Anda di halaman 1dari 15

Kel 7

“Predasi dan Herbivora, parasitisme, Interaksi Positif dan Negative”

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas


Mata Kuliah : Ekologi Hewan
Dosen Pengampu : Dr. Noorhujjatusnaini, M.Pd
Sondra Swestiyani, M.Pd

Oleh :

Moh. Imam : 1801140533


Lukman Nur Hakim : 1801140542
M. Taufik Akbar :1801140537

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
PROGRAM STUDI TADRIS BIOLOGI
TAHUN 2021 M/1442 H
Analisis Jurnal I
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Akuatiklestari
2. Volume : Vol. 4 No.1
3. Halaman : 28-34
4. Tahun Terbit : 2020
5. Judul Artikel : Hubungan Panjang Berat Tiga Jenis Ikan Introduksi yang Tertangkap
di Waduk Penjalin Kabupaten Brebes
6. Nama Penulis : Dewi Kresnasari
7. Alamat Jurnal :
https://ojs.umrah.ac.id/index.php/akuatiklestari/article/download/2505/1185

B. Isi Jurnal
1. Masalah Penelitian
Penurunan populasi merupakan proses awal yang berakibat pada menurunnya
keanekaragaman hayati dan berakhir dengan terbentuknya komunitas ikan yang
homogen dan didominasi oleh ikan asing. Dampak negatif lainnya yaitu terjadinya
kompetisi pakan dan habitat, pemangsaan dan parasit atau penyakit. di Waduk
Penjalin lebih banyak ditemukan ikan yang bersifat omnivora karnivora dibandingkan
ikan omnivora herbivora. Hal ini dapat mengakibatkan keanekaragaman beberapa
jenis ikan pada tingkat trofik dibawahnya menurun sehingga keseimbangan ekosistem
terganggu.
Upaya pengendalian spesies introduksi dapat dilakukan melalui pengendalian
habitat melalui pemantauan kondisi fisika dan kimia perairan. Selain itu, pengendalian
dapat dilakukan melalui pengendalian produksi dengan predasi, kompetisi, fekunditas
yang tinggi dan alat tangkap yang digunakan sehingga diharapkan mampu
mengendalikan kelimpahan dan indukan ikan introduksi.
Namun demikian penelitian tentang aspek biologi ikan introduksi yang
tertangkap di Waduk Penjalin belum banyak dikaji. Keberadaan ikan introduksi perlu
dikaji untuk mempertahankan kelestarian spesies asli dan keseimbangan ekosistem.
Dalam kaitan itu perlu diketahui informasi mengenai aspek biologi beberapa spesies
ikan introduksi yang terdapat di Waduk tersebut
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di Waduk Penjalin, Kabupaten Brebes. Dan
dilaksankan pada bulan September - Oktober 2018.

3. Metode
Ada beberapa metode yang dilakukan dalam penelitian ini :
a. Alat dan bahan
Yaitu dengan menggunakan jaring insang dengan ukuran mata 2-4 inci.
Ikan yang tertangkap diukur panjang dan beratnya. Pengukuran panjang total
(total length) diukur dengan menggunakan milimeter blok dengan ketelitian 1 mm
dan pengukuran berat menggunakan timbangan ketepatan 0,1 g.
b. Prosedur
Ikan sampel diambil dengan menggunakan jaring secara Simple Random
Sampling dari hasil tangkapan. Pengambilan sampel ikan dalam satu hari
dilakukan sebanyak 6 kali yaitu pada pukul 05:00, 11:00, 17:30, 21:00, 00:00, dan
03:00.
c. Teknik Pengumpulan data
Ikan sampel dipisahkan berdasarkan jenisnya. Setelah itu diukur panjang
total ikan dengan menggunakan millimeter blok dan bobotnya dengan
menggunakan timbangan. Data yang terkumpul dapat digunakan untuk
memnentukan panjang dan berat ikan serta faktor kondisi.
d. Analisis data
Ada dua anallisis data yang digunakan yaitu :
1) Hubungan panjang berat ikan
Hubungan panjang berat ikan di analisa menggunakan persamaan
Linear Allometric Model (LAM) sebagai berikut : W = (aLb )
2) Faktor Kondisi
Faktor kondisi sering disebut juga dengan faktor K. Nilai ini
merupakan terapan dari analisa hubungan panjang berat ikan dan merupakan
derivat yang penting dalam pertumbuhan ikan. Baik tidaknya kondisi ikan
dilihat dari segi kapasitas fisik untuk kelangsungan hidup dan reproduksi dapat
digambarkan dari nilai faktor kondisi. Faktor kondisi dihitung menggunakan
rumus yang dikemukakan oleh Effendie (1997) : K = W aL b
4. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat tiga spesies ikan
introduksi yaitu Ikan Betutu (O. marmorata) (Gambar 2A), Ikan Marsela (P.
managuensis) (Gambar 2B) dan Ikan Nila (O. niloticus) (Gambar 2C). Hasil
pengukuran parameter morfometrik Ikan Betutu (O. marmorata), Ikan Marsela (P.
managuensis) dan Ikan Nila (O. niloticus) dapat dilihat pada Tabel berikut:

Dan berikut parameter dari ketiga ikan tersebut:

A. Hubungan panjang berat Ikan Betutu (O. marmorata)

B. Hubungan Panjang Berat Ikan Marsela (P. managuensis)


C. Hubungan Panjang Berat Ikan Nila (O. niloticus)

Pola Pertumbuhan
Pola pertumbuhan Ikan Betutu (O. marmorata) yang diperoleh saat
penelitian adalah allometrik negatif. Hal ini diduga karena arus yang kuat pada
dasar perairan. Ikan Betutu (O. marmorata) termasuk ikan demersal dan tipe
perenang pasif. Akan tetapi karena besarnya arus bawah menyebabkan
perbedaan alokasi energi yang dikeluarkan untuk pergerakan dan
pertumbuhan.
Selanjutnya untuk pola pertumbuhan Ikan Marsela (P. managuensis)
selama penelitian adalah isometrik (b=3). Bahwa pada ikan Marsela (P.
managuensis) mempunyai nilai b > 3 yaitu 3,37 yang berarti bahwa pola
pertumbuhannya allometrik positif. Untuk pola pertumbuhan Ikan Nila (O.
niloticus) selama penelitian ini adalah allometrik negatif.
Faktor Kondisi
Bervariasinya nilai faktor kondisi diduga terjadinya persaingan dalam
memanfaatkan sumber makanan yang sama. Selain itu nilai kondisi
kegemukan ikan dipengaruhi oleh ukuran, umur, jenis kelamin dan tingkat
kematangan gonad ikan yang tertangkap (Sravishta et al., 2018). Nilai faktor
kondisi terbesar terdapat pada Ikan Nila (O.niloticus) dengan pola
pertumbuhan allometrik negatif. Hal ini diduga penambahan berat Ikan Nila
(O. niloticus) tidak hanya disebabkan oleh pertambahan panjang, tetapi juga
disebabkan oleh pertambahan tinggi badan.

Jadi, pola pertumbuhan Ikan Betutu (O. marmorata) dan Ikan Nila (O.
niloticus) bersifat allometrik negatif, sedangkan Ikan Marsela (P.
managuensis) bersifat isometric. Nilai faktor kondisi Ikan Betutu (O.
marmorata) dan Ikan Marsela (P. managuensis) tergolong dalam memiliki
bentuk tubuh yang kurang pipih, sedangkan Ikan Nila (O. niloticus) tergolong
memiliki bentuk tubuh agak pipih. Faktor kondisi Ikan Betutu (O. marmorata),
Ikan Marsela (P. managuensis) dan Ikan Nila (O. niloticus) termasuk dalam
kondisi baik dan dapat untuk dikonsumsi.
Analisis Jurnal II
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Berita Biologi Jurnal llmiah Nasional
2. Volume : Vol. 8 No.2
3. Halaman : 413 – 420
4. Tahun Terbit : 2006
5. Judul Jurnal : Kerusakan Morfologi Tumbuhan Koleksi Kebun Raya Purwodadi
Oleh Benalu (Loranthaceae Dan Viscaceae)
6. Nama Penulis: Sunaryo, Erlin Rachman dan Tahan Uji
7. Alamat Jurnal : http://e-
journal.biologi.lipi.go.id/index.php/berita_biologi/article/view/2038
B. Isi Jurnal
1. Masalah Penelitian
Untuk mengidentifikasi dan mempelajari karakter dari benalu pemarasit tumbuhan
koleksi Kebun Raya Purwodadi, Jawa Timur, sekaligus mengevaluasi kerusakan-
kerusakan yang ditimbulkannya
2. Lokasi Penelitian
Penelitian yang dilakukan di Kebun Raya Purwodadi, Jawa Timur yang dilakukan
selama 14 hari dari tanggal 4 sampai dengan 17 Agustus 2005.
3. Metode
Identifikasi jenis parasit
Pengambilan contoh spesimen tumbuhan benalu dilakukan dengam metode
jelajah, yaitu dengan melakukan penjelajahan di setiap vak di lokasi Kebun Raya
Purwodadi. Setiap jenis tumbuhan benalu yang dijumpai diambil contoh
herbariumnya, diberi nomor koleksi, dan dicatat ciriciri morfologinya. Khusus untuk
jenis-jenis tumbuhan inang yang tidak diketahui nama jenisnya spesimen
herbariumnya dikoleksi untuk diidentifikasi di Herbarium Bogoriense, Pusat
Penelitian Biologi-LIPI, Bogor.
Identifikasi kerusakan inang
Untuk mengidentifikasi kerusakan tumbuhan inang dilakukan pengukuran di
lapangan terhadap hilangnya/berkurangnya bagian tumbuhan inang akibat keparasitan
benalu. Pengukuran dilakukan dengan cara membandingkan antara pertumbuhan
bagian proksimal, yaitu bagian cabang/ranting di mana aliran nutrisi masih belum
mengalami gangguan oleh keberadaan benalu, dengan pertumbuhan bagian distal,
yaitu bagian cabang/ranting yang sudah mengalami gangguan. Selisih keliling antara
kedua bagian tersebut yang cukup signifikan merupakan nilai hilangnya massa
pertumbuhan.

