Anda di halaman 1dari 12

UPAYA INTERNALISASI TRADISI MAPPATABE’ LINTAS SUKU BUGIS DI

KALANGAN GENERASI Z (NET)

Diajukan Sebagai Tahapan Seleksi Open Recruitment UKM KPI-UNHAS

Diusulkan oleh:
Atira Septiara/D121201107
Nur Wahyuni/D121201091
Nursyifa Aulia/F011211001

UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
Lampiran 2. Lembar
Pengesahan LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul : Upaya Internalisasi Tradisi


Mappatabe’ Lintas Suku Bugis di Kalangan Generasi Net
2. Bidang : Budaya
3. Ketua Tim
a. Nama Lengkap : Atira Septiara
b. NIM : D121201107
c. Jurusan/Fakultas : Informatika/Teknik
d. Alamat dan No Tel./HP : Expo Waena/082398922922
e. Email : atirasepti@gmail.com
4. Anggota Tim
a. Anggota 1 : Nur Wahyuni
b. Anggota 2 : Nursyifa Aulia
5. Mentor Pendamping
a. Nama Lengkap dan Gelar : Anugrah Julia
b. NIM : F051171002
c. Alamat dan No. Tel./HP : Ramsis Unhas Tamalanrea Indah Jayapura, 30-Oktober-2021
Makassar

Mentor Pendamping Ketua


Tim

(Anugrah Julia) (Atira Septiara)

F051171002 D121201107
Lampiran 3. Biodata Ketua dan Anggota

A. Identitas Diri

1 Nama Lengkap Atira Septiara


2 Program Studi / NIM Teknik Informatika/D121201107

3 E-mail atirasepti @gmail.com


4 Nomor Telepon 082398922922

B. Kegiatan Kemahasiswaan yang Sedang/Pernah Diikuti

N Jenis Kegiatan Status dalam Kegiatan Waktu dan Tempat


o
1 Lomba Karya Tulis Pernah Diikuti Jayapura, 10
Ilmiah (LKTI) November 2017
2. Lomba Karya Tulis Pernah Diikuti Jayapura, 26
Ilmiah (LKTI) November 2018
3. Lomba Menulis Esai Pernah Diikuti Jayapura, 29
Agustus 2018

C. Penghargaan yang Pernah Diraih

No Jenis Penghargaan Institusi Pemberi Penghargaan Tahun


1 Piagam + Uang Tunai Kementerian Pendidikan dan 2017
Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai
Budaya
2 Piagam Politeknik Kesehatan Kemenkes 2018
Jayapura Bersama Gerakan
Masyarakat Hidup Sehat (Germas)
3 Piala + Piagam + Praja Wira Yakhti Bersama 2018
Uang Tunai Cenderawasih Reading Center

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidaksesuaian
dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi.

Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
pengajuan ESAI (Karya Ilmiah)
Jayapura, 30-Oktober-2021
Ketua
Tanda tangan

(Atira Septiara)
Lampiran 4. Lembar Orisinalitas Karya
LEMBAR ORISINALITAS ESAI

Judul Esai : Upaya Internalisasi Tradisi Mappatabe’ Lintas Suku Bugis di


Kalangan Generasi Net
Bidang : Budaya
Nama Ketua : Atira Septiara
Nama Anggota : 1. Nur Wahyuni
2. Nursyifa Aulia

Kami yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa Esai dengan
judul yang tersebut di atas memang benar merupakan karya orisinal yang
dibuat oleh penulis dan belum pernah dipublikasikan dan atau dilombakan di
luar kegiatan yang diselenggarakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Keilmuan
dan Penalaran Ilmiah Universitas Hasanuddin.

Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya, dan apabila terbukti
terdapat pelanggaran di dalamnya maka kami siap untuk pengurangan nilai
sebesar 50 dari nilai total presentasi pada tahap presentasi karya sebagai bentuk
pertanggungjawaban kami.

