Anda di halaman 1dari 183

MODUL

PELATIHAN BAGI TENAGA KESEHATAN

Pelatihan Pelayanan Kesehatan bagi Korban Kekerasan


terhadap Perempuan dan Anak (KtP/A) dan Tindak
Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan

DIREKTORAT KESEHATAN KELUARGA


DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Revisi Modul Pelatihan
Pelayanan Kesehatan bagi Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KtP/A) dan
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Fasilitas Pelayanan Kesehatan telah selesai
disusun. Modul telah mengalami perubahan diantaranya penambahan materi tatalaksana
klinis kasus kekerasan seksual pada situasi bencana, sesuai perkembangan program dan
format pencatatan dan pelaporan, serta mengakomodir amanat Undang Undang Nomor 12
Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KtP/A), termasuk Tindak Pidana Perdagangan
Orang (TPPO) merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus
dicegah. Oleh karena itu, negara menjamin perlindungan bagi setiap warga negara,
termasuk perempuan dan anak agar mereka dapat hidup dengan rasa aman tanpa adanya
kekerasan. Sektor kesehatan mempunyai peran yang sangat besar dalam merespon kasus
KtPA termasuk TPPO, yaitu mengidentifikasi kasus kekerasan, memberikan pelayanan
medis terhadap korban, melakukan rujukan baik medis, hukum, maupun sosial, serta upaya
pencegahannya.

Ketersediaan fasilitas kesehatan yang berkualitas dan mudah dijangkau korban menjadi
penting, sehingga diperlukan percepatan pemerataan fasilitas kesehatan mampu pelayanan
KtPA dan TPPO (minimal satu Puskesmas di satu kecamatan dan satu RS di setiap
Kabupaten/Kota). Untuk itu, diperlukan Pelatihan Pelayanan Kesehatan bagi Korban KtP/A
dan TPPO dengan menggunakan kurikulum dan modul yang terakreditasi, sehingga dapat
menghasilkan tenaga kesehatan yang kompeten dalam memberikan pelayanan bagi korban
KtP/A dan TPPO.

Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih dan apresiasi kepada semua pihak yang telah
ikut berkontribusi dalam penyusunan kurikulum dan modul pelatihan ini, semoga dapat
memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas tatalaksana dan pelayanan kesehatan bagi
Korban KtP/A dan TPPO.

Jakarta, 26 Agustus 2022

Direktur Kesehatan Usia Produktif dan


Lanjut Usia Kementerian Kesehatan,

drg. Kartini Rustandi, M.Kes

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE), BSSN
Daftar Isi

Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
MATERI PELATIHAN DASAR 1 (MPD 1): KEBIJAKAN DAN STRATEGI PELAYANAN KESEHATAN
KORBAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK (KtP/A) DAN TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG (TPPO) 6
A. Tentang Modul Ini 7
B. Kegiatan Belajar 8
MATERI POKOK 1. KEBIJAKAN GLOBAL DAN NASIONAL DALAM PP-KTP/A, TERMASUK
TPPO 8
MATERI POKOK 2. KEBIJAKAN DAN STRATEGI SEKTOR KESEHATAN TERKAIT PP-KTP/A,
TERMASUK TPPO 13
MATERI POKOK 3. TUGAS DAN PERAN SEKTOR KESEHATAN DALAM PP-KTP/A,
TERMASUK TPPO 15
RANGKUMAN 18
C. Daftar Pustaka 19
MATERI PELATIHAN DASAR 2 (MPD 2): KONSEP KEKERASAN BERBASIS GENDER,
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK TERMASUK TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG, SERTA PEMENUHAN HAK-HAK KORBAN 20
A. Tentang Modul Ini 21
B. Kegiatan Belajar 22
MATERI POKOK 1. JENIS KELAMIN, GENDER DAN BENTUK KETIDAKSETARAAN GENDER
22
MATERI POKOK 2. PENGERTIAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN, ANAK DAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DAN DAMPAK TINDAK KEKERASAN SERTA
SUNAT PEREMPUAN 25
MATERI POKOK 3. HAK-HAK KORBAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK
TERMASUK KORBAN TPPO SESUAI KEBUTUHAN/PERUNDANG-UNDANGAN YANG
BERLAKU 32
RANGKUMAN 34
C. Daftar Pustaka 35
MATERI PELATIHAN INTI 1 (MPI 1): ASPEK HUKUM DAN ETIKA KEKERASAN TERHADAP
PEREMPUAN DAN ANAK TERMASUK TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG 36
A. Tentang Modul Ini 37
B. Kegiatan Belajar 38
MATERI POKOK 1. ASPEK HUKUM KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 38

3
MATERI POKOK 2. ASPEK HUKUM KEKERASAN TERHADAP ANAK 41
MATERI POKOK 3. ASPEK HUKUM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG 45
MATERI POKOK 4. ETIKA PEMBERIAN INFORMASI DAN PERLINDUNGAN SAKSI PADA
KASUS KTP/A TERMASUK TPPO 47
RANGKUMAN 48
C. Daftar Pustaka 49
MATERI PELATIHAN INTI 2 (MPI 2): DETEKSI DINI KORBAN KEKERASAN TERHADAP
PEREMPUAN DAN ANAK TERMASUK TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG 50
A. Tentang Modul Ini 51
B. Kegiatan Belajar 52
MATERI POKOK 1. SKRINING KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK. 52
MATERI POKOK 2. PENGGALIAN INFORMASI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN
ANAK. 56
RANGKUMAN 65
C. Daftar Pustaka 66
MATERI PELATIHAN INTI 3 (MPI 3): TATA LAKSANA KORBAN KEKERASAN TERHADAP
PEREMPUAN DAN ANAK TERMASUK TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG 67
A. Tentang Modul Ini 68
B. Kegiatan Belajar 70
MATERI POKOK 1. TATALAKSANA PENANGANAN MEDIS KORBAN KTP/A, TERMASUK
TPPO 70
MATERI POKOK 2. VISUM ET REPERTUM (VER) SESUAI DENGAN ASPEK MEDIKOLEGAL
DALAM PENANGANAN KASUS KTP/A TERMASUK TPPO DAN RAPE KIT 96
MATERI POKOK 3. TATALAKSANA PSIKOSOSIAL KORBAN KTP/A TERMASUK TPPO 122
RANGKUMAN 137
C. Daftar Pustaka 138
MATERI PELATIHAN INTI 4 (MPI 4): JEJARING DAN MEKANISME RUJUKAN KORBAN
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK TERMASUK TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG 139
A. Tentang Modul Ini 140
B. Kegiatan Belajar 141
MATERI POKOK 1. JEJARING PELAYANAN KORBAN KTP/A TERMASUK TPPO 141
MATERI POKOK 2. MEKANISME RUJUKAN KORBAN KTP/A TERMASUK TPPO 143
RANGKUMAN 151
C. Daftar Pustaka 152

4
MATERI PELATIHAN INTI 5 (MPI 5): PENCATATAN DAN PELAPORAN PELAYANAN KORBAN
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK TERMASUK TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG 153
A. Tentang Modul Ini 154
B. Kegiatan Belajar 155
MATERI POKOK 1. PENCATATAN PELAYANAN KASUS KTPA TERMASUK TPPO 155
MATERI POKOK 2. PELAPORAN PELAYANAN KASUS KTPA TERMASUK TPPO 156
RANGKUMAN 158
C. Daftar Pustaka 159
LAMPIRAN 160

5
MATERI PELATIHAN DASAR 1 (MPD 1): KEBIJAKAN DAN
STRATEGI PELAYANAN KESEHATAN KORBAN KEKERASAN
TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK (KtP/A) DAN TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG (TPPO)

6
A. Tentang Modul Ini

1. Deskripsi Singkat

Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KtP/A), termasuk Tindak Pidana


Perdagangan Orang (TPPO) merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang
harus dicegah. Oleh karena itu, negara menjamin perlindungan bagi setiap warga negara,
termasuk perempuan dan anak agar mereka dapat hidup dengan rasa aman tanpa adanya
kekerasan. Sebagai bentuk jaminannya maka negara mengesahkan sejumlah kebijakan untuk
memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak, termasuk korban TPPO.

Kasus-kasus KtP/A yang teridentifikasi di pelayanan kesehatan merupakan fenomena


gunung es karena belum menggambarkan jumlah seluruh kasus yang ada di masyarakat. Kasus
KtP/A sangat mempengaruhi kesehatan korban sehingga berdampak pada penurunan kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM). Oleh karena itu, peran pelayanan kesehatan yang komprehensif
dan berkualitas sangat dibutuhkan untuk pencegahan dan penanganan kasus KtP/A.
Pelayanan kesehatan bagi korban KtP/A dapat dilakukan di tingkat pelayanan dasar yaitu di
Puskesmas dan tingkat pelayanan rujukan di Rumah Sakit melalui pelayanan terpadu.

Modul ini akan membahas tentang: Kebijakan global dan nasional dalam PP-KtP/A,
termasuk TPPO; Kebijakan dan strategi sektor kesehatan terkait PP-KtP/A, termasuk TPPO
dan Tugas dan peran sektor kesehatan dalam PP-KtP/A, termasuk TPPO.

2. Tujuan Pembelajaran

a. Hasil Belajar
Setelah mengikuti materi ini, peserta memahami kebijakan dan strategi pelayanan
kesehatan korban KtP/A dan TPPO.

b. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu:
1) Menyebutkan kebijakan global dan nasional dalam PP-KtP/A, termasuk TPPO
2) Menjelaskan kebijakan dan strategi sektor kesehatan terkait PP-KtP/A,
termasuk TPPO
3) Menjelaskan tugas dan peran sektor kesehatan dalam upaya penanganan
KtP/A termasuk TPPO

3. Materi Pokok

Dalam modul ini akan dibahas materi pokok sebagai berikut:


1) Materi Pokok 1. Kebijakan global dan nasional dalam PP-KtP/A, termasuk TPPO
2) Materi Pokok 2. Kebijakan dan strategi sektor kesehatan terkait PP-KtP/A, termasuk
TPPO
3) Materi Pokok 3. Tugas dan peran sektor kesehatan dalam PP-KtP/A, termasuk TPPO

7
B. Kegiatan Belajar

MATERI POKOK 1. KEBIJAKAN GLOBAL DAN NASIONAL DALAM PP-KTP/A,


TERMASUK TPPO

A. Kebijakan Global Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak


Masalah Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KtP/A), termasuk Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO) merupakan masalah global yang terkait Hak Asasi Manusia
(HAM) dan ketimpangan gender. Terdapat payung hukum pada tataran global yang menjadi
acuan terkait penanganan kasus KtP/A dan TPPO yaitu:
1. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women
(CEDAW)
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), disamping merumuskan International Bill of Rights
(Deklarasi Universal HAM/DUHAM), juga merumuskan perjanjian-perjanjian untuk
menjamin hak asasi manusia di bidang yang spesifik, salah satunya untuk kaum
perempuan. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
atau yang dikenal dengan CEDAW adalah suatu instrumen standar internasional yang
diadopsi oleh PBB pada tahun 1979 dan mulai berlaku pada tanggal 3 Desember 1981
yang bertujuan untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak perempuan termasuk
anak perempuan di seluruh dunia dan terdapat undang-undang No 7 tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita.

Setiap negara yang meratifikasi hasil konvensi dipantau kemajuannya melalui laporan
periodik yang disampaikan kepada Komite CEDAW.

2. ICPD (International Conference on Population and Development)


ICPD diadakan di Cairo pada tanggal 5-13 September 1994, merupakan konferensi
antar pemerintah terbesar yang membahas tentang kependudukan dan pembangunan
yang dihadiri oleh sekitar 179 negara, lembaga PBB, organisasi non pemerintah dan
media. Hal penting dalam konferensi adalah disepakatinya paradigma baru dalam
kebijakan kependudukan dan pembangunan, yaitu dari pengendalian populasi dan
penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang terfokus pada kehidupan manusia,
dengan penekanan pada kesehatan reproduksi sebagai hak dasar manusia. Dengan
adanya perubahan tersebut, pengendalian kependudukan menjadi bergeser ke arah
yang lebih luas, yang meliputi pemenuhan kebutuhan kesehatan reproduksi bagi laki
laki dan perempuan sepanjang siklus hidup, termasuk hak reproduksi, kesetaraan
gender, martabat dan pemberdayaan perempuan.

3. Konferensi Tingkat Dunia ke-IV di Beijing, 1995


Sebuah Konferensi Tingkat Dunia ke-IV tentang Perempuan diselenggarakan di Beijing
(Cina) pada tanggal 4-15 September 1995 dengan tema Persamaan, Pembangunan, dan
Perdamaian. Konferensi ini dihadiri 189 negara anggota PBB termasuk Indonesia yang
sepakat menandatangani suatu deklarasi yang disebut Deklarasi Beijing dan
Landasan Aksi (BPFA; Beijing Declaration and Platform for Action), sebagai upaya
untuk mewujudkan persamaan harkat dan martabat kaum perempuan dan
meningkatkan akses dan kontrol kaum perempuan atas sumber daya ekonomi, politik,
sosial dan budaya.
Sasaran strategisnya 12 bidang kritis terkait masalah pemberdayaan perempuan yang
harus menjadi pusat perhatian dan sasaran pemerintah, masyarakat internasional dan
8
masyarakat sipil termasuk LSM dan sektor swasta, yaitu:
1. Perempuan dan kemiskinan
2. Pendidikan dan pelatihan bagi perempuan
3. Perempuan dan kesehatan
4. Kekerasan terhadap perempuan
5. Perempuan dan konflik bersenjata
6. Perempuan dan ekonomi
7. Perempuan dalam kedudukan pemegang kekuasaan dan pengambilan keputusan
8. Mekanisme-mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan
9. Hak-hak asasi perempuan
10. Perempuan dan media massa
11. Perempuan dan lingkungan
12. Anak perempuan

Isu kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan terhadap anak dan remaja
perempuan, mendapatkan perhatian yang besar pada konferensi ini. Untuk itu telah
dilakukan review terhadap kemajuan pelaksanaan Deklarasi dan Kerangka Aksi ini,
melalui Beijing plus 5, Beijing plus 10 maupun Beijing plus 15 yang dimonitor setiap 5
tahun sekali.

4. Sidang Khusus ke-23 Majelis Umum PBB di New York, 2000


Sidang Khusus ke-23 Majelis Umum PBB di Markas Besarnya di New York pada 5-9 Juni
2000, membahas tema “Women 2000: Gender Equality Development and Peace for the
Twenty First Century”. Sidang ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan Deklarasi
dan Landasan Aksi Beijing setelah 5 tahun berjalan (1995-2000) atau Beijing+5, melalui
“best practises, positives actions, lessons learned” dan mendiskusikan tantangan yang
masih dihadapi dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di era milenium
yang baru.

Sidang menghasilkan deklarasi politik dan dokumen berjudul “Further Actions and
Initiatives to Impelement the Beijing Declaration and Platform for Action” (tindak lebih
lanjut dan inisiatif untuk melaksanakan Deklarasi Beijing dan Langkah-langkah dan
Landasan Aksi). Dokumen ini berisi komitmen untuk melaksanakan target-target dan
strategi baru guna mendukung pelaksanaan Kerangka Aksi Beijing 1995 baik di tingkat
nasional maupun internasional,antara lain kekerasan terhadap perempuan kini menjadi
isu yang mendapat perhatian utama.

5. Konvensi Hak Hak Anak


Konvensi Hak Hak Anak Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nations Convention
on the Rights of the Child) adalah sebuah konvensi internasional yang mengatur hak
hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kultural anak. Konvensi ini secara umum
mendefinisikan seorang anak sebagai manusia yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali
apabila ada ketentuan lain secara hukum di negara bersangkutan. Majelis Umum PBB
mengadopsi konvensi ini dan terbuka untuk penandatangan pada tanggal 20 November
1989 yaitu pada pada peringatan 30 tahun Deklarasi Hak-Hak Asasi Anak. Namun,
Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 2 September 1990, setelah jumlah negara yang
meratifikasinya mencapai syarat.
Negara negara yang telah meratifikasi konvensi internasional ini, harus
menjalankannya sesuai dengan ketentuan hukum internasional. Pelaksanaan konvensi
diawasi oleh
9
Komite Hak-Hak Anak PBB yang para anggotanya terdiri dari berbagai negara di
seluruh dunia. Pemerintah negara yang telah meratifikasi konvensi ini diharuskan
untuk melaporkan dan hadir di hadapan Komite Hak-Hak Anak secara berkala untuk
mengevaluasi kemajuan yang dicapai dalam mengimplementasikan konvensi ini, dan
menyampaikan status hak hak anak di negaranya.

6. Sustainable Development Goals (SDGs)


Pada Pertemuan PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan tanggal 25 September 2015,
para pemimpin dunia mengadopsi Agenda Pembangunan Berkelanjutan yang meliputi
17 tujuan dengan 169 target dari 241 indikator untuk mengakhiri kemiskinan,
ketidaksetaraan dan ketidakadilan dan mengatasi perubahan iklim pada tahun 2030.
Sektor kesehatan sendiri terdapat 5 tujuan 26 target dan 86 indikator.

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ini, atau dikenal sebagai Sasaran Global,


merupakan kelanjutan dari Millenium Development Goals (MDGs) yang harus dicapai
oleh negara negara di dunia pada tahun 2015 untuk mengatasi berbagai masalah
kesehatan yaitu mengakhiri kelaparan, kesehatan yang baik, kesetaraan gender, air
bersih dan sanitasi, termasuk pengurangan angka kemiskinan, kelaparan, penyakit,
ketidaksetaraan gender, dan peningkatan akses terhadap air dan sanitasi yang terurai
dalam Deklarasi Milenium.

B. Kebijakan Nasional Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak


1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW
Indonesia telah meratifikasi CEDAW sejak tahun 1984 melalui Undang-undang No.7
tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap perempuan.

Konsekuensi dari ratifikasi tersebut, maka pemerintah suatu negara harus


melaksanakan upaya-upaya penghapusan berbagai bentuk diskriminasi terhadap
perempuan, atas dasar prinsip-prinsip persamaan substantif, non diskriminatif antara
lelaki dan perempuan, dan prinsip kewajiban negara (state obligation). Pemerintah juga
harus melaksanakan kewajibannya untuk menyampaikan laporan kepada Komite
CEDAW PBB setiap 4 tahun sekali. Organisasi-organisasi non pemerintah juga akan
memantau proses pelaporan ini dan juga dapat memberikan alternative report
atau shadow report untuk melengkapi informasi yang telah disusun dalam laporan
pemerintah suatu negara.

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam


Rumah Tangga (KDRT)
Berdasarkan hasil Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 14
September 2004, telah disahkan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56
pasal, yang diharapkan dapat menjadi payung perlindungan hukum bagi anggota dalam
rumah tangga, khususnya perempuan, dari segala tindak kekerasan. Undang-Undang ini
menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).

10
Undang undang ini memperluas definisi dan korban potensi KDRT, mengkriminalisasi
pelecehan seksual untuk pertama kalinya di Indonesia, dan mengakui hak-hak korban.
Hak-hak ini meliputi perlindungan korban oleh polisi, peradilan, pengadilan, pengacara
dan lembaga sosial; pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis korban; hak
terjaganya kerahasian korban; dukungan oleh pekerja sosial dan tersedianya bantuan
hukum untuk setiap tahap pemeriksaan; dan pelayanan konseling.

3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Perdagangan Orang (TPPO)
Dengan meningkatnya tren perdagangan orang untuk kerja paksa dan prostitusi telah
diterbitkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Dalam undang-undang ini diatur tentang
penanganan kekerasan, yaitu korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan,
rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial dan pemerintah apabila yang
bersangkutan mengalami penderitaan, baik fisik maupun psikis akibat tindak
perdagangan orang.

Mengingat kompleksnya dampak TPPO, di Indonesia, pencegahan dan penanganan


TPPO menggunakan pendekatan multi disiplin yang melibatkan berbagai sektor dalam
gugus tugas pencegahan dan penanganan TPPO. UU ini menyatakan di dalam pasal 58
bahwa Gugus Tugas PTPPO dibentuk di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota
di seluruh Indonesia.

4. Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan
Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Mengingat TPPO melibatkan banyak sektor, maka dibentuk gugus tugas Pencegahan
dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang melalui Peraturan Presiden Nomor
69 Tahun 2008. Berdasarkan Peraturan Presiden tersebut, gugus tugas ini diketuai oleh
Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dengan Ketua Harian adalah Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dengan anggota dari 19
kementerian dan lembaga, termasuk Kementerian Kesehatan.

Kementerian Kesehatan sebagai salah satu anggota yang bertanggungjawab terhadap


rehabilitasi kesehatan, memiliki tugas untuk: 1) Pengembangan pusat pelayanan
terpadu (PPT); 2) Menetapkan standarisasi pelayanan rehabilitasi kesehatan; 3)
Mengembangkan kapasitas tenaga kesehatan; 4) Mengalokasikan anggaran kesehatan;
5) Monitoring dan evaluasi. Rehabilitasi kesehatan bertujuan untuk memberikan
pelayanan kesehatan yang mudah diakses oleh korban TPPO dan sesuai pedoman
penanganan TPPO, sehingga terpenuhinya hak-hak korban untuk memperoleh
pelayanan rehabilitasi kesehatan.

5. Undang-undang No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 tahun 2002


tentang Perlindungan Anak
Pada tahun 2002 diterbitkan Undang-Undang Nomor 23 tentang Perlindungan Anak
yang menyatakan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi anak beserta hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

11
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, karena berbagai
hal, akhirnya diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang ini mulai efektif berlaku pertanggal 18 Oktober 2014 dengan banyak
mengalami perubahan "paradigma hukum", diantaranya memberikan tanggung jawab
dan kewajiban kepada negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga
dan orang tua atau wali dalam hal penyelenggaran perlindungan anak, serta
dinaikannya ketentuan pidana minimal bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak,
serta diperkenal kannya sistem hukum baru yakni adanya hak restitusi.

Undang undang ini mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan
denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual yang
bertujuan untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkrit untuk
memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak. Hal tersebut perlu dilakukan untuk
mengantisipasi anak (korban kejahatan) dikemudian hari tidak menjadi pelaku
kejahatan yang sama.

6. Undang-undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah


Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi
Undang-Undang.

Pada Rabu, 25 Mei 2015, Presiden Republik Indonesia, menyatakan kejahatan seksual
terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa telah mengancam dan membahayakan jiwa
anak sehingga menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perppu ini
menetapkan hukuman pengebirian dan pemasangan alat deteksi elektronik pada
pelaku, sebagai salah satu bentuk hukuman. Dengan terbitnya Perpu ini, diharapkan
adanya efek jera dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak bagi pelaku
kekerasan terhadap anak dengan mengatur sanksi pidana serta ditambahkannya pidana
tambahan bagi kejahatan seksual. Lebih lanjut, Perppu tersebut disahkan menjadi
Undang-undang Nomor 17 tahun 2016.

7. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan
Seksual terhadap Anak (GN-AKSA)

Pada tanggal 11 Juni 2014, Presiden menerbitkan Inpres Nomor 5 tahun 2014 tentang
GN-AKSA yang didalamnya melibatkan 15 Kementerian atau Lembaga, masyarakat dan
dunia usaha. GN-AKSA bertujuan agar respon aparat penegakan hukum bisa lebih
cepat. Sehingga, penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap anak bisa segera
diselesaikan. GN-AKSA ini meliput:
a. Edukasi dan sosialisasi tentang pencegahan dan pemberantasan kejahatan seksual
terhadap anak.
b. Gerakan untuk mendorong pengawasan anak yang dilakukan mulai di tingkat
keluarga, RT, RW, masyarakat, dan seluruh komunitas lokal.
c. Respons cepat oleh kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya, dalam
menangani pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

12
MATERI POKOK 2. KEBIJAKAN DAN STRATEGI SEKTOR KESEHATAN TERKAIT PP-
KTP/A, TERMASUK TPPO

Kasus KTP/A sangat mempengaruhi kesehatan korban terutama anak anak yang masih dalam
proses tumbuh kembang, sehingga akan berdampak pada penurunan kualitas sumber daya
manusia. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan secara komprehensif dan berkualitas sangat
dibutuhkan dalam penanganan kasus KTP/A.

Pelayanan kesehatan dilakukan melalui pelayanan di tingkat dasar, yaitu di puskesmas maupun
pelayanan rujukan di tingkat rumah sakit. Kementerian Kesehatan telah mengembangkan
program Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (PP-KtP/A)
yang dilaksanakan melalui Puskesmas Mampu Tatalaksana KtP/A dan pelayanan kesehatan
yang komprehensif di rumah sakit sebagai sebagai Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) yang
berada di setiap Kabupaten/Kota.

Adapun kebijakan pelayanan kesehatan PPKtP/A adalah:


1. Menyediakan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi korban KtP/A termasuk
TPPO
2. Menjalin kemitraan antar program dan sektor untuk penanganan KtP/A termasuk TPPO
yang komprehensif dan sinergis
3. Terpenuhinya hak-hak perempuan dan hak anak untuk tumbuh kembang secara optimal
4. Meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak

Strategi Pelayanan Kesehatan Kasus KtP/A termasuk TPPO, sebagai berikut:


1. Meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan pemberi layanan di puskesmas dan rumah
sakit dalam upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
2. Meningkatkan manajemen program PPKtP/A dan TPPO di tingkat Dinas Kesehatan
provinsi dan kabupaten/kota
3. Meningkatkan kerja sama LP, LS, LSM dan organisasi profesi terkait.
4. Meningkatkan sistem informasi dan monitoring kesehatan dalam PP KtP/A dan TPPO
5. Menggerakkan dan memberdayakan keluarga/masyarakat agar ikut berperan dalam
upaya promotif dan preventif tentang KtP/A dan TPPO
6. Meningkatkan peran pemerintah daerah dalam pembiayaaan pelayanan kesehatan bagi
korban KtP/A dan TPPO

Ruang Lingkup Program Pelayanan Kesehatan bagi Korban KtP/A adalah:


1. Pelayanan kesehatan dasar di tingkat puskesmas yang diutamakan pada upaya promotif
dan preventif serta deteksi dini dugaan kasus KtP/A dan tata laksana darurat medik dan
rujukan.
2. Pelayanan terpadu di tingkat rumah sakit bagi korban KtP/A.
3. Penanganan KtP/A secara terpadu melalui jejaring termasuk didalamnya sub gugus
tugas TPPO.

Dalam pelaksanaan PPKTP/A di Kementerian Kesehatan, terdapat berbagai peraturan yang


mendukung seperti:

1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor. 25 tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak
Peraturan menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, sehingga
perlu
13
dilakukan upaya kesehatan anak secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan oleh
pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan melibatkan peran serta masyarakat.

2. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan


Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan,
Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta Pelayanan Kesehatan Seksual
Peraturan Menteri ini merupakan salah satu delegasi dari Peraturan Pemerintah Nomor 61
tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi. Permenkes ini bertujuan untuk:
a. Menjamin kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan
berkualitas;
b. Mengurangi angka kesakitan dan angka kematian ibu dan bayi baru lahir;
c. Menjamin tercapainya kualitas hidup dan pemenuhan hak-hak reproduksi; dan
d. Mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru
lahir yang bermutu, aman, dan bermanfaat sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

3. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan


dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan
Kehamilan Akibat Perkosaan
Permenkes ini merupakan delegasi dari Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014
tentang Kesehatan Reproduksi. Tindakan aborsi merupakan tindakan yang melawan
hukum, namun dikecualikan untuk 2 (dua) hal yaitu: atas indikasi kedaruratan medis dan
akibat perkosaan. Dalam Permenkes disebutkan, pelayanan aborsi yang aman, bermutu, dan
bertanggung jawab harus dilakukan oleh dokter sesuai standar profesi, standar pelayanan,
dan standar prosedur operasional. Dokter tersebut telah mendapat pelatihan dan
bersertifikat. Aborsi juga bisa dilakukan di puskesmas, klinik pratama klinik utama atau
yang setara, dan rumah sakit yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kewajiban Pemberi


Layanan Kesehatan untuk Memberikan Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan
Terhadap Anak
Peraturan ini mewajibkan setiap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan
sebagai salah satu unsur yang terlibat dalam penanganan anak korban kekerasan bila
menemukan adanya dugaan kekerasan terhadap anak wajib memberitahukan kepada orang
tua dan/atau pendamping anak tersebut. Pemberitahuan tersebut disertai anjuran untuk
melaporkan dugaan kekerasan terhadap anak tersebut kepada kepolisian. Dalam hal orang
tua atau pendamping anak korban KtA menolak dilakukannya pelaporan, tenaga kesehatan
memberikan informasi kepada kepolisian sesegera mungkin. Pemberian informasi adanya
dugaan anak korban KtA dapat dilakukan secara lisan atau tertulis. Pemberi layanan
kesehatan yang memberikan informasi adanya dugaan anak korban KtA berkedudukan
sebagai pemberi informasi bukan sebagai saksi pelapor dan berhak mendapat perlindungan
hukum. Informasi tersebut merupakan bahan yang akan ditindaklanjuti oleh kepolisian
guna kepentingan penyelidikan.

14
MATERI POKOK 3. TUGAS DAN PERAN SEKTOR KESEHATAN DALAM PP-KTP/A,
TERMASUK TPPO

Petugas kesehatan sering kali merupakan orang pertama yang didatangi oleh korban untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan karena cidera atau trauma yang dialaminya. Untuk itu
dalam upaya PP KtP/A Kementerian Kesehatan mempunyai tugas untuk memberikan
pelayanan kesehatan baik medis maupun psikososial, yaitu dengan:
1. Menyiapkan Puskesmas Mampu Tata Laksana PP KtP/A dengan target minimal 4 (empat)
Puskesmas pada setiap Kabupaten/Kota
2. Menyiapkan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT)/Pusat Krisis Terpadu (PKT) di Rumah Sakit
pada setiap Kabupaten/Kota
3. Menyiapkan petugas kesehatan terlatih dalam menangani pasien korban KtP/A dan TPPO di
Rumah Sakit
4. Menyiapkan petugas kesehatan terlatih dalam menangani pasien korban KtP/A dan TPPO di
Puskesmas

Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan provinsi bertanggung jawab untuk


mengembangkan Puskesmas mampu tatalaksana PP KtP/A dan rumah sakit PPT.

1. Peran Kementerian Kesehatan adalah sebagai berikut:


a. Menetapkan Kebijakan dan strategi pelaksanaan PP KtP/A
b. Menyusun Pedoman umum dan pedoman teknis PP KtP/A
c. Menetapkan standar pelayanan kesehatan bagi korban KtP/A
d. Melakukan advokasi dan sosialisasi program KtP/A
e. Melaksanakan pelatihan pelatih bagi fasilitator KtP/A
f. Melaksanakan bimbingan teknis, supervisi dan evaluasi
g. Melakukan penelitian dan pengembangan
h. Melaksanakan kegiatan program sub gugus tugas bidang rehabilitasi kesehatan dalam
PP KtP/A termasuk TPPO
i. Mengalokasikan biaya untuk mendukung pelaksanaan kegiatan program PP KtP/A

2. Peran Dinas Kesehatan Provinsi adalah sebagai berikut:


a. Melakukan advokasi dan sosialisasi program PP KtP/A
b. Memfasilitasi dinas kesehatan kabupaten/kota dalam menerapkan kebijakan program
PP KtP/A antara lain pengembangan Puskesmas Mampu PP KtP/A dan pembentukan
jejaring
c. Melaksanakan pelatihan bagi pelatih KtP/A kabupaten/kota, pelatihan bagi tenaga
kesehatan di Puskesmas dan rumah sakit yang akan dikembangkan menjadi saranan
bagi pelayanan kesehatan bagi korban KtP/A
d. Bekerjasama dengan pihak rumahsakit dalam mempersipakan pelayanan rujukan di
rumah sakit provinsi sebagai Pusat Pelayanan Terpadu (PPT)/Pusat Krisis Terpadu
(PKT) di rumah sakit pemerintah, rumah sakit TNI/POLRI dan swasta
e. Mendukung penyediaan sarana dan prasarana penunjang medis dan non medis antara
lain buku pedoman/ modul, media KIE, format administrasi rekam medis, VeR dan
format pencatatan pelaporan
f. Berperan aktif sebagai aggota jejaring pelayanan KtP/A (bila jejaring sudah terbentuk),
atau sebagai penggagas (bila jejaring belum terbentuk)
g. Melaksanakan bimbingan teknis, supervisi dan evaluasi

15
h. Mengalokasikan pembiayaan melalui APBD Provinsi dan mengusulkan pembiayaan
APBN, LSM dan NGO, pinjaman/hibah luar negeri (PHLN) atau sumber biaya lainnya
berdasarkan kajian besaran masalah dan potensi terjadinya KtP/A

3. Peran Dinas Kesehatan Kabupaten/kota adalah sebagai berikut:


a. Menentukan puskesmas yang akan dikembangkan menjadi puskesmas mampu
tatalaksana kasus KtP/A
b. Melakukan advokasi dan sosialisasi program PP KtP/A
c. Bekerjasama dengan pihak rumahsakit dalam mempersiapkan pelayanan rujukan di
rumah sakit provinsi sebagai Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) / Pusat Krisis Terpadu
(PKT) di rumah sakit pemerintah, rumah sakit TNI/POLRI dan swasta
d. Melaksanakan pelatihan bagi tenaga kesehatan di Puskesmas dan rumah sakit yang
akan dikembangkan menjadi saranan bagi pelayanan kesehatan bagi korban KtP/A
e. Menyediakan sarana dan prasarana penunjang medis dan non medis antara lain buku
pedoman/modul, media KIE, format administrasi rekam medis, VeR dan format
pencatatan dan pelaporan
f. Berperan aktif sebagai aggota jejaring pelayan KtP/A (bila jejaring sudah terbentuk),
atau sebagai penggagas (bila jejaring belum terbentuk)
g. Melaksanakan bimbingan teknis, supervisi dan evaluasi
h. Mengalokasikan pembiayaan melalui APBD Provinsi dan mengusulkan pembiayaan
APBN, LSM dan NGO, pinjaman/hibah luar negeri (PHLN) atau sumber biaya lainnya

4. Peran fasilitas pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:


Menyediakan layanan kesehatan yang komperehensif bagi semua korban kekerasan
perempuan dan anak yang datang ke pelayanan kesehatan tanpa adanya diskriminasi, baik
di tingkat pelayanan dasar maupun rujukan.
Pelayanan di tingkat pelayanan dasar adalah: mengidentifikasi dan tatalaksana korban,
mencatat kasus KtP/A secara memadai dan melaporkannya ke jenjang diatasnya,
melibatkan/kerja sama jejaring dalam penanganannya, serta mensosialisasikan PP-KtP/A
dengan berbagai media komunikasi. Pelayanan di tingkat rujukan dapat diakses 24 jam dan
dilakukan secara komprehensif (medis, psikososial dan medikolegal) dengan melibatkan
multidisiplin (medis dan non medis) sesuai standar, dan semua tindakan terdokumentasi.

a. Peran fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama/Puskesmas yaitu sebagai ujung


tombak pelayanan kesehatan berperan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan bagi
korban KtP/A. Untuk itu Puskesmas harus mampu dalam manajemen pengembangan
untuk menjadi Puskesmas mampu tata laksana kasus KtP/A dengan:
1) Melakukan perencanaan dengan didahului oleh mengumpulkan data dan informasi,
melakukan analisis dan pemetaan, menyusun rencana kerja, melaksanakan
sosialisasi, menyiapkan tenaga pelaksanaan, menyiapkan petugas konselling dan
wawancara, menyiapkan sarana dan prasarana.

2) Melaksanakan pelayanan:
- Pencegahan KtP/A melalu kegiatan kegiatan terkait seperti UKS, PKPR, Buku KIA,
program lansia dll
- Mampu mendeteksi adanya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang
terintegrasi dengan program dan layanan terkait lainnya, seperti PKPR, MTBS,
imunisasi, KIA HIV AIDs dll
- Memberikan pelayanan kasus KtP/A dan bekerjasama dengan jejaring terkait
dalam penaganan kasus KtP/A

16
- Melakukan pencatatan dan pelaporan

3) Melaksanakan pengawasan dan pengendalian dengan melakukan monitoring dan


evaluasi dan pertanggung jawaban anggaran

b. Peran fasilitas pelayanan kesehatan tingkat rujukan/Rumah sakit adalah menyediakan


pusat pelayanan terpadu dimana unit ini menyelenggarakan pelayanan terpadu bagi
perempuan dan anak korban kekerasan. Adapun tujuan pelayanan:
1) Menyediakan pelayanan medis dan dukungan untuk mengurangi dampak dan
mencegah cedera lebih lanjut, penderitaan dan ancaman bahaya
2) Merupakan pelayanan yang melibatkan multidisiplin dan dilakukan satu pintu,
yaitu: Semua pelayanan yang diberikan dilakukan di unit ini, sehingga klien/korban
tidak perlu berpindah pindah bila memerlukan rujukan ke bagian lain di rumah
sakit
3) Meningkatkan cakupan korban kekerasan yang mendapatkan pelayanan kesehatan
oleh tenaga kesehatan terlatih di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) RS

17
RANGKUMAN
● Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KtP/A), termasuk Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO) merupakan masalah global yang terkait Hak Asasi Manusia
(HAM) dan ketimpangan gender. Pemerintah Indonesia terus berkomitmen untuk
mengatasi permasalahan KtP/A termasuk TPPO melalui berbagai dukungan kebijakan
terkait permasalahan tersebut, dan sektor kesehatan memegang peranan penting dalam
upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
● Petugas kesehatan sering kali merupakan orang pertama yang didatangi oleh korban
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan karena cidera atau trauma yang dialaminya.
Oleh karena itu penting bagi petugas kesehatan untuk memahami dan memiliki
kemampuan dalam melakukan pelayanan kepada korban KtP/A, termasuk TPPO.

18
C. Daftar Pustaka

Kementerian Kesehatan. 2014. Pedoman Pengembangan Puskesmas Mampu Tata Laksana


Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. Jakarta. Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan. 2015. Pedoman Pelayanan dan Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap
Perempuan dan Anak (KtP/A) Bagi Petugas Kesehatan. Jakarta. Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan. 2015. Buku Pedoman Deteksi Dini, Pelaporan dan Rujukan Kasus
Kekerasan dan Penelantaran Anak. Jakarta. Unicef.

Peraturan Menteri Kesehatan No.25 tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak.

Peraturan Menteri Kesehatan No.97 tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum
Hamil, Masa Hamil, Persalinan dan Masa, Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan
Kontasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual.

Peraturan Menteri Kesehatan No.68 tahun 2013 tentang Kewajiban Pemberi Layanan
Kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan No.1226 tahun 2009 tentang Pedoman Penatalakasaan


Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Rumah Sakit.

RAN PTPPO dan ESA tahun 2009 – 2014.

19
MATERI PELATIHAN DASAR 2 (MPD 2): KONSEP KEKERASAN
BERBASIS GENDER, KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN
ANAK TERMASUK TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG,
SERTA PEMENUHAN HAK-HAK KORBAN

20
A. Tentang Modul Ini

1. Deskripsi Singkat

Gender seringkali disalah artikan sebagai sesuatu yang dianggap negatif sehingga
berdampak adanya ketidaksetaraan gender. Padahal ketidaksetaraan gender ini membawa
implikasi yang sangat besar terutama pada munculnya berbagai bentuk kekerasan dan
diskriminasi terhadap perempuan dan anak.

Pada materi ini peserta akan diberikan pemahaman tentang konsep kekerasan berbasis
gender, kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk tindak pidana perdagangan orang
serta pemenuhan hak-hak korban.

Modul ini akan membahas tentang: Jenis kelamin, gender, dan bentuk ketidak setaraan
gender; Pengertian KtP/A termasuk TPPO dan dampak tindak kekerasan serta sunat
perempuan; dan Hak-hak korban kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk korban
TPPO sesuai kebutuhan/perundang-undangan yang berlaku.

2. Tujuan Pembelajaran

a. Hasil Belajar
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu memahami konsep kekerasan berbasis
gender dan KtP/A termasuk TPPO serta pemenuhan hak-hak korban.

b. Indikator Hasil Belajar

Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu:


1. Menjelaskan jenis kelamin, gender, dan bentuk ketidaksetaraan gender.
2. Menjelaskan pengertian KtP/A termasuk TPPO dan dampak tindak
kekerasan serta sunat perempuan.
3. Menjelaskan hak-hak korban kekerasan sesuai kebutuhan korban dan
amanat perundang-undangan.

3. Materi Pokok

Dalam modul ini akan dibahas materi pokok dan sub materi pokok sebagai berikut:
1) Materi Pokok 1. Jenis Kelamin, Gender dan Bentuk Ketidaksetaraan Gender
2) Materi Pokok 2. Pengertian Kekerasan terhadap Perempuan, Anak dan Tindak
Pidana Perdagangan Orang dan Dampak tindak kekerasan serta Sunat perempuan
3) Materi Pokok 3. Hak-hak korban kekerasan terhadap perempuan dan anak
termasuk korban TPPO sesuai kebutuhan/perundang-undangan yang berlaku

21
B. Kegiatan Belajar

MATERI POKOK 1. JENIS KELAMIN, GENDER DAN BENTUK KETIDAKSETARAAN


GENDER

A. Pengertian Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah kondisi biologis sebagai laki-laki dan perempuan, merupakan
pemberian Tuhan, dengan karakteristik dan fungsi khususnya masing-masing
● Laki-laki seseorang yang memiliki alat kelamin dan identitas laki-laki yang secara
reproduksi memiliki fungsi untuk menghasilkan sperma dan membuahi.
● Perempuan seseorang yang memiliki alat kelamin dan identitas perempuan yang secara
reproduksi memiliki fungsi untuk menghasilkan sel telur, dapat mengan dung,
melahirkan dan menyusui.

