Anda di halaman 1dari 107

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERKAIT


KETENAGAKERJAAN

Kompetisi Legislative Drafting


IMA-HTN CONSTITUSIONAL LAW FEST 2022

Disusun Oleh:
Ridwan Setiawan (1111200266)
Almas Sultan (1111200258)
Annisa Intan Prameswari (1111200205)

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA


SERANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya Kami dapat menyelesaikan Penyusunan Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang tentang Undang-Undang Cipta Kerja dengan tepat waktu yang
telah ditentukan oleh Panitia IMA-HTN Constitutional Law Fest (ICLF) Tahun 2022.
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Undang-
Undang Cipta Kerja ini dibuat berdasarkan teknik penyusunan Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Lampiran I Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
Kami banyak mengucapkan terimakasih kepada panitia yang telah
memberikan kesempatan kepada Kami untuk mengikuti lomba ini dan semua
pihak yang telah membantu terlaksananya kegiatan Penyusunan Naskah
Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Undang-Undang Cipta Kerja
terutama kepada Dosen Pembimbing Kami Ibu Hj. Lia Riesta Dewi, S.H., M.H.
Semoga Naskah Akademik ini bermanfaat dan dapat menjadi pertimbangan
juri untuk kami masuk ke 5 (lima) besar dan diberikan kehormatan untuk dapat
mempresentasikan gagasan Kami dihadapan para juri yang telah banyak
pengalaman dalam menyusun Rancangan Undang-Undang.

Serang, 7 Mei 2022


Hormat Kami

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR..............................................................................................i
ABSTRAK...........................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................1
B. Identifikasi Masalah.........................................................................15
C. Tujuan dan Kegunaan.......................................................................16
D. Metode Penelitian............................................................................16
BAB II KAJIAN TEORITIK DAN PRAKTIK EMPIRIS...............................................19
A. Kajian Teoritik.................................................................................19
1. Teori Hak Asasi Manusia (HAM).......................................................19
2. Teori Negara Hukum.........................................................................20
3. Teori Good Governance....................................................................22
4. Teori Good Corporate Governance (GCG)........................................24
5. Teori Kepastian Hukum.....................................................................26
6. Teori Keadilan...................................................................................27
7. Teori Negara Kesejahteraan..............................................................32
8. Teori Otonomi Daerah......................................................................35
9. Teori Ketenagakerjaan......................................................................37
10. Teori Sumber Daya Manusia...........................................................43
11. Teori Upah......................................................................................46
B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma
........................................................................................................49
1. Asas-Asas dalam Pembentukan suatu Peraturan Perundang-
Undangan...........................................................................................50
2. Asas/Prinsip dalam Peraturan Perubahan Terkait Undang-Undang
Cipta Kerja..........................................................................................51

ii
C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, Serta
Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat........................................55
1. Kajian Praktik Hari Libur dan Cuti.....................................................56
2. Kajian Praktik Tenaga Kerja Asing (TKA)............................................57
3. Kajian Praktik Outsourcing atau Alih Daya........................................58
4. Kajian Praktik Upah Minimum..........................................................59
5. Kajian Praktik Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)...................61
6. Kajian Praktik Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).............................62
D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang Akan Diatur
Dalam Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan
Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan Negara.....................63
BAB III LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS................................67
A. Landasan Filosofis............................................................................67
B. Landasan Sosiologis..........................................................................70
C. Landasan Yuridis...............................................................................76
BAB IV ANALISIS (JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN)............................................................................................84
A. Sasaran............................................................................................84
B. Jangkauan dan Arah Pengaturan.......................................................84
C. Ruang Lingkup dan Materi Muatan...................................................85
BAB V KESIMPULAN.........................................................................................93
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................95
BIODATA PENULIS..........................................................................................106
LAMPIRAN DRAF RANCANGAN UNDANG-
UNDANG........................................107

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan faktor penting yang tidak dapat
dipisahkan dari berkembangnya sebuah organisasi atau perusahaan.
Pengertian sumber daya manusia sendiri terbagi menjadi dua, yaitu secara
mikro dan secara makro. Dalam arti mikro, sumber daya manusia yaitu
individu yang bekerja pada sebuah perusahaan atau institusi, sedangkan
secara makro sumber daya manusia memiliki arti jumlah penduduk dalam usia
produktif yang ada di suatu wilayah. 1 Sumber daya manusia secara mikro
disebut sebagai karyawan, pegawai, buruh, pekerja, dan tenaga kerja.
Kemudian, sumber daya manusia secara makro sendiri cakupannya lebih luas
seperti penduduk suatu negara yang sudah memasuki usia angkatan kerja,
baik yang sudah bekerja maupun yang belum bekerja. 2 Sonny Sumarsono
berpendapat bahwa sumber daya manusia yaitu jasa atau usaha yang dapat
diberikan dalam proses produksi.3 Dalam arti lain sumber daya manusia
mendeskripsikan nilai usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk jangka
waktu tertentu dalam menghasilkan suatu barang dan jasa.4
Sumber daya manusia dipekerjakan dalam sebuah perusahaan untuk
mencapai suatu tujuan yang hendak dicapai. Hal ini dikenal dengan istilah
ketenagakerjaan. Ketenagakerjaan merupakan istilah yang sering didengar
dalam kehidupan sehari-hari. Ketenagakerjaan memiliki arti sebagai suatu
hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Untuk mencapai tujuan
tersebut diperlukan aturan yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
ketenagakerjaan agar senantiasa tercipta keadilan anTara pemberi kerja dan
1
Eri Susan. (2019). “Manajemen Sumber Daya Manusia”. Jurnal Manajemen Pendidikan Islam.
Vol. 9 No. 2. hlm 954.
2
Ibid. hlm. 955.
3
Sonny Sumarsono. (2003). “Ekonomi Manajemen Sumber Daya Manusia dan
Ketenagakerjaan”. Graha Ilmu: Yogyakarta. hlm 4.
4
Dwiyana Pangesthi. (2020). “Human Resources Penting Bagi Organisasi, Bisnis maupun Non
Bisnis”. (https://www.brilio.net/serius/11-pengertian-sumber-daya-manusia-menurut-para-ahli-
200416b.html). diakses pada tanggal 19 April pukul 12.30.

1
penerima kerja. Dengan adanya aturan yang mengatur mengenai
ketenagakerjaan dapat memperjelas batasan dan hal-hal apa saja yang boleh
dilakukan dan dilarang.
Terkait pelaksanaan ketenagakerjaan, sebelumnya diatur dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 1 ayat
(1) memberi penjelasan bahwa ketenagakerjaan ialah segala hal yang
berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah
masa kerja. Dalam ketenagakerjaan hal pokok yang dibahas ialah mengenai
“tenaga kerja”. Arti dari tenaga kerja diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa, “Tenaga kerja
adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan/jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
masyarakat”.
Terdapat tiga asas yang cukup dikenal dalam asas pembangunan nasional
yaitu asas merata, asas adil, dan asas demokrasi Pancasila. Berikut beberapa
hal yang menjadi tujuan dari adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
yaitu:5 (1) pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja yang dilakukan
secara manusiawi dan optimal; (2) agar terjadi pemerataan kesempatan kerja,
diatur mengenai pekerja yang kompeten di bidangnya yang sejalan dengan
kebutuhan pembangunan nasional; dan (3) menitikberatkan pada peningkatan
kesejahteraan tenaga kerja agar tenaga kerja dan keluarga dapat terlindungi.
Pengaturan terkait ketenagakerjaan diharapkan dapat menunjang
kesejahteraan tenaga kerja. Sebab, dalam mewujudkan suatu kebijakan publik
yang dapat membangun nuansa kesejahteraan terletak pada kemauan politik
nasional (political wil), selain itu juga berdasarkan pelaksanaan tindakan dari
kemauan politik nasional tersebut (political action).6 Kesejahteraan tenaga
kerja akan berpengaruh pada produktivitas kerja. Apabila kesejahteraan
tenaga kerja terjamin, produktivitasnya pun akan meningkat. Sebab pikiran

5
Susanto, Susanto. (2017). “Harmonisasi Hukum Makna Keuangan Negara Dan Kekayaan
Negara Yang Dipisahkan Pada Badan Usaha Milik Negara”. Proceedings. Vol. 2 No.1.
6
Agus Suryono. (2014). “Kebijakan Publik Untuk Kesejahteraan Rakyat”. Jurnal Ilmiah Vol. 6
No. 2. hlm. 98.

2
dan tenaganya akan lebih terfokus dalam bekerja jika kebutuhannya terpenuhi
dengan baik. Di sisi lain, tenaga kerja harus meningkatkan kualitasnya dalam
bekerja agar produktivitas perusahaan juga akan bertambah agar pendapatan
pekerja pun bisa meningkat lagi.7
Berbicara mengenai ketenagakerjaan, tidak terlepas dari istilah tenaga
kerja serta keterkaitannya dengan angkatan kerja. Angkatan kerja ialah
penduduk yang telah memasuki usia kerja, baik itu yang sudah bekerja, belum
bekerja, atau bahkan yang sedang mencari pekerjaan.8 Penduduk usia kerja
sendiri ialah penduduk yang berusia 15 tahun ke atas. Berdasarkan data dari
Badan Pusat Statistik (BPS) yang membagi penduduk Indonesia terdiri atas: (1)
penduduk yang termasuk angkatan kerja, yaitu penduduk usia kerja yang
bekerja/punya pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja dan pengangguran;
(2) penduduk yang termasuk bukan angkatan kerja, ialah penduduk usia kerja
baik yang berumah tangga maupun yang masih sekolah, atau yang
melaksanakan kegiatan lainnya selain dari kegiatan pribadi. Berdasarkan data
yang dikaji oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada Agustus 2021 jumlah
penduduk yang termasuk angkatan kerja yaitu sebanyak 140.152.575 jiwa dan
jumlah penduduk yang bukan termasuk angkatan kerja sebanyak 66.555.724
jiwa.9
Negara hukum dapat diartikan bahwa tidak ada satupun yang berada di
atas hukum serta hukumlah yang paling berkuasa. Penyelenggaraan kekuasaan
pemerintah harus dijalankan berdasarkan hukum, bukan perintah dari kepala
negara. Negara hukum sebagai salah satu kelanjutan dari pemikiran tentang
pembatasan kekuasaan yang memiliki prinsip konstituasionalisme-demokrasi.
Inti dari pemikiran negara hukum yakni adanya pembatasan terhadap
kekuasaan melalui suatu aturan yuridis, undang-undang. Secara umum,
7
Dinas Tenaga Kerja, “Pengertian Angkatan dan Tenaga Kerja.” (https://dis
naker.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/pengertian-angkatan-dan-tenaga-kerja-34).
diakses pada tanggal 18 April 2022 pukul 22.24.
8
Ibid.
9
Data Badan Pusat Statistik terkait Angkatan kerja pada tahun 2021. dari
(https://www.bps.go.id/statictable/2016/04/04/1907/penduduk-berumur-15-tahun-ke-atas-
menurut-provinsi-dan-jenis-kegiatan-selama-seminggu-yang-lalu-2008---2021.html). diakses pada
19 April 2021 pukul 10.40.

3
terdapat dua macam konsep tentang negara hukum. Konsep tersebut terdiri
dari konsep negara hukum dalam arti rechtstaat, dan negara hukum dalam
pengertian sebagai rule of law. 10
Ciri-ciri dari negara hukum dapat dirangkum dalam 3 (tiga) hal yaitu: (1)
Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan, agar
pemerintah negara dalam menjalankan kewenangannya tidak sewenang-
wenang; (2) Asas legalitas, setiap tindakan negara harus didasarkan pada
hukum yang telah berlaku dan harus ditaati oleh pemerintah dan aparaturnya;
(3) Pemisahan kekuasaan, hal tersebut bertujuan agar hak-hak asasi
terlindungi sehingga perlu adanya pemisahan kekuasaan.11 Berdasarkan Pasal
1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
NRI Tahun 1945), bahwa Indonesia adalah negara hukum, maka,
penyelenggaraan segala bentuk pemerintahan harus berdasarkan hukum.12
Pancasila merupakan pilihan Bangsa Indonesia sebagai jati diri, ideologi,
dan juga sebagai asas pemersatu bangsa. Pancasila sebagai dasar negara dan
ideologi negara sangat diperlukan bagi Bangsa Indonesia untuk tetap menjaga
eksistensi bangsa. Hal ini disebabkan oleh setiap sila-sila yang terkandung
memiliki nilai-nilai luhur bangsa yang sesuai dengan kepribadian dari Bangsa
Indonesia.13 Sila ke-5 yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
sebagai landasan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara yang
berdasarkan pada keadilan secara merata. Dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), Alinea
ke-4 menjelaskan bahwa, “...untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

10
Wahyudi Djafar. (2010). “Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum: Sebuah Catatan
Atas Kecenderungan Defisit Negara Hukum di Indonesia”. Jurnal Konstitusi Vol. 7 No. 5, hlm. 151-
152.
11
Achmad Irwan Hamzani. (2014). “Menggagas Indonesia Sebagai Negara Hukum yang
Membahagiakan Rakyatnya”. Yustisia. hlm. 137.
12
Ibid.
13
Alvira Oktavia Safitri, dkk. (2021). “Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Implementasinya
dalam Berbagai Bidang”. EduPsyCouns Journal Vol. 3 No. 1, hlm. 89.

4
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”
Kedua landasan diatas perlu diimplementasikan secara berkeadilan yang
menyeluruh, khususnya dalam bidang ketenagakerjaan. Perlunya peningkatan
kesejahteraan umum bagi seluruh Rakyat Indonesia, terkhususnya bagi tenaga
kerja sehingga menghasilkan pemerataan keadilan dan kesejahteraan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
Tahun 1945) sebagai hukum tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-
undangan harus dijadikan acuan dalam pembentukan segala peraturan
perundang-undangan dibawahnya. Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI
Tahun 1945, bahwa, “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Lebih lanjut, didukung dengan
Pasal 28D ayat (2) yang menjelaskan bahwa, “Setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.” Berdasarkan kedua pasal di atas, bahwa setiap orang berhak
memiliki kesempatan untuk bekerja, dan sebagai hasil dari pekerjaan yang
dilakukan, diberikan upah yang sepadan sebagai bentuk apresiasi serta
perlakuan yang adil dan layak dalam penghidupan dan hubungan kerja. Semua
harus adil dan merata sesuai dengan tugas yang dikerjakan serta pemenuhan
hak-hak setiap warga negara.
Implementasi dari negara hukum, maka seluruh tindakan harus
berdasarkan pada aturan hukum, termasuk pengaturan terkait
ketenagakerjaan. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), perkembangan hukum ketenagakerjaan di
Indonesia dimulai sejak pasca kemerdekaan. Hal tersebut ditandai dengan
diratifikasinya konvensi ILO (International Labour Organization). Beberapa
undang-undang lahir sebagai bentuk ratifikasi tersebut. Peraturan pada masa
ini cenderung memberi jaminan sosial serta perlindungan pada buruh. Dengan
terciptanya undang-undang perburuhan yang progresif serta menguatkan
perlindungan terhadap buruh di Indonesia, hingga pada 19 September 1945

5
terbentuk BBI (Barisan Buruh Indonesia). Tujuan BBI bersifat umum sehingga
semua serikat buruh dianggap sebagai bagian dari BBI. Hingga pada 17
November 1945, BBI mengalami perpecahan menjadi dua kubu. Kedua kubu
tersebut menginginkan menjadi partai politik dan tetap bergerak dibidang
sosial dan ekonomi.
Tahun 1950, partai politik berkembang pesat dan partai-partai politik
tersebut ikut mendirikan serikat buruh sebagai onderbouw dengan maksud
untuk mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya guna memperoleh hak suara
dalam pemilihan umum Tahun 1955. Sehingga menyebabkan munculnya
Peraturan Menteri Nomor 90 Tahun 1955 tentang Pendaftaran Serikat Buruh
yang sifatnya Liberalistik. Pengaturan mengenai syarat-syarat serikat buruh
cukup ringan. Syaratnya cukup memiliki anggaran dasar, susunan penguru dan
daftar nama anggota tanpa ketentuan minimum, luas wilayah, serta perangkat
organisasi. Hingga untuk membenahi kekurangan dalam pengaturan tersebut,
disahkanlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian
Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan. Undang-undang tersebut
mengakui keberadaan serikat buruh dalam pembuatan perjanjian. Selain itu,
disahkan pula Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan. Perselisihan buruh yang timbul masih merupakan
perselisihan normatif dan berkaitan dengan upah.14
Masa Orde Baru, hubungan perburuhan yang dibangun pemerintah diberi
anam Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP). HPP merupakan hubungan
perburuhan pancasila antara para pihak yang berkaitan dengan proses
produksi baik mengenai baranag atau jasa yang dilandasi nilai-nilai yang
merupakan perwujudan dari keseluruhan Pancasila dan UUD Tahun 1945.
Dalam perkembangannya, HPP berubah istilah menjadi HIP (Hubungan
Industrial Pancasila), disebabkan hubungan perburuhan merupakan labour
relation, yang semula permasalahan perburuhan antara pekerja dengan
pengusaha hanya berpengaruh pada hubungan tersebut, namun sebenarnya

14
Dina Susiana. (2020). “Perkambangan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia”. Pustaka Abadi:
Jember. hlm. 39-41.

6
dapat mempengaruhi masalah lain, seperti ekonomi, sosial, poitik, dan
budaya. Era Orde Baru tetap memberlakukan produk hukum pada Era Orde
Lama, serta hanya mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan
yang digunakan sebagai pelengkap. Namun, pada kenyataannya meniadakan
ketiga undang-undang tersebut serta merugikan buruh. Era Orde Lama
mengeluarkan Kepmenaker Nomor 4 Tahun 1986, Kepmenaker Nomor 3
Tahun 1993, Permenaker Nomor 62 Tahun 1993, dan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.15
Era Reformasi memiliki perkembangan pengaturan terkait buruh mulai
signifikan. Pada masa pemerintahan Presiden B.J Habibie, diratifikasinya
Convention No. 182 Concerning the Immediate Action to Abolish and to
Eliminate the Worst Forms of Child Labor (tindakan segera untuk menghapus
dan mengurangi bentuk-bentuk terburuk pekerja anak diratifikasi dengan
Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tanggal 8 Maret 2000). Namun, dengan
diratifikasinya konvensi tersebut, dapat ditafsirkan bahwa Indonesia memiliki
perlakuan yang buruk terhadap pekerja anak. Pada masa Pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarno Putri,
pengaturan terkait ketenagakerjaan tidak teralu nampak. Namun, pada masa
Presiden Megawati terjadi banyak permasalahan terkait ketenagakerjaan yang
kurang mendapat perhatian. Salah satunya yakni terkait revisi Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1997 yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2000 diundur masa berlakunya hingga 1 Oktober 2002, pada akhirnya
disahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
pada tanggal 25 Maret 2003. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, terdapat pemangkasan dan berbagai upaya peningkatan
pelayanan dan kinerja baik pekerja maupun pegawai, serta adanya upaya
pemberantasan korupsi.16

15
Mohammad Fandrian Adhistiro, dkk. (2021). “Hukum Ketenagakerjaan”. Unpam Press:
Tangerang Selatan. hlm. 6-10.
16
Abdullah Sulaiman, dkk. (2019). “Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan”. Yayasan Pendidikan
dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (YPPSDM): Jakarta. hlm. 49-53.

7
Masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, mulai tercetus konsep
Omnibus Law. Omnibus Law sudah banyak diterapkan di negara penganut
sistem common law seperti di negara Malaysia dan Singapura. Tujuan dari
adanya Omnibus Law adalah untuk mempercepat penyusunan peraturan
perundang-undangan serta mengoreksi peraturan perundang-undangan.
Selain itu, pembentukan Omnibus Law di Indonesia yakni menggabungkan
1.244 pasal dan 79 undang-undang dalam satu peraturan. Tujuan lain dari
pembentukan Omnibus Law untuk menggantikan undang-undang yang telah
ada sebelumnya dengan undang-undang yang baru. 17 Berdasarkan arahan
Presiden Joko Widodo, beberapa materi muatan pembentukan Omnibus Law
terdiri dari undang-undang Perpajakan, Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja,
dan Undang-Undang Pemberdayaan UMKM. Penggabungan ketiga undang-
undang tersebut akan menggantikan peraturan yang beragam dan lintas
sektoral.18
Omnibus Law atau yang umumnya dikenal dengan penyebutan RUU Cipta
Kerja disusun oleh Pemerintah menjadi suatu program unggulan Jokowi-
Ma’ruf Amin untuk menekan pertumbuhan ekonomi dan masuk dalam
Prolegnas Prioritas Tahun 2020.19 Pada 31 Juli 2019, BPHN (Badan Pembinaan
Hukum Nasional), dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melakukan
Focus Grup Discussion (FGD) terkait dengan “Penyempurnaan dan
Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan terkait Pedoman dan Analisis
dan Evaluasi Hukum”. Berdasarkan saran serta masukkan dari FGD yang telah
dilakukan, kemudian dijadikan sebagai gagasan atas perumusan Omnibus Law
sebagai suatu kebijakan resmi.20
Berdasarkan hasil konsep dari Omnibus Law yang telah digagas
berdasarkan Focus Grup Discussions (FGD) yang telah dilakukan, maka
17
Moh. Zainal, dkk. “Analisis Politik Hukum Tentang Omnibus Law di Indonesia”. Jurnal Jendela
Hukum. hlm. 20.
18
Adhi Setyo Prabowo, dkk. (2020). “Politik Hukum Omnibus Law di Indonesia”, Jurnal
Pamator Vo.13 No.1. hlm. 2.
19
Agus Darmawan. (2020). “Politik Hukum Omnibus Law Dalam Konteks Pembangunan
Ekonomi Indonesia”. Indonesian Journal of Law and Policy Studies Vol. 1 No.1. hlm. 15.
20
Jimly Asshiddiqie. (2020). “Omnibus Law dan Penerapannya di Indonesia”. Konstitusi Press
(Konpress): Jakarta. hlm. 15.

8
terbitlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja atau yang
sering disebut dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Secara resmi, Undang-
Undang Cipta Kerja telah berlaku sejak di masukan dalam Lembaran Negara
(LN) Nomor 245 dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 6673. Undang-
Undang Cipta Kerja disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 5 Oktober 2020.
Dalam Undang-Undang Cipta Kerja terdapat XII bab yang memiliki materi
muatan antara lain peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
ketenagakerjaan; kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan koperasi dan
UMKM; kemudahan berusaha; kebijakan fiskal nasional; serta dukungan riset
dan inovasi.21
Harapan dengan dibentuknya Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja
agar memangkas regulasi yang selama ini diberlakukan serta menyatukan
ribuan pasal yang tersebar diberbagai undang-undang yang berlaku, baik
secara formil maupun materil terdapat banyak sekali kekurangan,
ketidaksesuain, serta memiliki kecenderungan untuk menguntungkan disalah
satu pihak saja. Undang-Undang Cipta Kerja menjadi salah satu undang-
undang yang banyak diuji pada Mahkamah Konstitusi (MK) selama tahun
2021. Gugatan-gugatan yang diajukan diajukan dari berbagai pihak, seperti
pekerja, karyawan, mahasiswa, bahkan pelajar. Dari sembilan gugatan yang
diajukan, hanya satu gugatan yang diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
yaitu dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dalam putusan tersebut,
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja
memiliki cacat secara formil/cacat prosedural, sehingga Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.22
Terhadap kerugian sebagaimana dijelaskan dalam Putusan MK Nomor
27/PUU-VII/2009 pada angka 10, ternyata dalam proses pembentukan

21
Soetomo. (2020). “UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Resmi Berlaku”. dari
(https://www.jpnn.com/news/uu-nomor-11-tahun-2020-tentang-cipta-kerja-resmi-berlaku).
diakses pada tanggal 26 April 2022 pukul 13.01.
22
Fitria Chusna Farisa. (2022). “Sembilan Gugatan UU Cipta Kerja di MK Selama 2021, Hanya
Satu Dikabulkan Sebagian”. dari (https://nasional.kompas.com/read/2022/02/11/
20472591/sembilan-gugatan-uu-cipta-kerja-di-mk-selama-2021-hanya-satu-dikabulkan?page=all)
diakses pada tanggal 26 April 2022 pukul 13.38.

