Makalah Demokrasi Pancasila
Makalah Demokrasi Pancasila
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di indonesia telah banyak menganut sistem pemerintahan pada awalnya.
Namun, dari semua sistem pemerintahan, yang bertahan mulai dari era reformasi 1998
sampai saat ini adalah sistem pemerintahan demokrasi. Meskipun masih terdapat
beberapa kekurangan dan tantangan disana sini. Sebagian kelompok merasa merdeka
dengan diberlakukannya sistem domokrasi di Indonesia. Artinya, kebebasan pers sudah
menempati ruang yang sebebas-bebasnya sehingga setiap orang berhak menyampaikan
pendapat dan aspirasinya masing-masing.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Demokrasi- demokrasi Pancasila
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani “Demokratia” yang berarti kekuasaan rakyat.
Demokrasi berasal dari kata “Demos” dan “Kratos”. Demos yang memiliki arti rakyat
dan Kratos yang memiliki arti kekuasaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) Demokrasi adalah gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan
persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.
Berikut ini adalah pengertian demokrasi menurut beberapa ahli :
1
Jeff Hayness, Demokrasi di Dunia, (Jakarta, Grasindo, 2000), hlm.112
3
c. Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, dan orang lain Demokrasi Pancasila memberikan kebebasan kepada
setiap individu namun dengan batasan yang bertanggung jawab. Yang dimaksud dengan
kebebasan ini ialah kebebasan yang harus memperhatikan hak dan kewajiban dari orang
lain dan diri sendiri bahkan, harus dapat dipertanggung jawabkan dengan Tuhan Yang
Maha Esa.
d. Mewujudkan rasa keadilan sosial
Demokrasi memiliki tujuan dalam mewujudkan rasa keadilan sosial untuk semua
warga negaranya. Keadilan sosial melingkupi sila dalam Pancasila terutama sila
kelima. Maka dari itu prinsip dalam demokrasi Pancasila ingin mewujudkan rasa
keadilan sosial dalam setiap masyarakat.
e. Pengambilan keputusan dengan musyawarah
Landasan gotong royong dan kebersamaan merupakan dasar dari pengambilan
keputusan dengan musyawarah. Dalam pengambilan keputusan ini mengilhami
rasa keadilan bagi semua. Dimana tidak hanya mementingkan kaum mayoritas saja,
namun juga dapat memperhatikan kaum minoritas.
f. Mengutamakan persatuan nasional dan kekeluargaan
Prinsip persatuan nasional terilhami dari sila ketiga dari Pancasila. Rasa
kekeluargaan dalam Negara Republik Indonesia,
4
2
Ibid., hlm. 113-115
5
Ciri-ciri ini yang kemudian dijadikan parameter untuk mengukur tingkat pelaksanaan
demokrasi yang berjalan di suatu negara. Parameter tersebut meliputi empat aspek.
3
Fuady Munir, Konsep Negara Demokrasi, (Jakarta:Retika Aditama, 2009), hlm. 37
4
Ibid., hlm. 38-39
6
monolitik9
Bagi pemikir-pemikir Islam, terdapat pelbagai pandangan berkaitan dengan
keserasian antara Islam dan demokrasi.
pendemokrasian dalam bentuk kebebasan rakyat, hak asasi manusia, partisipasi rakyat
dan proses Islamisasi adalah suatu fitrah yang sesuai.
Ada juga golongan ulama yang menerima sistem demokrasi dan mengakui bahwa
demokrasi bukanlah merupakan sistem yang berasal dari Islam tetapi masih boleh
diterima karena mempunyai ciri-ciri dalam Islam. Tidak semestinya orang yang
menyerukan demokrasi menolak keputusan Allah kepada manusia. Bahkan perkara ini
langsung tidak terlintas dalam hati orang yang meluangkan demokrasi. Apa yang mereka
maksudkan dan inginkan adalah menolak kediktatoran dan pemerintahan tangan besi
raja-raja yang zalim dan sombong dalam urusan rakyat yang di dalam hadits dikatakan
sebagai raja yang memutuskan atau raja yang takbur dan zalim.
Dari uraian-uraian sebelumnya telah jelas bahwa demokrasi sebagai sistem
pemerintahan memiliki perbedaan antara demokrasi ala Islam dan demokrasi ala barat.
Perbedaan tersebut dalam tiga aspek yaitu:
a. Demokrasi sebagai pemerintahan rakyat dari rakyat untuk rakyat atau demokrasi
sebagai prinsip-prinsip politik dan kemasyarakatan seperti persamaan di hadapan
Undang-undang, kemerdekaan berfikir dan beragama serta keadilan sosial atau
demokrasi sebagai prinsip-prinsip pembagian kekuasaan.
b. Tujuan demokrasi ala barat adalah semata-mata keduniaan atau material belaka,
sementara demokrasi ala Islam mencakup kepentingan dunia dan akhirat.
c. Kekuasaan rakyat dalam demokrasi barat adalah mutlak. Dalam Islam kekuasaan
rakyat tidaklah mutlak melainkan dibatasi oleh syariat, sehingga rakyat tidak boleh
bertindak menyalahi Al-Qur’an dan sunnah atau sumber-sumber hukum Islam
lainnya.10
E. Isu Gender dalam islam dan demokrasi
1. Gender Presfektif demokrasi
9
Ibid., hlm. 38-39
10
Ibid., hlm. 40
9
11
Suryochondro, Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1996), hlm. 124
10
diskriminasi terhadap wanita dibidang politik. Hal ini terliat dalam pasal 2, pasal 3,
pasal 4, pasal 7 dan pasal 8.
Sudah banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur persoalan partisipasi
dan keterwakilan perempuandalam bidang politik seperti yang telah dijabarkan
sebelumnya jika dilihat secara kuantitatif maupun kualitatif tetap dalam realitas nyata
masih saja diskriminasi. Oleh karna itu, untuk mewujudkan kesetaraan gender di bidang
politik perlu dilakukan tindakan khusus sementara (TKS) sebagai sebuah tindakan
affirmatif atau affirmative action. Kebijakan affirmatif terhadap perempuan dalam
bidang politik setelah berlakunya perubahan UUD 1945 dimulai dengan disahkannya
UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, DPR, DPD dan DPRD. Usaha yang
dilakukan dalam peningkatan terhadap keterwakilan perempuan dilakukan salah
satunya dengan cara memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%
di dalam mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 65 ayat 1 UU No 12
Tahun 2003 tentang Pemilu.
Partai Politik dalam kelembagaanya melakukan affirmation action dengan
mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30%.
Selanjutnya ketentuan lebih lanjut dalam affirmation action ini adalah adanya
penerapan zipper system yang mengatur bahwa setiap tiga bakal calon terdapat
sekurang-kurangnya satu diantaranya adalah permpuan. Hal ini diatur dalam Pasal 55
ayat 2 UU No. 10 Tahun 2008. Penerapan affirmation action terhadap perempuan dalam
politik ternyata mampu meningkatkan keterwakilan perempuan dari waktu ke waktu.
