Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PENYESUAIAN DIRI DAN PERMASALAHANNYA

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata kuliah : Perkembangan Peserta Didik
Dosen Pengampu : Desi Nurhikmahyanti,S.Pd.,M.Pd.

Kelompok 11 :

1. Febriana Rahayuning P (2120303053)


2. Dhea Eka Puji Lestari (2120303059)
3. Rohmad Bagus Wibowo (2120303070)

PRODI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TIDAR
MAGELANG
2021

i
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ....................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii

DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 1
1.3 Tujuan ............................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 3

2.1 Pengertian Penyesuaian Diri ............................................................................. 3


2.2 Karakteristik Penyesuaian Diri ......................................................................... 3
2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Proses Penyesuaian Diri ............................ 5
2.4 Proses Penyesuaian Diri .................................................................................... 8
2.5 Aspek-Aspek Penyesuaian Diri ........................................................................ 10
2.6 Masalah Penyesuaian Diri Peserta Didik Usia Sekolah Menengah(Remaja) ... 11
2.7 Karakteristik Masalah Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja) ........ 13

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 18


3.2 Saran ................................................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 19

ii
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
penyesuaian diri dan permasalahannya.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini.
Terlepas dari semua itu,kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang penyesuaian diri dan
permasalahannya ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Magelang,16 November 2021

Penyusun

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semua manusia tidak dilahirkan dalam keadaan mampu atau tidak menyesuaikan diri.
Penilaian benar atau salah seseorang menyesuaikan diri tergantung dari kondisi fisik,
mental, dan emosional yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan
mental remaja. Banyak remaja yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan
dalam hidupnya karena ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri. Kegagalan remaja
dalam melakukan penyesuaian diri akan menimbulkan bahaya seperti tidak bertanggung
jawab dan mengabaikan pelajaran, sikap sangat agresif dan sangat yakin pada diri sendiri,
perasaan tidak aman, merasa ingin pulang jika berada jauh dari lingkungan yang tidak
dikenal, dan perasaan menyerah.

Dengan penyesuaian diri ini orang mampu untuk mengatasi masalah dengan baik serta
mampu menempatkan dirinya pada suatu hal yang berguna bagi dirinya dan orang lain di
kalangan masyarakat. Di dalam penyesuaian diri ini orang harus tahu betul apa yang akan
dipelajari dalam hal ini. Penyesuaian diri terdapat hal–hal seperti faktor penyesuaian diri,
aspek penyesuaian diri, karakteristik dalam penyesuaian diri, bentuk penyesuaian diri,
konsep dan proses penyesuaian diri. Hal ini harus bisa terpenuhi supaya tidak terjadi
masalah di dalam masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


Penulis telah menyusun beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai
batasan dalam pembahasan bab isi.Beberapa masalah tersebut antara lain:
1. Apa pengertian penyesuaian diri?
2. Apa saja karakteristik penyesuaian diri?
3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri?
4. Bagaimana proses penyesuaian diri?
5. Apa saja aspek-aspek penyesuaian diri ?
6. Apa saja masalah penyesuaian diri peserta didik usia sekolah menengah (remaja)?
7. Bagaimana karakteristik masalah peserta didik usia sekolah menengah (remaja)?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan maslah di atas maka tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian penyesuaian diri

1
2. Mengetahui karakteristik penyesuaian diri
3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri
4. Mengetahui proses penyesuaian diri
5. Mengetahui aspek-aspek penyesuaian diri
6. Mengetahui masalah penyesuaian diri peserta didik usia sekolah menengah (remaja)
7. Mengetahui masalah peserta didik usia sekolah menengah (remaja)

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri merupakan kesamaan esensi dari proses adaptasi, yang dalam KBBI
ditulis dengan kalimat penyesuaian terhadap lingkungan, pekerjaan, dan pelajaran. Kata
penyesuaian sering kali dipakai ketika seseorang dalam proses kehidupannya mengalami
perpindahan dari posisi dan kondisi lama ke posisi dan kondisi baru yang sebelumnya tidak
pernah dialami. Proses penyesuaian bisa berlangsung cepat atau lambat tergantung bagaimana
bentuk dan jenus perbedaan serta bagaimana kemampuan seseorang dalam menyikapinya
perubahan tersebut. Kemampuan penyesuaian diri yang sehat terhadap lingkungan merupakan
salah satu prasyarat yang penting bagi terciptanya kesehatan jiwa/mental individu. Banyak
orang-orang yang mengalami stres atau depresi akibat kegagalan mereka untuk melakukan
penyesuaian diri dengan kondisi lingkungan yang ada dan kompleks.

Makna keberhasilan seseorang terdapat pada sejauh mana yang telah dipelajarinya itu
dapat membantu dalam penyrsuaian diri dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungan
kehidupannya. Poin penting dari oemahaman dari penyesuaian ialah bahwa penyesuaian diri
merupakan suatu proses alamiah dan dinamis yang bertujuan mengubah perilaku individu agar
terjadi hubungan yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungannya.

2.2 Karakteristik Penyesuaian Diri

Dalam kenyataannya tidak selamanya individu akan berhasil dalam melakukan


penyesusian diri. Hal tersebut disebabkan adanya tintangan atau hambatan tertenty yang
menyebabkan ia tidak mampu melakukan penyesuaian diri secara optimal. Rintangan-
rintangan tersebut dapat bersumber dari dalam dirinya atau mungkin dari luar dirinya. Dalam
hubungannya dengan rintangan-rintangan tersebut ada individu-individu yang mampu
melakukan penyesuaian diri secara positif, tetapi ada pula yang melakukan penyeseuaian ditu
secara tidak tepat.

2.2.1 Penyesuaian Diri yang Positif

Individu yang tergolong mampu melakukan penyesuaian diri secara positif ditandai hal-hal
sebagai berikut:
a. Tidak menunjukkan adanya ketegangan emosional yang berlebihan.
b. Tidak menunjukkan adanya mekanisme pertahanan yang salah.
c. Tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi.
d. Memiliki pertimbangan yang rasional dalam pengarahan diri.
e. Mampu belajar dari pengalaman.

3
f. Bersikap realistis dan objektif.

