Anda di halaman 1dari 63

KEPERAWATAN ANESTESI

I. Melakukan pengkajian,analisis data dan menentukan perencanaan asuhan


keperawatan
1. Mengetahui permasalahan medis pasien:Status fisik American Society of
Anesthesiologist(ASA), Faktor penyulit lain, Score Mallampati (Evaluasi yang dilakukan pada
tenggorokan pasien sebelum dilakukan laryngoscopi)
Status fisik American Society of Anesthesiologists (ASA) adalah sistem penilaian yang
digunakan oleh anestesiolog untuk mengevaluasi status fisik pasien sebelum tindakan
anestesi. Sistem ini menggunakan klasifikasi dari ASA I hingga ASA V, di mana ASA I
menunjukkan status fisik yang sehat secara umum, sedangkan ASA V menunjukkan kondisi
yang sangat parah.
Faktor penyulit lain adalah berbagai kondisi atau faktor yang dapat mempengaruhi risiko atau
kesulitan dalam suatu prosedur medis tertentu. Contohnya termasuk penyakit kronis seperti
diabetes atau hipertensi, riwayat alergi terhadap obat-obatan tertentu, kehamilan, atau
gangguan pernapasan.
Skor Mallampati adalah sistem evaluasi yang digunakan untuk mengukur visibilitas struktur
anatomi tenggorokan pasien sebelum dilakukan laringoskopi. Skor ini dapat digunakan untuk
memprediksi tingkat kesulitan dalam prosedur intubasi atau pengendalian jalan napas
pasien. Skor Mallampati terdiri dari empat kategori, yaitu Mallampati I hingga Mallampati IV.
Mallampati I menunjukkan visibilitas lengkap dari arkus faring dan uvula, sedangkan
Mallampati IV menunjukkan visibilitas minimal atau tidak ada sama sekali.
2. Mampu menilai keadaan umum pasien berdasarkan ALDRETTE SCORE (Khusus Rawat
Inap) dan PADSS SCORE (Khusus Rawat Jalan
Saya dapat memberikan penjelasan mengenai ALDRETTE SCORE untuk pasien rawat inap
dan PADSS SCORE untuk pasien rawat jalan.
1. ALDRETTE SCORE (untuk pasien rawat inap): ALDRETTE SCORE adalah sistem
penilaian yang digunakan untuk mengevaluasi keadaan umum pasien yang akan
menjalani tindakan operasi atau prosedur anestesi. Skor ini membantu dalam
penentuan kelayakan pasien untuk anestesi dan pemulihan pascaoperasi. Skor
ALDRETTE mencakup beberapa faktor berikut ini:
 Kesadaran: Pasien yang sadar dan orientasi dengan baik mendapatkan skor 4,
sedangkan pasien yang tidak sadar mendapatkan skor 1.
 Tekanan darah: Pasien dengan tekanan darah normal mendapatkan skor 4,
sedangkan pasien dengan hipotensi berat mendapatkan skor 0.
 Nadi: Nadi normal mendapatkan skor 4, sedangkan nadi tidak teraba atau sangat
cepat mendapatkan skor 0.
 Peredaran darah: Pasien dengan peredaran darah yang baik mendapatkan skor 4,
sedangkan pasien dengan peredaran darah yang buruk mendapatkan skor 0.
 Warna kulit: Kulit pasien yang normal mendapatkan skor 4, sedangkan kulit yang
sianosis atau sangat pucat mendapatkan skor 0. Skor ALDRETTE berkisar antara 0
hingga 20, dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan keadaan umum pasien yang
lebih baik dan lebih cocok untuk tindakan operasi atau anestesi.
2. PADSS SCORE (untuk pasien rawat jalan): PADSS SCORE (Post-Anesthetic
Discharge Scoring System) adalah sistem penilaian yang digunakan untuk menilai
kelayakan pasien rawat jalan setelah menjalani tindakan anestesi. Skor PADSS
membantu dalam menentukan apakah pasien siap untuk dipulangkan atau
membutuhkan observasi lebih lanjut sebelum dipulangkan. Beberapa faktor yang
dinilai dalam PADSS SCORE antara lain:
 Kesadaran: Pasien yang sadar dan orientasi dengan baik mendapatkan skor 2,
sedangkan pasien yang mengantuk atau bingung mendapatkan skor 0.
 Nadi: Nadi pasien yang stabil dan normal mendapatkan skor 2, sedangkan nadi yang
tidak stabil mendapatkan skor 0.
 Nafas: Nafas pasien yang normal dan tidak ada keluhan mendapatkan skor 2,
sedangkan pasien dengan kesulitan bernapas mendapatkan skor 0.
 Nyeri: Pasien yang tidak merasakan nyeri atau nyeri terkendali dengan baik
mendapatkan skor 2, sedangkan pasien dengan nyeri yang tidak terkendali
mendapatkan skor 0.
 Mual/muntah: Pasien yang tidak merasakan mual atau muntah mendapatkan skor 2,
sedangkan pasien dengan mual/muntah mendapatkan skor 0. Skor PADSS berkisar
antara 0 hingga 10, dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan kelayakan pasien
yang lebih baik untuk dipulangkan.
Perlu diingat bahwa penilaian menggunakan ALDRETTE SCORE dan PADSS SCORE harus
dilakukan oleh tenaga medis yang berkualifikasi dan berpengalaman dalam penggunaan
skor-skor tersebut. Skor-skor tersebut digunakan sebagai panduan dalam pengambilan
keputusan medis dan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang relevan dalam perawatan
pasien.
3. Mampu memantau tingkat kesadaran dan reflex pasien
Beberapa metode umum yang digunakan untuk memantau tingkat kesadaran dan refleks
pasien saat anestesi antara lain:
1. Skala Kesadaran:
 Skala Kesadaran Glasgow (Glasgow Coma Scale/GCS): Skala ini digunakan
untuk menilai respons kesadaran pasien terhadap rangsangan verbal, respons
motorik, dan respons pupil. Skala ini memberikan penilaian numerik yang
mencakup rentang nilai antara 3 hingga 15, dengan nilai yang lebih rendah
menunjukkan tingkat kesadaran yang lebih rendah.
2. Pengamatan Klinis:
 Respons Terhadap Stimulus Verbal: Memantau apakah pasien merespons
perintah atau rangsangan verbal dari petugas medis.
 Respons Terhadap Stimulus Nyeri: Mengamati apakah pasien merespons
ketika ada rangsangan nyeri, seperti tusukan jarum atau jepitan kuat.
3. Monitor Kesadaran:
 Monitor Kesadaran Bispektral (Bispectral Index/BIS): Alat ini mengukur
aktivitas listrik di otak dan memberikan nilai numerik yang mencerminkan
tingkat kesadaran pasien. Rentang nilai BIS adalah antara 0 hingga 100,
dengan nilai lebih rendah menunjukkan tingkat kesadaran yang lebih rendah.
4. Monitor Refleks:
 Refleks Pupil: Memeriksa ukuran dan respons pupil terhadap pencahayaan
menggunakan alat pencahayaan khusus.
 Refleks Faringeal: Mengamati respons pasien terhadap rangsangan
tenggorokan, seperti refleks tersedak atau batuk.
Selama prosedur anestesi, tenaga medis yang bertanggung jawab akan secara terus-
menerus memantau tingkat kesadaran dan refleks pasien menggunakan kombinasi dari
metode di atas. Hal ini penting untuk memastikan pasien tetap dalam kondisi yang aman dan
stabil selama prosedur anestesi.
4. Mampu menilai hilangnya efek obat anestesi
Perawat yang terlatih dan memiliki pengetahuan yang memadai juga mampu menilai
hilangnya efek obat anestesi dari pasien. Meskipun penilaian dan pengelolaan anestesi
secara umum merupakan tanggung jawab dokter anestesi, perawat juga memiliki peran
penting dalam pemantauan pasien dan penilaian pemulihan pasca-anestesi.
Berikut ini adalah beberapa tanda dan tindakan yang dapat dilakukan oleh perawat untuk
menilai hilangnya efek obat anestesi:
1. Observasi Tingkat Kesadaran: Perawat dapat memantau tanda-tanda kesadaran
yang meningkat, seperti pasien yang mulai bangun dari tidur anestesi atau
memberikan respons terhadap rangsangan eksternal. Perawat juga dapat mengamati
adanya perubahan respons verbal dan motorik pasien.
2. Pemantauan Tanda Vital: Perawat memantau tanda vital pasien secara teratur,
termasuk tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan, dan suhu tubuh. Peningkatan
stabil dan normal dalam tanda-tanda vital dapat menunjukkan hilangnya efek obat
anestesi.
3. Evaluasi Fungsi Pernapasan: Perawat dapat memantau pernapasan pasien,
mengamati apakah pasien mulai bernafas secara spontan dan stabil. Pasien harus
mampu menjaga tingkat oksigenasi yang adekuat.
4. Pengamatan Refleks: Perawat dapat memeriksa kembalinya refleks pasien, seperti
refleks pupil terhadap cahaya, refleks batuk, refleks menelan, dan refleks lainnya.
5. Evaluasi Nyeri: Perawat dapat menilai tingkat nyeri pasien dan memberikan tindakan
sesuai protokol untuk mengendalikan nyeri setelah anestesi.
Perawat juga harus melaporkan setiap perubahan yang signifikan atau tanda-tanda yang
mencurigakan kepada dokter anestesi atau tim medis yang bertanggung jawab agar dapat
mengambil tindakan yang diperlukan.
Namun, penting untuk diingat bahwa penilaian hilangnya efek obat anestesi oleh perawat
harus didasarkan pada panduan dan protokol yang ditetapkan oleh rumah sakit atau lembaga
kesehatan tempat mereka bekerja.
5. Melakukan persiapan alat kesehatan sesuai dengan jenis anestesi: Scope, Tape, Airway,
Tube, Introducer, Connector, Suction (STATICS) pada teknik anestesi
Untuk melakukan persiapan alat kesehatan sesuai dengan jenis anestesi intubasi
(STATICS), berikut adalah penjelasan dan langkah-langkahnya:
1. Scope (Laringoskop): Scope atau laringoskop adalah alat yang digunakan untuk
melihat dan mengakses saluran napas bagian atas. Pilih laringoskop yang sesuai
dengan kebutuhan, seperti jenis Macintosh atau Miller, serta pastikan baterainya terisi
dengan baik.
2. Tape: Tape digunakan untuk memperkuat dan mengamankan tabung endotrakeal
atau tabung nasotrakeal setelah dimasukkan ke dalam saluran napas pasien.
Persiapkan tape yang cukup panjang dan sesuai dengan preferensi dan kebutuhan
Anda.
3. Airway: Airway adalah peralatan yang digunakan untuk menjaga saluran napas tetap
terbuka. Pilih ukuran airway yang sesuai dengan pasien, misalnya menggunakan oral
airway atau nasal airway.
4. Tube (Tabung Endotrakeal atau Nasotrakeal): Tabung endotrakeal atau nasotrakeal
digunakan untuk memasukkan udara ke paru-paru pasien secara langsung.
Persiapkan tabung endotrakeal atau nasotrakeal dengan ukuran yang sesuai dengan
pasien, serta pastikan tabung tersebut steril dan terhubung dengan ventilator atau
peralatan lainnya yang diperlukan.
5. Introducer (Bougie): Introducer, juga dikenal sebagai bougie, digunakan sebagai
bantuan saat memasukkan tabung endotrakeal ke dalam saluran napas pasien.
Pastikan introducer steril dan siap digunakan.
6. Connector: Connector adalah peralatan yang menghubungkan tabung endotrakeal
atau nasotrakeal dengan peralatan lain, seperti ventilator atau sumber oksigen.
Persiapkan connector yang sesuai dengan tabung yang digunakan.
7. Suction: Suction digunakan untuk membersihkan dan mengeluarkan lendir atau
cairan dari saluran napas pasien selama atau setelah intubasi. Pastikan suction
berfungsi dengan baik dan siap digunakan.
Setelah Anda mempersiapkan semua alat kesehatan di atas, pastikan untuk memeriksa
kembali sterilisasi, fungsionalitas, dan kecocokan ukuran dengan pasien sebelum melakukan
prosedur intubasi anestesi. Jika Anda tidak memiliki keahlian yang diperlukan atau tidak
yakin dalam melakukan intubasi anestesi, disarankan untuk meminta bantuan tenaga medis
yang terlatih dalam prosedur tersebut.
6. Menyiapkan mesin anestesi dan mesin monitor Invasive atau non Invasive tanda tanda
vital pasien
Untuk melakukan persiapan mesin anestesi dan mesin monitor tanda vital pasien, berikut
adalah beberapa langkah yang dapat Anda ikuti:
1. Mesin Anestesi:
 Pastikan mesin anestesi berada dalam kondisi yang baik dan terkalibrasi
dengan benar.
 Periksa ketersediaan pasokan gas seperti oksigen, udara bertekanan, dan gas
anestesi (misalnya, isoflurane atau sevoflurane).
 Periksa pengisian bahan bakar dan ketersediaan obat-obatan anestesi yang
diperlukan.
 Pastikan bahwa ventilator pada mesin anestesi berfungsi dengan baik dan
diatur sesuai dengan kebutuhan pasien.
 Periksa semua koneksi dan saluran pada mesin anestesi, serta pastikan tidak
ada kebocoran gas yang terdeteksi.
 Verifikasi setiap parameter yang diperlukan untuk pengaturan mesin anestesi,
seperti aliran gas, konsentrasi gas anestesi, dan tekanan yang ditetapkan.
2. Mesin Monitor Tanda Vital:
 Jika Anda menggunakan mesin monitor tanda vital invasif (seperti monitor
tekanan darah arteri atau monitor tekanan jalur arteri sentral), pastikan
peralatan invasifnya steril dan tersedia.
 Jika Anda menggunakan mesin monitor tanda vital non-invasif (seperti monitor
tekanan darah non-invasif atau monitor oksimetri denyut nadi), pastikan
peralatan tersebut berfungsi dengan baik dan terkalibrasi.
 Sambungkan sensor atau manset yang sesuai pada pasien untuk memonitor
tanda vital yang dibutuhkan, seperti tekanan darah, detak jantung, saturasi
oksigen, dan sebagainya.
 Pastikan monitor tanda vital terhubung dengan baik ke pasien dan menerima
sinyal yang akurat.
 Verifikasi pengaturan dan parameter pada mesin monitor tanda vital, termasuk
batas normal atau alarm yang diinginkan untuk setiap tanda vital yang
dipantau.
Selalu pastikan untuk mengikuti petunjuk penggunaan dan pedoman yang diberikan oleh
produsen untuk mengoperasikan mesin anestesi dan mesin monitor tanda vital dengan
benar. Lakukan pemeriksaan dan kalibrasi rutin secara teratur untuk menjaga fungsi dan
akurasi mesin-mesin tersebut. Jika Anda tidak memiliki keahlian yang diperlukan atau
merasa tidak yakin, selalu konsultasikan dengan tenaga medis yang terlatih atau ahli
anestesi untuk membantu Anda dalam mempersiapkan dan mengoperasikan peralatan
tersebut.
II. Melakukan komunikasi interpersonal dalam melaksanakan tindakan keperawatan
1. Mampu melakukan pra interaksi (Salam,menyampaikan identitas menanyakan pasien dan
keluarga)
berikut adalah contoh pra-interaksi dengan pasien yang akan menjalani tindakan anestesi:
1. Salam:
 Salam pembuka yang sopan dan ramah, seperti "Selamat pagi/siang/sore,
saya [nama Anda], dan saya akan menjadi anggota tim anestesi yang akan
merawat Anda hari ini."
2. Menyampaikan Identitas:
 Setelah salam, lanjutkan dengan menyampaikan identitas Anda, misalnya
"Saya adalah seorang [profesi Anda], dan saya akan menjadi bagian dari tim
yang merawat Anda selama tindakan anestesi."
3. Menanyakan Pasien dan Keluarga:
 Tanyakan nama pasien dengan penuh hormat, misalnya "Apakah nama Anda
adalah [nama pasien]?"
 Jika ada keluarga atau pendamping, sapa mereka dengan sopan, misalnya
"Selamat pagi/siang/sore, saya harap Anda adalah [nama
keluarga/pendamping]."
4. Menjelaskan Tindakan Anestesi:
 Setelah menyapa pasien dan keluarga, jelaskan secara singkat tentang
tindakan anestesi yang akan dilakukan, misalnya "Hari ini, kami akan
melakukan prosedur anestesi untuk membantu Anda merasa nyaman selama
tindakan yang akan dilakukan."
 Sampaikan dengan penuh perhatian bahwa tim anestesi akan memantau
kondisi Anda secara terus-menerus dan melakukan tindakan yang diperlukan
untuk menjaga keselamatan dan kenyamanan Anda selama prosedur.
Setelah menjelaskan tindakan anestesi, berikan kesempatan kepada pasien dan keluarga
untuk mengajukan pertanyaan atau menyampaikan kekhawatiran yang mereka miliki. Jadilah
pendengar yang empati dan sampaikan informasi dengan jelas dan lugas. Pastikan mereka
merasa terlibat dalam proses perawatan mereka dan bahwa kebutuhan mereka dihormati.
2. Melaporkan nilai hasil kritis pada pasien intra anestesi
Melaporkan nilai hasil kritis pada pasien intra anestesi sangat penting untuk menjaga
keselamatan dan kesejahteraan pasien. Berikut adalah contoh cara melaporkan nilai hasil
kritis kepada tim medis yang relevan:
1. Siapkan diri Anda:
 Pastikan Anda memiliki semua informasi yang diperlukan tentang pasien,
seperti nama pasien, nomor rekam medis, dan nilai hasil yang kritis.
2. Identifikasi tim medis yang relevan:
 Tentukan tim medis yang perlu diberi tahu tentang nilai hasil kritis tersebut,
seperti dokter anestesi atau perawat yang bertanggung jawab atas pasien
tersebut.
3. Salam dan identitas:
 Sapa tim medis dengan sopan, misalnya "Selamat pagi/siang/sore, saya
[nama Anda], dan saya sedang merawat pasien dalam tindakan anestesi."
4. Sampaikan informasi pasien:
 Berikan informasi penting tentang pasien, seperti nama pasien dan nomor
rekam medis, untuk mempermudah identifikasi pasien.
5. Sampaikan nilai hasil kritis:
 Sampaikan dengan jelas dan singkat hasil yang kritis, misalnya "Saya ingin
melaporkan bahwa nilai [jenis hasil] pada pasien ini mencapai nilai kritis.
Nilainya adalah [nilai hasil] yang melebihi batas normal."
6. Berikan konteks dan informasi tambahan:
 Jelaskan konteks nilai hasil tersebut, seperti waktu pengukuran, metode
pengukuran, dan perubahan nilai dari sebelumnya jika relevan.
 Sampaikan informasi tambahan yang dapat membantu tim medis memahami
situasi pasien, seperti gejala atau perubahan klinis yang mungkin terjadi.
7. Tanyakan tindakan yang diinginkan:
 Tanyakan kepada tim medis apakah ada tindakan tertentu yang mereka
inginkan untuk mengatasi nilai hasil kritis tersebut.
 Bersiaplah untuk memberikan informasi tambahan yang diperlukan oleh tim
medis.
8. Catat hasil laporan:
 Pastikan Anda mencatat dengan baik hasil laporan dan respons tim medis
untuk rujukan dan dokumentasi selanjutnya.
Selalu berkomunikasi dengan tenang, jelas, dan berfokus pada fakta saat melaporkan nilai
hasil kritis. Perhatikan protokol komunikasi yang ditetapkan oleh rumah sakit atau lembaga
kesehatan tempat Anda bekerja. Jika perlu, pastikan untuk mendapatkan bantuan dari atasan
atau rekan tim medis yang lebih berpengalaman dalam melaporkan nilai hasil kritis pada
pasien intra anestesi.

3. Melakukan kolaborasi penanganan pasien meninggal dikamar operasi


Kolaborasi penanganan pasien yang meninggal di ruang operasi adalah proses yang penting
untuk menghormati dan memastikan keamanan serta kenyamanan pasien serta memberikan
dukungan kepada tim medis yang terlibat. Berikut adalah langkah-langkah yang dapat diikuti
dalam kolaborasi penanganan pasien meninggal di kamar operasi:
1. Komunikasi dengan tim medis:
 Segera hubungi tim medis terkait yang terdiri dari dokter bedah, anestesiolog,
perawat, dan personel lain yang terlibat dalam perawatan pasien.
 Laporkan secara singkat kejadian bahwa pasien telah meninggal dan minta
mereka untuk bergabung di ruang operasi segera.
2. Jaga keheningan dan privasi:
 Mintalah semua anggota tim medis untuk menjaga keheningan dan
menghormati privasi pasien dan keluarga selama proses penanganan pasien
meninggal.
3. Dukungan emosional:
 Jangan lupa memberikan dukungan emosional kepada anggota tim medis
yang terlibat. Meninggalnya pasien di kamar operasi dapat menjadi momen
yang sulit bagi mereka. Tunjukkan empati dan sampaikan bahwa mereka
dapat mencari bantuan jika diperlukan.
4. Pemberitahuan kepada keluarga:
 Segera hubungi keluarga pasien dan beritahu mereka tentang kejadian yang
terjadi. Pastikan mereka mendapatkan informasi dengan sensitivitas dan jelas.
5. Tindakan penanganan pasien:
 Pastikan pasien diberi perawatan yang pantas dan penghormatan terakhir
yang layak.
 Jika ada prosedur atau dokumentasi khusus yang harus dilakukan setelah
kematian pasien, ikuti protokol yang ditetapkan oleh lembaga kesehatan
tempat Anda bekerja.
6. Diskusi dan evaluasi:
 Setelah situasi tenang, ajak tim medis terlibat untuk melakukan diskusi reflektif
mengenai kejadian dan proses penanganannya.
 Identifikasi dan diskusikan pelajaran yang dapat dipetik dari kejadian tersebut
untuk meningkatkan keamanan dan kualitas perawatan di masa mendatang.
7. Laporan dan dokumentasi:
 Pastikan semua tindakan dan kejadian terdokumentasi dengan baik sesuai
dengan kebijakan dan prosedur lembaga kesehatan.
 Laporan tersebut mungkin meliputi dokumen medis, laporan kejadian, dan
dokumentasi penanganan pasien meninggal.
Kolaborasi yang baik dengan tim medis, penghormatan terhadap privasi dan kebutuhan
keluarga, serta dokumentasi yang tepat sangat penting dalam penanganan pasien yang
meninggal di kamar operasi. Jangan ragu untuk mencari bantuan dan petunjuk dari atasan
atau koordinator yang ditunjuk dalam situasi ini.
4. Melakukan serah terima pasien pra dan paska operasi
Serah terima pasien pra dan paska pembiusan antara perawat adalah proses penting untuk
memastikan keselamatan dan kelancaran perawatan pasien. Berikut adalah langkah-langkah
yang dapat diikuti dalam serah terima pasien pra dan paska pembiusan antara perawat:
Serah Terima Pra Pembiusan:
1. Persiapan:
 Pastikan Anda memiliki informasi lengkap tentang pasien, termasuk riwayat
medis, riwayat pembiusan sebelumnya, rencana pembiusan, dan persiapan
khusus yang telah dilakukan sebelum pembiusan.
 Sediakan laporan pra-pembiusan yang mencakup informasi vital, alergi,
riwayat obat-obatan, riwayat penyakit, dan hasil pemeriksaan yang relevan.
2. Identifikasi pasien:
 Sapa perawat yang akan menerima serah terima dengan nama dan jabatan
Anda, dan kemudian tunjukkan identitas pasien dengan lengkap, termasuk
nama lengkap dan nomor rekam medis.
3. Informasi pra pembiusan:
 Sampaikan informasi tentang kondisi umum pasien sebelum pembiusan,
termasuk riwayat medis, gangguan kesehatan yang signifikan, alergi, obat-
obatan yang telah diberikan, dan hasil pemeriksaan laboratorium atau
radiologi yang relevan.
 Jelaskan persiapan pembiusan yang telah dilakukan, seperti puasa,
pemberian obat pra pembiusan, dan persiapan lain yang relevan.
4. Rencana pembiusan:
 Jelaskan rencana pembiusan yang telah disepakati, termasuk jenis pembiusan
yang akan digunakan, obat-obatan yang akan diberikan, teknik pembiusan
yang akan dilakukan, dan persiapan khusus yang diperlukan.
Serah Terima Paska Pembiusan:
1. Persiapan:
 Pastikan Anda memiliki informasi lengkap tentang pasien, termasuk riwayat
pembiusan, perawatan yang telah diberikan selama pembiusan, dan respons
pasien terhadap pembiusan.
2. Identifikasi pasien:
 Sapa perawat yang akan menerima serah terima dengan nama dan jabatan
Anda, dan kemudian tunjukkan identitas pasien dengan lengkap, termasuk
nama lengkap dan nomor rekam medis.
3. Informasi paska pembiusan:
 Sampaikan informasi tentang respons pasien terhadap pembiusan, termasuk
vital sign pasien, kondisi pasien setelah pembiusan, adanya komplikasi atau
perubahan kondisi yang signifikan, dan perawatan yang telah diberikan
selama pemulihan.
4. Rencana perawatan:
 Diskusikan rencana perawatan paska pembiusan yang telah disepakati,
termasuk pemantauan yang diperlukan, pengelolaan nyeri, instruksi paska
pembiusan kepada pasien, dan tindak lanjut yang direkomendasikan.
Selama serah terima, pastikan untuk berkomunikasi dengan jelas, mencatat informasi yang
penting, dan memberikan kesempatan kepada perawat untuk mengajukan pertanyaan atau
memberikan klarifikasi. Jaga kelancaran komunikasi dan berikan penjelasan yang dibutuhkan
untuk memastikan pasien menerima perawatan yang aman dan kontinu.
III. Menerapkan prinsip etika dalam keperawatan
1. Mampu menerapkan prinsip-prinsip moral selama berhubungan dengan pasien
Saat berhubungan dengan pasien pembiusan, menerapkan prinsip-prinsip moral dan etika
adalah penting untuk memberikan perawatan yang bermartabat dan menghormati kebutuhan
pasien. Berikut adalah prinsip-prinsip moral yang dapat diterapkan selama berhubungan
dengan pasien pembiusan:
1. Otonomi:
 Hormati hak otonomi pasien dalam membuat keputusan terkait pembiusan,
termasuk memberikan informasi yang jelas dan komprehensif mengenai
prosedur, risiko, dan manfaatnya.
 Libatkan pasien dalam proses pengambilan keputusan dan berikan
kesempatan untuk mengekspresikan preferensi atau kekhawatiran mereka.
 Pastikan bahwa persetujuan informiran telah diperoleh sebelum melakukan
pembiusan.

2. Keadilan:
 Pastikan distribusi sumber daya dan perawatan anestesi yang adil kepada
semua pasien, tanpa diskriminasi berdasarkan faktor-faktor seperti ras,
agama, gender, atau status sosial.
 Perhatikan alokasi sumber daya secara efisien dan bijaksana untuk
memaksimalkan manfaat bagi semua pasien yang membutuhkan pembiusan.
3. Non-malefikensi:
 Prioritaskan keselamatan pasien dengan menghindari risiko yang tidak perlu
atau merugikan selama pembiusan.
 Berikan perhatian dan kehati-hatian yang tepat untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya komplikasi atau cedera yang tidak diinginkan.
 Jaga agar pasien tetap nyaman dan bebas dari rasa sakit selama pembiusan.
4. Manfaat:
 Fokus pada kesejahteraan pasien dan upayakan manfaat terbesar bagi pasien
selama pembiusan.
 Lakukan pembiusan dengan tepat, efektif, dan dengan keahlian terbaik Anda
untuk memastikan hasil yang menguntungkan bagi pasien.
5. Kerahasiaan:
 Lindungi kerahasiaan informasi medis pasien dan jangan mengungkapkan
informasi pribadi pasien tanpa izin yang sah.
 Ikuti kebijakan dan regulasi yang berlaku terkait kerahasiaan dan privasi
pasien, termasuk penggunaan data medis secara etis dan aman.
6. Empati dan kepedulian:
 Tunjukkan empati dan kepedulian kepada pasien pembiusan, menghargai
perasaan, kekhawatiran, dan kebutuhan mereka.
 Dengarkan dengan aktif, berikan dukungan emosional, dan berusaha untuk
menjaga kehadiran yang memperkuat rasa aman dan nyaman bagi pasien.
7. Integritas:
 Bertindak dengan integritas dan jujur dalam semua interaksi dengan pasien,
menghindari konflik kepentingan, dan menjaga kepercayaan yang diberikan
oleh pasien.
 Hormati privasi pasien dan jangan menyalahgunakan kepercayaan yang
diberikan kepada Anda sebagai tenaga medis.
Menerapkan prinsip-prinsip moral ini akan membantu memastikan bahwa pasien pembiusan
diperlakukan dengan martabat dan penghormatan yang pantas. Ingatlah untuk selalu
mengikuti standar etika dan kebijakan lembaga kesehatan tempat Anda bekerja serta
mempertimbangkan kode etik profesional yang berlaku dalam praktik Anda.
2. Melakukan upaya penyelesaian masalah terkait etik dan legal keperawatan sesuai standar
prosedur
Dalam menghadapi masalah terkait etik dan legal dalam konteks pembiusan, penting untuk
mengikuti standar prosedur yang ditetapkan dan mengambil langkah-langkah yang sesuai.
Berikut adalah langkah-langkah yang dapat diambil untuk melakukan upaya penyelesaian
masalah terkait etik dan legal dalam pembiusan:
1. Kenali dan identifikasi masalah:
 Teliti dan pahami masalah etik dan legal yang muncul terkait dengan
pembiusan, seperti konflik kepentingan, kerahasiaan informasi pasien, atau
perbedaan dalam pengambilan keputusan.
2. Rujuk ke kode etik dan peraturan:
 Tinjau kode etik dan peraturan yang berlaku dalam praktik keperawatan dan
pembiusan, seperti kode etik keperawatan atau peraturan organisasi
kesehatan yang relevan.
 Pahami kewajiban dan tanggung jawab yang diatur oleh kode etik dan
peraturan tersebut.
3. Konsultasikan dengan tim medis dan ahli hukum:
 Diskusikan masalah dengan anggota tim medis, termasuk dokter dan perawat
yang berpengalaman dalam pembiusan.
 Jika diperlukan, minta saran dari ahli hukum yang memahami hukum
kesehatan terkait pembiusan.
4. Evaluasi opsi dan dampaknya:
 Identifikasi berbagai opsi yang mungkin untuk menyelesaikan masalah etik
dan legal yang dihadapi.
 Tinjau dampak dan konsekuensi dari setiap opsi yang ada, termasuk implikasi
etik, legal, dan profesional.
5. Diskusikan dengan pihak terkait:
 Lakukan diskusi terbuka dengan pihak terkait, termasuk pasien, keluarga, dan
tim medis, untuk mencapai pemahaman bersama dan mencari solusi yang
dapat diterima oleh semua pihak.
6. Dapatkan izin dan persetujuan yang sah:
 Pastikan bahwa semua tindakan yang diambil dalam penyelesaian masalah
etik dan legal telah mendapatkan izin dan persetujuan yang sah dari pasien
atau pihak yang berwenang.
7. Dokumentasikan dengan lengkap:
 Selalu dokumentasikan dengan lengkap semua proses, keputusan, dan
langkah-langkah yang diambil dalam penyelesaian masalah etik dan legal.
 Pastikan dokumentasi sesuai dengan persyaratan dan kebijakan lembaga
kesehatan.
8. Evaluasi dan pembelajaran:
 Setelah masalah teratasi, lakukan evaluasi terhadap proses penyelesaian
masalah dan identifikasi pelajaran yang dapat diterapkan untuk situasi serupa
di masa depan.
Penting untuk mencari bantuan dan nasihat dari individu yang berkompeten dalam hukum
kesehatan dan etika keperawatan dalam menghadapi masalah yang kompleks atau
kontroversial.
Kasus: Seorang perawat menghadapi dilema etik dan legal saat pasien yang telah
memberikan persetujuan informiran sebelum pembiusan, mengalami komplikasi yang
membutuhkan tindakan darurat yang tidak termasuk dalam persetujuan informiran awal.
Langkah-langkah untuk melakukan upaya penyelesaian masalah dalam kasus ini:
1. Kenali dan identifikasi masalah:
 Masalah yang dihadapi adalah kebutuhan untuk melakukan tindakan darurat
yang tidak termasuk dalam persetujuan informiran awal pasien.
2. Rujuk ke kode etik dan peraturan:
 Tinjau kode etik keperawatan dan peraturan terkait yang berlaku, seperti Kode
Etik Keperawatan atau kebijakan rumah sakit terkait persetujuan informiran
dan penanganan situasi darurat.
 Pahami kewajiban perawat dalam menjaga keselamatan pasien, tetapi juga
mempertimbangkan otonomi pasien dan persetujuan informiran yang telah
diberikan.
3. Konsultasikan dengan tim medis dan ahli hukum:
 Diskusikan masalah dengan dokter anestesi dan anggota tim medis lainnya
untuk mendapatkan pemahaman tentang perspektif mereka dan mencari
solusi yang dapat diterima.
 Jika diperlukan, minta nasihat dari ahli hukum yang berpengalaman dalam
hukum kesehatan terkait persetujuan informiran dan penanganan situasi
darurat.
4. Evaluasi opsi dan dampaknya:
 Identifikasi berbagai opsi yang mungkin, seperti melibatkan keluarga pasien
dalam pengambilan keputusan, menjelaskan secara jelas risiko dan manfaat
tindakan darurat kepada pasien, dan mempertimbangkan kesejahteraan dan
keselamatan pasien sebagai prioritas utama.
 Tinjau dampak dan konsekuensi dari setiap opsi, baik dari segi etika maupun
legal.
5. Diskusikan dengan pihak terkait:
 Libatkan pasien secara empati dan komunikatif, jelaskan situasi darurat yang
muncul, risiko yang terkait, dan tindakan yang direkomendasikan untuk
memastikan keselamatan pasien.
 Diskusikan dengan keluarga pasien untuk mencari pemahaman dan dukungan
mereka dalam membuat keputusan yang terbaik bagi keselamatan pasien.
6. Dapatkan izin dan persetujuan yang sah:
 Jika memungkinkan, jelaskan dengan jelas risiko dan manfaat tindakan
darurat kepada pasien dan upayakan untuk mendapatkan persetujuan yang
sah.
 Jika pasien tidak dapat memberikan persetujuan dalam situasi darurat,
pertimbangkan kesejahteraan dan keselamatan pasien sebagai prioritas
utama dan ikuti prosedur dan kebijakan rumah sakit terkait penanganan situasi
darurat.
7. Dokumentasikan dengan lengkap:
 Pastikan semua langkah dan keputusan yang diambil didokumentasikan
dengan lengkap dalam catatan medis pasien.
 Catat semua komunikasi dan diskusi yang terjadi dengan pasien, keluarga,
dan tim medis.
8. Evaluasi dan pembelajaran:
 Setelah masalah terselesaikan, lakukan evaluasi terhadap proses
penyelesaian masalah untuk mengidentifikasi pelajaran yang dapat diterapkan
di masa depan dalam penanganan situasi serupa.
Penting untuk selalu mengikuti aturan dan prosedur yang berlaku, serta mencari bantuan dan
nasihat dari individu yang berkompeten dalam bidang hukum kesehatan dan etika
keperawatan saat menghadapi masalah yang kompleks dan kontroversial.
3. Mengidentifikasi dilemma etik
Dilema etik adalah situasi di mana terdapat konflik antara nilai-nilai atau prinsip-prinsip etik
yang saling bertentangan, sehingga sulit untuk membuat keputusan yang jelas atau
memenuhi semua nilai yang terlibat. Berikut adalah beberapa contoh identifikasi dilema etik
dalam konteks pembiusan atau anestesi:
1. Otonomi Pasien vs. Kesejahteraan Pasien:
 Pasien memutuskan untuk tidak memberikan persetujuan informiran untuk
pembiusan yang penting bagi keselamatan dan kesejahteraannya. Dalam hal
ini, dilema timbul antara menghormati otonomi pasien untuk membuat
keputusan sendiri dan menjaga kesejahteraan pasien.
2. Kejujuran vs. Rahasia Medis:
 Pasien yang akan menjalani pembiusan mengungkapkan informasi yang dapat
membahayakan dirinya atau orang lain setelah pembiusan dilakukan. Dalam
hal ini, dilema muncul antara kewajiban perawat untuk menjaga rahasia medis
pasien dan kewajiban untuk mencegah kerugian atau bahaya bagi pasien atau
orang lain.
3. Distribusi Sumber Daya vs. Keadilan:
 Terdapat beberapa pasien yang membutuhkan pembiusan mendesak, tetapi
sumber daya yang terbatas membuat tidak semua pasien dapat segera
mendapatkan pembiusan. Dalam hal ini, dilema timbul antara distribusi
sumber daya yang adil untuk semua pasien dan kebutuhan mendesak pasien
tertentu.
4. Prinsip Non-Malefikensi vs. Kebebasan Penelitian:
 Seorang perawat diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian yang
melibatkan pembiusan pada pasien dengan kondisi yang berisiko tinggi.
Dalam hal ini, dilema timbul antara prinsip non-malefikensi untuk tidak
menyebabkan cedera atau kerugian pada pasien dan kebebasan penelitian
untuk meningkatkan pengetahuan dan perawatan medis.
5. Norma Agama vs. Standar Profesional:
 Pasien yang menjalani pembiusan menentang penggunaan produk atau teknik
tertentu karena bertentangan dengan keyakinan agama mereka. Dalam hal ini,
dilema muncul antara menghormati keyakinan agama pasien dan mematuhi
standar profesi dan praktik medis yang berlaku.
Setiap dilema etik harus dievaluasi secara cermat dengan mempertimbangkan nilai-nilai etik
yang terlibat, hukum dan peraturan yang berlaku, serta pertimbangan keamanan,
kesejahteraan, dan otonomi pasien. Dalam situasi dilema etik, konsultasi dengan rekan
seprofesi, tim medis, atau ahli etik dapat membantu dalam mencari solusi yang paling tepat
dan bermartabat.
4. Mampu memperlihatkan sikap sabar,respek dan sopan pada pasien pembiusan
Menunjukkan sikap sabar, penghargaan, dan sopan saat berinteraksi dengan pasien
pembiusan sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang nyaman, aman, dan
mendukung bagi pasien. Berikut adalah beberapa cara untuk menunjukkan sikap sabar,
penghargaan, dan sopan pada pasien pembiusan:
1. Sapa dengan hormat: Sapa pasien dengan ramah dan hormat menggunakan bahasa
yang sopan. Gunakan nama pasien dengan tepat dan perhatikan bahasa tubuh yang
menunjukkan penghormatan.
2. Dengarkan secara aktif: Berikan perhatian penuh saat pasien berbicara. Dengarkan
dengan sabar dan jangan terburu-buru dalam memberikan respons. Tunjukkan minat
dan empati terhadap kekhawatiran atau pertanyaan pasien.
3. Jaga komunikasi yang jelas: Gunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti
saat menjelaskan proses pembiusan, risiko, dan manfaatnya. Sampaikan informasi
dengan jelas dan terbuka untuk memastikan pasien memahami dan dapat membuat
keputusan yang terinformasi.
4. Bersikap empati: Tunjukkan empati dan perhatian terhadap perasaan dan kecemasan
pasien. Jadilah pendengar yang baik dan sampaikan pengertian pada pasien. Bantu
mengurangi ketakutan atau kecemasan yang mungkin dialami pasien dengan
memberikan dukungan dan kenyamanan.
5. Bersabar dalam menjawab pertanyaan: Pasien mungkin memiliki banyak pertanyaan
sebelum pembiusan. Bersabarlah dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut
dengan penuh kejelasan. Jika ada pertanyaan yang tidak dapat Anda jawab,
berkomitmen untuk mencarikan jawaban atau mengarahkan pasien kepada anggota
tim medis yang dapat memberikan penjelasan lebih lanjut.
6. Hormati privasi dan batasi gangguan: Pastikan privasi pasien terjaga selama proses
pembiusan. Berikan kesempatan pasien untuk berbicara dengan tenang dan aman.
Batasi gangguan yang tidak perlu dari lingkungan sekitar untuk menciptakan suasana
yang tenang.
7. Jaga sikap yang ramah dan sopan: Sampaikan pesan dan instruksi dengan sikap
yang ramah dan sopan. Hindari nada suara yang keras atau kasar. Jaga kontak mata
yang memadai dan berikan senyuman yang tulus untuk menciptakan suasana yang
positif.
8. Tetap tenang dalam situasi sulit: Jika terjadi situasi sulit atau pasien menunjukkan
kecemasan atau ketakutan yang tinggi, tetap tenang dan berikan dukungan yang
diperlukan. Bantu pasien merasa nyaman dengan memberikan penjelasan tambahan
atau melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan.
Menunjukkan sikap sabar, penghargaan, dan sopan pada pasien pembiusan merupakan
bagian penting dari perawatan yang holistik dan menyeluruh. Sikap ini dapat membantu
membangun hubungan yang baik antara perawat dan pasien, menciptakan kepercayaan, dan
memberikan perasaan aman dan nyaman bagi pasien selama proses pembiusan.
IV. Menerapkan prinsip-prinsip pencegahan infeksi rumah sakit
1. Menerapkan bundle IDO (Infeksi Daerah Operasi) dan kewaspadaan standar bersama
Infection Prevention Control Nurse (IPCN) Link
kewaspadaan standar dalam mengendalikan infeksi di area anestesi, berikut beberapa
langkah umum yang biasanya diambil:
1. Menjaga kebersihan tangan: Pastikan semua petugas kesehatan di area anestesi
mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan setelah melakukan
tindakan, serta sebelum mengenakan sarung tangan steril.
2. Menggunakan perlengkapan pelindung diri: Semua petugas kesehatan yang terlibat
dalam prosedur anestesi harus menggunakan perlindungan diri yang sesuai, seperti
sarung tangan steril, masker, kacamata pelindung, dan jas pelindung.
3. Mensterilkan peralatan: Pastikan semua peralatan yang digunakan dalam prosedur
anestesi telah disterilkan dengan benar sebelum digunakan. Gunakan instrumen
sekali pakai jika memungkinkan.
4. Menjaga kebersihan lingkungan: Pastikan area anestesi tetap bersih dan bebas dari
kontaminasi. Bersihkan dan disinfeksi permukaan meja operasi, peralatan, dan area
sekitarnya secara teratur.
5. Praktik pengelolaan limbah medis: Mengelola limbah medis secara aman dan sesuai
dengan protokol pengelolaan limbah yang ditetapkan. Pastikan pembuangan jarum,
pisau bedah, dan limbah tajam lainnya dilakukan dengan aman.
6. Menyediakan edukasi dan pelatihan: Sediakan pelatihan yang tepat kepada petugas
kesehatan di area anestesi tentang prinsip-prinsip infeksi kontrol, serta tindakan yang
harus diambil untuk mencegah penyebaran infeksi.
Harap dicatat bahwa tindakan yang spesifik untuk mengendalikan infeksi di area anestesi
dapat berbeda-beda tergantung pada kebijakan dan pedoman yang diterapkan oleh lembaga
kesehatan masing-masing. Oleh karena itu, sangat disarankan untuk mengacu pada
kebijakan dan pedoman yang berlaku di lembaga atau wilayah Anda.
2. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan bundle HaiS
Bundle HAIs (Hand Hygiene, Antisepsis, Infeksi Daerah Operasi, Sterilisasi) adalah
serangkaian tindakan yang dirancang untuk mencegah infeksi terkait perawatan kesehatan di
area anestesi. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan bundle HaiS di area anestesi dapat
melibatkan langkah-langkah berikut:
1. Pemantauan Kepatuhan: Melakukan pemantauan untuk memastikan bahwa petugas
kesehatan di area anestesi mematuhi prosedur kebersihan tangan, antisepsis, infeksi
daerah operasi, dan sterilisasi. Ini dapat dilakukan melalui observasi langsung atau
menggunakan alat pemantauan elektronik, seperti sensor otomatis atau sistem
pelaporan kepatuhan.
2. Audit Infeksi Daerah Operasi: Melakukan audit reguler terhadap kejadian infeksi
daerah operasi yang terjadi di area anestesi. Hal ini melibatkan pengumpulan data
tentang jumlah dan jenis infeksi, faktor risiko yang terkait, dan kepatuhan terhadap
protokol infeksi daerah operasi. Audit ini dapat membantu mengidentifikasi area yang
perlu diperbaiki dan menerapkan tindakan pencegahan yang sesuai.
3. Evaluasi Praktik Sterilisasi: Memastikan bahwa semua peralatan yang digunakan di
area anestesi telah disterilkan dengan benar. Evaluasi ini melibatkan pemeriksaan
prosedur sterilisasi, pemeliharaan dan pengujian peralatan steril, serta validasi hasil
sterilisasi melalui penggunaan indikator biologi atau kimia.
4. Pelatihan dan Edukasi: Menyediakan pelatihan yang tepat kepada petugas kesehatan
di area anestesi tentang pentingnya kepatuhan terhadap bundle HaiS. Melakukan
evaluasi pengetahuan dan pemahaman mereka mengenai protokol dan prosedur
kebersihan, antisepsis, infeksi daerah operasi, dan sterilisasi. Memberikan umpan
balik dan pembaruan reguler terkait praktik terbaik dan perubahan kebijakan.
5. Kolaborasi Tim: Melibatkan semua anggota tim perawatan kesehatan di area anestesi
dalam pemantauan dan evaluasi pelaksanaan bundle HaiS. Mengadakan pertemuan
rutin untuk membahas hasil pemantauan, memberikan masukan, dan
mempromosikan komunikasi yang efektif dalam upaya meningkatkan kepatuhan dan
kualitas perawatan.
Melalui pemantauan dan evaluasi yang teratur, pelaksanaan bundle HaiS di area anestesi
dapat ditingkatkan dan langkah-langkah pencegahan infeksi dapat diterapkan secara efektif.
3. Melakukan koordinasi dengan IPCN Link terkait perawatan pasien transmisi: kontak
langsung dan airbone disease
Koordinasi dengan Infection Prevention Control Nurse (IPCN) Link sangat penting dalam
perawatan pasien yang mengalami transmisi penyakit kontak langsung dan penyakit yang
ditularkan melalui udara di area anestesi. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat
dilakukan dalam koordinasi tersebut:
1. Komunikasi dan Kolaborasi: Jalin komunikasi yang baik dengan IPCN Link untuk
mengidentifikasi pasien yang sedang atau berisiko mengalami transmisi penyakit
kontak langsung atau melalui udara. Diskusikan secara terbuka informasi penting,
seperti riwayat penyakit, gejala, dan tindakan pencegahan yang diperlukan.
2. Identifikasi dan Isolasi Pasien: Bersama-sama dengan IPCN Link, identifikasi pasien
yang memerlukan tindakan pencegahan khusus. Bantu dalam menyediakan ruangan
khusus atau memastikan bahwa pasien diisolasi dengan benar sesuai dengan
pedoman yang ditetapkan untuk penyakit kontak langsung dan melalui udara.
3. Pelatihan dan Edukasi: Dalam koordinasi dengan IPCN Link, pastikan petugas
kesehatan di area anestesi menerima pelatihan dan edukasi yang tepat tentang
tindakan pencegahan dan prosedur khusus yang harus diikuti saat merawat pasien
dengan transmisi penyakit kontak langsung dan melalui udara. Sediakan pembaruan
rutin tentang pedoman dan praktik terbaik.
4. Penggunaan Peralatan Pelindung Diri (APD): Pastikan petugas kesehatan di area
anestesi memahami dan menggunakan APD dengan benar, seperti masker, sarung
tangan, kacamata pelindung, dan jas pelindung. IPCN Link dapat membantu dalam
memberikan pedoman yang jelas mengenai APD yang sesuai untuk setiap situasi.
5. Pengendalian Infeksi Lingkungan: Koordinasikan dengan IPCN Link untuk
memastikan bahwa lingkungan di area anestesi dijaga kebersihannya. Bersama-
sama, identifikasi area yang memerlukan pembersihan dan desinfeksi lebih intensif,
termasuk permukaan meja operasi, peralatan, dan area sekitarnya.
6. Pemantauan dan Pelaporan: Bekerja sama dengan IPCN Link untuk melakukan
pemantauan dan pelaporan kejadian infeksi atau pelanggaran kepatuhan terkait
penyakit kontak langsung dan melalui udara. Tinjau data ini secara berkala untuk
mengidentifikasi tren atau masalah yang perlu diperbaiki.
Koordinasi yang erat dengan IPCN Link sangat penting untuk memastikan perawatan yang
aman dan pencegahan penyebaran penyakit di area anestesi. Pastikan untuk mengikuti
pedoman dan pedoman yang ditetapkan oleh lembaga kesehatan Anda dan bekerja sama
dalam mengidentifikasi dan mengatasi tantangan yang mungkin muncul.
V. Menggunakan tindakan pencegahan (langkah / tindakan) untuk mencegah cedera
pasien
1. Memberikan perawatan lingkungan yang aman pada pasien intra anestesi
Memberikan perawatan lingkungan yang aman pada pasien intra anestesi melibatkan
beberapa langkah penting untuk meminimalkan risiko infeksi dan memberikan kondisi yang
optimal bagi pasien. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil:
1. Kebersihan Tangan: Pastikan semua petugas kesehatan di area anestesi mencuci
tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan setelah melakukan tindakan
pada pasien. Kebersihan tangan yang baik sangat penting untuk mencegah
penyebaran infeksi.
2. Sterilisasi dan Disinfeksi Peralatan: Pastikan semua peralatan yang digunakan di area
anestesi telah disterilkan dengan benar sebelum digunakan pada pasien. Selain itu,
lakukan disinfeksi rutin pada permukaan meja operasi, peralatan, dan area sekitarnya
menggunakan agen disinfektan yang sesuai.
3. Pengelolaan Limbah Medis: Pastikan limbah medis di area anestesi dikelola dengan
benar sesuai dengan pedoman pengelolaan limbah yang ditetapkan. Tempatkan
limbah medis dalam wadah yang sesuai dan pastikan pembuangan limbah dilakukan
dengan aman.
4. Ventilasi yang Adekuat: Pastikan area anestesi memiliki sistem ventilasi yang
memadai untuk menjaga sirkulasi udara yang baik. Ventilasi yang baik membantu
mengurangi kontaminasi udara dan memastikan ketersediaan udara segar bagi
pasien dan petugas kesehatan.
5. Pengelolaan Bahan Kimia: Pastikan bahan kimia yang digunakan di area anestesi
disimpan dengan aman dan diatur sesuai dengan pedoman keamanan. Selalu ikuti
instruksi penggunaan yang tepat dan pastikan bahan kimia tidak mencemari
lingkungan atau berpotensi membahayakan pasien.
6. Kebersihan Ruangan: Menjaga kebersihan umum di area anestesi sangat penting.
Bersihkan secara teratur permukaan meja operasi, lantai, dinding, dan peralatan
lainnya. Pastikan ruangan terorganisir dan bebas dari benda-benda yang tidak perlu
yang dapat menjadi tempat penumpukan debu atau kontaminan lainnya.
7. Perlindungan Pasien Terhadap Penyakit: Jika ada pasien dengan risiko transmisi
penyakit tertentu, seperti pasien dengan infeksi menular atau kekebalan yang lemah,
pastikan mereka diisolasi dengan benar dan langkah-langkah pencegahan yang tepat
diambil untuk melindungi mereka dari paparan infeksi.
Selalu penting untuk mengacu pada pedoman dan kebijakan lembaga kesehatan Anda serta
berkoordinasi dengan petugas kesehatan lainnya, seperti IPCN Link, untuk memastikan
perawatan lingkungan yang aman dan optimal pada pasien intra anestesi.
VI. Mengukur tanda vital, EWSS, dan tatalaksana pasien dengan kasus anestesi
1. Melakukan pemeriksaan kondisi hemodinamik (Tekanan darah, nadi, jumlah perdarahan,
turgor kulit, serta tingkat nyeri pasien)
Pemeriksaan kondisi hemodinamik pada pasien pembiusan adalah langkah penting dalam
memantau stabilitas kardiovaskular dan keadaan pasien selama tindakan anestesi. Berikut
adalah beberapa pemeriksaan yang umum dilakukan:
1. Tekanan Darah: Mengukur tekanan darah pasien menggunakan sphygmomanometer
atau alat pengukur tekanan darah otomatis. Tekanan darah sistolik dan diastolik
dicatat dan dibandingkan dengan rentang normal untuk pasien tersebut.
2. Nadi: Mengukur denyut nadi pasien untuk mengevaluasi frekuensi dan ritme denyut
jantung. Nadi dapat dihitung secara manual dengan merasakan denyutan pada arteri
radial atau menggunakan alat pengukur denyut nadi otomatis.
3. Jumlah Perdarahan: Memantau jumlah perdarahan yang terjadi selama tindakan
anestesi. Ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan darah yang terkumpul dalam
perangkap darah atau menggunakan metode lain yang sesuai dengan jenis tindakan
yang dilakukan.
4. Turgor Kulit: Mengamati turgor kulit untuk mengevaluasi status hidrasi pasien. Kulit
yang lembap dan elastis biasanya merupakan indikasi hidrasi yang baik, sementara
kulit kering dan kurang elastis dapat menunjukkan dehidrasi.
5. Tingkat Nyeri Pasien: Mengevaluasi tingkat nyeri pasien menggunakan skala nyeri
yang sesuai, seperti skala nyeri numerik atau skala wajah. Meminta pasien untuk
menggambarkan tingkat nyeri yang mereka rasakan dapat membantu dalam menilai
efektivitas analgesia yang diberikan.
Selama pembiusan, pemeriksaan kondisi hemodinamik ini harus dilakukan secara berkala
sesuai dengan kebutuhan dan protokol yang ditetapkan. Jika ada perubahan signifikan dalam
parameter hemodinamik, perlu segera melaporkan hal tersebut kepada tim medis yang
bertanggung jawab untuk menangani situasi dengan cepat dan tepat.
2. Monitoring hemodinamik selama intra operatif pada fase Anestesi dengan alat monitor non
invasive
Selama fase anestesi intra operatif, monitoring hemodinamik yang akurat sangat penting
untuk memantau kestabilan kardiovaskular pasien. Beberapa alat monitor non-invasif yang
umum digunakan untuk memantau hemodinamik adalah sebagai berikut:
1. Monitor Tensi Nadi: Monitor tensi nadi non-invasif, seperti monitor tekanan darah
berbasis manset, dapat digunakan untuk mengukur tekanan darah sistolik dan
diastolik secara terus-menerus atau secara periodik. Monitor ini bekerja dengan cara
mengukur perubahan volume pembuluh darah di bawah manset saat denyut nadi
melalui ekstremitas.
2. Monitor Nadi: Monitor nadi non-invasif dapat mengukur denyut nadi pasien secara
kontinu menggunakan teknologi optik atau elektromagnetik. Sensor yang ditempatkan
pada jari, telinga, atau area lainnya mendeteksi perubahan volume darah dan
menghitung denyut nadi.
3. Oksimetri Nadi: Oksimetri nadi adalah alat yang digunakan untuk memantau kadar
oksigen dalam darah pasien secara non-invasif. Biasanya ditempatkan pada ujung jari
atau telinga dan memberikan informasi tentang tingkat oksigenasi darah pasien.
4. Kapnografi: Kapnografi non-invasif digunakan untuk memantau kadar karbon dioksida
(CO2) di dalam gas ekspirasi pasien. Alat ini memberikan informasi tentang ventilasi
pasien, deteksi apnea, dan kualitas pembiusan.
5. Elektrokardiogram (EKG): EKG non-invasif adalah alat yang digunakan untuk
memantau aktivitas listrik jantung pasien. Dengan menempatkan elektroda pada dada
atau ekstremitas, alat ini menghasilkan grafik yang menunjukkan ritme jantung dan
potensial aksi kardiovaskular.
Alat-alat ini dapat memberikan informasi penting tentang tekanan darah, denyut nadi,
oksigenasi, ventilasi, dan ritme jantung pasien selama fase anestesi. Namun, penting untuk
diingat bahwa monitoring non-invasif memiliki batasan dalam mendeteksi perubahan
hemodinamik yang lebih sensitif. Dalam beberapa situasi, mungkin diperlukan pemantauan
invasif seperti kateterisasi arteri untuk mendapatkan data hemodinamik yang lebih akurat.
Penting untuk mengikuti pedoman dan kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga kesehatan
Anda dalam pemilihan dan penggunaan alat monitor non-invasif yang tepat untuk
pemantauan hemodinamik intra operatif.
2. Menyiapkan trolley emergency / emergency kit untuk anestesi
Menyiapkan trolley emergency atau emergency kit yang terletak di area anestesi merupakan
langkah penting untuk menghadapi keadaan darurat yang mungkin terjadi selama prosedur
anestesi. Berikut adalah beberapa item penting yang dapat disiapkan dalam trolley
emergency:
1. Alat Resusitasi: Termasuk masker resusitasi, kateter udara, dan balon ambu untuk
memfasilitasi ventilasi dan resusitasi pasien dalam keadaan darurat.
2. Obat Darurat: Sediaan obat-obatan yang dibutuhkan untuk mengatasi keadaan
darurat, seperti epinefrin untuk penanganan syok anafilaksis, atropin untuk
bradikardia yang parah, atau nalokson untuk overdose obat-obatan.
3. Akses Vena Darurat: Sediaan jarum intravena, set infus, dan cairan intravena untuk
mendapatkan akses vena darurat dan memberikan cairan atau obat-obatan intravena
yang diperlukan.
4. Peralatan Intubasi dan Ventilasi: Termasuk laringoskop, tabung endotrakeal, masker
laringeal, dan peralatan ventilasi mekanis untuk memfasilitasi intubasi dan ventilasi
pasien dalam keadaan darurat.
5. Defibrilator: Alat defibrilator otomatis (AED) atau defibrilator manual yang dilengkapi
dengan elektroda untuk memberikan terapi listrik dalam penanganan aritmia jantung
yang mengancam nyawa.
6. Alat Pengukur Vital Sign: Termasuk monitor tekanan darah, monitor nadi, oksimetri
nadi, dan elektrokardiogram (EKG) untuk memantau tanda-tanda vital pasien selama
penanganan keadaan darurat.
7. Perangkat Energi: Misalnya, perangkat untuk memberikan kejutan listrik eksternal
(external defibrillator) atau perangkat elektrik lainnya yang mungkin diperlukan untuk
penanganan keadaan darurat tertentu.
Selain item-item di atas, pastikan juga untuk menyediakan alat bantu pernapasan, obat-
obatan tambahan sesuai kebijakan lembaga kesehatan, peralatan pembedahan kecil,
perban, sarung tangan steril, alat-alat kebersihan, dan instrumen medis dasar lainnya yang
mungkin diperlukan dalam situasi darurat.
Pastikan trolley emergency selalu terisi dan tersedia di tempat yang mudah diakses dan
diketahui oleh seluruh tim anestesi. Lakukan inspeksi dan pemeliharaan rutin untuk
memastikan bahwa semua peralatan dalam kondisi baik dan tidak melebihi tanggal
kedaluwarsa. Sertakan juga panduan penggunaan dan prosedur darurat dalam trolley
emergency untuk memandu tindakan tim dalam situasi yang membutuhkan penanganan
cepat.
4. Mampu mengidentifikasi respon pasien setelah dilakukan tindakan
Setelah dilakukan tindakan pembiusan pada pasien, penting untuk memantau dan
mengidentifikasi respons pasien sebagai bagian dari perawatan dan evaluasi yang
berkelanjutan. Berikut adalah beberapa aspek respons pasien yang perlu diamati:
1. Kesadaran: Amati tingkat kesadaran pasien setelah pembiusan. Pasien seharusnya
bangun dari anestesi dan memperlihatkan respons terhadap rangsangan, seperti
suara atau sentuhan. Perhatikan apakah pasien sadar sepenuhnya atau masih dalam
keadaan mengantuk. Jika ada ketidaknormalan, seperti kebingungan atau keadaan
tidak sadar yang berlanjut, segera laporkan kepada tim medis.
2. Pernapasan: Perhatikan pola pernapasan pasien. Pasien seharusnya memiliki
pernapasan yang teratur dan adekuat. Pantau frekuensi pernapasan, kedalaman, dan
kemampuan pasien untuk bernapas sendiri setelah tindakan pembiusan. Jika ada
kesulitan pernapasan atau perubahan dalam pola pernapasan, hubungi tim medis
dengan segera.
3. Sistem Kardiovaskular: Amati respons kardiovaskular pasien setelah pembiusan.
Perhatikan tekanan darah dan denyut nadi pasien. Monitor monitor tekanan darah
non-invasif atau menggunakan metode invasif jika diperlukan. Perhatikan adanya
hipotensi (tekanan darah rendah) atau hipertensi (tekanan darah tinggi) yang
berlebihan. Juga, perhatikan denyut nadi pasien untuk menilai ritme dan frekuensinya.
4. Oksigenasi: Gunakan oksimetri nadi untuk memantau tingkat oksigen dalam darah
pasien. Perhatikan kejadian desaturasi oksigen (penurunan tingkat oksigen) dan
segera tanggapi dengan memberikan oksigen tambahan jika diperlukan.
5. Tingkat Nyeri: Tanyakan kepada pasien tentang tingkat nyeri yang dirasakannya
setelah pembiusan. Gunakan skala nyeri numerik atau skala wajah untuk mengukur
intensitas nyeri. Amati respons pasien terhadap analgesia yang diberikan dan
pastikan pengelolaan nyeri yang adekuat.
6. Keadaan Umum: Amati secara keseluruhan keadaan pasien setelah pembiusan.
Perhatikan tanda-tanda vital seperti suhu tubuh, warna kulit, kelembaban kulit, dan
tanda-tanda umum lainnya. Jika ada perubahan signifikan dalam keadaan umum
pasien, laporkan kepada tim medis.
Penting untuk mencatat dan melaporkan respons pasien kepada tim medis yang
bertanggung jawab. Jika terdapat tanda-tanda atau gejala yang tidak normal, segera
komunikasikan kepada petugas kesehatan untuk mendapatkan evaluasi dan intervensi yang
sesuai.
VII. Memfasilitasi pemenuhan kebutuhan bersihan jalan napas dan oksigen
1. Melakukan Management Airway seperti Head tilt- Chin lift-jaw thrust, pemberian Bag Mask
Ventilation (BMV), pemasangan Oro[haringeal Air Way (OPA), face mask dengan
pendampingan dokter anestesi
Manajemen jalan napas adalah aspek penting dalam perawatan pasien selama tindakan
anestesi. Berikut adalah langkah-langkah dalam manajemen jalan napas yang mencakup
Head tilt-chin lift-jaw thrust, pemberian Bag Mask Ventilation (BMV), pemasangan
Oropharyngeal Airway (OPA), dan penggunaan face mask dengan pendampingan dokter
anestesi:
1. Head tilt-chin lift-jaw thrust (Menganggukkan kepala-dorong dagu-tarik rahang):
 Pastikan kepala pasien dalam posisi netral atau sedikit ekstensi leher.
 Letakkan tangan di dahi pasien dan angkat sedikit ke atas (head tilt) sambil
menekan dagu ke atas (chin lift).
 Jika masih ada kesulitan, lakukan jaw thrust (tarik rahang ke depan) dengan
menggunakan kedua tangan untuk memastikan bahwa jalan napas terbuka.
2. Pemberian Bag Mask Ventilation (BMV):
 Pasang masker wajah dengan tepat di atas hidung dan mulut pasien.
 Gunakan tangan yang lain untuk memegang masker dengan erat di wajah
pasien untuk mencegah kebocoran udara.
 Pumpungkan udara dengan menggunakan ambu bag atau alat ventilasi
manual untuk memberikan ventilasi yang adekuat.
3. Pemasangan Oropharyngeal Airway (OPA):
 Pilih ukuran OPA yang sesuai dengan ukuran mulut pasien.
 Tempatkan OPA dengan ujung yang lebih lebar menghadap ke langit-langit
(serta melalui lidah) dan bagian melengkung mengikuti lengkungan belakang
faring.
 Pastikan bahwa OPA telah terpasang dengan baik untuk menjaga jalan napas
terbuka dan menghindari obstruksi.
4. Face mask dengan pendampingan dokter anestesi:
 Dokter anestesi akan memasang face mask yang sesuai di wajah pasien
untuk memberikan anestesi inhalasi.
 Dokter anestesi akan mengamati dan memantau posisi dan pasokan oksigen
selama prosedur untuk memastikan jalan napas tetap terbuka dan pasien
mendapatkan ventilasi yang cukup.
Penting untuk dilakukan dengan hati-hati dan sesuai dengan panduan dan kebijakan yang
ditetapkan. Selalu penting untuk berkoordinasi dengan dokter anestesi dan mengikuti
pedoman dan praktik terbaik yang relevan dalam manajemen jalan napas untuk memastikan
keamanan dan kenyamanan pasien selama tindakan anestesi.
2. Pemberian anestesi umum dengan pemasangan mask pada pasien operasi elektif dengan
pendampingan dokter anestesi
Pemberian anestesi umum dengan pemasangan mask pada pasien operasi elektif adalah
prosedur yang umum dilakukan. Berikut adalah langkah-langkah umum yang dilakukan
dengan pendampingan dokter anestesi:
1. Persiapan Pasien: Pasien akan diposisikan secara nyaman di atas meja operasi.
Pasien akan diberikan monitor yang tepat, seperti monitor tekanan darah, oksimetri
nadi, dan elektrokardiogram (EKG), untuk pemantauan selama prosedur.
2. Evaluasi Pra-anestesi: Dokter anestesi akan melakukan evaluasi pramenan pada
pasien, termasuk riwayat medis, riwayat obat-obatan yang dikonsumsi, dan reaksi
alergi. Informasi ini penting untuk merencanakan anestesi yang aman dan efektif.
3. Persiapan Masker Anestesi: Dokter anestesi akan mempersiapkan masker anestesi
yang sesuai dengan ukuran dan tipe pasien. Masker akan dipasang dengan hati-hati
untuk memastikan seluruh hidung dan mulut tertutup.
4. Pemantauan Selama Anestesi: Dokter anestesi akan memantau tanda-tanda vital
pasien selama pemberian anestesi, termasuk tekanan darah, denyut nadi, oksigenasi,
dan keadaan umum pasien. Monitor ini akan membantu dalam mengawasi respon
pasien dan menyesuaikan dosis anestesi yang diberikan.
5. Pemberian Anestesi: Dokter anestesi akan memberikan anestesi inhalasi melalui
masker yang terpasang pada pasien. Anestesi ini biasanya berupa campuran gas
inhalasi, seperti sevoflurane atau desflurane, yang diberikan melalui mesin anestesi.
6. Pengelolaan Jalan Napas: Dokter anestesi akan memastikan jalan napas pasien tetap
terbuka selama prosedur. Posisi kepala dan leher pasien akan dijaga dengan benar.
Jika diperlukan, dokter anestesi dapat melakukan manuver seperti head tilt-chin lift
atau jaw thrust untuk memperbaiki patensi jalan napas.
7. Monitorisasi Selama Operasi: Dokter anestesi akan terus memantau pasien selama
operasi, memantau tanda-tanda vital, oksigenasi, dan kedalaman anestesi. Dokter
anestesi akan mengendalikan dosis anestesi yang diberikan dan membuat
penyesuaian sesuai dengan kebutuhan pasien.
Penting untuk diingat bahwa prosedur ini dapat berbeda-beda tergantung pada kebijakan dan
praktik di lembaga kesehatan masing-masing. Dokter anestesi akan mengikuti protokol dan
panduan yang relevan untuk memastikan keamanan dan kenyamanan pasien selama
pemberian anestesi.
3. Melaksanakan tindakan intubasi dalam rangka pemasangan endotracheal tube pada
pasien operasi elektif dengan pendampingan dokter anestesi
Melaksanakan tindakan intubasi sebagai bagian dari pemasangan endotracheal tube (ETT)
pada pasien operasi elektif adalah prosedur yang dilakukan oleh dokter anestesi dengan hati-
hati dan keahlian. Berikut adalah langkah-langkah umum yang dilakukan dengan
pendampingan dokter anestesi:
1. Persiapan dan Pemantauan Pasien: Pasien akan diposisikan dengan nyaman di atas
meja operasi. Dokter anestesi akan memastikan pasien memiliki akses venous yang
tepat dan memantau tanda-tanda vital pasien seperti tekanan darah, denyut nadi, dan
oksigenasi sebelum melakukan intubasi.
2. Persiapan Peralatan: Dokter anestesi akan mempersiapkan peralatan yang
diperlukan untuk intubasi, termasuk endotracheal tube yang sesuai dengan ukuran
pasien, laringoskop, blade laringoskop, gel pelumas, alat penghisap, dan peralatan
bantu lainnya.
3. Preoxygenation: Pasien akan diberikan oksigen tambahan dengan masker wajah
untuk memastikan pasien teroksidasi dengan baik sebelum intubasi dilakukan.
Preoxygenation membantu mencegah hipoksia selama intubasi.
4. Lidah Depan (Tongue Depressor): Dokter anestesi akan menggunakan lidah depan
untuk menjaga lidah pasien agar tidak menghalangi visualisasi laring selama intubasi.
5. Pemosisian Pasien: Dokter anestesi akan memosisikan kepala pasien dalam posisi
yang optimal untuk memfasilitasi visualisasi laring, seperti sniffing position (posisi
hidung menekuk).
6. Intubasi: Dokter anestesi akan memasukkan laringoskop ke dalam mulut pasien dan
menggunakan teknik khusus untuk melihat pita suara dan rongga laring. Setelah
visualisasi yang memadai, endotracheal tube akan dimasukkan melalui pita suara dan
ditempatkan di dalam trakea dengan hati-hati. Pastikan bahwa tube telah terpasang
dengan benar dan aman.
7. Konfirmasi Posisi ETT: Dokter anestesi akan memastikan bahwa endotracheal tube
telah terpasang dengan baik di dalam trakea. Ini biasanya dikonfirmasi dengan
memantau gelombang kapnografi (CO2) yang menunjukkan ventilasi di saluran napas
bawah dan dengan memeriksa kesejajaran dan gerakan simetris pada rongga dada.
8. Pengikatan ETT: Setelah konfirmasi posisi yang tepat, endotracheal tube akan diikat
dengan aman untuk mencegah pergeseran atau pelepasan selama prosedur.
Setelah intubasi selesai, pasien akan dilanjutkan dengan ventilasi mekanis menggunakan
mesin anestesi atau ventilator. Dokter anestesi akan memantau pasien selama operasi untuk
memastikan fungsi jalan napas yang adekuat dan menjaga posisi ETT yang tepat.
Perlu diingat bahwa intubasi adalah prosedur yang kompleks dan membutuhkan keahlian
dan pengalaman. Hanya dokter anestesi yang terlatih yang dapat melakukan tindakan ini
dengan aman.
4. Melakukan pengaturan posisi pasien untuk kepatenan jalan napas pasien pada intra
operasi
Pengaturan posisi pasien yang tepat untuk memastikan kepatenan jalan napas selama
pembiusan intra operasi sangat penting. Berikut adalah beberapa posisi yang umum
digunakan untuk tujuan tersebut:
1. Posisi Supinasi:
 Pasien berbaring dengan punggung datar di atas meja operasi.
 Kepala dan leher pasien ditempatkan dalam posisi netral atau sedikit ekstensi
untuk membantu mempertahankan patensi jalan napas.
2. Posisi Miring (Lateral):
 Pasien berbaring miring dengan salah satu sisi tubuhnya menghadap ke atas.
 Kepala dan leher pasien tetap dalam posisi netral atau sedikit ekstensi.
 Posisi miring dapat membantu mencegah aspirasi dan memfasilitasi ventilasi
pada pasien dengan risiko gangguan jalan napas.
3. Posisi Sniffing:
 Pasien ditempatkan dalam posisi supinasi dengan kepala dan leher dalam
posisi ekstensi maksimal.
 Posisi sniffing membantu memperbaiki poros trakea dan laring sehingga
memudahkan intubasi dan ventilasi.
4. Posisi Fowler (Semi-Fowler):
 Pasien duduk setengah tegak dengan sudut kemiringan sekitar 45 derajat.
 Posisi Fowler dapat membantu mempertahankan patensi jalan napas dan
mempermudah ventilasi pada pasien dengan volume paru yang terbatas atau
obstruksi jalan napas.
Selain itu, penting untuk mempertimbangkan penggunaan bantal, gulungan handuk, atau
peralatan penyangga lainnya untuk mendukung dan memposisikan pasien dengan tepat.
Dokter anestesi akan menyesuaikan posisi pasien berdasarkan kebutuhan individu, jenis
tindakan, dan preferensi mereka sendiri.
Selalu penting untuk berkoordinasi dengan dokter anestesi dan tim medis yang terlibat dalam
perawatan pasien untuk memastikan posisi pasien yang optimal untuk mempertahankan
kepatenan jalan napas dan memberikan perawatan yang aman selama fase pembiusan intra
operasi.
5. Melakukan ekstubasi pipa endotrakhea di kamar operasi dengan pendampingan dokter
anestesi
Ekstubasi pipa endotrakeal adalah prosedur pengangkatan endotracheal tube (ETT) dari
saluran napas pasien setelah selesai tindakan anestesi. Berikut adalah langkah-langkah
umum yang dilakukan dengan pendampingan dokter anestesi:
1. Evaluasi Kesiapan Pasien: Dokter anestesi akan mengevaluasi kesiapan pasien
untuk diekstubasi. Ini meliputi penilaian kualitas pernapasan, respons terhadap
rangsangan, dan keadaan kesadaran pasien. Pasien seharusnya stabil, mampu
bernapas sendiri, dan cukup sadar untuk menjaga jalan napas.
2. Persiapan Alat dan Tim: Dokter anestesi akan mempersiapkan peralatan yang
diperlukan untuk ekstubasi, termasuk ambu bag atau ventilator manual, suction
(penghisap), dan peralatan bantu lainnya. Mereka juga akan memastikan
ketersediaan tim medis yang memadai untuk mendukung prosedur tersebut.
3. Persiapan Pasien: Dokter anestesi akan memastikan bahwa pasien dalam posisi yang
nyaman, dengan kepala dan leher dalam posisi netral atau sedikit fleksi. Mereka akan
memonitor tanda-tanda vital pasien dan memastikan bahwa pasien siap untuk
diekstubasi.
4. Penghentian Ventilasi Mekanis: Dokter anestesi akan menghentikan ventilasi mekanis
melalui endotracheal tube dan memastikan bahwa pasien mampu bernapas secara
spontan.
5. Pencabutan ETT: Dokter anestesi akan menggenggam tube dengan lembut
menggunakan pengambilan tangan khusus dan secara perlahan mencabutnya dari
saluran napas pasien saat pasien mengambil napas. Hal ini dilakukan untuk
meminimalkan trauma dan menjaga jalan napas tetap terbuka selama ekstubasi.
6. Observasi Pasca-Ekstubasi: Setelah ekstubasi, dokter anestesi akan memantau
pasien untuk melihat apakah ada tanda-tanda distress pernapasan, seperti dispnea
(sesak napas), sianosis (penyalaan kulit menjadi kebiruan), atau obstruksi jalan
napas. Mereka juga akan memastikan bahwa pasien dapat bernapas dengan lancar
dan stabil.
7. Pemberian Oksigen: Jika diperlukan, dokter anestesi akan memberikan oksigen
tambahan melalui masker wajah untuk memastikan pasien teroksidasi dengan baik
setelah ekstubasi.
Selalu penting untuk melakukan ekstubasi dengan hati-hati dan mengikuti pedoman dan
kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga kesehatan Anda. Dokter anestesi akan
mempertimbangkan kondisi pasien secara individual dan melakukan tindakan yang
diperlukan untuk memastikan keamanan dan kenyamanan pasien selama ekstubasi.

6. Memantau respon pasien post ekstubasi


Setelah ekstubasi pipa endotrakeal, penting untuk terus memantau respon pasien untuk
memastikan pemulihan yang tepat. Berikut adalah beberapa aspek respons pasien yang
perlu diamati:
1. Pernapasan: Perhatikan pola dan kecepatan pernapasan pasien. Pastikan pasien
bernapas dengan bebas dan tanpa kesulitan. Amati adanya dispnea (sesak napas)
atau tanda-tanda obstruksi jalan napas.
2. Oksigenasi: Gunakan oksimetri nadi untuk memantau tingkat oksigen dalam darah
pasien. Pastikan tingkat oksigen tetap dalam rentang normal dan tidak terjadi
desaturasi oksigen (penurunan tingkat oksigen).
3. Kesadaran: Amati tingkat kesadaran pasien setelah ekstubasi. Pastikan pasien
bangun dari anestesi dan dapat merespons dengan baik. Jika ada ketidaknormalan
dalam tingkat kesadaran, segera laporkan kepada tim medis.
4. Pemulihan dari Efek Anestesi: Pantau pemulihan pasien dari efek anestesi, seperti
kembali ke keadaan sadar sepenuhnya, pemulihan fungsi motorik, dan pemulihan
refleks. Perhatikan adanya kebingungan atau efek samping lain yang dapat timbul
setelah ekstubasi.
5. Tanda Vital: Terus monitor tanda-tanda vital pasien, termasuk tekanan darah, denyut
nadi, dan suhu tubuh. Perubahan yang signifikan dalam tanda-tanda vital dapat
mengindikasikan masalah yang perlu ditangani.
6. Tingkat Nyeri: Tanyakan kepada pasien tentang tingkat nyeri yang dirasakannya
setelah ekstubasi. Berikan perawatan nyeri yang adekuat jika pasien mengalami nyeri
yang signifikan.
7. Kebutuhan Oksigen Tambahan: Amati apakah pasien memerlukan oksigen tambahan
setelah ekstubasi. Jika pasien mengalami kesulitan pernapasan atau membutuhkan
peningkatan oksigenasi, pertimbangkan pemberian oksigen melalui masker atau alat
bantu lainnya.
Selalu penting untuk mencatat dan melaporkan respons pasien kepada tim medis yang
bertanggung jawab. Jika ada tanda-tanda atau gejala yang tidak normal atau
mengkhawatirkan, segera komunikasikan kepada petugas kesehatan terkait untuk
mendapatkan evaluasi dan intervensi lebih lanjut.

Memantau respon pasien post ekstubasi sangat penting karena hal tersebut memungkinkan
kita untuk:
1. Memastikan kepatenan jalan napas: Setelah ekstubasi, perlu memastikan bahwa
pasien dapat bernapas dengan bebas dan tanpa hambatan. Pemantauan respon
pasien memungkinkan deteksi dini terhadap kemungkinan masalah pernapasan,
seperti obstruksi jalan napas, dispnea, atau kesulitan bernapas.
2. Mengidentifikasi komplikasi: Pemantauan pasien setelah ekstubasi memungkinkan
identifikasi dini terhadap kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi, seperti
bronkospasme, laringospasme, edema jalan napas, atau perdarahan. Tindakan
segera dapat diambil jika ada tanda-tanda atau gejala yang tidak normal.
3. Mengamati pemulihan dari efek anestesi: Pasien setelah ekstubasi sedang dalam
proses pemulihan dari efek anestesi. Pemantauan respon pasien memungkinkan
pengamatan terhadap tingkat kesadaran pasien, pemulihan fungsi motorik, dan
kembalinya refleks normal. Hal ini penting untuk memastikan pemulihan yang baik
dan mengidentifikasi setiap masalah yang mungkin timbul.
4. Menilai tingkat nyeri: Pasien dapat mengalami nyeri setelah ekstubasi. Pemantauan
respon pasien memungkinkan penilaian terhadap tingkat nyeri yang dialami dan
pemberian perawatan nyeri yang adekuat.
5. Menentukan kebutuhan oksigen tambahan: Pemantauan pasien memungkinkan
penilaian terhadap kebutuhan oksigen tambahan setelah ekstubasi. Jika pasien
mengalami kesulitan pernapasan atau membutuhkan peningkatan oksigenasi,
tindakan yang tepat dapat diambil untuk memastikan pasien mendapatkan oksigen
yang cukup.
Pemantauan respon pasien post ekstubasi merupakan bagian penting dari perawatan pasien
setelah tindakan anestesi. Hal ini membantu memastikan keamanan dan kenyamanan pasien
serta mendeteksi dini kemungkinan masalah atau komplikasi yang mungkin muncul.
VIII. Memfasilitasi pemenuhan Cairan dan Elektrolit
1. Memasang IV Cateter perifer tanpa penyulit
Pemasangan IV Cateter perifer adalah prosedur yang umum dilakukan sebagai persiapan
pembiusan pada pasien. Berikut adalah langkah-langkah umum untuk memasang IV Cateter
perifer tanpa penyulit:
1. Persiapan Peralatan:
 Persiapkan semua peralatan yang diperlukan, termasuk IV Cateter perifer
yang sesuai dengan ukuran yang tepat, tourniquet, sarung tangan steril,
larutan antiseptik, alat pemasang IV (misalnya, trolley IV), perban, dan plester.
2. Identifikasi Vena yang Tepat:
 Identifikasi vena yang tepat untuk pemasangan IV Cateter perifer. Pilih vena
yang cukup besar dan mudah diakses, seperti vena di tangan, lengan atas,
atau fossa antecubital.
3. Persiapan Pasien:
 Pastikan pasien dalam posisi yang nyaman dan beri penjelasan mengenai
prosedur yang akan dilakukan.
 Bersihkan area kulit di sekitar vena dengan larutan antiseptik dan biarkan
kering.
4. Pemasangan Tourniquet:
 Pemasangan tourniquet di sekitar lengan atau bagian yang akan dimasukkan
IV Cateter perifer untuk mengurangi aliran darah dan membantu vena menjadi
lebih jelas.
5. Anestesi Lokal (jika diperlukan):
 Jika pasien merasa tidak nyaman atau terdapat kebutuhan khusus, dokter
anestesi dapat memberikan anestesi lokal dengan suntikan kecil di sekitar
vena yang akan dimasukkan Cateter perifer.
6. Memasang Cateter:
 Memegang kulit secara tegak lurus di atas vena yang dipilih, masukkan
Cateter perifer ke dalam vena dengan gerakan yang mantap dan lembut.
 Setelah Cateter perifer masuk ke dalam vena, lepaskan tourniquet dan
pastikan aliran darah yang baik ke dalam Cateter.
7. Fiksasi dan Penutupan:
 Setelah Cateter perifer terpasang, fiksasi Cateter dengan perban atau plester
untuk mencegah pergeseran atau keluarnya Cateter.
 Pastikan hubungan antara Cateter dan tabung IV yang terhubung ke infus
atau alat lainnya terjamin.
8. Dokumentasi:
 Dokumentasikan prosedur pemasangan IV Cateter perifer dengan
memasukkan informasi yang relevan ke dalam catatan medis pasien.
Setelah pemasangan IV Cateter perifer, pastikan untuk memantau situs pemasangan untuk
tanda-tanda inflamasi, infeksi, atau komplikasi lainnya. Jika ada tanda-tanda yang tidak
normal atau gejala yang mengkhawatirkan, laporkan kepada petugas kesehatan terkait untuk
evaluasi lebih lanjut dan tindakan yang sesuai.
Perlu diingat bahwa prosedur pemasangan IV Cateter perifer harus dilakukan oleh petugas
medis yang terlatih dan sesuai dengan pedoman yang berlaku di lembaga kesehatan Anda.
2. Menghitung kebutuhan cairan pada pasien intra anestesi
Menghitung kebutuhan cairan pada pasien intra anestesi melibatkan beberapa faktor,
termasuk status hidrasi pasien, jenis operasi yang dilakukan, kondisi kesehatan pasien, dan
rencana manajemen cairan yang telah ditetapkan oleh dokter anestesi. Berikut adalah
beberapa pendekatan umum untuk menghitung kebutuhan cairan pada pasien intra anestesi:
1. Rumus Parker:
 Rumus Parker digunakan untuk menghitung kebutuhan cairan pada pasien
dewasa. Rumus ini menghitung kebutuhan cairan per jam berdasarkan berat
badan pasien:
 4 mL/kg/jam untuk 0-10 kg berat badan
 2 mL/kg/jam untuk 11-20 kg berat badan
 1 mL/kg/jam untuk setiap kg berat badan di atas 20 kg
2. Metode 4-2-1:
 Metode 4-2-1 sering digunakan untuk menghitung kebutuhan cairan selama 24
jam pada pasien dewasa. Menurut metode ini, pasien diberikan 4 mL/kg/jam
untuk 10 kg pertama berat badan, 2 mL/kg/jam untuk 10 kg berikutnya, dan 1
mL/kg/jam untuk setiap kg berat badan di atas 20 kg.
3. Evaluasi Status Hidrasi:
 Dokter anestesi akan mengevaluasi status hidrasi pasien sebelum operasi.
Jika pasien dehidrasi atau mengalami kehilangan cairan sebelum operasi,
kebutuhan cairan intra operatif akan disesuaikan untuk menggantikan
kehilangan tersebut.
4. Considerasi Khusus:
 Jenis operasi dan kondisi kesehatan pasien juga akan mempengaruhi
kebutuhan cairan. Pada operasi tertentu, seperti operasi besar atau operasi
dengan potensi kehilangan darah yang signifikan, rencana manajemen cairan
khusus dapat diterapkan untuk menjaga kestabilan hemodinamik pasien.
Perlu diingat bahwa perhitungan kebutuhan cairan adalah pendekatan umum dan dapat
bervariasi tergantung pada kebijakan lembaga kesehatan dan kebutuhan individu pasien.
Penting untuk berkoordinasi dengan dokter anestesi dan mengikuti panduan dan protokol
yang relevan untuk memastikan manajemen cairan yang optimal selama fase intra anestesi.
3. Menghitung balance cairan input dan output pada pasien intra anestesi
Menghitung balance cairan input dan output pada pasien intra anestesi penting untuk
memantau status hidrasi dan menjaga keseimbangan cairan yang tepat. Berikut adalah
langkah-langkah umum untuk menghitung balance cairan input dan output:
1. Input Cairan:
 Hitung jumlah cairan yang diberikan kepada pasien melalui infus intravena
(IV), termasuk larutan elektrolit, cairan intravena, dan obat-obatan yang
diberikan melalui IV.
 Catat juga jumlah cairan yang diberikan melalui rute lain, seperti cairan oral
atau nasogastrik yang mungkin diberikan sebelum atau selama tindakan
anestesi.
2. Output Cairan:
 Hitung jumlah urine yang dihasilkan pasien. Pengukuran output urine
dilakukan dengan memantau volume urine yang keluar melalui kateter urin
atau dengan menggunakan perangkat pengumpul urine yang sesuai.
 Catat juga jumlah cairan yang dikeluarkan pasien melalui drainase operasi,
seperti drainase dari dinding dada atau abdomen, jika ada.
3. Evaluasi Keseimbangan Cairan:
 Dengan menggunakan data input dan output, hitung total balance cairan
dengan mengurangi output cairan dari input cairan.
 Jika hasilnya positif, artinya pasien menerima lebih banyak cairan daripada
yang dikeluarkan, menunjukkan akumulasi cairan.
 Jika hasilnya negatif, artinya pasien kehilangan lebih banyak cairan daripada
yang diterima, menunjukkan defisit cairan.
Penting untuk melakukan pencatatan yang akurat dan terperinci tentang input dan output
cairan. Hal ini memungkinkan dokter anestesi untuk memantau keseimbangan cairan pasien
dan mengambil tindakan yang diperlukan, seperti penyesuaian kecepatan infus atau
perawatan hidrasi yang lebih intensif, jika diperlukan.
Perlu diingat bahwa perhitungan balance cairan input dan output harus dilakukan dengan
hati-hati dan akurat. Selalu berkoordinasi dengan tim medis dan mengikuti pedoman dan
protokol yang berlaku di lembaga kesehatan Anda untuk memastikan pemantauan cairan
yang optimal selama fase intra anestesi.
4. Memonitor gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Monitoring gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien pembiusan sangat
penting untuk menjaga keseimbangan yang optimal dan mencegah komplikasi. Berikut
adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk memonitor gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit pada pasien pembiusan:
1. Evaluasi pramenan pasien: Sebelum pembiusan, dokter anestesi akan melakukan
evaluasi pramenan pasien untuk mengidentifikasi risiko atau kelainan keseimbangan
cairan dan elektrolit. Hal ini termasuk riwayat medis, riwayat obat-obatan yang
dikonsumsi, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
2. Pemantauan tanda-tanda vital: Selama pembiusan, tanda-tanda vital pasien, seperti
tekanan darah, denyut nadi, frekuensi pernapasan, dan suhu tubuh, akan dipantau
secara teratur. Perubahan tanda-tanda vital yang signifikan dapat mengindikasikan
adanya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
3. Pemantauan input dan output cairan: Input dan output cairan pasien akan dicatat
dengan cermat. Ini mencakup pemantauan infus intravena, pemberian obat-obatan,
pemberian cairan oral atau nasogastrik, serta output urine dan drainase lainnya.
Perhatikan perubahan yang signifikan dalam jumlah input dan output, yang dapat
mengindikasikan masalah keseimbangan cairan dan elektrolit.
4. Pemantauan elektrolit darah: Jika diperlukan, dokter anestesi dapat memesan
pemeriksaan elektrolit darah untuk memantau konsentrasi elektrolit pasien, seperti
natrium, kalium, kalsium, dan magnesium. Hasil pemeriksaan ini dapat membantu
dalam memperkirakan keseimbangan elektrolit pasien.
5. Pemantauan tanda-tanda dehidrasi atau overload cairan: Dokter anestesi akan
memperhatikan tanda-tanda dehidrasi, seperti kulit kering, penurunan turgor kulit,
mulut kering, dan penurunan produksi urine. Tanda-tanda overload cairan, seperti
edema, peningkatan berat badan yang cepat, dan peningkatan tekanan vena
jugularis, juga akan diamati.
6. Evaluasi klinis dan gejala: Dokter anestesi akan memperhatikan gejala klinis pasien
yang dapat mengindikasikan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, seperti
kelemahan otot, nyeri kepala, perubahan mental, mual, muntah, kejang, atau
kebingungan.
7. Tindakan korektif: Jika terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, dokter
anestesi akan mengambil tindakan korektif yang sesuai, seperti menyesuaikan
kecepatan infus, memberikan suplemen elektrolit, atau mengubah terapi cairan.
Penting untuk mencatat dan melaporkan setiap perubahan yang tidak normal atau gejala
yang mengkhawatirkan kepada tim medis untuk evaluasi dan intervensi lebih lanjut. Melalui
pemantauan yang teliti dan tindakan yang tepat, gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit dapat diatasi atau dicegah selama pembiusan.
5. Memberikan cairan dan elektrolit pada pasien intra anestesi
Pemberian cairan dan elektrolit pada pasien intra anestesi bertujuan untuk menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit yang optimal serta mendukung fungsi tubuh yang normal.
Berikut adalah beberapa prinsip umum yang dapat diikuti saat memberikan cairan dan
elektrolit pada pasien intra anestesi:
1. Evaluasi Kebutuhan Cairan: Dokter anestesi akan mengevaluasi status hidrasi pasien
sebelum pembiusan. Hal ini termasuk menilai riwayat medis pasien, kehilangan cairan
yang mungkin terjadi sebelum atau selama tindakan, dan faktor-faktor lain yang
mempengaruhi kebutuhan cairan pasien.
2. Rencana Manajemen Cairan: Berdasarkan evaluasi awal, dokter anestesi akan
merencanakan manajemen cairan yang sesuai untuk pasien. Rencana ini akan
memperhitungkan kebutuhan basal cairan pasien, kemungkinan kehilangan cairan
selama tindakan, dan faktor-faktor lain seperti usia, berat badan, dan kondisi medis
pasien.
3. Infus Intravena: Infus intravena digunakan untuk memberikan cairan dan elektrolit
secara langsung ke dalam aliran darah pasien. Larutan intravena yang diberikan
dapat berupa larutan kristaloid (misalnya, NaCl 0,9% atau Ringer Laktat) atau larutan
koloid (misalnya, albumin). Pemberian infus intravena dilakukan sesuai dengan
rencana manajemen cairan yang telah ditetapkan.
4. Pemantauan Cairan dan Elektrolit: Selama pembiusan, cairan dan elektrolit yang
diberikan dan dieliminasi oleh pasien akan dipantau secara teratur. Hal ini meliputi
pemantauan volume urine, pemantauan tanda-tanda overload cairan (seperti edema),
dan pemantauan elektrolit darah jika diperlukan.
5. Penyesuaian Cairan dan Elektrolit: Jika terjadi perubahan dalam kebutuhan cairan
dan elektrolit pasien selama pembiusan, dokter anestesi akan melakukan
penyesuaian yang diperlukan. Ini bisa termasuk penyesuaian kecepatan infus,
penggantian elektrolit yang hilang, atau pemberian suplemen elektrolit tambahan.
6. Pemantauan Tanda-Tanda Dehidrasi atau Overload Cairan: Selama pembiusan,
dokter anestesi akan memantau tanda-tanda dehidrasi atau overload cairan pada
pasien. Jika terjadi tanda-tanda atau gejala yang mencurigakan, tindakan korektif
akan diambil sesuai dengan kebutuhan.
Perlu diingat bahwa pemberian cairan dan elektrolit harus disesuaikan dengan kebutuhan
individu pasien dan mengikuti pedoman dan protokol yang berlaku di lembaga kesehatan
Anda. Penting untuk berkoordinasi dengan dokter anestesi dan tim medis yang terlibat dalam
perawatan pasien untuk memastikan manajemen cairan yang optimal selama fase intra
anestesi.
IX. Memberikan obat secara aman dan tepat
1. Melakukan persiapan obat-obatan anestesi sesuai jenis anestesi
Persiapan obat-obatan anestesi sebelum tindakan sesuai dengan jenis anestesi yang akan
dilakukan. Berikut adalah beberapa contoh persiapan obat-obatan anestesi untuk jenis
anestesi tertentu:
1. Anestesi Umum:
 Obat Induksi: Persiapan obat-induksi seperti propofol, thiopental sodium, atau
etomidate.
 Obat Pemeliharaan: Persiapan obat-anestesi inhalasi seperti sevoflurane,
isoflurane, atau desflurane. Selain itu, obat-obatan intravena seperti
remifentanil, fentanyl, atau midazolam juga dapat digunakan untuk
pemeliharaan anestesi.
 Obat Relaksan Otot: Persiapan obat-relaksan otot seperti rocuronium,
vecuronium, atau atracurium untuk memfasilitasi relaksasi otot selama
tindakan.
2. Anestesi Regional:
 Anestesi Spinal/Epidural: Persiapan obat-anestesi lokal seperti bupivakain,
lidokain, atau ropivakain yang akan digunakan untuk menghasilkan blokade
sensorik pada area yang diinginkan.
 Obat Pendamping: Persiapan obat analgesik atau sedatif tambahan seperti
fentanyl, ketamin, atau midazolam yang dapat diberikan bersamaan dengan
anestesi lokal.
3. Anestesi Lokal:
 Persiapan obat-anestesi lokal seperti lidokain, mepivakain, atau bupivakain
yang akan digunakan untuk menghasilkan blokade sensorik pada area yang
diinginkan.
4. Anestesi Monitored Anesthesia Care (MAC):
 Persiapan obat-obatan seperti midazolam, fentanyl, atau propofol yang
digunakan untuk memberikan sedasi dan analgesi selama tindakan yang tidak
memerlukan pembiusan umum.
Setiap persiapan obat-obatan anestesi harus dilakukan oleh dokter anestesi atau tenaga
medis yang berkompeten dan sesuai dengan pedoman dan kebijakan yang berlaku di
lembaga kesehatan Anda. Selain itu, penting untuk melakukan penilaian awal terhadap
pasien dan menyesuaikan dosis dan jenis obat-obatan sesuai dengan kebutuhan pasien
serta mempertimbangkan riwayat medis dan kondisi kesehatan pasien.
2. Melaksanakan Induksi anestesi pada operasi elektif dengan pendampingan dokter
anestesi
Induksi anestesi adalah proses dimana pasien dipersiapkan untuk memasuki keadaan
anestesi yang dalam sebelum operasi dimulai. Ini melibatkan pemberian obat-obatan
anestesi kepada pasien untuk menghasilkan hilangnya kesadaran dan kehilangan sensasi.
Tujuan utama dari induksi anestesi adalah untuk memastikan pasien dalam keadaan aman
dan nyaman selama operasi.
Pendampingan dokter anestesi sangat penting dalam proses induksi anestesi. Dokter
anestesi adalah spesialis medis yang terlatih dalam memberikan dan mengelola anestesi
selama operasi. Mereka bertanggung jawab untuk memantau kondisi pasien selama seluruh
proses operasi dan memastikan pasien tetap stabil.
Berikut adalah beberapa langkah umum dalam proses induksi anestesi dengan
pendampingan dokter anestesi:
1. Evaluasi pra-operasi: Sebelum operasi, dokter anestesi akan melakukan evaluasi pra-
operasi terhadap pasien. Ini termasuk meninjau riwayat medis pasien, kondisi
kesehatan umum, dan hasil tes diagnostik yang relevan. Dokter anestesi juga akan
membahas dengan pasien mengenai jenis anestesi yang akan digunakan dan
mengklarifikasi segala pertanyaan atau kekhawatiran yang dimiliki pasien.
2. Pemberian obat pra-anestesi: Dokter anestesi dapat memberikan obat pra-anestesi
kepada pasien untuk membantu mengurangi kecemasan dan membuat pasien lebih
rileks sebelum masuk ke ruang operasi.
3. Pengawasan dan pemantauan: Dokter anestesi akan memantau kondisi vital pasien
seperti tekanan darah, denyut nadi, dan tingkat oksigen dalam darah selama seluruh
proses induksi anestesi. Mereka juga akan memantau respons pasien terhadap obat
anestesi yang diberikan.
4. Pemberian obat induksi: Setelah pasien siap, dokter anestesi akan memberikan obat
anestesi intravena atau inhalasi kepada pasien. Obat ini dirancang untuk menginduksi
keadaan anestesi dan memasukkan pasien ke dalam tidur yang dalam.
5. Intubasi saluran napas: Dalam beberapa kasus, dokter anestesi mungkin perlu
melakukan intubasi saluran napas untuk membantu pasien bernapas selama operasi.
Intubasi melibatkan memasukkan tabung ke dalam saluran napas pasien untuk
memastikan pasokan oksigen yang tepat selama operasi.
6. Selama operasi: Setelah induksi anestesi, dokter anestesi akan terus memantau
pasien selama operasi dan mengelola tingkat anestesi yang tepat. Mereka juga akan
memastikan pasien tetap stabil dan nyaman sepanjang prosedur.
7. Pemulihan pasca operasi: Setelah operasi selesai, dokter anestesi akan membantu
pasien memulihkan diri dari anestesi dan mengontrol nyeri pasca operasi. Mereka
akan memantau kondisi pasien dan memberikan perawatan pasca operasi yang
sesuai.
Penting untuk diingat bahwa setiap prosedur operasi dan induksi anestesi dapat bervariasi
tergantung pada jenis operasi, kondisi kesehatan pasien, dan protokol yang digunakan oleh
tim medis. Diskusikan dengan dokter anestesi Anda untuk memahami lebih lanjut mengenai
rencana spesifik untuk operasi elektif Anda.
3. Melaksanakan Induksi Total Intra Venous Anesthesia (TIVA) pada pasien operasi elektif
bersama pendampingan dokter anestesi
TIVA (Total Intra Venous Anesthesia) adalah teknik anestesi di mana obat-obatan anestesi
diberikan melalui infus intravena untuk mempertahankan keadaan anestesi selama seluruh
operasi. Ini berbeda dengan anestesi inhalasi di mana obat anestesi dihirup melalui
pernapasan.
Dalam melaksanakan Induksi TIVA pada pasien operasi elektif dengan pendampingan dokter
anestesi, berikut adalah beberapa langkah umum yang dilakukan:
1. Evaluasi pra-operasi: Sebelum operasi, dokter anestesi akan melakukan evaluasi pra-
operasi terhadap pasien. Ini mencakup tinjauan riwayat medis pasien, pemeriksaan
fisik, serta hasil tes dan evaluasi diagnostik yang relevan. Dokter anestesi juga akan
membahas dengan pasien mengenai jenis anestesi yang akan digunakan dan
menjawab segala pertanyaan atau kekhawatiran yang dimiliki pasien.
2. Pemberian akses intravena: Dokter anestesi akan memasang saluran intravena (IV)
pada pasien untuk memberikan obat-anestesi. Saluran IV ini memungkinkan
pemberian obat secara langsung ke dalam aliran darah pasien.
3. Pengawasan dan pemantauan: Selama seluruh proses anestesi, dokter anestesi akan
terus memantau kondisi vital pasien seperti tekanan darah, denyut nadi, tingkat
oksigen dalam darah, dan fungsi pernapasan. Mereka juga akan memantau respons
pasien terhadap obat-anestesi yang diberikan.
4. Induksi anestesi: Setelah pasien siap, dokter anestesi akan memulai induksi TIVA
dengan memberikan obat-anestesi melalui saluran intravena. Obat-anestesi yang
umum digunakan dalam TIVA adalah propofol, yang digunakan untuk menginduksi
keadaan tidur dan hilangnya kesadaran.
5. Pemeliharaan anestesi: Setelah induksi, dokter anestesi akan terus memberikan obat-
anestesi melalui infus intravena untuk mempertahankan keadaan anestesi selama
seluruh operasi. Obat-anestesi yang digunakan dapat beragam tergantung pada
kebutuhan spesifik pasien dan jenis operasi yang dilakukan.
6. Pemantauan dan penyesuaian: Dokter anestesi akan memantau secara terus
menerus respons pasien terhadap anestesi dan memperhatikan tanda-tanda vital
pasien. Jika diperlukan, dosis obat-anestesi dapat disesuaikan untuk
mempertahankan keadaan anestesi yang tepat dan memastikan pasien tetap stabil
selama operasi.
7. Pemulihan pasca operasi: Setelah operasi selesai, dokter anestesi akan membantu
pasien memulihkan diri dari efek anestesi dan mengontrol nyeri pasca operasi.
Mereka akan memantau kondisi pasien, memastikan pasien bangun dari anestesi
dengan aman, dan memberikan perawatan pasca operasi yang sesuai.
Dalam Induksi TIVA, pendampingan dokter anestesi sangat penting untuk memastikan
keselamatan dan kenyamanan pasien selama operasi. Dokter anestesi akan memantau
pasien secara terus menerus dan merespons dengan cepat terhadap perubahan yang
mungkin terjadi selama prosedur.
Perlu dicatat bahwa prosedur dan protokol spesifik untuk Induksi TIVA dapat bervariasi
tergantung pada jenis operasi, kondisi kesehatan pasien, dan preferensi tim medis. Pastikan
untuk berdiskusi dengan dokter anestesi Anda untuk memahami rencana dan detail spesifik
yang terkait dengan operasi elektif Anda.
4. Memberikan obat-obatan melalui intraspinal
Pemberian obat-obatan melalui intraspinal adalah prosedur yang biasanya dilakukan oleh
dokter atau tenaga medis yang terlatih. Dalam konteks perawatan, pemberian obat melalui
intraspinal biasanya dilakukan oleh perawat anestesi atau perawat yang memiliki pelatihan
khusus dalam teknik ini. Namun, perawat perlu bekerja di bawah arahan dokter dan sesuai
dengan protokol yang ditetapkan oleh institusi kesehatan tempat mereka bekerja.
Berikut adalah beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian obat melalui
intraspinal dalam konteks keperawatan:
1. Pelatihan dan kompetensi: Perawat yang bertanggung jawab untuk pemberian obat
melalui intraspinal harus memiliki pelatihan dan kompetensi yang memadai dalam
teknik ini. Pelatihan biasanya melibatkan kursus khusus dan supervisi langsung oleh
tenaga medis yang berwenang.
2. Protokol dan kebijakan institusi: Setiap institusi kesehatan biasanya memiliki protokol
dan kebijakan yang mengatur pemberian obat melalui intraspinal. Perawat harus
memahami dan mematuhi protokol ini untuk memastikan keamanan pasien dan
konsistensi dalam praktek.
3. Pemantauan dan dokumentasi: Perawat harus memantau pasien dengan cermat
selama dan setelah pemberian obat melalui intraspinal. Ini meliputi pemantauan
tanda-tanda vital, respons pasien terhadap obat, dan adanya efek samping atau
komplikasi. Semua informasi yang relevan harus didokumentasikan secara lengkap
dan akurat.
4. Komunikasi tim: Perawat harus berkomunikasi secara efektif dengan dokter anestesi
atau tenaga medis yang bertanggung jawab untuk mendapatkan arahan yang jelas
dan memastikan kolaborasi tim yang baik. Perawat juga harus mengkomunikasikan
informasi penting kepada tim perawatan lainnya untuk memastikan perawatan holistik
yang koheren.
5. Keamanan pasien: Keamanan pasien harus menjadi prioritas utama. Perawat harus
mengikuti prinsip-prinsip keamanan pasien, seperti menghindari kesalahan dalam
identifikasi pasien, menggunakan teknik aseptik yang tepat, dan memeriksa dosis
obat dengan cermat sebelum pemberian.
Penting untuk dicatat bahwa praktik dan kebijakan dapat bervariasi antara institusi
kesehatan. Oleh karena itu, penting bagi perawat untuk selalu mengacu pada kebijakan dan
protokol yang berlaku di tempat mereka bekerja dan berkoordinasi dengan dokter atau
tenaga medis yang berwenang.
Dalam hal pemberian obat melalui intraspinal, perawat memiliki peran penting dalam
melaksanakan prosedur ini dengan aman dan efektif. Namun, perlu diingat bahwa keputusan
akhir dan tanggung jawab klinis tetap berada di tangan dokter atau tenaga medis yang
berwenang.
Pemberian obat-obatan melalui intraspinal mengacu pada penyuntikan obat-obatan ke dalam
ruang sekitar sumsum tulang belakang, yang dikenal sebagai ruang subarakhnoid atau
epidural. Teknik ini sering digunakan dalam anestesi regional untuk tujuan analgesia
(penghilang rasa sakit) atau anestesi lokal.
Berikut adalah beberapa jenis pemberian obat melalui intraspinal yang umum:
1. Spinal Anesthesia: Ini melibatkan penyuntikan obat anestesi ke dalam ruang
subarakhnoid (subaraknoid) untuk menghasilkan anestesi pada area tubuh yang
spesifik, seperti bagian bawah tubuh bagian bawah selama operasi pada kaki,
panggul, atau bagian bawah perut. Obat anestesi yang sering digunakan dalam spinal
anesthesia adalah anestesi lokal, seperti lidokain atau bupivakain. Spinal anesthesia
menghasilkan hilangnya sensasi dan gerakan pada area yang dianestesi.
2. Epidural Anesthesia: Ini melibatkan penyuntikan obat anestesi ke dalam ruang
epidural, yang berada di luar dura mater (lapisan terluar sumsum tulang belakang).
Obat anestesi yang diberikan dalam epidural anesthesia juga dapat berupa anestesi
lokal, seperti bupivakain atau ropivakain. Epidural anesthesia biasanya digunakan
untuk menghasilkan analgesia yang lebih luas dan memungkinkan pengendalian nyeri
selama operasi atau persalinan. Teknik ini juga dapat digunakan untuk pemberian
obat analgesik jangka panjang, seperti opioid, untuk mengontrol nyeri pasca operasi
atau nyeri kronis.
3. Intrathecal Injections: Ini adalah penyuntikan obat langsung ke dalam cairan
serebrospinal yang ada di dalam ruang subarakhnoid. Obat-obatan yang diberikan
dalam intrathecal injections mencapai efek langsung pada sistem saraf pusat dan
sering digunakan untuk menghasilkan analgesia atau mengelola kondisi seperti nyeri
kronis atau spasme otot. Contoh obat yang disuntikkan secara intratekal termasuk
opioid, anestesi lokal, atau agen neurolytic.
Pemberian obat melalui intraspinal harus dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih, seperti
dokter anestesi atau ahli bedah yang terampil dalam prosedur ini. Prosedur ini memerlukan
teknik yang tepat dan pemantauan yang cermat untuk memastikan efek yang diinginkan dan
mencegah komplikasi. Diskusikan dengan dokter Anda mengenai kebutuhan, risiko, manfaat,
dan prosedur yang terkait dengan pemberian obat melalui intraspinal sesuai dengan kondisi
spesifik Anda.
5. Memberikan antidotum (Reverse)
Pemberian antidotum (reverse) adalah proses memberikan obat-obatan yang dirancang
untuk membalikkan efek toksik atau overdose dari suatu obat atau zat tertentu. Antidotum
biasanya digunakan dalam situasi darurat atau keadaan kritis di mana reaksi toksik dapat
membahayakan nyawa atau kesehatan pasien. Pemberian antidotum biasanya dilakukan
oleh tenaga medis yang terlatih, seperti dokter atau perawat, berdasarkan protokol dan
panduan yang ditetapkan.
Berikut adalah beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian antidotum:
1. Evaluasi dan diagnostik: Sebelum memberikan antidotum, penting untuk melakukan
evaluasi dan diagnosis yang akurat terhadap pasien. Ini mencakup menentukan zat
atau obat apa yang menyebabkan toksisitas dan mengidentifikasi tanda dan gejala
yang muncul. Diagnostik yang tepat akan membantu dalam pemilihan antidotum yang
sesuai.
2. Keahlian dan pelatihan: Pemberian antidotum memerlukan keahlian khusus dan
pelatihan dalam penggunaan obat tersebut. Hanya tenaga medis yang terlatih yang
harus melakukan pemberian antidotum. Mereka harus memahami dosis, cara
pemberian, dan efek samping yang mungkin terkait dengan obat tersebut.
3. Mengikuti panduan dan protokol: Setiap antidotum memiliki panduan dan protokol
yang harus diikuti dalam pemberiannya. Ini termasuk dosis yang tepat, metode
pemberian (seperti melalui infus intravena atau suntikan intramuskular), dan waktu
yang tepat untuk memberikan antidotum. Penting untuk mengikuti panduan ini dengan
cermat untuk memastikan keamanan dan efektivitas pemberian.
4. Pemantauan dan respons: Setelah pemberian antidotum, pasien harus dipantau
dengan cermat untuk mengamati respons terhadap pengobatan. Ini melibatkan
pemantauan tanda-tanda vital, fungsi organ, dan respon klinis lainnya. Jika
diperlukan, penyesuaian dosis atau tindakan tambahan mungkin diperlukan
berdasarkan respons pasien.
5. Dokumentasi: Semua tindakan yang terkait dengan pemberian antidotum harus
didokumentasikan dengan lengkap dan akurat dalam catatan medis pasien. Ini
termasuk informasi mengenai dosis yang diberikan, respons pasien, dan tindakan
lanjutan yang dilakukan.
Pemberian antidotum harus dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan evaluasi dan
diagnosis yang tepat. Penting untuk bekerja dalam tim dan berkoordinasi dengan dokter atau
tenaga medis yang berwenang dalam situasi darurat atau keadaan kritis di mana pemberian
antidotum diperlukan.
Perlu diingat bahwa pemberian antidotum harus dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih,
dan keputusan akhir dan tanggung jawab klinis tetap berada di tangan dokter atau tenaga
medis yang berwenang.
6. Mengevaluasi kondisi pasien, efek obat dan efek samping yang mendapatkan obat
anestesi
Sebagai perawat, Anda memiliki peran penting dalam mengevaluasi kondisi pasien, efek
obat, dan efek samping yang terkait dengan pemberian obat anestesi. Berikut adalah
beberapa langkah yang dapat Anda ikuti dalam evaluasi tersebut:
1. Evaluasi pra-operasi: Lakukan evaluasi terhadap pasien sebelum pemberian obat
anestesi. Tinjau riwayat medis pasien, termasuk alergi obat, riwayat anestesi
sebelumnya, dan kondisi kesehatan umum. Identifikasi faktor risiko atau
kontraindikasi yang mungkin mempengaruhi pemberian obat anestesi.
2. Pemantauan tanda vital: Perawat bertanggung jawab untuk memantau tanda-tanda
vital pasien sebelum, selama, dan setelah pemberian obat anestesi. Ini mencakup
pengukuran tekanan darah, denyut nadi, frekuensi pernapasan, dan tingkat oksigen
dalam darah. Catat hasil pengukuran ini secara teratur untuk melacak perubahan dan
memberikan informasi penting kepada tim medis.
3. Observasi pasien: Amati pasien secara seksama untuk mendeteksi perubahan
respons atau gejala yang mungkin terkait dengan pemberian obat anestesi. Ini
meliputi pemantauan tingkat kesadaran, respons terhadap rangsangan, dan
perubahan fisik atau perilaku. Laporkan segala perubahan atau kejadian penting
kepada tim medis.
4. Evaluasi efek samping: Ketahui efek samping yang mungkin terkait dengan obat
anestesi yang diberikan. Beberapa efek samping umum termasuk mual, muntah,
pusing, rasa kantuk, dan gangguan pernapasan. Observasi pasien untuk adanya efek
samping tersebut dan laporkan kepada tim medis.
5. Pemantauan efek analgesia atau anestesi: Jika obat anestesi juga digunakan untuk
tujuan analgesia, perawat perlu memantau efek analgesia yang diberikan. Observasi
pasien untuk tingkat nyeri, kenyamanan, dan respons terhadap rangsangan. Dalam
beberapa kasus, perawat dapat menggunakan skala penilaian nyeri untuk mengukur
tingkat nyeri pasien.
6. Edukasi pasien: Berikan informasi kepada pasien dan keluarganya mengenai efek
obat anestesi yang diharapkan dan efek samping yang mungkin terjadi. Berikan
instruksi pasca-operasi dan cara mengelola nyeri atau efek samping yang mungkin
terjadi. Penting untuk memberikan edukasi yang jelas dan memastikan pemahaman
pasien.
Perawat juga harus mematuhi kebijakan dan protokol institusi terkait dengan pemberian obat
anestesi. Jika Anda memiliki pertanyaan atau kekhawatiran mengenai efek obat anestesi
atau kondisi pasien, konsultasikan dengan tim medis atau dokter anestesi yang bertanggung
jawab.
Penting untuk diingat bahwa peran perawat dalam evaluasi pasien dan efek obat penting
dalam memastikan keselamatan dan perawatan yang optimal.
X. Mengelolaan pemberian darah dan produk darah secara aman
1. Penatalaksanaan terhadap reaksi transfusi darah pada pasien intra anestesi
Reaksi transfusi darah adalah kondisi yang dapat terjadi ketika pasien mengalami reaksi
negatif setelah menerima transfusi darah. Dalam konteks intra anestesi, jika pasien
mengalami reaksi transfusi darah, langkah-langkah penatalaksanaan berikut dapat diambil:
1. Hentikan transfusi darah: Jika pasien mengalami reaksi transfusi darah, langkah
pertama yang harus diambil adalah menghentikan transfusi segera. Memberhentikan
aliran darah baru akan membantu mencegah masuknya lebih banyak bahan yang
dapat memperburuk reaksi.
2. Evaluasi pasien: Selanjutnya, evaluasi kondisi pasien secara menyeluruh. Periksa
tanda-tanda vital pasien, seperti tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, dan suhu
tubuh. Perhatikan adanya gejala atau tanda-tanda klinis reaksi transfusi darah, seperti
demam, kemerahan pada kulit, kesulitan bernapas, nyeri dada, hipotensi, atau gatal-
gatal.
3. Informasikan tim medis: Segera laporkan kejadian tersebut kepada tim medis yang
bertanggung jawab, termasuk dokter anestesi dan staf medis lainnya. Mereka akan
mempertimbangkan langkah-langkah selanjutnya berdasarkan kondisi pasien dan
jenis reaksi transfusi darah yang terjadi.
4. Terapi suportif: Pasien mungkin membutuhkan terapi suportif untuk mengelola gejala
atau komplikasi reaksi transfusi darah. Ini mungkin termasuk pemberian oksigen
suplemen, cairan intravena, atau obat-obatan seperti antihistamin atau kortikosteroid
untuk mengurangi gejala alergi atau inflamasi.
5. Komunikasi dengan pasien: Penting untuk memberikan informasi dan dukungan
kepada pasien selama penatalaksanaan reaksi transfusi darah. Jelaskan apa yang
terjadi dan berikan pemahaman tentang langkah-langkah yang sedang diambil untuk
mengelola reaksi tersebut. Pastikan pasien merasa didengar dan dilibatkan dalam
proses keputusan yang terkait dengan perawatan.
6. Pelaporan dan dokumentasi: Setelah penanganan reaksi transfusi darah, penting
untuk melaporkan kejadian ini sesuai dengan kebijakan dan protokol yang berlaku di
institusi kesehatan. Dokumentasikan semua langkah yang diambil, gejala pasien, dan
respon terhadap terapi yang diberikan.
Perlu diingat bahwa penatalaksanaan reaksi transfusi darah dapat bervariasi tergantung
pada jenis reaksi dan kondisi pasien. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengikuti
protokol dan panduan yang ditetapkan oleh institusi kesehatan tempat Anda bekerja, dan
berkoordinasi dengan tim medis yang terlibat dalam perawatan pasien.

XI. Mendokumentasikan asuhan keperawatan


1. Melakukan pengecekan kembali dokumen status pasien, seperti form Persetujuan
Tindakan Anestesi , Edukasi anestesi, dan Konsultasi Pra Anestesi (KPA)
Sebagai perawat yang terlibat dalam perawatan pasien intra anestesi, melakukan
pengecekan kembali dokumen status pasien, seperti Form Persetujuan Tindakan Anestesi,
Edukasi Anestesi, dan Konsultasi Pra Anestesi (KPA) merupakan langkah penting untuk
memastikan bahwa informasi yang terkait dengan anestesi dan persiapan pasien telah
terdokumentasi dengan benar. Berikut adalah panduan umum untuk melakukan pengecekan
kembali dokumen-dokumen tersebut:
1. Form Persetujuan Tindakan Anestesi: Pastikan bahwa pasien telah menandatangani
Form Persetujuan Tindakan Anestesi. Dokumen ini menyatakan bahwa pasien telah
diberikan informasi mengenai prosedur anestesi yang akan dilakukan, risiko yang
terkait, alternatif yang mungkin ada, dan pasien memberikan persetujuan tertulis
untuk menerima tindakan anestesi tersebut. Pastikan bahwa form ini telah
ditandatangani oleh pasien dan dikonfirmasi oleh tim medis yang bertanggung jawab.
2. Edukasi Anestesi: Periksa apakah pasien telah menerima edukasi yang cukup
tentang anestesi. Ini mencakup menjelaskan prosedur anestesi yang akan dilakukan,
jenis anestesi yang akan digunakan, risiko dan manfaatnya, persiapan pra-anestesi
yang diperlukan (seperti puasa makanan atau minuman), dan instruksi pasca-
anestesi. Pastikan bahwa dokumentasi mengenai edukasi anestesi ini ada dalam
catatan medis pasien.
3. Konsultasi Pra Anestesi (KPA): Periksa apakah pasien telah menjalani KPA sebelum
tindakan anestesi. KPA adalah pertemuan antara pasien dan dokter anestesi untuk
mengevaluasi kondisi kesehatan pasien, menentukan jenis anestesi yang sesuai, dan
membahas faktor risiko atau kekhawatiran yang terkait dengan prosedur anestesi.
Pastikan bahwa laporan atau ringkasan KPA telah terdokumentasi dengan benar
dalam rekam medis pasien.
Selama pengecekan kembali dokumen, pastikan bahwa informasi yang terdokumentasi
adalah akurat, terkini, dan lengkap. Jika terdapat kesalahan atau kekurangan dalam
dokumen-dokumen tersebut, laporkan kepada tim medis yang bertanggung jawab atau
dokter anestesi untuk mengoreksi atau melengkapi dokumen tersebut.
Ingatlah bahwa sebagai perawat, Anda berperan penting dalam memastikan kepatuhan
terhadap prosedur dan kebijakan institusi kesehatan dalam hal dokumentasi dan persiapan
pasien sebelum anestesi. Komunikasikan dengan tim medis dan dokter anestesi untuk
memastikan koordinasi yang baik dalam perawatan pasien.
2. Melakukan pendokumentasian sebelum pasien masuk ke ruangan operasi
Pendokumentasian sebelum pasien masuk ke ruangan operasi merupakan langkah penting
dalam prosedur medis yang bertujuan untuk menjaga rekam jejak yang akurat dan lengkap
mengenai pasien serta memastikan keselamatan dan keberhasilan prosedur operasi. Berikut
adalah beberapa langkah yang dapat diambil dalam pendokumentasian sebelum pasien
masuk ke ruangan operasi:
1. Identifikasi pasien: Pastikan identitas pasien yang benar dengan memverifikasi nama
lengkap, tanggal lahir, dan nomor rekam medis. Ini penting untuk menghindari
kekeliruan dan memastikan pasien yang tepat menjalani prosedur operasi.
2. Riwayat medis: Periksa dan dokumentasikan riwayat medis lengkap pasien, termasuk
kondisi kesehatan saat ini, riwayat penyakit, alergi obat atau bahan kimia, serta
riwayat operasi sebelumnya. Informasi ini akan membantu tim medis dalam
merencanakan dan menjalankan prosedur operasi dengan aman.
3. Pemeriksaan fisik: Lakukan pemeriksaan fisik terperinci pada pasien dan catat
temuan-temuan penting. Ini mencakup pengukuran suhu, tekanan darah, denyut nadi,
frekuensi pernapasan, serta penilaian sistem organ yang relevan dengan prosedur
operasi yang akan dilakukan.
4. Persetujuan dan informasi: Pastikan pasien telah memberikan persetujuan yang
ditandatangani secara tertulis untuk menjalani prosedur operasi. Jelaskan secara rinci
tentang prosedur yang akan dilakukan, risiko dan manfaatnya, serta alternatif yang
mungkin ada. Dokumentasikan informasi ini dalam catatan medis pasien.
5. Pemeriksaan laboratorium dan pencitraan: Jika diperlukan, periksa hasil pemeriksaan
laboratorium seperti tes darah, urin, atau pencitraan medis seperti sinar-X atau
pemindaian MRI. Dokumentasikan hasil-hasil ini untuk referensi selama prosedur
operasi.
6. Persiapan praoperasi: Catat persiapan khusus yang harus dilakukan sebelum pasien
masuk ke ruangan operasi, misalnya puasa makanan atau minuman tertentu,
penghentian obat tertentu, atau tindakan pembersihan kulit khusus.
7. Informasi tambahan: Catat segala informasi tambahan yang relevan untuk prosedur
operasi, seperti instruksi khusus dari tim bedah, alat khusus yang diperlukan, atau
kekhawatiran khusus yang perlu diperhatikan.
Pastikan bahwa semua dokumen dan catatan medis diisi dengan jelas, terperinci, dan sesuai
dengan kebijakan dan prosedur rumah sakit atau lembaga medis yang berlaku.
Pendokumentasian yang tepat sebelum pasien masuk ke ruangan operasi akan membantu
memastikan kelancaran prosedur dan kontinuitas perawatan pasien.
3. Mencatat pelaporan selama proses anestesi pada form Status Anestesi
pedoman umum mengenai hal-hal yang mungkin dicatat dalam laporan keperawatan selama
proses anestesi. Berikut adalah beberapa informasi yang dapat dicatat dalam pelaporan
keperawatan:
1. Identitas pasien: Tuliskan identitas lengkap pasien, termasuk nama, tanggal lahir,
nomor rekam medis, dan nomor ruangan.
2. Pemantauan vital: Catat dan pantau tanda-tanda vital pasien selama proses anestesi,
termasuk tekanan darah, denyut nadi, frekuensi pernapasan, suhu tubuh, serta
tingkat oksigen dalam darah. Catat juga perubahan tanda-tanda vital selama prosedur
anestesi.
3. Pemantauan pernapasan: Catat dan pantau pola pernapasan pasien, termasuk
frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan, dan keberadaan komplikasi
pernapasan seperti obstruksi jalan napas atau hipoksia.
4. Pemantauan kesadaran: Tuliskan dan pantau tingkat kesadaran pasien selama
proses anestesi. Misalnya, apakah pasien tetap sadar, dalam keadaan sedasi, atau
dalam keadaan tidur.
5. Manajemen saluran napas: Catat jenis dan metode manajemen saluran napas yang
digunakan selama anestesi, seperti intubasi endotrakeal, masker oksigen, atau
kateter nasal.
6. Pemberian obat dan cairan: Catat obat-obatan yang diberikan selama anestesi,
dosisnya, dan waktu pemberiannya. Juga, catat jumlah dan jenis cairan intravena
yang diberikan selama proses anestesi.
7. Perawatan kulit dan tubuh: Jika terjadi tindakan perawatan kulit atau tubuh khusus
selama proses anestesi, seperti pembersihan atau penutupan luka, catat tindakan
tersebut.
8. Pemberian bantuan: Jika tim keperawatan memberikan bantuan atau dukungan
khusus selama anestesi, seperti memegang alat atau melakukan perawatan luka,
catat tindakan tersebut.
9. Kejadian dan perubahan: Catat semua kejadian atau perubahan yang signifikan
selama proses anestesi, seperti komplikasi, reaksi alergi, atau perubahan yang
memerlukan tindakan medis lanjutan.
10. Informasi pascaoperatif: Jika pasien masih dalam keadaan anestesi setelah prosedur
selesai, tuliskan tindakan yang diambil untuk memulihkan pasien dan memastikan
kenyamanannya. Catat juga kondisi pasien saat sadar kembali dan siap dipindahkan
ke ruang pemulihan.
Pastikan untuk mengikuti kebijakan dan pedoman rumah sakit atau lembaga medis dalam
mencatat laporan keperawatan selama proses anestesi.
XII. Memfaslitasi pemeriksaan penunjang dan diagnostik
1. Asistensi pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD) pada pasien intra anestesi
Contoh kasus:
Seorang pasien datang ke departemen darurat dengan keluhan sesak napas dan kelelahan
yang signifikan. Dokter yang menangani pasien tersebut memutuskan untuk melakukan
analisis gas darah untuk mengevaluasi fungsi respirasi pasien.
Hasil analisis gas darah menunjukkan kondisi berikut:
1. pH: 7.25 (normal: 7.35-7.45)
2. PaO2 (Tekanan oksigen arteri): 70 mmHg (normal: 80-100 mmHg)
3. PaCO2 (Tekanan karbon dioksida arteri): 55 mmHg (normal: 35-45 mmHg)
4. HCO3- (Bikarbonat): 24 mEq/L (normal: 22-28 mEq/L)
Dari hasil analisis gas darah di atas, dapat diinterpretasikan bahwa pasien mengalami
gangguan respirasi yang disebut asidosis respiratorik.
1. pH yang rendah menunjukkan adanya asidosis (pH normal: 7.35-7.45).
2. PaO2 yang rendah menunjukkan hipoksia atau kekurangan oksigen dalam darah
arteri (PaO2 normal: 80-100 mmHg).
3. PaCO2 yang tinggi menunjukkan retensi karbon dioksida dalam darah arteri (PaCO2
normal: 35-45 mmHg).
4. HCO3- dalam kisaran normal (22-28 mEq/L) menunjukkan kompensasi ginjal yang
sedang berjalan.
Dengan demikian, analisis gas darah ini mengindikasikan bahwa pasien mengalami asidosis
respiratorik dengan hipoksia. Hal ini bisa mengarah pada gangguan pernapasan yang
mungkin disebabkan oleh penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) atau gagal pernapasan
yang berhubungan dengan gangguan neuromuskuler.
Dokter akan menggunakan informasi dari analisis gas darah ini sebagai panduan untuk
merencanakan perawatan lebih lanjut, seperti memberikan oksigen tambahan atau
melakukan tindakan lain yang sesuai untuk mengatasi gangguan pernapasan dan
meningkatkan fungsi respirasi pasien

Pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD) pada pasien intra anestesi dilakukan untuk
memonitor keadaan gas darah pasien selama proses anestesi. Berikut adalah langkah-
langkah yang dapat diikuti saat melakukan pemeriksaan AGD pada pasien intra anestesi:
1. Persiapan peralatan: Pastikan Anda memiliki alat dan bahan yang diperlukan untuk
pemeriksaan AGD, termasuk alat pengambilan sampel darah arteri, tabung
pengambilan sampel darah, jarum, bahan pembersih kulit, sarung tangan steril, alat
pengukur gas darah, dan reagen yang sesuai.
2. Identifikasi pasien: Verifikasi identitas pasien dengan membandingkan nama pasien,
nomor rekam medis, dan nomor ruangan dengan data pada kartu pasien atau
perekam medis elektronik. Pastikan Anda menghadapi pasien yang benar sebelum
melakukan tindakan.
3. Penyiapan pasien: Pastikan pasien dalam posisi yang nyaman, dengan tangan yang
cocok untuk pengambilan sampel darah arteri. Informasikan kepada pasien mengenai
prosedur yang akan dilakukan dan berikan dukungan serta kenyamanan sesuai
kebutuhan.
4. Pemilihan situs pengambilan sampel: Pilih situs yang tepat untuk pengambilan sampel
darah arteri, yang biasanya adalah arteri radial (pada pergelangan tangan). Gunakan
teknik aseptik dengan memakai sarung tangan steril dan membersihkan area dengan
bahan pembersih kulit yang sesuai.
5. Pengambilan sampel darah arteri: Gunakan alat pengambilan sampel darah arteri
untuk mengambil sampel darah arteri dari situs yang telah dipilih. Ikuti petunjuk
penggunaan alat dengan hati-hati untuk memastikan pengambilan sampel yang tepat
dan steril. Pastikan untuk menghindari kontaminasi darah vena saat pengambilan
sampel.
6. Penanganan sampel darah: Transfer sampel darah arteri ke dalam tabung
pengambilan sampel darah yang sesuai. Pastikan tabung pengambilan sampel darah
sudah berisi reagen yang diperlukan dan ikuti instruksi pengolahan sampel yang
disarankan oleh produsen alat AGD.
7. Analisis sampel darah: Gunakan alat pengukur gas darah untuk menganalisis sampel
darah arteri. Ikuti instruksi pengoperasian alat dengan cermat dan pastikan mengikuti
langkah-langkah yang diperlukan untuk menganalisis parameter gas darah yang
relevan, seperti pH, PaO2, PaCO2, dan bikarbonat (HCO3-).
8. Interpretasi hasil: Setelah analisis selesai, interpretasikan hasil AGD dengan
membandingkan nilai yang diukur dengan nilai referensi yang sesuai. Perhatikan
perubahan signifikan dalam nilai-nilai gas darah yang dapat mengindikasikan
ketidakseimbangan asam-basa atau masalah pernapasan.
9. Pencatatan hasil: Catat hasil AGD dalam catatan medis pasien. Pastikan mencatat
nilai-nilai gas darah yang diukur, interpretasi hasil, dan tindakan yang diambil
berdasarkan hasil tersebut. Juga, catat waktu pengambilan sampel dan waktu analisis
untuk keperluan pemantauan dan evaluasi selanjutnya.
10. Tindakan lanjutan: Jika hasil AGD menunjukkan perubahan yang signifikan atau
adanya masalah dalam keseimbangan asam-basa atau fungsi pernapasan,
komunikasikan temuan tersebut kepada tim medis yang relevan dan ikuti protokol dan
prosedur yang ditetapkan untuk mengatasi masalah tersebut.
Pastikan untuk mengikuti pedoman dan kebijakan yang berlaku di lembaga Anda dalam
melakukan pemeriksaan AGD pada pasien intra anestesi. Jika ada kekhawatiran atau
ketidakjelasan, penting untuk berkonsultasi dengan tenaga medis yang berwenang sebelum
melakukan tindakan.
XIII. Mendokumentasikan asuhan keperawatan
1. Melakukan dokumentasi asuhan keperawatan perioperatif di lembar perioperatif dan catat
perkembangan pasien terintegrasi
Dokumentasi asuhan keperawatan perioperatif melibatkan pencatatan informasi dan
perkembangan pasien selama periode preoperatif, intraoperatif, dan pascaoperatif. Dokumen
yang biasa digunakan adalah lembar perioperatif. Berikut adalah beberapa poin yang dapat
dicatat dalam dokumentasi asuhan keperawatan perioperatif di lembar perioperatif:
1. Bagian identifikasi: Tuliskan identitas pasien, seperti nama lengkap, tanggal lahir,
nomor rekam medis, serta tanggal dan waktu pemasukan pasien ke ruang operasi.
2. Riwayat medis: Catat riwayat medis pasien, termasuk alergi obat atau bahan kimia,
riwayat penyakit yang relevan, riwayat operasi sebelumnya, dan kondisi kesehatan
saat ini. Juga, tuliskan hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium yang relevan.
3. Perencanaan perioperatif: Catat rencana tindakan perioperatif yang telah disusun,
termasuk jenis anestesi yang akan digunakan, persiapan praoperatif yang diperlukan,
dan perawatan khusus yang harus diberikan selama perioperatif.
4. Persetujuan dan informasi pasien: Tuliskan bahwa pasien telah memberikan
persetujuan informasional dan persetujuan tindakan tertulis untuk prosedur operasi
yang akan dilakukan. Juga, catat bahwa pasien telah mendapatkan informasi yang
cukup mengenai prosedur, risiko, dan manfaatnya.
5. Preoperatif: Catat tindakan dan observasi yang dilakukan pada pasien sebelum
operasi, seperti pemasangan infus, administrasi obat praoperatif, pemantauan tanda
vital, dan persiapan fisik pasien.
6. Intraoperatif: Jika memungkinkan, catat perkembangan dan intervensi selama proses
operasi, seperti tindakan keperawatan yang dilakukan, pemantauan tanda vital,
pemberian obat dan cairan, serta kolaborasi dengan tim medis lainnya.
7. Pascaoperatif: Catat pemantauan pasien pascaoperatif, termasuk pemantauan tanda
vital, keadaan kesadaran, nyeri, dan fungsi organ vital. Juga, tuliskan intervensi yang
dilakukan untuk memastikan pemulihan pasien, seperti pemberian obat analgesik,
perawatan luka, dan pemantauan drainase.
8. Komplikasi dan reaksi: Jika terjadi komplikasi atau reaksi selama perioperatif, catat
dengan rinci tindakan yang diambil, perubahan kondisi pasien, serta komunikasi
dengan tim medis terkait.
9. Pemberian obat dan cairan: Catat obat dan cairan yang diberikan kepada pasien,
dosisnya, serta waktu pemberiannya selama perioperatif. Pastikan untuk mencatat
reaksi pasien terhadap obat dan cairan yang diberikan.
10. Tandatangan: Pastikan lembar perioperatif ditandatangani oleh petugas perawat yang
bertanggung jawab atas asuhan keperawatan perioperatif dan memverifikasi
informasi yang dicatat.
Dokumentasi harus dilakukan secara akurat, jelas, dan terperinci, serta mengikuti kebijakan
dan pedoman rumah sakit atau lembaga medis yang berlaku.
XIV. Menerapkan keperawatan anestesi
1. Melakukan persiapan tindakan teknik anestesi sesuai jenis anestesi (umum, regional,
Sedasi, Block)
Persiapan tindakan teknik anestesi akan bervariasi tergantung pada jenis anestesi yang akan
digunakan, seperti anestesi umum, regional, sedasi, atau blok. Berikut adalah panduan
umum untuk persiapan tindakan teknik anestesi sesuai dengan jenis anestesi:
1. Anestesi Umum:
 Pastikan persiapan fasilitas dan peralatan anestesi seperti ventilator, monitor jantung,
dan alat intubasi.
 Periksa dan siapkan obat-obatan anestesi yang diperlukan, termasuk obat induksi,
obat pemeliharaan, dan obat penunjang seperti relaksan otot.
 Persiapkan peralatan intubasi dan saluran napas, termasuk tabung endotrakeal,
masker laringeal, atau masker wajah.
 Verifikasi ketersediaan jalur vena dan pemasangan infus untuk pemberian obat
intravena selama anestesi.
 Siapkan persiapan praoperatif sesuai kebijakan rumah sakit, seperti puasa makanan
dan minuman.
2. Anestesi Regional:
 Komunikasikan dengan pasien mengenai jenis anestesi regional yang akan dilakukan,
seperti epidural, spinal, atau blok saraf perifer.
 Pilih situs penyuntikan yang sesuai dan siapkan alat dan peralatan yang diperlukan
untuk anestesi regional, seperti jarum khusus, jarum penghubung, dan obat anestesi
lokal.
 Pastikan sterilisasi area sekitar situs penyuntikan dan gunakan teknik aseptik saat
melakukan tindakan.
 Siapkan bahan tambahan seperti kateter epidural atau pompa infus yang mungkin
diperlukan untuk manajemen analgesia pascaoperatif.
3. Anestesi Sedasi:
 Tentukan jenis obat sedasi yang akan digunakan berdasarkan kebutuhan pasien dan
prosedur yang akan dilakukan.
 Pastikan pemantauan vital yang tepat, seperti pemantauan tekanan darah, denyut
nadi, saturasi oksigen, dan elektrokardiogram.
 Siapkan obat sedasi dan peralatan yang diperlukan, seperti pompa infus atau alat
pengendali obat yang sesuai.
4. Blok Saraf Perifer:
 Tentukan jenis blok saraf perifer yang akan dilakukan berdasarkan lokasi dan jenis
nyeri yang ingin dikendalikan.
 Pastikan pemantauan vital yang tepat selama prosedur, seperti pemantauan tekanan
darah dan saturasi oksigen.
 Siapkan obat anestesi lokal yang diperlukan, jarum khusus, jarum penghubung, dan
peralatan lainnya sesuai dengan teknik blok yang dipilih.
 Lakukan pemeriksaan dan persiapan kulit sebelum melakukan tindakan untuk
memastikan sterilisasi dan kesiapan pasien.
Selalu patuhi pedoman dan kebijakan rumah sakit atau lembaga medis yang berlaku dalam
melakukan persiapan tindakan anestesi. Koordinasikan dengan tim medis lainnya, termasuk
anestesiolog, untuk memastikan persiapan yang tepat dan keamanan pasien selama
tindakan anestesi.
2. Melakukan pemasangan alat monitor invasive dan non invasive di kamar operasi
Tindakan Keperawatan: Pemasangan Alat Monitor Invasive dan Non-invasive di Kamar
Operasi
1. Persiapan:
 Pastikan alat monitor invasive dan non-invasive yang diperlukan sudah siap,
termasuk sensor, elektroda, kabel, dan alat bantu yang sesuai.
 Periksa kondisi alat dan pastikan mereka dalam keadaan baik, terkalibrasi dengan
benar, dan steril.
 Cuci tangan dengan baik dan kenakan pakaian pelindung seperti sarung tangan steril.
2. Pemasangan Alat Monitor Invasif:
 Identifikasi situs pemasangan yang sesuai, seperti arteri radial untuk monitor tekanan
darah invasif (IBP).
 Lakukan persiapan area dengan membersihkan kulit menggunakan bahan pembersih
yang sesuai.
 Gunakan teknik aseptik saat memasang alat, termasuk menggunakan sarung tangan
steril.
 Pastikan pemilihan kateter dan koneksi yang benar, serta pastikan bahwa sistem
transduser dan monitor tekanan darah terhubung dengan baik.
 Pemantauan dan verifikasi tekanan darah secara kontinu setelah pemasangan.
3. Pemasangan Alat Monitor Non-invasif:
 Identifikasi area yang sesuai untuk pemasangan sensor atau elektroda, seperti jari
untuk monitor saturasi oksigen (pulse oximeter) atau dada dan pergelangan tangan
untuk monitor elektrokardiogram (ECG).
 Bersihkan area dengan bahan pembersih yang sesuai dan biarkan kering.
 Pasang sensor atau elektroda dengan benar sesuai instruksi produsen dan pastikan
adanya kontak yang baik dengan kulit.
 Hubungkan sensor atau elektroda dengan monitor yang sesuai dan verifikasi tampilan
yang akurat.
4. Verifikasi dan Pemantauan:
 Setelah pemasangan, periksa tampilan monitor untuk memastikan bahwa alat monitor
invasive dan non-invasive berfungsi dengan baik dan memberikan hasil yang akurat.
 Pastikan bahwa aliran sinyal yang stabil dan bahwa data yang ditampilkan sesuai
dengan kondisi pasien.
 Pemantauan terus menerus terhadap parameter yang relevan, seperti tekanan darah,
saturasi oksigen, atau aktivitas jantung.
Edukasi Perawatan Pasien Pasca Operasi:
1. Kebersihan Luka dan Perawatan:
 Jelaskan kepada pasien cara membersihkan dan merawat luka operasi dengan baik,
termasuk mengganti perban atau dressing secara steril.
 Bicarakan tanda-tanda infeksi luka, perdarahan yang berlebihan, atau perubahan
warna dan bau yang mencurigakan, serta kapan harus menghubungi tenaga medis
jika hal tersebut terjadi.
2. Penggunaan Obat dan Penghilang Rasa Sakit:
 Sampaikan kepada pasien informasi mengenai obat-obatan yang diberikan untuk
penghilang rasa sakit atau obat lain yang diresepkan.
 Berikan instruksi penggunaan obat dengan jelas, termasuk dosis, frekuensi, dan cara
penggunaannya.
3. Aktivitas Pasca Operasi:
 Diskusikan dengan pasien batasan aktivitas yang perlu diikuti pasca operasi, seperti
menghindari pengangkatan beban berat, olahraga intens, atau aktivitas yang bisa
mengganggu proses penyembuhan.
 Berikan panduan mengenai perubahan posisi tubuh, pernapasan dalam, dan latihan
mobilisasi yang aman.
4. Tanda-tanda Peringatan dan Kontak Darurat:
 Edukasikan pasien mengenai tanda-tanda peringatan yang perlu diperhatikan setelah
operasi, seperti demam tinggi, perdarahan yang berlebihan, sesak napas, atau nyeri
hebat.
 Sediakan nomor kontak darurat yang dapat dihubungi jika pasien mengalami masalah
atau memiliki pertanyaan setelah operasi.
Pastikan untuk memberikan edukasi secara terstruktur, mengadaptasi konten sesuai
kebutuhan pasien, memberikan kesempatan bagi pasien untuk mengajukan pertanyaan, dan
mencatat edukasi yang telah diberikan dalam catatan medis pasien.
3. Mempersiapkan alat-alat untuk anestesi regional
Mempersiapkan alat-alat untuk anestesi regional melibatkan pengumpulan dan menyiapkan
peralatan yang diperlukan untuk prosedur tersebut. Berikut adalah panduan umum untuk
mempersiapkan alat-alat untuk anestesi regional:
1. Persiapan Umum:
 Pastikan Anda telah mempelajari dan memahami prosedur anestesi regional yang
akan dilakukan.
 Verifikasi identitas pasien, termasuk nama, tanggal lahir, dan nomor rekam medis,
untuk memastikan kecocokan dengan dokumen medis dan formulir persetujuan.
 Cuci tangan dengan benar atau gunakan sarung tangan steril sebelum
mempersiapkan alat-alat.
2. Peralatan Umum:
 Periksa dan pastikan ketersediaan peralatan steril yang diperlukan, seperti jarum,
kateter, jarum suntik, jarum spinal, dan alat bantu lainnya.
 Pastikan bahwa peralatan steril terkemas dengan baik dan tanggal kadaluarsanya
masih berlaku.
 Siapkan meja operasi dengan tempat yang disiapkan untuk meletakkan peralatan dan
instrumen yang akan digunakan.
3. Peralatan Spesifik untuk Anestesi Regional:
 Pilih dan persiapkan jarum dan kateter yang sesuai dengan teknik anestesi regional
yang akan dilakukan, seperti epidural, spinal, atau blok saraf perifer.
 Pastikan kebersihan dan sterilisasi alat-alat tersebut dengan cara yang sesuai
sebelum penggunaan.
 Siapkan alat bantu yang diperlukan, seperti jarum penghubung, alat pengukur
tekanan, dan perangkat tambahan lainnya yang relevan dengan teknik anestesi
regional yang dipilih.
4. Bahan Kimia dan Obat:
 Persiapkan obat anestesi lokal yang akan digunakan, serta obat pendukung lainnya
yang mungkin diperlukan selama prosedur, seperti obat penenang atau obat anti-
koagulan.
 Pastikan obat-obatan tersebut tersedia dalam jumlah yang cukup dan sesuai dengan
rencana tindakan.
5. Peralatan Pendukung:
 Persiapkan peralatan pendukung lainnya, seperti bantalan atau bantal untuk
memposisikan pasien dengan nyaman selama prosedur.
 Periksa kelengkapan alat pemantau vital yang diperlukan, seperti monitor tekanan
darah, pulsoksimeter, atau EKG, tergantung pada kebutuhan pasien dan jenis
anestesi regional yang dilakukan.
Pastikan untuk mengikuti pedoman dan kebijakan yang berlaku di lembaga medis Anda
dalam mempersiapkan alat-alat untuk anestesi regional. Pastikan juga untuk memeriksa
setiap peralatan dan bahan sebelum digunakan, serta memastikan sterilisasi dan kebersihan
yang tepat sebelum prosedur.
4. Asistensi pelaksanaan anestesi regional oleh dokter anestesi
Sebagai asisten, peran Anda dalam pelaksanaan anestesi regional oleh dokter anestesi
adalah untuk memberikan dukungan dan asistensi selama prosedur. Berikut adalah langkah-
langkah yang dapat Anda ikuti untuk membantu dokter anestesi dalam pelaksanaan anestesi
regional:
1. Persiapan sebelum prosedur:
 Pastikan semua peralatan dan bahan yang diperlukan telah disiapkan dengan benar.
 Pastikan sterilisasi dan kebersihan yang tepat dari peralatan dan area sekitarnya.
 Bantu dalam menyiapkan pasien dengan memastikan posisi yang nyaman,
memperhatikan privasi, dan mempersiapkan area yang akan disuntikkan.
2. Bantuan selama penyuntikan anestesi:
 Bantu dalam menstabilkan dan memposisikan pasien dengan tepat untuk
memudahkan penyuntikan.
 Berikan dukungan psikologis dan nyaman bagi pasien selama prosedur, seperti
memberikan informasi dan menjawab pertanyaan yang mungkin dimiliki pasien.
 Bantu dokter anestesi dalam mempersiapkan dan menyiapkan peralatan yang akan
digunakan selama penyuntikan, seperti jarum, kateter, dan alat bantu lainnya.
 Jaga area penyuntikan tetap steril dengan memegang jaringan atau memberikan
bantuan yang diperlukan.
3. Pemantauan pasien:
 Bantu dalam pemantauan pasien selama prosedur anestesi regional, seperti
pemantauan tekanan darah, saturasi oksigen, dan tanda-tanda vital lainnya.
 Catat dan laporkan hasil pemantauan secara akurat kepada dokter anestesi.
 Bantu dalam pemantauan kesadaran pasien, termasuk respons terhadap anestesi
lokal yang diberikan.
4. Bantuan saat komplikasi:
 Siapkan bahan dan peralatan tambahan yang mungkin diperlukan dalam penanganan
komplikasi yang mungkin terjadi selama atau setelah prosedur anestesi regional.
 Bantu dokter anestesi dalam tindakan emergensi jika terjadi efek samping atau
komplikasi yang membutuhkan intervensi cepat.
5. Pemantauan pascaoperatif awal:
 Setelah penyuntikan anestesi regional selesai, bantu dalam pemantauan pasien
selama periode pemulihan awal.
 Pastikan pasien dalam keadaan nyaman dan bebas dari rasa sakit setelah prosedur.
Selalu ingat untuk berkoordinasi dan berkomunikasi dengan dokter anestesi selama seluruh
prosedur anestesi regional. Patuhi pedoman dan prosedur yang berlaku di lembaga medis
Anda, serta bersiap untuk memberikan bantuan dan dukungan yang diperlukan dalam rangka
mencapai keamanan dan kenyamanan pasien.
XV. Memberikan informasi dan edukasi
1. Memberikan edukasi terkait kasus kompleks pasien sesuai kebutuhan
Memberikan edukasi yang tepat terkait kasus kompleks pasien memerlukan pendekatan
yang berfokus pada kebutuhan individual pasien dan keluarganya. Berikut adalah panduan
umum untuk memberikan edukasi terkait kasus kompleks pasien:
1. Evaluasi kebutuhan edukasi: Pertama-tama, lakukan evaluasi terhadap kebutuhan
edukasi pasien dan keluarganya. Hal ini dapat dilakukan dengan berkomunikasi
secara terbuka dan empatik dengan pasien dan keluarganya, serta mendengarkan
kekhawatiran, pertanyaan, atau kekurangan pengetahuan yang mereka miliki.
2. Gunakan bahasa yang mudah dipahami: Sampaikan informasi secara jelas dan
gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh pasien dan keluarganya. Hindari
penggunaan istilah medis yang kompleks atau jargon yang sulit dipahami. Pastikan
bahwa pesan yang ingin disampaikan dapat dipahami dengan baik oleh pasien dan
keluarganya.
3. Visualisasi dan penggunaan media: Gunakan visualisasi atau bahan media lainnya,
seperti gambar, diagram, atau video, untuk membantu menjelaskan konsep atau
prosedur yang kompleks. Hal ini dapat membantu pasien dan keluarga dalam
memahami informasi dengan lebih baik.
4. Berikan informasi yang relevan: Berikan informasi yang relevan dengan kondisi
khusus pasien. Fokus pada penjelasan mengenai diagnosis, pengobatan, prosedur,
atau perawatan yang spesifik untuk kasus kompleks pasien tersebut. Jelaskan juga
potensi risiko, manfaat, dan alternatif pengobatan yang mungkin.
5. Gunakan pendekatan yang berulang-ulang: Beberapa pasien mungkin perlu waktu
dan repetisi dalam memahami informasi yang kompleks. Oleh karena itu, ulangi dan
tanyakan apakah ada pertanyaan atau kekhawatiran yang perlu dijelaskan kembali.
Bantu pasien dan keluarganya untuk mengklarifikasi pemahaman mereka.
6. Libatkan keluarga atau pendukung: Melibatkan keluarga atau pendukung yang dekat
dengan pasien dapat membantu dalam pemahaman dan dukungan. Ajak mereka
untuk hadir selama sesi edukasi dan berikan dukungan informasi yang konsisten.
7. Pertimbangkan tingkat kesehatan pasien: Pertimbangkan tingkat kesehatan pasien
dan kemampuan mereka dalam memahami informasi. Sesuaikan metode dan tingkat
detail dalam memberikan edukasi sesuai dengan kebutuhan pasien.
8. Catat dan dokumentasikan: Catat edukasi yang telah diberikan dalam catatan medis
pasien. Pastikan bahwa informasi yang disampaikan dan pemahaman pasien dicatat
dengan jelas untuk referensi selanjutnya.
Selalu ingat untuk bersikap empatik, mendengarkan dengan seksama, dan memberikan
kesempatan bagi pasien dan keluarganya untuk mengajukan pertanyaan atau
mengungkapkan kekhawatiran mereka. Sesuaikan pendekatan edukasi dengan kebutuhan
individu pasien dan pastikan bahwa mereka merasa didukung dan terlibat dalam proses
perawatan mereka.
2. Memberikan edukasi terkait Persiapan anestesi dan tindakan anestesi
Memberikan edukasi terkait persiapan anestesi dan tindakan anestesi memerlukan
pendekatan yang jelas dan rinci. Berikut adalah panduan umum untuk memberikan edukasi
terkait persiapan anestesi dan tindakan anestesi:
1. Persiapan Anestesi:
 Jelaskan tujuan dari anestesi, yaitu untuk memastikan pasien tidak merasakan nyeri
selama prosedur medis atau operasi.
 Diskusikan jenis anestesi yang akan digunakan, seperti anestesi umum, regional,
sedasi, atau blok, serta manfaat dan risiko yang terkait dengan masing-masing jenis
anestesi.
 Bicarakan tentang persiapan praoperatif yang harus diikuti oleh pasien, seperti
batasan makanan dan minuman sebelum operasi, penghentian obat-obatan tertentu,
dan instruksi khusus lainnya yang diberikan oleh tim medis.
2. Proses Anestesi:
 Jelaskan tahapan proses anestesi, termasuk evaluasi praoperatif, persiapan ruang
operasi, pemantauan vital, dan tindakan yang dilakukan selama anestesi.
 Diskusikan penggunaan obat anestesi yang akan diberikan, baik secara intravena
maupun inhalasi, serta efek samping atau risiko yang mungkin terkait dengan
penggunaan obat-obatan tersebut.
 Jelaskan tentang pemasangan alat monitor seperti EKG, saturasi oksigen, dan
tekanan darah, serta peran dan pentingnya pemantauan selama proses anestesi.
3. Tindakan Anestesi:
 Bicarakan prosedur yang akan dilakukan selama tindakan anestesi, termasuk
penggunaan alat intubasi, pengelolaan saluran napas, pemantauan tanda-tanda vital,
dan manajemen cairan dan obat selama proses anestesi.
 Jelaskan perawatan khusus yang dapat diberikan oleh tim medis selama proses
anestesi, seperti pemberian obat anti-mual atau penggunaan teknik analgesi
tambahan.
 Diskusikan pemulihan pasca anestesi, termasuk monitoring pasien setelah prosedur,
manajemen nyeri pascaoperatif, dan tindakan pencegahan infeksi atau komplikasi
lainnya.
4. Respon Pasca Anestesi:
 Jelaskan apa yang diharapkan oleh pasien setelah prosedur anestesi, termasuk efek
samping yang mungkin muncul seperti rasa mual, pusing, atau kesulitan bernapas,
serta bagaimana cara mengatasinya.
 Diskusikan tanda-tanda peringatan yang perlu diperhatikan pasca anestesi, seperti
perdarahan yang berlebihan, demam tinggi, atau nyeri yang tidak terkontrol, dan
kapan harus mencari bantuan medis.
Pastikan bahwa informasi disampaikan dengan jelas dan sesuai dengan tingkat pemahaman
pasien. Gunakan bahasa yang mudah dipahami dan berikan kesempatan bagi pasien untuk
bertanya atau mengungkapkan kekhawatiran mereka. Juga, pastikan bahwa informasi yang
disampaikan didokumentasikan dengan baik untuk referensi selanjutnya.
UNTUK PK 3 AHLI MUDA SUB JENJANG A DAN B
I. Melakukan fungsi managerial sederhana
1. Melaksanakan fungsi pengarahan pelaksanaan pelayanan keperawatan sebagai ketua
tim/ perawat primer
Sebagai ketua tim atau perawat primer, Anda memiliki peran penting dalam
mengarahkan pelaksanaan pelayanan keperawatan. Berikut adalah beberapa fungsi yang
dapat Anda lakukan:
1. Perencanaan Pelayanan Keperawatan: Anda perlu merencanakan pelayanan
keperawatan yang akan diberikan kepada pasien. Ini melibatkan penentuan prioritas
perawatan, penyusunan jadwal pemeriksaan, dan koordinasi dengan anggota tim
keperawatan lainnya.
2. Pengorganisasian Tim: Anda bertanggung jawab untuk mengorganisasi tim
keperawatan yang terlibat dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Ini termasuk
mengatur jadwal kerja, menetapkan tugas dan tanggung jawab, serta memastikan
kolaborasi yang efektif antara anggota tim.
3. Koordinasi Pelayanan: Sebagai ketua tim, Anda harus memastikan koordinasi yang
baik antara berbagai departemen dan unit di rumah sakit atau fasilitas kesehatan.
Anda perlu berkomunikasi dengan dokter, terapis, apoteker, dan staf lainnya untuk
memastikan pelayanan yang terkoordinasi dan tepat waktu.
4. Pengawasan Pelayanan: Anda perlu mengawasi pelaksanaan pelayanan
keperawatan untuk memastikan standar yang tinggi dan kepatuhan terhadap
kebijakan dan prosedur yang ditetapkan. Ini meliputi pemantauan kondisi pasien,
evaluasi hasil perawatan, dan intervensi jika ada perubahan atau masalah.
5. Pemberian Edukasi: Anda memiliki peran penting dalam memberikan edukasi kepada
pasien, keluarga, dan anggota tim keperawatan. Anda perlu menjelaskan perawatan
yang diberikan, memberikan informasi tentang kondisi kesehatan, dan melibatkan
pasien dan keluarga dalam pengambilan keputusan terkait perawatan.
6. Peningkatan Kualitas: Sebagai ketua tim, Anda harus aktif terlibat dalam upaya
peningkatan kualitas pelayanan keperawatan. Ini melibatkan partisipasi dalam
program penilaian kualitas, pelaporan insiden kejadian tidak diinginkan, dan
melaksanakan tindakan perbaikan yang diperlukan.
7. Kolaborasi dengan Pihak Terkait: Anda perlu berkolaborasi dengan manajemen
rumah sakit atau fasilitas kesehatan, tim medis, dan pihak terkait lainnya dalam
rangka pengembangan kebijakan dan program pelayanan keperawatan yang lebih
baik.
Selain fungsi-fungsi tersebut, penting juga bagi seorang ketua tim atau perawat
primer untuk tetap memperbarui pengetahuan dan keterampilan melalui pelatihan dan
pengembangan profesional secara berkala.
Sebagai ketua tim atau perawat primer, Anda memiliki peran penting dalam
melaksanakan fungsi pengarahan pelaksanaan pelayanan keperawatan. Berikut ini adalah
beberapa langkah yang dapat Anda ikuti:
1. Membuat rencana perawatan: Identifikasi kebutuhan pasien dan buat rencana
perawatan yang sesuai. Libatkan anggota tim perawatan lainnya dalam
merencanakan dan mengimplementasikan perawatan yang holistik dan individualistik.
2. Mengkoordinasikan tim: Pastikan setiap anggota tim memahami tugas dan tanggung
jawab mereka. Koordinasikan jadwal kerja, pemantauan kondisi pasien, dan
komunikasi antara anggota tim.
3. Memberikan arahan: Komunikasikan rencana perawatan kepada anggota tim secara
jelas dan terperinci. Berikan arahan mengenai prosedur perawatan, penanganan
keadaan darurat, dan langkah-langkah yang harus diambil dalam situasi khusus.
4. Mengawasi pelaksanaan perawatan: Monitor pelaksanaan perawatan oleh anggota
tim. Pastikan bahwa prosedur diikuti dengan benar, catat dan monitor perkembangan
pasien, dan tindak lanjuti kebutuhan tambahan atau perubahan yang diperlukan.
5. Memberikan dukungan dan bimbingan: Jadilah sumber daya dan dukungan bagi
anggota tim. Sediakan bimbingan teknis, berbagi pengetahuan dan pengalaman,
serta dorong pertumbuhan profesional anggota tim.
6. Mempertahankan standar keperawatan yang tinggi: Pastikan bahwa pelayanan yang
diberikan sesuai dengan standar keperawatan yang ditetapkan. Lakukan evaluasi
rutin terhadap kualitas perawatan dan identifikasi area yang memerlukan perbaikan.
7. Berkolaborasi dengan pihak terkait: Bekerjasama dengan dokter, tenaga medis
lainnya, pasien, keluarga, dan pihak lain yang terlibat dalam perawatan.
Komunikasikan informasi yang relevan, ikuti arahan medis, dan koordinasikan
perawatan secara holistik.
8. Melibatkan pasien dan keluarga: Dukung partisipasi pasien dan keluarga dalam
pengambilan keputusan perawatan. Sediakan edukasi dan informasi yang jelas,
dengarkan kebutuhan dan kekhawatiran mereka, dan fasilitasi komunikasi yang
efektif.
9. Mengelola sumber daya: Manajemen efisien sumber daya seperti waktu, peralatan,
dan tenaga kerja merupakan bagian penting dari fungsi pengarahan. Pastikan
penggunaan sumber daya yang optimal untuk memberikan perawatan berkualitas.
10. Meningkatkan diri secara kontinu: Selalu mencari peluang untuk mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan Anda serta tim. Ikuti pelatihan dan program
pengembangan diri yang relevan, teruslah mempelajari perkembangan terkini dalam
bidang keperawatan.
Dengan mengikuti langkah-langkah ini, Anda dapat efektif dalam melaksanakan
fungsi pengarahan pelaksanaan pelayanan keperawatan sebagai ketua tim atau perawat
primer. Ingatlah pentingnya kolaborasi, komunikasi, dan perawatan yang berfokus pada
pasien dalam memberikan pelayanan yang optimal.
Kasus: Melaksanakan fungsi pengarahan pelaksanaan pelayanan keperawatan
sebagai ketua tim/perawat primer.
Skenario: Anda adalah seorang perawat yang ditunjuk sebagai ketua tim atau
perawat primer dalam sebuah unit perawatan di rumah sakit. Anda bertanggung jawab dalam
mengarahkan dan melaksanakan pelayanan keperawatan yang optimal bagi pasien dan
memastikan koordinasi yang baik dengan anggota tim perawat lainnya. Berikut adalah contoh
langkah-langkah yang dapat Anda lakukan dalam melaksanakan fungsi pengarahan
pelaksanaan pelayanan keperawatan:
1. Koordinasi dengan tim perawat:
 Jelaskan peran dan tanggung jawab masing-masing anggota tim perawat.
 Sampaikan tujuan dan harapan dalam pelayanan keperawatan kepada tim.
 Tetapkan jadwal kerja, tugas, dan tanggung jawab yang jelas untuk setiap
anggota tim.
 Pastikan adanya komunikasi yang terbuka dan efektif di antara anggota tim.
2. Pengawasan dan supervisi:
 Pantau pelaksanaan pelayanan keperawatan oleh anggota tim secara berkala.
 Berikan umpan balik (feedback) yang konstruktif terkait kinerja anggota tim.
 Identifikasi kebutuhan pelatihan atau pengembangan keterampilan bagi
anggota tim dan tindak lanjuti dengan memberikan dukungan atau pelatihan
yang diperlukan.

3. Perencanaan pelayanan keperawatan:


 Kolaborasi dengan tim medis lainnya, seperti dokter, ahli terapi, dan ahli gizi,
dalam perencanaan pelayanan keperawatan yang holistik.
 Pastikan rencana perawatan yang ditetapkan untuk setiap pasien
tersistematisasi, terdokumentasi, dan dapat diakses oleh anggota tim.
 Tinjau dan perbarui rencana perawatan secara berkala sesuai dengan
perkembangan kondisi pasien.
4. Pengelolaan sumber daya:
 Atur dan alokasikan sumber daya perawatan, termasuk tenaga perawat, alat
dan perlengkapan, serta waktu secara efisien dan efektif.
 Pastikan stok obat dan bahan perawatan mencukupi dan terjaga dengan baik.
 Identifikasi dan laporkan kebutuhan sumber daya tambahan kepada
manajemen atau departemen terkait.
5. Penyelesaian masalah:
 Tanggapi permasalahan atau tantangan yang muncul dalam pelayanan
keperawatan secara proaktif.
 Identifikasi akar masalah, cari solusi yang tepat, dan berkoordinasi dengan
anggota tim untuk implementasi tindakan perbaikan.
 Dukung dan berikan bantuan kepada anggota tim dalam menyelesaikan
masalah yang kompleks.
6. Evaluasi dan perbaikan:
 Lakukan evaluasi berkala terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan
oleh tim.
 Gunakan data dan informasi yang relevan untuk mengevaluasi keefektifan
pelayanan dan identifikasi area yang perlu diperbaiki.
 Buat dan terapkan tindakan perbaikan atau rencana tindak lanjut untuk
meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan.
7. Advokasi pasien:
 Jadilah perwakilan pasien dalam tim perawat dan bantu memastikan bahwa
kebutuhan, keinginan, dan hak pasien dihormati dan diperhatikan.
 Kolaborasi dengan pasien dan keluarga dalam pengambilan keputusan terkait
perawatan dan memberikan informasi yang jelas mengenai kondisi pasien.
Ingatlah bahwa sebagai ketua tim atau perawat primer, penting bagi Anda untuk
mengembangkan keterampilan kepemimpinan yang baik, memastikan komunikasi yang
efektif, dan tetap berkomitmen terhadap pelayanan keperawatan yang berkualitas.

2. Melakukan pengorganisasian pelayanan keperawatan antar shift/unit


Pengorganisasian pelayanan keperawatan antar shift atau unit merupakan hal penting
untuk memastikan kontinuitas perawatan yang berkualitas bagi pasien. Berikut adalah
beberapa langkah yang dapat Anda pertimbangkan dalam melakukan pengorganisasian
tersebut:
1. Komunikasi yang efektif: Penting untuk memastikan terjalinnya komunikasi yang baik
antara tim keperawatan dari shift atau unit yang berbeda. Ini dapat dilakukan melalui
pertemuan rutin, buletin, atau melalui aplikasi komunikasi internal yang
memungkinkan perawat berbagi informasi penting.
2. Pertukaran informasi: Selama pergantian shift atau transfer pasien antar unit, perlu
ada proses yang baik untuk pertukaran informasi. Gunakan format standar seperti
lembaran pengalihan pasien atau alat elektronik seperti rekam medis elektronik untuk
memastikan semua informasi penting tentang pasien tersedia bagi perawat yang
bertanggung jawab selanjutnya.
3. Pemberdayaan perawat senior: Perawat senior atau pengawas shift dapat
memainkan peran penting dalam pengorganisasian pelayanan keperawatan antar
shift atau unit. Mereka dapat mengawasi proses transfer, memastikan pemahaman
yang tepat tentang perubahan status pasien, dan membantu perawat baru atau yang
bergantian shift dalam beradaptasi dengan lingkungan baru.
4. Pemetaan tugas: Buat pemetaan tugas yang jelas untuk setiap shift atau unit.
Tetapkan tanggung jawab dan peran masing-masing perawat dalam tim. Hal ini akan
membantu menghindari kebingungan dan memastikan bahwa semua aspek
perawatan pasien tercakup dengan baik.
5. Pelatihan dan orientasi: Jika ada perawat baru yang masuk dalam tim atau ada
pergantian shift, pastikan mereka menerima pelatihan dan orientasi yang memadai.
Ini termasuk pemahaman tentang kebijakan dan prosedur unit, pengenalan dengan
pasien yang ditangani, dan penjelasan tentang alat-alat atau teknologi yang
digunakan dalam perawatan.
6. Evaluasi dan umpan balik: Lakukan evaluasi rutin terhadap sistem pengorganisasian
pelayanan keperawatan antar shift atau unit. Berikan kesempatan bagi anggota tim
untuk memberikan umpan balik dan saran tentang perbaikan yang mungkin
diperlukan. Dengan melibatkan semua anggota tim dalam proses ini, Anda dapat
meningkatkan efisiensi dan kualitas perawatan.
Selain langkah-langkah di atas, pastikan juga untuk mempertimbangkan kebijakan
dan prosedur yang telah ditetapkan oleh rumah sakit atau lembaga kesehatan tempat Anda
bekerja. Berkoordinasilah dengan manajemen dan tim kepemimpinan keperawatan untuk
memastikan bahwa strategi pengorganisasian yang Anda terapkan sesuai dengan kebijakan
dan praktik yang berlaku.

Pengorganisasian pelayanan keperawatan antar shift atau unit adalah langkah


penting dalam memastikan kontinuitas perawatan yang berkualitas dan efisien bagi pasien.
Berikut adalah beberapa langkah yang dapat Anda lakukan untuk melakukan
pengorganisasian pelayanan keperawatan antar shift atau unit:
1. Komunikasi yang efektif: Pastikan adanya komunikasi yang baik antara perawat yang
bertugas di shift atau unit sebelumnya dan yang akan menggantikan mereka. Hal ini
dapat dilakukan melalui pertemuan singkat di awal atau akhir shift, melalui catatan
tertulis, atau menggunakan teknologi komunikasi seperti aplikasi pesan instan atau
email.
2. Laporan bergantian (handover): Selama pergantian shift, perawat yang bertugas
sebelumnya harus memberikan laporan lengkap kepada perawat yang akan
menggantikannya. Laporan ini harus mencakup informasi penting tentang kondisi
pasien, tindakan yang telah dilakukan, respons pasien terhadap perawatan,
perubahan yang signifikan dalam kondisi pasien, dan rencana perawatan selanjutnya.
Pastikan agar laporan ini dilakukan secara sistematis dan sesuai dengan protokol
yang telah ditetapkan.
3. Dokumentasi yang akurat: Perawat harus melakukan dokumentasi yang akurat dan
terperinci tentang tindakan perawatan yang telah dilakukan, respons pasien, dan
perubahan dalam kondisi pasien selama shift. Dokumentasi ini harus dapat diakses
oleh perawat yang mengambil alih perawatan pada shift atau unit selanjutnya.
4. Tim kerja yang terkoordinasi: Penting untuk memastikan kolaborasi dan koordinasi
yang baik antara perawat yang bertugas di berbagai shift atau unit. Ini dapat dicapai
melalui pertemuan rutin atau rapat tim, di mana perawat dapat saling berbagi
informasi, masalah yang dihadapi, dan memberikan saran atau solusi.
5. Penugasan yang sesuai: Pastikan bahwa penugasan perawat pada setiap shift atau
unit telah dipertimbangkan dengan baik. Perhatikan faktor-faktor seperti tingkat
keahlian, pengalaman, dan preferensi perawat dalam menangani jenis pasien atau
kondisi tertentu. Upayakan agar setiap perawat dapat bekerja di unit atau shift yang
sesuai dengan keahlian dan minat mereka, sehingga dapat memberikan perawatan
yang optimal.
6. Peningkatan kualitas: Selalu upayakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
keperawatan antar shift atau unit. Lakukan evaluasi rutin terhadap proses pelayanan,
identifikasi area yang perlu ditingkatkan, dan lakukan perbaikan yang sesuai.
Terlibatlah dalam program pelatihan dan pengembangan untuk meningkatkan
kompetensi perawat dan mendukung perawatan yang lebih baik.
7. Penggunaan teknologi: Manfaatkan teknologi yang tersedia untuk membantu
pengorganisasian pelayanan keperawatan antar shift atau unit. Misalnya,
penggunaan sistem manajemen informasi kesehatan (HIMS) dapat membantu dalam
pencatatan dan berbagi informasi pasien secara efisien antara perawat.
Penting untuk mengutamakan keselamatan dan kualitas perawatan pasien dalam
pengorganisasian pelayanan keperawatan antar shift atau unit. Dengan mengikuti langkah-
langkah di atas dan menjaga komunikasi yang baik antara perawat, diharapkan akan tercipta
kontinuitas perawatan yang optimal bagi pasien.

Kasus: Melaksanakan fungsi pengarahan pelaksanaan pelayanan keperawatan


sebagai ketua tim/perawat primer.
Skenario: Anda adalah seorang perawat yang ditunjuk sebagai ketua tim atau
perawat primer dalam sebuah unit perawatan di rumah sakit. Anda bertanggung jawab dalam
mengarahkan dan melaksanakan pelayanan keperawatan yang optimal bagi pasien dan
memastikan koordinasi yang baik dengan anggota tim perawat lainnya. Berikut adalah contoh
langkah-langkah yang dapat Anda lakukan dalam melaksanakan fungsi pengarahan
pelaksanaan pelayanan keperawatan:
1. Koordinasi dengan tim perawat:
 Jelaskan peran dan tanggung jawab masing-masing anggota tim perawat.
 Sampaikan tujuan dan harapan dalam pelayanan keperawatan kepada tim.
 Tetapkan jadwal kerja, tugas, dan tanggung jawab yang jelas untuk setiap
anggota tim.
 Pastikan adanya komunikasi yang terbuka dan efektif di antara anggota tim.
2. Pengawasan dan supervisi:
 Pantau pelaksanaan pelayanan keperawatan oleh anggota tim secara berkala.
 Berikan umpan balik (feedback) yang konstruktif terkait kinerja anggota tim.
 Identifikasi kebutuhan pelatihan atau pengembangan keterampilan bagi
anggota tim dan tindak lanjuti dengan memberikan dukungan atau pelatihan
yang diperlukan.
3. Perencanaan pelayanan keperawatan:
 Kolaborasi dengan tim medis lainnya, seperti dokter, ahli terapi, dan ahli gizi,
dalam perencanaan pelayanan keperawatan yang holistik.
 Pastikan rencana perawatan yang ditetapkan untuk setiap pasien
tersistematisasi, terdokumentasi, dan dapat diakses oleh anggota tim.
 Tinjau dan perbarui rencana perawatan secara berkala sesuai dengan
perkembangan kondisi pasien.
4. Pengelolaan sumber daya:
 Atur dan alokasikan sumber daya perawatan, termasuk tenaga perawat, alat
dan perlengkapan, serta waktu secara efisien dan efektif.
 Pastikan stok obat dan bahan perawatan mencukupi dan terjaga dengan baik.
 Identifikasi dan laporkan kebutuhan sumber daya tambahan kepada
manajemen atau departemen terkait.
5. Penyelesaian masalah:
 Tanggapi permasalahan atau tantangan yang muncul dalam pelayanan
keperawatan secara proaktif.
 Identifikasi akar masalah, cari solusi yang tepat, dan berkoordinasi dengan
anggota tim untuk implementasi tindakan perbaikan.
 Dukung dan berikan bantuan kepada anggota tim dalam menyelesaikan
masalah yang kompleks.
6. Evaluasi dan perbaikan:
 Lakukan evaluasi berkala terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan
oleh tim.
 Gunakan data dan informasi yang relevan untuk mengevaluasi keefektifan
pelayanan dan identifikasi area yang perlu diperbaiki.
 Buat dan terapkan tindakan perbaikan atau rencana tindak lanjut untuk
meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan.
7. Advokasi pasien:
 Jadilah perwakilan pasien dalam tim perawat dan bantu memastikan bahwa
kebutuhan, keinginan, dan hak pasien dihormati dan diperhatikan.
 Kolaborasi dengan pasien dan keluarga dalam pengambilan keputusan terkait
perawatan dan memberikan informasi yang jelas mengenai kondisi pasien.
Ingatlah bahwa sebagai ketua tim atau perawat primer, penting bagi Anda untuk
mengembangkan keterampilan kepemimpinan yang baik, memastikan komunikasi yang
efektif, dan tetap berkomitmen terhadap pelayanan keperawatan yang berkualitas.

Anda mungkin juga menyukai