B. Pengertian Gender

Gender adalah bentukan, konstruksi atau interpretasi masyarakat atas perbedaan kondisi
biologis laki-laki dan perempuan. Jadi gender bukan sesuatu yang telah dibawa dan
ditetapkan sejak lahir, melainkan dibentuk, dikembangkan dan dimantapkan sendiri oleh
masyarakat, misalnya:
● Sifat: cukup banyak orang menganggap bahwa laki-laki lebih cocok menjadi pemimpin,
karena laki-laki lebih rasional dalam berfikir, atau perempuan tidak dapat mengerjakan
tugas-tugas sulit, karena cenderung berfikir dengan emosinya.
● Peran: banyak pihak menganggap bahwa tugas perempuan untuk mengurus anak dan
rumah tangga, sementara laki-laki dibebaskan dari tugas-tugas rumah tangga karena
tugas rumah tangga tidak pantas dikerjakan laki-laki, dan karena laki-laki mencari uang.
● Posisi: biasanya laki-laki memperoleh posisi lebih tinggi: menjadi pemimpin, menjadi
kepala rumah tangga, menjadi pihak yang mengambil keputusan. Sementara perempuan
(isteri) mendukung, berada dalam posisi lebih rendah, dan letaknya ada di belakang.
● Nilai: dengan anggapan-anggapan seperti di atas, laki-laki kemudian dinilai lebih penting
daripada perempuan. Misalnya, di budaya atau suku-suku tertentu, memiliki anak laki-
laki dianggap menjadi suatu keharusan, karena hanya laki-laki yang dianggap dapat
meneruskan nama keluarga.

Berdasarkan pernyataan di atas, gender adalah:


● Sifat-sifat atau ciri-ciri berbeda yang dilekatkan pada perempuan dan laki-laki
● Pandangan masyarakat mengenai apa yang dianggap pantas menjadi peran, tugas dan
posisi laki-laki dan perempuan.
● Pembagian kerja yang dilekatkan pada perempuan dan laki-laki.
Bias gender adalah kesenjangan peran, fungsi, hak dan tanggung jawab antara perempuan
dan laki-laki dalam kehidupan kelompok dan masyarakat

C. Bentuk Ketidaksetaraan Gender

Ketidaksetaraan hubungan/posisi laki-laki dan perempuan dapat dilihat dari beberapa hal:
a. Stereotipe

22
1) Pada perempuan dilekatkan sifat-sifat atau karakteristik yang umumnya negatif
atau merugikan. Misalnya, perempuan dianggap emosional, hanya mampu
mengerjakan tugas-tugas sederhana dan tidak penting, atau tidak mampu
memimpin.
2) Meskipun seringkali pandangan tersebut tidak tepat, karena pandangan tersebut
terus diulang-ulang, akhirnya banyak anggota masyarakat termasuk perempuan
sendiri yang percaya bahwa hal tersebut benar. Hal tersebut menjadi sesuatu yang
seolah-olah tetap atau baku.

b. Sub-ordinasi
1) Dengan adanya stereotipe atau pandangan baku mengenai sifat-sifat dan peran-
peran perempuan dan laki-laki, kita melihat bahwa perempuan diposisikan, atau
ditempatkan sebagai orang kedua setelah laki-laki. Bila diurutkan, yang diutamakan
adalah laki-laki, baru kemudian perempuan.
2) Selain tidak diberi posisi penting, perempuan sering pula dianggap sebagai ‘milik’
keluarga. Saat ia kecil dan belum menikah, perempuan menjadi ‘milik’ ayah, dan
harus patuh pada ayah. Setelah ia menikah, ia menjadi ‘milik’ suami dan harus patuh
pada suami. Ada larangan-larangan dan tabu-tabu khusus yang dituntut untuk
dipatuhi perempuan.

c. Beban ganda
Di satu sisi perempuan dianggap tidak penting atau kurang bernilai. Di sisi lain,
kenyataan sehari-hari menunjukkan bahwa pekerjaan perempuan ternyata banyak,
tidak jarang lebih banyak daripada laki-laki. Tetapi karena perempuan dianggap tidak
penting, pekerjaannya kadang juga dianggap tidak penting, atau tidak disadari oleh
masyarakat. Kadang perempuan bekerja keras dianggap “sudah sewajarnya”. Bahkan
kita melihat dalam kenyataan hidup sehari-hari perempuan tidak jarang melakukan
tugas-tugas yang harusnya menjadi tanggungjawab laki-laki untuk memastikan
keberlangsungan hidup keluarga. Bila suami tidak ada atau tidak mampu memenuhi
kebutuhan keluarga, mau tidak mau isteri harus turun tangan memastikan anak-
anaknya dapat memperoleh makanan. Sebagai akibatnya, beban kerja perempuan
menjadi berat, dan jam kerjanya sering lebih lama daripada laki-laki.
1) Perempuan harus bertanggungawab untuk mengurus anak dan membereskan
semua tugas rumah tangga, misalnya membersihkan rumah, mencuci, mencari air,
dan memasak.
2) Perempuan sering disibukkan tugas-tugas sosial dalam masyarakat untuk
mempertahankan kerukunan dan ketentraman hidup bersama. Misalnya
menyiapkan makanan untuk pesta, menyiapkan sesajen (di Bali), membantu di
posyandu, dan sebagainya.
3) Suami atau laki-laki secara tradisional dianggap sebagai pihak yang bertanggung
jawab untuk mencari nafkah bagi keluarga. Dalam kenyataan hidup sehari-hari hal
ini sering tidak terlaksana dengan baik. Apalagi dalam situasi konflik, ketika
sumber- sumber mata pencaharian hancur, suasana tidak aman, dan lain
sebagainya.
4) Pada akhirnya, sering perempuan harus menanggung beban majemuk. Ia tidak saja
sibuk dalam rumah seperti yang banyak dipikirkan orang, tetapi juga bekerja di luar
rumah untuk mencari uang demi memenuhi kebutuhan keluarga. Ia mungkin juga
terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan untuk mengembangkan hubungan
baik bertetangga dan bermasyarakat.

d. Marginalisasi
23
Marginalisasi secara sederhana dapat dipahami sebagai ‘peminggiran’, upaya untuk
menempatkan perempuan tidak di tengah, bukan sebagai pihak penting, melainkan di
pinggir. Artinya, perempuan ditempatkan sebagai orang yang tidak memiliki peran
penting, sebagai pihak yang tidak diperhatikan kebutuhan-kebutuhan dan
kesejahteraannya.
1) Perempuan tidak diberi peran penting, hanya bertugas di bidang pelayanan
(misal memasak, membereskan cucian), perempuan sering disebut sebagai
“orang belakang”.
2) Dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan pertemuan-pertemuan adat,
perempuan tidak jarang ditempatkan di belakang, sebagai pelayan, tidak
memiliki hak suara.

D. Permasalahan Gender

Berbagai permasalahan yang dapat timbul akibat ketidaksetaraan gender antara lain:
1) Rendahnya kualitas hidup perempuan
2) Marginalisasi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan (pendidikan, ekonomi,
politik)
3) Kesenjangan pendapatan perempuan dan laki-laki
4) Banyaknya peraturan perundangan-undangan yang bias gender
5) Tingginya jumlah perempuan yang menjadi korban kekerasan

24
MATERI POKOK 2. PENGERTIAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN, ANAK DAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DAN DAMPAK TINDAK KEKERASAN SERTA
SUNAT PEREMPUAN

1. Pengertian Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Termasuk Tindak Pidana


Perdagangan Orang

Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) adalah segala bentuk tindak kekerasan berbasis
gender yang berakibat, atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau
penderitaan terhadap perempuan; termasuk ancaman dari tindakan tersebut, pemaksaan
atau perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi di lingkungan masyarakat
maupun dalam kehidupan pribadi (Deklarasi Eliminasi Kekerasan Terhadap Perempuan,
1993).
Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi dalam suasana hidup ‘normal’ maupun dalam
situasi konflik dan perang:
● Kekerasan dalam hubungan dekat/pribadi dan/atau keluarga. Perempuan tidak jarang
menjadi korban kesewenangan pacar, tunangan, suami, mantan suami, ayah dan/atau
orang dewasa lain. Bahkan kadang menjadi korban kekerasan dari ibu mertua dan
keluarga suami.
● Kekerasan dalam dunia kerja dan masyarakat. Hal yang umum terjadi adalah pelecehan
seksual di tempat-tempat umum dan di tempat kerja. Perempuan merasa tidak aman di
banyak tempat karena sering mengalami pelecehan bahkan (percobaan) dari orang
yang dikenal maupun tidak dikenal.
● Kekerasan terhadap perempuan juga tampil dalam praktik-praktik budaya, seperti
kawin paksa, kawin kanak-kanak/usia muda saat perempuan belum siap secara fisik
dan psikologis, praktik mas kawin yang menjadikan perempuan alat tukar dan ‘hak
milik’ keluarga, dan lain-lain.

Kekerasan dalam situasi konflik dan perang: Selain mengalami hal-hal umum yang
mengenai anggota masyarakat lain seperti rumah dibakar dan harus mengungsi, dapat pula
terjadi pelecehan seksual, ancaman-ancaman, perkosaan, perbudakan seksual, penghamilan
paksa dan bentuk-bentuk kekerasan khusus lain pada perempuan.

Kekerasan terhadap anak (KtA) adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik
ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau
eksploitasi lain, yang mengakibatkan cedera/ kerugian nyata ataupun potensial terhadap
kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh-kembang anak, atau martabat anak,
yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung-jawab, kepercayaan atau kekuasaan
(WHO). Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan (Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak No. 01 Tahun 2010 Tentang SPM Bidang Layanan Terpadu Bagi
Perempuan dan Anak Korban Kekerasan).

Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) menurut Undang-undang Nomor 21 tahun


2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah sebagai berikut:
• Perdagangan Orang adalah Tindakan perekrutan, pengangkutan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang
atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang
yang

25
memegang kendali orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun
antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
• Tindakan Pidana Perdagangan Orang: adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan
yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam undang-undang ini.

Suatu tindak kekerasan dikategorikan sebagai kasus TPPO, harus memenuhi tiga unsur
sebagai berikut:
1) PROSES: Perekrutan atau Pengangkutan atau Penampungan atau Pengiriman atau
Pemindahan atau Penerimaan
2) dengan CARA: Ancaman atau Penggunaan Kekerasan atau Penculikan atau
Pemalsuan atau Penggunaan Kekerasan atau Penculikan atau Pemalsuan atau
Penipuan atau Penyalahgunaan Kekuasaan atau Jeratan Utang
3) untuk TUJUAN: Eksploitasi termasuk Pelacuran atau Kerja Paksa atau Perbudakan
atau Kekerasan Seksual atau Transplantasi Organ
Pada kasus dimana korban berusia kurang dari 18 tahun maka unsur yang harus dipenuhi
untuk dikategorikan sebagai kasus TPPO hanyalah unsur PROSES dan TUJUAN.

2. Dampak Tindak kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

Kekerasan terhadap perempuan dan anak akan berdampak pada kesehatan baik fisik
maupun non fisik, seperti:

a. Dampak Fisik
● Kematian akibat kekerasan fisik, pembunuhan atau bunuh diri
● Trauma fisik berat: memar berat luar/dalam, patah tulang, kecacatan
● Trauma dalam kehamilan yang berisiko terhadap ibu dan janin (abortus, kenaikan
berat badan ibu tidak memadai, infeksi, anemia, Berat Badan Lahir Rendah/BBLR)
● Kehamilan yang tidak diinginkan dan kehamilan dini akibat perkosaan yang dapat
diikuti dengann aborsi atau komplikasi kehamilan termasuk sepsis, aborsi spontan
dan kelahiran prematur
● Meningkatkan resiko terhadap kesakitan, misalnya gangguan ginekologis/haid
berat, tertular Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV/AIDS, infeksi saluran kencing dan
gangguan pencernaan
● Akibat dari kekerasan seksual dapat berupa tanda akibat trauma atau infeksi lokal,
seperti nyeri perineal, sekret vagina, nyeri dan perdarahan anus

b. Dampak Non Fisik


● Percobaan bunuh diri
● Gangguan mental emosional, misalnya: depresi, ketakutan dan cemas, rasa rendah
diri, kelelahan kronis, sulit tidur, mimpi buruk, disfungsi seksual, gangguan makan,
ketagihan alkohol dan obat, atau mengisolasikan dan menarik diri
● Kurangnya kemampuan aktualisasi diri
● Cuti sakit bertambah
● Ketidakmampuan untuk mengembangkan pendapatan
● Stigmatisasi oleh komunitas sekitarnya
● Akibat kekerasan seksual:
- Tanda gangguan emosi, misalnya konsentrasi kurang, enuresis, enkopresis,
anoreksia dan perubahan tingkah laku, kurang percaya diri, sering menyakiti
diri sendiri dan sering mencoba bunuh diri.
- Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya.

26
Pada anak yang masih dalam proses tumbuh kembang, tindak kekerasan yang dialami dapat
mempengaruhi proses tumbuh kembangnya baik secara fisik, mental dan sosial. Kekerasan
pada anak, akan memberikan dampak jangka pendek dan jangka panjang.

Dampak Jangka Pendek:


1) Dampak langsung terhadap kejadian child abuse, 5% mengalami kematian, 25%
mengalami komplikasi serius seperti patah tulang, luka bakar, cacat menetap dll.
2) Terjadi kerusakan menetap pada susunan saraf yang dapat mengakibatkan retardasi
mental, masalah belajar/kesulitan belajar, buta, tuli, masalah dalam perkembangan
motor/pergerakan kasar dan halus, kejadian kejang, ataksia, ataupun hidrosefalus
3) Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak-anak sebayanya.
4) Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yaitu:
▪ Kecerdasan
Berbagai penelitan melaporkan terdapat keterlambatan dalam perkembangan
kognitif, bahasa, membaca dan motorik. Retardasi mental dapat diakibatkan trauma
langsung pada kepala, juga karena malnutrisi. Dari lingkungan, anak kurang
mendapat stimulasi adekuat karena gangguan emosi.
▪ Emosi
Masalah yang sering dijumpai adalah gangguan emosi, kesulitan belajar/sekolah,
kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan teman, kehilangan kepercayaan diri,
phobia dan cemas. Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif
atau bermusuhan dengan orang dewasa, atau menarik diri / menjauhi pergaulan.
Anak suka mengompol, hiperaktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah,
sulit tidur, temper tantrum.
▪ Konsep diri
Anak merasa dirinya jelek, tidak dicintai, tidak dikehendaki, muram dan tidak
bahagia, tidak mampu menyenangi aktifitas dan percobaan bunuh diri
▪ Agresif
Anak lebih agresif terhadap teman sebaya. Sering tindakan agresif tersebut meniru
tindakan orangtua mereka atau mengalihkan perasaan agresif kepada teman
sebayanya sebagai hasil kurangnya konsep diri
▪ Hubungan sosial
Pada anak-anak tersebut kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya atau
dengan orang dewasa, misalnya melempari batu atau perbuatan kriminal lainnya.

Dampak Jangka Panjang


Beberapa penelitian menemukan dampak jangka panjang yang dapat terjadi pada kasus
kekerasan terhadap anak sebagai berikut:
1) Adanya distorsi kognitif, seperti merasa salah, malu, menyalahkan diri sendiri
2) Gangguan perasaan (mood disturbance), seperti ansietas atau depresi
3) Kehilangan minat untuk bersekolah seperti sering melamun atau tidak memperhatikan
pelajaran, menghindari sekolah atau membolos, tidak perduli terhadap hasil ulangan
atau ujian
4) Stres pasca trauma seperti terus menerus memikirkan peristiwa traumatis yang
dialaminya, merasa gelisah dan cemas menghadapi lingkungan yang agak berubah.
5) Masalah/problem diri sendiri (interpersonal), seperti melakukan isolasi terhadap diri
sendiri, rasa dendam, takut terhadap sikap ramah/kehangatan/ kemesraan dari orang
lain
6) Perilaku membahayakan atau menyakiti diri sendiri, seperti percobaan bunuh diri,
mutilasi/membuat cacat diri sendiri

27
7) Perilaku regresif seperti mengompol, menempel atau melekatkan diri pada orang
dewasa, menarik diri dari pergaulan, menjadi hiperaktif dan menunjukkan aktivitas
berlebihan, menunjukkan perilaku tantrum contohnya mengamuk, menangis
berlebihan atau berguling-guling.
8) Menggunakan narkotik dan zat adiktif lainnya
9) Gangguan personalitas
10) Gangguan tidur dan mimpi buruk
11) Masalah psikosomatik seperti nyeri daerah pelvis
12) Problem / gangguan makan
13) Lebih lanjut korban dapat menjadi psikosis
14) Adanya gangguan personalitas multipel.
15) Dampak kecacatan pada fisik yang dapat mengganggu fungsi tubuh atau anggota tubuh
tersebut
16) Anak yang mengalami kekerasan apabila tidak ditatalaksana dengan baik, dapat
menjadi pelaku kekerasan, ketika dewasa

Dampak jangka panjang yang mungkin timbul pada kasus kekerasan pada anak tidak dapat
ditentukan kapan waktu terjadinya, oleh sebab itu perlu dilakukan pemantauan jangka
panjang terhadap anak yang mengalami kekerasan. Hal ini bertujuan untuk deteksi dini
terjadinya dampak baik fisik maupun psikososial.

3. Sunat perempuan sebagai salah satu bentuk kekerasan pada perempuan dan anak.

Sunat perempuan merupakan masalah global yang sangat ditentang karena termasuk
masalah perusakan alat kelamin perempuan atau Female Genital Mutilation/Cutting
(FGM/C) yang melanggar HAM dan dianggap sebagai kekerasan terhadap perempuan.
Female Genital Mutilation/Cutting (FGM/C) merupakan isu pembangunan dan terdapat
dalam target SDG’s nomor 5 tentang kesetaraan gender yaitu menghilangkan semua praktik
berbahaya, seperti perkawinan anak, perkawinan paksa dan pada usia dini dan sunat
perempuan. Di Indonesia, banyak istilah yang digunakan untuk menyebutkan istilah FGM/C
atau pemotongan/perlukaan genitalia perempuan (P2GP). Dalam bahasa Indonesia sendiri
praktik P2GP disebut sunat perempuan atau khitan perempuan (female circumcision).
Definisi Female Genital Mutilation/Cutting (FGM/C) menurut WHO adalah seluruh bentuk
pemotongan alat kelamin perempuan baik sebagian atau keseluruhan atau dalam bentuk
apapun yang melukai alat kelamin perempuan, dengan alasan di luar (kepentingan)
pengobatan (WHO, 2008). WHO membagi FGM menjadi 4 tipe yakni tipe (1) pemotongan
klitoris atau bagian klitoris perempuan; tipe (2) pemotongan klitoris dan bagian dalam bibir
kemaluan perempuan; tipe (3) pemotongan klitoris, bibir luar dan bibir dalam kemaluan
serta penjahitan hasil potongan tersebut; dan tipe (4) pemotongan secara simbolis klitoris
maupun bagian lain kemaluan perempuan.
WHO menjelaskan bahwa praktik sunat perempuan ini sangat berisiko, dan dapat
menyebabkan gangguan fisik jangka pendek, maupun gangguan fisik jangka panjang. Selain
itu, praktik ini juga dapat menyebabkan gangguan mental, serta gangguan kesehatan
seksual dan reproduksi pada perempuan. Dampak jangka pendek sunat perempuan yang
dialami oleh perempuan yaitu pendarahan, infeksi organ panggul, tetanus serta retensi urine
karena pembengkakan dan sumbatan pada uretra. Hal-hal tersebut berpotensi
menyebabkan kematian. Selain itu, sunat perempuan juga berdampak jangka panjang, di
antaranya rasa sakit berkepanjangan saat berhubungan seksual, disfungsi seksual, disfungsi
haid, dan infeksi saluran kemih kronis. Di beberapa negara, praktik sunat perempuan
termasuk ke dalam tindak pidana serius.

28
Kementerian Kesehatan berdasarkan atas pertimbangan bahwa sunat perempuan bukan
merupakan tindakan kedokteran karena pelaksanaannya tidak berdasarkan atas indikasi
medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan, menganggap perlu melakukan upaya
untuk menekan praktik sunat perempuan.
Upaya menekan praktik sunat perempuan harus dilakukan bersama antara lintas sektor
terkait mengingat akar permasalahan sunat perempuan merupakan tradisi yang dilakukan
turun temurun yang berakar dari konteks budaya, sosial dan agama. Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai kementerian yang memiliki
mandat untuk mengkoordinasikan upaya lintas sektor melalui strategi advokasi lintas
sektor, dialog dengan tokoh agama, tokoh masyarakat dan sosialisasi kepada masyarakat
tentang bahaya sunat perempuan telah menyusun strategi advokasi dan sosialisasi
pencegahan pemotongan/perlukaan genitalia perempuan (P2GP) bagi tokoh agama Islam
serta kelompok pemuda, yang bertujuan agar tokoh agama dan pemuda dapat turut
membantu untuk mengedukasi masyarakat agar tidak melakukan praktik sunat perempuan.
Petugas kesehatan melakukan praktik sunat perempuan dengan alasan tidak dapat menolak
permintaan klien serta daripada dilakukan oleh petugas non medis yang dikahawatirkan
tidak steril dan tidak aman dalam pelaksanaannya. Petugas kesehatan tidak memahami
aspek legalitas terkait kompetensi dan kewenangan dalam melakukan sunat perempuan,
dimana petugas kesehatan tidak memiliki kompetensi dalam melakukan sunat perempuan,
karena tidak ada dalam standar kompetensi dokter Indonesia maupun standar kompetensi
bidan dan perawat. Selain itu pelaksanaan sunat perempuan juga tidak pernah diajarkan
pada kurikulum pendidikan tenaga kesehatan, sehingga bisa dikatakan praktik sunat
perempuan sebagai bentuk pelanggaran kode etik karena pemotongan/pengguntingan pada
jaringan genitalia yang sehat merupakan perbuatan yang melanggar prinsip “tidak
melakukan kerusakan” / “do no harm”, yang menjadi dasar kode etik medis.
Penelitian juga menunjukkan bahwa medikalisasi lebih merusak dan keyakinan
medikalisasi sunat perempuan lebih aman dan sebagai cara “pengurangan dampak”/ "Harm
Reduction" adalah salah.
Oleh sebab itu Kementerian Kesehatan perlu melakukan upaya menekan praktik sunat
perempuan melalui optimalisasi peran petugas kesehatan dalam mencegah praktik sunat
perempuan. Petugas kesehatan diharapkan mempunyai pemahaman yang benar dan dapat
memberikan informasi dan edukasi pada masyarakat terkait pencegahan praktik sunat
perempuan

4. Kekerasan Seksual pada Situasi Krisis Kesehatan

Krisis kesehatan adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam kesehatan
individu atau masyarakat yang disebabkan oleh bencana dan/atau berpotensi bencana.

Dalam situasi bencana, risiko terjadinya kekerasan seksual semakin meningkat karena:
● Kondisi perempuan dan anak sebelum bencana yang memang rentan mengalami
kekerasan seksual karena gender, usia, disabilitas, pendidikan rendah, memiliki
pasangan atau orang tua pelaku kekerasan dan berpendidikan rendah, serta menjadi
semakin rentan karena mengalami dampak stress pasca bencana dan kehilangan yang
sifatnya traumatis (mendadak dan menyakitkan).
● Akibat bencana, anak kehilangan orang tua dan terpisah dari sanak keluarga sehingga
harus tinggal dengan orang asing seperti di penampungan, panti asuhan, diadopsi, atau
dengan sanak keluarga yang belum pernah dekat sebelumnya. Situasi ini terutama bagi
anak perempuan sangat rentan untuk menjadi korban kekerasan, termasuk kekerasan
seksual.

29
● Stabilitas dan sistem keamanan melemah yang dapat meningkatkan situasi yang
membahayakan keamanan dan meningkatkan munculnya pelaku-pelaku kekerasan
seksual oportunis yang menggunakan situasi tersebut.
● Fasilitas pengaduan dan layanan rusak atau tidak berfungsi sehingga meningkatkan
risiko terjadinya kekerasan seksual karena korban tidak tahu ke mana harus
melaporkan kekerasan yang dialaminya.
● Dampak pada kesehatan korban kekerasan seksual memiliki risiko tinggi karena
layanan tidak berfungsi maksimal ketika bencana sehingga korban tidak mendapatkan
penanganan medis dan psikoseksual yang diperlukan segera setelah kekerasan terjadi.

Beberapa bentuk kekerasan seksual yang sering terjadi dalam konteks bencana:
● Pelecehan seksual dalam bentuk pengintipan, minimnya ruang privasi untuk berganti
pakaian,
● Serangan seksual saat menggunakan MCK, mengakses bantuan dan layanan,
● Serangan seksual yang dilakukan oleh petugas keamanan termasuk pemberi bantuan,
sesama pengungsi,
● Transaksi seksual untuk rasa aman/perlindungan, makanan, dan bantuan oleh pemberi
bantuan,
● Kekerasan seksual pada anak, termasuk perkawinan usia anak dan inses, anak tanpa
pengawasan, serta situasi tidak aman,
● Kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga/perkawinan,
● Praktik berbahaya yang muncul karena keterbatasan situasi pengungsian/ekonomi
(pemaksaan perkawinan, perkawinan usia anak).

Kebutuhan penyintas/korban kekerasan seksual dan respons awal dalam situasi bencana,
meliputi 4 kebutuhan:
1. Kebutuhan segera untuk penanganan dukungan emosional dan kesehatan psikologis
2. Kebutuhan segera untuk penanganan kesehatan fisik dan reproduksi
3. Kebutuhan yang berkelanjutan untuk pemenuhan akan rasa aman
4. Kebutuhan yang berkelanjutan untuk dukungan dan kesehatan mental

Untuk pemenuhan kebutuhan tersebut dibutuhkan kerjasama dengan UPTD PPA/P2TP2A


sebagai ketua Subklaster Perlindungan Hak Perempuan dan KBG (PHP-KBG).
Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain adalah:
 Pelayanan kesehatan bagi penyintas/korban kekerasan seksual dilakukan di rumah
sakit/fasilitas pelayanan kesehatan rujukan kecuali pada daerah yang aksesnya sulit
dapat dilakukan di puskesmas.
 Namun untuk tatalaksana pencegahan kehamilan dan penyakit menular seksual dapat
dimulai sejak di puskesmas atau di tenda kesehatan reproduksi.
 Perlu diingat bahwa penyelamatan nyawa pada kasus kedaruratan medis dapat
dilakukan di semua layanan kesehatan.
 Apabila fasilitas layanan kesehatan tidak tersedia pada situasi krisis kesehatan, maka
pemeriksanaan VeR dapat dilakukan di tenda kesehatan reproduksi ataupun tenda
layanan kesehatan dengan pengkondisian yang sesuai untuk layanan kesehatan
reproduksi dan menjamin privasi dari korban.
 Hal ini dapat dilakukan dengan mendatangkan dokter yang tergabung dalam tim DVI
(disaster victim investigation) atau dokter yang telah terlatih penanganan kekerasan
terhadap perempuan dan anak. Dokter yang dimaksud adalah dokter yang tersedia di
area terdekat (dokter umum terlatih ataupun dokter spesialis obgyn/spesialis forensik)

30
Bidan /perawat yang bertugas pada tenda kesehatan reproduksi di situasi krisis kesehatan:
 Melakukan deteksi dini adanya kekerasan seksual
 Melakukan koordinasi dengan UPTD PPA/Sub klaster PHP dan KGB dan kepolisian jika
ada dugaaan kekerasan seksual
 Melakukan penyelamatan nyawa, pencegahan kehamilan dan penyakit menular seksual
dengan berkooordinasi dengan dokter
 Melakukan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia dan apabila tidak
dapat diakses, maka dapat menghubungi tim DVI atau dokter yang telah terlatih
penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dokter yang dimaksud adalah
dokter yang tersedia di area terdekat (dokter umum terlatih ataupun dokter spesialis
obgyn/spesialis forensik)
 Bersama dengan petugas UPTD PPA /P2TP2A (dan atau subklaster PHP dan KBG)
melakukan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan/RS/ layanan lain sesuai kebutuhan
agar korban dapat ditangani secara komprehensif.

Persiapan Implementasi Panduan Tata Laksana Kasus Kekerasan Seksual pada


Situasi Krisis Kesehatan

Ketika bencana terjadi, Subklaster Kesehatan Reproduksi yang berada di bawah koordinasi
Klaster Kesehatan perlu diaktivasi. Salah satu komponen Subklaster Kesehatan Reproduksi
yaitu mencegah kekerasan seksual dan merespon kebutuhan penyintas, memiliki
penanggung jawab dan tim yang telah disepakati, dan berkoordinasi erat dengan Subklaster
Perlindungan Hak Perempuan dan KBG (PHP-KBG). Penanggung jawab komponen
mencegah kekerasan seksual dan merespon kebutuhan penyintas segera melakukan
langkah-langkah berikut:
1. Mengidentifikasi dan membentuk tim yang terdiri dari tenaga profesional kesehatan
dan anggota masyarakat yang perlu terlibat dalam penanganan penyintas kekerasan
seksual
2. Mengadakan pertemuan dengan tenaga kesehatan dan anggota masyarakat untuk
melakukan koordinasi
3. Mengidentifikasi dan membuat jaringan untuk sistem rujukan dengan berbagai
sektor yang terlibat dalam penanganan kekerasan seksual (komunitas, kesehatan,
keamanan, pemulihan, hukum dan perlindungan)
4. Mengidentifikasi sumber daya yang tersedia (obat-obatan, fasilitas laboratorium),
dan hukum dan aturan yang relevan, kebijakan dan prosedur hukum, dll)
5. Membuat prosedur/alur layanan kesehatan sesuai situasi darurat
6. Melakukan penguatan kapasitas bagi penyedia layanan terkait prosedur dan
pedoman, termasuk pendokumentasian hasil pemeriksaan untuk keperluan proses
hukum.

31
MATERI POKOK 3. HAK-HAK KORBAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN
ANAK TERMASUK KORBAN TPPO SESUAI KEBUTUHAN/PERUNDANG-UNDANGAN
YANG BERLAKU

Berbagai peraturan perundang-undangan khusus yang telah dijelaskan sebelumnya memuat


tentang kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah dalam upaya perlindungan dan
pemenuhan hak-hak korban, dalam rangka pemulihan bagi mereka secara komprehensif. Hal ini
telah ditindaklanjuti dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh masing-masing
kementerian lembaga dan instansi terkait yang kemudian menjadi acuan bagi pemerintah
daerah dalam menyelenggarakan pelayanan bagi korban.
Saat ini peraturan yang mengatur tentang pemenuhan hak korban dapat merujuk pada pada
beberapa perundang-undangan yang berlaku:

Hak-hak Korban Kekerasan terhadap Perempuan, Anak dan TPPO diatur dalam:

1. Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
dan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Korban perempuan maupun anak berhak mendapatkan:


a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga
sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani.

Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.

Setiap perempuan dan anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:


a. tenaga kesehatan;
b. pekerja sosial;
c. relawan pendamping;
d. pembimbing rohani.

2. Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Perdagangan Orang/PTPPO

32
Penanganan Korban TPPO:
a. Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan
reintergrasi sosial dari pemerintah apabila bersangkutan mengalami penderitaan baik
fisik maupun psikis akibat perdagangan orang.
b. Hak-hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban atau keluarga
korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja social setelah
korban melaporkan kasus yang dialaminya atau pihak lain melaporkannya kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
c. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada pemerintah melalui
menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah.

33
RANGKUMAN

● Gender adalah bentukan, konstruksi atau interpretasi masyarakat atas perbedaan kondisi
biologis laki-laki dan perempuan dan bukan sesuatu yang telah dibawa dan ditetapkan sejak
lahir, melainkan dibentuk, dikembangkan dan dimantapkan sendiri oleh masyarakat.
Kesenjangan peran, fungsi, hak dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki dalam
kehidupan kelompok dan masyarakat menyebabkan terjadinya bias gender yang
berimplikasi kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk tindak pidana perorangan.
● Kekerasan terhadap perempuan dapat kita kategorikan menurut tempat kejadian
(domestic, public dan daerah konflik atau pengungsian); jenis (fisik, psikologis/emosional,
kekerasan ekonomi/penelantaran; kekerasan Seksual, perdagangan orang), pelakunya
(individual, kelompok, massal) dan berdasarkan fase kehidupan. Menurut Undang-undang
No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, korban berhak
mendapatkan perlindungan, pelayanan kesehatan, penanganan secara khusus, dan
pelayanan bimbingan rohani.
● Kekerasan terhadap anak akan berdampak pada tumbuh dan kembangnya.
● Sunat perempuan merupakan salah satu bentuk tindakan kekerasan terhadap perempuan
dan anak, karena itu dilarang melakukannya, termasuk petugas kesehatan.
● Suatu tindak kekerasan dikategorikan sebagai kasus TPPO, harus memenuhi tiga unsur,
yaitu PROSES, CARA dan TUJUAN. Menurut Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang/PTPPO, korban berhak memperoleh
rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintergrasi sosial dari
pemerintah apabila bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat
perdagangan orang.

34
C. Daftar Pustaka

Banović B, Bjelajac Z. Traumatic experiences, psychophysical consequences and needs of


human trafficking victims. Vojnosanitetski pregled. Military-medical and pharmaceutical
review [Internet]. 2012 Jan [cited 2012 May 18];69(1):94–7. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22397304

Depkes RI dan UNFPA. 2004. Modul Pelatihan Penanggulangan Kekerasan terhadap


Perempuan di Daerah Krisis/Situasi Konflik. Jakarta.

Kemenkes RI dan UNFPA, 2022. Panduan Tata Laksana Klinis Kasus Kekerasan Seksual
pada Situasi Krisis Kesehatan, Jakarta.

Depkes RI dan Yayasan Pulih. 2006. Modul Pelatihan Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan terhadap Perempuan (PP-KtP) di Bidang Kesehatan. Jakarta.

Depkes RI. 2008. Buku Pintar Gender: Panduan Pelayanan Sensitif Gender bagi Petugas
Kesehatan. Jakarta.

IOM. 2007. The IOM Handbook on Direct Assistance for Victims of Trafficking. Geneva.

IOM, LSHTM, United Nations Global Initiative to Fight Trafficking in Persons (UN.GIFT).
2009. Caring for Trafficked Persons Guidance for Health Providers.

Shigekane R. Rehabilitation and Community Integration of Trafficking Survivors in the


United States. Human Rights Quarterly [Internet]. Baltimore, Baltimore; 2007;29(1):112–
0_2. Available from: http://search.proquest.com/docview/204517268?accountid=8330

UN. 2000. Protocol to prevent, suppress, and punish trafficking in persons especially
women and children, supplementing the United Nations Convention Against Transnational
Organized Crime [Internet]. Available from:
http://www.uncjin.org/Documents/Conventions/dcatoc/final_documents_2/convention_
traff_eng.pdf

UN Office on Drugs and Crime. 2009. Global Report on Trafficking in Person. New York.

Yakushko O. Human Trafficking: A Review for Mental Health Professionals. International


Journal for the Advancement of Counselling [Internet]. The Hague, Netherlands, The Hague;
2009;31(3):158–67. Available from: http://search.proquest.com/docview/220021031?
accountid=8330

Zimmerman C, Hossain M, Yun K, Gajdadziev V, Guzun N, Tchomarova M, et al. The health of


trafficked women: a survey of women entering posttrafficking services in Europe. American
journal of public health [Internet]. 2008 Jan [cited 2012 Mar 17]; 98 (1):55–9. Available
from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=2156078&tool=pmcentrez&rendertype=abstract
Zimmerman C, Yun K, Shvab I, Watts C, Trappolin L, Trepette M. The health risk and
consequences of trafficking in women and adolescent: Findings from a European Study.
London; 2003.

35
MATERI PELATIHAN INTI 1 (MPI 1): ASPEK HUKUM DAN ETIKA
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK TERMASUK
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

36
A. Tentang Modul Ini

1. Deskripsi Singkat

Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KtP/A), termasuk Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO), merupakan kasus dimana sektor kesehatan bersinggungan
dengan proses penegakan hukum dan etika sehingga penting bagi petugas kesehatan untuk
mengetahui aspek hukum dan etika terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak,
termasuk tindak pidana perdagangan orang.
Modul ini akan membahas tentang: Aspek hukum kekerasan terhadap perempuan;
Aspek hukum kekerasan terhadap anak; Aspek hukum tindak pidana perdagangan orang
dan Etika pemberian informasi dan perlindungan saksi pada kasus KtP/A termasuk TPPO.

2. Tujuan Pembelajaran

a. Hasil Belajar
Setelah mengikuti materi, peserta memahami aspek hukum dan etika KtP/A
termasuk TPPO.

b. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti pembelajaran, peserta mampu:
1. Menjelaskan aspek hukum kekerasan terhadap perempuan
2. Menjelaskan aspek hukum kekerasan terhadap anak
3. Menjelaskan aspek hukum tindak pidana perdagangan orang
4. Menjelaskan etika pemberian informasi dan perlindungan saksi pada kasus
KtP/A termasuk TPPO

3. Materi Pokok

Dalam modul ini akan dibahas materi pokok sebagai berikut:


1) Materi Pokok 1. Aspek hukum kekerasan terhadap perempuan
2) Materi Pokok 2. Aspek hukum kekerasan terhadap anak
3) Materi Pokok 3. Aspek hukum tindak pidana perdagangan orang
4) Materi Pokok 4. Etika pemberian informasi dan perlindungan saksi pada
kasus KtP/A termasuk TPPO

37
B. Kegiatan Belajar

MATERI POKOK 1. ASPEK HUKUM KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Sumber hukum utama terkait kekerasan terhadap perempuan meliputi:


a. UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU
PKDRT)
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 285-286

Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang tersebut di atas meliputi:


1. Pengertian
Pengertian kekerasan terhadap perempuan tercakup dalam pengertian kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang
PKDRT. Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang,
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaraan rumah tangga, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga (UU 23/2004 Pasal 1 Ayat 1).

2. Ruang lingkup
Berdasarkan UU 23/2004 Pasal 2, lingkup rumah tangga meliputi:
a. Suami, istri dan anak;
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan
dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut. Orang yang bekerja tersebut dipandang sebagai anggota keluarga dalam
jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

3. Jenis kekerasan
Jenis kekerasan yang termasuk dalam kategori KDRT menurut UU 23/2004 Pasal 5 meliputi:
a. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka
berat (Pasal 6).
Kekerasan fisik yang dapat dikenai sanksi hukum terdiri dari (Pasal 44):
1) Setiap perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga;
2) Kekerasan fisik yang mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat;
3) Kekerasan fisik yang mengakibatkan korban meninggal dunia; dan
4) Kekerasan fisik dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya, yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau kegiatan
sehari-hari.

b. Kekerasan psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7).
Kekerasan psikis yang dapat diancam dengan sanksi hukum terdiri dari (Pasal 45):
1) Setiap perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga; dan

38
2) Kekerasan psikis dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya, yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau kegiatan
sehari-hari.

c. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual meliputi (Pasal 8):
1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut; atau
2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Berdasarkan UU 23/2004 Pasal 46-48 dan KUHP Pasal 285-286, kekerasan seksual
yang dapat diancam dengan sanksi hukum terdiri dari:

1) Setiap perbuatan kekerasan seksual;


2) Pemaksaan orang yang menetap dalam rumah tangga untuk melakukan hubungan
seksual;
3) Perbuatan kekerasan seksual yang mengakibatkan korban:
● Mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali;
● Mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4
(empat) minggu terus-menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut;
● Gugur atau matinya janin dalam kandungan; atau
● Mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi.
4) Pemaksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap seorang
perempuan untuk bersetubuh di luar perkawinan
5) Persetubuhan di luar perkawinan dengan perempuan yang sedang pingsan atau
tidak berdaya.

d. Penelantaran
Penelantaran yang diatur dan yang dapat diancam sanksi hukum meliputi (Pasal 9 dan
49):
1) Tindakan seseorang yang tidak memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang dalam lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum
yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
2) Tindakan seseorang yang mengakibatkan orang lain bergantung secara ekonomi
dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau
di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

4. Sanksi Tindak Kekerasan


UU 23 tahun 2004 mengatur penjatuhan sanksi pidana bagi tindak kekerasan, yang
meliputi:
a. Pidana penjara
b. Denda

No Keterangan Pidana Denda


1 Kekerasan fisik Paling lama 5 tahun Paling banyak
Rp15.000.000
2 Luka berat Paling lama 10 tahun Paling banyak

39
No Keterangan Pidana Denda
Rp 30.000.000
3 Korban meninggal Paling lama 15 tahun Paling banyak
Rp 45.000.000
4 Kekerasan psikis Paling lama 3 tahun Paling banyak
Rp 9.000.000
5 Penyakit yang tidak mengganggu Paling lama 4 bulan Paling banyak
kegiatan sehari-hari Rp 5.000.000
6 Kekerasan psikis yang tidak Paling lama 4 bulan Paling banyak
menimbulkan penyakit Rp 3.000.000
7 Kekerasan seksual Paling lama 12 tahun Paling banyak
Rp 36.000.000
8 Memaksa orang melakukan Paling singkat 4 Paling sedikit
hubungan seksual tahun dan paling Rp12.000.000
lama 15 tahun dan paling banyak
Rp 300.000.000
9 Luka permanen, gangguan jiwa, Paling singkat 5 Paling sedikit
keguguran, tidak berfungsinya tahun dan paling Rp 25.000.000 dan
alat reproduksi lama 20 tahun paling banyak
Rp 500.000.000
10 Menelantarkan orang lain Paling lama 3 tahun Paling banyak
Rp 15.000.000

5. Tugas Tenaga Kesehatan


Terkait penanganan korban KDRT, UU 23/2004 Pasal 29 dan 40 mewajibkan petugas
kesehatan untuk:
a. Tahap Perlindungan Korban
1) Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;
2) Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et
repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang
memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti; dan
3) Memberikan pelayanan medis di fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah,
pemerintah daerah, atau masyarakat.
b. Tahap Pemulihan Korban
1) Memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya; dan
2) Memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban apabila korban memerlukan
perawatan.