Dalam penyesuaian diri secara positif, individu akan melakukan berbagai bentuk
berikut :
a. Penyesuaian arti dalam menghadapi masalah secara langsung. Artinya dalam situasi
ini individu akan menghadapi masalah dengan segala akibatnya. Ia akan melakukan
tindakan yang sesuai dengan masalah yang dihadapinya. Misalnya, seorang remaja
yang hamil diluar nikah akan menghadapinya secara langsung dan berusaha
mengemukakan segala alasan kepada orang tuanya.
b. Penyesuaian diri dengan melakukan eksplorasi (penjelajahan). Dalam situasi ini,
individu mencari berbagai pengalaman untuk menghadapi dan memecahkan
masalahnya. Misalnya, seorang siswa yang merasa kurang mampu dalam
mengerjakan tugas membuat makalah akan mencari bahan dalam upaya
menyelesaikan tugas tersebut dengan membaca buku, konsultasi, diskusi, dan
sebagainya.
c. Penyesuaian diri dengan trial and error. Dalam cara ini, individu melakukan
tindakan coba-coba, artinya kalau menguntungkan diteruskan dan kalau gagal tidak
diteruskan. Misalnya, seorang pengusaha mengadakan spekulasi untuk
meningkatkan usahanya.
d. Penyesuaian dengan substansi (mencari pengganti). Apabila individu merasa gagal
dalam menghadapi masalah, ia dapat memperoleh penyesuaian dengan jalan
mencari pengganti.
e. Penyesuain diri dengan belajar. Dengan belajar, individu dapat memperoleh
pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk membantu penyesuaian
dirinya. Misalnya, seorang guru akan berusaha belajar tentang berbagai ilmu
pengetahuan untuk meningkatkan kemampuan profesionalismenya.
f. Penyesuaian diri dengan pengendalian diri. Penyesuaian diri aoan lebih efektif jika
disertai dengaan kemampuan memilih tindakan yang tepat serta pengendalian diri
secara tepat pula. Dalam situasi ini individu akan berusaha memilih tindakan mana
yang harus dilakukan dan tindakan mana yang tidak perlu dilakukan. Cara inilah
yang disebut inhibisi.
g. Penyesuaian diri dengan perencanaan yang cermat. Dalam hal ini, sikap dan
tindakan yang dilakukan merupakan keputusan yang diambil berdasarkan
perencanaan yang cermat atau matang. Keputusan yang diambil setelah
dipertimbangkan dari berbagai segi, seperti untung dan ruginya.

2.2.2 Penyesuaian Diri yang Salah

Penyesuaian diri yang salah ditandai oleh sikap dan tingkah lakh yang serba salah, tidak
terarah, emosional, sikap tidak realistik, membabi buta, dan sebagainya. Ada tiga bentuk reaksi
dalam penyesuaian yang salah,yaitu reaksi bertahan, reaksi menyerang, dan reaksi melarikan
diri.

a. Reaksi bertahan (defense reaction). Individu berusaha untuk mempertahankan dirinya


dengan seolah-olah ia tidak sedang menghadapi kegagalan. Ia akan berusaha
4
mmenunjukkan bahwa dirinya tidak mengalami kesulitan.Adapun bentuk khusus dari
reaksi ini, yaitu sebagai berikut :
1) Rasinalisasi, yaitu mencari-cari alasan yang masuk akal untuk membenarkan
tindakannya yang salah.
2) Represi, yaitu menekan perasaan yang dirasakan kurang enak ke alam tidak sadar.
Ia akan berusaha melupakan perasaan atau pengalamnnya yang kurang
menyenangkan atau yang menyakitkan.
3) Proyeksi, yaitu menyalahkan kegagalan dirinya pasa pihak lain atau pihak ketiga
untuk mencari alasan yang dapat diterima. Misalnya, seseorang sisea tidak lulus
menyebutkan bahwa hal itu disebabkan guru-gurunya membenci dirinya.
4) Sour grapes (anggur kecut), yaitu memutarbalikkan fakta atau kenyataan. Misalnya,
seorang remaja yang gagal menulis SMS mengatakan bahwa handphonenya rusak
padahal dia sendiri tidak bisa menggunakan handphone.

b. Reaksi menyerang (oggresive reaction). Individu yang salah suai akan menunjukkan
sikap dan perilaku yang bersifat menyerang atau konfrontasi untuk menutuoi
kekurangan atau kegagalannya. Ia tidak mau menyadari kegagalannya atau tidak mau
menerima kenyataan. Reaksi-reaksinya, antara lain :
1) selalu membenarkan diri sendiri ;
2) selalu ingin berkuass dalam setiap situasi ;
3) merasa senang bila mengganggu orang lain ;
4) suka menggertak, baik dengan ucapan maupun perbuatan ;
5) menunjukkan sikap permusuhan secara terbuka ;
6) bersikap menyerang dan merusak ;
7) keras kepala dalam sikap dan perbuatannya ;
8) suka bersikap balas dendam ;
9) memerkosa hak orang lain ;
10) tindakannya suka serampangan, dan sebaginya.

c. Reaksi melarikan diri (escape reaction). Dalam reaksi ini, individu akan melarikan diri
dari situasi yang menimbulkan konflik atau kegagalnnya. Reaksinya tampak sebagai
berikut :
1) Suka berfantasi untuk memuaskan keinginannya yang tidak tercapai dengan bentuk
angan-angan (seolah-olah sudah tercapai).
2) Banyak tidur/suka minuman keras, bunuh diri, atau menjadi pencandu narkoba.
3) Regresi,yaitu kembali pada tingkah laku kekanak-kanak. Misalnya, orang dewasa
yang bersikap dan berperilaku seperti anak kecil.

2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Proses Penyesuaian Diri

Proses penyesuaian diri sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang menentukan kepribadian
itu sendiri, baik internal maupun eksternal. Faktor-faktor itu dapat dikelompokkan sebagai
berikut.

5
2.3.1 Faktor Fisiologis

Kondisi fisik, seperti struktur fisik dan temperamen sebagai disposisi yang diwariskan,
aspek perkembangannya secara intrinsik berkaitan erat dengan susunan tubuh. Shekdon
mengemukakan bahwa terdapat korelasi yang positif antara tipe-tipe bentuk tubuh dan tipe-
tipe temperamen (Moh. Surya, 1977). Misalnya, orang yang tergolong ektomorf, yaitu yang
ototnya lemah atau tubuhnya rapuh ditandai oleh sifat-sifat segan dalam melakukan aktivitas
sosial, pemalu, pemurung, dan sebagainya.
Karena struktur jasmaniah merupakan kondisi yang primer bagi tingkah laku dapat
diperkirakan bahwa sistem saraf/kelenjar dengan otot merupakan faktor yang penting bagi
proses penyesuaian diri. Dengan demikian, kondisi tubuh yang baik merupakan syarat
tercapainya proses penyesuaian diri yang baik pula.
Kesehatan dan penyakit jasmaniah juga berpengaruh terhadap penyesuaian diri. Kualitas
penyesuaian diri yang baik hanya dapat dicapai dalam kondisi kesehatan jasmaniah yang baik
pula. Ini berarti bahwa gangguan jasmaniah yang diderita oleh seseorang akan mengganggu
proses penyesuaian dirinya. Gangguan penyakit yang kronis dapat menimbulkan kurangnya
kepercayaan diri, perasaan rendah diri, rasa ketergantungan, perasaan ingin dikasihani, dan
sebagainya.

