Anda di halaman 1dari 9

Bagian B

Kebijakan HAM Dalam Ketetapan MPR No. XVII tahun 1998 secara umum berisi tentang hal yaitu
sebagai berikut ini:

1. Menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah,


untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi
manusia kepada seluruh masyarakat,
2. Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia untuk meratiikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak
asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945,
3. Penghormatan, penegakan, dan penyebarluasan hak asasi manusia oleh masyarakat
dilaksanakan melalui gerakan kemasyarakatan atas dasar kesadaran dan tanggung jawabnya
sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan
4. Pelaksanaan penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian dan mediasi tentang hak asasi
manusia, dilakukan oleh suatu komisi nasional hak asasi manusia yang ditetapkan dengan
undang-undang

Bagian C

Ketentuan dalam undang-undang organik :

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan


Perlakuan atau Pelanggaran Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan
Martabat Manusia.
Berbunyi :
a. Bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 adalah negara Hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia serta menjamin semua warga negara bersamaan. Kedudukannya di dalam
hukum. Sehingga segala bentuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain
yang kejam. Tidak manusiawi. Atau merendahkan martabat manusia harus dicegah
dan dilarang;
b. Bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat internasional menghormati,
menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa serta Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia;
c. Bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam sidangnya pada tanggal
10 Desember 1984 telah menyetujui Convention Against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak -Manusiawi. Atau
Merendahkan Martabat Manusia) dan Pemerintah Republik Indonesia telah
menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 23 Oktober 1985.
d. Bahwa konvensi tersebut pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia
serta selaras dengan keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus menerus
menegakkan dan memajukan pelaksanaan hak asasi manusia dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara;
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dalam huruf a, b, c. Dan d dipandang
perlu mengesahkan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan
atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat
Manusia) dengan Undang-undang.
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Berbunyi :
a. Bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban
tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketakwaan dan penuh
tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi
hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta
keharmonisan lingkungannya.
b. Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun;
c. Bahwa selain hak asasi manusia, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara
manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
d. Bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban
tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan
Deklarasi Universitas tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen yang telah diterima oleh negara Republik
Indonesia;
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d
dalam rangka melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, perlu membentuk
Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Berbunyi :

a. Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia, bersifat universal dan langgeng. Oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
b. Bahwa untuk ikut serta memelihara memelihara perdamaian dunia dan menjamin
pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan
perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu
Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
c. Bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah
berdasarkan peraturan Pemerintah pengganti Undang- undang Nomor 1 Tahun 1999
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang,
dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu
dicabut;
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c
perlu dibentuk Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia.
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Berbunyi :

a. Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi,
dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh
siapapun;
b. Bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, menghormati,
menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa serta Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia;
c. Bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam sidangnya tanggal 16
Desember 1966 telah mengesahkan International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights[Kovenan internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya];
d. Bahwa instrumen internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c pada dasarnya
tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, sesuai dengan sifat Negara Republik Indonesia sebagai negara
hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan yang menjamin
persamaan kedudukan semua warga negara di dalam hukum, dan keinginan bangsa
Indonesia untuk secara terus menerus memajukan dan melindungi hak asasi manusia
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengesahan
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik
Berbunyi :
a. Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi,
dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh
siapapun;
b. Bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, menghormati,
menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa serta Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia;
c. Bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam sidangnya tanggal 16
Desember 1966 telah mengesahkan International Covenant on Civil and Political
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik);
d. Bahwa instrumen internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c pada dasarnya
tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, sesuai dengan sifat negara Republik Indonesia sebagai negara
hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang menjamin
persamaan kedudukan semua warga negara di dalam hukum, dan keinginan bangsa
Indonesia untuk secara terus-menerus memajukan dan melindungi hak asasi manusia
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik).
6. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2015 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
Berbunyi :
a. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga
negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi
manusia.
b. Bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya
melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.
c. Bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan
bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin
kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
d. Bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia
perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang
secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan
upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan
memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan
tanpa diskriminasi.
e. Bahwa untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan
dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin
pelaksanaannya.
f. Bahwa berbagai undang-undang hanya mengatur hal-hal tertentu mengenai anak dan
secara khusus belum mengatur keseluruhan aspek yang berkaitan dengan
perlindungan anak.
g. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, c, d, e, dan f perlu
ditetapkan Undang-undang tentang Perlindungan Anak;

