PROPOSAL
Oleh
Nyu Herdiyanto Adi Luhur Winasis
NIM 171810201039
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PEGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2022
ii
PENDAHULUAN
penyerapan panas dan konduktivitas panas yang tinggi. Hal ini dapat menyebabkan
fenomena urban heat island (UHI) (Tursilowati, 2005).
Menurut Oke dalam Fawzi Urban heat island (UHI) merupakan suatu kondisi
dimana temperatur di wilayah perkotaan lebih tinggi dari pada temperatur di daerah
sekitarnya. Temperatur udara semakin menurun seiring menjauh dari pusat
perkotaan. Disebut urban heat island (UHI) atau pulau panas perkotaan karena
distribusi temperatur lebih tinggi di pusat kota dibanding sekitarnya, sehingga terlihat
seperti pulau bila dipetakan. UHI diibaratkan seperti pulau permukaan panas yang
berpusat di wilayah kota (urban) terutama di daerah pusat kota dan termperatur
semakin menurun di darah pinggiran kota (suburban) (Tursilowati, 2007). UHI
merupakan fenomena yang menjadi isu global belakangan ini. Suhu panas perkotaan
yang terlalu tinggi akan mempengaruhi kualitas udara, konsumsi energi, kesehatan,
ikli, hingga masalah pertanian. Kenyamanan penduduk di wilayah perkotaan ikut
menurun seiring meningkatnya temperatur di perkotaan (Effendy, 2007).
Kabupaten Jember adalah salah satu wilayah dengan pertumbuhan penduduk
yang tinggi. Berdasarkan data BPS 2020, pertumbuhan penduduk telah mencapai 3,3
% tahun 2020. Pertumbuhan penduduk yang tinggi ini sangat berkorelasi dengan
bertumbuhnya area terbangun dan perubahan tutupan lahan dari lahan terbuka
menjadi lahan pemukiman, industri dan komersial. Menurut Delarizka, perubahan
tutupan lahan berhubungan dengan peningkatan suhu permukaan lahan. Kontrol
salah satu fenomena pemanasan global ini memang sangat penting dilakukan.
Penginderaan jauh menjadi metode yang banyak diguakan untuk
mengobservasi permukaan bumi. Melalui citra satelit akan diperoleh banyak
informasi permukaan tanah suatu daerah yang luas dalam waktu yang singkat tanpa
harus terjun ke daerah tersebut. Informasi citra satelit Landsat mampu
merepresentasikan permukaan tanah beserta objek yang menutupi permukaan
tersebut dengan resolusi spasial yang relatif tinggi (Cahyono,2007).
Satelit Landsat memiliki berbagai sensor untuk mendapatkan berbagai
informasi permukaan tanah, salah satunya adalah sensor suhu. Sensor suhu yang ada
3
pada satelit Landsat memiliki mekanisme yang dapat digunakan untuk observasi
Suhu Permukaan Lahan (SPL) atau Land Surface Temperature (LST). Citra satelit
Landsat ini memungkinkan untuk mendapatkan data suhu permukaan untuk wilayah
yang sangat luas dan lebih beragam dibandingkan dengan pengukuran suhu secara
langsung (Qian, 2006). Parameter suhu permukaan lahan digunakan untuk
menggambarkan kondisi suhu di wilayah perkotaan dan mengamati fenomena UHI
yang terjadi di wilayah perkotaan.
Penelitian mengenai fenomena UHI telah dilakukan untuk berbagai wilayah
perkotaan. Penelitian oleh Fawzi (2017) menunjukkan adanya perbedaan intensitas
UHI yang dilakukan di wilayah Kota Yogyakarta. Penelitian lain menunjukkan
adanya korelasi antara fenomena UHI dengan kerapatan vegetasi, seperti penelitian
oleh Zakir (2018) di kota Bandung. Penelitian UHI ini nantinya dapat digunakan
sebagai salah satu indikator untuk menerapkan manajemen dan pengembangan
kawasan perkotaan seperti penelitian oleh Novianto (2016) dalam tesisnya yang
mengusung konsep manajemen UHI di kota Surabaya.
Pertumbuhan pembangunan yang hanya berpusat di wilayah perkotaan dan
semakin berkurangnya ruang terbuka hijau akan menyebabkan fenomena UHI di
wilayah tersebut. Kenyamanan dan kesehatan penduduk wilayah perkotaan akan
menurun seiring dengan semakin parahnya fenomena UHI yang terjadi. Berdasarkan
uraian latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian berjudul
“Analisis Urban Heat Island Berdasarkan Data Landsat 8 OLI/TIRS di
Kabupaten Jember”
1.3 Tujuan
Tujuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui distribusi suhu permukaan di wilayah perkotaan Kabupaten Jember.
b. Mengetahui fenomena UHI di wilayah perkotaan Kanupaten Jember.
1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan mampu bermanfaat baik secara teoritis maupun
praktis . Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan pemahaman
bagi masyarakat khususnya masyarakat Kabupaten Jember dalam memahami
fenomena UHI. Penelitian ini diharapkan mampu menambah kajian untuk penelitian
sejenis. Penelitian ini juga diharapkan menjadi masukan bagi para pengembang baik
pemerintah maupun swasta dalam perencaan dan pengembangan Kabupaten Jember.
TINJAUAN PUSTAKA
aktivitas kegiatan penduduknya di pusat kota akan meningkatkan gas rumah kaca dan
memicu terjadinya pemanasan global. Dalam hal ini semakin padat penduduk dan
tingginya laju urbanisasi di pusat kota akan mengakibatkan adanya fenomena urban
heat island.
data dengan suatu alat tanpa dilakukan kontak langsung terhadap objek, daerah, dan
fenomena yang diteliti (Lillesand dan Kiefer, 1979). Adapun menurut Aronoff dalam
Sutanto (2016), penginderaan jauh adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
perolehan informasi objek dari suatu jarak tertentu (jauh).
Lindgren (1985) mengemukakan bahwa, penginderaan jauh merupakan
variasi teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi mengenai
bumi. Informasi berupa radiasi elektromagnetik yang dipantulkan dan dipancarkan
dari permukaan bumi. Menurut Insyani (2010), penginderaan jauh merupakan cara
penggambaran keadaan suatu wilayah melalui alat penginderaan atau sensor yang
pada umumnya dipasang di wahana baik berupa balon udara, pesawat udara, satelit,
dan masih banyak lagi. Menurut Anddree (2008), penginderaan jauh merupakan ilmu
mengenai pengumpulan informasi mengenai objek di permukaan bumi dengan
menggunaan sensor tanpa ada kontak langsung dengan objek yang diamati. Pantulan
cahaya atau seumber energi lainnya ditangkap dan direkam, serta diinterpretasikan,
kemudian dilakukan analisa.
Penginderaan jauh pada awalnya dilakukan melalui teknik interpretasi foto
udara. Tahun 1919 dimulai pemotretan melalui pesawat udara dengan dilakukan
interpretasi foto udara (Danoedoro, 2012). Teknik penginderaan jauh kemudian
berkembang menggunakan sistem satelit yang pertama kali diluncurkan oleh Amerika
Serikat tahun 1972 melalui satelit sumberdaya ERTS-1 (Earth Resources Technology
Satelite¬ – 1). Satelit ini selanjutnya diberi nama satelit Landsat-1. Keberadaan satelit
sangat efisien karena mampu merekam hampir seluruh permukaan bumi dan
kemudian menjadi bagian penting untuk berbagai kegiatan analisis permukaan bumi
(Purwadi, 2001).
2.5 Citra
2.5.1 Pengantar Citra Penginderaan Jauh
Citra merupakan gambaran rekaman objek yang dihasilkan dengan cara optik,
elektro-optik, optik-mekanik, atau elektronik. Citra penginderaan jauh adalah data
berupa gambar yang didapat dalam sistem penginderaan jauh. (Sutanto, 1987).
Ditinjau berdasarkan sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi kontinu atas
intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Sumber cahaya menerangi objek,
kemudian objek memantulkan kembali seluruh atau sebagian cahaya lalu ditangkap
oleh alat optis atau elektro-optis (Murni dkk, 1992).
Citra satelit merupakan citra digital yang didalamnya mengandung informasi
dalam format digital. Citra digital dibangun oleh oleh elemen gambar disebut piksel.
Setiap piksel memuat informasi mengenai warna, ukuran, dan lokasi dari objek.
Informasi warna piksel disebut digital number (DN). DN menggambarkan intensitas
dari gelombang elektromagetik yang ditangkap sensor. DN ditampilkan dalam warna
kelabu, berkisar antara hitam dan putih (gray scale) (Puntodewo, 2003).
Unit terkecil data digital adalah bit yang terdri dari angka binel 0 atau 1.
Kumpulan dari sejumlah 8 bit akan membentuk sebuah unit data yang disebut byte,
dengan nilai 0 – 255. Dalam citra digital nilai intensitas energi atau yang dimaksud
DN ditulis dalam satuan byte. Citra penginderaan jauh menggunakan derajat keabuan
16
atau gray scale, dimana nilai 0 menggambarkan hitam dan nilai 255 putih
(Puntodewo, 2003).
Gambar 2.7 Ilustrasi Piksel dan Digital Number pada Sebuah Citra
(Sumber : Puntodewo, 2003)
2.5.2 Interpretasi Citra
Interpretasi citra adalah kegiatan mengkaji citra dengan maksud untuk
mengidentifikasi objek dan arti objek tersebut (Estes dan Simonett dalam Sutanto,
1994). Menurut Sutanto (1994) dalam proses interpretasi citra terdapat tiga hal
penting yang perlu dilakukan , yaitu :
1. Deteksi
Deteksi citra adalah kegiatan pengamatan tengtang adanya suatu objek,
misalnya pendeteksian objek disebuah daerah perairan.
2. Identifikasi
Identifikasi atau pengenalan merupakan upaya mencirikan objek yang telah
dideteksi dengan keterangan yang cukup, misalnya berdasarkan ukuran,
bentuk, dan letak objek tersebut adalah perahu.
17
3. Analisa
Pengumpulan keterangan lebih lanjut, misalnya bahwa perahu tersebut berisi
3 orang.
2.5.3 Resolusi
Menurut Danoedoro (2012) resolusi atau disebut juga daya pisah (resolving power)
adalah kemampuan sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi spasial
yang berdekatan atau secara spektral memiliki kemiripan/kesamaan. Resolusi
berperan penting sebagai karakteristik yang menunjukkan level detail dari sebuah
citra. Resolusi dalam penginderaan jauh menurut Sutanto (2016) dibagi menjadi
empat macam yaitu :
1. Resolusi Spasial
Resolusi spasial dalam citra digital merupakan ukuran objek terkecil yang
dapat dideteksi oleh sistem penginderaan jauh. Resolusi ini biasanya
dituliskan dalam satuan meter per piksel. Resolusi spasial yang semakin kecil
maka semakin jelas dan detail citra tersebut.
2. Resolusi Spektral
Resolusi spektral adalah kemampuan sensor untuk merekam objek dengan
lebar pita (bandwidth) atau kisaran panjang gelombang elektromagnetik
tertentu. Resolusi spektral akan menentukan kemampuan sistem penginderaan
jauh untuk membedakan informasi objek berdasarkan nilai pantulan atau
pancaran spektralnya. Praktisnya dapat disebutkan jika sebuah citra memiliki
saluran yang banyak dan sempit maka kemampuan untuk membedakan objek
berdasarkan respons spektralnya semakin tinggi (Danoedoro, 2012).
digital dan dinyatakan dalam bit. Sensor yang merekam dengan 8 bit resolusi
radiometriknya lebih tinggi daripada dengan 6 bit (Sutanto, 2016).
4. Resolusi Temporal
Resolusi temporal merupakan kemampuan sistem perekaman citrasatelit
dalam merekam ulang / daerah yang sama. Setiap satelit memiliki kemampuan
untuk merekam ulang objek yang sama dalam periode yang berbeda-beda.
Seperti satelit SPOT memiliki resolusi temporal 26 hari dan Landsat 16 hari
(Danoedoro, 2012)
[ ]
2
NDVI −NDVI min
Pv =
NDVI max −NDVI min
Dimana:
Pv = Fraksi Penutup Vegetasi
NDVI = Normalized Difference Vegetation Index
NDVI min = Nilai NDVI minimal
NDVI max = Nilai NDVI maksimal
satu parameter kunci bagi neraca energi di permukaan dan juga merupakan parameter
utama klimatologis, Prinsip dasar yang dikembangkan dalam deteksi suhu udara
mengacu kepada prinsip fisika caha pada black body temperature. Pada dasarnya
setiap panjang gelombang akan sensitif terhadap respon suhu permukaan yang
mempengaruhi nilai pantul objek (Tursilowati, 2007). Fluks gelombang
elektromagnetik yang terpantul kembali ke atmosfer dapat dikendalikan oleh suhu
permukaan. Suhu permukaan sangat tergantung pada keadaan parameter permukaan
lainnya, seperti albedo, kelembaban permukaan, kondisi dan tingkat penutupan
vegetasi (Voogt, 1996, dalam Prasasti, 2004).
