Anda di halaman 1dari 119

PEDOMAN INTERNAL

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI


UPT PUSKESMAS SOBANG

Disusun Oleh:
Tim PPI UPT PUSKESMAS Sobang

UPT PUSKESMAS SOBANG


Jl.Raya Pasar Sobang KM 1 Ds Pangkalan Kec Sobang Kab Pandeglang 42289
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan bimbingan dan petunjuk kepada kita semua sehingga kami
berhasil menyusun buku Pedoman Internal Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi di UPT PUSKESMAS Sobang.
Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama
dituntut agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu,
akuntabel dan transparan kepada masyarakat, khususnya mendapatkan
jaminan keselamatan bagi pasien. Untuk itu perlu ditingkatkan
pelayanannya khususnya dalam pencegahan dan pengendalian infeksi di
Puskesmas.
Disamping pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi ini
digunakan bagi seluruh petugas, buku ini juga sangat penting bagi pasien,
keluarga pasien, orang yang berkunjung, dan lingkungan Puskesmas.
Kami menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
kami sangat berharap atas saran dan masukannya untuk pembenahan
kedepannya. Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua dalam upaya
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di UPT Puskesmas Sobang.
Sobang,

Tim Penyusun
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN ...............................................................
Latar belakang .............................................................................
Tujuan ........................................................................................
A. Ruang lingkup ...................................................................
B. Batasan Operasional .........................................................
C. Dasar Hukum ....................................................................
BAB II. STANDART KETENAGAAN ...............................................
A. Kualifikasi SDM .................................................................
B. Distribusi Ketenagaan .......................................................
C. Kegiatan Pokok dan Rincian Kegiatan ................................
BAB III. PRINSIP DASAR PPI .......................................................
A. Kebersihan Tangan ............................................................
B. Alat Pelindung Diri ............................................................
C. Dekontaminasi peralatan perawatan pasien .......................
D. Pengendalian lingkungan ...................................................
E. Pengelolaan limbah ............................................................
F. Penatalaksanaan linen .......................................................
G. Perlindungan kesehatan petugas ........................................
H. Penempatan pasien ............................................................
I. Kebersihan pernapasan/etika batuk dan bersin .................
J. Praktik menyuntik yang aman ............................................
K. Praktik lumbal pungsi yang aman ......................................
BAB IV TATALAKSANA PPI ..........................................................
BAB V PANDUAN PPI BAGI PASIEN/PENGUNJUNG ...................
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit infeksi terkait pelayanan kesehatan atau Healthcare
Associated Infection (HAIs) merupakan salah satu masalah kesehatan
diberbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Dalam forum Asian Pasific
Economic Comitte (APEC) atau Global health Security Agenda (GHSA)
penyakit infeksi terkait pelayanan kesehatan telah menjadi agenda yang di
bahas. Hal ini menunjukkan bahwa HAIs yang ditimbulkan berdampak
secara langsung sebagai beban ekonomi negara.
Secara prinsip, kejadian HAIs sebenarnya dapat dicegah bila
fasilitas pelayanan kesehatan secara konsisten melaksanakan program PPI.
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi merupakan upaya untuk memastikan
perlindungan kepada setiap orang terhadap kemungkinan tertular infeksi
dari sumber masyarakat umum dan disaat menerima pelayanan kesehatan
pada berbagai fasilitas kesehatan.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, khususnya di bidang pelayanan
kesehatan, perawatan pasien tidak hanya dilayani di rumah sakit saja tetapi
juga di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, bahkan di rumah (home care).
Dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas
pelayanan kesehatan sangat penting bila terlebih dahulu petugas dan
pengambil kebijakan memahami konsep dasar penyakit infeksi. Oleh karena
itu perlu disusun pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas
pelayanan kesehatanagar terwujud pelayanan kesehatan yang bermutu dan
dapat menjadi acuan bagi semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan
pencegahan dan pengendalian infeksi di dalam fasilitas pelayanan kesehatan
serta dapat melindungi masyarakat dan mewujudkan patient safety yang
pada akhirnya juga akan berdampak pada efisiensi pada manajemen fasilitas
pelayanan kesehatan dan peningkatan kualitas pelayanan.

B. TUJUAN
Pedoman PPI di Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertujuan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan, sehingga
melindungi sumber daya manusia kesehatan, pasien dan masyarakat dari
penyakit infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
C. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup program PPI meliputi kewaspadaan isolasi, penerapan
PPI terkait pelayanan kesehatan (Health Care Associated Infections/HAIs)
berupa langkah yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya HAIs
(bundles), surveilans HAIs, pendidikan dan pelatihan serta penggunaan anti
mikroba yang bijak. Disamping itu, dilakukan monitoring melalui Infection
Control Risk Assesment (ICRA), audit dan monitoring lainya secara berkala.
Dalam pelaksanaan PPI, Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, Praktik Mandiri
wajib menerapkan seluruh program PPI sedangkan untuk fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya, penerapan PPI disesuaikan dengan pelayanan yang di
lakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tersebut.

D. BATASAN OPERASIONAL
Kewaspadaan Standar diterapkan pada semua petugas dan pasien /
orang yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan. (Infection Control
Guidelines CDC, Australia).
Kewaspadaan berdasarkan transmisi / penularan, hanya diterapkan
pada pasien yang dirawat inap di Puskesmas, sampai diagnosa tersebut
dapat dikesampingkan. (Gardner and HICPAC 1996).
Surveilans adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan secara terus
menerus dan sistematik dalam bentuk pengumpulan data, analisis data,
interpretasi data dan diseminasi informasi hasil interpretasi data bagi
mereka yang membutuhkan.

E. DASAR HUKUM
1. Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431)
2. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125)
3. Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
4. Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063)
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.741/Menkes/Per/VII/2008 tentang
Standart Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota
6. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 128/Menkes/SK/II/2004
tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat
7. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 374/Menkes/SK/V/2009
tentang Sistem Kesehatan Nasional
BAB II

STANDAR KETENAGAAN

A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia


Dalam melaksanakan pelayanan Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi di UPT PUSKESMAS Sobang dipimpin oleh Ketua Tim PPI,
Sekretaris dan Anggota Tim PPI disesuaikan dengan kualifikasi dan
beban kerja yang ada. Untuk distribusi ketenagaan Tim PPI disebutkan
sesuai dengan tugas masing-masing.
TIM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI
PUSKEMAS PURWOKERTO BARATKABUPATEN BANYUMAS
KEDUDUKAN
NO. NAMA
DALAM TIM

1 Penanggung Kepala Puskesmas


jawab

2. Ketua Hartiningsih, Amd, Kep


3. Anggota = terlampir pada SK Tim PPI 2023 =

B. Distribusi Ketenagaan
Tim PPI berjumlah 14 orang sesuai dengan struktur organisasinya. Tim
PPI terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Anggota Tim yang terdiri dari
masing-masing unit terkait yang berhubungan langsung dengan kegiatan
PPI.

C. Kegiatan Pokok dan Rincian Kegiatan


1. Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana kebersihan tangan
- Bekerja sama dengan bagian penunjang dalam pengadaan botol
dan braket untuk tempat handrub, sabun cair handwash, handuk
pengering dan tempat handuk kotor.
- Bekerjasama dengan bagian humas dalam pengadaan poster,
leaflet dan stiker Kebersihan Tangan.
- Bekerja sama dengan bagian farmasi untuk produksi handrub
dengan formula yang direkomendasikan oleh WHO.
- Tim PPI melakukan kampanye Kebersihan Tangan untuk semua
masyarakat Puskesmas.
2. Pemenuhan kebutuhan APD di semua ruang pelayanan perawatan
pasien dan sosialisasi cara memakai dan menggunakan serta indikasi
penggunaannya
- Bekerja sama dengan bagian umumdan farmasi dalam pengadaan
APD
- Tim PPI mengadakan pelatihan cara penggunaan APD untuk
semua perawat sampai tenaga cleaning service.
- Tim PPI mas membuat poster indikasi penggunaan APD.
3. Sosialisasi perawatan peralatan pasien dengan mengetahui cara
pembersihan alat non kritikal, semi kritikal dan kritikal.
- PPI mengadakan sosialisasi cara dekontaminasi dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan cara-cara desinfeksi dan
sterilisasi untuk semua alat non kritikal, semi kritikal dan kritikal
kepada Tim PPI.
4. Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pengelolaan limbah
medis tajam/ non tajam dan limbah non medis di semua ruang
pelayanan perawatan pasien.
- Bekerja sama dengan Instalasi Sanitasi dan Lingkungan untuk
pengadaan tempat sampah medis dan umum di seluruh area
Puskesmas
- Bekerja sama dengan Instalasi Sanitasi dan Lingkungan untuk
pengadaan safetybox di seluruh area pelayanan perawatan pasien
di Puskesmas.
5. Pemenuhan pengelolaan linen dengan pemisahan jalur linen kotor
dan bersih,
pengadaan troli linen kotor dan bersih.
- Bekerja sama dengan bagian penunjang untuk membuat jalur
terpisah antara jalur linen kotor dan linen bersih
- Bekerja sama dengan bagian bendahara barang/ Laundry untuk
pengadaan troli linen kotor dan linen bersih.
- Bekerja sama dengan bagian bendahara barang untuk
memisahkan antara ruang laundry linen kotor dan linen bersih
6. Pelaksanaan program kesehatan karyawan
- Bekerja sama dengan Tim K3 dalam melaksanakan pemeriksaan
secara berkala karyawan Puskesmas, terutama karyawan yang
bekerja dengan resiko.
- Bekerja sama dengan tim K3 dalam penanganan kasus paca
pajanan
7. Penataan penempatan pasien di ruang isolasi
- Bekerja sama dengan Tim KLB untuk menata penempatan pasien
di ruang isolasi sesuai kriteria kewaspadaan transmisi droplet
ataupun airborne.
8. Sosialisasi dan pemenuhan poster etika batuk
- Bekerja sama dengan bagian promkes dalam pemenuhan poster
Etika batuk.

9. Sosialisasi prosedur penyuntikan yang aman dengan no recapping.


Tim PPI bersama bagian keperawatan melakukan sosialisasi cara
penyuntikan yang aman dengan one hand dan no recapping kepada
seluruh tenaga keperawatan dan tenaga non perawat dalam
melakukan tindakan penyuntikan.
10. Pemenuhan kebutuhan cairan desinfektan, dekontaminasi, dan
cara sterilisasi.
- Bekerja sama dengan Instalasi Sanitasi dan Lingkungan dalam
pengadaan Spill kit untuk semua area pelayanan perawatan
pasien.
11. Surveilans oleh seluruh Tim PPI.
12. Pemenuhan sarana pencegahan infeksi di Puskesmas
- Bekerja sama dengan bagian farmasi dalam pengadaan laminar
flow untuk mixing obat intra vena.
- Bekerja sama dengan bagian unit setralisasi untuk pengadaan
sterilisasi suhu rendah.
BAB III

PRINSIP DASAR PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI


Dl UPT PUSKESMAS SOBANG

Pencegahan dan Pengendalian infeksi menjadi bagian penting dalam


upaya meningkatkan mutu pelayanan medis dan asuhan keperawatan di
Puskesmas yang berfokus pada keselamatan pasien, petugas dan
lingkungan puskesmas. Kinerja PPI dicapai melalui keterlibatan aktif semua
petugas Puskesmas, mulai dari jajaran manajemen, dokter, perawat,
paramedis, pekarya, petugas kebersihan, sampai dengan petugas parkir dan
satpam maupun seluruh masyarakat di puskesmas seperti pengunjung,
mitra kerja puskesmas (Bank, asuransi, rekanan penyedia barang, dll).
Kegiatan PPI harus dilakukan secara tepat di semua bagian/area di
Puskesmas, mencakup seluruh masyarakat puskesmas dengan
menggunakan prosedur dan petunjuk pelaksanaan yang ditetapkan oleh
Puskesmas. Upaya pokok PPI mendasarkan pada upaya memutus rantai
penularan infeksi berfokus pada Kewaspadaan Standar (Standart
Precautions) yang merupakan gabungan Kewaspadaan Universal (Universal
Precautions) dan BSI (Body Substance Isolation), serta Kewaspadaan Isolasi
berdasarkan transmisi penyakit.
Upaya pencegahan dan pengendalian infeksi puskesmas dirancang untuk memutus rantai
penularan penyakit infeksi menuju perlindungan pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan
masyarakat.

Komponen Kewaspadaan Standar :


1. Kebersihan tangan
2. Alat pelindung diri (APD) : sarung tangan, masker, gogle/kacamata
pelindung, face shield (pelindung wajah), gaun, topi, pelindung kaki
3. Dekontaminasi peralatan perawatan pasien
4. Pengendalian lingkungan
5. Pengelolaan limbah
6. Penatalaksanaan linen
7. Perlindungan kesehatan petugas
8. Penempatan pasien
9. Kebersihan pernapasan/etika batuk dan bersin
10. Praktik menyuntik yang aman
11. Praktik lumbal pungsi yang aman
Kewaspadaan standar diterapkan pada seluruh kegiatan pelayanan
pada pasien di puskesmas, baik pada pasien rawat jalan maupun rawat inap
dengan ataupun tanpa penyakit infeksi yang sudah teridentifikasi.
Penerapan komponen kewaspadaan standar yang nasional/tepat didasarkan
pada penilaian risiko potensial yang dihadapi pasien atau petugas dalam
setiap kegiatan pelayanan yang spesifik sehingga implementasi setiap
komponen standar tidak harus seragam/sama pada setiap aktivitas/kasus.
Upaya selanjutnya PPI dalam memutus rantai penularan infeksi di
puskesmas adalah dengan penerapan kewaspadaan isolasi berdasarkan cara
penularan penyakit infeksi yang sudah dapat diduga atau diidentifikasi.
Kewaspadaan isolasi sesuai cara penularan infeksi diterapkan sebagai
komplemen/tambahan pada kewaspadaan standar tehadap pasien yang
sudah diidentifikasi menderita penyakit infeksi berdasarkan karakteristik
demografik, klinik dengan atau tanpa pemeriksaan diagnostik penunjang
khususnya mikrobiologi klinik. Terdapat 3 jenis kewaspadaan isolasi
berdasarkan cara transmisi infeksi yaitu kewaspadaan transmisi kontak,
kewaspadaan transmisi droplet dan kewaspadaan transmisi airborne/udara.
Penilaian risiko penularan dikerjakan sebelum petugas memberikan
tindakan/perawatan kepada pasien. Perlu selalu dipertimbangkan
kemungkinan terjadi kombinasi cara transmisi infeksi yang memberikan
konsekuensi perlunya dilakukan lebih dari satu standar kewaspadaan
isolasi. Apabila menghadapi suatu penyakit yang belum dikenal/merupakan
penyakit infeksi baru atau belum dikenali cara penularannya, maka
direkomendasikan untuk menerapkan prinsip kewaspadaan yang tertinggi,
yaitu kewaspadaan transmisi airborne.

Pertimbangan praktis Pelaksanaan Kewaspadaan Standar

Perlakukan baik pasien atau petugas sebagai individu yang potensial menularkan dan
rentan terhadap infeksi. Pertimbangkan penggunaan alat pelindung diri sesuai penilaian
risiko pada awal setiap aktivitas pelayanan kepada pasien.

KEWASPADAAN STANDAR
1. KEBERSIHAN TANGAN

Kebersihan tangan dilakukan dengan mencuci tangan


menggunakan sabun dan air mengalir bila tangan jelas kotor atau
terkena cairan tubuh, atau menggunakan alkohol (alcohol-based
handrubs)bila tangan tidak tampak kotor. Kuku petugas harus selalu
bersih dan terpotong pendek, tanpa kuku palsu, tanpa memakai
perhiasan cincin. Cuci tangan dengan sabun biasa/antimikroba dan
bilas dengan air mengalir, dilakukan pada saat:
a) Bila tangan tampak kotor, terkena kontak cairan tubuh pasien
yaitu darah, cairan tubuh sekresi, ekskresi, kulit yang tidak
utuh, ganti verband, walaupun telah memakai sarung tangan.
b) Bila tangan beralih dari area tubuh yang terkontaminasi ke
area lainnya yang bersih, walaupun pada pasien yang sama.
Indikasi kebersihan tangan:
- Sebelum kontak pasien;
- Sebelum tindakan aseptik;
- Setelah kontak darah dan cairan tubuh;
- Setelah kontak pasien;
- Setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien Kriteria
memilih antiseptik:
- Memiliki efek yang luas, menghambat atau merusak
mikroorganisme secara luas (gram positif dan gram
negative,virus lipofilik,bacillus dan tuberkulosis,fungiserta
endospore)
- Efektifitas
- Kecepatan efektifitas awal
- Efek residu, aksi yang lama setelah pemakaian untuk
meredam pertumbuhan
- Tidak menyebabkan iritasi kulit
- Tidak menyebabkan alergi
Hasil yang ingin dicapai dalam kebersihan tangan adalah
mencegah agar tidak terjadi infeksi, kolonisasi pada pasien dan
mencegah kontaminasi dari pasien ke lingkungan termasuk
lingkungan kerja petugas.

Gambar 2. Cara Kebersihan tangan dengan Sabun dan Air


Diadaptasi dari: WHO Guidelines on Hand Hygiene in Health Care: First
Global Patient Safety Challenge, World HealthOrganization, 2009.

Gambar 3. Cara Kebersihan Tangan dengan Antisepsik Berbasis


Alkohol
Diadaptasi dari WHO Guidelines on Hand Hygiene in Health Care:
First Global Patient Safety Challenge, World Health Organization,
2009.
2. ALAT PELINDUNG DIRI (APD)

a) UMUM
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam APD sebagai
berikut:
1. Alat pelindung diri adalah pakaian khusus atau peralatan
yang di pakai petugas untuk memproteksi diri dari bahaya
fisik, kimia, biologi/bahan infeksius.
2. APD terdiri dari sarung tangan, masker/Respirator Partikulat,
pelindung mata (goggle), perisai/pelindung wajah, kap
penutup kepala, gaun pelindung/apron, sandal/sepatu tertutup
(Sepatu Boot).
3. Tujuan Pemakaian APD adalah melindungi kulit dan membran
mukosa dari resiko pajanan darah, cairan tubuh, sekret,
ekskreta, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir dari pasien
ke petugas dan sebaliknya.
4. Indikasi penggunaan APD adalah jika melakukan tindakan yang
memungkinkan tubuh atau membran mukosa terkena atau
terpercik darah atau cairan tubuh atau kemungkinan pasien
terkontaminasi dari petugas.
5. Melepas APD segera dilakukan jika tindakan sudah selesai di
lakukan.
6. Tidak dibenarkan menggantung masker di leher, memakai
sarung tangan sambil menulis dan menyentuh permukaan
lingkungan.

Gambar 4. Alat Pelindung Diri (APD)


b) JENIS-JENIS APD
1. Sarung tangan
Terdapat tiga jenis sarung tangan, yaitu:
- Sarung tangan bedah (steril), dipakai sewaktu melakukan
tindakan invasif atau pembedahan.
- Sarung tangan pemeriksaan (bersih), dipakai untuk
melindungi petugas pemberi pelayanan kesehatan
sewaktu melakukan pemeriksaan atau pekerjaan rutin
- Sarung tangan rumah tangga, dipakai sewaktu memproses
peralatan, menangani bahan-bahan terkontaminasi, dan
sewaktu membersihkan permukaan yang terkontaminasi.
Umumnya sarung tangan bedah terbuat dari bahan lateks
karena elastis, sensitif dan tahan lama serta dapat disesuaikan
dengan ukuran tangan. Bagi mereka yang alergi terhadap lateks,
tersedia dari bahan sintetik yang menyerupai lateks, disebut
„nitril‟. Terdapat sediaan dari bahan sintesis yang lebih
murah dari lateks yaitu „vinil‟ tetapi sayangnya tidak elastis,
ketat dipakai dan mudah robek. Sedangkan sarung tangan
rumah tangga terbuat dari karet tebal, tidak fleksibel dan
sensitif, tetapi memberikan perlindungan maksimum sebagai
pelindung pembatas.
Gambar 5. Pemasangan sarung tangan
2. Masker
Masker digunakan untuk melindungi wajah dan membran
mukosa mulut dari cipratan darah dan cairan tubuh dari
pasien atau permukaan lingkungan udara yang kotor dan
melindungi pasien atau
permukaan lingkungan udara dari petugas pada saat batuk atau
bersin. Masker yang di gunakan harus menutupi hidung dan
mulut serta melakukan Fit Test (penekanan di bagian hidung).
Terdapat tiga jenis masker, yaitu:
- Masker bedah, untuk tindakan bedah atau mencegah
penularan melalui droplet.
- Masker respiratorik, untuk mencegah penularan melalui
airborne.
- Masker rumah tangga, digunakan di bagian gizi atau dapur.

Gambar 6. Memakai Masker

Cara memakai masker:


- Memegang pada bagian tali (kaitkan pada telinga jika
menggunakan kaitan tali karet atau simpulkan tali di
belakang kepala jika menggunakan tali lepas).
- Eratkan tali kedua pada bagian tengah kepala atau leher.
- Tekan klip tipis fleksibel (jika ada) sesuai lekuk tulang
hidung dengan kedua ujung jari tengah atau telunjuk.
- Membetulkan agar masker melekat erat pada wajah dan di
bawah dagu dengan baik.
- Periksa ulang untuk memastikan bahwa masker telah melekat
dengan benar.

Gambar 7. Menekan klip pada tulang hidung


Gambar 8. Masker respirator/partikulat

Pemakaian Respirator Partikulat


Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2
(health care particular respirator), merupakan masker khusus
dengan efisiensi tinggi untuk melindungi seseorang dari partikel
berukuran
<5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini terdiri dari
beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai menempel erat
pada wajah tanpa ada kebocoran.Masker ini membuat pernapasan
pemakai menjadi lebih berat. Sebelum memakai masker ini,
petugas kesehatan perlu melakukan fit test.
Hal yang perlu diperhatikan saat melakukan fit
test :
 Ukuran respirator perlu disesuaikan dengan ukuran
wajah.
 Memeriksa sisi masker yang menempel pada wajah untuk
melihat adanya cacat atau lapisan yang tidak utuh. Jika
cacat atau terdapat lapisan yang tidak utuh, maka tidak
dapat digunakan dan perlu diganti.
 Memastikan tali masker tersambung dan menempel dengan
baik di semua titik sambungan.
 Memastikan klip hidung yang terbuat dari logam dapat
disesuaikan bentuk hidung petugas.
Fungsi alat ini akan menjadi kurang efektif dan kurang aman
bila tidak menempel erat pada wajah. Beberapa keadaan yang
dapat menimbulkan keadaan demikian, yaitu:
 Adanya janggut dan jambang
 Adanya gagang kacamata
 Ketiadaan satu atau dua gigi pada kedua sisi yang dapat
mempengaruhi perlekatan bagian wajah masker.
Gambar 9.Langkah-langkah menggunakan respirator

Pemeriksaan Segel Positif


Hembuskan napas kuat-kuat. Tekanan positif di dalam
respirator berarti tidak ada kebocoran.Bila terjadi kebocoran
atur posisi dan/atau ketegangan tali.Uji kembali kerapatan
respirator. Ulangi langkah tersebut sampai respirator benar-benar
tertutup rapat.
Pemeriksaan Segel Negatif
 Tarik napas dalam-dalam. Bila tidak ada kebocoran, tekanan
negatif di dalam respirator akan membuat respirator menempel
ke wajah. Kebocoran akan menyebabkan hilangnya tekanan
negatif di dalam respirator akibat udara masuk melalui celah-
celah segelnya.
 Lamanya penggunaan maksimal 1 (satu) minggu dengan
pemeliharaan yang benar.
 Cara pemeliharaan dan penyimpanan yang benar (setelah
dipakai diletakkan di tempat yang kering dan dimasukkan
dalam kantong berlubang berbahan kertas).
3. Gaun Pelindung
Gaun pelindung digunakan untuk melindungi baju petugas dari
kemungkinan paparan atau percikan darah atau cairan tubuh,
sekresi, ekskresi atau melindungi pasien dari paparan pakaian
petugas pada tindakan steril.
Jenis-jenis gaun pelindung:
- Gaun pelindung tidak kedap air
- Gaun pelindung kedap air
- Gaun steril
- Gaun non steril
Indikasi penggunaan gaun pelindung
Tindakan atau penanganan alat yang memungkinkan
pencemaran atau kontaminasi pada pakaian petugas, seperti:
- Membersihkan luka
- Tindakan drainase
- Menuangkan cairan terkontaminasi kedalam lubang
pembuangan atau WC/toilet
- Menangani pasien perdarahan masif
- Tindakan bedah
- Perawatan gigi
Segera ganti gaun atau pakaian kerja jika terkontaminasi
cairan tubuh pasien (darah).
Cara memakai gaun pelindung:
Tutupi badan sepenuhnya dari leher hingga lutut, lengan
hingga bagian pergelangan tangan dan selubungkan ke belakang
punggung. Ikat di bagian belakang leher dan pinggang.

Gambar 10. Gaun pelindung


4. Goggle dan perisai wajah
Harus terpasang dengan baik dan benar agar dapat melindungi
wajah dan mata.
Tujuan pemakaian Goggle dan perisai wajah:
Melindungi mata dan wajah dari percikan darah, cairan
tubuh,
sekresi dan eksresi.
Indikasi:
Pada saat tindakan operasi, pertolongan persalinan dan tindakan
persalinan, tindakan perawatan gigi dan mulut, pencampuran B3
cair, pemulasaraan jenazah, penanganan linen terkontaminasidi
laundry, di ruang dekontaminasi CSSD.

Gambar 11. Penutup Wajah

Gambar 12. Memakai Goggle


5. Sepatu pelindung
Tujuan pemakaian sepatu pelindung adalah melindung kaki
petugas dari tumpahan/percikan darah atau cairan tubuh
lainnya dan mencegah dari kemungkinan tusukan benda tajam
atau kejatuhan alat kesehatan, sepatu tidak boleh berlubang agar
berfungsi optimal. Jenis sepatu pelindung seperti sepatu boot atau
sepatu yang menutup seluruh permukaan kaki.
Indikasi pemakaian sepatu pelindung:
- Penanganan pemulasaraan jenazah
- Penanganan limbah
- Tindakan operasi
- Pertolongan dan Tindakan persalinan
- Penanganan linen
- Pencucian peralatan di ruang gizi
- Ruang dekontaminasi CSSD

Gambar 13. Sepatu Pelindung

6. Topi pelindung
Tujuan pemakaian topi pelindung adalah untuk mencegah
jatuhnya mikroorganisme yang ada di rambut dan kulit kepala
petugas terhadap alat-alat/daerah steril atau membran mukosa
pasien dan juga sebaliknya untuk melindungi kepala/rambut
petugas dari percikan darah atau cairan tubuh dari pasien.
Indikasi pemakaian topi pelindung:
- Tindakan operasi
- Pertolongan dan tindakan persalinan
- Tindakan insersi CVL
- Intubasi Trachea
- Penghisapan lendir massive
- Pembersihan peralatan Kesehatan
Gambar 14.Topi Pelindung

c) PELEPASAN APD
Langkah-langkah melepaskan APD adalah sebagai berikut:
- Lepaskan sepasang sarung tangan
- Lakukan kebersihan tangan
- Lepaskan apron
- Lepaskan perisai wajah (goggle)
- Lepaskan gaun bagian luar
- Lepaskan penutup kepala
- Lepaskan masker
- Lepaskan pelindung kaki
- Lakukan kebersihan tangan

Gambar 15. Pelepasan APD

1. Melepas sarung tangan


- Ingatlah bahwa bagian luar sarung tangan telah terkontaminasi.
- Pegang bagian luar sarung tangan dengan sarung tangan
lainnya, kemudian lepaskan.
- Pegang sarung tangan yang telah dilepas dengan
menggunakan tangan yang masih memakai sarung tangan.
- Selipkan jari tangan yang sudah tidak memakai sarung tangan
di bawah sarung tangan yang belum dilepas di pergelangan
tangan.
- Lepaskan sarung tangan di atas sarung tangan pertama.
- Buang sarung tangan di tempat limbah infeksius.
Gambar 16. Melepaskan Sarung Tangan

2. Melepas Goggle atau Perisai Wajah


- Ingatlah bahwa bagian luar goggle atau perisai wajah
telah terkontaminasi.
- Untuk melepasnya, pegang karet atau gagang goggle.
- Letakkan di wadah yang telah disediakan untuk diproses
ulang atau dalam tempat limbah infeksius.

Gambar 17. Melepaskan Goggle atau PerisaiWajah

3. Melepas Gaun Pelindung


- Ingatlah bahwa bagian depan gaun dan lengan gaun
pelindung telah terkontaminasi
- Lepas tali pengikat gaun.
- Tarik dari leher dan bahu dengan memegang bagian dalam
gaun pelindung saja.
- Balik gaun pelindung.
- Lipat atau gulung menjadi gulungan dan letakkan di wadah
yang telah di sediakan untuk diproses ulang atau buang di
tempat limbah infeksius.
Gambar 18. Melepas Gaun Pelindung

4. Melepas Masker
- Ingatlah bahwa bagian depan masker telah terkontaminasi-
JANGAN SENTUH.
- Lepaskan tali bagian bawah dan kemudian tali/karet bagian atas.
- Buang ke tempat limbah infeksius.

Gambar 19. Melepas Masker

Penggunaan APD pada pasien harus ditetapkan melalui Standar


Operasional Prosedur (SOP) di fasilitas pelayanan kesehatan
terhadap pasien infeksius sesuai dengan indikasi dan ketentuan
Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI), sedangkan penggunaan APD
untuk pengunjung juga ditetapkan melalui SPO di fasilitas pelayanan
kesehatan terhadap kunjungan ke lingkungan infeksius. Pengunjung
disarankan untuk tidak berlama-lama berada di lingkungan infeksius.

3. DEKONTAMINASI PERALATAN PERAWATAN PASIEN

Pada tahun 1968 Spaulding mengusulkan tiga kategori risiko


berpotensi infeksi untuk menjadi dasar pemilihan praktik atau proses
pencegahan yang akan digunakan (seperti sterilisasi peralatan medis,
sarung tangan dan perkakas lainnya) sewaktu merawat pasien.
Kategori Spaulding adalah sebagai berikut:
a) Kritikal
Bahan dan praktik ini berkaitan dengan jaringan steril atau sistem
darah
sehingga merupakan risiko infeksi tingkat tertinggi. Kegagalan
manajemen sterilisasi dapat mengakibatkan infeksi yang serius dan
fatal.
b) Semikritikal
Bahan dan praktik ini merupakan terpenting kedua setelah
kritikal yang berkaitan dengan mukosa dan area kecil di kulit yang
lecet.Pengelola perlu mengetahui dan memiliki keterampilan dalam
penanganan peralatan invasif, pemrosesan alat, Disinfeksi Tingkat
Tinggi (DTT), pemakaian sarung tangan bagi petugas yang
menyentuh mukosa atau kulit tidak utuh.

c) Non-kritikal
Pengelolaan peralatan/ bahan dan praktik yang berhubungan
dengan kulit utuh yang merupakan risiko terendah. Walaupun
demikian, pengelolaan yang buruk pada bahan dan peralatan non-
kritikal akan dapat menghabiskan sumber daya dengan manfaat
yang terbatas (contohnya sarung tangan steril digunakan untuk
setiap kali memegang tempat sampah atau memindahkan sampah).
Dalam dekontaminasi peralatan perawatan pasien dilakukan
penatalaksanaan peralatan bekas pakai perawatan pasien yang
terkontaminasi darah atau cairan tubuh (pre-cleaning, cleaning,
disinfeksi, dan sterilisasi) sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO)
sebagai berikut:
1) Rendam peralatan bekas pakai dalam air dan detergen atau
enzyme lalu dibersihkan dengan menggunakan spons sebelum
dilakukan disinfeksi tingkat tinggi (DTT) atau sterilisasi.
2) Peralatan yang telah dipakai untuk pasien infeksius harus
didekontaminasi terlebih dulu sebelum digunakan untuk pasien
lainnya.
3) Pastikan peralatan sekali pakai dibuang dan dimusnahkan
sesuai prinsip pembuangan sampah dan limbah yang benar. Hal
ini juga berlaku untuk alat yang dipakai berulang, jika akan
dibuang.
4) Untuk alat bekas pakai yang akan di pakai ulang, setelah
dibersihkan dengan menggunakan spons, di DTT dengan klorin
0,5% selama 10 menit.
5) Peralatan nonkritikal yang terkontaminasi, dapat didisinfeksi
menggunakan alkohol 70%. Peralatan semikritikal didisinfeksi
atau disterilisasi, sedangkan peralatan kritikal harus didisinfeksi
dan disterilisasi.
6) Untuk peralatan yang besar seperti USG dan X-Ray, dapat
didekontaminasi permukaannya setelah digunakan di ruangan
isolasi.

Gambar 20. Alur Dekontaminasi Peralatan Perawatan Pasien


Keterangan Alur:

1) Pembersihan Awal (pre-cleaning): Proses yang membuat benda mati


lebih aman untuk ditangani oleh petugas sebelum di
bersihkan(umpamanya menginaktivasi HBV, HBC, dan HIV) dan
mengurangi, tapi tidak menghilangkan, jumlah mikroorganisme yang
mengkontaminasi.
2) Pembersihan: Proses yang secara fisik membuang semua kotoran,
darah, atau cairan tubuh lainnya dari permukaan benda mati
ataupun membuang sejumlah mikroorganisme untuk mengurangi
risiko bagi mereka yang menyentuh kulit atau menangani objek
tersebut. Proses ini adalah terdiri dari mencuci sepenuhnya dengan
sabun atau detergen dan air atau menggunakan enzim, membilas
dengan air bersih, dan mengeringkan.
Jangan menggunakan pembersih yang bersifat

mengikis, misalnya Vim®atau Comet® atau serat baja atau baja


berlubang, karena produk produk ini bisa menyebabkan goresan.
Goresan ini kemudian menjadi sarang mikroorganisme yang
membuat proses pembersihan menjadi lebih sulit serta
meningkatkan pembentukan karat.
3) Disinfeksi Tingkat Tinggi (DTT): Proses menghilangkan semua
mikroorganisme, kecuali beberapa endospora bakterial dari
objek,dengan merebus, menguapkan atau memakai disinfektan
kimiawi.
4) Sterilisasi: Proses menghilangkan semua mikroorganisme (bakteria,
virus, fungi dan parasit) termasuk endospora menggunakan uap
tekanan tinggi (otoklaf), panas kering (oven), sterilisasi kimiawi,
atau radiasi.
a. Sterilisator Uap Tekanan Tinggi (autoklaf):
Sterilisasi uap tekanan tinggi adalah metode sterilisasi yang
efektif, tetapi juga paling sulit untuk dilakukan secara
benar.Pada umumnya sterilisasi ini adalah metode pillihan
untuk mensterilisasi instrumen dan alat-alat lain yang
digunakan pada berbagai fasilitas pelayanan kesehatan. Bila
aliran listrik bermasalah, maka instrumen-instrumen tersebut
dapat disterilisasi dengan sebuah sterilisator uap non-elektrik
dengan menggunakan minyak tanah atau bahan bakar lainnya
sebagai sumber panas.Atur agar suhu harus berada pada
121°C; tekanan harus berada pada 106 kPa; selama 20 menit
untuk alat tidak terbungkus dan 30 menit untuk alat
terbungkus. Biarkan semua peralatan kering sebelum diambil
dari sterilisator. Set tekanan kPa atau lbs/in² mungkin berbeda
tergantung pada jenis sterilisator yang digunakan. Ikuti
rekomendasi pabrik, jika mungkin.

b. Sterilisator Panas Kering (Oven):


Baik untuk iklim yang lembab tetapi membutuhkan aliran
listrik yang terus menerus, menyebabkan alat ini kurang praktis
pada area terpencil atau pedesaan. Selain itu sterilisasi panas
kering yang membutuhkan suhu lebih tinggi hanya dapat
digunakan untuk benda-benda dari gelas atau logam–karena
akan melelehkan bahan lainnya. Letakkan instrumen di oven,
panaskan hingga 170°C, selama 1 (satu) jam dan kemudian
didinginkan selama 2-2,5 jam atau 160°C selama 2 (dua)
jam.Perlu diingat bahwa waktu paparan dimulai setelah suhu
dalam sterilisator telah mencapai suhu sasaran. Tidak boleh
memberi kelebihan beban pada sterilisator karena akan
mengubah konveksi panas. Sisakan ruang kurang lebih 7,5 cm
antara bahan yang akan disterilisasi dengan dinding sterilisator.
4. PENGENDALIAN LINGKUNGAN

Pengendalian lingkungan di fasilitas pelayanan kesehatan, antara


lain berupa upaya perbaikan kualitas udara, kualitas air, dan
permukaan lingkungan, serta desain dan konstruksi bangunan,
dilakukan untuk mencegah transmisi mikroorganisme kepada pasien,
petugas dan pengunjung.
a) Kualitas Udara
Tidak dianjurkan melakukan fogging dan sinar ultraviolet untuk
kebersihan udara, kecuali dry mist dengan H2O2 dan
penggunaan sinar UV untuk terminal dekontaminasi ruangan
pasien dengan infeksi yang ditransmisikan melalui air borne.
Diperlukan pembatasan jumlah personil di ruangan dan ventilasi
yang memadai. Tidak direkomendasikan melakukan kultur
permukaan lingkungan secara rutin kecuali bila ada outbreak
atau renovasi/pembangunan gedung baru.
b) Kualitas air
Seluruh persyaratan kualitas air bersih harus dipenuhi baik
menyangkut bau, rasa, warna dan susunan kimianya termasuk
debitnya sesuai ketentuan peraturan perundangan mengenai
syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum dan mengenai
persyaratan kualitas air minum. Kehandalan penyaluran air bersih
ke seluruh ruangan dan gedung perlu memperhatikan :
- Sistem Jaringan. Diusahakan ruangan yang membutuhkan air
yang bersih menggunakan jaringan yang handal. Alternatif
dengan 2 saluran, salah satu di antaranya adalah saluran
cadangan.
- Sistem Stop Kran dan Valve.

c) Permukaan lingkungan
Seluruh pemukaan lingkungan datar, bebas debu, bebas
sampah, bebas serangga (semut, kecoa, lalat, nyamuk) dan
binatang pengganggu (kucing, anjing dan tikus) dan harus
dibersihkan secara terus menerus. Tidak dianjurkan menggunakan
karpet di ruang perawatan dan menempatkan bunga segar,
tanaman pot, bunga plastik di ruang perawatan. Perbersihan
permukaan dapat dipakai klorin 0,05%, atau H2O2 0,5-1,4%, bila
ada cairan tubuh menggunakan klorin 0,5%.
Fasilitas pelayanan kesehatan harus membuat dan
melaksanakan SPO untuk pembersihan, disinfeksi permukaan
lingkungan, tempat tidur, peralatan disamping tempat tidur dan
pinggirannya yang sering tersentuh. Fasilitas pelayanan kesehatan
harus mempunyai disinfektan yang sesuai standar untuk
mengurangi kemungkinan penyebaran kontaminasi.
Untuk mencegah aerosolisasi kuman patogen penyebab infeksi
pada saluran napas, hindari penggunaan sapu ijuk dan yang
sejenis, tapi gunakan cara basah (kain basah) dan mop (untuk
pembersihan kering/lantai),bila dimungkinkan mop terbuat dari
microfiber.
Mop untuk ruang isolasi harus digunakan tersendiri, tidak
digunakan lagi untuk ruang lainnya.

Gambar 21. Mop

Larutan disinfektan yang biasa dipakai yaitu natrium hipoklorit


0,05-0,5%. Bila ada cairan tubuh, alcohol digunakan untuk
area sempit, larutan peroksida (H2O2) 0,5-1,4% untuk ruangan
rawat dan 2% untuk permukaan kamar operasi, sedangkan 5-35%
(dry mist) untuk udara.
Ikuti aturan pakai cairan disinfektan, waktu kontak dan cara
pengencerannya.
Untuk lingkungan yang sering digunakan pembersihannya dapat
diulang menggunakan air dan detergen, terutama bila di
lingkungan tersebut tidak ditemukan mikroba multi resisten.
Pembersihan area sekitar pasien:
- Pembersihan permukaan sekitar pasien harus dilakukan secara
rutin setiap hari, termasuk setiap kali pasien pulang/keluar
dari fasyankes (terminal dekontaminasi).
- Pembersihan juga perlu dilaksanakan terhadap barang yang
sering tersentuh tangan, misalnya: nakas disamping tempat
tidur,tepi tempat tidur dengan bed rails,tiang infus, tombol
telpon, gagang pintu, permukaan meja kerja, anak kunci, dll.
- Bongkaran pada ruang rawat dilakukan setiap 1 (satu) bulan
atau sesuai dengan kondisi hunian ruangan.
d) Desain dan konstruksi bangunan
Desain harus mencerminkan kaidah PPI yang mengacu pada
pedoman PPI secara efektif dan tepat guna. Desain dari faktor
berikut dapat mempengaruhi penularan infeksi yaitu jumlah
petugas kesehatan, desain ruang rawat, luas ruangan yang
tersedia, jumlah dan jenis pemeriksaan/prosedur, persyaratan
teknis komponen lantai, dinding dan langit-langit, air, listrik dan
sanitasi, ventilasi dan kualitas udara, pengelolaan alat
medisreused dan disposable, pengelolaan makanan, laundry dan
limbah. Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut:
1) Desain jumlah petugas kesehatan
- Perencanaan kebutuhan jumlah petugas kesehatan
disesuaikan dengan jumlah pasien
- Pertimbangan faktor kelelahan bisa berakibat kelalaian.
- Tingkat kesulitan pelayanan terhadap pasien berdasarkan
tingkat risiko jenis penyakit
2) Desain ruang rawat
- Tersedia ruang rawat satu pasien (single room) untuk isolasi
pasien infeksius dan pasien dengan imunitas rendah.
- Jarak antar tempat tidur adalah ≥1 meter. Bila
memungkinkan 1,8 m.
- Tiap kamar tersedia fasilitas Alcohol–Based Hand Rub (ABHR),
disarankan untuk ruang rawat intensif tersedia ABHR di setiap
tempat tidur.
- Tersedia toilet yang dilengkapi shower di setiap kamar pasien.
3) Luas ruangan yang tersedia
- Ruang rawat pasien disarankan mempunyai luas lantai bersih

antara 12-16 m2 per tempat tidur.


- Ruang rawat intensif dengan modul kamar individual/kamar

isolasi luas lantainya 16-20 m2 per kamar.


- Rasio kebutuhan jumlah tempat duduk di ruang tunggu
bagi pengunjung pasien adalah 1 tempat tidur pasien:1-2
tempat duduk.
4) Jumlah, jenis pemeriksaan dan prosedur
- Kebutuhan ketersediaan alat medis dan APD berdasarkan
jenis penyakit yang ditangani.
- Lokasi penyimpanan peralatan medis dan APD di masing-
masing unit pelayanan harus mudah dijangkau, tempat
penyimpanannya harus bersih dan steril terutama peralatan
medis harus steril.
5) Persyaratan teknis komponen lantai, dinding dan langit-langit
a. Komponen lantai dan permukaan lantai meliputi:
 Kontruksi dasar lantai harus kuat di atas tanah yang sudah
stabil, permukaan lantai harus kuat dan kokoh terhadap
beban.

 Permukaan lantai terbuat dari bahan yang kuat,halus,


kedap air mudah dibersihkan, tidak licin, permukaan
rata, tidak bergelombang dan tidak menimbulkan
genangan air. Dianjurkan menggunakan vinyl dan tidak
dianjurkan menggunakan lantai keramik dengan nat di
ruang rawat intensif dan IGD karena akan dapat
menyimpan mikroba.

 Permukaan lantai terbuat dari bahan yang kuat, mudah


dibersihkan secara rutin minimal 2 (dua) kali sehari atau
kalau perlu dan tahan terhadap gesekan dan tidak boleh
dilapisi karpet.

 Penutup lantai harus berwarna cerah dan tidak menyilaukan


mata.

 Lantai yang selalu kontak dengan air harus mempunyai


kemiringan yang cukup ke arah saluran pembuangan air
limbah.

 Pada daerah dengan kemiringan kurang dari 7O, penutup


lantai harus dari lapisan permukaan yang tidak licin.

 Pertemuan antara lantai dengan dinding harus


menggunakan bahan yang tidak bersiku, tetapi melengkung
untuk memudahkan pembersihan lantai (hospital plint).

 Memiliki pola lantai dengan garis alur yang menerus ke


seluruh ruangan pelayanan.
b. Komponen dinding meliputi:
 Dinding harus mudah dibersihkan,tahan cuaca dan tidak
mudah berjamur.
 Lapisan penutup dinding harus bersifat tidak berpori
sehingga dinding tidak menyimpan debu.

 Warna dinding cerah tetapi tidak menyilaukan mata.

 Pertemuan antara dinding dengan dinding harus tidak


bersiku, tetapi melengkung untuk memudahkan
pembersihan dan mikroba tidak terperangkap di tempat
tersebut.
c. Komponen langit-langit meliputi:
 Harus mudah dibersihkan, tahan terhadap segala cuaca,
tahan terhadap air, tidak mengandung unsur yang dapat
membahayakan pasien, serta tidak berjamur.

 Memiliki lapisan penutup yang bersifat tidak berpori


sehingga tidak menyimpan debu.

 Berwarna cerah, tetapi tidak menyilaukan.


6) Air, Listrik dan Sanitasi
Air dan Listrik di RS harus tersedia terus menerus selama 24
jam. Air minum harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan
oleh pemerintah, jadi harus diperiksa secara teratur dan rutin
setiap bulan sekali.Pengelolaan air yang digunakan di unit
khusus [kamar operasi, unit hemodialisis, ICU (pasien dengan
kebutuhan air khusus)] harus bisa mencegah perkembangan
mikroba lingkungan (Legionella sp, Pseudomonas, jamur dan
lain-lain) dengan metode Reverse Osmosis (di dalamnya terjadi
proses penyaringan atau desinfeksi menggunakan sinar ultraviolet
atau bahan lainnya). Toilet dan wastafel harus dibersihkan
setiap hari.
7) Ventilasi dan Kualitas udara
Semua lingkungan perawatan pasien diupayakan seminimal
mungkin kandungan partikel debu, kuman dan spora dengan
menjaga kelembaban dan pertukaran udara. Pertukaran udara
dalam tiap ruangan berbeda tekanan dengan selisih 15 Pascal.
Ruang perawatan biasa minimal 6X pergantian udara per jam,
ruang isolasi minimal 12X dan ruang kamar operasi minimal
20Xperjam. Perawatan pasien TB paru menggunakan ventilasi
natural dengan kombinasi ventilasi mekanik sesuai anjuran dari
WHO.
Pemanfaatan Sistem Ventilasi:
Sistem Ventilasi adalah sistem yang menjamin terjadinya
pertukaran udara di dalam gedung dan luar gedung yang
memadai, sehingga konsentrasi droplet nuklei menurun.
Secara garis besar ada dua jenis sistem ventilasi yaitu:
• Ventilasi Alamiah: sistem ventilasi yang mengandalkan pada
pintu dan jendela terbuka, serta skylight (bagian atas
ruangan yang bisa dibuka/terbuka) untuk mengalirkan udara
dari luar kedalam gedung dan sebaliknya. Sebaiknya
menggunakan ventilasi alami dengan menciptakan aliran
udara silang (cross ventilation) dan perlu dipastikan arah angin
yang tidak membahayakan petugas/pasien lain.

• Ventilasi Mekanik: sistem ventilasi yang menggunakan


peralatan mekanik untuk mengalirkan dan mensirkulasi
udara di dalam ruangan secara paksa untuk
menyalurkan/menyedot udara ke arah tertentu sehingga
terjadi tekanan udara positif dan negatif termasuk exhaust
fan, kipas angin berdiri (standing fan) atau duduk.
• Ventilasi campuran (hybrid): sistem ventilasi alamiah ditambah
dengan penggunaan peralatan mekanik untuk menambah
efektifitas penyaluran udara.
Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas
dan keadaan setempat. Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi
suatu fasyankes berdasarkan kondisi lokal yaitu struktur
bangunan, iklim – cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana
dan kualitas udara luar ruangan serta perlu dilakukan
monitoring dan pemeliharaan secara periodik.
Ventilasi campuran:
Gedung yang tidak menggunakan sistem pendingin udara
sentral, sebaiknya menggunakan ventilasi alamiah dengan
exhaust fan atau kipas angin agar udara luar yang segar dapat
masuk ke semua ruangan di gedung tersebut. Pintu, jendela
maupun langit-langit di ruangan di mana banyak orang
berkumpul seperti ruang tunggu, hendaknya dibuka maksimal.
Sistem ventilasi campuran (alamiah dengan mekanik), yaitu
dengan penggunaan exhaust fan/kipas angin yang dipasang
dengan benar dan dipelihara dengan baik, dapat membantu
untuk mendapatkan dilusi yang adekuat, bila dengan ventilasi
alamiah saja tidak dapat mencapai rate ventilasi yang cukup.
Ruangan dengan jendela terbuka dan exhaust fan/kipas angin
cukup efektif untuk mendilusi udara ruangan dibandingkan
dengan ruangan dengan jendela terbuka saja atau ruangan
tertutup. Penggunaan exhaust fan sebaiknya udara
pembuangannya tidak diarahkan ke ruang tunggu pasien atau
tempat lalu lalang orang. Bila area pembuangan tidak
memungkinkan, pembuangan udara dihisap dengan exhaust
fan, dialirkan melalui ducting dan area pembuangannya
dilakukan di luar area lalu lalang orang (≥ 25 feet).
Dengan ventilasi campuran, jenis ventilasi mekanik yang akan
digunakan sebaiknya di sesuaikan dengan kebutuhan yang
ada dan diletakkan pada tempat yang tepat. Kipas angin yang
dipasang pada langit-langit (ceiling fan) tidak dianjurkan.
Sedangkan kipas angin yang berdiri atau diletakkan di meja
dapat mengalirkan udara ke arah tertentu, hal ini dapat
berguna untuk PPI TB bila dipasang pada posisi yang tepat,
yaitu dari petugas kesehatan ke arah pasien.