40
MATERI POKOK 2. ASPEK HUKUM KEKERASAN TERHADAP ANAK

Sumber hukum utama terkait kekerasan terhadap anak meliputi:


1. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, beserta perubahannya, yaitu:
a. UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
b. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
c. Undang-undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-
Undang.
2. UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU
PKDRT)
3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 305-308

Hal-hal yang diatur dalam UU Perlindungan Anak (UU Nomor 23 Tahun 2002 dan perubahan-
perubahannya) tersebut di atas meliputi:
1. Pengertian
Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2014, kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan
terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis,
seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kewajiban
Pemberi Layanan Kesehatan Untuk Memberikan Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan
Terhadap Anak, kekerasan terhadap anak adalah semua bentuk tindakan/perlakuan yang
menyakitkan secara fisik, psikis, seksual atau penelantaran, yang mengakibatkan atau dapat
mengakibatkan cidera/kerugian nyata terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak,
tumbuh kembang anak atau martabat anak.

2. Ruang lingkup
Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2002, anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Lingkup yang sangat terkait dengan perlindungan anak adalah:
● Orang tua, yaitu ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah
dan/atau ibu angkat.
● Wali, yaitu orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh
sebagai orang tua terhadap anak.
● Keluarga, yaitu unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami
istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah
dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.

3. Jenis kekerasan
Perlakuan terhadap anak yang dapat dianggap melanggar perlindungan anak sebagaimana
diatur dalam UU Perlindungan Anak meliputi:
a. Perlakuan diskriminatif
b. Perlakuan salah dan penelantaran
c. Perlakuan kekerasan fisik
d. Kekerasan seksual, meliputi persetubuhan atau perbuatan cabul

41
e. Penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan anak
f. Penghalangan praktik berbudaya, beragama, dan/atau berbahasa
g. Perekrutan untuk kepentingan militer
h. Pembiaran anak tanpa perlindungan jiwa
i. Eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual
j. Aborsi dengan alasan dan tata cara yang tidak dibenarkan peraturan perundang-
undangan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kewajiban


Pemberi Layanan Kesehatan Untuk Memberikan Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan
Terhadap Anak, kekerasan terhadap anak meliputi:
a. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata ataupun
potensial terhadap anak sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi yang
layaknya ada dalam kendali orangtua atau orang dalam hubungan posisi tanggung
jawab, kepercayaan atau kekuasaan.

Kekerasan fisik yang dapat diancam dengan sanksi hukum (UU Perlindungan Anak)
terdiri dari:
1) Kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, penganiayaan;
2) Kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, penganiayaan yang mengakibatkan
luka berat; dan
3) Kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, penganiayaan yang mengakibatkan
kematian.

b. Kekerasan psikis
Kekerasan psikis merupakan perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan atau
sangat mungkin akan mengakibatkan gangguan kesehatan atau perkembangan fisik,
mental, spiritual, moral dan sosial. Kekerasan psikis dapat berupa pembatasan gerak,
sikap tindak yang meremehkan, mencemarkan, mengkambinghitamkan, mengancam,
menakut-nakuti, mendiskriminasi, mengejek atau menertawakan anak, atau perlakuan
kasar lain atau penolakan.

Kekerasan psikis yang dapat diancam dengan sanksi hukum (UU Perlindungan Anak)
terdiri dari:
1) Perlakuan anak secara diskriminatif yang mengakibatkan anak mengalami
kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya
2) Perlakuan anak penyandang disabilitas secara diskriminatif
3) Perlakuan salah

c. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual merupakan pelibatan anak dalam kegiatan seksual, dimana ia sendiri
tidak sepenuhnya memahami atau tidak mampu memberi persetujuan, yang ditandai
dengan adanya aktivitas seksual antara anak dengan orang dewasa atau anak lain
dengan tujuan untuk memberikan kepuasan bagi orang tersebut.

Kekerasan seksual yang dapat diancam dengan sanksi hukum (UU Perlindungan Anak)
terdiri dari:

42
1) Melakukan pemaksaan, penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan, tipu
muslihat, kebohongan, atau pembujukan terhadap anak untuk melakukan
persetubuhan dengan pelaku maupun orang lain.
2) Melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul terhadap anak dengan
pemaksaan, penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan, tipu muslihat,
kebohongan, atau pembujukan.

d. Penelantaran
Penelantaran merupakan kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang
dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak yang bukan disebabkan oleh karena
keterbatasan sumber daya.

Berdasarkan Permenkes 68/2013, jenis penelantaran dapat berupa:


1) Kegagalan pemenuhan kebutuhan kesehatan
2) Kegagalan pemenuhan kebutuhan pendidikan
3) Kegagalan pemenuhan kebutuhanperkembangan emosional
4) Kegagalan pemenuhan kebutuhan nutrisi
5) Kegagalan pemenuhan kebutuhan rumah atau tempat bernaung
6) Kegagalan pemenuhan kebutuhan hidup yang aman dan layak

4. Sanksi Hukum
Sanksi hukum bagi pelaku kekerasan terhadap anak meliputi:
a. Pidana penjara
b. Denda
c. Pemberatan hukuman, berupa:
1) Tambahan pidana penjara;
2) Tambahan denda;
3) Pengumuman identitas pelaku;
4) Kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi; dan/atau
5) Pemasangan alat pendeteksi elektronik

Sanksi pemberatan hukuman dapat dikenakan pada kasus:


a. Kekerasan fisik terhadap anak dilakukan oleh orangtua
b. Kekerasan seksual (persetubuhan, perbuatan cabul) dilakukan oleh orang tua, wali,
keluarga, pengasuh, pendidik, aparat perlindungan anak, pelaku berkelompok lebih dari
satu orang, atau pelaku berulang
c. Kekerasan seksual (persetubuhan, perbuatan cabul) yang mengakibatkan korban lebih
dari satu anak, luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, gangguan/hilangnya fungsi
reproduksi, dan/atau kematian korban.

No. Keterangan Pidana Denda


1 Kekerasan seksual paling singkat 5 tahun Paling Banyak
dan paling lama 15 Rp 5.000.000.000
tahun
2 Kekerasan fisik paling lama 3 tahun 6 Paling banyak
bulan Rp 72.000.000

43
3 Kekerasan fisik paling lama 5 tahun Paling banyak
menyebabkan luka berat Rp 100.000.000
4 Kekerasan fisik paling lama 15 tahun Paling banyak
menyebabkan kematian Rp 3.000.000.000

5 Perdagangan anak paling singkat 3 tahun Paling banyak


dan paling lama 15 Rp 300.000.000
tahun

6 Penelantaran anak paling lama 5 tahun Paling banyak


Rp 100.000.000

7 Jual beli organ tubuh anak paling lama 15 tahun Paling banyak
Rp 300.000.000
8 pengambilan organ tubuh paling lama 10 tahun Paling banyak
Rp 200.000.000

Sanksi bagi anak yang berkonflik dengan hukum diatur melalui Sistem Peradilan Pidana
Anak (SPPA) yang diatur melalui undang-undang nomor 11 tahun 2012.
SPPA adalah Keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan
hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani
pidana. Sedangkan anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12
(dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana.

Dalam SPPA juga dikenal istilah diversi yaitu pengalihan penyelesaian perkara Anak dari
prosesperadilanpidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi bertujuan untuk:
1. Mencapai perdamaian antara korban dan anak;
2. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
3. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi
5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak
(Ketentuan Pelaksanaan Diversi dapat dilihat pada UU nomor 11 tahun 2012)

5. Tugas Tenaga Kesehatan


Terkait penanganan anak korban kekerasan, Permenkes 68/2013 mewajibkan petugas
kesehatan untuk:
a. Memberikan pertolongan pertama;
b. Memberikan konseling awal;
c. Menjelaskan kepada orang tua anak tentang keadaan anak dan dugaan penyebabnya,
serta mendiskusikan langkah-langkah ke depan;
d. Melakukan rujukan apabila diperlukan;
e. Memastikan keselamatan anak;
f. Melakukan pencatatan lengkap di dalam rekam medis serta siap untuk membuat Visum
et Repertum apabila diminta secara resmi; dan
g. Memberikan informasi kepada kepolisian.

44
MATERI POKOK 3. ASPEK HUKUM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Sumber hukum utama terkait Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) meliputi:
a. UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
b. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, beserta perubahannya, yaitu UU
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 297 dan 324

Hal-hal yang diatur dalam UU TPPO meliputi:


a. Pengertian
Berdasarkan UU TPPO, perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran
atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas
orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk
tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

b. Jenis TPPO
Jenis TPPO yang diatur dalam UU TPPO meliputi:
1) Pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan
atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk
tujuan mengeksploitasi orang tersebut
2) Kegiatan memasukkan orang ke wilayah Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi
di wilayah Indonesia atau dieksploitasi di negara lain
3) Kegiatan membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah Indonesia dengan maksud
untuk dieksploitasi di luar wilayah Indonesia
4) Pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan
maksud untuk dieksploitasi
5) Pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apapun yang mengakibatkan
anak tersebut tereksploitasi
6) Kegiatan lain yang mendukung terjadinya TPPO, misal:
a) Menggerakkan orang lain supaya melakukan TPPO
b) Membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan TPPO
c) Merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan TPPO
d) Menggunakan atau memanfaatkan korban TPPO dengan cara melakukan
persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban, mempekerjakan
korban untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari
hasil TPPO
e) Memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau
dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk
mempermudah terjadinya TPPO

c. Sanksi Hukum
Sanksi hukum bagi pelaku TPPO yang diatur dalam UU TPPO meliputi:
1) Pidana penjara
2) Pidana denda
45
3) Pemberatan hukuman, berupa:
a) Tambahan pidana penjara;
b) Tambahan pidana denda;

Sanksi pemberatan hukuman dapat dikenakan pada kasus:


a) TPPO yang mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit
menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau
hilangnya fungsi reproduksinya
b) TPPO yang mengakibatkan kematian korban
c) Penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan
terjadinya TPPO
d) TPPO yang dilakukan oleh korporasi
e) TPPO yang dilakukan oleh kelompok terorganisasi
f) TPPO yang dilakukan terhadap anak

d. Tugas Tenaga Kesehatan


UU TPPO mewajibkan petugas kesehatan untuk:
1) Memberikan rehabilitasi kesehatan
2) Memberikan pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan
diajukan

46
MATERI POKOK 4. ETIKA PEMBERIAN INFORMASI DAN PERLINDUNGAN SAKSI PADA
KASUS KTP/A TERMASUK TPPO

Rujukan utama terkait etika pemberian informasi dan perlindungan sanksi pada kasus KtP/A
termasuk TPPO meliputi:
1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kewajiban Pemberi Layanan
Kesehatan Untuk Memberikan Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan Terhadap Anak
2. Kode Etik Kedokteran Indonesia
3. Kode Etik Keperawatan Indonesia
4. Kode Etik Kebidanan Indonesia

Ruang lingkup bahasan:


1. Ketentuan Etika Terkait Pemberian Informasi dan Perlindungan Saksi pada Kasus
KtP/A
Ketentuan umum etika:
Kode etik profesi kesehatan, termasuk dokter, perawat, dan bidan, mewajibkan tenaga
kesehatan untuk merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien.
Ketentuan pengecualian:
a. Kode Etik Keperawatan dan Kode Etik Kebidanan mengecualikan kewajiban
menyimpan rahasia pasien jika diperlukan oleh pihak berwenang sesuai ketentuan
hukum.
b. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kewajiban Pemberi
Layanan Kesehatan Untuk Memberikan Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan
Terhadap Anak mewajibkan seluruh setiap pemberi layanan kesehatan yang memberi
pelayanan kesehatan kepada anak yang diduga menjadi anak korban kekerasan
berkewajiban memberikan informasi kepada kepolisian.

2. Hal-hal yang perlu diperhatikan terkait pemberian informasi atas adanya dugaan
kekerasan terhadap anak
a. Pemberian informasi kepada kepolisian dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis.
b. Pemberian informasi paling sedikit berisi tentang: a) umur dan jenis kelamin korban; b)
nama dan alamat pemberi pelayanan kesehatan; dan/atau c) waktu pemeriksaan
kesehatan.
c. Pemberi layanan kesehatan yang memberikan informasi adanya dugaan anak korban
KtA berkedudukan sebagai pemberi informasi, bukan sebagai saksi pelapor.
d. Pemberi layanan kesehatan yang memberikan informasi adanya dugaan anak korban
KtA berhak mendapat perlindungan hukum.

Sampai disini peserta dapat mengerjakan penugasan.


Diskusi kelompok, sesuai dengan petunjuk diskusi yang
ada pada panduan fasilitator.

47
RANGKUMAN

Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KtP/A), termasuk Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO) merupakan tindakan yang dapat diancam pidana, hal ini diatur
dalam perundang-undangan.

48
C. Daftar Pustaka

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kode Etik Kedokteran Indonesia

Kode Etik Kebidanan Indonesia

Kode Etik Keperawatan Indonesia

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, beserta perubahannya:

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor


23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang


Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah


Tangga

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan


Orang

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kewajiban Pemberi Layanan
Kesehatan untuk Memberikan Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan Terhadap Anak

49
MATERI PELATIHAN INTI 2 (MPI 2): DETEKSI DINI KORBAN
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK TERMASUK
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

50
A. Tentang Modul Ini

1. Deskripsi Singkat
Pada penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KtP/A), termasuk
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), keterampilan dalam melakukan deteksi dini
sangatlah penting. Pada umumnya, mereka yang mengalami kekerasan enggan untuk
menceritakan masalahnya kepada orang lain. Petugas kesehatan di Puskesmas, sebagai pintu
pertama pemberian layanan kepada masyarakat, diharapkan dapat memiliki keterampilan
untuk mendeteksi korban yang di duga mengalami kekerasan.
Modul ini akan membahas tentang: Skrining kasus kekerasan terhadap perempuan
dan anak dan Penggalian informasi kekerasan terhadap perempuan dan anak.

2. Tujuan Pembelajaran
a. Hasil Belajar
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu melakukan deteksi dini terhadap korban
kekerasan perempuan dan anak.
b. Indikator Hasil Belajar
Setelah selesai mengikuti pelatihan ini, peserta mampu:
1. Melakukan skrining kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
2. Melakukan penggalian informasi kekerasan terhadap perempuan dan anak.

3. Materi Pokok
1) Materi Pokok 1. Skrining kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
2) Materi Pokok 2. Penggalian informasi kekerasan terhadap perempuan dan anak.

51
B. Kegiatan Belajar

MATERI POKOK 1. SKRINING KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK.

Deteksi dini kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk TPPO, adalah upaya
yang dilakukan untuk mengetahui sedini mungkin apakah seseorang (perempuan atau anak)
termasuk korban kekerasan, agar segera dapat dilakukan tindakan yang tepat untuk menolong
korban. Deteksi dini tersebut dilakukan dengan skrining dan penggalian informasi.
Skrining kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, adalah pemeriksaan awal yang
dilakukan oleh petugas kesehatan yang terlatih terhadap perempuan dan anak yang diduga
atau dicurigasi mengalami tindakan kekerasan. Skrining dapat dilakukan dengan cara melihat,
memeriksa atau mengenali tanda-tanda yang ditemukan pada korban.

A. Tanda-Tanda Pada Korban Perempuan Dewasa


▪ Ketidaknyamanan yang terlihat ketika membicarakan hubungan dalam rumah tangga
▪ Kehadiran pasangan yang selalu menemani dalam ruang periksa, menguasai/ mendominasi
pembicaraan, terlalu perhatian dan tidak meninggalkan korban dengan petugas kesehatan
sedikitpun
▪ Korban berkali-kali datang dengan keluhan yang tidak jelas
▪ Korban yang mengeluh masalah kesehatan yang diasosiasikan dengan kekerasan
▪ Luka atau memar yang tidak dapat dijelaskan dengan baik dan tidak konsisten dengan latar
belakang kejadian
▪ Adanya keluhan subyektif namun tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisiknya
(keluhan somatik)
▪ Adanya gejala Post Traumatic Syndrome Disorders (PTSD)
▪ Bisa ditemukan adanya reaksi konversi (Histerical Convertion/Reaction) yaitu kejang yang
diakibatkan bukan karena adanya gangguan fungsi organ.
▪ Adanya jeda antara sebuah luka/memar dengan waktu datang ke puskesmas untuk
mencari bantuan
▪ Luka/memar di kepala, leher, dada, payudara, daerah di bawah perut atau daerah alat
kemaluan
▪ Adanya luka/memar di beberapa tempat sekaligus dalam kondisi kesembuhan yang
bervariasi
▪ Luka/memar pada saat hamil, terutama di payudara dan daerah di bawah perut
▪ Kesakitan kronis tanpa sebab yang jelas
▪ Seringnya berkunjung ke Puskesmas, bisa saja ke dokter spesialis yang berbeda-beda
▪ Mengalami bermacam-macam Infeksi Menular Seksual (IMS), infeksi urin dan vaginal.
▪ Kehamilan yang tidak diinginkan
▪ Keguguran dan aborsi
▪ Percobaan bunuh diri
Jika korban bukan merupakan rujukan dari institusi berwenang, tetapi dicurigai sebagai
korban kekerasan, petugas dapat menggunakan formulir Skrining kekerasan pada perempuan
(Woman Abuse Screening Tools/WAST). Formulir tersebut berisi beberapa pertanyaan skrining
yang bisa dipakai untuk mengidentifikasi korban kekerasan terhadap perempuan (jika ada 1
jawaban yang positif, termasuk kadang-kadang, sebaiknya pasien dirujuk ke petugas
terlatih/yang ditunjuk untuk melayani korban KtP/A). Tetapi WHO tidak merekomendasikan
untuk melakukan skrining secara rutin bagi semua perempuan yang datang ke fasilitas
kesehatan.

52
Formulir Skrining Kekerasan pada Perempuan (Woman Abuse Screening Tools/WAST)
No. Responden :
Umur :
Tempat wawancara :
Berilah tanda cek (√) di depan jawaban yang sesuai dengan kondisi Ibu
1. Secara umum, bagaimana Ibu menggambarkan hubungan Ibu dengan
pasangan?
Penuh ketegangan Agak ada ketegangan Tanpa ketegangan
2. Apakah Ibu dan pasangan Ibu mengatasi pertengkaran mulut dengan Sangat
kesulitan Agak kesulitan Tanpa kesulitan
3. Apakah pertengkaran mulut mengakibatkan Ibu merasa direndahkan atau merasa
tidak nyaman dengan diri sendiri?
Sering Kadang-kadang Tidak pernah
4. Apakah pertengkaran mulut mengakibatkan pasangan Ibu memukul,
menendang, atau mendorong?
Sering Kadang-kadang Tidak pernah
5. Apakah Ibu merasa ketakutan terhadap apa yang dikatakan atau dilakukan oleh
pasangan Ibu?
Sering Kadang-kadang Tidak pernah
6. Apakah Ibu merasa dibatasi dalam mengatur pembelanjaan rumah tangga? Sering
Kadang-kadang Tidak pernah

B. Tanda-Tanda Pada Korban Anak dan Remaja

Semua tanda-tanda pada korban perempuan dewasa, ditambah dengan:


1. Masalah perkembangan dan tingkah laku, seperti kemunduran perkembangan (kembali
ngompol, bertingkah tidak sesuai dengan usianya dan atau sifat-sifat sebelumnya, dll).
2. Luka/memar yang tidak sesuai dengan waktu kejadian.
3. Masalah psikologis seperti masalah dalam membina kedekatan dengan orang dewasa
(attachment problems), kecemasan, kelainan tidur atau makan, serangan panik dan
masalah penyalahgunaan zat adiktif.
4. Tanda-tanda kemungkinan terjadinya emotional abuse pada anak
Gejala-gejala fisik dari emotional abuse seringkali tidak sejelas gejala-gejala kekerasan
lainnya. Penampilan anak seringkali tidak memperlihatkan derajat penderitaan yang
dialaminya. Cara berpakaian, keadaan gizi, dan kondisi fisik pada umumnya cukup
memadai, namun ekspresi wajah, gerak-gerik bahasa tubuh seringkali dapat
mengungkapkan adanya kesedihan, keraguan diri, kebingungan, kecemasan, ketakutan
atau amarah yang terpendam.
5. Tanda-tanda kemungkinan terjadinya penelantaran (neglect) pada anak

53
▪ Gagal tumbuh fisik maupun mental
▪ Malnutrisi, tanpa dasar organik yang sesuai
▪ Dehidrasi
▪ Luka atau penyakit yang dibiarkan tidak diobati
▪ Kulit kotor tidak terawat, rambut dengan kutu-kutu
▪ Pakaian lusuh dan kotor
▪ Keterlambatan perkembangan
▪ Keadaan umum yang lemah, letargik, lelah berkepanjangan

6. Kecurigaan adanya kekerasan fisik

a. Memar dan bilur


1) Pada wajah, bibir/mulut, bagian tubuh lainnya.
2) Terdapat memar/bilur yang baru dan yang sudah mulai menyembuh
3) Corak memar/bilur menunjukkan benda tertentu
b. Luka lecet dan luka robek
1) Di mulut, bibir, mata, kuping, lengan, tangan, dsb.
2) Di genetalia
3) Luka akibat gigitan oleh manusia
4) Terdapat baik luka yang baru atau yang berulang
c. Patah tulang
1) Pada anak di bawah tiga tahun
2) Patah tulang baru dan lama (dalam penyembuhan) yang ditemukan bersamaan
3) Patah tulang ganda
4) Patah tulang spiral pada tulang-tulang panjang lengan dan tungkai.
5) Patah tulang pada kepala, rahang, hidung dan gigi.
d. Luka bakar
1) Bekas sundutan rokok
2) Luka bakar pada tangan, kaki atau bokong
3) Bentuk luka yang khas sesuai dengan bentuk benda panas
e. Cedera pada kepala
1) Perdarahan subkutan dan atau subdural
2) Bercak/area kebotakan akibat tertariknya rambut
3) Terdapat baik yang baru atau berulang
f. Lain-lain
1) Dislokasi pada sendi bahu atau pinggul
2) Tanda-tanda luka yang berulang

7. Kecurigaan adanya kekerasan seksual:


a. Adanya gejala/penyakit infeksi menular seksual (IMS)
b. Infeksi vagina rekuren pada anak < 12 tahun
c. Nyeri/perdarahan/sekret dari vagina
d. Nyeri /gangguan pengendalian BAB dan BAK
e. Cedera pada buah dada, bokong, perut bagian bawah, paha, sekitar alat kelamin atau
dubur
f. Pakaian dalam robek atau bercak darah dalam pakaian dalam
g. Ditemukan cairan mani di sekitar mulut, genital, anus atau pakaian

8. Kecurigaan adanya kekerasan Psikis:


a. Takut berlebihan

54
b. Siaga berlebihan
c. Panik
d. Perubahan sikap dari periang menjadi pendiam
e. Kemunduran perkembangan (misal; kembali ngompol).

Catatan bagi petugas kesehatan:


Apabila Anda sebagai petugas kesehatan mencurigai adanya KtP atau KtA, namun
korban Sampai
terlihat disini peserta
tidak ingin dapat mengerjakan
mengungkapkan penugasan
atau melapor, Anda dapat
1. Latihan kasus, sesuai dengan petunjuk penugasan
memberikan beberapa nomor telepon (hotline, layanan psikologis, layanan
yang ada pada panduan fasilitator.

55
MATERI POKOK 2. PENGGALIAN INFORMASI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
DAN ANAK.

Setelah petugas melakukan skrining korban kekerasan (KtP/KtA), langkah selanjutnya adalah
melakukan penggalian informasi kepada korban dan atau pendamping korban.
Informasi yang harus digali dari korban kekerasan atau pendamping, adalah:
1. Faktor risiko kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk TPPO
2. Perilaku dan emosi sebagai dampak kekerasan pada anak

A. Faktor risiko KtP/A termasuk TPPO


Dalam upaya mendapatkan informasi yang lengkap pada kecurigaan kasus KtP/A termasuk
TPPO penting diketahui faktor-faktor risiko yang dapat melatar belakangi terjadinya
kekerasan. Faktor risiko adalah faktor yang dapat berkontribusi untuk terjadinya suatu
masalah atau kejadian.

1. Faktor risiko kekerasan terhadap Perempuan


a. Faktor Individu
Termasuk ke dalamnya adalah pernah mengalami kekerasan semasa kanak-kanak,
menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga antara suami-istri, tidak adanya atau
penolakan terhadap figur ayah, atau kebiasaan minum alkohol.
b. Faktor hubungan atau interaksi dengan pasangan
Faktor penentunya antara lain konflik dalam perkawinan dan kendali laki-laki
terhadap harta dan pengambilan keputusan dalam keluarga.
c. Faktor lingkungan kecil
Pengisolasian perempuan dan kurang dukungan sosial disamping kelompok laki-
laki sebaya yang menerima budaya kekerasan sangat berpengaruh terhadap
terjadinya kekerasan.
d. Faktor masyarakat luas
Faktor yang berpengaruh antara lain pemaksaan konsep gender, maskulinitas yang
berkaitan dengan kekerasan, adanya dominasi atas perempuan, budaya permisif
terhadap hukuman fisik bagi perempuan dan anak.

2. Faktor risiko kekerasan terhadap Anak


Faktor – faktor risiko terhadap kejadian KtA dapat ditinjau dari 3 aspek, yaitu faktor
masyarakat atau sosial, faktor orang tua atau situasi keluarga dan faktor anak. Faktor –
faktor risiko tersebut adalah:
a. Faktor Masyarakat / Sosial
● Tingkat kriminalitas yang tinggi
● Layanan sosial yang rendah
● Kemiskinan yang tinggi
● Tingkat pengangguran yang tinggi
● Adat istiadat mengenai pola asuh anak
● Pengaruh pergeseran budaya
● Stres pada pengasuh anak
● Budaya memberikan hukuman badan kepada anak
● Pengaruh media masa
b. Faktor Orang Tua atau Situasi Keluarga

56
● Riwayat orang tua dengan kekerasan fisik atau seksual pada masa kecil, orang
tua atau orang dewasa yang pernah mengalami pengania yaan dimasa kecilnya
dapat beranggapan bahwa tindakan tersebut wajar dilakukan terhadap anak.
● Orang tua yang masih remaja
● Imaturitas emosi
● Kurangnya kemampuan merawat anak
● Kepercayaan diri yang rendah
● Dukungan sosial rendah
● Keterasingan dari masyarakat
● Kemiskinan
● Kepadatan hunian (rumah tempat Tinggal)
● Masalah interaksi dengan lingkungan
● Kekerasan dalam rumah tangga
● Riwayat depresi dan masalah kesehatan mental lainnya (ansietas, skizoprena, dll)
● Mempunyai banyak anak balita
● Kehamilan yang tidak diinginkan
● Riwayat penggunaan zat atau obat obatan terlarang (NAPZA) atau Alkohol,
orang tua yang kecanduan narkotik/zat adiktif lainnya, serta yang menderita
gangguan mental seringkali tidak dapat berfikir dan bertindak wajar dalam
banyak hal, termasuk masalah mengasuh dan mendidik anak, mereka cenderung
melakukan tindak kekerasan atau menelantarkan anak.
● Kurangnya dukungan sosial bagi keluarga
● Diketahui adanya riwayat child abuse (KPA) dalam keluarga
● Kurangnya persiapan menghadapi stress saat mempunyai anak
● Orangtua tunggal
● Riwayat bunuh diri pada orang tua/ keluarga
● Pola asuh dan mendidik anak. Orang tua tidak mengetahui cara yang baik dan
benar dalam mengasuh dan mendidik anak akan cenderung memperlakukan
anak secara salah.
● Nilai–nilai hidup yang dianut orang tua. Harapan orang tua yang terlampau
tinggi tanpa mengetahui batas kemampuan anak. Pandangan bahwa anak
merupakan asset ekonomi bagi orang tua sehingga anak adalah hak milik.
● Kurangnya pengertian mengenai perkembangan anak. Kurangnya pengetahuan
mengenai perkembangan anak, menyebabkan orang tua tidak mengerti akan
kebutuhan dan kemampuan anak sesuai umurnya, sehingga memperlakukan
anak secara salah.

c. Faktor Anak
● Anak yang lahir prematur atau berat badan lahir rendah, lebih berisiko untuk
mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan
● Disabilitas (penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas intelektual,
penyandang disabilitas mental, penyandang disabilitas sensorik)
● Anak dengan masalah perilaku/emosi

57
Saat berhadapan dengan korban cermati beberapa hal dibawah ini:

a) Riwayat kecelakaan tidak cocok dengan jenis atau beratnya trauma.


Misalnya distribusi atau jenis lesi tidak sesuai dengan riwayat kejadian
yang diceritakan atau riwayat kejadian menyatakan trauma ringan
tetapi dijumpai trauma yang berat.
b) Riwayat bagaimana kecelakaan terjadi tidak jelas atau pengasuh
(orangtua) tidak tahu bagaimana terjadinya kecelakaan.
c) Riwayat kecelakaan berubah-ubah ketika diceritakan kepada petugas
kesehatan yang berlainan.
d) Orangtua jika ditanya secara terpisah memberi keterangan yang saling
bertentangan.
e) Riwayat yang tidak masuk akal. Anak dikatakan mengerjakan sesuatu
yang tidak mugkin untuk tahap perkembangannya. Misalnya, anak
dikatakan terjatuh ketika memanjat, padahal duduk pun belum bisa.

Lakukan juga Observasi pada tanda-tanda dibawah ini:


a) Adanya keterlambatan yang bermakna antara saat kecelakaan dan saat
mencari pertolongan medis.
b) Orangtua mungkin tidak memperlihatkan kepedulian yang memadai
sesuai dengan derajat berat trauma.
c) Interaksi pengasuh/orangtua dan anak yang tidak wajar. Mungkin
dijumpai terlihat pengharapan yang tidak realistis, keinginan yang tidak
memadai atau perilaku marah yang impulsif yang diperlihatkan oleh
pengasuh/orangtua. Pengasuh/ orangtua sering tidak sadar akan
kebutuhan anak.

58
Faktor-faktor Risiko Kekerasan terhadap Anak

1. Nilai/ norma yang ada di


Faktor Sosiokultural masyarakat

2. hubungan antar manusia

3. Kemajuan zaman: pendidikan,


hiburan, olahraga, kesehatan,
Stress berasal dari anak Stress keluarga Stresshukum,
berasal dari orangtua

1. Fisik berbeda (mis:


1. Kemiskinan, pengangguran, 1. Rendah diri
cacat)
2. Mental berbeda (mis: mobilitas isolasi, perumahan
2. Waktu kecil mendapat
retardasi) tidak memadai
perlakuan salah
3. Temperamen berbeda
2. Hubungan orangtua-anak, stress
(mis: sukar) 3. Depresi
perinatal, anak yang tidak
4. Tingkah laku berbeda
diharapkan, prematuritas, dll 4. Harapan pada anak yang
(mis: rehiperaktif)
5. Anak angkat/ tiri tidak realistis
3. Perceraian
6. dll
5. Kelainan karakter/
4. dll
gangguan jiwa
Situasi pencetus

- Disiplin

- Konflik keluarga/ pertengkaran


Sikap/ perbuatan keliru - Masalah lingkungan yang

- penganiayaan

- ketidakmampuan merawat

- peracunan

- teror mental

3. Faktor Risiko
TPPO
Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan salah satu dampak negatif
industrialisasi global dimana korban biasanya berasal dari negara miskin atau
berkembang. Secara umum, alasan ekonomi menjadi pemicu utama orang terjebak
menjadi korban TPPO. Berbagai bentuk penipuan yang menjerat korban sebagian besar
terkait dengan kesempatan kerja untuk mendapatkan peluang memperbaiki kondisi
ekonomi. Selain itu, beberapa korban juga terjebak karena ingin mendapatkan
kesempatan pendidikan, pernikahan maupun duta wisata.

Orang-orang yang rentan menjadi target TPPO adalah:


a. Anak-anak
Anak-anak rentan menjadi korban TPPO karena sebagian besar anak-anak kurang
mampu untuk melindungi diri sendiri, kurang pengetahuan akan perlindungan
hukum bagi mereka, posisi yang lemah di dalam bernegosiasi dan ketidak pekaan
terhadap situasi perdagangan orang ataupun eksploitasi yang mengancam mereka
maupun yang sedang mereka jalani.
b. Perempuan
59
Perempuan seringkali menjadi kelompok yang termarginalkan secara sosial
ekonomi, pendidikan, kesempatan kerja, hukum maupun politik yang seringkali
terkait dengan kondisi sosial budaya setempat. Selain itu perempuan juga rentan
terhadap segala bentuk kekerasan seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah
tangga, dan lain-lain.
c. Kelompok sosial ekonomi lemah
Kelompok ini menjadi rentan karena tuntutan hidup untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya serta akses terhadap pendidikan, kesehatan dan kebutuhan pelayanan
dasar lain yang terbatas.
d. Kelompok yang termarginalisasi
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah kelompok yang karena keadaannya,
misalnya suku tertentu, kelompok pemegang kepercayaan tertentu, mendapatkan
perlakukan diskriminasi baik dalam akses terhadap pendidikan, pekerjaan, akses
pelayanan sosial.
e. Kelompok berpendidikan rendah.
Pendidikan rendah dapat berakibat pada rendahnya kesempatan mendapatkan
pekerjaan, penghasilan yang lebih kecil, kurangnya pengetahuan akan hak dan
perlindungan hukum kepadanya.
f. Orang yang tinggal di daerah dengan instabilitas politik, perang, konflik, pengungsi
terutama perempuan dan anak-anak.

B. Perilaku dan Emosi sebagai Dampak Kekerasan pada Anak


Perilaku dan emosi sebagai dampak kekerasan pada anak, dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Problem Perilaku dan Emosi sebagai Dampak Kekerasan pada Anak
Kelompok Reaksi
Usia
2-5 Tahun Setelah mengalami suatu kejadian yang menimbulkan stres, anak-anak balita
menjadi sangat takut terhadap hal-hal nyata di lingkungannya dan/atau
terhadap hal-hal yang dibayangkannya. Anak-anak biasanya akan memberikan
reaksi yang berlebihan terhadap semua hal yang secara langsung atau tidak
langsung mengingatkan mereka pada pengalaman yang menimbulkan stres
tersebut. Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual mungkin
menunjukkan ketakutan yang berlebihan terhadap orang yang berjenis
kelamin sama dengan orang yang melakukan kegiatan seksual tersebut. Anak-
anak balita dapat pula menjadi takut terhaap hal-hal yang tidak nyata, seperti
‘nenek sihir’ yang mendatangi mereka di malam hari atau ‘orang jahat’ yang
akan mencelakakan mereka.
Perilaku dan reaksi emosi yang harus diamati:
a. Cemas perpisahan, anak-anak balita bereaksi terhadap stres dengan
menempel terus pada orang tuanya karena takut berpisah. Mereka
menempel terus pada orang tuanya karena takut, takut tidur sendirian dan
‘mengamuk’ bila ditinggalkan
b. Perilaku regresif, kembali ke tahap perkembangan yang lebih awal, seperti
kembali ke benda “pengganti ibu” (transactional object), misalnya mengisap
jempol, bantal kesayangan, dan lain lain. Kadang-kadang perilaku regresif ini
juga dapat terlihat dengan adanya kemunduran dalam kemampuan
berbicara, kondisi ini merupakan tanda adanya penderitaan anak-anak
seumur ini.
c. Kehilangan kemampuan lain yang baru dicapainya, misalnya jadi
mengompol lagi atau tak dapat menahan buang air besar. Semua60ini
Kelompok Reaksi
Usia
d. Mimpi buruk dan mengigau. Kelompok anak balita ini biasanya sering
mengalami mimpi buruk dan mengigau karena mereka tidak mampu
memahami peristiwa yang sangat menekan.
6-12 tahun Anak-anak berusia 6-12 tahun lebih mampu menggunakan kemampuan
berpikir, perasaan dan tingkah lakunya ketika bereaksi terhadap kejadian yang
menimbulkan stress. Mereka mampu mengi ngat kejadian dengan benar dan
dapat memahami makna peristiwa yang telah menimpa mereka.
Sehubungan dengan alam pikir, anak-anak sering berkhayal untuk menghadapi
kejadian yang menimbulkan stres. Mereka akan berkhayal bahwa mereka
mampu menghadapi kejadian buruk, misalnya mereka mampu menghadapi si
pelaku kekerasan dengan kekuatan yang tersembunyi dalam dirinya, mereka
merasa mampu menipu si pelaku kekerasan seksual dengan mudah, dan lain-
lain. Adanya kemampuan ini membuat anak dapat melawan rasa tidak
berdayanya. Namun cara berpikir seperti ini membuat anak-anak lebih mudah
timbul perasaan berdosa dan menyalahkan diri sendiri. Hal ini terjadi karena
pada saat anak membayangkan dirinya dapat mencegah terjadinya peristiwa
yang mengerikan, mereka juga meyalahkan diri mereka karena tidak
melakukan hal tersebut.
Setelah melewati pengalaman yang sangat mencekam, anak-anak menjadi
ketakutan terhadap lingkungan sekitarnya dan terhadap orang lain. Sebagai
contoh, setelah mengalami perkosaan, anak merasa bahwa harga dirinya telah
diinjak-injak dan keamanannya terancam, mereka menjadi sangat lemah dan
terus menerus berpikir bahwa hal-hal buruk akan terjadi kembali pada
mereka. Pemahaman anak akan keadilan, moral dan ketulusan dapat
mengalami perubahan oleh karena kenyataan yang ada di sekitarnya yang
dipenuhi oleh keke rasan baik di dalam rumah atau di lingkungan sekitarnya.
Perilaku dan reaksi emosi yang harus diamati:
a. Kesulitan belajar, sulit konsentrasi dan kegelisahan. Anak-anak seusia ini
akan menjadi gelisah, sulit konsentrasi dan akhirnya akan menimbulkan
kesulitan belajar yang berakibat penurunan dalam prestasi belajarnya.
Turunnya kemampuan konsentrasi ini seringkali disebabkan oleh ingatan
akan kejadian yang menyebabkan stress dan kesedihan. Mereka menjadi
mudah terpecah perhatiannya, gelisah, tidak mampu memusatkan
perhatiannya dan tidak mampu menyelesaikan tugas-tugasnya.
b. Cemas pasca trauma. Kecemasan pada kelompok ini dapat dilihat melalui
tingkah laku yang gugup, seperti menggoyang-goyangkan badan, gagap, atau
menggigit kuku. Sebagai tambahan, pada usia ini anak juga sudah bisa
menunjukkan keluhan-keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya, seperti pusing, sakit perut, atau masalah makan.
c. Agresif, anak-anak sering menampakkan perubahan tingkah laku yang sangat
jauh berbeda dari tingkah lakunya yang dulu. Mereka bias berubah menjadi
agresif dan rewel (banyak maunya), misalnya menjadi sangat kasar dan rebut
saat bermain atau bertingkah semaunya sendiri dan nakal, berteriak dan
menjerit-jerit.
d. Depresi, anak tampak menarik diri, iritabel dan pasif, misalnya mereka
menjadi sangat pendiam dan penurut, tidak pernah mengungkapkan
perasaan, tidak mau bermain dengan teman-temannya serta mudah menjadi

61
Kelompok Reaksi
Usia
marah. Pergaulan anak dengan teman sebayanya menjadi terganggu dan
menyebabkan anak terasing dari lingkungannya.
e. Sulit tidur.
f. Bertingkah laku seperti anak yang lebih kecil, misalnya sering mengompol di
malam hari atau lengket dengan orang tuanya.
13-18 Remaja lebih mudah terpengaruh oleh kejadian yang penuh stres. Hal ini karena
tahun mereka sudah memiliki kemampuan berpikir yang dewasa dan mampu
berlogika serta dapat memahami akibat jangka panjang dari konflik dan
kekerasan yang dialami.
Tidak seperti anak-anak, remaja pada umumnya tidak mengatasi stres dengan
cara berimajinasi atau bermain. Mereka sudah lebih mampu menceritakan
kejadian yang telah menimpa mereka, tetapi masih memerlukan bimbingan
untuk dapat mengeluarkan perasaannya secara terbuka. Mereka sudah mampu
memikirkan apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan untuk mengubah
peristiwa yang sudah terjadi, namun tetap ada rasa bersalah karena tidak
berbuat sesuatu untuk mencegah sesuatu yang buruk agar tidak terjadi.
Perilaku dan reaksi emosi yang harus diamati:
a. Merusak diri sendiri, remaja akan melakukan tindakan yang merusak diri
sendiri sebagai cara mengatasi rasa marah dan depresi. Setelah kejadian yang
menimbulkan stres, banyak remaja melakukan perbuatan yang berisiko
tinggi seperti berontak terhadap orang-orang yang punya wibawa,
menyalahgunakan napza, bergabung dengan para pencuri dan menjarah.
Remaja bisa memahami sejauh apa akibat kekerasan yang akan
mempengaruhi kehidupan mereka. Setelah kejadian yang menimbulkan
stres, mereka bisa menjadi tertutup, menarik diri, curiga terhadap orang lain
dan berpikir bahwa hal buruk akan menimpa mereka lagi.
b. Keluhan fisik yang tidak jelas penyebabnya, kecemasan yang terus menerus
serta kegugupan.

C. Cara-cara Penggalian Informasi


Dalam penggalian informasi korban kekerasan, pada dasarnya petugas kesehatan
melakukan teknik wawancara untuk mendapatkan informasi yang diharapkan sesuai
dengan hasil skrining.
Penggalian informasi harus diawali dengan:
1. Membina hubungan baik dan kepercayaan dari korban untuk menjawab pertanyaan
yang diajukan.
2. Menjaga privasi dan kerahasiaan: Pelayanan harus diberikan di tempat yang menjamin
privasi korban. Setiap informasi yang terungkap dalam proses pemberian layanan harus
dijaga kerahasiaannya dan diketahui hanya oleh orang yang relevan dalam pemberian
layanan. Petugas harus menyampaikan prinsip ini kepada korban. Untuk mendapatkan
privasi dengan korban bisa mengusulkan membutuhkan pemeriksaan secara pribadi
tanpa ditemani yang lain. Cari cara untuk berbicara dengan pasien sendiri, jangan
bertanya tentang masalah kekerasan/TPPO di depan orang lain atau yang menemani
korban. Jangan bertanya pada siapa pun yang menemani korban untuk membantu
menterjemahkan (jika dengan bahasa lain) atau dalam pemeriksaan, walaupun petugas
kesehatan tidak berbahasa sama dengan korban ataupun punya kontak dengan layanan
penterjemah.

62
3. Memberi rasa aman dan nyaman: Petugas pemberi layanan harus memastikan bahwa
korban dalam keadaan aman dan nyaman dalam menceritakan masalahnya. Tanya
kepada korban apakah merasa aman untuk mengatakan seuatu yang dirasakan
mengganggu korban saat ini.
Apabila sudah terjalin hubungan baik, maka lanjutkan dengan menggali informasi,
tentang Faktor risiko kekerasan terhadap perempuan/Anak dan Perilaku dan emosi
sebagai dampak kekerasan

Penggalian Informasi Kekerasan Pada Perempuan


Jangan mengungkapkan adanya isu kekerasan kecuali perempuan itu dalam keadaan
sendiri, dan tidak ditemani oleh orang/perempuan lain. Apabila petugas bertanya tentang
kekerasan yang dialaminya, lakukan dengan empati dan sikap tidak menghakimi. Gunakan
Bahasa yang sesuai dengan budaya setempat. Beberapa perempun tidak suka dengan kata-
kata kekerasan atau penyalahgunaan. Sangat penting untuk menggunakan istilah yang biasa
dia pakai sehari- hari.
Cara menanyakan tentang kekerasan
Beberapa pernyataan yang dapat digunakan dalam mengungkap tentang kekerasan,
sebelum mengajukan pertanyaan tentang kekerasan
“Banyak perempuan bermasalah dengan suami atau pasangan, atau seseorang dalam hidup
mereka.”
“Saya pernah menemukan perempuan yang mempunyai masalah di rumah seperti anda.”
Berikut adalah contoh pertanyaan langsung dan singkat
“Apakah anda takut kepada suami (pasangan)?”
“Apakah suami (pasangan) anda atau seseorang di rumah mengancam untuk menyakiti
anda secara fisik?” Jika demikian, kapan itu terjadi?
“Apakah suami (pasangan)anda atau seseorang di rumah membuli atau menghina anda?”
“Apakah suami (pasangan) anda terlalu mengendalikan anda, misalnya tidak membolehkan
anda memegang uang, melarang anda ke luar rumah?”
“Apakah suami (pasangan) anda memaksa anda melakukan hubungan seksual yang tidak
anda inginkan?”
“Apakah suami (pasangan) anda pernah mengancam untuk membunuh anda?”

Berdasarkan contoh pertanyaan di atas, petugas kesehatan harus mengembangkan


pertanyaan yang sesuai dengan hasil skrining, dan menggunakan bahasa setempat yang
mudah dipahami.

Penggalian Informasi Kekerasan Pada Anak


Tips wawancara pada anak
1. Tanyakan pertanyaan terbuka dan konkrit yang saling berkaitan, misalnya
● Apa yang kamu rasakan?
● Apa yang kamu lihat?
● Apa yang kamu cium (Kamu membaui apa)?
2. Dalam melakukan wawancara usahakan untuk membantu pasien agar ia mampu
mengingat suatu kejadian
3. Gunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak, jangan gunakan bahasa yang jarang
digunakan atau tidak populer
4. Gunakan nama panggilan daripada nama resminya
5. Jika perlu dapat digunakan pertanyaan tertutup.

63
Sampai disini fasilitator akan melakukan penayangan Video tentang
wawancara (menggali informasi)
Selanjutnya peserta dapat mengerjakan Penugasan 2. Bermain
peran Penggalian informasi Kekerasan pada Perempuan/Anak dan
TPPO, sesuai dengan petunjuk penugasan yang ada pada panduan
fasilitator.

64
RANGKUMAN

Deteksi dini pada kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk TPPO dapat
dilakukan dengan skrining kasus KtP/A dan menggali informasi terhadap kecurigaan kasus
KtP/A termasuk TPPO. Pada tahap skrining, tenaga kesehatan harus mampu untuk mengenali
tanda-tanda kekerasan pada korban dewasa, anak, dan TPPO termasuk eksploitasi seksual.
Tahap menggali informasi pada kasus KtP/A termasuk TPPO dilakukan dengan mengetahui
faktor-faktor risiko serta dampak terjadinya KtP/A sebagai bahan untuk menggali informasi
pada kasuk KtP/A termasuk TPPO terhadap korban.

65
C. Daftar Pustaka

Balai Besar Pelatihan Kesehatan. 2012.Buku Pelatihan Konseling Penanganan KtP/A bagi
Tenaga Kesehatan di Puskesmas. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.

Development of the women abuse screening tool for use in family practice. (1996). Family
Medical, 28. 422-28. Brown, J.B., Lent, B.L., Brett, P., Sas, G., & Pederson, I.

Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. 2008. Informasi Kesehatan Reproduksi


Pedoman Pencegahan dan Penaganan Kekerasan Terhadap Perempuan di Tingkat
Pelayanan Dasar. Jakarta. Departemen kesehatan.

Intimate Partner Violence and Sexual Violence Victimization Assessment Instruments for Use
in Healthcare Settings: Version 1. 2007. Basile KC, Hertz MF, Back SE. Atlanta (GA): Centers for
Disease Control and Prevention, National Center for Injury Prevention and Control.

National Consensus Guidelines on Identifying and Responding to Domestic Violence


Victimization in Health Care Settings, Family Violence Prevention Fund (2004).

Schroeder, Carolyn S. & Gordon, Betty N. (2002). Assessment and Treatment of Childhood
Problems: A Clinician’s Guide (2nd Ed.). New York: Guilford Press.

Zolotor, A. J. dkk. (2009). ISPCAN Child Abuse Screening Tool Children’s Version (ICAST-C):
Instrument development and multi-national pilot testing. The International Journal of Child
Abuse & Neglect 33 hal. 833 – 841

66
MATERI PELATIHAN INTI 3 (MPI 3): TATA LAKSANA KORBAN
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK TERMASUK
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

67
A. Tentang Modul Ini

1. Deskripsi Singkat

Aspek pelayanan kesehatan medis terhadap korban KtP/A termasuk TPPO dilakukan
secara komperehensif, mencakup pelayanan medikolegal dan psikososial. Pelayanan kesehatan
bagi korban KtP/A dan TPPO dapat dilakukan di Puskesmas dan Pusat Pelayanan
Terpadu/Pusat Krisis Terpadu (PPT/PKT) di Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit Swasta dan
Bhayangkara. Oleh karena itu Puskesmas dan Rumah Sakit harus mampu melakukan
tatalaksana kasus KtP/A dan TPPO secara komperehensif.

Modul ini akan membahas tentang: Tatalaksana penanganan medis korban KtP/A, Visum
et Repertum (VeR) sesuai dengan aspek medikolegal dalam penanganan kasus KtP/A dan Rape
kit dan Tata laksana psikososial korban KtP/A.

2. Tujuan Pembelajaran

a. Hasil Belajar
Setelah mengikuti materi, peserta mampu melakukan tata laksana korban KtP/A
terrmasuk TPPO

b. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti materi ini peserta mampu:
1. Melakukan tatalaksana penanganan medis korban KtP/A
2. Membuat Visum et Repertum (VeR) sesuai dengan aspek medikolegal dalam
penanganan kasus KtP/A dan Rape kit, sesuai dengan kompetensi dan
kewenangan
3. Melakukan tata laksana psikososial korban KtP/A

3. Materi Pokok

Kelas Dokter

1) Materi Pokok 1. Tatalaksana Penanganan Medis Korban KtP/A, termasuk TPPO


1. Prinsip umum layanan korban
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan fisik
4. Pemeriksaan seksual
5. Pemeriksaan penunjang/laboratorium
6. Penatalaksanaan medis

2) Materi Pokok 2. Visum et Repertum (VeR) Sesuai Dengan Aspek Medikolegal


Dalam Penanganan Kasus KtP/A Termasuk TPPO dan Rape Kit
1. Aspek medikolegal
2. Pembuatan Visum et Repertum (VeR)

3) Materi Pokok 3. Tatalaksana Psikososial Korban KtP/A termasuk TPPO


1. Pemeriksaan kesehatan jiwa/psikologis
2. Penatalaksanaan kondisi kesehatan jiwa kekerasan pada perempuan

68
3. Penatalaksanaan kondisi kesehatan jiwa kekerasan pada anak

Kelas Perawat/Bidan

1) Materi Pokok 1. Tatalaksana penanganan medis korban KtP/A, termasuk TPPO


1. Prinsip umum layanan korban
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan fisik
4. Pemeriksaan seksual
5. Pemeriksaan penunjang/laboratorium

2) Materi Pokok 2. Pembuatan Rape kit

3) Materi Pokok 3. Tata laksana Psikososial Korban KtP/A termasuk TPPO


1. Pemeriksaan kesehatan jiwa/psikologis
2. Penatalaksanaan kondisi kesehatan jiwa kekerasan pada perempuan
3. Penatalaksanaan kondisi kesehatan jiwa kekerasan pada anak

69
B. Kegiatan Belajar

MATERI POKOK 1. TATALAKSANA PENANGANAN MEDIS KORBAN KTP/A, TERMASUK


TPPO

A. Prinsip Umum Penanganan Korban


Pemberian layanan terpadu bagi perempuan dan anak dilakukan dengan memperhatikan
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Responsif Gender: Semua petugas pelayanan harus peka gender ketika mendalami
masalah yang dialami korban dan dapat melakukan pemberdayaan terhadap korban.
2. Non Diskriminasi: Setiap perempuan dan anak tanpa kecuali berhak mendapatkan
layanan berkaitan dengan kekerasan yang dialaminya; tidak ada seorang pun boleh
ditolak atau diberikan prioritas atas yang lain kecuali atas pertimbangan kedaruratan
tertentu.
3. Hubungan Setara dan Menghormati: Siapapun korban, pemberian layanan bagi
korban harus dijalankan dengan rasa hormat tanpa membedakan keyakinan, nilai-nilai
dan status sosialnya. Perlakukan hormat dari petugas pelayanan menjadi penting untuk
membangkitkan harga diri korban yang jatuh akibat mengalami kekerasan. Rasa hormat
juga perlu ditunjukkan dalam proses mendengarkan narasi korban atas kasus yang
dialaminya.
4. Cepat dan Sederhana: Pemberian layanan harus diberikan dengan segera tanpa
penundaan yang tidak perlu. Mungkin beberapa intervensi memerlukan keterlibatan
berbagai pihak, tetapi dengan pro aktifnya petugas pelayanan, korban harus dijamin
dapat menjalani semuanya dengan proses yang sederhana.
Bila korban datang atas rujukan pihak pemberi layanan lain, maka petugas penerima
harus membaca terlebih dahulu surat pengantar/rujukan. Harus diusahakan agar
korban tidak ditanya berulang kali tentang hal yang sama terkait identitas maupun
narasi kasusnya.
5. Komunikasikan informasi secara hati-hati: Berhati-hatilah dalam memberikan
informasi kepada korban, perhatikan dokumentasi yang diberikan jangan sampai dapat
terlacak balik kepada tenaga kesehatan atau fasilitas kesehatan.
6. Pemenuhan Hak Anak: Korban yang berusia di bawah 18 tahun berhak atas
penghormatan dan penggunaan sepenuhnya hak-haknya untuk bertahan hidup,
pengembangan, perlindungan dan partisipasi, sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak
Anak Menurut PBB tahun 1989, yaitu:
a. Hak untuk bermain
b. Hak untuk mendapatkan pendidikan
c. Hak untuk mendapatkan perlindungan
d. Hak untuk mendapatkan nama (identitas)
e. Hak untuk mendapatkan status kebangsaan
f. Hak untuk mendapatkan makanan
g. Hak untuk mendapatkan akses kesehatan
h. Hak untuk mendapatkan rekreasi
i. Hak untuk mendapatan kesamaan
j. Hak untuk memiliki peran dalam pembangunan

Korban anak memiliki kebutuhan khusus dan oleh karenanya berhak atas langkah-langkah
perlindungan khusus sebagai berikut:
a. Setiap tindakan yang dilakukan oleh lembaga penyedia layanan harus menjadikan

70
kepentingan terbaik untuk anak sebagai pertimbangan utama.
b. Korban anak memperoleh hak dan perlindungan yang sama di negara/ daerah asal,
transit atau daerah tujuan, yang berkaitan dengan status, kewarganegaraan, ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, agama, politik atau pendapat lain, etnis atau
kehidupan sosialnya, kepemilikan, disabilitas, kelahiran atau status lain.
c. Korban anak diberikan haknya untuk dengan bebas mengekspresikan pandangannya
terhadap semua hal, termasuk yang berkaitan dengan proses hukum, perawatan dan
perlindungan sementara serta identifikasi dan implementasi solusi selanjutnya.
d. Pandangan anak tersebut diberikan tidak melebihi takaran sehubungan dengan usianya,
kematangan, perkembangan kapasitasnya, dan kepentingan terbaik bagi dirinya.
e. Korban anak dilengkapi akses terhadap informasi tentang segala hal yang
mempengaruhinya termasuk hak-haknya, layanan yang tersedia dan proses reunifikasi
keluarga dan/atau repatriasi. Informasi tersebut disampaikan dalam bahasa yang dapat
dimengerti oleh korban anak. Penerjemah yang tepat hendaknya disediakan jika
diperlukan.
f. Informasi yang dapat membahayakan korban anak dan atau keluarganya, tidak
diungkap kecuali diperlukan oleh hukum. Semua langkah diambil untuk melindungi
privasi dan identitas korban anak. Nama, alamat atau informasi lain yang dapat
mengarah pada identifikasi korban anak dan atau keluarganya, tidak diungkap pada
publik atau media. Ijin dari korban anak hendaknya dimintakan sesuai dengan tingkat
usianya sebelum mengungkap informasi yang sensitif.
g. Identitas etnis, kultur, kepercayaan dan agama korban anak, dihormati setiap saat.
Dukungan diberikan kepada korban anak dalam rangka memberikan kesempatan
baginya untuk menjalankan ritual etnis, kultur, kepercayaan dan agamanya.
h. Selama proses penanganan berlangsung, korban anak perlu mendapatkan hak dasar
anak termasuk hak untuk pendidikan dan akses kepada orang tua.
i. Negara bertanggung jawab untuk membuat korban anak bebas dari stigma yang
disebabkan karena perdagangan orang. Hal ini juga diberlakukan kepada anak yang
dikandung dan dilahirkan dari seorang korban.

B. Anamnesis
Langkah-langkah dalam tatalaksana penanganan medis korban kekerasan pada perempuan
atau anak adalah:
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan seksual
4. Pemeriksaan penunjang/laboratorium
5. Penatalaksanaan medis

Anamnesis merupakan langkah pertama yang bertujuan untuk mendapatkan informasi


lebih dalam tentang kekerasan atau trauma yang dialami dan riwayat kesehatan korban.
Hal-hal yang sudah ditanyakan pada waktu penggalian informasi sebaiknya tidak
ditanyakan lagi dalam anamnesis, kecuali untuk menegaskan/memastikan kebenarannya.
Lakukan dengan cara yang membuat pasien tidak merasa jenuh atau bosan.

Hal penting yang diperhatikan dalam anamnesis:


Hal-hal yang “Boleh” dan “Tidak Boleh” Dilakukan
Kinerja (sikap dan perlakuan) petugas adalah faktor yang menentukan keberhasilan
pemberian pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Meskipun demikian,
petugas pemberi layanan bisa menjadi pihak yang memperburuk keadaan jika dia tidak

71
menjalankan tugasnya dengan semestinya atau menyalahgunakan kewenangannya. Berikut
adalah hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh petugas dalam memberikan
pelayanan kepada korban KtP/A.

BOLEH: Dalam penanganan kasus KtP/A dan TPPO, Petugas harus memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
1. Melindungi korban dari pelaku dan upaya bunuh diri (lihat buku Pedoman
Pencegahan Tindakan Bunuh Diri (Pegangan bagi petugas kesehatan), Direktorat
Kesehatan Jiwa Masyarakat, Departemen Kesehatan RI, Tahun 2005).
2. Melaporkan/memberikan informasi kejadian dugaan kekerasan kepada pihak
yang berwenang dengan persetujuan korban (kecuali yang mengancam
keselamatan hidup korban dan kasus dugaaan KtA sesuai Permenkes No.68 th
2013).
3. Menyediakan penanganan medis komprehensif.
4. Merujuk ke jejaring untuk pendampingan paripurna dan penanganan aspek non-
medis.

TIDAK BOLEH:

Berikut ini adalah hal penting yang harus dihindarkan oleh setiap petugas
yang melayani korban:

1. Sedapat mungkin tidak melakukan kontak fisik dengan korban kekerasan seksual.
2. Menjanjikan sesuatu kepada korban, keluarganya, saksi maupun sumber
informasi lain; ketika memberikan sedikit harapan kepada korban hanya
tawarkan apa yang mampu diberikan.
3. Menggunakan bahan/hasil informasi atau kasus tanpa seizin korban; termasuk
ttg kontak dengan media.
4. Memanfaatkan posisi sebagai petugas/pengelola unit pelayanan untuk
mengambil keuntungan/imbalan dari korban atau keluarganya dalam bentuk
apapun;
5. Melakukan kekerasan terhadap korban dalam bentuk apapun; dan
6. Membangun hubungan non-profesional dengan korban selama masa pemberian
pelayanan.
7. Mengungkapkan alamat pribadi kepada korban atau berupaya untuk menampung
di rumah sendiri
8. Mencoba untuk menyelamatkan korban (sendiri) jika tenaga kesehatan belum
terkait dengan jejaring perlindungan yang sudah ada bagi korban KTP/A dan
TPPO di daerahnya serta tidak mempunyai, informasi yang cukup tentang jejaring
rujukan yang ada dan pelayanan yang tersedia.

72
Disamping itu petugas juga harus memperhatikan:
1. Selama melakukan anamnesis amati dan observasi perilaku, ekspresi wajah, nada suara, dan
berikan kesempatan seluas-luasnya kepada pasien untuk menceritakan isi hatinya.
2. Bila pasien masih belum mau berbicara tentang tindak kekerasan yang dialaminya, petugas
kesehatan hendaknya jangan memaksa. Katakanlah bahwa anda dapat memahami keraguan
pasien,
3. Menjamin kerahasiaan informasi yang disampaikan pasien. Diperoleh secara cermat, baik
allo maupun autoanamnesa dalam ruangan tersendiri guna menjaga kerahasiaannya.
4. Sikap/perilaku pasien dan pengantar dicermati apakah dalam keadaan tertekan atau
terkontrol.
5. Bila memungkinkan anamnesis dilakukan terpisah antara pasien dan pengantar, untuk
menilai kemungkinan adanya ketidak sesuaian penuturan masing-masing.
6. Perhatikan sikap dan perilaku pasien, apakah terlihat takut, cemas, ragu-ragu dan tidak
konsisten dalam memberikan jawaban.

Langkah-langkah melakukan anamnesis:

1. Apabila petugas yang melakukan anamnesis adalah petugas yang sama dengan penggalian
informasi, maka binalah terus rapport (hubungan baik) yang telah terjalin antara petugas
dengan pasien.
Apabila petugas yang melakukan anamnesis berbeda dengan petugas yang melakukan
penggalian informasi maka pertama kali adalah membina hubungan (rapport), antara
petugas kesehatan dan pasien, yaitu saling percaya, saling menghormati, saling menghargai
dalam upaya mencari jalan keluar permasalahan.

2. Lakukan dan minta “informed consent” pasien untuk pemeriksaan dan pembuatan visum
apabila dikemudian hari ada permintaan dari kepolisian untuk dilakukan visum et
repertum. Jelaskan kepada pasien bahwa nanti akan dilakukan pemeriksaan sehubungan
dengan kekerasan yang dialami, dan diperlukan persetujuan pasien.

Persetujuan tindakan medis (Informed Consent) berdasarkan Surat Keputusan Direktur


Jenderal Pelayanan Medik Nomor HK. 00.06.3.5.1886 tanggal 21 April 1999 tentang
pedoman persetujuan adalah pernyataan persetujuan (consent) atau izin dari pasien yang
diberikan dengan bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary) tentang tindakan kedokteran
yang akan dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan informasi yang cukup tentang
tindakan kedokteran yang dimaksud.

Informed consent menurut Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 Permenkes No. 290 tahun
2008 yaitu persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
Berikut ini adalah contoh form Informed consent. Puskesmas/rumah sakit juga dapat
menggunakan form informed consent yang sudah ada.

73
PERSETUJUAN PEMERIKSAAN
(Informed Consent)

Dengan ini saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa para petugas telah menjelaskan
kepada saya tentang tujuan, manfaat dan tata cara pemeriksaan dan saya telah memahami spenuhnya.

Selanjutnya saya menyetujui/ tidak menyetujui* dilakukannya pemeriksaan tersebut terhadap saya/terhadap
anak/anak perwaliaan/ …………………../saya untuk mencari adanya bukti-bukti kekerasan

Tanda tangan saya/orangtua/wali

Jika diperlukan, untuk kepentingan peradilan, laporan hasil pemeriksaan dan bukti-bukti yang ditemukan
akan diserahkan kepada pihak kepolisian atas permintaan resmi penyidik sebagai bagian dari pemeriksaan
dalam bentuk visum et repertum. Saya menyadari sepenuhnya tentang hal ini dan saya menyetujui/tidak
menyetujui* dibuatnya visum et repertum tersebut.

Dengan ini saya juga bersedia/tidak bersedia* dilakukan pengambilan gambar/foto terhadap
saya/anak/anak perwalian/...............................................Saya.
…………….,………

Tanda tangan saya/orangtua/wali Tanda tangan saksi


Nama : ………………… Nama : ……………………
No KTP : …………………… No KTP : ……………………

Tanda tangan dokter pemeriksa


Nama :
*coret yang tidak perlu

74
3. Lengkapi Rekam medis korban kekerasan perlu diperlakukan khusus (diberi tanda khusus
dan disimpan sampai 18 tahun). Rekam medis dan informasi seharusnya tidak dibuka
kecuali untuk yang langsung berhubungan dengan kasus atas persetujuan tertulis korban
atau atas permintaan pengadilan.
Rekam medis berisikan berbagai informasi milik pasien, baik yang berasal dari pasien
maupun hasil analisis para tenaga kesehatan. Informasi tersebut tidak hanya berupa
informasi medis, melainkan juga informasi tentang tumbuh-kembang anak, aspek
psikososial dan asuhan keperawatan. Pengisian rekam medis harus dilakukan oleh tenaga
medis
/kesehatan dan dilakukan sesegera mungkin.

Rekam medis memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis sebagaimana disebut di
dalam Permenkes RI No 269/MENKES/PER/III/2008, yaitu sebagai dasar pemeliharaan
kesehatan dan pengobatan pasien, sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum,
sebagai bahan untuk keperluan penelitian dan pendidikan, sebagai dasar pembayaran dan
biaya pelayanan kesehatan.
Permenkes No. 269/MENKES/PER/III/2008 dalam ketentuan umum pasal 1 menyebutkan
bahwa rekam medis merupakan berkas berisi catatan dan dokumen penting tentang:
a. Identitas pasien
b. Pemeriksaan
c. Pengobatan
d. Tindakan
e. Pelayanan lain
Dalam kaitannya dengan penatalaksanaan kasus KtP/A, maka perlu diupayakan jalan keluar
agar “kemultidisiplinan” tidak dianggap sebagai pelanggaran wajib simpan rahasia
kedokteran. Profesional kesehatan harus memahami bahwa penanganan kasus KtP/A
bukanlah hanya dari aspek medis saja melainkan dari berbagai aspek, dan bahwa aspek-
aspek tersebut saling berkaitan, sehingga transfer informasi di antara para profesional dari
berbagai disiplin tersebut diperlukan. Rekam medis sama sekali tidak boleh dipalsukan.
Rekam medis yang sengaja dipalsukan merupakan perbuatan kriminal dan dapat dihukum
pidana. Rekam medis dilengkapi dengan identitas dokter pemeriksa, pengantar pasien,
tanggal, tempat dan waktu pemeriksaan serta identitas pasien, terutama umur dan
perkembangan seksual, serta hubungan seks terakhir, siklus haid terakhir, dan apakah
masih haid saat kejadian.
Pada waktu anamnesis isilah rekam medis sesuai dengan hasil anamnesis.

Berikut adalah form Rekam medis kekerasan terhadap perempuan dan

anak.

75
REKAM MEDIS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Propinsi :
Kabupaten :
Kecamatan :
Puskesmas :
Terdaftar tanggal/jam :
Nomor terdaftar :
IDENTITAS KORBAN
Nama :
Nama Ayah/Ibu :
Jenis Kelamin :
Umur :
Agama :
Alamat : RT: RW:
Desa :
Kabupaten/Kota :
Pendidikan :
Status Perkawinan :
Pekerjaan :
Cara Penemuan
Diantar Orangtua/Keluarga
Datang Sendiri
Diantar Guru/Kader/Teman
Diantar Petugas Keamanan/Polsek
Lain-lain Keterangan:

Riwayat Kejadian:

Riwayat sebelumnya/dahulu (beri lingkaran pada apa yang dialami)


● Pernah/tidak mengalami hal seperti ini
● Terlapor adalah orang yang sama/tidak sama
● Keadaan korban lebih berat/ringan/sama dengan keadaan sekarang
● Pernah/tidak pernah mengalami tekanan psikologi oleh pelaku kekerasan
● Ada/tidak ada keluarga korban yang ikut dianiaya
● Ada/tidak ada keluarga korban yang lain ikut menganiaya

Keadaan sekarang (Hari/Tanggal) :……… Jam: ………… Bulan: ……… Tahun:......................)

I. Pemeriksaan Fisik:
A. Keadaan Umum
● Kesadaran :
● Status Gizi dan Ciri Korban : Kurus/Gemuk
● Status Mental Korban : Penampilan korban/ekspresi wajah
…………………………………………………
B. Tanda Vital
● Tekanan Darah :
● Nadi :
● Frekuensi Nafas :

76
● Suhu :

C. Kondisi
● Kepala :
● Leher :
● Thorax :
● Abdomen :
● Extremitas :
● Genitalia :
● Anus :

D. Foto daerah memar : Ada Tidak ada

II. Gambarkan posisi cedera pada diagram tubuh di bawah ini :

Kanan Kiri Kanan


Kiri

77
Kanan Kiri

III. Pemeriksaan Penunjang


Foto rontgen
Pemeriksaan darah
Swab vagina
Swab Mulut
Pemeriksaan Rectal
Tes Kehamilan
Lain-lain ………….

IV.Diagnosis kerja (sebutkan kemungkinan adanya KtP/A):


…………………………………………………………….………………………………………..………
………………………………………………………………….....................................................
Terlapor sebagai pelaku……………..........................................................................................

Diagnosis Banding:
………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………

V. Terapi
● Obat-obatan
● Tindakan Medis
● Penalaksanaan medikolegal

VI. Rencana Tindak Lanjut


Rujukan Medis : …………………………..
Rujukan Psikososial : …………………………..

……. Tanggal ….

Dokter pemeriksa
NIP/NRPTT

78
4. Tanyakan status hubungan pasien dengan pengantar dan sudah berapa lama pasien
mengenal pengantar.
5. Konfirmasi ulang urutan kejadian, apa yang menjadi pemicu, penyiksaan apa yang telah
terjadi, oleh siapa, dimana terjadinya, dengan menggunakan apa, berapa kali dan apa
akibatnya terhadap pasien
6. Gali informasi tentang:
● Keadaan kesehatan sebelum trauma
● Adakah riwayat trauma seperti ini sebelumnya
● Adakah riwayat penyakit dan perilaku seperti ini sebelumnya
● Pada anak, diperhatikan apakah ada perubahan perilaku anak setelah mengalami
trauma seperti ngompol, mimpi buruk, susah tidur, menjadi manja, suka menyendiri,
murung atau agresif.
● Pernah/tidak mengalami hal seperti ini
● Terlapor adalah orang yang sama/tidak sama
● Keadaan korban lebih berat/ringan/sama dengan keadaan sekarang
● Pernah/tidak pernah mengalami tekanan psikologi oleh pelaku kekerasan
● Ada/tidak ada keluarga korban yang ikut dianiaya
● Ada/tidak ada keluarga korban yang lain ikut menganiaya
7. Jika ditemukan amnesia (organik atau psikogenik) lakukan konseling atau rujuk jika
memerlukan intervensi psikiatrik.
8. Periksa apakah ada tanda2 penurunan/kehilangan kesadaran yang diakibatkan oleh
pemberian NAPZA.
9. Pada kasus kekerasan seksual, ditambah dengan pertanyaan tentang hal-hal sebagai berikut:
a. Waktu dan lokasi kejadian, ada tidaknya kekerasan sebelum kejadian, segala bentuk
kegiatan seksual yang terjadi, termasuk bagian-bagian tubuh yang mengalami
kekerasan, ada tidaknya penetrasi, serta dengan apa penetrasi dilakukan.
b. Apa yang dilakukan pasien setelah kejadian kekerasan, apakah pasien mengganti
pakaian, buang air kecil, membersihkan bagian kelamin/dubur, mandi, atau gosok gigi.
Pada anak ditanyakan adakah rasa nyeri, perdarahan dan atau keluarnya sekret dari
kemaluan/dubur. Ditanyakan adanya gangguan rasa nyeri dan gangguan pengendalian
BAB/BAK.
c. Pada pasien kekerasan terhadap perempuan (termasuk remaja) ditanyakan
kemungkinan adanya hubungan seksual dua minggu sebelumnya.
d. Riwayat penggunaan kontrasepsi pada kasus KtP.

Pada kasus
Berikut adalah TPPO
contoh jika mengalami eksploitasi
pertanyaan-pertanyaan kerja kasar,
yang mungkin dapatmaka ditanyakanke
ditanyakan untuk dapat
lebih mengerti keadaan kerja,
arah kesehatan korban. Selalu
juga bertanya
ditanyakan berkaitan
untuk dengan
penyakit masalah
gangguan gizikesehatan
dan
korban. infeksi
Bereaksi mendukung terhadap apapun yang
menular kronis seperti Tuberkulosis. dilaporkan;
● “Kamu terlihat sangat pucat, dapat diceritakan tentang makanan kamu sehari-hari? Apa
yang dimakan selama seminggu ini? Sebulan ini?
● Kamu batuk-batuk terus, Bagaimana dengan situasi di rumah dan kamarmu? Apakah
berbagi kamar dengan orang lain? Apakah ada jendela? Apakah mudah dibuka?

79
● Saya rasa kamu menderita penyakit yang tidak umum di sini, asal kamu dari mana?
Sudah berapa lama di sini?
● Apakah kamu mengalami luka saat bekerja? Dapatkah dijelaskan pekerjaannya seperti
apa? Apakah ini pertama kali terluka atau pernah sebelumnya? Saya perlu memastikan
kamu tidak ada masalah di tempat lain.

C. Pemeriksaan Fisik
1. Lakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh dengan ramah dan sopan.
2. Sebelum pemeriksaan fisik, cek apakah sudah dilakukan informed-consent.
3. Dipastikan ada yang mendampingi dokter saat melakukan pemeriksaan.
4. Pastikan peralatan dan bahan sudah disiapkan sebelum pemeriksaan.
5. Selalu beritahu apa yang akan dilakukan dan minta persetujuan kepada pasien sebelum
dilakukan pemeriksaan.
6. Lakukan pemeriksaan keadaan umum, tingkat kesadaran dan tanda-tanda vital.
7. Selain pemeriksaan fisik umum sebagaimana biasa, lakukan pencatatan khusus pada
rekam medis untuk kekerasan fisik dan seksual.
8. Perhatikan apakah ada luka lama dan baru yang sesuai urutan kejadian peristiwa
kekerasan yang dialami. Catat jenis, lokasi, bentuk, ukuran, dasar dan tepi luka.

Deskripsi Luka Secara Umum


Prinsipnya dalam mendeskripsikan luka harus sesuai dengan apa yang dilihat dan
ditemukan pada luka, dimana penulisannya di dahului oleh lokasi luka sesuai dengan
daerah anatomis.
1. Luka memar
Dalam pencatatatan deskripsi luka memar berikut urutannya:
a. Lokasi dan koordinat
b. Bentuk: bulat /bentuk tertentu/tidak beraturan
c. Batas: tegas /tdk tegas
d. Bengkak/tdk bengkak
e. Nyeri tekan/Tidak (korban hidup)

Warna, perubahan warna pada memar:

Kemerahan 1 Hari
Merah Kebiruan (ungu) 2-3 Hari
Biru Kehitaman 4-5 Hari
Kehijauan 1 Minggu
Kuning 1-2 Minggu
Normal 2 Minggu

80
Contoh diskripsi memar:
Pada kelopak mata kanan atas dan bawah terdapat luka memar berbentuk lonjong
dengan batas tegas berwarna merah kebiruan, membengkak, nyeri tekan atau tidak,
ukurang panjang x lebar.

2. Luka lecet geser/gores/tekan/serut


Dalam pencatatatan deskripsi luka lecet geser/gores/tekan/serut berikut urutannya:
a. Lokasi dan koordinat
b. Jumlahnya (kurang dari 5 /lebih dari lima).
c. Bentuk garis sejajar/tidak beraturan/berbentuk huruf, dll
d. Arah - mendatar/vertikal/serong
e. Warna
f. Ukuran (panjang x Lebar), bagian yang diukur adalah yang terpanjang dan yang
paling lebar.

Catatan:
• Jumlah bila lebih dari lima garis disatukan pada satu daerah (panjang x lebar),
dengan ukuran masing garis lecet terpanjang dan terpendek saja
• Jumlah kurang dari 5, disebutkan jumlahnya dan masing –masing diukur panjang
dan lebarnya.

Contoh:
• Diskripsi luka lecet:
Terdapat beberapa buah luka lecet geser, pada daerah seluas (panjang x lebar),
berbentuk garis garis berjalan sejajar/ tidak sejajar dengan arah mendatar/vertikal
/serong dari kanan/kiri bawah/atas ke kiri/ kanan atas/bawah, berwarna
kemerahan/ kehitaman, ukuran terpanjang, ukuran terpendek
• Luka lecet gores (Jumlah dibawah 3 buah)
Terdapat tiga buah luka lecet gores, berbentuk garis garis berjalan sejajar/tidak,
dengan arah mendatar/vertikal/serong dari kanan/kiri bawah/atas atau ke

81
kiri/kanan atas/bawah, berwarna kemerahan dengan ukuran masing–masing
(panjang x lebar)
• Luka Lecet tekan
Terdapat luka lecet tekan berbentuk beraturan/tidak beraturan, berwarna
kehitaman dengan ukuran (panjang x lebar).

Catatan: untuk luka lecet dan memar yang berada dalam satu regio penulisan dapat
disatukan.

3. Luka terbuka karena kekerasan tajam atau tumpul


Dalam pencatatatan deskripsi luka terbuka karena kekerasan tajam atau tumpul berikut
urutannya:
a. Lokasi dan koordinat
b. Tepi: rata/tidak rata
c. Sudut: tajam – tajam/tumpul-tajam/tumpul-tumpul
d. Dasar: jaringan, jaringan lemak, otot, tulang
e. Jembatan jaringan ada/tidak
f. Bila dirapatkan berbentuk (garis /tidak beraturan)
g. Ukuran

Contoh
• Luka terbuka kekerasan tumpul
Pada pelipis kiri, terdapat luka terbuka tepi tidak rata, sudutnya (tumpul tajam),
bagian bawah tumpul, bagian atas tidak beraturan, dasarnya ada jembatan jaringan,
bila dirapatkan berbentuk garis dengan arah mendatar/ vertikal/serong dari kanan
/kiri bawah/atas ke kiri/kanan atas/bawah, ukuran (panjang).
• Luka terbuka karena kekerasan tajam
Terdapat luka terbuka tepi rata, kedua sudut tajam/ tumpul, dasarnya jaringan otot
yang terpotong rata, bila dirapatkan berbentuk garis dengan arah
mendatar/vertikal/serong dari kanan/kiri bawah/atas ke kiri/kanan atas/bawah.
Dengan ukuran (panjang), sudut bagian atas tumpul, sudut bagian atas tajam. Ciri
khas pada luka akibat kekerasan benda tajam adalah tidak terdapat jembatan
jaringan.

Beberapa luka menunjukkan ciri khas akibat kekerasan yang bukan akibat kecelakaan.
Luka-luka seperti tramline hematome, luka dengan bentuk dan pola tertentu yang khas,
luka bakar akibat sundutan rokok, dan memar berbentuk telapak tangan, adalah
sebagian contohnya. Luka-luka juga terkadang memperlihatkan luka yang tidak sama
usianya, misalnya terdapat memar yang merah ungu dan memar lainnya berwarna hijau
kekuningan. Keadaan ini menunjukkan adanya kekerasan yang berulang yang sangat

82
mungkin bukan akibat kecelakaan. Hal sama juga bisa ditemukan dalam bentuk luka
lecet, luka terbuka dan bahkan patah tulang, yang terlihat dari perbedaan masa
penyembuhannya.
Harus juga diperhatikan daerah mata (termasuk retina), daun telinga, rongga mulut dan
alat kelamin untuk mendeteksi adanya tanda-tanda perlukaan terselubung (occult
trauma).

Raba semua tulang terutama tulang-tulang panjang adakah nyeri tulang saat palpasi
dilakukan, serta lakukan uji sendi dengan melakukan gerakan rentang sendi, adakah
keterbatasan gerakan sendi. Pada kasus-kasus berat, pemotretan berwarna dapat
membantu.
Hal penting lainnya adalah bahwa bukti adanya kekerasan tersebut harus relevan
dengan keterangan yang diberikan oleh saksi korban. Suatu luka memar atau lecet kecil
di daerah pipi, leher, pergelangan tangan atau paha mungkin tidak khas dan tidak
bermakna dari segi kedokteran, namun bermakna bagi hukum apabila relevan dengan
riwayat terjadinya peristiwa, seperti ditampar, dicekik, dipegangi dengan keras atau
dipaksa diregangkan pahanya (pada kasus kejahatan seksual). Adanya sindroma mental
tertentu dapat mendukung relevansi temuan bukti fisik tersebut dari sisi psikologis.
Derajat luka juga penting ditentukan untuk menentukan proses hukum. Derajat luka
terdiri dari:
1. Derajat satu (ringan), adalah luka yang tidak menimbulkan penyakit dan halangan
pekerjaan dengan ancaman maksimal 3 bulan penjara.
2. Derajat dua (sedang), adalah luka yang menimbulkan penyakit, dimana keadaan
kondisi tubuh terjadi gangguan fisik, psikis, metabolis oleh karena berbagai sebab,
sehingga fungsi fisiologis orang tersebut tidak dapat berjalan secara normal dan
halangan pekerjaan sementara waktu dengan ancaman maksimal 9 bulan penjara
3. Derajat tiga (berat), adalah luka yang mendatangkan bahaya maut; tidak dapat
bekerja seterusnya; kehilangan salah satu panca indra; cacat berat; kelumpuhan;
daya pikir hilang lebih dari 4 minggu; gugur/mati kandungan. dengan ancaman
maksimal 8-9 tahun penjara atau hukuman mati

Suatu kasus patut diduga sebagai KtP/A bila ditemukan adanya:


● Memar/jejas di kulit pada daerah yang tidak lazim terkena kecelakaan seperti pipi,
lengan atas, paha, bokong dan genital.
● Perlukaan multipel (ganda) dengan berbagai tingkat penyembuhan; tanda dengan
konfigurasi sesuai jari tangan, tali atau kabel, kepalan, ikat pinggang bahkan gigi
orang dewasa.
● Patah tulang pada anak usia dibawah tiga tahun, patah tulang baru dan lama (dalam
penyembuhan) yang ditemukan bersamaan, patah tulang ganda, patah tulang
bentuk spiral pada tulang-tulang panjang lengan dan tungkai, patah tulang pada
kepala, rahang dan hidung serta patahnya gigi.
● Luka bakar seperti bekas sundutan rokok, luka bakar pada tangan, kaki, atau bokong
akibat kontak bagian-bagian tubuh tersebut dengan benda panas, bentuk luka yang
khas sesuai dengan bentuk benda panas yang dipakai untuk menimbulkan luka
tersebut.
● Cedera pada kepala, seperti perdarahan (hematoma) subkutan atau subdural, yang
dapat dilihat pada foto rontgen, bercak/area kebotakan akibat tertariknya rambut,
baik yang baru atau berulang.
● Lain-lain: dislokasi/lepas sendi pada sendi bahu atau pinggul.

83
Perhatian Khusus pada Korban Anak
1. Seperti pada pemeriksaan korban dewasa, harus ada pendamping yang dipercaya
anak berada di ruang pemeriksaan dan didapatkan informed-consent dari orang tua
atau walinya.
2. Jelaskan apa yang akan terjadi selama pemeriksaan dengan menggunakan istilah
atau bahasa yang dimengerti anak-anak.
3. Dengan persiapan yang cukup, kebanyakan anak dapat tenang dan mengikuti
pemeriksaan. Jika anak tidak dapat tenang karena nyeri, dapat diberikan
parasetamol atau obat nyeri sederhana lainnya.
4. Jangan memaksa dengan menakuti anak untuk menyelesaikan pemeriksaan. jika
dilakukan akan menambah ketakutan dan kecemasan anak dan memperburuk
dampak psikologis kekerasan.
5. Sangat berguna menggunakan boneka tangan untuk mendemonstrasikan prosedur
dan posisi. Tunjukan pada anak perlengkapan pemeriksaan seperti sarung tangan,
swab dll.
6. Anak kecil dapat diperiksa di pangkuan ibunya, sedangkan yang lebih tua dapat
diberikan pilihan duduk di kursi, di pangkuan ibu atau berbaring di tempat tidur.
7. Periksa dan catatlah keadaan gizi (tinggi badan, berat badan dan usianya), higiene
dan tumbuh kembang si anak. Pemeriksaan status tumbuh kembang dan status gizi
anak sangat relevan dalam upaya menegakkan ada atau tidaknya penelantaran.
8. Periksa dan catatlah keadaan umum si anak, seperti kesadaran, kooperatif atau non
kooperatif, kejang, apnea dan syok.

D. Pemeriksaan Seksual

Sebelum pemeriksaan, apabila dilakukan oleh petugas yang berbeda, maka perlu di cek
apakah sudah menandatangani informed consent.
Pemeriksaannya meliputi:
1. Setelah pemeriksaan fisik umum sebagaimana biasa, lakukan pencatatan khusus pada
rekam medis untuk kekerasan seksual.
a. Perhatikan penampilan korban (rambut dan wajah), rapi atau kusut, keadaan
emosional, tenang atau sedih/gelisah dsb.
b. Lakukan pemeriksaan terhadap keadaan umum, kesadaran, dan tanda vital tubuh
lainnya.
c. Perhatikan luka-luka yang sesuai dengan jalannya peristiwa kekerasan seksual yang
dialami (dipegangi tangannya, tungkainya dibekap, dsb), dan catat dalam rekam
medis meskipun luka tersebut “hanya” berupa memar ataupun lecet kecil.

Pada pemeriksaan korban kasus kejahatan seksual, penting untuk mencari atau melihat
tanda-tanda berikut ini:
1) Perkiraan umur
2) Tanda-tanda persetubuhan
3) Tanda-tanda kekerasan
4) Tanda-tanda gangguan psikologis

2. Dalam hal peristiwa kekerasan seksual belum lama terjadi dan pakaian yang dikenakan
korban masih pakaian yang sama sewaktu peristiwa terjadi, maka:
a. Pada pemeriksaan terhadap korban yang langsung dari TKP kita dapat
menggunakan alat bantu rape kit yaitu kit yang berisi amplop-amplop untuk
pengambilan barang bukti pada kasus kejahatan seksual.

84
Rape kit, digunakan untuk korban yang langsung dari TKP

Lembar Informed Consent

b. Bila di tubuh korban banyak menempel barang bukti (seperti rumput, tanah, dll), korban
dipersilahkan berdiri diatas selembar kertas putih yang cukup besar (koran/kertas
flipchart) kemudian baju dan rambut digeraikan sehingga barang-barang bukti yang
menempel pada tubuh pasien jatuh keatas kertas. lalu kertas dilipat membungkus
barang bukti tersebut, kemudian masukkan ke dalam amplop yang sudah ada identitas
pasien lalu disegel dan dibubuhkan tanda tangan si pengumpul (dokter).

c. Dalam hal pada pakaian korban dicurigai adanya bercak mani berupa bercak teraba
kaku, maka pakaian tersebut diminta dan dimasukkan ke dalam amplop, sedangkan
korban diberi pakaian pengganti. Bila pakaian dalam (celana dalam) keadaan basah
keringkan terlebih dahulu dalam suhu kamar dan hindari penggunaan Air Conditioner
(AC).

85
3. Lakukan pemeriksaan pertumbuhan gigi geligi dan seks sekunder (pertumbuhan payudara
dan rambut pubis) untuk konfirmasi usia korban atau kepantasan dikawin sebagaimana
diminta oleh undang-undang.

Gambar periksa gigi geligi (gigi ke 7 & 8)

4. Bila diduga ada persetubuhan oral, periksa adanya lecet, bintik perdarahan atau memar
pada palatum, kemudian:
a. Lakukan swab pada laring dan tonsil dan buat sediaan hapus dua buah untuk 1)
pemeriksaan mikrobiologi (adanya penyakit hubungan seksual) dan 2) pemeriksaan
sperma dan cairan mani.

b. Kapas lidi dikeringkan dan dimasukkan kedalam amplop. Kedua sediaan hapus dan
amplop berisi kapas lidi yang sudah kering, dimasukkan ke dalam amplop besar,
disegel dan bubuhkan label identitas serta ditanda-tangan oleh
pengumpul/pemeriksa.

5. Kuku jari tangan dipotong dan dimasukkan ke dalam amplop terpisah kanan dan kiri,
amplop disegel dan bubuhkan label identitas.

86
6. Periksa, adakah tanda-tanda bekas kehilangan kesadaran atau diberikan obat
bius/tidur, apakah ada” needle marks”.
a. Bila ada, ini merupakan indikasi untuk pemeriksaan darah dan urin.
b. Darah diambil dari vena cubiti sebanyak 5 ml, sedangkan urin diambil setidaknya
sejumlah 10 ml.

7. Pemeriksaan ginekologi dilakukan dalam posisi litotomi.

Pada saat pemeriksaan dilakukan cermati apakah terdapat tanda-tanda persetubuhan:


a. Tanda-tanda penetrasi
- Robekan selaput dara
- Perlukaan pada mulut vagina
b. Tanda-tanda ejakulasi
- Adanya sel sperma
- Ada cairan sperma
c. Tanda-tanda akibat persetubuhan
- Kehamilan
- Infeksi menular seksual (IMS)
Persetubuhan positif apabila terdapat robekan selaput dara disertai salah satu dari
sperma atau kehamilan atau IMS, bila tidak ada maka robekan disebutkan akibat
kekerasan tumpul.

8. Perhatikan adanya kerak (bercak kering) atau bercak basah:


a. Kerak yang kering dikerok dan dimasukkan kedalam amplop, disegel dan
dibubuhkan label identitas.
b. Bila terdapat bercak basah, diusap dengan kapas lidi kemudian dikeringkan dan
dimasukkan kedalam amplop, disegel dan bubuhi label identitas.

9. Rambut pubis disisir:


a. Rambut lepas yang ditemukan (mungkin milik tersangka pelaku) dimasukkan ke
dalam amplop.

87
b. Cabut minimal 3 sampai 10 helai rambut pubis korban dan masukkan ke dalam
amplop lain.
c. Jika didapat rambut yang menggumpal, gunting dan masukkan dalam amplop
terpisah.
d. Seluruh amplop disegel dan dibubuhi label identitas.

10. Periksa adanya luka di daerah sekitar paha, vulva dan perineum; catat jenisnya, lokasi,
bentuk, dasar, tepi dan sekitar luka.
a. Mikrolesi yang tidak tampak dengan kasat mata dapat dilihat dengan
menyemprotkan cairan toluidin blue dan bilas dengan aquadest, erosi atau laserasi
akan tampak berwarna biru.
b. Pemeriksaan selaput dara, tentukan:
− lokasi robekan tersebut tentukan pada arah jam berapa
− ada atau tidaknya robekan
− robekan baru atau lama
− teliti apakah sampai ke dasar atau tidak.
c. Dalam hal tidak terdapat robekan, padahal diperoleh informasi terjadinya penetrasi:
1) Pada perempuan dewasa, lakukan pemeriksaan besarnya lingkaran lubang
dengan mencoba memasukkan satu jari kelingking. Bila jari kelingking dapat
masuk tanpa hambatan dan nyeri, lakukan uji dengan satu jari telunjuk, dan
selanjutnya dengan dua jari (telunjuk dan tengah).
2) Pada anak-anak lakukan traksi lateral kiri dan kanan dengan dua jari dan ukur
diameter introitus vagina. Pada balita diameter introitus vagina tidak lebih dari
5 mm. Dengan bertabahnya usia akan bertambah 1 mm/tahun. Jika diameter
sampai 10 mm, dicurigai telah terjadi penetrasi.

11. Lakukan swab pada komisura posterior dan forniks posterior. Kemudian buat sediaan
hapus 2 (dua) buah. Swab dilakukan dengan cara:
a. Pasang spekulum bila korban telah menikah atau melakukan kegiatan seksual rutin,
gunakan ukuran yang sesuai. Pada korban yang baru pertama kali disetubuhi
lakukan pengambilan sampel tanpa spekulum.
b. Gunakan pipet plastik, ambil cairan dalam vagina, teteskan ke atas kaca objek,
kemudian tutup dengan kaca penutup dan segera diperiksa di bawah mikroskop
adanya spermatozoa. Apabila dalam vagina tidak ditemukan cairan, bilaslah terlebih
dahulu dengan 2 ml larutan garam fisiologis.
c. Masukkan lidi kapas bersih ke dalam vagina, basahkan kapas dengan cairan vagina
dengan cara memutarnya beberapa kali, dan biarkan difomiks posterior selama satu
menit.
d. Pada anak-anak atau yang belum menikah, kapas lidi ukuran kecil diletakkan di
komisura posterior, didorong ke dalam vagina menelusuri dinding belakang vagina
dengan hati-hati sampai terbentur forniks digerakkan kekiri dan kekanan, ditarik
keluar menelusuri dinding belakang vagina secara hati-hati.
e. Buat dua buah sediaan hapus dengan cara menggelindingkan kapas diatas gelas
obyek. Keringkan diudara dalam suhu kamar. Kapas lidi juga dikeringkan.
f. Setelah sediaan hapus kering, masukkan kedalam amplop terpisah, satu untuk
pemeriksaan mikrobiologi (pemeriksaan adanya GO) dan yang lain untuk
pemeriksaan laboratorium forensik lainnya.

12. Dalam hal adanya riwayat persetubuhan anus, pemeriksaan colok dubur dan anuskopi
perlu dipertimbangkan untuk melihat adanya luka baru dan gambaran rugae.

88
Pemeriksaan anus dapat dilakukan pada knee-chest position, dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Lakukan swab pada rugae-rugae.
b. Buat dua sediaan hapus dan kapas lidi dikeringkan seperti pada swab laring dan
tonsil pada butir 4.

Semua anak-anak, laki-laki dan perempuan, harus dilakukan pemeriksaan anus dalam
posisi supine atau lateral. Hindari knee-chest position bila pelaku biasa menggunakan
posisi ini. Dilakukan swab pada lumen dan rugae2. Jangan menggunakan anuskop pada
anak di bawah 6 tahun, agar tidak menambah trauma baru pada anak. Anuskop hanya
digunakan sesuai indikasi (dicurigai ada keluhan, infeksi, perdarahan dalam).

Terhadap korban yang datang lebih dari 72 jam setelah kejadian, dilakukan:
1. Pemeriksaan fisik; jarang ditemukan bukti-bukti fisik pada lebih dari satu minggu
setelah kejadian. Pada semua kasus:
a. Catat ukuran dan warna dari memar dan lecet,
b. Catat bukti-bukti komplikasi kekerasan yang mungkin terjadi (tuli, patah tulang,
abses dll),
c. Cek tanda-tanda kehamilan,
d. Catat kondisi mental korban (normal, depresi, percobaan bunuh diri dll).
2. Pemeriksaan daerah genital;
a. Jika kekerasan terjadi lebih dari 72 jam tapi kurang dari 1 minggu, catat apapun
luka yang menyembuh dan atau luka baru.
b. Jika kekerasan terjadi lebih dari satu minggu dan tidak ada memar atau lecet dan
tidak ada keluhan (misal keluar cairan dari vagina atau anus atau luka), kecil
indikasi untuk melakukan pemeriksaan pelvik.
c. Swab forniks posterior tetap dilakukan untuk mendeteksi adanya Infeksi Menular
Seksual (IMS)

Perhatian khusus untuk korban laki-laki


Untuk pemeriksaan genital:
1) Periksa skrotum, testis, penis, jaringan periuretral, lubang uretra, dan anus,
2) Perhatikan apakah korban sudah disunat,
3) Adakah hiperemia, bengkak (bedakan antara hernia, hidrokel dan hematokel),
puntiran testis, memar, robekan anus dll,
4) Puntiran testis termasuk gawat darurat dan membutuhkan rujukan bedah segera,
5) Jika urin berisi sejumlah darah, cek penis dan trauma uretra,
6) Jika perlu lakukan pemeriksaan rektum dan prostat untuk trauma dan tanda infeksi,

89
7) Jika perlu, kumpulkan bahan dari anus untuk pemeriksaan langsung sperma di
bawah mikroskop.

E. Pemeriksaan Penunjang/Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan sesuai kebutuhan dan ketersediaan sarana.


1. Lakukan pemeriksaan darah rutin (darah tepi lengkap) dan bila diperlukan periksa
waktu perdarahan, PT (protrombin time) dan PTT (partial thrombo plastin time). Pada
trauma abdomen: darah tepi lengkap, urinalisis, fungsi hati dan amilase.
2. Lakukan pemeriksaan urin dan fases rutin.
3. Rontgen dan USG (jika tersedia) dapat digunakan untuk diagnosis patah tulang dan
trauma abdominal.
4. Pada kasus kekerasan seksual perlu dilakukan tambahan pemeriksaan penunjang
antara lain:
a. Penapisan (skrining) penyakit kelamin
1) Tes Rapid Plasma Reagen (RPR) untuk sifilis atau jenis tes cepat lainnya,
2) Pewarnaan Gram dan kultur untuk Gonorea, Kultur atau Enzym-linked
Immunosorbent Assay (ELISA) untuk Chlamydia atau jenis tes cepat lainnya,
3) Sediaan basah untuk Trichomoniasis,
4) Tes HIV (hanya berdasar bukti dan setelah konseling).
b. Tes kehamilan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya kehamilan apabila
terdapat indikasi.
c. Pengambilan barang bukti dan sampel yang wajib diambil.
1) Barang bukti utama:
a) Swab/bilas vagina untuk pemeriksaan spermatozoa, sel Infeksi Menular
Seksual, DNA
b) Urin untuk pemeriksaan kehamilan, Narkotika dan obat-obatan
c) Swab Mukosa mulut untuk pemeriksaan DNA
2) Barang bukti penunjang:
a) Darah untuk pemeriksaan Toksikologi dan Keayahan (apabila telah terjadi
kehamilan)
b) Foto dan swab bekas gigitan, untuk pencocokan cetak gigi pelaku dengan
gambaran/pola bekas gigitan
c) Ambil jaringan dibawah kuku apabila ada riwayat korban melawan dengan
mencakar untuk pemeriksaan DNA
d) Sisiran rambut kemaluan bila korban sudah dewasa untuk pemeriksaan DNA
e) Pakaian yang dipakai waktu kejadian (Celana dalam, BH, baju, rok/celana)
untuk menemukan sisa – sisa kejadian (trace evidence) baik berupa sperma,
cairan sperma maupun sisa dari pelaku, rambut pelaku, tanah, rumput dan
lain-lain

Penyimpanan barang bukti


Salah satu teknik yang mudah untuk menyimpan darah atau sperma adalah dengan
mengeringkannya pada suhu kamar melalui media kasa steril atau kertas saring. Teknik lain
adalah dengan memberi pengawet seperti EDTA, NaF 1 % (darah), Na Benzoat (urine),
formalin 10 % (jaringan), alkohol 96 % dan dimasukan kedalam lemari es (4- 8 derajat)
bukan di freezer. Karena barang bukti yang dikumpulkan berupa bahan biologis maka
tentunya akan mudah rusak sehingga perlu diperhatikan tata cara penyimpanan dan
pengirimannya.
Penanganan lanjut sampel barang bukti:

90
a. Setiap swab/sedian lain yang ada harus dikeringkan dalam suhu kamar, tidak boleh di
jemur atau dikeringan dengan hair dryer.
b. Setiap bahan sampel harus dimasukan kedalam tabung baik dengan atau tanpa
pengawet, yang telah diberi label pada bagian luar tabung bertuliskan nama organ yang
diambil, nama korban dan nomor SPV.
c. Setiap tabung sampel yang dikirim harus disegel dengan segel dari Instalasi forensik.
d. Bersamaan dengan pengiriman sampel harus disertai dengan surat permohonan
pemeriksaan laboratorium yang ditandatangani oleh dokter spesialis forensik yang
meminta pemeriksaan dan disertai pula tanda terima sampel oleh petugas laboratorium
yang menerima sampel.
e. Jika perlu, hasil pemeriksaan laboratorium dapat di perbanyak dan dilampirkan dalam
VeR.

F. Penatalaksanaan Medis
Pada kasus KtP/A dan TPPO, baik kekerasan fisik dan atau kekerasan seksual, korban tidak
hanya menderita cedera fisik tapi juga mengalami perubahan perilaku dan mental
emosional. Pada korban kekerasan seksual seringkali justru problem mental ini lebih
menonjol. Oleh sebab itu penatalaksanaan medik pada korban kekerasan harus mencakup
tindakan dan pengobatan terhadap kondisi fisik serta evaluasi dan penatalaksanaan
problem mental dan perilaku yang menyertainya. Ketakutan, cemas berlebih, gangguan
tidur (nightmare), regresi perilaku, hiperaktif, agresif, menarik diri, depresi (perlu
diwaspadai risiko suicide), gangguan stres pasca trauma (PTSD), adalah problem mental
yang biasa dijumpai pada korban kekerasan. Pada kasus yang mengalami gangguan
psikiatrik berat seperti PTSD, depresi berat, serangan panik, atau histeria akut, atau
keadaan darurat psikiatrik lainnya, Tenaga kesehatan dapat melakukan pertolongan
darurat psikiatrik dengan memberikan obat-obat psikofarmaka seperti diazepam,
haloperidol, klorpromazin. Selanjutnya kasus dapat dirujuk ke Psikiater atau Psikolog.

Langkah-langkah penatalaksanaan medis:


1. Tangani kegawatdaruratan yang mengancam nyawa terlebih dahulu
2. Pastikan keamanan korban
3. Tangani luka sesuai prosedur
4. Bila dicurigai terdapat patah tulang, lakukan rontgen dan penanganan yang sesuai atau
rujuk
5. Bila dicurigai terdapat perdarahan dalam, lakukan USG atau rujuk
6. Bersihkan robekan, irisan dan abrasi, hilangkan kotoran, feses dan jaringan mati atau
rusak. Putuskan apakah luka perlu dijahit. Jika ada luka kotor jangan dijahit,
pertimbangkan pemberian antibiotic dan pereda nyeri
7. Jika ada kulit atau mukosa yang robek, profilaksis tetanus harus diberikan meskipun
korban sudah divaksinasi lengkap. Jika vaksin dan immunoglobulin diberikan pada saat
bersamaan, penting untuk menggunakan suntikan berbeda clan titik suntik berbeda
8. Dengarkan dan dukung korban sesuai manual konseling
9. Pada anak korban KtA, informasikan dengan hati-hati hasil pemeriksaan dan
kemungkinan dampak yang terjadi pada anak dan keluarga serta rencana tindak
lanjutnya. Bila anak memiliki status gizi buruk atau kurang, diberikan makanan
tambahan dan konseling gizi pada orangtua atau keluarga
10. Pada kasus kekerasan seksual:
- Segera dirujuk ke Rumah Sakit/dokter kebidanan untuk pemeriksaan lebih lanjut
(jika tidak terbiasa menangani kasus kekerasan seksual);

91
- Periksa dan cegah kehamilan; diberikan informasi tentang kemungkinan tentang
kehamilan. Berikan kontrasepsi darurat bila kejadian perkosaan belum melebihi 72
jam setelah dilakukan informed consent (lihat buku pedoman kontrasepsi darurat)
- Periksa, cegah dan obati infeksi menular seksual atau rujuk ke RS; atau berikan
informasi tentang kemungkinan penularan IMS/HIV AIDS dan rujuk ke layanan
pencegahan dan pemeriksaan IMS/HIV AIDS.
- Berikan konseling untuk pemeriksaan HIV AIDS dalam 6-8 minggu atau rujuk bila
perlu
11. Tanyakan makna temuan bagi korban dan keluarganya serta langkah mereka berkaitan
dengan temuan tersebut, lalu terangkan temuan pemeriksaan dan kosekuensinya
dengan hati-hati
12. Jika ditemukan masalah gangguan mental, lakukan konseling atau rujuk jika
memerlukan intervensi psikiatrik
13. Periksa dengan teliti dan lakukan pencatatan serta berikan surat-surat yang diperlukan
14. Setiap korban berhak mendapatkan pelayanan rehabilitasi medis maupun rehabilitasi
psikososial.

Pemberian Terapi Pada Korban Kekerasan Seksual

Pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS):


Korban perkosaan harus diberi antibiotik untuk infeksi Klamidia, GO dan Sifilis. Jika
diketahui IMS lain sering dijumpai (seperti Trikomoniasis atau Chancroid), beri terapi
preventif untuk infeksi ini juga.
Berikan regimen terpendek yang ada di protokol lokal yang mudah diberikan
Hati-hati pada wanita hamil, tidak boleh minum obat antibiotik tertentu dan sesuaikan
terapinya.
Regimen pencegahan IMS dapat dimulai bersamaan dengan kontrasepsi darurat dan
Profilaksis Pasca Pajanan (PPP) untuk HIV, meskipun dosis harus di bagi (dan diminum
bersama makanan) untuk mengurangi efek samping seperti mual.

Pencegahan infeksi HIV:


Lakukan tes HIV (Rapid test). PPP harus diberikan kepada korban perkosaan berdasarkan
penilaian risiko dari anamnesis yang dilakukan dokter dan prevalensi HIV di wilayah
tersebut. Risiko HIV meningkat pada kasus-kasus berikut: jika pelaku lebih dari satu; jika
korban memiliki kulit luka atau rusak; jika terjadi sodomi, jika pelaku diketahui HIV positif
atau pengguna jarum suntik. Jika status HIV tidak diketahui, asumsikan mereka HIV positif,
terutama di negara dengan prevalensi HIV tinggi.
PPP biasanya terdiri dari 2 atau 3 obat antiretroviral (ARV), diminum 2 kali sehari selama
28 hari. Obat terdiri dari zidovudine (ZDV atau AZT) dan lamivudine (3TC). Tersedia
kombinasi obat ini dalam 1 tablet bernama Combivir.
Jika tidak memungkinkan korban menerima PPP di tempat anda, rujuk secepat mungkin
(dalam waktu 72 jam setelah kejadian) ke tempat yang menyediakan PPP
Jika korban datang setelah 72 jam PPP tidak diberikan dan korban dirujuk ke fasyankes
yang memiliki layanan tes HIV yang ada di wilayah anda

Pencegahan kehamilan:
Berikan pil kontrasepsi darurat dalam waktu 72 jam (3 hari) akan mengurangi
kemungkinan hamil antara 56%-93%

92
Regimen kontrasepsi darurat tidak merusak kehamilan yang sudah ada dan bukan metode
untuk aborsi
Pengunaan kontrasepsi darurat adalah pilihan pribadi korban. Korban harus diminta
informed consent sebelum memutuskan menggunakan regimen ini.
Jika korban adalah anak yang sudah menstruasi, diskusikan mengenai kontrasepsi darurat
dengan korban dan pendampingnya, yang dapat membantunya agar mengerti dan memilih
regimen sesuai kebutuhan.
Tidak ada kontraindikasi yang diketahui untuk memberikan pil kontrasepsi darurat
bersamaan dengan antibiotik untuk IMS dan PPP, meskipun dosis harus dibagi dan
dikonsumsi setelah makan untuk mengurangi efek samping, seperti mual.

Regimen Dewasa/Anak* untuk Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Menular Seksual (IMS)
NAMA JENIS OBAT REGIMEN

Gonorhea Ciprofloxcacin 500 mg oral, dosis tunggal (kontraindikasi


untuk perempuan hamil) atau
Cefixime 400 mg oral, dosis tunggal, atau
Ceftriaxone 125 mg IM, dosis tunggal
Infeksi Klamidia Azithromycin 1 g oral, dosis tunggal (KI Kehamilan) atau
100 mg oral, dua kali sehari untuk 7 hari (KI
Doxycycline Kehamilan)
Infeksi Klamidia Erythromycin 500 mg, 4 kali sehari untuk 7 hari
Amoxicillin 500 mg oral, 3 kali sehari untuk 7 hari

Sifilis Benzathine 2,4 juta IU, IM sekali dibagi 2 suntikan


Azythromycin benzylpenicillinberbeda tempat atau 1g
oral, dosis tunggal
Sifilis, pasien alergi Doxycycline 100 mg oral, dua kali sehari untuk 14 hari
penicillin (kontraindikasi kehamilan)

Sifilis, hamil alergi Erythromicin 500 mg oral, 4 kali sehari untuk 14 hari
penicillin
Trichomoniasis Metronidazole 2 g oral, dosis tunggal atau 2 dosis terbagi
(KI Kehamilan trimester awal)

Sumber: Pedoman Nasional Tata Laksana IMS, 2015


*pada korban anak dosis anak disesuaikan

Pemberian Kontrasepsi Darurat


Cara Merk Dagang Dosis Waktu Pemberian
Mekanik Copper T Satu kali Dalam waktu < 7 hari pasca senggama
AKDR-Cu Multiload
Nova T
Medik Pil Microginon 50 2 x 2 tablet Dalam waktu 3 hari pasca senggama
Kombinasi Ovral dosis kedua 12 jam kemudian
Neogynon
Norgiol
Eugynon

93
Mycrogynon 30 2 x 24 Jam Dalam waktu 3 hari pasca senggama
Mikrodiol dosis kedua 12 jam kemudian
Nordette
Progestin Postinor 2 x 1 tablet Dalam waktu 3 hari pasca senggama
dosis kedua 12 jam kemudian
Estrogen Lynoral 2,5 mg/dosis Dalam waktu 3 hari pasca senggama,
Premarin 10 mg/dosis 2x1 tablet selama 5 hari
Progynova 10 mg/ dosis
Mifepristone RU-436 1 X 600 mg Dalam waktu 3 hari pasca senggama
Danazol Donocrine 2 x 4 tablet Dalam waktu 3 hari pasca senggama,
Azol dosis kedua 12 jam senggama

Bila pasien memerlukan rujukan, maka dapat dirujuk ke fasilitas pelayanana kesehatan yang lebih
tinggi dengan melampirkan surat rujukan.

Surat Rujukan adalah surat pengantar tenaga medis dalam hal ini dokter pemeriksa secara tertulis
yang bertujuan untuk meminta advice (petunjuk pengobatan) atas hasil pemeriksaan untuk
mendapatkan penanganan lebih lanjut bagi korban kekerasan.

94
Contoh surat rujukan:
KOP PUSKESMAS/RUMAH SAKIT

Kepada Yth:
RS …….….
Di ………
Hal: Rujukan

Dengan hormat,

Mohon bantuan untuk penanganan lebih lanjut bagi:

Nama : ……………………………………………………………..........................
Umur : ……………………………………………………………..........................
Alamat : ……………………………………………………………..........................
……………………………………………………………............................
Masalah/kasus : ……………………………………………………………..........................
……………………………………………………………............................
Hasil Pemeriksaan : ……………………………………………………………..........................
……………………………………………………………...........................

Pertolongan yang telah diberikan: ……………………………………………………….................


.....................……………………………………………………………………................................
..................……………………………………………………………………...................................

Bantuan lebih lanjut yang diharapkan: …………………………………………………..................


…………………………………………………………………………………………….....................

Atas perhatian dan kerjasamanya yang baik, kami ucapkan terimakasih.

……………………
Dokter yang merawat,

(…………………………..)
Catatan:
Lembar 1 : Untuk RS ……..
Lembar 2 : Untuk Arsip

95
MATERI POKOK 2. VISUM ET REPERTUM (VER) SESUAI DENGAN ASPEK MEDIKOLEGAL
DALAM PENANGANAN KASUS KTP/A TERMASUK TPPO DAN RAPE KIT

A. Aspek Medikolegal

Peran dokter adalah sebagai pelayan kesehatan yang berperan mencegah serta
menyembuhkan penyakit. Peran lainnya adalah sebagai saksi ahli medis yang menjadi
sumber informasi obyektif mengenai masalah kedokteran dan kesehatan bagi penegakan
keadilan atau kebenaran. Semua itu diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP):
1. Pasal 120 KUHAP: Penyidik bila dianggap perlu dapat meminta pendapat seorang ahli.
2. Pasal 133 KUHAP: Penyidik untuk kepentingan peradilan dalam menangani korban
baik luka, keracunan, kematian dapat meminta keterangan ahli dari dokter ahli
kedokteran kehakiman, dokter atau ahli lain.
3. Pasal 179 KUHAP: Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman, dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
Pasal 51 (C) UU Kedokteran mengatakan bahwa dokter atau dokter gigi wajib merahasiakan
segala sesuatu tentang pasiennya sampai mati. Dan ketentuan pidana pun diatur di dalam
pasal 75 (c) UU Praktik Dokter yaitu jika membocorkan rahasia jabatan maka akan diberi
denda sebesar Rp 50.000.000,00 atau kurungan 1 tahun, jika membuka rahasia jabatan
maka ada kurungan 9 bulan (pasal 322 KUHP). Namun jika tidak melakukan kewajiban
memberikan keterangan ahli sesuai dengan pasal 179 KUHAP maka akan diberi hukuman
kurungan 9 bulan.

Untuk melakukan kewajiban pasal 179 tersebut terdapat pasal dalam KUHP yang
melindungi yaitu:
1. Pasal 50 KUHP: barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan
undang – undang, tidak dipidana.
2. Pasal 51 KUHP ayat 1: barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah
jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
Dalam hal tindak pidana diperkuat pasal 108 KUHAP ayat 1 yang mengatakan seseorang
yang mengalami, melihat dan atau korban tindak pidana berhak melapor atau mengadu. Dan
menurut ayat 2, pengawai negeri dlm menjalankan tugas wajib melapor.

Aspek mediko legal dalam penatalaksanaan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak
pada dasarnya sama seperti pada kasus umumnya, namun ada beberapa aspek yang perlu
mendapat perhatian khusus. Bila korban datang tanpa disertai surat permintaan visum atau
pasien datang ke RS untuk pelayanan medis lain namun terindikasi merupakan korban
KtP/A maka tenaga kesehatan memperlakukan pasien seperti sudah membawa surat
permintaan visum dari penyidik kepolisiaan.

B. Pembuatan Visum et Repertum (VeR)


Visum et Repertum (VeR) adalah laporan tertulis yang dibuat oleh Dokter atas pemeriksaan
yang dilakukan terhadap barang bukti berupa tubuh manusia (mati/hidup), bagian dari
tubuh manusia yang memuat hasil pemeriksaan dan kesimpulan. Berdasarkan permintaan
tertulis dari pihak berwajib yang digunakan untuk kepentingan peradilan.

96
Visum et Repertum kemudian digunakan sebagai bukti yang sah secara hukum mengenai
keadaan terakhir korban penganiayaan, pemerkosaan, maupun korban yang berakibat
kematian dan dinyatakan oleh dokter setelah memeriksa korban.

Pro Justisia menjelaskan bahwa visum et repertum dibuat untuk tujuan peradilan. VeR
tidak memerlukan materai untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti di
depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum.
Permintaan Visum et Repertum menurut KUHAP pasal 133, merupakan wewenang penyidik,
permintaan tersebut harus dibuat dalam bentuk surat resmi, menggunakan kertas
berkepala surat, bernomor dan bertanggal, diakhiri dengan tandatangan, nama jelas,
pangkat dan NRP.

Landasan Hukum VeR:


1. Lembaran negara No. 350 Thn. 1937
2. KUHAP Pasal 179 kewajiban sebagai saksi ahli.
3. KUHAP Pasal 133 penyidik dapat meminta keteterangan ahli.

Istilah Visum et Repertum tidak tercantum pada KUHAP, namun yang ada adalah
Keterangan Ahli. Sesuai penjelasan pasal 186 KUHAP.
Keterangan Ahli dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh Penyidik atau Penuntut
Umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah
di waktu menerima jabatan atau pekerjaan

Berdasarkan hal tersebut Visum et Repertum merupakan keterangan ahli baik untuk bagian
pemberitaan maupun kesimpulan sehingga secara keseluruhan Visum et Repertum menurut
KUHAP merupakan alat bukti sah. Keterangan ahli sendiri dapat tertulis atau lisan. Berbeda
dengan Lembaran Negara No. 350/1937, bagian dari VeR disebutkan dalam LN. 350/1937:
Visum et Repertum merupakan alat bukti yang sah sepanjang apa yang dilihat dan
ditemukan oleh Dokter.

Catatan Penting:
Siapa yang berhak membuat Visum et Repertum?
Alat Bukti (Pasal 184 KUHAP) adalah segala macam formalitas yang digunakan
Visum et Repertum harus dibuat oleh dokter berdasarkan hasil pemeriksaan medis.
untuk membuktikan
Undang-undang tidak menunjuksuatu tindak
kepada pidana,
dokter yangspesialisasi
dengan terdiri dari keterangan
tertentu saksi,
yang harus
membuatketerangan
Visum etahli, surat-surat,
Repertum petunjuk,
tertentu. Setiapketerangan terdakwa. membuat
dokter berwenang Sistem peradilan di
Visum et
Indonesia
Repertum dengan menganut asas pembuktian
memperhatikan negatif,
ketentuan bahwa artinya
dokter yanghakim
akan dapat menjatuhkan
membuat Visum et
Repertum harus
pidana memahami prosedur
sekurang-kurangnya medikolegal
dengan dan yang
2 alat bukti terlatih
sahsecara teknis melakukan
dan keyakinannya.
pemeriksaan
Barangyang
Bukti,diperlukan sertamacam
adalah segala mampubendamenginter pretasikannya
yang terlibat langsungdengan
dalam tepat.
suatu
Prinsipnya, setiap dokter
peristiwa pidana. yang lulus dari pendidikan dokter di Indonesia dapat membuat

97
Visum et Repertum, karena dokter adalah seorang ahli dalam bidang kedokteran, tenaga
medis lainnya tidak dapat membuat Visum et Repertum.

Tanggung jawab ganda seorang dokter


● Kedatangan korban ke dokter dalam rangka penyidikan adalah sebagai” barang
bukti”, sehingga hak dan kewajiban sebagai pasien berkurang, korban akan
diperiksa secara forensik oleh dokter selain juga diobati, hasil pemeriksaan dan
pengobatan akan dituangkan kedalam Visum et Repertum.
● Jika korban datang sendiri, adalah merupakan pasien biasa dengan hak dan
kewajiban sebagai pasien. Korban akan mendapatkan terapi dari dokter dan hasil
pemeriksaan dan pengobatan akan dimasukan dalam Rekam medik.
● Bila korban datang sendiri dan kemudian penyidik memerlukan Visum et Repertum,
ada dua kemungkinan : pertama Penyidik menghubungi Korban untuk
menjelaskan kepentingan Visum et Repertum, bila pasien setuju maka dokter dapat
membuat Visum berdasarkan Rekam Medis. Kedua Dokter berdasarkan kepentingan
banyak orang dan diminta secara legal oleh penyidik dan sesuai dengan Undang -
Undang dapat langsung membuatkan Visum berdasarkan Rekam medik.

Tubuh manusia dapat disebut sebagai barang bukti bila ada/ telah diurus oleh penyidik,
namun tidak seluruh tubuh tersebut sebagai barang bukti, hanya pada bagian–bagian
yang tersangkut tidak pidana yang dapat dianggap sebagai barang bukti.

Atas permintaan tertulis dari pasien dan/atau keluarganya dokter dapat menerbitkan
Surat Keterangan Medis yang menerangkan tentang ringkasan keadaan pasien saat itu,
yang dapat bermanfaat untuk kepentingan perujukan ke dokter lain atau ke seseorang
ahli non-medis yang diperlukan.

Bentuk Umum Visum et Repertum:


Meskipun tidak tercantum dalam dalam KUHAP namun disepakati bahwa VER adalah
sama dengan keterangan ahli/surat keterangan ahli, bentuk Visum et Repertum tetapi
mengikuti aturan tertentu yang lazim digunakan. Bentuk Visum et Repertum terdiri dari:
1. Pembukaan
Berupa tulisan “Projustitia”. Bukan hanya untuk bebas meterai, tapi mempunyai
arti yang lebih luhur, bahwa Visum et Repertum dibuat/digunakan untuk
kepentingan “Keadilan”. Dalam UU Perpajakan Tahun 1984 meterai hanya untuk
perkara perdata
– sedangkan perkara pidana bebas meterai.
2. Pendahuluan berisi:
a. Waktu tempat pemeriksaan.
b. Identitas Dokter, pemohon, pengantar (label).
c. Identitas barang bukti/korban/pelaku.
3. Hasil Pemeriksaan
Berisi hal-hal yang ditemukan dan dilihat oleh dokter yang sifatnya deskripsi
(obyektif) terhadap barang bukti dan hasil laboratorium/ pemeriksaan lain.
4. Kesimpulan
Memuat pendapat dokter tentang sebab/akibat dari hal-hal yang ditemukan.
5. Penutup
Berisi penegasan bahwa Visum et Repertum ini dibuat berdasarkan sumpah jabatan
dan UU yang berlaku serta dibuat dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya.
CATATAN: Pada pengetikan Visum et Repertum angka dan singkatan
harus ditulis dengan huruf
98
Jenis Visum et Repertum
1. Visum et Repertum Perlukaan
a. Visum et Repertum Sementara
b. Visum et Repertum Definitif
2. Visum et Repertum Psikiatrikum
3. Visum et Repertum Jenazah
a. Visum et Repertum Pemeriksaan Luar
b. Visum et Repertum Luar dan Dalam
4. Expertise adalah keterangan ahli kedokteran tentang barang bukti yang berasal dari tubuh
manusia

Visum et Repertum Sementara


Diterbitkan apabila Polisi meminta segera dalam rangka proses penahanan pelaku,
kesimpulan hanya berisi jenis kekerasan dan benda penyebab sedangkan derajat luka dan
sebab kematian tidak dicantumkan oleh karena belum dapat ditentukan oleh dokter atau
korban masih dalam perawatan.
Visum et Repertum sementara dapat dibuat apabila penyidik memerlukan untuk menahan
pelaku, mencari alat/barang bukti yang digunakan oleh pelaku. VeR Lanjutan adalah VeR yang
dibuat apabila korban pindah rawat atau pindah Rumah Sakit.

Visum et Repertum Psikiatrikum (VeRP)


• Visum et Repertum Psikiatrikum adalah keterangan dokter spesialis kedokteran jiwa yang
berbentuk surat sebagai hasil pemeriksaan kesehatan jiwa pada seseorang di fasilitas
pelayanan kesehatan untuk kepentingan penegakan hukum, bertujuan menilai unsur-unsur:
✔ Kemampuan terperiksa dalam mempertanggungjawabkan tindak pidana yang
telah dilakukannya
✔ Dampak psikologis pada terperiksa yang menjadi korban tindak pidana: dan/atau
✔ Kecakapan mental terperiksa untuk menjalani proses peradilan pidana
• Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum perkara pidana harus
diselenggarakan di rumah sakit milik pemerintah dan pemerintah daerah, sedangkan untuk
perkara perdata dapat diselenggarakan di rumah sakit atau klinik utama atau yang setara
milik pemerintah, pemerintah daerah, atau swasta
• Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum dilaksanakan paling
lama 14 (empat belas) hari sejak surat resmi diterima dan terperiksa hadir untuk
melakukan pemeriksaan.
• Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan hukum dilakukan oleh tim pemeriksa yang
diketuai oleh Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa.
• Dasar hukum pelaksanaan Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan
hukum dan pembuatan VeRP dapat dilihat pada Permenkes nomor 77 tahun 2015 tentang
Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk Kepentingan Penegakkan Hukum.

