Anda di halaman 1dari 11

“DINAMIKA RESILIENSI REMAJA YATIM ATAU PIATU DAMPAK KEMATIAN

ORANG TUA SECARA MENDADAK”

Dito Saif Faadhillah1, Puti Archianti, M.Psi., Psikolog2

Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka

Email: 2008015231@uhamka.ac.id 1 puti@uhamka.ac.id 2

Abstrak

Kematian orang tua secara mendadak dapat memberi dampak yang besar bagi remaja
sehingga mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupannya dan menimbulkan reaksi tertentu
yang bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dinamika dari pengalaman
kematian orang tua yang dialami oleh remaja yatim/piatu serta menggali proses resiliensi
remaja yatim/piatu pasca kematian orang tua. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian
kualitatif dengan pengumpulan data menggunakan metode teknik wawancara dan observasi.
Metode analisis yang digunakan yaitu meng-coding data dan transkip data. Subjek penelitian
berjumlah 2 orang yang terdiri dari Subjek HNA anak perempuan berusia 20 tahun yang
sudah ditinggal ibunya diusia 17 tahun. Kemudian Subjek QSH anak perempuan berusia 17
tahun yang sudah ditinggal bapaknya diusia 15 tahun. Dari hasil peneltian yang dilakukan,
dapat menunjukkan bahwa kedua subjek memiliki kemampuan resiliensi, didukung oleh
berbagai faktor I am, I have, dan I can yang membantu proses resiliensi masing-masing
subjek. Keduanya beradaptasi dan pulih kembali setelah melewati masa-masa keterpurukan.

Kata kunci: resiliensi, remaja, kematian orang tua

Abstract
The sudden death of a parent can have a great impact on adolescents so that it affects many
aspects of their lives and causes certain reactions that vary. This study aims to describe the
dynamics of the experience of parental death experienced by orphaned adolescents and
explore the resilience process of orphaned adolescents after the death of parents. The
research conducted was qualitative research with data collection using interview and
observation techniques. The analysis method used is coding data and data transcript. The
research subjects amounted to 2 people consisting of HNA subjects of 20-year-old girls who
had been left by their mothers at the age of 17 years. Then the subject of QSH is a 17-year-
old girl who has been left by her father at the age of 15 years. From the results of the
research conducted, it can show that both subjects have resilience abilities, supported by
various factors I am, I have, and I can that help the resilience process of each subject. Both
of them adapted and recovered after going through times of adversity.

Keywords: resilience, adolescence, death of parents

PENDAHULUAN

Kematian adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Setiap orang yang
dilahirkan ke dunia pada akhirnya akan mengalami kematian. Seseorang dapat meninggal
karena berbagai sebab, seperti sakit, usia lanjut, atau kecelakaan. Ketika seseorang
meninggal, peristiwa kematian itu tidak hanya mempengaruhi dirinya sendiri, tetapi juga
melibatkan orang-orang di sekitarnya, terutama mereka yang ditinggalkan. Kehilangan orang
yang dicintai ini merupakan pengalaman yang sangat menyedihkan dan dapat menyebabkan
penderitaan bagi mereka yang ditinggalkan. Setiap individu yang meninggal akan
meninggalkan orang-orang yang terdekat, dan ketika orang tua meninggal, anak-anak yang
ditinggalkan akan menghadapi dampak yang signifikan.

Menurut Santrock (sebagaimana dikutip oleh Kalesaran, 2016), kematian orang tua
memiliki pengaruh yang besar terhadap individu. Astuti dan Gusniarti (sebagaimana dikutip
oleh Kalesaran, 2016) menyatakan bahwa kematian orang yang dicintai merupakan
pengalaman kehilangan yang paling berdampak secara fisik, emosional, dan spiritual bagi
individu.Kematian orang tua dapat memiliki dampak yang besar karena remaja telah
menghabiskan banyak waktu bersama keluarga. Kematian orang tua secara tiba-tiba dapat
menghasilkan konsekuensi terbesar terhadap perkembangan kesehatan anak-anak yang
ditinggalkan, karena mereka tidak siap untuk kehilangan orang tua mereka dengan begitu
mendadak. Mereka juga mungkin mengalami kesulitan besar dalam mengatasi kehilangan
tersebut, yang dapat meningkatkan risiko depresi pada remaja (Fitria, 2013). Dalam konteks
ini, masa remaja merujuk pada individu yang berusia antara 16 hingga 24 tahun (Sarwono,
2011).

