Anda di halaman 1dari 13

Al-Muhtarif: Jurnal Pendidikan Agama Islam

Vol. 1. No. 4. September 2023. E-ISSN: 2988-1862


Hal.xx-xx

PENERAPAN PENILAIAN AUTENTIK DALAM


UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN
Mohamad Shabri Hatlah1
1
Institut Agama Islam Negeri
Email : raflihkini@gmial.com

ABSTRAK

Penelitian ini mengangkat tema penerapan penilaian autentik sebagai strategi inovatif dalam
meningkatkan mutu pendidikan. Melalui pendekatan penelitian kualitatif, penelitian ini berfokus
pada implementasi dan dampak penggunaan penilaian autentik di lingkungan pendidikan. Metode
penelitian melibatkan observasi, analisis instrumen penilaian, dan wawancara dengan para pendidik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan penilaian autentik memberikan kontribusi positif
terhadap mutu pendidikan. Berbagai bentuk instrumen, seperti proyek, portofolio, dan ujian praktik,
digunakan untuk mengukur kemampuan siswa secara menyeluruh. Selain memberikan gambaran
holistik terkait pencapaian akademis, penilaian autentik juga mendorong pengembangan
keterampilan sosial dan pribadi siswa. Penelitian ini mencatat tantangan dalam penerapan penilaian
autentik, termasuk kurangnya pemahaman guru dan infrastruktur pendukung. Meskipun demikian,
hasil penelitian menyiratkan bahwa dengan pelatihan dan dukungan yang memadai, guru dapat
mengintegrasikan penilaian autentik secara efektif dalam praktik pembelajaran sehari-hari.
Kesimpulannya, penilaian autentik bukan hanya alat evaluasi, tetapi juga merupakan kunci untuk
meningkatkan mutu pendidikan dengan memberikan pemahaman yang lebih mendalam terhadap
kemampuan dan potensi siswa. Implikasi penelitian ini merangsang pertimbangan lebih lanjut
terkait pengembangan kebijakan pendidikan yang mendukung penerapan penilaian autentik sebagai
bagian integral dari proses pembelajaran

Kata Kunci: Penilaian Autentik, peningkatan, mutu pendidikan

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan fondasi utama dalam pembangunan suatu bangsa


dan menjadi kunci keberhasilan individu. Peningkatan mutu pendidikan menjadi
tantangan utama bagi setiap negara, termasuk Indonesia, guna memastikan bahwa
setiap warganya memiliki akses, kesempatan, dan penerimaan yang adil terhadap
pendidikan yang berkualitas.1 Dalam upaya memajukan sistem pendidikan,
pengembangan metode penilaian yang autentik menjadi fokus penting, seiring
dengan pengakuan bahwa penilaian berperan sentral dalam mengukur efektivitas
pendidikan. Artikel ini mendalami penerapan penilaian autentik sebagai strategi
untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Penilaian autentik, sebagai

1Abraham, I., Tjalla, A., & Indrajit, R. E. (2021). HOTS (High Order Thingking Skill ) dalam
Paedagogik Kritis. Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan, 5(3).
https://doi.org/10.36312/jisip.v5i3.2211
bentuk evaluasi yang mampu merefleksikan kemampuan nyata siswa, menawarkan
pendekatan yang lebih holistik dan relevan. Penekanan pada aspek kreativitas,
pemecahan masalah, dan penerapan konsep dalam situasi kehidupan sehari-hari
membuat penilaian autentik menjadi instrumen yang lebih sesuai dengan tuntutan
dunia nyata.2
Dalam artikel ini, kami akan menjelajahi konsep penilaian autentik dan
mengidentifikasi dampak positifnya terhadap mutu pendidikan. Penerapan
penilaian autentik diharapkan dapat merangsang keterlibatan siswa,
mengoptimalkan potensi individu, dan membawa pengalaman belajar yang lebih
bermakna. Selain itu, kami juga akan membahas tantangan dan peluang dalam
implementasi penilaian autentik, sejalan dengan komitmen global untuk
menciptakan kurikulum yang berorientasi pada hasil pembelajaran. Melalui
pembahasan ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam
tentang bagaimana penerapan penilaian autentik dapat menjadi kunci dalam
menciptakan lingkungan pendidikan yang dinamis dan responsif. Lebih dari
sekadar alat evaluasi, penilaian autentik menjadi instrumen penting dalam
mengevaluasi kemampuan siswa untuk menerapkan pengetahuan mereka dalam
situasi kehidupan nyata. Sehingga, artikel ini membahas secara holistik relevansi,
manfaat, dan tantangan yang terkait dengan penerapan penilaian autentik dalam
mendukung upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
Kekhawatiran yang dirasakan oleh siswa dan orang tua, juga berdampak
negatif terhadap pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Dalam konteks yang masih
diperdebatkan ini, pelaksanaan ujian nasional tahun 2023, baik di tingkat SMA
maupun SMP, mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Tingkat kelulusan di tingkat SMP pada tahun 2009 mencapai 95,05%, tetapi turun
menjadi 90,27% pada tahun 2023.3 Sementara itu, tingkat kelulusan di jenjang
SMA pada tahun 2009 adalah 93,74%, namun turun menjadi 89,88% pada tahun
2023. Banyak sekolah, khususnya SMP, mengalami tingkat ketidaklulusan
mencapai 100%, dengan jumlah 561 sekolah negeri dan swasta. Beberapa wilayah
yang terkena dampak tingkat ketidaklulusan tersebut antara lain Jawa Tengah (105
sekolah), Jawa Timur (54 sekolah), DKI Jakarta (51 sekolah), Gorontalo (47
sekolah), Kalimantan Barat (34 sekolah), Banten (27 sekolah), Nusa Tenggara
Timur (26 sekolah), Maluku Utara (24 sekolah), dan Papua (18 sekolah). Dalam