Pengertian Visum et Repertum sesuai Keterangan Ahli berdasarkan KUHAP:


Surat keterangan yang dibuat oleh Dokter/dokter ahli Forensik atas barang bukti berupa
pemeriksaan medis dari tubuh manusia/ bagian- bagian tubuh manusia. Atas permintaan
tertulis penyidik dan digunakan untuk peradilan.

Hasil pemeriksaan tidak boleh diberikan tanpa ada


surat permintaan VeR secara tertulis dari
Kepolisian
99
Yang berhak meminta Visum et Repertum adalah:
a. Penyidik, Kepolisian Negara Republik Indonesia.
b. POM TNI/ Provost Angkatan, Khusus menyangkut tindak pidana menyangkut personel
TNI.
c. Hakim, khususnya untuk VeR Psikiatrikum dan Hakim Pengadilan Agama.

Alur Pelayanan Medikolegal di RS

100
PROSEDUR PENERBITAN

VISUM ET REPERTUM KORBAN KTP-KTA

KORBAN

IG
D
PENGANIAYAAN KECELAKAAN KEJAHATAN SEKSUAL
KDRT

PERIKSA DI UGD PERIKSA DI PPT

PERIKSA SESUAI PRINSIP RIKS. FORENSIK


RIWAYAT KEJADIAN
KEADAAN UMUM
RIKS. FISIK UMUM (PERLUKAAN)
RIKS. ALAT KELAMIN (KEJAHATAN SEKSUAL)
DOKUMENTASI /FOTO
PENGAMBILAN SAMPEL BB
KONSULTASI (SPESIALIS KLINIS, FORENSIK, PSIKOLOGI/PSIKIATER) DIRAWAT

TIDAK
DIRAWAT
INSTALASI FORENSIK
OBGYN BEDAH BUAT HASIL PEMERIKSAAN (1 LEMBAR)
PSIKIATER/PSIKOLOGI TANPA KESIMPULAN
(TDK UTK DIBERIKAN KE PENYIDIK)

SENTRA PELAYANAN VISUM & MEDLEG


KA / WAKA DI DATA, DOKUMENTASI, ARSIP TANDA
TANGAN DOKTER
RUMKIT PEMERIKSA
SPESIALIS

VER JADI
PENYIDIK

101
Catatan:

1. Pemeriksaan dokter minimal di dampingi 2 personel lain (teman sejawat jaga


lain/ perawat).
2. Dokter pemeriksa membuat hasil pemeriksaan tanpa kesimpulan dan
diparaf. (dapat dibantu dokter muda)
3. Untuk semua kekerasan seksual anak dirawat minimal 1 hari. Untuk korban
dewasa disesuaikan dengan kondisi kesehatan.
4. Dokter pemeriksa harus mudah dihubungi untuk penanda tanganan VeR.

102
CONTOH VISUM et REPERTUM

KASUS 001 R/---VER-PPT-KSA/---/20--

RUMAH SAKIT / PUSKEMAS Halaman 1 dari 2 halaman

Nomor : R/--/VER-PPT-KSA/---/ 20----


Lampiran : -
Perihal : Hasil Pemeriksaan Visum et Repertum
a/n: E.S.

PRO JUSTITIA

Jakarta,
VISUM ET REPERTUM

Saya yang bertanda tangan di bawah ini ---------, dokter di Rumah Sakit-----------------------, berdasarkan
atas permintaan tertulis dari Resort Kepolisian ------------, dengan suratnya nomor----------------------------,
tertanggal --------- dua ribu-------------mengenai permintaan visum tersebut di atas, maka dengan ini
menerangkan bahwa pada tanggal ------- dua ribu-----------------pukul tujuh belas titik empat puluh lima
Waktu Indonesia bagian Barat, bertempat di Pusat Pelayanan Terpadu Rumah Sakit --------------------
--------- telah melakukan pemeriksaan atas korban yang Menurut surat permintaan visum tersebut adalah :

Nama : ES
Umur : 13 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Warga Negara : Indonesia
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Alamat : Jakarta Selatan

RIWAYAT KEJADIAN :
Pada hari ------- tanggal--------------------, pukul dua puluh tiga titik nol nol Waktu Indonesia bagian Barat
bertempat di rumah kontrakan pelaku, korban mengaku telah disetubuhi pelaku (orang yang dikenal melalui
facebook). Awalnya, korban berkenalan dengan pelaku difacebook dan diajak bertemu. Sesudah bertemu
korban diberi minuman sehingga pusing dan dibawa ke rumah kontrakan pelaku. Di rumah kontrakan tersebut
pelaku menyetubuhi korban. Korban berada di rumah pelaku selama lima hari, sebelum ditemukan paman
korban dan dibawa pulang. Tidak ada ancaman terhadap korban. Ini merupakan kejadian kedua, korban
mengalami persetubuhan yang sebelumnya dilakukan oleh pacar korban. Korban dalam keadaan tidak sadar,
dan pelaku dalam kondisi mabuk saat kejadian.

HASIL PEMERIKSAAN:
Keadaan umum baik, kesadaran sadar penuh, emosi stabil, dan kooperatif. Laju nadi delapan puluh kali per
menit, laju nafas dua puluh kali per menit, suhu tiga puluh enam derajat Celsius.----

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada leher kanan depan lima sentimeter dari garis pertengahan depan
terdapat luka memar, berbentuk lonjong berbatas tegas, tidak bengkak, tidak nyeri tekan, berukuran tiga kali
satu sentimeter. Pada leher kiri depan lima sentimeter dari garis pertengahan

103
R/---VER-PPT-KSA/---/20--

Halaman 2 dari 2 halaman

depan terdapat luka memar berbentuk lonjong berbatas tegas tidak bengkak tidak nyeri, berukuran tiga kali
satu sentimeter. Pada leher kanan depan dua sentimeter dari garis pertengahan depan terdapat luka memar
berbentuk lonjong berbatas tegas tidak bengkak tidak nyeri, berukuran tiga sentimeter. Pada pemeriksaan alat
kelamin ditemukan robekan selaput dara arah jam lima, tujuh, sembilan, dua belas sampai dasar dan pada arah
jam sembilan tidak sampai dasar, berwarna sama seperti jaringan sekitar. Tidak ada luka memar di mulut
vagina. Tidak ada lendir dan darah. Dilakukan uji urin kehamilan dan didapatkan hasil
negatif.-----------------------------

KESIMPULAN :
Telah dilakukan pemeriksaan pada seorang anak perempuan, yang menurut keterangan berusia tiga belas
tahun. Pada pemeriksaan fisik ditemukan luka memar pada leher kanan dan kiri depan akibat kekerasan
tumpul. Pada pemeriksaan alat kelamin ditemukan robekan lama, arah jam lima, tujuh, sembilan, dua belas
sampai dasar dan pada arah jam sembilan tidak sampai dasar. Hasil uji urin kehamilan didapatkan hasil negatif.
Robekan selaput dara disebabkan oleh kekerasan tumpul. --------

Demikianlah Visum et Repertum ini saya buat dengan sebenarnya dan menggunakan keilmuan saya yang
sebaik-baiknya, mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Dokter tersebut di atas,

.....................................

Pada saat dokter melakukan pemeriksaan terhadap pasien dengan perlukaan ada kemungkinan
diperoleh barang bukti yang membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut seperti, celana dalam bekas
perkosaan, pakaian korban, rambut dll. Barang bukti tersebut harus disimpan, dibungkus,
dimasukkan kedalam amplop, disegel, diberi label untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan secara
forensik. Barang tersebut diserahkan kepada petugas kepolisian yang meminta VeR, dengtan
meminta tanda tangan petugas pada lembar serah terima barang bukti.

104
Contoh Lembar Serah Terima Barang Bukti

KOP PUSKESMAS/RUMAH SAKIT

SERAH TERIMA BARANG BUKTI/SAMPEL PASIEN


KORBAN KEKERASAN KEPADA POLISI

Pada hari ini ………. Tanggal..............................., pukul …… WIB telah diserahkan


barang bukti/sampel dari pasien korban kekerasan yaitu:

Nama : ……………………………..
Umur : ……………………………..
Alamat : ……………………………..
Jenis Kekerasan : ……………………………..
……………………………..

Barang bukti/sampel berupa:


1. …………………………………………………………
…………………………………………………………
2. ………………………………………………………..
…………………………………………………………
3. ………………………………………………………….

Yang menyerahkan Yang menerima

(………………….) (………………)

105
C. Pembuatan Rape Kit
Rape kit adalah alat bantu yang dapat digunakan untuk pengambilan sampel barang bukti
pada kasus kekerasan seksual sehingga saat akan dilakukan pemeriksaan, alat alat sudah
terkumpul di dalam satu kotak dan dapat langsung digunakan. Rape kit terdiri dari
beberapa amplop (12) dan 1 kotak besar yang terdiri dari:

Amplop 1: tata cara penggunaan –penggunaan kit kekerasan seksual

NOMOR: 1

TATA CARA PENGGUNAAN


KIT KEKERASAN SEKSUAL

Amplop 2: informed consent dan anamnesis kekerasan seksual

NOMOR: 2

INFORM CONSENT DAN ANAMNESIS


KEKERASAN SEKSUAL

Amplop 3: pakaian luar, pakaian dalam, benda asing disekitar tubuh korban

NOMOR: 3A PAKAIAN LUAR

NAMA :
TGL / JAM : / / JAM:
DIKUMPULKAN OLEH :
JENIS BARANG :

PAKAIAN LUAR TIDAK DIKUMPULKAN KARENA:

TANDA TANGAN
PENGUMPUL BARANG BUKTI

106
NOMOR: 3B PAKAIAN DALAM

NAMA :
TGL / JAM : / / JAM :
DIKUMPULKAN OLEH :
JENIS BARANG :

PAKAIAN DALAM TIDAK DIKUMPULKAN KARENA :

TANDA TANGAN
PENGUMPUL BARANG BUKTI

NOMOR: 3C BENDA ASING DISEKITAR TUBUH KORBAN

NAMA :
TGL / JAM : / / JAM :
DIKUMPULKAN OLEH :
JENIS BARANG :

BENDA ASING DISEKITAR TUBUH KORBAN TIDAK DIKUMPULKAN KARENA :

TANDA TANGAN
PENGUMPUL BARANG BUKTI

107
Amplop 4: kotoran dan cairan di sekitar tubuh korban

NOMOR: 4 KOTORAN DAN CAIRAN DISEKITAR TUBUH KORBAN

NAMA :
TGL / JAM : / / JAM :
DIKUMPULKAN OLEH :
JENIS BARANG : [ ] SPERMA KERING / BASAH
[ ] LUDAH KERING / BASAH
[ ] DARAH KERING / BASAH
[ ] KEROKAN KUKU
[ ] LAIN :
TIDAK DIKUMPULKAN KARENA :

TANDA TANGAN
PENGUMPUL BARANG BUKTI

Amplop 5: sisiran rambut kelamin korban

NOMOR: 5 SISIRAN RAMBUT KELAMIN KORBAN

NAMA :

TGL / JAM : / / JAM :

DIKUMPULKAN OLEH :

JUMLAH HELAI RAMBUT* : HELAI

TIDAK DIKUMPULKAN KARENA :

TANDA TANGAN
PENGUMPUL BARANG BUKTI

108
Amplop 6: cabutan rambut kelamin korban

NOMOR: 6 CABUTAN RAMBUT KELAMIN KORBAN

NAMA :
TGL / JAM : / / JAM :
DIKUMPULKAN OLEH :
JUMLAH HELAI RAMBUT* : HELAI

TIDAK DIKUMPULKAN KARENA :

TANDA TANGAN
PENGUMPUL BARANG BUKTI

Amplop 7: swab dan pulasan vaginal korban

NOMOR: 7 SWAB DAN PULASAN VAGINAL KORBAN

NAMA :

TGL / JAM : / / JAM :

DIKUMPULKAN OLEH :

TIDAK DIKUMPULKAN KARENA :

TANDA TANGAN
PENGUMPUL BARANG BUKTI

NB : *Simpan di wadah dalam keadaan kering suhu kamar

109
Amplop 8: swab dan pulasan anus korban

NOMOR: 8 SWAB DAN PULASAN ANUS KORBAN

NAMA :

TGL / JAM : / / JAM :

DIKUMPULKAN OLEH :

TIDAK DIKUMPULKAN KARENA :

TANDA TANGAN
PENGUMPUL BARANG BUKTI

NB : *Simpan di wadah dalam keadaan kering suhu kamar

Amplop 9: swab dan pulasan mukosa pipi korban

NOMOR: 9 SWAB DAN PULASAN MUKOSA PIPI KORBAN

NAMA :

TGL / JAM : / / JAM :

DIKUMPULKAN OLEH :

TIDAK DIKUMPULKAN KARENA :

TANDA TANGAN
PENGUMPUL BARANG BUKTI

NB : *Simpan di wadah dalam keadaan kering suhu kamar

110
Amplop 10: cabutan rambut kepala korban

NOMOR: 10 CABUTAN RAMBUT KEPALA KORBAN

NAMA :

TGL / JAM : / / JAM :

DIKUMPULKAN OLEH :

JUMLAH HELAI RAMBUT* : HELAI

TIDAK DIKUMPULKAN KARENA :

TANDA TANGAN
PENGUMPUL BARANG BUKTI

NB : *Rambut dicabut dengan akarnya


Jumlah : Minimal 10 lembar

Amplop 11: sampel urine korban

NOMOR: 11 SAMPEL URINE KORBAN

NAMA :

TGL / JAM : / / JAM :

DIKUMPULKAN OLEH :

TIDAK DIKUMPULKAN KARENA :

TANDA TANGAN
PENGUMPUL BARANG BUKTI

111
Amplop 12: sampel darah korban

NOMOR: 12 SAMPEL DARAH KORBAN

NAMA :

TGL / JAM : / / JAM :

DIKUMPULKAN OLEH :

TIDAK DIKUMPULKAN KARENA :

TANDA TANGAN
PENGUMPUL BARANG BUKTI

Semua amplop tersebut dimasukkan ke dalam satu kotak besar yang dibubuhkan
keterangan sebagai berikut:

KIT PENGUMPULAN BARANG BUKTI KASUS KEKERASAN SEKSUAL:


1.DIISI OLEH DOKTER PEMERIKSA / PETUGAS RUMAH SAKIT:
Nama korban:
Nama dokter:
Instansi/RS:
Barang bukti dikemas oleh
Nama :
Jabatan :
Tangga l: / / jam :

DIISI OLEH PETUGAS KEPOLISIAN:


Diterima dari:
Tanggal://jam : Penerima barang bukti :
Pangkat/NRP:
Jabatan:
Disegel oleh:
Pangkat/NRP:
Tanggal://jam :

DIISI OLEH PETUGAS LABORATORIUM:


Diterima dari:
Tanggal:
Penerima:
Nama:
Nomor polisi: No.Reg Laboratorium:

112
Daftar Isi Amplop Rape Kit

No Item barang Jumlah Nomor amplop Keterangan

1 Form A. Tata cara 1 lembar Lihat Form di


pemeriksaan dan Nomor 1: bawah tabel
pengumpulan barang bukti Tata Cara Penggunaan
Form B. Alur pelayanan 1 lembar Penggunaan Kit Lihat Form di
korban kekerasan terhadap Kekerasan Seksual bawah tabel
perempuan dan anak
Amplop uk
Label yang berisi tgl, bulan, 2 buah
110 mm X 230 mm
tahun pemeriksaan

2 Form C. Informed 1 lembar Nomor 2: Lihat Form di


consent/lembar persetujuan Informed consent dan bawah tabel
pemeriksaan Anamnesis Kekerasan
Form D. Riwayat 1 lembar Seksual Lihat Form di
kasus/anamnesis bawah tabel
Amplop uk
110 mm X 230 mm
3 Kertas flipchart (putih)/kain 1 lembar Nomor 3A: Pada bagian
putih, Uk 60x85 Pakaian Luar depan ditulis:
Plastik berperekat (plastik 2 buah Nomor 3B: - Nama
obat) Uk. 7x10 Pakaian Dalam - Tgl/bln/thn/jam
Nomor 3C: - Dikumpulkan
Benda asing disekitar oleh
tubuh korban - Jenis barang
- Pakaian luar
Amplop cokelat ukuran tidak
besar (F4) dikumpulkan
karena
- TTD pengumpul
barang bukti
4 Plastik berperekat (plastik 1 buah Pada bagian
obat) Uk. 15x10 depan ditulis:
- Nama
- Tgl/bln/thn/jam
Nomor 4: - Dikumpulkan
oleh
Nomor 4:
Kotoran dan cairan di - Jenis barang:
( ) sperma
sekitar tubuh korban
kering/basah
Amplop uk ( ) ludah
110 mm X 230 mm kering/basah
( ) darah
kering/basah
( ) kerokan
Plastik berperekat (plastik 1 buah kuku
obat) Uk. 7x10

113
No Item barang Jumlah Nomor amplop Keterangan

Tusuk gigi 4 buah ( ) lain-lain


- Tidak
Tusuk telinga/Cotton bud 4 buah dikumpulkan
karena
- TTD pengumpul
barang bukti
5 Kertas flipchart (putih)/kain 1 lembar Pada bagian
putih, Uk 60x42 cm depan ditulis:
Sisir Serit/ sisir yang rapat 1 buah - Nama
Amplop Kecil Uk 11x7 2 buah - Tgl/bln/thn/jam
Plastik berperekat (plastik 1 buah Nomor 5: - Dikumpulkan
obat) Uk. 15x10 Sisiran Rambut Kelamin oleh
Plastik berperekat (plastik 2 buah Korban - Jumlah helai
obat) Uk. 7x10 rambut
Amplop uk - Tidak
110 mm X 230 mm dikumpulkan
karena
- TTD pengumpul
barang bukti

6 Amplop kecil Uk. 11x7 2 buah Pada bagian depan


Plastik berperekat (plastik 2 buah ditulis:
obat) Uk. 7x10 - Nama
- Tgl/bln/thn/jam
Nomor 6: - Dikumpulkan
Cabutan Rambut oleh
Kelamin Korban - Jumlah helai
rambut
Amplop uk - Tidak
110 mm X 230 mm dikumpulkan
karena
- TTD pengumpul
barang bukti

7 Kapas lidi panjang (steril) 2 buah Nomor 7: Pada bagian


Amplop kecil Uk. 11x7 2 buah Swab dan Pulasan depan ditulis:
Spuit 20 cc/ml 1 buah Vaginal Korban - Nama

114
No Item barang Jumlah Nomor amplop Keterangan

Kaca obyektif 2 buah - Tgl/bln/thn/jam


Amplop uk - Dikumpulkan
110 mm X 230 mm oleh
- Tidak
dikumpulkan
karena
- TTD pengumpul
barang bukti
- Cat: (*) Simpan
di wadah dalam
keadaan kering
suhu kamar
8 Kapas lidi panjang (steril) 2 buah Pada bagian
Kaca obyektif 2 buah depan ditulis:
Amplop kecil Uk. 11x7 2 buah - Nama
- Tgl/bln/thn/jam
- Dikumpulkan
Nomor 8:
oleh
Swab dan Pulasan Anus
- Tidak
Korban
dikumpulkan
karena
Amplop uk
- TTD pengumpul
110 mm X 230 mm
barang bukti
- Cat: (*) Simpan
di wadah dalam
keadaan kering
suhu kamar
9 Kapas lidi panjang (steril) 2 buah Pada bagian depan
Kaca obyektif 2 buah ditulis:
Amplop kecil Uk. 11x7 2 buah - Nama
- Tgl/bln/thn/jam
- Dikumpulkan
Nomor 9:
oleh
Swab dan Pulasan
- Tidak
Mukosa Pipi Korban
dikumpulkan
karena
Amplop uk
- TTD pengumpul
110 mm X 230 mm
barang bukti
- Cat: (*) Simpan
di wadah dalam
keadaan kering
suhu kamar
10 Plastik berperekat (plastik 2 buah Nomor 10: Pada bagian depan
obat) Uk. 7x10 Cabutan Rambut Kepala ditulis:
Korban - Nama
- Tgl/bln/thn/jam
Amplop uk

115
No Item barang Jumlah Nomor amplop Keterangan

110 mm X 230 mm - Dikumpulkan


oleh
- Jumlah helai
rambut
- Tidak
dikumpulkan
karena
- TTD pengumpul
barang bukti
- Cat: (*) Rambut
dicabut dengan
akarnya, jmlh:
Min 10 lembar
11 Tampungan Urine yang telah 1 buah Pada bagian
diberi label (pastikan tidak depan ditulis:
mudah tumpah) - Nama
- Tgl/bln/thn/jam
Nomor 11: - Dikumpulkan
Sampel Urine Korban oleh
- Tidak
Amplop uk dikumpulkan
110 mm X 230 mm karena
- TTD pengumpul
barang bukti
12 Spuit 10 ml 1 buah Pada bagian
13 Vacutainer 2ml (utk tampung 2 buah depan ditulis:
darah) - Nama
Nomor 12: - Tgl/bln/thn/jam
Sampel Darah Korban - Dikumpulkan
oleh
Amplop uk - Tidak
110 mm X 230 mm dikumpulkan
karena
- TTD pengumpul
barang bukti
14 Sarung tangan uk. 7,5 2 buah

15 Kotak kardus untuk 1 buah Pada bagian depan kardus dibubuhkan form:
mengumpulkan barang bukti KIT PENGUMPULAN BARANG BUKTI
(Kotak kardus Uk.18 x 26cm, KASUS KEKERASAN SEKSUAL (sesuai form
atau 25 x 25 cm) di atas)

116
Berikut formulir pelengkap yang terdapat dalam rape kit:

A. Form Tata Cara Pemeriksaan dan Pengumpulan Barang Bukti

117
TATA CARA PEMERIKSAAN DAN PENGUMPULAN
BARANG BUKTI KASUS PERKOSAAN

KANTONG PEMERIKSAAN BERISI FORMULIR DAN AMPELOP BERNOMOR URUT 1 SAMPAI 12.

NOMOR – NOMOR TERSEBUT SESUAI DENGAN URUTAN PEMERIKSAAN.

KERJAKAN PEMERIKSAAN SESUAI URUTAN TERSEBUT DAN PERHATIKAN PETUNJUK PADA TIAP AMPELOP.

SELESAI SATU TAHAP PEMERIKSAAN AMPELOP DITUTUP DENGAN MELEPASKAN STIKER YANG TERSEDIA PAD

Tanda Tangan

SELESAI SELURUH TAHAP PEMERIKSAAN AMPELOP – AMPELOP TERSEBUT DIMASUKKAN KEMBALI KE DALAM

B. Form Alur Pelayanan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

KORBAN +/- PENGANTAR

118
IGD
PENANGANAN LUKA DAN KEDARURATAN
C. Form Informed Consent/Lembar Persetujuan Pemeriksaan

SURAT PERSETUJUAN

1
PEMERIKSAAN KEDOKTERAN UNTUK KEPENTINGAN PENYIDIKAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama : ……….…………………………………………..…………………...
Kelamin : Laki /Perempuan
Umur :............................Thn
Pekerjaan : …………………………………………………………………..…….
Alamat : ………………………………………………………………………...
………………………………………………………………………....

Setelah mendapat penjelasan dari dokter pemeriksa, menyatakan bahwa:

[ ] 1. Setuju untuk dilakukan pemeriksaan kedokteran terhadap diri saya untuk kepentingan
penyidikan.
[ ] 2. Setuju untuk dilakukan pengambilan cairan tubuh diri saya untuk kepentingan pemeriksaan
laboratorium.
[ ] 3. Setuju untuk pengambilan foto-foto perlukaan pada tubuh saya untuk kelengkapan pemeriksaan. [ ]
4. Setuju hasil pemeriksaan tersebut dibuat surat keterangan untuk diserahkan kepada penyidik.
[ ] 5. (Khusus untuk orang periksa yang tidak dapat menanda tangani pernyataan karena situasi dan kondisi).

Setuju untuk dilakukan pemeriksaan seperti diatas terhadap:

Nama : ……………………………………………………………………………....................
Umur :...............................Thn
Alamat : ……………………………………………………………………………....................
……………………………………………………………………………...................
Hubungan keluarga: …………………………………………………………………….................

Persetujuan ini saya tanda tangani setelah menyadari sepenuhnya kepentingan dari pemeriksaan tersebut diatas.
……………,……………………………
Dokter Pemeriksa Yang diperiksa

(……………………………) (……………………………………)

TANDA SILANG PADA KOTAK YANG TIDAK DISETUJUI.

D. Form Riwayat Kasus/Anamnesis

FORMULIR RIWAYAT KASUS

1
1. NAMA KORBAN : ……………………………………………………… [ ] P [ ] W
2. TEMPAT/TGL LAHIR : ………………………………………………………………………
3. ALAMAT : ………………………………………………………………………
………………………………………………………………………
4. STATUS PERKAWINAN : [ ] BELUM MENIKAH
[ ] MENIKAH …………….JUMLAH ANAK ………………..
[ ] JANDA
5. TGL/JAM KEJADIAN : …………../……………./200…. JAM: ………, ……….. ……
6. TGL/JAM PEMERIKSAAN : …………./ ……………/200…. JAM: ………, ………… ……
7. DR.PEMERIKSA : ………………………… PERAWAT: ………………………….
8. KEGIATAN SETELAH KEJADIAN DAN SEBELUM PEMERIKSAAN:
[ ] MANDI
[ ] MEMBERSIHKAN ALAT KELAMIN
(DOUCHED) [ ] BUANG AIR KECIL
[ ] BUANG AIR BESAR
[ ] MUNTAH-MUNTAH
[ ] MINUM
[ ] GOSOK GIGI
[ ] GANTI PAKAIAN
9. APAKAH ADA PENETRASI:
YA TIDAK TIDAK
YAKIN [ ] VAGINA [ ] [ ] [ ]
[ ] ANUS [ ] [ ] [ ]
[ ] MULUT [ ] [ ] [ ]
10. ADAKAH KEGIATAN [ ] FELLATIO [ ] CUNNILINGUS
11. APAKAH PELAKU MENGGUNAKAN: [ ] KONDOM [ ] PELICIN [ ] BENDA LAIN
12. APAKAH KORBAN MENSTRUASI : [ ] YA [ ] TIDAK
13. APAKAH SEBELUM KEJADIAN KORBAN BERSETUBUH (KURANG DARI 72 JAM)
[ ] YA TGL : ……………… JAM :……………….. [ ] TIDAK
GUNAKAN KONDOM : [ ] YA [ ] TIDAK
14. APAKAH KORBAN HAMIL : [ ] YA BERAPA MINGGU :……………………….
[ ] TIDAK
15. APAKAH ADA LUKA YANG MENIMBULKAN PERLUKAAN PADA
KORBAN [ ] YA – JELASKAN
[ ] TIDAK
16. APAKAH KORBAN MENIMBULKAN PERLUKAAN PADA
PELAKU [ ] YA – JELASKAN
[ ] TIDAK
17. APAKAH KORBAN MEMBERIKAN OBAT/MINUMAN SEBELUM
KEJADIAN [ ] YA – JELASKAN
[ ] TIDAK
18. APAKAH PELAKU MENGGUNAKAN ALAT UNTUK
MENGANCAM [ ] YA – JELASKAN
[ ] TIDAK
19. KONDISI EMOSIONAL KORBAN : [ ] BIASA [ ] DEPRESI [ ] EMOSI
20. KONDISI PAKAIAN KORBAN : [ ] BIASA [ ] ROBEK [ ] KOTOR
21. CIRI PELAKU (BILA MUNGKIN): ……………………………………………………………………………

DOKTER PEMERIKSA TGL PEMERIKSAAN

1
MATERI POKOK 3. TATALAKSANA PSIKOSOSIAL KORBAN KTP/A TERMASUK TPPO

Para korban kekerasan selalu disertai dengan masalah psikologis, yaitu perubahan perasaan,
pikiran dan perilaku dari yang ringan sampai berat. Apalagi bila korban mengalami perkosaan,
biasanya akan mengalami trauma psikis yang mendalam dan berat, yang bila tidak ditangani
memungkinkan timbulnya gangguan jiwa.

Beberapa dampak psikologis yang timbul akibat kekerasan adalah:


1. Rasa takut pada banyak hal seperti takut akan reaksi keluarga maupun teman-teman, takut
orang lain tidak akan mempercayai keterangannya, takut terhadap pelaku.
2. Reaksi emosional lain seperti syok, rasa tidak percaya, marah, malu, menyalahkan diri
sendiri, kacau, bingung, histeris. Gangguan emosional ini dapat memunculkan masalah sulit
tidur, hilang nafsu makan, mimpi buruk, selalu ingat peristiwa kekerasan.

Beberapa perilaku yang bisa menjadi indikator terjadinya kekerasan pada seseorang, seperti:
● Tidak mampu memusatkan perhatian, atau mengalihkan tatapan muka
● Salah tingkah
● Sering salah ucap dalam berbicara
● Penampilan tidak rapi/tidak terurus dibandingkan biasanya
● Sering melamun dan sulit atau tidak mau bicara
● Cemas, grogi serba canggung
● Memberikan informasi yang tidak konsisten
● Tegang, tampak serba bingung dan panik, mata melihat kesana kemari
● Memperlihatkan marah dan kebencian
● Sering menangis, sedih dan putus asa, menjadi sensitif dan mudah salah sangka
● Cenderung merasa salah
● Mudah curiga pada orang lain

A. Pemeriksaan Psikologis/Kesehatan Jiwa

Anamnesis, Pemeriksaan dan Diagnosis Kesehatan Jiwa:


Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam wawancara psikiatrik pada korban KtP/A:
● Menjadi pendengar yang baik selama berkomunikasi dan bersifat fleksibel sewaktu
berkomunikasi dengan pasien.
● Menjadi pendengar aktif dan mampu berempati.
● Jika memungkinkan maka proses wawancara direkam baik secara audio atau video.
● Hindari mengulang-ulang pertanyaan yang sama atau memberi beberapa pertanyaan
sekaligus.
● Hindari pertanyaan yang menggiring atau mengarahkan jawaban tertentu.
● Ulangi pertanyaan yang sama dengan cara/bahasa yang berbeda untuk menilai
konsistensi jawaban.
● Ulangi jawaban untuk meyakinkan bahwa pemeriksa mengerti apa yang dikemukakan
korban. Sekaligus untuk mencegah kebohongan.
● Jangan memberikan pertanyaan yang menambah trauma.

Pemeriksaan Jiwa Dengan Metode 2 Menit


Metode pemeriksaan jiwa ini mudah dilakukan oleh dokter dan perawat di Puskemas.
Tahap- tahap pemeriksaan antara lain:
● Tahap I (2 menit pertama): dilakukan Anamnesis oleh Dokter dan atau Perawat
● Tahap II (2 menit kedua): Penegakan diagnosis dan terapi oleh Dokter

1
● Tahap III (2 menit ketiga): follow up oleh Dokter

Pada dua menit pertama dapat dibuat diagnosis sementara/diagnosis kerja, dan pada
pertemuan berkutnya (dua menit kedua) diteliti lebih lanjut untuk mendapatkan diagnosis
yang pasti, bila perlu dikonsulkan ke psikiater.

Prosedur pemeriksaan pasien dewasa (18 tahun keatas):


a. Tanyakan keluhan utama pasien, catat pada status dengan menggunakan bahasa pasien
b. Golongkan keluhan tersebut apakah termasuk:
● keluhan fisik murni (F1);
● keluhan fisik disertai keluhan mental emosional (F2);
● keluhan psiko-somatik (PS); atau
● keluhan mental-emosional (ME), dan beri kode
c. Bila keluhan utama termasuk PS atau ME, lanjutkan dengan pertanyaan (aktif)

Prosedur pemeriksaan pada pasien anak dan remaja (dibawah 18 tahun):


a. Tanyakan keluhan utama pada anak/pengantar, catat pada status
b. Golongkan keluhan tersebut apakah termasuk: F1/F2/PS/ME dan beri kode.
c. Selalu ditanyakan adanya keluhan mental-emosional dan status perkembangan anak

1
ANAMNESIS & PEMERIKSAAN

KELUHAN UTAMA

F2

F1 =

D/ Gangguan Fisik D/ Psikosomatik, D/ Ggn Penggunaan Zat, D/D/


D/ Psikosis, Retardasi
Depresi,Mental, D/ GMO,
D/ Cemas atauD/ansietas
Epilepsi

1
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan wawancara psikiatrik
pada anak:

• Menggunakan cara dan tehnik yang tepat (sesuai dengan tingkat perkembangan
anak). Sebagai contoh, ada anak yang merasa nyaman untuk berkomunikasi
dengan pemeriksa jika hanya didampingi oleh boneka/mainan kesayangannya.
Disamping itu perlu diingat bahwa tidak semua anak mampu berkomunikasi verbal
dengan lancar pada waktu pemeriksaan, sebagian anak mungkin membutuhkan
media gambar atau bermain dalam usaha untuk membentuk relasi yang optimal
dengan pemeriksa.
• Mampu mendeteksi kata-kata kunci dan tema-tema pikiran yang tidak disadari anak.
• Frekuensi wawancara dilakukan seminimal mungkin (2-3 kali) untuk mencegah
timbulnya konfabulasi pada anak.
• Hindari mengulang-ulang pertanyaan yang sama atau memberi beberapa
pertanyaan sekaligus.
• Hindari pertanyaan yang bersifat sugesti atau yang akan mengarahkan pasien pada
satu jawaban tertentu.
• Ulangi pernyataan anak dalam usaha untuk meyakinkan anak bahwa pemeriksa
mengerti apa yang dikemukakannya.
• Jika memungkinkan lakukan wawancara pada anak tanpa didampingi oleh orang
tuanya. Pada anak yang masih kecil dapat dipertimbangkan untuk didampingi
anggota keluarga dekat lainnya (bukan orang tua).
Dalam melakukan anamnesis dalam rangka tatalaksana kejiwaan, perhatikan hal-hal
berikut:
1. Pada waktu melakukan wawancara pada anak, perhatikan dan gunakan tips
wawancara pada anak yang sudah dipelajari pada waktu Penggalian informasi, pada
deteksi dini (Modul Inti-2).
2. Menjaga privasi dan kerahasiaan: Pelayanan harus diberikan di tempat yang
menjamin privasi korban. Setiap informasi yang terungkap dalam proses pemberian
layanan harus dijaga kerahasiaannya dan diketahui hanya oleh orang yang relevan
dalam pemberian layanan. Petugas harus menyampaikan prinsip ini kepada korban.
Untuk mendapatkan privasi dengan korban bisa mengusulkan membutuhkan
pemeriksaan secara pribadi tanpa ditemani yang lain. Cari cara untuk berbicara
dengan pasien sendiri, jangan bertanya tentang masalah kekerasan/TPPO di depan
orang lain atau yang menemani korban. Jangan bertanya pada siapa pun yang
menemani korban untuk membantu menterjemahkan (jika dengan bahasa lain) atau
dalam pemeriksaan, walaupun petugas kesehatan tidak berbahasa sama dengan
korban ataupun punya kontak dengan layanan penerjemah.
3. Petugas pemberi layanan harus memastikan bahwa korban dalam keadaan aman dan
nyaman dalam menceritakan masalahnya.
● Tanya kepada korban apakah merasa aman untuk mengatakan sesuatu yang
dirasakan mengganggu korban saat ini.
● Bila pelaku kekerasan seksual adalah anggota keluarga/serumah, korban harus
segera diberikan perlindungan khusus (terpisah dari pelaku), misal: rujukan ke
layanan rehabilitasi sosial atau menitipkan kepada keluarga dekat yang bisa
dipercaya.

1
● Bila terdapat ancaman pembunuhan terhadap korban atau kekerasan terhadap
anak atau wajib lapor lainnya, tenaga kesehatan dapat melaporkan kasusnya
tanpa harus minta persetujuan.
● Selain itu petugas juga perlu memastikan keamanan bagi petugas dan fasilitas
kesehatan, bila perlu segera kontak UPPA-Polisi untuk membantu.
4. Menghargai perbedaan individu (Individual Differences): Setiap individu harus
dipandang unik, masing-masing orang mempunyai latar belakang, pengalaman hidup
dan coping mechanism (cara menghadapi stress) yang berbeda. Sehingga tidak boleh
dibandingkan antara satu korban dengan korban lain dalam hal apapun.
5. Menghormati pilihan dan keputusan korban sendiri: Pemberian layanan harus
dilakukan dengan persetujuan korban, mulai dari proses wawancara, pencatatan
data, hingga penanganan/tindakan yang akan diambil. Oleh karena itu, petugas harus
menjelaskan maksud dan tujuan dari setiap rencana tindakan, termasuk keuntungan,
kerugian dan konsekuensinya bagi korban. Setiap masalah memerlukan langkah
yang akan membantu korban menentukan keputusan dari beberapa alternatif
pilihan. Tugas pemberi layanan bukan membuatkan keputusan untuk korban,
akan tetapi memfasilitasi korban dengan informasi dan pandangan untuk
menentukan keputusan dari pilihan yang tersedia.
6. Prinsipnya tidak ada satupun solusi yang cocok untuk semua orang, dan hanya orang
yang bersangkutanlah yang paling tahu akan dirinya. Hal ini juga mengandung unsur
pemberdayaan bagi korban agar dapat membuat keputusan sekaligus
bertanggungjawab atas pilihan yang diambilnya. Banyak perempuan yang dalam
hidupnya tidak pernah sekalipun membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Jika
korban (dewasa) menolak untuk dirujuk ke polisi atau layanan lain – petugas harus
menghormati keputusan korban, kecuali bila dirasa keselamatan korban terancam.
7. Peka terhadap latar belakang dan kondisi korban dan pemakaian bahasa yang sesuai
dan dimengerti oleh korban. Harus diyakinkan bahwa korban dilayani dengan
bahasa yang dimengerti oleh korban. Akhir-akhir ini, semakin banyak perempuan
cacat/difable/disable yang menjadi korban kekerasan, apakah yang tuna rungu, tuna
wicara, tuna netra, maupun yang mengalami keterbelakangan mental. Untuk kategori
korban ini pun harus disediakan penerjemah yang dapat diambil dari para guru SLB
8. Empati: petugas harus menerapkan sikap empati, yakni kesanggupan untuk
menempatkan diri dalam posisi orang lain (dalam hal ini korban). Dengan demikan
korban merasa diterima, dipahami dan dapat terbuka menceritakan persoalannya.

B. Penatalaksanaan kondisi psikologis dan kesehatan jiwa terhadap Perempuan dan


Anak korban kekerasan

Masalah kesehatan jiwa yang banyak dialami oleh korban kekerasan baik perempuan dan
anak adalah reaksi stres akut, gangguan stres pasca trauma, depresi, gangguan anxietas dan
gangguan psikotik akut. Yang dapat dilakukan oleh pertugas kesehatan adalah:
1. Atasi gangguan fisik sesuai keadaan.
2. Atasi keadaan kedaruratan psikiatrik.
Misalnya gaduh gelisah akut, depresi berat, anxietas yang memuncak atau pasien yang
mutisme dan tidak mau bicara sama sekali. Berikan medikasi sesuai dengan kebutuhan
pasien. Apabila dengan pertolongan tersebut, keadaan pasien belum teratasi, misalnya
pasien menderita depresi berat, ada kecenderungan bunuh diri, gaduh gelisah sehingga
membahayakan bagi dirinya atau orang lain, maka pasien dapat dirujuk. Bagi pasien
yang masih dapat mengendalikan diri, sebaiknya beri kesempatan kepadanya untuk

1
menghadapi masalahnya tanpa memberikan medikasi. Bagi kasus anak usia dibawah 13
tahun sebaiknya dirujuk ke fasilitas kesehatan yang sesuai kebutuhan.
3. Informasikan kepada keluarga bahwa pasien menderita stres dan butuh ditemani oleh
orang yang dekat dengan pasien. Dengarkan keluhan dan perasaan pasien, jangan
menyalahkan, menuduh ataupun memberikan penilaian moral, atau berbicara tentang
hal yang menyinggung perasaan pasien, karena hal ini akan memperburuk keadaan
pasien.
4. Beri kesempatan pasien untuk ventilasi dan katarsis emosional.
Yaitu mengekspresikan emosinya yang tertekan seperti rasa malu, marah, sedih, takut,
frustrasi dan lain-lain. Ventilasi dilakukan pada psikoterapi awal, pasien dapat
menangis atau mengekspresikan rasa marahnya. Setelah itu biasanya pasien akan
merasa lega dan barulah petugas kesehatan dapat menggali lebih dalam tentang
masalah yang dihadapi serta latar belakang dari tindak kekerasan tersebut.
5. Bila tindak kekerasan terjadi dalam keluarga/rumah tangga, dimana pelakunya adalah
orang yang dekat dengan pasien (suami terhadap isteri, orang-tua terhadap anak,
paman terhadap keponakan, atau lainnya), maka petugas kesehatan sebaiknya
melakukan pemeriksaan dan penanganan terhadap pelakunya (apabila tidak sedang
menjalani proses hukum). Apabila pelaku tidak ditangani dengan baik, maka seringkali
tindak kekerasan tersebut akan berulang kembali. Setelah penatalaksanaan terhadap
pasien selesai dilakukan, maka petugas kesehatan sebaiknya melakukan penanganan
terhadap pelaku sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya.
6. Konseling Perkawinan (bagi korban perempuan yang dilakukan oleh suami)
Dalam hal tindak kekerasan terjadi pada suami terhadap isteri, perlu dilakukan
konseling perkawinan untuk menggali latar belakang permasalahan, sekaligus
memperbaiki hal yang masih dapat diperbaiki dalam perkawinan tersebut. Bila suami-
isteri tersebut sudah tidak ada kecocokan sama sekali dan keduanya tidak ada yang mau
memperbaiki diri, sebaiknya mereka disarankan untuk mencari pemecahan lain yang
terbaik bagi kedua belah pihak.
7. Konseling Keluarga
Bila tindak kekerasan terjadi dalam rumah-tangga yang melibatkan beberapa anggota
keluarga, maka petugas kesehatan perlu melibatkan seluruh anggota keluarga dalam
terapi untuk mengetahui dinamika dalam keluarga sehingga terjadi tindak kekerasan
itu. Dalam terapi keluarga, petugas kesehatan tidak melihat masalah tersebut sebagai
masalah individu, tapi merupakan masalah dalam keluarga yang perlu diatasi bersama.
Seluruh anggota keluarga perlu disadarkan terhadap masalah yang mereka hadapi dan
kira-kira penyebab yang memicu masalah tersebut, sehingga mereka dapat mengubah
sikap masing-masing untuk mencegah terulangnya tindak kekerasan di kemudian hari.
8. Terapi Sosial
Memperkenalkan adanya LSM yang dapat membantu mengatasi masalah kekerasan
yang mereka hadapi (memanfatkan jejaring dan LSM lainnya).

Konseling pada kasus KtP/A termasuk TPPO

1. Definisi
Konseling adalah suatu proses memberi bantuan, seseorang mendapat bantuan untuk
mengembangkan kemampuan dan potensinya sehingga dalam kehidupannya sehari-
hari ia dapat berfungsi dengan baik dengan belajar untuk mengatasi kesulitan dan
memecahkan masalahnya secara efektif. Konseling dapat dilakukan secara perorangan,
berpasangan, keluarga atau kelompok.

1
2. Tujuan:
a. Membantu korban mengatasi perasaan negatif atau yang menyakitkan yang
dimilikinya
b. Membantu korban mengenali dan menerima dirinya sendiri (baik itu berupa potensi
atau sumber daya serta keterbatasan yang dimilikinya
c. Membantu korban untuk lebih mengenali masalah yang dialaminya.

3. Tugas konselor
a. Membantu korban menyadari permasalahan yang dihadapi dan bersama-sama
dengan korban, konselor memecah permasalahan menjadi beberapa masalah yang
sederhana sehingga dapat ditangani satu per satu dan menentukan prioritas
masalah yang akan ditangani terlebih dahulu.
b. Memfasilitasi korban menemukan alternatif pemecahan masalah, termasuk
memberi informasi dan membantu korban menelaah konsekuensi dari setiap
alternatif
c. Membangun kemampuan untuk mengambil keputusan yang bijaksana dan realistis
d. Membimbing korban melaksanakan atau menerapkan keputusannya dengan cara :
● Membantu korban membuat rencana tindakan yang akan dilakukannya
● Memberi semangat dan dukungan pada korban untuk melaksanakan rencananya
● Membantu korban melakukan evaluasi hasil pelaksanaannya.

Langkah-langkah penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan/anak


4. Prinsip Konseling:
dikenal dengan istilah ‘’RADAR’’ dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
a. memiliki
Fokus kepada korban,
kompetensi spesifik
atau atas kebutuhan, masalah, dan lingkungan korban
terlatih:
b. Percakapannya
• Recognize:dua arah,
Kenalitimbal balik, kerjasama
kemungkinan kekerasandan saling menghargai
c. Ada tujuan yang jelas dan terstruktur
• Ask & Listen: Tanyakan secara langsung dan dengarkan dengan empati
d. Membangun
• Discusskemandirian dan menumbuhkan
Options: Bicarakan tanggungjawab pada diri korban
berbagai pilihannya
e. Memperhatikan karakteristik
• Asses danger: korban dan kemungkinan
Nilai Kemungkinan adanya bahayapengaruh lingkungan sosial
budaya
• serta
Referkesiapannya untukthat
to other groups berubah
could provide assistance: Rujuk
f. Membutuhkan keterampilan
ke lembaga tertentu:
atau kelompok yangkomunikasi interpersonal, mendengarkan,
bisa membantu
bertanya, dan fasilitasi pengambilan keputusan.
g. Rahasia, aman dan dapat dipercaya

5. Persiapan konseling KtP/A


a. Memahami isu KtP/A sehingga dapat memahami situasi dan kondisi korban.
b. Memahami tugas, tanggungjawab dan kewenangannya.
c. Mengenali bias/prasangka dalam diri sendiri yang dapat mempengaruhi pola pikir,
perasaan, serta tingkahlaku kita ketika menghadapi korban. Dengan mengenali bias,

1
kita menjadi tahu keterbatasan diri sehingga dapat merubah pandangan yang keliru
tersebut. Bias dapat berupa bias yang positif, dan bias negatif.
● Contoh bias positif adalah semua dokter pandai, pemuka agama pasti santun
dan alim, perempuan pasti sopan dan lemah lembut, anak-anak itu lucu, dll.
● Contoh bias negatif anak yang kotor adalah anak yang nakal, perempuan
emosional, orang tua kolot, dll.
d. Menyiapkan ruangan dan alat bantu yang bisa menjaga kerahasiaan dan
memberikan rasa aman bagi korban. Sediakan ruangan yang tertutup dan terhindar
dari kebisingan. Jika tidak memungkinkan untuk menyediakan ruangan konseling
setiap hari, tentukan hari-hari khusus dimana konseling bisa diberikan, setidaknya
dua kali dalam seminggu.
e. Peralatan penunujang yang perlu disediakan sekurang-kurangnya adalah satu buah
meja, dua buah kursi atau lebih, alat tulis, tisu, air minum, informasi lembaga
rujukan, lembar balik atau leaflet terkait KDRT, kekerasan seksual, IMS, dan lain-
lain. Peralatan untuk konseling anak antara lain kertas dan pensil warna atau spidol,
mainan boneka/miniature orang/miniatur hewan.

6. Langkah-langkah dalam konseling:


a. Tahap membina rapport (hubungan antara petugas dan korban) dan rasa percaya.
Kalau sudah terjalin, petugas harus menjaga rapport ini selama menangani
pasien/korban.
● Gunakan nada suara, kata-kata, serta bahasa tubuh yang bersahabat. (gunakan
teknik yang diperoleh pada sub sesi sebelumnya)
● Kenalkan diri, termasuk jabatan dan tugasnya
● Mulai dengan percakapan ringan terlebih dahulu, misalnya: lebih banyak
menggunakan pertanyaan tertutup.
b. Tahap mendengarkan untuk menggali permasalahan
● Tetap mengembangkan sikap empatik, mendengar aktif, dan memberikan
respon peduli yang sudah dipelajari pada subsesi sebelumnya
● Gunakan pertanyaan terbuka dan reflektif untuk mengidentifikasi masalah
● Beri pengantar terlebih dahulu, terutama untuk korban rujukan
● Klarifikasi masalah dan hindari terjebak dalam riwayat kekerasan sehingga
tidak fokus pada permasalahan korban
● Bantu korban untuk memetakan masalahnya, arahkan tanpa membuat korban
merasa diatur, didominasi, dan terkesan tidak mendengarkan
● Minta korban untuk menceritakan tanggapan orang disekitarnya (keluarga,
pasangan, tetangga, dll) tentang masalahnya agar petugas dapat memperoleh
gambaran yang utuh.
● Peka terhadap perasaan diri sendiri
● korban dan keluarganya umumnya menginginkan layanan yang instan, yaitu
langsung pada solusi. Petugas jangan terpancing. Perlu diingat bahwa fase ini
bukan fase pengambilan keputusan. Hindari menasehati dan mengembalikan
keputusan bagi korban.

Contoh komunikasi:
“Begini bu, mungkin ibu merasa bingung kenapa ibu diminta untuk menemui saya.
Akhir-akhir ini kita banyak mendengar kekerasan banyak terjadi, terutama
kekerasan dalam rumah tangga. Seringkali yang mengalaminya merasa malu untuk
bercerita, meskipun kekerasan yang dialami sudah sangat parah. (petugas diam
sejenak, mengamati korban). Berdasarkan pengalaman kami selama ini, kami
menilai
1
luka-luka tersebut muncul pada mereka yang mengalami kekerasan dari
pasangannya. Mohon maaf sebelumnya kalau saya seperti mencampuri urusan
rumah tangga ibu. Namun kami sangat prihatin karena ini bukan pertama kali ibu
berobat kemari dengan luka lebam seperti ini. Bila ibu tidak keberatan, bolehkah
ibu meceritakan kepada kami apa yang sesungguhnya terjadi? (diam sejenak dan
amati korban)

Jika korban ragu lanjutkan dengan kalimat: “tidak mengapa jika ibu belum bersedia
cerita sekarang. Kami tidak akan memaksa. Jika suatu saat ibu siap untuk bercerita,
silahkan ibu datang ke Puskesmas ini setiap hari…..” atau “disini kami menjamin
kerahasiaan cerita ibu. Semoga dengan ibu bercerita kepada kami, beban ibu terasa
sedikit lebih ringan.”

c. Tahap informasi/ pengambilan keputusan/ rujukan


1) Gali upaya apa saja yang sudah pernah dilakukan dan yang terpikir untuk
dilakukan oleh korban
2) Gali pula bagaimana korban menyiapkan diri menghadapi risiko yang mungkin
muncul serta langkah-langkah apa yang akan diambil.
3) Berikan informasi kepada korban jika ia mengalami kesulitan untuk
memikirkan alternatif maupun konsekuensi dari tindakan yang direncanakan
4) Tidak mengambilkan keputusan untuk korban. Akan tetapi kita bisa
menyampaikan kekhawatiran kita akan kondisi korban ataupun keluarganya
5) Jika masalah diluar kompetensi petugas kesehatan atau membutuhkan
penanganan lebih lanjut, beri informasi lembaga rujukan.

d. Tahap akhir/kesepakatan
1) Petugas menyimpulkan masalah dan alternatif penyelesaian yang direncanakan
korban.
2) Pastikan lembaga rujukan yang diberikan adalah lembaga yang paling tepat
sesuai kebutuhan korban.
3) Minta korban untuk mengulang kembali rencananya dan memperjelas tindakan
4) Memotivasi korban untuk mengkontak petugas agar petugas dapat mengetahui
perkembangan situasi korban
5) Pada tahapan ini petugas tidak mengembangkan harapan palsu atau janji-
janji yang tidak bisa dipenuhi. Misalnya “ibu bisa menghubungi saya kapan
saja” atau “saya yakin jika ibu mengambil langkah tersebut, pelakunya pasti
jera.”
6) Sampaikan “jika ibu sewaktu-waktu butuh teman berbicara, ibu dapat menemui
saya di sini sesuai dengan jadwal praktik saya. Namun mohon maaf jika ibu
terpaksa menunggu giliran konsultasi “Saat ini kita dalam proses untuk
penyelesaian masalah ya bu, ada kemungkinan langkah kita berhasil atau
sebaliknya. Namun tadi kita sudah membahas langkah antisipasi yang bisa
diambil jika rencana tidak berjalan seperti yang kita harapkan.”
7) Tutup pembicaraan dengan nada positif, misalnya: “permasalahan yang dialami
oleh anak ibu dan keluarga ibu cukup sulit, namun tadi kita bersama-sama
sudah membahas kemungkinan untuk mengatasinya. Semoga pembicaraan kita
tadi bisa membantu mengurangi beban ibu.”

e. Tahap pencatatan
1) Gunakan lembar pencatatan yang tersedia
2) Saat melakukan proses identifikasi
1
3) Biasakan untuk mencatat ringkas pokok-pokok penting dengan terlebih dahulu
meminta izin kepada korban
4) Segera lengkapi pencatatan setelah pembicaraan selesai

7. Konseling pada penanganan kekerasan terhadap anak

Teknik konseling pada anak

BERTANYA

Persiapan
Sebelum berhadapan langsung dengan anak, petugas kesehatan perlu:
1. Berkomunikasi dengan perujuk (dokter, petugas kesehatan lain, orang yang
mendampingi anak dsb) tentang dugaan masalah anak
2. Pelajari identitas diri anak (usia, jenis kelamin, suku bangsa, pendidikan), karena akan
mempengaruhi cara kita berinteraksi
3. Persiapkan alat bantu jika diperlukan
4. Siapkan ruang konseling, ruangan tidak perlu banyak mainan atau berwarna-warni
karena akan mengganggu konsentrasi anak tetapi cukup terang dan alas duduk yang
nyaman
5. Satu petugas kesehatan untuk satu anak
6. Pekalah dengan kehadiran pendamping anak/pengasuh/orang yang merujuk karena
bisa bermanfaat (membuat anak merasa aman) tetapi juga bisa membuat anak tertutup.

Jalin hubungan
Hubungan yang baik akan menentukan apakah kita mampu melakukan skrining dan
membantu anak lebih lanjut.
Sikap petugas kesehatan yang dibutuhkan:
- Hangat: Senang berinteraksi/bermain dengan anak
- Terlihat tertarik dengan pembicaraan anak: Memiliki humor namun peka dengan situasi
- Empati: Tenang
- Peka: Berkomunikasi sesuai dengan tahap usia anak
- Memberikan pujian dan dukungan: Tidak menyalahkan

1
Teknik bertanya Sesuai Usia Anak

Periode
Teknik bertanya yang baik Hindari
perkembangan
Balita 3-5 tahun ● Duduk sejajar anak (dikarpet atau kursi ● Membuat pertanyaan yang
kecil) rumit “habis dipukulin apa
● Pertanyaan singkat dan pertanyaan kamu pergi? Kemana? Ada
terbuka “setelah kamu dipukul apa yang tidak yang menemani?”
kamu lakukan?” ● Menggunakan pertanyaan
● Guakan kata bantu “lalu…” “oo jadi tertutup “kamu dipukul?”
begitu, terus…” ● Mengungkapkan asumsi kita
● Gunakan alat bantu mis. Poster ekspresi karena anak akan
wajah untuk menjelaskan perasaan ● Mempercayai cerita kita
● Gunakan alat bantu lain misal boneka sebagai kenyataan semata-
puppet, gambar mata karena ia belum mampu
untuk membedakan kenyataan
dan fantasi “ibu tahu kamu
dipukul sama bapak kamu kan?
Ini nih, ada biru-biru kamu
pasti dicubit sampai kayak
begini”
Anak usia SD ● Berikan waktu yang lebih lama untuk ● Menilai atau menyalahkan
6-12 tahun menjalin hubungan. “pantesan kamu dipukul, nakal
● Mulailah dengan membicarakan hal-hal sih”
yang akrab (acara tv, tokoh idola, ● Hindari pertanyaan yang
mainan kesukaan) sifatnya fakta-fakta terlalu
● Dengarkan dengan empati banyak
● Biarkan anak yang memulai dan ● Hindari kontak mata terus
memimpin pembicaraan menerus
● Jika anak sulit untuk bercerita berikan ● Hindari pertanyaan yang
pertanyaan yang menyediakan pilihan abstarak “menurut kamu ada
jawaban “mmm…jadi kamu dibawa ke hikmahnya ngga kamu
tempat yang kamu tidak kenal. Berapa mengalami peristiwa ini?”
orang yang membawa kamu? Satu ● Hindari pertanyaan ‘kenapa?’
orang? Dua orang? Tiga orang? Ulang “kenapa kamu tidak kabur?”
pertanyaan atau ganti dengan kata-kata
baru jika anak tidak menjawab
● Ungkapkan kembali perasaan yang
dikatakan oleh anak “jadi kamu merasa
marah karena teman kamu meninju
kamu”
Remaja ● Berikan waktu yang lebih untuk ● Hindari menasehati “kamu
13-18 tahun menjelaskan kerahasiaan pembicaraan, seharusnya lebih banyak
biarkan anak betul-betul mengerti dan bergaul dengan temen-teman
merasa yakin kamu supaya tidak dibully”
● Tunjukkan sikap respek dengan
mendengarkan pendapat remaja
“menurut kamu apa yang membuat
mereka memukul kamu?”
● Tanya pendapat mereka apa alternatif
solusi bagi permasalahan mereka

1
Periode
Teknik bertanya yang baik Hindari
perkembangan
● Identifikasi kecenderungan untuk bunuh
diri

Apa yang harus dilihat? Observasi anak


● Kondisi fisik: tinggi dan berat apakah sesuai usia? Bagaimana tampilan kesehatannya
secara umum? Ke aktifan selama pertemuan?
● Ekspresi wajah: emosi/mood mudah berubah/stabil
● Cara ia menjalin hubungan dengan anda dan orang lain: menarik diri, cepat akrab
tetapi merasa aneh, reaksi orang lain yang bertemu anak ini.
● Tanda-tanda kecemasan: perilaku agresif, gerakan tubuh berulang (menggoyang-
goyangkan kaki)
Kepekaan dalam melakukan observasi akan menentukan bagaimana kita akan bersikap dan
menanggapi anak dan membantu kita untuk mengetahui lebih jelas permasalahan anak.

e. Penggunaan Alat Bantu Dalam Konseling KtA

Manfaat alat bantu pada konseling KtA


● Menurunkan kecemasan dan memulai interaksi dengan anak (mis. Puzzle, ular tangga)
● Sebagai media untuk bercerita yang tidak membahayakan anak

Macam alat bantu yang digunakan dalam konseling KtA


1. Menggambar (usia 6-12 tahun)
Biarkan anak menggambar bebas. Hal yang paling penting meminta anak untuk
menceritakan gambar tersebut. Gunakan gambar untuk bertanya tentang
permasalahan anak. Hindari untuk meminta anak menggambar dengan tema yang
kita inginkan misalnya “gambarlah pengalaman yang membuat kamu takut”.

2. Boneka puppet (usia 2-5 tahun)


Gunakan boneka puppet untuk berinteraksi dengan anak. Ajak anak untuk berbicara
dan bercerita pada boneka puppet bukan pada anda, mulailah dengan cerita lucu,
kegiatan sehari-hari kemudian baru menanyakan tentang permasalahan anak.

3. Boneka tubuh manusia (6-12 tahun)


Penggunaan boneka misalnya untuk membantu anak menunjukkan bagian tubuh
yang mengalami kekerasan. Jika anak belum jelas mengatakan dirinya menga lami
kekerasan, hendaknya dihindari meminta anak menunjukkan dampak kekerasan.
Biarkan anak untuk memainkan boneka dengan caranya sendiri. Hindari
mengajurkannya menunjukkan permainan tertentu dengan bonekanya, seperti
mengatakan, “tunjukkan dong sama ibu bagaimana kamu dipukuli”. Hal ini
cenderung membuat anak menjadi tertutup.

Dalam penggunaan alat bantu perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:


a) Hindari penggunaan alat bantu yang terlalu menarik: penuh warna, bersuara,
rumit, detail.
b) Hentikan penggunaan alat bantu ketika alat bantu mengganggu proses konseling
c) Singkirkan alat bantu yang tidak digunakan dari pandangan anak
d) Pastikan alat bantu sesuai dengan usia anak

1
f. Menghadapi situasi konseling yang sulit

Dalam memberikan layanan konseling, tidak dipungkiri pada penanganannya seringkali


menghadapi kendala. Bahkan pada situasi-situasi tertentu yang dapat membuat proses
konseling mengalami hambatan, antara lain ketika korban:
1) Terus-menerus menangis
Tidak mudah menghadapi korban yang banyak menangis, mudah sedih, menilai
buruk atau menyalahkan diri, marah pada diri, atau bahkan hingga memiliki
pikiran- pikiran dan perilaku destruktif atau bahkan percobaan bunuh diri. Berikut
adalah tips sederhana yang mungkin bisa membantu:
● Dengan menjadi pendengar yang baik
● Melakukan penguatan positif, misalnya dengan menyampaikan “Tidak banyak
loh bu/mbak, korban yang mau melapor atau bercerita. Ibu/mbak adalah orang
yang sangat berani. Saya sangat mengerti bahwa tidak mudah untuk mengambil
keputusan. mungkin ini bukan kali pertama ibu/mbak mau datang kesini”
● Identifikasi sejauh mana membahayakan diri atau perlu dirujuk
● Sabar dalam menghadapi ketidakstabilan korban
2) Mudah tersinggung, menyalahkan, dan selalu menolak/mementahkan usulan pihak
lain. Berikut adalah tips sederhana yang mungkin bisa membantu:
● Sikap bersahabat tapi tegas
● Jelaskan batas-batas dan aturan
● Fokus pada mendengarkan dan minimalkan tanggapan/usulan meminta
kesepakatan kerjasama, hak dan kewajiban korban dan petugas kesehatan.
3) Terkesan berbohong memberikan keterangan berubah-ubah/berbicara tidak
konsisten, terkesan ‘manipulatif’. Tips sederhana yang mungkin bisa membantu,
sama dengan nomor 2, ditambah dengan:
● Jelaskan pentingnya niat baik dari semua pihak untuk dapat menyelesaikan
masalah
4) Gelisah, banyak bicara, dan sulit untuk disela. Berikut adalah tips sederhana yang
mungkin bisa membantu:
● Sediakan waktu yang cukup bagi korban untuk menenangkan diri
● Menjadi pendengar yang baik tanpa banyak berharap sampai pada fasilitasi
pengambilan keputusan
● Identifikasi kemungkinan kerjasama dengan pekerja sosial, psikolog, psikiater
untuk tangani sisi emosi
5) Sangat tergantung dan labil sehingga menuntut pendamping memberi perhatian
penuh. Berikut adalah tips sederhana yang mungkin bisa membantu:
● Sikap bersahabat
● Alokasikan waktu cukup bagi subjek untuk tenangkan diri
● Menjadi pendengar yang baik tanpa banyak berharap akan solusi
● Tangani sisi emosi
● Jelaskan keterbatasan peran
6) Tidak mau cerita, menolak untuk kerjasama. Berikut adalah tips sederhana yang
mungkin bisa membantu:
● Tingkatkan rapport yang sudah terbangun
● Jelaskan perlunya mendapat info langsung dari korban
● Tunjukkan sikap bersahabat sekaligus tegas
7) Menghadapi keluarga korban yang dominan, berlebihan, dan mengganggu. Berikut
adalah tips yang mungkin bisa membantu. Berikut adalah tips sederhana yang
mungkin bisa membantu:

1
● Cek apakah rapport sudah terbangun
● Alokasikan waktu cukup bagi keluarga/pihak lain untuk ungkapkan keluhan
● Jelaskan perlunya mendapat info langsung dari korban. Kemudian dengan
sopan, persilahkan pengantar/keluarga untuk menunggu diruang tunggu.
Sampaikan berapa lama kemungkinannya mereka harus menunggu. Jika
memungkinkan, beri bacaan ringan atau psikoedukasi dari Puskesmas
● Sikap bersahabat sekaligus tegas
8) Melakukan tindakan yang tidak lazim, tidak sinkron, menunjukan waham maupun
halusinasi. Berikut adalah tips sederhana yang mungkin bisa membantu
● Upayakan informasi dari pihak-pihak terdekat, termasuk tentang karakter
korban sebelum dan setelah kejadian.
● Jika memungkinkan, segera dirujuk ke psikolog, psikiater.

g. Korban sebaiknya dirujuk ke petugas kesehatan mental professional jika


menunjukkan gejala:
1) Menangis yang tak terkendali dan sering terjadi, atau reaksi-reaksi ekstrim lainnya
terhadap kejadian yang sebenarnya hanya menimbulkan stress yang ringan
2) Masalah dengan tidur (terlalu banyak atau terlalu sedikit)
3) Depresi
4) Kecemasan
5) Kemarahan
6) Penyakit-penyakit fisik yang berhubungan dengan stress seperti: sakit perut, sakit
kepala
7) Ketidakmampuan melupakan kejadian traumatis
8) Secara berlebihan terpaku pada pemikiran tertentu
9) Emosi yang menumpul
10) Pemikiran atau rencana-rencana untuk bunuh diri
11) Mengalami ketergantungan atau kelekatan pada orang lain secara berlebihan
12) Mimpi-mimpi buruk
13) Sangat mudah terkejut

h. Korban sangat dianjurkan dan harus segera dirujuk bila mengalami hal-hal
berikut ini:
1) Ketakutan atau ancaman untuk membahayakan diri sendiri atau orang lain
2) Menarik diri sama sekali dari lingkungan/orang lain, tidak menunjukkan respon
emosional
3) Rasa putus asa yang menghancurkan diri sendiri
4) Keresahan yang sangat nyata terlihat
5) Sering menceritakan berulang-ulang kejadian traumatis
6) Aktivitas yang tidak terkendali
7) Ketidakmampuan untuk mengurus kebersihan diri
8) Cepat tersinggung, marah atau sedih yang terlihat nyata
9) Kemarahan yang meledak-ledak
10) Halusinasi pendengaran (mendengar suara-suara yang tidak didengar orang lain)
11) Memiliki keyakinan yang aneh dan tidak masuk di akal

Petugas kesehatan seringkali merasa buntu dan tidak tahu bagaimana harus bertindak.
Berikut adalah prinsip umum terkait penanganan situasi konseling yang sulit:
1. Ukur kemampuan diri sendiri, apakah konselor mampu mengatasi situasi yang akan
dihadapi bersama dampingan tersebut.

1
2. Selalu bina rapport untuk menjalin rasa percaya dan aman.
3. Jelaskan peran sebagai petugas kesehatan dan batas-batas (hal-hal yang dicakup dari
layanan, yang tidak dicakup, aturan Puskesmas, dll).
4. Jelaskan batas/kondisi pertemuan.
5. Dengarkan keluhan. Bila diperlukan, sediakan cukup waktu untuk menangani aspek-
aspek emosional terlebih dahulu.
6. Tangani terlebih dahulu hal yang lebih mendesak atau diperkirakan akan mengganggu
proses. Misalnya pengantar atau keluarga yang sangat banyak bicara.
7. Setelah kondisi emosi cukup tenang, baru masuk ke fakta-fakta. Gunakan bahasa
sopan/hormat dan menenangkan, misalnya: “Maaf sebelumnya. Saya bisa melihat
bahwa ibu masih sangat sedih akibat peristiwa yang terjadi. Namun, terpaksa saya
harus bertanya detil untuk kelengkapan berkas….”
8. Catat atau rekam dengan tidak mengganggu proses percakapan.
9. Tidak menangani hal yang bukan kompetensi dan lakukan rujukan bila diperlukan.
10. Apabila diperlukan, sesuai kebutuhan, jelaskan kembali posisi instalasi keterbatasan
instansi dan situasi nyata layanan secara bersahabat tetapi tegas.

C. Perawatan kesehatan mental


● Dukungan psikososial dan sosial termasuk konseling merupakan komponen esensial
perawatan medis korban kekerasan seksual.
● Diskusi kelompok antar korban dengan para kelompok pendukung (support group)
dapat dilakukan apabila terdapat indikasi perlunya terapi jenis ini pada korban.
● Berikan terapi hanya pada kasus-kasus tertentu, saat distress akut berat membuat
fungsi (misal kemampuan bicara hilang dalam 24 jam) menjadi terganggu, maka jika
kondisi fisik korban stabil berikan diazepam 5 mg atau 10 mg, diminum saat akan tidur
malam tidak lebih dari 3 hari.
● Rujuk korban ke psikiater atau profesional terlatih dalam kesehatan jiwa untuk
penilaian ulang esok harinya. Jika tidak ada tenaga professional dan keluhan berlanjut,
dosis dapat diulang dan dilakukan evaluasi harian.

Sampai disini peserta dapat mengerjakan Penugasan 3.


latihan kasus dan bermain peran melakukan tatalaksana
psikososial pada korban kekerasan (KtP/A), sesuai
dengan petunjuk penugasan yang ada pada panduan
fasilitator.

1
RANGKUMAN
● Pelayanan kesehatan bagi korban KtP/A dan TPPO dapat dilakukan di Puskesmas dan Pusat
Pelayanan Terpadu/Pusat Krisis Terpadu (PPT/PKT) di Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit
Swasta dan Bhayangkara. Oleh karena itu Puskesmas dan Rumah Sakit harus mampu
tatalaksana kasus KtP/A dan TPPO.
● Tata laksana penanganan medis pada korban KtP/A, termasuk TPPO, dilakukan dalam
bentuk: Prinsip umum layanan korban, Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, Pemeriksaan Seksual,
Pemeriksaan Penunjang/Laboratorium, Penatalaksanaan Medis.
● Visum et Repertum (VeR) adalah laporan tertulis yang dibuat oleh Dokter atas pemeriksaan
yang dilakukan terhadap barang bukti berupa tubuh manusia (mati/hidup), bagian dari tubuh
manusia yang memuat hasil pemeriksaan dan kesimpulan. Berdasarkan permintaan tertulis
dari pihak berwajib yang digunakan untuk kepentingan peradilan.
● Tata laksana dampak psikologis dan kesehatan jiwa dapat meliputi anamnesa, pemeriksaan
kesehatan jiwa, asesmen psikologis, penatalaksanaan kesehatan jiwa kekerasan terhadap
perempuan dan penatalaksanaan kondisi kesehatan jiwa kekerasan pada anak.

1
C. Daftar Pustaka

Kementerian Kesehatan. 2009. Pedoman Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan


terhadap Perempuan dan Anak di Rumah Sakit.

Kementerian Kesehatan. 2010. Pedoman Pengembangan Puskesmas Mampu


Tatalaksana Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.

Kementerian Kesehatan. 2015. Pedoman Pelayanan dan Rujukan Kasus Kekerasan


terhadap Perempuan dan Anak bagi Petugas Kesehatan.

Kementerian Kesehatan. 2005. Pedoman Penatalaksanaan Dampak Psikis Kekerasan


Terhadap Perempuan (Pegangan Bagi Petugas Kesehatan).
KUHP dan KUHAP.

1
MATERI PELATIHAN INTI 4 (MPI 4): JEJARING DAN MEKANISME
RUJUKAN KORBAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN
ANAK TERMASUK TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

1
A. Tentang Modul Ini

1. Deskripsi Singkat

Penanganan kasus KtP/A tidak mungkin dilaksanakan hanya oleh sektor kesehatan
saja, karena masalah yang multikompleks sehingga harus menggunakan pendekatan
multidisiplin yang melibatkan lintas sektor. Oleh karena itu, penanganannya didukung oleh
semua pihak sesuai dengan tugas pokok, fungsi, dan tanggung jawab masing-masing. Perlu
dikembangkan kemitraan dalam penanganan kasus KtP/A termasuk TPPO yang melibatkan
semua pemangku kepentingan (stakeholder). Agar kemitraan lebih efektif dibutuhkan suatu
jejaring yang didukung oleh semua sektor terkait. Melalui kegiatan ini diharapkan petugas
kesehatan di Puskesmas dapat memberikan pelayanan dan melakukan rujukan korban
KtP/A termasuk TPPO yang datang ke Puskesmas.
Modul ini akan membahas tentang: Jejaring Pelayanan Korban KtP/A termasuk
TPPO dan Mekanisme Rujukan Korban KtP/A termasuk TPPO (Rujukan Medis dan Rujukan
Non Medis).

2. Tujuan Pembelajaran

a. Hasil Belajar
Setelah mengikuti materi, peserta mampu melakukan jejaring dan mekanisme
rujukan korban KtP/A termasuk TPPO.

b. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti pembelajaran, peserta mampu:
1. Mengidentifikasi jejaring pelayanan korban KtP/A termasuk TPPO
2. Melakukan mekanisme rujukan korban KtP/A termasuk TPPO

3. Materi Pokok

Dalam modul ini akan dibahas materi pokok sebagai berikut:


1) Materi Pokok 1. Jejaring Pelayanan Korban KtP/A termasuk TPPO
2) Materi Pokok 2. Mekanisme Rujukan Korban KtP/A termasuk TPPO

1
B. Kegiatan Belajar

MATERI POKOK 1. JEJARING PELAYANAN KORBAN KTP/A TERMASUK TPPO

Jejaring adalah suatu hubungan kerjasama antara dua pihak atau lebih berdasarkan prinsiip
kemitraan untuk mencapai tujuan bersama yang telah disepakati sesuai peran, tanggungjawab
dan fungsi masing-masing. Kasus KtP/A merupakan kasus yang kompleks yang meliputi aspek
medis, medikolegal dan psikososial sehingga memerlukan penanganan secara komprehensif
dengan pendekatan multidisipliner dan pelaporan yang terpadu antara jejaring yang telibat
dalam pengananan KtPA.

Unsur yang terlibat dalam jejaring penanganan dan pelaporan kekerasan terhadap perempuan
dan anak meliputi:
1. Puskesmas mampu tatalaksana KtP/A
2. Pusat Penanganan Terpadu (PPT), Pusat Krisis Terpadu (PKT) di Rumah sakit termasuk
RS Bhayangkara
3. Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dan
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A)
4. Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Kepolisian (Polda & Polres)
5. Komisi Anak Indonesia (KPAI)
6. Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC)
7. Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA)
8. Pusat Informasi dan Konsultasi Keluarga (BKKBN, PKK)
9. Rumah aman/shelter
10. LSM seperti Komnas Perlindungan Anak, Yayasan Pulih, Mitra Perempuan, Women
Crisis Center (WCC) dan lain-lain
11. Kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri
12. Pengadilan tinggi dan Pengadilan Negeri
13. Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) atau Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) diharapkan menjadi portal
untuk mengatur alur penanganan kasus KtP/A. Apabila korban datang sendiri atau diantar oleh
keluarga, polisi, LSM atau institusi lainnya, maka UPTD PPA/P2TP2A dapat mengidentifikasi
kasus dan melakukan tindakan rujukan yang tepat, yaitu:
● Jika korban membutuhkan pelayanan kesehatan maka dirujuk ke Puskesmas mampu
KtP/A, PPT/PKT di Rumah Sakit;
● Jika korban membutuhkan pelayanan bantuan hukum bisa dirujuk ke LBH/UPPA, dan
institusi/LSM lainnya yang memberikan layanan bantuan hukum atau korban memperoleh
pelayanan bantuan hukum di ruang khusus pada UPTD PPA/P2TP2A melalui kerja sama
dengan unit pelayanan teknis terkait;
● Jika korban membutuhkan pelayanan psikososial maka UPTD PPA/P2TP2A dapat melayani
dengan bantuan tenaga dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA)-Polres/Rumah
Perlindungan Trauma Center (RPTC)/Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA)/LSM
seperti Komnas Perlindungan Anak, Mitra Perempuan, dan Women Crisis Center (WCC).
Melalui kerja sama dalam jejaring kemitraan UPTD PPA/P2TP2A dapat mengirim korban
untuk memperoleh bantuan pendampingan psikososial di unit teknis tersebut.

1
Dalam pelayanan PP-KtP/A termasuk TPPO, dibuat Standar Prosedur Operasional (SPO)
dengan menggunakan pendekatan yang berorientasi pada pemenuhan hak–hak perempuan
dan anak korban kekerasan. Pelayanan tersebut meliputi:
1. Penanganan pengaduan
2. Pelayanan kesehatan
3. Rehabilitasi sosial
4. Penegakan dan bantuan hukum, dan
5. Pemulangan dan reintegrasi sosial.

Standar Pelayanan Operasional (SPO) untuk rehabilitasi kesehatan merupakan pelayanan


kesehatan secara komprehensif di Puskesmas Mampu Tata Laksana Kasus KtP/A dan PPT di
RSU/RSUD/RS Bhayangkara yang mengacu pada panduan dari Kementerian Kesehatan. SPO
untuk pelayanan rehabilitasi sosial dan reintegrasi sosial mengacu pada panduan yang disusun
oleh Kementerian Sosial terutama untuk RPTC dan RPSA, sedangkan SPO untuk pemulangan
dibuat berdasarkan panduan yang telah disusun oleh Kementerian Luar Negeri, BNP2TKI, dan
Kementerian Sosial.

Sasaran jejaring pelayanan KtP/A adalah:


1. Kepala daerah dan jajarannya di setiap tingkatan wilayah sebagai pihak yang bertanggung
jawab untuk menyediakan layanan bagi korban kekerasan.
2. Petugas pelaksana penyedia layanan bagi pelayanan di semua tingkatan, baik di dalam
maupun di luar negeri.

Sampai disini peserta dapat mengerjakan penugasan 1. Latihan


Mengidentifikasi jejaring Pelayanan Korban KtP/A termasuk
TPPO di wilyah kerjanya, sesuai dengan petunjuk penugasan
yang ada pada panduan fasilitator.

1
MATERI POKOK 2. MEKANISME RUJUKAN KORBAN KTP/A TERMASUK TPPO

Mekanisme rujukan pada kasus korban kekerasan pada perempuan dan anak adalah suatu pola
kerja sama lintas sektoral dan multidisiplin, yang bertujuan memberikan layanan dan
perlindungan secara optimal pada korban, sesuai dengan kapasitas dan bidang keahlian
masing- masing. Kegiatan rujukan mencakup:
● Rujukan pasien meliputi rujukan internal dan eksternal. Rujukan internal adalah rujukan
antar spesialis dalam satu RS, sedangkan rujukan eksternal adalah rujukan pelayanan ke
luar RS dengan mengikuti sistem rujukan yang ada.
● Rujukan berkaitan pelayanan korban yang tidak ada di RS asal, misalnya pelayanan
medikolegal, konseling hukum, konseling psikososial, Rumah Aman, dll.
● Rujukan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk peningkatan kemampuan tenaga serta
sumber daya kesehatan lainnya (dana, alat, dan sarana).
● Pembinaan manajemen.

Sesuai dengan fungsi koordinasi dan kemampuan fasilitas kesehatan, rujukan dapat dibagi
menjadi dua:
1. Rujukan vertikal
Rujukan vertikal adalah rujukan fasilitas pelayanan yang berbeda tingkatan dari yang lebih
rendah ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi, misalnya dari puskesmas ke RS atau dari RS
tipe C ke RS tipe yang lebih tinggi.
2. Rujukan horizontal
Rujukan horizontal adalah rujukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan,
misalnya dari RS non PPT ke RS PPT.

Selain itu, berdasarkan jenis/ruang lingkup pelayanan yang dimiliki, rujukan dibagi menjadi:
1. Rujukan medis
Tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan primer (Puskesmas, Klinik 24 Jam,
Balai Pengobatan, Dokter Praktik Swasta) seringkali menjadi pintu masuk atau rujukan
awal dari kasus KtP/A.
a. Kasus bisa datang langsung dari masyarakat umum yang menemukan korban (misal
pada anak korban kekerasan non domestik) atau dari keluarga korban atau bahkan dari
pelaku kekerasan (misalnya pada kasus kekerasan domestik). Pada kasus yang dibawa
oleh masyarakat pada umumnya bertujuan untuk mendapatkan pertolongan medis.
b. Kasus juga bisa berasal dari lembaga yang memberikan perlindungan bagi perempuan
dan anak atau aparat kepolisian. Sedang pada kasus yang berasal dari lembaga
perlindungan, lembaga hukum, dan kepolisian, selain bertujuan untuk mendapatkan
pertolongan medis, juga untuk mendapatkan data medis mengenai adanya tindak
kekerasan guna pembuktian hukum.
c. Pada umumnya jenjang rujukan sesuai dengan peringkat fasilitas pelayanan kesehatan,
misalnya Puskesmas dan Balai Pengobatan hanya melakukan tindakan medis dasar,
Rumah Sakit Tipe C memberikan layanan spesialistik dasar, Rumah Sakit Tipe B
menyediakan layanan spesialistik lengkap, sedangkan Rumah Sakit tipe A adalah pusat
rujukan akhir yang mampu melakukan layanan spesialistik secara paripurna.
Dalam menangani korban kekerasan, fasilitas pelayanan kesehatan rujukan tetap
berkoordinasi dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang mengirim untuk memantau
perkembangan kasus/kondisi korban sesuai dengan kewenangannya.

Adapun kewenangan fasilitas pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:

1
1) Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)

Puskesmas sebagai Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama/FKTP dapat mengenali,


menangani kasus, menerima rujukan kasus, dan merujuk kasus untuk mendapatkan
penanganan lebih lanjut terhadap perempuan dan anak, serta memberikan informasi
atas adanya dugaan kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk TPPO.

Kasus-kasus yang dapat ditangani di Puskesmas terkait kasus kekerasan terhadap


korban yang memiliki derajat ringan, antara lain:
a) Luka ringan
b) Cidera sederhana (luka bakar ringan, laserasi superfisial, memar)
c) Cidera ringan/infeksi pada organ reproduksi luar
d) Cidera ringan pada anus
e) Cidera kepala ringan
f) Trauma psikis ringan (belum ada gangguan fungsi akademis, pekerjaan dan fungsi
sosial, belum ada gejala keinginan untuk bunuh diri dan gejala gangguan mental
berat seperti halusinasi, perilaku yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang
lain, penggunaan zat adiktif dan kecemasan yang berat)
g) Gizi kurang diduga akibat penelantaran
h) Untuk dugaan kasus kekerasan seksual pada anak dan perempuan dilakukan:
prosedur pemeriksaan penyakit infeksi menular/IMS, mempertimbangkan
pemberian antibiotik profilkaksis, kontrasepsi darurat/kondar pada kasus yang
terjadi <72 jam, pemeriksaan kehamilan normal (ANC).