Jayapura, 30-Oktober-2021

(Tanda tangan ketua


diatas materai Rp
10.000)

Atira Septiara
D121201107
UPAYA INTERNALISASI TRADISI MAPPATABE’ LINTAS SUKU BUGIS DI
KALANGAN GENERASI NET

Generasi dapat dikatakan sebagai harapan masa depan, dan calon pemimpin masa
depan. Maka pundak generasilah nasib yang dipertaruhkan suatu bangsa. Suatu bangsa
apabila generasi mudanya memiliki kualitas yang unggul dan semangat kuat untuk
memajukan budaya daerah yang didasari dengan keimanan dan akhlak mulia, maka bangsa
itu akan besar. Seiring berkembang dan majunya teknologi yang menjangkiti semua kalangan
di era modern seperti saat ini, membuat perilaku beberapa kalangan masyarakat ikut
berubah. Salah satu kalangan masyarakat yang kerap mudah untuk dipengaruhi oleh
perkembangan teknologi ialah generasi Z. Dapat dikatakan bahwa generasi ini tidak terlepas
dari kehidupan berteknologi sehingga disebut sebagai i-gen. Generasi Z atau biasa disebut
generasi net (generasi internet) adalah generasi yang lahir pada tahun 1996-2010, pendapat
ini berasal dari teori generasi (generation theory) yang dikemukakan oleh Graeme
Codrington dan Sue Grant-Marshall. Generasi Z dinilai sebagai generasi yang ambisius,
mahir tentang hal digital, percaya diri, mempertanyakan otoritas, banyak menggunakan
bahasa gaul, lebih sering menghabiskan waktu sendiri, dan rasa ingin tahu yang sangat tinggi
sehingga generasi ini harus memiliki pola pikir, pola tindakan yang berlandaskan cita-cita
luhur bangsa ini. (Sumber : Utami, Silmi. 2021. Jangan Tertukar, Ini Pengertian Generasi X,
Z, Milenial, dan Baby Boomers:
https://www.kompas.com/skola/read/2021/04/17/130000069/jangan-tertukar-ini-pengertian-
generasi-x-z-milenial-dan-baby-boomers).

Untuk menciptakan suatu bangsa yang memiliki pola-pola tersebut, generasi tidak
boleh menghilangkan perilaku yang berdampak pada budaya, hal ini dapat kita lihat dengan
adanya perubahan perilaku dikalangan generasi net yang berdampak pada merosotnya salah
satu budaya yang berasal dari suku Bugis, Sulawesi Selatan yaitu tradisi mappatabe'. Realitas
yang sedang kita hadapi saat ini berkaitan dengan lunturnya tradisi mappatabe’ yang
merupakan tradisi leluhur dan diwariskan secara turun temurun. Tradisi ini merupakan
warisan budaya yang berkenaan dengan sopan santun, yang tidak hanya mencakup perkataan
melainkan perbuatan juga. Lunturnya tradisi mappatabe’ lebih didominasi oleh kalangan
remaja yang merupakan generasi net. Tradisi mappatabe’ masuk ke dalam salah satu
pangaderreng, pangaderreng adalah sebuah kebudayaan yang mengajarkan cara hidup dan
kemudian menjadi sistem norma atau aturan-aturan adat yang berlaku dalam kebudayaan
Bugis. Pangaderreng sudah menjadi kebiasaan hidup yang mesti dijunjung tinggi

Indonesia dengan berbagai suku bangsa mempunyai keanekaragaman kearifan


lokal, kearifan tradisional, dan nilai budaya yang ada di dalamnya. Salah satu kearifan lokal
yang ada di Sulawesi Selatan adalah tradisi mappatabe’. Realitas yang sedang kita hadapi
saat ini ialah lunturnya tradisi mappatabe’ yang merupakan tradisi leluhur dan diwariskan
secara turun temurun. Tradisi ini merupakan warisan budaya yang berkenaan dengan sopan
santun, yang tidak hanya mencakup perkataan melainkan perbuatan juga. Lunturnya tradisi
mappatabe’ lebih didominasi oleh kalangan remaja yang merupakan generasi net. Tradisi
mappatabe’ masuk ke dalam salah satu pangaderreng, pangaderreng adalah sebuah
kebudayaan yang mengajarkan cara hidup dan kemudian menjadi sistem norma atau aturan-
aturan adat yang berlaku dalam kebudayaan Bugis. Pangaderreng sudah menjadi kebiasaan
hidup yang mesti dijunjung tinggi.