LST telah menjadi salah satu parameter yang paling penting yang digunakan
dalam menilai keberadaan UHI pada suatu wilayah berdasarkan penerapan citra
satelit (Min et al., 2018). Hasil pengukuran kanal termal pada data satelit dapat
digunakan untuk pemetaan pola suhu permukaan pada skala waktu dan spasial yang
lebih luas. Menurut USGS (2019) LST dapat diperoleh dengan menggunakan formula
sebagai berikut :
1. Spektral Radian
Digital number (DN) pada citra dikonversi menjadi spektral radian dengan
menggunakan persamaan berikut:
L λ=M L ×Qcal + A L
Dimana :
Lλ = Radian spektral pada band 10 (W/m2.srad.µm)
ML = Radiance multiplicative scaling factor dari metadata
(RADIANCE_MULT_BAND_10)
Qcal = Nilai piksel citra satelit band 10 (DN)
AL = Radiance additive scaling factor dari metadata
(RADIANCE_ADD_BAND10)
2. ToA (Top of Atmospheric) Brightness Temperature
22
K2
T B= −273 ,5
( )
K
1+ ln 1
Lλ
Dimana :
T B = Brightness temperature (°C)
K 1 = Konstanta kalibrasi band-specific thermal dari metadata
K1_CONSTANT_BAND_10)
K 2 = Konstanta kalibrasi band-specific thermal dari metadata
(K2_CONSTANT_BAND10)
L λ = Radian spektral pada band 10 (W/m2.srad.µm)
3. LST
Menurut Das (2015) Setelah dihasilkan citra yang dikonversikan ke dalam
derajat Celsius dan emisivitas, maka untuk menghasilkan citra estimasi LST
dapat menggunakan persamaan :
TB
LST =
1+ w ( )
TB
ρ
ln (ε)
Dimana:
LST = Suhu Permukaan Lahan (°C)
w = panjang gelombang dari emitted radiance band 10 (11,5µm)
ρ = h.c/j (14380 µmK)
h = Konstanta Planck (6,626 x 10-34 J s)
23
Penentuan Topik
Identifikasi Masalah
Pengumpulan Data
Pengolahan Data
Analisis Data
Kesimpulan
Pengumpulan data yang diambil dari website atau laman internet kemudian
dikelompokkan menggunakan software Microsoft Excel, Qgis, dan ArcGIS yang
dikolaborasikan menjadi sebuah peta vegetasi lahan, suhu permukaan lahan, dan
intensitas UHI untuk mengetahui distribusi suhu permukaan lahan dan fenomena UHI
di Kabupaten Jember. Analisa data dilakukan dengan melihat nilai indeks data pada
peta sehingga menghasilkan kesimpulan yang didapat untuk menjawab rumusan
masalah.
Mulai
Satelit6ghu
Landsat 8
Band 4, 5, 10
Pemotongan Citra
Klasifikasi Indeks
Peta
Penggunaan
Lahan, Peta
LST, & Peta
UHI
Analisis
Kesimpulan
NIR−RED
NDVI =
NIR+ RED
29
NDVI selanjutnya digunakan untuk menentukan fraksi vegetasi dan emisivitas dengan
persamaan sebagai berikut :
[ ]
2
NDVI −NDVI min
Pv =
NDVI max −NDVI min
Dimana:
Pv = Fraksi Penutup Vegetasi
NDVI = Normalized Difference Vegetation Index
NDVI min = Nilai NDVI minimal
NDVI max = Nilai NDVI maksimal
Dimana:
LST = Suhu Permukaan Lahan (°C)
w = panjang gelombang dari emitted radiance band 10 (11,5µm)
ρ = h.c/j (14380 µmK)
h = Konstanta Planck (6,626 x 10-34 J s)
c = Velocity of light (2,998 x 108 m/s)
j = KOnstanta Boltzman (1,38 x 10-23 J/K
ε =Emisivitas
30
Setelah didapat LST kemudian UHI dapat diektraksi menurunkan data LST dengan rumus :
UHI =LST −(μ +0 , 5 α )
Dimana :
UHI = Urban Heat Island (°C)
LST = Land Surface Temperature (°C)
µ = Nilai rerata LST (°C)
α = Nilai standart deviasi (°C)
Lindgren D T. 1985. Land Use Planning and Remote Sensing. Doldrecht : Martinus
Nijhoff Publisher
Pison, Gilles. 2019. The population of the world. Population & Societies. 569(8):1-8
Rizwan, A.M., Dennis, L.Y. & Chunho, L.I.U. 2008. A Review On The Generation,
Determination And Mitigation Of Urban Heat Island. Journal Of
Environmental Sciences, 20(1): 120– 128
Sutanto. 1987. Penginderaan Jauh Dasar II. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press
Tursilowati, L. 2005. Pulau Panas Perkotaan Akibat Perubahan Tata Guna dan
Penutup Lahan di Bandung dan Bogor. Jurnal Sains Dirgantara, 3 ; 43-64
Tursilawati, Laras, 2007. use of Remote Sensing and GIS to Compute Temperature
Humidity Index as Human Comfort Indicator Relate with Land Use-Land
Cover Change (LULC) in Surabaya. The 73rd International Symposium on
Sustainabe humanosphere 2007
U.S. Geological Survey. Landsat 7 (L7) Data Userrs Handbook. v.2.0. Sioux Falls:
EROS, 2019a . Landsat 8 (L8) Data Userrs Handbook. v.5.0. Sioux Falls:
EROS, 2019b
Yunus, Hadi Sabari. 2005. Manajemen Kota. 1 Ed. 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar