauhi itu, pasti dapat
berkumpul dengan ghaib, itu yang menghalangi meningkatkan citra diri, hati yang tiga
macam, hitam, merah, kuning, semua itu, menghalangi pikiran dan kehendak tiada putus-
putusnya, akan menyatunya dengan Tuhan yang membuat nyawa lagi mulia”.
Godaan yang berat digambarkan empat penari pada keempat sudut itu, yaitu nafsu-
nafsu yang timbul dari badan kita sendiri, pertama, amarah, yaitu nafsu yang menimbulkan
rasa ingin marah, ingin menguasai, ingin menaklukkan, serakah dan kejam, segala
tindakannya selalu merugikan orang lain. Dalam ilmu Jawa, nafsu amarah biasa
digambarkan dengan sinar (cahaya) yang berwarna merah, kedua, aluamah, nafsu yang
menimbulkan keinginan untuk makan dan minum secara berlebihan. Orang yang menuruti
nafsu aluamah gemar makan yang enak-enak, rakus, tak pernah merasa puas, dan malas
bekerja. Nafsu aluamah digambarkan dengan sinar (cahaya) yang berwarna hitam. Ketiga
sufi'ah, nafsu yang menimbulkan sifat dengki dan iri hati. Orang dengan nafsu ini selalu
menggerutu dan iri hati kepada temanya yang kaya dan pandai, tetapi ia sendiri tidak mau
berusaha.

Sifat sufiah digambarkan dengan sinar (cahaya) berwarna kuning. Keempat,


mutmainnah, nafsu yang pada dasarnya baik, suka memberi, penyayang. Orang yang
menuruti hawa nafsu mutmainnah sangat menyayangi orang lain tanpa perhitungan. Hal ini
dapat menjadikan dirinya celaka dan orang yang diberi juga ikut celaka. Sifat mutmainnah
digambarkan dengan sinar (cahaya) putih.

Si penari (budi manusia) haruslah dapat mengekang dan menguasai empat nafsu itu,
dan disalurkan ke arah (hal-hal) yang baik, agar dapat memiliki (mencapai) waranggana
(cita-cita yang mulia) yang dikejarnya. Nafsu amarah disertai keberanian dan terpelihara,
dapatlah ia mencapai martabat yang tinggi dan tidak akan berbuat kejam. Nafsu aluamah
disertai rajin dan menjaga kesehatan dapatlah ia mencapai kecukupan hidupnya dan badan
tetap terpelihara. Nafsu sufiah, disertai usaha maka ia sanggup mencapai apa yang
diinginkan. Nafsu mutmainah, disertai perhitungan, akan mendatangkan ketenteraman
hidup, tertolong sebagaimana mestinya.

Kelima, Kinanthi (Pupuh Kinanthi) yang terdiri dari enam puluh bait yang berisikan
tentang ajaran nabi Khidzir kepada Sunan Kalijaga tentang ilmu yakin, ainul yakin, haqqul
yakin, makrifatul yaqin dan iman hidayat serta sifat-sifat yang terpuji.

Dalam teks aslinya disebutkan "urip jroning johar iku, urip mati sajroning, iya aneng johar
awal, pagene sholat sireki, ya ora ing ndalem ndoya, purwane sholat puniki".

Artinya: "jelasnya, kehidupan yang telah digariskan sebelumnya oleh johar itu, telah
memuat garis hidup dan mati kita. Segalanya telah ditentukan di dalam johar awal. Dari
keterangan tentang johar awal tadi, tentu akan menimbulkan pertanyaan, diantaranya;
mengapa kamu wajib sholat, di dalam dunia ini?".
Pada bagian ini Sunan Kalijaga belajar tentang ilmu yaqin, ainul yaqin dan haqqul
yaqin serta makrifat, yang kemudian nabi Khidzir memberikan contoh tentang sholat
sebagai bukti keyakinan manusia tentang adanya Tuhan atau Allah yang harus disembah,
yang pada prinsipnya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini ada yang menciptakan.
Begitu pun juga manusia, eksistensi manusia di bumi karena adanya sang pencipta yaitu
Allah. Adanya manusia itulah yang membuktikan adanya Allah, dan tanda-tanda adanya
Allah adalah pada dirimu kata Nabi Khidzir kepada Sunan Kalijaga.

Sebenarnya tanda-tanda adanya Allah itu ada pada diri manusia sendiri, barang
siapa yang mengetahui dirinya sendiri maka akan mengetahui Tuhannya, jadi dengan
bertafakkur atas diri dan sifat-sifatnya sendiri, manusia mengetahui bahwa ia sebenarnya
dijadikan dari setetes air yang tidak
mempunyai akal sedikitpun dan, tidak pula mempunyai pendengaran, penglihatan, kaki,
tangan, kepala dan sebagainya. Dari sinilah manusia akan mengetahui dengan terang dan
nyata bawa tingkat kesempurnaan yang ia capai bukan ia sendiri yang membuatnya
melainkan Allah lah yang menciptakan karena sehelai rambut manusia tidak akan sanggup
membuatnya.

Manusia harus selalu bermakrifat kepada Allah, dalam ayat Al-Qur'an menjelaskan
bahwa pengagungan kepada Allah diwujudkan dengan makrifat, kalau tidak makrifat
berarti tidak menghargai Allah. Allah berfirman;"… dan tiada mereka mengagungkan Allah
sebagaimana mestinya" (al-An-'am: 91).

Yang dimaksud tidak mengagungkan Allah dalam ayat itu berarti tidak makrifat
kepada-Nya. Makrifat merupakan sifat orang-orang yang mengenal Allah dengan nama-
nama dan sifat-sifat-Nya, kemudian membenarkan Allah dengan melaksanakan ajarannya
dalam perbuatan. Selain itu makrifat dapat membersihkan diri dari akhlak yang rendah dan
dosa-dosa, yang kemudian lama-lama dapat mengetuk "pintu" Allah dengan hati yang
istiqomah, dia melakukan makrifat untuk menjauhi dosa-dosa. Sehingga dia memperoleh
hidayah dari Allah.54 Yang kesemuanya itu diperlukan adanya tauhid yang kuat. Dalam
teksnya dijelaskan "…tauahid panembah reki, makrifat pangawruh kita, ya ru'yat minangka
seksi" artinya tauhid adalah pengetahuan yang penting untuk menyembah pada Allah juga
makrifat harus kita miliki untuk mengetahui kejelasan yang terlihat, ya rukyat (ya dengan
melihat pakai mata telanjang) sebagai saksi adanya terlihat dengan nyata".

Keenam, Pupuh Dhandhang Gula yang terdiri dari lima puluh dua bait, pada bagian
ini berisi tentang Sunan Kalijaga menerima wejangan dari nabi Khidzir Dalam teks aslinya
disebutkan " kawisayan kang marang ing pati, den kahasto pamanthenging cipta, rupa
ingkang sabenere, sinengker buwaneku, urip data nana nguripi, datan antara mangsa, iya
anaripun, pas wus ana ing sarira, tuhu tunggal sejane lawan sireki, tan kena pisahenna.
Artinya; "cobaan hidup yang menuju kematian. ditimbulkan akibat buah pikir, bentuk yang
sebenarnya ialah tersimpan rapat di dalam jagatmu! Hidup tanpa ada yang menghidupi
kecuali Allah saja. Tiada antara lamanya tentang adanya itu. Bukanlah sudah berada
ditubuh? Sungguh bersama lainnya selalu ada dengan kau! Tak mungkin terpisahkan

Pada bagian ini Sunan Kalijaga mendapatkan wejangan tentang hakikat hidup, hidup yang
penuh cobaan dan masalah semua itu harus diserahkan sepenuhnya kepada Allah karena
segala yang muncul di muka bumi karena Allah.

Allah adalah sumber kebahagiaan, sumber kedamaian, sumber keselamatan, meskipun


demikian, rasa di dalam batinlah yang bisa menangkap kebahagiaan itu. Hakikat rasa
adalah tumbuhnya kemampuan untuk merasakan kehadiran Tuhan. Kemampuan untuk
melihat wajah-Nya, kemampuan untuk menghadap dihadirat-Nya, sehingga sang jiwa
menjadi madeg dan mantep dalam mengarungi kehidupan ini.

Manusia harus menghadap realita mutlak (kebenaran sejati) yang berada dalam diri
manusia sendiri, sehingga di dalam Suluk Linglung dinamakan "tunggal lawan sang hyang
widi", hamba menyatu dengan Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini disebut
dalam Pupuh Kinanthi bait 53;

" Thaukid hidayat sireku, tunggal lawan Sang Hyang widi, tunggal sira lawan Allah, uga
donya uga akhir, ya rumangsana pangeran, ya Allah ana nireki".

Artinya; "Thaukid hidayat yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan yang terpilih.
Menyatu dengan Tuhan Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Dan kamu harus merasa
bahwa Tuhan Allah itu ada dalam dirimu”.

Ajaran makrifat yang di ajarkan oleh sunan kalijaga tidak hanya melibatkan dunia
dalam microkosmos tetapi juga memandang dunia secara macrokosmos (misalnya alam
semesta, kenyataan sosial, dll), agar manusia jangan sampai melupakan tujuan hidup
manusia yang sesungguhnya baik di dunia dan di akhirat.

Bagi sufi mencapai makrifat, maka berarti dia makin dekat dengan Tuhan, dan
akhirnya dapat bersatu dengan Tuhan. Tetapi, sebelum seorang sufi bersatu dengan Tuhan
dia harus lebih dahulu menghancurkan dirinya.

Selama dia belum menghancurkan dirinya, yaitu dia masih sadar akan dirinya dia
tidak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran diri ini dalam tasawuf disebut fana
(hilang, hancur). Fana yang dicari oleh sufi ialah penghancuran diri, yaitu hancurnya
peranan dan kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia ini.

Jika seseorang telah mencapai, yaitu kalau wujud jasmaninya tak ada lagi (dalam
arti tak disadarinya lagi), maka yang tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah
ia bersatu dengan Tuhan. Kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah
tercapainya fana' tak ubahnya dengan fana' tentang kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk.
Dengan hancurnya hal-hal buruk ini, maka yang tinggal ialah pengetahuan, takwa dan
kelakuan baik.

Ajaran dan Dzikir Sunan Kalijaga

Siapa yang tak mengenal tembang di atas? Selain Lir-ilir, ada lagi
tembang Gundul Pacul dan lain sebaginya. Tembang itu adalah ciptaan
kanjeng Sunan Kalijaga, alias Raden Said (Raden Sahid) yang sering
disebut sebagai wali orisinil. Walapun ada pula yang menyebutkan bahwa
tembang Lir-ilir itu karya Sunan Bonang. Namanya akrab di telinga
Islam Jawa. Dan, nyatanya dialah satu-satunya wali yang bisa diterima
oleh berbagai pihak, baik oleh mutihan atau abangan, santri atau awam.

Sunan Kalijaga adalah putra Adipati Tuban yang bernama Tumenggung


Wilatikta atau Raden Sahur. Tumenggung Wilatikta sering disebut Raden
Sahur walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu
tetapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam. Nama lain Sunan
Kalijaga antara lain Lokajaya, Syek Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden
Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga
berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga
berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali.
Ada pula yang menyatakan, asalnya dari kata jaga (menjaga) dan kali
(sungai). Versi ini berdasarkan pada penantian Lokajaya akan
kedatangan Sunan Bonang selama tiga tahun, di tepi sungai.

Sunan Kalijaga dilukiskan hidup dalam empat era pemerintahan, yaitu


masa Majapahit (sebelum 1478), Kesultanan Demak (1481-1546),
Kesultanan Pajang (1546-1568), dan awal pemerintahan Mataram
(1580-an). Begitulah yang dinukilkan Babad Tanah Jawi, yang memerikan
kedatangan Sunan Kalijaga ke kediaman Panembahan Senapati di Mataram.
Dengan demikian diperkirakan masa hidup Sunan Kalijaga mencapai lebih
dari 100 tahun.

Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi


Saroh binti Maulana Ishaq, dan mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Raden
Umar Sahid) (Sunan Muria), Dewi Rakayuh, dan Dewi Sofiah. Dengan
demikian Sunan Kalijaga adalah ipar dari Sunan Giri. Pasalnya, Sunan
Giri adalah putra dari Maulana Ishaq dan Dewi Sekardadu. Ketika wafat,
beliau dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara).

Sunan Kalijaga, seperti halnya Syekh Siti Jenar, memang menyebarkan


agama Islam di tanah Jawa melalui sisi budaya. Islam menemui banyak
halangan untuk berkembang di tanah Jawa karena bertemu dengan kultur
yang sudah sangat kuat, yaitu kultur Hindu/Buddha di bawah pengaruh
kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, Sunan Kalijaga melakukan
transmogrifikasi dengan memasukkan unsur-unsur Islam dalam
budaya-budaya Jawa seperti memasukannya ke dalam syair-syair macapat,
memodifikasi wayang kulit, menciptakan lagu yang sangat terkenal Lir-
ilir, dan sebagainya.

Buku ini tidak sededar bertutur kata tentang kisah Sunan Kalijaga,
tetapi mengungkap ajaran serta amalan yang diwariskan, seperti doa-doa
(kidung) baik yang berbahasa Jawa maupun yang diambil dari ma'surat.
Dengan demikian kita bisa lebih paham ajaran (pesan) kearifan Sunan
Kalijaga serta bisa mendapatkan khazanan lama yang berharga. Sebagai
contohnya, wejangan dibalik tembang Lir-ilir dan wejangan tentang
pacul.

Wejangan dibalik tembang Lir-ilir


Bila kita renungkan secara mendalam apa yang tersirat dari suratan
tembang Lir-ilir tersebut secara globalnya adalah sebagai berikut:

*) Bait pertama, mulai bangkitnya Islam.

*) Bait kedua, merupakan perintah untuk melaksanakan kelima Rukun Islam.

*) Bait ketiga, bertobat, memperbaiki kesaahan-kesalahan yang pernah


dilakukan. Kesemuanya untuk bekal kelak bila mati.

*) Dan bait selanjutnya mempunyai arti yang menyimpulkan mumpung ada


kesempatan baik.

Wejangan tentang Pacul

Wejangan Sunan Kalijaga tentang Pacul yang diberikan kepada Ki Ageng


Sela juga sangat menarik untuk dikaji. Wejangan yang nampaknya
sederhana itu bermakna sangat dalam.

Pacul atau cangkul merupakan senjata utama andalan para petani.


Senjata yang ampuh ini digunakan untuk mengolah lahan pertanian.
Menurut wejangan Sunan Kalijaga kepada Ki Ageng Sela, cangkul terdiri
dari 3 bagian, yaitu: 1) Pacul (bagian yang tajam), 2) Bawak
(lingkaran tempat batang doran), dan 3) Doran (batang kayu untuk
pegangan cangkul).

1) Pacul. Pacul dari kata: ngipatake barang kang muncul, artinya


membuang bagian yang mendugul (semacam benjolan yang tidka rata).
Sifatnya memperbaiki. Sebagai umat Islam, kita harus selalu berbuat
baik dan selalu memperbaiki hidup kita yang penuh dosa. Maka, seperti
halnya pacul yang baik, yaitu kuat dan tajam, kita harus kuat iman,
tajam pikiran kita untuk berbuat kebaikan. Jadi, falsafah pacul
tersebut mengandung makna ajaran agama yang tinggi nilainya.

2) Bawak. Bawak dari kata obahing awak, artinya geraknya tubuh.


Maksudnya: sebagai orang hidup wajib bergerak tubuh akan menjadi
sehat. Arti istilah yang luas, bahwa sebagai manusia kita wajib
berikhtiar, seperti halnya bekerja untuk memperoleh nafkah dunia dan
bergerak mengerjakan shalat untuk memperoleh nafkah batin.
3) Doran. Doran dari kata donga marang Pangeran, artinya berdo'a
kepada Tuhan. Maksudnya: kita manusia sebagai umat harus selalu
berdo'a kepada Tuhan, yakni Allah SWT. Karena do'a ini juga bagian
vital dari ibadah. Apalagi shalat lima waktu merupakan kewajiban umat
Islam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, harus dilaksanakan
sepenuhnya.

SUBHANALAAHH…………
BAB 3
PENUTUP

Kesimpulan
1. Pada masa awal masuknya Islam di Jawa, masyarakat masih menganut agama
hindu dibuktikan dengan Adipati Ranggalawe (Bupati Tuban) yang berputra Ario
Tejo I (Bupati Tuban), Ario Tejo II (Bupati Tuban) dan Ario Tejo III (Bupati
Tuban).Sedangkan Ario Tejo III (Bupati Tuban)berputra Raden Tumenggung
Wilotikto (Bupati Tuban), berputra Raden Mas Said (Sunan Kalijaga).Menurut
keterangan, Ario Tejo I dan II ini masih memeluk agama Syiwa. Hal ini bisa
saksikan dari bukti makamya yang berada di Tuban, yang memakai tanda Syiwa.
Tetapi Ario Tejo III sudah memeluk agama Islam, hal ini juga terlihat dari tanda
yang ada dimakamnya

2. Peranan sunan Kalijaga pada penyebaran Islam di Jawa sebagai muballigh yang
sangat populer dan pandai bergaul dengan semua lapisan masayarakatserta pandai
dalam mengelola pola dakwhnya.Hal ini dibuktikan dengan Sunan Kalijaga
termasuk muballigh keliling yang mendatangi daerah-daerah sampai jauh ke
pelosok dan kota-kotakarena dalam hal ini ada wali yang hanya berdakwah di
daerahnya saja, mendirikan padepokan atau pesantren di tempat
domisilinya.Sunan Kalijaga diceritakan mengembara sampai ke Bintoro, Demak.
Beliau sangat gigih membantu perjuangan Sultan Fatah dalam menyebarkan
Islam di Pulau Jawa, khususnya di daerah Pantai Utara Jawa.Selain itu Sunan
Kalijaga merupakan ulama termuda yang diangkat menjadi wali, tetapi memiliki
ilmu paling tinggi dan paling lama pula menjalankan tugas dakwahnya. Pola
dakwah yang dikembangkan mirip dengan guru sekaligus sahabatnya, Sunan
Bonang. Kedua wali ini cenderung menganut faham sufistik berbasis salaf, bukan
sufi-panteistik (pemujaan semata). Sunan Kalijaga juga memilih kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana yang efektif untuk berdakwah.Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila dalam mempraktikkan pengajaran syariat Islam banyak
dicampuri dengan unsur-unsur adat lama dan cenderung berkompromi dengan
kepercayaan pra Islam, misalnya melalui wayang, gamelan, tembang, ukir, dan
batik.
DAFTAR PUSTAKA

- Rus'an , Mutiara Ihya' Ulumuddin Iman Al-Ghozali, (Semarang: Wicaksana, 1984)


- Sudirman Tebba, Kecerdasan Sufistik; Jembatan Menuju Makrifat, (Jakarta:
Kencana, 2004)
- http : // www. Serambi. Co. id / modules.
- Ahmad Chodjim, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, (Jakarta: PT Serambi
IlmuSemesta, 2004)
- Iman Anom, Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Syeh Melaya), (Jakarta : Balai
Pustaka,
- Purwadi dan Siti Maziyah, Hidup dan Spiritual Sunan Kalijaga, (Yogyakarta : Panji
Pustaka 2005)
- Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga " Penyebaran Agama Islam di Jawa berbasis
kultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)

- Siami Nahri F - Dok. Rumah Pendidikan Sciena Madani 2012


DAKWAH DAN AJARAN
SUNAN KALIJAGA ( RADEN SAID)

Untuk Memenuhi Tugas Penerimaan Mahasiswa Baru


Ditulis Oleh : Kelompok 14 (Raden Said )

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


TULUNGAGUNG
TAHUN AKADEMIK 2014-2015

Anda mungkin juga menyukai