Anda di halaman 1dari 32

KEPERAWATAN EMERGENCY

Element 1 : Melakukan pengkajian, analisis dan menentukan


perncanaan asuhan keperawatan
1. Apa yang dimaksud dengan pengkajian triage dan apa tujuannya, mohon dijelaskan !
Pengkajian triase adalah proses evaluasi cepat yang dilakukan pada pasien untuk menentukan
prioritas penanganan berdasarkan tingkat kegawatdaruratan dan kebutuhan medis mereka.
Tujuan utama dari pengkajian triase adalah untuk mengidentifikasi pasien yang membutuhkan
perawatan segera dan memberikan mereka perhatian medis yang tepat dalam waktu yang
sesingkat mungkin.

Beberapa tujuan kunci dari pengkajian triase adalah sebagai berikut:

1. Menentukan tingkat kegawatdaruratan: Pengkajian triase membantu dalam menentukan tingkat


keparahan kondisi pasien. Dengan mengumpulkan informasi tentang gejala, tanda-tanda vital,
dan riwayat medis pasien, petugas triase dapat menentukan apakah pasien menghadapi ancaman
langsung terhadap kehidupan atau membutuhkan perawatan segera.
2. Mengalokasikan sumber daya dengan efektif: Dalam situasi darurat di lingkungan
perawatan kesehatan yang sibuk, sumber daya seperti tenaga medis, peralatan, dan fasilitas
tersedia dalam jumlah terbatas. Melalui pengkajian triase, pasien dapat dikelompokkan
berdasarkan tingkat kegawatdaruratan mereka, sehingga sumber daya dapat dialokasikan dengan
efektif, dengan memprioritaskan pasien yang paling membutuhkan perhatian segera.
3. Mengurangi waktu penanganan: Dengan menilai dan mengurutkan pasien berdasarkan tingkat
kegawatdaruratan, pengkajian triase membantu dalam mengurangi waktu antara kedatangan
pasien dan dimulainya perawatan yang tepat. Pasien dengan kondisi yang membutuhkan
penanganan segera dapat segera diberikan perhatian medis, sementara pasien dengan kondisi
yang kurang darurat mungkin harus menunggu lebih lama.
4. Memaksimalkan hasil pasien: Melalui pengkajian triase yang efektif, pasien dengan kondisi
serius atau mengancam jiwa dapat segera diidentifikasi dan mendapatkan perawatan prioritas.
Hal ini membantu dalam meningkatkan hasil pasien, meminimalkan risiko komplikasi, dan
meningkatkan peluang pemulihan yang sukses.

Pengkajian triase dilakukan dalam berbagai pengaturan perawatan kesehatan darurat, seperti
Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau area bencana. Prosedur pengkajian triase dapat berbeda
tergantung pada sistem triase yang digunakan dan kondisi spesifik pasien. Tujuan utamanya tetap
sama, yaitu mengidentifikasi kegawatdaruratan pasien dan memberikan perawatan segera kepada
mereka yang membutuhkannya.
2. Bagaimana menentukan diagnose, rencana dan evaluasi asuhan keperawatan di Ruang
IGD
Menentukan diagnosis, rencana, dan evaluasi asuhan keperawatan di Ruang Instalasi Gawat
Darurat (IGD) melibatkan proses yang sistematis untuk mengidentifikasi masalah kesehatan
pasien, merencanakan intervensi yang tepat, dan mengevaluasi respons terhadap perawatan yang
diberikan. Berikut adalah langkah-langkah umum yang terlibat dalam proses tersebut:
1. Pengumpulan data: Petugas keperawatan di IGD akan mengumpulkan data melalui wawancara
dengan pasien, pemeriksaan fisik, dan tinjauan riwayat medis. Data ini mencakup gejala, riwayat
penyakit, riwayat obat-obatan, dan informasi lain yang relevan dengan kondisi pasien.
2. Analisis data: Data yang dikumpulkan dievaluasi dan dianalisis untuk mengidentifikasi masalah
kesehatan yang mungkin dialami oleh pasien. Proses ini melibatkan pengenalan pola,
pengklasifikasian data, dan penentuan diagnosis keperawatan.
3. Menentukan diagnosis keperawatan: Berdasarkan analisis data, diagnosis keperawatan
ditentukan. Diagnosis keperawatan menggambarkan masalah kesehatan atau kebutuhan pasien
yang dapat ditangani melalui intervensi keperawatan. Contoh diagnosis keperawatan yang umum
di IGD meliputi "Gangguan jalan napas", "Nyeri akut", atau "Gangguan sirkulasi".
4. Merencanakan intervensi: Setelah diagnosis keperawatan ditentukan, rencana asuhan
keperawatan dibuat. Rencana ini mencakup langkah-langkah dan intervensi yang diperlukan
untuk mengatasi masalah kesehatan pasien. Hal ini meliputi pemberian obat-obatan, perawatan
luka, manajemen nyeri, pemantauan tanda-tanda vital, atau tindakan lain yang diperlukan.
5. Melaksanakan intervensi: Petugas keperawatan melaksanakan rencana asuhan keperawatan
dengan memberikan perawatan dan intervensi yang direncanakan kepada pasien. Hal ini
mencakup pemberian obat-obatan, perawatan luka, tindakan medis, dan dukungan psikososial
kepada pasien dan keluarganya.
6. Evaluasi respons: Setelah intervensi dilakukan, evaluasi respons pasien dilakukan untuk
mengevaluasi efektivitas perawatan yang diberikan. Petugas keperawatan akan memantau tanda-
tanda vital, memeriksa perubahan gejala, dan melibatkan pasien dalam mengevaluasi perasaan
dan kepuasan mereka terhadap perawatan yang diberikan.
7. Revisi dan penyesuaian: Jika respons pasien tidak sesuai dengan harapan atau ada perubahan
kondisi, rencana asuhan keperawatan dapat direvisi dan disesuaikan. Langkah-langkah baru
dapat ditambahkan atau intervensi yang ada dapat diubah untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Proses ini merupakan siklus yang berkelanjutan di Ruang IGD, karena kondisi pasien dapat
berubah dengan cepat dan respons terhadap perawatan harus dievaluasi secara berkala. Penting
untuk melibatkan komunikasi yang baik antara petugas keperawatan, dokter, dan tim perawatan
lainnya untuk memastikan perawatan yang koordinatif dan efektif bagi pasien di Ruang IGD.

ELEMEN 2 : Melakukan komunikasi interpersonal dalam melaksanakan tindakan


keperawatan

1. Apakah yang dilakukan dalam pre dan post conference


Pre-conference dan post-conference merupakan dua komponen penting dalam praktik
keperawatan di lingkungan rumah sakit atau unit perawatan. Berikut adalah penjelasan mengenai
kedua konferensi tersebut:
1. Pre-conference (konferensi pra-penugasan): Pre-conference adalah pertemuan yang dilakukan
sebelum dimulainya shift atau penugasan keperawatan. Pertemuan ini melibatkan anggota tim
perawatan yang terlibat dalam penanganan pasien, seperti perawat, dokter, dan tenaga medis
lainnya. Beberapa kegiatan yang biasanya dilakukan dalam pre-conference meliputi:
 Pertukaran informasi: Para anggota tim perawatan berbagi informasi tentang pasien yang akan
mereka tangani selama shift tersebut. Informasi ini meliputi diagnosis, riwayat medis, kondisi
saat ini, rencana perawatan, dan kebutuhan khusus pasien. Hal ini memungkinkan semua anggota
tim untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang pasien dan mempersiapkan
rencana perawatan yang efektif.
 Diskusi rencana perawatan: Anggota tim perawatan berdiskusi tentang rencana perawatan yang
akan dilakukan untuk setiap pasien. Mereka membahas tujuan perawatan, intervensi yang
diperlukan, pengelolaan nyeri, administrasi obat, dan pemantauan yang diperlukan. Diskusi ini
membantu dalam pemahaman yang komprehensif tentang perawatan yang diberikan kepada
pasien.
 Identifikasi risiko dan strategi keamanan: Tim perawatan membahas risiko potensial yang
mungkin dihadapi oleh pasien dan mengidentifikasi strategi keamanan yang tepat untuk
mencegah komplikasi atau kejadian yang tidak diinginkan. Ini melibatkan identifikasi risiko
jatuh, pengelolaan infeksi, dan tindakan pencegahan lainnya.
 Pembagian tugas: Tim perawatan membahas pembagian tugas dan tanggung jawab masing-
masing anggota tim. Hal ini memastikan bahwa tugas dan tanggung jawab ditugaskan secara
efisien, dengan mempertimbangkan keahlian dan keterampilan individu.
2. Post-conference (konferensi pasca-penugasan): Post-conference adalah pertemuan yang
dilakukan setelah selesai shift atau penugasan keperawatan. Pertemuan ini melibatkan anggota
tim perawatan yang terlibat dalam penanganan pasien selama shift tersebut. Beberapa kegiatan
yang biasanya dilakukan dalam post-conference meliputi:
 Evaluasi pasien: Tim perawatan membahas respons pasien terhadap perawatan yang diberikan
selama shift tersebut. Mereka membahas perubahan kondisi pasien, respon terhadap intervensi,
dan hasil yang dicapai. Evaluasi ini membantu dalam memahami efektivitas perawatan yang
diberikan dan membuat keputusan untuk perawatan selanjutnya.
 Pertukaran informasi: Anggota tim perawatan berbagi informasi mengenai perawatan yang telah
dilakukan, tindakan yang diambil, dan observasi penting yang ditemukan selama shift. Hal ini
memungkinkan kelancaran transisi perawatan antara shift dan memastikan kontinuitas perawatan
yang baik bagi pasien.
 Evaluasi kerja tim: Tim perawatan mengadakan evaluasi singkat tentang kerja tim selama shift
tersebut. Mereka membahas kolaborasi, komunikasi, dan koordinasi antara anggota tim. Evaluasi
ini membantu dalam meningkatkan kerja tim dan mengidentifikasi area yang memerlukan
perbaikan.
 Pembelajaran dan pengembangan: Post-conference juga merupakan kesempatan untuk
pembelajaran dan pengembangan. Tim perawatan dapat berbagi pengetahuan baru, temuan
penelitian, atau kasus-kasus menarik yang muncul selama shift. Diskusi ini membantu dalam
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan anggota tim.

Pre-conference dan post-conference sangat penting untuk memastikan komunikasi yang efektif,
kolaborasi yang baik, dan kontinuitas perawatan yang optimal dalam praktik keperawatan di
rumah sakit atau unit perawatan.
2. Bagaimana cara perawat melaporkan nilai hasil kritis di IGD
Perawat memiliki peran penting dalam melaporkan nilai hasil kritis (critical values) di Instalasi
Gawat Darurat (IGD) untuk memastikan penanganan yang tepat dan segera terhadap pasien.
Berikut adalah langkah-langkah umum yang dapat diikuti oleh perawat dalam melaporkan nilai
hasil kritis di IGD:

1. Ketahui nilai hasil kritis: Perawat harus terlebih dahulu mengetahui nilai hasil kritis untuk
berbagai parameter atau tes laboratorium yang umumnya digunakan di IGD. Nilai hasil kritis
ditentukan berdasarkan batasan klinis dan dapat bervariasi antara rumah sakit atau lembaga
kesehatan. Biasanya, ada standar yang telah ditetapkan untuk masing-masing parameter, seperti
hasil tes darah, elektrolit, atau fungsi organ tertentu. Pastikan untuk mengacu pada kebijakan dan
pedoman rumah sakit Anda terkait nilai hasil kritis.
2. Periksa hasil pemeriksaan: Saat pasien menjalani pemeriksaan laboratorium atau tes diagnostik,
perawat bertanggung jawab untuk memantau hasil tersebut. Begitu hasilnya tersedia, perawat
harus memeriksa nilai-nilai tersebut secara seksama untuk mencari adanya hasil yang masuk
dalam kategori nilai hasil kritis.
3. Verifikasi hasil: Jika perawat menemukan nilai hasil yang sesuai dengan kategori nilai hasil
kritis, langkah berikutnya adalah memverifikasi hasil tersebut. Pastikan bahwa hasil sudah
diverifikasi dan tidak ada kesalahan dalam pelabelan atau interpretasi hasil. Perawat harus
melibatkan tim laboratorium atau petugas yang bertanggung jawab atas pemeriksaan untuk
memastikan keakuratan hasil.
4. Identifikasi pasien dan data: Perawat harus mengidentifikasi pasien dengan benar dan
memastikan bahwa data pasien, termasuk nama, nomor rekam medis, dan nomor ruangan, sesuai
dengan hasil yang kritis. Hal ini penting untuk menghindari kesalahan identifikasi dan
memastikan bahwa hasil tersebut terkait dengan pasien yang tepat.
5. Laporkan nilai hasil kritis: Setelah memverifikasi hasil dan data pasien, perawat harus segera
melaporkan nilai hasil kritis kepada dokter atau petugas medis yang bertanggung jawab terhadap
pasien tersebut. Komunikasikan temuan Anda dengan jelas dan sampaikan informasi yang
relevan, seperti nilai hasil, waktu pengambilan sampel, serta tindakan atau intervensi yang sudah
diambil, jika ada.
6. Dokumentasikan laporan: Pastikan untuk mendokumentasikan pelaporan nilai hasil kritis dalam
catatan pasien sesuai dengan kebijakan rumah sakit atau unit perawatan. Dokumentasi yang
akurat dan lengkap membantu dalam melacak komunikasi yang telah dilakukan dan memberikan
informasi penting bagi tim perawatan di masa mendatang.

