Anda di halaman 1dari 34

AMAN JUDUL

ANALISIS URBAN HEAT ISLAND BERDASARKAN


DATA LANDSAT 8 OLI/TIRS DI KABUPATEN JEMBER

PROPOSAL

Oleh
Nyu Herdiyanto Adi Luhur Winasis
NIM 171810201039

JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PEGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2022
ii
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kota pada awalnya bermula dari pemukiman yang secara spasial berada pada
lokasi yang strategis bagi aktivitas sector perdagangan. Seiring berjalannya waktu
daerah kota akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan sebagai implikasi dari
pertambahan jumlah penduduk dengan tingkat sosial, ekonomi, dan budaya serta
interaksi dengan kota lain atau daerah sekitarnya. Pertumbuhan dan perkembangan
kota secara fisik dapat terlihat dari penduduknya yang makin bertambah dan makin
padat, bangunan-bangunan yang semakin rapat, serta semakin lengkapnya fasilitas
penunjang kegiatan sosial ekonomi (Branch, 1995).
Tempat tinggal manusia saat ini terus terkonsentrasi di wilayah perkotaan.
Lebih dari setengah jumlah penduduk dunia bertempat tinggal di wilayah perkotaan.
Berdasarkan publikasi BPS 2020 tercatat sebanyak 56,7 % penduduk Indonesia
bertempat tinggal di wilayah perkotaan, dan diprediksi akam terus terjadi
peningkatan hingga 66,6 % pada 2035. Fasilitas di perkotaan yang memadai
menjadikan pusat kota memiliki daya tarik bagi penduduk luar perkotaan. Menurut
CNN Indonesia tahun 2020 wilayah kota di Indonesia menyumbangkan 86 % dari
total PDB nasional, sedangkan sisanya bersal dari wilayah desa.
Perkembangan pembangunan daerah perkotaan meningkat signifikan. Kawasan
yang ditumbuhi pepohonan beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman, kawasan
perdagangan, industri dan lain-lain, dalam hal ini ruang terbuka hijau (RTH) menjadi
terus berkurang. Peningkatan urbanisasi, perubahan penggunaan lahan dan aktivitas
manusia membutuhkan energi yang sangat besar. Bagian energi akan hilang kedalam
bentuk panas yang kemudian panas ini terakumulasikan karena terperangkap oleh
struktur perkotaan. Lahan terbangun perkotaan, bangunan tinggi, bangunan berbahan
beton, serta material – material yang kedap air secara umum dapat mengakibatkan
2

penyerapan panas dan konduktivitas panas yang tinggi. Hal ini dapat menyebabkan
fenomena urban heat island (UHI) (Tursilowati, 2005).
Menurut Oke dalam Fawzi Urban heat island (UHI) merupakan suatu kondisi
dimana temperatur di wilayah perkotaan lebih tinggi dari pada temperatur di daerah
sekitarnya. Temperatur udara semakin menurun seiring menjauh dari pusat
perkotaan. Disebut urban heat island (UHI) atau pulau panas perkotaan karena
distribusi temperatur lebih tinggi di pusat kota dibanding sekitarnya, sehingga terlihat
seperti pulau bila dipetakan. UHI diibaratkan seperti pulau permukaan panas yang
berpusat di wilayah kota (urban) terutama di daerah pusat kota dan termperatur
semakin menurun di darah pinggiran kota (suburban) (Tursilowati, 2007). UHI
merupakan fenomena yang menjadi isu global belakangan ini. Suhu panas perkotaan
yang terlalu tinggi akan mempengaruhi kualitas udara, konsumsi energi, kesehatan,
ikli, hingga masalah pertanian. Kenyamanan penduduk di wilayah perkotaan ikut
menurun seiring meningkatnya temperatur di perkotaan (Effendy, 2007).
Kabupaten Jember adalah salah satu wilayah dengan pertumbuhan penduduk
yang tinggi. Berdasarkan data BPS 2020, pertumbuhan penduduk telah mencapai 3,3
% tahun 2020. Pertumbuhan penduduk yang tinggi ini sangat berkorelasi dengan
bertumbuhnya area terbangun dan perubahan tutupan lahan dari lahan terbuka
menjadi lahan pemukiman, industri dan komersial. Menurut Delarizka, perubahan
tutupan lahan berhubungan dengan peningkatan suhu permukaan lahan. Kontrol
salah satu fenomena pemanasan global ini memang sangat penting dilakukan.
Penginderaan jauh menjadi metode yang banyak diguakan untuk
mengobservasi permukaan bumi. Melalui citra satelit akan diperoleh banyak
informasi permukaan tanah suatu daerah yang luas dalam waktu yang singkat tanpa
harus terjun ke daerah tersebut. Informasi citra satelit Landsat mampu
merepresentasikan permukaan tanah beserta objek yang menutupi permukaan
tersebut dengan resolusi spasial yang relatif tinggi (Cahyono,2007).
Satelit Landsat memiliki berbagai sensor untuk mendapatkan berbagai
informasi permukaan tanah, salah satunya adalah sensor suhu. Sensor suhu yang ada
3

pada satelit Landsat memiliki mekanisme yang dapat digunakan untuk observasi
Suhu Permukaan Lahan (SPL) atau Land Surface Temperature (LST). Citra satelit
Landsat ini memungkinkan untuk mendapatkan data suhu permukaan untuk wilayah
yang sangat luas dan lebih beragam dibandingkan dengan pengukuran suhu secara
langsung (Qian, 2006). Parameter suhu permukaan lahan digunakan untuk
menggambarkan kondisi suhu di wilayah perkotaan dan mengamati fenomena UHI
yang terjadi di wilayah perkotaan.
Penelitian mengenai fenomena UHI telah dilakukan untuk berbagai wilayah
perkotaan. Penelitian oleh Fawzi (2017) menunjukkan adanya perbedaan intensitas
UHI yang dilakukan di wilayah Kota Yogyakarta. Penelitian lain menunjukkan
adanya korelasi antara fenomena UHI dengan kerapatan vegetasi, seperti penelitian
oleh Zakir (2018) di kota Bandung. Penelitian UHI ini nantinya dapat digunakan
sebagai salah satu indikator untuk menerapkan manajemen dan pengembangan
kawasan perkotaan seperti penelitian oleh Novianto (2016) dalam tesisnya yang
mengusung konsep manajemen UHI di kota Surabaya.
Pertumbuhan pembangunan yang hanya berpusat di wilayah perkotaan dan
semakin berkurangnya ruang terbuka hijau akan menyebabkan fenomena UHI di
wilayah tersebut. Kenyamanan dan kesehatan penduduk wilayah perkotaan akan
menurun seiring dengan semakin parahnya fenomena UHI yang terjadi. Berdasarkan
uraian latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian berjudul
“Analisis Urban Heat Island Berdasarkan Data Landsat 8 OLI/TIRS di
Kabupaten Jember”

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana distribusi suhu permukaan di wilayah perkotaan Kabupaten Jember?
b. Bagaimana fenomena UHI di wilayah perkotaan Kanupaten Jember?
4

1.3 Tujuan
Tujuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui distribusi suhu permukaan di wilayah perkotaan Kabupaten Jember.
b. Mengetahui fenomena UHI di wilayah perkotaan Kanupaten Jember.

1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan mampu bermanfaat baik secara teoritis maupun
praktis . Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan pemahaman
bagi masyarakat khususnya masyarakat Kabupaten Jember dalam memahami
fenomena UHI. Penelitian ini diharapkan mampu menambah kajian untuk penelitian
sejenis. Penelitian ini juga diharapkan menjadi masukan bagi para pengembang baik
pemerintah maupun swasta dalam perencaan dan pengembangan Kabupaten Jember.
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Urbanisasi dan Pemanasan Global


Urbanisasi secara umum telah dipahami sebagai peristiwa perpindahan
penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi sesungguhnya merupakan peningkatan
persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan, perpindahan penduduk dari
desa ke kota hanya salah satu penyebab proses urbanisasi (Tjiptoherijanto, 2008).
Negara berkembang maupun negara maju sedang menghadapi permasalahan
kependudukan diantaranya pertumbuhan penduduk yang tinggi, urbanisasi yang
tinggi, dan penyebaran penduduk yang tidak merata (Pison,2019). Pertambahan
penduduk yang cepat dapat menimbulkan akibat serius terhadap keseimbangan
sumber daya alam dan menimbulkan kerusakan lingkungan. Peacock (2018),
menjelaskan bahwa bertambahnya jumlah populasi akan memperkuat terjadinya
kerusakan lingkungan. Permasalahan tersebut tidak dapat dipandang sebagai
permasalahan yang sederhana yang dapat ditangani dengan strategi pembangunan
yang usang. Faktanya kawasan perkotaan kawasan perkotaan (urban area) menjadi
penyumbang sekaligus korban terbesar dari efek pemanasan global dan perubahan
iklim. Hornwerg (2011) menyebutkan bahwa 80% emisi gas rumah kaca dihasilkan di
daerah perkotaan. Grimm et al (2008) menunjukkan bahwa kawasan perkotaan
menjadi sumber titik panas (hotspot) yang menyebabkan perubahan lingkungan
dalam skala yang luas.
Berdasarkan Fukuda (2013) 70 – 80% gas rumah kaca dihasilkan di pusat-
pusat kota yang padat penduduk, hal ini berkaitan dengan sumber titik panas yang
pusatnya ada di pusat kota, yang didukung oleh Grimm et al (2008) bahwa kawasan
perkotaan menjadu sumber titik panas yang kemudian mendorong terjadinya
perubahan iklim. Sumber-sumber panas tersebut merupakan akumulasi dari proses
bertambahnya penduduk dan urbanisasi yang signifikan di daerah perkotaan
utamanya di pusat kota. Urbanisasi yang semakin marak terjadi dengan berbagai
6

aktivitas kegiatan penduduknya di pusat kota akan meningkatkan gas rumah kaca dan
memicu terjadinya pemanasan global. Dalam hal ini semakin padat penduduk dan
tingginya laju urbanisasi di pusat kota akan mengakibatkan adanya fenomena urban
heat island.

2.2 Urban Heat Island (UHI)


2.2.1 Pengertian
Dewasa ini urban heat island menjadi salah satu permasalahan utama di
lingkungan perkotaan yang hampir terjadi di seluruh kota di dunia (Lun, et al, 2009).
Urban heat island (UHI) adalah suatu kondisi dimana suhu permukaan di kawasan
pusat kota (urban) lebih tinggi dibanding di kawasan pinggiran (rural) (Reuben,
2012). Menurut Aisha dan Indradjati (2013), UHI merupakan fenomena peningkatan
udara panas yang terjadi di lokasi yang memiliki kepadatan lahan terbangun yang
lebih tinggi. Adapun menurut Nichol dan Wong (2009), Urban heat island
didefinisikan sebagai adanya perbedaan temperatur anyata daerah perkotaan dan
pedesaan atau juga mengacu pada pertambahan suhu udara, juga nisa mengacu pada
panas relative permukaan, atau sub permukaan. Urban heat island diibaratkan seperti
“pulau” udara permukaan panas yang terpusat di daerah pusat kota dan semakin
menurun temperaturnya di daerah sekeliling atau daerah pinggiran kota
(Tursilowati,2007).
Fenomena ini pertama kali ditemukan oleh seorang ahli meteorologi asal
Inggris bernama Luke Howard tahun 1818. Umumnya suhu udara paling tinggi
terdapat di pusat kota dan suhu udara akan semakin menurun kearah pinggir kota
sampai ke desa. Suhu rata-rata di daerah kota (urban) akan mempunyai suhu lebih
tinggi 1-6 derajt celcius dibandingkan daerah pinggiran (sub urban) atau (rural)
(Landsberg, 1981).
7

Gambar 2.1 Profil suhu Urban Heat Island


(Sumber : EPA, 2008)

2.2.2 Aspek-Aspek Penyebab Urban Heat Island


Kota yang tumbuh dan berkembang harus memperhatikan faktor-faktor baru
yang dapat mengubah iklim lokal di kota tersebut. Jumlah penduduk, guna lahan,
aktivitas industri, dan transportasi, serta ukuran dan struktur kota, merupakan faktor –
faktor yang akan terus berkembang dan berpengaruh terhadap iklim kota. Faktor
iklim kemudian menjadi keharusan sebagai salah satu faktor dalam perencanaan kota
(Budiharjo dan Hardjohubojo, 2009). Menurut Yunus (2005), umumnya
perkembangan kota besar di negara berkembang cenderung tak terkendali.
Pembangunan kota yang tidak dipantau dengan baik akan menyebabkan berbagai
dampak negatif seperti pemborosan energi dan materi, degradasii lingkungan, dan
naiknya suhu rata-rata di kawasan perkotaan.
8