2 Aditomo, A. (2021). Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembagan dan Perbukuan
Nomor 028/H/KU/2021 Tentang Capain Pembelajaran PAUD, SD, SMP, SMA, SDLB, SMPLB
dan SMALB pada Program Sekolah Penggerak . Badan Penelitian dan Pengembagan dan
Perbukuan RI.
3 Akcaoğlu, M. Ö., Mor, E., & Külekçi, E. (2023). The mediating role of metacognitive awareness

in the relationship between critical thinking and self-regulation. Thinking Skills and Creativity,
47, 101187.
menghadapi hasil ujian yang memprihatinkan dan untuk menghindari kekecewaan
serta kekhawatiran masyarakat, pemerintah kemudian mengadakan ujian ulangan.
Penurunan hasil ujian nasional tahun 2023 ini menuai kritik dari berbagai
pihak yang menyalahkan penurunan mutu pendidikan di Indonesia. Permasalahan
ini mencetuskan dua pertanyaan mendasar. Pertama, apakah penurunan tingkat
kelulusan ujian nasional dapat dianggap sebagai indikator penurunan mutu
pendidikan di Indonesia? Kedua, sejauh mana pelaksanaan ujian nasional dapat
dijadikan sebagai tolok ukur untuk menilai tingkat mutu pendidikan?.

RUMUSAN MASALAH
Dengan pemahaman yang lebih dalam, ujian nasional sebenarnya hanya
merupakan salah satu bentuk pelaksanaan penilaian hasil belajar sesuai dengan
ketentuan Permendiknas No. 20 tahun 2007 tentang standar penilaian pendidikan.
Sehubungan dengan pelaksanaan penilaian ini, muncul pertanyaan-pertanyaan
tambahan, yaitu:
(1) apakah penilaian hasil belajar yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan
Peraturan tentang Standar Penilaian, ?
(2) apakah penilaian pemerintah sudah mampu mengukur seluruh potensi dan
kegiatan pembelajaran yang dilakukan,?
(3) sejauh mana penilaian dalam bentuk ujian nasional dapat menjadi motivator
bagi siswa untuk belajar lebih intensif?

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ilmiah ini adalah metode
studi pustaka. Metode studi pustaka merupakan metode penelitian yang digunakan
dalam rangka menyelidiki dan menganalisis informasi dari sumber-sumber literatur
yang relevan dengan topik penelitian.4 Metode ini memberikan pemahaman
mendalam tentang perkembangan konsep, teori, dan temuan terkini yang terkait
dengan penerapan penilaian autentik untuk pengalaman belajar yang bermakna.
Metode studi pustaka digunakan sebagai pendekatan penelitian yang efektif untuk
menjelajahi dan menyintesis literatur yang relevan dengan penerapan penilaian
autentik untuk menciptakan pengalaman belajar yang bermakna. 5 Dengan langkah-
langkah yang terinci, metode ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang
mendalam dan landasan teoretis yang kuat untuk penelitian ini, mempersiapkan

4 Muhammad Shaleh Assingkily, Metode Penelitian Pendidikan (Panduan Menulis Artikel Ilmiah

Dan Tugas Akhir) (Penerbit K-Media, 2021).