Perawat harus mengikuti prosedur dan kebijakan yang ditetapkan oleh rumah sakit atau unit
perawatan terkait pelaporan nilai hasil kritis di IGD. Penting untuk menjaga komunikasi yang
efektif, respons cepat, dan kolaborasi yang baik antara perawat, dokter, dan tim medis lainnya
dalam mengatasi nilai hasil kritis dan memberikan perawatan yang tepat kepada pasien.
3. Apa saja yang harus diperhatikan dalam melakukan komunikasi dengan profesi lain
dalam rangka kolaborasi

Dalam melakukan komunikasi dengan profesi lain dalam rangka kolaborasi, ada beberapa hal
yang harus diperhatikan agar kolaborasi berjalan lancar dan efektif. Berikut adalah beberapa poin
penting yang perlu diperhatikan:
1. Keterbukaan dan saling menghormati: Komunikasi yang baik membutuhkan keterbukaan dan
saling menghormati antara semua pihak yang terlibat. Dengarkan dengan seksama pendapat dan
pandangan dari anggota profesi lain, dan hindari sikap defensif atau meremehkan pendapat
mereka. Menghargai keahlian dan pengalaman yang mereka bawa dapat memperkuat kolaborasi.
2. Klarifikasi peran dan tanggung jawab: Penting untuk memahami peran dan tanggung jawab
masing-masing profesi yang terlibat dalam kolaborasi. Pastikan ada pemahaman yang jelas
tentang apa yang diharapkan dari setiap anggota tim, serta batasan dan wewenang masing-
masing. Klarifikasi ini dapat membantu menghindari kebingungan dan mengoptimalkan
kontribusi semua pihak.
3. Komunikasi terbuka dan jelas: Sampaikan informasi dengan jelas, terutama saat memberikan
instruksi atau melaporkan temuan. Gunakan bahasa yang mudah dipahami dan hindari jargon
atau istilah teknis yang tidak dikenal oleh anggota tim lainnya. Pastikan bahwa pesan yang
disampaikan dipahami dengan benar oleh semua pihak.
4. Mendengarkan dengan aktif: Penting untuk mendengarkan dengan aktif saat berkomunikasi
dengan anggota profesi lain. Dengarkan secara seksama dan berikan perhatian penuh pada apa
yang dikatakan oleh orang lain. Jika ada ketidakjelasan atau kebingungan, minta penjelasan lebih
lanjut. Praktikkan kemampuan mendengarkan yang baik untuk memastikan pemahaman yang
baik antara semua pihak.
5. Berbagi informasi yang relevan: Pastikan untuk berbagi informasi yang relevan dengan anggota
profesi lain yang terlibat dalam kolaborasi. Informasi ini dapat mencakup hasil pemeriksaan,
riwayat medis, observasi penting, atau rencana perawatan. Komunikasi yang efektif tentang
informasi yang relevan memungkinkan semua pihak untuk membuat keputusan yang
terinformasi dan bekerja secara kolaboratif dalam perawatan pasien.
6. Komunikasi terbuka dalam mengekspresikan kekhawatiran: Jika ada kekhawatiran atau masalah
terkait perawatan pasien, penting untuk berkomunikasi secara terbuka. Jangan ragu untuk
menyampaikan kekhawatiran Anda dan diskusikan solusi potensial dengan anggota tim lainnya.
Hal ini membantu dalam memastikan keamanan dan kualitas perawatan pasien.
7. Dokumentasi yang akurat: Penting untuk mendokumentasikan semua komunikasi dan kolaborasi
yang terjadi dalam perawatan pasien. Dokumentasi yang akurat dan lengkap memungkinkan
pemantauan yang efektif, melacak keputusan yang dibuat, dan memberikan konteks bagi anggota
tim lainnya yang terlibat dalam perawatan pasien di masa mendatang.

Melalui komunikasi yang efektif dan kolaborasi yang baik dengan profesi lain, tim perawatan
dapat bekerja bersama secara sinergis untuk memberikan perawatan yang terintegrasi dan
optimal bagi pasien.

ELEMEN 3 : MENERAPKAN PRINSIP ETIKA DALAM KEPERAWATAN


1. Sebutkan contoh dilemma etik yang ada diruang rawat ?
Di ruang rawat IGD, ada beberapa contoh dilemma etik yang dapat muncul dalam situasi darurat
dan memerlukan pengambilan keputusan yang sulit. Beberapa contoh dilema etik yang mungkin
timbul di ruang rawat IGD adalah:

1. Pemilihan pasien: Dalam situasi di mana terdapat keterbatasan sumber daya yang signifikan atau
jumlah pasien yang melebihi kapasitas, mungkin perlu memilih pasien mana yang akan
mendapatkan perawatan terlebih dahulu. Keputusan semacam ini dapat menimbulkan dilema
moral karena mempertimbangkan prinsip keadilan, kesetaraan, dan manfaat yang maksimal.
2. Rujukan pasien: Ketika pasien membutuhkan perawatan yang tidak tersedia di IGD dan perlu
dirujuk ke fasilitas atau spesialis lain, terkadang terdapat kendala seperti jarak, keterbatasan
angkutan, atau kekurangan tempat tidur. Dalam hal ini, perawat mungkin menghadapi dilema
antara mempertahankan pasien di IGD untuk perawatan lebih lanjut atau merujuk pasien dengan
risiko atau penundaan yang mungkin.
3. Pengambilan keputusan pada pasien tak sadar: Ketika pasien tak sadar atau tidak dapat
memberikan persetujuan informir, ada pertanyaan etis mengenai bagaimana mengambil
keputusan yang terbaik untuk mereka. Situasi seperti ini dapat memicu dilema etik mengenai
pengambilan keputusan, seperti apakah akan melibatkan keluarga atau menggunakan instruksi
sebelumnya yang tertulis dalam surat kuasa medis.
4. Penarikan atau penghentian terapi: Dalam kasus di mana pasien mengalami kondisi kritis atau
tak tersembuhkan, dilema etik mungkin timbul saat mempertimbangkan penarikan atau
penghentian terapi. Keputusan seperti ini melibatkan pertimbangan tentang kualitas hidup pasien,
harapan pemulihan, dan prinsip keadilan dalam penggunaan sumber daya medis.
5. Pertanyaan hukum dan etika seputar informasi pasien: Dalam keadaan darurat, terkadang
perawat dihadapkan pada pertanyaan hukum dan etika tentang pengungkapan informasi pasien
kepada keluarga atau pihak yang berkepentingan. Pertimbangan mengenai kerahasiaan, privasi,
dan kebijakan rumah sakit menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan.

Penting untuk mencatat bahwa dilema etik dapat bervariasi tergantung pada konteks dan situasi
khusus di IGD. Dalam setiap dilema etik, penting untuk melibatkan tim etik atau konsultan etik,
serta merujuk pada pedoman etika, kebijakan rumah sakit, dan prinsip-prinsip etis yang berlaku
untuk membantu dalam pengambilan keputusan yang tepat.
ELEMEN 4 :MENERAPKAN PRINSIP-PRINSIP PENCEGAHAN INFEKSI RUMAH SAKIT
1. JELASKAN CARA MENGIDENTIFIKASI KONDISI – KONDISI RESIKO TERJADINYA
INFEKSI NOSOKOMIAL DI IGD ?
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang muncul setidaknya 48 jam setelah masuk ke rumah sakit
atau fasilitas kesehatan lainnya, dan tidak ada gejala penyakit tersebut pada saat pasien masuk ke
fasilitas tersebut. Infeksi ini biasanya disebabkan oleh kuman atau mikroorganisme patogen yang
menyebar di rumah sakit. Di IGD (Instalasi Gawat Darurat), ada beberapa cara untuk
mengidentifikasi kondisi-kondisi risiko terjadinya infeksi nosokomial:

1. Pemeriksaan Riwayat Medis Pasien: Petugas kesehatan di IGD harus mengumpulkan informasi
mengenai riwayat medis pasien dengan teliti. Riwayat penyakit sebelumnya, penggunaan
antibiotik, kondisi medis yang mendasari, dan riwayat rawat inap sebelumnya adalah informasi
penting untuk membantu mengidentifikasi risiko infeksi nosokomial.
2. Pemantauan Gejala Infeksi: Pada pasien yang datang ke IGD, penting untuk memantau adanya
gejala infeksi seperti demam, batuk, sesak napas, nyeri saat berkemih, atau tanda-tanda infeksi
lainnya. Gejala-gejala ini bisa menjadi petunjuk awal adanya infeksi atau risiko infeksi
nosokomial.
3. Identifikasi Faktor Risiko: Pihak rumah sakit perlu mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang
dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi nosokomial. Beberapa faktor risiko umum
termasuk prosedur invasif, seperti kateterisasi urin atau ventilasi mekanis, gangguan sistem
kekebalan tubuh, perawatan intensif yang memerlukan banyak kontak dengan peralatan medis,
serta lamanya tinggal di rumah sakit.
4. Kebersihan dan Sanitasi: Pastikan bahwa kebersihan dan sanitasi di IGD dijaga dengan baik. Hal
ini mencakup penerapan protokol pencegahan infeksi, seperti mencuci tangan secara rutin,
membersihkan dan mendisinfeksi peralatan medis dengan benar, serta mengenakan alat
pelindung diri yang sesuai oleh tenaga medis.
5. Penggunaan Antibiotik yang Rasional: Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat
menyebabkan resistensi antibiotik dan meningkatkan risiko infeksi nosokomial. Tim medis di
IGD harus memastikan bahwa penggunaan antibiotik diberikan hanya pada pasien yang
membutuhkan dan sesuai dengan pedoman penggunaan antibiotik yang rasional.
6. Pengendalian dan Isolasi Infeksi: Jika ada pasien dengan infeksi menular di IGD, langkah-
langkah pengendalian dan isolasi harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran infeksi ke
pasien lain.
7. Edukasi Pasien dan Pengunjung: Melibatkan pasien dan pengunjung dalam upaya pencegahan
infeksi nosokomial adalah hal penting. Berikan edukasi mengenai pentingnya mencuci tangan,
kebersihan diri, dan pentingnya mengikuti instruksi dari tim medis.

Dengan mengidentifikasi kondisi-kondisi risiko ini dan mengambil langkah-langkah pencegahan


yang tepat, rumah sakit dapat mengurangi risiko terjadinya infeksi nosokomial di IGD dan
meningkatkan keselamatan pasien.

2. Apa tujuan & bagaimana tekhnik pencegahan infeksi nosokomial ?


Tujuan pencegahan infeksi nosokomial adalah untuk mengurangi atau menghindari penyebaran
infeksi yang timbul atau terjadi selama pasien berada di rumah sakit atau fasilitas kesehatan
lainnya. Pencegahan infeksi nosokomial sangat penting untuk menjaga keselamatan pasien,
mengurangi beban penyakit, menghindari resistensi antibiotik, dan meminimalkan biaya
perawatan kesehatan.

Teknik pencegahan infeksi nosokomial mencakup berbagai tindakan dan protokol yang harus
diikuti oleh seluruh staf medis dan perawat. Beberapa teknik pencegahan yang umum meliputi:

1. Higiene Tangan: Pencucian tangan yang tepat dan rutin adalah salah satu langkah paling efektif
untuk mencegah penyebaran infeksi. Seluruh staf medis, pasien, dan pengunjung di rumah sakit
harus mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir atau menggunakan hand sanitizer dengan
alkohol sebelum dan setelah kontak dengan pasien, peralatan medis, atau lingkungan yang
berpotensi terkontaminasi.
2. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD): Staf medis harus menggunakan alat pelindung diri yang
sesuai, seperti sarung tangan, masker, pelindung mata, dan jubah, terutama saat melakukan
prosedur invasif atau berpotensi terpapar cairan tubuh pasien.
3. Pengendalian dan Isolasi Infeksi: Pasien dengan infeksi menular harus diisolasi dari pasien lain
untuk mencegah penyebaran infeksi. Protokol pengendalian infeksi harus diikuti dengan ketat,
termasuk penggunaan ruangan khusus dan prosedur pembersihan dan desinfeksi yang tepat.
4. Kebersihan Lingkungan: Membersihkan dan mendesinfeksi lingkungan rumah sakit secara rutin
dan tepat sangat penting untuk mengurangi risiko kontaminasi dan penyebaran infeksi. Hal ini
mencakup kebersihan ruangan pasien, peralatan medis, dan permukaan lainnya yang sering
disentuh.
5. Penggunaan Antibiotik yang Rasional: Penggunaan antibiotik yang bijaksana dan sesuai
pedoman sangat penting untuk mencegah resistensi antibiotik dan infeksi nosokomial yang
disebabkan oleh kuman resisten.
6. Edukasi Pasien dan Pengunjung: Memberikan edukasi kepada pasien dan pengunjung mengenai
pentingnya menjaga kebersihan diri, mengikuti instruksi staf medis, dan melaporkan gejala
infeksi segera adalah langkah pencegahan yang penting.
7. Pengawasan dan Audit: Melakukan pengawasan dan audit secara teratur untuk memastikan
bahwa protokol pencegahan infeksi nosokomial diikuti dengan benar dan efektif.

Dengan menerapkan teknik pencegahan ini secara konsisten, rumah sakit dapat mencapai tujuan
pencegahan infeksi nosokomial dan menjaga lingkungan perawatan kesehatan yang aman bagi
pasien dan staf medis.

ELEMEN 5 : Menciptakan dan memelihara lingkungan keperawatan yang aman dan nyaman
melaui jaminan kulaitas dan manajemen risiko
1. Apakah yang dimaksud dengan manajemen alarm fatigue di IGD
Alarm fatigue atau kelelahan alarm adalah fenomena yang terjadi ketika tenaga medis terpapar
dengan banyak alarm dari perangkat medis atau monitor pasien secara berulang-ulang dan
sering, hingga akhirnya mereka mengalami kelelahan, keterbatasan perhatian, dan kurang
responsif terhadap alarm-alarm tersebut. Hal ini dapat menyebabkan masalah serius dalam
pengawasan pasien dan mengancam keselamatan pasien.

Di Instalasi Gawat Darurat (IGD), alarm fatigue dapat menjadi masalah serius karena tenaga
medis di IGD sering berhadapan dengan banyak pasien yang membutuhkan perhatian dan
pemantauan. Beberapa alasan mengapa alarm fatigue terjadi di IGD meliputi:

1. Tingginya Jumlah Alarm: Pasien di IGD sering kali membutuhkan perangkat medis yang
menghasilkan banyak alarm, seperti monitor detak jantung, monitor tekanan darah, atau monitor
oksigen. Jumlah alarm yang tinggi bisa membuat tenaga medis terus-menerus terpapar dengan
suara alarm yang berulang-ulang.
2. Alarm yang Tidak Spesifik: Beberapa alarm mungkin tidak spesifik dan tidak memberikan
informasi yang jelas tentang masalah yang sebenarnya terjadi pada pasien. Hal ini bisa
menyebabkan ketidakpastian dan kurangnya responsifitas dari tenaga medis.
3. Alarm Palsu: Alarm palsu terjadi ketika perangkat medis memberikan alarm tanpa ada masalah
yang sebenarnya pada pasien. Alarm palsu ini bisa terjadi karena elektroda yang tidak terpasang
dengan baik, sensor yang rusak, atau gangguan teknis lainnya.

Manajemen alarm fatigue di IGD bertujuan untuk mengurangi dampak negatif dari kelelahan
alarm dan meningkatkan responsifitas terhadap alarm yang penting. Beberapa strategi yang dapat
diterapkan untuk mengelola alarm fatigue di IGD meliputi:

1. Pengaturan Prioritas Alarm: Menetapkan tingkat prioritas untuk alarm berdasarkan tingkat
kepentingannya. Alarm yang menunjukkan kondisi yang mengancam jiwa harus diutamakan
daripada alarm yang lebih kurang kritis.
2. Penyuluhan dan Pelatihan: Memberikan pelatihan kepada staf medis mengenai pentingnya
pengawasan dan responsifitas terhadap alarm. Penyuluhan ini harus mencakup identifikasi alarm
yang kritis dan langkah-langkah tindakan yang tepat.
3. Evaluasi dan Pemantauan Sistem Alarm: Melakukan evaluasi dan pemantauan secara teratur
terhadap sistem alarm di IGD untuk memastikan bahwa alarm-alarm yang diberikan memang
relevan dan bermanfaat bagi pasien.
4. Menerapkan Protokol Alarm yang Jelas: Memiliki protokol yang jelas mengenai penggunaan
alarm dan langkah-langkah responsifitas yang harus diikuti oleh staf medis.
5. Tim Komunikasi: Membentuk tim komunikasi yang efektif di IGD untuk memastikan bahwa
alarm-alarm penting diteruskan dengan tepat dan responsifitas yang sesuai.
6. Evaluasi Alarm Fatigue: Melakukan evaluasi rutin terhadap dampak alarm fatigue di IGD dan
mengidentifikasi area perbaikan yang mungkin diperlukan.

Dengan mengimplementasikan manajemen alarm fatigue yang efektif, IGD dapat meningkatkan
kualitas perawatan pasien, mengurangi risiko kesalahan, dan meningkatkan keselamatan pasien
secara keseluruhan.

2. Memenuhi kebutuhan personal hygiene pada pasien dengan multiple device di IGD ?
Memenuhi kebutuhan personal hygiene pada pasien dengan multiple device (beberapa alat medis
terpasang) di Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah penting untuk menjaga kenyamanan,
kebersihan, dan mengurangi risiko infeksi nosokomial. Pasien dengan multiple device biasanya
membutuhkan perhatian dan penanganan khusus karena ada beberapa perangkat medis yang
terpasang pada tubuh mereka. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk
memenuhi kebutuhan personal hygiene pada pasien semacam ini:
1. Pengawasan dan Koordinasi: Pasien dengan multiple device perlu mendapatkan pengawasan dan
koordinasi yang lebih cermat. Tim medis di IGD harus bekerja sama untuk mengawasi kondisi
pasien, termasuk perangkat medis yang terpasang, dan mengoordinasikan perawatan agar tetap
nyaman dan aman.
2. Membersihkan dan Merawat Perangkat Medis: Pastikan perangkat medis yang terpasang pada
pasien dalam kondisi bersih dan terawat dengan baik. Pembersihan dan perawatan perangkat
medis harus dilakukan sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan.
3. Pencucian Tangan dan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD): Sebelum dan setelah melakukan
perawatan atau kontak dengan pasien, selalu lakukan pencucian tangan dengan sabun dan air
mengalir atau gunakan hand sanitizer. Selain itu, kenakan APD yang sesuai seperti sarung tangan
dan masker untuk mencegah penyebaran infeksi.
4. Membersihkan Tubuh dan Kulit: Lakukan pembersihan tubuh dan kulit pasien secara teratur
untuk menjaga kebersihan dan kenyamanan. Jika ada perangkat medis tertentu yang tidak boleh
dibasahi, pastikan untuk melindunginya dengan cara yang tepat.
5. Ganti Popok dan Pembalut dengan Teratur: Jika pasien memakai popok atau pembalut, pastikan
untuk menggantinya secara teratur agar kulit tetap kering dan bebas dari kelembaban yang
berlebihan.
6. Perawatan Kulit: Pastikan kulit di sekitar perangkat medis atau tempat pemasangan infus tetap
kering dan bebas dari kemerahan atau iritasi. Jika ada tanda-tanda kulit yang bermasalah, segera
lakukan tindakan perawatan yang sesuai.
7. Pengelolaan Cairan Tubuh: Perhatikan jumlah dan karakteristik cairan tubuh yang dikeluarkan
oleh pasien, terutama jika ada perangkat medis seperti kateter yang terpasang. Ini penting untuk
mengidentifikasi potensi infeksi atau komplikasi.
8. Mengatur Posisi Tidur dan Pergerakan Pasien: Pastikan pasien dengan multiple device tetap
dalam posisi tidur atau posisi duduk yang nyaman dan aman. Jika perlu, bantu pasien untuk
berganti posisi agar tidak menekan perangkat medis yang terpasang.
9. Edukasi Pasien dan Keluarga: Berikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang pentingnya
menjaga personal hygiene dan perawatan perangkat medis yang terpasang. Berikan petunjuk agar
mereka dapat ikut serta dalam pemenuhan kebutuhan hygiene pasien.
10. Koordinasi dengan Tim Perawatan Pasien: Jangan ragu untuk berkoordinasi dengan tim
perawatan pasien lainnya untuk memastikan bahwa kebutuhan personal hygiene pasien dengan
multiple device terpenuhi dengan baik.

Dengan mengikuti langkah-langkah di atas, tim medis di IGD dapat memastikan bahwa
kebutuhan personal hygiene pasien dengan multiple device terpenuhi dengan baik, sehingga
membantu meningkatkan kenyamanan dan mengurangi risiko infeksi atau komplikasi.

3. Menggunakan cooling dan warming system di IGD


Sistem pendinginan (cooling) dan pemanasan (warming) merupakan perangkat yang digunakan
di Instalasi Gawat Darurat (IGD) untuk mengatur suhu tubuh pasien. Penggunaan cooling dan
warming system dapat memiliki berbagai manfaat tergantung pada kondisi medis pasien dan
tujuan terapi yang ingin dicapai. Berikut adalah beberapa contoh situasi di mana cooling dan
warming system dapat digunakan di IGD:
1. Cooling System:
 Hipotermia Kontrol: Untuk pasien yang mengalami hipotermia (suhu tubuh di bawah normal),
cooling system digunakan untuk memperlambat kehilangan panas dan meningkatkan suhu tubuh
secara bertahap.
 Stroke Iskemik: Cooling system juga dapat digunakan dalam beberapa kasus stroke iskemik
untuk mengurangi suhu tubuh dan melindungi otak dari kerusakan lebih lanjut.
 Pasca-Operasi: Setelah operasi tertentu, cooling system dapat membantu mengendalikan suhu
tubuh pasien dan mengurangi risiko komplikasi termoregulasi.
2. Warming System:
 Pasien Hipotermia Ringan: Untuk pasien yang mengalami hipotermia ringan, warming system
digunakan untuk meningkatkan suhu tubuh secara perlahan dan mencegah komplikasi yang lebih
serius.
 Pasca-Penyelamatan Dari Air Dingin: Pasien yang diselamatkan dari air dingin dan mengalami
hipotermia juga dapat mendapatkan manfaat dari warming system untuk pemulihan suhu tubuh.
 Pasca-Operasi: Setelah operasi, warming system dapat digunakan untuk mempertahankan suhu
tubuh pasien agar tetap stabil dan mencegah hipotermia pasca-operasi.

Penggunaan cooling dan warming system harus dilakukan dengan cermat dan sesuai dengan
indikasi medis yang tepat. Tim medis di IGD harus memantau suhu tubuh pasien secara berkala
dan menyesuaikan pengaturan cooling dan warming system sesuai dengan kebutuhan pasien.

Selain itu, cooling dan warming system juga dapat digunakan untuk mencegah overheating atau
overheating (kepanasan berlebihan) pada pasien, terutama saat mereka mengalami kondisi
seperti heatstroke atau kondisi medis lain yang menyebabkan kenaikan suhu tubuh yang tiba-tiba
dan berbahaya.

Penting untuk selalu mengikuti pedoman dan protokol penggunaan cooling dan warming system
yang ditetapkan oleh rumah sakit atau fasilitas kesehatan untuk memastikan keamanan dan
efektivitas dalam memberikan perawatan bagi pasien di IGD.

4. Memfasilitasi pasien dengan tindakan torax foto bedside dengan multipledevice di IGD
Memfasilitasi pasien dengan tindakan foto toraks (chest X-ray) di tempat tidur (bedside) ketika
pasien memiliki multiple device di Instalasi Gawat Darurat (IGD) memerlukan perencanaan dan
tindakan hati-hati untuk memastikan keselamatan pasien, kenyamanan, dan kualitas gambar yang
diperoleh. Berikut adalah langkah-langkah yang dapat diikuti untuk melakukan tindakan foto
toraks bedside pada pasien dengan multiple device:
1. Evaluasi Pasien: Sebelum melakukan tindakan foto toraks, evaluasi kondisi pasien dan perangkat
medis yang terpasang. Pastikan pasien stabil dan dapat dipindahkan atau diposisikan dengan
aman untuk mendapatkan gambar toraks yang akurat.
2. Komunikasi dengan Pasien: Berbicaralah dengan pasien atau keluarga untuk menjelaskan tujuan
tindakan foto toraks, manfaatnya, serta prosedur yang akan dilakukan. Dengan
mengkomunikasikan langkah-langkah yang akan diambil, pasien akan lebih kooperatif selama
proses tindakan.
3. Posisi dan Stabilisasi Perangkat Medis: Jika ada multiple device seperti infus, kateter, atau
monitor yang terpasang pada pasien, pastikan mereka diposisikan atau distabilkan dengan hati-
hati agar tidak mengganggu atau merusak perangkat tersebut selama tindakan foto toraks.
4. Proteksi Perangkat Medis: Lindungi perangkat medis yang terpasang pada pasien dengan
menggunakan bantalan atau kain yang sesuai untuk mencegah kerusakan selama proses foto
toraks.
5. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD): Pastikan petugas medis yang melakukan tindakan
memiliki APD yang tepat seperti pelindung tubuh atau pelindung perangkat medis untuk
mencegah kontaminasi dan risiko infeksi.
6. Pengaturan Lingkungan: Pastikan lingkungan di sekitar tempat tidur pasien aman dan teratur.
Hindari gangguan dari peralatan elektronik lainnya yang dapat mengganggu proses pengambilan
gambar.
7. Pengaturan Pasien: Posisioning pasien dengan benar sangat penting untuk mendapatkan gambar
toraks yang baik. Jika pasien tidak dapat berdiri atau duduk untuk foto toraks, pastikan posisi
tubuh yang tepat, baik dengan posisi berbaring atau posisi lainnya yang sesuai.
8. Komunikasi dengan Radiografer: Jika radiografer terlibat dalam tindakan, pastikan untuk
berkomunikasi dengan mereka tentang kondisi pasien dan perangkat medis yang terpasang untuk
memastikan bahwa mereka dapat mengambil gambar toraks yang sesuai.
9. Pengawasan Pasien: Pantau kondisi pasien selama dan setelah tindakan foto toraks. Jika ada
tanda-tanda masalah atau perubahan dalam kondisi pasien, segera lakukan tindakan responsif dan
beritahukan tim medis lainnya.
10. Evaluasi dan Pelaporan: Setelah tindakan foto toraks selesai, pastikan hasilnya dievaluasi dan
dilaporkan dengan tepat kepada tim medis yang merawat pasien.

Dengan mengikuti langkah-langkah di atas, tindakan foto toraks bedside pada pasien dengan
multiple device dapat dilakukan dengan aman dan efektif di lingkungan IGD. Selalu
berkoordinasi dengan tim medis lainnya dan perhatikan keamanan pasien selama seluruh proses
tindakan.

5. Melakukan fiksasi internal dan eksternal pada Pasien terpasang Endothraceal Tube (ETT) dan
Tracheostomi di IGD
Melakukan fiksasi internal dan eksternal pada pasien dengan Endotracheal Tube (ETT) dan
Tracheostomy di Instalasi Gawat Darurat (IGD) memerlukan perhatian ekstra dan penanganan
yang hati-hati untuk memastikan keamanan dan kenyamanan pasien. Fiksasi internal dan
eksternal bertujuan untuk menjaga posisi dan stabilitas tube pernapasan (ETT atau trakeostomi)
agar tetap berada di tempat yang benar. Berikut adalah langkah-langkah yang harus diikuti saat
melakukan fiksasi internal dan eksternal pada pasien dengan ETT dan trakeostomi di IGD:

1. Fiksasi Internal (Cuff):


 Pastikan selang ETT atau trakeostomi sudah terpasang dengan benar di saluran pernapasan
pasien.
 Periksa bahwa balon (cuff) pada tabung ETT atau trakeostomi telah diinflasi dengan benar untuk
mencegah kebocoran udara dan mengurangi risiko aspirasi.
 Pastikan tekanan pada cuff tube sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan oleh rumah sakit
untuk mencegah cedera pada jaringan trakea.
2. Fiksasi Eksternal (Securing):
 Untuk fiksasi eksternal pada pasien dengan ETT, gunakan perangkat khusus seperti tali atau
bahan perekat (securing device) yang sesuai untuk menjaga tabung ETT tetap berada di posisi
yang benar di mulut pasien.
 Untuk pasien dengan trakeostomi, gunakan perangkat fiksasi yang telah disediakan khusus untuk
trakeostomi, seperti tali trakeostomi, sabuk, atau pengunci yang aman.
 Pastikan perangkat fiksasi tidak terlalu ketat untuk menghindari cedera pada kulit dan jaringan di
sekitar tabung ETT atau trakeostomi.
3. Pengawasan Kontinyu:
 Setelah fiksasi dilakukan, pantau secara kontinyu posisi tabung ETT atau trakeostomi dan
perangkat fiksasi untuk memastikan tetap berada di tempat yang benar.
 Periksa secara rutin tali atau bahan fiksasi eksternal untuk memastikan tidak ada perubahan yang
dapat mengganggu posisi tabung pernapasan.
4. Koordinasi dengan Tim Medis Lainnya:
 Selalu berkoordinasi dengan tim medis lainnya, terutama tim perawat, untuk memastikan
perawatan yang tepat untuk pasien dengan ETT atau trakeostomi.
 Laporkan kondisi pasien dan perubahan yang signifikan dalam posisi atau kondisi tabung
pernapasan kepada tim medis yang merawat pasien.
5. Edukasi Pasien dan Keluarga:
 Berikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang perawatan dan pentingnya menjaga fiksasi
tabung pernapasan yang tepat.
 Jelaskan tanda-tanda bahaya dan tindakan darurat yang harus diambil jika tabung ETT atau
trakeostomi mengalami pergeseran atau masalah lainnya.

Dengan mengikuti langkah-langkah ini dan berkoordinasi dengan tim medis lainnya, fiksasi
internal dan eksternal pada pasien dengan ETT dan trakeostomi di IGD dapat dilakukan dengan
aman dan efektif untuk menjaga jalur pernapasan pasien dan mendukung pemulihan yang lebih
baik.

ELEMEN 6 : MELAKUKAN PERAWATAN LUKA

1. Mampu mengkaji kondisi luka dan mengidentifikasi proses penyembuhan luka


Sebagai petugas medis di Instalasi Gawat Darurat (IGD), kemampuan untuk mengkaji kondisi
luka dan mengidentifikasi proses penyembuhan luka sangat penting untuk memberikan
perawatan yang tepat dan efektif kepada pasien dengan luka. Berikut adalah langkah-langkah
umum yang dapat diikuti untuk melakukan evaluasi luka dan mengidentifikasi proses
penyembuhan luka di IGD:

1. Observasi Visual:
 Perhatikan secara visual luka pada pasien. Amati ukuran, kedalaman, dan lokasi luka. Juga,
perhatikan tanda-tanda inflamasi, perdarahan, atau tanda infeksi seperti kemerahan,
pembengkakan, atau sekret.
2. Evaluasi Rinci Luka:
 Bersihkan luka dengan hati-hati menggunakan teknik aseptik dan evaluasi setiap aspeknya.
Periksa apakah ada benda asing yang terperangkap di dalam luka atau potongan benda tajam
yang perlu dikeluarkan.
3. Penilaian Dalam:
 Jika luka lebih dalam atau terdapat indikasi cedera pada struktur dalam seperti otot, tulang, atau
organ, pertimbangkan untuk melakukan penilaian lebih dalam dengan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan radiologi yang sesuai.
4. Identifikasi Jenis Luka:
 Kenali jenis luka, seperti luka sayat, luka tusuk, luka bakar, luka lecet, atau luka bercak
(contusion). Identifikasi jenis luka ini akan membantu menentukan pendekatan perawatan yang
tepat.
5. Pengkajian Infeksi:
 Evaluasi apakah luka menunjukkan tanda-tanda infeksi, seperti pus, bau yang tidak normal, atau
demam. Jika ada indikasi infeksi, perlu dilakukan tindakan untuk mengelolanya secara tepat.
6. Pengukuran dan Dokumentasi:
 Ukur ukuran luka, baik panjang, lebar, maupun kedalaman. Dokumentasikan hasil pengukuran
dan kondisi luka dengan jelas dan akurat.
7. Identifikasi Tahap Penyembuhan Luka:
 Identifikasi tahap penyembuhan luka, yaitu tahap inflamasi, proliferasi, dan remodelling. Setiap
tahap memiliki karakteristik dan perawatan yang berbeda.
8. Pengelolaan Perawatan:
 Berdasarkan hasil evaluasi, identifikasi proses penyembuhan luka, dan tingkat keparahan,
tentukan rencana perawatan yang sesuai. Ini termasuk membersihkan luka, memberikan obat-
obatan yang tepat, dan menjaga kebersihan luka.
9. Perhatikan Kondisi Kesehatan Pasien:
 Jangan lupakan untuk mengkaji kondisi kesehatan keseluruhan pasien, seperti riwayat medis,
penyakit penyerta, atau kondisi khusus lainnya yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan
luka.
10. Berkoordinasi dengan Tim Medis Lainnya:
 Selalu berkoordinasi dengan tim medis lainnya, termasuk perawat dan dokter, untuk
mendapatkan masukan dan bantuan dalam pengelolaan perawatan luka yang komprehensif.
Mengkaji kondisi luka dan mengidentifikasi proses penyembuhan luka dengan cermat di IGD
adalah langkah penting untuk memberikan perawatan yang tepat dan mengurangi risiko
komplikasi pada pasien dengan luka. Perhatikan juga prinsip-prinsip kebersihan dan aseptik
dalam melakukan evaluasi luka untuk mencegah infeksi dan meningkatkan pemulihan pasien.

2. Perawatan luka kronik yang tidak sembuh-sembuh: luka diabetic Wagner III – IV di IGD
Perawatan luka kronik yang tidak sembuh-sembuh, seperti luka diabetic Wagner III-IV di
Instalasi Gawat Darurat (IGD), memerlukan pendekatan yang komprehensif dan tim medis yang
terlatih. Luka diabetic Wagner III-IV adalah luka ulkus kaki yang sudah mencapai tingkat
keparahan yang lebih tinggi, melibatkan ulkus yang dalam, dan mungkin sudah menyebabkan
infeksi dan komplikasi lainnya. Berikut adalah langkah-langkah yang dapat diambil dalam
perawatan luka diabetic Wagner III-IV di IGD:

1. Evaluasi Mendalam:
 Lakukan evaluasi mendalam terhadap luka, termasuk ukuran dan kedalaman luka, adanya
infeksi, serta komplikasi lainnya seperti gangren atau iskemik. Identifikasi faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi penyembuhan luka, seperti diabetes yang tidak terkontrol, gangguan
sirkulasi, atau tekanan yang berlebihan pada luka.
2. Kontrol Infeksi:
 Jika luka telah mengalami infeksi, penting untuk mengendalikan infeksi dengan memberikan
antibiotik yang sesuai sesuai dengan hasil kultur dan uji kepekaan. Bekerjasama dengan dokter
mikrobiologi untuk menentukan antibiotik yang tepat.
3. Debridement (Pengangkatan Jaringan Mati):
 Lakukan debridement pada jaringan mati atau nekrosis untuk mendorong pertumbuhan jaringan
baru dan mempercepat penyembuhan luka.
4. Penciptaan Lingkungan Luka yang Optimal:
 Ciptakan lingkungan luka yang optimal untuk penyembuhan, termasuk menjaga kebersihan luka,
mengatur kelembaban yang tepat, dan menggunakan perban yang sesuai.
5. Perawatan Tekanan:
 Jika luka disebabkan oleh tekanan berlebihan, pastikan untuk mengurangi tekanan pada luka dan
menyediakan alat bantu yang dapat membantu mengurangi tekanan pada bagian kaki yang
terluka.
6. Pemilihan Balutan yang Tepat:
 Pilih balutan yang tepat berdasarkan kondisi luka dan tujuan perawatan. Balutan modern seperti
balutan kolagen, balutan antimikroba, atau balutan eksudatif dapat membantu mempercepat
penyembuhan luka.
7. Nutrisi dan Hidrasi:
 Pastikan pasien mendapatkan nutrisi yang cukup dan terhidrasi dengan baik, karena hal ini
penting untuk mendukung proses penyembuhan luka.
8. Edukasi Pasien dan Keluarga:
 Berikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai pentingnya perawatan luka yang tepat dan
langkah-langkah yang harus diikuti untuk mencegah komplikasi.
9. Koordinasi dengan Tim Medis:
 Kolaborasi dengan tim medis lainnya, seperti dokter spesialis diabetes, ahli bedah, dan perawat
luka, untuk merencanakan perawatan yang komprehensif dan efektif bagi pasien.
10. Pemantauan dan Evaluasi Rutin:
 Pemantauan dan evaluasi rutin kondisi luka serta perubahan yang terjadi dalam proses
penyembuhan sangat penting untuk mengidentifikasi perkembangan dan menyesuaikan
perawatan yang diberikan.

Perawatan luka diabetic Wagner III-IV di IGD adalah tugas yang kompleks dan memerlukan
kerja sama tim medis yang solid untuk mencapai hasil yang optimal. Setiap langkah perawatan
harus diikuti dengan cermat dan sesuai dengan standar medis yang telah ditetapkan.

3. Perawatan cedera tekan stadium III-IV di IGD


Perawatan cedera tekan stadium III-IV di Instalasi Gawat Darurat (IGD) memerlukan
penanganan yang komprehensif dan hati-hati. Cedera tekan pada stadium III-IV adalah kondisi
serius yang menunjukkan adanya kerusakan yang signifikan pada kulit dan jaringan di
bawahnya. Berikut adalah langkah-langkah umum dalam perawatan cedera tekan stadium III-IV
di IGD:

1. Evaluasi dan Pemantauan:


 Lakukan evaluasi mendalam terhadap cedera tekan, termasuk ukuran, kedalaman, dan tingkat
keparahannya. Periksa juga ada tidaknya infeksi dan perubahan pada jaringan sekitar cedera.
2. Debridement (Pengangkatan Jaringan Mati):
 Lakukan debridement untuk mengangkat jaringan mati atau nekrosis di sekitar luka.
Debridement akan membantu mempercepat penyembuhan dan mencegah infeksi lebih lanjut.
3. Pengendalian Infeksi:
 Jika ada tanda-tanda infeksi, pastikan untuk mengendalikan infeksi dengan memberikan
antibiotik yang sesuai berdasarkan hasil kultur dan uji kepekaan.
4. Perawatan Kebersihan:
 Pastikan area cedera tetap bersih dengan membersihkan secara teratur dan menggunakan teknik
aseptik untuk mencegah kontaminasi lebih lanjut.
5. Pengelolaan Tekanan:
 Lindungi area cedera dari tekanan berlebihan dengan mengatur posisi pasien secara tepat,
menggunakan bantal khusus, dan menghindari gesekan pada area yang terluka.
6. Balutan yang Sesuai:
 Gunakan balutan yang sesuai untuk mengatasi kondisi cedera. Balutan modern seperti balutan
kolagen, balutan hidrokoloid, atau balutan antimikroba dapat membantu dalam penyembuhan
cedera tekan.
7. Pemantauan dan Evaluasi Rutin:
 Pantau kondisi cedera secara rutin untuk mengidentifikasi perkembangan dan memastikan bahwa
perawatan yang diberikan berjalan dengan baik.
8. Nutrisi dan Hidrasi:
 Pastikan pasien mendapatkan nutrisi yang cukup dan terhidrasi dengan baik, karena hal ini
penting untuk mendukung proses penyembuhan luka.
9. Edukasi Pasien dan Keluarga:
 Berikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai pentingnya perawatan cedera tekan dan
langkah-langkah yang harus diikuti untuk mencegah komplikasi.
10. Koordinasi dengan Tim Medis:
 Kolaborasi dengan tim medis lainnya, seperti dokter spesialis bedah, ahli perawat, atau terapis
luka, untuk merencanakan perawatan yang komprehensif dan efektif bagi pasien.

Perawatan cedera tekan stadium III-IV di IGD adalah proses yang kompleks dan memerlukan
perhatian yang teliti serta kerja sama tim medis yang baik. Setiap langkah perawatan harus
diikuti dengan hati-hati dan sesuai dengan standar medis yang telah ditetapkan.

ELEMEN 7 : Mengukur tanda vital, EWSS, dan tatalaksana pasien dengan kasus emergensi

1. Bagaimana Monitor hemodinamik dengan alat monitor non invasive di IGD


Pada Instalasi Gawat Darurat (IGD), penggunaan monitor hemodinamik dengan alat monitor
non-invasif dapat membantu tim medis dalam melakukan evaluasi cepat dan menyeluruh
terhadap status kardiovaskular pasien. Alat monitor non-invasif umumnya tidak memerlukan
penetrasi atau tindakan invasif pada tubuh pasien, sehingga lebih nyaman dan lebih aman
digunakan di IGD yang sering kali berurusan dengan pasien-pasien kritis. Beberapa alat monitor
hemodinamik non-invasif yang umum digunakan di IGD termasuk:

1. Monitor Tekanan Darah Non-invasif:


 Monitor tekanan darah non-invasif adalah alat yang digunakan untuk mengukur tekanan darah
pasien secara terus-menerus atau berkala dengan menggunakan manset yang dipasang di lengan
atau pergelangan tangan. Alat ini memberikan informasi penting tentang tekanan sistolik dan
diastolik pasien, yang membantu dalam menilai sirkulasi dan keadaan kardiovaskular.
2. Monitor Denyut Jantung (Pulse Oximeter):
 Pulse oximeter adalah alat yang digunakan untuk mengukur tingkat oksigen dalam darah (SpO2)
dan detak jantung pasien secara non-invasif dengan meletakkan sensor pada jari atau bagian
tubuh lain yang sensitif terhadap perubahan oksigen. Informasi ini membantu menilai fungsi
pernapasan dan sirkulasi.
3. Monitor Elektrokardiogram (EKG):
 Monitor EKG digunakan untuk merekam aktivitas listrik jantung pasien secara non-invasif
melalui pemasangan elektroda pada dada dan ekstremitas. Alat ini memberikan informasi tentang
ritme jantung, detak jantung, dan kemungkinan masalah kardiovaskular lainnya.
4. Monitor Ekskresi Urin (Urine Output Monitor):
 Pengukuran ekskresi urin secara terus-menerus sangat penting untuk menilai fungsi ginjal dan
status hidrasi pasien. Penggunaan alat monitor urine output membantu tim medis dalam
mengamati perubahan dalam output urine dan merespons segera jika ada masalah.
5. Monitor Saturasi Kardiovaskular (Cardiac Output Monitor):
 Monitor saturasi kardiovaskular non-invasif memberikan informasi tentang jumlah darah yang
dipompa oleh jantung dalam suatu waktu tertentu (cardiac output) dan faktor-faktor
hemodinamik lainnya. Ini memberikan pandangan lebih rinci tentang sirkulasi pasien.

Penggunaan alat monitor hemodinamik non-invasif di IGD membantu tim medis untuk
mendapatkan data vital dan mengidentifikasi masalah kardiovaskular secara cepat. Data ini
sangat berharga untuk mengambil keputusan medis yang tepat dan merespons segera pada pasien
dengan kondisi kritis. Selain itu, penggunaan alat monitor non-invasif juga membantu
mengurangi risiko infeksi dan trauma pada pasien karena tidak memerlukan tindakan invasif.

2. Tatalaksana lanjut EKG Aritmia khususnya EKG mengancam nyawa (EKG lethal)

Bila ada EKG (elektrokardiogram) yang mengindikasikan adanya aritmia yang mengancam
nyawa di unit gawat darurat (IGD), langkah-langkah tatalaksana lanjut yang mungkin dilakukan
oleh tim medis dapat mencakup:

1. Resusitasi Dasar (Basic Life Support/BLS): Jika pasien mengalami henti jantung atau gangguan
irama yang mengancam nyawa, tim medis akan memulai tindakan resusitasi dasar seperti CPR
(cardiopulmonary resuscitation) untuk menjaga aliran darah dan oksigen ke tubuh.
2. Defibrilasi: Jika aritmia yang terdeteksi adalah jenis yang dapat diatasi dengan defibrilasi, tim
medis akan menggunakan alat defibrilator untuk memberikan sengatan listrik pada jantung
dengan harapan mengembalikan irama normal.
3. Pengobatan Medis: Dalam beberapa kasus, terutama untuk aritmia tertentu, tim medis mungkin
memberikan obat-obatan tertentu untuk mencoba mengendalikan irama jantung yang tidak
teratur.
4. Intervensi Invasif: Jika ada penyebab spesifik dari aritmia yang mengancam nyawa, seperti
sumbatan arteri koroner atau gangguan katup jantung, tim medis dapat melakukan intervensi
invasif seperti kateterisasi jantung atau pembedahan sesuai kebutuhan.
5. Observasi dan Monitor: Pasien akan terus diobservasi dan dipantau dengan ketat selama
perawatan untuk memastikan respon terhadap tindakan medis yang diambil.

Ingat, setiap kasus dapat berbeda-beda, dan penanganan pasti akan ditentukan oleh kondisi
spesifik pasien dan penyebab dari aritmia tersebut. Segera mencari bantuan medis profesional
adalah hal yang paling penting dalam situasi seperti ini, dan hanya mereka yang memiliki
pengetahuan dan keahlian medis yang dapat menentukan tatalaksana yang tepat sesuai dengan
situasi yang dihadapi.
3. Melakukan tindakan lanjut kegawat daruratan pasien di ruang IGD
Tindakan lanjutan dalam menangani pasien dengan aritmia mengancam nyawa di ruang IGD
dapat melibatkan langkah-langkah berikut:

1. Pemeriksaan lebih lanjut: Tim medis akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menilai
keadaan pasien secara menyeluruh. Selain EKG, pemeriksaan fisik dan riwayat medis pasien
juga akan diperlukan untuk membantu dalam penentuan diagnosis dan penanganan yang tepat.
2. Stabilisasi pasien: Prioritas utama adalah menjaga stabilitas pasien. Jika pasien mengalami henti
jantung atau gangguan irama yang mengancam nyawa, tim medis akan segera memulai tindakan
resusitasi dasar (CPR) dan menghubungkan pasien ke monitor jantung dan oksigen untuk
memantau fungsi jantung dan tingkat oksigen dalam darah.
3. Defibrilasi: Jika ada indikasi defibrilasi, tim medis akan menggunakan defibrilator untuk
memberikan sengatan listrik pada jantung dan mencoba mengembalikan irama jantung yang
normal.
4. Pemberian obat-obatan: Tim medis dapat memberikan obat-obatan intravena untuk membantu
mengendalikan irama jantung yang tidak teratur. Pemberian obat-obatan ini dapat mencakup
antiaritmia, beta-blocker, atau obat lain yang sesuai dengan kondisi pasien.
5. Monitoring lanjutan: Pasien akan terus dipantau dengan ketat, termasuk pemantauan EKG yang
berkelanjutan dan parameter vital lainnya seperti tekanan darah, nadi, dan saturasi oksigen.
6. Konsultasi dengan spesialis: Terkadang, dalam kasus aritmia yang kompleks atau tidak responsif
terhadap tindakan awal, tim medis dapat berkonsultasi dengan spesialis kardiologi atau
elektrofisiologi untuk membantu dalam penanganan lebih lanjut.
7. Pemantauan lanjutan dan perawatan intensif: Pasien mungkin akan membutuhkan perawatan
intensif setelah stabil di IGD untuk memastikan kondisi stabil dan untuk mencari penyebab
mendasar dari aritmia tersebut.

Tatalaksana lanjutan dapat bervariasi tergantung pada jenis dan penyebab aritmia, serta kondisi
kesehatan umum pasien. Peran tim medis sangat penting dalam mengenali dan menangani
aritmia dengan cepat dan efektif untuk mengurangi risiko komplikasi yang lebih lanjut.
ELEMEN 8 : Memfasilitasi pemenuhan kebutuhan bersihan jalan napas dan oksigen
1. Tujuan & prosedur pemberian oksigen di IGD

Tujuan pemberian oksigen di unit gawat darurat (IGD) adalah untuk memberikan pasokan
oksigen yang adekuat kepada pasien dengan kondisi medis yang mengancam nyawa atau
membutuhkan bantuan pernapasan. Oksigen sangat penting bagi tubuh untuk mempertahankan
fungsi organ dan proses metabolisme yang tepat. Pemberian oksigen dapat membantu
meningkatkan kadar oksigen dalam darah, mengurangi hipoksia (kekurangan oksigen), dan
mengatasi beberapa kondisi medis yang mengancam nyawa.

Prosedur pemberian oksigen di IGD biasanya meliputi langkah-langkah berikut:

1. Evaluasi kondisi pasien: Tim medis di IGD akan mengevaluasi kondisi pasien secara cepat dan
menyeluruh untuk menentukan apakah pemberian oksigen diperlukan. Ini termasuk mengamati
gejala dan tanda-tanda hipoksia seperti sesak napas, sianosis (kulit kebiruan), nadi cepat,
kesulitan berbicara, dan perubahan tingkat kesadaran.
2. Pemberian oksigen melalui kanula nasal atau masker: Jika pasien membutuhkan oksigen
tambahan, tim medis akan memberikan oksigen melalui kanula nasal atau masker oksigen.
Kanula nasal adalah tabung plastik yang dipasang di hidung, sedangkan masker oksigen
menutupi mulut dan hidung pasien. Kedua cara ini memungkinkan pasien untuk menghirup
oksigen dengan lebih mudah.
3. Pengaturan aliran oksigen: Aliran oksigen akan diatur sesuai dengan kebutuhan pasien. Hal ini
tergantung pada tingkat keparahan hipoksia dan kondisi medis yang mendasari. Biasanya, aliran
oksigen diukur dalam liter per menit (LPM).
4. Monitoring respons: Setelah oksigen diberikan, tim medis akan memantau respons pasien
terhadap terapi oksigen. Jika ada perbaikan dalam gejala dan tanda-tanda hipoksia, aliran oksigen
dapat disesuaikan. Jika ada ketidakmampuan pasien untuk mempertahankan tingkat oksigen
yang adekuat, tindakan lebih lanjut dapat dipertimbangkan.
5. Pemantauan dan perawatan lanjutan: Pasien yang menerima oksigen akan terus dipantau dengan
ketat selama di IGD. Pemberian oksigen dapat menjadi bagian dari perawatan yang lebih
komprehensif, tergantung pada kondisi pasien.

Pemberian oksigen adalah salah satu tindakan medis yang penting dan mendesak di IGD.
Namun, penting juga untuk memperhatikan dosis dan monitoring agar oksigen diberikan sesuai
dengan kebutuhan pasien, karena terlalu banyak oksigen pada beberapa kondisi dapat memiliki
dampak negatif. Tim medis yang terlatih akan mengenali kondisi dan kebutuhan pasien serta
mengambil tindakan yang tepat sesuai dengan setiap situasi klinis yang dihadapi.
2. Indikator keberhasilan pemberian oksigen dijelaskan pada pasien
Indikator keberhasilan pemberian oksigen dijelaskan pada pasien di IGD dapat mencakup
beberapa hal berikut:
1. Perbaikan gejala dan tanda-tanda hipoksia: Pasien yang mengalami hipoksia (kekurangan
oksigen) biasanya memiliki gejala seperti sesak napas, nadi cepat, sianosis (kulit kebiruan), dan
kesulitan berbicara. Keberhasilan pemberian oksigen dapat dilihat dari perbaikan atau
menghilangnya gejala-gejala ini.
2. Peningkatan tingkat oksigen dalam darah: Oksigen yang diberikan diharapkan meningkatkan
kadar oksigen dalam darah (SpO2) pasien. SpO2 adalah persentase oksigen yang terikat pada
hemoglobin dalam darah. Tujuan umum adalah mempertahankan SpO2 di atas 94% atau sesuai
dengan rekomendasi medis berdasarkan kondisi pasien.
3. Respons pasien terhadap terapi oksigen: Pasien yang menunjukkan respons positif terhadap
terapi oksigen, seperti peningkatan frekuensi pernapasan yang lebih teratur, penurunan detak
jantung yang cepat, dan peningkatan tingkat kesadaran, menunjukkan keberhasilan dalam
memberikan oksigen.
4. Stabilisasi kondisi pasien: Oksigen adalah bagian penting dalam menstabilkan kondisi pasien
yang mengalami masalah pernapasan atau kekurangan oksigen. Keberhasilan pemberian oksigen
dapat dilihat dari kemampuan untuk menjaga pasien tetap stabil dan meminimalkan risiko
komplikasi lebih lanjut.
5. Peningkatan parameter vital: Pemberian oksigen yang efektif seharusnya tercermin dalam
peningkatan parameter vital pasien, seperti tekanan darah yang stabil, denyut nadi yang teratur,
dan saturasi oksigen yang membaik.
6. Pemantauan aliran oksigen: Jika pasien menggunakan kanula nasal atau masker oksigen,
pemantauan aliran oksigen yang sesuai juga merupakan indikator keberhasilan. Aliran oksigen
yang sesuai akan disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
3. Tujuan & melakukan setting ventilasi mekanik
ujuan dari melakukan setting ventilasi mekanik adalah untuk membantu atau menggantikan
fungsi pernapasan pasien yang mengalami kesulitan bernapas atau tidak mampu bernapas
sendiri. Ventilasi mekanik adalah prosedur medis di mana pasien terhubung dengan mesin
ventilator yang memberikan udara atau campuran udara-oksigen secara terkontrol ke dalam paru-
paru.

Beberapa tujuan utama ventilasi mekanik antara lain:

1. Memastikan pasien mendapatkan cukup oksigen: Ventilasi mekanik membantu memastikan


pasien mendapatkan pasokan oksigen yang cukup, menghindari hipoksia (kekurangan oksigen)
yang dapat menyebabkan kerusakan organ dan mengancam nyawa.
2. Membantu mengeluarkan karbon dioksida: Selain memberikan oksigen, ventilasi mekanik juga
membantu mengeluarkan karbon dioksida (CO2) dari paru-paru. Hal ini penting untuk menjaga
tingkat CO2 dalam darah agar tetap dalam rentang normal.
3. Membantu mengurangi kelelahan pernapasan: Pada beberapa kondisi medis, pasien dapat
mengalami kelelahan otot pernapasan yang menyebabkan kesulitan bernapas. Ventilasi mekanik
dapat membantu mengurangi beban kerja pernapasan dan memberikan waktu untuk pemulihan
otot-otot pernapasan.
4. Meningkatkan kemungkinan penyembuhan: Ventilasi mekanik dapat memberikan dukungan
pernapasan yang diperlukan bagi pasien yang sakit berat atau setelah operasi, sehingga
memungkinkan tubuh fokus pada proses penyembuhan.
5. Meningkatkan kualitas tidur dan istirahat: Ventilasi mekanik dapat membantu pasien tidur dan
istirahat dengan lebih baik karena pernapasannya dibantu oleh mesin ventilator.

Pada saat melakukan setting ventilasi mekanik, beberapa parameter yang harus diatur meliputi:

1. Volume tidal (VT): Jumlah udara yang dihembuskan oleh mesin ventilator pada setiap siklus
pernapasan.
2. Respiratory rate (RR): Frekuensi pernapasan per menit yang diatur oleh mesin ventilator.
3. FIO2: Konsentrasi oksigen dalam udara yang dihembuskan oleh mesin ventilator, biasanya diatur
sebagai persentase.
4. PEEP (Positive End-Expiratory Pressure): Tekanan positif pada akhir ekspirasi yang diatur untuk
mencegah kolaps paru-paru dan meningkatkan efisiensi pertukaran gas.
5. Jenis ventilasi: Terdapat berbagai mode ventilasi mekanik yang dapat dipilih sesuai kebutuhan
pasien, seperti ventilasi volume terkontrol (volume control ventilation), tekanan terkontrol
(pressure control ventilation), atau ventilasi tekanan-terkontrol dengan volume target (pressure-
regulated volume control ventilation).
6. Pengaturan lainnya: Ada parameter lain seperti inspiratory-expiratory ratio (I:E ratio), flow rate,
dan sensitivity yang juga perlu diatur dengan sesuai.

4. Tujuan dilakukan suctioning pada pasien terpasang ventilator (ETT dan Tracheostomi) dengan
tehnik 3A (asianotik, atraumatik aseptik)

Tujuan dilakukan suctioning pada pasien terpasang ventilator dengan ETT (Endotrakeal Tube)
atau trakeostomi adalah untuk:

1. Memastikan patensi saluran napas: Penghisapan lendir dilakukan untuk menjaga saluran napas
tetap terbuka dan bebas dari lendir, sekret, atau benda asing yang dapat menyebabkan
penyumbatan dan mengganggu pernapasan pasien.
2. Mencegah komplikasi: Penghisapan lendir membantu mengurangi risiko aspirasi, yaitu
masuknya lendir atau sekret ke dalam paru-paru, yang dapat menyebabkan infeksi paru-paru dan
komplikasi lainnya.
3. Meningkatkan pertukaran gas: Dengan menghilangkan lendir dari saluran napas, ventilasi
mekanik akan lebih efisien dalam memberikan oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari
paru-paru pasien.
4. Meningkatkan kenyamanan pasien: Penghisapan lendir yang teratur membantu mengurangi
kesulitan bernapas dan ketidaknyamanan yang mungkin dialami oleh pasien.
Teknik 3A dalam suctioning:

1. Asianotik: "Asianotik" mengacu pada pendekatan yang dilakukan dengan cepat dan efisien.
Penghisapan lendir harus dilakukan dengan cepat untuk meminimalkan durasi kontak antara
kateter suction dengan mukosa saluran napas. Hal ini dapat mengurangi potensi stimulasi vagal,
yang bisa menyebabkan refleks batuk, bradikardia, atau reaksi lain yang tidak diinginkan.
2. Atraumatik: "Atraumatik" berarti penghisapan lendir harus dilakukan dengan lembut dan hati-
hati untuk menghindari cedera atau iritasi pada jaringan di sekitar saluran napas. Penggunaan
tekanan yang terlalu kuat atau gerakan yang kasar dapat menyebabkan trauma pada mukosa dan
menyebabkan peradangan atau perdarahan.
3. Aseptik: "Aseptik" mengacu pada prinsip-prinsip kebersihan yang tinggi dalam melakukan
suctioning untuk mencegah kontaminasi atau infeksi pada pasien. Tenaga medis yang melakukan
suctioning harus memastikan untuk mencuci tangan dengan sabun dan air atau menggunakan
hand sanitizer sebelum dan setelah melakukan prosedur. Selain itu, peralatan yang digunakan
harus bersih dan disterilkan dengan tepat.
5. Melakukan monitoring dan evaluasi pasien dengan ventilator di IGD
Beberapa aspek yang perlu dipantau dan dievaluasi pada pasien dengan ventilator di IGD:
- Pernapasan dan saturasi oksigen: Pemantauan frekuensi pernapasan, pola pernapasan, dan
saturasi oksigen (SpO2) adalah hal yang sangat penting. Perubahan frekuensi pernapasan
atau penurunan saturasi oksigen dapat menjadi tanda adanya masalah pernapasan atau
hipoksia.
- Tekanan ventilasi: Tekanan inspirasi dan ekspirasi yang diatur oleh mesin ventilator harus
dipantau dengan cermat untuk memastikan pasien tidak mengalami tekanan yang terlalu
tinggi atau rendah.
- Volume tidal: Volume udara yang dihembuskan oleh mesin ventilator pada setiap siklus
pernapasan harus dipantau untuk memastikan bahwa pasien mendapatkan ventilasi yang
adekuat.
- Pengaturan ventilasi: Parameter ventilasi seperti respiratory rate (RR), inspiratory-expiratory
ratio (I:E ratio), dan jenis mode ventilasi yang digunakan harus dikaji dan dievaluasi apakah
sudah sesuai dengan kondisi pasien.
- Monitor kardiovaskular: Pemantauan detak jantung (heart rate) dan tekanan darah penting
dilakukan untuk melihat adanya interaksi antara sistem pernapasan dan kardiovaskular.
- Tingkat kesadaran: Tingkat kesadaran pasien harus dipantau untuk mendeteksi perubahan
neurologis atau adanya hipoksia yang mempengaruhi fungsi otak.
- Drainase lendir dan sekresi: Jika pasien memiliki ETT atau trakeostomi, evaluasi drainase
lendir dan sekresi harus dilakukan untuk mencegah sumbatan.
- Evaluasi adanya komplikasi: Monitoring dan evaluasi juga mencakup deteksi dini adanya
komplikasi seperti pneumotoraks, perubahan pada kondisi paru-paru, atau infeksi.
- Respons terhadap terapi: Evaluasi bagaimana pasien merespons ventilasi mekanik dan
pengaturan ventilasi yang sudah diberikan. Jika ada masalah atau perubahan kondisi,
tindakan perbaikan perlu dilakukan.
- Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik reguler oleh tim medis harus dilakukan untuk
mengidentifikasi tanda-tanda klinis perubahan atau masalah yang mungkin timbul.
ELEMEN 9 : Memfasilitasi pemenuhan Cairan dan Elektrolit
1. Manajemen cairan dan elektrolit di IGD
Manajemen cairan dan elektrolit di IGD adalah aspek penting dalam perawatan pasien yang
mengalami kondisi darurat atau kritis. Tindakan yang tepat untuk menjaga keseimbangan cairan
dan elektrolit pada pasien ini dapat berpengaruh besar terhadap hasil perawatan dan pemulihan
pasien. Berikut adalah beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam manajemen cairan dan
elektrolit di IGD:
- Evaluasi status cairan dan elektrolit: Tim medis di IGD akan melakukan evaluasi cermat
terhadap status cairan dan elektrolit pasien dengan menggunakan pemeriksaan fisik, analisis
darah dan urin, serta pemantauan tanda-tanda vital. Data ini membantu menentukan
kebutuhan cairan dan elektrolit pasien.
- Resusitasi cairan: Pada pasien dengan kondisi darurat atau hipovolemia (kekurangan volume
darah), resusitasi cairan mungkin diperlukan untuk menggantikan volume darah yang hilang
dan mempertahankan tekanan darah yang adekuat.
- Pengaturan infus: Cairan intravena (IV) diberikan melalui infus untuk memenuhi kebutuhan
cairan pasien. Jenis dan jumlah cairan yang diberikan harus disesuaikan dengan kebutuhan
pasien, kondisi klinis, dan hasil pemantauan.
- Pemantauan ketat: Pasien di IGD akan dipantau secara ketat untuk memastikan
keseimbangan cairan dan elektrolitnya. Pemantauan berkelanjutan meliputi input dan output
cairan, elektrolit darah, dan tanda-tanda vital seperti tekanan darah, nadi, dan saturasi
oksigen.
- Pengaturan elektrolit: Jika pasien mengalami ketidakseimbangan elektrolit seperti
hipokalemia (kekurangan kalium) atau hiperkalemia (kelebihan kalium), maka pemberian
elektrolit melalui infus atau oral dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi ini.
- Manajemen diuretik: Jika pasien memiliki masalah terkait dengan retensi cairan, diuretik
(obat yang meningkatkan produksi urine) dapat diberikan untuk membantu mengeluarkan
kelebihan cairan dari tubuh.
- Pantauan output urine: Pemantauan output urine adalah salah satu cara untuk menilai
keseimbangan cairan pasien. Perubahan output urine dapat menjadi indikator adanya masalah
pada fungsi ginjal atau keseimbangan cairan.
- Manajemen gula darah: Pada pasien dengan diabetes atau masalah metabolisme glukosa,
pengaturan gula darah yang tepat juga penting dalam manajemen cairan dan elektrolit.
- Perhatikan kondisi khusus: Pasien dengan kondisi khusus seperti gagal jantung, gagal ginjal,
atau gangguan elektrolit mungkin memerlukan manajemen cairan dan elektrolit yang lebih
khusus dan berbeda.

2. Melakukan manajemen syok di IGD


Manajemen syok di IGD adalah tindakan kritis yang bertujuan untuk mengatasi kondisi darurat
yang mengancam nyawa di mana tubuh kehilangan kemampuan untuk menyediakan suplai darah
dan oksigen yang cukup ke jaringan dan organ vital. Syok dapat disebabkan oleh berbagai
kondisi, termasuk perdarahan berat, infeksi berat (sepsis), gagal jantung, reaksi alergi yang parah
(anafilaksis), atau kondisi lain yang menyebabkan penurunan tekanan darah atau masalah
sirkulasi.

Berikut adalah langkah-langkah umum dalam manajemen syok di IGD:

1. Identifikasi dan evaluasi: Tim medis harus segera mengidentifikasi tanda-tanda syok dan segera
melakukan evaluasi kondisi pasien untuk menentukan penyebabnya. Tanda-tanda syok meliputi
tekanan darah rendah (hipotensi), denyut nadi cepat (takikardia), kulit pucat atau sianosis,
pernapasan cepat, dan kesadaran yang menurun.
2. Resusitasi cairan: Jika syok disebabkan oleh hipovolemia atau kekurangan volume darah,
resusitasi cairan harus segera dilakukan. Cairan intravena (IV) yang sesuai diberikan untuk
menggantikan volume darah yang hilang dan meningkatkan tekanan darah.
3. Pemberian oksigen: Pasien dengan syok sering mengalami hipoksia (kekurangan oksigen). Oleh
karena itu, pemberian oksigen melalui masker atau kanula nasal diberikan untuk meningkatkan
kadar oksigen dalam darah.
4. Pengaturan ventilasi: Jika pasien mengalami gangguan pernapasan yang berat, ventilasi mekanik
dengan ventilator dapat diberikan untuk membantu mengatur pernapasan dan oksigenasi yang
lebih baik.
5. Pemberian obat-obatan: Obat-obatan seperti vasopresor (misalnya norepinefrin) dapat diberikan
untuk meningkatkan tekanan darah dengan menyempitkan pembuluh darah dan meningkatkan
perfusi jaringan. Obat-obatan lain seperti steroid, antihistamin, atau obat vasodilator juga dapat
diberikan sesuai dengan penyebab syok.
6. Manajemen penyebab: Setelah pasien stabil, tim medis akan berfokus pada manajemen penyebab
utama syok, misalnya penghentian pendarahan berat, pemberian antibiotik untuk infeksi berat,
atau perawatan khusus untuk gagal jantung atau kondisi lainnya.
7. Pemantauan dan evaluasi lanjutan: Pasien dengan syok akan dipantau secara ketat untuk
memastikan respons terhadap tindakan dan perawatan yang diberikan. Evaluasi terus menerus
diperlukan untuk mengidentifikasi perubahan atau perkembangan baru yang mungkin
mempengaruhi manajemen selanjutnya.
ELEMEN X : Melakukan identifikasi pada kasus kekerasan fisik pada anak & wanita
1. Jelaskan tata laksana awal pada kasus kekerasan fisik pada anak & wanita
Sesuai KepMenKes Sesuai KepMenKes RI No 1226/MenKes/SK/XII/2009
1. Korban / wali mendaftar ke bagian registrasi kemudian di IGD dilakukan triage.
2. Korban yang kondisi non kritis akan dirujuk ke PPT untuk mendapatkan pelayanan
pemeriksaan fisik, konseling psikologis & hukum, penunjang tambahan, medikolegal (VeR) &
pendampingan. Untuk mendapatkan VeR, korban perlu membawa surat permintaan VeR dari
Kepolisian
3. Jika RS tidak memiliki layanan konseling psikologis / hukum / shelter dapat dirujuk ke Polisi,
LSM, rumah aman/ shelter, Pusat pelayanan Terpadu Perempuan & Anak (P2TP2A)/ P2TPA/
PK2PA atau kembalikan ke keluarga bila tidak membahayakan.
4. Pada pelayanan kesehatan yang tidak memiliki PKT / PPT setelah masalah medisnya
tertangani dapat dirujuk ke pelayanan kesehatan yang memiliki PKT / PPT untuk mendapat
pelayanan lain yang dibutuhkan korban.
5. Korban yang dalam keadaan semi kritis akan ditangani di IGD sesuai dengan prosedur yang
berlaku. Apabila diperlukan, dapat dikonsultasikan / dirujuk ke spesialis terkait atau unit lain
seperti kamar bedah atau ICU
6. Korban dalam keadaan kritis akan mendapatkan pelayanan seperti korban semi kritis.
Pemeriksaan medikolegal bersamaaan dengan penanganan medis.
7. Apabila korban dari ICU atau ruang kritikal kemudian meninggal, lapor ke polisi maka akan
dilakukan otopsi untuk mendapatkan Visum et Repertum dari Kepolisian.
8. Apabila Nakes di RS menemukan pasien yang diduga korban kekerasaan maka dinilai
terlebih dahulu keadaan umumnya kemudian dikonsulkan ke PPT / PKT.
2. Jelaskan cara koordinasi dengan sub spesialis terkait
ELEMEN XI : Memfasilitasi kebutuhan mobilisasi pasien di IGD

1. Memfasilitasi kebutuhan mobilisasi pasien di IGD

Mobilisasi di IGD sangat penting untuk pasien yang datang dengan kondisi darurat atau
kegawatdaruratan medis. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan pasien menerima
perawatan segera dan tepat, serta mengurangi risiko komplikasi yang lebih lanjut. Berikut adalah
beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengidentifikasi kebutuhan mobilisasi di IGD:

1. Skala prioritas: Pasien di IGD akan dievaluasi berdasarkan tingkat kegawatdaruratannya. Pasien
dengan kondisi kritis dan potensi ancaman jiwa harus menjadi prioritas utama untuk mobilisasi
segera ke area perawatan intensif.
2. Ketersediaan fasilitas dan layanan: Kebutuhan mobilisasi juga akan dipengaruhi oleh
ketersediaan fasilitas dan layanan di rumah sakit. Jika rumah sakit memiliki fasilitas khusus atau
spesialis untuk mengatasi jenis kondisi tertentu, pasien harus segera dipindahkan ke area
tersebut.
3. Kondisi fisik dan medis pasien: Setiap pasien memiliki kondisi fisik dan medis yang berbeda-
beda. Mobilisasi harus disesuaikan dengan kondisi pasien, dan jika perlu, alat bantu atau
perlengkapan khusus harus disiapkan untuk membantu dalam proses mobilisasi.
4. Tenaga kesehatan dan peralatan: Untuk mobilisasi yang aman dan efektif, tenaga kesehatan yang
terlatih dan peralatan medis yang tepat harus tersedia untuk membantu pasien saat berpindah dari
satu tempat ke tempat lain.
5. Kolaborasi antar tim medis: Dalam situasi kegawatdaruratan, kolaborasi yang baik antara tim
medis sangat penting. Tim medis dari berbagai departemen harus bekerja sama untuk menyusun
rencana mobilisasi yang tepat dan memberikan perawatan yang terkoordinasi.
6. Pengawasan dan pemantauan: Setelah pasien berhasil dimobilisasi ke area perawatan yang
sesuai, pengawasan dan pemantauan terus-menerus perlu dilakukan untuk memastikan respons
yang tepat terhadap perubahan kondisi pasien.

Penting untuk dicatat bahwa setiap pasien di IGD harus dinilai secara individual dan rencana
perawatan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing. Identifikasi
kebutuhan mobilisasi ini merupakan bagian penting dari proses menyeluruh dalam memberikan
perawatan gawat darurat yang berkualitas.

ELEMEN XII : Mengelola asuhan keperawatan emergensi khusus

1. Melakukan asuhan keperawatan medikal emergensi*


Berikut adalah langkah-langkah umum dalam melakukan asuhan keperawatan medikal
emergensi:

1. Evaluasi awal: Saat pasien masuk ke IGD, lakukan evaluasi cepat untuk menilai tingkat
kegawatdaruratan. Prioritaskan pasien berdasarkan tingkat keparahan kondisi.
2. Stabilisasi: Jika ada ancaman nyawa segera, stabilkan pasien terlebih dahulu. Lakukan tindakan
medis yang diperlukan, seperti intubasi, memberikan oksigen, menghentikan perdarahan, atau
memberikan obat-obatan mendesak.
3. Komunikasi: Jalin komunikasi yang efektif dengan pasien dan keluarganya untuk memberikan
informasi mengenai kondisi pasien dan rencana perawatan.
4. Pengumpulan data: Dapatkan riwayat kesehatan pasien dan identifikasi faktor risiko yang
relevan. Catat tanda-tanda vital, gejala, dan perubahan kondisi dengan teliti.
5. Intervensi medis: Berikan perawatan sesuai dengan keadaan pasien, seperti pemberian obat-
obatan, terapi cairan intravena, pemantauan tanda vital secara ketat, atau tindakan medis lain
yang sesuai.
6. Kolaborasi tim: Bekerjasama dengan tim medis lainnya, termasuk dokter, perawat lain, teknisi,
dan spesialis, untuk menyusun rencana perawatan yang komprehensif dan terkoordinasi.
7. Pantau dan evaluasi: Terus pantau respons pasien terhadap intervensi dan tindakan yang
dilakukan. Evaluasi secara berkala untuk memastikan perbaikan atau mendeteksi perubahan
kondisi yang mungkin memerlukan perhatian lebih lanjut.
8. Dokumentasi: Catat semua tindakan dan observasi dengan cermat dalam catatan medis pasien.
Dokumentasi yang akurat adalah hal yang sangat penting dalam asuhan keperawatan medikal
emergensi.
9. Dukungan emosional: Berikan dukungan emosional kepada pasien dan keluarganya. Kondisi
medis emergensi dapat menimbulkan stres dan kecemasan, jadi penting untuk menunjukkan
empati dan kepedulian.
10. Jangan ragu untuk berkonsultasi: Jika Anda menghadapi situasi yang membingungkan atau
kompleks, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan rekan sejawat yang lebih berpengalaman atau
menghubungi dokter yang bertugas.

Ingatlah bahwa asuhan keperawatan medikal emergensi mengharuskan Anda untuk tetap tenang
dan mengutamakan keselamatan dan kesehatan pasien. Pengalaman, pengetahuan, dan
keterampilan profesional Anda akan berkontribusi pada keberhasilan perawatan yang efektif
dalam situasi darurat ini.
2. Melakukan asuhan keperawatan trauma emergensi*
Berikut adalah langkah-langkah umum dalam melakukan asuhan keperawatan trauma emergensi:

1. Evaluasi cepat: Ketika pasien tiba di IGD dengan cedera trauma, lakukan evaluasi cepat untuk
menilai tingkat keparahan cedera dan tingkat kegawatdaruratan. Prioritaskan pasien berdasarkan
tingkat keparahan kondisi.
2. Stabilisasi: Segera stabilkan pasien untuk mencegah lebih banyak kerusakan. Lakukan tindakan
medis mendesak, seperti kontrol perdarahan, pemberian oksigen, cek jalan nafas, dan cek
pernapasan.
3. ABCDE dalam penilaian trauma: Gunakan pendekatan ABCDE dalam penilaian trauma: (A)
Airway (jalan nafas) - pastikan jalan nafas terbuka dan tidak ada hambatan; (B) Breathing
(pernapasan) - periksa pernapasan dan berikan oksigen jika diperlukan; (C) Circulation
(peredaran darah) - periksa denyut nadi dan kendalikan perdarahan; (D) Disability (kelumpuhan)
- periksa tingkat kesadaran dan respons neurologis pasien; dan (E) Exposure (paparan) -
telanjangkan pasien untuk mengevaluasi seluruh tubuh dan cedera lainnya.
4. Pengumpulan data: Dapatkan riwayat kecelakaan atau cedera, serta informasi medis lainnya yang
relevan. Lakukan pemeriksaan fisik menyeluruh untuk mengidentifikasi cedera dan kelainan.
5. Intervensi medis: Berikan perawatan yang sesuai untuk setiap cedera. Ini mungkin mencakup
tindakan bedah darurat, pemberian obat-obatan penghilang rasa sakit, terapi cairan intravena,
atau tindakan medis lainnya sesuai dengan kondisi pasien.
6. Kolaborasi tim: Bekerjasama dengan tim medis lainnya, termasuk dokter bedah, ahli ortopedi,
ahli syaraf, dan spesialis lainnya, untuk merencanakan dan menyediakan perawatan yang tepat
untuk pasien.
7. Pantau dan evaluasi: Pantau respons pasien terhadap tindakan yang dilakukan secara ketat.
Evaluasi kondisi pasien secara berkala untuk memastikan perbaikan atau mendeteksi perubahan
yang memerlukan intervensi lebih lanjut.
8. Dokumentasi: Catat semua tindakan, observasi, dan rencana perawatan dalam catatan medis
pasien dengan akurat dan lengkap.
9. Dukungan emosional: Berikan dukungan emosional kepada pasien dan keluarganya. Kondisi
trauma emergensi dapat menimbulkan stres dan kecemasan, jadi tunjukkan empati dan perhatian.
10. Pencegahan infeksi: Pastikan kebersihan dan pencegahan infeksi saat merawat cedera terbuka.
Penggunaan sarung tangan dan sterilisasi peralatan sangat penting untuk mencegah infeksi
tambahan.

Ingatlah bahwa penanganan trauma emergensi memerlukan keterampilan medis dan keputusan
cepat. Asuhan keperawatan yang efektif dan tepat waktu dapat menyelamatkan nyawa pasien dan
meminimalkan dampak cedera yang serius. Tetap tenang, fokus, dan berkoordinasi dengan tim
medis lainnya untuk memberikan perawatan terbaik bagi pasien trauma.

3. Melakukan asuhan keperawatan anak emergensi*


Asuhan keperawatan anak di unit gawat darurat (emergensi) merupakan tantangan yang kritis
dan membutuhkan pendekatan yang berbeda karena anak-anak memiliki kebutuhan khusus
dalam perawatan medis. Berikut adalah langkah-langkah umum dalam melakukan asuhan
keperawatan anak di unit gawat darurat:

1. Penilaian awal: Lakukan evaluasi cepat untuk menilai tingkat keparahan kondisi anak dan
tindakan yang dibutuhkan. Pastikan juga untuk memprioritaskan anak-anak dengan kondisi
paling mengancam nyawa.
2. Komunikasi dengan anak dan orang tua: Ajak anak dan orang tua berbicara dengan bahasa yang
mudah dimengerti dan sesuai dengan usia anak. Berikan penjelasan yang tepat tentang tindakan
medis yang akan dilakukan.
3. Pendekatan ramah anak: Perhatikan prinsip pendekatan ramah anak dalam memberikan
perawatan. Buat suasana nyaman dan dukungan untuk anak agar merasa aman dan tenang selama
perawatan medis.
4. Pengumpulan data: Dapatkan riwayat kesehatan anak, termasuk riwayat penyakit sebelumnya,
alergi, obat-obatan yang sedang dikonsumsi, dan kondisi medis keluarga yang relevan.
5. Penilaian tanda-tanda vital: Periksa tanda-tanda vital anak, termasuk denyut nadi, tekanan darah,
frekuensi pernapasan, dan suhu tubuh. Rekam hasil penilaian secara teratur.
6. Penilaian nyeri: Jangan lupakan penilaian nyeri pada anak. Gunakan skala nyeri yang sesuai
dengan usia anak untuk mengevaluasi tingkat nyeri dan berikan pengobatan sesuai kebutuhan.
7. Intervensi medis: Berikan perawatan yang sesuai untuk kondisi anak. Ini mungkin meliputi
pemberian obat-obatan, terapi cairan intravena, perawatan luka, atau tindakan medis lainnya
sesuai dengan kondisi pasien.
8. Dukungan emosional: Berikan dukungan emosional kepada anak dan orang tua. Kehadiran orang
tua atau anggota keluarga dapat membantu mengurangi kecemasan anak.
9. Kolaborasi dengan tim medis lainnya: Bekerjasama dengan dokter, perawat, dan spesialis
lainnya dalam merencanakan dan menyediakan perawatan yang sesuai untuk anak.
10. Dokumentasi: Catat semua tindakan, observasi, dan rencana perawatan dalam catatan medis anak
dengan akurat dan lengkap.
11. Penggunaan alat bantu dan teknologi: Selama merawat anak, gunakan alat bantu dan teknologi
khusus yang sesuai dengan ukuran dan kebutuhan anak.

Asuhan keperawatan anak emergensi memerlukan keterampilan, pengetahuan, dan kepekaan


khusus dalam merawat anak-anak dengan kondisi medis yang mengancam nyawa. Ingatlah untuk
selalu berfokus pada keselamatan dan kenyamanan anak serta melakukan intervensi dengan
segera dan tepat untuk memberikan perawatan terbaik bagi pasien kecil ini.
4. Melakukan asuhan keperawatan kardiovaskuler emergensi*
Asuhan keperawatan kardiovaskuler emergensi adalah tindakan medis yang mendesak dan kritis
dalam merawat pasien dengan kondisi kardiovaskuler yang mengancam nyawa, seperti serangan
jantung, gagal jantung akut, aritmia berat, atau gangguan sirkulasi akut. Berikut adalah langkah-
langkah umum dalam melakukan asuhan keperawatan kardiovaskuler emergensi:

1. Evaluasi cepat: Saat pasien dengan kondisi kardiovaskuler emergensi tiba di unit gawat darurat,
lakukan evaluasi cepat untuk menilai tingkat keparahan kondisi dan tindakan yang harus segera
dilakukan.
2. Stabilisasi: Segera stabilkan pasien untuk mencegah lebih banyak kerusakan pada jantung dan
sirkulasi. Pastikan jalan nafas terbuka, berikan oksigen, dan pantau tanda-tanda vital seperti
tekanan darah, denyut nadi, dan pernapasan.
3. EKG (Elektrokardiogram): Lakukan EKG segera untuk menilai aktivitas listrik jantung dan
mendeteksi adanya aritmia atau perubahan iskemik pada jantung.
4. Pengumpulan data: Dapatkan riwayat kesehatan pasien, termasuk riwayat penyakit jantung
sebelumnya, riwayat keluarga, dan obat-obatan yang sedang dikonsumsi.
5. Pemberian obat-obatan: Berikan obat-obatan yang diperlukan sesuai dengan protokol medis dan
kondisi pasien, seperti nitrogliserin untuk mengurangi beban kerja jantung atau aspirin untuk
mencegah pembekuan darah.
6. Terapi cairan: Pemberian terapi cairan intravena mungkin diperlukan untuk menjaga sirkulasi
darah yang adekuat.
7. Perawatan luka: Jika pasien mengalami cedera yang terkait dengan kondisi kardiovaskuler
emergensi, berikan perawatan luka yang sesuai.
8. Observasi ketat: Pantau tanda-tanda vital pasien secara terus-menerus dan perhatikan responsnya
terhadap intervensi medis.
9. Kolaborasi dengan tim medis lainnya: Bekerjasama dengan dokter, perawat, ahli kardiologi, dan
spesialis lainnya dalam merencanakan dan menyediakan perawatan yang tepat untuk pasien.
10. Edukasi pasien dan keluarga: Berikan penjelasan tentang kondisi pasien, tindakan medis yang
dilakukan, dan rencana perawatan selanjutnya. Edukasi pasien dan keluarga tentang langkah-
langkah pencegahan dan perubahan gaya hidup yang diperlukan untuk mengurangi risiko
kardiovaskuler di masa depan.
11. Dokumentasi: Catat semua tindakan, observasi, dan rencana perawatan dalam catatan medis
pasien dengan akurat dan lengkap.

Asuhan keperawatan kardiovaskuler emergensi memerlukan keterampilan medis yang cermat


dan keputusan cepat. Selalu prioritaskan keselamatan pasien dan berkoordinasi dengan tim medis
lainnya untuk memberikan perawatan yang optimal dan sesuai standar pada kondisi emergensi
ini.

Anda mungkin juga menyukai