Anda di halaman 1dari 104

NASKAH AKADEMIK PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020

TENTANG CIPTA KERJA TERKAIT DENGAN KETENAGAKERJAAN

Kompetisi Legislative Drafting

IMA HTN CONSTITUTIONAL LAW FEST 2022

Disusun Oleh :

Salsabila Khoirunnisa (1111210185)

Tiara Tri Indah Sari (1111210179)

Wilda Febiana Rizka (1111210172)

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

SERANG

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya
penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terkait
Ketenagakerjaan. Penyusunan Naskah Akademik ini dilakukan dalam rangka
menjalankan Pasal yang kontroversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 yang menyatakan bahwa konsepsi rancangan undang-undang yang telah
melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik,
selanjutnya Pasal 43 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menegaskan
kembali bahwa rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden,
atau DPD harus disertai Naskah Akademik.

Dalam rangka pengayaan materi dan partisipasi publik terkait mekanisme


pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tim telah mengadakan
kegiatan diskusi publik serta diskusi dengan pihak-pihak lain yang dianggap
memiliki kompetensi di bidang pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kami menyadari bahwa hasil penyusunan Naskah Akademik ini tidak luput
dari suatu kesalahan, oleh karenanya kami terbuka untuk menerima masukan
dan saran dari berbagai pihak. Tim dua berharap Naskah Akademik ini akan
dapat bermanfaat dalam proses penyusunan RUU tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

Serang, 7 Mei 2022

Hormat Kami

Penyusun

ii
ABSTRAK

Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah
disahkan belum menjadi solusi yang tepat untuk beberapa regulasi yang telah di
sahkan khususnya pada bidang ketenagakerjaan, selain itu adanya penolakan
dari masyarakat dalam teori keberlakuan hukum menunjukkan bahwa Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2020 memiliki daya legitimasi sosial yang minim dan
juga Putusan Mahkamah Konstitusi NomorNomor 91/PUU-XVIII/2020.
Metode Penelitian Yuridis Normatif denganh menggunakan pendekatan
peraturan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan konseptual, dan
pendekatan perbandingan. Data yang digunakan data sekumder dengan bahan
hukum primer, sekunder dan tertier. Data tersebut kemudian dianalisis sehingga
tersusun dengan jelas serta menggambarkan secara lugas tentang permasalahan-
permasalahan yang ada. UU Nomor 11 Tahun 2020 harus diubah terkait polemik
yang timbul pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020.
Keyword: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, Cipta Kerja, Regulasi,
Polemik

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang .............................................................................................. 4

B. Identifikasi Masalah ..................................................................................... 9

C. Tujuan dan Kegunaan................................................................................. 10

D. Metode ....................................................................................................... 10

BAB II ................................................................................................................................. 12
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS .......................................................................... 12
A. Kajian Teoritis ............................................................................................. 12

B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip Yang Terkait Dengan Penyusunan Norma . 25

C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, Serta


Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat ........................................................ 32

D. Impementasi APBN dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 ......... 53

BAB III ................................................................................................................................ 59


LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, YURIDIS. .................................................................. 59
A. Landasan Filosofis ...................................................................................... 59

B. Landasan Sosiologis.................................................................................... 62

C. Landasan Yuridis......................................................................................... 68

BAB IV................................................................................................................................ 79
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG ..................................................................................... 79
A. Sasaran ....................................................................................................... 79

B. Arah dan Jangkauan Pengaturan ............................................................... 79

BAB V................................................................................................................................. 84
PENUTUP ........................................................................................................................... 84

iv
A. Kesimpulan ................................................................................................. 84

B. Saran........................................................................................................... 85

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 87


LAMPIRAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG……………………………………………………………….97

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan pasal 27 ayat 2 bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” yang dimana
Negara harus menjamin hak pekerjaan dan penghidupan yang layak terhadap
tiap warga negaranya. Maka dari itu, peraturan apapun yang dirancang oleh
pemerintah yang bersangkutan mengenai pekerjaan.
Visi dari Presiden Joko Widodo dalam pencalonan presiden menyatakan
keinginan untuk terbukanya lapangan kerja yang lebih luas lagi menjadi titik
awal pembentukan Omnibus Law Cipta Kerja. Disusul dengan fakta di
lapangan yang menunjukan kerumitan untuk berinvestasi di Indonesia
menjadi latar belakang terbentuknya Omnibus Law.
Istilah Omnibus Law berasal dari kata "Omni" yang merupakan
terjemahan Bahasa Latin dan "bus" dari Bahasa Inggris. Istilah tersebut
dikenal luas dan kemudian dipakai juga di Amerika Serikat dan Kanada dengan
pengertian "untuk semua" atau "mencangkup semua". Omnibus Law ini
merupakan teknik pembentukan undang-undang baru yang pada mulanya
dikaitkan dengan kebutuhan untuk mengadakan perubahan atas beberapa
undang-undang yang ada secara sekaligus.1
Istilah Omnibus Law mulai akrab di telinga masyarakat Indonesia setelah
Presiden Joko Widodo memperkenalkannya dalam Pidato Kenegaraan pada
saat dilantiknya ia sebagai Presiden RI tepat di hadapan sidang MPR tahun
2019. RUU Cipta Kerja terdiri atas 174 Pasal dari 15 bab yang berdampak
terhadap 1203 Pasal dari 79 UU terkait dan terbagi dalam 7197 Daftar
Investarisasi Masalah. UU Cipta Kerja dikebut dalam 64 kali rapat, 2 kali rapat

1
Jimmly Asshiddiqie,. (2020). Omnibus Law dan Penerapannya di Indonesia. Cetakan kedua.
Penerbit Konstitusi Press: Jakata.

4
kerja, 56 Kali Rapat Panitia Kerja (Panja), 6 kali Rapat Timus/Timsin yang
dilakukan secara full day dari pagi hingga malam atau bahkan dini hari.2
Makna Omnibus Law secara parsial bermakna suatu ide yang menjadi
awalan penggunaan dalam program perundang-undangan Indonesia. Metode
program yang diistilahkan sebagai undang-undang sapu jagat karena dapat
mengganti beberapa Norma dalam undang-undang di suatu peraturan
tersebut. Indonesia memang menjadi negara yang memiliki regulasi yang
banyak. Bahkan angkanya pada 2017 sudah mencapai 42.000 (empat puluh
dua ribu) aturan. Dalam hal ekonomi dan investasi, Pemerintah telah
memetakan 74 (tujuh puluh empat) undang-undang yang berpotensi
menghambat ekonomi dan investasi. 3
Tujuh Puluh Empat undang-undang tersebut, pemerintah akan
mematangkan kembali mengenai 2 undang-undang besar, yakni RUU Cipta
Kerja serta pemberdayaan usaha mikro baik kecil maupun menengah (UMKM)
yang mana berfungsi sebagai mendorong investasi di Indonesia dan eskalasi
daya saing. Jika hal tersebut terjadi akan menyebabkan permasalahan dalam
jumlah peraturan ini atau ada hal lain, seperti peraturan yang tidak selaras,
hingga saat ini menjadi suatu masalah. Bila peraturannya masih menjadi
banyak masalah, maka solusinya menjadikan peraturan tersebut menjadi
sederhana melalui rancangan Omnibus Law yakni, suatu langkahan yang
benar. Karena, Omnibus Law yaitu suatu undang-undang yang memfokuskan
pada proses sederhana dalam jumlah regulasi tersebut. Hal ini disebabkan
karena sifatnya yang meninjau ulang dan menyeleksi undang-undang
sekaligus. Dalam mengatasi suatu polemik mengenai regulasi yang kompleks,
Omnibus Law ini menjadi solusi dalam mengatasi masalah ini. Akan tetapi,
dengan tidak adanya upaya bersifat solutif, ego sektoral, masalah disharmoni
hingga masalah regulasi yang tidak berkontribusi, mesti implikasi Omnibus

2
Sitio, C.E. (2021). Rancangan undang-undang cipta kerja menjadi polemik yang menuai isu
dan kontroversi di masyarakat, Jurnal Pendidikan Mutiara, Vol.VI/Nomor 1.
3
Nurhayati, T. (2021). Kajian Yuridis Sosiologis Terhadap Pemberlakuan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Beserta Aturan Turunannya. Kerta Semaya, 9(6),
1032–1043.

5
Law tidak akan efektif untuk mengatasi polemik regulasi tidak akan cukup dan
batas maksimalnya hanya sampai di titik Omnibus Law.
Negara Indonesia memiliki tujuan untuk mensejahterakan rakyatnya, hal
ini tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945 tepatnya pada alinea keempat,
yaitu “…serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia” serta sudah menjadi kewajiban bagi negara Indonesia untuk
memberikan jaminan kepada warga negaranya untuk hidup sejahtera. Demi
mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat, negara Indonesia membuat
Peraturan Perundang-Undangan agar terciptanya sebuah jaminan bagi
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai dan karakteristik bangsa.
Khususnya pada bidang ketenagakerjaan, yang pada dasarnya menyangkut
mata pencaharian masyarakat luas secara komprehensif, perlunya ada
penyesuaian kebutuhan masyarakat yang berdasar pada cita-cita bangsa yang
sebagaimana dituangkan pada pembukaan UUD NRI 1945.
Berdasarkan cita-cita Pancasila sebagai landasan Filosofis, khususnya
pada sila kelima, untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, penyelerasan peraturan yang ada untuk masyarakat nampaknya
harus dilakukan. Undang-undang cipta kerja yang kini baru disahkan,
nampaknya belum menjadi solusi yang tepat untuk beberapa regulasi yang
telah di sahkan khususnya pada bidang ketenagakerjaan. Keadilan sosial,
harus tercipta bukan hanya dilihat dari satu aspek saja, namun harus secara
komprehensif baik pada pemerintah, masyarakat, maupun pelaku usaha. Sila
kelima menjadi gagasan yang penting sesuai dengan cita-cita bangsa, karena
secara keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mempunyai makna bahwa
seluruh rakyat Indonesia berhak mendapat keadilan baik dalam bidang
ekonomi, hukum, politik dan kebudayaan sehingga terciptanya masyarakat
yang adil dan makmur. Perwujudan dari sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, dapat dilakukan dengan penyelarasan instrumen hukum dengan
keadaan sosiologis dan urgensi yang ada sekarang ini. Harapan dilegalitaskan
Rancangan undang-undang nomor 11 tahun 2020 ini dapat bereksistensi

6
dalam menciptakan hukum yang mempunyai karakter sederhana, responsif,
kompetitif, dan fleksibel guna terlaksananya keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia sesuai dengan nilai pancasila sila kelima sebagai halnya
Konstitusi yang beramanat untuk turut mengembangkan program hukum
yang tenteram dengan menyelaraskan undang-undang lewat satu undang-
undang saja dalam rancangan Omnibus Law sehingga, timbul pemikiran
pemerintah yang menganggap perlu dibuatnya Rancangan undang-undang ini
karena intensnya angka pengangguran di Indonesia.
Landasan sosiologis, faktanya bahwa masifnya penolakan dari
masyarakat tercantum dalam teori keberlakuan hukum menunjukkan bahwa
undang-undang Nomor 20 tahun 2020 tentang Cipta kerja memiliki daya
legitimasi sosial yang minim. Fungsi aspirasi dari masyarakat yang minim serta
proses pengundangan yang kurang dalam aspek standar prosedur serta
masifnya isi yang menjadi tolak ukur terhadap efektivitas bertindak suatu
hukum di dalam masyarakat. Meski demikian perlindungan hukum akan selalu
berhubungan dengan kekuasaan sehingga berdampak pada perlindungan
hukum untuk tenaga kerja semakin melemah.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, beberapa
penyesuaian harus dilakukan untuk menyelaraskan kebutuhan masyarakat
yang sesuai dengan sila kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia yang dapat diartikan juga sebagai keadilan. Pokok-pokok
pembahasan terkait perubahan dalam naskah akademik ini memuat:
1. Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja, yang pada UU Nomor 11 Tahun
2020 tenang Cipta Kerja ini diatur pada pasal 151, belum memuat perihal
tentang pemutusan hubungan secara seimbang yang dilakukan oleh
perusahaan. Suatu pekerjaan dalam hubungan kerjanya harus memuat
tentang perlindungan pekerja yang salah satunya adalah terkait pemutusan
hubungan kerja sepihak agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dari
perusahaan.

7
2. Terkait formula perhitungan upah minimum yang diatur pada pasal 88 ayat
(2). Perubahan yang terjadi pada UU cipta kerja ini adalah terkait formula
yang sebelum perubahan menggunakan Kriteria Hidup Layak (KHL), kini
menggunakan variable pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Hal ini
dikhawatirkan akan menjadi ketimpangan di setiap daerah.
3. Terkait pelaksanaan cuti tahunan yang diatur pada pasal 79 ayat 3
menjelaskan tentang cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja. Hal ini
dikhawatirkan ada kesewenangan pengaturan terkait cuti dalam kontrak
kerja yang dapat memberatkan tenaga kerja.
4. Terkait tenaga kerja asing yang diatur pada pasal 42, untuk ketentuan
Tenaga Kerja Asing (Yang disingkat TKA) memang tetap mengacu pada
RPTKA, tetapi, penghapusan ketentuan mengenai IMTA dikhawatirkan akan
membuka peluang kepada tenaga kerja asing untuk masuk lebih mudah.
Padahal, pada urusan dalam negeri pun masalah pengangguran menjadi
masalah yang setiap tahunnya berlanjut. Perlu adanya pengaturan lebih
lanjut yang lebih ketat untuk mengawasi tenaga kerja asing agar
penggunaan tenaga kerja asing dapat dilakukan secara obyektif dan dapat
memprioritaskan tenaga kerja dalam negeri. Selanjutnya, perlu juga
peraturan secara terperinci terkait pengaturan kualifikasi RPTKA untuk
memberikan data yang sistematis.
5. Terkait pengawasan tenaga kerja asing, penghapusan pada pasal 43 dinilai
kurang tepat karena kurangnya pengawasan serta pendampingan untuk
memberikan evaluasi terkait kinerja secara 2 sisi baik dari tenaga kerja
dalam negeri maupun tenaga kerja asing.
6. Terkait tentang pengaturan perusahaan alih daya, pada pasal 66 diubah
sehingga perusahaan alih daya dapat digunakan oleh pemberi kerja untuk
melaksanakan kegiatan pokok. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan
peralihan fungsi tenaga kerja tetap, dan perusahaan akan lebih
menggunakan tenaga kerja alih daya untuk menghindari pesangon dan
tunjangan lainnya karena bersifat tidak tetap.

8
Atas dasar permasalahan diatas , dengan berpedoman dalam asas
kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan dan kepentingan nasional, serta
untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat, maka perlu adanya
penyesuaian terkait peraturan mengenai Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 Tentang Cipta Kerja terkait dengan Ketenagakerjaan. Naskah akademik
ini bermaksud untuk membahas serta menganalisis mengenai gagasan
perubahan sebagai salah satu solusi untuk membangun sistem
ketenagakerjaan yang sesuai dengan cita-cita bangsa dan kebutuhan
masyarakat dewasa ini.

B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dalam Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 menjadi Undang-Undang
nomor 11 tahun 2020 Tentang Ketenagakerjaan mencangkup 4 (empat) pokok
masalah, yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana menyusun peraturan mengenai Ketenagakerjaan yang baik dan
benar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat Indonesia yang
berlandaskan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
2. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis yuridis
dari pembentukan Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan
Undang-Undang Cipta Kerja Tentang Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan?
3. Mengapa perlu Rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru
sebagai dasar pemecahan masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan
Ketenagakerjaan?
4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, jangkauan, ruang lingkup, dan arah
pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan
Undang-Undang Cipta Kerja Tentang Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan?

9
C. Tujuan dan Kegunaan
Berdasarkan ruang lingkup identifikasi masalah yang telah dikemukakan
di atas, maka tujuan penyusunan Naskah Akademik dari Rancangan Undang-
Undang tentang Perubahan Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 menjadi
Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 dirumuskan sebagai berikut:
1. Merumuskan permasalahan dan solusi terkait hal-hal yang dihadapi
dalam menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan
Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 menjadi Undang-Undang nomor
11 tahun 2020.
2. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis dari
pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-
Undang nomor 13 tahun 2003 menjadi Undang-Undang nomor 11 tahun
2020.
3. Merumuskan Rancangan Undang-Undang perubahan mengenai
Penyelenggaraan Ketenagakerjaan yang baru sebagai dasar pemecahan
masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan Ketenagakerjaan.
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang
tentang Perubahan Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 menjadi
Undang-Undang nomor 11 tahun 2020.
Kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau
referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 menjadi Undang-Undang
nomor 11 tahun 2020.

D. Metode
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 menjadi Undang-Undang
nomor 11 tahun 2020 dilakukan dengan metode yuridis Normatif dan
menggunakan beberapa pendekatan penelitian yaitu pendekatan peraturan

10
perundang-undangan, 16 pendekatan kasus, pendekatan konseptual,
pendekatan perbandingan. Sumber data yang digunakan dalam penyusunan
Naskah Akademik ini menggunakan sumber data sekunder yang terdiri dari: 4
1) Bahan Hukum Primer yaitu sumber hukum yang memuat keseluruhan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan
permasalahan dalam penelitian ini sedangkan menurut Peter Mahmud
Marzuki, bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat otoritas,
yaitu:
a) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945;
b) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
c) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja;
2) Bahan Hukum Sekunder yaitu berupa data kepustakaan baik dari berbagai
buku-buku ilmu pengetahuan ataupun jurnal-jurnal hukum dan hasil tulisan
(Karya ilmiah) yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk tambahan
terhadap data primer dan sekunder, seperti Kamus hukum, Website
internet.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan Naskah
Akademik ini ialah dengan Penelitian Kepustakaan (Library Research) dan
teknik analisis data menggunakan teknik kualitatif yang merupakan suatu
teknik yang menggambarkan data dengan kata-kata atau kalimat yang
dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh suatu kesimpulan.5
Teknik kualitatif pula akan menganalisis data yang diperoleh secara deskriptif
analitis untuk mengumpulkan data sekunder berupa bahan hukum primer,
sekunder dan bahan hukum (tersier) yang dapat dipertanggung jawabkan
secara ilmiah.

4
Burhan, B,. (2021). Metodologi Penelitian Sosial; Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif,
Airlangga Press: Surabaya.
5
Suharsimi Arikunto, “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta”,
Jogjakata, 1991, Lihat juga http://etheses.uinmalang.ac.id/1398/7/08210045_Bab_3.pdf, diakse
pada 20 September 2021, Pukul 15.43 WIB

11
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Bab ini akan memuat literatur akademik mengenai penerapan


ketenagakerjaan dengan menganalisis menggunakan perspektif teori secara
khusus yang meliputi Negara hukum, Negara kesejahteraan, dan kewenangan.
Bagian selanjutnya, naskah akademik ini menguraikan mengenai praktik empiris
ketenagakerjaan.

A. Kajian Teoritis
Naskah Akademik tentang Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan
Undang-Undang Cipta Kerja mengenai Ketenagakerjaan menggunakan
beberapa teori yang digunakan sebagai pisau analisis untuk melihat
identifikasi masalah yang diusulkan dan format yuridis yang ideal mengenai
dengan beberapa teori-teori yang dipilih penulis sebagai landasan berpikir
untuk menciptakan konsistensi kontruksi dalam Rancangan Undang-Undang
Tentang Ketenagakerjaan.

1. Teori Tentang Negara Kesejahteraan


Prof. Kranenburg, pencetus Teori Negara Kesejahteraan
menyatakan bahwa negara harus aktif mengupayakan kesejahteraan,
bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata
dan seimbang. Negara kesejahteraan atau Welfare State merupakan
suatu model pembangunan sebuah negara yang difokuskan pada
peningkatan kesejahteraan dan penyelenggaraan sistem perlindungan
sosial yang melembaga bagi setiap warga negara sebagai cerminan dari
adanya hak asasi manusia yaitu hak kewarganegaraan (right of
citizenship). Negara merupakan organisasi tertinggi di antara satu
kelompok atau beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita

12
untuk bersatu hidup di dalam daerah tertentu, dan mempunyai
pemerintahan yang berdaulat.6
Hakikat dari negara kesejahteraan adalah sebuah model kebijakan
negara yang mengarah kepada perlindungan sosial atau kesejahteraan
publik (public welfare) yang menjamin adanya rasa aman, ketenteraman,
dan kesejahteraan bagi warga negaranya agar tidak jatuh ke dalam
kesengsaraan. Negara Kesatuan Republik Indonesia juga menganut faham
negara kesejahteraan, sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945. Prinsip
Welfare State, dapat ditemukan secara jelas dalam beberapa pasal yang
berkaitan dengan aspek sosial dan ekonomi dalam UUD NRI 1945. Dengan
masuknya perihal kesejahteraan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, menurut Jimly Asshidiqie, Konstitusi
Indonesia dapat disebut sebagai konstitusi ekonomi (economic
constitution) dan bahkan konstitusi sosial (social constitution). 7
Ciri utama dalam negara kesejahteraan adalah isu mengenai
jaminan kesejahteraan rakyat oleh negara. Menurut Habermas, jaminan
kesejahteraan rakyat yang dimaksud diwujudkan dalam perlindungan atas
“The risk of unemployment, accident, ilness, old age, and death of the
breadwinner must be covered largely through welfare provisions of the
state.”8 Oleh sebab itu, kesejahteraan merupakan hak yang harus
diterima oleh setiap warga negara yang harus dipenuhi oleh para petinggi
negara sesuai dengan amanat konstitusi.

2. Teori Tentang Ketenagakerjaan


Payaman J Simanjuntak mengemukakan bahwa pengertian tenaga
kerja adalah mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang

6
Moh Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Edisi Revisi) Renaka Cipta,
Jakarta.
7
Jimly Asshiddiqie,. (2005). Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press,
Jakarta.
8
Gianfranco Poggi,. (1992). The Development of the Modern State “Sosiological Introduction”,
California: Standford University Press.

