Anda di halaman 1dari 344

IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

PENELITIAN DISERTASI

DINAMIKA PSIKOLOGIS DALAM PERUBAHAN KORBAN


MENJADI PELAKU PERUNDUNGAN PADA SANTRI DI
PESANTREN

SIGIT NUGROHO

Halaman Sampul Depan

PROGRAM STUDI DOKTOR PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

PENELITIAN DISERTASI

Halaman Sampul Dalam

DINAMIKA PSIKOLOGIS DALAM PERUBAHAN KORBAN MENJADI


PELAKU PERUNDUNGAN PADA SANTRI DI PESANTREN

SIGIT NUGROHO
NIM. 111617127306

PROGRAM STUDI DOKTOR PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021

ii
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Pernyataan Keaslian Penelitian

iii
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

PENGESAHAN

Halaman Pengesahan

Disertasi dipertahankan di depan Tim Penguji Ujian Disertasi Tahap II (Terbuka)


Program Studi Doktor Psikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
dan diterima untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Doktor (Dr.)
Pada Tanggal 14 April 2021

Mengesahkan:
Universitas Airlangga Fakultas Psikologi
Dekan,

Prof. Dr. Suryanto, M.Si., Psikolog


NIP: 196501221992031002

iv
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DISERTASI INI TELAH MEMENUHI PERSYARATAN DAN DISETUJUI


PADA TANGGAL 14 APRIL 2021

Oleh:

Promotor

Prof. Dr. Seger Handoyo., Psikolog


NIP. 196702161991031001

Mengetahui
Kepala Program Studi S3 Psikologi

Dr. Fitri Andriani, S.Psi., M.Si., Psikolog.

v
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

UCAPAN TERIMA KASIH

Halaman Ucapan Terima Kasih

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan

kuasaNya-lah penulis dapat menyelesaikan usulan penulisan disertasi yang berjudul

“Dinamika Psikologis Dalam Perubahan Korban Menjadi Pelaku Perundungan Pada

Santri di Pesantren” ini. Usulan penulisan disertasi ini disusun sebagai salah satu

syarat dalam menyelesaikan Pendidikan Doktor Psikologi di Fakultas Psikologi

Universitas Airlangga.

Dalam menyelesaikan usulan penulisan disertasi ini, penulis ingin

mengucapkan terima kasih, baik itu secara langsung maupun tidak langsung, kepada:

1. Prof. Dr. Mohammad Nasih, SE., M.T., Ak., CMA. Rector Universitas

Airlangga Surabaya, beserta jajarannya, atas kesempatan yang diberikan

untuk mengikuti pendidikan dan mengembangkan keilmuan saya di

Universitas Airlangga.

2. Prof. Dr. Suryanto, M.Si., Psikolog. Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Airlangga, beserta jajarannya, untuk semua dukungan kepada

saya selama menjalani studi.

3. Dr. Fitri Andriani, M.Si., Psikolog Ketua Program Studi S3 Psikologi

Universitas Airlangga, atas dukungan dan waktu yang selalu disediakan

dalam proses penyelesaian disertasi.

4. Prof. Dr. Seger Handoyo, M.Si., Psikolog dan Dr. Wiwin Hendriani,

M.Si. Selaku promotor dan Co Promotor. Terima kasih tak terhingga

vi
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

untuk bimbingan, pencerahan, arahan, dan motivasi yang secara intensif

diberikan selama penulis menjalani pendidikan S3.

5. Prof. Dr. Syafrinaldi, SH.MCl. Rektor Universitas Islam Riau atas

dukungan moral dan material yang diberikan kepada penulis selama

menjalani kuliah S3.

6. Yanwar Arief, S.Psi., M. Psi. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam

Riau untuk semua dukungan moril yang diberikan pada penulis dalam

menjalani pendidikan S3.

7. Segenap dewan penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang

membangun untuk penelitian ini.

5. Ibu dan Ayah yang tidak pernah putus mendoakan, memotivasi, dan

mengerahkan segenap tenaga dalam membantu penulis menjalani

pendidikan S3. Doa Ibu dan Ayah telah mendatangkan pertolongan Allah

pada penulis.

6. Lisfarika Napitupulu, istri. Terima kasih tak terhingga untuk semua

dukungan, doa, perhatian, motivasi dan kesabaran yang diberikan

sehingga penulis mampu melalui masa-masa sulit dalam menjalani

pendidikan S3.

7. Fathiya, Hauna, Aqil, Aydan dan Numa. Putra Putri tercinta yang

menjadi penyemangat penulis untuk menyelesaikan pendidikan S3.

8. Mas Erdi, Mas Ahkam, Mas Yudho, Mas Eko, Mbak Roro, Mbak Era,

Mbak Endah, Mbak Retno, Mbak Wiwik, Mbak Endah, Mbak Ike, Bu

Ninuk, Mbak Silvy, Mbak Monik,Dan Mbak Dwi. Teman satu angkatan

vii
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

2016 yang berjuang bersama selama menjalani proses pendidikan S3.

Terima kasih atas semua dukungan dan pertolongan yang selama ini

diberikan pada penulis.

9. Didik Widhiantoro, Bahril Hidayat, Mardiana, Icha Herawati, Irfani

Rizal, Liza Farhani, Yuli Purnamasari, dan Ersaliya yang menjadi asisten

dalam penelitian ini. Terimakasih sudah membantu secara teknis untuk

menyelesaikan penelitian ini.

10. Seluruh pihak yang telah berkontribusi bagi penulis dalam

menyelesaikan pendidikan S3 dan tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu. Semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian semua.

Penulis telah berusaha menyusun usulan penulisan disertasi ini sesuai dengan

kaidah penelitian dan kaidah penulisan. Namun demikian, dengan segala

keterbatasan yang ada, penulis berharap adanya masukan untuk penyempurnaan

tulisan ini.

viii
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

RINGKASAN

Kasus perundungan yang marak muncul di sekolah menjadikan perundungan


sebagai permasalahan internasional. Penelitian mengenai perundungan juga
meningkat drastis sejak sepuluh tahun terakhir dari berbagai belahan dunia. Kasus
perundungan di Indonesia menduduki peringkat teratas yang dilaporkan ke Komnas
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yaitu sebanyak 2.473 dari 37.381 total
pengaduan dari 2011 hingga 2019 (KPAI, 2020). Data ini juga diperkuat dengan
ditemukannya 30% siswa sekolah dasar di Pekanbaru mengalami perundungan
(Nugroho dan Fadhlia, 2011).Kasus perundungan di Jepang ditemukan bahwa pelaku
perundungan merupakan 10.8% laki-laki dan 4.1% perempuan, sedangkan korban
perundungan merupakan 14.5% perempuan dan 10.1% laki-laki (Mizuta, dkk, 2017).
Di Hongkong ditemukan sebanyak 20.4% siswa menjadi pelaku perundungan (Loke,
Mak, & Wu, 2016), sebanyak 22.1% di Iran (Rezapour, Soori dan Khodakarim,
2014), dan sebanyak 17% di Korea (Koh & Leventhal, 2004). Selain itu, ditemukan
hal yang menarik bahwa korban memiliki kecenderungan untuk menjadi pelaku.
Pada kajian US Secret Service di tahun 2000 ditemukan bahwa lebih dari dua per tiga
insiden penembakan di 37 sekolah sejak 1974 dilakukan oleh korban perundungan
(Coloroso, 2007). Graham (2011) menambahkan hanya sepertiga dari total siswa
yang merupakan korban perundungan di kelas 6 yang tetap menjadi korban sampai
sekolah berakhir yang mana jumlah korban turun sebanyak 10% di kelas 8. Beberapa
penelitian lain juga mengungkapkan bahwa pelaku perundungan merangkap menjadi
korban atau sebelumnya menjadi korban perundungan (Bloom, 2008; Koh &
Leventhal, 2004; Rezapour, Soori dan Khodakarim, 2014). Adanya kesamaan trait
berupa keterampilan sosial yang buruk, kepercayaan diri yang rendah, dan
pemecahan masalah yang buruk pada pelaku dan korban merupakan salah satu
indikasi kemungkinan korban menjadi pelaku (Sigurdson, dkk, 2015).
Fenomena perundungan terjadi dalam skala yang luas yang tidak terbatas pada
kelompok usia, jenis kelamin, dan wilayah tertentu. Lebih jauh, fenomena
perundungan juga tidak terbatas pada jenis institusi pendidikan tertentu. Institusi
pendidikan yang menjadi sorotan dalam penelitian ini adalah pesantren. Berbeda
dengan jenis sekolah asrama lain, karakteristik pesantren yang khas terletak pada
muatan keagamaan yang lebih dominan, yaitu hubungan yang akrab antara santri dan
kiai, tunduknya santri pada kiai, hidup hemat dan sederhana, semangat menolong diri
sendiri, dan jiwa tolong menolong atau persaudaraan (Bawani, 1993). Pada
praktiknya, kondisi justru terjadi sebaliknya. Fenomena perundungan juga terjadi
pada pesantren yang dalam salah satu kasus ditemukan bahwa pelakunya justru
merupakan anak kyai (Fahmi, 2021). Desiree (2013) mengatakan bahwa praktik
perundungan banyak terjadi di sekolah pesantren dengan bentuk perilaku
perundungan berupa fisik (memukul, menendang), verbal (kata-kata kasar, ejekan),

ix
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

dan pengucilan. Analisis data menunjukkan bahwa 59% siswa di pesantren


mengalami perundungan (Nugroho & Fardhana, 2018). Lebih jauh, perundungan di
sekolah asrama dan pesantren khususnya banyak disebabkan oleh adanya relasi
senior-junior. Perilaku senior kepada junior berupa perpeloncoan, perlakuan kasar,
penyebutan dengan panggilan buruk, mengganggu, dan sebagainya (Basri, 2001).
Relasi senior-junior tersebut melahirkan kekerasan di dalam sekolah asrama. Senior
yang menjadi pelaku perundungan rata-rata merupakan korban perundungan dari
senior sebelumnya (Nuriana, 2015).
Kondisi paradoks antara karakteristik pesantren yang menekankan muatan
keagamaan dengan praktik siswanya yang melakukan perundungan menarik untuk
dikaji lebih dalam. Secara spesifik, proses mengetahui dinamika psikologis korban
perundungan berubah menjadi pelaku akan menjadi fokus pembahasan. Lam dan Liu
(2007) mampu menunjukkan proses individu menjadi pelaku perundungan yang
berasal dari penonton perundungan (bystander), namun masih belum
menggambarkan bagaimana seorang korban mampu berubah menjadi pelaku
perundungan. Beberapa pendekatan teori, seperti teori belajar sosial (Bandura, 1978),
pendekatan sosial ekologis (Brofenbrenner, 2000), dan teori perubahan perilaku
(Rogers, 1983) berupaya menjelaskan bagaimana seseorang memutuskan untuk
menjadi pelaku perundungan. Dalam teori belajar, perundungan muncul dengan
adanya pengamatan pada perilaku perundungan melalui interaksi di lingkungan
sosial. Perilaku perundungan akan semakin muncul apabila adanya penguatan atau
konsekuensi positif (Bandura, 1978). Pendekatan ekologis menjelaskan bahwa
perundungan tidak hanya disebabkan karakter individu, melainkan juga terdapat
variabel situasional yang kompleks (Brofenbrenner, 2000). Teori perubahan perilaku
menjelaskan lima tahapan terbentuknya perilaku, yaitu awareness (menyadari
perbuatan perundungan), interest (menaruh perhatian pada perundungan), evaluation
(menilai baik dan buruk perbuatan perundungan), trial (mencoba perundungan), dan
adoption (mengadopsi perundungan dalam perilaku). Ketiga teori tersebut mampu
menjelaskan dinamika psikologis pelaku perundungan, terutama interaksi antara
lingkungan sosial, dorongan internal, dan perilaku perundungan itu sendiri (interaksi
triadik), namun masih sulit untuk menangkap kompleksitas dinamika korban menjadi
pelaku, mengingat karakter korban diasosiasikan sebagai pribadi pemalu, kurang
berdaya, tidak asertif, dan karakter lainnya (Rigby, 2002; Petrosino, Guckenberg,
DeVoe & Hanson, 2010). Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian untuk
memahami dinamika psikologis korban berubah menjadi pelaku perundungan,
gambaran perilaku perundungan oleh pelaku yang sebelumnya merupakan korban,
dan interaksi triadik dalam proses perubahan korban menjadi pelaku.

x
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan grounded
theory yaitu metode penelitian kualitatif yang menggunakan sejumlah prosedur
sistematis yang diarahkan untuk mengembangkan teori berorientasi tindakan,
interaksi, atau proses dengan berlandaskan data yang diperoleh dari kancah
penelitian (Creswell, 2015). Pendekatan grounded theory dinilai tepat untuk
membangun teori berdasarkan realitas dari dinamika psikologis korban menjadi
pelaku perundungan di konteks pesantren. Secara lebih khusus, penelitian ini
menggunakan pendekatan systematic grounded (Strauss & Corbin, 1998) dimana
masih memungkinkannya penggunaan teori sebagai acuan dan dalam pengambilan
data. Partisipan utama dalam penelitian ini merupakan santri di pesantren minimal
telah memasuki tahun kedua belajar di pesantren pada tingkat aliyah dan lebih dari
sekali melakukan perundungan. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan
melakukan wawancara mendalam dengan partisipan yang dilakukan dengan prinsip
berdialog, diskusi untuk membangun pemahaman dan pemaknaan dalam
memecahkan masalah. Pengamatan dan analisis dokumen juga dilakukan untuk
mengumpulkan data penelitian. Teknik analisis data menggunakan constant
comparative untuk melakukan perbandingan antara kejadian dengan kejadian,
kejadian dengan kategori, dan kategori dengan kategori sebagai inti analisis data.

Hasil Penelitian
Pada penelitian ini ditemukan dinamika psikologis korban berubah menjadi
pelaku yang terdiri dari enam fase. Fase pertama yaitu menjadi korban perundungan.
Fase ini merupakan tahap awal individu mendapatkan perundungan di lingkungan
yang langsung diikuti dengan fase kedua, yakni fase tersakiti yang mana reaksi
psikologis mulai muncul seperti marah, kecewa, ingin balas dendam, takut, atau
merasa tak berdaya. Fase ketiga yaitu fase frustasi yaitu mengenai reaksi afeksi dan
kognisi mengenai dendam dari fase sebelumnya. Fase keempat adalah koping
maladaptif meliputi belajar untuk mendapatkan rasa aman hingga mengamati reward
yang didapatkan dari perundungan, misalnya berupa perasaan terbentuknya
senioritas dari kalangan adik kelas atau korban perundungan (eksternal atau
lingkungan) atau individu mendapatkan pembelajaran sosial (social learning) dengan
meniru perilaku perundungan tersebut (internal) atau justru menyesuaikan diri secara
adaptif dengan kondisi perundungan. Individu menunggu untuk memutuskan keluar
dari perundungan atau menjadi bagian dari pelaku perundungan. Untuk menuju ke
fase mencoba, perlu adanya penguatan baik secara internal (posisi atau perasaan
superior sebagai senior, percaya diri) maupun eksternal (lingkungan mendukung).
Apabila faktor tersebut muncul, maka individu akan mulai memasuki tahap awal
menjadi pelaku perundungan. Ketika individu mulai menikmati reward, menerima
pengakuan dari lingkungan, justifikasi moral melakukan perundungan dan pelepasan

xi
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

emosional negatif yang selama ini dialami sebagai korban, maka ia telah memasuki
fase terakhir yaitu menjadi pelaku perundungan.
Temuan baru pada penelitian ini terdapat pada fase koping maladaptif sebagai
tahapan teoretis yang fundamental dalam menjelaskan dinamika psikologis korban
yang berubah menjadi pelaku perundungan. Pada fase tersebut, korban memutuskan
untuk membiarkan saja fenomena perundungan di pesantren atau justru memilih
untuk menjadi pelaku. Dinamika psikologis korban yang memutuskan menjadi
pelaku secara garis besar memiliki kesesuaian dengan tahapan moral disengagement
(Hyatt, 2017) dengan ditemukan tambahan adanya fase frustasi setelah moral
distress.
Penelitian ini menghasilkan implikasi teoretis dan praktis. Temuan penelitian
ini dapat dikategorikan sebagai teori substantif tentang Dinamika Perundungan
Korban Menjadi Pelaku Perundungan yang bersifat sekuensial dan memiliki alur
tertentu (stages theory). Teori substantif tersebut dapat digunakan dalam
menjelaskan (explaining) aspek-aspek teoretis tentang dinamika korban
perundungan menjadi pelaku perundungan. Dinamika Perundungan Korban Menjadi
Pelaku Perundungan mempertegas penelitian yang menyatakan bahwa adanya
perilaku agresif dari relasi senior-junior serta probabilitas korban untuk membalas
perilaku perundungan yang telah dialami.
Temuan dalam penelitian juga mengindikasikan kebutuhan kepada guru dan
orang tua tentang kebutuhan pembekalan pengetahuan terhadap Dinamika
Perundungan Korban menjadi Pelaku. Pembekalan pengetahuan tersebut dapat
diformulasikan ke dalam bentuk modul pembekalan yang aplikatif kepada guru dan
orang tua santri sebelum anak didik memasuki pesantren atau sekolah dengan
fasilitas asrama. Pada waktu proses belajar mengajar berlangsung di pesantren, guru
dan siswa perlu mendapatkan pendampingan dari tenaga ahli seperti psikolog dan
konselor. Pendampingan tersebut bisa direalisasikan dalam bentuk Unit Pencegahan
dan Konseling berbasis teori substantif yang ditemukan pada penelitian ini. Berbagai
pemangku kepentingan atau pengambil keputusan dapat mengoptimalkan upaya
pencegahan korban menjadi pelaku perundungan dalam kebijakan-kebijakan yang
melibatkan guru, orang tua, siswa, dan tenaga ahli. Dengan kebijakan tersebut,
implikasi atau dampak praktis dari temuan dalam penelitian ini bisa diterapkan secara
maksimal.

xii
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SUMMARY

The rise of bullying cases in schools that spike for the last ten years succeeded
to become an international concern. In Indonesia, bullying was the most common
case reported in the National Commission for Child Protection from 2011 to 2019,
in which 2.437 from 37.381 total reported cases. The data implied that 30% of
elementary school students in Pekanbaru were victims of bullying (Nugroho dan
Fadhlia, 2011). In Japan, bullying cases were found that 10.8% of bullies were boys
and 4.1% were girls, whereas the bullying victims were 14.5% girls and 10.1% boys
(Mizuta et al., 2017). The percentage of bullies in school was found in studies around
the world, which 20.4% in Hong Kong (Loke, Mak, & Wu, 2016), 22.1% in Iran
(Rezapour, Soori dan Khodakarim, 2014), 17% in Korea (Koh & Leventhal, 2004).
Some interesting findings of bullying showed that victims of bullying tended to
become bullies. A US Secret Service study found that bullying victims executed more
than two-thirds of school shooting incidents in 37 schools since 1974. There were
also only one-third of the victims of bullying at sixth grade who still became the
victim until they graduated, wherein the percentage of victims decreased by 10% at
eighth grade (Graham, 2011). In addition to this finding, students who become the
bullies were concurrently being the victims or had previously been the victims
(Bloom, 2008; Koh & Leventhal, 2004; Rezapour, Soori & Khodakarim, 2014). It
could be explained by the similarity of traits such as poor social skills, low self-
esteem, poor problem-solving skills on both bullies and victims (Sigurdson et al.,
2015).
The phenomenon of bullying that emerged on a broad-scale was not limited to
the particular age, gender, and region. Furthermore, it was also not limited to the
particular type of education institution. This research’s context was in the one of the
indigenous education institution in Indonesia that called pesantren. It emphasized
Islamic values as its main characteristic, such as a good relation between students
and teachers, obedience to teachers, and compassion to humankind (Bawani, 1993).
In contrast with its value, the bullying activity also occurred in pesantren, where in
one case was done by kyai’s son (Fahmi, 2021). Bullying activity in pesantren
occurred in deviant behavior such as physical attack (hitting, kicking), verbal attack
(using harsh words, mocking), and exclusion (Desiree, 2013). The study found that
59% of students in pesantren were exposed to bullying (Nugroho & Fardhana, 2018).
Furthermore, the bullying activity in some boarding schools, especially in pesantren,
occurred due to the one-way relation between junior and senior, commonly called
seniority. Some behaviors such as initiation, showing rude attitude, or using harsh
words obtained by junior (Basri, 2001) could develop violent behavior in boarding
school. Most senior bullies had also previously been victims when they were junior
(Nuriana, 2015).

xiii
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

The paradoxical situation between religiosity as the main characteristics of the


pesantren yet bully practices occurred is interesting to study further, specifically the
psychological dynamics of victims who become bullies in pesantren. Lam and Liu
(2007) explained that bullies usually came from a bully audience (bystander) at first
(Lam & Liu, 2007), but the shifting of the victims becoming bullies hasn’t explained
yet. Some theories such as social learning theory (Bandura, 1978), social ecological
approach (Brofenbrenner, 2000), and behavioral changes theory (Rogers, 1983)
described one’s decision to become bullies. In social learning theory, bullies'
observation of bullying activity in social interaction could develop one's bullying
behavior. Such behavior occurred even more if the reinforcement followed (Bandura,
1973). The ecological approach explained that bullying occurrence is not solely
triggered by individual characteristics, but by the complex situational variable
(Brofenbrenner, 2000). Behavioral change theory on bullying implied that there were
five steps to develop a behavior which was awareness (aware of the existence of
bullying activity), interest (putting attention to bullying activity), evaluation (judging
whether bullying was acceptable or not), trial (trying to bully), and adoption (adopt
bullying into common behavior). These three theories managed to explain the
psychological dynamics of bullies, spesifically the interaction of social environment,
internal drive, and the bully behavior (triadic interaction), still, the complexity of
victims' psychological dynamics become bullies was not yet described, considering
the victim's character was associated as a shy person, less empowered, less assertive,
and other characters (Rigby, 2002; Petrosino, Guckenberg, DeVoe & Hanson, 2010).
Therefore, it was necessary to investigate furthermore to recognize the psychological
dynamics of victims becoming bullies, the manifestation of bully behavior by bullies
who were victims beforehand, and the triadic interaction in the process of the victims
becoming bullies.

Research Method
This study was qualitative with the grounded theory approach. The systematic
procedure was used to obtain an action, interaction, and process-based theory
according to the research context's obtained data (Creswell, 2015). The grounded
theory approach would explain the reality and process of the psychological dynamics
of victims becoming bullies in pesantren so that the theory could be developed.
Besides, this study used systematic grounded (Strauss & Corbin, 1998) for feasibility
purposes to use theory as a reference to gain the data. The main participants were
santri (students) in second grade in aliyah pesantren (equal to high school) who did
the bully for more than once. The data collected by observations, in-depth interviews,
discussions, dialogues with the participant, and document analysis. The data
analyzed with constant comparatives to compare and different events to events,
events to categories, and categories to categories were found.

xiv
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Findings
The psychological dynamics of victims becoming bullies were found in six phases.
The first phase was one's moment to become a victim. It was an initial stage of one's
experience of getting bullied from the social interaction and immediately followed
by the second phase called the aggrieved phase. Psychological reactions such as
anger, disappointment, vengeance, fear, or feeling helpless began to rise. The third
phase, the frustration phase, was determined by the psychological reaction, mostly
the previous stage's aggravation feeling. The fourth phase was the maladaptive
coping in which the victims adapted from bullying, whether seeking for safe and
secure space or observing the rewards obtained from bullying, for example, gaining
a superiority feeling from seniority (external reward), imitating the bullying behavior
(internal reward), or−in contrast−adapting with the bully condition. The victims
would be perceived as bullying activity, whether appropriate or inappropriate, based
on their adaptation. The perceived bullying would need both internal and external
reinforcement to encourage the victims to initiate bullying. After the victims began
to bully, they went into a fifth called trial phase. Soon as the victims enjoyed the
reward, embraced the peer's appreciation, justified the norms of bullying, and
released the unwanted emotions of being the victims on previous experience, they
entered the final phase called to become the bullies.
The new finding found in this study was in the maladaptive coping phase. It
was the fundamental theoretical in order to explain the psychological dynamics of
victims becoming bullies. At that particular phase, the victims decided whether to
avoid the bullying activities or to become the bullies. The moral disengagement
(Hyatt, 2017) was found in bullies’ psychological dynamics with a new addition, the
moral distress that followed with frustration phase which found in the dynamics.
This study gave theoretical and practical implications. The Bullying Dynamic:
The Victims Become Bullies could be categorized as a substantial theory that was
sequential and gradual (stage theory). The fundamental approach could explain the
theoretical aspects of the psychological dynamics of the victims becoming bullies.
Those findings also indicated that providing the knowledge about the Dynamic
of Bullying: The Victims Become Bullies to raise awareness to parents and teachers
was necessary. The experience could be provided on applied modules given to
parents, teachers, and students before the school started. The module that
implemented daily activity in pesantren could be supported by professionals, such as
psychologists and counselors, to make it useful. Its realization could happen by
developing a Prevention and Counselor Unit based on substantial theory given. It
also needed support from the policymaker such as the government, to synthesize the
policy of prevention the victims become bullies that involved teachers, parents,

xv
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

students, and professionals in making it optimized. By doing so, the practical


implication found in this study could be optimal.

xvi
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

ABSTRAK

Kasus perundungan salah satu permasalahan di sekolah yang menjadi sorotan


secara global. Kasus perundungan tidak hanya terjadi di sekolah umum, melainkan
juga di sekolah asrama, khususnya di pesantren. Hal ini menjadi kontradiktif dengan
penanaman agama yang dominan di pesantren. Perundungan di sekolah asrama
banyak disebabkan oleh adanya senioritas. Tak jarang pelaku perundungan dulunya
merupakan korban perundungan oleh senior sebelumnya. Studi kualitatif kemudian
dilakukan untuk memformulasikan teori substantif tentang dinamika psikologis
korban menjadi pelaku di lingkungan pesantren.
Penelitian ini menggunakan pendekatan systematic grounded theory. Data
dikumpulkan melalui observasi dan wawancara secara mendalam pada sembilan
partisipan dan beberapa partisipan pendukung lainnya. Data diorganisasikan dengan
software NVivo dan dianalisis dengan teknik komparatif konstan.
Hasil penelitian menghasilkan Dinamika Perundungan Korban Menjadi Pelaku
Perundungan yang terdiri dari enam fase, yaitu 1) Menjadi korban perundungan, 2)
Fase tersakiti 3) Fase frustasi, 4) Fase koping maladaptif, 5) Fase mencoba, dan 6)
Menjadi pelaku perundungan. Dinamika tersebut menjelaskan dinamika korban
menjadi pelaku. Pada fase keempat yaitu fase koping maladaptif ditemukan hal yang
menarik, yakni adanya proses mengambil keputusan akan berperilaku adaptif atau
maladaptif dari tindakan perundungan yang dialami. Dengan adanya persimpangan
pada fase tersebut mengindikasikan bahwa proses perubahan korban menjadi pelaku
pada santri korban perundungan dapat diputus. Program-program pendampingan
psikologis, baik program secara preventif maupun kuratif dapat diinisiasi untuk
memutus perundungan tersebut. Program preventif yang tepat dapat mencegah
korban untuk menjadi pelaku perundungan dan program kuratif mampu membantu
pemulihan trauma.

Kata kunci: perundungan, pesantren, korban-pelaku, grounded theory

xvii
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

ABSTRACT

Bullying case was one of the problems conducted in school that became an
international concern. Bullying occurrences in school were not limited to regular
school but also in boarding school, particularly in pesantren. It contradicted as its
main character of pesantren was religiosity value. Bullying activity had a higher
chance to occur in boarding school due to seniority. It was also found that the bullies
had actually previously had the experiences of becoming the victims. According to
this phenomenon, qualitative study was held to formulate the substantial theory about
psychological dynamics of the victims becoming bullies, particularly in pesantren
context.
This study conducted the systematic grounded theory. The data collected
through observations and in-depth interviews toward the nine main participants and
some supported participants as well. The data is organized by using NVivo software
and analyzed with comparative constant technique.
The finding of this study was The Dynamic of Bullying: The Victims Become
Bullies which contained six phase: 1) Become the victims, 2) Aggrieved phase, 3)
Frustration phase, 4) Maladaptive coping phase, 4) Trial phase, 5) Become the
bullies. This dynamic explained the psychological dynamics that occurred in the
victims who become bullies. Some interesting findings found in the fourth phase, the
maladaptive coping phase, in which the decision making whether to be adaptive or
maladaptive to bullying activity in the victims’ self occurred. The alternative that
appeared in the adaptation phase indicated that the shifting role and its behavior of
victims to bullies could be prevented. Psychological support programs, both
preventive and curative, could be beneficial to prevent the possibility of the victims
becoming bullies. The preventive program could prevent the victims to become
bullies and the curative program could help the victim to heal the trauma of bullying.

Keywords: bullying, pesantren, victim-bullies, grounded theory

xviii
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN .................................................................................................... I

HALAMAN SAMPUL DALAM ................................................................................................. II

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ............................................................................. III

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................................... IV

HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................. VI

RINGKASAN ............................................................................................................................. IX

SUMMARY .............................................................................................................................. XIII

ABSTRAK ............................................................................................................................... XVII

ABSTRACT ............................................................................................................................ XVIII

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. XIX

DAFTAR TABEL ..................................................................................................................... XXI

DAFTAR GAMBAR................................................................................................................ XXII

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................... XXIII

BAB I ........................................................................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ...................................................................................................................... 1


1.2. Kajian Masalah .................................................................................................................... 18
1.3. Rumusan Masalah ............................................................................................................... 24
1.4. Tujuan Penelitian ................................................................................................................ 24
1.5. Manfaat Penelitian .............................................................................................................. 25
BAB II .........................................................................................................................................26

2.1. Perundungan ........................................................................................................................ 26


2.2. Pesantren .............................................................................................................................. 54
2.3. Dinamika Psikologis ............................................................................................................ 63
BAB III .......................................................................................................................................66
3.1. Perspektif Teori Dalam Perundungan ............................................................................... 67
3.2. Kajian Peneliti Berdasarkan Perspektif Teori Belajar dan Stage Theory dalam
Memahami Dinamika Korban Perundungan Menjadi Pelaku Perundungan ............................ 70
BAB IV........................................................................................................................................78
4.1. Pendekatan Penelitian ......................................................................................................... 78
4.2. Unit Analisis ......................................................................................................................... 78
4.3. Partisipan ............................................................................................................................. 79
4.4. Prosedur Mendapatkan Partisipan .................................................................................... 80
4.5. Pengumpulan Data .............................................................................................................. 81
4.6. Teknik Analisis Data ........................................................................................................... 81
4.7. Keabsahan Data ................................................................................................................... 85

xix
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

4.8. Etika Penelitian .................................................................................................................... 87


BAB V .........................................................................................................................................87
5.1. Pelaksanaan Penelitian ........................................................................................................ 87
5.2. Hasil Analisis Data............................................................................................................. 111
BAB VI......................................................................................................................................147
6.1. Dinamika Psikologis Perubahan dari Korban Menjadi Pelaku .................................... 147
6.2. Gambaran Perilaku Perundungan oleh Pelaku yang Sebelumnya Merupakan Korban
160
6.3. Interaksi Triadik dalam Perubahan Korban Menjadi Pelaku ...................................... 162
BAB VII ....................................................................................................................................169

7.1. Dinamika dan Perubahan Korban Menjadi Pelaku Perundungan pada Santri .......... 169
7.2 Temuan Baru Penelitian ................................................................................................... 180
7.3. Implikasi Temuan ............................................................................................................. 183
7.4. Hambatan Penelitian......................................................................................................... 185
BAB VIII ...................................................................................................................................187

8.1. Simpulan ............................................................................................................................. 187


8.2. Saran ................................................................................................................................... 188
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................190

xx
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Survei Perundungan dari Berbagai Sumber ............................................................. 2
Tabel 2. Sejarah Penelitian Perundungan ............................................................................ 31
Tabel 3. Partisipan Penelitian .............................................................................................. 79
Tabel 4. Panduan Wawancara .............................................................................................. 91
Tabel 5. Data partisipan pilot study ..................................................................................... 92
Tabel 6. Data pelaksanaan penggalian data ......................................................................... 94
Tabel 7. Identifikasi konsep open coding .......................................................................... 109
Tabel 8. Axial coding Partisipan A .................................................................................... 110
Tabel 9. Rangkuman fase dalam dinamika terbentuknya korban menjadi pelaku
perundungan....................................................................................................................... 117
Tabel 10. Rangkuman fase Menjadi Korban Perundungan ............................................... 121
Tabel 11. Rangkuman Fase Tersakiti ................................................................................. 122
Tabel 12. Rangkuman Fase Mengalami Frustasi ............................................................... 125
Tabel 13. Rangkuman Fase Koping Maladaptif ................................................................ 129
Tabel 14. Rangkuman fase mencoba ................................................................................. 139
Tabel 15. Rangkuman fase, komponen dan subkomponen ................................................ 143

xxi
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Brofenbrenner’s ecology model ......................................................................... 35
Gambar 2. Perspektif sosial ekologis ................................................................................... 37
Gambar 3. The Bully-Development Model (Horne, Bartolomucci, & Newman, 2004) ...... 37
Gambar 4. Ecological prediction model of bullying by Chung Hun Lee ............................ 39
Gambar 5. Model ekologis terkait dengan faktor risiko perundungan dari Elise dkk ......... 41
Gambar 6. A Process Model of Bullying Behavior ............................................................. 43
Gambar 7. A Theoretical Model of Akers’ Social Learning Theory ................................... 46
Gambar 8. Triadic Reciprocal Determinism ........................................................................ 70
Gambar 9. Dinamika psikologis perubahan korban menjadi pelaku perundungan............ 160
Gambar 10. Proses triadic menjadi pelaku perundungan ................................................... 167
Gambar 11. Dinamika Psikologis Korban menjadi Pelaku Perundungan .......................... 179
Gambar 12. Prevensi dan Kurasi Korban Perundungan..................................................... 182

xxii
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. Tabel Sejarah Penelitian Perundungan di Sekolah 210


LAMPIRAN 2. Mindmap Konsep Perundungan 202
LAMPIRAN 3. Contoh Informed Consent 204
LAMPIRAN 4. Verbatim Partisipan 207
LAMPIRAN 5. Tabel Open Coding 265
LAMPIRAN 6. Data Tema 301

xxiii
DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Maraknya kasus perundungan atau sering disebut bullying di sekolah yang

terjadi di berbagai negara menjadikan perundungan sebagai permasalahan

internasional (Carney & Marrel, 2001). Kekerasan atau perilaku perundungan

dialami ribuan anak dalam setiap harinya (Holt, 2004; Hoover, Hazler, & Oliver,

1992). Jumlah kejadian perundungan dari tahun ke tahun menunjukkan angka yang

memprihatinkan. Data survei yang dilakukan organisasi di Amerika Serikat pada

tahun 2001 mendapatkan hampir 75% anak pra remaja yang diwawancarai

mengungkapkan bahwa perundungan adalah peristiwa yang biasa terjadi di sekolah

dan semakin menyebar ketika memasuki SMA (Coloroso, 2007). Pada tahun 2016

di Inggris, data survei menunjukkan bahwa 50% remaja telah menjadi korban

perundungan, 57% adalah remaja perempuan dan 44% remaja laki-laki, dan

sebanyak 145,800 (19%) menjadi korban perundungan setiap harinya (The Annual

Bullying Survey, 2016). Penelitian Barzilay dkk. (2017) pada siswa dari 168 sekolah

di 10 Negara Eropa menunjukkan bahwa perundungan terjadi meliputi seluruh tipe

perundungan yaitu 9,4% fisik, 36,1% verbal, dan 33,0% relasional.

Anak laki-laki lebih mungkin menjadi korban secara fisik dan verbal,

sedangkan anak perempuan lebih rentan menjadi korban relasional. Hal tersebut

dapat dibuktikan pada penelitian yang dilakukan pada 2630 orang yaitu siswa SD

dan SMP di Jepang (laki-laki: 1302 orang; perempuan: 1328 orang) pelaku

perundungan yakni laki-laki persentasenya sebesar 10,8% sedangkan perempuan

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


1
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

sebesar 4,1%. Perempuan lebih banyak menjadi korban yakni 14,5% sedangkan laki-

laki 10,1%. Hasil penelitian yang terakhir, pelaku berasal dari status ekonomi yang

rendah yaitu 4,4% pada laki-laki dan 3,5% pada perempuan (Mizuta et al, 2017).

Survei mengenai kasus perundungan di Hongkong pada 840 siswa sekolah

menengah yang berusia 12-15 tahun menunjukkan bahwa 20,4% siswa menjadi

pelaku perundungan (Loke, Mak, & Wu, 2016). Sementara itu, di Iran ditemukan

bahwa 5.4% siswa sekolah menengah atas menjadi pelaku perundungan, 22.1%

menjadi korban perundungan dan 11% menjadi pelaku dan korban perundungan.

Pada survei lainnya terkait bentuk perundungan diperoleh bahwa perundungan

verbal sebesar 24.7%, fisik 10.3%, dan relasional 15%. Mayoritas pelaku

perundungan adalah teman sekelasnya (Rezapour, Soori dan Khodakarim, 2014).

Penelitian terhadap 1756 orang siswa di Korea menunjukan 40% terlibat dalam

perundungan di sekolah, dengan rincian korban yaitu 14%, pelaku 17%, dan menjadi

pelaku-korban 14% (Koh & Leventhal, 2004). Beberapa survei mengenai

perundungan dari penelitian terdahulu yang dilakukan di berbagai belahan dunia

mengungkapkan beberapa hal yang menjadi sorotan mengenai perundungan. Data

tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Survei Perundungan dari Berbagai Sumber

Bentuk
Sumber Lokasi Pelaku Korban
perundungan
Colorso Amerika (Tidak (Tidak
75% remaja
(2007) Serikat disebutkan) disebutkan)
The Annual
57% remaja
Bullying (Tidak (Tidak
Inggris perempuan; 44%
Survey disebutkan) disebutkan)
remaja laki-laki
(2016)
Barzilay, 10 negara (Tidak Fisik, verbal,
78.5% remaja
dkk (2017) di Eropa disebutkan) relasional

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Bentuk
Sumber Lokasi Pelaku Korban
perundungan
14.5% remaja
Mizuta, dkk (Tidak perempuan; Fisik, verbal,
Jepang
(2017) disebutkan) 10.1% remaja relasional
laki-laki
Loke, Mak,
(Tidak (Tidak
& Wu Hongkong 20.4% remaja
disebutkan) disebutkan)
(2016)
Rezapour,
Soori, Verbal, fisik,
Iran 22.1% remaja 16.4% remaja
Khodakarim relasional
(2014)
Koh &
Korea (Tidak
Leventhal 31% remaja 14% remaja
Selatan disebutkan)
(2004)

Sejak tahun 2000, perundungan di sekolah telah menarik kesadaran nasional di

banyak negara di seluruh dunia. Maraknya fenomena ini telah menyebabkan berbagai

media menyorotnya, dan penelitian serta berbagai intervensi sekolah diupayakan

untuk mengurangi perundungan (Smith, 2000). Dalam annual bullying report

(Olweus, 2013) perhatian peneliti terhadap kejadian perundungan telah meningkat

secara drastis dalam 15 tahun terakhir. Data tabel sitasi pada PsycINFO,

pencantuman kata kunci perundungan dan kata-kata yang memiliki asosiasi

dengannya meningkat drastis dan mencapai puncaknya pada tahun 2010. Hal ini

menunjukkan minat peneliti yang tinggi terhadap topik perundungan.

Di Indonesia sendiri, kasus perundungan merupakan peringkat teratas yang

dilaporkan masyarakat ke Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dari tahun

2011 hingga Agustus 2019, KPAI mencatat 2.473 dari 37.381 pengaduan terkait

permasalahan tersebut. Perundungan yang disebut KPAI sebagai bentuk kekerasan

di sekolah mengalahkan tawuran pelajar, diskriminasi pendidikan, ataupun aduan

pungutan liar (“KPAI: Sejumlah Kasus Bullying…..”,2020). Hampir tiada henti

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

berita perilaku perundungan atau perundungan mengisi wajah-wajah pemberitaan di

media massa nasional. Sekolah dasar sampai perguruan tinggi tidak luput dari

perilaku perundungan. Berita terbaru mengenai perilaku perundungan terjadi pada

anak SD di salah satu SD di Bandung, anak tersebut telah menjadi korban

perundungan secara fisik dan verbal sejak kelas 4 SD hingga kini kelas 6 SD

(Ispranoto, 2018).

Beberapa penelitian yang menunjukkan keberadaan perilaku perundungan di

Indonesia antara lain temuan Nugroho dan Adiyanti (2012) bahwa perilaku

perundungan terjadi sejak pendidikan dasar. Hasil observasi dan wawancara peneliti

tersebut pada sebuah sekolah dasar swasta di kota Yogyakarta dan Kabupaten

Gunungkidul menunjukkan bahwa rata-rata siswa sekolah dasar tersebut menjadi

korban perilaku perundungan. Menurut pengakuan seorang siswa dirinya terbiasa

dicemooh karena kulitnya yang hitam dan dimintai uang jajan. Perbuatan ini juga

dialami teman-temannya yang lain dalam bentuk perilaku yang berbeda seperti

pemalakan. Pelaku mengaku melakukan perbuatan itu karena mendapatkan

keuntungan dan tidak dilakukannya sendiri.

Sementara itu Nugroho & Fadhlia (2011) menemukan 30% siswa sekolah dasar

di Pekanbaru mengalami perundungan. Perundungan yang terjadi memiliki variasi

yang beragam. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa perempuan banyak yang

menjadi korban perundungan. Penelitian ini selaras dengan penelitian yang

dilakukan Rigby (2011) di berbagai negara yang menyebutkan prevalensi antara 25-

40% siswa mengalami perundungan setiap harinya. Jenis perundungan yang dominan

muncul pada remaja salah satu SMA Negeri di Pekanbaru adalah perundungan secara

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

fisik (Putri, Nauli, & Novayelinda, 2015). Cyberbullying juga ditemukan terjadi di

kalangan anak SMA di Pekanbaru (Isni & Nugroho, 2018) bahkan ditemukan juga

tindakan perundungan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus (Mayasari &

Nugroho, 2018).

Perhatian terhadap perundungan yang meningkat melalui berbagai pemberitaan

dan penelitian tersebut pada kenyataannya tidak berdampak signifikan terhadap

pengurangan angka kejadian perilaku ini di sekolah. Hal ini disebabkan banyak

program penanganan yang tidak bertumpu pada pemahaman yang benar mengenai

perundungan. Menurut Graham (2011) terdapat enam asumsi yang mengaburkan

pemahaman dan pencegahan perundungan di sekolah secara efektif.

Asumsi pertama, pelaku memiliki harga diri yang rendah dan ditolak oleh

rekan-rekan mereka. Pandangan yang mendasari asumsi ini adalah bahwa pelaku

memiliki konsep diri yang negatif. Pelaku memandang diri mereka sebagai pribadi

yang buruk. Pandangan ini telah diterima secara luas, namun jika dilihat secara kritis

yang terjadi justru sebaliknya, banyak penelitian yang melaporkan bahwa pelaku

memiliki citra diri yang positif dan memandang diri mereka secara positif. Penelitian

menunjukkan bahwa banyak pelaku memiliki status tinggi di kelas, memiliki banyak

teman, populer dan mengaku memiliki harga diri yang relatif tinggi (Björkqvist,

Österman, & Kaukiainen, 2000; Vaillancourt et al., 2003; Farmer et al., 2010).

Asumsi kedua, diintimidasi adalah bagian alami dari tumbuh dewasa. Satu

kesalahpahaman tentang korban adalah bahwa perundungan adalah bagian normal

masa kanak-kanak dan bahwa pengalaman perundungan dapat membangun karakter.

Sebaliknya, penelitian cukup jelas menunjukkan bahwa pengalaman perundungan

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

meningkatkan kerentanan anak-anak daripada membuat mereka lebih tangguh

(Tippeett, N. et al, 2010). Korban sering tidak disukai atau ditolak oleh teman sebaya

dan merasa tertekan, cemas dan kesepian. Beberapa remaja yang menjadi korban juga

mengalami peningkatan gejala fisik, menyebabkan sering berkunjung ke perawat

serta absensi sekolah.

Asumsi ketiga, orang yang pernah menjadi korban akan selamanya menjadi

korban. Dalam penelitiannya, Graham (2011) menyatakan hanya sekitar sepertiga

dari siswa yang memiliki pengalaman sebagai korban di kelas 6 tetap menjadi korban

itu pada akhir tahun sekolah dan pada akhir kelas 8, jumlah korban turun menjadi

kurang dari 10%. Terdapat karakteristik pribadi seperti rasa malu (minder), kurang

percaya diri, menempatkan anak pada risiko yang tinggi untuk dirundung. Faktor

risiko yang lain yang bersifat situasional adalah perpindahan ke sekolah yang baru

dan perkembangan fisik yang tertunda. Jika adaptasi terhadap faktor situasional

tersebut telah terjadi maka risiko untuk dirundung menjadi berkurang. Hal ini yang

menjelaskan ada korban yang bersifat sementara dan ada yang menetap.

Asumsi keempat, pada anak laki-laki perundungan yang diterima bersifat fisik,

sedang pada perempuan bersifat relasional seperti pengucilan. Graham (2011)

menyatakan bahwa pengucilan adalah jenis kekerasan teman sebaya yang berbahaya

karena menyebabkan rasa sakit psikologis dan seringkali sulit untuk dideteksi orang

lain. Hal ini bertujuan untuk merusak reputasi korban. Penelitian menunjukkan hal

ini tidak berkaitan dengan gender, artinya dapat terjadi pada laki-laki maupun

perempuan (Munro, 2002).

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Asumsi kelima, kebijakan yang keras atau tegas dapat mengurangi

perundungan. Pendekatan yang keras tanpa memberi toleransi, seperti melakukan

skorsing atau mengeluarkan pelaku dari sekolah, kadang-kadang diambil untuk

memberi pesan pada siswa bahwa perundungan tidak akan ditoleransi. Tetapi

penelitian menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan ini sering tidak berfungsi

sebagaimana seharusnya dan kadang-kadang dapat menjadi bumerang yang

menyebabkan peningkatan perilaku antisosial (Cornell & Limber, 2015).

Asumsi keenam, perundungan hanya melibatkan pelaku dan korban. Banyak

orang tua, guru, dan siswa percaya bahwa perundungan terbatas pada pengganggu

dan korban. Tetapi penelitian menunjukkan bahwa perundungan sering melibatkan

lebih dari sekadar pelaku dan korban. Insiden perundungan sering merupakan

peristiwa publik yang memiliki saksi (Mizuta et al, 2017). Studi berdasarkan

pengamatan tempat bermain telah menemukan bahwa dalam kebanyakan insiden

perundungan, setidaknya empat rekan lainnya hadir sebagai penonton, membantu

pelaku, penguat, atau pembela korban. Siswa yang membantu pelaku mengambil

bagian dalam mengejek atau mengintimidasi teman sekolah, dan memperkuat pelaku

dengan menunjukkan persetujuan mereka. Namun, mereka yang datang untuk

membantu korban sangat langka. Sayangnya, banyak penonton yakin korban

pelecehan bertanggung jawab atas penderitaan mereka dan membawa masalah pada

diri mereka sendiri (Pepler & Graig, 1995).

Dari data-data di atas penulis menarik tiga kesimpulan. Pertama, bahwa

perilaku perundungan terjadi dalam skala yang sangat luas, tidak terbatas pada sekat

kewilayahan dan terjadi pada berbagai kelompok usia. Kedua, perundungan baru

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

menjadi kajian yang cukup banyak diteliti pada kurun waktu 20 tahun terakhir dan

menjadi atensi yang luar biasa peneliti pada 10 tahun terakhir. Ketiga, asumsi-asumsi

mengenai perundungan mengaburkan penjelasan mengenai perundungan dan

menghambat efektivitas penyelesaian masalahnya.

Salah satu asumsi, bahwa seorang korban akan cenderung menjadi korban,

menarik bagi penulis untuk meneliti lebih lanjut karena pada kenyataannya banyak

korban yang menjadi pelaku perundungan. Kajian yang dilakukan oleh U.S. Secret

Service pada tahun 2000 menyatakan bahwa lebih dari dua per tiga insiden

penembakan di 37 sekolah sejak 1974 dilakukan oleh anak-anak korban perundungan

(Coloroso, 2007). Hasil annual bullying survey (2016) menyatakan bahwa sebanyak

24% dari korban perundungan berubah menjadi pelaku perundungan. Harian terkenal

di Inggris The Guardians menyebutkan hanya satu persen saja yang murni pelaku

selebihnya adalah korban yang menjadi pelaku. Kebanyakan pelaku juga merangkap

sebagai korban atau sebelumnya menjadi korban perundungan. Laporan tersebut

berdasarkan studi yang dilakukan oleh institusi pendidikan yang didanai oleh

pemerintah Inggris. Data dikumpulkan dari 6500 siswa di Inggris. Mayoritas

responden menuturkan bahwa pelaku perundungan di sekolah adalah mereka yang

juga pernah menjadi korban, yang rata-rata mereka bukannya memiliki harga diri dan

kepercayaan diri yang tinggi namun justru mengalami perasaan depresi, tertekan, dan

masalah emosional lainnya (Bloom, 2008).

Fenomena pelaku perundungan yang memiliki perasaan depresi, tertekan dan

masalah emosional lainnya ditemukan dalam penelitian Sigurdson, dkk (2015). Hasil

penelitian menunjukkan terdapat keterampilan sosial yang buruk, kepercayaan diri

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

yang rendah, pemecahan masalah yang buruk pada tiga kelompok subjek penelitian,

yaitu pelaku, korban, dan pelaku-korban (bully-victim). Kecerdasan emosi yang

buruk juga ditemukan berhubungan dengan perilaku cyberbullying yang dilakukan

oleh remaja (Sari dan Suryanto, 2016). Adanya kesamaan trait pada tiap kelompok

mengindikasikan bahwa korban perundungan memiliki kecenderungan untuk

menjadi pelaku perundungan. Sejalan dengan hal ini, penelitian Widiharto, Suminar,

dan Hendriani (2020) menjelaskan bahwa korban perundungan juga membalas

perbuatan perundungan yang diterimanya. Hal ini mengindikasikan bahwa korban

juga memiliki kecenderungan untuk melakukan perundungan.

Studi longitudinal yang dilakukan oleh Ttofi, Farrington & Losel (2012)

menunjukkan bahwa pelaku perundungan dapat menjadi prediktor untuk melakukan

kekerasan di masa depan. Korban perundungan juga dapat menjadi prediktor

kekerasan di masa mendatang. Pada kasus-kasus di Indonesia perundungan di

sekolah berasrama banyak dilakukan oleh para senior yang dulunya juga menjadi

korban dari senior sebelumnya. Relasi senior-junior ini yang melahirkan reproduksi

kekerasan (Nuriana, 2015).

Dari temuan-temuan di atas dapat disimpulkan bahwa korban-korban

perundungan memiliki potensi yang besar untuk menjadi pelaku. Pola perubahan

perilaku ini akan memperpanjang usia perundungan di sekolah karena perilaku

ternyata direproduksi oleh korban yang kemudian beralih menjadi pelaku. Upaya

untuk memahami dinamika psikologis di balik perubahan ini akan menjadi informasi

penting sebagai dasar untuk memecahkan persoalannya. Secara lebih detail

argumentasi mengenai hal ini akan dijelaskan peneliti pada sub bab kajian masalah.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

10

Menilik konteksnya, penelitian perundungan pada awalnya banyak dilakukan

di sekolah umum atau non-boarding. Padahal terdapat penelitian terdahulu yang

menyatakan bahwa perundungan tidak hanya terjadi di sekolah umum, namun juga

terjadi di sekolah asrama (Pfeiffer & Pinquart, 2014; Cross, Lester & Mandel, 2015;

Edling & Francia, 2017).

Praktik sekolah asrama tidak hanya diterapkan di luar negeri, namun juga

diterapkan di Indonesia. Bentuk dan pendekatan sekolah asrama di Indonesia

meliputi sekolah kedinasan, sekolah berbasis internasional, dan sekolah pendidikan

keagamaan. Dalam menjalankan fungsinya, setiap sekolah memiliki aturan masing-

masing terutama dalam mengelola aktivitas siswa. Sebagai gambaran, salah satu

sekolah kedinasan di Indonesia menerapkan tindakan disiplin untuk setiap ucapan,

tulisan, atau perbuatan siswa yang tidak menaati kewajiban dan/atau melanggar

larangan ketentuan disiplin, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar proses

pembelajaran (Peraturan Direktur Politeknik Keuangan Negara Stan Nomor Per-

04/Pkn/2017). Salah satu sekolah berbasis internasional, Global Jaya, menyediakan

program aktivitas setelah sekolah untuk mengisi waktu luang bagi siswa. Kegiatan

yang disediakan terbilang bervariasi, meliputi aktivitas fisik, musik, bahasa, dan

kegiatan lainnya. Program aktivitas setelah sekolah dapat menstimulasi keterampilan

akademik, sosial, dan emosi siswa, membangun self-esteem, resiliensi, dan kerjasama

(Global Jaya Boarding School, 2020). Spesifik berbicara mengenai perundungan,

salah satu sekolah asrama berbasis internasional, Sekolah Pelita Harapan

menyebutkan di dalam Parent Handbook bahwa tindak disiplin diberlakukan

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

11

terhadap kegiatan perundungan yang dilakukan oleh siswa (Sekolah Pelita Harapan,

2020).

Dalam konteks Indonesia, perundungan yang terjadi di sekolah berasrama

sebagian besar ada di lingkup pesantren (Desiree, 2013). Kondisi ini membawa

keprihatinan mengingat pesantren selama ini diasosiasikan sebagai tempat yang

cenderung lebih aman dari perilaku negatif termasuk di dalamnya perundungan.

Pesantren memiliki karakteristik yang khas berbeda dengan sistem pendidikan pada

sekolah umum, terutama dalam muatan nilai keagamaan yang lebih dominan. Hal ini

berakibat penelitian perilaku negatif, salah satunya perilaku perundungan, apabila

dikaji di pesantren akan dianggap tabu bukan saja oleh masyarakat umum namun

juga akademisi. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian yang dapat

mengungkapkan dinamika perundungan yang lebih mendalam di lingkup pesantren.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan merupakan institusi yang

tidak bisa diabaikan keberadaannya. Pesantren merupakan lembaga pendidikan

tradisional yang lahir dan tumbuh bersamaan dengan datangnya Islam ke tanah Jawa.

Dengan demikian, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang asli (indigenous)

masyarakat Indonesia (Ziemik, 1986). Pesantren merupakan kelanjutan dari sistem

pendidikan pada masa Hindu-Budha pra Islam. Dengan demikian, pesantren

memiliki makna asli Indonesia, sehingga Islam tinggal meneruskan dan

mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada (Madjid, 1997). Dalam sistem

pendidikan lama, pesantren berhasil menggabungkan sistem pendidikan yang di

dalamnya diajarkan ajaran Islam dengan budaya lokal yang ada pada saat ini. Usaha

dalam memadukan antara ajaran Islam dengan budaya lokal merupakan ciri dari awal

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

12

penyebaran agama Islam, yang mengutamakan toleransi terhadap nilai-nilai yang

tumbuh dalam bermasyarakat sejak Islam sebelum datang (Suteja, 1999).

Pesantren hadir memberikan warna yang berbeda terhadap dunia pendidikan

modern yang lebih menonjolkan kecerdasan intelektual. Pendidikan di pesantren

lebih menitik beratkan pada nilai yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari.

Nilai itu berupa cara memandang segala sudut kehidupan sebagai ibadah. Pemusatan

pada nilai ini menghantarkan pada sikap saling pengertian, menghargai, dan

menghormati pada segala hal (Azami, 2013). Salah satu hal penting yang perlu

dicermati dalam sistem tata nilai yang ada dalam tradisi pendidikan klasik pesantren

adalah tradisi pendidikan pesantren yang kaya akan nilai-nilai religiusitas dan

bersifat transendental dinilai sangat efektif dalam menjaga moralitas bangsa ditengah

arus dekadensi moral generasi muda saat ini (Kadir, 2012).

Kondisi paradoks terjadi ketika beberapa penelitian justru menunjukkan

kenyataan yang berbeda dari harapan dan tujuan luhur dari pesantren. Penelitian yang

dilakukan Desiree (2013) mencatat berbagai bentuk perilaku perundungan yang

terjadi di pesantren, seperti perundungan dalam bentuk fisik (memukul, menendang),

perundungan dalam bentuk verbal (kata-kata kasar, ejekan) dan pengucilan. Pada

sebuah kasus ditemukan terdapat seorang santri yang kabur dari pesantren

dikarenakan tidak sanggup mendapatkan perundungan yang dilakukan oleh santri

lain kepada dirinya (Ilham, 2016). Pada kasus yang berbeda, ditemukan pula praktik

perundungan justru dilakukan oleh anak kyai di pesantren tersebut (Fahmi, 2021).

Sebuah studi kualitatif mengungkap delapan tema yang muncul dari hasil

wawancara dengan korban perundungan di pesantren yakni adanya pertentangan,

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

13

perilaku mengganggu, perilaku menyakitkan dari senior, perasaan tertekan

kehilangan motivasi, usaha mengamankan diri, mencari pertolongan dan tidak

menyelesaikan masalah. Semuanya bermuara pada tema besar bahwa kejadian ini

melemahkan semangat untuk menuntut ilmu di pesantren (Yani, Winarni, & Lestari,

2016). Terkait terjadinya perundungan, di lingkungan pesantren dan juga sekolah

berasrama yang lain kerap terkait dengan adanya perlakuan tidak menyenangkan dari

para senior, mulai dari perpeloncoan, perlakuan kasar, penyebutan dengan panggilan

yang buruk, perilaku mengganggu, dan sebagainya (Basri, 2001).

Kasus yang penulis tangani sebagai psikolog di Lembaga Psikologi Terapan

Universitas Islam Riau juga menunjukkan perilaku perundungan yang terjadi di

pesantren. Deskripsi kasusnya adalah sebagai berikut:

Seperti yang pernah dikisahkan oleh orangtua dan korban bully. MMR (15
tahun) merupakan pelajar di salah satu Pesantren di Provinsi Riau. Orangtua
MMR menyampaikan setelah kejadian tersebut MMR dibawa kedua
orangtuanya untuk menemui salah satu Psikolog di Kota Pekanbaru. Orangtua
MMR merasa anaknya harus diberikan perhatian khusus dari kejadian yang
telah dialami MMR. Menurut kisahnya, MMR sering diberikan perlakuan yang
tidak baik oleh teman-temannya. Seperti contoh, teman MMR sering mengejek
bahkan sampai memukul MMR. Sampai suatu saat, MMR diikat di lantai 3
gedung belajar. Hal tersebut tanpa sepengetahuan oleh pihak sekolah baik itu
guru maupun penjaga sekolah. Sampai suatu malam, penjaga yang memeriksa
ruangan kelas menemukan MMR dengan keadaan yang lemas dan tidak
berdaya. Setelah kejadian tersebut, MMR tidak mau sekolah lagi dan memilih
untuk keluar dari sekolah/pesantren. Orangtua MMR menyampaikan, bahwa
si anak sering mengalami ketakutan jika mendengar suara-suara aneh dan
hanya bermain sendiri (342/LPT/9/2017).

Pada catatan kasus lain, korban yang memiliki mata juling suka diejek oleh

kawannya sehingga kemudian sebagai balas dendam korban sering mengganggu

junior di tempat ia menuntut pendidikan:

Berdasarkan keterangan yang dikisahkan oleh YP (14 tahun), YP merupakan


santri di salah satu sekolah Pesantren di Kota Pekanbaru. Berdasarkan

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

14

informasi dari YP, pada saat awal masuk di Pesantren ia sangat sering
dikucilkan oleh teman sebayanya. Hal ini disebabkan karena secara fisik YP
memiliki kelainan pada indra melihat. YP memiliki kelainan pada matanya
(juling), sehingga dalam interaksi dengan temannya YP sering memperoleh
tindakan yang tidak terpuji oleh temannya. Teman YP sering mengejek dan
mencemooh YP karena matanya yang juling. Dalam keseharian di Pesantren
YP sering menyendiri dan lebih memilih untuk bermain sendiri. Kejadian
tersebut dirasakan YP pada masa kelas 1 SMP di Pesantren. Setelah lanjut ke
kelas lebih tinggi, YP mengalami perubahan yang sangat signifikan. Menurut
informasi dari orang tua YP, perilaku keseharian YP di Pesantren berbeda
dengan setahun lalu. YP sering dipanggil oleh gurunya karena tindakan yang
mengganggu teman-temannya. Perilaku yang dilakukan oleh YP sering terjadi
kepada santri yang ada di bawahnya. YP melakukan hal tersebut tidak
sendirian, ia memiliki beberapa teman yang biasanya beraksi pada jam-jam
istirahat. Berdasarkan laporan yang diterima dari pihak sekolah kepada
orangtua YP, untuk sementara YP diberikan sanksi dan diminta untuk
membawa YP ke Psikolog (341/LPT/9/2017).

Perilaku perundungan ini menjadi sulit untuk dihilangkan di pesantren karena

bersifat senyap dan kerap dilakukan oleh senior. Mereka perlu menjaga supremasi di

hadapan juniornya, sebagaimana yang disampaikan oleh MY, salah satu santri:

‘kami melakukan itu agar dihargai sama junior. Mereka perlu ikut apa yang
kami mau, karena kami dulu juga begitu,..biasanya kami lakukan saat nggak
ada ustadz, dan kami mengancam kalau ada yang
melapor”(WPS106DES2017).

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pesantren memiliki keunikan

meliputi sistem pembelajaran, iklim pembelajaran, terbatasnya pengaruh luar

pesantren dan norma-norma yang menjadi landasan pokoknya. Menjadi

keingintahuan peneliti kemudian, bagaimana siswa-siswi yang diajarkan nilai-nilai

kebaikan dan moralitas berbasis agama justru melakukan hal yang bertentangan

dengan nilai tersebut. Mengapa tempat diproduksinya nilai-nilai kebaikan dan kultur

yang mengajarkan nilai spiritual dan moral yang tinggi belum mampu menyelesaikan

dampak perilaku perundungan pada korban, namun justru yang terjadi adalah

fenomena mereproduksi pelaku perundungan dari para korbannya?

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

15

Sampai pada uraian ini, penulis melihat bahwa dalam konteks pesantren yang

memiliki kekhasan Indonesia dan nilai-nilai spesifik yang dianut dan diajarkan,

perilaku perundungan menarik untuk ditelusuri dinamikanya. Dalam hal ini penulis

mengkhususkan mengkaji dinamika psikologis dalam perubahan korban menjadi

pelaku perundungan. Dinamika psikologis menggambarkan bahwa perilaku

merupakan hasil interaksi dari rangkaian pengalaman masa lalu, yang melibatkan

motif, emosi serta berbagai dorongan, dan bukan hanya melalui deskripsi sederhana

tentang rangsangan obyektif yang terjadi sesaat sebelum tindakan manusia. Salah

satu penjelasan mengenai dinamika seseorang melakukan perundungan dapat

dijelaskan dengan pendekatan teori belajar sosial dan pendekatan sosial ekologis,

sedangkan teori proses perubahan perilaku yang paling mendekati yaitu teori

perubahan perilaku dari Rogers.

Dalam pandangan teori belajar sosial, seorang melakukan perundungan

disebabkan karena melakukan pengamatan dan mendapat penguatan untuk

melakukan hal tersebut. Hasil pengamatan ini didukung oleh pengetahuan terhadap

perilaku serta kepercayaan untuk mendapatkan konsekuensi positif dari tindakan

yang dilakukan menjadikan seseorang melakukan suatu tindakan yang diimitasi

(Bandura, 1978). Dalam kasus perundungan perilaku ini muncul sebagai perilaku

yang dipelajari melalui interaksi dan pengalaman dengan lingkungan sosial.

Termasuk didalamnya adalah mengamati dan meniru perilaku agresif yang dilakukan

orang lain dan menerima konsekuensi positif seperti dukungan dari teman ketika

melakukannya (Schneider, Gruman, Coutts, 2012). Oleh karena itu, orang-orang

yang mengalami perilaku kekerasan dalam rumah tangga memiliki kemungkinan

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

16

untuk melakukan perundungan pada orang lain dibandingkan mereka yang tidak

mengalami kejadian perundungan (Baldry, 2003; Bowes et al., 2009). Anak-anak

yang menonton tayangan kekerasan di media juga memiliki kerentanan untuk

melakukan perundungan (Evans, 2012) dan anak-anak rata-rata menyaksikan itu

setiap harinya, artinya setiap hari anak belajar melakukan perundungan (Dolby,

2010).

Lebih lanjut teori ini menjelaskan bahwa proses belajar yang memproduksi

perilaku tidak hanya tergantung pada pengamatan saja. Unsur yang juga sangat

penting adalah adanya penilaian terhadap situasi, apakah menguntungkan atau

merugikan bagi pelaku (Bandura, 1978). Disini fungsi kognisi mengambil peran.

Pribadi yang memiliki pandangan atau penilaian yang negatif terhadap perilaku

perundungan tidak akan melakukan perilaku perundungan meskipun mereka melihat

atau mengalami kejadian tersebut (Williams & Guerra, 2007).

Dalam pendekatan ekologis (Brofenbrenner) perundungan adalah fenomena

ekologis yang dibentuk dan diabadikan seiring waktu sebagai hasil dari interaksi

kompleks antara variabel inter dan intra-individu (Swearer & Doll, 2001). Perilaku

perundungan tidak hanya muncul sebagai akibat dari karakteristik individu namun

dipengaruhi oleh variabel situasional yang kompleks seperti penonton/saksi,

keluarga, pengaruh teman sebaya, sekolah, komunitas dan pengaruh budaya

(Napolitano & Swearer, 2011).

Dalam pendekatan perubahan perilaku yang bersifat proses, Rogers (1983)

mengemukakan 5 tahapan terbentuknya perilaku seseorang sampai perilaku itu

cenderung menetap yakni: (1) Awareness (kesadaran), yakni individu menyadari

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

17

adanya stimulus yang datang terlebih dahulu. (2) Interest (perhatian/tertarik),

individu mulai tertarik dengan adanya stimulus yang masuk. (3) Evaluation

(menilai), individu mulai menimbang-nimbang baik dan buruknya apabila mengikuti

stimulus. (4) Trial (mencoba) individu mulai mencoba perilaku baru. (5) Adoption

(menerima), individu telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran

dan sikapnya terhadap stimulus.

Ketiga teori tersebut di atas dapat memberi gambaran mengenai terbentuknya

perilaku perundungan secara umum dan lebih mendekati pada perspektif penonton

atau saksi perundungan. Ketiga teori yang telah dijelaskan mampu menjelaskan

adanya interaksi antara lingkungan sosial, dorongan individu, dan perilaku

perundungan itu sendiri (interaksi triadik) sebagai salah satu landasan terbentuknya

dinamika psikologis pelaku perundungan. Dalam perspektif korban perundungan,

yang berbeda dengan perilaku agresif pada umumnya dimana korban dalam hal

kekuatan atau kekuasaan memiliki power yang rendah, terbentuknya perilaku

perundungan memerlukan elaborasi lebih lanjut terhadap teori tersebut. Keputusan

korban untuk menjadi pelaku adalah proses yang sulit dengan mempertimbangkan

karakteristik yang melekat pada korban yang diasosiasikan sebagai pribadi pemalu,

kurang berdaya, tidak asertif, dan karakterteristik personal lainnya (Rigby, 2002,

Petrosino, Guckenberg, DeVoe & Hanson, 2010). Artinya untuk berubah menjadi

pelaku korban memiliki dinamika yang lebih kompleks dibandingkan perubahan

saksi menjadi pelaku.

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, dinamika psikologis dalam

perubahan seseorang dari korban menjadi pelaku merupakan faktor yang penting

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

18

untuk diketahui. Pertanyaan mengenai bagaimana korban berubah menjadi pelaku?

Bagaimana proses dinamika dalam perubahan seseorang menjadi pelaku

perundungan? Jawabannya tentu tidak dapat digunakan teori-teori perubahan

perilaku atau sikap yang telah ada. Diantara penyebabnya adalah adanya spesifikasi

konteks, dalam hal ini lingkungan pesantren, yang memiliki ciri yang spesifik dan

karakteristik korban sebagaimana disebutkan sebelumnya. Kondisi yang spesifik ini

akan lebih tepat jika dijelaskan dengan konsep yang memang dirumuskan dalam

konteks yang sama. Dari studi literatur yang telah dilakukan menghasilkan

kesimpulan bahwa penelitian terdahulu belum optimal dalam menggambarkan

dinamika pada proses perubahan seorang korban menjadi pelaku perundungan.

Kebutuhan teoritik yang akan dijelaskan pada kajian masalah merupakan hal yang

mendorong penelitian ini dilakukan.

1.2. Kajian Masalah

Sebagai sebuah perilaku agresif perundungan memberikan dampak yang serius

pada komponen yang terlibat. Perundungan memberikan dampak jangka panjang

terhadap kesehatan mental dan fisik baik korban, pelaku, maupun siswa yang

menyaksikan perundungan terjadi (Black & Jackson, 2007; Whitted & Dupper,

2005). Ketakutan akan diolok-olok, dipermalukan, diancam, disakiti akan

mempengaruhi kemampuan belajar siswa yang menjadi korban (Whitted & Dupper,

2005).

Korban akan cenderung merasa sendiri, depresi, menolak untuk sekolah dan

bahkan muncul keinginan untuk bunuh diri (Holt, 2004, Coloroso, 2007). Argumen

ini didasarkan dari hasil survei yang dilakukan di Amerika Serikat selama tahun 1999

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

19

menunjukkan bahwa paling tidak satu dari 13 siswa SMA korban perundungan

melakukan usaha bunuh diri. Pada tahun 2000, lebih dari 2.000 anak bunuh diri.

Tragedi yang serupa juga dialami oleh korban perundungan di Inggris, setiap tahun

setidaknya ada 16 anak memilih mati setelah dipukuli hingga babak belur oleh anak

sebayanya (Coloroso, 2007). Korban perundungan berpikir dan berusaha untuk

melakukan bunuh diri, lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki (Holt et

al, 2015; Barziley et al, 2017; Shireen, Janapana, Rehmatullah, Temuri, & Azim,

2014, Thomas, 2017; Cook, Williams, Guerra, Kim, & Sadek, 2010).

Anak yang mengalami perundungan akan menunjukkan gejala psikotik

dibandingkan dengan anak yang tidak terlibat dalam perundungan, gejala psikotik

akan menjadi lebih kuat dengan peningkatan durasi, frekuensi dan tingkat keparahan

perundungan yang dialami anak. Gejala psikotik seperti sakit kepala, sakit perut,

kesulitan tidur, kelelahan dan pusing. (Cunningham, Hoy, & Shanom 2015; Van

Dam et al, 2012; Gini & Pozzoli 2009).

Perundungan juga berhubungan moral disengagement (Gini, Pozzoli, &

Hymel, 2014), yaitu dalam hal ini pelaku perundungan, memiliki korelasi dengan

tindakan lain yang bertentangan dengan perilaku moral yang dapat diterima secara

sosial. Sebagian besar penelitian yakni 5 dari 7 penelitian menunjukkan bahwa

perundungan memiliki hubungan dengan minuman beralkohol dan penyalahgunaan

narkoba (Hawker & Boulton, 2000; Thomas, 2017).

Perundungan memang sudah banyak diteliti, dalam berbagai konteks. Berbagai

laporan dan publikasi menyebutkan bahwa pelaku perundungan sebagian besar pada

awalnya adalah korban perundungan dan saksi perundungan, namun penjelasan yang

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

20

ditemukan rata-rata adalah penjelasan munculnya perundungan dari perspektif

ekologis yang bersifat umum. Dalam memahami fenomena perubahan korban

menjadi pelaku perundungan, peneliti melakukan penelusuran dan telaah literatur

studi kuantitatif yang diambil dari beberapa sumber dari tahun 2005-2015. Untuk

studi kualitatif, peneliti menjadikan penelitian meta-sintesis Patten, Hong, Patel, &

Kral (2015) sebagai referensi yang memuat mengenai sejarah penelitian kualitatif

pada topik perundungan. Studi tersebut mengungkap beberapa tema yang sering

dikaji antara lain gambaran perilaku perundungan, strategi koping dalam menghadapi

perilaku perundungan, faktor determinan yang berkaitan dengan perundungan, serta

penelitian lain yang secara lengkap dapat dilihat di lampiran I, halaman 210.

Selaras dengan studi di atas, temuan penulis berdasarkan penelusuran artikel

jurnal lainnya dengan topik perundungan, penelitian-penelitian mengenai

perundungan didominasi oleh pembahasan mengenai faktor determinan dan relasi

yang muncul dengan variabel dalam mikrosistem, mesosistem dan makrosistem yang

melingkupi perilaku perundungan. Penelitian-penelitian tersebut banyak

menggunakan kerangka Model ekologi yang dikembangkan Brofenbrenner untuk

menjelaskan terjadinya perundungan. Meskipun demikian, terdapat satu penelitian

yang menunjukkan proses seseorang menjadi pelaku yang kesemuanya berasal dari

penonton perundungan (bystander), yakni penelitian Lam & Liu (2007). Penelitian

ini menggambarkan proses perubahan seseorang dari saksi menjadi pelaku

perundungan dalam bentuk tahapan-tahapan yang bersifat gradual yang disebut

sebagai model proses (Lam & Liu, 2007). Oleh sebab itu, peneliti menyimpulkan

bahwa sejauh penelusuran yang dilakukan belum terdapat penelitian yang

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

21

menjelaskan dinamika psikologis perubahan korban menjadi pelaku perundungan

dalam bentuk tahapan-tahapan dan dinamika di dalamnya.

Proses menjadi pelaku perundungan ini menarik untuk dilihat polanya sehingga

akan diketahui dinamika korban yang menjadi pelaku. Pola ini akan memberi

informasi dari tahapan-tahapan yang terjadi, dimana tahapan yang paling kritis

seseorang akan menjadi pelaku atau memilih secara sadar untuk tidak melakukan

perundungan. Penelitian ini juga berupaya mencari jawaban mengapa di tempat yang

ditanamkan nilai-nilai tentang kebaikan (dalam hal ini agama) masih terjadi perilaku

perundungan. Dari sini akan diketahui faktor risiko dan faktor pencegah perilaku

perundungan di pesantren sehingga dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan

perbaikan. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan teoritis model

perubahan korban menjadi pelaku perundungan yang bersifat dinamis. Artinya,

bukan hanya menggambarkan hubungan-hubungan antar variabel terbentuknya

perilaku perundungan tetapi dapat tergambarkan dinamika psikologis pada tahap-

tahap perubahan tersebut.

Mengenai penelitian-penelitian di pesantren yang sudah dilakukan, beberapa

penelitian sudah disebutkan di atas di bagian latar belakang, sedang penelitian yang

lain yakni; penelitian Simbolon (2012) yang bertujuan untuk mengetahui bentuk-

bentuk perilaku perundungan, faktor penyebab terjadinya perilaku perundungan,

dampak perilaku perundungan bagi korban, pelaku, dan lingkungan asrama, dan

untuk mengetahui usaha yang telah dilakukan pihak institusi dalam usahanya

mencegah terjadinya perilaku perundungan pada mahasiswa penghuni asrama. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa bentuk perundungan yang terjadi di asrama

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

22

Universitas A adalah intimidasi, pemalakan, pemukulan, ucapan kotor, dan

melecehkan. Didapati pula bentuk perilaku perundungan yang ekstrem seperti

pemaksaan pada korban untuk menenggak minuman keras, ditelanjangi lalu korban

dipaksa mandi tengah malam. Faktor penyebabnya yaitu senioritas, meniru serta

pengalaman masa lalu, para pelaku pada umumnya melakukan perundungan karena

memiliki pengalaman menjadi korban perundungan di masa lampau, sehingga pelaku

ingin membalas dendam. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perundungan

mengakibatkan korbannya menjadi putus asa, menyendiri, tidak mau bergaul, tidak

bersemangat, bahkan halusinasi. Berbeda halnya dengan pelaku, mereka merasa

lebih berwibawa dan merasa puas, namun sebagian pelaku juga merasa malu dan

minder.

Penelitian Nugroho dan Fardhana (2018) bertujuan untuk menggambarkan

insiden perundungan di pesantren. Analisis data menunjukkan bahwa 59% siswa

mengalami perundungan. Sebanyak 19,5% siswa mendapatkan perilaku

perundungan lebih dari sekali dalam seminggu. Anak laki-laki cenderung diganggu

daripada anak perempuan. Korban perundungan kebanyakan siswa kelas 8. Korban

mendapatkan perundungan verbal dan fisik. Ketegasan guru untuk mengontrol

insiden perundungan adalah faktor utama untuk mengurangi perundungan di

pesantren.

Penelitian-penelitian di pesantren yang disebutkan di atas termasuk pada

bagian latar belakang memiliki kesamaan dengan penelitian-penelitian pada

umumnya sebagaimana disebutkan di awal, yakni fokus pada prevalensi, faktor

determinan, relasi dengan variabel lain, dampak dari perilaku perundungan dan

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

23

penelitian-penelitian terkait efektivitas program intervensi. Analisis mengenai faktor

pesantren yang indijenus asli Indonesia dan kentalnya muatan keagamaan luput dari

pembahasan bagaimana dinamikanya mempengaruhi munculnya perilaku

perundungan.

Dari beberapa paparan di atas dapat ditarik beberapa catatan penting mengenai

urgensi penelitian ini, yakni sebagai berikut:

1 Perundungan masih merupakan persoalan yang serius dalam dunia pendidikan.

Penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa prevalensinya yang tinggi

berpengaruh terhadap permasalahan prestasi akademik dan permasalahan klinis

yang lain yang dialami korban, penonton maupun pelaku.

2 Terdapat celah teoretis yang menjelaskan fenomena perundungan terbatas pada

efek bystander (saksi) yang mendorong seseorang menjadi pelaku, namun belum

mampu menjelaskan mengenai dinamika korban perundungan yang berubah

menjadi pelaku sehingga celah ini dapat dimasuki untuk melengkapi bangunan

teoritis perundungan. Selain itu, diperlukan pengembangan teori yang mampu

menggambarkan dinamika psikologis yang terjadi pada perubahan dari korban

menjadi pelaku perundungan dalam konteks pesantren. Sampai saat ini penelitian

mengenai perundungan ini masih terbatas pada proses perubahan saksi menjadi

pelaku. Hal ini penting dilakukan untuk memahami secara lebih mendalam,

karena korban ternyata juga memiliki peluang untuk menjadi pelaku, sehingga

pemahaman mengenai reproduksi perundungan dari korban akan memberi

sumbangan teoretik yang dapat dijadikan dasar penyusunan modul

pencegahannya.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

24

3 Konteks pesantren menjadi menarik, selain dari sisi kekhasan Indonesia,

pesantren yang menawarkan pendidikan nilai religiusitas yang lebih dominan

ternyata masih menyimpan masalah yang harus diselesaikan. Melihat persoalan

perundungan dalam konteks pesantren ini menjadi tantangan tersendiri untuk

melihat persoalan secara lebih terbuka dan tidak dipandang tabu.

1.3. Rumusan Masalah

Grand tour question: Bagaimana dinamika psikologis dalam perubahan dari

korban menjadi pelaku perundungan pada santri di pesantren? Dinamika ini

ditelusuri melalui pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana dinamika psikologis perubahan korban menjadi pelaku perundungan?

b. Bagaimana gambaran perilaku perundungan yang dilakukan oleh pelaku

perundungan yang sebelumnya adalah korban perundungan pada santri di

pesantren?

c. Bagaimana proses interaksi triadic yang terus menerus terjadi antara individu,

lingkungan dan perilaku dalam proses perubahan dari korban menjadi pelaku

perundungan pada santri di pesantren?

1.4. Tujuan Penelitian


1.4.1. Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah membangun teori dinamika

psikologis perubahan dari korban yang menjadi pelaku perundungan di pesantren.

1.4.2. Tujuan Khusus

Secara khusus, tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Menjelaskan gambaran perilaku perundungan yang dilakukan oleh pelaku.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

25

b. Menjelaskan dinamika perubahan korban menjadi pelaku perundungan di

pesantren.

c. Menjelaskan proses interaksi triadic yang terus-menerus antara individu,

lingkungan dan perilaku pada proses peralihan korban menjadi pelaku

perundungan pada santri di pesantren.

1.5. Manfaat Penelitian


1.5.1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan penjelasan teoritis tentang dinamika psikologis perubahan korban

menjadi pelaku perundungan di pesantren.

b. Memberikan wawasan tentang pengalaman menjadi korban, pengalaman pada

proses peralihan menjadi pelaku, dan faktor-faktor yang mempengaruhi

perubahan dari korban menjadi pelaku perundungan

c. Memberikan informasi tentang perundungan dalam perspektif pendekatan

kualitatif yang secara spesifik berupa dinamika psikologis perubahan dari korban

menjadi pelaku perundungan.

d. Memberikan informasi mengenai proses interaksi triadic yang terus-menerus

antara individu, lingkungan dan perilaku pada proses peralihan korban menjadi

pelaku perudungan pada santri di pesantren.