5 Creswell, J. W. (2016). Research design: Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan

Campuran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


jalan untuk pemahaman yang lebih baik tentang dampak dan implikasi penerapan
penilaian autentik dalam konteks pendidikan tinggi.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Dengan melihat berbagai permasalahan dalam pelaksanaan penilaian yang
dilakukan guru di sekolah, maupun dalam pelaksanaan UN, maka perlu dilakukan
pembenahan dan peningkatan dalam penyelenggaraan UN. 6 Salah satu jalan untuk
mendongkrak mutu pendidikan nasional ke arah yang lebih baik diperlukan
keberanian untuk mengambil kebijakan membenahi sistem ujian yang digunakan
sebagai alat penilaian. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tulisan ini bermaksud
memaparkan suatu bentuk penilaian hasil belajar yang dimungkinkan dapat
menunjang peningkatan mutu pendidikan, khususnya penerapan penilaian autentik.
Dalam tulisan ini secara berturut-turut akan dibahas: mutu pendidikan, penilaian
dalam proses pembelajaran, dan penerapan penilaian autentik.
1. Mutu Pendidikan
Mutu pendidikan merupakan masalah klasik yang senantiasa diupayakan
peningkatannya oleh Pemerintah. Meskipun berbagai upaya telah ditempuh namun
mutu pendidikan masih belum terwujud secara optimal. Sebenarnya upaya
peningkatan mutu pendidikan ini telah menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Hal ini terbukti dengan kesuksesan pelajar Indonesia dalam setiap mengikuti
Olimpiade Fisika Internasional (IPhO). 7 Bukti yang ada menunjukkan bahwa sejak
pelajar Indonesia mengikuti IPhO pada tahun 1993 selalu mendapatkan juara
(medali), bahkan pada tahun 1999 dan 2006 berhasil meraih empat medali emas. Di
balik kesuksesan tersebut, kita merasa sangat prihatin dengan hasil beberapa survei
yang membandingkan kemajuan pendidikan di beberapa negara. Dalam laporan
HDI (Human Development Index) 2006 tentang pencapaian prestasi dan kualitas
SDM yang menempatkan Indonesia berada di bawah Vietnam, yaitu berada pada
peringkat 102 dari 106 negara. Hasil survei PERC di 12 negara juga menunjukkan
bahwa Indonesia berada pada peringkat terbawah, satu peringkat di bawah
Vietnam. Demikian juga dalam survei matematika yang dilakukan oleh TIMSS-R
di 34 negara Asia, Australia, dan Afrika telah menempatkan Indonesia dalam
peringkat ke 34. Apapun kondisinya, Pemerintah telah menunjukkan upaya yang
serius dalam mewujudkan mutu pendidikan.

6 Astuti, I., &


Kismini, E. (2021). Pelaksanaan Penilaian Autentik Pada Masa Pandemi Covid-19
Mata Pelajaran Sosiologi Materi Permasalahan Sosial Dalam Masyarakat Di SMA Negeri 1
Godong. Solidarity: Journal of Education, Society and Culture, 10(1). Diambil dari
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/solidarity
7 Astuti, Y. A. (2013). Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Tgt (Teams Games Tournament)

Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Sosiologi. SOSIALITAS; Jurnal Ilmiah Pend. Sos Ant, 3(1).
Upaya-upaya tersebut antara lain: memperbaharui undangundang sistem
pendidikan nasional (SISDIKNAS), pembaharuan kurikulum, peningkatan
profesionalitas dan kesejahteraan guru, melengkapi sarana prasarana pendidikan,
menetapkan dan mengupayakan standarisasi pendidikan nasional. Upaya tersebut
telah menunjukkan langkah yang komprehensif dalam meningkatkan mutu
pendidikan, namun implementasinya yang belum optimal. Berbagai upaya yang
ditempuh Pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan memunculkan
pertanyaan tentang bagaimana mutu pendidikan tersebut dapat diwujudkan.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 mengenai Standar Nasional
Pendidikan, mutu pendidikan dianggap tercapai jika pelaksanaannya sesuai dengan
standar nasional yang telah ditetapkan. Terdapat delapan standar pendidikan yang
saling terkait, mencakup isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, serta penilaian
pendidikan. Keseluruhan standar ini berperan dalam mendukung pelaksanaan
pembelajaran yang bermutu, dengan fokus pada mutu pembelajaran sebagai
penentu mutu pendidikan secara keseluruhan.8
Heinich dan rekan-rekannya sejalan dengan konsep tersebut, menetapkan
kriteria mutu proses pembelajaran, termasuk siswa yang aktif terlibat dalam tugas
bermakna, kesempatan latihan untuk memperbaiki retensi dan kemampuan
mengaplikasikan pengetahuan baru, materi yang dapat diterapkan dalam situasi
nyata, interaksi sosial, umpan balik, dan perhatian terhadap karakteristik siswa yang
unik. Smith juga menyatakan bahwa mutu pendidikan dapat diukur dari tingkat
pencapaian kompetensi secara utuh yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor sesuai dengan potensi individu.9 Pendapat tersebut menegaskan bahwa
tujuan pembelajaran menjadi indikator mutu pendidikan. Pendapat Soedijarto
menunjukkan bahwa mutu pendidikan dinilai berdasarkan kontribusinya dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional. Pendidikan
dianggap bermutu jika berhasil membentuk generasi muda yang cerdas,
berkarakter, bermoral, dan berkepribadian. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang
nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang
menetapkan tujuan nasional pendidikan.
Dengan demikian, mutu pendidikan dapat dinilai dari pencapaian tujuan
pendidikan nasional, satuan pendidikan, dan mata pelajaran melalui standar
kompetensi dan kompetensi dasar. Ketika membahas hubungan antara tujuan
pembelajaran dan mutu pembelajaran, seringkali terjadi pemahaman yang kurang

8 Babaee, M., & Tikoduadua, M. (2013). E-portfolios: A New Trend in Formative Writing
Assessment. International Journal of Modern Education Forum (IJMEF, 2(2), 49–56. Diambil
dari www.ijmef.org
9 Hadiana, D., & Asrijanty. (2019). Panduan Penilaian Kinerja. Jakarta: Pusat Penelitian

Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemendikbud.


tepat di kalangan masyarakat. Pemahaman ini sering kali terbatas pada aspek
nilai/angka hasil ujian dan kelulusan. Umumnya, masyarakat menganggap bahwa
suatu lembaga pendidikan dianggap bermutu apabila tingkat kelulusan dalam ujian
nasional mencapai 100% dan nilai yang diperoleh siswa cukup tinggi. Namun,
pandangan tersebut kurang sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang ini telah menggeser
fokus tujuan pembelajaran dari sekadar "lulus ujian dan memperoleh nilai tinggi"
menjadi lebih komprehensif. Pandangan ini menjadi kurang relevan karena tujuan
pembelajaran seharusnya terkait erat dengan kegiatan yang dilakukan untuk
mencapai tujuan tersebut.10 Apabila tujuan pembelajaran hanya terbatas pada
pencapaian kelulusan dan nilai tinggi, maka proses pembelajaran cenderung
difokuskan hanya pada penguasaan teknik menjawab soal-soal ujian, baik ujian
yang diberikan oleh guru atau sekolah maupun ujian nasional yang diselenggarakan
oleh pemerintah. 11
Pendekatan pembelajaran semacam ini dapat berdampak negatif terhadap
tujuan pembelajaran yang sesungguhnya. Sebaliknya, tujuan pembelajaran
seharusnya tidak hanya terkait dengan hasil akhir berupa nilai dalam raport atau
ijazah, melainkan juga sangat berkaitan dengan seluruh proses pembelajaran.
Dalam konteks ini, tujuan pembelajaran dapat dianggap tercapai apabila potensi
penuh peserta didik dapat berkembang secara optimal dan mencapai kompetensi
sebagaimana yang ditetapkan dalam tujuan pendidikan nasional dan Standar Isi
untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang diatur oleh Permendiknas
nomor 22 Tahun 2006.12 Oleh karena itu, tujuan pembelajaran yang berhasil adalah
ketika peserta didik termotivasi untuk belajar, aktif mengembangkan seluruh
potensi dan kreativitasnya secara optimal. Dari uraian di atas, terlihat bahwa
kualitas pendidikan sangat bergantung pada kemampuan satuan pendidikan dalam
mengelola proses pembelajaran. Penilaian menjadi unsur kritis dalam proses
pembelajaran, karena melalui penilaian, pendidik sebagai pengelola kegiatan
pembelajaran dapat menilai kemampuan peserta didik, kecocokan metode
pembelajaran yang diterapkan, dan keberhasilan peserta didik dalam mencapai
kompetensi yang ditetapkan.

10 Hajaroh, M. (2021). High order thinking skill sebagai landasan dalam pengembangan
asesmen dan evaluasi pendidikan. Foundasia, 12(2), 59–74.
https://doi.org/10.21831/foundasia.v12i2.47332
11 Maksum, A. (2013). Sosiologi pendidikan. Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan

Ampel Surabaya.
12 Mubarikah, R. M., & Sylvia, I. (2021). Pengembangan Instrumen Penilaian Produk Pada

Pembelajaran Sosiologi untuk Mengukur Keterampilan Siswa di SMA Negeri 1 Banjarnegara.


Jurnal Sikola: Jurnal Kajian Pendidikan Dan Pembelajaran, 3(1), 38–54.
https://doi.org/https://doi.org/10.24036/sikola.v3i1.150
2. Penilaian dalam Proses Pembelajaran.
Penilaian menjadi bagian integral dari proses pembelajaran dan dianggap
sebagai salah satu dari tiga pilar utama yang sangat memengaruhi kegiatan
pembelajaran. Ketiga pilar tersebut melibatkan perencanaan, pelaksanaan, dan
penilaian. Sinergi dan kelangsungan antara ketiga pilar ini akan menentukan
kualitas pembelajaran secara keseluruhan. Oleh karena itu, penilaian harus
direncanakan dan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran. Sistem penilaian perlu dikembangkan sejalan dengan perkembangan
model dan strategi pembelajaran. Meskipun model dan strategi pembelajaran telah
mengalami perkembangan pesat, seperti model berbasis konstruktivis, kontekstual,
dan neuroscience, kecenderungan yang ada menunjukkan bahwa sistem penilaian
yang umumnya digunakan oleh pendidik, sekolah, dan pemerintah masih
cenderung bersifat tradisional. Penilaian tersebut seringkali melibatkan pemberian
sejumlah soal dengan jawaban pendek, isian, atau pertanyaan pilihan ganda. Selain
itu, penilaian ini terbatas pada menilai sejumlah tugas terbatas yang mungkin tidak
mencerminkan sepenuhnya apa yang dikerjakan selama proses pembelajaran.
Penilaian tradisional cenderung hanya mengeksplorasi aspek kognitif, terutama
kognitif tingkat rendah seperti aspek ingatan dan pemahaman. 13
Dalam proses penilaian ini, jarang terjadi penilaian menyeluruh terhadap
kemampuan dan hasil belajar siswa, termasuk respons emosional terhadap
pengajaran. Pendekatan penilaian tradisional ini terlalu simpel dalam mengukur
kapasitas siswa sebagai pembelajar, sebab potensi-potensi yang dikembangkan dan
hasil belajarnya tidak sepenuhnya terekspos. 14 Lebih dari itu, jika penilaian hanya
terbatas pada pengungkapan kemampuan kognitif, khususnya aspek ingatan dan
pemahaman yang hanya mengandalkan memori semata, maka sistem penilaian
tersebut kurang mampu mencerminkan hasil belajar secara menyeluruh dan tidak
dapat dijadikan indikator tingkat mutu pembelajaran. Terjadi suatu fenomena yang
aneh dan disayangkan di negara ini, yaitu mengenai pertanyaan mengapa ujian
nasional (UN), yang merupakan bentuk evaluasi pemerintah untuk mengukur
tingkat penguasaan standar kompetensi dan kualitas pendidikan, masih
menggunakan metode penilaian yang bersifat tradisional. Di Amerika Serikat,
penggunaan tes standar dalam ujian nasional mendapat protes keras karena siswa