Gambar 22. Tata Letak Furniture Ruang Periksa Pasien dan Alur
Udara

Pemasangan Exhaust fan yaitu kipas yang dapat langsung


menyedot udara keluar dapat meningkatkan ventilasi yang
sudah ada di ruangan. Sistem exhaust fan yang dilengkapi
saluran udara keluar, harus dibersihkan secara teratur,
karena dalam saluran tersebut sering terakumulasi debu dan
kotoran, sehingga bisa tersumbat atau hanya sedikit udara
yang dapat dialirkan.
Optimalisasi ventilasi dapat dicapai dengan memasang jendela
yang dapat dibuka dengan maksimal dan menempatkan jendela
pada sisi tembok ruangan yang berhadapan, sehingga terjadi
aliran udara silang (crossventilation). Meskipun fasyankes
mempertimbangkan untuk memasang sistem ventilasi mekanik,
ventilasi alamiah perlu diusahakan semaksimal mungkin.
Yang direkomendasikan adalah ventilasi campuran:
• Usahakan agar udara luar segar dapat masuk ke semua
ruangan.
• Dalam ventilasi campuran, ventilasi alami perlu
diusahakan semaksimal mungkin.
• Penambahan dan penempatan kipas angin untuk
meningkatkan laju pertukaran udara harus
memperhatikan arah aliran udara yang dihasilkan.
• Mengoptimalkan aliran udara.
• Menyalakan kipas angin selama masih ada orang-
orang di ruangan tersebut (menyalakan kipas angin bila
ruangan digunakan).
Pembersihan dan perawatan:
• Gunakan lap lembab untuk membersihkan debu dan
kotoran dari kipas angin.
• Perlu ditunjuk staf yang ditugaskan dan bertanggung
jawab terhadap kondisi kipas yang masih baik, bersih dll.
• Periksa ventilasi alamiah secara teratur (minimal
sekali dalam sebulan)/dirasakan ventilasi sudah kurang
baik.
• Catat setiap waktu pembersihan yang dilakukan dan
simpan dengan baik.

Gambar 23. Ruang tunggu yang memanfaatkan ventilasi alami


Penggunaan ventilasi alamiah dengan kipas angin masih ada
beberapa kelemahan, selain keuntungan yang sudah dijelaskan
diatas.
Beberapa keuntungan dan kelemahan penggunaan sisten
ventilasi ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 1. Kelebihan dan kelemahan penggunaan system
ventilasi campuran

Ventilasi mekanik:
Pada keadaan tertentu diperlukan sistem ventilasi mekanik,
bila sistem ventilasi alamiah atau campuran tidak adekuat,
misalnya pada gedung tertutup.
Sistem Ventilasi Sentral pada gedung tertutup adalah sistem
mekanik yang mensirkulasi udara didalam suatu gedung.
Dengan menambahkan udara segar untuk mendilusi udara yang
ada, sistem ini dapat mencegah penularan TB. Tetapi dilain
pihak, sistem seperti ini juga dapat menyebarkan partikel
yang mengandung M.Tb ke ruangan lain dimana tidak ada
pasien TB, karena sistem seperti ini meresirkulasi udara
keseluruh gedung. Persyaratan sistem ventilasi mekanik yang
dapat mengendalikan penularan TB adalah:
• Harus dapat mengalirkan udara bersih dan
menggantikan udara yang terkontaminasi di dalam
ruangan.
• Harus dapat menyaring (dengan pemasangan filter)
partikel yang infeksius dari udara yang di resirkulasi.
Bila perlu ditambahkan lampu UV untuk mendesinfeksi udara
yang di resirkulasi.
8) Pengelolaan alat medik reused dan disposable
Pengelolaan alat medik bersih dengan yang kotor harus
terpisah.Persiapan pemasangan infus dan suntikan dilakukan di
ruang bersih dan terpisah dari ruang prosedur kotor (pencucian
pispot pasien, alat terkontaminasi, dan lain-lain). Harus
tersedia ruangan sterilisasi alat medik. Semua alat steril harus
disimpan di lemari/wadah tertutup dan bebas debu dan
kuman. Alat disposable tidak boleh diproses/dicuci, tetapi
langsung dibuang di tempat sampah sesuai jenis limbahnya, baik
yang infeksius maupun atau non-infeksius.
9) Pengelolaan makanan
a. Pengelolaan makanan pasien harus dilakukan oleh tenaga
terlatih. Semua permukaan di dapur harus mudah
dibersihkan dan tidak mudah menimbulkan jamur.
b. Tempatpenyimpanan bahan makanan kering harus memenuhi
syarat penyimpanan bahan makanan, yaitu bahan makanan
tidak menempel ke lantai, dinding maupun ke atap.
c. Makanan hangat harus dirancang agar bisa segera dikonsumsi
pasien sebelum menjadi dingin. Makanan dirancang higienis
hingga siap dikonsumsi pasien.
5. PENGELOLAAN LIMBAH
a) Risiko Limbah
Rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lain sebagai sarana
pelayanan kesehatan adalah tempat berkumpulnya orang sakit
maupun sehat, dapat menjadi tempat sumber penularan penyakit
serta memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan
gangguan kesehatan, juga menghasilkan limbah yang dapat
menularkan penyakit. Untuk menghindari risiko tersebut maka
diperlukan pengelolaan limbah di fasilitas pelayanan kesehatan.
b) Jenis Limbah
Fasilitas pelayanan kesehatan harus mampu melakukan
minimalisasi limbah yaitu upaya yang dilakukan untuk
mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan dengan cara
mengurangi bahan (reduce), menggunakan kembali limbah (reuse)
dan daur ulang limbah (recycle).
Tabel 2. Jenis wadah dan label limbah medis padatsesuai kategorinya

c) Tujuan Pengelolaan Limbah


1) Melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan
masyarakat sekitar fasilitas pelayanan kesehatan dari
penyebaran infeksi dan cidera.
2) Membuang bahan-bahan berbahaya (sitotoksik, radioaktif, gas,
limbah infeksius, limbah kimiawi dan farmasi) dengan aman.
d) Proses Pengelolaan Limbah
Proses pengelolaan limbah dimulai dari identifikasi, pemisahan,
labeling, pengangkutan, penyimpanan hingga
pembuangan/pemusnahan.

1) Identifikasi jenis limbah:


Secara umum limbah medis dibagi menjadi padat, cair, dan
gas. Sedangkan kategori limbah medis padat terdiridari benda
tajam, limbah infeksius, limbah patologi, limbah sitotoksik,
limbah tabung bertekanan, limbah genotoksik, limbah farmasi,
limbah dengan kandungan logam berat, limbah kimia, dan limbah
radioaktif.
2) Pemisahan Limbah
Pemisahan limbah dimulai pada awal limbah dihasilkan
dengan memisahkan limbah sesuai dengan jenisnya.
Tempatkan limbah sesuai dengan jenisnya, antara lain:
 Limbah infeksius: Limbah yang terkontaminasi darah dan
cairan tubuh masukkan kedalam kantong plastik berwarna
kuning. Contoh: sampel laboratorium, limbah patologis
(jaringan, organ, bagian dari tubuh, otopsi, cairan tubuh,
produk darah yang terdiri dari serum, plasma, trombosit
dan lain-lain), diapers dianggap limbah infeksius bila
bekas pakai pasien infeksi saluran cerna, menstruasi
dan pasien dengan infeksi yang di transmisikan lewat
darah atau cairan tubuh lainnya.
 Limbah non-infeksius: Limbah yang tidak terkontaminasi
darah dan cairan tubuh, masukkan ke dalam kantong
plastik berwarna hitam.
Contoh: sampah rumah tangga, sisa makanan, sampah
kantor.
 Limbah benda tajam: Limbah yang memiliki permukaan
tajam, masukkan kedalam wadah tahan tusuk dan air.
Contoh: jarum, spuit, ujung infus, benda yang
berpermukaan tajam.
 Limbah cair segera dibuang ke tempat pembuangan/pojok
limbah cair (spoelhoek).
3) Wadah tempat penampungan sementara limbah
infeksius berlambang biohazard. Wadah limbah di ruangan:
 Harus tertutup
 Mudah dibuka dengan menggunakan pedal kaki
 Bersih dan dicuci setiap hari
 Terbuat dari bahan yang kuat, ringan dan tidak berkarat
 Jarak antar wadah limbah 10-20 meter, diletakkan di
ruang tindakan dan tidak boleh di bawah tempat tidur pasien
 Ikat kantong plastik limbah jika sudah terisi ¾ penuh
4) Pengangkutan
 Pengangkutan limbah harus menggunakan troli khusus
yang kuat, tertutup dan mudah dibersihkan, tidak boleh
tercecer, petugas menggunakan APD ketika mengangkut
limbah.
 Lift pengangkut limbah berbeda dengan lift pasien, bila
tidak memungkinkan atur waktu pengangkutan limbah
5) Tempat Penampungan Limbah Sementara
 Tempat Penampungan Sementara (TPS) limbah sebelum
dibawa ke tempat penampungan akhir pembuangan.
 Tempatkan limbah dalam kantong plastik dan ikat dengan
kuat.
 Beri label pada kantong plastik limbah.
 Setiap hari limbah diangkat dari TPS minimal 2 kali sehari.
 Mengangkut limbah harus menggunakan kereta dorong
khusus.
 Kereta dorong harus kuat, mudah dibersihkan, tertutup
limbah tidak boleh ada yang tercecer.
 Gunakan APD ketika menangani limbah.
 TPS harus di area terbuka, terjangkau oleh kendaraan,
aman dan selalu dijaga kebersihannya dan kondisi kering.
6) Pengolahan Limbah
 Limbah infeksius dimusnahkan dengan insenerator.
 Limbah non-infeksius dibawa ke tempat pembuangan
akhir (TPA).
 Limbah benda tajam dimusnahkan dengan insenerator.
Limbah cair dibuang ke spoelhoek.
 Limbah feces, urin, darah dibuang ke tempat
pembuangan/pojok limbah (spoelhoek).
7) Penanganan Limbah Benda Tajam/ Pecahan Kaca
 Janganmenekuk atau mematahkan benda tajam.
 Jangan meletakkan limbah benda tajam sembarang tempat.
 Segera buang limbah benda tajam ke wadah yang tersedia
tahan tusuk dan tahan air dan tidak bisa dibuka lagi.
 Selalu buang sendiri oleh si pemakai.
 Tidak menyarungkan kembali jarum suntik habis
pakai (recapping).
 Wadah benda tajam diletakkan dekat lokasi tindakan.
 Bila menangani limbah pecahan kaca gunakan sarung
tangan rumah tangga.
 Wadah Penampung Limbah Benda Tajam
- Tahan bocor dan tahan tusukan
- Harus mempunyai pegangan yang dapat dijinjing
dengan satu tangan
- Mempunyai penutup yang tidak dapat dibuka lagi
- Bentuknya dirancang agar dapat digunakan dengan
satu tangan
- Ditutup dan diganti setelah ¾ bagian terisi dengan limbah
- Ditangani bersama limbah medis

Gambar 25. Wadah Limbah Laboratorium

Gambar 26. Wadah Tahan Tusuk


8) Pembuangan Benda Tajam
 Wadah benda tajam merupakan limbah medis dan
harus dimasukkan ke dalam kantong medis sebelum
insinerasi.
 Idealnya semua benda tajam dapat diinsinersi, tetapi bila
tidak
mungkin dapat dikubur dan dikapurisasi bersama limbah
lain.

- Apapun metode yang digunakan haruslah tidak


memberikan kemungkinan perlukaan.

Gambar 27. Alur Tata Kelola Limbah


Debu sisa pembakaran dari hasil incinerator dapat menimbulkan
resiko, debu hasil pembakaran incinerator dapat terdiri dari logam
berat dan bahan toksik lain sehingga menimbulkan situasi yang
menyebabkan sintesa DIOXIN dan FURAN akibat dari incinerator
sering bersuhu area 200-450ᵒC. Selain itu sisa pembakaran jarum
dan gelas yang sudah terdesinfeksi tidak bisa hancur menjadi debu
dapat masih menimbulkan resiko pajanan fisik.
Metoda penanganan autoclave dan disinfeksi dengan uap panas
juga dapat menimbulkan produk hazard yang perlu penanganan
yang lebih baik. Pada prinsipnya, untuk menghindari pajanan fisik
maka perlu perawatan dan operasional incinerator yang baik

6. PENATALAKSANAAN LINEN
Linen terbagi menjadi linen kotor dan linen terkontaminasi.
Linen terkontaminasi adalah linen yang terkena darah atau
cairan tubuh lainnya, termasuk juga benda tajam.
Penatalaksanaan linen yang sudah digunakan harus dilakukan
dengan hati-hati. Kehatian-hatian ini mencakup penggunaan
perlengkapan APD yang sesuai dan membersihkan tangan secara
teratur sesuai pedoman kewaspadaan standar dengan prinsip-
prinsip sebagai berikut:
a) Fasilitas pelayanan kesehatan harus membuat SPO penatalaksanaan
linen. Prosedur penanganan, pengangkutan dan distribusi linen
harus jelas,aman dan memenuhi kebutuhan pelayanan.
b) Petugas yang menangani linen harus mengenakan APD (sarung
tangan rumah tangga, gaun, apron, masker dan sepatu tertutup).
c) Linen dipisahkan berdasarkan linen kotor dan linen terkontaminasi
cairan tubuh, pemisahan dilakukan sejak dari lokasi penggunaannya
oleh perawat atau petugas.
d) Minimalkan penanganan linen kotor untuk mencegah kontaminasi ke
udara dan petugas yang menangani linen tersebut. Semua linen kotor
segera dibungkus/dimasukkan ke dalam kantong kuning di lokasi
penggunaannya dan tidak boleh disortir atau dicuci di lokasi dimana
linen dipakai.
e) Linen yang terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh lainnya
harus dibungkus, dimasukkan kantong kuning dan
diangkut/ditranportasikan secara berhati-hati agar tidak terjadi
kebocoran.
f) Buang terlebih dahulu kotoran seperti faeces ke washer bedpan,
spoelhoek atau toilet dan segera tempatkan linen terkontaminasi ke
dalam kantong kuning/infeksius. Pengangkutan dengan troli yang
terpisah, untuk linen kotor atau terkontaminasi dimasukkan ke
dalam kantong kuning. Pastikan kantong tidak bocor dan lepas
ikatan selama transportasi.Kantong tidak perlu ganda.
g) Pastikan alur linen kotor dan linen terkontaminasi sampai di laundry
TERPISAH dengan linen yang sudah bersih.
h) Cuci dan keringkan linen di ruang laundry. Linen terkontaminasi
seyogyanya langsung masuk mesin cuci yang segera diberi
disinfektan.
i) Untuk menghilangkan cairan tubuh yang infeksius pada linen
dilakukan melalui 2 tahap yaitu menggunakan deterjen dan
selanjutnya dengan Natrium hipoklorit (Klorin) 0,5%. Apabila
dilakukan perendaman maka harus diletakkan di wadah tertutup
agar tidak menyebabkan toksik bagi petugas.

Gambar Linen Siap Pakai

Gambar Pengangkutan Linen terkontaminasi; Kantong Linen


terkontaminasi
7. PERLINDUNGAN KESEHATAN PETUGAS
Lakukan pemeriksaan kesehatan berkala terhadap semua
petugas baik tenaga kesehatan maupun tenaga nonkesehatan.
Fasyankes harus mempunyai kebijakan untuk penatalaksanaan akibat
tusukan jarum atau benda tajam bekas pakai pasien, yang berisikan
antara lain siapa yang harus dihubungi saat terjadi kecelakaan dan
pemeriksaan serta konsultasi yang dibutuhkan oleh petugas yang
bersangkutan.
Petugas harus selalu waspada dan hati-hati dalam bekerja
untuk mencegah terjadinya trauma saat menangani jarum, scalpel dan
alat tajam lain yang dipakai setelah prosedur, saat membersihkan
instrumen dan saat membuang jarum.
Jangan melakukan penutupan kembali (recap) jarum yang telah
dipakai, memanipulasi dengan tangan, menekuk, mematahkan atau
melepas jarum dari spuit. Buang jarum, spuit, pisau,scalpel,
dan

peralatan tajam habis pakai lainnya kedalam wadah khusus yang


tahan tusukan/tidak tembus sebelum dimasukkan ke insenerator.
Bila wadah khusus terisi ¾ harus diganti dengan yang baru untuk
menghindari tercecer.
Apabila terjadi kecelakaan kerja berupa perlukaan seperti
tertusuk jarum suntik bekas pasien atau terpercik bahan infeksius
maka perlu pengelolaan yang cermat dan tepat serta efektif untuk
mencegah semaksimal mungkin terjadinya infeksi yang tidak diinginkan.
Sebagian besar insiden pajanan okupasional adalah infeksi
melalui darah yang terjadi dalam fasilitas pelayanan kesehatan
(fasyankes). HIV, hepatitis B dan hepatitis C adalah patogen melalui
darah yang berpotensi paling berbahaya, dan kemungkinan pajanan
terhadap patogen ini merupakan penyebab utama kecemasan bagi
petugas kesehatan di seluruh dunia.
Risiko mendapat infeksi lain yang dihantarkan melalui darah
(bloodborne) seperti hepatitis B dan C jauh lebih tinggi dibandingkan
mendapatkan infeksi HIV. Sehingga tatalaksana pajanan okupasional
terhadap penyebab infeksi tidak terbatas pada PPP HIV saja.
Di seluruh fasyankes, kewaspadaan standar merupakan layanan
standar minimal untuk mencegah penularan patogen melalui darah.
7.1 TATALAKSANA PAJANAN
Tujuan tatalaksana pajanan adalah untuk mengurangi waktu
kontakdengan darah, cairan tubuh, atau jaringan sumber
pajanan dan untuk membersihkan dan melakukan dekontaminasi
tempat pajanan. Tatalaksananya adalah sebagai berikut:
a. Bila tertusuk jarum segera bilas dengan air mengalir dan
sabun/cairan antiseptik sampai bersih
b. Bila darah/cairan tubuh mengenai kulit yang utuh tanpa
luka atau tusukan, cuci dengan sabun dan air mengalir
c. Bila darah/cairan tubuh mengenai mulut, ludahkan dan
kumur- kumur dengan air beberapa kali.
d. Bila terpecik pada mata, cucilah mata dengan air mengalir
(irigasi), dengan posisi kepala miring kearah mata yang
terpercik.
e. Bila darah memercik ke hidung, hembuskan keluar dan
bersihkan dengan air.
f. Bagian tubuh yang tertusuk tidak boleh ditekan dan dihisap
mulut.
7.2 TATALAKSANA PAJANAN BAHAN INFEKSIUS DI TEMPAT KERJA

Langkah 1: Cuci
a. Tindakan darurat pada bagian yang terpajan seperti tersebut di
atas.
b. Setiap pajanan dicatat dan dilaporkan kepada yang
berwenang yaitu atasan langsung dan Komite PPI atau K3.
Laporan tersebut sangat penting untuk menentukan
langkah berikutnya. Memulai PPP sebaiknya secepatnya
kurang dari 4 jam dan tidak lebih dari 72 jam, setelah 72 jam
tidak dianjurkan karena tidak efektif.
Langkah 2: Telaah pajanan
a. Pajanan
Pajanan yang memiliki risiko penularan infeksi adalah:
 Perlukaan kulit
 Pajanan pada selaput mukosa
 Pajanan melalui kulit yang luka
b. Bahan Pajanan
Bahan yang memberikan risiko penularan infeksi adalah:
 Darah
 Cairan bercampur darah yang kasat mata
 Cairan yang potensial terinfeksi: semen, cairan vagina,
cairan serebrospinal, cairan sinovia, cairan pleura,
cairan peritoneal, cairan perickardial, cairanamnion
 Virus yang terkonsentrasi
c. Status Infeksi
Tentukan status infeksi sumber pajanan (bila belum
diketahui), dilakukan pemeriksaan :
 Hbs Ag untuk Hepatitis B
 Anti HCV untuk Hepatitis C
 Anti HIV untuk HIV
 Untuk sumber yang tidak diketahui, pertimbangkan
adanya
 Faktor risiko yang tinggi atas ketiga infeksi di atas
d. Kerentanan
Tentukan kerentanan orang yang terpajan dengan cara:
 Pernahkan mendapat vaksinasi Hepatitis B.
 Status serologi terhadap HBV (titer Anti HBs ) bila
pernah mendapatkan vaksin.
 PemeriksaanAnti HCV (untuk hepatitis C)
 Anti HIV (untuk infeksi HIV)
7.3 LANGKAH DASAR TATALAKSANA KLINIS PPP HIV PADA KASUS
KECELAKAAN KERJA

1. Menetapkan memenuhi syarat untuk PPP HIV.


2. Memberikan informasi singkat mengenai HIV untuk
mendapatkan persetujuan (informed consent).
3. Memastikan bahwa korban tidak menderita infeksi HIV
dengan melakukan tes HIV terlebih dahulu.
4. Pemberian obat-obat untuk PPP HIV.
5. Melaksanakan evaluasi laboratorium.
6. Menjamin pencatatan.
7. Memberikan follow-up dan dukungan
1. Menetapkan Memenuhi Syarat Untuk PPP HIV
Evaluasi memenuhi syarat untuk PPP HIV adalah meliputi
penilaian keadaan berikut:
 Waktu terpajan
 Status HIV orang terpajan
 Jenis dan risiko pajanan
 Status HIV sumber pajanan
1.1 Waktu memulai PPP HIV
PPP harus diberikan secepat mungkin setelah pajanan,
dalam 4 jam pertama dan tidak boleh lebih dari 72 jam
setelah terpajan. Dosis pertama atau bahkan lebih baik
lagi paket PPP HIV harus tersedia di fasyankes untuk
orang yang potensial terpajan setelah sebelumnya
dilakukan tes HIV dengan hasil negatif.
1.2 Infeksi HIV yang sebelumnya sudah ada
Kita harus selalu menyelidiki kemungkinan orang yang
terpajan sudah mendapat infeksi HIV sebagai bagian dari
proses penilaian memenuhi syarat untuk PPP, dan jika
orang tersebut telah mendapat infeksi HIV sebelumnya,
maka PPP tidak boleh diberikan dan tindakan pengobatan
dan semua paket perawatan seperti skrining TB, IMS,
penentuan stadium klinis dll sesuai dengan pedoman
ARV mutlak perlu dilakukan.
1.3 Penilaian pajanan HIV
Orang yang terpajan pada membran mukosa (melalui
pajanan seksual atau percikan ke mata, hidung atau
rongga mulut) atau kulit yang tidak utuh (melalui
tusukan perkutaneus atau abrasi kulit) terhadap cairan
tubuh yang potensial infeksius dari sumber terinfeksi
HIV atau yang tidak diketahui statusnya harus diberikan
PPP HIV.Jenis pajanan harus dikaji lebih rinci untuk
menentukan risiko penularan. Dokter dapat menerapkan
algoritma penilaian risiko untuk membantu dalam
proses penentuan memenuhi syaratnya.
1.4 Penilaian status HIV dari sumber pajanan
Mengetahui status HIV dari sumber pajanan
sangat membantu. Pada kasus kekerasan seksual,
sulit untuk mengidentifikasi pelaku dan memperoleh
persetujuan untuk dites. Jika sumber pajanan HIV
negatif, PPP jangan diberikan. Pemberian informasi
singkat mengenai HIV dan tes HIV yang standar harus
diikuti dalam melakukan testing terhadap sumber
pajanan, yang meliputi persetujuan tes HIV (dapat
diberikan secara verbal) dan menjaga kerahasiaan hasil
tes.
Tidak ada formula atau mekanisme yang sederhana
dapat diterapkan untuk menentukan kemungkinan
bahwa sumber yang tidak diketahui atau dites terinfeksi
HIV.Karena itu, penilaian status HIV dari sumber dan
keputusan tentang memenuhi syarat PPP harus
berdasarkan data epidemiologi yang ada.
2. Informasi Singkat Untuk PPP HIV
Orang yang terpajan harus mendapat informasi singkat
tentang aspek spesifik PPP, idealnya pada saat mereka
melaporkan kejadian pajanan. Informasi tersebut harus
meliputi informasi tentang pentingnya adherence dan
kemungkinan efek samping serta nasehat tentang risiko
penularan sebagai bagian dari konseling. Informasi singkat
tersebut harus didukung dengan tindak lanjut layanan
dukungan yang tepat untuk memaksimalkan kepatuhan
terhadap paduan obatPPP HIV dan mengelola efek samping.
Pemberian informasi untuk menurunkan risiko juga perlu
untuk mencegah penularan HIV kepada mitra seksual dan
penerima darah donor, jika orang terpajan telah menjadi
terinfeksi. Konseling
penurunan risiko harus diberikan selama kunjungan awal
dan diperkuat pada kunjungan selanjutnya. Penggunaan
kondom dan/atau tindakan percegahan lain harus didorong
sampai tes HIV setelah 6 bulan hasilnya negatif.
Memberitahukan kepada korban mengenai perlunya
menggunakan kondom jika berhubungan seks setelah
seseorang terpajan secara okupasional atau kekerasan
seksual mungkin sulit karena merupakan hal yang sensitif,
tetapi pemberitahuan ini penting.
Orang yang terpajan mungkin memerlukan dukungan
emosional pada masa setelah pajanan.Konseling psikososial
dan trauma dianjurkan untuk orang yang mendapat kekerasan
seksual, maupun yang terpajan okupasional.
Orang yang sudah menerima informasi (syarat, risiko serta
manfaat) yang tepat tentang HIV dan PPP dapat
memberikan persetujuan secara verbal. Jika pasien menolak,
harus menandatangani formulir penolakan.
Informasi yang diberikan sebagai bagian dari proses
persetujuan harus disesuaikan dengan usia, ketrampilan
membaca dan tingkat pendidikan. Dalam hal kasus anak-
anak atau kasus lain yang kurang dalam kapasitas untuk
menyetujui, maka seseorang (seperti anggota keluarga atau
wali) dapat menandatangani surat persetujuannya.
3. Pemberian Obat-Obat Untuk PPP
3.1 Paduan obat ARV untuk PPP HIV
Pemilihan obat antiretroviral
Paduan obat pilihan yang diberikan untuk PPP adalah 2
obat NRTI + 1 obat PI (LPV/r).
Tabel 3. Paduan obat ARV untuk PPP

