Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di indonesia telah banyak menganut sistem pemerintahan pada awalnya.
Namun, dari semua sistem pemerintahan, yang bertahan mulai dari era reformasi 1998
sampai saat ini adalah sistem pemerintahan demokrasi. Meskipun masih terdapat
beberapa kekurangan dan tantangan disana sini. Sebagian kelompok merasa merdeka
dengan diberlakukannya sistem domokrasi di Indonesia. Artinya, kebebasan pers sudah
menempati ruang yang sebebas-bebasnya sehingga setiap orang berhak menyampaikan
pendapat dan aspirasinya masing-masing.

Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan


adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Demokrasi Indonesia
dipandang perlu dan sesuai dengan pribadi bangsa Indonesia. Selain itu yang melatar
belakangi pemakaian sistem demokrasi di Indonesia. Hal itu bisa kita temukan dari
banyaknya agama yang masuk dan berkembang di Indonesia, selain itu banyaknya suku,
budaya dan bahasa, kesemuanya merupakan karunia Tuhan yang patut kita syukuri.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu demokrasi- demokrasi Pancasila ?
2. Apa saja prinsip dan parameter demokrasi?
3. Bagaimana sejarah demokrasi di Indonesia ?
4. Bagiamana Islam dan Demokrasi?
5. Bagaimana Isu Gender dalam islam dan demokrasi?
C. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan:
1. Demokrasi- Demokrasi Pancasila
2. Prinsip dan parameter demokrasi
3. Sejarah demokrasi di Indonesia
4. Islam dan Demokrasi
5. Isu Gender dalam islam dan demokrasi
2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Demokrasi- demokrasi Pancasila
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani “Demokratia” yang berarti kekuasaan rakyat.
Demokrasi berasal dari kata “Demos” dan “Kratos”. Demos yang memiliki arti rakyat
dan Kratos yang memiliki arti kekuasaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) Demokrasi adalah gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan
persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.
Berikut ini adalah pengertian demokrasi menurut beberapa ahli :

a. Demokrasi menurut Montesque, kekuasaan negara harus dibagi dan dilaksanakan


oleh tiga lembaga atau institusi yang berbeda dan terpisah satu sama lainnya, yaitu
pertama, legislatif yang merupakan pemegang kekuasaaan untuk membuat
undang-undang, kedua, eksekutif yang memiliki kekuasaan dalam melaksanakan
undang-undang, dan ketiga adalah yudikatif, yang memegang kekuasaan untuk
mengadili pelaksanaan undang-undang. Dan masing-masing institusi tersebut
berdiri secara independen tanpa dipengaruhi oleh institusi lainnya.
b. Demokrasi menurut Abraham Lincoln yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat.
c. Demokrasi menurut Aristoteles mengemukakan ialah suatu kebebasan atau
prinsip demokrasi ialah kebebasan, karena hanya melalui kebebasanlah setiap
warga negara bisa saling berbagi kekuasaan didalam negaranya. Aristoteles pun
mengatakan apabila seseorang hidup tanpa kebebasan dalam memilih cara
hidupnya, maka sama saja seperti budak. 1
Ada beberapa prinsip Demokrasi Pancasila
a. Persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia
Persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia dimaksudkan bahwa hak dan kewajiban
yang dimiliki oleh rakyat Indonesia sama dan sejajar. Persamaan hak dan
kewajiban tersebut tidak hanya dalam bidang politik saja melainkan bidang hukum,
ekonomi dan sosial. Maka dari itu Demokrasi Pancasila tidak hanya mencakup
Demokrasi Politik saja, melainkan Demokrasi Sosial dan Demokrasi Ekonomi

1
Jeff Hayness, Demokrasi di Dunia, (Jakarta, Grasindo, 2000), hlm.112
3

juga. Persamaan ini diharapkan mampu memberikan


keadilan bagi seliruh rakyat Indonesia.
b. Keseimbangan antara hak dan kewajiban
Prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban memberikan pengertian bahwa
warga negara dalam menerima hak yang dimilikinya namun juga harus
diseimbangkan dengan kewajiban yang dimiliki

c. Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, dan orang lain Demokrasi Pancasila memberikan kebebasan kepada
setiap individu namun dengan batasan yang bertanggung jawab. Yang dimaksud dengan
kebebasan ini ialah kebebasan yang harus memperhatikan hak dan kewajiban dari orang
lain dan diri sendiri bahkan, harus dapat dipertanggung jawabkan dengan Tuhan Yang
Maha Esa.
d. Mewujudkan rasa keadilan sosial
Demokrasi memiliki tujuan dalam mewujudkan rasa keadilan sosial untuk semua
warga negaranya. Keadilan sosial melingkupi sila dalam Pancasila terutama sila
kelima. Maka dari itu prinsip dalam demokrasi Pancasila ingin mewujudkan rasa
keadilan sosial dalam setiap masyarakat.
e. Pengambilan keputusan dengan musyawarah
Landasan gotong royong dan kebersamaan merupakan dasar dari pengambilan
keputusan dengan musyawarah. Dalam pengambilan keputusan ini mengilhami
rasa keadilan bagi semua. Dimana tidak hanya mementingkan kaum mayoritas saja,
namun juga dapat memperhatikan kaum minoritas.
f. Mengutamakan persatuan nasional dan kekeluargaan
Prinsip persatuan nasional terilhami dari sila ketiga dari Pancasila. Rasa
kekeluargaan dalam Negara Republik Indonesia,
4

memunculkan persatuan nasional dalam setiap masyarakat. Persatuan nasional


juga sangat penting dalam pertahanan negara agar negara dapat kuat saat ada
gangguan baik dari dalam maupun dari luar.
g. Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional.
Tujuan dan cita-cita nasional Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Diungkapkan bahwa Indonesia
menyatakan kemerdekaannya dan kemudian membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dari tujuan
dan cita-cita Negara Indonesia tersebut terlihat Indonesia tidak hanya
menciptakan kebaikan bagi masyarakat Indonesia namun juga ingin
mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia 2
B. Prinsip dan parameter demokrasi
Demokrasi pada dasarnya merupakan pelembagaan demokrasi, prinsip-prinsip
demokrasi sebagai berikut, yaitu:

1. Adanya pembagian kekuasaan


2. Pemilihan umum yang bebas
3. Manajemen yang terbuka
4. Kebebasan individu
5. Peradilan yang bebas
6. Pengakuan hak minoritas
7. Pemerintahan yang berdasarkan hukum
8. Pers yang bebas
9. Beberapa partai politik
10. Konsensus
11. Persetujuan

2
Ibid., hlm. 113-115
5

12. Pemerintahan yang konstitusional


13. Ketentuan tentang pendemokrasian
14. Pengawasan terhadap administrasi negara
15. Perlindungan hak asasi
16. Pemerintah yang mayoritas
17. Persaingan keahlian
18. Adanya mekanisme politik
19. Kebebasan kebijaksanaan negara
20. Adanya pemerintah yang mengutamakan musyawarah. 3

Parameter Tingkat Pelaksanaan Demokrasi

Ciri-ciri ini yang kemudian dijadikan parameter untuk mengukur tingkat pelaksanaan
demokrasi yang berjalan di suatu negara. Parameter tersebut meliputi empat aspek.

1. Masalah pembentukan Negara. Proses pembentukan kekuasaan akan sangat


menentukan bagaimana kualitas, watak, dan pola hubungan yang akan terbangun.
Pemilihan umum dipercaya sebagai salah satu instrumen penting yang dapat
mendukung proses pembentukan pemerintahan yang baik.
2. Dasar kekuasaan Negara. Masalah ini menyangkut konsep legitimasi kekuasaan
serta pertanggungjawabannya langsung kepada rakyat.
3. Susunan kekuasaan Negara. Kekuasaan negara hendaknya dijalankan secara
distributif. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemusatan kekuasaan dalam satu
tangan.
4. Masalah kontrol rakyat. Kontrol masyarakat dilakukan agar kebijakan yang diambil
oleh pemerintah atau negara sesuai dengan keinginan rakyat. Demokrasi memuat
prinsip-prinsip dasar yang sama. Prinsip-prinsip termaksud adalah persamaan,
hormat terhadap nilai-nilai luhur manusia, hormat terhadap hak-hak sipil dan
kebebasan, serta fair play.4

3
Fuady Munir, Konsep Negara Demokrasi, (Jakarta:Retika Aditama, 2009), hlm. 37
4
Ibid., hlm. 38-39
6

C. Sejarah demokrasi di Indonesia


Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat di bagi empat periode yaitu;
periode 1945-1959, periode 1959-1965, periode1965- 1998, dan periode pasca Orde
Baru. Demokrasi pada periode 1945- 1959 dikenal dengan sebutan parlementer, sistem
ini berlaku sebulan setelah kemerdekaan di proklamasikan. Namun demikian, model
demokrasi ini di anggap kurang cocok untuk Indonesia. Lemahnya budaya demokrasi
untuk mempraktikan demokrasi model barat ini telah memberi peluang sangat besar
kepada partaipartai politik mendominasi kehidupan sosial politik. Ketiadaan budaya
demokrasi yang sesuai dengan sistem demokrasi parlementer ini ahirnya melahirkan
fragmentasi politik berdasarkan afiliasi kesukuan dan agama. Akibatnya pemerintahan
yang berbasis pada koalisi politik pada masa ini jarang dapat bertahan lama.1
Hal ini mengakibatkan destabilitas politik nasional yang mengancam integrasi
nasional yang sedang dibangun, Demokrasi pada periode 1959-1965 ini dikenal
dengan sebutan demokrasi terpimpin. Ciri-ciri demokrasi ini adalah dominan politik
presiden dan berkembangnya pengaruh komunis dan peranan tentara (ABRI) dalam
panggung politik Indonesia. Hal ini disebabkan oleh lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli
1959 sebagai usaha untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan politik melalui
kepemimpinan personal yang kuat.5
Demokrasi pada periode 1965-1998 ini merupakan masa pemerintahan presiden
Soeharto dengan Orde Barunya. Orde baru merupakan kritik tehadap periode
sebelumnya, Orde lama. Seiring pergantian kepemimpinan nasional, demokrasi
Presiden Soekarno telah diganti oleh elite Orde Baru Demokrasi Pancasila.Demokrasi
pasca Orde Baru sering disebut dengan era reformasi sampai dengan sekarang. Periode
ini erat hubunganya dengan gerakan reformasi rakyat yang menuntut pelaksaan
demokrasi dan HAM secara konsekuen. Tuntunan ini di tandai oleh lengsernya
Presiden Sueharto tampuk kekeuasaan Orde Baru pada Mei 1998, setelah lebih dari
tiga puluh tahun berkuasa dengan demokrasi pancasilanya. Penyelewengan atas dasar
Negara Pancasila oleh penguasa Orde Baru berdampak pada sikap antipati sebagian
5
Septi Nurwijayanti & Nanik Prasetyoningsih, Politik Ketatanegaraan, (Yogyakarta:
LabHukum UMY, 2009), hlm 47
7

masyarakat terhadap dasar Negara atau Pancasila.


Demokrasi di negera Indonesia bersumber dari Pancasila dan UUD 1945
sehingga sering di sebut demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila berintikan
musyawarah untuk mufakat, dengan berpangkal tolak pada paham kekeluargaan dan
Gotong royong yang ditujukan kepada kesejateraan yang mengandung unsur-unsur
berkesadaran religius berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur.
Dalam demokrasi Pancasila kebebasan individu tidak bersikap mutlak, tetapi harus
dengan tanggung jawab sosial. Pemerintahan demokrasi merupakan pemerintahan
yang dilakukan oleh rakyat dan untuk rakyat, maka persoalan tentang sistem
pemerintahan demokrasi itu langsung mengenai soal-soal rakyat sebagai penduduk
dan warga dalam hak dan kewajibanya.6
D. Islam dan Demokrasi
Agama, seperti dinyatakan banyak orang dapat dilihat sebagai instrumen Ilahiah
untuk memahami dunia.7 Islam dibandingkan dengan agama-agama lain, sebenarnya
merupakan agama yang paling mudah untuk menerima premis semacam ini. Alasan
utamanya terletak pada ciri Islam yang paling menonjol yaitu sifatnya yang hadir dimana-
mana (omnipresence). Ini sebuah pandangan yang mengakui bahwa “dimana-mana”,
8
kehadiran Islam selalu memberikan panduan moral yang benar bagi tindakan manusia.
Mengakui syari’ah sebagai suatu sistem kehidupan yang menyeluruh merupakan suatu
hal, sementara memahaminya secara benar adalah hal lain lagi. Ada sejumlah faktor yang
mempengaruhi dan membentuk hasil pemahaman umat Islam terhadap syari’ah. Situasi
sosiologis, kultural, dan intelektual
Munculnya berbagai mazhab fikih, teologi, dan filsafat Islam, misalnya
menunjukkan bahwa ajaran Islam itu multi interpretatif. Watak multi interpretatif ini
telah berperan sebagai dasar dari kelenturan Islam dalam sejarah. Selebihnya, hal yang
demikian itu juga mengisyaratkan kehausan pluralisme yang demikian itu juga
mengisyaratkan keharusan pluralisme dalam tradisi Islam. Karena itu, sebagaimana telah
dikatakn oleh banyak pihak, Islam tidak bisa dan tidak seharusnya dilihat secara
6
Ibid., hlm 48
7
Thoha Miftah, Birokrasi dan Politik di Indonesia, (Jakarta Raja Grafindo, 2006), hlm.36
8
Ibid., hlm. 37
8

monolitik9
Bagi pemikir-pemikir Islam, terdapat pelbagai pandangan berkaitan dengan
keserasian antara Islam dan demokrasi.
pendemokrasian dalam bentuk kebebasan rakyat, hak asasi manusia, partisipasi rakyat
dan proses Islamisasi adalah suatu fitrah yang sesuai.
Ada juga golongan ulama yang menerima sistem demokrasi dan mengakui bahwa
demokrasi bukanlah merupakan sistem yang berasal dari Islam tetapi masih boleh
diterima karena mempunyai ciri-ciri dalam Islam. Tidak semestinya orang yang
menyerukan demokrasi menolak keputusan Allah kepada manusia. Bahkan perkara ini
langsung tidak terlintas dalam hati orang yang meluangkan demokrasi. Apa yang mereka
maksudkan dan inginkan adalah menolak kediktatoran dan pemerintahan tangan besi
raja-raja yang zalim dan sombong dalam urusan rakyat yang di dalam hadits dikatakan
sebagai raja yang memutuskan atau raja yang takbur dan zalim.
Dari uraian-uraian sebelumnya telah jelas bahwa demokrasi sebagai sistem
pemerintahan memiliki perbedaan antara demokrasi ala Islam dan demokrasi ala barat.
Perbedaan tersebut dalam tiga aspek yaitu:
a. Demokrasi sebagai pemerintahan rakyat dari rakyat untuk rakyat atau demokrasi
sebagai prinsip-prinsip politik dan kemasyarakatan seperti persamaan di hadapan
Undang-undang, kemerdekaan berfikir dan beragama serta keadilan sosial atau
demokrasi sebagai prinsip-prinsip pembagian kekuasaan.
b. Tujuan demokrasi ala barat adalah semata-mata keduniaan atau material belaka,
sementara demokrasi ala Islam mencakup kepentingan dunia dan akhirat.
c. Kekuasaan rakyat dalam demokrasi barat adalah mutlak. Dalam Islam kekuasaan
rakyat tidaklah mutlak melainkan dibatasi oleh syariat, sehingga rakyat tidak boleh
bertindak menyalahi Al-Qur’an dan sunnah atau sumber-sumber hukum Islam
lainnya.10
E. Isu Gender dalam islam dan demokrasi
1. Gender Presfektif demokrasi

9
Ibid., hlm. 38-39
10
Ibid., hlm. 40
9

Salah satu indikator penting dalam proses demokrasi adalah representasi


keterwakilan perempuan dalam sistem politik. Artinya ada kesetaraan gender antara
perempuan dan laki-laki dalam dinamika politik. Politik sendiri merupakan suatu upaya
untuk merebut peran kekusaan, termasuk akses dan kontrol dalam pengambilan
keputusan. Melihat sangat minimnya keterwakilan perempuan di Indonesia, dimana hal
ini dibuktikan dengan masih mendominasinya laki-laki yang aktif di lembaga legislatif,
partai politik dan lainnya. Dengan demikian, kehadiran perempuan “politic of presence”
di lembaga legislatif menjadi penting karena dapat membuka akses dalam pengambilan
keputusan berupa fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Kesetaraan gender
kembali menjadi isu menarik untuk di perbincangkan apalagi ketika dikaitkan dengan
keterwakilan perempuan dalam dunia perpolitikkan. Adanya aturan tentang kewajiban
sekurang-kurangnya 30% bagi keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif
merupakan suatu hal yang penting dalam proses perjalanan demokrasi di Indonesia
dalam proses memperjuangkan kesetaraan gender. Semakin terbukanya akses politik,
tentu hal ini akan membuka ruang lebar bagi perempuan untuk berkompetisi dalam
pentas publik.11
UU ini menjelaskan bahwa segala warga negara, artinya laki-laki dan perempuan
memiliki kedudukan yang sama dan kesempatan yang sama di bidang politik. Hal ini
termaktub dalam pasal 27 dan 28. Kedua, Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958
Tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Perempuan. UU ini menjelaskan bahwa
Konvensi Internasional mengenai Hak-Hak Politik Wanita telah disahkan pada tahun
1952 dan Indonesia telah meratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958.
Pada prinsipnya laki-laki dan perempuan dan laki-laki mempunyai hak untuk memilih
dan dipilih untuk menduduki badan-badan yang pilih secara umum tanpa diskriminasi.
Ketiga, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi PBB
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Undang-Undang
ini ini mewajibkan negara peserta membuat peraturan-peraturan untuk menghapus

11
Suryochondro, Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1996), hlm. 124
10

diskriminasi terhadap wanita dibidang politik. Hal ini terliat dalam pasal 2, pasal 3,
pasal 4, pasal 7 dan pasal 8.
Sudah banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur persoalan partisipasi
dan keterwakilan perempuandalam bidang politik seperti yang telah dijabarkan
sebelumnya jika dilihat secara kuantitatif maupun kualitatif tetap dalam realitas nyata
masih saja diskriminasi. Oleh karna itu, untuk mewujudkan kesetaraan gender di bidang
politik perlu dilakukan tindakan khusus sementara (TKS) sebagai sebuah tindakan
affirmatif atau affirmative action. Kebijakan affirmatif terhadap perempuan dalam
bidang politik setelah berlakunya perubahan UUD 1945 dimulai dengan disahkannya
UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, DPR, DPD dan DPRD. Usaha yang
dilakukan dalam peningkatan terhadap keterwakilan perempuan dilakukan salah
satunya dengan cara memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%
di dalam mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 65 ayat 1 UU No 12
Tahun 2003 tentang Pemilu.
Partai Politik dalam kelembagaanya melakukan affirmation action dengan
mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30%.
Selanjutnya ketentuan lebih lanjut dalam affirmation action ini adalah adanya
penerapan zipper system yang mengatur bahwa setiap tiga bakal calon terdapat
sekurang-kurangnya satu diantaranya adalah permpuan. Hal ini diatur dalam Pasal 55
ayat 2 UU No. 10 Tahun 2008. Penerapan affirmation action terhadap perempuan dalam
politik ternyata mampu meningkatkan keterwakilan perempuan dari waktu ke waktu.
Legislasi yang berfokus pada kesetaraan gender ternyata belum sesuai dengan
prinsip-prinsip HAM dan Gender. Lembaga legislatif seharusnya membentuk peraturan
perundang-undangan yang berspektif HAM dan Gender, sehingga parameter atau
indikator yang diperlukan menjadi jelas. Persoalan anggaran yang harus reponsif
terhadap gender merupakan suatu metode atau cara menganalisis anggaran negara
dengan melihat bagaimana transparansi pemerintah dan memastikan adanya pemberian
pelayanan publik yang efisien, berkesetaraan dan berkeadilan gender. Serta selanjutnya
persoalan usaha pengawasan yang responsif, dimana pengawasan ini merupakan proses
pertanggungjawaban secara moral dan politik orang-orang yang menjadi perwakilan
11

rakyat dalam pelaksanan kekuasaan politik. Prinsip pengawasan yang legislatif terhadap
eksekutif sebenarnya untuk menjamin keberhasilan pemerintah perwakilan yang
akuntabel melalui institusi yang melekat dengan kedaulatan rakyat.12
2. Gender Presfektif islam
Islam berpedoman dari al-Qur’an dan Hadits. Al-Qu’an menurut kebanyakan
ulama’ dianggap sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam. Oleh karena itu,
untuk melihat bagaimana perspektif Islam mengenai gender, acuan utamanya adalah al-
Qur’an. Al-Qur’an memberikan pandangan optimis terhadap kedudukan dan
keberadaan perempuan. Semua ayat yang membicarakan Adam dan pasangannya,
sampai jatuh ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan kata
ganti untuk dua orang (dlamir mutsanna), seperti kata huma. Ketika Adam dan
pasangannya masih berada di surga, mereka berdua memanfaatkan fasilitas surga (Q.S
al-Baqarah/2 : 35), keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Q.S al-
A’raf/7: 20), sama- sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat
terbuang ke bumi (Q.S. al-A’raf/7:22), sama-sama memohon ampun dan sama-sama
diampunai Tuhan (Q.S. al-A’raf/7: 23). Setelah mereka dibuang di bumi, antara satu
dengan lainnya saling melengkapi (Q.S. al-Baqarah/2: 187).13
Manusia adalah satu-satunya makhluk eksistensialis, karena hanya makhluk ini
yang bisa turun naik derajatnya di sisi Tuhan. Manusia adalah ciptaan terbaik (ahsan al-
taqwim, Q.S. al-Thin/95 : 4), tetapi tidak muslahil akan turun ke derajat “paling rendah”
(asfata al-safilin, Q.S. al-Thin/95: 5), bahkan bisa lebih rendah daripada (Q.S
al-A’raf/7: 179).
Ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas, tanpa membedakan
etnik dan jenis kelamin (Q.S. al-Hujurat/49 : 13). Al-Qur’an tidak menganut paham the
second sex yang memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu namun
menganut paham kesetaraa laki-laki dan perempuan sebagaimana yang tersirat dalam
Q.S al-Nisa’/4 : 1 dan 34 serta Q.S al-Nahl/16: 97, begitu pula tidak menganut paham
the first ethnic, yang mengistimewakan suku tertentu. Laki- laki dan perempuan serta

12
Ibid., hlm 126
13
N Umar, Argument Kesetaraan Gender ; Perspektif AlQur’an, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm 67
12

suku bangsa manapun ineinpunyai potensi yang sama untuk menjadi abid dan khalifah
(Q.S. al-Nisa’/4 : 124 dan S. An-Nahl/16:97). Namun demikian, memang ada Hadits
yang seolah-olah menuniukkan bahwa laki-laki memiliki kelebihan dari segi ibadah dan
perempuan memiliki kekurangan akal dan agama. Meski demikian, kata “kekurangan
akal dan agama” dalam Hadits itu tidak berarti perempuan secara potensial tidak
mampu menyamai atau melampaui kreatifitas akal dan ibadah laki-laki. Hadits itu
menggambarkan kondisi praktis sehari-hari laki-laki dan perempuan pada masa Nabi.
Laki-laki memperoleh otoritas persaksian satu berbanding dua dengan perempuan,
karena ketika itu budava yang berkembang di masyarakat adalah fungsi dan peran
publik berada di pundak laki-laki. Kekurangan agama terjadi pada din perempuan
karena memang hanya perempuanlah yang menjalani masa menstruasi, sementara
peniadaan sejumlah ibadah dalam masa menstruasi, seperti shalat dan puasa adalah
dispensasi khusus bagi perempuan dari Tuhan yang tidak mengandung akibat apapun.
Sosok ideal perempuan muslimah digambarkan sebagai kaum yang memiliki
kemandirian (Q.S. al-Mumtahanah/60 : 12), seperti sosok Ratu Balqis yang mempunyai
arsyun azhim (Q.S. al-Naml/27:23), memiliki kemandirian ekonomi (Q.S.
al-Nahl/16:97), seperti pemandangan yang disaksikan oleh Nabi Musa di Madyan, yaitu
ada perempuan mengelola peternakan (Q.S. al-Qashash/28:23), kemandirian di dalam
menentukan pilihan-pilihan individual yang diyakini kebenarannya, sekalipun harus
berhadapan dengan suami bagi perempuan yang telah menikah (Q S. al-
Tahrim/66:11).14
Berpijak pada uraian di atas, dapat dikatakan bahwa Islam tidak sejalan dengan
paham patriarkhi mutlak, yang tidak memberikan peluang kepada perempuan untuk
berkarya lebih besar, berprestasi lebih tinggi, baik di dalam rumah maupun di luar
rumah. Al-Qur’an tidak mengharuskan adanya perbedaan status dan kedudukan antara
Iaki-Iaki dan perempuan hanya karena perbedaan fisik-biologis semata.

BAB III

14
Ibid., hlm. 68
13

KESIMPULAN
Demokrasi adalah kekuasaan negara harus dibagi dan dilaksanakan oleh tiga
lembaga atau institusi yang berbeda dan terpisah satu sama lainnya. Perkembangan
demokrasi di Indonesia dapat di bagi empat periode yaitu; periode 1945-1959, periode
1959-1965, periode1965- 1998, dan periode pasca Orde Baru. Demokrasi pada dasarnya
merupakan pelembagaan demokrasi yaitu:adanya pembagian kekuasaan, pemilihan umum
yang bebas, manajemen yang terbuka, kebebasan individu, peradilan yang bebas,
pengakuan hak minoritas, pemerintahan yang berdasarkan hokum,pers yang bebas,
beberapa partai politik, konsensus, persetujuan, pemerintahan yang konstitusional,
ketentuan tentang pendemokrasian, pengawasan terhadap administrasi negara, perlindungan
hak asasi, pemerintah yang mayoritas, persaingan keahlian, adanya mekanisme politik,
kebebasan kebijaksanaan negara dan adanya pemerintah yang mengutamakan musyawarat.
Dengan parameter Tingkat Pelaksanaan Demokrasi yaitu masalah pembentukan Negara,
Dasar kekuasaan Negara, susunan kekuasaan Negara, masalah control rakyat,
Para ulama dan pemikir Islam telah memberikan kejelasan tentang relevansi
demokrasi dengan Islam. Dengan penerapan ajaran Islam secara konsisten prinsip- prinsip
pemerintahan demokrasi akan terpenuhi. Demokrasi memerlukan budaya yang
mendukung rakyat dalam menghormati hak orang lain selain mempertahankan mereka.
Hak-hak tersebut adalah hak bersuara, hak untuk berpartisipasi, hak mendapatkan hidup
yang layak dan lain sebagainya. Pembentukan budaya ini tidak mudah tercapai tanpa
dilandasi oleh asas-asas Islam yang kuat.
Islam tidak sejalan dengan paham patriarkhi mutlak, yang tidak memberikan
peluang kepada perempuan untuk berkarya lebih besar, berprestasi lebih tinggi, baik di
dalam rumah maupun di luar rumah. Al-Qur’an tidak mengharuskan adanya perbedaan
status dan kedudukan antara Iaki-Iaki dan perempuan hanya karena perbedaan fisik-
biologis semata.

DAFTAR PUSTAKA
14

Fuady Munir, Konsep Negara Demokrasi, (Jakarta:Retika Aditama, 2009)

Jeff Hayness, Demokrasi di Dunia, (Jakarta, Grasindo, 2000)

N Umar, Argument Kesetaraan Gender ; Perspektif AlQur’an, (Jakarta: Paramadina,


1999)

Septi Nurwijayanti & Nanik Prasetyoningsih, Politik Ketatanegaraan, (Yogyakarta:


LabHukum UMY, 2009)

Suryochondro, Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka


Utama, 1996)

Thoha Miftah, Birokrasi dan Politik di Indonesia, (Jakarta Raja Grafindo, 2006)

Anda mungkin juga menyukai