1.5.2. Manfaat Praktis


a. Sebagai landasan melakukan intervensi untuk membantu menangani korban

yang menjadi pelaku perundungan.

b. Sebagai referensi bagi para profesional yang menangani perilaku perundungan.

c. Sebagai acuan bagi para peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian yang

relevan.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perundungan
2.1.1. Definisi Perundungan

Perundungan di sekolah diartikan sebagai perilaku agresif yang dilakukan

berulang-ulang oleh seorang atau sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan,

terhadap siswa/ siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut

(Rigby, 2014; Black & Jackson, 2007; Carney & Marrel, 2001) dan menyebabkan

masalah dalam pendidikan dan distress (Gladden,Vivolo-Kantor, Hamburger &

Lumpkim, 2014). Perundungan bukan hanya hasil dari karakteristik individu tetapi

dipengaruhi oleh hubungan yang beragam dengan teman sebaya, keluarga, guru,

tetangga dan interaksi dengan pengaruh sosial (media & teknologi). Teman sebaya

yang menyaksikan perundungan juga memberi pengaruh negatif (Rivers, Poteat,

Noret & Arshurst, 2009).

Berbeda dengan perilaku agresif secara umum, perundungan adalah perilaku

agresif yang lebih spesifik dengan karakteristik (1) perilaku agresif atau perilaku

membahayakan yang disengaja dengan memiliki target yang spesifik, (2) terjadi

berulang-ulang dalam waktu yang lama, dan (3) ada ketidakseimbangan fisik atau

kekuasaan antara pelaku dan korban (Bernard & Milne, 2008; Chapel et al, 2004).

Pada perilaku agresif korban berusaha untuk menghindari sedangkan pada

perundungan korban tidak memiliki kekuatan untuk melawan atau menghindar

(Anderson & Huesmann, 2007).

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


26
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

27

Menurut Victorian Department of Education and Early Childhood

Development [VDEECD] (dalam Bernard & Milne, 2008) perundungan terjadi jika

seseorang atau sekelompok orang mengganggu atau mengancam keselamatan dan

kesehatan seseorang (baik secara fisik maupun psikologis), mengancam properti,

reputasi, atau penerimaan sosial seseorang serta dilakukan secara berulang dan terus-

menerus. Bentuk adalah perundungan langsung dan tidak langsung. Keduanya

meliputi perundungan yang bersifat fisik yaitu melakukan agresi dengan kontak fisik,

agresi verbal baik dengan kata-kata ataupun tulisan dan perundungan di dunia maya

yakni dengan menggunakan perantara media komunikasi seperti internet dan

teknologi digital perilakunya (Bernard & Milne, 2008; Craig, Pepler, & Blais, 2007).

Bentuk perundungan dapat berupa covert bullying (pengabaian, pengucilan,

penyebaran rumor) dan overt bullying (agresi fisik atau verbal). Dan belakangan

meningkat dengan adanya perundungan di dunia maya seperti agresi dalam bentuk

email, SMS, dan sosial media (Li, 2006). Perundungan adalah agresi yang unik

sekaligus kompleks, bentuknya berbeda-beda, fungsi berbeda, dan termanifestasi

dalam pidak pola hubungan yang beragam. Perundungan tidak sesederhana

hubungan antara pelaku dengan korban namun juga merupakan fenomena kelompok,

berlaku dalam konteks sosial dengan berbagai faktor yang mempengaruhi (Olweus,

1993; Rodkin & Hodges, 2003). Secara umum definisi perundungan pada semua

jurnal dan artikel disertasi mengacu pada definisi yang disampaikan oleh Olweus

(1993). Ada penambahan yang diberi oleh ahli lain Rigby (2014) mengenai bentuk

perilaku perundungan yakni overt and covert. Tambahan yang lain penelitian pada

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

28

dekade berikutnya menemukan intensitas yang tinggi perilaku perundungan di dunia

maya (Ryherd, 2014).

2.1.2. Sejarah Perundungan

Perundungan adalah bagian dari tindakan agresif yang memiliki ciri adanya

ketidakseimbangan antara korban dan pelaku, berulang dan bertujuan menyakiti

(Olweus, 1978). Berangkat dari tindakan agresif, maka konsep ini sudah menjadi

kajian filsafat sejak jaman dulu. Bahkan jika ditarik ke masa yang lebih awal,

perilaku agresif ini adalah cerita di awal mula kehidupan manusia yang digambarkan

dalam cerita Habil dan Qabil (Katsir, 2016).

Kajian filsafat mengenai agresivitas salah satunya dikemukakan oleh Sartre.

Dia memiliki pandangan tersendiri mengenai agresivitas. Menurut Satre, setiap

manusia eksis sebagai dirinya sendiri. Pada saat eksis tersebut, manusia menjadi

subjek dan objek. Perwujudan manusia eksis, atau eksistensinya berbeda dengan

hewan. Setiap orang bisa menerima atau menolak aturan karena setiap orang

memiliki pilihan. Pilihan yang ditentukan oleh kesadarannya, namun realitanya

manusia satu menjadi objek yang lain, maka manusia lainnya adalah subjek (Clare,

1969).

Di dalam setiap subjek dan objek manusia terdapat ego. Ego yang mewujud

pada: posisi/kondisi, perilaku dan kualitas. Ego bukanlah suatu kesatuan refleksi

kesadaran, namun sebagai suatu yang permanen eksis dalam kesadaran. Kadangkala

Ego menjadi subjek, kadang menjadi objek di dalam diri orang masing-masing.

Pandangannya tersebut menunjukkan bahwa agresi manusia dimungkinkan karena

eksistensinya adalah sebagai being for itself yang dinamis keluar untuk menjalani as

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

29

being. Agresivitas bukanlah tidak bisa dikenali. Agresivitas bisa menjadi buruk

manakala tidak terarah atau hanya dalam penguasaan pemenuhan kepuasan ego.

Sejarah perundungan dimulai bahkan sejak ratus ribu tahun yang lalu saat

manusia Neanderthal digantikan oleh Homo Sapiens yang lebih kuat dan lebih

berkembang. Tema utama yang terekam dari sejarah-sejarah mengenai perilaku

perundungan adalah eksploitasi yang lemah oleh yang kuat, bukan secara tidak

sengaja namun secara purposif atau bertujuan (Rigby, 2002).

Kata 'bully' pertama kali digunakan pada tahun 1530 dan aslinya digunakan

untuk menggambarkan rasa sayang atau pengganti kata 'sweetheart'. Bully sendiri

berasal dari Bahasa Belanda, 'boel' yang artinya cinta atau saudara. Sekitar abad ke

17, istilah ini maknanya mulai berubah dari teman dekat, kemudian menjadi

seseorang yang suka berlagak sampai akhirnya menjadi perundung/melecehkan yang

lemah (Allonson, Lester, & Notar, 2015).

Sekalipun perundungan telah menjadi sebuah masalah selama berabad-abad,

perundungan tidak menerima perhatian penelitian signifikan sampai tahun 1970-an

(Olweus, 1978). Profesor Dan Olweus adalah ilmuwan pertama yang memfokuskan

diri pada topik tersebut dan mengkontribusikan data ilmiahnya pada literatur

perundungan. Banyak penelitian Olweus menjelaskan mengapa beberapa anak

melakukan perundungan dan mengapa beberapa lainnya menjadi korban

perundungan. Bukan itu saja, Olweus juga menunjukkan bahwa perundungan di

sekolah dapat direduksi secara signifikan. Hal ini merupakan pencapaian yang sangat

penting.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

30

Hasil studi dari Olweus membuat banyak peneliti sosial di dunia terkesan.

Sebelum abad ke-20 berakhir, ratusan studi serupa telah dilakukan di banyak negara.

Buku, artikel, website, video dan CD mulai bermunculan dengan maksud untuk

menjelaskan apa saja yang perlu kita lakukan untuk mereduksi bahkan menghentikan

perundungan di sekolah.

Sebagaimana yang diindikasikan oleh Olweus (1978), penelitian berkenaan

dengan perundungan dimulai di negara-negara Eropa. Perhatian penelitian di

Norwegia dan Swedia pada tahun 1980-an mengarah pada kampanye intervensi

nasional pertama menentang perundungan. Kesuksesan penelitian ini memotivasi

negara-negara lain seperti Finlandia, Inggris, dan Irlandia untuk meneliti

perundungan (Ross, 2002; Smith & Brain, 2000). Sejak akhir tahun 1980-an,

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah melaksanakan penelitian-penelitian lintas

bangsa setiap empat tahun berkenaan dengan perilaku sehat pada anak-anak usia

sekolah. Sampel usia 11, 13, dan 15 tahun dari berbagai dunia dinilai, dan

perundungan dimasukan sebagai suatu aspek penting dari penelitian tersebut.

Di Asia, Jepang merupakan negara yang telah melakukan upaya-upaya untuk

memahami perundungan dan mengembangkan cara-cara untuk mencegah

perundungan. Kata Bahasa Jepang ijime diterjemahkan sebagai “bullying” dalam

Bahasa Inggris. Menurut Kawabata (2001), ijime merujuk pada perundungan yang

menyebabkan hasil- hasil dalam trauma dan dalam beberapa kasus fobia sekolah.

Selain itu, Tanaka (2001) menggambarkan shunning sebagai suatu tipe perundungan

yang khas ditemukan di Jepang. Shunning adalah satu tipe perundungan dimana

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

31

sekelompok teman sebaya secara kolektif mengabaikan dan mengeluarkan seorang

korban (dari kelompoknya).

Di Amerika, perundungan jelas-jelas merupakan sebuah isu serius. Menurut

Ross (2002), perundungan itu dianggap bentuk agresi yang paling dominan

ditemukan di sekolah-sekolah Amerika dan berpengaruh kuat pada sebagian besar

para siswa bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk kekerasan lain.

Pada tahun 2000, perundungan di sekolah telah menarik kesadaran nasional di

banyak negara di seluruh dunia. Banyak perhatian telah menyebabkan perhatian

media, publikasi tertulis, banyak penelitian, dan intervensi sekolah, semua untuk

tujuan mengurangi perundungan (Smith, 2000). Seperti diteliti oleh Smith (2000),

temuan intervensi sekolah memiliki implikasi positif dan mengungkapkan sebab dan

akibat masa depan.

Berikut disajikan dalam tabel sejarah penelitian perundungan yang disarikan

dari Jovunen dan Graham (2014) dan Koo (2007).

Tabel 2. Sejarah Penelitian Perundungan

Tahun Tokoh Hasil Pengembangan Konsep dan Penelitian


1987 Burk Menjelaskan lebih dalam mengenai “Teasing and Bullying”
1972 Pikas Pengantar dan metode dalam penanganan
“Mobbing” (Defined as group violence among
schoolchildren).
1978 Olweus Penelitian mengenai berbagai kekerasan yang terjadi di
Sekolah.
1985 Morita Struktur perilaku Perundungan yang terjadi di Sekolah.
1986 Wright et al Penelitian pada perkemahan anak-anak yang memiliki
masalah perilaku, ditemukan jika anak anak agresif ditolak
oleh kelompok, dimana perilaku berupa ancaman kurang,
anak anak yang menarik diri dianggap tidak wajar,
sementara anak-anak yang agresif dianggap wajar

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

32

Tahun Tokoh Hasil Pengembangan Konsep dan Penelitian


1987 O'Moore & Sebuah studi untuk menemukan sifat dan kejadian
Hillery perundungan di sekolah dasar Dublin 783 anak-anak (285
anak laki-laki dan 498 anak perempuan) berusia antara 7 dan
13 tahun di empat Sekolah Nasional di Dublin ditanyai
tentang pengalaman mereka untuk diintimidasi dan
melakukan intimidasi terhadap orang lain. Jenis
perundungan yang paling umum dilaporkan adalah:
menggoda, dipukul dan ditendang, dipecat 'dan ditolak.
1993 Schawartz, Penelitian yang menunjukkan kesamaan antara pelaku dan
et korban : memiliki level distres sedang, memiliki tingkat
al. penolaakan teman sebaya yang tinggi
1993 Olweus Penelitian: untuk memahami faktor risiko yang menjadi
penyebab seseorang menjadi korban perundungan. Mereka
yang rentan menjadi korban adalah: orang orang yang
tergolong submisif (cemas, insecure dan sensitif (menangis
jika diperundungkan), didukung oleh penelitian longitudinal
, yang menunjukkan korban perundungan memiliki
masalah /gangguan internalisasi.
1995 Boivin et al Penelitian pada perkemahan anak-anak yang memiliki
masalah perilaku, ditemukan jika anak anak agresif ditolak
oleh kelompok, dimana perilaku berupa ancaman kurang,
anak anak yang menarik diri dianggap tidak wajar sementara
anak-anak yang agresif dianggap wajar (mengulang
penelitian Schawartz, et al)
1997 Kochenderf Perundungan rentan dialamioleh anak yang memiliki
er & Ladd sedikit teman.
1998 Egan & Anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan teman
Perry sebaya, saat bermain juga rentan menjadi korban
perundungan.
1999 Hodges & Orang orang yang kurang percaya diri cenderung
Perry menjadi korban perundungan.
2000 Hawker Perundungan menampilkan beberapa masalah penyesuaian
&Boltono diri, depresi dan anxiety.
2002 Pearce et all Faktor risiko seseorang menjadi korban bully:
menderita obesitas.
2002 Muller & Program “Bully Busters Program” yang bertujuan
Parisi untuk meningkatkan pemahaman secara pengetahuan
2003 Juvonen et Korban perundungan mungkin saja merepresentasikan
al masalah perkembangan yang berkembang menjadi masalah.
2003 Orpinas, Intervensi menggunakan kolaborasi keseluruhan
Horn, & sekolah: lingkungan positif, pendidikan dan seluruh
Staniszeski staf pengajar dalam menurunkan perilaku agresi dan
kekerasan pada anak sekolah (520 peserta: 254 laki-laki dan
266 perempuan).

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

33

Tahun Tokoh Hasil Pengembangan Konsep dan Penelitian


2005 Naadem & Terlambat mengalami pubertas rentan mengalami
Graham perundungan.

2006 Bush et al Individu yang memiliki status terpinggirkan rentan


mengalami perundungan.
2009 Gini & Perundungan menimbulkan masalah psikosomatis
Pozzali (sakit kepala & sakit perut).
2010 Nakamoto Perundungan menyebabkan kesulitan akademis.
& Schartz
2012 Bettencout Ada penelitian yang menunjukkan kesamaan antara pelaku
et al dan korban: memiliki level distres sedang, memiliki tingkat
penolakan teman sebaya yang tinggi.
2012 Son et al Anak dengan disabilitas
2012 Katz-Wise Anak yang memiliki preferensi sebagai LGBT
& hyde
2012 Koehl et al Perundungan rentan dialami oleh individu yang mengalami
depresi, karena mereka kesulitan menjaga hubungan baik
2012 Yeung et al Individu yang menerima dukungan sosial dari temannya,
terlindung dari tindakan perundungan.
2012 Cross et al Penelitian untuk menilai kemanjuran intervensi sosial-
ekologis yang bertujuan mengurangi perundungan.
2013 Espelage, Penelitian untuk menilai dampak program untuk
Low, menurunkan kekerasan pada anak kelas 6 sekolah dasar
Polanin, and
Brown
*Disarikan dari ‘Bullying in Schools: The Power of Bullies and the Plight of
Victims’-Jaana Juvonen and Sandra Graham (2014) dan ‘A TimeLine of the
Evolution of Schools Bullying in Differing Social Contexts’-Hyojin Koo (2007).

2.1.3.Sejarah Penelitian Perundungan dalam Penelitian Kualitatif

Penelitian kualitatif mengenai perundungan telah banyak dilakukan di berbagai

negara terutama perundungan di lingkungan sekolah. Temuan penelitian ini dimulai

dari tahun 1999 hingga 2013 yang berasal dari penelitian di benua Eropa dan

Amerika. Rata-rata partisipan di dalam penelitian ini berusia 8 hingga 18 tahun.

Mereka berada di dalam rentang pendidikan tingkat SD hingga SMA. Partisipan yang

berkontribusi pada penelitian ini tidak hanya dari siswa saja, akan tetapi juga dari

lingkungan mesosistem siswa yaitu guru, wakil kepala sekolah, kepala sekolah,

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

34

orang tua hingga petugas pengaturan layanan sosial. Siswa yang menjadi partisipan

di dalam penelitian ini tidak hanya siswa normal, tetapi siswa dengan kebutuhan

khusus seperti Autism Spectrum Disorder (ASD) sebagai partisipan dalam

pengumpulan data.

Penelitian-penelitian ini menggunakan beberapa metode dasar pengumpulan

data diantaranya yaitu kuesioner, menggambar, Focus Group Discussion (FGD) dan

wawancara. Berdasarkan dari review literatur yang ada, wawancara menjadi

instrumen utama dalam pengumpulan data penelitian. Bentuk teknik wawancara

yang digunakan di dalam penelitian-penelitian ini adalah wawancara semi

terstruktur. (Patton, Hong, Patel, & Kral, 2015). Teknik wawancara semi terstruktur

adalah suatu teknik yang mengembangkan instrumen penelitian serta bebas dan

terbuka dalam pelaksanaannya.

Adapun temuan dari penelitian tersebut adalah mengenai karakteristik korban

perundungan, sikap korban terhadap perundungan serta peran guru, orang tua dan

teman sebaya. Karakteristik korban perundungan ialah mereka yang terlihat berbeda

dari yang lainnya, seperti dari sisi penampilan, cacat yang dimiliki hingga orientasi

seksual yang berbeda. Selain itu terlihat sikap kebosanan, kecenderungan untuk

menarik diri serta sikap pasif di sekolah. Korban perundungan cenderung

menceritakan perilaku perundungan yang dialami dan mencari bantuan ke teman

sebaya atau kelompok sebaya daripada membicarakan ke guru atau orang dewasa.

Namun sebagian memberitahu kepada orang tuanya.

Sikap dukungan yang ditunjukkan oleh kelompok teman sebaya terhadap

perilaku perundungan yang dialami korban menunjukkan peran yang cukup penting

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

35

bagi korban. Di sisi lain, guru sebagai bagian dari mesosistem siswa mengalami

kesulitan dalam mengidentifikasi perundungan hingga bagaimana bentuk kontribusi

yang bisa dilakukan. Kemudian ditemukan banyak sikap korban yang cenderung

diam terkait pengalaman mereka dan mencoba mengerti perundungan yang dialami.

Selain itu, ada yang merasa bertanggung jawab untuk menghentikan perundungan

yang terjadi. Uraian lengkap mengenai sejarah penelitian perundungan dapat dilihat

pada lampiran.

2.1.4. Model Perundungan

Terjadinya perilaku perundungan dapat dilihat dalam prespektif social

ecological oleh Brofenbrenner. Perilaku anak akan dipengaruhi oleh adanya faktor

mikrosistem, mesosistem, ekosistem, dan makrosistem. Anak sebagai pusatnya

dilingkupi oleh lingkungan yang akan ikut berpengaruh dalam pembentukan

perilakunya. Komponen yang memiliki pengaruh terkuat adalah pada area

mikrosistem, karena komponen ini berhubungan langsung dengan anak. Komponen

ini adalah orangtua, guru, dan orang yang memiliki hubungan yang dekat dengan

anak (Boemmel & Briscoe, 2001). Sebagai ilustrasi pada gambar 1.

Gambar 1. Brofenbrenner’s ecology model

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

36

Sumber : http://www.samj.org.za/index.php/samj/article/view/5544/4001

Menurut Espelage dan Swearer (2004) dalam pendekatan social ecological

perilaku perundungan bukan perilaku yang berdiri sendiri. Perilaku tersebut memiliki

keterkaitan dengan berbagai komponen yang terlibat seperti pelaku, korban,

penonton, keluarga, sekolah, teman sebaya, komunitas dan budaya. Masing-masing

memiliki interaksi dan menyumbang terhadap perilaku perundungan di sekolah.

Elips pertama merepresentasikan karakteristik anak termasuk didalamnya

temperamen, gender, kemampuan intelektual, dan faktor lain yang mempengaruhi

perilaku anak. Elips kedua mengindikasikan pengaruh keluarga seperti struktur dan

ukuran keluarga, pola asuh, dukungan keluarga terhadap pendidikan, kriminalitas

yang dilakukan oleh orangtua, dan status sosial ekonomi.

Elips ketiga merepresentasikan pengaruh sekolah dan ketersediaan fasilitas di

sekolah termasuk didalamnya karakteristik guru dan siswa, pengawasan di ruangan

dan tempat bermain (termasuk kantin), dan ukuran kelas. Elips keempat

merepresentasikan masyarakat termasuk tingkat sosial ekonomi, penekanan pada

keamanan dan kesehatan, tingkat kejahatan, dan masyarakat desa atau kota. Elips

kelima adalah budaya yang mempengaruhi perkembangan anak seperti hiburan

(tayangan televisi, musik, & film) dan kondisi politik yang berkembang (Horne,

Orpinas, Newman- Carlson & Bartolomucci, 2004).

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

37

5 4 3 2
1

Gambar 2. Perspektif sosial ekologis


Sumber: Bullying in America : A Social-ecological perspective on prevention and
intervention (Horne et al dalam Swearer & Espelage, 2004)

Beberapa literatur yang memberikan informasi model yang dikembangkan

pada penelitian terdahulu untuk menggambarkan perilaku perundungan antara lain

sebagai berikut:

1) The Bully-Development Model

Gambar 3. The Bully-Development Model (Horne, Bartolomucci, & Newman,


2004)

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

38

Model pada gambar 3 ini melihat secara konseptual perkembangan perilaku

perundungan dari makro ke mikro. Tidak terdapat informasi psikometrik terkait

dengan model tersebut, sehingga menurut peneliti model ini masih bersifat umum

yang melandaskan pada pendekatan ekologis. Dari model tersebut dapat dilihat

bahwa terdapat urutan dari skala besar berupa budaya, pengaruhnya terhadap

komunitas atau masyarakat dan pengaruhnya terhadap kehidupan rumah tangga.

Rumah tangga tempat anak dibesarkan menjadi faktor yang signifikan dalam

pembentukan perilaku perundungan disamping faktor dari dalam individu seperti

temperamen dari kemampuan kognitif. Perundungan juga erat kaitannya dengan

pengaruh teman sebaya, dan bagaimana sikap guru di sekolah dalam mengambil

tindakan atau mengabaikannya.

Model perundungan di atas hanya memberi gambaran besar atau penjelasan

secara umum mengenai perundungan. Kelemahan model ini adalah ketidakmampuan

Model Perundungan dalam memberikan informasi secara detail terutama berkaitan

dengan proses dan kontribusi setiap faktor terhadap munculnya perilaku

perundungan. Model perundungan tersebut tidak dapat menjelaskan proses budaya

dapat berpengaruh atau berimplikasi kepada individu untuk melakukan perundungan.

Pada sisi lain, kelemahan dari model tersebut bersifat terlalu umum sehingga

ilmuwan dan praktisi kesulitan untuk menerjemahkan aplikasi model perundungan

tersebut pada tataran praktis baik antisipasi (preventif) maupun penanganannya.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

39

2) Ecological prediction model of bullying

Gambar 4. Ecological prediction model of bullying by Chung Hun Lee


Gambar 4 mewakili model prediksi ekologis akhir pada perilaku perundungan.

Model jalur tersebut menunjukkan bahwa makrosistem mempengaruhi berbagai

aspek kehidupan anak-anak. Khususnya makrosistem, secara positif mempengaruhi

iklim sekolah dan interaksi teman sebaya, dan secara negatif mempengaruhi

kecenderungan individu dan interaksi guru. Menariknya, makrosistem secara negatif

mempengaruhi perilaku perundungan, yang berarti bahwa komunitas kolektif dan

kelompok teman sebaya kolektif mengurangi perilaku perundungan di antara mereka

(Lee, 2011).

Dalam hal eksosistem, SES keluarga hanya mempengaruhi kecenderungan

individu ke arah positif, menunjukkan bahwa semakin tinggi SES, semakin tinggi

tingkat terhadap sikap agresi serta kecenderungan mencari kesenangan. Iklim

sekolah yang mencakup jenis ekosistem lainnya, terkait secara negatif terhadap

perilaku perundungan. Temuan ini menunjukkan bahwa anak-anak yang melihat

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

40

sekolah mereka dengan lebih positif cenderung lebih sedikit melakukan perundungan

pada orang lain. Mesosistem mempengaruhi iklim sekolah, penelitian ini

menemukan bahwa mesosistem berhubungan positif dengan kecenderungan

individu. Mengenai mikrosistem, Interaksi keluarga mempengaruhi kecenderungan

individu dan viktimisasi/ korban. Menariknya, interaksi dengan teman sebaya tidak

secara langsung mempengaruhi perilaku perundungan, tetapi justru mempengaruhi

iklim sekolah. Temuan menarik lainnya adalah bahwa interaksi guru itu tidak

mempengaruhi perilaku perundungan. Temuan tak terduga ini tidak sesuai dengan

temuan sebelumnya mengenai fenomena perundungan. Antara faktor ekologis ini,

kecenderungan individu adalah pengaruh yang paling penting (b= 0,82) terhadap

perilaku perundungan. Faktor penting lainnya untuk perilaku perundungan adalah

iklim sekolah (b = 0,34), interaksi keluarga (b = 0,27), korban secara individu

(individual victimization) (b = 0,20), dan makrosistem (b = -0,19) (Lee, 2011).

Kelemahan model ini terletak pada faktor trait individu menjadi sangat

dominan (determinan) dalam mempengaruhi terjadinya perundungan. Contohnya

variabel tendensi yang berpengaruh sebesar (b: 0.82). Jika dilihat dari model tersebut

secara utuh, faktor lingkungan di luar individu memiliki sumbangan yang kecil

terhadap terbentuknya perundungan. Hal ini bertentangan dengan teori besar

mengenai perundungan yang menyatakan bahwa perundungan hanya terjadi apabila

hadir penonton atau saksi pada setiap kejadiannya (Olweus, 1998). Hal ini dapat

dijelaskan bahwa konteks penelitian di Taiwan akan berbeda dengan konteks di

Indonesia yang cenderung bersifat komunal sehingga pengaruh teman sebaya (peer

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

41

group) menjadi faktor penting yang mempengaruhi terjadinya proses dan model

perundungan.

3) Model ekologis terkait faktor risiko terhadap perilaku perundungan

Gambar 5. Model ekologis terkait dengan faktor risiko perundungan dari Elise dkk
Model ini menggunakan perspektif ekologis untuk menelaah faktor risiko yang

terkait dengan perilaku perundungan di antara sampel yang mewakili remaja berusia

11- 14 tahun. Data berasal dari perilaku. Kesehatan anak di Sekolah: survei WHO

pada lintas negara untuk memberikan contoh hubungan antara perundungan dan efek

media, sistem dukungan teman dan keluarga, self efficacy (keyakinan terhadap

kemampuan diri untuk menggerakkan motivasi), dan lingkungan sekolah (Elise et

al., 2009).

Secara keseluruhan, hasil studi ini menunjukkan bahwa perundungan

meningkat di kalangan anak-anak yang sering menonton televisi, kurang mendapat

dukungan guru, mereka sendiri mengalami perundungan, bersekolah di sekolah

dilingkungan yang tidak baik, mendapat dukungan emosional dari teman sebayanya,

dan punya guru dan orang tua yang tidak menaruh harapan tinggi pada kinerja

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

42

sekolah mereka. Selain itu, ditemukan sebuah hubungan berkebalikan antara menjadi

orang Asia atau Afrika Amerika, perasaan “merasa tertinggal” dari aktivitas sekolah

dan perundungan.

Hasilnya memberi dukungan pada anggapan bahwa perundungan muncul dari

dalam iklim sosial yang menurun, namun sistem dukungan sosial tersebut menjadi

mediator perilaku perundungan terlepas dari karakteristik ras/etnis siswa, tingkat

pendapatan orang tua atau pengaruh media. Karena jumlah teman dan

kemampuannya berbicara dengan teman-teman ini meningkatkan kemungkinan

perundungan. Perundungan bukan hanya respon individu terhadap lingkungan

tertentu namun merupakan perilaku peer-group. Disimpulkan bahwa membatasi jam

menonton televisi, meningkatkan kemampuan siswa untuk mengakses sistem

dukungan keluarga dan memperbaiki atmosfir sekolah merupakan intervensi yang

berpotensi berguna untuk membatasi perilaku perundungan (Elise, et.al, 2009).

Kelemahan dari model ini cenderung sama dengan model perundungan

sebelumnya yang menggambarkan proses dan tahapan perundungan hanya secara

umum. Berdasarkan gambaran dan dinamika mengenai faktor yang berpengaruh

terhadap perundungan dari microsystem sampai macrosystem pembuat model

perundungan menarik kesimpulan bahwa mengurangi menonton televisi dapat

menurunkan potensi perilaku perundungan. Hal ini menutup adanya indikasi bahwa

perundungan juga terjadi di tempat anak-anak yang tidak menonton televisi seperti

pada santri di pesantren yang cenderung jarang mengakses tayangan televisi.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

43

4) The Path of Bullying

Proses untuk menjadi perundungan dapat dibagi menjadi beberapa bagian:

rejecting phase, the performing phase, the perpetuating phase dan withdrawing

phase (Lam & Liu, 2007).

Gambar 6. A Process Model of Bullying Behavior


Sumber : Child and Adolescent Social Work Journal “The Path through Bullying—
A Process Model from the Inside Story of Bullies in Hong Kong Secondary Schools”
(Lam & Liu, 2007).

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

44

1) Rejecting phase - fase menolak perilaku perundungan

Semua respon menyaksikan perundungan dari teman sekelas, saat mereka

berada di SD. Pada saat itu mereka tidak suka terhadap pelaku dan bersimpati pada

korban. Beberapa dari mereka menyatakan bahwa tindakan perundungan adalah

tindakan yang menjijikkan. Paparan langsung dari perilaku perundungan, tidak

membuat saksi segera meniru perilaku tersebut. Mereka tahu cara melakukan

perundungan orang lain, tapi masih mempertimbangkan jika mem-bully itu adalah

perilaku yang menjijikkan.

2) Performing phase - proses menjadi pelaku perundungan

Setelah saksi melihat tindakan perundungan, mereka mulai melakukan

perundungan di sekolah dan lingkungan sekitar. Mereka memberikan alasan yang

beragam mengapa melakukan perundungan, misalnya didesak atau diserang

(Widhiarto, Suminar, & Hendriani, 2020). Alasan yang sering muncul adalah karena

mereka tidak ingin menjadi korban dan ingin mempertahankan diri. Adanya

kehadiran teman penting bagi munculnya tindakan perundungan. Teman sebaya akan

memberi dukungan jika diperlukan. Episode kejadian ini dapat dipertimbangkan

sebagai bentuk perlawanan kembali ketimbang tindakan perundungan, peristiwa

diatas mengilustrasikan bagaimana sekelompok anak laki-laki merasakan kekuatan

berkelompok (effective power). Terdapat subjek yang menjadi temperamen dan

mulai melakukan perundungan, perundungan dijadikan alasan untuk merilis

emosinya.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

45

3) Perpetuating phase - Menikmati menjadi pelaku

Apakah perilaku terus berlanjut bergantung pada kehadiran dan kekuatan

faktor penghambat atau pendorong. Sejumlah faktor diidentifikasi sebagai berikut:

Faktor pendorong. Manfaatnya jelas merupakan faktor yang menggembirakan.

Perilaku perundungan diperkuat oleh keinginan untuk keamanan psikologis,

penghargaan materi, kesenangan, atau pelepasan emosional. Sebagai tambahan,

karena perilaku diulang, perasaan akan kekuatan dan prestise menjadi lebih jelas.

Keanggotaan geng adalah faktor pendorong yang kuat karena anggotanya wajib

mengikuti norma Triad. Anggota Triad yang sama saling mendukung dalam

melakukan intimidasi terhadap orang lain.

Faktor penghambat. Hukuman sekolah, kontrol yang diberikan oleh keluarga,

dan simpati terhadap korban merupakan faktor penghambat yang mungkin terjadi.

Sayangnya, efek penghambat pada responden tampaknya tidak memadai. Seperti

yang ditunjukkan responden, para korban dan para pengamat biasanya tidak

melaporkan insiden intimidasi kepada guru atau orangtua mereka karena takut

menimbulkan masalah lebih lanjut. Guru juga gagal memberi kesan bahwa mereka

bisa melindungi korban. Jadi kemungkinan terjadinya perundungan dilaporkan

sangat tipis. Bahkan jika dilaporkan, guru tidak perlu mengambil tindakan. Bentuk

tindakan disipliner termasuk memaksa penggugat berdiri di luar ruang staf, memberi

mereka kekurangan, memberi mereka penahanan, memberitahu orang tua mereka

tentang kejadian tersebut, dan seterusnya. Tapi efek penghambat dari tindakan ini

sangat minim. Padahal, menurut responden, celaan dari orang tua bisa memperparah

perilaku perundungan. Itu hanya membuat mereka merasa ditolak dan memandang

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

46

rendah ke rumah dan karenanya mereka ingin lebih jauh menegaskan status

kekuasaan mereka di sekolah. Ronald dan Stephen, misalnya, hanya akan

melampiaskan emosi mereka yang tidak bahagia setelah menerima teguran orang tua

mereka dengan menindas orang lain.

(4) Withdrawing Phase- Moving away (Bergerak menjauh)

Pada fase ini pelaku sudah mulai mendapat konsekuensi yang serius dari yang

mereka lakukan sehingga mulai menarik diri dari perilaku perundungan. Keterlibatan

pihak berwajib, ancaman hukuman yang keras dari sekolah, dan dukungan orang tua

menjadi faktor yang penting pada fase ini.

5) Model Pembelajaran Sosial

Gambar 7. A Theoretical Model of Akers’ Social Learning Theory


Sumber: Using Structural Equations to Model Akers’ Social Learning Theory With
Data on Intimate Partner Violence (Cochran, dkk, 2015).

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

47

Model pembelajaran sosial yang dikemukakan oleh Akers (2010) berfokus

pada perilaku yang menyimpang. Paparan terhadap perilaku menyimpang pada

individu dapat memprediksi eksekusi perilaku tersebut di waktu mendatang. Model

ini tersusun dari empat konsep utama, yaitu 1) differential association, 2) observasi

pada penguatan dan hukuman terhadap suatu perilaku, 3) role model atau imitasi, dan

4) differential definition. Konsep ini kemudian akan diadopsi spesifik pada perilaku

perundungan.

Differential association adalah perbedaan atau variasi interaksi individu yang

dipelajari melalui berbagai konteks sosial. Meskipun konteks keluarga dan kelompok

(peer) merupakan kelompok sosial yang paling utama terhadap munculnya

differential association, konteks lain seperti sekolah juga memiliki peran yang sentral

dalam proses ini. Individu yang mengasosiasikan dirinya pada kelompok pertemanan

yang terus melakukan perundungan terhadap teman sebayanya cenderung akan

memunculkan perilaku perundungan pula.

Observasi pada penguatan dan hukuman terhadap suatu perilaku merupakan

konsep yang berkaitan langsung dengan teori behavioristik. Apabila mengacu pada

konsep pengkondisian perilaku, maka perilaku saat ini ataupun mendatang

tergantung dari respons yang dihasilkan, yaitu apakah akan mendapatkan penguatan

atau hukuman. Penguatan perilaku menyimpang memiliki titik berat pada penguatan

dari peer yang juga melakukan perilaku tersebut. Hal ini dapat menjelaskan

fenomena perundungan secara berkelompok dikarenakan perilaku perundungan

selalu mendapatkan penguatan dari satu sama lain.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

48

Imitasi atau role model perilaku merujuk pada konsep sosial kognitif Bandura

yang menekankan pada proses meniru perilaku individu yang dijadikan role model.

Imitasi pada perilaku perundungan merupakan salah satu hal utama dalam

pembentukan awal pembelajaran perilaku perundungan. Proses ini resiprokal dengan

penguatan perilaku. Proses imitasi perilaku perundungan juga berkaitan dengan

potensi individu untuk berperilaku menyimpang, frekuensi mengamati perilaku

menyimpang/perundungan beserta konsekuensi yang mengikuti.

Pilar keempat dari model pembelajaran sosial adalah differential definition,

yaitu pemaknaan terhadap perilaku yang telah dipelajari melalui proses asosiasi,

imitasi, dan interaksi dengan lingkungan sosial. Definisi atau pemaknaan perilaku

dapat dipengaruhi oleh keyakinan individu terhadap orang lain yang lantas menjadi

determinan dari orientasi dan persepsi individu. Secara singkat, individu akan

memaknai perilaku sebagai hal yang wajar atau tidak berdasarkan kedekatan dan

hubungan mutual dengan individu atau kelompok lain. Dengan kata lain, pelaku

perundungan memaknai perilaku tersebut sebagai hal yang wajar untuk dilakukan.

Model ini mampu menjelaskan pembelajaran sosial melalui asosiasi dan

dukungan dari kelompok yang dipersepsikan sama. Selain menekankan pada relasi

sosial, model ini juga menjelaskan pada proses perubahan kognisi melalui imitasi

perilaku dan observasi pada penguatan dan hukuman pada perilaku. Pengembangan

model lebih jauh dapat dilakukan untuk mengetahui proses imitasi dan observasi

perbuatan perundungan yang didapatkan ketika korban belum mengasosiasikan

dirinya dalam kelompok perundungan.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

49

Dari lima model yang disajikan, tiga model pertama memberikan konstruksi

terbentuknya perilaku perundungan secara umum. Bahwa perilaku perundungan

dipengaruhi oleh berbagai faktor dan variabel serta memiliki tahapan perkembangan

untuk sampai muncul perilaku perundungan. Model pertama, The bully

developmental model memberikan pemahaman mengenai terbentuknya perilaku

perundungan dari aspek makro berupa budaya yang berpengaruh terhadap faktor lain

sampai terbentuk perilaku perundungan. Model kedua, Ecological prediction model

of bullying menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perundungan.

Faktor-faktor ini ada yang pengaruhnya langsung atau melalui variabel lain baik

sifatnya mediasi maupun moderator. Model ketiga, model ekologis terkait faktor

risiko perundungan memberikan gambaran mengenai faktor risiko pada level dari

microsystem sampai macrosystem. Berbeda dengan tiga model sebelumnya, pada

model keempat, The path of bullying menjelaskan tahapan proses dari penonton

menjadi pelaku perundungan sampai perilaku menarik diri dari perundungan. Model

kelima, Pembelajaran Sosial melengkapi penjelasan munculnya perbuatan

perundungan dengan adanya imitasi perilaku dari hasil observasi perilaku

perundungan di lingkungan sosial.

Dari lima model tersebut menurut penulis, tiga model pertama memberikan

gambaran yang utuh dan besar mengenai perundungan tetapi tidak memberikan

gambaran proses berupa tahapan terjadinya perilaku perundungan terjadi. Kelebihan

model-model ini adalah kemampuannya memberikan gambaran besar (big picture)

terhadap persoalan perundungan, tetapi kesulitan untuk pemecahan masalahnya

karena banyaknya faktor yang harus diselesaikan.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

50

Pada model keempat dan kelima gambaran tahapan terlihat dengan jelas.

Model ini memberikan gambaran perubahan dari penonton menjadi pelaku sampai

penarikan diri dari perilaku perundungan. Model ini menarik namun belum memberi

gambaran perubahan dari korban menjadi pelaku, padahal frekuensinya cukup besar

sebagaimana dijelaskan pada bagian pendahuluan. Dari sini penulis menemukan

peluang untuk melengkapi bangunan teoritis mengenai perundungan dengan meneliti

model terbentuknya pelaku perundungan yang berasal dari korban dan dinamika

psikologisnya.

2.1.5. Aspek Perundungan

Olweus (2011) mengelompokkan perilaku perundungan ke dalam empat

kategori yaitu sebagai berikut: aspek fisik, verbal, mental/psikologis, perundungan

di dunia maya, frekuensi, dan korban.

1. Aspek fisik dalam perundungan berkaitan dengan sesuatu yang tampak dan dapat

diobservasi, baik perilaku maupun dampak dari perilaku tersebut. Aspek fisik

meliputi perilaku memukul, mendorong, mencubit, mencakar juga termasuk

memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain.

2. Aspek verbal dalam perundungan berkaitan dengan ujaran-ujaran yang bertujuan

membuat korban mengalami atau merasakan perasaan negatif. Aspek verbal

meliputi perilaku mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu,

memberi panggilan nama (name calling), mencela/mengejek, mengintimidasi,

menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek,

atau mengancam.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

51

3. Aspek psikologi dalam perudungan berkaitan dengan cara tertentu pelaku

perundungan merespons korban, seperti cara menyikapi dan memperlakukan

korban agar korban berada di posisi yang tidak menyenangkan. Aspek tersebut

meliputi perilaku memandang sinis, mendiamkan, mengucilkan.

4. Aspek perundungan di dunia maya memiliki keterkaitan dengan perilaku

perundungan secara verbal, namun hal ini dilakukan melalui media internet

(secara tidak langsung). Aspek tersebut seperti menggunakan internet atau

telepon genggam untuk mengancam atau menyakiti perasaan orang lain.

2.1.6. Faktor Perundungan

Perundungan dipengaruhi banyak faktor. Menurut Li (2008) terdapat 5 faktor

penyebab terjadinya perilaku perundungan (a) Variabel sosial meliputi keluarga,

status sosial ekonomi, sekolah dan komunitas yang diasosiasikan dengan perilaku

perundungan dan perilaku kekerasan, (b) Kondisi fisik dari siswa meliputi gender,

ras dan tingkat kekerasan yang dimiliki oleh sekolah (c) Afeksi siswa meliputi sikap,

harga diri dan temperamen yang diasosiasikan dengan variabel kekerasan di sekolah

(d) Keterlibatan sosial siswa dalam kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler yang

diasosiasikan dengan variabel kekerasan di sekolah (e) Kekerasan dari siswa sekolah

lain termasuk didalamnya penentangan terhadap otoritas pelecehan seksual dan

perilaku berisiko lainnya.

Kepribadian individu (dominan, impulsivitas, sikap kecenderungan agresif,

tendensi untuk mencari kesenangan), interaksi keluarga yang negatif (persepsi

terhadap perundungan yang dilakukan orang tua, pola asuh otoriter, pengalaman

kekerasan dalam rumah tangga, persepsi terhadap pentingnya pendidikan menurut

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

52

orang tua, keterlibatan orangtua (komunikasi orangtua-guru, komunikasi orangtua-

teman sebaya, keterlibatan orangtua dengan lingkungan sekolah), dan iklim sekolah

(standar akademik dan gambaran umum tentang sekolah, iklim kerjasama dengan

sekolah, kohesi antara siswa dan guru, persepsi terhadap atmosfer moral, persepsi

terhadap efektifitas kebijakan sekolah, aturan dan program) juga menjadi faktor

penentu yang lain (Lee & Song. 2012; Richard, J. F., Schneider, B. H., & Mallet, P.

2012).

Ryherd (2014) menyatakan penyebab pola asuh yang keras, perilaku

eksternalisasi anak, perilaku internalisasi anak, temperamen anak yang pemarah, dan

temperamen anak yang penakut. Lee (2011), Ryherd (2014) dan Li (2008)

menyatakan bahwa pelaku perundungan dipengaruhi oleh faktor internal dan

eksternal. Faktor internal meliputi sikap, harga diri, asertivitas, temperamen, dan

gender. Faktor eksternal meliputi keluarga, sekolah, guru, komunitas, teman sebaya,

budaya, dan etnis. Budaya secara langsung tidak berpengaruh, tetapi perpindahan

atau migrasi dari satu budaya ke budaya lain memicu terjadinya perilaku diskriminasi

dan perilaku perundungan (Nesdale & Naito, 2005). Perbedaanya pada jumlah

variabel eksternal dan internal yang diteliti. Jumlah variabel ini terkait dengan fokus

masing-masing peneliti dengan perspektif yang diambil.

Perilaku perundungan yang muncul merupakan akumulasi dari berbagai faktor

yang mendukung terjadinya perundungan, seperti jenis kelamin laki-laki, usia

remaja, dukungan sosial negatif, kepribadian extrovert, iklim sekolah yang buruk,

kepercayaan diri yang rendah. Jenis perundungan yang dominan muncul pada remaja

SMA Negeri “X” Pekanbaru adalah perundungan secara fisik (Putri, Nauli,

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

53

Novayelinda, 2015). Perilaku perundungan dapat timbul pada remaja sebagai

manifestasi dari rendahnya kemampuan regulasi emosi dan religiusitas individu

seorang remaja (Umasugi, 2013). Sehingga korban atau remaja yang mengalami

perundungan, baik perundungan secara fisik, verbal dan relasional tetap akan

mengakibatkan depresi pada korban perundungan tersebut (Ramadhani & Retnowati,

2013). Perundungan terjadi sebagai akibat dari rendahnya disiplin sekolah dan harga

diri siswa yang rendah. Pelaku perundungan mayoritas merupakan siswa laki-laki

(Apsari, 2013).

Ada dua faktor yang mempengaruhi remaja yang melakukan penindasan (the

bully) yang dimaknai dalam tingkatan yang berbeda. Jika pelaku berorientasi pada

kesenangan dan kepuasan, hal itu berarti berada pada pemaknaan tingkat rendah.

Sedangkan jika remaja penindas berorientasi untuk menjadi penguasa dan sebagai

proses pencarian jati diri, maka pemaknaan dalam memaknai perundungan pada

pemaknaan tingkat tinggi (Shidiqi & Suprapti, 2013).

Selain itu, kurangnya tanggung jawab, interpersonal skill buruk, kurangnya

empati, pengendalian diri yang buruk dan agresif (Aroma & Suminar, 2012)

merupakan hal yang biasanya ada pada diri remaja pelaku perundungan, walaupun

kemampuan fisik dan sosialnya baik. Sejalan dengan hal ini, penelitian Wisudiani

dan Fardana (2013) mengatakan bahwa tipe-tipe kepribadian Big Five, terutama

neuroticism berkaitan dengan rendahnya perilaku prososial. Bentuk perilaku

prososial adalah menolong orang lain yang sedang kesusahan, hal ini berseberangan

dengan perilaku perundungan yang justru bertujuan untuk membuat individu berada

dalam kesusahan. Di sisi lain, remaja yang menjadi korban perundungan cenderung

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

54

berpenampilan fisik berbeda, pendiam, pasif, rendah diri. Walaupun kecerdasan

akademik dan kemampuan finansialnya baik (Wulandari, Muis, 2017). Suhariadi,

dkk (2015) mengatakan bahwa anak gifted secara inteligensi sering mengalami

perasaan terisolasi dan kesepian dikarenakan hubungan sosial yang tidak sesuai

ekspektasinya. Tak jarang ditemukan anak gifted menjadi sasaran perundungan

dikarenakan adanya perbedaan pada anak gifted tersebut (Gordon, 2019). Faktor

lainnya juga menyebutkan terdapat hubungan langsung rendahnya empati dapat

menyebabkan peningkatan perundungan di sekolah. Dan pada uji simultan antara

mencari sensasi dan empati dapat digunakan untuk memprediksi perundungan di

sekolah (Mawarni, Hardjono, & Andayani, 2013).

Di lain sisi dukungan atau kedekatan teman sebaya dan harga diri memberikan

pengaruh terhadap timbulnya perilaku perundungan pada remaja. Rendahnya harga

diri dan rendahnya kelekatan dengan teman sebaya memicu timbulnya perilaku

perundungan pada remaja (Sandri, 2015). Perundungan berkorelasi dengan konsep

diri, semakin positif konsep diri maka semakin rendah kecenderungan perundungan,

dan sebaliknya, semakin negatif konsep diri maka akan semakin tinggi

kecenderungan perundungan (Sawitri, 2015).

2.2. Pesantren
Secara terminologi pesantren adalah lembaga pendidikan Islam untuk

memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddina)

dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup sehari-

hari. Pesantren merupakan lembaga dan wahana agama sekaligus sebagai komunitas

santri yang “ngaji” ilmu agama islam. Pondok pesantren sebagai lembaga tidak

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

55

hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian

(indigenous) Indonesia, sebab keberadaannya mulai dikenal pada periode abad ke

13-17 M, dan di jawa pada abad ke 15-16 M (Mastuhu, 1994).

Pesantren salafiyah atau tradisional adalah model pesantren yang muncul

pertama kali. Pesantren ini biasanya berada di pedesaan, sehingga warna yang

muncul adalah kesederhanaan, kebersahajaan dan keikhlasan yang murni. Tetapi

seiring perkembangan zaman maka pesantren juga harus mau beradaptasi dan

mengadopsi pemikiran-pemikiran baru yang berkaitan dengan sistem pendidikan

yang meliputi banyak hal misalnya tentang kurikulum, pola kepemimpinan yang

demokratis-kolektif. Walaupun perubahan itu kadang tidak dikehendaki, karena akan

berpengaruh terhadap eksistensi kiai sendiri, misalnya pergeseran penghormatan dan

pengaruh kepemimpinan. (Zuhriy, 2011).

Secara garis besar, tipologi pesantren dapat dibedakan menjadi tiga jenis,

walaupun agak sulit untuk membedakan secara ekstrim diantara tipe-tipe tersebut

yaitu Salafiyah (tradisional), Khalafiyah (modern) dan terpadu Salafiyah merupakan

tipe pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, atau kitab-kitab

klasik yang ditulis oleh para ulama terdahulu. Metode pengajaran yang digunakan

hanyalah metode bandongan, sorogan, hafalan dan musyawarah. Khalafiyah adalah

tipe pesantren modern, yang di dalamnya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam dan

ilmu-ilmu pengetahuan umum, tetapi masih tetap mengajarkan kitab-kitab klasik

seperti pesantren salafiyah. Pola kepemimpinan pesantren tipe ini biasanya kolektif-

demokratis, sehingga tugas dan wewenang telah dideskripsikan secara jelas,

sehingga tidak ada pemusatan keputusan pada figur seorang kiai. Sistem yang

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

56

digunakan adalah sistem klasikal, dan evaluasi yang digunakan telah memiliki

standar yang jelas dan modern (Wahjoetomo, 1997).

Di dalam pesantren terjadi pemisahan antara santri laki-laki dan santri

perempuan. Menurut Sudrajat dan Triyoga (2016) pemisahan ini terbagi menjadi dua

yaitu ada yang bersifat penuh dan bersifat sebagai, berikut penjelasannya:

1. Segregasi gender penuh, meliputi pemisahan kegiatan formal (madrasah,

sekolah), non formal (asrama) dan informal (fasilitas olah raga, rekreasi dan

sosialisasi) antara santri pria dan wanita, ditandai dengan pemisahan yang

tegas antara zona, teritorial dan batas kegiatan santri pria dan santri wanita

dalam berbagai aspek kehidupan. Segregasi gender secara penuh umumnya

dilakukan oleh pesantren yang masih menerapkan pola salafi, di mana kitab

kuning digunakan sebagai elemen utama dalam kurikulum dengan metode

pembelajaran tradisional seperti sorogan, bandongan dan halaqoh.

2. Segregasi gender sebagian, meliputi pemisahan kegiatan nonformal dan

informal, namun tidak sepenuhnya untuk kegiatan formal. Segregasi gender

sebagian umumnya dilakukan oleh pesantren yang menerapkan pola kholafi,

di mana kitab kuning tidak lagi digunakan sebagai elemen utama dalam

kurikulum, dan sistem pendidikan modern berupa kelas berjenjang serta ilmu

pengetahuan dasar seperti matematika, ilmu pengetahuan alam, bahasa

Indonesia, bahasa Inggris dan mata ajar lainnya diadopsi.

3. Segregasi gender dalam organisasi spasial pesantren mencerminkan tingkat

konsistensi pimpinan pesantren dalam menerapkan dan mempertahankan

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

57

nilai-nilai ajaran Islam dan budaya patriarki, yang terungkap melalui konsep

zona spesifik gender, teritorialitas, dan batas (Sudrajat & Triyoga, 2016).

2.2.1. Nilai-Nilai Pesantren

Menurut Amin Haedari, dkk (2004) sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam

tradisional, pesantren memiliki empat ciri khusus yang terlihat. Mulai dari hanya

memberikan pelajaran agama versi kitab-kitab Islam klasik berbahasa Arab,

mempunyai teknik pengajaran yang unik yang biasa dikenal dengan metode sorogan

dan bandongan atau wetonan, mengedepankan hafalan, serta menggunakan sistem

halaqah. Mengenai nilai-nilai yang diajarkan di pesantren, Bawani (1993)

merumuskan beberapa ciri pendidikan di pesantren, yaitu:

1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiai. Kiai memperhatikan

sekali kepada para santrinya dan hal ini sangat dimungkinkan, karena sama-

sama tinggal dalam satu komplek.

2. Tunduknya santri kepada kiai. Para santri menganggap bahwa menentang kiai

selain tidak sopan juga dilarang oleh ajaran agama.

3. Hidup hemat dan sederhana benar-benar dilakukan dalam lingkungan

pesantren. Bahkan tidak sedikit yang hidupnya terlalu sederhana atau terlalu

hemat sehingga kurang memperhatikan kesehatannya.

4. Semangat menolong diri sendiri amat terasa. Para santri mencuci pakaian

sendiri, membersihkan kamar tidurnya sendiri bahkan tidak sedikit yang

memasak makanannya sendiri.

5. Jiwa tolong menolong atau persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di

pesantren. Ini disebabkan, selain kehidupan yang merata di kalangan

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

58

dihormati, malahan dianggap memiliki kekuasaan gaib yang bisa membawa

keberuntungan atau celaka (Bawani, 1993).

2.2.2. Unsur-Unsur Pesantren

Pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak bisa lepas dari beberapa unsur

dasar yang membangunnya. Menurut Zamahsyari (1984) dalam bukunya Tradisi

Pesantren menyebutkan ada lima elemen, yaitu pondok, masjid, santri, pengajaran

kitab-kitab klasik, kiai. Aspek-aspek pendidikan pesantren:

a. Pondok (asrama untuk para santri)

Istilah pondok berasal dari bahasa arab funduq (yang berarti hotel, penginapan.

Istilah pondok juga diartikan sebagai asrama. Dengan demikian pondok mengandung

arti juga tempat tinggal. Sebuah pesantren pasti memiliki asrama (tempat tinggal

santri dan kiai). Di tempat tersebut selalu terjadi komunikasi antara kiai dan santri

dan kerjasama untuk memenuhi kebutuhannya, hal ini merupakan pembeda dengan

lembaga pendidikan di masjid atau langgar.

Ada beberapa alasan pokok pentingnya pondok dalam suatu pesantren, yaitu:

pertama, banyaknya santri yang berdatangan dari tempat yang jauh untuk menuntut

ilmu kepada kiai yang sudah masyhur keahliannya. Kedua, pesantren-pesantren

tersebut terletak di desa- desa, dimana tidak tersedia perumahan santri yang

berdatangan dari luar daerah. Ketiga, ada hubungan timbal balik antara kiai dan

santri, dimana para santri menganggap kiai sebagai orang tuanya sendiri. Disamping

alasan-alasan di atas, kedudukan pondok sebagai unsur pokok pesantren sangat besar

sekali manfaatnya. Dengan adanya pondok, maka suasana belajar santri, baik yang

bersifat intrakurikuler, ekstrakurikuler, kokurikuler dan hidden kurikulum dapat

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

59

dilaksanakan secara efektif. Santri dapat dikondisikan dalam suasana belajar

sepanjang hari dan malam. Atas dasar demikian waktu-waktu yang digunakan santri

di pesantren tidak ada yang terbuang secara percuma.

b. Masjid

Masjid secara harfiah adalah tempat sujud, karena tempat ini setidaknya

seorang muslim lima kali sehari semalam melaksanakan sholat. Fungsi masjid tidak

hanya sebagai pusat ibadah (sholat) tapi juga untuk perkembangan kebudayaan lama

pada khususnya dan kehidupan pada umumnya, termasuk pendidikan. Masjid

sebagai tempat pendidikan Islam, telah berlangsung sejak masa Rasullah, dilanjutkan

oleh Khulafaurrasidin, dinasti Bani Umayah, Fatimiah, dan dinasti lainnya. Tradisi

menjadikan masjid sebagai tempat pendidikan Islam, tetap di pegang oleh kiai

sebagai pimpinan pesantren sampai sekarang. Dalam perkembangannya, sesuai

dengan bertambahnya jumlah santri dan tingkat pelajaran, dibangun tempat atau

ruangan-ruangan khusus untuk halaqoh-halaqoh berupa kelas, sebagaimana yang

sekarang menjadi madrasah-madrasah. Namun demikian masjid tetap menjadi

tempat belajar mengajar, hingga sekarang kiai sering membaca kitab-kitab klasik

dengan metode wetonan dan sorogan. Pada sebagian pesantren menggunakan masjid

sebagai tempat I’tikaf, dan melaksanakan latihan-latihan, atau suluk dan dzikir,

ataupun latihan-latihan lain dalam kehidupan tarekat dan sufi.

c. Santri

Santri adalah siswa yang belajar di pesantren, santri dapat digolongkan menjadi

dua kelompok, yaitu: Pertama. Santri mukim, yaitu santri yang berdatangan dari

tempat yang jauh yang tidak memungkin dia untuk pulang ke rumahnya, maka dia

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

60

mondok (tinggal) di pesantren. Sebagai santri mukim mereka punya kewajiban–

kewajiban tertentu; Kedua. Santri kalong, yaitu para siswa yang datang dari daerah-

daerah sekitar pondok yang memungkin dia pulang kerumahnya masing- masing.

Santri kalong ini mengikuti pelajaran dengan jalan pulang pergi antara rumah dan

pesantren.

d. Kiai

Kiai adalah tokoh sentral dalam sebuah pesantren, maju mundur pesantren

ditentukan oleh wibawa dan kharismatik kiai. Bagi pesantren kiai adalah unsur yang

paling dominan. Kemasyhuran, perkembangan dan kelangsungan hidup suatu

pesantren tergantung dari kedalaman dan keahlian ilmu serta kemampuannya dalam

mengelola pesantren. Dalam konteks ini kepribadian kiai sangat menentukan sebab

terhadap keberadaan pesantren karena dia sebagai tokoh sentral dalam pesantren.

Gelar kiai diberikan oleh masyarakat yang memiliki pengetahuan mendalam tentang

agama Islam dan memiliki serta memimpin pondok pesantren serta mengajarkan

kitab-kitab klasik kepada para santri. Dalam perkembangannya kadang-kadang

sebutan kiai diberikan kepada mereka yang memiliki pengetahuan mendalam tentang

agama Islam, dan tokoh masyarakat walaupun tidak memiliki pesantren, pemimpin

dan mengajar di pesantren, umumnya mereka adalah alumni pesantren.

e. Pengajian kitab-kitab Islam klasik

Unsur pokok lain yang membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan

lain adalah bahwa dipondok pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang

oleh zaman dulu (kitab kuning), mengenai berbagai macam ilmu pengatahuan agama

Islam dan bahasa Arab. Pelajaran diberikan mulai dari yang sederhana, kemudian

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

61

dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Dan tingkatan

suatu pesantren dan pengajarannya biasanya biasaanya di ketahui dari jenis kitab-

kitab yang diajarkannya. Kriteria kemampuan membaca dan mengarahkan kitab

bukan saja merupakan kriteria diterima atau tidaknya seorang sebagai ulama, atau

kiai pada zaman dulu, tapi juga pada saat sekarang. Salah satu persyaratan seorang

dapat diterima menjadi seorang kiai dari kemampuannya dalam membaca kitab-kitab

tersebut. Kitab-kitab klasik yang dibaca di pesantren dapat di golongkan menjadi 8

kelompok: yaitu, nahwu/sharaf; fiqih; ushul fiqih; hadits; tafsir; tauhid; tasauf dan

etika, serta cabang-cabang ilmu lain seperti tarikh dan balaghah.

2.2.3. Manajemen Pendidikan Pesantren

Pesantren sebagai lembaga pendidikan (nonformal) dan bagian dari sistem

pendidikan nasional yang memiliki tanggung jawab sama dengan lembaga

pendidikan lain (formal) dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itu,

semua unsur pesantren menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan

pesantren melalui manajemen yang sesuai dengan karakteristiknya. Manajemen

diartikan sebagai proses merencana, mengorganisasi, memimpin dan mengendalikan

upaya organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara

efektif dan efisien (Fatah, 2000).

Pesantren sekurang-kurangnya dibedakan menjadi tiga corak yaitu: 1)

pesantren tradisional, 2) pesantren transisional, 3) pesantren modern (Basri, 2001).

Corak tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1) Pertama, pesantren tradisional yaitu pesantren yang masih mempertahankan

nilai- nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi yang berarti

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

62

dalam sistem pendidikannya, manajemen (pengelolaan) pendidikannya masih

sepenuhnya berada pada seorang kiai, dan kiai sebagai satu-satunya sumber

belajar dan pemimpin tunggal serta menjadi otoritas tertinggi di lingkungan

pesantrennya.

2) Kedua, pesantren transisional, pesantren ini ditandai dengan adanya porsi

adaptasi pada nilai-nilai baru (sistem pendidikan modern). Dalam manajemen

dan administrasi sudah mulai ditata secara modern meskipun sistem

tradisionalnya masih dipertahankan seperti pimpinan masih berporos pada

keturunan, wewenang dan kebijakan dipegang oleh kiai karismatik dan lain

sebagainya. Dari segi kelembagaan sudah mulai ada yang mengelola atau

mengurus melalui kesepakatan bersama dan kiai sudah membebaskan santri

untuk memberikan pendapat. Pada umumnya pesantren ini tidak terdapat

perencanaan-perencanaan yang tepat dan tidak mempunyai

3) Ketiga, pesantren modern, pesantren telah mengalami transformasi yang sangat

signifikan baik dalam sistem pendidikannya maupun unsur-unsur

kelembagaannya. Pesantren ini telah dikelola dengan manajemen dan

administrasi yang sangat rapi dan sistem pengajarannya dilaksanakan dengan

porsi yang sama antara pendidikan agama dan pendidikan umum, dan

penguasaan bahasa Inggris dan bahasa Arab. Sejak pertengahan tahun 1970-an

pesantren telah berkembang dan memiliki pendidikan formal yang merupakan

bagian dari pesantren tersebut mulai pendidikan dasar, pendidikan menengah

bahkan sampai pendidikan tinggi, dan pesantren telah menerapkan prinsip-

prinsip manajemen.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

63

2.3. Dinamika Psikologis

Pada dasarnya, dinamika merupakan percabangan dari ilmu fisika mengenai

pergerakan benda dengan adanya tenaga atau gaya yang menggerakkan dan efek dari

pergerakan tersebut (Roman, 2005). Dengan makna yang sama, istilah dinamika

diaplikasikan ke dalam konteks lain, seperti misalnya dinamika kelompok atau

dinamika sosial yang pada dasaranya berbicara mengenai pergerakan

kelompok/masyarakat yang mampu menimbulkan perubahan tatanan interaksi dan

hidup di dalam kelompok/masyarakat tersebut. Dengan kata lain, pemaknaan istilah

dinamika terletak pada pergerakan, penyebab pergerakan, dan hal yang berdampak

dari pergerakan itu sendiri. Terminologi dinamika juga diaplikasikan di bidang ilmu

lain, terutama di psikologi yang dalam hal ini merupakan dinamika psikologis.

Secara umum, makna dinamika psikologis adalah urutan pikiran (kognisi),

perasaan (afeksi), dan perilaku yang berlangsung dalam rentang waktu tertentu

Wright & Hopwood (2016). Dinamika psikologis dapat terjadi di dalam suatu situasi

atau lintas konteks situasi yang berbeda, maupun di dalam diri individu atau lintas

individu. Menurut Tamayo (2011), dinamika psikologis dapat dipahami sebagai

serangkaian langkah atau mekanisme yang terjadi secara teratur (tidak harus

deterministik) untuk mencapai perubahan perilaku, emosi, atau pemikiran. Proses

atau dinamika psikologis yang terjadi itu merupakan cara untuk menjelaskan

perubahan perilaku organisme individu dan dirumuskan sebagai serangkaian

perubahan terorganisir dalam keadaan organisme dan lingkungannya.

Menurut Wolitzky (2010), dinamika psikologis merujuk kepada makna penting

tentang pengalaman dan perilaku mental individu sebagai fungsi interaksi antara

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

64

motivasi, afektif, dan kognitif dengan berbagai tingkat intensitas. Merujuk pada ilmu

dinamika, maka pergerakan motivasi, afektif, dan kognitif tersebut yang saling

berinteraksi merupakan anteseden pengalaman dan perilaku individu.

Walgito (dalam Isfada, 2018) menjelaskan ada beberapa komponen pada diri

manusia yang mempengaruhi dan membentuk perilaku yang berkaitan dengan

dinamika psikologis, yaitu sebagai berikut.

a. Komponen kognitif (komponen perseptual)

Komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, dan keyakinan,

yang mana berhubungan dengan individu mempersepsi objek perilaku atau

kejadian yang sedang dialami. Komponen ini diperoleh dari proses pembelajaran

yang terus dilakukan oleh individu. Kemampuan individu dalam melakukan

justifikasi sebagian besar melibatkan komponen kognitif.

b. Komponen afektif (komponen emosional)

Komponen ini berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap

objek perilaku tertentu yang dihadapi individu. Berbeda dengan komponen

kognitif, komponen afektif terdiri dari enam emosi dasar manusia, yaitu senang,

sedih, takut, jijik, marah, dan terkejut (Eckman dalam Burton, 2020). Seiring

berkembang dan belajarnya individu, komponen afeksi ini juga berkembang

menjadi lebih kompleks dikarenakan adanya proses kompilasi dan asimilasi

berbagai emosi dasar tersebut.

c. Komponen konatif (komponen perilaku atau action component)

Komponen konatif berhubungan dengan kecenderungan bertindak,

berperilaku, dan bersikap terhadap objek. Komponen ini menunjukkan intensitas

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

65

kecenderungan bertindak atau berperilaku dan menunjukkan gambaran tentang

bagaimana perilaku individu terhadap lingkungan sekitar. Komponen konatif

juga dikenal dengan istilah action yang mengindikasikan bahwa komponen ini

merupakan tindakan individu yang sedikit ataupun banyak melibatkan dua

komponen sebelumnya.

Pada proses psikologis manusia selalu terdapat tiga aspek di atas. Ketiga aspek

tersebut berlangsung bersama-sama atau beruntutan. Ketiga fungsi kognisi, emosi,

dan konasi itu bisa berlangsung lancar dan harmonis. Namun kadang-kadang bisa

disertai konflik seperti konflik antara pikiran (aspek kognitif), perasaan (aspek emosi,

afeksi), kemauan dan sikap (aspek volutif dan konatif) yang saling berbenturan atau

berlawanan (Kartono, 1996).

Berdasarkan pemarapan mengenai dinamika psikologis dapat disimpulkan

bahwa dalam perspektif perkembangan, dinamika psikologis merupakan adanya

perubahan kondisi kognisi dan afeksi seseorang yang mengikuti setiap fase

perubahan yang disebabkan adanya faktor eksternal dan internal dalam rentang

waktu tertentu. Perubahan kondisi itu terjadi sebagai serangkaian perubahan

terorganisir pada organisme (individu) dan lingkungannya. Berdasarkan sejarah

keilmuan psikologi, berbagai aliran dalam psikologi menggunakan perspektif

dinamika psikologis untuk menjelaskan fenomena perilaku individu dan sosial untuk

mengembangkan teori secara gradual. Oleh karena itu, dinamika psikologis berfungsi

sebagai landasan penting pengembangan pemahaman tentang perilaku maupun

pengembangan teori baru dalam keilmuan psikologi.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB III
PERSPEKTIF TEORI

Santri merupakan nama lain dari siswa atau murid. Istilah santri umumnya

dipakai untuk merujuk siswa yang belajar di dalam lembaga pendidikan di pondok

pesantren. Fungsi dan peran santri sebagai murid selama belajar di suatu pesantren

tidak terlepas dari berbagai dinamika proses pembelajaran yang terjadi di pesantren

tempat santri belajar ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum. Proses belajar

itu mengindikasikan adanya interaksi antara santri dengan dirinya sendiri maupun

dengan lingkungan sosialnya. Interaksi santri dalam pembelajaran menunjukkan

adanya proses sosial, khususnya berkaitan dengan cara-cara berhubungan yang bisa

diamati pada santri pada waktu mereka dalam kelompok sosial saling bertemu lalu

menentukan sistem dan hubungan sosial. Jadi, santri sebagai murid mengalami

proses interaksi yang intensif dengan lingkungan sosialnya yang saling membentuk

sistem dan hubungan sosial dalam masa pembelajaran di pesantren.

Interaksi pembelajaran yang terbentuk dalam diri santri akan berdampak

kepada pembentukan kepribadian santri. Berdasarkan beberapa riset (Susantyo, B.,

2017) menunjukkan faktor lingkungan mempengaruhi pembentukan individu,

khususnya perilaku agresif. Lingkungan tempat individu tinggal memiliki andil yang

mempengaruhi dan membentuk perilaku individu. Perilaku yang terbentuk itu secara

implikatif berdampak kepada kepribadian yang sehat dan kepribadian yang

terhambat untuk menyesuaikan diri secara sehat (maladaptif). Beberapa studi tentang

pengaruh lingkungan terhadap pembentukan perilaku agresif sudah banyak

dilakukan oleh penelitian sebelumnya. Hasil penelaahan beberapa studi dan riset

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


66
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

67

sebelumnya dapat disimpulkan bahwa lingkungan mempengaruhi perilaku individu,

termasuk munculnya perilaku agresif pada individu.

Berkaitan dengan fokus penelitian pada riset ini, sebelum peneliti

mendeskripsikan perspektif teoretis atau perspektif teori yang melandasi

pembentukan dinamika korban menjadi pelaku perundungan, penelitian ini merujuk

beberapa studi riset sebelumnya sebagai perspektif teori riset ini. Perspektif teori

yang dideskripsikan menjadi dasar teoretis yang memaparkan konstruk dinamika

korban perundungan menjadi pelaku perundungan dan review (penelaahan) peneliti

terhadap dasar teoretis tersebut pada bagian selanjutnya.

3.1. Perspektif Teori Dalam Perundungan

Perspektif teori adalah seperangkat asumsi tentang realitas yang

menginformasikan pertanyaan yang kita ajukan dan jenis jawaban yang kita dapatkan

sebagai hasilnya. Dalam pengertian ini, perspektif teori dapat dipahami sebagai lensa

yang melaluinya kita melihat, berfungsi untuk memfokuskan atau mengubah apa

yang kita lihat. Perspektif ini juga dapat dianggap sebagai bingkai, yang berfungsi

untuk memasukkan dan mengecualikan hal-hal tertentu dari pandangan kita.

Perspektif teoretis penting untuk penelitian karena itu berfungsi untuk mengatur

pikiran dan ide kita dan membuatnya jelas bagi orang lain (Crossman & Roach,

2019).

Sebagai sebuah konsep, perundungan secara teoretis terjadi disebabkan karena

faktor individu dan faktor lingkungan. Untuk menelaah konsep perundungan penulis

menggunakan teori belajar sosial. Perspektif tersebut disajikan untuk memberikan

penjelasan mengenai perilaku perundungan.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

68

3.1.1. Model Perundungan The Path of Bullying

Pada riset terdahulu tentang perundungan yang disajikan pada bagian

sebelumnya, salah satu studi penting dalam memahami dinamika siswa menjadi

pelaku perundungan dikenal dengan nama The Path of Bullying Proses untuk menjadi

perundungan dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu rejecting phase, the

performing phase, the perpetuating phase dan withdrawing phase (Lam & Liu,

2007).

Pada model tersebut, gambaran tahapan perundungan dan menjadi pelaku

perundungan dijelaskan secara sekuensial dan bertahap (stage theory) Model ini

memberikan gambaran perubahan dari penonton menjadi pelaku sampai penarikan

diri dari perilaku perundungan. Model ini menarik, namun belum memberikan

gambaran perubahan dari korban menjadi pelaku, padahal frekuensinya cukup besar

sebagaimana dijelaskan pada bagian pendahuluan. Oleh karena itu, penulis melihat

adanya kebutuhan menemukan beberapa data lain untuk melengkapi dasar teoretis

yang lebih komprehensif dan fundamental. Kebutuhan riset tersebut secara spesifik

akan mendeskripsikan mengenai tahapan perundungan dengan meneliti model

terbentuknya pelaku perundungan yang berasal dari korban dan dinamika

psikologisnya sampai menjadi pelaku perundungan. Adapun upaya penulis untuk

memenuhi kebutuhan riset dalam menemukan data lain yang komprehensif dan

fundamental, peneliti menggunakan perspektif teoretis yang bertolak dari teori

Belajar Sosial agar tahapan dan dinamika psikologis korban perundungan menjadi

pelaku perundungan bisa dideskripsikan secara utuh.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

69

3.1.2. Teori Belajar Sosial dan Perundungan

Teori belajar sosial Bandura (1977, 1986) adalah versi terbaru dari teori

pembelajaran sosial yang dikembangkan oleh Miller dan Dollard (1941). Teori

pembelajaran sosial mengemukakan bahwa individu belajar tidak hanya melalui

instruksi langsung tapi juga dengan mengamati perilaku orang lain dan akibatnya

(Bandura, 1977). Untuk terjadi proses belajar, individu harus (a) memperhatikan

perilaku yang diamati, (b) mengkodekan gambar dari perilaku yang diamati, (c)

mereproduksi gambar tersebut, dan (d) termotivasi untuk melakukan perilaku

tersebut. Komponen motivasional terkait dengan konsekuensi yang mengikuti

perilaku tertentu; secara khusus, individu cenderung melakukan perilaku yang telah

mereka pelajari sehingga konsekuensinya dihargai dan bermanfaat (yaitu diperkuat).

Demikian juga, jika konsekuensi dari perilaku tertentu lebih menghukum dan kurang

memperkuat, individu akan termotivasi untuk menahan diri untuk tidak terlibat

dalam perilaku itu.

Teori kognitif sosial bergantung pada prinsip dasar yang sama dengan teori

pembelajaran sosial (Bandura, 1986). Namun, teori kognitif sosial menekankan peran

kognisi dalam menentukan perilaku individu (Bandura, 1986). Secara khusus, teori

kognitif sosial mengusulkan bahwa ada interaksi berkelanjutan antara lingkungan

sosial (misalnya, menyaksikan perilaku orang lain), rangsangan internal (misalnya,

kognisi dan perasaan/afeksi), dan perilaku. Interaksi triadik ini (yaitu, lingkungan

sosial, rangsangan internal, dan perilaku) disebut sebagai determinisme timbal balik

atau dikenal dengan istilah Triadic Reciprocal Determinism (Bussey & Bandura,

1999; Orpinas & Horne, 2006). Dengan demikian, determinisme timbal balik triadik

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

70

ini terjadi ketika individu membuat evaluasi kognitif terhadap perilakunya di

lingkungan sosial mereka dan konsekuensi yang mengikuti perilaku tersebut (Bussey

& Bandura, 1999). Jadi, perilaku individu dalam perspektif determinisme timbal

balik triadik merupakan hubungan timbal balik dari faktor lingkungan

(Environmental Factors), Faktor Perilaku (Behavioural factors), dan faktor individu

(Personal Factors) yang melakukan evaluasi kognitif yang dipengaruhi oleh

komponen afeksi dan biologis individu dalam masa kehidupannya. Untuk memahami

flowchart atau alur Triadic Reciprocal Determinism, dapat dilihat pada gambar

berikut ini (Mihailides, S., et.al., 2018).

Gambar 8. Triadic Reciprocal Determinism

3.2. Kajian Peneliti Berdasarkan Perspektif Teori Belajar dan Stage Theory
dalam Memahami Dinamika Korban Perundungan Menjadi Pelaku
Perundungan
Dinamika korban perundungan menjadi pelaku perundungan berdasarkan

Triadic Reciprocal Determinism dapat dipahami melalui analisis dan konteks

pembelajaran santri di pesantren yang memiliki hubungan antara individu santri

(faktor personal) santri, guru, orang tua, dan santri lainnya (faktor lingkungan), dan

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

71

perilaku (faktor perilaku) yang muncul dalam proses interaksi dari faktor-faktor

tersebut. Berbagai aspek di atas mempengaruhi pembentukan perilaku santri yang

menjadi murid di pesantren. Pengaruh dan implikasi lingkungan, baik berbentuk

penguatan (reinforcement) positif dan negatif, kognisi, afeksi, dan biologis individu

santri sebagai personal siswa yang belajar, maupun perilaku yang terbentuk dari

pengalaman masa lalu dan pada masa belajar di pesantren, saling mempengaruhi dan

membentuk tahapan dinamis perilaku yang adaptif dan maladaptif santri selama

berada di pesantren.

Selama santri menjalani proses belajar di pesantren, berbagai interaksi sosial

berlangsung secara dinamis sekaligus mempengaruhi tahapan pembentukan perilaku

adaptif dan maladaptif pada santri. Interaksi santri dalam pembelajaran menunjukkan

adanya proses sosial yang saling bertemu lalu menentukan sistem dan hubungan

sosial. Jadi, santri mengalami proses interaksi yang intensif dengan lingkungan

sosialnya yang saling membentuk sistem dan hubungan sosial dalam masa

pembelajaran di pesantren. Sistem dan hubungan sosial tersebut berimplikasi kepada

mekanisme hubungan sosial pada santri sebagai individu, baik pembentukan perilaku

normal yang adaptif, maupun abnormalitas yang maladaptif apabila terjadi proses

belajar sosial yang salah dan berdampak kepada kepribadian santri. Beberapa aspek

penting yang mempengaruhi pembentukan kepribadian santri termasuk adanya

reinforcement (penguatan) positif dan negatif dari domain lingkungan (sosial) dan

domain internal (personal) santri sebagai remaja dalam proses adaptasi perilakunya

selama di pesantren. Semua proses tersebut berlangsung secara sekuensial, yaitu

bertahap dalam fase tertentu yang berbeda.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

72

Suatu metode riset dalam psikologi yang menggambarkan dinamika dan

membangun konstruk teori baru tentang tahapan fenomena perilaku dikenal dengan

istilah Stage Theory atau Stage Theories (Tahapan Teoretis). Model proses dalam

Tahapan Teoretis atau stage theory telah diterapkan secara luas di bidang psikologi

dan psikologi sosial (Weinstein, Rothman, dkk. 1998; Velicer dan Prochaska 2008).

Secara umum, definisi Stage theory menurut kamus APA bermakna bahwa setiap

konstruksi hipotesis yang digunakan untuk menggambarkan fase atau langkah-

langkah dalam proses yang terjadi dari waktu ke waktu, misalnya teori

perkembangan yang melibatkan fase terpisah yang ditandai oleh perubahan fungsi

dan komponen pada setiap fase. Contoh stage theory termasuk di dalamnya teori

tahap perkembangan psikoseksual oleh Sigmund Freud dan tahap perkembangan

Kognitif Jean Piaget. Jadi, suatu riset yang berupaya membangun konstruk perspektif

teori baru bisa menggunakan metode stage theory sebagai pendekatan ilmiah agar

dijadikan rujukan tentang perilaku normal maupun abnormal, khususnya upaya

merumuskan konstruk teoretis tentang perundungan dalam riset ini.

Teori kognitif sosial telah digunakan untuk menjelaskan perilaku agresif

(Bandura, 1978; Bandura, Ross, & Ross, 1961) dan dapat diterapkan pada studi

tentang perundungan dengan menjelaskan proses individu belajar melakukan

perundungan (yaitu melalui pembelajaran observasional dan penguatan).

Pengetahuan yang mendukung untuk melakukan perundungan dan kepercayaan

mengenai kemungkinan mendapatkan konsekuensi positif versus negatif

mempengaruhi kemungkinan siswa untuk melakukan perundungan pada siswa yang

lain. Banyak penelitian menunjukkan hubungan antara mengamati dan mengalami

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

73

perundungan dan perilaku agresif lainnya dengan perilaku perundungan di kalangan

remaja. Misalnya, remaja yang terpapar kekerasan dalam rumah tangga di rumah

mereka secara signifikan lebih cenderung melakukan perundungan terhadap orang

lain daripada mereka yang tidak terpapar kekerasan dalam rumah tangga (Baldry,

2003; Bowes et al., 2009).

Anak-anak dan remaja yang bersosialisasi dengan rekan-rekan yang agresif

cenderung melakukan tindakan agresi daripada remaja yang tidak bergaul dengan

rekannya yang agresif (Mouttapa, Valente, Gallaher, Rohrbach, & Unger, 2004).

Bukti menunjukkan bahwa remaja yang tinggal di lingkungan sekitar yang dinilai

kurang aman (yaitu ditandai dengan perilaku yang lebih keras) lebih mungkin

daripada mereka yang tinggal di lingkungan yang lebih aman untuk terlibat dalam

perilaku perundungan (Espelage, Bosworth, & Simon, 2000; Youngblade et al.,

2007). Meskipun ada banyak kemungkinan penjelasan untuk korelasi antara

keterpaparan terhadap perundungan dan perilaku agresif lainnya dan perilaku

perundungan, teori sosial kognitif menegaskan bahwa kaitan ini terjadi sebagai hasil

pembelajaran observasional. Konsisten dengan pernyataan ini, beberapa penelitian

telah menemukan bahwa faktor pengamatan adalah hubungan yang paling kuat

dengan perilaku perundungan (Curtner-Smith, 2000).

Remaja memiliki banyak kesempatan untuk belajar menggertak melalui

pembelajaran observasional, namun tidak semua remaja yang terpapar perundungan

dan agresi akan meniru perilaku tersebut. Di sinilah peran penting kognisi dan

penguatan ikut bermain. Dalam hal kognisi, bukti menunjukkan bahwa remaja

cenderung tidak terlibat dalam perilaku perundungan jika mereka menganggap

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

74

perilaku ini tidak dapat diterima. Penelitian menunjukkan bahwa kognisi seputar

perundungan umumnya dikombinasikan dengan emosi yang mendukung

perundungan, dan kecenderungan untuk terlibat dalam perundungan mencerminkan

hubungan dua arah ini. Studi menunjukkan bahwa siswa yang memiliki sikap

antibodi (resisten untuk melakukan perundungan) secara signifikan lebih kecil

kemungkinannya daripada mereka yang tidak untuk melakukan perilaku

perundungan (Boulton, Trueman, & Flemington, 2002; Poteat, Kimmel, & Wilchins,

2010; Salmivalli & Voeten, 2004; Williams & Guerra, 2007, Jan & Husain, 2015).

Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa sikap terhadap perundungan

menjelaskan (Boulton et al., 2002) dan memprediksi (Poteat et al., 2010; Salmivalli

& Voeten, 2004) perilaku perundungan. Oleh karena itu, walaupun banyak anak-

anak dan remaja dapat belajar menggertak melalui pembelajaran observasional,

hanya mereka yang memegang sikap proaktif yang cenderung melakukan tindakan

perundungan. Namun, penting untuk dicatat bahwa sikap mengandung komponen

kognitif, afektif, dan perilaku dan mencerminkan keadaan kesiapan mental yang

mempengaruhi kemungkinan seseorang akan terlibat dalam perilaku tertentu di masa

depan (Allport, 1935; Fazio & Olson, 2007).

Oleh karena itu, sikap mendukung perundungan tidak selalu mengarah pada

perilaku perundungan. Selain itu faktor afeksi dan kognisi dalam perspektif Triadic

Reciprocal Determinism dapat mempengaruhi kemungkinan bahwa remaja akan

terlibat dalam perilaku perundungan, salah satunya adalah persepsi konsekuensi

positif dan negatif. Menurut teori kognitif sosial, anak-anak dan remaja cenderung

menghindari perilaku yang mereka percaya akan dihukum dan, sebagai gantinya,

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

75

terlibat dalam perilaku yang mereka percaya akan dihargai (Bandura, 1977). Jadi,

menurut teori, remaja yang melakukan perundungan percaya bahwa mereka akan

diberi imbalan dengan cara tertentu (misalnya, status sosial meningkat, akses

terhadap sumber daya). Proses kognitif pelaku perundungan tidak terlepas dari moral

disengagement sebagai salah satu kunci dari teori belajar sosial. Knoll, dkk (2015)

mengemukakan empat tahapan moral disengagement, yaitu 1) mengonstruksikan

ulang sebuah perilaku agar tidak dinilai immoral; 2) mengurangi rasa kepemilikan;

3) gagal melihat konsekuensi dari tindakan yang dilakukan atau tindakan yang justru

tidak dilakukan; dan 4) mengubah cara pandang korban pada perilaku tertentu. Hyatt

(2017) juga menjelaskan tahapan moral disengagement dengan bentuk yang berbeda.

Secara singkat, moral disengagement merupakan proses yang menyebabkan individu

terikat pada perilaku yang tidak etis, baik kecil maupun besar, tetapi gagal meyakini

bahwa perilaku tersebut salah dan merugikan orang lain. Empat tahapan tersebut

adalah 1) moral distress; 2) disonansi kognitif; 3) moral numbness; 4) moral

disengagement.

Selanjutnya, agar perilaku perundungan dipertahankan dan diulang dari waktu

ke waktu, individu harus menerima penguatan sebagai akibat dari perilaku

perundungan mereka. Konsisten dengan teori kognitif sosial, anggota keluarga, orang

dewasa (Bandura, 1978), dan teman sebaya (Craig & Pepler, 1995; Mouttapa et al.,

2004; O'Connell, Pepler, & Craig, 1999) dapat memperkuat perilaku perundungan

individu Misalnya melalui pujian atau penerimaan). Faktanya, satu studi menemukan

bahwa 81% siswa yang mengalami perundungan di taman bermain diperkuat oleh

teman sebaya (Craig & Pepler, 1995).

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

76

Oleh karena itu, individu mengalami fase penting dalam melewati kehidupan

masa remaja, terutama pengaruh anggota keluarga dan teman sebaya. Khususnya

dalam keluarga, resiliensi keluarga merupakan salah satu hal yang dapat membantu

anggota keluarga untuk menghadapi masa-masa sulit (Suryanto & Handoyo, 2017),

terutama pada remaja. Faktor lingkungan atau eksternal dari keluarga dan teman

sebaya mempengaruhi kepercayaan remaja terhadap peristiwa perundungan dapat

diterima atau tidak dan akan dihargai atau dihukum (Swearer & Hymel, 2015).

Berdasarkan bukti riset sebelumnya, anak-anak dan remaja yang paling berisiko

terlibat dalam perundungan adalah mereka yang: (a) terpapar dengan perundungan

dan perilaku agresif lainnya, (b) mendukung sikap perundungan, dan (c) berinteraksi

dengan individu yang terang-terangan atau diam-diam menunjukkan bahwa

perundungan dapat diterima dan memperkuat perilaku perundungan remaja ini

(Rigby, 2002; Swearer & Hymel, 2015). Oleh karena itu, keterpaparan terhadap

perundungan, sikap keterlibatan mendukung perundungan, dan sikap dan perilaku

yang diungkapkan anggota keluarga, teman sebaya, dan individu lainnya saling

terkait. Misalnya, orang tua yang memaafkan perilaku agresif dan pemaksaan dapat

memodelkan atau mengajarkan perilaku tersebut untuk anak-anak mereka (Patterson,

1982). Hal itu menunjukkan bahwa mereka mendukung perundungan, dan

memperkuat perilaku perundungan anak-anak mereka, yang kesemuanya cenderung

mendorong anak-anak mereka untuk merasa dan berpikir secara positif terhadap

perundungan.

Pemilihan perspektif tersebut didasarkan pada kebutuhan peneliti untuk

melihat dinamika psikologis berupa proses perubahan seseorang dari korban hingga

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

77

menjadi pelaku perundungan. Penggunaan teori belajar sosial untuk menjelaskan

dinamika psikologis bagaimana seseorang mengalami proses dari korban menjadi

pelaku perundungan. Teori ini dipilih karena didalamnya memperhitungan dengan

dengan lebih mendalam mengenai peran kognisi dan afeksi dalam seseorang

berperilaku serta nilai-nilai yang dipegang individu sebagai pertimbangan untuk

memproduksi atau tidak memproduksi perilaku. Triadic Reciprocal Determinism

dijadikan sebagai proposisi atau usulan peneliti dalam perspektif teori untuk

menjawab pertanyaan penelitian dalam riset ini tentang dinamika psikologis pada

santri menjadi pelaku perundungan. Dinamika psikologis tersebut dipengaruhi aspek

kognisi, afeksi, dan biologis individu yang mengalami perundungan saling

berinteraksi dan mempengaruhi dengan faktor lingkungan dan faktor perilaku pada

santri. Dengan demikian, pemilihan perspektif Triadic Reciprocal Determinism

menurut peneliti mampu melihat secara mendalam dinamika yang terjadi dan tidak

bersifat pragmatis untuk melihat dari berbagai perspektif karena tujuan pengetahuan

ini untuk mengembangkan keilmuan dalam menjawab pertanyaan penelitian sampai

kepada pembahasan hasil penelitian.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1. Pendekatan Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan grounded

theory yaitu metode penelitian kualitatif yang menggunakan sejumlah prosedur

sistematis yang diarahkan untuk mengembangkan teori berorientasi tindakan,

interaksi, atau proses dengan berlandaskan data yang diperoleh dari kancah

penelitian (Creswell, 2015). Secara lebih khusus penelitian ini menggunakan

pendekatan systematic grounded (Strauss & Corbin, 1998) dimana peneliti masih

dimungkinkan menggunakan teori sebagai acuan dan dalam pengambilan data. Teori

dalam penelitian systematic grounded berfungsi sebagai pembuka jalan untuk

memasuki suatu topik penelitian namun tidak boleh membatasi eksplorasi untuk

menghasilkan temuan baru. Desain sistematik ini menekankan penggunaan tiga fase

analisis data yang dimulai dengan pengkodean terbuka (open coding), pengkodean

poros (axial coding), dan pengkodean selektif (selective coding) dan pengembangan

suatu paradigma logis atau gambaran visual dari teori yang diturunkan.

4.2. Unit Analisis


Unit analisis dari penelitian ini yaitu dinamika psikologis pada perubahan

korban menjadi pelaku perundungan pada santri di pesantren, yaitu kondisi

psikologis yang meliputi kondisi emosi, motif, kognisi, dan pengalaman yang

dialami oleh oleh pelaku perundungan yang sebelumnya menjadi korban

perundungan.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


78
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

79

Narasumber primer dalam penelitian adalah santri yang menjadi pelaku

perundungan di pesantren yang telah tinggal di pesantren minimal 1 tahun (santri

kelas 2 pesantren aliyah). Adapun narasumber sekunder adalah santri yang pernah

menjadi korban perundungan namun memutuskan untuk tidak menjadi pelaku

perundungan, alumni pesantren yang pernah menjadi pelaku perundungan, psikolog

yang menangani perundungan di pesantren, dan guru penjaga asrama di pesantren.

4.3. Partisipan
Dalam studi ini peneliti menggunakan partisipan yakni santri pesantren di

wilayah Pekanbaru. Partisipan dalam penelitian ini adalah korban perundungan yang

menjadi pelaku, santri yang pernah menjadi korban perundungan namun

memutuskan untuk tidak menjadi pelaku perundungan, alumni pesantren yang

pernah menjadi pelaku perundungan, psikolog yang menangani perundungan di

pesantren, dan guru penjaga asrama di pesantren. Adapun ringkasan partisipan

penelitian dapat dilihat dalam tabel 3.

Tabel 3. Partisipan Penelitian


Partisipan Jumlah Tujuan Inisial
Korban 8 Mengetahui pengalaman AA, RZ, A, M, W,
korban perundungan AF,RF, AL
Alumni sebagai 2 Mengetahui pengalaman MAF, & BA
pelaku pelaku perundungan
Psikolog kasus 1 Mengetahui fenomena YA
perundungan perundungan di pesantren
dari persepktif psikologi
Guru, ustadz 2 Mengetahui kondisi AM & G
perundungan di pesantren
dan sebagai jembatan
kepada santri

Kriteria khusus untuk partisipan primer dalam penelitian adalah santri yang

minimal telah memasuki tahun kedua belajar di pesantren pada tingkat aliyah dan

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

80

lebih dari sekali melakukan perundungan. Hal ini bertujuan agar setting pesantren

dapat dilihat pengaruhnya pada perubahan yang terjadi. Kriteria pesantren yang

digunakan dalam penelitian ini adalah pesantren jenis pesantren yang

menyelenggarakan pendidikan formal.

4.4. Prosedur Mendapatkan Partisipan

Untuk mendapatkan partisipan peneliti akan melakukan studi pendahuluan

untuk mendapatkan partisipan/ partisipan yang dapat memberikan informasi guna

mengkonstruksi teori yang ingin dibuat. Ada tiga prosedur yang akan dilakukan pada

tahap ini, yaitu:

a. Wawancara dengan guru dan santri

Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi secara verbal mengenai

perilaku perundungan yang terjadi dengan segala dinamikanya, pihak-pihak yang

terlibat, dan partisipan yang paling memungkinkan untuk memberikan informasi

secara komprehensif.

b. Wawancara dengan psikolog

Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai klien-klien yang

terlibat perilaku perundungan di pesantren. Wawancara dengan psikolog dilakukan

setelah mendapat persetujuan pihak pesantren.

c. Melakukan screening untuk mendapatkan partisipan

Screening dilakukan dengan menggunakan skala identifikasi perilaku

perundungan di sekolah yang dikembangkan oleh Nugroho & Fadhlia (2011) untuk

mengidentifikasi perilaku dan persentase perundungan di sekolah.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

81

4.5. Pengumpulan Data


Kualitas penelitian ditentukan oleh data yang dihasilkan dan dianalisis. Untuk

mendapatkan data yang baik diperlukan instrumen penelitian yang tepat dan akurat

untuk mengungkap data yang diharapkan. Instrumen dalam penelitian kualitatif pada

prinsipnya adalah peneliti sendiri. Peneliti adalah komponen utama yang menentukan

kualitas data yang dihasilkan. Namun untuk memenuhi fungsinya dalam prosedur

penggalian data, peneliti akan membuat panduan penggalian data. Panduan yang

dirancang dan digunakan adalah alat bantu yang tidak terpisahkan dari penulis

sebagai instrumen penelitian.

Peneliti akan menggunakan wawancara sebagai instrumen utama dalam

penelitian ini meskipun teknik lain seperti observasi dan dokumen juga diperlukan

sebagai pelengkap atau pembanding. Dua hal penting yang perlu diperhatikan adalah:

1) peneliti harus memulai dengan pertanyaan penelitian yang sesuai dengan masalah

penelitian. Pertanyaan penelitian yang mendalam dan berfokus untuk memahami

bagaimana individu mengalami proses, mengidentifikasi tahapan-tahapan dalam

proses yang dialami, fenomena inti (the core phenomenon), apa yang mempengaruhi

atau menyebabkan terjadinya fenomena tersebut (causal conditions), strategi yang

dilakukan selama proses terjadi (strategies), dan dampak yang ditimbulkan

(consequences); 2) pengumpulan data harus cukup dan memenuhi saturasi sehingga

teori dapat dikembangkan.

4.6. Teknik Analisis Data


Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis kualitatif komparatif

konstan (constant comparative). Teknik komparatif konstan dilakukan untuk

melakukan perbandingan antara kejadian dengan kejadian, kejadian dengan kategori,

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

82

dan kategori dengan kategori sebagai inti analisis data. Menurut Glaser teknik ini

menghubungkan kategori-kategori dan memunculkan teori, bukan hanya sekedar

menggambarkan teori pada tahap akhir, peneliti membangun dan mendiskusikan

hubungan antar seluruh kategori tanpa menghubungkannya dengan diagram atau

gambar (Creswell, 2015). Menurut Strauss & Corbin (1998) dalam metode

perbandingan tetap atau komparatif konstan analisis datanya mencakup sebagai

berikut, yaitu:

a. Pengkodean Terbuka (Open coding)

Pengkodean terbuka adalah bagian analisis yang berhubungan khususnya

dengan penamaan dan pengkategorian fenomena melalui pengujian data secara

teliti. Selama proses pengkodean terbuka, data dipecah ke dalam bagian-bagian

yang terpisah, diuji secara cermat, dibandingkan untuk persamaan dan

perbedaannya, dan pertanyaan-pertanyaan diajukan tentang fenomena sebagaimana

tercermin dalam data. Prosedur analisis dasar untuk proses pengkodean terbagi

menjadi dua, yaitu pertama, berhubungan dengan membuat perbandingan, yang lain

mengajukan pertanyaan-pertanyaan; kedua, membantu dalam memberikan konsep-

konsep dalam grounded theory kepersisan dan spesifikasinya. Pengkodean terbuka

dilakukan dengan cara:

1. Memberikan pelabelan fenomena; pemisahan dan konseptualisasi

pengambilan bagian suatu observasi, sebuah kalimat, paragraf, dan

pemberian setiap insiden, idea, atau peristiwa terpisah sebuah nama,

sesuatu yang mewakili fenomena.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

83

2. Menemukan kategori-kategori; setelah mengidentifikasi fenomena

tertentu dalam data, peneliti mulai mengelompokkan konsep-konsep di

sekitarnya, ini dilakukan untuk mereduksi sejumlah unit yang dikerjakan.

Proses pengelompokan konsep-konsep yang dianggap berhubungan

dengan fenomena yang sama.

3. Memberikan nama sebuah kategori; penamaan sebuah kategori diberikan

oleh peneliti itu sendiri. Nama yang dipilih sebaiknya nama yang paling

logis berhubungan dengan data yang mewakilinya, dan harus menjadi

tulisan yang cukup untuk mengingatkan pada referensi.

4. Mengembangan kategori-kategori dalam istilah properti dan dimensinya;

properti dan dimensi penting untuk mengenali dan mengembangkan secara

sistematis karena keduanya membentuk dasar-dasar untuk membuat

hubungan antara kategori dan subkategori.

5. Melakukan pengkodean terbuka secara bervariasi; peneliti dapat memulai

analisis wawancara dan observasi dengan: a) suatu analisis baris demi

baris; b) melakukan pengkodean dengan kalimat atau paragraf; c)

mengambil seluruh dokumen, observasi dan wawancara.

6. Menulis catatan kode; kategori-kategori dan konsep-konsep yang

berhubungan dengan wawancara, catatan lapangan, maupun dokumen

lain, diambil dari halaman dan tulisan sebagai catatan kode.

b. Pengkodean Berporos (Axial coding)

Pengkodean berporos adalah pelacakan hubungan diantara elemen-elemen

data yang terkodekan. Teori substantif muncul melalui pengujian adanya

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

84

persamaan dan perbedaan dalam tata hubungan, di antara kategori atau subkategori,

dan di antara kategori dan propertiesnya. Pengkodean berporos harus menguji

elemen seperti keadaan kalimat, interaksi antara subjek, strategi, taktik dan

konsekuensi. Strauss and Corbin (1998) menyamakan proses ini untuk

mencocokkan bagian-bagian dari pola yang masih teka-teki. Mereka

berargumentasi bahwa dengan menjawab konsekuensi dari “Who, When, Where,

Why, How and With”, peneliti dapat menceritakan struktur ke proses.

Model paradigma pengkodean berporos yaitu menghubungkan subkategori

dengan sebuah kategori dalam suatu hubungan yang menunjukkan kondisi kausal,

fenomena, konteks, kondisi perantara, strategi tindakan/interaksional, dan

konsekuensi. Penggunaan model ini memungkinkan individu berpikir secara

sistematis tentang data dan menghubungkannya dalam cara-cara yang sangat

kompleks.

Pengkodean berporos umumnya lebih terfokus dan diarahkan pada

menemukan dan menghubungkan kategori-kategori dalam istilah model paradigma,

yaitu mengembangkan setiap kategori (fenomena) dalam istilah kondisi kasual yang

menyebabkan munculnya lokasi dimensional khusus dari fenomena ini dalam istilah

properties, konteks, strategi tindakan/interaksional yang digunakan untuk

menangani, merespon fenomena berdasarkan konteks tersebut dan konsekuensi-

konsekuensi dari setiap tindakan yang diambil. Selanjutnya dalam pengkodean

berporos, peneliti terus mencari properti tambahan dari setiap kategori, dan mencatat

lokasi dimensional dari setiap insiden, kejadian atau peristiwa.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

85

c. Pengkodean selektif (Selective Coding)

Pengkodean selektif adalah proses mengintegrasikan dan menyaring kategori

sehingga semua kategori terkait dengan kategori inti, sebagai dasar grounded theory.

Kategori inti, yaitu kategori yang dikembangkan dan mencoba variasi terbanyak dari

pola perilaku. Beberapa langkah yang digunakan dalam pengkodean selektif:

1. Melibatkan penjelasan alur cerita (story line).

2. Menghubungkan kategori-kategori tambahan di sekitar kategori inti

dengan menggunakan paradigma.

3. Melibatkan menghubungkan kategori-kategori pada level dimensional.

4. Menyertakan validasi hubungan-hubungan ini dengan data.

5. Memasukkan ke dalam kategori-kategori yang mungkin memerlukan

pembersihan dan/atau pengembangan lebih lanjut.

4.7. Keabsahan Data


Dalam penelitian ini akan dilakukan uji keabsahan data agar hasil penelitian

dapat dipercaya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjaga dan

meningkatkan keabsahan dan kredibilitas data (Creswell, 2015) meliputi:

a. Derajat kepercayaan (credibility)

Pada dasarnya menggantikan konsep validitas internal dari non kualitatif.

Fungsinya untuk melaksanakan inkuiri sehingga tingkat kepercayaan penemuannya

dapat dicapai dan mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil- hasil penemuan

dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

86

b. Keteralihan (transferability)

Keteralihan mengacu pada tingkat mana hasil penelitian kualitatif dapat

digeneralisasi atau ditransfer pada konteks atau lingkungan lain.

c. Kebergantungan (dependability)

Merupakan substitusi istilah reliabilitas dalam penelitian non kualitatif, yaitu

bila ditiadakan dua atau beberapa kali pengulangan dalam kondisi yang sama dan

hasilnya secara esensial sama. Sedangkan dalam penelitian kualitatif sangat sulit

mencari kondisi yang benar-benar sama. Selain itu karena faktor manusia sebagai

instrumen, faktor kelelahan dan kejenuhan akan berpengaruh (Strauss & Corbin,

2003).

d. Kepastian (confirmability)

Pada penelitian kualitatif kriteria kepastian atau objektivitas hendaknya harus

menekankan pada datanya bukan pada orang atau banyak orang.

Untuk meningkatkan kredibilitas penelitian penulis akan melakukan teknik

triangulasi. Menurut Stake (1995) triangulasi ini dibagi kedalam 4 macam, yaitu:

1. Data Source Triangulation (Triangulasi Sumber Data).

Triangulasi sumber data adalah menggali kebenaran data/informasi melalui

berbagai sumber data yang berbeda. Triangulasi ini digunakan untuk melihat

apakah fenomena atau kasus yang diteliti akan tetap sama di lain waktu, di lain

tempat, atau dengan interaksi yang berbeda.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

87

2. Theory Triangulation (Triangulasi Teori).

Informasi yang sudah diperoleh kemudian dibandingkan dengan perspektif

teori yang relevan untuk menghindari bias individual peneliti atas temuan atau

kesimpulan yang dihasilkan.

3. Methodological Triangulation (Triangulasi Metodologi).

Triangulasi metode dilakukan dengan cara membandingkan informasi/data

dengan cara/metode yang berbeda. Misalnya, membandingkan data yang diperoleh

dari wawancara dengan observasi.

Dalam hal ini penulis akan memilih menggunakan triangulasi sumber data

dan triangulasi metodologi. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan feasibility untuk

dapat dilakukan di lapangan.

4.8. Etika Penelitian


Penelitian adalah upaya untuk menemukan kebenaran. Etika dalam proses

penelitian menjadi bagian yang esensial dalam upaya menemukan kebenaran. Etika

didefinisikan sebagai prinsip-prinsip moral yang mengendalikan atau mempengaruhi

perilaku. Etika penelitian dapat didefinisikan sebagai aplikasi prinsip-prinsip moral

ke dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan hasil penelitian. Dalam penelitian

kualitatif, etika penelitian berkaitan dengan cara peneliti merumuskan topik

penelitian, merencanakan penelitian, mengakses data. Mengumpulkan data,

menyimpan data, menganalisis data dan melaporkan secara bertanggung jawab dan

bermoral (Brinkman & Kvale ,2008). Penelitian tentang dinamika psikologis pada

perubahan korban yang menjadi pelaku perundungan akan dilakukan dengan

memperhatikan etika penelitian.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

88

Berdasarkan pedoman Etis penelitian pada APA (2002) dan Kode Etik HIMPSI

(2010) maka prosedur etis penelitian harus memperhatikan prinsip- prinsip:

a. Menghormati martabat setiap orang serta hak-hak individu akan keleluasaan

pribadi, kerahasiaan dan pilihan pribadi seseorang dan memberikan perlindungan

pada individu yang karena keterbatasan yang ada dapat mempengaruhi otonomi

dalam pengambilan keputusan. Prinsip menghormati setiap individu memerlukan

informed consent secara sukarela yang diperoleh dari calon peserta. Sebelum

pengambilan data penelitian peneliti menjelaskan pada calon partisipan

penelitian dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan istilah-istilah yang

dipahami masyarakat umum tentang penelitian yang akan dilakukan. Peneliti

menjelaskan kepada calon partisipan asas kesediaan sebagai partisipan penelitian

yang menyatakan bahwa keikutsertaan dalam penelitian yang dilakukan bersifat

sukarela, sehingga memungkinkan pengunduran diri atau penolakan untuk

terlibat.

b. Menjaga martabat individu sehingga tidak boleh terkena bahaya atau risiko yang

tidak perlu, dan manfaat apa pun harus dimaksimalkan. Prinsip kebaikan milik

partisipan serta memiliki manfaat untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki

partisipan serta memiliki manfaat dan meminimalkan potensi bahaya yang terkait

dengan berpartisipasi dalam penelitian.

c. Setiap individu harus mendapatkan prosedur yang adil dan setara, menyadari dan

menghormati perbedaan budaya, individu dan peran, termasuk usia, gender,

identitas gender, ras, suku bangsa, budaya, kebangsaan, orientasi seksual,

ketidakmampuan (berkebutuhan khusus), bahasa dan status sosial- ekonomi.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

89

Prinsip keadilan berfokus pada pemilihan peserta penelitian yang memastikan

bahwa beberapa kelas masyarakat (misalnya, kesejahteraan, orang-orang yang

termasuk kelompok ras dan etnis minoritas tertentu, atau orang-orang yang

terbatas pada lembaga) tidak dipilih secara sistematis hanya karena kemudahan

menjangkau individu atau komunitas tersebut, melakukan manipulasi, bukan

karena alasan yang secara langsung terkait dengan masalah yang sedang

dipelajari.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB V
PELAKSANAAN PENELITIAN

5.1. Pelaksanaan Penelitian


Pelaksanaan penelitian mengacu pada langkah-langkah penelitian kualitatif

Hanurawan (2012), yaitu memilih topik, memformulasi pertanyaan penelitian,

menyusun desain penelitian, mengumpulkan data, menganalisis data, menyusun

temuan penelitian, memvalidasi temuan penelitian. Peneliti kemudian melakukan

penyesuaian sesuai dengan kebutuhan sehingga langkah yang ditempuh antara lain

melakukan studi awal, mengumpulkan data yang meliputi proses dan

pelaksanaannya, menganalisis data, dan melakukan proses untuk mencapai

keterpercayaan data.

5.1.1. Studi Awal

Peneliti memulai studi awal topik mengenai perundungan di pesantren ini sejak

tahun 2016 bertepatan saat dengan menempuh studi doktoral semester I, meskipun

secara umum sudah bersinggungan dengan tema perundungan sejak mengerjakan

tesis S2 tahun 2009. Penelitian awal yang peneliti lakukan adalah melihat gambaran

deskriptif perilaku perundungan di pesantren yang telah diterbitkan pada tahun 2018.

Dari penelitian itu terungkap bahwa sekitar 59% santri di pesantren mengalami

perundungan baik verbal maupun fisik (Nugroho & Fardhana, 2018).

Pilot Study ini dilakukan di salah satu Provinsi di Pulau Sumatera yaitu

Provinsi Riau. Provinsi Riau dengan ibukota Pekanbaru yang terletak membentang

dari lereng Bukit Barisan hingga Selat Malaka dengan luas wilayah ± 8.915.016 Ha.

Provinsi Riau memiliki 10 kabupaten dan 2 kota antara lain, Kab. Kampar, Kab. Siak,

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


87
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

88

Kab. Bengkalis, Kab. Pelalawan, Kab. Indragiri Hulu, Kab. Indragiri Hilir, Kab.

Rokan Hulu, Kab. Rokan Hilir, Kab. Kuantan Singingi, Kab. Kepulauan Meranti,

Kota Pekanbaru dan Kota Dumai. Provinsi Riau dengan beberapa daerah yang

terbagi menjadi kabupaten/kota ini memiliki jumlah sekolah yang tidak sedikit.

Menurut data Kemendikbud, di Provinsi Riau memiliki sekolah dari tingkat SD

berjumlah 4.181, SMP berjumlah 1.809, SMA berjumlah 762 dan SMK berjumlah

299. Total keseluruhan sekolah yang ada di Provinsi Riau 7.051. Total sekolah

tersebut belum termasuk dengan banyaknya jumlah pesantren yang ada di Provinsi

Riau (sumber: BPS; Riau dalam Angka,).

Menurut data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Riau, jumlah pesantren yang

terdapat di Provinsi Riau sebanyak 183 dengan jumlah total santri laki-laki sebanyak

16.125 dan santri perempuan sebanyak 16.283. Penelitian ini tepatnya akan

dilakukan di beberapa pesantren yang berada di Provinsi Riau. Sebaran jumlah

pesantren di tiap kabupaten/kotanya sebagai berikut, Kab. Kampar memiliki 32

pesantren, Kab. Siak memiliki 16 pesantren, Kab. Bengkalis memiliki 16 pesantren,

Kab. Pelalawan memiliki 10 pesantren, Kab. Indragiri Hulu memiliki 10 pesantren,

Kab. Indragiri Hilir memiliki 31 pesantren, Kab. Rokan Hulu memiliki 14 pesantren,

Kab. Rokan Hilir memiliki 20 pesantren, Kab. Kuantan Singingi memiliki 5

pesantren, Kab. Kepulauan Meranti memiliki 12 pesantren, Kota Pekanbaru memiliki

16 pesantren dan Kota Dumai memiliki 5 pesantren (sumber: BPS; Riau dalam

Angka, 2019).

Pilot study memiliki tujuan untuk menguji coba panduan wawancara kepada

sejumlah partisipan. Pilot study memberikan kesempatan pada peneliti untuk

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

89

menguji pertanyaan, membangun kedekatan relasi dengan pertisipan, dan mencari

cara yang paling sesuai untuk melakukan wawancara. Dalam wawancara penelitian

kualitatif, diberikan kesempatan yang luas untuk mengajukan pertanyaan dalam

rangka memperdalam pemahaman tidak terbatas pada waktu pilot study saja, namun

pada kesempatan penggalian data pada waktu yang lain. Panduan wawancara tidak

boleh membatasi fleksibilitas dalam mengajukan pertanyaan karena proses

wawancara sangat tergantung dengan peneliti (Watt, 2007)

5.1.2. Proses Pengumpulan Data

a. Persiapan Pengumpulan Data

Pada proses persiapan pengumpulan data, peneliti melakukan dua kegiatan

yang saling berkaitan dan sirkuler yaitu menyusun panduan wawancara dan proses

penelusuran partisipan penelitian. Pada kegiatan menyusun panduan wawancara,

beberapa langkah yang dilakukan oleh peneliti, diuraikan sebagai berikut:

1. Studi Literatur

Dalam menyusun panduan penggalian data, penulis memulai dengan

mengumpulkan literatur-literatur yang terkait dengan perundungan di sekolah

terutama pada sekolah berasrama dan literatur mengenai pesantren. Literatur-literatur

yang dikumpulkan dan dibaca oleh penulis berupa: (1) buku-buku teks (cetak dan e-

book); (2) artikel dari jurnal, dan surat kabar online; (3) tesis dan disertasi.

Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa teori dalam penelitian

grounded digunakan sebagai pintu masuk untuk mengkonstruksi pengetahuan baru.

Dari literatur-literatur yang dibaca penulis mendapatkan gambaran tentang asumsi-

asumsi, teori-teori, dan perspektif-perspektif yang berkaitan dengan topik yang

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

90

diteliti. Pemahaman mengenai perspektif teori memberikan arahan bagi penulis

mengenai data apa saja yang akan diungkap dari instrumen yang disiapkan.

2. Diskusi dengan Pembimbing

Diskusi dengan pembimbing promotor dan ko-promotor dilakukan peneliti

dalam memberikan reviu setiap instrumen penelitian yang diselesaikan oleh peneliti.

Dalam menentukan kesesuaian instrumen penelitian, promotor dan ko-promotor

berperan sebagai pemeriksa dalam menentukan panduan pengumpulan data

penelitian.

3. Penyusunan Draft Panduan dan Alat Bantu Wawancara dan Observasi

Menurut Hadi (dalam Sugiyono, 2012), observasi merupakan proses yang

kompleks karena prosesnya terdiri dari berbagai proses biologis dan psikologis.

Observasi sangat mengandalkan pengamatan dan ingatan. Dalam penelitian ini,

observasi digunakan sebagai penunjang dari metode wawancara, sehingga perilaku

yang tidak dapat teridentifikasi melalui wawancara. Dalam hal ini penulis mencatat

hasil observasi secara naratif mengenai ekspresi wajah, intonasi suara, gerak tubuh,

dan pemahaman akan pertanyaan yang diajukan.

Selain observasi, pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

wawancara semi-terstruktur. Ciri dari wawancara semi-terstruktur adalah

penggunaan panduan wawancara (interview guide/ interview protocol). Panduan

wawancara ini memainkan peran penting dalam menarik informasi keluar dari

pengalaman partisipan. Dalam penelitian grounded sebenarnya lebih

mengedepankan pada pertanyaan tidak terstruktur, namun dalam penelitian ini

karena penulis menggunakan pendekatan systematic grounded yang masih

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

91

menggunakan teori sebagai pintu masuk memahami mengkonstruksi teori baru maka

penulis menggunakan wawancara semi terstruktur agar fokus kepada hal yang akan

diungkap dan dapat dieksplorasi dengan pertanyaan probing. Berikut adalah panduan

wawancara yang disusun penulis:

Tabel 4. Panduan Wawancara

No Pertanyaan Penelitian Pertanyaan wawancara


1 Bagaimana gambaran 1. Coba ceritakan tentang perilaku
perilaku perundungan yang perundungan yang pernah anda alami atau
diterima dan dilakukan oleh anda lakukan!
pelaku perundungan yang 2. Ceritakan bentuk perilakunya dan
sebelumnya adalah korban situasi yang melingkupi saat kejadian tersebut
perundungan pada santri di terjadi!
pesantren?
2 Bagaimana…fase 1. Ceritakan tentang keadaan saat anda
terbentuknya.korban menjadi korban perundungan!, apa yang
menjadi pelaku? saat itu anda pikirkan dan rasakan dan apa
yang kemudian dilakukan saat berada
dalam situasi menjadi korban tersebut?
2. Hal apa saja berpengaruh terhadap diri anda
saat menghadapi atau merasakan situasi
tersebut!
3. Bagaimana cara anda beradaptasi dengan
situasi perundungan? Ceritakan bagaimana
proses anda mengambil keputusan untuk
melakukan perundungan!
4. Dapatkah diceritakan tentang bagaimana
Anda yang sebelumnya pernah merasakan
menjadi korban kemudian juga melakukan
perundungan?"
3 Bagaimana proses interaksi 1. Hal-hal apa baik dalam diri anda atau diluar
triadic yang terus menerus anda yang mempengaruhi proses perubahan
terjadi antara individu, tersebut?
lingkungan dan perilaku 2. Apa yang Anda inginkan/harapkan ketika
dalam proses perubahan dari melakukan perundungan tersebut?
korban menjadi pelaku 3. Hal apa saja yang memperkuat atau
perundungan pada santri di memperlemah dorongan anda untuk
pesantren? melakukan perundungan?

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

92

No Pertanyaan Penelitian Pertanyaan wawancara


4. Jika anda mengalami pergulatan batin,
dapat diceritakan prosesnya seperti apa?

4. Pilot Study Penerapan panduan wawancara

Partisipan pilot study ini memiliki karakteristik: (1) santri di pesantren; (2)

kelas 2 aliyah; (3) pernah mengalami sebagai korban perundungan; (4) pelaku

perundungan, dan (5) bersedia terlibat dalam penelitian. Berikut adalah data dari

partisipan pilot study yang ditemukan penulis (tabel 5).

Tabel 5. Data Partisipan Pilot Study

No Nama Lokasi Usia Kelas

1 AA Pekanbaru 16 Tahun 2

2 RZ Kampar 16 Tahun 2

Berdasarkan tabel di atas, pilot study ini melibatkan partisipan bernama AL dan

RZ yang merupakan santri di dua pesantren yang berbeda. Pendidikan kedua

partisipan sama-sama sedang menduduki kelas 2 bangku aliyah. Kedua partisipan

dulunya adalah korban perundungan. Keduanya sama-sama mengalami perundungan

ketika memasuki pesantren, namun sekarang yang bersangkutan menjadi pelaku

perundungan.

5. Evaluasi panduan wawancara

Instrumen utama dari penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Menurut

Putra (2013) hal ini membawa konsekuensi jika penelitian kualitatif rentan terjadi

bias dan kesalahan kesalahan. Untuk mengatasi hal itu, di dalam penelitian kualitatif

yang diperiksa keabsahannya bukanlah instrumen, tetapi data dengan seperangkat

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

93

cara yang dapat mengeliminir terjadinya bias dan kesalahan-kesalahan manusiawi

lainnya. Berangkat dari paparan tersebut, maka evaluasi instrumen pada pilot study

yang telah dilakukan sebelumnya dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Panduan instrumen penelitian yang digunakan

Instrumen penelitian yang digunakan pada pilot study ini antara lain: observasi,

dan wawancara. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan menghasilkan respon jawaban

yang sebagian besar mampu menjawab pertanyaan penelitian. Karena sifatnya yang

semi terbuka, maka peneliti dapat mengajukan pertanyaan tambahan untuk

memperjelas jawaban yang masih dapat didalami lagi. Dari panduan wawancara juga

terdapat pertanyaan yang memiliki potensi tumpang tindih karena mengungkap hal

yang sama sehingga ke depan perlu dipilih salah satunya saja atau tetap menanyakan

dengan memahamkan konteksnya pada partisipan. Untuk lebih detail mengenai

evaluasi terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian dapat dilihat pada tabel 4.

b. Pelaksanaan penggalian data

Dalam pelaksanaan penggalian data, hal yang perlu dipertimbangkan adalah

pelibatan partisipan dalam penggalian data. Selain penulis menggali data dari pelaku

perundungan, penulis perlu menggali data atau informasi dari orang-orang terdekat

(significant others) dari partisipan. Pelibatan sumber data yang lain selain partisipan

ini diharapkan dapat memperkaya dan memperdalam temuan sebelumnya. Dalam hal

ini orang-orang terdekat adalah musyrif (penjaga asrama) dan ustadz.

Penulis juga mempertimbangkan untuk menggunakan pewawancara yang

usianya tidak terpaut jauh dengan partisipan agar diperoleh data yang lebih otentik.

Hal ini didasarkan pada pengalaman penulis dengan membandingkan hasil

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

94

wawancara yang diperoleh antara pewawancara yang memiliki rentang usia yang

jauh dan dekat ternyata memiliki pengaruh terhadap produksi jawaban yang

diberikan partisipan. Partisipan akan lebih terbuka pada pewawancara yang memiliki

rentang usia yang lebih pendek dengan dirinya.

c. Pengorganisasian data dan analisis data

Melihat dari kompleksitas data jika partisipan dalam jumlah yang cukup besar

dalam perspektif penelitian kualitatif maka penulis akan menggunakan program

bantu yakni program NVIVO 12 Plus agar memudahkan dalam analisis dan

organisasi data. Hal ini bertujuan untuk kerapian dan kemudahan dalam organisasi

data yang bersifat kompleks dan menghindari kesalahan penghilangan data. Berdasar

pengalaman menggunakan program tersebut pada analisis wawancara ini, program

ini efektif dalam membantu pengorganisasian data.

5.1.3. Pelaksanaan Pengumpulan Data

Data diperoleh melalui pilot study dari hasil observasi dan wawancara dengan

dua santri kelas 2 aliyah yang berasal dari Provinsi Riau. Selanjutnya, peneliti

melakukan observasi dan wawancara lanjutan untuk menggali data dengan

melibatkan sembilan santri sebagai partisipan utama dan empat partisipan pendukung

(dua orang alumni, satu orang ustadz, satu orang psikolog) agar data yang didapatkan

lebih dalam dan kaya. Jadwal pengumpulan data seperti dalam tabel 6.

Tabel 6. Data Pelaksanaan Penggalian Data

No Nama Partisipan Tanggal Waktu Durasi


Wawancara
1 AA Santri korban 18 Agustus 2019 20.00-20.20 20 menit
2 RZ Santri korban 18 Agustus 2020 20.30-20.50 30 menit
3 A Santri korban 13 Maret 2020 20.10-20.27 17 menit
4 M Santri korban 13 Maret 2020 21.00-21.20 20 menit

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

95

5 W Santri korban 13 Maret 2020 20.40.21.00 30 menit


6 AF Santri korban 1 Maret 2020 13.30-14.00 30 menit
7 RF Santri korban 18 Maret 2020 20.00-20.17 17 menit
8 AL Santri korban 18 Maret 2020 20.15-20.30 15 menit
9 BA Alumni 18 Maret 2020 20.40-21.00 20 menit
10 YA Psikolog 20 Maret 2020 13.30-14.00 30 menit
11 AM Guru musyrifah 7 Februari 2020 21.10-21.28 18 menit
12 MAF Alumni 14 Februari 2020 20.30-20.50 20 menit
13 G Ustadz 21 Mei 2020 21.00-21.20 20 menit

Adapun gambaran dari partisipan yang terpilih berdasarkan kriteria penelitian

sebagai berikut:

1. AA (Partisipan 1)

Peneliti mengenal partisipan dari salah satu Guru di pesantren. Kemudian

peneliti dihubungkan oleh senior Tsanawiyah yang ada di pesantren. Wawancara

berlangsung di masjid pesantren. Partisipan AA mampu bekerjasama dengan peneliti

dan memberikan informasi yang cukup banyak. Dalam proses wawancaranya,

partisipan menyampaikan pada awal masuk pesantren memiliki pengalaman menjadi

korban perundungan:

“Dulu awal masuk pondok, jadi saya tu abang-abang kelas tu sering ganggu
saya kalau sendiri, nanti abang-abang kelas tu kan datang tiba-tiba ke kamar
kami nanti introgasi kan entah apa yang diinterogasi bahkan nanti sampai pukul
memukul kan disitu padahal kami sendiri ngga tau masalah tu apa kan. Waktu
di asrama tu seringlah gitu abang-abang kelas, kadang yang satu angkatan
sering melakukan itu tu.” <Files\\subjek Aldi> - § 4 references coded [0,84%
Coverage], Reference 1 - 0,41% Coverage

Dalam awal menjadi sebagai anak Pesantren, partisipan AA mengalami

perundungan oleh kakak seniornya. Berdasarkan hal tersebut, peneliti menarik

kesimpulan bahwa AA memenuhi persyaratan sebagai partisipan penelitian.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

96

2. RZ (Partisipan 2)

Dalam proses perkenalan dengan partisipan RZ, peneliti melakukan

wawancara pertama atas rekomendasi dari guru di pesantren. RZ sekarang duduk

kelas 2 Aliyah pesantren. Proses wawancara dilakukan sama dengan partisipan AA

yakni di masjid dekat Pesantren. Saat peneliti menanyakan pengalaman menjadi

korban perundungan, RZ menceritakan kisahnya saat pertama kali masuk pesantren

di malam kedua RZ langsung mengalami perundungan dengan cara wajah dilakban

saat tidur.

“Pernah, pas kalau di pondok tu pertama kali masuk perkenalan sama kawan2
tu malam keduanya saya langsung kena bully, Malam saya lagi tidur, tiba2 ada
yang kasih lakban di muka.” <Files\\subjek reza> - § 2 references coded
[0,56% Coverage], Reference 1 - 0,21% Coverage

Dalam proses wawancara peneliti juga memperoleh data bahwa RZ memiliki

rasa sakit hati yang mendorong RZ melakukan perundungan.

“Iyaaa, kalau senior bisa apain ke junior, yaa kita jadi senior ya apain juga
juniornya.” <Files\\subjek reza> - § 1 reference coded [0,29% Coverage],
Reference 1 - 0,29% Coverage

Partisipan melakukan perundungan tidak berpikir panjang terhadap dampak

apa yang dilakukannya dalam perundungan.

“Kalau bullying itu ngga mikir ya, langsung respon,” <Files\\subjek reza> - §
1 reference coded [0,17% Coverage], Reference 1 - 0,17% Coverage

Berdasarkan informasi dari Rz, maka peneliti menyimpulkan Rz memiliki

kriteria sebagai partisipan penelitian. Hal tersebut disebabkan karena peneliti

menyimpulkan bahwa Rz memiliki pengalaman pribadi menjadi korban dan

memiliki dorongan untuk melakukan perundungan.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

97

3. A (Partisipan 3)

Perkenalan dengan partisipan A direkomendasikan salah satu guru di

Pesantren. Wawancara dilakukan di dalam kelas Pesantren pada malam hari. Pada

saat wawancara partisipan A terlihat santai dalam setiap menjawab pertanyaan dari

peneliti. Pada awal wawancara, A menyampaikan bahwa pernah dirundung pada saat

SMP. Hal tersebut disebabkan karena melawan senior.

“Dibully, dibully yak karena nakal, Suka ngelawan sama senior mu berarti
dibullynya” <Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 2 references coded [0,38%
Coverage], Reference 1 - 0,28% Coverage

Tidak hanya itu, partisipan A juga menyampaikan dalam wawancaranya

menjadi seorang pelaku perundungan. Dalam melakukan perundungan, partisipan A

melakukan dalam bentuk verbal.

“keluar kata-kata apa ya, gak sopan palingan, anti tu gak sopan,”
<Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 2 references coded [0,38% Coverage],
Reference 3 - 0,46% Coverage

Berdasarkan informasi A, peneliti menyimpulkan bahwa A memiliki

kualifikasi/kriteria sebagai partisipan dalam penelitian. Partisipan memiliki kondisi

psikologis sebagai korban dan pelaku perundungan.

4. M (Patisipan 4)

Perkenalan peneliti terhadap partisipan M direkomendasikan oleh salah satu

musyrifah yang berada di asrama. Wawancara terhadap partisipan dilakukan didalam

kelas pada malam hari. Pada saat wawancara partisipan menyampaikan bahwa

perundungan dialami sejak awal M masuk pesantren. Hal tersebut sesuai dengan

kutipan hasil wawancara berikut.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

98

“awal pesantren juga iya pak, sekarangpun masih ada juga pak”
<Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 1 reference coded [0,45% Coverage],
Reference 1 - 0,45% Coverage

Bentuk perundungan yang dialami oleh M yaitu seperti yang disampaikan

berikut ini.

“saya waktu itu pernah pura-pura tidur terus dia ngomong dari belakang kayak
nusuk, kadang pernah juga disindir terus pernah juga saya ngomongnya baik-
baik pak pelan cuman ngomongnya tu nusuk ke hati pak, kaya lembut terus
nusuk, saya juga pernah gara-gara menjalankan amanah dari guru terus saya
kena sama anak kamar pak” <Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 5
references coded [3,59% Coverage], Reference 1 - 2,23% Coverage

Perundungan yang dialami oleh M dilakukan oleh teman satu kamar. Temuan

tersebut diperoleh berdasarkan hasil wawancara berikut ini.

“Kalau diapain senior enggak pernah sih pak, cuman sama anak kamar gitu
pak, dari dulu sampai sekarang masalahnya tu masalah pertemanan di kamar
gitu pak” <Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 1 reference coded [1,04%
Coverage], Reference 1 - 1,04% Coverage

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan peneliti juga memperoleh

informasi bahwasa partisipan ingin dihargai sebagai senior.

“kalau di pondok ni kan yang lebih tua tu harus di hargaikan pak, jadi dia tu
kayak minta tolong kaya seakan akan ana tu kaya angkatan mereka gitu pak”
<Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 1 reference coded [2,02% Coverage],
Reference 1 - 2,02% Coverage

Perundungan yang dialami oleh partisipan memunculkan rasa dendam, namun

M mengerti bahwa dalam Islam tidak pernah mengajarkan untuk dendam.

“kalau niat dendam tu ada sih pak, cuman saya ini kalau sesama manusia tu
gak boleh dendam karena islam tu gak pernah mengajarkan dendam gitu”
<Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 2 references coded [6,10% Coverage],
Reference 2 - 4,08% Coverage

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh M, peneliti menyimpulkan

bahwa M memiliki kualifikasi sebagai partisipan dalam penelitian. Hal tersebut

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

99

disebabkan karena peneliti menyimpulkan bahwa M memiliki pengalaman pribadi

menjadi korban dan memiliki dorongan untuk melakukan perundungan.

5. W (Partisipan 5)

Perkenalan peneliti terhadap partisipan W berdasarkan rekomendasi dari salah

satu musyrifah yang berada di asrama. Wawancara terhadap W dilakukan di

pesantren. Berdasarkan keterangan yang disampaikan bahwa W pernah disuruh-

suruh oleh seniornya. Hal tersebut berdasarkan kutipan hasil wawancara berikut.

“kalau senior sihi kadang, nggak ada sih, Cuma kakak tu mmm sering minta
tolong, ya udah kadang iniii” <Files\\Verbatim Partisipan W (5)> - § 5
references coded [1,89% Coverage], Reference 1 - 0,50% Coverage

Selain itu, W juga pernah didiamkan oleh seniornya.

“enggak, cuman kadang didiemin aja, padahal dulu saling akrab”


<Files\\Verbatim Partisipan W (5)> - § 1 reference coded [0,55% Coverage],
Reference 1 - 0,55% Coverage

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh W, peneliti berpendapat bahwa

W memenuhi kriteria sebagai partisipan penelitian. Hal tersebut disebabkan karena

peneliti menyimpulkan bahwa W memiliki pengalaman pribadi menjadi korban

perundungan.

6. AF (Partisipan 6)

Perkenalan peneliti terhadap partisipan AF berdasarkan rekomendasi salah satu

guru di pesantren. Berdasarkan hasil wawancara peneliti mendapatkan informasi

bahwa AF mengalami perundungan dalam bentuk cacian dan juga tatapan sinis.

“terus saya datang ke kelas itu, terus dari dalam itu mereka udah natap saya
kayak udah gak suka gitu, terus saya kaya ih ngapa ni, masuk terus
menyelesaikan masalah tapi saya rasa saya gak salah gitu saya mengungkapkan
ee, e apa pendapat pendapat teman saya kalau mereka tu kayak gini terus saya
kasih tau ke mereka ternyata mereka gak suka yaudah akhirnya saya, ya

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

100

mungkin saya dicaci waktu itu” <Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 1


reference coded [4,46% Coverage], Reference 1 - 4,46% Coverage

Bentuk cacian dan tatapan sinis yang dilakukan oleh seniornya telah sering

diterima oleh partisipan.

“jadi mereka ee bilang kalau kami ribut waktu itu lagi buka puasa sama jadikan
ada bubar ee terus mereka bilang ee kalau kami ribut, jangan diam kami ya,
biarin kami ribut, pokoknya kayak gitu terus pak, terus ya mungkin yang
sebagian yang lain kaya, kok gitu sih orang ni kan lagi ada acara di kelas,
pokoknya jangan ribut-ribut lah, jangan nyanyi-nyanyi, gendang-gendang gitu
pak terus ee jadi kami agak kurang nyaman gitu terus kebetulan di asrama
pengasuhnya lagi bongkar barang untuk dijual pak, yaudah kami bilang yaudah
yuk kita tengok tempat umi aja tengok-tengok barang, ya udah kami balik ke
asrama pak, sedangkan acara belum selesai kami dah balek duluan”
<Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 2 references coded [5,23% Coverage],
Reference 2 - 5,05% Coverage

Selain tatapan sinis partisipan juga tidak disenangi karena suara dan tingkah

lakunya terlihat seperti anak-anak,

“mungkin itu teman sebelah kamar saya kayak suara saya tu dulu, kayak anak
kecil gitu pak, jadi dia ngira suara saya di buat-buat, jadi karena saya kelas 7
tu masih anak-anak tingkahnya masih kayak anak-anak jadi saya suka jalan
kemana-mana, sampai ke kamar dia itu jarang sih sebenarnya main ke kamar
mereka, karena agak takut pak, terus saya berani duduk di situ, terus dia nanya,
mukanya juga kayak, fif suaramu memang kayak gitu katanya, iya suara ana
memang kayak gini, kenapa emangnya, gak ada kirain kayak di buat-buat aja,
kayak anak kecil” <Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 1 reference coded
[4,58% Coverage], Reference 1 - 4,58% Coverage

Peneliti juga mendapatkan informasi mengenai partisipan yang melakukan

perundungan karena mengikuti teman-temannya.

“ya kalau merundung satu kawan ini karena pengaruh kawan saya, karna
mereka mulai duluan, yaudah saya ikut aja gitu, tapi ada satu orang kadang
saya gak gak mereka ni yang satu lagi ini seringkali bully dia pak, tapi pakai
verbal, saya kayak kadang udahlah tu we, jangan lagi, tapi mereka juga kadang
bully saya juga suatu ketika saya bully dia juga pak” <Files\\Verbatim
Partisipan AF (6)> - § 2 references coded [3,38% Coverage], Reference 2 -
2,90% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

101

Berdasarkan hasil wawancara terhadap partisipan AF, maka peneliti

menyimpulkan bahwa AF bisa dijadikan sebagai partisipan dalam penelitian ini.

Kriteria partisipan tersebut karena partisipan AF pernah menjadi korban dan pelaku

perundungan di asrama.

7. RF (Partisipan 7)

Perkenalan penelitian terhadap partisipan RF, berdasarkan rekomendasi dari

guru BK. Bahwa RF pernah menjadi korban perundungan sejak awal masuk

pesantren.

“saya pernah mengalami perundungan dulu waktu masuk awal tsanawiyah,


saya di pukul sama senior karena waktu itu telat di saat diminta kumpul sama
senior selain itu selama tahun pertama saya beberapa kali di kata-katain kasar
sama senior” <Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 1 reference coded
[5,40% Coverage], Reference 1 - 5,40% Coverage

Partisipan sering dirundung selama satu tahun pertama oleh seniornya.

“ya sering kena bully kita tapi kita bikin kelompok juga agar tidak kena bully
gabung-gabung sama senior dan yang penting tau diri” <Files\\Verbatim
Partisipan RF (7)> - § 1 reference coded [3,05% Coverage], Reference 1 -
3,05% Coverage

Berdasarkan hasil wawancara terhadap partisipan RF, maka peneliti

menyatakan bahwa RF bisa dijadikan sebagai partisipan dalam penelitian ini.

Dikarenakan RF pernah menjadi korban dan pelaku bully di asrama.

8. AL (Partisipan 8)

Peneliti memperoleh rekomendasi dari guru BK. Wawancara dilakukan di

ruangan kelas dalam pesantren. AL seorang murid pesantren kelas 2 SMA. Dalam

proses wawancara AL sangat kooperatif dalam menyampaikan semua informasi.

“Pernah pak, waktu mulai masuk saya dan teman-teman sudah biasa
dibully sama senior-senior. Mereka menyuruh ini menyuruh itu”

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

102

<Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 2 references coded [3,41% Coverage],


Reference 1 - 2,97% Coverage
AL juga menyampaikan pernah melakukan perundungan kepada juniornya.

Hal tersebut terlihat pada hasil wawancara berikut,

“kalau ke adik tingkat supaya mereka hormat sama senior aja. Biar tidak
banyak cengkunek (bahasa Minang; Tingkah)” <Files\\Verbatim Partisipan AL
(8)> - § 1 reference coded [3,13% Coverage], Reference 1 - 3,13% Coverage
Berdasarkan hasil wawancara dengan partisipan AL, oleh sebab itu peneliti

menyimpulkan bahwa AL dapat dijadikan sebagai partisipan dalam penelitian ini.

9. BA (Partisipan 9)

Perkenalan peneliti terhadap partisipan Ba yang merupakan salah satu alumni

pesantren yang pernah menjadi korban sekaligus pelaku perundungan.

“bulli yang saya alami sejak masuk pesantren ini pak, dulu kami istilahnya
diplonco sama abang-abang, disuruh-suruh kadang-kadang dipukul juga”
<Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 1 reference coded [3,26% Coverage],
Reference 1 - 3,26% Coverage
Peneliti juga mendapatkan informasi, bahwa partisipan yang saat ini telah

menjadi senior juga memperlakukan hal yang sama kepada adik kelasnya.

“senang aja sih pak lihat respon adik-adik tu, jadinya mereka segan sama kita”
<Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 2 references coded [5,30% Coverage],
Reference 2 - 2,04% Coverage
Bentuk perundungan yang dilakukan terhadap partisipan yaitu memberikan

ancaman kepada adik kelas.

“paling tidak mereka menyapa kalau mau lewat jangan asal lewat aja.. apalagi
kita lagi duduk-duduk di dekat jalan” <Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - §
3 references coded [7,89% Coverage], Reference 3 - 2,59% Coverage

Berdasarkan wawancara dengan partisipan Ba, maka dapat disimpulkan bahwa

Ba dapat dijadikan partisipan dalam penelitian ini. Hal tersebut disebabkan karena

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

103

Ba memiliki pengalaman pribadi menjadi korban perundungan dan juga menjadi

pelaku perundungan.

10. YA (Partisipan 10)

Perkenalan dengan partisipan YA berdasarkan rekomendasi salah satu teman

yang pernah menangani permasalahan psikologis terkait bullying. Partisipan YA

mengajar di salah satu kampus universitas swasta di Pekanbaru. Bapak YA juga

berprofesi sebagai seorang Psikolog yang sering menangani klien permasalahan.

“secara spesifik ya kasus apa ya, kasus ya apa ya penanganan kasusnya itu kan
holistik ya, artinya Ketika yang datang itu korban, itu secara otomatis
penanganannya itu, kalau di pesantren melibatkan ketua asrama dan
sebagainya, jadi ya beberapa kasus pernah menangani, hanya saja dari sisi
korbannya terlebih dahulu” <Files\\Verbatim Partisipan Psikolog (10)> - § 1
reference coded [1,42% Coverage], Reference 1 - 1,42% Coverage
Partisipan YA juga menyampaikan beberapa pelaku yang dalam melakukan

perundungan di pesantren.

“dan dia membuat geng baru jadi dia membuat geng baru untuk istilahnya biar
dia punya kekuatan gitu ya, nah akhirnya ya dia membuat kelompok baru, ada
yakan tadinya ada dia tukan penyendiri ya penyendiri nah kemudian dia dengan
temannya membuat kelompok gitu loh pak sigit. Jadi dia membuat kelompok
baru mungkin nah jadi dia jadi berani, berani untuk menekan orang nekan
temen temennya gitu ya kaya gitu, polanya itu ya tadi dia membuat kelompok-
kelompok baru lagi” <Files\\Verbatim Partisipan Psikolog (10)> - § 2
references coded [3,45% Coverage], Reference 1 - 2,08% Coverage

Partisipan juga memberikan keterangan bahwa perundungan yang dilakukan

oleh pelaku yaitu dengan membentuk suatu kelompok yang membuat para pelaku

menjadi berani untuk melakukan perundungan.

“ha iya, betul sebenarnya kalau dari sisi fisik dari sisi kekuatan dia ini tidak,
istilahnya ndak terlalu ngono kan ndak terlalu berani makannya dia
mengumpulkan teman-temannya ini gitu ya membuat geng baru. Akhirnya dia
jadi berani, dan kasus ini ketahuannya memang Ketika dia sudah naik kelas
gitu ya” <Files\\Verbatim Partisipan Psikolog (10)> - § 2 references coded
[3,45% Coverage], Reference 2 - 1,37% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

104

Berdasarkan yang disampaikan oleh YA terkait permasalahan perundungan

yang sering ditangani baik itu dari sisi korban maupun pelaku. Ini menunjukan YA

memenuhi syarat menjadi partisipan dalam penelitian. Kedekatan peneliti dengan

YA juga mendukung dalam menguatkan partisipan menjadi bagian dari penelitian.

Peneliti mengenal baik dan mengetahui YA sering menangani kasus di Pesantren

khususnya pada kasus perundungan

11. AM (Partisipan 11)

Peneliti memiliki hubungan dengan AM sebagai dosen dan mahasiswa. AM

seorang mahasiswa di salah satu kampus swasta di Pekanbaru. AM juga alumni dari

pondok pesantren di Bengkalis. Dari hasil wawancara AM sudah mengalami

perundungan dari sejak SD.

“Ketika teman-teman itu, punya keinginan untuk gini, misalnya ada mangga
yang masak gitu dilingkungan depan SD waktu itu, terus mereka melempar
mangga itu tanpa minta izin lagi naah disitu saya keberatan untuk ikut cuman
ya Saya ingin lapor guru karena teman-teman ini mencuri Jadi mereka itu kayak
janganlah kamu lapor gak gini nanti gini gini terus Akhirnya saya dibilang
kamu ini sok sok baik gini-gini kamu itu anak pindahan pasti kamu bermasalah
ya dari SD dulu di sana. Padahal kan saya itu pindah itu karena faktor keluarga
saya pindah pindah, ibu tugas pindah tugas jadi saya itu bukan karena
dikeluarkan dari sekolah karena nakal, enggak Tapi itu tadi karena itu sehingga
mereka itu melabeli saya saya ini dibilang anak nakal terus saya melakukan
kebaikan pasti dibilang aah sok-sokan gini gini gini” <Files\\Verbatim
Partisipan Alumni 1 (11)> - § 1 reference coded [6,38% Coverage], Reference
1 - 6,38% Coverage

AM merasa bangga ketika melakukan perundungan. Hal tersebut dilakukan

karena merasakan hal sesuai dengan diri ketika melakukan perundungan.

“Kebanggaan gimana yaa, eem saya merasa pas Ketika saya membully orang
dan melihat orang itu merasa sedih atau kecut yang dinyalinya ketika di bully,
saya merasa bangga gini, wah saya lebih hebat dari dia, dia ini jadi lemah
Ketika saya bully seperti itu, Ketika saya ejek dia menjadi lemah, jadi tidak
berdaya gitu jadi saya menjadi orang yang kuat terhadap gitu dirinya”

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

105

<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1 (11)> - § 1 reference coded [2,96%


Coverage], Reference 1 - 2,96% Coverage

Berdasarkan yang disampaikan partisipan AM, peneliti dapat mengambil

keputusan bahwa AM memiliki kriteria sebagai partisipan penelitian. Partisipan

pernah mengalami sebagai korban perundungan dan juga setelah itu menjadi seorang

pelaku perundungan.

12. MAF (Partisipan 12)

Partisipan MAF seorang penjaga masjid yang merupakan alumni pesantren di

salah satu kota Pekanbaru. Peneliti sudah mengenal lama dan sering berinteraksi

dengan MAF. Proses wawancara dilakukan dalam masjid tempat dimana partisipan

tinggal.

“Saya ketiduran di kelas belajar ketika malam hari ini saya tidak tahu ini orang
punya masalah apa sama saya tiba-tiba aja Ketika saya tidur dengan pulas nya
dia bakar kaki” <Files\\Verbatim Partisipan Alumni 2 (12)> - § 1 reference
coded [6,16% Coverage], Reference 1 - 6,16% Coverage

Perundungan yang dilakukan oleh partisipan dan kelompoknya dilakukan

tanpa adanya rencana terlebih dahulu.

“Haa itu biasanya tidak direncanakan datang gitu aja ibaratnya itu jika tidak
ada momennya datang kesempatannya langsung aja kami gitu kan tanpa ada
perencanaan” <Files\\Verbatim Partisipan Alumni 2 (12)> - § 2 references
coded [1,12% Coverage], Reference 2 - 0,94% Coverage

Berdasarkan yang disampaikan partisipan MAF, peneliti dapat mengambil

keputusan bahwa MAF memiliki kriteria sebagai partisipan penelitian. Partisipan

pernah mengalami sebagai korban perundungan dan juga setelah itu menjadi seorang

pelaku perundungan.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

106

13. G (Partisipan 13)

Peneliti meminta informasi mengenai kasus perundungan kepada G yang

merupakan salah satu musyrifah yang ada di pesantren. Peneliti tidak memiliki

rekaman wawancara, karena wawancara dilakukan via Whatsapp dikarenakan

setelah beberapa kali dihubungi partisipan menyampaikan bahwa tidak memiliki

waktu untuk melakukan wawancara secara tatap muka.

Berdasarkan hasil wawancara, peneliti memperoleh informasi bahwa di

pesantren terdapat kasus perundungan.

“Kasus bullying di pesantren pernah terjadi, khususnya bagi santri atau


santriwati yang baru masuk untuk mondok di pondok pesantren.”
<Files\\Verbatim Partisipan Guru (13)> - § 1 reference coded [3,74%
Coverage], Reference 1 - 3,74% Coverage

Kasus perundungan yang terjadi di pesantren juga diketahui oleh G yang

berperan sebagai guru.

“Ustad/ustadzah mengetahui kejadian bullying dikarenakan adanya laporan


dari beberapa pihak seperti teman sekelas atau teman sekamar dengan korban.
Informasi lainnya didapatkan dari pihak klinik yang melaporkan santri yang
terkena bullying fisik seperti pemukulan sehingga menyebabkan luka memar
yang cukup serius, sehingga ketika korban meminta obat untuk pereda nyeri ke
pihak klinik mereka mendapatkan informasi bahwasanya anak tersebut terkena
bullying oleh kakak kelasnya.” <Files\\Verbatim Partisipan Guru (13)> - § 2
references coded [17,08% Coverage], Reference 2 - 13,34% Coverage

Partisipan G yang berperan sebagai guru juga menceritakan bentuk

perundungan yang terjadi pada santri

“Reaksi yang diberikan pembully ialah berupa kekerasan fisik maupun verbal.
Contoh: Seorang santri kelas XII inisial S memerintahkan adik kelasnya yang
duduk di kelas VII untuk membelikan sejumlah makanan di koperasi yang
kebetulan agak sedikit jauh dari asrama. Dikarenakan si anak akan pergi ke
masjid ia menolak perintah sang kakak kelas. Karena merasa tidak dihormati
malam harinya ia memanggil adik kelas VII yang berinisial N itu ke kamarnya.
Sesampainya di kamar ia langsung memukul N dengan bantuan 2 orang teman
lainnya. Adapun bagian yang dipukuli ialah perut, kepala, tangan dan kaki.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

107

Contoh bullying verbal : mengejek bentuk fisik seperti memanggil dengan


sebutan juling, dikarenakan ia merasa temannya tersebut berbeda dengan
teman yang lainnya. Memanggil dengan sebutan encing, dikarenakan ia pernah
mengompol ketika malam tidur malam hari di asrama dan dianggap jorok dari
teman teman lainnya.” <Files\\Verbatim Partisipan Guru (13)> - § 3 references
coded [42,49% Coverage], Reference 3 - 25,42% Coverage

“Kejadian bullying biasanya terjadi di kelas maupun di asrama selama tidak


ada pengawasan dari pihak ustad/ustadzah sehingga pembully lebih leluasa
melakukan aksinya khususnya ketika malam hari.” <Files\\Verbatim Partisipan
Guru (13)> - § 4 references coded [48,05% Coverage], Reference 4 - 5,55%
Coverage

Berdasarkan informasi yang didapat mereka menyatakan bahwasanya pelaku

yang dulunya korban bullying merasa ingin balas dendam dikarenakan ia merasa hina

karena dulunya pernah mengalami perundungan. Sehingga yang dulunya ia ialah

seorang yang pemalu dan selalu nurut, ketika menjadi kakak kelas ia menjadi seorang

yang keras dan sering membully teman bahkan adik kelasnya.

5.1.4. Proses Analisis Data

Proses analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan software

manajemen data NVIVO 12 plus, dengan peneliti sebagai instrumen kunci penelitian

(QSR International, 2012; Bandur, 2019; Herdiansyah, 2010).

a. Open Coding

Tahapan analisis pertama yang dilakukan oleh peneliti adalah open coding.

Seluruh proses open coding dalam tahapan analisis komparatif konstan dilakukan

dengan menggunakan bantuan software manajemen data kualitatif NVIVO 12 plus.

Secara umum, proses koding dalam penelitian grounded theory dilakukan secara

induktif dimana peneliti mengidentifikasi ide-ide utama yang muncul atau terdapat

dari transkrip (data) (Richards, 2005).

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

108

Tahapan open coding menggunakan NVIVO 12 plus disebut dengan koding

deskriptif. Pada tahap ini peneliti mengidentifikasi informasi-informasi penting dan

bermakna yang menjawab pertanyaan penelitian setelah melakukan skimming atau

membaca topik-topik utama data untuk menemukan ide. Identifikasi dilanjutkan

dengan membuat nodes atau kontainer-kontainer berisi kata kunci atau kode-kode

informasi yang kemudian disebut sebagai konsep. Penulis kemudian menemukan dan

mengidentifikasi 32 nodes atau konsep sebagai berikut seperti yang tergambar pada

tabel 7 (terlampir). Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah peneliti mencermati

nodes kategori-kategori yang telah diidentifikasi untuk kemudian menentukan

properti dan dimensi dari setiap kategori. Beberapa nodes ternyata memiliki

keselarasan dan bahkan dapat menjadi bagian dari nodes yang lain, oleh karena itu

peneliti mengidentifikasi nodes induk dan nodes anak. Nodes induk selanjutnya

merepresentasikan kategori, sedangkan nodes anak merepresentasikan properti dan

dimensi dari kategori. Tabel 7 berikut menyajikan nodes induk sebagai kategori dan

nodes anak sebagai properti dan.dimensi.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

109
Tabel 7. Identifikasi konsep open coding
No. Nama Konsep Properti Dimensi Contoh pernyataan
(nodes induk)
1. Gambaran Dialami Bentuk fisik “….nanti abang-abang kelas tu kan datang tiba-tiba kekamar kami nanti introgasi kan
perundungan ntah apa yang diintrogasi bahkan nanti sampai pukul memukul…”
Bentuk verbal “paling nanti orang tu saling ngejek sampai sakit hati”
Pemalakan “Itu biasanya abang kelas kalau ngga ada duit nanti lari ke adek kelasnya malam-malam
hari kan datang ke kamar pas dia ngga ada duit minta duit, itu pun rasanya ngga enak
karena secara paksa gitu mentang-mentang abang kelas minta-minta gitu aja”
Fisik “saya ngomong lewat belakang saya pukul kepalanya saya tendang punggungnya”
Dilakukan
2. Kondisi Aspek Afeksi “Karena dulu masih baru jadi saya nurut aja, ngga berani melawan karena kalau kita
psikologis saat psikologis ngelawan kita yang kena kita yang azab, ada teman tu kan ngelawan dah jadi kena pukul
menjadi korban aja, saya pribadi ngga berani ya pasrah aja”
Kognisi “Ya dongkol ya, mau ngelawan tapi orang tu rame, besar lagi ngga bisa ngapa-ngapain”
perilaku
3. Pengambilan Kriteria Adik kelas “Orang yang suka ngelawan senior”
keputusan korban Teman “kalau sesama angkatan tu dia ngga pake mikir lagi, apa aja yang ada yang jelek sama
seagkatan kita tu langsung dibilangnya sama kita dan kita pun ngga mau berkawan sama dia”
Senior “Kalau senior tengok situasi dulu kalau seniornya lagi rame kan susah nanti kena”
Perdebata Pertimbangan “Yaa pengayoman ya dari orang-orang yang lebih dari dewasa, mengayomi dari ustad2
n diri positif dari gitu jangan membully karena membullyi itu orang-orang yang dibully itu bisa bunuh diri
lingkungan gitu, bisa mentalnya itu jatuh”
4. Kondisi Aspek Afeksi “kami lakukan itu puas hati kami setelah abang tu tamat, rasa dendam ngga kesampaian
psikologis saat psikologis tadi junior yang kami apakan”
jadi pelaku Kognisi “Iya ada, jadi kami diskusi sepakat, padahal yang bikin masalah satu tapi yang kena
semua”
Perilaku “Biasanya saya seolah-olah paling hebat ngomong didepan orang tu semua”

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

110

b. Tahap axial coding

Tahapan setelah melakukan open coding adalah melakukan axial coding.

Pada tahap ini penulis menghubungkan subkategori dengan sebuah kategori dalam

suatu hubungan yang menunjukkan kondisi kausal, fenomena, konteks, kondisi

perantara, strategi tindakan/interaksional, dan konsekuensi. Penggunaan model ini

memungkinkan penulis untuk berpikir secara sistematis tentang data dan

menghubungkannya dalam cara-cara yang sangat kompleks. Berdasarkan hasil

eksplorasi hubungan antar tema, hasil axial coding dapat dirangkum dalam tabel

pola kategori yang teridentifikasi untuk menjelaskan dinamika proses perubahan

peran korban menjadi pelaku perundungan, seperti tabel 8.

Tabel 8. Axial Coding Partisipan A

Kondisi kausal: Hal-hal yang menyebabkan Fenomena: Peristiwa utama yang


terjadinya suatu fenomena. menjadi sentral suatu keterkaitan
Pengalaman terkait perundungan. dengan kejadian disekitarnya.
Subjek pernah melakukan perundungan. Baik
sebagai pelaku maupun korban. Menjadi pelaku perundungan sebagai
Subjek sering diganggu ketika sedang sendirian. sarana pelampiasan dendam.
Subjek menerima perlakuan fisik (pukulan)
yang tidak menyenangkan dari pelaku
perundungan.
Pelaku perundungan berkelompok.
Bentuk perilaku perundungan.
Mengintimidasi dengan perkataan
Memukul kepala
Menendang punggung
Perilaku yang diterima saat menjadi korban
Subjek menerima bentuk perilaku agresi berupa
verbal dan nonverbal dengan diinterogasi,
diejek, dipukul hingga berkelahi.
Selain itu juga dimintai uang oleh abang kelas.
Konteks: Kondisi, tempat atau hal-hal yang Kondisi intervening (perantara):
terkait suatu fenomena. Suatu kondisi yang mampu
Kronologi perundungan mendukung atau menghambat
Perundungan berawal dari individu yang strategi tindakan.
mengejek Faktor protektif pelaku bullying.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

111

Perilaku perundungan dilakukan di taman Perasaan iba melihat orang lain


pondok pada saat malam hari. mengalami perundungan
Faktor risiko pelaku perundungan
Ajakan teman menjadi salah satu
faktor risiko
Adik kelas melakukan kesalahan
Strategi tindakan: Cara untuk menangani Konsekuensi: Hasil dari strategi dan
fenomena yang dialami. lingkungan disekitar.
Pergulatan batin antara kasihan dan ajakan dari Menjadi pelaku perundungan.
teman.
c. Tahap selective coding

Tahapan terakhir dari analisis komparatif konstan dalam grounded theory yaitu

selective coding. Pada tahap ini, dihasilkan rumusan teori substantif yang dapat

menjelaskan fenomena yang diteliti (Strauss & Corbin, 2013), dalam penelitian ini

yaitu dinamika psikologis pada proses perubahan korban menjadi pelaku

perundungan. Langkah yang dilakukan dalam tahap ini yaitu dengan mengaitkan

sejumlah kategori secara sistematis sehingga membentuk suatu skema, memastikan

keabsahannya dengan mengecek kembali pada data, dan menyusun alur cerita yang

menjelaskan skema yang dihasilkan.

5.2. Hasil Analisis Data


Proses analisis data yang telah dilakukan meliputi: proses open coding yang

menghasilkan beberapa jumlah kategorisasi sebagai konseptual data penelitian,

kemudian proses axial coding yang menghasilkan pola hubungan antara

kategorisasi yang dihasilkan dan proses selective coding yang menghasilkan suatu

alur gambaran dalam perumusan teori tentang fenomena penelitian. Dari proses

tersebut dihasilkan kategori yang menyusun konsep tertentu dan dicari kaitan

benang merahnya sehingga membentuk sebuah dinamika berupa fase atau tahapan

perubahan korban menjadi pelaku perundungan.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

112

5.2.1. Kategori Data Penelitian

Berdasarkan hasil analisis data, teridentifikasi 5 kategori berdasarkan properti

dan dimensi yang diperoleh melalui open coding dengan melakukan konseptualisasi

data yang bersumber dari hasil wawancara (transkrip wawancara). Proses

perumusan kategori ini dapat dilihat pada lampiran (tabel open coding). Adapun

kategori yang telah teridentifikasi diuraikan sebagai berikut:

1. Alasan masuk pesantren

Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh ditemukan bahwa alasan anak

didik pesantren memasuki sekolah cenderung tidak karena keinginan sendiri

melainkan karena keinginan orang tua. Keinginan ini berwujud paksaan dari orang

tua yang menjadi dasar anak didik memilih masuk pesantren. Anak yang memasuki

pesantren bukan karena keinginannya menunjukkan sikap pasrah dan penurut

terhadap pilihan orang tuanya. Sedangkan respon yang mereka tunjukkan di sekolah

cenderung suka mencari perhatian sehingga menjadi pelaku maupun korban

perundungan.

2. Gambaran perilaku perundungan

Konteks gambaran perilaku perundungan terjadi pada dua kondisi yaitu

perundungan yang dialami dan yang dilakukan. Perundungan yang dialami maupun

yang dilakukan cenderung terjadi di tempat-tempat yang tidak terawasi oleh

penjaga asrama maupun ustadz. Tempat ini meliputi kamar, kelas, asrama, lorong

asrama, maupun di belakang masjid. Adapun waktu terjadinya perundungan ini

adalah disaat malam hari, setelah kegiatan belajar mengajar selesai. Aksi

perundungan cenderung dilakukan oleh beberapa orang. Hal ini memberikan pelaku

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

113

rasa percaya diri dan merasa lebih kuat saat melakukan perundungan bersama

teman.

Perilaku perundungan yang ditemukan pada pesantren adalah perundungan

fisik dan verbal. Pada jenis perilaku perundungan fisik, perilaku ini tidak semata-

mata berbentuk agresi yang melukai fisik korbannya, melainkan juga terdapat

pemaksaan permintaan uang dan memberikan perintah kepada korban untuk

melakukan sesuatu yang tidak mereka senangi.

Perilaku perundungan berjenis verbal yang ditemukan berupa menyampaikan

perkataan yang menyakiti hati baik dari isi perkataan, menyebut kata kotor, maupun

cara penyampaian pelaku, serta memanggil korban dengan kekurangan yang

dimiliki. Perilaku perundungan tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah,

melainkan ditemukan di rumah. Pelaku maupun korban cenderung memiliki

pengalaman kekerasan di rumah baik seperti verbal maupun fisik.

Korban perundungan memiliki respon psikologis yang sama. Perasaan sakit

hati, tertekan, marah, takut, sedih hingga menyebabkan mereka memiliki keinginan

untuk balas dendam pada pelaku. Namun karena perbedaan usia, kelas dan persepsi

terhadap senior, korban cenderung tidak melakukan balas dendam ke pelaku

melainkan ke junior yang baru masuk pesantren maupun teman sekelas.

3. Hubungan dengan mesosistem

Kategori ini menggambarkan hubungan pelaku dengan keluarganya,

keterlibatan dengan organisasi sekolah, dan persepsi terhadap pesantren. Hubungan

pelaku dengan keluarganya berisi persepsi pelaku terhadap perilaku atau perlakuan

orang tua yang diterima waktu kecil yang terkait dengan perilaku agresif dan

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

114

keadaan keluarga seperti kurangnya rasa kasih sayang dan perhatian yang diberikan

orang tua.

Keterlibatan santri di dalam organisasi di sekolah juga dapat menjadi faktor

yang menentukan apakah yang bersangkutan akan menjadi pelaku perundungan

atau tidak. Sebagai contoh Santri yang terlibat dalam organisasi kesiswaan yang

menjadi panitia penerimaan santri baru memiliki kecenderungan untuk melakukan

perilaku perundungan dibandingkan santri yang tidak terlibat dalam organisasi

kesiswaan tersebut.

Selain kedua hal diatas persepsi terhadap pesantren juga menentukan untuk

terjadinya perilaku perundungan atau tidak. Santri-santri yang memiliki persepsi

yang kurang baik terhadap Pesantren, ustadz dan lingkungan pesantren secara

umum memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk terlibat dalam perilaku

perundungan. Perlakuan kasar yang diterima oleh santri dari Ustadz atau penjaga

cenderung akan menjadi model untuk dicontoh. Hal lain yang membuat

perundungan Bertahan di pesantren adalah hampir semua pesantren

menyembunyikan atau tidak membuka informasi secara terbuka terkait dengan

kejadian perundungan yang ada disana. Hal ini dilandasi motif untuk menjaga

nama baik yang secara luas di persepsi masyarakat sebagai lembaga yang memiliki

standar moral yang tinggi.

4. Pengalaman kekerasan sebelum masuk pesantren

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti beberapa

waktu yang lalu, di ketahui bahwa partisipan sebelumnya pernah mengalami tindak

kekerasan salah satunya dalam bentuk hukuman dari guru di sekolah sebelumnya.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

115

Hukuman dari seorang guru kepada murid sudah menjadi hal yang sangat wajar,

dan selalu kita temui di berbagai sekolah. Karena di setiap sekolah terdapat

peraturan yang wajib dipatuhi, maka jika ada siswa yang melanggar aturan tersebut

akan diberikan sanksi atau hukuman.

