Anda di halaman 1dari 7

RESUME HUKUM AGRARIA

Nama : Muhamad Alfi Fuzan


Nim : 1111190010
Kelas : 6C

PERTEMUAN 1
Hukum Tanah merupakan salah satu bagian dari meteri Hukum Agraria. Dapat
dikatakan, bahwa hukum agrarian dalam arti sempit, adalah hukum tanah. Hukum ini berisi
norma yang mengatur hubungan manusia dengan tanah dan hal yang berkaitan dengan tanah.
Bidang hukum tanah mempunyai kedudukan yang sangat khusus dan dominan dalam
kehidupan manusia. Manusia diciptakan oleh Allah SWT, Tuhan YME dari saripati tanah.
Manusia diberi amanat oleh Allah SWT sebagai penguasa (khilafah), pemakmur dan
pemelihara bumi. Seluruh umat manusia hidup di atas tanah dan mereka hidup dengan
makanan dan air yang berasal dari tanah. Seluruh umat manusia menghuni bumi ini hidup
diatas tanah, tidak ada hidup yang lepas dari tanah. Setelah manusia hidup di atas tanah
dalam jangka waktu tertentu, maka pada saatnya, seluruh umat manusia akan kembali kepada
tanah sekaligus akan menjadi tanah untuk selama-lamanya.
Dalam hukum adat, menurut pandangan bangsa Indonesia, tanah mempunyai kedudukan
yang penting. Selain tanah dipandang sebagai tempat hidup dan sumber kehidupan mereka,
tempat dikubur apabila mereka mati, tanah juga dipandang menjadi tempat makhluk halus
atau dzat yang mereka puja, karena memberi dan melindungi kehidupan mereka. Disamping
itu, tanah juga beraspek ekonomi dalam kehidupan. Tanah sebagai benda tetap akan selalu
utuh. Karena keadaannya yang selalu utuh, setiap sengketa tanah tanah akan terus
menghendaki penyelesain. Jumlah manusia di bumi terus bertambah, sedang luas tanah
relative tetap. Keadaan ini menyebabkan kebutuhan terhadap tanah terus meningkat dan terus
naik menjadi lebih mahal. Dalam aspek hukum tanah juga memiliki beberapa kekhususan,
maka setiap perbuatan hukum terhadap tanah berbeda dengan benda bergerak. Oleh karena
itu maka kita hurus berhati-hati dengan masalah tanah.
PERTEMUAN 2
Hukum agraria terdiri dari dua kata, yaitu Hukum dan Agraria. Hukum adalah norma,
kaidah, atau peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang berlaku dalam masyarakat,
untuk memilihara ketertiban, keseimbangan dan keserasian sebagai kepentingan dalam
kehidupan bermasyarakat. Kata agraria berasal dari kata anger, akker, agros, yang berati
tanah atau sebidang tanah. Agrarius berati peladangan, persawahan atau tanah pertanian. Jadi
kata agraria diartikan segala apa yang berhubungan dengan masalah tahah. Oleh karena itu
ilmu agraria adalah ilmu yang mempelajari semua hal yang berhubungan dengan masalah
tanah pada umumnya dan masalah yang berkaitan dengan pengaturan masalah tanah.
Hukum agraria sebagaimana yang dimaksudkan oleh UUPA adal suatu kelompok
berbagi hukum, yang mengatur hak-hak pengusaan atas sumber-sumber alam, yang
merupakan Lembaga-lembaga hukum dan hubungan hukum kongkret dengan sumber-sumber
alam. Hukum tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah, yang merupakan Lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan
hukum yang kongkret dengan tanah. Lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan
hukum kongret itu disebut hak dan macam-macamnya diatur dalam hukum yang
bersangkutan. Masing-masing berisikan serangkaian daripada wewenang, larangan, dan
kewajiban dari yang mempunyai hak itu mengenai benda yang dihaki. Dalam hukum tanah
benda itu adalah tanah.
