Anda di halaman 1dari 34

15

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Emisi CO2 pada Sistem Perumahan Perkotaan


Pengendalian emisi CO2 pada skala perkotaan, regional dan nasional menjadi
tujuan penting dalam dekade terakhir ini untuk mengurangi emisi karbon yang
berdampak pada kenaikan iklim global. Dalam upaya pengendalian tersebut maka
pemahaman yang lebih baik tentang emisi karbon dalam berbagai skala
geographis menjadi prasyarat penting dalam usaha mengelola emisi CO2 di udara.
Dalam skala kota ini berarti bahwa pemahaman komprehensif atas penggunaan
energi di perkotaan dan emisi CO2, dan lebih jauh pemahaman mendalam atas 2
(dua) sektor terbesar yaitu; lingkungan binaan (bangunan-bangunan termasuk
perumahan) dan transportasi serta perlunya dilakukan intervensi teknologi dan
perubahan gaya hidup akan menyumbang pengurangan emisi CO2 (Astuti, 2005;
Bhattachayya, 2010; Herawati, 2010). Beberapa literatur meyakini bahwa emisi
CO2 secara langsung di perkotaan adalah sangat penting akan tetapi emisi
tersembunyi yang berasal dari sektor-sektor jasa dan barang adalah juga perlu
dicermati serius karena kawasan perkotaan adalah tempat bertumbuh dan
berkembangnya berbagai gaya hidup yang melahirkan emisi karbon (Hartfield,
2000; Firth dan Lomas, 2009).
Karbon dioksida (CO2) adalah suatu gas penting dan dalam kadar yang
normal sangat bermanfaat dalam melindungi kehidupan manusia di bumi.
Komposisi ideal dari CO2 dalam udara bersih seharusnya adalah 314 ppm
sehingga jumlah yang berlebihan di atmosfer bumi akan mencemari udara serta

Universitas Sumatera Utara

16

menimbulkan efek gas rumah kaca GRK (Kirby, 2008). Emisi CO2 berasal dari
pembakaran bahan bakar fosil merupakan penyebab terbesar sekitar 50% dari efek
GRK (Puslitbangkim, 2005). Umumnya, pencemaran yang diakibatkan oleh emisi
CO2 bersumber

dari 2 (dua) kegiatan yaitu; alam (natural), dan manusia

(antropogenik) seperti emisi CO2 yang berasal dari transportasi, sampah, dan
konsumsi energi listrik rumah tangga. Emisi CO2 yang dihasilkan dari kegiatan
manusia (antropogenik) konsentrasinya relatif lebih tinggi sehingga mengganggu
sistem kesetimbangan di udara dan pada akhirnya merusak lingkungan dan
kesejahteraan manusia (Yoshinori, et al., 2009)
Kebutuhan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang banyak terpusat
di daerah perkotaan di Indonesia, telah menyebabkan naiknya populasi penduduk
perkotaan

(Budihardjo,

2006).

Kenaikan

ini

selanjutnya

meningkatkan

penggunaan bahan bakar fosil, sumber timbulan emisi CO2 ke udara. Aktifitas
penduduk perkotaan ini menyebabkan konsentrasi gas buang seperti CO2 makin
bertambah dalam udara ( Wackernagel, N. dan Ress, W. E., 1996). Sumber gas
buang atau emisi CO2 di daerah perkotaan ini terkait dengan beragam fungsi
bangunan dan aktifitas transportasi (Astuti, 2005). Sementara, sumber emisi CO2
pada perumahan ataupun pemukiman adalah berasal dari konsumsi energi akibat
proses pembangunan perumahan yaitu; mulai dari pabrikasi bahan bangunan,
konstruksi bangunan, penggunaan energi dari aktifitas domestik, sampai dengan
demosili pasca hunian. Oleh karena itu, untuk mengetahui besaran emisi CO2 dari
penyelenggaraan perumahan perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi
setiap tahapan dalam proses pembangunan perumahan (Zubaidah, 2005).

Universitas Sumatera Utara

17

Sejak tahun 1990 konsentrasi CO2 telah meningkat menjadi 350 ppm naik
sebesar 63 ppm dari tingkat yang ada di tahun 1850 sebesar 290 ppm. Apabila
digunakan asumsi konsumsi dan pertumbuhan ekonomi sama seperti saat ini maka
diperkirakan pada tahun 2100 konsentrasi CO2 adalah sekitar 580 ppm.
Industrialisasi dan urbanisasi disertai dengan gaya hidup berbagai kegiatan
perkotaan manusia modern telah mempercepat kenaikan timbulan emisi CO2 di
atmosfer. Pada dasarnya, penyumbang terbesar emisi CO2 perkotaan modern
adalah berasal dari bahan bakar fosil yaitu dari penggunaan; pembangkit listrik,
kendaraan, serta akitifitas pembakaran hutan melalui konversi lahan terutama di
daerah tropis. Data tahun 1989 menunjukkan sekitar 71 persen sampai dengan 89
persen dari keseluruhan perkiraan emisi CO2 sebesar 5,8 juta ton sampai 8,7 juta
ton berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, sementara antara 10 persen sampai
28 persen bersumber dari pembakaran hutan (Puslitbangkim, 2006).
Di Indonesia, emisi CO2 dari sektor rumah tangga, tidak termasuk kendaraan
pribadi, memberi sumbangan sebesar 11% dari keseluruhan emisi nasional
(Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2002). Ini belum termasuk emisi
tidak langsung dari konsumsi energi listrik pada rumah tangga sebesar 38,6% dari
konsumsi energi listrik nasional seperti tampak pada gambar 2.1. Penelitian di
Kampung Naga menunjukkan bahwa upaya pengurangan emisi CO2 melalui
konstruksi rumah berkaitan langsung dengan perilaku kehidupan masyarakat
perumahan melalui aturan

yang mengatur tahap pembangunan rumah, sumber

material bangunan, pembatasan penggunaan lahan, kendaraan dan peralatan yang


digunakan dalam proses konstruksi (Dewi, I.K. dan Sudjono, P. 2007). Akan
tetapi, pada penyelenggaran perumahan perkotaan modern, timbulan emisi CO2

Universitas Sumatera Utara

18

di udara dapat dikendalikan sejak dari proses pra-konstruksi, konstruksi, hingga


aktifitas pasca-konstruksi terutama melalui konsumsi energi listrik dan bahan
bakar dari keperluan rumah tangga (Priemus, 2005; Suhedi, 2007).

Emisi CO2 Nasional


250

Juta Ton

200
150
100
50
0
1990

1991

Pembangkit Listrik

1992

1993

1994

1995

Rumah Tangga & Komersial

1996

1997

Industri

1998

1999

Transportasi

2000

Lainnya

Gambar 2.1 Grafik emisi CO2 Nasional


Sumber: Deptambem ESDM, 2002

Besarnya timbulan emisi CO2 yang bersumber dari energi akibat aktifitas
domestik dalam rumah tangga sangat berkaitan erat dengan gaya hidup, budaya,
pola kehidupan di rumah masing-masing individu ataupun kelompok masyarakat.
Lebih jauh juga, emisi karbon yang berasal dari konsumsi energi rumah tangga
atas penggunaan bahan bakar organik (fosil) dan listrik erat berhubungan dengan
tingkat penghasilan masyarakat (Bhattacharyya dan Ghoshal, 2010). Selain itu,
berbagai aktifitas rumah tangga lainnya seperti membersihkan rumah serta cuci
setrika secara kumulatif ikut pula memberi kontribusi bagi besarnya emisi karbon
dari penyelenggaraan perumahan. Protokol Kyoto 1997 menekankan perlunya
pengurangan emisi sebesar 5,2 persen sebelum tahun 2012 dari tingkat emisi pada

Universitas Sumatera Utara

19

tahun 1990. Sementara, perkiraan emisi CO2 tahun 1990 adalah 105,7 juta ton
dimana sebesar 23 persen berasal dari pembangkit energi dan 16 persen dari
penyelenggaraan perumahan atau sektor rumah tangga.
Emisi CO2 pada penyelenggaraan perumahan sederhana perkotaan
dihasilkan mulai dari proses pembuatan bahan bangunan dan transportasi bahan
bangunan, penggunaan peralatan selama proses konstruksi sampai dengan
aktifitas rumah tangga ketika rumah dihuni (Yudhi, C.O. dan Sudjono, P. 2007).
Oleh karena itu komponen sistem perancangan rumah dapat mempengaruhi
peningkatan timbulan karbon apabila terjadi aktifitas perbaikan, perubahan,
maupun penambahan luasan bangunan rumah. Selain itu, berbagai kegiatan
pemanfaatan fungsi ruang di dalam rumah melalui pengkondisian ruang baik
berupa udara maupun cahaya turut juga memberi dampak pada peningkatan emisi
CO2.
Beberapa pendekatan pada penyelenggaraan perumahan berkelanjutan
perkotaan telah dikembangkan untuk mengurangi timbulan emisi karbon di udara.
Hal ini dilakukan dengan misalnya, pertama adalah hemat bahan bangunan yang
diarahkan kepada terbentuknya masyarakat Zero-Emmission melalui daur ulang
material dan bangunan-bangunan tahan lama, atau kedua hemat energi melalui
perbaikan sistem bahan dan konstruksi bangunan, dan ketiga adalah melalui
optimalisasi sistem jaringan lalulintas perkotaan (Kobayashi, 2010).

2.2. Kota Berkelanjutan


Kota berkelanjutan berkaitan erat dengan kemampuan dari suatu kota
bertahan hidup serta tumbuh dan berkembang sejalan dengan populasi penduduk
yang terus bertambah akibat urbanisasi (Bugliarello, 1999). Pengertian ini erat

Universitas Sumatera Utara

20

hubungannya dengan pengaruh dari suatu kota terhadap bagian dunia yang lain
dan secara diagramatis diilustrasikan pada gambar 2.2 sebagai perpotongan antara
urbanisasi dengan dunia berkelanjutan. Biasanya, kemampuan suatu kota bertahan
hidup dan memberi kesejahteraan pada penduduknya dalam jangka waktu cukup
lama melibatkan berbagai faktor: ekonomi suatu kota; ketersediaan lapangan
kerja, perumahan dan berbagai sektor jasa; kesejahteraan dan daya tarik dari
lingkungan kota; ketersediaan sumber-sumber air, bahan-bahan pokok, energi;
demikian juga tentu ruang-ruang yang memberi peluang terjadinya pertumbuhan
(Siregar, Doli, 2004; Budihardjo, 2006).
Ada 3 (tiga) tantangan utama yang dihadapi setiap kota agar dapat menjadi
suatu kota berkelanjutan (Shireman, 1992, Thinh et al., 2002):
1. teknis: menemukan sumber-sumber air, menggali dan menciptakan
tempat-tempat penimbunan limbah/sampah, mengatasi keterbatasan lahan
kota dengan menyediakan lahan untuk pengembangan.
2. sosio-ekonomi: menyediakan lapangan kerja, perumahan, jasa-jasa bagi
orang tidak mampu, menghubungkan sistem transportasi dan tata guna
lahan, membuat kebijakan-kebijakan yang efektif bagi mendorong
pembangunan.
3. biological sphere: dampak dari kehidupan kota terhadap warga kota
dampak jadwal kerja dengan jarak antara hunian dan tempat kerja baik
dari segi waktu dan jadwal makan, berkurangnya aktifitas fisik berkaitan
dengan transportasi dengan kendaraan motor, makanan cepat saji,
penyakit jantung dan obesitas, dampak tingkat kebisingan dengan
gangguan pendengaran.

Universitas Sumatera Utara

21

Gambar 2.2 Kota berkelanjutan sebagai perpotongan dari dua phenomena


Sumber: Bugliarello, 2006.

Selanjutnya, Bugliarello (2006) mengembangkan 2 (dua) paradigma untuk


memahami dan menghadapi tantangan-tantangan diatas serta seluruh dilema yang
terjadi.
a. Paradigma kota sebagai konsentrator
Kota adalah sebagai pusat tempat berkumpulnya (konsentrator) populasi,
sumber daya (manusia, material, tata guna lahan, air, dan energi), informasi,
ekonomi dan peluang-peluang; demikian juga polusi, disfungsionalitas mulai dari
kemacetan lalulintas sampai ke kriminal. Lebih jauh, kota kontemporer juga
sering disebut sebagai pusat informasi yaitu;

melalui jaringan keberadaaan

universitas-universitas, kompleks-kompleks perkantoran, perpustakaan, bankbank data, transmisi telekomunikasi, jaringan pos, dan komunikasi antar individu
yang dilakukan di kota. Beberapa keuntungan dari kota konsentrator adalah:
1. sebagai tempat bagi percampuran beragam genetika.
2. sebagai tempat penggunaan energi efisien akibat penggunaan
transportasi publik.

Universitas Sumatera Utara

22

3. sebagai tempat penggunaan lahan yang minimal akibat tidak ada subsub pusat kota.
4. sebagai tempat penggunaan materi optimal karena perumahan
menyediakan beragam kebutuhan ekonomi.
5. sebagai tempat penggunaan air minimal karena rumah-rumah pribadi
memiliki halaman tidak luas.
b. Paradigma Biosoma (Biologi, sosial, mesin)
Paradigma ini menekankan kompleksitas alami yang dimiliki suatu kota, yang
melibatkan komponen-komponen; biologi, sosial dan mesin yang saling berkaitan
di dalam lingkungan kota seperti tampak pada gambar 2.3. Paradigma ini melihat
kota sebagai suatu entitas Biologi - Sosial - Mesin. Komponen biologi adalah
manusia, dan spesies-spesies lainnya, yang secara bersama akan menghadirkan
keseimbangan bagi keduanya. Keseimbangan ini selanjutnya memberi arti bagi
keberlanjutan kehidupan seperti misalnya kesenangan manusia atas tumbuhan,
burung-burung, dan binatang peliharaan. Komponen sosial termasuk organisasiorganisasi, pemerintah kota, kelompok-kelompok etnis dan informal, keluarga dan
lain lain. Komponen mesin termasuk artefak-artefak, mulai dari infrastruktur
hingga perumahan, dari industri sampai kendaraan-kendaraan, komputer sampai
ke pakaian. Sedangkan lingkungan adalah termasuk udara, air, dan tanah. Semua
perbedaan kapabilitas dari komponen-komponen biosoma menawarkan beragam
kemungkinan dalam penanganan tantangan-tantangan kota berkelanjutan.

Universitas Sumatera Utara

23

SO

BIO

MA

Bio

So

Ma

Manusia

Organisasi-organisasi:

Perumahan

Spesies

Pemerintah

Infrastruktur

lainnya

Bisnis

Transportasi

Kesehatan

Listrik, air, telepon

Keluarga

...........

Agama

Dlsbnya

Budaya

Gambar 2.3 Komponen-komponen bio-so-ma


Sumber: Bugliarello, 2006.

