Anda di halaman 1dari 10

Diversi Sebagai Bentuk Penyelesaian Perkara Pidana Anak

Oleh : Wahdatunnisa_B011211104

A. Latar Belakang

Sistem peradilan pidana Indonesia sedang memasuki fase perkembangan baru. Salah
satu bentuk reformasi hukum pidana Indonesia adalah pengaturan hukum pidana dari
sudut pandang keadilan dan dari sudut upaya untuk memperbaiki atau memulihkan
keadaan setelah peristiwa dan proses hukum pidana, yang disebut hukum restoratif,
yang adalah; Berbeda dengan hukum retributif (menekankan keadilan balas dendam)
dan restitutif. keadilan (menekankan keadilan dalam kompensasi).

Hal itu diatur dalam undang-undang no. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang memberikan kebebasan dan diskresi sebesar-besarnya dalam
segala peningkatan penyidikan; Kewenangan aparat penegak hukum yang menangani
perkara pidana untuk mengambil tindakan untuk melanjutkan atau menghentikan
perkara, kecuali tindakan menurut kebiasaan tertentu, diatur dalam Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak No. 11 Tahun 2012, khususnya Pasal 7(1)(1) bahwa
dalam penyidikan, penuntutan, dan penuntutan perkara anak di pengadilan negeri
harus dilakukan upaya pembalikan.

Penyelenggaraan perlindungan anak merupakan tugas dan tanggung jawab negara,


pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua, yang meliputi perlindungan di
bidang agama, pendidikan, kesehatan dan sosial (Haling, et.al, 2019). Anak-anak
merupakan bagian dari warga negara yang harus dilindungi karena merekalah
generasi bangsa yang akan terus memimpin bangsa Indonesia di masa depan. Selain
harus mendapat pendidikan formal seperti sekolah, setiap anak juga harus mendapat
pendidikan akhlak agar menjadi pribadi yang berguna bagi masyarakat dan negara.
Sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak yang diratifikasi pemerintah Indonesia
pada tahun 1990 melalui Keputusan Presiden Nomor 36 (Said, 2018), yang juga
diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan
Undang-Undang. . Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 dan Undang-Undang
Peradilan Pidana Anak No. 11 Tahun 2012 yang kesemuanya mengatur
prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu. non-diskriminasi, kepentingan terbaik
bagi anak, kelangsungan hidup dan pertumbuhan serta perkembangan serta
penghormatan terhadap partisipasi anak. .

Sistem peradilan pidana anak yang ada saat ini terkait dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012, mekanisme prosesnya masih harus melalui proses formal
layaknya orang dewasa, melalui proses penyidikan dan penyelidikan polisi, proses
penuntutan, dan proses persidangan. . Proses formal yang panjang ini telah
melahirkan banyak ide dari para peneliti dan penegak hukum untuk menemukan
pengobatan alternatif terbaik bagi anak-anak, dan menjauhkan mereka dari keadilan
formal.

Ketika anak-anak dirujuk ke proses pidana formal, perlakuan seperti penganiayaan,


penyiksaan atau perlakuan kejam dan tidak manusiawi lainnya sering terjadi. Memang
tidak semua anak dan tidak semua aparat penegak hukum berperilaku seperti ini,
namun secara rangkaian proses, sistem peradilan pidana (penyidikan, penuntutan,
persidangan) dapat melanggar hak-hak dasar anak.

B. Tinjauan Pustaka

Diversi adalah pengalihan disposisi perkara anak dari proses pidana ke proses
peradilan non pidana. Kamus Hukum Black menerjemahkan program diversi sebagai
program diversi, yaitu program yang mengarahkan tersangka pada program
masyarakat seperti penempatan kerja, pendidikan, dan lain-lain sebelum diadili, dan
apabila program tersebut dianggap berhasil, memungkinkan dia untuk tidak
menghadapi tuntutan hukum. tuntutan pidana.

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara yang melibatkan anak yang diduga
melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formil ke penyelesaian secara
damai antara tersangka/terdakwa/pelaku dengan korban dengan dibantu oleh keluarga
dan/atau masyarakat. pekerja sosial anak, polisi, jaksa atau hakim.