13 Muhardi, A., & Sylvia, I. (2020). Pelaksanaan Penilaian Autentik dalam Pembelajaran
Sosiologi Kelas X di SMA Negeri 1 Lubuk Basung. Jurnal Sikola: Jurnal Kajian Pendidikan dan
Pembelajaran, 2(2), 70–84. https://doi.org/10.24036/sikola.v2i2.87
14 Musfiqon, & Nurdyansyah. (2015). Pendekatan Pembelajaran Saintifik. Sidoarjo: Nizamia

Learning Center.
hanya dinilai selama beberapa hari saat ujian nasional setelah belajar selama
beberapa tahun. 15
Kecenderungan untuk menerapkan penilaian tradisional yang hanya menilai
prestasi akademis dan kemampuan kognitif siswa, seperti dalam penilaian
tradisional, memiliki dampak besar pada seluruh kegiatan pembelajaran. Hal ini
mendorong sekolah untuk mendorong kemampuan kognitif siswa dengan
memberikan pelajaran tambahan dan menggunakan metode drill dalam setiap
pembelajaran agar siswa mendapatkan nilai tinggi pada mata pelajaran yang diuji
dalam UN. Namun, kondisi ini tampaknya didukung oleh orang tua siswa yang
tidak ingin anak-anak mereka gagal dalam UN. Dampak yang paling tidak
diinginkan dari penerapan penilaian tradisional ini adalah munculnya berbagai
bentuk kecurangan, baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok yang
terorganisir. Upaya seperti ini jelas menyimpang dari hakikat dan tujuan
pembelajaran. Pembelajaran bukan lagi menjadi dorongan bagi siswa untuk belajar,
tetapi lebih sebagai upaya menyelesaikan soal-soal, bukan lagi untuk mencapai
kompetensi sesuai dengan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, melainkan hanya untuk lulus ujian
nasional, dan bukan lagi untuk menerapkan pengetahuannya dalam memecahkan
berbagai permasalahan sehari-hari, melainkan agar memiliki strategi dalam
menjawab soal ujian nasional. Oleh karena itu, mutu pendidikan sesungguhnya
tidak akan pernah tercapai.
Berdasarkan pada realitas dan pemikiran tersebut, diperlukan
pengembangan sistem penilaian yang mampu mengukur kemampuan siswa secara
holistik sebagai hasil pembelajaran dan mendorong siswa untuk belajar
mengembangkan potensi dan kreativitasnya serta menerapkan pengetahuannya
dalam kehidupan sehari-hari.16 Salah satu bentuk penilaian yang diusulkan adalah
penilaian autentik, yaitu suatu pendekatan evaluasi yang menyeluruh terhadap hasil
dan proses belajar dengan berbagai metode. Penilaian autentik, juga dikenal sebagai
penilaian kinerja atau penilaian berbasis kinerja, adalah suatu proses pengumpulan,
pelaporan, dan pemanfaatan informasi tentang hasil belajar siswa. Metode ini
menerapkan prinsip-prinsip penilaian yang berkelanjutan, bukti-bukti autentik,
akurat, dan konsisten sebagai bentuk akuntabilitas publik (Pusat Kurikulum, 2009).
Menurut Johnson (2002), penilaian autentik memberikan kesempatan yang luas
kepada siswa untuk menunjukkan pemahaman dan penguasaan mereka selama
proses pembelajaran. Penilaian autentik lebih fokus pada tujuan, melibatkan

15 Mutmainah, E., & Pratiwi, P. H. (2019). Implementasi Pembelajaran Sosiologi Dalam Konteks

Kurikulum 2013. E-Societas: Jurnal Pendidikan Sosiologi, 8–5.