Tabel 4. Dosis obat ARV untuk PPP HIV bagi orang dewasa
dan remaja

Penelitian di negara maju menunjukkan bahwa adherence


terhadap pengobatan yang sangat baik (> 95%) berkaitan
dengan perbaikan dampak pada virologi, imunologi dan
klinis. Meskipun data adherenceuntuk PPP tidak ada,
tetapi besarnya efek positif dari derajat adherence yang
tinggi pada umumnya dianggap serupa. Meskipun PPP
diberikan untuk periode yang relatif pendek (4 minggu),
pemberian informasi adherence dan dukungan masih
penting untuk memaksimalkan efektifitas obat.
3.2 Efek samping
Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah mual
dan lelah. Orang harus mengerti bahwa efek samping
yang timbul jangan disalah tafsirkan sebagai gejala
serokonversi HIV.
Penanganan efek samping dapat berupa obat (misalnya
anti mual) atau untuk mengurangi efek samping
menganjurkan minum obat bersama makanan.
3.3 Profilaksis Pasca Pajanan untuk Hepatitis B
Sebelum memberi obat PPP untuk hepatitis B, perlu
dikaji keadaan berikut:
 Pernahkah mendapat vaksinasi hepatitis B
 Lakukan pemeriksaan HBsAg
 Lakukan pemeriksaan anti HBs jika pernah mendapat
vaksin

Tabel 5. Profilaksis Pasca Pajanan untuk Hepatitis B


Lama pemberian obat untuk PPP HIV
Lama pemberian obat ARV untuk PPP adalah 28 hari.
3.4 Strategi pemberian obat Dosis awal
Dosis pertama PPP harus selalu ditawarkan secepat
mungkin setelah pajanan, dan jika perlu, tanpa
menunggu konseling dan tes HIV atau hasil tes dari
sumber pajanan.Strategi ini sering digunakan jika
yang memberikan perawatan awal adalah bukan
ahlinya, tetapi selanjutnya dirujuk kepada dokter ahli
dalam waktu singkat.
Langkah selanjutnya setelah dosis awal diberikan,
adalah agar akses terhadap keseluruhan supplai obat
PPP selama 28 hari dipermudah.
3.5 Paket awal PPP HIV
Paket awal ini cocok disediakan di unit gawat darurat.
Paket ini biasanya berisi obat yang cukup untuk
beberapa hari pertama pemberian obat untuk PPP (1
– 7 hari) dan diresepkan atas kondisi bahwa orang
tersebut akan kembali ke klinik yang ditunjuk
dalam
waktu 1-3 hari untuk menjalani penilaian risiko dan
konseling dan tes HIV serta untuk memperoleh sisa
obat. Strategi ini sering disukai karena pada umumnya
sedikit obat yang akan terbuang. Contoh, jika
seseorang memutuskan untuk tidak melanjutkan PPP
HIV, sisa obat yang seharusnya diberikan tidak akan
terbuang. Selain itu, menggunakan paket awal PPP
HIV berarti bahwa fasilitas yang tidak mempunyai
dokter ahli hanya perlu menyediakan sedikit obat.
Manfaat lainnya adalah bahwa pada kunjungan follow-
up dapat mendiskusikan mengenai adherence terhadap
pengobatan.
Perhatian utama terkait dengan pemberian awal PPP
HIV sebelum hasil tes HIV diketahui adalah risiko
timbulnya resistensi terhadap terapi antiretroviral
diantara orang yang tidak menyadari dirinya
terinfeksi HIV dan yang diberikan paduan 2-obat.
Resistensi sedikit kemungkinan terjadi dengan paket
awal PPP HIV yang diberikan dalam waktu singkat. PPP
HIV dihentikan jika selanjutnya orang terpajan
diketahui HIV positif.
3.6 Penambahan dosis
Banyak program PPPHIV memilih untuk memberikan
obat selama 2 minggu pada setiap kunjungan. Dan
seperti pada paket awal PPP HIV, pada strategi
penambahan dosis ini juga mengharuskan orang
datang kembali untuk pemantauan adherence, efek
samping obat dan memberikan kesempatan untuk
tambahan konseling dan dukungan.
3.7 Dosis penuh 28 hari
Pada beberapa keadaan, pemberian dosis penuh 28
hari obat PPP HIV akan meningkatkan kemungkinan
dilengkapinya lama pengobatan, misalnya, yang tinggal
di pedesaan. Kerugian utama dari strategi ini adalah
mengurangi motivasi untuk kunjungan ulang.
3.8 Keahlian (kompetensi) yang diperlukan untuk
meresepkan obat untuk PPP
Obat PPP HIV awal, dapat diberikan oleh
dokter/petugas kesehatan yang ditunjuk/bertugas dan
pemberian obat selanjutnya dilakukan di klinik PDP.
3.9 Obat-obat lain
Paket PPP HIV sebaiknya juga mencakup obat yang
berpotensi dapat meringankan efek samping tersering
dari obat ARV, sehingga dapat meningkatkan
adherence. Misalnya, obat untuk mengurangi mual,
sakit kepala (jika menggunakan zidovudine).
4. Evaluasi Laboratorium
4.1 Tes HIV
Tes antibodi HIV untuk orang terpajan harus
dilakukan, karena PPP tidak diberikan pada orang
yang telah terinfeksi. Orang terinfeksi harus
mendapatkan pengobatan bukan pencegahan. Namun
tes HIV tidak wajib dilakukan dan pemberian PPP HIV
tidak wajib diberikan jika orang terpajan tidak mau
diberikan obat untuk profilaksis. Pemeriksaan tes HIV
dengan tes cepat (rapid) – yang memberikan hasil
dalam 1 jam – merupakan pilihan utama baik
untuk orang terpajan maupun sumber pajanan.
4.2 Pemeriksaan laboratorium lain

Pemeriksaan laboratorium lain harus ditawarkan


sesuai dengan pedoman nasional dan kapasitas
layanan. Pemeriksaan haemoglobin (Hb) perlu
dilakukan, terutama jika memberikan zidovudine
dalam PPP HIV.
Pemeriksaan penyakit yang ditularkan melalui darah
(bloodborne) – seperti Hepatitis B dan C – juga penting
dilakukan, tergantung kepada jenis risiko dan
prevalensi setempat serta kapasitas di layanan.
5. Pencatatan
Setiap layanan PPP harus didokumentasikan dengan
menggunakan pencatatan standar. Di tingkat layanan,
antara lain mencatat kapan dan bagaimana terjadinya
pajanan, mengidentifikasikan keselamatan dan
kemungkinan tindakan pencegahan dan sangat penting
untuk menjaga kerahasiaan klien.
6. Follow-up dan Dukungan
6.1 Follow-up klinis
Orang terpajan dan mendapat PPP harus dilakukan
follow-up dan pemantauan klinis, dengan maksud
untuk memantau adherence dan mengetahui efek
samping obat.Jika memungkinkan, perlu disediakan
nomor telepon kontak yang dapat dihubungi jika
timbul efek samping.
6.2 Follow-up tes HIV
Tes HIV (j i k a ada yang sangat sensitif) berikutnya bagi
orang terpajan dilakukan 4 – 6 minggu setelah pajanan,
tetapi pada umumnya belum cukup waktu untuk
mendiagnosis sero konversi. Sehingga dianjurkan untuk
melakukan tes HIV 3 – 6 bulan setelah pajanan.
Timbulnya sero konversi setelah PPP tidak berarti
bahwa tindakan PPP ini gagal, karena sero konversi
dapat berasal dari pajanan yang sedang berlangsung.
6.3 Follow-up konseling
Selain informasi singkat yang telah dijelaskan
sebelumnya, maka dukungan piskososial yang tepat
dan/atau bantuan pengobatan selanjutnya harus
ditawarkan ke orang terpajan yang menerima PPP.
Orang terpajan harus menyadari layanan dukungan
yang ada dan mengetahui bagaimana untuk
mengaksesnya.
Menyarankan orang terpajan sejak terjadinya pajanan
sampai 6 bulan kedepan, tidak melakukan perilaku
berisiko (penggunaan kondom saat berhubungan seks,
tidak berbagi alat suntik), dan tidak mendonorkan
darah, plasma,organ, jaringan atau air mani.
6.4 Follow-up PPP untuk Hepatitis B
 Lakukan pemeriksaan anti HBs 1-2 bulan setelah
dosis vaksin yang terakhir; anti HBs tidak dapat
dipastikan jika HBIG diberikan dalam waktu 6-8
minggu.
 Menyarankan orang terpajan sejak terjadinya
pajanan sampai 6 bulan kedepan, tidak melakukan
perilaku berisiko (penggunaan kondom saat
berhubungan seks, tidak berbagi alat suntik), dan
tidak mendonorkan darah.
Gambar 30. Alur luka tusuk jarum

8. PENEMPATAN PASIEN
a) Tempatkan pasien infeksius terpisah dengan pasien non infeksius.
b) Penempatan pasien disesuaikan dengan pola transmisi infeksi
penyakit pasien (kontak, droplet, airborne) sebaiknya ruangan
tersendiri.
c) Bila tidak tersedia ruang tersendiri, dibolehkan dirawat bersama
pasien lain yang jenis infeksinya sama dengan menerapkan
sistem cohorting. Jarak antara tempat tidur minimal 1 meter.
Untuk menentukan pasien yang dapat disatukan dalam satu
ruangan, dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Komite atau
Tim PPI.
d) Semua ruangan terkait cohorting harus diberi tanda
kewaspadaan berdasarkan jenis transmisinya (kontak,droplet,
airborne).
e) Pasien yang tidak dapat menjaga kebersihan diri atau
lingkungannya seyogyanya dipisahkan tersendiri.
f) Mobilisasi pasien infeksius yang jenis transmisinya melalui
udara (airborne) agar dibatasi di lingkungan fasilitas pelayanan
kesehatan untuk menghindari terjadinya transmisi penyakit
yang tidak perlu kepada yang lain.
g) Pasien HIV tidak diperkenankan dirawat bersama dengan pasien
TB dalam satu ruangan tetapi pasien TB-HIV dapat dirawat
dengan sesama pasien TB.
9. KEBERSIHAN PERNAPASAN/ETIKA BATUK DAN BERSIN
Diterapkan untuk semua orang terutama pada kasus infeksi
dengan jenis transmisiairborne dan droplet. Fasilitas pelayanan
kesehatan harus menyediakan sarana cuci tangan seperti wastafel
dengan air mengalir, tisu, sabun cair, tempat sampah infeksius
dan masker bedah.Petugas, pasien dan pengunjung dengan gejala
infeksi saluran napas, harus melaksanakan dan mematuhi langkah-
langkah sebagai berikut:
a) Menutup hidung dan mulut dengan tisu atau saputangan
atau lengan atas.
b) Tisu dibuang ke tempat sampah infeksius dan kemudian
mencuci tangan.
Edukasi/Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) dan
fasilitas pelayanan kesehatan lain dapat dilakukan melalui audio
visual, leaflet, poster, banner, video melalui TV di ruang
tungguataulisan oleh petugas.

Gambar 31. Etika Batuk

10. PRAKTIK MENYUNTIK YANG AMAN


Pakai spuit dan jarum suntik steril sekali pakai untuk setiap
suntikan,berlaku juga pada penggunaan vial multidose untuk
mencegah timbulnya kontaminasi mikroba saat obat dipakai pada
pasien lain. Jangan lupa membuang spuit dan jarum suntik
bekas pakai ke tempatnya dengan benar.
Hati-hati dengan pemakaian obat untuk perina dan anestesi
karena berpotensi menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB).
10.1 Rekomendasi Penyuntikan Yang Aman
a. Menerapkan aseptic technique untuk mecegah kontaminasi
alat- alat injeksi (kategori IA).
b. Tidak menggunakan semprit yang sama untuk
penyuntikan lebih dari satu pasien walaupun jarum
suntiknya diganti (kategori IA).
c. Semua alat suntik yang dipergunakan harus satu kali
pakai untuk satu pasien dan satu prosedur (kategori IA).
d. Gunakan cairan pelarut/flushing hanya untuk satu kali
(NaCl, WFI, dll) (kategori IA).
e. Gunakan single dose untuk obat injeksi (bila
memungkinkan) (kategori IB).
f. Tidak memberikan obat-obat single dose kepada lebih dari
satu pasien atau mencampur obat-obat sisa dari
vial/ampul untuk pemberian berikutnya (kategori IA).
g. Bila harus menggunakan obat-obat multi dose, semua alat
yang akan dipergunakan harus steril (kategori IA).
h. Simpan obat-obat multi dose sesuai dengan rekomendasi
dari pabrik yang membuat (kategori IA).
i. Tidak menggunakan cairan pelarut untuk lebih dari 1
pasien (kategori IB)

11. PRAKTIK LUMBAL PUNGSI YANG AMAN


Semua petugas harus memakai masker bedah, gaun bersih,
sarung tangan steril saat akan melakukan tindakan lumbal pungsi,
anestesi spinal/epidural/pasang kateter vena sentral.
Penggunaan masker bedah pada petugas dibutuhkan agar
tidak terjadi droplet flora orofaring yang dapat menimbulkan
meningitis bakterial.
Penyimpanan APD di Ruangan
Penyimpanan seluruh APD yang dibutuhkan di ruangan (sesuai
kebutuhan spesifik setiap ruangan) direkomendasikan dalam sistem
ketersediaan buffer, tersendiri dalam almari kaca, agar mudah diakses bila
dibutuhkan. Apabila tidak ada almari khusus, direkomendasikan diletakkan
dalam almari linen ditempatkan dengan penempatan yang rapi, bersih dan
kering, diberikan label identitas.

C. PENGELOLAAN PERALATAN KESEHATAN/INSTRUMEN PASCA


PAKAI
Pengelolaan alat kesehatan/instrumen pasca pakai secara benar,
tepat, efektif dan efisien merupakan hal yang sangat penting dan harus
dimengerti /dipahami oleh seluruh staf kesehatan pada setiap tingkat,
mulai dan petugas pelayanan kesehatan sampai ke petugas
pembePuskesmasihan dan pemeliharaan sebagai upaya pencegahan
dan pengendalian infeksi di Puskesmas. Proses pencegahan terjadinya
infeksi silang (cross contamination) dari alat/instrumen, setelah
digunakan dengan melakukan dekontaminasi. Berdasarkan
kemungkinan terjadinya infeksi, Dr. E.H.Spaulding mengelompokkan
alat/instrumen pasca pakai menjadi 3 kelompok yaitu :
NO. TINGKAT RISIKO PENGELOLAAN ALAT
1. Risiko Tinggi (critical) adalah Sterilisasi atau
alat yang digunakan menggunakan alat steril
menembus kulit atau rongga sekali pakai (disposable)
tubuh atau pembuluh darah
2. Risiko sedang (semi critical) Disinfeksi tingkat tinggi
adalah alat yang digunakan (DTT)
pada mukosa atau kulit yang
tidak utuh
3. Risiko rendah (non critical) Disinfeksi tingkat rendah
adalah alat yang digunakan atau cuci bersih
pada kulit yang utuh/ pada
permukaan kulit
Dekontaminasi adalah proses untuk menghilangkan kotoran,
komponen organik dan mikroorganisme patogen dan alat
kesehatan/instrumen sehingga aman untuk pengelolaan selanjutnya.
Proses dekontaminasi meliputi perendaman,pembersihan, pencucian,
disinfeksi, dan sterilisasi.
Alat kesehatan/instrumen pasca pakai setelah digunakan untuk
tindakan medis dan atau tindakan keperawatan harus segera dilakukan
perendaman dan pencucian dengan menggunakan larutan disinfektan
yang sesuai (jenis, konsentrasi dan lama perendaman), kemudian bilas
dengan air mengalir dan keringkan.
Dalam melaksanakan kegiatan tersebutt harus menggunakan APD (alat
pelindung diri) sesuai ketentuan. Tujuan dari proses tersebut adalah :
- Sebagai pemutus mata rantai infeksi
- Meminimalkan dan mengisolasi potensi kontaminasi
- Merupakan langkah awal (first step) universal precaution yang perlu
dilaksanakan
- Dikerjakan pada setiap tahapan kegiatan pelayanan sterilisasi
Disinfeksi adalah suatu proses untuk menghilangkan sebagian atau
semua mikroorganisme dari benda/alat kesehatan, kecuali terhadap
endospora bakteri, dengan sistem panas (termal) atau kimia.
Disinfeksi tingkat tinggi (DTT) dapat dilakukan apabila
alat/instrumen dengan kategori semi kritikal, segera digunakan dan
tidak memungkinkan bila dilakukan sterilisasi. DTT dapat dilakukan
dengan cara panas, yaitu dengan direbus selama 20 menit atau dengan
larutan kimia/disinfektan yang sesuai.
Disinfektan adalah bahan/zat kimia yang digunakan untuk
menghambat/membunuh virus dan mikroorganisme patogen.
Antiseptik adalah disinfektan yang digunakan pada permukaan kulit
dan membran mukosa. Disinfektan dan antiseptik yang digunakan di
Puskesmas disediakan oleh gudang obat.
Berdasarkan daya hambat/bunuh terhadap mikroorganisme,
disinfektan dikelompokkan yaitu:

NO. KLAS KETERANGAN


1. HLD (High Level Disinfektan yang berpotensi
Disinfectan) menghancurkan / membunuh semua
bakteri bentuk vegetatif; myco-bacteria,
jamur; virus ukuran kecil dan sedang,
lipid dan non lipid, kecuali sejumlah
spora bakteri.
Contoh : Glutaraldehide 2% pH 7,5-8,5;
H2O2 6%; Formaldehide 8% dalam
alkohol 70%;
2. ILD (Intermediate Disinfektan yang berpotensi
Level Disinfectan ) menghancurkan / membunuh semua
bakteri bentuk vegetatif; mycobacteria,
jamur; virus ukuran kecil. sedang, lipid
dan non lipid, tetapi tidak sensitif
terhadap spora bakteri.
Contoh : Alkohol 76%-90% ; Chlorine;
Formaldehide 4-8% dalam air
3. LLD (Low Level Disinfektan yang berpotensi
Disinfectan) menghancurkan / membunuh semua
bakteri bentuk vegetatif; beberapa
jamur; virus (lipid) seperti Hepatitis B;
C dan HIV, tetapi tidak sensitif untuk
mycobacteria atau spora bakteri.
Contoh : Formaldehide konsetrasi <4%
dalam air, disinfektan golongan
amonium kwartenair.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas/potensi disinfektan


adalah:

1. Konsentrasi disinfektan; lama paparan/perendaman; suhu, pH


(tingkat keasaman atau kebasaan)

2. Tipe dan jumlah mikroorganisme (misal : Mycobacterium tuberculose


relatif lebih tahan dibanding dengan mikroorganisme vegetatif)

3. Tingkat kebersihan alat/instrumen; pembersihan yang kurang


adekuat menyebabkan masih adanya kontaminan/materi organik.
Interaksi antara kontaminan organik (bio-burden) dengan zat aktif
dapat menurunkan aktivitas disinfektan.
4. Tingkat kesadahan air (hardness water), adanya kandungan yang
mineral tinggi seperti kalsium atau magnesium dapat berinteraksi
dengan zat aktif disinfektan sehingga menurunkan aktivitasnya.

Sterilisasi adalah suatu proses untuk menghilangkan seluruh


mikroorganisme (bakteri, virus, fungi, parasit) dan benda/alat
kesehatan, termasuk endospora bakteri melalui cara fisika atau kimia.
Tujuan adanya Sterilisasi Sentral di Puskesmas adalah :

1. Menurunkan angka kejadian infeksi


2. Membantu mencegah serta menanggulangi infeksi nosokomial.
3. Efisiensi investasi, instalasi dan pemeliharaan serta penggunaan
sumber daya (SDM, peralatan, sarana prasarana lain).

Metode sterilisasi :

Ada beberapa metode sterilisasi yang digunakan di Puskesmas yaitu:

1. Sterilisasi panas tinggi dengan tekanan (uap dengan


tekanan/autoclave)

2. Sterilisasi panas kering

3. Kukus rebus menggunakan dandang (DTT)

4. Sterilisasi dengan bahan/larutan kimia (larutan glutaraldehide 2%;


atau dengan larutan hydrogen peroksida 6%); dilakukan apabila
sterilisasi dengan panas tinggi (autoclave steam) dan atau panas
rendah dengan gas tidak dapat dilakukan.

Metode sterilisasi yang rutin dilaksanakan adalah sterilisasi uap


(sterilisasi uap prevakum) untuk alat kesehatan/instrumen/bahan yang
tahan panas (termostabil) dan sterilisasi suhu rendah dengan gas
Ethylen Oxide untuk alat kesehatan/bahan yang bersifat termolabil.
Jenis alat kesehatan / instrumen dan program-metode stelisasi :

SPESIFIKASI METODE STERILISASI


1. Alat/Instrumen tahan Sterilisasi Uap (Autoclave
panas (termostabil) Steam):

Suhu (T) 134°C; P 3000


mBara selama 5 menit; Total
proses pre-post = ± 60 menit
(logam; linen; kapas; kassa)

2. Alat/Instrumen tidak Sterilisasi dengan cairan


tahan panas (termo- glutaraldehid 2% selama 1 jam
labil)

Tahapan pengelolaan alat kesehatan/instrumen pasca pakai:

Untuk mendapatkan hasil sterilisasi yang optimal (efektif dan efisien)


dan terjaga mutunya sampai dengan digunakan maka proses
pengelolaan alat kesehatan/instrumen pasca pakai harus dilakukan
secara benar dan tepat, aman bagi pasien petugas serta lingkungan,
yaitu :

1. Petugas yang akan melaksanakan kegiatan/proses dekontaminasi


harus menggunakan alat pelindung diri (APD) yang sesuai.

2. Pre-cleaning dan pencucian:

a. Alat kesehatan/instrumen pasca pakai setelah digunakan untuk


tindakan medis dan atau tindakan keperawatan harus segera
dilakukan perendaman dengan larutan Anioszyme DD1 5 ml
dalam 1 liter air selama 5 menit.

b. Bersihakan/cuci alat/instrumen yang direndam, bila perlu


dengan disikat.

c. Bilas dengan air mengalir sampai bersih, dan keringkan

d. Apabila alat/instrumen pasca pakai segera digunakan, untuk


alat/instrumen dengan :

- Kategori semi critical dilakukan DTT dengan:

• Direndam dengan larutan kimia/disinfektan


(glutaraldehide 2% selama 15 menit.
- Kategori critical dilakukan sterilisasi dengan larutan
kimia/disinfektan (glutaraldehide 2% selama 1 jam) sebagai
berikut :

• Tuang larutan secukupnya ke dalam wadah tertutup


(alat/instrumen dapat terendam seluruhnya).

• Lama perendaman : DTT = 15 menit; Sterilisasi 1 jam.

• Bilas dengan aquadest steril, ulangi pembilasan sebanyak


2 (dua) kali

• Keringkan/ dilap dengan lap steril

• Alat yang telah diproses harus segera digunakan

Catatan

a. Stabilitas larutan glutaraldehide 28 hari, pada suhu


kamar.

b. Larutan glutaraldehide tidak boleh diencerkan pada


saat akan digunakan.

3. Setting dan pengemasan alat kesehatan/instrumen dan bahan habis


pakai (BHP)

Alat/instrumen/bahan yang telah bersih dan kering disetting/ditata


serta dikemas sesuai ketentuan.

Prinsip pengemasan :

- Bahan pengemas sesuai dengan metode sterilisasi yang dipilih.

- Sterilan harus dapat diserap dengan baik dan dapat menjangkau


seluruh permukaan kemasan dan isinya.

- Harus dapat menjaga sterilitas isinya hingga kemasan dibuka

- Harus mudah dibuka dan isinya mudah diambil tanpa


menyebabkan kontaminasi Catatan : bila linen atau kertas
perkamen sebagai bahan pengemas, minimal harus rangkap 2
(dua).
. Sterilisasi

Metode sterilisasi yang dipilih, berdasarkan jenis bahan dasar


alat/instrumen/bahan yang akan disterilkan.

ALAT/INSTRUMEN/BAHAN METODE STERILISASI


DARI
Logam ; linen, kassa, kapas Streilisasi uap P1 (suhu
134oC)
Sensitif terhadap panas Streilisasi dengan cairan
(termolabil) kimia glutaraldehide
Note : Sterilisasi dengan larutan kimia/disinfektan dipilih apabila
tidak mungkin dilakukan sterilisasi panas tinggi maupun sterilisasi
panas rendah dan dilaksanakan di unit pelayanan.

4. Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi proses serta hasil sterilisasi harus


dilakukan sesuai ketentuan sebagai jaminan mutu/kualitas hasil
sterilisasi, meliputi:

a. Monitoring proses secara visual dengan melihat kondisi post


sterilisasi

b. Indikator eksternal dilakukan/diberikan pada setiap kemasan


(perubahan warna)

c. Indikator mekanik yaitu dengan mencatat kondisi suhu, waktu


dan tekanan selama proses.

d. Bowie Dick Test dilakukan setiap 1 (satu) kali sebulan sebelum


mesin autoclave dengan vakum

e. Indikator biologi, dilakukan minimal 2 (dua) minggu sekali tiap


mesin autoclave steam,

5. Penyimpanan:

Alat kesehatan/instrumen, bahan habis pakai (BHP), serta linen


medis yang telah disterilkan disimpan di ruang steril. Penyimpanan
di unit pelayanan minimal di tempat/ruang yang jauh dari lalu
lintas utama atau pada kotak/almari yang bersih dan kering serta
mudah dilakukan disinfeksi.
6. Waktu kedaluarsa hasil sterilisasi:

Kadaluarsa Cara sterilisasi dengan bahan pengemas

Satu minggu Sterilisasi dengan metode panas basah


(autoclave steam)dengan pengemas kertas
perkamen rangkap 2; linen rangkap 2 atau
ditempatkan dalam tromol.

Satu bulan Sama seperti 1 minggu jika kondisi ruang


penyimpanan sesuai standar (suhu 180 –
220C kelembaban 35 -75 %)

Satu 3 bulan Sterilisasi dengan metode panas basah


(autoclave steam) pengemas pouches

7. Penggunaan :

Sebelum penggunaan alat/instrumen/bahan yang disteril, pastikan


bahwa :

- Kemasan dalam kondisi baik (tidak rusak, kering dan belum


terbuka);

Pengelolaan peralatan (BHP) re-used

 BHP re-used adalah BHP yang menurut petunjuk manufakturnya


diperuntukkan single used namun diijinkan digunakan kembali
sesuai bukti ilmiah atau rekomendasi Perhimpunan Profesi
pengguna atau pengalaman klinik berdasarkan pertimbangan mutu,
keamanan dan aspek finansial penggunaan (karena sangat
dibutuhkan tetapi sulit diperoleh dengan segera atau diproduksi
dalam jumlah terbatas, harga tidak terjangkau oleh pasien - secara
pribadi/asuransi).
 Pengelolaan BHP re-used di Puskesmas dilakukan berdasarkan
tinjauan mutu dan keamanan, rasional mulai dan saat
penentuannya sampai dengan evaluasi penggunaan pada pasien,
ditetapkan dengan Kebijakan Puskesmas tentang Pengelolaan
Peralatan Re-used. BHP di-reused melalui proses sterilisasi/DTT,
dengan memperhatikan keamanan optimal secara fisik dan fungsi,
ketersediaan metode dekontaminasi dan sterilisasi yang efektif.
 BHP yang dapat di-reused di Puskesmas adalah BHP sesuai daftar
lampiran Kebijakan Pengelolaan Peralatan Re-used. Macam BHP dan
batas maksimal jumlah reused ditetapkan Puskesmas melalui
pembahasan.
 Identifikasi BHP re-used dan penomoran penggunaannya dilakukan
oleh unit terkait. Nomor penggunaan alat yang ke-sekian dituliskan
dengan penandaan pada alat maupun kemasan alat. Jika tanda
telah sampai batas maksimal re-used, pengguna tidak
diperkenankan me-reused kembali. Jika BHP sudah tidak layak di-
reused berdasarkan evaluasi fungsi, keamanan penampilan fisik,
keamanan dan ketepatan sterilisasi/DTT, atau alasan keamanan
lain, meskipun belum sampai pada batas maksimal penggunaan
reused yang ditetapkan dalam Kebijakan, maka BHP tersebut segera
diakhiri penggunaannya tidak perlu diproses reused.
 Evaluasi klinik terhadap setiap penggunaan peralatan reused
dilakukan oleh satuan kerja pengguna, menggunakan daftar tilik
evaluasi yang telah disiapkan Tim PPI.
 Monitoring ketepatan penerapan standar, analisis evaluasi dan
tindak lanjut sesuai hasil evaluasi dilakukan Tim PPI setiap 3 bulan,
disampaikan kepada Tim Mutu Puskesmas.
DAFTAR NAMA CAIRAN DISINFEKTAN UPTD PUSKESAMAS KABUH

NO NAMA ISI KEGUNAAN KETERANGAN


1. Alkohol  Ethanol  Antiseptik kulit 70%
 Disinfeksi
instrument non
kritis
 Disinfeksi
peralatan
non medis
 Pengawet preparat
PA
2. Betadin Povidon Iodida Antiseptik kulit
3.  Bayclin  Natrium  Tumpahan
Hipoklorit darah 1%
 Disinfeksi
linen dan
instrumen
 Disinfeksi air
bersih 0,5%
 Dekontaminasi  Disinfeksi
tumpahan/percik peralatan
an darah/cairan non medis
 Disinfeksi linen 0,05%
putih
4. Hibiscrub Klorheksidin
glukonat Antiseptik kulit
5. Lysol Trikresolum Disinfeksi kamar 22 ml dalam 1
mandi, WC, Lantai lt
6. Perhydrol Hydrogen Antiseptik luka 3% - 6%
peroksida
DAFTAR NAMA PERALATAN SINGLE-USE YANG

TIDAK PERNAH BISA DI RE-USE

NO NAMA ALAT MEDIS ALASAN


1 Sarung tangan ( Biaya re-use lebih tinggi
bersih/steril )
2 Endotracheal tube ( ETT ) Kontaminasi, Biaya re-use lebih
tinggi
3 NGT (Stomach Tube) Kontaminasi, Biaya re-use lebih
tinggi
4 Feeding tube Kontaminasi, Biaya re-use lebih
tinggi

D. PENGELOLAAN LINEN

Pengelolaan linen yang aman adalah kegiatan yang bertujuan


mencegah kontaminasi linen kotor atau infeksius kepada petugas,
pasien dan lingkungan, meliputi proses pengumpulan, pemilahan,
pengangkutan linen kotor, pencucian sampai distribusi linen
bePuskesmasih. Pengelolaan linen kotor dan bersih secara terpisah
merupakan keharusan untuk meminimalkan risiko infeksi pada pasien
dan petugas.

Pengelolaan linen di Puskesmas Kabuh meliputi kegiatan,


penerimaan dan pencucian linen kotor, penyediaan linen bersih siap
pakai, pemeliharaan, dan pemusnahan linen rusak.

Proses cuci mencuci mulai dan pengumpulan, pemilahan,


pencucian dan pengangkutan diatur secara sistematis. Kegiatan di
diupayakan secara maksimal untuk menghindari kontaminasi linen
kotor terhadap linen bersih siap pakai maupun petugas dan lingkungan
dengan melakukan disinfeksi terhadap kereta linen,
pengepelan/disinfeksi lantai dan implementasi praktik kebersihan
tangan petugas sesuai prosedur.

Jenis linen di Puskesmas Kabuh dikualifikasikan menjadi linen


bersih, linen kotor infeksius dan linen kotor non infeksius (terdiri atas
linen kotor berat dan linen kotor ringan). linen bersih pasca pencucian
di laundry. Linen kotor infeksius adalah linen yg terkontaminasi dengan
darah, cairan tubuh dan feses terutama yang berasal dari infeksi TB,
Salmonella & Shigella, HBV, HCV, HIV, dll yang dapat menularkan
mikroorganisme tersebut kepada pasien lain, petugas ataupun
mencemari lingkungan;.
a. Penanganan Linen infeksius di Ruangan

1) Linen kotor hendaknya sesedikit mungkin dipegang dan digerak-


gerakkan untuk mencegah kontaminasi udara dan petugas.

2) Linen infeksius dan non infeksius dipisahkan dalam tempat


penampungan tersenditi Linen infeksius dilipat dan digulung
sehingga bagian tengah yang paling kotor berada di tengah
gulungan selanjutnya dimasukkan dalam kantong plastik warna
kuning. Hitung dan catat linen infeksius sebelum dimasukkan
dalam plastik, sehingga mengurangi kontaminasi.

3) Petugas yang mengelola linen kotor wajib memakai APD berupa:

 Sarung tangan rumah tangga


 Masker
 Celemek plastik/apron
b. Pengiriman linen ke laundry

Linen kotor infeksius dan non infeksius dibawa ke laundry


menggunakan kereta linen kotor dengan tong / kantong linen warna
kuning untuk linen infeksius, biru untuk non infeksius.

c. Penanganan Linen Kotor di laundry

1) Petugas laundry menerima linen kotor dengan mengenakan APD


berupa: topi, masker, sarung tangan rumah tangga, apron,
sepatu boot.

2) Petugas memisahkan linen berdasarkan jenis linen serta tingkat


kekotoran linen ( linen kotor infeksius, linen kotor berat dan
linen kotor ringan), menghitung dan mencatatnya.

3) Khusus untuk linen kotor infeksius langsung dilakukan


pencucian bePuskesmasama linen kotor berat, tidak perlu
dilakukan penghitungan ulang

d. Pengambilan Linen bersih

a. Linen bersih siap pakai diterima di bagian finishing dikeluarkan


oleh petugas pengeluaran linen bersih

b. Linen yang akan dikeluarkan dihitung sesuai dengan daftar


cucian yang masuk pada hari itu kemudian menyerahkan
kepada petugas pengeluaran linen

c. Petugas pengeluaran linen menyiapkan linen yang akan


dikeluarkan di loket pengeluaran

d. Petugas pengeluaran linen mengeluarkan linen bersih siap pakai


sesuai bukti pengambilan linen
e. Petugas pengeluaran linen mencatat pengeluaran linen bersih
siap pakai pada hari itu di buku pengeluaran linen bersih

g. Petugas laundry membawa linen bersih siap pakai


menggunakan trolly / kantong linen bersih

E. PENGENDALIAN LINGKUNGAN

Kebersihan Ruang di Lingkungan PUSKESMAS

Kebersihan Ruang di lingkungan PUSKESMAS merupakan tindakan


pembersihan secara seksama yang dilakukan teratur meliputi :

- disinfeksi tempat tidur, permukaan meja, peralatan dan benda-


benda di lingkungan sekitar pasien setiap hari, saat pasien pulang
dan sebelum pasien masuk dengan disinfektan standar
PUSKESMAS;
- Pengepelan lantai meliputi seluruh permukaan dengan disinfektan
standar PUSKESMAS setiap hari mimimal 2 kali/hari
- Pembersihan sekat/gordyn pembatas antar pasien dilakukan
minimal setiap 3 bulan (bahan gordyn dipilih yang mudah
dibersihkan dan tidak bergelombang)
- Pembersihan kamar mandi/WC/wastafel dilakukan setiap hari atau
sewaktu-waktu diperlukan dengan disinfektan sesuai standar.
Prinsip Pembersihan lingkungan:

a. Dilaksanakan sesuai standar zonasi ruangan di PUSKESMAS

b. Mengusap seluruh permukaan Lingkungan dengan disinfektan


standar PUSKESMAS

c. Menggunakan mop khusus untuk setiap jenis ruangan, dengan cara


sistematis untuk membersihkan dan menghilangkan patogen
infeksius

Kebersihan Ambulans

Ambulans dibersihkan secara rutin sesuai standar pembersihan ruang


perawatan dan setiap kali sesudah digunakan transportasi pasien.
F. MANAJEMEN PENGELOLAAN LIMBAH
Limbah medis umumnya berasal dari kegiatan Puskesmas,
dimana secara umum di UPTD Puskesmas Kabuh dapat dikategorikan
dalam limbah infeksius dan limbah non-infeksius. Limbah infeksius
didefinisikan sebagai limbah yang mengandung mikroorganisme
berbahaya dalam jumlah cukup besar, sehingga dapat menyebabkan
penyakit. Limbah non-infeksius adalah limbah domestik yang
dihasilkan dari berbagai kegiatan house keeping / kerumahtanggaan
di Puskesmas.
Limbah medis secara garis besar dapat dibedakan berdasarkan
pada kondisi fisiknya yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah
padat atau sampah yang dihasilkan dari aktivitas dalam Puskesmas
menurut PP no 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun, termasuk kategori limbah infeksius. Limbah
padat ini mengandung bahan-bahan infeksius atau mengandung
bakteri berbahaya, sampah yang kontak dengan cairan tubuh
penderita, jaringan tubuh dan spesimen di laboratorium,
Sampah lain terkategori sebagai sampah umum atau domestik
merupakan sampah yang berupa bungkus makanan dan minuman,
sisa makanan bukan dari ruang isolasi, kertas dan plastik yang tidak
terkontaminasi dan semua sampah selain bahan kimia dan radiasi
yang tidak kontak dengan cairan tubuh pasien. Pemusnahan sampah
infeksius dari Puskesmas memerlukan adanya insinerator yang
mempunyai kemampuan untuk memusnahkan berbagai
mikroorganisme atau bahan infeksius pada sampah padat.

1. LIMBAH PADAT MEDIS


Limbah padat / sampah Puskesmas adalah campuran
heterogen yang kompleks yang berasal dari berbagai kegiatan medis
yang berlangsung, antara lain dari Instalasi gizi, ruang tunggu,
poliklinik, ruang poned, ruang perawatan, laboratorium. Limbah
padat tesebut memiliki bahan campuran yang bervariasi. Oleh
karena itu, limbah yang dihasilkan oleh aktivitas medis di
Puskesmas harus dikelola dengan baik.
Sampah yang bersumber dari lingkungan Puskesmas
mempunyai pengelolaan sampah yang ditangani secara terpisah
dengan sampah lainnya karena kemungkinan mengandung bibit
penyakit. Sehingga pengelolaan sampah Puskesmas bersifat
khusus. Mengingat akan pentingnya hal tersebutt maka,
penanganan sampah Puskesmas merupakan bagian dari upaya
penyehatan lingkungan Puskesmas.
Limbah padat dari Puskesmas mulai disadari sebagai bahan
buangan yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan lingkungan
karena dianggap sebagai mata rantai penyebaran penyakit menular.
Dalam pengelolaan sampah Puskesmas di UPTD Puskesmas
Kabuh, sampah secara garis besar dibedakan menjadi Sampah
Medis dan Sampah Non Medis / Domestik.
a. Sampah Medis
Sampah medis termasuk dalam golongan limbah klinis.
Menurut Depkes RI, limbah klinis berupa berbagai jenis buangan
yang dihasilkan di Puskesmas dan unit-unit pelayanan
kesehatan seperti pelayanan medis, perawatan gigi, farmasi atau
sejenis serta limbah yang dihasilkan Puskesmas pada saat
dilakukan perawatan, pengobatan atau penelitian. Limbah ini
bisa membahayakan dan menimbulkan gangguan kesehatan bagi
pengunjung, masyarakat dan terutama kepada petugas yang
menangani limbah.
Berdasarkan potensi bahaya yang ditimbulkannya, limbah
klinis digolongkan sebagai berikut:
 Limbah benda tajam
 Limbah infeksius
 Limbah jaringan tubuh
 Limbah farmasi
 Limbah kimia
 Limbah plastik
Namun pada pelaksanaannya, penggolongan berbagai
timbulan sampah yang ada tidak mudah dilakukan. Ada
beberapa jenis yang dapat masuk ke dalam lebih dari satu
golongan ataupun tidak praktis dalam penggolongannya untuk
itu di Puskesmas Kabuh untuk Sampah Medis dibedakan
menjadi 2 besar, yaitu :
 Sampah medis Tajam
 Sampah medis Non Tajam
Meskipun tidak seluruh limbah Puskesmas berbahaya,
beberapa diantaranya dapat menimbulkan ancaman pada saat
penanganan, penampungan, pengangkutan dan atau
pemusnahan. Beberapa alasan yang menjadikan limbah
Puskesmas berbahaya adalah:
 Potensi dalam menimbulkan bahaya kepada personil yang
terlibat dalam pembuangan jika tidak ditangani dengan baik.
 Pencemaran lingkungan yang ditimbulkan jika dibuang tanpa
pengolahan terlebih dulu, sehingga mempunyai dampak yang
membahayakan atau mengganggu kesehatan masyarakat.
Sampah medis dalam pengelolaan sampah Puskesmas
merupakan limbah klinis yang berbentuk padat. Pengertian
sampah medis di sini adalah limbah padat Puskesmas bersifat
klinis. Sampah medis biasanya dihasilkan di ruang pasien, ruang
pengobatan atau tindakan, ruang perawatan, ruang bedah
termasuk dressing kotor, verban, kateter, swab, plaster, masker
dan lain-lain.
Kategori sampah lain yang juga dikelola sebagai sampah
Puskesmas adalah sampah patologis yaitu sampah yang berasal
dari ruang poned termasuk placenta, serta sampah laboratorium
yaitu sampah yang dihasilkan dari laboratorium diagnostic atau
riset, meliputi sediaan atau media sample spinal, bangkai
binatang.
Untuk membedakan dengan Sampah Umum / Domestik,
maka Sampah Medis dimasukkan ke dalam tong sampah warna
kuning yang didalamnya telah dilengkapi plastik kresek warna
kuning, dan ini telah disediakan Puskesmas Kabuh. Selanjutnya
dikirim ke insenerator untuk dilakukan proses pembakaran.
b. Sampah Non-Medis
Sampah non-medis adalah timbunan limbah padat pada
Puskesmas yang tidak termasuk dalam golongan sampah medis.
Sampah non-medis biasanya berupa sampah domestik seperti
timbunan sampah lain pada umumnya (sampah umum /
domestik).
Dalam pelaksanaannya, sesuai dengan kesepakatan
bersama di UPTD Puskemas Kabuh untuk Sampah Umum /
Domestik dibedakan menjadi 2 besar, yaitu :
 Sampah Umum Basah / Sampah Organik, terdiri dari sisa
makanan, dll.
 Sampah Umum Kering / Sampah Anorganik, terdiri dari
kertas, plastik, dll.
Untuk membedakan dengan Sampah Medis, maka Sampah
Umum / Domestik dimasukkan ke dalam tong sampah warna
abu – abu sesuai tulisan sampah basah atau sampah kering, dan
ini telah disediakan Puskesmas. Selanjutnya dimasukkan ke TPS
dan dibuang ke TPA, bekerjasama dengan Dinas pasar Tata
Ruang, Kebersihan dan Pertamanan.

PENGELOLAAN LIMBAH
1. Limbah RT atau limbah non medis
Penanganan Limbah/Limbah RT/Limbah non medis
Penanganan Limbah dan masing masing ruangan dilakukan
dengan cara :
a. Wadah berupa kantong plastik warna hitam, diikat rapat
pada saat akan diangkut, dan dibuang berikut wadahnya;
b. Wadah tidak boleh penuh/luber. Jika telah terisi 2/3
bagian segera dibawa ke tempat penampungan akhir;
c. Pengumpulan Limbah dari ruang perawatan harus tetap
pada wadahnya dan jangan dituangkan pada gerobak
(kereta limbah) yang terbuka, agar dihindari kontaminasi
dengan lingkungan sekitar serta mengurangi risiko
kecelakaan terhadap petugas, pasien dan pengunjung;
d. Petugas yang menangani pengelolaan limbah harus selalu
menggunakan sarung tangan rumah tangga dan sepatu
serta mencuci tangan dengan sabun sesuai prosedur setiap
selesai bekerja.
2. Pengelolaan limbah padat medis
Di UPTD Puskesmas Kabuh, metoda yang digunakan
untuk mengolah sampah medis tergantung pada faktor-faktor
khusus yang sesuai dengan institusi yang berkaitan,
peraturan yang berlaku, dan aspek lingkungan yang
berpengaruh terhadap masyarakat.
Teknik pengolahan sampah medis yang diterapkan adalah
(medical waste):
 Insenerasi (incineration)
Suatu proses dimana sampah dibakar dalam kondisi
temperatur yang terkontrol. Metoda ini dilakukan untuk
sampah padat medis sisa hasil kegiatan medis yang sifatnya
disposible atau sekali pakai.
 Strerilisasi dengan uap panas (autoclaving)
Metode dekontaminasi dengan pemaparan ke dalam uap
panas besuhu dan bertekanan dalam ruang tertutup untuk
sejumlah waktu tertentu. Tekanan dan waktu yang
dibutuhkan untuk proses adalah 12 menit waktu kontak
pada kondisi uap jenuh besuhu 121 oC. Metoda ini dipakai
untuk alat – alat kedokteran yang akan dipakai lagi, terbuat
dari logam atau stainless.

Insenerator (Incinerator)
Sebagian besar limbah padat / sampah yang dihasilkan oleh
aktivitas medis di Puskesmas memiliki sifat infeksius.
Berdasarkan PP No. 85/1999 menyatakan bahwa limbah
yang memiliki karakteristik besifat infeksius dikategorikan
sebagai limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Salah
satu upaya pengelolaan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan
Beracun) adalah dengan pengolahan berupa proses
pemanasan. Salah satu teknologi pemanasan adalah
pembakaran (incineration) dalam kondisi terkontrol pada
insenerator .
Proses insinerasi pada insenerator harus dapat berfungsi secara
optimal agar material yang dibakar dapat aman bagi
lingkungan. Untuk membuat proses insinerasi berlangsung
secara optimal, diperlukan suatu perencanaan design
insenerator (incinerator) yang baik sehingga hasil pembakaran
yang diinginkan dapat tercapai.
Menurut beberapa pengertian definisi insenerasi (incineration)
adalah:
1. Suatu teknologi pengolahan yang digunakan untuk
menghilangkan / menghancurkan limbah dengan
pembakaran terkontrol pada temperatur yang tinggi.
2. Suatu teknologi pengolahan meliputi
penghilangan/penghancuran limbah dengan pembakaran
terkontrol, seperti contoh: pembakaran lumpur untuk
memindahkan air dan mengurangi residu yang dihasilkan,
ash yang tidak terbakar dapat dibuang dengan aman ke
tanah, air, atau di bawah tanah lokasi pengolahan. Material
direduksi massa dan volume dengan pembakaran.
3. Suatu penghilangan/penghancuran limbah padat, cair, atau
gas dengan pembakaran terkontrol pada temperatur tinggi.
Komponen B3 diubah menjadi ash, carbon dioxide, dan air.
Pembakaran digunakan untuk
menghilangkan/menghancurkan komponen organik,
mengurangi volume limbah, dan penguapan air dan zat cair
lainnya yang mungkin dapat mengandung sedikit komponen
B3, seperti logam berat yang tidak terbakar, yang terkandung
dari limbah asal.

Sistem insinerasi didesain untuk menghilangkan hanya


komponen organik dari sampah. Dengan menghilangkan
fraksi organik dan mengubahnya menjadi carbon dioxide dan
uap air, dapat mengurangi volume limbah dan menjadikan
komponen organik termasuk yang toksik aman bagi
lingkungan.
Alat yang digunakan untuk menjalankan prinsip insenerasi
(incineration) adalah insenerator (incinerator).

Tahapan Pengolahan Limbah


Pemilahan
Limbah padat di ruangan dipilah sesuai dengan jenisnya yaitu limbah
padat medis dan non medis (basah dan kering).
Limbah di ruangan dibuang ke tempat limbah yang dilapisi kantong
plastik yang diberi tanda dibedakan warnanya :
- Warna kuning untuk limbah padat infeksius.
- Warna hitam untuk limbah padat non infeksius.