13
sedang mencari kerja dan yang melakukan pekerjaan lain seperti sekolah
dan mengurus rumah tangga. Tenaga kerja merupakan penduduk yang
berada dalam usia kerja. Berdasarkan UU Nomor. 13 tahun 2003 Bab I
pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa
baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.9
Ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan dirumuskan istilah ketenagakerjaan, yaitu segala hal
yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama,
dan sesudah masa kerja. Menurut Undang- Undang ini, tenaga kerja
adalah “setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun untuk masyarakat.”10
Pekerja dapat diartikan sebagai buruh yang mana arti buruh adalah
barang siapa bekerja pada majikan dengan menerima upah.11 Selain itu
yang setara dengan pekerja atau buruh adalah ada istilah lain yang dapat
diartikan sebagai; Kuli, Pembantu, Pekerja, Karyawan, Kerani, Pegawai.

3. Teori Good Governance


Ulum dan Sofyan mengungkapkan bahwa good governance meliputi
seluruh aspek kehidupan berupa hukum, politik, ekonomi dan sosial.
Good governance juga sangat berhubungan erat dengan penyelenggaraan
kekuasaan negara, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Governance diartikan sebagai mekanisme, praktek dan tata cara
pemerintahan dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan
masalah-masalah publik. Dalam konsep governance, pemerintah hanya
menjadi salah satu aktor dan tidak selalu menjadi aktor yang

9
Subijanto,. (2011). Peran Negara Dalam Hubungan Tenaga Kerja Indonesia. Jurnal
Pendidikan Dan Kebudayaan ( vol 17 Nomor 6).
10
R. Joni Bambang s,. (2013). Hukum Ketenagakerjaan, penerbit Pustaka Setia, Bandung.
11
C.S.T, Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN.Balai Pustaka Jakarta,
2006.

14
menentukan. Implikasi peran pemerintah sebagai pembangunan maupun
penyedia jasa layanan dan infrastruktur akan bergeser menjadi bahan
pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain
di komunitas. Governance menuntut redefinisi peran negara, dan itu
berarti adanya redefinisi pada peran warga. Adanya tuntutan yang lebih
besar pada warga, antara lain untuk memonitor akuntabilitas
pemerintahan itu sendiri.
Good governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen
pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan
prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi
dana investasi dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun
administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and
political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Padahal, selama ini
birokrasi di daerah dianggap tidak kompeten. Dalam kondisi demikian,
pemerintah daerah selalu diragukan kapasitasnya dalam menjalankan
desentralisasi. Disisi lain mereka juga harus mereformasi diri dari
pemerintahan yang korupsi menjadi pemerintahan yang bersih dan
transparan.

a. Ciri-Ciri Good Governance


Dokumen kebijakan United Nation Development Programme
(UNDP) lebih jauh menyebutkan, ciri-ciri good governance yaitu:
1. Mengikutsertakan semua, transparansi dan bertanggung jawab,
efektif dan adil.
2. Menjamin adanya supremasi hukum.
3. Menjamin bahwa prioritas-prioritas politik, sosial dan ekonomi
didasarkan pada konsensus masyarakat.
4. Memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan
lemah dalam proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi
sumber daya pembangunan. Penyelenggaraan pemerintahan yang

15
demokratis saat ini adalah pemerintahan yang menekankan pada
pentingnya membangun proses pengambilan keputusan publik
yang sensitif terhadap suara-suara komunitas. Yang artinya, proses
pengambilan keputusan bersifat hirarki berubah menjadi
pengambilan keputusan dengan adil seluruh stakeholder.

Dinyatakan bahwa tata pemerintahan mencakup seluruh


mekanisme, proses, dan lembaga-lembaga dimana warga dan
kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka,
menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani
perbedaan-perbedaan diantara mereka.
Beberapa ahli atau lembaga menyatakan persepsinya mengenai
prinsip-prinsip good governance antara lain: UNDP (1997) yaitu
partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi,
peduli pada stakeholder, berorientasi pada konsensus, kesetaraan,
efektivitas, efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis. Sedangkan
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 prinsip-prinsip ke
pemerintahan yang baik antara 16 lain: profesionalitas, akuntabilitas,
transparansi, pelayanan prima, demokrasi dan partisipasi, efisiensi
dan efektivitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh
masyarakat.

b. Prinsip-Prinsip Good Governance


Negara dengan birokrasi pemerintahan dituntut untuk merubah
pola pelayanan diri birokratis elitis menjadi birokrasi populis. Dimana
sektor swasta sebagai pengelola sumber daya di luar negara dan
birokrasi pemerintah pun harus memberikan kontribusi dalam usaha
pengelolaan sumber daya yang ada. Penerapan cita good governance
pada akhirnya mensyaratkan keterlibatan organisasi masyarakat
sebagai kekuatan penyeimbang Negara. Namun cita good governance

16
kini sudah menjadi bagian sangat serius dalam wacana
pengembangan paradigma birokrasi dan pembangunan kedepan.
Karena peranan implementasi dari prinsip good governance adalah
untuk memberikan mekanisme dan pedoman dalam memberikan
keseimbangan bagi para stakeholders dalam memenuhi
kepentingannya masing-masing. Dari berbagai hasil yang dikaji
Lembaga Administrasi Negara (LAN) menyimpulkan ada sembilan
aspek fundamental dalam perwujudan good governance, yaitu:

1. Partisipasi (Participation)
Partisipasi antara masyarakat khususnya orang tua terhadap
anak-anak mereka dalam proses pendidikan sangatlah dibutuhkan.
Karena tanpa partisipasi orang tua, pendidik (guru) ataupun
supervisor tidak akan mampu bisa mengatasinya. Apalagi melihat
dunia sekarang yang semakin rusak yang mana akan membawa
pengaruh terhadap anak-anak mereka jika tidak ada pengawasan
dari orang tua mereka.

2. Penegakan hukum (Rule Of Low)


Pelaksanaan tidak mungkin dapat berjalan dengan kondusif
apabila tidak ada sebuah hukum atau peraturan yang ditegakkan
dalam penyelenggaraannya. Aturan-aturan itu berikut sanksinya
guna meningkatkan komitmen dari semua pihak untuk
mematuhinya. Aturan-aturan tersebut dibuat tidak dimaksudkan
untuk mengekang kebebasan, melainkan untuk menjaga
keberlangsungan pelaksanaan fungsi-fungsi pendidikan dengan
seoptimal mungkin.

17
3. Transparansi (Transparency)
Persoalan pada saat ini adalah kurangnya keterbukaan
supervisor kepada para staf-stafnya atas segala hal yang terjadi,
dimana salah satu dapat menimbulkan percekcokan antara satu
pihak dengan pihak yang lain, sebab manajemen yang kurang
transparan. Apalagi harus lebih transparan di berbagai aspek baik
dibidang kebijakan, baik di bidang keuangan ataupun bidang-
bidang lainnya untuk memajukan kualitas dalam pendidikan.

4. Responsif (Responsiveness)
Salah satu untuk menuju cita good governance adalah
responsif, yakni supervisor yang peka, tanggap terhadap
persoalan-persoalan yang terjadi di lembaga pendidikan, atasan
juga harus bisa memahami kebutuhan masyarakatnya, jangan
sampai supervisor menunggu staf-staf menyampaikan keinginan-
keinginannya. Supervisor harus bisa menganalisa kebutuhan
mereka, sehingga bisa membuat suatu kebijakan yang strategis
guna kepentingan kepentingan bersama.

5. Konsensus (Consensus Orientation)


Aspek fundamental untuk cita good governance adalah
perhatian supervisor dalam melaksanakan tugas-tugasnya adalah
pengambilan keputusan secara konsensus, di mana pengambilan
keputusan dalam suatu lembaga harus melalui musyawarah dan
semaksimal mungkin berdasarkan kesepakatan bersama
(pencapaian mufakat). Dalam pengambilan keputusan harus dapat
memuaskan semua pihak atau sebagian besar pihak juga dapat
menarik komitmen komponen-komponen yang ada di lembaga.
Sehingga keputusan itu memiliki kekuatan dalam pengambilan
keputusan.

18
6. Kesetaraan dan keadilan (Equity)
Asas kesetaraan dan keadilan ini harus dijunjung tinggi oleh
supervisor dan para staf-staf di dalam perlakuannya, di mana
dalam suatu lembaga pendidikan yang plural baik segi etnik,
agama dan budaya akan selalu memicu segala permasalahan yang
timbul. Proses pengelolaan supervisor yang baik itu harus
memberikan peluang, jujur dan adil. Sehingga tidak ada seorang
pun atau para staf yang teraniaya dan tidak memperoleh apa yang
menjadi haknya.

7. Efektivitas dan efisien


Efektivitas dan efisien disini berdaya guna dan berhasil guna,
efektivitas diukur dengan parameter produk yang dapat
menjangkau besarnya kepentingan dari berbagai kelompok.
Sedangkan efisien dapat diukur dengan rasionalitasi untuk
memenuhi kebutuhan yang ada di lembaga. Di mana efektivitas
dan efisien dalam proses pendidikan, akan mampu memberikan
kualitas yang memuaskan.

8. Akuntabilitas
Asas akuntabilitas berarti pertanggungjawaban supervisor
terhadap staf-stafnya, sebab diberikan wewenang dari pemerintah
untuk mengurus beberapa urusan dan kepentingan yang ada di
lembaga. Setiap supervisor harus mempertanggung jawabkan atas
semua kebijakan, perbuatan maupun netralitas sikap-sikap selama
bertugas di lembaga.

19
9. Visi Strategi (Strategic Vision)
Visi strategi adalah pandangan-pandangan strategi untuk
menghadapi masa yang akan datang, karena perubahan-
perubahan yang akan datang mungkin menjadi perangkap bagi
supervisor dalam membuat kebijakan-kebijakan. Disinilah
diperlukan strategi-strategi jitu untuk menangani perubahan yang
ada.

4. Teori Kepastian Hukum


Menurut Gustav Radbruch kepastian hukum adalah “Scherkeit des
Rechts selbst” yang berarti kepastian hukum tentang hukum itu sendiri.
Makna Kepastian hukum berhubungan erat dengan empat hal, yaitu
hukum yang positif, hukum yang berdasarkan fakta, fakta tersebut
dirumuskan secara jelas, hukum positif tidak boleh sering diubah. Tujuan
hukum merupakan untuk menciptakan keadilan, oleh sebab itu perlu
adanya kepastian hukum agar keadilan yang ingin dicapai, harus
dijalankan. Kepastian Hukum merupakan bagian terpenting dari hukum,
asas kepastian hukum di dalam undang-undang sangat diperlukan karena
kepastian merupakan prinsip utama agar tidak menimbulkan keragu-
raguan, sehingga dapat menciptakan sebuah jaminan keadilan.
Hukum yang berisi keadilan harus mengandung kepastian hukum.
Adanya kepastian hukum dalam peraturan perundang-undangan juga
merupakan suatu upaya yang dibuat oleh pihak yang berwenang ini
memiliki aspek yuridis. Aturan-aturan yang memiliki aspek yuridis dapat
menjamin bahwa aturan itu dijalankan dengan baik dan harus ditaati,
dengan adanya kepastian hukum maka tidak ada kekosongan hukum.
Kepastian hukum mengistilahkan bahwa hukum tersebut merupakan
hukum yang konsisten, sehingga keadaan keadaan yang sifatnya subjektif
tidak dapat mempengaruhi jalannya hukum yang berlaku.

20
Tujuan hukum yang utama adalah kepastian, maka apabila hukum
tersebut tidak mengandung sebuah kepastian maka makna dari hukum
tersebut tidak diketahui dan bila sudah terjadi, hukum yang seperti ini
tidak dapat dijadikan sebagai pedoman. Dengan adanya kepastian hukum,
membuktikan adanya upaya hukum yang terwujud dalam perundang-
undangan, perundang-undangan tersebut tidak didasari oleh keputusan
sesat. Asas kepastian hukum ialah sebuah konsep guna memastikan
bahwa hukum itu telah dilaksanakan secara baik hingga tidak
menimbulkan kerugian apapun bagi siapa saja, hukum harus mengayomi
dan melindungi masyarakat dari berbagai tindak kejahatan atau
pelecehan pada individu ataupun kelompok serta harus dijadikan sebagai
pedoman hidup bagi setiap orang.12

5. Teori Tenaga Kerja


Menurut Simanjuntak, tenaga kerja mencakup penduduk yang
sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan dan yang
melakukan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga.
Tenaga kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, yaitu setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan
guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun masyarakat. Tenaga kerja juga disebut sebagai human
resources yang berperan dalam kegiatan pembangunan di masyarakat.
Tenaga kerja memiliki peranan yang sangat penting dalam proses
produksi, yang berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi negara.
Konsep tenaga kerja yaitu, penduduk yang mampu memproduksi barang
dan jasa.
Terdapat tiga macam tenaga kerja, yaitu tenaga kerja penuh (full
employed) yang jam kerjanya lebih dari 35 jam dalam seminggu, tenaga
kerja tidak penuh (under employed) yang memiliki jam kerja kurang dari

12
Engel,. (2014). Jurnal Universitas Medan Area. Toward a Media History of Documents, I, 12–
23.

21
35 jam dalam seminggu, tenaga kerja yang belum bekerja (unemployed)
tenaga kerja yang kurang dari satu jam dalam seminggu. Karena tenaga
kerja adalah bagian penduduk yang mampu bekerja memproduksi barang
dan jasa, maka sering dihitung angka beban tanggungan untuk
memperlihatkan rata-rata beberapa orang (tidak termasuk dirinya
sendiri) yang harus ditanggung oleh seorang tenaga kerja13. Konsep
ketenagakerjaan yang berlaku secara umum menurut Nainggolan, yaitu:
a. Tenaga kerja adalah penduduk dengan usia kerja atau jumlah seluruh
penduduk dalam negara yang dapat memproduksi barang dan jasa,
b. Angkatan kerja (labor force), yang merupakan bagian dari tenaga kerja
yang terlibat maupun tidak terlibat
c. Bukan angkatan kerja (unlabor force), yaitu penduduk yang memasuki
usia berkerja (15 tahun ke atas) namun, kegiatan utamanya bukanlah
bekerja
d. Tingkat partisipasi Angkatan kerja (labour force participation rate),
yang menggambarkan jumlah angkatan kerja berdasarkan kelompok
umur sebagai presentase penduduk
e. Tingkat pengangguran (unemployment rate), angka pengangguran
menunjukan jumlah angkatan kerja yang aktif mencari pekerjaan.
Setiap negara memiliki peraturan yang berbeda-beda tentang usia
kerja, Indonesia menggolongkan usia 10 tahun ke atas sebagai tenaga
kerja, hal ini dikarenakan banyaknya penduduk dengan usia 10 tahun ke
atas yang sudah bekerja, sedangkan PBB mengkategorikan penduduk usia
15-64 tahun sebagai usia tenaga kerja.

6. Teori Upah
Upah menurut KBBI, yaitu uang yang dibayarkan sebagai pembalas
jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk

13
Ii, B. A. B., & Kerja, K. T. (n.d.). Badan Pusat Statistik,. (2001). Produk Domestik Regional
Bruto Kabupaten/Kota. Jakarta: BPS 13. 13–32.

22
mengerjakan sesuatu; gaji; imbalan. Sedangkan upah menurut Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu hak
pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan,
atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan yang telah
dilakukan. Upah merupakan bentuk balas jasa kepada para pekerja yang
sudah mencapai tujuannya sebagai berikut ini merupakan komponen
yang terdapat dalam upah:
a. Upah Pokok, imbalan dasar yang dibayarkan untuk para pekerja
menurut tingkatan atau jenis pekerjaannya
b. Tunjangan Tetap, pembayaran secara teratur yang berkaitan dengan
pekerjaan yang diberikan untuk para pekerjanya, yang dibayarkan
secara bersamaan dengan upah pokok
c. Tunjangan tidak tetap, pembayaran yang dibayarkan ecara langsung
ataupun tidak langsung yang berkaitan dengan pekerjaannya, namun
dibayarkannya tidak bersamaan dengan upah pokok.
Sedangkan selain dari ketiga ini maka tidak termasuk sebagai
komponen upah, seperti halnya fasilatas, bonus, dan tunjangan hari raya
atau pembagian keuntungan lain. Selain komponen upah, menurut G.
Kartasapoetra upah dibagi beberpa jenis, yaitu
1. Upah Nominal (money wages), yaitu sejumlah uang yang dibayar
kepada pekerja secara tunai, yang mana dalam upah tersebut tidak
ada tambahan keuntungan yang lain yang diberikan.
2. Upah nyata (real wages), upah yang harus diterima oleh para pekerja
yang berhak, upah ini ditentukan oleh daya beli upah yang
bergantung dari, besar atau kecilnya jumlah uang yang diterima dan
yang diperlukan

23
3. Upah hidup, yaitu upah yang dibayarkan cukup untuk membiayai
keperluan hidup para pekerja, namun bukan hanya lingkup
kebutuhan pokok saja atau melainkan sebagian dari kebutuhan
sosialnya juga dapat terpenuhi
4. Upah minimum, upah terendah yang ditetapkan
5. Upah wajar, upah yang dinilai cukup wajar sebagai imbalan atas jasa-
jasa pekerja dan sesuai dengan perjanjian kerja
Menurut Moekijat tingkat upah yang dibayarkan kepada pekerja
dapat dipenaruhi oleh beberapa faktor, seperti:
1) Gaji atau upah yang diberikan oleh pihak swasta mengalami kenaikan
yang akan diikuti oleh kenaikan upah pada pegawai negeri,
2) Kondisi keuangan negara yang sedang tidak stabil akan sulit
mengalami kenaikan upah,
3) Biaya hidup pada suatu negara akan berpengaruh terhadap tinggi
atau rendahnya upah yang dibayarkan,
4) Peraturan pemerintah dapat membatasi tingkat upah,
5) Kekayaan negara juga dapat menjadi pengaruh karena negara yang
kaya akan dapat memberikan upah yang tinggi dibanding dengan
negara lainnya,
6) Produktivitas pegawai yang tinggi,
7) Persediaan tenaga kerja yang sedikit akan menawarkan upah yang
tinggi,
8) Kondisi kerja yang berat dan sulit akan diberikan upah yang tinggi,
9) Jumlah jam kerja juga dapat mempengaruhi tinggi rendahnya upah,
10) Perbedaan geografis,
11) Kondisi inflasi negara akan mempengaruhi tingkat turunnya upah,
12) Pendapatan nasional
13) Harga Pasar yang mengalami kenaikan
14) Nilai sosial dan etika dalam suatu negara

24
Upah sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia, nilai
yang ditetapkan sesuai perjanjian, Undang-undang atau peraturan, dan
pembayaran upah diberikan sesuai dengan perjanjian kerja yang
dilakukan oleh pemberi kerja dan pekerja.

B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip Yang Terkait Dengan Penyusunan Norma


Istilah asas berarti dasar prinsip, pedoman pegangan atau sesuatu yang
dijadikan tujuan berpikir, berpendapat, dan bertindak, asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan berarti dasar atau sesuatu
yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan.
Yang akan dijelaskan dibawah ini adalah asas asas yang ada di dalam
asas/prinsip Wilayah Usaha Pertambangan Khusus dan Perizinan.
Asas-asas atau prinsip-prinsip yang digunakan dalam teori ini terbagi
menjadi enam pembagian yaitu:

1. Asas-asas dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan


Asas-asas yang dimaksud dalam pembentukan Peraturan
Perundang- undangan ialah sebagai berikut, Lex superior derogat legi
inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya. Didahulukan berlakunya daripada peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah dan sebaliknya. Peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Prinsip ini berlaku
terhadap peraturan perundang-undangan yang setingkat.

2. Asas Kebebasan Berkontrak


Umumnya, salah satu asas yang menempati posisi utama dalam
perjanjian ialah asas kebebasan berkontrak, walaupun asas tersebut
belum ditransformasikan menjadi suatu aturan hukum, namun memiliki
peran penting terhadap hubungan kontraktual dari pihak yang berkaitan.

25
Pada prinsipnya, kebebasan berkontrak mencerminkan keinginan yang
bebas, mewujudkan hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi
oleh semangat liberal yang memuji pada kebebasan individu.
Ide utama dari kebebasan kontrak adalah menekankan pada
kesepakatan dan niat atau kemauan kedua pihak. Sementara itu,
pengertian kebebasan kontrak juga terkait dengan sudut pandang bahwa
kontrak yang terjadi ialah suatu produk dari kesepakatan yang bebas,
sehingga dapat dianggap bahwa tidak terdapat kontrak jika tidak ada
dasar pilihan yang bebas untuk melakukan kontrak. Hukum perjanjian di
Indonesia mengakui prinsip kebebasan kontrak, sehingga sistem terbuka
yang dianut oleh hukum kontrak di Indonesia. Hal ini mengandung arti,
bahwa jenis perjanjian yang diatur tidak hanya diakui oleh undang-
undang dan dinamai dalam undang-undang, tetapi juga mengakui dan
menegakkan perjanjian yang telah dicapai oleh pihak yang berkaitan,
meskipun jenis perjanjian ini tidak terikat secara hukum. Hal ini dapat
disimpulkan dari berdasarkan ketentuan dari Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata.
Asas kebebasan berkontrak merupakan prinsip utama untuk
mencapai kesepakatan. Hal ini berarti bahwa setiap orang dapat
mencapai kesepakatan apa pun dengan siapa pun. Pasal 1338
KUHPerdata menyatakan bahwa para pihak yang telah mencapai
kesepakatan akan menjadi perjanjian yang setara dengan Meski begitu,
kebebasan kontrak tidak diperbolehkan untuk bertentangan dengan
hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Pernyataan yang dibuat oleh Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata,
memberikan gambaran bahwa seolah-olah memperbolehkan para pihak
membuat perjanjian untuk mencapai kesepakatan apapun dan akan
mengikat para pihak sesuai dengan hukum. Namun terdapat batasan
terhadap kebebasan tersebut, yakni tidak bertentang dengan apa yang
dinamakan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang-undang. Kebebasan

26
berkontrak mengandung arti freedom of contract yang mana sepenuhnya
dari isi dan bentuk perjanjian ditentukan berdasarkan oleh
musyawarah/kesepakatan yang dicapai oleh kedua pihak, termasuk
indoktrinasi dalam bentuk kontrak standar, harus diserahkan sepenuhnya
kepada pihak yang berkaitan.
Berdasarkan asas ini, pihak yang berkaitan biasanya bebas memilih
untuk membuat perjanjian. Menurut Sutan Remi Sjahdeni, asas
kebebasan berkontrak yang berdasarkan hukum perjanjian Indonesia
meliputi ruang lingkup sebagai berikut:
a. Kebebasan untuk mencapai kesepakatan atau tidak.
b. Kebebasan untuk memilih pihak yang ingin disepakati bersama.
c. Kebebasan untuk memilih atau menentukan objek kesepakatan.
d. Bebas memutuskan atau menentukan kausalitas dari kesepakatan
yang akan dicapai.
e. Bebas untuk memilih atau menyimpang dari ketentuan hukum yang
bersifat opsional (aanvullend, optional).
f. Bebas dalam menyepakati bentuk dari perjanjian.