Kedua

paradigma

dimaksud,

yaitu

konsentrator

dan

biosoma

melahirkan pertanyaan tentang masa depan kota-kota dunia seperti; bagaimana


konsekuensi-konsekuensi bio-sosial dari konsentrator. Semakin besar peran kota
sebagai konsentrator, semakin penting untuk diperhatikan tentang dampaknya
terhadap alam dan kehidupan yang berkelanjutan. Apakah, misalnya peran
konsentrator yang ekstrim dari suatu kota akan mempengaruhi keseimbangan biososial seperti misalnya, individualitas. Apakah tingginya tingkat efisiensi
penggunaan energi suatu kota konsentrator, misalnya karena transportasi massal,
bangunan tinggi, rumah ramah lingkungan, ruang terbuka hijau, menjadi faktor

Universitas Sumatera Utara

24

penting dalam usaha mengurangi efek gas rumah kaca (GRK) yang berasal dari
emisi CO2 dan pemanasan global?

2.3. Ekosistem Kota


Usaha-usaha untuk memahami interaksi antara pengembangan suatu kota
dan perubahan lingkungan melahirkan konsep model kota sebagai suatu
ekosistem, yang mana didalamnya termasuk alam dan manusia, dalam konteks
lingkungan binaan manusia (Douglas, 1983; Odum, 1997) . Ahli lingkungan
menggambarkan kota adalah sebagai heterotrophik ekosistem. Heterotrophik
ekosistem adalah ekosistem dimana kebutuhan-kebutuhan energi dan kebutuhankebutuhan makanannya sangat tergantung dari daerah diluar batas-batasnya (Firth,
2008). Ekosistem kota terdiri dari beberapa sub-sistem yang saling terkait baik
sosial, ekonomi, kelembagaan, lingkungan. Setiap sub-sistim memiliki sistem
yang kompleks

serta mempengaruhi sub-sistem lain secara struktural dan

fungsional di berbagai tingkatan.


Beberapa faktor yang menambah kompleksitas sistem antara lain; pertama,
dampak proses industri kontemporter dimana banyak jenis material yang
digunakan belum diketahui apakah berbahaya. Sering terjadi yang dulu dianggap
punya nilai lingkungan baik ternyata merusak lingkungan. Kedua, kota-kota
dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat menghadapi transisi sosial, ekonomi
dan budaya, sudah tentu pula menghadirkan

tantangan lingkungan bagi

masyarakat pendapatan rendah, menengah, tinggi secara bersamaan. Ketiga,


ketika tuntutan desentralisasi dipacu untuk tujuan memindahkan tanggung jawab
penanganan lingkungan kota dari pusat ke daerah, dalam banyak kasus tidak
disertai dengan penyerahan kemampuan keuangan kepada pemerintah daerah.

Universitas Sumatera Utara

25

Situasi ini, memaksa pemerintah daerah secara keliru mencari dana dari sektor
swasta dengan privatisasi menangani utilitas kota. Keempat, lebih banyak pihak
terlibat atau berkeinginan untuk dilibatkan, menciptakan situasi politik yang
kompleks dalam pembuatan keputusan pengembangan lingkungan kota. Ini
termasuk, misalnya, pemangku kepentingan lokal dan perusahaan utilitas asing
yang menawarkan jasa untuk pengadaan infrastruktur kota (UNU/IAS Report,
2003).
Pengembangan suatu kota sangat menentukan struktur dari ekosistem kota
dan secara signifikan akan mempengaruhi fungsi ekosistem alam melalui
(UNU/IAS Report, 2003):
(a) konversi lahan dan transformasi bentang alam;
(b) pemanfaatan sumber daya alam;
(c) pelepasan gas-gas emisi dan sampah-sampah.
(d) penyediaan berbagai jasa penting bagi populasi manusia di kota.
(e) perubahan lingkungan; skala lokal, regional dan global seperti
kontaminasi pada daerah tangkapan air, hilangnya keaneka-ragaman
hayati, dan perubahan iklim yang mempengaruhi kesehatan dan
kesejahteraan manusia.
(f) strategi pengelolaan.
Beberapa aktifitas mungkin memiliki dampak lingkungan dominan pada
bagian kecil kota, lainnya mempengaruhi ekosistem dengan skala sangat luas
ukurannya (McGranahan et al., 2001). Ada terdapat 3 (tiga) kategori umum
dengan skala geografi berbeda menggambarkan ekosistem kota berkaitan dengan

Universitas Sumatera Utara

26

aktifitas kota dan hubungannya dengan faktor-faktor sosial dan faktor-faktor biofisik:
1. Ekosistem-ekosistem kota: cakupan fokusnya pada: taman-taman kota,
wildlife pada taman kota, pertanian kota, perumahan (Fitpatrick, 2000;
LaGory, 2000).
2. Kota sebagai ekosistem: melihat kota sebagai konsumer dan pengguna
sumber daya serta sekaligus penghasil produk limbah. Kota dipandang
sebagai organisma yang memiliki proses metabolis dengan input-output
yang dapat diukur, dan informasi ini sangat penting untuk membuat
kebijakan-kebijakan ekonomi publik misalnya; mengatasi kekurangan air,
polusi udara dan lain-lain ( Wolman, 1965).
3. Kota-kota didalam Ekosistem Regional dan Global: Pertengahan tahun
1980 kota-kota secara cepat terhubungkan satu sama lain melalui: aliran
barang-barang, jasa-jasa, investasi, keuangan, manusia dan pengetahuan.
Pada saat bersamaan kota-kota dunia adalah juga dipengaruhi dan cepat
mempengaruhi ekosistem dimana-mana dengan skala yang besar (Sassen,
1991).
Ketiga kategori ekosistem kota diatas digunakan sebagai awal bagi
pembentukan kerangka kerja untuk menganalisa isu-isu lingkungan kota. Dari
tabel 2.1 dikembangkan untuk membantu membatasi satu aspek penting tentang
bagaimana penelitian tentang ekosistem kota dapat dilaksanakan. Dari tabel dapat
ditentukan parameter-parameter yang membentuk dasar bagi pengujian dengan
membagi berbagai skala dampak aktifitas kota pada tingkat sosial dan ekonomi
yang berbeda. Selanjutnya, tabel menggunakan Driving-Force-Pressure-State-

Universitas Sumatera Utara

27

Impact-Response (DPSIR) framework, yang memberi secara menyeluruh


mekanisma untuk menganalisa masalah-masalah lingkungan, dan membantu
mengorganisasikan data serta menyeleksi indikator-indikator (UNU/IAS Report,
2003).
Sistem Manusia
Manusia adalah merupakan penggerak sangat menentukan dalam dinamika
ekosistem kota. Gaya penggerak utama manusia adalah demographi, organisasi
sosial-ekonomi, struktur politik dan teknologi. Perilaku manusia yang menjadi
dasar bertindak bagi gaya pergerak tersebut secara langsung mempengaruhi
penggunaan tanah dan kebutuhan dan penyediaan berbagai sumber daya (Turner,
et al., 1985).
Tabel 2.1 Kerangka kerja mempelajari skala gangguan lingkungan kota

D = Driving Forces: industri dan sistem transportasi; P = Pressures of the


environment: polusi; S = State of the Environment: kualitas dari udara, air dan tanah;
I = Impacts: semua polusi terjadi pada kesehatan manusia dan ekosistem; R =
Responses: berbagai kebijakan mengurangi dampak-dampak lingkungan di atas.
Sumber:UNU/IAS Report, May 2003.

