PENELITIAN DISERTASI
SIGIT NUGROHO
PENELITIAN DISERTASI
SIGIT NUGROHO
NIM. 111617127306
ii
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
iii
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
PENGESAHAN
Halaman Pengesahan
Mengesahkan:
Universitas Airlangga Fakultas Psikologi
Dekan,
iv
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Oleh:
Promotor
Mengetahui
Kepala Program Studi S3 Psikologi
v
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan
Santri di Pesantren” ini. Usulan penulisan disertasi ini disusun sebagai salah satu
Universitas Airlangga.
mengucapkan terima kasih, baik itu secara langsung maupun tidak langsung, kepada:
1. Prof. Dr. Mohammad Nasih, SE., M.T., Ak., CMA. Rector Universitas
Universitas Airlangga.
4. Prof. Dr. Seger Handoyo, M.Si., Psikolog dan Dr. Wiwin Hendriani,
vi
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Riau untuk semua dukungan moril yang diberikan pada penulis dalam
7. Segenap dewan penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang
5. Ibu dan Ayah yang tidak pernah putus mendoakan, memotivasi, dan
pendidikan S3. Doa Ibu dan Ayah telah mendatangkan pertolongan Allah
pada penulis.
pendidikan S3.
7. Fathiya, Hauna, Aqil, Aydan dan Numa. Putra Putri tercinta yang
8. Mas Erdi, Mas Ahkam, Mas Yudho, Mas Eko, Mbak Roro, Mbak Era,
Mbak Endah, Mbak Retno, Mbak Wiwik, Mbak Endah, Mbak Ike, Bu
Ninuk, Mbak Silvy, Mbak Monik,Dan Mbak Dwi. Teman satu angkatan
vii
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Terima kasih atas semua dukungan dan pertolongan yang selama ini
Rizal, Liza Farhani, Yuli Purnamasari, dan Ersaliya yang menjadi asisten
Penulis telah berusaha menyusun usulan penulisan disertasi ini sesuai dengan
tulisan ini.
viii
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RINGKASAN
ix
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
x
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan grounded
theory yaitu metode penelitian kualitatif yang menggunakan sejumlah prosedur
sistematis yang diarahkan untuk mengembangkan teori berorientasi tindakan,
interaksi, atau proses dengan berlandaskan data yang diperoleh dari kancah
penelitian (Creswell, 2015). Pendekatan grounded theory dinilai tepat untuk
membangun teori berdasarkan realitas dari dinamika psikologis korban menjadi
pelaku perundungan di konteks pesantren. Secara lebih khusus, penelitian ini
menggunakan pendekatan systematic grounded (Strauss & Corbin, 1998) dimana
masih memungkinkannya penggunaan teori sebagai acuan dan dalam pengambilan
data. Partisipan utama dalam penelitian ini merupakan santri di pesantren minimal
telah memasuki tahun kedua belajar di pesantren pada tingkat aliyah dan lebih dari
sekali melakukan perundungan. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan
melakukan wawancara mendalam dengan partisipan yang dilakukan dengan prinsip
berdialog, diskusi untuk membangun pemahaman dan pemaknaan dalam
memecahkan masalah. Pengamatan dan analisis dokumen juga dilakukan untuk
mengumpulkan data penelitian. Teknik analisis data menggunakan constant
comparative untuk melakukan perbandingan antara kejadian dengan kejadian,
kejadian dengan kategori, dan kategori dengan kategori sebagai inti analisis data.
Hasil Penelitian
Pada penelitian ini ditemukan dinamika psikologis korban berubah menjadi
pelaku yang terdiri dari enam fase. Fase pertama yaitu menjadi korban perundungan.
Fase ini merupakan tahap awal individu mendapatkan perundungan di lingkungan
yang langsung diikuti dengan fase kedua, yakni fase tersakiti yang mana reaksi
psikologis mulai muncul seperti marah, kecewa, ingin balas dendam, takut, atau
merasa tak berdaya. Fase ketiga yaitu fase frustasi yaitu mengenai reaksi afeksi dan
kognisi mengenai dendam dari fase sebelumnya. Fase keempat adalah koping
maladaptif meliputi belajar untuk mendapatkan rasa aman hingga mengamati reward
yang didapatkan dari perundungan, misalnya berupa perasaan terbentuknya
senioritas dari kalangan adik kelas atau korban perundungan (eksternal atau
lingkungan) atau individu mendapatkan pembelajaran sosial (social learning) dengan
meniru perilaku perundungan tersebut (internal) atau justru menyesuaikan diri secara
adaptif dengan kondisi perundungan. Individu menunggu untuk memutuskan keluar
dari perundungan atau menjadi bagian dari pelaku perundungan. Untuk menuju ke
fase mencoba, perlu adanya penguatan baik secara internal (posisi atau perasaan
superior sebagai senior, percaya diri) maupun eksternal (lingkungan mendukung).
Apabila faktor tersebut muncul, maka individu akan mulai memasuki tahap awal
menjadi pelaku perundungan. Ketika individu mulai menikmati reward, menerima
pengakuan dari lingkungan, justifikasi moral melakukan perundungan dan pelepasan
xi
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
emosional negatif yang selama ini dialami sebagai korban, maka ia telah memasuki
fase terakhir yaitu menjadi pelaku perundungan.
Temuan baru pada penelitian ini terdapat pada fase koping maladaptif sebagai
tahapan teoretis yang fundamental dalam menjelaskan dinamika psikologis korban
yang berubah menjadi pelaku perundungan. Pada fase tersebut, korban memutuskan
untuk membiarkan saja fenomena perundungan di pesantren atau justru memilih
untuk menjadi pelaku. Dinamika psikologis korban yang memutuskan menjadi
pelaku secara garis besar memiliki kesesuaian dengan tahapan moral disengagement
(Hyatt, 2017) dengan ditemukan tambahan adanya fase frustasi setelah moral
distress.
Penelitian ini menghasilkan implikasi teoretis dan praktis. Temuan penelitian
ini dapat dikategorikan sebagai teori substantif tentang Dinamika Perundungan
Korban Menjadi Pelaku Perundungan yang bersifat sekuensial dan memiliki alur
tertentu (stages theory). Teori substantif tersebut dapat digunakan dalam
menjelaskan (explaining) aspek-aspek teoretis tentang dinamika korban
perundungan menjadi pelaku perundungan. Dinamika Perundungan Korban Menjadi
Pelaku Perundungan mempertegas penelitian yang menyatakan bahwa adanya
perilaku agresif dari relasi senior-junior serta probabilitas korban untuk membalas
perilaku perundungan yang telah dialami.
Temuan dalam penelitian juga mengindikasikan kebutuhan kepada guru dan
orang tua tentang kebutuhan pembekalan pengetahuan terhadap Dinamika
Perundungan Korban menjadi Pelaku. Pembekalan pengetahuan tersebut dapat
diformulasikan ke dalam bentuk modul pembekalan yang aplikatif kepada guru dan
orang tua santri sebelum anak didik memasuki pesantren atau sekolah dengan
fasilitas asrama. Pada waktu proses belajar mengajar berlangsung di pesantren, guru
dan siswa perlu mendapatkan pendampingan dari tenaga ahli seperti psikolog dan
konselor. Pendampingan tersebut bisa direalisasikan dalam bentuk Unit Pencegahan
dan Konseling berbasis teori substantif yang ditemukan pada penelitian ini. Berbagai
pemangku kepentingan atau pengambil keputusan dapat mengoptimalkan upaya
pencegahan korban menjadi pelaku perundungan dalam kebijakan-kebijakan yang
melibatkan guru, orang tua, siswa, dan tenaga ahli. Dengan kebijakan tersebut,
implikasi atau dampak praktis dari temuan dalam penelitian ini bisa diterapkan secara
maksimal.
xii
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SUMMARY
The rise of bullying cases in schools that spike for the last ten years succeeded
to become an international concern. In Indonesia, bullying was the most common
case reported in the National Commission for Child Protection from 2011 to 2019,
in which 2.437 from 37.381 total reported cases. The data implied that 30% of
elementary school students in Pekanbaru were victims of bullying (Nugroho dan
Fadhlia, 2011). In Japan, bullying cases were found that 10.8% of bullies were boys
and 4.1% were girls, whereas the bullying victims were 14.5% girls and 10.1% boys
(Mizuta et al., 2017). The percentage of bullies in school was found in studies around
the world, which 20.4% in Hong Kong (Loke, Mak, & Wu, 2016), 22.1% in Iran
(Rezapour, Soori dan Khodakarim, 2014), 17% in Korea (Koh & Leventhal, 2004).
Some interesting findings of bullying showed that victims of bullying tended to
become bullies. A US Secret Service study found that bullying victims executed more
than two-thirds of school shooting incidents in 37 schools since 1974. There were
also only one-third of the victims of bullying at sixth grade who still became the
victim until they graduated, wherein the percentage of victims decreased by 10% at
eighth grade (Graham, 2011). In addition to this finding, students who become the
bullies were concurrently being the victims or had previously been the victims
(Bloom, 2008; Koh & Leventhal, 2004; Rezapour, Soori & Khodakarim, 2014). It
could be explained by the similarity of traits such as poor social skills, low self-
esteem, poor problem-solving skills on both bullies and victims (Sigurdson et al.,
2015).
The phenomenon of bullying that emerged on a broad-scale was not limited to
the particular age, gender, and region. Furthermore, it was also not limited to the
particular type of education institution. This research’s context was in the one of the
indigenous education institution in Indonesia that called pesantren. It emphasized
Islamic values as its main characteristic, such as a good relation between students
and teachers, obedience to teachers, and compassion to humankind (Bawani, 1993).
In contrast with its value, the bullying activity also occurred in pesantren, where in
one case was done by kyai’s son (Fahmi, 2021). Bullying activity in pesantren
occurred in deviant behavior such as physical attack (hitting, kicking), verbal attack
(using harsh words, mocking), and exclusion (Desiree, 2013). The study found that
59% of students in pesantren were exposed to bullying (Nugroho & Fardhana, 2018).
Furthermore, the bullying activity in some boarding schools, especially in pesantren,
occurred due to the one-way relation between junior and senior, commonly called
seniority. Some behaviors such as initiation, showing rude attitude, or using harsh
words obtained by junior (Basri, 2001) could develop violent behavior in boarding
school. Most senior bullies had also previously been victims when they were junior
(Nuriana, 2015).
xiii
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Research Method
This study was qualitative with the grounded theory approach. The systematic
procedure was used to obtain an action, interaction, and process-based theory
according to the research context's obtained data (Creswell, 2015). The grounded
theory approach would explain the reality and process of the psychological dynamics
of victims becoming bullies in pesantren so that the theory could be developed.
Besides, this study used systematic grounded (Strauss & Corbin, 1998) for feasibility
purposes to use theory as a reference to gain the data. The main participants were
santri (students) in second grade in aliyah pesantren (equal to high school) who did
the bully for more than once. The data collected by observations, in-depth interviews,
discussions, dialogues with the participant, and document analysis. The data
analyzed with constant comparatives to compare and different events to events,
events to categories, and categories to categories were found.
xiv
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Findings
The psychological dynamics of victims becoming bullies were found in six phases.
The first phase was one's moment to become a victim. It was an initial stage of one's
experience of getting bullied from the social interaction and immediately followed
by the second phase called the aggrieved phase. Psychological reactions such as
anger, disappointment, vengeance, fear, or feeling helpless began to rise. The third
phase, the frustration phase, was determined by the psychological reaction, mostly
the previous stage's aggravation feeling. The fourth phase was the maladaptive
coping in which the victims adapted from bullying, whether seeking for safe and
secure space or observing the rewards obtained from bullying, for example, gaining
a superiority feeling from seniority (external reward), imitating the bullying behavior
(internal reward), or−in contrast−adapting with the bully condition. The victims
would be perceived as bullying activity, whether appropriate or inappropriate, based
on their adaptation. The perceived bullying would need both internal and external
reinforcement to encourage the victims to initiate bullying. After the victims began
to bully, they went into a fifth called trial phase. Soon as the victims enjoyed the
reward, embraced the peer's appreciation, justified the norms of bullying, and
released the unwanted emotions of being the victims on previous experience, they
entered the final phase called to become the bullies.
The new finding found in this study was in the maladaptive coping phase. It
was the fundamental theoretical in order to explain the psychological dynamics of
victims becoming bullies. At that particular phase, the victims decided whether to
avoid the bullying activities or to become the bullies. The moral disengagement
(Hyatt, 2017) was found in bullies’ psychological dynamics with a new addition, the
moral distress that followed with frustration phase which found in the dynamics.
This study gave theoretical and practical implications. The Bullying Dynamic:
The Victims Become Bullies could be categorized as a substantial theory that was
sequential and gradual (stage theory). The fundamental approach could explain the
theoretical aspects of the psychological dynamics of the victims becoming bullies.
Those findings also indicated that providing the knowledge about the Dynamic
of Bullying: The Victims Become Bullies to raise awareness to parents and teachers
was necessary. The experience could be provided on applied modules given to
parents, teachers, and students before the school started. The module that
implemented daily activity in pesantren could be supported by professionals, such as
psychologists and counselors, to make it useful. Its realization could happen by
developing a Prevention and Counselor Unit based on substantial theory given. It
also needed support from the policymaker such as the government, to synthesize the
policy of prevention the victims become bullies that involved teachers, parents,
xv
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
xvi
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
ABSTRAK
xvii
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
ABSTRACT
Bullying case was one of the problems conducted in school that became an
international concern. Bullying occurrences in school were not limited to regular
school but also in boarding school, particularly in pesantren. It contradicted as its
main character of pesantren was religiosity value. Bullying activity had a higher
chance to occur in boarding school due to seniority. It was also found that the bullies
had actually previously had the experiences of becoming the victims. According to
this phenomenon, qualitative study was held to formulate the substantial theory about
psychological dynamics of the victims becoming bullies, particularly in pesantren
context.
This study conducted the systematic grounded theory. The data collected
through observations and in-depth interviews toward the nine main participants and
some supported participants as well. The data is organized by using NVivo software
and analyzed with comparative constant technique.
The finding of this study was The Dynamic of Bullying: The Victims Become
Bullies which contained six phase: 1) Become the victims, 2) Aggrieved phase, 3)
Frustration phase, 4) Maladaptive coping phase, 4) Trial phase, 5) Become the
bullies. This dynamic explained the psychological dynamics that occurred in the
victims who become bullies. Some interesting findings found in the fourth phase, the
maladaptive coping phase, in which the decision making whether to be adaptive or
maladaptive to bullying activity in the victims’ self occurred. The alternative that
appeared in the adaptation phase indicated that the shifting role and its behavior of
victims to bullies could be prevented. Psychological support programs, both
preventive and curative, could be beneficial to prevent the possibility of the victims
becoming bullies. The preventive program could prevent the victims to become
bullies and the curative program could help the victim to heal the trauma of bullying.
xviii
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR ISI
RINGKASAN ............................................................................................................................. IX
BAB I ........................................................................................................................................... 1
xix
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
7.1. Dinamika dan Perubahan Korban Menjadi Pelaku Perundungan pada Santri .......... 169
7.2 Temuan Baru Penelitian ................................................................................................... 180
7.3. Implikasi Temuan ............................................................................................................. 183
7.4. Hambatan Penelitian......................................................................................................... 185
BAB VIII ...................................................................................................................................187
xx
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Survei Perundungan dari Berbagai Sumber ............................................................. 2
Tabel 2. Sejarah Penelitian Perundungan ............................................................................ 31
Tabel 3. Partisipan Penelitian .............................................................................................. 79
Tabel 4. Panduan Wawancara .............................................................................................. 91
Tabel 5. Data partisipan pilot study ..................................................................................... 92
Tabel 6. Data pelaksanaan penggalian data ......................................................................... 94
Tabel 7. Identifikasi konsep open coding .......................................................................... 109
Tabel 8. Axial coding Partisipan A .................................................................................... 110
Tabel 9. Rangkuman fase dalam dinamika terbentuknya korban menjadi pelaku
perundungan....................................................................................................................... 117
Tabel 10. Rangkuman fase Menjadi Korban Perundungan ............................................... 121
Tabel 11. Rangkuman Fase Tersakiti ................................................................................. 122
Tabel 12. Rangkuman Fase Mengalami Frustasi ............................................................... 125
Tabel 13. Rangkuman Fase Koping Maladaptif ................................................................ 129
Tabel 14. Rangkuman fase mencoba ................................................................................. 139
Tabel 15. Rangkuman fase, komponen dan subkomponen ................................................ 143
xxi
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Brofenbrenner’s ecology model ......................................................................... 35
Gambar 2. Perspektif sosial ekologis ................................................................................... 37
Gambar 3. The Bully-Development Model (Horne, Bartolomucci, & Newman, 2004) ...... 37
Gambar 4. Ecological prediction model of bullying by Chung Hun Lee ............................ 39
Gambar 5. Model ekologis terkait dengan faktor risiko perundungan dari Elise dkk ......... 41
Gambar 6. A Process Model of Bullying Behavior ............................................................. 43
Gambar 7. A Theoretical Model of Akers’ Social Learning Theory ................................... 46
Gambar 8. Triadic Reciprocal Determinism ........................................................................ 70
Gambar 9. Dinamika psikologis perubahan korban menjadi pelaku perundungan............ 160
Gambar 10. Proses triadic menjadi pelaku perundungan ................................................... 167
Gambar 11. Dinamika Psikologis Korban menjadi Pelaku Perundungan .......................... 179
Gambar 12. Prevensi dan Kurasi Korban Perundungan..................................................... 182
xxii
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR LAMPIRAN
xxiii
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB I
PENDAHULUAN
dialami ribuan anak dalam setiap harinya (Holt, 2004; Hoover, Hazler, & Oliver,
1992). Jumlah kejadian perundungan dari tahun ke tahun menunjukkan angka yang
tahun 2001 mendapatkan hampir 75% anak pra remaja yang diwawancarai
dan semakin menyebar ketika memasuki SMA (Coloroso, 2007). Pada tahun 2016
di Inggris, data survei menunjukkan bahwa 50% remaja telah menjadi korban
perundungan, 57% adalah remaja perempuan dan 44% remaja laki-laki, dan
sebanyak 145,800 (19%) menjadi korban perundungan setiap harinya (The Annual
Bullying Survey, 2016). Penelitian Barzilay dkk. (2017) pada siswa dari 168 sekolah
Anak laki-laki lebih mungkin menjadi korban secara fisik dan verbal,
sedangkan anak perempuan lebih rentan menjadi korban relasional. Hal tersebut
dapat dibuktikan pada penelitian yang dilakukan pada 2630 orang yaitu siswa SD
dan SMP di Jepang (laki-laki: 1302 orang; perempuan: 1328 orang) pelaku
sebesar 4,1%. Perempuan lebih banyak menjadi korban yakni 14,5% sedangkan laki-
laki 10,1%. Hasil penelitian yang terakhir, pelaku berasal dari status ekonomi yang
rendah yaitu 4,4% pada laki-laki dan 3,5% pada perempuan (Mizuta et al, 2017).
menengah yang berusia 12-15 tahun menunjukkan bahwa 20,4% siswa menjadi
pelaku perundungan (Loke, Mak, & Wu, 2016). Sementara itu, di Iran ditemukan
bahwa 5.4% siswa sekolah menengah atas menjadi pelaku perundungan, 22.1%
menjadi korban perundungan dan 11% menjadi pelaku dan korban perundungan.
verbal sebesar 24.7%, fisik 10.3%, dan relasional 15%. Mayoritas pelaku
Penelitian terhadap 1756 orang siswa di Korea menunjukan 40% terlibat dalam
perundungan di sekolah, dengan rincian korban yaitu 14%, pelaku 17%, dan menjadi
Bentuk
Sumber Lokasi Pelaku Korban
perundungan
Colorso Amerika (Tidak (Tidak
75% remaja
(2007) Serikat disebutkan) disebutkan)
The Annual
57% remaja
Bullying (Tidak (Tidak
Inggris perempuan; 44%
Survey disebutkan) disebutkan)
remaja laki-laki
(2016)
Barzilay, 10 negara (Tidak Fisik, verbal,
78.5% remaja
dkk (2017) di Eropa disebutkan) relasional
Bentuk
Sumber Lokasi Pelaku Korban
perundungan
14.5% remaja
Mizuta, dkk (Tidak perempuan; Fisik, verbal,
Jepang
(2017) disebutkan) 10.1% remaja relasional
laki-laki
Loke, Mak,
(Tidak (Tidak
& Wu Hongkong 20.4% remaja
disebutkan) disebutkan)
(2016)
Rezapour,
Soori, Verbal, fisik,
Iran 22.1% remaja 16.4% remaja
Khodakarim relasional
(2014)
Koh &
Korea (Tidak
Leventhal 31% remaja 14% remaja
Selatan disebutkan)
(2004)
banyak negara di seluruh dunia. Maraknya fenomena ini telah menyebabkan berbagai
secara drastis dalam 15 tahun terakhir. Data tabel sitasi pada PsycINFO,
dengannya meningkat drastis dan mencapai puncaknya pada tahun 2010. Hal ini
2011 hingga Agustus 2019, KPAI mencatat 2.473 dari 37.381 pengaduan terkait
media massa nasional. Sekolah dasar sampai perguruan tinggi tidak luput dari
perundungan secara fisik dan verbal sejak kelas 4 SD hingga kini kelas 6 SD
(Ispranoto, 2018).
Indonesia antara lain temuan Nugroho dan Adiyanti (2012) bahwa perilaku
perundungan terjadi sejak pendidikan dasar. Hasil observasi dan wawancara peneliti
tersebut pada sebuah sekolah dasar swasta di kota Yogyakarta dan Kabupaten
dicemooh karena kulitnya yang hitam dan dimintai uang jajan. Perbuatan ini juga
dialami teman-temannya yang lain dalam bentuk perilaku yang berbeda seperti
Sementara itu Nugroho & Fadhlia (2011) menemukan 30% siswa sekolah dasar
yang beragam. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa perempuan banyak yang
dilakukan Rigby (2011) di berbagai negara yang menyebutkan prevalensi antara 25-
40% siswa mengalami perundungan setiap harinya. Jenis perundungan yang dominan
muncul pada remaja salah satu SMA Negeri di Pekanbaru adalah perundungan secara
fisik (Putri, Nauli, & Novayelinda, 2015). Cyberbullying juga ditemukan terjadi di
kalangan anak SMA di Pekanbaru (Isni & Nugroho, 2018) bahkan ditemukan juga
tindakan perundungan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus (Mayasari &
Nugroho, 2018).
pengurangan angka kejadian perilaku ini di sekolah. Hal ini disebabkan banyak
program penanganan yang tidak bertumpu pada pemahaman yang benar mengenai
Asumsi pertama, pelaku memiliki harga diri yang rendah dan ditolak oleh
rekan-rekan mereka. Pandangan yang mendasari asumsi ini adalah bahwa pelaku
memiliki konsep diri yang negatif. Pelaku memandang diri mereka sebagai pribadi
yang buruk. Pandangan ini telah diterima secara luas, namun jika dilihat secara kritis
yang terjadi justru sebaliknya, banyak penelitian yang melaporkan bahwa pelaku
memiliki citra diri yang positif dan memandang diri mereka secara positif. Penelitian
menunjukkan bahwa banyak pelaku memiliki status tinggi di kelas, memiliki banyak
teman, populer dan mengaku memiliki harga diri yang relatif tinggi (Björkqvist,
Österman, & Kaukiainen, 2000; Vaillancourt et al., 2003; Farmer et al., 2010).
Asumsi kedua, diintimidasi adalah bagian alami dari tumbuh dewasa. Satu
(Tippeett, N. et al, 2010). Korban sering tidak disukai atau ditolak oleh teman sebaya
dan merasa tertekan, cemas dan kesepian. Beberapa remaja yang menjadi korban juga
Asumsi ketiga, orang yang pernah menjadi korban akan selamanya menjadi
dari siswa yang memiliki pengalaman sebagai korban di kelas 6 tetap menjadi korban
itu pada akhir tahun sekolah dan pada akhir kelas 8, jumlah korban turun menjadi
kurang dari 10%. Terdapat karakteristik pribadi seperti rasa malu (minder), kurang
percaya diri, menempatkan anak pada risiko yang tinggi untuk dirundung. Faktor
risiko yang lain yang bersifat situasional adalah perpindahan ke sekolah yang baru
dan perkembangan fisik yang tertunda. Jika adaptasi terhadap faktor situasional
tersebut telah terjadi maka risiko untuk dirundung menjadi berkurang. Hal ini yang
menjelaskan ada korban yang bersifat sementara dan ada yang menetap.
Asumsi keempat, pada anak laki-laki perundungan yang diterima bersifat fisik,
menyatakan bahwa pengucilan adalah jenis kekerasan teman sebaya yang berbahaya
karena menyebabkan rasa sakit psikologis dan seringkali sulit untuk dideteksi orang
lain. Hal ini bertujuan untuk merusak reputasi korban. Penelitian menunjukkan hal
ini tidak berkaitan dengan gender, artinya dapat terjadi pada laki-laki maupun
memberi pesan pada siswa bahwa perundungan tidak akan ditoleransi. Tetapi
orang tua, guru, dan siswa percaya bahwa perundungan terbatas pada pengganggu
lebih dari sekadar pelaku dan korban. Insiden perundungan sering merupakan
peristiwa publik yang memiliki saksi (Mizuta et al, 2017). Studi berdasarkan
pelaku, penguat, atau pembela korban. Siswa yang membantu pelaku mengambil
bagian dalam mengejek atau mengintimidasi teman sekolah, dan memperkuat pelaku
pelecehan bertanggung jawab atas penderitaan mereka dan membawa masalah pada
perilaku perundungan terjadi dalam skala yang sangat luas, tidak terbatas pada sekat
kewilayahan dan terjadi pada berbagai kelompok usia. Kedua, perundungan baru
menjadi kajian yang cukup banyak diteliti pada kurun waktu 20 tahun terakhir dan
menjadi atensi yang luar biasa peneliti pada 10 tahun terakhir. Ketiga, asumsi-asumsi
Salah satu asumsi, bahwa seorang korban akan cenderung menjadi korban,
menarik bagi penulis untuk meneliti lebih lanjut karena pada kenyataannya banyak
korban yang menjadi pelaku perundungan. Kajian yang dilakukan oleh U.S. Secret
Service pada tahun 2000 menyatakan bahwa lebih dari dua per tiga insiden
(Coloroso, 2007). Hasil annual bullying survey (2016) menyatakan bahwa sebanyak
24% dari korban perundungan berubah menjadi pelaku perundungan. Harian terkenal
di Inggris The Guardians menyebutkan hanya satu persen saja yang murni pelaku
selebihnya adalah korban yang menjadi pelaku. Kebanyakan pelaku juga merangkap
berdasarkan studi yang dilakukan oleh institusi pendidikan yang didanai oleh
juga pernah menjadi korban, yang rata-rata mereka bukannya memiliki harga diri dan
kepercayaan diri yang tinggi namun justru mengalami perasaan depresi, tertekan, dan
masalah emosional lainnya ditemukan dalam penelitian Sigurdson, dkk (2015). Hasil
yang rendah, pemecahan masalah yang buruk pada tiga kelompok subjek penelitian,
oleh remaja (Sari dan Suryanto, 2016). Adanya kesamaan trait pada tiap kelompok
menjadi pelaku perundungan. Sejalan dengan hal ini, penelitian Widiharto, Suminar,
Studi longitudinal yang dilakukan oleh Ttofi, Farrington & Losel (2012)
sekolah berasrama banyak dilakukan oleh para senior yang dulunya juga menjadi
korban dari senior sebelumnya. Relasi senior-junior ini yang melahirkan reproduksi
perundungan memiliki potensi yang besar untuk menjadi pelaku. Pola perubahan
ternyata direproduksi oleh korban yang kemudian beralih menjadi pelaku. Upaya
untuk memahami dinamika psikologis di balik perubahan ini akan menjadi informasi
argumentasi mengenai hal ini akan dijelaskan peneliti pada sub bab kajian masalah.
10
menyatakan bahwa perundungan tidak hanya terjadi di sekolah umum, namun juga
terjadi di sekolah asrama (Pfeiffer & Pinquart, 2014; Cross, Lester & Mandel, 2015;
Praktik sekolah asrama tidak hanya diterapkan di luar negeri, namun juga
masing terutama dalam mengelola aktivitas siswa. Sebagai gambaran, salah satu
tulisan, atau perbuatan siswa yang tidak menaati kewajiban dan/atau melanggar
larangan ketentuan disiplin, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar proses
program aktivitas setelah sekolah untuk mengisi waktu luang bagi siswa. Kegiatan
yang disediakan terbilang bervariasi, meliputi aktivitas fisik, musik, bahasa, dan
akademik, sosial, dan emosi siswa, membangun self-esteem, resiliensi, dan kerjasama
11
terhadap kegiatan perundungan yang dilakukan oleh siswa (Sekolah Pelita Harapan,
2020).
sebagian besar ada di lingkup pesantren (Desiree, 2013). Kondisi ini membawa
Pesantren memiliki karakteristik yang khas berbeda dengan sistem pendidikan pada
sekolah umum, terutama dalam muatan nilai keagamaan yang lebih dominan. Hal ini
dikaji di pesantren akan dianggap tabu bukan saja oleh masyarakat umum namun
juga akademisi. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian yang dapat
tradisional yang lahir dan tumbuh bersamaan dengan datangnya Islam ke tanah Jawa.
mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada (Madjid, 1997). Dalam sistem
dalamnya diajarkan ajaran Islam dengan budaya lokal yang ada pada saat ini. Usaha
dalam memadukan antara ajaran Islam dengan budaya lokal merupakan ciri dari awal
12
lebih menitik beratkan pada nilai yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai itu berupa cara memandang segala sudut kehidupan sebagai ibadah. Pemusatan
pada nilai ini menghantarkan pada sikap saling pengertian, menghargai, dan
menghormati pada segala hal (Azami, 2013). Salah satu hal penting yang perlu
dicermati dalam sistem tata nilai yang ada dalam tradisi pendidikan klasik pesantren
adalah tradisi pendidikan pesantren yang kaya akan nilai-nilai religiusitas dan
bersifat transendental dinilai sangat efektif dalam menjaga moralitas bangsa ditengah
kenyataan yang berbeda dari harapan dan tujuan luhur dari pesantren. Penelitian yang
perundungan dalam bentuk verbal (kata-kata kasar, ejekan) dan pengucilan. Pada
sebuah kasus ditemukan terdapat seorang santri yang kabur dari pesantren
lain kepada dirinya (Ilham, 2016). Pada kasus yang berbeda, ditemukan pula praktik
perundungan justru dilakukan oleh anak kyai di pesantren tersebut (Fahmi, 2021).
Sebuah studi kualitatif mengungkap delapan tema yang muncul dari hasil
13
menyelesaikan masalah. Semuanya bermuara pada tema besar bahwa kejadian ini
melemahkan semangat untuk menuntut ilmu di pesantren (Yani, Winarni, & Lestari,
berasrama yang lain kerap terkait dengan adanya perlakuan tidak menyenangkan dari
para senior, mulai dari perpeloncoan, perlakuan kasar, penyebutan dengan panggilan
Seperti yang pernah dikisahkan oleh orangtua dan korban bully. MMR (15
tahun) merupakan pelajar di salah satu Pesantren di Provinsi Riau. Orangtua
MMR menyampaikan setelah kejadian tersebut MMR dibawa kedua
orangtuanya untuk menemui salah satu Psikolog di Kota Pekanbaru. Orangtua
MMR merasa anaknya harus diberikan perhatian khusus dari kejadian yang
telah dialami MMR. Menurut kisahnya, MMR sering diberikan perlakuan yang
tidak baik oleh teman-temannya. Seperti contoh, teman MMR sering mengejek
bahkan sampai memukul MMR. Sampai suatu saat, MMR diikat di lantai 3
gedung belajar. Hal tersebut tanpa sepengetahuan oleh pihak sekolah baik itu
guru maupun penjaga sekolah. Sampai suatu malam, penjaga yang memeriksa
ruangan kelas menemukan MMR dengan keadaan yang lemas dan tidak
berdaya. Setelah kejadian tersebut, MMR tidak mau sekolah lagi dan memilih
untuk keluar dari sekolah/pesantren. Orangtua MMR menyampaikan, bahwa
si anak sering mengalami ketakutan jika mendengar suara-suara aneh dan
hanya bermain sendiri (342/LPT/9/2017).
Pada catatan kasus lain, korban yang memiliki mata juling suka diejek oleh
14
informasi dari YP, pada saat awal masuk di Pesantren ia sangat sering
dikucilkan oleh teman sebayanya. Hal ini disebabkan karena secara fisik YP
memiliki kelainan pada indra melihat. YP memiliki kelainan pada matanya
(juling), sehingga dalam interaksi dengan temannya YP sering memperoleh
tindakan yang tidak terpuji oleh temannya. Teman YP sering mengejek dan
mencemooh YP karena matanya yang juling. Dalam keseharian di Pesantren
YP sering menyendiri dan lebih memilih untuk bermain sendiri. Kejadian
tersebut dirasakan YP pada masa kelas 1 SMP di Pesantren. Setelah lanjut ke
kelas lebih tinggi, YP mengalami perubahan yang sangat signifikan. Menurut
informasi dari orang tua YP, perilaku keseharian YP di Pesantren berbeda
dengan setahun lalu. YP sering dipanggil oleh gurunya karena tindakan yang
mengganggu teman-temannya. Perilaku yang dilakukan oleh YP sering terjadi
kepada santri yang ada di bawahnya. YP melakukan hal tersebut tidak
sendirian, ia memiliki beberapa teman yang biasanya beraksi pada jam-jam
istirahat. Berdasarkan laporan yang diterima dari pihak sekolah kepada
orangtua YP, untuk sementara YP diberikan sanksi dan diminta untuk
membawa YP ke Psikolog (341/LPT/9/2017).
bersifat senyap dan kerap dilakukan oleh senior. Mereka perlu menjaga supremasi di
hadapan juniornya, sebagaimana yang disampaikan oleh MY, salah satu santri:
‘kami melakukan itu agar dihargai sama junior. Mereka perlu ikut apa yang
kami mau, karena kami dulu juga begitu,..biasanya kami lakukan saat nggak
ada ustadz, dan kami mengancam kalau ada yang
melapor”(WPS106DES2017).
kebaikan dan moralitas berbasis agama justru melakukan hal yang bertentangan
dengan nilai tersebut. Mengapa tempat diproduksinya nilai-nilai kebaikan dan kultur
yang mengajarkan nilai spiritual dan moral yang tinggi belum mampu menyelesaikan
dampak perilaku perundungan pada korban, namun justru yang terjadi adalah
15
Sampai pada uraian ini, penulis melihat bahwa dalam konteks pesantren yang
memiliki kekhasan Indonesia dan nilai-nilai spesifik yang dianut dan diajarkan,
perilaku perundungan menarik untuk ditelusuri dinamikanya. Dalam hal ini penulis
merupakan hasil interaksi dari rangkaian pengalaman masa lalu, yang melibatkan
motif, emosi serta berbagai dorongan, dan bukan hanya melalui deskripsi sederhana
tentang rangsangan obyektif yang terjadi sesaat sebelum tindakan manusia. Salah
dijelaskan dengan pendekatan teori belajar sosial dan pendekatan sosial ekologis,
sedangkan teori proses perubahan perilaku yang paling mendekati yaitu teori
melakukan hal tersebut. Hasil pengamatan ini didukung oleh pengetahuan terhadap
(Bandura, 1978). Dalam kasus perundungan perilaku ini muncul sebagai perilaku
Termasuk didalamnya adalah mengamati dan meniru perilaku agresif yang dilakukan
orang lain dan menerima konsekuensi positif seperti dukungan dari teman ketika
16
untuk melakukan perundungan pada orang lain dibandingkan mereka yang tidak
setiap harinya, artinya setiap hari anak belajar melakukan perundungan (Dolby,
2010).
Lebih lanjut teori ini menjelaskan bahwa proses belajar yang memproduksi
perilaku tidak hanya tergantung pada pengamatan saja. Unsur yang juga sangat
merugikan bagi pelaku (Bandura, 1978). Disini fungsi kognisi mengambil peran.
Pribadi yang memiliki pandangan atau penilaian yang negatif terhadap perilaku
ekologis yang dibentuk dan diabadikan seiring waktu sebagai hasil dari interaksi
kompleks antara variabel inter dan intra-individu (Swearer & Doll, 2001). Perilaku
perundungan tidak hanya muncul sebagai akibat dari karakteristik individu namun
17
individu mulai tertarik dengan adanya stimulus yang masuk. (3) Evaluation
stimulus. (4) Trial (mencoba) individu mulai mencoba perilaku baru. (5) Adoption
perilaku perundungan secara umum dan lebih mendekati pada perspektif penonton
atau saksi perundungan. Ketiga teori yang telah dijelaskan mampu menjelaskan
perundungan itu sendiri (interaksi triadik) sebagai salah satu landasan terbentuknya
yang berbeda dengan perilaku agresif pada umumnya dimana korban dalam hal
korban untuk menjadi pelaku adalah proses yang sulit dengan mempertimbangkan
karakteristik yang melekat pada korban yang diasosiasikan sebagai pribadi pemalu,
kurang berdaya, tidak asertif, dan karakterteristik personal lainnya (Rigby, 2002,
Petrosino, Guckenberg, DeVoe & Hanson, 2010). Artinya untuk berubah menjadi
perubahan seseorang dari korban menjadi pelaku merupakan faktor yang penting
18
perilaku atau sikap yang telah ada. Diantara penyebabnya adalah adanya spesifikasi
konteks, dalam hal ini lingkungan pesantren, yang memiliki ciri yang spesifik dan
akan lebih tepat jika dijelaskan dengan konsep yang memang dirumuskan dalam
konteks yang sama. Dari studi literatur yang telah dilakukan menghasilkan
Kebutuhan teoritik yang akan dijelaskan pada kajian masalah merupakan hal yang
terhadap kesehatan mental dan fisik baik korban, pelaku, maupun siswa yang
menyaksikan perundungan terjadi (Black & Jackson, 2007; Whitted & Dupper,
mempengaruhi kemampuan belajar siswa yang menjadi korban (Whitted & Dupper,
2005).
Korban akan cenderung merasa sendiri, depresi, menolak untuk sekolah dan
bahkan muncul keinginan untuk bunuh diri (Holt, 2004, Coloroso, 2007). Argumen
ini didasarkan dari hasil survei yang dilakukan di Amerika Serikat selama tahun 1999
19
menunjukkan bahwa paling tidak satu dari 13 siswa SMA korban perundungan
melakukan usaha bunuh diri. Pada tahun 2000, lebih dari 2.000 anak bunuh diri.
Tragedi yang serupa juga dialami oleh korban perundungan di Inggris, setiap tahun
setidaknya ada 16 anak memilih mati setelah dipukuli hingga babak belur oleh anak
melakukan bunuh diri, lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki (Holt et
al, 2015; Barziley et al, 2017; Shireen, Janapana, Rehmatullah, Temuri, & Azim,
2014, Thomas, 2017; Cook, Williams, Guerra, Kim, & Sadek, 2010).
dibandingkan dengan anak yang tidak terlibat dalam perundungan, gejala psikotik
akan menjadi lebih kuat dengan peningkatan durasi, frekuensi dan tingkat keparahan
perundungan yang dialami anak. Gejala psikotik seperti sakit kepala, sakit perut,
kesulitan tidur, kelelahan dan pusing. (Cunningham, Hoy, & Shanom 2015; Van
Hymel, 2014), yaitu dalam hal ini pelaku perundungan, memiliki korelasi dengan
tindakan lain yang bertentangan dengan perilaku moral yang dapat diterima secara
laporan dan publikasi menyebutkan bahwa pelaku perundungan sebagian besar pada
awalnya adalah korban perundungan dan saksi perundungan, namun penjelasan yang
20
studi kuantitatif yang diambil dari beberapa sumber dari tahun 2005-2015. Untuk
studi kualitatif, peneliti menjadikan penelitian meta-sintesis Patten, Hong, Patel, &
Kral (2015) sebagai referensi yang memuat mengenai sejarah penelitian kualitatif
pada topik perundungan. Studi tersebut mengungkap beberapa tema yang sering
dikaji antara lain gambaran perilaku perundungan, strategi koping dalam menghadapi
penelitian lain yang secara lengkap dapat dilihat di lampiran I, halaman 210.
yang muncul dengan variabel dalam mikrosistem, mesosistem dan makrosistem yang
yang menunjukkan proses seseorang menjadi pelaku yang kesemuanya berasal dari
penonton perundungan (bystander), yakni penelitian Lam & Liu (2007). Penelitian
sebagai model proses (Lam & Liu, 2007). Oleh sebab itu, peneliti menyimpulkan
21
Proses menjadi pelaku perundungan ini menarik untuk dilihat polanya sehingga
akan diketahui dinamika korban yang menjadi pelaku. Pola ini akan memberi
informasi dari tahapan-tahapan yang terjadi, dimana tahapan yang paling kritis
seseorang akan menjadi pelaku atau memilih secara sadar untuk tidak melakukan
perundungan. Penelitian ini juga berupaya mencari jawaban mengapa di tempat yang
ditanamkan nilai-nilai tentang kebaikan (dalam hal ini agama) masih terjadi perilaku
perundungan. Dari sini akan diketahui faktor risiko dan faktor pencegah perilaku
penelitian sudah disebutkan di atas di bagian latar belakang, sedang penelitian yang
lain yakni; penelitian Simbolon (2012) yang bertujuan untuk mengetahui bentuk-
dampak perilaku perundungan bagi korban, pelaku, dan lingkungan asrama, dan
untuk mengetahui usaha yang telah dilakukan pihak institusi dalam usahanya
22
pemaksaan pada korban untuk menenggak minuman keras, ditelanjangi lalu korban
dipaksa mandi tengah malam. Faktor penyebabnya yaitu senioritas, meniru serta
pengalaman masa lalu, para pelaku pada umumnya melakukan perundungan karena
mengakibatkan korbannya menjadi putus asa, menyendiri, tidak mau bergaul, tidak
lebih berwibawa dan merasa puas, namun sebagian pelaku juga merasa malu dan
minder.
perundungan lebih dari sekali dalam seminggu. Anak laki-laki cenderung diganggu
pesantren.
determinan, relasi dengan variabel lain, dampak dari perilaku perundungan dan
23
pesantren yang indijenus asli Indonesia dan kentalnya muatan keagamaan luput dari
perundungan.
Dari beberapa paparan di atas dapat ditarik beberapa catatan penting mengenai
efek bystander (saksi) yang mendorong seseorang menjadi pelaku, namun belum
menjadi pelaku sehingga celah ini dapat dimasuki untuk melengkapi bangunan
menjadi pelaku perundungan dalam konteks pesantren. Sampai saat ini penelitian
mengenai perundungan ini masih terbatas pada proses perubahan saksi menjadi
pelaku. Hal ini penting dilakukan untuk memahami secara lebih mendalam,
karena korban ternyata juga memiliki peluang untuk menjadi pelaku, sehingga
pencegahannya.
24
pesantren?
c. Bagaimana proses interaksi triadic yang terus menerus terjadi antara individu,
lingkungan dan perilaku dalam proses perubahan dari korban menjadi pelaku
25
pesantren.
kualitatif yang secara spesifik berupa dinamika psikologis perubahan dari korban
antara individu, lingkungan dan perilaku pada proses peralihan korban menjadi
c. Sebagai acuan bagi para peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian yang
relevan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perundungan
2.1.1. Definisi Perundungan
terhadap siswa/ siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut
(Rigby, 2014; Black & Jackson, 2007; Carney & Marrel, 2001) dan menyebabkan
Lumpkim, 2014). Perundungan bukan hanya hasil dari karakteristik individu tetapi
dipengaruhi oleh hubungan yang beragam dengan teman sebaya, keluarga, guru,
tetangga dan interaksi dengan pengaruh sosial (media & teknologi). Teman sebaya
agresif yang lebih spesifik dengan karakteristik (1) perilaku agresif atau perilaku
membahayakan yang disengaja dengan memiliki target yang spesifik, (2) terjadi
berulang-ulang dalam waktu yang lama, dan (3) ada ketidakseimbangan fisik atau
kekuasaan antara pelaku dan korban (Bernard & Milne, 2008; Chapel et al, 2004).
27
Development [VDEECD] (dalam Bernard & Milne, 2008) perundungan terjadi jika
reputasi, atau penerimaan sosial seseorang serta dilakukan secara berulang dan terus-
meliputi perundungan yang bersifat fisik yaitu melakukan agresi dengan kontak fisik,
agresi verbal baik dengan kata-kata ataupun tulisan dan perundungan di dunia maya
teknologi digital perilakunya (Bernard & Milne, 2008; Craig, Pepler, & Blais, 2007).
penyebaran rumor) dan overt bullying (agresi fisik atau verbal). Dan belakangan
meningkat dengan adanya perundungan di dunia maya seperti agresi dalam bentuk
email, SMS, dan sosial media (Li, 2006). Perundungan adalah agresi yang unik
hubungan antara pelaku dengan korban namun juga merupakan fenomena kelompok,
berlaku dalam konteks sosial dengan berbagai faktor yang mempengaruhi (Olweus,
1993; Rodkin & Hodges, 2003). Secara umum definisi perundungan pada semua
jurnal dan artikel disertasi mengacu pada definisi yang disampaikan oleh Olweus
(1993). Ada penambahan yang diberi oleh ahli lain Rigby (2014) mengenai bentuk
perilaku perundungan yakni overt and covert. Tambahan yang lain penelitian pada
28
Perundungan adalah bagian dari tindakan agresif yang memiliki ciri adanya
(Olweus, 1978). Berangkat dari tindakan agresif, maka konsep ini sudah menjadi
kajian filsafat sejak jaman dulu. Bahkan jika ditarik ke masa yang lebih awal,
perilaku agresif ini adalah cerita di awal mula kehidupan manusia yang digambarkan
manusia eksis sebagai dirinya sendiri. Pada saat eksis tersebut, manusia menjadi
subjek dan objek. Perwujudan manusia eksis, atau eksistensinya berbeda dengan
hewan. Setiap orang bisa menerima atau menolak aturan karena setiap orang
manusia satu menjadi objek yang lain, maka manusia lainnya adalah subjek (Clare,
1969).
Di dalam setiap subjek dan objek manusia terdapat ego. Ego yang mewujud
pada: posisi/kondisi, perilaku dan kualitas. Ego bukanlah suatu kesatuan refleksi
kesadaran, namun sebagai suatu yang permanen eksis dalam kesadaran. Kadangkala
Ego menjadi subjek, kadang menjadi objek di dalam diri orang masing-masing.
eksistensinya adalah sebagai being for itself yang dinamis keluar untuk menjalani as
29
being. Agresivitas bukanlah tidak bisa dikenali. Agresivitas bisa menjadi buruk
manakala tidak terarah atau hanya dalam penguasaan pemenuhan kepuasan ego.
Sejarah perundungan dimulai bahkan sejak ratus ribu tahun yang lalu saat
manusia Neanderthal digantikan oleh Homo Sapiens yang lebih kuat dan lebih
perundungan adalah eksploitasi yang lemah oleh yang kuat, bukan secara tidak
Kata 'bully' pertama kali digunakan pada tahun 1530 dan aslinya digunakan
untuk menggambarkan rasa sayang atau pengganti kata 'sweetheart'. Bully sendiri
berasal dari Bahasa Belanda, 'boel' yang artinya cinta atau saudara. Sekitar abad ke
17, istilah ini maknanya mulai berubah dari teman dekat, kemudian menjadi
(Olweus, 1978). Profesor Dan Olweus adalah ilmuwan pertama yang memfokuskan
diri pada topik tersebut dan mengkontribusikan data ilmiahnya pada literatur
sekolah dapat direduksi secara signifikan. Hal ini merupakan pencapaian yang sangat
penting.
30
Hasil studi dari Olweus membuat banyak peneliti sosial di dunia terkesan.
Sebelum abad ke-20 berakhir, ratusan studi serupa telah dilakukan di banyak negara.
Buku, artikel, website, video dan CD mulai bermunculan dengan maksud untuk
menjelaskan apa saja yang perlu kita lakukan untuk mereduksi bahkan menghentikan
perundungan di sekolah.
Norwegia dan Swedia pada tahun 1980-an mengarah pada kampanye intervensi
perundungan (Ross, 2002; Smith & Brain, 2000). Sejak akhir tahun 1980-an,
bangsa setiap empat tahun berkenaan dengan perilaku sehat pada anak-anak usia
sekolah. Sampel usia 11, 13, dan 15 tahun dari berbagai dunia dinilai, dan
Bahasa Inggris. Menurut Kawabata (2001), ijime merujuk pada perundungan yang
menyebabkan hasil- hasil dalam trauma dan dalam beberapa kasus fobia sekolah.
Selain itu, Tanaka (2001) menggambarkan shunning sebagai suatu tipe perundungan
yang khas ditemukan di Jepang. Shunning adalah satu tipe perundungan dimana
31
Ross (2002), perundungan itu dianggap bentuk agresi yang paling dominan
media, publikasi tertulis, banyak penelitian, dan intervensi sekolah, semua untuk
tujuan mengurangi perundungan (Smith, 2000). Seperti diteliti oleh Smith (2000),
temuan intervensi sekolah memiliki implikasi positif dan mengungkapkan sebab dan
32
33
dari tahun 1999 hingga 2013 yang berasal dari penelitian di benua Eropa dan
Mereka berada di dalam rentang pendidikan tingkat SD hingga SMA. Partisipan yang
berkontribusi pada penelitian ini tidak hanya dari siswa saja, akan tetapi juga dari
lingkungan mesosistem siswa yaitu guru, wakil kepala sekolah, kepala sekolah,
34
orang tua hingga petugas pengaturan layanan sosial. Siswa yang menjadi partisipan
di dalam penelitian ini tidak hanya siswa normal, tetapi siswa dengan kebutuhan
pengumpulan data.
data diantaranya yaitu kuesioner, menggambar, Focus Group Discussion (FGD) dan
terstruktur. (Patton, Hong, Patel, & Kral, 2015). Teknik wawancara semi terstruktur
adalah suatu teknik yang mengembangkan instrumen penelitian serta bebas dan
perundungan, sikap korban terhadap perundungan serta peran guru, orang tua dan
teman sebaya. Karakteristik korban perundungan ialah mereka yang terlihat berbeda
dari yang lainnya, seperti dari sisi penampilan, cacat yang dimiliki hingga orientasi
seksual yang berbeda. Selain itu terlihat sikap kebosanan, kecenderungan untuk
sebaya atau kelompok sebaya daripada membicarakan ke guru atau orang dewasa.
perilaku perundungan yang dialami korban menunjukkan peran yang cukup penting
35
bagi korban. Di sisi lain, guru sebagai bagian dari mesosistem siswa mengalami
yang bisa dilakukan. Kemudian ditemukan banyak sikap korban yang cenderung
diam terkait pengalaman mereka dan mencoba mengerti perundungan yang dialami.
Selain itu, ada yang merasa bertanggung jawab untuk menghentikan perundungan
yang terjadi. Uraian lengkap mengenai sejarah penelitian perundungan dapat dilihat
pada lampiran.
ecological oleh Brofenbrenner. Perilaku anak akan dipengaruhi oleh adanya faktor
ini adalah orangtua, guru, dan orang yang memiliki hubungan yang dekat dengan
36
Sumber : http://www.samj.org.za/index.php/samj/article/view/5544/4001
perilaku perundungan bukan perilaku yang berdiri sendiri. Perilaku tersebut memiliki
perilaku anak. Elips kedua mengindikasikan pengaruh keluarga seperti struktur dan
dan tempat bermain (termasuk kantin), dan ukuran kelas. Elips keempat
keamanan dan kesehatan, tingkat kejahatan, dan masyarakat desa atau kota. Elips
(tayangan televisi, musik, & film) dan kondisi politik yang berkembang (Horne,
37
5 4 3 2
1
sebagai berikut:
38
dengan model tersebut, sehingga menurut peneliti model ini masih bersifat umum
yang melandaskan pada pendekatan ekologis. Dari model tersebut dapat dilihat
bahwa terdapat urutan dari skala besar berupa budaya, pengaruhnya terhadap
Rumah tangga tempat anak dibesarkan menjadi faktor yang signifikan dalam
pengaruh teman sebaya, dan bagaimana sikap guru di sekolah dalam mengambil
Pada sisi lain, kelemahan dari model tersebut bersifat terlalu umum sehingga
39
iklim sekolah dan interaksi teman sebaya, dan secara negatif mempengaruhi
(Lee, 2011).
individu ke arah positif, menunjukkan bahwa semakin tinggi SES, semakin tinggi
sekolah yang mencakup jenis ekosistem lainnya, terkait secara negatif terhadap
40
sekolah mereka dengan lebih positif cenderung lebih sedikit melakukan perundungan
individu dan viktimisasi/ korban. Menariknya, interaksi dengan teman sebaya tidak
iklim sekolah. Temuan menarik lainnya adalah bahwa interaksi guru itu tidak
mempengaruhi perilaku perundungan. Temuan tak terduga ini tidak sesuai dengan
kecenderungan individu adalah pengaruh yang paling penting (b= 0,82) terhadap
Kelemahan model ini terletak pada faktor trait individu menjadi sangat
variabel tendensi yang berpengaruh sebesar (b: 0.82). Jika dilihat dari model tersebut
secara utuh, faktor lingkungan di luar individu memiliki sumbangan yang kecil
hadir penonton atau saksi pada setiap kejadiannya (Olweus, 1998). Hal ini dapat
Indonesia yang cenderung bersifat komunal sehingga pengaruh teman sebaya (peer
41
group) menjadi faktor penting yang mempengaruhi terjadinya proses dan model
perundungan.
Gambar 5. Model ekologis terkait dengan faktor risiko perundungan dari Elise dkk
Model ini menggunakan perspektif ekologis untuk menelaah faktor risiko yang
terkait dengan perilaku perundungan di antara sampel yang mewakili remaja berusia
11- 14 tahun. Data berasal dari perilaku. Kesehatan anak di Sekolah: survei WHO
pada lintas negara untuk memberikan contoh hubungan antara perundungan dan efek
media, sistem dukungan teman dan keluarga, self efficacy (keyakinan terhadap
al., 2009).
dilingkungan yang tidak baik, mendapat dukungan emosional dari teman sebayanya,
dan punya guru dan orang tua yang tidak menaruh harapan tinggi pada kinerja
42
sekolah mereka. Selain itu, ditemukan sebuah hubungan berkebalikan antara menjadi
orang Asia atau Afrika Amerika, perasaan “merasa tertinggal” dari aktivitas sekolah
dan perundungan.
dalam iklim sosial yang menurun, namun sistem dukungan sosial tersebut menjadi
pendapatan orang tua atau pengaruh media. Karena jumlah teman dan
menurunkan potensi perilaku perundungan. Hal ini menutup adanya indikasi bahwa
perundungan juga terjadi di tempat anak-anak yang tidak menonton televisi seperti
43
rejecting phase, the performing phase, the perpetuating phase dan withdrawing
44
berada di SD. Pada saat itu mereka tidak suka terhadap pelaku dan bersimpati pada
membuat saksi segera meniru perilaku tersebut. Mereka tahu cara melakukan
perundungan orang lain, tapi masih mempertimbangkan jika mem-bully itu adalah
(Widhiarto, Suminar, & Hendriani, 2020). Alasan yang sering muncul adalah karena
mereka tidak ingin menjadi korban dan ingin mempertahankan diri. Adanya
kehadiran teman penting bagi munculnya tindakan perundungan. Teman sebaya akan
emosinya.
45
karena perilaku diulang, perasaan akan kekuatan dan prestise menjadi lebih jelas.
Keanggotaan geng adalah faktor pendorong yang kuat karena anggotanya wajib
mengikuti norma Triad. Anggota Triad yang sama saling mendukung dalam
dan simpati terhadap korban merupakan faktor penghambat yang mungkin terjadi.
yang ditunjukkan responden, para korban dan para pengamat biasanya tidak
melaporkan insiden intimidasi kepada guru atau orangtua mereka karena takut
menimbulkan masalah lebih lanjut. Guru juga gagal memberi kesan bahwa mereka
sangat tipis. Bahkan jika dilaporkan, guru tidak perlu mengambil tindakan. Bentuk
tindakan disipliner termasuk memaksa penggugat berdiri di luar ruang staf, memberi
tentang kejadian tersebut, dan seterusnya. Tapi efek penghambat dari tindakan ini
sangat minim. Padahal, menurut responden, celaan dari orang tua bisa memperparah
perilaku perundungan. Itu hanya membuat mereka merasa ditolak dan memandang
46
rendah ke rumah dan karenanya mereka ingin lebih jauh menegaskan status
melampiaskan emosi mereka yang tidak bahagia setelah menerima teguran orang tua
Pada fase ini pelaku sudah mulai mendapat konsekuensi yang serius dari yang
mereka lakukan sehingga mulai menarik diri dari perilaku perundungan. Keterlibatan
pihak berwajib, ancaman hukuman yang keras dari sekolah, dan dukungan orang tua
47
ini tersusun dari empat konsep utama, yaitu 1) differential association, 2) observasi
pada penguatan dan hukuman terhadap suatu perilaku, 3) role model atau imitasi, dan
4) differential definition. Konsep ini kemudian akan diadopsi spesifik pada perilaku
perundungan.
dipelajari melalui berbagai konteks sosial. Meskipun konteks keluarga dan kelompok
differential association, konteks lain seperti sekolah juga memiliki peran yang sentral
dalam proses ini. Individu yang mengasosiasikan dirinya pada kelompok pertemanan
konsep yang berkaitan langsung dengan teori behavioristik. Apabila mengacu pada
tergantung dari respons yang dihasilkan, yaitu apakah akan mendapatkan penguatan
atau hukuman. Penguatan perilaku menyimpang memiliki titik berat pada penguatan
dari peer yang juga melakukan perilaku tersebut. Hal ini dapat menjelaskan
48
Imitasi atau role model perilaku merujuk pada konsep sosial kognitif Bandura
yang menekankan pada proses meniru perilaku individu yang dijadikan role model.
Imitasi pada perilaku perundungan merupakan salah satu hal utama dalam
yaitu pemaknaan terhadap perilaku yang telah dipelajari melalui proses asosiasi,
imitasi, dan interaksi dengan lingkungan sosial. Definisi atau pemaknaan perilaku
dapat dipengaruhi oleh keyakinan individu terhadap orang lain yang lantas menjadi
determinan dari orientasi dan persepsi individu. Secara singkat, individu akan
memaknai perilaku sebagai hal yang wajar atau tidak berdasarkan kedekatan dan
hubungan mutual dengan individu atau kelompok lain. Dengan kata lain, pelaku
perundungan memaknai perilaku tersebut sebagai hal yang wajar untuk dilakukan.
dukungan dari kelompok yang dipersepsikan sama. Selain menekankan pada relasi
sosial, model ini juga menjelaskan pada proses perubahan kognisi melalui imitasi
perilaku dan observasi pada penguatan dan hukuman pada perilaku. Pengembangan
model lebih jauh dapat dilakukan untuk mengetahui proses imitasi dan observasi
49
Dari lima model yang disajikan, tiga model pertama memberikan konstruksi
dipengaruhi oleh berbagai faktor dan variabel serta memiliki tahapan perkembangan
perundungan dari aspek makro berupa budaya yang berpengaruh terhadap faktor lain
Faktor-faktor ini ada yang pengaruhnya langsung atau melalui variabel lain baik
sifatnya mediasi maupun moderator. Model ketiga, model ekologis terkait faktor
risiko perundungan memberikan gambaran mengenai faktor risiko pada level dari
model keempat, The path of bullying menjelaskan tahapan proses dari penonton
menjadi pelaku perundungan sampai perilaku menarik diri dari perundungan. Model
Dari lima model tersebut menurut penulis, tiga model pertama memberikan
gambaran yang utuh dan besar mengenai perundungan tetapi tidak memberikan
50
Pada model keempat dan kelima gambaran tahapan terlihat dengan jelas.
Model ini memberikan gambaran perubahan dari penonton menjadi pelaku sampai
penarikan diri dari perilaku perundungan. Model ini menarik namun belum memberi
gambaran perubahan dari korban menjadi pelaku, padahal frekuensinya cukup besar
model terbentuknya pelaku perundungan yang berasal dari korban dan dinamika
psikologisnya.
1. Aspek fisik dalam perundungan berkaitan dengan sesuatu yang tampak dan dapat
diobservasi, baik perilaku maupun dampak dari perilaku tersebut. Aspek fisik
atau mengancam.
51
korban agar korban berada di posisi yang tidak menyenangkan. Aspek tersebut
perundungan secara verbal, namun hal ini dilakukan melalui media internet
status sosial ekonomi, sekolah dan komunitas yang diasosiasikan dengan perilaku
perundungan dan perilaku kekerasan, (b) Kondisi fisik dari siswa meliputi gender,
ras dan tingkat kekerasan yang dimiliki oleh sekolah (c) Afeksi siswa meliputi sikap,
harga diri dan temperamen yang diasosiasikan dengan variabel kekerasan di sekolah
(d) Keterlibatan sosial siswa dalam kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler yang
diasosiasikan dengan variabel kekerasan di sekolah (e) Kekerasan dari siswa sekolah
terhadap perundungan yang dilakukan orang tua, pola asuh otoriter, pengalaman
52
teman sebaya, keterlibatan orangtua dengan lingkungan sekolah), dan iklim sekolah
(standar akademik dan gambaran umum tentang sekolah, iklim kerjasama dengan
sekolah, kohesi antara siswa dan guru, persepsi terhadap atmosfer moral, persepsi
terhadap efektifitas kebijakan sekolah, aturan dan program) juga menjadi faktor
penentu yang lain (Lee & Song. 2012; Richard, J. F., Schneider, B. H., & Mallet, P.
2012).
eksternalisasi anak, perilaku internalisasi anak, temperamen anak yang pemarah, dan
temperamen anak yang penakut. Lee (2011), Ryherd (2014) dan Li (2008)
eksternal. Faktor internal meliputi sikap, harga diri, asertivitas, temperamen, dan
gender. Faktor eksternal meliputi keluarga, sekolah, guru, komunitas, teman sebaya,
budaya, dan etnis. Budaya secara langsung tidak berpengaruh, tetapi perpindahan
atau migrasi dari satu budaya ke budaya lain memicu terjadinya perilaku diskriminasi
dan perilaku perundungan (Nesdale & Naito, 2005). Perbedaanya pada jumlah
variabel eksternal dan internal yang diteliti. Jumlah variabel ini terkait dengan fokus
remaja, dukungan sosial negatif, kepribadian extrovert, iklim sekolah yang buruk,
kepercayaan diri yang rendah. Jenis perundungan yang dominan muncul pada remaja
SMA Negeri “X” Pekanbaru adalah perundungan secara fisik (Putri, Nauli,
53
seorang remaja (Umasugi, 2013). Sehingga korban atau remaja yang mengalami
perundungan, baik perundungan secara fisik, verbal dan relasional tetap akan
2013). Perundungan terjadi sebagai akibat dari rendahnya disiplin sekolah dan harga
diri siswa yang rendah. Pelaku perundungan mayoritas merupakan siswa laki-laki
(Apsari, 2013).
Ada dua faktor yang mempengaruhi remaja yang melakukan penindasan (the
bully) yang dimaknai dalam tingkatan yang berbeda. Jika pelaku berorientasi pada
kesenangan dan kepuasan, hal itu berarti berada pada pemaknaan tingkat rendah.
Sedangkan jika remaja penindas berorientasi untuk menjadi penguasa dan sebagai
proses pencarian jati diri, maka pemaknaan dalam memaknai perundungan pada
empati, pengendalian diri yang buruk dan agresif (Aroma & Suminar, 2012)
merupakan hal yang biasanya ada pada diri remaja pelaku perundungan, walaupun
kemampuan fisik dan sosialnya baik. Sejalan dengan hal ini, penelitian Wisudiani
dan Fardana (2013) mengatakan bahwa tipe-tipe kepribadian Big Five, terutama
prososial adalah menolong orang lain yang sedang kesusahan, hal ini berseberangan
dengan perilaku perundungan yang justru bertujuan untuk membuat individu berada
dalam kesusahan. Di sisi lain, remaja yang menjadi korban perundungan cenderung
54
dkk (2015) mengatakan bahwa anak gifted secara inteligensi sering mengalami
perasaan terisolasi dan kesepian dikarenakan hubungan sosial yang tidak sesuai
dikarenakan adanya perbedaan pada anak gifted tersebut (Gordon, 2019). Faktor
Di lain sisi dukungan atau kedekatan teman sebaya dan harga diri memberikan
diri dan rendahnya kelekatan dengan teman sebaya memicu timbulnya perilaku
diri, semakin positif konsep diri maka semakin rendah kecenderungan perundungan,
dan sebaliknya, semakin negatif konsep diri maka akan semakin tinggi
2.2. Pesantren
Secara terminologi pesantren adalah lembaga pendidikan Islam untuk
dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup sehari-
hari. Pesantren merupakan lembaga dan wahana agama sekaligus sebagai komunitas
santri yang “ngaji” ilmu agama islam. Pondok pesantren sebagai lembaga tidak
55
hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian
pertama kali. Pesantren ini biasanya berada di pedesaan, sehingga warna yang
seiring perkembangan zaman maka pesantren juga harus mau beradaptasi dan
yang meliputi banyak hal misalnya tentang kurikulum, pola kepemimpinan yang
Secara garis besar, tipologi pesantren dapat dibedakan menjadi tiga jenis,
walaupun agak sulit untuk membedakan secara ekstrim diantara tipe-tipe tersebut
tipe pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, atau kitab-kitab
klasik yang ditulis oleh para ulama terdahulu. Metode pengajaran yang digunakan
tipe pesantren modern, yang di dalamnya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam dan
seperti pesantren salafiyah. Pola kepemimpinan pesantren tipe ini biasanya kolektif-
sehingga tidak ada pemusatan keputusan pada figur seorang kiai. Sistem yang
56
digunakan adalah sistem klasikal, dan evaluasi yang digunakan telah memiliki
perempuan. Menurut Sudrajat dan Triyoga (2016) pemisahan ini terbagi menjadi dua
yaitu ada yang bersifat penuh dan bersifat sebagai, berikut penjelasannya:
sekolah), non formal (asrama) dan informal (fasilitas olah raga, rekreasi dan
sosialisasi) antara santri pria dan wanita, ditandai dengan pemisahan yang
tegas antara zona, teritorial dan batas kegiatan santri pria dan santri wanita
dilakukan oleh pesantren yang masih menerapkan pola salafi, di mana kitab
di mana kitab kuning tidak lagi digunakan sebagai elemen utama dalam
kurikulum, dan sistem pendidikan modern berupa kelas berjenjang serta ilmu
57
nilai-nilai ajaran Islam dan budaya patriarki, yang terungkap melalui konsep
zona spesifik gender, teritorialitas, dan batas (Sudrajat & Triyoga, 2016).
Menurut Amin Haedari, dkk (2004) sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam
tradisional, pesantren memiliki empat ciri khusus yang terlihat. Mulai dari hanya
mempunyai teknik pengajaran yang unik yang biasa dikenal dengan metode sorogan
1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiai. Kiai memperhatikan
sekali kepada para santrinya dan hal ini sangat dimungkinkan, karena sama-
2. Tunduknya santri kepada kiai. Para santri menganggap bahwa menentang kiai
pesantren. Bahkan tidak sedikit yang hidupnya terlalu sederhana atau terlalu
4. Semangat menolong diri sendiri amat terasa. Para santri mencuci pakaian
58
Pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak bisa lepas dari beberapa unsur
Pesantren menyebutkan ada lima elemen, yaitu pondok, masjid, santri, pengajaran
Istilah pondok berasal dari bahasa arab funduq (yang berarti hotel, penginapan.
Istilah pondok juga diartikan sebagai asrama. Dengan demikian pondok mengandung
arti juga tempat tinggal. Sebuah pesantren pasti memiliki asrama (tempat tinggal
santri dan kiai). Di tempat tersebut selalu terjadi komunikasi antara kiai dan santri
dan kerjasama untuk memenuhi kebutuhannya, hal ini merupakan pembeda dengan
Ada beberapa alasan pokok pentingnya pondok dalam suatu pesantren, yaitu:
pertama, banyaknya santri yang berdatangan dari tempat yang jauh untuk menuntut
tersebut terletak di desa- desa, dimana tidak tersedia perumahan santri yang
berdatangan dari luar daerah. Ketiga, ada hubungan timbal balik antara kiai dan
santri, dimana para santri menganggap kiai sebagai orang tuanya sendiri. Disamping
alasan-alasan di atas, kedudukan pondok sebagai unsur pokok pesantren sangat besar
sekali manfaatnya. Dengan adanya pondok, maka suasana belajar santri, baik yang
59
sepanjang hari dan malam. Atas dasar demikian waktu-waktu yang digunakan santri
b. Masjid
Masjid secara harfiah adalah tempat sujud, karena tempat ini setidaknya
seorang muslim lima kali sehari semalam melaksanakan sholat. Fungsi masjid tidak
hanya sebagai pusat ibadah (sholat) tapi juga untuk perkembangan kebudayaan lama
sebagai tempat pendidikan Islam, telah berlangsung sejak masa Rasullah, dilanjutkan
oleh Khulafaurrasidin, dinasti Bani Umayah, Fatimiah, dan dinasti lainnya. Tradisi
menjadikan masjid sebagai tempat pendidikan Islam, tetap di pegang oleh kiai
dengan bertambahnya jumlah santri dan tingkat pelajaran, dibangun tempat atau
tempat belajar mengajar, hingga sekarang kiai sering membaca kitab-kitab klasik
dengan metode wetonan dan sorogan. Pada sebagian pesantren menggunakan masjid
sebagai tempat I’tikaf, dan melaksanakan latihan-latihan, atau suluk dan dzikir,
c. Santri
Santri adalah siswa yang belajar di pesantren, santri dapat digolongkan menjadi
dua kelompok, yaitu: Pertama. Santri mukim, yaitu santri yang berdatangan dari
tempat yang jauh yang tidak memungkin dia untuk pulang ke rumahnya, maka dia
60
kewajiban tertentu; Kedua. Santri kalong, yaitu para siswa yang datang dari daerah-
daerah sekitar pondok yang memungkin dia pulang kerumahnya masing- masing.
Santri kalong ini mengikuti pelajaran dengan jalan pulang pergi antara rumah dan
pesantren.
d. Kiai
Kiai adalah tokoh sentral dalam sebuah pesantren, maju mundur pesantren
ditentukan oleh wibawa dan kharismatik kiai. Bagi pesantren kiai adalah unsur yang
pesantren tergantung dari kedalaman dan keahlian ilmu serta kemampuannya dalam
mengelola pesantren. Dalam konteks ini kepribadian kiai sangat menentukan sebab
terhadap keberadaan pesantren karena dia sebagai tokoh sentral dalam pesantren.
Gelar kiai diberikan oleh masyarakat yang memiliki pengetahuan mendalam tentang
agama Islam dan memiliki serta memimpin pondok pesantren serta mengajarkan
sebutan kiai diberikan kepada mereka yang memiliki pengetahuan mendalam tentang
agama Islam, dan tokoh masyarakat walaupun tidak memiliki pesantren, pemimpin
lain adalah bahwa dipondok pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang
oleh zaman dulu (kitab kuning), mengenai berbagai macam ilmu pengatahuan agama
Islam dan bahasa Arab. Pelajaran diberikan mulai dari yang sederhana, kemudian
61
dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Dan tingkatan
suatu pesantren dan pengajarannya biasanya biasaanya di ketahui dari jenis kitab-
bukan saja merupakan kriteria diterima atau tidaknya seorang sebagai ulama, atau
kiai pada zaman dulu, tapi juga pada saat sekarang. Salah satu persyaratan seorang
dapat diterima menjadi seorang kiai dari kemampuannya dalam membaca kitab-kitab
kelompok: yaitu, nahwu/sharaf; fiqih; ushul fiqih; hadits; tafsir; tauhid; tasauf dan
pendidikan lain (formal) dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itu,
upaya organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara
nilai- nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi yang berarti
62
sepenuhnya berada pada seorang kiai, dan kiai sebagai satu-satunya sumber
pesantrennya.
keturunan, wewenang dan kebijakan dipegang oleh kiai karismatik dan lain
sebagainya. Dari segi kelembagaan sudah mulai ada yang mengelola atau
porsi yang sama antara pendidikan agama dan pendidikan umum, dan
penguasaan bahasa Inggris dan bahasa Arab. Sejak pertengahan tahun 1970-an
prinsip manajemen.
63
pergerakan benda dengan adanya tenaga atau gaya yang menggerakkan dan efek dari
pergerakan tersebut (Roman, 2005). Dengan makna yang sama, istilah dinamika
dinamika terletak pada pergerakan, penyebab pergerakan, dan hal yang berdampak
dari pergerakan itu sendiri. Terminologi dinamika juga diaplikasikan di bidang ilmu
lain, terutama di psikologi yang dalam hal ini merupakan dinamika psikologis.
perasaan (afeksi), dan perilaku yang berlangsung dalam rentang waktu tertentu
Wright & Hopwood (2016). Dinamika psikologis dapat terjadi di dalam suatu situasi
atau lintas konteks situasi yang berbeda, maupun di dalam diri individu atau lintas
serangkaian langkah atau mekanisme yang terjadi secara teratur (tidak harus
atau dinamika psikologis yang terjadi itu merupakan cara untuk menjelaskan
tentang pengalaman dan perilaku mental individu sebagai fungsi interaksi antara
64
motivasi, afektif, dan kognitif dengan berbagai tingkat intensitas. Merujuk pada ilmu
dinamika, maka pergerakan motivasi, afektif, dan kognitif tersebut yang saling
Walgito (dalam Isfada, 2018) menjelaskan ada beberapa komponen pada diri
kejadian yang sedang dialami. Komponen ini diperoleh dari proses pembelajaran
Komponen ini berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap
kognitif, komponen afektif terdiri dari enam emosi dasar manusia, yaitu senang,
sedih, takut, jijik, marah, dan terkejut (Eckman dalam Burton, 2020). Seiring
65
juga dikenal dengan istilah action yang mengindikasikan bahwa komponen ini
komponen sebelumnya.
Pada proses psikologis manusia selalu terdapat tiga aspek di atas. Ketiga aspek
dan konasi itu bisa berlangsung lancar dan harmonis. Namun kadang-kadang bisa
disertai konflik seperti konflik antara pikiran (aspek kognitif), perasaan (aspek emosi,
afeksi), kemauan dan sikap (aspek volutif dan konatif) yang saling berbenturan atau
perubahan kondisi kognisi dan afeksi seseorang yang mengikuti setiap fase
perubahan yang disebabkan adanya faktor eksternal dan internal dalam rentang
dinamika psikologis untuk menjelaskan fenomena perilaku individu dan sosial untuk
mengembangkan teori secara gradual. Oleh karena itu, dinamika psikologis berfungsi
BAB III
PERSPEKTIF TEORI
Santri merupakan nama lain dari siswa atau murid. Istilah santri umumnya
dipakai untuk merujuk siswa yang belajar di dalam lembaga pendidikan di pondok
pesantren. Fungsi dan peran santri sebagai murid selama belajar di suatu pesantren
tidak terlepas dari berbagai dinamika proses pembelajaran yang terjadi di pesantren
tempat santri belajar ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum. Proses belajar
itu mengindikasikan adanya interaksi antara santri dengan dirinya sendiri maupun
adanya proses sosial, khususnya berkaitan dengan cara-cara berhubungan yang bisa
diamati pada santri pada waktu mereka dalam kelompok sosial saling bertemu lalu
menentukan sistem dan hubungan sosial. Jadi, santri sebagai murid mengalami
proses interaksi yang intensif dengan lingkungan sosialnya yang saling membentuk
khususnya perilaku agresif. Lingkungan tempat individu tinggal memiliki andil yang
mempengaruhi dan membentuk perilaku individu. Perilaku yang terbentuk itu secara
terhambat untuk menyesuaikan diri secara sehat (maladaptif). Beberapa studi tentang
dilakukan oleh penelitian sebelumnya. Hasil penelaahan beberapa studi dan riset
67
beberapa studi riset sebelumnya sebagai perspektif teori riset ini. Perspektif teori
menginformasikan pertanyaan yang kita ajukan dan jenis jawaban yang kita dapatkan
sebagai hasilnya. Dalam pengertian ini, perspektif teori dapat dipahami sebagai lensa
yang melaluinya kita melihat, berfungsi untuk memfokuskan atau mengubah apa
yang kita lihat. Perspektif ini juga dapat dianggap sebagai bingkai, yang berfungsi
Perspektif teoretis penting untuk penelitian karena itu berfungsi untuk mengatur
pikiran dan ide kita dan membuatnya jelas bagi orang lain (Crossman & Roach,
2019).
faktor individu dan faktor lingkungan. Untuk menelaah konsep perundungan penulis
68
sebelumnya, salah satu studi penting dalam memahami dinamika siswa menjadi
pelaku perundungan dikenal dengan nama The Path of Bullying Proses untuk menjadi
perundungan dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu rejecting phase, the
performing phase, the perpetuating phase dan withdrawing phase (Lam & Liu,
2007).
perundungan dijelaskan secara sekuensial dan bertahap (stage theory) Model ini
diri dari perilaku perundungan. Model ini menarik, namun belum memberikan
gambaran perubahan dari korban menjadi pelaku, padahal frekuensinya cukup besar
sebagaimana dijelaskan pada bagian pendahuluan. Oleh karena itu, penulis melihat
adanya kebutuhan menemukan beberapa data lain untuk melengkapi dasar teoretis
yang lebih komprehensif dan fundamental. Kebutuhan riset tersebut secara spesifik
memenuhi kebutuhan riset dalam menemukan data lain yang komprehensif dan
Belajar Sosial agar tahapan dan dinamika psikologis korban perundungan menjadi
69
Teori belajar sosial Bandura (1977, 1986) adalah versi terbaru dari teori
pembelajaran sosial yang dikembangkan oleh Miller dan Dollard (1941). Teori
instruksi langsung tapi juga dengan mengamati perilaku orang lain dan akibatnya
(Bandura, 1977). Untuk terjadi proses belajar, individu harus (a) memperhatikan
perilaku yang diamati, (b) mengkodekan gambar dari perilaku yang diamati, (c)
perilaku tertentu; secara khusus, individu cenderung melakukan perilaku yang telah
Demikian juga, jika konsekuensi dari perilaku tertentu lebih menghukum dan kurang
memperkuat, individu akan termotivasi untuk menahan diri untuk tidak terlibat
Teori kognitif sosial bergantung pada prinsip dasar yang sama dengan teori
pembelajaran sosial (Bandura, 1986). Namun, teori kognitif sosial menekankan peran
kognisi dalam menentukan perilaku individu (Bandura, 1986). Secara khusus, teori
kognisi dan perasaan/afeksi), dan perilaku. Interaksi triadik ini (yaitu, lingkungan
sosial, rangsangan internal, dan perilaku) disebut sebagai determinisme timbal balik
atau dikenal dengan istilah Triadic Reciprocal Determinism (Bussey & Bandura,
1999; Orpinas & Horne, 2006). Dengan demikian, determinisme timbal balik triadik
70
lingkungan sosial mereka dan konsekuensi yang mengikuti perilaku tersebut (Bussey
& Bandura, 1999). Jadi, perilaku individu dalam perspektif determinisme timbal
komponen afeksi dan biologis individu dalam masa kehidupannya. Untuk memahami
flowchart atau alur Triadic Reciprocal Determinism, dapat dilihat pada gambar
3.2. Kajian Peneliti Berdasarkan Perspektif Teori Belajar dan Stage Theory
dalam Memahami Dinamika Korban Perundungan Menjadi Pelaku
Perundungan
Dinamika korban perundungan menjadi pelaku perundungan berdasarkan
(faktor personal) santri, guru, orang tua, dan santri lainnya (faktor lingkungan), dan
71
perilaku (faktor perilaku) yang muncul dalam proses interaksi dari faktor-faktor
penguatan (reinforcement) positif dan negatif, kognisi, afeksi, dan biologis individu
santri sebagai personal siswa yang belajar, maupun perilaku yang terbentuk dari
pengalaman masa lalu dan pada masa belajar di pesantren, saling mempengaruhi dan
membentuk tahapan dinamis perilaku yang adaptif dan maladaptif santri selama
berada di pesantren.
adaptif dan maladaptif pada santri. Interaksi santri dalam pembelajaran menunjukkan
adanya proses sosial yang saling bertemu lalu menentukan sistem dan hubungan
sosial. Jadi, santri mengalami proses interaksi yang intensif dengan lingkungan
sosialnya yang saling membentuk sistem dan hubungan sosial dalam masa
mekanisme hubungan sosial pada santri sebagai individu, baik pembentukan perilaku
normal yang adaptif, maupun abnormalitas yang maladaptif apabila terjadi proses
belajar sosial yang salah dan berdampak kepada kepribadian santri. Beberapa aspek
reinforcement (penguatan) positif dan negatif dari domain lingkungan (sosial) dan
domain internal (personal) santri sebagai remaja dalam proses adaptasi perilakunya
72
membangun konstruk teori baru tentang tahapan fenomena perilaku dikenal dengan
istilah Stage Theory atau Stage Theories (Tahapan Teoretis). Model proses dalam
Tahapan Teoretis atau stage theory telah diterapkan secara luas di bidang psikologi
dan psikologi sosial (Weinstein, Rothman, dkk. 1998; Velicer dan Prochaska 2008).
Secara umum, definisi Stage theory menurut kamus APA bermakna bahwa setiap
langkah dalam proses yang terjadi dari waktu ke waktu, misalnya teori
perkembangan yang melibatkan fase terpisah yang ditandai oleh perubahan fungsi
dan komponen pada setiap fase. Contoh stage theory termasuk di dalamnya teori
Kognitif Jean Piaget. Jadi, suatu riset yang berupaya membangun konstruk perspektif
teori baru bisa menggunakan metode stage theory sebagai pendekatan ilmiah agar
(Bandura, 1978; Bandura, Ross, & Ross, 1961) dan dapat diterapkan pada studi
73
remaja. Misalnya, remaja yang terpapar kekerasan dalam rumah tangga di rumah
lain daripada mereka yang tidak terpapar kekerasan dalam rumah tangga (Baldry,
cenderung melakukan tindakan agresi daripada remaja yang tidak bergaul dengan
rekannya yang agresif (Mouttapa, Valente, Gallaher, Rohrbach, & Unger, 2004).
Bukti menunjukkan bahwa remaja yang tinggal di lingkungan sekitar yang dinilai
kurang aman (yaitu ditandai dengan perilaku yang lebih keras) lebih mungkin
daripada mereka yang tinggal di lingkungan yang lebih aman untuk terlibat dalam
perundungan, teori sosial kognitif menegaskan bahwa kaitan ini terjadi sebagai hasil
telah menemukan bahwa faktor pengamatan adalah hubungan yang paling kuat
dan agresi akan meniru perilaku tersebut. Di sinilah peran penting kognisi dan
penguatan ikut bermain. Dalam hal kognisi, bukti menunjukkan bahwa remaja
74
perilaku ini tidak dapat diterima. Penelitian menunjukkan bahwa kognisi seputar
hubungan dua arah ini. Studi menunjukkan bahwa siswa yang memiliki sikap
perundungan (Boulton, Trueman, & Flemington, 2002; Poteat, Kimmel, & Wilchins,
2010; Salmivalli & Voeten, 2004; Williams & Guerra, 2007, Jan & Husain, 2015).
menjelaskan (Boulton et al., 2002) dan memprediksi (Poteat et al., 2010; Salmivalli
& Voeten, 2004) perilaku perundungan. Oleh karena itu, walaupun banyak anak-
hanya mereka yang memegang sikap proaktif yang cenderung melakukan tindakan
kognitif, afektif, dan perilaku dan mencerminkan keadaan kesiapan mental yang
Oleh karena itu, sikap mendukung perundungan tidak selalu mengarah pada
perilaku perundungan. Selain itu faktor afeksi dan kognisi dalam perspektif Triadic
positif dan negatif. Menurut teori kognitif sosial, anak-anak dan remaja cenderung
menghindari perilaku yang mereka percaya akan dihukum dan, sebagai gantinya,
75
terlibat dalam perilaku yang mereka percaya akan dihargai (Bandura, 1977). Jadi,
menurut teori, remaja yang melakukan perundungan percaya bahwa mereka akan
diberi imbalan dengan cara tertentu (misalnya, status sosial meningkat, akses
terhadap sumber daya). Proses kognitif pelaku perundungan tidak terlepas dari moral
disengagement sebagai salah satu kunci dari teori belajar sosial. Knoll, dkk (2015)
ulang sebuah perilaku agar tidak dinilai immoral; 2) mengurangi rasa kepemilikan;
3) gagal melihat konsekuensi dari tindakan yang dilakukan atau tindakan yang justru
tidak dilakukan; dan 4) mengubah cara pandang korban pada perilaku tertentu. Hyatt
(2017) juga menjelaskan tahapan moral disengagement dengan bentuk yang berbeda.
terikat pada perilaku yang tidak etis, baik kecil maupun besar, tetapi gagal meyakini
bahwa perilaku tersebut salah dan merugikan orang lain. Empat tahapan tersebut
disengagement.
perundungan mereka. Konsisten dengan teori kognitif sosial, anggota keluarga, orang
dewasa (Bandura, 1978), dan teman sebaya (Craig & Pepler, 1995; Mouttapa et al.,
2004; O'Connell, Pepler, & Craig, 1999) dapat memperkuat perilaku perundungan
individu Misalnya melalui pujian atau penerimaan). Faktanya, satu studi menemukan
bahwa 81% siswa yang mengalami perundungan di taman bermain diperkuat oleh
76
Oleh karena itu, individu mengalami fase penting dalam melewati kehidupan
masa remaja, terutama pengaruh anggota keluarga dan teman sebaya. Khususnya
dalam keluarga, resiliensi keluarga merupakan salah satu hal yang dapat membantu
anggota keluarga untuk menghadapi masa-masa sulit (Suryanto & Handoyo, 2017),
terutama pada remaja. Faktor lingkungan atau eksternal dari keluarga dan teman
diterima atau tidak dan akan dihargai atau dihukum (Swearer & Hymel, 2015).
Berdasarkan bukti riset sebelumnya, anak-anak dan remaja yang paling berisiko
terlibat dalam perundungan adalah mereka yang: (a) terpapar dengan perundungan
dan perilaku agresif lainnya, (b) mendukung sikap perundungan, dan (c) berinteraksi
(Rigby, 2002; Swearer & Hymel, 2015). Oleh karena itu, keterpaparan terhadap
yang diungkapkan anggota keluarga, teman sebaya, dan individu lainnya saling
terkait. Misalnya, orang tua yang memaafkan perilaku agresif dan pemaksaan dapat
mendorong anak-anak mereka untuk merasa dan berpikir secara positif terhadap
perundungan.
melihat dinamika psikologis berupa proses perubahan seseorang dari korban hingga
77
dengan lebih mendalam mengenai peran kognisi dan afeksi dalam seseorang
dijadikan sebagai proposisi atau usulan peneliti dalam perspektif teori untuk
menjawab pertanyaan penelitian dalam riset ini tentang dinamika psikologis pada
berinteraksi dan mempengaruhi dengan faktor lingkungan dan faktor perilaku pada
menurut peneliti mampu melihat secara mendalam dinamika yang terjadi dan tidak
bersifat pragmatis untuk melihat dari berbagai perspektif karena tujuan pengetahuan
BAB IV
METODE PENELITIAN
interaksi, atau proses dengan berlandaskan data yang diperoleh dari kancah
pendekatan systematic grounded (Strauss & Corbin, 1998) dimana peneliti masih
dimungkinkan menggunakan teori sebagai acuan dan dalam pengambilan data. Teori
memasuki suatu topik penelitian namun tidak boleh membatasi eksplorasi untuk
menghasilkan temuan baru. Desain sistematik ini menekankan penggunaan tiga fase
analisis data yang dimulai dengan pengkodean terbuka (open coding), pengkodean
poros (axial coding), dan pengkodean selektif (selective coding) dan pengembangan
suatu paradigma logis atau gambaran visual dari teori yang diturunkan.
psikologis yang meliputi kondisi emosi, motif, kognisi, dan pengalaman yang
perundungan.
79
kelas 2 pesantren aliyah). Adapun narasumber sekunder adalah santri yang pernah
4.3. Partisipan
Dalam studi ini peneliti menggunakan partisipan yakni santri pesantren di
wilayah Pekanbaru. Partisipan dalam penelitian ini adalah korban perundungan yang
Kriteria khusus untuk partisipan primer dalam penelitian adalah santri yang
minimal telah memasuki tahun kedua belajar di pesantren pada tingkat aliyah dan
80
lebih dari sekali melakukan perundungan. Hal ini bertujuan agar setting pesantren
dapat dilihat pengaruhnya pada perubahan yang terjadi. Kriteria pesantren yang
mengkonstruksi teori yang ingin dibuat. Ada tiga prosedur yang akan dilakukan pada
secara komprehensif.
perundungan di sekolah yang dikembangkan oleh Nugroho & Fadhlia (2011) untuk
81
mendapatkan data yang baik diperlukan instrumen penelitian yang tepat dan akurat
untuk mengungkap data yang diharapkan. Instrumen dalam penelitian kualitatif pada
prinsipnya adalah peneliti sendiri. Peneliti adalah komponen utama yang menentukan
kualitas data yang dihasilkan. Namun untuk memenuhi fungsinya dalam prosedur
penggalian data, peneliti akan membuat panduan penggalian data. Panduan yang
dirancang dan digunakan adalah alat bantu yang tidak terpisahkan dari penulis
penelitian ini meskipun teknik lain seperti observasi dan dokumen juga diperlukan
sebagai pelengkap atau pembanding. Dua hal penting yang perlu diperhatikan adalah:
1) peneliti harus memulai dengan pertanyaan penelitian yang sesuai dengan masalah
proses yang dialami, fenomena inti (the core phenomenon), apa yang mempengaruhi
82
dan kategori dengan kategori sebagai inti analisis data. Menurut Glaser teknik ini
gambar (Creswell, 2015). Menurut Strauss & Corbin (1998) dalam metode
berikut, yaitu:
tercermin dalam data. Prosedur analisis dasar untuk proses pengkodean terbagi
menjadi dua, yaitu pertama, berhubungan dengan membuat perbandingan, yang lain
83
oleh peneliti itu sendiri. Nama yang dipilih sebaiknya nama yang paling
84
persamaan dan perbedaan dalam tata hubungan, di antara kategori atau subkategori,
elemen seperti keadaan kalimat, interaksi antara subjek, strategi, taktik dan
dengan sebuah kategori dalam suatu hubungan yang menunjukkan kondisi kausal,
kompleks.
yaitu mengembangkan setiap kategori (fenomena) dalam istilah kondisi kasual yang
menyebabkan munculnya lokasi dimensional khusus dari fenomena ini dalam istilah
berporos, peneliti terus mencari properti tambahan dari setiap kategori, dan mencatat
85
sehingga semua kategori terkait dengan kategori inti, sebagai dasar grounded theory.
Kategori inti, yaitu kategori yang dikembangkan dan mencoba variasi terbanyak dari
dapat dipercaya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjaga dan
dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti.
86
b. Keteralihan (transferability)
c. Kebergantungan (dependability)
bila ditiadakan dua atau beberapa kali pengulangan dalam kondisi yang sama dan
hasilnya secara esensial sama. Sedangkan dalam penelitian kualitatif sangat sulit
mencari kondisi yang benar-benar sama. Selain itu karena faktor manusia sebagai
instrumen, faktor kelelahan dan kejenuhan akan berpengaruh (Strauss & Corbin,
2003).
d. Kepastian (confirmability)
triangulasi. Menurut Stake (1995) triangulasi ini dibagi kedalam 4 macam, yaitu:
berbagai sumber data yang berbeda. Triangulasi ini digunakan untuk melihat
apakah fenomena atau kasus yang diteliti akan tetap sama di lain waktu, di lain
87
teori yang relevan untuk menghindari bias individual peneliti atas temuan atau
Dalam hal ini penulis akan memilih menggunakan triangulasi sumber data
dan triangulasi metodologi. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan feasibility untuk
penelitian menjadi bagian yang esensial dalam upaya menemukan kebenaran. Etika
menyimpan data, menganalisis data dan melaporkan secara bertanggung jawab dan
bermoral (Brinkman & Kvale ,2008). Penelitian tentang dinamika psikologis pada
88
Berdasarkan pedoman Etis penelitian pada APA (2002) dan Kode Etik HIMPSI
pada individu yang karena keterbatasan yang ada dapat mempengaruhi otonomi
informed consent secara sukarela yang diperoleh dari calon peserta. Sebelum
terlibat.
b. Menjaga martabat individu sehingga tidak boleh terkena bahaya atau risiko yang
tidak perlu, dan manfaat apa pun harus dimaksimalkan. Prinsip kebaikan milik
partisipan serta memiliki manfaat dan meminimalkan potensi bahaya yang terkait
c. Setiap individu harus mendapatkan prosedur yang adil dan setara, menyadari dan
89
termasuk kelompok ras dan etnis minoritas tertentu, atau orang-orang yang
terbatas pada lembaga) tidak dipilih secara sistematis hanya karena kemudahan
karena alasan yang secara langsung terkait dengan masalah yang sedang
dipelajari.
BAB V
PELAKSANAAN PENELITIAN
penyesuaian sesuai dengan kebutuhan sehingga langkah yang ditempuh antara lain
keterpercayaan data.
Peneliti memulai studi awal topik mengenai perundungan di pesantren ini sejak
tahun 2016 bertepatan saat dengan menempuh studi doktoral semester I, meskipun
tesis S2 tahun 2009. Penelitian awal yang peneliti lakukan adalah melihat gambaran
deskriptif perilaku perundungan di pesantren yang telah diterbitkan pada tahun 2018.
Dari penelitian itu terungkap bahwa sekitar 59% santri di pesantren mengalami
Pilot Study ini dilakukan di salah satu Provinsi di Pulau Sumatera yaitu
Provinsi Riau. Provinsi Riau dengan ibukota Pekanbaru yang terletak membentang
dari lereng Bukit Barisan hingga Selat Malaka dengan luas wilayah ± 8.915.016 Ha.
Provinsi Riau memiliki 10 kabupaten dan 2 kota antara lain, Kab. Kampar, Kab. Siak,
88
Kab. Bengkalis, Kab. Pelalawan, Kab. Indragiri Hulu, Kab. Indragiri Hilir, Kab.
Rokan Hulu, Kab. Rokan Hilir, Kab. Kuantan Singingi, Kab. Kepulauan Meranti,
Kota Pekanbaru dan Kota Dumai. Provinsi Riau dengan beberapa daerah yang
terbagi menjadi kabupaten/kota ini memiliki jumlah sekolah yang tidak sedikit.
berjumlah 4.181, SMP berjumlah 1.809, SMA berjumlah 762 dan SMK berjumlah
299. Total keseluruhan sekolah yang ada di Provinsi Riau 7.051. Total sekolah
tersebut belum termasuk dengan banyaknya jumlah pesantren yang ada di Provinsi
Menurut data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Riau, jumlah pesantren yang
terdapat di Provinsi Riau sebanyak 183 dengan jumlah total santri laki-laki sebanyak
16.125 dan santri perempuan sebanyak 16.283. Penelitian ini tepatnya akan
Kab. Indragiri Hilir memiliki 31 pesantren, Kab. Rokan Hulu memiliki 14 pesantren,
16 pesantren dan Kota Dumai memiliki 5 pesantren (sumber: BPS; Riau dalam
Angka, 2019).
Pilot study memiliki tujuan untuk menguji coba panduan wawancara kepada
89
cara yang paling sesuai untuk melakukan wawancara. Dalam wawancara penelitian
rangka memperdalam pemahaman tidak terbatas pada waktu pilot study saja, namun
pada kesempatan penggalian data pada waktu yang lain. Panduan wawancara tidak
yang saling berkaitan dan sirkuler yaitu menyusun panduan wawancara dan proses
1. Studi Literatur
yang dikumpulkan dan dibaca oleh penulis berupa: (1) buku-buku teks (cetak dan e-
book); (2) artikel dari jurnal, dan surat kabar online; (3) tesis dan disertasi.
90
mengenai data apa saja yang akan diungkap dari instrumen yang disiapkan.
dalam memberikan reviu setiap instrumen penelitian yang diselesaikan oleh peneliti.
penelitian.
kompleks karena prosesnya terdiri dari berbagai proses biologis dan psikologis.
yang tidak dapat teridentifikasi melalui wawancara. Dalam hal ini penulis mencatat
hasil observasi secara naratif mengenai ekspresi wajah, intonasi suara, gerak tubuh,
Selain observasi, pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
wawancara ini memainkan peran penting dalam menarik informasi keluar dari
91
menggunakan teori sebagai pintu masuk memahami mengkonstruksi teori baru maka
penulis menggunakan wawancara semi terstruktur agar fokus kepada hal yang akan
diungkap dan dapat dieksplorasi dengan pertanyaan probing. Berikut adalah panduan
92
Partisipan pilot study ini memiliki karakteristik: (1) santri di pesantren; (2)
kelas 2 aliyah; (3) pernah mengalami sebagai korban perundungan; (4) pelaku
perundungan, dan (5) bersedia terlibat dalam penelitian. Berikut adalah data dari
1 AA Pekanbaru 16 Tahun 2
2 RZ Kampar 16 Tahun 2
Berdasarkan tabel di atas, pilot study ini melibatkan partisipan bernama AL dan
perundungan.
Instrumen utama dari penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Menurut
Putra (2013) hal ini membawa konsekuensi jika penelitian kualitatif rentan terjadi
bias dan kesalahan kesalahan. Untuk mengatasi hal itu, di dalam penelitian kualitatif
93
lainnya. Berangkat dari paparan tersebut, maka evaluasi instrumen pada pilot study
Instrumen penelitian yang digunakan pada pilot study ini antara lain: observasi,
yang sebagian besar mampu menjawab pertanyaan penelitian. Karena sifatnya yang
memperjelas jawaban yang masih dapat didalami lagi. Dari panduan wawancara juga
terdapat pertanyaan yang memiliki potensi tumpang tindih karena mengungkap hal
yang sama sehingga ke depan perlu dipilih salah satunya saja atau tetap menanyakan
pelibatan partisipan dalam penggalian data. Selain penulis menggali data dari pelaku
perundungan, penulis perlu menggali data atau informasi dari orang-orang terdekat
(significant others) dari partisipan. Pelibatan sumber data yang lain selain partisipan
ini diharapkan dapat memperkaya dan memperdalam temuan sebelumnya. Dalam hal
usianya tidak terpaut jauh dengan partisipan agar diperoleh data yang lebih otentik.
94
wawancara yang diperoleh antara pewawancara yang memiliki rentang usia yang
jauh dan dekat ternyata memiliki pengaruh terhadap produksi jawaban yang
diberikan partisipan. Partisipan akan lebih terbuka pada pewawancara yang memiliki
Melihat dari kompleksitas data jika partisipan dalam jumlah yang cukup besar
bantu yakni program NVIVO 12 Plus agar memudahkan dalam analisis dan
organisasi data. Hal ini bertujuan untuk kerapian dan kemudahan dalam organisasi
data yang bersifat kompleks dan menghindari kesalahan penghilangan data. Berdasar
Data diperoleh melalui pilot study dari hasil observasi dan wawancara dengan
dua santri kelas 2 aliyah yang berasal dari Provinsi Riau. Selanjutnya, peneliti
melibatkan sembilan santri sebagai partisipan utama dan empat partisipan pendukung
(dua orang alumni, satu orang ustadz, satu orang psikolog) agar data yang didapatkan
lebih dalam dan kaya. Jadwal pengumpulan data seperti dalam tabel 6.
95
sebagai berikut:
1. AA (Partisipan 1)
korban perundungan:
“Dulu awal masuk pondok, jadi saya tu abang-abang kelas tu sering ganggu
saya kalau sendiri, nanti abang-abang kelas tu kan datang tiba-tiba ke kamar
kami nanti introgasi kan entah apa yang diinterogasi bahkan nanti sampai pukul
memukul kan disitu padahal kami sendiri ngga tau masalah tu apa kan. Waktu
di asrama tu seringlah gitu abang-abang kelas, kadang yang satu angkatan
sering melakukan itu tu.” <Files\\subjek Aldi> - § 4 references coded [0,84%
Coverage], Reference 1 - 0,41% Coverage
96
2. RZ (Partisipan 2)
saat tidur.
“Pernah, pas kalau di pondok tu pertama kali masuk perkenalan sama kawan2
tu malam keduanya saya langsung kena bully, Malam saya lagi tidur, tiba2 ada
yang kasih lakban di muka.” <Files\\subjek reza> - § 2 references coded
[0,56% Coverage], Reference 1 - 0,21% Coverage
“Iyaaa, kalau senior bisa apain ke junior, yaa kita jadi senior ya apain juga
juniornya.” <Files\\subjek reza> - § 1 reference coded [0,29% Coverage],
Reference 1 - 0,29% Coverage
“Kalau bullying itu ngga mikir ya, langsung respon,” <Files\\subjek reza> - §
1 reference coded [0,17% Coverage], Reference 1 - 0,17% Coverage
97
3. A (Partisipan 3)
Pesantren. Wawancara dilakukan di dalam kelas Pesantren pada malam hari. Pada
saat wawancara partisipan A terlihat santai dalam setiap menjawab pertanyaan dari
peneliti. Pada awal wawancara, A menyampaikan bahwa pernah dirundung pada saat
“Dibully, dibully yak karena nakal, Suka ngelawan sama senior mu berarti
dibullynya” <Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 2 references coded [0,38%
Coverage], Reference 1 - 0,28% Coverage
“keluar kata-kata apa ya, gak sopan palingan, anti tu gak sopan,”
<Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 2 references coded [0,38% Coverage],
Reference 3 - 0,46% Coverage
4. M (Patisipan 4)
kelas pada malam hari. Pada saat wawancara partisipan menyampaikan bahwa
perundungan dialami sejak awal M masuk pesantren. Hal tersebut sesuai dengan
98
“awal pesantren juga iya pak, sekarangpun masih ada juga pak”
<Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 1 reference coded [0,45% Coverage],
Reference 1 - 0,45% Coverage
berikut ini.
“saya waktu itu pernah pura-pura tidur terus dia ngomong dari belakang kayak
nusuk, kadang pernah juga disindir terus pernah juga saya ngomongnya baik-
baik pak pelan cuman ngomongnya tu nusuk ke hati pak, kaya lembut terus
nusuk, saya juga pernah gara-gara menjalankan amanah dari guru terus saya
kena sama anak kamar pak” <Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 5
references coded [3,59% Coverage], Reference 1 - 2,23% Coverage
Perundungan yang dialami oleh M dilakukan oleh teman satu kamar. Temuan
“Kalau diapain senior enggak pernah sih pak, cuman sama anak kamar gitu
pak, dari dulu sampai sekarang masalahnya tu masalah pertemanan di kamar
gitu pak” <Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 1 reference coded [1,04%
Coverage], Reference 1 - 1,04% Coverage
“kalau di pondok ni kan yang lebih tua tu harus di hargaikan pak, jadi dia tu
kayak minta tolong kaya seakan akan ana tu kaya angkatan mereka gitu pak”
<Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 1 reference coded [2,02% Coverage],
Reference 1 - 2,02% Coverage
“kalau niat dendam tu ada sih pak, cuman saya ini kalau sesama manusia tu
gak boleh dendam karena islam tu gak pernah mengajarkan dendam gitu”
<Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 2 references coded [6,10% Coverage],
Reference 2 - 4,08% Coverage
99
5. W (Partisipan 5)
suruh oleh seniornya. Hal tersebut berdasarkan kutipan hasil wawancara berikut.
“kalau senior sihi kadang, nggak ada sih, Cuma kakak tu mmm sering minta
tolong, ya udah kadang iniii” <Files\\Verbatim Partisipan W (5)> - § 5
references coded [1,89% Coverage], Reference 1 - 0,50% Coverage
perundungan.
6. AF (Partisipan 6)
bahwa AF mengalami perundungan dalam bentuk cacian dan juga tatapan sinis.
“terus saya datang ke kelas itu, terus dari dalam itu mereka udah natap saya
kayak udah gak suka gitu, terus saya kaya ih ngapa ni, masuk terus
menyelesaikan masalah tapi saya rasa saya gak salah gitu saya mengungkapkan
ee, e apa pendapat pendapat teman saya kalau mereka tu kayak gini terus saya
kasih tau ke mereka ternyata mereka gak suka yaudah akhirnya saya, ya
100
Bentuk cacian dan tatapan sinis yang dilakukan oleh seniornya telah sering
“jadi mereka ee bilang kalau kami ribut waktu itu lagi buka puasa sama jadikan
ada bubar ee terus mereka bilang ee kalau kami ribut, jangan diam kami ya,
biarin kami ribut, pokoknya kayak gitu terus pak, terus ya mungkin yang
sebagian yang lain kaya, kok gitu sih orang ni kan lagi ada acara di kelas,
pokoknya jangan ribut-ribut lah, jangan nyanyi-nyanyi, gendang-gendang gitu
pak terus ee jadi kami agak kurang nyaman gitu terus kebetulan di asrama
pengasuhnya lagi bongkar barang untuk dijual pak, yaudah kami bilang yaudah
yuk kita tengok tempat umi aja tengok-tengok barang, ya udah kami balik ke
asrama pak, sedangkan acara belum selesai kami dah balek duluan”
<Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 2 references coded [5,23% Coverage],
Reference 2 - 5,05% Coverage
Selain tatapan sinis partisipan juga tidak disenangi karena suara dan tingkah
“mungkin itu teman sebelah kamar saya kayak suara saya tu dulu, kayak anak
kecil gitu pak, jadi dia ngira suara saya di buat-buat, jadi karena saya kelas 7
tu masih anak-anak tingkahnya masih kayak anak-anak jadi saya suka jalan
kemana-mana, sampai ke kamar dia itu jarang sih sebenarnya main ke kamar
mereka, karena agak takut pak, terus saya berani duduk di situ, terus dia nanya,
mukanya juga kayak, fif suaramu memang kayak gitu katanya, iya suara ana
memang kayak gini, kenapa emangnya, gak ada kirain kayak di buat-buat aja,
kayak anak kecil” <Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 1 reference coded
[4,58% Coverage], Reference 1 - 4,58% Coverage
“ya kalau merundung satu kawan ini karena pengaruh kawan saya, karna
mereka mulai duluan, yaudah saya ikut aja gitu, tapi ada satu orang kadang
saya gak gak mereka ni yang satu lagi ini seringkali bully dia pak, tapi pakai
verbal, saya kayak kadang udahlah tu we, jangan lagi, tapi mereka juga kadang
bully saya juga suatu ketika saya bully dia juga pak” <Files\\Verbatim
Partisipan AF (6)> - § 2 references coded [3,38% Coverage], Reference 2 -
2,90% Coverage
101
Kriteria partisipan tersebut karena partisipan AF pernah menjadi korban dan pelaku
perundungan di asrama.
7. RF (Partisipan 7)
guru BK. Bahwa RF pernah menjadi korban perundungan sejak awal masuk
pesantren.
“ya sering kena bully kita tapi kita bikin kelompok juga agar tidak kena bully
gabung-gabung sama senior dan yang penting tau diri” <Files\\Verbatim
Partisipan RF (7)> - § 1 reference coded [3,05% Coverage], Reference 1 -
3,05% Coverage
8. AL (Partisipan 8)
ruangan kelas dalam pesantren. AL seorang murid pesantren kelas 2 SMA. Dalam
“Pernah pak, waktu mulai masuk saya dan teman-teman sudah biasa
dibully sama senior-senior. Mereka menyuruh ini menyuruh itu”
102
“kalau ke adik tingkat supaya mereka hormat sama senior aja. Biar tidak
banyak cengkunek (bahasa Minang; Tingkah)” <Files\\Verbatim Partisipan AL
(8)> - § 1 reference coded [3,13% Coverage], Reference 1 - 3,13% Coverage
Berdasarkan hasil wawancara dengan partisipan AL, oleh sebab itu peneliti
9. BA (Partisipan 9)
“bulli yang saya alami sejak masuk pesantren ini pak, dulu kami istilahnya
diplonco sama abang-abang, disuruh-suruh kadang-kadang dipukul juga”
<Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 1 reference coded [3,26% Coverage],
Reference 1 - 3,26% Coverage
Peneliti juga mendapatkan informasi, bahwa partisipan yang saat ini telah
menjadi senior juga memperlakukan hal yang sama kepada adik kelasnya.
“senang aja sih pak lihat respon adik-adik tu, jadinya mereka segan sama kita”
<Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 2 references coded [5,30% Coverage],
Reference 2 - 2,04% Coverage
Bentuk perundungan yang dilakukan terhadap partisipan yaitu memberikan
“paling tidak mereka menyapa kalau mau lewat jangan asal lewat aja.. apalagi
kita lagi duduk-duduk di dekat jalan” <Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - §
3 references coded [7,89% Coverage], Reference 3 - 2,59% Coverage
Ba dapat dijadikan partisipan dalam penelitian ini. Hal tersebut disebabkan karena
103
pelaku perundungan.
“secara spesifik ya kasus apa ya, kasus ya apa ya penanganan kasusnya itu kan
holistik ya, artinya Ketika yang datang itu korban, itu secara otomatis
penanganannya itu, kalau di pesantren melibatkan ketua asrama dan
sebagainya, jadi ya beberapa kasus pernah menangani, hanya saja dari sisi
korbannya terlebih dahulu” <Files\\Verbatim Partisipan Psikolog (10)> - § 1
reference coded [1,42% Coverage], Reference 1 - 1,42% Coverage
Partisipan YA juga menyampaikan beberapa pelaku yang dalam melakukan
perundungan di pesantren.
“dan dia membuat geng baru jadi dia membuat geng baru untuk istilahnya biar
dia punya kekuatan gitu ya, nah akhirnya ya dia membuat kelompok baru, ada
yakan tadinya ada dia tukan penyendiri ya penyendiri nah kemudian dia dengan
temannya membuat kelompok gitu loh pak sigit. Jadi dia membuat kelompok
baru mungkin nah jadi dia jadi berani, berani untuk menekan orang nekan
temen temennya gitu ya kaya gitu, polanya itu ya tadi dia membuat kelompok-
kelompok baru lagi” <Files\\Verbatim Partisipan Psikolog (10)> - § 2
references coded [3,45% Coverage], Reference 1 - 2,08% Coverage
oleh pelaku yaitu dengan membentuk suatu kelompok yang membuat para pelaku
“ha iya, betul sebenarnya kalau dari sisi fisik dari sisi kekuatan dia ini tidak,
istilahnya ndak terlalu ngono kan ndak terlalu berani makannya dia
mengumpulkan teman-temannya ini gitu ya membuat geng baru. Akhirnya dia
jadi berani, dan kasus ini ketahuannya memang Ketika dia sudah naik kelas
gitu ya” <Files\\Verbatim Partisipan Psikolog (10)> - § 2 references coded
[3,45% Coverage], Reference 2 - 1,37% Coverage
104
yang sering ditangani baik itu dari sisi korban maupun pelaku. Ini menunjukan YA
seorang mahasiswa di salah satu kampus swasta di Pekanbaru. AM juga alumni dari
“Ketika teman-teman itu, punya keinginan untuk gini, misalnya ada mangga
yang masak gitu dilingkungan depan SD waktu itu, terus mereka melempar
mangga itu tanpa minta izin lagi naah disitu saya keberatan untuk ikut cuman
ya Saya ingin lapor guru karena teman-teman ini mencuri Jadi mereka itu kayak
janganlah kamu lapor gak gini nanti gini gini terus Akhirnya saya dibilang
kamu ini sok sok baik gini-gini kamu itu anak pindahan pasti kamu bermasalah
ya dari SD dulu di sana. Padahal kan saya itu pindah itu karena faktor keluarga
saya pindah pindah, ibu tugas pindah tugas jadi saya itu bukan karena
dikeluarkan dari sekolah karena nakal, enggak Tapi itu tadi karena itu sehingga
mereka itu melabeli saya saya ini dibilang anak nakal terus saya melakukan
kebaikan pasti dibilang aah sok-sokan gini gini gini” <Files\\Verbatim
Partisipan Alumni 1 (11)> - § 1 reference coded [6,38% Coverage], Reference
1 - 6,38% Coverage
“Kebanggaan gimana yaa, eem saya merasa pas Ketika saya membully orang
dan melihat orang itu merasa sedih atau kecut yang dinyalinya ketika di bully,
saya merasa bangga gini, wah saya lebih hebat dari dia, dia ini jadi lemah
Ketika saya bully seperti itu, Ketika saya ejek dia menjadi lemah, jadi tidak
berdaya gitu jadi saya menjadi orang yang kuat terhadap gitu dirinya”
105
pernah mengalami sebagai korban perundungan dan juga setelah itu menjadi seorang
pelaku perundungan.
salah satu kota Pekanbaru. Peneliti sudah mengenal lama dan sering berinteraksi
dengan MAF. Proses wawancara dilakukan dalam masjid tempat dimana partisipan
tinggal.
“Saya ketiduran di kelas belajar ketika malam hari ini saya tidak tahu ini orang
punya masalah apa sama saya tiba-tiba aja Ketika saya tidur dengan pulas nya
dia bakar kaki” <Files\\Verbatim Partisipan Alumni 2 (12)> - § 1 reference
coded [6,16% Coverage], Reference 1 - 6,16% Coverage
“Haa itu biasanya tidak direncanakan datang gitu aja ibaratnya itu jika tidak
ada momennya datang kesempatannya langsung aja kami gitu kan tanpa ada
perencanaan” <Files\\Verbatim Partisipan Alumni 2 (12)> - § 2 references
coded [1,12% Coverage], Reference 2 - 0,94% Coverage
pernah mengalami sebagai korban perundungan dan juga setelah itu menjadi seorang
pelaku perundungan.
106
merupakan salah satu musyrifah yang ada di pesantren. Peneliti tidak memiliki
“Reaksi yang diberikan pembully ialah berupa kekerasan fisik maupun verbal.
Contoh: Seorang santri kelas XII inisial S memerintahkan adik kelasnya yang
duduk di kelas VII untuk membelikan sejumlah makanan di koperasi yang
kebetulan agak sedikit jauh dari asrama. Dikarenakan si anak akan pergi ke
masjid ia menolak perintah sang kakak kelas. Karena merasa tidak dihormati
malam harinya ia memanggil adik kelas VII yang berinisial N itu ke kamarnya.
Sesampainya di kamar ia langsung memukul N dengan bantuan 2 orang teman
lainnya. Adapun bagian yang dipukuli ialah perut, kepala, tangan dan kaki.
107
yang dulunya korban bullying merasa ingin balas dendam dikarenakan ia merasa hina
seorang yang pemalu dan selalu nurut, ketika menjadi kakak kelas ia menjadi seorang
manajemen data NVIVO 12 plus, dengan peneliti sebagai instrumen kunci penelitian
a. Open Coding
Tahapan analisis pertama yang dilakukan oleh peneliti adalah open coding.
Seluruh proses open coding dalam tahapan analisis komparatif konstan dilakukan
Secara umum, proses koding dalam penelitian grounded theory dilakukan secara
induktif dimana peneliti mengidentifikasi ide-ide utama yang muncul atau terdapat
108
dengan membuat nodes atau kontainer-kontainer berisi kata kunci atau kode-kode
informasi yang kemudian disebut sebagai konsep. Penulis kemudian menemukan dan
mengidentifikasi 32 nodes atau konsep sebagai berikut seperti yang tergambar pada
properti dan dimensi dari setiap kategori. Beberapa nodes ternyata memiliki
keselarasan dan bahkan dapat menjadi bagian dari nodes yang lain, oleh karena itu
peneliti mengidentifikasi nodes induk dan nodes anak. Nodes induk selanjutnya
dimensi dari kategori. Tabel 7 berikut menyajikan nodes induk sebagai kategori dan
109
Tabel 7. Identifikasi konsep open coding
No. Nama Konsep Properti Dimensi Contoh pernyataan
(nodes induk)
1. Gambaran Dialami Bentuk fisik “….nanti abang-abang kelas tu kan datang tiba-tiba kekamar kami nanti introgasi kan
perundungan ntah apa yang diintrogasi bahkan nanti sampai pukul memukul…”
Bentuk verbal “paling nanti orang tu saling ngejek sampai sakit hati”
Pemalakan “Itu biasanya abang kelas kalau ngga ada duit nanti lari ke adek kelasnya malam-malam
hari kan datang ke kamar pas dia ngga ada duit minta duit, itu pun rasanya ngga enak
karena secara paksa gitu mentang-mentang abang kelas minta-minta gitu aja”
Fisik “saya ngomong lewat belakang saya pukul kepalanya saya tendang punggungnya”
Dilakukan
2. Kondisi Aspek Afeksi “Karena dulu masih baru jadi saya nurut aja, ngga berani melawan karena kalau kita
psikologis saat psikologis ngelawan kita yang kena kita yang azab, ada teman tu kan ngelawan dah jadi kena pukul
menjadi korban aja, saya pribadi ngga berani ya pasrah aja”
Kognisi “Ya dongkol ya, mau ngelawan tapi orang tu rame, besar lagi ngga bisa ngapa-ngapain”
perilaku
3. Pengambilan Kriteria Adik kelas “Orang yang suka ngelawan senior”
keputusan korban Teman “kalau sesama angkatan tu dia ngga pake mikir lagi, apa aja yang ada yang jelek sama
seagkatan kita tu langsung dibilangnya sama kita dan kita pun ngga mau berkawan sama dia”
Senior “Kalau senior tengok situasi dulu kalau seniornya lagi rame kan susah nanti kena”
Perdebata Pertimbangan “Yaa pengayoman ya dari orang-orang yang lebih dari dewasa, mengayomi dari ustad2
n diri positif dari gitu jangan membully karena membullyi itu orang-orang yang dibully itu bisa bunuh diri
lingkungan gitu, bisa mentalnya itu jatuh”
4. Kondisi Aspek Afeksi “kami lakukan itu puas hati kami setelah abang tu tamat, rasa dendam ngga kesampaian
psikologis saat psikologis tadi junior yang kami apakan”
jadi pelaku Kognisi “Iya ada, jadi kami diskusi sepakat, padahal yang bikin masalah satu tapi yang kena
semua”
Perilaku “Biasanya saya seolah-olah paling hebat ngomong didepan orang tu semua”
110
Pada tahap ini penulis menghubungkan subkategori dengan sebuah kategori dalam
eksplorasi hubungan antar tema, hasil axial coding dapat dirangkum dalam tabel
111
Tahapan terakhir dari analisis komparatif konstan dalam grounded theory yaitu
selective coding. Pada tahap ini, dihasilkan rumusan teori substantif yang dapat
menjelaskan fenomena yang diteliti (Strauss & Corbin, 2013), dalam penelitian ini
perundungan. Langkah yang dilakukan dalam tahap ini yaitu dengan mengaitkan
keabsahannya dengan mengecek kembali pada data, dan menyusun alur cerita yang
kategorisasi yang dihasilkan dan proses selective coding yang menghasilkan suatu
alur gambaran dalam perumusan teori tentang fenomena penelitian. Dari proses
tersebut dihasilkan kategori yang menyusun konsep tertentu dan dicari kaitan
benang merahnya sehingga membentuk sebuah dinamika berupa fase atau tahapan
112
dan dimensi yang diperoleh melalui open coding dengan melakukan konseptualisasi
perumusan kategori ini dapat dilihat pada lampiran (tabel open coding). Adapun
melainkan karena keinginan orang tua. Keinginan ini berwujud paksaan dari orang
tua yang menjadi dasar anak didik memilih masuk pesantren. Anak yang memasuki
terhadap pilihan orang tuanya. Sedangkan respon yang mereka tunjukkan di sekolah
perundungan.
perundungan yang dialami dan yang dilakukan. Perundungan yang dialami maupun
penjaga asrama maupun ustadz. Tempat ini meliputi kamar, kelas, asrama, lorong
adalah disaat malam hari, setelah kegiatan belajar mengajar selesai. Aksi
perundungan cenderung dilakukan oleh beberapa orang. Hal ini memberikan pelaku
113
rasa percaya diri dan merasa lebih kuat saat melakukan perundungan bersama
teman.
fisik dan verbal. Pada jenis perilaku perundungan fisik, perilaku ini tidak semata-
mata berbentuk agresi yang melukai fisik korbannya, melainkan juga terdapat
perkataan yang menyakiti hati baik dari isi perkataan, menyebut kata kotor, maupun
hati, tertekan, marah, takut, sedih hingga menyebabkan mereka memiliki keinginan
untuk balas dendam pada pelaku. Namun karena perbedaan usia, kelas dan persepsi
pelaku dengan keluarganya berisi persepsi pelaku terhadap perilaku atau perlakuan
orang tua yang diterima waktu kecil yang terkait dengan perilaku agresif dan
114
keadaan keluarga seperti kurangnya rasa kasih sayang dan perhatian yang diberikan
orang tua.
atau tidak. Sebagai contoh Santri yang terlibat dalam organisasi kesiswaan yang
kesiswaan tersebut.
Selain kedua hal diatas persepsi terhadap pesantren juga menentukan untuk
yang kurang baik terhadap Pesantren, ustadz dan lingkungan pesantren secara
umum memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk terlibat dalam perilaku
perundungan. Perlakuan kasar yang diterima oleh santri dari Ustadz atau penjaga
cenderung akan menjadi model untuk dicontoh. Hal lain yang membuat
kejadian perundungan yang ada disana. Hal ini dilandasi motif untuk menjaga
nama baik yang secara luas di persepsi masyarakat sebagai lembaga yang memiliki
waktu yang lalu, di ketahui bahwa partisipan sebelumnya pernah mengalami tindak
kekerasan salah satunya dalam bentuk hukuman dari guru di sekolah sebelumnya.
115
Hukuman dari seorang guru kepada murid sudah menjadi hal yang sangat wajar,
dan selalu kita temui di berbagai sekolah. Karena di setiap sekolah terdapat
peraturan yang wajib dipatuhi, maka jika ada siswa yang melanggar aturan tersebut
Tidak hanya di sekolah, anak juga sering mendapat hukuman dari orang tua
di rumah. Kekerasan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak sudah menjadi
hal yang umum di masyarakat luas. Kekerasan di lingkungan rumah biasanya terjadi
menciptakan keadaan atau suasana rumah yang kurang nyaman yang menyebabkan
anak tidak mau mendengarkan perkataan orang tua. Selain dari orang tua para
alami. Pengalaman seperti ini bisa menimbulkan rasa trauma terhadap anak dan
bahkan juga bisa menimbulkan rasa penasaran terhadap anak tersebut. Hal ini bisa
perundungan datang dari sikap atau perilaku guru yang kurang sesuai. Hal ini terjadi
karena pengetahuan dan pengalaman guru yang kurang dalam memahami perilaku
menganggap perilaku tersebut sebagai sesuatu yang biasa dan cara bermain santri.
116
kurangnya pengawasan pada jam-jam istirahat serta ketika di asrama juga menjadi
celah bagi santri untuk melakukan perundungan. Berikutnya adalah guru banyak
Lima kategori dari proses open coding menjadi acuan dalam melakukan
analisis data pada tahapan selanjutnya, yaitu pada tahapan axial coding dan
selective coding. Dalam proses axial coding dapat diidentifikasikan proses saling
berhubungan antara lima kategori untuk melihat proses (Strauss & Corbin, 1998)
tahapan selective coding setiap kategori akan dikaitkan dengan sistematis untuk
membentuk skema teori (Strauss & Corbin, 1998) yang menjelaskan dinamika
Berdasarkan hasil dari analisis data, peneliti mengkonstruksi enam fase dalam
dinamika perubahan dari korban menjadi pelaku perundungan, yaitu fase menjadi
korban perundungan, fase tersakiti, fase mengalami frustasi, fase adaptasi dan
menunggu menjadi pelaku perundungan, fase mencoba, dan fase menjadi pelaku
117
118
yang dialami baik fisik maupun verbal. Hal yang sangat lazim diterima adalah santri
yang baru masuk disuruh oleh senior melakukan hal-hal yang tidak disukai.
Kebiasaan ini berkaitan dengan ritual penerimaan santri pada tahun ajaran baru.
Selain itu juga terdapat perundungan dalam bentuk fisik dan juga pemalakan.
bentuk perundungan berupa aktivitas melakukan sesuatu yang tidak mereka sukai.
Tindakan yang tidak menyenangkan tersebut rata-rata dialami santri yang baru
“eee...pernah pak waktu mulai masuk saya dan teman-teman sudah biasa
dibully sama senior-senior. Mereka menyuruh ini menyuruh itu.”
<Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 1 reference coded [0,72% Coverage]
Reference 1 - 0,72% Coverage
Perbuatan yang tidak menyenangkan berbentuk agresi fisik dan verbal. Data
kata-kata (verbal).
Santri yang baru masuk hampir pasti tidak memiliki keberanian untuk
menolak tindakan yang mereka terima tersebut. Hasil penelitian di atas menjelaskan
fenomena kekerasan dan perundungan yang terjadi pada santri senior kepada santri
119
junior. Fenomena perundungan mencakup pemukulan dan ejekan pada kondisi fisik
santri junior. Perundungan itu mencakup aspek fisik pada santri junior.
2) Perundungan Fisik
Bentuk agresi yang diterima oleh santri yang baru masuk salah satunya adalah
agresi fisik. Bentuknya berupa pukulan ringan sampai berat menyebabkan patah
mengalami perundungan pada aspek fisik dengan memprihatinkan. Hasil atau data
penelitian adanya santri yang mengalami atau menjadi korban perundungan pada
aspek fisik terdapat pada data partisipan berikut ini. Adapun tema ini ditemukan
Pada sisi lain, data penelitian yang menunjukkan adanya korban perundungan
pada fisik cenderung terjadi pada fase awal siswa atau santri junior baru memasuki
pesantren. Santri senior selalu meminta para junior untuk berkumpul pada awal-
diam-diam tanpa diketahui oleh pembina pesantren. Pada masa awal masuk
pesantren, santri junior bahkan mengalami perundungan berupa dipukul dan dimaki
(mendapatkan ucapan kasar) dari santri senior. Pemukulan itu merupakan indikator
120
senior. Selain itu selama tahun pertama saya beberapa kali dikata-katai kasar
sama senior. <Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 1 reference coded
[5,40% Coverage], Reference 1 - 5,40% Coverage
3) Pemalakan
Bentuk perundungan yang dilakukan oleh senior juga dalam bentuk meminta
uang secara paksa atau pemalakan (pemerasan). Pemalakan tersebut dilakukan oleh
santri senior dengan cara langsung mendatangi ke kamar pada malam hari. Hal ini
“Itu biasanya abang kelas kalau ngga ada duit nanti lari ke adek kelasnya
malam-malam hari kan datang ke kamar pas dia ngga ada duit minta duit, itu
pun rasanya ngga enak karena secara paksa gitu mentang-mentang abang
kelas minta-minta gitu aja.” <Files\\subjek Aldi> - § 1 reference coded
[0,71% Coverage], Reference 1 - 0,71% Coverage
senior untuk membelikan sesuatu tanpa diberikan uang kepada santri junior yang
junior.
“Terus mau masuk ke masjid telat gitu, itu ada aja salah nanti disuruh
merangkak, disuruh kutip sampah, apa segala macam nanti kalau mereka
kurang puas nih di situ nanti kita itu disuruhnya tolong beli jajan saya gini-
gini uang nggak dikasih tapi disuruh beli jajan seperti itu.” <Files\\Verbatim
Partisipan Alumni 1 (11)> - § 1 reference coded [0,43% Coverage],
Reference 1 - 0,43% Coverage
4) Perundungan Verbal
perundungan verbal antara lain berupa kalimat yang berisikan ejekan tentang
121
kekurangan pada diri korban. Tema verbal ini ditemukan pada delapan dari
sembilan partisipan.
“Aaaa mulai dari ejek-ejekan orang tua, terus kondisi keluarga, pokoknya apa
yang ada kekurangan di diri kita itu jadi bahan bullying begitu.”
<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1 (11)> - § 2 references coded [0,86%
Coverage], Reference 2 - 0,68% Coverage
korban yang mengalami sakit hati (aspek emosional). Selain itu, dampak
pembalasan.
“Selain itu paling nanti orang tu saling ngejek sampai sakit hati, ujung-
ujungnya berantem.” <Files\\subjek Aldi> - § 1 reference coded [0,16%
Coverage], Reference 1 - 0,16% Coverage
Komponen dan sub komponen pada fase pertama tersebut dirangkum pada
tabel 10.
2. Fase tersakiti
ingin balas dendam, takut, dan tidak berdaya yang dialami oleh korban. Setelah fase
pertama di atas terjadi pada santri junior sebagai korban, santri junior mulai
mengalami afeksi dan kognisi yang negatif karena intensitas perundungan yang
122
mengalami perundungan. Dalam tahapan ini ada beberapa sub kategori yang
bersangkutan terjebak pada situasi yang tidak menyenangkan. Perasaan itu berupa
perasaan itu berdampak kepada dendam yang akumulatif pada afeksi korban.
Berdasarkan wawancara dengan sembilan partisipan, tema ini ditemukan pada tujuh
partisipan.
iya pak, kita dendam hanya saja mau membalas kita takut sama senior,
mereka kompak, lagian juga bakalan sulit kita nantinya. <Files\\Verbatim
Partisipan AL (8)> - § 3 references coded [0,72% Coverage], Reference 1 -
0,24% Coverage
takut mereka. Mereka tidak berani asertif tentang perasaan takut yang dialami dan
mengarah kepada afeksi dendam. Setelah rasa dendam itu muncul pada santri junior
atau korban yang mengalami perundungan dan tidak mampu asertif kepada santri
munculnya afeksi tertindas dan terintimidasi dari santri senior. Dengan demikian,
afeksi dendam, perasaan tertindas, dan intimidasi merupakan dampak afeksi negatif
123
3. Fase Frustasi
Pada fase ini ditemukan reaksi afeksi dan kognisi yang terakumulasi dari
a. Afeksi Korban
senior. Sebagai junior, santri masih perlu menghadapi transisi kebiasaan pola hidup
bersama orang tua dengan tinggal mandiri dalam asrama. Namun, santri junior
yang dari senior terhadap dirinya. Hal ini ditemukan pada empat dari sembilan
partisipan.
perilaku perundungan. Tak jarang korban merasa tertekan dengan perilaku senior
yang semena-mena. Rasa khawatir juga muncul akan keberadaan senior yang bisa
“…..Kakak kakak tingkat yang mudah merasa senior yaitu jadi dia yang
melakukan hal-hal semena-mena melakukan bully terhadap kami yang baru
baru masuk sehingga Kami merasa apa ya, di tindas diintimidasi sama kakak
kakak senior, “ <Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1 (11)> - § 2 references
coded [0,57% Coverage], Reference 1 - 0,38% Coverage
124
b. Kognisi Korban
Secara kognisi, sebagian korban berpikir untuk pindah sekolah, namun di sisi
lain santri tersebut memikirkan dampak biaya yang telah dikeluarkan selama proses
pendidikan sehingga ragu-ragu untuk pindah sekolah atau pesantren. Jadi, pada
korban terjadi proses berpikir yang membentuk persepsi untuk menjalani saja hari-
“saya waktu itu mikir untuk keluar dari pesantren tapi orang tua saya tidak
membolehkan. Sudah keluar banyak biaya untuk saya daftar di pesantren ini.”
<Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 1 reference coded [0,74% Coverage],
Reference 1 - 0,74% Coverage
perundungan fisik menganggap sebagai hal yang biasa. Pada aspek afektif korban
“karena waktu kelas satu SMK kemarin ini karena terlambat jadi dipukul
pakai kaya logam kecil gitu pak kaya Panjang jadi betis yang kenak, hehe
udah biasa pak dipukul,” <Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 1 reference
coded [0,13% Coverage], Reference 1 - 0,13% Coverage
Dari fase sebelumnya, korban telah menyimpan dendam dari perlakuan senior
sehingga kemunculan afeksi berupa tidak terima dengan perlakuan senior muncul
pada fase ini. Sementara itu, pada aspek atau komponen kognisi, sebagian korban
125
keputusan yang tepat terhadap perundungan yang mereka alami. Rangkuman data
penelitian pada Fase Mengalami Frustasi dapat dilihat pada tabel 12.
namun belum dapat dilakukan berdasarkan analisis situasi. Pada tahap ini muncul
perasaan tidak aman, akibatnya individu belajar untuk mendapatkan rasa aman,
belajar perilaku perundungan dari pengalaman dan pengamatan serta reward yang
didapatkan korban perundungan. Fase ini merupakan fase atau tahapan yang
pelaku.
perundungan itu menimpa mereka kembali. Perasaan khawatir ini adalah perasaan
yang dominan mereka alami. Mereka beradaptasi dengan cara mencari posisi aman
wawancara dengan sembilan partisipan, tema ini ditemukan pada tujuh partisipan.
“iyaa. Saya bagian blok sini ya masih sama senior-senior yang baik ada ketua
asramanya, ya saya masih ruang lingkup yang kaya gitu, jadi agak kurang
main ke blok-blok sana agak takut waktu masih SMP.” <Files\\Verbatim
126
Tahap menyesuaikan diri dengan kelompok itu dilakukan agar korban mendapatkan
rasa aman dari perundungan. Akan tetapi, sebagian korban pada akhirnya mulai
“Untuk korban bullying ada sebagian yang akhirnya menjadi pelaku bullying.
Berdasarkan informasi yang didapat mereka mengatakan bahwasanya pelaku
yang dulunya korban bullying merasa ingin balas dendam dikarenakan ia
merasa hina karena dulunya pernah dibully. Sehingga yang dulunya ia ialah
seorang yang pemalu dan selalu nurut, ketika menjadi kakak kelas ia menjadi
seorang yang keras dan sering membully teman bahkan adik kelasnya.”
<Files\\Verbatim Partisipan Guru (13)> - § 1 reference coded [0,70%
Coverage], Reference 1 - 0,70% Coverage
Sementara itu, ditemukan hal yang berseberangan dari sebagian korban, yaitu
adanya rasa kasihan terhadap junior yang akan menjadi sasaran perundungan
menempatkan diri secara adaptif terhadap perilaku perundungan. Hal ini ditemukan
“Yaa kalau untuk mengubah sih harus dari diri kita sendiri dulu
memikirkannya kan enak atau engganya dari korban, kalau dari situ kita
udang memikirkannya pasti kita nggak akan jadi pelaku” <Files\\subjek reza>
- § 2 references coded [0,51% Coverage], Reference 1 - 0,39% Coverage
127
“biar adek tu tau apa yang kami rasakan, kami dulu diginikan loh, kami
lakukan itu puas hati kamu setelah abang tu tamat, rasa denda, ngga
kesampaian tadi junior yang kami apakan” <Files\\Verbatim Partisipan Aldi
(1)> - § 2 references coded [0,36% Coverage], Reference 1 - 0,20% Coverage
Sebagian korban yang sudah menjadi senior memahami bahwa junior perlu
diberi pelajaran untuk sopan dan santun kepada senior, terutama sebagai
kompensasi dirinya yang tidak berdaya ketika menjadi junior. Pada situasi ini,
konsekuensi negatif yang diterima dari perilaku perundungan, namun kognisi ini
Di sisi lain, ditemukan adanya sebagian korban yang memutuskan untuk tidak
pelaku perundungan pada fase koping maladaptif ini. Proses ini dikuatkan dengan
adanya konsistensi antara apa yang dirasakan dengan perilaku yang ditunjukkan.
Dengan kata lain, sebagian korban yang memutuskan untuk tidak merundung
128
“eee insyaallah sih pak saya gak pernah bully orang karena saya tau gimana
rasanya pak” <Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 1 reference coded
[0,14% Coverage], Reference 1 - 0,14% Coverage
senior. Mekanisme koping yang dipakai salah satunya adalah tertawa sebagai
bentuk menyepelekan jika ada tindakan perundungan yang menimpa orang lain.
Berdasarkan wawancara dengan sembilan partisipan, tema ini ditemukan pada tujuh
partisipan.
“terus saya datang ke kelas itu, terus dari dalam itu mereka sudah natap saya
kayak udah gak suka gitu, terus saya kaya ih ngapa ni, masuk terus
menyelesaikan masalah tapi saya rasa saya gak salah gitu saya
mengungkapkan ee , e apa pendapat-pendapat teman saya keluar mereka tu
kayak gini terus saya kasih tau lah ke mereka ternyata mereka gak suka
yaudah.” <Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 3 references coded [0,68%
Coverage], Reference 1 - 0,23% Coverage
“……………..saya hanya bisa menerima sama bisa mengikuti keadaan
ketawa-ketawa ndak jelas pada di hati saya ketika sakit hati.”
<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 2 (12)> - § 1 reference coded [0,26%
Coverage], Reference 1 - 0,26% Coverage
korban perundungan yang mengalami afeksi negatif dan mekanisme koping kognisi
129
yang salah akan memutuskan untuk bergabung dengan kelompok perundung dan
“Kami disitu rame kan pak, dikumpulkan adek kelas, pas orang tu gitu kan
ada mikir pasti orang tu sakit, tapi tiba-tiba tu mau ikut gitu” <Files\\Verbatim
Partisipan Aldi (1)> - § 1 reference coded [0,26% Coverage], Reference 1 -
0,26% Coverage
5. Fase mencoba
Tahap ini adalah tahap yang paling kompleks jika dijelaskan secara
terjadi secara timbal balik antara individu, lingkungan, dan perilaku itu sendiri.
Faktor afektif dan afektif pelaku yang terhubung dengan kejadian masa lalu, seperti
perlakuan yang pernah diterima dari keluarga, guru dan senior di masa lalu serta
berimplikasi pada Fase mencoba mencakup afeksi negatif (rasa dendam dan
130
perundung, dan mekanisme koping social learning yang keliru (kognisi). Oleh
karena itu, pada domain internal korban, aspek perubahan korban menjadi pelaku
dipengaruhi oleh afeksi dan kognisi akibat rasa dendam dan akumulasi ketakutan
(afeksi internal), menemukan rasa aman dan social learning (kognisi internal).
munculnya perilaku seperti lingkungan yang sepi dari pengawasan, junior yang
sendiri, sebagai sebuah aksi akan menghasilkan respon yang yang dapat
persepsi terhadap guru dan pesantren, pengalaman menjadi korban di masa lalu,
terkini. Sedangkan faktor protektifnya adalah rasa kasihan yang muncul ketika
131
secara umum. Pelaku perundungan biasanya memiliki latar belakang keluarga yang
“ya kalau keterbukaan keluarga untuk para pelaku ini agak sulit tapi dari yang
bisa digali adalah hubungan mereka dengan keluarga memang tidak
harmonis ya, saya ambil contoh gitu ya, bagaimana mereka itu datang dari
keluarga keluarga yang memang bapak, ibunya itu bercerai atau ada konflik
di rumah tangganya gitu ya, kemudian yang kedua mereka juga punya
pengalaman ya tadi anu misalkan di SD nya atau di SMP nya punya perilaku-
perilaku agresif gitu ya akhirnya ke pesantren itu memang ya apa para pelaku
yang pernah saya tangani memang punya sejarah gitu ya punya sejaran
pribadinya punya sejarah dikeluarganya ya memang dari keluarga yang
perhatian kepada anaknya itu kurang, ya sibuk gitu,” Files\\Verbatim
Partisipan Psikolog (10)> - § 1 reference coded [0,23% Coverage], Reference
1 - 0,23% Coverage
Kurangnya kedekatan antara anak dan orang tua berdampak pada hambatan
komunikasi yang kurang baik. Hal ini juga berimplikasi anak yang terikat dengan
“Kalau di rumah itu saya kayak nggak ada apa-apa gitu, di rumah seperti anak
yang pendiam mungkin karena yaa kurang dekat sama orang tua ya karena
orang tua juga aaaa jarang perhatian gitu karena saya maklumilah kerja untuk
cari nafkah yaudah sehingga saya di rumah itu kayak anak biasa-biasa saja
diam ketika orang tua mengatakan ini ya saya ikut gitu cuman walaupun
enggak semua yang kata-kata itu,” <Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1
(11)> - § 2 references coded [0,53% Coverage], Reference 1 - 0,24%
Coverage
2) Persepsi terhadap pesantren
132
“selama disini ? ee biasa aja, gak enak, gak enak” <Files\\Verbatim Partisipan
A (3)> - § 2 references coded [0.40% Coverage] 1 - 0.33% Coverage
Pandangan negatif santri muncul terhadap guru ketika mereka melihat sifat
guru yang tidak sesuai dengan kriteria mereka. Guru yang masih terlalu muda dalam
pesantren. Berbeda dengan kiai yang cenderung sudah berusia lanjut, para
guru/ustadz memang memiliki usia yang masih muda dan bahkan banyak yang baru
perlakukan yang diterima santri dari guru. Guru yang merangkap menjadi penjaga
kondisi santri saat di lapangan menjadikan sikap antar guru ini menjadi berbeda.
133
yang sering diterima santri. Data penelitian menunjukkan persepsi negatif terhadap
“kalau guru baik-baik pak, kalau musyrif (penjaga asrama) sering marah2
apalagi kalau ketahuan melanggar.” <Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - §
1 reference coded [1,70% Coverage], Reference 1 - 1,70% Coverage
2.3) Pesantren menutupi kasus dari umum
perubahan persepsi yang negatif kepada setiap santri. Data penelitian menunjukkan
orang tua santri. Hal itu berdampak pada hambatan menemukan solusi bagi santri
nama baik institusi. Berdasarkan wawancara dengan sembilan partisipan, tema ini
pesantren antara lain: hukuman dari guru, hukuman dari kakak kelas, dan hukuman
dari orang tua. Dalam jenjang pendidikan sebelumnya atau dalam keluarga
masa lalu membangun sebuah mental image tersendiri mengenai tindakan agresif
134
ini. Gambaran mental ini akan menjadi referensi ketika partisipan melakukan
perundungan.
diterima oleh santri. Hal ini ditemukan pada tujuh partisipan. Berdasarkan
wawancara dengan sembilan partisipan, tema ini ditemukan pada tujuh partisipan.
“karena waktu kelas satu SMK kemarin ini karena terlambat jadi dipukul
pakai kaya logam kecil gitu pak kaya Panjang jadi betis yang kenak, hehe
udah biasa pak dipukul,” <Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 2 references
coded [0,72% Coverage]
Hukuman yang diterima oleh santri berupa tindakan pukulan, hal terebut
dilakukan oleh para guru di pondok pesantren. Data penelitian sebelumnya tentang
pengalaman perundungan dari santri senior diperkuat oleh hukuman dari guru di
Hukuman dari kakak kelas yang diterima santri pada pendidikan sebelumnya
menjadi model untuk melakukan perundungan pada objek yang lain. Pengulangan
wawancara dengan sembilan partisipan, tema ini ditemukan pada tujuh partisipan.
135
“karena satu yang kenak jadi semua kenak ya udah dikumpulin, had ida
sampai jam 1 dimarah-marahin ya udah pas kami enggak ada masalah ini
disuruh masuk lagi tidur lagi,” <Files\\Verbatim Partisipan W (5)> - § 3
references coded [1,22% Coverage], Reference 1 - 0,12% Coverage
3.3) Hukuman dari orang tua
dilakukan orangtua sebagai hukuman atas sikap atau perilaku mereka yang tidak
pada korban. Dengan kata lain, proses korban perundungan menjadi pelaku
perundungan semakin terbentuk pada afeksi dan kognisi santri sebagai korban
“enggak, waktu saya gak pernah dipukul, gak pernah diaapa apain, makannya
waktu pertama dipukul sini agak terkejut, tapi lama-lama terbiasa,”
<Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 6 references coded [1,90% Coverage],
Reference 2 - 0,34% Coverage
“Kalau dikerasi orang tua waktu kecilnya saya sering dikerasi waktu itu
pernah saya waktu itu mau mandi di laut itu kira-kira umur saya 5, 6 tahun
Saya mandi di laut terus tahu-tahunya pas Saya mau naik dari atas ke atas
orang tua saya datang membawa kayu yang kira-kira besar paralon itu ya
paralon untuk kabel kabel itu.” <Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1 (11)> -
§ 2 references coded [1,31% Coverage], Reference 1 - 1,12% Coverage
136
Kurangnya pengawasan dari guru, persepsi guru bahwa perundungan adalah hal
yang biasa serta sikap guru yang tidak proaktif mencari tahu kejadian perundungan
Selain itu, data penelitian juga menunjukkan sebagian guru di pesantren juga
adalah tempat aksi perundungan yang paling terutama pada malam hari karena
pengawasan sangat minim. Data penelitian terkait hal tersebut dapat dilihat pada
bagian berikut ini yang ditemukan pada tujuh dari sembilan partisipan.
semakin membuat mereka tidak aman. Hal ini disebabkan para junior akan dituduh
melaporkan tindakan mereka ke guru. Pemanggilan oleh guru yang diketahui oleh
wawancara dengan sembilan partisipan, tema ini ditemukan pada tujuh partisipan.
137
“Pernah ada gitu pak, ada guru tu pembina asrama bapak tu tau jadi dipanggil
senior tadi tapi ngga tau diapakan kan disembunyikan gitu ngga tau ntah
dihukum atau apa, tapi setelah itu orang tu tetap melakukan lagi datang
kekami dibilangnya kami ngadu.” <Files\\subjek Aldi> - § 1 reference coded
[0,73% Coverage], Reference 1 - 0,73% Coverage
“ketawa-ketawa aja pak lucu gitu pak.” <Files\\Verbatim Partisipan AF (6)>
- § 1 reference coded [0,28% Coverage], Reference 1 - 0,28% Coverage
oleh pihak yang memiliki otoritas lebih. Tidak adanya laporan ke pihak pesantren
dalam hal ini guru menjadikan perundungan kerap terjadi. Sikap kurang proaktif
Berdasarkan wawancara dengan sembilan partisipan, tema ini ditemukan pada tujuh
partisipan.
“Kalau untuk itu yaa ustadznya sebenarnya sangat tegas terhadap bully
membully, cuman yang menjadi sorotan kala itu tidak adanya laporan dari
santri kepada ustadz sehingga,” <Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1 (11)>
- § 1 reference coded [0,45% Coverage], Reference 1 - 0,45% Coverage
“nggak pernah, kalau di pondok ni kalau suka lapor pasti kena sama kawan2,”
<Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 1 reference coded [0,27% Coverage],
Reference 1 - 0,27% Coverage
138
“dan dia membuat geng baru jadi dia membuat geng baru untuk istilahnya
biar dia punya kekuatan gitu ya,…….,” <Files\\Verbatim Partisipan Psikolog
(10)> - § 3 references coded [0,84% Coverage], Reference 1 - 0,43%
Coverage
a. Perdebatan diri menjadi pelaku
Pergulatan batin yang dialami oleh pelaku perundungan adalah adanya nilai-
nilai positif dari dalam diri yang berinteraksi secara dialogis dan saling
menegasikan dengan faktor-faktor risiko seperti perasaan dendam, sakit hati dan
belas kasihan dan nasehat yang diberikan oleh guru menjadi bahan pertimbangan
bagi seseorang untuk melakukan perundungan atau tidak. Faktor protektif ini yang
nanti secara dinamis akan bekerja berlawanan arah dengan faktor risiko. Hal ini
“berhenti pak, saya berhenti terus saya minta yang lain berhenti juga jangan
diapain lagi, kadang kalau pas selesai saya bully kadang, ndak ingat saya
pak.” <Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 1 reference coded [0,54%
Coverage], Reference 1 - 0,54% Coverage
139
Perasaan sakit hati dan dendam di masa lalu yang tidak terselesaikan dengan
baik dan cenderung dipendam secara tidak sadar menjadi penyebab seseorang
“Motifnya mungkin biar adek tu tau apa yang kami rasakan, kami dulu
diginikan loh, kami lakukan itu puas hati kami setelah abang tu tamat, rasa
dendam ngga kesampaian tadi junior yang kami apakan.” <Files\\subjek
Aldi> - § 2 references coded [0,45% Coverage], Reference 1 - 0,16%
Coverage
“gak ada sih memang karna perasaan gak suka aja tiba-tiba membully. Nanti
setelah itu udah agak diam sedikit baru ngerasa bersalah.” <Files\\Verbatim
Partisipan A (3)> - § 1 reference coded [0,14% Coverage], Reference 1 -
0,14% Coverage
Rangkuman fase mencoba ini dapat dilihat secara sederhana pada tabel 14.
140
mendapatkan penguatan dari orang lain seperti pengakuan, dihargai, dan diterima
oleh kelompok. Selain itu, korban yang menjadi pelaku perundungan memperoleh
kondisi pelepasan kondisi emosional yang mereka alami selama menjadi korban
perundungan.
a. Bentuk perilaku
sebagai sasaran perundungan. Hal ini disebabkan karena dendam yang tidak dapat
“Yaa enak, saya bisa menghina orang, melakukan hal yang tidak sewajarnya”
<Files\\subjek reza> - § 3 references coded [0,22% Coverage], Reference 2
- 0,06% Coverage
“keluar kata-kata apa ya, gak sopan palingan, anti tu gak sopan”
<Files\\subjek ayu> § 2 references coded [0,24% Coverage], Reference 3 -
0,06% Coverage
141
“bahkan dulu tu pak pernah gak tegur sapa selama tiga tahun karena masih
rasa sakit tu masih ada pak gitu pak kalau sekarang sih pak cuman bisa do’ain
dia gitu pak mudah-mudahan dapat hidayah” <Files\\Verbatim Partisipan M
(3)> - § 1 reference coded [0,14% Coverage], Reference 1 - 0,14% Coverage
melakukan perundungan memiliki tujuan untuk merubah perilaku orang lain. Data
santri lain yang dirundung dengan pemahaman afektif yang keliru, yaitu keyakinan
bahwa perundungan efektif membuat santri lain menjadi sadar untuk mengikuti
“Jadi, pernah kan aku mengalaminya kan, mikir sampai kaya mana caranya
kita kasihan liat dia kaya mana dia tapi dia ngga pernah mikir dia tu siapa,
ngga pernah sadar, jadi hati tu mau bully dia kasihan tapi kalau ngga dibully
nanti dia ngga sadar-sadar gitu.” <Files\\subjek reza> - § 3 references coded
[0,22% Coverage], Reference 2 - 0,06% Coverage
perundungan kepada santri lain. Peniruan atau modelling itu terbentuk karena
dorongan pelepasan atau penyaluran rasa dendam yang terpendam pada afeksi
menyenangkan kepada junior akibat tidak dapat membalas dendam kepada senior
“Motifnya mungkin biar adek tu tau apa yang kami rasakan, kami dulu
diginikan loh, kami lakukan itu puas hati kami setelah abang tu tamat, rasa
dendam ngga kesampaian tadi junior yang kami apakan.” <Files\\subjek
Aldi> - § 5 references coded [0,58% Coverage], Reference 1 - 0,32%
Coverage
142
ketika menyandang status sebagai senior. Pada aspek kognisi santri sebagai pelaku
wawancara dengan sembilan partisipan, tema ini ditemukan pada tujuh partisipan.
“Yaa, sebenarnya siih Ketika saya sudah menjadi pelaku pembullyan itu
bukannya ingin ada balas dendam sih pak ibaratnya karena seperti tadi saya
bilang seperti sebuah tradisi karena kita merasa senior menjadi penguasa jadi
seakan-akan itu hal yang perlu kita kerjakan kita itu satu candaan jadi
tanpa………...” <Files\\Verbatim Partisipan Alumni 2 (12)> - § 3 references
coded [0,57% Coverage], Reference 3 - 0,11% Coverage
bahwa santri senior bisa melakukan apapun kepada santri junior. Data penelitian
upaya pengulangan tradisi agar santri mendapatkan pengakuan untuk dihargai oleh
“Iyaaa, kalau senior bisa apain ke junior, yaa kita jadi senior ya apain juga
juniornya.” <Files\\subjek reza> - § 1 reference coded [0,29% Coverage],
Reference 1 - 0,29% Coverage
143
oleh korban atau santri junior. Dampaknya, harapan atau keinginan tersebut
“ya paling tidak mereka menyapa kalau mau lewat jangan asal lewat
aja..apalagi kita lagi duduk2 di deket jalan.” <Files\\Verbatim Partisipan BA
(9)> - § 2 references coded [3,02% Coverage], Reference 1 - 2,04% Coverage
“ya mereka harus hormat sama yang lebih tua.” <Files\\Verbatim Partisipan
BA (9)> - § 2 references coded [3,02% Coverage], Reference 2 - 0,99%
Coverage
dipengaruhi oleh beberapa komponen penting pada setiap fase atau tahapan.
144
145
146
147
BAB VI
HASIL PENELITIAN
santri ketika pertama kali masuk pesantren. Perundungan yang dialami santri
berupa perilaku agresi fisik dan verbal. Perilaku ini dianggap lazim oleh santri
karena dianggap sebagai bagian dari proses penerimaan santri baru di pesantren
tersebut.
dalam berbagai variasi. Agresi fisik dapat berupa pemukulan misalnya, sedangkan
agresi yang bersifat verbal berupa ejekan dengan berbagai alasannya. Bentuk
lainnya adalah santri dipaksa melakukan hal yang tidak disenangi, seperti
penerimaan santri baru. Status sebagai santri baru membuat para santri mengikuti
Bentuk pemukulan yang diterima berupa pemukulan ringan hingga berat yang
dalam sebuah kasus sampai menyebabkan patah tulang. Kondisi agresi fisik
tersebut menunjukkan kondisi memprihatinkan dari fisik santri junior yang baru
masuk pesantren. Perlakuan ini terjadi bisanya di tempat yang minim dari segi
148
pengawasan. Santri senior sering mengajak santri junior pada awal masuk pesantren
berbentuk ejekan terkait kekurangan fisik dan nonfisik dari korban. Perilaku ini
menyebabkan santri junior mengalami sakit hati serta berimplikasi kepada motif
awal yang represif pada santri baru untuk keinginan untuk balas dendam.
Perundungan secara langsung dalam bentuk meminta uang secara paksa atau
pemalakan (pemerasan) yang dilakukan santri senior juga dialami oleh santri junior.
Pemalakan terjadi pada malam hari di kamar santri. Pemalakan umumnya terjadi
pemerasan/pemalakan yang sebagai bentuk hukuman dari senior jika santri baru
terlambat ke masjid. Perilaku ini juga dilakukan santri senior dalam bentuk meminta
santri junior membelikan suatu barang tanpa diberikan uang kepada santri baru
terlebih dahulu. Dengan kata lain, perilaku pemalakan ini menjadi perilaku yang
jumlah pelaku, kondisi, tempat, dan waktu kejadian. Data penelitian menunjukkan
149
yang tidak menyenangkan seperti perilaku meminta bantuan dengan cara tidak
kamar. Pelaku perundungan oleh santri senior akan mendatangi korban (santri baru)
secara berkelompok untuk melakukan agresi fisik. Malam hari menjadi pilihan
santri senior melakukan perundungan karena tidak ada pengawasan dari pembina
pesantren.
Masa awal masuk pesantren menjadi masa yang sulit bagi santri junior
yang diterima menjadi salah satu tahapan awal pada fase dinamika proses
2. Fase tersakiti
Pada fase tersakiti, santri baru atau santri junior sebagai korban mengalami
perasaan marah, kecewa, ingin balas dendam, takut dan perasaan tidak berdaya.
Santri junior mulai mengalami konflik yang disebabkan perundungan yang dialami
secara berulang-ulang (repetitif). Pada tahapan ini terdapat aspek afeksi sebagai
150
perasaan tidak terima atas perlakuan senior dan menyimpan perasaan dendam.
korban tidak berani mengambil tindakan untuk melawan. Hal ini menyebabkan
korban berada pada situasi yang tidak menyenangkan. Perasaan ini berbentuk
perasaan ini berdampak pada dendam yang akumulatif. Santri junior sebagai korban
juga merasakan ketakutan untuk menyampaikan rasa takut mereka sehingga mereka
takut bersikap asertif. Sikap tidak asertif ini mengarah kepada afeksi dendam yang
muncul pada korban perundungan. Ketika korban merasa dendam dan tidak berani
Fase tersakiti merupakan titik awal munculnya emosi negatif pada korban
berupa fisik, verbal, maupun pemerasan. Pergerakan emosi menuju negatif dipicu
oleh kemunculan afeksi dan kognisi yang negatif pula paska fase menjadi korban.
Hal ini akan menjadi salah satu faktor penentu bagi korban dalam memutuskan
untuk menjadi pelaku perundungan atau tidak. Emosi negatif akan semakin intens,
persisten, atau bahkan menurun pada tiap dinamika fase perubahan korban menjadi
pelaku.
3. Fase frustasi
Pada fase frustasi, respon korban terhadap pelaku perundungan yang diterima
menunjukkan keragaman reaksi afektif dan kognisi yang merupakan akumulasi dari
151
rasa dendam dari perundungan yang telah didapatkan. Sebagian santri junior
hal yang tidak menyenangkan. Santri korban akan memilih untuk menjalani saja
hari-hari di pesantren dengan kondisi perundungan yang ada. Hal ini diperkuat
dengan kemungkinan yang kecil untuk pindah sekolah karena terkendala biaya yang
yang sinergis antara persepsi dan perilaku terhadap perundungan cenderung akan
santri yang meyakini bahwa perundungan merupakan hal tidak menyenangkan yang
ditunjukkan dengan perilaku yang tidak merundung. Penurunan emosi tersebut juga
santri korban terhadap situasi yang dialami, meliputi perundungan yang dialami,
perundungan sebagai hal lumrah di pesantren yang dilakukan oleh senior santri,
meskipun secara kognisi dan afektif mereka tidak menyukai dan menerima kondisi
kondisi yang mendukung untuk santri korban melepaskan dendam secara agresif.
Kondisi emosi negatif semakin intens pada santri yang memiliki persepsi dan
152
Peningkatan emosi negatif dapat mengarah pada hal yang destruktif, seperti
delinquency).
Pada fase ini korban mulai melakukan adaptasi terhadap perundungan yang
dialami. Proses adaptasi berkaitan dengan fase frustasi yang dialami oleh korban.
Fase adaptasi menjadi titik krusial apakah korban akan menjadi pelaku atau justru
keliru atau maladaptif dengan salah satu kelompok santri senior yang melakukan
Namun, pada akhirnya sebagian korban mulai mengambil peran untuk ikut
berlandaskan bahwa perlu adanya ajaran kepada santri junior untuk lebih sopan
santun kepada senior, terutama dikarenakan punya pengalaman sebagai junior yang
telah “diberikan pelajaran” oleh senior sebelumnya. Santri korban akan semakin
membangun sikap superior apabila adanya kondisi penguat, seperti afeksi negatif
dan kognisi yang terdisonansi. Mereka akan memutuskan untuk bergabung dengan
lain. Kelompok santri junior yang maladaptif ini berpotensi mengambil keputusan
untuk melakukan perundungan. Pada tahap ini, emosi negatif akan semakin intens
153
yang juga menjadi motor penggerak santri untuk mengidentifikasi dirinya ke dalam
kelompok perundungan.
dengan kelompok santri junior yang menjadi korban perundungan. Sebagian korban
mengabaikan saja kondisi perundungan karena secara afeksi merasa kasihan dengan
korban yang akan datang (santri junior) sehingga memutuskan untuk tidak
melakukan perundungan kepada santri lain. Dengan kata lain, sebagian korban
perundungan tidak menjadi pelaku perundungan dan mereka masuk dalam kategori
memutuskan tidak menjadi pelaku. Pada prinsipnya, afeksi dan kognitif yang tepat
beradaptasi secara tepat (adaptif) terhadap perundungan yang mereka alami. Santri
junior yang adaptif memiliki dorongan atau keinginan untuk balas dendam, namun
senior. Adapun bentuk mekanisme koping yang dilakukan ialah tertawa sebagai
lain. Selain itu, sebagian korban tidak melakukan perilaku perundungan sehingga
154
Pada fase ini, fluktuasi emosi yang dialami menjadi lengkap dengan adanya
percabangan reaksi emosi antara santri yang adaptif (meskipun dengan mengambil
5. Fase mencoba
Pengalaman masa lalu memiliki peran pada faktor kognisi dan afeksi pelaku.
Pengalaman ini mencakup perilaku yang pernah diterima dari keluarga, guru serta
senior. Situasi dan kondisi saat ini (selama berada di pesantren) juga mempengaruhi
akumulasi rasa takut, proses belajar pada korban yang tergabung dengan kelompok
mekanisme koping social learning yang keliru (kognisi) menjadi faktor-faktor dan
komponen yang berimplikasi terhadap kondisi maladaptif dan akhirnya santri junior
memasuki fase mencoba. Selain itu, faktor lingkungan berupa lingkungan yang sepi
dari pengawasan dan junior yang tidak asertif mampu memberi kesempatan
155
keluarga, persepsi terhadap pesantren dan pembina, pengalaman di masa lalu yang
hubungan dengan keluarga berupa keluarga yang kurang harmonis. Data lain
pendiam.
Persepsi terhadap pesantren serta jajaran pembina berupa guru dan penjaga
yang tidak komunikatif kepada orang tua santri, kemudian sifat guru yang tidak
sesuai dengan kriteria santri serta guru yang masih muda dan dinilai belum dapat
156
variasi yang sesuai dengan perlakuan yang diterima sebagai santri. Kemudian santri
mempersepsikan secara negatif terhadap musyrif atau penjaga asrama yang sering
memarahi mereka.
dari kakak kelas, dan hukuman dari orang tua. Pengalaman ini membentuk persepsi
mental yang dibentuk dari ingatan-ingatan mengenai kejadian masa lalu terkait
tindakan kekerasan. Pengalaman ini menjadi acuan partisipan atau santri junior
pada korban. Dengan kata lain, proses korban perundungan menjadi pelaku
perundungan semakin terbentuk pada afeksi dan kognisi santri sebagai korban
yang salah tentang persepsi perundungan merupakan hal biasa. Selain itu, guru
bersikap tidak proaktif mencari tahu perundungan menjadi faktor yang memicu
157
perundungan.
tidak terlepas dari perdebatan diri santri junior sebagai korban perundungan.
Perdebatan ini dipengaruhi adanya faktor protektif berupa nilai-nilai positif terkait
rasa sayang menyayangi sehingga muncul rasa belas kasihan. Faktor protektif
berperan aktif secara dinamis bekerja berlawanan arah dengan faktor resiko.
Kemudian faktor resiko berupa perasaan sakit hati, dendam masa lalu yang tidak
terselesaikan serta memendam perasaan tersebut secara tidak sadar dan emosi
negatif yang membangun persepsi negatif terhadap santri junior yang berakibat
Fase ini dibedakan dengan fase sebelumnya meskipun terkesan ada irisan.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu sifat perundungan adalah repetitif atau
berulang, maka orang (santri junior sebagai korban) yang baru melakukan tindakan
agresif pertama kali belum dapat disebut pelaku perundungan. Santri junior tersebut
bisa disebut pelaku perundungan jika perbuatannya sudah dilakukan lebih dari satu
kali atau berulang-ulang kepada santri lainnya. Fase ini yang ditandai dengan
mendapatkan penguatan dari orang lain seperti pengakuan, dihargai, dan diterima
158
kondisi pelepasan kondisi emosional yang mereka alami selama menjadi korban
perundungan.
perundungan memberi dampak positif untuk merubah orang sebagai kondisi afeksi
partisipan. Hasil data penelitian menunjukkan rendahnya empati kepada santri lain
yang dirundung dengan pemahaman kognitif yang keliru, yaitu keyakinan bahwa
perundungan efektif membuat santri lain menjadi sadar untuk mengikuti keinginan
modeling yang terbentuk dari pelepasan rasa dendam yang terpendam. Efek dari
sikap ini memberikan perasaan puas pada diri pelaku saat melakukan perilaku
perundungan berupa tindakan yang tidak menyenangkan. Sikap ini muncul dari
perundungan.
bahwa perundungan sudah menjadi tradisi pesantren sehingga peran ini melekat
bahwa perundungan merupakan tradisi yang harus dijaga secara terus menerus.
159
dihargai oleh santri junior atau korban. Penguatan ini memunculkan harapan dan
melakukan perundungan.
perubahan ini akan membentuk sebuah skema. Berikut skema rumusan teori
dinamika perubahan peran korban menjadi pelaku perundungan seperti terlihat pada
gambar 9.
160
yang dilakukan ketika sudah menjadi pelaku, kondisi psikologis yang menyertai
ketika partisipan dalam posisi sebagai korban maupun sebagai pelaku serta
sebagai berikut:
161
yang diterima ialah ketika sedang tidur, wajah partisipan diberi lakban, diganggu
Kemudian perundungan juga diterima dalam bentuk verbal yaitu dari ejekan
teman. Pelaku memanggil korban dengan sebutan kekurangan fisik yang ada
pada dirinya. Selain perilaku fisik dan verbal, partisipan diminta melakukan
perbuatan yang tidak dikehendaki atas dasar permintaan kakak kelas. Misalnya
saja dimintai tolong membeli makanan yang tempatnya jauh dan tidak diberi
uang, mereka juga dimintai uang secara paksa, dimintai mengambilkan barang-
b. Gambaran kondisi perasaan dan pikiran partisipan ketika menjadi korban yaitu
Partisipan merasakan sakit hati dan ingin membalas dendam pada saat menerima
perundungan, namun karena partisipan masih ‘anak baru’ atau santri junior,
mereka hanya menuruti keinginan pelaku dan berserah diri. Setelah itu partisipan
berbagi cerita terkait perlakuan apa saja yang mereka terima dan mendiskusikan
perilaku apa yang akan mereka lakukan ketika balas dendam. Pertemuan ini
162
yang hebat berkuasa. Partisipan merasakan takut namun marah pada saat
menerima perlakuan dari kakak kelas. Ketakutan ini dikarenakan jumlah kakak
kelas yang banyak saat melakukan perundungan dan adanya sikap patuh kepada
yang lebih tua. Meski demikian, mereka juga marah karena tidak terima
diperlakukan semena-mena.
Perilaku perundungan yang pernah terjadi tidak beberapa lama setelah partisipan
yang lebih muda darinya atau adik kelas dan teman seangkatan. Perilaku
lorong-lorong asrama, belakang masjid, dan ruang kelas. Adapun waktu kejadian
perundungan biasanya terjadi saat malam hari setelah jam belajar, setelah sholat
timbal balik antara individu, lingkungan dan perilaku. Munculnya perilaku tidak
berdiri sendiri akan tetapi tergantung pada ketiga aspek tersebut yang ketiganya
163
saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Interaksi komponen pada konsep
teori Bandura mengenai triadic reciprocal determination terkait hasil penelitian ini
diawali dari pelaku perundungan yang memiliki pengalaman kekerasan yang sama
terdekat, yaitu dari orang tua, guru, dan kakak kelas atau teman. Partisipan
menerima perlakuan kekerasan ini berupa fisik dan verbal sebagai bentuk hukuman
atas tindakan yang dianggap tidak sesuai dengan standar norma yang diterapkan.
Perlakuan kekerasan dari kakak kelas atau teman tidak hanya disebabkan sebagai
hukuman atas perilaku yang tidak dikehendaki, akan tetapi didasari oleh keinginan
tersebut menjadi media pembelajaran serta pemicu awal untuk menjadi pelaku
perundungan.
pengalaman dan observasi yang telah dilakukan. Pengetahuan yang telah diperoleh
Selain itu, keyakinan atas peluang mendapatkan konsekuensi positif dan negatif
memiliki peran di dalamnya. Individu berusia remaja pada santri junior memiliki
kesempatan yang besar untuk mempelajari cara mengintimidasi orang lain dari
proses pengamatan.
korban cenderung meningkat intensinya dan lebih variatif. Misalnya perilaku yang
dulu diterima oleh korban hanya sebatas penghinaan lalu ketika menjadi pelaku
164
mereka dapat melakukan agresi fisik seperti memukul korbannya. Proses yang
dialami partisipan saat perubahan peran perundungan dimulai dari rasa sakit hati
yang kemudian menjadi dendam yang terbalaskan ke orang lain. Partisipan sebagai
psikologis dengan cara bercerita dengan kawan dekatnya. Dukungan sosial berupa
dan berperilaku.
semakin meningkat sebagai santri tingkat menengah juga menjadi salah satu hal
dapat membuat stres pada santri sehingga masih terus harus menyesuaikan diri.
Selain itu, fenomena perundungan dapat muncul dari minimnya ruang pribadi
sebagai implikasi dari tinggal berasrama. Ayoko dan Hartel (2003) menjelaskan
bahwa ruang dalam konteks interaksi sosial yang terlalu intens/rapat dapat memicu
dukungan dari rekan juga dapat memicu konflik, yang mana ditemukan pula bentuk
Sejalan dengan hal ini, beberapa partisipan melakukan perundungan atas paksaan
165
Secara umum inilah faktor yang paling dominan yang menentukan seseorang
Hal lain yang bersumber dari aspek lingkungan adalah pengaruh dari ustadz
atau guru. Ada dua hal yang secara paradoks dipengaruhi oleh peran guru ini.
kurang atau rendah, anggapan guru yang keliru mengenai perundungan dan kurang
perilaku perundungan. Terdapat pula aspek pada diri individu yang juga memegang
pergulatan atau konflik batin ketika akan memutuskan untuk menjadi pelaku
Nilai positif yang dimiliki antara lain; tidak melakukan kekerasan kepada orang lain
dari kakak kelas walaupun tidak suka. Pengetahuan yang mereka ketahui adalah
tentang agama yang tidak mengajarkan untuk menyimpan dendam dan melakukan
166
kedholiman terhadap orang lain. Pada situasi ini, korban perundungan bersikap
adaptif dan memutuskan tidak menjadi pelaku perundungan. Adapun santri yang
pendidikan pesantren yang diikuti) yang kurang baik. Merujuk pada desakan teman
kemungkinan bahwa identitas yang dibentuk oleh pelaku dengan cara konsensus
eksternal. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori perkembangan psikososial Erikson,
yang mana identity vs role confusion terjadi ketika individu menginjak usia remaja
awal (Santrock, 2012). Lebih jauh dalam hal pembentukan identitas, Marcia (1966)
perubahan korban menjadi pelaku tampaknya berada pada tahap awal, yaitu
diffusion. Ciri-ciri yang khas pada tahap ini adalah tekanan teman sebaya terhadap
rendahnya keterikatan dengan orangtua (atau dalam hal ini adalah ustadz/guru). Hal
ini menjelaskan bahwa internalisasi (secara individual) cukup sulit dilakukan pada
perkembangan identitasnya.
Sementara itu, faktor risiko yang ikut berperan dalam pengambilan keputusan
ritual penerimaan santri baru sebagai anggota baru di pesantren. Faktor lain yang
167
perundungan tersebut. Bentuk penguatan yang diharapkan berupa rasa hormat yang
perilaku perundungan tetap dilakukan. Dengan kata lain, pada aspek kognisi dan
afeksi yang keliru, santri junior korban perundungan menjadi pelaku perundungan
dalam dinamika yang saling berkaitan dengan faktor lingkungan dan situasi
pelaku, lingkungan, dan perundungan dapat dilihat pada gambar bagan alur proses
triadic dapat dilihat pada gambar 10. Adapun tiga komponen utama pada proses
triadic ini adalah pelaku, lingkungan dan perilaku perundungan. Pelaku memiliki
168
merupakan fenomena yang terjadi sebagai akibat dari faktor lainnya sekaligus
BAB VII
PEMBAHASAN
menjadi tujuan dari riset atau penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan
proses perubahan korban menjadi pelaku perundungan berlangsung dalam enam (6)
tahap, yaitu menjadi korban perundungan, fase tersakiti, fase frustasi, fase adaptasi,
fase mencoba, dan menjadi pelaku perundungan. Pada setiap fase tersebut, terdapat
karakteristik yang tipikal atau khas yang menjadi diferensiasi tahapan (fase)
kurikulum sendiri yang berfokus kepada pendidikan agama. Ciri khas lain pesantren
adalah siswa atau santri tinggal di asrama dengan berbagai pembelajaran keilmuan
kalangan santri senior dan santri junior. Unsur senioritas santri tersebut berpotensi
170
umum sudah sering diungkap oleh peneliti lain, sementara itu hasil riset tentang
itu, penelitian ini merupakan upaya keilmuan yang otentik untuk memaparkan
korban kekerasan memiliki potensi untuk melakukan kekerasan di masa yang akan
datang (Ttofi, Farrington & Losel, 2012). Hasil annual bullying survey (2016)
menyebutkan hanya satu persen saja yang murni pelaku, selebihnya adalah korban
yang menjadi pelaku. Kebanyakan pelaku juga merangkap sebagai korban atau
dilakukan oleh institusi pendidikan yang didanai oleh pemerintah Inggris. Data
pelaku perundungan di sekolah adalah mereka yang juga pernah menjadi korban,
yang rata-rata mereka bukannya memiliki harga diri dan kepercayaan diri yang
171
tinggi namun justru mengalami perasaan depresi, tertekan, dan masalah emosional
Sementara itu, berkaitan dengan siswa atau santri yang memiliki ciri khas
perundungan yang seringkali berasal dari senior atau kakak kelas santri di asrama.
sekolah asrama (Pfeiffer & Pinquart, 2014; Cross, Lester & Mandel, 2015; Edling
& Francia, 2017). Siswa juga telah menjadi saksi jika perundungan terjadi disekitar
Selain itu, jumlah yang cukup besar mencapai 49% pelajar tingkat 4 hingga
tindakan perundungan, paling tidak sekali pada akhir bulan. Rata rata 30% pelajar
mengakui mereka melakukan perundungan pada seseorang. Salah satu data yang
menjadi perhatian penting pada jumlah sekitar 60% anak yang menjadi korban
perundungan lalu memberikan intervensi yang tepat kepada siswa atau santri yang
Hal serupa juga terjadi di pesantren yang menggunakan asrama untuk para
172
rendahnya empati kepada santri lain yang dirundung dengan pemahaman kognitif
yang keliru, yaitu keyakinan bahwa perundungan efektif membuat santri lain
puas kepada diri pelaku saat melakukan perilaku perundungan berupa tindakan
bahwa perundungan sudah menjadi tradisi pesantren sehingga peran ini melekat
bahwa perundungan merupakan tradisi yang harus dijaga secara terus menerus.
Kondisi kognitif yang demikian ini oleh Albert Bandura disebut individu
kekerasan (perlakuan ustadz dan penjaga asrama) menjadi salah satu penyebab
173
yang diterima oleh santri memunculkan moral distress dalam dirinya, yaitu afeksi
negatif seperti, marah, kecewa, takut, ingin membalas, dan tidak dapat
diekspresikan karena tekanan lingkungan tersebut. Oleh sebab itu, dendam muncul
dalam diri santri. Selanjutnya, santri akan bereaksi untuk mengatasi dendam yang
dirasakan, baik itu reaksi yang konstruktif maupun destruktif. Bagi santri yang
situasi perundungan sebagai perbuatan yang tidak baik sehingga tidak akan berubah
menjadi pelaku perundungan. Di sisi lain, bagi santri yang memutuskan untuk
bereaksi negatif, maka santri akan terjebak pada rasa frustrasi ingin membalas yang
tertunda karena situasi. Sedikit berbeda dengan penelitian Hyatt (2017) bahwa
penelitian ini ditemukan fase yang terjadi setelah moral distress sebelum sampai
pada disonansi kognitif adalah fase santri mengalami frustrasi dalam perubahannya
menjadi pelaku yang ditandai dengan kondisi afektif berupa tidak terima, khawatir
dan kondisi kognitif berupa ingin pindah sekolah yang muncul dalam diri santri.
ini juga diindikasikan sebagai moral dilemma yang juga sedikit berbeda dengan
174
perundungan, yakni kecenderungan tinggi dan rendah. Penelitian ini akan fokus
kognitif sebagaimana Hyatt (2017) sampaikan juga terjadi pada santri yang
cenderung mengarah menjadi pelaku. Selanjutnya, santri yang sedikit demi sedikit
mengarah menjadi pelaku akan mengalami “mati rasa” secara moral, atau dikenal
dengan istilah moral numbness. Hal ini ditandai dengan dirinya yang mulai
sikap santri yang hormat dan menghargai senior membuat juga memperkuat moral
numbness pada diri santri. Keinginan yang kuat untuk mendapatkan pengakuan
complex Adler (Feist dan Feist, 2018), yakni perasaan superior dari orang lain
sebagai koping dari inferioritas individu di masa lalu ditemukan dalam dinamika
ini. Superiority complex yang muncul pada korban menjadi pelaku adalah dorongan
mengkompensasi dirinya sebagai korban yang lemah di masa lalu dengan menjadi
pribadi kuat dan mengekspresikannya pada pribadi yang lemah seperti dirinya di
masa lalu. Dinamika ini kemudian bermuara pada perilaku perundungan. Fase
175
terakhir, yaitu moral disengagement sebagai hasil dari fase ini ditandai dengan
keyakinan bahwa perundungan menjadi tradisi pesantren yang melekat pada status
sebagai senior.
faktor dalam suatu model perundungan. Salah satu perspektif social ecological oleh
ini adalah orangtua, guru, dan orang yang memiliki hubungan yang dekat dengan
Sementara itu, The Path of Bullying menjelaskan bahwa proses untuk menjadi
performing phase, the perpetuating phase dan withdrawing phase (Lam & Liu,
dari korban menjadi pelaku. Oleh karena itu, riset ini berupaya menjelaskan
176
pertama adalah menjadi korban perundungan yaitu individu atau santri mengalami
perundungan yang dilakukan senior. Pada fase ini merupakan tahap awal individu
tampak pada fase kedua, yaitu fase tersakiti yang menciptakan reaksi marah,
kecewa, ingin balas dendam, takut, atau bahkan merasa tidak berdaya. Beberapa
menunjukkan tahapan reaksi psikologis berupa emosi negatif sebagai dampak dari
munculnya emosi negatif santri korban yang akan terus bergerak sesuai dengan
dirasakan korban dari fase kedua tersebut ditentukan oleh fase ketiga, yaitu fase
frustasi.
Fase frustasi memiliki irisan yang cukup besar dengan fase selanjutnya
kognitif (Festinger, 1957) muncul pada fase ini. Korban yang berkeyakinan bahwa
pikiran tersebut pada perilaku telah memiliki kognitif yang konsonan. Sebaliknya,
korban yang juga berkeyakinan bahwa perilaku perundungan merupakan hal yang
177
individu tersebut telah memiliki kognitif yang disonan. Pada fase ini, pergerakan
penurunan emosi negatif. Sebaliknya, korban yang tidak mampu akan terus
Pada fase keempat yang disebut fase koping maladaptif, korban perundungan
mulai menunjukkan pola reaktif dari gejala malasuai pada fase sebelumnya. Pada
individu muncul perasaan-perasaan tidak aman, akan tetapi individu belajar untuk
mendapatkan atau memperoleh rasa aman. Selain itu, pada fase ini individu juga
senioritas dari kalangan adik kelas atau korban perundungan (eksternal atau
perundungan sebagai hal yang tidak perlu dikarenakan pernah mengalami sendiri
dan memunculkan rasa iba kepada junior sebagai calon korban selanjutnya. Korban
yang konsonan secara kognitif akan mengalami emosi negatif yang semakin
menurun. Sebaliknya, korban yang disonan dan rentan menjadi pelaku akan terus
mengalami peningkatan emosi negatif. Polarisasi antara korban yang konsonan dan
disonan secara kognitif akan semakin kuat dengan adanya faktor internal dan
eksternal, seperti perasaan menjadi senior, perasaan iba, percaya diri, anggapan
178
dukungan teman. Dengan demikian, pada fase ini menjelaskan bahwa individu
berada dalam tahap beradaptasi dan menunggu untuk memutuskan keluar dari
perundungan atau menjadi bagian dari pelaku perundungan. Oleh sebab itu, fase ini
menjadi penting untuk memberikan berbagai intervensi preventif agar korban tidak
masuk kepada fase selanjutnya, khususnya apabila faktor internal dan eksternal
maka individu tetap pada fase adaptasi dan cenderung menghindar dari kondisi
perundungan. Apabila intervensi yang tepat tidak diberikan, korban yang rentan
akan masuk pada tahap awal sebagai pelaku perundungan pada fase kelima, yaitu
fase mencoba.
Pada fase kelima yang disebut fase mencoba, korban perundungan sudah
memasuki tahap awal sebagai pelaku perundungan. Hal itu terjadi didukung oleh
faktor internal dan eksternal. Korban akan membangun afeksi dan kognisi yang
lalu, konflik dan perdebatan diri antara nilai kemanusiaan dan rasa dendam paska
menjadi korban perundungan, serta persepsi yang negatif terhadap pesantren, salah
satunya adalah pengabaian dari ustadz dan pengelola pesantren terkait kondisi
perundungan. Proses mental yang terjadi pada korban diperkuat dengan faktor
penguat/reinforcer perilaku rundung. Pada fase ini, emosi negatif terus meningkat
dan cenderung memberikan dampak negatif. Apabila korban terus terhanyut dalam
179
kondisi mental negatif disertai dengan dorongan dari faktor eksternal, maka korban
akan melepaskan statusnya sebagai korban dengan memasuki fase keenam, yakni
memahami perubahan korban menjadi pelaku perundungan. Pada bagian awal yang
individu yang dialaminya sampai kepada individu menikmati situasi sebagai pelaku
180
timbal balik. Ada tiga komponen utama pada proses triadic perundungan di
merupakan fenomena yang terjadi sebagai akibat dari faktor lainnya sekaligus
perundungan.
181
nama Model The Path of Bullying Pada riset tersebut menjelaskan tahapan korban
proses tentang perundungan dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu rejecting
phase, the performing phase, the perpetuating phase dan withdrawing phase (Lam
menjadi pelaku sampai penarikan diri dari perilaku perundungan. Akan tetapi,
pelaku, khususnya pada bagian proses pengambilan keputusan santri apakah santri
mengambil keputusan untuk tidak ikut serta menjadi pelaku perundungan dan
beradaptasi dalam peran fungsi santri pada proses pembelajaran meskipun santri
menjadi korban (adaptif). Oleh karena itu, penulis menyimpulkan adanya temuan
baru dan keunikan dalam riset ini, khususnya pada fase ketiga, yaitu fase adaptasi
preventif dan kuratif kepada siswa atau santri yang menjadi korban perundungan.
fase ketiga yang menentukan pengambilan keputusan dan sekaligus, yaitu 4) Fase
182
pada fase adaptasi. Pendampingan psikologis kepada santri bisa diberikan dalam
bentuk program preventif menjadi pelaku perundungan dan program kuratif agar
dalam riset ini bisa dilihat pada gambar 11 pada halaman selanjutnya.
Maladaptif
Penghindaran
Menjadi pelaku
perundungan
pendekatan psikologis sebagai temuan baru dalam penelitian ini menjadi sentral
183
perundungan menjadi korban perundungan yang dapat dicegah pada tahap atau fase
ketiga. Dengan keterlibatan tenaga ahli dari psikologi dan pemangku kepentingan
psikologis dalam bentuk tahapan teoretis (stages theory) dalam riset ini mampu
mendeskripsikan tahap tertentu pada proses perundungan yang dapat memutus mata
(outcome) atau dampak teoretis khususnya bagi akademisi dan praktisi psikologi
untuk memahami dinamika perundungan yang utuh pada santri yang berawal
perundungan yang utuh yang ditemukan melalui enam fase tersebut dan perubahan
yang terjadi pada setiap fase di atas, hasil temuan penelitian ini dapat dikategorikan
Perundungan yang bersifat sekuensial dan memiliki alur tertentu (stages theory).
Selain itu, temuan yang didasarkan dari analisis menggunakan perspektif teori juga
Secara lebih rinci implikasi teoretis dari temuan dalam penelitian ini mencakup hal
sebagai berikut:
184
enam fase yang dialami siswa atau santri di pesantren. Teori substantif tersebut
2) Menilik dari tahapan moral disengagement Hyatt (2017), yaitu moral distress,
Hendriani, 2020).
4) Faktor internal dan eksternal pada santri sebagai individu pada fase adaptasi
bersifat preventif dapat diberikan kepada santri agar tidak mengalami transisi
dalam mengupayakan bentuk intervensi bagi santri di sekolah dan asrama yang
185
dan orang tua santri sebelum anak didik memasuki pesantren atau sekolah
2) Pada waktu proses belajar mengajar berlangsung di pesantren, guru dan santri
penelitian ini.
kebijakan-kebijakan yang melibatkan guru, orang tua, santri, dan tenaga ahli.
Dengan kebijakan tersebut, implikasi atau dampak praktis dari temuan dalam
referensi oleh Lam dan Liu (2007) yang mengungkap dinamika psikologis pelaku
perundungan, namun terbatas pada perubahan saksi menjadi pelaku. Oleh sebab itu,
186
dalam penelitian ini agar kontruksi yang dihasilkan memenuhi syarat logis dan
BAB VIII
PENUTUP
8.1. Simpulan
1. Penjelasan teoretik yang telah dibangun melalui penelitian ini menghasilkan
mencoba, dan fase menjadi pelaku. Korban akan mengalami perubahan emosi
menjadi pelaku. Pada fase koping maladaptif, korban akan berada pada titik
188
perubahan dari korban menjadi pelaku yaitu: faktor protektif, faktor risiko,
dan lingkungan. Sementara itu, terdapat tiga komponen utama pada proses
terjadi sebagai akibat dari faktor lainnya sekaligus secara timbal balik
8.2. Saran
1. Bagi peneliti selanjutnya, temuan penelitian ini dapat menjadi salah satu
bahan refleksi diri bagi santri untuk mengidentifikasi perasaan dan pikiran
189
tersebut dalam diri, terutama memahami bahwa terdapat “pilihan sadar” untuk
3. Bagi pengelola dan guru pesantren untuk dapat membuat program yang tepat
titik krusial di fase koping maladaptif, pengelola dan guru pesantren dapat
mencari waktu yang tepat untuk melaksanakan program tersebut. Salah satu
untuk menjadi kakak pembimbing untuk beberapa santri junior yang mana
proses interaksi senior-junior diawasi oleh guru pesantren. Program ini juga
dapat menjadi wadah untuk senior santri mengalihkan perilaku dan emosi
dibuat secara umum (seluruh remaja) maupun secara spesifik, misalnya pada
siswa tahun kedua atau menengah yang masih berada pada situasi menjadi
junior sekaligus senior. Siswa ini rentan dikarenakan berada pada titik penting
DAFTAR PUSTAKA
Akers, R. L. (2010). Social Learning and Social Structure: A General Theory of Crime and
Deviance. New Jersey: Transaction Publisher.
Allonson, P. B., Lester, R. R., & Notar, C. E. (2015). A history of bullying. International
Journal of Education and Social Science, 31-36.
Amin, H (2004). Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern, Jakarta: Diva Pustaka.
Anderson, C. A., & Huesmann, L. R. (2007). Human aggression: A social- cognitive view.
In M. A. Hogg & J. Cooper (Eds.), The sage handbook of social psychology (pp.
259-287). London: Sage Publications.
Apsari, F. (2013). Hubungan antara harga diri dan disiplin sekolah dengan perilaku
bullying pada remaja. Jurnal Penelitian Humaniora, 14, 9-1.
Aroma, I. S., Suminar, D. R. (2012). Hubungan Antara Tingkat Kontrol Diri Dengan
Kecenderungan Perilaku Kenakalan Remaja: Jurnal Psikologi Pendidikan dan
Perkembangan, 1, (2), 1-6
Ayoko, O., & Hartel, C. (2003). The Role of Space as Both a Conflict Trigger and a Conflict
Control Mechanism in Culturally Heterogeneous Workgroups. Applied Psychology:
An International Review, 2003, 52 (3), 383–412.
Bacchini, E., Esposito, G., & Affuso, G. (2009). School experience and school bullying.
Journal of Community & Applied Social Psychology, 19, 17–32.
http://dx.doi.org/10.1002/casp.975
Baldry, A. C. (2003). Bullying in schools and exposure to domestic violence. Child Abuse
& Neglect, 27, 713–732. doi: 10.1016/S0145-2134(03)00114- 5.
Baldry, A. C., & Farrington, D. P. (1999). Brief report: Types of bullying among Italian
school children. Journal of Adolescence, 22, 423–426.
http://dx.doi.org/10.1006/jado.1999.0234
Ball, H. A., Arseneault, L., Taylor, A., Maughan, B., Caspi, A., & Moffitt, T. E. (2008).
Genetic and environmental influences on victims, bullies and bully- victims in
191
Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A social cognitive theory.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Barboza, G. E., Schiamberg, L. B., Oehmke, J., Korzeniewski, S. J., Post, L. A., & Heraux,
C. G. (2009). Individual characteristics and the multiple contexts of adolescent
bullying: An ecological perspective. Journal of Youth and Adolescence, 38, 101–
121. http://dx.doi.org/ 10.1007/s10964-008-9271-1
Barzilay et al. (2017). Bullying Victimization and Suicide Ideation and Behavior Among
Adolescents in Europe: A 10-Country Study. Journal of Adolescent Health xxx
(2017) 1e8
Bauman, S., & Del Rio, A. (2006). Preservice teachers’ responses to bullying scenarios:
Comparing physical, verbal, and relational bullying. Journal of Educational
Psychology, 98, 219 –231. http://dx.doi.org/ 10.1037/0022-0663.98.1.219
Bawani, I. (1993). Tradisionalisme dalam pendidikan Islam: studi tentang daya tahan
pesantren tradisional. Al-Ikhlas.
Bernard, M. E., & Milne, M. L. (2008). School procedures and practices for responding to
students who bully. A Report for Victorian Department of Education and Early
Childhood Development.
Björkqvist, K., Österman, K., & Kaukiainen, A. (2000). Social intelli-gence— Empathy
aggression? Aggression and Violent Behavior, 5, 191–200.
http://dx.doi.org/10.1016/S1359-1789(98)00029-9
Black, S A., & Jackson E. (2007). Using bullying incident density to evaluate the Olweus
Bullying Prevention Programme. Sch. Psychol. Int. 28: 623–638.
Bloom, A. (2008). Bullying policies miss the point. Times Educational Supplement, 4783,
30.
192
Boemmel, J., & Briscoe. J. (2001) Web quest project theory fact sheet of urie
bronfenbrenner.
Bogdan, R.,C & Bliken, S. K (1982). Qualitative research for education: An introduction
to theory and methods. Massachusetts: Allyn & Bacon, Inc.
Bogdan, R.C., & Biklen, S.K.B. (1998). Qualitative research for education to theory and
methods. Boston: Allyin and Bacon inc.
Bonanno, R., & Hymel, S. (2010). Beyond hurt feelings: Investigating why some victims
of bullying are at greater risk for suicidal ideation. Merrill-Palmer Quarterly, 56,
420 – 440. http://dx.doi.org/10.1353/mpq.0.0051
Boulton, M. J., Trueman, M., & Flemington, I. (2002). Associations between secondary
school pupils’ definitions of bullying, attitudes towards bullying, and tendencies to
engage in bullying: Age and sex differences. Educational Studies, 28, 353–370.
doi:10.1080/0305569022000042390.
Bowes, L., Arseneault, L., Maughan, B., Taylor, A., Caspi, A., & Moffitt, T. E. (2009).
School, neighborhood, and family factors are associated with children’s
bullyinginvolvement: A nationally representative longitudinal study. Journal of the
American Academy of Child Adolescent Psychiatry, 48, 545–553.
doi:10.1097/CHI.0b013e31819cb017.
Burton, N. (2020). What Are Basic Emotions? Emotions such as Fear and Anger are
Hardwired. Psychology Today. Diakses pada 22 Maret 2020.
Bussey, K., & Bandura, A. (1999). Social cognitive theory of gender development and
differentiation. Psychological Review, 106, 676–713. doi: 10.1037/0033-
295X.106.4.676.
Card, N. A., Isaacs, J., & Hodges, E. V. E. (2007). Correlates of school victimization:
Implications for prevention and intervention. In J. E. Zins, M.J. Elias, & C. A. Maher
(Eds.), Bullying, victimization, and peer harassment: A handbook of prevention and
intervention (pp. 339 –366). New York, NY: Haworth Press.
Carney. A.G., & Merrell. K W. (2001). Bullying in schools : perspecti ves on understanding
and preventing an international problem. School Psychology International. 22: 364
Carvalo, E.P.Y., Permatasari, D., & Faizah. (2015). Hubungan dukungan sosial teman
sebaya dengan depresi pada remaja yang mengalami bullying.
193
Chapell, M., Casey, D., De la Cruz, C., Ferrell, J., Forman, J., Lipkin, R., Newsham, M.,
Sterling, M., & Whitaker, S. (2004) Bullying in university by students and teachers
[Electronic Version]. Adolescence, 39, 53 – 64.
Chaux, E., Molano, A., & Podlesky, P. (2009). Socio-economic, socio-political and socio-
emotional variables explaining school bullying: A country-wide multilevel analysis.
Aggressive Behavior, 35, 520 –529. http://dx.doi.org/10.1002/ab.20320
Clare, M. H., Landau, W. M., & Bishop, G. H. (1969). The relationship of optic nerve fiber
groups activated by electrical stimulation to the consequent central postsynaptic
events. Experimental neurology, 24(3), 400-420.
Cochran, J. K., Maskaly, J., Jones, S., Sellers, C. S. (2015). Using Structural Equations to
Model Akers’ Social Learning Theory With Data on Intimate Partner Violence:
Crime & Delinquency, 1-22
Coloroso, B. (2007). Stop Bullying (Memutus rantai kekerasan anak dari prasekolah
hingga smu). Jakarta: PT. Ikrar Mandiri abadi.
Cook, C. R., Williams, K. R., Guerra, N. G., Kim, T. E., & Sadek, S. (2010). Predictors of
bullying and victimization in childhood and adolescence: A meta-analytic
investigation. School Psychology Quarterly, 25, 65–83.
Collins, W. A., Maccoby, E. E., Steinberg, L., Hetherington, E. M., & Bornstein, M. H.
(2000). Contemporary research on parenting: The case for nature and nurture.
American psychologist, 55(2), 218.
Cornell, D., & Limber, S. P. (2015). Law and policy on the concept of bullying at school.
American Psychologist, 70(4), 333.
Craig, W. M., & Pepler, D. (1995). Observations of bullyingin the playground and in the
classroom. School Psychology International, 21, 22–36.
doi:10.1177/0143034300211002.
Craig, W., Pepler, D., & Blais, J. (2007). Responding to bullying: What works?. School
psychology international, 28(4), 465-477.
Craig, W, M., & Pepler, D. J. (1998). Observations of Bullying and victimization in the
school yard. Canadian Journalof School Psychology. 13. 41-59.
http://dx.doi.org/10.1177/082957359801300205
Craig, W. M., Pepler, D., & Atlas,R. (2000).Observations of bullying in the playground and
in the classroom. School Psychology International, Special Bullies and Victims, 21,
22-36.
Creswell, J.W. (2015). Penelitian Kualitatif dan desain riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
194
Cross, Lester, & Mandel. (2015). A Longitudinal Study of the Social And Emotional
Predictors And Consequences Of Cyber And Traditional Bullying Victimization.
International Journal of Public Health, 60 (2).
Cullerton-Sen, C., & Crick, N. R. (2005). Understanding the effects of physical and
relational victimization: The utility of multiple perspec-tives in predicting social-
emotional adjustment. School Psychology Review, 34, 147–160
Cunningham, T., Hoy, K., & Shannon, C. (2016). Does childhood bullying lead to the
development of psychotic symptoms? A meta-analysis and review of prospective
studies. Psychosis, 8(1), 48-59.
Derksen, D. J., & Strasburger, V. C. (1996). Media and Television Violence: Effects on
Violence, Aggression, and Antisocial Behaviors in Children (From Schools,
Violence, and Society, P 62-77, 1996, Allan M Hoffman, ed.-See NCJ-170982).
Desiree. (2012). Bullying di pesantren. Jurnal Psikologi. FSIP_UI Dolby, R. (2011). About
bullying. Every Child, 17(1), 33.
Doll, B., Song, S., & Siemers, E. (2004). Classroom ecologies that support or discourage
bullying. In D. L. Espelage & S. M. Swearer (Eds.), Bullying in American schools:
A social-ecological perspective on pre-vention and intervention (pp. 161–183).
Mahwah, NJ: Erlbaum.
Donegan, R. (2012). Bullying and cyberbullying: History, statistics, law prevention and
analysis. The Elon Journal of Undergraduate Research in Communications, 3, 33-
42
Edling, S., & Francia, G. (2017). Children's rights and violence: A case analysis at a
Swedish boarding school. Sage Journal, 24, 51-67. Doi:
https://doi.org/10.1177/0907568216634063
Elise, G., Lawrence, B. Æ., James, B. S. Æ., Korzeniewski, S. J., Post, Æ. L. A., & Heraux,
Æ.
Espelage, D. L, Bosworth, K., & Simon, T. R. (2000). Examining the social context of
bullying behaviors in early adolescence. Journal of Counseling and Development,
78, 326–333. doi:10.1002/j.15566676.2000.tb01914.x.
195
Espelage, D. L., & Holt, M. K. (2001). Bullying and victimization during early
adolescence: Peer influences and psychosocial corre-lates. Journal of Emotional
Abuse, 2, 123–142. http://dx.doi.org/ 10.1300/J135v02n02_08
Espelage, D. L., Gutgsell, E. W., & Swearer, S. M. (Eds.). (2004). Bullying in American
schools: A social-ecological perspective on prevention and intervention. routledge.
Evans, C. B., Fraser, M. W., & Cotter, K. L. (2014). The effectiveness of school- based
bullying prevention programs: A systematic review. Aggression and Violent
Behavior, 19(5), 532-544.
Fahmi, M. H. (2021). Viral Aksi Bullying dan Kekerasan Terhadap Santri di Pesantren,
Diduga Berulang Kali Dilakukan Anak Kyai. Diakses melalui pikiranrakyat.com
pada 5 Februari 2021.
Fanti, K. A., & Kimonis, E. R. (2012). Bullying and victimization: The role of conduct
problems and psychopathic traits. Journal of Research on Adolescence, 22, 617–
631. http://dx.doi.org/10.1111/j.1532- 7795.2012.00809.x
Farmer, T. W., Petrin, R., Robertson, D., Fraser, M., Hall, C., Day, S., & Dadisman, K.
(2010). Peer relations of bullies, bully-victims, and victims: The two social worlds
of bullying in second-grade classrooms. The Elementary School Journal, 110, 364 –
392. http://dx.doi.org/ 10.1086/648983
Fazio, R. H., & Olson, M. A. (2007). Attitudes: Foundations, functions, and consequences.
In M. A. Hogg & J. Cooper (Eds.), The sage handbook of social psychology (pp.
123–145). London, England: Sage.
Ferguson, C. J., San Miguel, C., & Hartley, R. D. (2009). A multivariate analysis of youth
violence and aggression: The influence of family, peers, depression, and media
violence. The Journal of Pediatrics, 155, 904 –908. e3.
http://dx.doi.org/10.1016/j.jpeds.2009.06.021
Feist, J., Feist, G. (2018). Theories of Personality, 9th ed (9). : McGraw-Hill International
Editions
Finiswati, E., & Matulessy, A. (2018). Kecendrungan melakukan bullying ditinjau dari
jenis kelamin dan urutan kelahiran pada santri di Pondok Pesantren. Fenomena:
Jurnal Psikologi, 1, 13-23.
196
Frey et al. (2005). Reducing playground bullying and supporting beliefs: An experimental
trial of the steps to respect program. Developmental Psycholog, 41, 479–49.
Gage, N. A., Prykanowski, D. A., & Larson, A. (2014). School climate and bullying
victimization. A Latent Class Growth Model Analysis, 29, 256–271. Gendron, B.,
Williams, K., & Guerra, N. (2011). An analysis of bullying among students within
schools: Estimating the effects of individual normative beliefs, self-esteem, and
school climate. Journal of school violence, 10, 150-164.
http://dx.doi.org/10.1080/15388220.2010.539166.
Gini, G., & Pozzoli, T. (2006). The role of masculinity in children’s bullying. Sex Roles,
54, 585–588. http://dx.doi.org/10.1007/s11199-006-9015-1
Gini, G., & Pozzoli, T. (2013). Bullied children and psychosomatic problems: A meta-
analysis. Pediatrics, 132, 720 –729. http://dx.doi.org/ 10.1542/peds.2013-0614
Gladden, R.M., Vivolo-Kantor, A.M., Hamburger, M.E., & Lumpkin, C.D. (2014) Bullying
surveillance among youths: uniform definitions for public health and recommended
data elements. Centers for Disease Control and Prevention.
Graham, S. (2011). What educators need to know about bullying. Educational Horizons,
89, 12-15.
Graham, S., Bellmore, A., & Juvonen, J. (2007). Peer victimization in middle school: When
self- and peer views diverge. In J. E. Zins, M. J. Elias, & C. A. Maher (Eds.),
Bullying, victimization, and peer harass-ment: A handbook of prevention and
intervention (pp. 121–141). New York, NY: Haworth Press.
Graham, S., & Juvonen, J. (1998a). A social-cognitive perspective on peer aggression and
victimization. In R. Vasta (Ed.), Annals of child devel- opment (pp. 23–70). London,
UK: Jessica Kingsley.
Graham, S., & Juvonen, J. (1998b). Self-blame and peer victimization in middle school:
An attributional analysis. Developmental Psychology, 34, 587–599.
http://dx.doi.org/10.1037/0012-1649.34.3.587
Hawker, D. S., & Boulton, M. J. (2000). Twenty years' research on peer victimization and
psychosocial maladjustment: A meta-analytic review of cross-sectional studies. The
Journal of Child Psychology and Psychiatry and Allied Disciplines, 41(4), 441-455.
Hazler, R. J., Carney, J. V., Green, S., Powell, R., & Jolly, L. S. (1997). Areas of expert
agreement on identification of school bullies and victims. School Psychology
International, 18, 5-14.
197
Heusmann, H. W., & Bellville, R. H. (1982). Wood Duck research in Massachusetts, 1970–
1980. Massachusetts Division of Fisheries and Wildlife, Westborough,
Massachusetts.
HIMPSI. (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta: Pengurus Pusat Himpunan
Psikologi Indonesia.
Holt, K.M. (2004). A Premier On Bullying. Crimes against children research center.
Hyatt, J. (2017). Recognizing Moral Disengagement and Its Impact on Patient Safety.
Journal of Nursing Regulation, 7 (14).
Hymel, S., & Swearer, S. M. (n.d.). Four decades of research on school bullying, 293–299.
Juang, L. P., & Alvarez, A. N. (2011). Family , school , and neighborhood . Links To
Chinese American Adolescent Perceptions Of Racial / Ethnic Discrimination, 2, 1–
12. https://doi.org/10.1037/a0023107
Ilham. (2016). Bocah Ini Mengaku Kabur dari Pesantren karena Di-bully. Diakses melalui
https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/04/15/o5o4is361-bocah-
ini-mengaku-kabur-dari-pesantren-karena-dibully pada 7 Februari 2021.
Isni, A., & Nugroho, S. (2018). Hubungan Antara Religius Intrinsik dan Cyberbullying
pada Remaja di Pekanbaru (Skripsi). Pekanbaru. Fakultas Psikologi Universitas
Islam Riau.
Ispranoto (2018). Bocah bandung korban bully ternyata dianiaya sejak kelas 4
sd.Sumber:https://news.detik.com/jawabarat/4199065/bocah-bandung-korban-
bully-ternyata-dianiaya-sejak-kelas-4-sd
Jan, A., & Husain, S. (2015). Bullying in Elementary Schools: Its Causes and Effects on
Students. Journal of Education and Practice, 6(19), 43-56.
Janssen, I., Boyce, W. F., & Pickett, W. (2012). Screen time and physical violence in 10-
to 16-year-old Canadian youth. International Journal of Public Health, 57, 325–331.
http://dx.doi.org/10.1007/s00038-010-0221-9
Juvonen, J., & Graham, S. (2013). Bullying in school : The power of bullies and the plight
of victims. Annual Review of Psychology, 65, 159-185. Doi:
https://doi.org/10.1146/annurev-psych-010213-115030.
198
Juvonen, J., Nishina, A., & Graham, S. (2000). Peer harassment, psycho-logical
adjustment, and school functioning in early adolescence. Jour-nal of Educational
Psychology, 92, 349 –359. http://dx.doi.org/10.1037/ 0022-0663.92.2.349
Kaltiala-Heino, R., Rimpelä, M., Marttunen, M., Rimpelä, A., & Ran-tanen, P. (1999).
Bullying, depression, and suicidal ideation in Finnish May–June 2015 , American
Psychologist 351 adolescents: School survey. British Medical Journal,
319, 348–351. http://dx.doi.org/10.1136/bmj.319.7206.348
Kass, S. (1999). Bullying widespread in middle school, say three studies. APA Monitor,
30(9), 1-2.
Kawabata, N. (2001) Adolescent trauma in japanese school: Two case studies of ijimaand
school refusal. Journal of American Academy of Psychoanalysis, 85-103
Knack, J. M., Jensen-Campbell, L. A., & Baum, A. (2011). Worse than sticks and stones?
Bullying is associated with altered HPA axis func-tioning and poorer health. Brain
and Cognition, 77, 183–190. http://dx.doi.org/10.1016/j.bandc.2011.06.011
Knoll, M., Weigelt, O., Petersen, L. (2015). Examining the moral grey zone: The role of
moral disengagement, authenticity, and situational strength in predicting unethical
managerial behavior. Journal of Applied Social Psychology.
Konishi, C., Hymel, S., Zumbo, B. D., & Li, Z. (2010). Do school bullying and student-
teacher relations matter for academic achievement? A multilevel analysis. Canadian
Journal of School Psychology, 25, 19 – 39.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia. (2020). Sejumlah Kasus Bullying Sudah Warnai
Catatan Masalah Anak di Awal 2020, Begini Kata Komisioner KPAI. Indonesia:
KPAI.
Koo, H. (2007). A time line of evaluation of school bullying in differing social contexts.
Asia Pacific Education Review, 8, 107-116.
Kim, Y, S., Koh, Y., & Leventhal, B, L. (2004). Prevelence of school bullying in Korean
middle school students. Archives of Pediatric and Adolecent Medicine, 158 , 737-
741
Lam, D.O.B & Liu, A.W.H. (2007). The path through bullying—A process model from the
inside story of bullies in Hong Kong secondary schools. Child and Adolescent Social
Work Journal, 24.
199
Lee, C.-H., & Song, J. (2012). Functions of parental involvement and effects of school
climate on bullying behaviors among south korean middle school students. Journal
of Interpersonal Violence, 27, 2437–2464. doi:
https://doi.org/10.1177/0886260511433508
Li, Q (2008). Bullying, school violence and more. A Research Model, 19, 1-15.
Licata, V. F. (1987). Creating a positive school climate at the junior high level. Paper
presented at the Annual Meeting of the Michigan Association of Middle School
Educators. Birmingham, A.L
Loke, A.Y., Mak, Y.W. & Wu, C.S.T. (2016). The association of peer pressure and peer
affiliation with the health risk behaviors of secondary school students in Hong Kong.
Public Health 137, 113–123
Madjid, N. (1997). Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia.
Jakarta: Paramadina.
Mastuhu, (1994). Dinamika sistem pendidikan pesantren: Suatu kajian tentang unsur dan
nilai sistem pendidikan pesantren. Jakarta: INIS
Marthunis., & Authar, N. (2017). Bullying at Aceh modern islamic boarding school
(Pesantren) Teacher’s perceptions and inverventions. Sukma: Jurnal Pendidikan, 1,
219-248.
Marsh, H. W., Lüdtke, O., Nagengast, B., Trautwein, U., Morin, A., Abduljabbar, A., &
Köller, O. (2012). Classroom climate and contex-tual effects: Conceptual and
methodological issues in the evaluation of group-level effects. Educational
Psychologist, 47, 106 –124. http://dx.doi.org/10.1080/00461520.2012.670488
Mayasari, I & Nugroho, S (2018). Gambaran Bullying pada Anak Berkebutuhan Khusus
di Pekanbaru. Pekanbaru. Fakultas Psikologi Universitas Islam Riau Mawarni, R.,
Hardjono., & Andayani, T.R. (2015). Hubungan antara mencari sensasi dan empati
dengan school bullying pada remaja putra kelas X dan XI di Madrasah Mu'alliin
Muhammadyah Yogyakarta. Skripsi. Universitas Sebelas Maret
Mihailides, S., Graffam, J., Sinclair, W.A., Sisko, A. (2018). Forensic, Medicinal
Deployment of Methamphetamine, for Metacognition, CBT, Relapse Prevention
Innovation and Sexual Traumas. J Forensic Sci & Criminal Inves 2018; 11(2):
555809. DOI:10.19080/JFSCI.2018.11.555809
Miller, N. E., & Dollard, J. (1941). Social learning and imitation. New Haven, CT: Yale
University Press
Mishna, F. (2012). Bullying: A guide to research, intervention, and prevention. OUP USA.
200
Mouttapa, M., Valente, T., Gallaher, P., Rohrbach, L. A., Unger, J. B. (2004). Social
network predictors of bullying and victimization. Adolescence, 39, 315–335.
Retrieved from http://www.ncbi.nlm.n-ih.gov/pubmed/15563041.
Muñoz, L. C., Qualter, P., & Padgett, G. (2011). Empathy and bullying: Exploring the
influence of callous-unemotional traits. Child Psychiatry and Human Development,
42, 183–196. http://dx.doi.org/10.1007/ s10578-010-0206-1
Nuriana, I. (2016). Reproduksi Kekerasan Dalam Relasi Antara Mahasiswa Senior Dan
Mahasiswa Junior (Studi Deskriptif Pada Pelaksanaan Orientasi Pengenalan
Kampus Mahasiswa Fisip Universitas Airlangga)(Doctoral Dissertation, Universitas
Airlangga).
Navarro, R., Larrañaga, E., & Yubero, S. (2011). Bullying-victimization problems and
aggressive tendencies in Spanish secondary school stu-dents: The role of gender
stereotypical traits. Social Psychology of Education, 14, 457– 473.
http://dx.doi.org/10.1007/s11218-011-9163-1
Nesdale, D., & Naito, M. (2005). Individualism-collectivism and the attitudes to school
bullying of japanese and australian students, 36, 537–556.
https://doi.org/10.1177/0022022105278541
Nugroho, S., & Fardhana, N.A. (2018). Bullying at islamic boarding school: A pilot study
in Pekanbaru. International Journal Of Pure And Applied Mathematics, 199, 2095-
2100.
Olweus, D., (1978) Aggression in the schools. Bullies and whipping boys.
Olweus, D. (1993). Bullying at school: What we know and what we can do. Oxford:
Blackwell. Orpinas, P., & Horne, A. M. (2006). Bullying prevention: Creating a
201
Olweus, D. (2011). Bullying at school and later criminality: Findings from three Swedish
community samples of males. Criminal behaviour and mental health, 21(2), 151-
156.
O’Connell, P., Pepler, D., & Craig, W. (1999). Peer involvement in bullying: Insights and
challenges for intervention. Journal of Adolescence, 22, 437– 452.
http://dx.doi.org/10.1006/jado.1999.0238
Olson, C. K., Kutner, L. A., Baer, L., Beresin, E. V., Warner, D. E., & Nicholi, A. M., Jr.
(2009). M-rated video games and aggressive or problem behavior among young
adolescents. Applied Developmental Science, 13, 188 –198.
http://dx.doi.org/10.1080/10888690903288748
Plano Clark, V. L., & Creswell, J. W. (2008). The mixed methods reader. Patterson, G. R.
(1982). Coercive family process (Vol. 3). Castalia Publishing Company.
Patton, D. U., Hong, J. S., Patel, S., & Kral, M. J. (2015). A systematic review of research
strategies used in qualitative studies on school bullying and victimization. Trauma
Violence Abuse, (1552–8324(Electronic).
https://doi.org/10.1177/1524838015588502
Pepler, D., Craig, W., & O’Connell, P. (2010). Peer processes in bullying: Informing
prevention and intervention strategies. In S. R. Jimerson, S. M. Swearer, & D. L.
Espelage (Eds.), Handbook of bullying in schools: An international perspective (pp.
469 – 479). New York, NY: Routledge.
Pepler, D., Jiang, D., Craig, W., & Connolly, J. (2008). Developmental trajectories of
bullying and associated factors. Child Development, 79, 325– 338.
http://dx.doi.org/10.1111/j.1467-8624.2007.01128.x
Pfeiffer, J.P., & Pinquart, M. (2014). Bullying in German boarding school : A pilot study.
School Psychology International, 35, 580-591.
Poteat, V. P., Kimmel, M. S., & Wilchins, R. (2010). The moderating effect of support for
violence beliefs on masculine norms, aggressions, and homophobic behavior during
adolescence. Journal of Research on Adolescence, 21, 434–447. doi: 10.
1111/j.1532- 7795.2010.00682.x.
Proctor, C. L., Linley, P. A., & Maltby, J. (2009). Youth life satisfaction: A review of the
literature. Journal of Happiness Studies, 10, 583–630.
202
Purwono, U (2017) Partial least square dan SEM. Bahan kuliah. Universitas Airlangga:
tidak dipublikasikan.
Putri, H.N., Nauli, F.A., & Novayelinda, R. (2015). Faktor-faktor yang berhubungan
dengan perilaku bullying pada remaja. Jom, 2, 1149-1159.
Ramadhani, A., & Retnowati, S. (2013). Depresi pada remaja korban bullying. Jurnal
Psikologi, 9, 73-79.
Richard, J. F., Schneider, B. H., & Mallet, P. (2011). Revisiting the whole school approach
to bullying: Really looking at the whole school. School Psychology International,
33, 263–284. http://dx.doi.org/10.1177/0143034311415906
Richard, J. F., Schneider, B. H., & Mallet, P. (2012). Revisiting the whole-school approach
to bullying: Really looking at the whole school. School Psychology
International, 33, 263–284. https://doi.org/10.1177/0143034311415906
Rivers, I. (2000). Long-term consequences of bullying. Issues in therapy with lesbian, gay,
bisexual and transgender clients. Neal, Charles (Ed.); Davies, Dominic (Ed.); pp.
146-159. Maidenhead, BRK, England: Open University Press, 2000. xvi, 202 pp.
Rivers, I., Poteat, V., Noret, N., & Ashurst, N. (2009). Observing bullying at school: The
mental health implications of witness status. School Psychology Quarterly, 24(4),
211- 223
Rodkin, P. C., & Hodges, E. V. (2003). Bullies and victims in the peer ecology: Four
questions for psychologists and school professionals. School Psychology Review,
32(3), 384-400
Rodkin, P. C., Espelage, D. L., & Hanish, L. D. (2015). A relational framework for
understanding bullying: Developmental antecedents and outcomes. American
Psychologist, 70, 311–321. http://dx.doi.org/ 10.1037/a0038658
Rogers, C.R. (1983) Freedom to learn for the 80s. Charles Merrill Publishing Company:
London
203
Rowland, I. D. (1998). The culture of the High Renaissance: ancients and moderns in
sixteenth-century Rome (p. 101). Cambridge: Cambridge University Press.
Sandri, R. (2015). perilaku bullying pada remaja panti asuhan ditinjau darikelekatan dengan
teman sebaya dan harga diri. Jurnal Psikologi Tabularasa, 10, 43-57.
Salmivalli, C., Lagerspetz, K., Bjorkqvist, K., Osterman, K., & Kauki-ainen, A. (1996).
Bullying as a group process: Participant roles and their relations to social status
within the group. Aggressive Behavior, 22, 1–15.
http://dx.doi.org/10.1002/(SICI)1098-2337(1996)22:1 1:: AID-AB1 3.0.CO;2-T
Salmivalli, C., & Voeten, M. (2004). Connections between attitudes, group norms, and
behaviour in bullying situations. International Jour-nal of Behavioral Development,
28, 246 –258. http://dx.doi.org/10.1080/ 01650250344000488
Saraswati, M.A., & Sawitri, D.R. (2015). Konsep diri dengan kecendrungan bullying pada
siswa kelas XI SMK. Jurnal Empati, 4, 60-65.
Schneider, F., Gruman, J., & Coutts, L. (2012). Applied social psychology.
Understanding and addressing social and practical.
Sigurdson, J. F., Undheim, A. M., Wallander, J. L., Lydersen, S., Sund, M. (2015). The
long-term effects of being bullied or a bully in adolescence on externalizing and
internalizing mental health problems in adulthood: Child & Adolescent Psychiatry
& Mental Health, 9: 42, 1-13
Slee, P. T., & Rigby, K. (1993). Australian school children’s self appraisal of interpersonal
relations: The bullying experience. Child Psychiatry and Human Development, 23,
273–282. http://dx.doi.org/10.1007/ BF00707680
Smith, P. K., Talamelli, L., Cowie, H., Naylor, P., & Chauhan, P. (2004). Profiles of non-
victims, escaped victims, continuing victims and new victims of school bullying.
British Journal of Educational Psychology, 74, 565–581.
http://dx.doi.org/10.1348/0007099042376427
Spriggs, A. L., Iannotti, R. J., Nansel, T. R., & Haynie, D. L. (2007). Adolescent bullying
involvement and perceived family, peer and school relations: Commonalities and
204
Strauss, A., & Corbin, J. (1998). Basics of qualitative research: Procedures and techniques
for developing grounded theory.
Suhariadi, F., Suminar, D.R., Sugiarti, R. (2015). Literature Study Social Competence of
Gifted Intelligent Students: Asian Journal of Education and e-Learning, 3, (4), 263-
270
Sutton, J., Smith, P. K., & Swettenham, J. (1999a). Bullying and―theory of mind‖: A
critique of the social skills deficit view of anti-social behavior. Social Development,
8, 117–127. http://dx.doi.org/10.1111/ 1467-9507.00083
Sutton, J., Smith, P. K., & Swettenham, J. (1999b). Social cognition and bullying: Social
inadequacy or skilled manipulation? British Journal of Developmental Psychology,
17, 435– 450. http://dx.doi.org/10.1348/026151099165384
Shidiqi, M.F., & Suprapti, V. (2013). Pemaknaan bullying pada remaja penindas (The
bully). Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial, 2, 90-98.
Singarimbun, Masri & Effendi (2008). Metode Penelitian Survei. Edisi Revisi. Cetakan
ke19.
Simbolon, M. (2012). Perilaku bullying pada mahasiswa berasrama. Jurnal Psikologi, 39.
233-243.
Smith, P. K., & Brain, P. (2000) Bullying in school: lesson from two decades of research
agressive behevior. 28,1-9.
Spergel, M. S. (1967). MS Spergel, Nuovo Cimento 47A, 410 (1967). Nuovo Cimento, 47,
410.
Sudrajat, I., & Triyoga, B. (2016). Segregasi Gender dalam Organisasi Spasial Pesantren
Pesantren Besar di Pulau Jawa. Jurnal Perencanaan Wilayah Dan Kota, 27(2), 91–
102.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kunatitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Susantyo, B. (2017). Lingkungan dan perilaku agresif individu. Sosio Informa, 3(1).
Swearer, S. M., & Hymel, S. (2015). Understanding the psychology of bullying. 70(4),
344–353.
205
Swearer, Napolitano, S. M. (2011). Risk Factors for and Outcomes of Bullying and
Victimization (white paper; Educational Psychology Papers and Publications, Paper
132).
Thomas, H. J., Connor, J. P., Lawrence, D. M., Hafekost, J. M., Zubrick, S. R., & Scott, J.
G. (2017). Prevalence and correlates of bullying victimisation and perpetration in a
nationally representative sample of Australian youth. Australian & New Zealand
Journal of Psychiatry, 51(9), 909-920.
Tippeett, N., Houlston, C., & Smith, P, K. (2010). Prevention and response to identity-
based bullying among local authorities in England, Scotland and Wales. Unit for
School and Family Studies, Equality and Human Right Commision: London.
Ttofi, M. M., Farrington, D. P., & Lösel, F. (2012). School bullying as a predictor of
violence later in life: A systematic review and meta-analysis of prospective
longitudinal studies. Aggression and Violent Behavior, 17(5), 405-418.
Unnever, J. D., & Cornell, D. G. (2004). Middle school victims of bullying: Who reports
being bullied? Aggressive Behavior, 30, 373– 388.
http://dx.doi.org/10.1002/ab.20030
Vaillancourt, T., Hymel, S., & McDougall, P. (2003). Bullying is power: Implications for
school-based intervention strategies. Journal of Applied School Psychology, 19,
157–176. http://dx.doi.org/10.1300/ J008v19n02_10.
Van Dam, D. S., van der Ven, E., Velthorst, E., Selten, J. P., Morgan, C., & de Haan, L.
(2012). Childhood bullying and the association with psychosis in non-clinical and
clinical samples: a review and meta-analysis. Psychological medicine, 42(12), 2463-
2474.
Vaughn, M. G., Fu, Q., Bender, K., DeLisi, M., Beaver, K. M., Perron, B. E., & Howard,
M. O. (2010). Psychiatric correlates of bullying in the United States: Findings from
a national sample. Psychiatric Quarterly, 81, 183– 195.
http://dx.doi.org/10.1007/s11126-010-9128-0
Veenstra, R., Lindenberg, S., Zijlstra, B. J., De Winter, A. F., Verhulst, F. C., & Ormel, J.
(2007). The dyadic nature of bullying and victim-ization: Testing a dual-perspective
theory. Child Development, 78, 1843–1854. http://dx.doi.org/10.1111/j.1467-
8624.2007.01102.x
Viding, E., Simmonds, E., Petrides, K. V., & Frederickson, N. (2009). The contribution of
callous-unemotional traits and conduct problems to bully-ing in early adolescence.
206
Wahjoetomo. (1997). Perguruan tinggi pesantren : Pendidikan alternatif masa depan. Gema
Insani : Jakarta
Wang, C., Berry, B., & Swearer, S. M. (2013). The critical role of school climate in
effective bullying prevention. Theory Into Practice, 52, 296 –302.
http://dx.doi.org/10.1080/00405841.2013.829735
Weinstein, N. D., Rothman, A. J., & Sutton, S. R. (1998). Stage theories of health behavior:
Conceptual and methodological issues. Health Psychology, 17(3), 290–299.
https://doi.org/10.1037/0278-6133.17.3.290
Weiss, B., Dodge, K. A., Bates, J. E., & Pettit, G. S. (1992). Some consequences of early
harsh discipline: Child aggression and a maladaptive social information processing
style. Child development, 63(6), 1321-1335
White, M.A. (2004). An Australian co-education boarding school as a crucible for life: A
humanistic sociological study of students’ attitudes from their own memoirs.
Unpublished dissertation, University of Adelaide.
White, R., & Mason, R. (2012). Bullying and gangs. International Journal of Adolescent
Medicine and Health, 24, 57– 62. http://dx.doi.org/ 10.1515/ijamh.2012.008
Whitted, K S., & Dupper, D R. (2005). Best practices for preventing or reducing bullying
in schools. Children & School, 27.
Whyte, J. (1943). American Words and Ways, Especially for German Americans.Viking
Press.
Williams, K., & Guerra, N. (2007). Prevalence and predictors of Internet bullying. Journal
of Adolescent Health [Supplement], 41, 14–21. doi:
10.1016/j.jadohealth.2007.08.018.
Wisudani, R., Fardana, N.A. (2013). Hubungan Antara Faktor Kepribadian Big Five
dengan Perilaku Prososial pada Mahasiswa Keperawatan: Jurnal Psikologi Klinis
dan Kesehatan Mental, 3 (2), 97-104
Wulandari, A. W., & Muis, T. (2017). Karakteristik Pelaku Dan Korban Bullying Di Sma
Negeri 11 Surabaya. Jurnal Bk Unesa, 7(2).
207
Yani, A.L., Winarni, A., Lestari, R. (2016). Eksplorasi fenomena korban bullying pada
kesehatan jiwa remaja di pesantren. Jurnal Ilmu Keperawatan, 4, 93- 113.
Yani, A.L. (2017). Pengaruh tought stoping terhadap tingkat kecemasan remaja yang
mengalami bullying di pesantren. The Indonesian Journal Of Health Science, 08,
133-144.
Youngblade, L. M., Theokas, C., Schulenberg, J., Curry, L., Huang, I., & Novak, M.
(2007). Risk and promotive factors in families, schools, and communities:
A contextual model of positive youth development in adolescence. Pediatrics, 119,
47–53. doi: 10.1542/peds.2006-2089H.
Zuhriy, M. S. (2011). Budaya Pesantren Dan Pendidikan Karakter Pada Pondok Pesantren
Salaf. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 19(2), 287-310
208
deLara, 2008 United 112 Siswa SMA 5 Focus Grup, 52 Siswa menggunakan strategi koping kognitif untuk menangani perundungan.
States wawancara individu
deLara, 2012 United 97 Siswa SMA Wawancara Siswa menyatakan keprihatinan atas tindakan orang dewasa yang tidak pantas dan
States individu, focus perbedaan antara anak - anak dan orang dewasa mengenaidefinisi perundungan.
group
Docherty & United 20 Anak (Usia 3-9) Wawancara Anak-anak, bahkan semuda 3 tahun, bisa memberi gambar deskripsi dan memiliki ingatan
Sandelowsk1, 1999 States Individu yang sangat baik tentang pengalaman terkait efek samping, seperti sakit dan rawat inap.
Anak-anak menggunakan skrip sebagai sarana utama untuk mengantisipasi, memahami,
dan menciptakan kembali pengalaman kehidupan nyata. Isi, waktu, jumlah, dan struktur
wawancara akan mempengaruhi kelengkapan, akurasi, dan konsistensi penarikan kembali
acara oleh anak-anak.
Hopkins, Taylor, United 57 Siswa (Usia 11-17) Focus grup Penampilan, cacat, dan orientasi seksual berkontribusi menjadi korban, mengkategorikan
Bowen & Wood, Kingdom korban sebagai milik kelompok minoritas yang kurang beruntung.
2013
Humphrey & England 36 Siswa dengan Fenomenologi, Siswa menanggapi perundungan menggunakan berbagai strategi. Ada perbedaan besar
Symes, 2010 autism spectrum wawancara semi ketika mempertimbangkan guru mana akan diinformasikan. Siswa cenderung mencari
disosder (ASD) (Usia terstruktur bantuan jika mereka tidak memikirkannya akan membantu atau tidak dapat memprediksi
11-16)
209
210
Paton, Crouch & England 8 orang pelanggar Wawancara semi Remaja mengalami kekerasan di rumah, di komunitas, dan di tahanan.Ketidakstabilan dan
Camic, 2009 muda terstruktur transisi adalah masalah utama dalam hubungan ke rumah dan sekolah. Remaja juga
mengalami deprivasi karena kemiskinan dan
ketidakhadiran emosi / perilaku orang tua. Remaja ini menanggapi pengalaman buruk /
traumatis melalui agresi terhadap diri sendiri dan orang lain. Hambatan untuk membantu
mencari dan dukungan profesional juga diidentifikasi.
Peterson & Ray, United 58 kelas 8 yang Wawancara Bahkan ada satu insiden yang membuat beberapa siswa sedih. Banyak korban yang diam
2006 States berbakat terstruktur tentang pengalaman mereka, mencoba mengerti perundungan. Banyak yang mengira
mereka bertanggung jawab untuk menghentikan bulling. Banyak yang mengungkapkan
keputusasaan dan melaporkan pikiran kekerasan. Kecerdasan membantu untuk
memahami perundungan. Tidak diketahui berkontribusi pada perundungan.
Shute, Owens & Australia 72 anak 15 tahun, 7 Focus group Perundungan verbal dan tidak langsung dilaporkan terjadi setiap hari kejadian, dan
Slee, 2008 guru hampir sepenuhnya bersifat seksual. ‘‘ Pelecehan seksual ’’ secara tepat menangkap
kekuatan gender struktur, yang mendasari pengalaman-pengalaman ini.
Saladin-Subero & United 14 ibu, 4 volunter Wawancara Orang tua Hispanik anak-anak antara 9 dan 13 tahun, dan orang dewasa lain yang
Hawkins, 2011 States individu, focus mempengaruhi mereka, akan mendapat manfaat dari peningkatan akses ke materi
group berbahasa Spanyol tentang perundungan. Orang tua memiliki sedikit kesadaran tentang
bullying di sekolah, sumber daya yang bisa membantu mereka merumuskan tanggapan
yang tepat kepada orang lain, seharusnya anak mereka diganggu, ditindas orang lain, atau
menyaksikan perundungan.
Wyatt, 2010 United 48 siswa (usia 14-16) Focus group, Temuan menunjukkan bahwa pengaruh pada perilaku kekerasan dan agresif, hubungan
States wawancarai teman sebaya, popularitas, dan emosi spesifik gender.
individu
*Sumber dari ‘A Systematic review of research strategies used in qualitative studies on school bullying and victimization’ oleh Patton,
Hong, Patel, & Kral (2015).
202
LAMPIRAN 2. Mindmap Konsep Perundungan
Mindmap konsep perundungan
203
Fisik
Melakukan
perbuatan
Dialami yang tidak
dikehendaki
Pemalakan
Verbal
Dampak
sebagai
korban
Persepsi
Senior
Kriteria
pemilihan Teman
korban seangkatan
Alasan
dijadikan
korban
Faktor
Perdebatan protektif
Bersama diri menjadi
teman pelaku Faktor risiko
Pengalaman Perilaku
menjadi balas
Dilakukan pelaku dendam
Pengambila yang
Respon
n keputusan sebagai Afeksi
menjadi pelaku
pelaku
Kondisi Kognisi
psikologis
Membentuk Penguatan
kekuatan yang
diharapkan
Perilaku
sebagai
pelaku
Waktu
kejadian
perundunga
n
204
Kondisi keluarga
Orang tua
Persepsi
Keterlibatan
dengan
Hubungan dengan
mesosistem organisasi
sekolah Guru
Kontribusi guru
terhadap Sikap guru
perundungan
Guru
205
LAMPIRAN 3. Contoh Informed Consent
Contoh Informed Consent
206
207
207
LAMPIRAN 4. Verbatim Partisipan
Verbatim partisipan
Verbatim Partisipan A (1)
Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek (Aldi Ahmad Fahrezi)
P/S Hasil Wawancara
P Baik, aldi bisa ceritakan tentang dirimu di
S Baik, nama saya aldi ahmad fahrezi, saya dipanggil aldi, asal sekolah pondok pesantren
ummul terpadu bangkinang, kampung dibangkinang
P Ini mau nanya tentang bullying, kamu tau engga?
S Engga, secara detail ngga paham
P Misalnya gini kamu pernah ngga mengintimidasi teman mu atau nakut-nakutin
S Penah sering
P Nah itu, perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang yang membuat orang tidak senang,
terus punya tujuan terus yang korbannya lebih lemah dari kamu
S Iyaa
P Berarti pernah ya, aku mau nanya tentang dulu, kamu pernah mengalami ngga?
S Dulu awal masuk pondok, jadi saya tu abang-abang kelas tu sering ganggu saya kalau sendiri,
nanti abang-abang kelas tu kan datang tiba-tiba kekamar kami nanti introgasi kan ntah apa
yang diintrogasi bahkan nanti sampai pukul memukul kan disitu padahal kami sendiri ngga
tau masalah tu apa kan. Waktu diasrama tu seringlah gitu abang-abang kelas, kadang yang
satu angkatan sering melakukan itu tu
P Ooh jadi introgasi, memukul, selain itu?
S Selain itu paling nanti orang tu saling ngejek sampai sakit hati, ujung-ujungnya berantem
P Ada minta duit ngga?
S Itu biasanya abang kelas kalau ngga ada duit nanti lari ke adek kelasnya malam-malam hari
kan datang ke kamar pas dia ngga ada duit minta duit, itu pun rasanya ngga enak karena secara
paksa gitu mentang-mentang abang kelas minta-minta gitu aja
P Ooh oke, itu ya dulu ya, kalau yg melakukan itu senior atau orang yang lebih kuat dari kamu,
apa yang kamu lakukan?
S Karena dulu masih baru jadi saya nurut aja, ngga berani melawan karena kalau kita ngelawan
kita yang kena kita yang azab, ada teman tu kan ngelawan dah jadi kena pukul aja, saya pribadi
ngga berani ya pasrah aja
P Ooh pasrah, perasaan kamu kaya gimana waktu itu
S Ya dongkol ya, mau ngelawan tapi orang tu rame, besar lagi ngga bisa ngapa-ngapain
P Oh berkelompok?
S Iyaa
P Jadi yang muncul perasaan mu saat itu dongkol?
S Iyaa dongkol, sakit hati
P Ekspresikan ngga berani?
S Ngga berani
P Pernah ngga kamu ajak-ajak kawan yok kita balas
S Biasanya kan kalau kumpul satu angkatan ada, tapi cuma rencana balas dendam tapi sampai
situ aja
P Ohh jadi pernah berniat tapi ngga terealisasi? Alasan ngga terealisasi itu apa?
S Kadang teman-teman sendiri itu kan ngga berani juga, jadi karena dah tamat ngga jadi balas
dendam
208
P Ooh hahaha yaya jadi, waktu kamu mengalami bullying itu kejadiannya dimana itu waktu
disekolah tu tempatnya
S Disekolah?
P Iya dikelas kantin atau asrama?
S Kalau dipondok, ada kaya taman gitu, angkatan kami sering kumpul disana jadi abang kelas
sering datang kesana, kekamar juga
P Ooh gitu, jadi ada ngga guru-guru atau ustad-ustad pesantren tu yang tau
S Pernah ada gitu pak, ada guru tu pembina asrama bapak tu tau jadi dipanggil senior tadi tapi
ngga tau diapakan kan disembunyikan gitu ngga tau ntah dihukum atau apa, tapi setelah itu
orang tu tetap melakukan lagi datang kekami dibilangnya kami ngadu
P Setelah dituduh ngadu perilakunya gimana?
S Ya makin keras bully nya
P Terus kejadiannya siang atau sore atau malam
S Kebanyakan malam
P Ooh malam, ketika kamu jadi korban itu kira-kira yang kamu pikirkan apa?
S Yang dipikirkan Cuma kapan bisa balas dendam, pengen balas
P Perasaan mu ada dendam gitu?
S Iya dendam marah tapi ngga pernah kesampaian
P Ketika kamu marah terus ngga kesampaian gitu apa yang kamu rasakan?
S Nanti kan habis kena marah, nanti kami gibahin abang kelas tu, kami keluarkan kata2 kami
disitu cuma itu yang bisa kami lakukan saling menjelekkan
P Tapi ngga berani?
S Engga
P Ada ngga hal-hal lain yang mempengaruhi kamu saat mengahadapi situasi itu kaya ceritakan
ke orang tua gitu?
S Kalau soal itu saya ngga pernah ceritakan ke orang tua, karena kan kita udah dititipkan gitu
masa ngadunya keorang tua lagi, paling ke pengasuh aja tapi ngga bilang saya yang diganggu
paling dibilang orang lain
P Oh menggunakan orang lain, apa reaksi gurunya?
S Diterimakan ceritanya ya ngga taulah mungkin abang kelas tu dipanggil, kalau guru tu
menghukum abang tu kami ngga tau ntah diapakan
P Ooh jadi setelah kamu cerita sama gurumu kamu juga ngga tau apa kah itu terbalaskan atau
engga jadi kamu ngga puas gitu tapi ada lega ngga?
S Ya pasti karena ada yang lebih tua tau selain kami
P Setelah itu senior lulus, kamu belum balas dendam tapi kamu lakukan ke junior, apa motifnya?
S Motifnya mungkin biar adek tu tau apa yang kami rasakan, kami dulu diginikan loh, kami
lakukan itu puas hati kami setelah abang tu tamat, rasa dendam ngga kesampaian tadi junior
yang kami apakan
P Kamu ngebully junior, itu kamu tau sakit hati dongkol kenapa kamu tetap lakukan?
S Kami disitu rame kan pak, dikumpulkan adek kelas, pas orang tu gitu kan ada mikir pasti
orang tu sakit, tapi tiba-tiba tu mau ikut gitu
P Oh terlibatnya itu faktor diri kamu apa luar?
S Dari lingkungan kan pak, karena kawan tadi ayoklah jadi ikut
P Ooh yaya, terus kalau menurut kamu apa yang menjadikan kamu dari korban ke pelaku bully,
apa yang merasa kamu miliki tu
S Kalau dalam diri sendiri mungkin rasa dendam itu kan, terus apa dulu kami sakit jadi seolah-
olah kami dilatih untuk itu jadi kami berani
P Jadi kamu pikir itu training proses latihan
S Iyaa kalau di pondok itu keras
P Oh jadi kamu punya pandangan beda dengan sekolah lain? Teman-teman kamu gitu juga
ngga?
S Iyaa kalau kawan-kawan sekeliling gitu juga lah semua
209
P Ooh yaya okeoke, terus kalau dari luar diri kan karena ikut teman-teman, selain itu apa yang
buat kamu ngebully orang apakah memperhatikan situasinya?
S Kalau situasi yaa kadang, terus kan kadang adek kelas tu sendiri yang cari masalahnya
P Ooh kalau itu contohnya kaya mana kalau adek kelas yang cari masalahnya?
S Dia cari masalah tu pribadi gitu, nanti yang angkatan kami ngadu, bicara kami semua jadi
karena kami dah merasa hebat tadi jadi kami kumpulkanlah yang seangkatan tadi bukan Cuma
yang ejek aja, nah disitu lah kami apain
P Jadi ada rencana?
S Iya ada, jadi kami diskusi sepakat, padahal yang bikin masalah satu tapi yang kena semua
P Kalau dalam ngumpul kamu jadi apa
S Pendengar
P Pernah jadi insiator?
S Engga, saya Cuma ikut
P Tapi dalam bully kamu aktif?
S Iyaa ikutlah
P Oh oke, yang kamu inginkan atau harapkan dari bully tu apa?
S Biar sopan, ngerti sama kamu, kaya tau apa yang kami rasakan, itu aja biar hargai kakak
kelasnya
P Padahal kamu tau pas dulu dibully itu dongkol
S Iyaaa
P Nah yang buat kamu mikir itu bakal dihargai gitu gimana
S Yaa orang tu kami gitukan takut
P Jadi takut mereka berarti itu penghargaan meskipun mereka dongkol
S Iyaa
P Hal-hal yang memperkuat atau memperlemah kamu untuk merundung itu apa
S Kalau kuat dari kawan, pokoknya dari kawan aja, kalau inisiatif sendiri ya biarin aja tapi
karena satu angkatan biar satu angkatan tu solid jadi ngikut
P Ooh oke, yang memperlemah apa
S Diri sendiri tu kasihan liat orang tu kan sering ditendang, ditumbuk gitu
P Ooh yaya, kamu mengalami pergulatan batin ngga ketika melakukan itu ketika disatu sisi
kasihan tapi pengen dihargai itu prosesnya gimana, gimana kamu memilahnya sampai
akhirnya dilakukan
S Kasihan tu dari diri sendiri sedangkan kawan maksa ajak jadi kasihan itu hilang tiba-tiba
P Ooh jadi hilang gitu
S Iyaa semuanya spontan
P Padahal dalam diri kamu ada pikiran tapi karena diajak kawan jadi hilang
S Iyaa
P Biasanya kamu intimidasi tu seperti apa
S Biasanya saya seolah-olah paling hebat ngomong didepan orang tu semua jadi saya ngomong
lewat belakang saya pukul kepalanya saya tendang punggungnya
P Kamu ada milih orang-orang tertentu ngga
S Ada, kadang orang tu emang dongkol sama kawan-kawannya orang tu yang paling azab
P Orang seperti apa
S Orang yang suka ngelawan senior
P Oh yang berani
S Iya yang berani tu paling azab, kalau yang lemah tu dibebaskan yang paling cepat
P Ooh begitu, setelah melakukan itu apa yang kamu rasakan?
S Lega
P Lega puas gitu?
S Jadi nyantai selo
P Ada ngga muncul penyesalan?
S Kalau nyesal ngga ada hahaha
210
P Ooh ngga ada hahaha okeoke, kamu dirumah pernah dibully ngga?
S Engga
P Pertama kali dibully pas kapan?
S Ya pas dipondok itu, kalau dirumah itu dilingkungan ngga pernah
P Ooh jadi anda menjadi korban sekaligus perilaku gitu?
S Iyaa
P Oke terima kasih mas aldi, nanti kalau saya butuh data lagi akan saya wawancara lagi
terimakasih
S Iyaa pak
211
Verbatim Partisipan R (2)
Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek (Reza Maulia Pasha)
P/S Hasil Wawancara
P Silahkan perkenalkan diri dulu
S Perkenalkan nama saya reza maulia pasha, bisa dipanggil reza
P dari pesantren mana
S dari pesantren darul hikmah
P Baik, panggilannya reza ya?
S Iya
Nah reza, aku mau nanya-nanya nih untuk kepentingan penelitian terus tenang aja kamu boleh
ngomong apa aja data mu aman tidak akan disebut nama, tidak akan disebut pesantren mana,
P
jadi kamu tidak perlu merasa canggung, pokoknya hal-hal yang merasa kaku ngga apa
diceritakan aja, data mu aman. Eee kamu coba ceritakan pernah mengalami bullying ngga?
Pernah, pas kalau dipondok tu pertama kali masuk perkenalan sama kawan2 tu malam
S
keduanya saya langsung kena bully
P Malam kedua?
S Iyaa
P Apa bentuknya?
S Malam saya lagi tidur, tiba2 ada yang kasih lakban di muka
P Baru malam kedua?
S Iyaa baru malam kedua
P Kira-kira kalau sebelumnya kamu pernah mengalami ngga di SD atau SMP?
S Di SD kalau bullying belum kenal
P Belum kenal.. dirumah kalau sama orang tua?
S Ya untuk motivasi lah tapi kalau dihina tu pernah
P Contohnya?
Contohnya ya kan saya tiap hari suka main futsal jadi belum menghasilkan makanya saya
S
sering dihina lah sama orang rumah karena belum dapat prestasi
P Okeee, bentuk perilaku rundungan yang pernah kamu alami dipesantren itu apa?
S Yaaa paling menghina, saling menghina
P Kamu dihina?
S Iyaa dihina, ada perkelompok ada individu
P Hinanya dalam bentuk apa?
Dalam bentuk fisik, kalau pas pondok pemalas jadi saya dibilang pemalas tapi saya ngga
S
terima, karena walaupun pemalas saya masih mengerti pelajarannya
P Kenapa kamu dibilang pemalas tu?
S Ya saya suka telat, orang masuk jam 7 saya masuk jam 9
P 2 jam kamu telatnya?
S Iyaa hahaha
P Apa yang kamu lakukan dalam 2 jam itu?
S Tidurr
Ooh tidur, terus ketika kamu dibully oleh temen-temenmu itu sering kamu alami dalam
P
kondisi apa? Apakah lagi sendiri, siang hari, malam hari atau lagi bareng teman-teman mu?
Bareng teman-teman sih, lagi ngomong-ngomongkan nanti ada satu orang yang masuk bilang
S
eh kau pemalas kau ni, nanti ikut2 yang lain
P Kalau fisik permah ngga kamu alami?
Kalau fisik pernah sih, sekali waktu tidur digangguin jadi langsung baku hantam, kan kalau
S
orang tidur susah kali nahan emosinya
212
Hmm, ketika kamu berada di situasi dihina sering dibilang pemalas yang kamu rasakan itu
P
apa?
S Yaa sakit hati, ingin balas dendam rasanya
P Terus mau balas dendam?
S Iyaa
P Itu yang kamu pikirkan? Yang kamu rasakan sakit hati terus ingin balas dendam?
S Iyaa
P Kesampean ngga?
S Ee kadang sampai kadang engga
P Ooh ada kesampainnya juga?
S Iyaa
P Sering kesampaian apa sering engganya?
S Sering engga
P Kenapa sering tidak?
S Ngga suka karena jatuh mental kita tu
P Kalau yang melakukan sesama, kalau yang melakukan senior berani ngga?
S Kalau senior tengok situasi dulu kalau seniornya lagi rame kan susah nanti kena
P Berarti sama senior ngga berani ya?
S Iyaa ngga berani
P Kenapa ngga berani?
S Karena senior orang paling hebat
P Berarti kamu punya persepsi kalau senior itu orang yang paling hebat?
S Iyaa paling hebat
Kira-kira disaat kamu berada disituasi dihina, dilecehkan kaya gitu tu. Apa hal-hal yang
P berpengaruh dalam diri kamu? Apa kamu dapat dukungan atau kamu dapat kelemahan dari
lingkungan itu?
Eh pernah sampai jatuh mental tu sampai ngga mau berkawan gitu tapi pernah juga bullying
S
ini jadi motivasi gitu
P Bullying bisa jadi motivasi? Contohnya seperti apa?
Misalnya kan dibilang kau main futsal ngga pandai, ngga mantap nah dari situ kan latihan kan
S
buat dia tau siapa kita
P Jadi kamu justru bullying itu bisa untuk membuktikan kalau saya bisa gitu?
S Iyaa, saya bisa
Okee. Terus ini kan pernah jadi korban, jadi ingin balas dendam, ngga senang gitu, ingin balas
dendam tapi ngga berani, terus kemudian ternyata disatu waktu kamu mengambil keputusan
P
untuk membully orang lain ketika udah jadi senior gitu. Nah itu kan ada prosesnya, kamu tau
kalau dibully itu ngga enak, dilecehkan ngga enak tapi kenapa kamu lakuinjuga?
S Yaa sama balas dendam
P Ooh jadi balas dendam tapi sama orang yang berbeda gitu?
S Iyaaa, kalau senior bisa apain ke junior, yaa kita jadi senior ya apain juga juniornya
P Oo gitu
S Iyaa
Kamu ada mikir ngga kalau itu kan ngga enak juga, kamu kan pernah ngalaminnya kenapa
P
tetap kamu lakukan?
S Yaa pernah sih, pernah mikir kaya gitu
P Pernah mikir juga?
S Pernah
P Terus apa yang jadi renungan mu setelah pikiran itu?
S Yaaaa, karena sakit hati tu lah mendorong
P Oh jadi sakit itu dorongannya lebih kuat dari pada berpikir?
S Iyaaa hahahah
213
Terus menurut kamu ni, apa hal baik dalam dirimu atau apa ya, apa hal-hal yang ada dalam
P dirimu dari dalam dan luar yang kemudian memperngaruhi proses kamu yang dari awalnya
jadi korban bully kemudian menjadi pelaku bully?
Kalau proses sih yaa karena kita awalnya dibully ya, karena itu mau dicoba, kalau rasanya
S
enak ngge bully tu kan yaudah kita ngga usah jadi korban lagi yaa jadi pelaku aja
P Ooh jadi pelaku aja gitu?
S Iyaa hahaha
P Menurut kamu enak ngga jadi pelaku tu?
S Yaa enak
P Apa enaknya?
S Yaa enak, saya bisa menghina orang, melakukan hal yang tidak sewajarnya
Ya padahal kan kamu dipesantren diajarkan nilai religius, nilai agama, tapi kenapa kamu
P
melakukannya dan rata-rata temenmu juga melakukannya gitu gimana tu ceritanya?
Ya itu lah kalau pemikiran manusia ngga semuanya kita ambil dari pelajaran, kalau enak dikita
S
pasti kita lakukan kalaupun itu buruk
P Ooh jadi prinsipnya kalau enak di kita tetap dilakukan meskipun itu buruk?
S Iyaa
P Meskipun itu bertentangan dengan nilai yang kamu anut?
S Iyaa
Menurut kamu pelajaran yang kamu pelajari dipesantren itu sejauh apa bisa mengubah
P
perilakumu dan pikiranmu?
Yaa kalau untuk mengubah sih harus dari diri kita sendiri dulu memikirkannya kan enak atau
S engganya dari korban, kalau dari situ kita udah memikirkannya pasti kita ngga akan jadi
pelaku
P Hm, tapi kamu memikirkannya kalau rasa enaknya lebih enak, kamu dapat apa sih dari bully?
S Ngga dapat apa-apa
Ya maksudnya kan kalau jadi pelaku itu kan senior kamu merasa ditakuti itu yang buat kamu
P
senang kan? Merasa disegani
S Iyaa disegani
P Yang kamu harapkan kan itu kan apa tadi?
S Balas dendam, dihargai, disenangi, ditakuti
P Setelah itu perasaan apa yang kamu rasakan?
S Bangga hati
Bangga ya? Terus ada ngga hal yang kira-kira memperlemah kamu untuk melakukan bullying
P
dari diri kamu atau sekitar yang membuat kamu ngga mau untuk membully
Yaa pengayoman ya dari orang-orang yang lebih dari dewasa, mengayomi dari ustad2 gitu
S jangan membully karena membullyi itu orang-orang yang dibully itu bisa bunuh diri gitu, bisa
mentalnya itu jatuh
P Jadi gurunya pernah bilang gitu?
S Yaa kejadiannya udah pernah kok
P Oh udah pernah? Bisa kamu ceritakan ngga kejadiannya itu
Ya kalau kejadiannya ngga tau ceritanya tapi pas diceritakan itu kan kalau bullying itu bisa
S
membunuh orang perlahan-lahan
Jika kamu sedang mengalami pergulatan batin gitu kan, kamu harus melakukan karena balas
P dendam atau kamu ngga mau melakukan karena pernah mengalami, bisa kamu ceritakan ngga
prosesnya sampai akhirnya kamu memutuskan udahlah aku lakukan aja
Jadi, pernah kan aku mengalaminya kan, mikir sampai kaya mana caranya kita kasihan liat
S dia kaya mana dia tapi dia ngga pernah mikir dia tu siapa, ngga pernah sadar, jadi hati tu mau
bully dia kasihan tapi kalau ngga dibully nanti dia ngga sadar-sadar gitu
Ooh jadi kamu punya persepsi perilaku bullying itu untuk menyadarkan dia, menyadarkan dia
P
supaya apa gitu?
S Menyadarkan kalau dia tu tau siapa dia
214
P Tau siapa dia atau hormat sama senior?
Tau siapa dia, karena kalau hormat sama senior itu kan antara junior dan senior, tapi kalau
S
sesama biar dia tau dia siapa
P Ooh jadi kamu bully sesama angkatan dan junior juga?
S Iyaaa
P Jadi bedanya apa?
Yaa beda ya, kalau sesama angkatan tu dia ngga pake mikir lagi, apa aja yang ada yang jelek
S sama kita tu langsung dibilangnya sama kita dan kita pun ngga mau berkawan sama dia. Kalau
junior kan karena dia masih anak bawang ngga tau apa-apa disekolah ni gitu
Oohh gitu, ini saya perdalam lagi ya, jadikan kamu belajar nilai-nilai. Dirumah kamu juga
diajarin jangan jahat-jahat sama orang, nah sejauh mana nilai-nilai berpengaruh itu membuat
P
kamu berpikir untuk ngga melakukan. Kira-kira pas kamu melakukan itu kamu kepikiran atau
gimana atau kamu abaikan?
S Kalau bullying itu ngga mikir ya, langsung respon
P Oh langsung keluar gitu ya?
S Iyaa karena udah nusuk ke hati gitu
Ooh jadi prosesnya langsung gitu ya, kira-kira prosesnya langsung ini diperkuat karena teman
P
atau gimana gitu
S Ooh karena teman, dia ngebully kan untuk yang lain tu ketawa jadikan kita ngerasa ngga enak
P Ooh gitu, yaya jadi setiap kamu bullying itu dilihat teman-teman mu gitu ya?
S Iyaa hahaha karena kalau pribadi itu namanya nasihat lagi
Ooh gitu, jadi situasi teman-teman kamu ketika melihat kamu ngebully tu apa pengaruhnya
P
kekamu? Ngerasa apa gitu?
S Hm, ngerasa didukung, ada rasa yang mendorong untuk terus-terus gitu
Ooh jadi teman-teman itu memberikan support pada dirimu untuk terus lakukan, itu yang
P
kamu rasakan?
S Iyaa
P Sehingga nilai-nilai yang kamu pegang itu ngga kamu ingat lagi atau kamu abaikan aja?
S Yaa abaikan aja lagi
P Ooh okee, saya rasa itu aja dulu ya nanti kalau kurang lagi nanti saya tambah lagi
S iyaa
215
Verbatim Partisipan A (3)
Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek (Ayu)
P/S Hasil Wawancara
P Dulu pernah dibully gak yu
S Enggak
P Enggak pernah ? waktu SD, SMP
S Enggak
P Enggak, enggak pernah
S Enggak, ee iya enggak pernah
P Mosok gak pernah? Ingat gak kamu SD, SMP waktu jadi junior
S SD gak pernah, SMP pernah
P SMP pernah gimana coba certain yang SMP?
S Dibully, di bully yak karena nakal
P Karena nakal ?
S Iya karena nakal
P Nakalnya apa?
S Suka ngelawan
P Suka ngelawan sama senior mu berarti dibullynya
S Iya
P Waktu itu seniormu ngapain aja ?
S Ee suka hukumannya? Bullyannya ? suka
P He’eh
S Ee suka majang, majang didepan laki-laki terus apa ya, di marah marahin selalu, dihukum-
hukum suruh jongkok gitu waktu MTS
P Waktu MTS ? hmm terus berarti fisik ya, fisik pernah kamu dihukum
S Ee pernah, fisik paling cuman di tampar tu kan tampar-tampar biasa
P Kamu di tampar atau tampar biasa gitu tampar biasa ?
S Biasa karena emang saya nakal
P Oo gitu, lebih dari di tampar apa ?
S Enggak ada
P Enggak ada okee. Eee itu waktu
S MTS
P Awal-awal ya awal awal masuk
S Ee itu bukan awal, kelas dua pak sama tiga MTS kalau kelas satu enggak dibully, enggak
boleh dibully katanya, dilindungi
P Oh he’eh dilindungi kamu waktu kelas satu, itu kelas du akelas tiga
S Iya kelas dua, kelas tiga udah bandel jadinya dibully
P Ya ya ya sebabnya bandel jadi dibully sama senior?
S He’eh
P Itu bullynya dimana? Diasrama ? dikelas ?
S Diasrama, dimasjid, dilingkungan luar asrama biasanya.
P Dimasjid juga ?
S Iya dimasjid seringnya
P Ya ya, kata kata apa yang sering kamu terima?
S Kata-kata dari mereka?
P he’eh
S apa ya kata-katanya, ga ada sih kata-kata kasarnya kan
P he’eh he’eh
216
S gak ada sih
P tapi kalau fisik ada, jongkok ini ?
S ada
P okey, terus kamu kan punya kebiasaan apa? Ngelawan ya kata orang ?kira-kira kalau kamu
mikir mikir gitu awal awal dari mana itu ?
S mikir kenapa ngelawan gitu?
P he’eh he’eh
S gak terima aja digituin
P gak terima? Kamu belajarnya dari mana biasanya belajar ngelawan gitu
S sebenarnya gak ngelawan, cuman ngebantah aja kemereka
P oh ngebantah
S gak belajar dari siapa-siapa
P gak diajarin? Kamu sendiri ? nonton film atau apa? Masak gak ada
S gak ada sih emang kayak gitu takdirnya
P takdirnya gitu, kamuy akin itu takdir gitu ya hehehe yaya manut lah aku, sama orang
pesantren manut aku istilah-istilah keagamaan ndak paham juga. Terus pernah bully temen
apa, temen asrama atau adek kelas ?
S sekarang ?
P ya ada ya?
S pernah
P pernah berapa kali ? karna kalau pernah itu cuman agresif tapi kalau berapa kali jadi bullying
karna kalau bullying berkali-kali gitu
S berapa ya
P ya adalah, berapa kali gitu adakan?
S aaa adaa
P ada
S pasti ada
P bentuknya apa ?
S suka marah-marah aja
P marahi mereka ?
S he’eh
P yang keluar kata kata apa?
S keluar kata-kata apa ya, gak sopan palingan, anti tu gak sopan
P emm kalau kebun binatang pernah keluar gak?
S gak lah kan gak boleh
P oh ndak boleh, yang kata-kata zaman sekarang tu, kata-kata apa kan anak sekarang kalau
ngomong tu Sukanya apa gitu bacot, apa
S ndak boleh
P oh ndak boleh disini
S ndak boleh ngomong kayak git utu
P kalau ngomong kayak gitu kenak hokum ?
S enggak, saya emang dari kecil gak pernah ngomong kayak gitu
P oh iya ya, pernah dihukum gak di pesantren
S eeh sering
P apa ? karna apa?
S karna bandel
P bandel?
S he’eh
P siapa yang hokum ?
S ustadznya
P ustadzahnya, keras aja kamu bilang ustadzahmu dibelakang itu kan hahaha ya ndak usah takut
to, paling nanti habis ini kamu di bully lagi heheheh
217
S dii apa ya dihukum sama kakak-kakak dulu terus sama ustadz, ustadzah
P kok, main hp?
S heheh dulu MTS kan belum boleh, belum berani bawak HP.
P kalau sekarang?
S udah, udah ketangkap
P udah ketangkap ? yayaya terus ketangkap beli lagi ? endak?
S waktu tu iya beli lagi sekali lagi pak jadi ketangkap dua kali, sekarang dah gak berani
P dah gak berani lagi ?
S enggak
P itu duitnya minta orang tua?
S enggak
P nabung
S ee nab nab, ee gak gak nabung sih emang ada aja uangnya
P oh ada aja uangnya? Atau berlebih orang tua mu kasih duit sebulan itu
S enggak juga, biasa aja
P biasa aja. Terus eem kamu kan pernah di bully gak enak to terus jadi kan kesempatannya
bully orang juga jadi it utu waktu dipesantren kan juga diajarin nilai-nilai keagamaan, kamu
harus baik sama orang harus baik. Itu dinamikanya dipikiran kira-kira kamu gimana ? apa
pas melakukan tu lupa atau apa ?
S kadang kalau ngelakuin kayak gitu ngerasa bersalah juga, cuman karna pas.
P oh ada ngerasa bersalah juga ya
S pastilah
P di fillingnya
S he’eh nanti dah selesai marah-marah dah selesai marah-marah karna kesal atau karna gak
suka pasti minta maaf juga endingnya, minta maaf ya walaupun orang tu gak maafin sih, yang
penting intinya dah minta maaf
P ya ya ya. Jadi munculnya setelah melakukan
S setelah melakukan
P pada waktu melakukan perasaan mu apa waktu melakukan?
S gak ada sih memang karna perasaan gak suka aja tiba-tiba membully. Nanti setelah itu udah
agak diam sedikit baru ngerasa bersalah.
P eemm opo. Orang tua gimana didikannya dirumah?
S baiklah
P gak pernah dimarahi
S enggak, waktu saya gak pernah dipukul, gak pernah diaapa apain, makannya waktu pertama
dipukul sini agak terkejut, tapi lama-lama terbiasa
P lama-lama terbiasa?
S ya terbiasa karna kan ehhehe
P berapa kali di pukul kamu disini?
S sering, MTS di pukul tangannya di tampar di jongkokkin atau di pukul sininya, tapi waktu
pertama kali emang terkejut karna dirumah saya emang gak pernah di gituin
P iya ya ya. Tapi disini sering pas waktu itu kamu cerita gak sama ustadz sama orang tua
S enggak kan
P enggak?
S em kan emang kesalahan saya satu, yang kedua buat beban pikiran nantinya pastinya kan gak
tega anaknya digituin
P he’em
S saya gak berani ngomong lagian kan ngapain ngomong karna itu ulah saya juga
P oh gitu, iya ya ya. Terus kamu punya kawan-kawan dekat gak disini ?
S punya
P nakal-nakal juga ?
S nakal hehehe
218
P geng mu geng nakal berarti hhehehe
S hehehe gak juga sih pandangan orang aja
P oh gak juga pandangan orang terhadap, terus ditakuti
S enggak tau
P kelompok mu, kelompok mu ya kalau merintah ya dilaksanain orang
S iya
P iya, berapa orang itu jumlahnya ?
S em gak ada sih, geng geng gitu gak ada
P dibuat geng to
S enggak, berapa ya, ganti- ganti dia pak
P ganti-ganti? Yang setia gitu ndak ada?
S satu yang sahabat-sahabat saya betul
P ohh sat utu
S he’eh tapi dia gak kayak gitu do orangnya baik , pendiam gak, gak merintah gak tukang marah
P tapi disegani?
S gak juga
P ohhh jadi biasa aja? Punya temen cowok?
S enggak
P enggak punya ?
S enggakk
P yakin?
S punya dulu hehehe sekarang enggan
P dulu punya ?
S dulu punya
P waktu kapan?
S waktu, waktu se kelaas 5, kelas 2 SMA
P oh 2 SMA baru setahun ya, bubaran?
S bukan dianya pindah
P oh dianya pindah, oh jadi cinlok?
S ii gak cinlok, gak siapa siapa tapi dekat tadi kata bapak
P ohh dekat, iya ya ya, saya persepsi kan dekat tu macam-macam, cinlok ada cinpes gitu, cinta
pesantren
S enggak juga
P cintanya para santri kan beda-beda dengan cintanya kami-kami ini yang diluar santri heheheh
S gak ada
P ya ya ya. Kehidupan diasrama kayak apa rasanya ?
S eeh asrama yang kayak mana nih?
P asrama sini.
S selama disini ? ee biasa aja, gak enak, gak enak
P gak enak ? gak enak nya kenapa ?
S ee gak bebas
P gak bebas, pengennya bebas diluar ?
S bukan juga, bebas keluar gak juga tapi pengen kalau orangtua minta izin kadang sering gak
dikasih gitu ajasih, gak Sukanya disitu aja
P ohhh
S ;lebih gak Sukanya kalau lagi ada orang tua gak dikasih izin, ngomongnya gak baik baik gitu
yang saya gak suka
P oh hem hem. Dulu masuk pesantren keinginanmu atau ?
S enggak keinginan orang tua saya
P keinginan orang tua ? awalnya gimana waktu dulu tu dimasukkan?
S ya terima-terima aja karna memang kami gak ada yang pernah mau ngebantah ya iya iya aja,
karna kan dulu abang disini juga, gak mungkin abang disini, diluar ngapain
219
P hemmm
S terus emang basic keluarganya dari pesantren
P ayahmu, ayahmu ?
S ayah enggak, tapi keluarga-keluarga ayah gitu
P ohh ya ya ya.sitorus banyak muslim ya ?
S di Riau udah muslim disana mungkin masih kristen
P oh iya iya iya. Terus kamu kan tadi ceritanya di kelas satu sering di
S kelas 2
P eh iya kelas 2 sorry sorry ya dibully ya. Supaya kamu bisa membully orang butuh waktu
berapa tahun ya ?
S ehemm berapa yaa, saya kelas 3 udah membully-bully sih, kelas 3 MTS kelas 3 saya dibully
kelas 3 saya juga bully orang
P ohh bully yang lain tapi atau bully orang yang sama ?
S aa gak ya bully nya itu gak orang yang sama, gak saya gak benci gak bukan benci satu orang
tu aja kalau dia lagi gak enak dimata saya, berarti saya benci sama dia kayak gitu, seketika
lewat aja
P ohh seketika, tapi kelas 3, kelas 3 nya butuh waktu enggak karna ada butuh waktu kadang
setahun ada yang butuh waktu entah sebulan untuk berani gitu untuk menumbuhkan
keberanian endak kamu otomatis?
S langsung aja
P oh langsung berani
S memang berani aja
P sejak dulu berani ? sejk SD berani ?
S iya SD berani
P ohh udah berani SD
S iya karna kan mama saya dulu guru disitu jadi berani-berani aja
P guru dimana ?
S di SD saya
P oh gitu
S makannya gak ada yang berani yang bully
P ya iya ya ya, oke bentar. Kalau dengan abang, abang ya ? pernah di bully ?
S pernah, abang kandung kan ?
P hem’em abang kandung.
S pernah lah
P diapain?
S dibilang-bilang ee kalau gak anak kandung tu, kalau misalnya dia dibelikan terus saya gak
dibelikan, terus saya pastikan nangis
P hem’em
S ya iyalah orang kamu gak anak kandung, kayak gitu di bully bully gitu
P oh dibilangnya kamu anak bukan kandung
S he’em
P semakin kamu nangis semakin di bully ya?
S iya semakin dibully
P ya iya iya. Kalau guru-gurunya disini gimana ?
S gurunya ?
P he’em
S gurunya gimana ya
P yang jaga asrama galak galak?
S gak enak sih
P gak enak ?
S gak enak.
P seringnya diapain?
220
S seringnya dimarahin, seringnya dituduh
P tuduh apa?
S tuduh bawa HP, padahal gak ada bawa HP tapi dituduh terus
P hem karna pernah dulu dua kali hem ya iya iya
S pernah
P ada keinginan untuk bawa HP lagi ?
S enggak lah, kan saya wakilnya, masak saya wakilnya saya enggak wisuda, ancamannya nanti
gak wisuda pak.
P oh diancam gak wisuda?
S he’eh sia-sia dong 6 tahun saya disini
P udaah ngafal hadist hadist
S enggak, enggak ada
P enggak ada?
S iya disini kan gak ngafal, disini gak ngafal lebih ke umum
P umum? Bahasa arab gitu bisa ?
S bisalah
P percakapan?
S hah?
P percakapan?
S bisalah. Umumnya kayak ke IPA gitu
P oh IPA. Mau ngambil jurusan apa ?
S ini ? setelah ini
P setelah ini he’eh
S kedokteran mungkin
P kedokteran? Mau jadi dokter ?
S iya
P iya iya. Dimana daftar?
S diii sumbar
P apa di UNAND ?
S eee rencananya satu di UNRI satu di UMRAH stikes baiturrahmah terus yang satunya lagi
mungkin di Medan
P Medan, memang keinginan kuat jadi dokter ya ?
S iya
P oh iya iya iya. Biologimu dapat nilai apa ?
S B dong
P ndak A Hehehe
S endah hehehe. Setidaknya B
P oh ya ya ya. Hafalan mu kuat ?
S biasa aja
P belajar jadi dokter hafalannya kuat loh
S iya yah, gak tau
P hehe gak tau ? itu minatmu atau keinginan orang tua mu jadi dokter?
S emang saya sendiri yang minat jadi dokter, orang tua saya juga mau saya jadi dokter yaudah
kan sama-sama pengen
P hemm oke oke oke. Kamu sering jadi panitia ospek gitu gak?
S sering, sering, sering
P ospek di pesantren gimana?
S ya kayak gitu. Ospeknya ?
P he’eh nyuruh-nyuruh adek-adek yang aneh-aneh ?
S iya, nyuruhnya tu yang gak diluar akal sehatlah
P contohnya?
221
S contohnya itu kan kalau kita nyuruhnya nyanyi-nyanyi kayak orang gila, kalau MOS MOS
diluar kan kayak gitu, kalau kami lebih bermanfaatkan.
P contohnya ap aitu?
S cuci piring, gitu ambil nasi kakaknya ambil minum kakaknya
P oh kamu dapat keuntungan dari situ ya
S oh iyalah hahahaha, ya iya satu
P iya iya itu semua maba gitu?
S ya iya sebagian ya iya karna kan malesnya disitu, nanti mereka gak boleh ngelakuin itu
sebenarnya panitia juga gak boleh tapi Namanya panitia kan pasti ngelanggar, marah-marah.
Panitia kan satu pasti marah-marah melakukan seenak-enaknya aja
P Ya ya iya. Terus kalau kamu tertekan di pesantren kan kamu gak nyaman apa yang kamu
lakukan?
S Nangis
P Nangis ? sendiri? Cerita kekawan?
S Enggak, saya gak bisa nangis sendirian
P Jadi ?
S Harus ada kawan
P Harus ada yang dengerin?
S Enggak juga, harus ada yang meluk aja. Harus ada yang meluk, nanti kalau apa emang gak
bisa lagi sama kawan baru cerita ke kakak, kea bang gak berani cerita ke orang tau
P He’em. Kalau disini siapa yang sering buat kamu temen cerita ?
S Kalau dipondok teman saya, teman saya? Teman dekat ?
P He’em
S Teman yang dianggap dekat, dia baru cerita
P Jadi kalau guru-gurunya rata-rata keras rata-rata
S Marah-marah, kerasnya enggak sih
P Marah-marah aja.
S Iya marah-marah terus
P Heheheheh masih muda-muda disini?
S Masih muda, masih pada kuliah
P Anak UIR ya iya iya iya. Kalau yang kiyai kiyai nya gimana
S Baik kok kiyai-kiyainya baik
P He’emmm
S Ada jugalah ya yang garang-garang
P He’emm film kesukaan apa?
S Horror
P Horror ?suka film horror
S He’eh
P Hantu-hantu?
S He’eh
P Kalai extion enggak?
S Enggak takut
P Oh takut. Kalau horror gak takut malahan?
S Enggak horror tu kan gak ada berdarah darah nya kan gak ada
P Cuman lucu-lucuan aja
S Enggak juga heheheh kayaknya lebih suka aja
P Oh lebih suka. Oke , ee ayu yaa makasih .
222
Verbatim Partisipan M (4)
Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek (Mutia)
P/S Hasil wawancara
P dari MTS dari pesantren?
S iya pesantren sini juga pak
P oohh, dulu pesantrennya disuruh orang tua atau?
S ee disuruh orang tua pak
P kalau aslinya ndak pengen di pesantren ?
S iya sebenarnya gitu pak, tapi karena makin lama makin besar kan pak, jadi berfikir gitu
P emmm iya ya ya. Saya pak sigit ya dosennya bu ajeng, ee mutia panggilannya ya?
S iya pak
P kamu tau bullying ndak ?
S Tau pak
P perundungan, Bahasa indonesianya perundungan Bahasa kerennya bullying ya, membully,
membully itu ya bisa dengan ucapan, bisa dengan tindakan gitu, pernah dibully ndak?
S pernah pak.
P pernah ?
S pernah.
P pernah, bisa diceritakan seperti apa di bullynya?
S ee saya pernah, saya waktu itu pernah pura ura tidur terus dia ngomong dari belakang kayak
nusuk, kadang pernah juga disindir terus pernah juga saya ngomongnya baik baik pak pelan
cuman omongannya tu nusuk ke hati pak, kaya lembut terus nusuk, saya juga pernah gara-
gara menjalankan amanah dari guru terus saya kenak sama anak kamar pak.
P itu tahun berapa tu?
S ee
P awal masuk pesantren ?
S awal masuk pesantren juga iya pak sekarang pun masih ada juga pak
P masih ada ?
S iya tapi gak kayak terlalu dulu kali pak
P karena kamu dah kelas 3 ya
S he iya pak
P yaaa eee bentuknya berarti perkataan ya?
S iya pak perkataan
P kalau fisik ada ndak ya?
S Kalau fisik gak pernah sih pak
P waktu di awal-awal dulu, waktu jadi junior
S emm kalau diapain senior sih gak pernah sih pak, cuman sama anak kamar gitu pak dari dulu
sampai sekarang masalahnya tu masalah pertemanan dikamar gitu pak
P kalau di senior-senior gak ada?
S gak ada pak kalau sama senior insyaallah aman gitu pak, soalnya kalau senior senior itu agak
agak takut gitu, agak segan gitu
P sama siapa yang segan?
S segan sama kakak kelas gitu pak, mau beda satu tingkat mau beda dua tingkat.
P kamu segan, kamu, kalau sama adek tingkat pernah bully ndak ?
S kalau sama adek kelas bukan dibully sih pak, dia tu kurang sopan gitu ngomongnya sama
saya, saya nganggapnya care tapi dianya tu kaya nyusur saya gitu pak, kan kalau dipondok ni
kan yang lebih tua tu harus di hargai kan pak, jadi dia tu kayak minta tolong kaya seakan akan
ana tu kaya angkatan mereka gitu pak.
223
P ohh he’eh seolah olah ee kayak teman
S kayak teman akrabnya
P padahal kamu senior nya kan disini oke oke
S iya pak, maksud saya berteman sama adek adek tu untuk mengayomi adek adek biar adek
adek tu betah di pondok, karena saya bisa merasakan apa yang orang lain rasakan gitu pak
P susah ya dipondok ?
S yaa gitu lah pak
P susahnya apa ?
S susahnya ya omongan-omongan orang tu gimana gitu pak.
P omongan yang gimana ?
S ya gak enaak di hati gitu pak
P tapi kamu pernah ngomongin yang lain juga ? yang bikin hati orang ndak enak juga gitu ?
S ngomong emm kayanya pernah sih pak karena sakit hati gara-gara omongan dia jadi, ya jadi
karna mutia tu sakit hati jadi mutia kelurkan unek-unek mutia terus mungkin ada ngomong
kasar disitu pak.
P emm terus frekuensinya sering ndak?
S apanya pak ?
P frekuensi.
S frekuensinya kalau itu sering sakit kepala pak.
P sakit kepala? Pernah sampai sakit kepala?
S iyaa pernah sampai sakit kepala
P eem kamu ka nee pernah kalau, ee riwayat keluargamu gimana kamu kalau dikeluarga seperti
apa ?
S waktu dikeluarga kalau ayah itu beliau itu gak pernah beda-bedain yang mana perempuan
sama laki-laki mau itu perempuannya yang salah, anak perempuannya yang salah atau anak
laki-laki nya yang salah jadi beliau mengajarkan mutia karena mutia anak perempuan satu-
satunya pak, kaya di didik keras gitu, makannya tu di didik pak sampai sekarang alhamdulillah
udah ada perubahan sedikit gitulah pak
P oh jadi bapak mu keras
S iya orangnya keras pak, bapak ee saya keturunan dari batak toba pak
P dari MTS dari pesantren?
S iya pesantren sini juga pak
P oohh, dulu pesantrennya disuruh orang tua atau?
S ee disuruh orang tua pak
P kalau aslinya ndak pengen di pesantren ?
S iya sebenarnya gitu pak, tapi karena makin lama makin besar kan pak, jadi berfikir gitu
P emmm iya ya ya. Saya pak sigit ya dosennya bu ajeng, ee mutia panggilannya ya?
S iya pak
P kamu tau bullying ndak ?
S Tau pak
P perundungan, Bahasa indonesianya perundungan Bahasa kerennya bullying ya, membully,
membully itu ya bisa dengan ucapan, bisa dengan tindakan gitu, pernah dibully ndak?
S pernah pak.
P pernah ?
S pernah.
P pernah, bisa diceritakan seperti apa di bullynya?
S ee saya pernah, saya waktu itu pernah pura ura tidur terus dia ngomong dari belakang kayak
nusuk, kadang pernah juga disindir terus pernah juga saya ngomongnya baik baik pak pelan
cuman omongannya tu nusuk ke hati pak, kaya lembut terus nusuk, saya juga pernah gara-
gara menjalankan amanah dari guru terus saya kenak sama anak kamar pak.
P itu tahun berapa tu?
S ee
224
P awal masuk pesantren ?
S awal masuk pesantren juga iya pak sekarang pun masih ada juga pak
P masih ada ?
S iya tapi gak kayak terlalu dulu kali pak
P karena kamu dah kelas 3 ya
S he iya pak
P yaaa eee bentuknya berarti perkataan ya?
S iya pak perkataan
P kalau fisik ada ndak ya?
S Kalau fisik gak pernah sih pak
P waktu di awal-awal dulu, waktu jadi junior
S emm kalau diapain senior sih gak pernah sih pak, cuman sama anak kamar gitu pak dari dulu
sampai sekarang masalahnya tu masalah pertemanan dikamar gitu pak
P kalau di senior-senior gak ada?
S gak ada pak kalau sama senior insyaallah aman gitu pak, soalnya kalau senior senior itu agak
agak takut gitu, agak segan gitu
P sama siapa yang segan?
S segan sama kakak kelas gitu pak, mau beda satu tingkat mau beda dua tingkat.
P kamu segan, kamu, kalau sama adek tingkat pernah bully ndak ?
S kalau sama adek kelas bukan dibully sih pak, dia tu kurang sopan gitu ngomongnya sama
saya, saya nganggapnya care tapi dianya tu kaya nyusur saya gitu pak, kan kalau dipondok ni
kan yang lebih tua tu harus di hargai kan pak, jadi dia tu kayak minta tolong kaya seakan akan
ana tu kaya angkatan mereka gitu pak.
P ohh he’eh seolah olah ee kayak teman
S kayak teman akrabnya
P padahal kamu senior nya kan disini oke oke
S iya pak, maksud saya berteman sama adek adek tu untuk mengayomi adek adek biar adek
adek tu betah di pondok, karena saya bisa merasakan apa yang orang lain rasakan gitu pak
P susah ya dipondok ?
S yaa gitu lah pak
P susahnya apa ?
S susahnya ya omongan-omongan orang tu gimana gitu pak.
P omongan yang gimana ?
S ya gak enaak di hati gitu pak
P tapi kamu pernah ngomongin yang lain juga ? yang bikin hati orang ndak enak juga gitu ?
S ngomong emm kayanya pernah sih pak karena sakit hati gara-gara omongan dia jadi, ya jadi
karna mutia tu sakit hati jadi mutia kelurkan unek-unek mutia terus mungkin ada ngomong
kasar disitu pak.
P emm terus frekuensinya sering ndak?
S apanya pak ?
P frekuensi.
S frekuensinya kalau itu sering sakit kepala pak.
P sakit kepala? Pernah sampai sakit kepala?
S iyaa pernah sampai sakit kepala
P eem kamu ka nee pernah kalau, ee riwayat keluargamu gimana kamu kalau dikeluarga seperti
apa ?
S waktu dikeluarga kalau ayah itu beliau itu gak pernah beda-bedain yang mana perempuan
sama laki-laki mau itu perempuannya yang salah, anak perempuannya yang salah atau anak
laki-laki nya yang salah jadi beliau mengajarkan mutia karena mutia anak perempuan satu-
satunya pak, kaya di didik keras gitu, makannya tu di didik pak sampai sekarang alhamdulillah
udah ada perubahan sedikit gitulah pak
P oh jadi bapak mu keras
225
S iya orangnya keras pak, bapak ee saya keturunan dari batak toba pak
P batak toba ? marganya apa ?
S sitompul pak
P oo sitompul
S jadi keturunan orang keras lah pak, masalah Pendidikan adik saya yang paling kecil itu laki-
laki juga pak kan biasanya anak yang paling kecil anak bungsu ni kan dimanja ni pak kalau
misalnya salah, kalau sama ayah saya enggak pak kaya dididik keras kayak mana saya dididik
keras gitu pak.
P kalau ibu gimana ?
S kalau ibu, saya paling dekat sama mama, asal cerita sama mama akhir-akhir ini cerita sama
mama, misalnya gak betah kalau misalnya diapain gitu sama kawan ceritanya sama mama
P ceritanya sama mama ?
S he’eh
P oke oke oke, kalau ngubungi orang tua berapa kali seminggu?
S kalau dulu sebulan sekali waktu MTS pak, tapi kalau sekarang, kalau misalnya kaya kangen
gitu pak kayak nengok kawan mutia gitu temen deket mutia ee dia gak punya ibu, jadi kayak
merasa kangen gitu, kayak diposisi dia gitu pak, jadi kayak ngerasa kaya mutia tu gak punya
ibu jadi ada rasa kangen gitu jadi setiap minggu tu tiga kali pak paling banyak
P nelfon?
S he’eh nanya kabar kadang pak
P orang tua mu bisa di telfon kan?
S apa pak?
P orang tua mu bisa ditelfon gitu?
S kalau ayah sih pak seringnya sibuk kerja kalau ibu selalu ada pak
P iya dimana tinggalnya ?
S tinggal di siak pak
P tinggal disiak, iya ya ya ya, terus kamu kan pernah disakiti sering gitu disakiti, terus ketika
kamu misalkan bales kayak gitu apa yang kamu fikirkan?
S kalau dulu saya orangnya pendendam pak waktu MTS, pendendam habistu entah nanti
rahasianya saya bongkar dulu waktu MTS ya pak cuman sekrang enggak lagi entah itu saya
ngomong certain dia dari belakang, tapi kalau sekarang pak, bahkan dulu tu pak pernah gak
tegur sapa selama tiga tahun karena masih rasa sakit tu masih ada pak gitu pak kalau sekarang
sih pak cuman bisa do’ain dia gitu pak mudah-mudahan dapat hidayah, mudah-mudahan dia
tu tau kaya mana rasanya diposisi saya gitu pak, cuman itu aja sih pak, kalau niat dendam tu
ada sih pak sebenarnya pak, cuman saya ingat kalau sesame manusia tu gak boleh dendam
karena islam tu gak pernah mengajarkan dendam gitu.
P tapi pas kamu melakukan dulu endak ingat itu?
S ee
P itukan biasanya kapan munculnya tu, kesadaran bahwa islam tu gak boleh dendam git utu
kapan ?
S ee oya sih pak tapi
P hehe ya nya gimana coba ?
S ee kalaupun misalnya mutia gak tahan lagi sama omongan mereka kan pak kalaupun apa,
mutia marah nanti ngelampiaskannya tu kebenda, kayak ngancurin barang gitu pak kayak
banting apa gitu pak, tapi biar gak pecah gitu, kalau misalkan kaca kan pecah gitu pak,
P hem hem
S kalaupun gak melampiaskan ke marah nangis diranjang sendiri, pura-pura tidur.
P pernah dihukum guru ndak ?
S dihukum guru pernah pak
P karena kesalahan ap aitu ?
S karena waktu kelas satu SMK kemarin ini karena terlambat jadi dipukul pakai kaya logam
kecil gitu pak kaya Panjang jadi betis yang kenak, hehe udah biasa pak dipukul
226
P udah biasa ?
S udah dari kecil waktu SD.
P ooh dari SD biasa dipukul?
S iya jadi udah biasa pak, kalau kawan kan ada juga karena gak pernah dipukul karena sekali
dipukul kayak gimana gitu pak
P oh jadi kamu udah biasa ?
S iya pak
P yang biasa mukul kamu siapa? Ayah?
S iya pak
P pakai apa mukulnya ?
S ee kalau ayah tu mukul pakai sapu yang besi gitu pak
P heemm
S yang besi kayak gitu karena waktu SD tukan pola pikirnya kan berbeda sama sekarang pak.
P eem emm
S gak mau ngalah sama adek depan TV sekali dipukul sapu yang kayak gitu pak langsung patah,
kan bengkok langsung dipatahkan lagi sama ayah jadi sakit gitu pak, sekali pukul langsung
patah, jadi bengkok langsung gitu pak
P yay a yay itu membekas?
S gak tau pak itu membekas atau enggak nya
P di perasaanmu
S ya pasti berbekaslah pak
P kamu akhirnya reaksinya dengan ayah gitu
S apanya pak ?
P reaksi hubungan mu dengan ayah sampai sekarang ?
S gak dekat
P gak dekat ya
S gak dekat pak semenjak kelas 4 SD gak dekat lagi sama ayah pak, kalau kelas 3 awal-awal
pindah dari sekolah kampung kan pak kan itu dua tahun SD di kampung kelas 1 kelas 2 kan
pak waktu mau kelas 3 nya tu dekat tapi lama kelamaan gak dekat, kayak cuman sehari dua
hari aja tapi waktu kelas 4 tu gak ada dekat lagi cuman kalau sekarang tu pak, kayak misalnya
pengen mak belik sate pengen belik sate atau bakso nanti ayah tu ada aja entah besok paginya
entah nanti malamnya langsung dibelikkan gitu pak
P ooh
S kalau sekarang, tapi sekarang gak ada dihukum lagi sama ayah pak
P karena udah besar?
S pertama udah besar, gak mungkin dihukum lagi kata ayah gitu tapi kalau misalnya masih
bandel, kalau misalnya berulah juga kayak dulu pak mungkin dihukum lagi.
P sering jadi panitia ospek gitu gak ?
S eem enggak pak jarang
P endak. Kalau diasrama kamu sebagai apa ?
S diasrama, cuman anggota pak hehe
P anggota ? gak kepala kamar gitu?
S enggak sih pak
P kamu paaling senior ya disini?
S apa pak?
P paling senior ? entar lagi lulus kan ?
S iya senior pak
P eee kalau misalkan kamu lagi pengen melakukan apa bully sama orang misalkan gitu, kamu
kan ada kepikiran di agama di larang terus aku dulu juga pernah menerima itu endak enak
yakan
S iya pak
P saat melakukan itu itu kepikiran endak yang kayak gitu endak ya?
227
S maksudnya pak?
P pas misalkan kamu, misalkan kamu lagi pas membalas orang membully gitu terus kamu ka
nee pernah merasakan di bully terus di agama ni gak boleh itu tu gimana tu ? pas kamu
melakukan gak kepikiran atau ?
S eee insyaallah sih pak mutia gak pernah bully orang karena mutia tau kayak gimana rasanya
pak
P eem ya
S tapi kalau temen deket mutia yang di bully mutia berusaha untuk membela walaupun ujungnya
nanti dibully juga pak
P ohh gitu
S karena mutia bisa merasakan apa yang mereka rasakan gak enak hati gitu pak nengoknya
P he’eh itu munculnya empati tu sejak kapan? Kamu merasakan ? kalau orang dibully tu kan
saya merasakan ini kamu dapat dari mana itu ?
S ee itu semenjak saya punya kawan di SMK pak di aitu pengertian, dia itu baik sama mutia
selalu nasehatin selalu ada untuk mutia kalaupun mutia dibully sama dulu waktu mutia dibully
sama orang dia selalu nolongin mutia kayak mana belain muti, jangan gitu we kalian tu, em
kayak gitu pak
P oooh
S jadi mutia
P jadi kamu ada temen mu yang, tapi tidak disini temen kamu itu ?
S ada disini
P ohh disini satu asrama juga ?
S enggak beda asrama cuman satu kelas
P perempuan ?
S M :laki-laki, temen laki-laki pak
P ohh laki-laki
S temen deket cuman pak, temen deket
P pacar?
S enggak
P ooh enggak hehehe
S gak pernah pacarana
P gak boleh pacarana di pesantren ya
S gak juga sih pak, banyak juga yang pacaran kok pak.
P ohh banyak juga, haram tu gak ?
S iyasih pak
P gak haram hehehe??
S eee kalau didalam islam sih haram pak, tapi mereka
P kalau di pesantren halal gitu ? heheh
S tapi orang-orang tertentu mungkin bilang apa halal gitu pak pacaran mungkin, banyak juga
kok pak yang pacarana
P jadi faktor yang membuat kamu sadar, faktor yang membuat kamu ee tidak balas dendam dan
lain sebagainya itu karena kamu punya empati pernah melakukan itu ya?
S iya pak
P terus yang mendukung kamu untuk apa Namanya berfikir positif itu temen kamu ada yang
mendukung?
S ada pak yang kadang mutia saat lagi terpuruknya mutia minta tolong ini kayak mana dil gini
gini gini minta solusi gitu pak terus dia ngasih solusi nanti dia yang ngapain gitu pak cewek.
P perempuan ?
S perempuan.
P kalau permasalahan yang sering muncul diasrama apa?
S eee salah paham pak
P salah paham ap aitu?
228
S salah paham kayak gimana ya pak bilangnya.
P salah paham apa ? rebutan jemur jilbab apa rebutan apa gitu?
S eee itu pak salah paham karena permasalahan masalah-masalah kecil gitu
P ohh contohnya ?
S contohnya kayak, misalnya apa ya, gak tau pak lupa hehehe
P ohh gak tau, oke
S kalau guru bersikapnya gimana? Ustadz ustadzahnya menurut kamu?
P kalau guru, guru baik sih pak semuanya baik walaupun ee pernahlah bikin mutia gak enak hati
bikin mutia bad mood tapi walaupun kayak mana, kayak manapun guru tersebut tetaplah
mereka tu guru mutia, mutia tu harus menghormati, harus menghargai, walaupun guru tersebut
sifatnya tu kalau dibilang bertolak belakang kayak gak pantes jadi guru gitu pak kalau ada
orang bilang kayak gitu, mau kayak manapun dia tetep jadi guru.
S hemm jadi rata-rata baik walaupun kadang menjengkelkan juga.
P iya walaupun menjengkelkan tapi itu kadang cuman sekali-sekali sih pak.
S sekali-kali, kalau musrifahnya gimana ?yang jaga asrama biasanya kan yang jaga asrama
galak-galak tu ?
P yang jaga asrama emm biasa ajasih pak.
S eee endak galak ? atau kamu takut karena ada dibelakangnya itu ? hehehe
P eem galak sih pak tapi biasa aja hehehe galak tapi biasa aja
S oohh, kamu pernah diapain sama musrifahnya ?
P sama siapa pak ?
S sama musrifah mu pernah diapain paling parah?
P musrifah?
S musrifah yang jaga, yang jaga asrama
P yang jaga? Ooh wali kamar ? ee gak ada pak, cuman kayak ngomong tiba-tiba bentak jadi
terkejut pak
S dibentak ?
P iya jadi terkejut
S kenapa dibentak ?
P ee gak tau pak, mungkin ada kesalahan sedikit mungkin kan pak jadi tiba-tiba ustadz tu kayak
ngapain meja gitu pak, jadi terkejut
S eem oke oke oke. Kalau bullying-bullying itu biasa terjadi waktu dikelas, diasrama, dikantin
atau dimana?
P eemm dikelas juga pernah pak, di kamar juga, kalau di kantin jarang sih pak
S kantin jarang ?
P jarang, jarang bareng sama mereka gitu pak
S em kalau dikelas biasanya apa pemicunya ?
P pemicunya gara-gara mutia tu dekat sama yang laki-lakinya itu pak jadi mereka tu kayak mutia
tu jadi bahan ejekkan sama mereka
S eemmm
P em antara yang ngejek laki-laki tun anti ke mutia kadang, kalau gak yang laki-laki tu ngejek
ke dia gitu pak, yang cewek ke mutia gitu pak
S eemmm ngejeknya seperti apasih?
P eee kayak, kayak orang tu jodoh-jodohin gitu pak ngejeknya.
S ohh di jodoh-jodohiin oh kamu gak suka ?
P gak suka pak
S iya iya. Kamu kalau sedih, gak seneng, kecewa gitu ceritanya ke siapa ?
P emmm kalau disini mutia lebih sering cerita ketemen pak temen cewek
S temen perempuan ?
P he’eh yang pertama ke temen cewek yang kedua baru ketemen laki-laki yang dia tadi pak
S yang SMK tadi tu
P iya yang kedua baru yang ketiga nanti cerita sama mamak kalau ada waktu pak
229
S iya ya
P kadang jaringan tu susah pak kesana.
S mamak mu yang telfon?
P enggak, mutia yang telfon pak
S nanti nelfon ke nomor bapak ?
P nomor mamak hehe
S ohh ada, orang tua kerja apa?
P ee karyawan sawit sih pak
S karyawan sawit. Kamu berapa bersaudara ?
P mutia 3 bersaudara pak
S 3 bersaudara. Kamu yang nomor ?
P pertama
S ohh paling besar harus jadi contoh, habis ini mau apa ? kuliah ?
P iya pak.
S rencana mau kuliah mana ? ini bulan 6 ya atau bulan berapa?
P emm insyaallah mau kuliah di UIN pak.
S jurusan ?
P jurusan, milih dua sih pak pertama tu tafsir Al-Qur’an yang kedua itu PAI pak
S oh PAI, mau jadi guru agama
P hehehe enggak pak
S oh endak. Mau jadi apa? Cita citamu mau jadi apa ?
P jadi desainer pak
S desainer loh desainer kok ngambilnya ke tafsir, ke PAI gimana tu loh hah?
P hehhe sebenernya itu pak mau masuk jurusan apa Namanya desainer juga pak cuman waktu
SMK tu disuruhnya disini, disini dulu ada cuman udah di tutup pak
S eemm
P tapi semenjak sekarang karena apa nanti mungkin kalau ada libur 3 bulan besok ni pak mau
mau kursus gitu pak
S ini desainer baju ya ?
P iya
S oohh yayaya
P jadi kayak kursus gitu sama saudara, saudara rata-rata desainer pak.
S heem penjahit ?
P penjahit
S disiak saudara?
P enggak pak, saudara di medan pak, kampung dimedan.
S oh kampung di medan
P iya pak
S iya ya makasih mutia ya.
Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek (Wadatul Jannah)
P/S Hasil wawancara
230
P kita mulai ya, perkenalkan eee saya didik ingin sedikit tanya-tanya eee mengenai keseharian
di pesantren gitu, namanya siapa?
S nama saya wardahtul jannah
P panggilannya?
S panggilannya wardah
P ooo bukan jjannah?
S eeee, enggak
P panggilannya wardatul
S wardah
P wardah kayak yang punya wardah-wardah make up itu bukan? hehe
S bukaan, lain lagii
P mmmm... berarti setahun baru di sini ni?
S belum sampai setahun, sekiran sepuluh bulanlah
P sepuluh bulan? okeee, sebelumnya dimana tadi?
S sebelumnya dipelalawan
P pelalawan? Sampai kelas tiga berarti ya? 3 SMP, bagaimana kalau masuk kesini tu, eee
keinginan sendiri atau orang tua?
S keinginan sendiri
P kenapa memilih disini?
S karena dulu eee punya dua pilihan, cuman entah kenapa pengen tu hati suruh kesini aja gituu
P kenapa tu? Ada teman disini?
S enggak, dulu ada kakak kelas disini, jadi sekali ini juga, sekalian nengokin disini
P tapi kakak kelasnya udah pindah? Ee udah selesai?
S eee belum kakak kelasnya masih magang
P magang itu berarti, kemana kerjanya disini ?
S iya di Pekanbaru, kakak tu kelas 5, cuman kelas 5, cuman lagi magang kelas limanya
P magangnya biasanya dimana?
S diii pekanbru ini juga, jadi enggak jauh juga
P sekolah?
S heeh, masih dalam pembelajaran sekolah, cuman magang
P bukan dipesantren ini?
S enggak, diluar
P kelas 5 berarti itu kelas 2 SMA
S iya
P berarti sekarang W ya kelas 4?
S iya 4
P ada pembagian kelas gitu enggak? Waktu masuk? Ini kelas apa sekarang?
S eee kelas sosial
P ooo dia ada jurusan juga ya
S iyaa ada SMA nya
P IPA? Ee dia bukan IPA ya sebutannya
S IPA eh sains, religi, sosial
P tiga?
S heeh
P semua kayak gitu pesantren ya? Kenapa milih sosial kenapa?
S karena, niatnya pengen ngambil bidang hukum
P haa hukum? Mantaaaap, kenapa suka jadi lawyer? Atau nonton film lawyer gitu?
S iyaa
P suka?
S lumayan
P ada orang tua, orang tua hukum enggak? Atau gimana? Kakak?
231
S di berita
P ooo kakak enggak? Orang tua enggak hukum ya?
S enggak
P kan biasanya kan ngikut kakaknya
S enggak anak pertama
P ooooo anak pertama, ikut bapaknya, mamaknya enggak ya?
S enggak, wiraswasta
P oo wiraswasta, biasa wiraswasta kaya ya
S hehehe
P selama baru masuk ni, 10 bulan apa yang wardah rasakan disini?
S disini tuuu, mmm banyak pengalaman juga banyak mmmm pelajaran yang, ada yang bisa
masuk Cuma kadang ada yang enggak gitu
P mmmm, maksudnya enggak bisa masuk tu apa? Susah? Beda gitu?
S susah eee dengan dulu-dulu tu beda
P susah sini atau sana?
S disini
P jadi itu? Jadi gimana caranya yang wardah lakukan?
S kadang ya kalau misalnya pelajaran itu kalau misalnya. Disuruh perhatikan, kadang disuruh
perhatikan ya udah diperhatikan, terus tu pas waktunya masuk ya masuk gitu, kalau misalnya
lagi enggak mood ya apa ya enggak masuk, kadang susah masuk gitulah
P kalau sama teman ada enggak? Masalah? Karena baru-baru masuk gitu
S adaa
P apa? Contohnya apa yang dia lakuin?
S duluu, pernah kadang kan, kan kadang kalu kelas 4 ini udah punya organisasi jadi banyak
tugasnya, jadi pas ada waktu hari itu, ada disuruh, apa ya? Disuruh ustadzah itu minta-minta
itu kan adaa, dibagian organisasi itu bagiannya dapat sosial, jadi disuruh minta-minta
sumbangan, jadi yang dari ustadzah nyuruh tu, ada yang meninggal, jadi dari apa tu, ustadzah
nyuruhnya dari siang sampai malam, kadang karena disuruh ustadzah tu kadangkan ada sholat
ada ini, jadi sholat habis sholat tu enggak ada berhenti dari pagi, habis tu pas sholat tu pas
habis baca kitab tu dipanggil sama ustadzah, dipanggil mmm sampai sjolat isya’, jadi
pemungutan tadi belum selesai, jadi pas disuruh sama teman-teman jadi kan eee yang disuruh
tu kami, jadi orang tu enggak ada ngerjain, malah apaa sibuk sendiri.
P main-main gitu ya?
S iyaa, malam tu juga banyak tugas, jadi eee ana tanya, kok kalian enggak minta itu, minta
sumbangannya, ee ternyata tu, anti pun enggak bilang, mungkin orang tu, ee karena udah
dikasih tau dai awal disuruh minta ya minta, enggak harus teradu dengan ana sendiri, jadi
mmm ana minta tolong cobalah ambil ana mau ngerjain tugas
P haa iya gantia?
S he’e gantian, habis tu ana minta sama teman ana tu, kata dia pas itu tu, ana tu lagi sibuk, kata
dia, tapi dengan nada tinggi, jadii ana Cuma minta tolong kata ana, haa itupun kalau bisa,
habis tu ya udah, naik nada tinggi, ya udahlah, langsung keluar dari kamar tu
P tuu dianya sendiri atau rame-rame?
S eee kalau yang nada tinggi tu Cuma sendiri aja
P ee Cuma sendiri aja iya
S yang lain ya udahlah iyaa biar kami aja
P sampai sekarang gimana hubungan sama dia?
S sekarang sih udah enggak lagi, udah di lupain
P kalau sama kakak-kakak senior ada enggak yang jail-jail kadang?
S kalau senior sihi kadang, enggak ada sih, Cuma kakak tu mmm sering minta tolong, ya udah
kadang iniii
P sering?
S mmm lumayanlah
232
P itu wardah terus atau yang lain juga digituin?
S enggak, rata-rata semua digituin juga
P ee enggak maksudnya yang disuruh tu wardah aja atau ada yang lain disuruh juga gitu?
S kadang pas lagi lewaat, heee yang pakai baju ini gituu
P padahal enggak kenal itu ya
S he’e enggak kenal, tolong ini ini, ya udah. Kadang kan kakak tingkat jadi seganlah mau apa
nolak, ya udah
P tapi apa perasaannya pada saat itu, disuruh kayak gitu?
S kadang pas kita mm agi enggak pengen, ee sebenarnya udah enggak mau, ya udah kayak
mana lagi sama kakak kelas ya udah lanjut aja
P kalau perlakuan yang lain, diganggu oleh kakak tingkat atau teman-teman sendiri gitu?
S enggak ada, Cuma kadang di ini eee ada pelatihan di suruh ini ini, nanti disuruh
P itu ustadzah atau kakak-kakaknya?
S kakak-kakaknya. Pelatihan untuk menjadi organisasi itu kan ada pelatihan melatih diri, bisa
enggak dia jadi disitu, jadi ya udah kadang disuruh lari ini ni, nanti eee apa merepet sendiri,
apalah kakak ni baru eee selesai makan juga langsung di hitung-hitung
P ooo, itu sering? Itu biasalah kalau di organisasi kan? Tapi kalau diluar ada enggak kayak gitu
juga? Paling dipanggil-panggil gitu juga ya?
S enggak ada sih
P enggak ada. Tapi kalau ada perlakuan seperti itu diluar pernah enggak? Bully-bully tau ya?
Pembulian, bully? Bully itu kan bisa juga dengan verbal kata gitu, dengan perlakuan, pernah
enggak?
S pernah juga
P seperti apa?
S kadang apaa,
P tidak apa cerita aja, ini enggak akan disebar kok
S kadang eee kayak gimana ya, kemarin pernah juga sibersosialisasi di apa, apa di pos penjara
itu, jadi liat-liat itu
P pos penjara maksudnya apa?
S dipos penjara disekitar daerah ini juga, kadang ada ditepi-tepi jalan ada liat dari sekolah,
kayaknya makan, minta makan, kadang enggak dikasih, kadang eee kakek itu kadang sering
kalau memang dia enggak bisa dia jualan
P itu siapa itu? Orang diluar ?
S iyaa orang diluar
P kalau wardah sendiri? Enggak ada?
S enggak ada
P yakin enggak ada? Berdasarkan itu kakak-kaka tingkat gitu, kalau teman-teman yang lain ada
enggak cerita?
S enggak ada juga
P kalau disekolah yang lama?
S sekolah yang lam tu, kadang kami tu kalau ada lagi ada masalah dikumpulin, tanya satu-satu,
nanti eee apa ada masalah enggak? Ada yang enggak suka sama ini? cepat ajalah? Mmm
kadang
P itu wardah yang neglakuin atau wardah kan kelas 3 dulu tu
S kadang itulah kadang ditanya ada enggak yang enggak suka sama ini? cuman kadang orang
tu memang enggak ada,
P padahal ada, ngomong-ngomong dibelakang
S he’em kelas 1 juga, waktu tu
P kelas 1 juga? Digituin?
S ditanya-tanya juga mmm berantem juga
P wardah tu?
S he’em sama tean, cuman dibaikin lagi sama kakaknya
233
P itu biasanya kalau dikumpulin dimana tempatnya tu?
S tu kadang kami tu enggak banyak, jadi ada asramany ada 2 jadi disana kadang.
P diasramanya, didalam kamar atau gimana?
S iyaa didalam kamar, tapi disebelah lainnya lagi, kadnag dimasjid
P berarti tu kan dikumpulkan itu kan otomatis ustadzahnya enggak tau, jadi gimana tu
tempatnya, didalam kamar gitu atau?
S didalam kamar sebelahnya lagi
P ooo gitu
S tu kadang ustadzhnya enggak tau, tapi kadang mana yang bermasalah itulah yang dulu
P pernah berarti dulu digituin, dulu waktu kelas 1, apa tu perasaannya, gimana? Yang dirasakan
tu jengkel enggak? Maksudnya dipanggil gitu
S kadang itulah takut-takut juga kok tiba-tiba dipanggil aja.. padahal kok bisa kakak tu tau
bahwasannya lagi ada masalah nya itu, padahal diem-diem aja
P hehehem iyaa
S ya udah ya gini gini gini diceritakan jadi ya udah di bagusin lagi sama kaka-kakaknya
P apa perlakuannya ?
S paling cuman
P enggak main fisik kan?
S enggak, cuman kadang didiemin aja, padahal dulu saling akrab
P oooo gitu
S kok diem-dieman,
P terus setelah itu, kelas 2 kelas 3?
S kelas 3 tu, banyak kali kayak gitu , padahal sama-sama dekat pas ditanya sama ustadzahnya
aaa itu kok sendiri makannya? Biasa sendiri, bertiga makannya, ee enggak ada zah
P itu sama-sama kelas 3?
S iyaa sama-sama teman, mmm ada ni ternyata diem-diem ada,
P waktu kelas 3 ada enggak ngelakuin kayak kakak yang ngelakuin ke wardah
S kalau minta tolong-minta tolong tu
P enggak misalnya ngumpulin anak kelas 1 kelas 2 gitu
S pernaaah, kadang kalau disana juga punya organisasi ngumpulin bahasa
P tapiii kalau diluar organisasi ada enggak?
S mmmm adaaa kadang orang tu ada banyak enggak suka juga
P terus dipanggilin?
S he’em ditanya sama-sama cuman karena jarang sama orang tu ada masalah ya udah diem aja,
kalau enggak suka sama ana ya udah kayak gini cuman kita dengerin aja
P dulu ngerasa sedih? Maksudnya enggak terima, apa yang membuat wardah juga seperti itu?
Apa yang dirasakan waktu itu? Puaskah?
S enggak jugaa, kadang itulah pas itu kita lagi pengen cerita maah diem-diem
P jadi kalau masih gitu belum lah ya, karena masih kelas 1 ya? Paling dipanggil-panggil gitu
sama disuruh-suruh, tapi ustadzahnya enggak tau ya
S tu pas di sekolah lain, kalau disekolah sini
P kalau disekolah sini enggak ada dipanggil-panggil gitu? Kyak tadi tu?
S adaaa kayak deek tolong ambilkan ini ini, padahal malas jugaaalah dari kesini kesana kan
agak jauh, ya udah ikhlas juga, ya udah ambil aja
P tapi enggak tau ya kakak-kakak
S tulaah tiba-tiba udah dikumpulin aja malam-malam
P disini ada juga?
S kadang jam 1
P haa itu waktu tidur kan
S iyaa, tiba-tiba kok dikumpulin aja
P terus ngapain dikumpulin?
234
S karena dulu ada teman-teman satu organisi tu, jadi dia itu pas organisasi lain, jadi dia itu
organisasi kan ada 2 jadi orang tu ee lagi ee memperhatikan adik-adiknya jadi adik-adiknya
sanggup enggak dimuhahoroh tu, jadi adiknya tu matiin lampu semua, tiba-tiba jerit-jerit aja,
jadi kebangunlah kakaknya jadi satu organisasi itu dikumpulin
P jadi dimarah-marahin?
S karena satu yang kenak jadi semua kenak ya udah dikumpulin, had ida sampai jam 1 dimarah-
marahin ya udah pas kami enggak ada masalah ini disuruh masuk lagi tidur lagi
P ooo paling gitu aja ya? Yang lain enggak ada masalah ?
S kadang pas eee tes tes organisasi banyak aaa banyak bentuknya, jadii ee pas ada tu teman telat
disuruh eee scout jump 100,
P 100?
S iyaa pagi-pagi tu, kakak tingkatnya kelas lima nya, jadi disuruh sampai 100 pagi-pagi tu, pas
pigi sekolahnya udah bekeringat aja
P apa lagi yang kira-kira wardah rasakan sama kakak tingkat? Pernah ada enggak kubu-kubu
ata apa disini?
S enggak ada, cuman ada waktu-waktunya pas lagi kumpul-kumpul, ada masanya, kadang ada
yang telat yang ini gitu, cuman kadang sadar juga kita yang salah
P okee wardah bapak rasa sudah cukup infonya
Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek (Afifah)
P/S Hasil wawancara
P Eee panggilannya siapa?
S Afif pak
235
P Afif ya, ee fif bisa diceritakan kira kira kamu pernah mengalami perundungan, tau
perundungan ndak?
S tau pak
P Bullying ya, kamu pernah mengalami bullying ndak SD apa yang pernah kamu alami gitu?
S ee selama saya masa SMA pak.
P ya selama SMA, diawal SMA
S eem kalua SMA saya, seingat saya, saya gak pernah pak kalua di rundung gitu saya gak
pernah pak
P kapan itu?
S ehem Apanya pak?
P mulai ada perundungannya kapan, kamu ada pengalaman perundungannya kapan?
S SMP
P SMP?
S he’eh
P SMP dirundungkan?
S hem iya
P tapi SMA kamu perundungnya?
S hm gak pernah pak
P gak pernah ?
S eh saya yang, iya saya yang melakukan
P kamu pernah melakukan ?
S iya
P waktu di SMA?
S iya SMA
P Oke. bisa diceritakan perilakunya apa yang diterima dulu, perundungan apa yang pernah kamu
terima?
S ee cuman seingat saya waktu itu lagi ada masalah, terus saya dipanggil kekelas tetapi itu
dengan anak Angkatan kelas 7 aja pak
P he’eh
S terus saya datang kekelas itu, terus dari da;am itu mereka udah natap saya kayak udah gak
suka gitu, terus saya kaya ih ngapa ni, masuk terus menyelesaikan masalah tapi saya rasa saya
gak salah gitu saya mengungkapkan ee , e apa pendapat-pendapat teman saya kalua mereka
tu kayak gini terus saya kasih tau lah ke mereka ternyata mereka gak suka yaudah akhirnya
saya, ya mungkin saya di caci waktu it uterus saya nangis pak, yaudah akhirnya datang osis-
osisnya dibubarin terus saya balik ke asrama saya sampai sakit gitu pak sesak nafas karena
saya waktu itu sering sakit jadi kambuh sakitnya.
P he’eh
S jadi kambuh sakitnya/
P itu masalah, masalah di pesantren maksudnya gitu?
S he’eh
P masalah dipesantren kan kamu diundang ee masalahnya masalah apa, terkait apa akademis
atau perilaku?
S Perilaku mereka, waktu itu kelas 7 tu ada anak-anak yang agak ya ada yang bandel bandel
gitu pak
P he’eh
S jadi mereka ee bilang kalua kami ribut, waktu itu lagi buka puasa pak, buka puasa sama
jadikan ada bubar ee terys mereka bilang ee kalua kami ribut jangan diamin kami ya, biarin
kami ribut, pooknya kaya gitu pak, terus ya mungkin yang sebagian yang lain kaya, kok gitu
sih orang ni kan lagi acara dikelas, pokoknya jangan ribut-ributlah jangan nyanyi-nyanyi,
gendang-gendang gitu pak terus ee, jadi kami agak kurang nyaman git uterus kebetulah dii
asrama pengasuhnya lagi bongkar barang untuk dijualin pak, yaudah kami bilang yaudah yuk
236
kita tengok tempat umi aja tengok tengok barang, yaudah kami balek ke asrama pak,
sedangkan acara belum selesai kami dah balek duluan.
P hemm
S sama teman teman saya, tu kami tengok kami balek ke kamar nahh ada salah satu dari mereka
tadi t uke asrama ke kamar mandi pas chek kamar kami adalah kami dikamar pak, dia nanya
kok kalian disini sih, iya ngapain kami disana kalian begitu-begitu kami bilang yakan pak,
yaudahlah kesana ajalah dulu, enggak lah sini aja, akhirnya mungkin dia ee ngadulah ke
pembawa acaranya pak, yaudah akhirnya saya dipanggil. Fif mu dipanggil, ngapain masalah
orang tu yaudah datanglah saya kesana pak, nahh saya lewat dari jendela tu mereka dah natap
wiii sinis saya takut, yaudah saya masuk, habis tu ya, mungkin gitu pak.
P hem oke, itu yang pernah dialami, kira-kira kalua setelah kejadian itu ada ndak, misalkan
kamu dikucilkan, atau di moment yang lain karena peristiwa yang lain di asrama gitu ada ndak
perundungan yang terjadi di asrama oleh senior-senior tu?
S emm kalua yang dialami saya saya belum pernah, kalua sama senior saya belum pernah pak,
tapi mungkin kalua sama teman teman seangkatan pernah pak.
P contohnya seperti apa? Kasusnya?
S Mungkin itu teman sebelah kamar saya, kaya suara saya tu dulu kayak anak kecil gitu pak jadi
dia ngira suara saya dibuat buat, jadi karena say akelas 7 tu masih kanak-kanak, tingkahnya
masih kaya anak-anak jadi saya suka jalan kemana-kemana sampai kekamar dia itu jarang sih
sebenarnya main kekamar mereka karena agak takut pak, terus saya berani duduk situ, terus
dia nanya mukanya juga kayak, fif suara mu memang kayak gitu katanya, iya suara ana
memang kayak gini, kenapa emangnya. Gak ada kirain kayak dibuat buat aja kayak anak kecil
P heemmm
S ya emang kayak gini.
P kamu ada gak takut pergi kekamarnya senior tu, kira-kira ada apa ada kaitan ceritanya atau
ada ?
S mungkin karena mereka ada power gitu pak, dulu yaa kan ada dua blok gitu pak disini, blok
bagian sini kaya senior-senior gimana ya jelasinnya, ada power gitu pak, jadi saya selama?
P iya istilahnya apa, bagak gitu ya?
S kalua kami bilangnya anak nakal gitu.
P oohh anak nakal
S iyaa. Saya bagian blok sini ya masih sama senior-senior yang baik ada ketua asramanya, ya
saya masih ruang lingkup yang kaya gitu, jadi agak kurang main ke blok-blok sana agak takut
waktu masih SMP.
P waktu kamu dibully itu, di kejadiannya dimana? Terus siapa aja yang ada disekitar itu?
S waktu itu yang itu tu waktu dikelas pak, maghrib, eh bukan isya kayaknya kejadiannya pak
setelah shalat, udah buka, udah shalat ya siap shalat itu saya balek ke asrama baru saya
dipanggil lagi kaya siap isya disitu ada teman saya yang kemarin sahnia, ada teman-teman
yang lain kayak alifta juga ada karena satu Angkatan pak. Angkatan kelas 7 baru setelah kayak
ada kehebohan baru senior datang kayak anak osisnya pak.
P tapi kalua pengawasnya ndak ada ya?
S hem?
P pengawas, pengawas pesantren, ustadz itu ndak ada ya?
S ndak ada, lagi di asrama semua pak.
P waktu kamu dibully itu apa yang kamu rasakan ?
S ehem saya takut,sedih itu yang saya rasakan pak.
P terus yang kamu lakukan apa?
S waktu itu saya nangis
P nangis, nangis ya atau coba menghubungi senior , menghubungi orang tua
S endak , enggak enggak.. saya cuman ya gak tau mau ngapain saya nangis terus saya mampir
kejendela nangis, terus datang senior baru ditanya-tanyain kenapa sampai saya nangis
sesegukan gitu pak, baru balek keasrama, dah diasrama sakit saya pak
237
P oh gitu. Waktu kamu takut tu ada gak menyimpan kemarahan, menyimpan ya rasanya aku
kok diginin sih pingin bales tapi gak mampu, karena yang lakukan itu senior gitu, muncul gak
perasaan gitu?
S emm enggak pak, saya gak punya perasaan, kayak nyimpan dendam sama orang lain gitu.
P gitu gak ada ya ?
S he’eh
P perilakunya berarti verbal semua ya ndak ada yang?
S Iya verbal gak ada yang fisik.
P ndak ada yang fisik. Terus ee ketika kamu menghadapi situasi seperti itu apa yang
berpengaruh terhadap dirimu? Yang membuat kamu tertekan atau membuat kamu lebih baik
gitu?
S heemm waktu dulu, kayak los gitu aja pak gak ada kepikiran
P taka da ya.
S enggak pak. Berlalu gitu aja saya anggap mereka yaudah yang kemarin sudah berlalu yaudah
akhirnya sampai naik kelas 8 kelas 9 itu juga pisah asrama kan pak, jarang jumpa, kelas juga
beda waktu itu, jadi yaudah udah berlalu aja sampai SMA. SMA tu kalua di sekolah kami tu
ada banyak perubahan gitu pak. SMP tu pada bandal dan naik SMA tu rasanya adem ayem
jadi anak baik semua gitu pak rata-rata.
P rata-rata oke. Terus kamu kanpernah juga melakukan perundungan ee bisa ceritakan kamu
melakukannya pada siapa? Waktunya kapan? Kepada siapa gitu, kenapa alasannya melakukan
gitu?
S kalua melakukan perundungan waktu itu SMA pas kan udah anak bar utu pak, udah pergantian
siswa-siswa kami masih dari SMP sampai SMA nah yang baru masuk SMA ni.
P kamu dipesantren yang sama kan SMP, SMA nya ?
S he’eh iya pak, terus tapi itu sama teman-teman juga pak, teman
P ya sama teman kamu melakukannya.
S iya teman baik gitu pak, jadi cuman bercanda canda gitu aja sama verbal. Ngata-ngatain
karena kadang orangnya tu mungkin karena baik hati pak, gak marah kalua diapa apain jadi
kadang dia cerita, diakan ee orang batak gitu pak, jadi kami baru dapat kosa kata kosa kata
baru, misalnyakan dia bilang bodat jadi dia malah dipanggil bodat sama saya, sama saya aja
sekarang masih saya panggil bodat dia pak
P heemm
S terus dia itu dari saya kenal dia sampai sekarang masih kaya gitu sih pak.
P anda kan sebelumnya pernah mengalami perundungan
S he’eh
P terus em ndak enak kan rasanya di rasanya sampai nangis kamu tadi, tapi dilain waktu
kemudian seiring berjalannya waktu ketika kamu menjadi senior kamu melakukan hal yang
sama yang mungkin kamu lakukan yang dulu pernah dilakukan oleh seniormu. Itu kira kira
bisa kamu ceritakan prosesnya seperti apa?
S proses gimana pak?
P misalnya didalam dirimu apa yang kamu pikirkan ketika kamu melakukan itu ada gak
kepikiran dulu aku gak enak lo, terus atau ada pengaruh lain diajak teman karena teman juga
melakukan seperti apa gitu?
S ya kalua merundung satu kawan ni karena pengaruh kawan saya, karena mereka, mereka
mulai duluan jadi yaudahlah ikut aja gitu. Tapi ada satu orang kadang saya gak, gak, mereka
ni yang satu lagi ni sering kali bully dia pak, tapi pakai verbal tapi saya kaya kadang udaahlah
tu wee jangan lagi kasian dia, tapi mereka juga kadang bully. Saya juga ssuatu ketika saya
bully dia juga pak.
P ohh gitu. Jadi pertama karena melihat orang lain melakukan?
S iya
238
P kamu belajar melihat orang lain melakukan? Ada gak pergulatan dalam fikiranmu? Inikan
sesuatu yang ndak boleh, sesuatu yang dilarang dalam agama saya, dipesantren juga diajarin
nilai nilai kayak gitu loh?
S iya terkadang ada pak, kayak teman saya yang satu ni ya yang itu kayak yang saya bilang pak
kadang udah jangan, jangan di bully terus, kadang mungkin karena ada rasa kasihan dia,
kadang baik sama kita dia ngasih kita makan sama-sama dia. Misalnya dapat kiriman ya
makannya sama masak dibully, orang ni kayak gak sadar diri dia udah baik loh masak tetap
dikata katain.
P ada ada pergulatan, ee terus pergulatan pikiran tu ada tapi di satu sisi tetep di kata-katain itu
kira-kira ee apa yang waktu itu yang terjadi didalam fikiranmu? Kamu ada fikiran, fikiran itu
ada waktu kamu melakukan atau muncul setelah kamu melakuka?
S eee kadang, kadang-kadang tu ee pas saya lakukan pak
P pas kamu lakukan muncul, terus berhenti atau lanjut?
S berhenti pak, saya berhenti terus saya minta yang lain bernti juga jangan diapain lagi, kadang
kalua pas selesai saya bully kadang, ndak ingat saya pak
P ndak ingat lagi? Tapi ketika kamu lakukan itu kamu berhenti, terus besok kamu lakukan lagi,
jadi kalua muncul kesadaran ya berhenti ketika nanti gak ada kesadaran lagi ya melakukan
lagi?
S iya tapi udah kaya biasa kan pak
P kaya biasa, otomatis gitu
S main-main biasa, tiba-tiba ada kesalahan sikit dia langsung diserbu gitu.
P apakah kamu memnganggapnya itu sebagai sebuah hal yang biasa atau permainan yang biasa
atau eee karena orang melakukan bully kadang-kadang dianggap sebuah permainan biasa, apa
yang kamu fikirkan ?
S kalua saya menganggapnya biasa ya pak kalua verbal mungkin itu biasa pak, tapi kalua
verbalnya udah terlalu mungkin ada satu kata yang menyakiti di aitu udah dah tu, udah jangan
itu dah gak baik lagi. Tapi kalua udah ya kayak main bercanda-bercanda gitu menrut saya ya
udah biasa gitu.
P kalua menurut kamu ketika kamu melakukan itu apasih yang kamu inginkan, tujuan yang
kamu inginkan itu apa?
S senang aja pak
P oh senang
S he’eh
P melakukan kesenangan, di pesantren agak kurang hiburan ya memang?
S hehehe
P Ada televisi?
S enggak ada
P handphone juga endak ada ?
S enggak ada, handphone asrama itupun yang hp senter pak
P oh senter berry
S iya, tapi kadang kami minta nonton sih sama umi nya kalau dikelas.
P tapi intinya kamu senang, dengan melakukan itu kamu dapat kesenangan? apa yang membuat
kamu senang? Respon diam ketika kamu membully atau seperti apa?
S respon dia karna rame-rame kan pak, respon dia yang kayak masih ketawa-ketawa, jadi diapun
juga kadang juga balas dengan oceh-ocehannya tu jadi lucu pak.
P jadi ada timbal balik ya, kamu bully terus responnya kayak begitu jadi kamu pengen bully lagi
kayak begitu.
S iyaa, he’em
P oke. Kalau hal ha yang memperkuat apa kamu melakukan perundungan selain respon,
pengaruh teman dari dalam dirimu, kamu waktu kecil sering dimarahi orang tua?
S eemm enggak pak, tapi saya kalau misalnya saya mau main keluar tu agak takut minta izin.
P kenapa gitu ?
239
S eeee saya kurang tau juga pak, eh ada kayak diizinin gak ya keluar, misalnya mau ajak teman
main, fif main yok kesini, ndehh ada mau mana jangan lagi, yaudahlah gausah gak jadi saya
main.
P kalau biasanya kejadian perundungan diasrama itu terjadinya waktu kapan? Malam hari?
S lagii, misalnya lagi makan siang kalau diasrama tu kayak lagi kumpul makan, kadang juga
siap shalat.
P he’em
S ya kalau lagi-lagi waktu senggang gitu pak, kalau lagi nyetrikapun kadang kalau ada orang tu
bully aja pak.
P berarti memang di waktu pada saat tidak ada pengawasan guru?
S ii ada juga sih pak uminya.
P kadang ada uminya juga gitu?
S he’eh iya kadang didepan uminya juga.
P apa reaksinya?
S ketawa-ketawa aja pak lucu gitu pak.
P oke saya rasa itu dulu ya nanti kalau ada pertanyaan, saya kirim via, atau ada wawancara lagi
terimakasih ya.
Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek
Konten wawancara, sudah bertemu satu kali pada 27 februari 2020 utuk perkenalan
dan minta kesediaan. 3 responden dari pesantren BS tidak diperbolehkan di rekam
menggunakan alat perekam namun boleh dicatat demi keamanan nama pesantren.
240
Setelah di negosiasi diperbolehkan merekam tapi harus dihapus setelah diverbatim.
Wawancara wawancara tgl 28 Februari
P/S Hasil wawancara
P coba ceritakan apakah anda pernah mengalami perundungan?
S saya pernah mengalami perundungan dulu waktu masuk awal tsanawiyah. Saya dipukul sama
senior karena waktu itu telat di saat diminta kumpul sama senior. Selain itu selama tahun
pertama saya beberapa kali dikata-katai kasar sama senior.
P apa yang kamu pikirkan waktu itu?
S saya waktu itu mikir untuk keluar dari pesantren tapi orang tua saya tidak membolehkan.
Sudah keluar banyak biaya untuk saya daftar di pesantren ini.
P kenapa sampai ingin keluar pesantren?
S karena gimana ya...saya takut, tapi marah juga pokoknya nggak enak lah jadi bilang ke papa
mau keluar gitu tapi nggak boleh.
P waktu dibulli kamu kan marah, kenapa tidak kamu lawan?
S enggak lah...takut kami. Senior banyak orangnya
P selain marah takut, ada nggak perasaan lain macam dendam gitu?
S ada lah dendam sakit hati tapi nggak bisa bales
P kamu tidak bisa melampiaskan berarti?
S iya sama senior nggak bisa, bisanya sama adik junior yang baru masuk.
P bentar, kan lama itu selama setahun nunggu junior, jadi selama setahun itu gimana
kondisinya?
S ya sering kena bulli kita, tapi kita bikin kelompok juga agar tidak kena bulli. Gabung2 sama
senior, dan yang penting tahu diri.
P ada nggak belajar bulli selama belum ada junior baru?
S ya ada tapi main-main sama teman seangkatan.
P kalau sama senior ada?
S nggak lah (responden tertawa)...mana berani kita pak. Mereka kompak kalau jahatin adik
angkatan
P nah sekarang kan kamu sudah aliyah ni, masih juga sering buli?
S nggak pak hukumannya berat bisa dikeluarkan dari pondok sama ustadznya. Sesekali aja
masih tapi jangan sampai ketahuan.
P berarti lebih sering mana waktu aliyah atau tsanawiyah?
S ya sering waktu tsanawiyah terutama waktu kelas 8 dan 9.
P kalau faktor dari dalam diri kamu apa sih yang kamu cari atau dapatkan dari membuli?
S senang aja,....kita jadi dihargai ditakuti pokoknya lah
P kaju senang dihargai atau ditakuti padahal dibelakang mereka dendam kepadamu?
S iya sih tapi ya gimana senang aja mereka menaruh hormat ama yang lebih tua
P kira-kira apa yang mempengaruhi kamu untuk melakukan peundungan?
S teman kayaknya ya...kalau sama teman-teman apalagi diajak gitu
P ada nggak kamu belajar dari senior atau TV atau game?
S dari senior
P TV atau game?
S nggak..kami nonton tv kalau pulang ke rumah aja
P disini HP dilarang kan?
S iya tp ada juga yang sembunyi2
P kamu?
S nggak bawa
P kamu kan disini bwlajar agama kok mau buki orang?
S ehmmm...gimana ya senang aja
P ada nggak pertentangan batin gitu?
241
S ada kadang habis melakukan itu menyesal
P tapi besoknya lakukan lagi?
S iya..
P biasanya dimana paling banyak buli?
S di asrama
P kalau di kelas?
S ada juga tapi jarang kan ada ustadz
P apa yang kami pikirkan atau rasakan ketika membuli orang?
S apa ya...gak tahu
P kamu ada nggak merasa puas gitu
S iya ada apalagi kalau adiknya sampai minta ampun gitu
P kamu nggak kasihan?
S kasihan juga sih
P jadi selain karena sepi dan tidak diawadi guru apa yang menjadikankan kamu berabi bulli
orang?
S tengok badannya juga, sama kedekatan orang tu sama senior
P berarti kamu tengok fisiknya juga ya?
S iay
P kalau dekat sama senior gimana?
S ya gak berani juga
P kamu pernah nggak dilaporin sama yang kamu buli?
S nggak pernah, kalau di pondok ni kalau suka lapor pasti kena sama kawan2
P maksudnya?
S ya kita hajar itu yang suka lapor-lapor
P kamu pernah nggak dilaporin?
S nggak pernah
P kalau ustadz, oragtua gitu gimana?
S mereka baik, yang suka keras itu penjaga asrama
P kwrasnya seperti apa?
S saya pernah dipukuk di kepala
P kenapa?
S sembunyi ketika suruh sholat
P ..ohh, oke ya...nanti kalau aku perlu data lagi aku akan kontak kamu
S iya pak, kasih tahu aja musyrifhya nanti.
P trims ya.
Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek
242
S pernah pak,
P jadi saya akan wawancara kamu terkait dengan perundungan atau bullying, data kamu aman
termasuk nama pesantrenmu juga tidak akan disebutkan dalam laporan. Supaya efektif
wawancaranya kamu nanti jika kutanya bisa menjelaskan panjang lebar ya..
S iya pak
P coba ceritakan pengalamanmu apakah pernah menerima perlakuan perundungan selama di
pesantren?
S eee...pernah pak waktu mulai masuk saya dan teman-teman sudah biasa dibulli sama senior-
senior. Mereka menyuruh ini menyuruh itu.
P selain disuruh-suruh ada nggak jenis yang lain?
S ya nyuruhnya itu disertai ancaman pak, ya yabg mau dipukul lah gitu
P Atas sebab apa kamu dibulli?
S kadang karena dianggap tidak menghormati senior gitu pak, yang lain ya karena kita nggak
nuruti kemauannya misalkan kalau lagi beres2 asrama gitu.
P kebanyakan perilaku bullinya dilakukan dimana?
S di asrama paling sering, kan kalau nggak ada guru mereka beraninya
P kalau ada guru?
S takutlah pak...tapi kalau yang mada(nakal) ya berani.
P kalau dikucilkan dari pergaulan gitu ada?
S ada juga
P pernah alami?
S teman sih pak ada yang ngalami..kalau saya nggak sampai segitu.
P berarti kamu jadi korban lah ya, ada keinginan membalas atau gimana gitu?
S ada lah pak tapi tak berani, kalau membalas kita semakin azab dibuatnya
P jadi kerana takut sama senior jadi nggak berani membalas ya? Ada dendam nggak?
S iya pak, kita dendam hanya saja mau membalas kita takut sama senior, mereka kompak, lagian
juga bakalan sulit kita nantinya.
P nah...terus kamu ada pengalaman membulli? Kata ustadzmu kamu suka buli kawanmu?
S nggak juga sih pak (responden mengubah posisi duduk) tapi ya sesekali ada bermain aja
P Siapa biasanya yang kamu bulli?
S adik tingkat pak. Kan mereka pasti nurut sama kita nggak akan melawan
P jadi selama kamu belum jadi senior nggak ada buli?
S Ya paling sama teman seangkatan tapi cuma main-main..kalau teman seangkatan rata-rata kan
pada berani.
P apa yang kamu cari dengan membuli orang?
S senang aja, hiburan pak disini kan suntuk kurang hiburan.TV nggak ada, HP nggak boleh
bawa.
P selain mencari kesenangan ada nggaj motif lain?
S AL:...hemmmm apa ya..ya kalau ke adik tingkat supaya mereka hormat sama senior aja. Biar
tidak banyak cengkunek (bahasa minang ;tingkah)
P kamu kan diajari agama supaya meneber kasih sayang gitu kok bisa buli orang? Gimana itu
penjelasannya?
S iya sih pak...kita diajari baik sama semua orang tapi disini sebagian nggak berlaku. Kalau
kami sama ustadz nurut tapi kalau sama adik tingkat kadang gimana ya..otomatis aja.
P maksudnya otomatis?
S ya apa ya..langsung gitu aja
P tanpa dipikir maksudmu?
S iya itu, kadang mikirnya setelah melakukan ada penyesalan tapi gimana lagi
P terus di lain waktu juga kamu lakukan?
S iya pak apalagi kalau udah bersama kawan-kawan.
P jadi kawan-kawanmu memberi motivasi untuk membuli?
S iya pak...kalau ramai-ramai takutnya hilang
243
P kamu kan pernah dibuli dan rasanya kan nggak enak, tapi kenapa kamu tega membuli?
S iya kadang itu kepikiran juga, tapi kalau udah rame-rame apalagi sama adik tibgkat ya asyik
aja..suruh ini itu, kita bentak dan mereka takut
P apa senangnya ditakuti orang?
S ya dihargai gitu pak, dulu kan kami digitukan juga jadi ya kesempatan balas lah
P kita kembali ke masa lalu ya, kalau masa kecilmu di sekolah atau di rumah pernah dibuli?
S paling dimarah-marahi sama mama di rumah biasa aja.
P kalau di SD, atau SMP?
S iya pernah kalau di SMP, SD nggak pernah
P disaat kamu membuli, apakah respon dari adik angkatanmu atau kita sebut korban ajalah ya
itu membuat kamu senang atau bersemangat membuli?
S kalau mereka takut sih enggak pak, tapi kalau ada yang berani melawan ya kami azab ramai-
ramai.
P kalau gurumh disini bagaimana?
S kalau guru baik-baik pak, kalau musyrif (penjaga asrama) sering marah2 apalagi kalau
ketahuan melanggar.
P pelanggaran seperti apa?
S merokok, males jamaah ke masjid.
P darimana dapat rokoknya?
S kawan pak yang merokok saya nggak merokok
P apa lagi yang kamu ketahui yang mungkin belum tersampaikan mengenai bullying di
pesantren?
S ehmm...itu aja sih pak
P kalau aku nanti butuh tambahan data mau ya kuwawancara lagi
S iya pak
P makasih ya
S sama-sama pak
244
Verbatim Partisipan BA (9)
Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek
P/S Hasil wawancara
P seperti kesepakatan kita kemarin bahwa saya akan mencatat apa yang kamu sampaikan
ya...nanti saya akan mengajukan beberapa pertanyaan kalau bisa jawabnya yang jelas dan
tidak singkat-singkat..kalau bisa tapi
S iya pak
P coba ceritakan kamu pernah mengalami bullying atau bahasa indonesianya perundungan di
pesantren ini?
S sering pak
P coba jelaskan, contohnya, kapan oleh siapa gitu!
S bulli yang saya alami sejak masuk pesantren ini pak, dulu kami istilahnya diplonco sama
abang abang..disuruh-suruh kadang-kadang dipukul juga
P pernah sampai dipukul?
S pernah pak
P apa yang kamu pikirkan dan rasakan waktu itu?
S apa ya...marah tapi takut
P mikir balas dendam gitu ada?
S nggak berani pak, abang2 tu banyak
P jadi mereka melakukannya berkelompok?
S iya
P ada yang sendiri?
S jarang tapi ada
P kalau yang sendiri juga nggak berani balas?
S nggak berani juga
P ini kamu alami sendiri atau sama temen-temenmu juga?
S sama temen-temen seringnya pak
P berarti ada yang sendiri?
S ada juga waktu itu karena telat datang waktu dikumpulin abang2 untuk pertemuan gitu ya
kena lah sendiri
P waktu itu kamu diapakan?
S dimarahi aja sih
P kalau di rumah gimana orangtuamu? Keras atau lembut?
S keras sih pak terutama ayah kalau ibu ya kadang suka marah juga
P pernah sampai dipukul gitu?
S dulu waktu kecil biasa karena nakal gitu
P kalau ayahmu kerasnya seperti apa?
S ya keras biasa orang tua kalau kita mada ya kena marah, nggak mau dibilangin
P Nah sekarang aku mau nanya nih, kalau membuli pernah nggak?
S ..ehmmmm...pernah pak (subyek tersenyum)
P iya bapak hanya mengkonfirmasi kata ustadzmu aja katanya kamu suka buli junior gitu
S kadang sih pak tapi nggak sering
P apa alasanmu membuli?
S apa ya...senang aja sih pak lihat respon adik-adik tu. Jadinya mereka segan sama kita
P jadi kamu merasa disegani, mendapat penghargaan gitu?
S iya pak, kadang adik-adik tu melecehkan kita
P kok kamu anggap melecehkan?
S mereka nggak hormat sama kita
245
P hormatnya nunduk-nunduk gitu?
S nggak juga sih pak
P jadi gimana maksudnya?
S ya paling tidak mereka menyapa kalau mau lewat jangan asal lewat aja..apalagi kita lagi
duduk2 di deket jalan
P biasanya mereka kamu apakan?
S ya paling kita pepet aja
P ada sampai mukul?
S nggak pernah
P kalaubsudah melakukan itu apa yabg kamu rasakan?
S ya puas saja
P kamu kan pernah dibuli dulu, dan itu nggak enak, nah kok sekarang kamu bulli orang juga?
S hemm..iya ya..gimana ya
P apa kamu nggak merasa kasihan?
S ya kasihan juga tapi adik-adik tu harus diberi pelajaran
P maksudnya diberi pelajaran?
S ya mereka harus hormat sama yang lebih tua
P kamu merasa tua gitu hahaha
S nggak pak hhehe (responden ikut tertawa)
P kamu kan disini juga belajar agama yang mengajari untuk kaeih sayang gitu, kok tega bulli
orang?
S iya sih pak, tapi kalau dah kesal lupa sama yang begituan
P tapi setelah selesai ada mikir gitu nggak?
S ada juga kadang, tapi kalau udah rame-rame sama kawan suka lupa
P cara kamu bulli orang itu ada nggak mirip2nya sama abang seniormu dulu?
S sebelas duabelas lah pak, sama aja menurut saya, turun temurun itu di pondok
P disini kalau bulli dihukum nggak?
S kalau ketahuan, dinasehati tapi ya macam buli itu dah biasa semacam cara main aja
P ooo, terus biasanya bulli junior dimana?
S di asrama paling banyak
P knp?
S nggak ada yang awasi, ustadz atau musyrifnya kan jarang lihat
P kalau ada ustadz nggak berani?
S takut lah pak
P nah kan kamu dulu waktu masuk kena bulli, terus selama setahun itu ada nggak bulli yang
lain?
S paling ejek2an aja sama kawan seangkatan
P kalau sama senior?
S nggak pak...kita takut
P jadi nunggu setahun dulu baru bisa buli junior?
S iya pak
P selama tahun awal itu ada nggak dibuli2 senior?
S nggak lagi pak kalau udah lama karena kita udah paham gimana harus hargai abang-bang tu
P apa lagi ya...ehmm...kamu bullihya sering sendiri atau sama kawan?
S sama kawan paling sering
P nggak berani sendiri
S nggak sih..cuma nggak pernah sendiri aja
P oke itu dulu ya nanti kalau bapak ada perlu wawancara lagi bapak hubungi ustadmu ya
S iya pak
246
Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek (Yanwar)
P/S Hasil wawancara
P pak yanwar pernah menangani kasus kasus bullying di pesantren ndak ?
S secara spesifik ya kasus apa ya, kasus ya apa ya penanganan kasusnya itu kan holistik ya,
artinya Ketika yang datang itu korban, itu secara otomatis penanganannya itu, kalau di
pesantren melibatkan ketua asrama dan sebagainya, jadi ya beberapa kasus pernah menangani,
hanya saja dari sisi korbannya terlebih dahulu
P oh jadi
S tidak ada yang langsung pelaku
P jadi masuknya tu dari korban, baru nanti dari pengembangannya itu ada pelakunya ada ketua
asramanya itu ya?
S iya, langsung apa kalau dipesantren tu ya apa Namanya tu, ustadnya tu ya sama apa Namanya
ada kalau kita menyebutnya itu yo musrif atau penjaga
P penjaga asrama
S penjaga asrama, nantikan beda penilaiannya gitu
P oh jadi intinya ada kasus bullying yang dipesantren. Kasus yang kit aitu modelnya kaya apa
contohnya yang dari sisi korban tadi?
S contoh ya saya tak ambil contoh di pesantren x di kabupaten siak
P diwilayah riau ya
S iya dipesantren itu kan khusus laki-laki, kalau yang putrinya didaerah panam kalau gak salah
nah ini khusus putra itu di siak itu, ini bully nya ini korban datang bersama orang tua nya ke
saya kemudian mengeluhkan kalau anaknya itu sudah gak betah gitu, itu gak betah di
pesantren pengen apa keluar itu tapi kan orang tua kesulitan menggali kenapa anaknya mau
keluar gitu kan, nah setelah itu minta bantuan kita psikolog datang kekampus dan telah digali
ternyata ada ee apa, apa Namanya tu, bully, ya memang bully karena dia tidak bisa melawan,
dia sama dia ini berarti kalau di gontor itu gak ada kelas sih sistemnya ya jadi seniornya itu
apa Namanya itu, karena si senior nya itu ketahuan melakukan kejahatan itukan, ya mengerjai
temen-temennya nah si anak ini mergok’i apa ya mergok’i mengetahui perilakunya itu
kemudian akhirnya diancam, ya di ancam kalau kamu nanti bilang sama ustad atau musyrifah
nanti kamu di gini, dan itu berulang gitu kan terus menerus, tiap ketemu diancam-diancam
sampai pada akhirnya dipalak itu minta uang
P motif ekonomi berarti ya?
S he’eh kemudian ada motif ini apa Namanya pendiam itu ya artinya gak bisa ngelawan gitu
loh, Ketika bertemu dengan saya pun setelah hasil grafis dan sebagainya kelihatan sekali
memang anak ini tu nurut sama orang tuanya kelihatan sekali anak-anak nurut itu, kemampuan
komunikasinya Ketika konseling juga tidak terlalu ini kok, jadi tipikalnya memang tipe yang
gak bisa melawan, akhirnya ya apa keluhannya tadi gak betah pengen pindah terus menerus
itu yang akhirnya kemudian kita yang fasilitasi si di panggil apa Namanya pertamanya
ustadnya klarifikasi, terus dipanggil musyrifnya penjaganya kita tanya satu-satu kroscek
kemudian setelah itu ya ditanya orangnya gitu.
P jadi n korban, korban-korban yang bapak pernah tangani itu oh ini santri-santri awal masuk
itu ya rata-rata
S iya kebanyakan di awal
P ohh
S iya diawal gitu ya
P terus mereka kalau pernah ada gak keinginan membalas gitu?
S jadi keinginan membalas itu ada, jadi manifestasinya itu pada agresifnya yang lain gitu loh
P hem berarti gak berani melawan balek cuman dia termanifestasi dengan agresif yang lain,
contohnya ap aitu
247
S agresif yang lain dengan temen-temennya, jadi si anak ini punya temen gitu loh
P he’eh he’eh
S dan dia membuat geng baru jadi dia membuat geng baru untuk istilahnya biar dia punya
kekuatan gitu ya, nah akhirnya ya dia membuat kelompok baru, ada yakan tadinya ada dia
tukan penyendiri ya penyendiri nah kemudian dia dengan temennya membuat kelompok
gituloh pak sigit. Jadi dia membuat kelompok baru mungkin nah jadi dia jadi berani, berani
untuk menekan orang nekan temen temennya gitu ya kaya gitu, polanya itu ya tadi dia
membuat kelompok-kelompok baru lagi
P jadi memang rata-rata para korban, korban-korban diawal itu kemudian dia berani melakukan
itu dia mengajak temennya kan gitu, semakin berani kalau dia ada temen
S ha iya, betul sebenernya kalau dari sisi fisik dari sisi kekuatan dia ini tidak, istilahnya ndak
terlalu ngono kan ndak terlalu berani makannya dia mengumpulkan temen-temennya ini gitu
ya membuat geng baru. Akhirnya dia jadi berani, dan kasus ini ketahuannya memang Ketika
dia sudah naik kelas gitu ya
P oh jadi ada proses peralihan dia menjadi pelaku menjadi neken itu selain sama temennya
berarti sama junior juga ndak kira-kira ?
S sama junior itu tidak ada ya maksudnya gak sampai kesitu, tapi ketemen-temennya itu ada
jadi contohnya adalah jadi dia berani untuk ngerjain gitu ya, ngerjain temen-temennya itukan
kalau asrama itu dipesantren itu jadi apa Namanya, jadi satu kamar itu berapa orang gitulah
ya, jadi satu kamar itu ada Sembilan atau berapa gitu, nah dia berani untuk ngerjain gitu ya,
yang tadinya dia alim, maksudnya pendiam
P tadinya korban ya jadi pelaku
S ha iya korban jadi pelaku kaya gitu, tapi ya pelaku itu transformasinya tu perubahannya adalah
dengan membentuk kelompok gitu loh
P iyo iyo, nah dari assessment pak yanwar, ada ndak mereka itu ketika jadi pelaku itu pola-
polanya itu ngikutin ee senior-senior dulu yang menjadikan mereka ni jadi korban, ya
misalnya ini mengikuti pelaku-pelaku awal gitu?
S ya iya jadi bentuk ya kalau saya mau mengacu pada si pelaku ya, pelaku awal gitu ya, yang si
pelaku awal juga Ketika kita asessment y aitu memang jadi korban.
P oh pak yanwar asessment pelakunya juga ya ?
S iya assessment pelakunya lewat ustad nya ya, ustad sama musyrifnya gitu
P pelaku-pelaku ini senior nya korban ya pak
S iya jadi sama kaya saya assessment di pesantren Y, ya juga ada orangnya awalnya korban gitu
ya dan lebih parah lagi mungkin pada perilaku-perilaku seksual gitu ya.
P ohh kaya pelecehan gitu ya?
S pelecehan, jadi ada pengembangan perilaku sebenarnya, jadi apa, modelingnya itu ada model
atau bentuk bullyingnya itu bisa mengacu pada pengalamannya dia, tapi pada pelaku korban
yang pernah menjadi korban tu biasanya ada penambahan bentuk gitu loh, artinya variasinya
lebih beragam dari pada yang belum pernah sama sekali jadi korban
P ooohh
S jadi bentuk apa ya mungkin balas dendamnya itu, ya Namanya mungkin ya saya tak paham
ya, apakah mungkin bentuk balas dendamnya itu akan menjadi perilaku yang berlebihan lagi,
jadi orang yang kalau dendam tukan sekali, jadi nanti jadi dua kali, tadinya yang malah kadang
agresif mukulnya ya bentaknya, yang tadinya misalnya suruh buka celana aja, sekarang sudah
mulai untuk ke yang lain lainnya gitu. Ya jadi apalah maksudnya itu, jadi ada perubahan
variasi dan jenisnya jadi beragam kalau yang memang awalnya jadi korban.
P pak yanwar pernah gak ,yang punya kasus yang dia bukan korban tapi memang pelaku murni
pure gitu eee kok bisa membandingkan tadi kalau yang pelaku pure itu modelnya hanya ya
begitu saja, tapi kalau yang sudah jadi korban itu menjadi variatif gitu
S ya iya saya membandingkan bukan di pesantren, saya di sekolah umum ya misalkan anak
SMA , kemudian ada anak SMP gitu ya, itu luar biasa sampai, opo ya memang mengerikan
gitu ya, variasnya variasi jadi dia ini pelaku kekerasan di apa, dikomunitasnya itu ya, sampai
dia melakukan kekerasan kepada juniornya itu sampai kakinya patah gitu loh
248
P oh sampai kekerasan fisik yang fatal ya
S kekerasan fisiknya itu berlebihan, dan itu diikat kemudian di vidiokan di fb, luar biasa jadi
emang ini berbahaya, Ketika orang itu jadi korban, karna variasinya itu akan meningkat kalau
menurut saya, disbanding dengan orang yang istilahnya tidak, istilahnya murni dari bullying
ya, misalkan nonton atau mungkin apalah ya, tapi kalau misalkan udh jadi korban itu
variasinya akan lebih, itu analisis saya.
P dari yang pak yanwar tangani, berdasarkan fakta ee dari yang pak yanwar tangani mereka itu
rata-rata korban satu orang atau juga korban dari banyak pihak?
S yang ditangani memang satu pihak
P oh satu pihak ya, jadi dia korban dari satu pihak
S he’eh satu pihak aja.
P kalau dari assessment keluarga ada gak misalkan mereka juga dari keluarga yang ada
kekerasan?
S ya kalau keterbukaan keluarga untuk para pelaku ini agak sulit tapi dari yang bisa digali adalah
hubungan mereka dengan keluarga memang tidak harmonis ya, saya ambil contoh gitu ya,
bagaimana mereka itu datang dari keluarga keluarga yang memang bapak, ibunya itu bercerai
atau ada konflik di rumah tangganya gitu ya, kemudian yang kedua mereka juga punya
pengalaman ya tadi anu misalkan di SD nya atau di SMPnya punya perilaku-perilaku agresif
gitu ya akhirnya ke pesantren itu memang ya apa para pelaku yang pernah saya tangani
memang punya sejarah gitu ya punya sejaran pribadinya punya sejarah dikeluarganya ya
memang dari keluarga yang perhatian kepada anaknya itu kurang, ya sibuk gitu
P ohh nah ini lanjut ke alasan, alasan mereka masukkan anaknya ke pesantren itu apakah
memang murni keinginan anak atau ya apa kita batasi dari yang pernah pak yanwar tangani?
S ya kalau pelaku hampir semua bukan karena keinginan anaknya. Itu keinginan orang tua gitu
ya sehingga proses didalam nya yang saya lihat karena keterpaksaan.
P ya terus Ketika mereka jadi korban itu pikiran perasaan apa yang pak yanwar tangani ya ? bisa
gambarkan kondisi psikologisnya ndak Ketika mereka jadi korban itu kek apasi gitu?
S ya kalau mereka jadi korban itu kaya ada rasa diri ya jadi ada rasa perasaan yang terpendam
yang itu mereka gak bisa jelaskan gitu ya, jadi ada rasa kesal marah gitu ya, itu yang gak bisa
diungkapkan dan itu manifestasinya pada perilaku diamnya dia gitu loh, jadi Ketika konsultasi
tu yo apa dia menyimpan perasaannya tuloh
P itu Nampak dari apa? Ekspresinya gitu?
S ekspresinya, kemudian apa ya keinginan untuk apa Namanya ya, mengeluarkannya tu
kelihatan sekali gitu ya nah gitu, saya contohlah ya yang anak ini sehingga pendekatannya itu
ya memang lama untuk bisa mengeluarkan itu, habis itu ya dia baru bercerita dengan emosi
ya, ya nangis kemudian marah-marah gitu ya ee, nah itu jadi proses, prosesnya itu pak sigit
sampai dia keluar itu lama jadi, misalkan saya pertemuan pertama itu dengan bapak ibunya,
bapak ibunya biasanya itu lebih banyak ngomong ya, anaknya itu diam saja, ya kelihatan
sekali ekspresinya, gesturnya itu dan contohnya tu ngepal ngepal tangannya gitu ya dh pengen
ngomong aja, pengen ngelampiaskan kekesalannya. Setelah pertemuan kedua baru dia bisa
mengeluarkan seluruh perasaannya gitu ya, ah ya misalkan dia pengen bales tapi ndak bisa
gitu ya. Terus pinginnya apa, bener-bener contohnya ada sampai yang Latihan taekondow
karate apa Namanya
P bela diri
S ha bela diri ya, tapi ternyata itu tidak membuat dia menjadi kuat kayak gitu loh, contoh yang
dimana yang di siak itu juga gitu, dia belajar bela diri gitu ya,ya jadi memang ada kompensasi
supaya dia lebih kuat gitu ya, dan akhirnya setelah kuat membentuk kelompok ya.
P jadi pelaku ? yayaya
S jadi pelaku.
P terus dari assessment pak yanwar biasanya tu kejadiannya tu dimana lokasi-lokasi perilaku
perundungan?
S yang jelas itu satu itu di, kalau di siak, itu ya dikamar mandi
P oh ditempat-tempat yang gak ada pengawasannya
249
S ndak ada pengawasan itu ya
P diasrama gitu ya?
S melakukan kejahatan disitu artinya tempat yang biasa lalu Lalang sehingga tempat yang
menjadikan untuk mangkal, y aitu dilorong loronng mau kekamar mandi, itu wc kemudian
kalau di pesantren Y itu Ketika asrama nya sepi ya kaya gitu, orang lain sudah pada pergi
tinggal dia sendiri gitu yo, sama musyrif nya pas gak ada terus dia bentak-bentak.
P ada gak ini pak yanwar Ketika mereka menerima perilaku bullying pada tahap-tahap awal ada
gak mereka proses belajar, beradaptasi gitu, misalkan karena menghindari perilaku senior
sebelum mereka menjadi pelaku itu ?
S jadi, gimana pak sigit?
P ada ndak pada tahap Ketika mereka jadi korban ni kan beberapa kali jadi korban, ada ndak
dalam satu waktu Ketika mereka belum jadi senior ada gk proses itu mereka beradaptasi
supaya mereka terhindar dari bullying ini?
S ya kalau mengacu pada contoh kasus yang disiakkan, itu runtutannya Panjang tu, itukan
melibatkan banyak orang ya, karena itu pesantren X jadi perlu di rahasiakankan makannya itu
prosesnya lama sampai ee Panjang itu hampir lama kali saya tanganin, karena pelibatannya
banyak dan pelakunya cukup banyak itu ya, para pelakunya ni pak sigit, jadi para pelakunya
y aitu orang orang yang teraniaya, pelaku seniornya itu juga teraniaya sebelumnya oleh senior
yang sebelumnya kayak gitu
P he’eh yang misalkan gini, ada ndak proses adaptasinya, adaptasi Ketika, berarti bukan
pengertian adaptasi dalam keadaan positif ya adaptasi, saya ini di bully terus ee supaya saya
gak kenak bully ya saya harus mengikuti dari senior yang suka membully saya harus
berperilaku sesuai keinginan mereka, ada gak pada tahap tahap awal itu muncul pada pelaku-
pelaku ini sebelum, ehh korban sebelum jadi pelaku.
S ya kalau proses adaptasi nya memang seperti itu ya, jadi dilihat pada si klien ini yo jadi kaya
mengamati pola mereka, jadi Ketika ada senior gitu yang mau membully jadi kaya ya nurut,
kayak nurut, kayak ikut gitu ya
P itu sebenarnya kayak supaya mereka tidak dibully kan, posisi cari aman gitu?
S oh iya cari aman, dan itu dilakukan oleh satu kelompok itu jadi sama temen-temennya, jadi
sisipelaku ini, kayak gitu. Saya ambil yang seniornya ya yang jadi korban tu dulu kayak gitu,
jadi nurut sama senior yang membullynya itu, tapi akhirnya dia menjadi kelompok pembully
gitu ya.
P kira-kira mereka perubahan proses perilaku dari pelaku, eh korban kemudian jadi proses
adaptasi kemudian jadi pelaku, itu menurut assessment pak yanwar, faktor-faktor apa yang
mereka menginfestasikan kemudian dipendam kemudian dikeluarin gitu?
S he’eh, ya karena kalau melihat dari sisi kasus sih karena memang tidak ada mekanisme ee
pengkatan, gitu ya pengkatan tu artinya pemutusan, pemutusan perilakunya dia, jadi sebelum
dia menjadi pelaku, itu tidak diputus karena pengetahuan pesantren terhadap kondisi kayak
gitu kan ya saya maklumi mungkin terbatas, karena proses itu sesuatu yang dianggap mungkin
biasa gitu ya, itu yang saya pahami, sehingga proses untuk munculnya sebuah yang dipendam
itu orang tidak pernah liat, pesantren tidak pernah liat. Jadi intinya sih ketidakmampuan apa
ya, mungkin pihak-pihak tertentu baik orang tua atau orang orang tertentu Ketika melihat,
melihat ini melihat perilaku bully itu punya dampak pemendaman perasaan gitu loh yang, ha
itu sehingga kalau tidak dilampiaskan, akan punya bentuk pelampiasan ke yang lain, nah ini
P sifatnya potensial berarti ya?
S ya sifatnya potensial gitu
P itu lama berarti ya mendemnya gitu?
S iya itu lama, kan prosesnya tu lama, jadi tahap semester, jadi kalau di pesantren X tu kan
misalkan naik tingkat pertama itu bisa menifestasinya bisa di tingkat kedua gitu ya, itu lama
jadi untuk menjadi apa untuk mengeluarkan sesuatu yang dipendamnya memang prosesnya
lama.
250
P terus mereka ni kan pada belajar agama, belajar nilai gitu, itu kok bisa sampai keluar apa
perilaku perilaku yang mal adaptif git utu dari keterangan yang pak yanwar dapatkan tu
kekmana cara ngasessment mereka interalisasi agamanya sebenarnya seperti apa?
S ya kalau dari assessment yak arena mereka tidak memahami kondisi psikologis jadi agama ya
itu hanya belajar agama, jadi dia ya belajar agama, dia ya hafal al-qur’an jadi anak-anak ini
ya hafal al-qur’an jadi ya ritual gitu saja
P ya agama berarti dalam bentuk ridos gitu ya tidak internalisasi nilainya memang kurang kira-
kira gitu ya
S ya memang kurang, jadi bagaimana memahami perasaan itu yakan, tidak ada enggak ada
konseling, itu kalau pendekatan psikologi ya, ya bentuknya sudaj.
P pengajaran fiqih gitu ya
S iya fiqih ya memang sudah bentuk nya ya, kalau , ya agamalah ya
P agama dalam pengertian aturan aturan gitu ya
S ya aturan-aturan he’eh, nah itu budaya yang ada seperti itu ya mungkin ya tadi kalau secara
pengalaman klien mungkin belum bisa digali proses internalisasi nya ya, tapi dari praktek
yang ditanyakan, misalkan yang ada di pesantren saya tanyakan ke klien ya gitu, misalkan
ngajinya jam berapa saja, apa saja yang, y aitu menjadi rutinitas yang, yang memang ritual
gitu ya.
P selain dari senior mereka ada ndak menerima perundungan dari ustadnya, musryifnya gitu?
S ya kalau yang di pesantren x tu temen ya, senior, kalau di pesantren y itu ada yang dari
musyrifnya, nah kalau yang musyrifnya itu yang di pesantren y itu ya saya assessment juga
gitu ya, karena latar belakang dia pesantren juga kan, ya si musyrifnya ini perempuan lagi.
P nah selain tadi balas dendam, penyaluran agresif ada gakmotif lain tadi ada yang ekonomi
malahan gitu, ada gak motif lain yang di dapat oleh para pelaku ini, misalkan dapat
penghargaan dari para junior kayak gitu
S kalau dari sisi pelaku sih saya melihatnya lebih ke ini, kemarin itu ingin cari perhatian
keluarga
P oh jadi motifnya motif pribadi banget ya
S iya, jadi saya ambil contoh misalkan ambil pelaku yang memang ekstrem gitu ya, yang
seniornya ini ya, yang misalkan menganiaya si x itu kemudian si x membuat kelompok ya pak
sigit. Kelompok sendiri itu ya itu yang seniornya ini itu memang karena dari latarbelakang
keluarga yang gak bagus itu ya, salah satu untuk mencari perhatiannya dan orang tua bisa
hadir dan memperhatikan di pesantren yaitu dengan melakukan kejahatan, karena kalau gak
dikayak gitu kan orang tua gak akan datang kepesantren
P heeem jadi ada motif itu, motif untuk diperhatikan, kalau motif yang khusus pak yanwar
tangani ya, ndak ada motif, ee karena beberapa wawancara saya dengan para pelaku di
pesantren itu mereka, dihargai, dihormati oleh junior itu menyenangkan, ada motif-motif gitu.
Ya kalau pak yanwar yang tangani itu gak ada ya motif itu?
S ndak ada, lebih kepada bagaimana perhatian keluarga, karena ya itu tadi sejarahnya dia masuk
pesantren adalah bukan karena keinginan dia sendiri, jadi akhirnya Ketika dia, ini kan senior
berulang ya si pelaku ni, akhirnya Ketika udah berulang kali orang tuanya itu dipanggil
kemudian pas dia melakukan apa bullying yang terakhir dengan korban yang ketemu dengan
say aitu akhirnya dia senang. Kenapa? Karena punishment nya sudah begitu banya akhirnya
bisa dikeluarkan gitu loh
P ohh dia nunggu banyak punishment akhirnya dikeluarkan, oh kaget akhirnya dia dikeluarkan
dari pesantren
S iya jadi seneng dia, ngonoloh jadi gitu loh seneng, akhirnya oh aku sudah bisa lepas dari
pesantren
P terus ini yang pertannyaan berikutnya pak yanwar ee mereka Ketika melakukan sekali,
melakukan sebuah perilaku ya behavior perilaku membully gitu, ee apa yang menjadi motivasi
mereka selain yang dikeluari tadi ya, kan saya tahu pak yanwar menangani ada beberapa kasus
itu nah selain mereka itu, Ketika mereka bully kenapa mereka bisa mengulang bully lagi,
251
karna kalau misalkan bully gak enak kan berhenti ni, kenapa kalau mereka bully terus,
bagaimana kira-kira itu dari asessmentnya ?
S jadi kan karena ada penguatan gitu, penguatan dari kelompok gitu, jadi pak sigit kalau di
pesantren itu yang saya tangani itu perilaku bully itu tidak pribadi
P kelompok ya?
S kelompok
P jadi ada dukungan sosial temen kemudian
S dukungan sosial temen
P ada analisis situasinya juga karena kalau ndak ada pengawasan kayak gitu modelnya
S la hiya jadi seperti itu, jadi penguatnya itu adalah temen-temennya, jadi ndak ada, ya mungkin
kalau pribadi dari kasus ini dari pelaku yang senior itu yang membully itu juga berkelompok
ya, dan yang terbaru korban menjadi pelaku juga berkelompok gituloh, jadi memang lebih
kepada adanya memang dukungan sosial, kemudian penguatan kawan
P intinya penguatan dari kawanlah ya, kalau penguatan dari hasil terhadap perilaku misalkan
kira-kira perilaku tu membawa manfaat, membawa keuntungan kepada saya nah itu ada gak
terjadi pada proses yang pak yanwar tangani, artinya pelaku tu tidak menyumbang untuk
melakukan lagi, artinya bukan memberikan penguatan, selain dari dukungan sosial
S kalau proses internalnya saya tidak paham tapi yang dari hasil analisis saya, akhirnya dia
menjadi lebih kuat aja karena ada temen-temennya gitu loh, jadi ada temen temennya yang
juga ikut serta
P jenis bullyingnya apa saja tu pak, selain fisik, verbal gitu, semuanya ada?
S fisik ya gitu jadi anu apa tending, ngancam, dorong ngancam kemudian uang itu mungkin ada
ancaman itu, jadi contohnya ini yang di mana pesantren x itu kalau kamu nanti ngomong sama
ustadnya kamu tak laporkan kamu sama temen-temen itu melakukan perilaku seksual, apa
Namanya eee homo gitu, saya laporin kamu homo, padahal dia tidak homo tapi istilah homo
itu dimunculkan karna artiya saya ndak tau ya pelaku itu sudah punya kosa kata untuk
menakuti si korban ini dengan perkataan.
P berarti memang karakternya bisa dibunuh, pembunuhan karakterlah ya kira-kira gitu ya, lewat
kejahatan-kajahatan yang ditirunya kejahatan seksual
S ya memang karena tak lihat Analisa pelaku yang di pesantren x itu memang udah sangking
ekstrem lah ya kalau menurut saya.
P heemm terus selama ini kalau misalkan ada kejadian-kejadian gitu apa yang dilakukan
sekolah?
S ya ee pada kasus pesantren, memang jadi eksklusif jadi penanganannya kalau dari pengakuan
orang tua ya jadi tidak, tidak di publish ke orang tua, jadi kenapa ketahuan itu karena anaknya,
nah itu jadi karena yo
P ada proses menutupi ya
S iya
P dari beberapa yang saya gali juga mereka tu juga, ada salah satu pesantren yang menolak
penelitian itu karena takut terekspos, takut nama baik pesantren itu jadi menutupi perilaku itu
untuk menutupi citra pesantren yang baik gitu ya.
S iya betul, jadi kalau pesantren ee kalau pesantren x tu ya memang tadi saya sudah sampaikan,
itu sampai gak boleh di blowup ya tapi karena melibatkan banyak orang kalau gak di, kasusnya
gak dituntaskan ini bisa menjadi masalah besar saya bilang karena pelakunya itu sudah
berlebihan gitu.
P yaudah kira-kira itu dulu pak yanwar aku nanya nanya soal apa ya cuman melengkapi data-
data penelitian disertasi jadi ee untuk kroscek karena saya juga sudah mewawancarai para
pelaku ada korbannya ada ustadzahnya, ada musyrifahnya, untuk melihat apa ada gak
kesesuaian antara sumber-sumber informan ini terkait dengan perundungan di pesantren, oke,
makasih pak yanwar ya, ini lewat telfon gak bisa ketemu langsung
252
Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek (Arief)
253
254
S Kalau di rumah itu saya kayak nggak ada apa-apa gitu, di rumah seperti anak yang pendiam
mungkin karena yaa kurang dekat sama orang tua ya karena orang tua juga aaaa jarang
perhatian gitu karena saya maklumilah kerja untuk cari nafkah yaudah sehingga saya di rumah
itu kayak anak biasa-biasa saja diam ketika orang tua mengatakan ini ya saya ikut gitu cuman
walaupun enggak semua yang kata-kata itu
P Ada enggak dikerasi sama orang tua gitu ?
S Kalau dikerasi orang tua waktu kecilnya saya sering dikerasi waktu itu pernah saya waktu itu
mau mandi di laut itu kira-kira umur saya 5, 6 tahun Saya mandi di laut terus tahu-tahunya
pas Saya mau naik dari atas ke atas orang tua saya datang membawa kayu yang kira-kira besar
paralon itu ya paralon untuk kabel kabel itu jadi kan itu mukul saya gitu sampai patah. ya itu
tadi dimarahin sama orang tua gitu
P Ibuk marah juga ?
S Yaa, yang marah saya itu Ibu
P Yang marah ibuk, ?
S Iyaa
P Yang mukul ibuk juga ?
S Iya, yang mukul saya ibuk,
P Kalau tadikan mas arip jadi bangga puas, cara membully itu melihat temen-temen itu gimana
bullynya atau ada pengaruh suka menonton film-film agresif ndak kira-kira ?
S Saya dulu Sering nonton film Smackdown
P oooh smackdown,
S Yaaa itu jadi saya itu karena postur badan kecil jadi saya kaya ngefans sama Rey Mysterio.
Kalau untuk film yang agresif yaa itu film smackdown, naah untuk membully itu saya lihat
lingkungan. Ketika yaaa teman-teman itu gimana melakukan bully saya Ikuti saya amati nah
ketika kayaknya ini pas dengan saya lakukan saya lakukan bully seperti itu
P Kalau pribadi sendiri kamu ini gimana? Kepribadiannya seperti apa ? pendiam, tenang, agresif
waktu itu waktu skolah?
S Terkadang saya menjadi, pribadi yang tenang, ketika memang saya harus diam yaa diam, tapi
tiba saatnya saya untuk agresif saya jadi agresif gitu, atau munkin teman-teman menyebut
saya ini lasak atau bandel gitu,
P Aaa mas arief kalo bisa diceritakan, kalo di ini dipengalaman dipesantren aja, kalo dipesantren
itu bullying itu dilakukan oleh siapa siih ?
S Kalo dipesantren yaa, naaah, dipesantren waktu itu sempat hanya 3 tahun dipesantren, pas SD
karena saya bandel jadi saya dimasukkan kepesantren, naah awal masuk dipesantren itu
sayakan masih kebawa niih sifat-sifat waktu SD yang nakal lasak terus itu yang dilakukan
bully kalau di pesantren waktu itu, itu dari Kakak kakak tingkat yang mudah merasa senior
yaitu jadi dia yang melakukan hal-hal semena-mena melakukan bully terhadap kami yang
baru baru masuk sehingga Kami merasa apa ya, di tindas diintimidasi sama kakak kakak
senior
P bentuk penindasannya seperti apa ? disuruh ngerjain tugas, atau disuruh apa gitu ?
S Naah, kalau untuk senioritas dipesantren waktu itu kakak-kakak itu melakukannya , misalnya
nih saya melakukan kesalahan sedikit sajakan misalnya telat bangun ya maklumlah baru baru
masukkan jadi agak susah jadi telat bangun itu nanti disuruh push up, Terus kalau telat datang
ke masjid misalnya kan abis kan sebelum salat Maghrib itu kan sebelum itu olahraga itu telat
aja kan namanya juga di pesantren santri siap mandi terlambat Terus mau masuk ke masjid
telat gitu, itu ada aja salah nanti disuruh merangkak, disuruh kutip sampah, apa segala macam
nanti kalau mereka kurang puas nih di situ nanti kita itu disuruhnya tolong beli jajan saya gini-
gini uang nggak dikasih tapi disuruh beli jajan seperti itu.
P Bentuknya ada pemalakan juga yaa,
S Iyaaa, juga ada pemalakan gitu
P Ada dimintai duit gitu, yang mas arief lakukan apa ketika sudah digituin ?
S Awal-awalnya itu saya nurut, kalau enggak nurut nanti dilapornya keustadz saya gini, jadi ada
rasa takut ke ustadznya, yaudah saya nurut-nurut yaudah tapi lama kelamaan, orang ini
255
kelewatan yaa melakukan hal semena-mena mentang-mentang dia itu udah kakak tingkat, jadi
saya merasa enggak tahan sekali-kali saya waktu itu, saya enggak turuti, jadi ketika tidak saya
turuti itu ada aja misalnya ni dikamar itu kesalahan dikit pasti saya yang dicari pertama, eee
itu nanti ada barang-barang yang disuruk misalnya ni barang kita dari orang tuakan ngirim-
ngirim makanan. Naah nanti makanan kita nih kalau kelihatan dia tu past dia minta, terus
kalau enggak dikasi dianya minta besoknya barang-barang dikamar milik kita, sepatu atau
apa gitu itu nanti hilang, eeee tau-taunya besok atau beberapa bulan baru dikambalikan
ternyata dia yang nyimpan gitu, barang-barang kita.
P Ternyata dikerjai yaa gitu ?
S Yaaa dikerjain gitu.
P Eeeee, kalau pengawasan dipesantren snediri kira-kira guru-guru terhadap kegiatan-kegiatan
perilaku-perilaku itu ?
S Kalau untuk itu yaa ustadznya sebenarnya sangat tegas terhadap bully membully, cuman yang
menjadi sorotan kala itu tidak adanya laporan dari santri kepada ustadz sehingga,
P Nunggu laporan ? (menyelah)
S Iyaa nunggu laporan,
P Kalo pengawasan yang dilakukan oleh guru, itu jarang ?
S Jarang, ustadznya taunya itu dari kakak-kakak tingkat atau namanya kalo dipesantren itu ada
namanya jasus atau mata-mata jadi dia nunggu laporan dari jasus sedangkan mata-mata ini
tadi yang melakukan bully tadi,
P Justru mata-matanya yang melakukan bully ?
S Yaa, justru mata-mata tadi yang dipercayai ustadz mereka dengan adanya kebebasan apa
adanya kepercayaan Ustadz sudah jadi mereka melakukan semena-mena, sehingga mereka
melakukan bully.
P Eemmm, justru seperti itu, kalo waktunya kapan mereka melakukan bully itu ?
S Eeeee kan kalau dipesantren itu ustadnya engga sepanjang hari dengan kami diasrama. Jadi
yaa bebas terkadang yaa pagi, jadi pagi yaa mereka, kadang kakak tingkat ini dating cari
kesalahan kami, kadang juga sore atau malam sebelum tidur. Naah, it waktu-waktu mereka
sering mengganggu itu, kalau saya sendiri alami itu sore, karena habis olahraga itu ada saja
kesalahan saya yang dicari.
P Sore itu waktu-waktu guru enggak ngawasi, kalo tempat-tempatnya itu dimana biasanya ?
S Itu nanti kalau engga didalam kamar eee didekat asrama atau ditempat-tempat perkarangan
asrama gitu, karena ustadz-ustadz kan udah siap kemasjid jadi kakak kakak tingkat yang di
suruh awasi adek-adek. Jadi mereka nanti buat hal semena-mena mereka nanti ketika kita
dihukum sama mereka akan mereka itu ketawa-ketawa melihat kita bicara bicara ketawa-
ketawa gitu.
P Jadi kalo lagi dibully yang noonton pada ketawa-ketawa.
S Iyaa mereka jadi ketawa-ketawa
P Itu yang bully ditambah senang.
S Iyaa tambah senang, jadi menurut mereka itu kami yang dihukum yang jadi tontonan jadi
ibaranya itu kami ini adalah bahan candaan mereka yang ketika kami di bully itu ketawa jadi
ini adalah bahan candaan mereka gitu.
P Jadi tadi keluarga udah yaa, keluarga, teman, terus ooohh teman-teman sendiri seperti apa siih
?
S Temen-temen ?
P Teman-teman di pesantren itu ada yang ngajak temen dari sesama korban bully itu ayoolah
kita ngumpul ?
S Nah biasanya itu kami kan nanti jam 10.00 malam tuh yang kakak kakak tingkat ini atau Ustad
Nanti dan keliling ronda apakah santri udah tidur, kami pas kami hapal tuu jam-jam ustadz
nanti bakalan survey lokasi cek-cek kami itu nanti jam jam 09.45 atau nanti jam 10.00 lewat
sedikit nah, kami pura-pura tidur jadi kami pura-pura tidur Setelah itu, setelah lewat ustad nya
atau setelah mereka survei kami. kami Bangun 1 kamar 1 angkatan yang tidak dibangun kami
cerita-cerita Kalau kami jadi kalau dihardiklah gitu kan sama kakak senior gitu nanti kami
256
rencana ketika nanti kita jadi senior, yaa udah yok kita lakuin ini keadik-adik bawah biar
Mereka merasakan seperti kita jadi nanti malam malam itu kami bicara cerita-cerita tentang
itulah kami korban bully, nanti susun-susun startegi bagaimana membully, orang-orang lain
gitu.
P Okeeh makasih mas arip, nanti kalau saya butuh data lagi nanti saya wawancara lagi bisa yaa,
S Okee insya Alloh bisa pak.
P Namanya siapa ?, Arief arif yaa ?
S Iyaa arief arif.
P Okee makasih
Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek (MAF)
P/S Hasil wawancara
257
P A : Eeee, Mas Anas perkenalkan saya sigit nugroho, ini mau nanya-nanya pada mas anas
tentang perilaku bullying dipesantren,. mas anas sebelumnya tau nggak perilaku bullying itu
apa ?
S B : Aaaa, baiklah terima kasih perkenakan nama saya MAF mungkin sedikit saya menjelaskan
bahwasanya sepengetahuan saya yang namanya pembuliaan itu adalah suatu perilaku yang
mana membully seseorang dengan tindakan yang Tidak sepantasnya kepada orang lain dan
dalam artian bisa jadi itu bersifat secara kelompok ataupun munkin individual aaa masing-
masing orang munkin itu yang bisa saya mengerti karena juga selama ini aaaa Ketika saya di
pondok pesantren awal-awal Ketika saya masuk pernah sempat Saya menjadi korban
pembullyan yang mungkin karena itu seperti seakan-akan sudah menjadi tradisi di pondok
pesantren mungkin dulu orang yg pernah di bully kemudian karena merasa sudah punya rasa
senioritas di pondok pesantren itu dia ganti membully orang lagi dan begitupun juga Ketika
saya sudah menjadi senioritasnya dipondok pesantren itu dia ganti membully orang lagi, ya
mungkin Kami menganggap ketika Kami membully orang itu loh Itu adalah sebuah seperti
lelucon atau guyonan mungkin bagi kami seperti itu tapi tapi kami tidak pernah
memikirkannya korban yang menjadi pembullyan itu merasakan hal yang tidak pantas atau
tidak enak ketika itu tapi intinya kami melakukan hal itu karena mencari kepuasan di hati.
P A : Kepuasan seperti apa ?
S B : Karena kan gini pak kebanyakan orang orang itu kalau bercanda itu nggak pernah mikir
batasan yang penting apa yang dikerjakan puas dihati mau itu bahaya tidak, tidak peduli
karena itu banyak terjadi Pondok karenakan kami pernah juga sempat ketika selesai UAS UAS
BN akan selesai ujian nasional kelas 9 itu, pernah sempat kami itu Mungkin bagi kami
mungkin tuh Cuma sekedar bercanda akan jadi ada di pondok pesantren itu seperti kolam ikan
yang mana itu menjadi tempat penampungan pembuang kotoran seluruh manusia yang ada di
pondok pesantren itu jadi ketika itu ada satu teman kami yang mana berulang tahun pas dihari
selesainya Ujian Nasional jadi niat kami cuman bercanda akhirnya kami angkat dia sama-
sama kami masuklanlah di kolam itu bukan tanpa kami sadari ketika sampai masuk di kolam
itu kakinya terkena kaca yang malah menimbulkan luka yang sangat besar sampai sekitar ada
10 jahitan di kaki ketika itu dan kami tanpa sadari melakukaan hal itu dan banyak hal-hal lain
contohnya misalnya kami bercanda yakan awal-awal Cuma guyonan sampai karena teman
kami kadang kali pukul dan segala macamnya kami emang sering seperti itu sih, karena ini
mungkin kalau bagi kami yang anak-anak Pesantren mungkin hal itu ada hal yang lumrah
biasa untuk digunakan bercanda tapi mungkin pandangan Bagaimana orang luar tetapi kami
tak tahu kan haa Jadi kami rasa itulah ada bagi kami ketika masih menjadi anak pesantren itu
itu bukanlah satu hal pembullyan bagi kami itu hal yang lumrah gitu tuh bercanda tapi ternyata
setelah saat ini saya berada di luar Setelah saya pikir-pikir kembali ternyata itu bisa jadi salah
satu bentuk kepedulian kepada orang-orang mungkin kita yang menjalankan tak merasa
bahwasanya apa yang kita kerjakan itu satu bentuk pembullyan Tapi setelah saya berada di
luar Sekarang saya baru sadar bahwasanya itu adalah salah satu pembullyan yang saya
kerjakan ketika masih dipesantren.
P A : Dulu waktu jadi korban itu aaa perasaannya Gimana waktu awal-awal masukkan katanya
pernah jadi korban ?
S B : Jadi saya masih ingat ketika itu saya masih kelas 7 SMP awal pertama kali masuk pesantren
jadi saya belum kenal apa-apa belum tahu apa dan ketika itu pun juga teman saya masih bisa
dihitung jari berapa orang karena juga saya awal pertama kali masuk pesantren itu susah untuk
beradaptasi dengan lingkungan. Jadi ketika itu awalnya Saya ketiduran di kelas belajar ketika
malam hari ini saya tidak tahu ini orang punya masalah apa sama saya tiba-tiba aja Ketika
saya tidur dengan pulas nya dia bakar kaki saya Saya tahu orangnya tapi karena saya tahu itu
adalah anak senior jadi saya tak berani melawan itu dan itu kerap berulang kali saya alami yg
pernah juga ya lewat di lorong tempat koridornya Anak-anak senior kadang juga saya
ditanyain selanya dicandak mungkin bagi mereka itu adalah suatu percandaan tapi bagi saya
ketika itu saya merasa dihina ketika itu saya masih anak baru rasa rasa kita dibodoh-bodohi
rasa digoblok-goblokin ketika itu karena juga saya tak punya kekuatan untuk melawan saya
258
hanya bisa menerima sama bisa mengikuti keadaan ketawa-ketawa ndak jelas pada di hati
saya ketika sakit hati.
P A : Jadi ketika jadi korban sakit hati terus kemudian ketika jadi senior ingin melakukan kayak
balas dendam ke Junior kira-kira gitu itu yang mempengaruhi pengen bales Itu tuh yang
mendukung kira-kira gimana ceritanya itu ?
S B : Yaa, sebenarnya siih Ketika saya sudah menjadi pelaku pembullyan itu bukannya ingin
ada balas dendam sih pak ibaratnya karena seperti tadi saya bilang seperti sebuah tradisi
karena kita merasa senior menjadi penguasa jadi seakan-akan itu hal yang perlu kita kerjakan
kita itu satu candaan jadi tanpa Saya Sadari saya tak pernah mengingat lagi bagaimana masa
lalu keyika saya dibully tapi itu ingin saya lakukan ibaratnya hanya untuk becanda jadi ketika
anak baru masuk tanyain istilahnya mana yang tidak tahu karena saya bodoh bodoh segala
macamnya bagi saya ketika itu adalah suatu candaan.
P A : Jadi motivasinya bukan balas dendam ?
S Bukan,
P A : Jadi motivasinya adalah untuk kesenangan ?
S B : Untuk kesenangan memang ada sebagian dari teman-teman kami yang melakukan hal itu
karena pernah merasa aku dulu diginiin sekarang ganti aku yang ini giniin ada sebagian dari
teman-teman kami yang seperti itu.
P A : Terus kalau nih ceritanya dulu sebelum masuk pesantren ndak pernah mengalami Bully di
rumah atau di sekolah gitu sebelumnya ?
S B : Kalau sebelum masuk pesantren waktu SD dulu Alhamdulillah saya belum pernah
mengalami hal itu ya ibaratnya masih ya ibaratnya masih sewajarnyalah belum pernah
melakukan seperti itu kalau saya mengalami itu ya ketika pertama sekali saya masuk pesantren
Ya mungkinlah karena lingkungan yang seperti itu yang kita berbaur dengan semua lelaki
tanpa ibaratnya kemanapun kita pergi itu selalu kita bertemu dengan kawan-kawan kita mau
itu ke kamar mandi mau itu ke kamar mau itu ke mana segala macam dan juga kita berkumpul
dengan orang banyak Ribuan Orang dan pengurus hanya terbatas dengan sekitar puluhan
orang tak mungkin pula bisa mengawasi seluruh Bagaimana santri apa perilaku santri yang
ada di pondok pesantren.
P A : Jadi eeee, rata-rata perilaku bullying itu terjadinya kapan ?
S B : Itu terjadi rata-rata ketika malam hari selesai adanya belajar wajib Jadi kami di pesantren
itu setelah selesai sholat isya kami ada kegiatan namanya belajar wajib itu boleh kami belajar
sekolah formal untuk sekolah formal Bolehkan pelajar untuk Sekolah Diniyah jadi selesai jam
10.00 itu kami itu kami sampai malam sampai jam 12.00 malam habisya kami mulai mulai
melakukan hal seperti itu ketika selesai namanya belajar wajib kadangpun ketika belajar wajib
kamipun melakuakan hal itu ketika tidak ada yang mengawasi kan biasanya kami iseng-iseng
datang datang ke tempat anak baru yang kira-kira bisa lah kami manfaatin ketika itu.
P A : Eeeeem, kalau di rumah pernah mendapat perilaku kekerasan atau apa dari keluarga dekat
gitu ?
S B : Yaaak, kalau di rumah sih pernah Ketika saya masih SD dulu bapak saya termasuk orang
yang keras terhadap saya apa lagi dalam masalah ibadah Jadi Bapak saya itu sudah
menekankan ibadah Ketika saya masih kecil jadi seandainya kalau saya tak sholat wajib itu
bapak saya paling marah jangan kan untuk tidak salat kadang saya tidak datang ke masjid
Saya kadang Bapak saya bisa kamu saya dulu kerap mendapatkan perilaku yang kasar sama
orang tua saya kadang juga Saya Sadari perilaku sayang dulu sangat susah diatur pada kan
waktu dulu itu Perilaku saya waktu kecil itu sering main PS kadang lupa waktu waktu
ibaratnya jam sekian harus sekolah tapi kadang saya tidak ingat dan malah asyik main PS
kadang saking kesalnya saya tidak bisa diatur kadang Bapak saya sampai pernah menampar
saya pernah ibadratnya memukul saya waktu itu dan sebagainya lah tapi itu ibaratnya eeee
setelah saya masuk pesantren dan setelah saya lulus dari pesantren Alhamdulillah hal itu tidak
pernah lagi terjadi pada saya.
P A : Itu yang tadi ketika main PS ada enggak PS PS yang gamenya agresif pengen yang
nantinya ditiru gitu ?
259
S B : Ya jadi ketika masa itu tahun-tahun sekitar sekitar tahun 2006 2007 2009 itu ada salah
satu game PS yang paling sangat tenar itu namanya GTA itu adalah semacam game yang mana
gangster lah Di mana perang antar wilayah geng sama geng satu lagi ada juga namanya bully,
itu adalah game dimana anak nakal dimasukkan kedalam asrama dimana dia ingin
menjadiketua diasrama itu. Jadi mukin kami juga termotivasi dengan game-game seperti itu
maka ketika zaman saya itu juga pak, banyak dulu namanya geng-geng segala macamnya
mulai dari anak-anak SMP sampai ke anak SD sudah banyak saya temukan itu, tetapi
Alhamdulillah saat ini tak lagi saya temukan hal-hal seperti itu.
P A : Jadi ada game bully tadi, game apa itu ?
S B : Di game itu semacam anak nakal ya kan yang ibaratnya tidak bisa diatur oleh orang tua
jadi dia itu dimasukkan ke dalam sekolah asrama jadi ketika di asrama itu dia juga punya
Ambisi bagaimana dia bisa menjadi penguasa di asrama atau sekolah itu.
P A : Kalau dulu Mas Anas motivasi masuk pesantren apa ?
S B : Kalau motivasi masuk pesantren itu sebenarnya nggak ada sih pak, dulu kan
P A : Disuruh orang tua ?
S B : Dipaksa sama orang tua.
P A : Dipaksa iiiiiya terus waktu di pesantren kondisi awal awalnya itu gimana Kayak depresi
atau perasaan tertekan ada nggak ?
S B : Kalau awal-awal masuk pesantren itu Alhamdulillah kalau depresi nggak ada tapi kalau
merasa tertekan pernah pada saat itu pertama karena itu tadi saya masuk pesantren itu tidak
punya kenalan itu yang pertama, yang kedua karena saya tidak pandai bahasa Jawa saya sering
dibully sama orang dibodoh-bodohi di goblok goblok goblokin, sama orang yang ketiga itu
ibaratnya karena saya susah juga beradaptasi karena itu saya bingung kadang saya minta
tolong sama orang tapi saya tak pandai bahasa Jawa jadi saya Ketika awal-awal itu sering
menahan apa yang saya inginkan di hati saya tak berani saya sampaikan bahkan saya sampai
ingat ketika itu hari itu air minum Saya habis karena saya tidak punya teman Ketika itu sampai
saya tahan 1 hari itu sampai tidak minum saya jadi emang waktu awal Emang tertekan
ditambah lagi ya kan di pondok itu ujian yang paling berat kami alami itu ketika kami kena
penyakit kulit seperti kudis itu sampai lama sampai dua minggu saya sendiri tanpa ada yang
ngurusin di pondok Jadi kami terlantar tertekan rasanya.
P A : Terus gini Mas di pesantren itu diajarkan nilai-nilai keagamaan berbuat baik menyayangi
kira-kira itu ada konflik batin nggak ketika itu berubah menjadi pelaku menjahili Junior kayak
gitu itu gimana ceritanya ?
S B : Memang kalau kami dari segi moral atau akhlak Emang sangat diajarin bahkan mungkin
kamu itu kalau sama ustadz atau Kyai kami kami sangat ta’lim sekali cuman ini tadi penyakit
anak pondok ini 1 tadi kadang kalau untuk sesama atau sama anak Junior bisa dikatakan
mungkin tidak ada lagi adabnya jadi adab itu hanya ada pada Ustadz satu disebut satu lagi
sama Kyai bahkan kadang sama pengurus pun masih ada melawan segala macamnya ya
karena apa itu bisa terjadi ya karena menurut saya selama ini kan kami di pesantren itu apa
pun yang kami kerjakan itu semua terbatas dari mulai Kami menggunakan fasilitas seperti
yang kira-kira menghibur seperti nonton TV Kami nonton TV di pesantren itu hanya
dibolehkan Pada saat jam makan siang dan itupun kira-kira tidak sampai 1 jam dan selebihnya
kami hanya terus belajar terus belajar terus sekolah jadi mungkin karena saat itulah karena
tidak ada hiburan dan apa yang bisa kami kerjakan begitulah jadinya hiburan yang bisa kami
laksanakan untuk menghibur diri lah Mungkin kira-kira menurut saya seperti itu karena
mungkin tertekan dengan kegiatan yang full pada di pondok akan hal seperti itu maka kami
lakukan hal seperti itu.
P A : Eeee terus yang terakhir nih Mas Anas kan tadi ada cerita keluarga, orang tua, terus teman-
teman biasanya kalau Mas Anas melakukan bullying itu dilakukan sendiri atau kelompok ?
S B : Yaa, Kalau kami untuk melakukan bullying itu berkelompok karena kalau sendiri kami
tidak berani karena istilahnya kami itu tak mau mengambil resiko juga kalau sendiri kalau
sendiri kan nanti Seandainya anak tadi itu melapor ke pengurus pastinya kami sendiri bakalan
kena tapi kalau misalnya kami beramai-ramai dalam artian sakitnya itu bisa dirasakan
260
beramai-ramai dan tidak begitu malu sekali Kalau misalnya ramai-ramai tapi kan kalau sendiri
kan pasti lah kita nanggung Malu sendiri apalagi kalau nanti sampai dilihat sama orang yang
kita kenal di tengok sama Ustad kita saudara-saudara kita pasti badannya begitu malu sekali
tapi kan Kalau ramai-ramai mungkin ibaratnya masih adalah rasa malu kita ibaratnya Ndak
begitu malu lah rasanya kalau seandainya nanti kenapa-napa kan gitu.
P A : Eeeem, Jadi emang dikerjakan berkelompok itu direncanakan nggak biasanya gitu ?
S B : Haa, itu biasanya tidak direncanakan datang gitu aja ibaratnya itu jika tidak ada momennya
datang kesempatannya langsung aja kami gitu kan tanpa ada perencanaan.
P A : Eeem, terus memilih korbannya ada nggak biasanya kalau untuk korban-korban itu ?
S B : Biasanya yang kami pilih apa namanya itu biasanya anak-anak yang kira-kiranya bisalaa
bisa menghasilkan dalam artian kaya ya banyak uangnya bisa kami mintai jajannya bisa kami
minta yg duitnya kadang-kadang juga ibaratnya anak-anak yang mana masih polos lugu
ibaratnya belum tahu apa-apa tentang Pondok ada juga seperti itu kadang juga kami satu lagi
bisa jadi yang kami beli itu anak-anak yang ibaratnya sok sok bagak lah dipesantren itu gini-
gini di pesantren itu ibaratnya itu baru masuk tapi udah sok sok seakan-akan ingin berkuasa
antara 3 itulah yang pertama bisa yang bisa dimanfaatkan, kedua terlalu polos sekali ya lugu,
yang ketiga ibaratnya itu anak yang merasa sok-sokan di pondok.
P A : Kalau dari sisi fisik ada nggak yang kecil di tandai itu ?
S B : Yaa kadang kami juga gitu menandai pokoknya setiap kali mulai ada masuknya
pendaftaran santri baru awal awal mula ajaran baru itu kami memperhatikan sikap-sikap anak-
anak baru tersebut apakah anak-anak yang biasa saja ibaratnya yang tidak suka Mencari
Alasan masalah dalam artian baik-baik aja kami tak mau mengganggu orang seperti itu tapi
emang sering kebanyakan sih yang kami bully itu kebanyakan anak-anak yang berlaga sok-
sokan itu kebanyakan yang yang sering kami bully satu lagi yang anak-anak yang pesantren
yang mana ibaratnya dia udah berani bikin masalah sama anak senior contohnya tak punya
sopan santun sama senior Nah itu biasanya itu habis kami bikin biasanya itu
P A : Bentuk bullynya kayak apa kira-kira itu fisik atau verbal atau jahil atau gimana ?
S B : Kalau pembullyan cuman sekedar usil itu cuman biasa sekedar ajak ajak ngobrol dibodoh-
bodohi segala macam cuman berlawanan kata-kata tapi kalau misalnya pembelian untuk anak-
anak yang nakal dalam artian punya masalah sama anak senior itu bahkan Kami bakal sampai
main fisik dulu pernah sempat kejadian ketika waktu awal saya masih satu SMA jadi ada 1
anak itu 2 tahun di bawah kami dia bikin masalah dia bikin masalah Emang di luar tapi
ibaratnya tuh dia berusaha dengan kami karena sempat mencuri barang dari teman kami jadi
ketika itu kami Panggil di kamar jadi hampir satu kamar itu membully dia kecuali saya tidak
ikut karena menurut saya ini udah sangat terlalu berlebihan karena anak itu sampai di tumbuk
sampai diinjak segala macam akan selesai dari pembullyan itu anak itu sampai masuk rumah
sakit dan kritis Ketika saya tidak berani ikut campur karena ini lebihan tapi kalau pembullyan
sekedar bercanda canda canda main kata-kata mungkin saya masih main tapi kalau sampai
berlebihan seperti ini memang saya tidak mau dan setelah terjadinya kejadian itu sampai anak
itu masuk rumah sakit dan dalam kondisi kritis ya tadi itu kan karena sampai Ditumbukin
sampai dipijak segala macam itulah itu terakhir kalinya saya membully orang dan setelah itu
Alhamdulillah kami enggak pernah lagi karena memang konsekuensinya ketika itu kami akan
dikeluarkan dari lembaga Kalau kami mengulangi perbuatan itu lagi karena konsekuensinya
kami akan dikeluarkan dari 3 lembaga kalau misalnya kami mengulangi perbuatan itu lagi,
pertama dikeluarkan dari Lembaga Pondok Pesantren yang kedua dari sekolah formal yang
ketiga dari Sekolah Diniyah dan setelah itu kami tidak berani lagi melakukan pembullyan.
P A : Eeeeem, Oke Mas Anas terima kasih Nanti kalau butuh wawancara ulang kalau ada perlu
data lagi
S B : Oke Pak sama-sama
261
Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek
P/S Hasil wawancara
P Ada nggak kasus bullying di psantren?
S Kasus bullying dipesantren pernah terjadi, khususnya bagi santri atau
santriwati yang baru masuk untuk mondok di pondok pesantren
262
P Darimana pihak uatadz/ustadzah tahu?
S Ustad/ustzah mengetahui kejadian bullying dikarenakan adanya laporan dari
beberapa pihak seperti teman sekelas atau teman sekamar dengan korban.
Informasi lainnya didapatkan dari pihak klinik yang melaporkan santri yang
terkena bullying fisik seperti pemukulan sehingga menyebabkan luka memar
yang cukup serius, sehingga ketika korban meminta obat untuk pereda nyeri
ke pihak klinik mereka mendapatkan informasi bahwasanya anak tersebut
terkena bullying oleh kakak kelasnya
P Bagaimana reaksi yang diberikan?
S Reaksi yang diberikan pembully ialaah berupa kekerasan fisik maupun verbal.
Contoh : Seorang santri kelas XII inisial S memerintahkan adik krlasnya yang
duduk dikelas VII untuk membelikan sejumlah makanan di koperasi yang
kebetulan agak sedikit jauh dari asrama. Dikarenakan si anak akan pergi ke
masjid ia menolak perintah sang kakak kelas. Karena merasa tidak dihormati
malam harinya ia memanggil adik kelas VII yang berinisial N itu ke kamarnya.
Sesampainya dikamar ia langsung memukul N dengan bantuan 2 orang teman
lainnya. Adapun bagian yang dipukuli ialah perut, kepala, tangan dan kaki.
Contoh bullying verbal : mengejek bentuk fisik sperti memanggil dengan
sebutan juling, dikarenakan ia merasa temannya tersebut berbeda dengan
teman yang lainnya. Memanggil dengan sebutan encing, dikarenakan ia
pernah mengompol ketika malam tidur malam hari diasrmaa dan dianggap
jorok dari teman teman lainnya.
P Biasanya terjadi dimana?
S Kejadian bullying biasanya terjadi dikelas ataupun diasrama selama tidak ada
pengawasan dari pihak ustad/ustdzah sehingga pembully lebih leluasa
melakukan aksinya kbuhususnya ketika malam hari.
P Bagaimana pengaruh ke santri?
S Pengaruhnya ke santri ialah banyak dari santri baru yang merasa takut untuk
bertemu dengan kakak senior mereka, hal lainnya banyak santri yang tidak
betah dipondok dan akhirnya menelfon orang tua dan mrminta untuk pindah
dari pondok.
P Apakah yang di tingkat awal sering jadi korban di kelas berikutnya jadi pelaku
S Untuk korban bullying ada sebagian yang akhirnya menjadi pelaku bullying.
Berdasarkan informasi yang didapat mereka menyatakam bahwasanya pelaku
yang dulunya korban bullying merasa ingin balas dendam diakrenakan ia
mersa hina karna dulunya pernah dibully. Sehingga yang dulunya ia ialah
seorang yang pemalu dan selalu nurut, ketika menjadi kakak kelas ia menjdi
seorang yang keraas dan sering membully teman bahkan adik kelasnya.
P Iklim di pesantren seperti apa?
S Hubungan antar santri di pondok pesantren ini cukup baik. Contoh: ketika bel
sekolah berbunyi mereka saling mengingatkan san merangkul teman
temannya untuk bersama sama pergi ke masjid maupun ke sekolah. Kejadian
kasus bullying masih terjadi di pondok pesantren. Karena motivasi santti
untuk masuk ke pondok pesantren itu berbeda beda. Ada yang keinginan dari
263
dirinya endi, ada pula paksaan dari orang tua mereka. Jika yang berkeinginan
masuk ke pesantren dari hati biasanya ia baik, akan tetapi jika itu pakdaan dari
orang tua biasanya anak tersebut nakal sehingga sesampainya di pesantren ia
akan banyak buat ulah atau melanggar disiplin pondok pesantren. Karena ini
namanya prngajaran intuk internalisasi dan itu butuh waktu, insyaAllah
mereka kedepannya akan menjadi lebik baik.
264
LAMPIRAN 5. Tabel Open Coding
Tabel Open Coding
Penjabaran kategori dalam property dan dimensi partisipan
“disuruhnya tolong beli jajan saya gini-gini uang nggak dikasih tapi disuruh beli jajan seperti itu”
<Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 1 reference coded [0,28% Coverage]Reference 1 - 0,28%
Coverage
265
“disuruh-suruh”
<Files\\Verbatim Partisipan Guru (13)> - § 1 reference coded [3,96% Coverage]Reference 1 -
3,96% Coverage
“memerintahkan adik krlasnya yang duduk dikelas VII untuk membelikan sejumlah makanan di
koperasi yang kebetulan agak sedikit jauh dari asrama“
<Files\\Verbatim Partisipan W (5)> - § 5 references coded [1,89% Coverage]Reference 1 - 0,50%
Coverage
“mmm lumayanlah”
“enggak ada, Cuma kadang di ini eee ada pelatihan di suruh ini ini, nanti disuruh”
“nanti abang-abang kelas tu kan datang tiba-tiba kekamar kami nanti introgasi kan ntah apa yang
diintrogasi bahkan nanti sampai pukul memukul”
266
“ujung-ujungnya berantem”
“Malam saya lagi tidur, tiba2 ada yang kasih lakban di muka”
“sekali waktu tidur digangguin jadi langsung baku hantam, kan kalau orang tidur susah kali nahan
emosinya”
267
“di jongkokkin “
“terus dari da;am itu mereka udah natap saya kayak udah gak suka gitu,”
“ia langsung memukul N dengan bantuan 2 orang teman lainnya. Adapun bagian yang dipukuli
ialah perut, kepala, tangan dan kaki”
“dia melakukan kekerasan kepada juniornya itu sampai kakinya patah gitu loh”
268
“saya sering dihina lah sama orang rumah karena belum dapat prestasi”
269
“kalau pas pondok pemalas jadi saya dibilang pemalas tapi saya ngga terima, karena walaupun
pemalas saya masih mengerti pelajarannya”
“ada satu orang yang masuk bilang eh kau pemalas kau ni, nanti ikut2 yang lain”
“kondisi keluarga, pokoknya apa yang ada kekurangan di diri kita itu jadi bahan bullying”
270
<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 2 (12)> - § 1 reference coded [0,28% Coverage]Reference 1
- 0,28% Coverage
“pernah pura ura tidur terus dia ngomong dari belakang kayak nusuk”
271
“ngomongnya baik baik pak pelan cuman omongannya tu nusuk ke hati pak, kaya lembut terus
nusuk,”
“gara-gara mutia tu dekat sama yang laki-lakinya itu pak jadi mereka tu kayak mutia tu jadi bahan
ejekkan sama mereka”
“akhirnya diancam”
“Ngancam”
272
“seringlah gitu abang-abang kelas, kadang yang satu angkatan sering melakukan itu tu”
“Oh berkelompok?
Iyaa”
<Files\\subjek reza> - § 1 reference coded [0,15% Coverage]Reference 1 - 0,15% Coverage
273
274
“tertekan pernah “
“Marah”
“tapi takut”
275
<Files\\Verbatim Partisipan Guru (13)> - § 1 reference coded [0,70% Coverage]Reference 1 -
0,70% Coverage
“rasa diri ya jadi ada rasa perasaan yang terpendam yang itu mereka gak bisa jelaskan gitu ya”
<Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 5 references coded [1,81% Coverage]Reference 1 - 0,22%
Coverage
“saya takut”
“dendam “
“sakit hati “
276
“Sering engga”
277
“saya nangis “
“Kadang kan kakak tingkat jadi seganlah mau apa nolak, ya udah”
278
“ya udah ambil aja”
Rencana <Files\\subjek Aldi> - § 4 references coded [0,82% Coverage]Reference 1 - 0,28% Coverage
balas
dendam “Biasanya kan kalau kumpul satu angkatan ada, tapi cuma rencana balas dendam tapi sampai situ
aja”
“Kadang teman-teman sendiri itu kan ngga berani juga, jadi karena dah tamat ngga jadi balas
dendam”
“malam malam itu kami bicara cerita-cerita tentang itulah kami korban bully”
279
Reference 2 - 0,58% Coverage
“karena terlambat jadi dipukul pakai kaya logam kecil gitu pak kaya Panjang jadi betis yang kenak”
“Terus mau masuk ke masjid telat gitu, itu ada aja salah nanti disuruh merangkak, disuruh kutip
sampah”
“dimarah-marahin”
“jadii ee pas ada tu teman telat disuruh eee scout jump 100”
“pas lagi kumpul-kumpul, ada masanya, kadang ada yang telat yang ini gitu”
280
Orang tua <Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 6 references coded [1,90% Coverage]Reference 1 - 0,14%
Coverage
“pernah lah “
“kalau gak anak kandung tu, kalau misalnya dia dibelikan terus saya gak dibelikan, terus saya
pastikan nangis “
“iyalah orang kamu gak anak kandung, kayak gitu di bully bully “
<Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 1 reference coded [0,68% Coverage]Reference 1 - 0,68%
Coverage
281
“orang tua saya datang membawa kayu yang kira-kira besar paralon itu ya paralon untuk kabel
kabel itu jadi kan itu mukul saya gitu sampai patah”
“gak mau ngalah sama adek depan TV sekali dipukul sapu yang kayak gitu pak langsung patah”
Reaksi korban Perilaku <Files\\subjek Aldi> - § 1 reference coded [0,47% Coverage]Reference 1 - 0,47% Coverage
“Nanti kan habis kena marah, nanti kami gibahin abang kelas tu, kami keluarkan kata2 kami disitu
cuma itu yang bisa kami lakukan saling menjelekkan”
282
“Sering engga”
“saya nangis “
283
<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 2 (12)> - § 1 reference coded [0,26% Coverage]Reference 1
- 0,26% Coverage
“Kadang kan kakak tingkat jadi seganlah mau apa nolak, ya udah”
284
<Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 2 references coded [0,52% Coverage]Reference 1 - 0,14%
Coverage
“Berlalu gitu aja saya anggap mereka yaudah yang kemarin sudah berlalu yaudah “
285
<Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 2 references coded [0,72% Coverage]Reference 1 - 0,35%
Coverage
”Kadang kan kakak tingkat jadi seganlah mau apa nolak, ya udah
“kadang pas kita mm agi enggak pengen, ee sebenarnya udah enggak mau, ya udah “
286
287
“tertekan pernah “
288
“Marah”
“tapi takut”
“rasa diri ya jadi ada rasa perasaan yang terpendam yang itu mereka gak bisa jelaskan gitu ya”
“saya takut”
289
Reference 4 - 0,13% Coverage
“dendam “
“sakit hati “
Reaksi korban Kognitif Resiko <Files\\subjek Aldi> - § 2 references coded [0,45% Coverage]Reference 1 - 0,16% Coverage
“Biar sopan, ngerti sama kamu, kaya tau apa yang kami rasakan, itu aja biar hargai kakak kelasnya”
“Kalau proses sih yaa karena kita awalnya dibully ya, karena itu mau dicoba”
290
“Iyaa disegani”
“Tau siapa dia, karena kalau hormat sama senior itu kan antara junior dan senior, tapi kalau sesama
biar dia tau dia siapa”
291
“senang aja”
“tapi kalau udah rame-rame apalagi sama adik tibgkat ya asyik aja”
292
Reference 7 - 0,44% Coverage
“kita merasa senior menjadi penguasa jadi seakan-akan itu hal yang perlu kita kerjakan “
“Untuk kesenangan “
“karena pernah merasa aku dulu diginiin sekarang ganti aku yang ini giniin “
293
Reference 7 - 0,14% Coverage
“senang aja sih pak lihat respon adik-adik tu. Jadinya mereka segan sama kita”
“ ya puas saja”
“kalau dipondok ni kan yang lebih tua tu harus di hargai kan pak”
294
“ia menjadi lebih kuat aja karena ada temen-temennya gitu loh, jadi ada temen temennya yang juga
ikut serta”
“senang aja”
“teman kayaknya”
295
“Yaa pengayoman ya dari orang-orang yang lebih dari dewasa, mengayomi dari ustad2 gitu jangan
membully karena membullyi itu orang-orang yang dibully itu bisa bunuh diri gitu, bisa mentalnya
itu jatuh”
“Ya kalau kejadiannya ngga tau ceritanya tapi pas diceritakan itu kan kalau bullying itu bisa
membunuh orang perlahan-lahan”
“enggak, saya emang dari kecil gak pernah ngomong kayak gitu “
“saya berhenti terus saya minta yang lain bernti juga jangan diapain lagi”
296
<Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 1 reference coded [0,33% Coverage]Reference 1 - 0,33%
Coverage
“jadi faktor yang membuat kamu sadar, faktor yang membuat kamu ee tidak balas dendam dan lain
sebagainya itu karena kamu punya empati pernah melakukan itu ya?
iya pak”
“ada pak yang kadang mutia saat lagi terpuruknya mutia minta tolong ini kayak mana dil gini gini
gini minta solusi gitu pak terus dia ngasih solusi nanti dia yang ngapain gitu pak cewek.”
“memang bapak, ibunya itu bercerai atau ada konflik di rumah tangganya”
297
“sejarah dikeluarganya ya memang dari keluarga yang perhatian kepada anaknya itu kurang”
“keras sih pak terutama ayah kalau ibu ya kadang suka marah “
“kalau ayah itu beliau itu gak pernah beda-bedain yang mana perempuan sama laki-laki mau itu
perempuannya yang salah”
298
“iya orangnya keras pak, bapak ee saya keturunan dari batak toba”
Organisasi Keterlibatan <Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 1 reference coded [0,65% Coverage]Reference 1 - 0,65%
Coverage
“ hemm oke oke oke. Kamu sering jadi panitia ospek gitu gak?
sering, sering, sering”
299
LAMPIRAN 6. Data Tema
Data Tema
300
Verbal A1, R, A, <Files\\subjek Aldi> - § 1 reference coded
AF, AL, BA, [0.16% Coverage]
M, RF (8) Reference 1 - 0.16% Coverage
Selain itu paling nanti orang tu saling
ngejek sampai sakit hati, ujung-ujungnya
berantem
Situasi saat Jumlah pelaku A1, R, BA, <Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 3
menerima M, RF (5) references coded [1.95% Coverage]
perundungan Reference 2 - 0.35% Coverage
nggak berani pak, abang2 tu banyak
Kondisi perundungan R, AL, AF, <Files\\subjek reza> - § 1 reference coded
BA, M, RF, [0.16% Coverage]
W (7) Reference 1 - 0.16% Coverage
Bareng teman-teman sih, lagi ngomong-
ngomongkan nanti ada satu orang yang
masuk bilang eh kau pemalas kau ni, nanti
ikut2 yang lain
Tempat A1, A, AL, <Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 4
BA, M, RF references coded [0.47% Coverage]
(6) Reference 1 - 0.05% Coverage
Diasrama, dimasjid, dilingkungan luar
asrama biasanya.
Waktu A1, R, A, <Files\\subjek reza> - § 2 references
AF, AL, M, coded [0.51% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.39% Coverage
Pernah, pas kalau dipondok tu pertama
kali masuk perkenalan sama kawan2 tu
301
malam keduanya saya langsung kena
bully
Tersakiti Afeksi Takut AF, AL, BA, <Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 3
RF (4) references coded [0.72% Coverage]
Denda A1, AL, BA, Reference 1 - 0.24% Coverage iya pak,
R, RF (5) kita dendam hanya saja mau membalas
kita takut sama senior, mereka kompak,
lagian juga bakalan sulit kita nantinya.
<Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 3
references coded [0,72% Coverage],
Reference 1 - 0,24% Coverage
302
membolehkan. Sudah keluar banyak
biaya untuk saya daftar di pesantren ini.
Anggapan sudah biasa A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 1
AF, AL, BA, reference coded [0.13% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.13% Coverage
…hehe udah biasa pak dipukul
Koping Maladaptif Afeksi Khawatir A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 2
AF, AL, BA, references coded [0.36% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.20% Coverage
iyaa. Saya bagian blok sini ya masih sama
senior-senior yang baik ada ketua
asramanya, ya saya masih ruang lingkup
yang kaya gitu, jadi agak kurang main ke
blok-blok sana agak takut waktu masih
SMP.
Kasihan A1, AF, M, <Files\\subjek reza> - § 2 references
R, RF, BA coded [0,51% Coverage], Reference 1 -
(6) 0,39% Coverage “Yaa kalau untuk
mengubah sih harus dari diri kita sendiri
dulu memikirkannya kan enak atau
engganya dari korban, kalau dari situ kita
udang memikirkannya pasti kita nggak
akan jadi pelaku”
Kognisi Keinginan membalas A1, R, A, <Files\\subjek reza> - § 2 references
AF, AL, BA, coded [0.29% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.05% Coverage
…ingin balas dendam rasanya
303
Senioritas A1, AL, BA, <Files\\Verbatim Partisipan Aldi (1)> - §
R, RF (5) 2 references coded [0,36% Coverage],
Reference 1 - 0,20% Coverage “biar adek
tu tau apa yang kami rasakan, kami dulu
diginikan loh, kami lakukan itu puas hati
kamu setelah abang tu tamat, rasa denda,
ngga kesampaian tadi junior yang kami
apakan”
Pengabaian A, AF, M, W <Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 1
(4) reference coded [0,14% Coverage],
Reference 1 - 0,14% Coverage “eee
insyaallah sih pak saya gak pernah bully
orang karena saya tau gimana rasanya
pak”
304
Reference 4 - 0.32% Coverage
respon dia yang kayak masih ketawa-
ketawa
Pelaksanaan Pengambilan Faktor kognitif A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 1
perundungan keputusan AF, AL, BA, reference coded [0.33% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.33% Coverage
….adik-adik tu harus diberi pelajaran
Faktor afeksi A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 1
AF, AL, BA, reference coded [0.33% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.33% Coverage
ya kasihan juga
Pengalaman masa lalu A1, R, A, <Files\\subjek Aldi> - § 4 references
AF, AL, BA, coded [0.84% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.41% Coverage
Dulu awal masuk pondok, jadi saya tu
abang-abang kelas tu sering ganggu saya
kalau sendiri, nanti abang-abang kelas tu
kan datang tiba-tiba kekamar kami nanti
introgasi kan ntah apa yang diintrogasi
bahkan nanti sampai pukul memukul kan
disitu padahal kami sendiri ngga tau
masalah tu apa kan. Waktu diasrama tu
seringlah gitu abang-abang kelas, kadang
yang satu angkatan sering melakukan itu
tu
305
Hubungan dengan Persepsi terhadap A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 2
mesosistem pesantren AF, AL, BA, references coded [0.40% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.33% Coverage
selama disini ? ee biasa aja, gak enak, gak
enak
Persepsi terhadap guru A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 2
AF, AL, BA, references coded [1.70% Coverage]
RF (7) References 1-2 - 1.70% Coverage
kalau guru baik-baik pak
Persepsi terhadap musyrif A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 2
AF, AL, BA, references coded [1.70% Coverage]
RF (7) References 1-2 - 1.70% Coverage
….musyrif (penjaga asrama) sering
marah2 apalagi kalau ketahuan
melanggar.
Pesantren menutup diri A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 1
AF, AL, BA, reference coded [0.50% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.50% Coverage
he’eh iya pak,
Pengalaman Hukuman dari guru A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 2
kekerasan sebelum AF, AL, BA, references coded [0.65% Coverage]
masuk pesantren RF (7) References 1-2 - 0.65% Coverage
saya pernah dipukuk di kepala
Hukuman dari kakak kelas A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 1
AF, AL, BA, reference coded [0.42% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.42% Coverage
dimarahi aja sih
306
Hukuman dari orang tua A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 1
AF, AL, BA, reference coded [0.68% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.68% Coverage
paling dimarah-marahi sama mama di
rumah biasa aja.
Kontribusi ustadz Kurang pengawasan A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 2
AF, AL, BA, references coded [0.76% Coverage]
RF (7) References 1-2 - 0.76% Coverage
pengawas, pengawas pesantren, ustadz itu
ndak ada ya?
ndak ada, lagi di asrama semua pak.
Sikap guru A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 1
AF, AL, BA, reference coded [1.77% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 1.77% Coverage
kenapa?
nggak ada yang awasi, ustadz atau
musyrifnya kan jarang lihat
307
he’eh iya pak, terus tapi itu sama teman-
teman juga pak, teman
Perdebatan diri Faktor protektif R, A,AL, <Files\\subjek reza> - § 2 references
AF, BA, M, coded [1.11% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.69% Coverage
Yaa pengayoman ya dari orang-orang
yang lebih dari dewasa, mengayomi dari
ustad2 gitu jangan membully karena
membullyi itu orang-orang yang dibully
itu bisa bunuh diri gitu, bisa mentalnya itu
jatuh
Faktor risiko A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 6
AF, AL, BA, references coded [4.23% Coverage]
M, RF (8) Reference 1 - 0.27% Coverage
senang aja,....kita jadi dihargai ditakuti
pokoknya lah
Menjadi pelaku Afeksi Kepuasan A1, R, A, <Files\\subjek Aldi> - § 1 reference coded
AF, AL, BA, [0.11% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.11% Coverage
… kami lakukan itu puas hati kami setelah
abang tu tamat, rasa dendam ngga
kesampaian tadi junior yang kami apakan
Kenyamanan A1, R, A, <Files\\subjek reza> - § 2 references
AF, AL, BA, coded [0.38% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.24% Coverage
Yaa enak, saya bisa menghina orang,
melakukan hal yang tidak sewajarnya
308
Kognisi Perundungan dianggap A1, R, A, <Files\\subjek Aldi> - § 1 reference coded
tradisi AF, AL, BA, [0.11% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.11% Coverage
Motifnya mungkin biar adek tu tau apa
yang kami rasakan, kami dulu diginikan
loh, kami lakukan itu puas hati kami
setelah abang tu tamat, rasa dendam ngga
kesampaian tadi junior yang kami apakan
Penguatan..yang Pengakuan A1, R, A, <Files\\subjek reza> - § 2 references
diharapkan AF, AL, BA, coded [0.38% Coverage]
RF (7) Reference 2 - 0.14% Coverage
Menyadarkan kalau dia tu tau siapa dia
Dihormati A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 4
AF, AL, BA, references coded [4.36% Coverage]
RF (7) Reference 4 - 0.99% Coverage
ya mereka harus hormat sama yang lebih
tua
Dihargai A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 1
AF, AL, BA, reference coded [0.39% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.39% Coverage
kan kalau dipondok ni kan yang lebih tua
tu harus di hargai kan pak,