3. Asas Pembangunan Ketenagakerjaan


Asas Pembangunan Ketenagakerjaan diatur dalam Pasal 3
diselenggarakan atas dasar keterpaduan melalui koordinasi fungsional
lintas sektoral pusat dan daerah. Pada dasarnya sesuai dengan asas
pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi, asas adil, dan merata.
Hal ini dilakukan karena pembangunan ketenagakerjaan menyangkut
multidimensi dan terkait dengan berbagai pihak, yaitu antara pemerintah,
pengusaha, dan pekerja/buruh.
Oleh karenanya, pembangunan ketenagakerjaan dilakukan secara
terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling mendukung. Jadi, asas 29
hukum ketenagakerjaan adalah asas keterpaduan melalui koordinasi
fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.

27
Terdapat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
menegaskan bahwa pembangunan ketenangakerjaan diselenggarakan
atas asas gabungan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat
dan daerah. Asas pembangunan nasional pada dasarnya sesuai dengan
asas pembangunan ketenagakerjaan, khususnya asas demokrasi, asas adil
dan merata. Hal ini dilakukan sebab pembangunan ketenagakerjaan
menyangkut multidimensi dan terkait dengan berbagai pihak, yaitu antara
pengusaha, pemerintah, dan pekerja/buruh.
Pembangunan ketenagakerjaan dilakukan dengan cara terpadu
dalam bentuk Kerja sama yang saling mendukung. Jadi, asas hukum
ketenagakerjaan yakni asas keterpaduan melalui koordinasi fungsional
lintas sektoral baik pusat dan daerah. Adapun suatu kewajiban pengusaha
dan serikat pekerja/buruh dalam perjanjian kerja bersama mulai
berlakunya setelah didaftarkan dan sejak itu pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh terikat dan mempunyai kewajiban masing-masing.
Sebelumnya telah diuraikan bahwa suatu perjanjian yang telah
memenuhi syarat-syarat tertentu bisa dikatakan sebagai suatu perjanjian
yang sah dan sebagai akibatnya perjanjian akan mengikat sebagai
Undang-undang yang mereka buatkan.
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan
keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pekerja, dan
pengusaha. Tujuan pembangunan ketenagakerjaan diatur dalam pasal 4
yang menjelaskan:
a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal
dan manusiawi.
b. Mewujudkan pemerataan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang
sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.
c. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan.
d. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

28
Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan
asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi, asas adil, dan
merata. Hal ini dilakukan karena pembangunan ketenagakerjaan
menyangkut multidimensi dan terkait dengan berbagai pihak, yaitu antara
pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh. Oleh karenanya
pembangunan ketenagakerjaan dilakukan secara terpadu dalam bentuk
kerja sama yang saling mendukung. Jadi asas 29 hukum ketenagakerjaan
adalah asas keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral
pusat dan daerah.

4. Asas Teritorial
Dalam Undang-Undang Pidana Indonesia berlaku terhadap setiap
orang yang melakukan sesuatu pelanggaran/kejahatan di dalam wilayah
kedaulatan negara Republik Indonesia. Jadi bukan hanya berlaku
terhadap warga negara Indonesia sendiri saja, namun juga berlaku
terhadap orang asing yang melakukan kejahatan di wilayah kekuasaan
Indonesia, yang menjadi dasar adalah tempat di mana perbuatan
melanggar itu terjadi dan karena dasar kekuasaan Undang-Undang pidana
ini dinamakan asas wilayah atau asas teritorial, yang termasuk wilayah
kekuasaan Undang-Undang pidana itu, selain daerah daratan, lautan dan
udara teritorial, juga kapal-kapal yang memakai bendera Indonesia
(kapal-kapal Indonesia) yang berada di luar perairan Indonesia. Asas
teritorial terdapat dalam pasal 2 dan 3 KUHP: 11 Pasal 2 KUHP: Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia ditetapkan bagi setiap
orang yang melakukan suatu delik di Indonesia (delik = tindak pidana).
Pasal 3 KUHP:
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku
bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan delik di dalam
perahu atau pesawat udara Indonesia. Pasal 3 KUHP sebenarnya
mengenai perluasan dari pasal 2 KUHP. Sebagai pengecualian asas

29
teritorial, ialah bahwa Undang-Undang pidana Indonesia tidak berkuasa
terhadap: Mereka yang mempunyai hak Extrateritorial, yaitu orang-orang
di daerah negara asing tidak dikenakan Undang-Undang pidana dari
negara itu dan oleh karena itu mereka berada di luar kekuasaan hukum
negara di mana mereka berada. Mereka itu ialah:
a. Kepala negara asing dengan keluarganya yang berada di Indonesia.
b. Duta besar dengan keluarganya dan pegawai-pegawai kedutaan.
c. Anak buah kapal asing, meskipun mereka berada di luar kapalnya.
d. Anggota ketentaraan asing yang mempunyai izin mengunjungi
Indonesia.
e. Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
f. Anggota delegasi negara asing yang sedang dalam perjalanan menuju
sidang PBB, dan singgah di Indonesia.
Mereka yang mempunyai Hak Immuniteit-Parlementair (hak
kekebalan), yaitu para anggota Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR)
dan DPR Pusat dan DPR Daerah serta para menteri juga tidak dikenakan
hukuman (pidana) untuk segala apa yang dikatakannya (dan tulisan-
tulisan mereka) di dalam gedung Parlemen. Mereka ini mempunyai Hak
Immuniteit-Parlementair. Hak ini tak diatur dalam KUHP, tetapi diatur
dalam hukum tata negara.

5. Asas Keadilan
Nilai dasar dari manusia adalah keadilan, keadilan dapat diartikan
sebagai pembagian yang sesuai terhadap hak-hak manusia. Hakikat
keadilan, yaitu penilaian terhadap perilaku atau tindakan dengan
memperhatikan Norma. Menurut Aristoteles, keadilan merupakan
tindakan memberikan sesuatu yang sesuai dengan haknya kepada setiap
orang. Dalam undang-undang aspek keadilan harus dilandasi rumusan
ketentuan perundang-undangan. Asas keadilan merupakan asas material
yang wajib dipenuhi dalam peraturan perundang-undangan.

30
Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita
dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric.
Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya
ditujukan bagi keadilan yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles,
mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya
bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan.” Selain itu, Aristoteles
berpendapat bahwa keadilan dibagi menjadi keadilan distributif dan
keadilan kolektif.
Keadilan distributif, berfokus pada distribusi, kekayaan, dan barang
yang bisa didapatkan oleh masyarakat. Distribusi yang adil merupakan
distribusi yang sesuai nilainya bagi masyarakat. Sedangkan, keadilan
korektif berfokus pada pembetulan terhadap sesuatu yang salah, keadilan
korektif memberikan kompensasi bagi pihak yang dirugikan, karena
keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan. Kesetaraan
dapat diwujudkan dengan keadilan. Adil merupakan tindakan untuk orang
lain, dengan tujuan untuk memberikan hak yang harus dimilikinya,
keadilan merupakan cara untuk menciptakan keseimbangan antara
kepentingan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Asas atau
prinsip keadilan harus berpijak pada:
1) Setiap orang hendaknya memiliki suatu hak yang sama atas sistem
menyeluruh yang luas mengenai kebebasan-kebebasan yang mendasar
(basic liberties).
2) Perbedaan sosial dan ekonomi hendaknya diatur sedemikian rupa
sehingga memberikan manfaat bagi mereka yang berkedudukan paling
tidak beruntung, dan juga harus bertalian dengan jabatan serta posisi
yang terbuka bagi semua orang berdasarkan kesetaraan kesempatan
yang layak.
Prinsip keadilan yang pertama menyangkut distribusi dari
kebebasan-kebebasan dasar yang perlu disebarkan secara merata untuk
setiap orang. Kebebasan-kebebasan itu termasuk dalam pengertian

31
primary goods, artinya ada pemenuhan hak seluruh warga negara tanpa
terkecuali. Sedangkan, prinsip keadilan yang kedua berkenaan dengan
kekuasaan jabatan, kedudukan, sosial, penghasilan dan kekayaan.
Menurut Rawls, bukan suatu ketidakadilan apabila ada manfaat-manfaat
lebih besar yang diperoleh kelompok yang termarjinalkan asal dengan itu
keadaan mereka yang tidak beruntung bisa menjadi lebih baik.

C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, Serta


Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat
Sebagai produk hukum yang belum pernah diterapkan secara formal di
Indonesia, Omnibus Law tentu akan mendapat banyak tantangan kompleks
dari berbagai pihak. Jika dicermati, ada 2 (dua) tantangan terberat penerapan
Omnibus Law, masalah pertama yaitu masih adanya persepsi tentang
Omnibus Law yang dianggap berdampak pada kebijakan pemerintah daerah
karena dinilai membatasi kebijakan pemerintah setempat. Masalah yang
kedua adalah Omnibus Law tidak sejalan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang pembentukan perundang-undangan.
Untuk itu, pemerintah pusat baik Presiden dan DPR perlu mengambil
langkah yang tepat sebelum mengimplementasikan Omnibus Law sebagai
payung hukum. Langkah pertama adalah mengajukan Judicial Review kepada
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi terkait dengan UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan. Jika UU ini tidak
segera di amandemen, maka pembentukan dan penerapan Omnibus Law
akan sulit diterapkan karena anggapan akan melenceng dari asas hukum yang
sudah berlaku pasti akan muncul. Namun tampaknya langkah ini sudah
ditempuh pemerintah sebagaimana pernyataan Menko polhukam pada
November 2019 bahwa tahap awal untuk merealisasikan Omnibus Law adalah
merevisi UU Nomor 12 Tahun 2011.
Dibutuhkan juga tim ahli yang sudah terakreditasi dalam bidang hukum
agar mampu menjabarkan konsep penerapan Omnibus Law baik kepada

32
pemerintah daerah dan masyarakat agar tidak timbul kesalahpahaman. Tim
Ahli juga akan meringankan beban satgas yang sudah dibentuk oleh Presiden
Jokowi dalam penyusunan materi dan strategi penerapan Omnibus Law
nantinya. Sehingga, penyusunan Omnibus Law akan lebih efisien karena
banyak elemen yang terlibat, mulai dari pemangku kebijakan, akademisi,
pemerintah dan praktisi hukum.
Pemerintah juga harus membuat Omnibus Law dalam memperjelas hak
buruh supaya tidak memunculkan masalah baru. Pada saat ini pula Omnibus
Law ramai mendapatkan dari pihak buruh karena menilai upah minimum akan
terganggu. Untuk itu, Omnibus Law harus dibuat salah satunya untuk
melindungi hak kerja dan upah buruh. Beberapa hal yang bisa dilakukan
adalah dengan membuat aturan khusus untuk jaminan sosial bagi buruh dan
upah minimun yang lebih berpihak kepada buruh.
Mengingat aspek urgensi dan signifikansi dari skema Omnibus Law.
Bukan saja bertujuan mengharmonisasi dan mengakhiri tumpang tindih
regulasi yang terjadi selama ini, skema Omnibus Law juga bakal sanggup
mendorong perbaikan kualitas regulasi di Indonesia sehingga diharapkan
tercipta iklim pro investasi dan kemudahan izin berusaha. Serta mengingat
penyusunan undang-undang merupakan produk kesepakatan politik antara
pemerintah dan DPR, jelas bukan mustahil skema Omnibus Law bakal
diimplementasikan dalam proses legislasi ke depan.
Ada beberapa kelebihan penerapan konsep Omnibus Law dalam
menyelesaikan sengketa regulasi di Indonesia, antara lain ialah:
1. Mengatasi konflik peraturan perundang-undangan baik vertikal maupun
horizontal secara cepat, efektif dan efisien.
2. Menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di
daerah untuk menunjang iklim investasi;
3. Memangkas pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien dan efektif;
4. Mampu memutus rantai birokrasi yang berbelit-belit;

33
5. Meningkatnya hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah
diatur dalam kebijakan Omnibus regulation yang terpadu;
6. Adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para
pengambil kebijakan.
Sasarannya dengan memperbaiki regulasi SJSN (Sistem Jaminan Sosial
Nasional) dan BPJS ketenagakerjaan yang selama ini masih bermasalah
penerapannya. Jika langkah ini bisa ditempuh maka penolakan terhadap
Omnibus Law oleh kelompok buruh bisa diantisipasi dengan mudah karena
buruh akan merasa diuntungkan dengan adanya Omnibus Law. Keterlibatan
kelompok buruh pada pembahasan RUU Omnibus Law di sektor Cipta
Lapangan Kerja juga penting dilakukan agar aspirasi kelompok buruh
tersampaikan ke pemerintah guna menjadi pertimbangan sebelum Omnibus
Law nantinya betul-betul diterapkan.
Undang-Undang Cipta Kerja ini dapat menjadi modal dalam pemulihan
ekonomi Indonesia, karena akan membuka berbagai kemudahan sebagai
peluang investasi, termasuk investasi asing, di samping mampu
mengakomodir serta mendukung aspirasi masyarakat dalam jangka panjang.
Berdasarkan Indeks Kompleksitas Bisnis Global (GBCI) yang dirilis oleh
lembaga konsultan dan riset TMF Group beberapa waktu lalu, menempatkan
Indonesia sebagai negara yang paling rumit untuk memulai dan menjalankan
bisnis. menunjukkan Indonesia di posisi pertama, kemudian Nikaragua, Uni
Emirat Arab, Brasil, dan Qatar. TMF menyebutkan Indonesia menjadi negara
yang memiliki kompleksitas tinggi karena peraturan dan sanksi sering
berubah dan menimbulkan ketidakpastian. Pelaksanaan juga dinilai lambat,
melibatkan banyak struktur dan pemilik bisnis dituntut mematuhi proses
oleh otoritas di tiap tingkatan.
Kondisi Buruh Pasca Undang-Undang 13 tahun 2003, Alih-alih
menciptakan lapangan kerja baru untuk 3.000.000 juta angkatan kerja akan
tetapi justru akan menjadi hubungan kerja tidak kondusif terutama karena
penghilangan Pasal 161 yang menegaskan bahwa pemutusan hubungan

34
kerja (PHK) langsung dapat dilakukan tanpa adanya surat peringatan bagi
kesalahan ringan oleh buruh/pekerja; demikian halnya menghilangkan
ketentuan pemberian surat peringatan atau surat panggilan bagi buruh yang
5 (lima) hari kerja tidak masuk tanpa perlu melakukan klarifikasi langsung
dapat di PHK.
Minimnya keterlibatan buruh dalam proses Pembentukan Omnibus
Law, juga menyebabkan menurunnya peran buruh, buruh juga mengalami
penurunan atas perlindungan hak dalam pekerjaannya dan upahnya karena
memaksakan pemberlakuan alih daya buruh (outsourcing), posisi buruh
dalam aspek berorganisasi dan berserikat menjadi rentan. Konsolidasi dan
perjuangan hak pun semakin sulit dilakukan karena Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2020 tidak mewajibkan adanya perundingan dengan para buruh
sebelum perusahaan melakukan PHK, sehingga para buruh disibukan dengan
mempertahankan agar kontrak kerja mereka diperpanjang.
Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, aspek
ketenagakerjaan mengalami kemunduran dan tidak mengarah pada
progressive realization, karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Ketersediaan lapangan pekerjaan yang mengalami pengurangan, karena
adanya pelonggaran terhadap penerimaan Tenaga Kerja Asing (Yang
disingkat TKA) sehingga memperkecil kesempatan kerja bagi masyarakat
b. Aspek jaminan dalam pekerjaan mengalami penurunan, karena hubungan
kerja antara buruh dan pekerja berada pada ranah privat, adanya
perubahan sifat hubungan PKWT untuk semua jenis, sifat dan level
pekerjaan, dan proses PHK pun dipermudah. Hal ini sangat merugikan
buruh, hingga mengancam hak atas pekerjaan mereka
Aksestabilitas dan mutu, kondisi kerja para pekerja yang seharusnya
layak dan adil kini mengalami penurunan, karena pengaturan upah, jaminan
sosial, hak-hak istirahat dan cuti berkurang.
Praktik Penyelenggaraan mengenai Omnibus Law yang menjelaskan
secara komprehensif dalam undang-undang Nomor 11 tahun 2020 sebagai

35
undang-undang kontravensional dengan kebijakan dan implementasinya.
Memuat beberapa bentuk kebijakan dan implementasi yaitu:
1) Mengenai RPTKA, untuk sejauh ini di Indonesia masih membutuhkan
investor asing dalam mendongkrak globalisasi peradaban yang mana
Indonesia sebagai negara anggota WTO wajib untuk membuka
kesempatan masuknya tenaga kerja asing. Untuk menghindari hal
tersebut maka dibuatnya suatu persyaratan tenaga kerja asing serta
pengamanan penggunaan tenaga kerja asing. Maka dari itu, dalam
memperkerjakan tenaga kerja asing diatur dalam RPKTA sebagai
mekanisme dan prosedur yang tepat bagi perusahaan yang menggunakan
tenaga kerja asing.
Pengawasan terhadap izin memperkerjakan tenaga kerja asing
harus diperketat dan lebih dipertegas, salah satu upaya yang dilakukan,
yakni menutup beberapa jabatan secara khusus kepada tenaga kerja
asing yang nantinya posisi tersebut akan diisi tenaga kerja Indonesia.
Implementasi izin memperkerjakan tenaga kerja asing mengalami
kendala, yakni kurang efektif pengawasan transfer of knowledge
maksudnya dari tenaga kerja asing ke tenaga kerja Indonesia pendamping
tidak berjalan seperti apa yang diharapkan yang mana terletak di dalam
faktor aturannya dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Perubahan dan penghapusan secara otomatis dalam undang-
undang Nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja dengan syarat
beberapa ketentuan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan. Salah satunya terkait dengan Izin Menggunakan Tenaga
Kerja Asing (IMTA).
Syarat dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 bahwa dalam
penggunaan Tenaga Kerja Asing saat ini hanya membutuhkan pengesahan
RPTKA tanpa harus Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), di
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 pengesahan RPTKA
menjadi suatu izin bagi Tenaga Kerja Asing dalam bekerja di Indonesia.

36
Dalam uraian tersebut menjadi suatu upaya bagi Tenaga Kerja Asing
untuk mempermudah dalam keluar masuknya ke Indonesia. Dengan
diberikan akses tersebut yang mana semakin banyak Tenaga Kerja Asing
masuk menjadikan angka pengangguran di Indonesia menjadi meningkat,
sehingga menyebabkan sempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia di
dalam negeri.
Selain itu akan memicu kecemburuan sosial karena Tenaga Kerja
Asing mendapatkan fasilitas yang berbeda dengan tenaga kerja Indonesia
seperti halnya perbedaan upah antara tenaga kerja Indonesia sendiri
dalam satu profesi padahal dalam posisi yang sama dan ditolaknya tenaga
kerja Indonesia sebab pemerintah memberikan akses kepada Tenaga
Kerja Asing untuk bersaing dengan tenaga kerja Indonesia sendiri dalam
menghasilkan upah tenaga kerja di Indonesia.
Tindakan Indonesia yang seperti itu tidak selaras dengan tujuan
akan hukum ketenagakerjaan Indonesia yang mana bertujuan melindungi
tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Indonesia sebagai peningkatan
kesejahteraan rakyatnya sendiri. Hal tersebutlah yang menjadi suatu
penyebab pemerintah untuk mengeluarkan peraturan dan pengawasan
yang ketat jika membutuhkan Tenaga Kerja Asing dalam kebutuhan
khusus, dengan dibuatnya peraturan yang ketat maka kemungkinan kecil
terjadinya persaingan yang tidak sehat antara Tenaga Kerja Indonesia
selain itu guna mengurangi jumlah pengangguran karena banyaknya
jumlah Tenaga Kerja Asing yang masuk ke Indonesia, maka upaya
pemerintah dalam menangani hal ini perlu mengembangkan usaha di
dalam negeri supaya tidak terjadinya pengangguran yang menumpuk.
Pemerintah menganut konsep negara berupa kesejahteraan rakyat
sehingga menjadikan pemerintah sebagai pemberi pelayanan berupa
keadilan yang mana harus dijalankan tanpa mendiskualifikasi.
Problematika RPTKA sangat bertentangan dengan Teori negara
kesejahteraan bahwa negara harus mengupayakan kesejahteraan dengan

37
bertindak adil kepada masyarakat secara merata dan seimbang tetapi
secara realita dalam pasal RPTKA Negara Indonesia bahkan
mempermudah akses keluar masuknya Tenaga Kerja Asing ke wilayah
Indonesia sehingga menjadikan persaingan kepada Tenaga Kerja
Indonesia. Dengan diberikannya akses kemudahan tersebut yang mana
akan berdampak pada masifnya angka pengangguran di Indonesia selain
itu akan memicu kecemburuan Tenaga Kerja Indonesia karena
mendapatkan fasilitas yang berbeda dengan Tenaga Kerja Asing sehingga
teori negara kesejahteraan tersebut tidak terealisasikan dengan optimal.
Dikeluarkannya peraturan mengenai RPTKA, Negara Indonesia
melanggar Asas Keberpihakan Kepentingan Bangsa yang mana dalam
pelaksanaan masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia, bahwa
pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus
berpihak atau pro kepada kepentingan bangsa yang lebih besar artinya
secara realita Negara Indonesia dalam pasal RPTKA lebih berpihak pada
Tenaga Kerja Asing salah satunya memakai tenaga kerja asing dibanding
tenaga kerja Indonesia sendiri.
Tetapi kenyataannya banyak kasus yang tidak sesuai dengan
pengimplementasi yang terdapat di RPKTA sebagai contoh pada saat
pembangunan proyek kereta cepat Indonesia, Jakarta-Bandung yang
menjadi topik permasalahannya terletak di penggunaan tukang las yang
mendatangkan dari Tiongkok yang mana kita mendatangkan Tenaga Kerja
Asing ke Indonesia padahal TKI di Indonesia banyak tukang las yang
kemampuannya mencukupi artinya terdapat akses kemudahan oleh
Tenaga Kerja Asing hal lainnya terjadi juga pada saat Pandemi Corona
yang mana pada saat itu Indonesia sedang masa lockdown tetapi
Pemerintah memberikan akan akses kemudahan keluar-masuk Tenaga
Kerja Asing ke Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, untuk memberikan keseimbangan
dorongan pada Tenaga Kerja Indonesia dan pihak-pihak yang

38
bersangkutan dalam penyelenggaraan pelaksanaan ketenagakerjaan demi
mewujudkan keadilan Tenaga Kerja Indonesia. Maka, perlu dilakukan
untuk mengimbangi dengan upaya pengetatan pengawasan. Maka dari
itu, DPR RI melalui fungsi pengawasan perlu mengawasi tenaga kerja
asing di bawah kendali pemerintah. Sesuai dengan fungsi DPR sebagai
badan legislasi bertugas dalam perubahan pada pasal 42 undang-undang
13 tahun 2020 dan peraturan lebih lanjut dengan mengajukan RUU
Pengawasan Ketenagakerjaan mengenai penggunaan tenaga kerja yang
memprioritaskan dalam negeri.