2.3.2 Faktor Psikologis

Banyak faktor psikologis yang memengaruhi kemampuan penyesuaian diri seperti


pengalaman, hasil belajar, kebutuhan kebutuhan, aktualisasi diri, frustrasi, depresi, dan
sebagainya.

a. Faktor Pengetahuan
Pengalaman yang mempunyai arti dalam penyesuaian diri, terutama pengalaman yang
menyenangkan atau pengalaman traumatis (menyusahkan). Pengalaman yang
menyenangkan, seperti memperoleh hadiah dari suatu kegiatan cenderung akan
menimbulkan proses penyesuaian diri yang baik. Sebaliknya, pengalaman yang traumatis
akan menimbulkan penyesuaian diri yang keliru atau salah suai.

b. Faktor belajar
Proses belajar merupakan suatu dasar yang fundamental dalam proses penyesuaian diri. Hal
ini karena melalui belajar, pola pola respons yang membentuk kepribadian akan
berkembang. Sebagian besar respons dan ciri-ciri kepribadian lebih banyak diperoleh dari
proses belajar daripada diperoleh secara diwariskan. Dalam proses penyesuaian diri, belajar
merupakan suatu proses modifikasi tingkah laku sejak fase-fase awal dan berlangsung terus
sepanjang hayat dan diperkuat dengan kematangan.

c. Determinasi diri
Terdapat faktor kekuatan yang mendorong untuk mencapai taraf penyesuaian yang tinggi
dan atau merusak diri. Faktor-faktor itulah yang disebut determinasi diri. Determinasi diri

6
mempunyai fungsi penting dalam proses penyesuaian diri karena berperan dalam
pengendalian arah dan pola penyesuaian diri. Keberhasilan atau kegagalan penyesuaian diri
banyak ditentukan oleh kemampuan individu dalam mengarahkan dan mengendalikan
dirinya meskipun sebetulnya situasi dan kondisi tidak menguntungkan bagi penyesuaian
dirinya.

d. Faktor konflik
Pengaruh konflik terhadap perilaku bergantung pada sifat konflik itu sendiri. Ada
pandangan bahwa semua konflik bersifat mengganggu atau merugikan. Sebenarnya
beberapa konflik dapat memotivasi seseorang untuk meningkatkan kegiatan dan
penyesuaian dirinya. Ada orang yang mengalami konfliknya dengan cara meningkatkan
usaha ke arah pencapaian tujuan yang menguntungkan bersama secara sosial. Akan tetapi,
ada pula yang memecahkan konflik dengan cara melarikan diri sehingga menimbulkan
gejala-gejala neurotis.

2.3.3 Faktor Perkembangan dan Kematangan

Dalam proses perkembangan, respons berkembang dari respons yang bersifat instingtif
menjadi respons yang bersifat hasil belajar dan pengalaman. Dengan bertambahnya usia
perubahan dan perkembangan respon tisak hanya melalui proses belajar ,tatapi juga dari
perbutan individu telah metang.
Sesuai dengan hukum perkembangan, tingkat kematangan yang dicapai individu berbeda-
brda, sehingga pola-pola penyesuaian diri juga bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangan
dan kematangan yang dicapainya. Kondisi kondisi perkembangan dan kematangan
memengaruhi setiap aspek kepribadian individu, seperti emosional, sosial, moral, keagamaan,
dan intelektual. Dalam fase tertentu, salah satu aspek mungkin lebih penting dari aspek lainnya.
Misalnya, pertumbuhan moral lebih penting daripada kematangan sosial, dan kematangan
emosional merupakan yang terpenting dalam penyesuaian diri.

2.3.4 Faktor Lingkungan

Berbagai lingkungan, seperti keluarga, sekolah, masyarakat, kebudayaan, dan agama


berpengaruh kuat terhadap penyesuaian diri seseorang.
a. Pengaruh lingkungan keluarga
Faktor lingkungan keluarga merupakan faktor yang sangat penting karena keluarga merupakan
media sosialisasi bagi anak-anak. Proses sosialisasi dan interaksi sosial yang pertama dan
utama dijalani individu di lingkungan keluarganya. Hasil sosialisasi tersebut kemudian
dikembangkan di lingkungan sekolah dan masyarakat umum.
b.Pengaruh hubungan dengan orang tua
Pola hubungan antara orang tua dengan anak mempunyai pengaruh yang positif terhadap
proses penyesuaian diri. Beberapa pola hubungan yang dapat memengaruhi penyesuaian diri
adalah sebagai berikut.
h. Menerima (acceptance)

7
Orang tua menerima kehadiran anaknya dengan cara-cara yang baik. Sikap penerimaan
ini dapat menimbulkan suasana hangat, menyenangkan, dan rasa aman bagi anak.
g. Menghukum dan disiplin yang berlebih
Hubungan orang tua dengan anak bersifat keras. Disiplin yang terlalu berlebihan dapat
menimbulkan suasana psikologis yang kurang menyenangkan bagi anak.
d. Memanjakan dan melindungi anak secara berlebihan
Perlindungan dan pemanjaan secara berlebihan dapat menimbulkan perasaan tidak
aman, cemburu, rendah diri, canggung, dan gejala-gejala salah lainnya.
5) Penolakan Orang tua menolak kehadiran anaknya.
6) Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penolakan orang tua terhadap anaknya dapat
menimbulkan hambatan dalam penyesuaian diri.
c. Hubungan saudara
Hubungan saudara yang penuh persahabatan, saling menghormati, penuh kasih sayang,
berpengaruh terhadap penyesuaian diri yang lebih baik. Sebaliknya, suasana permusuhan,
perselisihan, iri hati, kebencian, kekerasan, dan sebagainya dapat menimbul kan kesulitan
dan kegagalan anak dalam penyesuaian dirinya.
d.Lingkungan masyarakat
Keadaan lingkungan masyarakat tempat individu berada menentukan proses dan pola-pola
penyesuaian diri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala tingkah laku salah suai atau
perilaku menyimpang bersumber dari pengaruh keadaan lingkungan masyarakatnya.
Pergaulan yang salah dan terlalu bebas di kalangan remaja dapat memengaruhi pola-pola
penyesuaian dirinya.
e.Lingkungan sekolah
Lingkungan sekolah berperan sebagai media sosialisasi, yaitu memengaruhi kehidupan
intelektual, sosial, dan moral anak anak. Suasana di sekolah, baik sosial maupun psikologis
akan memengaruhi proses dan pola penyesuaian diri para siswanya. Pendidikan yang diterima
anak di sekolah merupakan bekal bagi proses penyesuaian diri mereka di lingkungan
masyarakatnya.

