BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
16
menimbulkan efek gas rumah kaca GRK (Kirby, 2008). Emisi CO2 berasal dari
pembakaran bahan bakar fosil merupakan penyebab terbesar sekitar 50% dari efek
GRK (Puslitbangkim, 2005). Umumnya, pencemaran yang diakibatkan oleh emisi
CO2 bersumber
(antropogenik) seperti emisi CO2 yang berasal dari transportasi, sampah, dan
konsumsi energi listrik rumah tangga. Emisi CO2 yang dihasilkan dari kegiatan
manusia (antropogenik) konsentrasinya relatif lebih tinggi sehingga mengganggu
sistem kesetimbangan di udara dan pada akhirnya merusak lingkungan dan
kesejahteraan manusia (Yoshinori, et al., 2009)
Kebutuhan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang banyak terpusat
di daerah perkotaan di Indonesia, telah menyebabkan naiknya populasi penduduk
perkotaan
(Budihardjo,
2006).
Kenaikan
ini
selanjutnya
meningkatkan
penggunaan bahan bakar fosil, sumber timbulan emisi CO2 ke udara. Aktifitas
penduduk perkotaan ini menyebabkan konsentrasi gas buang seperti CO2 makin
bertambah dalam udara ( Wackernagel, N. dan Ress, W. E., 1996). Sumber gas
buang atau emisi CO2 di daerah perkotaan ini terkait dengan beragam fungsi
bangunan dan aktifitas transportasi (Astuti, 2005). Sementara, sumber emisi CO2
pada perumahan ataupun pemukiman adalah berasal dari konsumsi energi akibat
proses pembangunan perumahan yaitu; mulai dari pabrikasi bahan bangunan,
konstruksi bangunan, penggunaan energi dari aktifitas domestik, sampai dengan
demosili pasca hunian. Oleh karena itu, untuk mengetahui besaran emisi CO2 dari
penyelenggaraan perumahan perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi
setiap tahapan dalam proses pembangunan perumahan (Zubaidah, 2005).
17
Sejak tahun 1990 konsentrasi CO2 telah meningkat menjadi 350 ppm naik
sebesar 63 ppm dari tingkat yang ada di tahun 1850 sebesar 290 ppm. Apabila
digunakan asumsi konsumsi dan pertumbuhan ekonomi sama seperti saat ini maka
diperkirakan pada tahun 2100 konsentrasi CO2 adalah sekitar 580 ppm.
Industrialisasi dan urbanisasi disertai dengan gaya hidup berbagai kegiatan
perkotaan manusia modern telah mempercepat kenaikan timbulan emisi CO2 di
atmosfer. Pada dasarnya, penyumbang terbesar emisi CO2 perkotaan modern
adalah berasal dari bahan bakar fosil yaitu dari penggunaan; pembangkit listrik,
kendaraan, serta akitifitas pembakaran hutan melalui konversi lahan terutama di
daerah tropis. Data tahun 1989 menunjukkan sekitar 71 persen sampai dengan 89
persen dari keseluruhan perkiraan emisi CO2 sebesar 5,8 juta ton sampai 8,7 juta
ton berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, sementara antara 10 persen sampai
28 persen bersumber dari pembakaran hutan (Puslitbangkim, 2006).
Di Indonesia, emisi CO2 dari sektor rumah tangga, tidak termasuk kendaraan
pribadi, memberi sumbangan sebesar 11% dari keseluruhan emisi nasional
(Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2002). Ini belum termasuk emisi
tidak langsung dari konsumsi energi listrik pada rumah tangga sebesar 38,6% dari
konsumsi energi listrik nasional seperti tampak pada gambar 2.1. Penelitian di
Kampung Naga menunjukkan bahwa upaya pengurangan emisi CO2 melalui
konstruksi rumah berkaitan langsung dengan perilaku kehidupan masyarakat
perumahan melalui aturan
18
Juta Ton
200
150
100
50
0
1990
1991
Pembangkit Listrik
1992
1993
1994
1995
1996
1997
Industri
1998
1999
Transportasi
2000
Lainnya
Besarnya timbulan emisi CO2 yang bersumber dari energi akibat aktifitas
domestik dalam rumah tangga sangat berkaitan erat dengan gaya hidup, budaya,
pola kehidupan di rumah masing-masing individu ataupun kelompok masyarakat.
Lebih jauh juga, emisi karbon yang berasal dari konsumsi energi rumah tangga
atas penggunaan bahan bakar organik (fosil) dan listrik erat berhubungan dengan
tingkat penghasilan masyarakat (Bhattacharyya dan Ghoshal, 2010). Selain itu,
berbagai aktifitas rumah tangga lainnya seperti membersihkan rumah serta cuci
setrika secara kumulatif ikut pula memberi kontribusi bagi besarnya emisi karbon
dari penyelenggaraan perumahan. Protokol Kyoto 1997 menekankan perlunya
pengurangan emisi sebesar 5,2 persen sebelum tahun 2012 dari tingkat emisi pada
19
tahun 1990. Sementara, perkiraan emisi CO2 tahun 1990 adalah 105,7 juta ton
dimana sebesar 23 persen berasal dari pembangkit energi dan 16 persen dari
penyelenggaraan perumahan atau sektor rumah tangga.
Emisi CO2 pada penyelenggaraan perumahan sederhana perkotaan
dihasilkan mulai dari proses pembuatan bahan bangunan dan transportasi bahan
bangunan, penggunaan peralatan selama proses konstruksi sampai dengan
aktifitas rumah tangga ketika rumah dihuni (Yudhi, C.O. dan Sudjono, P. 2007).
Oleh karena itu komponen sistem perancangan rumah dapat mempengaruhi
peningkatan timbulan karbon apabila terjadi aktifitas perbaikan, perubahan,
maupun penambahan luasan bangunan rumah. Selain itu, berbagai kegiatan
pemanfaatan fungsi ruang di dalam rumah melalui pengkondisian ruang baik
berupa udara maupun cahaya turut juga memberi dampak pada peningkatan emisi
CO2.
Beberapa pendekatan pada penyelenggaraan perumahan berkelanjutan
perkotaan telah dikembangkan untuk mengurangi timbulan emisi karbon di udara.
Hal ini dilakukan dengan misalnya, pertama adalah hemat bahan bangunan yang
diarahkan kepada terbentuknya masyarakat Zero-Emmission melalui daur ulang
material dan bangunan-bangunan tahan lama, atau kedua hemat energi melalui
perbaikan sistem bahan dan konstruksi bangunan, dan ketiga adalah melalui
optimalisasi sistem jaringan lalulintas perkotaan (Kobayashi, 2010).
20
hubungannya dengan pengaruh dari suatu kota terhadap bagian dunia yang lain
dan secara diagramatis diilustrasikan pada gambar 2.2 sebagai perpotongan antara
urbanisasi dengan dunia berkelanjutan. Biasanya, kemampuan suatu kota bertahan
hidup dan memberi kesejahteraan pada penduduknya dalam jangka waktu cukup
lama melibatkan berbagai faktor: ekonomi suatu kota; ketersediaan lapangan
kerja, perumahan dan berbagai sektor jasa; kesejahteraan dan daya tarik dari
lingkungan kota; ketersediaan sumber-sumber air, bahan-bahan pokok, energi;
demikian juga tentu ruang-ruang yang memberi peluang terjadinya pertumbuhan
(Siregar, Doli, 2004; Budihardjo, 2006).
Ada 3 (tiga) tantangan utama yang dihadapi setiap kota agar dapat menjadi
suatu kota berkelanjutan (Shireman, 1992, Thinh et al., 2002):
1. teknis: menemukan sumber-sumber air, menggali dan menciptakan
tempat-tempat penimbunan limbah/sampah, mengatasi keterbatasan lahan
kota dengan menyediakan lahan untuk pengembangan.
2. sosio-ekonomi: menyediakan lapangan kerja, perumahan, jasa-jasa bagi
orang tidak mampu, menghubungkan sistem transportasi dan tata guna
lahan, membuat kebijakan-kebijakan yang efektif bagi mendorong
pembangunan.
3. biological sphere: dampak dari kehidupan kota terhadap warga kota
dampak jadwal kerja dengan jarak antara hunian dan tempat kerja baik
dari segi waktu dan jadwal makan, berkurangnya aktifitas fisik berkaitan
dengan transportasi dengan kendaraan motor, makanan cepat saji,
penyakit jantung dan obesitas, dampak tingkat kebisingan dengan
gangguan pendengaran.
21
universitas-universitas, kompleks-kompleks perkantoran, perpustakaan, bankbank data, transmisi telekomunikasi, jaringan pos, dan komunikasi antar individu
yang dilakukan di kota. Beberapa keuntungan dari kota konsentrator adalah:
1. sebagai tempat bagi percampuran beragam genetika.
2. sebagai tempat penggunaan energi efisien akibat penggunaan
transportasi publik.
22
3. sebagai tempat penggunaan lahan yang minimal akibat tidak ada subsub pusat kota.
4. sebagai tempat penggunaan materi optimal karena perumahan
menyediakan beragam kebutuhan ekonomi.
5. sebagai tempat penggunaan air minimal karena rumah-rumah pribadi
memiliki halaman tidak luas.
b. Paradigma Biosoma (Biologi, sosial, mesin)
Paradigma ini menekankan kompleksitas alami yang dimiliki suatu kota, yang
melibatkan komponen-komponen; biologi, sosial dan mesin yang saling berkaitan
di dalam lingkungan kota seperti tampak pada gambar 2.3. Paradigma ini melihat
kota sebagai suatu entitas Biologi - Sosial - Mesin. Komponen biologi adalah
manusia, dan spesies-spesies lainnya, yang secara bersama akan menghadirkan
keseimbangan bagi keduanya. Keseimbangan ini selanjutnya memberi arti bagi
keberlanjutan kehidupan seperti misalnya kesenangan manusia atas tumbuhan,
burung-burung, dan binatang peliharaan. Komponen sosial termasuk organisasiorganisasi, pemerintah kota, kelompok-kelompok etnis dan informal, keluarga dan
lain lain. Komponen mesin termasuk artefak-artefak, mulai dari infrastruktur
hingga perumahan, dari industri sampai kendaraan-kendaraan, komputer sampai
ke pakaian. Sedangkan lingkungan adalah termasuk udara, air, dan tanah. Semua
perbedaan kapabilitas dari komponen-komponen biosoma menawarkan beragam
kemungkinan dalam penanganan tantangan-tantangan kota berkelanjutan.
23
SO
BIO
MA
Bio
So
Ma
Manusia
Organisasi-organisasi:
Perumahan
Spesies
Pemerintah
Infrastruktur
lainnya
Bisnis
Transportasi
Kesehatan
Keluarga
...........
Agama
Dlsbnya
Budaya
Kedua
paradigma
dimaksud,
yaitu
konsentrator
dan
biosoma
24
penting dalam usaha mengurangi efek gas rumah kaca (GRK) yang berasal dari
emisi CO2 dan pemanasan global?
25
Situasi ini, memaksa pemerintah daerah secara keliru mencari dana dari sektor
swasta dengan privatisasi menangani utilitas kota. Keempat, lebih banyak pihak
terlibat atau berkeinginan untuk dilibatkan, menciptakan situasi politik yang
kompleks dalam pembuatan keputusan pengembangan lingkungan kota. Ini
termasuk, misalnya, pemangku kepentingan lokal dan perusahaan utilitas asing
yang menawarkan jasa untuk pengadaan infrastruktur kota (UNU/IAS Report,
2003).
Pengembangan suatu kota sangat menentukan struktur dari ekosistem kota
dan secara signifikan akan mempengaruhi fungsi ekosistem alam melalui
(UNU/IAS Report, 2003):
(a) konversi lahan dan transformasi bentang alam;
(b) pemanfaatan sumber daya alam;
(c) pelepasan gas-gas emisi dan sampah-sampah.
(d) penyediaan berbagai jasa penting bagi populasi manusia di kota.
(e) perubahan lingkungan; skala lokal, regional dan global seperti
kontaminasi pada daerah tangkapan air, hilangnya keaneka-ragaman
hayati, dan perubahan iklim yang mempengaruhi kesehatan dan
kesejahteraan manusia.
(f) strategi pengelolaan.
Beberapa aktifitas mungkin memiliki dampak lingkungan dominan pada
bagian kecil kota, lainnya mempengaruhi ekosistem dengan skala sangat luas
ukurannya (McGranahan et al., 2001). Ada terdapat 3 (tiga) kategori umum
dengan skala geografi berbeda menggambarkan ekosistem kota berkaitan dengan
26
aktifitas kota dan hubungannya dengan faktor-faktor sosial dan faktor-faktor biofisik:
1. Ekosistem-ekosistem kota: cakupan fokusnya pada: taman-taman kota,
wildlife pada taman kota, pertanian kota, perumahan (Fitpatrick, 2000;
LaGory, 2000).
2. Kota sebagai ekosistem: melihat kota sebagai konsumer dan pengguna
sumber daya serta sekaligus penghasil produk limbah. Kota dipandang
sebagai organisma yang memiliki proses metabolis dengan input-output
yang dapat diukur, dan informasi ini sangat penting untuk membuat
kebijakan-kebijakan ekonomi publik misalnya; mengatasi kekurangan air,
polusi udara dan lain-lain ( Wolman, 1965).
3. Kota-kota didalam Ekosistem Regional dan Global: Pertengahan tahun
1980 kota-kota secara cepat terhubungkan satu sama lain melalui: aliran
barang-barang, jasa-jasa, investasi, keuangan, manusia dan pengetahuan.
Pada saat bersamaan kota-kota dunia adalah juga dipengaruhi dan cepat
mempengaruhi ekosistem dimana-mana dengan skala yang besar (Sassen,
1991).
Ketiga kategori ekosistem kota diatas digunakan sebagai awal bagi
pembentukan kerangka kerja untuk menganalisa isu-isu lingkungan kota. Dari
tabel 2.1 dikembangkan untuk membantu membatasi satu aspek penting tentang
bagaimana penelitian tentang ekosistem kota dapat dilaksanakan. Dari tabel dapat
ditentukan parameter-parameter yang membentuk dasar bagi pengujian dengan
membagi berbagai skala dampak aktifitas kota pada tingkat sosial dan ekonomi
yang berbeda. Selanjutnya, tabel menggunakan Driving-Force-Pressure-State-
27
28
(Openshaw, 1995).
Menyajikan peran manusia dan institusi-institusinya dalam model-model
ekosistem kota akan menjadi langkah penting menuju penyajian dimensi manusia
yang lebih realistis dalam perubahan lingkungan. Banyak dampak manusia dalam
lingkungan fisik diwakili
29
30
2009).
Oleh
karena
khusus,
pertanian
dan
pedesaan,
kelautan
dan
perikanan,
31
tidak dapat ditinjau sebagai masalah fungsional dan fisik bangunan semata, tetapi
lebih jauh berkaitan erat dengan beragam dimensi kehidupan seperti sosial,
ekonomi, budaya, teknologi, ekologi maupun politik (Syahrin, 2003). Oleh karena
itu, apabila kebijakan penyelenggaraan perumahan akan dikembangkan haruslah
mengaitkan sistem alam, ekonomi, dan lingkungan serta proses ekologi agar tidak
hanya mengurangi tekanan pada ekosistem kawasan semata melainkan juga
menciptakan perumahan yang berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian
sumber daya ekosistem setempat serta selalu memperhatikan dimensi konservasi
lingkungan seperti pada gambar 2.5.
Dimensi Ekologi
Bagaimana mampu
memenuhi kebutuhan
sosial masyarakat lokal
Bagaimana mempertahankan
fungsi-fungsi ekologis
ekosistem perumahan
PERLU STRATEGI
Secara umum, ada tiga masalah mendasar saling berkaitan yang menjadikan
karakter kebijakan perumahan di Indonesia sangat kompleks, paling tidak, pasca
tidak
berfungsinya
lagi
BKP4N
(Badan
Kebijakan
dan
Pengendalian
32
sedemikian
rupa
setiap
proses
pembuatan
kebijakan
penyelenggaraan perumahan.
Sebagai bagian dari sistem masyarakat internasional, penyelenggaraan
perumahan di Indonesia terkait erat dengan agenda global yaitu Agenda 21 bidang
perumahan yang mempersyaratkan penerapan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan secara bertahap. Selain itu, Indonesia juga memiliki tanggung jawab
berkaitan dengan Agenda Habitat dimana setelah Deklarasi Habitat II Indonesia
menempatkan masalah hunian sebagai kebutuhan dasar manusia dan hak semua
orang (KSNPP, 2002).
Penerapan
prinsip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan
pada
33
menciptakan
lingkungan
perumahan
yang
sehat,
aman,
harmonis
dan
pelayanan
minimal
perumahan
berbasis
indeks
pembangunan
berkeadilan,
34
memberi suatu kualitas hidup sesuai dengan pilihannya (Charter dan Tischer,
2001). Definisi ini tidak hanya berkaitan dengan
ekosistem-ekosistem alam
seperti; air, udara, tetapi juga sistem sosial, ekonomi, dan institusi. Ronnie,
Carolyn, dan Mehreen (2009) menggambarkan dimensi dari berkelanjutan seperti
pada gambar 2.6.
Lebih jauh, para pemangku kepentingan perumahan dari berbagai latarbelakang sering kali menentukan tujuan-tujuan dari pembangunan berkelanjutan
secara spesifik sesuai dengan kebutuhannya (Ronnie, Carolyn, dan Mehreen,
2009). Oleh karena itu, menjadi penting untuk menemukan
parameter
parameter-
35
36
37
38
Umum
Perumahan
Nasional
(Perum
Perumnas).
Perumnas
39
(2006)
menyatakan
bahwa
strandar
kesehatan
dan
kenyamanan dari rumah sederhana sehat yang sejalan dengan konsep rumah
hemat energi ditentukan oleh:
Pencahayaan yaitu upaya pemanfaatan terang langit dari sinar matahari
secara merata di dalam ruangan untuk menunjang seluruh aktifitas manusia di
dalam rumah. Kualitas cahaya yang masuk ke ruang dalam rumah ditentukan
40
oleh: jenis kegiatan dalam ruang, lamanya kegiatan dalam ruang, dimensi lubang
cahaya berupa; pintu, jendela, lubang angin, dengan luas minimal sepersepuluh
dari luas lantai, serta sinar matahari langsung masuk ke dalam ruangan minimal 1
jam per hari dan efektif diperoleh sejak matahari terbit (Puslitbangkim, 2006).
Penghawaan dimaksudkan agar udara segar melalui aliran udara silang
secara terus menerus dapat masuk ke dalam ruangan sekaligus dapat
menghasilkan kenyamanan dan menciptakan rumah yang sehat. Untuk tujuan
tersebut maka ketentuan lubang penghawaan yang dibutuhkan adalah sebesar 5
(lima) persen dari luas lantai ruangan dan pengaturan letak lubang penghawaan
dapat mengalirkan volume udara masuk sama dengan jumlah udara keluar
ruangan. Beberapa faktor yang menentukan keberadaan aliran udara pada
perumahan adalah terdapatnya area terbuka pada kawasan, perbandingan area
terbuka dengan bangunan, kepadatan bangunan, sistem jaringan jalan perumahan
(Santamouris dan Asimakopoulos, 1996).
Temperatur dan kelembaban udara sangat mempengaruhi persyaratan
rumah sehat. Radiasi matahari dan suhu udara tinggi kemudian dipicu oleh
kelembaban tinggi adalah masalah utama pada perumahan di daerah tropis
(Antaryama, 2002). Jika suhu dan kelembaban udara di dalam ruangan sama
dengan temperatur normal tubuh manusia maka akan membantu menciptakan
ruang yang nyaman dan sehat. Apabila sistem penghawaan suatu rumah tidak baik
maka akan menaikkan suhu udara dalam ruangan dan kelembaban udara dalam
ruangan juga akan naik.
41
42
Keterangan:
Kegiatan transportasi adalah kegiatan pengangkutan bahan baku dari tempat asal
ke tempat pengolahan bahan bangunan. Pengolahan adalah kegiatan pengolahan
bahan baku menjadi bahan bangunan siap pakai. Tenaga kerja adalah jumlah tena
ga manusia yang digunakan dalam membuat bahan bangunan.
Dalam penelitian ini maka faktor emisi bahan bakar yang digunakan adalah
berasal dari penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman (2002)
seperti tampak pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Faktor emisi bahan bakar
Tipe Energi
Kayu (kg-C/m3)
Sekam (kg-C/m3)
Solar (kg-C/liter)
Bensin (kg-C/liter)
Gas (kg-C/kg)
Listrik (kg-C/kWh)
Minyak Tanah (kg-C/liter)
Faktor Emisi
0.37
0,18
2,68
1,59
3
0,719
2,5359
Perhitungan jumlah bahan bangunan yang digunakan pada setiap tipe rumah
baik rumah RSh 29, RSh 36, RS 36 dan RS 54 seperti terdapat pada Perumnas
Griya Martubung I, Medan, didasarkan atas Analisa Biaya Konstruksi Gedung
dan Perumahan (SNI, 2002). Pada tabel 2.3 diperlihatkan variasi penggunaan
bahan bangunan menurut masing-masing tipe rumah sederhana yang ada di
Perumahan Griya Martubung I Medan.
43
Satuan
m3
kg
m3
orang
Tipe 29
31,9
4727
15
64,7
Tipe 36
43,2
6396
20,4
87,6
Tipe 54
64,8
9594
28
131,4
kg
m3
orang
31,9
3390,7
16,9
43,2
4591
22,1
115,5
12285
57,6
buah
kg
m3
kg
orang
483
328
1,217
43,5
17,97
600
409,34
1,51
53,95
22,3
900
563,3
2,08
74,25
30,69
buah
kg
m3
orang
4057
643,4
2,96
18,84
5036
798,5
3,7
23,4
7554
1197,7
5,55
35,1
kg
m3
orang
374,4
0,58
5,79
464,7
0,72
7,19
697
1,08
10,8
m3
kg
orang
31,88
457,88
115,9
39,57
568,33
143,88
59,36
852,5
215,8
m3
m3
kg
orang
4,78
115,92
4,35
5,79
5,94
143,9
5,4
7,2
8,91
215,8
8,1
10,8
m3
kg
orang
0,20
1,45
9,4
0,25
1,80
11,70
0,375
2,70
17,55
m2
m3
orang
31,9
30,43
31,30
39,6
37,77
38,85
59,4
56,65
58,27
44
Kayu Balok
Multipleks 12mm
Lis kayu profil
Pekerja
Bahan Pekerjaan Genteng
Genteng
Genteng Bubung
Semen Portland
Pasir Pasang
Pekerja
m3
m2
m
orang
9,85
333,27
1,25
9,27
12,23
413,65
1,55
11,5
18,34
620,47
2,33
17,25
buah
buah
kg
m3
orang
456,75
33
278,2
6,08
21,45
567
40
345,3
7,55
26,62
850
60
517,95
11,32
39,93
Sumber: SNI Analisis Biaya Konstruksi Bangunan Gedung dan Perumahan, 2002.
Sementara itu, Seo dan Hwang (2001) menghitung besaran emisi CO2 tiap
bahan bangunan berdasarkan proses pembuatan material seperti pada tabel 2.4.
No.
1.
2.
Nama
bahan
Batubata
(10.000)
buah
Genteng
(13.500)
buah
Kegiatan
Kebutuhan Faktor
energi
emisi
Emisi
tiap
kegiatan
Transportasi
bahan baku
20 liter
2,68
53,6
Pengolahan
dengan sekam
40 m3
0,18
7,2
Tenaga Kerja
100
0,5
50
Transportasi
bahan baku
30 liter
2,68
80,4
Pengolahan
dengan molen
80 liter
2,68
214,4
Pengolahan
dengan press
8 liter
2,536
20,287
5,94 m3
0,37
2,198
100
0,5
50
Pengolahan
dengan solar
10 liter
2,68
2,68
Tenaga Kerja
10
0,5
0,5
Transportasi
bahan baku
10 liter
2,68
26,8
Pengolahan
400 liter
Pengolahan
dengan kayu
Emisi
per
satuan
bahan
0,0111
0,0272
Tenaga Kerja
3.
4.
Kayu
(200 m3)
Semen
(8.760 kg)
0,159
1,7727
2,68
1072
45
dengan solar
5.
Besi baja
(3,124 kg)
Pengolahan
dengan listrik
20000 kWh
0,719
14380
Tenaga Kerja
100
0,5
50
Transportasi
bahan baku
10 liter
2,68
26,8
Pengolahan
dengan solar
400 liter
2,68
1072
Pengolahan
dengan listrik
20000 kWh
0,719
14380
100
0,5
50
Transportasi
bahan baku
40 liter
2,68
107,2
Pengolahan
dengan genset
50 liter
2,68
268
Tenaga kerja
0,5
4,5
Transportasi
bahan baku
40 liter
2,68
107,2
Pengolahan
dengan traktor
50 liter
2,68
268
0,5
1,5
Tenaga Kerja
6.
7.
Pasir
(1.000 m3)
Batukali
(1.000 m3)
Tenaga kerja
1,1832
0,3797
0,3767
8.
Asbestos
0,0109
9.
Keramik
0,2061
46
mengakomodasi
kebutuhan
aktifitas
sehari-hari,
keseluruhannya
perumahan
sederhana
(Puslitbangkim,2005).
Perubahan
47
Restorasi,
Renovasi,
CO2
CO2
CO2
CO2
CO2
PraKonstruksi
Konstruksi
Penggunaan
Demolisi
Rekontruksi
Energi
Energi
Energi
Energi
Energi
Bahan
Bangunan
48