2. Praktek outsourcing di Indonesia di satu sisi sudah meluas dan telah


menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha,
tetapi di sisi lain regulasi yang ada belum terlalu memadai untuk
mengatur tentang outsourcing yang telah berjalan tersebut. Selama ini,
outsourcing masih ditempatkan sebagai ranah kebijakan ketenagakerjaan
di Indonesia sebagai bagian dari kebijakan labour market flexibility yang
berintikan keleluasaan merekrut dan memecat buruh sesuai dengan
situasi usaha untuk menghindarkan kerugian.
Bagi pengusaha sendiri hal ini sering disebut sebagai salah satu
penghambat dan penyebab sistem perdagangan yang tidak efisien. Lebih
khusus lagi pada klausul pesangon dan outsourcing. Tenaga kontrak
hampir tidak mungkin ditampung di industri-industri yang membuat
barang-barang yang daya saingnya sangat ditentukan oleh kualitas karena
persaingan yang sangat ketat seperti misalnya sepatu, pakaian jadi dan
elektronika.
Salah satu alasan strategis dilakukannya sistem outsourcing adalah
menggunakan tenaga-tenaga yang ada untuk aktivitas yang lebih efektif
dan efisien dengan mendekatkan produsen atau perusahaan dengan
pasar atau konsumen. Melalui metode delegasi atau outsourcing, pihak
perusahaan hanya memikirkan how to doing business, sedangkan untuk

39
urusan pengadaan jasa outsourcing diserahkan pada pihak lain
(perusahaan di bidang penyedia jasa outsourcing). Pihak penyedia jasa
outsourcing mempunyai tanggung jawab hukum yang sangat luas, tidak
hanya pada tahap pelaksanaan kontrak tetapi juga pada fase pro kontra
yaitu adanya kewajiban untuk melakukan penelitian yang mendalam
terhadap para tenaga kerja yang akan dipekerjakan di luar.
Maraknya praktik outsorcing maupun pesatnya pertumbuhan jenis-
jenis usaha tentunya juga menambah berbagai permasalahan
ketenagakerjaan. Permasalahan ini dapat ditemukan dalam implementasi
outsourcing yang banyak menyimpang. Penyimpangan ini mulai dari jenis-
jenis pekeijaan yang di outsourcing, jaminan sosial, tunjangan, dan
kebebebasan berserikat. Namun demikian, dalam pelanggaran ini bukan
hanya dari pihak pengusaha namun juga dapat juga dilakukan oleh buruh.
Misalnya, dari pihak buruh dengan seenaknya memutus kontrak di tengah
jalan karena mendapatkan tawaran yang lebih bagus dari perusahaan
lain.
Penetapan jenis pekerjaan yang dapat di outsourcing kan juga
masih menjadi perdebatan, hal itu terkait dengan batasan, pengertian,
dan pemahaman mengenai jenis pekeijaan inti (core) dan pendukung
(Non core) yang berbeda. Oleh karena itu, berbagai perusahaan tentunya
memiliki pertimbangan sendiri dalam menetapkan peketjaan inti dan
pendukung, dengan berbagai pertimbangan seperti efisiensi, keuntungan,
kebiasaan perusahaan, dan pertimbangan lain seperti keamanan, selain
itu yang menjadi pertimbangan pokok adalah apakah yang dihasilkan oleh
perusahaan tersebut. Berbagai bentuk perjanjian kerja saat ini lebih
mengarah ke outsourcing yang banyak ditentang oleh kaum buruh. Akan
tetapi, pertentangan suatu kebijakan oleh salah satu pihak yang merasa
dirugikan, di sisi lain terdapat pihak yang mendukung.
Hal ini sontak mendorong posisi buruh menjadi semakin lemah
karena tidak adanya kesempatan untuk berkumpul menyatukan visi untuk

40
memperoleh hak-hak buruh. Di sisi lain, outsourcing merupakan jawaban
atas menurunnya tingkat produktivitas buruh. Namun di sisi lain,
outsourcing pada akhirnya akan mendorong peningkatan skill pekerja
karena dituntut untuk selalu mengembangkan diri. Kemudian dari sisi
pengusaha outsourcing merupakan salah satu solusi untuk mengatasi
biaya produksi yang semakin tinggi. Selain perizinan dan birokrasi yang
berbelit-belit dan tidak efisien. Hal ini semakin menambah permasalahan
karena pemerintah sebagai regulator belum mampu menjadi pengawasan
yang baik, namun belum mampu memberikan pelayanan birokrasi yang
cepat dan murah.
Alih-alih menghapuskan sistem outsourcing, pemerintah justru
membentuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 yang di dalamnya
terdapat ketentuan yang melegalkan perluasan pada bidang-bidang
pekerjaan yang dapat mempergunakan sistem outsourcing atau alih daya
ini. Sistem outsourcing pada mulanya hanya dapat diterapkan pada
beberapa jenis pekerjaan penunjang atau yang bukan merupakan pokok
pekerjaan atau produksi seperti keamanan, katering, transportasi,
kebersihan, dan lain-lain. Namun ketentuan pada Pasal yang membatasi
bidang pekerjaan yang dapat membatasi pemakaian sistem outsourcing
dihapuskan dan dirubah dengan ketentuan yang baru. Adapun Pasal yang
mengatur mengenai pembatasan pemakaian sistem outsourcing atau alih
daya yaitu Pasal 66 ayat (1) yang berbunyi: “pekerja/buruh dari
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh
pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan
jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan
proses produksi. Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tersebut diubah oleh Pasal 81 angka 20 ayat (1) yang berbunyi:
“hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang
dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara

41
tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja
waktu tidak tertentu.”
Masalah-masalah yang sering dihadapi pengguna tenaga
outsourcing yaitu pertama beralihnya hubungan hukum dalam
outsourcing yang merugikan pekerja, misalnya tidak terdapat adanya
pemberian upah dan pesangon ketika pekerja di PHK pemutusan
Hubungan Kerja) dan juga tidak adanya keikutsertaan bagi pekerja dan
keluarganya dalam jaminan sosial. kedua, rendahnya perlindungan
hukum bagi pekerja outsourcing, berdasarkan perjanjian kerja yang
bersifat waktu tertentu (PKWT) antara pemberi kerja dan penerima
pekerja pada umumya dibatasi masa berlakunya, tidak ada kepastian
kesinambungan dalam pekerjaan sehingga pekerja memiliki situasi yang
tidak aman sebagai buruh.
Perlindungan hukum oleh negara di dalam undang-undang Nomor
11 Tahun 2020 terhadap pekerja/buruh tetap dipandang masih belum
dapat memberikan kepastian hukum karena sampai saat ini Pemerintah
masih belum mengeluarkan peraturan pelaksana sesuai yang sudah
diamanatkan pada Pasal 81 angka 20 ayat (6) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020

3) Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja, Undang-Undang Nomor 11 Tahun


2020 mengatur cara membuat pemutusan hubungan kerja. Terdapat
perbedaan dalam peraturan pemutusan hubungan kerja pada Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dengan adanya
perbedaan pengaturan PHK dalam undang-undang, maka pelaksanaan
dalam PHK yang diterapkan oleh perusahaan juga mengalami perubahan.
Meskipun terdapat perbedaan, kedua undang-undang ini mempunyai
prinsip yang sama, yaitu membuat suatu ketenagakerjaan untuk
memenuhi hak pekerja agar para pekerja sejahtera.

42
Hubungan kerja terikat antara perusahaan dan pekerja, sehingga
menimbulkan adanya hubungan hak dan kewajiban antara karyawan dan
perusahaan. Meskipun tujuan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 ini untuk mensejahterakan pekerja, namun dalam
pengimplementasiannya banyak para pekerja yang mengalami kerugian,
dikarenakan maraknya perusahaan yang melakukan PHK sepihak kepada
para pekerjanya. PHK sepihak ini terjadi pada buruh yang bekerja di PT.
Indosat Tbk, PT. Indosat Tbk melakukan PHK sepihak kepada 500 orang
pegawainya, tanpa adanya perundingan. PT. Indosat Tbk melakukan PHK
dikarenakan perusahaan tengah melakukan efisiensi akibat adanya
kerugian bersih yang mencapai ratusan miliar rupiah.14 PHK secara
sepihak ini menimbulkan perselisihan antara buruh dan pengusaha,
karena para buruh menilai keputusan yang diambil oleh PT. Indosat Tbk
ini sewenang-wenang dan merugikan para buruh.
Maraknya PHK sepihak yang dialami oleh para pekerja juga
dipengaruhi atas pengimplementasian Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 Pasal 151 yang mengatur mengenai PHK, yaitu:
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan
Pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan
hubungan kerja.
(2) Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud
dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha
kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan
hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib
dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan
pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.

14
Axcel Deyong Aponno, Aisyah Puspitasari Arifiani (2021), PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
SECARA SEPIHAK BERDASARKAN UU CIPTA KERJA (STUDI KASUS PT. INDOSAT TBK). Kertha
Semaya : Journal Ilmu Hukum, VOL 9 NO 10.

43
(4) Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja
dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Berdasarkan isi dari pasal tersebut, kita dapat melihat bahwa
pengaturan atas PHK sangat mudah untuk perusahaan yang ingin
melakukannya, dan hal ini juga menimbulkan kerentanan kehilangan
pekerjaan, bagi para pekerja meningkat. Selain itu, berdasarkan isi
dari pasal di atas, keputusan perusahaan dalam melakukan PHK
kepada para pekerja tidak memerlukan perundingan dengan serikat
buruh, selain itu dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 juga menghilangkan ketentuan pemberian surat
peringatan bagi buruh yang tidak masuk kerja selama 5 hari, artinya
pekerja tidak diberikan kesempatan untuk melakukan klarifikasi
terlebih dahulu sebelum akhirnya di PHK.
PHK sepihak sangat bertentangan dengan teori tentang negara
kesejahteraan, karena dengan PHK sepihak maka model kebijakan
yang digaungkan oleh pemerintah untuk memberikan perlindungan
sosial atau kesejahteraan masyarakat tidak akan tercapai. Negara
yang mempunyai tujuan untuk menjamin adanya rasa aman, tentram
dan kesejahteraan bagi warga negaranya agar tidak sengsara pun
akan sulit untuk terlaksana, karena dengan adanya PHK sepihak para
pekerja dibayang-bayangi oleh rasa ketakutan atau rasa tidak aman
dalam posisi pekerjaannya yang sewaktu waktu bisa putus, PHK
sepihak juga akan membuat masyarakat kehilangan mata
pencahariannya, dengan begitu maka keberlangsungan hidup para
pekerja pun terancam sengsara. Pada konsep tenaga kerja, pekerja
memiliki peranan yang sangat penting, peranannya pun berpengaruh
terhadap perkembangan ekonomi negara. Sehingga sangatlah tidak
etis bila nasib para pekerja tidak terjamin di negaranya sendiri.

44
Asas Keadilan dalam PHK sepihak pun patut dipertanyakan
keberadaannya, karena PHK sepihak diputuskan hanya berdasarkan
satu pihak saja, yaitu pengusaha. Bahkan sang pekerja pun tidak
diberi kesempatan dalam pemutusan hubungan kerja. Yang mana jika
kita lihat, pekerja dan pengusaha hendaknya memiliki hak yang sama,
dan berdasarkan pada asas keadilan distribusi dari kebebasan dasar
perlu disebarkan secara merata, pemenuhan hak tanpa terkecuali.
Sehingga, dalam terjadinya tindakan PHK sepihak pemenuhan hak
secara merata tidak terpenuhi.
Atas dasar hal ini, adanya PHK sepihak merupakan suatu bentuk
kegagalan pada peraturan perundang-undangan yang mana dalam
hal ini adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020. Kegagalan
pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 terutama pada Pasal
151 ini tidak memenuhi atau mengganggu tujuan negara untuk
menciptakan negara atau masyarakat yang sejahtera, dalam
peraturan ini pun tidak memperhatikan pentingnya peranan pekerja
terhadap negara, seolah-olah negara hanya berpihak pada
pengusaha, karena peranan pekerja sangat minim terutama pada
pengambilan keputusan untuk PHK yang dilakukan oleh perusahaan.
Hak pekerja pun harus diperhatikan, agar perlindungan atas
kesejahteraan mereka tidak terganggu. Dengan demikian,
pemerintah seharusnya menetapkan sebuah peraturan dengan lebih
memperhatikan aspek-aspek penting lainnya agar tidak adanya pihak
yang merasa dirugikan karena undang-undang yang berlaku, terlebih
lagi jika undang-undang yang ditetapkan menghalangi tujuan negara
yang semestinya. Selain undang-undang yang mengatur terkait PKWT
hak para pekerjanya diperjelas, peraturan mengenai mekanisme PHK
pekerja pun seharusnya jangan terlalu dipermudah, agar kerentanan
kehilangan pekerjaan pada para pekerja berkurang.

45
4) Mengenai formula upah minimum, menurut Suparjan dan Hempri
Suyanto dalam jurnal penelitiannya yang berjudul Kebijakan Upah
Minimum yang Akomodatif dikatakan bahwa hubungan konfliktual
antara buruh dan pengusaha dimulai karena ada unsur
ketidakpuasaan pada peraturan perusahaan yang mana faktor upah
tersebut menjadi faktor determinan, yakni upaya untuk
memaksimalkan laba dengan menekan biaya produksi.
Dalam komponen hidup layak Menurut Izzaty, mengatakan
bahwa kebijakan pengupahan di Indonesia merujuk kepada sistem
standar kehidupan layak bagi pekerja dengan berbasiskan KHL dan
tingkat inflasi dengan kata lain KHL menjadi landasan utama dalam
penetepan upah minimum. Tetapi setelah ditetapkan undang-
undang Nomor 11 tahun 2020 Kehidupan Hidup Layak yang semula
di undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tidak lagi ditinjau sebagai
penghitungan formula upah minimum diganti dengan perhitungan
inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Digunakannya perhitungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi
sebagai acuan untuk penghitungan upah minimum itu sangat
relevan dengan kebutuhan masyarakat yang mana tingkat inflasi
menyebabkan biaya hidup semakin mahal seiring kenaikan harga
barang dan jasa. Artinya, dengan nilai uang semakin turun maka
daya beli masyarakat berkurang.
Tiap tahun laju inflasi juga bisa diimbangi dengan kenaikan
upah, supaya karyawan tetap dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya. Maka dari itu, kenaikan gaji karyawan umumnya
ditetapkan di atas angka inflasi. Terlepas dari inflasi dan
pertumbuhan ekonomi, komponen kehidupan layak Indonesia juga
harus diperhatikan dalam penghitungan formula upah minimum
guna menyeimbangkan hal tersebut.

46
5) Mengenai Cuti tahunan beralihnya Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
memicu polemik. Yang menjadi salah satu sorotan ialah berubahnya
ketentuan pasal mengenai hak cuti. Dengan lahirnya perubahan
baru, tentu membuat perusahaan serta para tenaga kerja harus
sigap menyesuaikan dengan ketentuan terbaru guna menghindari
konsekuensi baik dari sanksi pidana ataupun lainnya.
Cuti merupakan hak bagi setiap karyawan yang wajib diberikan
oleh suatu perusahaan. Jatah Cuti karyawan yang diberikan
perusahaan mencangkup 12 hari untuk kurun waktu satu tahun. Dan
untuk menerimanya, karyawan harus sudah bekerja selama 12 bulan
secara terus menerus. Pada dasarnya tidak ada regulasi yang
mengatur jatah cuti karyawan secara pasti. Dalam hal ini artinya
mengenai cuti diterapkan atas kesepakatan bersama antara
karyawan dan perusahaan.
Banyak tenaga kerja yang mempertanyakan terkait ketentuan
jatah cuti apabila tidak diambil. Melihat peraturan terbaru, sudah
jelas hal ini atas kesepakatan bersama. Ketika pada awal perjanjian
kontrak tidak ada kesepakatan bersama antara perusahaan dengan
tenaga kerja mengenai jatah cuti bersangkutan, maka secara
otomatis jatah cuti tersebut akan hangus, tidak dapat diuangkan, dan
tidak dapat diambil pada tahun selanjutnya.
Peraturan cuti yang hangus ini diterapkan di beberapa
perusahaan di Indonesia dengan alasan efektivitas kinerja karyawan.
Selain itu, peraturan ini dapat mendorong karyawan untuk
mengambil cuti pada jangka waktu tertentu. Dengan diserahkannya
mengenai jatah cuti kepada pihak perusahaan khawatir akan adanya
kesewenang-wenangan dari pihak perusahaan untuk terus
mempekerjakan para tenaga kerja tanpa memberikan jatah cuti
sehingga perusahaan akan dengan mudah menghanguskan masa

47
istirahat tenaga kerja yang seharusnya mereka dapatkan. Hal ini
dinilai menjadi salah satu bentuk perbudakan modern yang berdalih
meningkatkan efektivitas karyawan.
Masuknya hari libur nasional ke dalam jatah cuti tahunan
seharusnya dihapuskan. Terlebih untuk hari raya, mengingat
Indonesia memiliki keberagaman agama, dan hari raya merupakan
hari yang ditunggu-tunggu oleh para tenaga kerja, sebab hari
tersebut adalah hari di mana berkumpulnya para tenaga kerja
dengan keluarga tercintanya, terutama tenaga kerja migran
Indonesia yang perlu menghabiskan banyak waktu di perjalanan guna
kembali ke kampung halamannya. Oleh sebab itu, sudah seharusnya
hari libur nasional tidak termasuk ke dalam jatah cuti tahunan. Juga
hari libur nasional ditetapkan dengan beberapa alasan dan
pertimbangan pemerintah, bukan seperti pengertian cuti tahunan
sebagai cuti yang dapat digunakan oleh tenaga kerja tanpa perlu
alasan khusus.