Rizwan et al (2008) memaparkan dua faktor yang berperan mempengaruhi


urban heat island yaitu faktor terkontrol dan faktor yang tidak terkontrol. Faktor
terkontrol meliputi populasi, polusi, desain dan struktur bangunan perkotaan, serta
ruang terbuka hijau. Faktor yang tidak dapat dikendalikan manusia meliputi lokasi
geografi, iklim, tutupan awan, serta dinamika atmosfer.
Novianti (2016) telah merangkum penelitian oleh Wypych (2003), Gilang
(2012), dan Juju (2013) mengenai aspek-aspek penyebab urban heat island yaitu :
1. Kondisi vegetasi atau ruang terbuka hijau kawasan perkotan, dimana ruang
terbuka hijau mampu menurunkan suhu perkotaan. Kondisi vegetasi dapat
dilihat dari kerapatannya atau persentase luasan yang ada di kawasan
perkotaan.
2. Kondisi geometrik bangunan perkotaan, dilihat dari banyaknya bangunan
serta jarak antar bangunan di kawasan perkotaan. Banyaknya bangunan serta
jalan yang sempit dapat mempengaruhi sirkulasi udara perkotaan.
3. Penggunaan material bangunan yang dapat menyerap dan memantulkan
kembali panas dari sinar matahari.
4. Penggunaan energi serta aktivitas manusia yang dapat menghasilkan polusi
udara atau emisi udara perkotaan seperti kegiatan industri, perumahan, dan
transportasi
5. Kelembaban tanah serta kemampuan tanah dalam menginfiltrasi air.
6. Peningkatan jumlah penduduk serta guna lahan perkotaan erat kaitannya
dengan tutupan bangunan di kawasan perkotaan yang akan mempengaruhi
redistribusi radiasi matahari.

2.3 Penginderaan Jauh


2.3.1 Pengertian dan Sejarah
Penginderaan jauh atau disebut juga remote sensing adalah ilmu dan seni
untuk mendapat informasi mengenai objek, daerah, serta fenomena melalui analisa
9

data dengan suatu alat tanpa dilakukan kontak langsung terhadap objek, daerah, dan
fenomena yang diteliti (Lillesand dan Kiefer, 1979). Adapun menurut Aronoff dalam
Sutanto (2016), penginderaan jauh adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
perolehan informasi objek dari suatu jarak tertentu (jauh).
Lindgren (1985) mengemukakan bahwa, penginderaan jauh merupakan
variasi teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi mengenai
bumi. Informasi berupa radiasi elektromagnetik yang dipantulkan dan dipancarkan
dari permukaan bumi. Menurut Insyani (2010), penginderaan jauh merupakan cara
penggambaran keadaan suatu wilayah melalui alat penginderaan atau sensor yang
pada umumnya dipasang di wahana baik berupa balon udara, pesawat udara, satelit,
dan masih banyak lagi. Menurut Anddree (2008), penginderaan jauh merupakan ilmu
mengenai pengumpulan informasi mengenai objek di permukaan bumi dengan
menggunaan sensor tanpa ada kontak langsung dengan objek yang diamati. Pantulan
cahaya atau seumber energi lainnya ditangkap dan direkam, serta diinterpretasikan,
kemudian dilakukan analisa.
Penginderaan jauh pada awalnya dilakukan melalui teknik interpretasi foto
udara. Tahun 1919 dimulai pemotretan melalui pesawat udara dengan dilakukan
interpretasi foto udara (Danoedoro, 2012). Teknik penginderaan jauh kemudian
berkembang menggunakan sistem satelit yang pertama kali diluncurkan oleh Amerika
Serikat tahun 1972 melalui satelit sumberdaya ERTS-1 (Earth Resources Technology
Satelite¬ – 1). Satelit ini selanjutnya diberi nama satelit Landsat-1. Keberadaan satelit
sangat efisien karena mampu merekam hampir seluruh permukaan bumi dan
kemudian menjadi bagian penting untuk berbagai kegiatan analisis permukaan bumi
(Purwadi, 2001).

2.3.2 Konsep Fisika Penginderaan Jauh


Konsep dari penginderaan jauh adalah gelombang elektromagnetik. Setiap
benda memiliki dan memancarkan gelombang elektromagnetik. Tidak semua
spektrum elektromagnetik digunakan dalam penginderaan jauh.
10

Gambar 2.2 Spektrum Gelombang Elektromagnetik


(Sumber : Hadi, 2019)
Spektrum yang biasa digunakan dalam penginderaan jauh adalah sebagian dari
spektrum ultraviolet (290-400 nm), spektrum tampak (400-700 nm), spektrum
inframerah dekat (700-900 nm), spektrum inframerah menengah (3000-5000 nm),
dan spektrum inframerah jauh (8000-14000 nm) (Bambang, 1986).

Danoedoro (2012) menerangkan bahwa apabila tenaga elektromagnetik


mengenai objek permukaan bumi, maka akan terdapat tiga kemungkinan interaksi
tenaga yaitu dipantulkan, diserap, dan ditransmisikan. Hubungan timbal balik
interaksi tenaga tersebut dinyatakan sebagai berikut :
EI (λ) = ER (λ) + EA (λ) + ET (λ)
Dimana :
EI (λ) = tenaga yang mengenai benda
ER (λ) = tenaga yang dipantulkan
EA (λ) = tenaga yang diserap
ET (λ) = tenaga yang ditransmisikan
11

Gambar 2.3 Gelombang Diabsorbsi, Dipantulkan, dan Ditransmisikan


(Sumber : Hadi, 2019)
Keberadaan setiap objek dapat dideteksi beradasarkan pantulan atau pancaran
gelombang elektromagnetik yang dilakukan objek tersebut. Cara objek memberikan
respon gelombang elektromagnetik yang mengenainya berbeda-beda. Setiap objek
memiliki respon yang relatif serupa untuk tiap spektrumnya, maka respon objek ini
sering disebut sebagai respon spektral. Pemahaman mengenai respon pantulan
spektral suatu objek akan memberikan kemudahan analisa penginderaan jauh.

2.3.3 Sistem Penginderaan Jauh


Sistem penginderaan jauh terbangun atas beberapa komponen yang
saling mendukung. Komponen tersebut meliputi sumber tenaga, atmosfir, interaksi
tenaga dengan objek di permukaan bumi, dan sensor (Sutanto, 1987).

Gambar 2.4 Penginderaan Jauh Pasif dan Aktif


(Sumber : Anddree, 2008)
12

Penginderaan jauh berdasarkan sumber tenaganya dibagi menjadi dua yaitu,


sistem pasif dan sistem aktif.
Sistem pasif tenaga elektromagnetiknya berasal dari matahari, sehingga sistem pasif
hanya bisa digunakan di siang hari dan sangat bergantung pada kondisi cuaca. Sistem
aktif menggunakan tenaga buatan yang disebut tenaga pulsa yang dipancarkan dari
satelit, kemudian dipantulkan oleh objek di permukaan bumi, lalu ditangkap dan
direkam kembali oleh sensor pada satelit (Sutanto, 1987).
Tenaga elektromagnetik penginderaan jauh baik sistem pasif maupun sistem
aktif untuk sampai di sensor akan dipengaruhi oleh atmosfer. Atmosfer mengandung
banyak gas seperti (O3, CO2) dan uap air (H2O). Tenaga elektromagnetik yang
mengenai atmosfer akan mengalami tiga peristiwa hambatan yaitu dihamburkan,
dipantulkan, dan diserap. Atmosfer akan mempengaruhi tenaga elektromagnetik atau
bersifat selektif terhadap panjang gelombang hingga muncul istilah atmospheric
windows atau jendela atmosfer. Jendela atmosfer adalah bagian spektrum
elektromagnetik yang dapat mencapai permukaan bumi (Hadi, 2019).

Gambar 2.5 Interaksi Tenaga Elektromagnetik dengan Objek dan Atmosfer


(Sumber : Danoedoro, 1996)
13

Interaksi tenaga elektromagnetik dengan objek di permukaan bumi terdiri atas


tiga yaitu dipantukan, diserap dan ditransmisikan. Bentuk interaksi dan besar tenaga
yang dipantulkan, diserap, dan ditransmisikan akan berbeda-beda untuk setiap
objeknya. Hal ini dapat diartikan bahwa apabila tenaga yang dipantulkan pada suatu
lahan sama dengan tempat lain maka bisa diasumsikan lahan tersebut memiliki
karakteristik tutupan lahan yang sama (Lillesand dan Kiefer 1990).
Sensor penginderaan jauh yang terpasang pada wahana seperti pada balon
udara, pesawat, dan satelit akan menerima tenaga yang dipantulkan dari permukaan
bumi. Sensor dirancang untuk memiliki kepekaan terhadap spektrum elektromagnetik
tertentu. Penggunaan berbagai macam sensor yang terpasang di wahana akan
dihasilkan berbagai macam citra atau citra multispectral. Citra ini kemudian dapat
diproses dan dilakukan pengolahan data oleh berbagai pengguna untuk berbagai
keperluan (Hadi, 2019).

2.4 Satelit Landsat 8 OLI/TIRS


Satelit Landsat (Land Satellite) adalah satelit milik Amerika Serikat yang
diluncurkan pertama kali tahun 1972 dengan nama ERTS-1 (Earth Resourches
Technology Satellite -1), kemudian diluncurkan seri yang kedua tahun 1975 dan
berganti nama menjadi Landsat. Satelit Landsat terus berkembang dan mengalami
perubahan desain sensor untuk mendapatkan citra yang lebih baik dan beragam
(Danoedoro, 2012).
14

Gambar 2.6 Skema Satelit Landsat 8 OLI/TIRS


(Sumber : USGS, 2019)
Landsat 8 diluncurkan pada 11 Februari 2013 di California Amerika Serikat.
Satelit ini adalah pengembangan dari satelit sebelumnya. Satelit Landsat 8 mengorbit
pada ketinggian 705 km. Landsat 8 memiliki 2 macam sensor, yaitu OLI
(Operational Land Imager) dengan 9 saluran (visible, SWIR, NIR) dengan resolusi
spsial 30 meter kecuali untuk saluran 8 pankromatik dengan resolusi spasial 15 meter.
Sensor kedua yaitu TIRS(Thermal Infrared Sensor). TIRS merekam citra pada dua
saluran inframerah termal dengan resolusi 100 meter. TIRS dan sensor OLI saling
terintegrasi sehingga citra yang dihasilkan terkalibrasi secara radiometrik dan
geometrik dengan resolusi temporal selama 16 hari dan cakupan area mencapai 185
km x 180 km (USGS, 2013)
Satelite Landsat 8 dilengkapi dengan peralatan multispektral 11 saluran
dengan resolusi spasial 15-100 m untuk setiap pikselnya. Karakteristik tiap saluran
Landsat 8 dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Karakteristik Saluran Landsat 8 OLI/TIRS
Landsat 8 OLI/TIRS Band Wavelength (µm) Resolusi (m)
Band 1 – Coastal aerosol 0,43 – 045 30
Band 2 – Blue 0,45 – 0,51 30
15

Band 3 – Green 0,53 – 0,59 30


Band 4 – Red 0,64 – 0,67 30
Band 5 – Near Infrared (NIR) 0,85 – 0,88 30
Band 6 – SWIR 1 1,57 – 1,65 30
Band 7 – SWIR 2 2,11 – 2,29 30
Band 8 – Panchromatic 0,50 – 0,68 15
Band 9 – Cirrus 1,36 – 1,38 30
Band 10 – Thermal Infrared (TIRS) 1 10,6 – 11,19 100
Band 11 – Thermal Infrared (TIRS) 2 11,50 – 12,51 100
Sumber : USGS, 2013

