Reno Waisyah (G1a219019 - Tinea Korporis
Reno Waisyah (G1a219019 - Tinea Korporis
TINEA KORPORIS
i
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
TINEA KORPORIS
Oleh:
Reno Waisyah, S. Ked
G1A219019
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Tinea Korporis” sebagai
kelengkapan persyaratan dalam mengikuti Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu
Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ratna Sugiati yang telah
meluangkan waktu dan pikirannya sebagai pembimbing sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan. Selanjutnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat
dan menambah ilmu bagi para pembaca.
iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul................................................................................................ i
Halaman Pengesahan...................................................................................... ii
Kata Pengantar............................................................................................... iii
Daftar Isi......................................................................................................... iv
BAB I STATUS PASIEN............................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 8
BAB III ANALISIS KASUS ........................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 21
iv
BAB I
STATUS PASIEN
1
1.4 Keluhan Utama
Timbul bercak kemerahan yang terasa gatal di area perut depan sejak ± 4
hari sebelum ke Puskesmas.
2
1.7 Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga dengan keluhan serupa (-)
Penyakit alergi (-)
Riwayat DM (-)
3
Palpasi : iktus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : jantung tidak membesar
Auskultasi : BJ I, II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Inspeksi :gerakan napas simetris, sikatriks (-)
Palpasi : vocal fremitus simetris kanan dan kiri
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler (+) N, ronkhi (-), wheezing (-)
I. Abdomen : Datar, soepel, nyeri tekan(-), bising usus (+) N, timpani.
J. Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)
K. Status lokalis:
Regio Abdomen
4
RBC : 4,78 juta/mm3 darah
WBC : 5.700 sel/ mm3 darah
PLT : 250.000 sel/mm3 darah
1.21 Pemeriksaan anjuran
Tetesan lilin, Auspitz, dan kobner
1.22 Diagnosa Kerja
Tinea corporis (B35.4)
1.23 Diagnosa Banding
Dermatitis kontak alergi(L23.9)
Pitiriasis rosea (L.42.0)
Psoriasis vulgaris (L40.0)
1.24 Manajemen
a. Promotif
Menjelaskan pada orang tua pasien dan pasien mengenai
penyakit pasien mulai dari penyebab, faktor risiko, perjalanan
penyakit, pengobatan, pencegahan dari penyakit ini.
Menjelaskan bahwa penyakit ini dapat menular melalui kontak
langsung maupun tidak langsung
Menjelaskan bahwa penyakit ini harus diobati secara serentak
jika terkena dalam satu keluarga atau satu asrama
Menjaga kebersihan diri
Menjaga kebersihan asrama dan lingkungan sekitar pasien.
b. Preventif
Menganjurkan kepada pasien untuk segera mengganti baju,
celana, dan pakaian dalam yang sudah basah dengan pakaian
yang bersih dan kering.
Mengganti pakaian setiap hari sehabis mandi.
Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit ini dapat menular,
sehingga pasien diharapkan memakai handuk sendiri.
5
Menghindari penggunaan pakaian yang panas, disarankan untuk
memakai pakaian yang menyerap keringat.
Melakukan CTPS (Cuci Tangan Pakai Sabun)
Menjelaskan kepada pasien untuk rutin kontrol ke dokter sampai
keluhan benar-benar hilang.
Tidak menggunakan handuk bersama dengan teman yang se
asrama.
Makan-makanan yang bergizi
Menghindari menggaruk daerah lesi untuk mencegah terjadinya
infeksi sekunder
c. Kuratif
Non farmakologi
Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakitnya dapat
sembuh namun butuh waktu yang cukup lama.
Menjalani pengobatan sampai tuntas
Farmakologi
Mikonazole krim 2% 10 mg diberikan 3xsehari setelah
mandi selama 7 hari
CTM tablet 4 mg diberikan diberikan 3x1 tablet selama 7
hari
Tradisional
Bawang putih :
Satu siung bawang putih di potong menjadi 2 bagian
gosokkan pada bagian yang terdapat lesi.
Ketepeng cina
Ambil daun ketepeng cina sebanyak dua tangkai ditumbuk
halus sampai mengeluarkan cairan. Tambahkan sedikit
kapur sirih lalu digosokkan pada kulit yang terdapat lesi.
d. Rehabilitatif
6
Meningkatkan daya tahan tubuh dengan makan yang bergizi
dengan menu lengkap sayur dan lauk pauk serta buah dan
susu.
Menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar
Resep Puskesmas
Dinas Kesehatan Kota Jambi Dinas Kesehatan Kota Jambi
Puskesmas Olak Kemang Puskesmas Olak Kemang
Reno Waisyah, S.Ked Reno Waisyah, S.Ked
SIP : G1A219019 SIP : G1A219019
Jl. KH. M Saleh Rt 01 , Kel Pasir Panjang, Kec. Danau Jl. KH. M Saleh Rt 01 , Kel Pasir Panjang, Kec. Danau
Teluk, Jambi 36265 Teluk, Jambi 36265
R/ R/
R/ R/
2.1 Definisi
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang
disebabkan golongan jamur dermatofita.1
Tinea korporis adalah penyakit karena infeksi jamur dermatofita pada kulit
halus (glabrous skin) seperti di daerah muka, leher, badan, lengan, dan
gluteal.1
2.2 Sinonim
Tinea, ringworm, kurap, teigne, herpes sirsinata.1
2.3 Epidemiologi
Cara penularan terbanyak melalui kontak langsung baik dengan manusia
maupun binatang, melalui serpihan-serpihan jamur pada handuk dan benda-
benda lain atau autoinokulasi bagian tubuh lain misalnya T.rubrum dan T.
Mentagrophytes dari koloni jamur di kaki (tinea pedis). 1 Tinea korporis
biasanya ditularkan melalui binatang yang terinfeksi. Anak-anak lebih sering
terkena karena lebih sering kontak dengan binatang peliharaan. Tidak berbeda
jauh dengan tinea korporis dan kruris lebih sering terjadi pada daerah yang
beriklim tropis dan lembab. Laki-laki lebih sering terkena 3 kali lipat
dibandingkan perumpuan.1
2.4 Etiologi
Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita
termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.1
Hingga kini dikenal sekitar 41 spesies dermatofita, masing-masing 2
spesies Epidermophyton, 17 spesies Microsporum, dan 21 spesies
Trichophyton. Pada tahun-tauhn terakhir ditemukan bentuk sempurna (perfect
stage), yang terbentuk oleh dua koloni yang berlainan “jenis kelaminnya”.
Adanya bentuk sempurna ini menyebabkan dermatofita dapat dimasukkan ke
dalam famili Gymnoascaceae. Dikenal genus Nannizzia dan Arthrderma yang
masing-masing dihubungkan dengan genus Microsporum dan Trichophyton.
2.5 Klasifikasi
Dermatofitosis disebut juag dengan istilah “tinea” yang
kelompokkan menurut lokasi, yaitu:
Tabel 3.1 Klasifikasi Dermatofitosis7
9
2.6 Patogenesis
Infeksi dermatofita diawali dengan adhesi artrokonidia ke keratinosit,
umumnya berlangsung dalam 2 jam pasca kontak, kemudian diikuti dengan
penetrasi. Dermatofita menghasilkan keratinase yang memungkinkannya
untuk mencerna keratin dan mempertahankan diri pada struktur berkeratin.
Sebagai respons terhadap keberadaan jamur, tubuh akan menghasilkan
imunitas seluler dan aktivitas anti mikrobial dari leukosit polimorfonuklear. 3
Fungsi ini terutama juga didukung oleh transferin tak jenuh serta asam lemak
dari kelenjar sebasea yang dapat menghambat pertumbuhan jamur.5
Invasi epidermis oleh dermatofit mengikuti pola biasa pada infeksi yang
diawali dengan pelekatanantara artrokonidia dan keratinosityang diikuti
dengan penetrasi melalui sel dan antara sel serta perkembangan dari respon
penjamu.5
10
Lesi awal dapat berupa lesi eritematosa kecil beserta vesikel dan skuama yang
menyebar hingga umumnya berupa plak eritematosa / hiperpigmentasi /
kecoklatan berukuran besar, berbatas tegas, disertai skuama.4
Di samping itu, ditemukan pula gambaran central healing, dengan bagian
tepi lesi cenderung akan lebih aktif dibandingkan bagian tengahnya, yaitu
dalam bentuk tanda peradangan yang lebih jelas ataupun papul dan pustul.