Legislasi yang berfokus pada kesetaraan gender ternyata belum sesuai dengan
prinsip-prinsip HAM dan Gender. Lembaga legislatif seharusnya membentuk peraturan
perundang-undangan yang berspektif HAM dan Gender, sehingga parameter atau
indikator yang diperlukan menjadi jelas. Persoalan anggaran yang harus reponsif
terhadap gender merupakan suatu metode atau cara menganalisis anggaran negara
dengan melihat bagaimana transparansi pemerintah dan memastikan adanya pemberian
pelayanan publik yang efisien, berkesetaraan dan berkeadilan gender. Serta selanjutnya
persoalan usaha pengawasan yang responsif, dimana pengawasan ini merupakan proses
pertanggungjawaban secara moral dan politik orang-orang yang menjadi perwakilan
11
rakyat dalam pelaksanan kekuasaan politik. Prinsip pengawasan yang legislatif terhadap
eksekutif sebenarnya untuk menjamin keberhasilan pemerintah perwakilan yang
akuntabel melalui institusi yang melekat dengan kedaulatan rakyat.12
2. Gender Presfektif islam
Islam berpedoman dari al-Qur’an dan Hadits. Al-Qu’an menurut kebanyakan
ulama’ dianggap sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam. Oleh karena itu,
untuk melihat bagaimana perspektif Islam mengenai gender, acuan utamanya adalah al-
Qur’an. Al-Qur’an memberikan pandangan optimis terhadap kedudukan dan
keberadaan perempuan. Semua ayat yang membicarakan Adam dan pasangannya,
sampai jatuh ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan kata
ganti untuk dua orang (dlamir mutsanna), seperti kata huma. Ketika Adam dan
pasangannya masih berada di surga, mereka berdua memanfaatkan fasilitas surga (Q.S
al-Baqarah/2 : 35), keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Q.S al-
A’raf/7: 20), sama- sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat
terbuang ke bumi (Q.S. al-A’raf/7:22), sama-sama memohon ampun dan sama-sama
diampunai Tuhan (Q.S. al-A’raf/7: 23). Setelah mereka dibuang di bumi, antara satu
dengan lainnya saling melengkapi (Q.S. al-Baqarah/2: 187).13
Manusia adalah satu-satunya makhluk eksistensialis, karena hanya makhluk ini
yang bisa turun naik derajatnya di sisi Tuhan. Manusia adalah ciptaan terbaik (ahsan al-
taqwim, Q.S. al-Thin/95 : 4), tetapi tidak muslahil akan turun ke derajat “paling rendah”
(asfata al-safilin, Q.S. al-Thin/95: 5), bahkan bisa lebih rendah daripada (Q.S
al-A’raf/7: 179).
Ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas, tanpa membedakan
etnik dan jenis kelamin (Q.S. al-Hujurat/49 : 13). Al-Qur’an tidak menganut paham the
second sex yang memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu namun
menganut paham kesetaraa laki-laki dan perempuan sebagaimana yang tersirat dalam
Q.S al-Nisa’/4 : 1 dan 34 serta Q.S al-Nahl/16: 97, begitu pula tidak menganut paham
the first ethnic, yang mengistimewakan suku tertentu. Laki- laki dan perempuan serta
12
Ibid., hlm 126
13
N Umar, Argument Kesetaraan Gender ; Perspektif AlQur’an, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm 67
12
suku bangsa manapun ineinpunyai potensi yang sama untuk menjadi abid dan khalifah
(Q.S. al-Nisa’/4 : 124 dan S. An-Nahl/16:97). Namun demikian, memang ada Hadits
yang seolah-olah menuniukkan bahwa laki-laki memiliki kelebihan dari segi ibadah dan
perempuan memiliki kekurangan akal dan agama. Meski demikian, kata “kekurangan
akal dan agama” dalam Hadits itu tidak berarti perempuan secara potensial tidak
mampu menyamai atau melampaui kreatifitas akal dan ibadah laki-laki. Hadits itu
menggambarkan kondisi praktis sehari-hari laki-laki dan perempuan pada masa Nabi.
Laki-laki memperoleh otoritas persaksian satu berbanding dua dengan perempuan,
karena ketika itu budava yang berkembang di masyarakat adalah fungsi dan peran
publik berada di pundak laki-laki. Kekurangan agama terjadi pada din perempuan
karena memang hanya perempuanlah yang menjalani masa menstruasi, sementara
peniadaan sejumlah ibadah dalam masa menstruasi, seperti shalat dan puasa adalah
dispensasi khusus bagi perempuan dari Tuhan yang tidak mengandung akibat apapun.
