HPPA 3pidana (Penyelidikan - Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan Di Pengadilan) Berpotensi Melanggar Hak-Hak Dasar Anak (Setyaningrum, 2017) .
HPPA 3pidana (Penyelidikan - Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan Di Pengadilan) Berpotensi Melanggar Hak-Hak Dasar Anak (Setyaningrum, 2017) .
Oleh : Wahdatunnisa_B011211104
A. Latar Belakang
Sistem peradilan pidana Indonesia sedang memasuki fase perkembangan baru. Salah
satu bentuk reformasi hukum pidana Indonesia adalah pengaturan hukum pidana dari
sudut pandang keadilan dan dari sudut upaya untuk memperbaiki atau memulihkan
keadaan setelah peristiwa dan proses hukum pidana, yang disebut hukum restoratif,
yang adalah; Berbeda dengan hukum retributif (menekankan keadilan balas dendam)
dan restitutif. keadilan (menekankan keadilan dalam kompensasi).
Hal itu diatur dalam undang-undang no. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang memberikan kebebasan dan diskresi sebesar-besarnya dalam
segala peningkatan penyidikan; Kewenangan aparat penegak hukum yang menangani
perkara pidana untuk mengambil tindakan untuk melanjutkan atau menghentikan
perkara, kecuali tindakan menurut kebiasaan tertentu, diatur dalam Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak No. 11 Tahun 2012, khususnya Pasal 7(1)(1) bahwa
dalam penyidikan, penuntutan, dan penuntutan perkara anak di pengadilan negeri
harus dilakukan upaya pembalikan.
Sistem peradilan pidana anak yang ada saat ini terkait dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012, mekanisme prosesnya masih harus melalui proses formal
layaknya orang dewasa, melalui proses penyidikan dan penyelidikan polisi, proses
penuntutan, dan proses persidangan. . Proses formal yang panjang ini telah
melahirkan banyak ide dari para peneliti dan penegak hukum untuk menemukan
pengobatan alternatif terbaik bagi anak-anak, dan menjauhkan mereka dari keadilan
formal.
B. Tinjauan Pustaka
Diversi adalah pengalihan disposisi perkara anak dari proses pidana ke proses
peradilan non pidana. Kamus Hukum Black menerjemahkan program diversi sebagai
program diversi, yaitu program yang mengarahkan tersangka pada program
masyarakat seperti penempatan kerja, pendidikan, dan lain-lain sebelum diadili, dan
apabila program tersebut dianggap berhasil, memungkinkan dia untuk tidak
menghadapi tuntutan hukum. tuntutan pidana.
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara yang melibatkan anak yang diduga
melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formil ke penyelesaian secara
damai antara tersangka/terdakwa/pelaku dengan korban dengan dibantu oleh keluarga
dan/atau masyarakat. pekerja sosial anak, polisi, jaksa atau hakim.
Tidak semua kasus kekerasan terhadap anak diselesaikan melalui jalur hukum formal.
Dalam hal ini alternatifnya adalah pendekatan yang bertujuan untuk memulihkan
keadaan yang berkeadilan, dimana permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum
dapat diselesaikan melalui diversi. Hal ini dilakukan demi kepentingan terbaik,
terutama demi masa depan anak dan keadilan bagi korban.
Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mencari win-win solution. Konsep
desentralisasi muncul dari kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap pelaku
kejahatan melalui sistem peradilan pidana tradisional lebih banyak merugikan
daripada menguntungkan. Mesin hukum menandai anak-anak sebagai pelaku
kejahatan yang dilakukannya. Oleh karena itu, sebaiknya anak sebagai pelaku
menghindari proses peradilan pidana yang normal dan beralih ke proses peradilan
pidana di luar sistem peradilan pidana.
Tulisan ini berangkat dari penelitian Dwi Rachma Ningtias dan teman-teman yang
berjudul Diversi Sebagai Bentuk Penyelesaian Perkara Pidana Anak yang tertuang
dalam Jurnal of Lex Generalis tahun 2020 Fakultas Hukum Universitas Muslim
Indonesia. Perbedaannya terletak pada fokus pembahasan implementasi diversi
sebagai penyelesaian perkara anak diluar peradilan di Pengadilan Negeri Sidrap pada
penulis sebelumnya sedangkan pada tulisan ini akan membahas diversi secara
generalis dan sistematis merujuk pada peraturan-peraturan dalam hukum positif.
1. Berorientasi kontrol sosial (social control orientation). Dalam hal ini aparat
penegak hukum menyerahkan anak pelaku pada pertanggungjawaban dan
pengawasan masyarakat.
C. Pembahasan
Pasal 11 SMRJJ (The Beijing Rules) dimuat tentang prinsip-prinsip diversi sebagai
berikut (Ernis, 2016) :
1. Ide diversi dilakukan setelah melihat pertimbangan yang layak, yaitu penegak
hukum (Polisi, Jaksa, hakim dan lembaga lainnya) diberi kewenangan untuk
menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan
pengadilan formal
3. Pelaksanaan ide diversi harus dengan persetujuan anak, atau orang tua atau
walinya, namun demikian keputusan untuk pelaksanaan ide diversi setelah ada
kajian oleh pejabat yang berwenang atas permohonan ide tersebut
3. Untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak, agar anak
bertanggung jawab atas perbuatannya;
4. Untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa
harus melalui proses formal, dan menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi
negatif dari proses peradilan.
Konsep diversi dimulai dengan pendirian peradilan anak pada abad ke 19 yang
bertujuan untuk mengeluarkan anak dari proses peradilan orang dewasa agar anak
tidak lagi diperlakukan sama dengan orang dewasa. Prinsip utama pelaksanaan diversi
yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non-penal dan memberikan kesempatan
kepada seorang untuk memperbaiki kesalahan. Adanya pendekatan seperti ini,
diharapkan tidak terjadi lagi penyiksaan, pemaksaan ataupun tindak kekerasan
terhadap anak. Inilah yang menjadi tujuan utama pelaksanaan diversi. Melalui diversi,
hukum dapat ditegakkan tanpa melakukan tindak kekerasan dan menyakitkan dengan
memberi kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahannya tanpa
melalui hukuman pidana oleh negara yang mempunyai otoritas penuh.
Tidak semua perkara anak yang berkonflik dengan hukum dapat diselesaikan dengan
diversi. Perkara anak yang berkonflik dengan hukum yang ancamannya lebih dari 7
tahun tidak dapat diproses dengan diversi. Selain itu, perkara anak yang berkonflik
dengan hukum yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun apabila
merupakan pengulangan (recidive) juga tidak dapat diproses dengan diversi.
1. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
a. Kepentingan korban
b. Kesejahteraan Anak dan tanggung jawab Anak
d. Penghindaran pembalasan
b. Umur Anak
d. Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
setempat.
Maka dari ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 ini dapat
diketahui bahwa pedoman pelaksanaan dan tata cara koordinasi antara
lembaga penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan sebagai
pelaksana dalam implementasi diversi sudah jelas dijabarkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 ini. Sedangkan ketentuan-ketentuan
mengenai syarat dan tata cara diversi serta penanganan perkara anak yang
belum berumur 12 (dua belas) tahun selaras dengan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
c. Dalam hal proses Diversi tidak berhasil, proses peradilan pidana Anak
dilanjutkan.
d. Selama proses Diversi, Anak ditempatkan bersama orang tua/Wali.
e. Dalam hal Anak tidak memiliki orang tua/Wali maka Anak ditempatkan di
LPKS
Anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun tidak dapat diajukan ke sidang
pengadilan, karena berdasarkan pertimbangan sosiologis, psikologis, dan
pedagogis, Anak dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Oleh karena itu, terhadap Anak yang belum berumur 12 (dua
belas) tahun yang melakukan atau diduga melakukan tindak pidana dapat
diambil keputusan untuk dilakukan pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan oleh orang tua/Wali atau lembaga/instansi serta LPKS.
D. Kesimpulan
Pasal 28B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa anak
merupakan masa depan suatu bangsa. Melindungi kehidupan anak merupakan
kebutuhan negara untuk menjamin setiap anak mempunyai hak untuk hidup, tumbuh
dan berkembang. Dalam perkara pidana, seringkali anak terjerumus dalam
permasalahan hukum baik sebagai tersangka maupun korban kejahatan. Proses
peradilan pidana biasanya bersifat kaku dan memakan waktu penyelesaian yang lama,
oleh karena itu penyelesaian tindak pidana remaja perlu dilakukan dengan prinsip
mengutamakan kepentingan anak dan hak untuk memulihkan keadaan yang adil.
Untuk mencapai keadilan restoratif, hal ini dapat diatasi dengan mewajibkan anak
yang berhadapan dengan hukum untuk ikut serta dalam lembaga pendidikan tertentu
dan kegiatan restoratif lainnya bagi anak dan korban, dalam pembinaan atau
peradilan, hak-hak anak tidak boleh diabaikan, sehingga bahwa pengolahan informal
pada akhirnya dapat terlaksana dengan baik apabila diimbangi dengan upaya-upaya
yang berpihak pada terciptanya sistem hukum. Prosedur konsiliasi multifaset dalam
kasus pidana anak juga dapat digambarkan sebagai suatu sistem dimana fasilitator
mengatur proses penyelesaian konflik antara para pihak untuk mencapai solusi yang
memuaskan guna memulihkan situasi yang adil. Tradisi dan mekanisme musyawarah
mufakat merupakan wujud nyata penegakan hukum yang telah lama ada di
masyarakat. Dengan demikian, inti dari keadilan restoratif adalah penyembuhan,
pembelajaran moral, partisipasi dan perhatian masyarakat, dialog, pengampunan,
tanggung jawab dan kompensasi, yang kesemuanya memandu proses restoratif dalam
arti restitusi yang berkeadilan.
E. Daftar Pustaka
Faisal. Nursariani Simatupang. 2018. Hukum Perlindungan Anak. CV. Pustaka Prima.
Medan https://pasca-umi.ac.id/index.php/jlg/article/view/190
Ningtias, Dwi Rachma, Said Sampara, Hardianto Djanggih, 2020, Diversi Sebagai
Bentuk Penyelesaian Perkara Pidana Anak, Journal of Lex Generalis (JLS) Volume 1,
Nomor 5