Anda di halaman 1dari 18

Kata Pengantar

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
petunjuk, dan kesempatan kepada kita semua untuk memulai perjalanan belajar dalam mata
kuliah Etika dan Filsafat Bisnis dalam Islam. Kami juga ingin menyampaikan salam hormat
dan terima kasih kepada Bapak Andriko, M.E.Sy, yang telah menjadi dosen pengampu mata
kuliah ini dan memberikan arahan serta bimbingan kepada kita. Mata kuliah Etika dan
Filsafat Bisnis dalam Islam adalah mata kuliah yang sangat penting dalam pemahaman
konsep bisnis dan ekonomi dalam perspektif Islam.

Kami, para mahasiswa, merasa sangat beruntung dan bersyukur bisa mengikuti mata
kuliah ini dan belajar dari seorang dosen yang berpengalaman seperti Bapak Andriko. Dalam
mata kuliah ini, kita akan menjelajahi berbagai aspek penting yang berkaitan dengan etika
dan filsafat bisnis dalam Islam. Kita akan memahami nilai-nilai Islam yang menjadi dasar
dalam menjalankan bisnis, tanggung jawab sosial perusahaan, konsep keadilan ekonomi
dalam Islam, serta cara-cara mengatasi dilema etika dalam konteks bisnis. Mata kuliah ini
akan membuka wawasan kita tentang bagaimana Islam memandang bisnis sebagai alat untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat dan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Kita juga akan mendalami prinsip-prinsip bisnis yang sejalan dengan ajaran Islam,
seperti adil, transparan, dan berkelanjutan.

Curup, 07 September 2023

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………..…….1

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………..……2

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………..……3

A. Latar Belakang…………………………………………………………………..…..4
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………….…..5
C. Tujuan Penulisan………………………………………………………………….…5

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………..6

A. Pengertian Bisnis yang diperbolehkan………………………………………………6


B. Pengertian Bisnis yang dilarang…………………………………………………….9

BAB III PENUTUP……………………………………………………………………….16

A. Kesimpulan…………………………………………………………………………16
B. Saran………………………………………………………………………………..16

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam praktek kehidupan sehari-hari manusia sangatlah berdekatan dengan
kata bisnis. Bisnis adalah kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Barang dan jasa akan didistribusikan pada
masyarakat yang membutuhkan, dari kegiatan distribusi tersebut, pelaku bisnis akan
mendapatkan keuntungan atau profit. Dengan adanya kebutuhan masyarakat akan
suatu barang atau jasa maka bisnis akan muncul untuk memenuhinya. Dengan
masyarakat yang terus berkembang secara kualitatif dan kuantitatif maka bisnispun
juga dapat terus berkembang sesuai apa yang dibutuhkan mayarakat. Perkembangan
secara kualitatif dapat dilihat dari pendidikan yang semakin baik, dan pemikiran yang
semakin maju, sedangkan pertumbuhan secara kuantitatif dapat dilihat dari
bertambahnya jumlah penduduk (kelahiran, pertambahan umur, dan kematian). 1
Bisnis dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai cara untuk
mendapatkan keuntungan, semua cara yang dilakukan dianggap halal, bahkan bangsa
Barat menetapkan bahwa manusia sebagai homo ecominicus atau manusia adalah
manusia yang mengejar materi saja. Menggunakan modal sekecil mungkin dan
mendapatkan hasil yang berlipat dari modal awalnya. Kegiatan bisnis yang seperti ini
menjadikan pelaku bisnis tidak memikirkan tanggungjawab yang harus dia lakukan.
Untuk menjadikan bisnis menjadi kegiatan usaha yang baik maka aturan-aturan bisnis
harus di lakukan agar bisnis bisa berjalan dengan baik dan tidak merugikan orang lain.
Islam mengatur semua kegiatan manusia termasuk dalam melakukan muamalah
dengan memberikan batasan apa saja yang boleh dilakukan (Halal) dan apa saja yang
tidak diperbolehkan (Haram). Dalam bisnis syariah, bisnis yang dilakukan harus
berlandaskan sesuai syaria·ah. Semua hukum dan aturan yang ada dilakukan untuk
menjaga pebisnis agar mendapatkan rejeki yang halal dan di ridhai oleh Allah SWT
serta terwujudnya kesejahteraan distribusi yang merata. Maka etika atau aturan
tentang bisnis syariah memiliki peran yang penting juga dalam bisnis berbasis
syari’ah.2

1
Asyraf Muhammad Dawwabah, Meneladani Keunggulan Bisnis Rasulullah, (Semarang: Pustaka
Nuun, 2007), hal.58-59
2
A Riawan Amin, Menggagas Manajemen Syariah, (Jakarta: Salemba Empat 2010), hal.30