Hukum agraria administratif adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang memberikan
landasan hukum kepada negara sebagai penguasa dalam melaksanakan politik agrarianya,
yaitu mengatur wewenang dan kewajiban negara dengan bagian-bagiannya. Untuk
mengambil Tindakan-tindakan yang berhubungan soal keagrariaan. Hukum agraria perdata
adalah keseluruhan peraturan yang mengatur wewenang yang bersumberkan pada hak-hak
perorangan dan badan hukum perdata, berupa apa yang boleh, apa yang dilarang, dan apa
yang wajib dilakukan dengan benda yang dihakinya dalam lingkup agraria adalah tanah.
PERTEMUAN 3
Dasar hukum Badan Pertanahan Nasional diatur dalam Peraturan Presiden No. 17 tahun
2015 tentang kementerian agraria dan tata ruang, Peraturan Presiden No. 20 tahun 2015
tentang badan pertanahan nasional (BPN), dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang /
kepala BPN No. 8 tahun 2015 tentang Organisasi dan tata kerja kementerian Agraria dan Tata
Ruang / Badan Pertanahan Nasional.
Sejarah BPN RI pada dasarnya adalah sejarah pencarian format penataan pertanahan
nasional, yang merentang jauh ke belakang dari zaman pemerintahan colonial Belanda. Pada
masa colonial Belanda dan Jepang tahun, sejak berlakunya Agrarische Wet tahun 1870
pemerintah colonial Belanda mengeluarkan ordonasi Staatblad 1823 nomor 164 menyebutkan
bahwa penyelenggaraan kadasteral diserahkan kepada Lembaga yang diberi nama Kadasteral
Dient. Ketika masa penjajahan Belanda digantikan oleh Jepang Pada 1942, tidak diadakan
perombakan besar atas peraturan pertanahan. Namun demikian, pada masa penjajahan Jepang
dikeluarkan peraturan yang melarang pemindahan hak atas tanah. Pengusaan tanah partikelir
juga dihapuskan oleh pemerintah Dai Nippon.
Pasca proklamasi kemerdekaan, berdasarkan penetapan Presiden Nomor 16 tahun 1948,
pemerintah membentuk panitia Agraria Yogyakarta. Tiga tahun kemudian terbit keputusan
Presiden nomor 36 tahun 1951. Selanjutnya lewat keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1955,
pemerintah membentuk Kementerian Agraria yang berdiri sendiri dan terpisah dari
Departemen dalam negeri. Pada 24 april 1958 rancangan undang-undang agrarian nasional
diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Pada tahun 1960 – 1965 lahirnya UUPA dan masa
sesudahnya. Titik tolak reformasi hukum pertanahan nasional terjadi pada 24 september
1960. Pada hari itu, rancangan undnag-undang pokok agrarian disetujui dan disahkan menjadi
undang-undang nomor 5 tahun 1960. Dengan berlakunya UUPA tersebut, untuk pertama
kalinya pengaturan tanah di Indonesia menggunakan produk hukum nasional yang bersumber
dari hukum adat.
Pada 1965, Departemen Agraria Kembali diciutkan secara kelembagaan menjadi
Direktorat Jenderal. Hanya saja, cakupannya ditambah dengan direktorat bidang
Transmigrasi sehingga Namanya menjadi Direktorat Jenderal Agraria dan Transmigrasi,
dibawah Departemen Dalam Negeri. Penciutan ini dilakukan oleh pemerintah orde baru
dengan alasan efisiensi dan penyerderhanaan organisasi. Pada 1972, keputusan Menteri
Dalam Negeri nomor 145 tahun 1969 dicabut dan diganti dengan keputusan Menteri Dalam
Negeri nomor 88 tahun 1972, yang menyebutkan penyatuan instansi Agraria di daerah. Di
tingkat Provinsi, dibentuk kantor Direktorat Agraria Provinsi, sedangkan di tingkat
Kabupaten/Kota dibentuk Kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya. Tahun 1988
merupakan tonggak bersejarah karena saat itu terbit Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun
1988 tentang badan Pertanahan Nasional. Status Direktorat Jenderal Agraria ditingkatkan
menjadi Lembaga Pemerintah non departemen dengan nama Badan Pertanahan Nasional.
Pada 1993 berdasarkan keputusan Presiden nomor 96 tahun 1993, tugas kepala BPN kini
dirangkap oleh Menteri negara Agraria. Pada tahun 1999 terbit keputusan presiden nomor
154 tentang perubahan keputusan presiden nomor 26 tahun 1988. Pelaksanaan pengelolaan
pertanahan sehari-harinya dilaksanakan wakil kepala badan pertanahan Nasional. Pada 11
april 2006 terbit peraturan presiden nomor 10 tahun 2006 yang menguatkan kelembagaan
Badan Pertanahan Nasional di mana tugas yang diemban BPN RI semakin luas dan langsung
bertanggung jawab kepada Presiden. Pada tahun 2013 terbit peraturan presiden nomor 63
tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional yang mengatur fungsi BPN.
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2013, kedudukan, tugas, dan fungsi BPN
adalah :
1. Badan pertanahan nasional republik Indonesia yang selanjutnya disebut BPN RI
adalah Lembaga pemerintah nonkementerian yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada presiden.
2. BPN RI dipimpin oleh seorang kepala
3. BPN RI mempunyai tugas melaksankan tugas pemerintah di bidang pertanahan
secara nasional, regional, dan sectoral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
4. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 BPN RI
5. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi BPN RI sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
dan pasal 3, dikoordinasikan oleh Menteri coordinator yang membidangi urusan
pemerintah di bidang politik, hukum, dan keamanan
Organisasi BPN :
1. Susunan organisasi BPN RI berdasarkan pasal 5
2. Kepala mempunyai tugas memimpin BPN RI dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya
3. Sekretariat utama adalah unsur pembantu kepala yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada kepala.
4. Secretariat utama terdiri paling banyak 5 biro
5. Deputi bidang survey, pengukuran, dan pemetaan
6. Deputi bidang hak tanah, pendaftaran tanah, dan pemberdayaan masyarakat
7. Deputi bidang pengaturan dan pengendalian pertanahan
8. Deputi bidang pengadaan tanah untuk kepentingan umum
9. Deputi bidang penanganan sengketa dan perkara pertanahan
10. Inspektorat utama
11. Unsur pendukung
12. Jabatan fungsional
Segala pendanaan yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi BPN RI
dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara. Ketentuan lebih lanjut
mengenai tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja BPN RI ditetapkan oleh kepala
seletah mendapat persetujuan dari Menteri yang membidangi. Mata kuliah Hukum Agraria
pernah menggunakan nama mata kuliah Hukum Tanah. Demikian juga dengan instansi
(Lembaga) yang mengurus keagrariaan tersebut. Dengan demikian ada kesamaan antara
penyebutan nama mata kuliah dengan Lembaga pemerintah yang menangani keagrariaan,
yaitu yang berkisar sekitar nama Agraria dan Tanah.
PERTEMUAN 4
Hukum agraria lama, yaitu hukum agraria sebelum Undang-Undang No. 5 tahun 1960
(UUPA) diberlakukan, sebagaimana merupakan hukum yang tertulis, dan Sebagian lagi
merupakan hukum yang tidak tertulis. Bagian hukum agraria yang tertulis, kaidah-kaidahnya
bersumber pada hukum agraria barat, yang tersebar dalam berbagai perundang-undangan
pemerintah kolonial Belanda. Perundang-undangan itu ada yang berlaku untuk seluruh
wilayah hindia Belanda, ada juga yanag hanya berlaku untuk daerah tertentu, misalnya hanya
berlaku untuk daerah Jawa dan Madura saja. Sedangkan bagian hukum agrarian yang tidak
tertulis. Kaidah-kaidahnya bersumber pada hukum adat bangsa Indonesia. Yaitu hukum yang
sudah ada, ditaati dan dilaksakan oleh seluruh bangsa Indonesia, jauh sebelum penjajahan
Belanda datang ke Indonesia. Hukum adat Indonesia terdapat pula perbedaan-perbedaan
ketentuan hukum menurut daerah atau lingkungan hukum adat masing-masing. Berhubungan
dengan itu, maka hukum agrarian adat tersebut isinya tidak sama, beraneka ragam, untuk tiap
daerah. Oleh karena itulah maka hukum agraria yang berlaku sebelum keluarnya UUPA,
tidak hanya bersifat dualistis tetapi juga bersifat pluralistis atau beraneka ragam. Dengan
dianutnya asas konkordansi dalam penyusunan perundang-undangan di Hindia Belanda,
maka kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) dan perundang-undangan lainnya yang
berlaku di Hindia Belanda, pada dasarnya sama dan dijiwai oleh kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (BW) dan perundang-undnagan yang berlaku di Belanda. Sedangkan kitab
Undang-Undang hukum perdata Belanda disusun berdasarkan dan dijiwai oleh code civil
perancis sesudah revolusi perancis 1789. Hak-hak atas tanah menurut hukum agraria bara,
yang berlaku bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, diatur dalam kitab
Undang-Undang hukum perdata. Hak itu antara lain sebagai berikut :
1. Hak milik mutlak
2. Sejenis hak guna bangunan
3. Sejenis hak guna usaha
4. Hak pakai
Selain itu ada juga hak milik bagi orang Indonesia asli yang disebut hak milik agraria.
Berbeda dengan sifat hukum barat yang bertitik tolak dari kepentingan individu dan
kebebasan mutlak, hukum adat mempunyai sifat umum yang pada prinsipnya berbeda dengan
sifat hukum barat tersebut. Ada empat sifat hukum adat Indonesia yang harus dipandang
sebagai suatu kesatuan yaitu sebagai berikut :
1. Sifat religio magis
2. Sifat komun
3. Sifat kontan
4. Sifat kongkrit
PERTEMUAN 5
Penyusunan rancangan undang-undang tentang hukum agraria nasional,sebagaimana
diamanatkan oleh pasal 33 ayat 3 UUD 1945, sudah dimulai sejak tahun 1948. Hal ini
Nampak dengan keluarnya Pepres No. 16 tanggal 21 Mei 1948. Berdasarkan Pepres tersebut
dibentuk suatu panitia agraria yang berkedudukan di ibu kota negara saat itu di Yogyakarta.
Panitia yogya diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo. Panitia ini bertugas :
1. Memberi pertimbangan kepada pemerintah mengenai soal-soal hukum tanah
umumnya.
2. Merancang dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agraria Negara Republik
Indonesia.
3. Merancang perubahan, pergantian, pencabutan peraturan-peraturan lama, baik dari
sudut legislative maupun dari sudut praktek.
4. Menyelidiki soal-soal lain yang berhubungan dengan hukum tanah.
Panitia yogya dibubarkan dengan Keputusan Presiden No. 36 tanggal 19 Maret 1951 dan
dibentuk panitia baru. Panitia yang baru ini berkedudukan di Jakarta.
Panitia agraria Jakarta diketuai oleh Sariman Reksodihardjo lalu pada tahun 1953
diganti oleh Singgih Praptodihardjo. Tugas panitia Jakarta hamper sama dengan tugas panitia
yogya. Pada tahun 1955, dibentuk kementerian Agraria dan pantia negara urusan agraria yang
diketuai oleh Soewahyo Soemodilogo. Tugas utama panitia ini mempersiapkan rancangan
Umdang-Undang pokok Agraria Nasional dalam waktu satu tahun. Pada tanggal 14 Maret
1958 rancangan panitia Soewahyo diajukan kepada dewan perwakilan rakyat atas amanat dari
presiden. Rancangan diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo. Dengan berlakunya Kembali
UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden, rancangan soenarjo ditarik Kembali. Dalam bentuk
yang lebih sempurna dan lengkap kemudian diajukan oleh Menteri Agraria Sadjarwo kepada
cabinet, kemudian disetujui oleh cabinet inti dan cabinet pleno. Selanjutnya diajukan kepada
DPRGR oleh presiden. Kemudian dalam siding terakhir pada tanggal 14 September 1960,
dengan suara bulat DPRGR menerima baik rancangan Undang-Undang Pokok Agraria
tersebut. Kemudian disahkan oleh Presiden RI menjadi Undang-Undang No. 5 tahun 1960
tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria.
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Dengan
demikian setiap produk perundang-undangan yang dibuat tidak boleh bertentangan dan harus
merupakan perwujudan dari nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila. Hal demikian sudah
disadari oleh pembuat UUPA, sebagaimana disebutkan dalam bagian konsideran. Secara
redaksional dalam konsideran tidak disebutkan Pancasila, melainkan disebutkan seluruh
rincian sila-sila tersebut. Sistematika UUPA adalah sebagai berikut :
1. Bab I : dasar dan ketentuan pokok, Bab II : hak-hak atas tanah, air dan ruang angkasa
serta pendaftaran tanah, Bab III : ketentuan Pidana, Bab IV : ketentuan peralihan
2. Ketentuan-ketentuan Konversi.
3. Perubahan susunan pemerintah Desa untuk menyelenggarakanperombakan hukum
agrarian menurut Undang-Undang ini akan diatur tersendiri.
4. Hak atas bumi swapraja atau bekas swapraja masih ada pada waktu mulai berlakunya
undang-undang ini hapus dan beralih kepada negara dan hal-hal yang bersangkutan
dengan ketentuan diatur lebih lanjut oleh peraturan pemerintah.
5. Undang-Undang ini dapat disebut UUPA dan mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Peraturan yang dicabut dengan UUPA ini adalah sebagai berikut :
1. Seluruh pasal 51 IS, jadi termasuk semua ayat-ayat yang merupakn Agrarische Wet.
2. Semua pernyataan Domein dari pemerintah hindia Belanda.
3. Peraturan-peraturan Agrarisch Eigendom, seperti termuat dalam stbl. 1872 no. 117
dan stbl. 1873 no. 38.
4. Buku ke II kitab undang-undang hukum perdata sepanjang mengenai bumi, air, serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
PERTEMUAN 6
Bangsa Indonesia sejak berabad-abad lamanya jauh sebelum datangnya penjajah
sudah mengenal hukum atau ketentuan-ketentuan yang mengatur kehidupan mereka dalam
bermasyarakat, termasuk yang mengatur masalah tanah. Hukum itu merupakan hukum yang
tidak tertulis, yang disebut hukum adat. Dalam masyarakat Indonesia, sejak dahulu sudah
dikenal masyarakat hukum adat tertentu yang merupakan persekutuan hukum atau
masyarakat hukum dalam satu wilayah tertentu. Persekutuan ini terbentuk karena faktor
genealogis dan territorial. Persekutuan hukum mempunyai hak dan wewenang menguasai
wilayah atau tanah dalam daerah persekutuan hukum tersebut. Hak pertuanan atau hak ulayat
merupakan hak tertinggi dari persekutuan hukum dibawahnya terdapat hak perseorangan,
bagi anggotanya seperti hak milik, hak pungut hasil, hak bagi orang luar persekutuan tersebut
seperti hak pakai.
Pada masa 1602-1799, VOC mempunyai hak terhadap bagian-bagian tanah tertentu,
di samping memegang monopoli dagang yang besar. Bagian-bagian tanah yang dikuasai
tersebut adalah merupakan daerah yang jatuh kepadanya. Keadaan ini menyebebkan VOC
merasa dirinya mempunyai kekuasaan berdaulat dengan memperlakukan hukum barat tanpa
mengindahkan hukum adat yang berlaku di Indonesia. Cultuur stelsel/tanam paksa
diberlakukan, rakyat dibebaskan dari pembayaran pajak bumi. Namun seperlima dari
tanahnya harus ditanami tanaman yang sudah ditentukan. Pada waktu diadakan cultuur
stelsel, tidak lagi diadakan persewaan baru. Keadaan demikian berlangsung sampai keluarnya
pasal 62 RR pada tahun 1854. RR adalah perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda
singkatan dari Regering Reglement. Dengan keluarnya ketentuan pemerintah Belanda, yaitu
pasal 62 RR ayat 3, secara tegas dibuka lagi kesempatan untuk menyewa tanah dari
pemerintah. Pada tahun 1870 pemerintah jajahan Belanda berhasil mengeluarkan Undang-
Undang yang berhubungan dengan kebijaksanaan mengenai peragrariaan, yaitu Agrarische
Wet, stbl. Lahirnya Agrarische Wet ini berkaitan erat dengan sejarah politik hukum adat
Indonesia. Untuk melaksanakan AW tersebut kemudian dikeluarkan berbagai peraturan dan
keputusan. Salah satunya adalah Koninklijk Besluit yang terkenal dengan nama Agrarisch
Besluit.