16 Pratiwi, S. S., & Purwasih, J. H. G. (2021). Buku Panduan Guru Sosiologi untuk SMA Kelas XI.

Jakarta: Pusat Perbukuan Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
pembelajaran langsung, mempromosikan kerja sama, dan mendorong tingkat
berpikir yang lebih tinggi (Johnson, 2009). Penilaian autentik muncul sebagai
alternatif terhadap penilaian tradisional yang kurang memperhatikan konteks dunia
nyata dan tidak mencerminkan kemampuan siswa secara holistik. Menurut Pokey
dan Siders (dalam Santrock, 2007), penilaian autentik adalah upaya mengevaluasi
pengetahuan atau keahlian siswa dalam konteks yang mendekati dunia nyata. Siswa
ditantang untuk menerapkan informasi dan keterampilan baru dalam situasi dunia
nyata untuk mencapai tujuan tertentu, sehingga penilaian ini menjadi sarana bagi
sekolah untuk merealisasikan kemauan, kemampuan, dan kreativitas siswa (Sizer,
1992).17 Penilaian autentik juga dikenal dengan sejumlah istilah seperti
performance assessment, alternative assessment, direct assessment, dan realistic
assessment. Ini disebut sebagai penilaian kinerja atau berbasis kinerja karena
langsung mengukur kinerja aktual siswa dalam situasi tertentu, meminta siswa
untuk melaksanakan tugas-tugas bermakna menggunakan dunia nyata atau konteks
autentik. Dikategorikan sebagai penilaian alternatif karena dapat digunakan sebagai
pengganti penilaian tradisional.
Penilaian autentik juga dianggap sebagai penilaian realistis atau terkait
dengan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Moon (2005), penilaian
autentik memiliki beberapa karakteristik utama, antara lain fokus pada materi
penting, penilaian yang mendalam, kemudahan implementasi di kelas atau
lingkungan sekolah, penekanan pada kualitas produk atau kinerja, pengembangan
kekuatan dan penguasaan materi oleh siswa, memberikan berbagai cara bagi siswa
untuk menunjukkan kemampuan mereka, dan memberikan skor penilaian
berdasarkan inti tugas. Dalam penilaian autentik, terdapat penekanan pada
pemahaman konsep, kemampuan pemecahan masalah, dan keterlibatan siswa
dalam proses pembelajaran secara berarti. Selain itu, prinsip-prinsip umum
penilaian autentik melibatkan integrasi penilaian sebagai bagian integral dari proses
pembelajaran, mencerminkan masalah dunia nyata, menggunakan berbagai ukuran,
metode, dan kriteria sesuai dengan pengalaman belajar, dan bersifat holistik
mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Penilaian autentik sejalan dengan standar penilaian yang ditetapkan dalam
Permendiknas Nomor 20 tahun 2007, yang mencakup tes tulis, tes lisan, praktek
dan kinerja, observasi selama kegiatan pembelajaran dan di luar pembelajaran, serta
penugasan (terstruktur dan tugas mandiri tak terstruktur). Dalam implementasinya,
penilaian autentik dapat diwujudkan melalui proyek atau kegiatan siswa,
penggunaan portofolio, jurnal, demonstrasi, laporan tertulis, ceklis, dan petunjuk

17Rahmi, W., & Sylvia, I. (2021). Efektivitas Instrumen Penilaian Kinerja Siswa Berbasis
Masalah dalam Mata Pelajaran Sosiologi. Jurnal Sikola: Jurnal Kajian Pendidikan dan
Pembelajaran, 2(4), 345–354. https://doi.org/10.24036/sikola.v2i4.120
observasi, membuktikan berbagai bentuk evaluasi yang menyeluruh sesuai dengan
tujuan pembelajaran dan pengembangan siswa.18
Penilaian autentik dalam proses penilaian di sekolah dilakukan dengan
rubrik. Semua jenis dan bentuk penilaian autentik harus dinilai dengan rubrik.
Rubrik adalah salah satu format penilaian dengan menggunakan matriks atau tabel
yang rinci tentang aspek-aspek yang dinilai. Menurut Woolfolk (2004), rubrik
berisi aturan-aturan yang digunakan untuk menilai kinerja siswa. Konsep penilaian
rubrik merupakan gabungan antara skala penilaian dengan daftar cek. Dalam format
penilaian rubrik setiap kolom mewakili aspek-aspek yang dinilai atau kinerja yang
dievaluasi. Setiap garis menggambarkan karakteristik setiap elemen atau aspek
yang dinilai disertai dengan skala nilai tentang penguasaan kompetensi atau kinerja.
Penggunaan rubrik untuk penilaian kinerja dapat membantu menentukan kualitas
pekerjaan yang dicapai oleh siswa. Hal lain yang sangat penting dalam penggunaan
rubrik sebagai instrumen penilaian adalah siswa atau temannya dapat menilai
sendiri hasil kerjanya dengan berpedoman pada rubrik. Dengan demikian melalui
rubrik, siswa akan terpacu untuk bekerja secara optimal, dan pelaksanaan penilaian
akan lebih objektif serta mencerminkan kemampuan dan kerja siswa. Menurut Linn
dan Burton yang dikutip oleh Cruickshank (2005), skala penilaian, daftar cek dan
rubrik merupakan sarana yang efektif untuk memperbaiki tingkat akurasi dalam
menilai kualitas kinerja, produk dan hasil karya siswa.
Dengan demikian jelas penilaian autentik lebih dapat mengungkapkan hasil
belajar siswa secara holistik, sehingga benar-benar dapat mencerminkan potensi,
kemampuan, dan kreativitas siswa sebagai hasil proses belajar. Selain itu penerapan
penilaian autentik akan dapat mendorong siswa untuk lebih aktif belajar dan
menerapkan hasil belajarnya dalam kehidupan nyata. Dengan demikian penilaian
autentik dapat meningkatkan mutu pendidikan. Mengingat pentingnya penilaian
autentik, baik dalam proses penilaian maupun peningkatan kualitas pembelajaran,
maka metode penilaian seperti ini perlu diterapkan sebagai sarana untuk
memperbaiki proses pembelajaran sekaligus untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Adapun penerapan penilaian autentik ini tentunya tidak langsung menggantikan
posisi penilaian standar yang selama ini dilakukan, baik oleh guru, sekolah, maupun
pemerintah, akan tetapi dilakukan secara komplementer dengan penilaian standar
sesuai dengan kompetensi yang akan dinilai. Secara operasional penerapannya
dapat dilakukan dalam tiga tahap. Pada tahap awal, penilaian autentik dapat
dilakukan oleh seluruh pendidik dalam setiap kegiatan pembelajaran, kemudian
dilanjutkan penilaian sekolah yang berupa ujian sekolah, dan pada akhirnya

18Riyadi, A. W. (2011). Pendekatan Pendidikan Multikultural Pada Mata Pelajaran Sosiologi


Sma Kelas XI. Komunitas, 3(2), 188–196. Diambil dari
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas
diterapkan dalam penilaian pemerintah yang berupa ujian nasional (UN). Dengan
penerapan penilaian autentik secara bertahap ini diharapkan dapat mengkondisikan
siswa dan lebih lanjut tidak akan terjadi lagi ketegangan, ketakutan dan
kekhawatiran dalam menghadapi UN. Dengan kata lain UN tetap perlu
dilaksanakan untuk mengetahui ketercapaian standar kelulusan, dan pemetaan hasil
pendidikan, guna melakukan perbaikan secara nasional.
Proses penilaian dalam kurikulum tahun 2013 mengadopsi metode penilaian
autentik, yang merupakan suatu evaluasi holistik terhadap masukan, proses, dan
hasil pembelajaran. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2015, evaluasi hasil belajar tenaga
kependidikan mencakup pengumpulan pengetahuan, sikap, dan keterampilan
terkait prestasi belajar peserta didik. Proses ini diimplementasikan secara sistematis
untuk membimbing perbaikan proses, perkembangan pembelajaran, dan hasil
pembelajaran melalui penilaian tugas serta hasil pembelajaran. Dari data penelitian
yang diperoleh melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi, disimpulkan
bahwa Sekolah menggunakan penilaian autentik. Guru tidak hanya menilai siswa
berdasarkan hasil akhir, tetapi juga mengintegrasikan penilaian selama proses
pembelajaran. Penilaian autentik yang diterapkan oleh guru mencakup aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik, menggunakan berbagai teknik penilaian untuk
mengukur hasil belajar siswa.19
Pelaksanaan evaluasi autentik di Sekolah terdiri dari tiga tahap, yakni
perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan. Dalam perencanaan, guru membuat alat
evaluasi sesuai dengan kompetensi dasar dan indikator pencapaian. Guru juga
menugaskan teknik evaluasi dan menetapkan nilai KKM (Kriteria Ketuntasan
Minimal) untuk pengambilan keputusan. Pada tahap pelaksanaan, guru melakukan
penilaian sesuai prosedur dan mengamati siswa yang belum mencapai KKM. Tahap
pelaporan melibatkan pengolahan hasil penilaian sesuai dengan pedoman
penskoran dan kriteria penilaian, sambil menawarkan bantuan kepada siswa yang
memerlukan. Temuan penelitian ini sejalan dengan pandangan Kusnad (2018)
bahwa implementasi penilaian autentik dalam pendidikan melibatkan tahap
perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan. Hal ini juga diperkuat oleh studi Puspita
(2020) yang menunjukkan bahwa guru memiliki peran kunci dalam merencanakan,
melaksanakan, dan melaporkan hasil penilaian autentik sebagai bagian dari tugas
utama mereka. Namun, terdapat kesulitan yang dihadapi guru dalam
mengimplementasikan penilaian autentik.

KESIMPULAN

19 Rosidin, U. (2017). Evaluasi dan Asesmen Pembelajaran. Yogyakarta: Media Akademi.


Betapapun pentingnya penilaian autentik bagi peningkatan mutu
pendidikan, akan tetapi tetap hanya merupakan konsep dan bahkan slogan, apabila
tidak diterapkan secara konsisten dan berkelanjutan di sekolah. Dalam konteks ini,
penerapan penilaian autentik di sekolah memerlukan peran guru yang profesional.
Guru yang profesional adalah mereka yang menguasai metode penilaian autentik,
menyadari pentingnya pendekatan ini, dan memiliki komitmen untuk memajukan
mutu pendidikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan peningkatan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan guru dalam melaksanakan penilaian autentik sebagai
upaya konkret untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik. Dalam rangka
mendukung pencapaian tujuan ini, diperlukan program pelatihan dan
pengembangan kompetensi bagi para guru sehingga mereka dapat secara efektif
mengimplementasikan penilaian autentik dalam proses pembelajaran. Hal ini akan
membantu memastikan bahwa penilaian autentik tidak hanya menjadi wacana,
melainkan menjadi suatu praktik yang melekat dan berdampak positif pada kualitas
pendidikan di tingkat sekolah.

DAFTAR PUSTAKA
Abraham, I., Tjalla, A., & Indrajit, R. E. (2021). HOTS (High Order Thingking
Skill ) dalam Paedagogik Kritis. Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan, 5(3).
https://doi.org/10.36312/jisip.v5i3.2211/http
Aditomo, A. (2021). Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembagan dan
Perbukuan Nomor 028/H/KU/2021 Tentang Capain Pembelajaran PAUD, SD,
SMP, SMA, SDLB, SMPLB dan SMALB pada Program Sekolah Penggerak .
Badan Penelitian dan Pengembagan dan Perbukuan RI.
Akcaoğlu, M. Ö., Mor, E., & Külekçi, E. (2023). The mediating role of
metacognitive awareness in the relationship between critical thinking and self-
regulation. Thinking Skills and Creativity, 47, 101187.
Astuti, I., & Kismini, E. (2021). Pelaksanaan Penilaian Autentik Pada Masa
Pandemi Covid-19 Mata Pelajaran Sosiologi Materi Permasalahan Sosial
Dalam Masyarakat Di SMA Negeri 1 Godong. Solidarity: Journal of
Education, Society and Culture, 10(1). Diambil dari
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/solidarity
Astuti, Y. A. (2013). Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Tgt (Teams Games
Tournament) Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Sosiologi. SOSIALITAS;
Jurnal Ilmiah Pend. Sos Ant, 3(1).
Babaee, M., & Tikoduadua, M. (2013). E-portfolios: A New Trend in Formative
Writing Assessment. International Journal of Modern Education Forum
(IJMEF, 2(2), 49–56. Diambil dari www.ijmef.org
Creswell, J. W. (2016). Research design: Pendekatan Metode Kualitatif,
Kuantitatif, dan Campuran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hadiana, D., &
Asrijanty. (2019). Panduan Penilaian Kinerja. Jakarta: Pusat Penelitian
Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemendikbud.
Hajaroh, M. (2021). High order thinking skill sebagai landasan dalam
pengembangan asesmen dan evaluasi pendidikan. Foundasia, 12(2), 59–74.
https://doi.org/10.21831/foundasia.v12i2.47332
Maksum, A. (2013). Sosiologi pendidikan. Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Ampel Surabaya.
Mubarikah, R. M., & Sylvia, I. (2021). Pengembangan Instrumen Penilaian Produk
Pada Pembelajaran Sosiologi untuk Mengukur Keterampilan Siswa di SMA
Negeri 1 Banjarnegara. Jurnal Sikola: Jurnal Kajian Pendidikan Dan
Pembelajaran, 3(1), 38–54.
https://doi.org/https://doi.org/10.24036/sikola.v3i1.150
Muhardi, A., & Sylvia, I. (2020). Pelaksanaan Penilaian Autentik dalam
Pembelajaran Sosiologi Kelas X di SMA Negeri 1 Lubuk Basung. Jurnal
Sikola: Jurnal Kajian Pendidikan dan Pembelajaran, 2(2), 70–84.
https://doi.org/10.24036/sikola.v2i2.87
Musfiqon, & Nurdyansyah. (2015). Pendekatan Pembelajaran Saintifik. Sidoarjo:
Nizamia Learning Center.
Mutmainah, E., & Pratiwi, P. H. (2019). Implementasi Pembelajaran Sosiologi
Dalam Konteks Kurikulum 2013. E-Societas: Jurnal Pendidikan Sosiologi, 8–
5.
Pratiwi, S. S., & Purwasih, J. H. G. (2021). Buku Panduan Guru Sosiologi untuk
SMA Kelas XI. Jakarta: Pusat Perbukuan Badan Standar, Kurikulum, dan
Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi.
Rahmi, W., & Sylvia, I. (2021). Efektivitas Instrumen Penilaian Kinerja Siswa
Berbasis Masalah dalam Mata Pelajaran Sosiologi. Jurnal Sikola: Jurnal Kajian
Pendidikan dan Pembelajaran, 2(4), 345–354.
https://doi.org/10.24036/sikola.v2i4.120
Riyadi, A. W. (2011). Pendekatan Pendidikan Multikultural Pada Mata Pelajaran
Sosiologi Sma Kelas XI. Komunitas, 3(2), 188–196. Diambil dari
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas
Rosidin, U. (2017). Evaluasi dan Asesmen Pembelajaran. Yogyakarta: Media
Akademi.

Anda mungkin juga menyukai