Kematian orang yang dicintai dapat mempengaruhi banyak aspek kehidupan


seseorang dan menimbulkan reaksi khusus yang sering disebut sebagai kesedihan.
Dampaknya mencakup pengaruh negatif pada kesehatan fisik, psikologis, perilaku, serta
kehidupan keluarga dan sekolah (Guzzo & Gobbi, 2021).
Holmes dan Rahe (sebagaimana dikutip oleh Fitria, 2013) menyatakan bahwa
kehilangan orang tua melalui kematian merupakan perubahan hidup yang menimbulkan stres
dan menuntut individu untuk beradaptasi. Remaja yang menghadapi kehidupan baru dan
berusaha bangkit setelah kehilangan orang tua membutuhkan kemampuan untuk menjadi
resilien. Resiliensi, seperti yang didefinisikan oleh Reivich dan Shatte, adalah kemampuan
untuk mengatasi dan beradaptasi ketika menghadapi peristiwa atau masalah berat dalam
kehidupan (Dewanti & Suprapti, 2014).

Berdasarkan penjelasan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan


dinamika pengalaman kematian orang tua yang dialami oleh remaja yatim/piatu serta
mengeksplorasi proses resiliensi remaja yatim/piatu setelah kehilangan orang tua. Hal ini
dikarenakan peneliti berpendapat bahwa kehilangan peran orang tua memiliki dampak yang
sangat negatif pada kehidupan remaja yatim/piatu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini,
resiliensi merujuk pada kemampuan individu (remaja yatim/piatu) untuk mengatasi,
beradaptasi, dan bangkit kembali setelah menghadapi kematian orang tua.

METODE

Dalam penelitian ini, peneliti menerapkan pendekatan penelitian kualitatif. Untuk


mengumpulkan data, peneliti menggunakan teknik wawancara dan observasi. Jenis
wawancara yang digunakan adalah wawancara semi-terstruktur. Wawancara semi-terstruktur
merupakan metode pengumpulan data yang sesuai dengan berbagai metode analisis data
karena data wawancara dapat dianalisis dengan berbagai pendekatan. Dengan menggunakan
wawancara semi-terstruktur, peneliti dapat mendengarkan subjek membahas aspek tertentu
dari kehidupan atau pengalaman mereka.

Subjek penelitian ini dipilih berdasarkan karakteristik yang relevan untuk


mendapatkan informasi dan data yang akurat. Subjek penelitian berjumlah 2 orang yang
terdiri dari Subjek HNA anak perempuan berusia 20 tahun yang sudah ditinggal ibunya diusia
17 tahun. Kemudian Subjek QSH anak perempuan berusia 17 tahun yang sudah ditinggal
bapaknya diusia 15 tahun.

Metode analisis yang digunakan yaitu transkip data dan meng-coding data, proses ini
melibatkan transkripsi verbatim dan meng-coding menggunakan metode cocat (open coding,
categories, and themes). Setelah melalui tahap pengolahan data dengan metode cocat, peneliti
melakukan interpretasi data untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif berdasarkan
teori-teori yang relevan. Peneliti mengambil kesimpulan dari hasil penelitian dengan
menganalisis fakta-fakta yang diperoleh dari lapangan dengan menggunakan teori-teori yang
telah dikemukakan oleh para ahli sebelumnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dampak Kematian Orang tua pada Remaja

Terdapat beberapa perilaku dan perasaan yang dapat mencerminkan duka cita yang
muncul dari proses penanggulangan duka cita, seperti shock dan penolakan, kekacauan,
reaksi yang mudah berubah, rasa bersalah, serta kehilangan dan kesepian. Kedua subjek
dalam penelitian ini mengalami beberapa perilaku dan perasaan tersebut ketika mereka
kehilangan orang tua mereka. Sebagai remaja yang ditinggal orang tuanya, kedua subjek
mengalami perubahan dalam kehidupan mereka ketika orang tua mereka meninggal.

Subjek HNA anak perempuan berusia 20 tahun yang sudah ditinggal ibunya diusia 17
tahun. Wawancara bersama subjek HNA berjalan dalam waktu sekitar 35 menit. Dalam
wawancara ini, subjek HNA bercerita bahwa ibunya meninggal di saat ia berusia 17 tahun.
Ibu subjek meninggal di usia kira-kira 45 tahun. Ibu subjek meninggal karena penyakit sesak
nafas. Berkaitan dengan pengalaman kematian ibu subjek, subjek mengalami perilaku dan
perasaan duka cita akibat peristiwa yang membuat subjek merasakan shock dan penolakan,
perasaan tidak menyangka dan tidak menerima kenyataan dengan kepergian ibu yang secepat
itu. Perasaan kekacauan menjadi pengalaman berikutnya yang dialami oleh subjek, di mana
mereka merasakan kebutuhan akan kehadiran ibu mereka yang sebelumnya biasanya
mengurus segala kebutuhan mereka. Subjek bergantung pada ibu mereka dalam berbagai hal.
Namun, setelah ibu pergi, ia harus menyesuaikan diri dan menghadapi perubahan tersebut.

Subjek mengatakan rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri sempat melanda diri
subjek lantaran subjek merasa bahwa subjek belum sempat berbakti yang sesungguhnya
sebab ibu sudah pergi meninggalkan subjek baik secara jiwa maupun raga. Kehilangan sosok
ibu subjek tentunya mengakibatkan perasaan kesepian di dalam diri subjek. Yang sebelumnya
terbiasa akan kehadiran ibu namun begitu ibu subjek meninggal, Subjek tentu merasakan
kehilangan yang teramat sangat namun mau tidak mau harus ikhlas. Kemudian subjek berkata
bahwa untuk kembali hidup seperti sebelum ibu subjek meninggal bisa dilakukan walau tidak
sama seperti dulu lantaran rutinitas yang biasa dilakukan bersama dengan ibu tidak bisa
dilakukan lagi dan subjek merasa kehilangan dukungan emosional yang didapat dari ibu
subjek. Namun sebisa mungkin subjek menyesuaikan diri untuk kembali ke kehidupan pasca
ibu subjek meninggal, mau tidak mau harus membiasakan diri pada perubahan yang ada.
Kemudian Subjek QSH anak perempuan berusia 17 tahun yang sudah ditinggal
bapaknya diusia 15 tahun. Wawancara bersama subjek QSH berjalan dalam waktu sekitar 22
menit. Dalam wawancara ini, subjek QSH bercerita bahwa bapaknya meninggal di saat ia
berusia 15 tahun. Bapak subjek meninggal di usia kira-kira 56 tahun. bapak subjek meninggal
karena penyakit saraf kejepit.

Berkaitan dengan pengalaman kematian bapak subjek, subjek mengalami perilaku dan
perasaan duka cita akibat peristiwa yang membuat subjek merasakan shock dan penolakan,
perasaan kaget, tidak percaya dalam artian menolak kenyataan dengan kepergian bapak yang
mendadak. Bahkan perasaan shock dan menolak ini sebenarnya masih dirasakan subjek
sampai saat ini namun subjek berusaha untuk tidak terpuruk terus-terusan.

Kekacauan menjadi hal yang selanjutnya terjadi pada kehidupan subjek, karena
kepergian bapak subjek membuat subjek sedih yang berlarut sehingga mengagu ke akademik
disekolahnya yang menyebabkan nilai sekolahnya menurun. Walau begitu, subjek berkata
kekacauan yang dirasakan lumayan lama, paling lama 1 tahun di awal-awal waktu bapak
subjek meninggal. Kemudian, pasca kematian bapak subjek, subjek merasakan jika reaksi
yang dimiliki mudah sekali berubah menjadi sedih. Karena banyak hal yang membuatnya
mengigat-ingat bapaknya.

Subjek mengatakan rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri sempat melanda diri
subjek sampai saat ini, meskipun intensitasnya tidaklah sesering dahulu. Penyebabnya adalah
subjek merasa bahwa subjek belum bias berbakti ketika bapak masih ada. Kehilangan sosok
bapak subjek tentunya mengakibatkan perasaan sepi dan kosong di dalam diri subjek. Subjek
sangat dekat dengan bapak subjek, terbiasa akan komunikasi yang diberikan bapak baik
langsung maupun via chat sehingga kehilangan yang dirasakan terasa sekali. Subjek tentu
merasakan kehilangan yang teramat sangat namun mau tidak mau harus ikhlas dan lebih
banyak mendekatkandiri kepada Allah dan berdoa untuk bapaknya.

Proses Resiliensi Remaja Pasca Kematian Orang Tua

Perubahan dalam kehidupan setelah kematian orang tua membuat kedua subjek harus
mengembangkan kemampuan resiliensi untuk beradaptasi dengan kehidupan baru. Selain itu,
mereka juga harus mampu bangkit kembali dari masa-masa kesulitan karena kehidupan
mereka telah terasa hancur dan kacau akibat kehilangan ibu. Kemampuan resiliensi mereka
dapat dilihat melalui beberapa faktor yang mempengaruhi proses resiliensi, seperti yang
dijelaskan oleh Grotberg (sebagaimana dikutip oleh Swastika, 2012), yaitu "I have", "I am",
dan "I can" .

Faktor I have (Sumber Dukungan Ekternal) yang subjek HNA milik, memiliki
hubungan yang baik dengan ayah, kedua saudara perempuanya dan mampu bercerita apapun
pada mereka. Memiliki hubungan yang baik dan akrab dengan teman-teman. Bersikap baik
dan mau berinteraksi saat berada di lungkungan sekitar. Memiliki aturan yang tergolong
sederhana yang diterapkan oleh ayah dan masih berlaku hingga saat ini tidak ada perubahan
setelah maupun sebelum ibunya menunggal. Adanya dukungan dari ayah, saudara, teman-
teman, dan lingkunga sekitar rumah.

“Dukungan, ya itu tuh yang tadi bentuk dukungan ya.. baik ya kata-kata gitukan terus
juga ada ectionnya juga gitu kaya yang tadi juga membantu gitu jadi saling bahu membahu
ibaratnya mah gitu kan”

Sama halnya dengan subjek HNA, subjek QSH memiliki hubungan yang baik dengan
ibu, kedua saudara perempuanya dan mampu bercerita apapun pada mereka. Memiliki
hubungan yang baik dan akrab dengan teman-teman. Bersikap baik dan mau berinteraksi saat
berada di lungkungan sekitar. Memiliki aturan yang tergolong sederhana yang diterapkan
oleh ayah dahulu namun sudah ada kelongaran karena tidak ada yang mengingatkanaya
Adanya dukungan dari ayah, saudara, teman-teman, dan lingkunga sekitar rumah.

“Ibu sama kaka… kakak yang kedua”

“Yaa.. baik maksudnya kayak kalo ada apa apa itu cerita gitu jadinya semuanya tau
gitu” “Em..Disemangatin… disemangatin aja” “Kayak cerita… kayak kalo ada masalah
terus.. menye… car.. cara menyelesaikanya itu gimana jalan keluarnya”

Kedua subjek juga memiliki faktor I am (kemampuan Individu) sebagai faktor yang
mempengaruhi proses resiliensi mereka, kedua subjek sama, memiliki beberapa tujuan yang
ingin dicapai dalam hidupnya. Merasakan perhatian yang diberikan oleh ayah, saudara,
teman-teman dan tetangga lingkungan sekitarnya. Memiliki pandangan positif terhadap diri
sendiri. Dan dapat menentukan sikap dalam mengambil keputusan.

“Pandangan saya... terhadap.. diri saya, kalo saya tuh teryata bisaa.. sekuat ituloh
melewati ee... hal-hal yang apalgi juga melewati kehilangan ya itu seorang ibu yang menurut
saya seorang ibu tuh sangat krusial dalam hidup saya” (subjek HNA)
“Kayak.. pengen kuliah gitu kan.. terus sama pengen ee… pengen kerja juga”
“Teryata.. saya bisa menjalani.. hidup setelah ee… ditinggal oleh sosok ayah” (Subjek QSH)

Faktor yang mempengaruhi proses resiliensi yang lain adalah faktor I can
(Kemampuan Sosial). Dalam menjalin hubungan dengan orang lain, terutama dengan orang
baru, subjek HNA akan berusaha memulai percakapan dengan mempertimbangkan apa yang
ingin mereka sampaikan kepada orang tersebut.

“Caranya ya?... eemm... mengajak kenalan duluan terus membahas yang sekiranya
ee.. apasih dilihat gitu kalo orang itu ohh tertariknya dengan hal itu maka saya akan
mencoba mengikuti orang tersebut tertariknya apa orang tersebut gitu”

Cara subjek menyelesaikan masalah bergantung pada konteks masalah yang dihadapi.
Jika masalah tersebut membutuhkan diskusi dengan orang lain, subjek akan meminta bantuan
dan berdiskusi dengan ayah mereka, misalnya. Namun, jika subjek merasa mampu
menangani masalah sendiri, mereka akan mencoba menyelesaikannya sendiri.

“Emm.. yang saya pikirkanya?... tertekan.. yang akan saya lakukan mencoaba..
menenangkan diri seperti... apaya kaya mendistrak gitu ngedengerin lagu gitu kalo misalkan
dalam keadaan tertekan gitu misalnya kaya... mau presentasi deg-degan terus jadi
ngedengerin lagu biar jadi agak lebih tenang, atau mengobrol dengan orang lain”

Sedangkan subjek QSH cukup baik dalam menjalin hubungan dengan orang lain,
“Yaa baik.. sh… saya baik maksudnya berteman dengan siapa pun ya kalau misalkan dia ya
dia gak jahat sama saya ya gak mungkin dong saya jahatin balik”

subjek QSH cara dalam menyelesaikan masalahnya lebih banyak untuk


mendiskusikan dan meminta bantuan orang lain.

“Biasanya kalo saya mengalami hal buruk saya paniklah pasti gitu tapi.. saya
mencoba untuk mencari jalan keluarnya un.. kaya misalnya telpon temen-temen kalo gak
minta tolong sama orang lain”

Orang yang Reseliansi

Salah satu ciri resilience yang terlihat pada kedua subjek, seperti yang dijelaskan oleh
Wolin & Wolin (sebagaimana dikutip oleh Anggraeni, 2008), adalah perkembangan
kemandirian. Subjek HNA menggambarkan kemandiriannya ketika dia sudah bisa menerima
dan bisa mengurus pekerjaan rumah tangganya.
“Iyaa... bisaa kok, menjalani kehidupan sebelumnya cuma yaa ada tambahan lagi
gitu ya kaya kerjaan lagi yang lain gitu”” Eee.. kehidupan sehari-harinya sih normal cuma
yaa ada beberapa tamabahan seperti kaya yang biasanya tadinya dimasakin gitukan, terus
kaya segala sesuatunya disiapin itu saya mencoba lebih mandiri gitu, kaya menyiapkan
segala sesuatunya ee.. sendiri gitu, gak seperti dulu”

Bukti kemandirian subjek QSH juga terlihat ketika membatu ibunya ketika ada
permasalahan sama-sama berdiskusi

“Kayak cerita… kayak kalo ada masalah terus.. menye… car.. cara menyelesaikanya itu
gimana jalan keluarnya”

Aspek lainnya adalah bouncing back, yang dijelaskan oleh Reivich & Shatte
(sebagaimana dikutip oleh Purba, 2011), sebagai kemampuan untuk bangkit kembali setelah
mengalami kejadian traumatis atau kesulitan besar. Terlihat jelas bahwa kedua subjek dapat
menghadapi situasi krisis dalam hidup mereka, yakni melewati masa-masa kesulitan akibat
kematian salah satu orang tuanya. Sekarang mereka merasa kehidupan mereka telah pulih
kembali. Selain itu, ada juga aspek reaching out, kedua subjek mengakui bahwa mereka
sekarang telah mencapai kehidupan yang lebih baik dan bahkan dapat melihat sisi positif dari
pengalaman yang mereka alami.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dinamika resiliensi remaja yatim/piatu akibat kematian


orang tua secara mendadak dapat diketahui dinamika resiliensi yang dialami oleh remaja
umumnya memiliki beberapa perbedaan dan juga kesamaan. Remaja mengalami perasaan
terkejut ketika mengetahui tentang kematian orang tua mereka. Setelah itu, mereka
menghadapi kekacauan dalam hidup, merasakan kehilangan yang mendalam dan kesepian,
serta merasa bersalah, yang mengharuskan mereka beradaptasi dengan kehidupan yang baru.
Dalam proses resiliensi, remaja dapat memiliki faktor I am, I have,dan I can, yang dapat
mempengaruhi proses resiliensi mereka. Beberapa faktor lain yang membantu resiliensi
ditemukan pada kedua subjek, seperti kemampuan untuk mencari dukungan dan mandiri.
Selain itu, remaja harus menemukan sisi positif dari pengalaman kematian orang tua mereka
agar dapat menjalani kehidupan yang baru dengan lebih baik. Selain itu, fungsi resiliensi
yang ditemukan pada kedua subjek adalah kemampuan untuk mengatasi kesulitan sehari-hari
(steering through), bangkit kembali setelah mengalami kejadian traumatis (bouncing back),
dan mencari dukungan dan menjalin hubungan dengan orang lain (reaching out). Kedua
subjek memiliki salah satu ciri dari orang yang resilien, yaitu mencapai kemandirian setelah
melewati masa-masa keterpurukan.
DAFTAR PUSTAKA.

Astuti, Y. D. (2005). Kematian Akibat Bencana dan Pengaruhnya Pada Kondisi Psikologis.
Humanitas : Indonesian Psychological Journal, 2(1), 41–53.

Daryanto. Agus Suprihatin. 2013. Pengantar Pendidikan Lingkungan Hidup. Yogyakarta.


Penerbit Grava Media.

Dewanti, Ayu., Veronika Suprapti. 2014. Resiliensi Remaja Putri Terhadap Problematika
Pasca Orang Tua Bercerai. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Vol. 3
No.3 Desember 2014. Hal 164 – 171.

El-Shafa, A. Z. (2010). Jangan takut mati bila husnul khotimah. PT Buku Kita

Fitria, Nita. (2013). Laporan pendahuluan tentang masalah psikososial. Salemba Medika.

Fransisca, Dewi & Vonny, M. (2004). Hubungan Antara Resiliensi Dengan Depresi Pada
Perempuan Pasca Pengangkatan Payudara (Mastektomi). Jurnal Psikologi, 2(2),
101–120.

Gerungan., Kalesaran., Akili. (2016). Hubungan Antara Umur, Aktivitas Fisik Dan Stress
Dengan Kejadian Hipertensi Di Puskesmas Kawangkoan. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sam Ratulangi

Grotberg. (2003). Resiliensi for Today: Gaining Strength from Adversity. London: Praeger
Publisher.

Guzzo, M. F., & Gobbi, G. (2021). Parental death during adolescence: a review of the
literature. Journal of Death and Dying, 0(0), 1-31.
https://doi.org/10.1177/00302228211033661

Herrman, H., Stewart, D. E., Diaz-Granados, N., Berger, E. L., Jackson, B., & Yuen, T.
(2011). What is resilience? Canadian Journal of Psychiatry, 56(5), 258–265.
https://doi.org/10.1177/070674371105600504

Hudria. (2021). Dampak Psikologis Kehilangan Orang Tua Pada Remaja (Studi di
Madrasah Tsanawiyah Negeri 4 Kota Jambi). Skripsi. Jambi: UIN Sulthan Thaha
Saifuddin.

Hurlock, Elizabeth B. (2011). Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang


Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.
Kalesaran, T. (2016). Gambaran Resiliensi Remaja Putri Pasca Kematian Ibu. Tangerang:
Universitas Pembangunan Jaya. doi https://doi.org/10.13140/RG.2.2.29423.64169

Niven, Neil. 2013. Psikologi Kesehatan: Pengantar untuk Perawat & Profesional Kesehatan
lain. Edisi Kedua. Jakarta: EGC.

Nurhidayati, C. (2014). Makna Kematian Orangtua Bagi Remaja (Studi Fenomenologi Pada
Remaja Pasca Kematian Orangtua). Jurnal Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim Riau,
10, 33–40.

Nurhidayati & Chairani, L. (2014). Makna Kematian Orangtua Bagi Remaja (Studi
Fenomenologi Pada Remaja Pasca Kematian Orangtua). Jurnal Psikologi UIN Sultan
Syarif Kasim Riau, 10(1), 41–48.

Nurriyana, A. M., & Savira, S. I. (2021). Mengatasi Kehilangan Akibat Kematian Orang
Tua : Studi Fenomenologi Self-Healing pada Remaja. Character: Jurnal Penelitian
Psikologi, 8(3), 46–60.

Masten, A. S. & Gewirtz, A. H. (2006). Resilience in development: The importance of early


childhood. Encyclopedia on Early Childhood Development, 1–6.

Papalia, D.E., Old, S.W., & Feldman, R.D. (2008). Human development (psikologi
perkembangan). Kencana.

Ramadhan, R. F., & Ardias, W. S. (2019). Konstrual Diri (Self Construal) Remaja Yang
Mengalami Kematian Orang Tua. Al-Qalb: Jurnal Psikologi Islam, 10(1), 79–90. doi:
https://doi.org/10.15548/alqalb.v10i1.831

Reivich, K., & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Keys to Finding Your Inner
Strength and Overcoming Life's Hurdles. United States: Three Rivers Press.

Sarwono, S. W. (2011). Psikologi Remaja (Edisi Revisi). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Tugade, M. M., & Fredrickson, B. L. (2004). Resilient Individuals Use Positive Emotions to
Bounce Back From Negative Emotional Experiences. Journal of Personality and
Social Psychology, 86(2), 320–333.

Anda mungkin juga menyukai