6) Mengenai Pengawasan Tenaga Kerja Asing, Indonesia mempunyai


hubungan perdagangan ekonomi yang bebas dengan negara lain,
dalam hubungan ini terdapat kegiatan kerja ekonomi yang kompetitif
dan kreatif, sebagai salah satu fondasi mewujudkan pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan. Sehingga presiden kemudian
mempermudah proses perizinan Tenaga Kerja Asing, maka mudah
juga masuknya investasi, baik dari segi kemampuan maupun modal.
Hal baik ini pun diharapkan berdampak baik pula kepada tenaga kerja
lokal, sehingga mereka memiliki kualitas dan etos kerja yang baik
agar dapat bersaing dalam sektor global.
Pemerintah Indonesia membuat kebijakan penggunaan tenaga
kerja asing, agar menciptakan efektivitas dan efisiensi pembangunan
ekonomi nasional. Potensi yang dimiliki tenaga kerja asing cukup

48
besar, sehingga pemerintah membentuk regulasi penggunaan Tenaga
Kerja Asing. Namun, karena potensinya yang besar, maka akan
menimbulkan pesatnya penggunaan Tenaga Kerja Asing. Hal ini dapat
terjadi apabila penggunaan Tenaga Kerja Asing tidak diimbangi
dengan kontrol dan pengawasan yang ketat. Selain lemahnya
pengawasan, Indonesia juga lemah terhadap pendampingan tenaga
kerja. Hal ini menyebabkan kurangnya evaluasi penggunaan tenaga
kerja. Sementara, evaluasi merupakan hal yang penting agar dapat
diketahui segala kekurangan dan kelebihannya dari tenaga kerja
tersebut. Evaluasi tenaga kerja juga sangat penting untuk
meningkatkan keefektifan penggunaan tenaga kerja. Indonesia
memberikan kebijakan untuk boleh menggunakan Tenaga Kerja
Asing, karena Tenaga Kerja Asing dinilai dapat bermanfaat bagi
perekonomian berkelanjutan, dan Tenaga Kerja Asing juga
diharapkan dapat berimplikasi terhadap tenaga kerja lokal. Oleh
sebab itu, penting dilakukan evaluasi atau pengawasan, agar kita
dapat mengetahui terlaksana atau tidaknya tujuan yang diharapkan.
Alih-alih demi mewujudkan pembangunan dengan
menggunakan Tenaga Kerja Asing karena dinilai memiliki potensi
yang cukup besar, di lain sisi terdapat sebuah kesenjangan yang
dirasakan oleh tenaga kerja lokal. Pasalnya, tenaga kerja lokal menilai
bahwa Tenaga Kerja Asing mendapatkan fasilitas dan gaji yang cukup
besar dibandingkan dengan tenaga kerja lokal, akibat dari hal ini
maka terjadinya kecemburuan sosial di antara Tenaga Kerja Asing
dan Tenaga Kerja Indonesia. Selain itu pesatnya penggunaan Tenaga
Kerja Asing juga menimbulkan sempitnya peluang kerja bagi tenaga
kerja lokal. Fakta yang ada, tidak sejalan dengan tujuan awal, yaitu
untuk menciptakan lapangan pekerjaan melalui perbaikan investasi.
Tatanan Normatif telah mengatur secara ideal, bahwasannya tidak
diperbolehkan adanya diskriminasi antar tenaga kerja, namun

49
masalah ini ada karena sistem pengawasan pengawasan di Indonesia
yang masih belum maksimal dalam tataran implementatif, sehingga
maraknya terjadi pelanggaran. Lemahnya pengawasan terhadap
Tenaga Kerja Asing , berdampak pada banyaknya tenaga kerja lokal
yang menganggur, dan hal ini menyebabkan tingkat kesejahteraan
masyarakat menurun, sementara teori tentang negara kesejahteraan
yang dinyatakan oleh Prof. Kranenburg, negara harus aktif
mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan
seluruh masyarakat secara seimbang. Dengan lemahnya pengawasan
terhadap Tenaga Kerja Asing pemberian kesejahteraan tidak
termanifestasikan ke dalam sistem tenaga kerja lokal.
Pelanggaran di atas terjadi karena belum maksimalnya
pengawasan yang dilakukan oleh Tim Pengawasan Orang Asing (Tim
Pora). Beberapa faktor yang menyebabkan belum maksimalnya
pengawasan oleh Tim Pora antara lain ialah ketidaktegasan Tim Pora
terhadap pelanggaran yang terjadi di lapangan, keterbatasan jumlah
SDM pengawas, keterbatasan anggaran, dan lemahnya koordinasi
antar instansi baik pusat maupun daerah. Kelemahan tersebut
berdampak pada terderogasinya hak warga lokal, yang kemudian
dirasa akan mengikis esensi bela negara dalam mewujudkan negara
yang sejahtera.15
Dampak nyata lemahnya pengawasan, adalah terjadinya
penurunan tingkat kesejahteraan pada pekerja lokal akibat
banyaknya pengusaha yang menggunakan. Terdapat banyak Tenaga
Kerja Asing yang dipekerjakan, di tengah-tengah situasi maraknya
angkatan kerja yang menganggur, hal ini seperti yang dilakukan oleh
PT. Haudi Nickel Alloy, yang memilih memperkerjakan 20 Tenaga
Kerja Asing cina demi mempercepat pembangunan pabrik smelter,
15
Imas Novita Juaningsih, Muhammad Saef El-Islam, Widiya Hakim, Alliza Khovshov,. (2020).
REKONSEPSI PENGAWASAN TENAGA KERJA ASING SEBAGAI EKSISTENSI KEDAULATAN NEGARA.
Jurnal LEGISLASI INDONESIA , ol 17 Nomor. 3.

50
ketika jumlah pengangguran di Indonesia meningkat, hal ini sangat
tidak wajar untuk dilakukan. Jika ini terus dibiarkan maka
kecemburuan sosial masyarakat terhadap Tenaga Kerja Asing akan
semakin meningkat.
Berdasarkan kewarganegaraan persentase rata-rata
pertumbuhan Tenaga Kerja Asing pada periode 2015-2018 yang
memiliki pertumbuhan paling pesat berada pada level 18,79% berasal
dari China. Disusul oleh Tenaga Kerja Asing asal India yang rata-rata
pertumbuhan mencapai 9,51%. Kemudian Tenaga Kerja Asing asal
Jepang rata-rata pertumbuhan 6,63% pada periode yang sama.
Bahkan pada tahun 2018 pertumbuhan Tenaga Kerja Asing China
menyentuh angka 29,85% secara tahunan. Angka tersebut
merupakan yang paling tinggi setidaknya sejak tahun 2012. 16 Jumlah
Tenaga Kerja Asing yang semakin meningkat dipengaruhi oleh
peraturan yang tidak wajib lagi mengurus surat izin, karena
pengesahan RPTKA merupakan izin untuk memperkerjakan Tenaga
Kerja Asing. Sementara RPTKA dan IMTA adalah hal yang berbeda.
Sebelumnya, Indonesia telah menetapkan regulasi yang baik
dari segi pengadilan maupun pengawasan dalam penggunaan jasa
Tenaga Kerja Asing. Penting bagi pemerintah untuk tetap mengawasi
penggunaan Tenaga Kerja Asing, agar tidak terus bertambah pesat.
Namun, dari segi pengawasan masih belum maksimal. Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan Pasal 43
ayat 1, mengatur bahwa diperlukan rencana penggunaan tenaga
kerja asing yang kemudian disahkan oleh Menteri atau Pejabat yang
ditunjuk untuk mendapatkan izin kerja (IKTA). Namun, Pasal 43
dihapus, dan Pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja pun tidak ada pasal yang mengatur mengenai IMTA dan
IKTA. Sementara itu, izin menggunakan tenaga kerja asing bisa sangat

16
Ibid.

51
membantu dalam pengawasan agar penggunaan Tenaga Kerja Asing
terkendali. Maka, berdasarkan data-data di atas, pengaturan tentang
regulasi pengawasan dan pendampingan perlu diperketat.
Jika ditinjau secara aspek Undang-Undang Nomor 11 tahun
2020 disebutkan bahwa pekerja yang mempunyai masa kerja Nol
sampai dengan satu tahun. Dengan adanya pandemi Covid-19 tidak
hanya berpengaruh terhadap Kesehatan tetapi ekonomi yang
mengalami fluaktif di dunia termaksud Indonesia sehingga banyak
perusahaan yang memutuskan PHK sepihak kepada para
karyawannya, tetapi tidak hanya PHK sepihak, pemberian gaji yang di
bawah upah minimum juga menjadi permasalahan yang dialami oleh
buruh.
Solusi yang dikeluarkan oleh pemerintah terhadap polemik
Omnibus Law yang mengalami kendala dalam mencapai
keabsahannya yakni merevisi pasal-pasal yang bermasalah dengan
dalih “salah ketik”. Selain itu, pemerintah juga melakukan upaya
untuk berdiskusi dengan perwakilan buruh, para pemilik usaha,
mahasiswa, dan masyarakat.
Berdasarkan pendapat kami dalam menanggapi pelaksanaan
Omnibus Law mempunyai enam konstitusional, yakni:
a) Melakukan kajian legislative review dengan cara mendesak DPR
RI dengan meminta untuk mengkaji ulang undang-undang
tersebut.
b) Melakukan amandemen dengan meminta DPR RI untuk
mencabut atau mengubah secara keseluruhan atau sebagian
dari pasal undang-undang Nomor 11 tahun 2020
c) Mengawal peraturan yang menjadi turunan dari undang-
undang Nomor 11 tahun 2020 berupa peraturan pemerintah.
Maka dari itu, diperlukan 33 Peraturan Pemerintah karena
undang-undang ini mengganti banyak undang-undang.

52
d) Melakukan upaya dengan menolak undang-undang Nomor 11
tahun 2020 yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengawasi
dan mengkritisi penerapan dari undang-undang Nomor 11
tahun 2020 supaya pasal-pasal yang membahayakan dan
merugikan masyarakat tidak membuat kerugian bagi bangsa
dan negara.
e) Mendesak Presiden secara terus menerus guna mencapai
tujuan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang untuk mengganti atau membatalkan undang-
undang Nomor 11 tahun 2020 yang substansinya bermasalah.
Sementara, pembicara wakil dari alumni Universitas Brawijaya
Malang, Utari Sulistiowati berpendapat, sebaiknya para tokoh dan
guru bangsa berkumpul menemui Presiden Jokowi dan para Menteri
Negeri Koordinator dan Ketua DPR RI, agar merevisi undang-undang
Nomor 11 tahun 2020. Karena undang-undang tersebut
mengkhawatirkan dan membahayakan kelangsungan negara dan
bangsa jangka pendek dan jangka panjang. Ketua Dewan
Pertimbangan FAPI Dodi Haryadi menyebut undang-undang Nomor
11 tahun 2020 menimbulkan kecemasan sosial.

D. Impementasi APBN dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, belum lama disahkan. Setiap
undang-undang memiliki muatan materi yang berbeda, dan untuk
mewujudkannya pemerintah membuat program baru yang berbeda pula.
Program yang dibuat oleh pemerintah berdasarkan undang-undang
dibebankan kepada APBN, tidak terkecuali dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020. Pemerintah membuat beberapa program sebagai langkah untuk
mewujudkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diharapkan
dapat mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, untuk memenuhi

53
tujuan ini APBN memiliki peranan yang sangat penting untuk mendukung
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja agar muatan isi
dalam undang-undang ini terlaksana. Pemerintah membuat aturan
pelaksanaan terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 yang mencakup
peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, peningkatan
perlindungan dan kesejahteraan pekerja, pemberian kemudahan,
pemberdayaan, dan perlindungan koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM), serta peningkatan investasi pemerintah dan percepatan
proyek strategis nasional (PSN).
Dalam lingkup ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, pemerintah
memutuskan untuk membuat program khusus terkait investasi. Pemerintah,
membentuk Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang merupakan lembaga yang
memiliki kewenangan khusus (sui generis) terkait pengelolaan investasi
pemerintah. Lembaga ini memiliki tujan untuk meningkatkan dan
mengoptimalkan nilai investasi di Indonesia dan mendukung pembangunan
berkelanjutan, yang mana sejalan dengan tujuan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020. Dalam PP Nomor 73 Tahun 2020 mengatur mengenai modal awal
LPI yang bersumber dari APBN TA 2020, yaitu sebesar Rp15.000.000.000.000,-
(lima belas triliun rupiah), uang sebesar ini merupakan kekayaan negara yang
dipisahkan (KND). Selain itu, PP Nomor 74 Tahun 2020 juga mengatur
mengenai sumber modal LPI. Sumber modal LPI berasal dari dana tunai
penyertaan modal negara (PMN), barang milik negara (BMN), piutang negara
pada BUMN, dan atau saham milik negara pada BUMN atau perseroan
terbatas.
Program lain yang dibuat oleh pemerintah dengan dukungan modal
awal menggunakan keuangan negara (APBN) adalah, Program Jaminan
Kehilangan Pekerjaan (JKP). Program ini dibuat untuk melaksanakan
peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja sebagaimana yang
termuat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Program JKP merupakan Program BPJS Ketenagakerjaan. Program ini

54
diharapkan akan bermanfaat bagi pekerja/buruh yang mengalami pemutusan
hubungan kerja. Pemerintah membuat program JKP dengan tujuan untuk
mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat pekerja/buruh
kehilangan pekerjaan. Dukungan yang diberikan oleh APBN untuk pelaksanaan
program JKP adalah sebesar Rp6.000.000.000.000,- (enam triliun rupiah).
Program baru lain, yang ditujukan untuk mendorong kesejahteraan
masyarakat adalah Kartu Prakerja. Program ini terkait langsung dengan tenaga
kerja, karena kartu prakerja memberikan biaya pelatihan bagi masyarakat.
Program ini berhak diterima oleh seluruh warga negara Indonesia yang
merupakan lulusan SMA/SMK/SMP/Perguruan Tinggi atau bagi mereka yang
tidak bekerja karena PHK. Sumber dana untuk program kartu prakerja juga
berasal dari APBN.
Berdasarkan revisi DIPA BUN Program Kartu Prakerja Tahun Anggaran
2020, pada awalnya pemerintah telah menganggarkan Program Kartu Prakerja
sebesar Rp10 triliun, Namun setelah munculnya wabah Covid-19 di Indonesia,
pemerintah menambah Rp10 triliun anggaran Program Kartu Prakerja
sehingga menjadi sebesar Rp20 triliun dengan pertimbangan dampak
ekonomi yang timbul akibat wabah Covid-19.17
Pemerintah membuat program baru tersebut, tak lain untuk
memaksimalkan pelaksanaan terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020.
Seperti yang dipaparkan di atas bahwa program baru yang dirancang oleh
pemerintah, mendapatkan alokasi dari dana APBN, bahkan dana yang
dihabiskan pun tidaklah sedikit. Seperti pada program JKP, pada program ini
dana APBN yang terpakai tidaklah sedikit. Namun, pemerintah berani untuk
mengambil langkah tersebut karena dari program tersebut para pekerja
mendapatkan manfaat yang begitu banyak. JKP dianggap sebagai salah satu
program yang efektif untuk mengakomodir fleksibilatas pasar, mengakomodir
tunjangan hidup, dan meminimalisir rasa takut pada para pekerja yang
kehilangan pekerjaan. Namun, jika dilihat dari pengeluaran yang

17
Tim JDIH Badan Pemeriksan Keuangan,. (2020). Tata cara pengalokasian, penganggaran,
pencairan, dan pertanggungjawaban dana kartu prakerja. 1–22.

55
diakomodasikan APBN untuk modal awal maka program JKP ini masih banyak
memiliki kekurangan. Pasalnya, dalam program ini hanya berlaku pada
beberapa kategori pekerja yang kehilangan pekerjaan, lalu dalam program ini
masih terdapat kemungkinan adanya perusahaan yang tidak mendaftarkan
pekerjanya ke program JKP.
Program JKP hanya berlaku pada beberapa pekerja, sedangkan
beberapa pekerja lainnya tidak dapat mengakses program JKP. Seperti pekerja
yang mengundurkan diri, cacat total tetap, pensiun, meninggal dunia, dan
PKWT yang sudah habis waktu kontraknya. Berdasarkan pasar yang ditujukan
dari program ini, terdapat hal yang tidak tepat.
Program ini dinilai memiliki potensi lebih untuk membebankan
keuangan negara untuk alokasi iuran. Hasil analisis menggunakan data BPS
menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran iuran JKP yang bersumber dari
pemerintah pusat berpotensi meningkat 28,39 persen per tahun.18 Jumlah ini
diprediksi akan terus bertambah, terlebih lagi pada saat ini tenaga kerja
banyak yang mengalami kehilangan pekerjaan. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan pemerintah seiring dengan penerapan JKP adalah perlunya
antisipasi terhadap moral hazard dalam pasar kerja, perubahan paradigma
dalam pasar kerja, peta jalan jangka panjang untuk mengantisipasi kenaikan
upah pekerja sehingga tidak membebani belanja negara, serta perlunya
pengawasan JKP yang cermat dan sistematis.19
Program ini merupakan program yang bagus jika dilihat dari segi
manfaatnya, karena dengan program ini masyarakat yang kehilangan
pekerjaannya tidak perlu terlalu khawatir. Namun, jumlah pekerja yang
sudah terdaftar sangat sedikit jika dibandingkan dengan total jumlah
pekerja. Sementara itu JKP amat penting bagi pekerja terutama bagi mereka
yang bekerja pada sektor informal. Selain itu, program ini juga menerapkan
sistem iuran yang rawan bermasalah karena banyak perusahaan yang

18
Zellius Ragiliawan, Beni Teguh Gunawan,. (2021). JAMINAN KEHILANGAN PEKERJAAN (JKP)
DALAM PERSPEKTIF BELANJA NEGARA. Jurnal Ketenagakerjaan, Vol. 15 Nomor. 1.

19
Ibid.

56
sewenang-wenang dengan hak pekerja. Oleh sebab itu, penting adanya
perbaikan pada program JKP agar program ini dapat menjangkau lebih luas,
dan pada program ini juga akan lebih baik jika memuat tim pengawas agar
tidak ada lagi pekerja yang mendapatkan tindakan sewenang-wenang dari
perusahaannya.
Terkait program kartu prakerja, manfaat yang diberikan oleh program
ini adalah
1. Pelatihan, untuk memperoleh pengembangan kompetensi kerja pada
tingkat ketrampilan dan keahlian tertentu. Pelatihan diselenggarakan
oleh lembaga pelatihan yang dimiliki oleh:
a. Swasta
b. BUMN
c. BUMD
d. Pemerintah
2. Insentif, manfaat yang diberikan dalam bentuk uang dengan nominal
tertentu. Manfaat ini dapat digunakan oleh para penerima kartu
prakerja yang telah menyelesaikan program pelatihan. Program kartu
prakerja juga memiliki banyak kekurangan, kekurangan ini
mengakibatkan kerugian dan membuat alokasi APBN yang dikeluarkan
menjadi tidak efisien. Seperti pada proses pendaftaran, para calon
peserta penerima kartu prakerja harus kembali mendaftar secara daring
dan dalam proses ini terdapat penggunaan fitur face recoginition
dengan anggaran yang dikeluarkan 30 miliar dinilai sangat tidak efisien
untuk kepentingan pengenalan peserta, selain itu seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, bahwa kartu prakerja juga memiliki manfaat
guna pelatihan para pekerja. Namun, dalam materi pelatihan KPK
menemukan bahwa kurasi materi pelatihan dilakukan dengan
kompetensi yang tidak memadai. KPK menemukan, hanya 24 persen
dari 1.895 pelatihan yang layak dikategorikan sebagai pelatihan, dengan
melalui metode daring hanya 55 persen yang dapat diberikan,

57
sedangkan yang memenuhi syarat dalam pelatihan secara daring hanya
13 persen dari 1. 895 pelatihan.
Program-program baru yang dibuat pemerintah, pada dasarnya dibuat
untuk kebaikan atau kepentingan masyarakat. Namun, jika melihat dari
alokasi yang dikeluarkan oleh APBN dan masih memiliki banyak kekurangan
atas teknis pelaksanaannya, hal ini justru tidak akan berjalan sesuai dengan
rencana sebelumnya. Ketidakefektifan program harus di evaluasi kembali dan
diperbaiki agar alokasi dana APBN kepada program-program ini tidak sia-sia,
selain itu jika pelaksanaannya masih tidak efektif maka manfaat dari program
ini tidak akan bisa dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat, sehingga yang
didapat hanyalah kerugian pada keuangan negara dan manfaat program yang
tidak dapat dirasakan.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat kita ketahui bahwa alokasi APBN
terhadap program yang dibuat untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2020 tidaklah sedikit. Ketidaksesuaian pengeluaran dana APBN dan
pelaksanaan program masih tidak sesuai dan hal ini menimbulkan kerugian
pada keuangan negara. Untuk meminimalisir kerugian terhadap keuangan
negara maka diharapkan pemerintah dapat memfokuskan untuk
mengembangkan usaha kecil masyarakat lokal atau UMKM. Upaya
pengembangan terhadap UMKM dapat berimplikasi terhadap pendapatan
perkapita negara. Selain itu pemerintah juga dapat melakukan reformasi
dalam sistem perpajakan, dengan adanyan pembaruan dalam sistem
perpajakan maka Indonesia dapat meningkatkan penerimaan negara melalui
perpajakan. Lalu, pemerintah juga diharapkan dapat fokus untuk pemerataan
pada alokasi distribusi kepada Pemerintah Daerah karena daerah juga
memberikan kontribusi signifikan dalam pendapatan nasional.

58
BAB III
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, YURIDIS.

A. Landasan Filosofis
Undang-Undang selalu mengandung Norma hukum yang diidealkan oleh
suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat dan
bernegara hendak diarahkan. Enam puluh enam Cita-cita luhur yang
terkandung dalam landasan filosofis hendaklah mencerminkan cita-cita
filosofis yang dianut oleh bangsa Indonesia sendiri. Landasan filosofis
merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran,
dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa
Indonesia yang bersumber dari pancasila dan pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 20
Mengingat saat awal mula kemerdekaan, para pendiri bangsa telah
mengharapkan bahwa negara Indonesia perlu dikelola berdasarkan hukum.
Ketika memilih bentuk negara hukum, otomatis segala bentuk
penyelenggaraan terkait Negara sedapat mungkin berada dalam koridor
hukum. Semua harus diselenggarakan secara teratur dan setiap pelanggaran
terhadapnya haruslah dikenakan sanksi yang setara.
Pembukaan UUD NRI 1945 telah menyebutkan bahwasannya tujuan
dibentuknya Negara adalah “melindungi segenap Bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Oleh
sebab itu, perlindungan segenap bangsa dan peningkatan kesejahteraan
umum adalah tanggung jawab prioritas dalam bernegara.

20
Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5234.].

59
Upaya dalam pelaksanaan, pencapaian cita-cita dan tujuan nasional
yang sudah diatur dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945
diperlukannya upaya pembangunan yang berkesinambungan dan
berkelanjutan dengan terpadu, menyeluruh, serta terarah. Salah satu
pembangunan perekonomian nasional diselenggarakan dengan dasar
demokrasi ekonomi yang mengusung prinsip kebersamaan dan efisiensi.
Pelaksanaan pembangunan nasional, ketenagakerjaan memiliki peran
dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan sasaran
pembangunan. Pembangunan ketenagakerjaan perlu dilaksanakan dalam
rangka meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik
material maupun spiritual. Pembangunan ketenagakerjaan perlu diatur
sedemikian rupa supaya hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi
tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan, dapat
mewujudkan kondisi yang kondusif seutuhnya bagi pengembangan dunia
usaha.
Salah satu bentuk implementasi tersebut adalah terjaminnya hak atas
penghidupan yang layak bagi segenap rakyat. Karena itu merupakan hak asasi
manusia yang sangat fundamental sehingga menjadi tanggung jawab utama
negara dalam pemenuhan hak tersebut.

Pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari pembangunan


ketenagakerjaan diarahkan guna terus mewujudkan hubungan industrial yang
harmonis, dinamis, serta berkeadilan. Oleh karena itu, pengakuan dan
penghargaan terhadap hak asasi manusia sebagaimana yang dimuat dalam
Undang-Undang Dasar 1945 perlu diwujudkan. Dimuatnya perlindungan
terhadap ketenagakerjaan sebagai salah satu bentuk pemenuhan hak asasi
manusia sesuai dengan uang telah dalam UUD NRI 1945 merupakan tonggak
utama dalam upaya menegakkan demokrasi di tempat kerja, yang harus
direspon dengan partisipasi seoptimal mungkin dari seluruh tenaga kerja

60
Indonesia guna mengambil peran membangun negara Indonesia yang telah
dicita-citakan.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 perlu juga mencerminkan nilai


Pancasila. Nilai yang dapat diambil dari Sila Kelima yaitu penyelenggaraan
ketenagakerjaan yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh elemen masyarakat melalui peraturan perundang-undangan yang baik
dan menjaminkan ketertiban serta kepastian hukum di bidang
ketenagakerjaan.

Seorang tenaga kerja perlu pengakuan, jaminan, dan perlindungan,


serta kepastian hukum yang jelas dalam menjalankan pekerjaannya.
Pengakuan dan jaminan secara hukum terhadap para pekerja diantaranya
melalui pembentukan undang-undang tentang ketenagakerjaan secara
langsung akan memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang jelas
terhadap para tenaga kerja itu sendiri. Kesempatan memperoleh hak yang
sama atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sudah diamanatkan oleh UUD
NRI Tahun 1945 Pasal 28D ayat (1) bahwa “setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi para pekerja Indonesia.”

Perlu adanya penekanan guna melihat sejauh mana perlindungan


terhadap tenaga kerja di Indonesia sebagai bagian penting dari pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan sehingga menjadi pertimbangan bagi penerbitan
regulasi di bidang perlindungan terhadap para tenaga kerja. Jangan ternyata
pasca penetapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Ketenagakerjaan justru melegalkan terjadinya pelecehan hak asasi manusia
bagi para tenaga kerja. Oleh sebab itu, perlu dibentuknya peraturan yang
dapat memberikan payung hukum secara tegas, transparan sehingga tidak
memberi ruang bagi penafsiran yang bias.

61
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa pengaturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah
dan kebutuhan negara dan masyarakat.
Pertimbangan sosiologis ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa
undang-undang cipta kerja memiliki dasar rasionalitas, validitas, dan visibilitas
dalam aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis paralel. Pertimbangan dan uji
dasar sosiologis ini penting dilakukan untuk memastikan apakah produk
hukum tersebut dapat diterima masyarakat sera apakah dapat
diimplementasikan secara optimal atau tidak, atau hanya sekedar menjadi
pemilik legitimasi sosial yang kuat di masyarakat.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dengan
kepentingan dan juga berkaitan dengan nasib hak pendapatan para pekerja
yang dilindungi oleh Negara dan jelas termaktub dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 27 ayat 2. Pengusaha dan investor
selaku ‘The Have’ mempunyai banyak kepentingan terkait regulasi yang
berlaku di Indonesia untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Pekerja selaku rakyat yang menggantungkan hidup dari penghasilan juga
memiliki kepentingan untuk mendapatkan hasil keringat yang sepadan dan
kesejahteraan hidup keluarga serta jaminan hukum yang pasti dalam setiap
tenaga yang dikeluarkan untuk kepentingan perusahaan. Peran Pemerintah
selaku pengayom idealnya dapat menjadi penengah yang adil dengan
membuat kebijakan-kebijakan hukum adil bagi kedua pihak serta dapat
menjamin perlindungan hak Pekerja yang secara sosiologis memiliki posisi
lebih lemah dari para Pengusaha dan Investor.
1) Kejadian di masyarakat mengenai Pekerjaan Kontrak Waktu Tertentu,
yang mana dihapus mengenai pasal 59 undang-undang Nomor 11 tahun
2020 memuat perihal tentang pemutusan hubungan secara sepihak yang

62
dilakukan oleh perusahaan. Di undang-undang Nomor 13 tahun 2003,
PKWT bagi pekerja maksimal bisa sampai dua tahun dan boleh
diperpanjang setahun sedangkan di undang-undang Nomor 11 tahun
2020, PKWT dihapus. Akibat dari penghapusan pasal ini, maka tidak ada
batasan aturan seorang pekerja bisa dikontrak, akibat dari disahkannya
peraturan undang-undang Nomor 11 tahun 2020 menjadikan pekerja
kontrak seumur hidup atau sewaktu-waktu di PHK secara sepihak.

2) Mengenai Tenaga Kerja Asing, sebelumnya dimuat dalam pasal 89


kemudian diatur ulang menjadi pasal 42 ayat 1 undang-undang Nomor 11
tahun 2020, dengan keterangan Tenaga Kerja Asing tidak bebas masuk
harus memenuhi syarat dan peraturan. Beda halnya yang dimuat dalam
Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 sehingga undang-undang tersebut
dapat menjadikan Tenaga Kerja Asing lebih mudah keluar-masuk karena
izin tertulis diganti dengan rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing Pasal
42, tidak perlu ada penanggung pada pasal 43, dan syarat ketentuan
jabatan sekaligus kompetisi untuk Tenaga Kerja Asing dihapus yang
akibatnya, Tenaga Kerja Asing bebas untuk menduduki jabatan apapun
termasuk paling rendah. Dengan diberikan wadah untuk Tenaga Kerja
Asing tentu saja berpotensi memberi “karpet merah” pada Tenaga Kerja
Asing, sedangkan Tenaga Kerja Indonesia diberikan “karpet hitam” yang
mana ini akan merugikan Tenaga Kerja Indoenesia karena akan
berdampak terhadap masifnya angka pengangguran di Negara Indonesia
sendiri.

3) Formula upah minimum sebelumnya telah diatur di dalam undang-


undang Nomor 13 tahun 2003 mengenai komponen hidup layak tetapi di
dalam undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tidak dimasukkan
komponen hidup layak melainkan menambahkan formula penghitungan
upah minimum melalui inflasi dan perkembangan ekonomi. Dengan

63
menggunakan rumus penghitungan formula upah minimum melalui inflasi
dan perkembangan ekonomi maka akan mengakibatkan Tenaga Kerja
Asing perhitungan pengaruh inflasi yang tidak signifikan dan berdampak
negatif terhadap pengangguran di kabupaten/kota. Contohnya pada
Provinsi Kalimantan Barat

4) Asia Development Bank (ADB) menilai pekerja dengan sistem alih daya
atau outsourcing masih dibutuhkan selama tidak mengerjakan pekerjaan
inti. Jika dikelola dengan baik, outsourcing dapat meningkatkan
perekonomian Indonesia dari sektor jasa. Meskipun sistem ini
menguntungkan perusahaan, namun sistem outsourcing merugikan untuk
para pekerja outsourcing. Selain tak ada jenjang karier, terkadang gaji
mereka dipotong oleh perusahaan induk. 21

Peralihan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menjadi Undang-


Undang Nomor 11 Tahun 2020 menuai kontroversi. Polemik bermunculan
pasca dihapusnya Pasal 64 dan 65 dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003. Dengan dihapusnya pasal tersebut, sudah jelas bahwasannya
pengaturan outsourcing atau alih daya semakin bias.

Dalam dunia ketenagakerjaan, antara pekerja dan pengusaha harusnya


mempunyai hubungan yang saling menguntungkan, selaras, dan seimbang.
Pekerja memberikan tenaganya untuk produk dan jasa, sedangkan pengusaha
membayar upah yang sesuai atas jasa pekerja dalam menciptakan produk,
baik berupa barang atau jasa yang dijual pada konsumen. Akan tetapi, dalam
perkembangannya permasalahan ketenagakerjaan salah satunya berkaitan
dengan sistem outsourcing atau sering disebut juga dengan kerja kontrak

21
Fadhila Fajrin,. (2012). “Kenapa Harus Ada Outsourcing?,” diakses pada 30 April 2022. Dari
(https://fadhillafajrinnn.wordpress.com/2012/10/28/kenapa-harus-ada-outsourcing/)

64
waktu tertentu (PKWT) dimana sistem kerja fleksibel jaminan sosial dan upah
layak tidak selalu diperhatikan22.

Pemikiran teori negara kesejahteraan ini diakomodir dalam pembukaan


UUD Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian maka dalam konteks hubungan
kerja tersebut tidak lepas dari peran dan tujuan Negara sehingga dapat
dicegah terjadinya eksploitasi oleh pihak pengusaha terhadap buruh dalam
hubungan kerja. Buruh sebagai pihak yang lemah, sarat keterbatasan
selayaknya mendapatkan perlindungan hukum, di samping wajib sebagai hak
konstitusional. Hak-hak yang dapat dikategorikan sebagai hak konstitusional
buruh antara lain: dalam pasal 27 ayat (2) UUD 45 yang menyatakan bahwa:
“Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.“23

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 mengenai


perlindungan hukum bagi para tenaga kerja outsourcing meliputi adanya
persyaratan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan tidak
berbentuk PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) namun berbentuk PKWTT
(Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu), dan adanya penerapan prinsip
pengalihan tindakan untuk perlindungan hukum bagi para tenaga kerja
outsourcing yang telah diatur dalam Pasal 81 angka 20 diantaranya ialah
perlindungan terhadap upah dan kesejahteraan dan perlindungan hukum
terhadap adanya kewajiban bagi perusahaan diwajibkan untuk
mempersyaratkan dalam perjanjian kerja meliputi perlindungan hukum bagi
hak-hak pekerja apabila terjadi pergantian perusahaan outsourcing dan
sepanjang objek pekerjaannya masih ada, serta adanya kewajiban bagi
perusahaan harus memenuhi persyaratan perizinan yang lebih ketat guna
tidak adanya eksploitasi yang mengakar.

22
Suyoko, MohammadGhufron,. (2021). “Tinjauan yuridis terhadap sistem alih daya
(outsourcing) pada pekerja di Indonesia”, Jurnal Cakrawala Hukum, Volume 12 No. 1.
23
Ibid.

65
Perlindungan untuk para tenaga kerja dapat dilihat mengacu pada
peraturan-peraturan hukum berikut:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan


Kerja
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 200 tentang Serikat Pekerja atau Serikat
Buruh
4. Putusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep-102/Men/VI/2004
tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja.

Dilihat beberapa putusan PHI pada pengadilan negeri ataupun putusan


Mahkamah Agung, terlihat bahwa pekerja outsourcing dengan status PKWT
(Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), kedudukannya dalam hubungan kerja
sangat lemah. Terlihat dari tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan
yang berlaku seperti, bentuk tidak tertulis, hak-hak normatif berada di bawah
ketentuan perundang-undangan, jenis pekerjaan yang bersifat tetap, badan
hukum perusahaan tidak terpenuhi, serta jangka waktu yang melebihi jangka
waktu 3 (tiga) tahun berturut-turut.24

Perlindungan hukum pekerja outsoucing ditinjau dari prinsip kepastian


hukum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dapat dilihat dalam dua
bentuk, yaitu kepastian hukum dalam perlindungan preventif dan kepastian
hukum dalam perlindungan represif. Kepastian hukum dalam perlindungan
preventif meliputi kepastian hubungan kerja, yaitu mengenai status hubungan
kerja antara pekerja outsourcing dengan perusahaan outsourcing dan
permohonan pemberi pekerjaan. Kemudian kepastian jenis pekerjaan pekerja
outsourcing, dan kepastian bentuk badan hukum perusahaan outsourcing.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 mengubah istilah outsourcing


dari penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain

24
Anri Darmawan. (2021). “pengaturan hukum terhadap pekerja outsourcing ditinjau dari
undang-undang ketenagakerjaan dan undang-undang cipta kerja”, Varia Hukum Vol. 3, No. 2.

66
menjadi alih daya. Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, tidak ada
lagi batasan terhadap jenis pekerjaan yang dapat di-outsourcing. Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2020 telah mengubah ketentuan outsourcing
dengan menghapus Pasal 64 dan Pasal 65 serta mengubah Pasal 66 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003.25

Sebenarnya sudah banyak pekerja atau buruh yang menolak sistem


outsourcing ini dengan mengingat dimana mereka harus rela gaji atau upah
yang merupakan hasil keringatnya dipotong beberapa persen oleh
perusahaan outsourcing atau alih daya tersebut, bahkan terkadang ada
beberapa kasus dimana perusahaan outsourcing tidak transparan dalam
pemotongan tersebut. Selain pemotongan gaji atau upah, peningkatan
fleksibilitas mengenai sistem ini akan menjadikan semakin mudahnya
pemutusan hubungan kerja26

Mengemukakan kembali mengenai perlindungan hukum, Peraturan


Pemerintah telah diatur dalam Pasal 81 angka 20 ayat (6) dengan bunyi:
“Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan perizinan berusaha sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (4) diatur di dalam Peraturan Pemerintah.” Dalam hal ini tidak
adanya peraturan pelaksana sehingga akan terjadi ketidakpastian terhadap
nasib dan perlindungan hukum bagi para pekerja atau buruh outsourcing.27

Payung hukum yang telah diatur oleh negara di dalam Undang-Undang


Nomor 11 Tahun 2020 terhadap pekerja atau buruh outsourcing tetap
dipandang belum dapat memberikan payung hukum secara pasti karena
sampai saat ini pemerintah sebagai regulator masih belum mengeluarkan
peraturan pelaksana. Dalam hal ini pemerintah harus segera mengambil
langkah kepastian hukum. Melihat permasalahan outsourcing yang terus lahir,

25
Ibid.
26
Suyoko, MohammadGhufron, (2021). “Tinjauan yuridis terhadap sistem alih daya
(outsourcing) pada pekerja di Indonesia”, Jurnal Cakrawala Hukum, Volume 12 No. 1.
27
Suyoko, MohammadGhufron. (2021). “Tinjauan yuridis terhadap sistem alih daya
(outsourcing) pada pekerja di Indonesia”, Jurnal Cakrawala Hukum, Volume 12 No. 1.

67
perlu adanya penyempitan ruang outsourcing sebagaimana yang telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dalam perkara outsourcing
juga kualifikasi perlu sangat diperhatikan supaya tidak terjadi eksploitasi atau
perbudakan modern berdalih meningkatkan kemampuan beragam para
pekerja.

C. Landasan Yuridis
Secara umum, negara hukum dapat didefinisikan sebagai Negara yang
susunannya diatur sebaik-baiknya dalam peraturan perundang-undangan
(hukum) sehingga, segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya yang
didasarkan atas hukum. Begitu pula dengan rakyatnya, tidak bisa bertindak
atas kehendaknya sendiri. Tujuan dari suatu negara ialah menggapai cita-cita
idiil yang diwujudkan melalui instrumen hukum sesuai dengan negara yang
bersangkutan. Dalam mewujudkan harapan tersebut negara yang memiliki
peran penting dalam membentuk berbagai peraturan perundang-undangan
sebagai bentuk instrumen hukum dalam yuridisinya. Peraturan perundang-
undangan yang dimaksud merupakan bentuk hukum tertulis sebagai hukum
yang berlaku bagi umum, mengikat banyak orang, wilayah waktu yang lebih
luas, wilayah ruang, dan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada
hukum yang tidak tertulis.

Konstitusi merupakan sarana dasar untuk mengawasi proses-proses


kekuasaan mengatur jalannya kekuasaan dengan jalan membatasinya melalui
aturan menghindari terjadinya kesewenangan dilakukan penguasa terhadap
rakyatnya dan memberikan arahan kepada penguasa mewujudkan tujuan
Negara. Pada hakikatnya konstitusi Indonesia bertujuan sebagai alat mencapai
tujuan Negara dengan berdasarkan kepada nilai-nilai Pancasila sebagai dasar
Negara.28 Seperti layaknya penyelenggaraan kegiatan keprofesian di
Indonesia, seperti profesi advokat telah diatur dalam UU Advokat, profesi

28
H.A. Utomo (2007). “Konstitusi, Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan
Kewarganegaraan.” Kanisius: Yogyakarta.

68
notaris telah diatur dalam UU Jabatan Notaris, profesi tenaga kerja juga telah
diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan diubah menjadi UU Nomor 11 Tahun
2020. Sebagai asas umum, landasan yuridis untuk keberlakuan suatu
peraturan perundang-undangan adalah adanya dasar kewenangan.

Landasan Yuridis perlu ikut dipertimbangkan karena landasan ini akan


menjadi pertimbangan alasan dalam pembentukan peraturan guna mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangan peraturan yang telah ada sebelumnya untuk menjamin
kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Lahirnya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 mengenai Cipta Kerja dengan segenap kepentingan
serta nasib hak pendapatan para pekerja, maka perlu perlindungan yang pasti
oleh Negara seperti yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang NRI 1945.

1) Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing menjadi polemik, sebelum


mengatur pasal yang terdapat di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020,
yang menjadi tikik fokusnya terletak di penggunaannya begitu pun
sebaliknya. Tetapi, sebelum dipakainya Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020, lahir juga Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang
Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Adanya Peraturan Presiden, menyebabkan
permasalahan di tengah masyarakat yang mana menyalahi Peraturan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yang mana saat itu belum diubah terkait keberadaan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang mana Peraturan Presiden ini
menggantikan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2014 mengenai
Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Pertimbangan hal lain mengenai Peraturan Presiden Nomor 20
Tahun 2018 terkait Penggunaan Tenaga Kerja Asing untuk mendukung
perekonomian nasional dan perluasan kesempatan kerja melalui
peningkatan investasi, diperlukan pengaturan Kembali perizinan
penggunaan TKA.

69
Penggunaan Peraturan Presiden mengenai Penggunaan TKA
menjadi dasar ketentuan yang memuat tentang mepekerjakan Tenaga
Kerja Asing sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020.
Maka dari itu, diperlukan ulang perizinan dalam penggunaan Tenaga
Kerja Asing di Indonesia. Tetapi dengan dikeluarkannya peraturan terbaru
ini menjadikan kemudahan dalam akses keluar masuk Negara Indonesia.
Peraturan seperti itu baru

2) Perdebatan mengenai outsourcing atau alih daya, yang membuat nasib


para pekerja outsourcing atau alih daya dibuat menjadi semakin tidak jelas
karena dihapusnya Pasal 64 dan 65 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang
mengatur mengenai pekerja outsourcing. Adapun Pasal 64 Undang-Undang
Ketenagakerjaan yang berbunyi bahwasannya Perusahaan dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerja kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara
tertulis. Sedangkan dalam Pasal 65 mengatur; (1) Penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Ayat (2)
mengatur; pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut: dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; dilakukan
dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan tidak
menghambat proses produksi secara langsung.

Hal ini sontak mendorong posisi buruh menjadi semakin lemah


karena tidak adanya kesempatan untuk berkumpul menyatukan visi guna
memperoleh hak-hak buruh. Di sisi lain, outsourcing merupakan jawaban
atas menurunnya tingkat produktivitas buruh. Tetapi, di sisi lainnya,
outsourcing pada akhirnya akan mendorong peningkatan skill pekerja
karena dituntut untuk selalu mengembangkan diri. Kemudian dari sisi

70
pengusaha outsourcing merupakan salah satu solusi untuk mengatasi
biaya produksi yang semakin tinggi. Selain perizinan dan birokrasi yang
berbelit-belit dan tidak efisien. Hal ini semakin menambah permasalahan
karena pemerintah sebagai regulator belum mampu menjadi pengawasan
yang baik, namun belum mampu memberikan pelayanan birokrasi yang
cepat dan murah.

Mengacu pada substansi Pasal 18 ayat (4) PP Nomor 35 Tahun


2020 yang menyatakan bahwasannya; Pelindungan Pekerja/Buruh, Upah,
kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang timbul sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan
Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Dengan beralihnya kekuasaan
peraturan dari pemerintah kepada perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama tentu saja khawatir akan
adanya penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh para pengusaha
terhadap para tenaga kerja sehingga rawan terlucutinya hak para pekerja.

3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 menghapus ketentuan


perundingan sebelum terjadinya PHK yang sebelumnya tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Pada Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 jelas tertuang pada Pasal 151 Ayat 2, yaitu “Dalam hal segala
upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat
dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan
oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan
pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh.” Perubahan regulasi yang tertuang
dalam undang-undang ini menjadi polemik di masyarakat, karena regulasi
PHK yang berlaku saat ini cenderung lebih mempermudah para
pengusaha untuk melakukan PHK sepihak terhadap para pekerja. Hal ini
sangat menghawatirkan, karena nasib para pekerja menjadi rentan atas
kehilangan pekerjaannya, selain itu PHK sepihak merupakan tindakan

71
yang sewenang-wenang, mengingat para pekerja juga memiliki hak yang
harus dilindungi.
Pasal 151 ayat 2 dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
berubah menjadi “Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat
dihindari, maksud dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan
oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat
buruh.” Berdasarkan isi dari pasal tersebut, maka dapat dipahami bahwa
tidak ada perundingan atau kesempatan bagi para pekerja untuk
melakukan musyawarah, karena pengusaha langsung memberi informasi
“maksud dan alasan PHK” kepada pekerjanya. Sedangkan, pada pasal
sebelumnya tercantum isi “maksud PHK wajib dirundingkan oleh
pengusaha” artinya sebelum adanya keputusan tetap yang diambil oleh
pengusaha terhadap pekerja, kedua belah pihak terlebih dahulu
melakukan perundingan.
Perundingan perlu diwajibkan kembali, sebelum pengusaha
melakukan PHK terhadap pekerja. Karena, pengaturan yang tercantum
dalam undang-undang tak semestinya memberatkan salah satu pihak,
dengan diwajibkannya perundingan maka sedikitnya hak para pekerja
pun dipenuhi. Selain itu, perundang-undangan merupakan pedoman
untuk bertindak dan berbuat, oleh sebab itu perlu adanya keseimbangan
sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan, agar tidak menimbulkan
masalah. Selain itu, berdasarkan Putusan Nomor 103/PUU-XVIII/2020,
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 yang diajukan oleh Konfederasi
Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menganggap bahwa isi pasal ini
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai:
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan
terjadi pemutusan hubungan kerja.