2.5 Citra
2.5.1 Pengantar Citra Penginderaan Jauh
Citra merupakan gambaran rekaman objek yang dihasilkan dengan cara optik,
elektro-optik, optik-mekanik, atau elektronik. Citra penginderaan jauh adalah data
berupa gambar yang didapat dalam sistem penginderaan jauh. (Sutanto, 1987).
Ditinjau berdasarkan sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi kontinu atas
intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Sumber cahaya menerangi objek,
kemudian objek memantulkan kembali seluruh atau sebagian cahaya lalu ditangkap
oleh alat optis atau elektro-optis (Murni dkk, 1992).
Citra satelit merupakan citra digital yang didalamnya mengandung informasi
dalam format digital. Citra digital dibangun oleh oleh elemen gambar disebut piksel.
Setiap piksel memuat informasi mengenai warna, ukuran, dan lokasi dari objek.
Informasi warna piksel disebut digital number (DN). DN menggambarkan intensitas
dari gelombang elektromagetik yang ditangkap sensor. DN ditampilkan dalam warna
kelabu, berkisar antara hitam dan putih (gray scale) (Puntodewo, 2003).
Unit terkecil data digital adalah bit yang terdri dari angka binel 0 atau 1.
Kumpulan dari sejumlah 8 bit akan membentuk sebuah unit data yang disebut byte,
dengan nilai 0 – 255. Dalam citra digital nilai intensitas energi atau yang dimaksud
DN ditulis dalam satuan byte. Citra penginderaan jauh menggunakan derajat keabuan
16

atau gray scale, dimana nilai 0 menggambarkan hitam dan nilai 255 putih
(Puntodewo, 2003).

Gambar 2.7 Ilustrasi Piksel dan Digital Number pada Sebuah Citra
(Sumber : Puntodewo, 2003)
2.5.2 Interpretasi Citra
Interpretasi citra adalah kegiatan mengkaji citra dengan maksud untuk
mengidentifikasi objek dan arti objek tersebut (Estes dan Simonett dalam Sutanto,
1994). Menurut Sutanto (1994) dalam proses interpretasi citra terdapat tiga hal
penting yang perlu dilakukan , yaitu :
1. Deteksi
Deteksi citra adalah kegiatan pengamatan tengtang adanya suatu objek,
misalnya pendeteksian objek disebuah daerah perairan.
2. Identifikasi
Identifikasi atau pengenalan merupakan upaya mencirikan objek yang telah
dideteksi dengan keterangan yang cukup, misalnya berdasarkan ukuran,
bentuk, dan letak objek tersebut adalah perahu.
17

3. Analisa
Pengumpulan keterangan lebih lanjut, misalnya bahwa perahu tersebut berisi
3 orang.
2.5.3 Resolusi
Menurut Danoedoro (2012) resolusi atau disebut juga daya pisah (resolving power)
adalah kemampuan sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi spasial
yang berdekatan atau secara spektral memiliki kemiripan/kesamaan. Resolusi
berperan penting sebagai karakteristik yang menunjukkan level detail dari sebuah
citra. Resolusi dalam penginderaan jauh menurut Sutanto (2016) dibagi menjadi
empat macam yaitu :
1. Resolusi Spasial
Resolusi spasial dalam citra digital merupakan ukuran objek terkecil yang
dapat dideteksi oleh sistem penginderaan jauh. Resolusi ini biasanya
dituliskan dalam satuan meter per piksel. Resolusi spasial yang semakin kecil
maka semakin jelas dan detail citra tersebut.

Gambar 2.8 Ragam Resolusi Spasial suatu wilayah


(Sumber : Jensen, 2004)
18

2. Resolusi Spektral
Resolusi spektral adalah kemampuan sensor untuk merekam objek dengan
lebar pita (bandwidth) atau kisaran panjang gelombang elektromagnetik
tertentu. Resolusi spektral akan menentukan kemampuan sistem penginderaan
jauh untuk membedakan informasi objek berdasarkan nilai pantulan atau
pancaran spektralnya. Praktisnya dapat disebutkan jika sebuah citra memiliki
saluran yang banyak dan sempit maka kemampuan untuk membedakan objek
berdasarkan respons spektralnya semakin tinggi (Danoedoro, 2012).

Gambar 2.9 Resolusi Spektral Landsat 8


(Sumber : USGS 2019)
Citra dapat dikatakan memiliki resolusi spektral tinggi jika semakin banyak
jumlah salurannya dengan interval panjang gelombangnya yang semakin
sempit (Sutanto, 2016).
3. Resolusi Radiometrik
Resolusi radiometrik merupakan kemampuan sensor untuk menerima dan
menuliskan respons spektral objek. Respon spektral dating mencapai sensor
dengan intensitas bervariasi. Selisih respon yang paling lemah dapat
dibedakan sensor yang peka. Hal ini juga berkaitan dengan kemampuan
sensor mengubah intensitas pantulan atau pancaran spektral menjadi angka
19

digital dan dinyatakan dalam bit. Sensor yang merekam dengan 8 bit resolusi
radiometriknya lebih tinggi daripada dengan 6 bit (Sutanto, 2016).
4. Resolusi Temporal
Resolusi temporal merupakan kemampuan sistem perekaman citrasatelit
dalam merekam ulang / daerah yang sama. Setiap satelit memiliki kemampuan
untuk merekam ulang objek yang sama dalam periode yang berbeda-beda.
Seperti satelit SPOT memiliki resolusi temporal 26 hari dan Landsat 16 hari
(Danoedoro, 2012)

2.6 Pengolahan Citra Perhitungan UHI


2.6.1 Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
Nilai vegetasi atau NDVI merupakan nilai yang dapat mengeteahui tingkat
kehijauan suatu tanaman. Nilai NDVI tinggi menunjukkan daerah yang kerapatan
vegetasinya tinggi. Nilai NDVI rendah dapat disimpulkan daerah tersebut tingkat
kerapatan vegetasinya sangat rendah. Nilai indikator ini didasarkan pada perbedaan
antara nilai emisi maksimum saluran merah (red) karena pewarna klorofil dan nilai
penyerapan maksimum saluran spektral inframerah dekat (NIR) karena struktur sel
daun (Kurnia, 2019).
Formulasi NDVI adalah sebagai berikut:
NIR−RED
NDVI = ()
NIR+ RED
Dimana :
NIR = Nilai refektan kanal infra merah dekat
RED = Nilai refrektan kanal merah

2.6.2 Land Surface emissivity


Pemetaan emisivitas permukaan (land surface emissivity) menjadi penting
terutama untuk mengurangi kesalahan dalam estimasi suhu permukaan menggunakan
citra satelit (Fawzi, 2014). Emisivitas permukaan dapat didefinisikan sebagai
20

kemampuan objek untuk memancarkan energi termal yang dimilikinya (Mallick et


al., 2012). Beberapa metode dikembangkan untuk memperoleh emisivitas permukaan
dari data penginderaan jauh. Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk
mendapatkan emisivitas permukaan adalah dengan menghitung fraksi vegetasi (Pv)
yang dibentuk dari nilai Indeks Vegetasi (NDVI) (Das, 2015). Pv merupakan fraksi
vegetasi dengan nilai bervariasi dari 0,00 – 1,00 (Carlson and Ripley, 1997). Untuk
mendapatkan nilai Pv maka perlu menskalakan NDVI untuk meminimalkan
gangguan dari kondisi tanah yang lembab dan fluks energi permukaan. Fraksi
vegetasi dan emisivitas dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

[ ]
2
NDVI −NDVI min
Pv =
NDVI max −NDVI min

Dimana:
Pv = Fraksi Penutup Vegetasi
NDVI = Normalized Difference Vegetation Index
NDVI min = Nilai NDVI minimal
NDVI max = Nilai NDVI maksimal

Setelah didapat nilai Pv selanjutnya menghitung emisivitas


ε =0,004 × P v +0,986
Dimana :
ε = Emisivitas
Pv = Fraksi Penutup Vegetasi

2.6.3 Land Surface Temperature


Land Surface Temperature (LST) atau suhu permukaan lahan dapat
didefinisikan sebagai suatu temperatur rata-rata dari suatu permukaan, yang
digambarkan dalam cakupan suatu piksel dengan berbagai tipe permukaan yang
berbeda (Kerr et al., 1992 dalam Fatimah, 2012). Suhu permukaan merupakan salah
21

satu parameter kunci bagi neraca energi di permukaan dan juga merupakan parameter
utama klimatologis, Prinsip dasar yang dikembangkan dalam deteksi suhu udara
mengacu kepada prinsip fisika caha pada black body temperature. Pada dasarnya
setiap panjang gelombang akan sensitif terhadap respon suhu permukaan yang
mempengaruhi nilai pantul objek (Tursilowati, 2007). Fluks gelombang
elektromagnetik yang terpantul kembali ke atmosfer dapat dikendalikan oleh suhu
permukaan. Suhu permukaan sangat tergantung pada keadaan parameter permukaan
lainnya, seperti albedo, kelembaban permukaan, kondisi dan tingkat penutupan
vegetasi (Voogt, 1996, dalam Prasasti, 2004).

LST telah menjadi salah satu parameter yang paling penting yang digunakan
dalam menilai keberadaan UHI pada suatu wilayah berdasarkan penerapan citra
satelit (Min et al., 2018). Hasil pengukuran kanal termal pada data satelit dapat
digunakan untuk pemetaan pola suhu permukaan pada skala waktu dan spasial yang
lebih luas. Menurut USGS (2019) LST dapat diperoleh dengan menggunakan formula
sebagai berikut :

1. Spektral Radian
Digital number (DN) pada citra dikonversi menjadi spektral radian dengan
menggunakan persamaan berikut:
L λ=M L ×Qcal + A L
Dimana :
Lλ = Radian spektral pada band 10 (W/m2.srad.µm)
ML = Radiance multiplicative scaling factor dari metadata
(RADIANCE_MULT_BAND_10)
Qcal = Nilai piksel citra satelit band 10 (DN)
AL = Radiance additive scaling factor dari metadata
(RADIANCE_ADD_BAND10)
2. ToA (Top of Atmospheric) Brightness Temperature
22

Brightness temperature adalah ukuran pancaran radiasi gelombang mikro dari


puncak atmosfer menuju satelit. Brightness temperature didasarkan pada
konsep radiasi benda hitam. Radiasi benda hitam memiliki spektrum dan
intensitas tertentu yang bergantung pada temperatur benda (Urfiyah, 2019).
Nilai dari Brightness temperature inilah yang menjadi nilai LST. Perhitungan
Brightness temperature didapat melalui persamaan matematis sebagai berikut.

K2
T B= −273 ,5

( )
K
1+ ln ⁡ 1

Dimana :
T B = Brightness temperature (°C)
K 1 = Konstanta kalibrasi band-specific thermal dari metadata
K1_CONSTANT_BAND_10)
K 2 = Konstanta kalibrasi band-specific thermal dari metadata
(K2_CONSTANT_BAND10)
L λ = Radian spektral pada band 10 (W/m2.srad.µm)
3. LST
Menurut Das (2015) Setelah dihasilkan citra yang dikonversikan ke dalam
derajat Celsius dan emisivitas, maka untuk menghasilkan citra estimasi LST
dapat menggunakan persamaan :
TB
LST =
1+ w ⁡ ( )
TB
ρ
ln ⁡(ε)

Dimana:
LST = Suhu Permukaan Lahan (°C)
w = panjang gelombang dari emitted radiance band 10 (11,5µm)
ρ = h.c/j (14380 µmK)
h = Konstanta Planck (6,626 x 10-34 J s)
23

c = Velocity of light (2,998 x 108 m/s)


j = KOnstanta Boltzman (1,38 x 10-23 J/K
ε = Emisivitas
2.6.3 Perhitungan UHI
UHI dapat diektraksi dari citra penginderaan jauh dengan menurunkan data
LST. Peta UHI dapat dihasilkan dengan memodifikasi persamaan yang disampaikan
oleh Rajasekar & Weng (2009) :
UHI=LST −(μ +0 , 5 α)
Dimana :
UHI = Urban Heat Island (°C)
LST = Land Surface Temperature (°C)
µ = Nilai rerata LST (°C)
α = Nilai standart deviasi (°C)
METODE PENELITIAN

Metode penelitian menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan teknis


dari penelitian yang dilakukan. Hal-hal tersebut mencakup beberapa subbab
diantaranya, yaitu subbab pertama waktu dan lokasi penelitian yang menunjukkan
lokasi pengambilan data. Subbab kedua rancangan penelitian yang menjabarkan
tahapan kegiatan penelitian dari awal sampai akhir penelitian. Subbab ketiga
membahas tentang jenis dan sumber data yang berkaitan dengan penyempurnaan data
yang digunakan dalam penelitian. Definisi operasional variabel dan skala pengukuran
dijelaskan dalam Pemodelan. Subbab keempat yaitu kerangka pemecahan masalah
yang disusun untuk menjabarkan proses yang dilakukan dalam penelitian agar dapat
menjawab rumusan masalah dan menjabarkan rincian dari setiap proses tersebut.
Subbab kelima adalah metode analisis yang menyangkup penjabaran untuk acuan
dalam menganalisa hasil yang diperoleh dari penelitian.