2.3.5 Faktor budaya dan agama


Proses penyesuaian diri anak, mulai lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara
bertahap dipengaruhi oleh faktor faktor kultur dan agama. Lingkungan kultural tempat individu
berada dan berinteraksi akan menentukan pola-pola penyesuaian dirinya. Agama memberikan
suasana psikologis tertentu dalam mengurangi konflik, frustrasi, dan ketegangan lainnya.
Agama juga memberikan suasana damai dan tenang. Ajaran agama merupakan sumber nilal,
norma, kepercayaan dan pola-pola tingkah laku yang akan memberikan tuntunan bagi arti,
tujuan, dan kestabilan hidup anak-anak. Sembahyang dan berdoa merupakan media menuju
arah kehidupan yang lebih nyaman, tenang, dan berarti bagi manusia. Agama memegang peran
penting dalam proses penyesuaian diri seseorang.

2.4 Proses Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri adalah proses bagaimana individu mencapai keseimbangan diri dalam
memenuhi kebutuhan sesuai dengan lingkungan. Seperti kita ketahui bahwa penyesuaian diri

8
yang sempurna tidak akan pernah tercapai. Penyesuaian diri lebih bersifat suatu proses
psikologis sepanjang hayat (life long process) dan manusia terus-menerus akan berupaya
menemukan dan mengatasi tekanan dan tantangan hidup guna mencapai pribadi yang sehat.
Respons penyesuaian diri, baik atau buruk, dapat dipandang sebagai suatu upaya individu
untuk mereduksi atau menjauhi ketegangan dan memelihara kondisi-kondisi keseimbangan
yang wajar. Penyesuaian diri adalah sebagai suatu mekanisme atau proses ke arah hubungan
yang harmonis antara tuntutan internal dengan tuntutan eksternal. Dalam prosesnya dapat
muncul konflik, tekanan, atau frustrasi, dan individu didorong untuk meneliti berbagai
kemungkinan perilaku yang tepat untuk membebaskan diri dari ketegangan atau konfliks
tersebut.
Orang akan dikatakan sukses dalam melakukan penyesuaian diri jika ia dapat memenuhi
kebutuhannya dengan cara-cara yang wajar atau dapat diterima oleh lingkungan tanpa
merugikan atau mengganggu orang lain. Penyesuaian diri yang baik, yang selalu ingin diraih
setiap orang, tidak akan dapat tercapai, kecuali bila kehidupan orang tersebut benar-benar
terhindar dari tekanan, kegoncangan dan ketegangan jiwa yang akut, dan orang tersebut mampu
menghadapi kesukaran dengan cara yang objektif serta berpengaruh bagi kehidupannya, serta
ia dapat menikmati kehidupannya dengan stabil, tenang, merasa senang, dan berprestasi.
Pada dasarnya, penyesuaian diri melibatkan individu dengan lingkungannya. Beberapa
faktor lingkungan yang dianggap dapat menciptakan penyesuaian diri yang cukup sehat bagi
remaja adalah sebagai berikut.

2.4.1 Lingkungan Keluarga yang Harmonis


Apabila dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonis yang di dalamnya terdapat
cinta kasih, respek, toleransi, rasa aman, dan kehangatan, seorang anak akan dapat melakukan
penyesuaian diri secara sehat dan baik. Rasa dekat dengan keluarga merupakan salah satu
kebutuhan pokok bagi perkembangan jiwa seorang anak. Dalam kenyataannya, banyak orang
tua yang mengetahui hal ini, tetapi mereka mengabaikannya dengan alasan mencari
penghasilan yang besar untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan menjamin masa
depan anak-anak. Sikap ini sering ditanggapi negatif oleh remaja dengan merasa bahwa dirinya
kurang diperhatikan, tidak disayangi, diremehkan, atau dibenci. Jika hal tersebut terjadi
berulang-ulang dalam jangka waktu yang cukup lama (terutama pada masa kanak-kanak),
kemampuannya dalam menyesuaikan diri pun akan terhambat. Berdasarkan kenyataan
tersebut, pemenuhan kebutuhan anak akan rasa aman, disayangi, haruslah diperhatikan. Orang
tua harus berusaha untuk meningkatkan kualitas pengasuhan, pengawasan, dan penjagaan pada
anaknya. Jangan sampai semua urusan makan dan pakaian diserahkan pada orang lain atau
pembantu karena hal itu dapat membuat anak menjadi tidak bahagia.
Lingkungan keluarga juga merupakan lahan untuk mengembang kan berbagai kemampuan
yang dipelajarinya melalui permainan, senda gurau, pengalaman sehari-hari di dalam keluarga.
Dorongan semangat dan persaingan antaranggota keluarga yang dilakukan secara sehat
memiliki pengaruh yang penting dalam perkembangan kejiwaan anak. Orang tua sebaiknya
tidak membiasakan anak pada hal-hal yang tidak dimengerti atau sesuatu yang sulit untuk
dilakukan karena hal itu akan memupuk rasa putus asa pada jiwa anak.

9
Di lingkungan keluarga, seorang anak juga belajar untuk tidak menjadi egois. la diharapkan
dapat berbagi rasa dengan anggota keluarga yang lain dan belajar untuk menghargai hak orang
lain.
Di dalam lingkungan keluarga, seorang anak mempelajari dasar-dasar dari cara-cara bergaul
dengan orang lain. Biasanya yang menjadi acuan atau contoh adalah figur orang tua, tokoh
pemimpin, atau seseorang yang menjadi idolanya. Oleh karena itu, orang tua atau orang dewasa
dituntut untuk meneladani atau menunjukkan sikap sikap atau tindakan-tindakan yang baik.
Dalam hasil interaksi dengan keluarganya, seorang anak juga mempelajari sejumlah adat
dan kebiasaan, seperti dalam hal makan, minum, berpakaian, cara berjalan, berbicara, duduk,
dan sebagainya. Selain itu, dalam keluarga masih banyak hal lain yang berperan dalam proses
pembentukan kemampuan penyesuaian diri yang sehat, seperti rasa percaya pada orang lain
atau diri sendiri, pengendalian rasa ketakutan, sikap toleransi, kerja sama, kehangatan dan rasa
aman yang semua hal itu sangat berguna bagi penyesuaian diri di masa depannya.

2.4.2 Lingkungan Teman Sebaya


Menjalin hubungan yang erat dan harmonis dengan teman sebaya sangatlah penting pada
masa remaja. Suatu hal yang sulit bagi remaja adalah menjauh dari dan dijauhi oleh temannya.
Remaja mencurahkan kepada teman-temannya apa yang tersimpan di dalam hatinya dari
angan-angan, pemikiran, dan perasaan-perasaannya. la mengungkapkan kepada teman
sebayanya yang akrab secara bebas dan terbuka tentang rencana, cita-cita, dan kesulitan-
kesulitan hidupnya.
Pengertian dan saran-saran dari teman-temannya akan mem bantu dirinya dalam menerima
keadaan dirinya serta memahami hal-hal yang menjadikan dirinya berbeda dari orang lain dan
keluarga orang lain. Semakin mengerti ia akan dirinya, semakin meningkat keadaannya untuk
menerima dirinya, mengetahui kekuatan dan kelemahannya. Ia akan menemukan cara
penyesuaian diri yang tepat sesuai dengan potensi yang dimilikinya itu.

2.4.3 Lingkungan Sekolah


Sekolah mempunyai tugas yang tidak hanya terbatas pada masalah pengetahuan dan
informasi saja, tetapi juga mencakup tanggung jawab moral dan sosial secara luas dan
kompleks. Demikian pula guru, tugasnya tidak hanya mengajar saja, tetapi juga berperan
sebagai pendidik, pembimbing, dan pelatih bagi murid-muridnya.. Pendidikan modern
menuntut guru untuk mengamati perkembangan penyesuaian diri murid-muridnya serta
mampu menyusun sistem pendidikan yang sesuai dengan perkembangan tersebut. Dengan
demikian, proses pendidikan merupakan penciptaan penyesuaian antara individu dengan nilai-
nilai yang diharuskan oleh lingkungan menurut kepentingan perkembangan individu.
Keberhasilan proses ini sangat bergantung pada cara kerja dan metode yang digunakan oleh
guru dalam proses penyesuaian tersebut.

2.5 Aspek-Aspek Penyesuaian Diri

Pada dasarnya, penyesuaian diri memiliki dua aspek, yaitu penyesuaian pribadi dan
penyesuaian sosial.

10
2.5.1 Penyesuaian Pribadi

Penyesuaian pribadi adalah kemampuan seseorang untuk menerima diri demi tercapainya
hubungan yang harmonis antara dirinya dan lingkungan sekitarnya. la menyatakan sepenuhnya
siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak objektif
sesuai dengan kondisi dan potensi dirinya. Keberhasilan penyesuaian diri pribadi ditandai oleh
tidak adanya rasa benci, tidak ada keinginan untuk lari dari kenyataan, atau tidak percaya pada
potensi dirinya. Sebaliknya, kegagalan penyesuaian pribadi ditandai oleh adanya kegoncangan
dan emosi, kecemasan, ketidakpuasan, dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya, sebagai
akibat adanya jarak pemisah antara kemampuan individu dan tuntutan yang diharapkan oleh
lingkungannya. Hal inilah yang menjadi sumber terjadinya konflik yang kemudian terwujud
dalam rasa takut dan kecemasan sehingga untuk meredakannya individu harus melakukan
penyesuaian diri.

2.5.2 Penyesuaian Sosial

Dalam kehidupan di masyarakat terjadi proses saling memengaruhi satu sama lain yang
terus-menerus dan silih berganti. Dari proses tersebut, timbul suatu pola kebudayaan dan pola
tingkah laku yang sesuai dengan aturan, hukum, adat istiadat, nilai, dan norma sosial yang
berlaku dalam masyarakat. Proses ini dikenal dengan istilah. proses penyesuaian sosial.
Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial di tempat individu itu hidup dan
berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan sosial tersebut mencakup hubungan
dengan anggota keluarga, masyarakat sekolah, teman sebaya, atau anggota masyarakat luas
secara umum.
Apa yang diserap atau dipelajari individu dalam proses interaksi dengan masyarakat masih
belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang memungkinkan individu untuk
mencapai penyesuaian pribadi dan sosial secara baik. Proses berikutnya yang harus dilakukan
individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi nilai dan norma sosial
yang berlaku dalam masyarakatnya. Setiap kelompok masyarakat atau suku bangsa memiliki
sistem nilai dan norma sosial yang berbeda-beda. Dalam proses penyesuaian sosial, individu
berkenalan dengan nilai dan norma sosial yang berbeda-beda lalu berusaha untuk
mematuhinya, sehingga menjadi bagian dan membentuk kepribadiannya. Seperti yang
dikatakan oleh Sigmund Freud bahwa hati nurani (super ego) akan berusaha mengendalikan
kehidupan individu dari segi penerimaan dan kerelaannya terhadap beberapa pola perilaku
yang disukai dan diterima oleh masyarakat, serta menolak dan menjauhi hal-hal yang tidak
diterima oleh masyarakatnya.

2.6 Masalah Penyesuaian Diri Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)

Persoalan krusial yang dihadapi peserta didik usia sekolah menengah (remaja) dalam
kehidupan sehari-hari dan yang menghambat penyesuaian diri adalah masalah hubungan
remaja dengan orang dewasa, terutama orang tua. Oleh karena itu, perkembangan penyesuaian
diri remaja sangat bergantung pada sikap penolakan orang tua dan suasana psikologi dan sosial
dalam kehidupan keluarga.

11
Penolakan orang tua terhadap anaknya dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama,
penolakan yang bersifat tetap sejak awal, yaitu orang tua merasa tidak sayang kepada anaknya
karena berbagai sebab, seperti tidak menghendaki kelahiran. Menurut Zakiah Darajat (1983)
yang dikutip dari Boldwyn "Bapak yang menolak anaknya akan berusaha menundukkan
anaknya dengan kaidah-kaidah kekerasan. Karena itu, ia mengambil ukuran kekerasan,
kekejaman tanpa alasan nyata." Kedua, akibat dari penolakan itu adalah pura-pura tidak tahu
keinginan anak atau masalah anak. Sebagai akibat dari kedua jenis penolakan, remaja tidak
dapat menyesuaikan diri secara sehat dan cenderung menghabiskan waktunya di luar rumah.
Sikap orang tua yang memberikan perlindungan yang berlebihan juga berakibat tidak baik.
Remaja yang mendapatkan perhatian dan kasih sayang secara berlebihan akan menyebabkan
ia tidak dapat hidup mandiri. la selalu mengharapkan bantuan dan perhatian orang lain dan ia
berusaha menarik perhatian mereka, serta beranggapan bahwa perhatian seperti itu adalah
haknya.
Sikap orang tua yang otoriter, yang memaksakan otoritasnya kepada remaja juga akan
menghambat proses penyesuaian diri mereka. Remaja akan berani melawan atau menentang
orangtuanya. Pada gilirannya, la cenderung akan bersikap otoriter terhadap teman temannya
dan bahkan menentang otoritas orang dewasa, baik di sekolah maupun di masyarakat.
Jelaslah bahwa masalah penyesuaian diri yang dihadapi remaja dapat berasal dari keretakan
keluarga atau akibat over proteksi. Hasil penelitian psikologis membuktikan bahwa remaja
yang hidup dalam rumah tangga yang tidak harmonis cenderung akan mengalami masalah
emosional yang terlihat dari adanya kecenderungan marah marah, suka menyendiri, serta sering
gelisah dibandingkan dengan remaja yang hidup dalam lingkungan keluarga yang harmonis.
Remaja yang dikeluarkan dari sekolah karena tidak dapat menyesuaikan diri pada umumnya
datang dari lingkungan keluarga yang retak atau berantakan.
Perbedaan perlakuan antara anak laki-laki dan anak perempuan juga memengaruhi
hubungan antarmereka sehingga memungkinkan timbulnya rasa iri hati dalam jiwa anak
perempuan terhadap saudaranya yang laki-laki. Keadaan ini akan menghambat proses
penyesuaian diri anak perempuan.
Permasalahan penyesuaian pun akan muncul bagi remaja yang sering pindah tempat tinggal.
Remaja yang keluarganya sering berpindah rumah sehingga ia terpaksa pindah dari satu
sekolah ke sekolah lainnya sering mengalami banyak kesukaran dalam penyesuaian dirinya.
Bahkan, mungkin saja ia akan banyak tertinggal dalam pelajaran karena gurunya berbeda-beda
dalam cara mengajarnya. Selain itu, ada pula masalah teman, yaitu kehilangan teman lama dan
terpaksa mencari teman baru. Banyak remaja yang mengalami kesulitan dalam menjalin
persahabatan dari hubungan sosial yang baru. Mungkin saja ia berhasil baik dalam hubungan
sosial di sekolah lama, tetapi ketika pindah ke sekolah baru ia menjadi tidak dikenali dan tidak
ada yang memerhatikan. Di sini, remaja dituntut untuk dapat lebih mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungan sekolah dan masyarakat yang baru.
Masalah penyesuaian diri di sekolah mungkin akan timbul ketika remaja mulai memasuki
jenjang sekolah lanjutan pertama maupun sekolah lanjutan atas. Mereka mungkin akan
mengalami masalah penyesuaian diri dengan guru, teman, dan mata pelajaran. Sebagai
akibatnya, prestasi belajar mereka menjadi menurun dibandingkan dengan prestasi di sekolah
sebelumnya.

12
Persoalan umum yang sering dihadapi remaja antara lain memilih sekolah. Apabila
mengharapkan remaja mempunyai penyesuaian diri yang baik, seyogianya orang tua tidak
mendikte mereka agar memilih jenis sekolah tertentu sesuai keinginannya. Orang tua dan guru
hendaknya mengarahkan pilihan sekolah yang sesuai dengan minat, bakat, dan
kemampuannya. Tidak jarang terjadi, anak tidak mau sekolah, tidak mau belajar, suka
membolos, dan sebagainya karena ia dipaksa orang tuanya untuk masuk sekolah yang tidak ia
sukai.

2.7 Karakteristik Masalah Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)

Bagi sebagian besar orang yang sudah beranjak dewasa bahkan melewati usia dewasa,
remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup mereka. Kenangan saat remaja
merupakan kenangan yang tidak mudah dilupakan, sebaik atau seburuk apapun saat itu.
Adapun bagi orang tua yang memiliki anak berusia remaja, mereka merasakan bahwa usia
remaja adalah waktu yang sulit. Banyak konflik yang dihadapi oleh orang tua dan remaja itu
sendiri. Banyak orang tua yang tetap menganggap anak remajanya masih perlu dilindungi
dengan ketat sebab di mata mereka, ia masih belum siap menghadapi tantangan dunia orang
dewasa. Sebaliknya, bagi para remaja, tuntutan internal membawa mereka pada keinginan
untuk mencari jati diri yang mandiri dari pengaruh orang tua. Keduanya memiliki kesamaan
yang jelas: remaja adalah waktu yang kritis sebelum menghadapi hidup sebagai orang dewasa.
Sebetulnya, apa yang terjadi sehingga remaja memiliki dunia tersendiri? Mengapa para
remaja sering merasa tidak dimengerti dan tidak diterima oleh lingkungan sekitarnya?
Mengapa remaja seolah olah memiliki masalah unik dan tidak mudah dipahami?
Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasan usia
maupun peranannya sering tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda
awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan untuk pengategorian
remaja. Hal ini karena usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18), kini
terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun
mungkin saja sudah (atau sedang) mengalami pubertas, tetapi tidak berarti ia sudah bisa
dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. la belum siap
menghadapi dunia nyata orang dewasa meskipun di saat yang sama, ia juga bukan anak-anak
lagi. Berbeda dengan balita yang perkembangannya dengan jelas dapat diukur, remaja hampir
tidak memiliki pola perkembangan yang pasti. Dalam perkembangannya, sering mereka
menjadi bingung karena kadang kadang diperlakukan sebagai anak-anak, tetapi di lain waktu
mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa.
Memang banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan, tetapi sering
perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan sebagai pengesahan akan
keremajaan seseorang. Namun, satu hal yang pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin
kompleks seiring dengan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri mereka.
Untuk memahami remaja, perlu dilihat berdasarkan perubahan pada dimensi-dimensi tersebut.

13
2.7.1 Dimensi Biologis

Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas, yang ditandai dengan menstruasi pertama
pada remaja perempuan ataupun perubahan suara pada remaja laki-laki, secara biologis, dia
mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas menjadikan seorang anak memiliki
kemampuan untuk bereproduksi.
Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon
(gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang berhubungan dengan pertumbuhan,
yaitu: 1) Follicle Stimulating Hormone (FSH); dan 2). Luteinizing Hormone (LH). Pada anak
perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan progesteron: dua
jenis hormon kewanitaan. Pada anak laki-laki, Luteinizing Hormone yang juga dinamakan
Interstitial-Cell Stimulating Hormone (ICSH) merangsang pertumbuhan testosteron.
Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut mengubah sistem biologis seorang
anak. Anak perempuan akan mendapat menstruasi sebagai pertanda bahwa sistem
reproduksinya sudah aktif. Selain itu, terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai
berkembang, dan lain-lain. Anak laki-laki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot,
dan fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormone testosteron. Bentuk fisik
mereka akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka pada dunia
remaja.

2.7.2 Dimensi Kognitif

Arti sederhana dari kata kognitif ialah berpikir atau kemampuan berpikir, sedangkan
dimensi adalah sebagai sudut pandang atau perspektif. Dari dua arti kata tersebut dapat
dipahami bahwa dimensi kognitif adalah sebagai sebuah penilaian terhadap sesuatu
berdasarkan sudut pandang kemampuan berpikir.
Perkembangan kognitif setiap individu tentu sangat berbeda. Namun dari sejumlah
perbedaan tersebut, ada beberapa hai menunjuk kan bahwa adanya kesamaan pola yang dapat
dijadikan sebagai ciri-ciri umum. Ciri umum dari karakter masalah peserta didik remaja dari
sudut pandang kognitif ialah bahwa secara intelektualitasnya, anak remaja cenderung sudah
mampu menerjemahkan realita yang ada dengan menggunakan pikirannya. Artinya remaja
relatif sudah bisa memilih dan mengambil keputusan melalui sebuah pemahaman, penalaran,
dan pengetahuannya.
Selain itu, remaja juga sudah memiliki kompetensi dasar dalam berpikir praktis untuk
memecahkan masalah yang ia hadapi dan terkadang seorang remaja dapat menjawab dan
mempersiapkan solusi dari sebuah persoalan dengan banyak alternatif termasuk sebuah
konsekuensi logis yang akan diterimanya sebagai akibat dari sebuah pilihan yang telah diambil.
Dalam hal informasi, para remaja biasanya diliputi rasa penasaran yang tinggi sehingga
terkadang remaja dalam menerima informasi tidak langsung mereka terima begitu saja tanpa
konfirmasi dan validasi, tetapi mereka biasanya akan memproses informasi tersebut dan
kemudian diolahnya dengan kemampuan pemikiran mereka sendiri. Dengan kemampuan
prosedural ini, para remaja mempunyai kemampuan untuk mengadaptasikan dirinya terhadap
lingkungan di sekitarnya dengan sangat mudah dan cepat. Remaja dengan tingkat kemampuan
berpikir yang tinggi memungkinkan dia akan cepat meraih semua keinginannya,

14
Namun demikian, jika berbicara dari sudut pandang fakta dan data di lapangan, masih sangat
banyak remaja yang belum mampu sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif ini.
Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu pola pikir yang masih
sangat sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi. Hal ini bisa saja
diakibatkan karena pola pendidikan, atau mungkin pola asuh orang tua yang cenderung masih
memperlakukan remaja sebagai anak-anak. Akibatnya, anak tidak memiliki keleluasaan dalam
memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja
harus mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat lulus sekolah me ngah, mereka
sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi
terbaik.

2.7.3 Dimensi Moral

Banyak orang mengatakan bahwa masa remaja dipenuhi perasaan yang sangat spontan dan
meletup-letup dalam merespons sesuatu yang ia terima dan ia hadapi. Sikap penerimaan ini
kadang direspons dengan positif, tetapi terkadang juga direspons dengan sikap yang negatif.
Kompetensi seorang remaja dalam merespons persoalan yang dihadapinya dipengaruhi oleh
kemampuan dan pengetahuan dalam menganalisis permasalahannya. Dari sudut pandang
psikis, proses merespons realitas kehidupan khususnya kenyataan yang ia alami tidak hanya
dapat lihat secara matematis semata, tetapi ada hal yang lebih penting dari semuanya yaitu
sikap baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, patut dan tidak patut.
Perilaku remaja yang mencerminkan kebaikan, kepantasan dan kepatutan terkadang
dijadikan ukuran dalam menilai kapasitas moral seorang remaja, bahkan subjektivitas
seseorang dapat memberikan "stigma" pada seorang remaja walau hanya dengan melihat
perilaku seorang remaja. Hal ini tentu tidak terlepas dari masih adanya anggapan banyak orang
yang masih percaya bahwa sikap moral menjadi salah satu aturan tidak tertulis yang berfungsi
sebagai indikator penilaian moral sekaligus sebagai kendali dalam menilai perilaku, seperti
sikap jujur, hormati, sopan, tanggung jawab, dan lain sebagainya.
Pendidikan moral bagi remaja menjadi sebuah keharusan. Hal ini sebagai bekal dan
antisipatif terhadap perkembangan zaman dan perubahan sosial yang terjadi di tengah
masyarakat dalam proses penyesuaian diri mereka. Hal ini dimaksudkan agar remaja dalam
kehidupan sosialnya tidak memerankan perilaku yang antagonis tetapi menjadikan dirinya tahu
dan sadar akan pentingnya sebuah perilaku baik dan benar dengan mengedepankan sikap dan
moral yang baik. Jika dalam masa remaja sudah dibekali dan mempunyai kekuatan sikap moral
yang baik, maka diharapkan masa dewasanya nanti akan tetap terjaga dari degradasi moral dan
sekaligus dapat memberikan contoh bagi orang lain.

2.7.4 Dimensi Psikologis

Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini, mood (suasana hati) bisa
berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan
Reed Larson (1984) menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk
berubah dari mood "senang luar biasa" ke "sedih luar biasa", sedangkan orang dewasa
memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood (swing) yang drastis pada

15
para remaja ini dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-
hari di rumah. Meskipun mood remaja mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum
tentu merupakan gejala atau masalah psikologis.
Dalam hal kesadaran diri, para remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam
kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain
karena menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti
mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat
memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleksikan (self-image). Remaja cenderung untuk
menganggap dirinya sangat unik dan bahkan percaya bahwa keunikan mereka akan berakhir
dengan kesuksesan dan ketenaran. Remaja putri akan bersolek berjam-jam di hadapan cermin
karena ia percaya orang akan melirik dan tertarik pada kecantikannya, sedangkan remaja putra
akan membayangkan dirinya dikagumi lawan jenisnya jika ia terlihat unik dan hebat. Pada usia
16 tahun ke atas, keeksentrikan remaja akan berkurang dengan sendirinya jika ia sering
dihadapkan dengan dunia nyata. Pada saat itu, remaja mulai sadar bahwa orang lain ternyata
memiliki dunia tersendiri dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi atau dipikirkannya.
Anggapan remaja bahwa mereka selalu diperhatikan oleh orang lain kemudian menjadi tidak
berdasar. Pada saat inilah, remaja mulai dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk
menyesuaikan impian dan angan-angan mereka dengan kenyataan.
Para remaja juga sering menganggap dirinya serba mampu, sehingga sering terlihat tidak
memikirkan akibat perbuatan mereka. Tindakan impulsif dilakukan karena mereka tidak sadar
dan belum biasa memperhitungkan akibat jangka pendek atau jangka panjang. Remaja yang
diberi kesempatan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka akan tumbuh menjadi
orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih percaya-diri, dan mampu bertanggung jawab. Rasa
percaya diri dan rasa tanggung-jawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai dasar
pembentukan jati diri positif padanya. Kelak, ia akan tumbuh dengan penilaian positif pada diri
sendiri dan rasa hormat pada orang lain dan lingkungan. Bimbingan orang yang lebih tua sangat
dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan untuk menghadapi masalah itu sebagai seseorang yang
baru; berbagai nasihat dan berbagai cara akan dicari untuk dicobanya. Remaja akan
membayangkan apa yang akan dilakukan oleh para idolanya untuk menyelesaikan masalah
seperti itu. Pemilihan idola ini juga akan menjadi sangat penting bagi mereka.