3
Bisnis dengan basis syariah akan membawa wirausaha muslim kepada
kesejahteraan dunia dan akhirat dengan selalu memenuhi standar etika perilaku bisnis,
yaitu: takwa, kebaikan, ramah dan amanah. Ketaqwaan seorang wirausaha muslim
adalah harus tetap mengingat Allah dalam kegiatan berbisnisnya, sehingga dalam
melakukan kegiatan bisnis seorang wirausahawan akan menghindari sifat-sifat yang
buruk seperti curang, berbohong, dan menipu pembeli. Seorang yang taqwa akan
selalu menjalankan bisnis dengan keyakinan bahwa Allah selalu ada untuk membantu
bisnisnya jika dia berbuat baik dan sesuai dengan ajaran Islam. Ketaqwaannya diukur
dengan dengan tingkat keimanan, intensitas dan kualitas amal salehnya. Apabila
dalam bekerja dan membelanjakan harta yang diperoleh dengan cara yang halal dan
dilandasi dengan keimanan dan semata-mata mencari ridha Allah, maka amal saleh ini
akan mendapatkan balasan dalam bentuk kekuasaan didunia, baik kuasa ekonomi
maupun kekuasaan sosial atau bahkan kekuasaan politik. 3
Wirausahawan muslim hendaknya memiliki perilaku yang baik, seperti
bertindak ramah kepada konsumen. Berperilaku baik dengan menerapkan perilaku
yang sopan dan santun akan membuat konsumen nyaman dan senang. Selain itu
wirausahawan muslim juga harus bersikap baik saat melayani pembeli. Pembeli akan
merasa senang jika dilayani dengan ramah dan baik. Memberikan tenggang waktu
saat pembeli belum dapat membayar kekurangannya atau melunasi pinjaman. Sikap
yang baik saat melayani akan membawa seorang wirausaha banyak mengenal orang
baru dan bisa saja mendapatkan teman untuk bekerjasama mengembangkan bisnisnya.
Amanah juga perilaku yang harus ada di miliki oleh wirausaha muslim dalam
berbisnis. Rasulluah Saw. adalah contoh pebisnis yang jujur karena sifat amanahnya.
Jika perilaku amanah dilakukan dengan baik maka maka seorang wirausaha muslim
akan dapat menjaga hubungannya dengan sesama manusia dengan cara menjaga
kepercayaan orang lain yakni pembeli. Dapat menjaga hubungannya dengan Allah
karena dapat menjaga amanah yang diberikan Allah terhadap harta yang Allah
titipkan padanya. Dan dapat memelihara dirinnya dari kebinasaan. 4
Islam sangat menghargai kerja keras seseorang, kerja keras yang dilakukan
akan mendapat pahala dari Allah SWT. Seorang manusia yang unggul adalah manusia
yang taqwa kepada Allah akan menjalankan bisnis dengan membawa keseimbangan
dalam hidupnya, imbang dalam hal dunia dan akhirat. Islam melalui Rasulullah,

3
Sofyan S.Harahap, etika bisnis dalam perspektif islam (Jakarta: salemba empat, 2011), hal.135
4
M. Azrul Tanjung, Fikri, dkk Meraih Surga dengan Berbisnis, (Jakarta: Gema Isnani, 2013), hal.87

4
mengajarkan bagaimana bisnis seharusnya dilakukan. Mulai dari etika berbisnis
sampai penggunaan harta yang diperoleh. Kegiatan bisnis yang dijalankan oleh
Rasulullah SAW didasari oleh akhlak mulia dengan kejujuran dan tutur kat a yang
baik. Allah SWT menyuruh hamba-hambaNya bahkan mewajibkan untuk mencari
harta-kekayaan. Seperti yang dijelaskan dalam surat al-Mulk ayat 15 : Dialah yang
menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali
setelah) dibangkitkan.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menyuruh hambahambanya untuk


mencari rizki yang telah Allah siapkan di bumi dengan menggunakan cara yang halal.
Dalam mencari rizki, seorang muslim harus tetap mengingat Allah. Saat rizki tersebut
sudah diperolehnya maka dia harus mempergunakan harta miliknya dengan benar dan
baik. Fenomena yang terjadi saat ini manusia semakin egois dan individualistis dalam
segala hal. Selama berbisnis mereka hanya memikirkan cara untuk mendapatkan
keuntungan dan cara menghindar dari kerugian saja. Ketika keberhasilan datang pada
mereka, mereka lupa bahwa harta yang mereka dapatkan hanyalah titipan dari Allah
yang akan dipertanggungjawabkan kelak diakhirat. Hakikat dari bisnis dalam agama
Islam selain mencari keuntungan materi juga mencari keuntungan yang bersifat
immaterial. Keuntungan yang bersifat immaterial yang dimaksud adalah keuntungan
dan kebahagiaan ukhrawi. Dalam konteks inilah al-Qur’an menawarkan keuntungan
dengan suatu bisnis yang tidak pernah mengenal kerugian yang oleh al-Qur·an
diistilahkan dengan µtijaratan lan taburaµ. Karena walaupun seandainya secara
material pelaku bisnis Muslim merugi, tetapi pada hakikatnya ia tetap beruntung
karena mendapatkan pahala atas komitmenya dalam menjalankan bisnis yang sesuai
dengan syariah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Praktek Bisnis yang Diperbolehkan?
2. Bagaimana Praktek Bisnis yang Dilarang?

C. Tujuan Makalah
1. Guna mengetahui Praktek Bisnis yang Diperbolehkan
2. Guna mengetahui Praktek Bisnis yang Dilarang

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Bisnis yang Diperbolehkan


Perubahan dan perkembangan yang terjadi saat ini menunjukkan
kecenderungan yang cukup memprihatinkan, namun sangat menarik untuk dikritisi.
Praktek atau aktivitas hidup yang dijalani umat manusia di dunia pada umumnya dan
di Indonesia pada khususnya, menunjukkan kecenderungan pada aktivitas yang
banyak menanggalkan nilai-nilai atau etika ke-Islaman, terutama dalam dunia bisnis.
Bisnis yang diperbolehkan adalah jenis bisnis yang beroperasi dalam kerangka hukum
dan etika yang sah, sesuai dengan regulasi yang berlaku, serta mematuhi norma sosial
yang berlaku dalam masyarakat. Jenis bisnis ini berfokus pada praktik-praktik yang
secara umum dianggap sebagai kontribusi positif terhadap ekonomi, lingkungan, dan
masyarakat. Dalam makalah ini, kita akan menggali lebih dalam pengertian bisnis
yang diperbolehkan, prinsip-prinsip yang mendasarinya, serta pentingnya bisnis yang
sah dan etis dalam konteks ekonomi global saat ini, dan praktek bisnis yang dilarang.5
Bisnis yang diperbolehkan merujuk pada praktek-praktek bisnis yang tidak
melanggar hukum, menghormati hak-hak asasi manusia, dan beroperasi dalam batas-
batas etika yang diterima. Ini mencakup berbagai sektor ekonomi, mulai dari bisnis
kecil hingga perusahaan multinasional. Bisnis yang diperbolehkan juga mencakup
entitas nirlaba dan sektor publik yang harus mematuhi regulasi tertentu dalam
menjalankan tugas mereka.

1. Prinsip-prinsip Bisnis yang Diperbolehkan


Untuk memahami lebih lanjut pengertian bisnis yang diperbolehkan, mari kita
tinjau prinsip-prinsip yang mendasarinya:
a. Kepatuhan Hukum, prinsip pertama dari bisnis yang diperbolehkan adalah
kepatuhan hukum. Setiap bisnis harus beroperasi sesuai dengan hukum dan
regulasi yang berlaku di wilayahnya. Ini mencakup perpajakan, regulasi
lingkungan, hak tenaga kerja, dan berbagai undang-undang bisnis lainnya.
Bisnis yang tidak mematuhi hukum berisiko menghadapi sanksi hukum yang
serius.

5
Laelah, Ferisa. Sistem Waralaba Dalam Perspektif Transaksi Bisnis Syariah (Studi Pada Restoran Es
Teler 77 Palembang Square Mall). Diss. fakultas syariah dan hukum, 2018.

6
b. Etika Bisnis, selain dari kepatuhan hukum, bisnis yang diperbolehkan juga
berfokus pada etika bisnis. Etika bisnis melibatkan prinsip-prinsip moral dan
nilai-nilai yang mengatur perilaku bisnis. Ini mencakup kejujuran,
transparansi, integritas, dan tanggung jawab sosial perusahaan. Bisnis yang
berprinsip etis cenderung mendapatkan kepercayaan konsumen yang lebih
besar dan membangun hubungan yang lebih baik dengan pemangku
kepentingan.
c. Kesejahteraan Masyarakat, penting bagi bisnis yang diperbolehkan untuk
berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Ini bisa
dilakukan melalui penciptaan lapangan kerja, pembayaran pajak yang adil,
serta dukungan terhadap inisiatif sosial dan amal. Bisnis yang peduli terhadap
masyarakat memiliki dampak positif yang lebih besar pada komunitas di
sekitarnya.
d. Kelestarian Lingkungan, bisnis yang diperbolehkan juga harus memperhatikan
kelestarian lingkungan. Prinsip-prinsip bisnis yang berkelanjutan mencakup
penggunaan sumber daya alam yang bijaksana, pengurangan emisi karbon,
dan upaya untuk meminimalkan dampak negatif terhadap ekosistem.
e. Persaingan yang Sehat, persaingan yang sehat adalah prinsip penting dalam
bisnis yang diperbolehkan. Hal ini mencakup penghormatan terhadap
persaingan fair tanpa praktik monopoli atau oligopoli yang merugikan
konsumen. Regulasi antitrust dan persaingan yang sehat sangat penting untuk
menjaga keseimbangan ini.6

2. Kriteria Bisnis yang Diperbolehkan


Sebuah bisnis hanya boleh dijalankan jika tidak melanggar syariat islam,
Berikut kriteria yang harus diperhatikan dalam praktik bisnis syariah, diantaranya
sebagai berikut:7
a. Barang yang dibisniskan bukan zat yang haram, tidak mengandung bahan-
bahan haram, misalnya daging babi, narkoba dan lain-lainnya.
b. Berbisnis dengan tidak merusak akad, bisnis yang terhindar dari MAGHRIB
(Maysir/Judi/togel, Gharar/ketidakjelasan, Riba) Ikhtikar/penimbunan dan
sebagainya.
6
Fauroni, Lukman, Etika Bisnis dalam al-Qur'an. (Pustaka Pesantren, 2008)
7
Khoiruddin, Khoiruddin. "Etika Pelaku Bisnis dalam Perspektif Islam." ASAS: Jurnal Hukum
Ekonomi Syariah 7.1 (2015).

7
c. Tidak memonopoli pasar, dengan mengambil keuntungan yang terlalu besar
karenahanya dia sendiri yang memiliki barang tersebut.

3. Ketentuan Barang Bisnis yang Diperbolehkan


Ketentuan barang dalam bisnis syariah adalah sebagai berikut:
a. Terjaga zatnya (halal), artinya barang yang dibisniskan bukan barang-
barang yang zatnya haram. Misalnya: minuman keras, narkoba/obat-
obatan terlarang lainnya, daging babi/hewan yang haram dan lain
sebagainya.
b. Higenis (tayyiban), dalam bisnis Syariah/bisnis yang diperbolehkan barang
yang dibisniskan bukan harus halal, akan tetapi juga harus bersih, sehat,
bebas dari penyakit, sedikit mudharat dan bermanfaat bagi yang
mengkonsumsi.
c. Didapat dari cara yang baik, artinya dalam bisnis kita tidak boleh menjual
barang yang bukan milik kita tanpa sepengetahuan sang pemilik, bukan
barang curian dsan lain sebagainya.8
4. Cara bisnis yang diperbolehkan
Berbisnis dengan etika seperti yang diajarkan Rosulullah SAW, diantaranya:9
a. Kejujuran, dalam doktrin islam, kejujuran merupakan syarat paling mendasar
dalam kegiatan bisnis. Rosulullah sangat intens menganjurkan kejujuran
dalam aktivitas bisnis. Dalam hal ini beliau, bersabda “tidak dibenarkan
seorang mukmin menjual satu jualan uang mempunyai aib, kecuali ia
menjelaskan aibnya” (H.R Muslim). Rosulullah sendiri selalu bersikap jujur
dalam berbisnis, beliau melarang para pedagang meletakkan barang busuk
disebelah bawah dan barang baru dibagian atas.
b. Amanah, islam menginginkan pebisnis memiliki hati Nurani sehingga bias
menjaga hak-hak Allah dan hak-hak manusia, dan bisa memproteksi
muamalahnya dari tingkah laku yang mendorong untuk berbuat remeh dan
lalai.
c. Tidak melakukan sumpah palsu, Nabi Muhammad SAW sangat intens
melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan
transaksi bisnis dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi bersabda: “Dengan

8
Purkon, Arip. Bisnis online syariah. Gramedia Pustaka Utama, 2014.
9
Nawatmi, Sri. "Etika bisnis dalam perspektif Islam." Fokus Ekonomi 9.1 (2010): 24402.

8
melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual,tetapi hasilnya
tidak berkah”. Dalam hadis riwayat Abu Zar, Rasulullah saw mengancam
dengan azab yang pedih bagi orang yangbersumpah palsu dalam bisnis, dan
Allah tidak akan memperdulikannya nanti di hari kiamat. (H.R. Muslim).
d. Ramah-tamah, seorang pelaku bisnis, harus bersikap ramah dalam melakukan
bisnis. Nabi Muhammad Saw mengatakan, “Allah merahmati seseorang yang
ramah dan toleran dalam berbisnis” (H.R. Bukhari dan Tarmizi).
e. Tidak menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya Nabi
Muhammad Saw bersabda, “Janganlah seseorang diantara kalian menjual
dengan maksud untuk menjelekkan apa yangdijual oleh orang lain” (H.R.
Muttafaq ‘alaih).
f. Takaran, ukuran dan timbangan yang benar, dalam perdagangan, timbangan
yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: Celakalah
bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” (QS. 83: 112).
g. Bisnis tidak boleh menggangu kegiatan ibadah kepada Allah, Firman Allah,
“Orang yang tidak dilalaikan oleh bisnis lantaran mengingat Allah, dan dari
mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang
hari itu, hati dan penglihatan menjadi goncang”.
h. Membayar upah sebelum kering keringat karyawan, Nabi Muhammad Saw
bersabda, “Berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya”.
Hadist ini mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-
tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja yang dilakukan.