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2022. Lokasi penelitian ini
diambil di Jawa Timur, Kab. Jember yang terletak pada 7059’6” sampai 8033’56”
Lintang Selatan dan 113016’28” sampai 114003’42” Bujur Timur seperti yang
ditunjukkan pada gambar 3.1.

Gambar 3.1 Lokasi Pengambilan Data


25

3.2 Rancangan Penelitian


Sebuah rencana penelitian menggambarkan seluruh proses penelitian. Desain
studi menguraikan proses dari pra-studi hingga ketersediaan hasil studi. Desain
penelitian secara singkat dijelaskan dalam desain penelitian yang terletak pada
Gambar 3.2.

Penentuan Topik

Observasi Studi Pustaka

Identifikasi Masalah

Penentuan Variabel dan Rancangan Penelitian

Pengumpulan Data

Pengolahan Data

Analisis Data

Kesimpulan

Gambar 3.2 Rancangan Penelitian


Pertama, penelitian dilakukan dengan melakukan penentuan topik penelitian
ini yaitu analisis fenomena UHI dengan menggunakan data Landsat 8 OLI/TIRS.
Kemudian, melakukan studi pustaka guna memperdalam pengetahuan tentang topik
penelitian fenomena UHI. Literatur yang digunakan berupa buku tesis, skripsi, jurnal
serta informasi dari website atau internet mengenai topik penelitian. Tahap studi
26

pustaka dilakukan untuk mengobservasi metode analisa fenomena UHI serta


algoritma yang digunakan. Hasil dari observasi dilakukan identifikasi masalah
kemudian didapat permasalahan mengenai analisa fenomena UHI menggunakan data
citra satelit Landsat 8 OLI/TIRS di daerah Kabupaten Jember. Setelah itu ditentukan
variabel penelitian yang berkaitan dengan penelitian, dan dilanjutkan dengan desain
penelitian.

Pengumpulan data yang diambil dari website atau laman internet kemudian
dikelompokkan menggunakan software Microsoft Excel, Qgis, dan ArcGIS yang
dikolaborasikan menjadi sebuah peta vegetasi lahan, suhu permukaan lahan, dan
intensitas UHI untuk mengetahui distribusi suhu permukaan lahan dan fenomena UHI
di Kabupaten Jember. Analisa data dilakukan dengan melihat nilai indeks data pada
peta sehingga menghasilkan kesimpulan yang didapat untuk menjawab rumusan
masalah.

3.3 Jenis dan Sumber Data


Jenis data dalam penelitian adalah data kuantitatif. Ada dua sumber data yang
digunakan yatu citra satelit Landsat 8 OLI/TIRS dan data BPS. Data Landsat
merupakan data public yang dapat diakses secara bebas dan gratis melalui laman
https://earthexplorer.usgs.gov/. Data ini diambil untuk cakupan wilayah Jember
khususnya wilayah perkotaan yaitu Kec. Patrang, Sumbersari, dan Kaliwates. Data
yang diambil adalah data pada bulan yang telah ditentukan berdasarkan kolerasi
dengan data curah hujan yang memiliki tingkat curah hujan rendah. Data citra
Landsat diambil cloud cover seminimal mungkin. Hal ini dimaksudkan agar
menjamin bahwa data yang digunakan relatif bersih dari tutupan awan pada daerah
penelitian. Penelitian ini menggunakan data sekunder data curah hujan Kabupaten
Jember yang didapat di website https://www.bps.go.id/. Data curah hujan dibutuhkan
agar didapat suhu permukaan lahan yang relevan dan tidak dipengaruhi oleh faktor
hujan.
27

3.4 Definisi Operasional Variabel dan Skala Pengukuran


Variabel dalam penelitian merupakan faktor-faktor yang berpengaruh dalam
penelitian yang memiliki nilai dan dapat berubah atau diubah. Variabel dalam
penelitian ini adalah variabel yang akan menjadi input pada pengolahan citra Landsat
8 OLI/TIRS. Variabel-variabel tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua bagian
yaitu variabel bebas dan variabel terikat.

3.4.1 Variabel Bebas


Variabel bebas pada penelitian ini adalah nilai-nilai reflektansi pada setiap band
dari data citra Landsat 8 OLI/TIRS. Data tersebut diambil dalam kurun waktu 5
tahun (2018-2022).

3.4.2 Variabel Terikat


Variabel terikat dalam penelitian ini adalah nilai indeks vegetasi dan suhu
permukaan lahan dari pengolahan citra satelit dan model hubungan indeks vegetasi
dengan suhu permukaan lahan.

3.5 Kerangka Pemecahan Masalah


Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan untuk pemecahan masalah dalam
penelitian ini diberikan pada gambar 3.3.

Mulai

Curah Hujan Penentuan Bulan

Satelit6ghu
Landsat 8

Band 4, 5, 10

Pemotongan Citra

NDVI LST UHI


28

Klasifikasi Indeks

Peta
Penggunaan
Lahan, Peta
LST, & Peta
UHI

Analisis

Kesimpulan

Gambar 3.3 Kerangka Pemecahan Masalah


Langkah-langkah yang dilakukan dalam menyelesaikan masalah adalah
pengumpulan satu data setiap tahun dari tahun 2018 sampai 2022 pada daerah
Kecamatan Kaliwates, Patrang, dan Sumbersari.
Langkah pertama yaitu melihat data curah hujan untuk menentukan bulan-
bulan yang memiliki curah hujan paling rendah. Data ini didapat dari Badan Pusat
Statistik sebagai acuan.
Setelah penentuan bulan pengambilan data ditentukan, kemudian pengambilan
data Landsat dilakukan dengan bulan yang telah ditentukan. Satelit Landsat 8
memiliki 12 band, tetapi hanya diambil 3 band yang digunakan pada penelitian ini
diantaranya, band 4 (RED), band 5 (NIR), dan band 10 (TIR).

