Anda di halaman 1dari 3

Kebijaksanaan dan Spiritualitas pada Lansia

(Aurelia Putri)

Kebijaksanaan merupakan integrasi aspek kognitif, reflektif, dan afektif. Dimensi


kognitif mengacu pada kemampuan individu dalam memahami kehidupan, yang berhubungan
dengan faktor intrapersonal dan interpersonal. Dimensi afektif adalah adanya emosi dan
tingkah laku positif, misalnya adanya perasaan dan tindakan berdasarkan simpati dan kasih
sayang terhadap orang lain. Dimensi reflektif mengacu pada kemampuan individu dalam
memandang suatu fenomena atau masalah dari berbagai sudut pandang, sehingga
menimbulkan self-awareness dan self-insight (Ardelt, 2003). Individu yang bijak biasanya
memiliki beberapa karakteristik positif, seperti kepribadian yang matang dan terintegrasi, serta
kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dalam hidup (Ardelt, 2004).
Usia lanjut banyak dikaitkan dengan kebijaksanaan, seperti yang dikatakan oleh
pepatah bahwa semakin tua semakin bijak. Selain itu masa lanjut usia juga erat kaitannya
dengan perkembangan spiritualitas, sehingga banyak penelitian mengenai kebijaksanaan dan
spiritualitas pada lanjut usia. Salah satunya yaitu penelitian Basri (2006) dengan hasil yaitu
orang yang bijaksana mempunyai kondisi spiritual moral yang tinggi. Basri dalam (Sahrani,
2019) juga menyebutkan bahwa faktor yang memengaruhi kebijaksanaan ada 5 salah satunya
kondisi spiritual moral yaitu kondisi seseorang dalam berhubungan dengan Tuhan seperti
bertakwa, bersyukur, saleh, tutur kata halus, sopan santun, dan tabah.
Kebijaksanaan dan spiritualitas sering dipelajari bersama karena spiritualitas
merupakan bagian dari konstrak kebijaksanaan dan disisi lain konsep spiritualitas dianggap
sebagai pencapaian tertinggi pada perkembangan lansia (Kallio, 2015). Jika kebijaksanaan
kerap dikaitkan dengan usia itu karena perenungan, refleksi dan perkembangan spiritual lebih
mungkin muncul di usia tua. Ketika orang dewasa bertambah tua, mereka semakin tertarik
untuk menghabiskan waktu merenung dan merefleksikan diri mereka melalui kepercayaan atau
kontak dengan Tuhan (Schweitzer, 2009). Hal ini didasarkan pada teori psikososial Erikson
yang menyatakan bahwa lansia akan mengalami tahapan kedelapan dalam siklus kehidupan
yaitu ego-integrity vs despair. Ego integrity sebagai aspek positif sedangkan despair sebagai
aspek negatif (Feist & Feist, 2010). Erikson menjelaskan seseorang yang mencapai ego-
integrity akan menemukan kedamaian dalam hidupnya, sebab mereka telah menerima hal-hal
yang sudah terjadi dalam hidup sebagai suatu sejarah yang tidak dapat diubah (Parker, 2013).
Kebijaksanaan dan perkembangan psikososial bermanfaat bagi individu dan sosial dengan
mengurangi fokus pada diri sendiri dan membantu dalam pemecahan masalah sosial (Levenson
& Aldwin, 2013).
Spiritualitas dan kebijaksanaan pada lansia merupakan hasil dari proses pencapaian
ego-integrity. Erikson menguraikan ego-integrity ke dalam 9 wilayah, meliputi: (1) Mampu
beradaptasi dengan keberhasilan dan kegagalan dalam proses mencapai tujuan, (2) Spiritualitas
(hubungan individual dengan perasaan akan keberadaan Tuhan atau eksistensi Tuhan), (3)
Menerima masa lalu sebagai sesuatu yang berarti; mereka tidak mengalami penyesalan, rasa
bersalah, atau ketidakpuasan dengan kehidupan yang dijalani secara umum, (4) Mentoleransi
dan menerima kehadiran orang lain tanpa melihat perbedaan yang ada, (5) Perasaan telah
menjadi bagian yang berharga dalam sejarah termasuk generasi sebelumnya, (6) Ketiadaan
kecemasan atau rasa takut akan kematian, (7) Bebas dari perasaan akan kehilangan banyak hal
dalam hidup, (8) Integrasi emosional, (9) Kepuasan hidup (Santor & Zuroff, 1994).
Spiritualitas menurut Erikson adalah bagaimana individu dapat memaknai
kehidupannya secara positif dalam konteks kerohanian atau keyakinan akan keterlibatan Tuhan
dalam setiap prosesnya. Singkatnya, segala kejadian adalah campur tangan Tuhan yang
menuntun kita pada hal baik dalam kehidupan. Seseorang dengan kecenderungan spiritualitas
tinggi mampu menyelesaikan persoalan yang terjadi secara positif. Mereka mengembangkan
arti penderitaan sebagai suatu hikmah positif dari kejadian yang dialami. Spiritualitas
menuntun individu pada rasa keberhargaan diri, kehidupan terarah yang terlihat melalui
harapan, serta mampu mengembangkan hubungan antar manusia yang positif dan menciptakan
rasa syukur kepada Tuhan (Hamid, 2008). Kondisi ini akan menuntun lansia pada ego-integrity.
Untuk menjadi benar-benar bijaksana yaitu dengan mencintai Tuhan dan sesama
mereka sehingga mereka mencintai sesuatu yang baik dan benar. Buahnya adalah keajaiban
dan rasa syukur dalam menjalani setiap momen kehidupan. Seseorang yang hanya mencintai
diri sendiri dan dunia mungkin memiliki intelektual tinggi tetapi tidak akan pernah menjadi
bijaksana secara spiritual. Orang-orang seperti ini mungkin “bijaksana” di mata dunia tetapi
mereka tidak bisa benar-benar bijaksana. Dalam budaya kuno kebijaksanaan sering dikaitkan
dengan tidak hanya spiritualitas tetapi juga usia tua karena orang hanya mencapai potensi
mereka dengan melakukan perjalanan spiritual. Mereka bergerak dari cinta yang berpusat pada
diri sendiri ke cinta yang berpusat pada Tuhan dan tidak mementingkan diri sendiri (Thao,
2008). Ini membutuhkan proses seumur hidup sehingga kebijaksanaan sejati dikaitkan dengan
usia. Perkembangan spiritual pada lanjut usia menunjukkan potensi bagi semua orang untuk
tumbuh menuju keutuhan.
Referensi

Ardelt, M. (2003). Empirical assessment of a three dimensional wisdom scale. Research on


Aging, 25(3), 275–324. doi:10.1177/0164027503025003004.
Ardelt, M. (2004). Wisdom as expert knowledge system: A critical review of a contemporary
operationalization of an ancient concept. Human Development, 47, 257-285. doi:
10.1159/ 000079154
Basri , A. S. (2006). Kearifan dan Manifestasinya pada Tokoh-Tokoh Lanjut Usia. MAKARA,
SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 2, 70-78.

Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Teori kepribadian. Edisi ke 7. Diterjemahkan oleh: Handriatno.
Jakarta: Salemba Humanika.

Hamid, Y. (2008). Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Kallio, E. (2015). From causal thinking to wisdom and spirituality : some perspectives on a
growing research field in adult (cognitive) development. Approaching Religion, 5 (2),
27-41. doi:10.30664/ar.67572
Levenson, M. R., & Aldwin, C. (2013). The transpersonal in personal wisdom. Dalam M.
Ferrari & N. M. Weststrate (Eds.), The scientific study of personal wisdom: From
contemplative traditions to neuroscience (pp. 213–228). New York, NY: Springer.
Parker, Daniel W. (2013). The relationship between ego-integrity and death attitudes in older
adults. American Journal OF Applied Psychology, 2(1), 7-15.

Sahrani, Riana. (2019). Faktor-Faktor Karakteristik Kebijaksanaan Menurut Remaja . Jurnal


Psikologi Sosial, 17(1), 36-45. DOI: 10.7454/jps.2019.6

Santor, Daroy A & Zuroff, David C. (1994). Depressive symtoms: Effects of negative
affectivity and failing to accept the past. Journal of Personality Assessment, 63(2),
294-312.

Schweitzer, C. (2009). When “living stories” encounter the living word. Pastoral Psychology,
58(5-6), 629–640. doi:10.1007/s11089-009-0240-8
THAO N. LE (2008). Age differences in spirituality, mystical experiences and wisdom. Ageing
and Society, pp 383-411 doi:10.1017/S0144686X0700685X

Anda mungkin juga menyukai