B. Pengertian Bisnis yang Dilarang


Bisnis yang dilarang adalah bisnis yang tidak memenuhi salah satu atau
semua syarat-syarat yang ada didalam bisnis yang dibenarkan. Secara

9
umum islam melarang semua bentuk transaksi yang akan menimbulkan
kesulitan dan masalah. Tak peduli apapun bentuknya, esensi dari bisnis yang
tidak dihalalkan adalah suatu bisnis yang didalamnya mengandung cara
konsumsi yang tidak halal, atau melanggar atau merampas hak dan kekayaan
orang lain. Inilah yang Al-Qur’an larang dengan keras dengan menyebutkannya
sebagai bi al-bathil (makan dengan cara yang bathil) dan zulm (kezhaliman). Karena
ketidakadilan berakar pada semua tindakan dan perilaku bisnis yang tidak
dikehendaki, maka semua ajaran yang ada dalam Al-Qur’an difokuskan untuk
mengeleminasi semua bentuk kejahatan bisnis.10
1. Contoh-Contoh Praktek Bisnis yang Dilarang
Dalam bisnis tidak sedikit orang menjual barang dan melakukan praktek
bisnis yang bertentangan dengan agama. Sudah barang tentu hal ini
sangat merusak dan merugikan satu sama lain sebagai berikut :
a. Riba
Secara Bahasa Riba bermakna ziyadah “tambahan” dalam pengertian
lain secara linguistic riba berarti tambahan dan membesar. Sedangkan untuk
istilah riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau
modal secara batil. Umat islam berijma’ mengatakan bahwa riba
adalah haram. Kata al-Mawardi, “sehingga dikatakan, ia tida k
dihalalkan dalam syariat sama sekali”. Karena allah SWT
berfirman : “Dan juga (disebabkan) mereka mengambil riba padahal
mereka telah dilarang melakukannya.” (an-Nisaa : 16). Ini lah sebagian
dalil-dalil dari kitab allah dan sunnah rasulnya Muhammad saw. Yang
telah menjelaskan tentang pengharaman riba dan bahayanya atas individu
dan umat. Barang siapa yang bermuamalat dan melakukannya, maka dia
telah terjatuh ke dalam dosa besar dan menjadi orang yang memerangi
Allah dan Rasulnya.
Dalam kaitan ini apakah riba sama dengan bunga bank, Wahbah
az-Zuhaili kemudian mengatakan, “Bunga bank adalah haram hukumnya,
karena bunga bank adalah riba nasi’ah. Sama saja apakah bunga
itu mengembang atau menumpuk. Karena perbuatan bank adalah janji

10
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hal.125

10
dan janji, sungguh bunga bank merupakan riba yang jelas, bunga adalah
haram hukumnya karena Riba”.11
Para Fuqaha telah membagi riba itu dalam dua kategori yaitu riba
nasi’ah dan riba fadhl. Pertama, Riba Nasiah adalah tambahan jumlah uang
yang didapat dari pemberian pinjaman, biasanya didasarkan pada batasan
waktu tertentu. Tambahan ini, apapun dan beberapa persenpun
tambahan yang diambil, adalah dilarang oleh Al Qur’an. Bentuk
pinjaman semacam ini adalah dilarang baik itu untuk kepentingan konsumsi
maupun investasi.3 Misalnya : Si A utang uang pada si B sejumlah Rp.
1.000 dengan perjanjian dilunasi bulan berikutnya sejumlah Rp. 1.200,
pada saat jatuh tempo si A belum mampu melunasi kemudian si B
member tempo kebulan berikutnya dengan jumlah yang harus
dibayarmenjadi Rp. 1.400 begitu seterusnya sehingga semakin lama maka
bunga pinjaman itu bisa lebih besar dari pokok pinjamannya, jelas dilarang
dan hukumnya haram.12

Kedua, Riba Fadhl adalah perdagangan dalam bentuk barter


komoditas sejenis tanpa adanya kesamaan kuantitas. Misalnya :
penukaran emas dengan emas. Sekecil apapun nilai riba itu tetap haram,
tidak ada toleransi sama sekali, dalam riba yang diancam dosa bukan
hanya pemodalnya saja, tetapi semua orang yang terlibat dalam proses
menjalankan praktek riba. Sebagaimana Rasulullah saw melarang orang
yang makan riba, orang yang bersekutu dalam melakukannya, penulis
dan saksi-saksinya (HR Muslim).13
b. Maysir
Maysir adalah istilah dalam bahasa Arab yang mengacu pada praktik
perjudian atau pertaruhan dalam konteks hukum Islam (syariah). Istilah ini
digunakan untuk menggambarkan kegiatan yang melibatkan taruhan atau
perjudian di mana orang bertaruh uang atau barang berharga pada hasil suatu
kejadian atau peristiwa yang mengandung unsur ketidakpastian atau

11
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah, (Jakarta: Gema Insani, 2004)hal. 53-54
12
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hal.127
13
Ali Hasan, Manajemen Bisnis Syariah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal.232

11
keberuntungan.14 Maysir dianggap sebagai aktivitas yang tidak etis dan dilarang
dalam Islam karena beberapa alasan penting:
1) Unsur Ketidakpastian, Maysir melibatkan unsur ketidakpastian dan
keberuntungan. Dalam perjudian, hasilnya tidak dapat diprediksi dengan
pasti, dan ini dapat menyebabkan kecanduan dan risiko finansial yang serius
bagi individu.
2) Keadilan dan Pemerataan Keuntungan, Maysir sering kali mengarah pada
ketidakadilan dalam pembagian keuntungan. Beberapa orang mungkin
mendapatkan keuntungan besar sementara yang lain kehilangan harta
mereka. Ini bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan yang dijunjung
tinggi dalam hukum Islam.
3) Adu Domba dan Kerugian Masyarakat, Maysir juga dapat menyebabkan
adu domba dan persaingan yang tidak sehat di antara individu yang terlibat.
Hal ini dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan dan mengganggu
ketertiban sosial.
4) Kecanduan dan Pengaruh Negatif, Praktik perjudian sering kali dapat
menyebabkan kecanduan, yang dapat merusak kehidupan individu dan
keluarganya. Kecanduan perjudian adalah masalah serius dalam banyak
masyarakat.
Dalam Islam, Maysir dianggap sebagai perbuatan yang haram, yang
berarti bahwa umat Islam dilarang untuk terlibat dalam aktivitas perjudian
atau permainan keberuntungan semacam itu. Dalam Al-Quran, terdapat
beberapa ayat yang menekankan pentingnya menjauhi perjudian dan maysir
sebagai praktek yang tidak diterima oleh Allah. Meskipun dalam konteks
Islam, Maysir secara khusus mengacu pada perjudian, konsep
ketidakpastian dan unsur keberuntungan yang serupa juga dapat diterapkan
pada aktivitas bisnis dan investasi. Oleh karena itu, dalam bisnis yang sah
dalam Islam, ada penekanan pada transparansi, keadilan, dan penghindaran
risiko yang tidak perlu, sehingga aktivitas tersebut tidak dianggap sebagai
bentuk maysir.15
c. Jual Beli dan Syarat Syariat

14
Sula, Muhammad Syakir. Asuransi syariah: life and general: konsep dan sistem operasional. Gema
Insani, 2004.
15
Ismail, Pane, et al. "Fiqh Mu’amalah Kontemporer." (2021).

12
Islam yang suci telah memerintahkan ditunaikannya janji dengan
komitmen yang menjadi persyaratan janji tersebut, kecuali apabila syarat itu
berbentuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Allah
berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad kalian.."
(Al-Maidah: 1). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Kaum muslimin
selalu terikat dengan persyaratan (perjanjian) sesama mereka, terkecuali
persyaratan yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal." 16
Umar bin Khatthab menyatakan, "Denyut hukum itu ada pada
persyaratannya.." Diriwayatkan juga larangan terhadap menjual dengan "dua
syarat" dari hadits Amru bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa
Nabi a melarang dua syarat dalam jual beli."17
Para ulama telah membagi persyaratan dalam berbagai transaksi jual
beli kepada persyaratan yang disyariatkan dan yang tidak disyariatkan.
Sebelumnya telah penulis jelaskan dalam pembahasan ini keunggulan
pendapat bahwa asal dari aktivitas jual beli dan syaratnya adalah mubah,
sebelum ada dalil yang mengharamkannya. Oleh sebab itu penulis di sini
cukup menyebutkan syarat-syarat yang tidak disyariatkan. Selain dari itu,
berarti dalam kondisi aslinya, yakni dibolehkan. Kalangan Malikiyah
memahami larangan dalam hadits ten-tang menjual dengan syarat, 18 bahwa
syarat di situ adalah yang bertentangan dengan konsekuensi jual beli atau yang
menyebab-kan rusaknya harga jual.
d. Menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda, kemudian membelinya kembali
dengan pembayaran kontan dengan harga lebih murah dari harga pertama. Jual
beli ini disebut juga dengan jual beli ‘inah. Termasuk salah satu jenis jual beli
yang menjadi fasilitator riba. Karena tujuannya sebenarnya adalah meminjami
uang dengan dibayar uang berikut tambahan, sedangkan barang dagangan
hanya dijadikan mediator semata untuk melegali-sasikan bunga tersebut. Ibnul
Qayyim menyatakan dalam Tahdzib asSunan, "Arti hadits yang menyebutkan

16
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi 1353. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2353. Diriwayatkan oleh ad-
Daruquthni III:27. Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi VI:79. Sanadnya lemah sekali karena adanya Katsier bin
Abdullah, dishahihkan oleh at- Tirmidzi. Karena hadits ini sesuai dengan dasar-dasar ilmu hadits dan dinyatakan
hasan oleh al-Bukhari. Dinukil oleh at-Tirmidzi dari perawi yang sama
17
Diriwayatkan oleh Abu Daud 3504. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi 1234, dan beliau menyatakan:
Hasan shahih.
18
Dikeluarkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath 4361. Diriwayatkan juga oleh al-Hakim dalam
Ulumul Hadits 128, yakni hadits yang amat kacau sekali. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa hadits itu adalah
batil dalam Majmu' al-Fatawa VIII: 63.

13
(diharamkannya) dua transaksi dalam satu aktivitas jual beli adalah satu arti
saja, tidak ada lagi pengertian selain itu. Yaitu yang relevan dengan sabda
Nabi yang melarang seseorang menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda,
lalu membelinya lagi secara kontan dengan harga lebih murah dari harga
pertama. Ia hanya berhak mengambil harga yang termurah dari keduanya,
karena selebihnya adalah riba. Ia bisa mengambil harga yang lebih besar, dan
itu adalah riba. Atau mengambil harga yang terendah, yakni harga pertama.
Bisa juga artinya adalah menjual uang secara kontan dengan pem-bayaran
secara tertunda dengan jumlah lebih banyak. Yang berhak ia ambil hanya uang
yang menjadi modalnya saja. Mereka yang berpendapat tentang haramnya jual
beli ‘inah akan menyatakan bahwa jual beli itu selain haram juga merusak,
kalau betul-betul dilakukan. Dan kalau itu dilakukan dengan kesepakatan,
bukan karena faktor kebetulan, maka jual beli itu batal, berdasarkan
kesepakatan para ulama.
e. Menjual Barang Yang Masih Dalam Proses Transaksi Dengan Orang Atau
Menawar Barang yang Masih Di-tawar Orang Lain. Di antara bentuk jual beli
yang dilarang yakni apabila seseorang menjual sesuatu yang masih dalam
proses transaksi dengan orang lain, atau menawar barang yang masih ditawar
orang lain. Di antara bentuk aplikatif menjual sesuatu dalam transaksi orang
lain misalnya: Ada dua orang yang berjual beli dan sepakat pada satu harga
tertentu. Lalu datang penjual lain dan mena-warkan barangnya kepada pembeli
dengan harga lebih murah. Atau menawarkan kepada si pembeli barang lain
yang berkualitas lebih baik dengan harga sama atau bahkan lebih murah.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa itu adalah per-buatan
dosa bila aplikasinya demikian, karena dapat menyebab-kan ketidaksenangan
orang lain dan membahayakannya. Selain juga karena ada larangan tegas
terhadap perbuatan itu dari Sunnah Nabi yang shahih.
Bentuknya yang lain misalnya seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu
Umar dari Sabda Rasulullah, "Tidak sah menjual sesuatu dalam transaksi
orang lain." Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat
Muslim disebutkan, "Janganlah seseorang melakukan transaksi penjualan
dalam transaksi orang lain. Dan janganlah seseorang meminang wanita yang
masih dipinang oleh orang lain, kecuali bila mendapatkan izin dari pelaku
transaksi atau peminang pertama." Sementara dalam riwayat an-Nasai

14
disebutkan, "Janganlah seseorang menjual dalam transaksi orang lain, se-
hingga ia membelinya atau meninggalkan transaksi tersebut." Dengan alasan
itulah mayoritas ulama memilih pendapat haramnya bentuk-bentuk jual beli
semacam itu, bahkan meng-anggapnya sebagai kemaksiatan.
f. Orang Kota Menjualkan Barang Orang Dusun
Yang dimaksudkan dengan istilah orang kota menjadi calo bagi orang
dusun menurut mayoritas ulama adalah orang kota menjadi calo pedagang
orang dusun. Ia mengatakan kepada pedagang dusun itu, "Kamu jangan
menjual barang sendiri, saya lebih tahu tentang masalah jual beli ini."
Akhirnya si pedagang bergantung kepadanya, menjual barangnya dan pada
akhirnya ia memasarkan barang dengan harga tinggi. Kalau si calo
membiarkannya berjual-beli sendiri, pasti ia bisa menjual dengan harga lebih
murah kepada orang lain. Para ulama sependapat melarang jual beli semacam
itu, karena adanya dalil-dalil shahih dan tegas yang melarangnya. Di antara
dalil-dalil itu misalnya, Sabda shallallahu ‘alaihi wasallam : "Janganlah orang
kota menjualkan komoditi orang dusun. Biarkan manusia itu Allah berikan
rizki, dengan saling memberi keuntungan yang satu kepada yang lain." Dalil
lain adalah hadits Anas rodhiyallahu 'anhu: "Kami dilarang untuk melakukan
'penjualan orang kota bagi orang dusun', meskipun dia itu saudaranya atau
ayahnya sekalipun."19

19
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Buyu', bab: Janganlah Orang Kota Membelikan Barang
Orang Dusun Sebagai Broker I: VI: 2. Diriwayatkan oleh Muslim pada bab yang sama nomor 1523.

15
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Manusia dalam aktivitasnya sebagai makhluk sosial tidak bisa terlepas dari
proses perdagangan jual beli. Untuk mempertahankan hidup, manusia perlu makan
minum serta mencukupi kebutuhan sehingga untuk memperolehnya dengan melalui
perdagangan, bahwa Allah SWT membolehkan adanya perdagangan jual beli atau
berbisnis sistem ekonomi Islam menjadi pilihan, sebagai sistem pertengahan yang
menjadikan moralitas dan akhlak sebagai landasannya. Ekonomi Islam berada di
mempergunakan moral dan hukum Islam untuk menegakkan bangunan suatu sistem
yang praktis di dunia. Bisnis selalu memainkan peranan penting dalam kehidupan
semua orang di sepanjang masa. Hal ini berlaku pada kaum muslimin saat ini. Karena
pentingnya bisnis maka agama mendorong mereka untuk berbisnis.
Nabi Muhammad SAW adalah seorang pengusaha tulen untuk jangka yang
lama. Namun kaum muslimin kontemporer mendapati dirinya berhadapan dengan
dilema berat walau mereka terlibat aktif, mereka tidak yakin apakah yang mereka
jalankan benar atau salah. Bukan hanya bisnis itu yang membingungkan mereka,
tetapi lebih pula bentuk-bentuk baru, kelembagaan, metodemetode, dan teknik bisnis
modern. Praktek Bisnis yang menyimpang dan bahkan merugikan konsumen
merupakan pelanggaran syari’at, dimana pelakunya dikenakan sanksi di dunia dan
akhirat. Namun sayangnya, realita yang kita hadapi sekarang adalah ide atau
pemikiran selain islam dalam mempraktekkan bisnis telah masuk dan mengakar
dalam pikiran kaum muslimin. Mereka mengukur materi keuntungan dengan hal yang
kasat mata dan melupakan bahwa keuntungan dan ukuran kebahagiaan tidak mutlak
diukur dengan kekayaan. Betapa banyak orang yang mencari rizki namun hatinya
tidak merasakan ketenangan. Hal itu terjadi karena praktek yang dilakukannya dalam
mencari pekerjaan melanggar syariat Islam itu sendiri. Allahu Ta’ala Musta’an.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Mustaq (2001), Etika Bisnis Dalam Islam, alih bahasa Samson Rahman
Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.

Al Qardhawi, Yusuf (1997), Membumikan Syariat Islam, alih bahasa M. Takki (dkk):
Dunia Ilmu, Surabaya.

Ash Shadr, Baqir (2006), Keunggulan Ekonomi Islam, Jakarta: Pustaka Az Zahra.
Jakarta.

Australia Government Law, pdf,(2009) Avoid Unfair Business Practices. Australia.

Badroen, Faisal (2006), Etika Bisnis dalam Islam, cet. I .Kencana .Jakarta.

Beekun, Isaa, Rafik (2004), Etika Bisnis Islam, alih bahasa Muhammad, cet. I .
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Fauroni, R. Lukman (2006), Etika Bisnis dalam Al-Qur'an, cet. I: Pustaka Pesantren,
Yogyakarta.

Fajri, Em, Zul (2002). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Difa Publisher. Jakarta.

Kartajaya, Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula,(2006). Marketing


Syari’ah, Mizan, Jakarta.

Naqvi, Haider, Nawab (1985), Etika dan Ilmu Ekonomi Suatu Sintesis Islam, alih
bahasa Husin Anis, cet. I. Mizan. Bandung.

Quthb, Sayyid Qutb (2003), Keadilan Sosial dalam Islam, alih bahasa Afif Muhamad,
cet. II Pustaka, Bandung.

Rahardjo, Dawam (1990), Etika Ekonomi dan Manajemen .Tiara Wacana,


Yogyakarta.

Tjager, Nyoman etall, (2003), Corporate Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas
Bisnis Indonesia, PT Prenhallindo, Jakarta.

17
18

Anda mungkin juga menyukai