PDF Panduan BHD Dan BHL - Compress
PDF Panduan BHD Dan BHL - Compress
PDF Panduan BHD Dan BHL - Compress
1
DAFTAR ISI
A. DEFINISI..................................................................................................4
1. DEFINISI BHD.......................................................................................4
2. DEFINISI BHL........................................................................................5
B. TUJUAN....................................................................................................6
C. KETEPATAN WAKTU PELAKSANAAN...................................................6
BAB II RUANG LINGKUP.........................................................................................7
A. RUANG LINGKUP BHD.........................................................................7
B. RUANG LINGKUP BHL................................................................................8
BAB III TATA LAKSANA......................................................................................29
A. LANGKAH – LANGKAH BHD......................................................................29
B. LANGKAH – LANGKAH BHL......................................................................38
BAB IV PENUTUP................................................................................................40
2
KEPUTUSAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT UMUM EL-SYIFA KUNINGAN
Nomor :
TENTANG
1
3. Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat Nomor 74
tahun 2014 tanggal 2 Desember 2014 Tentang
organisasi tugas kesehatan komando daerah militer
diantaranya organisasi tugas rumah sakit.
4. Rencana Strategis RSU. EL-SYIFA KUNINGAN
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
KESATU : Surat Keputusan kepala Rumkitban 05.08.03 Sidoarjo
tentang Kebijakan Pelatihan Bantuan Hidup Dasar dan
Lanjutan RSU. EL-SYIFA KUNINGAN.
KEDUA : Kebijakan pelatihan Bantuan Hidup Dasar ditujukan
kepada semua staf RSU. EL-SYIFA KUNINGAN
sedangkan untuk pelatihan Bntuan Hidup Lanjutan
ditujukan untuk tim Code Blue.
KETIGA : Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pelatihan
Bantuan Hidup Dasar dan lanjutan dilakukan oleh komite
medik dan komite keperawatan.
KEEMPAT : Surat Ketetapan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan
apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan
dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan
sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Kuningan
Pada Tanggal : April 2023
Direktur RSU. EL-SYIFA KUNINGAN
2
KEBIJAKAN PELATIHAN BANTUAN HIDUP DASAR DAN LANJUTAN
3. BHD dasar diikuti oleh seluruh personel yang ada di RSU. EL-
SYIFA KUNINGAN
4. BHD lanjutan hanya diikuti oleh tim code blue yaitu tenaga dokter,
perawat di IGD, perawat HCU, perawat Anestesi.
5. Sertifkasi internal dapat diberikan pada peserta yang telah
Ditetapkan di Kuningan
Pada Tanggal : April 2023
Direktur RSU. EL-SYIFA KUNINGAN
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. DEFINISI
4
b. Henti Jantung (cardiac arrest)
Pada saat terjadi henti jantung secara langsung akan
tefadi henti sirkulasi. Henti sirkulasi ini akan dengan cepat
menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen.
Pernapasan yang terganggu (tersengal-sengal) merupakan
tanda awal akan terjadinya henti jantung.
5
B. TUJUAN
6
BAB II
RUANG LINGKUP
7
B. Ruang Lingkup BHL
Bantuan Hidup Lanjut (BHL) merupakan tindakan yang
dilakukan secara simultan dengan bantuan hidup dasar dengan
tujuan memulihkan dan mempertahankan fungsi sirkulasi spontan
sehingga perfusi dan oksigenasi jaringan dapat segera dipulihkan
dan dipertahankan. BHL memiliki tiga tahapan, yaitu terapi obat dan
cairan, electrokardiografi, dan terapi fibrilasi.
8
Jika pemasangan jalur vena perifer sulit untuk
dilakukan, penyuntikan adrenalin pertama secara
intravena dapat dilakukan. Penyuntikan dilakukan
menggunakan jarum kecil di vena perifer. Pemberian
obat melalui vena perifer kemudian harus dilanjutkan
dengan pemberian 20 ml bolus cairan dan atau elevasi
ekstremitas yang terpasang kateter selama 10-20
detik agar kerja obat dapat lebih dipercepat.
2) Jalur Intraosseous
9
Jalur intraosseous ini sangat efektif untuk
pemberian cairan kristaloid, koloid, maupun darah.
Namun, pemberian obat-obatan melalui jalur ini akan
sedikit lebih lambat dibandingkan dengan jalur
intravena sehingga dosis obat yang diberikan harus
sedikit lebih banyak dibandingkan dengan dosis yang
dianjurkan dalam pemberian melalui jalur intravena.
Jalur intraosseous tidak dapat digunakan terus
menerus sebagai jalur untuk pemberian obat dan
cairan karena dapat meningkatkan resiko terjadinya
osteomyelitis dan sindrom kompartemen. Sehingga
sesegera mungkin harus dipindah ke jalur intravena.
Jalur intraosseous ini juga kontra indikasi pada pasien
yang memiliki riwayat hipertensi pulmonal, insufisiensi
pulmonal berat, dan right-to-left shunts karena dapat
mengakibatkan terjadinya fatemboli.
3) Jalur Endotrakeal
Dalam beberapa kasus resusitasi jantung-paru,
terkadang pemasangan kateter pada vena perifer atau
intraosseous secara cepat sulit untuk dilakukan
sehingga jalur endotrakeal ini dapat dijadikan
alternatif. Jalur endotrakeal dapat dilakukan selama
terdapat pipa endotrakeal dan pasien tidak sedang
menggunakan
10
laryngeal mask airway (LMA). Hanya beberapa obat
yang dapat diberikan melalui jalur intrapulmonum.
Obat-obatan itu meliputi lidokain, epinephrine,
atropine, naloxone, dan vasopressin (kecuali natrium
bikarbonat). Jalur intrapulmonum ini tidak
direkomendasikan untuk rutin dilakukan pada keadaan
darurat. Jalur yang direkomendasikan dalam resusitasi
jantung-paru adalah jalur intravena dan intraosseous.
Pemberian obat melalui jalur intrapulmonum ini
memiliki kecepatan yang kurang efektif dibanding jalur
intravena atau intraosseous serta jumlah obat yang
masuk secara sistemik melalui jalur ini tidak
konsisten.3 Sehingga dosis yang diberikan 3-10 kali
lebih banyak dibanding dengan dosis yang dianjurkan
untuk jalur intravena. Obat-obatan tersebut kemudian
dilarutkan dalam 10 ml normal salin.4 Obat-obatan
selain yang disebutkan sebelumnya tidak boleh
diberikan melalui
jalur endotrakeal karena dapat menyebabkan
kerusakan pada mukosa atau alveolar.
Dosis atropine yang diberikan menurut
rekomendasi AHA 2010 ada 0.1 mg IV untuk
mencegah terjadinya bradikardia paradoksal. Namun
pada AHA 2015, dikatakan bahwa tidak ada cukup
bukti yang mendukung penggunaan atropine secara
rutin untuk mencegah terjadinya bradikardia pada
intubasi pediatrik darurat.
Penelitian terbaru menyatakan bahwa
menggunakan atropine dengan dosis kurang dari 0.1
mg tidak meningkatkan kemungkinan terjadinya
bradikardia atau aritmia.
Pemberian obat intra jantung sudah tidak
dianjurkan selama RJP karena manfaat yang sedikit
11
namun memiliki resiko tinggi terjadinya komplikasi.5
Jalur intra jantung ini dapat menyebabkan
pneumotoraks, cedera arteri koronaria, dan gangguan
kompresi jantung yang lama. Selain itu, jika
penyuntikan obat tidak sengaja mengenai otot jantung
dapat menyebabkan disritmia intraktabel. Pemasangan
jalur intra jantung menggunakan jarum panjang dan
tipis, melalui intracostal space ke-5 di parasternal ke
dalam ruang jantung.