Bila penyakit terjadi secara menahun, dapat ditemukan gambaran bercak
hitam disertai skuama. Apabila lesi digaruk, dapat pula muncul temuan erosi
diikuti pengeluaran cairan dan apabila terjadi secara kronik dapat terjadi
perubahan ke arah liken simpleks kronikus.2
2.8 Diagnosa
Diagnosis dibuat berdasarkan gambaran klinis, hasil pemeriksaan sediaan
langsung yang positif dan biakan. Kadang – kadang diperlukan pemeriksaan
dengan lampu Wood, yang mengeluarkan sinar ultraviolet dengan gelombang
3650 Ao. Pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH 10-20% bila positif
memperlihatkan elemen jamur berupa hifa panjang dan artrospora.2
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong
pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media
buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar
dekstrosa Sabouraud. Biakan memberikan hasil lebih cukup lengkap, akan
tetapi lebih sulit dikerjakan, lebih mahal biayanya, hasil diperoleh dalam
waktu lebih lama dan sensitivitasnya kurang (± 60%) bila dibandingkan
dengan cara pemeriksaan sediaan langsung.4,5
11
Prosedur: ambil kerokan kulit dari tepi lesi yang aktif dengan
menggunakan scalpel. Sebelumnya, kita bersihkan lebih dahulu dengan
kapas alkohol, pada bagian yang akan dikerok. Pindahkan kerokan kulit
tersebut pada kaca objek dan teteskan KOH 10% (jika sampel berasal dari
rambut), 20% (jika sampel berasal dari kulit dan kuku). Tutup dengan
menggunakan penutup kaca objek kemudian lihat di bawah mikroskop.
Pada kasus-kasus dengan risiko infeksi tinea yang tinggi dan hasil
pemeriksaan KOH negatif, perlu dilakukan pemeriksaan kultur.
Gambar 2.2 Preparat KOH yang diambil dari seseorang dengan dermatofitosis
epidermal. Tampak struktur hifa dan formasi spora
12
Gambar 2.3. Kiri: pemeriksaan KOH positif. Kanan: dalam chlorazol black
stain, gambar dermatofit Trichophyton tonsurans
13
edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah
menimbulkan erosi dan eksudasi(basah). Pada yang kronis terlihat kulit
kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin jugga fisur, batasnya
tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedaknn dengan dermatitis kontak iritan
kronis; mungkin penyebabnya juga campuran.
Gejala yang umum dirasakan penderita adalah pruritus yang
umumnya konstan dan seringkali hebat (sangat gatal). DKA biasanya
ditandai dengan adanya lesi eksematosa berupa eritema, udem, vesikula
dan terbentuknya papulovesikula; gambaran ini menunjukkan aktivitas
tingkat selular. Vesikel-vesikel timbul karena terjadinya spongiosis dan
jika pecah akan mengeluarkan cairan yang mengakibatkan lesi menjadi
basah. Mula-mula lesi hanya terbatas pada tempat kontak dengan alergen,
sehingga corak dan distribusinya sering dapat meiiunjukkan kausanya,
misalnya: mereka yang terkena kulit kepalanya dapat curiga dengan
shampo atau cat rambut yang dipakainya. Mereka yang terkena wajahnya
dapat curiga dengan cream, sabun, bedak dan berbagai jenis kosmetik
lainnya yang mereka pakai. Pada kasus yang hebat, dermatitis menyebar
luas ke seluruh tubuh.
Adapun pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan antara
lain:
a. Pemeriksaan eosinofil darah tepi
b. Pemeriksaan imminoglobulin E
1) Uji tempel (patch test)
2) Uji tusuk (prick test)
3) Uji gores (scratch test)
Pitiriasis rosea
Pitiriasis rosea adalah ruam kulit yang menyebabkan bercak gatal
kadang-kadang tubuh, leher, lengan dan kaki. Pitiriasis rosea penyebab
adalah: ruam dijelaskan yang berlangsung sekitar enam minggu. Siapapun
bisa melakukannya, tetapi lebih sering terjadi pada orang berusia 10-35.
14
Hal ini mungkin disebabkan oleh virus yang belum teridentifikasi.
Sejumlah besar bakteri, virus, atau jamur diisolasi sebagai agen penyebab,
meskipun HHV-6 dan -7 HH bisa memainkan peran.
Namun beberapa ahli menduga ada beberapa faktor penyebab,
diantaranya:
1) Faktor cuaca. Hal ini karena Pityriasis rosea lebih kerap ditemukan
pada musim semi dan musim gugur.
2) Faktor penggunaan obat-obat tertentu, seperti bismuth, barbiturat,
captopril, mercuri, methoxypromazine, metronidazole, D-
penicillamine, isotretinoin, tripelennamine hydrochloride, ketotifen,
dan salvarsan. Diduga berhubungan dengan penyakit kulit lainnya
(dermatitis atopi, seborrheic dermatitis, acne vulgaris) dikarenakan
Pityriasis rosea dijumpai pada penderita penyakit dengan dermatitis
atopik, dermatitis seboroik, acne vulgaris dan ketombe.
Gejala yang ditimbulkan biasanya asimptomatik, namun terkadang
diikuti dengan pruritus dan gejala mirip flu ringan. Biasanya Pityriasis
Rosea didahului dengan gejala prodromal (lemas, mual, tidak nafsu akan,
demam, nyeri sendi, pembesaran kelenjar limfe). Setelah itu muncul lesi
dikulit. Pitiriasis rosea bersifat self limited atau sembuh sendiri dalam 3-8
minggu.
Psoriasis vulgaris
Psoriasis Vulgaris merupakan penyakit autoimun, bersifat kronik dan
residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas
dengan skuama kasar, berlapis-lapis dan transparan disertai dengan
fenomenon tetesan lilin, Auspitz, dan Kobner.
Penyebab Psoriasis Vulgaris adalah belum jelas, tetapi yang pasti
adalah pembentukan epidermis yang dipercepat. Faktor-faktor lain yang
diduga menimbulkan penyakit ini antara lain genetik, imunologik, dan
beberapa faktor pencetus lainnya seperti stres psikik, infeksi lokal,
truma,gangguan metabolik, obat, juga alkohol dan merokok.
15
Pada penderita psoriasis keadaan umum tidak dipengaruhi, kecuali
pada psoriasis yang menjadi eritroderma. Sebagian penderita mengeluh
gatal ringan. Tempat predileksinya pada skalp, perbatasan daerah tersebut
dengan muka, ekstremitas bagian ekstensor terutama siku serta lutut, dan
daerah lumbosakral. Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang
meninggi (plak) dengan skuama diatasnya. Eritema sirkumskrip dan
merata, tetapi pada stadium penyembuhan sering eritema yang ditengah
menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar
dan berwarna putih seperti mika, serta transparan.
Besar kelainan bervariasi: lentikuler, numular atau plakat, dapat
berkonfluensi.Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin (kaarsvlek
phenomena), Auspitz dan Kobner (isomorfik). Kedua fenomena yang
disebut lebih dahulu diangggap khas, sedangkan ynag terakhir tak khas,
hanya kira-kira 47% yang positif dan di dapati pula pada penyakit lain,
misalnya liken planus dan veruka plana juvenilis. Pada fenomena tetesan
lilin ialah skuama dikerok, maka akan timbul garis-garis putih pada
goresan seperti lilin yang digores, disebabkan oleh berubahnya indeks
bias. Sedangkan pada fenomena Auspitz tampak serum atau darah
berbintik-bintik yang disebabkan oleh papilomatosis yaitu dengan dikerok
terus secara hati-hati sampai ke dasar skuama. Truma pada kulit penderita
psoriasis misalnya garukan, dapat menyebabkan kelainan psoriasis dan
disebut fenomena Kobner yang timbul kira-kira setelah 3 minggu.
Gambaran klinis yang khas, yaitu makulo-papula eritema dengan
batas tegas, ditutup skuama kasar, putih mengkilat seperti perak, disertai
adanya fenomena bercak lilin dan tanda Auspitz. Bila gambaran klinis
kurang jelas, dilakukan pemeriksaan histopatologi.
2.11 Penatalaksanaan
Tatalaksana pada pasien dengan tinea kruris dilakukan secara
medikamentosa maupun non medikamentosa.Tatalaksana non
medikamentosa terutama diarahkan untuk tetap menjaga higiene /
16
kebersihan diri melalui mandi dan mengganti pakaian, menjaga tubuh agar
tidak terlalu berkeringat, tidak menggunakan handuk / barang pribadi lain
secara bergantian, menghindari kontak langsung dengan hewan yang
disangka menularkan jamur, serta kepatuhan berobat.5,6
Berdasarkan pedoman PERDOSKI tahun 2011, secara
medikamentosa dapat diberikan administrasi obat topikal dan
sistemik.2Obat topikal terpilih berasal dari golongan alilamin, diberikan
sekali sehari selama 1-2 minggu. Sebagai alternatifnya, dapat diberikan
golongan azol, siklopiroksolamin, asam undesilinat, dan tonafal 1-2 kali
sehari selama 2-4 minggu.2
Obat sistemik diberikan apabila lesi terjadi secara kronik, terjadi lesi
luas / ekstensif, atau gagal respons dengan pengobatan topikal. Pilihan
obatnya adalah griseofulvin oral 10-25 mg/kg BB/hari, ketokonazol 200
mg/hari, itrakonazol 2 x 100 mg/hari, serta terbinafin oral 1 x 250
mg/hari.2
Griseofulvin adalah golongan obat dengan sifat kerja fungistatik
dengan dosis umumnya 0,5-1 gram untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 gram
untuk anak melalui pemberian dosis terbagi. Obat umumnya akan
diabsorbsi lebih baik dalam usus bila dimakan bersama dengan makanan
yang banyak mengandung lemak. Obat ini dapat memberikan efek
samping sefalgia pada 15% penderita, serta fotosensitif, gangguan fungsi
hati, keluhan gangguan traktus digestivus berupa nausea, vomitus, dan
diare.2
Ketokonazol juga bersifat fungistatik dan dapat menjadi alternatif
pilihan bila terjadi resistensi pada griseofulvin. Pemberian dilakukan
selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah makan. Obat ini bersifat
hepatotoksik sehingga tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan
hepar.2
Pilihan obat lain yang cenderung kurang hepatotoksik adalah
itrakonazol, akan tetapi terdapat potensi interaksi yang cukup luas
sehingga konsumsi obat lain pada pasien juga harus dipertimbangkan.2
17
Terbinafin adalah obat dengan sifat kerja fungisidal dan dapat
diberikan sebagai pengganti griseofulvin. Obat ini diberikan selama 2 – 3
minggu dengan dosis 62,5 mg – 250 mg sehari bergantung pada berat
badan pasien. Efek samping yang dapat terjadi adalah gangguan
gastrointestinal berupa nausea, vomitus, nyeri lambung, diare, dan
konstipasi. Di samping itu, dapat pula terjadi gangguan pengecapan
maupun gangguan fungsi hepar.3
Lamanya pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab
penyakit, serta keadaan imunitas penderita. Pemberian obat dilakukan
hingga secara klinis ditemukan perbaikan diikuti dengan hasil negatif pada
pemeriksaan laboratorium.Agar tidak residif, pengobatan dilanjutkan
selama 2 minggu setelah terjadi kesembuhan secara klinis. 6 Secara umum,
prognosis penyakit ini baik.6
2.12 Prognosis
Dengan pengobatan teratur, tinea dapat sembuh dalam waktu satu
bulan.Prognosis dikatakan baik jika:
Faktor predisposisi dapat dihindarkan atau dihilangkan
Dapat menghindari sumber penularan, berobatsecarateraturdantuntas
18
BAB III
ANALISA KASUS
Dari anamnesis diketahui bahwa tidak ada anggota keluarga yang mengalami
keluhan yang sama seperti pasien. Serta penggunaan handuk mandi pribadi
tidak digunakan bersama anggota keluarga lainnya. Namun penularan
penyakitnya bisa dari handuk atau pakaian yang digunakan bersama dengan
teman se asrama pasien. Sehingga pada pasien ini tidak terdapat hubungan
diagnosis dengan keadaan keluarga dan hubungan keluarga.
3.4 Analisis kemungkinan berbagai faktor risiko atau etiologi penyakit pada
pasien ini:
Pasien tidak mengganti pakaian yang sudah basah atau lembab dengan
pakaian kering dan bersih.
Di dalam pesantren, pakaian dan handuk sering digunakan bersama
Pakaian sering ditumpuk dan digantung
Kamar jarang dibersihkan
Kasur jarang dijemur
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah. 2010. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.
Edisi ke-6. Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Kulit dan Kelamin FK
UI.
2. Adiguna, MS. 2011. Update Treatment In Inguinal Intertigo And Its
Differential. Bagian/SMF Imu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. Hlm.309-333.
3. Yuwita Wulan, Ramali Marlysa. 2017. Karateristik Tinea Kruris dan/atau
Tinea Korporis di RSUD Ciamis Jawa Barat.
4. Lakshmipathy TD, Kannabiran K. 2013 Review on dermatomycosis:
pathogenesis and treatment. Naturalcience.Tersedia
pada:http://www.scirp.org/journal/NS/.
5. Kurniati., Rosita, C.,2008. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Surabaya ;
Fakultas Kedokteran UNAIR.
6. Graham, B. R., Bourke, J., dan Cunliffe, T. (2011). Dalam: Dermatologi
Dasar untuk Praktik Klinik. Jakarta: EGC Medical Publisher.
7. Yadav A, UrhekarAD, Mane V, Danu MS, Goel N, Ajit
KG.2013.Optimization and Isolation of Dermatophytes from Clinical
Samples and In Vitro Antifungal Susceptibility Testing By Disc Diffusion
Method.Journal ofMicrobiology and Biotechnology. 2(3):19-34
Dokumentasi :
22