Perilaku mappatabe’ merupakan budaya meminta permisi sambil mengucapkan kata


“tabe’” untuk melewati orang lain yang sedang duduk berjajar terutama jika orang yang akan
dilewati ialah orang-orang yang usianya lebih tua ataupun dituakan. Sikap ini diawali dengan
melihat pada orang sekitar yang akan dilewati kemudian memberikan senyuman, setelah itu
mulai berjalan sambil sedikit menundukkan badan dan diiringi dengan gerakan tangan kanan
turun kebawah yang mengarah ke tanah. Sikap tabe’ dimaksudkan untuk menghormati orang
yang akan dilewati yang mungkin saja merasa terganggu oleh perbuatan kita walaupun kita
tidak bermaksud demikian. Mereka yang mengerti mengenai nilai luhur tradisi mappatabe’
akan langsung merespon dengan memberi ruang untuk dilewati, biasanya juga diiringi
dengan membalas senyuman, hingga memberikan anggukan dan jawaban “ye, de’ magaga,”
yang dapat diartikan sebagai “iya, tidak apa-apa.” Perilaku seperti itulah yang dijadikan
masyarakat Bugis sebagai salah satu indikator sehingga seorang anak dikatakan memiliki
sopan santun.

Sekilas tradisi mappatabe’ terlihat sederhana dan sepele, namun hal ini sangat penting
dalam tata krama masyarakat di daerah Sulawesi Selatan terutama suku Bugis. Tradisi ini
sudah menjadi budaya yang turun temurun bahkan dianggap sebagai salah satu tolak ukur
baik buruknya seseorang dalam bertata krama di lingkungan sosial. Makna dari perilaku
mappatabe’ adalah simbol dari upaya untuk menghormati dan menghargai siapapun orang
yang ada dihadapan kita. Makna selanjutnya adalah perwujudan dari sikap taro ada’ taro
gau’ yang merupakan keselarasan antara perkataan dan perbuatan. Dalam tradisi mappatabe’
terdapat nilai kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai luhur dan diharapkan penerapan
tradisi ini dapat menghasilkan generasi-generasi yang berbudaya dan bermoral. Adapun
ketiga nilai-nilai tersebut yang biasa dikenal dengan falsafah tiga S yaitu:

a) Sipakatau adalah mengakui segala hak tanpa memandang status sosial. Dapat pula
diartikan sebagai rasa kepedulian terhadap sesama.

b) Sipakalabbiri’, ialah sikap hormat terhadap sesama serta senantiasa memperlakukan orang
dengan baik. Tradisi mappatabe’ menunjukkan bahwa yang ditabe’ki dan yang melakukan
sikap tabe’ (orang yang melakukan tradisi tabe’) adalah sama-sama orang yang
dipakalabbiri’

c) Sipakainge’ merupakan tuntutan bagi masyarakat Bugis agar saling mengingatkan antara
satu dengan yang lainnya.

Tradisi ini memang terlihat sederhana, namun makna yang dikandungnya sangat mendalam.
Makna ini dapat menanamkan sikap saling menghormati dan tidak mengganggu antar sesama
lainnya. (Sumber : Andi Kila. (2015). "Budaya Tabe Dalam Masyarakat Bugis". [Online].
Tersedia: http://andikiilawati.blogspot.com. 28 Oktober 2021).

Adapun pergerakan modernisasi menjadi salah satu penyebab lunturnya tradisi


mappatabe’. Banyak budaya-budaya lokal yang sedikit demi sedikit terkontaminasi dengan
budaya luar. Hal ini terlihat sepele sehingga secara tidak sadar sedang mengikis nilai-nilai
luhur yang terdapat dalam budaya lokal terutama terhadap tradisi mappatabe’. Ini merupakan
tantangan serius yang dihadapi oleh tradisi mappatabe’ dalam mempertahankan eksistensinya
di tengah terpaan arus globalisasi. Sekarang waktunya generasi Z (net) melakukan suatu
gerakan untuk tetap melestarikan dan mempertahankan tradisi ini, tidak hanya di kalangan
masyarakat Bugis namun bisa diperkenalkan pada kalangan-kalangan lintas suku Bugis
lainnya.

Dalam menghadapi tantangan yang kian menggerus nilai-nilai luhur tradisi


mappatabe’, dibutuhkan upaya internalisasi agar tradisi ini kembali lestari dan dapat dijaga
untuk diwariskan kepada generasi selanjutnya. Internalisasi sendiri proses pemasukan nilai
pada seseorang atau individu yang akan membentuk pola pikirnya dalam melihat makna
realitas pengalaman. Adapun beberapa upaya internalisasi yang dapat dilakukan untuk
mempertahankan nilai-nilai tradisi mappatabe’ dengan menjadikan generasi net sebagai
sasarannya:

1. Membuat Acara Festival Budaya

Ragam nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi mappatabe’ dapat dirangkum


dalam sebuah kegiatan seni budaya, yang disebut dengan festival budaya. Festival
adalah sarana komunikasi yang penting dalam membangun dan memberdayakan suatu
identitas budaya tradisi. Tujuan lainnya adalah untuk mengekspresikan nilai-nilai
tradisi mappatabe’ sebagai bahan renungan tentang pentingnya tradisi ini untuk terus
dijaga dan dilestarikan. Yang terpenting adalah generasi net tidak akan melupakan
kultur-kultur tradisi bangsa ini. Selain itu, dengan adanya festival hadirin yang bukan
berasal dari suku Bugis pun mengetahui makna dari tradisi ini. Selanjutnya, festival
ini juga dapat memperkenalkan dan mengembangkan tradisi mappatabe’ kepada
masyarakat luas dan menjadi pengetahuan baru bagi mereka, dan mungkin saja
tertarik untuk mengaplikasikan nilai-nilai luhur dari tradisi mappatabe’.

2. Membuat Plarform Edukasi di Media Sosial

Di zaman ini, manusia tidak bisa terlepas dengan namanya media sosial.
Media Sosial adalah salah satu contoh perkembangan dari bidang teknologi informasi
dan komunikasi. Media sosial saat ini banyak digunakan oleh masyarakat di semua
kalangan usia, maka dari itu kita sebagai generasi muda harus memanfaatkan untuk
dijadikan platform edukasi kemudian menyebarkan konten-konten mengenai tradisi
mappatabe’ didalamnya. Media sosial juga sangat mudah untuk dikunjungi siapa saja
sehingga menjadi alasan yang paling cocok untuk menyebarkan konten edukasi.
Karena manfaat dan jangkauannya yang luas, dapat mempermudah upaya internalisasi
di tengah penggunanya yang sebagian besar merupakan generasi net.. Salah satunya
tradisi mappatabe’ ini, agar tetap terjaga dan tidak punah. Sebagai generasi Z (net)
kita tentu sangat bersahabat dan berhubungan erat dengan media sosial.

Kita dapat melakukan promosi kebudayaan salah satunya dengan


memperkenalkan tradisi mappatabe’ melalui pemanfaatan media sosial seperti
Instagram, Facebook, TikTok, YouTube dan yang lainnya. Upaya ini bertujuan agar
tradisi mappatabe’ di suku Bugis dalam kehidupan generasi net diberikan penguatan
hingga tidak adanya lagi kebiasaan-kebiasaan buruk yaitu tidak menghormati atau
menghargai orang yang lebih tua darinya. Selain itu masyarakat lintas suku Bugis
dapat melihat, mengetahui dan bahkan bisa melakukan tradisi tersebut di kehidupan
sehari-hari mereka. Proses yang dapat dilakukan dalam pengenalan tradisi
mappatabe’ ini yaitu dengan cara mengunggah foto atau video tradisi mappatabe’
yang di dalam foto dan video, seorang anak sedang memperagakan atau melakukan
tradisi mappatabe’ tersebut kepada orang yang lebih tua darinya.

Dengan menggunakan media sosial upaya pengenalan tradisi mappatabe’


dapat dirasa lebih mudah dan jangkauan lebih luas mulai dari suku Bugis maupun
masyarakat lintas suku bugis, mulai dari daerah yang maju hingga daerah yang
pelosok sekalipun dapat mempelajari dan mempraktekkan tradisi ini dalam kehidupan
sehari-hari mereka.

3. Mengadakan Seminar/Webinar

Melestarikan tradisi mappatabe’ juga dapat dilakukan dengan mengadakan


seminar ataupun webinar dengan mendatangkan pemateri yang mengerti nilai-nilai
luhur serta makna yang terkandung dalam tradisi mappatabe’. Diadakannya
seminar/webinar ini agar menjadi wadah untuk peserta dalam memperluas dan
memperdalam pengetahuannya seputar tradisi mappatabe’. Selain itu,
seminar/webinar bisa menjadi ajang untuk berdiskusi dan berpendapat secara lisan
sehingga dapat memahami betul bagaimana pentingnya pelestarian budaya luhur dari
tradisi mappatabe’.

Dari ketiga upaya-upaya internalisasi tersebut diharapkan dapat membuat generasi net
menjadi sadar bahwa tradisi mappatabe’ merupakan warisan luhur yang wajib dijaga dan
diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, nilai-nilai yang dicakup oleh
tradisi mappatabe’ tetap lestari dan menjadi ciri khas dalam bertata krama dikehidupan
masyarakat suku Bugis maupun lintas suku Bugis.

Dapat kita simpulkan bahwa pentingnya menjaga kultur budaya dan menanamkan nilai-
nilai penting dalam kehidupan ini. Generasi net yaitu generasi yang tidak bisa terlepas dari
kehidupan berteknologi, yang dimana masa depan suatu bangsa bergantung dari generasi saat
ini. Saat ini di era modern, tradisi yang ada di masing-masing daerah salah satunya di suku
Bugis, berkaitan dengan lunturnya tradisi mappatabe’ akan mengakibatkan generasi net
mengalami penurunan sikap sopan santun terhadap orang yang lebih tua dan sikap saling
menghormati antar sesama.. Melalui generasi Z (net), kita dapat mengupayakan adanya
internalisasi yang dapat dijadikan generasi dan masyarakat lintas Bugis mengenal tradisi
mappatabe’. Namun, realitasnya perkembangan dan kemajuan teknologi membuat perilaku
sebagian generasi, terutama generasi Z (net) merosot jauh dari budaya yang sudah diwariskan
oleh para leluhur.

Salah satu budaya yang mengalami kemerosotan dan mulai luntur ialah tradisi
mappatabe’ yang berasal dari suku Bugis, Sulawesi Selatan. Di dalam tradisi mappatabe’
terkandung nilai-nilai moral yang dikenal dengan falsafah tiga S yaitu, sipakatau,
sipakalabbiri’, dan sipakainge’. Ketiga nilai-nilai ini memiliki makna yang mendalam
sehingga ketika diimplementasikan kedalam kehidupan sehari-hari akan menjadikan kita
generasi yang memiliki tata krama yang baik.

Dalam menghadapi kemerosotan tradisi mappatabe yang kian luntur, mesti dilakukan
upaya internalisasi agar tradisi ini tetap ada sehingga dapat dijaga dan dilestarikan sebagai
ciri khas tersendiri dari tata krama suku Bugis. Diantaranya adalah:

a. Membuat acara festival budaya. Sebagai sarana komunikasi yang penting dalam
membangun dan memberdayakan suatu identitas budaya tradisi,

b. Membuat plarform edukasi di media social. Sebagai generasi muda harus


memanfaatkan untuk dijadikan platform edukasi kemudian menyebarkan konten-
konten mengenai tradisi mappatabe’ didalamnya.

c. Mengadakan seminar/webinar. Agar menjadi wadah untuk peserta dalam memperluas


dan memperdalam pengetahuannya seputar tradisi mappatabe’
DAFTAR PUSTAKA

Kila, Andi. 2015. "Budaya Tabe Dalam Masyarakat Bugis". [Online]. Tersedia:
http://andikiilawati.blogspot.com. 28 Oktober 2021. Diunduh pada 20 Oktober 2021.

Utami, Silmi. 2021. “Jangan Tertukar, Ini Pengertian Generasi X, Z, Milenial, dan
Baby Boomers”. https://www.kompas.com/skola/read/2021/04/17/130000069/jangan-
tertukar-ini-pengertian-generasi-x-z-milenial-dan-baby-boomers. Diunduh pada 20
Oktober 2021. Diunduh pada 22 Oktober 2021.

Wulandari S., et al. 2020. Riset budaya: mempertahankan tradisi di tengah krisis
moralitas, Budaya mappatabe di kalangan masyarakat, Dr. Muhammad Qadaruddin
Abdullah, M.Sos.I, IAIN Pare-pare Nusantara Press, Pare-pare, Sulawesi Selatan.
Diunduh pada 22 Oktober 2021.

Wijaya. 2017. Teknologi informasi (media sosial) untuk publikasi cagar budaya,
Kemendikbud BPCB Sumbar, diakses 29 Oktober 2021,
(https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar). Diunduh pada 25 Oktober 2021.

Anda mungkin juga menyukai