Dalam konteks perumahan kota, gaya ini secara bersama mempengaruhi


distribusi ruang sebagai akibat dari

berbagai aktifitas yang terjadi, akhirnya

Universitas Sumatera Utara

28

melahirkan heterogenitas ruang karena adanya proses-proses alami dan


kerusakan-kerusakan. Oleh karena itu, jelaslah sangat tidak mungkin membuat
model ekosistem perumahan tanpa mengikutsertakan manusia didalamnya. Akan
tetapi, sekedar hanya mengikutkan manusia saja dalam ekosistem tanpa
memperlihatkan fungsi sosial dan ekologis

manusia adalah juga percuma

(Openshaw, 1995).
Menyajikan peran manusia dan institusi-institusinya dalam model-model
ekosistem kota akan menjadi langkah penting menuju penyajian dimensi manusia
yang lebih realistis dalam perubahan lingkungan. Banyak dampak manusia dalam
lingkungan fisik diwakili

institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang

mengendalikan dan mengatur aktifitas-aktifitas manusia. Manusia mampu secara


sadar menyesuaikan dirinya dan selanjutnya mengubah aturan-aturan yang ada,
misalnya merestruktur bahan-bahan dan mengubah aliran energi (Lynch, 1981).
Sistem alam
Kekuatan-kekuatan lingkungan seperti iklim, hidrologi, muka tanah,
adalah pengendali sistem-sistem kota. Lebih jauh, gangguan alam seperti; badai,
banjir, longsor dapat mengakibatkan kekacauan dalam sistem-sistem sosial. Akan
tetapi, kebanyakan model dari sistem manusia secara mudah mengabaikan
kekuatan-kekuatan lingkungan. Gambar 2.4 memperlihatkan dinamika dari
heterogenitas ruang dan pengaruh berbagai faktor-faktor sosial dan lingkungan
dalam pola-pola ruang pada siklus dan perubahan dari sumber daya daya penting
baik fisik maupun sosial seperti; energi, nutrisi, informasi, organisasi, modal,
budaya, kepercayaan, bahan-bahan organik dan non-organik. Selanjutnya, dapat
ditentukan, diklasifikasi, dan dianalisa interaksi pengaruh-pengaruh sosial, budaya

Universitas Sumatera Utara

29

dalam pengembangan kawasan kota sehingga dapat dipahami dinamika ekosistem


kota melalui penelusuran ekosistem manusia secara terpadu (Grove, Burch, 1997).

Gambar 2.4 Konsep kerja ekosistem kota


Sumber: UNU/IAS Report, May 2003

2.4. Sistem Perumahan Perkotaan di Indonesia


Berbagai literatur kebijakan publik sektor perumahan selalu mengalami
kesulitan dalam merumuskan permasalahan penyelenggaraan perumahan secara
tepat dan akurat agar dapat menghasilkan kebijakan yang efektif dan efisien
(Priemus, H., 2005). Kesulitan ini akan tampak jelas manakala penyelenggaraan
perumahan perkotaan ditempatkan sebagai suatu rangkaian proses yang saling
kait-mengkait dan sekaligus juga produk yang sangat ditentukan oleh berbagai
bentuk kebijakan publik yang ada diberbagai sektor seperti; pertanahan,
pembiayaan, infrastruktur, perindustrian dan perdagangan, industri konstruksi,
lingkungan, kesehatan, pemerintah pusat dan lain sebagainya. Lebih jauh,
perumahan juga adalah merupakan komoditas properti yang memiliki perilaku
pasar tertentu sehingga dalam aspek tertentu, setiap kebijakan perumahan adalah

Universitas Sumatera Utara

30

merupakan kebijakan pemerintah untuk mempengaruhi pasar perumahan


(Simanungkalit,

2009).

Oleh

karena

itu, apabila melihat kompleksitas

penyelenggaraan perumahan maka jelaslah diperlukan suatu perangkat sistem


yang dapat digunakan sebagai kerangka analisis yang komprehensif yang dapat
digunakan dalam memahami akibat-akibat dan bentuk-bentuk interaksi dari
berbagai sektor dalam proses pembuatan kebijakan sektor perumahan (Adib,
2007).
Secara umum kebijakan penyelenggaraan perumahan dapat dibagi dalam
tiga kelompok kategori kebijakan publik. Kategori pertama adalah termasuk
dalam kelompok kebijakan masukan (input) dalam proses seperti; pertanahan,
infrastruktur, perhubungan, tata ruang, pengembangan kawasan dan pembiayaan.
Kategori kedua adalah merupakan kelompok kebijakan keluaran (output) dalam
proses, dimana melalui arah pembangunan dari sektor-sektor tertentu kebijakan
perumahan dapat dikembangkan seperti; perindustrian, perkotaan, pengembangan
kawasan

khusus,

pertanian

dan

pedesaan,

kelautan

dan

perikanan,

ketenagakerjaan, pembangunan sosial dan penanggulangan kemiskinan. Kategori


ketiga adalah kelompok kebijakan pendukung seperti lingkungan hidup,
kesehatan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya (Siregar, 2008). Oleh karena
itu, pilihan bagi setiap bentuk kebijakan penyelenggaraan perumahan yang efektif
dan efisien tentu haruslah mampu menggerakkan ketiga kategori kebijakan
tersebut secara bersamaan.
Sistem perumahan perkotaan di Indonesia tidak lepas dari perkembangan
yang terjadi di masyarakat dan juga kebijakan perumahan yang dibuat pemerintah
dari masa ke masa. Sejalan dengan hal tersebut maka sistem perumahan perkotaan

Universitas Sumatera Utara

31

tidak dapat ditinjau sebagai masalah fungsional dan fisik bangunan semata, tetapi
lebih jauh berkaitan erat dengan beragam dimensi kehidupan seperti sosial,
ekonomi, budaya, teknologi, ekologi maupun politik (Syahrin, 2003). Oleh karena
itu, apabila kebijakan penyelenggaraan perumahan akan dikembangkan haruslah
mengaitkan sistem alam, ekonomi, dan lingkungan serta proses ekologi agar tidak
hanya mengurangi tekanan pada ekosistem kawasan semata melainkan juga
menciptakan perumahan yang berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian
sumber daya ekosistem setempat serta selalu memperhatikan dimensi konservasi
lingkungan seperti pada gambar 2.5.

SISTEM PERUMAHAN PERKOTAAN DI INDONESIA


DUA DIMENSI
Dimensi Sosial, Budaya,
Ekonomi

Dimensi Ekologi

Bagaimana mampu
memenuhi kebutuhan
sosial masyarakat lokal

Bagaimana mempertahankan
fungsi-fungsi ekologis
ekosistem perumahan

PERLU STRATEGI

Gambar 2.5 Dimensi penyelenggaraan perumahan perkotaan di Indonesia

Secara umum, ada tiga masalah mendasar saling berkaitan yang menjadikan
karakter kebijakan perumahan di Indonesia sangat kompleks, paling tidak, pasca
tidak

berfungsinya

lagi

BKP4N

(Badan

Kebijakan

dan

Pengendalian

Universitas Sumatera Utara

32

Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional) yang sebelumnya bernama


BKPN (Badan Kebijakan Perumahan Nasional). Masalah dasar pertama adalah
kurangnya pemahaman akan sektor perumahan sendiri, terutama oleh para pihak
pembuat kebijakan. Kedua adalah masalah politik, yang sangat terkait dengan
masalah dasar pertama. Akibat kurangnya pemahaman secara komprehensif maka
intervensi politik dalam pembuatan kebijakan perumahan cenderung mengambil
langkah-langkah pragmatis. Masalah ketiga adalah kemampuan pengelolaan
kebijakan yang memiliki kompleksitas tinggi (Siregar, 2008). Oleh karena itu,
masalah dasar pemahaman dan politik praktis pada akhirnya cenderung
mempengaruhi

sedemikian

rupa

setiap

proses

pembuatan

kebijakan

penyelenggaraan perumahan.
Sebagai bagian dari sistem masyarakat internasional, penyelenggaraan
perumahan di Indonesia terkait erat dengan agenda global yaitu Agenda 21 bidang
perumahan yang mempersyaratkan penerapan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan secara bertahap. Selain itu, Indonesia juga memiliki tanggung jawab
berkaitan dengan Agenda Habitat dimana setelah Deklarasi Habitat II Indonesia
menempatkan masalah hunian sebagai kebutuhan dasar manusia dan hak semua
orang (KSNPP, 2002).
Penerapan

prinsip-prinsip

pembangunan

berkelanjutan

pada

penyelenggaraan perumahan perkotaan di Indonesia dalam kenyataannya


dihadapkan dengan tiga isu strategis. Isu strategis pertama adalah adanya
kesenjangan pelayanan dimana implementasi kebijakan perumahan belum
sepenuhnya memberi perhatian dan keberpihakan kepada kepentingan rakyat
banyak. Isu kedua adalah tingkat urbanisasi dan industrialisasi yang tinggi belum

Universitas Sumatera Utara

33

menciptakan

lingkungan

perumahan

yang

sehat,

aman,

harmonis

dan

berkelanjutan. Hal ini berkaitan dengan belum diterapkannya secara optimal


standar

pelayanan

minimal

perumahan

berbasis

indeks

pembangunan

berkelanjutan. Isu strategis ketiga adalah lemahnya manajemen pembangunan


yang bersumber dari keterbatasan kinerja tata pemerintahan yang berdampak pada
lemahnya implementasi kebijakan yang telah ditetapkan dan juga inkonsistensi
pemanfaatan lahan (Suprijanto, 2004).
Pentingnya menetapkan prinsip-prinsip berkelanjutan

juga jelas tampak

pada Amandemen Pasal 33 Ayat 4 Undang-undang Dasar RI 1945 yang


menekankan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas asas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi

berkeadilan,

berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga


keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (Amandemen Pasal 33
Ayat 4 UUD 1945). Pembangunan berkelanjutan secara resmi didefinisikan oleh
The World Commision for Environment and Development sebagai pembangunan
yang mampu memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengabaikan kemampuan
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri (Brundtland,
1987). Akan tetapi, banyak pemangku kepentingan menyadari bahwa definisi
dari berbagai disiplin tentang pembangunan berkelanjutan terlalu luas dan tidak
jelas serta memiliki kelemahan-kelemahan. Oleh karena itu, sebaiknya diterapkan
suatu sistem berdasarkan definisi sains yang mengakomodasi beragam tingkatan
berkelanjutan dari berbagai displin sains, rekayasa dan humaniora (Halog, 2008).
Berkelanjutan sesungguhnya ditujukan untuk mempertahankan sistemsistem tetap berfungsi dalam jangka panjang, dan terhindar dari kerusakan yang

Universitas Sumatera Utara

34

tak dapat diperbaiki, serta memberikan kepada generasi mendatang pilihan


bagaimana mereka

mempergunakan sumber daya yang dimiliki agar dapat

memberi suatu kualitas hidup sesuai dengan pilihannya (Charter dan Tischer,
2001). Definisi ini tidak hanya berkaitan dengan

ekosistem-ekosistem alam

seperti; air, udara, tetapi juga sistem sosial, ekonomi, dan institusi. Ronnie,
Carolyn, dan Mehreen (2009) menggambarkan dimensi dari berkelanjutan seperti
pada gambar 2.6.

Gambar 2.6 Tiga dimensi berkelanjutan


Source : Harding, hal. 29 (2009)

Lebih jauh, para pemangku kepentingan perumahan dari berbagai latarbelakang sering kali menentukan tujuan-tujuan dari pembangunan berkelanjutan
secara spesifik sesuai dengan kebutuhannya (Ronnie, Carolyn, dan Mehreen,
2009). Oleh karena itu, menjadi penting untuk menemukan
parameter

parameter-

yang dapat diukur baik kualitatif ataupun kuantitatif yang dapat

Universitas Sumatera Utara

35

memetakan interpretasi berbagai keinginan para pemangku kepentingan terhadap


pembangunan berkelanjutan setepat mungkin (Azapagis, Perdan, dan Clift, 2004).
Konsep berkelanjutan memiliki kerangka waktu yang tetap, merujuk secara
jelas kepada masa yang akan datang sehingga dicapai harmoni antara kegiatankegiatan manusia dan lingkungan dalam rentang waktu tertentu (Budihardjo, dan
Sujarto, 2005). Selain itu, konsep berkelanjutan juga mengandung arti adanya
keterbatasan dan batas untuk bertumbuh manakala pertumbuhan diartikan sebagai
sesuatu yang membesar secara fisik (Siregar, 2004). Oleh karena itu, didalam
mengkaji berkelanjutan suatu sistem penyelenggaraan perumahan, pendekatan
yang digunakan sebaiknya

berbasis sistem, multi-disiplin, multikriteria dan

sebaiknya mengikut-sertakan seluruh pandangan berbagai pemangku kepentingan


yang berbeda-beda dan sebanyak mungkin menyertakan dimensi waktu.
Terdapat beberapa tingkatan didalam

pengambilan keputusan pada

penyelenggaraan perumahan di Indonesia. Di tingkat nasional sebagai jenjang


tertinggi, pengambilan keputusan terutama ditujukan pada kebijakan-kebijakan
jangka panjang. Walaupun terkadang terlibat dalam kebijakan jangka pendek dan
ad-hoc tetapi hanya sebagai komplemen kebijakan jangka panjang. Keputusankeputusan kebijakan ad-hoc biasanya untuk situasi tanggap darurat, dibuat oleh
forum lintas departemen dan instansi terkait. Sementara di tingkat daerah, provinsi
dan kabupaten / kota keputusan dibuat hanya untuk lokasi tertentu yang
berhubungan dengan pengembangan kota dan regional. Di tingkat terendah
(masyarakat) keputusan dilakukan untuk memilih standar rumah dan mobilisasi
sumber daya. Diperkirakan hampir 85% stok perumahan yang ada di Indonesia
saat ini adalah produk swadaya masyarakat (Siregar, 2008; KSNPP, 2002).

Universitas Sumatera Utara

36

Selanjutnya terdapat 3 (tiga) kebijakan dasar yang menjadi landasan


pembangunan perumahan dan permukiman di Indonesia. Pertama yaitu kebijakan
yang ditujukan untuk memecahkan keterbatasan pengadaan perumahan serta
menawarkan peningkatan perumahan berkelanjutan melalui desentralisasi
tanggung jawab dengan menyatukan semua peran, fungsi, kemampuan semua
pihak. Kedua adalah kebijakan memadukan program perumahan dan permukiman
dengan program pengentasan kemiskinan. Ketiga adalah merupakan kebijakan
memfasilitasi masyarakat berpenghasilan rendah mendapat akses kepada tanah,
infrastruktur dan lembaga keuangan untuk memperoleh kehidupan yang sehat.
Pada hakekatnya rumah adalah merupakan salah satu kebutuhan dasar
manusia bagi peningkatan kualitas kehidupan. Oleh sebab itu, pengembangan
perumahan yang sehat dan layak bagi masyarakat Indonesia ditujukan untuk
wadah pengembangan sumber daya masyarakat. Gambaran dari upaya yang
dilakukan masyarakat di Indonesia mencukupi tempat huniannya secara tradisi
dapat terlihat dari berbagai bentuk perumahan tradisional dan bentuk rumah adat
yang sangat beragam. Pendekatan yang umum dilakukan dalam penyelenggaraan
perumahan adalah atas dasar unit keluarga sebagai inti yang selalu diupayakan
agar harmonis dengan lingkungan sekitarnya sehingga rumah sering dianggap
sebagai identitas komunitas

(Rapoport, 1977; Silas, 1989; Suganda, 2006).