72
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan
kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja
wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh
atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar
benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat
memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah
memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
Berdasarkan Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 Pasal 36 tentang
Hak Asasi Manusia menyebutkan “Di dalam menjalankan hak dan
kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-
pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Atas dasar hal tersebut
maka, Pasal 151 dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 perlu
mengembalikan isi dari pasal 151 yang tercantum sebelumnya, yakni
pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, karena diwajibkannya
perundingan sebelum PHK dapat memenuhi hak para pekerja dan
mendukung keterlibatan pekerja atas nasibnya sendiri.

4) Dalam Penghitungan Upah Minimum menjadi suatu permasalahan,


Sebelumnya telah diatur pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 dengan aturan turunan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 78
Tahun 2015 yang mana komponen hidup tidak layak, tidak dimuat ke
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020. Didukung juga oleh
Kota Semarang yang masih menggunakan Peraturan Pemerintah

73
Nomor 78 Tahun 2015 sebagai dasar acuan untuk menentukan Upah
Minimum di kotanya. Penggunaan Peraturan Pemerintah Nomor 78
Tahun 2015 dalam penetapan upah minimum Kota Semarang
memperhatikan dalam segi aspek inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan
Kualitas Hidup Layak ditinjau berdasarkan lima tahun sekali tidak lagi
ditinjau per setahun sekali. Jika mengacu Peraturan Pemerintah
Nomor 78 Tahun 2015 mengenai pengupahan Kualitas Hidup Layak
dihitung berdasarkan tingkat Produktivitas yang mana dimaksud
dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 12
Tahun 2012 adalah produktivitas makro yang dihitung dari
perbandingan PDRB dan jumlah tenaga kerja pada tahun tersebut.
Bahan pertimbangan dalam pengupahan untuk kenaikan upah
minimum dengan Tingkat produktivitas yang terjadi di Kota Semarang
dapat disimpulkan faktor produktivitas yang menjadi acuan tetap
upah minimum adalah kondisi ideal bagi tenaga kerja dan pemberi
kerja. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 dalam
rumus perhitungan upah minimum memperhatikan pertumbuhan
ekonomi dan inflasi sebagai landasan perhitungan upah minimum
juga. Perhitungan pertumbuhan ekonomi sebagai landasan kenaikan
upah minimum telah sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
Ninda Noviani (2013) yang mengatakan bahwa hasil pertumbuhan
ekonomi akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
kenaikan upah minimum di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan
pertumbuhan ekonomi menurut Sukirno (2000) mendefinisikan
sebagai perkembangan kegiatan ekonomi yang menyebabkan barang
dan jasa di dalam masyarakat bertambah dan meningkatkan tingkat
kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ketika upah naik
maka daya beli masyarakat akan meningkat dan pola ini akan secara
tidak langsung akan memberikan pertumbuhan ekonomi bagi

74
masyarakat tersebut. Seperti yang telah diuraikan di atas, perlu
adanya regulasi ulang mengenai Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 dikarenakan dalam peraturan ini tidak diatur komponen
Kualitas HIdup Layak dan hanya memperhatikan Perhitungan secara
inflasi dan Perhitungan pertumbuhan ekonom saja. Menggunakan
metode inflasi dan pertumbuhan ekonomi bukanlah suatu hal yang
buruk tetapi jika tidak diseimbangkan dengan Kualitas Hidup Layak
maka akan terjadi ketimpangan pendapatan upah buruh. Dalam sisi
pemilik usaha memang menguntungkan memakai Teknik perhitungan
inflasi dan pertumbuhan ekonomi karena bisa menyesuaikan dengan
situasi yang sedang terjadi selain itu dapat menghemat uang
perusahaan.

5) Poin yang menjadi polemik mengenai Cuti tahunan, dalam ialah


beralihnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 menjadi Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 memicu polemik. Yang menjadi salah
satu sorotan ialah berubahnya ketentuan pasal mengenai hak cuti.
Dengan lahirnya perubahan baru, tentu membuat perusahaan serta
para tenaga kerja harus sigap menyesuaikan dengan ketentuan
terbaru guna menghindari konsekuensi baik dari sanksi pidana
ataupun lainnya.
Cuti merupakan hak bagi setiap karyawan yang wajib
diberikan oleh suatu perusahaan. Jatah Cuti karyawan yang diberikan
perusahaan mencangkup 12 hari untuk kurun waktu satu tahun. Dan
untuk menerimanya, karyawan harus sudah bekerja selama 12 bulan
secara terus menerus. Pada dasarnya tidak ada regulasi yang
mengatur jatah cuti karyawan secara pasti. Dalam hal ini artinya
mengenai cuti diterapkan atas kesepakatan bersama antara
karyawan dan perusahaan.

75
Banyak tenaga kerja yang mempertanyakan terkait ketentuan
jatah cuti apabila tidak diambil. Melihat peraturan terbaru, sudah
jelas hal ini atas kesepakatan bersama. Ketika pada awal perjanjian
kontrak tidak ada kesepakatan bersama antara perusahaan dengan
tenaga kerja mengenai jatah cuti bersangkutan, maka secara
otomatis jatah cuti tersebut akan hangus, tidak dapat diuangkan, dan
tidak dapat diambil pada tahun selanjutnya.
Peraturan cuti yang hangus ini diterapkan di beberapa
perusahaan di Indonesia dengan alasan efektivitas kinerja karyawan.
Selain itu, peraturan ini dapat mendorong karyawan untuk
mengambil cuti pada jangka waktu tertentu.29. Dengan
diserahkannya mengenai jatah cuti kepada pihak perusahaan
khawatir akan adanya kesewenang-wenangan dari pihak perusahaan
untuk terus mempekerjakan para tenaga kerja tanpa memberikan
jatah cuti sehingga perusahaan akan dengan mudah menghanguskan
masa istirahat tenaga kerja yang seharusnya mereka dapatkan. Hal ini
dinilai menjadi salah satu bentuk perbudakan modern yang berdalih
meningkatkan efektivitas karyawan.
Masuknya hari libur nasional ke dalam jatah cuti tahunan
seharusnya dihapuskan. Terlebih untuk hari raya, mengingat
Indonesia memiliki keberagaman agama, dan hari raya merupakan
hari yang ditunggu-tunggu oleh para tenaga kerja, sebab hari
tersebut adalah hari di mana berkumpulnya para tenaga kerja
dengan keluarga tercintanya, terutama tenaga kerja migran
Indonesia yang perlu menghabiskan banyak waktu di perjalanan guna
kembali ke kampung halamannya. Oleh sebab itu, sudah seharusnya
hari libur nasional tidak termasuk ke dalam jatah cuti tahunan. Juga
hari libur nasional ditetapkan dengan beberapa alasan dan
pertimbangan pemerintah, bukan seperti pengertian cuti tahunan

29
LinovHR, “Apakah Jatah Cuti Karyawan Bisa Diuangkan Bila Tidak Diambil?,” diakses padae
27 April 2022. Dari (https://www.linovhr.com/jatah-cuti-karyawan/),.

76
sebagai mestinya, cuti yang dapat digunakan oleh tenaga kerja tanpa
perlu alasan khusus.

6) Pasal 43 pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengatur


bahwa, perusahaan yang menggunakan TKA harus memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan, hal ini merupakan
persyaratan untuk mendapatkan izin kerja (IKTA). Namun, pada
tahun 2018 pasal 43 resmi dihapus, sehingga para pengusaha tidak
wajib lagi mengurus izin, dan pertumbuhan TKA di Indonesia pun
semakin pesat. Selain itu, dalam PP Nomor 20 Tahun 2018 tepatnya
pada Pasal 9 menyatakan bahwa “Pengesahan RPTKA sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 merupakan izin untuk memperkerjakan
TKA.” Penggunaan TKA tidak memerlukan izin kerja, hal ini sangat
berdampak terhadap masifnya pertumbuhan TKA di Indonesia.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 hanya mengatur
bahwa pengusaha wajib memiliki RPTKA yang disahkan oleh
pemerintah, lalu pada PP Nomor 72 Tahun 2014 pun menyatakan
bahwa RPTKA merupakan syarat untuk mendapatkan izin kerja.
Berdasarkan hal ini, maka dapat diartikan bahwa muatan muatan isi
dalam peraturan perundang-undangan ini sepenuhnya dimaksudkan
untuk menyederhanakan prosedur memperoleh IKTA.
Penyederhanaan prosedur ini sangat berdampak atas lemahnya
pengawasan terhadap TKA.

Perundang-udangan perlu menetapkan kembali regulasi IKTA,


agar tidak ada lagi pelanggaran dan keterangan-keterangan
pengusaha untuk memperkerjakan TKA terinci dengan jelas, sehingga
TKA yang dipekerjakan adalah benar-benar TKA yang diperlukan,
karena jika tidak hal ini akan menderogasi hak-hak tenaga kerja lokal
dalam memperoleh kesejahteraan Atas dasar hal ini pengembalian

77
Pasal 43 yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 sangat diperlukan.

78
BAB IV
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG

A. Sasaran
Sasaran yang ingin dicapai dalam pembentukan Rancangan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020, yaitu:

1. Melakukan reformasi pemerintah dalam rangka penciptaan lapangan kerja


yang mana mampu mewadahi tingginya pertumbuhan Penduduk Indonesia
melalui, memajukan peningkatan investasi di Indonesia, membuat
perizinan dan pengawasan secara ketat terutama jabatan posisi untuk
Tenaga Kerja Asing harus lebih diperhatikan, dan memajukan percepatan
dan kelancaran Investasi Pemerintah dan Proyek Pemerintah yang menjadi
sumber penciptaan lapangan kerja.
2. Memajukan laju pertumbuhan dalam hal produksi nasional untuk
berimplikasi secara signifikan pada pertumbuhan ekonomi dan mencegah
inflasi.

B. Arah dan Jangkauan Pengaturan


Arah dan Jangkauan Pengaturan dalam Naskah Akademik dalam
Rancangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 berisi Pertambahan dan
Pengurangan gagasan pengaturan terkait Tenaga Kerja Asing serta
Pengawasannya dan Cuti tahunan. Selain itu, mengubah peraturan di
dalamnya terkait ketentuan formula penghitungan upah minimum. Kemudian,
tidak adanya sistem yang jelas dan perlindungan yang tepat serta rawannya
perusahaan menyelewengkan kewenangan terkait outsourcing.
Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 berisi
mengenai pokok ketentuan pengaturan, yakni Negara meliputi pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, buruh, dan pengusaha. Sedangkan Objek yang

79
diatur dalam gagasan perubahan Rancangan Undang-undang Nomor 11 Tahun
2020, yakni:
1. Pengembalian ketentuan IMTA (Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing)
yang mana perlu dilakukan pengawasan kerja dengan membentuk
Lembaga Pengawas Nasional Tenaga Kerja Asing (BPNTKA) sehingga
diperlukannya juga pembatasan dalam menerima Tenaga Kerja Asing
masuk ke wilayah Indonesia;
2. Mengembalikan ketentuan Undang-undang Nomor 12 tahun 2003
mengenai penggunaan Tenaga Kerja Asing serta perpanjangannya dengan
memperjelas bidang pekerjaan bagi pekerja alih daya;
3. Penambahan gagasan mengenai batas waktu PKWT dengan landasan
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 yang mana pemutusan
hubungan secara sepihak terkait Perjanjian Kerja Waktu Kontrak (PKWT)
sehingga tidak ada perlindungan terhadap pemutusan kerja secara sepihak;
4. Mengubah Ketentuan Perhitungan Upah Minimum dengan mengembalikan
berdasarkan KHL (Kebutuhan Hidup Layak), serta dikembalikannya struktur
dan skala upah sebagai perhitungan upah untuk perusahaan dengan
memberikan wewenang kepada Gubernur guna memberikan batasan Upah
Minimum Kabupaten/Kota;
5. Penambahan waktu cuti serta penghapusan syarat mengenai pelaksanaan
ketentuan sehingga tidak menjadi syarat perbudakan serta meningkatkan
produktivitas setiap pekerja yang sesuai dengan waktu cuti yang benar.

C. Ruang Lingkup dan Materi Muatan


1. Ketentuan Umum
Terdapat Perubahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020
sehingga berisi penambahan pengertian mengenai Badan Pengawas
Tenaga Kerja Asing. Penambahan ketentuan peraturan dalam
mendefinisikan BPN-TKA (Badan Pengawas Tenaga Kerja Asing).

80
Lembaga ini mempunyai wewenang sebagai pengawasan Tenaga Kerja
Asing selama bekerja di Indonesia. Selanjutnya, terdapat definisi IMTA
(Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing). Muatan ketentuan umum,
untuk Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), yakni pemerintah
yang memberikan perizinan guna mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di
Indonesia, yang telah lulus dalam perizinan pada tahap Rencana
Penggunaan Tenaga Kerja Asing (yang disingkat RPTKA).

2. Materi Muatan
a. Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Ketentuan Pasal 81 Angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2003 perubahan atas Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang
Ketenagakerjaan diubah. Di dalam perubahan dengan
menambahkan tahapan perizinan bagi TKA yang akan masuk ke
Indonesia sehingga dibuatnya IMTA (Izin Menggunakan Tenaga
Kerja Asing). Selanjutnya, penambahan ayat setelah ayat (1)
menjelaskan terkait IMTA yang digunakan sebagai tahap seleksi
kedua setelah seleksi pertama menggunakan Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing (RPTKA).

Penambahan ayat setelah ayat (5) mengatur terkait jumlah


batasan penggunaan TKA di Indonesia, dengan batas maksimal
penggunaan TKA di Indonesia sebesar 15% berdasarkan jumlah
angkatan kerja setiap tahunnya di Indonesia. Selanjutnya
penambahan pasal, setelah Pasal 42, yakni Pasal 42A yang
mengatur terkait Badan Pengawas Nasional Tenaga Kerja Asing
(BPN-TKA), terkait kewenangannya dalam mengawasi penggunaan
TKA di Indonesia. Selain itu, ketentuan dalam Pasal 81 angka 5 dan
6 Undang-Undang Cipta Kerja perubahan atas Pasal 43 dan 44
Undang-Undang Ketenagakerjaan diubah, sehingga memunculkan
kembali pasal-pasal tersebut.

81
b. Outsourcing
Undang-Undang Cipta Kerja Pasal 81 Ayat 20 atas Pasal 66
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tidak mengatur mengenai
jenis pekerjaan yang dilakukan oleh buruh. Untuk Perubahan,
setelah Pasal 66 ayat 1 mengatur mengenai jenis dan bidang
pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja buruh serta bekerja di
bidang penunjang, dan tidak diperbolehkan bekerja dalam bidang
inti atau produksi inti

c. Perjanjian Pekerja Waktu Tertentu atau yang disingkat PKWT


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 mengenai Pasal 81
Ayat 15 atas perubahan Pasal 59 ayat 1 di dalam pasal tersebut
dijelaskan bahwa:
a) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b) Pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
yang tidak terlalu lama;
c) Pekerjaan yang bersifat musiman;
d) Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan
baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan; atau
e) Pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak
tetap. Pengaturan terkait batas waktu pekerjaan pkwt yang
diatur dalam peraturan pemerintah nomor 35 tahun 2021
tentang perjanjian kerja waktu tertentu, alih daya, waktu kerja
dan waktu istirahat, dan pemutusan hubungan kerja
dimunculkan dalam undang-undang cipta kerja, dan diubah
dalam pasal 81 angka 15 undang-undang cipta kerja perubahan
atas pasal 59 ayat (1) huruf b undang-undang ketenagakerjaan.

82
Selain itu, pengaturan perpanjangan terkait pekerjaan pkwt
yang belum selesai, selanjutnya diatur setelah ayat (2).

d. Formula Upah Minimum


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Pasal 81 Ayat 25
atas Perubahan Pasal 88c ayat 2 diuraikan mengenai ketentuan
Gubernur yang menetapkan upah minimum Kabupaten/Kota
dengan syarat tertentu diubah. Terdapat penambahan pasal
setelah ayat 2 mengenai penetapan besaran batasan
maksimum upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur
dengan menyertakan perundingan antara perserikatan
pengusaha dan perserikatan buruh selain itu, terdapat
perubahan pada ayat 2 dengan memberikan kebebasan berupa
ketentuan setiap Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan
kewenangan Gubernur.

e. Cuti Tahunan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 81 ayat 23
atas perubahan Pasal 79 ayat 2b, dijelaskan istirahat mingguan
selama satu hari untuk enam hari kerja diubah. Perubahan
terkait mengatur waktu istirahat mingguan menjadi dua hari
kerja dalam rentang waktu lima hari kerja. Selain itu,
perubahan yang terdapat di ayat 3 mengenai persyaratan cuti
tahunan, yaitu kalimat "secara terus menerus" dihilangkan.
Penambahan yang terdapat setelah ayat 3 membahas
pengaturan cuti tahunan bagi pekerja yang telah bekerja
kurang dari dua belas bulan, akibatnya perubahan substansi.

83
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui cara
investasi yang mana mampu untuk menampung tenaga kerja serta Pemberian
hak baik pengusaha maupun tenaga kerja, namun untuk mencapai tujuan
tersebut, masyarakat ataupun pemerintah serta pengusaha harus
menghadapi masalah-masalah terlebih dahulu, yakni:
1) Perizinan Tenaga Kerja Asing yang memudahkan untuk masuk ke Negara
Indonesia serta dihilangkannya IMTA pada Peraturan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 selain itu, Tenaga Kerja Asing tersebut tidak ada
batasan dalam menduduki jabatan sehingga menimbulkan perbedaan
upah yang diperoleh oleh Tenaga Kerja Indonesia dengan Tenaga Kerja
Asing.
2) Pemutusan Hubungan Kerja, banyak ditemukan kesewenang-wenangan,
karena ada perubahan isi pasal yang termaktub dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020. Dalam undang-undang tidak lagi mewajibkan
perundingan atau musyawarah kepada para pekerja atau serikat buruh,
pada saat perusahaan memiliki maksud untuk mem-PHK pekerjanya.
3) Pengawasan terhadap TKA yang dilakukan oleh Tim pora dan satgas
pengawas TKA lemah, dan karena dihilangkannya IMTA maka semakin
banyak TKA yang melakukan pelanggaran. Penyederhanaan regulasi
penggunaan TKA sangat tidak tepat, karena menimbulkan maraknya
penggunaan TKA, dan pelanggaran, sedangkan pengawasan terhadap TKA
tidak diperketat.
4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja perlu
diperbaiki karena dalam peraturan yang termuat dalam undang-undang
ini banyak menimbulkan polemik. Hal ini timbul karena beberapa faktor,
antara lain masyarakat merasakan adanya diskriminasi antara tenaga

84
kerja lokal dengan TKA, regulasi pemutusan hubungan kerja dipermudah
sehingga banyak terjadi kesewenang-wenangan, dan tidak adanya sistem
yang jelas pada pekerja outsourcing.
5) Terdapat lima pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 yang
perlu dilakukan penyisipan untuk minimalisir faktor-faktor yang
menimbulkan polemik. Kelima pasal tersebut yaitu, pasal 42, 43, 65, 79,
dan 151.

B. Saran
1) Diperlukan pemilihan substansi dalam naskah akademik yang mana nantinya
akan menjadi materi muatan dalam undang-undang atau peraturan turunan
lainnya guna masing-masing Kementerian/Lembaga atau stakeholders
menyepakati apa yang sudah disepakati guna memudahkan dalam proses
pembahasan.
2) Mengingat banyak permasalahan yang terdapat pada substansi, maka
diperlukan adanya program sosialisasi baik itu administrative maupun
teknisnya dalam implementasi dari undang-undang ini. Selain dari program
sosialisasi, diperlukan juga komitmen terhadap implementasi yang terkandung
dalam substansi Undang-Undang ini oleh Lembaga/Kementerian serta
Skarteholder yang ada.
3) Disiapkan juga peraturan turunan atau pendukung dengan secepatnya.
Rancangan Peraturan Undang-Undang ini juga perlu diregulasi ulang karena
masih terdapat pasal-pasal yang bermasalah selain itu dibuatkan perizinan
terkait Tenaga Kerja Asing untuk menciptakan keadilan terhadap Tenaga Kerja
Indonesia sehingga menciptakan persaingan yang kompetitif yang bersahabat,
efektif, dan efisien.
4) Supaya Rancangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 dapat dimuat
dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2020 serta dibahas dengan
ditetapkan dalam tahun 2020.
5) Perlu adanya regulasi yang mewajibkan pengusaha melakukan perundingan
kepada pekerja dalam hal pemutusan hubungan kerja. Dilakukannya revisi

85
atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 untuk perincian regulasi PHK agar
tidak terjadi kesewenang-wenangan
6) Pengawasan yang dilakukan oleh Tim Pora dan Satgas Pengawasan TKA perlu
dievaluasi kembali, agar kinerjanya semakin maksimal. Selain itu, alangkah
lebih baiknya jika dibentuk lembaga yang dapat menerima segala bentuk
laporan pelanggaran penggunaan TKA.
7) Perlu pemilahan substansi naskah akademik yang akan menjadi materi
muatan dalam undang-undang atau peraturan pelaksana.
8) Dalam perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, perlu melakukan
komunikasi publik dengan cara melibatkan partisipasi publik sejak proses
pembuatan
9) Waktu yang diberikan terkait perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 perlu diperhatikan , agar tidak tergesa-gesa dalam proses pembuatan

86
DAFTAR PUSTAKA

(Ii & Kerja, n.d.)Ii, B. A. B., & Kerja, K. T. (n.d.). Badan Pusat Statistik . 2001 .
Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota. Jakarta: BPS 13. 13–32.