9
Undang-undang Cipta Kerja secara nyata dan terang benderang, serta telah
diketahui publik dalam membentuk Undang-undang Cipta Kerja, pembentuk
undang-undang menggunakan cara yang menunjukan tidak fair, jujur, dan
bertanggung jawab. Bahkan selama proses pembentukan Undang-undang
Cipta Kerja, pembentuk undang-undang melakukan proses pembentukan
Undang-undang melakukan prosesnya secara tertutup, tidak fair, dan banyak
melakukan kebohongan publik, terutama pasca disetujuinya bersama RUU
Cipta Kerja oleh DPR dan Presiden pada tanggal 05 Oktober 2020.23
Undang-Undang Cipta Kerja selain cacat formil, juga terdapat cacat
materil terkhususnya dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan
ketenagakerjaan. Materi muatan undang-undang yang hanya menunjang
kesejahteraan bagi pengusaha, serta mengesampingkan kesejahteraan tenaga
kerja. Padahal, tenaga kerja merupakan bagian pokok daripada
berlangsungnya proses produksi baik barang maupun jasa. Maka, perlu adanya
pasal-pasal perubahan demi terjadinya pemerataan keadilan dan
kesejahteraan baik untuk tenaga kerja, perusahaan, maupun pemerintah.
Hari libur merupakan waktu yang diberikan pada seseorang atau
sekelompok orang yang telah ditentukan melalui kebijakan suatu negara atau
wilayah agar dibebaskan atau ditangguhkan dari kegiatan ataupun aktivitas-
aktivitas sehari-hari. Dalam Pasal 81 angka 23 perubahan atas Pasal 79
memangkas waktu libur dan cuti yang merupakan hak dari para pekerja.
Berdasarkan Pasal 79 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020,
bahwa pekerja hanya mendapat waktu libur satu hari dalam seminggu,
sehingga waktu bekerja berlangsung selama 6 hari. Tentunya hal ini akan
berpengaruh pada kinerja dari seorang pekerja. Diakibatkan oleh kurangnya
istirahat serta terlalu memaksakan tubuh untuk bekerja akan berdampak
buruk terhadap diri pekerja itu sendiri, maupun berpengaruh pada tingkat
produktivitas dari pekerja.
Berdasarkan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
menjelaskan waktu cuti tahunan yang diberikan paling sedikit 12 hari kerja
23
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020

10
dengan syarat bahwa pekerja harus bekerja selama 12 bulan secara berturut-
turut. Kemudian dalam Pasal 79 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 menjelaskan bahwa pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian
kerja peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Hal ini tidak
memberikan kepastian hukum bagi para pekerja serta dikhawatirkan
menimbulkan kesewenang-wenangan dari pihak perusahaan untuk
memberikan waktu cuti tahunan yang sebenarnya tidak diatur secara jelas
dalam undang-undang.
Era Revolusi Industri 4.0 menjadikan pemerataan dan kemajuan yang
pesat di segala bidang. Hal tersebut mengakibatkan tenaga kerja baik dari
dalam negeri ataupun luar negeri diperbolehkan melakukan pertukaran
tenaga kerja demi mengikuti perkembangan zaman serta mengembangkan
teknologi serta pecepatan untuk perusahaan agar produksi yang dilakukan
dapat lebih efektif dan efisien. Tenaga Kerja Asing (TKA) merupakan seseorang
yang memiliki visa di Indonesia dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 memberikan izin yang cukup
mudah bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk bekerja di Indonesia. Hal ini
tercantum dalam Pasal 81 angka 4 perubahan atas Pasal 42. Dalam Pasal 42
ayat (1) bahwa dalam mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (TKA) proses seleksi
hanya terdapat satu tingkat, yakni dengan menunjukkan RPTKA (Rencana
Penggunaan Tenaga Kerja Asing) yang telah disahkan oleh Pemerintah Pusat.
Sehingga hal tersebut memudahkan bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk dapat
bekerja di Indonesia. Selain itu, keterangan terkait syarat-syarat dalam
pengajuan RPTKA dihapuskan, yang sebelumnya terdapat dalam Pasal 43
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal
44 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 pun dihapuskan. Hal ini menjadi
perhatian dikarenakan dalam permasalahan internal Indonesia, permasalahan
terkait pengangguran masih menjadi pokok permasalahan yang harus
dibenahi serta diberikan solusi, sehingga tingkat pertumbuhan perekonomian
turut meningkat. Selain itu, TKA yang bekerja di Indonesia haruslah dibatasi,

11
diberi batas waktu serta diawasi, sehingga tidak merugikan pihak tenaga kerja
Indonesia.
Outsourcing berasal dari Bahasa Inggris, yaitu alih daya. Nama lain dari
outsourcing yakni contracting out. Berdasarkan Pasal 64 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa
perusahaan yang dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan/penyediaan
jasa pekerja/buruh yang di buat secara tertulis. 24 Dalam Undang-Undang Cipta
Kerja, outsourcing dikenal dengan istilah alih daya.
Pasal 64 dan 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dihapuskan dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020. Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020, tidak terdapat pengaturan lebih rinci terkait jenis
pekerjaan yang dapat dilakukan oleh pekerja alih daya. Hal ini dapat
mengakibatkan perusahaan dengan sewenang-wenang merekrut pekerja alih
daya serta menempatkan pekerja alih daya pada pekerjaan pokok yang
berkaitan langsung dengan proses produksi, bukan pada posisi pekerjaan
penunjang. Selain itu juga, pekerja alih daya tidak mendapat pesangon. 25 Hal
ini dapat menimbulkan potensi dari pihak perusahaan untuk lebih banyak
mempekerjakan pekerja alih daya pada pekerjaan inti yang pada akhir masa
kerjanya tidak diberikan pesangon. Tentunya hal ini tidak sesuai antara tingkat
kesulitan pekerjaannya dengan imbalan yang didapatkan.
Upah pekerja merupakan faktor yang sangat penting untuk kehidupan
pekerja demi pemenuhan kebutuhan hidup bagi tenaga kerja yang bekerja
pada suatu perusahaan. Pemberian upah oleh perusahaan tidak semata mata
karena kewajiban untuk membayarnya, melainkan sebagai menghargai
produktivitas tenaga kerja karena telah membantu perusahaan dalam
memproduksi barang dan jasa. Sehingga perusahaan dapat meraup

24
Siti Kunarti. (2009). “Perjanjian Pemborongan Pekerjaan (Outsourcing) dalam Hukum
Ketenagakerjaan”. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 9 No. 1. hlm. 67-68.
25
Ady Thea DA. “Ini Bedanya Outsourcing di UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja”. dari
(https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-bedanya-outsourcing-di-uu-ketenagakerjaan-dan-
uu-cipta-kerja-lt60657d8d20b58?page=1). diakses pada tanggal 19 April 2022 pukul 17.20.

12
keuntungan. Upah minimum merupakan standar upah yang diterima oleh
pekerja sesuai perhitungan Komponen hidup layak (KHL) di sebuah
perusahaan. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, tolak ukur dalam
penentuan upah minimum berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Namun, dalam Undang-Undang Cipta Kerja tolok ukur dalam penentuan
besarnya upah diubah berdasarkan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi,
yang mana dalam hal ini besaran upah bagi pekerja bersifat dinamis, dengan
tanpa memperhatikan kelayakan hidup dari pekerjanya.
Berdasarkan aturan sebelumnya mengenai upah minimum
kota/kabupaten (UMK) dan upah minimum telah tercantum pada pasal 89 dan
90 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun,
dalam Pasal 88C ayat (2), dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota
perlu mendapat rekomendasi dari Gubernur. Dengan persyaratan yang
sedemikian rupa, menjadikan penetapan terkait upah minimum
kabupaten/kota tidak efisien, dan penetapan upah minimum kabupaten/kota
hanya sebagai opsi/pilihan. Selain itu, apabila penentuan upah ditetapkan oleh
pemerintahan kabupaten/kota, dapat melihat berdasarkan potensi Sumber
Daya Alam (SDA) serta berdasarkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang
meliputi tingkat pendidikan, dan lainnya. Maka, Pemerintah Provinsi cukup
memberikan batasan terkait besaran upah minimum kabupaten/kota.
Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan perubahan dalam
Undang-Undang Cipta Kerja menjelaskan bahwa pengusaha dalam menyusun
struktur dan skala upah hanya dengan mempertimbangkan berdasarkan
kemampuan perusahaan dan produktivitas. Dalam PP Nomor 36 Tahun 2021
tentang Pengupahan pun mengatur terkait pertimbangan penentuan besaran
struktur dan skala upah dengan mempertimbangkan jabatan dan golongan.
Dalam Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003, penentuan
besaran struktur dan skala upah berdasarkan pertimbangan golongan,
jabatan, masa kerja, pendidikan, serta kompetensi.

13
Perjanjian Kerja Waktu Terbatas (PKWT) adalah suatu perjanjian kerja
antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam
waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. 26 Penentuan batas waktu
terkait pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja PKWT dihapuskan. Dalam Pasal
59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 diatur terkait batas waktu pekerja
PKWT yakni selama 3 tahun. Namun, dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang
Cipta Kerja tidak diatur secara rinci terkait batasan waktu tersebut pekerja
berwaktu. Hal ini menyebabkan ketidakpastian waktu berakhirnya pekerjaan,
serta berpotensi untuk menghilangkan kesempatan dari pekerja untuk
menjadi pekerja tetap di suatu perusahaan.
Peraturan Pemerintah (PP) merupakan salah satu peraturan pelaksana
dari berlakunya suatu undang-undang. Peraturan Pemerintah yang berlaku
terkait peraturan pelaksana dari pembahasan PKWT adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu,
Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Dalam PP ini mengatur terkait batasan waktu terkait berlangsungnya pekerja
PKWT sebagai tindak lanjut dari Pasal 59 ayat (1) yang tidak mengatur batasan
waktu, yang mana dalam PP ini memberikan batasan waktu bagi PKWT selama
5 tahun, dengan perpanjangan waktu yang tidak lebih dari 5 tahun.
Pemberhentian seorang pekerja dari pekerjaannya dikenal dengan istilah
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam Undang-Undang Cipta Kerja terkait
PHK diatur dalam Pasal 151-156. Dalam Pasal 151 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003, diatur terkait mekanisme PHK yakni wajib melalui perundingan
yang dilakukan antara pengusaha dengan perserikatan buruh. Namun, dalam
Pasal 151 ayat (2) Undang-Undang Cipta Kerja, tidak mengatur hal tersebut.
Sehingga, pekerja hanya menerima surat PHK tanpa dengan melakukan
perundingan antara perusahaan dengan pekerja/perserikatan buruh. Hal

26
Fithriatus Shalihah. (2017). “Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam Hubungan Kerja
Menurut Hukum Ketenagakerjaan Indonesia dalam Perspektif HAM”. UIR Law Review Vol. 1 No. 2.
hlm. 151

14
tersebut mengusahakan agar semaksimal mungkin menghindari adanya
pemecatan secara sepihak tanpa alasan yang jelas.
Berdasarkan penjelasan diatas, naskah akademik ini bermaksud untuk
memberikan usulan rancangan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang terkait dengan bidang
ketenagakerjaan. Urgensi adanya perubahan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diharapkan dapat memberikan solusi dan
penyelesaian masalah terkait permasalahan di bidang ketenagakerjaan
sehingga terwujudnya kesejahteraan sosial terkhususnya bagi tenaga kerja di
Indonesia. Maka diperlukan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta
Kerja Terkait Ketenagakerjaan.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, permasalahan yang
akan dikaji untuk penyusunan Naskah Akademik ini, yaitu:
1. Bagaimana menyusun peraturan perubahan mengenai ketenagakerjaan
yang baik dan benar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat
Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945?
2. Mengapa perlu rancangan perubahan Undang-Undang Cipta Kerja yang
baru sebagai dasar pemecahan masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan
kesejahteraan tenaga kerja?
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan
yuridis dari perubahan Undang-Undang Cipta Kerja?
4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan,
dan arah pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja?

15
C. Tujuan dan Kegunaan
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di
atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai berikut:
1. Merumuskan cara menyusun aturan yang baik dan benar sesuai
kebutuhan kondisi masyarakat Indonesia yang berlandakan pancasila dan
UUD NRI tahun 1945.
2. Merumuskan Rancangan Undang-Undang Perubahan mengenai Undang-
undang Cipta Kerja yang baru sebagai dasar pemecahan masalah yang
dihadapi dalam pelaksanaan kesejahteraan tenaga kerja.
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis dari
pembentukan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja.
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
Selain itu, Kegunaan penyusunan Naskah Akademik ini sebagai acuan atau
bahan referensi untuk penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-
Undang Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja Terkait Ketenagakerjaan.

D. Metode Penelitian
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Terkait
Ketenagakerjaan menggunakan Metode Penelitian Hukum Yuridis Normatif.
Metode Penelitian Hukum Yuridis Normatif adalah suatu pendekatan yang
mengacu pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 27
Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan peraturan
perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan konsep, dan

27
Kornelius Bemuf, dkk. (2020). “Metodologi Penelitian Hukum sebagai Instrumen Mengurai
Permasalahan Hukum Kontemporer”. Jurnal Gema Keadilan Vol. 7 No. 1. hlm. 24.

16
pendekatan perbandingan. Pendekatan perundang-undangan, yakni suatu
pendekatan yang akan meneliti berbagai aturan hukum. Selain itu, untuk
mendukung peraturan perundang-undangan perlu pendekatan lain, seperti
pendekatan perbandingan, dan lainnya. Pendekatan kasus yakni pendekatan
yang bertujuan untuk mempelajari penerapan norma atau kaidah hukum yang
dilakukan dalam praktik hukum. Pendekatan konsep yakni pendekatan yang
digunakan untuk menyamakan persepsi atau pemahaman terhadap bahasa
hukum yang multitafsir.28 Pendekatan perbandingan merupakan penelaahan
yang menggunakan dua atau lebih sistem hukum untuk dibandingkan apakah
mengenai perbedaannya atau persamaannya.29
Data terbagi menjadi 2, yakni data primer dan data sekunder. Data primer
merupakan data yang ditemukan langsung oleh peneliti di lapangan.
Sedangkan data sekunder merupakan data yang sudah tersedia dan tidak
dibatasi oleh tempat dan waktu.30 Dalam penyusunan Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Terkait Ketenagakerjaan menggunakan data
sekunder. Data sekunder terdiri dari Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum
Sekunder, dan Bahan Hukum Tersier:31
1. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang utama, sebagai
bahan hukum yang bersifat autoritatif, yaitu bahan hukum yang
mempunyai otoritas. Bahan hukum yang termasuk yakni peraturan
perundang-undangan, yaitu:
a) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;
c) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;

28
Suhaimi. (2018). “Problem Hukum dan Pendekatan dalam Penelitian Hukum Normatif”.
Jurnal YUSTITIA Vol. 19 No. 2. hlm. 207-208.
29
Meray Hendrik Mezak. (2006). “Jenis, Metode, dan Pendekatan dalam Penelitian Hukum”.
Law Riview Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Vol. 5 No. 3. hlm. 92.
30
Ibid. hlm. 93.
31
I Ketut Suardita. (2017). “Pengenalan Bahan Hukum (PBH)”, dari
(https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/7847bff4505f0416fe0c446c60f7e8ac.p
df). diakses pada tanggal 20 April 2022 pukul 00.05.

17
d) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 Tentang Penggunaan
Tenaga Kerja Asing;
e) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja
Waktu, Alih Daya, Waktu Kerja, dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan
Hubungan Kerja; dan
f) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan.
2. Bahan hukum sekunder merupakan dokumen atau bahan hukum yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti buku-buku,
artikel, jurnal, serta karya tulis ilmiah lainnya.
3. Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk
serta penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Bahan hukum tersier terdiri dari Kamus, Website, Ensiklopedia,
dan lainnya.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan Naskah
Akademik ini menggunakan studi kepustakaan. Studi kepustakaan menurut
Syaibani adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun
informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau yang sedang
diteliti.32 Teknik analisis data yang digunakan dalam naskah akademik ini yaitu
teknik analisis data kualitatif. Teknik analisis data kualitatif yaitu suatu upaya
yang diakukan dengan jalan bekerja data, mengklasifikasikan data, memilah-
milah data, mensistensikan, mencari serta menemukan pola, menemukan apa
yang penting dan memutuskan apa yang dapat di ceritakan pada orang lain.33

32
Ainul Azizah. “Studi Kepustakaan Mengenai Landasan Teori dan Praktik Konseling Naratif”.
dari (https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-bk-unesa/article/view/18935). diakses pada
tanggal 24 April 2022 pukul 9.05.
33
Anonim. (2015). “Analisis Data dalam Penelitian Kualitatif”. Dari
(https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/7847bff4505f0416fe0c446c60f7e8ac.p
df). diakses pada tanggal 20 Januari 2022 pukul 00.07.

18
BAB II
KAJIAN TEORITIK DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritik
Bab ini akan menjelaskan literatur akademik terkait penerapan
ketenagakerjaan dengan menganalisis menggunakan perspektif kajian secara
khusus yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Bagian selanjutnya dari
naskah akademik ini akan menguraikan terkait praktik empiris
ketenagakerjaan.
1. Teori Hak Asasi Manusia (HAM)
Mengacu pada instrumen-instrumen nasional mengenai Hak Asasi
Manusia (HAM), tidak satupun secara eksplisit mengatur tentang definisi
HAM. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Gudmundur Alfredsson, "What
is human rights? None of the International human rights instruments
expressly define what human rights is". Namun, apabila mencermati
mengenai hakikat dari HAM setidaknya dapat diperoleh melalui materi
yang terdapat dalam Universal Declaration of Human Rights yang diterima
serta diumumkan oleh majelis PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui
resolusi 217 A (III), yang terdiri atas Mukadimah dan Pasal 1 sampai 30.34
Konsep HAM tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Negara Hukum
yang tentunya mengedepankan serta melindungi HAM. HAM merupakan
hak dasar yang dimiliki setiap manusia sebagai anugrah Tuhan Yang Maha
Esa yang tidak dapat diganggu gugat keberadaannya. Hak-hak tersebut
melekat pada diri seorang manusia sejak ia lahir. Pada masa lalu, sebelum
diakui adanya kesamaan derajat antara manusia satu dengan manusia
lainny, sehingga menimbulkan akibat terjadinya penindasan antara manusia
satu dengan lainnya. Contoh konkretnya yakni dapat dilihat dari masa
penjajahan dari satu bangsa ke bangsa lain.35

34
Hesti Armiwulan. (2004). “Hak Asasi Manusia dan Hukum”. Yustika Vol. 7 No. 2. hlm. 317.
35
Fauzan Khairazi. (2015). “Implementasi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Indonesia”.
Jurnal Inovatif Vol. 7 No. 1. hlm. 80.

19
John Locke disebut sebagai bapak Hak Asasi Manusia (HAM).
Meskipun ada perjanjian membentuk satu kesatuan masyarakat atau
negara, rakyat tetap memiliki hak alamiah (natural rights) sebagai
inalienable rights. Negara harus memperhatikan hak-hak alamiah dari
setiap penduduknya, yaitu life, liberty, property, sebagaimana yang
dikemukakan oleh John Locke dalam bukunya Two Treaties of Civil
Government:36
”But though men when they enter into society give up the equality, libert,
and executive power they had in the state of nature into the hands of
society, to be so far disposed of by the legislative as the good society shall
require, yet it being only with the intention in everyone the better preserve
himself, his liberty and property,... the power of the society or legislative
cosntitute by them can never supposed to extend further than the common
good but is obliged to secure everyone’s property by providing against
those three defects above mentioned that made the state of Nature an
uneasy”.
Pandangan lain dikemukakan oleh Rousseau yang menolak sistem hak
milik pribadi, sedangkan Locke memandang hak milik pribadi merupakan
salah satu hak asasi. Menurut Rousseau, hak milik pribadi merupakan salah
satu sumber kegaduhan. Di masa klasik, penolakan terhadap sistem hak
milik pribadi didapati juga pada ajaran Plato. Ada pula beberapa pemikiran
yang menolak sistem hak milik pribadi dan yang paling terkenal adalah Karl
Marx (Marxisme).37
2. Teori Negara Hukum
Pemikiran tentang negara hukum telah direnungkan oleh Plato yang
kemudian dikembangkan oleh Aristoteles. Gagasan Plato dipengaruhi oleh
realitas negaranya yang dipimpin oleh penguasa tamak, haus harta dan gila
kehormatan, penguasa memerintah dengan sewenang-wenang tanpa
memperdulikan nasib rakyatnya. Keadaan tersebut mendorong Plato

36
Bagir Manan, dkk. (2016). “Konstitusi dan Hak Asasi Manusia”. PJIH Vol. 3 No. 3. hlm. 450.
37
Ibid. hlm. 451.

20
memikirkan bentuk negara ideal yang bebas dari pemimpin rakus, tamak
dan kejam sekaligus sebagai tempat keadilan dijunjung tinggi. Plato dalam
the Republic menegaskan bahwa negara ideal yang berintikan kebaikan bisa
diwujudkan, jika kekuasaan dipegang oleh orang yang mengetahui
kebaikan, yakni filsuf (the philosopher king). Perkembangan pemikiran
berikutnya tergambar dalam the statesman dan the law di mana Plato
menegaskan pemikiran barunya tentang negara ideal, bahwa yang bisa
diwujudkan bukanya negara ideal terbaik seperti dalam (the Republic), akan
tetapi negara terbaik kedua (the second best) yang menempatkan
supremasi hukum atau pemerintahan oleh hukum.38
Ide negara hukum merupakan gagasan tentang suatu bentuk negara
ideal yang diinginkan oleh manusia untuk diwujudkan dalam kenyataan.
Latar belakang timbulnya pemikiran negara hukum merupakan reaksi
terhadap kesewenang-wenangan di masa lampau. Oleh karena itu, unsur-
unsur negara hukum mempunyai hubungan erat dengan sejarah dan
perkembangan masyarakat dari suatu bangsa. Semakin maju taraf
perkembangan suatu masyarakat (bangsa), akan semakin kompleks ide
negara hukumnya. Ide negara hukum sesungguhnya telah lama
dikembangkan oleh para filsuf sejak zaman Yunani Kuno. Negara hukum
yang dikembangkan pada zaman Yunani Kuno dikenal dengan negara
hukum klasik. Cita negara hukum untuk pertama sekali dikemukakan oleh
Plato dan kemudian pemikiran tersebut dipertegas oleh Aristoteles.39
Sejarah pemikiran negara hukum sebenarnya sudah tua, jauh lebih tua
dari pengetahuan negara atau kenegaraan. Pemikiran negara hukum
dimulai sejak Plato dengan konsepnya “bahwa penyelenggaraan negara
yang baik adalah berdasarkan peraturan (hukum) yang baik yang disebut
dengan istilah “nomoi”. Pernyataan Plato yang menyatakan “…berdasarkan
peraturan (hukum)… istilah nomoi” pada dasarnya merupakan hukum

38
M. Muslih. (2013). “Negara Hukum Indonesia dalam Perspektif Teori Hukum Gustav
Radbruch (Tiga Nilai Dasar Hukum”. Legalitas Vol. 4 No. 1. hlm. 130-131.
39
Widyawati. “Penegakan Hukum dalam Negara Hukum Indonesia yang Demokratis”. Hukum
Ransendental Pengembangan dan Penegakan Hukum di Indonesia. hlm. 513.

21
negara atau hukum positif atau misi. Justru pernyataan negara hukum
sendiri terlihat dari kalimat “Penyelenggaraan negara yang baik…” yang
merupakan visi negara. Gagasan negara hukum yang telah dikemukan Plato
merupakan konsep nomoi yang dibuat pada masa tuanya. Sementara itu
dalam tulisan pertama Politeia dan Politicos, belum muncul negara hukum.
Negara hukum kemudian dipertegas oleh Aristoteles yang menuliskan
Politica. Pengertian negara hukum Aristoteles dikaitkan dengan arti
daripada dalam perumusannya yang masih terikat pada “polis”. Pengertian
negara hukum Aristoteles timbul dari “polis” yang memiliki wilayah negara
kecil, seperti kota, berpenduduk sedikit, dan tidak seperti negara-negara
sekarang yang mempunyai wilayah luas dan penduduk banyak (vlakte
staat).40
Plato dan Aristoteles mengintrodusir negara hukum adalah negara
yang diperintah oleh negara yang adil. Dalam filsafatnya, keduanya
menyinggung angan-angan (cita-cita) manusia yang berkorespondensi
dengan dunia, dengan mutlak yang disebut:41
a. Cita-cita untuk mengejar kebenaran;
b. Cita-cita untuk mengejar keindahan; dan
c. Cita-cita untuk mengejar keadilan.
3. Teori Good Governance
Pengertian kepemerintahan (governance) adalah suatu kegiatan
(proses), bahwa governance lebih merupakan “……Serangkaian proses
interaksi sosial politik antara pemerintahan dan masyarakat dalam berbagai
kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi
pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut.” United Nations
Development Program (UNDP) dalam dokumen kebijakannya yang berjudul
“Governance for Sustainable Human Development, January 1997”,
menyebutkan pengertian governance adalah “Governance is the exercise of

40
Sarip. (2018). “Kemajemukan Visi Negara Hukum Pancasila dalam Misi Hukum Negara
Indonesia”. Refleksi Hukum Vol. 2 No. 2. hlm. 111.
41
Ramli, Muhammad Afzal, dkk. (2019). “Studi Kritis Terhadap Ragam Konsep Negara Hukum”.
Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum Vol. 10 No. 2. hlm. 136.

22
economic, political, and administrative authory to manage a country’s
affairs all levels and means by which states promote social cohesion,
integration, and ensure the well-being of their population”
(Kepemerintahan adalah pelaksanaan kewenangan/kekuasaan di bidang
ekonomi, politik, dan administratif untuk mengelola berbagai urusan
negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan
negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan integritas, dan
kohesivitas sosial dalam masyarakat).42
Kata Good dalam good governance memiliki arti efektif dan efisien
fungsional dari pemerintahan dalam pelaksanaan tugasnya untuk mecapai
tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Konsep stewardship tidak
dibebani kewajiban untuk melaporkan dan mengacu pada pengelolaan atas
aktivitas secara ekonomis dan efisien, sedangkan accountability
mewajibkan pada pertanggungjawaban oleh seorang steward kepada
pemberi tanggung jawab. Sedangkan menurut Clarke dan Branson tata
pemerintahan yang baik adalah tentang pengelolaan aset pemilik dengan
cara terbaik. Ahli teori Stewardship telah mengemukakan bahwa individu
memiliki hubungan perjanjian dengan organisasinya yang mewakili
komitmen moral dan mengikat kedua belah pihak untuk bekerja menuju
tujuan bersama, tanpa mengambil keuntungan satu sama lain. Keberhasilan
tata kelola sebuah organisasi perlu berada pada empat pilar yang diwakili
oleh dewan direksi, manajemen, auditor internal dan auditor eksternal.
Setiap pilar harus efektif dan bekerjasama dengan baik untuk mendukung
tercapainya tujuan dan sasaran organisasi. Good governance merupakan
salah satu cara mengukur kinerja suatu organisasi, yang didalamnya
terdapat akuntabilitas dan transparansi.43
Good Governance merupakan upaya perbaikan kinerja sektor publik
yang dilakukan melalui pengembangan dan penguatan hubungan yang

42
Sahya Anggara. (2012). “Ilmu Administrasi Negara”. Pustaka Setia: Bandung. hlm. 202-203.
43
Riny Jefri. (2018). “Teori Stewardship dan Good Goveranance”. Jurnal Riset Vol. 4 Nom. 3.
hlm. 16-17.

23
makin harmonis (adanya sinergi) antara kekuatan negara (state), swasta
(private), dan masyarakat sipil (civil society) yang didukung oleh penataan
kembali keseimbangan kekuasaan dan peran ketiga kekuatan sentral dalam
pendayagunaan aneka sumber daya ekonomi dan sosial bagi
pembangunan.44
Rencana strategi dalam good governance, yaitu perlunya pendekatan
baru dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan yang terarah pada
terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance) yakni: “…
Proses pengelolaan pemerintah yang demokratis, profesional, menjunjung
tinggi supremasi hukum dan HAM, desentralistik, partisipatif, transparan,
keadilan, bersih dan akuntabel, selain berdaya guna, berhasil guna, dan
berorientasi pada peningkatan daya saing bangsa.”45
4. Teori Good Corporate Governance (GCG)
Menurut Cadbury Committee of United Kingdom, good corporate
governance adalah yang mengatur hubungan antara pengurus perusahaan,
pemegang saham, pihak kreditur, pemerintahan, karyawan, dan pemegang
kepentingan internal maupun eksternal yang berkaitan dengan hak-hak dan
kewajiban mereka dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan
mengendalikan suatu perusahaan. Dalam buku Effendi, good corporate
governance adalah suatu sistem pengendalian internal perusahaan yang
memiliki tujuan utama mengelola risiko yang signfikan guna memenuhi
tujuan bisnisnya melalui pengamanan aset perusahaan dan meningkatkan
nilai investasi pemegang saham dalam jangka panjang. Adapun tujuan
penerapan good corporate governance suatu perusahaan adalah sebagai
berikut:46
a. Mengembangkan dan meningkatkan nilai perusahaan;
b. Mengelola sumber daya dan resiko secara lebih efektif dan efisien;
44
Hendra Wijayanto. (2015). “Transparansi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Melalui Penerapan E-Budgeting (Dalam Perspektif Teori Good Governance)”. IJPA-The Indonesian
Journal of Public Administration Vol. 1 No. 1. hlm. 76.
45
Op.Cit. hlm. 209.
46
Fatimah, dkk. “Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Nilai Perusahaan dengan
Kinerja Keuangan Sebagai Variabel Intervening. E-Journal Riset Manajemen. hlm. 55.

24
c. Meningkatkan disiplin dan tanggng-jawab dari organ perusahaan demi
menjaga kepentingan para Shareholder dan Stakeholder perusahaan;
d. Meningkatkan kontribusi perusahaan (khususnya perusahaan-
perusahaan pemerintah) terhadap perekonomian nasional;
e. Meningkatkan investasi nasional; dan
f. Mensukseskan program privatisasi perusahaan-perusahaan
pemerintah.
Good Corporate Governance (GCG) sebagaimana dimuat dalam
Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia yang
dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance, Januari
2004 adalah “suatu tata kelola yang mengandung lima prinsip utama yaitu
keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), tanggung jawab
(responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness).”
Menurut Tricker, tata kelola merupakan istilah yang muncul dari interaksi di
antara manajemen, pemegang saham, dan dewan direksi serta pihak
terkait lainnya, akibat adanya ketidakkonsistenan antara “apa” dan “apa
yang seharusnya”, sehingga isu tata kelola perusahaan muncul.47
Good Corporate Governance pada dasarnya merupakan suatu sistem
yang meliputi input, proses dan outputdan seperangkat peraturan yang
mengatur hubungan antarastakeholderterutama dalam arti sempit
hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi
demi tercapainya tujuan perusahaan. good corporate governance
dimaksudkan untuk mengatur hubungan-hubungan tersebut dan mencegah
terjadinya penyimpangan dalam menerapkan strategi perusahaan dan
untuk memastikan bahwa apabila terjadi kesalahan-kesalahan maka akan
dapat diperbaiki dengan segera. Oleh karenanya, menurut Tricker
sebagaimana dikutip oleh Zarkasyi, munculnya good corporate governance

47
Isniar Budiarti. “Penerapan Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance (GCG) Pada Dunia
Perbankan”. Majalah Ilmiah UNIKOM. hlm. 266.

25
akibat terjadinya kesenjangan hubungan yang terjadi dalam perusahaan
dengan yang seharusnya terjadi.48
5. Teori Kepastian Hukum
Kepastian hukum secara historis muncul sejak ada gagasan pemisahan
kekuasaan yang dinyatakan oleh Montesquieu, bahwa dengan adanya
pemisahan kekuasaan, maka tugas penciptaan undang-undang itu ditangan
pembentuk undang-undang, sedangkan hakim (peradilan) hanya bertugas
menyuarakan isi undang-undang saja. Pendapat Moentesquieu, yang ditulis
dalam bukunya De iesprit des Lois (The Spirit of Laws) pada tahun 1978,
merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan kaum monarki, di mana
kepala kerajaan amat menentukan sistem hukum. Peradilan pada saat itu
secara nyata menjadi pelayanan monarki.49
Kepastian hukum dapat dimaknai sebagai seseorang yang akan
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kepastian
diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi
masyarakat yang dikenakan peraturan. Pengertian kepastian hukum dapat
dimaknai bahwa ada kejelasan dan ketegasan terhadap berlakunya hukum
di masyarakat. Hal ini untuk tidak menimbulkan banyak salah tafsir.
Kepastian hukum yaitu adanya kejelasan skenario yang bersifat umum dan
mengikat semua warga warga masyarakat termasuk konsekuensi-
konsekuensi hukumnya. Kepastian hukum dapat juga berarti hal yang dapat
ditentukan oleh hukum dalam hal-hal konkret. Kepastian hukum adalah
jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum
dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan.50
Radburch berpendapat cukup mendasar mengenai kepastian hukum,
terdapat 4 hal yang berkaitan dengan makna kepastian hukum. Pertama,
bahwa hukum itu positif yakni perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum
48
Akhmad Faozan. (2013). “Implementasi Good Corporate Governance dan Peran Dewan
Pengawas Syariah di Bank Syariah”. La_Riba Jurnal Ekonomi Islam Vol. 7 No. 1. hlm. 5.
49
I Nyoman Putu Budiartha. (2016). “Hukum Outsourcing”. Setara Press: Malang. hlm. 38.
50
Tata Wijayanta. (2014). “Asas Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan dalam
Kaitannya dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga”. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2.
hlm. 219.

26
itu berdasarkan pada fakta hukum yang ditetapkan itu pasti. Ketiga, bahwa
kenyataan (fakta) harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga
menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping mudah
dilaksanakan, dan keempat, hukum positif tidak boleh mudah berubah.
Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,
terutama untuk norma yang tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan
kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman
perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu
tujuan dari hukum. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya
bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara
normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara
pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dan artian tidak
menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi
bagian dari suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak
berbenturan atau menimbulkan konflik.51
Kenyataanya, apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan
hukum, maka akan kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini
dikarenakan di satu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip-
prinsip keadilan hukum, sebaliknya tidak jarang pula keadilan hukum
mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum. Apabila dalam praktiknya
terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan hukum, maka
keadilan hukum yang harus diutamakan.52
6. Teori Keadilan
Konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf Amerika di akhir abad
ke-20, John Rawls, seperi A Theory of justice, Politcal Liberalism, dan The
Law of Peoples, yang memberikan pengaruh pemikiran cukup besar
terhadap diskursus nilai-nilai keadilan.53 John Rawls yang dipandang sebagai
51
Indra Puji Lestari. Skripsi: “Prinsip Kepastian Hukum Akta Waris yang Dibuat Tanpa
Melibatkan Salah Seorang Ahli Waris Karena Alasan Tidak Cakap Hukum.” (Jember: 2019). hlm.
33-34.
52
Rahmat Ramadhani. (2017). “Jaminan Kepastian Hukum yang Terkandung Dalam Sertipikat
Hak Atas Tanah”. De Lega Lata Vol. 2 No. 1. hlm. 144.
53
Ibid. hlm 139.

27
perspektif “liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa
keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial
(social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak
dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang
yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah
pencari keadilan.54
Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan
sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada
pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu
dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan
kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi
asasli” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari
oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan
(equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of
society). Sementara konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh
John Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta
dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan
doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan
tentang keadilan yang tengah berkembang. Dengan konsep itu Rawls
menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan yang adil
dengan teorinya disebut sebagai “Justice as fairness”.55
Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa program
penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan
dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang
sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama
bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial

54
Ibid. hlm 140.
55
John Rawls. (2006). “A Theory of Justice. Oxford University Press: London”. (Yang sudah
diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo). “Teori Keadilan”.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm. 90

28
ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat
timbal balik.56
Prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat
sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama
kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-
orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus
diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan
terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan
menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang
memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memosisikan diri sebagai
pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi
ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.John Rawls, filsuf Amerika Serikat
yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan
bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial,
sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran".57 Tapi, menurut
kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: "Kita tidak hidup di
dunia yang adil".58 Keadilan berasal dari kata adil, menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adil adalah tidak sewenang-wenang, tidak memihak,
tidak berat sebelah. Adil terutama mengandung arti bahwa suatu
keputusan dan tindakan didasarkan atas norma-norma objektif. Keadilan
pada dasarnya adalah suatu konsep yang relatif, setiap orang tidak sama,
adil menurut yang satu belum tentu adil bagi yang lainnya, ketika seseorang
menegaskan bahwa ia melakukan suatu keadilan, hal itu tentunya harus
relevan dengan ketertiban umum dimana suatu skala keadilan diakui. Skala
keadilan sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, setiap skala

56
Hans Kelsen. (2011). “General Theory of Law and State”. (Diterjemahkan oleh Rasisul
Muttaqien). Nusa Media: Bandung. hlm. 7.
57
John Rawls. (1999). “A Theory of Justice, Revised Edition”. OUP: Oxford. hlm 3.
58
Thomas Nagel. (2005). “The Problem of Global Justice, Philosophy and Public Affairs”. hlm.
113.

29
didefinisikan dan sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan
ketertiban umum dari masyarakat tersebut.59
Keadilan di Indonesia digambarkan dalam Pancasila sebagai dasar
negara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam sila lima
tersebut terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan dalam hidup
bersama. Adapun keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat
keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungannya manusia dengan
dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan
masyarakat, bangsa, dan negara, serta hubungan manusia dengan
Tuhannya.60
Menurut Plato sebagaimana dikutip oleh Suteki dan Galang Taufani,
keadilan adalah di luar kemampuan manusia biasa. Sumber ketidakadilan
adalah adanya perubahan dalam masyarakat. Masyarakat memiliki elemen-
elemen prinsipal yang harus dipertahankan, yaitu:
1. Pemilahan kelas-kelas yang tegas; misalnya kelas penguasa yang diisi
oleh para penggembala dan anjing penjaga harus dipisahkan secara
tegas dengan domba manusia;
2. Identifikasi takdir negara dengan takdir kelas penguasanya; perhatian
khusus terhadap kelas ini dan persatuannya; dan kepatuhan pada
persatuannya, aturan-aturan yang rigid bagi pemeliharaan dan
pendidikan kelas ini, dan pengawasan yang ketat serta kolektivisasi
kepentingan-kepentingan anggotanya.61
Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam
karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Spesifik dilihat dalam
buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan,
yang, berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti

59
M. Agus Santoso. (2014). “Hukum, Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum”.
Cetakan kedua. Kencana: Jakarta. hlm. 85.
60
M. Agus Santoso. Op.Cit. hlm 86.
61
Suteki, Galang Taufani. (2018). “Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori, dan Praktik)”.
Rajawali Pers: Depok. hlm. 98-102.

30
dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam
kaitannya dengan keadilan”.62
Intinya, pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak
persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak
persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan
manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat
dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum
sama. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya
sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya. Lebih
lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam
keadilan, keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan distributif
ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut
pretasinya. Keadilan komutatif memberikan sama banyaknya kepada setiap
orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan
peranan tukar menukar barang dan jasa.63
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi,
honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan
dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis,
jelaslah bahwa apa yang ada di pikiran Aristoteles ialah distribusi kekayaan
dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga.
Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai
kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.64
Menurut Hans Kelsen, keadilan adalah suatu tertib sosial tertentu yang
di bawah lindungannya usaha untuk mencari kebenaran bisa berkembang
dan subur. Karena keadilan menurutnya adalah keadilan kemerdekaan,
keadilan perdamaian, keadilan demokrasi-keadilan toleransi.65

62
Carl Joachim Freiedrich. (2004). “Filsafat Hukum Perspektif Historis”. Nuansa dan
Nusamedia: Bandung. hlm. 24.
63
Ibid. hlm. 25.
64
Pan Mohamad Faiz. (2009). “Teori Keadilan John Rawls. Jurnal Konstitusi Vol. 6 No. 1. hlm.
135.
65
Satjipto Rahardjo. (2014). “Ilmu Hukum”. Citra Aditya Bakti: Bandung. hlm. 174.

31
7. Teori Negara Kesejahteraan
Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa ide Negara Kesejahteraan ini
merupakan pengaruh dari faham sosialis yang berkembang pada abad ke-
19, yang populer pada saat itu sebagai simbol perlawanan terhadap kaum
penjajah yang kapitalis-liberalis. Diterimanya paham sosialisme dalam
perumusan cita kenegaraan dalam konstitusi kita, di samping prinsip
demokrasi yang populer di lingkungan negara-negara liberal. Hal ini
berkaitan dengan diadopsikannya konsep "Negara Pengurus (Welfare
State),66 Pada intinya negara memang diharapkan turut bertanggungjawab
untuk mengintervensi pasar, mengurus kemiskinan, dan memelihara orang
miskin.67
Kesepakatan menganut negara kesejahteraan (welfare state) pertama
kali digagaskan oleh Soekarno dan Mohamad Hatta yang kemudian
mendapatkan kesepakatan oleh para founding father yakni UUD 1945.
yakni “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangas, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dengan
berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Terdapat enam hal yang dijadikan sebagai alasan mengapa memilih
negara kesejahteraan, yaitu: pertama, adalah untuk mempromosikan
efisiensi ekonomi (promoting economic efficiency); Kedua, untuk
mengurangi kemiskinan (Reducing Proverty); Ketiga, Mempromosikan
kesamaan sosial (promotingsocial equality); Keempat, mempromosikan
integrasi sosial atau menghindari eklusi sosial (promoting social

66
Yamin, M (1959). Naskah Persiapan UUD 194: Risalah Sidang BPUPKI/PPKI. Sekretariat
Negara RI: Jakarta. Hlm 299.
67
Djauhari.2014. Pergederan pemikiran negara kesejahteraan pasca amandemen UUD 1945,
Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume I No. 3 September-Desember 2014. Hlm 329.

32
intergration and avoiding social exclusion); kelima, mempromosikan
otonomi atau kemandirian individu (promoting autonomy).68 Dalam negara
kesejahteraan itu sendiri terkandung empat prinsip umum yaitu, Pertama,
Prinsip Hak-Hak Sosial dalam Negara Demokrasi. Kedua, Prinsip Welfare
Rights; Ketiga, Prinsip Kesetaraan Kesempatan Bagi Warga Negara; dan
Keempat, Prinsip Keseimbangan Otoritas Publik dan Ekonomi, dan Efisiensi
Ekonomi.
Berdasarkan hal tersebut negara dituntut bertanggung jawab
mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni
yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonis
membahayakan dan mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan
manusia dan golongan-golongan kearah tercapainya tujuan-tujuan dari
masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan-kegiatan
asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan
kepada tujuan nasional. Pengendalian ini dilakukan berdasarkan sistem
hukum dan dengan perantara pemerintah beserta segala alat
perlengkapannya. Kekuasaan negara mempunyai organisasi yang paling
kuat dan teratur, maka dari itu semua golongan atau asosiasi yang
memperjuangkan kekuasaan harus dapat menempatkan diri. 69 Menurut
Roger H. Soltau tujuan negara adalah memungkinkan rakyatnya
berkembang serta menyelenggarakan daya cipta sebebas mungkin. Ide
dasar konsep negara kesejahteraan berangkat dari upaya negara untuk
mengelola semua sumber daya yang ada demi mencapai salah satu tujuan
negara yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Cita-cita ideal ini
kemudian diterjemahkan dalam sebuah kebijakan yang telah
dikonsultasikan kepada publik sebelumnya dan kemudian dapat dilihat
apakah sebuah negara betul-betul mewujudkan kesejahteraan warga
negara atau tidak. Masalah kemiskinan dan kesehatan masyarakat

68
Robert. G. (1999). “The Real Worlds of Werfare Capitalism”. Cambridge University Press:
Cambridge” .hlm.22.
69
Miriam Budiardjo. Op.Cit. hlm.48.

33
merupakan sebagian dari banyak masalah yang harus segera direspons oleh
pemerintah dalam penyusunan kebijakan kesejahteraan.
Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara kesejahteraan
haruslah berkorelasi dengan kemaslahatan dan kemakmuran rakyat. Prinsip
ini menjadi tugas utama yang harus diwujudkan dalam negara
kesejahteraan. Menurutnya, ada dua hal yang terkait langsung dengan
upaya pembangunan ekonomi: Pertama, perwujudan negara kesejahteraan
bukanlah sesuatu yang terpisah dari upaya pembangunan ekonomi. Seperti
yang telah dinyatakan, pembangunan ekonomi harus membuat masyarakat
semakin sejahtera, bukan sebaliknya. Kedua, tujuan perwujudan negara
kesejahteraan bukan hanya karena alasan kesamaan (equality), tetapi juga
demi efisiensi dalam proses ekonomi. Negara kesejahteraan sering
diasosiasikan dengan proses distribusi sumber daya yang ada kepada
publik, baik secara tunai maupun dalam bentuk tertentu (cash benefits or
benefits in kind). Konsep kesejahteraan juga terkait erat dengan kebijakan
sosial-ekonomi berupaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat secara
umum. Beberapa bidang yang paling mendesak untuk diperhatikan dalam
kebijakan kesejahteraan adalah masalah pendidikan, kesehatan dan
penyediaan lapangan kerja.70
Tenaga kerja adalah unsur yang sangat penting dalam skema negara
kesejahteraan. Tidak hanya mereka adalah subyek penggerak ekonomi
negara melalui kontribusi pembayaran pajak dan perputaran kegiatan
ekonomi, melainkan juga sebagai obyek yang menjadi tujuan untuk
disejahterakan. Negara harus mengatur tata kelola ketenagakerjaan
integratif, dengan mengidentifikasi kebutuhan sisi permintaan (demand)
yakni industri yang membutuhkan tenaga kerja, dan sisi ketersediaan
(supply) tenaga kerja.71 Pada sisi demand, pemerintah perlu
mengidentifikasi jumlah dan kualifikasi tenaga kerja dibutuhkan untuk

70
Simarmatam, T.H. (1998). “Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan kebijakan
dan perbandingan pengalaman”. PSIK Piramida: Jakarta. Hlm 22.
71
Setiyonom. 2014. “Pemerintahan dan manajemen sektor publik”. CAPS: Yogyakarta. Hlm 25.

34
menopang kebutuhan industri secara optimum. Sedangkan pada sisi supply,
pemerintah perlu mengatur ketersediaan tenaga kerja melalui pendidikan
dan training sesuai dengan kebutuhan demand.
8. Teori Otonomi Daerah
Otonomi Daerah berasal dari istilah “autonomy” yang berasal dari
Bahasa Yunani, yang terdiri dari kata “auto” yang berarti sendiri dan
“nomous” yang berarti hukum atau peraturan. Menurut Kansil, otonomi
daerah ialah suatu hak, dan wewenang, serta kewajiban daerah untuk
mengatur serta untuk mengurus rumah tangganya atau daerahnya sendiri
sesuai dengan perundang-undangan yang masih berlaku. Menurut Mariun,
otonomi daerah ialah suatu kebebasan atau kewenangan yang dipunyai
suatu pemerintah daerah sehingga memungkinkan mereka dalam
membuat sebuah inisiatif sendiri untuk mengelola serta mengoptimalkan
sumber daya yang dipunyai daerahnya. Otonomi daerah ialah suatu
kebebasan atau kewenangan untuk dapat bertindak sesuai dengan suatu
kebutuhan masyarakat pada daerah setempat.72
Wujud pelaksanaan campurtangan pemerintah pusat dengan memberi
wewenang kepada pemerintah daerah dengan adanya otonomi daerah.
Dengan adanya otonomi daerah maka Pemerintah Daerah berwenang
untuk menetapkan berapa besaran upah minimum regional di daerah baik
Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota guna melindungi hak-hak
buruh dan juga untuk mewujudkan kesejahteraan buruh/pekerja yang
meiliki posisi tawar rendah.73
Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah
kewewenangan (urusan) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang
bersangkutan. Penyerahan berbagai kewenangan dalam rangka
desentralisasi ini tentunya harus disertai dengan penyerahan dan

72
Dewi Mulyanti. (2017). “Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah Melalui Judicial
Riview dan Executive Riview”. Vol. 5 No. 1.
73
Firman Widia Nanda. (2015). “Peran Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Upah Minimum
Regional Bagi Usaha Kecil dan Menegah”. hlm. 4-5.

35
pengalihan pembiayaan. Sumber pembiayaan yang paling penting adalah
sumber pembiayaan yang dikenal dengan istilah PAD (Pendapatan Asli
Daerah) di mana komponen utamanya adalah penerimaan yang berasal
dari komponen pajak daerah dan retribusi daerah.74
Kebijakan upah minimum merupakan sistem pengupahan yang telah
banyak diterapkan di beberapa negara, yang pada dasarnya bisa dilihat dari
dua sisi. Pertama, upah minimum merupakan alat proteksi bagi pekerja
untuk mempertahankan agar nilai upah yang diterima tidak menurun
dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kedua, sebagai alat proteksi
bagi perusahaan untuk mempertahankan produktivitas pekerja.75 Dalam
penetapan upah minimum, ada beberapa indikator sebagai dasar
pertimbangan. Yang pertama adalah dilihat dari laju pertumbuhan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB). Kenaikan PDRB akan menyebabkan
pendapatan dari sektor pajak, dan retribusi meningkat. PDRB yang
digunakan untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan dari tahun ke tahun yaitu dengan menggunakan PDRB atas
Harga Konstan.76
Munculnya ketentuan upah minimum akan mendorong terjadinya
distorsi dalam pasar tenaga kerja. Artinya dengan ketentuan upah
minimum, maka buruh mempunyai kekuatan monopoli yang cenderung
melindungi buruh yang telah berjalan dalam perusahaan. Kekuatan serikat
buruh yang cenderung memaksimalkan pendapatan dari buruh yang ada
akan mendeskriminasi pendatang baru dalam pasar tenaga kerja.
Komponen Upah Minimum adalah kebutuhan pokok dari seseorang yang
diperlukan untuk mempertahankan kondisi fisik dan mentalnya agar dapat
menjalankan fungsinya sebagai salah satu factor produksi.Kebutuhan ini
74
Mohammad Riduansyah. (2003). “Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Guna
Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah”. Makara, Sosial Humaniora Vol. 7 No. 2. hlm. 49-50.
75
Rini Sulistiawati. (2012). “Pengaruh Upah Minimum terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan
Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi di Indonesia”. Eksos Vol. 8 No. 3. hlm. 198.
76
Nyoman Sutama, dkk. (2019). “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penetapan Upah
Minimum Kabupaten Sumbawa Tahun 2013-2017”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol. 16 No. 3. hlm.
282.

36
merupakan kebutuhan yang minimum baik ditinjau dari segi jumlah
maupun segi kualitas, barang dan jasa yang dibutuhkan, sehingga
merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindari atau dikurangi lagi.77
9. Teori Ketenagakerjaan
Berdasarkan pendapat Sumitro Djojohadikusumo, mengenai arti
tenaga kerja adalah semua orang yang bersedia dan sanggup bekerja,
termasuk mereka yang menganggur meskipun bersedia dan sanggup
bekerja dan mereka yang menganggur terpaksa akibat tidak ada
kesempatan kerja.78 Menurut Aris Ananta dan Tjiptoherjanto, tenaga kerja
dapat diartikan sebagian dari keseluruhan penduduk yang secara potensial
dapat menghasilkan barang dan jasa. Atau dengan kata lain, tenaga kerja
dapat diartikan bagian dari penduduk yang dapat menghasilkan barang
dan jasa apabila ada permintaan terhadap barang dan jasa tersebut. 79
Dalam pengertian tersebut, yang termasuk ke dalam golongan tenaga kerja
adalah semua orang yang telah bisa atau ikut serta dalam menciptakan
barang maupun jasa baik di dalam perusahaan maupun perorangan.
Tenaga Kerja merupakan orang yang masih pada usia kerja yaitu antara
15 sampai 64 tahun. Orang yang masih dalam usia kerja ini dapat
digolongkan menjadi dua macam, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan
kerja, atau jumlah seluruh penduduk dalam suatu negara yang dapat
memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan terhadap tenaga
mereka, dan jika mereka mau berpartisipasi dalam aktivitas tersebut. 80
Angkatan kerja (labor force) adalah bagian dari tenaga kerja yang
sesungguhnya terlibat, atau berusaha terlibat, dalam kegiatan produksi
yaitu produksi barang dan jasa.81 Bukan angkatan kerja adalah mereka yang
77
Supardi. Skripsi: “Rasionalitas dalam Menentukan Upah Minimum di Kabupaten Mandailing
Natal”. (Padangsidimpuan: 2018). hlm. 26.
78
Sumitro Djojohadikusumo. (1987). “Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan
Perkembangan”. Jakarta: LP3ES. hlm. 34.
79
Aris Ananta. (1990). “Liberalisasi Ekspor dan Impor Tenaga Kerja Suatu Pemikiran Awal”.
Pusat Lembaga Demografi, FE, UI.
80
Irawan dan M. Suparmoko. (1996). “Ekonomika Pembangunan edisi Kelima”. Yogyakarta:
BPFE-Yogyakarta. hlm. 67.
81
Mulyadi. (2012). “Ekonomi Sumber Daya Manusia dalam Perspektif Pembangunan”. Jakarta:
Rajawali Pers. hlm. 60.

37
sedang bersekolah, mengurus rumah tangga tanpa mendapat upah, lanjut
usia, cacat jasmani dan sebagainya, dan tidak melakukan suatu kegiatan
yang dapat dimasukkan kedalam kategori bekerja, sementara tidak bekerja,
atau mencari pekerjaan.82
Membahas ketenagakerjaan maka tidak terlepas dari teori-teori
dibawah ini:
a. Teori Hubungan Industri
Hubungan Industrial merupakan suatu tatanan sosial yang
menjelaskan dinamika dalam hubungan diantara para pelaku produksi
yang bertujuan untuk menciptakan kondisi ideal yaitu hubungan industri
yang rukun, ramah, dan menguntungkan banyak pihak yang terlibat.
Dalam kenyataannya, hubungan industrial tidak hidup di dalam ruangan
yang hampa dan terlepas dari berbagai pengaruh faktor lainnya.
Hubungan senantiasa diwarnai oleh landasan filosofis dan idealis yang
dianut dan diyakini oleh bangsa dan negara. Landasan tersebut
menggambarkan sikap negara dalam memandang kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, sehingga menjadi ideologi, dasar negara
yang menggambarkan nilai leluhur dari bangsa tersebut, serta
menggambarkan tujuan ideal yang ingin dicapai.
Berdasaran istilah, Hubungan Industrial terbagi dari dua sisi,
pertama dari sisi konsep hubungan, dan kedua dari sisi konsep industrial.
Hubungan memiliki konotasi adanya dua atau lebih unsur yang satu
sama lain saling berkaitan atau saling berhubungan. Dimana perbuatan
salah satu pihak dapat berpengaruh pada pihak lainnya, baik sepihak
maupun sama sama saling mempengaruhi. Industrial berasal dari kata
industri (industry), yang sedikitnya memiliki tiga konotasi. Pertama,
sebagai sebuah proses produksi, yaitu proses perubahan yang bersifat
transformasional dari bahan baku menjadi bahan jadi, baik barang
maupun jasa. Kedua, menggambarkan sebuah tempat, dimana proses

82
Gatiningsih, dan Eko Sutrisno. (2017). “Kependudukan dan Ketenagakerjaan”. Sumedang:
Fakultas Manajemen Pemerintahan IPDN. hlm. 3.

38
produksi tersebut berlangsung. Ketiga, menggambarkan rangkaian
kegiatan dari orang-orang yang sedang melakukan proses produksi
(supply chain process).83
Kesimpulan dari teori hubungan industrial yakni mengatur
hubungan semua pihak yang saling mempengaruhi atau berkepentingan
terkait proses produksi ataupun pelayanan jasa di suatu perusahaan.
Hubungan industrial tersebut harus diciptakan sedemikian rupa agar
aman, harmonis, serasi dan sejalan demi peningkatan kesejahteraan
semua pihak dalam perusahaan karena meningkatnya produktivitas.
Beberapa tujuan mengenai hubungan industrial yaitu menciptakan
ketenangan kerja dan ketenangan berusaha, Menciptakan iklim yang
kondusif bagi peningkatan produktivitas untuk pengembangan usaha
dan peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya, dan
Menciptakan iklim yang mendorong kemajuan usaha dan peningkatan
investasi dalam rangka pertumbuhan ekonomi nasional yang mampu
memperluas kesempatan kerja dan mengurangi pengangguran.
Hubungan Industrial (Industrial Relations) diartikan pula sebagai
kegiatan yang mendukung terciptanya hubungan harmonis antara pelaku
bisnis yaitu pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah, sehingga
tercapai ketenangan bekerja dan kelangsungan berusaha (Industrial
Peace). Oleh karena itu, hubungan industrial (industrial relation) tidak
hanya sekedar manajemen organisasi perusahaan, yang menempatkan
pekerja/buruh sebagai pihak yang selalu dapat diatur. Namun, hubungan
industrial meliputi fenomena baik didalam maupun di luar tempat kerja
yang berkaitan dengan penempatan dan pengaturan hubungan kerja.84
Menurut Subijanto hubungan industrial atau hubungan perburuan
pada hakikatnya merupakan hubungan antar pihak-pihak terkait dengan
kepentingan, yaitu antara pekerja/buruh dan pengusaha (majikan), serta

83
Adjat Daradjat Kartawijaya. (2018). “Hubungan Industrial”. Alfabeta: Bandung. hlm 2.
84
Luis Marmisah. (2019). “Hubungan Industrial Dan Kompensasi (Teori Dan Praktik)”.
Deepublish: Sleman. hlm 2.

39
organisasi buruh (serikat pekerja) dan organisasi pengusaha.
Berdasarkan uraian di atas, maka jika diperinci pada dasarnya hubungan
industrial (industrial relation) meliputi hal-hal:
1. Pembentukan perjanjian kerja/perjanjian kerja bersama yang
merupakan titik tolak adanya hubungan industrial (industrial
relation). Kewajiban pekerja/buruh melakukan pekerjaan pada atau
dibawah pimpinan pengusaha, yang sekaligus merupakan hak
pengusaha atas pekerjaan dari pekerja/buruh;
2. Kewajiban pekerja/buruh melakukan pekerjaan pada atau dibawah
pimpinan pengusaha, yang sekaligus merupakan hak pengusaha
atas pekerjaan dari pekerja/buruh;
3. Kewajiban pengusaha membayar upah kepada pekerja/buruh yang
sekaligus merupakan hak pekerja/buruh atas upah;
4. Berakhirnya hubungan industrial (industrial relation); dan
5. Caranya perselisihan antara pihak-pihak yang bersangkutan
diselesaikan dengan sebaik-baiknya.85
b. Teori Hubungan Kerja
Hubungan Kerja merupakan hubungan hukum dalam hal
pelaksanaan kerja antara tenaga kerja dengan pengusaha dalam
suatu perusahaan yang menaungi batasan perjanjian kerja dan
peraturan kerja yang telah disetujui oleh kedua belah pihak baik
pekerja maupun perusahaan. Dengan begitu, maka baik pekerja
maupun pengusaha yang bersangkutan saling mengikatkan diri oleh
isi perjanjian tersebut dan masing-masing telah mendapatkan hak,
dimana perusahaan berhak memerintah dengan memberi pekerjaan
kepada pekerja tanpa melewati batas batas yang sudah tercantum
pada perjanjian kerja, dan pekerja juga berhak menerima gaji dan
tunjangan dan jaminan lain yang diberikan pengusaha tanpa
melewati batasan perjanjian kerja yang sudah ditentukan.

85
Ibid. hlm. 3

40
Menurut Hartono Wisoso dan Judiantoro, hubungan kerja adalah
kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa seseorang secara teratur
demi kepentingan orang lain yang memerintahnya
(pengusaha/majikan) sesuai dengan perjanjian kerja yang telah
disepakati.86 Tjepi F. Aloewir, mengemukakan bahwa pengertian
hubungan kerja adalah hubungan yang terjalin antara pengusaha dan
pekerja yang timbul dari perjanjian yang diadakan untuk jangka
waktu tertentu maupun tidak tertentu.87
Hubungan kerja adalah hubungan hukum antara pengusaha
dengan pekerja berdasarkan keterikatan pada suatu perjanjian kerja.
Dengan demikian, Perjanjian melahirkan perikatan yang merupakan
hubungan kerja. Yang berarti dengan adanya perjanjian atau
persetujuan, kedua belah pihak dinyatakan bersedia untuk
berhubungan atau saling terkait yang dimana pada hubungan kerja,
pihak yang terkait adalah pekerja dengan perusahaan.
Terdapat enam unsur/komponen yang harus dipenuhi secara
mutlak untuk dapat dikatakan sebuah hubungan kerja, dimana
apabila salah satu diantaranya tidak dipenuhi maka bukan hubungan
kerja. Keenam unsur/komponen tersebut adalah adanya pengusaha
sebagai pemberi kerja, pekerja yang melaksanakan pekerjaan,
perjanjian kerja, pekerjaan yang harus dikerjakan, perintah sebagai
hak dari pemberi kerja, upah sebagai imbalan jasa bagi pekerja. 88
Dengan begitu, apabila keenam komponen tersebut terpenuhi maka
hubungan antara pemberi kerja dengan pekerja dapat terjalin dengan
baik.
Keenam unsur atau komponen hubungan kerja di atas yang
bersifat mendasar dan mutlak (absolut), proses dan bentuk

86
Hartono Judiantoro. (1992). “Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan”. Rajawali
Pers: Jakarta. hlm. 10.
87
Tjepi F. Aloewic. (1996). “Naskah Akademis Tentang Pemutusan Hubungan Kerja dan
Penyelesaian Perselisihan Industrial”. BPHN: Jakarta. hlm. 32.
88
Adjat Daradjat Kartawijaya. Op.Cit. hlm 51.

41
hubungan industrial juga dipengaruhi oleh faktor-faktor atau variabel
yang bersifat relatif, tetapi dengan tingkat pengaruh yang signifikan.
Hal tersebut adalah sistem tata nilai yang dipilih oleh organisasi
perusahaan yang membentuk iklim organisasi, serta sarana-sarana
hubungan industrial yang dimiliki perusahaan yang terdiri dari:
Serikat Pekerja, Organisasi Pengusaha, Lembaga Kerja Sama Bipartit,
Lembaga Kerja Sama Tripartit, Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja
Bersama, Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan, serta
Peradilan Penyelesaian Hubungan Industrial, yang masing-masing
merupakan alat (tool) untuk memudahkan dan melancarkan proses
dan tujuan hubungan industrial, yaitu hubungan industrial yang
harmonis untuk tercapainya pertumbuhan dan pengembangan
perusahaan, serta meningkatnya kesejahteraan pekerja.89
Pekerja/buruh merupakan mitra kerja pengusaha yang sangat
penting dalam proses produksi dalam rangka meningkatkan
kesejateraan pekerja/buruh dan keluarganya, menjamin
kelangsungan perusahaan, dan mengingkatkan kesejahteraan
masyarakat Indonesia pada umumnya. Sehubungan dengan hal itu
serikat pekerja/serikat buruh merupakan sarana untuk
memperjuangkan kepentingan pekerja/buruh dan menciptakan
hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan. Oleh
karena itu pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh harus
memiliki rasa tanggung jawab atas kelangsungan perusahaan dan
sebaliknya pengusaha harus memperlakukan pekerja/buruh sebagai
mitra sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.90
10. Teori Sumber Daya Manusia
Sonny Sumarsono berpendapat bahwa Sumber Daya Manusia
(SDM) memiliki dua arti yang berbeda diantaranya adalah: (1) SDM

89
Ibid. hlm 53-54.
90
Koko Kosidin. (1999). “Perjanjian kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan”.
Mandar Maju: Bandung. hlm. 4.

42
merupakan suatu usaha kerja atau jasa yang memang diberikan dengan
tujuan dalam melakukan proses produksi. Dengan kata lain Sumber Daya
Manusia adalah kualitas usaha yang dilakukan seseorang dalam jangka
waktu tertentu guna menghasilkan jasa atau barang; (2) Masih terkait
dengan hal yang pertama, pengertian SDM yang kedua adalah dimana
manusia mampu bekerja menghasilkan sebuah jasa atau barang dari
usaha kerjanya tersebut. Mampu bekerja berarti mampu melakukan
beragam kegiatan yang memiliki nilai ekonomis atau dengan kata lain
adalah kegiatan tersebut bisa menghasilkan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan hidup. 91
Setiap oganisasi atau perusahaan memerlukan sumber daya untuk
mencapai tujuannya. Sumber daya merupakan sumber energi, tenaga,
kekuatan (power) yang diperlukan untuk menciptakan daya, gerakan,
aktivitas, kegiatan, dan tindakan. Sumber daya tersebut antara lain
terdiri atas sumber daya alam, sumber daya finansial, sumber daya
manusia, sumber daya ilmu pengetahuan, dan sumber daya teknologi.
Diantara sumber tersebut, sumber daya yang terpenting adalah sumber
daya manusia (SDM – human resources). SDM merupakan sumber daya
yang digunakan untuk menggerakan dan menyinergikan sumber daya
lainnya untuk mencapai tujuan organisasi. Tanpa SDM, sumber daya
lainnya menganggur (idle) dan kurang bermanfaat dalam mencapai
tujuan organisasi.92
M. T. E. Hariandja berpendapat bahwa Sumber Daya Manusia
adalah salah satu faktor yang paling utama pada suatu perusahaan
dilihat dari faktor-faktor lainnya selain modal usaha. Oleh karenanya,
SDM sangat diperlukan untuk dikelola dengan baik agar efektivitas dan
efisiensi perusahaan semakin meningkat.93

91
Sonny Sumarsono.Op.Cit.
92
Wirawan. (2012). “Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia”. Salemba Empat: Jakarta. hlm. 1.
93
Mariot Tua Efendi Hariandja. (2002). “Manajemen Sumber Daya Manusia”. PT Grasindo:
Jakarta. hlm. 2

43
Menurut Hasibuan, Sumber Daya Manusia memiliki arti keahlian
terpadu yang berasal dari daya pikir serta daya fisik yang dimiliki oleh
setiap orang. Yang melakukan serta sifatnya dilakukan masih memiliki
hubungan yang erat seperti keturunan dan lingkungannya, sedangkan
untuk prestasi kerjanya dimotivasi oleh sebuah keinginan dalam
memenuhi keinginannya. SDM meliputi daya pikir serta daya fisik pada
setiap individu. Lebih jelasnya SDM merupakan suatu kemampuan pada
setiap manusia yang ditentukan oleh daya pikir serta daya fisiknya. SDM
atau manusia menjadi unsur yang sangat penting dalam berbagai
kegiatan yang dilakukan. Meskipun peralatan yang ada cukup canggih,
tanpa adanya SDM berkualitas hal tersebut tidak akan berarti apa-apa.
Sebab Daya Pikir merupakan modal dasar yang dibawa sejak lahir
sedangkan keahlian dapat diperoleh dari usaha (belajar dan pelatihan).
Kecerdasan seseorang dapat diukur dari tingkat Intellegence Quotient
94
(IQ) dan Emotional Quality (EQ). CIPD (The Chartered Institute of
Personnel and Development) menjelaskan bahwa Sumber Daya Manusia
adalah suatu strategi perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan yang
bertujuan dalam mengelola manusia (karyawan) agar memiliki kinerja
usaha yang maksimal termasuk pada kebijakan pengembangan serta
proses untuk mendukung strategi.95
Mathis dan Jackson memiliki pandangannya terkait sumber daya
manusia. Mereka menjelaskan bahwa SDM merupakan suatu rancangan
dari berbagai sistem formal pada sebuah organisasi dengan tujuan
memastikan penggunaan keahlian manusia secara efektif serta efisien
untuk mencapai tujuan organisasi/perusahaan sesuai dengan
keinginan.96

94
Hasibuan. (2003). “Organisasi dan Motivasi Dasar Peningkatan Produktivitas”. Bumi Aksara:
Jakarta. hlm. 244.
95
LinovHR. (2022). “7 Pengertian Sumber Daya Manusia Menurut Para Ahli”.
(https://www.linovhr.com/sumber-daya-manusia-menurut-para-ahli/). diakses pada 1 Mei 2022
pukul 08.36.
96
Mathis, R.L. & J.H. Jackson. (2006). “Human Resources Management: Manajemen Sumber
Daya Manusia”. Terjemahan Dian Angelia. Salemba Empat: Jakarta. hlm. 3.

44
Perencanaan Sumber Daya Manusia (SDM) adalah proses/langkah
yang akan dilakukan terhadap SDM dalam organisasi (baik pada
perusahaan ataupun pada lembaga pendidikan), yaitu berupa
pengadaan SDM (personel/personalian kepegawaian) yang tepat, dalam
waktu yang tepat, sebagai upaya dalam mencapai tujuan yang telah
97
ditetapkan. Perencana sumber daya manusia adalah proses dimana
para manajemen menjamin bahwa mereka memiliki jumlah dan jenis
orang yang tepat ditempat kerja yang pas, dan pada saat yang tepat
mampu menyelesaikan tugas-tugas yang akan menolong organisasi
tersebut mencapai sasaran-sasaran secara keseluruhannya secara efektif
dan efisien. secara sederhana proses ini dapat disingkat menjadi tiga
langkah, yaitu sebagai berikut: (a) Menilai sumber daya manusia yang
ada sekarang; (b) Menilai kebutuhan-kebutuhan sumber daya manusia
masa depan; (c) Mengembangkan suatu program untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sumber daya manusia masa depan.98
Tujuan adanya perencanaan Sumber Daya Manusia (SDM) adalah
sebagai berikut: (1) Untuk menentukan kualitas dan kuantitas karyawan
yang akan mengisi semua jabatan dalam perusahaan; (2) Untuk
menjamin tersedianya tenaga kerja masa kini maupun masa depan,
sehingga setiap pekerjaan ada yang mengerjakannya; (3) Untuk
menghindari terjadinya mismanajemen dan tumpang tindih dalam
pelaksanaan tugas; (4) Untuk mempermudah koordinasi, integrasi, dan
sinkronisasi (KIS) sehingga produktivitas kerja meningkat; (5) Untuk
menghindari kekurangan dan atau kelebihan karyawan; (6) Untuk
menjadi pedoman dalam menetapkan program penarikan, seleksi,
pengembangan, kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan,
kedisiplinan, dan pemberhentian karyawan; (7) Menjadi pedoman dalam

97
Ali Nurdin, dkk. (2006). “Manajemen Sumber Daya Manusia”. Faza Media: Jakarta. hlm. 27.
98
Iwan Purwanto. (2006). “Manajemen Strategi”. Cetakan pertama. Yrama Widya: Bandung.
hlm. 158.

45
melaksanakan mutasi (vertikal atau horizontal) dan pensiun karyawan;
(8) Menjadi dasar dalam melakukan penelitian karyawan.99
Sumber daya manusia merupakan satu-satunya sumber daya yang
memiliki akal perasaan, keinginan, keterampilan, pengetahuan,
dorongan, daya dan karya. Semua potensi sumber daya manusia
tersebut berpengaruh terhadap upaya organisasi/perusahaan dalam
mencapai tujuan. Betapapun majunya teknologi, perkembangan
informasi, tersedianya modal dan memadainya bahan, jika tanpa sumber
daya manusia sulit bagi organisasi untuk mencapai tujuannya. 100
11. Teori Upah
Teori tentang pembentukan harga (pricing) dan pendayagunaan
input (employment) disebut teori produktivitas marjinal (marginal
productivity theory), lazim juga disebut teori upah (wage theory).
Produktivitas marjinal tidak terpaku semata-mata pada sisi permintaan
(demand side) dari pasar tenaga kerja saja. Telah diketahui suatu
perusahaan kompetitif yang membeli tenaga kerja di suatu pasar yang
kompetitif sempurna akan mengerahkan atau menyerap tenaga kerja
sampai ke suatu titik dimana tingkat upah sama dengan nilai produk
marjinal. Jadi pada dasarnya, kurva VMP (Value Marginal Product)
merupakan kurva permintaan suatu perusahaan akan tenaga kerja.
Tingkat upah dan pemanfaatan input (employment) sama-sama
ditentukan oleh interaksi antara penawaran dan permintaan. Berbicara
mengenai teori produktivitas marjinal upah sama saja dengan berbicara
mengenai teori permintaan harga-harga, dan kita tak kan dapat berbicara
mengenai teori permintaan harga-harga tersebut karena sesungguhnya
harga itu tidak hanya ditentukan oleh permintaannya, tapi juga oleh

99
Malayu S.P. Hasibuan. (2002). “Manajemen Sumber Daya Manusia”. Bumi Aksara: Jakarta.
hlm. 250.
100
Edy Sutrisno. (2009). “Manajemen Sumber Daya Manusia”. Kencana: Jakarta. hlm. 1.

46
penawarannya.101 Teori-teori yang berkaitan dengan teori upah adalah
sebagai berikut:
a. Teori Upah Teladan
Teori upah teladan memperhatika kearifan lokal yang ditampilkan
dalam bentuk petatah-petitih dari nenek moyang Bangsa Indonesia,
seperti: (1) berat sama dipikul dan ringan sama dijinjingyang
maksudnya jika perusahaan merugi, pekerjapun ikut menanggung
kerugian tersebut dengan ikhlas upahnya dikurangi secara
proporsional; (2) orang yang tua (besar) sayang dengan yang muda,
dan yang muda hormat dengan yang tua; (3) kuah (gulai makanan)
tumpah di piring saudara, bukan tumpah dilantai. Maksudnya,
memberi lebih pada “saudara” tidak apa-apa meskipun terasa berat
tetapi tidak apa-apa sebab jatuhnya juga sama saudara.102
Teori upah teladan dengan asas kekeluargaan merupakan satu
keluarga atau satu kesatuan yang utuh dalam perusahaan. Pihak
pekerja tidak dipisahkan dengan pihak pengusaha, dalam arti
berhadap-hadapan antara yang berkuasa dengan yang dikuasai.
Kemudian, jika ada permasalahan antara kedua belah pihak,
penyelesaian masalah dilakukan secara musyawarah dan mufakat
dengan tidak mengutamakan penyelesaian sesuatu dengan pola
“tawar-menawar” (bargaining position) yang akan menimbulkan pihak
yang menang dan pihak yang kalah. Filosofi kearifan lokal sebagai
dasar asas kekeluargaan berperan penting dalam menciptakan
hubungan yang harmonis.103

b. Teori Upah Hedonik

101
Maimun Sholeh. (2007). “Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja Serta Upah: Teori Serta
Beberapa Potretnya di Indonesia”. Jurnal Ekonomi dan Pendidikan Vol. 4 No. 1. hlm. 68-69.
102
Zulkarnain Ibrahim. (2013). ”Hukum Pengupahan yang Berkeadilan Substantif (Kajian
Teoritis Terhadap Teori Upah Teladan)”. MMH Jilid 42 No. 2. hlm. 297.
103
Ibid.

47
Merujuk pada tujuan untuk memperoleh implikasi dasar, teori
upah Hedonik telah digunakan untuk mempelajari hubungan antara
pekerja yang terancam dengan upah. Selanjutnya, persamaan
pendapatan log parsial Mincerian didasarkan pada tradisi Model Laki-
laki Becker telah digunakan untuk proses penganggaran. Berdasarkan
teori upah Hedonik, individu mendapatkan penghasilan bervariasi
karena terdapat perbedaan karakteristik pekerjaan. Seperti yang
dinyatakan oleh Adam Smith, upah antara karyawan berbeda karena
lima faktor properti sesuatu bekerja. Kualitas-kualitas itu adalah
kemauan atau penerimaan pekerjaan, level sulitnya suatu pekerjaan,
kelangsungan suatu pekerjaan, tanggung jawab karyawan dalam suatu
pekerjaan dan prospek karir masa depan. Dalam aspek kesiapan
terhadap pekerjaan, Adam Smith menguraikan tiga faktor yang
menyebabkan upah setiap individu berbeda. Faktor-faktor ini adalah
hal-hal yang aman dari bahaya pekerjaan, tingkat kesulitan pekerjaan
dan status pekerjaan dari sudut pandang masyarakat. Satu karyawan
harus dibayar upah yang lebih tinggi jika pekerjaan itu sulit, berat,
berbahaya, menjijikkan dan status yang rendah di mata masyarakat.
Pembayaran Upah yang tinggi ini adalah kompensasi untuk
menarik karyawan untuk mengisi lowongan internal pekerjaan yang
dimaksud. Ini adalah dasar dari terjadinya perbedaan upah antar
pekerjaan. Dengan cara secara rasional, karyawan hanya tertarik untuk
bekerja dalam pekerjaan yang menyenangkan atau disebut sebagai
'Hedonisme'. Hubungan antara ciri-ciri tidak menyenangkan bekerja
dengan upah menghasilkan teori atau model upah Hedonis.
Teori upah hedonis memberikan karakteristik pekerjaan yang tidak
menyenangkan diterjemahkan menjadi bentuk 'risiko pekerjaan'.
Risiko ini juga berbeda sesuai dengan pekerjaan masing-masing.
Fenomena ini dapat dikaitkan dalam penentuan karyawan yang
terancam. Asumsi utama dari teori ini adalah bahwa setiap karyawan

48
memiliki kecenderungan pilihan individu untuk mengambil risiko atau
menjadi pekerja yang terancam. Setiap risiko meningkat akan diikuti
oleh kenaikan upah untuk menarik minat karyawan mengisi lowongan
pekerjaan yang tidak seru. Hubungan yang sama dapat dilihat ketika
majikan memilih seorang karyawan. Seperti yang diketahui umumnya,
biaya majikan akan meningkat setiap kali risiko lapangan kerja
berkurang. Mengingat tujuan majikan adalah untuk memaksimalkan
keuntungan, meningkatkan biaya produksi pemberi kerja hanya dapat
diimbangi melalui pengurangan upah. Implikasinya, pekerja dilibatkan
dalam pekerjaan yang berisiko atau memiliki gelar kesulitan pekerjaan
yang tinggi harus dibayar dengan gaji yang lebih tinggi. Dengan
memperhatikan aspek karyawan dan pengusaha, hipotesis penelitian
ini menyatakan bahwa karyawan yang terancam harus menerima
hadiah atau upah yang lebih tinggi sebagai kompensasi.104

B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma


Paul Scholten berpendapat bahwa suatu asas bukan norma hukum, yang
sudah dapat dipakai langsung dalam praktek. Suatu asas belum masak, belum
siap, belum matang untuk langsung dipakai dalam praktek. Menurut Mahadi,
agar asas dapat dipraktikan maka isinya harus diberi bentuk yang lebih
konkrit.105 Asas dalam kajian ini berkaitan dengan ketenagakerjaan. Asas dan
prinsip yang digunakan dalam kajian ini terbagi menjadi enam pembagian,
yaitu:
1. Asas-Asas dalam Pembentukan suatu Peraturan Perundang-Undangan
Asas-asas yang termasuk dalam pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan yakni sebagai berikut:

104
Hazrul Shahiri. (2017). “Pulangan Monetari Pekerja Terancam di Malaysia Berdasarkan
Teori Upah Hedonik”. Jurnal Ekonomi Malaysia 51(1). hlm. 72-73.
105
Johan Jasin. (2019). “Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia di Era Otonomi Daerah”.
Deepublish: Sleman. hlm. 15.

49
a. Asas Kejelasan Tujuan, dalam asas ini menjelaskan bahwa setiap
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus mempunyai
tujuan yang jelas, serta kehendak yang akan dicapai;
b. Asas Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang Tepat, dalam asas ini
menjelaskan bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangn harus
dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang. Peraturan
perundang-undangan dapat dibatalkan demi hukum jika dibuat oleh
lembaga yang tidak berwenang;
c. Asas Kesesuain antara Jenis, hierarki, dan materi muatan, dalam asas
ini menjelaskan bahwa dalam pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan perlu memperhatikan materi muatan yang tepat
dan sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan;
d. Asas Dapat Dilaksanakan, dalam asas ini menjelaskan bahwa setiap
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus
mempertimbangkan efektivitas peraturan perundang-undangan
tersebut di masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun
yuridis;
e. Asas Kedayagunaan dan kehasilgunaan, dalam asas ini menjelaskan
bahwa setiap pembentukan suatu peraturan perundang-undangan
dibuat serta digunakan karena benar-benar dibutuhkan serta
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara;
f. Asas Kejelasan Rumusan, dalam asas ini menjelaskan bahwa setiap
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus memenuhi
teknis penyusunan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa
hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai interpretasi dalam pelaksanaanya;
g. Asas Keterbukaan, dalam asas ini bahwa pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan, atau penetapan, hingga pengundangan

50
harus bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh
lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam pembentukannya.
2. Asas/Prinsip dalam Peraturan Perubahan Terkait Undang-Undang Cipta
Kerja
Asas/prinsip yang termasuk dalam perubahan terkait Undang-Undang
Cipta Kerja yakni sebagai berikut:
a. Prinsip Good Governance, prinsip ini diartikan sebagai mekanisme,
praktek dan tata cara pemerintahan dan warga mengatur sumber daya
serta memecahkan masalahmasalah publik. Dalam Konsep
Governance, pemerintah hanya menjadi salah satu aktor dan tidak
selalu menjadi aktor yang menentukan. Implikasi peran pemerintah
sebagai pembangunan maupun penyedia jasa layanan dan
infrastruktur akan bergeser menjadi bahan pendorong terciptanya
lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain di komunitas.
Governance menuntut redefinisi peran negara, dan itu berarti adanya
redefinisi pada peran warga. Adanya tuntutan yang lebih besar pada
warga, antara lain untuk memonitor akuntabilitas pemerintahan itu
sendiri.106
Dapat disimpulkan bahwa Good Governance merupakan suatu
penyelenggaraan manajemen pembangunan yang bertanggung jawab
dan sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien,
penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik
secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran
serta penciptaan legal and political frame work bagi tumbuhnya
aktifitas usaha.
b. Asas Keterpaduan, perlindungan dan pengelolaan tenaga kerja harus
sesuai dengan nilai moral dan aturan perundang-undangan yang
berlaku. Keterpaduan dilakukan dengan memadukan berbagai unsur

106
Sumarto Hetifa. (2003). “Inovasi, Partisipasi dan Good Governance”. Bandung: Yayasan
Obor Indonesia. Hlm. 1-2.

51
dan menyinergikan berbagai komponen yang terkait antara subjek
hukum yang dikaji dengan Undang-undang yang terkait.
c. Asas Kepastian Hukum, kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti,
ketentuan atau ketetapan. Hukum secara hakiki harus pasti dan adil.
Pasti sebagai pedoman kelakukan dan adil karena pedoman kelakuan
itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena
bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan
fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa
dijawab secara normatif, bukan sosiologi.107
Menurut asas ini, negara hukum yang mengutamakan landasan
ketentuan peraturan perundang undangan, kepatutan, keajegan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.
Kepastian hukum adalah suatu jaminan bahwa suatu hukum harus
dijalankan dengan cara yang baik atau tepat sasaran.
d. Asas Kemanfaatan, suatu undang-undang dibuat harus memperhatikan
asas manfaat. Asas Manfaat memiliki arti bahwa Undang-undang
tersebut memberikan atau membawa manfaat kepada orang banyak
dan pembentukannya tidak sia-sia. Asas ini juga dikenal dengan istilah
“greatest good for the greatest number of citizens” yang dicetuskan
oleh Jeremy Bentham.
e. Asas Keterbukaan, menurut asas ini, masyarakat berhak untuk
mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar, jujur, dan
tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap
memperhatikan golongan, dan rahasia negara. Setiap Informasi Publik
bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi
Publik. Informasi yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan
undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada
pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi
diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan

107
Dominikus Rato. (2010) “Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum”.
Laksbang Pressindo: Yogyakarta. hlm. 59.

52
saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi
kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.
f. Asas Kecermatan, asas kecermatan adalah sebuah bentuk tindakan
yang berdasarkan informasi dan dokumen secara menyeluruh untuk
mendukung legalitas penetapan dan pelaksanaan keputusan atau
tindakan sehingga keputusan atau tindakan yang bersangkutan
dipersiapkan dengan cermat sebelum keputusan atau tindakan
tersebut ditetapkan atau dilakukan. Asas kecermatan mengandung arti
bahwa suatu tindakan atau keputusan harus dibuat berdasarkan
informasi dan dokumen yang lengka demi terenuhinya legalitas
penetapan atau pelaksanaan keputusan sehingga tindakan dan
keputusan tersebut dapat dilaksanakan.
g. Prinsip National Treatment, menurut prinsip ini, apabila Indonesia
mengimpor produk dari suatu negara maka produk tersebut harus
diberlakukan sama seperti yang ada dari dalam negeri. Prinsip ini juga
berlaku terhadap semua pajak dan pungutan-pungutan yang ada.
Selain itu berlaku juga terhadap berbagai persyaratan dan aturan yang
mempengaruhi aktivitas perdagangan maupun penggunaan produk
didalam negeri. Prinsip ini juga memberikan perlindungan yang
setimpal dengan proteksionisme sebagai bentuk akibat upaya atau
kebijakan administratif atau legislatif.
h. Asas Perlindungan, menurut Soetjipto Rahardjo perlindungan hukum
adalah upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara
mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya dan salah satu sifat
sekaligus tujuan dari hukum itu sendiri adalah memberikan
perlindungan kepada masyarakat. Hal itu diwujudkan dalam bentuk
adanya kepastian hukum agar masyarakat dapat menikmati hak-hak
yang diberikan sebagai perlindungan hukum terhadap masyarakat.108
Asas perlindungan berguna untuk perlindungan hukum untuk
terwujudnya keadilan serta kepastian hukum melalui aturan-aturan
108
Satjipto Rahardjo. (2000). “Ilmu hukum”. Citra Aditya Bakti: Bandung. hlm. 53

53
hukum yang telah ditetapkan. Perlindungan hukum diberikan kepada
subyek hukum ke dalam bentuk perangkat baik yang bersifat preventif
maupun yang bersifat represif, baik yang lisan maupun yang tertulis.
i. Asas Akuntabilitas, pengertian akuntabilitas menurut Syahrudin Rasul
adalah kemampuan memberi jawaban kepada otoritas yang lebih
tinggi atas tindakan sekelompok orang terhadap masyarakat luas dalam
suatu organisasi.109 Asas akuntabilitas merupakan kewajiban untuk
memberikan pertanggungjawaban atau menerangkan kinerja dan
tindakan seseorang, badan hukum, atau pimpinan dari sebuah
organisasi kepada pihak yang mempunyai kewenangan dan hak untuk
meminta keterangan atau pertanggungjawaban.
j. Asas Keadilan atau Kewajaran, asas ini menghendaki setiap tindakan
badan atau pejabat administrasi negara selalu memperhatikan aspek
keadilan dan kewajaran dalam membentuk suatu aturan hukum. Asas
keadilan menuntut tindakan secara proporsional, sesuai, seimbang dan
selaras dengan hak setiap orang. Asas kewajaran menekankan agar
setiap aktivitas pemerintah memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di
tengah masyarakat, baik itu berkaitan dengan moral. Alam berbagai
literatur hukum banyak teori-teori yang berbicara mengenai keadilan.
Salah satu diantara teori keadilan itu adalah teori etis, menurut teori
ini hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh
keyakinan.
k. Prinsip Kebebasan Berserikat, menurut prinsip ini, kebebasan yang
mendasari prinsip kebebasan berserikat adalah kebebasan untuk
berkumpul dan berpendapat serta berekspresi, kebebasan untuk
mendirikan dan bergabung dalam organisasi atau kelompok, serta
kebebasan untuk menjalankan fungsi administrasi organisasi atau
kelompok, membuat aturan organisasi atau kelompok dan
menjalankan kegiatannya, di mana kebebasan-kebebasan tersebut

109
Rasul Syahrudin. (2002). ”Pengintegrasian Sistem Akuntabilitas Kinerja dan Anggaran”.
Detail Rekod: Jakarta.

54
tidak bersifat mutlak karena dibatasi oleh peraturan perundang-
undangan. Prinsip kebebasan berserikat berfungsi sebagai hak dasar
bagi pekerja untuk berorganisasi dan membentuk serikat pekerja
termasuk dalam lapangan hukum perburuhan. Peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai prinsip kebebasan berserikat
menjadi hukum dasar bagi para pekerja untuk membentuk suatu
organisasi pekerja atau biasa disebut Serikat Buruh.110

C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, Serta


Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat
Pembentukan Omnibus Law Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja mengatur salah satunya terkait ketenagakerjaan demi
kesejahteraan pekerja. Dalam pembentukan aturan pelaksana dari Undang-
Undang Cipta Kerja, yakni dengan membentuk Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Presiden. Dibentuk Tim Serap Aspirasi yang dilakukan guna
penjabaran peraturan pelaksana dari Undang-Undang Cipta Kerja yakni
melalui Portal resmi Undang-Undang Cipta Kerja (https://uu-ciptakerja.go.id/).
Sampai 31 Januari 2021, Tim Serap Aspirasi telah mengumpulkan 238 aspirasi
masyarakat yang terkait dengan 39 peraturan pelaksanaan Undang-Undang
Cipta Kerja dengan rincian poin sebanyak 2.585 poin. Kemudian, pembentukan
tim secara konkrit dengan beranggotakan tokoh, akademisi, dan praktisi sesuai
dengan keahlian serta kebutuhan, melakukan kegiatan serap aspirasi, serta
membentuk posko Cipta Kerja.111
1. Kajian Praktik Hari Libur dan Cuti
Praktik penyelenggaraan terkait implementasi Undang-Undang Cipta
Kerja terkait hari libur dan cuti ini dimulai semenjak undang-undang ini

110
Bahder Johan Nasution. (2004). “Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat bagi
Pekerja”. edisi 1. Penerbit Mandar Maju.
111
Kementerian Koordinatir Bidang Perekonomian Republik Indonesia. (2021). “Peraturan
Pelaksanaan UU Cipta Kerja, Ciptakan Era Baru Berusaha untuk Perluasan Lapangan Kerja”. dari
(https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/1668/peraturan-pelaksanaan-uu-cipta-kerja-ciptakan-
era-baru-berusaha-untuk-perluasan-lapangan-kerja). diakses pada tanggal 3 Mei 2022 pukul
20.38.

55
disahkan. Hal ini tentu harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh
pengusaha untuk menerapkan Undang-Undang Cipta Kerja yang mengatur
perihal keterkaitan dengan ketenagakerjaan. Perusahaan harus mengambil
langkah bijak dalam menyikapi pemberlakuan ketentuan baru tersebut.
Hari libur dan cuti sebagai salah satu bagian dari hak para pekerja yang
secara mutlak harus didapatkan oleh setiap pekerja. Apabila merujuk pada
tugas dan tanggung jawab pemerintah yang hendak mewujudkan dirinya
sebagai pendorong dan pemberdaya tenaga kerja masih belum dapat
dikatakan terwujud ketika disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja yang
cenderung mengabaikan hak-hak dari tenaga kerja. Undang-Undang Cipta
Kerja berada posisi yang sangat rentan apabila dihadapkan dengan masalah
eksploitasi serta diskriminasi dalam lingkungan kerja. Seperti halnya hak
tenaga kerja wanita dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, misalnya
merasa aman saat hamil. Oleh karena itu, para pekerja khususnya
perempuan menjadi kehilangan akses terhadap hak cuti haid, hak cuti
melahirkan, hak cuti keguguran ataupun kesempatan untuk menyusui di
tempat kerja yang mana hal ini tidak dianggap produktif oleh pengusaha.112
Hari libur dalam aturan Undang-Undang Cipta Kerja hanya memberikan
1 (satu) hari libur selama seminggu, dan juga pengaturan terkait cuti
tahunan diberikan waktu paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja melakukan pekerjaannya selama 12 bulan berturut-turut. Hal ini
bertentangan dengan asas perlindungan dan asas kebermanfaatan yang
berupaya melindungi serta memberikan manfaat kesejahteraan bagi tenaga
kerja. Tentunya hal ini mempengaruhi tingkat produktivitas dari pekerja.
Produktivitas pekerja merupakan salah satu indikator untuk mengatur
tingkat efisiensi. Sebab, pencapaian target serta prestasi manajemen sangat
tergantung pada produktivitas pekerja, dalam hal ini produktivitas Sumber
Daya Manusia (SDM).113

112
Otti Ilham Khair. (2021). “Analisis Undang-Undang Cipta Kerja Terhadap Perlindungan
Tenaga Kerja di Indonesia”. Widya Pranata Hukum Vol. 3 No. 2. hlm. 53.
113
Disnaker. (2019). “Produktivitas Tenaga Kerja”. dari
(https://disnaker.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/produktivitas-tenaga-kerja-42).

56
2. Kajian Praktik Tenaga Kerja Asing (TKA)
Indonesia sebagai salah satu negara yang mengikatkan diri sebagai
anggota dari World Trade Organization (WTO) dengan melakukan ratifikasi
terhadap The Agreement of World Trade Organization Establishment dan
yang secara resmi menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994.
Sebagai salah satu anggota dari WTO, maka Indonesia harus menjalankan
kewajibannya sebagai anggota WTO untuk membuka akses pasar negara
anggotanya, baik dalam perdagangan maupun jasa. Salah satu bentuk
perdagangan jasa yang cukup rentan dan menjadi potensial yakni dikenal
dengan Tenaga Kerja Asing (TKA).114
Perwujudan atas kewajiban pelaksanaan komitmen terhadap WTO,
maka semenjak saat itu TKA bisa masuk ke Indonesia. Menanggapi hal
tersebut, Indonesia membentuk peraturan terkait ketenagakerjaan yang
juga mengatur lalu lintas masuk dan keluarnya TKA di Indonesia. Hingga
pembaharuan pengaturan terkait ketenagakerjaan di perbaharui dalam
Undang-Undang Cipta Kerja. Namun, dalam pengaturan tersebut
memudahkan TKA untuk mendapat izin dengan mudah untuk masuk dan
bekerja di Indonesia. Hal tersebut bertentangan dengan kondisi masyarakat
saat ini, terkhususnya di masa pandemi COVID-19 ini.
Kedatangan TKA ke Indonesia disaat meningkatnya tingkat
pengangguran serta larangan untuk mudik akibat krisis yang diakibatkan
oleh pandemi COVID-19 sangat bertentangan dengan tujuan dari negara
Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Penggunaan TKA
yang tidak tepat waktu dan tepat sasaran dapat menimbulkan rasa
kesenjangan dan ketidaksesuaian dengan perwujudan kesejateraan rakyat.
Pengaturan terkait penggunaan TKA lebih lanjut diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 34 Tahun 2021 Tentang Penggunaan
Tenaga Kerja Asing. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut mengatur lebih

diakses pada tanggal 26 April 2022 pukul 21.39.


114
Frankiano B. Randang. (2011). “Kesiapan Tenaga Kerja Indonesia dalam Menghadapi
Persaingan dengan Tenaga Kerja Asing”. Servanda Jurnal Ilmiah Hukum. hlm. 66.

57
lanjut terkait RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing), batasan
waktu penggunaan TKA beserta masa perpanjangannya, serta pengaturan
lainnya. Peraturan Pemerintah dalam tata urutan peraturan perundang-
undangan memiliki kedudukan yang lebih rendah dari Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tap MPR, dan Undang-
Undang/Perpu. Peraturan Pemerintah menjadi peraturan pelaksana dari
undang-undang, yang mana memiliki substansi terkait pengaturan
pelaksanaan dari undang-undang, yang memiliki daya atur yang lebih
rendah.115 Serta, apabila sebagian besar pengaturan dalam undang-undang
lebih banyak diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, akan bertolak
belakang dengan tujuan Omnibus Law sebagai undang-undang yang akan
memangkas regulasi, serta khawatir dasar pembuatan PP lebih mengarah
pada kebutuhan politik, daripada kesejahteraan bersama.
3. Kajian Praktik Outsourcing atau Alih Daya
Outsourcing atau alih daya merupakan suatu sistem kerja yang seiring
berjalannya waktu berkembang menyesuaikan dengan tingkat kebutuhan
pengusaha untuk melakukan hubungan kerja yang fleksibel, mudah untuk
melakukan perekrutan tenaga kerja serta mudah melakukan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK).116 Meskipun PHK tidak diizinkan, namun pada
dasarnya pekerja alih daya merupakan pekerja yang memiliki Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Dalam Undang-Undang Cipta Kerja pun tidak
mengatur pembatasan terkait jenis pekerjaan yang dikerjakan pekerja alih
daya, yang mana pada umumnya, pekerja alih daya hanya bekerja di bidang
pekerjaan penunjang saja. Tidak boleh mendapat bagian pekerjaan inti.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal
menyatakan bahwa kerap terjadi perbudakan modern di PT. Perusahaan
Listrik Negara (Persero) atau PLN kepada tenaga kerja alih daya. Banyak
pekerja yang lembur tidak dibayarkan, padahal tenaga kerja alih daya

115
Ni’matul Huda. (2006). “Kedudukan Peraturan Daerah dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan”. Jurnal Hukum Vol. 13 No. 1. hlm. 28.
116
Op.Cit .hlm. 5.

58
seringkali diutamakan apabila terjadi kerusakan listrik di suatu tempat.
Selain itu, karyawan alih daya juga diberi THR di bawah ketentuan menteri.
Dan terakhir, PLN memberi perintah kerja kepada tenaga kerja outsourcing
diluar kontrak dengan agen (vendor).117
Pemerintah belum melakukan tindakan terkait masalah tersebut
karena pengusaha/perusahaan merasa mereka masih sesuai jalur yang
telah ditetapkan Undang-Undang. Maka perlu ada aturan khusus untuk
tenaga kerja alih daya agar lebih dimanusiakan dengan penetapan
pembatasan pekerjaan tenaga kerja alih daya.
Pada masa yang akan datang, dikhawatirkan perusahaan lebih memilih
menggunakan jasa tenaga kerja alih daya daripada karyawan tetap.
Sehingga perusahaan dapat mempekerjakan karyawan outsourcing untuk
segala macam tugas, termasuk pekerjaan lapangan, pekerjaan lepas, dan
pekerja penuh waktu. Dengan begitu penggunaan tenaga kerja outsourcing
akan semakin bebas jika tidak ada regulasi yang mengaturnya dari
pemerintah, baik Undang-Undang Cipta Kerja maupun aturan lain
turunannya.
4. Kajian Praktik Upah Minimum
Upah sebagai bentuk apresiasi terhadap pekerjaan yang telah
dilakukan oleh pekerja. Selain itu, upah merupakan hak dari pekerja serta
upah sebagai tujuan utama bagi seseorang untuk melakukan suatu
pekerjaan di suatu perusahaan. Upah merupakan kewajiban yang harus
dibayarkan pada pekerja sesuai dengan jenis pekerjaan dan tingkat
kesulitan suatu pekerjaan.
Upah Minimum merupakan upah bulanan terendah yang telah
ditetapkan setiap tahunnya sebagai suatu jaring pengaman di suatu
wilayah. Upah minimum sebagai batas terendah nilai upah karena aturan

117
CNN Indonesia. (2021). “Buruh Bongkar Perilaku PLN Kepada Pegawai Outsourcing”. dari
(https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210610153033-85-652737/buruh-bongkar-perilaku-
pln-kepada-pegawai-outsourcing). diakses pada 27 April 2022 pukul 10.55.

59
melarang pengusaha untuk membayar upah pekerjanya kurang dari upah
minimum yang telah ditetapkan.118
Acuan dalam penetapan upah minimum dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Namun,
dalam Undang-Undang Cipta Kerja, acuan penetapan upah minimum
berdasarkan pada pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Menurut Presiden
Konferensi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban,
apabila persyaratan berdasarkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi
kenaikan upah minimum setiap tahunnya dapat memilih antara inflasi atau
pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, pekerja tidak mengetahui terkait hal
tersebut ataupun tidak tahu cara membaca neraca cash flow perusahaan.
Selain itu, formula perhitungan besaran upah minimum memiliki formula
yang cukup rumit.119
Keputusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan putusan nomor 91/PUU-
XVIII/2020 menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja mengalami cacat
secara formil. Perwakilan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia
(Perda KSPI) DKI Jakarta melakukan aksi pasca putusan Mahkamah
Konstitusi yang memutuskan Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan
inkonstitusional serta harus direvisi. Sehingga berdasarkan keputusan MK
ini, menuntut agar SK terkait penetapan UMP untuk dicabut serta
menyesuaikan UMP berdasarkan keberlakuan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003, diakibatkan Undang-Undang Cipta Kerja diberikan waktu revisi
selama 2 tahun agar bisa berlaku kembali.120
Kemudian, pada Jumat, 14 Januari 2022 yang lalu, ribuan buruh
melakukan aksi demo di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

118
Gajimu. “Pengertian dan mekanisme Penetapan Upah Minimum”. dari
(https://gajimu.com/pekerjaan-yanglayak/pengupahan/upah-minimum#apa-yang-dimaksud-
dengan-upah-minimum-). Diakses pada tanggal 27 April 2022 pukul 19.11.
119
Lidya Yuniartha. (2021). “KHL Tetap Relevan Untuk Dasar Penghitungan Upah Minimum”.
dari (https://newssetup.kontan.co.id/news/khl-tetap-relevan-untuk-dasar-penghitungan-upah-
minimum). diakses pada tanggal 1 Mei 2022 pukul 17.00.
120
Eko Ari Wibowo. (2021). “UU Cipta Kerja Inkosntitusional, KSPI Akan Demo Tuntut Revisi
Upah Minimum”. dari (https://nasional.tempo.co/read/1533200/uu-cipta-kerja-inkonstitusional-
kspi-akan-demo-tuntut-revisi-upah-minimum). diakses pada tanggal 27 April 2022 pukul 19.38.

60
Aksi tersebut dilakukan sebagai tanggapan serikat pekerja setelah DPR
berencana merevisi Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang
menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2022. Dalam
aksinya meminta para kepala daerah menaikan upah minimum provinsi
atau UMP di angka 5-7 persen. Ribuan buruh mendesak pemerintah
mengevaluasi kembali ketetapan gubernur yang hanya menaikan UMP
buruh relatif rendah.121
Tolok ukur penetapan upah minimum yang mengacu pada inflasi dan
pertumbuhan ekonomi, upah minimum kabupaten atau kota yang
mensyaratkan berdasarkan rekomendasi dari gubernur, serta penetapan
struktur dan skala upah hanya berdasarkan pada kemampuan perusahaan,
produktivitas serta jabatan dan golongan tertentu. Beberapa hal tersebut
tidak sesuai dengan Asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas
mendapat kehidupan yang layak. Sebab terdapat beberapa permasalahan
yang dinilai hanya menguntungkan di satu pihak saja.
5. Kajian Praktik Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) diatur dalam perundang-
undangan guna memberikan perlindungan bagi tenaga kerja dengan dasar
pertimbangan agar tidak terjadi pengangkatan tenaga kerja yang sifat
pekerjaannya secara terus-menerus atau merupakan pekerjaan
tetap/permanen suatu badan.122 Perlindungan tenaga kerja melalui PKWT
agar memberikan kepastian bagi tenaga kerja serta memberikan
keuntungan juga bagi perusahaan yang hanya membutuhkan pekerja yang
hanya bersifat sementara dengan jangka waktu tertentu.
Pengaturan mengenai PKWT sebenarnya sudah diatur dalam Undang-
Undang Ketenagakerjaan. Hanya saja, dalam Undang-Undang Cipta Kerja
terdapat materi muatan perubahan terkait pengaturan tentang PKWT.

121
Nyoman Ary Wahyudi. (2022). “Ribuan Buruh Demo Geruduk DPR Desak Setop Bahas UU
Cipta Kerja”. dari (https://ekonomi.bisnis.com/read/20220114/12/1489040/ribuan-buruh-demo-
geruduk-dpr-desak-setop-bahas-uu-cipta-kerja). diakses pada tanggal 27 April 2022 pukul 19.47
122
Falentino Tampongangoy. (2013). “Penerapan Sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu di
Indonesia”. Lex Privatum Vol. 1 No.1. hlm. 148.

61
Dalam Undang-Undang Cipta Kerja menghapus batas waktu maksimal dari
waktu tertentu dari suatu pekerjaan. Sebagai tindak lanjut dari
ketidakjelasan ketentuan waktu terkait PKWT, diterbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021. Dalam Peraturan Pemerintah ini
mengatur batasan waktu terkait PKWT, yakni selama 5 tahun, dengan
perpanjangan tidak lebih dari 5 tahun.
Ketidakjelasan penentuan waktu terkait batas waktu pekerja yang
berkaitan dengan PKWT ini dapat menimbulkan rasa ketidakpastian bagi
para pekerja. Selain itu, dengan tidak tegasnya batasan waktu yang tidak
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dapat menyebabkan
perusahaan lebih memilih merekrut pekerja dengan PKWT.
6. Kajian Praktik Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai bentuk pemutusan
perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan tempat penyelenggara
tempat bekerja. PHK menimbulkan hilangnya hak serta kewajiban bagi
pihak perusahaan maupun pekerja terhadap masing-masing tugas, pokok,
dan fungsinya. Masalah PHK menjadi permasalahan yang paling sensitif
dalam dunia ketenagakerjaan serta perlu mendapat perhatian yang serius
dari semua pihak.123
Pengaturan terkait PHK dalam Undang-Undang Cipta Kerja
memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk memberikan surat
pemecatan bagi tenaga kerja, tanpa melakukan perundingan sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Namun, dalam
Undang-Undang Cipta Kerja memberikan kesempatan tersebut bagi
perusahaan, dengan melakukan pemecatan tanpa didukung dengan alasan
yang jelas.
Perayaan Hari Buruh Sedunia pada tanggal 1 Mei 2021, massa buruh
dari berbagai konfederasi dan serikat menggelar aksi unjuk rasa di sejumlah
daerah. Salah satu tuntutan dalan unjuk rasa tersebut meminta pada

123
Sri Zulhartati. (2010). “Pengaruh Pemutusan Hubungan Kerja Terhadap Karyawan
Perusahaan”. Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora Vol. 1 No. 1. hlm. 77.

62
pemerintah untuk mencabut pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja.
Salah satu tuntutan dari aksi unjuk rasa tersebut dikarenakan dalam
pengaturan Undang-Undang Cipta Kerja rentan terjadinya PHK. 124 Tentunya
hal ini bertentangan dengan kepastian hukum, sebab tidak adanya
pengaturan dan regulasi yang jelas.

D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang Akan Diatur Dalam
Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya
Terhadap Aspek Beban Keuangan Negara
Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo
pada tanggal 2 November 2020 yang merangkum sekitar 79 undang-undang
dan 1.239 pasal menjadi 15 bab dan 174 pasal yang mencakup 11 klaster. 125
Salah satu klaster tersebut ialah klaster ketenagakerjaan. Keunggulan dari
disahkannya Undang-undang Cipta Kerja ialah mempermudah peningkatan
investasi di Indonesia. Selain itu juga diharapkan dengan adanya undang-
undang ini dapat memperluas lapangan kerja disertai dengan mudahnya
penerapan tenaga kerja.
Undang-undang Cipta Kerja digagas sebagai perubahan atas beberapa
undang-undang termasuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan. Namun, Undang-undang Cipta Kerja tidak sepenuhnya
memiliki dampak yang positif. Terdapat beberapa aturan yang diatur pada
Undang-undang Cipta Kerja khususnya klaster ketenagakerjaan yang dinilai
merugikan pihak buruh/pekerja. Walaupun begitu, pelaksanaan beberapa
program yang sudah diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja tetap berjalan.
Pemerintah dalam melaksanakan Undang-undang Cipta Kerja membuat
Peraturan Pemerintah untuk mengatur aturan lanjutan yang tidak diatur
124
Tsarina Maharani. (2021). “5 Poin UU Cipta Kerja yang Dinilai Rugikan Buruh”. dari
(https://nasional.kompas.com/read/2021/05/01/11505841/5-poin-uu-cipta-kerja-yang-dinilai-
rugikan-buruh?page=all). diakses pada tanggal 27 April 2022 pukul 21.33.
125
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2020). “UU Ciptaker Hadir Untuk Indonesia
Lebih Maju”. dari (https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/30590/t/U U+Ciptaker+Hadir+Unt
uk+Indonesia+lebih+Maju#:~:text=Anggota%20Badan%20Legislasi%20(Baleg)%20DPR%20RI
%20Guspardi%20Gaus%20mengatakan%20bahwa,akan%20dapat%20meningkatkan%20iklim
%20investasi). diakses pada tanggal 27 April 2022 pukul 20.13.

63
dalam Undang-undang. Namun, aturan yang dibuat pemerintah belum
maksimal dan/atau masih belum menutupi kekurangan dari UU Cipta Kerja.
Dalam pelaksanaan Undang-undang Cipta Kerja terdapat beberapa program
kerja. Diantaranya Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dan Kartu Prakerja. Hal
itu tentu saja berdampak pada keuangan negara secara luas.
Presiden Joko Widodo telah menerbitkan beberapa aturan terkait
Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bagi pekerja yang menjadi
korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). JKP menawarkan bantuan uang
tunai, informasi pasar lowongan kerja, dan pelatihan kerja. JKP diberikan
kepada buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Program ini
bertujuan untuk menjaga martabat kehidupan tenaga kerja yang kehilangan
pekerjaan.126 Pemerintah mendukung program ini secara materil dengan
memberi modal awal demi terlaksananya fungsi BPJS Ketenagakerjaan sebesar
Rp. 6.000.000.000.000,- (enam triliun rupiah) yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN).127
Besarnya anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah dilakukan untuk
kesejahteraan pekerja pasca diberhentikan oleh perusahaan. Menteri
Ketenegakerjaan berpendapat bahwa program JKP tidak membebani lagi iuran
kepada pekerja/buruh karena dana program JKP sudah sepenuhnya berasal
dari anggaran pemerintah.128 Dengan adanya bantuan ini juga tidak
mengugurkan kewajiban pengusaha/perusahaan untuk membayar biaya
pesangon yang di PHK.
Program selanjutnya adalah program kartu Prakerja. Program ini
merupakan pengembangan kompetensi kerja dan kewirausahaan berupa
bantuan biaya yang ditujukan untuk pencari kerja, pekerja yang terkena PHK,
126
BPJS Ketenagakerjaan. (2021). dari (https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/jaminan-
kehilangan-pekerjaan.html). diakses pada 28 April 2022. Pukul 11.00.
127
Toto Hari Saputra. (2021). “9 Aspek Keuangan Negara Dalam UU Cipta Kerja Terkait
Peningkatan Investasi”. dari (https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/9-aspek-
keuangan-negara-dalam-uu-cipta-kerja-terkait-peningkatan-investasi/). diakses pada 28 April
2022 pukul 12.15.
128
Vendy Yhulia Susanto. (2022). “Program JKP Tak Gugurkan Kewajiban Perusahaan Bayar
Pesangon Pekerja yang Kena PHK”. dari (https://nasional.kontan.co.id/news/program-jkp-tak-
gugurkan-kewajiban-perusahaan-bayar-pesangon-pekerja-yang-kena-phk). diakses pada 28 April
2022 pukul 12.15.

64
atau pekerja yang membutuhkan peningkatan kompetensi, termasuk pelaku
usaha mikro dan kecil. Untuk pelaksanaan Program Prakerja, Pemerintah telah
mengalokasikan dana dari APBN sebesar Rp. 21 Triliun, Per Oktober 2021.
Dana tersebut sudah disalurkan kepada 2.7 juta peserta sebesar Rp. 9
Triliun.129
Besarnya dana yang dikeluarkan APBN harus berbanding lurus dengan
program yang dijalankan, sehingga pengeluaran anggaran menjadi efektif dan
tepat sasaran. Meskipun Program JKP memiliki anggaran cukup besar, program
ini dibutuhkan oleh tenaga kerja pasca dikeluarkan oleh perusahaan.
Berdasarkan perubahan materi muatan dalam Undang-undang Cipta Kerja
pada Naskah Akademik ini, diperlukan lembaga baru yaitu Badan Pengawas
Nasional Tenaga Kerja Asing (BPN-TKA) yang merupakan badan turunan dari
Kementerian Ketenagakerjaan. Adapun tugas pokok dan fungsi dari BPN-TKA
adalah untuk mengawasi tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia. Dengan
didirikannya BPN-TKA akan berpengaruh terhadap implikasi beban keuangan
APBN di Indonesia.
Implikasi beban keuangan negara terhadap pembentukan BPN-TKA
diperkirakan meenggunakan anggaran negara sebesar Rp500 Miliar Rupiah.
Anggaran sebesar Rp500 Miliar Rupiah tersebut akan dianggarkan setiap
tahunnya demi terlaksananya sistem pengawasan terhadap penggunaan
tenaga kerja asing di Indonesia. Biaya tersebut dianggarkan untuk gaji
karyawan, biaya operasional, ATK (Alat Tulis Kerja), biaya tunjangan, serta
biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan kegiatan pengawasan tenaga kerja
asing.
Berdasarkan uraian diatas, dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-
Undang Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang
Cipta Kerja terkait ketenagakerjaan memberikan implikasi terhadap beban
keuangan negara dalam pembentukan Badan Pengawas Nasional Tenaga Kerja

129
Dany Saputra. (2021). “Kemenkeu: Realisasi Anggaran Kartu Prakerja 2021 Sudah Capai
Rp9,42 Triliun”. dari (https://ekonomi.bisnis.com/read/20211201/9/1472411/kemenkeu-realisasi-
anggaran-kartu-prakerja-2021-sudah-capai-rp942-triliun). diakses pada 28 April 2022.

65
Asing. Pembentukan badan tersebut memberikan pengaruh terhadap
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Terkait seluruh gagasan
perubahan dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja terkait
ketenagakerjaan tidak memberikan pengaruh pada beban keuangan negara
yang signifikan.

BAB III
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan

66
serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 130
Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia. Pandangan hidup
adalah kristalisasi dan institusionalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki, diyakini
kebenarannya, dan menimbulkan tekad untuk mewujudkannya.131 Sebagai
pandangan hidup, nilai-nilai Pancasila yang bersifat nasional dijadikan dasar
sebagai perwujudan dari aspirasi banga Indonesia (cita-cita hidup bangsa).
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, artinya nilai-nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan diyakini kebenarannya,
kebaikannya, keindahannya, dan kegunaannya oleh bangsa Indonesia yang
dijadikan sebagai pedoman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Terdapat konsepsi dasar mengenai kehidupan yang di cita-citakan,
dasar pemikiran, dan gagasan mengenai wujud kehidupan dalam Pancasila. 132
Pancasila memberikan arah tentang hukum harus menciptakan keadaan
negara yang lebih baik dengan berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Pancasila sebagai
pandangan hidup berarti nilai-nilai Pancasila melekat dalam kehidupan
masyarakat dan dijadikan norma dalam bersikap dan bertindak.
Sila kesatu Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang
menekankan pada nilai religius. Nilai religius adalah nilai yang berkaitan
dengan keterkaitan individu dengan sesuatu yang dianggapnya memiliki
kekuatan sakral, suci, agung, dan mulia. Memahami ketuhanan sebagai
pandangan hidup adalah mewujudkan masyarakat yang berketuhanan, yakni
membangun masyarakat Indonesia yang memiliki jiwa maupun semangat
untuk mencapai ridho Tuhan dalam setiap perbuatan baik yang
dilakukannya.133 Perilaku dan perbuatan pengusaha/perusahaan dan tenaga
130
Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
131
Arlanda Nissa Rahma, dkk. (2021). “Implementasi Pancasila Sebagai Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia Dalam Kehidupan Sehari-Hari”. Jurpis: Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial. Vol. 18 No.
1. hlm. 64.
132
Ibid.
133
Yohana.R.U.Sianturi & Dinie Anggraeni Dewi. (2021). “Penerapan Nilai Nilai Pancasila Dalam
Kehidupan Sehari Hari dan Sebagai Pendidikan Karakter”. Jurnal Kewarganegaraan. Vol. 5 No. 1.

67
kerja haruslah dilandasi dengan keimanan serta ketakwaan dan moral yang
baik. Dengan begitu tidak terjadi kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh
pengusaha/perusahaan terhadap tenaga kerja.
Sila kedua menjelaskan mengenai “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”.
Sila ini menekankan sikap kepada sesama manusia untuk berlaku adil tanpa
membedakan satu sama lain, dan mengakui persamaan derajat, serta
mengakui persamaan hak dan kewajiban antara sesama manusia. Dalam sila
ini, semua warga negara Indonesia memiliki hak yang setara dalam
pemenuhan kesejahteraan.134 Dalam hal ini, hak yang harus diperoleh oleh
tenaga kerja ialah hak mendapatkan perlakuan yang adil di dalam perusahaan
tanpa membeda-bedakan dengan tenaga kerja yang lain. Selain itu, tenaga
kerja juga memiliki kewajiban dalam melakukan pekerjaan yang baik dan
benar sesuai aturan yang diatur oleh perusahaan/pengusaha. Dengan begitu,
akan terciptanya harmonisasi yang berkesinambungan antara
perusahaan/pengusaha dengan tenaga kerja dalam membangun sinergitas
perusahaan.
Sila kelima Pancasila yang berbunyi “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia” memiliki arti bahwa keadilan sosial adalah sifat masyarakat yang
adil dan makmur, kebahagiaan buat semua orang, tidak ada penghisapan,
tidak ada penindasan, dan penghinaan, semuanya bahagia, cukup sandang
dan pangan.135 Nilai keadilan sosial adalah nilai yang menjunjung norma
berdasarkan ketidakberpihakkan, keseimbangan, serta pemerataan terhadap
136
suatu hal. Seluruh rakyat Indonesia berhak atas penghidupan yang layak,
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), dan segala hal yang
berkaitan dengan kesejahteraan warga negara tanpa terkecuali tenaga kerja
dan pengusaha. Pelaksanaan dari sila kelima Pancasila ini sangat penting
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam berbagai aspek. Keadilan
134
Jonathan Averino. (2020). “Implementasi Pancasila Sebagai Dasar Kehidupan Bersama di
Indonesia”. (https://binus.ac.id/character-building/pancasila/implementasi-pancasila-sebagai-
dasar-kehidupan-bersama-di-indonesia/). diakses pada 26 April 2022 pukul 19.05.
135
Billyman Laoli, dkk. (2019). “Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa”. Poltekes
Kemenkes Medan. Makalah Jurusan Keperawatan. hlm. 13.
136
Yohana.R.U.Sianturi & Dinie Anggraeni Dewi. Op. Cit. hlm. 224.

68
sosial harus dilaksanakan dengan sebenar-benarnya dalam menjalankan
pemenuhan hak tenaga kerja dan pengusaha. Tidak boleh ada penindasan,
penghinaan, atau apapun itu yang melanggar hak asasi manusia, sehingga
dapat tercipta keseimbangan dalam perusahaan antara pengusaha dengan
tenaga kerja.
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Alinea ke-4 tertulis dengan jelas tujuan terbentuknya negara Indonesia
yaitu, “...untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial...”. Berdasarkan tujuan tersebut, terkait dengan ketenagakerjaan,
Indonesia yang menganut paham negara kesejahteraan,137 berarti terdapat
tanggung jawab negara untuk mengembangkan kebijakan negara di berbagai
bidang kesejahteraan serta meningkatkan kualitas pelayanan umum (public
services) yang baik melalui penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan oleh
masyarakat. Dengan demikian, Indonesia sebagai negara yang demokrasi
harus mewujudkan tujuan tersebut termasuk memberikan perlindungan dan
jaminan kesejahteraan umum terhadap seluruh rakyat Indonesia khususnya
tenaga kerja dan pengusaha.
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya

137
Hafiz Habibur Rahman. (1971). Political Science and Government, Eighth Enlarged edition
(Dacca: Lutfor Rahman Jatia Mudran 109, Hrishikesh Das Road), hlm. 89. “… The Social Welfare
Theory of Rights: The advocate of the social welfare theory hold that rights are conditions of
social welfare. They are creations of society, and therefore law, cbustoms, traditions and the
natural rights “should all yield to what is socially useful or socially desireble.” The ultiratians,
Bentham and Mill are the real exponents of the social welfare theory of rights. They set up the
principle of the greatest happiness of the greatest number, and made it the criterion of utility. But,
utility, they believed should be determined by consideration of reason and experience. The social
welfare theory of rights has much to commend. But one cannot say what social welfare actually
means. Does it mean the greatest happiness of the greatest number to be common good? In fact,
much political wrong has been done, during recent time, to the individuality of man in the name
of social goods.”

69
menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan
masyarakat dan negara.138
Hari libur dan cuti tahunan merupakan hak dari setiap pekerja, yang harus
dipenuhi oleh setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja. Dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, hari libur dan cuti tahunan diatur
dalam Pasal 81 Angka 23 perubahan atas Pasal 79. Dalam Pasal 79 ayat (2)
huruf b, menjelaskan bahwa istirahat mingguan hanya selama 1 (satu) hari
selama 6 (enam) hari kerja. Dengan terdapatnya perubahan waktu libur yang
hanya berlangsung selama satu hari dalam seminggu, dapat mengurangi
waktu istirahat dari pekerja. Selain itu, kurangnya istirahat dari para pekerja
juga dapat menimbulkan berkurangnya produktivitas dan kinerja dari pekerja.
Berdasarkan Pasal 79 ayat (3), terdapat syarat untuk bisa memanfaatkan
cuti tahunan yang diberikan kesempatan minimal 12 hari. Syarat untuk bisa
memanfaatkan cuti tahunan tersebut yakni dengan bekerja selama 12 bulan
secara berturut-turut. Hal tersebut tentu bertentangan dengan hak setiap
buruh serta mengindikasikan pekerja sebagai budak. Pekerja memang harus
totalitas dalam melakukan pekerjaannya serta meningkatkan produktivitas
serta kinerjanya. Namun, tidak dengan syarat yang sedemikian rupa. Terutama
untuk pekerja wanita, yang mana seharusnya juga diatur terkait cuti hamil,
cuti melahirkan, cuti haid, cuti keguguran, serta kebutuhan cuti lainnya. Hal ini
bertentangan dengan asas perlindungan dan asas kebermanfaatan yang
berupaya melindungi serta memberikan manfaat kesejahteraan bagi tenaga
kerja.
Terkait Tenaga Kerja Asing, yang mana diatur dalam Pasal 81 Angka 4
perubahan atas Pasal 42 memberikan kemudahan perizinan masuk bagi TKA
hanya dengan menggunakan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja (RPTKA) yang
telah disahkan Pemerintah Pusat. Selain menggunakan RPTKA, perizinan
masuknya TKA ke Indonesia harus menggunakan Izin Mempekerjakan Tenaga
kerja Asing (IMTA). Selain itu, tidak adanya batasan yang diberikan terkait
besaran TKA yang masuk ke Indonesia.
138
Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Op.Cit.

70
Perumusan dan pengesahan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja ini
dilakukan pada saat pandemi COVID-19. Disaat banyaknya pekerja Indonesia
yang di PHK diakibatkan oleh perekonomian yang tidak stabil, serta larangan
untuk melakukan mudik disaat libur lebaran, Indonesia secara terbuka
memberi kebebasan masuk bagi TKA. Salah satu fenomena yang pernah
terjadi yakni masuknya TKA China yang datang pada saat lebaran tahun
2021.139 Pada tanggal 8 Mei 2021 sebanyak 157 TKA asal China tiba di
Indonesia menggunakan Pesawat Southern Airlines CZ387 dari Ghuangzou.
Masih pada masa pandemi COVID-19, rombongan TKA juga masuk ke
Indonesia melalui Bandara Cut Nyak Dien sebanyak pada pertengahan tahun
2020 sebanyak 500 orang.140
Penjelasan diatas menjadi permasalahan yang serius bagi Indonesia.
Banyaknya tenaga kerja Indonesia yang menganggur, berdasarkan data dari
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa sejak Agustus 2021 terdapat
9,1 juta orang. Walaupun jumlah tersebut menurun sebesar 670.000 per
Agustus tahun 2020 jumlah tersebut tetap tinggi. 141 Dengan dimudahkannya
TKA masuk ke Indonesia tanpa memprioritaskan penyelesaian permasalahan
pengangguran di Indonesia terlebih dahulu menunjukan belum terwujudnya
kesejahteraan rakyat, terkhususnya bagi tenaga kerja.
Outsourcing dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan alih daya, yang
merupakan pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada
suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa melakukan proses
administrasi dan manajemen berdasarkan definisi beserta kriteria yang telah
disepakati para pihak.142 Pengaturan terkait jenis pekerjaan yang dapat
dilakukan oleh pekerja alih daya tidak diatur dalam Undang-Undang Cipta
139
Athika Rahma. (2021). “TKA China Melenggang ke Indonesia Gara-Gara UU Cipta Kerja?”.
dari (https://www.liputan6.com/bisnis/read/4558867/tka-china-melenggang-ke-indonesia-gara-
gara-uu-cipta-kerja). diakses pada tanggal 28 April 2022 pukul 11.43.
140
Luthvi Febryka Nola. (2021). “Pengendalian Tenaga Kerja Asing Pada Masa Pandemi COVID-
19”. Puslit Vol. 13 No. 10. hlm. 1.
141
Yohana Artha Uly. (2021). “Jumlah Pengangguran di Indonesia Turun Jadi 9,1 Juta Orang”.
dari (https://money.kompas.com/read/2021/11/05/211102226/jumlah-pengangguran-di-
indonesia-turun-jadi-91-juta-orang?page=all#:~:text=JAKARTA%2C%20KOMPAS.com%20%2D
%20Badan,mencapai%209%2C77%20juta%20orang.). diakses pada tanggal 28 April 2022 pukul
12.11.

71
Kerja. Sedangkan, dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
mengatur terkait jenis pekerjaan yang dapat dapat dilakukan oleh pekerja alih
daya. Pekerjaan yang tidak boleh dilakukan oleh pekerja alih daya merupakan
pekerjaan yang berkaitan langsung dengan kegiatan pokok seperti proses
produksi, dan hanya boleh bekerja dalam bidang kegiatan penunjang.
Permasalahan yang terjadi sebagai bentuk implementasi dari penerapan
Undang-Undang Cipta Kerja terkait pekerjaan alih daya yakni Presiden
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menyatakan bahwa
kerap terjadi perbudakan modern di PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero)
atau PLN kepada tenaga kerja alih daya. Banyak pekerja yang lembur tidak
dibayarkan, padahal tenaga kerja alih daya seringkali diutamakan apabila
terjadi kerusakan listrik di suatu tempat. Selain itu, karyawan alih daya juga
diberi THR di bawah ketentuan menteri. Dan terakhir, PLN memberi perintah
kerja kepada tenaga kerja outsourcing diluar kontrak dengan agen (vendor).143
Berdasarkan pemaparan Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Pasal 66 Undang-Undang Cipta Kerja berpotensi untuk menjadikan
permanen sistem alih daya. Yang mana, dalam pasal tersebut tidak memberi
batasan yang jelas, sehingga berpotensi tenaga kerja alih daya dapat
diposisikan di bagian inti pekerjaan atau bisa juga diposisikan dalam pekerjaan
penunjang.144 Namun, apabila pekerja alih daya diposisikan dalam pekerjaan
bagian inti, berpotensi untuk merugikan pekerja alih daya, sebab pekerja alih
daya hanya mendapatkan upah dan tidak mendapatkan pesangon saat masa
kerjanya berakhir.
Upah Minimum merupakan penerimaan bulanan minimum (terendah)
sebagai bentuk imbalan pengusaha terhadap pekerjanya atas jasa yang telah
dilakukannya serta dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan

142
Bernat Panjaitan. (2016). “Outsourcing (Alih Daya) dan Pengelolaan Tenaga Kerja Pada
Perusahaan (Tinjauan Yuridis Terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan). Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 4 No. 1. hlm. 12.
143
Op.Cit.
144
Nurul Hayat. (2020). “Peneliti LIPI: Pasal 66 UU Cipta Kerja Melanggengkan Sistem Alih
Daya.” dari (https://www.antaranews.com/berita/1770021/peneliti-lipi-pasal-66-uu-cipta-kerja-
melanggengkan-sistem-alih-daya). diakses pada tanggal 20 April 2022 pukul 12.59.

72
atas dasar suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan serta
dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan
pekerjanya termasuk tunjangan, baik pekerja maupun keluarganya. 145 Upah
minimum berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 terbagi atas
Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), dan
Upah Minimum Sektoral. Penentuan UMP dalam Pasal 81 angka 25 perubahan
atas Pasal 88C ayat (1) menentukan penetapan UMP menjadi kewajiban
Gubernur.
Pasal 88C ayat (2) menjelaskan bahwa dalam penetapan UMK, gubernur
dapat menetapkan dengan syarat tertentu. Dengan dapatnya gubernur dalam
menetapkan UMK, melalui syarat tertentu, tidak memberikan kebebasan bagi
pemerintahan kabupaten/kota dalam menentukan UMK wilayahnya masing-
masing. Sebab, pemerintah kabupaten/kota lebih mengetahui potensi SDM
maupun SDA wilayahnya sendiri. Selain itu, acuan penetapan upah minimum
tidak lagi berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), melainkan berdasarkan
pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Yang mana, apabila acuan berdasarkan
inflasi dan pertumbuhan ekonomi, tidak memberikan kepastian dan besaran
upah tidak tetap serta tidak memperhatikan komponen kelayakan kehidupan
setiap buruh. Serta, Berdasarkan dalam Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang
Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 acuan struktur
dan skala upah hanya berdasarkan kemapuan perusahaan, produktivitas,
golongan serta jabatan.
Tahun 2021 lalu, ribuan buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak
kenaikan UMP 2022 yang telalu kecil. Demo yang dilakukan berlangsung
disejumlah kota, seperti Jakarta, Bandung, dan lainnya. Kenaikan UMP yang
dinilai kecil, yakni kenaikan sebesar 1,09% diakibatkan oleh kondisi ekonomi
dan inflasi yang rendah. Demo yang dilakukan terkait kenaikan UMP 2022 yang
rendah dilakukan oleh elemen Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
(KSPI). Besaran UMP 2021 di DKI Jakarta yakni sebesar Rp. 4.416.186,548.

145
Febrika Nurtiyas. Skripsi: “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Upah Minimum
Propinsi di Pulau Jawa Tahun 2010-2014.” (Yogyakarta: 2016).

73
Sedangkan dengan kenaikan yang hanya 1,09%, UMP DKI Jakarta tahun 2022
hanya naik menjadi Rp. 4.452.724.146 Hal ini menunjukan ketidakefektifan
pertumbuhan ekonomi dan inflasi sebagai acuan besaran upah minimum
sebab, tidak menunjang kebutuhan hidup layak bagi kesejahteraan buruh.
Perjanjian Kerja merupakan kesepakatan yang dilakukan antara
pengusaha dengan pekerja yang berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan.
Perjanjian kerja terbagi menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Perjanjian Kerja untuk waktu
tertentu, yaitu perjanjian kerja antar pekerja/buruh dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan
tertentu.147 Dalam Pasal 81 angka 15 perubahan atas Pasal 59 tidak
memberikan batasan waktu terkait jangka waktu bekerja pekerja PKWT.
Namun, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, beberapa waktu
setelah Undang-Undang Cipta Kerja disahkan, barulah diatur terkait batasan
waktu pekerja PKWT, yakni selama 5 tahu, dengan masa perpanjangan kerja
tidak lebih dari 5 tahun.
Jangka waktu yang cukup lama dalam PKWT berpotensi pekerja PKWT
tidak bisa diangkat sebagai karyawan tetap. Selain itu, tidak adanya kepastian
hukum bagi pekerja PKWT menjadikan hal tersebut bertentangan dengan asas
kepastian hukum. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar
demonstrasi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 12
April 2022. Adapun aturan yang disorot KSPI meliputi empat Peraturan
Pemerintah (PP) turunan yakni PP 34 tentang Tenaga Kerja Asing, PP 35
tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja hingga PHK, PP 36 tentang Pengupahan,
dan terakhir PP 37 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) KSPI Ramidi mengatakan terdapat banyak masalah
yang sudah berulang kali disinggung oleh KSPI, seperti perubahan pesangon,

146
Adi Wikanto. (2021). “Tolak Kenaikan UMP 2022, Buruh Akan Demo di Lokasi Ini”. dari
(https://regional.kontan.co.id/news/tolak-kenaikan-ump-2022-buruh-akan-demo-di-lokasi-ini?
page=all). diakses pada tanggal 1 Mei 2022 pukul 06.14.
147
Op.Cit.

74
jam kerja, ketentuan PKWT, hingga dihapusnya aturan Upah Minimum
Kabupaten Kota (UMK).148
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam Undang-Undang Cipta Kerja pun
menjadi permasalahan yang cukup serius. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja
menghapus aturan terkait kewajiban perundingan dalam hal pemutusan
hubungan kerja. Usaha perundingan yang dilakukan antara pengusaha dengan
serikat buruh/buruh untuk menghindari adanya pemutusan hubungan kerja
yang tidak beralasan. Sehingga tetap menjaga hak-hak setiap buruh dan
memberi kepastian.
Ratusan pekerja usaha jasa ekspedisi J&T Tangerang berunjuk rasa di
depan kantor perusahaan itu di Rukan TangCity, Kecamatan Cikokol, Kota
Tangerang. Para pekerja perusahaan jasa kurir tersebut menuntut perusahaan
membatalkan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak. Total pekerja yang di
PHK per tanggal 4 yakni sebanyak 350 pekerja. Para pendemo yang
mendatangi kantor perusahaan itu menyampaikan tuntutannya dengan orasi.
Mereka juga membentangkan spanduk berisi permasalahan yang mereka
alami. Selain persoalan PHK yang menakutkan ratusan pekerja, kebijakan
perusahaan terkait sistem kerja melibatkan pihak ketiga (vendor) merugikan
para kurir. Selain itu, para pekerja juga mempertanyakan hak pembayaran gaji
yang dinilai tidak sesuai. Selain itu, kebijakan perusahaan tidak berpihak
kepada pekerja dengan target para kurir diminta mengantarkan 300 paket
dalam sehari.149
Berdasarkan uraian landasan sosiologis diatas, perlu adanya perubahan
terkait substansi dan materi muatan dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Maka,
perlu adanya Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang

148
Dimas Choirul. (2021). “Demo di MK, KSPI: Cabut UU Cipta Kerja!”. dari
(https://nasional.okezone.com/read/2021/04/12/337/2393302/demo-di-mk-kspi-cabut-uu-cipta-
kerja). diakses pada tanggal 1 Mei 2022 pukul 07.27.
149
Kirom. (2021). “Tuntut Pembatalan PHK, Ratusan Pekerja Perusahaan Ekspedisi di
Tangerang Gelar Demo”. dari (https://www.merdeka.com/peristiwa/tuntut-pembatalan-phk-
ratusan-pekerja-perusahaan-ekspedisi-di-tangerang-gelar-demo.html). diakses pada tanggal 1
Mei 2022 pukul 09.24.

75
Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
Terkait Ketenagakerjaan.
C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan
substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan
Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain,
peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau
tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang
sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak
memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.150
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI)
Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa, “Setiap Warga Negara
Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”. Menjadi dasar bahwa seluruh warga negara Indonesia memiliki
hak yang sama baik atas pekerjaan dan penghidupan sesama manusia.
Kemudian dalam Pasal 28D ayat (2) juga menjelaskan bahwa, “Setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja”. Berdasarkan pasal tersebut setiap orang
termasuk tenaga kerja dan pengusaha berhak mendapatkan imbalan dan
perlakuan yang adil dalam bekerja.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,
dalam Pasal 1 Angka 1 yang menjelaskan bahwa hak asasi manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah,
150
Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.Op. Cit

76
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia. 151 Sama halnya dengan pekerja/buruh dan pengusaha yang memiliki
hak asasi manusia sejak lahir yang harus dilindungi dan dihormati oleh negara.
Dengan begitu diharapkan tidak terjadi ketimpangan maupun diskriminasi
antara pekerja/buruh dengan pengusaha dalam hubungan kerja. Yang
nantinya dengan saling menghormati hak masing-masing dapat saling
membantu dan melengkapi dalam mencapai tujuan bersama. Karena pada
dasarnya semua orang memiliki hak asasi manusia yang harus dilindungi.
Berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang
menyebutkan bahwa:
(1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan,
berhak atas pekerjaan yang layak;
(2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan
berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil;
(3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang
sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat
perjanjian kerja yang sama;
(4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang
sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil
sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan
keluarganya.
Pasal 38 tersebut menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak atas
pekerjaan yang layak. Setiap orang juga berhak dalam memilih pekerjaan yang
disukainya dengan syarat-syarat yang adil. Kemudian baik pria maupun wanita
dengan pekerjaan yang sebanding maka berhak mendapatkan upah yang sama
dan adil serta syarat perjanjian yang sama pula tanpa adanya perbedaan
sehingga dapat menjamin kehidupan setiap warga negara dan keluarganya.
Undang-Undang Ketenagakerjaan merupakan peraturan yang mengatur
berbagai hal terkait dengan ketenagakerjaan di Indonesia. Undang-undang
tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
151
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

77
Ketenagakerjaan yang mana memuat aturan sebagai berikut: (1) Landasan,
asas, dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan; (2) Perencanaan tenaga kerja
dan informasi ketenagakerjaan; (3) Pemberian kesempatan dan perlakuan
yang sama bagi tenaga kerja; (4) Pelatihan kerja; (5) Pelayanan penempatan
tenaga kerja; (6) Penggunaan tenaga kerja asing; (7) Pembinaan Hubungan
Industrial; (8) Pembinaan kelembagaan dan sarana hubungan industrial; (9)
Perlindungan bagi pekerja termasuk hak-hak dasarnya; dan (10) Pengawasan
ketenagakerjaan.152
Berdasarkan Pasal 4 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah memberikan perlindungan
kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan meningkatkan
kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Kesejahteraan pekerja
merupakan pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat
jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja yang
secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja
dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat. 153 Dengan tingkat kesejahteraan
yang memadai akan mendukung kinerja dan produktivitas dari pekerja itu
sendiri dan dengan kinerja yang bagus maka dapat mendukung dalam
mencapai tujuan perusahaan. Selain memberikan kesejahteraan, tenaga kerja
juga harus mendapatkan perlindungan dalam mencapai kesejahteraan
tersebut. Hak-hak dari tenaga kerja harus dilindungi termasuk keluarga tenaga
kerja. Oleh karena itu kesejahteraan tenaga kerja menjadi hal yang harus
diperhatikan karena merupakan bagian dari tujuan adanya undang-undang
ketenagakerjaan ini.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengamanatkan setiap
tenaga kerja harus memiliki kesempatan yang sama tanpa adanya diskriminasi
untuk memperoleh pekerjaan. Diskriminasi adalah suatu bentuk sikap dan
perilaku yang melanggar hak asasi manusia. Diskriminasi dapat juga diartikan

152
Daud Silalahi & Lawencon Associates. (2021). “UU Ketenagakerjaan: Sejarah &
Perkembangannya di Indonesia”. (https://www.dslalawfirm.com/id/sejarah-undang-undang-
ketenagakerjaan/#respond). diakses pada 30 April 2022 pukul 14.00.
153
Pasal 1 angka 31 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

78
sebagai perlakuan berbeda terhadap individu yang didasari dengan faktor
tertentu seperti ras, agama, gender. 154 Dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999, Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan,
atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan,
status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang
berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi,
155
hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Segala bentuk
diskriminasi tidak diperbolehkan dalam hal memperoleh kesempatan
pekerjaan bagi tenaga kerja. Semua tenaga kerja memiliki hak yang sama
dalam mendapatkan pekerjaan. Kemudian dalam Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 menjelaskan bahwa setiap pekerja/buruh berhak
memperoleh perlakuan yang sama tanpa adanya diskriminasi dari pengusaha.
Pengusaha tidak boleh membedakan perlakuan antara pekerja/buruh yang
satu dengan yang lain. Semua harus diperlakukan sama demi melindungi hak
dari semua pekerja/buruh.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja sebagai
undang-undang raksasa yang mencakup 11 klaster termasuk klaster
ketenagakerjaan merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 3 huruf b Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020, salah satu tujuan dari dibentuknya Undang-Undang
Cipta Kerja ialah untuk menjamin setiap warga negara memperoleh pekerjaan,
serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja. Setiap warga negara termasuk pekerja/buruh dijamin dalam
memperoleh pekerjaan sehingga diharapkan dengan adanya undang-undang
ini pekerja/buruh dapat dengan mudah memperoleh pekerjaan dengan

154
Linda Unsriana. (2014). “Diskriminasi Gender Dalam Novel Ginko Karya Junichi Watanabe”.
Jurnal Lingua Cultura Vol. 8 No. 1. hlm. 41.
155
Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Op. Cit.

79
lapangan-lapangan kerja yang diciptakan dari adanya undang-undang ini.
Selain itu pekerja/buruh mendapat imbalan dari pekerjaan yang telah
dilakukan yang diharapkan imbalan yang didapatkan akan sesuai dengan jenis
pekerjaan/ produktivitas dari pekerja/buruh tersebut. Sehingga diharapkan
dengan imbalan yang sesuai maka dapat meningkatkan kesejahteraan
pekerja/buruh dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja juga menjadi tujuan yang penting dalam
mendukung terciptanya kesejahteraan pekerja/buruh. Pekerja/buruh harus
diperlakukan adil agar tidak ada diskriminasi antar sesama pekerja/buruh,
seperti misalnya pembagian kerja yang sesuai dengan kemampuan dan
tanggung jawab, pembagian gaji/upah, diskriminasi gender, dan sarana
156
pengembangan kemampuan. Dengan begitu akan terciptanya hubungan
kerja yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan dalam perusahaan.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga negara pelaku
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan telah mengeluarkan putusan terkait perkara
pengujian formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
NRI 1945).157 Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-
XVIII/2020 dalam Bagian II halaman 19 angka 10 bahwa dalam melakukan
upaya pengujian formil suatu Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945
terdapat syarat yang harus dipenuhi. Syarat tersebut telah ditegaskan oleh
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 yang
menyatakan salah satu syaratnya adalah:
“Oleh karenanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional setiap
warga yang telah memberikan hak pilih dalam pemilihan umum, yang
menghasilkan terpilihnya wakil rakyat di DPR, dipandang terjadi ketika wakil
156
Gajimu.com. (2022). “Pertanyaan Mengenai Perlakuan Adil di Tempat Kerja”.
(https://gajimu.com/pekerjaan-yanglayak/perlakuan-adil-saat-bekerja/Adil%20di%20Tempat%20
Kerja). diakses pada tanggal 30 April 2022 pukul 20.44.
157
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. “Kedudukan dan Kewenangan”.
(https://www.mkri.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=3&menu=2). diakses pada 30 April 2022
pukul 21.23.

80
rakyat secara kelembagaan tidak melaksanakan tugas yang dipercayakan
secara fair, jujur, wajar dan bertanggung jawab. Tugas utama anggota DPR
adalah hadir di dalam rapat-rapat DPR untuk menyuarakan aspirasi
konstituennya serta mengambil keputusan dengan prosedur dan tata cara
yang fair dan jujur, sehingga Undang-Undang dan kebijakan lain yang
dibentuk, yang bukan merupakan hasil kerja yang fair, jujur, dan sungguh-
sungguh, yang harus mengikat warga negara secara keseluruhan termasuk
Pemohon a quo, pasti menimbulkan kerugian konstitusional bagi pemberi
mandat. Ukuran fairness, kejujuran, kesungguhan, dan kepercayaan tersebut
dijalankan secara bertanggung jawab, adalah kehadiran yang sungguh-
sungguh dalam rapat DPR sehingga tidak merupakan hambatan berkenaan
dengan kuorum yang tidak terpenuhi, karena ketidaksungguhan tersebut,
serta menaati prosedur dan tata cara pengambilan keputusan yang telah
ditentukan”.
Syarat-syarat tersebut telah dilanggar dalam proses pembentukan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Dalam Bagian II
halaman 21 angka 12 Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menjelaskan
bahwa dalam proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja secara nyata-
nyata dan terang benderang, serta telah diketahui publik, dalam membentuk
Undang-Undang Cipta Kerja, Pembentuk Undang-Undang menggunakan cara
yang menunjukkan tidak dilaksanakannya mandat wakil rakyat secara terbuka,
fair, jujur, dan bertanggung jawab. Bahkan selama proses pembentukan
Undang-Undang Cipta Kerja, pembentuk Undang-Undang melakukan
prosesnya secara tertutup, tidak fair, dan banyak melakukan kebohongan
publik. Terutama pasca disetujuinya Bersama RUU Cipta Kerja oleh DPR dan
Presiden pada tanggal 05 Oktober 2020. Hal ini harus menjadi perhatian
penting dalam membentuk suatu perundang-undangan.
Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, terdapat asas keterbukaan.
Maksudnya ialah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

81
mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. 158 Dengan
demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-
luasnya dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Secara tidak
langsung Undang-Undang Cipta Kerja telah melanggar asas keterbukaan yang
ada dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011. Jika asas keterbukaan tidak
diimplementasikan maka akan berimplikasi kurang terbangunnya kesadaran
masyarakat dalam menerapkan hukum. Dalam Putusan MK tersebut juga
menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan
pembentukan Undang-Undang berdasarkan UUD NRI 1945 dan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 (Cacat Formil/Cacat Prosedural).
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan
pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional dengan sejumlah
syarat yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan poin [3.19] dalam
pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan terdapat tiga
alasan mengapa proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja harus
dinyatakan cacat formil, yaitu (1) tata cara pembentukan Undang-Undang
Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan
standar, serta sistematika pembentukan undang-undang; (2) terjadinya
perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan Bersama DPR dan
Presiden; dan (3) bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Undang-Undang Cipta Kerja dalam pelaksanaannya menerbitkan
peraturan dibawahnya khususnya dalam bidang ketenagakerjaan yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga
Kerja Asing, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, Hubungan Kerja dan Waktu
Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 36
Tahun 2021 tentang Pengupahan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun

158
Penjelasan atas Asas Keterbukaan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

82
2021 tentang Penyelenggaraan Progam Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Peraturan-peraturan tersebut mengatur lebih lanjut mengenai substansi atau
penyelenggaraan yang di dalam Undang-Undang Cipta Kerja dianggap masih
belum dijelaskan secara komprehensif. Namun hadirnya PP tersebut
menimbulkan penolakan dari serikat buruh.159 Terkait dengan Pengupahan,
variable baru perhitungan upah tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Berdasarkan uraian di atas, maka secara yuridis diperlukan perubahan
atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja terkait
Ketenagakerjaan yang diharapkan dapat memberikan solusi dan penyelesaian
masalah terkait permasalahan di bidang ketenagakerjaan sehingga
terwujudnya kesejahteraan sosial terkhususnya bagi tenaga kerja di Indonesia.

BAB IV
ANALISIS (JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN)

A. Sasaran
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Terkait
Ketenagakerjaan bertujuan untuk memberikan usulan gagasan baru, serta
memberikan penyempurnaan beberapa pengaturan dalam Undang-Undang
Cipta Kerja demi tercapainya kesejahteraan sosial, terkhususnya
pekerja/buruh. Sebagaimana yang dimaksud dalam Alinea Ke-4 Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI

159
CNN Indonesia. (2021). “Serikat Buruh Bakal Demo Tolak Aturan Turunan UU Cipta Kerja”.
(https://www.google.com/amp/s/www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210225132028-92-
610770/serikat-buruh-bakal-demo-tolak-aturan-turunan-uu-cipta-kerja/amp). diakses pada
tanggal 30 April 2022 pukul 14.50.

83
Tahun 1945), bahwa salah satu tujuan dari Negara Indonesia yakni untuk
memajukan kesejahteraan umum. Maka, perlu diwujudkan melalui
pengaturan yang efektif serta merata sehingga seluruh pihak, baik pekerja,
pengusaha, maupun pemerintah mendapat kesejahteraannya.

B. Jangkauan dan Arah Pengaturan


Jangkauan dan arah pengaturan dalam Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja Terkait Ketenagakerjaan mencakup penyempurnaan dan
penambahan gagasan pengaturan terkait Hari libur dan cuti tahunan,
mengawasi serta membatasi kinerja TKA di Indonesia. Selain itu, mengubah
pengaturan terkait acuan besaran upah minimum serta struktur dan skala
upah. Kemudian, memperjelas bidang pekerja alih daya, memperjelas dan
mempertegas pengaturan terkait batas waktu PKWT, serta mengembalikan
gagasan terkait perundingan PHK antara serikat buruh/buruh dengan
pengusaha.
Perubahan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja akan menjangkau subjek
pengaturan antara lain serikat buruh/buruh, serikat pengusaha/pengusaha,
pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. Objek yang diatur dalam gagasan
perubahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yaitu:
1. Penambahan waktu libur serta penghapusan syarat terkait praktik cuti
tahunan sehingga tidak mengindikasikan perbudakan serta meningkatkan
produktivitas setiap pekerja dengan waktu libur dan cuti yang baik;
2. Pengembalian pengaturan terkait IMTA (Izin Menggunakan Tenaga Kerja
Asing), serta memberikan batasan penggunaan Tenaga Kerja Asing di
Indonesia (TKA) serta mengawasi kinerja TKA dengan membentuk Badan
Pengawas Nasional Tenaga Kerja Asing (BPN-TKA);
3. Mengubah acuan besaran upah minum, kembali berdasarkan KHL
(Kebutuhan Hidup Layak), mengembalikan struktur dan skalah upah sebagai
perhitungan upah bagi perusahaan, serta memberikan wewenang pada

84
Gubernur untuk memberikan batasan maksimal Upah Minimum
Kabupaten/Kota;
4. Penambahan gagasan terkait batas waktu pekerja PKWT menyesuaikan
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 Tentang Penggunaan
Tenaga Kerja Asing beserta perpanjangannya;
5. Penambahan substansi terkait penjelasan jenis/bidang pekerjaan bagi
pekerja alih daya; dan
6. Pengembalian pengaturan terkait perundingan pra Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) antara serikat buruh/buruh dan pengusaha sehingga
menghindari terjadinya PHK sepihak.

C. Ruang Lingkup dan Materi Muatan


1. Ketentuan Umum
Perubahan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja dalam ketentuan
umum terdapat penambahan ayat terkait pengertian Badan Pengawas
Tenaga Kerja Asing. Dalam ketentuan umum, ditambahkan istilah IMTA (Izin
Menggunakan Tenaga Kerja). Dalam ketentuan umum, Izin Menggunakan
Tenaga Kerja Asing, yang selanjutnya disebut IMTA adalah perizinan yang
diberikan oleh pemerintah guna mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di
Indonesia, yang telah lulus dalam perizinan pada tahap Rencana
Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Selanjutnya, Badan Pengawas
Nasional Tenaga Kerja Asing, yang selanjutnya disingkat BPN-TKA adalah
badan di bawah Kementerian Ketenagakerjaan yang berwenang mengawasi
Tenaga Kerja Asing selama bekerja di Indonesia.

2. Materi Muatan
a. Hari Libur dan Cuti Tahunan
Ketentuan Pasal 81 Angka 23 perubahan atas Pasal 79 ayat (2) huruf
b menjelaskan bahwa, “Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam)
hari kerja dalam 1 (satu) minggu” diubah. Perubahan mengatur waktu

85
istirahat mingguan menjadi 2 (hari) untuk waktu kerja selama 5 (lima)
hari.
Ketentuan Pasal 79 ayat (3) menjelaskan bahwa, “Cuti sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada
pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja
setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas)
bulan secara terus menerus” diubah. Terkait persyaratan cuti tahunan,
yakni ditunjukan dalam frasa “secara terus menerus” dihapuskan.
Kemudian,perubahan berupa penyisipan ayat diantara ayat (3) dan ayat
(4) yang membahas substansi terkait pengaturan cuti tahunan bagi
pekerja yang telah bekerja kurang dari 12 (dua belas bulan), sehingga
perubahan substansi beberapa ayat tersebut berpengaruh terhadap
ayat-ayat berikutnya.
b. Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA)
Ketentuan Pasal 81 Angka 4 perubahan atas Pasal 42 ayat (1)
menjelaskan bahwa, “Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga
kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang
disahkan oleh Pemerintah Pusat”. Selanjutnya, terdapat penambahan
ayat baru terkait tahapan perizinan bagi TKA yang akan masuk ke
Indonesia dengan menambahkan IMTA (Izin Menggunakan Tenaga Kerja
Asing).
Pasal 42 ayat (4) menjelaskan bahwa, “Tenaga kerja asing dapat
dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan
tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan
jabatan yang akan diduduki”. Penambahan pasal dengan melakukan
penyisipan diantara Pasal 42 dan Pasal 43, yakni Pasal 42A yang
mengatur terkait perubahan dengan melakukan penambahan ayat
dengan substansi terkait jumlah batasan penggunaan TKA di Indonesia,
dengan batas maksimal penggunaan TKA di Indonesia sebesar 15%

86
berdasarkan jumlah angkatan kerja setiap tahunnya di Indonesia serta
waktu kerja bagi tenaga kerja asing dan waktu perpanjangannya.
Penyisipan pasal 42B diantara Pasal 42A dan Pasal 43 dengan
substansi terkait Badan Pengawas Nasional Tenaga Kerja Asing (BPN-
TKA), terkait kewenangannya dalam mengawasi penggunaan TKA di
Indonesia dan mengatur mengenai keanggotaan badan tersebut yang
selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan Pasal 81 angka 5 dan 6 perubahan atas Pasal 43 dan 44
yang dihapus dilakukan perubahan, yakni dengan memunculkan kembali
pasal-pasal tersebut dengan menyisipkan Pasal 43A yang memuat
pertimbangan serta kedudukan dan tata cara pengesahan rencana
penggunaan tenaga kerja asing. Selanjutnya dilakukan penyisipan Pasal
44A diantara Pasal 43A dan Pasal 45 dengan mengatur bahwa pemberi
kerja wajib menaati peraturan mengenai jabatan dan standar
kompetensi yang selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
c. Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), serta Struktur dan Skalah
Upah
Pasal 81 Angka 25 perubahan atas Pasal 88C menjelaskan bahwa:
(1) Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi.
(2) Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/ kota
dengan syarat tertentu.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.
(4) Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (21 meliputi
pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada kabupaten/kota
yang bersangkutan.
(5) Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi.

87
(6) Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang
berwenang di bidang statistik.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan upah
minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan syarat tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.”
diubah sebagaimana yang dimaksud dalam lampiran draf rancangan
undang-undang, yaitu:
(1) Gubernur dapat menetapkan menetapkan upah minimum provinsi.
(2) Gubernur dapat menetapkan besaran batas maksimal upah
minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
(3) Penetapan besaran batas maksimal upah minimum kabupaten/kota
dengan melibatkan perserikatan buruh dan pengusaha.
(4) Besaran batas maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menetapkan besaran
upah minimum kabupaten/kota.
(5) Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak.
(6) Upah minimum kabupaten/kota harus lebih tinggi dari upah
minimum provinsi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan upah
minimum diatur dalam dalam Peraturan Pemerintah.
d. Batas Kerja bagi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Pasal 81 Angka 15 perubahan atas Pasal 59 ayat (1) menjelaskan
bahwa:
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

88
b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang
tidak terlalu lama;
c. pekerjaan yang bersifat musiman;
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru,
atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan; atau
e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.”
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu
Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan perubahan pada
Pasal 59 ayat (1) huruf b dengan ketentuan bahwa pekerjaan
diperkirakan selesai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. Selanjutnya
terdapat penambahan ayat (5) yang mengatur terkait perpanjangan
pekerjaan PKWT jika pekerjaan tersebut belum selesai dengan
ketentuan perpanjangan tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
e. Pembatasan Jenis Pekerjaan Alih daya
Pasal 81 Angka 20 perubahan atas Pasal 66 menjelaskan bahwa:
“(1) Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh
yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat
secara tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu maupun
perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(2) Pelindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat
kerja, serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-
kurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.
(3) Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan
pengalihan pelindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi

89
pergantian perulsahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya
tetap ada.
(4) Perusahaan alih daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk
badan hukum dan wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang
diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus
memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.”
Dilakukan penyisipan 1 (satu) pasal antara Pasal 66 dan Pasal 77 yaitu
Pasal 66A dengan mengatur bahwa pekerja/buruh pada perusahaan alih
daya dilarang untuk dipekerjakan pada bagian pokok di perusahaan,
melainkan hanya diperbolehkan bekerja di bagian penunjang dengan
syarat adanya hubungan dan perjanjian kerja antara kedua belah pihak.
f. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Ketentuan Pasal 81 Angka 37 perubahan atas Pasal 151 ayat (1)
menjelaskan bahwa, “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja serikat
buruh, dan Pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi
pemutusan hubungan kerja.”
Ketentuan pada ayat (2) dan ayat (3) diubah dengan ketentuan
bahwa dalam pemutusan hubungan kerja wajib adanya perundingan
bipartit antara pengusaha dan pekerja/buruh. Selanjutnya pada ayat (3)
jika tidak terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, maka
penyelesaian masalah tersebut diselesaikan melalui mekanisme
penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Ketentuan pada ayat (4)
dihapuskan.

90
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan dalam hal-hal sebagai


berikut:
1. Penyusunan RUU mengenai Perubahan Undang-Undang Tentang Cipta
Kerja dilakukan dalam rangka mengakomodasi Putusan MK Nomor
91/PUU-XVIII/2020 dan pemenuhan aspirasi dari berbagai kalangan yang
pada awalnya meminta agar Undang-Undang Cipta Kerja tidak disahkan.
Perubahan dilaksanakan berdasarkan nilai yang terkandung sesuai butir-
butir sila ke-4.

91
2. Perubahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini
dilakukan untuk pengoptimalan dan pengelolaan pengusaha/perusahaan
dalam pemanfaatan tenaga kerja di tingkat nasional sehingga
produktivitas pekerja dapat lebih maksimal tanpa adanya tindak
diskriminatif dalam bentuk apapun. Perubahan Undang-Undang tentang
Cipta Kerja ini disusun karena adanya kehendak untuk memenuhi
kebutuhan hukum masyarakat dan mengakomodasi Putusan MK Nomor
91/PUU-XVIII/2020, Tentang Undang-Undang Cipta Kerja.
3. Adapun materi muatan yang akan diatur dalam RUU Perubahan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja adalah adanya
perubahan ketentuan pasal, yaitu pada Pasal 81 angka 4 perubahan atas
Pasal 42, Pasal 81 angka 15 perubahan atas Pasal 59, Pasal 81 angka 20
perubahan atas Pasal 66, Pasal 81 angka 23 perubahan atas Pasal 79,
Pasal 81 angka 25 perubahan atas Pasal 88C, Pasal 81 angka 30 perubahan
atas Pasal 92, dan Pasal 81 angka 37 perubahan atas Pasal 151, dengan
uraian sebagai berikut:
a. Ketentuan Pasal 81 angka 4 perubahan atas Pasal 42, disisipkan Pasal
42B diantara Pasal 42A dan Pasal 43;
b. Ketentuan Pasal 81 angka 15 perubahan atas Pasal 59 dilakukan
perubahan pada Pasal 59 ayat (1) huruf b dan penambahan 1 (satu)
ayat;
c. Ketentuan Pasal 81 angka 20 perubahan atas Pasal 66 disisipkan 1
(satu) pasal yaitu Pasal 66A diantara Pasal 66 dan Pasal 77;
d. Ketentuan mengenai hari libur dan cuti tahunan yang terdapat pada
Pasal 81 angka 23 perubahan atas Pasal 79 dilakukan perubahan pada
Pasal 79 ayat (2) huruf b dan ayat (3) serta penambahan 1 (satu) ayat;
e. Ketentuan pada Pasal 81 angka 25 perubahan atas Pasal 88C dilakukan
perubahan pada Pasal 88C;
f. Ketentuan pada Pasal 81 angka 30 dilakukan perubahan pada Pasal 92
ayat (1);

92
g. Ketentuan pada Pasal 81 angka 37 perubahan atas Pasal 151 dilakukan
perubahan pada Pasal 151 dengan mengubah 2 (dua) ayat dan
menghapus 1 (satu) ayat.
4. Sasaran dalam penyusunan naskah akademik ini disusun dalam rangka
penyempurnaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta
Kerja. Arah dan jangkauan pengaturan merupakan bentuk perancangan
undang-undang yang telah di gagas. Pada bab sebelumnya, telah
dipaparkan terkait sasaran, arah dan jangkauan pengaturan, serta ruang
lingkup materi yang akan di susun lebih lanjut dalam rancangan undang-
undang.
Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-
Undang Cipta Kerja. Perubahan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja harus
segera diwujudkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang secepat
mungkin dibahas di DPR. Dalam penyusunan perubahan Undang-Undang
Cipta Kerja diharapkan dapat melibatkan partisipasi masyarakat sehingga
Undang-Undang yang dibentuk dapat sesuai dengan ciri negara Indonesia
yaitu negara demokrasi. Sebagai tindak lanjut Undang-Undang ini jika sudah
disahkan, maka perlu diatur mengenai aturan pelaksanaanya berupa
Peraturan Pemerintah.

BIODATA PENULIS

Nama : Ridwan Setiawan


NIM : 1111200266
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 23 Oktober 2002
Alamat Rumah : Jalan Kavling Tipar Timur Blok 3 No. 22D, Jakarta Utara
Alamat Email : wanridwan230@gmail.com
Nomor HP/Whatsapp : 0895342876703
Motto Hidup : Kesuksesan membutuhkan perjuangan, pengorbanan,
kesabaran, dan keikhlasan.
Asal Universitas : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

93
Nama : Almas Sultan
NIM : 1111200258
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 27 April 2001
Alamat Rumah : Perum Greenhills Blok B3 No. 8, Majasari, Pandeglang
Alamat Email : almassultan99@gmail.com
Nomor HP/Whatsapp : 0895358271765
Motto Hidup : Hidup itu sederhana, yang ribet itu Saya.
Asal Universitas : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Nama : Annisa Intan Prameswari


NIM : 1111200205
Tempat/Tanggal Lahir
: Majalengka, 03 Juni 2002
Alamat Rumah : Papan Indah, Blok HB 6 No. 1, Mangunjaya
Tambun Selatan, Bekasi
Alamat Email : anindah02@gmail.com
Nomor HP/Whatsapp : 081395615709
Motto Hidup : Hiduplah dengan bahagia
Asal Universitas : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2020
TENTANG
CIPTA KERJA

94
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan tujuan pembentukan Pemerintah


Negara Indonesia dan mewujudkan masyarakat Indonesia
yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk
memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan;
b. bahwa dengan semakin kompetitif dunia pekerjaan di era
globalisasi, perlu adanya pembatasan serta pengawasan
terkait tenaga kerja asing di Indonesia;
c. bahwa upah bagi tenaga kerja merupakan hal yang penting
untuk mewujudkan kesejahteraan bagi tenaga kerja dan
keluarganya demi kehidupan yang layak;
d. bahwa produktivitas tenaga kerja memiliki peran penting
dalam pembangunan nasional, sehingga perlunya peningkatan
kualitas setiap tenaga kerja;
e. bahwa kepastian dan keadilan hukum dimaksudkan untuk
menjamin hak-hak dasar bagi tenaga kerja serta menjamin
kesempatan yang sama tanpa ada perlakuan diskriminasi;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;

Mengingat : 1. Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal
20, Pasal 22D ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan

95
ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor XVI/MPR 11998 tentang Politik Ekonomi
Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi;
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020
Tentang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 Tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor
245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6573);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-
UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6573) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 ditambahkan angka 13 dan 14 sehingga
berbunyi sebagai berikut :

96
Pasal 1
13. Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing, yang selanjutnya
disebut IMTA adalah perizinan yang disahkan oleh
Kementerian Ketenagakerjaan guna mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing di Indonesia, yang telah lulus dalam
perizinan pada tahap Rencana Penggunaan Tenaga Kerja
Asing (RPTKA).
14. Badan Pengawas Nasional Tenaga Kerja Asing, yang
selanjutnya disingkat BPN-TKA adalah badan di bawah
Kementerian Ketenagakerjaan yang berwenang
mengawasi Tenaga Kerja Asing selama bekerja di
Indonesia.

2. Ketentuan Pasal 42 ditambahkan 2 (tiga) ayat yaitu ayat (7),


dan ayat (8), sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42
(7) Pemberi kerja sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
juga wajib memiliki Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing
yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.
(8) Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
(7) merupakan Kementerian Ketenagakerjaan.

3. Diantara Pasal 42 dan Pasal 43 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu


Pasal 42A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42A

97
(1) Penggunaan tenaga kerja asing dibatasi maksimal 15%
(lima belas persen) dari jumlah angkatan kerja setiap
tahunnya di Indonesia.
(2) Penggunaan tenaga kerja asing diberikan batas waktu kerja
selama 3 tahun dengan perpanjangan waktu.
(3) Perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berlaku satu kali perpanjangan dengan waktu tidak lebih
dari 2 (dua) tahun.

4. Diantara Pasal 42A dan Pasal 43 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu


Pasal 42B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42B
(1) Badan Pengawas Nasional Tenaga Kerja Asing sebagai
lembaga pelaksana kebijakan dalam mengawasi kinerja
tenaga kerja asing di Indonesia.
(2) Terkait keanggotaan Badan Pengawas Nasional Tenaga
Kerja Asing diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri.
(3) Sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) Badan
Pengawas Nasional Tenaga Kerja Asing bertanggung jawab
terhadap Kementerian Ketenagakerjaan dengan
melaporkan hasil pengawasan secara berkala.

5. Diantara Pasal 43 dan Pasal 44 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu


Pasal 43A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43A
(1) Penggunaan tenaga kerja asing harus memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing yang memuat:
a. pertimbangan penggunaan tenaga kerja asing;
b. kedudukan tenaga kerja asing dalam suatu
perusahaan;

98
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana
penggunaan tenaga kerja asing diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

6. Diantara Pasal 44 dan Pasal 45 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu


Pasal 44A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 44A
(1) Pemberi kerja bagi tenaga kerja asing wajib menaati
aturan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang
berlaku
(2) Aturan mengenai jabatan dan standar kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

7. Ketentuan Pasal 59 ayat (1) huruf b diubah dan Pasal 59 ayat


(5) ditambahkan sehingga berbunyi:
Pasal 59
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat
untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat
atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu sebagai berikut:
b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam
jangka waktu 5 tahun;
(5) Sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf b apabila
pekerjaan yang dilaksanakan belum selesai, perpanjangan
Pekerjaan Kerja Waktu Tertentu tidak lebih dari 5 (lima)
tahun.

8. Di antara Pasal 66 dan Pasal 77, disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu


Pasal 66A sehingga berbunyi sebagai berikut:

99
Pasal 66A
Pekerja/buruh alih daya tidak boleh dipekerjakan untuk
melaksanakan kegiatan pokok oleh pemberi kerja, melainkan
hanya melaksanakan pekerjaan dibidang penunjang, dengan
syarat memiliki perjanjian dan hubungan kerja antara kedua
belah pihak.

9. Ketentuan pasal 79 ayat (2) huruf b dan ayat (3) diubah, dan
ditambahkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (7) sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 79
(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling
sedikit meliputi:
b. istirahat mingguan 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang
wajib diberikan kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan,
paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama lebih
dari 12 (dua belas) bulan.
(7) Cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
diberikan kepada pekerja/buruh, paling sedikit 6 (enam)
hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan
bekerja selama kurang dari 12 (dua belas) bulan.

10. Ketentuan Pasal 88C diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 88C

100
(1) Gubernur dapat menetapkan menetapkan upah minimum
provinsi.
(2) Gubernur dapat menetapkan besaran batas maksimal
upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
(3) Penetapan besaran batas maksimal upah minimum
kabupaten/kota dengan melibatkan perserikatan buruh
dan pengusaha.
(4) Besaran batas maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota dapat
menetapkan besaran upah minimum kabupaten/kota.
(5) Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak.
(6) Upah minimum kabupaten/kota harus lebih tinggi dari
upah minimum provinsi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan
upah minimum diatur dalam dalam Peraturan
Pemerintah.

11. Ketentuan Pasal 92 ayat (1) diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 92
(1) Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di
perusahaan dengan memperhatikan kemampuan
perusahaan, produktivitas, jabatan dan golongan,
pendidikan, serta kompetensi.

12. Ketentuan Pasal 151 ayat (2) dan ayat (3) diubah serta
menghapus ayat (4) sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 151

101
(2) Dalam hal pemutusan hubungan kerja, wajib dilakukan
perundingan bipartit antara pengusaha dan
pekerja/buruh.
(3) Apabila tidak terjadi kesepakatan antara pengusaha dan
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan
mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.

Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal...

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ...

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA

ttd.

YASONNA H. LAOLY

102
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN... NOMOR...

103

Anda mungkin juga menyukai