Selanjutnya data yang sudah terkoreksi dilakukan pengolahan NDVI, LST,


dan UHI menggunakan software Qgis dan Arcgis untuk melakukan pemotongan citra.
Pemotongan citra dilakukan untuk daera. Setelah pemotongan, data satelit Landsat 8
diolah untuk mendapatkan NDVI sebagai indeks vegetasi. Dimana persamaan NDVI
sebagai berikut:

NIR−RED
NDVI =
NIR+ RED
29

NDVI selanjutnya digunakan untuk menentukan fraksi vegetasi dan emisivitas dengan
persamaan sebagai berikut :

[ ]
2
NDVI −NDVI min
Pv =
NDVI max −NDVI min

Dimana:
Pv = Fraksi Penutup Vegetasi
NDVI = Normalized Difference Vegetation Index
NDVI min = Nilai NDVI minimal
NDVI max = Nilai NDVI maksimal

Setelah didapat nilai Pv selanjutnya menghitung emisivitas


ε =0,004 × P v +0,986
Dimana :
ε = Emisivitas
Pv = Fraksi Penutup Vegetasi.
Setelah didapat emisivitas maka selanjutnya untuk menghasilkan citra LST dapat
digunakan persamaan :
TB
LST =
( Tρ ) ln ⁡(ε)
1+ w ⁡ B

Dimana:
LST = Suhu Permukaan Lahan (°C)
w = panjang gelombang dari emitted radiance band 10 (11,5µm)
ρ = h.c/j (14380 µmK)
h = Konstanta Planck (6,626 x 10-34 J s)
c = Velocity of light (2,998 x 108 m/s)
j = KOnstanta Boltzman (1,38 x 10-23 J/K
ε =Emisivitas
30

Setelah didapat LST kemudian UHI dapat diektraksi menurunkan data LST dengan rumus :
UHI =LST −(μ +0 , 5 α )
Dimana :
UHI = Urban Heat Island (°C)
LST = Land Surface Temperature (°C)
µ = Nilai rerata LST (°C)
α = Nilai standart deviasi (°C)

3.6 Analisis Data


Penelitian yang akan dilakukan menghasilkan data berupa peta NDVI, sebaran
suhu permukaan, dan UHI dari hasil pengolahan Qgis dan Arcgis akan menjadi peta
indeks.Analisis data dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif.
Analisis kualitatif dilakukan dengan pendekatan keruangan (spasial). Analisis
spasial yang dilakukan nantinya mengkaji indeks vegetasi, suhu permukaan, dan UHI
lahan di daerah perkotaan Jember. Suhu permukaan lahan dan tutupan lahan
diklasifikasikan dibagi menjadi beberapa kelas dan ditampilkan dengan degradasi
warna untuk tiap kelasnya. Analisa UHI dilakukan dengan mengolah data suhu
permukaan lahan untuk mendapatkan nilai UHI. Nilai UHI dikelompokkan ke dalam
beberapa kelas dan dibuat peta sebaran UHI. Peta akan menampilkan degradasi warna
sesuai dengan nilai UHI yang telah diklasifikasikan.
Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan fitur spatial analyst tools
dari Arcgis untuk mendapatkan nilai piksel dari peta sebaran NDVI dan LST. Nilai-
nilai piksel tersebut kemudian di olah di Excel untuk dilakukan analisis regresi.
Analisis ini digunakan untuk mengetahui korelasi antara indeks vegetasi dan suhu
permukaan. Hasil dari analisis ini merupakan suatu model persamaan matematis yang
menggambarkan hubungan antara indeks vegetasi terhadap suhu permukaan.
DAFTAR PUSTAKA

Branch, Melville C. 1995. Perencanaan Kota Komprehensif : Pengantar dan


Penjelasan. Terjemahan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Danoedoro P. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta : Andi

Hadi, Bambang. 2019. Penginderaan Jauh: Pengantar ke Arah Pembelajaran


Berpikir Spasial. Yogyakarta: UNY Press

Lindgren D T. 1985. Land Use Planning and Remote Sensing. Doldrecht : Martinus
Nijhoff Publisher

Pison, Gilles. 2019. The population of the world. Population & Societies. 569(8):1-8

Qian L, Roble R G, Solomon S C and Kane T J 2006 Calculated and observed


climate change in the thermosphere, and a prediction for solar cycle 24.
Geophys. Res. Lett. 33

Reuben, L.M. 2012. Spatio-Temporal Dynamics Of The Urban Heat Island In


Singapore. Phd Thesis. National University of Singapore, Singapore

Rizwan, A.M., Dennis, L.Y. & Chunho, L.I.U. 2008. A Review On The Generation,
Determination And Mitigation Of Urban Heat Island. Journal Of
Environmental Sciences, 20(1): 120– 128

Sutanto. 1987. Penginderaan Jauh Dasar II. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press

Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh: Jilid 2. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press

Sutanto. 2016. Metode Penelitian Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Ombak.


32

Tjiptoherijanto, Prijono., Nagib, Laila. 2008. Pengembangan Sumber Daya manusia :


Di Antara Peluang dan Tantangan. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia

Tursilowati, L. 2005. Pulau Panas Perkotaan Akibat Perubahan Tata Guna dan
Penutup Lahan di Bandung dan Bogor. Jurnal Sains Dirgantara, 3 ; 43-64

Tursilawati, Laras, 2007. use of Remote Sensing and GIS to Compute Temperature
Humidity Index as Human Comfort Indicator Relate with Land Use-Land
Cover Change (LULC) in Surabaya. The 73rd International Symposium on
Sustainabe humanosphere 2007

U.S. Geological Survey. Landsat 7 (L7) Data Userrs Handbook. v.2.0. Sioux Falls:
EROS, 2019a . Landsat 8 (L8) Data Userrs Handbook. v.5.0. Sioux Falls:
EROS, 2019b

Yunus, Hadi Sabari. 2005. Manajemen Kota. 1 Ed. 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

https://www.epa.gov/heatislands/learn-about-heat-islands. Diakses pada November


2022

Anda mungkin juga menyukai