Acta Psychologia
Available online at: http://journal.uny.ac.id/index.php/acta-psychologia
Abstrak
Kehilangan ayah yang merupakan sumber rasa aman, pelindung, dan fondasi dalam keluarga, membuat kesedihan
yang mendalam bagi anak yang ditinggalkan. Terlebih pada anak perempuan yang cenderung lebih emosional
ketika menghadapi kehilangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui regulasi emosi remaja putri yang
kehilangan ayah karena kematian. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan naratif-
fenomenologi. Teknik pengumpulan data berupa wawancara dan observasi. Pemilihan informan menggunakan
teknik purposive sampling dengan melibatkan empat orang subjek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek
menunjukkan emosi negatif pasca sepeninggal ayah, seperti mengurung diri, kehilangan motivasi untuk
melanjutkan studi, dan takut menjalani hidup ke depan tanpa ayah. Salah satu cara yang dilakukan subjek untuk
mengurangi kesedihannya yaitu dengan mendekatkan diri pada Allah. Dukungan dari orang sekitar dan keyakinan
pada takdir Allah membuat subjek mampu merasa ikhlas akan kepergian ayah.
Abstract
The loss of the father who is the source of security, protector, and foundation in the family, makes a deep sadness
for the child who left behind. Especially for young women who tend to be more emotional when faced this loss.
The purpose of this study was to determine how the emotional regulation of adolescent girls who lost their fathers
due to death. This study used qualitative methods with narrative-phenomenological approach. Data collection
techniques used interviews and observations. The selection of informants using purposive sampling technique
involving four subjects. The results showed that the subjects showed negative emotions after the death of the
father, such as confinement, loss of motivation to continue their studies, and fear of living life in the future
without a father. One of the ways that the subject does to reduce his grief is to get closer to God. The support of
the surrounding people and faith in God's Destiny make the subject able to feel sincere about the departure of the
father.
Subjek AA (19 Tahun) “Dari sedih banget, nggak terima, terus mikir
hidup harus berlanjut, mampu ikhlas rasanya
Ayah AA meninggal karena sakit jantung lega sih mbak, sebelum itu rasanya kek sesek
yang telah diderita selama empat tahun. banget di dada” (INF 1: AA: W1: 190)
Ketika meninggal, AA berusia 16 tahun.
Respon AA ketika mengetahui ayahnya Subjek UF (21 Tahun)
meninggal adalah merasa tidak percaya dan Ayah UF meninggal saat pandemi dan
merasa kejadian tersebut cukup mendadak. didiagnosis positif Covid-19. UF terpukul
Kepergian sang ayah membuat AA merasa karena protocol pemakaman Covid-19
sedih, murung, mengurung diri di kamar, tidak memperbolehkan pihak keluarga
dan sakit. untuk mengurus, bahkan melihat sang ayah
untuk terakhir kalinya. Respon pertama UF
“Aku langsung mikirnya ngga mungkin, ngga
ketika mengetahui ayahnya meninggal
mungkin, ayah masih bisa dibawa ke rumah
sakit. Aku masuk rumah langsung nyari minyak adalah merasa tidak percaya. Menurutnya,
kayu putih mbak, padahal udah dikasih tau kalo kematian ayahnya yang dirasa mendadak,.
napas ayah udah ngga ada.” (INF 1: AA: W1: Hal ini membuat UF tertekan, sedih, dan
66) sempat membuatnya berpikir untuk tidak
“sedih terus ga doyan makan, mung ngurung diri melanjutkan kuliah.
di kamar, ning awak dadi masuk angin.” (INF
1: AA: W1: 137) “Ngga percaya mbak, soalnya maghrib itu masih
“…aahh sedih banget mbak soalnya” (INF 1: chattingan sama ibu” (INF 2: UF: W1: 73).
AA: W1: 143) “Sedih banget, apalagi kan terus banyak tetangga
“Tujuh harian itu aku masih di kamar terus, yang kayak ngejauhin” (INF 2: UF: W1: 121).
nangis terus itu aku mbak, ngurung diri di
kamar. Empat puluh harian aku juga masih “Tapi kayak ada tekanan tersendiri gitu mbak,
sedih banget, pas acara aku di kamar juga itu sedihnya dua kali lipat” (INF 2: UF: W1:
mbak.” (INF 1: AA: W1: 78) 144).
Hal yang dilakukan AA untuk “Terus kepikiran, ngko kuliahku pie? Kalo yang
mengurangi kesedihannya yaitu memilih ngebiayain ibu tok kan kasian ibu, terus mikir
mendekatkan diri pada Allah dengan apa aku tak berenti kuliah aja” (INF 2: UF:
sholat. Ingatan akan ibu, adik, dan W1: 151)
dukungan dari keluarga memotivasi AA Saat ayah meninggal, UF berusia 20
untuk bangkit. Percaya pada takdir Allah tahun. UF juga cukup dekat dengan sang
juga membuat AA menjadi ikhlas akan ayah. Hal-hal yang dilakukan UF untuk
kepergian sang ayah. Perbedaan yang AA mengurangi kesedihannya yaitu dengan
rasakan setelah mampu ikhlas yaitu merasa bermain bersama kucing peliharaan,
lega. menyibukkan diri dengan kegiatan rumah,
dan mengakses sosial media yang
“…yaa keinget ibu, kalo sedih terus ya gimana,
biar bisa nemenin ibu sama adek juga. Terus kan menghibur. Seiring berjalannya waktu dan
aku yaa kerja ya mbak, jadi yaa ada motivasi sampai saat ini, UF masih merasa
harus bangkit” (INF 1: AA: W1: 103). Ada kehilangan ayahnya dan masih merindukan
mbak, adekku, ibu, mbah uti, sama bulik kayak sang ayah. Rasa ingin menjaga ibu dan
Ayah DM meninggal saat DM menginjak “…aku nyuruh temen nginep biar akune ada
usia 22 tahun. Hal yang membuat DM temen untuk menghibur gitulah…” (INF 3:
sedih adalah karena ayahnya sempat DM: W1: 155)
merahasiakan sakit tumor hati yang “kalo udah keluar sama temen deket rasanya
dideritanya. DM dan keluarga baru seenggaknya agak plong” (INF 3: DM: W1:
menyadari tumor tersebut setelah sang 172)
ayah meninggal. Respon pertama DM
ketika mengetahui ayahnya tiada yaitu “…suruh melanjutkan skripsinya, tapi aku kaya
merasa kaget, tidak menyangka, dan sedih ngerasa udah nyerah gitu, tapi ya harus
yang mendalam. DM juga sempat berpikir dipaksa…” (INF 3: DM: W1: 176)
untuk tidak melanjutkan kuliahnya. Selama “Kayak belum ikhlas gitu dulu, kadang rasanya
ini keluarga hanya tahu ayah mereka kayak bapak cuman pergi kemana gitu terus
diopname karena sakit asam lambung. nanti balik lagi, tapi kadang juga sadar ternyata
udah nggak ada ngga mungkin balik lagi” (INF
“Kaget banget mesti, ngga nyangka sama sekali, 3: DM: W1: 199)
udah ngga bisa ngomong apa-apa lagi langsung
nangis, perasaane ngga karuan” (INF 3: DM: “…mengingat masih ada orang-orang terdekat
W1: 101) yang menyayangi terutama ibu dan keluarga
untuk kembali semangat” (INF 3: DM: W1:
230)