Selain hal tersebut di atas, Puskesmas juga melakukan:


● Pembuatan visum et repertum atas permintaan Polisi
● Pencatatan dan pelaporan kasus
● Konseling dan rujukan

Sedangkan kasus-kasus yang memerlukan rujukan adalah bila ditemukan satu atau
kombinasi dari keadaan antara lain:
a) Perdarahan berat
b) Fraktur tertutup/terbuka/multiple
c) Syok
d) Kejang-kejang
e) Luka bakar luas
f) Kecurigaan pneumotoraks
g) Sepsis
h) Robekan/infeksi anogenital
i) Stres berat
j) Cidera kepala sedang sampai berat.
Untuk melakukan rujukan perlu dipersiapkan: surat pengantar rujukan, kronologis
singkat kasus dan bukti-bukti yang mendukung (pakaian, celana dalam, rambut pubis,
kotoran/debris pada kuku, swab vagina, dll).

2) Rumah Sakit (RS)

RS dapat menerima dan menangani kasus KtP/A. Jika RS tersebut tidak mampu
menangani, dapat dirujuk ke RS yang lebih mampu. Pada kasus dimana tidak tersedia
tenaga yang dibutuhkan, dapat dilakukan koordinasi dengan institusi terkait lainnya

1
apabila diperlukan, misalnya pendampingan tenaga sosial dari Dinas Sosial atau
pendampingan hukum dari LBH.

Pusat Krisis Terpadu (PKT)/Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di RS memberikan


pelayanan komprehensif dan holistik meliputi penanganan medis dan medikolegal,
penanganan psikologis, sosial, dan hukum. Oleh karena itu di dalam PKT/PPT diperlukan
tim yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, pekerja sosial, psikolog dan ahli hukum,
serta ruang konsultasi dapat disesuaikan dengan kondisi yang ada namun perlu dijamin
kerahasiaan, keamanan, dan kenyamanan. Bagi RS yang belum memiliki PKT/PPT,
kegiatan penanganan kasus KtP/A dilakukan di instalasi Gawat Darurat (IGD).

Kasus KtP/A yang ditangani di RS mulai dari derajat ringan sampai berat sesuai
ketersediaan sarana, prasarana, serta kemampuan tenaga di RS. Tindakan dalam
penanganan KtP/A di RS diawali dengan anamnesa untuk identifikasi kasus dan
pengisian lembar persetujuan pemeriksaan (informed consent).

Untuk melakukan rujukan perlu dipersiapkan`; surat pengantar rujukan, kronologis


singkat kasus, surat karantina bagi rujukan yang menggunakan transportasi udara,
pemeriksaan laboratorium (medis, forensik) dan pemeriksaan penunjang serta bukti-
bukti pendukung lainnya seperti pakaian, celana dalam, rambut pubis, kotoran/debris
pada kuku, swab vagina.

Prosedur pelayanan korban KtP/A di RS yaitu:


a) Korban dengan diantar atau tidak diantar polisi datang ke RS mendaftar ke bagian
registrasi, kemudian di IGD dilakukan triage untuk menilai kondisi korban apakah
dalam keadaan non kritis, semi kritis, atau kritis. Apabila menemukan korban
dugaan kekerasan, petugas kesehatan wajib untuk melapor ke polisi.
b) Korban dalam keadaan non kritis, akan dirujuk ke PPT untuk mendapatkan layanan
pemeriksaan fisik, konseling psikologis dan hukum serta penunjang tambahan
medikolegal (VeR) dan pendampingan. VeR diberikan apabila ada surat permintaan
VeR yang dibawa oleh penyidik.
c) Apabila RS tidak memiliki layanan konseling psikologis/hukum/shelter dapat
dirujuk ke Polisi, Rumah Aman/shelter, UPTD PPA/P2TP2A/P2TPA/PK2PA atau
dikembalikan ke keluarga bila tidak membahayakan.
d) Pada RS yang tidak memiliki PKT/PPT setelah masalah medisnya tertangani dapat
dirujuk ke RS dengan PKT/PPT untuk mendapat layanan lain yang dibutuhkan.
e) Korban yang dalam keadaan semi kritis akan ditangani di IGD sesuai dengan
prosedur yang berlaku. Apabila diperlukan, dapat dikonsulkan/diirujuk ke spesialis
terkait atau unit lain seperti kamar operasi/ICU/HCU.
f) Korban dalam keadaan kritis akan mendapatkan pelayanan seperti pada korban
semi kritis. Pemeriksaan medikolegal dilakukan bersamaan dengan penanganan
medis.
g) Apabila korban dengan dugaan kekerasan meninggal di RS/fasilitas pelayanan
kesehatan, petugas kesehatan wajib lapor ke polisi.
h) Apabila tenaga kesehatan di poliklinik RS menemukan pasien yang diduga korban
kekerasan maka dinilai terlebih dahulu keadaan umumnya kemudian dikonsulkan ke
PPT/PKT.

1
ALUR PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP ANAK DI PUSKESMAS

KORBAN :
□ Datang sendiri
□ Diantar (orang tua, keluarga, guru, masyarakat,
polisi)

JENIS KLASIFIKASI TATA LAKSANA RUJUKAN


KEKERASAN

Kekerasan □ Pengobatan sesuai


Fisik keadaan klinis Medis/RS
□ Konseling
TIdak Gawat
Tidak Darurat □ Rekam Medik
□ Pembuatan VeR Psikososia
jika diminta l
Kekerasan □ Pencatatan dan
□ Anamnesa Seksual Pelaporan Medikolega
□Pemeriksaan Fisik Gaw l
□Pemeriksaan at
Penunjang Tida
□ Tatalaksan
Kekerasan
a
Emosional RUJUK ke
Emergens
i RS
□ Stabilisasi
Gawat
keadaan
Darurat
Penelantaran

1
1
2. Rujukan non medis

Rujukan non medis meliputi rujukan psikososial dan bantuan hukum. Selain pertolongan
medis, kasus KtP/A membutuhkan intervensi psikososial, perlindungan dan bantuan
hukum.

Oleh sebab itu, proses rujukan tidak cukup sampai pertolongan medis saja.
● Pada beberapa kasus, misalnya pada korban kekerasan domestik, seringkali intervensi
psikososial justru merupakan komponen mendasar dari penyelesaian kasus. Pada kasus
perdagangan anak, aspek hukum menjadi komponen yang dominan dari upaya
perlindungan anak dan sebaiknya dilakukan kajian tim multi disiplin.
● Kasus KtP/A yang membutuhkan pendampingan psikososial, dapat dirujuk pada
lembaga-lembaga pemerhati seperti Lembaga Perlindungan Anak, Women Crisis Center,
Yayasan Kesejahteraan Anak dan sebagainya.
● Rujukan psikososial dapat dilakukan ke PPT/PKT Rumah sakit setempat atau RS
Bhayangkara.
● Lembaga perlindungan yang menyediakan layanan rujukan psikososial diharapkan
mempunyai kapasitas dan legalitas untuk melakukan intervensi keluarga, seperti
merekomendasikan keluarga untuk menjalani terapi, menyediakan rumah aman dan
orang tua pengganti (foster parent) bagi anak yang sementara terpaksa dipisahkan dari
keluarganya, dan memberikan layanan rehabilitasi psikososial untuk memulihkan
korban dari dampak perlakuan kekerasan yang dialaminya.

Untuk melakukan rujukan perlu dipersiapkan surat pengantar rujukan, yang memuat
kronologis singkat kasus. Ketika akan melakukan rujukan tenaga kesehatan harus
mengetahui layanan yang tersedia dan siapa yang perlu dikontak, hal – hal yang perlu
diperhatikan oleh tenaga kesehatan:
● Layanan perlindungan apa yang tersedia di daerahnya untuk korban? Apakah ada
instansi yang dapat ditunjuk sebagai focal point? Apakah petugas kesehatan diwajibkan
untuk melaporkan kasus TPPO atau KTP/A?
● Jenis layanan apa yang dibutuhkan korban pada saat ini? Penampungan atau makanan?
Perawatan medis dan psikologis? Bantuan hukum atau imigrasi? Layanan penterjemah?
Sebisa mungkin korban harus mempunyai suara dalam pembuatan keputusan
● Jangan menghubungi organisasi lain atau polisi tanpa menjelaskan terlebih dahulu
kepada korban bagaimana komunikasi ini akan mempengaruhinya. Diskusikan pilihan-
pilihan yang ada. Bertindak dengan persetujuan dari korban.
● Konteks yang berbeda bisa diaplikasikan pada korban tergantung dari hak-hak mereka,
tergantung status hukum mereka, adanya dokumen yang legal, dan jenis pekerjaan
dimana mereka terlibat (legal atau tidak legal).

Semua keadaan ini bisa berdampak pada keamanan dari korban. Jelaskan situasi tersebut
kepada korban dan bantu korban dalam membuat keputusan terbaik. Jika korban memilih
untuk tidak dirujuk, pastikan korban taat untuk pemeriksaan dan perawatan berikutnya
dan pertimbangkan hal-hal berikut:
● Pertahankan peran professional sebagai penyedia layanan kesehatan. Berikan
manajemen yang komprehensif kepada korban, termasuk menjadwalkan perawatan
lanjutan dan kunjungan.
● Petugas kesehatan dapat menghadapi situasi yang berbeda saat bertemu kembali
dengan korban. Korban dapat timbul rasa percaya dan meminta bantuan lain.
● Pada saat itu bersiaplah dengan informasi rujukan yang sesuai dan dapat ditawarkan
dengan aman.
1
Ketika korban tidak dimungkinkan untuk dirujuk karena: korban tidak mau, situasi tidak
aman untuk merujuk, atau pasien akan dideportasi atau pemulangan segera, maksimalkan
pertemuan dengan korban karena kemungkinan satu-satunya kesempatan untuk
memperbaiki kondisi pasien:
● Berikan kepada korban informasi sebanyak-banyaknya yang berkaitan dengan kondisi
medis, pengobatan dan kebutuhan lanjutan berikutnya. Berikan juga` informasi tentang
kejahatan TPPO, layanan pendukung yang tersedia termasuk nomor hotline, detail
kemana korban dapat pergi dan informasi siapa yang dapat dikontak di sewaktu-waktu
jika korban ingin mendapatkan layanan.
● Jika korban membutuhkan perlindungan terkait masalah keamanan, korban dapat
menghubungi kepolisian. Yakinkan korban bahwa ini adalah langkah yang tepat.

Informasi Standar bagi Korban dan Keluarganya:


1. Informasi yang harus diberikan kepada korban dan/atau keluarganya adalah:
a. Langkah–langkah yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan kasusnya.
b. Hak-hak korban.
c. Tempat-tempat pelayanan rujukan bagi korban kekerasan (misal UPPA di kantor
polisi, shelter/rumah aman, UPTD PPA/P2TP2A, LBH, dll).
2. Bagi korban kekerasan seksual, maka harus:
a. Segera dirujuk ke pelayanan kesehatan untuk pemeriksaan lebih lanjut agar
mendapatkan penatalaksanaan medis. Sesuai dengan hasil pemeriksaan dokter,
korban yang datang kurang dari dari 72 jam (3 hari) dapat diberikan pil
kontrasepsi darurat
b. Pada perempuan usia reproduksi berikan informasi tentang kemungkinan
terjadinya kehamilan
c. Merujuk ke pelayanan kesehatan untuk pemeriksaan kehamilan
d. Diberikan informasi tentang penularan, layanan pencegahan dan pemeriksaan
IMS/HIV-AIDS
e. Bila pelaku kekerasan seksual adalah anggota keluarga/serumah, korban harus
segera diberikan perlindungan khusus (terpisah dari pelaku). Yang dimaksud
dengan perlindungan khusus adalah menitipkan kepada keluarga dekat atau
rujukan ke layanan rehabilitasi sosial

1
Mekanisme Koordinasi Penanganan Kasus KtP/A (KPP&PA, 2016)

Sampai disini peserta dapat mengerjakan penugasan 2.


Bermain peran mekanisme pelayanan rujukan korban
KtP/A termasuk TPPO, sesuai dengan petunjuk dan
skenario bermain peran yang ada pada panduan
fasilitator.

1
RANGKUMAN

● Upaya penanganan secara komprehensif di tingkat unit pelayanan teknis melibatkan kerja
sama dalam jejaring kemitraan yang meliputi: Puskesmas mampu tatalaksana KtP/A,PPT,
PKT di RSU/RSUD/RS Bhayangkara, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan
Perempuan dan Anak (UPTD PPA) atau Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A), Unit Pelayanan Perempuan dan Anak
(UPPA)-Polres, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rumah Perlindungan Trauma
Center (RPTC), Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA), Rumah aman/shelter, LSM seperti
Komnas Perlindungan Anak, Mitra Perempuan, Women Crisis Center (WCC) dan lain-lain,
Kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri, Pengadilan tinggi dan Pengadilan Negeri, Lembaga
Bantuan Hukum (LBH).
● Dalam kerangka pertolongan medis alur rujukan kasus mengacu pada pertimbangan
rasional antara status medis korban, kapasitas fasilitas pelayanan kesehatan, dan
kompetensi tenaga kesehatan yang ada.
● Pada beberapa kasus, misalnya pada korban kekerasan domestik, seringkali intervensi
psikososial justru merupakan komponen mendasar dari penyelesaian kasus. Pada kasus
perdagangan anak, aspek hukum menjadi komponen yang dominan dari upaya
perlindungan anak. Oleh sebab itu, proses rujukan kasus seyogyanya merupakan kajian tim
multidisiplin.

1
C. Daftar Pustaka

Kementerian Kesehatan. 2009. Pedoman Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan terhadap


Perempuan dan Anak di Rumah Sakit.

Kementerian Kesehatan. 2010. Pedoman Pengembangan Puskesmas Mampu Tatalaksana


Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.

Kementerian Kesehatan. 2015. Pedoman Pelayanan dan Rujukan Kasus Kekerasan terhadap
Perempuan dan Anak bagi Petugas Kesehatan

1
MATERI PELATIHAN INTI 5 (MPI 5): PENCATATAN DAN
PELAPORAN PELAYANAN KORBAN KEKERASAN TERHADAP
PEREMPUAN DAN ANAK TERMASUK TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG

1
A. Tentang Modul Ini

1. Deskripsi Singkat

Sistem pencatatan dan pelaporan merupakan bagian penting dalam upaya penanganan
dan penanggulangan KtP/A termasuk TPPO, yaitu untuk menentukan keberhasilan program,
menentukan kebijakan dana program selanjutnya. Pencatatan dan pelaporan dibuat untuk
kepentingan internal (dalam Puskesmas dan RS) dan eksternal (Dinas Kesehatan/Kemenkes)
sebagai dasar pembinaan. Oleh karena itu, petugas kesehatan penting untuk melakukan
pencatatan dan pelaporan yang baik.
Saat ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah
mengembangkan suatu Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni
PPA). Simfoni PPA adalah aplikasi sistem informasi yang memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi untuk memfasilitasi pengintegrasian kasus kekerasan perempuan dan anak,
serta sistem pencatatan, dan pelaporan, dan data kekerasan perempuan dan anak, bagi unit
layanan perempuan dan anak di tingkat pusat dan daerah. Kementerian Kesehatan akan
menerapkan Simfoni PPA ini sebagai sistem pencatatan dan pelaporan pelayanan kasus KtP/A
di fasyankes.
Modul ini akan membahas tentang: Pencatatan pelayanan kasus KtP/A termasuk TPPO
dan Pelaporan pelayanan kasus KtP/A termasuk TPPO.

2. Tujuan Pembelajaran

a. Hasil Belajar
Setelah mengikuti materi, peserta mampu melaksanakan pencatatan dan pelaporan
pelayanan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak (KtP/A), termasuk
TPPO.

b. Indikator Hasil Belajar

Setelah mengikuti pembelajaran, peserta mampu:


1. Melaksanakan pencatatan pelayanan kasus KtP/A termasuk TPPO
2. Melaksanakan pelaporan pelayanan kasus KtP/A termasuk TPPO

3. Materi Pokok

Dalam modul ini akan dibahas materi pokok sebagai berikut:

1) Materi Pokok 1. Pencatatan pelayanan kasus KtPA Termasuk TPPO


2) Materi Pokok 2. Pelaporan pelayanan kasus KtPA termasuk TPPO

1
B. Kegiatan Belajar

MATERI POKOK 1. PENCATATAN PELAYANAN KASUS KTPA TERMASUK TPPO

Sistem, pencatatan dan pelaporan merupakan bagian penting dalam upaya penanganan dan
penanggulangan KtP/A, oleh karena melalui pencatatan dan pelaporan yang baik akan
diperoleh data dasar untuk menilai keberhasilan intervensi program, menentukan kebijakan
dan pengembangan program selanjutnya.

Puskesmas membuat pencatatan dalam rekam medis dan family folder, sedangkan Rumah Sakit
membuat pencatatan dalam rekam medis. Pelaporan mengikuti format/formulir pelaporan
yang ditentukan.

Pencatatan dan pelaporan kekerasan bertujuan agar tersedia data yang akurat terkait data
korban dan pelaku tindak kekerasan, dengan berbagai ciri-ciri, bentuk kekerasan, tempat
kejadian, serta jenis pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan pada suatu wilayah dalam
periode waktu tertentu.

Pencatatan dan pelaporan dibuat untuk kepentingan internal (dalam Puskesmas/RS) dan
eksternal (Dinas Kesehatan/Kemenkes). Kasus/korban kekerasan yang dicatat dan dilaporkan
adalah korban yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan tersebut.

Berikut adalah format/formulir untuk kelengkapan pencatatan:


1. Rekam Medis
2. Informed Consent
3. Visum et Repertum
4. Lembar Serah Terima Barang Bukti
5. Surat Rujukan
6. Register pasien

Pencatatan menggunakan rekam medis, permintaan inform consent, pembuatan visum et


repertum dan surat rujukan, sudah dipelajari pada Modul Inti-3. Karena itu pada Pencatatan,
lebih difokuskan pada pengisian register.

Pencatatan pada formulir register berisi data-data tentang:


- Informasi Kasus
- Ciri-ciri korban dan Pelaku
- Jenis Kekerasan dan Jenis Pelayanan, serta
- Rujukan

Formulir register pelayanan korban kekerasan, diisi oleh petugas di setiap Unit pelayanan
terpadu yang memberikan pelayanan bagi korban kekerasan. Formulir register disimpan di
setiap Unit layanan.

Terlampir:
- Register pelayanan korban tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dan TPPO
- Formulir Definisi Operasional Pengisian Laporan pelayanan korban tindakan kekerasan
terhadap perempuan, anak dan TPPO di Puskesmas dan Rumah Sakit;
- Kode ICD X kasus kekerasan.

1
MATERI POKOK 2. PELAPORAN PELAYANAN KASUS KTPA TERMASUK TPPO

Sistem pelaporan kasus kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

1. Melalui Sistem Informasi Puskesmas


2. Melalui Sistem Informasi Rumah Sakit
3. Laporan ke Dinas Kesehatan
4. Melalui Aplikasi Simfoni PPA

Sistem pelaporan menyangkut alur dan mekanisme serta substansi pelaporan:

1. Di Tingkat Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar dan Rujukan


Di tingkat puskesmas, pelaporan dapat dilakukan melalui Sistem Informasi Puskesmas (SIP)
pada formulir 4: Laporan Bulanan Gizi, Kesehatan Ibu dan Anak) serta Formulir 12: Laporan
Bulanan Kesakitan, Berdasarkan Gejala, Penyebab Penyakit, atau Kondisi Pasien. Di Rumah
sakit pelaporan dapat dilakukan melalui Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS). Selain itu
pelaporan dilakukan dengan Format Pelaporan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan
Anak untuk Puskesmas (Format 2 P) atau Rumah Sakit (Format 2 RS) dan dikirimkan setiap 3
bulan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Kota. RS Swasta memberikan pelaporan kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. (contoh formulir terlampir). Kasus Kekerasan terhadap
Perempuan dan Anak yang telah ditangani di dokter praktik swasta dan bidan praktik swasta
dilaporkan ke Puskesmas, dan selanjutnya dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

2. Di Tingkat Kabupaten/Kota
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berkoordinasi dan membuat rekapan laporan yang masuk
dari Puskesmas dan Rumah Sakit di wilayah kerja dengan menggunakan Format Pelaporan
Pelayanan Kesehatan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak dan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT) di Provinsi (Format 4) dan selanjutnya setiap 6 bulan dikirim ke Dinas
Kesehatan Provinsi.

3. Di Tingkat Propinsi

1
Dinas Kesehatan Propinsi berkoordinasi dan membuat rekapitulasi hasil laporan dari semua
Kabupaten/Kota dan Rumah Sakit Umum Provinsi/Pusat dengan menggunakan Format
Pelayanan Kesehatan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak dan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT) di Provinsi (Format 4) dan selanjutnya setiap tahun dikirim ke
Direktorat Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan RI melalui Komdat Kesmas.

4. Di Tingkat Pusat
Rekapitulasi data Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak dari Propinsi akan dianalisis oleh
Direktorat Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan RI untuk bahan dasar pembuatan
kebijakan, pengembangan dan pembinaan program dan koordinasi dengan
Kementerian/Lembaga terkait.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah mengembangkan sistem


aplikasi pencatatan dan pelaporan kekerasan perempuan dan anak melalui SIMFONI PPA (Sistem
Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak). Sistem ini dapat di akses oleh semua unit
layanan penanganan korban kekerasan perempuan dan anak di tingkat nasional, provinsi, dan
kab/kota secara up to date, real time dan akurat, untuk menuju satu data, data kekerasan nasional
yang dibangun sebagai media pendataan, monitoring dan evaluasi kasus kekerasan perempuan dan
anak di Indonesia. Terkait sistem pelaporan lintas kementerian ini, tenaga kesehatan memiliki
kewajiban untuk menjaga rahasia kedokteran, karena itu sistem pelaporan secara umum dilakukan
oleh P2TPA sedangkan data pemeriksaan detil yang menjadi data dasar program kesehatan
menjadi bagian dari laporan internal kementerian kesehatan.

1
RANGKUMAN

● Sistem pencatatan dan pelaporan merupakan bagian penting dalam upaya penanganan
dan penanggulangan KtP/A, karena melalui pencatatan dan pelaporan yang baik akan
diperoleh data dasar untuk menilai keberhasilan intervensi program selanjutnya.
● Pencatatan dan pelaporan dibuat untuk kepentingan internal (dalam Puskesmas/RS) dan
eksternal (Dinas Kesehatan/Kementerian Kesehatan) sebagai dasar pembinaan.
● Pelaporan dilakukan dengan mengikuti format/formulir pelaporan yang telah ditentukan.

1
C. Daftar Pustaka

Kementerian Kesehatan RI, Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS
KIA)

Kementerian Kesehatan RI, Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP)

Kementerian Kesehatan RI, Sistem Informasi Puskesmas


Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2018, Manual Book Simfoni
PPA

1
LAMPIRAN
Lampiran 5. Definisi Operasional Laporan Pelayanan Korban Tindak Kekerasan terhadap
Perempuan dan Anak, dan TPPO di Puskesmas / RS

DEFINISI OPERASIONAL
PENGISIAN LAPORAN PELAYANAN KORBAN TINDAK KEKERASAN TERHADAP
PEREMPUAN, ANAK DAN TPPO DI PUSKESMAS & RUMAH SAKIT
KOLOM VARIABEL DEFINISI OPERASIONAL
Korban
1 Nomor Nomor urut dalam pencatatan
2 Tanggal Kunjungan Tanggal korban datang pada saat meminta pelayanan
pertama kali (kunjungan pertama)
3 Nomor Family Nomor Family Folder/Rekam Medik korban
Folder/Rekam Medik
4 Nama Lengkap Nama korban, dalam kurung ditambahkan nama orangtua
(bagi pasien anak) dan nama suami (bagi istri), jika tidak
punya suami tulis namanya saja
5 Alamat Alamat lengkap korban dengan RT, RW, Desa, Kelurahan,
Kecamatan. Jika tidak bisa ditulis alamat lengkap, minimal
dituliskan Kelurahan dan Kecamatan sesuai dengan tempat
tinggal sekarang
6 Kasus Jenis kasus, diisi dengan: Kasus Baru, Kasus Lama, atau
(Baru/Lama/Rujukan) Rujukan
Kasus Baru adalah kasus pertama kali yang ditangani oleh unit
pelayanan kesehatan untuk kasus kekerasan terhadap
perempuan/anak maupun KDRT
Kasus Lama adalah kunjungan kedua dan seterusnya
Rujukan adalah hanya diisi rujukan dari tempat lain (P2TP2A,
Kepolisian dll)
7 Kronologi Kasus Uraian singkat mengenai kejadian perkara
8 Umur/Tanggal Lahir Umur korban pada saat meminta pelayanan dan
(tgl/bulan/thn) tanggal/bulan/tahun lahir
Untuk kasus kekerasan terhadap anak usia < 18 tahun: 0
sampai 1 hari sebelum usia 18 tahun

Unt$k ka($( k)k)*a(an t)*+adap p)*)mp$an / 01 ta+$n2


Usia tepat 18 tahun atau lebih
9 Jenis Kelamin Diisi dengan jenis kelamin korban (laki-laki atau perempuan)
10 Disabilitas Kondisi korban penyandang disabilitas diisi dengan ya atau
tidak
11 Pendidikan Jenjang pendidikan terakhir yang pernah dijalani korban, diisi
dengan:
Tidak Sekolah: Korban tidak pernah mengenyam pendidikan
Belum Sekolah: Korban yang belum pernah mendapat pendidikan
di sekolah karena umur yang belum usia sekolah
Pra sekolah: Korban yang sudah masuk pendidikan
"Kelompok Bermain" dan "Taman Kanak-kanak"
SD: Korban yang duduk di bangku SD/sederajat
DEFINISI OPERASIONAL
PENGISIAN LAPORAN PELAYANAN KORBAN TINDAK KEKERASAN TERHADAP
PEREMPUAN, ANAK DAN TPPO DI PUSKESMAS & RUMAH SAKIT
KOLOM VARIABEL DEFINISI OPERASIONAL
SLTP: Korban yang duduk di bangku SLTP/ sederajat
SLTA: Korban yang duduk di bangku SLTA/ sederajat
PT: Korban yang duduk di bangku PT
12 Pekerjaan Status Pekerjaan korban pada saat kejadian, diisi dengan
salah satu:
PNS
TNI
POLRI
BUMN
Swasta Formal
Swasta Informal
Lain-lain
Tidak Bekerja
13 Status Perkawinan Status perkawinan korban pada saat kejadian
Belum Kawin: Korban yang belum pernah kawin termasuk
yang tidak kawin
Kawin: Korban yang masih dalam ikatan perkawinan yang syah
secara hukum
Cerai: Korban yang sudah pernah kawin namun sekarang
sudah bercerai baik mati atau secara hukum
14 Tindak Kekerasan Tindak kekerasan yang dialami
Kekerasan Fisik: Kekerasan dimana korban mengalami tindak
kekerasan yang mengakibatkan gangguan pada fisik
(luka, lebam, fraktur, dll)
Kekerasan Psikis: Kekerasan dimana korban mengalami tindak
kekerasan yang mengakibatkan gangguan pada psikis
(tertekan batin, sakit hati, dll)
Kekerasan Seksual: Kekerasan dimana korban mengalami tindak
kekerasan seksual berupa perkosaan
Penelantaran: Kekerasan dimana korban tidak mendapatkan
segala sesuatu yang dibutuhkan untuk tumbuh kembangnya
seperti kesehatan, pendidikan, perkembangan, emosional, gizi,
tempat bernaung dan keadaan yang aman
TPPO: Tindakan perekrutan, pengangkutan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang
yang memegang kendali orang lain tersebut, baik yang dilakukan di
dalam negara
maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau
mengakibatkan orang tereksploitasi
Eksploitasi Kekerasan dimana korban dipekerjakan untuk
mendapatkan keuntungan/eksploitasi
DEFINISI OPERASIONAL
PENGISIAN LAPORAN PELAYANAN KORBAN TINDAK KEKERASAN TERHADAP
PEREMPUAN, ANAK DAN TPPO DI PUSKESMAS & RUMAH SAKIT
KOLOM VARIABEL DEFINISI OPERASIONAL
15 Kode ICD X Kode tindak kekerasan yang ada dalam ICD X
16 TKP Tempat/lokasi terjadinya tindak kekerasan
Rumah Tangga
Tempat Kerja
Sekolah
Fasilitas Umum
Lainnya
17 Waktu Kejadian Waktu kejadian perkara sesuai dengan keterangan korban
(tgl, bulan tahun, waktu kejadian)
18 Pelayanan yang Pelayanan yang diberikan kepada korban
diberikan Konseling Psikososial
Medis
Visum et Repertum
Rujukan
Lain-lain: Pelayanan lain selain yang tersebut di atas
(konseling gizi, konseling remaja)
19 Dampak Dampak yang diderita akibat tindak kekerasan, diisi dengan:
hamil, abortus, cacat, dll
20 Rujuk ke Tempat korban dirujuk untuk penanganan lebih lanjut
Rumah Sakit
P2TP2A
Dinas Sosial
Kepolisian
Lain-lain
21 Kebangsaan Korban adalah WNI atau WNA berdasarkan KTP atau
identitas lain yang mendukung keterangan
Terlapor Adalah orang yang disimpulkan sebagai pelaku
kekerasan terhadap kasus yang dilayani berdasarkan
hasil anamnesis
22 Umur/Tanggal Lahir Umur terlapor pada saat melakukan tindak kekerasan dan
(tgl/bulan/thn) tanggal, bulan, tahun lahir
< 18 tahun
0 sampai 1 hari sebelum usia 18 tahun
> 18 tahun
Usia tepat 18 tahun atau lebih
23 Jenis Kelamin diisi dengan jenis kelamin terlapor (laki-laki atau perempuan)
DEFINISI OPERASIONAL
PENGISIAN LAPORAN PELAYANAN KORBAN TINDAK KEKERASAN TERHADAP
PEREMPUAN, ANAK DAN TPPO DI PUSKESMAS & RUMAH SAKIT
KOLOM VARIABEL DEFINISI OPERASIONAL
24 Pendidikan Jenjang pendidikan terakhir yang pernah dijalani terlapor, diisi
dengan:
Tidak Sekolah: Terlapor tidak pernah mengenyam
pendidikan
Belum Sekolah: Terlapor yang belum pernah mendapatkan
pendidikan di sekolah karena umur yang belum usia sekolah
Pra sekolah: Terlapor yang sudah masuk pendidikan
"Kelompok Bermain"dan "Taman Kanak-kanak”
SD: Terlapor yang duduk di bangku SD/ sederajat
SLTP: Terlapor yang duduk di bangku SLTP/ sederajat
SLTA: Terlapor yang duduk di bangku SLTA/ sederajat
PT: Terlapor yang duduk di bangku PT
Putus Sekolah: Terlapor yang sudah tidak sekolah lagi
dimana sebelumnya pernah bersekolah
25 Pekerjaan Pekerjaan saat melakukan tindak kekerasan, diisi dengan salah
satu:
PNS
TNI
POLRI
BUMN
Swasta Formal
Swasta Informal
Lain-lain
Tidak Bekerja
26 Hubungan dengan Hubungan antara Terlapor dengan korban
Korban Orangtua: Terlapor adalah orangtua korban: ayah dan/atau
ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu
angkat
Keluarga/saudara: Terlapor masih memilki hubungan sedarah
dalam garis lurus ke atas maupun ke bawah sampai
dengan derajat ketiga
Guru: Terlapor sebagai guru di sekolah formal maupun
informal
Suami/Istri: Terlapor sebagai suami/istri dari korban
Lain-lain: Hubungan lain-lain di luar yang di sebutkan di atas
27 Kebangsaan Terlapor adalah WNI atau WNA berdasarkan KTP atau
identitas lain yang mendukung keterangan
28 Keterangan Keterangan yang dianggap penting yang berhubungan
dengan korban/pelaku
Lampiran 6. Kode ICD X Kasus Kekerasan
ICD X
T76 Adult and child abuse, neglect and other maltreatment, suspect
T76.0 : Neglect or abandonment, suspect
T76.01 : Adult neglect or abandonment suspected
T76.02 : Child neglect or abandonment suspect

T76.1 : Physical abuse, suspected


T76.11 : Adult physical abuse, suspected
T76.12 : Child Physical abuse, suspect

T76.2 : Sexual abuse, suspected


T76.21 : Adult sexual abuse, suspected
T76.22 : Child sexual abuse, suspected

T76.3 : Psychological abuse, suspected


T76.31 : Adult psychological abuse, suspected
T76.32 : Child psychological abuse, suspected

T76.9 : unspecified maltreatment, suspected


T76.91 : unspecified adult maltreatment, suspected
T76.92 : unspecified child maltreatment, suspected

T09.A : Sexual abuse complicating pregnancy, childbirth and the puerperium

T74 Adult and child abuse, neglect and other maltreatment, confirmed
T74.0 Neglect or abandonment, confirmed
T74.01 Adult neglect or abandonment, confirmed
T74.01XA …… initial encounter
T74.01XD …… subsequent encounter
T74.01XS …… sequela

T74.02 Child neglect or abandonment, confirmed


T74.02XA …… initial encounter
T74.02XD …… subsequent encounter
T74.02XS …… sequela

T74.1 Physical abuse, confirmed


T74.11 Adult physical abuse, confirmed
T74.11XA …… initial encounter
T74.11XD …… subsequent encounter
T74.11XS …… sequela
T74.12 Child physical abuse, confirmed
T74.12XA …… initial encounter
T74.12XD …… subsequent encounter
T74.12XS …… sequela

T74.2 Sexual abuse, confirmed


T74.21 Adult sexual abuse, confirmed
ICD X
T74.21XA …… initial encounter
T74.21XD …… subsequent encounter
T74.21XS …… sequela

T74.22 Child sexual abuse, confirmed


T74.22XA …… initial encounter
T74.22XD …… subsequent encounter
T74.22XS …… sequela

T74.3 Psychological abuse, confirmed


T74.31 Adult psychological abuse, confirmed
T74.31XA …… initial encounter
T74.31XD …… subsequent encounter
T74.31XS …… sequela

T74.32 Child psychological abuse, confirmed


T74.32XA …… initial encounter
T74.32XD …… subsequent encounter
T74.32XS …… sequela

T74.4 Shaken infant syndrome


T74.4XXA …… initial encounter
T74.4XXD …… subsequent encounter
T74.4XXS …… sequela

T74.9 Unspecified maltreatment, confirmed


T74.91 Unspecified adult maltreatment, confirmed
T74.91XA …… initial encounter
T74.91XD …… subsequent encounter
T74.91XS …… sequela

T74.92 Unspecified child maltreatment, confirmed


T74.92XA a …… initial encounter
T74.92XD …… subsequent encounter
T74.92XS …… sequel
KIT 1 dan KIT 2
TATA CARA PEMERIKSAAN DAN PENGUMPULAN
BARANG BUKTI KASUS PERKOSAAN

KANTONG PEMERIKSAAN BERISI FORMULIR DAN AMPELOP BERNOMOR URUT 1 SAMPAI 12.

NOMOR – NOMOR TERSEBUT SESUAI DENGAN URUTAN PEMERIKSAAN.

KERJAKAN PEMERIKSAAN SESUAI URTUAN TERSEBUT DAN PERHATIKAN PETUNJUK PADA TIAP AMP

SELESAI SATU TAHAP PEMERIKSAAN AMPELOP DITUTUP DENGAN MELEPASKAN STIKER YANG TERSE

Tanda Tangan

SELESAI SELURUH TAHAP PEMERIKSAAN AMPELOP – AMPELOP TERSEBUT DIMASUKKAN KEMBALI K


ALUR PELAYANAN KORBAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

KORBAN +/- PENGANTAR

IGD
PENANGANAN LUKA DAN KEDARURATAN

DOKTER PTSA
LAB FO REN SIKRUANG PEMERIKSAAN MEDIKOLEGAL

RUANG PSIKOLOG
PERAWATAN PKJ SOSIAL
ICU / RAWAT INAP
SHELTER PTSA

RUANG
PENYIDIKA
N

PULANG
SURAT PERSETUJUAN
PEMERIKSAAN KEDOKTERAN UNTUK KEPENTINGAN PENYIDIKAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama : ……….…………………………………………..…………………...
Kelamin : Laki /Perempuan
Umur :............................Thn
Pekerjaan : …………………………………………………………………..…….
Alamat : ………………………………………………………………………...
………………………………………………………………………....

Setelah mendapat penjelasan dari dokter pemeriksa, menyatakan bahwa:

[ ] 1. Setuju untuk dilakukan pemeriksaan kedokteran terhadap diri saya untuk kepentingan
penyidikan.
[ ] 2. Setuju untuk dilakukan pengambilan cairan tubuh diri saya untuk kepentingan pemeriksaan laboratorium.
Setuju untuk pengambilan foto-foto perlukaan pada tubuh saya untuk kelengkapan pemeriksaan.
[ ] 3. Setuju hasil pemeriksaan tersebut dibuat surat keterangan untuk diserahkan kepada penyidik.
(Khusus untuk orang periksa yang tidak dapat menanda tangani pernyataan karena situasi dan kondisi).
[ ] 4.
Setuju untuk dilakukan pemeriksaan seperti diatas terhadap:
[ ] 5.
Nama : ……………………………………………………………………………....................
Umur :...............................Thn
Alamat : ……………………………………………………………………………....................
……………………………………………………………………………...................
Hubungan keluarga : …………………………………………………………………….................

Persetujuan ini saya tanda tangani setelah menyadari sepenuhnya kepentingan dari pemeriksaan tersebut diatas.
……………,……………………………
Dokter Pemeriksa Yang diperiksa

(……………………………) (……………………………………)

TANDA SILANG PADA KOTAK YANG TIDAK DISETUJUI.


FORMULIR RIWAYAT KASUS

1. NAMA KORBAN : ……………………………………………………… [ ] P [ ] W


2. TEMPAT/TGL LAHIR : ………………………………………………………………………
3. ALAMAT : ………………………………………………………………………
………………………………………………………………………
4. STATUS PERKAWINAN : [ ] BELUM MENIKAH
[ ] MENIKAH …………….JUMLAH ANAK ………………..
[ ] JANDA
5. TGL/JAM KEJADIAN : …………../……………./200…. JAM: ………, ……….. ……
6. TGL/JAM PEMERIKSAAN : …………./ ……………/200…. JAM: ………, ………… ……
7. DR.PEMERIKSA : ………………………… PERAWAT: ………………………….
8. KEGIATAN SETELAH KEJADIAN DAN SEBELUM PEMERIKSAAN:
[ ] MANDI
[ ] MEMBERSIHKAN ALAT KELAMIN
(DOUCHED) [ ] BUANG AIR KECIL
[ ] BUANG AIR BESAR
[ ] MUNTAH-MUNTAH
[ ] MINUM
[ ] GOSOK GIGI
[ ] GANTI PAKAIAN
9. APAKAH ADA PENETRASI:
YA TIDAK TIDAK YAKIN
[ ] VAGINA [ ] [ ] [ ]
[ ] ANUS [ ] [ ] [ ]
[ ] MULUT [ ] [ ] [ ]
10. ADAKAH KEGIATAN [ ] FELLATIO [ ] CUNNILINGUS
11. APAKAH PELAKU MENGGUNAKAN: [ ] KONDOM [ ] PELICIN [ ] BENDA LAIN
12. APAKAH KORBAN MENSTRUASI : [ ] YA [ ] TIDAK
13. APAKAH SEBELUM KEJADIAN KORBAN BERSETUBUH (KURANG DARI 72 JAM)
[ ] YA TGL : ……………… JAM :……………….. [ ] TIDAK
GUNAKAN KONDOM : [ ] YA [ ] TIDAK
14. APAKAH KORBAN HAMIL : [ ] YA BERAPA MINGGU :……………………….
[ ] TIDAK
15. APAKAH ADA LUKA YANG MENIMBULKAN PERLUKAAN PADA
KORBAN [ ] YA – JELASKAN
[ ] TIDAK
16. APAKAH KORBAN MENIMBULKAN PERLUKAAN PADA
PELAKU [ ] YA – JELASKAN
[ ] TIDAK
17. APAKAH KORBAN MEMBERIKAN OBAT/MINUMAN SEBELUM
KEJADIAN [ ] YA – JELASKAN
[ ] TIDAK
18. APAKAH PELAKU MENGGUNAKAN ALAT UNTUK
MENGANCAM [ ] YA – JELASKAN
[ ] TIDAK
19. KONDISI EMOSIONAL KORBAN : [ ] BIASA [ ] DEPRESI [ ] EMOSI
20. KONDISI PAKAIAN KORBAN : [ ] BIASA [ ] ROBEK [ ] KOTOR
21. CIRI PELAKU (BILA MUNGKIN): ……………………………………………………………………………

DOKTER PEMERIKSA TGL PEMERIKSAAN

Anda mungkin juga menyukai