Sosok ideal perempuan muslimah digambarkan sebagai kaum yang memiliki
kemandirian (Q.S. al-Mumtahanah/60 : 12), seperti sosok Ratu Balqis yang mempunyai
arsyun azhim (Q.S. al-Naml/27:23), memiliki kemandirian ekonomi (Q.S.
al-Nahl/16:97), seperti pemandangan yang disaksikan oleh Nabi Musa di Madyan, yaitu
ada perempuan mengelola peternakan (Q.S. al-Qashash/28:23), kemandirian di dalam
menentukan pilihan-pilihan individual yang diyakini kebenarannya, sekalipun harus
berhadapan dengan suami bagi perempuan yang telah menikah (Q S. al-
Tahrim/66:11).14
Berpijak pada uraian di atas, dapat dikatakan bahwa Islam tidak sejalan dengan
paham patriarkhi mutlak, yang tidak memberikan peluang kepada perempuan untuk
berkarya lebih besar, berprestasi lebih tinggi, baik di dalam rumah maupun di luar
rumah. Al-Qur’an tidak mengharuskan adanya perbedaan status dan kedudukan antara
Iaki-Iaki dan perempuan hanya karena perbedaan fisik-biologis semata.
BAB III
14
Ibid., hlm. 68
13
KESIMPULAN
Demokrasi adalah kekuasaan negara harus dibagi dan dilaksanakan oleh tiga
lembaga atau institusi yang berbeda dan terpisah satu sama lainnya. Perkembangan
demokrasi di Indonesia dapat di bagi empat periode yaitu; periode 1945-1959, periode
1959-1965, periode1965- 1998, dan periode pasca Orde Baru. Demokrasi pada dasarnya
merupakan pelembagaan demokrasi yaitu:adanya pembagian kekuasaan, pemilihan umum
yang bebas, manajemen yang terbuka, kebebasan individu, peradilan yang bebas,
pengakuan hak minoritas, pemerintahan yang berdasarkan hokum,pers yang bebas,
beberapa partai politik, konsensus, persetujuan, pemerintahan yang konstitusional,
ketentuan tentang pendemokrasian, pengawasan terhadap administrasi negara, perlindungan
hak asasi, pemerintah yang mayoritas, persaingan keahlian, adanya mekanisme politik,
kebebasan kebijaksanaan negara dan adanya pemerintah yang mengutamakan musyawarat.
Dengan parameter Tingkat Pelaksanaan Demokrasi yaitu masalah pembentukan Negara,
Dasar kekuasaan Negara, susunan kekuasaan Negara, masalah control rakyat,
Para ulama dan pemikir Islam telah memberikan kejelasan tentang relevansi
demokrasi dengan Islam. Dengan penerapan ajaran Islam secara konsisten prinsip- prinsip
pemerintahan demokrasi akan terpenuhi. Demokrasi memerlukan budaya yang
mendukung rakyat dalam menghormati hak orang lain selain mempertahankan mereka.
Hak-hak tersebut adalah hak bersuara, hak untuk berpartisipasi, hak mendapatkan hidup
yang layak dan lain sebagainya. Pembentukan budaya ini tidak mudah tercapai tanpa
dilandasi oleh asas-asas Islam yang kuat.
Islam tidak sejalan dengan paham patriarkhi mutlak, yang tidak memberikan
peluang kepada perempuan untuk berkarya lebih besar, berprestasi lebih tinggi, baik di
dalam rumah maupun di luar rumah. Al-Qur’an tidak mengharuskan adanya perbedaan
status dan kedudukan antara Iaki-Iaki dan perempuan hanya karena perbedaan fisik-
biologis semata.
DAFTAR PUSTAKA
14
Thoha Miftah, Birokrasi dan Politik di Indonesia, (Jakarta Raja Grafindo, 2006)