Tidak hanya di sekolah, anak juga sering mendapat hukuman dari orang tua

di rumah. Kekerasan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak sudah menjadi

hal yang umum di masyarakat luas. Kekerasan di lingkungan rumah biasanya terjadi

akibat kurangnya pendidikan orang tua dalam mendidik anak. Sehingga

menciptakan keadaan atau suasana rumah yang kurang nyaman yang menyebabkan

anak tidak mau mendengarkan perkataan orang tua. Selain dari orang tua para

pelaku memiliki pengalaman mendapat hukuman yang dilakukan oleh senior

sebelum mereka masuk ke pesantren. Akibatnya, anak yang sering mengalami

tindak kekerasan cenderung mengingat kejadian-kejadian yang pernah mereka

alami. Pengalaman seperti ini bisa menimbulkan rasa trauma terhadap anak dan

bahkan juga bisa menimbulkan rasa penasaran terhadap anak tersebut. Hal ini bisa

memicu anak untuk melakukan tindak kekerasan sebagai bentuk pelampiasan

terhadap kondisi yang pernah dialami.

5. Kontribusi guru terhadap munculnya perilaku perundungan.

Peran lingkungan yang cukup signifikan terhadap munculnya perilaku

perundungan datang dari sikap atau perilaku guru yang kurang sesuai. Hal ini terjadi

karena pengetahuan dan pengalaman guru yang kurang dalam memahami perilaku

perundungan. Guru terkadang mengabaikan perilaku perundungan karena

menganggap perilaku tersebut sebagai sesuatu yang biasa dan cara bermain santri.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

116

kurangnya pengawasan pada jam-jam istirahat serta ketika di asrama juga menjadi

celah bagi santri untuk melakukan perundungan. Berikutnya adalah guru banyak

tergantung dari laporan santri mengenai perilaku perundungan sedangkan rata-rata

korban tidak akan berani melaporkan kejadian perundungan yang menimpanya.

5.2.2. Fase Dinamika Perubahan dari Korban Menjadi Pelaku Perundungan

Lima kategori dari proses open coding menjadi acuan dalam melakukan

analisis data pada tahapan selanjutnya, yaitu pada tahapan axial coding dan

selective coding. Dalam proses axial coding dapat diidentifikasikan proses saling

berhubungan antara lima kategori untuk melihat proses (Strauss & Corbin, 1998)

dinamika perubahan dari korban menjadi perilaku perundungan. Selanjutnya pada

tahapan selective coding setiap kategori akan dikaitkan dengan sistematis untuk

membentuk skema teori (Strauss & Corbin, 1998) yang menjelaskan dinamika

perubahan dari korban menjadi pelaku perundungan.

Berdasarkan hasil dari analisis data, peneliti mengkonstruksi enam fase dalam

dinamika perubahan dari korban menjadi pelaku perundungan, yaitu fase menjadi

korban perundungan, fase tersakiti, fase mengalami frustasi, fase adaptasi dan

menunggu menjadi pelaku perundungan, fase mencoba, dan fase menjadi pelaku

perundungan. Pada semua fase ini dapat menggambarkan proses terbentuknya

korban perundungan menjadi pelaku perundungan. Tabel 9 menjelaskan secara

singkat mengenai fase-fase terbentuknya korban perundungan.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

117

Tabel 9. Rangkuman Fase dalam Dinamika Terbentuknya Korban Menjadi Pelaku


Perundungan

Fase dinamika Deskripsi


Fase menjadi korban adalah kondisi ketika seseorang mengalami
perundungan perundungan baik itu berupa perundungan fisik,
verbal, maupun sosial berupa pengucilan.
Fase tersakiti adalah tahapan dimana korban didominasi
perasaan marah, kecewa, ingin balas dendam,
takut, tidak berdaya yang dialami oleh korban.
Fase mengalami frustasi adalah tahapan dimana korban menunjukkan
reaksi afeksi dan kognisi dari dendam yang
muncul pada fase sebelumnya.
Fase koping maladaptif adalah tahapan dimana individu memiliki
keinginan untuk melakukan perundungan
namun belum dapat dilakukan berdasarkan
analisis situasi. Pada tahap ini muncul perasaan
superior sebagai senior, belajar perilaku
perundungan dari pengalaman, dan pengamatan
serta reward yang ada dengan
mengesampingkan konsekuensi afeksi dan
kognisi negatif yang telah dirasakan ketika
menjadi korban perundungan.
Fase mencoba adalah tahapan ketika seseorang melakukan
perundungan untuk pertama kali. Pada situasi ini
seseorang didominasi oleh kebutuhan rasa aman,
penghargaan dari junior, reward materi, standar
moral yang rendah, dukungan teman untuk
melawan kembali, pengabaian nilai positif yang
dipelajari, bergabung dengan kelompok pelaku
perundungan
adalah tahapan dimana seseorang merasa
Fase menjadi pelaku nyaman menjadi pelaku perundungan. Pribadi
perundungan yang bersangkutan menikmati reward,
menerima pengakuan, justifikasi moral
melakukan perundungan, pelepasan emosional.

Keenam fase dalam dinamika terbentuknya korban perundungan menjadi

pelaku, secara sistematis dijelaskan sebagai berikut:

1. Fase menjadi korban perundungan

Tahap ini menggambarkan bagaimana seorang santri mengalamai

perundungan pada awal memasuki pesantren. Ada beberapa bentuk perundungan

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

118

yang dialami baik fisik maupun verbal. Hal yang sangat lazim diterima adalah santri

yang baru masuk disuruh oleh senior melakukan hal-hal yang tidak disukai.

Kebiasaan ini berkaitan dengan ritual penerimaan santri pada tahun ajaran baru.

Selain itu juga terdapat perundungan dalam bentuk fisik dan juga pemalakan.

a. Bentuk perundungan yang dialami

1) Mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan

Santri yang baru masuk di pesantren rentan untuk mengalami perundungan,

bentuk perundungan berupa aktivitas melakukan sesuatu yang tidak mereka sukai.

Tindakan yang tidak menyenangkan tersebut rata-rata dialami santri yang baru

masuk di pesantren. Berdasarkan wawancara dengan sembilan partisipan, tema ini

ditemukan pada enam partisipan.

“eee...pernah pak waktu mulai masuk saya dan teman-teman sudah biasa
dibully sama senior-senior. Mereka menyuruh ini menyuruh itu.”
<Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 1 reference coded [0,72% Coverage]
Reference 1 - 0,72% Coverage

Perbuatan yang tidak menyenangkan berbentuk agresi fisik dan verbal. Data

penelitian menunjukkan berbagai bentuk agresi fisik dan verbal yang

merepresentasikan perundungan yang menyakiti tubuh dan afeksi santri melalui

kata-kata (verbal).

“Reaksi yang diberikan pembully ialah berupa kekerasan fisik maupun


verbal. Contoh : Seorang santri kelas XII inisial S memerintahkan adik
kelasnya yang duduk…….”<Files\\Verbatim Partisipan Guru (13)> - § 1
reference coded [3,96% Coverage], Reference 1 - 3,96% Coverage

Santri yang baru masuk hampir pasti tidak memiliki keberanian untuk

menolak tindakan yang mereka terima tersebut. Hasil penelitian di atas menjelaskan

fenomena kekerasan dan perundungan yang terjadi pada santri senior kepada santri

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

119

junior. Fenomena perundungan mencakup pemukulan dan ejekan pada kondisi fisik

santri junior. Perundungan itu mencakup aspek fisik pada santri junior.

2) Perundungan Fisik

Bentuk agresi yang diterima oleh santri yang baru masuk salah satunya adalah

agresi fisik. Bentuknya berupa pukulan ringan sampai berat menyebabkan patah

tulang. Perundungan berbentuk agresivitas fisik menunjukkan kondisi santri

mengalami perundungan pada aspek fisik dengan memprihatinkan. Hasil atau data

penelitian adanya santri yang mengalami atau menjadi korban perundungan pada

aspek fisik terdapat pada data partisipan berikut ini. Adapun tema ini ditemukan

pada tujuh dari sembilan partisipan.

“ya iya saya membandingkan bukan di pesantren, saya di sekolah umum ya


misalkan anak SMA , kemudian ada anak SMP gitu ya, itu luar biasa sampai,
opo ya memang mengerikan gitu ya, variasinya variasi jadi dia ini pelaku
kekerasan di apa, di komunitasnya itu ya, sampai dia melakukan kekerasan
kepada juniornya itu sampai kakinya patah gitu loh.” <Files\\Verbatim
Partisipan Psikolog (10)> - § 3 references coded [0,59% Coverage],
Reference 1 - 0,33% Coverage

Pada sisi lain, data penelitian yang menunjukkan adanya korban perundungan

pada fisik cenderung terjadi pada fase awal siswa atau santri junior baru memasuki

pesantren. Santri senior selalu meminta para junior untuk berkumpul pada awal-

awal masuk pesantren. Kegiatan berkumpul yang diselenggarakan biasanya secara

diam-diam tanpa diketahui oleh pembina pesantren. Pada masa awal masuk

pesantren, santri junior bahkan mengalami perundungan berupa dipukul dan dimaki

(mendapatkan ucapan kasar) dari santri senior. Pemukulan itu merupakan indikator

perundungan fisik yang dialami santri junior sebagai korban.

“saya pernah mengalami perundungan dulu waktu masuk awal tsanawiyah.


Saya dipukul sama senior karena waktu itu telat di saat diminta kumpul sama

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

120

senior. Selain itu selama tahun pertama saya beberapa kali dikata-katai kasar
sama senior. <Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 1 reference coded
[5,40% Coverage], Reference 1 - 5,40% Coverage

3) Pemalakan

Bentuk perundungan yang dilakukan oleh senior juga dalam bentuk meminta

uang secara paksa atau pemalakan (pemerasan). Pemalakan tersebut dilakukan oleh

santri senior dengan cara langsung mendatangi ke kamar pada malam hari. Hal ini

ditemukan pada tujuh dari sembilan partisipan.

“Itu biasanya abang kelas kalau ngga ada duit nanti lari ke adek kelasnya
malam-malam hari kan datang ke kamar pas dia ngga ada duit minta duit, itu
pun rasanya ngga enak karena secara paksa gitu mentang-mentang abang
kelas minta-minta gitu aja.” <Files\\subjek Aldi> - § 1 reference coded
[0,71% Coverage], Reference 1 - 0,71% Coverage

Pemalakan juga dilakukan siswa atau santri senior ketika memberikan

hukuman jika terlambat datang ke mesjid. Pemalakannya berupa perintah santri

senior untuk membelikan sesuatu tanpa diberikan uang kepada santri junior yang

menerima hukuman. Jadi, pemalakan merepresentasikan tindak agresif santri senior

yang mengindikasikan perilaku memeras dan tidak menyenangkan bagi santri

junior.

“Terus mau masuk ke masjid telat gitu, itu ada aja salah nanti disuruh
merangkak, disuruh kutip sampah, apa segala macam nanti kalau mereka
kurang puas nih di situ nanti kita itu disuruhnya tolong beli jajan saya gini-
gini uang nggak dikasih tapi disuruh beli jajan seperti itu.” <Files\\Verbatim
Partisipan Alumni 1 (11)> - § 1 reference coded [0,43% Coverage],
Reference 1 - 0,43% Coverage

4) Perundungan Verbal

Perundungan verbal merupakan tindakan berupa kata-kata yang tidak

menyenangkan dari pelaku perundungan kepada korban perundungan. Bentuk

perundungan verbal antara lain berupa kalimat yang berisikan ejekan tentang

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

121

kekurangan pada diri korban. Tema verbal ini ditemukan pada delapan dari

sembilan partisipan.

“Aaaa mulai dari ejek-ejekan orang tua, terus kondisi keluarga, pokoknya apa
yang ada kekurangan di diri kita itu jadi bahan bullying begitu.”
<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1 (11)> - § 2 references coded [0,86%
Coverage], Reference 2 - 0,68% Coverage

Tindakan perundungan verbal yang diterima santri junior berimplikasi kepada

korban yang mengalami sakit hati (aspek emosional). Selain itu, dampak

perundungan verbal tersebut menimbulkan tindakan reaktif untuk melakukan

pembalasan.

“Selain itu paling nanti orang tu saling ngejek sampai sakit hati, ujung-
ujungnya berantem.” <Files\\subjek Aldi> - § 1 reference coded [0,16%
Coverage], Reference 1 - 0,16% Coverage

Komponen dan sub komponen pada fase pertama tersebut dirangkum pada

tabel 10.

Tabel 10. Rangkuman Fase Menjadi Korban Perundungan

Fase-fase dalam proses Komponen Sub komponen


menjadi pelaku
perundungan
Menjadi korban Perilaku yang Mengalami perlakuan yang
diterima tidak menyenangkan
Fisik
Pemalakan
Verbal

2. Fase tersakiti

Fase tersakiti adalah kondisi korban didominasi perasaan marah, kecewa,

ingin balas dendam, takut, dan tidak berdaya yang dialami oleh korban. Setelah fase

pertama di atas terjadi pada santri junior sebagai korban, santri junior mulai

mengalami afeksi dan kognisi yang negatif karena intensitas perundungan yang

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

122

dialami secara repetitif (berulang-ulang). Tahapan tersakiti terjadi setelah korban

mengalami perundungan. Dalam tahapan ini ada beberapa sub kategori yang

terfokus pada kondisi afeksi korban.

Korban perundungan mengalami perasaan takut meskipun sebenarnya

menyimpan perasaan dendam. Ketakutan terhadap perilaku perundungan dari

senior membuatnya tidak berani mengambil tindakan melawan sehingga yang

bersangkutan terjebak pada situasi yang tidak menyenangkan. Perasaan itu berupa

akumulasi ketakutan dan kekhawatiran jika melakukan pembalasan. Akumulasi

perasaan itu berdampak kepada dendam yang akumulatif pada afeksi korban.

Berdasarkan wawancara dengan sembilan partisipan, tema ini ditemukan pada tujuh

partisipan.

iya pak, kita dendam hanya saja mau membalas kita takut sama senior,
mereka kompak, lagian juga bakalan sulit kita nantinya. <Files\\Verbatim
Partisipan AL (8)> - § 3 references coded [0,72% Coverage], Reference 1 -
0,24% Coverage

Korban perundungan mengalami rasa takut untuk menyampaikan perasaan

takut mereka. Mereka tidak berani asertif tentang perasaan takut yang dialami dan

mengarah kepada afeksi dendam. Setelah rasa dendam itu muncul pada santri junior

atau korban yang mengalami perundungan dan tidak mampu asertif kepada santri

senior (pelaku perundungan), justru korban merasakan dinamika lain berupa

munculnya afeksi tertindas dan terintimidasi dari santri senior. Dengan demikian,

afeksi dendam, perasaan tertindas, dan intimidasi merupakan dampak afeksi negatif

yang dialami korban perundungan. Rangkuman mengenai fase tersakiti dapat

dilihat pada tabel 11.

Tabel 11. Rangkuman Fase Tersakiti

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

123

Fase-fase dalam proses Komponen Sub komponen


menjadi pelaku
perundungan
Fase tersakiti Afeksi Takut
Dendam

3. Fase Frustasi

Pada fase ini ditemukan reaksi afeksi dan kognisi yang terakumulasi dari

dendam yang dirasakan paska perundungan.

a. Afeksi Korban

Korban merasa tidak terima dengan perlakukan perundungan yang dilakukan

senior. Sebagai junior, santri masih perlu menghadapi transisi kebiasaan pola hidup

bersama orang tua dengan tinggal mandiri dalam asrama. Namun, santri junior

justru mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dan mempersulit kondisi

untuk beradaptasi. Korban merasa tidak terima dengan perlakuan perundungan

yang dari senior terhadap dirinya. Hal ini ditemukan pada empat dari sembilan

partisipan.

“…jadi saya dibilang pemalas tapi saya ngga terima…”<Files\\subjek reza>


- § 2 references coded [0,51% Coverage], Reference 1 - 0,39% Coverage

Korban juga selalu mengkhawatirkan keamanan diri mereka terhadap

perilaku perundungan. Tak jarang korban merasa tertekan dengan perilaku senior

yang semena-mena. Rasa khawatir juga muncul akan keberadaan senior yang bisa

saja sewaktu-waktu merundung dirinya.

“…..Kakak kakak tingkat yang mudah merasa senior yaitu jadi dia yang
melakukan hal-hal semena-mena melakukan bully terhadap kami yang baru
baru masuk sehingga Kami merasa apa ya, di tindas diintimidasi sama kakak
kakak senior, “ <Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1 (11)> - § 2 references
coded [0,57% Coverage], Reference 1 - 0,38% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

124

b. Kognisi Korban

Secara kognisi, sebagian korban berpikir untuk pindah sekolah, namun di sisi

lain santri tersebut memikirkan dampak biaya yang telah dikeluarkan selama proses

pendidikan sehingga ragu-ragu untuk pindah sekolah atau pesantren. Jadi, pada

korban terjadi proses berpikir yang membentuk persepsi untuk menjalani saja hari-

hari di pesantren dengan tetap menghadapi konsekuensi yang tidak menyenangkan

dari kondisi perundungan. Berdasarkan wawancara dengan sembilan partisipan,

tema ini ditemukan pada tujuh partisipan.

“saya waktu itu mikir untuk keluar dari pesantren tapi orang tua saya tidak
membolehkan. Sudah keluar banyak biaya untuk saya daftar di pesantren ini.”
<Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 1 reference coded [0,74% Coverage],
Reference 1 - 0,74% Coverage

Sementara itu, pada partisipan lain yang sudah sering mengalami

perundungan fisik menganggap sebagai hal yang biasa. Pada aspek afektif korban

perundungan terbentuk kemampuan berpikir untuk melakukan pembiaran terhadap

kondisi yang tidak nyaman dalam diri mereka sebagai korban.

“karena waktu kelas satu SMK kemarin ini karena terlambat jadi dipukul
pakai kaya logam kecil gitu pak kaya Panjang jadi betis yang kenak, hehe
udah biasa pak dipukul,” <Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 1 reference
coded [0,13% Coverage], Reference 1 - 0,13% Coverage

Dari fase sebelumnya, korban telah menyimpan dendam dari perlakuan senior

sehingga kemunculan afeksi berupa tidak terima dengan perlakuan senior muncul

pada fase ini. Sementara itu, pada aspek atau komponen kognisi, sebagian korban

perundungan membentuk persepsi untuk menjalani hari-hari di pesantren dengan

tetap menghadapi kondisi perundungan. Korban mulai mengalami konflik frustatif

akibat perundungan yang dialami karena korban tidak mampu mengambil

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

125

keputusan yang tepat terhadap perundungan yang mereka alami. Rangkuman data

penelitian pada Fase Mengalami Frustasi dapat dilihat pada tabel 12.

Tabel 12. Rangkuman Fase Mengalami Frustasi

Fase-fase dalam Komponen Sub komponen


proses menjadi
pelaku
perundungan
Frustasi Afeksi Tidak terima
Khawatir
Kognisi Ingin pindah
Anggapan sudah biasa

4. Fase Koping Maladaptif

Dalam fase ini individu memiliki keinginan untuk melakukan perundungan

namun belum dapat dilakukan berdasarkan analisis situasi. Pada tahap ini muncul

perasaan tidak aman, akibatnya individu belajar untuk mendapatkan rasa aman,

belajar perilaku perundungan dari pengalaman dan pengamatan serta reward yang

didapatkan korban perundungan. Fase ini merupakan fase atau tahapan yang

determinan atau menentukan tentang perubahan korban perundungan menjadi

pelaku.

a. Afeksi sebagai korban

Pada fase menunggu korban masih memiliki perasaan khawatir seandainya

perundungan itu menimpa mereka kembali. Perasaan khawatir ini adalah perasaan

yang dominan mereka alami. Mereka beradaptasi dengan cara mencari posisi aman

dengan meminimalkan risiko untuk mengalami perundungan. Berdasarkan

wawancara dengan sembilan partisipan, tema ini ditemukan pada tujuh partisipan.

“iyaa. Saya bagian blok sini ya masih sama senior-senior yang baik ada ketua
asramanya, ya saya masih ruang lingkup yang kaya gitu, jadi agak kurang
main ke blok-blok sana agak takut waktu masih SMP.” <Files\\Verbatim

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

126

Partisipan AF (6)> - § 2 references coded [0,36% Coverage], Reference 1 -


0,20% Coverage

Data penelitian tersebut merepresentasikan korban mulai beradaptasi atau

menyesuaikan diri dengan salah satu kelompok yang melakukan perundungan.

Tahap menyesuaikan diri dengan kelompok itu dilakukan agar korban mendapatkan

rasa aman dari perundungan. Akan tetapi, sebagian korban pada akhirnya mulai

mengambil peran untuk ikut melakukan perundungan bersama kelompok yang ia

ikuti, seperti data penelitian berikut ini.

“Untuk korban bullying ada sebagian yang akhirnya menjadi pelaku bullying.
Berdasarkan informasi yang didapat mereka mengatakan bahwasanya pelaku
yang dulunya korban bullying merasa ingin balas dendam dikarenakan ia
merasa hina karena dulunya pernah dibully. Sehingga yang dulunya ia ialah
seorang yang pemalu dan selalu nurut, ketika menjadi kakak kelas ia menjadi
seorang yang keras dan sering membully teman bahkan adik kelasnya.”
<Files\\Verbatim Partisipan Guru (13)> - § 1 reference coded [0,70%
Coverage], Reference 1 - 0,70% Coverage

Sementara itu, ditemukan hal yang berseberangan dari sebagian korban, yaitu

adanya rasa kasihan terhadap junior yang akan menjadi sasaran perundungan

selanjutnya. Rasa kasihan muncul karena telah mendapatkan pengalaman yang

tidak menyenangkan sebagai korban perundungan senior. Memunculkan rasa

kasihan membutuhkan empati sehingga memungkinkan korban untuk

menempatkan diri secara adaptif terhadap perilaku perundungan. Hal ini ditemukan

pada enam dari sembilan partisipan.

“Yaa kalau untuk mengubah sih harus dari diri kita sendiri dulu
memikirkannya kan enak atau engganya dari korban, kalau dari situ kita
udang memikirkannya pasti kita nggak akan jadi pelaku” <Files\\subjek reza>
- § 2 references coded [0,51% Coverage], Reference 1 - 0,39% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

127

b. Kognisi sebagai korban

Pada aspek kognisi sebagai korban terdapat keinginan untuk membalas

namun tidak cukup memiliki keberanian. Dengan menganalisis situasi, terutama

kondisi status yang telah menjadi senior, dapat meningkatkan kecenderungan

korban untuk menunjukkan perilaku perundungan. Keberanian tersebut

memunculkan keinginan membalas yang semakin tinggi.

“biar adek tu tau apa yang kami rasakan, kami dulu diginikan loh, kami
lakukan itu puas hati kamu setelah abang tu tamat, rasa denda, ngga
kesampaian tadi junior yang kami apakan” <Files\\Verbatim Partisipan Aldi
(1)> - § 2 references coded [0,36% Coverage], Reference 1 - 0,20% Coverage

Sebagian korban yang sudah menjadi senior memahami bahwa junior perlu

diberi pelajaran untuk sopan dan santun kepada senior, terutama sebagai

kompensasi dirinya yang tidak berdaya ketika menjadi junior. Pada situasi ini,

korban mengalami inkonsistensi kognitif. Sebagai korban, santri memahami

konsekuensi negatif yang diterima dari perilaku perundungan, namun kognisi ini

tidak konsisten dengan kecenderungan korban menunjukkan perilaku perundungan

ketika ada kesempatan.

“ya kasihan juga tapi adik-adik tu harus diberi pelajaran” <Files\\Verbatim


Partisipan BA (9)> - § 2 references coded [0,36% Coverage], Reference 1 -
0,20% Coverage

Di sisi lain, ditemukan adanya sebagian korban yang memutuskan untuk tidak

melakukan perundungan kepada santri lain, meskipun cenderung mengambil sikap

baik terhadap kondisi perundungan. Sebagian korban perundungan tidak menjadi

pelaku perundungan pada fase koping maladaptif ini. Proses ini dikuatkan dengan

adanya konsistensi antara apa yang dirasakan dengan perilaku yang ditunjukkan.

Dengan kata lain, sebagian korban yang memutuskan untuk tidak merundung

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

128

mampu melakukan adaptasi dengan baik. Berdasarkan wawancara dengan sembilan

partisipan, tema ini ditemukan pada empat partisipan.

“eee insyaallah sih pak saya gak pernah bully orang karena saya tau gimana
rasanya pak” <Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 1 reference coded
[0,14% Coverage], Reference 1 - 0,14% Coverage

c. Perilaku sebagai korban

Dalam fase ini mereka berperilaku seolah-olah dapat menerima perlakuan

senior. Mekanisme koping yang dipakai salah satunya adalah tertawa sebagai

bentuk menyepelekan jika ada tindakan perundungan yang menimpa orang lain.

Berdasarkan wawancara dengan sembilan partisipan, tema ini ditemukan pada tujuh

partisipan.

“terus saya datang ke kelas itu, terus dari dalam itu mereka sudah natap saya
kayak udah gak suka gitu, terus saya kaya ih ngapa ni, masuk terus
menyelesaikan masalah tapi saya rasa saya gak salah gitu saya
mengungkapkan ee , e apa pendapat-pendapat teman saya keluar mereka tu
kayak gini terus saya kasih tau lah ke mereka ternyata mereka gak suka
yaudah.” <Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 3 references coded [0,68%
Coverage], Reference 1 - 0,23% Coverage
“……………..saya hanya bisa menerima sama bisa mengikuti keadaan
ketawa-ketawa ndak jelas pada di hati saya ketika sakit hati.”
<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 2 (12)> - § 1 reference coded [0,26%
Coverage], Reference 1 - 0,26% Coverage

Data penelitian di atas menunjukkan dinamika lebih lanjut dari kognisi

sebagai korban. Dengan kognisi yang terbentuk pada sebagian korban

perundungan, mereka tidak melakukan perundungan dan menertawakan perlakuan

perundungan itu. Dengan demikian, sebagian dari korban perundungan dengan

mekanisme koping pada aspek afektif memutuskan untuk menerima dan

menyesuaikan diri pada perlakuan perundungan. Sementara itu, pada sebagian

korban perundungan yang mengalami afeksi negatif dan mekanisme koping kognisi

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

129

yang salah akan memutuskan untuk bergabung dengan kelompok perundung dan

berpotensi melakukan perundungan kepada santri lain.

“Kami disitu rame kan pak, dikumpulkan adek kelas, pas orang tu gitu kan
ada mikir pasti orang tu sakit, tapi tiba-tiba tu mau ikut gitu” <Files\\Verbatim
Partisipan Aldi (1)> - § 1 reference coded [0,26% Coverage], Reference 1 -
0,26% Coverage

Rangkuman fase adaptasi ini dapat dlihat pada tabel 13.

Tabel 13. Rangkuman Fase Koping Maladaptif

Fase-fase dalam Komponen Sub komponen


proses menjadi
pelaku
perundungan
Koping Maladaptif Afeksi Khawatir
Kasihan
Kognisi Keinginan membalas
Senioritas
Pengabaian
Perilaku Agresif
Menerima perlakuan
Tertawa sebagai bentuk
menyepelekan

5. Fase mencoba

Tahap ini adalah tahap yang paling kompleks jika dijelaskan secara

psikologis. Keputusan untuk melakukan perundungan merupakan interaksi yang

terjadi secara timbal balik antara individu, lingkungan, dan perilaku itu sendiri.

Faktor afektif dan afektif pelaku yang terhubung dengan kejadian masa lalu, seperti

perlakuan yang pernah diterima dari keluarga, guru dan senior di masa lalu serta

situasi saat ini berperan terhadap pengambilan keputusan melakukan perundungan.

Berdasarkan data penelitian, faktor dan komponen yang menentukan atau

berimplikasi pada Fase mencoba mencakup afeksi negatif (rasa dendam dan

akumulasi ketakutan), pembelajaran sosial pada korban yang bergabung dengan

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

130

kelompok perundung santri senior, menemukan rasa aman dalam kelompok

perundung, dan mekanisme koping social learning yang keliru (kognisi). Oleh

karena itu, pada domain internal korban, aspek perubahan korban menjadi pelaku

dipengaruhi oleh afeksi dan kognisi akibat rasa dendam dan akumulasi ketakutan

(afeksi internal), menemukan rasa aman dan social learning (kognisi internal).

Sementara itu, lingkungan (eksternal) yang memberi peluang terhadap

munculnya perilaku seperti lingkungan yang sepi dari pengawasan, junior yang

tidak menunjukkan keberanian juga memberikan sumbangan terhadap hadirnya

(faktor pemicu munculnya) perilaku perundungan. Terakhir adalah perilaku itu

sendiri, sebagai sebuah aksi akan menghasilkan respon yang yang dapat

memperkuat atau memperlemah munculnya perilaku perundungan yang berasal

dari lingkungan (eksternal).

a. Pengambilan keputusan menjadi pelaku

Terdapat beberapa faktor risiko yang mempengaruhi keputusan untuk

melakukan perundungan. Pengaruh hubungan antara pelaku dengan keluarga,

persepsi terhadap guru dan pesantren, pengalaman menjadi korban di masa lalu,

perasaan dendam dan keinginan melampiaskan serta analisis terhadap situasi

terkini. Sedangkan faktor protektifnya adalah rasa kasihan yang muncul ketika

melakukan perundungan, nilai-nilai yang diperoleh selama pendidikan di rumah

dan di pesantren. kedua faktor tersebut menimbulkan pergulatan batin dalam

pengambilan keputusan menjadi pelaku.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

131

1) Hubungan dengan mesosistem

Termasuk dalam kategori ini adalah hubungan antara partisipan dengan

keluarga intinya, persepsi terhadap guru, dan pandangannya tentang pesantren

secara umum. Pelaku perundungan biasanya memiliki latar belakang keluarga yang

kurang harmonis. Berdasarkan wawancara dengan sembilan partisipan, tema ini

ditemukan pada tujuh partisipan.

“ya kalau keterbukaan keluarga untuk para pelaku ini agak sulit tapi dari yang
bisa digali adalah hubungan mereka dengan keluarga memang tidak
harmonis ya, saya ambil contoh gitu ya, bagaimana mereka itu datang dari
keluarga keluarga yang memang bapak, ibunya itu bercerai atau ada konflik
di rumah tangganya gitu ya, kemudian yang kedua mereka juga punya
pengalaman ya tadi anu misalkan di SD nya atau di SMP nya punya perilaku-
perilaku agresif gitu ya akhirnya ke pesantren itu memang ya apa para pelaku
yang pernah saya tangani memang punya sejarah gitu ya punya sejaran
pribadinya punya sejarah dikeluarganya ya memang dari keluarga yang
perhatian kepada anaknya itu kurang, ya sibuk gitu,” Files\\Verbatim
Partisipan Psikolog (10)> - § 1 reference coded [0,23% Coverage], Reference
1 - 0,23% Coverage
Kurangnya kedekatan antara anak dan orang tua berdampak pada hambatan

komunikasi yang kurang baik. Hal ini juga berimplikasi anak yang terikat dengan

konteks sosial mengalami hambatan komunikasi yang dijalani dengan lingkungan

dan membawa kecenderungan anak menjadi pribadi yang pendiam.

“Kalau di rumah itu saya kayak nggak ada apa-apa gitu, di rumah seperti anak
yang pendiam mungkin karena yaa kurang dekat sama orang tua ya karena
orang tua juga aaaa jarang perhatian gitu karena saya maklumilah kerja untuk
cari nafkah yaudah sehingga saya di rumah itu kayak anak biasa-biasa saja
diam ketika orang tua mengatakan ini ya saya ikut gitu cuman walaupun
enggak semua yang kata-kata itu,” <Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1
(11)> - § 2 references coded [0,53% Coverage], Reference 1 - 0,24%
Coverage
2) Persepsi terhadap pesantren

Pandangan terhadap kehidupan pesantren secara umum yang terkait dengan

perundungan adalah persepsi negatif terhadap guru, persepsi terhadap musyrifah

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

132

atau penjaga asrama, dan seringnya pesantren menutup informasi mengenai

perundungan dari akses publik. Berdasarkan wawancara dengan sembilan

partisipan, tema ini ditemukan pada tujuh partisipan.

“selama disini ? ee biasa aja, gak enak, gak enak” <Files\\Verbatim Partisipan
A (3)> - § 2 references coded [0.40% Coverage] 1 - 0.33% Coverage

2.1) Persepsi terhadap guru

Pandangan negatif santri muncul terhadap guru ketika mereka melihat sifat

guru yang tidak sesuai dengan kriteria mereka. Guru yang masih terlalu muda dalam

anggapan mereka dinilai belum matang untuk menjadi pengasuh mereka di

pesantren. Berbeda dengan kiai yang cenderung sudah berusia lanjut, para

guru/ustadz memang memiliki usia yang masih muda dan bahkan banyak yang baru

tamat dari pondok pesantren. Berdasarkan wawancara dengan sembilan partisipan,

tema ini ditemukan pada tujuh partisipan.

“………walaupun guru tersebut sifatnya tu kalau dibilang bertolak belakang


kayak gak pantes jadi guru gitu pak kalau ada orang bilang kayak gitu, mau
kayak mana pun dia tetap jadi guru.” <Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - §
3 references coded [1,55% Coverage], Reference 1 - 0,26% Coverage

Persepsi terhadap guru muncul secara bervariasi tergantung bagaimana

perlakukan yang diterima santri dari guru. Guru yang merangkap menjadi penjaga

asrama dipersepsi lebih keras dibandingkan mereka yang tidak menunggu di

asrama. Terlalu sering berinteraksi, pengetahuan yang lebih banyak mengenai

kondisi santri saat di lapangan menjadikan sikap antar guru ini menjadi berbeda.

“mereka baik, yang suka keras itu penjaga asrama,” <Files\\Verbatim


Partisipan RF (7)> - § 1 reference coded [0,25% Coverage], Reference 1 -
0,25% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

133

2.2) Persepsi terhadap musyrif

Pandangan yang muncul terhadap musyrif adalah perlakukan marah-marah

yang sering diterima santri. Data penelitian menunjukkan persepsi negatif terhadap

musyrif yang sering memarahi santri. Berdasarkan wawancara dengan sembilan

partisipan, tema ini ditemukan pada tujuh partisipan.

“kalau guru baik-baik pak, kalau musyrif (penjaga asrama) sering marah2
apalagi kalau ketahuan melanggar.” <Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - §
1 reference coded [1,70% Coverage], Reference 1 - 1,70% Coverage
2.3) Pesantren menutupi kasus dari umum

Penutupan kasus yang terjadi di pondok pesantren menjadi pengaruh

perubahan persepsi yang negatif kepada setiap santri. Data penelitian menunjukkan

adanya indikasi kasus perundungan tidak disampaikan secara komunikatif kepada

orang tua santri. Hal itu berdampak pada hambatan menemukan solusi bagi santri

sebagai korban perundungan. Kebiasaan menutup informasi ini untuk menjaga

nama baik institusi. Berdasarkan wawancara dengan sembilan partisipan, tema ini

ditemukan pada tujuh partisipan.

“ya ee pada kasus pesantren, memang jadi eksklusif jadi penanganannya


kalau dari pengakuan orang tua ya jadi tidak, tidak di publish ke orang tua,
jadi kenapa ketahuan itu karena anaknya, nah itu jadi karena yo,”
<Files\\Verbatim Partisipan Psikolog (10)> - § 3 references coded [1,80%
Coverage], Reference 1 - 0,67% Coverage
3) Pengalaman kekerasan sebelum masuk pesantren

Pengalaman kekerasan yang dialami pelaku perundungan sebelum masuk

pesantren antara lain: hukuman dari guru, hukuman dari kakak kelas, dan hukuman

dari orang tua. Dalam jenjang pendidikan sebelumnya atau dalam keluarga

partisipan sudah mengalami perundungan. Ingatan-ingatan mengenai kejadian

masa lalu membangun sebuah mental image tersendiri mengenai tindakan agresif

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

134

ini. Gambaran mental ini akan menjadi referensi ketika partisipan melakukan

perundungan.

3.1) Hukuman dari guru

Pengalaman hukuman yang diterima dari guru menjadi penguat dalam

melakukan tindakan perundungan. Kondisi tersebut sudah menjadi kebiasaan yang

diterima oleh santri. Hal ini ditemukan pada tujuh partisipan. Berdasarkan

wawancara dengan sembilan partisipan, tema ini ditemukan pada tujuh partisipan.

“karena waktu kelas satu SMK kemarin ini karena terlambat jadi dipukul
pakai kaya logam kecil gitu pak kaya Panjang jadi betis yang kenak, hehe
udah biasa pak dipukul,” <Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 2 references
coded [0,72% Coverage]
Hukuman yang diterima oleh santri berupa tindakan pukulan, hal terebut

dilakukan oleh para guru di pondok pesantren. Data penelitian sebelumnya tentang

pengalaman perundungan dari santri senior diperkuat oleh hukuman dari guru di

pondok pesantren menjadi pemicu tambahan komponen perundung pada korban.

“saya pernah dipukul di kepala.” <Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 1


reference coded [0,65% Coverage], Reference 1 - 0,65% Coverage
3.2) Hukuman dari kakak kelas

Hukuman dari kakak kelas yang diterima santri pada pendidikan sebelumnya

juga berpengaruh terhadap munculnya perundungan. Perilaku di masa lalu akan

menjadi model untuk melakukan perundungan pada objek yang lain. Pengulangan

hukuman (repetisi) dari kakak kelas, sebagaimana data penelitian yang

merepresentasikan hukuman itu dilakukan juga oleh para guru di pesantren,

semakin memperkuat social learning pada korban perundungan. Berdasarkan

wawancara dengan sembilan partisipan, tema ini ditemukan pada tujuh partisipan.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

135

“Naah, kalau untuk senioritas di pesantren waktu itu kakak-kakak itu


melakukannya , misalnya nih saya melakukan kesalahan sedikit saja misalnya
telat bangun ya maklumlah baru baru masukkan jadi agak susah jadi telat
bangun itu nanti disuruh push up,…...” <Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1
(11)> - § 2 references coded [0,89% Coverage], Reference 1 - 0,12%
Coverage

“karena satu yang kenak jadi semua kenak ya udah dikumpulin, had ida
sampai jam 1 dimarah-marahin ya udah pas kami enggak ada masalah ini
disuruh masuk lagi tidur lagi,” <Files\\Verbatim Partisipan W (5)> - § 3
references coded [1,22% Coverage], Reference 1 - 0,12% Coverage
3.3) Hukuman dari orang tua

Pelaku perundungan sebagian pernah mengalami perilaku agresif yang

dilakukan orangtua sebagai hukuman atas sikap atau perilaku mereka yang tidak

menyenangkan. Kekerasan fisik yang mereka terima berupa pemukulan baik

menggunakan tangan kosong maupun benda. Hasil data penelitian tentang

hukuman orang tua menunjukkan kontribusi komponen perundungan yang

berimplikasi pada penguatan (reinforcement) pembentukan perilaku merundung

pada korban. Dengan kata lain, proses korban perundungan menjadi pelaku

perundungan semakin terbentuk pada afeksi dan kognisi santri sebagai korban

perundungan. Berdasarkan wawancara dengan sembilan partisipan, tema ini

ditemukan pada tujuh partisipan.

“enggak, waktu saya gak pernah dipukul, gak pernah diaapa apain, makannya
waktu pertama dipukul sini agak terkejut, tapi lama-lama terbiasa,”
<Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 6 references coded [1,90% Coverage],
Reference 2 - 0,34% Coverage

“Kalau dikerasi orang tua waktu kecilnya saya sering dikerasi waktu itu
pernah saya waktu itu mau mandi di laut itu kira-kira umur saya 5, 6 tahun
Saya mandi di laut terus tahu-tahunya pas Saya mau naik dari atas ke atas
orang tua saya datang membawa kayu yang kira-kira besar paralon itu ya
paralon untuk kabel kabel itu.” <Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1 (11)> -
§ 2 references coded [1,31% Coverage], Reference 1 - 1,12% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

136

4) Kontribusi ustadz terhadap munculnya perilaku perundungan

Guru tanpa disadari berperan terhadap munculnya perilaku perundungan.

Kurangnya pengawasan dari guru, persepsi guru bahwa perundungan adalah hal

yang biasa serta sikap guru yang tidak proaktif mencari tahu kejadian perundungan

menjadi faktor yang dapat memicu munculnya perilaku perundungan di pesantren.

Selain itu, data penelitian juga menunjukkan sebagian guru di pesantren juga

melakukan perundungan melalui hukuman pada fisik santri sebagai korban.

4.1) Kurang pengawasan dari ustadz

Perundungan terjadi karena tidak ada pengawasan. Para pelaku memiliki

keleluasaan dalam melakukan aksinya. Selain aksi perundungan di kelas, asrama

adalah tempat aksi perundungan yang paling terutama pada malam hari karena

pengawasan sangat minim. Data penelitian terkait hal tersebut dapat dilihat pada

bagian berikut ini yang ditemukan pada tujuh dari sembilan partisipan.

“Kejadian bullying biasanya terjadi di kelas maupun di asrama selama tidak


ada pengawasan dari pihak ustad/ustadzah sehingga pembully lebih leluasa
melakukan aksinya khususnya ketika malam hari.” <Files\\Verbatim
Partisipan Guru (13)> - § 1 reference coded [1,26% Coverage], Reference 1
- 1,26% Coverage
“ndak ada, lagi di asrama semua pak.” <Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> -
§ 1 reference coded [0,28% Coverage], Reference 1 - 0,28% Coverage
4.2) Sikap guru terhadap perilaku perundungan

Sikap guru yang memanggil pelaku perundungan dipersepsi korban justru

semakin membuat mereka tidak aman. Hal ini disebabkan para junior akan dituduh

melaporkan tindakan mereka ke guru. Pemanggilan oleh guru yang diketahui oleh

senior akan menjadi alasan baru untuk melakukan perundungan. Berdasarkan

wawancara dengan sembilan partisipan, tema ini ditemukan pada tujuh partisipan.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

137

“Pernah ada gitu pak, ada guru tu pembina asrama bapak tu tau jadi dipanggil
senior tadi tapi ngga tau diapakan kan disembunyikan gitu ngga tau ntah
dihukum atau apa, tapi setelah itu orang tu tetap melakukan lagi datang
kekami dibilangnya kami ngadu.” <Files\\subjek Aldi> - § 1 reference coded
[0,73% Coverage], Reference 1 - 0,73% Coverage
“ketawa-ketawa aja pak lucu gitu pak.” <Files\\Verbatim Partisipan AF (6)>
- § 1 reference coded [0,28% Coverage], Reference 1 - 0,28% Coverage

4.3) Tidak ada laporan ke ustadz

Perundungan biasanya dilakukan secara tertutup untuk menghindari diketahui

oleh pihak yang memiliki otoritas lebih. Tidak adanya laporan ke pihak pesantren

dalam hal ini guru menjadikan perundungan kerap terjadi. Sikap kurang proaktif

mencari informasi ini berpotensi meningkatkan risiko terjadinya perundungan. Data

penelitian menunjukkan bahwa risiko rendahnya pengawasan meningkatkan risiko

perundungan dan korban yang diketahui mengadukan perundungan kepada pihak

sekolah, justru mendapatkan perlakuan perundungan tambahan dari teman-teman

santri lainnya sehingga korban semakin enggan melaporkan kondisi itu.

Berdasarkan wawancara dengan sembilan partisipan, tema ini ditemukan pada tujuh

partisipan.

“Kalau untuk itu yaa ustadznya sebenarnya sangat tegas terhadap bully
membully, cuman yang menjadi sorotan kala itu tidak adanya laporan dari
santri kepada ustadz sehingga,” <Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1 (11)>
- § 1 reference coded [0,45% Coverage], Reference 1 - 0,45% Coverage
“nggak pernah, kalau di pondok ni kalau suka lapor pasti kena sama kawan2,”
<Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 1 reference coded [0,27% Coverage],
Reference 1 - 0,27% Coverage

5) Membangun kekuatan dengan kelompok

Cara memunculkan keberanian dari para korban adalah dengan cara

membentuk kelompok sebagai bentuk dukungan sosial. Dengan berkelompok

mereka akan memiliki otoritas dan kekuatan untuk menghindari perundungan

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

138

sekaligus melakukan perundungan. Pelaku memulai perundungan dengan cara

membuat kelompok-kelompok baru untuk mengumpulkan kekuatan dalam

melakukan tindakan perundungan. Berdasarkan wawancara dengan sembilan

partisipan, tema ini ditemukan pada empat partisipan.

“dan dia membuat geng baru jadi dia membuat geng baru untuk istilahnya
biar dia punya kekuatan gitu ya,…….,” <Files\\Verbatim Partisipan Psikolog
(10)> - § 3 references coded [0,84% Coverage], Reference 1 - 0,43%
Coverage
a. Perdebatan diri menjadi pelaku

Pergulatan batin yang dialami oleh pelaku perundungan adalah adanya nilai-

nilai positif dari dalam diri yang berinteraksi secara dialogis dan saling

menegasikan dengan faktor-faktor risiko seperti perasaan dendam, sakit hati dan

faktor-faktor lain yang mendukung terjadinya perundungan.

a.1) Faktor protektif

Nilai-nilai positif seperti ajaran untuk saling menyayangi, munculnya rasa

belas kasihan dan nasehat yang diberikan oleh guru menjadi bahan pertimbangan

bagi seseorang untuk melakukan perundungan atau tidak. Faktor protektif ini yang

nanti secara dinamis akan bekerja berlawanan arah dengan faktor risiko. Hal ini

ditemukan pada tujuh partisipan dari sembilan partisipan.

“Yaa pengayoman ya dari orang-orang yang lebih dari dewasa, mengayomi


dari ustad2 gitu jangan membully karena membully itu orang-orang yang
dibully itu bisa bunuh diri gitu, bisa mentalnya itu jatuh.” <Files\\subjek reza>
- § 2 references coded [1,11% Coverage], Reference 1 - 0,69% Coverage

“berhenti pak, saya berhenti terus saya minta yang lain berhenti juga jangan
diapain lagi, kadang kalau pas selesai saya bully kadang, ndak ingat saya
pak.” <Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 1 reference coded [0,54%
Coverage], Reference 1 - 0,54% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

139

a.2) Faktor risiko menjadi pelaku

Perasaan sakit hati dan dendam di masa lalu yang tidak terselesaikan dengan

baik dan cenderung dipendam secara tidak sadar menjadi penyebab seseorang

terdorong untuk melakukan perundungan. Selain dendam, kondisi emosi negatif

yang mempengaruhi terbentuknya persepsi terhadap junior juga akan memicu

terjadinya perundungan. Berdasarkan wawancara dengan sembilan partisipan, tema

ini ditemukan pada delapan partisipan.

“Motifnya mungkin biar adek tu tau apa yang kami rasakan, kami dulu
diginikan loh, kami lakukan itu puas hati kami setelah abang tu tamat, rasa
dendam ngga kesampaian tadi junior yang kami apakan.” <Files\\subjek
Aldi> - § 2 references coded [0,45% Coverage], Reference 1 - 0,16%
Coverage

“gak ada sih memang karna perasaan gak suka aja tiba-tiba membully. Nanti
setelah itu udah agak diam sedikit baru ngerasa bersalah.” <Files\\Verbatim
Partisipan A (3)> - § 1 reference coded [0,14% Coverage], Reference 1 -
0,14% Coverage

Rangkuman fase mencoba ini dapat dilihat secara sederhana pada tabel 14.

Tabel 14. Rangkuman Fase Mencoba

Fase-fase Komponen Sub komponen


dalam proses
menjadi
pelaku
perundungan
Mencoba Pengambilan keputusan Faktor afektif
Faktor afeksi
Pengalaman masa lalu
Hubungan dengan Persepsi terhadap pesantren
mesosistem Persepsi terhadap guru
Persepsi terhadap musyrif
Pesantren menutup diri
Pengalaman kekerasan Hukuman dari guru
sebelum masuk Hukuman dari kakak kelas
pesantren Hukuman dari orang tua
Kontribusi ustadz Kurang pengawasan
Sikap guru

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

140

Fase-fase Komponen Sub komponen


dalam proses
menjadi
pelaku
perundungan
Tidak ada laporan
Membentuk kelompok Keberanian
Perdebatan diri Faktor protektif
Faktor risiko

5. Fase menjadi pelaku perundungan

Pada fase menjadi pelaku perundungan, terbentuk perasaan nyaman dalam

melakukan tindakan perundungan tersebut. Hal tersebut dirasakan pelaku karena

mendapatkan penguatan dari orang lain seperti pengakuan, dihargai, dan diterima

oleh kelompok. Selain itu, korban yang menjadi pelaku perundungan memperoleh

kondisi pelepasan kondisi emosional yang mereka alami selama menjadi korban

perundungan.

a. Bentuk perilaku

Pelaku yang sebelumnya adalah korban perundungan menjadikan adik tingkat

sebagai sasaran perundungan. Hal ini disebabkan karena dendam yang tidak dapat

dilampiaskan kepada senior sebagai pelaku perundungan terhadap dirinya. Bentuk

perundungan yang dilakukan oleh pelaku didominasi oleh perundungan verbal,

seperti menghina dan berkata-kata kasar. Pelaku juga melakukan perundungan

relasional, yaitu mengucilkan adik tingkatnya.

“Yaa enak, saya bisa menghina orang, melakukan hal yang tidak sewajarnya”
<Files\\subjek reza> - § 3 references coded [0,22% Coverage], Reference 2
- 0,06% Coverage

“keluar kata-kata apa ya, gak sopan palingan, anti tu gak sopan”
<Files\\subjek ayu> § 2 references coded [0,24% Coverage], Reference 3 -
0,06% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

141

“bahkan dulu tu pak pernah gak tegur sapa selama tiga tahun karena masih
rasa sakit tu masih ada pak gitu pak kalau sekarang sih pak cuman bisa do’ain
dia gitu pak mudah-mudahan dapat hidayah” <Files\\Verbatim Partisipan M
(3)> - § 1 reference coded [0,14% Coverage], Reference 1 - 0,14% Coverage

b. Afeksi sebagai pelaku

Dalam afeksi sebagai pelaku perundungan terdapat penguatan bahwa dalam

melakukan perundungan memiliki tujuan untuk merubah perilaku orang lain. Data

penelitian menunjukkan afeksi mereka menunjukkan rendahnya empati kepada

santri lain yang dirundung dengan pemahaman afektif yang keliru, yaitu keyakinan

bahwa perundungan efektif membuat santri lain menjadi sadar untuk mengikuti

keinginan santri senior sebagai pelaku perundungan. Berdasarkan wawancara

dengan sembilan partisipan, tema ini ditemukan pada tujuh partisipan.

“Jadi, pernah kan aku mengalaminya kan, mikir sampai kaya mana caranya
kita kasihan liat dia kaya mana dia tapi dia ngga pernah mikir dia tu siapa,
ngga pernah sadar, jadi hati tu mau bully dia kasihan tapi kalau ngga dibully
nanti dia ngga sadar-sadar gitu.” <Files\\subjek reza> - § 3 references coded
[0,22% Coverage], Reference 2 - 0,06% Coverage

Data penelitian lain menunjukkan adanya keinginan untuk meniru perilaku

perundungan kepada santri lain. Peniruan atau modelling itu terbentuk karena

dorongan pelepasan atau penyaluran rasa dendam yang terpendam pada afeksi

santri yang sebelumnya korban menjadi pelaku perundungan. Munculnya perasaan

puas yang dirasakan pelaku perundungan dalam melakukan tindakan tidak

menyenangkan kepada junior akibat tidak dapat membalas dendam kepada senior

yang sudah tamat dari pondok pesantren.

“Motifnya mungkin biar adek tu tau apa yang kami rasakan, kami dulu
diginikan loh, kami lakukan itu puas hati kami setelah abang tu tamat, rasa
dendam ngga kesampaian tadi junior yang kami apakan.” <Files\\subjek
Aldi> - § 5 references coded [0,58% Coverage], Reference 1 - 0,32%
Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

142

c. Kognisi sebagai pelaku

Pemahaman santri mengenai tindakan perundungan yang sudah menjadi

tradisi di pondok pesantren menyebabkan perilaku tersebut menjadi kebiasaan

ketika menyandang status sebagai senior. Pada aspek kognisi santri sebagai pelaku

terbentuk bahwa perundungan merupakan tradisi yang harus dilestarikan atau

dilanjutkan secara turun temurun kepada santri lainnya. Data penelitian

merepresentasikan aspek kognisi santri sudah terbentuk keinginan menjadi

penguasa dan dihargai sebagai senior melalui tradisi perundungan. Berdasarkan

wawancara dengan sembilan partisipan, tema ini ditemukan pada tujuh partisipan.

“Yaa, sebenarnya siih Ketika saya sudah menjadi pelaku pembullyan itu
bukannya ingin ada balas dendam sih pak ibaratnya karena seperti tadi saya
bilang seperti sebuah tradisi karena kita merasa senior menjadi penguasa jadi
seakan-akan itu hal yang perlu kita kerjakan kita itu satu candaan jadi
tanpa………...” <Files\\Verbatim Partisipan Alumni 2 (12)> - § 3 references
coded [0,57% Coverage], Reference 3 - 0,11% Coverage

Penguatan tindakan perundungan menjadi tindakan yang terpola dan terbiasa

di pondok pesantren. Pemahaman yang tertanam umumnya berbentuk pemahaman

bahwa santri senior bisa melakukan apapun kepada santri junior. Data penelitian

yang merepresentasikan komponen distorsi kognisi tersebut merupakan suatu

upaya pengulangan tradisi agar santri mendapatkan pengakuan untuk dihargai oleh

santri junior lain.

“Iyaaa, kalau senior bisa apain ke junior, yaa kita jadi senior ya apain juga
juniornya.” <Files\\subjek reza> - § 1 reference coded [0,29% Coverage],
Reference 1 - 0,29% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

143

d. Penguatan yang diharapkan

Pelaku perundungan memiliki keinginan untuk selalu dihormati dan dihargai

oleh korban atau santri junior. Dampaknya, harapan atau keinginan tersebut

menjadi pembenaran dalam melakukan tindakatan yang tidak menyenangkan

kepada korban perundungan. Berdasarkan wawancara dengan sembilan partisipan,

tema ini ditemukan pada tujuh partisipan.

“ya paling tidak mereka menyapa kalau mau lewat jangan asal lewat
aja..apalagi kita lagi duduk2 di deket jalan.” <Files\\Verbatim Partisipan BA
(9)> - § 2 references coded [3,02% Coverage], Reference 1 - 2,04% Coverage

Keharusan menghormati yang usianya lebih tua menjadi penguat tambahan

dalam melakukan perundungan kepada korban. Kondisi penguatan atau

reinforcement itu tercermin melalui data penelitian berikut.

“ya mereka harus hormat sama yang lebih tua.” <Files\\Verbatim Partisipan
BA (9)> - § 2 references coded [3,02% Coverage], Reference 2 - 0,99%
Coverage

Berdasarkan data penelitian tentang enam tahap perundungan korban menjadi

pelaku perundungan, dapat disimpulkan bahwa korban perundungan pada santri

dipengaruhi oleh beberapa komponen penting pada setiap fase atau tahapan.

Rangkuman enam fase tersebut dapat dilihat pada tabel 15.

Tabel 15. Rangkuman Fase, Komponen dan Subkomponen

Fase-fase Komponen Sub komponen Partisipan


perubahan
korban menjadi
pelaku
perundungan
Menjadi korban Perilaku yang Menerima perlakuan A,AL,BA,M,
diterima yang tidak RF,W (6)
dikehendaki
Fisik A1,R, A, AF,
BA, RF, W (7)

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

144

Fase-fase Komponen Sub komponen Partisipan


perubahan
korban menjadi
pelaku
perundungan
Pemalakan A1, R, A, AF,
AL, BA, RF
(7)
Verbal A1, R, A, AF,
AL, BA, M,
RF (8)
Situasi saat Jumlah pelaku A1, R, BA, M,
menerima RF (5)
perundungan Kondisi perundungan R, AL, AF,
BA, M, RF, W
(7)
Tempat A1, A, AL,
BA, M, RF (6)
Waktu A1, R, A, AF,
AL, M, RF (7)
Tersakiti Afeksi Takut AF, AL, BA,
RF (4)
Dendam A1, AL, BA,
R, RF (5)
Frustasi Afeksi Tidak terima A1, A, R, RF
(4)
Khawatir A1, R, A, AF,
AL, BA, RF
(7)
Kognisi Ingin pindah A1, R, A, AF,
AL, BA, RF
(7)
Anggapan sudah A1, R, A, AF,
biasa AL, BA, RF
(7)
Koping Afeksi Khawatir A1, R, A, AF,
maladaptif AL, BA, RF
(7)
Kasihan A1, AF, M, R,
RF, BA (6)
Kognisi Keinginan membalas A1, R, A, AF,
AL, BA, RF
(7)
Senioritas A1, AL, BA,
R, RF (5)

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

145

Fase-fase Komponen Sub komponen Partisipan


perubahan
korban menjadi
pelaku
perundungan
Pengabaian A, AF, M, W
(4)
Perilaku Agresif A1, R, A, AF,
AL, BA, RF
(7)
Menerima perlakuan A1, R, A, AF,
AL, BA, RF
(7)
Tertawa sebagai A, AF, AL,
bentuk menyepelekan BA, RF (5)
Mencoba Pengambilan Faktor afektif A1, R, A, AF,
keputusan AL, BA, RF
(7)
Faktor afeksi A1, R, A, AF,
AL, BA, RF
(7)
Pengalaman masa A1, R, A, AF,
lalu AL, BA, RF
(7)
Hubungan dengan Persepsi terhadap A1, R, A, AF,
mesosistem pesantren AL, BA, RF
(7)
Persepsi terhadap A1, R, A, AF,
guru AL, BA, RF
(7)
Persepsi terhadap A1, R, A, AF,
musyrif AL, BA, RF
(7)
Pesantren menutup A1, R, A, AF,
diri AL, BA, RF
(7)
Pengalaman Hukuman dari guru A1, R, A, AF,
kekerasan AL, BA, RF
sebelum masuk (7)
pesantren Hukuman dari kakak A1, R, A, AF,
kelas AL, BA, RF
(7)
Hukuman dari orang A1, R, A, AF,
tua AL, BA, RF
(7)

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

146

Fase-fase Komponen Sub komponen Partisipan


perubahan
korban menjadi
pelaku
perundungan
Kontribusi ustadz Kurang pengawasan A1, R, A, AF,
AL, BA, RF
(7)
Sikap guru A1, R, A, AF,
AL, BA, RF
(7)
Tidak ada laporan A1, R, A, AF,
AL, BA, RF
(7)
Membentuk Keberanian AF, AL, BA,
kelompok RF (4)
Perdebatan diri Faktor protektif R, A,AL, AF,
BA, M, RF (7)
Faktor risiko A1, R, A, AF,
AL, BA, M,
RF (8)
Menjadi pelaku Bentuk perilaku Menghina AF, AL, BA,
RF (4)
Berkata kasar A1, R, BA, M,
RF (5)
Mengucilkan A,AL,BA,M,
RF,W (6)
Afeksi Kepuasan A1, R, A, AF,
AL, BA, RF
(7)
Kenyamanan A1, R, A, AF,
AL, BA, RF
(7)
Kognisi Perundungan A1, R, A, AF,
dianggap tradisi AL, BA, RF
(7)
Penguatan.yang Pengakuan A1, R, A, AF,
diharapkan AL, BA, RF
(7)
Dihormati A1, R, A, AF,
AL, BA, RF
(7)
Dihargai A1, R, A, AF,
AL, BA, RF
(7)

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

147

BAB VI

HASIL PENELITIAN

6.1. Dinamika Psikologis Perubahan dari Korban Menjadi Pelaku


Dinamika perubahan dari korban menjadi pelaku perundungan terjadi melalui

enam fase sebagai berikut:

1. Fase menjadi korban perundungan

Fase ini menggambarkan pengalaman perundungan yang pernah dialami

santri ketika pertama kali masuk pesantren. Perundungan yang dialami santri

berupa perilaku agresi fisik dan verbal. Perilaku ini dianggap lazim oleh santri

karena dianggap sebagai bagian dari proses penerimaan santri baru di pesantren

tersebut.

Santri baru di pesantren mengalami bentuk perundungan fisik dan verbal

dalam berbagai variasi. Agresi fisik dapat berupa pemukulan misalnya, sedangkan

agresi yang bersifat verbal berupa ejekan dengan berbagai alasannya. Bentuk

lainnya adalah santri dipaksa melakukan hal yang tidak disenangi, seperti

melakukan tindakan-tindakan konyol yang biasanya dilakukan pada proses

penerimaan santri baru. Status sebagai santri baru membuat para santri mengikuti

perintah yang mereka terima.

Bentuk pemukulan yang diterima berupa pemukulan ringan hingga berat yang

dalam sebuah kasus sampai menyebabkan patah tulang. Kondisi agresi fisik

tersebut menunjukkan kondisi memprihatinkan dari fisik santri junior yang baru

masuk pesantren. Perlakuan ini terjadi bisanya di tempat yang minim dari segi

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

148

pengawasan. Santri senior sering mengajak santri junior pada awal masuk pesantren

untuk berkumpul secara diam-diam tanpa diketahui pembina pesantren untuk

melakukan tindakan perundungan ini.

Bentuk perilaku tidak menyenangkan lainnya berupa perundungan verbal

dengan kata-kata tidak menyenangkan dari santri senior ke junior. Kata-kata

berbentuk ejekan terkait kekurangan fisik dan nonfisik dari korban. Perilaku ini

menyebabkan santri junior mengalami sakit hati serta berimplikasi kepada motif

awal yang represif pada santri baru untuk keinginan untuk balas dendam.

Perundungan secara langsung dalam bentuk meminta uang secara paksa atau

pemalakan (pemerasan) yang dilakukan santri senior juga dialami oleh santri junior.

Pemalakan terjadi pada malam hari di kamar santri. Pemalakan umumnya terjadi

dengan alasan yang tidak rasional dari santri senior, misalnya

pemerasan/pemalakan yang sebagai bentuk hukuman dari senior jika santri baru

terlambat ke masjid. Perilaku ini juga dilakukan santri senior dalam bentuk meminta

santri junior membelikan suatu barang tanpa diberikan uang kepada santri baru

terlebih dahulu. Dengan kata lain, perilaku pemalakan ini menjadi perilaku yang

tidak menyenangkan bagi afeksi santri junior.

Munculnya perilaku perundungan ditentukan oleh faktor lingkungan berupa

jumlah pelaku, kondisi, tempat, dan waktu kejadian. Data penelitian menunjukkan

bahwa pelaku perundungan melakukan aksinya secara berkelompok. Tindakan ini

menyebabkan korban perundungan merasa dikucilkan dan adanya rasa takut.

Pelaku melakukan perundungan secara berulang-ulang pada korban baik secara

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

149

perorangan maupun berkelompok sehingga perasaan merasa dikucilkan ini semakin

meningkat di diri korban.

Faktor lainnya yang berpengaruh terhadap munculnya perundungan ialah

tempat kejadian perundungan yang minim pengawasan dari pembina pesantren.

Kamar dan halaman pesantren menjadi tempat pelaku melakukan perundungan.

Asrama menjadi tempat terbaik untuk melakukan perundungan berupa tindakan

yang tidak menyenangkan seperti perilaku meminta bantuan dengan cara tidak

menyenangkan hingga tindakan fisik.

Waktu kejadian perundungan cenderung terjadi pada waktu istirahat di

kamar. Pelaku perundungan oleh santri senior akan mendatangi korban (santri baru)

secara berkelompok untuk melakukan agresi fisik. Malam hari menjadi pilihan

santri senior melakukan perundungan karena tidak ada pengawasan dari pembina

pesantren.

Masa awal masuk pesantren menjadi masa yang sulit bagi santri junior

dikarenakan berbagai perundungan yang disebut di atas. Tindakan perundungan

yang diterima menjadi salah satu tahapan awal pada fase dinamika proses

perubahan dari korban menjadi pelaku perundungan.

2. Fase tersakiti

Pada fase tersakiti, santri baru atau santri junior sebagai korban mengalami

perasaan marah, kecewa, ingin balas dendam, takut dan perasaan tidak berdaya.

Santri junior mulai mengalami konflik yang disebabkan perundungan yang dialami

secara berulang-ulang (repetitif). Pada tahapan ini terdapat aspek afeksi sebagai

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

150

korban. Afeksi sebagai korban perundungan muncul ketika mereka mengalami

perasaan tidak terima atas perlakuan senior dan menyimpan perasaan dendam.

Perasaan takut terhadap perilaku perundungan yang diterima membuat

korban tidak berani mengambil tindakan untuk melawan. Hal ini menyebabkan

korban berada pada situasi yang tidak menyenangkan. Perasaan ini berbentuk

akumulasi ketakutan dan kekhawatiran apabila melakukan pembalasan. Timbulnya

perasaan ini berdampak pada dendam yang akumulatif. Santri junior sebagai korban

juga merasakan ketakutan untuk menyampaikan rasa takut mereka sehingga mereka

takut bersikap asertif. Sikap tidak asertif ini mengarah kepada afeksi dendam yang

muncul pada korban perundungan. Ketika korban merasa dendam dan tidak berani

menyampaikan ke pelaku perundungan maka korban mengalami dinamika lain

berupa perasaan tertindas dan terintimidasi dari pelaku perundungan.

Fase tersakiti merupakan titik awal munculnya emosi negatif pada korban

yang ditandai dengan kemunculan dendam setelah mendapatkan perundungan baik

berupa fisik, verbal, maupun pemerasan. Pergerakan emosi menuju negatif dipicu

oleh kemunculan afeksi dan kognisi yang negatif pula paska fase menjadi korban.

Hal ini akan menjadi salah satu faktor penentu bagi korban dalam memutuskan

untuk menjadi pelaku perundungan atau tidak. Emosi negatif akan semakin intens,

persisten, atau bahkan menurun pada tiap dinamika fase perubahan korban menjadi

pelaku.

3. Fase frustasi

Pada fase frustasi, respon korban terhadap pelaku perundungan yang diterima

menunjukkan keragaman reaksi afektif dan kognisi yang merupakan akumulasi dari

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

151

rasa dendam dari perundungan yang telah didapatkan. Sebagian santri junior

sebagai korban memahami dan merasakan bahwa perilaku perundungan merupakan

hal yang tidak menyenangkan. Santri korban akan memilih untuk menjalani saja

hari-hari di pesantren dengan kondisi perundungan yang ada. Hal ini diperkuat

dengan kemungkinan yang kecil untuk pindah sekolah karena terkendala biaya yang

sudah dikeluarkan selama proses pendidikan di pesantren. Kondisi emosi santri

yang sinergis antara persepsi dan perilaku terhadap perundungan cenderung akan

mengalami penurunan emosi negatif. Sinergitas tersebut ditandai dengan persepsi

santri yang meyakini bahwa perundungan merupakan hal tidak menyenangkan yang

ditunjukkan dengan perilaku yang tidak merundung. Penurunan emosi tersebut juga

dapat mengarah pada hal yang bermanfaat, seperti misalnya mengikuti

ekstrakulikuler di sekolah. Proses ini mengindikasikan adanya rasionalisasi oleh

santri korban terhadap situasi yang dialami, meliputi perundungan yang dialami,

situasi sulitnya pindah sekolah, dan kondisi lainnya.

Sementara itu, pada sebagian korban perundungan menganggap perilaku

perundungan sebagai hal lumrah di pesantren yang dilakukan oleh senior santri,

meskipun secara kognisi dan afektif mereka tidak menyukai dan menerima kondisi

perundungan tersebut. Hal tersebut memungkinkan terjadinya percabangan

persepsi di diri korban mengenai kondisi perundungan, terutama jika adanya

kondisi yang mendukung untuk santri korban melepaskan dendam secara agresif.

Kondisi emosi negatif semakin intens pada santri yang memiliki persepsi dan

perilakunya paradoks terhadap perundungan. Santri yang terus membangun

paradoksial tersebut cenderung mengarah pada koping yang maladaptif

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

152

dibandingkan dengan santri yang memiliki persepsi dan perilaku sinergis.

Peningkatan emosi negatif dapat mengarah pada hal yang destruktif, seperti

misalnya depresi, rendah kepercayaan diri, hingga kenakalan remaja (juvenile

delinquency).

4. Fase koping maladaptif

Pada fase ini korban mulai melakukan adaptasi terhadap perundungan yang

dialami. Proses adaptasi berkaitan dengan fase frustasi yang dialami oleh korban.

Fase adaptasi menjadi titik krusial apakah korban akan menjadi pelaku atau justru

mampu menyesuaikan diri dengan perundungan.

Hasil data penelitian merepresentasikan korban mulai beradaptasi secara

keliru atau maladaptif dengan salah satu kelompok santri senior yang melakukan

perundungan. Fase maladaptif dengan kelompok santri senior dikarenakan korban

merasa khawatir terhadap kemungkinan perundungan yang akan dialami kembali.

Namun, pada akhirnya sebagian korban mulai mengambil peran untuk ikut

melakukan perundungan bersama kelompok yang mereka ikuti. Mereka

berlandaskan bahwa perlu adanya ajaran kepada santri junior untuk lebih sopan

santun kepada senior, terutama dikarenakan punya pengalaman sebagai junior yang

telah “diberikan pelajaran” oleh senior sebelumnya. Santri korban akan semakin

membangun sikap superior apabila adanya kondisi penguat, seperti afeksi negatif

dan kognisi yang terdisonansi. Mereka akan memutuskan untuk bergabung dengan

kelompok perundung, sehingga berpotensi melakukan perundungan kepada santri

lain. Kelompok santri junior yang maladaptif ini berpotensi mengambil keputusan

untuk melakukan perundungan. Pada tahap ini, emosi negatif akan semakin intens

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

153

yang juga menjadi motor penggerak santri untuk mengidentifikasi dirinya ke dalam

kelompok perundungan.

Sementara itu, data penelitian menunjukkan kondisi adaptasi yang berbeda

dengan kelompok santri junior yang menjadi korban perundungan. Sebagian korban

lain memiliki keinginan membalas perilaku perundungan, namun memilih untuk

mengabaikan saja kondisi perundungan karena secara afeksi merasa kasihan dengan

korban yang akan datang (santri junior) sehingga memutuskan untuk tidak

melakukan perundungan kepada santri lain. Dengan kata lain, sebagian korban

perundungan tidak menjadi pelaku perundungan dan mereka masuk dalam kategori

mampu beradaptasi dengan kondisi mengalami korban perundungan dan

memutuskan tidak menjadi pelaku. Pada prinsipnya, afeksi dan kognitif yang tepat

menjadi indikator penting yang berimplikasi kepada kemampuan santri junior

beradaptasi secara tepat (adaptif) terhadap perundungan yang mereka alami. Santri

junior yang adaptif memiliki dorongan atau keinginan untuk balas dendam, namun

santri junior sebagai korban berusaha berperilaku seperti menerima perlakuan

senior. Adapun bentuk mekanisme koping yang dilakukan ialah tertawa sebagai

bentuk menyepelekan apabila terdapat tindakan perundungan yang menimpa orang

lain. Selain itu, sebagian korban tidak melakukan perilaku perundungan sehingga

membentuk dinamika kognitif yang berbeda. Kemudian, sebagian dari korban

perundungan dengan mekanisme koping pada aspek kognitif memutuskan untuk

menghindari perundungan. Akumulasi dari afeksi dan kognisi yang konstruktif

membuat santri mampu beradaptasi dengan tepat sehingga membuat pergerakan

emosi negatif mengalami kemunduran, meskipun semua santri korban tidak

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

154

terhindarkan mengalami emosi negatif dari dendam yang dirasakan ketika

mendapatkan perilaku perundungan.

Pada fase ini, fluktuasi emosi yang dialami menjadi lengkap dengan adanya

percabangan reaksi emosi antara santri yang adaptif (meskipun dengan mengambil

sikap penghindaran) dan santri yang maladaptif. Percabangan mengindikasikan

bahwa ada titik penentu bagi santri memilih untuk mengabaikan/menghindari

perundungan atau justru menjadi pelaku perundungan.

5. Fase mencoba

Fase mencoba cukup kompleks apabila dijelaskan secara psikologis. Hasil

pengambilan keputusan untuk melakukan perundungan merupakan keterkaitan dua

arah mencakup individu, lingkungan, dan perilaku perundungan tersebut.

Pengalaman masa lalu memiliki peran pada faktor kognisi dan afeksi pelaku.

Pengalaman ini mencakup perilaku yang pernah diterima dari keluarga, guru serta

senior. Situasi dan kondisi saat ini (selama berada di pesantren) juga mempengaruhi

pengambilan keputusan untuk melakukan perundungan.

Data penelitian menunjukkan bahwa afeksi negatif berupa dendam dan

akumulasi rasa takut, proses belajar pada korban yang tergabung dengan kelompok

perundung senior, menemukan rasa aman dalam kelompok perundungan serta

mekanisme koping social learning yang keliru (kognisi) menjadi faktor-faktor dan

komponen yang berimplikasi terhadap kondisi maladaptif dan akhirnya santri junior

memasuki fase mencoba. Selain itu, faktor lingkungan berupa lingkungan yang sepi

dari pengawasan dan junior yang tidak asertif mampu memberi kesempatan

munculnya perilaku perundungan. Kemudian, perilaku perundungan itu sendiri

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

155

yang mampu memperkuat atau memperlemah munculnya perilaku perundungan

yang berasal dari lingkungan (eksternal).

Pengambilan keputusan untuk melakukan perilaku perundungan diperngaruhi

oleh faktor-faktor risiko di antaranya hubungan yang kurang harmonis dengan

keluarga, persepsi terhadap pesantren dan pembina, pengalaman di masa lalu yang

tidak menyenangkan, perasaan dendam dan keinginan melampiaskan serta analisis

terhadap situasi terkini. Sedangkan faktor protektif yang menghalangi timbulnya

perilaku perundungan ialah rasa kasihan yang muncul ketika melakukan

perundungan, nilai-nilai yang diperoleh selama pendidikan di rumah dan di

pesantren. Kedua faktor tersebut menimbulkan pergulatan batin dalam pengambilan

keputusan menjadi pelaku.

Pengambilan keputusan menjadi pelaku perundungan dipengaruhi oleh

hubungan dengan keluarga berupa keluarga yang kurang harmonis. Data lain

menunjukkan faktor lain berupa hambatan komunikasi yang kurang baik

berdampak pada anak mengalami hambatan berperilaku asertif yang dijalani

dengan lingkungan dan membawa kecenderungan anak menjadi pribadi yang

pendiam.

Persepsi terhadap pesantren serta jajaran pembina berupa guru dan penjaga

asrama menjadi faktor pengambilan keputusan. Persepsi ini berupa pandangan

negatif terhadap pesantren dinilai menutup-nutupi informasi terkait perundungan

dari akses publik serta ditemukannya indikasi penyampaian informasi perundungan

yang tidak komunikatif kepada orang tua santri, kemudian sifat guru yang tidak

sesuai dengan kriteria santri serta guru yang masih muda dan dinilai belum dapat

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

156

menjadi pengasuh di pesantren. Penilaian kepada guru muncul dengan berbagai

variasi yang sesuai dengan perlakuan yang diterima sebagai santri. Kemudian santri

mempersepsikan secara negatif terhadap musyrif atau penjaga asrama yang sering

memarahi mereka.

Pengambilan keputusan untuk menjadi pelaku perundungan juga ditentukan

atau dipengaruhi dari pengalaman kekerasan yang dialami sebelum masuk

pesantren. Adapun pengalaman tersebut mencakup hukuman dari guru, hukuman

dari kakak kelas, dan hukuman dari orang tua. Pengalaman ini membentuk persepsi

mental yang dibentuk dari ingatan-ingatan mengenai kejadian masa lalu terkait

tindakan kekerasan. Pengalaman ini menjadi acuan partisipan atau santri junior

untuk melakukan perundungan. Pengalaman masa lalu terkait kekerasan muncul

berupa hukuman fisik (biologis) seperti pemukulan yang berulang sehingga

menjadi sebuah kebiasaan. Pengulangan atau repetisi kekerasan yang dialami

memperkuat social learning korban perundungan.

Data penelitian menunjukkan bahwa kontribusi komponen perundungan yang

berimplikasi pada penguatan (reinforcement) pembentukan perilaku merundung

pada korban. Dengan kata lain, proses korban perundungan menjadi pelaku

perundungan semakin terbentuk pada afeksi dan kognisi santri sebagai korban

perundungan. Kurangnya kontribusi guru berupa pengawasan dan pemahaman

yang salah tentang persepsi perundungan merupakan hal biasa. Selain itu, guru

bersikap tidak proaktif mencari tahu perundungan menjadi faktor yang memicu

perilaku perundungan. Disamping peran guru terhadap perundungan, santri sebagai

korban memunculkan keberanian dengan menciptakan kelompok sebagai bentuk

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

157

dukungan sosial. Adanya kelompok memberikan mereka rasa kepemilikan atas

otoritas dan kekuatan untuk menghindari serta menjadi pelaku perundungan

semakin membentuk kondisi maladaptif pada korban perundungan menjadi pelaku

perundungan.

Proses pengambilan keputusan dari korban menjadi pelaku perundungan

tidak terlepas dari perdebatan diri santri junior sebagai korban perundungan.

Perdebatan ini dipengaruhi adanya faktor protektif berupa nilai-nilai positif terkait

rasa sayang menyayangi sehingga muncul rasa belas kasihan. Faktor protektif

berperan aktif secara dinamis bekerja berlawanan arah dengan faktor resiko.

Kemudian faktor resiko berupa perasaan sakit hati, dendam masa lalu yang tidak

terselesaikan serta memendam perasaan tersebut secara tidak sadar dan emosi

negatif yang membangun persepsi negatif terhadap santri junior yang berakibat

kepada pembentukan kondisi maladaptif pada santri junior.

6. Fase menjadi pelaku perundungan

Fase ini dibedakan dengan fase sebelumnya meskipun terkesan ada irisan.

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu sifat perundungan adalah repetitif atau

berulang, maka orang (santri junior sebagai korban) yang baru melakukan tindakan

agresif pertama kali belum dapat disebut pelaku perundungan. Santri junior tersebut

bisa disebut pelaku perundungan jika perbuatannya sudah dilakukan lebih dari satu

kali atau berulang-ulang kepada santri lainnya. Fase ini yang ditandai dengan

adanya pengulangan perilaku perundungan terbentuk dengan adanya perasaan

nyaman ketika melakukan perundungan. Kenyamanan ini dirasakan pelaku karena

mendapatkan penguatan dari orang lain seperti pengakuan, dihargai, dan diterima

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

158

oleh kelompok. Kemudian, korban yang menjadi pelaku perundungan memperoleh

kondisi pelepasan kondisi emosional yang mereka alami selama menjadi korban

perundungan.

Berdasarkan data penelitian, terdapat beberapa kondisi psikologis yang

dialami partisipan, di antaranya penguatan berupa anggapan bahwa melakukan

perundungan memberi dampak positif untuk merubah orang sebagai kondisi afeksi

partisipan. Hasil data penelitian menunjukkan rendahnya empati kepada santri lain

yang dirundung dengan pemahaman kognitif yang keliru, yaitu keyakinan bahwa

perundungan efektif membuat santri lain menjadi sadar untuk mengikuti keinginan

santri senior sebagai pelaku perundungan. Kemudian adanya peniruan atau

modeling yang terbentuk dari pelepasan rasa dendam yang terpendam. Efek dari

sikap ini memberikan perasaan puas pada diri pelaku saat melakukan perilaku

perundungan berupa tindakan yang tidak menyenangkan. Sikap ini muncul dari

ketidakmampuan untuk membalas dendam perundungan kepada senior atau pelaku

perundungan.

Selain itu, kondisi psikologis berupa kognisi dalam bentuk pemahaman

bahwa perundungan sudah menjadi tradisi pesantren sehingga peran ini melekat

pada status sebagai senior. Kemudian kognisi tersebut berkembang pemahaman

bahwa perundungan merupakan tradisi yang harus dijaga secara terus menerus.

Data penelitian juga mencerminkan adanya komponen kesalahan pemahaman

(distorsi) kognitif sebagai pengulangan kebiasaan (tradisi) untuk mendapatkan

pengakuan dalam bentuk penghargaan oleh santri junior.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

159

Pengakuan sebagai penguatan yang diharapkan muncul ketika melakukan

perundungan. Adapun bentuk penguatan yang diharapkan ialah dihormati dan

dihargai oleh santri junior atau korban. Penguatan ini memunculkan harapan dan

keinginan sebagai landasan pembenaran melakukan perundungan kepada korban.

Keinginan yang kuat untuk mendapatkan pengakuan menjadi penguatan tambahan

melakukan perundungan.

Jika digambarkan dalam bentuk bagan proses yang sistematis maka

perubahan ini akan membentuk sebuah skema. Berikut skema rumusan teori

substantif dalam bentuk Tahapan Teoretis (stage theory) yang menjelaskan

dinamika perubahan peran korban menjadi pelaku perundungan seperti terlihat pada

gambar 9.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

160

Gambar 9. Dinamika psikologis perubahan korban menjadi pelaku perundungan

6.2. Gambaran Perilaku Perundungan oleh Pelaku yang Sebelumnya


Merupakan Korban
Gambaran perilaku perundungan yang dimaksudkan adalah gambaran

perilaku perundungan yang diterima oleh korban, gambaran perilaku perundungan

yang dilakukan ketika sudah menjadi pelaku, kondisi psikologis yang menyertai

ketika partisipan dalam posisi sebagai korban maupun sebagai pelaku serta

gambaran situasi saat terjadinya perundungan. Secara lebih detail dijelaskan

sebagai berikut:

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

161

a. Gambaran bentuk perilaku yang dialami dan dilakukan yaitu Partisipan

menerima perlakuan perundungan berupa fisik, verbal maupun diminta

melakukan perbuatan yang tidak dikehendaki. Adapun bentuk perilaku fisik

yang diterima ialah ketika sedang tidur, wajah partisipan diberi lakban, diganggu

saat tidur sehingga menimbulkan perkelahian. Perilaku fisik lainnya berupa

dengan sengaja membakar bagian kaki korban, memukul, menatap sinis,

Kemudian perundungan juga diterima dalam bentuk verbal yaitu dari ejekan

teman. Pelaku memanggil korban dengan sebutan kekurangan fisik yang ada

pada dirinya. Selain perilaku fisik dan verbal, partisipan diminta melakukan

perbuatan yang tidak dikehendaki atas dasar permintaan kakak kelas. Misalnya

saja dimintai tolong membeli makanan yang tempatnya jauh dan tidak diberi

uang, mereka juga dimintai uang secara paksa, dimintai mengambilkan barang-

barang kakak kelas.

b. Gambaran kondisi perasaan dan pikiran partisipan ketika menjadi korban yaitu

Partisipan merasakan sakit hati dan ingin membalas dendam pada saat menerima

perundungan, namun karena partisipan masih ‘anak baru’ atau santri junior,

mereka hanya menuruti keinginan pelaku dan berserah diri. Setelah itu partisipan

beserta teman bermainnya merencanakan untuk balas dendam tetapi tidak

terlaksana. Ketika merencanakan balas dendam, partisipan berkumpul bersama

teman yang memiliki pengalaman perundungan. Mereka kemudian saling

berbagi cerita terkait perlakuan apa saja yang mereka terima dan mendiskusikan

perilaku apa yang akan mereka lakukan ketika balas dendam. Pertemuan ini

memberikan partisipan suatu dukungan dan mulai membangun keberanian. Pada

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

162

akhirnya, partisipan tidak bisa membalaskan dendamnya ke pelaku perundungan

melainkan membalaskan dendamnya ke adik kelas yang baru masuk pesantren.

Ketika partisipan menjadi pelaku, partisipan berperilaku layaknya seseorang

yang hebat berkuasa. Partisipan merasakan takut namun marah pada saat

menerima perlakuan dari kakak kelas. Ketakutan ini dikarenakan jumlah kakak

kelas yang banyak saat melakukan perundungan dan adanya sikap patuh kepada

yang lebih tua. Meski demikian, mereka juga marah karena tidak terima

diperlakukan semena-mena.

c. Gambaran situasi dan kondisi partisipan saat mengalami perundungan yaitu;

Perilaku perundungan yang pernah terjadi tidak beberapa lama setelah partisipan

resmi menjadi santri pesantren. Pelaku perundungan cenderung memilih korban

yang lebih muda darinya atau adik kelas dan teman seangkatan. Perilaku

perundungan dilakukan di tempat-tempat yang jauh dari pengawasan guru

maupun penjaga asrama. Tempat kejadian perundungan biasa dilakukan di

lorong-lorong asrama, belakang masjid, dan ruang kelas. Adapun waktu kejadian

perundungan biasanya terjadi saat malam hari setelah jam belajar, setelah sholat

isya berjamaah maupun pagi hari sebelum pelajaran dimulai. Pelaku

perundungan biasanya melakukan aksi perundungan bersama teman-temannya.

6.3. Interaksi Triadik dalam Perubahan Korban Menjadi Pelaku

Konsep determinisme resiprokal menekankan bahwa ada kaitan yang sifatnya

timbal balik antara individu, lingkungan dan perilaku. Munculnya perilaku tidak

berdiri sendiri akan tetapi tergantung pada ketiga aspek tersebut yang ketiganya

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

163

saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Interaksi komponen pada konsep

teori Bandura mengenai triadic reciprocal determination terkait hasil penelitian ini

diawali dari pelaku perundungan yang memiliki pengalaman kekerasan yang sama

sebelum mereka masuk ke pondok pesantren.

Adapun pengalaman kekerasan yang mereka terima berasal dari lingkungan

terdekat, yaitu dari orang tua, guru, dan kakak kelas atau teman. Partisipan

menerima perlakuan kekerasan ini berupa fisik dan verbal sebagai bentuk hukuman

atas tindakan yang dianggap tidak sesuai dengan standar norma yang diterapkan.

Perlakuan kekerasan dari kakak kelas atau teman tidak hanya disebabkan sebagai

hukuman atas perilaku yang tidak dikehendaki, akan tetapi didasari oleh keinginan

untuk mencari kesenangan dan pengakuan. Perlakuan yang dialami partisipan

tersebut menjadi media pembelajaran serta pemicu awal untuk menjadi pelaku

perundungan.

Pembelajaran tersebut berasal dari penguatan yang didapatkan dari

pengalaman dan observasi yang telah dilakukan. Pengetahuan yang telah diperoleh

berdasarkan pengalaman masa lalu mendukung partisipan melakukan perundungan.

Selain itu, keyakinan atas peluang mendapatkan konsekuensi positif dan negatif

memiliki peran di dalamnya. Individu berusia remaja pada santri junior memiliki

kesempatan yang besar untuk mempelajari cara mengintimidasi orang lain dari

proses pengamatan.

Perilaku perundungan yang dilakukan oleh pelaku yang dulunya merupakan

korban cenderung meningkat intensinya dan lebih variatif. Misalnya perilaku yang

dulu diterima oleh korban hanya sebatas penghinaan lalu ketika menjadi pelaku

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

164

mereka dapat melakukan agresi fisik seperti memukul korbannya. Proses yang

dialami partisipan saat perubahan peran perundungan dimulai dari rasa sakit hati

yang kemudian menjadi dendam yang terbalaskan ke orang lain. Partisipan sebagai

individu memiliki koping untuk mengatasi keadaan yang menjadi tekanan

psikologis dengan cara bercerita dengan kawan dekatnya. Dukungan sosial berupa

wadah bercerita dari teman karib menjadikan sebagian partisipan

mempertimbangkan untuk tidak membalas dendam ketika mengambil keputusan

dan berperilaku.

Faktor lingkungan berpengaruh besar terhadap munculnya perilaku

perundungan dan intensi untuk melakukan perundungan. Tuntutan pelajaran yang

semakin meningkat sebagai santri tingkat menengah juga menjadi salah satu hal

dapat membuat stres pada santri sehingga masih terus harus menyesuaikan diri.

Selain itu, fenomena perundungan dapat muncul dari minimnya ruang pribadi

sebagai implikasi dari tinggal berasrama. Ayoko dan Hartel (2003) menjelaskan

bahwa ruang dalam konteks interaksi sosial yang terlalu intens/rapat dapat memicu

konflik dikarenakan adanya perbedaan cara bersosialisasi sesuai dengan budaya

masing-masing. Lebih jauh, penelitian tersebut mengatakan bahwa tidak adanya

dukungan dari rekan juga dapat memicu konflik, yang mana ditemukan pula bentuk

dukungan di dalam asrama cenderung dalam bentuk destruktif daripada konstruktif.

Sejalan dengan hal ini, beberapa partisipan melakukan perundungan atas paksaan

teman dengan alasan soliditas dalam kelompok yang mengarah kepada

konformitas. Konformitas terhadap kelompok ini memiliki pengaruh yang besar.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

165

Secara umum inilah faktor yang paling dominan yang menentukan seseorang

menjadi pelaku perundungan.

Hal lain yang bersumber dari aspek lingkungan adalah pengaruh dari ustadz

atau guru. Ada dua hal yang secara paradoks dipengaruhi oleh peran guru ini.

Nasihat, pengawasan, dan tindakan proporsional menjadi faktor protektif yang

dapat mereduksi perundungan di pesantren. Pada kenyataannya, pengawasan yang

kurang atau rendah, anggapan guru yang keliru mengenai perundungan dan kurang

proaktifnya guru dalam mengidentifikasi perilaku perundungan menjadi faktor

risiko bagi munculnya perilaku tersebut. Faktor-faktor tersebut menjadi komponen

penting dari lingkungan yang berdampak kepada pembentukan perilaku

perundungan pada korban.

Tidak serta merta lingkungan berpengaruh secara linier terhadap muncul

perilaku perundungan. Terdapat pula aspek pada diri individu yang juga memegang

peranan penting. Adanya faktor protektif membuat partisipan mengalami

pergulatan atau konflik batin ketika akan memutuskan untuk menjadi pelaku

perundungan. Perdebatan ini dikarenakan adanya nilai-nilai (values) yang dimiliki

dan pengetahuan tentang dampak perundungan melawan keinginan untuk balas

dendam. Nilai-nilai ini dipelajari dari keluarga, sekolah maupun pengalaman

pribadi dalam memaknai peristiwa traumatik berupa kekerasan atau perundungan.

Nilai positif yang dimiliki antara lain; tidak melakukan kekerasan kepada orang lain

meski mereka menyakiti, tidak mengatakan kata-kata kotor, menerima perlakukan

dari kakak kelas walaupun tidak suka. Pengetahuan yang mereka ketahui adalah

tentang agama yang tidak mengajarkan untuk menyimpan dendam dan melakukan

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

166

kedholiman terhadap orang lain. Pada situasi ini, korban perundungan bersikap

adaptif dan memutuskan tidak menjadi pelaku perundungan. Adapun santri yang

bertindak sebaliknya tampaknya mengalami internalisasi nilai-nilai positif (dari

pendidikan pesantren yang diikuti) yang kurang baik. Merujuk pada desakan teman

untuk merundung sehingga tercapainya konformitas pada diri pelaku, besar

kemungkinan bahwa identitas yang dibentuk oleh pelaku dengan cara konsensus

eksternal. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori perkembangan psikososial Erikson,

yang mana identity vs role confusion terjadi ketika individu menginjak usia remaja

awal (Santrock, 2012). Lebih jauh dalam hal pembentukan identitas, Marcia (1966)

mengemukakan empat tahap pembentukan identitas, yaitu identity diffusion,

identity foreclosure, identity moratorium, dan identity-achieved. Dinamika identitas

perubahan korban menjadi pelaku tampaknya berada pada tahap awal, yaitu

diffusion. Ciri-ciri yang khas pada tahap ini adalah tekanan teman sebaya terhadap

konformitas, dependen dalam mengambil keputusan, lokus eksternal, dan

rendahnya keterikatan dengan orangtua (atau dalam hal ini adalah ustadz/guru). Hal

ini menjelaskan bahwa internalisasi (secara individual) cukup sulit dilakukan pada

korban menjadi pelaku yang berada pada identitiy diffusion di tahapan

perkembangan identitasnya.

Sementara itu, faktor risiko yang ikut berperan dalam pengambilan keputusan

untuk melakukan perundungan adalah persepsi yang menganggap lazim

perundungan yang dilakukan serta pemahaman tentang perundungan sebagai suatu

ritual penerimaan santri baru sebagai anggota baru di pesantren. Faktor lain yang

berperan ialah penguatan yang diharapkan muncul setelah adanya perilaku

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

167

perundungan tersebut. Bentuk penguatan yang diharapkan berupa rasa hormat yang

ditunjukkan korban, rasa bangga, dan kepuasan hati setelah melakukan

perundungan. Perilaku yang diharapkan dari korban inilah yang menyebabkan

perilaku perundungan tetap dilakukan. Dengan kata lain, pada aspek kognisi dan

afeksi yang keliru, santri junior korban perundungan menjadi pelaku perundungan

dalam dinamika yang saling berkaitan dengan faktor lingkungan dan situasi

perundungan yang dialami santri. Ringkasnya, dinamika gambaran psikologis

pelaku, lingkungan, dan perundungan dapat dilihat pada gambar bagan alur proses

triadik menjadi pelaku perundungan berikut ini.

Gambar 10. Proses triadik menjadi pelaku perundungan

Berdasarkan jawaban penelitian di atas, maka gambaran proses interaksi

triadic dapat dilihat pada gambar 10. Adapun tiga komponen utama pada proses

triadic ini adalah pelaku, lingkungan dan perilaku perundungan. Pelaku memiliki

cakupan sebagai orang yang melakukan fenomena, lingkungan mencakup kondisi

eksternal yang mendukung kemunculan fenomena, sedangkan perundungan

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

168

merupakan fenomena yang terjadi sebagai akibat dari faktor lainnya sekaligus

secara timbal balik mempengaruhi individu maupun lingkungan.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB VII
PEMBAHASAN

7.1. Dinamika dan Perubahan Korban Menjadi Pelaku Perundungan pada


Santri
Pada suatu riset, salah satu faktor yang diperlukan adalah temuan otentik yang

menjadi tujuan dari riset atau penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan

dan merumuskan penjelasan teoretis untuk menghasilkan teori substantif tentang

dinamika proses perubahan korban perundungan menjadi pelaku perundungan pada

santri di Pesantren. Berdasarkan hasil analisis data, peneliti menemukan bahwa

proses perubahan korban menjadi pelaku perundungan berlangsung dalam enam (6)

tahap, yaitu menjadi korban perundungan, fase tersakiti, fase frustasi, fase adaptasi,

fase mencoba, dan menjadi pelaku perundungan. Pada setiap fase tersebut, terdapat

karakteristik yang tipikal atau khas yang menjadi diferensiasi tahapan (fase)

dinamika perubahan korban menjadi pelaku perundungan pada santri.

Untuk memahami perbedaan mendasar yang menjadi keunikan penelitian ini,

perlu dipaparkan perbedaan fundamental antara pesantren dan sekolah umum.

Perbedaan fundamental tersebut terletak pada kurikulum pendidikannya. Sekolah

umum menggunakan kurikulum dari pemerintah, sedangkan pesantren yang

menggunakan kurikulum dari pemerintah, selain itu pesantren juga menggunakan

kurikulum sendiri yang berfokus kepada pendidikan agama. Ciri khas lain pesantren

adalah siswa atau santri tinggal di asrama dengan berbagai pembelajaran keilmuan

dan keislaman yang disiplin, terjadwal, dan adanya aturan-aturan informal di

kalangan santri senior dan santri junior. Unsur senioritas santri tersebut berpotensi

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


169
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

170

pada terjadinya perundungan. Beberapa riset tentang kasus perundungan di sekolah

umum sudah sering diungkap oleh peneliti lain, sementara itu hasil riset tentang

perundungan di pesantren belum diungkap secara holistik karena budaya pesantren

yang cenderung menerima perlakuan apa adanya dan tertutup untuk

mengungkapkan hal-hal yang dianggap tabu, misalnya perundungan. Oleh karena

itu, penelitian ini merupakan upaya keilmuan yang otentik untuk memaparkan

kondisi perundungan yang terjadi di pesantren, fase dan dinamika perundungan,

khususnya perubahan korban perundungan menjadi pelaku perundungan.

Beberapa temuan riset menunjukkan tentang dinamika perundungan pada

individu berdampak pada kekerasan. Pelaku perundungan dapat menjadi prediktor

untuk melakukan kekerasan di masa depan. Hal tersebut menunjukkan bahwa

korban kekerasan memiliki potensi untuk melakukan kekerasan di masa yang akan

datang (Ttofi, Farrington & Losel, 2012). Hasil annual bullying survey (2016)

menyatakan bahwa sebanyak 24% dari korban perundungan berubah menjadi

pelaku perundungan. Salah satu media cetak di Inggris, The Guardians

menyebutkan hanya satu persen saja yang murni pelaku, selebihnya adalah korban

yang menjadi pelaku. Kebanyakan pelaku juga merangkap sebagai korban atau

sebelumnya menjadi korban perundungan. Laporan tersebut berdasarkan studi yang

dilakukan oleh institusi pendidikan yang didanai oleh pemerintah Inggris. Data

dikumpulkan dari 6500 siswa di Inggris. Mayoritas responden menuturkan bahwa

pelaku perundungan di sekolah adalah mereka yang juga pernah menjadi korban,

yang rata-rata mereka bukannya memiliki harga diri dan kepercayaan diri yang

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

171

tinggi namun justru mengalami perasaan depresi, tertekan, dan masalah emosional

lainnya (Bloom, 2008).

Sementara itu, berkaitan dengan siswa atau santri yang memiliki ciri khas

tinggal di asrama, memiliki intensitas interaksi yang tinggi dengan pelaku

perundungan yang seringkali berasal dari senior atau kakak kelas santri di asrama.

Beberapa temuan penelitian menunjukkan bahwa perundungan juga terjadi di

sekolah asrama (Pfeiffer & Pinquart, 2014; Cross, Lester & Mandel, 2015; Edling

& Francia, 2017). Siswa juga telah menjadi saksi jika perundungan terjadi disekitar

lingkungan sekolah, baik sekolah umum maupun asrama.

Selain itu, jumlah yang cukup besar mencapai 49% pelajar tingkat 4 hingga

tingkat 12 melaporkan jika anak-anak lain di sekolah mereka telah melakukan

tindakan perundungan, paling tidak sekali pada akhir bulan. Rata rata 30% pelajar

mengakui mereka melakukan perundungan pada seseorang. Salah satu data yang

menjadi perhatian penting pada jumlah sekitar 60% anak yang menjadi korban

perundungan tidak melaporkan kejadian tersebut pada orang dewasa. Dengan

demikian, perundungan yang terjadi di asrama seharusnya menjadi fokus penelitian

atau riset kontemporer di bidang psikologi untuk menemukan teori substantif

perubahan korban perundungan menjadi pelaku untuk memahami dinamika

perundungan lalu memberikan intervensi yang tepat kepada siswa atau santri yang

tinggal di asrama selama masa studi.

Hal serupa juga terjadi di pesantren yang menggunakan asrama untuk para

santri. Berdasarkan data penelitian, terdapat beberapa kondisi psikologis yang

dialami santri korban perundungan, di antaranya penguatan berupa anggapan

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

172

bahwa melakukan perundungan memberi dampak positif untuk mengubah orang

sebagai kondisi afeksi partisipan. Hasil data penelitian juga menunjukkan

rendahnya empati kepada santri lain yang dirundung dengan pemahaman kognitif

yang keliru, yaitu keyakinan bahwa perundungan efektif membuat santri lain

menjadi sadar untuk mengikuti keinginan santri senior sebagai pelaku

perundungan. Kemudian adanya peniruan atau modeling yang terbentuk dari

pelepasan rasa dendam yang terpendam berdampak kepada memberikan perasaan

puas kepada diri pelaku saat melakukan perilaku perundungan berupa tindakan

yang tidak menyenangkan. Perilaku ini muncul dari ketidakmampuan untuk

membalas dendam perundungan kepada senior atau pelaku perundungan.

Selain itu, kondisi psikologis berupa kognisi dalam bentuk pemahaman

bahwa perundungan sudah menjadi tradisi pesantren sehingga peran ini melekat

pada status sebagai senior. Kemudian kognisi tersebut berkembang pemahaman

bahwa perundungan merupakan tradisi yang harus dijaga secara terus menerus.

Kondisi kognitif yang demikian ini oleh Albert Bandura disebut individu

mengalami moral disengagement yang ditandai dengan adanya toleransi dan

pembenaran terhadap tindakan yeng bertentangan dengan norma sosial. Apabila

direfleksikan kepada fase-fase menuju moral disengagement, korban yang berubah

menjadi pelaku perundungan teridentifikasi sesuai dengan empat tahapannya, yaitu

1) moral distress; 2) disonansi kognitif; 3) moral numbness; dan 4) moral

disengagement (Hyatt, 2017).

Sesuai empat tahapan tersebut, lingkungan pesantren yang identik dengan

kekerasan (perlakuan ustadz dan penjaga asrama) menjadi salah satu penyebab

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

173

fenonema perundungan bertahan lama di dalam pesantren. Perilaku perundungan

yang diterima oleh santri memunculkan moral distress dalam dirinya, yaitu afeksi

negatif seperti, marah, kecewa, takut, ingin membalas, dan tidak dapat

diekspresikan karena tekanan lingkungan tersebut. Oleh sebab itu, dendam muncul

dalam diri santri. Selanjutnya, santri akan bereaksi untuk mengatasi dendam yang

dirasakan, baik itu reaksi yang konstruktif maupun destruktif. Bagi santri yang

memutuskan untuk bereaksi positif, maka santri cenderung merasionalisasikan

situasi perundungan sebagai perbuatan yang tidak baik sehingga tidak akan berubah

menjadi pelaku perundungan. Di sisi lain, bagi santri yang memutuskan untuk

bereaksi negatif, maka santri akan terjebak pada rasa frustrasi ingin membalas yang

tertunda karena situasi. Sedikit berbeda dengan penelitian Hyatt (2017) bahwa

tahapan menuju moral disengagement terjadi melalui empat tahapan, pada

penelitian ini ditemukan fase yang terjadi setelah moral distress sebelum sampai

pada disonansi kognitif adalah fase santri mengalami frustrasi dalam perubahannya

menjadi pelaku yang ditandai dengan kondisi afektif berupa tidak terima, khawatir

dan kondisi kognitif berupa ingin pindah sekolah yang muncul dalam diri santri.

Santri mengalami pergelutan batin dalam memproses kondisi perundungan,

meliputi kondisi internal (afektif dan kognitif terhadap perundungan), kondisi

eksternal (tekanan peer, kurangnya pengawasan, dan lain-lain) untuk mengambil

keputusan melakukan atau tidak melakukan perundungan. Kondisi yang dilematis

ini juga diindikasikan sebagai moral dilemma yang juga sedikit berbeda dengan

penelitian Hyatt (2017).

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

174

Setelah santri melewati kondisi yang dilematis (moral dilemma) tersebut,

santri akan terbagi menjadi dua tipe berdasarkan kecenderungannya melakukan

perundungan, yakni kecenderungan tinggi dan rendah. Penelitian ini akan fokus

membahas mengenai santri dengan kecenderungan tinggi. Santri dengan

kecenderungan tinggi akan berperilaku tidak konsisten dengan kognisinya (yakin

bahwa perundungan tidak menyenangkan sebagaimana yang dirasakan ketika

menjadi korban, namun menunjukkan perilaku perundungan. Fase disonansi

kognitif sebagaimana Hyatt (2017) sampaikan juga terjadi pada santri yang

cenderung mengarah menjadi pelaku. Selanjutnya, santri yang sedikit demi sedikit

mengarah menjadi pelaku akan mengalami “mati rasa” secara moral, atau dikenal

dengan istilah moral numbness. Hal ini ditandai dengan dirinya yang mulai

mencoba-coba perundungan kepada santri seangkatannya, seperti mengejek,

menertawakan yang membuatnya tidak menunjukkan reaksi negatif dan justru

memaklumi perlakuan tersebut. Penguatan yang diberikan secara eksternal, seperti

sikap santri yang hormat dan menghargai senior membuat juga memperkuat moral

numbness pada diri santri. Keinginan yang kuat untuk mendapatkan pengakuan

menjadi penguatan tambahan melakukan perundungan. Konsep superiority

complex Adler (Feist dan Feist, 2018), yakni perasaan superior dari orang lain

sebagai koping dari inferioritas individu di masa lalu ditemukan dalam dinamika

ini. Superiority complex yang muncul pada korban menjadi pelaku adalah dorongan

mengkompensasi dirinya sebagai korban yang lemah di masa lalu dengan menjadi

pribadi kuat dan mengekspresikannya pada pribadi yang lemah seperti dirinya di

masa lalu. Dinamika ini kemudian bermuara pada perilaku perundungan. Fase

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

175

terakhir, yaitu moral disengagement sebagai hasil dari fase ini ditandai dengan

keyakinan bahwa perundungan menjadi tradisi pesantren yang melekat pada status

sebagai senior.

Berdasarkan hasil penelitian di pesantren tersebut, beberapa riset

perundungan pada temuan sebelumnya menunjukkan adanya hubungan beberapa

faktor dalam suatu model perundungan. Salah satu perspektif social ecological oleh

Brofenbrenner menjelaskan perilaku anak akan dipengaruhi oleh adanya faktor

mikrosistem, mesosistem, ekosistem, dan makrosistem. Anak sebagai pusatnya

dilingkupi oleh lingkungan yang akan ikut berpengaruh dalam pembentukan

perilakunya. Komponen yang memiliki pengaruh terkuat adalah pada area

mikrosistem, karena komponen ini berhubungan langsung dengan anak. Komponen

ini adalah orangtua, guru, dan orang yang memiliki hubungan yang dekat dengan

anak (Boemmel & Briscoe, 2001).

Sementara itu, The Path of Bullying menjelaskan bahwa proses untuk menjadi

pelaku perundungan dibagi menjadi beberapa bagian: rejecting phase, the

performing phase, the perpetuating phase dan withdrawing phase (Lam & Liu,

2007). Model tersebut menarik untuk memahami proses menjadi pelaku

perundungan, akan tetapi model tersebut belum memberikan gambaran perubahan

dari korban menjadi pelaku. Oleh karena itu, riset ini berupaya menjelaskan

dinamika secara utuh tentang perubahan korban menjadi pelaku perundungan,

khususnya fase perubahan korban perundungan menjadi pelaku perundungan.

Pada penelitian ini ditemukan enam fase perundungan yang menunjukkan

dinamika perubahan korban perundungan menjadi pelaku perundungan. Fase

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

176

pertama adalah menjadi korban perundungan yaitu individu atau santri mengalami

perundungan yang dilakukan senior. Pada fase ini merupakan tahap awal individu

mendapatkan perundungan dari lingkungannya. Pada diri individu belum

menunjukkan reaksi psikologis yang signifikan. Reaksi psikologis pada individu

tampak pada fase kedua, yaitu fase tersakiti yang menciptakan reaksi marah,

kecewa, ingin balas dendam, takut, atau bahkan merasa tidak berdaya. Beberapa

gejala malasuai tampak pada korban perundungan pada fase tersakiti.

Individu yang mengalami fase kedua sebagai korban perundungan mulai

menunjukkan tahapan reaksi psikologis berupa emosi negatif sebagai dampak dari

pelaku perundungan di lingkungannya. Fase tersakiti merupakan cikal bakal

munculnya emosi negatif santri korban yang akan terus bergerak sesuai dengan

fase-fase dinamika perubahan korban menjadi pelaku. Reaksi dendam yang

dirasakan korban dari fase kedua tersebut ditentukan oleh fase ketiga, yaitu fase

frustasi.

Fase frustasi memiliki irisan yang cukup besar dengan fase selanjutnya

(koping maladaptif) yang mana korban mulai mencoba memahami kondisi

perundungan yang dialami. Korban dihadapkan dengan pilihan apakah akan

kongruen antara perilaku sebagai senior dengan konsekuensi tidak menyenangkan

dari tindakan perundungan atau inkongkuren. Konsep disonansi dan konsonansi

kognitif (Festinger, 1957) muncul pada fase ini. Korban yang berkeyakinan bahwa

perundungan merupakan perilaku yang tidak menyenangkan dan mengadopsi

pikiran tersebut pada perilaku telah memiliki kognitif yang konsonan. Sebaliknya,

korban yang juga berkeyakinan bahwa perilaku perundungan merupakan hal yang

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

177

tidak menyenangkan, namun justru menunjukkannya dalam perilaku, maka

individu tersebut telah memiliki kognitif yang disonan. Pada fase ini, pergerakan

emosi negatif ditemukan mengalami persimpangan, yang mana korban yang

mampu membangun kognisi dan perilaku secara kongruen akan mengalami

penurunan emosi negatif. Sebaliknya, korban yang tidak mampu akan terus

mengalami emosi negatif yang semakin intens.

Pada fase keempat yang disebut fase koping maladaptif, korban perundungan

mulai menunjukkan pola reaktif dari gejala malasuai pada fase sebelumnya. Pada

individu muncul perasaan-perasaan tidak aman, akan tetapi individu belajar untuk

mendapatkan atau memperoleh rasa aman. Selain itu, pada fase ini individu juga

belajar tentang perilaku perundungan dari pengalaman dan pengamatan perseptual

serta reward yang didapatkannya, misalnya berupa perasaan terbentuknya

senioritas dari kalangan adik kelas atau korban perundungan (eksternal atau

lingkungan) atau individu mendapatkan pembelajaran sosial (social learning)

dengan meniru perilaku perundungan tersebut (internal).

Di sisi lain, sebagian korban dalam proses belajarnya menginternalisasi

perundungan sebagai hal yang tidak perlu dikarenakan pernah mengalami sendiri

dan memunculkan rasa iba kepada junior sebagai calon korban selanjutnya. Korban

yang konsonan secara kognitif akan mengalami emosi negatif yang semakin

menurun. Sebaliknya, korban yang disonan dan rentan menjadi pelaku akan terus

mengalami peningkatan emosi negatif. Polarisasi antara korban yang konsonan dan

disonan secara kognitif akan semakin kuat dengan adanya faktor internal dan

eksternal, seperti perasaan menjadi senior, perasaan iba, percaya diri, anggapan

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

178

sudah biasa, pengetahuan berdasar pengalaman, situasi yang mendukung, dan

dukungan teman. Dengan demikian, pada fase ini menjelaskan bahwa individu

berada dalam tahap beradaptasi dan menunggu untuk memutuskan keluar dari

perundungan atau menjadi bagian dari pelaku perundungan. Oleh sebab itu, fase ini

menjadi penting untuk memberikan berbagai intervensi preventif agar korban tidak

masuk kepada fase selanjutnya, khususnya apabila faktor internal dan eksternal

tidak memberikan reinforcement atau penguatan kepada individu sebagai korban,

maka individu tetap pada fase adaptasi dan cenderung menghindar dari kondisi

perundungan. Apabila intervensi yang tepat tidak diberikan, korban yang rentan

akan masuk pada tahap awal sebagai pelaku perundungan pada fase kelima, yaitu

fase mencoba.

Pada fase kelima yang disebut fase mencoba, korban perundungan sudah

memasuki tahap awal sebagai pelaku perundungan. Hal itu terjadi didukung oleh

faktor internal dan eksternal. Korban akan membangun afeksi dan kognisi yang

mengarah pada perundungan dengan adanya faktor pengalaman kekerasan di masa

lalu, konflik dan perdebatan diri antara nilai kemanusiaan dan rasa dendam paska

menjadi korban perundungan, serta persepsi yang negatif terhadap pesantren, salah

satunya adalah pengabaian dari ustadz dan pengelola pesantren terkait kondisi

perundungan. Proses mental yang terjadi pada korban diperkuat dengan faktor

eksternal, yaitu mesosistem (peran guru, orang tua, pesantren), dukungan

perundungan dari kelompok terdekat, dan reward yang diterima sebagai

penguat/reinforcer perilaku rundung. Pada fase ini, emosi negatif terus meningkat

dan cenderung memberikan dampak negatif. Apabila korban terus terhanyut dalam

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

179

kondisi mental negatif disertai dengan dorongan dari faktor eksternal, maka korban

akan melepaskan statusnya sebagai korban dengan memasuki fase keenam, yakni

fase menjadi pelaku perundungan. Dinamika psikologis perubahan korban menjadi

pelaku dapat dilihat pada gambar 11.

Gambar 11. Dinamika Psikologis Korban menjadi Pelaku Perundungan


Individu yang mengalami enam fase perubahan korban menjadi pelaku

perundungan di atas menunjukkan dinamika perundungan yang utuh untuk

memahami perubahan korban menjadi pelaku perundungan. Pada bagian awal yang

menunjukkan perlakuan perundungan yang dialami siswa atau santri sebagai

individu yang dialaminya sampai kepada individu menikmati situasi sebagai pelaku

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

180

perundungan karena mendapatkan berbagai faktor yang diasumsikan individu

menjadi aman. Padahal, seharusnya individu bisa dicegah menjadi pelaku

perundungan apabila ia mendapatkan pendampingan pada fase koping maladaptif

untuk menjadi adaptif terhadap perundungan.

Pada sisi lain, dinamika korban perundungan menjadi pelaku perundungan

dapat dideskripsikan melalui Proses Triadic yang saling mempengaruhi secara

timbal balik. Ada tiga komponen utama pada proses triadic perundungan di

pesantren, yaitu pelaku, lingkungan, dan perilaku perundungan. Pelaku memiliki

cakupan sebagai orang yang melakukan fenomena, lingkungan mencakup kondisi

eksternal yang mendukung kemunculan fenomena, sedangkan perundungan

merupakan fenomena yang terjadi sebagai akibat dari faktor lainnya sekaligus

secara timbal balik mempengaruhi individu maupun lingkungan. Pada Pelaku

terdapat pengaruh aspek kognisi, aspek afeksi, pengalaman, pertimbangan moral,

analisis situasi. Pada Lingkungan terdapat pengaruh pemodelan, pengawasan,

dukungan teman dalam situasi perundungan. Sementara itu, pada Perilaku

Perundungan terdapat Penguatan (reinforcement), pengakuan, kepuasan, materi,

dan penghargaan dalam perlakuan perundungan. Tiga komponen triadik

perundungan di pesantren tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya

membentuk dinamika perubahan korban perundungan menjadi pelaku

perundungan.

7.2 Temuan Baru Penelitian


Pada riset dan studi terdahulu tentang perundungan, salah satu studi penting

untuk memahami dinamika santri menjadi pelaku perundungan dikenal dengan

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

181

nama Model The Path of Bullying Pada riset tersebut menjelaskan tahapan korban

perundungan menjadi pelaku perundungan. Model tersebut merupakan serangkaian

proses tentang perundungan dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu rejecting

phase, the performing phase, the perpetuating phase dan withdrawing phase (Lam

& Liu, 2007).

Pada model tersebut, gambaran tahapan perundungan dan menjadi pelaku

perundungan dijelaskan secara bertahap (stage theory) Model tersebut memberikan

gambaran perubahan dari korban yang menyaksikan dan mengalami perundungan

menjadi pelaku sampai penarikan diri dari perilaku perundungan. Akan tetapi,

model tersebut belum memberikan gambaran perubahan dari korban menjadi

pelaku, khususnya pada bagian proses pengambilan keputusan santri apakah santri

akan mengambil keputusan menjadi pelaku perundungan (maladaptif) atau santri

mengambil keputusan untuk tidak ikut serta menjadi pelaku perundungan dan

beradaptasi dalam peran fungsi santri pada proses pembelajaran meskipun santri

menjadi korban (adaptif). Oleh karena itu, penulis menyimpulkan adanya temuan

baru dan keunikan dalam riset ini, khususnya pada fase ketiga, yaitu fase adaptasi

sebagai tahapan teoretis yang fundamental dalam memberikan pendekatan

preventif dan kuratif kepada siswa atau santri yang menjadi korban perundungan.

Pada penelitian ini ditemukan enam fase perundungan yang menunjukkan

dinamika perubahan korban perundungan menjadi pelaku perundungan. Enam fase

tersebut adalah, 1) Menjadi korban perundungan, 2) Fase tersakiti, 3) Fase frustasi

fase ketiga yang menentukan pengambilan keputusan dan sekaligus, yaitu 4) Fase

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

182

adaptasi sebagai bentuk kemampuan adaptif atau maladaptif pada korban

perundungan, 5) Fase mencoba, dan 6) Menjadi pelaku perundungan.

Individu yang mengalami enam fase perubahan korban menjadi pelaku

perundungan di atas menunjukkan dinamika perundungan yang utuh untuk

memahami perubahan korban menjadi pelaku perundungan. Santri sebagai individu

bisa dicegah menjadi pelaku perundungan apabila ia mendapatkan pendampingan

pada fase adaptasi. Pendampingan psikologis kepada santri bisa diberikan dalam

bentuk program preventif menjadi pelaku perundungan dan program kuratif agar

membantu pemulihan trauma perundungan. Untuk lebih jelasnya, keunikan temuan

dalam riset ini bisa dilihat pada gambar 11 pada halaman selanjutnya.

Menjadi korban Fase Fase frustasi Fase koping


perundungan tersakiti maladaptif

Maladaptif
Penghindaran

Preventif dan Fase mencoba


Kuratif

Menjadi pelaku
perundungan

Gambar 12. Prevensi dan Kurasi Korban Perundungan


Berdasarkan gambar Prevensi dan Kurasi Korban Perundungan di atas,

pendekatan psikologis sebagai temuan baru dalam penelitian ini menjadi sentral

fundamental tentang deskripsi tahapan dan dinamika psikologis korban

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

183

perundungan menjadi korban perundungan yang dapat dicegah pada tahap atau fase

ketiga. Dengan keterlibatan tenaga ahli dari psikologi dan pemangku kepentingan

di pesantren maupun sekolah, murid atau santri mendapatkan penanganan

psikologis yang tepat dalam mengatasi perundungan. Selain itu, dinamika

psikologis dalam bentuk tahapan teoretis (stages theory) dalam riset ini mampu

mendeskripsikan tahap tertentu pada proses perundungan yang dapat memutus mata

rantai korban perundungan menjadi pelaku perundungan yang belum pernah

disampaikan dalam teori-teori sebelumnya.

7.3. Implikasi Temuan


7.3.1 Implikasi Teoretis

Penelitian ini menghasilkan empat temuan yang memberikan implikasi

(outcome) atau dampak teoretis khususnya bagi akademisi dan praktisi psikologi

untuk memahami dinamika perundungan yang utuh pada santri yang berawal

sebagai korban menjadi pelaku perundungan. Dengan memahami dinamika

perundungan yang utuh yang ditemukan melalui enam fase tersebut dan perubahan

yang terjadi pada setiap fase di atas, hasil temuan penelitian ini dapat dikategorikan

sebagai teori substantif tentang Dinamika Perundungan Korban Menjadi Pelaku

Perundungan yang bersifat sekuensial dan memiliki alur tertentu (stages theory).

Selain itu, temuan yang didasarkan dari analisis menggunakan perspektif teori juga

ditemukan hal baru terkait dengan tahapan terbentuknya moral disengagement.

Secara lebih rinci implikasi teoretis dari temuan dalam penelitian ini mencakup hal

sebagai berikut:

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

184

1) Temuan dalam penelitian ini menghasilkan teori substantif tentang Dinamika

Psikologis Korban Menjadi Pelaku Perundungan yang bisa dipahami melalui

enam fase yang dialami siswa atau santri di pesantren. Teori substantif tersebut

dapat digunakan dalam menjelaskan (explaining) aspek-aspek teoretis tentang

dinamika korban perundungan menjadi pelaku perundungan.

2) Menilik dari tahapan moral disengagement Hyatt (2017), yaitu moral distress,

disonansi kognitif, moral numbness, dan moral disengagement, fase frustrasi

dalam dinamika psikologis perubahan korban menjadi pelaku hadir sebagai

temuan baru ke dalam tahapan moral disengagement.

3) Dinamika psikologis korban yang berubah menjadi pelaku perundungan dari

penelitian melengkapi penjelasan mengenai adanya probabilitas pembalasan

perilaku rundung oleh korban perundungan (Widiharto, Suminar, dan

Hendriani, 2020).

4) Faktor internal dan eksternal pada santri sebagai individu pada fase adaptasi

sangat mempengaruhi dinamika transisional korban menjadi pelaku

perundungan. Dengan dukungan dari lingkungan berbagai upaya tritmen yang

bersifat preventif dapat diberikan kepada santri agar tidak mengalami transisi

dari korban menjadi pelaku perundungan.

7.3.2 Implikasi Praktis

Temuan dalam penelitian ini juga menghasilkan implikasi praktis khususnya

dalam mengupayakan bentuk intervensi bagi santri di sekolah dan asrama yang

dapat diuraikan sebagai berikut:

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

185

1) Temuan dalam penelitian ini mengindikasikan kebutuhan kepada guru dan

orang tua tentang kebutuhan pembekalan pengetahuan terhadap Dinamika

Perundungan Korban menjadi Pelaku. Pembekalan pengetahuan tersebut dapat

diformulasikan ke dalam bentuk modul pembekalan yang aplikatif kepada guru

dan orang tua santri sebelum anak didik memasuki pesantren atau sekolah

dengan fasilitas asrama.

2) Pada waktu proses belajar mengajar berlangsung di pesantren, guru dan santri

perlu mendapatkan pendampingan dari tenaga ahli seperti psikolog dan

konselor. Pendampingan tersebut bisa direalisasikan dalam bentuk Unit

Pencegahan dan Konseling berbasis teori substantif yang ditemukan pada

penelitian ini.

3) Berbagai pemangku kepentingan atau pengambil keputusan dapat

mengoptimalkan upaya pencegahan korban menjadi pelaku perundungan dalam

kebijakan-kebijakan yang melibatkan guru, orang tua, santri, dan tenaga ahli.

Dengan kebijakan tersebut, implikasi atau dampak praktis dari temuan dalam

penelitian ini bisa diterapkan secara maksimal.

7.4. Hambatan Penelitian

Peneliti mendapati hambatan dalam melaksanakan penelitian, antara lain

terbatasnya referensi yang membahas mengenai dinamika psikologis korban

menjadi pelaku perundungan. Sejauh pengetahuan penulis, hanya terdapat satu

referensi oleh Lam dan Liu (2007) yang mengungkap dinamika psikologis pelaku

perundungan, namun terbatas pada perubahan saksi menjadi pelaku. Oleh sebab itu,

penulis memerlukan usaha berulang kali dalam mengonstruksikan dinamika

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

186

psikologis perubahan korban menjadi pelaku sebagaimana menjadi pertanyaan

dalam penelitian ini agar kontruksi yang dihasilkan memenuhi syarat logis dan

berkesusaian dengan data yang diperoleh.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB VIII
PENUTUP

8.1. Simpulan
1. Penjelasan teoretik yang telah dibangun melalui penelitian ini menghasilkan

teori substantif tentang dinamika perubahan dari korban menjadi pelaku

perundungan di pesantren, yang dapat digunakan untuk menjelaskan proses

perubahan psikologis yang melatarbelakangi terbentuknya pelaku

perundungan yang berasal dari korban. Dinamika dalam perubahan dari

korban menjadi pelaku meliputi enam fase, yaitu: fase mengalami

perundungan, fase tersakiti, fase frustasi, fase koping maladaptif, fase

mencoba, dan fase menjadi pelaku. Korban akan mengalami perubahan emosi

yang cukup fluktuatif dalam mengalami melewati fase-fase perubahan korban

menjadi pelaku. Pada fase koping maladaptif, korban akan berada pada titik

krusial yang menentukan apakah korban akan menjadi pelaku perundungan

atau tetap menjadi korban dan melakukan penghindaran.

2. Gambaran perilaku perundungan oleh santri yang sebelumnya adalah korban

memiliki kesamaan dengan perundungan yang telah dialami, seperti

perundungan fisik dan verbal. Adanya kesamaan perilaku perundungan

tersebut mengindikasikan terjadinya proses belajar sosial oleh santri secara

maladaptif. Perilaku perundungan didahului pula dengan munculnya perasaan

terluka dan dendam sebagai korban perundungan yang mana perasaan

tersebut tak terhindarkan.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


187
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

188

3. Terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam dinamika psikologis dalam

perubahan dari korban menjadi pelaku yaitu: faktor protektif, faktor risiko,

dan lingkungan. Sementara itu, terdapat tiga komponen utama pada proses

triadic perundungan di pesantren, yaitu pelaku, lingkungan dan perilaku

perundungan. Pelaku memiliki cakupan sebagai orang yang melakukan

fenomena, lingkungan mencakup kondisi eksternal yang mendukung

kemunculan fenomena, sedangkan perundungan merupakan fenomena yang

terjadi sebagai akibat dari faktor lainnya sekaligus secara timbal balik

mempengaruhi individu maupun lingkungan. Tiap komponen memiliki

kontribusi masing-masing dalam menjelaskan fenomena perundungan. Ketiga

komponen tersebut terus menerus saling berinteraksi secara triadic sehingga

fenomena perundungan di pesantren terus diproduksi.

8.2. Saran
1. Bagi peneliti selanjutnya, temuan penelitian ini dapat menjadi salah satu

referensi untuk mengeksplorasi lebih lanjut tentang dinamika psikologis

terkait dinamika perundungan perubahan korban menjadi pelaku

perundungan. Dalam proses penggalian data, peneliti dapat melibatkan teman

sebaya agar partisipan lebih terbuka dalam memberikan informasi sehingga

data yang didapatkan lebih kaya dan dalam.

2. Bagi santri korban perundungan, dinamika psikologis perubahan korban

menjadi pelaku─terkhusus mengenai fase-fase di dalamnya─dapat menjadi

bahan refleksi diri bagi santri untuk mengidentifikasi perasaan dan pikiran

terkait kondisi perundungan yang dialami. Dengan merefleksikan fase-fase

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

189

tersebut dalam diri, terutama memahami bahwa terdapat “pilihan sadar” untuk

tidak melakukan perundungan, santri dapat memutus mata rantai perubahan

korban menjadi pelaku perundungan.

3. Bagi pengelola dan guru pesantren untuk dapat membuat program yang tepat

guna memutus mata rantai sehingga korban perundungan tidak

bertransformasi menjadi pelaku perundungan. Dengan merujuk pada adanya

titik krusial di fase koping maladaptif, pengelola dan guru pesantren dapat

mencari waktu yang tepat untuk melaksanakan program tersebut. Salah satu

program yang disarankan adalah sohib (persahabatan). Santri senior dikader

untuk menjadi kakak pembimbing untuk beberapa santri junior yang mana

proses interaksi senior-junior diawasi oleh guru pesantren. Program ini juga

dapat menjadi wadah untuk senior santri mengalihkan perilaku dan emosi

negatif paska menjadi korban perundungan ke arah yang lebih konstruktif.

4. Bagi pengambil kebijakan (stakeholders) agar semakin memperhatikan

kebutuhan santri di pesantren dalam menghadapi pengalaman perundungan.

Berbagai program preventif, psikoedukasi, dan kuratif bisa diterapkan melalui

hasil riset ini, khususnya mencegah korban perundungan menjadi pelaku

perundungan maupun program psikoedukasi dan rehabilitatif terhadap pelaku

perundungan dan korban perundungan di pesantren. Sasaran program dapat

dibuat secara umum (seluruh remaja) maupun secara spesifik, misalnya pada

siswa tahun kedua atau menengah yang masih berada pada situasi menjadi

junior sekaligus senior. Siswa ini rentan dikarenakan berada pada titik penting

untuk memutuskan menjadi pelaku atau menghindari perundungan.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR PUSTAKA

Akers, R. L. (2010). Social Learning and Social Structure: A General Theory of Crime and
Deviance. New Jersey: Transaction Publisher.

Allonson, P. B., Lester, R. R., & Notar, C. E. (2015). A history of bullying. International
Journal of Education and Social Science, 31-36.

Allport, G. W. (1935). Attitudes. In C. Murchison (Ed.), Handbook of social psychology


(pp.798-844). Worcester, MA: Clark University Press.

American Psychological Association. (2002). American Psychological Association ethical


principles of psychologist and code of conduct. Retrived from
www.apa.org/ethics/code2002.html

Amin, H (2004). Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern, Jakarta: Diva Pustaka.

Anderson, C. A., & Huesmann, L. R. (2007). Human aggression: A social- cognitive view.
In M. A. Hogg & J. Cooper (Eds.), The sage handbook of social psychology (pp.
259-287). London: Sage Publications.

Anesty, E. (2011). Seputar perilaku bullying. Retrieved from


http://schoolcounselorindonesia.- blogspot.co.id/2011/11/konsep-seputar- bullying-
oleh-esyaanesty.html pada 13 Oktober 2016

Apsari, F. (2013). Hubungan antara harga diri dan disiplin sekolah dengan perilaku
bullying pada remaja. Jurnal Penelitian Humaniora, 14, 9-1.

Aroma, I. S., Suminar, D. R. (2012). Hubungan Antara Tingkat Kontrol Diri Dengan
Kecenderungan Perilaku Kenakalan Remaja: Jurnal Psikologi Pendidikan dan
Perkembangan, 1, (2), 1-6

Ayoko, O., & Hartel, C. (2003). The Role of Space as Both a Conflict Trigger and a Conflict
Control Mechanism in Culturally Heterogeneous Workgroups. Applied Psychology:
An International Review, 2003, 52 (3), 383–412.

Azami, A, F. (2013). Pengembangan Aspek Nilai dalam Pendidikan Pesantren di PP Nurul


Ummah. Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No.1 , Mei 2013

Bacchini, E., Esposito, G., & Affuso, G. (2009). School experience and school bullying.
Journal of Community & Applied Social Psychology, 19, 17–32.
http://dx.doi.org/10.1002/casp.975

Baldry, A. C. (2003). Bullying in schools and exposure to domestic violence. Child Abuse
& Neglect, 27, 713–732. doi: 10.1016/S0145-2134(03)00114- 5.

Baldry, A. C., & Farrington, D. P. (1999). Brief report: Types of bullying among Italian
school children. Journal of Adolescence, 22, 423–426.
http://dx.doi.org/10.1006/jado.1999.0234

Ball, H. A., Arseneault, L., Taylor, A., Maughan, B., Caspi, A., & Moffitt, T. E. (2008).
Genetic and environmental influences on victims, bullies and bully- victims in

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


190
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

191

childhood. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 49, 104–112.


http://dx.doi.org/10.1111/j.1469-7610.2007.01821.x

Bandura, A. (1977). Social learning theory. Oxford, England: Prentice-Hall.

Bandura, A. (1978). Social learning theory of aggression. Journal of Communication, 28,


12– 29. doi: 10.1111/j.1460-2466.1978.tb01621.x.

Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A social cognitive theory.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Bandura,A., Ross,D., & Ross, S. A. (1961). Transmission of aggression through imitation


of aggressive models. Journal of Abnormal and Social Psychology, 63, 575–583.
doi: 10.1037/h0045925

Barboza, G. E., Schiamberg, L. B., Oehmke, J., Korzeniewski, S. J., Post, L. A., & Heraux,
C. G. (2009). Individual characteristics and the multiple contexts of adolescent
bullying: An ecological perspective. Journal of Youth and Adolescence, 38, 101–
121. http://dx.doi.org/ 10.1007/s10964-008-9271-1

Barzilay et al. (2017). Bullying Victimization and Suicide Ideation and Behavior Among
Adolescents in Europe: A 10-Country Study. Journal of Adolescent Health xxx
(2017) 1e8

Basri, H. (2001) Sejarah pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan


islam di Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Bauman, S., & Del Rio, A. (2006). Preservice teachers’ responses to bullying scenarios:
Comparing physical, verbal, and relational bullying. Journal of Educational
Psychology, 98, 219 –231. http://dx.doi.org/ 10.1037/0022-0663.98.1.219

Bawani, I. (1993). Tradisionalisme dalam pendidikan Islam: studi tentang daya tahan
pesantren tradisional. Al-Ikhlas.

Bernard, M. E., & Milne, M. L. (2008). School procedures and practices for responding to
students who bully. A Report for Victorian Department of Education and Early
Childhood Development.

Björkqvist, K., Österman, K., & Kaukiainen, A. (2000). Social intelli-gence— Empathy
aggression? Aggression and Violent Behavior, 5, 191–200.
http://dx.doi.org/10.1016/S1359-1789(98)00029-9

Black, S A., & Jackson E. (2007). Using bullying incident density to evaluate the Olweus
Bullying Prevention Programme. Sch. Psychol. Int. 28: 623–638.

Bloom, A. (2008). Bullying policies miss the point. Times Educational Supplement, 4783,
30.

Bradshaw, C. P., Sawyer, A. L., & O’Brennan, L. M. (2009). A social disorganization


perspective on bullying-related attitudes and behav-iors: The influence of school
context. American Journal of Community Psychology, 43, 204 –220.
http://dx.doi.org/10.1007/s10464-009-9240-1

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

192

Brendgen, M., & Troop-gordon, W. (2015). School-related factors in the development of


bullying perpetration and victimization. Introduction to the Special Section, 1–4.
https://doi.org/10.1007/s10802-014-9939-9

Brinkman, S. & Kvale, S. (2008). Ethics in Qualitative Psychological Research.in Willig,


C., & Stainton-Rogers, W. The SAGE handbook of qualitative research in
psychology. London, SAGE publication Ltd.

Boemmel, J., & Briscoe. J. (2001) Web quest project theory fact sheet of urie
bronfenbrenner.

Bogdan, R.,C & Bliken, S. K (1982). Qualitative research for education: An introduction
to theory and methods. Massachusetts: Allyn & Bacon, Inc.

Bogdan, R.C., & Biklen, S.K.B. (1998). Qualitative research for education to theory and
methods. Boston: Allyin and Bacon inc.

Brofenbrenner, K. (2000). Uneasy Terrain: The Impact of Capital Mobility on Workers,


Wages.

Bonanno, R., & Hymel, S. (2010). Beyond hurt feelings: Investigating why some victims
of bullying are at greater risk for suicidal ideation. Merrill-Palmer Quarterly, 56,
420 – 440. http://dx.doi.org/10.1353/mpq.0.0051

Boulton, M. J., Trueman, M., & Flemington, I. (2002). Associations between secondary
school pupils’ definitions of bullying, attitudes towards bullying, and tendencies to
engage in bullying: Age and sex differences. Educational Studies, 28, 353–370.
doi:10.1080/0305569022000042390.

Bowes, L., Arseneault, L., Maughan, B., Taylor, A., Caspi, A., & Moffitt, T. E. (2009).
School, neighborhood, and family factors are associated with children’s
bullyinginvolvement: A nationally representative longitudinal study. Journal of the
American Academy of Child Adolescent Psychiatry, 48, 545–553.
doi:10.1097/CHI.0b013e31819cb017.

Burton, N. (2020). What Are Basic Emotions? Emotions such as Fear and Anger are
Hardwired. Psychology Today. Diakses pada 22 Maret 2020.

Bussey, K., & Bandura, A. (1999). Social cognitive theory of gender development and
differentiation. Psychological Review, 106, 676–713. doi: 10.1037/0033-
295X.106.4.676.

Card, N. A., Isaacs, J., & Hodges, E. V. E. (2007). Correlates of school victimization:
Implications for prevention and intervention. In J. E. Zins, M.J. Elias, & C. A. Maher
(Eds.), Bullying, victimization, and peer harassment: A handbook of prevention and
intervention (pp. 339 –366). New York, NY: Haworth Press.

Carney. A.G., & Merrell. K W. (2001). Bullying in schools : perspecti ves on understanding
and preventing an international problem. School Psychology International. 22: 364

Carvalo, E.P.Y., Permatasari, D., & Faizah. (2015). Hubungan dukungan sosial teman
sebaya dengan depresi pada remaja yang mengalami bullying.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

193

Chapell, M., Casey, D., De la Cruz, C., Ferrell, J., Forman, J., Lipkin, R., Newsham, M.,
Sterling, M., & Whitaker, S. (2004) Bullying in university by students and teachers
[Electronic Version]. Adolescence, 39, 53 – 64.

Chaux, E., Molano, A., & Podlesky, P. (2009). Socio-economic, socio-political and socio-
emotional variables explaining school bullying: A country-wide multilevel analysis.
Aggressive Behavior, 35, 520 –529. http://dx.doi.org/10.1002/ab.20320

Clare, M. H., Landau, W. M., & Bishop, G. H. (1969). The relationship of optic nerve fiber
groups activated by electrical stimulation to the consequent central postsynaptic
events. Experimental neurology, 24(3), 400-420.

Cochran, J. K., Maskaly, J., Jones, S., Sellers, C. S. (2015). Using Structural Equations to
Model Akers’ Social Learning Theory With Data on Intimate Partner Violence:
Crime & Delinquency, 1-22

Coloroso, B. (2007). Stop Bullying (Memutus rantai kekerasan anak dari prasekolah
hingga smu). Jakarta: PT. Ikrar Mandiri abadi.

Cook, C. R., Williams, K. R., Guerra, N. G., Kim, T. E., & Sadek, S. (2010). Predictors of
bullying and victimization in childhood and adolescence: A meta-analytic
investigation. School Psychology Quarterly, 25, 65–83.

Collins, W. A., Maccoby, E. E., Steinberg, L., Hetherington, E. M., & Bornstein, M. H.
(2000). Contemporary research on parenting: The case for nature and nurture.
American psychologist, 55(2), 218.

Cornell, D., & Limber, S. P. (2015). Law and policy on the concept of bullying at school.
American Psychologist, 70(4), 333.

Craig, W. M., & Pepler, D. (1995). Observations of bullyingin the playground and in the
classroom. School Psychology International, 21, 22–36.
doi:10.1177/0143034300211002.

Craig, W., Pepler, D., & Blais, J. (2007). Responding to bullying: What works?. School
psychology international, 28(4), 465-477.

Craig, W. M. (1998). The relationship among bullying, victimization, depression, anxiety,


and aggression in elementary school children. Personality and Individual
Differences, 24, 123–130. http://dx.doi.org/ 10.1016/S0191-8869(97)00145-1

Craig, W, M., & Pepler, D. J. (1998). Observations of Bullying and victimization in the
school yard. Canadian Journalof School Psychology. 13. 41-59.
http://dx.doi.org/10.1177/082957359801300205

Craig, W. M., Pepler, D., & Atlas,R. (2000).Observations of bullying in the playground and
in the classroom. School Psychology International, Special Bullies and Victims, 21,
22-36.

Creswell, J.W. (2015). Penelitian Kualitatif dan desain riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

194

Cross, Lester, & Mandel. (2015). A Longitudinal Study of the Social And Emotional
Predictors And Consequences Of Cyber And Traditional Bullying Victimization.
International Journal of Public Health, 60 (2).

Crossman, K., Roach, A. (2019). Violence and Maltreatment Intimate Relationship: A


Family Science Analysis. Journal of Family Theory & Review.

Cullerton-Sen, C., & Crick, N. R. (2005). Understanding the effects of physical and
relational victimization: The utility of multiple perspec-tives in predicting social-
emotional adjustment. School Psychology Review, 34, 147–160

Cunningham, T., Hoy, K., & Shannon, C. (2016). Does childhood bullying lead to the
development of psychotic symptoms? A meta-analysis and review of prospective
studies. Psychosis, 8(1), 48-59.

Curtner-Smith, M. E. (2000). Mechanisms by which family processes contribute to school-


age boy’s bullying. Child Study Journal, 30, 169–186.

Derksen, D. J., & Strasburger, V. C. (1996). Media and Television Violence: Effects on
Violence, Aggression, and Antisocial Behaviors in Children (From Schools,
Violence, and Society, P 62-77, 1996, Allan M Hoffman, ed.-See NCJ-170982).

Desiree. (2012). Bullying di pesantren. Jurnal Psikologi. FSIP_UI Dolby, R. (2011). About
bullying. Every Child, 17(1), 33.

Doll, B., Song, S., & Siemers, E. (2004). Classroom ecologies that support or discourage
bullying. In D. L. Espelage & S. M. Swearer (Eds.), Bullying in American schools:
A social-ecological perspective on pre-vention and intervention (pp. 161–183).
Mahwah, NJ: Erlbaum.

Donegan, R. (2012). Bullying and cyberbullying: History, statistics, law prevention and
analysis. The Elon Journal of Undergraduate Research in Communications, 3, 33-
42

Duncan, R. D. (2011). Family relationships of bullies and victims. In D. L. Espelage & S.


M. Swearer (Eds.), Bullying in North American schools (2nd ed., pp. 191–204). New
York, NY: Routledge.

Edling, S., & Francia, G. (2017). Children's rights and violence: A case analysis at a
Swedish boarding school. Sage Journal, 24, 51-67. Doi:
https://doi.org/10.1177/0907568216634063

Elise, G., Lawrence, B. Æ., James, B. S. Æ., Korzeniewski, S. J., Post, Æ. L. A., & Heraux,
Æ.

Espelage, D. L., & Napolitano, S. M. S. (2003). Research on school bullying and


victimization: What have we learned and where do we go from here?. School
Psychology Review. 32, 365-383

Espelage, D. L, Bosworth, K., & Simon, T. R. (2000). Examining the social context of
bullying behaviors in early adolescence. Journal of Counseling and Development,
78, 326–333. doi:10.1002/j.15566676.2000.tb01914.x.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

195

Espelage, D. L., & Holt, M. K. (2001). Bullying and victimization during early
adolescence: Peer influences and psychosocial corre-lates. Journal of Emotional
Abuse, 2, 123–142. http://dx.doi.org/ 10.1300/J135v02n02_08

Espelage, D.L., & Swearer, S. M. (2010). A social-ecological model for bullying


prevention and intervention: understanding the impact of adults in the social ecology
of youngsters. In: S.R. Jimerson, S.M. Swearer, and D.L. Espelage (Eds.), Handbook
of Bullying in Schools: An International Perspective, (pp. 61-72). New York:
Routledge

Espelage, D. L., Gutgsell, E. W., & Swearer, S. M. (Eds.). (2004). Bullying in American
schools: A social-ecological perspective on prevention and intervention. routledge.

Evans, C. B., Fraser, M. W., & Cotter, K. L. (2014). The effectiveness of school- based
bullying prevention programs: A systematic review. Aggression and Violent
Behavior, 19(5), 532-544.

Fahmi, M. H. (2021). Viral Aksi Bullying dan Kekerasan Terhadap Santri di Pesantren,
Diduga Berulang Kali Dilakukan Anak Kyai. Diakses melalui pikiranrakyat.com
pada 5 Februari 2021.

Fanti, K. A., & Kimonis, E. R. (2012). Bullying and victimization: The role of conduct
problems and psychopathic traits. Journal of Research on Adolescence, 22, 617–
631. http://dx.doi.org/10.1111/j.1532- 7795.2012.00809.x

Farmer, T. W., Petrin, R., Robertson, D., Fraser, M., Hall, C., Day, S., & Dadisman, K.
(2010). Peer relations of bullies, bully-victims, and victims: The two social worlds
of bullying in second-grade classrooms. The Elementary School Journal, 110, 364 –
392. http://dx.doi.org/ 10.1086/648983

Fatah, N. (2000). Landasan manajeman pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Fazio, R. H., & Olson, M. A. (2007). Attitudes: Foundations, functions, and consequences.
In M. A. Hogg & J. Cooper (Eds.), The sage handbook of social psychology (pp.
123–145). London, England: Sage.

Feierabend, S., & Rathgeb, T. (2012). Medienumgang jugendlicher in Deutschland-


Ergebnisse der JIM-studie 2011 [Media handling of young people in Germany—
results of the JIM study 2011]. Media Perspektiven, 6, 339–352.

Ferguson, C. J., San Miguel, C., & Hartley, R. D. (2009). A multivariate analysis of youth
violence and aggression: The influence of family, peers, depression, and media
violence. The Journal of Pediatrics, 155, 904 –908. e3.
http://dx.doi.org/10.1016/j.jpeds.2009.06.021

Feist, J., Feist, G. (2018). Theories of Personality, 9th ed (9). : McGraw-Hill International
Editions

Festinger, L. (1957). A theory of cognitive dissonance. Stanford University Press

Finiswati, E., & Matulessy, A. (2018). Kecendrungan melakukan bullying ditinjau dari
jenis kelamin dan urutan kelahiran pada santri di Pondok Pesantren. Fenomena:
Jurnal Psikologi, 1, 13-23.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

196

Frey et al. (2005). Reducing playground bullying and supporting beliefs: An experimental
trial of the steps to respect program. Developmental Psycholog, 41, 479–49.

Gage, N. A., Prykanowski, D. A., & Larson, A. (2014). School climate and bullying
victimization. A Latent Class Growth Model Analysis, 29, 256–271. Gendron, B.,
Williams, K., & Guerra, N. (2011). An analysis of bullying among students within
schools: Estimating the effects of individual normative beliefs, self-esteem, and
school climate. Journal of school violence, 10, 150-164.
http://dx.doi.org/10.1080/15388220.2010.539166.

Gini, G., & Pozzoli, T. (2006). The role of masculinity in children’s bullying. Sex Roles,
54, 585–588. http://dx.doi.org/10.1007/s11199-006-9015-1

Gini, G., & Pozzoli, T. (2013). Bullied children and psychosomatic problems: A meta-
analysis. Pediatrics, 132, 720 –729. http://dx.doi.org/ 10.1542/peds.2013-0614

Gladden, R.M., Vivolo-Kantor, A.M., Hamburger, M.E., & Lumpkin, C.D. (2014) Bullying
surveillance among youths: uniform definitions for public health and recommended
data elements. Centers for Disease Control and Prevention.

Global Jaya Boarding School. (2020). Diakses pada 22 Oktober 2020 di


http://www.globaljaya.com/index.php/en/schoollife/after-school-activities
Gordon, S. (2019). Why Gifted Students Are Targeted by Bullies. Diakses pada 30 Oktober
2020 di https://www.verywellfamily.com/how-bullying-impacts-the-gifted-student-
460594

Graham, S. (2011). What educators need to know about bullying. Educational Horizons,
89, 12-15.

Graham, S., Bellmore, A., & Juvonen, J. (2007). Peer victimization in middle school: When
self- and peer views diverge. In J. E. Zins, M. J. Elias, & C. A. Maher (Eds.),
Bullying, victimization, and peer harass-ment: A handbook of prevention and
intervention (pp. 121–141). New York, NY: Haworth Press.

Graham, S., & Juvonen, J. (1998a). A social-cognitive perspective on peer aggression and
victimization. In R. Vasta (Ed.), Annals of child devel- opment (pp. 23–70). London,
UK: Jessica Kingsley.

Graham, S., & Juvonen, J. (1998b). Self-blame and peer victimization in middle school:
An attributional analysis. Developmental Psychology, 34, 587–599.
http://dx.doi.org/10.1037/0012-1649.34.3.587

Hanurawan, F. (2012). Qualitative Research in Psychology: Journal of Educational, Health


and Community Psychology, 1, (2), 120-132

Hawker, D. S., & Boulton, M. J. (2000). Twenty years' research on peer victimization and
psychosocial maladjustment: A meta-analytic review of cross-sectional studies. The
Journal of Child Psychology and Psychiatry and Allied Disciplines, 41(4), 441-455.

Hazler, R. J., Carney, J. V., Green, S., Powell, R., & Jolly, L. S. (1997). Areas of expert
agreement on identification of school bullies and victims. School Psychology
International, 18, 5-14.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

197

Heusmann, H. W., & Bellville, R. H. (1982). Wood Duck research in Massachusetts, 1970–
1980. Massachusetts Division of Fisheries and Wildlife, Westborough,
Massachusetts.

HIMPSI. (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta: Pengurus Pusat Himpunan
Psikologi Indonesia.

Hoover, J. H., Oliver,R.,& Hazler, R. J. (1992). Bullying: Perceptions of adolescent victims


in the midwestern USA. School Psychology International, 13, 516

Holt, K.M. (2004). A Premier On Bullying. Crimes against children research center.

Horne, A., P. Orpinas, D. Newman-Carlson., & Bartolomucci, C. (2004). Elementary


school Bully Busters Program: Understanding why children bully and what to do
about it. (pp. 297-326) in D. L. Espelage and S. M. Swearer (Eds.), Bullying in
American Schools. Mahway, New Jersey: Lawrence Erlbaum.

Hyatt, J. (2017). Recognizing Moral Disengagement and Its Impact on Patient Safety.
Journal of Nursing Regulation, 7 (14).

Hymel, S., & Swearer, S. M. (n.d.). Four decades of research on school bullying, 293–299.
Juang, L. P., & Alvarez, A. N. (2011). Family , school , and neighborhood . Links To
Chinese American Adolescent Perceptions Of Racial / Ethnic Discrimination, 2, 1–
12. https://doi.org/10.1037/a0023107

Ilham. (2016). Bocah Ini Mengaku Kabur dari Pesantren karena Di-bully. Diakses melalui
https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/04/15/o5o4is361-bocah-
ini-mengaku-kabur-dari-pesantren-karena-dibully pada 7 Februari 2021.

Isni, A., & Nugroho, S. (2018). Hubungan Antara Religius Intrinsik dan Cyberbullying
pada Remaja di Pekanbaru (Skripsi). Pekanbaru. Fakultas Psikologi Universitas
Islam Riau.

Isfada, K. (2018). Dinamika psikologis mahasiswa penghafal Al-Qur’an di IAIN


Tulungagung: Sebuah Studi Fenomenologi (Thesis). Retrieved from:
http://repo.iain-tulungagung.ac.id/9902/.

Ispranoto (2018). Bocah bandung korban bully ternyata dianiaya sejak kelas 4
sd.Sumber:https://news.detik.com/jawabarat/4199065/bocah-bandung-korban-
bully-ternyata-dianiaya-sejak-kelas-4-sd

Jan, A., & Husain, S. (2015). Bullying in Elementary Schools: Its Causes and Effects on
Students. Journal of Education and Practice, 6(19), 43-56.

Janssen, I., Boyce, W. F., & Pickett, W. (2012). Screen time and physical violence in 10-
to 16-year-old Canadian youth. International Journal of Public Health, 57, 325–331.
http://dx.doi.org/10.1007/s00038-010-0221-9

Juvonen, J., & Graham, S. (2013). Bullying in school : The power of bullies and the plight
of victims. Annual Review of Psychology, 65, 159-185. Doi:
https://doi.org/10.1146/annurev-psych-010213-115030.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

198

Juvonen, J., Nishina, A., & Graham, S. (2000). Peer harassment, psycho-logical
adjustment, and school functioning in early adolescence. Jour-nal of Educational
Psychology, 92, 349 –359. http://dx.doi.org/10.1037/ 0022-0663.92.2.349

Kaltiala-Heino, R., Rimpelä, M., Marttunen, M., Rimpelä, A., & Ran-tanen, P. (1999).
Bullying, depression, and suicidal ideation in Finnish May–June 2015 , American
Psychologist 351 adolescents: School survey. British Medical Journal,
319, 348–351. http://dx.doi.org/10.1136/bmj.319.7206.348

Kadir, A. (2012). Sistem Pembinaan Pondok Pesantren. Shatutut Tarbiyah-Iain Kendari.

Kartono, K. (1996). Psikologi umum. Bandung: Mandar Maju.

Kass, S. (1999). Bullying widespread in middle school, say three studies. APA Monitor,
30(9), 1-2.

Katsir, I. (2016). Kisah Para Nabi. Ummul Qura: Jakarta.

Kawabata, N. (2001) Adolescent trauma in japanese school: Two case studies of ijimaand
school refusal. Journal of American Academy of Psychoanalysis, 85-103

Knack, J. M., Jensen-Campbell, L. A., & Baum, A. (2011). Worse than sticks and stones?
Bullying is associated with altered HPA axis func-tioning and poorer health. Brain
and Cognition, 77, 183–190. http://dx.doi.org/10.1016/j.bandc.2011.06.011

Knoll, M., Weigelt, O., Petersen, L. (2015). Examining the moral grey zone: The role of
moral disengagement, authenticity, and situational strength in predicting unethical
managerial behavior. Journal of Applied Social Psychology.

Konishi, C., Hymel, S., Zumbo, B. D., & Li, Z. (2010). Do school bullying and student-
teacher relations matter for academic achievement? A multilevel analysis. Canadian
Journal of School Psychology, 25, 19 – 39.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia. (2020). Sejumlah Kasus Bullying Sudah Warnai
Catatan Masalah Anak di Awal 2020, Begini Kata Komisioner KPAI. Indonesia:
KPAI.

Koo, H. (2007). A time line of evaluation of school bullying in differing social contexts.
Asia Pacific Education Review, 8, 107-116.

Kim, Y, S., Koh, Y., & Leventhal, B, L. (2004). Prevelence of school bullying in Korean
middle school students. Archives of Pediatric and Adolecent Medicine, 158 , 737-
741

Lam, D.O.B & Liu, A.W.H. (2007). The path through bullying—A process model from the
inside story of bullies in Hong Kong secondary schools. Child and Adolescent Social
Work Journal, 24.

Lee, C. (2011). An ecological systems approach to bullying behaviors among middle


school students in the United States. Journal of Interpersonal Violence, 26, 1664–
1693. https://doi.org/10.1177/0886260510370591

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

199

Lee, C.-H., & Song, J. (2012). Functions of parental involvement and effects of school
climate on bullying behaviors among south korean middle school students. Journal
of Interpersonal Violence, 27, 2437–2464. doi:
https://doi.org/10.1177/0886260511433508

Li, Q. (2006). Cyberbullying in schools: a research of gender differences. School


Psychology International, 27, 1-14.

Li, Q (2008). Bullying, school violence and more. A Research Model, 19, 1-15.

Licata, V. F. (1987). Creating a positive school climate at the junior high level. Paper
presented at the Annual Meeting of the Michigan Association of Middle School
Educators. Birmingham, A.L

Loke, A.Y., Mak, Y.W. & Wu, C.S.T. (2016). The association of peer pressure and peer
affiliation with the health risk behaviors of secondary school students in Hong Kong.
Public Health 137, 113–123

Madjid, N. (1997). Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia.
Jakarta: Paramadina.

Mastuhu, (1994). Dinamika sistem pendidikan pesantren: Suatu kajian tentang unsur dan
nilai sistem pendidikan pesantren. Jakarta: INIS

Marcia, J. E. (1966). Development and validation of ego identity status. Journal of


Personality and Social Psychology, 3, 551–558.

Marthunis., & Authar, N. (2017). Bullying at Aceh modern islamic boarding school
(Pesantren) Teacher’s perceptions and inverventions. Sukma: Jurnal Pendidikan, 1,
219-248.

Marsh, H. W., Lüdtke, O., Nagengast, B., Trautwein, U., Morin, A., Abduljabbar, A., &
Köller, O. (2012). Classroom climate and contex-tual effects: Conceptual and
methodological issues in the evaluation of group-level effects. Educational
Psychologist, 47, 106 –124. http://dx.doi.org/10.1080/00461520.2012.670488

Mayasari, I & Nugroho, S (2018). Gambaran Bullying pada Anak Berkebutuhan Khusus
di Pekanbaru. Pekanbaru. Fakultas Psikologi Universitas Islam Riau Mawarni, R.,
Hardjono., & Andayani, T.R. (2015). Hubungan antara mencari sensasi dan empati
dengan school bullying pada remaja putra kelas X dan XI di Madrasah Mu'alliin
Muhammadyah Yogyakarta. Skripsi. Universitas Sebelas Maret

Mihailides, S., Graffam, J., Sinclair, W.A., Sisko, A. (2018). Forensic, Medicinal
Deployment of Methamphetamine, for Metacognition, CBT, Relapse Prevention
Innovation and Sexual Traumas. J Forensic Sci & Criminal Inves 2018; 11(2):
555809. DOI:10.19080/JFSCI.2018.11.555809

Miller, N. E., & Dollard, J. (1941). Social learning and imitation. New Haven, CT: Yale
University Press

Mishna, F. (2012). Bullying: A guide to research, intervention, and prevention. OUP USA.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

200

Mizuta, A. Okada, E. Nakamura, M. Yamaghuci, H & Ojima, T. (2017). Association


between the time perspective and type of involvement in bullying among
adolescents: A cross‐sectional study in Japan. Japan Journal of Nursing Science Vo
15. Issue 2 April 2018 page156-166.

Monks, C. P., & Smith, P. K. (2006). Definitions of bullying: Age differences in


understanding of the term, and the role of experience. British Journal of
Developmental Psychology, 24, 801– 821.
http://dx.doi.org/10.1348/026151005X82352

Mouttapa, M., Valente, T., Gallaher, P., Rohrbach, L. A., Unger, J. B. (2004). Social
network predictors of bullying and victimization. Adolescence, 39, 315–335.
Retrieved from http://www.ncbi.nlm.n-ih.gov/pubmed/15563041.

Muñoz, L. C., Qualter, P., & Padgett, G. (2011). Empathy and bullying: Exploring the
influence of callous-unemotional traits. Child Psychiatry and Human Development,
42, 183–196. http://dx.doi.org/10.1007/ s10578-010-0206-1

Munro, C. (2002). Factors affecting coping with bullying in adolescence. American


Psychological Association (APA).

Nuriana, I. (2016). Reproduksi Kekerasan Dalam Relasi Antara Mahasiswa Senior Dan
Mahasiswa Junior (Studi Deskriptif Pada Pelaksanaan Orientasi Pengenalan
Kampus Mahasiswa Fisip Universitas Airlangga)(Doctoral Dissertation, Universitas
Airlangga).

Navarro, R., Larrañaga, E., & Yubero, S. (2011). Bullying-victimization problems and
aggressive tendencies in Spanish secondary school stu-dents: The role of gender
stereotypical traits. Social Psychology of Education, 14, 457– 473.
http://dx.doi.org/10.1007/s11218-011-9163-1

Nesdale, D., & Naito, M. (2005). Individualism-collectivism and the attitudes to school
bullying of japanese and australian students, 36, 537–556.
https://doi.org/10.1177/0022022105278541

Nugroho, S. (2012). Efektivitas psikoedukasi untuk meningkatkan pengetahuan dan


keterampilan guru dalam menangani bullying. Jurnal Intervensi Psikologi, 15-21

Nugroho, S & Fadhlia, T. N. (2011). Perilaku bullying di pekanbaru. Universitas Islam


Riau O’Connell, P., Pepler, D., & Craig, W. (1999). Peer involvement in bullying:
Insights and challenges for intervention. Adolescence, 22, 437– 452.
doi:10.1006/jado/1999.0238.

Nugroho, S., & Fardhana, N.A. (2018). Bullying at islamic boarding school: A pilot study
in Pekanbaru. International Journal Of Pure And Applied Mathematics, 199, 2095-
2100.

Olweus, D., (1978) Aggression in the schools. Bullies and whipping boys.

Washnigton D.C., Hemisphere press (Wiley).

Olweus, D. (1993). Bullying at school: What we know and what we can do. Oxford:
Blackwell. Orpinas, P., & Horne, A. M. (2006). Bullying prevention: Creating a

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

201

positive school climate and developing social competence. Washington, DC:


American Psychological Association.

Olweus, D. (2011). Bullying at school and later criminality: Findings from three Swedish
community samples of males. Criminal behaviour and mental health, 21(2), 151-
156.

O’Connell, P., Pepler, D., & Craig, W. (1999). Peer involvement in bullying: Insights and
challenges for intervention. Journal of Adolescence, 22, 437– 452.
http://dx.doi.org/10.1006/jado.1999.0238

Olson, C. K., Kutner, L. A., Baer, L., Beresin, E. V., Warner, D. E., & Nicholi, A. M., Jr.
(2009). M-rated video games and aggressive or problem behavior among young
adolescents. Applied Developmental Science, 13, 188 –198.
http://dx.doi.org/10.1080/10888690903288748

Plano Clark, V. L., & Creswell, J. W. (2008). The mixed methods reader. Patterson, G. R.
(1982). Coercive family process (Vol. 3). Castalia Publishing Company.

Patton, D. U., Hong, J. S., Patel, S., & Kral, M. J. (2015). A systematic review of research
strategies used in qualitative studies on school bullying and victimization. Trauma
Violence Abuse, (1552–8324(Electronic).
https://doi.org/10.1177/1524838015588502

Pepler, D., Craig, W., & O’Connell, P. (2010). Peer processes in bullying: Informing
prevention and intervention strategies. In S. R. Jimerson, S. M. Swearer, & D. L.
Espelage (Eds.), Handbook of bullying in schools: An international perspective (pp.
469 – 479). New York, NY: Routledge.

Pepler, D., Jiang, D., Craig, W., & Connolly, J. (2008). Developmental trajectories of
bullying and associated factors. Child Development, 79, 325– 338.
http://dx.doi.org/10.1111/j.1467-8624.2007.01128.x

Peraturan Direktur Politeknik Keuangan Negara Stan Nomor Per-04/Pkn/2017.


Diakses pada 22 Oktober 2020.
Petrosino, A., Guckenberg, S., DeVoe, J., & Hanson, T. (2010). What characteristics of
bullying, bullying victims, and schools are associated with increased reporting of
bullying to school officials? (Issues and Answers Report, REL 2010-No. 092).
Washington, DC: U.S. Department of Education, Institute of Education Sciences,
National Center for Education Evaluation and Regional Assistance, Regional
Educational Laboratory Northeast and Islands. Retrieved May 31, 2012,

Pfeiffer, J.P., & Pinquart, M. (2014). Bullying in German boarding school : A pilot study.
School Psychology International, 35, 580-591.

Poteat, V. P., Kimmel, M. S., & Wilchins, R. (2010). The moderating effect of support for
violence beliefs on masculine norms, aggressions, and homophobic behavior during
adolescence. Journal of Research on Adolescence, 21, 434–447. doi: 10.
1111/j.1532- 7795.2010.00682.x.