Bagian D
Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun
1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Perppu No. 1 Tahun 1999 adalah Perppu yang mengatur tentang Pengadilan HAM yang
disahkan pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie dan Wakil Presiden Abdurrahman
Wahid. Berikut ini ketentuan pengadilan HAM dalam Perppu:
a. Perppu No. 1 Tahun 1999 Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.
2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
3. Perbudakan adalah status atau kondisi seseorang yang terhadapnya dilakukan
sesuatu atau semua kekuasaan yang berasal dari hak kepemilikan.
4. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang
langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar
agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis
kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan
atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia
dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam
bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
b. Perppu No. 1 Tahun 1999 Pasal 2
Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak
asasi manusia yang dibentuk di lingkungan Peradilan Umum.
c. Perppu No. 1 Tahun 1999 Pasal 3
Pengadilan Hak Asasi Manusia berkedudukan di Kota atau Ibukota Kabupaten, dan daerah
hukumnya sesuai dengan daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
d. Perppu No. 1 Tahun 1999 Pasal 4
Pengadilan Hak Asasi Manusia bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia.
e. Perppu No. 1 Tahun 1999 Pasal 9 Ayat 1 dan 2
(1) Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia dan atau ahli warisnya berhak
mendapatkan ganti kerugian.
(2) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
mengajukan gugatan ke pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan yang berlaku.
f. Perppu No. 1 Tahun 1999 Pasal 10 Ayat 1 dan 2
(1) Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia hanya dilakukan oleh Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia.
(2) Dalam hal-hal tertentu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan
penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk suatu Tim yang
bersifat Ad Hoc
g. Perppu No. 1 Tahun 1999 Pasal 18 Ayat 1-3
(1) Pengadilan Hak Asasi Manusia memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia dengan Hakim Majelis.
(2) Dalam hal tertentu, pada Pengadilan Hak Asasi Manusia dapat diangkat Hakim Ad Hoc.
(3) Pengangkatan Hakim Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan atas usul
Ketua Mahkamah Agung dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Bagian E

Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah

(1) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban
dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat
Perlindungan yang dimaksud dalam PP Nomor 2 tahun 2002 tentang Perlindungan
Korban dan Saksi Pelanggaran HAM Berat adalah perlindungan atas keamanan pribadi korban
atau saksi dari ancaman fisik dan mental; perahasiaan identitas korban atau saksi; pemberian
keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan
tersangka.
Karena setiap korban atau saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat
berhak memperoleh perlindungan dari aparat penegak hukum dan aparat keamanan.
Perlindungan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan diberikan sejak tahap
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Perlindungan ini wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan.
Perlindungan terhadap korban dan saksi dilakukan berdasarkan inisiatif aparat penegak
hukum dan aparat keamanan; dan atau permohonan yang disampaikan oleh korban atau saksi.
Penghentian perlindungan kepada saksi dan korban pelanggaran HAM berat dalam PP
Nomor 2 tahun 2002 tentang Perlindungan Korban dan Saksi Pelanggaran HAM Berat juga
diatur. Bahwa pemberian perlindungan terhadap korban dan saksi dihentikan apabila atas
permohonan yang bersangkutan; korban dan atau saksi meninggal dunia; atau berdasarkan
pertimbangan aparat penegak hukum atau aparat keamanan, perlindungan tidak diperlukan
lagi. Penghentian perlindungan harus diberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan
dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sebelum perlindungan dihentikan.
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, Rehabilitasi
Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat
Pasal 6 :
(a) Pengadilan HAM mengirimkan salinan putusan Pengadilan HAM, Pengadilan Tinggi,
atau Mahkamah Agung, yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Jaksa
Agung.
(b) Jaksa Agung melaksanakan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan
membuat berita acara pelaksanaan putusan pengadilan kepada Instansi Pemerintah
Terkait untuk melaksanakan pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi, dan kepada
pelaku atau pihak ketiga untuk melaksanakan pemberian restitusi.
Pasal 7 :
Instansi Pemerintah Terkait melaksanakan pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi serta
pelaku atau pihak ketiga melaksanakan pemberian restitusi, paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja terhitung sejak berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) diterima.
Pasal 8 :
(1) Pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi, dilaporkan
oleh Instansi Pemerintah Terkait, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan
HAM yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian
kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi tersebut.
(2) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau
rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada korban atau
keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.
(3) Setelah Ketua Pengadilan HAM menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) Ketua Pengadilan HAM mengumumkan pelaksanaan tersebut pada
papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 9 :
(1) Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi
kepada pihak korban melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7,
korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya dapat melaporkan hal
tersebut kepada Jaksa Agung.
(2) Jaksa Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera memerintahkan Instansi
Pemerintah Terkait, pelaku, atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.
Pasal 10 :
Dalam hal pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi dapat dilakukan
secara bertahap, maka setiap tahapan pelaksanaan atau kelambatan pelaksanaan harus
dilaporkan kepada Jaksa Agung.
Bagian F
Ketentuan dalam Keputusan Presiden (Keppres)
(1) Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 yang berisi tentang Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia
Pasal 1 :
Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia, dibentuk suatu
komisi yang bersifat nasional dan diberi nama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang
selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut Komisi Nasional.
Pasal 2 :
Komisi Nasional berasas Pancasila.
Pasal 3 :
Komisi Nasional bersifat mandiri.
Pasal 4 :
Komisi Nasional bertujuan :
a. Membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi
manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia;
b. Meningkatkan perlindungan hak asasi manusia guna mendukung terwujudnya
tujuan pembangunan nasional yaitu pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Pasal 5 :
Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Komisi Nasional melakukan
kegiatan sebagai berikut:
a. Menyebarluaskan wawasan nasional dan internasional mengenai asasi manusia
baik kepada masyarakat Indonesia maupun kepada masyarakat Internasional:
b. Mengkaji berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak asasi
manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi
dan/atau ratifikasinya;
c. Memantau dan menyelidiki pelaksanaan hak asasi manusia serta memberikan
pendapat, pertimbangan dan saran kepada badan pemerintahan negara mengenai
pelaksanaan hak asasi manusia.
d. Mengadakan kerja sama regional dan internasional dalam rangka mengajukan dan
melindungi asasi manusia.
(2) Keputusan Presiden Nomor 83 tahun 1998 berisi tentang Pengesahan Konvensi nomor 87
tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan untuk Berorganisasi
Pasal 1 :
Mengesahkan Convention (Number 87) concening Preedom of Association and
Protection of The Right to Organise (Konvensi Nomor 87 tentang Kebebasan
Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi), yang telah diterima di San
Fransisco, Amerika Serikat, pada tanggal 17 Juni 1948 sebagai hasil Sidang Governing
Body International Labour Organisation, yang naskah aslinya dalam bahasa Inggeris
dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir pada Keputusan
Presiden ini.
Pasal 2 :
Apabila terjadi perbedaan penafsiran antara naskah terjemahan Convention dalam
bahasa Indonesia dengan salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggeris sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1, maka yang berlaku adalah salinan naskah aslinya dalam
bahasa Inggris.
Pasal 3 :
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
(3) Keputusan Presiden Nomor 181 tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan
Secara garis besar, Keppres No. 181 Tahun 1998 membahas sejumlah upaya yang
dilakukan untuk mencegah dan menghapus terjadinya segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan. Upaya tersebut dilaksanakan lewat pembentukan Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang bersifat independen. Keputusan
presiden ini terdiri atas 5 bab dan 17 pasal. Pada tiap pasalnya diberikan penjelasan terperinci
mengenai hal-hal yang menyangkut pembentukan Komnas Perempuan.
Berdasarkan Pasal 2 Keppres Nomor 181 Tahun 1998, dituliskan bahwa Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dibentuk berdasarkan Pancasila.
Penyebarluasan pemahaman mengenai segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan yang terjadi di Indonesia, mengembangkan kondisi yang kondusif bagi
penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, peningkatan upaya
pencegahan serta penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, dan
perlindungan HAM perempuan.

(4) Keputusan Presiden Nomor 129 tentang Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia
Pasal 1 :
(1) Menetapkan Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia sebagaimana
termaktub dalam Lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisaahkan dari
Keputusan Presiden ini.
(2) Hakekat dan tujuan Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia adalah
untuk menjamin peningkatan pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia di
Indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai adat istiadat, budaya dan agama
bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

(3) Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan dalam suatu
program 5 (lima) tahunan yang akan ditinjau dan disempurnakan setiap 5 (lima) tahun.
Pasal 2 :
(1) Untuk melaksanakan Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia
tersebut dibentuk suatu Panitia Nasional yang berkedudukan di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
(2) Tugas Panitia Nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah melaksanakan
program kegiatan
Bagian G
Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1988 tentang Penggantian Penggunaan Istilah Pribumi dan
Nonpribumi dalam Semua Program ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintah
Pasal 1 :
Menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan
penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan.
Pasal 2 :
Memberikan perlakuan dan layanan yang sama kepada seluruh warga negara Indonesia dalam
penyelenggaraan layanan pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan, dan
meniadakan pembedaan dalam segala bentuk, sifat serta tingkatan kepada warga negara
Indonesia baik atas dasar suku, agama, ras maupun asal-usul dalam penyelenggaraan layanan
tersebut.
Pasal 3 :
Meninjau kembali dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan, kebijakan,
program dan kegiatan yang selama ini telah ditetapkan dan dilaksanakan, termasuk antara
lain dalam pemberian layanan perizinan usaha, keuangan/perbankan, kependudukan,
pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja dan penentuan gaji atau penghasilan dan hak- hak
pekerja lainnya, sesuai dengan Instruksi Presiden ini.

Anda mungkin juga menyukai