Anda di halaman 1dari 12

Tugas Mata Kuliah :Perencanaan Pembangunan Pendidikan

MASALAH PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN


(Dosen : DR. Budiman Haruna, S.E., M.Si)

Oleh
YULIANA RASJID
NIM: P2MM-13.02.03.083
(KELAS BLOK TIME SEMESTER 3)

MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN


UNIVERSITAS INDONESIA TIMUR
2015
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang bersifat umum bagi setiap manusia dimuka
bumi ini. Pendidikan tidak terlepas dari segala kegiatan manusia. Dalam kondisi apapun
manusia tidak dapat menolak efek dari penerapan pendidikan. Pendidikan diambil dari kata
dasar didik, yang ditambah imbuhan menjadi mendidik. Mendidik berarti memlihara atau
memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dari pengertian ini didapat beberapa
hal yang berhubungan dengan Pendidikan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk
mengubah sikap dan tata laku seseorang atau sekolompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha
manusia untuk memanusiakan manusia itu sendiri. Dalam penididkan terdapat dua subjek
pokok yang saling berinteraksi. Kedua subjek itu adalah pendidik dan subjek didik. Subjek-
subjek itu tidak harus selalu manusia, tetapi dapat berupa media atau alat-alat pendidikan.
Sehingga pada pendidikan terjadi interaksi antara pendidik dengan subjek didik guna mencapai
tujuan pendidikan.

Untuk meningkatkan mutu pendidikan kita perlu melihat dari banyak sisi. Telah banyak
pakar pendidikan mengemukakan pendapatnya tentang faktor penyebab dan solusi mengatasi
kemerosotan mutu pendidikan di lndonesia. Dengan masukan ilmiah ahli itu, pemerintah tak
berdiam diri sehingga tujuan pendidikan nasional tercapai.

Masukan ilmiah yang disampaikan para ahli dari negara-negara yang berhasil
menerapkannya, seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Selandia Baru dan Singapura selalu
memunculkan konsep yang tidak selalu bisa diadopsi dan diadaptasi. Karena berbagai macam
latar yang berbeda. Situasi, kondisi, latar budaya dan pola pikir bangsa kita tentunya tidak
homogen dengan negara-negara yang diteladani. Malahan, konsep yang di impor itu terkesan
dijadikan sebagai “proyek” yang bertendensi pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Artinya, proyek bukan sebagai alat melainkan sebagai tujuan.
Beberapa penerapan pola peningkatan mutu di Indonesia telah banyak dilakukan,
namun masih belum dapat secara langsung memberikan efek perbaikan mutu. Di antaranya
adalah usaha peningkatan mutu dengan perubahan kurikulum dan proyek peningkatan lain;
Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), Proyek Perpustakaan, Proyek
Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu (BOMM), Proyek Bantuan lmbal Swadaya (BIS),
Proyek Pengadaan Buku Paket, Proyek Peningkatan Mutu Guru, Dana Bantuan Langsung (DBL),
Bantuan Operasioanal Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM). Dengan
memperhatikan sejumlah proyek itu, dapatlah kita simpulkan bahwa pemerintah telah banyak
menghabiskan anggaran dana untuk membiayai proyek itu sebagai upaya meningkatkan mutu
pendidikan. Namun, semua hal tersebut belum dapat menghasilkan atau meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia.

2. Fokus Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan beberapa hal
yang akan dibahas pada makalah ini, yaitu :

1) Konsep mutu pendidikan

2) Berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan, selain upaya-
upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah seperti disebutkan pada latar belakang di atas.

3. Tujuan Pengkajian Masalah Pendidikan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1) Agar kita dapat mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan konsep mutu
pendidikan

2) Agar kita dapat mengetahui langkah-langkah apa saja yang dapat kita lakukan dalam
membantu pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.

3) Agar dapat menjadi salah satu referensi dalam penulisan karya tulis lainnya yang
menggunakan tema pembahasan yang sama.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Konsep Mutu Pendidikan

Mutu sama halnya dengan memiliki kualitas dan bobot. Jadi pendidikan yang bermutu
yaitu pelaksanaan pendidikan yang dapat menghasilkan tenaga profesional sesuai dengan
kebutuhan negara dan bangsa pada saat ini. Sedangkan relevan berarti bersangkut paut, kait
mangait, dan berguna secara langsung.

Sejalan dengan proses pemerataan pendidikan, peningkatan mutu untuk setiap jenjang
pendidikan melalui persekolahan juga dilaksanakan. Peningkatan mutu ini diarahkan kepada
peningkatan mutu masukan dan lulusan, proses, guru, sarana dan prasarana, dan anggaran
yang digunakan untuk menjalankan pendidikan.

Rendahnya mutu dan relevansi pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor
terpenting yang mempengaruhi adalah mutu proses pembelajaran yang belum mampu
menciptakan proses pembelajaran yang berkualitas. Hasil-hasil pendidikan juga belum didukung
oleh sistem pengujian dan penilaian yang melembaga dan independen, sehingga mutu
pendidikan tidak dapat dimonitor secara ojektif dan teratur. Uji banding antara mutu pendidikan
suatu daerah dengan daerah lain belum dapat dilakukan sesuai dengan yang diharapkan.
Sehingga hasil-hasil penilaian pendidikan belum berfungsi unutk penyempurnaan proses dan
hasil pendidikan.

Selain itu, kurikulum sekolah yang terstruktur dan sarat dengan beban menjadikan
proses belajar menjadi kaku dan tidak menarik. Pelaksanaan pendidikan seperti ini tidak mampu
memupuk kreatifitas siswa unutk belajar secara efektif. Sistem yang berlaku pada saat sekarang
ini juga tidak mampu membawa guru dan dosen untuk melakukan pembelajaran serta
pengelolaan belajar menjadi lebih inovatif.

Pada pendidikan mutu tinggi, pelaksanaan kurikulum ditetapkan pada penentuan


cakupan materi yang ditetapkan secara terpusat, sehingga perlu dilaksanakan perubahan
kearah kurikulum yang berbasis kompetensi, dan lebih peka terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

Rendahnya mutu dan relevansi pendidikan juga disebabkan oleh rendahnya kualitas
tenaga pengajar. Penilaian dapat dilihat dari kualifikasi belajar yang dapat dicapai oleh guru dan
dosen tersebut. Dibanding negara berkembang lainnya, maka kualitas tenaga pengajar
pendidikan tinggi di Indonesia memiliki masalah yang sangat mendasar.

Konsep mengenai mutu pendidikan berbeda-beda antara yang satu dengan yang
lainnya. Mutu, dalam pengertian umum dapat diartikan sebagai derajat keunggulan suatu
produk atau hasil kerja, baik berupa barang atau jasa.

Menurut Sallis dalam Syaefuddin, dkk. (2007:2-8 unit 2) terdapat tiga pengertian konsep
mutu. Pertama, mutu sebagai konsep yang absolut (mutlak), kedua, mutu dalam konsep yang
relatif, dan ketiga, mutu menurut pelanggan.

1) Dalam pengertian yang absolut, sesuatu dikatan bermutu jika memenuhi standar yang
tertinggi dan tidak dapat diungguli, sehingga mutu dianggap sesutau yang ideal yang tidak
dapat dikompromikan, seperti kebaikan, keindahan, dan kebenaran. Jika dikaitkan dengan
pendidikan, maka konsep mutu absolut bersifat elite karena hanya sedikit lembaga pendidikan
yang dapat memberikan pendidikan dengan high quality kepada siswa, dan sebagian besar
siswa tidak dapat menjangkaunya.

2) Dalam pengertian relatif, mutu bukanlah suatu atribut dari suatu produk atau jasa, tetapi
sesuatu yang berasal dari produk atau jasa itu sendiri. Dalam konsep ini, produk yang bermutu
adalah yang sesuai dengan tujuannya.

3) Menurut pengertian pelanggan, mutu adalah sesuatu yang didefinisikan oleh pelanggan.
Dalam konsep ini, ujung-ujungnya adalah kepuasan pelanggan, sehingga mutu ditentukan
sejauh mana ia mampu memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka atau bahkan melebihi.
Karena kepuasan dan keinginan merupakan suatu konsep yang abstrak, maka pengertian
kualitas dalam hal ini disebut “kualitas dalam persepsi – quality in perception”.

Dalam konteks pendidikan, produk dari lembaga pendidikan berupa jasa. Kepuasan
pelanggan (siswa, orang tua, dan masyarakat) dibagi dalam dua aspek yaitu tata layanan
pendidikan dan prestasi yang dicapai siswa.
Sedangkan pendidikan yang bermutu mengacu pada berbagai input seperti tenaga
pengajar, peralatan, buku, biaya pendidikan, teknologi, dan input-input lainnya yang diperlukan
dalam proses pendidikan. Ada pula yang mengaitkan mutu pada proses (pembelajaran),
dengan argumen bahwa proses pendidikan (pembelajaran) yang paling menentukan adalah
kualitas. Orientasi mutu dari aspek output mendasarkan pada hasil pendidikan yang ditujukan
oleh keunggulan akademik dan nonakademik di suatu sekolah. Bahkan saat ini, mutu
pendidikan tidak hanya dapat dilihat dari prestasi yang dicapai, tetapi bagaimana prestasi
tersebut dapat dibandingkan dengan standar yang ditetapkan, seperti yang tertuang di dalam
UU No.20 tahun 2003 pasal 35 dan PP No.19 tahun 2005 (Syaifuddin, dkk. 2007:2-7).

Bunyi pasal 35 UU No.20 tahun 2003 pasal 35 adalah sebagai berikut:

1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang
harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.

2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga


kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan dan pembiayaan.

3) Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan


pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standarisasi, penjaminan, dan
pengendalian mutu pendidikan.

4) Ketentuan mengenai nasional pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Standar nasional pendidikan diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan.


Dengan adanya standar, dua orang guru tidak akan meberikan penafsiran berbeda terhadap
kedalaman sebuah kompetensi dasar sebuah kurikulum. Demikian juga, dengan proses
pembelajaran, guru akan berfokus pada hasil (output) yang harus dicapai, tidak sekedar
memenuhi target administratif yang ada dalam petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk
teknis (juknis) (Mulyasa, 2009:18).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dilihat bahwa ada berbagai macam
konsep mengenai mutu pendidikan. Dari berbagai macam konsep tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa mutu pendidikan berkaitan dengan tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan
nasional seperti yang tercantum di dalam UU No.20 th 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Selain itu, mutu pendidikan dapat dikatakan baik apabila memenuhi standar nasional
pendidikan.

2. Solusi Peningkatan Mutu Pendidikan

Upaya pemerintah yang begitu mahal belum menunjukkan hasil menggembirakan. Ada
yang berpendapat mungkin manajemennya yang kurang tepat dan ada pula yang mengatakan
bahwa pemerintah kurang konsisten dengan upaya yang dijalankan. Karena itu, kembali pada
apa yang kita sebut sebagai kekayaan lokal, bahwa tidak sepenuhnya apa yang dapat
dipraktikkan dengan baik di luar negeri bisa seratus persen juga berhasil di Indonesia, semua
itu membutuhkan tahapan, namun dengan kerangka yang jelas dan tidak dibebani oleh proyek
yang demi kepentingan sesaat atau golongan. Hal-hal berikut adalah elemen dasar bagaimana
kita dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.

1) Insan Pendidikan Patut Mendapatkan Penghargaan karena itu Berikanlah Penghargaan

“Manajemen Sumber Daya Manusia” mengatakan, penghargaan diberikan untuk menarik


dan mempertahankan SDM karena diperlukan untuk mencapai saran-saran organisasi. Staf
(guru) akan termotivasi jika diberikan penghargaan ekstrinsik (gaji, tunjangan, bonus dan
komisi) maupun penghargaan instrinsik (pujian, tantangan, pengakuan, tanggung jawab,
kesempatan dan pengembangan karir). Mc. Keena & Beech (1995 : 161).

Manusia mempunyai sejumlah kebutuhan yang memiliki lima tingkatan (hierarchy of


needs) yakni, mulai dari kebutuhan fisiologis (pangan, sandang dan papan), kebutuhan rasa
aman ( terhindar dari rasa takut akan gangguan keamanan), kebutuhan sosial (bermasyarakat),
kebutuhan yang mencerminkan harga diri, dan kebutuhan mengaktualisasikan diri di tengah
masyarakat. (Abraham H. Maslow)

Pendidik dan pengajar sebagai manusia yang diharapkan sebagai ujung tombak meningkatkan
mutu berhasrat mengangkat harkat dan martabatnya. Jasanya yang besar dalam dunia
pendidikan pantas untuk mendapatkan penghargaan intrinsik dan ekstrinsik agar tidak
termarjinalkan dalam kehidupan masyarakat.
2) Meningkatkan Profesionalisme Guru dan Pendidik

Kurikulum dan panduan manajemen sekolah sebaik apapun tidak akan berarti jika tidak
ditangani oleh guru profesional. Karena itu tuntutan terhadap profesinalisme guru yang sering
dilontarkan masyarakat dunia usaha/industri, legislatif, dan pemerintah adalah hal yang wajar
untuk disikapi secara arif dan bijaksana.

Konsep tentang guru profesional ini selalu dikaitkan dengan pengetahuan tentang wawasan dan
kebijakan pendidikan, teori belajar dan pembelajaran, penelitian pendidikan (tindakan kelas),
evaluasi pembelajaran, kepemimpinan pendidikan, manajemen pengelolaan kelas/sekolah, serta
tekhnologi informasi dan komunikasi. Sebagian besar tentang indikator itu sudah diperoleh di
LPTK antara lain IKIP, FKIP, dan STKIP non-refreshing.

Fenomena menunjukkan bahwa kualitas profesionalisme guru kita masih rendah. Faktor-faktor
internal seperti penghasilan guru yang belum mampu memenuhi kebutuhan fisiologis dan
profesi masih dianggap sebagai faktor determinan. Akibatnya, upaya untuk menambah
pengetahuan dan wawasan menjadi terhambat karena ketidakmampuan guru secara financial
dalam pengembangan SDM melalui peningkatan jenjang pendidikan.

Hal itu juga telah disadari pemerintah sehingga program pelatihan mutlak diperlukan karena
terbatasnya anggaran untuk meningkatkan pendidikan guru. Program pelatihan ini dimaksudkan
untuk menghasilkan guru sebagai tenaga yang terampil (skill labour) atau dengan istilah lain
guru yang memiliki kompetensi.

UU Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 42 ayat (1) menyebutkan pendidik harus memiliki kualifikasi
minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan
rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Uraian pasal
42 itu cukup jelas bahwa untuk menjadi guru sebagai tahapan awal harus memenuhi
persyaratan kualifikasi minimal (latar belakang pendidikan keguruan/umum dan memiliki akta
mengajar). Setelah guru memenuhi persyaratan kualifikasi, maka guru akan dan sedang berada
pada tahapan kompetensi. Namun, fenomena menunjukkan bahwa pendidik di sekolah masih
banyak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa lapangan
pekerjaan guru sangat mudah untuk dimasuki oleh siapa saja.
3) Sebisa Mungkin Kurangi dan Berantas Korupsi

Menurut laporan BPK tahun 2003 lalu, Depdiknas merupakan lembaga pemerintah terkorup
kedua setelah Departemen Agama. Kemudian Laporan ICW menyebutkan bahwa korupsi dalam
dunia pendidikan dilakukan secara bersama-sama (Amin Rais menyebutnya korupsi berjamaah)
dalam berbagai jenjang mulai tingkat sekolah, dinas, sampai departemen. Pelakunya mulai dari
guru, kepala sekolah, kepala dinas, dan seterusnya masuk dalam jaringan korupsi. Sekolah
yang diharapkan menjadi benteng pertahanan yang menjunjung nilai-nilai kejujuran justru
mempertotonkan praktik korupsi kepada peserta didik.

Korupsi itu berhubungan dengan dana yang berasal dari pemerintah dan dana yang langsung
ditarik dari masyarakat. Jika selama ini anggaran pendidikan yang sangat minim dikeluhkan,
ternyata dana yang kecil itupun tak luput dari korupsi. Hal ini tidak terlepas dar kekaburan
sistem anggaran sekolah. Kekaburan dalam sistem anggaran (RAPBS) itu memungkinkan kepala
sekolah mempraktikkan Pembiayaan Sistem Ganda (PSG). Misalnya dana operasional pembelian
barang yang telah dianggarkan dari dana pemerintah dibebankan lagi kepada masyarakat.

Semakin terpuruknya peringkat SDM Indonesia pada tahun 2004, tak perlu hanya kita sesali,
melainkan menjadikannya sebagai motivasi untuk bangkit dari keterpurukan. Jika kondisi itu
mau diubah mulailah dari menerapkan konsep yang berpijak pada akar masalah.

4) Berikan Sarana dan Prasarana Yang Layak

Dengan diberlakukannya kurikulum 2004 (KBK), kini guru lebih dituntut untuk
mengkontekstualkan pembelajarannya dengan dunia nyata, atau minimal siswa mendapat
gambaran miniatur tentang dunia nyata. Harapan itu tidak mungkin tercapai tanpa bantuan
alat-alat pembelajaran (sarana dan prasarana pendidikan).

Menurut Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM), sekolah
harus memiliki persyaratan minimal untuk menyelenggarakan pendidikan dengan serba lengkap
dan cukup seperti, luas lahan, perabot lengkap, peralatan/laboratorium/media, infrastruktur,
sarana olahraga, dan buku rasio 1:2. Kehadiran Kepmendiknas itu dirasakan sangat tepat
karena dengan keputusan ini diharapkan penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak
“kebablasan cepat” atau “keterlaluan tertinggal” di bawah persyaratan minimal sehingga
kualitas pendidikan menjadi semakin terpuruk.
Selanjutnya, UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 45 ayat (1) berbunyi, setiap satuan
pendidikan menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai
dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial,
emosional, dan kejiwaan peserta didik. Jika kita lihat kenyataan di lapangan bahwa hanya
sekolah-sekolah tertentu di beberapa kota di Indonesia saja yang memenuhi persyaratan SPM,
umumnya sekolah negeri dan swasta favorit. Berdasarkan fakta ini, keterbatasan sarana dan
prasarana pada sekolah-sekolah tertentu, pengadaannya selalu dibebankan kepada masyarakat.
Alasannya pun telah dilegalkan berdasarkan Kepmendiknas No. 044/U/2002 dan UU Sisdiknas
No. 20/2003 pasal 56 ayat (1). Dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi
perencanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan
komite sekolah/madrasah, ayat (2) Dewan pendidikan, sebagai lembaga mandiri dibentuk dan
berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan,
arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan ditingkat
nasional, provinsi dan kabupaten/ kota yang tidak mempunyai hubungan hierarkis, dan ayat (3)
Komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan
mutu pelayanan dan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan
prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.

Menyikapi keadaan yang demikian sulit, apalagi kondisi negara yang kian kritis, solusi
yang ditawarkan adalah manfaatkan seluruh potensi sumber daya sekolah dan masyarkat
sekitar, termasuk memberdayakan dewan pendidikan dan komite sekolah. Mudah-mudahan
dengan sistem anggaran pendidikan yang mengacu pada UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 46
dan 49 permasalahan ini dapat diatasi dengan membangun kebersamaan dan kepercayaan
antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.

Dengan melandaskan pada cita-cita luhur pendidikan, diharapkan mutu pendidikan Indonesia
terus meningkat dan terjadi perkembangan pada perbaikan yang terus menerus.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Mutu pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan seluruh rakyat Indonesia. Walaupun
pemerintah Indonesia telah mengupayakan untuk meningkatkan mutu pendidikan di negara ini
seperti usaha peningkatan mutu dengan perubahan kurikulum dan proyek peningkatan lain;
Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), Proyek Perpustakaan, Proyek
Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu (BOMM), Proyek Bantuan lmbal Swadaya (BIS),
Proyek Pengadaan Buku Paket, Proyek Peningkatan Mutu Guru, Dana Bantuan Langsung (DBL),
Bantuan Operasioanal Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM). Dengan
memperhatikan sejumlah proyek itu, dapatlah kita simpulkan bahwa pemerintah telah banyak
menghabiskan anggaran dana untuk membiayai proyek itu sebagai upaya meningkatkan mutu
pendidikan. Namun, semua hal tersebut belum dapat menghasilkan atau meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia.

Ada beberapa alternative untuk meningkatkan mutu pendidikan di negara kita, selain upaya-
upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah, diantaranya adalah :

1) Insan Pendidikan Patut Mendapatkan Penghargaan Karenaitu Berikanlah Penghargaan

2) Meningkatkan Profesionalisme Guru dan Pendidik

3) Sebisa Mungkin Kurangi dan Berantas Korupsi

4) Berikan Sarana dan Prasarana yang Layak untuk Pendidikan

Namun, segala cara apapun yang kita lakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan, jikalau
tidak didukung oleh pemerintah daerah maupun pusat, maka usaha tersebut akan gagal, dan
pastinya mutu pendidikan di negara kita tidak aka nada perubahan dalam hal mutu pendidikan.

2. Saran

Untuk semua belah pihak yang terkait dalam hal untuk memajukan mutu pendidikan di negara
kita, hendaknya saling bekerja sama, dimulai dari pihak orangtua, guru-guru, kepala sekolah,
dinas pendidikan, dan dinas-dinas terkait lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Dirjen Pendidikan Dasar dan
Menengah.

Hasan, Hamid. 1995. Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta : Depdikbud.

Mulyasa, H. E. 2009. Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Kemandirian Guru dan
Kepala Sekolah. Jakarta : Bumi Aksara.

Syaifuddin, Mohammad, dkk. 2007. Bahan Ajar Cetak Manajemen Berbasis Sekolah.
Departemen Pendidikan Nasional.

Karatikahernawan. 2010. Mutu Pendidikan. Education zone, diakses pada tanggal 05 Mei 2015.

Kang Bull. 2010. Cara Bagaimana Meningkatkan Mutu Pendidikan. KafeIlmu.com, diakses pada
tanggal 05 Mei 2015.

http://kafeilmu.com/2010/09/cara-bagaimana-meningkatkan-mutu-pendidikan.html (05 Mei


2015)

http://ahfaz-pendidikan.blogspot.com/2013/03/contoh-makalah-peningkatan-mutu.html (05 Mei


2015)

http://hestalopink44.blogspot.com/2012/06/kendala-dan-solusi-peningkatan-mutu.html (05 Mei


2015)

Anda mungkin juga menyukai