Proctor, C. L., Linley, P. A., & Maltby, J. (2009). Youth life satisfaction: A review of the
literature. Journal of Happiness Studies, 10, 583–630.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

202

Purwono, U (2017) Partial least square dan SEM. Bahan kuliah. Universitas Airlangga:
tidak dipublikasikan.

Putri, H.N., Nauli, F.A., & Novayelinda, R. (2015). Faktor-faktor yang berhubungan
dengan perilaku bullying pada remaja. Jom, 2, 1149-1159.

Rahmawai, S. (2016). Hubungan Antara Kecemasan Perpisahan Dengan Orang Tua


Terhadap Risiko Perilaku Bullying Santri di Pesantren Assanusi Cirebon. Jakarta:
UIN Jakarta.

Ramadhani, A., & Retnowati, S. (2013). Depresi pada remaja korban bullying. Jurnal
Psikologi, 9, 73-79.

Rezapur, M. Soori, H. Khodakarim, S. (2014). Epidemiological pattern of bullying among


school children in mazandaran province, iran. Arch Trauma Res. 2014 November;
3(4): e22551.

Richard, J. F., Schneider, B. H., & Mallet, P. (2011). Revisiting the whole school approach
to bullying: Really looking at the whole school. School Psychology International,
33, 263–284. http://dx.doi.org/10.1177/0143034311415906

Richard, J. F., Schneider, B. H., & Mallet, P. (2012). Revisiting the whole-school approach
to bullying: Really looking at the whole school. School Psychology
International, 33, 263–284. https://doi.org/10.1177/0143034311415906

Rigby, K. (2002). New Perspectives on Bullying. Jessica Kingsley: London.

Rigby, K. (2014). Addressing bullying in schools : theoretical perspectives and their


implications. Sage Publication. 25: 287

Rivers, I. (2000). Long-term consequences of bullying. Issues in therapy with lesbian, gay,
bisexual and transgender clients. Neal, Charles (Ed.); Davies, Dominic (Ed.); pp.
146-159. Maidenhead, BRK, England: Open University Press, 2000. xvi, 202 pp.

Rivers, I., Poteat, V., Noret, N., & Ashurst, N. (2009). Observing bullying at school: The
mental health implications of witness status. School Psychology Quarterly, 24(4),
211- 223

Rodkin, P. C., & Hodges, E. V. (2003). Bullies and victims in the peer ecology: Four
questions for psychologists and school professionals. School Psychology Review,
32(3), 384-400

Rodkin, P. C., Espelage, D. L., & Hanish, L. D. (2015). A relational framework for
understanding bullying: Developmental antecedents and outcomes. American
Psychologist, 70, 311–321. http://dx.doi.org/ 10.1037/a0038658

Rogers, C.R. (1983) Freedom to learn for the 80s. Charles Merrill Publishing Company:
London

Roman, G. (2005). Force in Physics. Physics Tutorial.

Ross, D. M. (2002) Bullying in j sandoval (ed). Handbook of Crisis Counseling,


Intervention, and Prevention in Schools.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

203

Rowland, I. D. (1998). The culture of the High Renaissance: ancients and moderns in
sixteenth-century Rome (p. 101). Cambridge: Cambridge University Press.

Ryherd, L. M. (2014). Bullying and victimization : The role of parenting and


childhood behavior across time.

Sandri, R. (2015). perilaku bullying pada remaja panti asuhan ditinjau darikelekatan dengan
teman sebaya dan harga diri. Jurnal Psikologi Tabularasa, 10, 43-57.

Santrock, J. W. (2012). A Topical Approach to Lifespan Development (6110 ed.).

Salmivalli, C., Lagerspetz, K., Bjorkqvist, K., Osterman, K., & Kauki-ainen, A. (1996).
Bullying as a group process: Participant roles and their relations to social status
within the group. Aggressive Behavior, 22, 1–15.
http://dx.doi.org/10.1002/(SICI)1098-2337(1996)22:1 1:: AID-AB1 3.0.CO;2-T

Salmivalli, C., & Voeten, M. (2004). Connections between attitudes, group norms, and
behaviour in bullying situations. International Jour-nal of Behavioral Development,
28, 246 –258. http://dx.doi.org/10.1080/ 01650250344000488

Saraswati, M.A., & Sawitri, D.R. (2015). Konsep diri dengan kecendrungan bullying pada
siswa kelas XI SMK. Jurnal Empati, 4, 60-65.

Sari, R. N. & Suryanto. (2016). Kecerdasan Emosi, Anonimitas danCyberbullying(Bully


Dunia Maya). Persona, Jurnal Psikologi Indonesia Vol.5, No.01.

Schneider, F., Gruman, J., & Coutts, L. (2012). Applied social psychology.
Understanding and addressing social and practical.

Sekolah Pelita Harapan. (2020). Diakses pada 20 Oktober 2020 di


https://sph.edu/admissions/faq/
Shireen, F., Janapana, H., Rehmatullah, S., Temuri, H., & Azim, F. (2014). Trauma
experience of youngsters and Teens: A key issue in suicidal behavior among victims
of bullying?. Pakistan journal of medical sciences, 30(1), 206.

Sigurdson, J. F., Undheim, A. M., Wallander, J. L., Lydersen, S., Sund, M. (2015). The
long-term effects of being bullied or a bully in adolescence on externalizing and
internalizing mental health problems in adulthood: Child & Adolescent Psychiatry
& Mental Health, 9: 42, 1-13

Slee, P. T., & Rigby, K. (1993). Australian school children’s self appraisal of interpersonal
relations: The bullying experience. Child Psychiatry and Human Development, 23,
273–282. http://dx.doi.org/10.1007/ BF00707680

Smith, P. K., Talamelli, L., Cowie, H., Naylor, P., & Chauhan, P. (2004). Profiles of non-
victims, escaped victims, continuing victims and new victims of school bullying.
British Journal of Educational Psychology, 74, 565–581.
http://dx.doi.org/10.1348/0007099042376427

Spriggs, A. L., Iannotti, R. J., Nansel, T. R., & Haynie, D. L. (2007). Adolescent bullying
involvement and perceived family, peer and school relations: Commonalities and

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

204

differences across race/ethnicity. Journal of Adolescent Health, 41, 283–293.


http://dx.doi.org/10.1016/j.jadohealth.2007.04.009

Strauss, A., & Corbin, J. (1998). Basics of qualitative research: Procedures and techniques
for developing grounded theory.

Suhariadi, F., Suminar, D.R., Sugiarti, R. (2015). Literature Study Social Competence of
Gifted Intelligent Students: Asian Journal of Education and e-Learning, 3, (4), 263-
270

Suryanto, I. H., Handoyo, S. (2017). Family Resilience: A Conceptual Review: Advances


in Social Science, Education and Humanities Research, 133, 1-7.

Suteja. 1999. Pola Pemikiran Kaum Santri. Bandung: Pustaka Hidayah.

Sutton, J., Smith, P. K., & Swettenham, J. (1999a). Bullying and―theory of mind‖: A
critique of the social skills deficit view of anti-social behavior. Social Development,
8, 117–127. http://dx.doi.org/10.1111/ 1467-9507.00083

Sutton, J., Smith, P. K., & Swettenham, J. (1999b). Social cognition and bullying: Social
inadequacy or skilled manipulation? British Journal of Developmental Psychology,
17, 435– 450. http://dx.doi.org/10.1348/026151099165384

Shidiqi, M.F., & Suprapti, V. (2013). Pemaknaan bullying pada remaja penindas (The
bully). Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial, 2, 90-98.

Singarimbun, Masri & Effendi (2008). Metode Penelitian Survei. Edisi Revisi. Cetakan
ke19.

Simbolon, M. (2012). Perilaku bullying pada mahasiswa berasrama. Jurnal Psikologi, 39.
233-243.

Smith, P. K., & Brain, P. (2000) Bullying in school: lesson from two decades of research
agressive behevior. 28,1-9.

Smithyman, T. F., Fireman, G. D., & Asher, Y. (2014). Long-term psychosocial


consequences of peer victimization : From elementary to high school,
29(1), 64–76. https://doi.org/10.1037/spq0000053

Spergel, M. S. (1967). MS Spergel, Nuovo Cimento 47A, 410 (1967). Nuovo Cimento, 47,
410.

Sudrajat, I., & Triyoga, B. (2016). Segregasi Gender dalam Organisasi Spasial Pesantren
Pesantren Besar di Pulau Jawa. Jurnal Perencanaan Wilayah Dan Kota, 27(2), 91–
102.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kunatitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Susantyo, B. (2017). Lingkungan dan perilaku agresif individu. Sosio Informa, 3(1).

Swearer, S. M., & Hymel, S. (2015). Understanding the psychology of bullying. 70(4),
344–353.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

205

Swearer, Napolitano, S. M. (2011). Risk Factors for and Outcomes of Bullying and
Victimization (white paper; Educational Psychology Papers and Publications, Paper
132).

Tamayo, R. (2011). A checklist to define the psychological processes. Revista Colombiana


de Psicología, 20(2), 321-327.

Tanaka, T. (2001) The identity formation of victim of shunning. School Psychology


International, 463-476

Thomas, H. J., Connor, J. P., Lawrence, D. M., Hafekost, J. M., Zubrick, S. R., & Scott, J.
G. (2017). Prevalence and correlates of bullying victimisation and perpetration in a
nationally representative sample of Australian youth. Australian & New Zealand
Journal of Psychiatry, 51(9), 909-920.

Tippeett, N., Houlston, C., & Smith, P, K. (2010). Prevention and response to identity-
based bullying among local authorities in England, Scotland and Wales. Unit for
School and Family Studies, Equality and Human Right Commision: London.

Ttofi, M. M., Farrington, D. P., & Lösel, F. (2012). School bullying as a predictor of
violence later in life: A systematic review and meta-analysis of prospective
longitudinal studies. Aggression and Violent Behavior, 17(5), 405-418.

Umasugi, S, C. (2013). Hubungan antara regulasi emosi dan religiusitas dengan


kecendrungan perilaku bullying pada remaja. Emphaty, 2.

Unnever, J. D., & Cornell, D. G. (2004). Middle school victims of bullying: Who reports
being bullied? Aggressive Behavior, 30, 373– 388.
http://dx.doi.org/10.1002/ab.20030

Vaillancourt, T., Hymel, S., & McDougall, P. (2003). Bullying is power: Implications for
school-based intervention strategies. Journal of Applied School Psychology, 19,
157–176. http://dx.doi.org/10.1300/ J008v19n02_10.

Van Dam, D. S., van der Ven, E., Velthorst, E., Selten, J. P., Morgan, C., & de Haan, L.
(2012). Childhood bullying and the association with psychosis in non-clinical and
clinical samples: a review and meta-analysis. Psychological medicine, 42(12), 2463-
2474.

Vaughn, M. G., Fu, Q., Bender, K., DeLisi, M., Beaver, K. M., Perron, B. E., & Howard,
M. O. (2010). Psychiatric correlates of bullying in the United States: Findings from
a national sample. Psychiatric Quarterly, 81, 183– 195.
http://dx.doi.org/10.1007/s11126-010-9128-0

Veenstra, R., Lindenberg, S., Zijlstra, B. J., De Winter, A. F., Verhulst, F. C., & Ormel, J.
(2007). The dyadic nature of bullying and victim-ization: Testing a dual-perspective
theory. Child Development, 78, 1843–1854. http://dx.doi.org/10.1111/j.1467-
8624.2007.01102.x

Viding, E., Simmonds, E., Petrides, K. V., & Frederickson, N. (2009). The contribution of
callous-unemotional traits and conduct problems to bully-ing in early adolescence.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

206

Journal of Child Psychology and Psychiatry, 50, 471– 481.


http://dx.doi.org/10.1111/j.1469-7610.2008.02012.x

Wahjoetomo. (1997). Perguruan tinggi pesantren : Pendidikan alternatif masa depan. Gema
Insani : Jakarta

Wang, C., Berry, B., & Swearer, S. M. (2013). The critical role of school climate in
effective bullying prevention. Theory Into Practice, 52, 296 –302.
http://dx.doi.org/10.1080/00405841.2013.829735

Watt, D. (2007). On Becoming a Qualitative Researcher: The value of Reflexitivity. The


Qualitative Report, 12 (1), 82-10.

Weinstein, N. D., Rothman, A. J., & Sutton, S. R. (1998). Stage theories of health behavior:
Conceptual and methodological issues. Health Psychology, 17(3), 290–299.
https://doi.org/10.1037/0278-6133.17.3.290

Weiss, B., Dodge, K. A., Bates, J. E., & Pettit, G. S. (1992). Some consequences of early
harsh discipline: Child aggression and a maladaptive social information processing
style. Child development, 63(6), 1321-1335

White, M.A. (2004). An Australian co-education boarding school as a crucible for life: A
humanistic sociological study of students’ attitudes from their own memoirs.
Unpublished dissertation, University of Adelaide.

White, R., & Mason, R. (2012). Bullying and gangs. International Journal of Adolescent
Medicine and Health, 24, 57– 62. http://dx.doi.org/ 10.1515/ijamh.2012.008

Whitted, K S., & Dupper, D R. (2005). Best practices for preventing or reducing bullying
in schools. Children & School, 27.

Whyte, J. (1943). American Words and Ways, Especially for German Americans.Viking
Press.

Widhiarto, C. A., Suminar, D. R., Hendriani, W. Identification of Victims Response to


Bullying Cases: A Study of Javanese Students: Journal of Educational, Health and
Community Psychology, 9 (2), 117-132

Williams, K., & Guerra, N. (2007). Prevalence and predictors of Internet bullying. Journal
of Adolescent Health [Supplement], 41, 14–21. doi:
10.1016/j.jadohealth.2007.08.018.

Wisudani, R., Fardana, N.A. (2013). Hubungan Antara Faktor Kepribadian Big Five
dengan Perilaku Prososial pada Mahasiswa Keperawatan: Jurnal Psikologi Klinis
dan Kesehatan Mental, 3 (2), 97-104

Wulandari, A. W., & Muis, T. (2017). Karakteristik Pelaku Dan Korban Bullying Di Sma
Negeri 11 Surabaya. Jurnal Bk Unesa, 7(2).

Wolitzky, D. L. (2010). Dynamic psychology. The Corsini Encyclopedia of Psychology, 1-


4.

Wright, A. G., & Hopwood, C. J. (2016). Advancing the Assessment of Dynamic


Psychological Processes. Assessment, 23(4), 399–403.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

207

Yani, A.L., Winarni, A., Lestari, R. (2016). Eksplorasi fenomena korban bullying pada
kesehatan jiwa remaja di pesantren. Jurnal Ilmu Keperawatan, 4, 93- 113.

Yani, A.L. (2017). Pengaruh tought stoping terhadap tingkat kecemasan remaja yang
mengalami bullying di pesantren. The Indonesian Journal Of Health Science, 08,
133-144.

Youngblade, L. M., Theokas, C., Schulenberg, J., Curry, L., Huang, I., & Novak, M.
(2007). Risk and promotive factors in families, schools, and communities:
A contextual model of positive youth development in adolescence. Pediatrics, 119,
47–53. doi: 10.1542/peds.2006-2089H.

Zamahsyari, D. (1984). Tradisi pesantren. Jakarta: LP3ES.

Ziemek, M.(1986) Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta:, P3M.

Zuhriy, M. S. (2011). Budaya Pesantren Dan Pendidikan Karakter Pada Pondok Pesantren
Salaf. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 19(2), 287-310

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

208

LAMPIRAN 1. Tabel Sejarah Penelitian Perundungan di Sekolah


Tabel Sejarah Penelitian Perundungan di Sekolah
Tokoh Negara Partisipan Metode Temuan
Berguno, Leroux, Inggris 42 Anak Wawancara Delapan puluh persen merasa kesepian di sekolah, yang berhubungan dengan
McAinsh, & Shaikh, (Usia 8–10) individu semi kebosanan, tidak aktif, kecenderungan untuk menarik ke dalam fantasi, dan sikap pasif
2004 terstruktur terhadap interaksi sosial di sekolah. Enam puluh delapan persen dilaporkan mengalami
peer victimization. Anak-anak melaporkan bahwa intervensi guru tidak membantu.
Penindasan dan intervensi guru dikaitkan dengan rasa kesepian anak-anak di sekolah.
Bibou-Nakou, Central and 90 Murid (usia 13-15) 14 focus groups, Tiga faktor yang berhubungan dengan keluarga berkontribusi pada perundungan dan
Tsiantis, Eastern wawancara semi viktimisasi: lingkungan rumah yang sulit (misalnya, konflik di antara pasangan atau
Assimopolos & Europe terstruktur antara orang tua dan para peserta), gaya pengasuhan (misalnya, overproteksi orangtua,
Chatzilambou, 2013 kurangnya pengawasan, atau kontrol yang berlebihan), dan pelecehan antar pribadi
Bosacki, Marini & Canada 82 anak (Usia 8-12) Menngambar, Komentar pelaku menunjukkan proaktif / instrumental dan agresi reaktif / emosional.
Dane naratif dan Aspek-aspek intimidasi dari perundungan disarankan. Sangat penting untuk menciptakan
wawancara individu intervensi yang mencakup moralpendidikan

deLara, 2008 United 112 Siswa SMA 5 Focus Grup, 52 Siswa menggunakan strategi koping kognitif untuk menangani perundungan.
States wawancara individu

deLara, 2012 United 97 Siswa SMA Wawancara Siswa menyatakan keprihatinan atas tindakan orang dewasa yang tidak pantas dan
States individu, focus perbedaan antara anak - anak dan orang dewasa mengenaidefinisi perundungan.
group
Docherty & United 20 Anak (Usia 3-9) Wawancara Anak-anak, bahkan semuda 3 tahun, bisa memberi gambar deskripsi dan memiliki ingatan
Sandelowsk1, 1999 States Individu yang sangat baik tentang pengalaman terkait efek samping, seperti sakit dan rawat inap.
Anak-anak menggunakan skrip sebagai sarana utama untuk mengantisipasi, memahami,
dan menciptakan kembali pengalaman kehidupan nyata. Isi, waktu, jumlah, dan struktur
wawancara akan mempengaruhi kelengkapan, akurasi, dan konsistensi penarikan kembali
acara oleh anak-anak.
Hopkins, Taylor, United 57 Siswa (Usia 11-17) Focus grup Penampilan, cacat, dan orientasi seksual berkontribusi menjadi korban, mengkategorikan
Bowen & Wood, Kingdom korban sebagai milik kelompok minoritas yang kurang beruntung.
2013
Humphrey & England 36 Siswa dengan Fenomenologi, Siswa menanggapi perundungan menggunakan berbagai strategi. Ada perbedaan besar
Symes, 2010 autism spectrum wawancara semi ketika mempertimbangkan guru mana akan diinformasikan. Siswa cenderung mencari
disosder (ASD) (Usia terstruktur bantuan jika mereka tidak memikirkannya akan membantu atau tidak dapat memprediksi
11-16)

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

209

bagaimana para guru akan melakukannya menanggapi. Kemungkinan mencari bantuan


dari teman sebaya, guru, dan lainnya dimediasi oleh sejarah hubungan siswa.
Kvarme,Aabo & Central & 17 Anak (Usia 12-13) Wawancara semi Penindasan berhenti ketika para korban menerima bantuan dari grup mereka pendukung.
Saeteren, 2013 Eastern terstruktur, focus
Europ group
Lund, Ertesvag, & Norway 15 Siswa perempan Wawancara Remaja yang pemalu melihat lingkungan kelas yang tidak mendukungb faktor yang
Roland, 2010 (Usia 14-18) mendalam dan mendasari untuk penganiayaan perundungan.
observasi
Mishna, 2004 Canada 61 siswa (kelas 4 dan Wawancara Kesulitan menentukan apakah insiden itu adalah perundungan karena kesulitan dalam
5, orangtua siswa, individual semi mendefinisikan perundungan. Semua anak-anak dilaporkan memberi tahu teman-teman
guru, wakil kepala terstruktur mereka ketika mereka diganggu. Ada yang memberi tahu orang tua mereka. Anak-anak
sekolah, kepala diganggu oleh teman-teman.
sekolah
Mishna, Pepler & Canada 159 siswa (kelas 4 dan Kuisioner, Siswa dan orang dewasa umumnya memahami perundungan, yang mereka lakukan
Wienner, 2006 5), identifikasi sebagai wawancara semi anggap berbahaya. Perundungan paling didefinisikan sebagai ketidakseimbangan
korban bully, terstruktur kekuasaan, niat untuk menyebabkan bahaya, dan perilaku langsung dan tidak langsung.
orangtua,, dan guru Sedikit yang menyebutkan efek dari perundungan berulang. Peserta menganggap
perundungan tidak langsung sebagai kurang serius. Perundungan tidak langsung kurang
mungkin dianggap sebagai perundungan oleh orang dewasa. Temuan sesuai dengan hasil
dari penelitian sebelumnya
Mishna, Scarcello, Canada 13 Guru Kuesioner, Guru tidak menyadari bahwa 10 dari 17 siswa diganggu (sesuai dengan kuesioner). Para
Pepler & wawancara semi guru menyadari ketidakseimbangan kekuatan antara perundunganpelaku dan korban, dan
Wienner,2005 terstruktur perundungan didefinisikan sebagai mayoritas disengaja.Guru mengalami kesulitan dalam
mengidentifikasi insiden perundungan danmengetahui bagaimana caranya campur
tangan. Perundungan nonfisik dianggap tidak serius dan diabaikan. Tanggapan guru
dipengaruhi oleh belas kasih mereka. Hampir semua guru di bully saat masih anak-anak
dan efek bertahan.
Mishna, Newman, Canada 9 kunci informan dari Wawancara semi Penindasan remaja minoritas seksual dilaporkan meluas, terjadi di berbagai konteks.
Daley& Solomon, pendidikan dan sosial terstruktur Remaja minoritas seksual menjadi korban hampir di mana-mana teman sebaya dan orang
2007 pengatur pelayanan dewasa. Penindasan remaja minoritas seksual terjadi dalam pengaturan yang dirancang
(Usia 25-44) untuk mengatasi masalah viktimisasi seksual remaja minoritas. Sejumlah faktor tingkat
komunitas menumbuhkan atau menghambat perundungan remaja minoritas seksual.
Responden melaporkan psikologis, akademik, dan sosial efek perundungan. Responden
menyatakan keprihatinan bahwa intimidasi homophobic adalah tidak ditangani dengan
baik.
Oliver & Candappa, England 230 siswa (kelas 5-8) Focus group Siswa yang lebih tua lebih enggan untuk memberitahu orang dewasa tentang pengalaman
2007 mereka dalam perundungan. Siswa lebih cenderung memberi tahu teman.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

210

Paton, Crouch & England 8 orang pelanggar Wawancara semi Remaja mengalami kekerasan di rumah, di komunitas, dan di tahanan.Ketidakstabilan dan
Camic, 2009 muda terstruktur transisi adalah masalah utama dalam hubungan ke rumah dan sekolah. Remaja juga
mengalami deprivasi karena kemiskinan dan
ketidakhadiran emosi / perilaku orang tua. Remaja ini menanggapi pengalaman buruk /
traumatis melalui agresi terhadap diri sendiri dan orang lain. Hambatan untuk membantu
mencari dan dukungan profesional juga diidentifikasi.
Peterson & Ray, United 58 kelas 8 yang Wawancara Bahkan ada satu insiden yang membuat beberapa siswa sedih. Banyak korban yang diam
2006 States berbakat terstruktur tentang pengalaman mereka, mencoba mengerti perundungan. Banyak yang mengira
mereka bertanggung jawab untuk menghentikan bulling. Banyak yang mengungkapkan
keputusasaan dan melaporkan pikiran kekerasan. Kecerdasan membantu untuk
memahami perundungan. Tidak diketahui berkontribusi pada perundungan.
Shute, Owens & Australia 72 anak 15 tahun, 7 Focus group Perundungan verbal dan tidak langsung dilaporkan terjadi setiap hari kejadian, dan
Slee, 2008 guru hampir sepenuhnya bersifat seksual. ‘‘ Pelecehan seksual ’’ secara tepat menangkap
kekuatan gender struktur, yang mendasari pengalaman-pengalaman ini.
Saladin-Subero & United 14 ibu, 4 volunter Wawancara Orang tua Hispanik anak-anak antara 9 dan 13 tahun, dan orang dewasa lain yang
Hawkins, 2011 States individu, focus mempengaruhi mereka, akan mendapat manfaat dari peningkatan akses ke materi
group berbahasa Spanyol tentang perundungan. Orang tua memiliki sedikit kesadaran tentang
bullying di sekolah, sumber daya yang bisa membantu mereka merumuskan tanggapan
yang tepat kepada orang lain, seharusnya anak mereka diganggu, ditindas orang lain, atau
menyaksikan perundungan.
Wyatt, 2010 United 48 siswa (usia 14-16) Focus group, Temuan menunjukkan bahwa pengaruh pada perilaku kekerasan dan agresif, hubungan
States wawancarai teman sebaya, popularitas, dan emosi spesifik gender.
individu
*Sumber dari ‘A Systematic review of research strategies used in qualitative studies on school bullying and victimization’ oleh Patton,
Hong, Patel, & Kral (2015).

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

202
LAMPIRAN 2. Mindmap Konsep Perundungan
Mindmap konsep perundungan

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

203
Fisik
Melakukan
perbuatan
Dialami yang tidak
dikehendaki
Pemalakan

Verbal
Dampak
sebagai
korban
Persepsi

Alasan Kondisi Pengalama Perundunga


masuk psikologis n menjadi n sebagai
pesantren korban korban motivasi
Situasi Jumlah Rencana
pelaku balas Afeksi
Tempat dendam
Gambaran Respon Kognisi
perilaku Kondisi
Waktu korban
perundunga Perilaku
n
Adik kelas

Senior
Kriteria
pemilihan Teman
korban seangkatan
Alasan
dijadikan
korban
Faktor
Perdebatan protektif
Bersama diri menjadi
teman pelaku Faktor risiko
Pengalaman Perilaku
menjadi balas
Dilakukan pelaku dendam
Pengambila yang
Respon
n keputusan sebagai Afeksi
menjadi pelaku
pelaku
Kondisi Kognisi
psikologis

Membentuk Penguatan
kekuatan yang
diharapkan
Perilaku
sebagai
pelaku
Waktu
kejadian
perundunga
n

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

204

Kondisi keluarga
Orang tua
Persepsi
Keterlibatan
dengan
Hubungan dengan
mesosistem organisasi
sekolah Guru

Persepsi Penjaga asrama


terhadap elemen
pesantren
Pesantren
Kurang menutupi kasus
pengawasan dari
guru

Kontribusi guru
terhadap Sikap guru
perundungan

Tidak ada laporan


ke guru

Guru

Pengalaman Kakak kelas


kekerasan sebelum
masuk pesantren
Orang tua
Peran guru Korban

Peran psikolog Pelaku

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

205
LAMPIRAN 3. Contoh Informed Consent
Contoh Informed Consent

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

206

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

207

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

207
LAMPIRAN 4. Verbatim Partisipan
Verbatim partisipan
Verbatim Partisipan A (1)

Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek (Aldi Ahmad Fahrezi)
P/S Hasil Wawancara
P Baik, aldi bisa ceritakan tentang dirimu di
S Baik, nama saya aldi ahmad fahrezi, saya dipanggil aldi, asal sekolah pondok pesantren
ummul terpadu bangkinang, kampung dibangkinang
P Ini mau nanya tentang bullying, kamu tau engga?
S Engga, secara detail ngga paham
P Misalnya gini kamu pernah ngga mengintimidasi teman mu atau nakut-nakutin
S Penah sering
P Nah itu, perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang yang membuat orang tidak senang,
terus punya tujuan terus yang korbannya lebih lemah dari kamu
S Iyaa
P Berarti pernah ya, aku mau nanya tentang dulu, kamu pernah mengalami ngga?
S Dulu awal masuk pondok, jadi saya tu abang-abang kelas tu sering ganggu saya kalau sendiri,
nanti abang-abang kelas tu kan datang tiba-tiba kekamar kami nanti introgasi kan ntah apa
yang diintrogasi bahkan nanti sampai pukul memukul kan disitu padahal kami sendiri ngga
tau masalah tu apa kan. Waktu diasrama tu seringlah gitu abang-abang kelas, kadang yang
satu angkatan sering melakukan itu tu
P Ooh jadi introgasi, memukul, selain itu?
S Selain itu paling nanti orang tu saling ngejek sampai sakit hati, ujung-ujungnya berantem
P Ada minta duit ngga?
S Itu biasanya abang kelas kalau ngga ada duit nanti lari ke adek kelasnya malam-malam hari
kan datang ke kamar pas dia ngga ada duit minta duit, itu pun rasanya ngga enak karena secara
paksa gitu mentang-mentang abang kelas minta-minta gitu aja
P Ooh oke, itu ya dulu ya, kalau yg melakukan itu senior atau orang yang lebih kuat dari kamu,
apa yang kamu lakukan?
S Karena dulu masih baru jadi saya nurut aja, ngga berani melawan karena kalau kita ngelawan
kita yang kena kita yang azab, ada teman tu kan ngelawan dah jadi kena pukul aja, saya pribadi
ngga berani ya pasrah aja
P Ooh pasrah, perasaan kamu kaya gimana waktu itu
S Ya dongkol ya, mau ngelawan tapi orang tu rame, besar lagi ngga bisa ngapa-ngapain
P Oh berkelompok?
S Iyaa
P Jadi yang muncul perasaan mu saat itu dongkol?
S Iyaa dongkol, sakit hati
P Ekspresikan ngga berani?
S Ngga berani
P Pernah ngga kamu ajak-ajak kawan yok kita balas
S Biasanya kan kalau kumpul satu angkatan ada, tapi cuma rencana balas dendam tapi sampai
situ aja
P Ohh jadi pernah berniat tapi ngga terealisasi? Alasan ngga terealisasi itu apa?
S Kadang teman-teman sendiri itu kan ngga berani juga, jadi karena dah tamat ngga jadi balas
dendam

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

208
P Ooh hahaha yaya jadi, waktu kamu mengalami bullying itu kejadiannya dimana itu waktu
disekolah tu tempatnya
S Disekolah?
P Iya dikelas kantin atau asrama?
S Kalau dipondok, ada kaya taman gitu, angkatan kami sering kumpul disana jadi abang kelas
sering datang kesana, kekamar juga
P Ooh gitu, jadi ada ngga guru-guru atau ustad-ustad pesantren tu yang tau
S Pernah ada gitu pak, ada guru tu pembina asrama bapak tu tau jadi dipanggil senior tadi tapi
ngga tau diapakan kan disembunyikan gitu ngga tau ntah dihukum atau apa, tapi setelah itu
orang tu tetap melakukan lagi datang kekami dibilangnya kami ngadu
P Setelah dituduh ngadu perilakunya gimana?
S Ya makin keras bully nya
P Terus kejadiannya siang atau sore atau malam
S Kebanyakan malam
P Ooh malam, ketika kamu jadi korban itu kira-kira yang kamu pikirkan apa?
S Yang dipikirkan Cuma kapan bisa balas dendam, pengen balas
P Perasaan mu ada dendam gitu?
S Iya dendam marah tapi ngga pernah kesampaian
P Ketika kamu marah terus ngga kesampaian gitu apa yang kamu rasakan?
S Nanti kan habis kena marah, nanti kami gibahin abang kelas tu, kami keluarkan kata2 kami
disitu cuma itu yang bisa kami lakukan saling menjelekkan
P Tapi ngga berani?
S Engga
P Ada ngga hal-hal lain yang mempengaruhi kamu saat mengahadapi situasi itu kaya ceritakan
ke orang tua gitu?
S Kalau soal itu saya ngga pernah ceritakan ke orang tua, karena kan kita udah dititipkan gitu
masa ngadunya keorang tua lagi, paling ke pengasuh aja tapi ngga bilang saya yang diganggu
paling dibilang orang lain
P Oh menggunakan orang lain, apa reaksi gurunya?
S Diterimakan ceritanya ya ngga taulah mungkin abang kelas tu dipanggil, kalau guru tu
menghukum abang tu kami ngga tau ntah diapakan
P Ooh jadi setelah kamu cerita sama gurumu kamu juga ngga tau apa kah itu terbalaskan atau
engga jadi kamu ngga puas gitu tapi ada lega ngga?
S Ya pasti karena ada yang lebih tua tau selain kami
P Setelah itu senior lulus, kamu belum balas dendam tapi kamu lakukan ke junior, apa motifnya?
S Motifnya mungkin biar adek tu tau apa yang kami rasakan, kami dulu diginikan loh, kami
lakukan itu puas hati kami setelah abang tu tamat, rasa dendam ngga kesampaian tadi junior
yang kami apakan
P Kamu ngebully junior, itu kamu tau sakit hati dongkol kenapa kamu tetap lakukan?
S Kami disitu rame kan pak, dikumpulkan adek kelas, pas orang tu gitu kan ada mikir pasti
orang tu sakit, tapi tiba-tiba tu mau ikut gitu
P Oh terlibatnya itu faktor diri kamu apa luar?
S Dari lingkungan kan pak, karena kawan tadi ayoklah jadi ikut
P Ooh yaya, terus kalau menurut kamu apa yang menjadikan kamu dari korban ke pelaku bully,
apa yang merasa kamu miliki tu
S Kalau dalam diri sendiri mungkin rasa dendam itu kan, terus apa dulu kami sakit jadi seolah-
olah kami dilatih untuk itu jadi kami berani
P Jadi kamu pikir itu training proses latihan
S Iyaa kalau di pondok itu keras
P Oh jadi kamu punya pandangan beda dengan sekolah lain? Teman-teman kamu gitu juga
ngga?
S Iyaa kalau kawan-kawan sekeliling gitu juga lah semua

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

209
P Ooh yaya okeoke, terus kalau dari luar diri kan karena ikut teman-teman, selain itu apa yang
buat kamu ngebully orang apakah memperhatikan situasinya?
S Kalau situasi yaa kadang, terus kan kadang adek kelas tu sendiri yang cari masalahnya
P Ooh kalau itu contohnya kaya mana kalau adek kelas yang cari masalahnya?
S Dia cari masalah tu pribadi gitu, nanti yang angkatan kami ngadu, bicara kami semua jadi
karena kami dah merasa hebat tadi jadi kami kumpulkanlah yang seangkatan tadi bukan Cuma
yang ejek aja, nah disitu lah kami apain
P Jadi ada rencana?
S Iya ada, jadi kami diskusi sepakat, padahal yang bikin masalah satu tapi yang kena semua
P Kalau dalam ngumpul kamu jadi apa
S Pendengar
P Pernah jadi insiator?
S Engga, saya Cuma ikut
P Tapi dalam bully kamu aktif?
S Iyaa ikutlah
P Oh oke, yang kamu inginkan atau harapkan dari bully tu apa?
S Biar sopan, ngerti sama kamu, kaya tau apa yang kami rasakan, itu aja biar hargai kakak
kelasnya
P Padahal kamu tau pas dulu dibully itu dongkol
S Iyaaa
P Nah yang buat kamu mikir itu bakal dihargai gitu gimana
S Yaa orang tu kami gitukan takut
P Jadi takut mereka berarti itu penghargaan meskipun mereka dongkol
S Iyaa
P Hal-hal yang memperkuat atau memperlemah kamu untuk merundung itu apa
S Kalau kuat dari kawan, pokoknya dari kawan aja, kalau inisiatif sendiri ya biarin aja tapi
karena satu angkatan biar satu angkatan tu solid jadi ngikut
P Ooh oke, yang memperlemah apa
S Diri sendiri tu kasihan liat orang tu kan sering ditendang, ditumbuk gitu
P Ooh yaya, kamu mengalami pergulatan batin ngga ketika melakukan itu ketika disatu sisi
kasihan tapi pengen dihargai itu prosesnya gimana, gimana kamu memilahnya sampai
akhirnya dilakukan
S Kasihan tu dari diri sendiri sedangkan kawan maksa ajak jadi kasihan itu hilang tiba-tiba
P Ooh jadi hilang gitu
S Iyaa semuanya spontan
P Padahal dalam diri kamu ada pikiran tapi karena diajak kawan jadi hilang
S Iyaa
P Biasanya kamu intimidasi tu seperti apa
S Biasanya saya seolah-olah paling hebat ngomong didepan orang tu semua jadi saya ngomong
lewat belakang saya pukul kepalanya saya tendang punggungnya
P Kamu ada milih orang-orang tertentu ngga
S Ada, kadang orang tu emang dongkol sama kawan-kawannya orang tu yang paling azab
P Orang seperti apa
S Orang yang suka ngelawan senior
P Oh yang berani
S Iya yang berani tu paling azab, kalau yang lemah tu dibebaskan yang paling cepat
P Ooh begitu, setelah melakukan itu apa yang kamu rasakan?
S Lega
P Lega puas gitu?
S Jadi nyantai selo
P Ada ngga muncul penyesalan?
S Kalau nyesal ngga ada hahaha

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

210
P Ooh ngga ada hahaha okeoke, kamu dirumah pernah dibully ngga?
S Engga
P Pertama kali dibully pas kapan?
S Ya pas dipondok itu, kalau dirumah itu dilingkungan ngga pernah
P Ooh jadi anda menjadi korban sekaligus perilaku gitu?
S Iyaa
P Oke terima kasih mas aldi, nanti kalau saya butuh data lagi akan saya wawancara lagi
terimakasih
S Iyaa pak

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

211
Verbatim Partisipan R (2)

Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek (Reza Maulia Pasha)
P/S Hasil Wawancara
P Silahkan perkenalkan diri dulu
S Perkenalkan nama saya reza maulia pasha, bisa dipanggil reza
P dari pesantren mana
S dari pesantren darul hikmah
P Baik, panggilannya reza ya?
S Iya
Nah reza, aku mau nanya-nanya nih untuk kepentingan penelitian terus tenang aja kamu boleh
ngomong apa aja data mu aman tidak akan disebut nama, tidak akan disebut pesantren mana,
P
jadi kamu tidak perlu merasa canggung, pokoknya hal-hal yang merasa kaku ngga apa
diceritakan aja, data mu aman. Eee kamu coba ceritakan pernah mengalami bullying ngga?
Pernah, pas kalau dipondok tu pertama kali masuk perkenalan sama kawan2 tu malam
S
keduanya saya langsung kena bully
P Malam kedua?
S Iyaa
P Apa bentuknya?
S Malam saya lagi tidur, tiba2 ada yang kasih lakban di muka
P Baru malam kedua?
S Iyaa baru malam kedua
P Kira-kira kalau sebelumnya kamu pernah mengalami ngga di SD atau SMP?
S Di SD kalau bullying belum kenal
P Belum kenal.. dirumah kalau sama orang tua?
S Ya untuk motivasi lah tapi kalau dihina tu pernah
P Contohnya?
Contohnya ya kan saya tiap hari suka main futsal jadi belum menghasilkan makanya saya
S
sering dihina lah sama orang rumah karena belum dapat prestasi
P Okeee, bentuk perilaku rundungan yang pernah kamu alami dipesantren itu apa?
S Yaaa paling menghina, saling menghina
P Kamu dihina?
S Iyaa dihina, ada perkelompok ada individu
P Hinanya dalam bentuk apa?
Dalam bentuk fisik, kalau pas pondok pemalas jadi saya dibilang pemalas tapi saya ngga
S
terima, karena walaupun pemalas saya masih mengerti pelajarannya
P Kenapa kamu dibilang pemalas tu?
S Ya saya suka telat, orang masuk jam 7 saya masuk jam 9
P 2 jam kamu telatnya?
S Iyaa hahaha
P Apa yang kamu lakukan dalam 2 jam itu?
S Tidurr
Ooh tidur, terus ketika kamu dibully oleh temen-temenmu itu sering kamu alami dalam
P
kondisi apa? Apakah lagi sendiri, siang hari, malam hari atau lagi bareng teman-teman mu?
Bareng teman-teman sih, lagi ngomong-ngomongkan nanti ada satu orang yang masuk bilang
S
eh kau pemalas kau ni, nanti ikut2 yang lain
P Kalau fisik permah ngga kamu alami?
Kalau fisik pernah sih, sekali waktu tidur digangguin jadi langsung baku hantam, kan kalau
S
orang tidur susah kali nahan emosinya

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

212
Hmm, ketika kamu berada di situasi dihina sering dibilang pemalas yang kamu rasakan itu
P
apa?
S Yaa sakit hati, ingin balas dendam rasanya
P Terus mau balas dendam?
S Iyaa
P Itu yang kamu pikirkan? Yang kamu rasakan sakit hati terus ingin balas dendam?
S Iyaa
P Kesampean ngga?
S Ee kadang sampai kadang engga
P Ooh ada kesampainnya juga?
S Iyaa
P Sering kesampaian apa sering engganya?
S Sering engga
P Kenapa sering tidak?
S Ngga suka karena jatuh mental kita tu
P Kalau yang melakukan sesama, kalau yang melakukan senior berani ngga?
S Kalau senior tengok situasi dulu kalau seniornya lagi rame kan susah nanti kena
P Berarti sama senior ngga berani ya?
S Iyaa ngga berani
P Kenapa ngga berani?
S Karena senior orang paling hebat
P Berarti kamu punya persepsi kalau senior itu orang yang paling hebat?
S Iyaa paling hebat
Kira-kira disaat kamu berada disituasi dihina, dilecehkan kaya gitu tu. Apa hal-hal yang
P berpengaruh dalam diri kamu? Apa kamu dapat dukungan atau kamu dapat kelemahan dari
lingkungan itu?
Eh pernah sampai jatuh mental tu sampai ngga mau berkawan gitu tapi pernah juga bullying
S
ini jadi motivasi gitu
P Bullying bisa jadi motivasi? Contohnya seperti apa?
Misalnya kan dibilang kau main futsal ngga pandai, ngga mantap nah dari situ kan latihan kan
S
buat dia tau siapa kita
P Jadi kamu justru bullying itu bisa untuk membuktikan kalau saya bisa gitu?
S Iyaa, saya bisa
Okee. Terus ini kan pernah jadi korban, jadi ingin balas dendam, ngga senang gitu, ingin balas
dendam tapi ngga berani, terus kemudian ternyata disatu waktu kamu mengambil keputusan
P
untuk membully orang lain ketika udah jadi senior gitu. Nah itu kan ada prosesnya, kamu tau
kalau dibully itu ngga enak, dilecehkan ngga enak tapi kenapa kamu lakuinjuga?
S Yaa sama balas dendam
P Ooh jadi balas dendam tapi sama orang yang berbeda gitu?
S Iyaaa, kalau senior bisa apain ke junior, yaa kita jadi senior ya apain juga juniornya
P Oo gitu
S Iyaa
Kamu ada mikir ngga kalau itu kan ngga enak juga, kamu kan pernah ngalaminnya kenapa
P
tetap kamu lakukan?
S Yaa pernah sih, pernah mikir kaya gitu
P Pernah mikir juga?
S Pernah
P Terus apa yang jadi renungan mu setelah pikiran itu?
S Yaaaa, karena sakit hati tu lah mendorong
P Oh jadi sakit itu dorongannya lebih kuat dari pada berpikir?
S Iyaaa hahahah

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

213
Terus menurut kamu ni, apa hal baik dalam dirimu atau apa ya, apa hal-hal yang ada dalam
P dirimu dari dalam dan luar yang kemudian memperngaruhi proses kamu yang dari awalnya
jadi korban bully kemudian menjadi pelaku bully?
Kalau proses sih yaa karena kita awalnya dibully ya, karena itu mau dicoba, kalau rasanya
S
enak ngge bully tu kan yaudah kita ngga usah jadi korban lagi yaa jadi pelaku aja
P Ooh jadi pelaku aja gitu?
S Iyaa hahaha
P Menurut kamu enak ngga jadi pelaku tu?
S Yaa enak
P Apa enaknya?
S Yaa enak, saya bisa menghina orang, melakukan hal yang tidak sewajarnya
Ya padahal kan kamu dipesantren diajarkan nilai religius, nilai agama, tapi kenapa kamu
P
melakukannya dan rata-rata temenmu juga melakukannya gitu gimana tu ceritanya?
Ya itu lah kalau pemikiran manusia ngga semuanya kita ambil dari pelajaran, kalau enak dikita
S
pasti kita lakukan kalaupun itu buruk
P Ooh jadi prinsipnya kalau enak di kita tetap dilakukan meskipun itu buruk?
S Iyaa
P Meskipun itu bertentangan dengan nilai yang kamu anut?
S Iyaa
Menurut kamu pelajaran yang kamu pelajari dipesantren itu sejauh apa bisa mengubah
P
perilakumu dan pikiranmu?
Yaa kalau untuk mengubah sih harus dari diri kita sendiri dulu memikirkannya kan enak atau
S engganya dari korban, kalau dari situ kita udah memikirkannya pasti kita ngga akan jadi
pelaku
P Hm, tapi kamu memikirkannya kalau rasa enaknya lebih enak, kamu dapat apa sih dari bully?
S Ngga dapat apa-apa
Ya maksudnya kan kalau jadi pelaku itu kan senior kamu merasa ditakuti itu yang buat kamu
P
senang kan? Merasa disegani
S Iyaa disegani
P Yang kamu harapkan kan itu kan apa tadi?
S Balas dendam, dihargai, disenangi, ditakuti
P Setelah itu perasaan apa yang kamu rasakan?
S Bangga hati
Bangga ya? Terus ada ngga hal yang kira-kira memperlemah kamu untuk melakukan bullying
P
dari diri kamu atau sekitar yang membuat kamu ngga mau untuk membully
Yaa pengayoman ya dari orang-orang yang lebih dari dewasa, mengayomi dari ustad2 gitu
S jangan membully karena membullyi itu orang-orang yang dibully itu bisa bunuh diri gitu, bisa
mentalnya itu jatuh
P Jadi gurunya pernah bilang gitu?
S Yaa kejadiannya udah pernah kok
P Oh udah pernah? Bisa kamu ceritakan ngga kejadiannya itu
Ya kalau kejadiannya ngga tau ceritanya tapi pas diceritakan itu kan kalau bullying itu bisa
S
membunuh orang perlahan-lahan
Jika kamu sedang mengalami pergulatan batin gitu kan, kamu harus melakukan karena balas
P dendam atau kamu ngga mau melakukan karena pernah mengalami, bisa kamu ceritakan ngga
prosesnya sampai akhirnya kamu memutuskan udahlah aku lakukan aja
Jadi, pernah kan aku mengalaminya kan, mikir sampai kaya mana caranya kita kasihan liat
S dia kaya mana dia tapi dia ngga pernah mikir dia tu siapa, ngga pernah sadar, jadi hati tu mau
bully dia kasihan tapi kalau ngga dibully nanti dia ngga sadar-sadar gitu
Ooh jadi kamu punya persepsi perilaku bullying itu untuk menyadarkan dia, menyadarkan dia
P
supaya apa gitu?
S Menyadarkan kalau dia tu tau siapa dia

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

214
P Tau siapa dia atau hormat sama senior?
Tau siapa dia, karena kalau hormat sama senior itu kan antara junior dan senior, tapi kalau
S
sesama biar dia tau dia siapa
P Ooh jadi kamu bully sesama angkatan dan junior juga?
S Iyaaa
P Jadi bedanya apa?
Yaa beda ya, kalau sesama angkatan tu dia ngga pake mikir lagi, apa aja yang ada yang jelek
S sama kita tu langsung dibilangnya sama kita dan kita pun ngga mau berkawan sama dia. Kalau
junior kan karena dia masih anak bawang ngga tau apa-apa disekolah ni gitu
Oohh gitu, ini saya perdalam lagi ya, jadikan kamu belajar nilai-nilai. Dirumah kamu juga
diajarin jangan jahat-jahat sama orang, nah sejauh mana nilai-nilai berpengaruh itu membuat
P
kamu berpikir untuk ngga melakukan. Kira-kira pas kamu melakukan itu kamu kepikiran atau
gimana atau kamu abaikan?
S Kalau bullying itu ngga mikir ya, langsung respon
P Oh langsung keluar gitu ya?
S Iyaa karena udah nusuk ke hati gitu
Ooh jadi prosesnya langsung gitu ya, kira-kira prosesnya langsung ini diperkuat karena teman
P
atau gimana gitu
S Ooh karena teman, dia ngebully kan untuk yang lain tu ketawa jadikan kita ngerasa ngga enak
P Ooh gitu, yaya jadi setiap kamu bullying itu dilihat teman-teman mu gitu ya?
S Iyaa hahaha karena kalau pribadi itu namanya nasihat lagi
Ooh gitu, jadi situasi teman-teman kamu ketika melihat kamu ngebully tu apa pengaruhnya
P
kekamu? Ngerasa apa gitu?
S Hm, ngerasa didukung, ada rasa yang mendorong untuk terus-terus gitu
Ooh jadi teman-teman itu memberikan support pada dirimu untuk terus lakukan, itu yang
P
kamu rasakan?
S Iyaa
P Sehingga nilai-nilai yang kamu pegang itu ngga kamu ingat lagi atau kamu abaikan aja?
S Yaa abaikan aja lagi
P Ooh okee, saya rasa itu aja dulu ya nanti kalau kurang lagi nanti saya tambah lagi
S iyaa

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

215
Verbatim Partisipan A (3)

Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek (Ayu)
P/S Hasil Wawancara
P Dulu pernah dibully gak yu
S Enggak
P Enggak pernah ? waktu SD, SMP
S Enggak
P Enggak, enggak pernah
S Enggak, ee iya enggak pernah
P Mosok gak pernah? Ingat gak kamu SD, SMP waktu jadi junior
S SD gak pernah, SMP pernah
P SMP pernah gimana coba certain yang SMP?
S Dibully, di bully yak karena nakal
P Karena nakal ?
S Iya karena nakal
P Nakalnya apa?
S Suka ngelawan
P Suka ngelawan sama senior mu berarti dibullynya
S Iya
P Waktu itu seniormu ngapain aja ?
S Ee suka hukumannya? Bullyannya ? suka
P He’eh
S Ee suka majang, majang didepan laki-laki terus apa ya, di marah marahin selalu, dihukum-
hukum suruh jongkok gitu waktu MTS
P Waktu MTS ? hmm terus berarti fisik ya, fisik pernah kamu dihukum
S Ee pernah, fisik paling cuman di tampar tu kan tampar-tampar biasa
P Kamu di tampar atau tampar biasa gitu tampar biasa ?
S Biasa karena emang saya nakal
P Oo gitu, lebih dari di tampar apa ?
S Enggak ada
P Enggak ada okee. Eee itu waktu
S MTS
P Awal-awal ya awal awal masuk
S Ee itu bukan awal, kelas dua pak sama tiga MTS kalau kelas satu enggak dibully, enggak
boleh dibully katanya, dilindungi
P Oh he’eh dilindungi kamu waktu kelas satu, itu kelas du akelas tiga
S Iya kelas dua, kelas tiga udah bandel jadinya dibully
P Ya ya ya sebabnya bandel jadi dibully sama senior?
S He’eh
P Itu bullynya dimana? Diasrama ? dikelas ?
S Diasrama, dimasjid, dilingkungan luar asrama biasanya.
P Dimasjid juga ?
S Iya dimasjid seringnya
P Ya ya, kata kata apa yang sering kamu terima?
S Kata-kata dari mereka?
P he’eh
S apa ya kata-katanya, ga ada sih kata-kata kasarnya kan
P he’eh he’eh

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

216
S gak ada sih
P tapi kalau fisik ada, jongkok ini ?
S ada
P okey, terus kamu kan punya kebiasaan apa? Ngelawan ya kata orang ?kira-kira kalau kamu
mikir mikir gitu awal awal dari mana itu ?
S mikir kenapa ngelawan gitu?
P he’eh he’eh
S gak terima aja digituin
P gak terima? Kamu belajarnya dari mana biasanya belajar ngelawan gitu
S sebenarnya gak ngelawan, cuman ngebantah aja kemereka
P oh ngebantah
S gak belajar dari siapa-siapa
P gak diajarin? Kamu sendiri ? nonton film atau apa? Masak gak ada
S gak ada sih emang kayak gitu takdirnya
P takdirnya gitu, kamuy akin itu takdir gitu ya hehehe yaya manut lah aku, sama orang
pesantren manut aku istilah-istilah keagamaan ndak paham juga. Terus pernah bully temen
apa, temen asrama atau adek kelas ?
S sekarang ?
P ya ada ya?
S pernah
P pernah berapa kali ? karna kalau pernah itu cuman agresif tapi kalau berapa kali jadi bullying
karna kalau bullying berkali-kali gitu
S berapa ya
P ya adalah, berapa kali gitu adakan?
S aaa adaa
P ada
S pasti ada
P bentuknya apa ?
S suka marah-marah aja
P marahi mereka ?
S he’eh
P yang keluar kata kata apa?
S keluar kata-kata apa ya, gak sopan palingan, anti tu gak sopan
P emm kalau kebun binatang pernah keluar gak?
S gak lah kan gak boleh
P oh ndak boleh, yang kata-kata zaman sekarang tu, kata-kata apa kan anak sekarang kalau
ngomong tu Sukanya apa gitu bacot, apa
S ndak boleh
P oh ndak boleh disini
S ndak boleh ngomong kayak git utu
P kalau ngomong kayak gitu kenak hokum ?
S enggak, saya emang dari kecil gak pernah ngomong kayak gitu
P oh iya ya, pernah dihukum gak di pesantren
S eeh sering
P apa ? karna apa?
S karna bandel
P bandel?
S he’eh
P siapa yang hokum ?
S ustadznya
P ustadzahnya, keras aja kamu bilang ustadzahmu dibelakang itu kan hahaha ya ndak usah takut
to, paling nanti habis ini kamu di bully lagi heheheh

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

217
S dii apa ya dihukum sama kakak-kakak dulu terus sama ustadz, ustadzah
P kok, main hp?
S heheh dulu MTS kan belum boleh, belum berani bawak HP.
P kalau sekarang?
S udah, udah ketangkap
P udah ketangkap ? yayaya terus ketangkap beli lagi ? endak?
S waktu tu iya beli lagi sekali lagi pak jadi ketangkap dua kali, sekarang dah gak berani
P dah gak berani lagi ?
S enggak
P itu duitnya minta orang tua?
S enggak
P nabung
S ee nab nab, ee gak gak nabung sih emang ada aja uangnya
P oh ada aja uangnya? Atau berlebih orang tua mu kasih duit sebulan itu
S enggak juga, biasa aja
P biasa aja. Terus eem kamu kan pernah di bully gak enak to terus jadi kan kesempatannya
bully orang juga jadi it utu waktu dipesantren kan juga diajarin nilai-nilai keagamaan, kamu
harus baik sama orang harus baik. Itu dinamikanya dipikiran kira-kira kamu gimana ? apa
pas melakukan tu lupa atau apa ?
S kadang kalau ngelakuin kayak gitu ngerasa bersalah juga, cuman karna pas.
P oh ada ngerasa bersalah juga ya
S pastilah
P di fillingnya
S he’eh nanti dah selesai marah-marah dah selesai marah-marah karna kesal atau karna gak
suka pasti minta maaf juga endingnya, minta maaf ya walaupun orang tu gak maafin sih, yang
penting intinya dah minta maaf
P ya ya ya. Jadi munculnya setelah melakukan
S setelah melakukan
P pada waktu melakukan perasaan mu apa waktu melakukan?
S gak ada sih memang karna perasaan gak suka aja tiba-tiba membully. Nanti setelah itu udah
agak diam sedikit baru ngerasa bersalah.
P eemm opo. Orang tua gimana didikannya dirumah?
S baiklah
P gak pernah dimarahi
S enggak, waktu saya gak pernah dipukul, gak pernah diaapa apain, makannya waktu pertama
dipukul sini agak terkejut, tapi lama-lama terbiasa
P lama-lama terbiasa?
S ya terbiasa karna kan ehhehe
P berapa kali di pukul kamu disini?
S sering, MTS di pukul tangannya di tampar di jongkokkin atau di pukul sininya, tapi waktu
pertama kali emang terkejut karna dirumah saya emang gak pernah di gituin
P iya ya ya. Tapi disini sering pas waktu itu kamu cerita gak sama ustadz sama orang tua
S enggak kan
P enggak?
S em kan emang kesalahan saya satu, yang kedua buat beban pikiran nantinya pastinya kan gak
tega anaknya digituin
P he’em
S saya gak berani ngomong lagian kan ngapain ngomong karna itu ulah saya juga
P oh gitu, iya ya ya. Terus kamu punya kawan-kawan dekat gak disini ?
S punya
P nakal-nakal juga ?
S nakal hehehe

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

218
P geng mu geng nakal berarti hhehehe
S hehehe gak juga sih pandangan orang aja
P oh gak juga pandangan orang terhadap, terus ditakuti
S enggak tau
P kelompok mu, kelompok mu ya kalau merintah ya dilaksanain orang
S iya
P iya, berapa orang itu jumlahnya ?
S em gak ada sih, geng geng gitu gak ada
P dibuat geng to
S enggak, berapa ya, ganti- ganti dia pak
P ganti-ganti? Yang setia gitu ndak ada?
S satu yang sahabat-sahabat saya betul
P ohh sat utu
S he’eh tapi dia gak kayak gitu do orangnya baik , pendiam gak, gak merintah gak tukang marah
P tapi disegani?
S gak juga
P ohhh jadi biasa aja? Punya temen cowok?
S enggak
P enggak punya ?
S enggakk
P yakin?
S punya dulu hehehe sekarang enggan
P dulu punya ?
S dulu punya
P waktu kapan?
S waktu, waktu se kelaas 5, kelas 2 SMA
P oh 2 SMA baru setahun ya, bubaran?
S bukan dianya pindah
P oh dianya pindah, oh jadi cinlok?
S ii gak cinlok, gak siapa siapa tapi dekat tadi kata bapak
P ohh dekat, iya ya ya, saya persepsi kan dekat tu macam-macam, cinlok ada cinpes gitu, cinta
pesantren
S enggak juga
P cintanya para santri kan beda-beda dengan cintanya kami-kami ini yang diluar santri heheheh
S gak ada
P ya ya ya. Kehidupan diasrama kayak apa rasanya ?
S eeh asrama yang kayak mana nih?
P asrama sini.
S selama disini ? ee biasa aja, gak enak, gak enak
P gak enak ? gak enak nya kenapa ?
S ee gak bebas
P gak bebas, pengennya bebas diluar ?
S bukan juga, bebas keluar gak juga tapi pengen kalau orangtua minta izin kadang sering gak
dikasih gitu ajasih, gak Sukanya disitu aja
P ohhh
S ;lebih gak Sukanya kalau lagi ada orang tua gak dikasih izin, ngomongnya gak baik baik gitu
yang saya gak suka
P oh hem hem. Dulu masuk pesantren keinginanmu atau ?
S enggak keinginan orang tua saya
P keinginan orang tua ? awalnya gimana waktu dulu tu dimasukkan?
S ya terima-terima aja karna memang kami gak ada yang pernah mau ngebantah ya iya iya aja,
karna kan dulu abang disini juga, gak mungkin abang disini, diluar ngapain

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

219
P hemmm
S terus emang basic keluarganya dari pesantren
P ayahmu, ayahmu ?
S ayah enggak, tapi keluarga-keluarga ayah gitu
P ohh ya ya ya.sitorus banyak muslim ya ?
S di Riau udah muslim disana mungkin masih kristen
P oh iya iya iya. Terus kamu kan tadi ceritanya di kelas satu sering di
S kelas 2
P eh iya kelas 2 sorry sorry ya dibully ya. Supaya kamu bisa membully orang butuh waktu
berapa tahun ya ?
S ehemm berapa yaa, saya kelas 3 udah membully-bully sih, kelas 3 MTS kelas 3 saya dibully
kelas 3 saya juga bully orang
P ohh bully yang lain tapi atau bully orang yang sama ?
S aa gak ya bully nya itu gak orang yang sama, gak saya gak benci gak bukan benci satu orang
tu aja kalau dia lagi gak enak dimata saya, berarti saya benci sama dia kayak gitu, seketika
lewat aja
P ohh seketika, tapi kelas 3, kelas 3 nya butuh waktu enggak karna ada butuh waktu kadang
setahun ada yang butuh waktu entah sebulan untuk berani gitu untuk menumbuhkan
keberanian endak kamu otomatis?
S langsung aja
P oh langsung berani
S memang berani aja
P sejak dulu berani ? sejk SD berani ?
S iya SD berani
P ohh udah berani SD
S iya karna kan mama saya dulu guru disitu jadi berani-berani aja
P guru dimana ?
S di SD saya
P oh gitu
S makannya gak ada yang berani yang bully
P ya iya ya ya, oke bentar. Kalau dengan abang, abang ya ? pernah di bully ?
S pernah, abang kandung kan ?
P hem’em abang kandung.
S pernah lah
P diapain?
S dibilang-bilang ee kalau gak anak kandung tu, kalau misalnya dia dibelikan terus saya gak
dibelikan, terus saya pastikan nangis
P hem’em
S ya iyalah orang kamu gak anak kandung, kayak gitu di bully bully gitu
P oh dibilangnya kamu anak bukan kandung
S he’em
P semakin kamu nangis semakin di bully ya?
S iya semakin dibully
P ya iya iya. Kalau guru-gurunya disini gimana ?
S gurunya ?
P he’em
S gurunya gimana ya
P yang jaga asrama galak galak?
S gak enak sih
P gak enak ?
S gak enak.
P seringnya diapain?

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

220
S seringnya dimarahin, seringnya dituduh
P tuduh apa?
S tuduh bawa HP, padahal gak ada bawa HP tapi dituduh terus
P hem karna pernah dulu dua kali hem ya iya iya
S pernah
P ada keinginan untuk bawa HP lagi ?
S enggak lah, kan saya wakilnya, masak saya wakilnya saya enggak wisuda, ancamannya nanti
gak wisuda pak.
P oh diancam gak wisuda?
S he’eh sia-sia dong 6 tahun saya disini
P udaah ngafal hadist hadist
S enggak, enggak ada
P enggak ada?
S iya disini kan gak ngafal, disini gak ngafal lebih ke umum
P umum? Bahasa arab gitu bisa ?
S bisalah
P percakapan?
S hah?
P percakapan?
S bisalah. Umumnya kayak ke IPA gitu
P oh IPA. Mau ngambil jurusan apa ?
S ini ? setelah ini
P setelah ini he’eh
S kedokteran mungkin
P kedokteran? Mau jadi dokter ?
S iya
P iya iya. Dimana daftar?
S diii sumbar
P apa di UNAND ?
S eee rencananya satu di UNRI satu di UMRAH stikes baiturrahmah terus yang satunya lagi
mungkin di Medan
P Medan, memang keinginan kuat jadi dokter ya ?
S iya
P oh iya iya iya. Biologimu dapat nilai apa ?
S B dong
P ndak A Hehehe
S endah hehehe. Setidaknya B
P oh ya ya ya. Hafalan mu kuat ?
S biasa aja
P belajar jadi dokter hafalannya kuat loh
S iya yah, gak tau
P hehe gak tau ? itu minatmu atau keinginan orang tua mu jadi dokter?
S emang saya sendiri yang minat jadi dokter, orang tua saya juga mau saya jadi dokter yaudah
kan sama-sama pengen
P hemm oke oke oke. Kamu sering jadi panitia ospek gitu gak?
S sering, sering, sering
P ospek di pesantren gimana?
S ya kayak gitu. Ospeknya ?
P he’eh nyuruh-nyuruh adek-adek yang aneh-aneh ?
S iya, nyuruhnya tu yang gak diluar akal sehatlah
P contohnya?

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

221
S contohnya itu kan kalau kita nyuruhnya nyanyi-nyanyi kayak orang gila, kalau MOS MOS
diluar kan kayak gitu, kalau kami lebih bermanfaatkan.
P contohnya ap aitu?
S cuci piring, gitu ambil nasi kakaknya ambil minum kakaknya
P oh kamu dapat keuntungan dari situ ya
S oh iyalah hahahaha, ya iya satu
P iya iya itu semua maba gitu?
S ya iya sebagian ya iya karna kan malesnya disitu, nanti mereka gak boleh ngelakuin itu
sebenarnya panitia juga gak boleh tapi Namanya panitia kan pasti ngelanggar, marah-marah.
Panitia kan satu pasti marah-marah melakukan seenak-enaknya aja
P Ya ya iya. Terus kalau kamu tertekan di pesantren kan kamu gak nyaman apa yang kamu
lakukan?
S Nangis
P Nangis ? sendiri? Cerita kekawan?
S Enggak, saya gak bisa nangis sendirian
P Jadi ?
S Harus ada kawan
P Harus ada yang dengerin?
S Enggak juga, harus ada yang meluk aja. Harus ada yang meluk, nanti kalau apa emang gak
bisa lagi sama kawan baru cerita ke kakak, kea bang gak berani cerita ke orang tau
P He’em. Kalau disini siapa yang sering buat kamu temen cerita ?
S Kalau dipondok teman saya, teman saya? Teman dekat ?
P He’em
S Teman yang dianggap dekat, dia baru cerita
P Jadi kalau guru-gurunya rata-rata keras rata-rata
S Marah-marah, kerasnya enggak sih
P Marah-marah aja.
S Iya marah-marah terus
P Heheheheh masih muda-muda disini?
S Masih muda, masih pada kuliah
P Anak UIR ya iya iya iya. Kalau yang kiyai kiyai nya gimana
S Baik kok kiyai-kiyainya baik
P He’emmm
S Ada jugalah ya yang garang-garang
P He’emm film kesukaan apa?
S Horror
P Horror ?suka film horror
S He’eh
P Hantu-hantu?
S He’eh
P Kalai extion enggak?
S Enggak takut
P Oh takut. Kalau horror gak takut malahan?
S Enggak horror tu kan gak ada berdarah darah nya kan gak ada
P Cuman lucu-lucuan aja
S Enggak juga heheheh kayaknya lebih suka aja
P Oh lebih suka. Oke , ee ayu yaa makasih .

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

222
Verbatim Partisipan M (4)

Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek (Mutia)
P/S Hasil wawancara
P dari MTS dari pesantren?
S iya pesantren sini juga pak
P oohh, dulu pesantrennya disuruh orang tua atau?
S ee disuruh orang tua pak
P kalau aslinya ndak pengen di pesantren ?
S iya sebenarnya gitu pak, tapi karena makin lama makin besar kan pak, jadi berfikir gitu
P emmm iya ya ya. Saya pak sigit ya dosennya bu ajeng, ee mutia panggilannya ya?
S iya pak
P kamu tau bullying ndak ?
S Tau pak
P perundungan, Bahasa indonesianya perundungan Bahasa kerennya bullying ya, membully,
membully itu ya bisa dengan ucapan, bisa dengan tindakan gitu, pernah dibully ndak?
S pernah pak.
P pernah ?
S pernah.
P pernah, bisa diceritakan seperti apa di bullynya?
S ee saya pernah, saya waktu itu pernah pura ura tidur terus dia ngomong dari belakang kayak
nusuk, kadang pernah juga disindir terus pernah juga saya ngomongnya baik baik pak pelan
cuman omongannya tu nusuk ke hati pak, kaya lembut terus nusuk, saya juga pernah gara-
gara menjalankan amanah dari guru terus saya kenak sama anak kamar pak.
P itu tahun berapa tu?
S ee
P awal masuk pesantren ?
S awal masuk pesantren juga iya pak sekarang pun masih ada juga pak
P masih ada ?
S iya tapi gak kayak terlalu dulu kali pak
P karena kamu dah kelas 3 ya
S he iya pak
P yaaa eee bentuknya berarti perkataan ya?
S iya pak perkataan
P kalau fisik ada ndak ya?
S Kalau fisik gak pernah sih pak
P waktu di awal-awal dulu, waktu jadi junior
S emm kalau diapain senior sih gak pernah sih pak, cuman sama anak kamar gitu pak dari dulu
sampai sekarang masalahnya tu masalah pertemanan dikamar gitu pak
P kalau di senior-senior gak ada?
S gak ada pak kalau sama senior insyaallah aman gitu pak, soalnya kalau senior senior itu agak
agak takut gitu, agak segan gitu
P sama siapa yang segan?
S segan sama kakak kelas gitu pak, mau beda satu tingkat mau beda dua tingkat.
P kamu segan, kamu, kalau sama adek tingkat pernah bully ndak ?
S kalau sama adek kelas bukan dibully sih pak, dia tu kurang sopan gitu ngomongnya sama
saya, saya nganggapnya care tapi dianya tu kaya nyusur saya gitu pak, kan kalau dipondok ni
kan yang lebih tua tu harus di hargai kan pak, jadi dia tu kayak minta tolong kaya seakan akan
ana tu kaya angkatan mereka gitu pak.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

223
P ohh he’eh seolah olah ee kayak teman
S kayak teman akrabnya
P padahal kamu senior nya kan disini oke oke
S iya pak, maksud saya berteman sama adek adek tu untuk mengayomi adek adek biar adek
adek tu betah di pondok, karena saya bisa merasakan apa yang orang lain rasakan gitu pak
P susah ya dipondok ?
S yaa gitu lah pak
P susahnya apa ?
S susahnya ya omongan-omongan orang tu gimana gitu pak.
P omongan yang gimana ?
S ya gak enaak di hati gitu pak
P tapi kamu pernah ngomongin yang lain juga ? yang bikin hati orang ndak enak juga gitu ?
S ngomong emm kayanya pernah sih pak karena sakit hati gara-gara omongan dia jadi, ya jadi
karna mutia tu sakit hati jadi mutia kelurkan unek-unek mutia terus mungkin ada ngomong
kasar disitu pak.
P emm terus frekuensinya sering ndak?
S apanya pak ?
P frekuensi.
S frekuensinya kalau itu sering sakit kepala pak.
P sakit kepala? Pernah sampai sakit kepala?
S iyaa pernah sampai sakit kepala
P eem kamu ka nee pernah kalau, ee riwayat keluargamu gimana kamu kalau dikeluarga seperti
apa ?
S waktu dikeluarga kalau ayah itu beliau itu gak pernah beda-bedain yang mana perempuan
sama laki-laki mau itu perempuannya yang salah, anak perempuannya yang salah atau anak
laki-laki nya yang salah jadi beliau mengajarkan mutia karena mutia anak perempuan satu-
satunya pak, kaya di didik keras gitu, makannya tu di didik pak sampai sekarang alhamdulillah
udah ada perubahan sedikit gitulah pak
P oh jadi bapak mu keras
S iya orangnya keras pak, bapak ee saya keturunan dari batak toba pak
P dari MTS dari pesantren?
S iya pesantren sini juga pak
P oohh, dulu pesantrennya disuruh orang tua atau?
S ee disuruh orang tua pak
P kalau aslinya ndak pengen di pesantren ?
S iya sebenarnya gitu pak, tapi karena makin lama makin besar kan pak, jadi berfikir gitu
P emmm iya ya ya. Saya pak sigit ya dosennya bu ajeng, ee mutia panggilannya ya?
S iya pak
P kamu tau bullying ndak ?
S Tau pak
P perundungan, Bahasa indonesianya perundungan Bahasa kerennya bullying ya, membully,
membully itu ya bisa dengan ucapan, bisa dengan tindakan gitu, pernah dibully ndak?
S pernah pak.
P pernah ?
S pernah.
P pernah, bisa diceritakan seperti apa di bullynya?
S ee saya pernah, saya waktu itu pernah pura ura tidur terus dia ngomong dari belakang kayak
nusuk, kadang pernah juga disindir terus pernah juga saya ngomongnya baik baik pak pelan
cuman omongannya tu nusuk ke hati pak, kaya lembut terus nusuk, saya juga pernah gara-
gara menjalankan amanah dari guru terus saya kenak sama anak kamar pak.
P itu tahun berapa tu?
S ee

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

224
P awal masuk pesantren ?
S awal masuk pesantren juga iya pak sekarang pun masih ada juga pak
P masih ada ?
S iya tapi gak kayak terlalu dulu kali pak
P karena kamu dah kelas 3 ya
S he iya pak
P yaaa eee bentuknya berarti perkataan ya?
S iya pak perkataan
P kalau fisik ada ndak ya?
S Kalau fisik gak pernah sih pak
P waktu di awal-awal dulu, waktu jadi junior
S emm kalau diapain senior sih gak pernah sih pak, cuman sama anak kamar gitu pak dari dulu
sampai sekarang masalahnya tu masalah pertemanan dikamar gitu pak
P kalau di senior-senior gak ada?
S gak ada pak kalau sama senior insyaallah aman gitu pak, soalnya kalau senior senior itu agak
agak takut gitu, agak segan gitu
P sama siapa yang segan?
S segan sama kakak kelas gitu pak, mau beda satu tingkat mau beda dua tingkat.
P kamu segan, kamu, kalau sama adek tingkat pernah bully ndak ?
S kalau sama adek kelas bukan dibully sih pak, dia tu kurang sopan gitu ngomongnya sama
saya, saya nganggapnya care tapi dianya tu kaya nyusur saya gitu pak, kan kalau dipondok ni
kan yang lebih tua tu harus di hargai kan pak, jadi dia tu kayak minta tolong kaya seakan akan
ana tu kaya angkatan mereka gitu pak.
P ohh he’eh seolah olah ee kayak teman
S kayak teman akrabnya
P padahal kamu senior nya kan disini oke oke
S iya pak, maksud saya berteman sama adek adek tu untuk mengayomi adek adek biar adek
adek tu betah di pondok, karena saya bisa merasakan apa yang orang lain rasakan gitu pak
P susah ya dipondok ?
S yaa gitu lah pak
P susahnya apa ?
S susahnya ya omongan-omongan orang tu gimana gitu pak.
P omongan yang gimana ?
S ya gak enaak di hati gitu pak
P tapi kamu pernah ngomongin yang lain juga ? yang bikin hati orang ndak enak juga gitu ?
S ngomong emm kayanya pernah sih pak karena sakit hati gara-gara omongan dia jadi, ya jadi
karna mutia tu sakit hati jadi mutia kelurkan unek-unek mutia terus mungkin ada ngomong
kasar disitu pak.
P emm terus frekuensinya sering ndak?
S apanya pak ?
P frekuensi.
S frekuensinya kalau itu sering sakit kepala pak.
P sakit kepala? Pernah sampai sakit kepala?
S iyaa pernah sampai sakit kepala
P eem kamu ka nee pernah kalau, ee riwayat keluargamu gimana kamu kalau dikeluarga seperti
apa ?
S waktu dikeluarga kalau ayah itu beliau itu gak pernah beda-bedain yang mana perempuan
sama laki-laki mau itu perempuannya yang salah, anak perempuannya yang salah atau anak
laki-laki nya yang salah jadi beliau mengajarkan mutia karena mutia anak perempuan satu-
satunya pak, kaya di didik keras gitu, makannya tu di didik pak sampai sekarang alhamdulillah
udah ada perubahan sedikit gitulah pak
P oh jadi bapak mu keras

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

225
S iya orangnya keras pak, bapak ee saya keturunan dari batak toba pak
P batak toba ? marganya apa ?
S sitompul pak
P oo sitompul
S jadi keturunan orang keras lah pak, masalah Pendidikan adik saya yang paling kecil itu laki-
laki juga pak kan biasanya anak yang paling kecil anak bungsu ni kan dimanja ni pak kalau
misalnya salah, kalau sama ayah saya enggak pak kaya dididik keras kayak mana saya dididik
keras gitu pak.
P kalau ibu gimana ?
S kalau ibu, saya paling dekat sama mama, asal cerita sama mama akhir-akhir ini cerita sama
mama, misalnya gak betah kalau misalnya diapain gitu sama kawan ceritanya sama mama
P ceritanya sama mama ?
S he’eh
P oke oke oke, kalau ngubungi orang tua berapa kali seminggu?
S kalau dulu sebulan sekali waktu MTS pak, tapi kalau sekarang, kalau misalnya kaya kangen
gitu pak kayak nengok kawan mutia gitu temen deket mutia ee dia gak punya ibu, jadi kayak
merasa kangen gitu, kayak diposisi dia gitu pak, jadi kayak ngerasa kaya mutia tu gak punya
ibu jadi ada rasa kangen gitu jadi setiap minggu tu tiga kali pak paling banyak
P nelfon?
S he’eh nanya kabar kadang pak
P orang tua mu bisa di telfon kan?
S apa pak?
P orang tua mu bisa ditelfon gitu?
S kalau ayah sih pak seringnya sibuk kerja kalau ibu selalu ada pak
P iya dimana tinggalnya ?
S tinggal di siak pak
P tinggal disiak, iya ya ya ya, terus kamu kan pernah disakiti sering gitu disakiti, terus ketika
kamu misalkan bales kayak gitu apa yang kamu fikirkan?
S kalau dulu saya orangnya pendendam pak waktu MTS, pendendam habistu entah nanti
rahasianya saya bongkar dulu waktu MTS ya pak cuman sekrang enggak lagi entah itu saya
ngomong certain dia dari belakang, tapi kalau sekarang pak, bahkan dulu tu pak pernah gak
tegur sapa selama tiga tahun karena masih rasa sakit tu masih ada pak gitu pak kalau sekarang
sih pak cuman bisa do’ain dia gitu pak mudah-mudahan dapat hidayah, mudah-mudahan dia
tu tau kaya mana rasanya diposisi saya gitu pak, cuman itu aja sih pak, kalau niat dendam tu
ada sih pak sebenarnya pak, cuman saya ingat kalau sesame manusia tu gak boleh dendam
karena islam tu gak pernah mengajarkan dendam gitu.
P tapi pas kamu melakukan dulu endak ingat itu?
S ee
P itukan biasanya kapan munculnya tu, kesadaran bahwa islam tu gak boleh dendam git utu
kapan ?
S ee oya sih pak tapi
P hehe ya nya gimana coba ?
S ee kalaupun misalnya mutia gak tahan lagi sama omongan mereka kan pak kalaupun apa,
mutia marah nanti ngelampiaskannya tu kebenda, kayak ngancurin barang gitu pak kayak
banting apa gitu pak, tapi biar gak pecah gitu, kalau misalkan kaca kan pecah gitu pak,
P hem hem
S kalaupun gak melampiaskan ke marah nangis diranjang sendiri, pura-pura tidur.
P pernah dihukum guru ndak ?
S dihukum guru pernah pak
P karena kesalahan ap aitu ?
S karena waktu kelas satu SMK kemarin ini karena terlambat jadi dipukul pakai kaya logam
kecil gitu pak kaya Panjang jadi betis yang kenak, hehe udah biasa pak dipukul

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

226
P udah biasa ?
S udah dari kecil waktu SD.
P ooh dari SD biasa dipukul?
S iya jadi udah biasa pak, kalau kawan kan ada juga karena gak pernah dipukul karena sekali
dipukul kayak gimana gitu pak
P oh jadi kamu udah biasa ?
S iya pak
P yang biasa mukul kamu siapa? Ayah?
S iya pak
P pakai apa mukulnya ?
S ee kalau ayah tu mukul pakai sapu yang besi gitu pak
P heemm
S yang besi kayak gitu karena waktu SD tukan pola pikirnya kan berbeda sama sekarang pak.
P eem emm
S gak mau ngalah sama adek depan TV sekali dipukul sapu yang kayak gitu pak langsung patah,
kan bengkok langsung dipatahkan lagi sama ayah jadi sakit gitu pak, sekali pukul langsung
patah, jadi bengkok langsung gitu pak
P yay a yay itu membekas?
S gak tau pak itu membekas atau enggak nya
P di perasaanmu
S ya pasti berbekaslah pak
P kamu akhirnya reaksinya dengan ayah gitu
S apanya pak ?
P reaksi hubungan mu dengan ayah sampai sekarang ?
S gak dekat
P gak dekat ya
S gak dekat pak semenjak kelas 4 SD gak dekat lagi sama ayah pak, kalau kelas 3 awal-awal
pindah dari sekolah kampung kan pak kan itu dua tahun SD di kampung kelas 1 kelas 2 kan
pak waktu mau kelas 3 nya tu dekat tapi lama kelamaan gak dekat, kayak cuman sehari dua
hari aja tapi waktu kelas 4 tu gak ada dekat lagi cuman kalau sekarang tu pak, kayak misalnya
pengen mak belik sate pengen belik sate atau bakso nanti ayah tu ada aja entah besok paginya
entah nanti malamnya langsung dibelikkan gitu pak
P ooh
S kalau sekarang, tapi sekarang gak ada dihukum lagi sama ayah pak
P karena udah besar?
S pertama udah besar, gak mungkin dihukum lagi kata ayah gitu tapi kalau misalnya masih
bandel, kalau misalnya berulah juga kayak dulu pak mungkin dihukum lagi.
P sering jadi panitia ospek gitu gak ?
S eem enggak pak jarang
P endak. Kalau diasrama kamu sebagai apa ?
S diasrama, cuman anggota pak hehe
P anggota ? gak kepala kamar gitu?
S enggak sih pak
P kamu paaling senior ya disini?
S apa pak?
P paling senior ? entar lagi lulus kan ?
S iya senior pak
P eee kalau misalkan kamu lagi pengen melakukan apa bully sama orang misalkan gitu, kamu
kan ada kepikiran di agama di larang terus aku dulu juga pernah menerima itu endak enak
yakan
S iya pak
P saat melakukan itu itu kepikiran endak yang kayak gitu endak ya?

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

227
S maksudnya pak?
P pas misalkan kamu, misalkan kamu lagi pas membalas orang membully gitu terus kamu ka
nee pernah merasakan di bully terus di agama ni gak boleh itu tu gimana tu ? pas kamu
melakukan gak kepikiran atau ?
S eee insyaallah sih pak mutia gak pernah bully orang karena mutia tau kayak gimana rasanya
pak
P eem ya
S tapi kalau temen deket mutia yang di bully mutia berusaha untuk membela walaupun ujungnya
nanti dibully juga pak
P ohh gitu
S karena mutia bisa merasakan apa yang mereka rasakan gak enak hati gitu pak nengoknya
P he’eh itu munculnya empati tu sejak kapan? Kamu merasakan ? kalau orang dibully tu kan
saya merasakan ini kamu dapat dari mana itu ?
S ee itu semenjak saya punya kawan di SMK pak di aitu pengertian, dia itu baik sama mutia
selalu nasehatin selalu ada untuk mutia kalaupun mutia dibully sama dulu waktu mutia dibully
sama orang dia selalu nolongin mutia kayak mana belain muti, jangan gitu we kalian tu, em
kayak gitu pak
P oooh
S jadi mutia
P jadi kamu ada temen mu yang, tapi tidak disini temen kamu itu ?
S ada disini
P ohh disini satu asrama juga ?
S enggak beda asrama cuman satu kelas
P perempuan ?
S M :laki-laki, temen laki-laki pak
P ohh laki-laki
S temen deket cuman pak, temen deket
P pacar?
S enggak
P ooh enggak hehehe
S gak pernah pacarana
P gak boleh pacarana di pesantren ya
S gak juga sih pak, banyak juga yang pacaran kok pak.
P ohh banyak juga, haram tu gak ?
S iyasih pak
P gak haram hehehe??
S eee kalau didalam islam sih haram pak, tapi mereka
P kalau di pesantren halal gitu ? heheh
S tapi orang-orang tertentu mungkin bilang apa halal gitu pak pacaran mungkin, banyak juga
kok pak yang pacarana
P jadi faktor yang membuat kamu sadar, faktor yang membuat kamu ee tidak balas dendam dan
lain sebagainya itu karena kamu punya empati pernah melakukan itu ya?
S iya pak
P terus yang mendukung kamu untuk apa Namanya berfikir positif itu temen kamu ada yang
mendukung?
S ada pak yang kadang mutia saat lagi terpuruknya mutia minta tolong ini kayak mana dil gini
gini gini minta solusi gitu pak terus dia ngasih solusi nanti dia yang ngapain gitu pak cewek.
P perempuan ?
S perempuan.
P kalau permasalahan yang sering muncul diasrama apa?
S eee salah paham pak
P salah paham ap aitu?

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

228
S salah paham kayak gimana ya pak bilangnya.
P salah paham apa ? rebutan jemur jilbab apa rebutan apa gitu?
S eee itu pak salah paham karena permasalahan masalah-masalah kecil gitu
P ohh contohnya ?
S contohnya kayak, misalnya apa ya, gak tau pak lupa hehehe
P ohh gak tau, oke
S kalau guru bersikapnya gimana? Ustadz ustadzahnya menurut kamu?
P kalau guru, guru baik sih pak semuanya baik walaupun ee pernahlah bikin mutia gak enak hati
bikin mutia bad mood tapi walaupun kayak mana, kayak manapun guru tersebut tetaplah
mereka tu guru mutia, mutia tu harus menghormati, harus menghargai, walaupun guru tersebut
sifatnya tu kalau dibilang bertolak belakang kayak gak pantes jadi guru gitu pak kalau ada
orang bilang kayak gitu, mau kayak manapun dia tetep jadi guru.
S hemm jadi rata-rata baik walaupun kadang menjengkelkan juga.
P iya walaupun menjengkelkan tapi itu kadang cuman sekali-sekali sih pak.
S sekali-kali, kalau musrifahnya gimana ?yang jaga asrama biasanya kan yang jaga asrama
galak-galak tu ?
P yang jaga asrama emm biasa ajasih pak.
S eee endak galak ? atau kamu takut karena ada dibelakangnya itu ? hehehe
P eem galak sih pak tapi biasa aja hehehe galak tapi biasa aja
S oohh, kamu pernah diapain sama musrifahnya ?
P sama siapa pak ?
S sama musrifah mu pernah diapain paling parah?
P musrifah?
S musrifah yang jaga, yang jaga asrama
P yang jaga? Ooh wali kamar ? ee gak ada pak, cuman kayak ngomong tiba-tiba bentak jadi
terkejut pak
S dibentak ?
P iya jadi terkejut
S kenapa dibentak ?
P ee gak tau pak, mungkin ada kesalahan sedikit mungkin kan pak jadi tiba-tiba ustadz tu kayak
ngapain meja gitu pak, jadi terkejut
S eem oke oke oke. Kalau bullying-bullying itu biasa terjadi waktu dikelas, diasrama, dikantin
atau dimana?
P eemm dikelas juga pernah pak, di kamar juga, kalau di kantin jarang sih pak
S kantin jarang ?
P jarang, jarang bareng sama mereka gitu pak
S em kalau dikelas biasanya apa pemicunya ?
P pemicunya gara-gara mutia tu dekat sama yang laki-lakinya itu pak jadi mereka tu kayak mutia
tu jadi bahan ejekkan sama mereka
S eemmm
P em antara yang ngejek laki-laki tun anti ke mutia kadang, kalau gak yang laki-laki tu ngejek
ke dia gitu pak, yang cewek ke mutia gitu pak
S eemmm ngejeknya seperti apasih?
P eee kayak, kayak orang tu jodoh-jodohin gitu pak ngejeknya.
S ohh di jodoh-jodohiin oh kamu gak suka ?
P gak suka pak
S iya iya. Kamu kalau sedih, gak seneng, kecewa gitu ceritanya ke siapa ?
P emmm kalau disini mutia lebih sering cerita ketemen pak temen cewek
S temen perempuan ?
P he’eh yang pertama ke temen cewek yang kedua baru ketemen laki-laki yang dia tadi pak
S yang SMK tadi tu
P iya yang kedua baru yang ketiga nanti cerita sama mamak kalau ada waktu pak

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

229
S iya ya
P kadang jaringan tu susah pak kesana.
S mamak mu yang telfon?
P enggak, mutia yang telfon pak
S nanti nelfon ke nomor bapak ?
P nomor mamak hehe
S ohh ada, orang tua kerja apa?
P ee karyawan sawit sih pak
S karyawan sawit. Kamu berapa bersaudara ?
P mutia 3 bersaudara pak
S 3 bersaudara. Kamu yang nomor ?
P pertama
S ohh paling besar harus jadi contoh, habis ini mau apa ? kuliah ?
P iya pak.
S rencana mau kuliah mana ? ini bulan 6 ya atau bulan berapa?
P emm insyaallah mau kuliah di UIN pak.
S jurusan ?
P jurusan, milih dua sih pak pertama tu tafsir Al-Qur’an yang kedua itu PAI pak
S oh PAI, mau jadi guru agama
P hehehe enggak pak
S oh endak. Mau jadi apa? Cita citamu mau jadi apa ?
P jadi desainer pak
S desainer loh desainer kok ngambilnya ke tafsir, ke PAI gimana tu loh hah?
P hehhe sebenernya itu pak mau masuk jurusan apa Namanya desainer juga pak cuman waktu
SMK tu disuruhnya disini, disini dulu ada cuman udah di tutup pak
S eemm
P tapi semenjak sekarang karena apa nanti mungkin kalau ada libur 3 bulan besok ni pak mau
mau kursus gitu pak
S ini desainer baju ya ?
P iya
S oohh yayaya
P jadi kayak kursus gitu sama saudara, saudara rata-rata desainer pak.
S heem penjahit ?
P penjahit
S disiak saudara?
P enggak pak, saudara di medan pak, kampung dimedan.
S oh kampung di medan
P iya pak
S iya ya makasih mutia ya.

Verbatim Partisipan W (5)

Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek (Wadatul Jannah)
P/S Hasil wawancara

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

230
P kita mulai ya, perkenalkan eee saya didik ingin sedikit tanya-tanya eee mengenai keseharian
di pesantren gitu, namanya siapa?
S nama saya wardahtul jannah
P panggilannya?
S panggilannya wardah
P ooo bukan jjannah?
S eeee, enggak
P panggilannya wardatul
S wardah
P wardah kayak yang punya wardah-wardah make up itu bukan? hehe
S bukaan, lain lagii
P mmmm... berarti setahun baru di sini ni?
S belum sampai setahun, sekiran sepuluh bulanlah
P sepuluh bulan? okeee, sebelumnya dimana tadi?
S sebelumnya dipelalawan
P pelalawan? Sampai kelas tiga berarti ya? 3 SMP, bagaimana kalau masuk kesini tu, eee
keinginan sendiri atau orang tua?
S keinginan sendiri
P kenapa memilih disini?
S karena dulu eee punya dua pilihan, cuman entah kenapa pengen tu hati suruh kesini aja gituu
P kenapa tu? Ada teman disini?
S enggak, dulu ada kakak kelas disini, jadi sekali ini juga, sekalian nengokin disini
P tapi kakak kelasnya udah pindah? Ee udah selesai?
S eee belum kakak kelasnya masih magang
P magang itu berarti, kemana kerjanya disini ?
S iya di Pekanbaru, kakak tu kelas 5, cuman kelas 5, cuman lagi magang kelas limanya
P magangnya biasanya dimana?
S diii pekanbru ini juga, jadi enggak jauh juga
P sekolah?
S heeh, masih dalam pembelajaran sekolah, cuman magang
P bukan dipesantren ini?
S enggak, diluar
P kelas 5 berarti itu kelas 2 SMA
S iya
P berarti sekarang W ya kelas 4?
S iya 4
P ada pembagian kelas gitu enggak? Waktu masuk? Ini kelas apa sekarang?
S eee kelas sosial
P ooo dia ada jurusan juga ya
S iyaa ada SMA nya
P IPA? Ee dia bukan IPA ya sebutannya
S IPA eh sains, religi, sosial
P tiga?
S heeh
P semua kayak gitu pesantren ya? Kenapa milih sosial kenapa?
S karena, niatnya pengen ngambil bidang hukum
P haa hukum? Mantaaaap, kenapa suka jadi lawyer? Atau nonton film lawyer gitu?
S iyaa
P suka?
S lumayan
P ada orang tua, orang tua hukum enggak? Atau gimana? Kakak?

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

231
S di berita
P ooo kakak enggak? Orang tua enggak hukum ya?
S enggak
P kan biasanya kan ngikut kakaknya
S enggak anak pertama
P ooooo anak pertama, ikut bapaknya, mamaknya enggak ya?
S enggak, wiraswasta
P oo wiraswasta, biasa wiraswasta kaya ya
S hehehe
P selama baru masuk ni, 10 bulan apa yang wardah rasakan disini?
S disini tuuu, mmm banyak pengalaman juga banyak mmmm pelajaran yang, ada yang bisa
masuk Cuma kadang ada yang enggak gitu
P mmmm, maksudnya enggak bisa masuk tu apa? Susah? Beda gitu?
S susah eee dengan dulu-dulu tu beda
P susah sini atau sana?
S disini
P jadi itu? Jadi gimana caranya yang wardah lakukan?
S kadang ya kalau misalnya pelajaran itu kalau misalnya. Disuruh perhatikan, kadang disuruh
perhatikan ya udah diperhatikan, terus tu pas waktunya masuk ya masuk gitu, kalau misalnya
lagi enggak mood ya apa ya enggak masuk, kadang susah masuk gitulah
P kalau sama teman ada enggak? Masalah? Karena baru-baru masuk gitu
S adaa
P apa? Contohnya apa yang dia lakuin?
S duluu, pernah kadang kan, kan kadang kalu kelas 4 ini udah punya organisasi jadi banyak
tugasnya, jadi pas ada waktu hari itu, ada disuruh, apa ya? Disuruh ustadzah itu minta-minta
itu kan adaa, dibagian organisasi itu bagiannya dapat sosial, jadi disuruh minta-minta
sumbangan, jadi yang dari ustadzah nyuruh tu, ada yang meninggal, jadi dari apa tu, ustadzah
nyuruhnya dari siang sampai malam, kadang karena disuruh ustadzah tu kadangkan ada sholat
ada ini, jadi sholat habis sholat tu enggak ada berhenti dari pagi, habis tu pas sholat tu pas
habis baca kitab tu dipanggil sama ustadzah, dipanggil mmm sampai sjolat isya’, jadi
pemungutan tadi belum selesai, jadi pas disuruh sama teman-teman jadi kan eee yang disuruh
tu kami, jadi orang tu enggak ada ngerjain, malah apaa sibuk sendiri.
P main-main gitu ya?
S iyaa, malam tu juga banyak tugas, jadi eee ana tanya, kok kalian enggak minta itu, minta
sumbangannya, ee ternyata tu, anti pun enggak bilang, mungkin orang tu, ee karena udah
dikasih tau dai awal disuruh minta ya minta, enggak harus teradu dengan ana sendiri, jadi
mmm ana minta tolong cobalah ambil ana mau ngerjain tugas
P haa iya gantia?
S he’e gantian, habis tu ana minta sama teman ana tu, kata dia pas itu tu, ana tu lagi sibuk, kata
dia, tapi dengan nada tinggi, jadii ana Cuma minta tolong kata ana, haa itupun kalau bisa,
habis tu ya udah, naik nada tinggi, ya udahlah, langsung keluar dari kamar tu
P tuu dianya sendiri atau rame-rame?
S eee kalau yang nada tinggi tu Cuma sendiri aja
P ee Cuma sendiri aja iya
S yang lain ya udahlah iyaa biar kami aja
P sampai sekarang gimana hubungan sama dia?
S sekarang sih udah enggak lagi, udah di lupain
P kalau sama kakak-kakak senior ada enggak yang jail-jail kadang?
S kalau senior sihi kadang, enggak ada sih, Cuma kakak tu mmm sering minta tolong, ya udah
kadang iniii
P sering?
S mmm lumayanlah

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

232
P itu wardah terus atau yang lain juga digituin?
S enggak, rata-rata semua digituin juga
P ee enggak maksudnya yang disuruh tu wardah aja atau ada yang lain disuruh juga gitu?
S kadang pas lagi lewaat, heee yang pakai baju ini gituu
P padahal enggak kenal itu ya
S he’e enggak kenal, tolong ini ini, ya udah. Kadang kan kakak tingkat jadi seganlah mau apa
nolak, ya udah
P tapi apa perasaannya pada saat itu, disuruh kayak gitu?
S kadang pas kita mm agi enggak pengen, ee sebenarnya udah enggak mau, ya udah kayak
mana lagi sama kakak kelas ya udah lanjut aja
P kalau perlakuan yang lain, diganggu oleh kakak tingkat atau teman-teman sendiri gitu?
S enggak ada, Cuma kadang di ini eee ada pelatihan di suruh ini ini, nanti disuruh
P itu ustadzah atau kakak-kakaknya?
S kakak-kakaknya. Pelatihan untuk menjadi organisasi itu kan ada pelatihan melatih diri, bisa
enggak dia jadi disitu, jadi ya udah kadang disuruh lari ini ni, nanti eee apa merepet sendiri,
apalah kakak ni baru eee selesai makan juga langsung di hitung-hitung
P ooo, itu sering? Itu biasalah kalau di organisasi kan? Tapi kalau diluar ada enggak kayak gitu
juga? Paling dipanggil-panggil gitu juga ya?
S enggak ada sih
P enggak ada. Tapi kalau ada perlakuan seperti itu diluar pernah enggak? Bully-bully tau ya?
Pembulian, bully? Bully itu kan bisa juga dengan verbal kata gitu, dengan perlakuan, pernah
enggak?
S pernah juga
P seperti apa?
S kadang apaa,
P tidak apa cerita aja, ini enggak akan disebar kok
S kadang eee kayak gimana ya, kemarin pernah juga sibersosialisasi di apa, apa di pos penjara
itu, jadi liat-liat itu
P pos penjara maksudnya apa?
S dipos penjara disekitar daerah ini juga, kadang ada ditepi-tepi jalan ada liat dari sekolah,
kayaknya makan, minta makan, kadang enggak dikasih, kadang eee kakek itu kadang sering
kalau memang dia enggak bisa dia jualan
P itu siapa itu? Orang diluar ?
S iyaa orang diluar
P kalau wardah sendiri? Enggak ada?
S enggak ada
P yakin enggak ada? Berdasarkan itu kakak-kaka tingkat gitu, kalau teman-teman yang lain ada
enggak cerita?
S enggak ada juga
P kalau disekolah yang lama?
S sekolah yang lam tu, kadang kami tu kalau ada lagi ada masalah dikumpulin, tanya satu-satu,
nanti eee apa ada masalah enggak? Ada yang enggak suka sama ini? cepat ajalah? Mmm
kadang
P itu wardah yang neglakuin atau wardah kan kelas 3 dulu tu
S kadang itulah kadang ditanya ada enggak yang enggak suka sama ini? cuman kadang orang
tu memang enggak ada,
P padahal ada, ngomong-ngomong dibelakang
S he’em kelas 1 juga, waktu tu
P kelas 1 juga? Digituin?
S ditanya-tanya juga mmm berantem juga
P wardah tu?
S he’em sama tean, cuman dibaikin lagi sama kakaknya

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

233
P itu biasanya kalau dikumpulin dimana tempatnya tu?
S tu kadang kami tu enggak banyak, jadi ada asramany ada 2 jadi disana kadang.
P diasramanya, didalam kamar atau gimana?
S iyaa didalam kamar, tapi disebelah lainnya lagi, kadnag dimasjid
P berarti tu kan dikumpulkan itu kan otomatis ustadzahnya enggak tau, jadi gimana tu
tempatnya, didalam kamar gitu atau?
S didalam kamar sebelahnya lagi
P ooo gitu
S tu kadang ustadzhnya enggak tau, tapi kadang mana yang bermasalah itulah yang dulu
P pernah berarti dulu digituin, dulu waktu kelas 1, apa tu perasaannya, gimana? Yang dirasakan
tu jengkel enggak? Maksudnya dipanggil gitu
S kadang itulah takut-takut juga kok tiba-tiba dipanggil aja.. padahal kok bisa kakak tu tau
bahwasannya lagi ada masalah nya itu, padahal diem-diem aja
P hehehem iyaa
S ya udah ya gini gini gini diceritakan jadi ya udah di bagusin lagi sama kaka-kakaknya
P apa perlakuannya ?
S paling cuman
P enggak main fisik kan?
S enggak, cuman kadang didiemin aja, padahal dulu saling akrab
P oooo gitu
S kok diem-dieman,
P terus setelah itu, kelas 2 kelas 3?
S kelas 3 tu, banyak kali kayak gitu , padahal sama-sama dekat pas ditanya sama ustadzahnya
aaa itu kok sendiri makannya? Biasa sendiri, bertiga makannya, ee enggak ada zah
P itu sama-sama kelas 3?
S iyaa sama-sama teman, mmm ada ni ternyata diem-diem ada,
P waktu kelas 3 ada enggak ngelakuin kayak kakak yang ngelakuin ke wardah
S kalau minta tolong-minta tolong tu
P enggak misalnya ngumpulin anak kelas 1 kelas 2 gitu
S pernaaah, kadang kalau disana juga punya organisasi ngumpulin bahasa
P tapiii kalau diluar organisasi ada enggak?
S mmmm adaaa kadang orang tu ada banyak enggak suka juga
P terus dipanggilin?
S he’em ditanya sama-sama cuman karena jarang sama orang tu ada masalah ya udah diem aja,
kalau enggak suka sama ana ya udah kayak gini cuman kita dengerin aja
P dulu ngerasa sedih? Maksudnya enggak terima, apa yang membuat wardah juga seperti itu?
Apa yang dirasakan waktu itu? Puaskah?
S enggak jugaa, kadang itulah pas itu kita lagi pengen cerita maah diem-diem
P jadi kalau masih gitu belum lah ya, karena masih kelas 1 ya? Paling dipanggil-panggil gitu
sama disuruh-suruh, tapi ustadzahnya enggak tau ya
S tu pas di sekolah lain, kalau disekolah sini
P kalau disekolah sini enggak ada dipanggil-panggil gitu? Kyak tadi tu?
S adaaa kayak deek tolong ambilkan ini ini, padahal malas jugaaalah dari kesini kesana kan
agak jauh, ya udah ikhlas juga, ya udah ambil aja
P tapi enggak tau ya kakak-kakak
S tulaah tiba-tiba udah dikumpulin aja malam-malam
P disini ada juga?
S kadang jam 1
P haa itu waktu tidur kan
S iyaa, tiba-tiba kok dikumpulin aja
P terus ngapain dikumpulin?

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

234
S karena dulu ada teman-teman satu organisi tu, jadi dia itu pas organisasi lain, jadi dia itu
organisasi kan ada 2 jadi orang tu ee lagi ee memperhatikan adik-adiknya jadi adik-adiknya
sanggup enggak dimuhahoroh tu, jadi adiknya tu matiin lampu semua, tiba-tiba jerit-jerit aja,
jadi kebangunlah kakaknya jadi satu organisasi itu dikumpulin
P jadi dimarah-marahin?
S karena satu yang kenak jadi semua kenak ya udah dikumpulin, had ida sampai jam 1 dimarah-
marahin ya udah pas kami enggak ada masalah ini disuruh masuk lagi tidur lagi
P ooo paling gitu aja ya? Yang lain enggak ada masalah ?
S kadang pas eee tes tes organisasi banyak aaa banyak bentuknya, jadii ee pas ada tu teman telat
disuruh eee scout jump 100,
P 100?
S iyaa pagi-pagi tu, kakak tingkatnya kelas lima nya, jadi disuruh sampai 100 pagi-pagi tu, pas
pigi sekolahnya udah bekeringat aja
P apa lagi yang kira-kira wardah rasakan sama kakak tingkat? Pernah ada enggak kubu-kubu
ata apa disini?
S enggak ada, cuman ada waktu-waktunya pas lagi kumpul-kumpul, ada masanya, kadang ada
yang telat yang ini gitu, cuman kadang sadar juga kita yang salah
P okee wardah bapak rasa sudah cukup infonya

Verbatim Partisipan AF (6)

Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek (Afifah)
P/S Hasil wawancara
P Eee panggilannya siapa?
S Afif pak

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

235
P Afif ya, ee fif bisa diceritakan kira kira kamu pernah mengalami perundungan, tau
perundungan ndak?
S tau pak
P Bullying ya, kamu pernah mengalami bullying ndak SD apa yang pernah kamu alami gitu?
S ee selama saya masa SMA pak.
P ya selama SMA, diawal SMA
S eem kalua SMA saya, seingat saya, saya gak pernah pak kalua di rundung gitu saya gak
pernah pak
P kapan itu?
S ehem Apanya pak?
P mulai ada perundungannya kapan, kamu ada pengalaman perundungannya kapan?

S SMP
P SMP?
S he’eh
P SMP dirundungkan?
S hem iya
P tapi SMA kamu perundungnya?
S hm gak pernah pak
P gak pernah ?
S eh saya yang, iya saya yang melakukan
P kamu pernah melakukan ?
S iya
P waktu di SMA?
S iya SMA
P Oke. bisa diceritakan perilakunya apa yang diterima dulu, perundungan apa yang pernah kamu
terima?
S ee cuman seingat saya waktu itu lagi ada masalah, terus saya dipanggil kekelas tetapi itu
dengan anak Angkatan kelas 7 aja pak
P he’eh
S terus saya datang kekelas itu, terus dari da;am itu mereka udah natap saya kayak udah gak
suka gitu, terus saya kaya ih ngapa ni, masuk terus menyelesaikan masalah tapi saya rasa saya
gak salah gitu saya mengungkapkan ee , e apa pendapat-pendapat teman saya kalua mereka
tu kayak gini terus saya kasih tau lah ke mereka ternyata mereka gak suka yaudah akhirnya
saya, ya mungkin saya di caci waktu it uterus saya nangis pak, yaudah akhirnya datang osis-
osisnya dibubarin terus saya balik ke asrama saya sampai sakit gitu pak sesak nafas karena
saya waktu itu sering sakit jadi kambuh sakitnya.
P he’eh
S jadi kambuh sakitnya/
P itu masalah, masalah di pesantren maksudnya gitu?
S he’eh
P masalah dipesantren kan kamu diundang ee masalahnya masalah apa, terkait apa akademis
atau perilaku?
S Perilaku mereka, waktu itu kelas 7 tu ada anak-anak yang agak ya ada yang bandel bandel
gitu pak
P he’eh
S jadi mereka ee bilang kalua kami ribut, waktu itu lagi buka puasa pak, buka puasa sama
jadikan ada bubar ee terys mereka bilang ee kalua kami ribut jangan diamin kami ya, biarin
kami ribut, pooknya kaya gitu pak, terus ya mungkin yang sebagian yang lain kaya, kok gitu
sih orang ni kan lagi acara dikelas, pokoknya jangan ribut-ributlah jangan nyanyi-nyanyi,
gendang-gendang gitu pak terus ee, jadi kami agak kurang nyaman git uterus kebetulah dii
asrama pengasuhnya lagi bongkar barang untuk dijualin pak, yaudah kami bilang yaudah yuk

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

236
kita tengok tempat umi aja tengok tengok barang, yaudah kami balek ke asrama pak,
sedangkan acara belum selesai kami dah balek duluan.
P hemm
S sama teman teman saya, tu kami tengok kami balek ke kamar nahh ada salah satu dari mereka
tadi t uke asrama ke kamar mandi pas chek kamar kami adalah kami dikamar pak, dia nanya
kok kalian disini sih, iya ngapain kami disana kalian begitu-begitu kami bilang yakan pak,
yaudahlah kesana ajalah dulu, enggak lah sini aja, akhirnya mungkin dia ee ngadulah ke
pembawa acaranya pak, yaudah akhirnya saya dipanggil. Fif mu dipanggil, ngapain masalah
orang tu yaudah datanglah saya kesana pak, nahh saya lewat dari jendela tu mereka dah natap
wiii sinis saya takut, yaudah saya masuk, habis tu ya, mungkin gitu pak.
P hem oke, itu yang pernah dialami, kira-kira kalua setelah kejadian itu ada ndak, misalkan
kamu dikucilkan, atau di moment yang lain karena peristiwa yang lain di asrama gitu ada ndak
perundungan yang terjadi di asrama oleh senior-senior tu?
S emm kalua yang dialami saya saya belum pernah, kalua sama senior saya belum pernah pak,
tapi mungkin kalua sama teman teman seangkatan pernah pak.
P contohnya seperti apa? Kasusnya?
S Mungkin itu teman sebelah kamar saya, kaya suara saya tu dulu kayak anak kecil gitu pak jadi
dia ngira suara saya dibuat buat, jadi karena say akelas 7 tu masih kanak-kanak, tingkahnya
masih kaya anak-anak jadi saya suka jalan kemana-kemana sampai kekamar dia itu jarang sih
sebenarnya main kekamar mereka karena agak takut pak, terus saya berani duduk situ, terus
dia nanya mukanya juga kayak, fif suara mu memang kayak gitu katanya, iya suara ana
memang kayak gini, kenapa emangnya. Gak ada kirain kayak dibuat buat aja kayak anak kecil
P heemmm
S ya emang kayak gini.
P kamu ada gak takut pergi kekamarnya senior tu, kira-kira ada apa ada kaitan ceritanya atau
ada ?
S mungkin karena mereka ada power gitu pak, dulu yaa kan ada dua blok gitu pak disini, blok
bagian sini kaya senior-senior gimana ya jelasinnya, ada power gitu pak, jadi saya selama?
P iya istilahnya apa, bagak gitu ya?
S kalua kami bilangnya anak nakal gitu.
P oohh anak nakal
S iyaa. Saya bagian blok sini ya masih sama senior-senior yang baik ada ketua asramanya, ya
saya masih ruang lingkup yang kaya gitu, jadi agak kurang main ke blok-blok sana agak takut
waktu masih SMP.
P waktu kamu dibully itu, di kejadiannya dimana? Terus siapa aja yang ada disekitar itu?
S waktu itu yang itu tu waktu dikelas pak, maghrib, eh bukan isya kayaknya kejadiannya pak
setelah shalat, udah buka, udah shalat ya siap shalat itu saya balek ke asrama baru saya
dipanggil lagi kaya siap isya disitu ada teman saya yang kemarin sahnia, ada teman-teman
yang lain kayak alifta juga ada karena satu Angkatan pak. Angkatan kelas 7 baru setelah kayak
ada kehebohan baru senior datang kayak anak osisnya pak.
P tapi kalua pengawasnya ndak ada ya?
S hem?
P pengawas, pengawas pesantren, ustadz itu ndak ada ya?
S ndak ada, lagi di asrama semua pak.
P waktu kamu dibully itu apa yang kamu rasakan ?
S ehem saya takut,sedih itu yang saya rasakan pak.
P terus yang kamu lakukan apa?
S waktu itu saya nangis
P nangis, nangis ya atau coba menghubungi senior , menghubungi orang tua
S endak , enggak enggak.. saya cuman ya gak tau mau ngapain saya nangis terus saya mampir
kejendela nangis, terus datang senior baru ditanya-tanyain kenapa sampai saya nangis
sesegukan gitu pak, baru balek keasrama, dah diasrama sakit saya pak

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

237
P oh gitu. Waktu kamu takut tu ada gak menyimpan kemarahan, menyimpan ya rasanya aku
kok diginin sih pingin bales tapi gak mampu, karena yang lakukan itu senior gitu, muncul gak
perasaan gitu?
S emm enggak pak, saya gak punya perasaan, kayak nyimpan dendam sama orang lain gitu.
P gitu gak ada ya ?
S he’eh
P perilakunya berarti verbal semua ya ndak ada yang?
S Iya verbal gak ada yang fisik.
P ndak ada yang fisik. Terus ee ketika kamu menghadapi situasi seperti itu apa yang
berpengaruh terhadap dirimu? Yang membuat kamu tertekan atau membuat kamu lebih baik
gitu?
S heemm waktu dulu, kayak los gitu aja pak gak ada kepikiran
P taka da ya.
S enggak pak. Berlalu gitu aja saya anggap mereka yaudah yang kemarin sudah berlalu yaudah
akhirnya sampai naik kelas 8 kelas 9 itu juga pisah asrama kan pak, jarang jumpa, kelas juga
beda waktu itu, jadi yaudah udah berlalu aja sampai SMA. SMA tu kalua di sekolah kami tu
ada banyak perubahan gitu pak. SMP tu pada bandal dan naik SMA tu rasanya adem ayem
jadi anak baik semua gitu pak rata-rata.
P rata-rata oke. Terus kamu kanpernah juga melakukan perundungan ee bisa ceritakan kamu
melakukannya pada siapa? Waktunya kapan? Kepada siapa gitu, kenapa alasannya melakukan
gitu?
S kalua melakukan perundungan waktu itu SMA pas kan udah anak bar utu pak, udah pergantian
siswa-siswa kami masih dari SMP sampai SMA nah yang baru masuk SMA ni.
P kamu dipesantren yang sama kan SMP, SMA nya ?
S he’eh iya pak, terus tapi itu sama teman-teman juga pak, teman
P ya sama teman kamu melakukannya.
S iya teman baik gitu pak, jadi cuman bercanda canda gitu aja sama verbal. Ngata-ngatain
karena kadang orangnya tu mungkin karena baik hati pak, gak marah kalua diapa apain jadi
kadang dia cerita, diakan ee orang batak gitu pak, jadi kami baru dapat kosa kata kosa kata
baru, misalnyakan dia bilang bodat jadi dia malah dipanggil bodat sama saya, sama saya aja
sekarang masih saya panggil bodat dia pak
P heemm
S terus dia itu dari saya kenal dia sampai sekarang masih kaya gitu sih pak.
P anda kan sebelumnya pernah mengalami perundungan
S he’eh
P terus em ndak enak kan rasanya di rasanya sampai nangis kamu tadi, tapi dilain waktu
kemudian seiring berjalannya waktu ketika kamu menjadi senior kamu melakukan hal yang
sama yang mungkin kamu lakukan yang dulu pernah dilakukan oleh seniormu. Itu kira kira
bisa kamu ceritakan prosesnya seperti apa?
S proses gimana pak?
P misalnya didalam dirimu apa yang kamu pikirkan ketika kamu melakukan itu ada gak
kepikiran dulu aku gak enak lo, terus atau ada pengaruh lain diajak teman karena teman juga
melakukan seperti apa gitu?
S ya kalua merundung satu kawan ni karena pengaruh kawan saya, karena mereka, mereka
mulai duluan jadi yaudahlah ikut aja gitu. Tapi ada satu orang kadang saya gak, gak, mereka
ni yang satu lagi ni sering kali bully dia pak, tapi pakai verbal tapi saya kaya kadang udaahlah
tu wee jangan lagi kasian dia, tapi mereka juga kadang bully. Saya juga ssuatu ketika saya
bully dia juga pak.
P ohh gitu. Jadi pertama karena melihat orang lain melakukan?
S iya

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

238
P kamu belajar melihat orang lain melakukan? Ada gak pergulatan dalam fikiranmu? Inikan
sesuatu yang ndak boleh, sesuatu yang dilarang dalam agama saya, dipesantren juga diajarin
nilai nilai kayak gitu loh?
S iya terkadang ada pak, kayak teman saya yang satu ni ya yang itu kayak yang saya bilang pak
kadang udah jangan, jangan di bully terus, kadang mungkin karena ada rasa kasihan dia,
kadang baik sama kita dia ngasih kita makan sama-sama dia. Misalnya dapat kiriman ya
makannya sama masak dibully, orang ni kayak gak sadar diri dia udah baik loh masak tetap
dikata katain.
P ada ada pergulatan, ee terus pergulatan pikiran tu ada tapi di satu sisi tetep di kata-katain itu
kira-kira ee apa yang waktu itu yang terjadi didalam fikiranmu? Kamu ada fikiran, fikiran itu
ada waktu kamu melakukan atau muncul setelah kamu melakuka?
S eee kadang, kadang-kadang tu ee pas saya lakukan pak
P pas kamu lakukan muncul, terus berhenti atau lanjut?
S berhenti pak, saya berhenti terus saya minta yang lain bernti juga jangan diapain lagi, kadang
kalua pas selesai saya bully kadang, ndak ingat saya pak
P ndak ingat lagi? Tapi ketika kamu lakukan itu kamu berhenti, terus besok kamu lakukan lagi,
jadi kalua muncul kesadaran ya berhenti ketika nanti gak ada kesadaran lagi ya melakukan
lagi?
S iya tapi udah kaya biasa kan pak
P kaya biasa, otomatis gitu
S main-main biasa, tiba-tiba ada kesalahan sikit dia langsung diserbu gitu.
P apakah kamu memnganggapnya itu sebagai sebuah hal yang biasa atau permainan yang biasa
atau eee karena orang melakukan bully kadang-kadang dianggap sebuah permainan biasa, apa
yang kamu fikirkan ?
S kalua saya menganggapnya biasa ya pak kalua verbal mungkin itu biasa pak, tapi kalua
verbalnya udah terlalu mungkin ada satu kata yang menyakiti di aitu udah dah tu, udah jangan
itu dah gak baik lagi. Tapi kalua udah ya kayak main bercanda-bercanda gitu menrut saya ya
udah biasa gitu.
P kalua menurut kamu ketika kamu melakukan itu apasih yang kamu inginkan, tujuan yang
kamu inginkan itu apa?
S senang aja pak
P oh senang
S he’eh
P melakukan kesenangan, di pesantren agak kurang hiburan ya memang?
S hehehe
P Ada televisi?
S enggak ada
P handphone juga endak ada ?
S enggak ada, handphone asrama itupun yang hp senter pak
P oh senter berry
S iya, tapi kadang kami minta nonton sih sama umi nya kalau dikelas.
P tapi intinya kamu senang, dengan melakukan itu kamu dapat kesenangan? apa yang membuat
kamu senang? Respon diam ketika kamu membully atau seperti apa?
S respon dia karna rame-rame kan pak, respon dia yang kayak masih ketawa-ketawa, jadi diapun
juga kadang juga balas dengan oceh-ocehannya tu jadi lucu pak.
P jadi ada timbal balik ya, kamu bully terus responnya kayak begitu jadi kamu pengen bully lagi
kayak begitu.
S iyaa, he’em
P oke. Kalau hal ha yang memperkuat apa kamu melakukan perundungan selain respon,
pengaruh teman dari dalam dirimu, kamu waktu kecil sering dimarahi orang tua?
S eemm enggak pak, tapi saya kalau misalnya saya mau main keluar tu agak takut minta izin.
P kenapa gitu ?

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

239
S eeee saya kurang tau juga pak, eh ada kayak diizinin gak ya keluar, misalnya mau ajak teman
main, fif main yok kesini, ndehh ada mau mana jangan lagi, yaudahlah gausah gak jadi saya
main.
P kalau biasanya kejadian perundungan diasrama itu terjadinya waktu kapan? Malam hari?
S lagii, misalnya lagi makan siang kalau diasrama tu kayak lagi kumpul makan, kadang juga
siap shalat.
P he’em
S ya kalau lagi-lagi waktu senggang gitu pak, kalau lagi nyetrikapun kadang kalau ada orang tu
bully aja pak.
P berarti memang di waktu pada saat tidak ada pengawasan guru?
S ii ada juga sih pak uminya.
P kadang ada uminya juga gitu?
S he’eh iya kadang didepan uminya juga.
P apa reaksinya?
S ketawa-ketawa aja pak lucu gitu pak.
P oke saya rasa itu dulu ya nanti kalau ada pertanyaan, saya kirim via, atau ada wawancara lagi
terimakasih ya.

Verbatim Partisipan RF (7)

Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek

Konten wawancara, sudah bertemu satu kali pada 27 februari 2020 utuk perkenalan
dan minta kesediaan. 3 responden dari pesantren BS tidak diperbolehkan di rekam
menggunakan alat perekam namun boleh dicatat demi keamanan nama pesantren.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

240
Setelah di negosiasi diperbolehkan merekam tapi harus dihapus setelah diverbatim.
Wawancara wawancara tgl 28 Februari
P/S Hasil wawancara
P coba ceritakan apakah anda pernah mengalami perundungan?
S saya pernah mengalami perundungan dulu waktu masuk awal tsanawiyah. Saya dipukul sama
senior karena waktu itu telat di saat diminta kumpul sama senior. Selain itu selama tahun
pertama saya beberapa kali dikata-katai kasar sama senior.
P apa yang kamu pikirkan waktu itu?
S saya waktu itu mikir untuk keluar dari pesantren tapi orang tua saya tidak membolehkan.
Sudah keluar banyak biaya untuk saya daftar di pesantren ini.
P kenapa sampai ingin keluar pesantren?
S karena gimana ya...saya takut, tapi marah juga pokoknya nggak enak lah jadi bilang ke papa
mau keluar gitu tapi nggak boleh.
P waktu dibulli kamu kan marah, kenapa tidak kamu lawan?
S enggak lah...takut kami. Senior banyak orangnya
P selain marah takut, ada nggak perasaan lain macam dendam gitu?
S ada lah dendam sakit hati tapi nggak bisa bales
P kamu tidak bisa melampiaskan berarti?

S iya sama senior nggak bisa, bisanya sama adik junior yang baru masuk.
P bentar, kan lama itu selama setahun nunggu junior, jadi selama setahun itu gimana
kondisinya?
S ya sering kena bulli kita, tapi kita bikin kelompok juga agar tidak kena bulli. Gabung2 sama
senior, dan yang penting tahu diri.
P ada nggak belajar bulli selama belum ada junior baru?
S ya ada tapi main-main sama teman seangkatan.
P kalau sama senior ada?
S nggak lah (responden tertawa)...mana berani kita pak. Mereka kompak kalau jahatin adik
angkatan
P nah sekarang kan kamu sudah aliyah ni, masih juga sering buli?
S nggak pak hukumannya berat bisa dikeluarkan dari pondok sama ustadznya. Sesekali aja
masih tapi jangan sampai ketahuan.
P berarti lebih sering mana waktu aliyah atau tsanawiyah?
S ya sering waktu tsanawiyah terutama waktu kelas 8 dan 9.
P kalau faktor dari dalam diri kamu apa sih yang kamu cari atau dapatkan dari membuli?
S senang aja,....kita jadi dihargai ditakuti pokoknya lah
P kaju senang dihargai atau ditakuti padahal dibelakang mereka dendam kepadamu?
S iya sih tapi ya gimana senang aja mereka menaruh hormat ama yang lebih tua
P kira-kira apa yang mempengaruhi kamu untuk melakukan peundungan?
S teman kayaknya ya...kalau sama teman-teman apalagi diajak gitu
P ada nggak kamu belajar dari senior atau TV atau game?
S dari senior
P TV atau game?
S nggak..kami nonton tv kalau pulang ke rumah aja
P disini HP dilarang kan?
S iya tp ada juga yang sembunyi2
P kamu?
S nggak bawa
P kamu kan disini bwlajar agama kok mau buki orang?
S ehmmm...gimana ya senang aja
P ada nggak pertentangan batin gitu?

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

241
S ada kadang habis melakukan itu menyesal
P tapi besoknya lakukan lagi?
S iya..
P biasanya dimana paling banyak buli?
S di asrama
P kalau di kelas?
S ada juga tapi jarang kan ada ustadz
P apa yang kami pikirkan atau rasakan ketika membuli orang?
S apa ya...gak tahu
P kamu ada nggak merasa puas gitu
S iya ada apalagi kalau adiknya sampai minta ampun gitu
P kamu nggak kasihan?
S kasihan juga sih
P jadi selain karena sepi dan tidak diawadi guru apa yang menjadikankan kamu berabi bulli
orang?
S tengok badannya juga, sama kedekatan orang tu sama senior
P berarti kamu tengok fisiknya juga ya?
S iay
P kalau dekat sama senior gimana?
S ya gak berani juga
P kamu pernah nggak dilaporin sama yang kamu buli?
S nggak pernah, kalau di pondok ni kalau suka lapor pasti kena sama kawan2
P maksudnya?
S ya kita hajar itu yang suka lapor-lapor
P kamu pernah nggak dilaporin?
S nggak pernah
P kalau ustadz, oragtua gitu gimana?
S mereka baik, yang suka keras itu penjaga asrama
P kwrasnya seperti apa?
S saya pernah dipukuk di kepala
P kenapa?
S sembunyi ketika suruh sholat
P ..ohh, oke ya...nanti kalau aku perlu data lagi aku akan kontak kamu
S iya pak, kasih tahu aja musyrifhya nanti.
P trims ya.

Verbatim Partisipan AL (8)

Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek

P/S Hasil wawancara


P pernah denger perundungan atau bullying nggak?

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

242
S pernah pak,
P jadi saya akan wawancara kamu terkait dengan perundungan atau bullying, data kamu aman
termasuk nama pesantrenmu juga tidak akan disebutkan dalam laporan. Supaya efektif
wawancaranya kamu nanti jika kutanya bisa menjelaskan panjang lebar ya..
S iya pak
P coba ceritakan pengalamanmu apakah pernah menerima perlakuan perundungan selama di
pesantren?
S eee...pernah pak waktu mulai masuk saya dan teman-teman sudah biasa dibulli sama senior-
senior. Mereka menyuruh ini menyuruh itu.
P selain disuruh-suruh ada nggak jenis yang lain?
S ya nyuruhnya itu disertai ancaman pak, ya yabg mau dipukul lah gitu
P Atas sebab apa kamu dibulli?
S kadang karena dianggap tidak menghormati senior gitu pak, yang lain ya karena kita nggak
nuruti kemauannya misalkan kalau lagi beres2 asrama gitu.
P kebanyakan perilaku bullinya dilakukan dimana?
S di asrama paling sering, kan kalau nggak ada guru mereka beraninya
P kalau ada guru?
S takutlah pak...tapi kalau yang mada(nakal) ya berani.
P kalau dikucilkan dari pergaulan gitu ada?
S ada juga
P pernah alami?
S teman sih pak ada yang ngalami..kalau saya nggak sampai segitu.
P berarti kamu jadi korban lah ya, ada keinginan membalas atau gimana gitu?
S ada lah pak tapi tak berani, kalau membalas kita semakin azab dibuatnya
P jadi kerana takut sama senior jadi nggak berani membalas ya? Ada dendam nggak?
S iya pak, kita dendam hanya saja mau membalas kita takut sama senior, mereka kompak, lagian
juga bakalan sulit kita nantinya.
P nah...terus kamu ada pengalaman membulli? Kata ustadzmu kamu suka buli kawanmu?
S nggak juga sih pak (responden mengubah posisi duduk) tapi ya sesekali ada bermain aja
P Siapa biasanya yang kamu bulli?
S adik tingkat pak. Kan mereka pasti nurut sama kita nggak akan melawan
P jadi selama kamu belum jadi senior nggak ada buli?
S Ya paling sama teman seangkatan tapi cuma main-main..kalau teman seangkatan rata-rata kan
pada berani.
P apa yang kamu cari dengan membuli orang?
S senang aja, hiburan pak disini kan suntuk kurang hiburan.TV nggak ada, HP nggak boleh
bawa.
P selain mencari kesenangan ada nggaj motif lain?
S AL:...hemmmm apa ya..ya kalau ke adik tingkat supaya mereka hormat sama senior aja. Biar
tidak banyak cengkunek (bahasa minang ;tingkah)
P kamu kan diajari agama supaya meneber kasih sayang gitu kok bisa buli orang? Gimana itu
penjelasannya?
S iya sih pak...kita diajari baik sama semua orang tapi disini sebagian nggak berlaku. Kalau
kami sama ustadz nurut tapi kalau sama adik tingkat kadang gimana ya..otomatis aja.
P maksudnya otomatis?
S ya apa ya..langsung gitu aja
P tanpa dipikir maksudmu?
S iya itu, kadang mikirnya setelah melakukan ada penyesalan tapi gimana lagi
P terus di lain waktu juga kamu lakukan?
S iya pak apalagi kalau udah bersama kawan-kawan.
P jadi kawan-kawanmu memberi motivasi untuk membuli?
S iya pak...kalau ramai-ramai takutnya hilang

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

243
P kamu kan pernah dibuli dan rasanya kan nggak enak, tapi kenapa kamu tega membuli?
S iya kadang itu kepikiran juga, tapi kalau udah rame-rame apalagi sama adik tibgkat ya asyik
aja..suruh ini itu, kita bentak dan mereka takut
P apa senangnya ditakuti orang?
S ya dihargai gitu pak, dulu kan kami digitukan juga jadi ya kesempatan balas lah
P kita kembali ke masa lalu ya, kalau masa kecilmu di sekolah atau di rumah pernah dibuli?
S paling dimarah-marahi sama mama di rumah biasa aja.
P kalau di SD, atau SMP?
S iya pernah kalau di SMP, SD nggak pernah
P disaat kamu membuli, apakah respon dari adik angkatanmu atau kita sebut korban ajalah ya
itu membuat kamu senang atau bersemangat membuli?
S kalau mereka takut sih enggak pak, tapi kalau ada yang berani melawan ya kami azab ramai-
ramai.
P kalau gurumh disini bagaimana?
S kalau guru baik-baik pak, kalau musyrif (penjaga asrama) sering marah2 apalagi kalau
ketahuan melanggar.
P pelanggaran seperti apa?
S merokok, males jamaah ke masjid.
P darimana dapat rokoknya?
S kawan pak yang merokok saya nggak merokok
P apa lagi yang kamu ketahui yang mungkin belum tersampaikan mengenai bullying di
pesantren?
S ehmm...itu aja sih pak
P kalau aku nanti butuh tambahan data mau ya kuwawancara lagi
S iya pak
P makasih ya
S sama-sama pak

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

244
Verbatim Partisipan BA (9)

Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek
P/S Hasil wawancara
P seperti kesepakatan kita kemarin bahwa saya akan mencatat apa yang kamu sampaikan
ya...nanti saya akan mengajukan beberapa pertanyaan kalau bisa jawabnya yang jelas dan
tidak singkat-singkat..kalau bisa tapi
S iya pak
P coba ceritakan kamu pernah mengalami bullying atau bahasa indonesianya perundungan di
pesantren ini?
S sering pak
P coba jelaskan, contohnya, kapan oleh siapa gitu!
S bulli yang saya alami sejak masuk pesantren ini pak, dulu kami istilahnya diplonco sama
abang abang..disuruh-suruh kadang-kadang dipukul juga
P pernah sampai dipukul?
S pernah pak
P apa yang kamu pikirkan dan rasakan waktu itu?
S apa ya...marah tapi takut
P mikir balas dendam gitu ada?
S nggak berani pak, abang2 tu banyak
P jadi mereka melakukannya berkelompok?
S iya
P ada yang sendiri?
S jarang tapi ada
P kalau yang sendiri juga nggak berani balas?
S nggak berani juga
P ini kamu alami sendiri atau sama temen-temenmu juga?
S sama temen-temen seringnya pak
P berarti ada yang sendiri?
S ada juga waktu itu karena telat datang waktu dikumpulin abang2 untuk pertemuan gitu ya
kena lah sendiri
P waktu itu kamu diapakan?
S dimarahi aja sih
P kalau di rumah gimana orangtuamu? Keras atau lembut?
S keras sih pak terutama ayah kalau ibu ya kadang suka marah juga
P pernah sampai dipukul gitu?
S dulu waktu kecil biasa karena nakal gitu
P kalau ayahmu kerasnya seperti apa?
S ya keras biasa orang tua kalau kita mada ya kena marah, nggak mau dibilangin
P Nah sekarang aku mau nanya nih, kalau membuli pernah nggak?
S ..ehmmmm...pernah pak (subyek tersenyum)
P iya bapak hanya mengkonfirmasi kata ustadzmu aja katanya kamu suka buli junior gitu
S kadang sih pak tapi nggak sering
P apa alasanmu membuli?
S apa ya...senang aja sih pak lihat respon adik-adik tu. Jadinya mereka segan sama kita
P jadi kamu merasa disegani, mendapat penghargaan gitu?
S iya pak, kadang adik-adik tu melecehkan kita
P kok kamu anggap melecehkan?
S mereka nggak hormat sama kita

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

245
P hormatnya nunduk-nunduk gitu?
S nggak juga sih pak
P jadi gimana maksudnya?
S ya paling tidak mereka menyapa kalau mau lewat jangan asal lewat aja..apalagi kita lagi
duduk2 di deket jalan
P biasanya mereka kamu apakan?
S ya paling kita pepet aja
P ada sampai mukul?
S nggak pernah
P kalaubsudah melakukan itu apa yabg kamu rasakan?
S ya puas saja
P kamu kan pernah dibuli dulu, dan itu nggak enak, nah kok sekarang kamu bulli orang juga?
S hemm..iya ya..gimana ya
P apa kamu nggak merasa kasihan?
S ya kasihan juga tapi adik-adik tu harus diberi pelajaran
P maksudnya diberi pelajaran?
S ya mereka harus hormat sama yang lebih tua
P kamu merasa tua gitu hahaha
S nggak pak hhehe (responden ikut tertawa)
P kamu kan disini juga belajar agama yang mengajari untuk kaeih sayang gitu, kok tega bulli
orang?
S iya sih pak, tapi kalau dah kesal lupa sama yang begituan
P tapi setelah selesai ada mikir gitu nggak?
S ada juga kadang, tapi kalau udah rame-rame sama kawan suka lupa
P cara kamu bulli orang itu ada nggak mirip2nya sama abang seniormu dulu?
S sebelas duabelas lah pak, sama aja menurut saya, turun temurun itu di pondok
P disini kalau bulli dihukum nggak?
S kalau ketahuan, dinasehati tapi ya macam buli itu dah biasa semacam cara main aja
P ooo, terus biasanya bulli junior dimana?
S di asrama paling banyak
P knp?
S nggak ada yang awasi, ustadz atau musyrifnya kan jarang lihat
P kalau ada ustadz nggak berani?
S takut lah pak
P nah kan kamu dulu waktu masuk kena bulli, terus selama setahun itu ada nggak bulli yang
lain?
S paling ejek2an aja sama kawan seangkatan
P kalau sama senior?
S nggak pak...kita takut
P jadi nunggu setahun dulu baru bisa buli junior?
S iya pak
P selama tahun awal itu ada nggak dibuli2 senior?
S nggak lagi pak kalau udah lama karena kita udah paham gimana harus hargai abang-bang tu
P apa lagi ya...ehmm...kamu bullihya sering sendiri atau sama kawan?
S sama kawan paling sering
P nggak berani sendiri
S nggak sih..cuma nggak pernah sendiri aja
P oke itu dulu ya nanti kalau bapak ada perlu wawancara lagi bapak hubungi ustadmu ya
S iya pak

Verbatim Partisipan Psikolog (10)

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

246

Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek (Yanwar)
P/S Hasil wawancara
P pak yanwar pernah menangani kasus kasus bullying di pesantren ndak ?
S secara spesifik ya kasus apa ya, kasus ya apa ya penanganan kasusnya itu kan holistik ya,
artinya Ketika yang datang itu korban, itu secara otomatis penanganannya itu, kalau di
pesantren melibatkan ketua asrama dan sebagainya, jadi ya beberapa kasus pernah menangani,
hanya saja dari sisi korbannya terlebih dahulu
P oh jadi
S tidak ada yang langsung pelaku
P jadi masuknya tu dari korban, baru nanti dari pengembangannya itu ada pelakunya ada ketua
asramanya itu ya?
S iya, langsung apa kalau dipesantren tu ya apa Namanya tu, ustadnya tu ya sama apa Namanya
ada kalau kita menyebutnya itu yo musrif atau penjaga
P penjaga asrama
S penjaga asrama, nantikan beda penilaiannya gitu
P oh jadi intinya ada kasus bullying yang dipesantren. Kasus yang kit aitu modelnya kaya apa
contohnya yang dari sisi korban tadi?
S contoh ya saya tak ambil contoh di pesantren x di kabupaten siak
P diwilayah riau ya
S iya dipesantren itu kan khusus laki-laki, kalau yang putrinya didaerah panam kalau gak salah
nah ini khusus putra itu di siak itu, ini bully nya ini korban datang bersama orang tua nya ke
saya kemudian mengeluhkan kalau anaknya itu sudah gak betah gitu, itu gak betah di
pesantren pengen apa keluar itu tapi kan orang tua kesulitan menggali kenapa anaknya mau
keluar gitu kan, nah setelah itu minta bantuan kita psikolog datang kekampus dan telah digali
ternyata ada ee apa, apa Namanya tu, bully, ya memang bully karena dia tidak bisa melawan,
dia sama dia ini berarti kalau di gontor itu gak ada kelas sih sistemnya ya jadi seniornya itu
apa Namanya itu, karena si senior nya itu ketahuan melakukan kejahatan itukan, ya mengerjai
temen-temennya nah si anak ini mergok’i apa ya mergok’i mengetahui perilakunya itu
kemudian akhirnya diancam, ya di ancam kalau kamu nanti bilang sama ustad atau musyrifah
nanti kamu di gini, dan itu berulang gitu kan terus menerus, tiap ketemu diancam-diancam
sampai pada akhirnya dipalak itu minta uang
P motif ekonomi berarti ya?
S he’eh kemudian ada motif ini apa Namanya pendiam itu ya artinya gak bisa ngelawan gitu
loh, Ketika bertemu dengan saya pun setelah hasil grafis dan sebagainya kelihatan sekali
memang anak ini tu nurut sama orang tuanya kelihatan sekali anak-anak nurut itu, kemampuan
komunikasinya Ketika konseling juga tidak terlalu ini kok, jadi tipikalnya memang tipe yang
gak bisa melawan, akhirnya ya apa keluhannya tadi gak betah pengen pindah terus menerus
itu yang akhirnya kemudian kita yang fasilitasi si di panggil apa Namanya pertamanya
ustadnya klarifikasi, terus dipanggil musyrifnya penjaganya kita tanya satu-satu kroscek
kemudian setelah itu ya ditanya orangnya gitu.
P jadi n korban, korban-korban yang bapak pernah tangani itu oh ini santri-santri awal masuk
itu ya rata-rata
S iya kebanyakan di awal
P ohh
S iya diawal gitu ya
P terus mereka kalau pernah ada gak keinginan membalas gitu?
S jadi keinginan membalas itu ada, jadi manifestasinya itu pada agresifnya yang lain gitu loh
P hem berarti gak berani melawan balek cuman dia termanifestasi dengan agresif yang lain,
contohnya ap aitu

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

247
S agresif yang lain dengan temen-temennya, jadi si anak ini punya temen gitu loh
P he’eh he’eh
S dan dia membuat geng baru jadi dia membuat geng baru untuk istilahnya biar dia punya
kekuatan gitu ya, nah akhirnya ya dia membuat kelompok baru, ada yakan tadinya ada dia
tukan penyendiri ya penyendiri nah kemudian dia dengan temennya membuat kelompok
gituloh pak sigit. Jadi dia membuat kelompok baru mungkin nah jadi dia jadi berani, berani
untuk menekan orang nekan temen temennya gitu ya kaya gitu, polanya itu ya tadi dia
membuat kelompok-kelompok baru lagi
P jadi memang rata-rata para korban, korban-korban diawal itu kemudian dia berani melakukan
itu dia mengajak temennya kan gitu, semakin berani kalau dia ada temen
S ha iya, betul sebenernya kalau dari sisi fisik dari sisi kekuatan dia ini tidak, istilahnya ndak
terlalu ngono kan ndak terlalu berani makannya dia mengumpulkan temen-temennya ini gitu
ya membuat geng baru. Akhirnya dia jadi berani, dan kasus ini ketahuannya memang Ketika
dia sudah naik kelas gitu ya
P oh jadi ada proses peralihan dia menjadi pelaku menjadi neken itu selain sama temennya
berarti sama junior juga ndak kira-kira ?
S sama junior itu tidak ada ya maksudnya gak sampai kesitu, tapi ketemen-temennya itu ada
jadi contohnya adalah jadi dia berani untuk ngerjain gitu ya, ngerjain temen-temennya itukan
kalau asrama itu dipesantren itu jadi apa Namanya, jadi satu kamar itu berapa orang gitulah
ya, jadi satu kamar itu ada Sembilan atau berapa gitu, nah dia berani untuk ngerjain gitu ya,
yang tadinya dia alim, maksudnya pendiam
P tadinya korban ya jadi pelaku
S ha iya korban jadi pelaku kaya gitu, tapi ya pelaku itu transformasinya tu perubahannya adalah
dengan membentuk kelompok gitu loh
P iyo iyo, nah dari assessment pak yanwar, ada ndak mereka itu ketika jadi pelaku itu pola-
polanya itu ngikutin ee senior-senior dulu yang menjadikan mereka ni jadi korban, ya
misalnya ini mengikuti pelaku-pelaku awal gitu?
S ya iya jadi bentuk ya kalau saya mau mengacu pada si pelaku ya, pelaku awal gitu ya, yang si
pelaku awal juga Ketika kita asessment y aitu memang jadi korban.
P oh pak yanwar asessment pelakunya juga ya ?
S iya assessment pelakunya lewat ustad nya ya, ustad sama musyrifnya gitu
P pelaku-pelaku ini senior nya korban ya pak
S iya jadi sama kaya saya assessment di pesantren Y, ya juga ada orangnya awalnya korban gitu
ya dan lebih parah lagi mungkin pada perilaku-perilaku seksual gitu ya.
P ohh kaya pelecehan gitu ya?
S pelecehan, jadi ada pengembangan perilaku sebenarnya, jadi apa, modelingnya itu ada model
atau bentuk bullyingnya itu bisa mengacu pada pengalamannya dia, tapi pada pelaku korban
yang pernah menjadi korban tu biasanya ada penambahan bentuk gitu loh, artinya variasinya
lebih beragam dari pada yang belum pernah sama sekali jadi korban
P ooohh
S jadi bentuk apa ya mungkin balas dendamnya itu, ya Namanya mungkin ya saya tak paham
ya, apakah mungkin bentuk balas dendamnya itu akan menjadi perilaku yang berlebihan lagi,
jadi orang yang kalau dendam tukan sekali, jadi nanti jadi dua kali, tadinya yang malah kadang
agresif mukulnya ya bentaknya, yang tadinya misalnya suruh buka celana aja, sekarang sudah
mulai untuk ke yang lain lainnya gitu. Ya jadi apalah maksudnya itu, jadi ada perubahan
variasi dan jenisnya jadi beragam kalau yang memang awalnya jadi korban.
P pak yanwar pernah gak ,yang punya kasus yang dia bukan korban tapi memang pelaku murni
pure gitu eee kok bisa membandingkan tadi kalau yang pelaku pure itu modelnya hanya ya
begitu saja, tapi kalau yang sudah jadi korban itu menjadi variatif gitu
S ya iya saya membandingkan bukan di pesantren, saya di sekolah umum ya misalkan anak
SMA , kemudian ada anak SMP gitu ya, itu luar biasa sampai, opo ya memang mengerikan
gitu ya, variasnya variasi jadi dia ini pelaku kekerasan di apa, dikomunitasnya itu ya, sampai
dia melakukan kekerasan kepada juniornya itu sampai kakinya patah gitu loh

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

248
P oh sampai kekerasan fisik yang fatal ya
S kekerasan fisiknya itu berlebihan, dan itu diikat kemudian di vidiokan di fb, luar biasa jadi
emang ini berbahaya, Ketika orang itu jadi korban, karna variasinya itu akan meningkat kalau
menurut saya, disbanding dengan orang yang istilahnya tidak, istilahnya murni dari bullying
ya, misalkan nonton atau mungkin apalah ya, tapi kalau misalkan udh jadi korban itu
variasinya akan lebih, itu analisis saya.
P dari yang pak yanwar tangani, berdasarkan fakta ee dari yang pak yanwar tangani mereka itu
rata-rata korban satu orang atau juga korban dari banyak pihak?
S yang ditangani memang satu pihak
P oh satu pihak ya, jadi dia korban dari satu pihak
S he’eh satu pihak aja.
P kalau dari assessment keluarga ada gak misalkan mereka juga dari keluarga yang ada
kekerasan?
S ya kalau keterbukaan keluarga untuk para pelaku ini agak sulit tapi dari yang bisa digali adalah
hubungan mereka dengan keluarga memang tidak harmonis ya, saya ambil contoh gitu ya,
bagaimana mereka itu datang dari keluarga keluarga yang memang bapak, ibunya itu bercerai
atau ada konflik di rumah tangganya gitu ya, kemudian yang kedua mereka juga punya
pengalaman ya tadi anu misalkan di SD nya atau di SMPnya punya perilaku-perilaku agresif
gitu ya akhirnya ke pesantren itu memang ya apa para pelaku yang pernah saya tangani
memang punya sejarah gitu ya punya sejaran pribadinya punya sejarah dikeluarganya ya
memang dari keluarga yang perhatian kepada anaknya itu kurang, ya sibuk gitu
P ohh nah ini lanjut ke alasan, alasan mereka masukkan anaknya ke pesantren itu apakah
memang murni keinginan anak atau ya apa kita batasi dari yang pernah pak yanwar tangani?
S ya kalau pelaku hampir semua bukan karena keinginan anaknya. Itu keinginan orang tua gitu
ya sehingga proses didalam nya yang saya lihat karena keterpaksaan.
P ya terus Ketika mereka jadi korban itu pikiran perasaan apa yang pak yanwar tangani ya ? bisa
gambarkan kondisi psikologisnya ndak Ketika mereka jadi korban itu kek apasi gitu?
S ya kalau mereka jadi korban itu kaya ada rasa diri ya jadi ada rasa perasaan yang terpendam
yang itu mereka gak bisa jelaskan gitu ya, jadi ada rasa kesal marah gitu ya, itu yang gak bisa
diungkapkan dan itu manifestasinya pada perilaku diamnya dia gitu loh, jadi Ketika konsultasi
tu yo apa dia menyimpan perasaannya tuloh
P itu Nampak dari apa? Ekspresinya gitu?
S ekspresinya, kemudian apa ya keinginan untuk apa Namanya ya, mengeluarkannya tu
kelihatan sekali gitu ya nah gitu, saya contohlah ya yang anak ini sehingga pendekatannya itu
ya memang lama untuk bisa mengeluarkan itu, habis itu ya dia baru bercerita dengan emosi
ya, ya nangis kemudian marah-marah gitu ya ee, nah itu jadi proses, prosesnya itu pak sigit
sampai dia keluar itu lama jadi, misalkan saya pertemuan pertama itu dengan bapak ibunya,
bapak ibunya biasanya itu lebih banyak ngomong ya, anaknya itu diam saja, ya kelihatan
sekali ekspresinya, gesturnya itu dan contohnya tu ngepal ngepal tangannya gitu ya dh pengen
ngomong aja, pengen ngelampiaskan kekesalannya. Setelah pertemuan kedua baru dia bisa
mengeluarkan seluruh perasaannya gitu ya, ah ya misalkan dia pengen bales tapi ndak bisa
gitu ya. Terus pinginnya apa, bener-bener contohnya ada sampai yang Latihan taekondow
karate apa Namanya
P bela diri
S ha bela diri ya, tapi ternyata itu tidak membuat dia menjadi kuat kayak gitu loh, contoh yang
dimana yang di siak itu juga gitu, dia belajar bela diri gitu ya,ya jadi memang ada kompensasi
supaya dia lebih kuat gitu ya, dan akhirnya setelah kuat membentuk kelompok ya.
P jadi pelaku ? yayaya
S jadi pelaku.
P terus dari assessment pak yanwar biasanya tu kejadiannya tu dimana lokasi-lokasi perilaku
perundungan?
S yang jelas itu satu itu di, kalau di siak, itu ya dikamar mandi
P oh ditempat-tempat yang gak ada pengawasannya

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

249
S ndak ada pengawasan itu ya
P diasrama gitu ya?
S melakukan kejahatan disitu artinya tempat yang biasa lalu Lalang sehingga tempat yang
menjadikan untuk mangkal, y aitu dilorong loronng mau kekamar mandi, itu wc kemudian
kalau di pesantren Y itu Ketika asrama nya sepi ya kaya gitu, orang lain sudah pada pergi
tinggal dia sendiri gitu yo, sama musyrif nya pas gak ada terus dia bentak-bentak.
P ada gak ini pak yanwar Ketika mereka menerima perilaku bullying pada tahap-tahap awal ada
gak mereka proses belajar, beradaptasi gitu, misalkan karena menghindari perilaku senior
sebelum mereka menjadi pelaku itu ?
S jadi, gimana pak sigit?
P ada ndak pada tahap Ketika mereka jadi korban ni kan beberapa kali jadi korban, ada ndak
dalam satu waktu Ketika mereka belum jadi senior ada gk proses itu mereka beradaptasi
supaya mereka terhindar dari bullying ini?
S ya kalau mengacu pada contoh kasus yang disiakkan, itu runtutannya Panjang tu, itukan
melibatkan banyak orang ya, karena itu pesantren X jadi perlu di rahasiakankan makannya itu
prosesnya lama sampai ee Panjang itu hampir lama kali saya tanganin, karena pelibatannya
banyak dan pelakunya cukup banyak itu ya, para pelakunya ni pak sigit, jadi para pelakunya
y aitu orang orang yang teraniaya, pelaku seniornya itu juga teraniaya sebelumnya oleh senior
yang sebelumnya kayak gitu
P he’eh yang misalkan gini, ada ndak proses adaptasinya, adaptasi Ketika, berarti bukan
pengertian adaptasi dalam keadaan positif ya adaptasi, saya ini di bully terus ee supaya saya
gak kenak bully ya saya harus mengikuti dari senior yang suka membully saya harus
berperilaku sesuai keinginan mereka, ada gak pada tahap tahap awal itu muncul pada pelaku-
pelaku ini sebelum, ehh korban sebelum jadi pelaku.
S ya kalau proses adaptasi nya memang seperti itu ya, jadi dilihat pada si klien ini yo jadi kaya
mengamati pola mereka, jadi Ketika ada senior gitu yang mau membully jadi kaya ya nurut,
kayak nurut, kayak ikut gitu ya
P itu sebenarnya kayak supaya mereka tidak dibully kan, posisi cari aman gitu?
S oh iya cari aman, dan itu dilakukan oleh satu kelompok itu jadi sama temen-temennya, jadi
sisipelaku ini, kayak gitu. Saya ambil yang seniornya ya yang jadi korban tu dulu kayak gitu,
jadi nurut sama senior yang membullynya itu, tapi akhirnya dia menjadi kelompok pembully
gitu ya.
P kira-kira mereka perubahan proses perilaku dari pelaku, eh korban kemudian jadi proses
adaptasi kemudian jadi pelaku, itu menurut assessment pak yanwar, faktor-faktor apa yang
mereka menginfestasikan kemudian dipendam kemudian dikeluarin gitu?
S he’eh, ya karena kalau melihat dari sisi kasus sih karena memang tidak ada mekanisme ee
pengkatan, gitu ya pengkatan tu artinya pemutusan, pemutusan perilakunya dia, jadi sebelum
dia menjadi pelaku, itu tidak diputus karena pengetahuan pesantren terhadap kondisi kayak
gitu kan ya saya maklumi mungkin terbatas, karena proses itu sesuatu yang dianggap mungkin
biasa gitu ya, itu yang saya pahami, sehingga proses untuk munculnya sebuah yang dipendam
itu orang tidak pernah liat, pesantren tidak pernah liat. Jadi intinya sih ketidakmampuan apa
ya, mungkin pihak-pihak tertentu baik orang tua atau orang orang tertentu Ketika melihat,
melihat ini melihat perilaku bully itu punya dampak pemendaman perasaan gitu loh yang, ha
itu sehingga kalau tidak dilampiaskan, akan punya bentuk pelampiasan ke yang lain, nah ini
P sifatnya potensial berarti ya?
S ya sifatnya potensial gitu
P itu lama berarti ya mendemnya gitu?
S iya itu lama, kan prosesnya tu lama, jadi tahap semester, jadi kalau di pesantren X tu kan
misalkan naik tingkat pertama itu bisa menifestasinya bisa di tingkat kedua gitu ya, itu lama
jadi untuk menjadi apa untuk mengeluarkan sesuatu yang dipendamnya memang prosesnya
lama.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

250
P terus mereka ni kan pada belajar agama, belajar nilai gitu, itu kok bisa sampai keluar apa
perilaku perilaku yang mal adaptif git utu dari keterangan yang pak yanwar dapatkan tu
kekmana cara ngasessment mereka interalisasi agamanya sebenarnya seperti apa?
S ya kalau dari assessment yak arena mereka tidak memahami kondisi psikologis jadi agama ya
itu hanya belajar agama, jadi dia ya belajar agama, dia ya hafal al-qur’an jadi anak-anak ini
ya hafal al-qur’an jadi ya ritual gitu saja
P ya agama berarti dalam bentuk ridos gitu ya tidak internalisasi nilainya memang kurang kira-
kira gitu ya
S ya memang kurang, jadi bagaimana memahami perasaan itu yakan, tidak ada enggak ada
konseling, itu kalau pendekatan psikologi ya, ya bentuknya sudaj.
P pengajaran fiqih gitu ya
S iya fiqih ya memang sudah bentuk nya ya, kalau , ya agamalah ya
P agama dalam pengertian aturan aturan gitu ya
S ya aturan-aturan he’eh, nah itu budaya yang ada seperti itu ya mungkin ya tadi kalau secara
pengalaman klien mungkin belum bisa digali proses internalisasi nya ya, tapi dari praktek
yang ditanyakan, misalkan yang ada di pesantren saya tanyakan ke klien ya gitu, misalkan
ngajinya jam berapa saja, apa saja yang, y aitu menjadi rutinitas yang, yang memang ritual
gitu ya.
P selain dari senior mereka ada ndak menerima perundungan dari ustadnya, musryifnya gitu?
S ya kalau yang di pesantren x tu temen ya, senior, kalau di pesantren y itu ada yang dari
musyrifnya, nah kalau yang musyrifnya itu yang di pesantren y itu ya saya assessment juga
gitu ya, karena latar belakang dia pesantren juga kan, ya si musyrifnya ini perempuan lagi.
P nah selain tadi balas dendam, penyaluran agresif ada gakmotif lain tadi ada yang ekonomi
malahan gitu, ada gak motif lain yang di dapat oleh para pelaku ini, misalkan dapat
penghargaan dari para junior kayak gitu
S kalau dari sisi pelaku sih saya melihatnya lebih ke ini, kemarin itu ingin cari perhatian
keluarga
P oh jadi motifnya motif pribadi banget ya
S iya, jadi saya ambil contoh misalkan ambil pelaku yang memang ekstrem gitu ya, yang
seniornya ini ya, yang misalkan menganiaya si x itu kemudian si x membuat kelompok ya pak
sigit. Kelompok sendiri itu ya itu yang seniornya ini itu memang karena dari latarbelakang
keluarga yang gak bagus itu ya, salah satu untuk mencari perhatiannya dan orang tua bisa
hadir dan memperhatikan di pesantren yaitu dengan melakukan kejahatan, karena kalau gak
dikayak gitu kan orang tua gak akan datang kepesantren
P heeem jadi ada motif itu, motif untuk diperhatikan, kalau motif yang khusus pak yanwar
tangani ya, ndak ada motif, ee karena beberapa wawancara saya dengan para pelaku di
pesantren itu mereka, dihargai, dihormati oleh junior itu menyenangkan, ada motif-motif gitu.
Ya kalau pak yanwar yang tangani itu gak ada ya motif itu?
S ndak ada, lebih kepada bagaimana perhatian keluarga, karena ya itu tadi sejarahnya dia masuk
pesantren adalah bukan karena keinginan dia sendiri, jadi akhirnya Ketika dia, ini kan senior
berulang ya si pelaku ni, akhirnya Ketika udah berulang kali orang tuanya itu dipanggil
kemudian pas dia melakukan apa bullying yang terakhir dengan korban yang ketemu dengan
say aitu akhirnya dia senang. Kenapa? Karena punishment nya sudah begitu banya akhirnya
bisa dikeluarkan gitu loh
P ohh dia nunggu banyak punishment akhirnya dikeluarkan, oh kaget akhirnya dia dikeluarkan
dari pesantren
S iya jadi seneng dia, ngonoloh jadi gitu loh seneng, akhirnya oh aku sudah bisa lepas dari
pesantren
P terus ini yang pertannyaan berikutnya pak yanwar ee mereka Ketika melakukan sekali,
melakukan sebuah perilaku ya behavior perilaku membully gitu, ee apa yang menjadi motivasi
mereka selain yang dikeluari tadi ya, kan saya tahu pak yanwar menangani ada beberapa kasus
itu nah selain mereka itu, Ketika mereka bully kenapa mereka bisa mengulang bully lagi,

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

251
karna kalau misalkan bully gak enak kan berhenti ni, kenapa kalau mereka bully terus,
bagaimana kira-kira itu dari asessmentnya ?
S jadi kan karena ada penguatan gitu, penguatan dari kelompok gitu, jadi pak sigit kalau di
pesantren itu yang saya tangani itu perilaku bully itu tidak pribadi
P kelompok ya?
S kelompok
P jadi ada dukungan sosial temen kemudian
S dukungan sosial temen
P ada analisis situasinya juga karena kalau ndak ada pengawasan kayak gitu modelnya
S la hiya jadi seperti itu, jadi penguatnya itu adalah temen-temennya, jadi ndak ada, ya mungkin
kalau pribadi dari kasus ini dari pelaku yang senior itu yang membully itu juga berkelompok
ya, dan yang terbaru korban menjadi pelaku juga berkelompok gituloh, jadi memang lebih
kepada adanya memang dukungan sosial, kemudian penguatan kawan
P intinya penguatan dari kawanlah ya, kalau penguatan dari hasil terhadap perilaku misalkan
kira-kira perilaku tu membawa manfaat, membawa keuntungan kepada saya nah itu ada gak
terjadi pada proses yang pak yanwar tangani, artinya pelaku tu tidak menyumbang untuk
melakukan lagi, artinya bukan memberikan penguatan, selain dari dukungan sosial
S kalau proses internalnya saya tidak paham tapi yang dari hasil analisis saya, akhirnya dia
menjadi lebih kuat aja karena ada temen-temennya gitu loh, jadi ada temen temennya yang
juga ikut serta
P jenis bullyingnya apa saja tu pak, selain fisik, verbal gitu, semuanya ada?
S fisik ya gitu jadi anu apa tending, ngancam, dorong ngancam kemudian uang itu mungkin ada
ancaman itu, jadi contohnya ini yang di mana pesantren x itu kalau kamu nanti ngomong sama
ustadnya kamu tak laporkan kamu sama temen-temen itu melakukan perilaku seksual, apa
Namanya eee homo gitu, saya laporin kamu homo, padahal dia tidak homo tapi istilah homo
itu dimunculkan karna artiya saya ndak tau ya pelaku itu sudah punya kosa kata untuk
menakuti si korban ini dengan perkataan.
P berarti memang karakternya bisa dibunuh, pembunuhan karakterlah ya kira-kira gitu ya, lewat
kejahatan-kajahatan yang ditirunya kejahatan seksual
S ya memang karena tak lihat Analisa pelaku yang di pesantren x itu memang udah sangking
ekstrem lah ya kalau menurut saya.
P heemm terus selama ini kalau misalkan ada kejadian-kejadian gitu apa yang dilakukan
sekolah?
S ya ee pada kasus pesantren, memang jadi eksklusif jadi penanganannya kalau dari pengakuan
orang tua ya jadi tidak, tidak di publish ke orang tua, jadi kenapa ketahuan itu karena anaknya,
nah itu jadi karena yo
P ada proses menutupi ya
S iya
P dari beberapa yang saya gali juga mereka tu juga, ada salah satu pesantren yang menolak
penelitian itu karena takut terekspos, takut nama baik pesantren itu jadi menutupi perilaku itu
untuk menutupi citra pesantren yang baik gitu ya.
S iya betul, jadi kalau pesantren ee kalau pesantren x tu ya memang tadi saya sudah sampaikan,
itu sampai gak boleh di blowup ya tapi karena melibatkan banyak orang kalau gak di, kasusnya
gak dituntaskan ini bisa menjadi masalah besar saya bilang karena pelakunya itu sudah
berlebihan gitu.
P yaudah kira-kira itu dulu pak yanwar aku nanya nanya soal apa ya cuman melengkapi data-
data penelitian disertasi jadi ee untuk kroscek karena saya juga sudah mewawancarai para
pelaku ada korbannya ada ustadzahnya, ada musyrifahnya, untuk melihat apa ada gak
kesesuaian antara sumber-sumber informan ini terkait dengan perundungan di pesantren, oke,
makasih pak yanwar ya, ini lewat telfon gak bisa ketemu langsung

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

252

Verbatim Partisipan Alumni 1(11)

Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek (Arief)

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

253

P/S Hasil wawancara


P Aaaa baik Assalamualaikum Mas Andri Mas Arief aaaa mungkin bisa diceritakan dulu nih
tentang diri Mas Arief aaaa identitasnya terus pernah sekolah di mana ajaaa gitu ?
S Aaaaa waalaikumussalam Baiklah identitas niih, saya itu namanya Arief asal saya dariii
Bengkalis Nah kalau untuk pendidikan itu saya sdnya di 3 tempat yakni di SD 1 Bengkalis
lalu pindah ke pakning Setahun Lalu 2 tahun yang lagi sd-nya di siak nah untuk SMP yaitu
saya di pesantren Darul Hikmah Pekanbaru
P Usia mas arief berapa sekarang?
S Sekarang usia saya 20 tahun
P Aaaaa jadi begini saya seperti kemarin janjian itu sama mau wawancara terkait dengan
kejadian kejadian bullying yang mungkin terjadi di lingkungan pesantren karena mas arief ini
kan yang pernah hidup di pesantren gitu,
S Iyaaa,
P Naah, pernah mengalami bullying enggak mas ?
S Kalau untuk bullying itu sangat sering saya alami seperti itu,
P Contohnya seperti apa di bullying ?
S Aaaa mulai dari ejek-ejekan orang tua, terus kondisi keluarga, pokoknya apa yang ada
kekurangan di diri kita itu jadi bahan bullying begitu
P Terus itu sejak kapan bullyingnya ? Mulai dari sekolah biasa gitu, sekolah SD, ?
S kalau untuk bullying itu saya alami kayaknya emang dari kecil yaa pak, dari kecil sering
dibully sama teman-teman mulai dari SD karena saya sempat pindah-pindah, nggak tahu
kenapa teman-teman itu kayak membully saya gitu kok kamu pindah pindah Kamu anak nakal
ya gini gini gini terus jadi bahan bully sepperti itu
P Contohnya kesalahan-kesalahan apa, Sampe dibully ?
S Ketika teman-teman itu, punya keinginan untuk gini, misalnya ada mangga yang masak gitu
dilingkungan depan SD waktu itu, terus mereka melempar mangga itu tanpa minta izin lagi
naah disitu saya keberatan untuk ikut cuman ya Saya ingin lapor guru karena teman-teman ini
mencuri Jadi mereka itu kayak janganlah kamu lapor gak gini nanti gini gini terus Akhirnya
saya dibilang kamu ini sok sok baik gini-gini kamu itu anak pindahan pasti kamu bermasalah
ya dari SD dulu di sana. Padahal kan saya itu pindah itu karena faktor keluarga saya pindah
pindah, ibu tugas pindah tugas jadi saya itu bukan karena dikeluarkan dari sekolah karena
nakal, enggak Tapi itu tadi karena itu sehingga mereka itu melabeli saya saya ini dibilang anak
nakal terus saya melakukan kebaikan pasti dibilang aah sok-sokan gini gini gini
P Ooooh, gini mas arip eeeee, kira-kira niih dulu waktu mas arip korban bully pernah membully
enggak ?
S Naah, kalau untuk membully saya pernah,
P Siapa tu yang dibully kira-kira ?
S Yaaa, teman-teman sebaya saya bahkan adik saya yang dibawah jadi saya mau bully gitu
karena saya merasa gimana siih ingin, rasanya membully orang setelah saya di bully bully dan
kaya ada rasa enggak puas gitu Kenapa saya harus menjadi dibully jadi saya ingin menjadi
orang yang melakukan hal bully gituu, nah kesempatan waktu itu saya dapat membully
pertamanya itu awalnya ingin coba-coba ngikut, dari saya coba membully teman menjadi ikut-
ikutan waah, ada rasa bangga gitu ketika membully, orang jadi ya Saya ingin melakukan ini
terus jadii yaa saya cobalah terus-terus, sudah saya coba dikit-dikit akhirnya merasa bangga
ya udah saya lakukan terus gitu.
P Kebanggaan seperti apa siih yang didapat ?
S Kebanggaan gimana yaa, eem saya merasa pas Ketika saya membully orang dan melihat orang
itu merasa sedih atau kecut yang dinyalinya ketika di bully, saya merasa bangga gini, wah
saya lebih hebat dari dia, dia ini jadi lemah Ketika saya bully seperti itu, Ketika saya ejek dia
menjadi lemah, jadi tidak berdaya gitu jadi saya menjadi orang yang kuat terhadap gitu dirinya
P Selain dari bullying yang di sekolah karena pindah pindah kalau kamu pengalaman di rumah
seperti apa ?

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

254
S Kalau di rumah itu saya kayak nggak ada apa-apa gitu, di rumah seperti anak yang pendiam
mungkin karena yaa kurang dekat sama orang tua ya karena orang tua juga aaaa jarang
perhatian gitu karena saya maklumilah kerja untuk cari nafkah yaudah sehingga saya di rumah
itu kayak anak biasa-biasa saja diam ketika orang tua mengatakan ini ya saya ikut gitu cuman
walaupun enggak semua yang kata-kata itu
P Ada enggak dikerasi sama orang tua gitu ?
S Kalau dikerasi orang tua waktu kecilnya saya sering dikerasi waktu itu pernah saya waktu itu
mau mandi di laut itu kira-kira umur saya 5, 6 tahun Saya mandi di laut terus tahu-tahunya
pas Saya mau naik dari atas ke atas orang tua saya datang membawa kayu yang kira-kira besar
paralon itu ya paralon untuk kabel kabel itu jadi kan itu mukul saya gitu sampai patah. ya itu
tadi dimarahin sama orang tua gitu
P Ibuk marah juga ?
S Yaa, yang marah saya itu Ibu
P Yang marah ibuk, ?
S Iyaa
P Yang mukul ibuk juga ?
S Iya, yang mukul saya ibuk,
P Kalau tadikan mas arip jadi bangga puas, cara membully itu melihat temen-temen itu gimana
bullynya atau ada pengaruh suka menonton film-film agresif ndak kira-kira ?
S Saya dulu Sering nonton film Smackdown
P oooh smackdown,
S Yaaa itu jadi saya itu karena postur badan kecil jadi saya kaya ngefans sama Rey Mysterio.
Kalau untuk film yang agresif yaa itu film smackdown, naah untuk membully itu saya lihat
lingkungan. Ketika yaaa teman-teman itu gimana melakukan bully saya Ikuti saya amati nah
ketika kayaknya ini pas dengan saya lakukan saya lakukan bully seperti itu
P Kalau pribadi sendiri kamu ini gimana? Kepribadiannya seperti apa ? pendiam, tenang, agresif
waktu itu waktu skolah?
S Terkadang saya menjadi, pribadi yang tenang, ketika memang saya harus diam yaa diam, tapi
tiba saatnya saya untuk agresif saya jadi agresif gitu, atau munkin teman-teman menyebut
saya ini lasak atau bandel gitu,
P Aaa mas arief kalo bisa diceritakan, kalo di ini dipengalaman dipesantren aja, kalo dipesantren
itu bullying itu dilakukan oleh siapa siih ?
S Kalo dipesantren yaa, naaah, dipesantren waktu itu sempat hanya 3 tahun dipesantren, pas SD
karena saya bandel jadi saya dimasukkan kepesantren, naah awal masuk dipesantren itu
sayakan masih kebawa niih sifat-sifat waktu SD yang nakal lasak terus itu yang dilakukan
bully kalau di pesantren waktu itu, itu dari Kakak kakak tingkat yang mudah merasa senior
yaitu jadi dia yang melakukan hal-hal semena-mena melakukan bully terhadap kami yang
baru baru masuk sehingga Kami merasa apa ya, di tindas diintimidasi sama kakak kakak
senior
P bentuk penindasannya seperti apa ? disuruh ngerjain tugas, atau disuruh apa gitu ?
S Naah, kalau untuk senioritas dipesantren waktu itu kakak-kakak itu melakukannya , misalnya
nih saya melakukan kesalahan sedikit sajakan misalnya telat bangun ya maklumlah baru baru
masukkan jadi agak susah jadi telat bangun itu nanti disuruh push up, Terus kalau telat datang
ke masjid misalnya kan abis kan sebelum salat Maghrib itu kan sebelum itu olahraga itu telat
aja kan namanya juga di pesantren santri siap mandi terlambat Terus mau masuk ke masjid
telat gitu, itu ada aja salah nanti disuruh merangkak, disuruh kutip sampah, apa segala macam
nanti kalau mereka kurang puas nih di situ nanti kita itu disuruhnya tolong beli jajan saya gini-
gini uang nggak dikasih tapi disuruh beli jajan seperti itu.
P Bentuknya ada pemalakan juga yaa,
S Iyaaa, juga ada pemalakan gitu
P Ada dimintai duit gitu, yang mas arief lakukan apa ketika sudah digituin ?
S Awal-awalnya itu saya nurut, kalau enggak nurut nanti dilapornya keustadz saya gini, jadi ada
rasa takut ke ustadznya, yaudah saya nurut-nurut yaudah tapi lama kelamaan, orang ini

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

255
kelewatan yaa melakukan hal semena-mena mentang-mentang dia itu udah kakak tingkat, jadi
saya merasa enggak tahan sekali-kali saya waktu itu, saya enggak turuti, jadi ketika tidak saya
turuti itu ada aja misalnya ni dikamar itu kesalahan dikit pasti saya yang dicari pertama, eee
itu nanti ada barang-barang yang disuruk misalnya ni barang kita dari orang tuakan ngirim-
ngirim makanan. Naah nanti makanan kita nih kalau kelihatan dia tu past dia minta, terus
kalau enggak dikasi dianya minta besoknya barang-barang dikamar milik kita, sepatu atau
apa gitu itu nanti hilang, eeee tau-taunya besok atau beberapa bulan baru dikambalikan
ternyata dia yang nyimpan gitu, barang-barang kita.
P Ternyata dikerjai yaa gitu ?
S Yaaa dikerjain gitu.
P Eeeee, kalau pengawasan dipesantren snediri kira-kira guru-guru terhadap kegiatan-kegiatan
perilaku-perilaku itu ?
S Kalau untuk itu yaa ustadznya sebenarnya sangat tegas terhadap bully membully, cuman yang
menjadi sorotan kala itu tidak adanya laporan dari santri kepada ustadz sehingga,
P Nunggu laporan ? (menyelah)
S Iyaa nunggu laporan,
P Kalo pengawasan yang dilakukan oleh guru, itu jarang ?
S Jarang, ustadznya taunya itu dari kakak-kakak tingkat atau namanya kalo dipesantren itu ada
namanya jasus atau mata-mata jadi dia nunggu laporan dari jasus sedangkan mata-mata ini
tadi yang melakukan bully tadi,
P Justru mata-matanya yang melakukan bully ?
S Yaa, justru mata-mata tadi yang dipercayai ustadz mereka dengan adanya kebebasan apa
adanya kepercayaan Ustadz sudah jadi mereka melakukan semena-mena, sehingga mereka
melakukan bully.
P Eemmm, justru seperti itu, kalo waktunya kapan mereka melakukan bully itu ?
S Eeeee kan kalau dipesantren itu ustadnya engga sepanjang hari dengan kami diasrama. Jadi
yaa bebas terkadang yaa pagi, jadi pagi yaa mereka, kadang kakak tingkat ini dating cari
kesalahan kami, kadang juga sore atau malam sebelum tidur. Naah, it waktu-waktu mereka
sering mengganggu itu, kalau saya sendiri alami itu sore, karena habis olahraga itu ada saja
kesalahan saya yang dicari.
P Sore itu waktu-waktu guru enggak ngawasi, kalo tempat-tempatnya itu dimana biasanya ?
S Itu nanti kalau engga didalam kamar eee didekat asrama atau ditempat-tempat perkarangan
asrama gitu, karena ustadz-ustadz kan udah siap kemasjid jadi kakak kakak tingkat yang di
suruh awasi adek-adek. Jadi mereka nanti buat hal semena-mena mereka nanti ketika kita
dihukum sama mereka akan mereka itu ketawa-ketawa melihat kita bicara bicara ketawa-
ketawa gitu.
P Jadi kalo lagi dibully yang noonton pada ketawa-ketawa.
S Iyaa mereka jadi ketawa-ketawa
P Itu yang bully ditambah senang.
S Iyaa tambah senang, jadi menurut mereka itu kami yang dihukum yang jadi tontonan jadi
ibaranya itu kami ini adalah bahan candaan mereka yang ketika kami di bully itu ketawa jadi
ini adalah bahan candaan mereka gitu.
P Jadi tadi keluarga udah yaa, keluarga, teman, terus ooohh teman-teman sendiri seperti apa siih
?
S Temen-temen ?
P Teman-teman di pesantren itu ada yang ngajak temen dari sesama korban bully itu ayoolah
kita ngumpul ?
S Nah biasanya itu kami kan nanti jam 10.00 malam tuh yang kakak kakak tingkat ini atau Ustad
Nanti dan keliling ronda apakah santri udah tidur, kami pas kami hapal tuu jam-jam ustadz
nanti bakalan survey lokasi cek-cek kami itu nanti jam jam 09.45 atau nanti jam 10.00 lewat
sedikit nah, kami pura-pura tidur jadi kami pura-pura tidur Setelah itu, setelah lewat ustad nya
atau setelah mereka survei kami. kami Bangun 1 kamar 1 angkatan yang tidak dibangun kami
cerita-cerita Kalau kami jadi kalau dihardiklah gitu kan sama kakak senior gitu nanti kami

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

256
rencana ketika nanti kita jadi senior, yaa udah yok kita lakuin ini keadik-adik bawah biar
Mereka merasakan seperti kita jadi nanti malam malam itu kami bicara cerita-cerita tentang
itulah kami korban bully, nanti susun-susun startegi bagaimana membully, orang-orang lain
gitu.
P Okeeh makasih mas arip, nanti kalau saya butuh data lagi nanti saya wawancara lagi bisa yaa,
S Okee insya Alloh bisa pak.
P Namanya siapa ?, Arief arif yaa ?
S Iyaa arief arif.
P Okee makasih

Verbatim Partisipan Alumni 2 (12)

Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek (MAF)
P/S Hasil wawancara

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

257
P A : Eeee, Mas Anas perkenalkan saya sigit nugroho, ini mau nanya-nanya pada mas anas
tentang perilaku bullying dipesantren,. mas anas sebelumnya tau nggak perilaku bullying itu
apa ?
S B : Aaaa, baiklah terima kasih perkenakan nama saya MAF mungkin sedikit saya menjelaskan
bahwasanya sepengetahuan saya yang namanya pembuliaan itu adalah suatu perilaku yang
mana membully seseorang dengan tindakan yang Tidak sepantasnya kepada orang lain dan
dalam artian bisa jadi itu bersifat secara kelompok ataupun munkin individual aaa masing-
masing orang munkin itu yang bisa saya mengerti karena juga selama ini aaaa Ketika saya di
pondok pesantren awal-awal Ketika saya masuk pernah sempat Saya menjadi korban
pembullyan yang mungkin karena itu seperti seakan-akan sudah menjadi tradisi di pondok
pesantren mungkin dulu orang yg pernah di bully kemudian karena merasa sudah punya rasa
senioritas di pondok pesantren itu dia ganti membully orang lagi dan begitupun juga Ketika
saya sudah menjadi senioritasnya dipondok pesantren itu dia ganti membully orang lagi, ya
mungkin Kami menganggap ketika Kami membully orang itu loh Itu adalah sebuah seperti
lelucon atau guyonan mungkin bagi kami seperti itu tapi tapi kami tidak pernah
memikirkannya korban yang menjadi pembullyan itu merasakan hal yang tidak pantas atau
tidak enak ketika itu tapi intinya kami melakukan hal itu karena mencari kepuasan di hati.
P A : Kepuasan seperti apa ?
S B : Karena kan gini pak kebanyakan orang orang itu kalau bercanda itu nggak pernah mikir
batasan yang penting apa yang dikerjakan puas dihati mau itu bahaya tidak, tidak peduli
karena itu banyak terjadi Pondok karenakan kami pernah juga sempat ketika selesai UAS UAS
BN akan selesai ujian nasional kelas 9 itu, pernah sempat kami itu Mungkin bagi kami
mungkin tuh Cuma sekedar bercanda akan jadi ada di pondok pesantren itu seperti kolam ikan
yang mana itu menjadi tempat penampungan pembuang kotoran seluruh manusia yang ada di
pondok pesantren itu jadi ketika itu ada satu teman kami yang mana berulang tahun pas dihari
selesainya Ujian Nasional jadi niat kami cuman bercanda akhirnya kami angkat dia sama-
sama kami masuklanlah di kolam itu bukan tanpa kami sadari ketika sampai masuk di kolam
itu kakinya terkena kaca yang malah menimbulkan luka yang sangat besar sampai sekitar ada
10 jahitan di kaki ketika itu dan kami tanpa sadari melakukaan hal itu dan banyak hal-hal lain
contohnya misalnya kami bercanda yakan awal-awal Cuma guyonan sampai karena teman
kami kadang kali pukul dan segala macamnya kami emang sering seperti itu sih, karena ini
mungkin kalau bagi kami yang anak-anak Pesantren mungkin hal itu ada hal yang lumrah
biasa untuk digunakan bercanda tapi mungkin pandangan Bagaimana orang luar tetapi kami
tak tahu kan haa Jadi kami rasa itulah ada bagi kami ketika masih menjadi anak pesantren itu
itu bukanlah satu hal pembullyan bagi kami itu hal yang lumrah gitu tuh bercanda tapi ternyata
setelah saat ini saya berada di luar Setelah saya pikir-pikir kembali ternyata itu bisa jadi salah
satu bentuk kepedulian kepada orang-orang mungkin kita yang menjalankan tak merasa
bahwasanya apa yang kita kerjakan itu satu bentuk pembullyan Tapi setelah saya berada di
luar Sekarang saya baru sadar bahwasanya itu adalah salah satu pembullyan yang saya
kerjakan ketika masih dipesantren.
P A : Dulu waktu jadi korban itu aaa perasaannya Gimana waktu awal-awal masukkan katanya
pernah jadi korban ?
S B : Jadi saya masih ingat ketika itu saya masih kelas 7 SMP awal pertama kali masuk pesantren
jadi saya belum kenal apa-apa belum tahu apa dan ketika itu pun juga teman saya masih bisa
dihitung jari berapa orang karena juga saya awal pertama kali masuk pesantren itu susah untuk
beradaptasi dengan lingkungan. Jadi ketika itu awalnya Saya ketiduran di kelas belajar ketika
malam hari ini saya tidak tahu ini orang punya masalah apa sama saya tiba-tiba aja Ketika
saya tidur dengan pulas nya dia bakar kaki saya Saya tahu orangnya tapi karena saya tahu itu
adalah anak senior jadi saya tak berani melawan itu dan itu kerap berulang kali saya alami yg
pernah juga ya lewat di lorong tempat koridornya Anak-anak senior kadang juga saya
ditanyain selanya dicandak mungkin bagi mereka itu adalah suatu percandaan tapi bagi saya
ketika itu saya merasa dihina ketika itu saya masih anak baru rasa rasa kita dibodoh-bodohi
rasa digoblok-goblokin ketika itu karena juga saya tak punya kekuatan untuk melawan saya

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

258
hanya bisa menerima sama bisa mengikuti keadaan ketawa-ketawa ndak jelas pada di hati
saya ketika sakit hati.
P A : Jadi ketika jadi korban sakit hati terus kemudian ketika jadi senior ingin melakukan kayak
balas dendam ke Junior kira-kira gitu itu yang mempengaruhi pengen bales Itu tuh yang
mendukung kira-kira gimana ceritanya itu ?
S B : Yaa, sebenarnya siih Ketika saya sudah menjadi pelaku pembullyan itu bukannya ingin
ada balas dendam sih pak ibaratnya karena seperti tadi saya bilang seperti sebuah tradisi
karena kita merasa senior menjadi penguasa jadi seakan-akan itu hal yang perlu kita kerjakan
kita itu satu candaan jadi tanpa Saya Sadari saya tak pernah mengingat lagi bagaimana masa
lalu keyika saya dibully tapi itu ingin saya lakukan ibaratnya hanya untuk becanda jadi ketika
anak baru masuk tanyain istilahnya mana yang tidak tahu karena saya bodoh bodoh segala
macamnya bagi saya ketika itu adalah suatu candaan.
P A : Jadi motivasinya bukan balas dendam ?
S Bukan,
P A : Jadi motivasinya adalah untuk kesenangan ?
S B : Untuk kesenangan memang ada sebagian dari teman-teman kami yang melakukan hal itu
karena pernah merasa aku dulu diginiin sekarang ganti aku yang ini giniin ada sebagian dari
teman-teman kami yang seperti itu.
P A : Terus kalau nih ceritanya dulu sebelum masuk pesantren ndak pernah mengalami Bully di
rumah atau di sekolah gitu sebelumnya ?
S B : Kalau sebelum masuk pesantren waktu SD dulu Alhamdulillah saya belum pernah
mengalami hal itu ya ibaratnya masih ya ibaratnya masih sewajarnyalah belum pernah
melakukan seperti itu kalau saya mengalami itu ya ketika pertama sekali saya masuk pesantren
Ya mungkinlah karena lingkungan yang seperti itu yang kita berbaur dengan semua lelaki
tanpa ibaratnya kemanapun kita pergi itu selalu kita bertemu dengan kawan-kawan kita mau
itu ke kamar mandi mau itu ke kamar mau itu ke mana segala macam dan juga kita berkumpul
dengan orang banyak Ribuan Orang dan pengurus hanya terbatas dengan sekitar puluhan
orang tak mungkin pula bisa mengawasi seluruh Bagaimana santri apa perilaku santri yang
ada di pondok pesantren.
P A : Jadi eeee, rata-rata perilaku bullying itu terjadinya kapan ?
S B : Itu terjadi rata-rata ketika malam hari selesai adanya belajar wajib Jadi kami di pesantren
itu setelah selesai sholat isya kami ada kegiatan namanya belajar wajib itu boleh kami belajar
sekolah formal untuk sekolah formal Bolehkan pelajar untuk Sekolah Diniyah jadi selesai jam
10.00 itu kami itu kami sampai malam sampai jam 12.00 malam habisya kami mulai mulai
melakukan hal seperti itu ketika selesai namanya belajar wajib kadangpun ketika belajar wajib
kamipun melakuakan hal itu ketika tidak ada yang mengawasi kan biasanya kami iseng-iseng
datang datang ke tempat anak baru yang kira-kira bisa lah kami manfaatin ketika itu.
P A : Eeeeem, kalau di rumah pernah mendapat perilaku kekerasan atau apa dari keluarga dekat
gitu ?
S B : Yaaak, kalau di rumah sih pernah Ketika saya masih SD dulu bapak saya termasuk orang
yang keras terhadap saya apa lagi dalam masalah ibadah Jadi Bapak saya itu sudah
menekankan ibadah Ketika saya masih kecil jadi seandainya kalau saya tak sholat wajib itu
bapak saya paling marah jangan kan untuk tidak salat kadang saya tidak datang ke masjid
Saya kadang Bapak saya bisa kamu saya dulu kerap mendapatkan perilaku yang kasar sama
orang tua saya kadang juga Saya Sadari perilaku sayang dulu sangat susah diatur pada kan
waktu dulu itu Perilaku saya waktu kecil itu sering main PS kadang lupa waktu waktu
ibaratnya jam sekian harus sekolah tapi kadang saya tidak ingat dan malah asyik main PS
kadang saking kesalnya saya tidak bisa diatur kadang Bapak saya sampai pernah menampar
saya pernah ibadratnya memukul saya waktu itu dan sebagainya lah tapi itu ibaratnya eeee
setelah saya masuk pesantren dan setelah saya lulus dari pesantren Alhamdulillah hal itu tidak
pernah lagi terjadi pada saya.
P A : Itu yang tadi ketika main PS ada enggak PS PS yang gamenya agresif pengen yang
nantinya ditiru gitu ?

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

259
S B : Ya jadi ketika masa itu tahun-tahun sekitar sekitar tahun 2006 2007 2009 itu ada salah
satu game PS yang paling sangat tenar itu namanya GTA itu adalah semacam game yang mana
gangster lah Di mana perang antar wilayah geng sama geng satu lagi ada juga namanya bully,
itu adalah game dimana anak nakal dimasukkan kedalam asrama dimana dia ingin
menjadiketua diasrama itu. Jadi mukin kami juga termotivasi dengan game-game seperti itu
maka ketika zaman saya itu juga pak, banyak dulu namanya geng-geng segala macamnya
mulai dari anak-anak SMP sampai ke anak SD sudah banyak saya temukan itu, tetapi
Alhamdulillah saat ini tak lagi saya temukan hal-hal seperti itu.
P A : Jadi ada game bully tadi, game apa itu ?
S B : Di game itu semacam anak nakal ya kan yang ibaratnya tidak bisa diatur oleh orang tua
jadi dia itu dimasukkan ke dalam sekolah asrama jadi ketika di asrama itu dia juga punya
Ambisi bagaimana dia bisa menjadi penguasa di asrama atau sekolah itu.
P A : Kalau dulu Mas Anas motivasi masuk pesantren apa ?
S B : Kalau motivasi masuk pesantren itu sebenarnya nggak ada sih pak, dulu kan
P A : Disuruh orang tua ?
S B : Dipaksa sama orang tua.
P A : Dipaksa iiiiiya terus waktu di pesantren kondisi awal awalnya itu gimana Kayak depresi
atau perasaan tertekan ada nggak ?
S B : Kalau awal-awal masuk pesantren itu Alhamdulillah kalau depresi nggak ada tapi kalau
merasa tertekan pernah pada saat itu pertama karena itu tadi saya masuk pesantren itu tidak
punya kenalan itu yang pertama, yang kedua karena saya tidak pandai bahasa Jawa saya sering
dibully sama orang dibodoh-bodohi di goblok goblok goblokin, sama orang yang ketiga itu
ibaratnya karena saya susah juga beradaptasi karena itu saya bingung kadang saya minta
tolong sama orang tapi saya tak pandai bahasa Jawa jadi saya Ketika awal-awal itu sering
menahan apa yang saya inginkan di hati saya tak berani saya sampaikan bahkan saya sampai
ingat ketika itu hari itu air minum Saya habis karena saya tidak punya teman Ketika itu sampai
saya tahan 1 hari itu sampai tidak minum saya jadi emang waktu awal Emang tertekan
ditambah lagi ya kan di pondok itu ujian yang paling berat kami alami itu ketika kami kena
penyakit kulit seperti kudis itu sampai lama sampai dua minggu saya sendiri tanpa ada yang
ngurusin di pondok Jadi kami terlantar tertekan rasanya.
P A : Terus gini Mas di pesantren itu diajarkan nilai-nilai keagamaan berbuat baik menyayangi
kira-kira itu ada konflik batin nggak ketika itu berubah menjadi pelaku menjahili Junior kayak
gitu itu gimana ceritanya ?
S B : Memang kalau kami dari segi moral atau akhlak Emang sangat diajarin bahkan mungkin
kamu itu kalau sama ustadz atau Kyai kami kami sangat ta’lim sekali cuman ini tadi penyakit
anak pondok ini 1 tadi kadang kalau untuk sesama atau sama anak Junior bisa dikatakan
mungkin tidak ada lagi adabnya jadi adab itu hanya ada pada Ustadz satu disebut satu lagi
sama Kyai bahkan kadang sama pengurus pun masih ada melawan segala macamnya ya
karena apa itu bisa terjadi ya karena menurut saya selama ini kan kami di pesantren itu apa
pun yang kami kerjakan itu semua terbatas dari mulai Kami menggunakan fasilitas seperti
yang kira-kira menghibur seperti nonton TV Kami nonton TV di pesantren itu hanya
dibolehkan Pada saat jam makan siang dan itupun kira-kira tidak sampai 1 jam dan selebihnya
kami hanya terus belajar terus belajar terus sekolah jadi mungkin karena saat itulah karena
tidak ada hiburan dan apa yang bisa kami kerjakan begitulah jadinya hiburan yang bisa kami
laksanakan untuk menghibur diri lah Mungkin kira-kira menurut saya seperti itu karena
mungkin tertekan dengan kegiatan yang full pada di pondok akan hal seperti itu maka kami
lakukan hal seperti itu.
P A : Eeee terus yang terakhir nih Mas Anas kan tadi ada cerita keluarga, orang tua, terus teman-
teman biasanya kalau Mas Anas melakukan bullying itu dilakukan sendiri atau kelompok ?
S B : Yaa, Kalau kami untuk melakukan bullying itu berkelompok karena kalau sendiri kami
tidak berani karena istilahnya kami itu tak mau mengambil resiko juga kalau sendiri kalau
sendiri kan nanti Seandainya anak tadi itu melapor ke pengurus pastinya kami sendiri bakalan
kena tapi kalau misalnya kami beramai-ramai dalam artian sakitnya itu bisa dirasakan

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

260
beramai-ramai dan tidak begitu malu sekali Kalau misalnya ramai-ramai tapi kan kalau sendiri
kan pasti lah kita nanggung Malu sendiri apalagi kalau nanti sampai dilihat sama orang yang
kita kenal di tengok sama Ustad kita saudara-saudara kita pasti badannya begitu malu sekali
tapi kan Kalau ramai-ramai mungkin ibaratnya masih adalah rasa malu kita ibaratnya Ndak
begitu malu lah rasanya kalau seandainya nanti kenapa-napa kan gitu.
P A : Eeeem, Jadi emang dikerjakan berkelompok itu direncanakan nggak biasanya gitu ?
S B : Haa, itu biasanya tidak direncanakan datang gitu aja ibaratnya itu jika tidak ada momennya
datang kesempatannya langsung aja kami gitu kan tanpa ada perencanaan.
P A : Eeem, terus memilih korbannya ada nggak biasanya kalau untuk korban-korban itu ?
S B : Biasanya yang kami pilih apa namanya itu biasanya anak-anak yang kira-kiranya bisalaa
bisa menghasilkan dalam artian kaya ya banyak uangnya bisa kami mintai jajannya bisa kami
minta yg duitnya kadang-kadang juga ibaratnya anak-anak yang mana masih polos lugu
ibaratnya belum tahu apa-apa tentang Pondok ada juga seperti itu kadang juga kami satu lagi
bisa jadi yang kami beli itu anak-anak yang ibaratnya sok sok bagak lah dipesantren itu gini-
gini di pesantren itu ibaratnya itu baru masuk tapi udah sok sok seakan-akan ingin berkuasa
antara 3 itulah yang pertama bisa yang bisa dimanfaatkan, kedua terlalu polos sekali ya lugu,
yang ketiga ibaratnya itu anak yang merasa sok-sokan di pondok.
P A : Kalau dari sisi fisik ada nggak yang kecil di tandai itu ?
S B : Yaa kadang kami juga gitu menandai pokoknya setiap kali mulai ada masuknya
pendaftaran santri baru awal awal mula ajaran baru itu kami memperhatikan sikap-sikap anak-
anak baru tersebut apakah anak-anak yang biasa saja ibaratnya yang tidak suka Mencari
Alasan masalah dalam artian baik-baik aja kami tak mau mengganggu orang seperti itu tapi
emang sering kebanyakan sih yang kami bully itu kebanyakan anak-anak yang berlaga sok-
sokan itu kebanyakan yang yang sering kami bully satu lagi yang anak-anak yang pesantren
yang mana ibaratnya dia udah berani bikin masalah sama anak senior contohnya tak punya
sopan santun sama senior Nah itu biasanya itu habis kami bikin biasanya itu
P A : Bentuk bullynya kayak apa kira-kira itu fisik atau verbal atau jahil atau gimana ?
S B : Kalau pembullyan cuman sekedar usil itu cuman biasa sekedar ajak ajak ngobrol dibodoh-
bodohi segala macam cuman berlawanan kata-kata tapi kalau misalnya pembelian untuk anak-
anak yang nakal dalam artian punya masalah sama anak senior itu bahkan Kami bakal sampai
main fisik dulu pernah sempat kejadian ketika waktu awal saya masih satu SMA jadi ada 1
anak itu 2 tahun di bawah kami dia bikin masalah dia bikin masalah Emang di luar tapi
ibaratnya tuh dia berusaha dengan kami karena sempat mencuri barang dari teman kami jadi
ketika itu kami Panggil di kamar jadi hampir satu kamar itu membully dia kecuali saya tidak
ikut karena menurut saya ini udah sangat terlalu berlebihan karena anak itu sampai di tumbuk
sampai diinjak segala macam akan selesai dari pembullyan itu anak itu sampai masuk rumah
sakit dan kritis Ketika saya tidak berani ikut campur karena ini lebihan tapi kalau pembullyan
sekedar bercanda canda canda main kata-kata mungkin saya masih main tapi kalau sampai
berlebihan seperti ini memang saya tidak mau dan setelah terjadinya kejadian itu sampai anak
itu masuk rumah sakit dan dalam kondisi kritis ya tadi itu kan karena sampai Ditumbukin
sampai dipijak segala macam itulah itu terakhir kalinya saya membully orang dan setelah itu
Alhamdulillah kami enggak pernah lagi karena memang konsekuensinya ketika itu kami akan
dikeluarkan dari lembaga Kalau kami mengulangi perbuatan itu lagi karena konsekuensinya
kami akan dikeluarkan dari 3 lembaga kalau misalnya kami mengulangi perbuatan itu lagi,
pertama dikeluarkan dari Lembaga Pondok Pesantren yang kedua dari sekolah formal yang
ketiga dari Sekolah Diniyah dan setelah itu kami tidak berani lagi melakukan pembullyan.
P A : Eeeeem, Oke Mas Anas terima kasih Nanti kalau butuh wawancara ulang kalau ada perlu
data lagi
S B : Oke Pak sama-sama

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

261

Verbatim Partisipan Guru (13)

Keterangan :
P = Penanya
S = Subjek
P/S Hasil wawancara
P Ada nggak kasus bullying di psantren?
S Kasus bullying dipesantren pernah terjadi, khususnya bagi santri atau
santriwati yang baru masuk untuk mondok di pondok pesantren

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

262
P Darimana pihak uatadz/ustadzah tahu?
S Ustad/ustzah mengetahui kejadian bullying dikarenakan adanya laporan dari
beberapa pihak seperti teman sekelas atau teman sekamar dengan korban.
Informasi lainnya didapatkan dari pihak klinik yang melaporkan santri yang
terkena bullying fisik seperti pemukulan sehingga menyebabkan luka memar
yang cukup serius, sehingga ketika korban meminta obat untuk pereda nyeri
ke pihak klinik mereka mendapatkan informasi bahwasanya anak tersebut
terkena bullying oleh kakak kelasnya
P Bagaimana reaksi yang diberikan?
S Reaksi yang diberikan pembully ialaah berupa kekerasan fisik maupun verbal.
Contoh : Seorang santri kelas XII inisial S memerintahkan adik krlasnya yang
duduk dikelas VII untuk membelikan sejumlah makanan di koperasi yang
kebetulan agak sedikit jauh dari asrama. Dikarenakan si anak akan pergi ke
masjid ia menolak perintah sang kakak kelas. Karena merasa tidak dihormati
malam harinya ia memanggil adik kelas VII yang berinisial N itu ke kamarnya.
Sesampainya dikamar ia langsung memukul N dengan bantuan 2 orang teman
lainnya. Adapun bagian yang dipukuli ialah perut, kepala, tangan dan kaki.
Contoh bullying verbal : mengejek bentuk fisik sperti memanggil dengan
sebutan juling, dikarenakan ia merasa temannya tersebut berbeda dengan
teman yang lainnya. Memanggil dengan sebutan encing, dikarenakan ia
pernah mengompol ketika malam tidur malam hari diasrmaa dan dianggap
jorok dari teman teman lainnya.
P Biasanya terjadi dimana?
S Kejadian bullying biasanya terjadi dikelas ataupun diasrama selama tidak ada
pengawasan dari pihak ustad/ustdzah sehingga pembully lebih leluasa
melakukan aksinya kbuhususnya ketika malam hari.
P Bagaimana pengaruh ke santri?
S Pengaruhnya ke santri ialah banyak dari santri baru yang merasa takut untuk
bertemu dengan kakak senior mereka, hal lainnya banyak santri yang tidak
betah dipondok dan akhirnya menelfon orang tua dan mrminta untuk pindah
dari pondok.
P Apakah yang di tingkat awal sering jadi korban di kelas berikutnya jadi pelaku
S Untuk korban bullying ada sebagian yang akhirnya menjadi pelaku bullying.
Berdasarkan informasi yang didapat mereka menyatakam bahwasanya pelaku
yang dulunya korban bullying merasa ingin balas dendam diakrenakan ia
mersa hina karna dulunya pernah dibully. Sehingga yang dulunya ia ialah
seorang yang pemalu dan selalu nurut, ketika menjadi kakak kelas ia menjdi
seorang yang keraas dan sering membully teman bahkan adik kelasnya.
P Iklim di pesantren seperti apa?
S Hubungan antar santri di pondok pesantren ini cukup baik. Contoh: ketika bel
sekolah berbunyi mereka saling mengingatkan san merangkul teman
temannya untuk bersama sama pergi ke masjid maupun ke sekolah. Kejadian
kasus bullying masih terjadi di pondok pesantren. Karena motivasi santti
untuk masuk ke pondok pesantren itu berbeda beda. Ada yang keinginan dari

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

263
dirinya endi, ada pula paksaan dari orang tua mereka. Jika yang berkeinginan
masuk ke pesantren dari hati biasanya ia baik, akan tetapi jika itu pakdaan dari
orang tua biasanya anak tersebut nakal sehingga sesampainya di pesantren ia
akan banyak buat ulah atau melanggar disiplin pondok pesantren. Karena ini
namanya prngajaran intuk internalisasi dan itu butuh waktu, insyaAllah
mereka kedepannya akan menjadi lebik baik.

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

264
LAMPIRAN 5. Tabel Open Coding
Tabel Open Coding
Penjabaran kategori dalam property dan dimensi partisipan

Kategori Properti Dimensi Kutipan wawancara


Luka saat Perilaku Dimintai <Files\\subjek Aldi> - § 1 reference coded [0,71% Coverage]Reference 1 - 0,71% Coverage
perundungan yang uang secara
diterima paksa “Itu biasanya abang kelas kalau ngga ada duit nanti lari ke adek kelasnya malam-malam hari kan
datang ke kamar pas dia ngga ada duit minta duit, itu pun rasanya ngga enak karena secara paksa
gitu mentang-mentang abang kelas minta-minta gitu aja”
<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1 (11)> - § 1 reference coded [0,43% Coverage]Reference 1
- 0,43% Coverage

“uang nggak dikasih tapi disuruh beli jajan seperti itu.”


<Files\\Verbatim Partisipan Psikolog (10)> - § 1 reference coded [0,14% Coverage]Reference 1 -
0,14% Coverage

“ akhirnya dipalak itu minta uang”


Dimintai <Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 1 reference coded [0,72% Coverage]Reference 1 - 0,72%
tolong Coverage
secara paksa
“ Mereka menyuruh ini menyuruh itu”
<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1 (11)> - § 1 reference coded [0,78% Coverage]Reference 1
- 0,78% Coverage

“disuruhnya tolong beli jajan saya gini-gini uang nggak dikasih tapi disuruh beli jajan seperti itu”
<Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 1 reference coded [0,28% Coverage]Reference 1 - 0,28%
Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

265
“disuruh-suruh”
<Files\\Verbatim Partisipan Guru (13)> - § 1 reference coded [3,96% Coverage]Reference 1 -
3,96% Coverage

“memerintahkan adik krlasnya yang duduk dikelas VII untuk membelikan sejumlah makanan di
koperasi yang kebetulan agak sedikit jauh dari asrama“
<Files\\Verbatim Partisipan W (5)> - § 5 references coded [1,89% Coverage]Reference 1 - 0,50%
Coverage

“Cuma kakak tu mmm sering minta tolong, ya udah kadang iniii”

Reference 2 - 0,13% Coverage

“mmm lumayanlah”

Reference 3 - 0,28% Coverage

“he’e enggak kenal, tolong ini ini”

Reference 4 - 0,73% Coverage

“enggak ada, Cuma kadang di ini eee ada pelatihan di suruh ini ini, nanti disuruh”

Reference 5 - 0,25% Coverage

“deek tolong ambilkan ini ini”


Fisik <Files\\subjek Aldi> - § 4 references coded [0,84% Coverage]Reference 1 - 0,41% Coverage

“nanti abang-abang kelas tu kan datang tiba-tiba kekamar kami nanti introgasi kan ntah apa yang
diintrogasi bahkan nanti sampai pukul memukul”

Reference 2 - 0,07% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

266

“ujung-ujungnya berantem”

Reference 3 - 0,21% Coverage


“karena secara paksa gitu mentang-mentang abang kelas minta-minta gitu aja”

Reference 4 - 0,15% Coverage


“ada teman tu kan ngelawan dah jadi kena pukul aja”
<Files\\subjek reza> - § 2 references coded [0,56% Coverage]Reference 1 - 0,21% Coverage

“Malam saya lagi tidur, tiba2 ada yang kasih lakban di muka”

Reference 2 - 0,36% Coverage

“sekali waktu tidur digangguin jadi langsung baku hantam, kan kalau orang tidur susah kali nahan
emosinya”

<Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 5 references coded [0,63% Coverage] Reference 1 - 0,18%


Coverage

“dihukum-hukum suruh jongkok “

Reference 2 - 0,18% Coverage

“fisik paling cuman di tampar”

Reference 3 - 0,14% Coverage

“MTS di pukul tangannya “

Reference 4 - 0,06% Coverage


“di tampar”

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

267

Reference 5 - 0,08% Coverage

“di jongkokkin “

<Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 1 reference coded [0,51% Coverage]Reference 1 - 0,51%


Coverage

“terus dari da;am itu mereka udah natap saya kayak udah gak suka gitu,”

<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 2 (12)> - § 1 reference coded [0,14% Coverage]Reference 1


- 0,14% Coverage

“dia bakar kaki saya Saya”

<Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 1 reference coded [0,42% Coverage]Reference 1 - 0,42%


Coverage

“kadang dipukul juga”

<Files\\Verbatim Partisipan Guru (13)> - § 1 reference coded [3,52% Coverage]Reference 1 -


3,52% Coverage

“ia langsung memukul N dengan bantuan 2 orang teman lainnya. Adapun bagian yang dipukuli
ialah perut, kepala, tangan dan kaki”

<Files\\Verbatim Partisipan Psikolog (10)> - § 3 references coded [0,59% Coverage] Reference 1


- 0,33% Coverage

“dia melakukan kekerasan kepada juniornya itu sampai kakinya patah gitu loh”

Reference 2 - 0,15% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

268

“kekerasan fisiknya itu berlebihan,”

Reference 3 - 0,12% Coverage

“diikat kemudian di vidiokan”

<Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 1 reference coded [0,43% Coverage]Reference 1 - 0,43%


Coverage

“dipukul sama senior”

<Files\\Verbatim Partisipan W (5)> - § 1 reference coded [0,30% Coverage]Reference 1 - 0,30%


Coverage
“jadi disuruh sampai 100 pagi-pagi tu,”

Verbal <Files\\subjek Aldi> - § 1 reference coded [0,16% Coverage]Reference 1 - 0,16% Coverage


“paling nanti orang tu saling ngejek sampai sakit hati”

<Files\\subjek reza> - § 5 references coded [1,25% Coverage]Reference 1 - 0,17% Coverage


“Ya untuk motivasi lah tapi kalau dihina tu pernah”

Reference 2 - 0,23% Coverage

“saya sering dihina lah sama orang rumah karena belum dapat prestasi”

Reference 3 - 0,13% Coverage

“Yaaa paling menghina, saling menghina”

Reference 4 - 0,45% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

269
“kalau pas pondok pemalas jadi saya dibilang pemalas tapi saya ngga terima, karena walaupun
pemalas saya masih mengerti pelajarannya”

Reference 5 - 0,26% Coverage

“ada satu orang yang masuk bilang eh kau pemalas kau ni, nanti ikut2 yang lain”

<Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 1 reference coded [0,11% Coverage]Reference 1 - 0,11%


Coverage

“di marah marahin”

<Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 1 reference coded [0,18% Coverage]Reference 1 - 0,18%


Coverage

“ya mungkin saya di caci”

<Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 1 reference coded [0,44% Coverage]Reference 1 - 0,44%


Coverage

“disertai ancaman pak,”

<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1 (11)> - § 2 references coded [0,86% Coverage]Reference 1


- 0,18% Coverage

“ejek-ejekan orang tua”

Reference 2 - 0,68% Coverage

“kondisi keluarga, pokoknya apa yang ada kekurangan di diri kita itu jadi bahan bullying”

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

270
<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 2 (12)> - § 1 reference coded [0,28% Coverage]Reference 1
- 0,28% Coverage

“sama orang dibodoh-bodohi di goblok goblok goblokin”

<Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 1 reference coded [0,20% Coverage]Reference 1 - 0,20%


Coverage

“dimarahi aja sih”

<Files\\Verbatim Partisipan Guru (13)> - § 2 references coded [2,62% Coverage]Reference 1 -


1,76% Coverage

“mengejek bentuk fisik sperti memanggil dengan sebutan juling”

Reference 2 - 0,86% Coverage

“Memanggil dengan sebutan encing”

<Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 7 references coded [2,47% Coverage]Reference 1 - 0,39%


Coverage

“pernah pura ura tidur terus dia ngomong dari belakang kayak nusuk”

Reference 2 - 0,16% Coverage

“kadang pernah juga disindir “

Reference 3 - 0,56% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

271
“ngomongnya baik baik pak pelan cuman omongannya tu nusuk ke hati pak, kaya lembut terus
nusuk,”

Reference 4 - 0,10% Coverage

“iya pak perkataan”

Reference 5 - 0,18% Coverage

“ya gak enaak di hati gitu pak”

Reference 6 - 0,71% Coverage

“gara-gara mutia tu dekat sama yang laki-lakinya itu pak jadi mereka tu kayak mutia tu jadi bahan
ejekkan sama mereka”

Reference 7 - 0,37% Coverage


“eee kayak, kayak orang tu jodoh-jodohin gitu pak ngejeknya.”
<Files\\Verbatim Partisipan Psikolog (10)> - § 4 references coded [0,50% Coverage]Reference 1
- 0,07% Coverage

“akhirnya diancam”

Reference 2 - 0,12% Coverage

“tiap ketemu diancam-diancam”

Reference 3 - 0,04% Coverage

“Ngancam”

Reference 4 - 0,27% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

272

“punya kosa kata untuk menakuti si korban ini dengan perkataan.”


<Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 1 reference coded [0,94% Coverage]Reference 1 - 0,94%
Coverage

“saya beberapa kali dikata-katai kasar sama”

<Files\\subjek reza> - § 1 reference coded [0,16% Coverage]Reference 1 - 0,16% Coverage

“Bareng teman-teman sih, lagi ngomong-ngomongkan”

<Files\\subjek Aldi> - § 2 references coded [0,35% Coverage]Reference 1 - 0,24% Coverage

“seringlah gitu abang-abang kelas, kadang yang satu angkatan sering melakukan itu tu”

Reference 2 - 0,11% Coverage

“Oh berkelompok?
Iyaa”
<Files\\subjek reza> - § 1 reference coded [0,15% Coverage]Reference 1 - 0,15% Coverage

“Iyaa dihina, ada perkelompok ada individu”

Afeksi <Files\\subjek Aldi> - § 5 references coded [0,61% Coverage]Reference 1 - 0,22% Coverage


“ngga berani melawan karena kalau kita ngelawan kita yang kena kita yang azab”

Reference 2 - 0,11% Coverage

“saya pribadi ngga berani ya pasrah aja”

Reference 3 - 0,08% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

273

“Iyaa dongkol, sakit hati “

Reference 4 - 0,15% Coverage

“Kadang teman-teman sendiri itu kan ngga berani juga”

Reference 5 - 0,05% Coverage

“Iya dendam marah “

<Files\\subjek reza> - § 2 references coded [0,29% Coverage]Reference 1 - 0,05% Coverage

“Yaa sakit hati”

Reference 2 - 0,24% Coverage

“Berarti sama senior ngga berani ya?


Iyaa ngga berani”
<Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 2 references coded [0,36% Coverage]Reference 1 - 0,20%
Coverage

“agak takut waktu masih SMP.”

Reference 2 - 0,16% Coverage

“ ehem saya takut,sedih”

<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1 (11)> - § 2 references coded [0,57% Coverage]Reference 1


- 0,38% Coverage

“ merasa apa ya, di tindas diintimidasi sama kakak ”

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

274

Reference 2 - 0,19% Coverage

“saya merasa enggak tahan “

<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 2 (12)> - § 4 references coded [0,59% Coverage]Reference 1


- 0,10% Coverage

“saya merasa dihina “

Reference 2 - 0,17% Coverage

“di hati saya ketika sakit hati.”

Reference 3 - 0,13% Coverage

“tertekan pernah “

Reference 4 - 0,20% Coverage

“Jadi kami terlantar tertekan rasanya.”

<Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 2 references coded [0,33% Coverage]Reference 1 - 0,11%


Coverage

“Marah”

Reference 2 - 0,22% Coverage

“tapi takut”

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

275
<Files\\Verbatim Partisipan Guru (13)> - § 1 reference coded [0,70% Coverage]Reference 1 -
0,70% Coverage

“merasa ingin balas dendam “

<Files\\Verbatim Partisipan Psikolog (10)> - § 1 reference coded [0,41% Coverage]Reference 1 -


0,41% Coverage

“rasa diri ya jadi ada rasa perasaan yang terpendam yang itu mereka gak bisa jelaskan gitu ya”
<Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 5 references coded [1,81% Coverage]Reference 1 - 0,22%
Coverage

“saya takut”

Reference 2 - 0,43% Coverage

“marah juga pokoknya “

Reference 3 - 0,81% Coverage

“takut kami. Senior banyak orangnya”

Reference 4 - 0,13% Coverage

“dendam “

Reference 5 - 0,22% Coverage

“sakit hati “

<Files\\Verbatim Partisipan W (5)> - § 1 reference coded [0,17% Coverage]Reference 1 - 0,17%


Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

276

“ya udah ikhlas juga”

Perilaku <Files\\subjek Aldi> - § 1 reference coded [0,47% Coverage]Reference 1 - 0,47% Coverage


sebagai
korban “Nanti kan habis kena marah, nanti kami gibahin abang kelas tu, kami keluarkan kata2 kami disitu
cuma itu yang bisa kami lakukan saling menjelekkan”

<Files\\subjek reza> - § 3 references coded [0,31% Coverage]Reference 1 - 0,10% Coverage

“Ee kadang sampai kadang engga”

Reference 2 - 0,16% Coverage

“Ooh ada kesampainnya juga?


Iyaa”

Reference 3 - 0,04% Coverage

“Sering engga”

<Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 1 reference coded [0,18% Coverage]Reference 1 - 0,18%


Coverage

“cuman ngebantah aja kemereka”

<Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 3 references coded [0,68% Coverage]Reference 1 - 0,23%


Coverage

“waktu it uterus saya nangis pak”

Reference 2 - 0,10% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

277

“saya nangis “

Reference 3 - 0,35% Coverage

“ngapain saya nangis terus saya mampir kejendela nangis”

<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1 (11)> - § 1 reference coded [0,18% Coverage]Reference 1


- 0,18% Coverage
“awalnya itu saya nurut, “

<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 2 (12)> - § 1 reference coded [0,26% Coverage]Reference 1


- 0,26% Coverage

“bisa mengikuti keadaan ketawa-ketawa ndak jelas “

<Files\\Verbatim Partisipan Psikolog (10)> - § 1 reference coded [0,18% Coverage]Reference 1 -


0,18% Coverage

“gak betah di pesantren pengen apa keluar “

<Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 1 reference coded [0,49% Coverage]Reference 1 - 0,49%


Coverage

“tapi nggak bisa bales”

<Files\\Verbatim Partisipan W (5)> - § 2 references coded [0,65% Coverage]Reference 1 - 0,50%


Coverage

“Kadang kan kakak tingkat jadi seganlah mau apa nolak, ya udah”

Reference 2 - 0,14% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

278
“ya udah ambil aja”
Rencana <Files\\subjek Aldi> - § 4 references coded [0,82% Coverage]Reference 1 - 0,28% Coverage
balas
dendam “Biasanya kan kalau kumpul satu angkatan ada, tapi cuma rencana balas dendam tapi sampai situ
aja”

Reference 2 - 0,29% Coverage

“Kadang teman-teman sendiri itu kan ngga berani juga, jadi karena dah tamat ngga jadi balas
dendam”

Reference 3 - 0,17% Coverage

“Yang dipikirkan Cuma kapan bisa balas dendam, pengen balas”

Reference 4 - 0,08% Coverage

“tapi ngga pernah kesampaian”

<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1 (11)> - § 2 references coded [1,12% Coverage]Reference 1


- 0,58% Coverage

“malam malam itu kami bicara cerita-cerita tentang itulah kami korban bully”

Reference 2 - 0,54% Coverage

“, nanti susun-susun startegi bagaimana membully, orang-orang lain gitu”


Luka agresi di Hukuman Guru <Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 2 references coded [0,72% Coverage]Reference 1 - 0,14%
luar sekolah Coverage

“dihukum guru pernah pak”

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

279
Reference 2 - 0,58% Coverage

“karena terlambat jadi dipukul pakai kaya logam kecil gitu pak kaya Panjang jadi betis yang kenak”

<Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 1 reference coded [0,65% Coverage]Reference 1 - 0,65%


Coverage

“saya pernah dipukuk di kepala”

Senior <Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1 (11)> - § 2 references coded [0,89% Coverage]Reference 1


- 0,12% Coverage

“disuruh push up”

Reference 2 - 0,77% Coverage

“Terus mau masuk ke masjid telat gitu, itu ada aja salah nanti disuruh merangkak, disuruh kutip
sampah”

<Files\\Verbatim Partisipan W (5)> - § 3 references coded [1,22% Coverage]Reference 1 - 0,12%


Coverage

“dimarah-marahin”

Reference 2 - 0,50% Coverage

“jadii ee pas ada tu teman telat disuruh eee scout jump 100”

Reference 3 - 0,60% Coverage

“pas lagi kumpul-kumpul, ada masanya, kadang ada yang telat yang ini gitu”

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

280
Orang tua <Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 6 references coded [1,90% Coverage]Reference 1 - 0,14%
Coverage

“gak pernah dimarahi”

Reference 2 - 0,34% Coverage

“waktu saya gak pernah dipukul, gak pernah diaapa apain”

Reference 3 - 0,18% Coverage

“dirumah saya emang gak pernah “

Reference 4 - 0,09% Coverage

“pernah lah “

Reference 5 - 0,68% Coverage

“kalau gak anak kandung tu, kalau misalnya dia dibelikan terus saya gak dibelikan, terus saya
pastikan nangis “

Reference 6 - 0,46% Coverage

“iyalah orang kamu gak anak kandung, kayak gitu di bully bully “
<Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 1 reference coded [0,68% Coverage]Reference 1 - 0,68%
Coverage

“paling dimarah-marahi sama mama “


<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1 (11)> - § 2 references coded [1,31% Coverage]Reference 1
- 1,12% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

281
“orang tua saya datang membawa kayu yang kira-kira besar paralon itu ya paralon untuk kabel
kabel itu jadi kan itu mukul saya gitu sampai patah”

Reference 2 - 0,20% Coverage

“Iya, yang mukul saya ibuk”

<Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 4 references coded [1,35% Coverage]Reference 1 - 0,16%


Coverage

“udah dari kecil waktu SD”

Reference 2 - 0,33% Coverage

“yang biasa mukul kamu siapa? Ayah?


iya pak”

Reference 3 - 0,32% Coverage

“kalau ayah tu mukul pakai sapu yang besi gitu pak “

Reference 4 - 0,53% Coverage

“gak mau ngalah sama adek depan TV sekali dipukul sapu yang kayak gitu pak langsung patah”
Reaksi korban Perilaku <Files\\subjek Aldi> - § 1 reference coded [0,47% Coverage]Reference 1 - 0,47% Coverage

“Nanti kan habis kena marah, nanti kami gibahin abang kelas tu, kami keluarkan kata2 kami disitu
cuma itu yang bisa kami lakukan saling menjelekkan”

<Files\\subjek reza> - § 3 references coded [0,31% Coverage]Reference 1 - 0,10% Coverage

“Ee kadang sampai kadang engga”

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

282

Reference 2 - 0,16% Coverage

“Ooh ada kesampainnya juga?


Iyaa”

Reference 3 - 0,04% Coverage

“Sering engga”

<Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 1 reference coded [0,18% Coverage]Reference 1 - 0,18%


Coverage

“cuman ngebantah aja kemereka”


<Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 3 references coded [0,68% Coverage]Reference 1 - 0,23%
Coverage

“waktu it uterus saya nangis pak”

Reference 2 - 0,10% Coverage

“saya nangis “

Reference 3 - 0,35% Coverage

“ngapain saya nangis terus saya mampir kejendela nangis”

<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1 (11)> - § 1 reference coded [0,18% Coverage]Reference 1


- 0,18% Coverage
“awalnya itu saya nurut, “

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

283
<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 2 (12)> - § 1 reference coded [0,26% Coverage]Reference 1
- 0,26% Coverage

“bisa mengikuti keadaan ketawa-ketawa ndak jelas “

<Files\\Verbatim Partisipan Psikolog (10)> - § 1 reference coded [0,18% Coverage]Reference 1 -


0,18% Coverage

“gak betah di pesantren pengen apa keluar “

<Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 1 reference coded [0,49% Coverage]Reference 1 - 0,49%


Coverage

“tapi nggak bisa bales”

<Files\\Verbatim Partisipan W (5)> - § 2 references coded [0,65% Coverage]Reference 1 - 0,50%


Coverage

“Kadang kan kakak tingkat jadi seganlah mau apa nolak, ya udah”

Reference 2 - 0,14% Coverage

“ya udah ambil aja”

Kognisi <Files\\subjek reza> - § 2 references coded [0,20% Coverage]Reference 1 - 0,09% Coverage

“ingin balas dendam rasanya”

Reference 2 - 0,11% Coverage

“Karena senior orang paling hebat”

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

284
<Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 2 references coded [0,52% Coverage]Reference 1 - 0,14%
Coverage

“gak terima aja digituin”

Reference 2 - 0,38% Coverage

“pertama dipukul sini agak terkejut, tapi lama-lama terbiasa “

<Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 1 reference coded [0,57% Coverage]Reference 1 - 0,57%


Coverage

“Berlalu gitu aja saya anggap mereka yaudah yang kemarin sudah berlalu yaudah “

<Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 2 references coded [1,53% Coverage]Reference 1 - 0,61%


Coverage

“ada lah pak tapi tak berani”

Reference 2 - 0,92% Coverage

“kalau membalas kita semakin azab dibuatnya”

<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 2 (12)> - § 2 references coded [0,26% Coverage]Reference 1


- 0,13% Coverage

“saya tak berani”

Reference 2 - 0,13% Coverage

“saya hanya bisa menerima “

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

285
<Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 2 references coded [0,72% Coverage]Reference 1 - 0,35%
Coverage

“nggak berani pak”

Reference 2 - 0,37% Coverage

“nggak berani juga”


<Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 1 reference coded [0,13% Coverage]Reference 1 - 0,13%
Coverage

“udah biasa pak dipukul “


<Files\\Verbatim Partisipan Psikolog (10)> - § 1 reference coded [0,14% Coverage]Reference 1 -
0,14% Coverage

“jadi keinginan membalas itu ada”

<Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 1 reference coded [0,74% Coverage]Reference 1 - 0,74%


Coverage

“mikir untuk keluar dari pesantren “

<Files\\Verbatim Partisipan W (5)> - § 3 references coded [1,34% Coverage]Reference 1 - 0,50%


Coverage

”Kadang kan kakak tingkat jadi seganlah mau apa nolak, ya udah

Reference 2 - 0,65% Coverage

“kadang pas kita mm agi enggak pengen, ee sebenarnya udah enggak mau, ya udah “

Reference 3 - 0,19% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

286

“padahal malas jugaaalah”

Afeksi <Files\\subjek Aldi> - § 5 references coded [0,61% Coverage]Reference 1 - 0,22% Coverage


“ngga berani melawan karena kalau kita ngelawan kita yang kena kita yang azab”

Reference 2 - 0,11% Coverage

“saya pribadi ngga berani ya pasrah aja”

Reference 3 - 0,08% Coverage

“Iyaa dongkol, sakit hati “

Reference 4 - 0,15% Coverage

“Kadang teman-teman sendiri itu kan ngga berani juga”

Reference 5 - 0,05% Coverage

“Iya dendam marah “


<Files\\subjek reza> - § 2 references coded [0,29% Coverage]Reference 1 - 0,05% Coverage

“Yaa sakit hati”

Reference 2 - 0,24% Coverage

“Berarti sama senior ngga berani ya?


Iyaa ngga berani”

<Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 2 references coded [0,36% Coverage]Reference 1 - 0,20%


Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

287

“agak takut waktu masih SMP.”

Reference 2 - 0,16% Coverage

“ ehem saya takut,sedih”

<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1 (11)> - § 2 references coded [0,57% Coverage]Reference 1


- 0,38% Coverage

“ merasa apa ya, di tindas diintimidasi sama kakak ”

Reference 2 - 0,19% Coverage

“saya merasa enggak tahan “

<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 2 (12)> - § 4 references coded [0,59% Coverage]Reference 1


- 0,10% Coverage

“saya merasa dihina “

Reference 2 - 0,17% Coverage

“di hati saya ketika sakit hati.”

Reference 3 - 0,13% Coverage

“tertekan pernah “

Reference 4 - 0,20% Coverage

“Jadi kami terlantar tertekan rasanya.”

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

288

<Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 2 references coded [0,33% Coverage]Reference 1 - 0,11%


Coverage

“Marah”

Reference 2 - 0,22% Coverage

“tapi takut”

<Files\\Verbatim Partisipan Guru (13)> - § 1 reference coded [0,70% Coverage]Reference 1 -


0,70% Coverage

“merasa ingin balas dendam “


<Files\\Verbatim Partisipan Psikolog (10)> - § 1 reference coded [0,41% Coverage]Reference 1 -
0,41% Coverage

“rasa diri ya jadi ada rasa perasaan yang terpendam yang itu mereka gak bisa jelaskan gitu ya”

<Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 5 references coded [1,81% Coverage]Reference 1 - 0,22%


Coverage

“saya takut”

Reference 2 - 0,43% Coverage

“marah juga pokoknya “

Reference 3 - 0,81% Coverage

“takut kami. Senior banyak orangnya”

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

289
Reference 4 - 0,13% Coverage

“dendam “

Reference 5 - 0,22% Coverage

“sakit hati “

<Files\\Verbatim Partisipan W (5)> - § 1 reference coded [0,17% Coverage]Reference 1 - 0,17%


Coverage

“ya udah ikhlas juga”

Reaksi korban Kognitif Resiko <Files\\subjek Aldi> - § 2 references coded [0,45% Coverage]Reference 1 - 0,16% Coverage

“Motifnya mungkin biar adek tu tau apa yang kami rasakan”

Reference 2 - 0,28% Coverage

“Biar sopan, ngerti sama kamu, kaya tau apa yang kami rasakan, itu aja biar hargai kakak kelasnya”

<Files\\subjek reza> - § 7 references coded [1,32% Coverage]Reference 1 - 0,08% Coverage

“Yaa sama balas dendam”

Reference 2 - 0,14% Coverage

“Yaaaa, karena sakit hati tu lah mendorong”

Reference 3 - 0,25% Coverage

“Kalau proses sih yaa karena kita awalnya dibully ya, karena itu mau dicoba”

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

290

Reference 4 - 0,04% Coverage

“Iyaa disegani”

Reference 5 - 0,15% Coverage

“Balas dendam, dihargai, disenangi, ditakuti”

Reference 6 - 0,42% Coverage

“Tau siapa dia, karena kalau hormat sama senior itu kan antara junior dan senior, tapi kalau sesama
biar dia tau dia siapa”

Reference 7 - 0,23% Coverage

“ngerasa didukung, ada rasa yang mendorong untuk terus-“


<Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 1 reference coded [0,14% Coverage]Reference 1 - 0,14%
Coverage

“karna perasaan gak suka “

<Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 4 references coded [1,00% Coverage]Reference 1 - 0,37%


Coverage

“merundung satu kawan ni karena pengaruh kawan “

Reference 2 - 0,21% Coverage

“jadi yaudahlah ikut aja gitu”

Reference 3 - 0,10% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

291

“senang aja pak”

Reference 4 - 0,32% Coverage

“respon dia yang kayak masih ketawa-ketawa”

<Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 8 references coded [6,75% Coverage]Reference 1 - 1,03%


Coverage

“mereka pasti nurut sama kita nggak akan melawan”

Reference 2 - 0,22% Coverage

“senang aja”

Reference 3 - 0,96% Coverage

“hiburan pak disini kan suntuk kurang hiburan”

Reference 4 - 0,79% Coverage

“supaya mereka hormat sama senior aja”

Reference 5 - 0,72% Coverage

“kalau ramai-ramai takutnya hilang”

Reference 6 - 1,42% Coverage

“tapi kalau udah rame-rame apalagi sama adik tibgkat ya asyik aja”

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

292
Reference 7 - 0,44% Coverage

“ya dihargai gitu pak”

Reference 8 - 1,18% Coverage


“dulu kan kami digitukan juga jadi ya kesempatan balas “

<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 2 (12)> - § 7 references coded [2,12% Coverage]Reference 1


- 0,40% Coverage

“karena itu seperti seakan-akan sudah menjadi tradisi di pondok pesantren”

Reference 2 - 0,47% Coverag

“kita merasa senior menjadi penguasa jadi seakan-akan itu hal yang perlu kita kerjakan “

Reference 3 - 0,09% Coverage

“Untuk kesenangan “

Reference 4 - 0,40% Coverage

“karena pernah merasa aku dulu diginiin sekarang ganti aku yang ini giniin “

Reference 5 - 0,30% Coverage

“pengurus hanya terbatas dengan sekitar puluhan orang “

Reference 6 - 0,32% Coverage

“kamipun melakuakan hal itu ketika tidak ada yang mengawasi “

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

293
Reference 7 - 0,14% Coverage

“karena tidak ada hiburan “

<Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 3 references coded [2,91% Coverage]Reference 1 - 1,67%


Coverage

“senang aja sih pak lihat respon adik-adik tu. Jadinya mereka segan sama kita”

Reference 2 - 0,26% Coverage

“ ya puas saja”

Reference 3 - 0,99% Coverage

“tapi kalau dah kesal lupa sama yang begituan”

<Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 1 reference coded [0,39% Coverage]Reference 1 - 0,39%


Coverage

“kalau dipondok ni kan yang lebih tua tu harus di hargai kan pak”

<Files\\Verbatim Partisipan Psikolog (10)> - § 4 references coded [0,88% Coverage]Reference 1


- 0,12% Coverage

“penguatan dari kelompok gitu”

Reference 2 - 0,10% Coverage

“dukungan sosial temen”

Reference 3 - 0,18% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

294

“jadi penguatnya itu adalah temen-temennya”

Reference 4 - 0,47% Coverage

“ia menjadi lebih kuat aja karena ada temen-temennya gitu loh, jadi ada temen temennya yang juga
ikut serta”

<Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 6 references coded [4,23% Coverage]Reference 1 - 0,27%


Coverage

“senang aja”

Reference 2 - 0,90% Coverage

“kita jadi dihargai ditakuti pokoknya”

Reference 3 - 1,05% Coverage

“senang aja mereka menaruh hormat ama yang lebih tua”

Reference 4 - 0,38% Coverage

“teman kayaknya”

Reference 5 - 0,45% Coverage

“gimana ya senang aja”

Reference 6 - 1,19% Coverage

“iya ada apalagi kalau adiknya sampai minta ampun “

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

295

Protektif <Files\\subjek reza> - § 2 references coded [1,11% Coverage]Reference 1 - 0,69% Coverage

“Yaa pengayoman ya dari orang-orang yang lebih dari dewasa, mengayomi dari ustad2 gitu jangan
membully karena membullyi itu orang-orang yang dibully itu bisa bunuh diri gitu, bisa mentalnya
itu jatuh”

Reference 2 - 0,42% Coverage

“Ya kalau kejadiannya ngga tau ceritanya tapi pas diceritakan itu kan kalau bullying itu bisa
membunuh orang perlahan-lahan”

<Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 1 reference coded [0,40% Coverage]Reference 1 - 0,40%


Coverage

“enggak, saya emang dari kecil gak pernah ngomong kayak gitu “

<Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 1 reference coded [0,54% Coverage]Reference 1 - 0,54%


Coverage

“saya berhenti terus saya minta yang lain bernti juga jangan diapain lagi”

<Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 2 references coded [1,81% Coverage]Reference 1 - 0,74%


Coverage

“kita diajari baik sama semua orang”

Reference 2 - 1,07% Coverage

“setelah melakukan ada penyesalan tapi gimana lagi”

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

296
<Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 1 reference coded [0,33% Coverage]Reference 1 - 0,33%
Coverage

“ya kasihan juga”

<Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 2 references coded [2,20% Coverage]Reference 1 - 1,07%


Coverage

“jadi faktor yang membuat kamu sadar, faktor yang membuat kamu ee tidak balas dendam dan lain
sebagainya itu karena kamu punya empati pernah melakukan itu ya?
iya pak”

Reference 2 - 1,13% Coverage

“ada pak yang kadang mutia saat lagi terpuruknya mutia minta tolong ini kayak mana dil gini gini
gini minta solusi gitu pak terus dia ngasih solusi nanti dia yang ngapain gitu pak cewek.”

<Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 2 references coded [1,28% Coverage]Reference 1 - 0,87%


Coverage

“ada kadang habis melakukan itu menyesal”

Reference 2 - 0,40% Coverage

“kasihan juga sih”


Kelekatan Keluarga Kedekatan <Files\\Verbatim Partisipan Psikolog (10)> - § 3 references coded [0,71% Coverage]Reference 1
mesosistem - 0,28% Coverage

“memang bapak, ibunya itu bercerai atau ada konflik di rumah tangganya”

Reference 2 - 0,38% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

297
“sejarah dikeluarganya ya memang dari keluarga yang perhatian kepada anaknya itu kurang”

Reference 3 - 0,04% Coverage


“sibuk gitu”

<Files\\Verbatim Partisipan Alumni 1 (11)> - § 2 references coded [0,53% Coverage]Reference 1


- 0,24% Coverage

“kurang dekat sama orang tua ya”

Reference 2 - 0,28% Coverage

“orang tua juga aaaa jarang perhatian”

<Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 2 references coded [1,95% Coverage]Reference 1 - 1,31%


Coverage

“keras sih pak terutama ayah kalau ibu ya kadang suka marah “

Reference 2 - 0,64% Coverage

“kalau kita mada ya kena marah”

<Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 6 references coded [1,99% Coverage]Reference 1 - 0,69%


Coverage

“kalau ayah itu beliau itu gak pernah beda-bedain yang mana perempuan sama laki-laki mau itu
perempuannya yang salah”

Reference 2 - 0,31% Coverage

“kaya di didik keras gitu, makannya tu di didik pak”

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

298

Reference 3 - 0,42% Coverage

“iya orangnya keras pak, bapak ee saya keturunan dari batak toba”

Reference 4 - 0,17% Coverage

“saya paling dekat sama mama”

Reference 5 - 0,33% Coverage

“asal cerita sama mama akhir-akhir ini cerita sama mama, “

Reference 6 - 0,06% Coverage


“gak dekat”

Organisasi Keterlibatan <Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 1 reference coded [0,65% Coverage]Reference 1 - 0,65%
Coverage

“ hemm oke oke oke. Kamu sering jadi panitia ospek gitu gak?
sering, sering, sering”

<Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 1 reference coded [0,20% Coverage]Reference 1 - 0,20%


Coverage

“diasrama, cuman anggota pak hehe”

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

299
LAMPIRAN 6. Data Tema
Data Tema

Rangkuman fase, komponen dan subkomponen


Fase-fase dalam Komponen Sub komponen Partisipan Contoh pernyataan
proses menjadi
pelaku
perundungan
Menjadi korban Perilaku yang Mengalami perlakuan yang A,AL,BA,M, <Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 1
diterima tidak menyenangkan RF,W (6) reference coded [0.39% Coverage]
Reference 1 - 0.39% Coverage
cuci piring, gitu ambil nasi kakaknya
ambil minum kakaknya
Fisik A1,R, A, <Files\\subjek reza> - § 2 references
AF, BA, RF, coded [0.56% Coverage]
W (7) Reference 1 - 0.21% Coverage
Malam saya lagi tidur, tiba2 ada yang
kasih lakban di muka
Pemalakan A1, R, A, <Files\\subjek Aldi> - § 1 reference coded
AF, AL, [0.71% Coverage]
BA, RF (7) Reference 1 - 0.71% Coverage
..ngga ada duit minta duit, itu pun rasanya
ngga enak karena secara paksa gitu
mentang-mentang abang kelas minta-
minta gitu aja

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

300
Verbal A1, R, A, <Files\\subjek Aldi> - § 1 reference coded
AF, AL, BA, [0.16% Coverage]
M, RF (8) Reference 1 - 0.16% Coverage
Selain itu paling nanti orang tu saling
ngejek sampai sakit hati, ujung-ujungnya
berantem
Situasi saat Jumlah pelaku A1, R, BA, <Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 3
menerima M, RF (5) references coded [1.95% Coverage]
perundungan Reference 2 - 0.35% Coverage
nggak berani pak, abang2 tu banyak
Kondisi perundungan R, AL, AF, <Files\\subjek reza> - § 1 reference coded
BA, M, RF, [0.16% Coverage]
W (7) Reference 1 - 0.16% Coverage
Bareng teman-teman sih, lagi ngomong-
ngomongkan nanti ada satu orang yang
masuk bilang eh kau pemalas kau ni, nanti
ikut2 yang lain
Tempat A1, A, AL, <Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 4
BA, M, RF references coded [0.47% Coverage]
(6) Reference 1 - 0.05% Coverage
Diasrama, dimasjid, dilingkungan luar
asrama biasanya.
Waktu A1, R, A, <Files\\subjek reza> - § 2 references
AF, AL, M, coded [0.51% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.39% Coverage
Pernah, pas kalau dipondok tu pertama
kali masuk perkenalan sama kawan2 tu

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

301
malam keduanya saya langsung kena
bully
Tersakiti Afeksi Takut AF, AL, BA, <Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 3
RF (4) references coded [0.72% Coverage]
Denda A1, AL, BA, Reference 1 - 0.24% Coverage iya pak,
R, RF (5) kita dendam hanya saja mau membalas
kita takut sama senior, mereka kompak,
lagian juga bakalan sulit kita nantinya.
<Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 3
references coded [0,72% Coverage],
Reference 1 - 0,24% Coverage

Frustasi Afeksi Tidak terima A1, A, R, RF <Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 3


(4) references coded [0.72% Coverage]
Reference 1 - 0.24% Coverage
.. hanya saja mau membalas kita takut
sama senior, mereka kompak,
Khawatir A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 3
AF, AL, BA, references coded [0.72% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.24% Coverage
…. lagian juga bakalan sulit kita nantinya.
Kognisi Ingin pindah A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 2
AF, AL, BA, references coded [2.17% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 1.68% Coverage
saya waktu itu mikir untuk keluar dari
pesantren tapi orang tua saya tidak

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

302
membolehkan. Sudah keluar banyak
biaya untuk saya daftar di pesantren ini.
Anggapan sudah biasa A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 1
AF, AL, BA, reference coded [0.13% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.13% Coverage
…hehe udah biasa pak dipukul
Koping Maladaptif Afeksi Khawatir A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 2
AF, AL, BA, references coded [0.36% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.20% Coverage
iyaa. Saya bagian blok sini ya masih sama
senior-senior yang baik ada ketua
asramanya, ya saya masih ruang lingkup
yang kaya gitu, jadi agak kurang main ke
blok-blok sana agak takut waktu masih
SMP.
Kasihan A1, AF, M, <Files\\subjek reza> - § 2 references
R, RF, BA coded [0,51% Coverage], Reference 1 -
(6) 0,39% Coverage “Yaa kalau untuk
mengubah sih harus dari diri kita sendiri
dulu memikirkannya kan enak atau
engganya dari korban, kalau dari situ kita
udang memikirkannya pasti kita nggak
akan jadi pelaku”
Kognisi Keinginan membalas A1, R, A, <Files\\subjek reza> - § 2 references
AF, AL, BA, coded [0.29% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.05% Coverage
…ingin balas dendam rasanya

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

303
Senioritas A1, AL, BA, <Files\\Verbatim Partisipan Aldi (1)> - §
R, RF (5) 2 references coded [0,36% Coverage],
Reference 1 - 0,20% Coverage “biar adek
tu tau apa yang kami rasakan, kami dulu
diginikan loh, kami lakukan itu puas hati
kamu setelah abang tu tamat, rasa denda,
ngga kesampaian tadi junior yang kami
apakan”
Pengabaian A, AF, M, W <Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 1
(4) reference coded [0,14% Coverage],
Reference 1 - 0,14% Coverage “eee
insyaallah sih pak saya gak pernah bully
orang karena saya tau gimana rasanya
pak”

Perilaku Agresif A1, R, A, <Files\\subjek reza> - § 1 reference coded


AF, AL, BA, [0.27% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.27% Coverage
Kalau senior tengok situasi dulu kalau
seniornya lagi rame kan susah nanti kena

Menerima perlakuan A1, R, A, <Files\\subjek Aldi> - § 5 references


AF, AL, BA, coded [0.61% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.22% Coverage
…saya pribadi ngga berani ya pasrah aja
Tertawa A, AF, AL, <Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 4
BA, RF (5) references coded [1.00% Coverage]

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

304
Reference 4 - 0.32% Coverage
respon dia yang kayak masih ketawa-
ketawa
Pelaksanaan Pengambilan Faktor kognitif A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 1
perundungan keputusan AF, AL, BA, reference coded [0.33% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.33% Coverage
….adik-adik tu harus diberi pelajaran
Faktor afeksi A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 1
AF, AL, BA, reference coded [0.33% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.33% Coverage
ya kasihan juga
Pengalaman masa lalu A1, R, A, <Files\\subjek Aldi> - § 4 references
AF, AL, BA, coded [0.84% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.41% Coverage
Dulu awal masuk pondok, jadi saya tu
abang-abang kelas tu sering ganggu saya
kalau sendiri, nanti abang-abang kelas tu
kan datang tiba-tiba kekamar kami nanti
introgasi kan ntah apa yang diintrogasi
bahkan nanti sampai pukul memukul kan
disitu padahal kami sendiri ngga tau
masalah tu apa kan. Waktu diasrama tu
seringlah gitu abang-abang kelas, kadang
yang satu angkatan sering melakukan itu
tu

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

305
Hubungan dengan Persepsi terhadap A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan A (3)> - § 2
mesosistem pesantren AF, AL, BA, references coded [0.40% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.33% Coverage
selama disini ? ee biasa aja, gak enak, gak
enak
Persepsi terhadap guru A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 2
AF, AL, BA, references coded [1.70% Coverage]
RF (7) References 1-2 - 1.70% Coverage
kalau guru baik-baik pak
Persepsi terhadap musyrif A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 2
AF, AL, BA, references coded [1.70% Coverage]
RF (7) References 1-2 - 1.70% Coverage
….musyrif (penjaga asrama) sering
marah2 apalagi kalau ketahuan
melanggar.
Pesantren menutup diri A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 1
AF, AL, BA, reference coded [0.50% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.50% Coverage
he’eh iya pak,
Pengalaman Hukuman dari guru A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 2
kekerasan sebelum AF, AL, BA, references coded [0.65% Coverage]
masuk pesantren RF (7) References 1-2 - 0.65% Coverage
saya pernah dipukuk di kepala
Hukuman dari kakak kelas A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 1
AF, AL, BA, reference coded [0.42% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.42% Coverage
dimarahi aja sih

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

306
Hukuman dari orang tua A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan AL (8)> - § 1
AF, AL, BA, reference coded [0.68% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.68% Coverage
paling dimarah-marahi sama mama di
rumah biasa aja.
Kontribusi ustadz Kurang pengawasan A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 2
AF, AL, BA, references coded [0.76% Coverage]
RF (7) References 1-2 - 0.76% Coverage
pengawas, pengawas pesantren, ustadz itu
ndak ada ya?
ndak ada, lagi di asrama semua pak.
Sikap guru A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 1
AF, AL, BA, reference coded [1.77% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 1.77% Coverage
kenapa?
nggak ada yang awasi, ustadz atau
musyrifnya kan jarang lihat

Tidak ada laporan A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 1


AF, AL, BA, reference coded [0.27% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.27% Coverage
nggak pernah, kalau di pondok ni kalau
suka lapor pasti kena sama kawan2
Membentuk Keberanian AF, AL, BA, <Files\\Verbatim Partisipan AF (6)> - § 2
kelompok RF (4) references coded [3.38% Coverage]
Reference 1 - 0.48% Coverage

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

307
he’eh iya pak, terus tapi itu sama teman-
teman juga pak, teman
Perdebatan diri Faktor protektif R, A,AL, <Files\\subjek reza> - § 2 references
AF, BA, M, coded [1.11% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.69% Coverage
Yaa pengayoman ya dari orang-orang
yang lebih dari dewasa, mengayomi dari
ustad2 gitu jangan membully karena
membullyi itu orang-orang yang dibully
itu bisa bunuh diri gitu, bisa mentalnya itu
jatuh
Faktor risiko A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan RF (7)> - § 6
AF, AL, BA, references coded [4.23% Coverage]
M, RF (8) Reference 1 - 0.27% Coverage
senang aja,....kita jadi dihargai ditakuti
pokoknya lah
Menjadi pelaku Afeksi Kepuasan A1, R, A, <Files\\subjek Aldi> - § 1 reference coded
AF, AL, BA, [0.11% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.11% Coverage
… kami lakukan itu puas hati kami setelah
abang tu tamat, rasa dendam ngga
kesampaian tadi junior yang kami apakan
Kenyamanan A1, R, A, <Files\\subjek reza> - § 2 references
AF, AL, BA, coded [0.38% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.24% Coverage
Yaa enak, saya bisa menghina orang,
melakukan hal yang tidak sewajarnya

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

308
Kognisi Perundungan dianggap A1, R, A, <Files\\subjek Aldi> - § 1 reference coded
tradisi AF, AL, BA, [0.11% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.11% Coverage
Motifnya mungkin biar adek tu tau apa
yang kami rasakan, kami dulu diginikan
loh, kami lakukan itu puas hati kami
setelah abang tu tamat, rasa dendam ngga
kesampaian tadi junior yang kami apakan
Penguatan..yang Pengakuan A1, R, A, <Files\\subjek reza> - § 2 references
diharapkan AF, AL, BA, coded [0.38% Coverage]
RF (7) Reference 2 - 0.14% Coverage
Menyadarkan kalau dia tu tau siapa dia
Dihormati A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan BA (9)> - § 4
AF, AL, BA, references coded [4.36% Coverage]
RF (7) Reference 4 - 0.99% Coverage
ya mereka harus hormat sama yang lebih
tua
Dihargai A1, R, A, <Files\\Verbatim Partisipan M (4)> - § 1
AF, AL, BA, reference coded [0.39% Coverage]
RF (7) Reference 1 - 0.39% Coverage
kan kalau dipondok ni kan yang lebih tua
tu harus di hargai kan pak,

DISERTASI DINAMIKA PSIKOLOG DALAM... SIGIT NUGROHO

Anda mungkin juga menyukai