Salah satu topik yang paling sering dipertanyakan oleh remaja adalah masalah "Siapakah
saya?" Pertanyaan itu sah dan normal karena pada masa ini kesadaran diri (self-awareness)
mereka mulai berkembang dan mengalami banyak perubahan. Remaja mulai merasakan bahwa
"ia-bisa dan berbeda" dengan orang tuanya dan memang ada remaja yang ingin mencoba
berbeda. Ini pun normal karena remaja dihadapkan pada banyak pilihan. Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan bila remaja selalu berubah dan ingin selalu mencoba, baik dalam peran
sosial maupun dalam perbuatan. Contoh: anak seorang insinyur bisa saja ingin menjadi seorang
dokter karena tidak mau melanjutkan atau mengikut jejak ayahnya. Ia akan mencari idola
seorang dokter yang sukses dan berusaha menyerupainya dalam tingkah laku. Bila merasakan
peran itu tidak sesuai, ia dengan cepat mengganti peran lain yang dirasakannya akan lebih
sesuai. Begitu seterusnya sampai ia menemukan peran yang ia rasakan pas dengan dirinya.
Proses "mencoba peran" ini merupakan proses pembentukan jati diri yang sehat dan juga sangat

16
normal. Tujuannya sangat sederhana, yaitu menemukan jati diri atau identitasnya sendiri. la
tidak mau hanya menurut begitu saja keinginan orang tuanya tanpa pemikiran yang lebih jauh.
Banyak orang tua khawatir jika "percobaan peran" ini menjadi berbahaya. Kekhawatiran itu
memang memiliki dasar yang kuat. Dalam proses "percobaan peran", biasanya orang tua tidak
dilibatkan. Kebanyakan karena remaja takut jika orang tua mereka tidak menyetujui, tidak
menyenangi, atau malah menjadi sangat khawatir. Sebaliknya, orang tua menjadi kehilangan
pegangan karena mereka tiba-tiba tidak lagi memiliki kontrol terhadap anak remaja mereka.
Pada saat inilah kehilangan komunikasi antara remaja dan orang tuanya mulai terlihat.
Keduanya mulai berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda sehingga sangat mungkin terjadi
kesalahpahaman.
Upaya lain para remaja untuk mengetahui diri mereka sendiri adalah melalui tes-tes
psikologis, atau yang dikenal sebagai tes minat dan bakat. Tes ini menyangkut tes kepribadian,
tes inteligensi, dan tes minat. Psikolog umumnya dilatih untuk menggunakan alat tes itu. Alat
tes yang saat ini umum diberikan oleh psikolog di Indonesia adalah WISC,
TAT,MMPI,Stanford-Binet,MBTI, dan lain-lain.Alat-alat tes juga beredar luas dan dapat
ditemukan di toko buku atau melalui internet; misalnya tes kepribadian.
Walaupun terlihat sederhana, dampak dari hasil tes tersebut sangat luas. Alat tes psikologi
dapat diibaratkan sebuah pisau lipat yang terlihat sekilas tidak berbahaya, tetapi apabila berada
di tangan orang yang "bukan ahlinya" atau yang kurang bertanggung jawab, alat ini akan
menjadi sangat berbahaya. Alat tes jika diinterpretasikan secara salah atau tidak secara
menyeluruh oleh orang yang tidak berpengalaman atau tidak memiliki dasar ilmu yang cukup
untuk mengartikan secara objektif akan membuat kebingungan dan malah membawa efek
negatif. Akibatnya, para remaja akan merasa lebih bingung dan lebih tidak merasa yakin akan
hasil tes tersebut. Oleh karena itu, sangatlah dianjurkan untuk mencari psikolog yang memang
sudah terbiasa memberikan tes psikologi dan memiliki Surat Rekomendasi Ijin Praktik (SRIP)
sehingga dapat menjamin objektivitas tes tersebut.
Satu hal yang perlu diingat adalah hasil tes psikologi untuk remaja sebaiknya tidak ditelan
mentah-mentah atau dijadikan patokan yang baku mengingat bahwa masa remaja merupakan
masa yang sangat erat dengan perubahan. Alat tes ini tidak semestinya dijadikan buku primbon
atau acuan kaku dalam penentuan langkah untuk masa depan, misalnya dalam mencari sekolah
atau mencari karier yang cocok. Sering kali, seiring dengan perkembangan remaja dan
perubahan lingkungan sekitarnya, konklusi yang diterima dari hasil tes bisa berubah dan
menjadi tidak relevan lagi. Hal ini wajar mengingat bahwa minat seorang remaja sangat labil
dan mudah berubah.
Sehubungan dengan eksplorasi diri melalui internet atau media massa yang lain, remaja
hendaknya berhati-hati dalam meng interpretasikan hasil-hasil yang didapat dari tes-tes
psikologi online melalui internet. Harap diingat bahwa banyak di antara tes tersebut masih
sebatas uji coba dan belum dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Selain itu, dibutuhkan
kejujuran untuk mampu menerima diri apa adanya sehingga remaja tidak mengembangkan
identitas "virtual" yang berbeda dengan diri yang asli.

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penyesuaian diri merupakan kesamaan esensi dari proses adaptasi yang dalam KBBI
ditulis dengan kalimat penyesuaian terhadap lingkungan pekerjaan dan pelajaran Kata
penyesuaian sering kali dipakal ketika seseorang dalam proses kehidupannya
mengalami perpindahan dan posisi dan kondisi lama ke posisi dan kondisi baru yang
sebelumnya tidak pernah dialami. Karakteristik penyesuaian diri ada dua yaitu
penyesuaian diri yang positif dan yang negatif. Faktor-faktor yang mempengaruhi
proses penyesuaian diri yaitu faktor fisiologis, psikologis, perkembangan dan
kematangan, lingkungan, budaya, dan agama.
Proses penyesuaian diri lebih bersifat suatu proses psikologis sepanjang hayat (life
long process) dan manusia terus-menerus akan berupaya menemukan dan mengatasi
tekanan dan tantangan hidup guna
mencapai pribadi yang sehat. Faktor lingkungan yang dapat menciptakan penyesuaian
diri yang sehat bagi remaja yaitu lingkungan keluarga yang harmonis, lingkungan teman
sebaya, lingkungan sekolah. Adapun aspek penyesuaian diri yaitu penyesuaian pribadi
dan penyesuaian sosial.
Masalah penyelesaian diri peserta didik usia sekolah menengah (remaja) yang
dihadapi sehari-hari yaitu masalah hubungan remaja dengan orang dewasa, terutama
orang tua.Oleh karena itu, perkembangan penyesuaian diri remaja sangat bergantung
pada sikap penolakan orang tua dan suasana psikologi dan sosial dalam kehidupan
keluarga. Untuk memahami remaja perlu dilihat berdasarkan perubahan pada dimensi-
dimensinya diantaranya dimensi biologis, dimensi kognitif, dimensi moral, dan dimensi
psikologis.

3.2 Saran

Setelah mengulas materi penyesuaian diri dan permasalahannya,sebagai calon


guru,mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan hendaknya menjiwai dengan
sungguh-sungguh seluruh aspek yang memengaruhi penyesuaian diri dan
permasalahannya guna menciptakan generasi yang penuh karya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Suhada I.2017. Pengembangan Peserta Didik .Remaja Rosdakarya,Bandung.

19

Anda mungkin juga menyukai