Sejalan dengan kemerdekaan yang dicapai oleh bangsa Indonesia, secara berangsur-
angsur telah terjadi usaha perombakan dan perubahan untuk mengganti perundang-undangan
yang dibuat pada zaman kolonial dengan perundang-undangan yang sesuai dengan alam
kemerdekaan, menuju kesejateraan bangsa Indonesia. Cita-cita unifikasi dan perombakan isi
perundang-undangan mulai dikumandangkan oleh bangsa Indonesia melalui pemimpin-
pemimpinnya. Pada tahun 1948 telah dikeluarkan penetapan presiden no.16 tanggal 21 mei
1948 tentang pembentukan panitia Agraria yang bertugas untuk merancang tentang pengganti
dan pencabutan perundang-undangan agrarian pada zaman kolonial. Setelah mengalami
proses yang cukup Panjang, maka pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang No.5 tahun
1960 yang dimuat dalam Lembaran Negara No. 104, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria atau disebut juga UUPA, Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 24
September 1960.
PERTEMUAN 7
Undang-Undang No.5 tahun 1960 adalah undang-undang yang dibuat bangsa
Indonesia dan dikeluarkan setelah Indonesia merdeka. Dalam undang-undang ini disebutkan
bahwa hukum agraria nasional didasarkan pada hukum adat. Penegasan itu dapat kita
jumpai :
1. Dalam konsideran berpendapat, huruf a
2. Dalam penjelasan umum angka III (1)
3. Dalam pasal 5 berikut penjelasannya
4. Dalam penjelasan pasal 16
5. Dalam pasal 56
Hukum adat yang dijadikan dasar atau landasan hukum agraria nasional, yang terdapat dalam
UU No. 5 tahun 1960 adalah hukum adat yang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan
dalam undang-undang itu sendiri. Jadi paling tidak ada lima persyaratan dan pembatasan
berlakunya hukum adat, yaitu :
1. Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
2. Tidak bertentangan dengan kepentingan negara yang berdasarkan persatuan bangsa
3. Tidak bertentangan dengan sosialisme Indonesia
4. Tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-
undang dan dengan peraturan perundangan lainnya
5. Mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama
Hak ulayat adalah hak persekutuan hukum atau hak pertuanan. Eksistensi hak ulaat dalam
undang-undang No.5 tahun 1960 disebutkan dalam pasal 3. Ketentuan hak ulayat
sebagaimana disebutkan dalam pasal 3, pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya
hak ulayat itu dalam hukum agrarian yang baru. Dalam hubungan penguasa tanah dan
bangunan atau tanah yang ada di atasnya dikenal dua asas. Asas pelekatan dan asas
pemisahan horizontal. Menurut asas pelekatan, bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah
merupakan satu kesatuan dengan tanah. Maka hakpemilikan atas sebuah tanah tertentu
dengan sendirinya. Hukum agraria nasional tidak menganut asas pelekatan namun menganut
asas pemisahan horizontal, sebagaimana dianut oleh hukum adat. Bangunan dan tanaman
yang ada di atas sebidang tanah, bukan merupakan bagian dari tanah tersebut. Dengan
demikian hak milik atas tanah tidak sendirinya meliputi pemilikan terhadap bangunan dan
tanaman yang ada di atasnya. Dalam hukum adat Indonesia rechtsverwerking yaitu
lampaunya waktu sebagai sebab kehilangan atas hak tanah.

Anda mungkin juga menyukai