Pendekatan ini hingga sekarang masih terus berlangsung diperkotaan Indonesia


dimana daya dukung

lingkungan perkotaan sudah makin terbatas dan

kemampuaan masyarakat umumnya masih rendah serta konsep pengadaan


perumahan publik oleh pemerintah juga belum jelas (Syahrin, 2003; Siregar,
2008).

Universitas Sumatera Utara

37

Umumnya, pada setiap pembangunan perumahan dan permukiman lahan


peruntukannya selalu lebih besar dari lahan bagi peruntukan lainnya yang ada di
perkotaan. Akan tetapi, kenyataan yang ada sampai saat ini adalah walaupun lebih
banyak memakai lahan perkotaan, tetap saja pembangunan perumahan dan
permukiman bagi masyarakat golongan menengah ke bawah di kota Medan,
dalam setiap proses

perencanaan dan pengelolaan perumahan, penekanan

terhadap aspek lingkungan hidup belumlah menjadi prioritas dalam pembangunan


perumahan.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman
(UUPP) pasal 3 dan 4 menekankan kelestarian lingkungan hidup sebagai salah
satu azas dan tujuan penataan perumahan dan permukiman di Indonesa.
Kelestarian lingkungan hidup tidak dapat hanya dilihat dari masalah lingkungan
tetapi juga harus dikaitkan dengan masalah-masalah sosial seperti; tidak ada
pemerataan dan tidak ada kesejahteraan, kemiskinan, pelanggaran atas hak-hak
asasi manusia, yang semuanya erat hubungannya dengan tingkat pertumbuhan
penduduk yang cukup tinggi dan kegiatan-kegiatan ekspansif manusia yang
mengganggu atau merusak lingkungan kehidupannya sendiri.
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH) tahun 2009 mempersyaratkan adanya kewajiban
memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang
untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan. Usaha untuk memahami
hubungan antara pembangunan yang berkesinambungan dan perumahan
perkotaan berhubungan erat dengan konsep urbanisasi berkelanjutan. Urbanisasi
berkelanjutan hanya mungkin tercipta bila tersedia komponen-komponen seperti;

Universitas Sumatera Utara

38

kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, teknologi tepat guna, manajemen kota,


penciptaan lapangan kerja (Budihardjo dan Sujarto, 2005). Seluruh komponen ini
dibutuhkan dalam kerangka kerja pemenuhan kebutuhan perumahan perkotaan
berkelanjutan.
Perumahan berkelanjutan adalah perumahan yang memiliki dampak negatif
lingkungan minimal berkaitan dengan effek rumah kaca (greenhouse effect);
kualitas udara, air, tanah, suara, bau-bauan, material dan sumber daya alam tak
terbarukan, serta keanekaragaman hayati (Knudstrup, Hansen, Brunsgaard C.,
2009). Sementara itu, mengaitkan

keputusan-keputusan operasional suatu

lingkungan binaan berkelanjutan kedalam konsep strategis pembangunan


perumahan berkelanjutan untuk memenuhi rumah bagi masyarakat yang
berpengahasilan menengah ke bawah sudah tentu akan sulit dilakukan. Hal ini
terutama dikarenakan dasar-dasar penyusunan membuat konsep pembangunan
berkelanjutan yaitu; keragaman yang permanen dari suatu kawasan, keberlanjutan
penggunaan sumber daya yang ada, keberlanjutan keterlibatan banyak pihak.
Ketiga dimensi ini disebut juga sebagai kawasan/area, aliran/flow, aktor/manusia
(Halog, 2008).
Di Indonesia pembangunan rumah secara masal telah dilakukan sejak
diterbitkannya Keputusan Presiden RI No.29/1974 tentang pembentukan
Perusahaan

Umum

Perumahan

Nasional

(Perum

Perumnas).

Perumnas

mempunyai misi untuk melaksanakan pembangunan perumahan, terutama untuk


melayani penduduk berpenghasilan menengah ke bawah. Upaya Perumnas untuk
meningkatkan jumlah pengadaan rumah baru setiap tahun dilakukan dengan tetap
menggunakan konsep rumah sederhana sehat. Rumah sederhana sehat adalah

Universitas Sumatera Utara

39

rumah dengan material

dan konstruksi bangunan sederhana serta dibangun

dengan tetap memenuhi standar kenyamanan, kesehatan, dan keamanan minimal


dan dengan mempertimbangkan serta memanfaatkan potensi yang ada disekitar
lokasi seperti; bahan bangunan, geologis dan iklim setempat serta potensi sosial
budaya seperti arsitektur lokal dan cara hidup masyarakat di sekitar lokasi
perumahan (Puslitbangkim, 2002).
Rumah sederhana sehat harus memberi kehidupan sehat bagi penghuninya
terutama dalam menjalankan aktifitas keseharian secara layak. Aspek-aspek
kebutuhan ruang minimal harus diperhatikan pada rumah sederhana sehat antara
lain; kebutuhan luas bangunan per jiwa, kebutuhan luas bangunan per kepala
keluarga, kebutuhan luas lahan per unit bangunan.Untuk kebutuhan ruang
minimal per orang dihitung berdasarkan kegiatan dasar penghuni yaitu kegiatankegiatan meliputi; makan, kerja, duduk, tidur, masak, mandi, cuci, kakus. Standar
kebutuhan minimal yang digunakan oleh Perumnas adalah 9 (sembilan) m2 dan
dengan menggunakan rata-rata ketinggian plafon 2,80 m. Sementara, untuk
menghemat energi dalam sistem desain rumah sederhana sehat dilakukan dengan
memanfaatkan secara maksimal angin dan matahari daerah tropis terutama
kebutuhan penerangan siang hari (UU RI No.1 tahun 2011, Lippsmeier, 1997).
Puslitbangkim

(2006)

menyatakan

bahwa

strandar

kesehatan

dan

kenyamanan dari rumah sederhana sehat yang sejalan dengan konsep rumah
hemat energi ditentukan oleh:
Pencahayaan yaitu upaya pemanfaatan terang langit dari sinar matahari
secara merata di dalam ruangan untuk menunjang seluruh aktifitas manusia di
dalam rumah. Kualitas cahaya yang masuk ke ruang dalam rumah ditentukan

Universitas Sumatera Utara

40

oleh: jenis kegiatan dalam ruang, lamanya kegiatan dalam ruang, dimensi lubang
cahaya berupa; pintu, jendela, lubang angin, dengan luas minimal sepersepuluh
dari luas lantai, serta sinar matahari langsung masuk ke dalam ruangan minimal 1
jam per hari dan efektif diperoleh sejak matahari terbit (Puslitbangkim, 2006).
Penghawaan dimaksudkan agar udara segar melalui aliran udara silang
secara terus menerus dapat masuk ke dalam ruangan sekaligus dapat
menghasilkan kenyamanan dan menciptakan rumah yang sehat. Untuk tujuan
tersebut maka ketentuan lubang penghawaan yang dibutuhkan adalah sebesar 5
(lima) persen dari luas lantai ruangan dan pengaturan letak lubang penghawaan
dapat mengalirkan volume udara masuk sama dengan jumlah udara keluar
ruangan. Beberapa faktor yang menentukan keberadaan aliran udara pada
perumahan adalah terdapatnya area terbuka pada kawasan, perbandingan area
terbuka dengan bangunan, kepadatan bangunan, sistem jaringan jalan perumahan
(Santamouris dan Asimakopoulos, 1996).
Temperatur dan kelembaban udara sangat mempengaruhi persyaratan
rumah sehat. Radiasi matahari dan suhu udara tinggi kemudian dipicu oleh
kelembaban tinggi adalah masalah utama pada perumahan di daerah tropis
(Antaryama, 2002). Jika suhu dan kelembaban udara di dalam ruangan sama
dengan temperatur normal tubuh manusia maka akan membantu menciptakan
ruang yang nyaman dan sehat. Apabila sistem penghawaan suatu rumah tidak baik
maka akan menaikkan suhu udara dalam ruangan dan kelembaban udara dalam
ruangan juga akan naik.

Universitas Sumatera Utara

41

2.5. Emisi CO2 Pada Perumahan Sederhana Perkotaan


Dalam membangun satu unit rumah sederhana di perkotaan dibutuhkan
berbagai bahan bangunan sebagai material utama seperti batu kali, pasir, batu
bata, besi, semen, kayu, dan genteng. Berbagai studi menunjukkan bahwa seluruh
proses pengadaan bahan-bahan ini menghasilkan emisi CO2 mulai dari proses
pengadaan bahan baku, pembuatan material bangunan, bahan bakar fosil yang
digunakan, dan proses distribusi bahan-bahan bangunan tersebut. Demikian pula
pada saat pembangunan rumah dilakukan pembuangan gas CO2 dihasilkan
melalui proses konstruksi rumah, aktifitas transportasi material bangunan selama
pembangunan rumah, serta respirasi yang dihasilkan para pekerja (Puslitbangkim,
2007). Selanjutnya pada masa penghunian, timbulan emisi CO2 di udara juga
dapat dihasilkan dari aktifitas penghuni sehari-hari seperti memasak, mencuci,
penerangan, pengkondisian ruang, timbulan sampah, dan transportasi dari dan ke
rumah.
Perhitungan emisi CO2 berbagai tipe rumah pada perumahan sederhana
pada kawasan perkotaan tertentu dapat dilakukan berdasarkan 3 (tiga) unsur
utama yakni pembuatan bahan bangunan, supply material bangunan, dan tipe
rumah. Berdasarkan jenis bahan bangunan maka emisi CO2 yang dihasilkan
persatuan bahan dapat diketahui. Penghitungan emisi CO2 dari setiap bahan
bangunan dilakukan dengan menggunakan rumus berikut (Octaviana, 2007):
Emisi tiap bahan bangunan (kg-C) = (kegiatan transportasi x faktor emisi
bahan bakar) + (pengolahan x faktor emisi pada
pengolahan) + (tenaga kerja x faktor emisi tenaga
kerja)

Universitas Sumatera Utara

42

Keterangan:
Kegiatan transportasi adalah kegiatan pengangkutan bahan baku dari tempat asal
ke tempat pengolahan bahan bangunan. Pengolahan adalah kegiatan pengolahan
bahan baku menjadi bahan bangunan siap pakai. Tenaga kerja adalah jumlah tena
ga manusia yang digunakan dalam membuat bahan bangunan.
Dalam penelitian ini maka faktor emisi bahan bakar yang digunakan adalah
berasal dari penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman (2002)
seperti tampak pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Faktor emisi bahan bakar
Tipe Energi
Kayu (kg-C/m3)
Sekam (kg-C/m3)
Solar (kg-C/liter)
Bensin (kg-C/liter)
Gas (kg-C/kg)
Listrik (kg-C/kWh)
Minyak Tanah (kg-C/liter)

Faktor Emisi
0.37
0,18
2,68
1,59
3
0,719
2,5359

Sumber: Puslitbangkim (2002)

Perhitungan jumlah bahan bangunan yang digunakan pada setiap tipe rumah
baik rumah RSh 29, RSh 36, RS 36 dan RS 54 seperti terdapat pada Perumnas
Griya Martubung I, Medan, didasarkan atas Analisa Biaya Konstruksi Gedung
dan Perumahan (SNI, 2002). Pada tabel 2.3 diperlihatkan variasi penggunaan
bahan bangunan menurut masing-masing tipe rumah sederhana yang ada di
Perumahan Griya Martubung I Medan.

Universitas Sumatera Utara

43

Tabel 2.3 Kebutuhan bahan bangunan per tipe rumah


Bahan Pasangan Pondasi
Batu Belah
Semen Portland
Pasir Pasang
Pekerja
Bahan Pasangan Lantai
Semen Portland
Pasir Pasang
Pekerja
Lantai Keramik (30 x 30)
cm2
Ubin keramik (30 x 30) cm2
Semen Portland
Pasir pasang
Semen warna
Pekerja
Bahan Pasangan Dinding
Bata Merah
Semen Portland
Pasir pasang
Pekerja
Bahan Pekerjaan Plesteran
Semen Portland
Pasir Pasang
Pekerja
Bahan Pek. Kuda-kuda
Kayu
Kayu Balok
Besi
Pekerja
Pek. Atap, Kaso kayu
Kayu Kaso
Kayu reng
Besi
Pekerja
Pekerjaan List plang Kayu
Kayu papan
Besi
Pekerja
Pekerjaan Plafon
Multipleks 9 mm
Kayu balok
Pekerja
Pekerjaan Kusen, Pintu,
Jendela

Satuan
m3
kg
m3
orang

Tipe 29
31,9
4727
15
64,7

Tipe 36
43,2
6396
20,4
87,6

Tipe 54
64,8
9594
28
131,4

kg
m3
orang

31,9
3390,7
16,9

43,2
4591
22,1

115,5
12285
57,6

buah
kg
m3
kg
orang

483
328
1,217
43,5
17,97

600
409,34
1,51
53,95
22,3

900
563,3
2,08
74,25
30,69

buah
kg
m3
orang

4057
643,4
2,96
18,84

5036
798,5
3,7
23,4

7554
1197,7
5,55
35,1

kg
m3
orang

374,4
0,58
5,79

464,7
0,72
7,19

697
1,08
10,8

m3
kg
orang

31,88
457,88
115,9

39,57
568,33
143,88

59,36
852,5
215,8

m3
m3
kg
orang

4,78
115,92
4,35
5,79

5,94
143,9
5,4
7,2

8,91
215,8
8,1
10,8

m3
kg
orang

0,20
1,45
9,4

0,25
1,80
11,70

0,375
2,70
17,55

m2
m3
orang

31,9
30,43
31,30

39,6
37,77
38,85

59,4
56,65
58,27

Universitas Sumatera Utara

44

Kayu Balok
Multipleks 12mm
Lis kayu profil
Pekerja
Bahan Pekerjaan Genteng
Genteng
Genteng Bubung
Semen Portland
Pasir Pasang
Pekerja

m3
m2
m
orang

9,85
333,27
1,25
9,27

12,23
413,65
1,55
11,5

18,34
620,47
2,33
17,25

buah
buah
kg
m3
orang

456,75
33
278,2
6,08
21,45

567
40
345,3
7,55
26,62

850
60
517,95
11,32
39,93

Sumber: SNI Analisis Biaya Konstruksi Bangunan Gedung dan Perumahan, 2002.

Sementara itu, Seo dan Hwang (2001) menghitung besaran emisi CO2 tiap
bahan bangunan berdasarkan proses pembuatan material seperti pada tabel 2.4.

Tabel 2.4 Pembuatan dan besar emisi tiap bahan bangunan

No.

1.

2.

Nama
bahan

Batubata
(10.000)
buah

Genteng
(13.500)
buah

Kegiatan

Kebutuhan Faktor
energi
emisi

Emisi
tiap
kegiatan

Transportasi
bahan baku

20 liter

2,68

53,6

Pengolahan
dengan sekam

40 m3

0,18

7,2

Tenaga Kerja

100

0,5

50

Transportasi
bahan baku

30 liter

2,68

80,4

Pengolahan
dengan molen

80 liter

2,68

214,4

Pengolahan
dengan press

8 liter

2,536

20,287

5,94 m3

0,37

2,198

100

0,5

50

Pengolahan
dengan solar

10 liter

2,68

2,68

Tenaga Kerja

10

0,5

0,5

Transportasi
bahan baku

10 liter

2,68

26,8

Pengolahan

400 liter

Pengolahan
dengan kayu

Emisi
per
satuan
bahan

0,0111

0,0272

Tenaga Kerja
3.

4.

Kayu
(200 m3)
Semen
(8.760 kg)

0,159

1,7727
2,68

1072

Universitas Sumatera Utara

45

dengan solar

5.

Besi baja
(3,124 kg)

Pengolahan
dengan listrik

20000 kWh

0,719

14380

Tenaga Kerja

100

0,5

50

Transportasi
bahan baku

10 liter

2,68

26,8

Pengolahan
dengan solar

400 liter

2,68

1072

Pengolahan
dengan listrik

20000 kWh

0,719

14380

100

0,5

50

Transportasi
bahan baku

40 liter

2,68

107,2

Pengolahan
dengan genset

50 liter

2,68

268

Tenaga kerja

0,5

4,5

Transportasi
bahan baku

40 liter

2,68

107,2

Pengolahan
dengan traktor

50 liter

2,68

268

0,5

1,5

Tenaga Kerja

6.

7.

Pasir
(1.000 m3)

Batukali
(1.000 m3)

Tenaga kerja

1,1832

0,3797

0,3767

8.

Asbestos

0,0109

9.

Keramik

0,2061

Sumber: Seo dan Hwang (2001)

Adanya kecenderungan pengurangan luas bangunan dan luas tanah oleh


Perumnas akibat meningkatnya kebutuhan pengadaan rumah tidak disertai
peningkatan kualitas rumah yang dibangun. Selain itu, jenis ruang dan tampilan
atau tampak bangunan yang sama disertai

kebutuhan yang beragam

mengakibatkan banyak rumah diubah sesuai dengan perkembangan kebutuhan


dan kemampuan ekonomi penghuni. Umumnya ada 3 (tiga) faktor pendorong
perubahan rumah sederhana perkotaan ( Ellyta, 2008; Herawati, 2010) yaitu:
1. Orientasi ataupun sikap penghuni pada pemenuhan kebutuhan ruang,
mendorong terjadinya penambahan luas rumah, jumlah ruang untuk

Universitas Sumatera Utara

46

mewadahi kebutuhan penghuni.


2. Desain rumah, luasan rumah, dan luas persil yang ada, tidak dapat
mendukung aktifitas kehidupan penghuni akibat kebutuhan identitas diri,
perubahan gaya hidup, pemakaian teknologi baru, umur bahan bangunan
yang mengharuskan penggantian.
3. Kualitas pelaksanaan pembangunan akibat penerapan peraturan yang tidak
efisien dan tidak efektif serta persyaratan bangunan yang tidak spesifik.
Ketiga faktor pendorong ini turut juga memberi kontribusi bagi peningkatan
pembuangan gas CO2 di udara.

2.6. Model Sistem Interrelasi Pada Perumahan Sederhana Perkotaan


Pelaksanaan pembangunan perumahan sederhana oleh Perum Perumnas dan
kemudian dilanjutkan dengan usaha penghuni menyesuaikan rumahnya agar
mampu

mengakomodasi

kebutuhan

aktifitas

sehari-hari,

keseluruhannya

menghasilkan emisi CO2 ke atmosfir (Chendy dan Sudjono, 2007). Para


pemangku kepentingan perumahan sederhana perkotaan umumnya mengabaikan
adanya korelasi antara naiknya timbulan emisi CO2 dengan berbagai proses
penyelenggaraan

perumahan

sederhana

(Puslitbangkim,2005).

Perubahan

peruntukan lahan perkotaan mulai dari proses pra-konstruksi, konstruksi, sampai


dengan tahapan penggunaan rumah dan selanjutnya demosili seluruh proses ini
menggunakan energi dalam proses yang ada, dan mengeluarkan emisi CO2 ke
udara seperti tampak pada diagram 2.1.

Universitas Sumatera Utara

47

Restorasi,
Renovasi,

CO2

CO2

CO2

CO2

CO2

PraKonstruksi

Konstruksi

Penggunaan

Demolisi

Rekontruksi

Energi

Energi

Energi

Energi

Energi

Bahan
Bangunan

Diagram 2.1 Sumber emisi dalam penyelenggaraan perumahan


Sumber: Seo dan Hwang (2001)

Umumnya beberapa tahun setelah dihuni, penghuni melakukan beberapa


perubahan seperti; perubahan ruang, perubahan fungsi ruang, ataupun perubahan
elemen bangunan misalnya atap, lantai, pintu, dan jendela. Selain itu, ruang
terbuka dari persil yang ada sering juga beralih fungsi untuk tujuan perluasan
rumah. Berbagai masalah kompleks muncul terutama berkaitan dengan timbulan
emisi CO2 yang dihasilkan sejalan dengan dinamika penyelenggaraan perumahan
sederhana. Permasalahan ini dapat ditinjau sebagai suatu sistem interaksi yang
kompleks dari berbagai komponen yang ada antara lain seperti penghuni rumah,
pengelola perumahaan, masyarakat sekitar perumahan, perancangan rumah
sederhana sehat, pendapatan, pendidikan, bahan bangunan, atribut rumah, rencana
tapak bangunan, lalu lintas di kawasan perumahan, ruang terbuka hijau, badan air,
energi penunjang aktifitas rumah tangga, transportasi lokal, Dinas Tata Kota dan
Bangun-Bangunan, Kebijakan Pengelolaan Perumahan.

Universitas Sumatera Utara

48

Selanjutnya, masing-masing komponen ini berperan dan saling melengkapi


menciptakan keseimbangan secara optimal dan berkelanjutan pada perumahan
sederhana. Apabila salah satu komponen berubah, maka secara langsung atau
tidak langsung kompenen lain juga berubah. Dengan menggunakan Model Sistem
Interrelasi maka dapat digambarkan bagaimana komponen-komponen desain
perumahan membentuk sistem yang dikenali saling mempengaruhi dalam
pengendalian timbulan emisi CO2 dalam sistem perumahan sederhana.
Selanjutnya, melalui model interelasi ini diperoleh suatu pemahaman system wide
focus atau holistic tentang suatu situasi sosial yang kompleks, dan bagaimana
suatu komponen saling berkaitan dengan komponen lain, membentuk hubungan
antara variabel bebas dan variabel terikat atau sebagai suatu pengaruh dan
penyebab dalam suatu sistem yang ada. Analisis timbulan emisi CO2 dilakukan
dengan system thinking yaitu suatu teknik berpikir yang dilakukan untuk
menjelaskan bagaimana sesuatu berinteraksi dengan sesuatu yang lainnya. Sistem
ini digunakan sebagai dasar dalam pembuatan model system interrelasi (SIM).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai