Anda di halaman 1dari 3

Analisis Alat Bukti Dalam Hukum Pidana Menggunakan Pandangan

Psikologi Hukum

Oleh Wahdatunnisa_B011211104

KUHAP di Indonesia yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Hukum


Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981. Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981 merupakan landasan dasar hukum
acara pidana yang mengatur tentang tata tertib administrasi atau pemaksaan.
Instansi Pemerintah Dalam menyidik ​suatu perkara pidana, hakim melihat
persidangan, namun tanpa bukti, hakim tidak dapat mengetahui atau memahami
apakah suatu kejahatan telah terjadi dan apakah terdakwa benar-benar melakukan
kejahatan tersebut. kejahatan atau tidak. Oleh karena itu, pembuktian sangat
penting bagi hakim untuk menemukan kebenaran materiil secara pasti.

Dalam Pasal 183 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 dinyatakan : “hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwah yang melakukannya” dalam
pasal 184 KUHAP menyatakan :

(1) Alat bukti yang sah adalah :

a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.

Salah satu alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP adalah keterangan
seorang saksi, yaitu dalam suatu sidang pidana sebagai alat bukti berupa
keterangan tentang perkara pidana yang didengar atau dilihatnya sendiri dan yang
menjelaskannya. alasan untuk itu. untuk kasus pidana. pengetahuan Selain itu,
Pasal 1 (28) KUHAP dengan jelas menyatakan bahwa pendapat ahli adalah
keterangan yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai pengetahuan khusus
yang diperlukan untuk penyidikan suatu perkara. Pengetahuan ahli tidak tersedia
bagi semua orang, karena pada hakikatnya merupakan milik individu tertentu.

Jika peran psikolog forensik dikaitkan dengan § 184(1)(b) KUHAP, maka hal
tersebut dapat dijadikan acuan untuk mencari aspek positif dari kasus pidana yang
ada saat ini. Karena kepiawaian psikolog dalam memeriksa kondisi penyerang dan
korban, maka menganalisis penampilan dan perilaku psikologis korban dan
penyerang selama penyelidikan dapat dijadikan alat bukti yang sangat kuat.
Analisis psikolog forensik dapat dijadikan sebagai ahli, karena dalam hal ini
psikolog forensik menggunakan analisis terhadap orang-orang yang menjadi
korban atau tersangka kejahatan untuk mencari aspek positifnya sehingga hakim
dapat menentukan siapa adalah siapa. . siapa pelakunya dan siapa sebenarnya
korbannya. Korban diidentifikasi dengan keahlian psikolog forensik yang
diketahui memiliki keahlian di bidang psikologi forensik untuk memudahkan
pelaksanaan tes.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keterangan psikolog forensik


merupakan salah satu alat bukti yang dapat dipadukan dengan Pasal 184 (1) (b)
KUHAP, dimana salah satu alat bukti tersebut juga memuat pendapat ahli. ,
karena psikolog forensik bisa menyampaikannya. keterangan kepada tersangka
tindak pidana, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku, untuk
mempergunakan keterangan yang dimilikinya untuk mencari kebenaran, sehingga
memudahkan hakim dalam memutuskan siapa yang patut dipidana dalam suatu
perkara pidana dan menjatuhkan hukuman yang setimpal. hukuman. terhadap
kejahatan dan/atau pelanggaran yang dilakukan.

Dalam bidang hukum, serta dalam keperluan menganalisis dan memimpin


kejahatan, diperlukan adanya penelitian psikologi yang berkaitan dengan hukum.
Mirip dengan hubungan antara hukum dan psikologi, maka dapat disebut
“psikologi dan hukum”, karena psikologi dalam hal ini mencoba menjelaskan
proses pencarian kebenaran dalam penyidikan tindak pidana dan menjadi salah
satu alat bukti dalam penyidikan. dalam perkara pidana dan penetapan sanksi
hukum yang bersangkutan, serta pelaku dapat diberikan alasan untuk
membebaskannya atau bahkan dijadikan bahan pemberat dalam penuntutan
pidana.

Dalam penyidikan suatu perkara pidana, peranan psikolog juga diperlukan,


dengan mempertimbangkan pengaruh saksi terhadap perkara tersebut, sehingga
dapat menjelaskan perkara pidana tersebut dengan jelas dan sesuai dengan
keadaan yang ada serta berusaha menghindari adanya tindak pidana. . perbedaan
fakta yang sebenarnya, karena perbedaan tersebut dapat terjadi karena (Ancok,
1995) menyisakan: 1. Keterbatasan pengetahuan saksi dalam mengolah,
menyimpan dan mengingat informasi. Salah satu permasalahan yang sering terjadi
biasanya adalah posisi penyidik ​dalam menganalisis kebenaran keterangan saksi,
sehingga menimbulkan kontradiksi antara fakta kejadian dan penggalian bukti
tentang latar belakang tindak pidana, sehingga menimbulkan stereotip negatif
pada diri para saksi. , menimbulkan rasa takut yang berlebihan. bahwa saksi tidak
mampu atau bahkan tidak mau mengatakan yang sebenarnya. kejahatan apa yang
sebenarnya terjadi. Dalam hal ini, diperlukan psikolog yang berkualifikasi untuk
melakukan penyelidikan untuk menentukan fakta dan memperoleh hubungan yang
jelas antara keadaan kejahatan dan keterangan para saksi.

Psikologi memegang peranan penting dalam hukum, khususnya hukum pidana.


Informasi psikolog mempengaruhi perkembangan persidangan. Psikologi
persidangan dapat memberikan kejelasan dan membantu hakim menemukan titik
terang dalam perkara yang sedang berjalan. Pasal 184 KUHAP menyatakan
bahwa alat bukti yang dianggap sah di pengadilan adalah 5 (lima) alat bukti yang
menjadi acuan dalam menentukan sifat kejahatan dan yang pidananya kemudian
ditentukan oleh hakim.

Psikologi membantu proses peradilan dengan membantu menganalisis keadaan


psikologis para pihak dalam perkara pidana, baik pelaku maupun korban.
Informasi yang diberikan oleh psikolog dianggap sebagai bukti, yaitu keterangan
ahli. Psikologi juga berperan dalam proses investigasi, memperhatikan dan
mempelajari kesehatan mental dan perilaku penjahat, saksi dan korban. Tujuannya
untuk memudahkan proses penyidikan dalam mengungkap keadaan dan
menemukan pelaku sebenarnya. Mengingat pentingnya kehadiran psikologi
dalam dunia hukum, khususnya dalam proses pidana, yang membantu
mengungkap perkara pidana yang sedang berlangsung pada setiap tahapannya,
maka pendapat ahli para psikolog sudah selayaknya mendapat perlindungan
hukum. Bahkan, selain pendapat, psikolog juga mendapat perlindungan hukum
untuk menghindari situasi yang mungkin menimpa psikolog yang mempengaruhi
kesaksiannya di pengadilan. Hal ini mendukung dan memperkuat posisi
informasi psikologis, mengingat pentingnya informasi psikologis untuk
mengidentifikasi titik terang dan menemukan suatu kasus pidana yang sedang
berjalan.

Referensi

Prasetyo, Iwan Kurniawan, Humaira Azzahra, dan Khazanatul Huda “Studi


Analisis : Partisipasi Ilmu Psikologi Dalam Peradilan Pidana”
https://issuu.com/alsalcuniversitasandalas/docs/studi_analisis_terhadap_sistem_p
emilu_proposional_/s/22944016

Anda mungkin juga menyukai