Tidak semua kasus kekerasan terhadap anak diselesaikan melalui jalur hukum formal.
Dalam hal ini alternatifnya adalah pendekatan yang bertujuan untuk memulihkan
keadaan yang berkeadilan, dimana permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum
dapat diselesaikan melalui diversi. Hal ini dilakukan demi kepentingan terbaik,
terutama demi masa depan anak dan keadilan bagi korban.
Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mencari win-win solution. Konsep
desentralisasi muncul dari kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap pelaku
kejahatan melalui sistem peradilan pidana tradisional lebih banyak merugikan
daripada menguntungkan. Mesin hukum menandai anak-anak sebagai pelaku
kejahatan yang dilakukannya. Oleh karena itu, sebaiknya anak sebagai pelaku
menghindari proses peradilan pidana yang normal dan beralih ke proses peradilan
pidana di luar sistem peradilan pidana.

Tulisan ini berangkat dari penelitian Dwi Rachma Ningtias dan teman-teman yang
berjudul Diversi Sebagai Bentuk Penyelesaian Perkara Pidana Anak yang tertuang
dalam Jurnal of Lex Generalis tahun 2020 Fakultas Hukum Universitas Muslim
Indonesia. Perbedaannya terletak pada fokus pembahasan implementasi diversi
sebagai penyelesaian perkara anak diluar peradilan di Pengadilan Negeri Sidrap pada
penulis sebelumnya sedangkan pada tulisan ini akan membahas diversi secara
generalis dan sistematis merujuk pada peraturan-peraturan dalam hukum positif.

Ada 3 jenis pelaksanaan diversi, yaitu:

1. Berorientasi kontrol sosial (social control orientation). Dalam hal ini aparat
penegak hukum menyerahkan anak pelaku pada pertanggungjawaban dan
pengawasan masyarakat.

2. Berorientasi pada social service. Yaitu pelayanan sosial oleh masyarakat


dengan melakukan fungsi pengawasan, perbaikan, dan menyediakan
pelayanan bagi pelaku dan keluarganya.

3. Berorientasi pada restorative justice. Yaitu memberi kesempatan kepada


pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya kepada korban dan
masyarakat. Semua pihak yang terlibat dipertemukan untuk bersama-sama
mencapai kesepakatan, apa tindakan terbaik untuk anak sebagai pelaku.

C. Pembahasan

Konsep anak pada hakikatnya berkaitan dengan persoalan batas usia


pertanggungjawaban pidana (Pertanggungjawaban Pidana/toerekening-van baarheid).
Dalam UU Pengadilan Anak, batas usia pertanggungjawaban pidana adalah 8-18
tahun. Adanya batasan usia dalam UU Pengadilan Anak diakui sebagai penambah
ketentuan KUHP yang sudah ada, yang sama sekali tidak mengatur batasan usia.
Batasan usia 8-18 tahun sesuai dengan Aturan Standar Penerapan Peradilan Anak
(Beijing Rules).

Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas 3


(tiga) syarat yaitu (Widodo, 2017):

1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari


pembuat.

2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu sikap psikis pelaku yang


berhubungan dengan kelakuannya, yaitu disengaja dan sikap kurang hati- hati
atau lalai.

3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan


pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat.

Pasal 11 SMRJJ (The Beijing Rules) dimuat tentang prinsip-prinsip diversi sebagai
berikut (Ernis, 2016) :

1. Ide diversi dilakukan setelah melihat pertimbangan yang layak, yaitu penegak
hukum (Polisi, Jaksa, hakim dan lembaga lainnya) diberi kewenangan untuk
menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan
pengadilan formal

2. Kewenangan untuk menentukan diversi diberikan kepada aparat penegak


hukum seperti polisi, jaksa hakim serta lembaga lainnya yang menangani
kasus anak-anak ini, menurut kebijakan mereka, sesuai dengan kriteria yang
ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing-masing dan juga
sesuai dengan prinsip prinsip yang terkandung di dalam The Beijing Rules ini.

3. Pelaksanaan ide diversi harus dengan persetujuan anak, atau orang tua atau
walinya, namun demikian keputusan untuk pelaksanaan ide diversi setelah ada
kajian oleh pejabat yang berwenang atas permohonan ide tersebut

4. Pelaksanaan ide diversi memerlukan kerja sama dan peran masyarakat,


sehubungan dengan adanya program diversi : pengawasan, bimbingan
sejahtera sementara, pemulihan dan ganti rugi kepada korban.
Tujuan dari adanya pelaksanaan diversi bagi anak antara lain (Wahyudi, 2011): 1.
Untuk menghindari anak dari penahanan;

2. Untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat;

3. Untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak, agar anak
bertanggung jawab atas perbuatannya;

4. Untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa
harus melalui proses formal, dan menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi
negatif dari proses peradilan.

Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan untuk menghindari efek negatif,


khususnya terhadap jiwa dan perkembangan anak yang berpotensi terjadi apabila
penyelesaian proses pidananya dilakukan melalui sistem peradilan pidana. Penerapan
ketentuan diversi merupakan hal yang penting, karena dengan diversi, maka hak- hak
asasi anak dapat lebih terjamin, dan menghindarkan anak yang berkonflik dengan
hukum dari stigma sebagai anak nakal, karena tindak pidana yang diduga melibatkan
seorang anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui proses hukum.

Konsep diversi dimulai dengan pendirian peradilan anak pada abad ke 19 yang
bertujuan untuk mengeluarkan anak dari proses peradilan orang dewasa agar anak
tidak lagi diperlakukan sama dengan orang dewasa. Prinsip utama pelaksanaan diversi
yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non-penal dan memberikan kesempatan
kepada seorang untuk memperbaiki kesalahan. Adanya pendekatan seperti ini,
diharapkan tidak terjadi lagi penyiksaan, pemaksaan ataupun tindak kekerasan
terhadap anak. Inilah yang menjadi tujuan utama pelaksanaan diversi. Melalui diversi,
hukum dapat ditegakkan tanpa melakukan tindak kekerasan dan menyakitkan dengan
memberi kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahannya tanpa
melalui hukuman pidana oleh negara yang mempunyai otoritas penuh.

Tidak semua perkara anak yang berkonflik dengan hukum dapat diselesaikan dengan
diversi. Perkara anak yang berkonflik dengan hukum yang ancamannya lebih dari 7
tahun tidak dapat diproses dengan diversi. Selain itu, perkara anak yang berkonflik
dengan hukum yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun apabila
merupakan pengulangan (recidive) juga tidak dapat diproses dengan diversi.
1. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 maka konsep diversi


telah diatur dalam undang-undang ini yaitu pada Bab II yang mengatur secara
khusus mengenai ketentuan diversi mulai dari Pasal 6 sampai dengan Pasal 15
artinya ada 10 pasal yang mengatur mengenai ketentuan diversi di semua
tahap pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan dalam upaya penyelesaian perkara anak yang berkonflik
dengan hukum.

Pengertian dan tujuan Diversi dalam Pasal 6 Diversi adalah pengalihan


penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar
peradilan pidana, dengan tujuan:

a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak

b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan

c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan

d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan

e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak

Diversi wajib di setiap tingkatan dalam Pasal 7 bahwa pada tingkat


penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri
wajib diupayakan diversi. Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang
dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun, bukan merupakan
pengulangan tindak pidana, dan dilakukan terhadap anak yang berusia 12
tahun keatas.

Proses Diversi dalam Pasal 8 bahwa proses diversi dilakukan melalui


musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau
walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial profesional
berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. Dalam hal diperlukan,
musyawarah tersebut dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/ atau
masyarakat. Proses Diversi wajib memperhatikan:

a. Kepentingan korban
b. Kesejahteraan Anak dan tanggung jawab Anak

c. Penghindaran stigma negatif

d. Penghindaran pembalasan

e. Keharmonisan masyarakat, dan

f. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Pasal 9 ayat 1, menyebutkan hal-hal yang harus dipertimbangkan oleh


Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi yaitu: a.
Kategori tindak pidana

b. Umur Anak

c. Hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas dan

d. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

Diversi tanpa persetujuan korban berdasarkan pasal 9 ayat 2 bahwa,


kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga
Anak korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk:

a. Tindak pidana yang berupa pelanggaran,

b. Tindak pidana ringan,

c. Tindak pidana tanpa korban, atau

d. Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
setempat.

Diversi tidak berhasil berdasarkan pasal 13 bahwa, proses peradilan pidana


anak dilanjutkan dalam hal proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan
atau kesepakatan diversi tidak dijalankan. Artinya apabila proses diversi tidak
menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan, maka
proses peradilan pidana anak dilanjutkan sesuai aturan formal melalui
tahapan-tahapan peradilan sesuai KUHAP.
2. Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan
Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun.

Pada dasarnya, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun


2015 berfungsi memberikan pedoman teknis pelaksanaan proses diversi dalam
sistem peraturan perundang-undangan yang merujuk kepada konsiderans
menimbang untuk melaksanakan ketentuan Pasal 15 dan Pasal 21 ayat (6)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Pelaksanaan
Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (dua belas) Tahun.

Maka dari ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 ini dapat
diketahui bahwa pedoman pelaksanaan dan tata cara koordinasi antara
lembaga penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan sebagai
pelaksana dalam implementasi diversi sudah jelas dijabarkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 ini. Sedangkan ketentuan-ketentuan
mengenai syarat dan tata cara diversi serta penanganan perkara anak yang
belum berumur 12 (dua belas) tahun selaras dengan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain:

a. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;

b. Penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;

c. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau


LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

d. Pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.

Proses Diversi tidak berhasil, jika:

a. Proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau

b. Kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan

c. Dalam hal proses Diversi tidak berhasil, proses peradilan pidana Anak
dilanjutkan.
d. Selama proses Diversi, Anak ditempatkan bersama orang tua/Wali.

e. Dalam hal Anak tidak memiliki orang tua/Wali maka Anak ditempatkan di
LPKS

Anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun tidak dapat diajukan ke sidang
pengadilan, karena berdasarkan pertimbangan sosiologis, psikologis, dan
pedagogis, Anak dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Oleh karena itu, terhadap Anak yang belum berumur 12 (dua
belas) tahun yang melakukan atau diduga melakukan tindak pidana dapat
diambil keputusan untuk dilakukan pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan oleh orang tua/Wali atau lembaga/instansi serta LPKS.

D. Kesimpulan

Pasal 28B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa anak
merupakan masa depan suatu bangsa. Melindungi kehidupan anak merupakan
kebutuhan negara untuk menjamin setiap anak mempunyai hak untuk hidup, tumbuh
dan berkembang. Dalam perkara pidana, seringkali anak terjerumus dalam
permasalahan hukum baik sebagai tersangka maupun korban kejahatan. Proses
peradilan pidana biasanya bersifat kaku dan memakan waktu penyelesaian yang lama,
oleh karena itu penyelesaian tindak pidana remaja perlu dilakukan dengan prinsip
mengutamakan kepentingan anak dan hak untuk memulihkan keadaan yang adil.

Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana


Anak (UU SPPA) dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 04 Tahun 2014
tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, proses
penyelesaian perkara anak dapat dilakukan di luar mekanisme pidana atau biasa
disebut sebagai Diversi. Menurut UU SPPA, Diversi adalah adalah pengalihan
penyelesaian perkara pidana anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar
peradilan pidana. Penyelesaian pidana anak melalui diversi dilakukan dengan
pendekatan restoratif.

Melalui pendekatan restoratif maka diperlukan suatu musyawarah dan melibatkan


semua pihak terkait antara lain, anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang
tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan (BAPAS), Pekerja Sosial (PEKSOS)
Profesional, perwakilan dan pihak terlibat lainnya agar tercapainya kesepakatan
diversi. Musyawarah Diversi adalah penyelesaian tindak pidana anak melalui konsep
dialog antara semua pihak sehingga menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting
dalam menyelesaikan perkara pidana dalam mengedepankan keadilan restoratif.
Dialog atau musyawarah adalah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam diversi
untuk mencapai keadilan restoratif, sehingga diperlukan fasilitator dalam melakukan
musyawarah diversi yakni hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk
menangani perkara anak yang bersangkutan.

Untuk mencapai keadilan restoratif, hal ini dapat diatasi dengan mewajibkan anak
yang berhadapan dengan hukum untuk ikut serta dalam lembaga pendidikan tertentu
dan kegiatan restoratif lainnya bagi anak dan korban, dalam pembinaan atau
peradilan, hak-hak anak tidak boleh diabaikan, sehingga bahwa pengolahan informal
pada akhirnya dapat terlaksana dengan baik apabila diimbangi dengan upaya-upaya
yang berpihak pada terciptanya sistem hukum. Prosedur konsiliasi multifaset dalam
kasus pidana anak juga dapat digambarkan sebagai suatu sistem dimana fasilitator
mengatur proses penyelesaian konflik antara para pihak untuk mencapai solusi yang
memuaskan guna memulihkan situasi yang adil. Tradisi dan mekanisme musyawarah
mufakat merupakan wujud nyata penegakan hukum yang telah lama ada di
masyarakat. Dengan demikian, inti dari keadilan restoratif adalah penyembuhan,
pembelajaran moral, partisipasi dan perhatian masyarakat, dialog, pengampunan,
tanggung jawab dan kompensasi, yang kesemuanya memandu proses restoratif dalam
arti restitusi yang berkeadilan.

E. Daftar Pustaka

Faisal. Nursariani Simatupang. 2018. Hukum Perlindungan Anak. CV. Pustaka Prima.
Medan https://pasca-umi.ac.id/index.php/jlg/article/view/190

Ningtias, Dwi Rachma, Said Sampara, Hardianto Djanggih, 2020, Diversi Sebagai
Bentuk Penyelesaian Perkara Pidana Anak, Journal of Lex Generalis (JLS) Volume 1,
Nomor 5

Anda mungkin juga menyukai