12
sentral adalah vena kava superior melalui vena
jugularis interna kanan.
Cara pemasangan kateter vena sentral melalui
vena jugularis interna kanan dimulai dengan
melakukan prosedur asepsis pada daerah yang akan
dipasang kateter vena sentral sambil mempersiapkan
alat yang dibutuhkan untuk memasang kateter vena
sentral. Setelah itu, putar kepala pasien kearah kiri,
palpasi arteri karotis dengan sebelah tangan dan
memasukkan
jarum kateter tepat pada lateral arteri karotis, dalam
bidang paramedian, 45° kaudal, menembus kulit pada
puncak segitiga yang dibentuk oleh dua bagian otot
sternokleidomastoideous. Emboli udara harus dicegah
pada semua kanulasi vena sentral dengan upaya
sebagai berikut: kepala pasien sedikit lebih rendah.
Jika pasien sadar hendaknya diminta menahan nafas,
sedangkan untuk pasien tidak sadar hendaknya
mendapat ventilasi tekanan positif dan pada saat
diskoneksi yang tidak dapat dihindarkan, bagian
terbuka hendaknya ditutup dengan jari atau keran.
13
b. Obat – obatan
Obat-obatan yang digunakan dalam BHL ini seperti
yang sudah disebutkan sebelumnya memiliki banyak jenis.
Namun, obat-obatan yang penting untuk diberikan dalam
BHL, yaitu adrenalin, amiodaron, atropine, lidokain, kalsium,
magnesium, dan natrium bikarbonat.
1) Adrenalin
14
digunakan pada
15
anakanak yaitu 10 mcg/kgBB. Adrenalin juga dapat
diberikan intratrakea melalui pipa endotrakea (1 ml
adrenalin 1:1.000 diencerkan dengan 9 ml akuades
steril). Pemberiannya dapat diulang setelah 3-5 menit
pemberian pertama dengan dosis sama seperti dosis
pertama. Setelah ROSC, untuk mencapai tekanan
darah adekuat, adrenalin dapat diberikan 1-20
mcg/menit lewat infus kateter sentral sesegera
mungkin.
Menurut AHA 2015, penelitian acak terhadap
orang dewasa di luar rumah sakit mendapatkan bahwa
penggunaan epinefrin berkaitan dengan peningkatan
ROSC dan ketahanan hidup bagi pasien yang akan
memasuki rumah sakit, tapi tidak berkaitan untuk
pasien yang akan dipulangkan. Penggunaan epinefrin
sewaktu serangan jantung merupakan hal yang wajar
namun pemberiannya bukan sebuah keharusan
karena rekomendasi tentang pemberian epinefrin
selama serangan jantung telah diturunkan sedikit pada
Kelas Rekomendasi.
Pemberian adrenalin memiliki efek yang
merugikan, yaitu takiaritmia, hipertensi berat setelah
tindakan resusitasi, dan nekrosis jaringan jika terjadi
ekstravasasi. Pemberian adrenalin yang
dikombinasikan dengan vasopressin tidak menimbulkan
gejala klinis yang lebih baik dibandingkan dengan
pemberian adrenalin itu sendiri, sehingga pemberian
adrenalin sebaiknya tidak perlu dikombinasikan
dengan vasopressin.
2) Amiodaron
Amioidaron merupakan anti-aritmia yang
memiliki efek pada kanal natrium, kalium, kalsium, dan
16
juga memblokade reseptor alfa dan beta adrenergik.
Amiodaron sendiri memiliki farmakokinetik dan
farmakologik yang kompleks. Penelitian menunjukkan
bahwa pemberian amiodaron setelah pemberian
adrenalin dapat meningkatkan ROSC dibandingkan
dengan tidak diberikan amiodaron. Amiodaron diberikan
kepada pasien dengan fibrilasi ventrikel atau ventrikel
takikardi tanpa nadi. Obat ini diberikan diantara fibrilasi
ketiga dan keempat pada pasien yang tidak merespon
dengan pemberian vasopressor dan terapi defibrillator.
Dosis pemberian amiodaron adalah sebagai
berikut: 300 mg bolus untuk pemberian pertama kali
dan kemudian dapat ditambah 150 mg. Selanjutnya,
pemberian amiodaron dapat dilanjutkan dengan
pemberian melalui infus dengan dosis pemberian 15
mg/kgBB selama 24 jam. Pemberian amiodaron ini
juga dapat dipertimbangkan sebagai profilaksis
kambuhnya fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel.
Amiodaron memiliki efek hipotensi dan bradikardi,
sehingga pemberiannya perlu diperhatikan.
3) Atropine
Sulfas atropine meningkatkan konduksi
atrioventricular dan automatisitas nodus sinus dengan
efek vagolitik. Atropine diindikasikan pada kasus
bradikardia yang disertai dengan hipotensi, ventricular
ektopi, atau gejala yang berhubungan dengan iskemia
miokardium. Atropine juga dapat diberikan sebagai
terapi pada second-degree heart block, third-degree
heart block, dan irama idioventricular lambat. Atropin
sering digunakan pada kasus henti jantung dengan
elektrokardiografi (EKG) asistol atau PEA.
17
Tidak ada penelitian yang menunjukkan secara
pasti penggunaan atropine meningkatkan prognosis
pada kasus henti jantung irama asistol atau
bradisitolik. Penanganan kasus asistol atau PEA yang
paling efektif adalah dengan melakukan kompresi
dada, ventilasi, dan epinefrin karena dapat
meningkatkan perfusi arteri koroner dan oksigenasi
miokardium. Henti jantung dengan irama asistol
memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan
dengan irama lainnya. Oleh karena atropine memiliki
efek samping yang sangat sedikit, maka penggunaan
atropine pada kasus henti jantung dapat
dipertimbangkan selain penggunaan epinefrin dan
oksigenasi. Namun penggunaan secara rutin pada
kasus henti jantung tidak direkomendasikan.
Dosis yang direkomendasikan pada kasus
bradikardia untuk dewasa adalah 0.5 mg IV setiap 3-5
menit dengan total dosis yang diberikan 3 mg. Untuk
anakanak dapat diberikan dengan dosis 0.02 mg/kgBB
dengan minimum dosis 0.1 mg dan dosis maksimal 1
mg (anak-anak), 3 mg (remaja) yang dapat diulang
setiap 35 menit. Dosis pemberian atropine pada kasus
irama tanpa denyut untuk orang dewasa adalah 1 mg
IV setiap 3-5 menit dengan total dosis 3 mg. Perlu
diperhatikan juga bahwa pemberian atropine dapat
menyebabkan irama sinus takikardia setelah resusitasi.
4) Kalsium
18
memulihkan sirkulasi spontan dengan pemberian
adrenalin. Kalsium ini juga diperlukan bila henti
jantung disebabkan oleh karena obat-obatan yang
menekan otot jantung. Sumber lain mengatakan
pemberian kalsium pada kasus henti jantung tidak
dapat mengembalikan sirkulasi spontan dan juga tidak
meningkatkan angka survival rate di rumah sakit
sehingga pemberian kalsium pada kasus henti jantung
tidak direkomendasikan. Efek samping dari pemberian
kalsium ini adalah kemungkinan meningkatkan cedera
miokardiak dan otak dengan kematian sel-sel
miokardiak dan otak serta dapat mengakibatkan
nekrosis jaringan dengan ekstravasasi.
Dosis yang biasanya digunakan pada resusitasi
orang dewasa adalah 5-10 ml dari 10% kalsium klorida
dihidrat. Atau dapat juga menggunakan sediaan
kalsium glukonas dengan dosis 10 ml dari 10%
kalsium glukonas.
5) Lidokain
19
Pemberian infus lidokain untuk ROSC tidak
direkomendasikan. Efek samping dari pemberian
lidokain adalah bicara tidak jelas (slurred speech),
penurunan kesadaran, kejang, hipotensi, bradikardi,
dan asistol.
Menurut AHA 2015, tidak terdapat cukup bukti
untuk mendukung penggunaan lidokain secara rutin
setelah serangan jantung. Namun, inisiasi atau
kelanjutan lidokain dapat dipertimbangkan segera
setelah ROSC dari serangan jantung akibat fibrilasi
ventrikel atau takikardi ventrikel. Penelitian pada
pasien yang selamat dari serangan jantung
menunjukkan adanya penurunan dalam insiden
fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel berulang,
namun tidak menunjukkan manfaat maupun kerugian
jangka panjang.
6) Magnesium
Magnesium merupakan vasodilator dan berperan
sebagai kofaktor dalam regulasi natrium, kalium, dan
kalsium melewati membrane sel. Magnesium tidak
dapat mengembalikan sirkulasi spontan pada pasien
dengan henti jantung dan juga tidak memberikan
perbaikan klinis atau neurologis sehingga pemberian
magnesium tidak direkomendasikan. Magnesium
diberikan pada kasus hipomagnesemia, hypokalemia,
henti jantung yang disebabkan oleh toksisitas digoxin,
kasus fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa
nadi, dan torsade de pointes.
Dosis yang diberikan adalah 5 mmol
magnesium yang dapat diulang 1 kali kemudian
diberikan intravena sebanyak 20 mmol/4 jam. Efek
samping yang dapat ditimbulkan adalah dapat
menyebabkan lemah otot dan
20
gagal napas pada penggunaan kalsium yang
berlebihan.
7) Natrium Bikarbonat
21
adrenalin atau kalsium tidak boleh dicampurkan
bersamaan karena dapat saling menginaktivasi,
mengendap, dan menyumbat jalur intravena.
c. Cairan
Pemberian cairan IV selama resusitasi darurat dan
bantuan hidup paska resusitasi memiliki tujuan sebagai
berikut:
1) Mengembalikan volume darah sirkulasi normal setelah
22
(Ringer Laktat dan NaCl 0.9%) atau koloid, yang dapat
diberikan secara tunggal atau kombinasi.
2. Elektrokardiografi
23
EMD merupakan salah satu jenis dari PEA dimana
terdapat gambaran ketiadaan denyut dengan EKG agonal
(aneh atau abnormal) atau kadang relatif normal tetapi tidak
terdapat pola QRS yang khas. Mekanisme kontraksi tidak
efektif sehingga denyut nadi tidak teraba. Disosiasi
pseudoelektromekanik merupakan keadaan dimana denyut
nadi tidak teraba namun masih ditemukan denyut jantung pada
gambaran EKG dengan ETCO2 yang tinggi. Disosiasi
pseudoelektromekanik memiliki prognosis yang lebih baik
dibandingkan dengan EMD.
Irama ventricular escape adalah adanya denyut ventrikel
setelah hilangnya nodus atrial sehingga gambaran EKG akan
menunjukkan adanya gelombang QRS disertai dengan tidak
adanya gelombang Irama bradiasistolik merupakan irama
jantung yang terdapat irama ventricular kurang dari 60 kali per
menit pada dewasa atau tidak adanya denyut jantung.
Sedangkan irama idioventrikular postresusitasi dikarakterisasi
dengan adanya aktivitas gelombang yang teratur yang terlihat
segera setelah dilakukan cardioversion pada kasus dimana
sebelumnya tidak ada denyut yang teraba.
24
Gambar Irama Ventricular Escape
c. Fibrilasi Ventrikel
Fibrilasi ventrikel merupakan keadaan gerak getar
ventrikel jantung secara kontinu dan tidak teratur sehingga
tidak bisa memompakan darah ke seluruh tubuh. Gambaran
EKG akan tampak osilasi yang khas kompleks QRS. Irama
jantung ini paling sering menyebabkan kematian jantung
mendadak.
Penyebab dari fibrilasi ventrikel dibedakan menjadi dua,
d. Takikardi Ventrikel
25
ventrikel
26
Gambar Takikardi Ventrikel
3. Terapi Fibrilasi
27
(ICD) yang kemudian dapat diadaptasi menjadi eksternal
defibrillator.
Terdapat hubungan antara ukuran tubuh dan energi yang
dibutuhkan untuk defibrilasi. Anak-anak membutuhkan energi yang
lebih sedikit dibanding dewasa dengan serendah-rendahnya 0.5
J/kgBB. Namun, ukuran tubuh tidak terlalu berpengaruh pada
dewasa. Beberapa studi menunjukkan bahwa defibrilasi yang
sukses dengan menggunakan energi yang rendah (160-200 J).
Penelitian yang dilakukan di luar dan di rumah sakit menunjukkan
bahwa terdapat kesuksesan defibrilasi yang sama ketika
menggunakan 200 J atau lebih rendah dari itu dibandingkan
dengan menggunakan 300 J atau lebih.
Pada defibrillator yang menggunakan gelombang bifasik,
dikenal ada dua jenis gelombang bifasik yaitu biphasic truncated
exponential waveform dan rectilinear biphasic waveform. Pada
AED, energi yang disalurkan akan diatur secara otomatis oleh alat.
Sedangkan pada manual defibrillator, akan diberikan range energi
yang efektif. Untuk defibrillator dengan jenis biphasic truncated
exponential waveform, maka energi yang disediakan berkisar
antara 150-200 J dengan tingkat kesuksesan lebih dari 90%.
Sedangkan untuk defibrillator jenis rectilinear biphasic waveform,
energi yang disediakan 120 J dengan tingkat kesuksesan yang
sama dengan biphasic truncated exponential waveform.
Gelombang monofasik direkomendasikan pemberian energi
sebesar 360 Joule untuk dewasa, sedangkan gelombang bifasik
direkomendasikan pemberian energi sebesar 200 Joule. Energi
dapat ditingkatkan bertahap apabila keadaan takikardi ventrikel
atau fibrilasi ventrikel tidak membaik setelah kejutan pertama. Tipe
bifasik lebih direkomendasikan untuk melakukan cardioversion
karena tipe bifasik memberikan tingkat kesuksesan yang sama
dengan menggunakan lebih sedikit energy. Penggunaan
gelombang bifasik lebih direkomendasikan dibandingkan dengan
28
gelombang monofasik karen penggunaan defibrillator dengan
energi besar akan meningkatkan potensi kerusakan otot jantung.
Sebelum memulai terapi fibrilasi, defibrillator harus
diperiksa dan dicoba terlebih dahulu kemampuannya memberikan
energi mulai dari rendah hingga tinggi. Pedal defibrillator luar
(dada) untuk dewasa memiliki diameter 14 cm, sedangkan untuk
anak-anak memiliki diameter 8 cm, dan untuk bayi memiliki
diameter 4.5 cm. Pedal defibrillator dalam (jantung) pada dada
terbuka dewasa adalah 6 cm, untuk anak-anak 4 cm, dan untuk
bayi 2 cm. Lokasi pedal defibrillator diletakkan dengan posisi
anterior-lateral dengan satu pedal diletakkan di ICS keenam pada
midaxillary line kiri, sedangkan pedal lainnya diletakkan di ICS
kedua parasternal kanan. Jika penderita memiliki payudara besar,
pedal kiri dapat diletakkan di bawah payudara dengan
menghindari jaringan payudara terkena kejutan.
29
Gambar Algoritma Resusitasi Henti Jantung
30
BAB III
TATA
LAKSANA
31
ibu jari berada di sekitar mulut, angkat rahang ke atas dengan
jari-jari anda, dan ibu jari bertugas untuk membuka mulut
dengan mendorong dagu kea rah depan sembari mengangkat
rahang. Pastikan anda tidak menggerakkan kepala atau leher
korban ketika melakukannya.
32
Jika korban tidak bernapas tetapi nadi teraba (henti napas),
berikan bantuan napas sebanyak 10-12 x/menit. Pastikan jalan
napas bebas dari sumbatan. Jika korban tidak bernapas, nadi
tidak ada dan pasien tidak respon, maka dikatakan henti jantung.
Segera lakukan Resusitasi jantung Paru (RJP).
6. Langkah-langkah RJP
33
7. Evaluasi
a) Evaluasi nadi, tanda-tanda sirkulasi dan pernapasan setiap 5
Langkah I
Penolong I
Lakukan RJP I penolong dengan 30 kompresi dada di ikuti 2 tiupan
napas
Bila terdapat AED, evaluasi irama jantung ikuti perintah AED
Langkah 2
Penolong 2 (harus bisa RJP 2 penolong) datang dan :
Mengatakan 'saya bisa melakukan RJP 2 penolong, dapat saya
bantu?'
34
Langkah 3
Penolong I
Mengiyakan
Menyelesaikan siklus 30 kompresi di ikuti 2 tiupan napas
Langkah 4
Penolong I
Evaluasi nadi dan tanda-tanda sirkulasi
Penolong 2
Menentukan posisi kompresi dada (saat penolong I mengevaluasi
nadi dan tanda-tanda sirkulasi)
Langkah 5
Penolong I
Jika nadi tidak teraba (bila nadi sulit di evaluasi dan tidak ada tanda-
35
Langkah - Langkah Perpindahan
Peran Langkah I
Penolong 2 (yang melakukan kompresi dada)
Meminta pergantian
Langkah 2
Penolong I
Berikan 2 tiupan napas setelah penolong 2 menyelesaikan
30 kompresi dada.
Pindah ke dada korban
Tentukan posisi kompresi dada.
Langkah 3
Penolong 2
Pindah ke kepala korban
Evaluasi nadi dan tanda-tanda sirkulasi
Jika nadi tidak teraba (bila nadi sulit di evaluasi dan tidak ada tanda-
tanda sirkulasi perlakukan sebagai henti jantung), katakan 'nadi
tidak teraba, lanjutkan RJP'
Langkah 4
Ulangi siklus RJP
Penolong I : lakukan 30 kompresi dada
Penolong 2 : berikan 2 tiupan napas
EVALUASI
Evaluasi nadi, tanda-tanda sirkulasi dan pemapasan setiap 5 siklus
RJP 30:2
Jika nadi tidak teraba (bila nadi sulit di tentukan dan tidak dapat
tanda-tanda sirkulasi, perlakuan sebagai henti jantung), lanjutkan
RJP 30:2
Jika nadi teraba periksa pernapasan
Jika tidak ada napas, lakukan napas buatan 10-12x/menit (1 tiupan
tiap 5-6 detik)
Ulangi sampai 10-12 kali tiupan/rnenit.
36
Jika nadi dan napas ada, letakkan korban pada posisi recovery.
Evaluasi nadi, 'tanda-tanda sirkulasi' dan pernapasan tiap 2 menit.
37
3) Tungkai kanan tetap di pertahankan dalam posisi tersebut 900 pada
sendi lutut.
4) Monitor nadi, tanda-tanda sirkulasi dan pernapasan setiap beberapa
menit.
38
ALGORITMA BHD
Lakukan RJP
30 kompresi 2 ventilasi
Gunakan AED segera
setelah tersedia
AED tersedia
39
B. Langkah – Langkah Bantuan Hidup Lanjut (BHL)
1. Komponen BHL
40
3. Prosedur
41
BAB IV
PENUTUP
Ditetapkan di Kuningan
Pada Tanggal : April 2023
Direktur RSU. EL-SYIFA KUNINGAN
42