Matompo, O. S., & Izziyana, W. V. (2020). Konsep Omnibus Law dan


Permasalahan RUU Cipta Kerja. Jurnal Ilmu Hukum Rechstaat Nieuw, 5(1),
22–29. file:///C:/Users/ASUS/Downloads/(1) KONSEP OMNIBUS LAW DAN
PERMASALAHAN RUU CIPTA KERJA.pdf

Nurhayati, T. (2021). Kajian Yuridis Sosiologis Terhadap Pemberlakuan Undang-


Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Beserta Aturan
Turunannya. Kerta Semaya, 9(6), 1032–1043.

Sunarto, S. (2016). Prinsip Checks and Balances Dalam Sistem Ketatanegaraan


Indonesia. Masalah-Masalah Hukum, 45(2), 157.
https://doi.org/10.14710/mmh.45.2.2016.157-163

Tim JDIH Badan Pemeriksan Keuangan. (2020). Tata cara pengalokasian,


penganggaran, pencairan, dan pertanggungjawaban dana kartu prakerja.
1–22.

Kementerian Sekretariatan Negara RI. (2020). Undang-Undang Cipta Kerja.


Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, 052692.
https://jdih.setneg.go.id/Produk

Makasau, M. M. A. (2009). Pengaruh Implementasi Kebijakan Upah Minimum


pada Hubungan Kerja Perusahaan dengan Pekerja di Kabupaten Bandung.
Jurnal Ilmu Administrasi Negara, 9(1), 16.

Nola, L. F. (2021). Pengendalian Tenaga Kerja Asing Pada Masa Pandemi Covid-
19. TENAGA KERJA ASING PADA MASA PANDEMI, 6.

Rachmawati, L., , I., & Winarno, D. W. (2017). Implementasi Upah Minimum


Kabupaten Boyolali Terhadap Pekerja/Buruh Pada Usaha Konveksi

87
Berdasarkan Undang-Undang Ri Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan. Jurnal Hukum Dan Pembangunan Ekonomi, 5(2), 61–73.
https://doi.org/10.20961/hpe.v5i2.18288

Rosidi, A. (2019). Asing Di Lombok Timur. 3(2).

At, L. I., Ns, K. O., & Rpp, L. I. (2020). Ro m li at m a s a s m i ta / g u ru b e s a r u


npa d da n univ. pa s unda n/ ko ns u lta n a h li rpp u u c i pta k e r. 11.

Farrel, M., Mirza, R., Sanstoso, R. S., & Hanani, R. (2021). Implementasi Kebijakan
Penetapan Upah Minimum di Kota Semarang Muhammad Farrel Radiand
Mirza, R. Slamet Sanstoso, Retna Hanani Departemen Administrasi Publik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro. 78.

Shalihah, F. (2021). Perubahan Pengaturan Penggunaan Tenaga Kerja Asing


dalam Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. 1(3), 417–425.

Simorangkir, I. (2020). Serap Aspirasi : Implementasi Undang-Undang. November,


1–18.

Website/Internet

Nurul Hayat. (2020). “Peneliti LIPI: Pasal 66 UU Cipta Kerja Melanggengkan


Sistem Alih Daya.” dari
(https://www.antaranews.com/berita/1770021/peneliti-lipi-pasal-66-uu-
cipta-kerja-melanggengkan-sistem-alih-daya). diakses pada tanggal 20 April
2022.

Nyoman Ary Wahyudi. (2022). “Ribuan Buruh Demo Geruduk DPR Desak Setop
Bahas UU Cipta Kerja”. dari
(https://ekonomi.bisnis.com/read/20220114/12/1489040/ribuan-buruh-
demo-geruduk-dpr-desak-setop-bahas-uu-cipta-kerja). diakses pada tanggal
27 April 2022.

Soetomo. (2020). “UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Resmi Berlaku”.

88
dari (https://www.jpnn.com/news/uu-nomor-11-tahun-2020-tentang-cipta-
kerja-resmi-berlaku). diakses pada tanggal 27 April 2022.

Toto Hari Saputra. (2021). “9 Aspek Keuangan Negara Dalam UU Cipta Kerja
Terkait Peningkatan Investasi”. dari
(https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/9-aspek-
keuangan-negara-dalam-uu-cipta-kerja-terkait-peningkatan-investasi/).
diakses pada 28 April 2022.

Tsarina Maharani. (2021). “5 Poin UU Cipta Kerja yang Dinilai Rugikan Buruh”.
dari (https://nasional.kompas.com/read/2021/05/01/11505841/5-poin-uu-
cipta-kerja-yang-dinilai-rugikan-buruh?page=all). diakses pada tanggal 27
April 2022.

Vendy Yhulia Susanto. (2022). “Program JKP Tak Gugurkan Kewajiban


Perusahaan Bayar Pesangon Pekerja yang Kena PHK”. dari
(https://nasional.kontan.co.id/news/program-jkp-tak-gugurkan-kewajiban-
perusahaan-bayar-pesangon-pekerja-yang-kena-phk). diakses pada 28 April
2022.

Yohana Artha Uly. (2021). “Jumlah Pengangguran di Indonesia Turun Jadi 9,1 Juta
Orang”. dari
(https://money.kompas.com/read/2021/11/05/211102226/jumlah-
pengangguran-di-indonesia-turun-jadi-91-juta-
orang?page=all#:~:text=JAKARTA%2C%20KOMPAS.com%20%2D%20Badan,
mencapai%209%2C77%20juta%20orang.). diakses pada tanggal 28 April
2022.

Ady Thea DA. “Ini Bedanya Outsourcing di UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta


Kerja”. dari (https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-bedanya-
outsourcing-di-uu-ketenagakerjaan-dan-uu-cipta-kerja-
lt60657d8d20b58?page=1). diakses pada tanggal 19 April 2022.

Ainul Azizah. “Studi Kepustakaan Mengenai Landasan Teori dan Praktik Konseling

89
Naratif”. dari (https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-bk-
unesa/article/view/18935). diakses pada tanggal 24 April 2022.

Anonim. (2015). “Analisis Data dalam Penelitian Kualitatif”. dari


(https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/7847bff4505f041
6fe0c446c60f7e8ac.pdf). diakses pada tanggal 20 April 2022.

Athika Rahma. (2021). “TKA China Melenggang ke Indonesia Gara-Gara UU Cipta


Kerja?”. Dari (https://www.liputan6.com/bisnis/read/4558867/tka-china-
melenggang-ke-indonesia-gara-gara-uu-cipta-kerja). diakses pada tanggal 28
April 2022.

BPJS Ketenagakerjaan. (2021). dari


(https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/jaminan-kehilangan-
pekerjaan.html). diakses pada 28 April 2022.

CNN Indonesia. (2021). “Buruh Bongkar Perilaku PLN Kepada Pegawai


Outsourcing”. dari
(https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210610153033-85-
652737/buruh-bongkar-perilaku-pln-kepada-pegawai-outsourcing). diakses
pada 27 April 2022.

CNN Indonesia. (2021). “Serikat Buruh Bakal Demo Tolak Aturan Turunan UU
Cipta Kerja”. dari
(https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210225132028-92-
610770/serikat-buruh-bakal-demo-tolak-aturan-turunan-uu-cipta-kerja).
diakses pada tanggal 30 April 2022.

Dany Saputra. (2021). “Kemenkeu: Realisasi Anggaran Kartu Prakerja 2021 Sudah
Capai Rp9,42 Triliun”. dari
(https://ekonomi.bisnis.com/read/20211201/9/1472411/kemenkeu-
realisasi-anggaran-kartu-prakerja-2021-sudah-capai-rp942-triliun). diakses
pada 28 April 2022.

Data Badan Pusat Statistik terkait Angkatan kerja pada tahun 2021. dari

90
(https://www.bps.go.id/statictable/2016/04/04/1907/penduduk-berumur-
15-tahun-ke-atas-menurut-provinsi-dan-jenis-kegiatan-selama-seminggu-
yang-lalu-2008---2021.html). diakses pada 19 April 2022.

Daud Silalahi & Lawencon Associates. (2021). “UU Ketenagakerjaan: Sejarah &
Perkembangannya di Indonesia”. dari
(https://www.dslalawfirm.com/id/sejarah-undang-undang-
ketenagakerjaan/). diakses pada 30 April 2022.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2020). “UU Ciptaker Hadir Untuk
Indonesia Lebih Maju”. dari
(https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/30590/t/UU+Ciptaker+Hadir+Untuk
+Indonesia+lebih+Maju#:~:text=Anggota%20Badan%20Legislasi%20(Baleg)
%20DPR%20RI%20Guspardi%20Gaus%20mengatakan%20bahwa,akan%20d
apat%20meningkatkan%20iklim%20investasi). diakses pada tanggal 27 April
2022.

Dinas Tenaga Kerja, “Pengertian Angkatan dan Tenaga Kerja.” dari


(https://disnaker.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/pengertian-
angkatan-dan-tenaga-kerja-34). diakses pada tanggal 18 April 2022.

Dinas Tenaga Kerja. (2019). “Produktivitas Tenaga Kerja”. dari


(https://disnaker.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/produktivitas-
tenaga-kerja-42). diakses pada tanggal 26 April 2022.

Dwiyana Pangesthi. (2020). “Human Resources Penting Bagi Organisasi, Bisnis


maupun Non Bisnis”. (https://www.brilio.net/serius/11-pengertian-sumber-
daya-manusia-menurut-para-ahli-200416b.html). diakses pada tanggal 19
April 2022.

Eko Ari Wibowo. (2021). “UU Cipta Kerja Inkosntitusional, KSPI Akan Demo
Tuntut Revisi Upah Minimum”. dari
(https://nasional.tempo.co/read/1533200/uu-cipta-kerja-inkonstitusional-
kspi-akan-demo-tuntut-revisi-upah-minimum). diakses pada tanggal 27 April

91
2022.

Fitria Chusna Farisa. (2022). “Sembilan Gugatan UU Cipta Kerja di MK Selama


2021, Hanya Satu Dikabulkan Sebagian”. dari
(https://nasional.kompas.com/read/2022/02/11/20472591/sembilan-
gugatan-uu-cipta-kerja-di-mk-selama-2021-hanya-satu-
dikabulkan?page=all).

Gajimu.com. (2022). “Pengertian dan mekanisme Penetapan Upah Minimum”.


dari (https://gajimu.com/pekerjaan-yanglayak/pengupahan/upah-
minimum#apa-yang-dimaksud-dengan-upah-minimum-). diakses pada
tanggal 27 April 2022.

Gajimu.com. (2022). “Pertanyaan Mengenai Perlakuan Adil di Tempat Kerja”.


dari (https://gajimu.com/pekerjaan-yanglayak/perlakuan-adil-saat-
bekerja/Adil%20di%20Tempat%20Kerja). diakses pada tanggal 30 April
2022.

I Ketut Suardita. (2017). “Pengenalan Bahan Hukum (PBH)”. dari


(https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/7847bff4505f041
6fe0c446c60f7e8ac.pdf). diakses pada tanggal 20 April 2022.

Jonathan Averino. (2020). “Implementasi Pancasila Sebagai Dasar Kehidupan


Bersama di Indonesia”. dari (https://binus.ac.id/character-
building/pancasila/implementasi-pancasila-sebagai-dasar-kehidupan-
bersama-di-indonesia/). diakses pada 26 April 2022.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. “Kedudukan dan Kewenangan”. dari


(https://www.mkri.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=3&menu=2).
diakses pada 30 April 2022

92
Buku

Dominikus Rato. (2010). Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami


Hukum. Laksbang Pressindo: Yogyakarta.
Dorethea Wahyu A. (2021). Karakteristik dan Konteks Hubungan Industrial.
Jakarta.
Edy Sutrisno. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia. Kencana: Jakarta.
Gatiningsih dan Eko Sutrisno. (2017). Kependudukan dan Ketenagakerjaan. IPDN
Press: Sumedang.
Hafiz Habibur Rahman. (1971). Political Science and Government, Eighth Enlarged
edition (Dacca: Lutfor Rahman Jatia Mudran 109, Hrishikesh Das Road).
Hans Kelsen. (2011). General Theory of Law and State. (Diterjemahkan oleh
Rasisul Muttaqien). Nusa Media: Bandung.
Hartono Judiantoro. (1992). Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
Rajawali Pers: Jakarta.
Hasibuan. (2003). Organisasi dan Motivasi Dasar Peningkatan Produktivitas.
Bumi Aksara: Jakarta.
I Nyoman Putu Budiartha. (2016). Hukum Outsourcing. Setara Press: Malang.
Irawan dan M. Suparmoko. (1996). Ekonomika Pembangunan. Edisi Kelima.
Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta
Iwan Purwanto. (2006). Manajemen Strategi. Cetakan pertama. Yrama Widya:
Bandung.
Jimly Asshiddiqie. (2020). Omnibus Law dan Penerapannya di Indonesia.
Konstitusi Press (Konpress): Jakarta
Johan Jasin. (2019). Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia di Era Otonomi
Daerah. Deepublish: Sleman.
John Rawls. (1999). A Theory of Justice, Revised Edition. OUP: Oxford.
John Rawls. (2006). A Theory of Justice. Oxford University Press: London. (Yang
sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru
Prasetyo). Teori Keadilan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

93
Koko Kosidin. (1999). Perjanjian kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan
Perusahaan. Mandar Maju: Bandung.
Luis Marmisah. (2019). Hubungan Industrial Dan Kompensasi (Teori Dan Praktik).
Deepublish: Sleman.
M. Agus Santoso. (2014). Hukum, Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat
Hukum. Cetakan kedua. Kencana: Jakarta.
Malayu S.P. Hasibuan. (2002). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara:
Jakarta.
Mariot Tua Efendi Hariandja. (2002). Manajemen Sumber Daya Manusia. PT
Grasindo: Jakarta.
Mathis, R.L. & J.H. Jackson. (2006). Human Resources Management: Manajemen
Sumber Daya Manusia”. Terjemahan Dian Angelia. Salemba Empat:
Jakarta.
Mohammad Fandrian Adhistiro, dkk. (2021). Hukum Ketenagakerjaan. Unpam
Press: Tangerang Selatan.
Mulyadi. (2012). Ekonomi Sumber Daya Manusia dalam Perspektif
Pembangunan. Cetakan Kelima. Rajawali Pers: Jakarta.
Rasul Syahrudin. (2002). Pengintegrasian Sistem Akuntabilitas Kinerja dan
Anggaran. Detail Rekod: Jakarta.
Robert. G. (1999). The Real Worlds of Werfare Capitalism. Cambridge University
Press: Cambridge.
Sahya Anggara. (2012). Ilmu Administrasi Negara. Pustaka Setia: Bandung.
Satjipto Rahardjo. (2000). Ilmu hukum. Cetakan ke-V. Citra Aditya Bakti:
Bandung.
Satjipto Rahardjo. (2014). Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti: Bandung.
Setiyono. (2014). Pemerintahan dan Manajemen Sektor Publik. CAPS:
Yogyakarta.
Simarmata, T.H. (1998). Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan
kebijakan dan Perbandingan Pengalaman. PSIK Piramida: Jakarta.

94
Sonny Sumarsono. (2003). Ekonomi Manajemen Sumber Daya Manusia dan
Ketenagakerjaan. Graha Ilmu: Yogyakarta.
Sumarto Hetifa. (2003). Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Bandung:
Yayasan Obor Indonesia.
Sumitro Djojohadikusumo. (1987). Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan
Perkembangan. LP3ES: Jakarta.
Suteki, Galang Taufani. (2018). Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori, dan
Praktik). Rajawali Pers: Depok.
Tjepi F. Aloewic. (1996). Naskah Akademis Tentang Pemutusan Hubungan Kerja
dan Penyelesaian Perselisihan Industrial. Cetakan ke-11. BPHN: Jakarta.
Wirawan. (2012). Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia. Salemba Empat:
Jakarta.
Yamin, M. (1959). Naskah Persiapan UUD 194: Risalah Sidang BPUPKI/PPKI.
Sekretariat Negara RI: Jakarta.

95
BIODATA PENULIS

Nama : Salsabila Khoirunnisa


NIM : 1111210185
Tempat/Tanggal Lahir : Tangerang/03 November 2003
Alamat Rumah : Perumahan Sudirman Indah Blok G8 no 1
Alamat Email : 1111210185@untirta.ac.id
Nomor HP/Whatsapp : 082297907615
Asal Universitas : Fakultas Hukum 2021, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Nama : Tiara Tri Indahsari


NIM : 1111210179
Tempat/Tanggal Lahir : Tangerang/10 Juli 2003
Alamat Rumah : Jl. Masjid 3, RT 02/07, no: 08. Kec. Curug.
Alamat Email : arayousocuteeeee@gmail.com
Nomor HP/Whatsapp : 087709287628
Asal Universitas : Fakultas Hukum 2021, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Nama : Wilda Febiana Rizka


NIM : 1111210172
Tempat/Tanggal Lahir : Serang/16 Febuari 2003
Alamat Rumah : Link.Dalung
Alamat Email : 1111210172@untirta.ac.id
Nomor HP/Whatsapp : 082120192502
Asal Universitas : Fakultas Hukum 2021, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

96
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR … TAHUN …

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020

TENTANG CIPTA KERJA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang: a. bahwa Untuk Menjamin Pengakuan Serta Penghormatan Atas


Hak Dan Kebebasan Orang Lain dan Untuk Memenuhi
Tuntutan Yang Adil Sesuai Dengan Pertimbangan Keamanan
Dan Ketertiban Umum Dalam Suatu Masyarakat Yang
Demokratis Perlu Dilakukan Perubahan Terhadap Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Agar
Terwujud Keadilan, Ketertiban Umum, Dan Kepastian.

b. bahwa Berdasarkan Pertimbangan Sebagaimana Dimaksud


Dalam Huruf A, Perlu Membentuk Undang-Undang Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja;

97
Mengingat: 1. Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 188, Pasal
20, Pasal 22D ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1)
dan ayat (2), dan Pasal 33 UUD NRI 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor XVI/ MPR/1998 tentang Politik Ekonomi
Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi;
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor IX/ MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 CIPTA KERJA

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang–Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6573) diubah sebagai
berikut:
1. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga Pasal 42 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 42

(1) Ketentuan mengenai segala peraturan Rencana


Tenaga Kerja Asing diatur sepenuhunya oleh
Pemerintah Pusat.

98
(2) Setiap Penyalur Kerja yang menggunakan Tenaga
Kerja Asing wajib mempunyai izin tertulis dari Menteri
atau Pejabat yang dipilih sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Ketenagakerjaan.
(3) Perusahaan penyalur pekerja/buruh alih daya dibatasi
dalam mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di
Indonesia dengan presentase kurang dari 0,1%.
(4) Hubungan kerja untuk kedudukan tertentu dan waktu
tertentu ditetapkan oleh Keputusan Menteri
Ketenagakerjaan.
(5) Peraturan akan hubungan kerja, kedudukan tertentu
dan waktu tertentu ditetapkan dalam Keputusan
Menteri Ketenagakerjaan.
2. Di antara Pasal 42 dan Pasal 45 disisipkan 1 (satu) pasal,
yaitu Pasal 43A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43A

(1) Pemberi kerja yang mengunakan tenaga kerja asing


harus memiliki izin menggunakan tenaga kerja asing
yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.
3. Di antara Pasal 64 dan Pasal 65 disisipkan 1 (satu) Pasal,
yakni Pasal 64A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 64A
(1) Ketentuan mengenai segala peraturan alih daya diatur
sepenuhnya oleh pemerintah Pusat.
(2) Mengenai perlindungan pekerja/buruh alih daya
ditanggung oleh di perusahaan mana ia mengalami
kecelakaan saat bekerja.
(3) Setiap pekerja/buruh alih daya wajib diberikan
asuransi perlindungan dengan sepenuhnya oleh kedua
perusahaan yang bersangkutan.

99
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi terhadap
perusahaan yang melanggar undang-undang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur lebih lanjut di Peraturan Pemerintah
Pusat.
(5) Kualifikasi pekerja/buruh alih daya diatur lebih lanjut
dalam keputusan Menteri Ketenagakerjaan.
4. Ketentuan Pasal 79 ditambahkan 1 (satu) ayat sehingga
Pasal 79 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 79

(7) Hari libur Nasiional tidak termasuk ke dalam jatah


cuti tahunan
5. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga Pasal 88 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 88
(1) Ketentuan mengenai segala peraturan Formula
Penghitungan Upah Minimum diatur oleh
Pemerintah Kota/Daerah.
(2) Setiap pekerja/buruh berwenang menerima
penghasilan yang mencapai pengghidupan yang
layak bagi kemanusiaan
(3) Dalam memperoleh penghasilan yang mencapai
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan yang
mana telah diatur pada ayat (1), Pemerintah
menentukan kebijakan pengupahan yang
mengawasi pekerja/buruh
(4) Kebijakan pengupahan yang mengawasi
pekerja/buruh yang mana telah diatur pada ayat (2)
meliputi :
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan
kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat

100
kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(5) Pemerintah menentukan upah minimum yang
mana telah diatur dalam ayat (3) huruf a
berlandaskan pada kebutuhan hidup layak dan
dengan mengawasi produktivitas dan pertumbuhan
ekonomi.

6. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 151 disisipkan 1 (satu)
ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 151 berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 151

(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat


buruh, dan Pemerintah harus mengupayakan agar
tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.

(1a) Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat


dihindari, maka dalam pemutusan hubungan kerja
wajib dirundingan oleh pengusaha didampingi
serikat buruh apabila pekerja/buruh alih daya yang
bersangkutan tidak menjadi anggota serikat buruh.

Pasal II

Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

101
Disahkan di Jakarta
pada tanggal.....
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal.....
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
YASONNAH LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …

102

Anda mungkin juga menyukai