Keterangan:
c/r : cabang/ranting terinfeksi
P : parasit/benalu
pr : bagian proksimal
dt : bagian distal
Karakterisasi parasit
Meliputi penghitungan tentang frekuensi kehadiran benalu (yang dihitung
berdasarkan skoring dari kehadiran seluruh jenis benalu), dan frekuensi kerusakan
tumbuhan inang (yang dihitung dari jumlah cabang/ranting yang mati oleh tiap
jenis benalu). Dengan asumsi bahwa semakin tinggi frekuensi kehadiran suatu
jenis benalu maka makin tinggi sifat agresivitasnya dan sebagai konsekuensinya
semakin besar pula kerusakan tumbuhan inang yang ditimbulkannya.
4. Hasil Penelitian
Identifikasi Benalu.
Dari hasil studi lapangan di Kebun Raya Purwodadi, Jawa Timur telah
diidentifikasi sebanyak 301 individu benalu yang dibedakan ke dalam 5 jenis. Jenis-
jenis tersebut adalah:
a. Dendrophthoe pentandra (L.) Miq. (Loranthaceae)
b. Macrosolen tetragonus (Bl.) Miq. (Loranthaceae)
c. Scurrula atropurpurea (Bl.) Dans. (Loranthaceae)
d. Viscum articulatum Burm. f. (Viscaceae)
e. Viscum ovalifolium DC. (Viscaceae)
Dari kelima jenis benalu yang memarasiti tumbuhan koleksi Kebun Raya
Purwodadi terdapat satu jenis yang bersifat hiperparasit, yaitu Viscum articulatum
(Viscaceae). Disebut sebagai hiperparasit karena keberadaan jenis ini selalu didapati
menempel pada jenis benalu yang lain. Di lokasi penelitian, parasit V. articulatum
didapati memarasiti benalu Dendrophthoe pentandra dan Macrosolen tetragonus.
Dalam penelitian ini, tidak diketemukan jenis parasit V articulatum yang langsung
memarasiti tumbuhan koleksi.
Frekuensi Kehadiran Benalu dan Kerusakan Tumbuhan Inang
Dari jumlah individu tersebut maka frekuensi kehadiran jenis D. pentandra
menunjukkan persentase yang paling tinggi, yaitu 65,4 %, yang kemudian diikuti
jenis-jenis M. tetragonus, V. articulatum, S. atropurpurea, dan terakhir V.
ovalifolium.
Analisis Jurnal III
A. Identitas Jurnal
1. Nama Jurnal : Jurnal Ilmiah Platax
2. Volume : 7 No.2
3. Halaman : 413 - 420
4. Tahun Terbit : 2019
5. Judul Artikel : Intensitas Predasi Pada Ekosistem Mangrove Di Daerah Perlindungan
Laut, Sulawesi Utara
6. Nama Penulis : Tabita S.H. Suyoto, Farnis B. Boneka, Nego E. Bataragoa, Sebastian
C. A. Ferse, Lawrence J. L. Lumingas, Markus T. Lasut, Deiske A. Sumilat, Edwin L.
A. Ngangi
7. Alamat Jurnal : http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/platax
B. Isi Jurnal
1. Masalah Penelitian
Untuk mengetahui intensitas predasi pada ekosistem laut merupakan hal yang
sulit karena tidak mudah untuk diobservasi secara langsung. Beberapa penelitian telah
dilakukan dengan menggunakan simulasi lingkungan dengan menempatkan predator
dan mangsanya pada keadaan yang dibuat menyerupai lingkungannya. Hal ini
tentunya tidak sepenuhnya menggambarkan keadaan ekosistem yang sebenarnya,
karena ekosistem laut begitu dinamis.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada ekosistem mangrove di lima DPL Sulawesi Utara,
yaitu Tumbak, Basaan, Blongko, Bahoi dan Tambun, pada bulan Juni-September
2018. Kegiatan sampling dilakukan pada periode air pasang di waktu pagi.
3. Metode
Squidpops merupakan lempengan cumi-cumi kering yang digunakan sebagai
umpan untuk mengukur intensitas pemangsaan oleh ikan predator. Squidpops
dipotong membentuk lingkaran dengan menggunakan cork borer. Selanjutnya, pada
bagian tengah umpan diikat dengan menggunakan tali monofilamen yang direkatkan
pada ujung garden stake dengan menggunakan lakban listrik. Umpan yang terpasang
pada garden stake, ditancapkan pada dasar perairan. Sebanyak 25 stakes untuk setiap
30 m transek, dengan 4 replikasi setiap lokasi. Dengan demikian, setiap lokasi
dipasang sebanyak 100 Squidpops. Jumlah Squidpops yang hilang dicatat selang 10
dan 30 menit; dan setelah 60 , seluruh stakes dikumpulkan dan dihitung berapa
banyak umpan yang hilang dan tersisa. Jumlah yang hilang diasumsikan sebagai
akibat pemangsaan oleh ikan. Penggunaan umpan Squidpops.
4. Hasil Penelitian
Ikan di mangrove
Hasil survey di wilayah mangrove berhasil terdentifikasi 90 ikan dari 23
famili, dengan kepadatan 218-478 individu per 250 m² (Tabel 1). Hal ini
menunjukkan bahwa, ketika air pasang, daerah mangrove diserbu oleh barbagai jenis
ikan dalam jumlah yang cukup banyak. Pada umumnya ikan-ikan di mangrove
berasal atau bermigrasi dari ekosistem terdekat seperti padang lamun dan terumbu
karang (Krumme, et al., 2008; Rooker dan Dennis, 1991). Ikan-ikan dari famili
Gobiidae merupakan ikan-ikan yang tetap tinggal di ekosistem mangrove meskipun
dalam keadaan surut (Sayer dan Davenport, 1991).
Hasil penelitian ini menambah dokumentasi dan pustaka yang mengukuhkan
fungsi mangrove sebagai daerah mencari makan (feeding ground) bagi sejumlah ikan
yang hidup di wilayah pantai. Selanjutnya, periode makan ikan atau biota yang hidup
di wilayah pantai dipengaruhi oleh irama pasang surut (Boneka, 2001). Dalam Tabel 2
ditampilkan group family ikan berserta kategori makan (feeding categories). Group
ikan karnivor utama (termasuk piskivor dan invertivor) yang masuk ke wilayah
mangrove pada saar air pasang mencakup ikan dari family Apogonidae, Labridae,
Carangidae, Hal ini sejalan dengan laporan Lokbere et al, (2019) bahwa pada
umumnya ikan-ikan yang beruaya ke daerah mangrove umumnya bersifat karnivor
dengan mengkonsumsi polihaetra dan krustasea. Selain group karnivor, mangrove
dikunjungi juga oleh kelompok makan lainnya seperti herbivor (Pomacanthidae,
Pomacentridae, Acanthuridae), planktivor (Apogonidae) dan lainnya. Meskipun
bukan penghuni ekosistem mangrove, famili Pomacentridae ditemukan dalam banyak
pada area mangrove di semua lokasi penelitian.
Intensitas predasi
Hasil pengamatan pada 100 squidpops (umpan) di setiap lokasi ditunjukkan
pada Tabel 2. Dari hasil pengamatan jumlah umpan yang hilang selama periode
pengamatan diperoleh laju penurunan jumlah umpan yang dalam penelitian ini
dijadikan indikator intensitas predasi pada ekosistem mangrove. Laju intensitas
predasi ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan kecenderungan
peningkatan intensitas pemangsaaan selama 60 menit umpan terekpos. Pada 10 menit
pertama di lokasi Tumbak, Basaan, dan Bahoi tidak mengalami kenaikan berarti.
Setelah 30 menit peletakan umpan, semua lokasi menunjukkan kenaikan penting.
Lokasi Blongko, Bahoi dan Tambun menunjukkan intensitas pemangsa terhadap
umpan yang tinggi dengan umpan yang hilang berkisar antara 1328 umpan. Dengan
kata lain pada 10 menit pertama, masih lambat mungkin ikan predasi masih
melakukan orientasi, namun pada periode selanjutnya meningkat secara signifikan.
Tabel 1. Kepadatan ikan (individu/250 m2) dan kelompok makan. KM:
kelompok makan, HE: herbivor, OM: omnivor, CA: karnivor, CO: koralivor, PL:
planktivor, Pi: piskivor, IN: invertivor

Tabel 2. Umpan squipops yang hilang dalam waktu pengamatan 0, 10, 30 dan
60menit

Pemangsaan terhadap umpan squidpop pada lima lokasi DPL, dengan


perberbedaan terletak pada intensitasnya. Intensitas predasi tertinggi pada lokasi
Tambun, disusul Bahoi dan Blongko. Perbedaan intentitas pemangsaan
kemungkinan dipengaruhi oleh kondisi lokal, populasi ikan predasi di setiap
lokasi dan tingkat gangguan pada saat penelitian berlangsung. Seperti ditunjukan
pada Tabel 1 di atas bahwa kepadatan ikan pada setiap lokasi cukup bervariasi,
218-478 ind/250 m² dan memiliki rentang rata-rata 9,94-20,78 ikan tiap famili,
lokasi Blongko tertinggi.
Selanjutnya, hal ini mungkin juga terkait dengan metode, misalnya ketika
kamera kurang berfungsi dengan baik karena gangguan kekeruhan di perairan
tersebut. Namun keterbatasan metode tidak mengurangi hasil yang
menggambarkan interaksi antar pemangsa-mangsa di dalam perairan. Data
pendukung keadaan ekosistem dan juga replikasi umpan yang cukup membantu
pengukuran yang pada penelitian ini. Variasi ukuran umpan yang diberikan juga
mempengaruhi. Ukuran diameter umpan yang diberikan menentukan ukuran ikan
yang memangsa umpan. Dengan ukuran diameter umpan sebedar 1,3 cm sulit bagi
ikan-ikan kecil (ukuran <10 cm) untuk memakan umpan yang diberikan (Duffy et
al., 2015). Meskipun keberadaan ikan berdasarkan kelompok makan menunjukan
bahwa umpan squidpops yang diletakan akan memiliki peluang besar dimakan
oleh ikan-ikan yang ada, hal ini juga bergantung pada ukuran tubuh dari ikan-ikan
pada ekosistem tersebut. Dengan ukuran umpan, kita bisa menyimpulkan bahwa
umpan-umpan yang hilang pada lokasi pengamatan di ekosistem mangrove,
dimakan oleh ikan-ikan yang berukuran >10 cm.

Gambar 1. Laju intensitas predasi pada 5 lokasi pengamatan


Kelimpahan makanan dan banyaknya keragaman spesis di ekosistem
mangrove (Sheaves, 2005) dengan kelompok makan yang sama, yang juga
memiliki keragaman kebiasaan dan perilaku makan sehingga kompetisi
predasi antar spesis tidak begitu besar (Zagars, et al., 2013; Sheaves, 2005).
Kebiasaan makan dan respon predator terhadap mangsa dipengaruhi oleh pola
distribusi dan kelimpahan mangsa (Main, 1987), untuk itu keadaan ekosistem
sangat mempengaruhi pola predasi di dalamnya (Hajisamae, et al., 2003;
Huxham, et al., 2004; Krumme, et al., 2008; Beri, et al., 2014). Ekosistem
yang mempunyai intensitas predasi yang tinggi menunjukkan bahwa keadaan
keseimbangan dan semua komponen di dalam ekosistem tersebut
menunjukkan keadaan yang baik. Hal ini memberi arti juga bahwa keadaan
ekosistem mangrove di lokasi Tambun dan Bahoi dalam keadaan yang baik.

Anda mungkin juga menyukai