Tempat limbah di ruangan ada dua macam:


- Tempat Limbah pasien di ruangan (tempat sampah non sentuh/injak
dan sejenisnya yang berukuran kecil);
- Tempat limbah besar di luar ruangan (kontainer ± 0.05 m 3) dengan
pesyaratan antara lain terbuat dari bahan yang kuat, mudah
dibesihkan, ringan (dapat diangkat oleh satu orang), tidak berkarat
dan kedap air terutama untuk limbah basah, mempunyai tutup,
mudah dikosongkan atau diangkut, tahan terhadap benda
tajam/runcing).
- Kantong plastik, jika sudah terisi 2/3 bagian diikat rapat dan
kencang.

Pembuangan Limbah
- Semua limbah yang dihasilkan dalam ruangan atau area
perawatan/isolasi harus dibuang dalam wadah atau kantong plastik
yang sesuai.
 Untuk limbah infeksius gunakan kantong plastik kuning atau bila
tidak tePuskesmasedia dapat menggunakan kantong plastik
warna lain yang tebal atau dilapis dua (kantong ganda), kemudian
diikat dengan tali warna kuning dan diberi tanda “infeksius”
 Untuk limbah RT digunakan kantong plastik warna hitam
 Untuk limbah benda tajam atau jarum dimasukkan dalam wadah
tahan tusukan disposable
- Kantong limbah apabila sudah ¾ bagian penuh harus segera diikat
dengan tali dan tidak boleh dibuka kembali.
- Petugas yang bertanggungjawab atas pembuangan limbah harus
menggunakan APD lengkap yang sesuai saat membuang limbah.
- Limbah cair seperti urine atau feses dibuang ke dalam sistem
pembuangan kotoran yang tertutup dan memenuhi syarat serta
disiram air yang banyak.
- Urinebag dikosongkan secara teratur setiap 3-4 jam atau saat
terlihat sudah ¾ penuh.
Pengelolaan Benda Tajam
Benda tajam sangat berisiko menyebabkan perlukaan sehingga
meningkatkan terjadinya penularan penyakit melalui kontak darah.
Penularan infeksi HIV, Hepatitis B, Hepatitis C, sebagian besar
disebabkan karena kecelakaan yang bisa dicegah yaitu tertusuk jarum
suntik dan perlukaan oleh alat tajam lainnya.
Upaya untuk mencegah perlukaan :
1. Penggunaan benda tajam termasuk jarum suntik direkomendasikan
sekali pakai, tidak direkomendasikan melakukan daur ulang atas
pertimbangan penghematan;
2. Semua petugas bertanggung jawab atas setiap alat tajam yang
digunakan sendiri;
3. Pada saat memindahkan alat tajam (misal pada setting operasi)
digunakan teknik tanpa sentuh dengan menggunakan nampan atau
alat perantara lain;
4. Tidak dibenarkan melakukan manipulasi jarum suntik
mematahkan, membengkokkan, atau ditutup kembali jika spuit
hanya akan dibuang;
5. Jika jarum terpaksa akan ditutup kembali (recapping), misal untuk
pemeriksaan contoh bahan darah ke laboratorium/PMI, digunakan
metode satu tangan (single handed recapping method);
6. Tersedia wadah limbah tajam disposable di setiap ruangan, bersifat
kedap air tahan tusukan dan tidak mudah bocor. Wadah ditutup
dan dibuang jika telah terisi 2/3 bagian atau sesuai tanda batas
pengisian pada safety box dan jika telah tertutup tidak bisa dibuka
lagi.

Pecahan kaca
Pecahan kaca dikategorikan sebagai benda tajam, yang potensial
menyebabkan perlukaan yang akan memudahkan kuman masuk ke
aliran darah, sehingga perlu diperlakukan secara hati-hati dengan
cara pembuangan yang aman. Rekomendasi pengelolaan pecahan
kaca :
1. Gunakan sarung tangan rumah tangga saat membersihkan;
2. Untuk meraup/mengumpulkan gunakan kertas koran atau kertas
tebal dan gulung pecahan kaca dalam kertas tadi;
3. Masukkan gulungan kertas yang berisi pecahan kaca ke dalam
kardus, berikan label “hati-hati pecahan kaca”

Pengendalian terhadap serangga dan binatang pengganggu di


puskesmas
Pengendalian serangga dan binatang pengganggu adalah suatu upaya
untuk mengurangi populasi serangga dan binatang pengganggu
sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan, kerusakan fisik alat
dan bangunan yang meliputi pengendalian jentik, nyamuk, kecoa, lalat,
rayap, tikus dan kucing. Semua ruangan di puskesmas harus bebas
lalat, kecoa, Semua ruangan di puskesmas tidak diperkenankan
ditemukan tanda-tanda keberadaan tikus terutama pada daerah
bangunan tertutup (core) puskesmas. Lingkungan puskesmas harus
bebas kucing dan anjing.
3. LIMBAH CAIR MEDIS
a. Sumber Limbah
Secara umum limbah Cair Medis dari suatu kegiatan
Puskesmas dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu air limbah medis
yang besifat infeksius dan air limbah domestik yang besifat non-
infeksius. Air limbah infeksius adalah limbah yang mengandung
mikroorganisme berbahaya (pathogen) dalam jumlah cukup besar,
sehingga dapat menyebabkan penyakit. Air Limbah non-infeksius
adalah limbah domestik yang dihasilkan dari berbagai kegiatan
pendukung operasional suatu Puskesmas, seperti, laundry dan lain-
lain. Sumber – sumber air limbah dari kegiatan operasional
Puskesmas antara lain:

- Air Limbah dari kamar mandi dan cuci.


Air limbah ini dikategorikan sebagai limbah rumah tangga,
yang berasal dari unit – unit Puskesmas. Air limbah dari kegiatan
ini akan dimasukkan ke Septik Tank. Parameter pencemar dalam
limbah ini adalah zat padat, BOD, COD, nitrogen, phosphorus,
minyak dan lemak serta bakteriologis.
- Air Limbah Laundry
Air limbah laundry berasal dari unit pencucian bahan dari
kain yang umumnya bersifat basa dengan kandungan zat padat
total berkisar antara 800 – 1200 mg/l dan kandungan BOD
berkisar antara 400 – 450 mg/l
- Air Limbah laboratorium
Air limbah laboratorium berasal dari pencucian peralatan
laboratorium dan bahan buangan hasil pemerikasaan contoh
darah dan lain – lain. Air limbah ini umumnya mengandung
berbagai senyawa kimia sebagai bahan pereaksi sewaktu
pemeriksaan contoh darah dan bahan lain. Air limbah
laboratorium mengandung bahan antiseptik dan antibiotik
sehingga besifat toksik terhadap mikroorganisme, oleh karena
diperlukan perlakukan khusus dalam pengelolaannya.
b. Karakteristik Air Limbah Puskesmas.
Sesuai dengan sifat dan bahannya, air limbah Puskesmas dapat
dikategorikan sama dengan air limbah domestik, kecuali air limbah
dari laboratoriumnya. Karakteristik air limbah domestik yang masih
baru, berupa cairan keruh berwarna abu – bau dan berbau tanah.
Bahan ini mengandung padatan berupa hancuran tinja, sisa – sisa
makanan dan sayuran, padatan halus dalam suspensi koloid, serta
polutan yang terlarut.
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa air limbah domestik 99,9
% terdiri dari air dan 0,1 % adalah padatan. Padatan dalam air
limbah domestik sekitar 70 % terdiri dari bahan organik dan sekitar
30 % terdiri dari bahan an-organik.
Sifat bahan organik dalam limbah domestik relatif lebih disukai
oleh mikroorganisme, oleh karenanya kandungan BOD, COD,
Nitorgen, Phosphat, minyak – lemak dan TSS yang lebih dominan.
Persyaratan pembuangan limbah cair Puskesmas mengacu pada
Baku mutu buangan air limbah Puskesmas menurut Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup no KEP 58/MENLH/I/1995
dijelaskan dalam tabel 1 .

- Karakteristik Fisik.
Parameter – parameter yang penting dalam air buangan yang
termasuk dalam karakteristik fisik antara lain, :
a. Total Solid.
Didefinisikan sebagai zat – zat yang tertinggal sebagai residu
penguapan pada temperatur 105 C. Zat – zat lain yang hilang
pada tekanan uap dan temperatur tePuskesmasebut tidak
didefinisikan sebagai total solid.

b. Temperatur
Pada umumnya temperatur air buangan lebih tinggi dari
temperatur air minum. Karena adanya penambahan air yang
lebih panas dari bekas pemakaian rumah tangga atau aktivitas
pabrik, serta adanya kandungan polutan dalam air. Temperatur
pada air buangan memberikan pengaruh pada :
- Kehidupan air
- Kelarutan gas
- Aktivitas bakteri
- Reaksi – reaksi kimia dan kecepatan reaksi

c. Warna
Warna dari air buangan berasal dari buangan rumah tangga
dan industri. Air buangan yang segar umumnya berwarna abu
– abu dan sebagai akibat dari penguraian senyawa – senyawa
organik oleh bakteri, warna air buangan menjadi hitam. Hal ini
menunjukan bahwa air buangan telah menjadi atau dalam
keadaan septik.

d. Bau
Bau dalam air buangan biasanya disebabkan oleh produksi gas
– gas hasil dekomposisi zat organik. Gas Asam Sulfida (H2S)
dalam air buangan adalah hasil reduksi dari sulfat oleh
mikororganisme secara anaerobik.

B. Karateristik Kimia
Senyawa – senyawa yang terkandung dalam air buangan terdiri
atas 3 (tiga) golongan utama, yaitu :

a. Senyawa Organik
Kurang lebih 75 % zat padat tersuspensi dan 40 % padatan
yang tersaring (Filterable solid) dalam air buangan merupakan
senyawa - senyawa organik. Senyawa – senyawa organik terdiri
dari kombinasi karbon (C), Hidrogen (H), Oksigen (O), Nitrogen
(N), dan Phosphat (P) dalam berbagai bentuk. Senyawa –
senyawa organik ini, umumnya terdiri dari Protein, Karbohidrat,
minyak dan lemak yang kesemuanya dinyatakan dalam
parameter BOD dan COD. Kandungan detergen dalam air,
dimana umumnya detergen terbuat dari senyawa ABS (Alkyl
Benzen Sulfonat) atau LAS (Linier Alkyl Sulfonat), dinyatakan
dalam konsentrasi parameter MBAS (Methyline Blue Alkyl
Sulfonat ) atau CCE (Carbon Chloroform Extract).

b. Senyawa Anorganik
Konsentrasi senyawa anorganik di dalam air akan
meningkat, baik karena formasi geologis yang sebelumnya,
selama aliran maupun karena penambahan buangan baru ke
dlam aliran tersebut. Konsentrasi unsur organik juga akan
bertambah dengan proses penguapan alami pada permukaan
air. Adapun komponen – komponen anorganaik yang terpenting
dan berpenagruh terhadap air buangan antara lain :
- alkalinitas
- khlorida
- sulfat
- besi
- zeng
- dll.

c. Gas – gas
Gas – gas yang umum terdapat dalam air buangan yang
belum diolah meliputi : N2, O2, CO2, H2S, NH3, CH4. Ketiga
gas yang disebut pertama sebagi akibat kontak langsung dengan
udara dan ketiga terakhir berasal dari dekomposisi zat –zat
organik oleh bakteri dalam air buangan.

C. Karakteristik Biologis
Kelompok organisme yang terpenting dalam air buangan dibagi
menjadi 3 (tiga) yaitu :
1. Kelompok protista
2. Kelompok tumbuh – tumbuhan
3. Kelompok hewan.
Kelompok protista terdiri dari bakteri, algae dan protozoa,
sedangkan kelompok tumbuh – tumbuhan antara lain meliputi
paku – pakuan dan lumut. Bakteri berperan sangat penting dalam
air buangan, terutama dalam proses biologis. Kelompok bakteri
secara dikelompokan menjadi jenis bakteri yang patogen
(menyebabkan penyakit) dan non patogen. Kelompok bakteri
patogen dianalisa dengan parameter kandungan E. Coli , MPN (Most
Problably Number) / 100 Ml. E. Coli merupakan bakteri yang
terkandung dalam tinja, semakin tinggi kandungan bakteri E.Coli
dalam air buangan maka semakin tinggi pula kandungan bakteri
patogen yang lain (seperti Typhus, Disentri dan Cholera).

C. Pengolahan Limbah Cair


Limbah Puskesmas berdasarkan pada sumbernya merupakan
campuran antara limbah domestik - limbah laboratorium yang
kadang – kadang besifat infeksius.
Tujuan pengolahan air limbah :
1. Menghilangkan bahan tesuspensi dan terapung dalam air limbah
2. Penghilangan atau pengurangan bahan organik biodegradable,
(mengurangi kandungan BOD sekaligus COD)
3. Penghilangan kandungan nutrien (N & P removal)
4. Menghilangkan atau mengeliminasi mikroorganisme patogen
5. Menghilangkan kandungan bahan – bahan anorganik.
Pengolahan limbah Puskesmas dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu :
- Pengolahan secara individual (On-site treatment).
Pengolahan limbah secara individual umumnya ditujukan
untuk pengolahan tinja saja, sedangkan limbah cair (sullage)
dibuang langsung dalam saluran terbuka. Pengolahan sistem
individual bagi tinja dan air kemih untuk skala rumah kecil
didaerah perkotaan sering dilakukan dengan cara basah atau
menggunakan “Septik Tank”.
Fungsi septic tank adalah untuk mengubah karakteristik air
kotor menjadi buangan yang mudah diserap oleh tanah, tanpa
menimbulkan pemampatan pada tanah itu sendiri.
Secara rinci, Septic Tank mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Untuk memisahkan benda padat (tinja)
Padatan yang dapat diendapkan dipisahkan dengan
pengendapan secara gravitasi.
b. Untuk mengolah padatan dan cairan secara biologis.
Komponen Organik dalam padatan dan cairan dalam air kotor
akan di dekomposisi oleh bakteri anerob dan proses alamiah
lainnya.
c. Sebagai penampung lumpur dan busa.
Lumpur (sludge) merupakan akumulasi padatan yang
mengendap dalam tanki, dan busa adalah lapisan padatan
yang mengambang. Keduanya dapat di dekomposisi oleh
aktivitas bakteri. Hasil dari proses dekomposisi tesebut akan
diperoleh suatu cairan, gas dan lumpur matang yang stabil.
Dimana cairan terolah akan keluar sebagai effluen, gas yang
terbentuk dilepas melalui pipa ventilasi dan lumpur yang
matang ditampung di dasar tangki yang nantinya akan
dikeluarkan secara berkala.

- Pengolahan Secara Komunal.


Pengolahan secara komunal di Puskesmas seperti yang
dilakukan Puskesmas dilakukan untuk mengolah air efluen dari
septik tank dan air limbah dari mandi, cuci dan laundry. Teknik
pengolahan limbah cair medis dapat dilakukan dalam dua tahap
yaitu pengolahan pendahuluan dan pengolahan secara biologi.
a. Pengolahan pendahuluan
Pengolahan pendahuluan Puskesmas Kabuh dilakukan
utamanya pada air limbah yang berasal dari kegiatan, air
limbah dari laboratorium analisa, dan dari ruang laundry akan
dikoordinasikan dengan instansi terkait mengenai penanganan
awalnya. Pengolahan pendahuluan untuk air limbah
laboratorium dilakukan secara phisik – kimia yaitu netralisasi,
presipitasi dan pertukaran ion. Sedangkan pengolahan
pendahuluan untuk air limbah laundry adalah netralisasi dan
pemberian zat kimia antibusa.
b. Pengolahan Secara Biologis (Pengolahan tahan kedua)
Dalam sistem pengolahan limbah cair, pengolahan biologis
dikategorikan sebagai pengolahan tahap kedua (secondary
treatment), melanjutkan sistem pengolahan secara fisik sebagai
pengolahan tahap pertama (primary treatment). Tujuan
pengolahan ini terutama adalah untuk menghilangkan zat padat
organik terlarut yang biodegradable, berbeda dengan sistem
pengolahan sebelumnya yang lebih ditujukan untuk
menghilangkan zat padat tesuspensi.
Dalam memilih teknologi yang akan digunakan, perlu
dipertimbangkan beberapa hal
- Kuantitas dan kualitas limbah yang akan diolah
- Pemahaman teknologi yang akan digunakan.

Kuantitas limbah, khususnya air limbah, yang


diperhitungkan tidak semata-mata didasarkan pada jumlah
debitnya saja, tetapi juga berhubungan dengan kontinuitas dan
fluktuasinya. Penggunaan teknologi yang tidak tahan terhadap
adanya perubahan atau fluktuasi yang menyolok dapat
menurunkan kinerja unit pengolahannya itu sendiri, atau
bahkan menyebabkan kegagalan proses pengolahan.
Kualitas limbah sangat menentukan jenis teknologi yang
akan digunakan, selain itu juga dapat digunakan sebagai
indikator bagi perlu tidaknya suatu teknologi digunakan. Aspek
paling sederhana dalam hal ini adalah mengklasifikasikan air
limbah berdasarkan karakteristiknya; fisik, kimiawi ataukah
biologis.
Karena itu perlu sekali kita mengkaji dua aspek awal –
kuantitas dan kualitas sebelum menentukan pilihan teknologi
yang akan diterapkan. Dari kedua hal ini ada beberapa tahapan
yang umum digunakan, yaitu :
1. Mereduksi volume limbah, yang prinsipnya adalah
mengurangi kuantitas limbah yang dihasilkan.
2. Mereduksi kekuatan/konsentrasi limbah, yang ditujukan
untuk mengurangi kualitas pencemaran.
Jenis pengolahan biologis yang digunakan bergantung pada :
- Derajat pengolahan yang dikehendaki
- Jenis air limbah yang akan diolah
- Konsentrasi air limbah
- Variasi aliran
- Volume limbah
- Biaya operasi dan Pemeliharaan.

Kriteria pengolahan Limbah Medis dalam suatu Puskesmas


antara lain :
1. Kualitas effluent memenuhi baku mutu dan stabil
2. Mudah dalam pengoperasian
3. Biaya Operasi tidak mahal
4. Kebutuhan Lahan Minimal
5. Higienis dan tidak mengganggu estetika
6. Peralatan instrument IPAL awet.
7. Investasi cukup terjangkau
8. Mudah di up-grade bila terjadi peningkatan kapasitas.

4. Penanganan Tumpahan Darah (lihat juga lampiran)


a. Pasang tanda peringatan;
b. Siapkan spill kit;
c. Gunakan APD sesuai kebutuhan: sarung tangan RT, masker,
pelindung kaki (bila tumpahan banyak gunakan juga
celemek/apron);
d. Tutup tumpahan dan batasi perluasannya menggunakan bahan
yang menyerap (kertas koran/tisu). Selanjutnya bahan dicakup
menggunakan penjepit dan langsung dimasukkan dalam kantong
plastik kuning (limbah infeksius);
e. Tuangi dan rendam bekas tumpahan dengan khlorin 0,5%,
diamkan selama 10’
f. Basuh lokasi tumpahan pasca perendaman khlorin dengan
mop/lap basah
g. Masukkan mop/lap basah ke dalam larutan air disinfektan
h. Ikat plastik kuning, masukkan ke dalam tempat sampah medis
i. APD dilepas, dikelola sesuai standar
j. Petugas mencuci tangan pasca penanganan tumpahan selesai

G. PENEMPATAN PASIEN
Untuk mencegah transmisi silang agen patogen penyebab infeksi,
direkomendasikan penempatan pasien secara kohorting (penempatan
pasien berkelompok besama pasien lain dengan infeksi sejenis),
penempatan dalam ruang tunggal atau penempatan dalam ruang
isolasi.
Ruang dengan ventilasi natural yang baik digunakan untuk
penempatan dan perawatan pasien infeksi, khususnya infeksi airborne,
yang terpisah dan pasien non infeksi dan khususnya terpisah dan
pasien dengan kondisi immunocompromise. Penataan ventilasi dapat
dilakukan secara alamiah atau campuran (dibantu sistem fan dan
exhaust). Ruangan untuk perawatan pasien infeksi airborne
dipesyaratkan penataan ventilasi dengan pertukaran udara minimal 12
ACH.
Mobilisasi/transportasi, pasien infeksi dan 1 unit ke unit lain harus
dibatasi seminimal mungkin. Bila dalam keadaan tententu pasien
terpaksa harus dibawa ke unit lain, maka petugas harus
memperhatikan prinsip kewaspadaan isolasi.

G. HYGIENE RESPIRASI/ETIKA BATUK


Hygiene pernafasan dan etika batuk adalah dua cara penting untuk
mengendalikan penyebaran infeksi di sumbernya. Semua pasien,
pengunjung dan petugas kesehatan hanus direkomendasikan untuk
selalu mematuhi etika batuk dan kebersihan pernafasan untuk
mencegah ekskresi sekret pernafasan (droplet nuclei).
Kunci PPI adalah mengendalikan penyebaran patogen dari pasien yang
terinfeksi kepada kontak yang tidak terlindungi. Untuk penyakit yang
ditransmisikan melaiui droplet besar atau droplet nuklei maka etika
batuk harus diterapkan kepada semua individu dengan gejala gangguan
pada saluran napas.
Pasien, petugas, pengunjung dengan gejala infeksi saluran nafas harus :
1. Menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin;
2. Gunakan tisu/saputangan untuk menutup batuk, buang tisu pasca
pakai ke tempat limbah infeksius;
3. Atau gunakan lengan baju bagian dalam untuk menutup batuk,
4. Cuci tangan dengan menggunakan air bersih mengalir dan sabun
atau lakukan alternatif cuci tangan menggunakan larutan handrub
berbasis alkohol;
5. Gunakan masker kain/masker medikal bila sedang batuk/flu.
Penyuluhan Kesehatan dilakukan untuk memperkenalkan hygiene
respirasi/etika batuk:
- Edukasi kepada semua petugas, pasien dan pengunjung Puskesmas
dengan infeksi saluran napas;
- Edukasi petugas, pasien, keluarga dan pengunjung akan pentingnya
pengendalian transmisi kandungan aerosol dan sekresi saluran
nafas dalam mencegah penularan infeksi saluran napas;
- Menyediakan sarana untuk kebersihan tangan (alkohol handrub,
wastafel, sabun biasa/antiseptik, tissue towel), terutama pada area
tunggu perlu diprioritaskan.

H. PRAKTEK MENYUNTIK YANG AMAN


- Tidak memakai ulang jarum suntik;
- Upayakan tidak memakai obat- obat/cairan multidose;
- Pertahankan teknik aseptik dan antiseptik pada pemberian injeksi;
- Segera buang jarum suntik habis pakai pada kontainer benda tajam;
- Tidak melakukan recapping jarum suntik habis pakai.

I. KESEHATAN PERLINDUNGAN PETUGAS KESEHATAN


Upaya kesehatan dan perlindungan karyawan/petugas kesehatan
ditujukan kepada seluruh karyawan baik yang berhubungan langsung
dengan pasien maupun tidak. Pelaksanaan upaya kesehatan kerja
meliputi :
a. Pemeriksaan berkala
b. Pemberian imunisasi yang pelaksanaannya tergantung pada :
- Resiko ekspos petugas
- Kontak petugas dengan pasien
- Karakteristik pasien Puskesmas
- Dana Puskesmas
c. Pelaporan pajanan dan insiden kecelakaan kerja (tertusuk jarum)
d. Pengobatan dan atau konseling.

KEWASPADAAN BERDASARKAN PENULARAN/TRANSMISI


Kewaspadan berdasarkan penularan dibutuhkan untuk memutus mata
rantai transmisi mikroba penyebab infeksi, dibuat untuk diterapkan
terhadap pasien yang diketahui atau diduga terinfeksi atau terkolonisasi
patogen yang dapat ditransmisikan lewat udara, droplet, kontak dengan
kulit atau permukaan terkontaminasi. Kewaspadaan ini diterapkan sebagai
tambahan terhadap kewaspadaan standar.
Jenis kewaspadaan berdasarkan transmisi :
a. Kontak
• Kontak langsung
• Melalui common vehicle (makanan, air, obat, peralatan)
• Melalui vektor (lalat, nyamuk, tikus, dll)
b. Droplet
c. Udara
1. Kewaspadaan transmisi kontak
Transmisi kontak merupakan cara transmisi terpenting dan
tesering penyebab HAI’s. Kewaspadaan transmisi kontak ditujukan
untuk menurunkan risiko transmisi patogen melalui kontak langsung
atau tidak langsung.
Kontak langsung meliputi kontak kulit terbuka/abrasi, kontak
antara orang yang rentan/petugas dengan kulit pasien terinfeksi atau
kolonisasi (contoh : perawat membalikkan tubuh pasien, memandikan,
membantu pasien bergerak, dokter bedah mengganti verband dengan
luka basah, dll). Risiko kontak langsung tesering adalah kontak tangan.
Transmisi kontak tidak langsung terjadi antara orang yang rentan
dengan benda yang terkontaminasi mikroba infeksius di lingkungan
seperti instrumen yang terkontaminasi, jarum, kassa, sarung tangan
yang tidak diganti saat menolong pasien, melalui obat, makanan, melalui
mainan anak, dll. Kontak dengan cairan sekresi pasien terinfeksi dapat
ditransmisikan melalui tangan petugas atau benda mati di lingkungan
sekitar pasien.
Kewaspadaan kontak diterapkan terhadap pasien dengan infeksi
yang diketahui atau terkolonisasi (ada mikroba pada atau dalam tubuh
pasien tanpa gejaia klinis infeksi) yang mikrobanya dapat ditransmisikan
dengan cara kontak langsung atau tidak langsung. Pada saat petugas
masih memakai sarung tangan terkontaminasi tidak boleh menyentuh
tangan, hidung dan mulut, dan hindari mengkontaminasi permukaan
lingkungan yang tidak berhubungan dengan perawatan pasien, misal
pegangan pintu, tombol lampu, telepon.
Kunci Kewaspadaan Kontak :
1. Cuci tangan sebelum dan setelah merawat pasien
2. Gunakan sarung tangan besih, tidak perlu steril dan gaun
disposable/ reusable bilamana kontak dengan pasien infeksi kontak.
3. Lepaskan dan proses segera sarung tangan dan gaun pasca pakai
perawatan pasien infeksi kontak secara tepat (dimasukkan limbah
medis dan kantong linen infeksius). Lakukan kebePuskesmasihan
tangan segera setelah melepas sarung tangan.
4. Dedikasikan penggunaan peralatan spesifik untuk setiap pasien
infeksi kontak dan selalu membePuskesmasihkan serta mendisinfeksi
peralatan yang tidak disposable sebelum digunakan pasien lain.
5. Hindari menyentuh wajah, mata atau mulut dengan tangan yang
memakai atau tidak memakai sarung tangan sebelum melakukan
kebesihan tangan
6. Pasien ditempatkan dalam ruang perawatan yang terpisah atau secara
kohorting dengan pasien lain yang menderita infeksi sejenis (kontak)
7. Minimalkan kontak antar pasien dan batasi gerak pasien keluar ruang
perawatan
8. Pengendalian lingkungan: pembemasihan dan dekontaminasi
permukaan lingkungan dan benda-benda terkontaminasi dengan
disinfektan standar puskesmas
Pasien dengan infeksi kulit atau mata yang dapat menular
misalnya herpes zoster, impetigo, konjungtivitis, kutu atau infeksi luka
lainnya memerlukan penerapan tindakan pencegahan kontak.
2. Kewaspadaan Transmisi Droplet
Diterapkan sebagai tambahan Kewaspadaan Standar terhadap
pasien dengan infeksi yang telah diketahui atau suspek mengidap
patogen yang dapat ditransmisikan melalui droplet, percikan partikel
besar (> 5µm). Transmisi droplet terjadi melaiui kontak dengan
konjungtiva, membran mukosa hidung atau mulut individu yang
rentan/tanpa pelindung oleh percikan partikel besar (berbicara, batuk,
bePuskesmasin dan tindakan seperti pengisapan lendir dan bronkoskopi)
dan dapat menyebarkan organisme. Dibutuhkan jarak dekat antara
sumber dan resipien (< 1 meter).
Droplet tidak bertahan lama di udara dan segera jatuh/menempel
di permukaan lingkungan sehingga tidak dibutuhkan penanganan
khusus udara atau ventilasi. Transmisi droplet dapat secara langsung,
dimana droplet mencapai membrana mukosa karena terinhalasi.
Transmisi droplet juga sering terjadi secara kombinasi dengan transmisi
kontak yaitu partikel droplet mengkontaminasi permukaan tangan atau
permukaan tubuh atau lingkungan yang lain dan dapat ditransmisikan
ke membran mukosa. Transmisi droplet dapat terjadi saat pasien bicara,
batuk (spontan/akibat induksi), bePuskesmasin, berbagai prosedur yang
dapat menimbulkan aerosol (intubasi endotrakheal, bronkoskopi, suction,
nebulising), fisioterapi dada, resusitasi kardiopulmoner.
Kunci Kewaspadaan Droplet:
1. Cuci tangan sebelum dan setelah merawat pasien, dan segera setelah
setiap kali melepas alat pelindung diri
2. Gunakan masker bedah setiap kali berada dalam jarak 1 meter
dengan pasien
3. Pasien ditempatkan dalam ruang perawatan yang terpisah atau secara
kohorting dengan pasien lain yang menderita infeksi sejenis, berjarak
antar pasien minimal 1 meter
4. Minimalkan transportasi pasien keluar ruang perawatan
5. APD masker bedah/medik, sarung tangan, gaun
6. Pengendalian lingkungan : pembersihan dan dekontaminasi
permukaan lingkungan dan benda-benda terkontaminasi dengan
disinfektan standar PUSKESMAS
3. Kewaspadaan Transmisi melalui Udara (Airborne)
Kewaspadaan transmisi udara diterapkan sebagai tambahan
kewaspadaan standar terhadap pasien yang diduga atau telah diketahui
terinfeksi patogen yang secara epidemiologi penting dan ditransmisikan
melalui jalur udara seperti misalnya transmisi artikel terinhalasi
langsung melalui udara (mis. varicella zoster). Kewaspadaan ini
ditujukan ntuk menurunkan risiko transmisi mikroba penyebab infeksi
melalui udara baik yang ditransmisikan berupa droplet nuklei (sisa
partikel kecil <5µm evaporasi dan droplet yang mengandung mikroba dan
bertahan lama di udara) atau partikel debu yang mengandung mikroba
penyebab infeksi.
Partikel kecil yang mengandung mikroba tePuskesmasebut akan
melayang/menetap di udara beberapa jam terbawa aliran udara > 2 m
dari sumber, dapat terinhalasi oleh individu rentan di ruang yang sama
dan jauh dari pasien sumber mikroba, tergantung pada faktor
lingkungan (sistem ventilasi). Beberapa contoh penyakit : TB paru,
campak, cacar air, influenza, .Kewaspadaan transmisi udara
direkomendasikan diterapkan pada setiap tindakan yang potensial
menimbulkan aerosol pada pasien infeksi udara
Bila didapatkan infeksi baru atau infeksi yang belum diketahui
cara penularannya, maka direkomendasikan untuk menerapkan
kewaspadaan transmisi udara (merupakan jenis kewaspadaan tertinggi).

Kunci Kewaspadaan Udara (Airborne):


1. Cuci tangan sebelum dan setelah merawat pasien, dan segera setelah
setiap kali melepas alat pelindung diri
2. Gunakan respirator partikulat saat memasuki ruang isolasi udara,
cek setiap akan pakai (fit test)
3. Pasien ditempatkan dalam ruang perawatan dengan ventilasi
memadai/ruang dengan pertukaran udara 12x/jam atau ruang
bertekanan negatif (bila mungkin), dipisahkan dan pasien lain atau
ditempatkan dengan prinsip kohorting besama pasien dengan infeksi
udara sejenis
4. Batasi gerak pasien, edukasi etika batuk, pakai masker bila keluar
ruang rawat
5. APD : masker bedah (untuk pasien/pengunjung, sarung tangan,
gaun, apron (bila menghadapi cairan dalam jumlah banyak)
6. Pengendalian Lingkungan
a. Cek aliran udara dengan selembar tisu, jaga pintu selalu tertutup
b. Kontrol sistem ventilasi secara teratur (tekanan negatif atau
ventilasi natural)
c. Tidak direkomendasikan menggunakan AC central, bila
menggunakan AC harus dengan filter HEPA
d. Pembesihan dan dekontaminasi permukaan lingkungan dan
benda-benda terkontaminasi sebagai komplemen
pembePuskesmasihan udara (HEPA filter, ozon, fogging atau sinar
UV).
Isolasi Perlindungan
Isolasi pedindungan diberikan kepada pasien yang karena
kondisi medis/status kesehatannya menjadikan lebih/sangat rentan
terhadap infeksi sehingga perlu dilindungi dari risiko transmisinya di
PUSKESMAS. Kondisi-kondisi pasien yang memerlukan isolasi
perlindungan antara lain:
1. Kondisi immunocompromized (dan berbagai underlying penyakit)
2. Pengobatan steroid/obat supresi sistem imun yang lain
3. Pasien dengan kemoterapi
4. Usia lanjut, bayi prematur/KMK, status gizi buruk, dll
Prinsip kewaspadaan isolasi perlindungan didasarkan pada
penerapan kewaspadaan standar secara maksimal dengan penekanan
antara lain :
1. Ditempatkan dalam ruang khusus yang menerapkan prinsip
kewaspadaan standar secara maksimal
2. Kebesihan tangan sebelum dan setelah masuk ruangan/kontak
pasien (untuk petugas/pengunjung)
3. Batasi kontak petugas/pengunjung (maksimum pengunjung : 2
orang)
4. Batasi barang di dalam ruangan, termasuk perlengkapan yang
dibawa pasien
5. Penggunaan APD oleh petugas sesuai potensi transmisi.
KEWASPADAAN BERBASIS TRANSMISI
Kontak Droplet Udara / Airborne
Penempata Tempatkan di ruang Tempatkan Tempatkan pasien
n pasien rawat terpisah / pasien di ruang terpisah
secara kohorting. diruang terpisah dengan:
Bila tidak mungkin, /secara 1. Tekanan
pertimbangkan kohorting, negatif
epidemiologi dengan jarak  1 2. Aliran udara
mikrobanya dan meter antara TT 12xJam
populasi pasien, dan dgn 3. Pengeluaran
konsultasikan pengunjung. udara terfiltrasi
dengan petugas PPI Pertahankan sebelum udara
(kategonIB) pintu terbuka, mengalir ke
Tempatkan dengan tidak perlu lingkungan.
jarak antar TT 1 penanganan 4. Bila
meter, jaga tidak khusus thd menggunakan
ada kontaminasi udara dan kohorting
silang ke lingkungan ventilasi (kategori (mikroba sama)
dan pasien lain IB) dengan ventilasi
(kategori IB) natural, buka
jendela
maksimal agar
aliran udara
memadai dari
udara
bePuskesmasih
ke kurang
bePuskesmasih
5. Pintu ruang
pasien/kohortin
g tertutup.
Jarak antar pasien
>1
meter.Konsultasika
n dengan petugas
Kontak Droplet Udara / Airborne
PPI untuk
menempatkan
pasien bila ruang
isolasi/kohorting
tidak
memungkinkan.
(kategori IB)
Kontak Droplet Udara / Airborne
Transport Batasi kontak antar Batasi Batasi
pasien pasien, transport gerak/transporta gerak/transportasi
pasien hanya bila si pasien hanya bila
perlu. b/p pasien pasien b/p perlu, pasien
keluar ruangan transport, pasien mengenakan
terapkan prinsip mengenakan masker bedah dan
kewaspadaan masker bedah menerapkan
kontak untuk (kategon IB) dan hygiene
meminimalkan menerapakan respirasi/etika
penularan (kategori hygiene respirasi batuk (kategori IB)
IB) ketika batuk.
APD Sarung tangan non Masker, dipakai Respirator
petugas steril, ganti sarung (melindungi partikulat (N95/
tangan setelah hidung dan Kategori-N pada
kontak cairan mulut) bila efisiensi 95%)
tubuh/pindah bekerja dalam dikenakan saat
pasien. radius 1 meter masuk ruang
Lepaskan sarung dan pasien/saat pasien.
tangan sebelum kontak erat Orang yang rentan
keluar dari ruang (kategori 1B) direkomendasikan
pasien ; cuci tangan tidak masuk ruang
dengan sabun pasien Orang yang
antiseptik (kategort imun/telah pernah
IB). Gaun sakit campak/
bePuskesmasih non cacar air tidak
Kontak Droplet Udara / Airborne
steril saat masuk perlu masker
ruang pasien (kategori IB)
Untuk melindungi Masker
kontak langsung bedah/medikal
pasien, peralatan untuk pasien
/permukaan Sarung tangan
lingkungan sekitar Gaun
pasien, cairan Goggle, saat
tubuh, luka terbuka, melakukan
dll. tindakan yang
Lepaskan gaun menimbulkan
sebelum ke luar aerosol
ruangan, jaga tidak
mengkontaminasi
lingkungan/pasien
lain
(kategori IB)
Apron, digunakan
bila gaun permeable
untuk mengurangi
penetrasi cairan.
Peralatan Dedikasikan 1 Idem Idem
untuk peralatan untuk
perawatan setiap pasien.
pasien Bila digunakan
bePuskesmasama,
terapkan prinsip
pembePuskesmasiha
n dan disinfeksi
secara tepat sebelum
digunakan untuk
pasien lain.
Peralatan semi
kritikal dilakukan
Kontak Droplet Udara / Airborne
DTT, peralatan
kritikal dilakukan
sterilisasi. (kategori
IB)

Kontak Droplet Udara / Airborne


Pengendalian Tidak perlu Tidak perlu Ruang tekanan
teknikal & penanganan penanganan udara negatif dengan
lingkungan ventilasi secara secara khusus ACH 12
khusus AC dengan hepa
filter Aliran udara
pada ventilasi
natural, jendela
dibuka lebar
Pembersihan/usap Pembersihan/usap Pembesihan/usap
permukaan permukaan permukaan
lingkungan dengan lingkungan dengan lingkungan
menggunakan menggunakan dengan
disinfektan disinfektan menggunakan
disinfektan ; b/p
fogging
Contoh MDRO (MRSA VRE, B.pertussis, SARS, M.tbc (obligat
Penyakit/ ESBL) influenza, airborne)
mikroba C. difficile adenovirus. Campak, cacar
Norovirus, rotavirus, rhinovirus air (kombinasi
Legionella (melalui N.meningitidis, transmisi)
makanan, air, Streptococcus grup
vomitus, feses) A, Mycoplasma
pneumonia
Panduan Untuk Kewaspadaan Di Ruang Isolasi
1. Rencanakan tindakan perawatan dengan seksama agar efisien
dan kontak minimal;
2. Kewaspadaan terhadap semua darah dan cairan tubuh ekskresi
dan sekresi dan seluruh pasien untuk meminimalkan risiko
transmisi infeksi;
3. Kebesihan tangan sebelum kontak dan di antara kontak pasien;
4. Cuci tangan setelah menyentuh bahan infeksius (darah dan
cairan tubuh pasien);
5. Gunakan teknik tanpa menyentuh bila memungkinkan untuk
menghindari menyentuh bahan infeksius;
6. Pakai sarung tangan saat harus atau mungkin kontak dengan
darah dan cairan tubuh serta bahan yang terkontaminasi. Cuci
tangan segera setelah melepas sarung tangan. Ganti sarung
tangan antara pasien;
7. Penanganan limbah feses, urine dan sekresi pasien yang lain
dalam lubang pembuangan yang disediakan, besihkan dan
disinfeksi bedpan, urineal, dan kontainer pasien yang lain;
8. Tangani bahan infeksius sesuai prosedur;
9. Pastikan peralatan, barang fasilitas, dan linen infeksius pasien
telah dibersihkan dan didisineksi dengan benar antar pasien;
10. Pastikan mobilisasi pasien keluar unit minimal;
11. Pastikan pembatasan petugas, keluarga pasien/pengunjung yang
masuk ke ruang isolasi seminimal mungkin, telah diedukasi PPI
dan menerapkan penggunaan APD yang sesuai.

PERAWATAN PASIEN DALAM ISOLASI


Bagi pasien dengan penyakit menular melalui udara harus dirawat di
ruang isolasi/kohorting di ruang infeksi airborne untuk mencegah transmisi
langsung atau tidak langsung. Jumlah petugas yang merawat pasien, harus
dijaga seminimal mungkin sesuai dengan tingkat perawatan. Petugas perlu
diawasi secara ketat dan hendaknya berpengalaman dalam pencegahan dan
pengendalian infeksi.
Setiap langkah pencegahan dan pengendalian infeksi perlu dilakukan
sesuai petunjuk untuk mencegah transmisi infeksi antar pasien dan dan
pasien ke petugas pelayanan kesehatan atau orang lain.
Perawatan pasien di ruang isolasi menjadi sulit, jika sumber daya
tidak mencukupi, pasien tidak memiliki kebiasaan menjaga
kebePuskesmasihan, sengaja mencemari lingkungan atau tidak dapat
diharapkan bekerjasama dalam menerapkan tindakan pencegahan infeksi
dan transmisi mikroorganisme. Hal ini dapat ditemukan misalnya pada
anak-anak, pasien dengan keadaan mental yang berubah-ubah atau orang
lanjut usia.
Untuk perawatan pasien penyakit menular melalui udara di ruang
isolasi, petugas kesehatan perlu mentaati petunjuk sebagai berikut :
Pesiapan dan pemeliharaan ruang isolasi
- Lakukan tindakan pencegahan tambahan dengan meletakkan tanda
peringatan pada pintu
- Sediakan lembar catatan pada pintu masuk ruang isolasi. Semua
petugas kesehatan atau pengunjung yang masuk area isolasi harus
mengisi lembar catatan tesebut, agar bila dibutuhkan tindak lanjut,
tesedia data yang dibutuhkan.
- Pastikan bahwa setiap orang yang memasuki ruangan, termasuk petugas
kebersihan memakai APD yang lengkap.
- Pindahkan semua perabotan yang tidak penting. Perabotan di ruang
isolasi harus mudah dibersihkan dan tidak menahan kotoran tesembunyi
atau kondisi basah, baik di dalam maupun sekelilingnya.
- Kumpulkan linen seperlunya.
- Lengkapi tempat cuci tangan dengan kebutuhan untuk cuci tangan yang
cukup.
- Sediakan kantong limbah yang sesuai dalam tempat limbah yang
dioperasikan oleh kaki dalam ruangan.
- Letakkan wadah khusus anti bocor untuk benda tajam dalam ruangan.
- Upayakan agar pasien tidak menggunakan barang pribadi. Letakkan
tempat air minum dan cangkir, tissue dan semua barang untuk
kebesihan pribadi berada dalam jangkauan pasien.
- Sediakan peralatan yang diperlukan tesendiri untuk masing-masing
pasien seperti stetoskop, termometer dan tensimeter. Bila karena
keterbatasan ketesediaan, peralatan digunakan untuk pasien lain maka
semua peralatan hendaknya dibesihkan dan didesinfeksi sebelum
digunakan besama.
- Di luar pintu masuk ruang isolasi (di ruang ganti) sediakan tempat (rak,
trolly, lemari) untuk menyimpan APD. Sediakan daftar tilik untuk
meyakinkan semua peralatan yang dibutuhkan tesedia.
- Di luar pintu keluar ruang isolasi, letakkan wadah tertutup sesuai untuk
setiap peralatan bekas pakai yang akan diproses ulang. Peralatan bekas
pakai tesebut dibesihkan dan didekontaminasi terlebih dahulu di
ruangan khusus sebelum dikirim
- Sediakan peralatan kebesihan (mop/pel basah, lap) dan disinfeksi yang
dibutuhkan di dalam ruangan pasien, masing-masing spesifik/terpisah
- Besihkan ruangan pasien secara menyeluruh setiap hari meliputi semua
permukaan.
Yakinkan bahwa barang-barang seperti meja pasien, kaki tempat tidur
dan lantaI telah dibesihkan dan didisinfeksi. Sodium hipoklorit 0,5 %
dapat digunakan sebagai disinfektan.
- Masukkan linen bekas pakaI ke dalam kantong linen ketika di dalam
ruangan dan kemudian ke dalam kantong lain ketika sudah di luar
ruangan. Kirim segera ke unit pencucian (laundry) dan tangani sebagai
linen terkontaminasi
- Buang semua limbah ke dalam kantong limbah infeksius ketika di dalam
ruangan. Ketika limbah akan dibuang, di luar ruangan masukkan
kantong tesebut ke dalam kantong lain dan kemudian tangani sebagai
limbah infeksius
- Besihkan dan desinfeksi urineal dan bedpan sebelum digunakan untuk
pasien lain
- Hindari penggunaan disinfektan semprotan
- Besihkan semua peralatan kesihan (mop/lap) setelah setiap penggunaan
dengan disinfektan. Kirim semua peralatan kebesihan tesebut ke laundry
untuk dicuci dengan air panas
- Yakinkan arah aliran udara sesuai dengan standar kewaspadaan
transmisi udara (tekanan negatif, aliran udara dari besih ke kurang
besih, perawatan filter HEPA, pintu tertutup rapat)
- Besihkan peralatan makan dalam air sabun panas
- Untuk informasi lebih lanjut mengenai ruang isolasi, lihat :
Memasuki Ruangan
- Siapkan semua peralatan yang dibutuhkan
- Cuci tangan dengan air mengalir atau gunakan handrub berbasis alkohol
- Pakai APD
- Masuk ruangan dan tutup pintu
Meninggalkan ruangan
- Di pintu keluar atau ruang antara (anteroom), lepaskan APD dengan
urutan yang benar
- Sarung tangan: lepas dan buang ke dalam kontainer limbah infeksius
- Kacamata atau pelindung wajah: letakkan di dalam wadah peralatan
bekas pakai
- Gaun : dengan tidak memegang bagian luar, masukkan ke dalam tempat
cucian
- Cuci tangan dengan air mengalir atau gunakan handrub berbasis alkohol
- Tinggalkan ruangan
- Lepaskan respirator dengan memegang elastis di belakang telinga, jangan
memegang bagian depan masker
- Setelah keluar ruangan gunakan kembali handrub berbasis alkohol atau
cuci tangan dengan air mengalir
- Petugas mandi di kamar mandi yang disediakan di ruang ganti sebelum
meninggalkan ruangan dan menggunakan pakaian dari rumah

PANDUAN PPI TB
Pencegahan dan Pengendalian infeksi TB (PPI TB) adalah kegiatan
yang terintegrasi dengan pengendalian infeksi PUSKESMAS secara umum
dan secara khusus ditujukan untuk mencegah dan mengendalikan risiko
penyebaran infeksi TB (secara khusus MDR-TB) di PUSKESMAS (sebagai
bagian kewaspadaan isolasi airborne) melalui tatalaksana administratif,
pengendalian lingkungan dan penggunaan alat pelindung diri (APD).
Pelayanan mudah, pelayanan dan penempatan pasien terpisah
(kohorting), edukasi etika batuk dan higiene respirasi, penyediaan paket
kesehatan kerja (surveilans TB pada petugas, pemeriksaan calon karyawan,
pemeriksaan rutin, imunisasi, tatalaksana pasca pajanan). Kegiatan
pengendalian lingkungan meliputi pengkondisian udara melalui pengaturan
ventilasi (alamiah atau mekanik atau campuran) di fasilitas rawat jalan,
rawat inap, ruang isolasi airborne disease, ruang penunjang (laboratorium,),
area tunggu maupun jalur transportasi pasien. Kegiatan pengendalian dan
perlindungan penggunaan alat pelindung diri (APD) secara rasional dan
efisien (masker bedah untuk pasien, respirator N95 untuk petugas).

Pengendalian Administratif
1. Skrining batuk dilakukan saat pasien datang di PUSKESMAS oleh
petugas yang terlatih (UGD, akses rawat jalan);
2. Pasien batuk suspek infeksi langsung diberikan masker, diberikan
edukasi etika batuk dan higiene respirasi, ditempatkan di area tunggu
pasien batuk;
3. Akses pelayanan pasien suspek TB dikhususkan untuk pelayanan dan
diagnosis cepat:
a. Akses pelayanan dengan poliklinik khusus
b. Akses pelayanan laboratorium khusus
c. Alur rujukan khusus
4. Alur pelayanan diamankan bagi pasien-pengunjung-lingkungan
PUSKESMAS melalui mekanisme:
a. Penataan alur menggunakan jarak terpendek
b. Semaksimal mungkin dijauhkan dari kontak area publik
c. Pasien telah menggunakan masker
5. Waktu kontak di PUSKESMAS dipesingkat melalui penataan sistem
akses pelayanan khusus yang dipisahkan dari pasien umum.
Pengendalian Lingkungan
1. Ruang pendaftaran, ruang poliklinik, ruang pengambilan dahak, ruang
laboratorium dan lain-lain unit penunjang ditata dengan prinsip
pengendalian transmisi udara;
2. Pasien rawat inap TB BTA (+) ditempatkan di ruang rawat inap isolasi,
3. Monitoring kondisi udara dan sistem ventilasi dilakukan secara periodik
berkesinambungan oleh Penanggung Jawab ruangan besama dengan
Unit Sanitasi.
4. Pembersihan ruangan perawatan menggunakan metode sesuai standar
ruang infeksi airborne.
Perlindungan Petugas dan Paket Kesehatan Kerja
1. Alat pelindung diri masker untuk pasien dan untuk petugas;
2. Penyediaan APD di ruangan perawatan infeksi airborne sesuai standar
PPI Puskesmas dikoordinasikan oleh Penanggung Jawab Ruang &
Logistik : sarung tangan bersih, masker, gaun/apron.
3. Paket kesehatan kerja meliputi pemantauan kesehatan dan surveilans
TB pada petugas, pemeriksaan rutin karyawan dan berkala, pemberian
terapi profilaksis maupun terapeutik (pada kasus pasca pajanan) dan
pengaturan shift bertugas serta rotasi tempat tugas dilakukan besama
Sub Bagian Sumber Daya Manusia dan Unit K3.
Panduan K3 tentang pemeriksaan kesehatan untuk TB, alur pasca
pajanan dan tim klinik penanganan pasca pajanan infeksi airborne
disampaikan secara khusus terpisah dan Panduan ini. (lihat Panduan
K3).
BAB IV
TATALAKSANA PENCEGAHAN & PENGENDALIAN
INFEKSI PUSKESMAS/INFEKSI NOSOKOMIAL

Prinsip tatalaksana pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial


adalah kewaspadaan dan manajemen secara maksimal setiap risiko
potensial di setiap tahap aktivitas pelayanan terkait, untuk meminimalkan
manifestasi aktualnya secara optimal sehingga tercapai perlindungan
pasien, petugas, pengunjung dan lingkungan.

A. Tatalaksana Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Kemih:


Pencegahan infeksi saluran kemih nosokomial terkait kateterisasi
uretra perlu memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan pemasangan
kateter urine.
1. Tenaga Pelaksana:
a) Pemasangan kateter hanya dikerjakan oleh tenaga yang
berkompeten dan terampil dalam teknik pemasangan kateter
secara aseptik dan perawatannya (Kategori I)
b) PePuskesmasonil yang memberikan asuhan pada pasien dengan
kateter harus mendapat pelatihan secara berkala khusus dalam
teknik yang benar tentang prosedur pemasangan kateter kandung
kemih dan pengetahuan tentang potensi komplikasi yang timbul
(kategori II)
2. Teknik Pemasangan Kateter:
a) Pemasangan kateter dilakukan hanya bila perlu saja dan segera
dilepas bila tidak diperlukan lagi. Alasan pemasangan kateter tidak
boleh hanya untuk kemudahan pePuskesmasonil dalam memberi
asuhan pada pasien (Kategori II)
b) Gunakan kateter dengan ukuran yang paling sesuai sehingga
aliran urine lancar dan tidak menimbulkan kebocoran dari
samping kateter (Kategori II)
c) Cara drainase urine yang lain seperti : kateter kondom, kateter
suprapubik, kateterisasi selang-seling (intermitten) dapat
digunakan sebagai ganti kateterisasi menetap bila memungkinkan
(Kategori III).
d) Cuci tangan sesuai prosedur sebelum dan sesudah manipulasi
kateter (Kategori I)
e) Pemasangan secara aseptik dengan menggunakan peralatan steril
(Kategori II)

3. Perawatan Sistem Aliran Tertutup:


a) Irigasi hanya dikerjakan apabila diperkirakan ada sumbatan aliran
misalnya karena bekuan darah pada operasi prostat atau kandung
kemih. Untuk mencegah hal ini digunakan irigasi kontinu secara
tertutup. Untuk menghilangkan sumbatan akibat bekuan darah
dan sebab lain dapat digunakan irigasi selang seling. Irigasi
dengan antibiotik sebagai tindakan rutin pencegahan infeksi tidak
direkomendasikan (kategori II)
b) Gunakan semprit besar steril untuk irigasi dan setelah irigasi
selesai semprit dibuang secara aseptik (kategori I)
c) Sambungan kateter harus didisinfeksi sebelum dilepas (kategori II)
d) Jika kateter sering tePuskesmasumbat dan harus sering diirigasi
(jika kateter itu sendiri menimbulkan sumbatan), maka kateter
harus diganti (kategori II)
4. Pengambilan Bahan Urine:
a) Bahan pemeriksaan urine segar dalam jumlah kecil dapat diambil
dari bagian distal kateter, atau lebih baik dari tempat pengambilan
bahan yang tePuskesmasedia dan sebelum urine diaspirasi dengan
jarum dan semprit yang steril tempat pengambilan bahan harus
didisinfeksi (kategori I)
b) Bila diperlukan bahan dalam jumlah besar maka urine harus
diambil dari kantong penampung secara aseptik (kategori I)
c) Bahan pemeriksaan urine kultur ditampung dalam spuit steril atau
tempat menampung urine (pot) steril untuk segera dibawa ke
laboratorium
5. Kelancaran Aliran Urine:
a) Aliran urine harus lancar sampai ke kantong penampung.
Penghentian aliran secara sementara hanya dengan maksud
mengumpulkan bahan pemeriksaan untuk pemeriksaan yang
direncanakan (kategori II)
b) Untuk menjaga kelancaran aliran perhatikan:
- Pipa jangan tertekuk (kinking).
- Kantong penampung harus dikosongkan secara teratur ke wadah
penampung urine yang terpisah bagi tiap-tiap pasien. Saluran
urine dari kantong penampung tidak boleh menyentuh wadah
penampung.
- Kateter yang kurang lancar/tePuskesmasumbat harus diirigasi
sesuai standar prosedur operasional, bila perlu diganti dengan
yang baru.
- Kantong penampung harus selalu terletak lebih rendah dari
kandung kemih, tidak boleh tergeletak/menyentuh lantai
(kategori I).

6. Perawatan Meatus
Direkomendasikan membesihkan dan perawatan meatus (selama
kateter dipasang) dengan larutan povidone iodine, walaupun tidak
mencegah kejadian infeksi saluran kemih (kategori II).
7. Penggantian Kateter
Kateter urine menetap harus dipertimbangkan segera dilepas bila
sudah tidak ada indikasi mutlak; tidak ada rekomendasi harus
menggantinya menurut waktu tertentu/secara rutin (kategori II)

BUNDLE PENCEGAHAN CAUTI:


1. Fiksasi kateter urine ke samping (paha) : untuk mengurangi gerakan
selang kateter, mencegah iritasi.
2. Urinee bag selalu digantung di tempat tidur apabila pasien ditempat tidur
(posisi urinee bag harus selalu dibawah bladder) untuk mencegah
refluks.
3. Memastikan urinee selalu mengalir ke urinee bag
4. Observasi tanda-tanda infeksi
5. Strick hand hygiene.
6. Perawatan meatus setiap hari : lakukan hygiene vulva / penis minimal 3
kali sehari.

B. Tatalaksana Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Aliran Darah


Primer (IADP) dan Plebitis
Pencegahan IADP dan plebitis ditujukan pada pemasangan dan
perawatan kateter vena sentral dan kateter vena perifer.
1. Pemasangan dan perawatan kateter intravaskular serta pemberian
obat IV harus dilakukan staf yang terlatih. Pendidikan dan pelatihan
staf perlu dilakukan secara periodik, menggunakan metode simulasi
dan audiovisual yang efektif.
2. Indikasi pemasangan IV line hanya dilaksanakan untuk tindakan
pengobatan dan atau untuk kepentingan diagnostik. Segera lepaskan
kateter IV jika sudah tidak ada indikasi (kategori I).
3. Pemilihan kanula untuk infus primer:
- Gunakan jenis dan ukuran alat intravaskuler yang berisiko rendah
terjadinya infeksi.
- Kanula plastik boleh digunakan untuk IV line, pemasangan tidak
boleh lebih dari 72 jam (kategori II).
- Penggantian alat sesuai jadwal yang direkomendasikan untuk
mengurangi komplikasi mekanis dan keterbatasan alternatif lokasi
pemasangan.
4. Kebesihan tangan
a) Kebesihan tangan harus dilakukan sebelum dan sesudah palpasi,
insePuskesmasi, melepaskan atau dressing IV device (kategori I).
b) Pada umumnya cuci tangan cukup menggunakan sabun dan air
mengalir untuk pemasangan melalui insisi, cuci tangan harus
menggunakan sabun antiseptik (kategori I).
5. Pesiapan Pemasangan kateter IV
a. Protektif barrier precaution selama insemasi dan perawatan kateter
IV:
- Digunakan sarung tangan bemasih jika melakukan
insePuskesmasi untuk pencegahan kontaminasi blood pathogen.
- Digunakan sarung tangan bemasih pada tindakan dressing.
b. Jangan menyingkat prosedur pemasangan kateter yang sudah
ditentukan (lihat SPO pemasangan kateter IV).
c. Tempat insemasi harus terlebih dahulu didisinfeksi dengan
antiseptik secara adekuat untuk menghilangkan/meminimalkan
kolonisasi kulit di sekitar tempat insemasi. Gunakan antiseptik
povidone-iodine 10%, yodium tincture 2% atau alkohol 70%.
(kategori I)
d. Antiseptik harus adekuat, bila menggunakan iodine pada kulit
sebelum insermasi maka disinfeksi kembali dengan alkohol 70%
dan ditunggu sampai kering minimal 30 detik sebelum dilakukan
pemasangan kanula (kategori I).
e. Jangan lakukan palpasi kembali pada daerah insemasi setelah
dilakukan tindakan aseptik.
6. Prosedur setelah pemasangan kateter IV
a) Kanula difiksasi sebaik-baiknya (kategori I)
b) Tutup daerah insePuskesmasi dengan transparant dressing
(kategori I)
c) Cantumkan tanggal, jam pemasangan kateter di dekat lokasi
insePuskesmasi pada IV perifer atau di tempat yang mudah dibaca
(dalam rekam medik dicatat tanggal, lokasi dan jam pemasangan)
(kategori I)
7. Perawatan tempat pemasangan kateter IV
a) Tempat tusukan diperiksa setiap hari untuk melihat kemungkinan
timbulnya tanda-tanda infeksi (inspeksi dan palpasi daerah vena
tesebut). Bila ada demam yang tidak bisa dijelaskan dan ada nyeri
tekan pada tempat tusukan, kasa penutup /transparant dressing
dibuka untuk melihat kemungkinan komplikasi (kategori I).
b) Bila kanula harus dipertahankan untuk waktu lama, maka setiap
72 jam kasa /transparant dressing penutup harus diganti dengan
yang baru dan steril (kategori II)
c) Lakukan teknik aseptik pada lokasi port dengan alkohol 70%
8. Penggantian Set Infus
a) Jika pengobatan IV melalui infus perifer (baik menggunakan
heparin atau yang dipasang melalui insisi), bila tidak ada
komplikasi yang mengharuskan mencabut kanula maka kanula
harus diganti setiap 72 jam secara asepsis (dewasa) (kategori
I).Tidak ada rekomendasi pada anak tentang hal ini.
b) Selang IV termasuk kanula piggy-back dan stopcock harus diganti
setiap 72 jam, kecuali bila ada indikasi klinis (kategori I).
c) Set infus harus diganti sesudah digunakan untuk pemberian
darah, produk darah, atau emulsi lemak (kategori III).
d) Cairan parenteral
- Cairan infus/parenteral nutrisi diberikan dalam waktu 24 jam
- Pemberian lipid emulsion, secara tesendiri, hanya digunakan
selama 12 jam
9. Kanula Sentral
a). Pemilihan Lokasi Pemasangan kateter sentral
Pada orang dewasa pemasangan kanula lebih baik pada tungkai
atas dan pada tungkai bawah, bila perlu pemasangan dilakukan di
daerah subklavia atau jugular (kategori I).
b) Kanula sentral harus dipasang dengan teknik aspetik (kategori I).
Gunakan kewaspadaan standar yang tepat saat insePuskesmasi
(terdiri atas gaun khusus, tutup kepala, masker, sarung tangan
steril, kain besar/drape steril). InsePuskesmasi direkomendasikan
dilakukan di ruang tindakan.
c) Gunakan teknik aseptik sebelum mengakses sistem kateter.
d) Kanula sentral harus segera dilepas bila indikasi tidak diperlukan
lagi atau diduga menyebabkan sepsis atau menunjukkan tanda-
tanda infeksi. Bila masih diperlukan, direkomendasikan
insePuskesmasi di tempat yang baru (kategori I).
e) Kanula sentral dipasang melalui vena jugular dan subklavia
kecuali digunakan untuk pemantauan tekanan vena sentral, tidak
harus diganti secara rutin (kategori I).
f) Tidak direkomendasikan melakukan insermasi/memasang
berulang kateter pada daerah insermasi yang sama
g) Tidak direkomendasikan pembatasan waktu penggantian kateter
vena sentral kecuali rusak atau terlihat tanda infeksi. Bila kanula
sentral diindikasikan dipertahankan lebih lama, kasa
penutup/dressing harus diperiksa dan diganti setiap 7 hari
(kategori II).
10. Panduan Khusus
a) Jangan gunakan single lumen pada pemberian nutrisi parenteral,
transfusi darah, cairan hiperalimentasi secara bersamaan.
b) Pada setiap penggantian komponen IV, harus dipertahankan
sistem tertutup untuk mencegah kontaminasi. Setiap kali hendak
memasukkan obat melalui selang, harus dilakukan disinfeksi
sesaat sebelum memasukkan obat tersebut (kategori II).
c) Dressing core dilakukan bila kotor, rusak terbuka atau terlihat
tanda-tanda infeksi.
d) Minimalkan jumlah stopcocks yang disambung ke kateter.
e) Pengambilan bahan pemeriksaan darah melalui selang IV tidak
direkomendasikan. (kategori II)
11. Penggantian komponen sistem intravena dalam keadaan infeksi
atau plebitis :
Jika dari tempat insePuskesmasi keluar pus atau terjadi selulitis atau
plebitis atau diduga bakteremia yang berasal dari kanula IV, maka
semua sistem harus dicabut (kategori I).
12. Pemeriksaan untuk infeksi yang dicurigai karena pemasangan
peralatan intravena seperti tromboplebitis purulen, bakteriemi, maka
dapat dilakukan pemeriksaan biakan/kultur ujung kanula. Cara
pengambilan bahan sebagai berikut:
a) Kulit tempat insePuskesmasi dibePuskesmasihkan dan didisinfeksi
alkohol 70%, biarkan sampai kering;
b) Kanula dilepas, ujung kanula yang masuk IV dipotong ± 1 cm
secara aseptik untuk dibiakkkan dengan teknik semi kuantitatif
(kategori II);
c) Jika sistem IV dihentikan oleh karena kecurigaan kontaminasi
cairan parenteral, maka cairan tePuskesmasebut harus dibiakkan
dan sisa cairan dalam botol diamankan (kategori I);
d) Jika sistem IV dihentikan oleh karena kecurigaan bakteriemi
akibat cairan IV, cairan harus dibiakkan (kategori II);
e) Jika terbukti bahwa cairan terkontaminasi maka sisa botol dan
isinya dengan nomor lot yang sama dicatat dan tidak boleh
dipakai;
f) Jika kontaminasi dicurigai berasal dari pabrik (intrinsic
contamination), maka secepatnya harus dilaporkan kepada Dinas
Kesehatan.

Kendali Mutu Selama dan Sesudah Pencampuran Cairan Parenteral


- Cairan parenteral dan hiperalimentasi harus dicampur di bagian
Farmasi kecuali karena kepentingan klinis, pencampuran dilakukan di
ruangan pasien (kategori II).
- Tenaga pelaksana harus mencuci tangan sesuai standar sebelum
mencampur cairan parenteral (kategori I).
- Sebelum mencampur dan menggunakan cairan parenteral, semua
wadah harus diperiksa untuk melihat adanya kekeruhan, kebocoran,
keretakan dan partikel tertentu serta tanggal kadaluaPuskesmasa. Bila
didapatkan keadaan tePuskesmasebut, cairan tidak boleh digunakan
dan harus dikembalikan ke Instalasi Farmasi. Instalasi Farmasi
memastikan bahwa produk tePuskesmasebut tidak dikeluarkan lagi ke
pelayanan (kategori I).
- Ruangan tempat mencampur cairan parenteral harus memiliki
pengatur udara laminar (Laminar flow hood)(kategori II).
- Sebaiknya dipakai wadah yang berisi cairan dengan dosis tunggal
(sekali pakai). Bila dipakai bahan parenteral dengan dosis ganda
(untuk beberapa kali pemakaian), wadah sisa bahan tePuskesmasebut
harus diberi tanda tanggal dan jam waktu dikerjakan.
- Label wadah harus diperiksa untuk mengetahui kondisi ideal
penyimpanan (suhu kamar atau dalam refrigerator)

Central Line Bundle


1. Kebesihan tangan
2. Maximal barrier precaution
3. Antiseptik kulit dengan khlorheksidin
4. Seleksi optimal lokasi kateter, men ghindari vena femoral untuk akses
kateter vena sentral pada pasien dewasa
5. Evaluasi setiap hari indikasi pemasangannya dan segera dilepas bila
sudah tidak dibutuhkan
Tidak direkomendasikan memberikan antimikroba sebagai prosedur rutin
sebelum pemasangan atau selama pemakaian alat intravaskuler untuk
mencegah kolonisasi kateter atau infeksi aliran darah primer (bakteriemia).

D. Tatalaksana Pencegahan dan Pengendalian Pneumonia


1. Pendidikan staf tentang Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
2. Memberikan perubahan posisi pada pasien
a. Posisi kepala > tinggi atau 30°- 45°
b. Ubah posisi tidur miring kanan dan kiri bergantian
3. Keberasihan mulut setiap 4 jam dengan menggunakan anitiseptik oral
yang bebas dari alkohol (khlorheksidin 0,2%)
4. Laksanakan kewaspadaan standar
a. Kebersihan tangan (kategori I) sebelum dan sesudah:
• Menyentuh pasien
• Menyentuh darah/cairan tubuh
• Menyentuh alat sistem pernafasan
b. Gunakan sarung tangan besih
• kontak dengan mukosa mulut dan kering
• tindakan pengisapan lendir
• kontak darah dan cairan tubuh
c. Ganti sarung tangan di antara dua tindakan.
d. Pakai masker saat:
• intubasi,
• pengisapan lendir,
• pembePuskesmasihan mulut dan hidung.
e. Segera lepas masker setelah selesai tindakan.
f. Bersihkan semua peralatan sebelum didisinfeksi atau sterilisasi
• Lakukan dekontaminasi semua peralatan sebelum disinfeksi
/sterilisasi
• Jangan memakai ulang peralatan disposable, kecuali yang
sudah diatur dalam kebijakan PUSKESMAS tentang pengelolaan
alat medis reused
• Lakukan disinfeksi sesuai standar kriteria alat pada alat pakai
ulang sebelum digunakan lagi (sesuai standar CSSD)
• Bag resusitasi dibersihkan dan didisinfeksi setelah digunakan.
g. Tidak direkomendasikan mengganti sirkuit ventilator secara rutin,
kecuali atas indikasi
h. Satu sirkuit setiap pasien, penggantian sirkuit ventilator bila kotor
atau tidak berfungsi (tidak ada rekomendasi waktu penggantian
breathing sircuit)
i. Tidak membuka sirkuit ventilator secara rutin
j. Segera membuang kondensasi air dalam sirkuit ke tempat
penampungan (water trap)
k. Gunakan air steril untuk mengisi humidifier.
l. Alat nebulisasi dinding dan penampungnya harus diganti setiap 24
jam dan dibePuskesmasihkan
m. Setiap slang dan masker yang digunakan untuk terapi oksigen
harus diganti pada setiap pasien.
n. Lakukan pengisapan lendir saluran pernafasan dengan tehnik
aseptik dan dilakukan hanya jika perlu, gunakan kateter steril.
Jika pemakaian hanya dalam waktu singkat maka kateter dapat
dipakai ulang setelah dibilas dan dibePuskesmasihkan.
o. Intubasi
• Lakukan dengan tehnik aseptik
VAP Bundle
a. Kebesihan tangan
b. Posisi tidur 30°- 45° bila tidak ada kontra indikasi
c. Oral hygiene setiap 4 jam (dengan khlorheksidin 0,2%)
d. Penghisapan lendir jika diperlukan, diprioritaskan menggunakan
closed System
h. Pemberian obat untuk menghindari stress ulcer
i. Tidak direkomendasikan melakukan bronkhial washing
E. Tatalaksana Pencegahan dan Pengendalian Dekubitus Infeksi
Pencegahan dekubitus:
- Higiene dan perawatan kulit, kulit harus selalu dijaga agar tetap
besih dan kering serta dikaji terus menerus terhadap risiko dan
tanda awal penekanan dan gesekan,
- Menghilangkan friksi dan gesekan, pertahankan postur tubuh
ataupun pergerakan secara bebas;
- Mengurangi tekanan pada tumit;
- Pengaturan posisi, diberikan untuk mengurangi tekanan dan gaya
gesek pada kulit;
- Kasur antidekubitus, mengurangi bahaya immobilisasi pada sistem
kulit.
Penatalaksanaan dekubitus:
- Kaji derajat dekubitus;
- Rawat dekubitus sesuai dengan derajatnya;
- Catat kejadian dekubitus beserta grade-nya, dokumentasikan
melalui surveilans nosokomial dan entry data infeksi RL 6
BAB V
PANDUAN PPI UNTUK PASIEN & PENGUNJUNG

Panduan PPI untuk Pasien


Pasien memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu
yang berfokus pada keselamatan. Untuk itu, maka pasien juga perlu diberi
edukasi agar bekerjasama dengan masyarakat PUSKESMAS mewujudkan
standar pelayanan untuk pencegahan dan pengendalian infeksi.
Pasien selalu diberi edukasi pada setiap orientasi ketika awal dirawat
inap. Edukasi PPI khususnya adalah dalam hal kebesihan tangan.
ketertiban membuang sampah dan etika batuk. Hal lain yang perlu
diedukasikan adalah membatasi barang dari luar PUSKESMAS yang dibawa
ke ruangan, jumlah penunggu di ruangan dan ketertiban jam berkunjung.
Catatan edukasi bagi pasien didokumentasikan dalam Form
Pendidikan Pasien dalam rekam medis.
Pasien rawat jalan diberikan edukasi saat menunggu di area
pendaftaran / poliklinik melalui program penyuluhan kesehatan
masyarakat PUSKESMAS yang dikoordinasikan Tim PPI PUSKESMAS
melalui Bagian Humas. Bentuk lain edukasi adalah dengan banner, poster,
leflet, teks berjalan, baliho, spanduk, pemutaran video edukasi, dll yang
ditempatkan di area publik yang mudah terbaca oleh seluruh pengunjung
PUSKESMAS dan di area tunggu pasien/pengunjung.

Panduan PPI untuk Pengunjung


Di Rawat Jalan
1. Pengunjung / pasien setelah tiba di Puskesmas direkomendasikan untuk
melakukan kebePuskesmasihan tangan dengan menggunakan sabun cair
dengan air mengalir atau handrub yang sudah disediakan
2. Apabila pengunjung / pasien batuk atau mengalami tanda atau gejala
infeksi pernafasan pada saat berada di ruang pendaftaran
direkomendasikan menempati tempat duduk yang telah disediakan
khusus pasien batuk dan menggunakan masker yang sudah disediakan
3. Direkomendasikan pengunjung / pasien batuk untuk duduk pada jarak
1 meter dari yang lainnya saat menunggu pemeriksaan
4. Berikan edukasi atau informasi mengenai etika batuk
5. Pengunjung / pasien setelah keluar dari Puskesmas direkomendasikan
untuk melakukan kebePuskesmasihan tangan menggunakan sabun cair
dengan air mengalir atau handrub yang sudah disediakan.

Pada pasien dengan penyakit menular melalui udara


1. Pengunjung melakukan kebesihan tangan sebelum memasuki dan
setelah keluar dari ruang perawatan pasien
2. Pengunjung dibatasi maksimal 2 orang dan waktu berkunjung maksimal
10 menit
3. Pengunjung harus mengikuti prosedur dari PPI dengan menggunakan
APD berupa masker dan gaun (jika diperlukan), apabila kontak langsung
dengan pasien
4. Segera melepas APD jika keluar ruangan dan masker dibuang pada
limbah infeksius apabila menggunakan gaun maka ditempatkan pada
tempat linen infeksius

Pada pasien dengan Isolasi Perlindungan


1. Pengunjung melakukan kebesihan tangan sebelum memasuki dan
setelah keluar dari ruang perawatan pasien
2. Pengunjung dibatasi maksimal 2 orang
3. Pengunjung harus mengikuti prosedur dari PPI dengan menggunakan
APD berupa masker, gaun, mengganti alas kaki, membatasi kontak
dengan pasien
4. Segera melepas APD jika keluar ruangan; masker dibuang pada limbah
infeksius, gaun dan alas kaki ditempatkan pada tempat yang disediakan

Informasi berupa poster, leaflet, banner, spanduk, teks berjalan, dll. Bentuk
media edukasi disediakan untuk pengunjung PUSKESMAS, ditempatkan di
tempat / area publik PUSKESMAS, dengan prioritas materi:
- Kebersihan tangan;
- Etika batuk dan higiene respirasi;
- Pemakaian masker untuk pasien / pengunjung batuk;
- Kebersihan lingkungan
- Ketertiban membuang sampah
- Penggunaan APD sesuai potensi risiko penularan
Pengantar pasien maupun pengunjung diberikan edukasi saat menunggu di
area tunggu puskesmas melalui program penyuluhan kesehatan
masyarakat puskesmas yang dikoordinasikan Tim PPI puskesmas.

KEPALA UPT PUSKESMAS SOBANG

H. Agus surya, SKM,.S.Kep.,Ners.,M.S.i


NIP. 197108211996031006

Anda mungkin juga menyukai