Anda di halaman 1dari 13

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta
didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu
menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan
adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi
dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan
hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam
studi mengenai masalah-masalah pendidikan.

Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan


proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan
pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh
filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan
serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru
dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan
rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan
inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat,
memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang
kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu
dari teori pendidik.

Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi
atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep
atau miskonsepsi pada diri peserta didik. Tugas filsafat adalah melaksanakan
pemikiran rasional analisis dan teoritis (bahkan spekulatif) secara mendalam dan
memdasar melalui proses pemikiran yang sistematis, logis, dan radikal (sampai
keakar-akarnya), tentang problema hidup dan kehidupan manusia. Produk
pemikirannya merupakan pandangan dasar yang berintikan kepada “trichotomi”
2

(tiga kekuatan rohani pokok) yang berkembang dalam pusat kemanusiaan manusia
(natropologi centra).

B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan identifikasi masalah diatas maka rumusan masalah dalam penulisan
makalah yang bejudul pendidikan dalam perspektif filsafat adalah:

1. Bagaimana Cara Pandang Filsafat Pendidikan Berkenaan dengan filsafat


Eksistensialisme, Pragmatisme dan Progressifme Terhadap Pendidikan ?
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat Pendidikan


Menurut Al-Syaibani dalam Jalaludin (1997:13) filsafat pendidikan adalah
aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat tersebut sebagai cara untuk
mengatur, dan menyelaraskan proses pendidikan. Artinya, bahwa filsafat
pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang
diupayakan untuk mencapainya, maka filsafat pendidikan dan pengalaman
kemanusian merupakan faktor yang integral atau satu kesatuan. Sementara itu,
filsafat juga didefinisikan sebagai pelaksana pandangan falsafah dan kaidah
falsafah dalam bidang pendidikan, falsafah tersebut menggambarkan satu aspek
dari aspek-aspek pelaksana falsafah umum dan menitik beratkan kepada
pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat
umum dalam upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara praktis.

Menurut John Dewey dalam Jalaludin (1997:13 ), filsafat pendidikan merupakan


suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang menyangkut
daya pikir (intekektual) maupun daya perasaan (emosional), menuju kearah tabiat
manusia, maka filsafat dapat juga diartikan sebagai teori umum pendidikan.

B. Hubungan Filsafat dengan Filsafat Pendidikan


Dalam berbagai bidang ilmu sering kita dengar istilah vertikal dan horisontal.
Istilah ini juga akan terdengar pada cabang filsafat bahkan filsafat pendidikan.

Antara filsafat dan pendidikan terdapat hubungan horisontal, meluas kesamping


yaitu hubungan antara cabang disiplin ilmu yang satu dengan yang lain yang
berbeda-beda, sehingga merupakan synthesa yang merupakan terapan ilmu pada
bidang kehidupan yaitu ilmu filsafat pada penyesuaian problema-problema
pendidikan dan pengajaran. Filsafat pendidikan dengan demikian merupakan pola-
pola pemikiran atau pendekatan filosofis terhadap permasalahan bidang
pendidikan dan pengajaran.
4

Adapun filsafat pendidikan menunjukkan hubungan vertikal, naik ke atas atau


turun ke bawah dengan cabang-cabang ilmu pendidikan yang lain, seperti
pengantar pendidikan, sejarah pendidikan, teori pendidikan, perbandingan
pendidikan dan puncaknya filsafat pendidikan. Hubungan vertikal antara disiplin
ilmu tertentu adalah hubungan tingkat penguasaan atau keahlian dan pendalaman
atas rumpun ilmu pengetahuan yang sejenis.
Hubungan fungsional antara filsafat dan teori pendidikan, yaitu sebagai berikut :

1. Filsafat, dalam arti filosofis merupakan satu cara pendekatan yang dipakai
dalam memecahkan proplematika pendidikan dan menyusun teori-teori
pendidikan oleh para ahli.
2. Filsafat, berfungsi member arah bagi teori pendidikan yang telah ada
menurut aliran filsafat tertentu yang memiliki relevansi dengan kehidupan
yang nyata.
3. Filsafat, dalam hal ini filsafat pendidikan, mempunyai fungsi untuk
memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori
pendidikan menjadi ilmu pendidikan (paedagogik).

C. Pengertian Eksistensialisme
Kata Eksistensialisme berasal dari kata eks = keluar,
dan sistensi atau sisto yang berarti, menempatkan. Secara umum berarti, manusia
dalam keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu
keberadaannya ditentukan oleh akunya. Karena manusia selalu terlihat di
sekelilingnya, sekaligus sebagai miliknya. Upaya untuk menjadi miliknya itu
manusia harus berbuat menjadikan - merencanakan, yang berdasar pada
pengalaman yang konkret.
Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai
gejala dengan berdasar pada eksistensinya. Artinya bagaimana manusia berada
(bereksistensi) dalam dunia.
Pendapat lain, menyatakan “eksistensialisme” merupakan suatu aliran
dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas
kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar
dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang
5

benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa
kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas
menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Manusia juga dipandang sebagai
suatu mahluk yang harus bereksistensi (berbuat), mengkaji cara manusia berada di
dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme
adalah manusia konkret.

D. Tokoh-tokoh Eksistensialisme

a. Soren Aabye Kiekegaard


Soren Aabye Kierkegaard (lahir di Kopenhagen, Denmark, 5
Mei 1813 – meninggal di Kopenhagen, Denmark, 11 November 1855 pada umur
42 tahun) adalah seorang filsuf dan teolog abad ke-19 yang berasal dari Denmark.
Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang
anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme.
Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama
seperti misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen,
dan emosi serta perasaan individu ketika dihadapkan dengan pilihan-pilihan
eksistensial. Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang digambarkan sebagai
eksistensialisme Kristen dan psikologi eksistensial.
Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa Kierkegaard "sejauh ini, adalah
pemikir yang paling mendalam dari abad ke-19".
Ide-ide pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:
1) Tentang Manusia
Kierkegaard menekankan posisi penting dalam diri seseorang yang
"bereksistensi" bersama dengan analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius
seperti iman, pilihan, keputus asaan, dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh
luas sesudah tahun 1918, terutama di Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli
teologi protestan dan filsuf-filsuf eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers,
Marcel, dan Buber.
Alur pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam hidup;
apakah artinya menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan "wujud"
secara umum, ia memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia
6

mengharapkan agar kita perlu memahami agama Kristen yang otentik. Ia


berpendapat bahwa musuh bagi agama Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegel yang
berpengaruh pada saat itu. Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat
Descartes atau Hegel akan menghilangkan personalitas manusia dan membawa
kita kepada kedangkalan makna kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi,
khususnya adat kebiasaan jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam,
tidak menghayati agamanya, yang akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan
tak mengerti apa artinya menjadi seorang kristiani.
Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang
diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia
(Hegel) mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia
tidak pernah hidup sebagai sesuatu "aku umum", tetapi sebagai "aku individual"
yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang
lain. Kierkegaard sangat tidak suka pada usaha-usaha untuk menjadikan agama
Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasonable) dan tidak menyukai
pembelaan terhadap agama Kristiani yang menggunakan alasan-alasan obyektif.
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya,
pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. Ia tidak
menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi
penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
2) Pandangan tentang Eksistensi
Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan
mengajukan pernyataan ini; bagi manusia, yang terpenting dan utama adalah
keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi
senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan
kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka
besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan,
maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri.
Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya. Kebebasan itu muncul
dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani mengambil
keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak
7

berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak
bereksistensi dalam arti sebenarnya.
Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis, dan
religius.
 Eksistensi estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam
lingkungan dan masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat
dinikmati manusia sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap
hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu.
Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman
yang menentukan.
 Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga
memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya
condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya
yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan
dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).
 Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi
sudah menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang
absolut, yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia.
Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani
lewat iman religius.
3) Teodise
Menurut Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam, antara pencipta dan
makhluk terdapat jurang yang tidak terjembatani. Ia menjelaskan bahwa Tuhan itu
berdiri di atas segala ukuran sosial dan etika. Sedangkan manusia jauh berada di
bawah-Nya. Keadaan seperti ini menyebabkan manusia cemas akan eksistensinya.
Tetapi dalam kecemasan ini, seseorang itu dapat menghayati makna hidupnya.
Jika seseorang itu berada dalam kecemasan, maka akan membawa dirinya pada
suatu keyakinan tertentu. Perilaku ini memperlihatkan suatu loncatan yang
dahsyat di mana manusia memeluk hal yang tidak lagi masuk akal.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa agama Kristen itu mengambil langkah
yang dahsyat, langkah menuju yang tidak masuk akal. Di sana agama Kristen
mulai. Alangkah bodohnya orang yang ingin mempertahankan agama Kristiani.
8

Tetapi menurut Kierkegaard iman adalah segala-galanya. Bila seseorang itu


memihak agama Kristen atau memusuhinya atau memihak kebenaran atau
memusuhinya. Agama Kristen itu bisa benar secara mutlak tetapi bisa juga salah
secara mutlak.
Inti pemikiran dari tokoh ini adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu
yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan
menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi
ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia
cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.

E. Pengertian Pragmatisme
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar
adalah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantara akibat-
akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Di Amerika Serikat Pragmatisme
mendapat tempatnya yang tersendiri di dalam pemikiran filsafati. William James
(1842-1910) orang yang memperkenalkan gagasan-gagasan pragmatisme kepada
dunia. Pengangan pragmatisme adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia
menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat yang praktis. Pengalaman-
pengalaman pribadi diterimanya, asal bermanfaat, bahkan kebenaran mistis
dipandang sebagai berlaku juga, asal kebenaran mistis itu membawa akibat praktis
yang bermanfaat (Hadiwijono, 1980:130).
Bagi pragmatisme, filsafat adalah alat untuk menolong manusia dalam
hidup sehari-hari maupun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan
mewujudkan dunia teknik. Dalam segalanya itu pelaksanaan atau praktik hiduplah
yang penting dan bukan pendapat atau teori yang hipotesis dan sepihak. Untuk
menilai bermanfaat tidaknya ilmu pengetahuan, anggapan-anggapan hidup
malahan filsafat sendiri pun, perlu diperhatikan segala hasil dan kesimpulan atau
akibat yang terjadi atas dasar hipotesis-hipotesis itu. Yang pokok adalah bahwa
manusia berbuat dan bukan berfikir. Pikiran atau teori merupakan alat yang
“hanya berguna “ untuk memungkinkan timbulnya pengalaman yang semakin ikut
mengembangkan hidup manusia dalam praktik pelaksanaanya (Sutrisno, 1993:99)
9

1. Pemikiran John Dewey


John dewey lebih suka menamakan cara pengambaran pragmatisme
dengan memakai istilah “istrumentalisme”, untuk memberikan tekanan pada
hubungan antara ajarannya dengan teori biologi tentang evolusi. John dewey
memandang tiap-tiap organisme dalam keadaan terus-menerus terhadap alam
sekitarnya dan memperkembangkan berbagai perabot yang memberikan bantuan
dalam perjuagan tersebut. Pikiran berkembang sebagai alat untuk mengadakan
eksperimen terhadap alam sekitar ketika organisme yang berupa manusia berusaha
untuk menguasai dan memberi bentuk pada alam sekitar tersebut agar terpenuhi
kebutuhan tersebut.
Karena itu kecerdasan merupakan sesuatu yang bersifat kreatif, dan
pengalaman merupakan unsur terpokok dalam segala pengetahuan. Misalnya, jika
kita dihadapkan pada masalah akan belajar atuakah menonton film, maka kita
mungkin memikirkan konsekuensi-konsekuensi yang akan timbul dari masing-
masing tindakan tersebut. Ini dinamakan mengadakan eksperimen. Kemudian kita
mengambil keputusan, katakanlah, pergi menonton film, dan secara demikian kita
menentukan hari depan. Maka dikatakan kecerdasan kita menciptakan hari depan
dengan jalan mendahuluinya (melakukan tindakan sebelumnya).
Menurutnya manusia dengan bekerja (beraktivitas) memberikan
pengalaman, dan pengalaman memimpin berfikir manusia, sehingga manusia
dapat bertindak bijaksana dan benar serta mempengaruhi pula pada budi pekerti.
Begitulah pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan, juga sumber dari nilai.
Oleh karena itu dalam bukanya How Think, Dewey berkata bahwa pengkal
berfikir ialah suatu keadaan yang menimbulkan sikap ragu-ragu. Karena sikap
ragu-ragu itu maka timbullah hasrat untuk menghilangkannya atau mengatasinya.

F. Pengertian Progresivisme
Progresivisme menurut bahasa dapat diartikan sebagai aliran yang
menginginkan kemajuan-kemajuan secara cepat. Dalam konteks filsafat
pendidikan progresivisme adalah suatu aliran yang menekankan, bahwa
pendidikan bukanlah sekedar pemberian sekumpulan pengetahuan kepada subjek
didik, tetapi hendaklah berisi aktivitas-aktivitas yang mengarah pada pelatihan
10

kemampuan berfikir mereka sedemikian rupa, sehingga mereka dapat berfikir


secara sistematis melalui care-care ihniah seperti memberikan analisis,
pertimbangan, dan perbuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang paling
memungkinkan untuk pemecahan masalah yang dihadapi. Progresivisme juga
merupakan pandangan hidup yang mempunyai sifat-sifat:
1. Fleksibel ( Tidak kaku, tidak menolak perubahan,dan tidak terikat oleh dokrin
tertentu )
2. Curious ( Ingin mengetahui, ingin menyelidiki )
3. Toleran dan open-minded ( Mempunyai hati terbuka )
Aliran progresivisme memiliki sifat-sifat umum yaitu:
a. Sifat Negatif
Sifat itu dikatakan negatif dalam arti bahwa, progresivisme menolak
otoritarisme dan absolutisms dalam segala bentuk, seperti misalnya terdapat
dalam agama, politik, etika dan epistemologi.
b. Sifat Positif....
Positif dalam arti, bahwa progresivisme menaruh kepercayaan terhadap
kekuatan alamiah dari manusia, kekuatan-kekuatan yang diwarisi oleh manusia
sejak ia lahir – man's natural powers. Terutama yang dimaksud adalah kekuatan
kekuatan manusia untuk terus-menerus melawan dan mengatasi kekuatan-
kekuatan, takhayul-takhayul dan kegawatan-kegawatan yang timbul dari
lingkungan hidup yang selamanya mengancam.
Progresivisme yakin bahwa manusia mempunyai kesanggupan-
kesanggupan untuk mengendalikan hubungannya dengan alam, sanggup meresapi
rahasia¬rahasia alam, sanggup menguasai alam. Namur disamping keyakinan-
keyakinan tersebut ada juga kesangian dimana apakah manusia itu sendiri mampu
belajar bagaimana mempergunakan kesanggupan itu, tetapi meskipun demikian
progresivisme tetap bersikap optimis, tetap percaya bahwa manusia dapat
menguasai seluruh lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan
sosial.

G. Tokoh-Tokoh Progresivisme
1. William James (11 Januari 1842 - 26 Agustus. 1910)
11

James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari
eksistensi organik, barns mempunyai fungsi biologic dan nilai kelanjutan hidup.
Dan dia menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian
dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong
untuk membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan menempatkannya di
atas dasar ilmu perilaku.
2. John Dewey (1859 - 1952)
Teori Dewey tentang sekolah adalah "Progressivism" yang lebih
menekakan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri.
Maka muncullah "Child Centered Curiculum", dan "Child Centered School".
Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum
jelas.
3. Hans Vaihinger (1852 - 1933)
Hans Vaihinger Menurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis.
Persesuaian dengan obyeknya tidak mungkin dibuktikan. Satu-satunya ukuran
bagi berpikir ialah gunanya (dalam bahasa Yunani Pragma) untuk mempengaruhi
kejadian-kejadian di dunia. Segala pengertian itu sebenarnya buatan semata-mata;
jika pengertian itu berguna. untuk menguasai dunia, bolehlah dianggap benar, asal
orang tabu saja bahwa kebenaran ini tidak lain kecuali kekeliruan yang berguna
saja.
12

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala
dengan berdasar pada eksistensinya. Artinya bagaimana manusia berada
(bereksistensi) dalam dunia.
2. Filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis seperti materialisme, idealisme,
serta situasi dan kondisi dunia.
3. Ciri-ciri aliran eksistensialisme:
Pragmatisme adalah aliran yang memperdepankan praktis ketimbang hanya sekedar
berteori atau berpendapat saja. Pragmatisme timbul akibat pemberontakan melawan
idealisme yang terlau mengunakan intelektual manusia dan bersifat tertutup.
Berdirinya pragmatisme dipengaruhi aliran Empris Inggris dan Jerman Modern, juga
pengalaman sosial rakyat Amerika dalam melaksanakan perekonomian yang
memperdepankan kerja keras dan kebijakan. Pragmatisme diperkenalkan dari gagasan-
gagasan william james (1842-1910) di Amerika, pegangannya adalah logika
pengamatan yakni segala sesuatu dapat masuk asalkan bersifat praktis

Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918.
Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada mass kini mungkin tidak
benar di mass mendatang. Pendidikan hares terpusat pada anak bukan memfokuskan
pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini diantaranya: George
Axtelle, William O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B. Thomas dan Frederick C.
Neff. Progresivisme merupakan pandangan hidup yang mempunyai sifat-sifat:
Fleksibel, Curious, Toleran dan open-minded
13

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, T. Saiful. “MANUSIA DAN PENDIDIKAN MENURUT


PEMIKIRAN IBN KHALDUN DAN JOHN DEWEY”. Jurnal Ilmiah Didaktika,
(2015), Vol. 15:223-243.
Kattsoff, Louis O. Elements of Philisophy. Terj. Soejono Soemargono
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996.
Syarifuddin. “KONTRUKSI FILSAFAT BARAT KONTEMPORER”. Jurnal
Substantia, (2011), Vol. 13:231-248.
Surajiyo, Drs. 2005. Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar),
Jakarta: Bumi Aksara.
Achmadi. Asmoro. 2009. Filsafat umum. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada.
Surajiyo, Drs. 2005. Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar),
Jakarta: Bumi Aksara

Anda mungkin juga menyukai