Anda di halaman 1dari 160

l

tm
a l.h
on
si
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

-na
NOMOR HK.01.07/MENKES/85/2023

an
TENTANG

om
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN

ed
TATA LAKSANA GAGAL JANTUNG PADA ANAK

g-p
tan
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

en
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,k-t
m
s-k

Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus


ke

dilakukan sesuai dengan standar pelayanan


en

kedokteran yang disusun dalam bentuk Pedoman


pm

Nasional Pelayanan Kedokteran dan Standar Prosedur


/ke

Operasional;
/04

b. bahwa untuk memberikan acuan bagi fasilitas


23

pelayanan kesehatan dalam menyusun standar


20

prosedur operasional, perlu mengesahkan Pedoman


m/

Nasional Pelayanan Kedokteran yang disusun oleh


co

organisasi profesi;
si.

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


ula

dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu


reg

menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang


Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata
o
inf

Laksana Gagal Jantung Pada Anak;


.
ww

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang


//w

Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik


ps:

Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan


Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
htt

jdih.kemkes.go.id
-2-

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

l
tm
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia

l.h
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063);

a
on
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang

si
Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik

-na
Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan

an
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607);

om
4. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang

ed
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Lembaran Negara

g-p
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 229,

tan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5942);

en
5. Peraturan Menteri k-t Kesehatan Nomor
1438/Menkes/Per/IX/2010 tentang Standar
m
s-k

Pelayanan Kedokteran (Berita Negara Republik


Indonesia Tahun 2010 Nomor 464);
ke

6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


en

2052/Menkes/Per/IX/2011 tentang Izin Praktik dan


pm

Pelaksanaan Praktik Kedokteran (Berita Negara


/ke

Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 671);


/04

7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun 2022


23

tentang Rekam Medis (Berita Negara Republik


20

Indonesia Tahun 2022 Nomor 829);


m/
co

Memperhatikan : Surat Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia,


si.

Nomor 1251/PP IDAI/XI/2022, tanggal 15 November 2022,


ula

Hal Persetujuan PNPK Tata Laksana Gagal Jantung pada


reg

Anak.
o
inf

MEMUTUSKAN:
.

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG


ww

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN TATA


//w

LAKSANA GAGAL JANTUNG PADA ANAK.


ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
-3-

KESATU : Mengesahkan dan memberlakukan Pedoman Nasional

l
tm
Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Gagal Jantung Pada

l.h
Anak.
KEDUA : Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana

a
on
Gagal Jantung Pada Anak yang selanjutnya disebut

si
PNPK Gagal Jantung Pada Anak merupakan pedoman

-na
bagi dokter sebagai pembuat keputusan klinis di fasilitas

an
pelayanan kesehatan, institusi pendidikan, dan

om
kelompok profesi terkait.

ed
KETIGA : PNPK Gagal Jantung Pada Anak sebagaimana dimaksud

g-p
dalam Diktum KEDUA tercantum dalam Lampiran yang

tan
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan
Menteri ini.

en
KEEMPAT : PNPK Gagal Jantung Pada Anak sebagaimana dimaksud
k-t
dalam Diktum KETIGA harus dijadikan acuan dalam
m
s-k

penyusunan standar prosedur operasional di setiap


fasilitas pelayanan kesehatan.
ke

KELIMA : Kepatuhan terhadap PNPK Gagal Jantung Pada Anak


en

sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA


pm

bertujuan memberikan pelayanan kesehatan dengan


/ke

upaya terbaik.
/04

KEENAM : Penyesuaian terhadap pelaksanaan PNPK Gagal Jantung


23

Pada Anak dapat dilakukan oleh dokter hanya


20

berdasarkan keadaan tertentu yang memaksa untuk


m/

kepentingan pasien dan dicatat dalam rekam medis.


co

KETUJUH : Menteri Kesehatan, gubernur, dan bupati/wali kota


si.

melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap


ula

pelaksanaan PNPK Gagal Jantung Pada Anak dengan


reg

melibatkan organisasi profesi.


o
.inf
ww
//w
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
-4-

KEDELAPAN : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal

l
tm
ditetapkan.

l.h
Ditetapkan di Jakarta

a
on
pada tanggal 3 Februari 2023

si
-na
MENTERI KESEHATAN

an
REPUBLIK INDONESIA,

om
ttd.

ed
g-p
BUDI G. SADIKIN

tan
en
k-t
m
s-k
ke
en
pm
/ke
/04
23
20
m/
co
si.
ula
o reg
inf
.
ww
//w
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
-5-

LAMPIRAN

l
tm
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN

l.h
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR HK.01.07/85/MENKES/2023

a
on
TENTANG

si
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN

-na
KEDOKTERAN TATA LAKSANA GAGAL

an
JANTUNG PADA ANAK

om
ed
g-p
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN

tan
KEDOKTERAN TATA LAKSANA GAGAL JANTUNG PADA ANAK

en
BAB I k-t
PENDAHULUAN
m
s-k

A. Latar belakang
ke

Gagal jantung pada anak memiliki penyebab, presentasi klinis, dan


en

perjalanan penyakit yang berbeda dengan dewasa. Meskipun insidensnya


pm

di berbagai negara relatif rendah, yakni sekitar 0,87-7,4 per 100.000


/ke

anak, namun gagal jantung pada anak menyebabkan morbiditas yang


/04

tinggi di rumah sakit, dengan angka mortalitas mencapai 7%. Di Amerika


23

Serikat, 11.000-14.000 anak dengan gagal jantung setiap tahunnya


20

dirawat di rumah sakit.


m/

Gagal jantung pada anak merupakan masalah kesehatan serius yang


co

berdampak negatif terhadap kondisi ekonomi dan sosial. Pengobatan


si.

jangka panjang memerlukan pembiayaan yang sangat besar dan orangtua


ula

menjadi kurang produktif dalam aktivitas sehari-hari. Beberapa kendala


reg

dalam diagnosis dan tata laksana gagal jantung pada anak disebabkan
oleh hal yang sangat variatif seperti terlihat pada Tabel 1, sehingga
o
inf

diperlukan dukungan sumber daya yang terstandar, termasuk dukungan


.

tenaga kesehatan multidisiplin yang bekerja secara kolaboratif.


ww

Studi global mendapatkan bahwa, penyebab gagal jantung pada


//w

anak yang dirawat di rumah sakit adalah Penyakit Jantung Bawaan (PJB)
ps:

(52%), kardiomiopati (19,4%), dan Penyakit Jantung Didapat (PJD)


(18,5%). Sekitar 64% kasus terjadi pada kelompok usia <1 tahun.
htt

jdih.kemkes.go.id
-6-

Mortalitas gagal jantung pada kasus kardiomiopati 25%, aritmia 23%,

l
tm
PJD 8,7%, dan PJB 4,7%.

l.h
Jumlah uji klinis terkait gagal jantung pada anak masih terbatas,
sehingga diagnosis dan tata laksananya sebagian besar mengadopsi dari

a
on
gagal jantung pada dewasa, data penelitian retrospektif, dan konsensus

si
para pakar. Beberapa negara maju dan negara berkembang telah

-na
membuat panduan tentang gagal jantung pada anak yang memiliki

an
banyak kesamaan, namun ada juga perbedaannya, tergantung kondisi

om
dan kemampuan sumber daya di negara tersebut.

ed
Sampai saat ini Indonesia belum memiliki Pedoman Nasional

g-p
Pelayanan Kedokteran (PNPK) diagnosis dan tata laksana gagal jantung

tan
pada anak. Para dokter di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP),
madya, utama, dan paripurna dalam menegakkan diagnosis dan

en
mengobati gagal jantung pada anak mengacu pada Panduan Praktik
k-t
Klinis (PPK) yang menyesuaikan dengan kondisi dan kemampuan
m
s-k

sumber daya di tempat kerja masing-masing.


Kini beberapa rumah sakit rujukan tingkat lanjut telah memiliki
ke

Pelayanan Jantung Terpadu (PJT). Namun demikian, sebagian besar


en

kasus gagal jantung pada anak yang memerlukan penanganan spesifik,


pm

masih harus dirujuk ke Pusat Jantung Nasional (PJN) yaitu Rumah Sakit
/ke

Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta Harapan Kita atau
/04

ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr. Cipto


23

Mangunkusomo Jakarta. Hal ini menimbulkan banyak masalah,


20

termasuk kesulitan biaya transportasi untuk merujuk dan antrian yang


m/

panjang di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) tersebut,


co

dan tidak sedikit kasus meninggal karena menunggu antrian yang terlalu
si.

lama.
ula

Pedoman ini disusun oleh multidisiplin profesi kedokteran, demi


reg

tercapainya pelayanan kesehatan yang berkualitas, berorientasi pada


pasien dan mengutamakan keselamatan pasien. Untuk mengakomodir
o
inf

perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang sangat


.

pesat, presentasi klinis gagal jantung pada anak yang bervariasi baik
ww

berdasarkan kelompok usia maupun penyebabnya, dapat dilakukan


//w

perubahan terhadap PNPK Tata Laksana Gagal Jantung Pada Anak agar
ps:

tetap sesuai dengan IPTEK kedokteran yang berbasis bukti ilmiah


(evidence base medicine, EBM) terbaru.
htt

jdih.kemkes.go.id
-7-

Tabel 1. Penyebab gagal jantung pada anak

l
tm
Jenis penyakit Contoh

l.h
Penyakit 1. Pirau dari kiri ke kanan

a
jantung bawaan Contoh: ventricular septal defect (VSD), atrial

on
(PJB) septal defect (ASD), atrio-ventricular septal defect

si
-na
(AVSD), aorto-pulmonary septal defect (APSD),
dan patent ductus arteriosus (PDA)

an
2. Lesi konotrunkal

om
Contoh: tetralogy of Fallot (TOF), truncus

ed
arteriosus (TA), transposition of great arteries

g-p
(TGA), dan double outlet right ventricle (DORV)

tan
3. Ventrikel tunggal

en
Contoh: hypoplastic right heart syndrome (HRHS),
k-t
hypoplastic left heart syndrome (HLHS), double
inlet ventricle (DIV)
m
s-k

4. Lesi obstruktif
Contoh: aortic stenosis (AS), pulmonary stenosis
ke
en

(PS), coarctation aorta (CoA)


pm

5. Gangguan katup
Contoh: congenital mitral regurgitation (MR),
/ke

congenital aortic regurgitation (AR), congenital


/04

mitral stenosis (MS)


23

Kardiomiopati Dilated cardiomyopathy (DCM)


20

Hypertrophic cardiomyopathy (HCM)


m/

Restrictive cardiomyopathy (RCM)


co

Arrhythmogenic right ventricular cardiomyopathy


si.

(ARVC),
ula

Left ventricular non-compaction cardiomyopathy


reg

(LVNC)
Aritmia Tachycardia induced cardiomyopathy
o
inf

Atrio-ventricular node reentry tachycardia (AVNRT)


.
ww

Atrio-ventricular reentry tachycardia (AVRT)


Ectopic atrial tachycardia (EAT)
//w

Ventricular tachycardia (VT)


ps:

Ventricular fibrillation (VF)


htt

Atrioventricular block (AVB)

jdih.kemkes.go.id
-8-

Jenis penyakit Contoh

l
tm
Pulmonary PH primer

l.h
Hypertension PH sekunder

a
(PH) Sindrom Eisenmenger

on
Infeksi dan Sepsis induced myocardial dysfunction

si
-na
inflamasi Infective endocarditis (IE)
Myocarditis

an
Pericarditis

om
Acute rheumatic fever (ARF) & rheumatic heart

ed
disease (RHD)

g-p
Kawasaki disease

tan
Human immunodeficiency virus (HIV)

en
Toksin Obat-obat kemoterapi
Obat-obat teratogenik
m k-t
yang dikonsumsi selama
kehamilan
s-k

Tansfusi berulang
ke

Lain-lain Anemia
en

Diabetes melitus
pm

Tirotoksikosis
Penyakit neuromuskular
/ke

Hipertensi
/04

Keganasan
23
20

B. Permasalahan
m/

Berdasarkan latar belakang di atas, beberapa permasalahan dalam


co

penegakan diagnosis dan tata laksana gagal jantung pada anak umumnya
si.

dan di Indonesia khususnya, dapat dirangkum sebagai berikut:


ula

1. Gagal jantung pada anak memiliki morbiditas dan mortalitas yang


reg

tinggi, dengan penyebab gagal jantung yang sangat bervariasi.


2. Belum ada PNPK diagnosis dan tata laksana gagal jantung pada
o
inf

anak di Indonesia.
.
ww

3. Belum seluruh fasilitas pelayanan kesehatan memiliki perangkat dan


sumber daya manusia yang memadai untuk penegakan diagnosis
//w

dan tata laksana gagal jantung pada anak berdasarkan ilmu


ps:

kedokteran berbasis bukti terbaru.


htt

jdih.kemkes.go.id
-9-

4. Kondisi geografis Indonesia yang menyulitkan proses transportasi

l
tm
saat merujuk kasus gagal jantung pada anak ke FKRTL.

l.h
5. Sistem jaminan kesehatan nasional (JKN) belum memberikan
dukungan pembiayaan optimal dalam penanganan gagal jantung

a
on
pada anak, terutama pada kasus-kasus yang memerlukan intervensi

si
non-bedah maupun bedah.

-na
an
C. Tujuan

om
1. Tujuan Umum

ed
PNPK diagnosis dan tata laksana gagal jantung pada anak ini

g-p
disusun untuk memberikan pedoman bagi para klinisi dan penentu

tan
kebijakan kesehatan dalam memberikan pelayanan yang berkualitas,
sesuai ilmu kedokteran berbasis bukti terbaru, sehingga morbiditas

en
dan mortalitas gagal jantung pada anak dapat diturunkan.
k-t
2. Tujuan Khusus
m
s-k

a. Pedoman bagi fasilitas pelayanan kesehatan untuk menyusun


PPK atau protokol prosedur sesuai strata masing-masing.
ke

b. Menciptakan kesamaan persepsi dalam proses penegakan


en

diagnosis dan tata laksana gagal jantung pada anak dengan


pm

tetap memperhatikan ketersediaan sarana, prasarana, dan


/ke

sumber daya manusia di fasilitas pelayanan kesehatan.


/04

c. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan para dokter, dokter


23

spesialis, dan dokter subspesialis dalam menegakkan diagnosis


20

dan menata laksana gagal jantung pada anak sesuai


m/

kemampuan fasilitas pelayanan kesehatan dengan mengacu


co

pada PNPK ini.


si.

d. Mendorong penentu kebijakan agar dapat melengkapi sarana,


ula

prasarana, dan sumber daya manusia yang dibutuhkan di


reg

berbagai strata fasilitas pelayanan kesehatan, agar dapat


menata laksana gagal jantung pada anak secara optimal sesuai
o
inf

kapasitasnya, dan merujuk kasus dengan aman sesuai


.

kebutuhan.
ww

e. Sebagai acuan dalam Jaminan Kesehatan Nasional untuk


//w

pembiayaan pelayanan kesehatan tata laksana gagal jantung


ps:

pada anak
htt

jdih.kemkes.go.id
- 10 -

D. Sasaran

l
tm
1. Seluruh tenaga medis yang terlibat dalam penanganan gagal jantung

l.h
pada anak, yakni dokter umum, dokter spesialis, dan dokter
subspesialis di fasilitas pelayanan kesehatan, serta tenaga kesehatan

a
on
lainnya seperti bidan dan perawat yang memberikan pelayanan

si
kardiologi anak.

-na
2. Penentu kebijakan pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan

an
kesehatan, agar dapat melengkapi sumber daya yang dibutuhkan.

om
3. Penyandang dana pembiayaan kesehatan, agar memberikan nilai

ed
klaim yang memadai.

g-p
4. Penentu kebijakan di institusi pendidikan kedokteran, serta

tan
kelompok organisasi profesi, agar menggunakan PNPK ini sebagai
acuan pendidikan.

en
k-t
m
s-k
ke
en
pm
/ke
/04
23
20
m/
co
si.
ula
reg
o
. inf
ww
//w
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 11 -

BAB II

l
tm
METODOLOGI PENYUSUNAN PEDOMAN

l.h
A. Penelusuran Pustaka

a
on
Penelusuran pustaka dilakukan secara elektronik melalui Medline

si
(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed). Kepustakaan dibatasi pada tiga

-na
puluh tahun terakhir dan berbahasa Inggris. Tahapan penelusuran

an
kepustakaan menggunakan kata kunci sebagai berikut:

om
1. Heart failure, cardiac failure, atau congestive heart failure.

ed
2. Kata kunci pada point 1 ditambah dengan kata fetal, neonatal,

g-p
newborn, infant, child, adolescent, pediatric, atau children

tan
3. Kata kunci pada point 1 dan 2 ditambah dengan kata epidemiology,
etiology, risk factor, clinical manifestation, classification, diagnosis,

en
management, atau prognosis. k-t
4. Kata kunci pada point 1 ditambah dengan kata clinical practice
m
s-k

guideline, guideline, consensus, management, observational study,


clinical trial, randomized controlled trial, review, systematic review,
ke

atau meta-analysis.
en

5. Gabungan kata kunci pada point 1, 2, 3, dan 4.


pm
/ke

B. Kajian Telaah Kritis Pustaka


/04

Telaah kritis pustaka dilakukan oleh para pakar dalam bidang


23

kardiologi anak, dan bidang lain yang terkait. Setiap artikel ilmiah yang
20

diperoleh dari penelusuran pustaka dinilai melalui pertanyaan:


m/

1. apakah artikel ilmiah tersebut sahih (valid)?


co

2. apakah hasilnya secara klinis penting (important)?


si.

3. apakah dapat diterapkan dalam diagnosis dan tata laksana


ula

(applicable)?
reg

C. Peringkat Rekomendasi dan Derajat Bukti


o
inf

Pada PNPK ini, klasifikasi peringkat rekomendasi dan derajat bukti


.

yang digunakan berdasarkan klasifikasi American College of Cardiology


ww

(ACC)/American Heart Association (AHA) Task Force on Practice Guidelines


//w

tahun 2009.
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 12 -

Klasifikasi peringkat rekomendasi diterjemahkan sebagai berikut:

l
tm
I. Manfaat sangat lebih besar daripada risiko.

l.h
Prosedur atau pengobatan direkomendasikan atau
diindikasikan.

a
on
IIa. Manfaat lebih besar daripada risiko.

si
Prosedur atau pengobatan dapat dipertimbangkan atau dapat

-na
diindikasikan.

an
IIb. Manfaat sedikit lebih besar atau sama dengan risiko.

om
Prosedur atau pengobatan mungkin dapat dipertimbangkan

ed
atau mungkin dapat diindikasikan.

g-p
III. Manfaat lebih kecil daripada risiko.

tan
Prosedur atau pengobatan tidak direkomendasikan atau
kontraindikasi.

en
k-t
Sedangkan klasifikasi derajat bukti diterjemahkan sebagai berikut:
m
s-k

A berdasarkan penelitian dengan populasi besar, data dari


metaanalisis atau lebih dari satu randomized clinical trials.
ke

B berdasarkan penelitian dengan populasi terbatas, data dari


en

satu randomized clinical trial, atau dari beberapa penelitian


pm

non-random.
/ke

C berdasarkan populasi sangat terbatas, opini/konsensus


/04

pakar, laporan kasus atau standar pelayanan di negara lain.


23
20
m/
co
si.
ula
o reg
inf
.
ww
//w
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 13 -

BAB III

l
tm
HASIL DAN PEMBAHASAN

l.h
A. Pengertian

a
on
Pada era tahun 1950-an, gagal jantung hanya dipahami sebagai

si
sindrom curah jantung yang rendah (Low Cardiac Output Syndrome,

-na
(LCOS)). Namun dengan perkembangan IPTEK di bidang kardiologi saat

an
ini, telah diketahui adanya keterlibatan sistem neurohormonal dan sistem

om
seluler molekuler dalam patofisiologi terjadinya gagal jantung. Oleh sebab

ed
itu, pemahaman terkini mendefinisikan gagal jantung sebagai suatu

g-p
sindrom klinis yang gejala dan tanda klinisnya berhubungan dengan

tan
gangguan sirkulasi, abnormalitas neurohormonal, serta abnormalitas
seluler dan molekuler.

en
Menurut International Society for Heart and Lung Transplantation
k-t
(ISHLT) tahun 2014, gagal jantung adalah suatu sindrom klinis dan
m
s-k

patofisiologis yang disebabkan oleh disfungsi ventrikel, kelebihan volume


(volume overload) atau kelebihan tekanan (pressure overload) atau
ke

kombinasi keduanya, sehingga terjadi kerusakan progresif bahkan


en

kematian sel-sel miokardium. Sedangkan menurut ACC/AHA tahun


pm

2009, gagal jantung merupakan suatu sindrom klinis yang disebabkan


/ke

oleh kelainan fungsional dan atau struktural jantung yang mengganggu


/04

kemampuan ventrikel untuk memompa darah. Gagal jantung pada anak


23

merupakan sindrom klinis dan patofisiologis yang bersifat progresif,


20

ditandai manifestasi klinis edema, gangguan pernafasan, kegagalan


m/

pertumbuhan, dan intoleransi latihan, disertai gangguan sirkulasi,


co

neurohormonal, dan molekuler.


si.

Berdasarkan literatur terkini, gagal jantung adalah sindrom klinis


ula

kompleks, terdiri dari gejala dan tanda klinis khas yang terkait dengan
reg

kelainan spesifik sirkulasi, neurohormonal, dan molekuler, akibat


kelainan struktural dan/atau fungsional jantung dalam menampung atau
o
inf

memompa darah. Gagal jantung dapat disebabkan oleh disfungsi


.

ventrikel, kelebihan beban pada ventrikel, baik beban awal (preload)


ww

dan/atau beban akhir (afterload). Definisi ini dipakai dalam Guideline dari
//w

European Society of Cardiology, ESC tahun 2021 dan ACC/AHA tahun


ps:

2022. Pasien dengan penyakit non-kardiovaskular (misalnya anemia,


penyakit paru, ginjal, tiroid, atau hati) mungkin memiliki gejala dan tanda
htt

mirip gagal jantung, tetapi tanpa disfungsi jantung, maka tidak termasuk

jdih.kemkes.go.id
- 14 -

dalam kriteria gagal jantung. Namun demikian, kondisi patologis ini dapat

l
tm
menyertai gagal jantung dan memperburuk gagal jantung.

l.h
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

a
on
Perlindungan Anak, definisi anak adalah seseorang yang belum berusia

si
18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

-na
Oleh karena itu, diagnosis dan tatalaksana gagal jantung pada PNPK ini,

an
hanya dibatasi pada kelompok janin (intrauterin), neonatus (0-28 hari),

om
bayi (1 bulan-1 tahun), dan anak usia <18 tahun.

ed
g-p
B. Klasifikasi dan Patofisiologi

tan
Diagnosis gagal jantung secara global menggunakan kode
International Classification of Disease 10 (ICD-10) sebagaimana tercantum

en
dalam (Tabel 2). k-t
Di fasilitas pelayanan kesehatan primer, diagnosis gagal jantung
m
s-k

umumnya ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis yang didapat


dari anamnesis dan pemeriksaan fisis, disertai laboratorium sederhana
ke

dan oksimetri nadi oleh dokter umum, sehingga kode ICD yang
en

digunakan hanya sampai I.50. Di fasilitas pelayanan kesehatan sekunder,


pm

diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan selain berdasarkan anamnesis,


/ke

pemeriksaan fisis, laboratorium sederhana, dan oksimetri nadi, juga


/04

dengan pemeriksaan penunjang utama seperti elektrokardiografi (EKG),


23

foto toraks, laboratorium spesifik, dan Trans-Thoracal Echocardiography


20

(TTE), oleh dokter spesialis. Sedangkan di fasilitas pelayanan kesehatan


m/

tersier, diagnosis gagal jantung dapat lebih rinci, menggunakan sarana


co

penunjang tambahan, seperti biomarker jantung, Trans-Esophageal


si.

Echocardiography (TEE), pemantauan Holter, kateterisasi jantung dan


ula

angiografi, uji genetik, Cardiac Computed Tomography (CCT) dan Cardiac


Magnetic Resonance (CMR). Dengan adanya pemeriksaan penunjang yang
reg

lebih lengkap, maka fasilitas pelayanan kesehatan madya, utama, dan


o
inf

paripurna dapat menentukan kode ICD yang lebih detail, misalnya I50.1,
.

I50.2, I50.3, I50.8, 150.9 dan seterusnya. Tentu hal ini membuat biaya
ww

penanganan gagal jantung di setiap strata fasilitas pelayanan kesehatan


//w

berbeda, tertinggi di fasilitas pelayanan kesehatan tersier yang


ps:

membutuhkan pelayanan kolaboratif multidisiplin subspesialistik dengan


sarana canggih dan farmakoterapi atau intervensi spesifik.
htt

jdih.kemkes.go.id
- 15 -

Tabel 2. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan ICD-10

l
tm
Diagnosis Kode

l.h
Heart Failure (HF) I50

a
Left Heart Failure (LHF) I50.1

on
Congestive heart failure, systolic I50.2

si
Unspecified systolic congestive heart failure I50.20

-na
Acute systolic, congestive heart failure I50.21

an
Chronic systolic, congestive heart failure I50.22

om
Acute on chronic systolic, congestive heart failure I50.23
Congestive heart failure, diastolic I50.3

ed
Unspecified diastolic congestive heart failure I50.30

g-p
Acute diastolic, congestive heart failure I50.31
Chronic diastolic, congestive heart failure I50.32

tan
Acute on chronic diastolic, congestive heart failure I50.33

en
Congestive heart failure, combined systolic and diastolic I50.4
mk-t
Unspecified combined systolic and diastolic, congestive heart I50.40
failure
s-k

Acute combined systolic and diastolic, congestive heart failure I50.41


Chronic combined systolic and diastolic, congestive heart I50.42
ke

failure
en

Acute on chronic combined systolic and diastolic, congestive I50.43


pm

heart failure
Other heart failure I50.8
/ke

Right Heart Failure (RHF) I50.81


/04

Biventricular Heart Failure (BHF) I50.82


23

Hight Output Heart Failure (HOHF) I50.83


End Stage Heart Failure (ESHF) I50.84
20

Heart failure, unspecified I50.9


m/

Keterangan:
co

ICD-10 = International Classification of Disease-10


si.
ula

1. Klasifikasi Klinis
reg

Untuk kepentingan klinis praktis, gagal jantung pada anak


o

diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinisnya, yakni apakah


inf

ada gejala dan tanda kongesti, apakah ada gejala dan tanda
.
ww

hipoperfusi, atau keduanya (Gambar 1).


Gejala dan tanda kongesti adalah takipnea, ortopnea, hepatomegali,
//w

asites, dan edema. Sedangkan gejala dan tanda hipoperfusi adalah


ps:

hipotensi, takikardia disertai tekanan nadi yang sempit, iritabilitas,


htt

dan penurunan kesadaran. Tujuan klasifikasi klinis ini adalah untuk

jdih.kemkes.go.id
- 16 -

memudahkan penentuan jenis obat-obatan yang perlu digunakan

l
tm
dalam tata laksana gagal jantung pada anak.

l.h
Gambar 1. Klasifikasi klinis gagal jantung berdasarkan gejala dan
tanda kongesti serta gejala dan tanda hipoperfusi.

a
on
Keterangan: Tidak ada gejala dan tanda klinis/asimtomatik

si
(kelompok A), ada gejala dan tanda kongesti (kelompok B), ada gejala

-na
dan tanda hipoperfusi (kelompok D), atau ada gejala dan tanda

an
kongesti dan hipoperfusi (kelompok C).

om
ed
g-p
tan
en
k-t
m
s-k
ke
en
pm
/ke
/04
23
20
m/

2. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik


co

Klasifikasi ini dibuat berdasarkan ketidakmampuan kontraktilitas


si.

jantung saat sistolik, dan gangguan relaksasi ventrikel saat diastolik,


ula

atau keduanya.
reg

a. Pada gagal jantung sistolik, ventrikel gagal berkontraksi optimal


untuk meningkatkan isi sekuncup (stroke volume, SV), guna
o
inf

memenuhi kebutuhan sistemik dan pulmonal. Contohnya pada


.

dilated cardiomyopathy (DCM), miokarditis, malnutrisi berat.


ww

b. Pada gagal jantung diastolik, ventrikel gagal berelaksasi


//w

sehingga terjadi peningkatan tekanan diastolik akhir ventrikel


ps:

dan hambatan pengisiannya. Contohnya pada hypertrophic


cardiomyopathy (HCM), pericarditis konstriktiva.
htt

jdih.kemkes.go.id
- 17 -

c. Pada gagal jantung sangat berat, dapat terjadi gagal jantung

l
tm
sistolik dan diastolik.

l.h
Perbedaan struktur jantung pada gagal jantung sistolik dan diastolik
dapat dikenali dengan penilaian parameter ekokardiografi, seperti

a
on
terlihat pada Tabel 3.

si
-na
Tabel 3. Perbedaan gagal jantung sistolik dan diastolik

an
Parameter ekokardiografi Gagal jantung sistolik Gagal jantung diastolik

om
EDV Meningkat Tidak berubah atau

ed
menurun

g-p
ESV Meningkat Tidak berubah atau
menurun

tan
LVEF Menurun Normal (preserved)

en
LV mass Meningkat Meningkat
LV wall thickness Tidak berubah k-t Meningkat
LV wall stress Meningkat Menurun
m
Keterangan: EDV = end diastolic volume; ESV = end systolic volume; LV = left
s-k

ventricle; LVEF = left ventricular ejection fraction


ke
en

3. Gagal Jantung Sisi Kiri dan Sisi Kanan


pm

Klasifikasi ini dibuat berdasarkan disfungsi ventrikel kiri atau kanan


/ke

atau keduanya.
a. Gagal jantung kiri dikaitkan dengan gejala dan tanda kongesti
/04

vena pulmonal (edema paru), yang ditandai gangguan


23

pernafasan: takipnea, ronki, dan mengi (asma kardiak).


20

b. Gagal jantung kanan dikaitkan dengan gejala dan tanda


m/

kongesti vena sistemik, yang ditandai dengan hepatomegali,


co

distensi vena jugularis, asites, efusi pleura, dan edema.


si.

c. Pada gagal jantung kongestif yang sangat berat, gagal jantung


ula

melibatkan kedua ventrikel, tanda-tanda kongesti terjadi di


reg

sirkulasi sistemik maupun sirkulasi pulmonal.


o

Perbedaan gagal jantung kiri dan kanan juga dikaitkan dengan


inf

perbedaan embriologi, morfologi, fungsi, dan respons molekular pada


.
ww

ventrikel kiri dan ventrikel kanan.


//w

4. Gagal Jantung Akut dan Kronik


ps:

Pada gagal jantung akut (Acute De Novo Heart Failure (AHF)), sistem
htt

saraf simpatis (Sympathetic Nervous System, (SNS)) dan sistem renin-

jdih.kemkes.go.id
- 18 -

angiotensin-aldosteron (Renin Angiotensin Aldosterone System,

l
tm
(RAAS)) berperan dalam mempertahankan tekanan darah dan

l.h
volume aliran darah ke sistemik, terutama ke organ-organ vital,
seperti otak, jantung, paru, dan ginjal. Aktivitas neurohormonal ini

a
on
akan meningkatkan kontraktilitas miokard, vasokonstriksi perifer

si
(pasien tampak anemis walaupun kadar hemoglobin normal), retensi

-na
garam dan cairan, sehingga tekanan darah tetap normal. Jika

an
mekanisme kompensasi ini terjadi berlama-lama atau kronik, justru

om
akan memperburuk keadaan gagal jantung. Aktivitas neurohormonal

ed
akan mengakibatkan terjadinya kardiotoksisitas secara langsung,

g-p
sel-sel miokard akan mati karena kehabisan energi yang mengarah

tan
pada terjadinya nekrosis atau percepatan apoptosis. Nekrosis
miokardium akan merangsang proliferasi fibroblas yang

en
menghasilkan kolagen sebagai pengganti
k-t sel-sel miokardium.
Keadaan ini dikenal sebagai dekompensasi akut pada gagal jantung
m
s-k

kronik (Acutely Decompensated Chronic Heart Failure, (ADCHF)).


Perbedaaan ADCHF dan AHF dapat dilihat pada Tabel 4.
ke
en

Tabel 4. Perbedaan Antara ADCHF dan AHF


pm

Kategori ADCHF AHF


/ke

Proporsi gejala akut


75 – 80% 20 – 25%
/04

gagal jantung
Riwayat penyakit Telah diketahui dengan riwayat Tidak diketahui memiliki
23

gagal jantung riwayat gagal jantung


20

Mechanisme Redistribusi atau volume Keterlibatan jantung


m/

overload secara akut (contoh: infark


co

miokard, miokarditis akut,


regurgitasi katup akut)
si.

Manifestasi klinis Gejala dan tanda kongesti Terjadi edema paru akut
ula

(dispnea, ortopnea, edema, dan (lebih sering) atau terjadi


reg

asites) syok kardiogenik (lebih


jarang)
o
inf

Luaran Angka mortalitas tinggi Angka mortalitas lebih


rendah, kecuali terjadi
.
ww

syok kardiogenik
Komorbiditas Lebih sering Lebih jarang
//w

Keterangan: ADCHF = acutely decompensated chronic heart failure; AHF = acute de


ps:

novo heart failure


htt

jdih.kemkes.go.id
- 19 -

5. Gagal Jantung Kompensasi dan Dekompensasi

l
tm
Gagal jantung dengan curah jantung (Cardiac Output - CO) normal

l.h
disebut gagal jantung terkompensasi. Sedangkan gagal jantung
dengan CO rendah disebut gagal jantung dekompensasi. Ketika otot

a
on
jantung mengalami cedera, terjadi mekanisme kompensasi melalui

si
SSP dan RAAS, berupa peningkatan denyut jantung (takikardia),

-na
kontraktilitas, preload, afterload, dan berbagai unsur yang

an
mempengaruhi kontraktilitas. Ini menjadi dasar patofisiologi dan

om
penyebab gagal jantung pada anak. Jika mekanisme kompensasi ini

ed
tidak mampu mempertahankan fungsi normal jantung, maka

g-p
berbagai unsur neurohormonal dan molekuler akan menimbulkan

tan
efek toksik bagi jantung, lalu akan terjadi disfungsi miosit secara
progresif, apoptosis, dan nekrosis sel-sel miosit, akibatnya gagal

en
jantung dekompensasi (Gambar 2). k-t
m
s-k
ke
en
pm
/ke
/04
23
20
m/
co
si.
ula
reg
o
. inf
ww
//w

Gambar 2. Patofisiologi gagal jantung pada anak


ps:

Keterangan:
Renin Angiotensin Aldosterone System (RAAS); Sympathetic Nervous
htt

System (SNS).

jdih.kemkes.go.id
- 20 -

C. Mekanisme Dasar Penyebab Gagal Jantung

l
tm
Patofisiologi gagal jantung pada anak yang diilustrasikan pada

l.h
Gambar 2, menjadi mekanisme dasar bagi berbagai penyebab gagal
jantung seperti tercantum pada Tabel 5. Peningkatan preload atau beban

a
on
volume berlebih (volume overload) merupakan gangguan pengisian

si
ventrikel sebelum berkontraksi. Sedangkan peningkatan afterload atau

-na
beban tekanan berlebih (pressure overload) merupakan gangguan pada

an
tahanan yang harus dihadapi ventrikel saat kontraksi memompakan

om
darah ke seluruh tubuh. Di samping peningkatan preload dan afterload,

ed
gagal jantung juga bisa terjadi akibat penurunan kontraktilitas dan

g-p
gangguan irama jantung.

tan
Sebagian besar gagal jantung pada anak disebabkan oleh PJB,
kardiomiopati, aritmia, dan hipertensi pulmoner ( pulmonary

en
hypertension, PH). Berbeda pada janin, sebagian besar PJB belum
k-t
mengakibatkan gagal jantung selama masa intrauterine; penyebab paling
m
s-k

sering adalah fetal-maternal transfusion, rhesus sensitization,


supraventricular tachycardia (SVT), fetal AV-block, dan kardiomiopati.
ke
en

Tabel 5. Mekanisme dasar penyebab gagal jantung pada anak


pm

1. Volume overload, dapat disebabkan PJB pirau kiri ke kanan (VSD, PDA,
/ke

ASD), gangguan katup (MR, AR), anemia, atau sepsis


/04

2. Pressure overload, dapat disebabkan gangguan katup (AS valvar, PS


valvar) dan lesi obstruktif lainnya (CoA, PS supravalvar)
23

3. Kardiomiopati yang berhubungan dengan disfungsi miokard intrinsik


20

4. PH yang disebabkan lesi PJB, disfungsi ventrikel, atau komorbid seperti


m/

obstructive sleep apnea, tuberkulosis, dan penyakit paru kronik lainnya


co

5. PAH yang disebabkan PJB, penyakit ginjal, hipertensi esensial, dan


si.

arteriosklerosis
ula

6. Penyakit arteri koroner yang berhubungan dengan PJB, aterosklerosis,


reg

atau komorbid seperti diabetes melitus


7. Sianosis
o
inf

8. Aritmia: bradiaritmia (CAVB) dan takiaritmia (SVT, VT, SND)


.
ww

Keterangan:
//w

AS = aortic stenosis; ASD = atrial septal defect; CAVB = complete atrio-


ps:

ventricular block; CoA = coarctation of aorta; PDA = patent ductus


arteriosus; PJB = penyakit jantung bawaan; PAH = pulmonary arterial
htt

hypertension; PH = pulmonary hypertension; PS = pulmonary stenosis; SND

jdih.kemkes.go.id
- 21 -

= sinus node dysfunction; SVT = supraventricular tachycardia; VT =

l
tm
ventricular tachycardia

l.h
D. Penyebab Gagal Jantung

a
on
1. Penyakit Jantung Bawaan (PJB)

si
Penyakit jantung bawaan merupakan kelainan bawaan yang paling

-na
banyak dijumpai. Insidens PJB diperkirakan antara 8-12 per 1000

an
kelahiran hidup. Secara garis besar, PJB dibagi atas dua kelompok,

om
yakni PJB asianotik dan sianotik (Gambar 3 dan Gambar 4).

ed
g-p
tan
en
k-t
m
s-k
ke
en
pm

Gambar 3. Klasifikasi penyakit jantung bawaan asianotik.


/ke

Keterangan:
/04

ALCAPA = anomaly of left coronary artery from pulmonary artery;


23

APSD = aortopulmonary septal defect; AS = aortic stenosis; ASD =


20

atrial septal defect; AVSD = atrioventricular septal defect; CoA =


m/

coarctation of aorta; MR = mitral regurgitation; MS = mitral stenosis;


co

PDA = patent ductus arteriosus; PS = pulmonary stenosis; VSD =


si.

ventricular septal defect


ula
reg
o
. inf
ww
//w
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 22 -

Gambar 4. Klasifikasi penyakit jantung bawaan sianotik.

l
tm
Keterangan:
AVSD = atrioventricular septal defect; cc-TGA = congenital corrected

l.h
transposition of great arteries; DORV = double outlet right ventricle; EA

a
on
= Ebstein anomaly; HLHS = hypoplastic left heart syndrome; HRHS =

si
hypoplastic right heart syndrome; PA-IVS = pulmonary atresia-intact

-na
ventricular septum; PA-VSD = pulmonary atresia-ventricular septal

an
defect; PAH = pulmonary arterial hypertension; PVH = pulmonary

om
venous hypertension; PS = pulmonary stenosis; SV = single ventricle;

ed
TAPVC = total anomaly pulmonary venous connection; TGA-IVS =

g-p
transposition of great arteries-intact ventricular septum; TGA-VSD =

tan
transposition of great arteries-ventricular septal defect; TOF = tetralogy
of Fallot

en
k-t
Pada PNPK ini, sebagian besar nomenklatur jenis PJB disesuaikan
m
s-k

dengan nomenklatur ICD-10 (Tabel 6), untuk memudahkan para


klinisi dalam mengisi diagnosis dan klaim asuransi.
ke
en

Tabel 6. Beberapa jenis PJB sebagai penyebab gagal jantung


pm

berdasarkan ICD-10
/ke

Nama penyakit Kode


/04

Congenital malformation pf cardiac chambers and Q20


23

connections
20

Common arterial trunk atau truncus arteriosus Q20.0


m/

Double outlet right ventricle (DORV) Q20.1


co

Transposition of great arteries (TGA) Q20.3


si.

Double inlet ventricle (DIV) atau single ventricle Q20.4


ula

Ventricular inversion, congenital corrected (ccTGA) Q20.5


reg

Isomerism of atrial appendages, heterotaxia Q20.6


o

Congenital malformations of cardiac septa Q21


inf

Ventricular septal defect (VSD) Q21.0


.
ww

Atrial septal defect (ASD) Q21.1


//w

Atrioventricular septal defect (AVSD) Q21.2


Tetralogy of Fallot (ToF)
ps:

Q21.3
Aorto-pulmonary septal defect (APSD) Q21.4
htt

jdih.kemkes.go.id
- 23 -

Nama penyakit Kode

l
tm
Congenital malformations of pulmonary and tricuspid Q22

l.h
valves

a
on
Pulmonary valve atresia Q22.0

si
Congenital pulmonary valve stenosis Q22.1

-na
Congenital pulmonary valve insufficiency, absent Q22.2

an
pulmonary valve

om
Ebstein’s anomaly (EA) Q22.5

ed
Hypoplastic right heart syndrome (HRHS) Q22.6

g-p
Congenital malformations of aortic and mitral valves Q23

tan
Congenital aortic valve stenotic Q23.0

en
Hypoplastic left heart syndrome (HLHS)
k-t Q23.4
Other congenital malformations of heart Q24
m

Cortriatriatum Q24.2
s-k

Pulmonary infundibular stenosis Q24.3


ke

Congenital subaortic stenosis Q24.4


en

Malformation of coronary vessels Q24.5


pm

Congenital atrioventricular block (CAVB) Q24.6


/ke

Congenital malformations of great arteries Q25


/04

Patent ductus arteriosus (PDA) Q25.0


23

Coarctation of aorta (CoA) Q25.1


20

Supravalvular of aortic stenosis Q25.3


m/

Supravalvular of pulmonary stenosis Q25.6


co

Congenital malformations of great veins Q26


si.

Total anomaly pulmonary venous connection Q26.2


ula

(TAPVC)
reg

Partial anomaly pulmonary venous connection Q26.3


(PAPVC)
o
inf
.
ww

Jenis PJB berdasarkan waktu munculnya manifestasi klinis gagal


jantung, tampak pada Tabel 7. Berdasarkan hasil pemeriksaan
//w

prenatal ditemukan bahwa jenis PJB yang paling banyak adalah VSD
ps:

(sekitar 20% dari seluruh PJB); sedangkan TOF merupakan jenis


htt

PJB sianotik yang paling banyak ditemukan (Tabel 8).

jdih.kemkes.go.id
- 24 -

l
tm
Tabel 7. Jenis-jenis penyakit jantung bawaan yang mengakibatkan

l.h
gagal jantung

a
Masa janin

on
Regurgitasi katup atrioventrikular berat

si
Obstruksi inflow/outflow berat

-na
Penutupan duktus arteriosus dan foramen ovale intrauterin

an
Ebstein anomaly disertai supraventricular tachycardia (SVT)

om
Penyakit jantung bawaan kompleks disertai atrioventricular block
(AVB)

ed
Saat bayi baru lahir atau 3 hari pertama

g-p
Hypoplastic left heart syndrome (HLHS)

tan
Persistent pulmonary hypertension of the newborn (PPHN)

en
Fistula arteri-vena sistemik yang besar
Usia 1 minggu pertama k-t
Transposition of great arteries (TGA)
m

Patent ductus arteriosus (PDA) pada bayi prematur


s-k

Hypoplastic left heart syndrome (HLHS)


ke

Fistula arteri-vena sistemik yang besar


en

Total anomaly pulmonary venous connections (TAPVC)


pm

Critical aortic stenosis (AS)


/ke

Critical pulmonary stenosis (PS)


Lesi lainnya yang termasuk pada bayi baru lahir atau 3 hari
/04

pertama
23

Usia 1-4 minggu


20

Coarctation of aorta (CoA)


m/

Pirau kiri ke kanan pada bayi prematur


co

Lesi lainnya yang termasuk pada usia 1 minggu pertama


si.

Usia 4-6 minggu


ula

Atrioventricular septal defect (AVSD)


Usia > 6 minggu
reg

Ventricular septal defect (VSD) besar


o

Patent ductus arteriosus (PDA) yang besar


inf

Atrial septal defect (ASD) yang besar


.
ww

Tabel 8. Insidens penyakit jantung bawaan berdasarkan


//w

pemeriksaan prenatal
ps:

Jenis lesi Estimasi persenta


htt

Ventricular septal defect 20%

jdih.kemkes.go.id
- 25 -

Jenis lesi Estimasi persenta

l
tm
Patent ductus arteriosus 10%
Tetralogy of Fallot 10%

l.h
Coarctation of the aorta 10%

a
on
Atrial septal defect 5%

si
Transposition of the great arteries 5%

-na
Critical aortic stenosis 5%

an
Tricuspid atresia 1%

om
Pulmonary stenosis 1%
Ebstein anomaly 1%

ed
Interrupted aortic arch 1%

g-p
Hypoplastic left heart syndrome 1%

tan
en
Setelah lahir, sekitar 25% dari seluruh PJB merupakan PJB kritis.
k-t
Klasifikasi PJB kritis terbagi atas PJB kritis tergantung duktus
m
arteriosus dan PJB kritis tidak tergantung duktus arteriosus. Pada
s-k

PJB kritis tergantung duktus arteriosus, bayi sering mengalami gagal


ke

jantung dan syok, bahkan dapat meninggal jika duktus menutup.


en

Klasifikasi PJB kritis tergantung duktus yaitu:


pm

a. Aliran pulmonal tergantung duktus. Contohnya, pulmonary


atresia - ventricular septal defect (PA - VSD), pulmonary atresia -
/ke

intact ventricular septum (PA - IVS), pulmonary stenosis (PS)


/04

berat, dan hypoplastic right heart syndrome (HRHS).


23

b. Aliran sistemik tergantung duktus. Contohnya, total anomaly


20

pulmonary venous connection (TAPVC), critical aortic stenosis


m/

(AS), hypoplastic left heart syndrome (HLHS), critical coarctation


co

of aorta (CoA), dan interrupted aortic arch (IAA).


si.

c. Aliran campuran (mixing) tergantung duktus dan foramen ovale,


ula

contohnya transposition of great arteries – intact ventricular


reg

septum (TGA - IVS).


o

Sedangkan pada PJB kritis tidak tergantung duktus, masalah gagal


inf

jantung sering disertai manifestasi klinis PH. Contohnya Truncus


.
ww

Arteriosus, Transposition Of Great Arteries – Ventricular Septal Defect


(TGA - VSD), Double Outlet Right Ventricle (DORV) dengan VSD
//w

subaortik, DORV dengan VSD subpulmonik atau dikenal dengan


ps:

istilah TAUSSIG BING ANOMALY (TBA), Double Inlet Ventricle (DIV),


htt

dan Complete Atrioventricular Septal Defect (CAVSD).

jdih.kemkes.go.id
- 26 -

Walaupun saat ini kelangsungan hidup pasien PJB kritis semakin

l
tm
baik, namun masalah gagal jantung tetap menjadi perhatian serius,

l.h
baik pra maupun pasca-intervensi. Penyebab gagal jantung pada PJB
pra-intervensi tercantum pada Tabel 1. Sedangkan penyebab gagal

a
on
jantung pada PJB pasca-intervensi adalah:

si
a. Defek atau lesi residual yang signifikan

-na
b. Komplikasi akibat pemakaian cardiopulmonary bypass (CPB)

an
yang terlalu lama atau akibat intervensi bedah berulang

om
terutama pada kasus-kasus PJB kompleks, seperti Blalock-

ed
Taussig Shunt (BTS), central shunt, prosedur Rastelli, koreksi

g-p
total biventrikular, prosedur arterial switch, prosedur Damus -

tan
Kaye Stensel (DKS), prosedur Norwood, Pulmonary Artery
Banding (PAB), Bidirectional Cavopumonary Shunt (BCPS),

en
prosedur Fontan, serta perbaikan atau penggantian katup
k-t
jantung.
m
s-k

c. Gangguan katup berat, disfungsi ventrikel, dan kardiomiopati


d. Pulmonary hypertension (PH)
ke

e. Aritmia
en

f. Infective endocarditis (IE)


pm

2. Kardiomiopati
/ke

Kardiomiopati merupakan penyebab tersering kedua gagal jantung


/04

pada anak. Insidens kardiomiopati diperkirakan antara 1-1,2 per


23

100.000 anak. Kejadian kardiomiopati ini sepuluh kali lebih sering


20

terjadi pada tahun pertama kehidupan. Sebagian besar


m/

kardiomiopati disebabkan penyakit genetik, kelainan metabolik


co

bawaan (inborn error metabolism). Kardiomiopati bisa ditemukan


si.

pada lebih dari 40 kelainan metabolik bawaan yang berbeda,


ula

termasuk fatty acid oxidation defects, organic acidemias, amino


acidopathies, glycogen storage diseases, dan congenital disorders of
reg

glycosylation, seperti kelainan peroksisimal, mitokondria, dan


o
inf

lysosomal storage. Klasifikasi diagnosis kardiomiopati berdasarkan


.

ICD-10, seperti dipaparkan pada Tabel 9.


ww

Kardiomiopati dan PJB memiliki beberapa faktor penyebab intrinsik


//w

yang tumpang tindih (Gambar 5). Bayi PJB tanpa kardiomiopati,


ps:

sekitar 20% kasus mengalami gagal jantung dan 6% kasus


memerlukan intervensi lanjutan. Bayi PJB dengan kardiomiopati,
htt

seluruhnya mengalami disfungsi ventrikel dan 40% kasus mengalami

jdih.kemkes.go.id
- 27 -

gagal jantung yang memerlukan intervensi lanjutan. Bayi dengan

l
tm
kardiomiopati tanpa adanya PJB akan mengalami disfungsi ventrikel

l.h
dan sekitar 65% kasus gagal jantung memerlukan intervensi
lanjutan.

a
on
Tabel 9. Klasifikasi kardiomiopati berdasarkan ICD-10

si
Diagnosis Kode

-na
Cardiomyopathy I42

an
Dilated cardiomyopathy (DCM) I42.0

om
Hypertrophic obstructive cardiomyopathy (HOCM) I42.1

ed
Other hypertrophic cardiomyopathy (HCM) I42.2

g-p
Endomyocardial (eosinophilic) disease I42.3

tan
Endocardial fibroelastosis I42.4

en
Other restrictive cardiomyopathy I42.5
Alcoholic cardiomyopathy k-t
m
I42.6
Cardiomyopathy due to drug and external agent I42.7
s-k
ke

Menurut AHA Scientific Statement tahun 2019, kardiomiopati dibagi


en

atas dilated cardiomyopathy (DCM), hypertrophic cardiomyopathy


pm

(HCM), restrictive cardiomyopathy (RCM), left ventricular non-


compaction cardiomyopathy (LVNC), dan arrhythmogenic right
/ke

ventricular cardiomyopathy (ARVC). Gambaran anatomi dari berbagai


/04

jenis kardiomiopati tersebut, tercantum pada Gambar 6.


23
20
m/
co
si.
ula
o reg
inf
.
ww
//w

Gambar 5. Hubungan PJB dan kardiomiopati dalam mengakibatkan


ps:

gagal jantung
htt

jdih.kemkes.go.id
- 28 -

l
tm
l.h
a
sion
-na
an
om
ed
g-p
tan
en
Gambar 6. Gambaran anatomi fenotip pada kardiomiopati
k-t
a. Kardiomiopati Dilatasi
m
s-k

Kardiomiopati Dilatasi (Dilated Cardiomyopathy-DCM) ditandai


dengan dilatasi dan disfungsi sistolik ventrikel, tebal dinding
ke

miokardium umumnya normal dan sering disertai dengan


en

regurgitasi mitral (Mitral Regurgitation, (MR)). DCM merupakan


pm

jenis kardiomiopati yang paling sering mengakibatkan gagal


/ke

jantung pada bayi dan anak. Insidens DCM sekitar 0,57 per
/04

100.0000 anak, umumnya terjadi pada tahun pertama


23

kehidupan. Sekitar 40% kasus meninggal setelah 5 tahun


20

terdiagnosis atau memerlukan transplantasi jantung. Selain


m/

disebabkan oleh penyakit genetik dan kelainan metabolik


co

bawaan, DCM juga dapat disebabkan oleh penyakit didapat


si.

(Tabel 10), DCM juga dapat diinduksi oleh takikardia yang lama.
ula
reg

Tabel 10. Penyebab kardiomiopati dilatasi pada anak


Faktor Contoh
o
inf

Lamin A-C, myosin binding protein-


.
ww

C, troponin I, taffazin (Barth


Mutasi gen
syndrome), dystrophin, Danon
//w

disease, mitochondrial disorders,


ps:

limb-girdle dystrophy, titin, desmin,


htt

Carnitine deficiency

jdih.kemkes.go.id
- 29 -

Coxsackie virus, enterovirus,

l
tm
parvovirus, adenovirus, influenza,
Miokarditis

l.h
Epstein-Barr virus,HIV,
cytomegalovirus, varicella, mumps,

a
on
Giant cell disease, Lyme disease,

si
mycoplasma

-na
ALCAPA, penyakit Kawasaki,

an
Iskemia
aneurisma coroner

om
Penyakit jantung Gangguan katup, penyakit jantung

ed
struktural bawaan

g-p
Hipotiroid, penyakit paratiroid,
Kelainan endokrin

tan
feokromositoma
Anemia defisiensi besi, anemia

en
Kelainan hematologi sickle k-tcell, hemokromasitosis,
talasemia
m
s-k

Uremia, hipertensi akibat penyakit


Kelainan nefrologi
ginjal kronik
ke
en

Autoimun/penyakit SLE, dermatomyositis, penyakit


pm

vaskular kolagen jantung rematik


Toksin Antrasiklin, radiasi, siklofosfamin
/ke

Keterangan:
/04

ALCAPA = anomalous og left coronary artery from pulmonary


23

artery; HIV = human immunodeficiency virus; SLE = systemic


20

lupus erythematosus
m/
co

Penyebab DCM pada bayi harus menyingkirkan kemungkinan


si.

anomali arteri kononer, seperti Anomaly Left Coronary Artery


ula

From Pulmonary Artery (ALCAPA) dan aneurisma koroner akibat


reg

penyakit Kawasaki, yang dapat menyebabkan iskemik miokard,


penurunan fungsi sistolik dan dilatasi ventrikel kiri. Miokarditis
o
inf

akibat virus Coxsackie yang merupakan virus kardiotropik,


.
ww

merupakan PJD yang paling sering mengakibatkan DCM.


Walaupun sebagian besar miokarditis akut akibat virus sembuh
//w

sempurna, namun bisa berlanjut kronik. Pada miokarditis


ps:

kronik, terjadi reaksi autoimun dan kerusakan langsung sel-sel


htt

otot jantung, gangguan pembentukan dan konduksi impuls

jdih.kemkes.go.id
- 30 -

jantung. Beberapa literatur terkini menganggap DCM sebagai

l
tm
gejala sisa miokarditis virus sebelumnya.

l.h
b. Kardiomiopati Hipertrofi
Kardiomiopati hipertrofi (Hypertrophic Cardiomyopathy-HCM)

a
on
adalah hipertrofi ventrikel kiri tanpa disertai dilatasi, fungsi

si
sistolik normal atau bahkan meningkat. Sebagian besar

-na
penyebab HCM adalah kelainan genetik, seperti kelainan enzim

an
lisosom atau glikogen pada miokard, abnormalitas fosforilasi

om
oksidatif, dan mutasi gen sarkomer.

ed
Manifestasi klinis HCM seringkali muncul saat pasien telah

g-p
remaja atau dewasa. Jika HCM terjadi pada masa bayi dan

tan
anak, umumnya pasien datang dengan gejala dan tanda klinis
gagal jantung sistolik dan diastolik. Gejala sinkop bahkan

en
kematian mendadak terjadi pada masa anak dan remaja,
k-t
disebabkan oleh left ventricle outflow tract obstruction (LVOTO)
m
s-k

yang berat, aritmia, atau keduanya. Sekitar 20% HCM disertai


LVOTO, dikenal dengan istilah hypertrophy obstructive
ke

cardiomyopathy (HOCM). Penyebab non-genetik biasanya


en

berhubungan dengan obesitas, riwayat ibu hamil dengan


pm

diabetes, dan amyloidosis.


/ke

c. Kardiomiopati Restriktif
/04

Kardiomiopati restriktif (Restrictive Cardiomyopathy-RCM)


23

adalah penyakit otot jantung yang ditandai dengan disfungsi


20

diastolik di kedua ventrikel disertai dilatasi atrium, sedangkan


m/

ukuran, ketebalan otot ventrikel, dan fungsi sistolik ventrikel


co

kiri umumnya normal. Insidens RCM hanya sekitar 5% dari


si.

seluruh kardiomiopati pada anak. RCM disebabkan oleh


ula

kelainan genetik akibat mutasi gen protein sarkomer. Gejala dan


reg

tanda klinis bervariasi seperti ortopnea dan batuk-batuk yang


seringkali dianggap sebagai asma, nyeri dada, sinkop, bahkan
o
inf

kematian mendadak.
.

d. Kardiomiopati Non-Kompaksi
ww

Kardiomiopati non-kompaksi (Left Ventricular Non-Compaction


//w

Cardiomyopathy-LVNC), disebabkan oleh kelainan genetik dan


ps:

penyakit metabolik. Kelainan anatomi LVNC adalah


hipertrabekula yang melibatkan salah satu ventrikel atau
htt

keduanya.

jdih.kemkes.go.id
- 31 -

e. Kardiomiopati Aritmogenik

l
tm
Seperti kardiomiopati lainnya, kardiomiopati aritmogenik
Right Ventricle Cardiomyopathy-ARVC)

l.h
(Arrhythmogenic
disebabkan oleh kelainan genetik. Pada masa anak, jarang

a
on
muncul gejala dan tanda klinis gagal jantung. Infiltrasi fibro -

si
fatty pada miokardium menjadi penyebab terjadinya aritmia

-na
ventrikel dan disfungsi sistolik biventrikular yang muncul pada

an
masa remaja.

om
3. Aritmia

ed
Aritmia dibagi menjadi bradiaritmia, takiaritmia, sinus aritmia dan

g-p
premature beats. Beberapa jenis aritmia sesuai ICD-10 yang dapat

tan
mengakibatkan gagal jantung tercantum pada Tabel 11. Sinus
aritmia dan premature beats tidak mengakibatkan gagal jantung.

en
Pada aritmia berat dapat terjadi gagal jantung, syok, hingga
k-t
kematian mendadak. Aritmia pada anak dapat disebabkan oleh
m
s-k

kelainan genetik, atau berhubungan dengan beberapa penyakit


seperti PJB, kardiomiopati, hipertensi pulmoner, efek samping obat,
ke

atau gangguan keseimbangan elektrolit, terutama kalium, kalsium,


en

dan magnesium.
pm

Aritmia merupakan penyebab gagal jantung paling banyak


/ke

ditemukan pada masa intrauterin. Pada anak, gagal jantung sering


/04

diakibatkan oleh aritmia, seperti fibrilasi atrial (Atrial Fibrillation,


23

(AF)), Atrioventricular Node Reentry Tachycardia (AVNRT),


20

Atrioventricular Reentry Tachycardia (AVRT), Ectopic Atrial


m/

Tachycardia (EAT), dan gangguan konduksi yaitu Congenital


co

Atrioventricular Block (CAVB). Pra-intervensi PJB kompleks sering


si.

terjadi SVT (pada anomali Ebstein) dan CAVB (pada single ventricle).
ula

Pasca-intervensi PJB, kejadian aritmia lebih tinggi baik takiaritmia,


misalnya takikardia atrial pasca-bedah arterial switch, AF pasca-
reg

prosedur Fontan, maupun bradiaritmia, misalnya AVB pasca-bedah


o
inf

koreksi VSD dan AVSD, atau pasca-prosedur Senning pada ccTGA.


.
ww

Tabel 11. Beberapa jenis aritmia berdasarkan ICD-10


//w

Nama penyakit Kode


ps:

Atrioventricular and left bundle branch block I44


htt

Atrioventricular block, first degree I44.0

jdih.kemkes.go.id
- 32 -

Atrioventricular block, second degree I44.1

l
tm
Atrioventricular block, complete I44.2

l.h
Paroxysmal tachycardia I47

a
Atrioventricular reentry tachycardia (AVRT) I47.0

on
Atrioventricular node reentry tachycardia (AVNRT) I47.0

si
Supraventricular tachycardia (SVT) I47.1

-na
Ectopic atrial tachycardia (EAT) I47.1

an
Ventricular tachycardia I47.2

om
Torsades de pointes I47.2

ed
Paroxysmal tachycardia, unspecified I47.9

g-p
Atrial fibrillation and flutter I48

tan
Paroxysmal atrial fibrillation I48.0

en
Persistent atrial fibrillation I48.1
Chronic atrial fibrillation
k-t
m
I48.2
Typical atrial flutter I48.3
s-k

Atypical atrial flutter I48.4


ke
en

4. Hipertensi Pulmoner
pm

Berdasarkan pedoman dari European Pediatric Pulmonary Vascular


Disease Network tahun 2019, PH didefinisikan sebagai tekanan arteri
/ke

pulmonal rerata (mean pulmonary arterial pressure, mPAP) >20


/04

mmHg pada anak usia >3 bulan. Definisi PH tersebut tidak


23

mencakup bayi usia di bawah 3 bulan, karena resistensi vaskular


20

paru (pulmonary vascular resistance, PVR) dan PAP pada masa


m/

transisi sirkulasi fetal-neonatal masih tinggi. Pada neonatus,


co

umumnya PH terjadi karena bertahannya sirkulasi fetal setelah lahir,


si.

dikenal dengan istilah Persistent Pulmonary Hypertension of the


ula

Newborn (PPHN). Aliran pada duktus arteriosus dan foramen ovale


reg

masih merupakan pirau kanan ke kiri seperti saat masih di


o

intrauterin. Klasifikasi PH berdasarkan ICD-10 tertera pada Tabel


inf

12.
.
ww
//w
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 33 -

Tabel 12. Klasifikasi hipertensi pulmoner berdasarkan ICD-10

l
tm
Diagnosis Kode

l.h
Primary pulmonary hypertension I27.0

a
Kyphoscoliotic heart disease I27.1

on
Other secondary pulmonary hypertension I27.2

si
-na
Other specific pulmonary heart disease I23.8
Pulmonary heart disease, unspecified I27.9

an
om
Selain PPHN, penyebab PH pada bayi adalah pirau kiri ke kanan

ed
yang signifikan, seperti pada bronchopulmonary dysplasia (BPD) yang

g-p
merupakan komplikasi lanjut dari hemodynamic significant patent

tan
ductus arteriosus (hs-PDA). Pada hs-PDA terjadi kelebihan beban

en
volume di sirkulasi pulmonal akibat pirau kiri ke kanan, hal ini tidak
k-t
terjadi pada PPHN yang memiliki PVR tinggi. Penyebab PH lain
m
adalah hipoksia, tromboemboli, kelainan bawaan mayor, dan
s-k

kelainan sistemik lainnya (lihat penyebab PH pada Tabel 13).


ke

Pada PJB, ada beberapa kondisi yang bisa mengakibatkan terjadinya


en

PH. Awalnya merupakan PH sekunder akibat pirau signifikan dari


pm

aliran sistemik ke pulmonal yang belum menimbulkan sianosis. Jika


/ke

ini berlangsung lama dan resistensi vaskular paru (pulmonary


vascular resistance, PVR) meningkat, akan terjadi pirau pulmonal ke
/04

sistemik, kondisi ini dikenal sebagai sindroma Eissenmenger dengan


23

manifestasi klinis jari tabuh dan sianosis. Jika terjadi PH pada PJB
20

dengan defek yang kecil, maka perlu dicari penyebab lain. PH pasca-
m/

intervensi PJB dapat terjadi pada kasus-kasus PJB tertentu, seperti


co

pasca-bedah BCPS, pasca-prosedur Fontan, atau pasca bedah


si.

koreksi total. Seperti halnya pada gagal jantung, penelitian tentang


ula

PH pada anak juga masih terbatas, sehingga diagnosis dan tata


reg

laksananya banyak mengacu pada pedoman pasien dewasa.


o
inf

Tabel 13. Penyebab hipertensi pulmoner pada anak


.
ww

a. Prenatal or developmental vascular disease


Associated with fetal cardiac maldevelopment
//w

 Premature closure of foramen ovale or ductus arteriosus


ps:

- Idiopathic
htt

- Drug induced

jdih.kemkes.go.id
- 34 -

 Congenital heart defect associated with PVD in the fetus

l
tm
- Transposition of great arteries with intact ventricular

l.h
septum
- Hypoplastic left heart syndrome with intact atrial septum

a
on
- Obstructed total anomalous pulmonary venous

si
connection

-na
- Common pulmonary vein atresia

an
b. Perinatal pulmonary vascular maladaptation

om
 Idiopathic PPHN

ed
 PPHN associated with or triggered by

g-p
- Sepsis

tan
- Meconium aspiration
- Congenital heart disease

en
- Congenital diaphragmatic hernia
k-t
- Trisomy 21, 18, 13
m
s-k

- Drugs: Diazoxide
- Hypobaric, hypoxic exposure
ke

Pediatric cardiovascular disease


en


pm

 Bronchopulmonary dysplasia
 Isolated pediatric PH vascular disease or isolated PAH
/ke

 Multifactorial PH vascular disease in congenital malformation


/04

 Pediatric lung disease


23

 Pediatric thromboembolic disease


20

 Pediatric hypobaric hypoxic disease


m/

 Pediatric pulmonary vascular diseases associated with other


co

system disorders
si.

Keterangan:
ula

PAH = pulmonary arterial hypertension; PH = pulmonary hypertension;


reg

PPHN = persistent pulmonary hypertension of the newborn; PVD =


pulmonary vascular disease
o
. inf
ww

5. Penyakit Jantung Didapat (PJD) dan Gagal Jantung Dengan Struktur


Jantung Normal
//w

Pada anak-anak di negara berkembang, sebagian besar PJD


ps:

disebabkan oleh demam rematik akut (Acute Rheumatic Fever (ARF))


htt

dan penyakit jantung rematik (Rheumatic Heart Disease (RHD)). Data

jdih.kemkes.go.id
- 35 -

epidemiologi anak yang mengalami ARF dan RHD bervariasi di

l
tm
berbagai negara. Sekitar 40% gagal jantung pada remaja disebabkan

l.h
oleh ARF dan RHD. Beberapa PJD non-reumatik yang dapat
mengakibatkan gagal jantung adalah:

a
on
a. infeksi: IE, miokarditis akibat virus, dan disfungsi miokard

si
akibat sepsis

-na
b. inflamasi: miokarditis akibat autoimun, perikarditis

an
konstriktiva, penyakit Kawasaki, dan karditis akibat lupus

om
eritematosus.

ed
c. akibat bahan toksin dan paparan obat kemoterapi :

g-p
anthracycline, doxorubicin

tan
d. kelainan hematologi: akibat transfusi berulang pada talasemia,
atau anemia berat

en
e. kelainan endokrin: diabetes, tirotoksikosis, hipotiroid, gangguan
k-t
paratiroid
m
s-k

f. penyakit ginjal: sindrom kardiorenal


g. penyakit neuromuskular
ke

Penyebab PJD dengan struktur jantung normal juga berbeda-beda


en

pada berbagai kelompok usia, seperti tertera pada Tabel 14.


pm
/ke

Tabel 14. Penyebab gagal jantung pada anak dengan struktur


/04

jantung normal
23

Janin Bayi (1 – 12 bulan)


20

Anemia Anemia
m/

Aritmia Aritmia
co

Kardiomiopati Kardiomiopati
si.

Miokarditis Endokrinopati
ula

Twin to twin Arterio-vena malformation


reg

transfusion Riwayat iskemik hipoksik


Arterio-vena Hipotiroid
o
inf

malformation Infeksi berat dan sepsis


.

Hipertiroid Hipertensi
ww

Penyakit Kawasaki
//w

Gangguan metabolik (hipoglikemia,


ps:

hipokalsemia)
Neonatal (0 – 28 hari) Anak – remaja
htt

jdih.kemkes.go.id
- 36 -

Anemia Penyakit katup didapat

l
tm
Aritmia Demam reumatik akut

l.h
Arterio-vena Penyakit jantung reumatik

a
malformation Endokarditis

on
Kardiomiopati Anemia

si
Endokrinopati Aritmia

-na
Hipoglikemia Kardiomiopati

an
Hipotiroid Miokarditis

om
Hypoxic ischemic Human immunodeficiency virus (HIV)

ed
encephalopathy Hipertensi

g-p
Infeksi berat dan Cardiorenal syndrome

tan
sepsis Gangguan ginjal akut
Penyakit ginjal kronik

en
Penyakit Kawasaki
k-t
Endokrinopati
m
s-k

Paparan kardiotoksik (kemoterapi,


radiasi)
ke

Penyakit genetik
en
pm

E. Pendekatan Diagnostik
/ke

1. Manifestasi Klinis Gagal Jantung


/04

Gejala dan tanda klinis gagal jantung pada anak sangat bervariasi.
23

Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang menyeluruh sangat penting


20

dalam penegakan diagnosis dan evaluasi gagal jantung. Pada Tabel


m/

15 di bawah ini, tercantum gejala dan tanda klinis gagal jantung


co

pada anak, yang dibagi atas dua kelompok besar, yakni kelompok
si.

bayi dan balita, serta kelompok anak usia sekolah dan remaja.
ula

Gejala klinis yang hampir selalu ditemukan pada bayi adalah nafas
reg

cepat dan kesulitan minum susu. Sedangkan pada anak dan remaja,
mudah lelah dan intoleransi aktivitas lebih sering terjadi.
o
. inf

Tabel 15. Gejala dan tanda klinis gagal jantung pada anak
ww

Gejala dan tanda


//w

klinis Gejala dan tanda klinis


Kelompok anak
ps:

yang sering yang jarang ditemukan


htt

ditemukan

jdih.kemkes.go.id
- 37 -

Takiaritmia atau
Janin -

l
tm
bradiaritmia

l.h
Nafas cepat (takipnea)

a
Takikardia

on
Sianosis
Iritabilitas, kesulitan

si
Bayi dan balita Palpitasi
makan atau minum

-na
Sinkop
susu (refluks, muntah,

an
Edema pada wajah
menolak

om
Dependent edema
makan/minum susu)
Asites

ed
Keringat berlebihan

g-p
(diaforesis)

tan
Tampak pucat (anemis)
Mudah lelah (fatigue) Palpitasi

en
Anak usia
Intoleransi aktifitas k-t Nyeri dada
sekolah dasar
Sesak nafas (dispnea) Dependent edema
m
dan remaja
s-k

Ortopnea
Nyeri perut
ke
en
pm

Manifestasi klinis gagal jantung juga berbeda pada kelompok janin


dan bayi. Pada janin, sebagian besar PJB belum mengakibatkan
/ke

gagal jantung, kecuali jika ditemukan regurgitasi katup yang berat


/04

atau jika disertai AVB total. Manifestasi klinis dapat berupa


23

penurunan gerakan janin, efusi perikard, takiaritmia atau


20

bradiaritmia, dan asites.


m/

Pada bayi baru lahir dengan prematuritas dan berat bayi lahir
co

rendah, gagal jantung ditandai dengan adanya asidosis, anemia, dan


si.

hipoksemia. Sedangkan pada bayi cukup bulan, umumnya dijumpai


ula

takipnea, kelelahan saat minum susu, dan penurunan produksi


reg

urin. Bayi baru lahir dengan prematuritas lebih sering mengalami


gagal jantung dibandingkan bayi cukup bulan. Tanda-tanda gagal
o
inf

jantung yang klasik seperti edema, distensi vena jugularis, dan


.

takikardia seringkali tidak ditemukan. Pada bayi dengan PJB lesi


ww

ringan, umumnya tidak menimbulkan manifestasi klinis gagal


//w

jantung, namun dalam perjalanan penyakitnya dapat terjadi gagal


ps:

jantung maupun komplikasi lainnya. Jika terjadi gagal jantung pada


htt

PJB lesi ringan, diperlukan investigasi untuk mencari penyebab


masalah jantung lainnya atau masalah ektrakardiak. Sedangkan

jdih.kemkes.go.id
- 38 -

pada PJB dengan lesi sedang sampai berat atau kompleks, waktu

l
tm
munculnya manifestasi klinis gagal jantung pada anak sangat

l.h
bervariasi, seperti terlihat pada Tabel 7.
Walaupun PJB dikelompokkan berdasarkan manifestasi klinis ada

a
on
atau tidak adanya sianosis, namun ada beberapa hal yang perlu

si
difahami dalam proses penegakan diagnosis PJB, yakni:

-na
a. Sianosis tidak hanya disebabkan oleh PJB, beberapa kondisi

an
seperti hipoksemia akibat kelainan paru dan saluran

om
pernafasan, kelainan hematologi, atau kelainan neurologi juga

ed
bisa menimbulkan sianosis

g-p
b. Pada beberapa pasien PJB asianotik dengan pirau kiri ke kanan,

tan
dapat terlihat sianosis jika terjadi PH berat dan pirau berbalik
dari kanan ke kiri (sindrom Eisenmenger).

en
c. Pada PJB asianotik dengan lesi obstruktif seperti PS, AS, dan
k-t
CoA, pasien tidak terlihat sianosis jika derajat lesi ringan.
m
s-k

Namun pada PS berat/kritikal dengan pirau PFO/ASD atau


VSD, pasien akan terlihat sianosis; demikian halnya pada AS
ke

dan CoA berat/ kritikal yang mengalami edema paru dan


en

hipoksemia atau perfusi perifer yang buruk.


pm

d. Pada PPHN hanya ditemukan PFO dan atau PDA, namun bayi
/ke

tampak sianosis akibat masih bertahannya sirkulasi fetal


/04

dengan PVR yang tinggi.


23

e. Pada TOF dengan derajat obstruksi alur keluar ventrikel kanan


20

ringan sampai moderat, pasien dapat terlihat tidak sianotik


m/

(pink TOF).
co

f. Pada PJB sianotik tanpa obstruksi jalan keluar ventrikel,


si.

manifestasi klinis sianosis muncul sejalan dengan semakin


ula

beratnya gagal jantung, misalnya pada TrA, TGA -VSD, DORV,


reg

atau TBA.
g. Pada PJB sianotik dengan anemia relatif, pasien sering tidak
o
inf

tampak sianosis. Manifestasi klinis sianosis bergantung pada


.

kadar reduced haemoglobin (reduced Hb) yang nilainya


ww

ditentukan oleh kadar Hb dan saturasi oksigen arteri (SaO2).


//w

Pasien mulai terlihat sianosis bila kadar reduced Hb >3 gr/dl.


ps:

Misalnya pada pasien PJB sianotik dengan kadar Hb 10 gr/dl


dan SaO2 80%, tidak akan tampak sianosis karena nilai reduced
htt

Hb = (100% - 80%) x 10 gr/dL = 2 gr/dl. Pasien baru akan

jdih.kemkes.go.id
- 39 -

terlihat sianosis jika dilakukan transfusi dan kadar Hb >15

l
tm
gr/dl, sehingga reduced Hb >3 gr/dl.

l.h
Kegagalan pertumbuhan biasanya disebabkan kesulitan makan atau
minum susu yang sering terjadi pada gagal jantung bayi dan balita.

a
on
Anak akan menyelesaikan aktivitas makan atau minum lebih lama

si
(>20 menit), disertai penurunan kemampuan untuk menerima

-na
asupan makanan atau minuman. Anak rewel saat diberi makan atau

an
minum, berkeringat berlebihan, bahkan sering menolak saat diberi

om
makan atau minum. Proses absorbpsi makanan di usus juga dapat

ed
terganggu oleh karena kurangnya perfusi ke organ saluran cerna,

g-p
sehingga terjadi malabsorbsi. Manifestasi klinis yang dapat dijumpai

tan
adalah refluks gastroesofageal, mual, dan muntah. Jika ini terjadi
berlama-lama, berat badan bayi sulit naik dan dalam jangka panjang

en
dapat terjadi gagal tumbuh. Penyebab lain gagal tumbuh adalah
k-t
adanya sitokin proinflamasi, abnormalitas neurohormonal, dan
m
s-k

kebutuhan metabolisme yang meningkat, sebagaimana terlihat pada


Gambar 7.
ke
en
pm
/ke
/04
23
20
m/
co
si.
ula
o reg
inf

Gambar 7. Mekanisme terjadinya gagal tumbuh pada gagal jantung


.

anak
ww
//w

Banyak faktor lain yang sering mengakibatkan gagal tumbuh,


ps:

sehingga setiap anak yang mengalami gagal jantung disertai gagal


tumbuh, harus disingkirkan kemungkinan penyebab lainnya. Pada
htt

anak yang mengalami gagal jantung disertai gagal tumbuh yang

jdih.kemkes.go.id
- 40 -

persisten, dapat menjadi indikator respon pengobatan yang tidak

l
tm
adekuat. Pada anak dengan gagal tumbuh akibat asupan kalori yang

l.h
rendah, defisiensi protein, masalah gastrointestinal, kelainan
metabolik, atau penyakit kronis lainnya, juga dapat menyebabkan

a
on
disfungsi ventrikel yang mengakibatkan gagal jantung.

si
Murmur yang terdengar saat dilakukan pemeriksaan fisis, bukan

-na
manifestasi klinis spesifik dari gagal jantung, namun hanya

an
merupakan petanda adanya aliran turbulensi. Murmur sering tidak

om
terdengar pada awal-awal masa neonatus, namun setelah beberapa

ed
minggu atau bulan kemudian ketika PVR turun, murmur akibat

g-p
pirau dari kiri ke kanan baru akan terdengar. Tidak adanya

tan
murmur, tidak menyingkirkan kemungkinan PJB, sebaliknya adanya
murmur belum tentu ada PJB. Murmur derajat 1 atau 2 merupakan

en
murmur fisiologis (inosens) atau adanya aliran turbulensi ringan
k-t
yang bisa terjadi pada jantung normal. Sedangkan murmur patologis
m
s-k

adalah jika murmur sistolik derajat 2 ke atas, murmur holosistolik,


dan murmur diastolik. Murmur patologis dapat membantu untuk
ke

menegakkan diagnosis penyebab gagal jantung.


en

2. Klasifikasi Derajat Keparahan Klinis Gagal Jantung Pada Anak


pm

Ada beberapa model pengklasifikasian derajat keparahan klinis gagal


/ke

jantung pada bayi, anak dan remaja.


/04

a. Klasifikasi derajat keparahan klinis NYHA/Ross: untuk anak


23

usia >6 tahun mengacu pada klafisikasi New York Heart


20

Association (NYHA) untuk orang dewasa. Sedangkan untuk bayi


m/

dan anak <6 tahun, menggunakan kriteria Ross yang


co

dimodifikasi dari kriteria NYHA, sebagaimana tercantum pada


si.

Tabel 16.
ula

b. Klasifikasi derajat keparahan klinis Ross yang dimodifikasi


reg

sebagaimana tercantum pada Tabel 17.


c. Klasifikasi ACC/AHA tahun 2013 (Tabel 18), di samping
o
inf

memperhatikan derajat keparahan klinis sebagaimana kriteria


.

NYHA/Ross, juga mempertimbangkan ada tidaknya


ww

abnormalitas anatomi dan fungsi jantung, serta gagal jantung


//w

fase awal (akut) atau fase lanjut (kronik).


ps:

Pada PNPK ini, kriteria NYHA/Ross dan klasifikasi menurut


ACC/AHA menjadi dasar pengelompokan gagal jantung pada
htt

anak.

jdih.kemkes.go.id
- 41 -

l
tm
Tabel 16. Klasifikasi derajat keparahan gagal jantung pada bayi,

l.h
anak, dan remaja
Derajat Kriteria Ross Kriteria Ross Kriteria NYHA

a
on
keparahan 0 – 1 tahun Anak 1 – 6 tahun Anak > 6 tahun

si
Kelas I Asimtomatik Asimtomatik Asimtomatik

-na
Bayi tampak Anak tampak sesak
Gejala klinis

an
Kelas II mengalami nafas nafas jika
tampak saat
agak cepat, melakukan aktivitas

om
melakukan aktifitas
berkeringat banyak derajat sedang
fisik derajat sedang

ed
saat minum susu sesuai usianya

g-p
Bayi tampak Anak tampak sesak Gejala klinis
Kelas III mengalami nafas nafas jika tampak saat

tan
cepat, berkeringat melakukan aktivitas melakukan

en
banyak saat minum derajat ringan aktivitas fisik
susu k-t
sesuai usianya derajat ringan
Sesak nafas, nafas Sesak nafas, nafas Gejala klinis
m
Kelas IV cepat, retraksi dada, cepat, retraksi dada, tampak saat
s-k

mendengkur, mendengkur, istrahat


ke

berkeringat banyak berkeringat banyak


en

saat istrahat saat istrahat


pm

Keterangan:
NYHA = New York Heart Association
/ke
/04

Tabel 17. Kriteria Ross yang dimodifikasi untuk gagal jantung pada
23

anak
20

Skor
Parameter
m/

0 +1 +2
co

Riwayat
si.

Berkeringat Hanya di Kepala dan tubuh Kepala dan


ula

banyak kepala saat beraktivitas tubuh saat


reg

istirahat
Takipnea Sangat jarang Jarang Sering
o
inf

Pemeriksaan
.
ww

fisis
Pernafasan Normal Retraksi Dispnea
//w

Usia (tahun)
ps:

Laju nafas
htt

(kali per

jdih.kemkes.go.id
- 42 -

menit):

l
tm
0–1 < 50 50 – 60 > 60

l.h
1–6 < 35 35 – 45 > 45

a
7 – 10 < 25 25 – 35 > 35

on
11 – 14 < 18 18 – 28 > 28

si
-na
Denyut
jantung (per

an
menit):

om
0–1 < 160 160 – 170 > 170

ed
1–6 < 105 105 – 115 > 115

g-p
7 – 10 < 90 90 – 100 > 100

tan
11 – 14 < 80 80 – 90 > 90

en
Hepatomegali <2 2–3 > 3 cm
(cm)
m k-t
Keterangan:
s-k

Total skor 0-2 = bukan gagal jantung; 3-6 = gagal jantung ringan;
ke

7-9 = gagal jantung moderat; 10-12 = gagal jantung berat


en
pm

Tabel 18. Klasifikasi derajat keparahan gagal jantung


Perbandingan
/ke

derajat
/04

Derajat Interpretasi keparahan


dengan kriteria
23

NYHA/Ross
20

Pasien dengan stuktur jantung normal,


m/

memiliki risiko potensi terjadinya gagal


co

jantung, namun fungsi jantung masih


si.

normal dan tidak ada tanda-tanda


ula

A volume overload ruang-ruang jantung. Tidak ada


Contohnya, pasien dengan riwayat
reg

paparan obat-obat kardiotoksik, riwayat


o

keluarga dengan kelainan bawaan


inf

kardiomiopati, cc-TGA, dan lain-lain.


.

Pasien dengan struktur jantung


ww

abnormal, tanpa adanya manifestasi


//w

klinis gagal jantung. Contohnya,


B Kelas I
regurgitasi aorta dengan pembesaran
ps:

ventrikel kiri, riwayat atrasiklin dengan


htt

penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri.

jdih.kemkes.go.id
- 43 -

Pasien dengan struktur jantung yang

l
C abnormal, disertai adanya gejala klinis Kelas I, II, III, IV

tm
gagal jantung

l.h
Pasien dengan gagal jantung fase lanjut,

a
membutuhkan obat inotropik dan

on
D dukungan ventilasi mekanik yang lama, Kelas IV

si
atau pasien yang sudah memerlukan

-na
transplantasi jantung

an
Keterangan:

om
cc-TGA = congenital corrected transposition of great arteries

ed
g-p
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang berfungsi sebagai alat skrining, alat

tan
diagnostik, dan atau alat prognostik. Sebagai alat skrining,

en
pemeriksaan penunjang dilakukan pada anak yang tidak memiliki
k-t
gejala dan tanda klinis gagal jantung atau tampak sehat. Sebagai
m
alat diagnostik, pemeriksaan penunjang berguna untuk membantu
s-k

menegakkan diagnosis dan mencari penyebab gagal jantung. Sebagai


ke

alat prognostik, pemeriksaan penunjang berguna untuk evaluasi


en

pengobatan dan menentukan prognosis. Pada anak yang mengalami


pm

gagal tumbuh atau malnutrisi, pemeriksaan penunjang dapat


/ke

dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab kelainan


/04

jantung yang mendasarinya atau menilai adanya gagal jantung


kronik.
23

Pemeriksaan penunjang terdiri dari pemeriksaan penunjang utama


20

dan tambahan. Pemeriksaan penunjang utama terdiri dari oksimeter


m/

nadi, laboratorium rutin, Rontgen dada, dan EKG, umumnya


co

tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan madya. Sedangkan


si.

pemeriksaan penunjang tambahan TTE, uji latih jantung,


ula

pemantauan Holter, umumnya tersedia di fasilitas pelayanan


reg

kesehatan utama dan atau paripurna. Pemeriksaan biomarker


o

jantung, TEE, kateterisasi jantung dan angiografi, pemeriksaan


inf

genetik dan skrining kelainan metabolik, studi elektrofisiologi, CCT,


.
ww

CMR, dan biopsi endomiokardial kebanyakan hanya tersedia di


//w

fasilitas pelayanan kesehatan paripurna, dan dilakukan atas indikasi


khusus.
ps:

a. Oksimeter Nadi
htt

jdih.kemkes.go.id
- 44 -

Pemeriksaan oksimeter nadi sangat membantu dalam deteksi

l
tm
PJB sianotik maupun asianotik yang mungkin menjadi

l.h
penyebab gagal jantung. Pada bayi yang tampak sehat, skrining
PJB kritis dengan oksimeter nadi sebaiknya dilakukan pada

a
on
usia 24-48 jam atau kurang dari 24 jam jika bayinya

si
dipulangkan lebih awal (Gambar 8). Apabila dilakukan pada

-na
usia tersebut, maka nilai sensitivitas dan spesifisitas skrining

an
PJB kritis adalah 73% dan 99%. Pemeriksaan oksimeter nadi ini

om
dilakukan pada ekstremitas kanan atas (pre-ductal) dan

ed
ekstremitas bawah (post-ductal). Jika hasil pemeriksaan skrining

g-p
positif, bayi harus segera dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan

tan
penunjang utama lainnya, terutama ekokardiografi. Oksimeter
nadi yang digunakan harus sesuai dengan kelompok usia,

en
neonatus/bayi, anak, dan remaja. k-t
Pada PJB asianotik, SaO2 umumnya normal. Penurunan SaO2
m
s-k

dapat terjadi, dan ini menjadi petanda buruknya perfusi ke


organ perifer, yang berhubungan dengan gejala dan tanda klinis
ke

gagal jantung akut dan syok kardiogenik. Pada sindrom


en

Eisenmenger, SaO2 <90% karena telah terjadi pirau kanan ke


pm

kiri. Pada PJB sianotik atau PJB kompleks, SaO2 sulit mencapai
/ke

>95% walaupun telah mendapat terapi oksigen.


/04

Pada neonatus dengan sianosis, dapat dilakukan uji hiperoksia


23

(Gambar 9), SaO2 diukur dengan oksimeter nadi, namun


20

sebaiknya juga didukung dengan analisis gas darah.


m/

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengidentifikasi apakah


co

sianosis dan distress pernafasan yang terjadi disebabkan PJB


si.

sianotik, PPHN, atau masalah paru. Interpretasi hasil uji


ula

hiperoksia, seperti pada Tabel 19. Uji hiperoksia harus


reg

dilakukan dengan hati-hati, karena oksigen dosis tinggi


berpotensi memicu penutupan duktus arteriosus dan berakibat
o
inf

fatal pada PJB yang tergantung duktus.


.
ww
//w
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 45 -

l
tm
al.h
sion
-na
an
om
ed
g-p
tan
en
k-t
m
s-k
ke
en
pm
/ke
/04
23

Gambar 8. Algortima skrining penyakit jantung bawaan kritis


20
m/
co
si.
ula
o reg
inf
.
ww
//w
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 46 -

Gambar 9. Algoritma pendekatan diagnostik pada bayi baru

l
tm
lahir dengan sianosis

l.h
Tabel 19. Interpretasi hasil uji hiperoksia

a
on
FiO2 21% FiO2 100%
PaCO2

si
PaO2 SaO2 PaO2 SaO2

-na
(mmHg)
(mmHg) (%) (mmHg) (%)

an
Normal > 70 > 95 > 300 100 Normal

om
Penyakit
50 85 > 150 100 Tinggi
paru

ed
Penyakit
50 85 > 150 100 Tinggi

g-p
neurologi
Methemog

tan
> 70 < 85 > 200 < 85 Normal
lobinemia

en
Penyakit
40 – 60 75 – 93 < 150
k-t 100 Normal
jantung
m
Persistent
s-k

pulmonary Preduktal Preduktal


hypertensi 40 – 70 75 – 95
ke

Variasi Variasi Normal


on of the Postduktal Postduktal
en

newborn < 40 75
pm

(PPHN)
/ke

b. Laboratorium Rutin
/04

Pemeriksaan laboratorium rutin berguna untuk mengevaluasi


23

keterkaitan gagal jantung dan penyebabnya, menjadi prediktor


20

mortalitas dan penyulit tata laksana gagal jantung. Pemeriksaan


m/

laboratorium rutin yang penting dilakukan serta manfaatnya


co

dalam diagnosis dan tatalaksana gagal jantung pada anak,


si.

dapat dilihat pada Tabel 20 di bawah ini.


ula
reg

Tabel 20. Makna pemeriksaan laboratorium rutin pada gagal


jantung.
o
inf

Darah lengkap:
.
ww

• Anemia merupakan penyebab yang memperburuk gagal


jantung kronis.
//w

• Kelainan trombosit dan polisitemia sering terjadi pada


ps:

PJB sianotik.
htt

• Nilai RDW yang tinggi merupakan faktor prognosis yang

jdih.kemkes.go.id
- 47 -

buruk, namun data pada anak masih terbatas.

l
tm
• Laju endap darah meningkat pada inflamasi.

l.h
• Lekositosis dapat terjadi akibat stress pada gagal jantung

a
atau menandakan infeksi yang mendasari.

on
Analisa gas darah:

si
Pada gagal jantung akut sering menunjukkan alkalosis

-na

respiratorik. Namun pada gagal jantung akut yang berat

an
sering terjadi asidosis metabolik yang merupakan

om
prediktor mortalitas.

ed
Elektrolit darah:

g-p
• Hiponatremia dapat menggambarkan adanya ekspansi

tan
volume cairan ekstra-seluler dan merupakan prediktor
mortalitas.

en
Hipokalemia dapat disebabkan oleh pemberian diuretik
• k-t
berkepanjangan.
m
s-k

• Hiperkalemia dapat disebabkan gangguan perfusi ginjal,


penurunan GFR, atau pelepasan kalium intraseluler
ke

karena gangguan perfusi jaringan. Hiperkalemia


en

merupakan prediktor mortalitas.


pm

Gula darah
/ke

• Hipoglikemia memperburuk gagal jantung, namun data


/04

anak masih terbatas.


23

Tes fungsi ginjal


20

• Peningkatan BUN, kreatinin, dan elektrolit (K, Na, Ca, Cl,


m/

P, Mg) terjadi pada sindroma kardiorenal dan merupakan


co

faktor prediktor mortalitas.


si.

• Pemeriksaan bikarbonat untuk menilai jejas tubulus


ula

ginjal
reg

Tes fungsi hati


Kongesti hati pada gagal jantung kongestif sering ditandai
o


inf

dengan peningkatan kadar enzim hati (ALT, AST).


.
ww

• Hipoalbuminemia merupakan faktor prediktor mortalitas.


Fungsi tiroid
//w

• Hipotiroid dan hipertiroid merupakan prediktor


ps:

mortalitas, namun data pada anak masih terbatas.


htt

Keterangan:
ALT = alanine aminotransferase; AST = aspartate aminotransferase;

jdih.kemkes.go.id
- 48 -

BUN = blood urea nitrogen; GFR = glomerulus filtration rate; PJB =

l
penyakit jantung bawaan; RDW = red blood cell distribution width

tm
l.h
c. Rontgen Dada

a
on
Kardiomegali yang ditemukan pada saat pemeriksaan rontgen

si
dada merupakan pertanda penting gagal jantung, karena

-na
memiliki nilai prediksi negatif dan sensitivitas tinggi, namun

an
nilai prediksi positif dan spesifisitasnya rendah. Kriteria

om
kardiomegali pada neonatus adalah jika cardiothoracic ratio

ed
(CTR) >0,6; pada bayi usia 1-12 bulan CTR >0.55; sedangkan

g-p
pada anak dan remaja CTR >0,5. Pembesaran timus pada
neonatus sering terlihat mirip dengan kardiomegali, sehingga

tan
gambaran abnormal pada neonatus harus dikonfirmasi dari

en
anamnesis dan pemeriksaan fisis. Gambaran lain yang sering
k-t
menyertai kardiomegali adalah efusi pleura dan tanda-tanda
m
kongesti paru. Walaupun tanpa adanya manifestasi klinis gagal
s-k

jantung yang khas saat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan


ke

fisis, temuan kardiomegali dapat menjadi alasan untuk


en

dilakukan pemeriksan penunjang utama yang lain, terutama


pm

ekokardiografi.
/ke

Kardiomegali dapat disertai corakan vaskular paru yang normal,


/04

meningkat, atau menurun. Pada gagal jantung yang disebabkan


PJB, gambaran vaskularisasi paru dapat mengarahkan pada
23

beberapa jenis PJB tertentu, seperti Gambar 10, namun


20

pengklasifikasian berdasarkan vaskularisasi paru ini tidak


m/

menyingkirkan kemungkinan penyebab gagal jantung atau ada


co

tidaknya kelainan paru. Corakan vaskular paru yang meningkat


si.

dapat disebabkan edema paru karena gagal jantung kongestif,


ula

PH, atau dapat juga disebabkan pneumonia. Pada PH dtemukan


reg

penonjolan konus pulmonal disertai corakan vaskular paru


o

meningkat. Pada sindrom Eisenmenger, kardiomegali tidak


inf

terlihat nyata namun ditemukan prunny sign, yakni dilatasi


.
ww

arteri pulmonal di bagian sentral dan corakan vaskular paru


//w

yang menurun di bagian perifer.


ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 49 -

l
tm
a l.h
on
si
-na
an
om
ed
g-p
tan
Gambar 10. Klasifikasi penyakit jantung bawaan berdasarkan
vaskularisasi paru

en
k-t
Ukuran jantung yang normal bukan berarti tidak adanya
m
s-k

kelainan jantung sebagai penyebab gagal jantung. Bentuk


jantung yang abnormal mengarahkan kepada diagnosis PJB
ke

tertentu, namun bukan merupakan tanda khas. Misalnya, pada


en

TOF gambaran mirip sepatu (boot-shape), pada TAPVC mirip


pm

boneka salju (snowman-shape), pada PAPVC infrakardiak mirip


/ke

pedang melengkung (scimitar-shape), pada TGA mirip telur


/04

miring (egg on side-shape), dan pada anomali Ebstein mirip


23

kotak (box-shape). Pada efusi perikard masif atau tamponade


20

jantung, gambaran kardiomegali dengan dua batas tegas yang


m/

mengelilinginya (double contour).


co

d. Elektrokardiografi
si.

Elektrokardiografi (EKG) 12 sadapan dapat digunakan untuk


ula

skrining penyebab gagal jantung, seperti kelainan struktural


reg

jantung, gangguan elektrolit, atau aritmia, misalnya AF, AVNRT,


AVRT, EAT, dan CAVB. Sinus takikardia merupakan gambaran
o
inf

yang sering terjadi pada gagal jantung akut dan jika terjadi
.

berlama-lama, dapat menginduksi terjadinya kardiomiopati.


ww

Namun EKG tidak direkomendasikan sebagai alat skrining


//w

untuk deteksi gagal jantung asimtomatis.


ps:

Gambaran abnormal EKG pada gagal jantung adalah right axis


deviation (RAD), left axis deviation (LAD), superior left axis
htt

deviation (SLAD), right ventricular hypertrophy (RVH), left

jdih.kemkes.go.id
- 50 -

ventricular hypertrophy (LVH), bi-ventricular hypertrophy (BVH),

l
tm
beban tekanan berlebihan, beban volume berlebihan, right atrial
enlargement (RAE) atau P pulmonal, left atrial enlargement (LAE)

l.h
atau P mitral, bi-atrial enlargement (BAE), elevasi atau depresi

a
on
segmen ST, serta berbagai jenis gangguan konduksi seperti right

si
bundle branch block (RBBB), left bundle branch block (LBBB),

-na
dan berbagai derajat AVB.

an
Pada gagal jantung yang disertai gangguan elektrolit, EKG

om
berperan sebagai alat konfirmasi diagnosis gangguan elektrolit.

ed
Pada hipokalemia, gelombang T terlihat lebih datar atau adanya

g-p
gelombang U. Gambaran Torsades de pointes dapat terjadi pada

tan
hipokalemia berat (kalium <2,5 mEq/L) atau hipomagnesemia
(magnesium < 1,46 mg/dl). Pada hiperkalemia ringan (kalium

en
5,5-6,5 mEq/L), tampak gelombang
k-t T yang tinggi. Jika
hiperkalemia moderat (kalium 6,5-8,0 mEq/L), diikuti pelebaran
m
s-k

kompleks QRS, pemanjangan interval PR, dan elevasi segmen


ST. Sedangkan pada hiperkalemia berat (kalium >8,0 mEq/L),
ke

kompleks QRS melebar progresif, ventricular fibrillation (VF),


en

bundle branch block, fascicular block, bahkan dapat terjadi


pm

asistol. Pada hipokalsemia (kalsium <8,5 mg/dl), terjadi


/ke

pemanjangan interval QT (QT >0,48 detik atau QTc >0,52 detik).


/04

Sedangkan pada hiperkalsemia (kalsium >10,5 mg/dl), terjadi


23

pemendekan interval QT (QT <0,26 detik atau QTc <0,36 detik).


20

Gambaran RBBB inkomplit (tanda Crochetage) pada sadapan


m/

inferior seringkali ditemukan pada ASD sekundum dan PAPVC,


co

namun bukan merupakan tanda khas. Gambaran Katz-Wachtel


si.

atau BVH sering ditemukan pada VSD besar disertai PH. Pada
ula

sindrom Eisenmenger dapat ditemukan gambaran P pulmonal


reg

disertai RAD dan RVH, namun gambaran ini juga dapat


ditemukan pada penyebab gagal jantung kanan lainnya.
o
inf

Gambaran LBBB dan LAE pada DCM idiopatik berkorelasi


.

dengan kematian akibat gagal jantung. Gelombang Q pada


ww

sadapan inferior merupakan petanda spesifik ALCAPA pada bayi


//w

yang mengalami gagal jantung. Pada RCM, dapat ditemukan


ps:

gambaran BAE. Pada efusi perikard massif atau tamponade


jantung, sering di sadapan prekordial ditemukan gambaran QRS
htt

dengan gelombang r yang kecil (low voltage).

jdih.kemkes.go.id
- 51 -

e. Ekokardiografi

l
tm
Ekokardiografi sangat penting dalam penegakan diagnosis gagal

l.h
jantung pada anak, terutama untuk mengidentifikasi
penyebabnya. Indikasi pemeriksaan ini menurut American

a
on
Society of Echocardiography (ASE) tercantum pada Tabel 21.

si
Keterlambatan informasi penyebab gagal jantung

-na
mengakibatkan keterlambatan tata laksana spesifik.

an
Pemeriksaan TTE bersifat non-invasif dan umumnya tidak

om
memerlukan obat-obat sedasi. Namun pada anak yang tidak

ed
kooperatif, obat sedasi seperti kloral hidrat oral dosis 50-100

g-p
mg/kg dapat diberikan sebelum dilakukan pemeriksaan TTE.

tan
Pemberian sedasi harus berhati-hati pada gagal jantung dengan
curah jantung rendah, karena efek obat yang dapat mengganggu

en
kerja katekolamin endogen. k-t
Pemeriksaan TTE meliputi penilaian anatomi ruang-ruang dan
m
s-k

katup-katup jantung, kontraktilitas ventrikel, dan studi


hemodinamik. Pemeriksaan fungsi sistolik pada anak lebih
ke

sering dengan menggunakan M-Mode, fungsi sistolik ventrikel


en

kiri dengan menilai Ejection Fraction (EF) atau Fractional


pm

Shortening (FS). Sedangkan fungsi sistolik ventrikel kanan


/ke

dengan menilai Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion


/04

(TAPSE) dan Fractional Area Change (FAC). Fungsi diastolik


23

ventrikel dinilai dengan ekokardiografi Doppler, yaitu rasio peak


20

velocity ventrikel saat diastolik awal (E) dan kontraksi atrium


m/

(A), atau rasio E/A. Untuk ventrikel kiri dilakukan di katup


co

mitral (MV E/A ratio) dan untuk ventikel kanan di katup


si.

trikuspid (TV E/A ratio). Penilaian fungsi sistolik dan diastolik


ula

berdasarkan myocardial performance index (MPI) dapat


reg

dipertimbangkan, namun data normal pada anak masih sangat


terbatas.
o
inf

Penilaian fraksi ejeksi ventrikel kiri (left ventricular ejection


.

fraction, LVEF) sangatlah penting dalam diagnosis dan tata


ww

laksana gagal jantung pada dewasa, namun belum banyak


//w

diimplementasikan pada kelompok anak. Pembagian gagal


ps:

jantung berdasarkan LVEF menurut ACC/AHA tahun 2022


adalah:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 52 -

1) Gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri

l
tm
(heart failure with reduced ejection fraction, HRrEF), dengan

l.h
kriteria LVEF <40%.
2) Gagal jantung dengan perbaikan fraksi ejeksi ventrikel kiri

a
on
(heart failure with improved ejection fraction, HRimpEF),

si
dengan kriteria riwayat LVEF <40%, namun setelah

-na
dilakukan pemantauam, terjadi peningkatan LVEF >40%.

an
3) Gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri

om
yang ringan (heart failure with mildly reduced ejection

ed
fraction, HRmrEF), dengan kriteria LVEF 41-50%.

g-p
4) Gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang

tan
dipertahankan (heart failure with preserved ejection fraction,
HRpEF), dengan kriteria LVEF >50%.

en
k-t
Tabel 21. Indikasi pemeriksaan ekokardiografi pada anak
m
s-k

 Palpitasi dengan riwayat kardiomiopati, riwayat anggota


keluarga kardiomiopati atau pengguna pacemaker, atau
ke

mengalami kematian mendadak di usia <50 tahun


en

Pada neonatus, ditemukan SVT atau VT


pm

 Sinkop yang dipicu aktivitas atau pasca-aktivitas yang tidak


/ke

dapat dijelaskan, ditemukan abnormalitas EKG, riwayat


/04

keluarga tkardiomiopati, pengguna pacemaker, atau


23

mengalami kematian mendadak di usia <50 tahun


20

 Nyeri dada dipicu aktivitas, atau tidak dipicu aktivitas


m/

namun ditemukan abnormal EKG, riwayat anggota


co

keluarga kardiomiopati atau mengalami kematian


si.

mendadak
ula

 Pada pemeriksaan fisis, terdengar murmur patologis atau


reg

murmur fisiologis dengan manifestasi klinis penyakit


kardiovaskular
o
inf

 Manifestasi klinis gagal jantung kongestif


.

Manifestasi klinis endokarditis tanpa adanya data hasil


ww

pemeriksaan kultur darah atau hasil kultur darah negatif


//w

 Hasil kultur darah positif yang diduga disebabkan


ps:

endokarditis
htt

 Sianosis sentral

jdih.kemkes.go.id
- 53 -

 Desaturasi pada pemeriksaan pulse oksimeter

l
tm
 Abnormalitas foto toraks yang memberikan kesan penyakit

l.h
kardiovaskular

a
 Abnormalitas elektrokardiografi

on
 Genotip positif untuk kardiomiopati

si
Hasil pemeriksaan ekokardiografi normal, namun

-na

ditemukan perubahan status kardiovaskular dan atau

an
riwayat anggota keluarga diduga mengalami penyakit

om
jantung bawaan (PJB)

ed
 Abnormalitas biomarker jantung

g-p
 Abnormalitas barium swallow/bronkoskopi dengan dugaan

tan
vascular ring
Anak dengan penyakit kanker yang mendapat kemoterapi

en

 Penyakit sickle cell atau hemoglobinopati lainnya


k-t
 Penyakit jaringan konektif seperti sindroma Marfan,
m
s-k

sindroma Loeys Dietz, dan sindroma aortopati lainnya, atau


kecurigaan penyakit jaringan konektif
ke

Dugaan suatu sindroma kelainan bawaan ekstrakardiak


en

yang berhubungan dengan penyakit jantung bawaan


pm

 Infeksi human immunodeficiency virus (HIV)


/ke

- Dugaan/terkonfirmasi penyakit Kawasaki, penyakit


/04

Takayasu, atau demam reumatik


23

- Systemic lupus erythematosus (SLE) dan penyakit


20

autoimun lainnya
m/

- Distrofi muskular
co

- Hipertensi sistemik
si.

- Uremia akibat gangguan ginjal akut, penyakit ginjal


ula

kronik
reg

- Stroke
- Dugaan hipertensi pulmoner
o
inf

- Abnormalitas situs kardiak atau visceral


.

- Penyakit metabolik atau genetik dengan risiko tinggi


ww

keterlibatan kardiovaskular
//w

- Dugaan abnormalitas pada pemeriksaan ekokardiografi


ps:

fetal
-
htt

Riwayat ibu hamil dengan risiko penyakit

jdih.kemkes.go.id
- 54 -

kardiovaskular pada janin/bayi

l
tm
- Maternal phenylketonuria

l.h
a
Pemeriksaaan TEE umum dilakukan saat intervensi jantung

on
non bedah dan bedah, seperti penilaian dan pemandu prosedur

si
intervensi pada ASD dan VSD atau penilaian katup-katup

-na
jantung saat pembedahan. Pemeriksaan TEE juga diperlukan

an
pada anak yang sulit dilakukan pemeriksaan TTE, misalnya

om
pada anak dengan obesitas. Probe TEE yang digunakan

ed
sebaiknya tersedia sesuai kelompok usia anak (bayi, anak, dan

g-p
dewasa).

tan
Pemeriksaan ekokardiografi fetal bermanfaat untuk menilai
gagal jantung pada janin, kelainan struktural dan irama

en
jantung. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan pada usia gestasi
k-t
18-22 minggu. Pemeriksaan ekokardiografi fetal merupakan
m
s-k

pemeriksaan penunjang tambahan yang berfungsi sebagai alat


skrining dini dan diindikasikan pada semua ibu hamil yang
ke

dicurigai bayinya mengalami PJB atau disritmia. Jika janin


en

telah diketahui mengalami PJB yang berat, ibu hamil sebaiknya


pm

dipersiapkan untuk dilakukan persalinan di rumah sakit tersier


/ke

yang memiliki fasilitas pelayanan jantung anak yang lengkap


/04

termasuk bedah jantung.


23

f. Biomarker Jantung
20

Beberapa pemeriksaan biomarker jantung yang sering


m/

dilakukan, yakni brain natriuretic peptide (BNP), protein


co

prekursor n-amino terminal prohormone BNP (NT-pro-BNP), dan


si.

troponin. Namun dengan perkembangan IPTEK terkini, banyak


ula

sekali jenis biomarker jantung yang digunakan untuk


reg

membantu menegakkan diagnosis dan menentukan prognosis


gagal jantung. Biomarker BNP merupakan hormon yang
o
inf

disekresikan kardiomiosit di ventrikel sebagai respon terhadap


.

peregangan yang disebabkan oleh peningkatan volume darah di


ww

ventrikel. Pemeriksaan BNP diindikasikan untuk mendukung


//w

diagnosis, memantau efek pengobatan, dan menilai prognosis.


ps:

Nilai normalnya bervariasi berdasarkan penyebab gagal jantung


htt

dan kelompok usia.

jdih.kemkes.go.id
- 55 -

Pada PNPK ini hanya dipaparkan biomarker jantung yang

l
tm
banyak digunakan pada kelompok anak, yakni BNP, NT-pro-

l.h
BNP, dan troponin. Pemeriksaan BNP dan NT-pro-BNP sangat
bermanfaat dalam penegakan diagnosis gagal jantung pada

a
on
anak, karena dapat lebih memastikan kemungkinan gangguan

si
pernafasan disebabkan oleh gagal jantung atau pneumonia atau

-na
kelainan nonkardiak lainnya, dan juga untuk menilai

an
keberhasilan pengobatan.

om
Nilai normal BNP dan NT-pro-BNP seperti pada Tabel 22.

ed
Peningkatan kadar BNP atau NT-pro-BNP pada anak berkorelasi

g-p
signifikan dengan gejala dan tanda klinis gagal jantung serta

tan
penurunan fungsi ventrikel. Kadar NT-pro-BNP >1200 pg/ml
pada anak di atas 1 tahun dapat menjadi parameter gagal

en
jantung disertai PH yang berat. Peranan BNP dan NT-pro-BNP
k-t
dalam menentukan prognosis masih memerlukan penelitian
m
s-k

lebih lanjut.
Tabel 22. Nilai normal BNP dan NT-pro-BNP pada anak
ke

Usia Median Interval


en

BNP 0 – 24 jam 224 41 – 837


pm

(ng/L) 25 – 48 jam 242 53 – 866


/ke

49 – 96 jam 152 23 – 862


/04

97 – 192 jam 45 10 – 739


23

8 – 30 hari 27 9 – 63
20

1 – 12 bulan 19 1 – 53
m/

1 – 12 tahun 14,5 1 – 46
co

NT-pro- 0 – 2 hari 3.183 260 – 13.224


si.

BNP
ula

(ng/L) 3 – 11 hari 2210 28 – 7.250


reg

1 bulan – 1 141 5 – 1.121


tahun
o
inf

1 – 2 tahun 129 31 – 657


.
ww

2 – 6 tahun 70 5 – 391
6 – 14 tahun 52 5 – 391
//w

14 – 18 tahun 34 5 – 363
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 56 -

Keterangan:

l
tm
usia 12-30 hari, tidak ada data normal NT-pro-BNP

l.h
Peranan biomarker troponin pada anak yang mengalami gagal
jantung masih terbatas, dan batasan nilai normal sangat

a
on
bervariasi pada berbagai kelompok usia. Peningkatan troponin I

si
dapat menggambarkan derajat keparahan kardiomiopati.

-na
Troponin T meningkat pada gagal jantung yang disebabkan

an
miokarditis akut dan pada cedera iskemik akibat anomali

om
koroner. Troponin T yang meningkat setelah beberapa hari

ed
merupakan petanda spesifik telah terjadi nekrosis sel miokard.

g-p
Perubahan nilai troponin tidak menggambarkan keberhasilan

tan
pengobatan, namun peningkatan troponin dapat dijadikan
prediktor mortalitas.

en
Biomarker lainnya seperti vasopressin, epinefrin, norepinefrin,
k-t
interleukin, dan C-Reactive Protein (CRP), belum dapat
m
s-k

diandalkan karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas sangat


bervariasi. Studi metaanalisis menunjukkan mikro RNA dapat
ke

digunakan dalam membantu diagnosis gagal jantung, namun


en

biomarker ini belum banyak dilakukan di Indonesia.


pm

g. Kateterisasi Jantung dan Angiografi


/ke

Pemeriksaan kateterisasi jantung dan angiografi dapat


/04

dilakukan melalui pendekatan vena (kateterisasi jantung


23

kanan), arteri (kateteterisasi jantung kiri), atau kedua-duanya.


20

Walaupun bersifat invasif, pemeriksaan ini bermanfaat untuk


m/

menilai status hemodinamik dan struktur ruang-ruang jantung


co

yang lebih rinci. Penilaian status hemodinamik terdiri dari


si.

penilaian saturasi dan tekanan ruang-ruang jantung dan


ula

pembuluh darah besar, Flow Ratio (FR), Pulmonary Vascular


Resistance Index (PVRI), serta Systemic Vascular Resistance
reg

Index (SVRI). Pemeriksaan kateterisasi jantung merupakan baku


o
inf

emas untuk menegakkan diagnosis PH sebagai salah satu


.

penyebab gagal jantung pada anak usia di atas 3 bulan. Pada


ww

saat dilakukan kateterisasi jantung, dapat dilakukan uji


//w

hiperoksia untuk menilai PH reversibel atau ireversibel.


ps:

Angiografi merupakan bagian dari pemeriksaan kateterisasi


jantung yang bertujuan untuk mengetahui abnormalitas
htt

struktur jantung dan pembuluh darah yang lebih rinci,

jdih.kemkes.go.id
- 57 -

terutama pada kasus-kasus PJB kompleks. Waktu yang tepat

l
tm
untuk melakukan angiografi tergantung manifestasi klinis dan

l.h
hasil pemeriksaan penunjang lainnya, usia, tujuan
pemeriksaan, serta rencana untuk dilakukan intervensi PJB,

a
on
baik secara non-bedah maupun pembedahan.

si
Indikasi dan risiko paparan radiasi harus dipertimbangkan

-na
sebelum dilakukan pemeriksaan kateterisasi jantung dan

an
angiografi, prosedur ini sebaiknya dihindari bila ada gangguan

om
fungsi ginjal atau infeksi berat. Jika saat prosedur kateterisasi

ed
jantung atau intervensi non bedah terjadi kegawatdaruratan

g-p
kardiovaskular, maka pasca prosedur pasien perlu dirawat di

tan
ICU.
Komplikasi yang dapat terjadi selama dan setelah kateterisasi

en
jantung adalah demam ringan sekitar 4-8 jam pasca-prosedur,
k-t
hematoma pada daerah kanulasi (terutama kanulasi arteri),
m
s-k

oklusi sementara pembuluh darah, perdarahan, aritmia


sementara, hipotermia, hipoglikemia, hipoksia (terutama pada
ke

PJB sianotik), tromboemboli. Yang lebih jarang terjadi adalah


en

serangan stroke, perforasi jantung, nadi tidak teraba permanen,


pm

alergi kontras, serangan spell pada PJB sianotik, disritmia, serta


/ke

kateter putus di dalam ruang jantung atau pembuluh darah.


/04

h. Pemeriksaan Genetik dan Skrining Penyakit Metabolik


23

Lebih dari 50% kasus kardiomiopati disebabkan kelainan


20

genetik dan metabolik, beberapa diantaranya mengakibatkan


m/

gagal jantung dengan angka mortalitas tinggi. Berbagai jenis


co

pemeriksaan genetik dan skrining kelainan metabolik,


si.

dipaparkan pada Tabel 22. Indikasi untuk pemeriksaan ini pada


ula

pasien kardiomiopati adalah: adanya riwayat penyakit atau


reg

kecurigaan sindrom dan kelainan metabolik tertentu, riwayat


keluarga (meninggal mendadak pengguna PPM, disritmia).
o
inf

Gambar 12. memperlihatkan algoritma investigasi


.

kardiomiopati.
ww
//w
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 58 -

Tabel 23. Investivigasi pemeriksaan penunjang tambahan pada

l
tm
kardiomiopati

l.h
Pemeriksaan Temuan penting Investigasi

a
Urin

on
Keton (gangguan metabolik), pH,

si
Kimia urin awal, sering

-na
concentrating defect
Skrining amino-asiduria primer dan

an
Asam amino awal, sering
sekunder

om
Skrining organic-asiduria. Abnormal
pada gangguan metabolisme piruvat

ed
Asam organic dan laktat, defisiensi karboksilase awal, sering

g-p
multipel, dan eksreksi 3-OH methyl

tan
glutaconic acid pada sindroma Barth
Skrining untuk menyingkirkan

en
kelainan genetik mukulipoidosis awal, sering
Mukopolisakarida k-t
mukopolisakaridosis (tipe I, II, III)
m
Skrining gangguan metabolisme
Oligosakarida awal, sering
s-k

karbohidrat
Kimia darah
ke

Status nutrisi, status kehilangan


en

Albumin awal, sering


protein
pm

Penyakit hati, abnormalitas siklus


Amonia awal, jarang
/ke

urin, inborn error of metabolism


Skrining inborn error of amino acid
/04

Asam amino awal, jarang


metabolism
23

Carnitine Skrining defisiensi carnitine awal, jarang


20

Copper Abnormal pada penyakit Wilson Lanjutan


Kongesti hati akut, inborn error of
m/

metabolism
co

Enzim hati awal, sering


Prothrombin time (PT) berguna sebagai
si.

indicator
ula

Gangguan metabolik akut bervariasi,


Glukosa awal, sering
gangguan metabolisme karbohidrat
reg

Skrining defisiensi vitamin D,


Kalsium awal, sering
o

penyakit ginjal
inf

Dislipidemia, Penyakit Wolman,


.

Kolesterol Lanjutan
ww

sindroma Barth
Penyakit mitokondria, oksidasi asam
//w

Laktat Lanjutan
lemak abnormal, gagal jantung berat
ps:

Abnormal pada penyakit tubular


Magnesium Lanjutan
renal dan aritmia
htt

pH vena Penilaian anion gap pada status awal, sering

jdih.kemkes.go.id
- 59 -

Pemeriksaan Temuan penting Investigasi

l
tm
asidosis metabolic

l.h
Piruvat Defisiensi piruvate dehydrogenase Lanjutan

a
Selenium Penyakit Keshan Lanjutan

on
Skrining defisiensi vitamin D
Vitamin (D, B1, C) Lanjutan

si
(kongenital atau nutritional)

-na
Petanda penyakit autoimun

an
Skrining systemic lupus
ANA Lanjutan

om
erythematosus (SLE)
Marker infeksi untuk sangkaan miokarditis

ed
Parvovirus, adenovirus, ebstein-barr
Darah/jaringan

g-p
virus, cytomegalovirus, influenza A awal, jarang
untuk PCR
dan B, mikoplasma, dan lain-lain

tan
Parvovirus, adenovirus, influenza A, B,
Serologi virus Lanjutan

en
Eibstein-barr virus
Aspirasi trakea
k-t
Imunofluoresensi dan isolasi virus awal, jarang
Coxackievirus, echovirus
m
Feses/swab rektal awal, jarang
s-k

Analisis genomic
Karyotip Identifikasi kelainan kromosom awal, jarang
ke

Identifikasi abnormalitas gen tunggal


en

Analisis microarray Lanjutan


penyebab kardiomiopati
pm

Biopsi otot skeletal


Ragged red fibers, deposisi intramiosit
/ke

Mikroskop cahaya Lanjutan


lemak dan glikogen
/04

Abnormalitas ultrastruktur fiber atau


Mikroskop electron Lanjutan
mitokondria
23

Analisis aktivitas enzim pada berbagai


20

Fungsi mitokondria Lanjutan


kelainan genetik
m/

Biopsi
co

endomiokardial
si.

Mikroskop cahaya Diagnosis definitif pada miokarditis Lanjutan


ula

Defisiensi enzim jantung spesifik atau


Imunohistokimia Lanjutan
molekuler
reg

Ultrastruktur mitokondria, fiber,


Mikroskop electron Lanjutan
o

desmosome, dan lisosom


inf

Keterangan:
.
ww

investigasi lanjutan, jika ada indikasi klinis


//w

i. Pemantauan Holter
ps:

Pemantauan Holter atau elektrokardiografi 24 jam merupakan


htt

pemeriksaan penunjang tambahan pada gagal jantung disertai

jdih.kemkes.go.id
- 60 -

aritmia, terutama pada kardiomiopati. Indikasi pemantauan

l
tm
Holter pada kardiomiopati adalah jika ditemukan keluhan

l.h
palpitasi, sinkop, atau nyeri dada. Gambaran repolarisasi
berkepanjangan dan variabilitas denyut jantung dapat menjadi

a
on
prediktor mortalitas pada kardiomiopati disertai aritmia.

si
j. Cardiac Computed Tomography (CCT)

-na
Pemeriksaan CCT memiliki indikasi, risiko, dan kontraindikasi

an
yang hampir sama dengan kateterisasi jantung. Pemeriksaan

om
CCT memiliki keunggulan pada kasus-kasus tertentu, yang sulit

ed
mendapatkan informasi rinci dari kateterisasi jantung dan

g-p
angiografi, misalnya pada kasus TOF terkait abnormalitas

tan
anatomi arteri pulmonal dan arteri koroner. Pemeriksaan CCT
juga dapat memberikan informasi berharga terkait adanya

en
kelainan dari struktur organ di luar jantung, misalnya kelainan
k-t
jalan nafas akibat penekanan pembuluh darah besar, atau
m
s-k

penekanan esofagus akibat kelainan cabang aorta. Namun CCT


memiliki kekurangan dalam hal menilai gambaran hemodinamik
ke

jantung. Pemeriksaan CCT sering dilakukan pra-intervensi


en

untuk menentukan jenis intervensi, dan juga pasca-intervensi


pm

sesuai indikasi. Perbandingan antara ekokardiografi,


/ke

kateterisasi jantung, dan CCT dalam diagnosis PJB, tertera pada


/04

Tabel 23.
23
20

Tabel 24. Perbandingan antara ekokardiografi, kateterisasi


m/

jantung, dan CCT


co

Kateterisasi
Parameter Ekokardiografi CCT
si.

jantung
ula

Invasif - + -
reg

Morbiditas - + +
Keterbatasan
o

+ - -
inf

acoustic window
.

Resolusi
ww

sangat tinggi Tinggi Rendah


temporal
//w

Resolusi spasial Rendah sangat tinggi Rendah


ps:

3D post
+ + +
htt

processing

jdih.kemkes.go.id
- 61 -

Kateterisasi
Parameter Ekokardiografi CCT

l
tm
jantung

l.h
Ketergantungan
+ - -

a
operator

on
tergantung sangat

si
Waktu akuisisi Lama
operator pendek

-na
Paparan radiasi - + +

an
Risiko zat

om
- + +
kontras

ed
Ketersediaan Banyak Jarang rerata

g-p
Keterangan:

tan
CCT = cardiac computed tomography

en
k. Cardiac Magnetic Resonance (CMR) k-t
m
Pemeriksaan CMR diindikasikan untuk menganalisis
s-k

kompleksitas suatu PJB, membantu menegakkan diagnosis


ke

kardiomiopati dan miokarditis, menilai derajat keparahan serta


en

mengevaluasi tata laksana kardiomiopati. Pemeriksaan CMR


pm

memiliki akurasi yang sama dengan ekokardiografi dalam


penilaian struktur dan fungsi ventrikel kiri, serta akurasi yang
/ke

lebih unggul dibandingkan ekokardiografi dalam penilaian


/04

struktur dan fungsi ventrikel kanan. Pemeriksaan CMR juga


23

memiliki keuntungan dibandingkan kateterisasi jantung dan


20

CCT, karena bersifat lebih non-invasif, risiko komplikasi lebih


m/

rendah, tanpa paparan radiasi, sehingga banyak dilakukan


co

untuk evaluasi pasca-intervensi maupun pra-intervensi (Tabel


si.

25). Seperti halnya pemeriksaan ekokardiografi dan CCT, pada


ula

anak-anak diperlukan pemberian sedasi sebelum dilakukan


reg

pemeriksaan CMR, agar kualitas gambar baik. Dexmedetomidine


merupakan salah satu jenis sedasi yang menguntungkan pada
o
inf

anak dengan kelainan jantung, karena menurunkan insidens


.
ww

terjadinya desaturasi.
//w
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 62 -

Tabel 25. Perbandingan antara CCT dan CMR

l
tm
Parameter CCT CMR

l.h
Paparan radiasi + -

a
Risiko dari enhancing

on
+ +
agent

si
Keperluan anestesi umum Lebih jarang Lebih sering

-na
Waktu pemeriksaan Singkat (10 – 20 Waktu > 50

an
detik) menit

om
Kontraindikasi terpasang

ed
pacemaker dan - +

g-p
defibrillator

tan
Resolusi spasial (mm) 0,4 – 0,6 1,0 – 2,0

en
Resolusi temporal (ms) 90 – 180 20 – 50
Evaluasi arteri koroner k-t
Lebih baik
m
Terbatas
Evaluasi fungsi jantung Perlu evaluasi Modalitas
s-k

lebih lanjut pilihan


ke

Kuantifikasi aliran Modalitas


-
en

pilihan
pm

Perfusi dan viabilitas Perlu evaluasi Modalitas


miokardium lebih lanjut pilihan
/ke

Anatomi intrakardiak Inferior Superior


/04

Mediastinum, paru, dan


+ -
23

airway
20

Evaluasi kalsifikasi
m/

+ Terbatas
conduit
co

Aplikasi pada anak sakit


si.

Lebih sering Lebih jarang


kritis
ula

Kemudahan akses
Mudah Sulit
reg

emergensi
o

Keterangan:
inf

CCT = cardiac computed tomography; CMR = cardiac magnetic


.
ww

resonance; mm = milimeter; ms = meter per second; PJB =


penyakit jantung bawaan
//w
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 63 -

l. Biopsi Endomiokardial

l
tm
Pemeriksaan biopsi endomiokardial merupakan pemeriksaan

l.h
invasif dan memiliki risiko efek samping tinggi yang bermakna.
Pemeriksaan ini hanya dilakukan untuk konfirmasi diagnosis

a
on
klinis miokarditis akut dan memilih tata laksana spesifik

si
miokarditis (seperti giant cell myocarditis). Tujuan yang lain

-na
adalah untuk mendukung diagnosis klinis dengan mengisolasi

an
virus patogen penyebab miokarditis melalui pemeriksaan

om
polymerase chain reaction (PCR), seperti enterovirus, adenovirus,

ed
parvovirus, virus hepatitis C, dan virus herpes.

g-p
tan
F. Tata Laksana Umum
1. Tujuan dan Prinsip Tata Laksana Gagal Jantung

en
Tujuan utama tata laksana gagal jantung pada anak adalah
k-t
menghilangkan penyebab, mengontrol gejala klinis dan mencegah
m
s-k

progresifitas penyakit. Untuk mencapai tujuan tersebut, prinsip tata


laksana meliputi: mengurangi preload, mengurangi afterload,
ke

meningkatkan kontraktilitas, dan mengendalikan laju jantung,


en

memenuhi kebutuhan oksigen jaringan, serta meningkatkan status


pm

nutrisi. Pada kondisi terjadi kegawatdaruratan kardiovaskular, maka


/ke

penanganan dilakukan sesuai panduan Basic Life Support (BLS) dan


/04

Pediatric Advanced Life Support (PALS).


23

Tata laksana umum bersifat non-spesifik, merupakan upaya


20

stabilisasi hemodinamik pra atau pasca-intervensi untuk mengatasi


m/

penyebab gagal jantung, agar kualitas hidup pasien membaik dan


co

tumbuh kembangnya optimal. Tata laksana umum terdiri dari


si.

pembatasan aktivitas fisik, tata laksana nutrisi, pemantauan


ula

kebutuhan cairan dan elektrolit, terapi oksigen, farmakoterapi, serta


reg

tata laksana multi modalitas di ICU. Sedangkan tata laksana


spesifik, ditujukan pada jenis penyebab gagal jantung yang sangat
o
inf

bervariasi.
.

2. Pembatasan Aktivitas dan Indikasi Rawat Inap


ww

Pada gagal jantung berat (kriteria NYHA/Ross derajat III dan IV),
//w

aktivitas sedang atau berat harus dihindari, dan sebaiknya dirawat


ps:

inap. Pada gagal jantung sangat berat, anak harus dirawat di ruang
rawat intensif (intensive care unit (ICU)). Kriteria pasien gagal jantung
htt

jdih.kemkes.go.id
- 64 -

pada anak yang terindikasi memerlukan perawatan di ICU antara

l
tm
lain:

l.h
a. gagal jantung modifikasi Ross skor 10-12
b. gagal jantung modifikasi Ross skor > 7 disertai:

a
on
1) hipotensi refrakter dengan skor inotropik vasoaktif ≥ 15

si
2) komorbiditas: pneumonia, gangguan ginjal akut (acute

-na
kidney injury, AKI)

an
c. gagal napas dan/atau syok kardiogenik pada semua kasus gagal

om
jantung

ed
d. semua kasus pasca operasi jantung anak

g-p
e. semua kasus pasca kateterisasi yang tidak dapat diekstubasi di

tan
laboratorium kateterisasi.
Jika klinis membaik (kriteria NYHA/Ross derajat I atau II), anak

en
dapat ditata laksana rawat jalan dengan tetap menghindari aktivitas
k-t
yang berat. Dampak jangka panjang gagal jantung kronis, antara lain
m
s-k

perawatan yang lama, intervensi berulang, dan aktivitas terbatas,


sehingga kualitas hidup pasien rendah dan membutuhkan
ke

penanganan holistik multidisiplin berbiaya tinggi.


en

3. Tata Laksana Nutrisi


pm

Pemberian Air Susu Ibu (ASI) pada pasien usia di bawah 2 (dua)
/ke

tahun dan dukungan nutrisi kalori tinggi sangat dibutuhkan untuk


/04

mengatasi gangguan pertumbuhan akibat gagal jantung. Berat


23

badan optimal juga sangat dibutuhkan pada tata laksana intervensi


20

bedah dan non bedah, baik sebelum, selama, dan sesudah prosedur.
m/

Tata laksana nutrisi pada bayi dengan gagal jantung lebih sulit
co

dibandingkan bayi malnutrisi tanpa gagal jantung. Tata laksana


si.

nutrisi meliputi pemberian makanan parental dan eternal (termasuk


ula

Pangan untuk Kepentingan Medis Khusus atau PKMK) sesuai


reg

indikasi.
Parameter nutrisi yang optimal pada bayi cukup bulan dan bayi
o
inf

prematur dengan PJB, dapat dilihat pada Tabel 26. Jenis dan bentuk
.

nutrisi disesuaikan dengan usia dan kemampuan bayi, serta status


ww

hemodinamik. Metode pemberian nutrisi melalui pipa orogastric (OG)


//w

atau nasogastric (NG) dapat membantu bayi dengan kemampuan


ps:

menghisap yang rendah, mengunyah tidak optimal, atau sering


mengalami muntah dan refluks gastroesofageal.
htt

jdih.kemkes.go.id
- 65 -

Tabel 26. Parameter nutrisi optimal pada bayi dengan penyakit

l
tm
jantung bawaan

al.h
on
si
-na
an
om
ed
g-p
tan
en
k-t
m
s-k
ke
en
pm

Jika upaya tata laksana nutrisi telah dilakukan secara maksimal,


/ke

namun pertumbuhan anak tetap terganggu, maka intervensi


/04

terhadap penyebab gagal jantung sebaiknya tidak ditunda. Algoritma


23

pengaturan nutrisi sebelum dan sesudah intervensi pada PJB


20

sebagaimana pada Gambar 11.


m/
co
si.
ula
o reg
inf
.
ww
//w
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 66 -

l
tm
al.h
sion
-na
an
om
ed
g-p
tan
en
k-t
m
s-k

Gambar 11. Algoritma tata laksana nutrisi pra dan pasca-intervensi


pada bayi dengan penyakit jantung bawaan.
ke

Keterangan:
en

CHD = congenital heart disease; ECMO = extracorporeal membrane


pm

oxygenation; FiO2 = oxygen fractional; MCT = medium-chain


/ke

triglycerides; MEF = minimal enteral feeding; MV = mechanical


/04

ventilation; NEC = necrotizing enterocolitis; NIRS= near-infrared


23

spectroscopy; PEG = percutaneous endoscopic gastrostomy; PEJ =


20

percutaneous endoscopic jejunostomy; PIP = positive inspiratory


m/

pressure; PN = parenteral nutrition VLBW = very low birth weight


co
si.

Walaupun nutrisi kalori tinggi dapat membantu pertumbuhan dan


ula

perkembangan bayi berkebutuhan khusus, namun pada beberapa


reg

kasus dapat mengakibatkan diare osmotik atau intoleransi. Air Susu


Ibu (ASI) masih merupakan makanan terbaik, termasuk pada bayi
o
inf

yang mengalami gagal jantung. Kelebihan ASI adalah meningkatkan


.

kasih sayang ibu pada bayinya, ASI lebih mudah diserap, kandungan
ww

makronutrisi dan mikronutrisi yang sangat lengkap, ASI mempunyai


//w

daya proteksi yang tinggi, menurunkan kejadian necrotizing


ps:

enterocolitis (NEC), serta kejadian intoleransi dan diare osmotik yang


lebih rendah. Ibu yang memproduksi ASI banyak, harus diedukasi
htt

untuk tetap memberikan ASI, baik pra maupun pasca-intervensi.

jdih.kemkes.go.id
- 67 -

Suplementasi besi bermanfaat pada gagal jantung disertai anemia

l
tm
defisiensi besi, namun tidak direkomendasikan pada riwayat

l.h
transfusi darah berulang dengan manifestasi klinis kelebihan besi.
Suplementasi vitamin D, Coenzyme Q10 atau ubiquinone, Zink, L-

a
on
carnitine, dapat diberikan pada gagal jantung kronis khususnya

si
akibat DCM, namun manfaatnya untuk memperbaiki prognosis dan

-na
mencegah mortalitas pada anak masih memerlukan penelitian lebih

an
lanjut. Mikronutrien yang berfungsi sebagai antioksidan, seperti

om
vitamin C, vitamin E, beta karoten, tidak terbukti dapat memperbaiki

ed
prognosis dan mencegah mortalitas pada gagal jantung, demikian

g-p
halnya vitamin B dan asam folat, meskipun pada ibu hamil asam

tan
folat terbukti mencegah PJB janin. Makanan serat direkomendasikan
untuk mencegah terjadinya konstipasi yang dapat memperburuk

en
manifestasi klinis gagal jantung. k-t
4. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
m
s-k

Salah satu target dari tata laksana gagal jantung adalah


mengembalikan tubuh ke dalam status euvolemik. Resusitasi cairan
ke

berulang pada kegawatdaruratan untuk mengatasi syok kardiogenik


en

dikontraindikasikan karena akan memperburuk kondisi gagal


pm

jantung. Setelah resusistasi cairan awal diberikan, sebaiknya


/ke

dilakukan penilaian ulang apakah syok yang terjadi disebabkan oleh


/04

syok kardiogenik atau jenis syok yang lain. Studi metaanalisis


23

menunjukkan kelebihan cairan pada bayi baru lahir dan anak yang
20

mengalami sakit kritis berhubungan dengan mortalitas.


m/

Restriksi cairan hingga 80% dari kebutuhan metabolisme basal


co

mungkin diperlukan pada gagal jantung kongestif, dengan tetap


si.

mempertimbangkan kebutuhan asupan kalori yang tinggi, dan status


ula

hemodinamik. Pada gagal jantung yang berat (kriteria NYHA/Ross


reg

derajat III dan IV), anak harus dirawat inap di ICU, sebaiknya
dilakukan pemasangan kateter arteri dan vena sentral, mungkin
o
inf

diperlukan restriksi cairan sekitar 60-80 ml/kg/hari.


.

Anemia berat dan hipoalbuminemia dikoreksi dengan


ww

memperhatikan kebutuhan cairan, status hemodinamik, serta


//w

prosedur intervensi. Jika derajat keparahan klinis gagal jantung


ps:

mengalami perbaikan, anak diberikan tata laksana rawat jalan


dengan tetap menjaga kebutuhan cairan sesuai kebutuhan
htt

metabolisme basal.

jdih.kemkes.go.id
- 68 -

Pemantauan elektrolit darah diindikasikan pada gagal jantung berat

l
tm
saat rawat inap. Koreksi gangguan elektrolit diindikasikan terutama

l.h
jika mengakibatkan kegawatdaruratan kardiovaskular. Hipokalemia
akibat pemberian furosemid dapat dicegah dengan memberikan

a
on
substitusi kalium atau dengan menambahkan spironolakton dan

si
ACE-i. Sebaliknya jika terjadi hiperkalemia, spironolakton dan ACE-i

-na
tidak dapat diberikan. Gangguan keseimbangan elektrolit yang

an
menyebabkan instabilitas hemodinamik sebaiknya dirawat di ICU

om
anak.

ed
Cairan saline hypertonic dapat diberikan jika ditemukan

g-p
hiponatremia. Sedangkan restriksi natrium tidak dilakukan pada

tan
anak dengan gagal jantung, kecuali bila terdapat edema yang berat
dan retensi cairan. Kombinasi saline hypertonic dan furosemid dapat

en
mengurangi mortalitas pada gagal jantung akut yang berat. Cairan
k-t
koloid dan albumin dapat digunakan untuk stabilisasi hemodinamik
m
s-k

pada anak dengan gagal jantung, baik pada kasus non-bedah


maupun bedah.
ke

Suplementasi kalium dapat diberikan pada anak yang mengalami


en

gagal jantung disertai hipokalemia. Suplementasi dapat diberikan


pm

secara enteral maupun parenteral, namun data pemberian parenteral


/ke

pada anak masih terbatas. Preparat kalsium, sodium bikarbonat,


/04

nebulisasi albuterol, serta insulin dan dekstrosa, dapat digunakan


23

sebagai terapi kegawatdaruratan akut pada anak gagal jantung


20

dengan hiperkalemia. Selain dengan farmakoterapi, morbiditas AKI


m/

disertai hiperkalemia, dapat ditata laksana dengam terapi sulih ginjal


co

berupa dialisis peritoneal atau Continuous Kidney Replacement


si.

Therapy (CKRT) di unit rawat intensif anak. Preparat patiromer,


ula

sodium Zirconium Sulfate (SZS), dan Sodium Polystyrene Sulfate


reg

(SPS) dapat digunakan sebagai terapi kronik pada gagal jantung


disertai hiperkalemia.
o
inf

Transfusi Packed Red Cell (PRC) tidak direkomendasikan pada anak


.

dengan penyakit jantung, kecuali jika kadar Hb <9 gr/dl atau Ht


ww

<30% dengan memperhatikan respon kontraktilitas jantung dan


//w

status hemodinamik. Transfusi dapat memberikan perbaikan klinis,


ps:

namun di sisi lain tranfusi juga menyebabkan kelebihan volume dan


efek samping lain seperti reaksi hemolitik, cedera paru akut (acute
htt

lung injury, ALI), dan infeksi. Oleh karena itu, pemberian transfusi

jdih.kemkes.go.id
- 69 -

PRC hanya diberikan pada pasien gagal jantung dengan gejala

l
tm
simptomatik anemia berat. American College of Physician (ACP)

l.h
menyarankan hanya pada pasien dengan Hb 7-8 g/dL.
5. Terapi Oksigen

a
on
Terapi oksigen sangat bermanfaat pada gagal jantung karena

si
memiliki efek vasodilator, namun jika diberikan berlama-lama akan

-na
menginduksi vasokonstriksi. Oleh karena itu, terapi oksigen jangka

an
panjang tidak direkomendasikan pada gagal jantung kronik.

om
Kebutuhan dan pasokan oksigen pada gagal jantung dipengaruhi

ed
oleh berbagai faktor seperti Gambar 12. Pada curah jantung rendah,

g-p
suplai oksigen ke berbagai organ akan terganggu, sehingga terjadi

tan
hipoksemia yang membutuhkan terapi oksigen.
Rekomendasi terapi oksigen untuk gagal jantung di beberapa negara

en
lebih banyak ditujukan untuk kasus dewasa. Pada anak, terapi
k-t
oksigen tergantung penyebab gagal jantung dan status
m
s-k

hemodinamik. Pada PJB asianotik dan kardiomiopati, terapi oksigen


diberikan jika anak mengalami gagal jantung berat dengan atau
ke

tanpa hipoksemia. Sedangkan pada PJB sianotik atau PJB kritis


en

yang belum dilakukan intervensi, terapi oksigen tidak memiliki efek


pm

signifikan untuk meningkatkan saturasi oksigen, hanya diharapkan


/ke

dapat mempertahankan saturasi oksigen di kisaran 70%.


/04
23
20
m/
co
si.
ula
reg
o
. inf
ww
//w
ps:

Gambar 12. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap penghantaran


htt

(supply) dan konsumsi (demand) oksigen pada gagal jantung

jdih.kemkes.go.id
- 70 -

Pada neonatus dengan PJB kritis tergantung duktus arteriosus,

l
tm
terapi oksigen dosis tinggi dapat memperburuk kondisi klinis, karena

l.h
menginduksi penutupan duktus arteriosus. Jika tidak ada distress
nafas, terapi oksigen sebaiknya dihindari dan jika akan diberikan

a
on
adalah untuk mempertahankan SaO2 > 80% dan target Qp/Qs ~ 1,

si
atau hanya diberikan terapi oksigen Low Flow Nasal Cannula (LFNC).

-na
Pada kondisi SaO2 <75%, terapi oksigen dibutuhkan untuk

an
mencegah metabolism anaerob dan asidosis laktat. Pada distress

om
nafas yang berat atau ancaman gagal nafas, bayi mungkin tetap

ed
memerlukan bantuan ventilasi mekanik. Terapi oksigen High Flow

g-p
Nasal Cannula (HFNC) dapat diberikan pada anak pasca-bedah

tan
jantung setelah dilakukan penyapihan dari ventilasi mekanik.
6. Farmakoterapi

en
Tujuan tata laksana farmakoterapi gagal jantung pada anak adalah
k-t
mengurangi preload dan afterload, meningkatkan curah jantung,
m
s-k

meningkatkan perfusi ke sirkulasi perifer atau target organ, serta


memperlambat progresifitas gagal jantung. Gambar 13 dan Tabel 27
ke

memperlihatkan cara kerja tiap jenis obat berdasarkan patofisiologi


en

gagal jantung.
pm
/ke
/04
23
20
m/
co
si.
ula
reg
o
. inf
ww

Gambar 13. Mekanisme kerja farmakoterapi berdasarkan


//w

patofisiologi gagal jantung.


ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 71 -

Keterangan:

l
tm
ACE-i = angiotensin converting enzyme inhibitor; ARB = angiotensin
receptor blocker; BNP = brain natriuretic peptide; NT-pro-BNP = n-

l.h
amino terminal prohormone BNP; RAAS = renin angiotensin

a
on
aldosterone system

si
-na
Tabel 27. Obat-obat yang digunakan pada gagal jantung anak

an
Kelompok wet (capillary wedge pressure > 18 mmHg)

om
Diuretik, mengurangi preload (peringkat rekomendasi I, derajat

ed
bukti C)

g-p
Furosemid

tan
Dosis oral: 0,5 – 1 mg/kg tiap 6 – 12 jam
Dosis intravena bolus: 0,5 – 1 mg/kg tiap 6 – 12 jam

en
Dosis infus kontinu: 0,1 – 0,4 mg/kg/jam
k-t
Hidroklorotiazid. Dosis oral: 1 mg/kg tiap 12 jam
m
s-k

Spironolakton. Dosis oral: 0,5 – 1,5 mg/kg tiap 12 jam


Kelompok cold (cardiac index < 2.2 L/mm/m2)
ke

Inotropik, meningkatkan kontraktilitas (peringkat rekomendasi


en

IIa, derajat bukti C)


pm

Digoksin. Dosis oral atau intravena:


/ke

Pada bayi prematur: oral 0,025-0,05 mg/kg tiap 12 jam


/04

Pada anak sampai usia 10 tahun: 0,05 – 0,1 mg/kg tiap 12


23

jam
20

Pada usia > 10 tahun, dosis seperti pada dewasa


m/

Milrinon. Dosis: 0,25-1 mcg/kg/menit IV


co

Amrinon. Dosis: 5-10 mcg/kg/menit IV


si.

Isoproterenol. Dosis: 0,1-0,5 mcg/kg/menit IV


ula

Dobutamin. Dosis: 3-10 mcg/kg/menit IV


reg

Dosis: <8 mcg/kg/menit IV, memiliki efek vasodilator


Dosis >10 mcg/kg/menit IV, memiliki efek vasokonstriktor
o
inf

Dopamin. Dosis: 2 10 mcg/kg/menit IV


.

Dosis: 2-5 mcg/kg/menit IV, meningkatkan perfusi ginjal


ww

Dosis >10 mcg/kg/menit IV, memiliki efek vasokonstriktor


//w

Epinefrin. Dosis: 0,01-0,3 mcg/kg/menit IV


ps:

Norepinefrin. Dosis: 0,01-0,3 mcg/kg/menit IV


htt

Levosimendan. Dosis: 0,05-0,2 mcg/kg/menit IV

jdih.kemkes.go.id
- 72 -

Vasodilator

l
tm
Mengurangi afterload (peringkat rekomendasi IIa, derajat bukti

l.h
B)

a
ACE-i, Kaptopril. Pada neonatus: dosis oral 0,4 – 1,6 mg/kg/hari

on
dibagi 3 dosis;

si
Pada bayi: dosis oral 0,5 – 4 mg/kg/hari dibagi 3 dosis

-na
Enalapril. Dosis oral: 0,1– 0,5 mg/kg/hari dibagi 2 dosis

an
Lisinopril. Dosis oral: 0,07 – 0,1 mg/kg/hari

om
Ramipril. Dosis oral: 2 – 6 mg/m2

ed
ARB, Losartan. Dosis oral: 0,5 – 1,5 mg/kg/hari

g-p
Valsartan. Pada usia 1 – 5 tahun, dosis oral: 0,4 –

tan
3,4mg/kg/hari; Usia 6 – 16 tahun, dosis oral: 1,3 -2,7
mg/kg/hari

en
Sacubitril, dosis oral; 1,6-2,3 mg/kg, 2 kali sehari
k-t
Golongan nitrat
m
s-k

Nitroprusid. Dosis: 0,3 – 4 mcg/kg/menit IV


Pada neonatus, maksimal 6 mcg/kg/menit IV
ke

Pada anak, maksimal 12 mcg/kg/menit IV


en

Nitrogliserin. Dosis intravena: 0,5 – 10 mcg/kg/menit IV


pm

Beta-blocker
/ke

Meningkatkan kontraktitilitas, memperbaiki fungsi sistolik dan


/04

diastolik ventrikel (peringkat rekomendasi IIa, derajat bukti B)


23

Carvedilol. Dosis oral: 0,05 – 0,5 mg/kg tiap 12 jam


20

Metoprolol. Dosis oral: 0,5 – 1 mg/kg tiap 12 jam


m/

Bisoprolol. Dosis oral: 0,1 – 0,2 mg/kg/hari


co

Propranolol. Dosis oral: 1 mg/kg/hari dibagi 3 – 4 dosis


si.

Keterangan:
ula

ACE-i = angiotensin converting enzyme inhibitor; ARB=angiotensin


reg

receptor blocker; IV = intravena; PJB = penyakit jantung bawaan


o
inf

Penelitian obat-obatan untuk mengatasi gagal jantung pada anak


.

masih sangat terbatas, sehingga sering mengacu pada tata kelola


ww

dewasa; untuk gagal jantung akut (Gambar 14), untuk gagal jantung
//w

kronik (Gambar 15) sesuai kriteria NYHA/Ross, dan Gambar 16.


ps:

sesuai kriteria ACC/AHA.


htt

jdih.kemkes.go.id
- 73 -

l
tm
al.h
sion
-na
an
om
ed
g-p
tan
Gambar 14. Pilihan farmakoterapi pada gagal jantung akut

en
Keterangan: k-t
ACE-i = angiotensin converting enzyme inhibitor; BNP = brain
m
s-k

natriuretic peptide; EF = ejection fraction; LV = left ventricle; Na =


natrium; NPPV = non-invasive positive pressure ventilation; RV = right
ke

ventricle
en
pm
/ke
/04
23
20
m/
co
si.
ula
reg

Gambar 15. Pilihan farmakoterapi gagal jantung kronik menurut


kriteria NYHA/Ross
o
inf
.

Pemilihan terapi gagal jantung akut pada anak (Gambar 14)


ww

dilakukan berdasarkan pengelompokan sebagaimana tertera pada


//w

Gambar 1. Kelompok A (kelompok kering dan hangat) adalah


ps:

kelompok asimtomatik. Kelompok B (kelompok basah dan hangat)


adalah kelompok gagal jantung dengan gejala dan tanda kongesti
htt

saja. Kelompok C (kelompok basah dan dingin) adalah kelompok

jdih.kemkes.go.id
- 74 -

gagal jantung dengan gejala dan tanda kongesti disertai perfusi yang

l
tm
rendah. Sedangkan kelompok D (kelompok kering dan dingin) adalah

l.h
kelompok gagal jantung dengan gejala dan tanda perfusi yang rendah
saja. Sedangkan pada gagal jantung kronik, menurut AHA/ACC,

a
on
pilihan obat-obatan didasarkan pada derajat keparahan klinis

si
(Gambar 16).

-na
an
om
ed
g-p
tan
en
k-t
m
s-k
ke

Gambar 16. Pilihan farmakoterapi gagal jantung kronik menurut


en

ACC/AHA
pm

Keterangan:
/ke

ACE-i = angiotensin converting enzyme inhibitor; ARB = aldosterone


/04

receptor blocker; ARNI = angiotensin receptor neprilysin inhibitor; BB =


23

beta-blocker; EF = ejection fraction; ICD = implantable cardioverter


20

defibrillator; MRA = mineralocorticoid receptor antagonist; SGLT2 =


m/

sodium-glucose cotransporter-2
co
si.

Informasi tentang risiko obat-obatan yang sering diberikan pada


ula

anak masih terbatas. Hubungan antara faktor genetik dan respon


reg

obat (farmakogenomik) sangat mempengaruhi keberhasilan


pengobatan. Misalnya, interaksi farmakogenomik diuretik dengan
o
inf

obat kolesterol dapat meningkatkan kejadian gangguan metabolik.


.

Penelitian lebih lanjut masih sangat diperlukan terkait variasi klinis


ww

antar individu dan respon berbagai obat untuk mengatasi gagal


//w

jantung (variabilitas fenotip), penyebab variabilitas yang


ps:

mendasarinya (variabilitas genetik), besar sampel atau populasi,


serta perubahan dosis obat karena faktor usia dan berat badan.
htt

jdih.kemkes.go.id
- 75 -

a. Diuretik

l
tm
Diuretik merupakan lini pertama dalam tata laksana gagal

l.h
jantung pada anak, terutama dengan manifestasi klinis kongesti
pada sirkulasi sistemik, sirkulasi paru, maupun keduanya.

a
on
Tujuan pemberian diuretik adalah mengurangi preload. Efek

si
samping diuretik adalah gangguan keseimbangan elektrolit dan

-na
keseimbangan asam basa. Furosemid merupakan diuretik yang

an
bekerja di loop of Henle dan digunakan sangat luas dalam tata

om
laksana gagal jantung. Furosemid memiliki efek mengurangi

ed
reabsorpsi natrium, kalium, klorida dan air. Pada gagal jantung

g-p
yang berat, diberikan furosemid intravena bolus atau kontinu,

tan
namun penggunaan diuretik yang terlalu agresif dapat
mengaktivasi sistem neurohormonal yang memperburuk derajat

en
keparahan klinis gagal jantung. Pemberian diuretik loop secara
k-t
kontinu intravena dapat dipertimbangkan pada gagal jantung
m
s-k

akut yang berat, jika pemberian secara intermiten tidak


memberikan respons klinis yang signifikan.
ke

Spironolakton merupakan diuretik Mineralocorticoid Receptor


en

Antagonist (MRA) yang bekerja menghambat ikatan aldosteron


pm

dengan reseptornya di tubulus ginjal sehingga meningkatkan


/ke

eksreksi natrium dan mengurangi ekreksi kalium. Kombinasi


/04

furosemid dan spironolakton sangat efektif mencegah


23

hipokalemia serta memperlambat perkembangan fibrosis


20

miokard yang diinduksi aldosteron dan katekolamin.


m/

Spironolakton juga dapat memperbaiki disfungsi endotel dan


co

menghambat konversi angiotensin di pembuluh darah. Efek


si.

samping spironolakton jangka panjang adalah ginekomastia


ula

non-reversibel pada lelaki. Penggunaan spironolakton juga


reg

harus berhati-hati pada keadaan hiperkalemia, gangguan fungsi


hati, dan insufisiensi ginjal.
o
inf

Hidroklorotiazid merupakan jenis diuretik yang bekerja di


.

tubulus distal ginjal dan dapat bekerja sinergis dengan


ww

furosemid, terutama pada gagal jantung yang disertai hipertensi


//w

sistemik. Di samping mengurangi reabsorpsi natrium, kalium,


ps:

klorida, hydrogen, dan air di tubulus distal ginjal,


hidroklorotiazid juga memiliki efek meningkatkan pelepasan
htt

vasopressin di hipotalamus sehingga mudah mengakibatkan

jdih.kemkes.go.id
- 76 -

terjadinya hiponatremia. Beberapa studi terkini menyatakan

l
tm
antagonis reseptor vasopresin (tolvaptan) dapat meningkatkan

l.h
diuresis dan mencegah hiponatremia, namun masih diperlukan
penelitian lebih lanjut. Prosedur ultrafiltrasi lebih baik

a
on
dibandingkan diuretik dalam mengatasi kelebihan cairan pada

si
gagal jantung akut, terutama pada sindrom kardiorenal namun

-na
belum ada data pada anak.

an
b. Vasodilator

om
Berdasarkan tempat kerjanya, vasodilator dibagi atas

ed
arteriodilator, venodilator, dan keduanya. Pemilihan vasodilator

g-p
sangat tergantung pada kondisi klinis serta tujuan dari tata

tan
laksana gagal jantung, apakah untuk mengurangi afterload,
preload, atau keduanya.

en
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-i) merupakan
k-t
salah satu jenis vasodilator yang paling banyak digunakan
m
s-k

untuk mengatasi gagal jantung kronik pada anak. ACE-i


memiliki efek menghambat angiotensin I menjadi angiotensin
ke

pada Renin Angiotensin Aldosterone System (RAAS), dan dapat


en

mencegah proses remodeling miokard. Terapi ACE-i dapat


pm

menurunkan afterload dan meningkatkan aliran darah ke ginjal,


/ke

serta pengeluaran natrium. Terapi ACE-i direkomendasikan


/04

pada gagal jantung dengan disfungsi ventrikel, defek pirau kiri


23

ke kanan, ventrikel tunggal dengan dominan ventrikel kanan,


20

serta regurgitasi katup aorta dan mitral. Studi terkini


m/

menunjukkan enalapril merupakan jenis ACE-i yang paling


co

banyak direkomendasikan pada gagal jantung kronik, terutama


si.

akibat obat-obat kardiotoksik; namun efek samping antar jenis


ula

ACE-i tidak berbeda bermakna. Terapi ACE-i harus dimulai


reg

dengan dosis rendah, karena dosis tinggi dapat memicu


terjadinya hipotensi, hiperkalemia, dan insufisiensi ginjal.
o
inf

Kombinasi ACE-i dengan furosemid dapat menurunkan kejadian


.

hipokalemia, namun kombinasi ACE-i dengan spironolakton


ww

meningkatkan kejadian hiperkalemia. Efek samping ACE-i yang


//w

lain adalah batuk-batuk, terutama kaptopril dan enalapril,


ps:

karena ACE-i juga menghambat kerja bradikinin. Efek samping


yang lain adalah timbulnya ruam (rash), gangguan pencernaan,
htt

pusing, dan neutropenia. Terapi ACE-i tidak boleh diberikan

jdih.kemkes.go.id
- 77 -

pada ibu hamil karena memiliki efek teratogenik. Untuk

l
tm
menghindari beberapa efek samping tersebut, dapat diberikan
angiotensin receptor blocker neprilysin inhibitor (ARNI) sebagai

l.h
alternatif ACE-i. Sediaan ARNI yang banyak digunakan adalah

a
on
kombinasi valsartan dan sacubitril. Namun studi pada populasi

si
anak masih sangat terbatas.

-na
Nitrogliserin intravena dapat dipertimbangkan sebagai salah

an
satu vasodilator pada gagal jantung kongestif yang berat.

om
Nitroprusid merupakan vasodilator intravena yang juga dapat

ed
memperbaiki curah jantung, namun jarang digunakan pada

g-p
anak, karena pemberian berkepanjangan (>72 jam) berisiko

tan
menimbulkan gangguan fungsi ginjal. Vasodilator lain yang juga
jarang diberikan pada anak adalah hidralazin dan nifedipin.

en
c. Penyekat Beta k-t
Terapi penyekat beta (Beta-Blocker (BB)) bertujuan untuk
m
s-k

memperlambat laju jantung, meningkatkan pengisian ventrikel


saat diastolik, dan memperbaiki fungsi sistolik ventrikel kiri,
ke

namun khasiatnya pada anak-anak dengan kelainan struktural


en

jantung masih belum jelas. BB juga memperbaiki gangguan


pm

neurohumoral pada gagal jantung kronis dan merusak


/ke

katekolamin endogen yang tinggi. Kontraindikasi BB adalah


/04

bradikardia berat dan AV-blok, kecuali telah terpasang


23

Permanent Pacemaker (PPM), hipotensi, asma bronkial, dan syok


20

kardiogenik. Carvedilol, bisoprolol dan metoprolol merupakan


m/

jenis BB yang memiliki efek vasodilator, antioksidan,


co

antiproliferatif, antiapoptosis, serta mencegah remodelling


si.

jantung, sehingga banyak digunakan pada gagal jantung yang


ula

disebabkan kardiomiopati, terutama kardiomiopati dilatasi.


reg

Propranolol merupakan lini pertama pada kardiomiopati


hipertrofi dan pada serangan sianotik spell. Efeknya
o
inf

menurunkan laju jantung dan laju nafas, serta menurunkan


.

plasma renin, aldosteron, dan norepinefrin. Sotalol lebih banyak


ww

digunakan sebagai antiaritmia. Efek samping BB adalah


//w

hipotensi, pusing, dan sakit kepala.


ps:

d. Inotropik
Pilihan inotropik sangat tergantung pada manifestasi klinis dan
htt

derajat keparahan gagal jantung. Digoksin oral merupakan

jdih.kemkes.go.id
- 78 -

inotropik yang paling sering digunakan pada gagal jantung

l
tm
derajat ringan (NYHA/Ross I atau II), baik akibat disfungsi

l.h
sistolik ventrikel kiri maupun ventrikel kanan, atau keduanya.
Digoksin merupakan terapi lini pertama pada gagal jantung

a
on
yang disebabkan fibrilasi atrium. Digoksin intravena

si
diindikasikan bila terjadi penurunan curah jantung yang

-na
memerlukan perawatan di rumah sakit. Digoksin memiliki efek

an
mengurangi aktivasi sistem neurohormonal sehingga

om
menurunkan kadar norepinefrin, meningkatkan fungsi

ed
baroreseptor, serta menghambat aktivasi sistem saraf simpatis.

g-p
Efek terapeutik digoksin sangat sempit, dan kadar digoksin

tan
yang tinggi di dalam tubuh dapat meningkatkan mortalitas pada
gagal jantung. Kontraindikasi digoksin adalah pada HOCM, atau

en
jika dijumpai tanda-tanda keracunan digoksin seperti anoreksia,
k-t
mual, muntah, diare, insomnia, vertigo, bradikardia atau
m
s-k

bradiaritmia, sinkop, atau kenaikan kadar serum digoksin >2,5


mmol/liter. Bila ditemukan tanda-tanda keracunan digoksin,
ke

pemberiannya harus segera dihentikan. Bila terjadi bradiaritmia


en

pasca-pemberian digoksin, dapat diberikan kalium klorida (dosis


pm

0,5 meq/menit intravena atau 50-80 meq per-oral), sulfas


/ke

atrofin atau lidokain (jika ditemukan AV Blok), atau


/04

pemasangan pacemaker jika bradiaritmia persisten. Digoksin


23

dapat diberikan pada janin yang mengalami fetal takikardia


20

berat, namun pemberiannya harus memperhatikan kondisi


m/

jantung ibunya. Kombinasi inotropik, vasodilator, dan diuretik


co

dapat diberikan, dengan mempertimbangkan efek samping,


si.

derajat keparahan klinis, serta status hemodinamik.


ula

Kebutuhan inotropik kuat diharapkan memperbaiki gejala dan


reg

tanda klinis dalam 48 jam pada gagal jantung berat, selanjutnya


dipersiapkan untuk penyapihan. Dopamin dan dobutamin
o
inf

merupakan inotropik kuat kerja cepat untuk meningkatkan


.

curah jantung. Dopamin dosis rendah (2-5 mcg/kg/menit)


ww

memperbaiki perfusi ke ginjal, sedangkan dobutamin dosis


//w

rendah (<8 mcg/kg/menit) memiliki efek vasodilator. Namun


ps:

pada dosis tinggi (>10 mcg/kg/menit), keduanya menginduksi


takikardia serta meningkatkan SVR dan PVR.
htt

jdih.kemkes.go.id
- 79 -

Epinefrin dan norepinefrin memiliki efek inotropik kuat, namun

l
tm
sering terjadi aritmia, gangguan perfusi distal, dan peningkatan

l.h
kebutuhan oksigen pada organ jantung. Epinefrin merupakan
katekolamin endogen yang bekerja singkat dengan waktu paruh

a
on
beberapa menit saja. Epinefrin meningkatkan frekuensi laju

si
jantung dan tekanan sistolik, serta memiliki efek

-na
vasokonstriktor. Pada kondisi disfungsi sistolik ventrikel,

an
diberikan epinefrin dosis rendah 0,01-0,05 mcg/kg/menit.

om
Norepinefrin merupakan katekolamin yang berfungsi sebagai

ed
neurotransmitter lokal pada sistem saraf adrenergik, memiliki

g-p
efek meningkatkan tekanan sistolik, diastolik, dan tahanan

tan
perifer.
Milrinon memiliki efek inotropik dan meningkatkan relaksasi

en
ventrikel saat diastolik. Milrinon merupakan jenis penghambat
k-t
fosfodiesterase-3 sehingga juga memiliki efek vasodilator, sangat
m
s-k

bermanfaat pada gagal jantung yang disertai SVR dan PVR yang
tinggi. Milrinon menjadi pilihan inotropik utama pada kasus
ke

disfungsi ventrikel berat disertai gejala dan tanda hipoperfusi


en

organ. Waktu paruh milrinon lebih lama dibandingkan inotropik


pm

lainnya. Milrinon memiliki efek menurunkan tekanan darah,


/ke

sehingga kombinasi dengan epinefrin atau dopamin diharapkan


/04

dapat meningkatkan efek inotropik tanpa disertai hipotensi.


23

Levosimendan merupakan jenis calcium sensitizer yang menjadi


20

inotropik alternatif pada gagal jantung akut yang berat. Obat ini
m/

dapat meningkatkan kontraktilitas miokard tanpa menambah


co

kebutuhan oksigen. Levosimendan juga memiliki efek relaksasi


si.

otot jantung dan vasodilatasi, sehingga curah jantung


ula

meningkat. Levosimendan bermanfaat mencegah terjadinya


reg

gagal jantung dengan perfusi yang rendah, sehingga cukup


sering digunakan pada pasca-bedah jantung.
o
inf

7. Tata Laksana Umum Pada Kardiomiopati


.

Kardiomiopati merupakan penyebab gagal jantung kronik yang


ww

memerlukan tata laksana umum sesuai dengan jenis kardiomiopati


//w

dan manifestasi klinisnya Pada gagal jantung berat (derajat D atau


ps:

kriteria NYHA/Ross IV), tata laksana umum di ruang rawat intensif


juga harus memperhatikan gangguan hemodinamik yang terjadi dan
htt

jdih.kemkes.go.id
- 80 -

jenis kardiomiopati yang menjadi penyebabnya, seperti pada Tabel

l
tm
28.

l.h
Tabel 28. Pertimbangan hemodinamik pada tata laksana

a
on
kardiomiopati

si
Pertimbangan

-na
Klasifikasi Optimalisasi di ICU anak
hemodinamik

an
Kontraktilitas menurun Cegah peningkatan SVR

om
Dilatasi ruang jantung Pastikan status volume
DCM

ed
Regurgitasi katup normal

g-p
atrioventricular
Obstruksi jalan keluar Cegah deplesi volume

tan
ventrikel kiri intravaskular

en
Obliterasi rongga ventrikel Pastikan SVR normal
HCM k-t
Sebagian dengan Cegah efek kronotropik
m
komponen restriktif berlebihan
s-k

Myocardial bridging
Disfungsi diastolic Pastikan prelod normal
ke

Fungsi sistolik preserved Cegah obat-


en

RCM
Peningkatan PVR obatan/prosedur yang
pm

meningkatkan PVR
/ke

Sebagian kasus dengan Cegah atau kurangi


/04

disfungsi sistolik paparan katekolamin


Aritmia Cegah peningkatan SVR
23

ARVC
Pastikan status volume
20

normal
m/

Difungsi sistolik dan Cegah peningkatan SVR


co

diastolik yang bervariasi Pastikan status volume


si.

LVNC (normal sampai berat) normal


ula

Rentan terbentuknya
reg

thrombus
Keterangan:
o
inf

ARVC = arrhythmogenic right ventricular cardiomyopathy; DCM = dilated


cardiomyopathy; ICU = intensive care unit; HCM = hypertrophic
.
ww

cardiomyopathy; LVNC = left ventricular noncompaction cardiomyopathy;


//w

PVR = pulmonary vascular resistance; RCM = restrictive cardiomyopathy;


SVR = systemic vascular resistance
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 81 -

8. Tata Laksana Multimodalitas di Unit Rawat Intensif Anak

l
tm
Tata laksana pada ADHF dapat dilakukan di berbagai lokasi

l.h
perawatan di rumah sakit. Bila terindikasi perawatan di ICU, maka
keterlibatan berbagai multidisiplin harus dikedepankan sebagai

a
on
standar pelayanan kesehatan tertinggi bagi pasien gagal jantung

si
anak. Pendekatan multidisiplin ini melibatkan berbagai dokter

-na
spesialis dan subspesialis, seperti dokter spesialis anak subspesialis

an
emergensi dan rawat intensif anak (SpA, Subsp. ERIA), dokter

om
spesialis anestesi subspesialis kardiovaskular (SpAn, KAKV), dokter

ed
spesialis anak subspesialis kardiologi (SpA, Subsp. Kardio), dokter

g-p
spesialis jantung dan pembuluh darah subspesialis Kardiologi

tan
Pediatrik dan Penyakit Jantung Bawaan (SpJP, Subsp. KPPJB),
dokter spesialis bedah torak kardiak dan vaskular subspesialis

en
bedah jantung pediatrik (SpBTKV, Subsp. BJP), perawat intensif
k-t
anak dan berbagai keahlian lainnya. Secara epidemiologi pasien
m
s-k

gagal jantung anak meliputi 6% kasus di ICU anak, dan sekitar 60%
kasus ADHF yang dirawat di ICU memerlukan topangan ventilasi
ke

mekanik. Indikasi rawat inap dikaji ulang berdasarkan skala


en

prioritas admisi ke ICU anak yang ditetapkan di masing masing


pm

rumah sakit.
/ke

Algoritma tata laksana multimodalitas di ICU anak dapat dilihat


/04

pada Gambar 17. Pemantauan dilakukan secara ketat, melalui


23

pemeriksaan klinis dan penunjang, agar pasien segera mencapai


20

stabilitas hemodinamik dan untuk tata laksana definitif.


m/

Pemantauan hemodinamik dalam PNPK ini mengacu pada


co

rekomendasi European Society of Paediatric and Neonatal Intensive


si.

Care (ESPNIC) tahun 2020. Pada algoritma tata laksana


ula

multimodalitas, titik fokus di ICU tertuju kepada non-farmakoterapi


reg

berupa topangan ventilasi mekanik, ventilasi non-invasif, dan terapi


pengganti ginjal, seperti peritoneal dialysis (PD) dan continuous
o
inf

kidney replacement therapy (CKRT). Topangan ventilasi mekanik


.

dilakukan dengan pendekatan mencapai keseimbangan antara


ww

kebutuhan oksigen dengan pasokan oksigen. Manipulasi interaksi


//w

kardiopulmoner ditujukan untuk mengoptimalkan fungsi ventrikel,


ps:

dan penggunaan topangan sirkulasi mekanik sebagai metoda untuk


mengistirahatkan miokardium. Hal ini menjadi fokus terapi yang
htt

esensial di ICU anak. Manipulasi agresif farmakoterapi fungsi sistolik

jdih.kemkes.go.id
- 82 -

untuk meningkatkan pasokan oksigen mulai ditinggalkan, karena

l
tm
memberi efek samping buruk terhadap performa diastolik dan dapat

l.h
membahayakan hubungan antara pasokan dan kebutuhan oksigen
miokardium.+

a
sion
-na
an
om
ed
g-p
tan
en
k-t
m
s-k
ke

Gambar 17. Tata laksana multi modalitas dan pemantauan di unit


en

rawat intensif anak


pm
/ke

Pada kasus ADHF yang sangat berat, strategi pengobatan difokuskan


/04

untuk menurunkan kebutuhan oksigen, sehingga memungkinkan


miokardium beristirahat. Ventilasi mekanik (invasif atau non-invasif)
23

berperan penting sebagai penopang hemodinamik pada gagal jantung


20

akut. Ventilasi mekanik menimbulkan perubahan tekanan intratorak


m/

dan preload ventrikel kanan, sekaligus juga afterload ventrikel kiri;


co

kesemuanya ini menjadi kunci tata laksana ventilasi mekanik. Pada


si.

gagal jantung kanan, strategi ventilasi memfasilitasi napas spontan


ula

dan memberi tekanan positif yang lebih moderat merupakan kunci


reg

perbaikan pengisian atrium atau preload. Sebaliknya pada gagal


o

jantung kiri, strategi ventilasi membatasi aliran balik vena dan


inf

menurunkan afterload ventrikel kiri untuk memperbaiki


.
ww

kontraktilitas.
//w

Edema paru yang terjadi pada gagal jantung akut menyebabkan


hipoksia alveolar dan asidemia yang menyebabkan vasokonstriksi
ps:

pembuluh darah paru dan peningkatan PVR, sehingga isi sekuncup


htt

ventrikel kanan berkurang. Ventilasi mekanik dapat secara aktif

jdih.kemkes.go.id
- 83 -

merekrut alveoli yang kolaps melalui positive end expiratory pressure

l
tm
(PEEP), sehingga dapat mengatasi ancaman gangguan hemodinamik

l.h
lebih lanjut. Pada PH, prinsip menurunkan PVR dengan ventilasi
mekanik juga dapat diterapkan, yaitu dengan memberikan volume

a
on
tidal seperti fisiologi pernafasan normal, yang disebut sebagai volume

si
kapasitas residu fungsional (functional residual capacity, FRC). Selain

-na
penerapan tekanan positif, pemberian fraksi oksigen tinggi secara

an
signifikan akan menurunkan PVR. Pada kasus PH strategi ventilasi

om
ditujukan untuk mencegah hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis.

ed
Pemakaian gas nitric oxide (NO) dengan high frequency oscilatory

g-p
ventilation (HFOV) direkomendasikan pada PPHN. Pemakaian HFOV

tan
menempatkan volume tidal pasien pada FRC.
Pemakaian obat sedasi, analgesik dan pelumpuh otot di ICU anak

en
disesuaikan dengan strategi ventilasi yang dipilih. Pemakaian obat-
k-t
obat tersebut juga disesuaikan dengan keseimbangan pasokan dan
m
s-k

konsumsi oksigen miokardium yang diinginkan. Semakin berat


tanda gagal jantung maka obat-obat ini diperlukan sampai tercapai
ke

kondisi miokardium istirahat, sehingga penggunaan obat vasoaktif


en

dapat diturunkan dosisnya. Pasokan oksigen jaringan saat kondisi


pm

miokardium istirahat ini biasanya tidak cukup ditopang oleh


/ke

ventilasi mekanik saja, tetapi juga harus ditopang oleh sirkulasi


/04

mekanik seperti extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) atau


23

ventricular assist device (VAD). Ventilasi non-invasif dengan berbagai


20

interface yang digunakan, dapat dipakai sebagai topangan terapi,


m/

meskipun tidak selalu dapat menghindari intubasi endotrakeal pada


co

gagal jantung berat.


si.

Kejadian AKI yang disebabkan oleh faktor pre-renal yang terjadi


ula

karena sindrom disfungsi multiorgan, obat-obat nefrotoksik dan syok


reg

septik semakin sering dijumpai di ICU anak, termasuk pada anak


yang mengalami gagal jantung. Pada neonatus yang menjalani
o
inf

operasi dengan mesin CPB, kejadian AKI pasca-bedah memberikan


.

prognosis yang buruk. Kasus gagal jantung pada anak dengan


ww

kelebihan cairan dan hiperkalemia, memerlukan PD atau CKRT.


//w

Siklus PD yang digunakan adalah 10-20 mL/kgbb per-siklus.


ps:

Keuntungan PD adalah tidak memburuhkan heparin intravena, lebih


murah dan lebih mudah dibandingkan CKRT.
htt

jdih.kemkes.go.id
- 84 -

G. Tata Laksana Khusus

l
tm
Dalam bab ini dibahas tentang tata laksana khusus penyebab gagal

l.h
jantung yang sering ditemukan, seperti farmakoterapi spesifik, intervensi
non-bedah dan bedah (paliatif maupun definitif).

a
on
1. Bayi Prematur dengan Hemodynamic Significant Patent Ductus

si
Arteriosus (hs-PDA)

-na
Pada bayi prematur, PDA merupakan penyebab gagal jantung yang

an
paling sering dijumpai, dikenal dengan istilah Hemodynamic

om
Significant Patent Ductus Arteriosus (hs-PDA). Selain masalah gagal

ed
jantung, hs-PDA pada bayi prematur sering mengakibatkan

g-p
terjadinya berbagai komorbiditas, seperti Bronchopulmonary

tan
Dysplasia (BPD), PH sekunder, Necrotizing Enterocolitis (NEC), Acute
Kidney Injury (AKI), Intraventricular Hemorrhage (IVH). Kriteria klinis

en
dan ekokardiografi seperti tercantum pada Tabel 29 digunakan
k-t
untuk menentukan keperluan farmakoterapi hs-PDA pada bayi
m
s-k

prematur. Pilihan farmakoterapi hs-PDA pada bayi prematur dapat


dilihat pada Tabel 30. Tata laksana farmakoterapi hs-PDA pada bayi
ke

prematur dibagi atas profilaksis, tata laksana dini, dan tata laksana
en

simtomatis.
pm

a. Tata laksana profilaksis diberikan pada bayi prematur dengan


/ke

berat lahir amat sangat rendah (<1000 gram) saat usia 6-24
/04

jam. Tujuan tata laksana profilaksis ini adalah untuk mencegah


23

terjadinya gagal jantung disertai komorbiditas.


20

b. Tata laksana dini diberikan pada bayi prematur usia <6 hari
m/

yang asimtomatis, diagnosis hs-PDA ditegakkan berdasarkan


co

kriteria ekokardiografi saja.


si.

c. Tata laksana simtomatis diberikan pada bayi prematur dengan


ula

diagnosis hs-PDA yang ditegakkan berdasarkan kriteria klinis


reg

dan ekokardiografi.
o
. inf
ww
//w
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 85 -

Tabel 29. Beberapa faktor risiko yang menentukan hs-PDA pada bayi

l
tm
prematur.

l.h
Risiko determinan pada Risiko rendah Risiko tinggi

a
on
hs-PDA

si
Takikardia Tidak Ya

-na
Takipnea Tidak Ya

an
Respiratory support Tidak memerlukan Membutuhkan

om
alat bantu nafas alat bantu

ed
atau oksigen, SpO2 nafas, baik

g-p
dan PaO2 stabil invasif atau

tan
non-invasif
Perburukan

en
k-t keadaan
sisten
m
s-k

pernafasan
(contoh:
ke

peningkatan
en
pm

flow dan FiO2


pada HNFC,
/ke

peningkatan
/04

PEEP, PIP dan


23

Fi02 pada
20

CPAP, NIV;
m/

MV), dan
co

desaturasi
si.

Tanda dan gejala pada Abdomen soepel, Distensi,


ula

abdomen tidak distensi ditemukan


reg

volume sisa
makan (tanda
o
inf

pre-NEC)
.
ww

Tanda gangguan fungsi Tidak dijumpai Gangguan


organ ginjal akut,
//w

NEC,
ps:

gangguan
htt

NIRS yang

jdih.kemkes.go.id
- 86 -

Risiko determinan pada Risiko rendah Risiko tinggi

l
tm
hs-PDA

l.h
bervariasi

a
Ekokardiografi, sonografi - LA hanya - LA dilatasi

on
Doppler (serebral, dilatasi ringan, berat,

si
abdominal) LA/Ao ≤ 1,2 LA/Ao ≥ 1,4

-na
- Ukuran LV - Dilatasi LV

an
normal berat

om
- Fungsi sistolik - Disfungsi

ed
LV normal (EF LV sistolik

g-p
≥55%) - Diameter

tan
- Diameter duktus duktus ≥2
≤1 mm (ID mm - 3 mm

en
k-t
tersempit) (ID
- PDA Vmax ≥ 3 tersempit)
m
s-k

m/s (CW atau


Doppler) diameter
ke

- Kecepatan aliran duktus >


en
pm

L-R duktus diameter


(Vmax) ≥ 2 m/s MPA
/ke

(kontinu), baik - Kecepatan


/04

saat sistolik aliran L-R


23

maupun duktus
20

diastolik, (Vmax) ≤ 2
m/

umumnya m/s
co

menunjukkan (unrestrictiv
si.

penyempitan e)
ula

(penutupan - Kecepatan
reg

PDA) aliran
- Kecepatan aliran diastolik L-
o
inf

di PA saat R duktus ≥
.

sistolik dan 0,5 m/s


ww

diastolik normal - Dilatasi PA


//w

- ACA RI ≤ 0,75 (LPA > AAO)


ps:

- Tidak dijumpai - ACA RI


htt

aliran retrograde ≥0,9

jdih.kemkes.go.id
- 87 -

Risiko determinan pada Risiko rendah Risiko tinggi

l
tm
hs-PDA

l.h
diastolic (hanya - Holo-

a
di awal) diastolic

on
retrograde

si
aliran pada

-na
PDA

an
Keterangan:

om
Ao = aorta; AAO = ascending aorta; ACA = anterior cerebral artery;

ed
CPAP = continuous positive airway pressure; CW = continuous wave;

g-p
EF = ejection fraction; Fio2 =fraction of inspired oxygen; HFNC = high-

tan
flow nasal cannula; ID = inner diameter; L-R = left to right shunt;
LA/Ao = left atrium to aortic root diameter ratio; LPA = left

en
k-t
pulmonary artery; MPA = mean pulmonary artery; MV = mechanical
ventilation; NIRS = near-infrared spectroscopy; NIV = non-invasive
m
s-k

ventilation; PEEP = positive end-expiratory pressure; PIP = positive


inspiratory pressure; RI = resistance index; SpO2 = pulse oxygen
ke

saturation; Vmax = maximum velocity


en
pm

Tabel 30. Pilihan farmakoterapi hs-PDA pada bayi prematur


/ke

Peringkat
Pilihan
/04

Dosis rekomendasi,
farmakoterapi
derajat bukti
23

3 x 0,1 mg/kg iv tiap


20

Tata laksana
12 jamb (dosis tunggal
m/

profilaksis, Indometasina I, A
dapat
usia 6 – 24jam
co

dipertimbangkan)
si.

0,2 mg/kg iv pada hari


ula

I, diikuti dengan 0,1


Indometasina I, A
mg/kg/dosis tiap 12
reg

Tata laksana jam pada hari II dan III


o

dini, usia < 6 10 mg/kg iv atau oral


inf

hari pada hari I, diikuti


.

Ibuprofenc dengan 5 mg/kg iv I, A


ww

atau oral, pada hari II


//w

dan III
10 mg/kg iv atau oral
ps:

Tata laksana pada hari I, diikuti


Ibuprofenc I, A
htt

simtomatis dengan 5 mg/kg iv


atau oral, pada hari II

jdih.kemkes.go.id
- 88 -

dan III

l
Rescue 15 mg/kg iv, tiap 6

tm
treatment Parasetamol jam, selama 3 – 7 hari I, A

l.h
Keterangan:

a
on
a = infus perlahan selama 30 menit; b = dosis kedua dikonfirmasi

si
berdasarkan ekokardiografi; c = jenis oral dilarutkan dalam 2 ml/kg

-na
air atau susu

an
om
Ibuprofen dan indometasin merupakan cyclooxygenase (COX)
inhibitor yang bekerja menghambat pembentukan prostaglandin E2

ed
sehingga duktus arteriosus dapat menutup. Efektifitas indometasin

g-p
dan ibuprofen tidak berbeda bermakna. Ibuprofen iv merupakan

tan
pilihan utama farmakoterapi hs-PDA pada bayi prematur, sedangkan

en
ibuprofen oral dapat diberikan jika tidak ada gangguan saluran
k-t
cerna. Ibuprofen tidak direkomendasikan digunakan pada usia <24
m
jam (sebagai farmakoterapi profilaksis), karena dapat meningkatkan
s-k

risiko terjadinya AKI, trombositopenia, perdarahan saluran cerna


ke

dan NEC, serta PPHN. Indometasin lebih baik dibandingkan


en

ibuprofen sebagai farmakoterapi profilaksis pada usia 6-24 jam


pm

karena menurunkan risiko terjadinya IVH dan perdarahan paru.


/ke

Efek samping pemberian indometasin iv dan ibuprofen iv tidak ada


perbedaan yang bermakna. Dalam keadaan ketidaktersediaan atau
/04

dijumpai kontranindikasi kedua obat tersebut, parasetamol iv dapat


23

menjadi terapi alternatif.


20
m/

2. Penyakit Jantung Bawaan Kritis Tergantung Duktus Arteriosus


co

Prostaglandin E1 dosis rendah (3–10 ng/kg/menit) merupakan


si.

vasodilator spesifik yang bekerja mempertahankan duktus arteriosus


ula

tetap terbuka, sehingga sangat bermanfaat pada neonatus dengan


reg

PJB kritis tergantung duktus. Target SaO2 > 70% dapat menjadi
o

indikator klinis terhadap respon prostaglandin. Jika saturasi oksigen


inf

<70% (walaupun telah mendapat prostaglandin), pasien harus segera


.
ww

dilakukan intervensi seperti balloon atrial septectomy (BAS) atau


atrial stenting, percutaneous transluminal balloon pulmonal
//w

valvuloplasty (PTBPV), percutaneous transluminal balloon aortic


ps:

valvuloplasty (PTBAV), stenting PDA, stenting RVOT, BTS, atau


htt

jdih.kemkes.go.id
- 89 -

prosedur Brock, tergantung jenis PJB kritis dan kemampulaksanaan

l
tm
rumah sakit rujukan tersier.

l.h
Prostaglandin intravena sebaiknya diberikan saat awal PJB kritis
terdiagnosis dan tetap diberikan selama transportasi neonatus

a
on
maupun saat dirawat di pusat rujukan untuk persiapan tata laksana

si
intervensi. Pemantauan saturasi oksigen secara ketat dengan

-na
oksimeter nadi sangat bermanfaat untuk menentukan perubahan

an
dosis prostaglandin intravena. Pada kondisi sianosis semakin berat

om
dan terjadi asidosis laktat, dosis dapat dinaikkan bertahap setiap 20

ed
menit, dimulai dengan dosis 50 ng/kg/menit sampai maksimal 100

g-p
ng/kg/menit, untuk mencapai target saturasi oksigen 75% - 85%.

tan
Saturasi dapat dipertahankan >70% jika kadar laktat < 2 mmol/liter.
Pemberian prostaglandin dosis tinggi harus berhati-hati, karena

en
menimbulkan efek samping seperti henti nafas, hipotensi, dan syok
k-t
sehingga bayi memerlukan dukungan ventilasi mekanik.
m
s-k

3. Intervensi Pada Penyakit Jantung Bawaan


Rekomendasi pilihan tata laksana PJB berdasarkan derajat
ke

keparahan gagal jantung pada anak menurut ACC/AHA tahun 2016,


en

sebagaimana tercantum pada Gambar 18. Intervensi pada PJB dapat


pm

dilakukan pada gagal jantung derajat B, C, dan D. Intervensi non-


/ke

bedah adalah prosedur intervensi melalui transkateter, misalnya


/04

dengan memasukkan alat penutup defek (occluder) pada pirau kiri ke


23

kanan, pengembangan balon pada lesi katup obstruktif, pemasangan


20

stent pada PDA, septum atrium, RVOT, dan stenosis pembuluh


m/

darah, serta perikardiosintesis pada efusi perikard masif. Sedangkan


co

intervensi bedah adalah prosedur invasif melalui sternotomi atau


si.

torakotomi dengan atau tanpa bantuan mesin CPB, misalnya


ula

prosedur paliatif BTS, PAB, dan BCPS, atau prosedur koreksi


reg

biventrikular pada kelainan ASD, VSD, AVSD, APSD, APVC, TOF,


TGA, serta prosedur Fontan pada kelainan-kelainan univentrikular.
o
. inf
ww
//w
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 90 -

l
tm
al.h
on
si
-na
an
om
ed
g-p
tan
en
k-t
m
s-k
ke

Gambar 18. Klasifikasi gagal jantung pada penyakit jantung bawaan


en

dan tatalaksananya (diterjemahkan dan dimodifikasi dari AHA/ACC


pm

tahun 2016).
/ke

Keterangan:
/04

ACEi = angiotensin converting enzyme inhibitor; AICD = automatic


23

implantable cardioverter-defibrillator; ARB = angiotensin receptor


20

blocker; BB = beta-blocker; CRT-P = cardiac resynchronization therapy-


m/

pacemaker; ERA = endothelium-receptor antagonist; PDE-5i =


co

phosphosdiesterase type 5 inhibitor


si.
ula

a. Atrial Septal Defect (ASD)


reg

Bila anak mengalami gagal jantung akibat ASD yang tidak


teratasi dengan terapi suportif, intervensi penutupan ASD dapat
o
inf

dilakukan, baik dengan prosedur non-bedah (transkateter)


.

maupun bedah. Intervensi penutupan ASD mungkin dapat


ww

dipertimbangkan pada ASD yang disertai PH, dengan syarat


//w

PVRI >5 WU namun masih < 2/3 SVRI atau tekanan arteri
ps:

pulmonal <2/3 tekanan arteri sistemik, dan ada bukti FR >1,5.


Akan tetapi, penutupan ASD tidak direkomendasikan pada
htt

kondisi telah terjadi sindrom Eissenmenger.

jdih.kemkes.go.id
- 91 -

Intervensi penutupan ASD secara transkateter dilakukan

l
tm
dengan memasukkan alat penutup defek (occluder) melalui
kateterisasi jantung. ASD occluder memiliki berbagai ukuran

l.h
dan bentuk. Pada ASD sekundum kecil dapat digunakan PFO

a
on
occluder. Jika PVRI >5 wU tetapi <2/3 SVRI atau tekanan

si
arteri pulmonal <2/3 sistemik, dan masih respon terhadap uji

-na
oksigen atau uji vasodilator, intervensi penutupan ASD

an
transkateter masih dapat dilakukan dengan menggunakan ASD

om
occluder fenestrated. Kelebihan intervensi penutupan ASD

ed
secara transkateter dibandingkan intervensi bedah adalah tidak

g-p
menggunakan mesin CPB, tidak ada bekas luka di dada, dan

tan
lama rawatan pasca-prosedur yang relatif lebih singkat.
Intervensi penutupan ASD transkateter juga dapat dilakukan

en
dengan bantuan TEE tanpa fluoroskopi, terutama pada ibu
k-t
hamil untuk menghindari efek radiasi pada janin. Komplikasi
m
s-k

yang mungkin dapat terjadi adalah perdarahan pada bekas


kanulasi, hemolisis akibat alergi occluder, trombosis, disritmia
ke

terutama AF dan AV-blok, gangguan penutupan katup mitral


en

dan trikuspid, tamponade jantung akibat perforasi atau ruptur


pm

atrium maupun vena pulmonal, stenosis vena pulmonal


/ke

kanan/kiri, gangguan kontraktilitas, dan emboli. Kontraindikasi


/04

penutupan ASD transkateter adalah ASD primum, rim defisiensi


23

lebih dari 2 lokasi terutama rim posterior, regurgitasi mitral


20

(mitral regurgitation, MR) sedang sampai berat, endokarditis


m/

infektif, serta sindrom Eissenmenger.


co

Intervensi penutupan ASD secara bedah dilakukan dengan


si.

jahitan langsung atau dengan menggunakan patch perikardial.


ula

Prosedur ini dilakukan dengan sayatan membelah dada (median


sternotomy), sayatan di dada kanan yang tidak membelah tulang
reg

(right thoracotomy/midaxillary), maupun dengan sayatan kecil di


o
inf

dada (minimally invasive). Bedah penutupan ASD umumnya


.

dilakukan pada usia 3-5 tahun, namun jika gagal jantung tidak
ww

terkontrol dengan terapi suportif, dapat dilakukan lebih dini,


//w

baik secara paliatif atau definitif. Penutupan ASD secara bedah


ps:

diindikasikan pada ASD dengan manifestasi klinis gagal jantung


kongestif berat, dengan MR sedang sampai berat, atau stenosis
htt

mitral (sindrom Lutembacher), terdapat vegetasi, atau bila

jdih.kemkes.go.id
- 92 -

penutupan secara transkateter tidak direkomendasikan (pada

l
tm
ASD primum, ASD sinus venosus, dan ASD sinus koronarius).

l.h
Kontraindikasi intervensi penutupan ASD dengan pembedahan
adalah jika telah terjadi sindrom Eissenmenger. Pada ASD besar

a
on
yang disertai PH berat namun masih reversibel, pembedahan

si
dapat dilakukan dengan menyisakan lubang ASD ataupun PFO,

-na
yang diiringi dengan bantuan inhalasi NO atau illoprost di ICU

an
pasca-bedah jantung. Keberhasilan penutupan ASD, baik secara

om
transkateter maupun pembedahan sangat baik (>95%),

ed
komplikasi serius <1%, dan mortalitas < 1%. Angka mortalitas

g-p
meningkat jika disertai komorbiditas, seperti sepsis, PH berat,

tan
dan kelainan bawaan mayor.
b. Ventricular Septal Defect (VSD)

en
Pada anak dengan gagal jantung yang disebabkan VSD,
k-t
penutupan VSD dapat dilakukan baik secara transkateter
m
s-k

maupun pembedahan. Pada VSD disertai PH, penutupan VSD


dapat dipertimbangkan bila PVRI > 5 WU namun masih <2/3
ke

SVRI atau tekanan arteri pulmonal <2/3 tekanan arteri


en

sistemik, dan ada bukti FR >1,5. Penutupan VSD tidak


pm

direkomendasikan pada kondisi telah terjadi sindrom


/ke

Eissenmenger. Keberhasilan penutupan VSD, baik transkateter,


/04

pembedahan, maupun terapi hibrida, sangat baik (>95%),


23

dengan mortalitas 1% - 2%. Prognosis buruk jika ada komorbid,


20

terutama sepsis atau disertai kelainan bawaan mayor.


m/

Intervensi penutupan VSD secara non-bedah (transkateter)


co

dilakukan dengan memasukkan alat penutup defek (occluder)


si.

melalui kateterisasi jantung. Pada VSD muskular lebih


ula

dipertimbangkan untuk menutup VSD secara transkateter


daripada pembedahan. Pilihan occluder tergantung pada jenis,
reg

ukuran, bentuk, dan lokasi defek, defek tunggal atau multipel,


o
inf

tebal septum, panjang rim subaortik, ada tidaknya MSA (single


.

exit atau multiple exit), serta ada tidaknya PH. Kelebihan


ww

penutupan VSD transkateter adalah selama prosedur tidak


//w

menggunakan CPB, tidak ada bekas luka di dada, dan lama


ps:

rawatan pasca-prosedur relatif lebih singkat. Komplikasi yang


mungkin dapat terjadi adalah perdarahan di daerah kanulasi,
htt

hemolisis akibat residual VSD signifikan atau reaksi alergi,

jdih.kemkes.go.id
- 93 -

trombosis, disritmia terutama AV-Blok total, gangguan katup

l
tm
(terutama regurgitasi katup aorta), tamponade jantung, dan
emboli device. Kontraindikasi penutupan VSD transkateter

l.h
adalah VSD perimembran inlet, prolaps katup aorta derajat

a
on
berat, AR berat, AV-Blok, IE, sindrom Eissenmenger, dan

si
gangguan kontraktilitas.

-na
Intervensi penutupan VSD secara bedah umumnya

an
menggunakan polytetrafluoroethylene (PTFE). Seperti halnya

om
ASD, penutupan VSD dilakukan dengan teknik median

ed
sternotomy, right thoracotomy/midaxillary atau minimally

g-p
invasive. Ada dua pendekatan pembedahan yakni trans-atrial

tan
(pada VSD perimembran, VSD inlet, VSD subaortik, dan VSD
muskular), dan trans-pulmonal (pada VSD subpulmonik atau

en
VSD doubly committed subarterial). Pertimbangan dilakukan
k-t
penutupan VSD secara pembedahan, yakni:
m
s-k

1) CHF yang memberat dan tidak terkontrol dengan obat-


obatan atau riwayat pneumonia berulang. Biasanya
ke

penutupan VSD dilakukan saat usia >3 bulan.


en

Pada VSD besar dan asimtomatik, namun dijumpai LV


pm

2)

volume overload yang bermakna. Keadaan ini sering terjadi


/ke

pada usia > 1 tahun.


/04

3) Penutupan VSD secara pembedahan merupakan pilihan


23

utama pada VSD (meskipun kecil) disertai prolaps katup


20

aorta dan AR berat atau progresif, VSD perimembran inlet,


m/

dan VSD disertai AV-blok.


co

Kontraindikasi bedah penutupan VSD adalah pada sindrom


si.

Eissenmenger. Pada PH berat namun masih reversibel,


ula

pembedahan dilakukan dengan bantuan inhalasi NO atau


reg

illoprost. Bedah paliatif PAB dipertimbangkan pada kasus bayi


sakit kritis dengan CHF berat yang disertai infeksi berat, atau
o
inf

pada VSD muskular dan multipel yang belum memungkinkan


.

untuk dilakukan penutupan VSD. Tujuannya adalah untuk


ww

mengendalikan manifestasi klinis CHF dan PH sebelum


//w

intervensi definitif penutupan VSD dilakukan. Alternatif lain


ps:

adalah prosedur penutupan VSD hibrida perventricular, yang


dikerjakan secara bersama oleh dokter SpA,SubspKardio atau
htt

SpJP,SubspKPPJB, dengan dokter SpBTKV (K)-BJP. Prosedur

jdih.kemkes.go.id
- 94 -

ini sering dilakukan pada usia < 3 bulan dan berat badan < 5

l
tm
kg. Kelebihan prosedur ini, tidak menggunakan CPB dan luka

l.h
sayatan kecil.
c. Atrioventricular Septal Defect (AVSD)

a
on
Intervensi pada AVSD berupa pembedahan koreksi biventrikular

si
dengan menggunakan single patch atau two patch, serta

-na
rekonstruksi katup trikuspidal dan katup mitral.212-215

an
Pembedahan koreksi AVSD komplit dilakukan pada saat usia 2 -

om
4 bulan. Namun jika gagal jantung tidak dapat dikontrol melalui

ed
terapi suportif, pembedahan dilakukan lebih dini. Pada bayi

g-p
prematur atau telah terjadi PH berat yang berisiko tinggi untuk

tan
pembedahan koreksi, maka dapat dilakukan PAB terlebih
dahulu. Pembedahanjuga dilakukan pada AVSD parsial jika

en
ditemukan overload ventrikel k-t kanan,. Pembedahan dapat
dipertimbangkan pada AVSD disertai PH dengan syarat PVR > 5
m
s-k

WU namun masih < 2/3 SVR atau tekanan arteri pulmonal <
2/3 tekanan arteri sistemik, dan ada bukti FR > 1,5. Penutupan
ke

AVSD tidak direkomendasikan pada kondisi telah terjadi


en

sindroma Eissenmenger.
pm

Pada AVSD disertai obstruksi RVOT dapat dipertimbangkan


/ke

bedah paliatif BT-shunt terlebih dahulu, diikuti pembedahan


/04

koreksi saat usia 1 - 2 tahun. Jenis pembedahannya tergantung


23

morfologi dan fungsi ventrikel, balance atau unbalance, serta


20

ukuran cabang-cabang arteri pulmonalis. Pada AVSD


m/

unbalance, biasanya dilakukan tahapan pembedahan


co

univentrikular. Keberhasilan pembedahan pada AVSD


si.

tergantung faktor usia, jenis AVSD (partial, intermediate, atau


ula

complete), struktur atrium dan ventrikel, derajat regurgitasi


reg

katup atrioventrikular, ada tidaknya PH, sindrom Down atau


kelainan bawaan mayor lainnya, serta komorbiditas lainnya
o
inf

seperti sepsis dan kelainan darah. Angka mortalitas dini pasca-


.

PAB tanpa komorbid sekitar 15%, sedangkan pasca-


ww

pembedahan koreksi tanpa komorbid sekitar 10%.


//w

d. Patent Ductus Arteriosus (PDA)


ps:

Pada anak dengan gagal jantung akibat PDA yang tidak dapat
dikontrol dengan terapi suportif, intervensi penutupan PDA
htt

perlu dilakukan baik secara non-bedah (transkateter) maupun

jdih.kemkes.go.id
- 95 -

pembedahan. Intervensi dapat dipertimbangkan pada PDA

l
tm
disertai PH dengan syarat PVR > 5 WU namun masih < 2/3 SVR

l.h
atau tekanan arteri pulmonal < 2/3 tekanan arteri sistemik, dan
ada bukti FR > 1,5. Tetapi penutupan PDA tidak

a
on
direkomendasikan lagi bila telah terjadi sindrom Eissenmenger.

si
Pemilihan berbagai jenis occluder untuk prosedur transkateter

-na
ditentukan berdasarkan ukuran, panjang, dan bentuk duktus,

an
serta ada tidaknya PH. Kini prosedur ini dapat dilakukan pada

om
bayi berat badan < 5 kg atau bayi prematur di ICU dengan

ed
panduan TTE saja. Penutupan PDA transkateter juga dapat

g-p
dilakukan pada PDA residual pasca-ligasi. Kelebihan penutupan

tan
PDA transkateter adalah lama rawatan pasca-prosedur relatif
lebih singkat, kejadian PDA residual lebih jarang, dan tidak ada

en
bekas luka operasi di dada. Komplikasi yang dapat terjadi
k-t
selama atau setelah penutupan PDA transkateter adalah
m
s-k

disritmia, gangguan katup, disfungsi ventrikel, trombosis,


hemolisis (akibat PDA residual atau alergi occluder), tamponade
ke

jantung, dan emboli (device migration). Kontraindikasi


en

penutupan PDA transkateter adalah disfungsi ventrikel, AV-


pm

Blok, endokarditis infektif, dan sindroma Eisenmenger.


/ke

Intervensi bedah berupa ligasi PDA terutama dilakukan pada


/04

kasus PDA yang sangat besar sehingga sulit ditutup secara


23

transkateter atau pada kasus PDA yang gagal ditutup secara


20

transkateter. Pada PDA disertai PH berat namun masih


m/

reversibel, ligasi PDA dapat dilakukan dengan pemberian


co

inhalasi NO atau illoprost. Pada bayi prematur, ligasi PDA dapat


si.

dilakukan secara bedside di ICU neonatus. Kontraindikasi ligasi


ula

PDA adalah jika telah terjadi sindrom Eissenmenger.


reg

Keberhasilan penutupan PDA, baik secara transkateter maupun


pembedahan, sangat baik (> 95%), komplikasi serius < 1%, dan
o
inf

mortalitas < 1%. Prognosis buruk jika disertai komorbid seperti


.

sepsis dan kelainan bawaan mayor yang berat.


ww

e. Anomalous Pulmonary Venous Connection (APVC)


//w

Pembedahan koreksi APVC dilakukan dengan bantuan mesin


ps:

CPB, untuk mengembalikan aliran PV (re-route) ke LA, disertai


penutupan ASD menggunakan patch pericardial. Indikasi
htt

pembedahan koreksi adalah pada partial APVC (PAPVC)

jdih.kemkes.go.id
- 96 -

simtomatis dengan Qp/Qs > 1.5 atau Qp/Qs > 2 jika

l
tm
asimtomatis, dan total APVC (TAPVC). Pembedahan tidak

l.h
direkomendasikan pada kasus anomali PV tunggal tanpa ASD.
Pembedahan koreksi dapat dilakukan pada usia 2 – 5 tahun,

a
on
untuk mencegah terjadinya PH saat dewasa. Namun

si
pembedahan koreksi APVC dapat dilakukan lebih dini, apabila

-na
terdapat obstruksi aliran PV ataupun terdapat kombinasi

an
kelainan jantung bawaan lainnya. Pembedahan mungkin dapat

om
dipertimbangkan pada APVC disertai PH dengan syarat PVR > 5

ed
WU namun masih < 2/3 SVR atau tekanan arteri pulmonal <

g-p
2/3 tekanan arteri sistemik, dan ada bukti FR > 1,5.

tan
Pembedahan koreksi APVC tidak direkomendasikan pada
kondisi telah terjadi sindroma Eissenmenger.

en
Teknik pembedahan sangat tergantung pada jenis anomali PV,
k-t
apakah mengalir ke SVC, IVC, RA, atau sinus koronarius
m
s-k

(supracardiac, infracardiac, intracardiac, maupun mixed type).


Peranan CCT sangat penting dalam penegakan diagnosis dan
ke

penilaian jalan nafas, untuk perencanaan strategis


en

pembedahan. Komplikasi yang mungkin dapat terjadi adalah


pm

disritmia dan obstruksi SVC (sindrom SVC). Keberhasilan


/ke

pembedahan sangat baik dengan angka mortalitas < 1%. Angka


/04

mortalitas meningkat jika disertai komorbid, seperti sepsis


23

berat, hipertensi pulmoner berat, dan kelainan bawaan mayor


20

yang berat.
m/

f. Pulmonary Stenosis (PS)


co

Intervensi tergantung pada jenis dan derajat PS. Pada PS valvar


si.

berat, ditemukan perbedaan tekanan dengan Doppler >60


ula

mmHg. Prosedur valvulotomi untuk mengatasi PS valvar dapat


transluminal
reg

dilakukan secara transkateter (percutaneous


balloon pulmonary valvuloplasty, PTBPV) atau secara bedah.
o
inf

PTBPV dilakukan pada PS valvar berat (kritikal). Syaratnya


.

adalah struktur dan fungsi sistolik RV normal. Ukuran balon


ww

yang digunakan adalah 120% - 140% diameter anulus


//w

pulmonal. Pada PS valvar kritikal mungkin juga perlu dilakukan


ps:

prosedur BAS, stenting septum atrial atau stenting PDA. Pada PS


subvalvar berat, dapat dilakukan stenting RVOT. Pada stenosis
htt

cabang arteri pulmonal (peripheral pulmonary stenosis, PPS)

jdih.kemkes.go.id
- 97 -

berat, juga dapat dilakukan prosedur balloon angioplasty dan

l
tm
stenting. Komplikasi yang dapat terjadi adalah tamponade
jantung, migrasi stent, restenosis pasca PTBPV atau pasca-

l.h
stenting, serta aritmia. Kelebihan PTBPV adalah tidak

a
on
menggunakan mesin CPB, dan tidak ada bekas luka operasi di

si
dada. Namun kekurangannya adalah paparan radiasi yang

-na
relatif lama, komplikasi PR lebih sering terjadi, dan jika gagal

an
prosedur PTBPV, pasien tetap memerlukan pembedahan.

om
Pada PS valvar berat, prosedur bedah valvulotomi pulmonal

ed
dapat dilakukan bila struktur dan fungsi sistolik RV normal.

g-p
Jika saat remaja pasien masih mengalami PS valvar berat, dapat

tan
dipertimbangkan penggantian katup pulmonal (pulmonary valve
implantation, PVI), baik secara non-bedah maupun bedah. Pada

en
PS valvar kritikal, bedah valvulotomi pulmonal dilakukan secara
k-t
transventrikular atau memasang patch transanular. Pada PS
m
s-k

subvalvar, dapat dilakukan reseksi subvalvar. Ukuran arteri


pulmonal kanan dan kiri harus cukup besar (rasio McGoon >
ke

1,8 atau indeks Nakata > 200). Jika syarat tersebut tidak
en

terpenuhi, mungkin pasien memerlukan bedah BT-shunt.


pm

Apabila ukuran arteri pulmonal kanan dan kiri baik, namun PS


/ke

tidak dapat diperbaiki ataupun terdapat kelainan yang bersifat


/04

univentrikular, maka pilihannya adalah pembedahan


23

univentrikel. Diawali dengan BCPS pada usia > 6 bulan, diikuti


20

prosedur Fontan pada usia > 3 tahun. Pada PS supravalvar atau


m/

stenosis cabang arteri pulmonal, dapat dilakukan rekonstruksi


co

arteri pulmonalis atau stenting cabang arteri pulmonal.


si.

Keberhasilan prosedur PTBPV sekitar 85%, namun sekitar 40%


ula

pasien mengalami PR ringan sampai berat. Angka mortalitas PS


reg

valvar kritikal pasca-PTBPV sekitar 3% dan komplikasi < 20.


Prognosis buruk jika disertai komorbiditas (sepsis, ensefalopati)
o
inf

atau adanya kelainan bawaan mayor. Angka mortalitas pasca-


.

bedah valvulotomi pulmonal pada PS valvar kritikal sekitar 10%,


ww

tetapi bila dilakukan pada anak yang besar, angka


//w

mortalitasnya < 1%. Prognosis buruk jika disertai komorbiditas


ps:

(sepsis, ensefalopati) atau adanya kelainan bawaan mayor.


Kejadian restenosis pasca-intervensi sehingga memerlukan re-
htt

intervensi sekitar 6%.

jdih.kemkes.go.id
- 98 -

g. Aortic Stenosis (AS)

l
tm
Kriteria AS berat adalah jika kecepatan Doppler maksimum
(maximum Doppler velocity, Vmax) > 4,0 m/detik, perbedaan

l.h
tekanan (pressure gradient, PG) > 50 mmHg, area katup aorta

a
on
(aortic valve area, AVA) < 1,0 cm2, atau indeks area katup aorta

si
(aortic valve aras index, AVAi) < 0,6 cm2/m2. Percutaneous

-na
transluminal balloon aortic valvulotomy (PTBAV) dilakukan pada

an
AS valvar berat, jika struktur dan fungsi sistolik LV normal.

om
Prognosis PTBAV pada AS valvar tidak sebaik PTBPV pada PS

ed
valvar, prosedur PTBAV hanya bersifat paliatif dan pasien

g-p
dipersiapkan untuk prosedur penggantian katup aorta buatan

tan
saat dewasa. Ukuran balon yang digunakan adalah 90 – 100%
dari diameter annulus aorta. Target PTBAV adalah PG turun 20

en
– 25 mmHg. Kontraindikasinya adalah jika disertai sub aortic
k-t
stenosis (SAS), katup bikuspid, unikuspid, atau AR berat. Pada
m
s-k

saat dilakukan PTBAV, diberikan sulfas atropin atau dopamin


kontinu, serta pemasangan temporary pacemaker (TPM) untuk
ke

menjaga laju jantung saat balon dikembangkan.


en

Komplikasi yang dapat terjadi adalah tamponade jantung akibat


pm

ruptur aorta, AR berat, stroke, perdarahan vaskular, pulsasi


/ke

arteri femoralis lemah, spasme subvalvar, restenosis pasca-


/04

PTBAV, dan iskemik koroner. Pada bayi dengan AS kritikal


23

yang tidak mungkin dilakukan PTBAV, prosedur stenting PDA


20

dapat dipertimbangkan dengan atau tanpa BAS, tergantung ada


m/

tidaknya ASD. Pada AS kritikal disertai HLHS dapat dilakukan


co

prosedur Norwood atau dapat dipertimbangkan terapi hibrida


si.

berupa PAB pada kedua cabang arteri pulmonal dan stenting


ula

PDA.
reg

Pada pasien dewasa, penggantian katup buatan secara


transkateter (transcatheter of aortic valve implantation, TAVI)
o
inf

merupakan prosedur definitif pada kasus AS berat simtomatik.


.

Sedangkan pada anak, TAVI sulit dilakukan oleh karena


ww

masalah ketersediaan katup buatan yang sesuai ukuran aorta


//w

anak. Kelebihan PTBAV adalah selama prosedur tidak


ps:

menggunakan mesin CPB dan tidak ada bekas luka operasi di


dada. Kekurangannya adalah paparan radiasi relatif lama,
htt

jdih.kemkes.go.id
- 99 -

sering terjadi komplikasi AR atau stroke, dan jika gagal tetap

l
tm
memerlukan pembedahan.

l.h
Bedah valvulotomi aorta maupun reparasi katup aorta pada bayi
atau anak merupakan alternatif prosedur PTBAV. Apabila katup

a
on
aorta tidak dapat diperbaiki, maka dapat dilakukan prosedur

si
Ross. Pada pasien dewasa, dapat dilakukan penggantian katup

-na
aorta menggunakan katup buatan baik mekanikal atau

an
bioprostetik. Keuntungan katup mekanikal adalah lebih tahan

om
lama. Kekurangannya pasien lebih berisiko mengalami

ed
tromboemboli, sehingga harus minum warfarin selamanya dan

g-p
ada risiko perdarahan. Target international normalized ratio (INR)

tan
2.5 – 3.5 dalam 3 bulan pertama, selanjutnya target INR 2.0 –
3.0. Aspirin dosis rendah dapat dikombinasi dengan warfarin

en
untuk mencapai target INR tersebut.
k-t Warfarin bersifat
teratogenik sehingga berbahaya jika diberikan pada perempuan
m
s-k

hamil.
Katup bioprostetik memiliki risiko lebih rendah untuk terjadinya
ke

tromboemboli dan perdarahan, sehingga lebih menguntungkan


en

pada perempuan hamil. Kekurangannya adalah lebih mudah


pm

terjadi kalsifikasi. Pemeriksaan kadar total kolesterol setiap 6 –


/ke

12 bulan sangat penting, karena kejadian kalsifikasi meningkat


/04

jika kadar total kolesterol > 200 mg/dL. Pasien hanya


23

memerlukan konsumsi aspirin 75 – 100 mg per hari. Namun


20

jika dijumpai faktor risiko seperti fibrilasi atrium, riwayat


m/

tromboemboli, disfungsi ventrikel kiri, atau hiperkoagulasi


co

pasien juga harus mengkonsumsi warfarin. Tidak ada


si.

perbedaan bermakna mortalitas PTBAV dan bedah valvulotomi


ula

aorta. Sekitar 30% pasca-intervensi mengalami AR berat.


reg

Sebagian besar (67%) mengalami restenosis dan harus


dilakukan reintervensi setelah 5 tahun.
o
inf

Pembedahan lainnya adalah prosedur Ross, yaitu memindahkan


.

katup pulmonal menjadi katup aorta, dan mengganti katup


ww

pulmonal dengan katup buatan dari vena jugular berkatup sapi


//w

(misalnya contegra) ataupun katup pulmonal dari manusia


ps:

lainnya (homograft). Pada bayi dan anak, prosedur ini memiliki


kelebihan karena katup neo-aorta masih mungkin mengalami
htt

proses pertumbuhan dan pasien tidak perlu mendapat

jdih.kemkes.go.id
- 100 -

antikoagulan jangka panjang. Komplikasi jangka pendek yang

l
tm
dapat terjadi adalah regurgitasi katup. Jika katup neo-aorta

l.h
tidak tumbuh, dapat dipertimbangkan dilakukan bedah
valvulotomi aorta saat dewasa. Prognosis prosedur Ross lebih

a
on
baik, dengan mortalitas dini < 5%.

si
Pada SAS yang berat (rerata perbedaan tekanan dengan Doppler

-na
> 50 mmHg) dilakukan reseksi subvalvar atau eksisi membran,

an
dengan atau tanpa miektomi. Pada SAS jenis tunnel, dilakukan

om
prosedur Ross-Konno, yakni prosedur Ross disertai rekonstruksi

ed
subvalvar dan aortic-ventriculotomy. Mortalitas pasca-

g-p
pembedahan pada SAS < 5% dan rekurensi 25% - 30% pasca-

tan
reseksi. Rekurensi menurun jika reseksi agresif dengan
miektomi ekstensif, namun risiko AV-Blok meningkat. Pada AS

en
supravalvar, dilakukan angioplasty dengan memasang Y-patch
k-t
pada daerah stenosis. Intervensi bedah ini dapat dilakukan jika
m
s-k

ditemukan perbedaan tekanan rerata dengan Doppler pre dan


post-stenotic > 50 mmHg atau jika ditemukan manifestasi klinis
ke

gagal jantung, nyeri dada, dan sinkop. Komplikasi yang dapat


en

terjadi adalah aritmia, gangguan kontraktilitas, AR,


pm

endokarditis, dan mortalitas pasca-pembedahan <5%.


/ke

h. Coarctation of Aorta (CoA)


/04

Intervensi pada CoA dapat bersifat paliatif (balloon angioplasty)


23

maupun definitif (non-bedah dan bedah). Pada bayi dengan CoA


20

kritikal, balloon angioplasty dapat menjadi alternatif utama


m/

namun prosedur ini bersifat paliatif. Kelebihannya adalah lebih


co

non-invasif dan kejadian komplikasi lebih rendah.


si.

Kekurangannya adalah kejadian CoA berulang (re-CoA) lebih


ula

tinggi dibandingkan dengan pembedahan. Namun balloon


angioplasty
reg

merupakan pilihan utama untuk mengurangi


komplikasi akibat pembedahan berulang. Stenting CoA
o
inf

merupakan prosedur alternatif yang kini berkembang, terutama


.

pada remaja dan dewasa atau jika berat badan > 25 kg.
ww

Komplikasi stenting CoA yang dapat terjadi adalah migrasi stent,


//w

tromboemboli, diseksi aorta, aneurisma, dan stroke.


ps:

Tehnik pembedahan pada CoA yang banyak dilakukan adalah


reseksi yang luas dengan extended end-to-end anastomosis.
htt

Tehnik pembedahan yang lain adalah dengan membuat

jdih.kemkes.go.id
- 101 -

interposition graft, subclavian flap angioplasty, patch angioplasty,

l
tm
atau memasang konduit dari aorta asendens ke aorta

l.h
desendens, namun kejadian re-CoA dan aneurisma aorta lebih
tinggi dibandingkan end-to-end anastomosis. Komplikasi lain

a
on
jangka panjang yang jarang terjadi adalah cedera saraf laring,

si
hipertensi persisten, perdarahan intrakranial, atelektasis paru,

-na
dan iskemia tulang belakang. Keberhasilan intervensi cukup

an
baik dengan angka mortalitas < 5%. Prognosis buruk jika CoA

om
disertai PJB kompleks, gangguan fungsi ginjal pasca-

ed
pembedahan atau komorbid berat lainnya.

g-p
i. Tetralogy of Fallot (TOF)

tan
Pada bayi dengan TOF dan PS subvalvar berat, ada beberapa
intervensi paliatif non-bedah, seperti stenting RVOT, atau

en
stenting PDA (bila ada), dengan tujuan memperbaiki aliran
k-t
darah ke arteri pulmonal dan mengurangi kebutuhan prosedur
m
s-k

BTS. Pada TOF dengan ukuran cabang-cabang arteri pulmonal


cukup baik tetapi terdapat Major Aortopulmonary Collateral
ke

Arteries (MAPCA) bermakna, perlu dilakukan penutupan MAPCA


en

dengan vascular plug untuk mencegah terjadinya aliran paru


pm

yang berlebih.
/ke

Pada TOF dengan spell berulang meskipun sudah mendapat


/04

propranolol dosis optimal, tetapi tidak ideal untuk bedah


23

koreksi, karena cabang arteri pulmonal yang kecil (rasio


20

McGoon < 1,8 atau indeks Nakata < 200) atau usia < 3 bulan
m/

atau berat < 2.5 kg), maka dapat dilakukan prosedur BTS,
co

untuk menambah aliran darah ke arteri pulmonal. Prosedur


si.

BTS bisa dari arteri subklavia kanan (right-BTS), arteri subklavia


ula

kiri (left-BTS), atau dari aorta asendens (central shunt). TOF


native,
reg

ataupun PA-VSD tanpa arteri pulmonal tetapi


mempunyai MAPCA signifikan, maka prosedur unifokalisasi
o
inf

MAPCA sering dilakukan dikombinasikan dengan BTS.


.

Bedah koreksi TOF dikerjakan umumnya pada usia > 6 bulan


ww

atau 6 - 12 bulan pasca-BTS, dengan syarat: ukuran arteri


//w

pulmonal dan cabang-cabangnya baik, rasio McGoon > 1,8,


ps:

indeks Nakata > 200, tidak ada anomali arteri koroner, dan
tidak ada gangguan kontraktilitas. Bedah koreksi terdiri dari
htt

penutupan VSD dan perbaikan aliran darah subvalvar dan

jdih.kemkes.go.id
- 102 -

valvar pulmonal (reseksi, valvulotomi, dengan atau tanpa patch

l
tm
transannular). Bedah koreksi TOF pada masa neonatal tidak

l.h
direkomendasikan karena angka mortalitas yang lebih tinggi.
Prosedur Rastelli dilakukan pada PA-VSD, ataupun TOF dengan

a
on
anomali arteri koroner melintang di RVOT sehingga tidak dapat

si
dipasang patch transannular. Implantasi katup pulmonal

-na
buatan (monocusp) atau bioprostesis dapat dipertimbangkan

an
pada bedah koreksi TOF Absent Pulmonary Valve Syndrome

om
(APVS).

ed
Mortalitas pasca-BTS < 5%. sedangkan mortalitas pasca-bedah

g-p
koreksi TOF yang klasik < 3% jika pembedahan dilakukan saat

tan
usia 6 - 18 bulan. Keberhasilan bedah koreksi pada TOF
umumnya 95%. Sekitar 4% - 16% kasus memerlukan prosedur

en
implantasi katup pulmonal akibat regurgitasi pulmonal pasca-
k-t
bedah koreksi yang terjadi setelah 5 - 10 tahun. Implatasi katup
m
s-k

pulmonal buatan dapat dilakukan melalui transkateter maupun


pembedahan. Prognosis buruk jika bayi mengalami sianotik
ke

spell berulang namun belum dilakukan pembedahan paliatif


en

atau korektif. Pada TOF-APVS yang tidak dilakukan bedah


pm

koreksi, angka mortalitas > 20% dan angka kesintasan sampai


/ke

usia 1 tahun sekitar 75%. Prediktor prognosis buruk lainnya


/04

adalah sindrom Down, gangguan tumbuh kembang akibat


23

kelainan bawaan mayor, usia saat total koreksi > 4 tahun,


20

adanya komplikasi seperti abses otak, IE, disritmia, blok BTS,


m/

lung overflow pasca-BTS, gangguan irama terutama takikardia


co

ventrikel, serta disfungsi ventrikel.


si.

j. Transposition of Great Arteries (TGA)


ula

Prosedur emergensi BAS diindikasikan pada TGA IVS dan TGA-


reg

VSD kecil/restriktif, sebaiknya dilakukan pada usia < 2 minggu.


Neonatus dengan TGA–IVS atau dengan VSD kecil (restriktif) -
o
inf

Infus prostaglandin E1 (PGE1) mulai dengan dosis 5


.

ng/kgBB/menit yang dapat dinaikkan bertahap agar PDA tetap


ww

terbuka, sementara dipersiapkan untuk intervensi non bedah


//w

dan bedah. Prosedur stenting PDA dilakukan pada kasus TGA-


ps:

VSD-PS berat dan TGA-VSD-AS berat, sebagai alternatif


prosedur BTS.
htt

jdih.kemkes.go.id
- 103 -

Intervensi non-bedah BAS bila hanya ada PFO atau ASD kecil

l
tm
yang tidak adekuat untuk percampuran darah vena sistemik

l.h
dan vena pulmoner di tingkat atrium, dianjurkan ASD yang
terbentuk tidak terlalu besar karena akan menyebabkan pirau

a
on
dari kiri ke kanan besar sehingga aliran darah yang masuk ke

si
LV menjadi sedikit dan volume LV menjadi kecil. Pada beberapa

-na
kasus, kadang BAS tidak dilakukan apabila PDA dapat

an
dipertahankan cukup besar dengan infus PGE1 dan pasien

om
dapat segera dilakukan bedah arterial switch.

ed
Pada TGA-IVS, bedah arterial switch sebaiknya dilakukan

g-p
sebelum usia 4 minggu, untuk menghindari “deconditioning”

tan
ventrikel kiri. Bedah arterial switch, yaitu menukar tempat
aorta dan arteri pulmoner ke tempat yang normal berikut

en
transfer arteri koroner ke aorta yang baru, memindahkan arteri
k-t
pulmoner ke anterior aorta (Lecompte maneuver) dan tutup VSD
m
s-k

yang kecil (bila ada). Ini sebaiknya dilakukan pada usia sekitar
2 minggu dimana pada usia ini dianggap LV masih mampu
ke

menjadi pompa sirkulasi sistemik setelah dilakukan bedah


en

arterial switch.
pm

Bila itu terjadi, maka ventrikel kiri perlu dilatih dulu dengan
/ke

BTS dengan/tanpa PAB atau stenting PDA, sampai diperkirakan


/04

ventrikel kiri mampu berperan sebagai ventrikel sistemik.


23

Dengan bertambahnya usia, tekanan dan tahanan vaskular


20

paru akan turun sejalan dengan maturasi paru yang lebih


m/

sempurna. Selanjutnya karena LV tidak harus memompa darah


co

ke arteri pulmoner dengan kuat maka rongga akan menjadi


si.

kecil dengan dinding yang menipis. Apabila dilakukan bedah


ula

arterial switch kemungkinkan sudah tidak mampu menjadi


pompa sirkulasi sistemik. Bila hasil ekokardiografi ternyata left
reg

ventricular mass index (LVMI) < 40 gram/m2 dan LVPWD < 3


o
inf

mm, maka harus dilakukan bedah 2 tahap Tahap pertama


.

adalah prosedur PAB dengan atau tanpa BTS. Tujuannya


ww

memberi beban kepada LV agar otot dinding menjadi hipertrofi


//w

atau melatih LV siap menjadi pompa sirkulasi sistemik.


ps:

Evaluasi ekokardiografi berkala untuk menilai LVPWD dan LVMI


minimal seminggu sekali.
htt

jdih.kemkes.go.id
- 104 -

Umumnya proses melatih LV ini berlangsung sekitar 1-2

l
tm
minggu. PAB tidak boleh terlalu lama karena dapat

l.h
menyebabkan kerusakan katup pulmoner (regurgitasi) terutama
bila posisinya dekat katup. Harus diingat bahwa katup

a
on
pulmoner ini akan menjadi katup aorta yang baru setelah

si
dilakukan bedah arterial switch. Tahap kedua bedah definitif

-na
arterial switch serta tutup VSD kecil (bila ada) dilakukan bila

an
hasil evaluasi ekokardiografi setiap minggu sudah ditemukan

om
LVMI > 40 gram/m2 dan LVPWD > 3-4 mm. Apabila secara

ed
teknis bedah arterial switch tidak dapat dilakukan maka pada

g-p
usia > 3 bulan dapat dilakukan bedah atrial switch (prosedur

tan
Mustard atau Senning), yaitu aliran vena sistemik diarahkan ke
left atrium (LA) lalu masuk ke LV dan arteri pulmoner, serta

en
aliran vena pulmonalis diarahkan ke right atrium (RA) lalu ke RV
k-t
dan aorta. Kerugian pada jenis bedah ini adalah RV yang tetap
m
s-k

menjadi pompa sistemik dan dalam jangka panjang akan


menurun fungsi pompanya karena lelah.
ke

Pada TGA VSD karena percampuran darah di tingkat ventrikel


en

sudah baik, umumnya tidak ada masalah pada usia neonatus


pm

saat PDA mulai mengecil dan menutup. BAS juga tidak perlu
/ke

dilakukan. Pada kasus ini aliran ke paru berlebih dan usia 2-3
/04

bulan saat tahanan vaskular paru menurun maksimal akan


23

timbul tanda dan gejala CHF. Untuk itu harus diberikan obat
20

anti gagal jantung yaitu diuretika (furosemid, spironolakton) dan


m/

vasodilator (kaptopril, ramipril, lisinopril, enalapril, valsartan).


co

Selanjutnya akan terjadi PH dan PVD bila tidak cepat di


si.

intervensi. Bedah arterial switch dan tutup VSD sebaiknya


ula

dilakukan pada usia 2-3 bulan sebelum terjadi PVD. Bila usia
reg

sudah >3 bulan dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan


sadap jantung dahulu untuk mengukur Pulmonary Artery
o
inf

Resiatance Index (PARi), dan reaktifitas vaskuler paru terhadap


.

test pemberian vasodilator paru (gas NO, iloprost atau oksigen


ww

100%). Hasilnya sangat diperlukan untuk menentukan


//w

tingginya risiko dan kontra indikasi bedah arterial switch.


ps:

Vaskular paru dianggap masih reaktif bila PARi >8 Wood U.m2
dan dengan test vasodilator paru turun sampai <8 Wood U.m.
htt

Bedah arterial switch dan tutup VSD dapat dilakukan dengan

jdih.kemkes.go.id
- 105 -

risiko tinggi. Mungkin perlu ditinggalkan atau dibuat lubang

l
tm
ASD kecil atau menutup VSD dengan patch yang berlubang
(perforated patch). Dianggap tidak reaktif lagi bila dengan test

l.h
vasodilator paru ternyata PARi tetap >8 Wood U.m2 yang berarti

a
on
sudah terjadi PVD. Bedah arterial switch serta tutup VSD tidak

si
dianjurkan lagi (konservatif). Obat vasodilator paru (sildenafil)

-na
dapat diberikan untuk memperbaiki kelas fungsional dan

an
kualitas hidup pasien.

om
Pada TGA-VSD, sebaiknya bedah arterial switch dan penutupan

ed
VSD dilakukan pada usia 1-3 bulan, untuk menghindari

g-p
penyakit vaskuler paru yang akan mempersulit penanganan

tan
pasca-operasi, meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Oleh
karena itu, apabila bayi sudah berusia >3 bulan, harus

en
dilakukan kateterisasi jantung terlebih dahulu untuk menilai
k-t
PVR. Jika PH masih reversible, bedah arterial switch dan
m
s-k

penutupan VSD dapat dilakukan, harus disiapkan gas NO di


ICU untuk tata laksana PH. Penutupan VSD pada TGA-VSD
ke

mungkin dapat dipertimbangkan untuk ditutup secara


en

transkateter pasca-arterial switch.


pm

Tata laksananya sangat tergantung pada posisi VSD jauh atau


/ke

dekat dengan aorta dan derajat beratnya LVOTO atau PS Bila


/04

pada pemeriksaan ekokardiografi ditemukan derajat LVOTO


23

ringan, yaitu perbedaan tekanan sistolik LV dan arteri pulmoner


20

<25 mmHg) atau timbul akibat aliran ke paru yang deras (PS
m/

relatif atrau dinamik) atau ada penebalan otot subvalvar


co

pulmoner yang menyebabkan obstruksi ringan yang


si.

diperkirakan dapat direseksi, maka bedah arterial switch dan


ula

tutup VSD dengan atau tanpa reseksi LVOTO dapat dilakukan.


reg

Bila derajat LVOTO berat, yaitu perbedaann tekanan sistolik LV


dan arteri pulmoner >25 mmHg atau katup pulmoner abnormal
o
inf

atau terdapat penebalan otot subvalvar pulmoner yang


.

diperkirakan tidak dapat direseksi, maka harus dilakukan


ww

pemeriksaan CCT atau sadap jantung dengan angiografi LV


//w

untuk menilai derajat LVOTO secara pasti dan diameter cabang-


ps:

cabang arteri pulmoner. Bedah definitif Rastelli, yaitu tutup


VSD dengan tunneling patch sehingga aliran darah dari LV ke
htt

aorta dan pemasangan konduit berkatup (valved conduit) dari

jdih.kemkes.go.id
- 106 -

RV ke arteri pulmoner bila diameter arteri pulmoner memenuhi

l
tm
kriteria dan lubang VSD besar serta dekat (committed) dengan

l.h
aorta yang keluar dari RV. Konduit yang dipakai adalah
homograft (bila ada) atau contegra® (vena jugularis sapi).

a
on
Pilihan lain dapat juga dilakukan bedah prosedur REV

si
(réparation à l'Etage Ventriculaire) yaitu tutup VSD dengan

-na
intraventricular baffle, Lecompte maneuver, dan rekonstruksi

an
koneksi RV dengan arteri pulmoner dengan patch. Pada

om
prosedur bedah ini tidak diperlukan pemasangan konduit

ed
berkatup antara RV dan arteri.

g-p
Bila ternyata VSD jauh dari aorta (non-committed) dan tidak

tan
mungkin dilakukan penutupan VSD dengan tunneling patch
maka terpaksa dipilih bedah reparasi uni-ventrikular, yaitu

en
BCPS dan kemudian Fontan. Bila LVOTO sangat berat sehingga
k-t
mengalami spel hipoksia berulang atau diameter arteri
m
s-k

pulmoner hipoplastik yang tidak sesuai dengan table berat


badan menurut Kirklin (half size) atau rasio McGoon <1,5 maka
ke

harus dilakukan prosedur bedah BTS lebih dahulu. Selanjutnya


en

6-12 bulan setelah hasil CCT atau sadap jantung


pm

memperlihatkan diameter arteri pulmoner kriteria baru


/ke

dilakukan bedah Rastelli, REV atau reparasi uni-ventrikular.


/04

Prosedur BTS diindikasikan pada TGA-VSD-PS berat dan TGA-


23

VSD-AS berat. Selanjutnya pada TGA-VSD-PS, prosedur Rastelli


20

atau Nikaidoh dilakukan saat usia 1-2 tahun. Pada TGA-VSD-


m/

AS, prosedur DKS dilakukan saat usia 1-2 tahun. Pada cc-TGA,
co

pada fase dini dapat diobservasi secara berkala. Apabila sudah


si.

mulai terjadi regurgitasi katup trikuspid, maka dapat dilakukan


ula

prosedur PAB untuk mengurangi regurgitasi katup trikuspid


tersebut. Double switch operation
reg

atau prosedur Senning


dilakukan saat usia >1 tahun, jika ditemukan TR atau disfungsi
o
inf

ventrikel kanan. Pada kasus kompleks (ventrikel hipoplastik,


.

ventrikel tunggal, atau anomali katup atrioventrikular)


ww

dipertimbangkan prosedur BCPS pada usia 6 bulan dan


//w

prosedur Fontan pada usia >3 tahun. Prognosis buruk pada


ps:

kasus TGA yang terlambat diketahui atau terlambat dirujuk ke


rumah sakit rujukan tersier, atau jika hanya ditemukan satu
htt

jdih.kemkes.go.id
- 107 -

arteri koroner, atau jika dijumpai komorbiditas, seperti sepsis,

l
tm
pneumonia, atau kelainan bawaan mayor.
Truncus Arteriosus (TrA)

l.h
k.
Prosedur koreksi pada TrA tipe I yang sering dikerjakan adalah

a
on
prosedur Rastelli, berupa rekonstruksi jalan keluar ventrikel

si
kanan, dengan memasang konduit dari ventrikel kanan ke arteri

-na
pulmonalis, serta menutup VSD. Operasi reparasi TrA sebaiknya

an
dilakukan pada usia sekitar 3 bulan, sebelum terjadi PVD.

om
Operasi reparasi ini dapat dilakukan dengan prosedur Rastelli

ed
atau prosedur REV.

g-p
Usia kurang dari 3 bulan

tan
1) Bila terdapat gejala klinis CHF, berikan obat anti gagal
jantung yaitu diuretika (furosemid, spironolakton) dan

en
vasodilator (kaptopril, ramipril,
k-t lisinopril, enalapril,
valsartan).
m
s-k

2) Operasi reparasi harus dilakukan secepatnya dilakukan


pada usia sekitar 3 bulan tanpa pemeriksaan sadap
ke

jantung.
en

3) Bila operasi jantung terbuka belum memungkinkan maka


pm

dapat dilakukan prosedur PAB di arteri pulmoner cabang


/ke

kiri dan kanan lebih dahulu.


/04
23

Usia sama dengan atau lebih dari 3 bulan


20

1) Bila terdapat gejala klinis CHF berikan obat anti gagal


m/

jantung yaitu diuretika (furosemid, spironolakton) dan


co

vasodilator (kaptopril, ramipril, lisinopril, enalapril,


si.

valsartan).
ula

2) Bila klinis belum dicurigai PVD atau saturasi sistemik


reg

masih sekitar 90%, operasi reparasi dapat dilakukan tanpa


sadap jantung lebih dahulu.
o
inf

3) Bila klinis sudah diduga terjadi PVD, maka harus


.

dilakukan pemeriksaan sadap jantung untuk menilai PARi


ww

dan reaktifitas vaskular paru terhadap test pemberian


//w

vasodilator paru (gas NO, iloprost, atau oksigen 100%).


ps:

4) Bila masih reaktif, reparasi trunkus dapat dilakukan


dengan risiko tinggi. Pada kondisi ini dianjurkan
htt

pemakaian konduit dengan katup dan bukan self design

jdih.kemkes.go.id
- 108 -

conduit dengan monocusp atau REV karena akan dapat

l
tm
terjadi PR yang bermakna. Perlu diantisipasi kejadian krisis

l.h
PH saat perawatan pasca bedah.
5) Bila ternyata tidak reaktif yang berarti sudah terjadi PVD

a
on
lagi maka prosedur reparasi tidak dianjurkan lagi

si
(konservatif). Obat vasodilator paru (sildenafil) dapat

-na
diberikan untuk memperbaiki kelas fungsional dan kualitas

an
hidup.

om
Prosedur ini di senter maju dikerjakan sebelum usia 6 bulan,

ed
tetapi beberapa senter menundanya, dengan harapan bisa

g-p
memasang konduit lebih besar, sehingga dapat menunda

tan
penggantian konduit nantinya. Untuk menghindari terjadinya
penyakit vaskular paru, perlu dilakukan PAB, prosedur ini juga

en
dilakukan pada kasus TrA yang datang terlambat. Prosedur PAB
k-t
dilakukan pada kasus TrA tipe I yang terlambat ditangani (telah
m
s-k

terjadi PH berat), biasanya terjadi pada usia >6 bulan.


Unifokalisasi dilakukan pada kasus TrA tipe IV tanpa PA native.
ke

Prognosis prosedur Rastelli umumnya baik, jika pembedahan


en

dilakukan saat usia optimal. Prognosis buruk pada kasus-kasus


pm

yang terlambat diketahui, TrA tanpa PA native, dan adanya


/ke

komorbid seperti sepsis dan kelainan bawaan mayor.


/04
23

l. Sirkulasi Fontan
20

Pada beberapa PJB kompleks yang tidak memungkinkan


m/

dilakukan koreksi biventrikular, seperti tricuspid atresia, HRHS,


co

AVSD unbalanced, DORV dengan VSD remote, obstruksi alur


si.

keluar ventrikel kanan, dan lain-lain, maka prosedur bedah


ula

univentrikular (prosedur Fontan) menjadi alternatif. Jika usia


reg

bayi <6 bulan atau arteri pulmonal terlalu kecil, maka perlu
dilakukan prosedur paliatif terlebih dahulu seperti BTS, BAS,
o
inf

dan PDA stenting. Namun jika usia >6 bulan dan ukuran arteri
.

pulmonal cukup baik, dilakukan prosedur BCPS, yaitu prosedur


ww

yang menghubungkan vena kava superior ke salah satu cabang


//w

arteri pulmonal. Kemudian saat usia 3-4 tahun dapat dilakukan


ps:

prosedur Fontan, yang menghubungkan vena kava inferior dan


arteri pulmonal dengan menggunakan PTFE tube.
htt

jdih.kemkes.go.id
- 109 -

Syarat dilakukan prosedur BCPS dan Fontan adalah tekanan

l
tm
rerata PA <15 mmHg, PVRI <2,5 U/m2, tekanan diastolik akhir
ventrikel sistemik <12 mmHg, transpulmonary gradient atau

l.h
perbedaan mPAP dengan tekanan LA <5 mmHg, EF normal,

a
on
kooptasi katup atrioventrikular baik (tidak didapatkan

si
regurgitasi katup atrioventrukular derajat berat), tidak ada

-na
hambatan aliran darah ke sirkulasi sistemik, ukuran arteri

an
pulmonal baik, tidak ada MAPCA, tidak ada gangguan saluran

om
pernafasan dan paru, tidak ada tanda-tanda infeksi, aliran vena

ed
kava ke atrium kanan baik, ukuran atrium kanan normal, dan

g-p
irama sinus.

tan
Risiko pada prosedur BCPS dan Fontan adalah trombosis
(>20%), emboli paru, dan stroke (7%), sehingga diperlukan obat

en
antikoagulan setelah prosedur untuk mencegahnya. Risiko yang
k-t
lain adalah efusi pleura, kilotoraks, dan mortalitas pada sekitar
m
s-k

3-5% kasus. Sekitar 80% kasus pasca-prosedur Fontan mampu


bertahan hidup hingga 20 tahun. Komplikasi jangka panjang
ke

yang mungkin terjadi adalah protein-losing enteropathy,


en

disfungsi ventrikel, dan aritmia.Untuk mencegah kematian,


pm

anak-anak pasca-prosedur Fontan mungkin diperlukan


/ke

pemasangan pacemaker.
/04
23

m. Gangguan Katup Berat


20

Secara umum, ada 2 jenis intervensi pada gangguan katup


m/

berat, yakni perbaikan (valve repair, Vr) dan penggantian (valve


co

replacement, VR), baik pada katup mitral, aorta, maupun


si.

trikuspid. Bila memungkinkan, perbaikan katup lebih menjadi


ula

pilihan daripada penggantian katup. Pada remaja perempuan


reg

atau perempuan dewasa yang diharapkan hamil, bila


memerlukan penggantian katup maka pilihannya adalah katup
o
inf

bioprostesis, mengingat pemakaian antikoagulan pada katup


.

mekanik berbahaya untuk kehamilan.


ww

Indikasi intervensi bedah dilakukan pada lesi katup berat dan


//w

atau disertai gangguan fungsi jantung yang bermakna


ps:

berdasarkan gambaran ekokardiografi. Pada AR berat yang


kronis dengan atau tanpa AS, procedur Ross (mengganti katup
htt

aorta dan dengan katup pulmonal pasien, sementara katup

jdih.kemkes.go.id
- 110 -

pulmonal diganti dengan konduit berkatup misalnya Contegra)

l
tm
dapat menjadi alternatif. Perbaikan struktur jantung lainnya

l.h
dilakukan berdasarkan pertimbangan pra operasi dan temuan
saat operasi.

a
on
Pada MS berat atau AS berat, prosedur BMV atau BAV dapat

si
menjadi alternatif. Sebelum prosedur BMV, diperlukan

-na
pemeriksaan TEE untuk menilai ada atau tidak adanya trombus

an
di LA dan derajat MR, juga selama dan pasca-BMV. Prosedur

om
BMV direkomendasikan pada MS berat dengan struktur katup

ed
mitral baik, tanpa adanya trombus di LA, dan MR ringan atau

g-p
moderat. Jika gagal BMV atau BAV (terjadi regurgitasi katup

tan
berat), harus dilakukan penggantian katup. Prosedur TAVI,
merupakan alternatif prosedur jika pembedahan tidak mungkin

en
dilakukan. Pada efusi perikard massif akibat perikarditis
k-t
reumatik maupun non-reumatik dapat dilakukan prosedur
m
s-k

perikardiosintesis, atau pericardial window.


4. Hipertensi Pulmoner (Pulmonary Hypertension (PH))
ke

Tata laksana PH pada anak bertujuan untuk menurunkan PVR,


en

menginduksi alkalosis respiratorik, memperbaiki disfungsi


pm

miokardium, dan mengobati beberapa kondisi klinis yang


/ke

berhubungan dengan PH. Tata laksana PH pada anak gagal jantung


/04

terdiri dari tata laksana umum dan tata laksana spesifik. Tata
23

laksana umum terdiri dari terapi oksigen bila SpO2 <92% atau paO2
20

<60 mmHg, dan tata laksana umum lainnya untuk gagal jantung,
m/

seperti diuretik, vasodilator, dan inodilator, terutama yang sering


co

digunakan adalah digoksin dan milrinon. Sedangkan tata laksana


si.

spesifik pada PH terdiri dari farmakoterapi dan intervensi. Beberapa


ula

golongan obat yang digunakan sebagai farmakoterapi PH, seperti


reg

pada Tabel 31.


o
inf

Tabel 31. Farmakoterapi hipertensi pulmoner pada anak


.
ww

Peringkat
Efek
//w

Golongan obat Jenis obat Dosis rekomendasi/


samping
Derajat bukti
ps:

Penghambat Nifedipin Awal: 0,1-0,2 Bradikard IIa/C


htt

kalsium-channel mg/kg/8 jam/ ia

jdih.kemkes.go.id
- 111 -

Peringkat
Efek

l
Golongan obat Jenis obat Dosis rekomendasi/

tm
samping
Derajat bukti

l.h
oral Curah

a
Maks : 180 jantung

on
mg/hari/oral rendah

si
Awal: 0,5 Edema

-na
mg/kg/8 perifer
Diltiazem

an
jam/oral Ruam-

om
Maks : 360 ruam di
mg/hari/oral kulit

ed
Hiperplasi

g-p
Awal: 0,1-0,3
a gusi
Amilodipin mg/kg/
Konstipas

tan
hari/oral.
i

en
Maks: 10
mg/hari k-t
m
Sakit
s-k

kepala,
Usia < 1
kongesti
ke

tahun : 0,5 –
nasal
en

Penghambat Sildenafil 1 mg/kg/8 I/A


flushing,
fosfodieste rase- jam per-oral,
pm

agitasi
5 < 20 kg : 10
hipotensi,
/ke

mg/8 jam
gangguan
> 20 kg : 20
/04

penglihata
mg/8 jam
n&
23

pendenga
20

ran,
m/

ereksi
co

Awal: separuh
Hepatotok
si.

dosis
sisitas
ula

pemeliharaan.
Retensi
Dosis
reg

Bosentan cairan
Penghambat pemeliharaan IIa/A
Efek
o

reseptor <10 kg: 2 Efikasi terutama


teratogeni
inf

endotelin mg/kg/12 jam pada kasus


k
.

(belum tersedia 10-20 kg: sindrom


ww

Infertilitas
di Indonesia) 31,25 mg/12 Eisenmenger
lelaki
//w

jam
Menurun
20-40 kg: 62,5
kan kadar
ps:

mg/12 jam
sildenafil
htt

> 40 kg : 125
mg/12 jam

jdih.kemkes.go.id
- 112 -

Peringkat
Efek

l
Golongan obat Jenis obat Dosis rekomendasi/

tm
samping
Derajat bukti

l.h
Dosis awal
Nyeri

a
2,5 mcg – 5

on
Prostasiklin Illoprost kepala, IIa/A
mcg.

si
Inhalasi flushing,
6-9 x

-na
hipotensi
inhalasi/hari

an
om
Intervensi yang dapat dilakukan pada PH berat dan refrakter

ed
meliputi intervensi non-bedah (stenting atrial, dan stenting PDA,

g-p
atrial flow regulator), dan intervensi bedah (ASD creation, Pott shunt).
Lubang yang dibuat di interatrial memungkinkan aliran dari atrium

tan
kanan ke atrium kiri sehingga preload ventrikel kiri cukup dan curah

en
jantung dapat dipertahankan, meskipun dengan risiko terjadi
k-t
hipoksemia. Pada PH sekunder, tata laksana PH adalah mengatasi
m
penyebab PH yang mendasarinya. Misalnya pada PH akibat PJB,
s-k

intervensi yang dilakukan adalah melakukan koreksi PJB, baik non-


ke

bedah (transkateter) maupun bedah. Terapi terakhir pada PH


en

refrakter adalah Pott shunt atau transplantasi paru.


pm

5. Tata Laksana Aritmia


/ke

Umumnya tata laksana aritmia terdiri dari tata laksana non-invasif


/04

(farmakoterapi) dan tata laksana invasif, baik non-bedah


(transkateter: ablasi atau alat pacu jantung) maupun bedah,
23

Pengobatan konservatif terdiri dari terapi fase akut dan terapi kronik.
20

a. Tata Laksana Takiaritmia


m/

Pengobatan takiaritmia terdiri dari terapi fase akut dan terapi


co

kronik. Pada fase akut, apapun penyebab takiaritmia harus


si.

diterminasi secepat mungkin. Prosedur harus dimulai sejak pra-


ula

rumah sakit dan di rumah sakit, seperti meletakkan plastik es


reg

di area sekitar hidung dan mulut, memasukkan kepala ke


o

dalam air, melakukan manuver Valsava dengan cara


inf

memasukkan ibu jari ke dalam mulut dan meniupnya setelah


.
ww

melakukan insipirasi maksimal selama 10-15 detik, dan


//w

pemijatan sinus karotis untuk meningkatkan rangsang vagal


(parasimpatik) sehingga melambatkan konduksi melalui nodus
ps:

atrioventrikular dan memutus sirkuit reentry.


htt

jdih.kemkes.go.id
- 113 -

Terapi akut pada SVT di rumah sakit dengan tanda vital yang

l
tm
tidak stabil atau adanya manifestasi klinis gagal jantung,

l.h
memerlukan prosedur kardioversi. Sedangkan pada tanda vital
yang stabil, segera diberikan adenosin bolus cepat dosis 100

a
on
mcg/kg pada anak atau 150-200 mcg/kg pada bayi.

si
Keterlambatan pemberian adenosin berhubungan dengan

-na
terjadinya SVT refrakter. Efek samping adenosin yang dapat

an
terjadi adalah sinus pause dan AVB, seringkali terjadi pada

om
dosis tinggi (lebih dari 200 mcg/kg). Pada kasus SVT yang

ed
disebabkan AVRT, takiaritmia akan hilang setelah pemberian

g-p
adenosin. Namun jika SVT disebabkan AVNRT, takiaritmia akan

tan
hilang sesaat dan muncul kembali setelah adenosin dihentikan.
Pada kasus AVNRT dapat diberikan antiaritmia yang bekerja

en
lebih panjang seperti propranolol,
k-t digoksin, prokainamid,
verapamil, atau amiodaron. Verapamil dan penghambat kanal
m
s-k

kalsium lainnya tidak direkomendasikan pada anak yang


berusia <2 tahun, karena risiko kolaps kardiovaskular.
ke

Terapi akut pada VT simtomatis di rumah sakit harus segera


en

dilakukan kardioversi disinkronisasi 0,5 - 1 J/kg, pada VF


pm

diberikan 2 J/kg dan dapat dinaikkan hingga 6 J/kg (jika VF


/ke

belum teratasi dan pasien masih mengalami penurunan curah


/04

jantung). Jika pasien sadar, dapat diberikan bolus lidokain IV


23

dosis 1 mg/kg selama 1-2 menit, dilanjutkan dengan dosis 20-


20

50 mcg/kg/menit. Jika akses vena sulit didapat, lidokain dapat


m/

diberikan melalui intraoseus atau melalui endotracheal tube


co

(ETT). Penyebab dasar terjadinya VT atau VF harus segera


si.

diatasi, seperti gangguan elektrolit dan hipoksemia. Jika VT


ula

masih refrakter setelah kardioversi disinkronisasi atau setelah


reg

pemberian lidokain, dapat diberikan bolus amiodaron IV 5


mg/kg.
o
inf

Terapi kronik pada SVT tergantung usia anak, gejala klinis saat
.

serangan takiaritmia, serta dampak SVT pada kualitas hidup.


ww

Terapi profilaksis dengan beta blocker diberikan pada anak usia


//w

<1 tahun, karena penyebab seringkali tidak spesifik dan risiko


ps:

terjadi gagal jantung akibat takikardia yang berkepanjangan.


Alternatif lain adalah digoksin, sotalol, flekainid, atau
htt

amiodaron. Flekainid dan sotalol digunakan sebagai lini

jdih.kemkes.go.id
- 114 -

pertama famakoterapi untuk mengatasi takiaritmia fetal secara

l
tm
transplasental.

l.h
Pada pasien SVT usia >1tahun, terapi profilaksis dapat ditunda
sambil memantau apakah terjadi SVT kembali. Jika SVT

a
on
berulang, dapat diberikan terapi profilaksis sampai usia 5

si
tahun. Pada usia >5 tahun, keputusan untuk memberikan

-na
terapi profilaksis harus mempertimbangkan dampaknya pada

an
kualitas hidup anak. Sebaiknya anak dapat diajarkan untuk

om
melakukan manuver vagal dan menghindari jenis minuman

ed
yang dapat memicu takikardia, seperti kafein.

g-p
Prosedur invasif pada SVT adalah dengan melakukan

tan
radiofrequency ablation (RFA) 500-600 C melalui kateterisasi
jantung selama sekitar 60 detik. Risiko RFA tergantung usia dan

en
lokasi fokus substrat aritmia. Prosedur RFA melalui jalur bypass
k-t
AV yang terletak dekat nodus AV dapat mengakibatkan
m
s-k

terjadinya AVB. Pada VT kronik, prosedur RFA dilakukan jika


sulit diatasi atau tidak teratasi sama sekali dengan pengobatan
ke

konservatif. Pemasangan implantable cardioverter defibrillator


en

(ICD) dilakukan pada VT yang bersifat letal.


pm

b. Tata Laksana Bradiaritmia


/ke

Identifikasi dan tata laksana bradiarirmia diprioritaskan untuk


/04

stabilisasi pasien dan mencari penyebab bradiaritmia. Perlu


23

dilakukan penilaian apakah ada gangguan kardiopulmoner


20

berupa perubahan status mental, tanda-tanda syok, hipotensi.


m/

Apabila tidak didapatkan gangguan kardiopulmoner


co

pertahankan airway, breathing, circulation, pertimbangkan


si.

oksigen, amati, EKG 12 sandapan, serta identifikasi dan tangani


ula

penyebab mendasar. Apabila didapatkan gangguan


reg

kardiopulmoner pastikan saluran napas tidak terhalang, bantu


pernapasan dengan ventilasi tekanan positif dan oksigen sesuai
o
inf

kebutuhan pantau jantung untuk mengidentifikasi ritme,


.

pantau denyut, BP dan oksimetri. Mulai lakukan CPR apabila


ww

HR <60 kali permenit terlepas adanya oksigenasi dan ventilasi.


//w

Bila bradikardi teratasi observasi, bila ternyata menetap Patensi


ps:

jalan nafas, terapi oksigen, akses vena harus diperhatikan


sebelum memberikan tata laksana selanjutnya. Pada anak
htt

dengan bradiaritmia yang tidak stabil, dapat diberikan epinefrin

jdih.kemkes.go.id
- 115 -

1:10.000 dengan dosis 0,01 mg/kg atau sulfasatrofin dosis 0,02

l
tm
mg/kg. Pada anak usia <6 tahun yang mengalami AVB total,

l.h
dilakukan pemasangan pacemaker dengan single chamber di
epicardium. Sedangkan pada anak usia >6 tahun dilakukan

a
on
pemasangan pacemaker dengan dual chamber (posisi lead di

si
atrium kanan dan ventrikel kanan). Bila pasien mengalami henti

-na
jantung lakukan tatalaksana henti jantung

an
6. Terapi Device dan Transplantasi Jantung.

om
Pada kasus gagal jantung kronis yang sangat berat (derajat D) dan

ed
progresif atau manifestasi klinis tidak dapat dikontrol dengan terapi

g-p
suportif yang optimal, pilihan terapi device atau transplantasi

tan
jantung dapat dipertimbangkan, namun keputusan ini harus melalui
pertimbangan etik dan multidisiplin. Sampai saat ini di Indonesia

en
dan negara-negara berkembang lainnya,
k-t terapi device dan
transplantasi jantung pada anak belum berkembang dan
m
s-k

memerlukan biaya sangat mahal. Salah satu jenis terapi device yang
dilakukan pada anak adalah cardiac resynchronization therapy
ke

pacemaker (CRT-P), terutama pada DCM, LBBB komplit, EF ventrikel


en

kiri <35%. Pada AVB derajat III, pemasangan CRT-P dengan


pm

modalitas dual chambers dilakukan pada EF ventrikel kiri <55%.


/ke

Indikasi CRT-P yang lain adalah pada pasien PJB dengan fungsi
/04

sistolik ventrikel kiri yang sangat menurun.


23

Transplantasi jantung pada DCM merupakan pilihan terakhir, sesuai


20

Gambar 19. Indikasi transplantasi jantung pada anak adalah gagal


m/

jantung tahap akhir yang berhubungan dengan disfungsi ventrikel,


co

pada pasien kardiomiopati atau PJB yang sebelumnya dikoreksi;


si.

gagal jantung tingkat lanjut dengan pembatasan aktivitas yang berat;


ula

gagal jantung tingkat lanjut yang berhubungan dengan aritmia yang


reg

membahayakan nyawa dan PH reaktif; serta gagal jantung tingkat


lanjut yang berhubungan dengan RCM dan berisiko terjadinya
o
inf

peningkatan PVR yang ireversibel. Sedangkan kontraindikasi


.

transplantasi jantung adalah pada keganasan, infeksi serius yang


ww

aktif atau rekuren, penyakit sistemik yang signifikan, penyakit


//w

metabolik atau genetik dengan prognosis jelek jangka panjang,


ps:

disfungsi ginjal atau hati bukan karena gagal jantung dan bersifat
ireversibel, serta pada PH ireversibel.
htt

jdih.kemkes.go.id
- 116 -

l
tm
al.h
on
si
-na
an
om
ed
g-p
tan
en
k-t
Gambar 19. Pilihan tata laksana gagal jantung pada kardiomiopati
m
s-k

dilatasi untuk mencegah transplantasi jantung


Keterangan:
ke

ACE = angiotensin converting enzyme; LBBB = left bundle branch


en

block; PAB = pulmonary artery banding; RV = right ventricular


pm
/ke

H. Evaluasi dan Pemantauan Jangka Panjang


/04

1. Umum
23

Prognosis pasca-intervensi pada anak-anak yang mengalami gagal


20

jantung sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti ada


m/

tidaknya komorbid seperti kelainan genetik, riwayat infeksi,


co

dukungan nutrisi, penyulit atau komplikasi pasca-intervensi


si.

misalnya masih dijumpai manifestasi klinis gagal jantung, PH,


ula

aritmia, serta kepatuhan pengobatan. Oleh karena itu, evaluasi dan


reg

pemantauan jangka panjang pasca-intervensi harus menjadi bagian


dari tata laksana gagal jantung pada anak. Di samping evaluasi dan
o
inf

pemantauan jangka panjang terkait masalah kardiak, juga penting


.

dilakukan evaluasi dan pemantauan jangka panjang terkait masalah


ww

non-kardiak, terutama masalah tumbuh kembang dan kualitas


//w

hidup anak. Optimalisasi tumbuh kembang anak dengan PJB harus


ps:

dimulai sejak masa prenatal sampai usia remaja, dengan peranan


yang berbeda-beda. Sejak masa prenatal, sangat diperlukan
htt

konseling bagi ibu hamil, serta dukungan orangtua saat bayi akan

jdih.kemkes.go.id
- 117 -

lahir. Peranan tersebut perlu terus diupayakan pada masa neonatal,

l
tm
bayi, anak-anak sampai usia remaja (Gambar 20).

l.h
a
si on
-na
an
om
ed
g-p
tan
en
k-t
m
s-k

Gambar 20. Pendekatan garis waktu kronologis pasien dengan PJB


ke

Pemantauan pertumbuhan anak diupayakan agar sesuai kurva


en

pertumbuhan optimal. Jika pertumbuhan kurang optimal, maka


pm

harus diupayakan peningkatan kalori dengan nutrisi berkebutuhan


/ke

khusus/ASI dan pemberian makanan tambahan. Penanganan anak


/04

dengan gagal jantung harus menyeluruh, termasuk dukungan


23

keluarga dalam anak beradaptasi dengan keadaan kronis akibat


20

gagal jantung. Pediatrics Quality of Life (PedsQL) Cardiac Module


m/

merupakan suatu instrument multidimensional untuk menilai


co

pengaruh penyakit jantung terhadap kualitas hidup anak maupun


si.

keluarganya. Kuesioner ini dapat menilai kualitas hidup berdasarkan


ula

berbagai macam aspek antara lain kapasitas fisik, emosi dan


reg

kecemasan, fungsi sosial, kemampuan kognitif, serta persepsi


mengenai penampilan fisik.
o
inf

Sebagaimana halnya pra-intervensi, maka anamnesis, pemeriksaan


.

fisis (termasuk oksimeter nadi), elektrokardiografi, Rontgen dada,


ww

dan ekokardiografi merupakan evaluasi rutin yang sangat penting


//w

pada anak-anak pasca-intervensi. Pemeriksaan tanda-tanda vital,


ps:

untuk mengidentifikaasi ada tidaknya manifestasi klinis gagal


jantung, kelainan suara jantung, murmur, dan tanda-tanda infeksi,
htt

merupakan penilaian umum yang menjadi pertimbangan, apakah

jdih.kemkes.go.id
- 118 -

anak-anak pasca-intervensi perlu segera dirujuk kembali ke ahli

l
tm
jantung anak. Ekokardiografi rutin sebaiknya dilakukan selama 1

l.h
tahun pertama pasca-intervensi (umumnya setelah 1 hari, 1 bulan, 3
bulan, dan 6-12 bulan pasca-intervensi).

a
on
Informasi umum yang perlu diketahui oleh orangtua pasien meliputi

si
jadwal evaluasi rutin, obat-obatan yang masih diminum, komplikasi

-na
atau penyulit yang masih dijumpai, imunisasi, serta status tumbuh

an
kembang. Pada kondisi hemodinamik stabil, evaluasi dan

om
pemantauan pasca-intervensi dapat memanfaatkan perangkat

ed
telemedicine, seperti telekonsultasi, teleradiologi, dan

g-p
telekokardiografi. Tidak ada kontraindikasi mutlak untuk imunisasi

tan
pada anak yang mengalami gagal jantung, baik pra maupun pasca-
intervensi, kecuali penundaan pada kondisi hemodinamik belum

en
stabil. Ahli tumbuh kembang, psikologi anak, ahli neurologi anak,
k-t
dan ahli jantung anak perlu berkolaborasi dalam penanganan
m
s-k

multidisiplin untuk mengevaluasi dan memantau anak-anak pasca-


intervensi, terapi device, resinkronisasi, dan transplantasi jantung.
ke

Beberapa anak yang mengalami gagal jantung menunjukkan hasil


en

perkembangan saraf yang tidak baik dan ketidakmampuan


pm

psikologis. Hal ini mungkin disebabkan oleh gagal jantung itu


/ke

sendiri, cedera selama episode syok atau riwayat hipoksemia


/04

sebelumnya, masalah genetik, prematuritas, rawat inap yang


23

berkepanjangan, pemakaian CPB, gejala sisa akibat intervensi,


20

ataupun faktor lainnya. Pengasuh atau orangtua diharapkan


m/

memberikan pengawasan, skrining perkembangan, menilai perilaku


co

yang cermat sepanjang hidup anak, serta penilaian kemajuan belajar


si.

yang berkelanjutan.
ula

Anak-anak yang masih mengalami gagal jantung, PH, dan aritmia


reg

pasca-intervensi harus dipantau lebih ketat, umumnya mereka tetap


memerlukan pembatasan aktivitas, tata laksana nutrisi yang
o
inf

adekuat, pemantauan kebutuhan cairan dan elektrolit, serta


.

mengkonsumsi farmakoterapi non-spesifik seperti diuretik,


ww

vasodilator, inotropik, betabloker, serta obat-obat untuk mengatasi


//w

PH, sesuai dengan manifestasi klinis yang masih dijumpai.


ps:

Tatalaksana suportif saat rawat inap rumah sakit tetap diberikan


pada gagal jantung dan PH yang berat, seperti terapi oksigen atau
htt

jdih.kemkes.go.id
- 119 -

dukungan ventilasi mekanik, restriksi cairan, inotropik intravena,

l
tm
dan inhalasi prostasiklin atau gas NO.

l.h
2. Spesifik
American College of Cardiology (ACC) tahun 2020 telah membuat

a
on
panduan evaluasi rutin dan pemantauan jangka panjang pada anak-

si
anak pasca-intervensi PJB, terkait dengan indikasi pemeriksaan

-na
penunjang (ekokardiografi, CCT, CMR, fluoroskopi, stress imaging,

an
dan lung-scan) serta waktu yang tepat untuk dilakukan pemeriksaan

om
penunjang, seperti pada Tabel 32.

ed
a. Evaluasi Pasca-Intervensi pada Penyakit Jantung Bawaan

g-p
Asianotik

tan
Penilaian ekokardiografi pasca-penutupan defek meliputi
anatomi dan fungsi katup-katup, fungsi sistolik dan diastolik

en
ventrikel, estimasi tekanan arteri pulmonal, ada tidaknya defek
k-t
residual, serta efusi perikard. Pada pasca-penutupan ASD
m
s-k

transkateter, dinilai posisi occluder, ada tidaknya obstruksi vena


pulmonal dan vena sistemik, serta kooptasi katup mitral dan
ke

trikuspid. Pada pasca-penutupan VSD transkateter, dinilai


en

posisi occluder, ada tidaknya AR, TR, dan obstruksi jalan keluar
pm

ventrikel. Sedangkan pada pasca-penutupan PDA transkateter,


/ke

dinilai posisi occluder, serta ada tidaknya stenosis pada aorta


/04

desendens dan arteri pulmonalis.


23

Pasca-penutupan ASD dan VSD transkateter, diberikan aspirin


20

dosis 5 mg/kg (maksimal 160 mg) selama 6 bulan untuk


m/

mencegah trombus. Jika ditemukan hemolisis akut akibat defek


co

residual atau reaksi alergi, pemberian aspirin ditunda dan


si.

dipertimbangkan dilakukan transcatheter-removal. Manifestasi


ula

klinis hemolisis yang dapat dijumpai adalah anemia, hematuria,


reg

dan hiperbilirubinemia. Pada defek residual yang signifikan


namun tidak ditemukan hemolisis, dapat dipertimbangkan
o
inf

penutupan defek residual tersebut, secara transkateter maupun


.

pembedahan. Pada pasca penutupan PDA transkateter, tidak


ww

diperlukan aspirin dan antikoagulan lainnya.


//w

Masalah lain yang dapat dijumpai pasca-penutupan ASD adalah


ps:

aritmia terutama AF. Jika ditemukan AF, dapat dilakukan RFA


dan pasien harus mengkonsumsi warfarin untuk mencegah
htt

tromboemboli bila terjadi AF berulang. Sedangkan masalah yang

jdih.kemkes.go.id
- 120 -

dapat dijumpai pasca-penutupan VSD, adalah progresifitas AR

l
tm
dan AV-block. Jika ditemukan AV-Block, dipertimbangkan untuk
retrieve occluder, dan pemasangan alat pacu jantung jika AV-

l.h
Block menetap. Pada pasca-penutupan PDA, sangat jarang

a
on
terjadinya aritmia. Disfungsi ventrikel ringan dapat terjadi pada

si
beberapa hari pasca-intervensi penutupan defek, namun

-na
umumnya mengalami perbaikan setelah mendapat tata laksana

an
farmakoterapi.

om
Pada pasca-PTBPV, penting dinilai perbedaan tekanan RV - PA.

ed
Jika perbedaan tekanan > 60 mmHg dan ada gejala klinis,

g-p
pasien mungkin memerlukan re-intervensi. Jika ditemukan

tan
regurgitasi katup berat pasca-intervensi, dipertimbangkan
untuk prosedur PVI. Pada pasca-BAV, penting dinilai adanya AS

en
residual, AR dan efusi perikard. Pada kasus re-CoA yang
k-t
signifikan pasca-balloon angioplasty, dapat dipertimbangkan
m
s-k

untuk dilakukan re-balloon angioplasty, stenting CoA, atau


pembedahan reparasi CoA. Disfungsi ventrikel ringan dapat
ke

terjadi pada beberapa hari pasca-balloon angioplasty, namun


en

umumnya mengalami perbaikan setelah mendapat tata laksana


pm

farmakoterapi.
/ke

b. Evaluasi Pasca-Intervensi pada Tetralogy of Fallot


/04

Pada pasca - BTS, pasca - stenting RVOT, atau pasca- stenting


23

PDA, diberikan heparin kontinu dengan dosis awal 10-25


20

U/kg/jam dan target APTT 1,5-2 kali control, selama 3-5 hari
m/

untuk mencegah terjadinya sumbatan pada shunt/stent dan


co

selanjutnya diberikan aspirin dosis 5 mg/kg/hari (dosis


si.

maksimal 160 mg/hari). Aspirin dapat dimulai secara simultan


ula

pada hari kedua pemberian heparin. Target saturasi oksigen


pasca - BTS, pasca - stenting RVOT, atau pasca- stenting PDA
reg

adalah >75%. Jika saturasi oksigen <70%, perlu dicurigai terjadi


o
inf

sumbatan shunt/stenting. Jika dijumpai edema paru, perlu


.

dicurigai telah terjadi over-shunting. Sindrom curah jantung


ww

rendah (low cardiac output syndrome, LCOS) dapat terjadi pada


//w

kondisi sumbatan shunt maupun over-shunting, sehingga bayi


ps:

memerlukan perawatan intensif dan investigasi segera, untuk


menentukan apakah diperlukan intervensi paliatif ulang.
htt

jdih.kemkes.go.id
- 121 -

Pada pasca- koreksi TOF, penting dinilai adanya defek VSD

l
tm
residual, anatomi dan fungsi katup terutama katup triskupid

l.h
dan katup pulmonal, aliran dari ventrikel kanan ke arteri
pulmonal, ada tidaknya stenosis residual arteri pulmonal, serta

a
on
fungsi ventrikel kanan dan ventrikel kiri. Penilaian defek

si
residual lebih baik dilakukan sedini mungkin di ruang operasi

-na
dengan bantuan pemeriksaan TEE ataupun dengan

an
ekokardiografi epicardial. Jika tidak dapat dilakukan di ruang

om
operasi, maka dapat dilakukan saat pasien dirawat di ICU

ed
pasca-bedah jantung, sebelum terjadi komplikasi lanjutan atau

g-p
infeksi. Jika pasca-total koreksi, ditemukan PR berat dengan

tan
atau tanpa disfungsi ventrikel, dapat dipertimbangkan untuk
PVI, baik secara transkateter maupun pembedahan. Aritmia

en
pasca-intervensi ditatalaksana sesuai jenis aritmianya.
k-t
c. Evaluasi Pasca-Intervensi pada Transposition of Great Arteries
m
s-k

Umumnya bayi dengan TGA-IVS pasca-BAS memiliki prognosis


yang baik, tidak lagi ditemukan distress nafas dan sianosis yang
ke

berat, serta saturasi oksigen dapat mencapai 85%-90%.


en

Komplikasi yang dapat terjadi pasca-BAS adalah stroke dan


pm

aritmia. Prognosis buruk jika bayi terlambat dirujuk, ditemukan


/ke

komorbid seperti deconditioning ventrikel kiri akibat turunnya


/04

resistensi vaskular paru, sepsis, gangguan koagulasi,


23

prematuritas, atau ada kelainan bawaan mayor lainnya.


20

Evaluasi ekokardiografi pasca-BAS meliputi besar dan aliran


m/

pada defek, struktur dan fungsi katup-katup, tekanan diastolik


co

akhir ventrikel kiri (left ventricular end diastolic volume, LVEDV),


si.

ketebalan dinding posterior ventrikel kiri (left ventricle posterior


ula

wall dimension, LVPWD), LVMI, struktur dan aliran arteri


reg

koroner, serta kontraktilitas ventrikel kiri. Prosedur BAS yang


membuat ASD >5 mm seringkali mempercepat deconditioning
o
inf

ventrikel kiri.
.

Penilaian ini penting untuk memutuskan pertimbangan apakah


ww

perlu dilakukan prosedur PAB terlebih dahulu, prosedur


//w

Rastelli, atau langsung prosedur arterial switch. Penilaian pasca


ps:

PAB adalah gradien tekanan sistolik trans-PAB dan respons


peningkatan ketebalan LVMI. Pasca-prosedur Rastelli, penting
htt

dinilai kontraktilitas ventrikel kanan dan aliran pada konduit

jdih.kemkes.go.id
- 122 -

dari ventrikel kanan ke arteri pulmonal. Sedangkan pasca-

l
tm
prosedur arterial switch, penting dinilai kontraktilitas kedua

l.h
ventrikel, anastomosis ventrikel kiri dengan neo-aorta,
anastomosis ventrikel kanan dengan neo-pulmonal, fungsi

a
on
katup-katup, ada tidaknya neo-AR dan neo-PR, serta aliran

si
pada kedua arteri koroner.

-na
an
Tabel 32. Indikasi dan keperluan pemeriksaan penunjang pra dan

om
pasca-intervensi

ed
AUC SCORE

g-p
Patent foramen ovale (PFO)
1. Pemeriksaaan rutin pada pasien KS KS KS

tan
PFO yang asimptomatik

en
k-t
Atrial septal defect (ASD), partial anomalous pulmonary venous
connection (PAPVC)
m

Tanpa koreksi ASD atau PAPVC TTE TTE + TEE CMR CCT
s-k

kontras
ke

2. Pemeriksaa rutin (1-2 tahun) pada M


en

pasien asimptomatik dengan ASD


pm

kecil atau PAPVC yang melibatkan


satu vena pulmonalis
/ke

3. Pemeriksaa rutin (3-5 tahun) pada S


/04

pasien asimptomatik dengan ASD


kecil atau PAPVC yang melibatkan
23

satu vena pulmonalis


20

4. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) S M M


m/

pada pasien asimptomatik dengan


co

ASD sedang atau PAPVC yang


si.

melibatkan >1 vena pulmonalis


5. Evaluasi akibat perubahan status S M M M KS
ula

klinis dan/atau timbulnya tanda


reg

atau gejala baru yang perlu


diperhatikan
o
inf

6. Evaluasi untuk menentukan S M S M KS


.

metode penutupan dari ASD


ww

sekundum terisolasi
//w

7. Evaluasi sebelum koreksi S M S S S


terencana sinus venosus defect
ps:

dan/atau PAPVC
htt

Pasca prosedur: operasi atau TTE TTE + TEE CMR CCT


kateterisasi ASD atau PAPVC kontras

jdih.kemkes.go.id
- 123 -

8. Evaluasi paska prosedur rutin S M KS KS

l
(dalam 30 hari)

tm
9. Evaluasi akibat perubahan status S M S S S

l.h
klinis dan/atau timbulnya tanda

a
atau gejala baru yang perlu

on
diperhatikan

si
10. Pemeriksaan rutin dalam waktu 1 S KS

-na
minggu setelah penutupan ASD

an
dengan alat pada pasien

om
asimptomatik tanpa atau dengan
sekuele ringan

ed
11. Pemeriksaan rutin dalam waktu 1 S KS

g-p
bulan setelah penutupan ASD

tan
dengan alat pada pasien
asimptomatik tanpa atau dengan

en
sekuele ringan
12. Pemeriksaan rutin dalam waktu 3-
k-t
S
m
KS
6 bulan setelah penutupan ASD
s-k

dengan alat pada pasien


asimptomatik tanpa atau dengan
ke

sekuele ringan
en

13. Pemeriksaan rutin dalam waktu 1 S KS


pm

tahun setelah penutupan ASD


dengan alat pada pasien
/ke

asimptomatik tanpa atau dengan


/04

sekuele ringan
14. Pemeriksaan rutin dalam waktu 2- S KS
23

5 tahun setelah penutupan ASD


20

dengan alat pada pasien


m/

asimptomatik tanpa atau dengan


co

sekuele ringan
si.

15. Pemeriksaan rutin dalam waktu 1 S KS


ula

tahun setelah penutupan ASD


secara operatif atau koreksi
reg

PAPVC pada pasien asimptomatik


o

tanpa atau dengan sekuele ringan


inf

16. Pemeriksaan rutin (setiap tahun) M KS KS KS


.

setelah satu tahun pertama


ww

penutupan ASD secara operatif


//w

atau koreksi PAPVC pada pasien


asimptomatik tanpa atau dengan
ps:

sekuele ringan
htt

17. Pemeriksaan rutin (2-5 tahun) S KS M M

jdih.kemkes.go.id
- 124 -

setelah satu tahun pertama

l
penutupan ASD secara operatif

tm
atau koreksi PAPVC pada pasien

l.h
asimptomatik tanpa atau dengan

a
sekuele ringan

on
18. Pemeriksaan rutin (3-12 bulan) S M M M M

si
setelah penutupan ASD secara

-na
operatif atau penutupan dengan

an
alat pada pasien dengan sisa

om
pirau, disfungsi katup atau
ventrikel aritmia dan/atau

ed
hipertensi pulmonal yang

g-p
signifikan

tan
19. Pemeriksaan rutin (3-12 bulan) S M M M M
setelah koreksi PAPVC pada

en
pasien dengan obstruksi vena
sistemik atau pulmonal, disfungsi
m k-t
katup atau ventrikel, aritmia
s-k

dan/atau hipertensi pulmonal


ke

Ventricular Septal Defect (VSD)


en

Tanpa koreksi VSD TTE TEE CMR CCT


pm

20. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) pada anak KS


/ke

asimptomatik dengan VSD muscular kecil


21. Pemeriksaan rutin (3-5 tahun) pada anak C
/04

asimptomatik dengan VSD muscular kecil


23

22. Pemeriksaan rutin (3-5 tahun) pada dewasa S


20

asimptomatik dengan VSD muscular kecil


m/

23. pemeriksaan rutin (1-2 tahun) pada anak S


asimptomatik dengan VSD kecil pada lokasi
co

defek selain septal muskular


si.

24. pemeriksaan rutin (3-5 tahun) pada dewasa S M KS


ula

asimptomatik dengan VSD kecil pada lokasi


reg

defek selain septal muskular


25. Pemeriksaan rutin (1-3 bulan) pada bayi S
o
inf

dengan VSD sedang yang mendapat terapi


obat
.
ww

26. Evaluasi akibat perubahan status klinis S M M M


dan/atau timbulnya tanda atau gejala baru
//w

yang perlu diperhatikan


ps:

27. Evaluasi sebelum dilakukan tindakan S M M M


koreksi terencana
htt

Pasca prosedur: Operasi atau Kateterisasi VSD TTE TEE CMR CCT

jdih.kemkes.go.id
- 125 -

28. Evaluasi rutin paska procedure (dalam 30 S

l
hari)

tm
29. Evaluasi akibat perubahan status klinis S M M M

l.h
dan/atau timbulnya tanda atau gejala baru

a
yang perlu diperhatikan

on
30. Pemeriksaan rutin dalam waktu satu tahun S

si
setelah operasi atau penutupan VSD dengan

-na
alat pada pasien asimptomatik tanpa atau

an
dengan sekuele ringan

om
31. Pemeriksaan rutin (2-3 tahun) setelah satu S
tahun penutupan VSD dengan alat pada

ed
pasien asimptomatik tanpa atau dengan

g-p
sekuele ringan

tan
32. Pemeriksaan rutin (setiap tahun) setelah M
satu tahun operasi penutupan VSD pada

en
pasien asimptomatik tanpa atau dengan
sekuele ringan
m k-t
33. Pemeriksaan rutin (2-3 tahun) setelah satu S
s-k

tahun operasi penutupan VSD pada pasien


asimptomatik tanpa atau dengan sekuele
ke

ringan
en

34. Pemeriksaan rutin (2-3 tahun) setelah S KS KS KS


pm

operasi atau penutupan VSD dengan alat


pada pasien dengan sisa pirau kecil,
/ke

disfungsi katup ringan, tanpa disfungsi


/04

ventrikel, aritmia atau hipertensi pulmonal


23

35. Pemeriksaan rutin (3-12 bulan) setelah S M M M


operasi atau penutupan VSD dengan alat
20

pada pasien dengan sisa pirau, disfungsi


m/

katup atau ventrikel, aritmia dan/atau atau


co

hipertensi pulmonal yang signifikan


si.
ula

Atrio Ventricular Septal Defect (AVSD)


reg

Tanpa koreksi AVSD Parsial/transisional TTE TEE CMR CCT


36. Pemeriksaan rutin (3-6 bulan) pada bayi S
o
inf

asimptomatik
37. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) pada anak S
.
ww

asimptomatik
Tanpa koreksi AVSD komplit
//w

38. Pemeriksaan rutin (1-3 bulan) pada bayi S


ps:

Tanpa koreksi semua tipe AVSD


39. Evaluasi akibat perubahan status klinis S M M M
htt

dan/atau timbulnya tanda atau gejala baru

jdih.kemkes.go.id
- 126 -

yang perlu diperhatikan

l
40. Evaluasi sebelum koreksi terencana S M M M

tm
Pasca operasi semua tipe AVSD

l.h
41. Evaluasi rutin paska prosedur (dalam 30 hari) S

a
42. Evaluasi akibat perubahan status klinis S M M

on
M
dan/atau timbulnya tanda atau gejala baru

si
-na
yang perlu diperhatikan
43. Pemeriksaan rutin dalam waktu satu tahun S

an
setelah koreksi AVSD pada pasien

om
asimptomatik tanpa atau dengan sekuele
ringan

ed
44. Pemeriksaan rutin (1-3 tahun) setelah satu S

g-p
tahun koreksi AVSD pada pasien asimptomatik

tan
tanpa atau dengan sekuele ringan
45. Pemeriksaan rutin (3-12 bulan) pada pasien S M M M

en
dengan sisa pirau, disfungsi katup atau
ventrikel, obstruksi LVOT, aritmia, dan/atau
m k-t
hipertensi pulmonal yang signifikan
s-k

46. Pemeriksaan rutin 3-12 bulan pada pasien S M M


dengan gagal jantung
ke
en

Patent Ductus Arteriosus (PDA)


pm

Tanpa koreksi PDA TTE TEE CMR CCT


/ke

47. Pemeriksaan rutin (3-5 tahun) pada KS


/04

pasien asimptomatik dengan PDA kecil


tanpa bising jantung
23

48. Pemeriksaan rutin (3-6 bulan) pada S KS KS


20

bayi dengan PDA sedang


m/

49. Pemeriksaaan rutin (3-6 bulan) pada S


bayi dengan PDA kecil, dengan bising
co

jantung sampai dilakukan penutupan


si.

50. Pemeriksaaan rutin (1-2 tahun) pada S


ula

bayi atau anak dengan PDA kecil


reg

dengan bising jantung sampai


dilakukan penutupan
o
inf

51. Pemeriksaan rutin (3-5 tahun) pada S KS KS


dewasa dengan PDA kecil
.
ww

52. Evaluasi akibat perubahan status klinis S M M


dan/atau timbulnya tanda atau gejala
//w

baru yang perlu diperhatikan


ps:

53. Evaluasi sebelum tindakan koreksi S M M


terencana
htt

Pasca prosedur: operasi atau kateterisasi TTE TEE CMR CCT Scan

jdih.kemkes.go.id
- 127 -

PDA paru

l
54. Evaluasi rutin paska prosedur (dalam S

tm
30 hari)

l.h
55. Evaluasi akibat perubahan status klinis S M M M M

a
dan/atau timbulnya tanda atau gejala

on
baru yang perlu diperhatikan

si
56. Pemeriksaan rutin (setiap tahun) dalam S

-na
2 tahun setelah penutupan PDA pada

an
pasien asimptomatik tanpa atau dengan

om
sekuele ringan
57. Pemeriksaan rutin (5 tahun) setelah 2 KS

ed
tahun pertama operasi penutupan PDA

g-p
pada pasien asimptomatik tanpa atau

tan
dengan sekuele ringan
58. Pemeriksaan rutin (5 tahun) setelah 2 S

en
tahun pertama penutupan PDA dengan
alat pada pasien asimptomatik tanpa
mk-t
atau dengan sekuele ringan
s-k

T59. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) pada S M M S


o pasien dengan stenosis arteri pulmonal
ke

kiri paska prosedur


t
en

60. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) pada S S S


a
pm

pasien dengan obstruksi aorta pasca


l
/ke

prosedur
/04

Total Anomalous Pulmonary Venous Connection (TAPVC)


23

Tidak Dikoreksi TAPVC TTE TEE CMR CCT


20

61. Evaluasi akibat perubahan klinis S M S S


dan/atau munculnya tanda atau gejala
m/

yang baru
co

62. Evaluasi sebelum dilakukan perbaikan S M S S


si.

Pasca Operasi TAPVC TTE TEE CMR CCT Stress Lung


ula

Imagin Scan
g
reg

63. Evaluasi rutin pasca-prosedur (dalam S KS KS


o

30 hari)
inf

64. Evaluasi akibat perubahan klinis S S S S KS S


.
ww

dan/atau munculnya tanda atau gejala


yang baru
//w

65. Pengawasan rutin (3–6 bulan) pada bayi S


tanpa gejala atau dengan gejala sisa
ps:

ringan
htt

66. Pengawasan rutin (1-2 tahun) pada bayi S

jdih.kemkes.go.id
- 128 -

tanpa gejala atau dengan gejala sisa

l
ringan

tm
67. Pengawasan rutin (3–5 tahun) pada M M

l.h
bayi tanpa gejala atau dengan gejala sisa

a
ringan

si on
-na
Eisenmenger Syndrome (ES) dan Pulmonary Hypertension (PH) terkait
PJB

an
Eisenmenger Syndrome (ES) TTE CMR CCT Stress

om
Imaging

ed
68. Evaluasi awal pada kecurigaan ES S S M M

g-p
69. Evaluasi akibat perubahan klinis dan/atau S S M M
munculnya tanda atau gejala yang baru pada

tan
pasien dengan ES

en
70. Evaluasi karena perubahan terapi target PAH S S M M
pada pasien dengan ES
k-t
71. Pemeriksaan rutin (3 bulan) pada anak yang M S S
m
s-k

stabil dengan ES yang stabil


72. Pemeriksaan rutin (6–12 bulan) pada anak S S S
ke

yang stabil dengan ES


en

73. Pemeriksaan rutin (3 bulan) pada dewasa S S S


pm

yang stabil dengan ES


74. Pemeriksaan rutin (6–12 bulan) pada dewasa S M S
/ke

yang stabil dengan ES


/04

Pulmonary hypertension (PH) terkait PJB TTE CMR CCT Stress


Imaging
23

75. Evaluasi awal dengan kecurigaan PH setelah S S M M


20

oerasi PJB
m/

76. Evaluasi akibat perubahan klinis dan/atau S S M M


co

tanda atau gejala yang baru pada pasien


si.

paska operasi dengan PH


ula

77. Evalusai karena perubahan terapi target PAH S S M M


pada pasien paska operasi dengan PH
reg

78. Pemeriksaan rutin (3 bulan) pada anak S KS KS


o

dengan PH stabil paska operasi


inf

79. Pemeriksaan rutin (6-12 bulan) pada anak S KS KS


.

dengan PH stabil paska operasi


ww

80. Pemeriksaan rutin (3 bulan) pada pasien M KS KS


//w

dewasa dengan PH stabil paska operasi


81. Pemeriksaan rutin (6-12 bulan) pada pasien S M KS
ps:

dewasa dengan PH stabil paska operasi


htt

jdih.kemkes.go.id
- 129 -

Ebstein anomali dan displasia katup trikuspid

l
tm
TTE + Stress
Tidak dikoreksi Ebstein anomali dan TTE kontras TEE CMR CCT Imaging

l.h
displasia katup trikuspid

a
on
82. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) S KS KS
pada bayi atau anak tanpa gejala

si
-na
dengan TR ringan
83. Pemeriksaan rutin (3-5 tahun) S M M M KS

an
pada orang dewasa tanpa gejala

om
dengan TR ringan
84. Pemeriksaan rutin (3-6 bulan) S

ed
pada bayi asimtomatik dengan

g-p
TR sedang tanpa hipoksemia

tan
85. Pemeriksaan ruitn (6-12 bulan) S M M M KS
pada pasien tanpa gejala dengan

en
TR sedang dengan fungsi RV
yang stabil sebelumnya tanpa
m k-t
hipoksemia
s-k

86. Evaluasi akibat perubahan klinis S S S S M M


dan/atau tanda dan gejala yang
ke

baru
en

87. Evaluasi ASD pada penutupan S M S M M


pm

dengan alat pada pasien dengan


/ke

TR ringan atau sedang,


pembesaran RV, dan tanpa
/04

hipoksemia
23

88. Evaluasi sebelum dilakukan S M M S M KS


20

perbaikan
Pasca Prosedur: Bedah atau Trans- TTE + Stress
m/

kateter Ebstein Anomali dan Displasia TTE kontras TEE CMR CCT Imaging
co

TV
si.

89. Evaluasi rutin paska prosedur S M


ula

(dalam 30 hari)
90. Evaluasi karena perubahan klinis S S S S M M
reg

dan/atau tanda atau gejala yang


o

baru
inf

91. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) S KS KS KS


.
ww

pasien tanpa gejala/gejala sisa


ringan
//w

92. Pemeriksaan rutin (3-5 tahun) M M M


pasien tanpa gejala/gejala sisa
ps:

ringan
htt

93. Pemeriksaan rutin (6-12 bulan) S M KS

jdih.kemkes.go.id
- 130 -

pada anak tanpa gejala dengan

l
disfungsi katup, ventrikel, atau

tm
aritmia

l.h
94. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) S M M KS

a
pada orang dewasa dengan

on
disfungsi katup, ventrikel, atau

si
aritmia

-na
95. Pemeriksaan rutin (3-12 bulan) S M KS

an
pada pasien dengan gagal

om
jantung dan/atau aritmia atrium

ed
Pulmonal Stenosis ( P S )

g-p
Tidak dikoreksi PS TTE TEE CMR CCT Stress

tan
Imaging

en
96. Pemeriksaan rutin (3-6 bulan) pada bayi S
tanpa gejala dengan PS ringan k-t
97. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) pada anak S
m
tanpa gejala dengan PS ringan
s-k

98. Pemeriksaan rutin (3-5 tahun) pada orang S KS KS


ke

dewasa tanpa gejala dan PS ringan


en

99. Pemeriksaan rutin (3-6 bulan) pada bayi S KS KS


tanpa gejala dengan PS sedang
pm

100. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) pada anak S M M


/ke

atau orang dewasa tanpa gejala dengan


/04

PS sedang
101. Pemeriksaan rutin (3-5 tahun) pada orang S M
23

dewasa tanpa gejala dengan PS dan


20

dilatasi arteri pulmonal


m/

102. Evaluasi karena perubahan status klinis S M M M


dan/atau tanda gejala yang baru
co

103. Evaluasi sebelum dilakukan perbaikan S M M M


si.

Paska Prosedur: Bedah atau Trans-kateter PS TTE TEE CMR CCT Stress
ula

Imaging
reg

104. Evaluasi rutin paska prosedur (dalam 30 S


hari)
o
inf

105. Evaluasi karena perubahan status klinis S M M M M


dan/atau tanda gejala yang baru
.
ww

106. Pemeriksaan rutin (1–2 tahun) pada anak S KS KS


asimtomatis tanpa atau dengan gejala
//w

sisa minimal
ps:

107. Pemeriksaan rutin (3–5 tahun) pada S M KS


dewasa asimtomatis tanpa atau dengan
htt

sekuel minimal

jdih.kemkes.go.id
- 131 -

108. Pemeriksaan rutin (6–12 bulan) pada S M M

l
anak asimtomatis dengan sekuel sedang

tm
hingga berat

l.h
109. Pemeriksaan rutin (1–3 tahun) pada S S M M

a
dewasa asimtomatis dengan sekuel

on
sedang hingga berat

si
110. Pemeriksaan rutin (3–12 bulan) pada S M M

-na
pasien dengan gejala gagal jantung

an
om
Pulmonal Atresia – Intact Ventricular Septum (PA-IVS)

ed
Stress Lung

g-p
Tidak dikoreksi PA-IVS TTE TEE CMR CCT Imaging Scan
111. Evaluasi sebelum dilakukan S M M M M

tan
perbaikan

en
Pasca prosedur paliatif PA-IVS

112. Evaluasi rutin paska prosedur S k-t M


(dalam 30 hari)
m
113. Pemeriksaan rutin (1–3 bulan) S
s-k

pada pasien yang asimtomatis


ke

114. Evaluasi karena perubahan S M M M M M


en

status klinis dan/atau tanda


pm

gejala baru
115. Evaluasi sebelum dilakukan S M M M M
/ke

perbaikan
/04

Stress Lung
Pasca prosedur koreksi komplit PA- TTE TEE CMR CCT Imaging Scan
23

IVS
20

116. Evaluasi rutin paska prosedur S M


m/

(dalam 30 hari)
co

117. Evaluasi karena perubahan S M M M M M


status klinis dan/atau tanda
si.

gejala baru
ula

118. Pemeriksaan rutin (3-6 bulan) S KS KS KS


reg

pada bayi asimtomatik


119. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) S M KS KS
o
inf

pada anak yang asimtomatis


dengan tanpa gejala sisa
.
ww

120. Pemeriksaan rutin (2-3 tahun) S M M KS


pada orang dewasa tanpa
//w

gejala atau gejala sisa atau


ps:

ringan
htt

121. Pengawasan rutin (6-12 bulan) S M M M


pada anak tanpa gejala atau

jdih.kemkes.go.id
- 132 -

gejala sisa atau ringan

l
122. Pemeriksaan rutin (1-3 tahun) S M S M M

tm
pada orang dewasa tanpa

l.h
gejala dengan gejala sisa yang

a
sedang

on
123. Pemeriksaan rutin (3-12 bulan) S M M

si
pada pasien gejala gagal

-na
jantung

an
om
Penyakit Katup Mitral

ed
Tanpa koreksi mitral stenosis (MS) kongenital TTE TEE CMR C Stress

g-p
CT Imaging
124. Pemeriksaan rutin (1-4 minggu) pada bayi S

tan
< 3 bulan berapapun derajat MS

en
125. Pemeriksaan rutin (3–6 bulan) pada bayi S
3 bulan dengan MS ringan k-t
126. Pemeriksaan rutin (1–3 bulan) pada bayi S
m
3 bulan dengan MS sedang
s-k

127. Pemeriksaan rutin (1–3 tahun) pada anak S


ke

asimtomatis dan MS sedang


en

128. Pemeriksaan rutin (3–12 bulan) pada S M


pm

anak asimtomatis dengan MS sedang


129. Evaluasi akibat perubahan klinis S S M M M
/ke

dan/atau tanda dan gejala yang baru


/04

130. Evaluasi sebelum dilakukan perbaikan S S M M M


Tanpa koreksi MR kongenital termasuk TTE TEE CMR C Stress
23

mitral valve prolaps (MVP) CT Imaging


20

131. Pemeriksaan rutin (6-12 bulan) pada bayi S


m/

asimtomatik dengan MR ringan


132. Pemeriksaan rutin (1-3 bulan) pada bayi S
co

asimtomatik dengan MR sedang


si.

133. Pemeriksaan rutin (2-5 tahun) pada anak S KS KS


ula

dengan MR ringan, ukuran dan fungsi


reg

ventrikel kiri (LV) yang normal


134. Pemeriksaan rutin (6-12 bulan) pada S M KS
o
inf

anak dengan MR sedang


135. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) pada anak M
.
ww

asimtomatik dengan MVP dan MR ringan


136. Pemeriksaan rutin (3-5 tahun) pada anak S
//w

asimtomatik dengan MVP dan MR ringan


ps:

137. Evaluasi akibat perubahan klinis S M M M M


dan/atau tanda dan gejala baru
htt

138. Evaluasi sebelum dilakukan perbaikan S S M M KS

jdih.kemkes.go.id
- 133 -

Pasca prosedur: operasi atau trans-kateter TTE TE CM C Stress F

l
E R C Imaging

tm
l
T
u

l.h
o

a
on
r

si
o

-na
139. Evaluasi rutin paska prosedur (dalam 30 S

an
hari)

om
140. Evaluasi paada bayi atau anak akibat S S M M M S
perubahan klinis dan/atau tanda dan

ed
gejala yang baru.

g-p
141. Pemeriksaan rutin (3-6 bulan) pada bayi S

tan
dengan MS ringan atau MR ringan,
dan tanpa disfungsi ventrikel kiri

en
142. Pemeriksaan rutin (1-3 bulan) pada bayi S KS KS KS
dengan MS sedang atau
mk-t
MR
sedang, dilatasi LV, dan tanpa disfungsi
s-k

ventrikel kiri
143. Pemeriksaan rutin (1-2tahun) pada anak S
ke

dengan MS ringan atau MR ringan,


en

dan tanpa disfungsi


pm

144. Pemeriksaan rutin(3-12 bulan) pada anak S KS KS K KS


/ke

dengan MS sedang atau MR sedang, S


dilatasi LV, dan tanpa disfungsi ventrikel
/04

kiri
23

145. Pemeriksaan rutin (tahunan) pada anak S


20

dengan fungsi katup mitral protesa yang


normal dan tanpa disfungsi
m/

146. Pemeriksaan rutin (3-12 bulan) pada anal S M M M


co

dengan katup mitral protesa atau


si.

disfungsi ventrikel, dan / atau aritmia.


ula
reg

Penyakit Katup Aorta


o

Tanpa koreksi aortic stenosis (AS) subvalvar TTE TEE CMR CCT Stress
inf

Imaging
.
ww

147. Pemeriksaan rutin (1-3 bulan) pada bayi S


dengan berbagai derajat AS subvalvar
//w

dan aortic regurgitation (AR) ringan


148. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) pada S
ps:

anak atau dewasa dengan AS subvalvar


htt

ringan dan tanpa AR

jdih.kemkes.go.id
- 134 -

149. Pemeriksaan rutin (6-12 bulan) pada S M M KS KS

l
anak/dewasa dengan AS subvalvar

tm
sedang dan/ atau AR ringan

l.h
150. Pemeriksaan rutin (3-5 tahun) pada M M

a
dewasa asimtomatik dengan AS

on
subvalvar sedang

si
151. Evaluasi karena perubahan status klinis S M S M M

-na
dan/ tanda atau gejala baru yang perlu

an
diperhatikan

om
152. Evaluasi sebelum tindakan koreksi S S S M M
terencana

ed
Pasca operasi AS subvalvar

g-p
153. Evaluasi rutin pasca operasi (dalam 30 S

tan
hari)
154. Evaluasi karena perubahan status klinis S S M M M

en
dan/ tanda atau gejala baru yang perlu
diperhatikan
k-t
m
155. Pemeriksaan rutin (3-6 bulan) pada bayi S
s-k

dengan AS dan/AR ringan


156. Pemeriksaan rutin (1-3 bulan) pada bayi S
ke

dengan AS dan/AR sedang


en

157. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) pada S KS KS KS KS


pm

anak/dewasa dengan AS dan/AR ringan


/ke

158. Pemeriksaan rutin (6-12 bulan) pada S M M M M


anak/dewasa dengan AS dan/AR
/04

sedang
23

159. Pemeriksaan rutin (3-12 bulan) pada S M M M M


dewasa dengan gejala gagal jantung
20

atau AS dan/AR sedang


m/

Tanpa koreksi* AS valvar dan/AR TTE TEE CMR CCT Stress


co

Imaging
si.

160. Pemeriksaan rutin (1-4 minggu) pada S


ula

bayi (usia <3 bulan) dengan berbagai


derajat AS dan/AR yang tidak
reg

memerlukan operasi saat neonatus


o

161. Pemeriksaan rutin (3-6 bulan) pada bayi S


inf

(usia 3-12 bulan) AS dan/AR ringan


.
ww

162. Pemeriksaan rutin (1-3 bulan) pada bayi S


(usia 3-12 bulan) AS dan/AR sedang
//w

163. Pemeriksaan rutin (6 bulan) pada anak KS


asimtomatik dengan AS dan/AR ringan
ps:

tanpa dilatasi aorta


htt

164. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) pada S KS KS

jdih.kemkes.go.id
- 135 -

anak asimtomatik dengan AS dan/AR

l
ringan tanpa dilatasi aorta

tm
165. Pemeriksaan rutin (6-12 bulan) pada S M M M

l.h
anak asimtomatik dengan AS dan/AR

a
sedang

on
166. Pemeriksaan rutin (3-5 tahun) pada S M M

si
anak dengan katup aorta bikuspid dan

-na
disfungsi katup trivial atau ringan,

an
tanpa sinus aorta dan/aorta asenden

om
167. Pemeriksaan rutin (2-3 tahun) pada S S M
anak dengan sinus aorta dan/dilatasi

ed
aorta asenden dengan nilai z-score stabil

g-p
168. Pemeriksaan rutin (6-12 bulan) pada S S S

tan
anak dengan sinus aorta dan/dilatasi
aorta asenden dengan peningkatan z-

en
scores
169. Evaluasi karena perubahan status klinis
mk-t S M S S M
dan/ tanda atau gejala baru yang perlu
s-k

diperhatikan
170. Evaluasi sebelum tindakan koreksi S S S S KS
ke

terencana
en

Pasca tindakan operasi atau berbasis TTE TEE CMR CCT Stress Fluoro
pm

kateterisasi* Imaging
/ke

171. Pemeriksaan rutin paska S


tindakan (dalam 30 hari)
/04

172. Evaluasi karena perubahan S S S S M S


23

status klinis dan/ tanda atau


gejala baru yang perlu
20

diperhatikan
m/

173. Pemeriksaan rutin (3-6 bulan) S


co

pada bayi setelah intervensi


si.

pada masa neonatus dengan


ula

AS dan/AR ringan, tanpa


disfungsi ventrikel kiri
reg

174. Pemeriksaan rutin (1-3 bulan) S


o

pada bayi setelah intervensi


inf

pada masa neonatus dengan


.
ww

AS dan/AR ringan, dan/


disfungsi ventrikel kiri
//w

175. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) S


pada anak dengan AS dan/AR
ps:

ringan setelah perbaikan


htt

katup atau katup prostetik

jdih.kemkes.go.id
- 136 -

dengan fungsi normal

l
tm
176. Pemeriksaan rutin (6-12 bulan) S M M M M
pada anak dengan AS dan/AR

l.h
sedang

a
on
177. Pemeriksaan rutin (3-12 bulan) S M M M
pada anak dengan gejala gagal

si
-na
jantung dan/disfungsi
ventrikel

an
Tanpa koreksi AS supravalvar TTE TEE CMR CCT Stress

om
Imaging
178. Pemeriksaan rutin 3-6 bulan) bayi S

ed
dengan berbagai derajat AS

g-p
supravalvar

tan
179. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) pada S
anak/ dewasa yang asimtomatik

en
dengan AS supravalvar ringan
k-t
180. Pemeriksaan rutin (6-12 bulan) pada S
m
anak / dewasa yang asimtomatik
s-k

dengan AS supravalvar sedang


181. Pemeriksaan rutin (2-5 tahun) pada M M M M
ke

dewasa yang asimtomatik dengan


en

AS supravalvar sedang
pm

182. Evaluasi karena perubahan status S M S S M


/ke

klinis dan/ tanda atau gejala baru


yang perlu diperhatikan
/04

183. Evaluasi sebelum tindakan koreksi S M S S


23

terencana
20

Pasca operasi AS supravalvar TTE TEE CMR CCT Stress


Imaging
m/

184. Pemeriksaan rutin paska operasi S


co

(dalam 30 hari)
si.

185. Evaluasi karena perubahan status S M S S S


ula

klinis dan/ tanda atau gejala baru


yang perlu diperhatikan
reg

186. Pemeriksaan rutin (2-5 tahun) S KS M M KS


o

pasien tanpa/dengan AS
inf

supravalvar ringan
.
ww

187. Pemeriksaan rutin (6-12 bulan) pada S M M M M


AS supravalvar sedang
//w
ps:

Coarctasio Aorta (CoA) dan Interrupted Aortic Arch (IAA)


Tanpa koreksi CoA atau IAA TTE TEE CMR CCT Stress
htt

Imaging

jdih.kemkes.go.id
- 137 -

188. Pemeriksaan rutin (3-6 bulan) pada S

l
bayi dengan CoA ringan tanpa PDA

tm
189. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) pada S KS KS

l.h
anak/ dewasa dengan CoA ringan

a
190. Pemeriksaan rutin (3-5 tahun) pada S S

on
anak/dewasa dengan CoA ringan

si
191. Evaluasi karena perubahan status S M S S M

-na
klinis dan/ tanda atau gejala baru

an
yang perlu diperhatikan

om
192. Evaluasi sebelum tindakan koreksi S S S
terencana

ed
Pasca Tindakan Operasi atau Intervensi TTE TEE CMR CCT Fluoro

g-p
Berbasis Kateterisasi CoA atau IAA

tan
193. Pemeriksaan rutin paska operasi S KS KS
(dalam 30 hari)

en
194. Evaluasi karena perubahan status S M S S M
klinis dan/ tanda atau gejala baru
m k-t
yang perlu diperhatikan
s-k

Pasca Tindakan Operasi atau Intervensi TTE TEE CMR CCT Fluoro
Berbasis Kateterisasi CoA atau IAA
ke

195. Pemeriksaan rutin (3-6 bulan) S


en

selama 1 tahun pertama pasca


pm

intervensi pada pasien asimtomatik


/ke

dengan atau tanpa sekuele ringan


196. Pemeriksaan rutin (6-12 bulan) M M
/04

selama 1 tahun pertama pasca


23

intervensi pada pasien asimtomatik


dengan atau tanpa sekuele ringan
20

197. Pemeriksaan rutin (6 bulan) S


m/

sesudah 1 tahun pertama pasca


co

intervensi pada pasien asimtomatik


si.

dengan atau tanpa sekuele ringan


ula

198. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) S M M


sesudah 1 tahun pertama pasca
reg

intervensi pada pasien asimtomatik


o

dengan atau tanpa sekuele ringan


inf

199. Pemeriksaan rutin (3-5 tahun) pada S S M


.
ww

pasien asimtomatik untuk


mengevaluasi aneurisma arkus
//w

aorta, in-stent restenosis, fraktur


stent, atau endoleak.
ps:

200. Pemeriksaan rutin (3-12 bulan) pada S M M


htt

pasien dengan gejala gagal jantung

jdih.kemkes.go.id
- 138 -

Anomali Arteri Koroner

l
tm
Tanpa koreksi anomali arteri koroner TTE TEE CMR CCT
201. Pemeriksaan rutin (tahunan) pada pasien KS KS

l.h
asimptomatik dengan anomali arteri koroner

a
on
kanan dari sinus aortikus kiri
202. Pemeriksaan rutin (2-5 tahun) pada pasien S KS KS S

si
-na
asimptomatik dengan anomali arteri koroner
kanan dari sinus aortikus kiri

an
203. Pemeriksaan rutin (tahunan) pada pasien KS KS

om
asimptomatik dengan fistula arteri koroner
kecil

ed
204. Pemeriksaan rutin (2-5 tahun) pada pasien S KS KS KS

g-p
asimptomatik dengan fistula arteri koroner

tan
kecil
205. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) pada pasien S M M M

en
asimptomatik dengan fistula arteri koroner k-t
sedang/besar
m
206. Evaluasi karena perubahan status klinis dan S S S S
s-k

atau tanda dan gejala baru yang perlu


perhatian
ke

207. Evaluasi sebelum tidakan reparasi terencana S S S M


en

Pasca tindakan: pembedahan atau kateterisasi TTE CMR CCT Stress


pm

Imaging
/ke

208. Evaluasi rutin paska Tindakan (dalam 30 S M M


hari)
/04

209. Evaluasi karena perubahan status klinis dan S S S S


23

atau tanda dan gejala baru yang perlu


20

perhatian
210. Evaluasi dalam setahun paska tindakan baik S M M M
m/

pembedahaan maupun kateterisasi tanpa


co

sekuele atau sekuele ringan


si.

211. Pemeriksaan rutin (1-3 bulan) pada tahun S KS KS KS


ula

pertama paska tindakan


reg

212. Pemeriksaan rutin (3–6 bulan) pada pasien S KS KS KS


bayi dengan atau tanpa ganggunan
o

ventrikel atau katup


inf

213. Pemeriksaan rutin (3–6 bulan) pada pasien S M M M


.
ww

anak dewasa dengan atau tanpa


ganggunan ventrikel atau katup
//w

214. Evaluasi tahunan paska tindakan pada S KS KS KS


ps:

pasien tanpa sekuele atau sekuele ringan


215. Evaluasi 2-5 tahun paska tindakan pada M M M
htt

pasien tanpa sekuele atau sekuele ringan

jdih.kemkes.go.id
- 139 -

l
tm
Tetralogy of Fallot (TOF)

l.h
Tanpa Koreksi TOF TTE TEE CMR CCT
216. Pemeriksaan rutin (1-3 bulan) pada bayi sebelum S

a
on
reparasi bedah

si
217. Pemeriksaan rutin (1-3 bulan) pada bayi paska S

-na
valvuloplasti, stent PDA dan atau RVOT atau
pembuatan pirau sebelum reparasi bedah

an
218. Evaluasi karena perubahan status klinis dan atau S M M

om
tanda dan gejala baru yang perlu perhatian

ed
219. Evaluasi sebelum tidakan reparasi terencana S KS M M

g-p
Pasca operasi koreksi awal TOF TTE TEE CMR CCT Stres Lung
s Scan

tan
Imagi
ng

en
220. Evaluasi paska operasi rutin (dalam S k-t
30 hari)
m
221. Evaluasi karena perubahan status S M S M M M
s-k

klinis dan atau tanda dan gejala baru


ke

yang perlu perhatian


en

222. Pemeriksaan rutin (tahunan) pada S KS KS KS


pasien asimptomatik tanpa atau
pm

dengan sekuele ringan atau dengan PR


/ke

derajat apapun
/04

223. Pemeriksaan rutin (6-12 bulan) pada S M M M M


pasien dengan disfungsi katup selain
23

pulmonal, obstruksi RVOT stenosis


20

cabang arteri pulmonalis aritmia atau


m/

adanya conduit (saluran) RV ke PA


224. Pemeriksaan rutin (2-3 tahun) pada S M KS
co

pasien dengan PR dan fungsi ventrikel


si.

baik
ula

225. Pemeriksaan rutin (3-12 bulan) pada S M M KS


reg

pasien dengan keluhan gagal jantung


226. Evaluasi sebelum penggantian katup S M S S KS
o
inf

pulmonal terencana
Pasca PVR pembedahan atau TTE TEE CMR CCT Stres Lung
.
ww

transkateter s Fluo Scan


Imagi ro
//w

ng
ps:

227. Evaluasi rutin paska prosedural S KS KS KS KS


(dalam 30 hari)
htt

228. Evaluasi karena perubahan S M S S M M M

jdih.kemkes.go.id
- 140 -

status klinis dan atau tanda dan

l
gejala baru yang perlu perhatian

tm
229.Evaluasi 1 tahun paska S M M M

l.h
penggantian katup pulmonal

a
transkateter atau bedah

on
230. Evaluasi rutin bulan ke 1 dan 6 S KS KS

si
pada pasien asimptomatik paska

-na
penggantian katup pulmonal

an
transkateter

om
231. Evaluasi rutin (tahunan)pada S KS KS
pasien asimptomatik paska

ed
penggantian katup pulmonal

g-p
transkateter

tan
232. Evaluasi rutin (tahunan) pada S KS KS KS
pasien asimptomatik tanpa atau

en
dengan sekuele ringan
233. Pemeriksaan rutin (6-12 bulan) S
m k-t
KS M M M
pada pasien dengan disfungsi
s-k

conduit RV-PA, disfungsi katup


atau ventrikel stenosis cabang
ke

arteri pulmonalis atau aritmia


en

234. Pemeriksaan rutin (2-3 tahun) S M M


pm

pada pasien asimptomatik tanpa


atau dengan sekuele ringan
/ke

235. Pemeriksaan rutin (2-3 tahun) S M S S M


/04

pada pasien dengan gangguan


23

katup atau ventrikel, obstruksi


RVOT stenosis cabang arteri
20

pulmonalis, aritmia, atau


m/

menggunakan conduit RV-PA


co

236. Pemeriksaan rutin (3-12 bulan) S M M


si.

pada pasien dengan keluhan


ula

gagal jantung
reg

Double Outlet Right Ventricle (DORV)


o

Tanpa koreksi DORV TTE TEE CMR CCT


inf

237. Pemeriksaan rutin (1-3 bulan) pada bayi dengan S


.
ww

sirkulasi sistemik dan pulmonal yang balans


238. Pemeriksaan rutin (3-6 bulan) pada anak dengan S
//w

sirkulasi sistemik dan pulmonal yang balans


ps:

239. Evaluasi karena perubahan status klinis dan atau S M S S


tanda dan gejala baru yang perlu perhatian
htt

240. Evaluasi sebelum reparasi terencana S M S S

jdih.kemkes.go.id
- 141 -

Paska operasi DORV TTE TEE CM CCT Stres Lung

l
R s Scan

tm
Imagi

l.h
ng

a
241. Evaluasi paska operasi rutin (dalam 30 S

on
hari)

si
242. Evaluasi karena perubahan status S M S S M M

-na
klinis dan atau tanda dan gejala baru

an
yang perlu perhatian

om
243. Pemeriksaan rutin (6 bulan) pada S
tahun pertama setelah reparasi pada

ed
bayi asimptomatik atau anak tanpa

g-p
atau dengan sekuele ringan.

tan
244. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) pada S
pasien asimptomatik tanpa atau

en
dengan sekuele ringan.
245. Pemeriksaan rutin (3-12 bulan) pada S
k-t
m
M M M M M
pasien dengan gangguan katup atau
s-k

ventrikel, obstruksi LVOT, stenosis


cabang PA, aritmia, atau
ke

menggunakan conduit RV-PA


en

246. Pemeriksaan rutin (3-5 tahun) pada KS S M M KS


pm

pasien asimptomatik tanpa atau


dengan sekuele ringan
/ke

247. Pemeriksaan rutin (3-12 bulan) pada S M M


/04

pasien dengan keluhan gagal jantung


23
20

D-Loop Transposition of the Great Arteries (D-Loop TGA)


m/

Tanpa Koreksi D-Loop TGA TTE CM CCT


co

248. Evaluasi karena perubahan status klinis dan atau S M M


si.

tanda dan gejala baru yang perlu perhatian


ula

249. Evaluasi sebelum reparasi terencana S M M


reg

Paska operasi: Operasi arterial switch TTE TEE CMR CCT


Stres Lung
o
inf

s Scan
Imagi
.
ww

ng
250. Evaluasi paska operasi rutin (dalam 30 S
//w

hari)
ps:

251. Evaluasi karena perubahan status S M S S M M


klinis dan atau tanda dan gejala baru
htt

yang perlu perhatian

jdih.kemkes.go.id
- 142 -

252. Pemeriksaan pencitaan coroner pada S S S

l
pasien asimptomatik

tm
253. Pemeriksaan rutin (1-3 bulan) pada S

l.h
bayi asimtomatik dengan sekuele

a
sedang

on
254. Pemeriksaan rutin (3-6 bulan) pada S

si
bayi asimptomatik tanpa atau dengan

-na
sekuele

an
255. Pemeriksaan rutin (3-12 bulan) pada S M M M M

om
anak atau dewasa dengan gangguan
katup atau ventrikel sedang, obstruksi

ed
LVOT atau RVOT, stenosis cabang

g-p
arteri pulmonalis, aritmia, atau

tan
menggunakan conduit RV-PA
256. Pemeriiksaan rutin (1-2 tahun) pada S M M KS KS

en
anak atau dewasa asimptomatik
tanpa atau dengan sekuele ringan
k-t
m
257. Pemeriksaan rutin (3-5 tahun) pada M S S M M
s-k

pasien asimptomatik
258. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) pada S KS S S
ke

pasien dengan dilatasi pangkal


en

neoaorta dengan peningkatan z score


pm

atau regurgitasi neoaorta


/ke

259. Pemeriksaan rutin (3-12 bulan) pada S M M M


pasien dengan keluhan gagal jantung
/04

Pasca operasi: Rastelli TT TE CM CC


23

E E R T Stres Lung
s Scan
20

Imagi
m/

ng
co

260. Evaluasi pasca operasi rutin (dalam 30 S


si.

hari)
ula

261. Evaluasi karena perubahan status S M S S M M


klinis dan atau tanda dan gejala baru
reg

yang perlu perhatian


o

262. Pemeriksaan rutin (3-6 bulan) pada S


inf

tahun pertama setelah reparasi


.
ww

263. Pemeriksaan rutin (6 bulan) pada S KS KS


tahun pertama setelah reparasi pada
//w

pasien asimptomatik atau anak


tanpa/dengan sekuele ringan
ps:

264. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) pada S M M


htt

pasien asimptomatik tanpa atau

jdih.kemkes.go.id
- 143 -

dengan sekuele ringan.

l
tm
265. Pemeriksaan rutin (3-5 tahun) pada S S S
pasien asimptomatik

l.h
266. Pemeriksaan rutin (3-12 bulan) pada S M M KS M

a
on
pasien dengan gangguan katup atau
ventrikel sedang, obstruksi LVOT a,

si
-na
stenosis cabang arteri pulmonalis,
aritmia, atau menggunakan conduit

an
RV-PA

om
267. Pemeriksaan rutin (3-12 bulan) pada S M M M
pasien dengan keluhan gagal jantung

ed
Pasca operasi: Operasi Atrial Switch TT TTE TE CM CC Stres

g-p
E + E R T s

tan
kont Imagi
ras ng

en
268. Evaluasi karena perubahan status S M M S S M
klinis dan atau tanda dan gejala baru
k-t
m
yang perlu perhatian
s-k

269. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) pada KS KS KS KS


pasien asimptomatik tanpa atau
ke

dengan sekuele ringan


en

270. Pemeriksaan rutin (1-2 tahun) pada S KS KS KS


pm

pasien asimptomatik tanpa atau


/ke

dengan sekuele ringan.


271. Pemeriksaan rutin (3-5 tahun) pada KS S S
/04

pasien asimptomatik
23

272. Pemeriksaan rutin (3-12 bulan) pada S M S S M


20

pasien dengan gangguan katup


sistemik sedang, gangguan RV
m/

sistemik, obstruksi LVOT, aritmia,


co

273. Pemeriksaan rutin (3-12 bulan) pada S M M


si.

pasien dengan keluhan gagal jantung


ula
reg

Congenitally Corrected Transposition of the Great Arteries (ccTGA)


Tidak dikoreksi ccTGA TTE TEE CMR CCT Stress
o
inf

Imaging
274. Evaluasi karena perubahan status klinis S M S S M
.
ww

dan/atau baru mengenai tanda/gejala


275. Pengawasan rutin (3–6 bulan) pada bayi S
//w

tanpa gejala
ps:

276. Pengawasan rutin (1–2 tahun) pada pasien S KS KS KS KS


AVV sistemik regurgitasi sedang
htt

277. Pengawasan rutin (6-12 bulan) pada pasien S M M M M

jdih.kemkes.go.id
- 144 -

AVV sistemik regurgitasi moderat

l
278. Pengawasan rutin (3–5 tahun) pada pasien S M S S M

tm
tanpa gejala

l.h
279. Pengawasan rutin (3-12 bulan) pada pasien S M M

a
dengan gejala gagal jantung

on
280. Evaluasi sebelum perbaikan yang S S S S

si
direncanakan

-na
Pasca operasi: koreksi anatomi ccTGA T TTE TEE CM CCT Stress

an
T + R Imaging

om
E kont
ras

ed
281. Evaluasi rutin pasca operasi (dalam 30 S M

g-p
hari)

tan
282. Evaluasi karena perubahan status klinis S M M S S M
dan/atau baru mengenai tanda atau

en
gejala
283. Pengawasan rutin (3-6 bulan) dalam satu S
k-t
m
tahun setelah perbaikan pada pasien
s-k

tanpa gejala atau gejala sisa ringan


Pasca operasi: koreksi anatomi ccTGA T TTE TEE CMR CCT Stress
ke

T + Imaging
en

E kont
pm

ras
/ke

284. Pengawasan rutin (1-2 tahun) setelah S M M M


tahun pertama setelah perbaikan pada
/04

pasien tanpa gejala atau gejala sisa


23

ringan
285. Surveilans rutin (6-12 bulan) pada pasien S KS S S M
20

dengan disfungsi katup atau ventrikel,


m/

obstruksi saluran keluar ventrikel kanan


co

atau kiri, atau adanya saluran RV-ke-PA


si.

286. Pengawasan rutin (3–5 tahun) pada M S S M


ula

pasien tanpa gejala


287. Pengawasan rutin (3-12 bulan) pada S M M
reg

pasien dengan gejala gagal jantung


o

Pasca operasi reparasi fisiologis Dengan TTE TEE CMR CCT Stress
inf

Penutupan VSD dan/atau Saluran LV-ke-PA Imaging


.
ww

288. Evaluasi rutin pascaoperasi (dalam 30 hari) S


289. Evaluasi akibat perubahan status klinis S M S S M
//w

dan/atau tanda atau gejala baru


290. Pengawasan rutin (3-6 bulan) dalam satu S
ps:

tahun setelah perbaikan pada pasien tanpa


htt

gejala atau gejala sisa ringan

jdih.kemkes.go.id
- 145 -

291. Pengawasan rutin (1-2 tahun) pada pasien S M R (3) R (3) R (3)

l
tanpa gejala atau gejala sisa ringan

tm
292. Surveilans rutin (3–5 tahun) pada pasien S M S S M

l.h
tanpa gejala atau gejala sisa ringan

a
293. Surveilans rutin (3-12 bulan) pada pasien S M S S M

on
dengan regurgitasi katup AV sistemik

si
moderat, disfungsi RV sistemik, dan/atau

-na
disfungsi saluran LV-ke-PA

an
294. Pengawasan rutin (3-12 bulan) pada pasien S M M

om
dengan gejala gagal jantung

ed
Truncus Arteriosus

g-p
Tidak dikoreksi Truncus Arteriosus TTE CMR CCT

tan
295. Evaluasi karena perubahan status klinis dan/atau tanda S S S

en
atau gejala baru
296. Evaluasi sebelum perbaikan yang direncanakan k-t S S S
Pasca operasi Truncus Arteriosus TTE TEE CMR CCT Stres Lun
m
s g
s-k

Imagi Sca
ke

ng n
en

297. Evaluasi pascaprosedural rutin (dalam 30 S M S S M M


pm

hari)
298. Evaluasi akibat perubahan status klinis S
/ke

dan/atau baru mengenai tanda atau


/04

gejala
299. Pengawasan rutin (1–3 bulan) dalam S KS
23

tahun pertama setelah perbaikan pada


20

pasien tanpa gejala


m/

300. Pengawasan rutin (6-12 bulan) setelah M M M M


tahun pertama setelah perbaikan pada
co

anak atau orang dewasa tanpa gejala


si.

tanpa gejala sisa atau gejala sisa ringan


ula

301. Surveilans rutin (3–5 tahun) pada anak S M M M M


reg

atau orang dewasa tanpa gejala tanpa


gejala sisa atau ringan
o
inf

302. Surveilans rutin (3–6 bulan) pada anak M S S M


atau orang dewasa tanpa gejala dengan
.
ww

stenosis dan/atau regurgitasi batang


tubuh sedang
//w

303. Surveilans rutin (1–2 tahun) pada anak S M M M M


ps:

atau orang dewasa tanpa gejala dengan


stenosis dan/atau regurgitasi batang
htt

tubuh sedang

jdih.kemkes.go.id
- 146 -

304. Surveilans rutin (3-12 bulan) pada pasien S M M

l
dengan VSD residual yang diketahui,

tm
adanya saluran RV-ke-PA, atau obstruksi

l.h
cabang PA

a
Keterangan:

on
AUC = area under the curve; S = sesuai; M = mungkin sesuai; KS = kurang

si
-na
sesuai

an
om
ed
g-p
tan
en
k-t
m
s-k
ke
en
pm
/ke
/04
23
20
m/
co
si.
ula
o reg
.inf
ww
//w
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 147 -

BAB IV

l
tm
RANGKUMAN PERINGKAT BUKTI DAN DERAJAT REKOMENDASI

l.h
a
Rekomendasi Pendekatan Klinis Diagnostik Gagal Jantung Pada Anak

on
Rekomendasi Kelas Derajat

si
-na
Bukti
Bayi baru lahir dengan gagal jantung dan gangguan hemodinamik I A

an
signifikan, direkomendasikan untuk skrining pemeriksaan jantung

om
termasuk ekokardiografi untuk mengetahui penyebabnya.
Malnutrisi dan gagal tumbuh dapat dipertimbangkan sebagai salah satu IIa A

ed
manifestasi klinis gagal jantung kronis, setelah kemungkinan penyebab

g-p
lain disingkirkan, seperti asupan kalori yang rendah, defisiensi protein,

tan
masalah gastrointestinal, kelainan metabolik, atau penyakit kronis
lainnya

en
k-t
Rekomendasi Pengklasifikasian Gagal Jantung pada Anak
m
Rekomendasi Kelas Derajat
s-k

Bukti
ke

Klasifikasi AHA/ACC direkomendasikan untuk menilai derajat I C


en

keparahan klinis gagal jantung dan menentukan prognosis


pm

Klasifikasi Ross dapat dipertimbangkan untuk menilai derajat IIa C


/ke

keparahan klinis gagal jantung, namun tidak dapat digunakan untuk


menentukan prognosis
/04

Klasifikasi gagal jantung berdasarkan pengelompokan manifestasi klinis IIa C


23

dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai dasar menentukan


tata laksana farmakoterapi
20
m/

Rekomendasi Penggunaan Oksimeter Nadi pada Kelompok Pediatrik


co

Rekomendasi Kelas Derajat


si.

Bukti
ula

Pemeriksaan oksimeter nadi direkomendasikan sebagai alat skrining I A


reg

PJB kritis pada semua bayi baru lahir usia 24 – 48 jam atau sebelum
dipulangkan
o
inf

Pemeriksaan oksimeter nadi pada bayi dan anak dapat dipertimbangkan IIa C
untuk menegakkan diagnosis penyebab gagal jantung, namun harus
.
ww

didukung oleh pemeriksaan klinis lainnya


Uji hiperoksia mungkin dapat dipertimbangkan untuk membantu IIb C
//w

menentukan penyebab sianosis pada bayi baru lahir, namun harus


ps:

berhati-hati karena dapat memperburuk kondisi klinis bahkan


mengancam nyawa
htt

jdih.kemkes.go.id
- 148 -

Rekomendasi Pemeriksaan Laboratorium Rutin pada Gagal Jantung

l
tm
Rekomendasi Kelas Derajat
Bukti

l.h
Pemeriksaan hemoglobin direkomendasikan, karena anemia I A

a
on
merupakan penyebab atau dapat memperburuk gagal jantung kronik;
polisetemia sering menyertai PJB sianotik

si
-na
Pemeriksaan trombosit direkomendasikan karena trombositopenia dan I C
trombositosis sering terjadi pada PJB sianotik

an
Pemeriksaan leukosit dan LED direkomendasikan, untuk I C

om
menyingkirkan adanya infeksi
Pemeriksaan analisis gas darah direkomendasikan untuk menentukan I C

ed
beratnya gagal jantung dan tatalaksana lebih lanjut gagal jantung akut

g-p
Pemeriksaan elektrolit darah (Na+, K+ dan Cl+) direkomendasikan, I A

tan
untuk menentukan hiponatremia, hipo atau hiperkalemia
Pemeriksaan fungsi ginjal direkomendasikan dapat menjadi prediktor I A

en
mortalitas k-t
Pemeriksaan albumin direkomendasikan, hipoalbuminemia I A
m
merupakan faktor prediktor mortalitas
s-k

Pemeriksaan fungsi hati direkomendasikan, peningkatan kadar enzim I C


ke

hati menandai gagal jantung kongestif


Pemeriksaan fungsi tiroid dapat dipertimbangkan, hipotiroid dan IIa A
en

hipertiroid merupakan prediktor mortalitas


pm

Pemeriksaan gula darah dapat dipertimbangkan hipoglikemia dapat IIa A


/ke

memperburuk gagal jantung


Pemeriksaan RDW dapat dipertimbangkan sebagai prediktor prognosis IIa C
/04
23

Rekomendasi Pemeriksaan Penunjang Rontgen dan Elektrokardiografi


20

Rekomendasi Kelas Derajat


m/

Bukti
co

Pemeriksaan Rontgen dada direkomendasikan pada semua anak yang I C


si.

dicurigai gagal jantung


Pemeriksaan elektrokardiografi 12 sadapan direkomendasikan pada I C
ula

semua kasus anak dengan manifestasi klinis gagal jantung


reg

Pemeriksaan elektrokardiografi tidak direkomendasikan sebagai alat III A


skrining untuk deteksi gagal jantung asimtomatis
o
. inf

Rekomendasi Pemeriksaan Penunjang Ekokardiografi


ww

Rekomendasi Kelas Derajat


//w

Bukti
Semua anak dengan manifestasi klinis atau diduga gagal jantung, I B
ps:

direkomendasikan pemeriksaan TTE untuk menunjang diagnosis dan


htt

mengetahui penyebab gagal jantung

jdih.kemkes.go.id
- 149 -

Semua anak dengan risiko disfungsi ventrikel direkomendasikan I C

l
pemeriksaan TTE berkala walaupun belum ditemukan manifestasi klinis

tm
gagal jantung.

l.h
Semua anak yang telah didiagnosis gagal jantung direkomendasikan I C

a
pemeriksaan TTE berkala untuk menilai respon pengobatan terhadap

on
derajat keparahan gagal jantung dan status hemodinamik

si
Penilaian fungsi sistolik ventrikel kiri secara berkala dengan mengukur I A

-na
EF, dimensi ruang-ruang jantung dan ketebalan dinding ventrikel kiri

an
melalui metode M-mode atau metode Simpson direkomendasikan pada

om
semua anak yang mengalami gagal jantung
Penilaian berkala fungsi sistolik ventrikel kanan dengan TAPSE I A

ed
direkomendasikan pada semua anak dengan gagal jantung kanan

g-p
Pemeriksaan ekokardiografi untuk menilai stroke volume dan cardiac I C

tan
output direkomendasikan pada pasien gagal jantung yang dirawat di ICU
Penilaian fungsi diastolik ventrikel kiri, seperti pengukuran MV E/A IIa C

en
ratio dapat dipertimbangkan pada semua anak dengan gagal jantung,
k-t
namun perlu diingat bahwa pada kondisi fungsi diastolik menurun
m
secara progresif dapat dijumpai hasil pseudo-normal
s-k

Penilaian fungsi diastolik ventrikel kanan melalui pengukuran TV E/A IIb C


ratio mungkin dapat dipertimbangkan, namun data normal pada anak
ke

masih sangat terbatas


en

Penilaian fungsi sistolik dan diastolik pada kedua ventrikel dengan IIb C
pm

myocardial performance index (MPI) dapat dipertimbangkan, namun data


/ke

normal pada anak masih sangat terbatas


Pemeriksaan TEE diindikasikan pada semua anak yang dicurigai PJB I C
/04

namun sulit terdeteksi melalui pemeriksaan TTE, evaluasi jantung


23

perioperatif, alat bantu dalam intervensi bedah dan non-bedah, serta


evaluasi pasca-intervensi
20

Pemeriksaan ekokardiografi fetal direkomendasikan pada semua ibu I A


m/

hamil usia gestasi 18 – 22 minggu yang memiliki risiko janin mengalami


co

PJB atau disritmia, dan dilakukan pemeriksaan dini TTE pada saat bayi
si.

dilahirkan atau masa neonatus


ula

Rekomendasi Pemeriksaan Penunjang Biomarker


reg

Rekomendasi Kelas Derajat


o

Bukti
inf

NT-pro-BNP atau BNP pada anak direkomendasikan untuk I B


.
ww

membedakan gangguan pernafasan akibat gagal jantung dari penyebab


non-kardiak
//w

NT-pro-BNP atau BNP pada anak direkomendasikan untuk membantu I B


ps:

menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan gagal jantung,


dan menentukan prognosis
htt

Biomarker troponin dapat dipertimbangkan untuk menjadi prediktor IIa A

jdih.kemkes.go.id
- 150 -

mortalitas gagal jantung, namun data anak masih terbatas

l
tm
Rekomendasi Pemeriksaan Penunjang Kateterisasi dan Angiografi

l.h
Rekomendasi Kelas Derajat

a
on
Bukti

si
Kateterisasi jantung dan angiografi direkomendasikan jika pemeriksaan I C

-na
non-invasif tidak dapat membuktikan adanya kelainan jantung yang
dicurigai penyebab gagal jantung

an
Kateterisasi jantung direkomendasikan untuk konfirmasi diagnosis PAH I C

om
dan bertujuan untuk mendukung tata laksana gagal jantung yang

ed
disebabkan PAH

g-p
Kateterisasi jantung direkomendasikan pada PJB pasca-intervensi yang I C
mengalami gagal jantung dan pemeriksaan non-invasif sulit untuk

tan
menentukan penyebabnya

en
Rekomendasi Pemeriksaan Genetik k-t
Rekomendasi Kelas Derajat
m
s-k

Bukti
Investigasi awal pemeriksaan genetik dan skrining penyakit metabolik I C
ke

direkomendasikan untuk mengetahui penyebab kardiomiopati, dan


en

investigasi lanjutan sesuai indikasi klinis untuk mengetahui penyebab


pm

lebih spesifik kardiomiopati


Pemeriksaan genetik spesifik untuk mengetahui penyebab kardiomiopati IIa C
/ke

dapat dipertimbangkan pada anggota keluarga dengan silsilah satu


/04

generasi (first generation pedigree)


Konsultasi khusus dengan ahli genetik dan atau ahli nutrisi penyakit I C
23

metabolik serta penanganan multidisiplin direkomendasikan untuk


20

memandu investigasi lanjutan, seperti pemeriksaan sitogenetik, biopsi


m/

otot, atau skrining molekuler


co
si.

Rekomendasi Pemeriksaan Holter


ula

Rekomendasi Kelas Derajat


Bukti
reg

Pada remaja dengan gagal jantung kongestif atau kardiomiopati dengan I C


o

riwayat aritmia atau mendapat obat anti-aritmia, pemantauan Holter


inf

direkomendasikan sebagai pemeriksaan penunjang tambahan


.
ww

Pemantauan Holter tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan III C


penunjang rutin untuk menegakkan diagnosis gagal jantung
//w
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 151 -

Rekomendasi Pemeriksaan CCT dan CMR

l
tm
Rekomendasi Kelas Derajat
Bukti

l.h
Pemeriksaan CCT direkomendasikan sebagai alternatif untuk I C

a
on
menegakkan diagnosis penyebab gagal jantung yang lebih rinci dan
evaluasi pasca-intervensi bedah yang masih mengalami gagal jantung

si
-na
atau komplikasi kardiak lainnya
Pemeriksaan CMR dapat dipertimbangkan sebagai alternatif untuk IIa B

an
membantu menegakkan diagnosis kardiomiopati dan miokarditis

om
dengan penyebab tidak diketahui

ed
g-p
Rekomendasi Pemeriksaan Biopsi Endomiokardial
Rekomendasi Kelas Derajat

tan
Bukti

en
Biopsi endomiokardial pada anak dapat dipertimbangkan untuk IIa C
konfirmasi diagnosis klinis miokarditis dan k-t
mendukung upaya
pengobatan spesifik
m
Biopsi endomiokardial tidak direkomendasikan pada anak dengan berat III C
s-k

badan < 10 kg dan pada kasus hemodinamik tidak stabil


ke
en

Rekomendasi Tata Laksana Umum Non – Medikamentosa Gagal Jantung Pada


pm

Anak
/ke

Rekomendasi Kelas Derajat


Bukti
/04

Nutrisi dan suplemen


23

Ibu yang memproduksi ASI banyak, direkomendasikan untuk tetap I A


20

memberikan ASI, baik pra maupun pasca-intervensi


Pemberian nutrisi kalori tinggi direkomendasikan pada semua bayi yang I A
m/

mengalami gagal jantung disertai gangguan pertumbuhan


co

Suplementasi besi oral atau intravena direkomendasikan pada anak I A


si.

yang mengalami gagal jantung disertai defisiensi zat besi


ula

Suplementasi vitamin D, Zink, Coenzyme Q10 atau ubiquinone, L- IIa A


reg

carnitine dapat dipertimbangkan pada anak dengan gagal jantung


kronis, namun masih perlu penelitian lebih lanjut
o

Vitamin C, vitamin E, beta karoten, vitamin B dan asam folat tidak III A
inf

direkomendasikan pada gagal jantung karena tidak terbukti dapat


.
ww

memperbaiki prognosis dan mencegah mortalitas


Keseimbangan cairan dan elektrolit
//w

Pemantauan ketat keseimbangan cairan dan elektrolit I A


ps:

direkomendasikan pada anak yang mengalami gagal jantung yang


dirawat di rumah sakit.
htt

Pemantauan ketat keseimbangan elektrolit direkomendasikan selama I C

jdih.kemkes.go.id
- 152 -

pemberian diuretik yang agresif, karena gagal jantung lebih sensitif

l
terjadinya aritmia akibat ketidakseimbangan elektrolit

tm
Pemberian cairan koloid dan albumin dapat dipertimbangkan untuk IIa B

l.h
stabilisasi hemodinamik pada anak dengan gagal jantung, baik pada

a
kasus non-bedah maupun bedah

on
Pemberian cairan saline hipertonik dapat dipertimbangkan pada anak IIa A

si
yang mengalami gagal jantung disertai hiponatremia yang dirawat di

-na
rumah sakit

an
Suplemen kalium enteral atau parenteral, dapat dipertimbangkan pada IIa B

om
anak yang mengalami gagal jantung disertai hipokalemia
Preparat patiromer, sodium zirconium sulfate (SZS), dan sodium IIa A

ed
polystyrene sulfate (SPS) dapat dipertimbangkan sebagai terapi kronik

g-p
pada gagal jantung disertai hiperkalemia

tan
Transfusi darah tidak direkomendasikan pada anak dengan penyakit III C
jantung, kecuali jika kadar hemoglobin < 9 gr/dl atau kadar hematokrit

en
<30% dengan memperhatikan respon kontraktilitas jantung dan status
hemodinamik
k-t
m
Oksigen
s-k

Terapi oksigen (O2) dapat dipertimbangkan pada anak gagal jantung IIa C
disertai hipoksemia, jenis terapi oksigen tergantung penyebab gagal
ke

jantung dan status hemondinamik


en

Terapi O2 dapat dipertimbangkan pada anak gagal jantung disertai IIa C


pm

hipertensi pulmoner, namun perlu diperhatikan penggunaan terapi O2


/ke

dalam jangka panjang dapat memperburuk derajat keparahan


hipertensi pulmoner
/04

Terapi O2 high flow nasal cannula (HFNC) dapat dipertimbangkan pada IIa B
23

pasca-bedah jantung setelah penyapihan dari ventilasi mekanik


Terapi O2 tidak direkomendasikan pada neonatus dengan PJB kritis III C
20

tergantung duktus, kecuali terjadi kegawatdaruratan pernafasan


m/
co

Rekomendasi Tata Laksana Umum Farmakoterapi Gagal Jantung pada Anak


si.

Rekomendasi Kelas Derajat


ula

Bukti
reg

Diuretik
Diuretik direkomendasikan sebagai lini pertama farmakoterapi gagal I A
o
inf

jantung. Jenis, sediaan, cara pemberian, dan dosis diuretik tergantung


pada derajat keparahan klinis gagal jantung
.
ww

Pemberian diuretik loop secara kontinu intravena dapat IIa A


dipertimbangkan pada gagal jantung akut yang berat, jika pemberian
//w

secara intermiten tidak memberikan respons klinis yang signifikan


ps:

Pemberian antagonis mineralokortikoid dapat dipertimbangkan pada IIa A


gagal jantung, karena terbukti menurunkan risiko mortalitas
htt

Pemberian tiazid dapat dipertimbangkan pada gagal jantung disertai IIa A

jdih.kemkes.go.id
- 153 -

hipertensi sistemik

l
Prosedur ultrafiltrasi dapat dipertimbangkan untuk mengatasi IIa A

tm
kelebihan cairan pada gagal jantung akut, terutama pada sindrom

l.h
kardiorenal, karena terbukti lebih baik dibandingkan diuretik

a
Vasodilator

on
Penggunaan kaptopril dan ACE-i lainnya dapat dipertimbangkan IIa B

si
pada anak dengan gagal jantung kronik, diawali dosis rendah dan

-na
dinaikkan bertahap sambil memantau efek sampingnya

an
Sediaan ARNI (sacubitril/valsartan) dapat dipertimbangkan sebagai IIa A

om
alternatif pengobatan gagal jantung kronik, jika ada kontraindikasi atau
efek samping ACE-i

ed
Nitrogliserin intravena dapat dipertimbangkan sebagai salah satu IIa C

g-p
vasodilator pada gagal jantung kongestif yang berat

tan
Sediaan CCB, seperti nifedipin, mungkin dipertimbangkan pada gagal IIb A
jantung disertai gangguan fungsi ginjal atau sindroma kardiorenal

en
Penyekat beta (beta-blocker)
k-t
Sediaan, seperti carvedilol, bisoprolol, metoprolol, dan propranolol,
m
IIa A
dapat dipertimbangkan untuk terapi gagal jantung kongestif disertai
s-k

disfungsi ventrikel pada anak


Inotropik
ke

Digoksin dapat dipertimbangkan pada anak, namun harus segera IIa C


en

dihentikan jika ditemukan efek samping atau toksisitas obat


pm

Digoksin tidak direkomendasikan pada gagal jantung derajat A dan B, III B


/ke

karena angka harapan hidup tidak membaik


Kombinasi inotropik, vasodilator, diuretik dapat dipertimbangkan pada IIa C
/04

gagal jantung anak dengan memperhatikan efek samping, derajat


23

kerparahan klinis, dan status hemodinamik


Milrinon dan atau dobutamin dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini IIa C
20

pertama, dan jika diperlukan dapat ditambahkan epinefrin untuk


m/

mencegah terjadi hipotensi refrakter


co

Milrinon dapat dipertimbangkan sebagai inodilator utama pada gagal IIa C


si.

jantung, terutama jika disertai hipertensi pulmoner yang berat atau


ula

pada kasus pasca-bedah jantung


Levosimendan mungkin dapat dipertimbangkan pada ADHF yang tidak IIb C
reg

respon dengan inotropik milrinon dan atau dobutamin


o
inf

Rekomendasi Intervensi ASD


.
ww

Rekomendasi Kelas Derajat


Bukti
//w

Intervensi penutupan ASD, baik secara transkateter maupun I A


ps:

pembedahan, direkomendasikan, bila gagal jantung akibat ASD tidak


teratasi dengan terapi suportif
htt

Pada anak dengan gagal jantung yang disebabkan ASD primum, ASD I C

jdih.kemkes.go.id
- 154 -

sinus venosus, dan ASD sinus koronarius, direkomendasikan

l
penutupan ASD secara pembedahan

tm
Bedah penutupan ASD dapat dipertimbangkan pada anak dengan gagal IIa C

l.h
jantung yang disebabkan ASD saat usia 3 – 5 tahun, namun jika gagal

a
jantung tidak dapat dikontrol dengan terapi suportif, intervensi

on
dilakukan lebih dini, baik secara paliatif atau definitif

si
Penutupan ASD mungkin dapat dipertimbangkan pada ASD disertai PH IIb C

-na
dengan syarat PVRI > 5 WU namun masih < 2/3 SVRI atau tekanan

an
arteri pulmonal < 2/3 tekanan arteri sistemik, dan ada bukti FR > 1,5

om
Intervensi penutupan ASD tidak direkomendasikan pada kondisi telah III C
terjadi sindrom Eissenmenger

ed
g-p
Rekomendasi Intervensi VSD

tan
Rekomendasi Kelas Derajat
Bukti

en
Intervensi penutupan VSD secara transkateter maupun pembedahan,
k-t I A
direkomendasikan pada anak dengan gagal jantung akibat VSD yang
m
tidak teratasi dengan terapi suportif
s-k

Pada anak dengan gagal jantung yang disebabkan VSD perimembran I C


ke

inlet, VSD disertai prolaps katup aorta AR berat atau progresif, serta
en

pada VSD disertai AV-blok, direkomendasikan penutupan VSD secara


pembedahan
pm

Intervensi penutupan VSD gagal jantung yang disebabkan VSD dapat IIa C
/ke

dipertimbangkan untuk dilakukan pada saat usia > 6 bulan, namun


jika tidak dapat dikontrol melalui terapi suportif, intervensi dilakukan
/04

lebih dini secara paliatif atau definitif


23

Prosedur penutupan VSD secara hibrida perventricular dapat dilakukan IIa A


20

pada bayi usia < 3 bulan dan berat badan < 5 kg dengan gagal jantung
m/

yang disebabkan VSD, namun sulit dilakukan intervensi penutupan


VSD secara transkateter maupun pembedahan konvensional
co

Intervensi penutupan VSD dapat dipertimbangkan pada VSD disertai IIa C


si.

PH dengan syarat PVRI > 5 WU namun masih < 2/3 SVRI atau tekanan
ula

arteri pulmonal < 2/3 tekanan arteri sistemik, dan ada bukti FR > 1,5
reg

Intervensi penutupan VSD tidak direkomendasikan pada kondisi telah III C


terjadi sindrom Eissenmenger
o
inf

Rekomendasi Intervensi AVSD


.
ww

Rekomendasi Kelas Derajat


//w

Bukti
Pembedahan dilakukan pada AVSD komplit saat usia 2 - 4 bulan. I C
ps:

Namun jika gagal jantung tidak dapat dikontrol dengan terapi suportif,
htt

pembedahan dilakukan lebih dini.

jdih.kemkes.go.id
- 155 -

Pembedahan koreksi dilakukan pada AVSD parsial jika ditemukan I C

l
overload ventrikel kanan

tm
Pembedahan koreksi disertai perbaikan katup dilakukan pada AVSD I C

l.h
disertai regurgitasi katup mitral berat dan simtomatis, atau pada kasus

a
asimtomatis namun ditemukan LVESd > 45 mm dan EF < 60%, kecuali

on
ditemukan disfungsi ventrikel kiri

si
Pembedahan koreksi dapat dipertimbangkan pada AVSD disertai PH IIa C

-na
dengan syarat PVR > 5 WU namun masih < 2/3 SVR atau tekanan arteri

an
pulmonal < 2/3 tekanan arteri sistemik, dan ada bukti FR > 1,5.

om
Pembedahan penutupan AVSD tidak direkomendasikan pada kondisi III C
telah terjadi sindroma Eissenmenger.

ed
g-p
Rekomendasi Intervensi APVC

tan
Rekomendasi Kelas Derajat
Bukti

en
Pembedahan koreksi APVC dapat dipertimbangkan pada anak usia 2 – 5
k-t IIa C
tahun, namun jika bila terdapat gagal jantung yang tidak dapat
m
dikontrol melalui terapi suportif, pembedahan paliatif atau definitif
s-k

dapat dilakukan lebih dini


ke

Pembedahan mungkin dapat dipertimbangkan pada APVC disertai PH IIb C


en

dengan syarat PVR > 5 WU namun masih < 2/3 SVR atau tekanan arteri
pulmonal < 2/3 tekanan arteri sistemik, dan ada bukti FR > 1,5
pm

Pembedahan koreksi APVC tidak direkomendasikan pada kondisi telah III C


/ke

terjadi sindroma Eissenmenger


/04

Rekomendasi Intervensi PS
23

Rekomendasi Kelas Derajat


20

Bukti
m/

Intervensi PTBPV dapat dipertimbangkan pada PS valvar berat jika IIa C


co

struktur dan fungsi sistolik ventrikel kanan normal.


si.

Intervensi bedah valvulotomi pulmonal mungkin dapat dipertimbangkan IIb C


ula

pada PS kritikal, jika intervensi PTBPV gagal dilakukan.


Intervensi reseksi subvalvar atau stenting RVOT dapat dilakukan pada IIa C
reg

PS subvalvar berat dengan syarat struktur dan fungsi sistolik ventrikel


o

kanan normal.
inf

Penggantian katup pulmonal buatan secara transkateter atau IIa C


.

pembedahan dapat dipertimbangkan pada PS valvar berat yang


ww

mengalami regurgitasi pulmonal berat pasca-valvulotomi.


//w

Intervensi rekonstruksi arteri pulmonal atau stenting arteri pulmonal IIa C


dapat dilakukan pada PS supravalvar yang berat dengan syarat struktur
ps:

dan fungsi sistolik ventrikel kanan normal.


htt

Intervensi BT-shunt, stenting PDA, BAS atau stenting atrial dapat IIa C

jdih.kemkes.go.id
- 156 -

dilakukan pada bayi dengan PS kritikal dengan abnormalitas struktur

l
dan fungsi sistolik ventrikel kanan. Jika usia > 6 bulan dapat

tm
dipertimbangkan dilakukan prosedur BCPS untuk persiapan prosedur

l.h
Fontan pada usia > 3 tahun.

a
on
Rekomendasi Intervensi AS

si
-na
Rekomendasi Kelas Derajat
Bukti

an
Intervensi bedah katup aorta dapat dilakukan pada anak dengan AS IIa C

om
valvar kritikal jika struktur dan fungsi sistolik ventrikel kiri normal.

ed
Intervensi PTBAV mungkin dapat dipertimbangkan pada AS valvar IIb C

g-p
kritikal, jika intervensi bedah katup aorta tidak dapat dilakukan,
dengan syarat struktur dan fungsi sistolik ventrikel kiri normal.

tan
Intervensi pembedahan berupa reseksi subvalvar, eksisi membran, atau IIa C

en
rekonstruksi subvalvar dapat dilakukan pada AS subvalvar berat (PG >
50 mmHg) dengan syarat struktur dan fungsi sistolik ventrikel kiri
k-t
normal.
m
Intervensi pembedahan berupa angioplasty dengan memasang Y-patch IIa C
s-k

dapat dilakukan pada AS supravalvar jika perbedaan perbedaan


ke

tekanan dengan Doppler pre dan post-stenotic > 50 mmHg atau jika
en

ditemukan manifestasi klinis gagal jantung, nyeri dada, dan sinkop


Terapi hibrida PAB perifer dan PDA stenting mungkin dapat IIb C
pm

dipertimbangkan pada bayi AS kritikal dengan abnormalitas struktur


/ke

dan fungsi sistolik ventrikel kiri atau pada HLHS.


Intervensi TAVI atau bedah penggantian katup aorta dapat dilakukan IIa A
/04

sebagai prosedur definitif pada remaja dengan AS valvar berat, dengan


23

syarat struktur dan fungsi ventrikel kiri normal.


20
m/

Rekomendasi Intervensi CoA


co

Rekomendasi Kelas Derajat


si.

Bukti
ula

Intervensi non-bedah maupun bedah dilakukan pada CoA dengan I C


perbedaan tekanan darah sistolik preduktal dan postduktal > 20 mmHg,
reg

atau ditemukan hipertensi pada ektremitas atas, atau adanya hipetrofi


o

ventrikel kiri yang signifikan


inf

Balloon angioplasty mungkin dapat dipertimbangkan pada bayi dengan IIb A


.

CoA berat/kritikal dan hanya bersifat paliatif


ww

Pembedahan mungkin dapat dipertimbangkan pada CoA berat/kritikal, IIb A


//w

jika intervensi balloon angioplasty tidak dapat dilakukan atau terjadi


CoA berulang
ps:

Intervensi stenting CoA dapat dipertimbangkan CoA berat pada remaja IIa A
htt

atau pada anak dengan berat badan > 25 kg

jdih.kemkes.go.id
- 157 -

Rekomendasi Intervensi Tetralogy of Fallot

l
tm
Rekomendasi Kelas Derajat
Bukti

l.h
Intervensi non-bedah (stenting RVOT, stenting PDA), atau pembedahan IIa C

a
on
(BT-shunt) dapat dilakukan pada ToF dengan PS subvalvar berat
dengan syarat struktur dan fungsi sistolik ventrikel kanan normal, dan

si
-na
setelah 3 – 6 bulan dilakukan evaluasi untuk indikasi koreksi total
Bedah koreksi pada ToF direkomendasikan pada usia 6 – 18 bulan I C

an
dengan syarat ukuran arteri pulmonal dan cabang-cabangnya baik,

om
rasio McGoon > 1,8, indeks Nakata > 200, dan tidak ada gangguan
kontraktilitas

ed
Bedah koreksi pada ToF dapat dipertimbangkan pada usia >18 bulan IIa C

g-p
dengan syarat ukuran arteri pulmonal dan cabang-cabangnya baik,

tan
rasio McGoon > 1,8, indeks Nakata > 200, dan tidak ada gangguan
kontraktilitas

en
k-t
Rekomendasi Intervensi Transposition of Great Arteries
m
Rekomendasi Kelas Derajat
s-k

Bukti
ke

Prosedur BAS atau atrial stenting dilakukan pada bayi dengan TGA-IVS I C
en

namun tidak ditemukan ASD, dan bayi dipersiapkan untuk dilakukan


pm

bedah arterial-switch.
Prosedur PDA stenting atau BT-shunt dapat dipertimbangkan pada bayi IIa C
/ke

dengan TGA jika ditemukan obstruksi jalan keluar ventrikel yang berat
/04

Bedah arterial switch dilakukan pada bayi usia < 2 bulan dengan TGA- I C
IVS atau usia 1 – 3 bulan pada bayi dengan TGA-VSD
23

Pada TGA-IVS yang mengalami deconditioning ventrikel kiri mungkin IIb C


20

dapat dipertimbangkan prosedur PAB atau PDA stenting


m/

Pada TGA-VSD disertai PS berat dapat dilakukan prosedur Nikaidoh IIa C


co

atau Rastelli pada saat anak berusia 1 – 2 tahun, namun jika syarat
tidak terpenuhi dapat dipertimbangkan untuk prosedur BCPS dan
si.

prosedur Fontan
ula

Pada TGA-VSD disertai AS berat dapat dilakukan prosedur DKS pada IIa C
reg

saat anak berusia 1 – 2 tahun, namun jika syarat tidak terpenuhi dapat
dipertimbangkan untuk prosedur BCPS dan prosedur Fontan
o
inf

Pada cc-TGA dapat dipertimbangkan prosedur Senning pada usia > 1 IIa C
tahun jika ditemukan regurgitasi trikuspid dan disfungsi ventrikel
.
ww

kanan
//w
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 158 -

Rekomendasi Intervensi Truncus Arteriosus

l
tm
Rekomendasi Kelas Derajat
Bukti

l.h
Prosedur Rastelli dapat dilakukan pada TrA tipe I saat usia < 6 bulan. IIa C

a
on
Jika usia > 6 bulan dapat dilakukan kateterisasi jantung terlebih
dahulu untuk menilai resistensi vaskular paru. Jika ditemukan

si
-na
resistensi vaskular paru yang tinggi dapat dipertimbangkan prosedur
PAB terlebih dahulu

an
Prosedur unifokalisasi mungkin dapat dipertimbangkan pada TrA IIb C

om
dengan tidak ditemukan PA native, namun ditemukan arteri kolateral
multipel

ed
g-p
tan
en
k-t
m
s-k
ke
en
pm
/ke
/04
23
20
m/
co
si.
ula
reg
o
. inf
ww
//w
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 159 -

BAB V

l
tm
KESIMPULAN

l.h
Beberapa kesimpulan tentang diagnosis dan tata laksana gagal jantung

a
on
pada anak:

si
A. Gagal jantung pada anak memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi,

-na
serta penyebab yang sangat bervariasi, sehingga dalam PNPK diagnosis

an
dan tata laksana gagal jantung pada anak harus holistik, komprehensif

om
dan kolaboratif.

ed
B. Diagnosis gagal jantung pada anak berdasarkan manifestasi klinis dan

g-p
pemeriksaan penunjang yang terdiri dari pemeriksaan penunjang utama

tan
dan pemeriksaan penunjang tambahan. Pemeriksaan penunjang utama
dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama, madya,

en
utama, dan paripurna sesuai ketersediaan pemeriksaan penunjang
k-t
utama. Sedangkan pemeriksaan penunjang tambahan sesuai indikasi
m
s-k

klinis dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan utama dan atau


paripurna.
ke

C. Tata laksana gagal jantung pada anak terdiri dari dari tata laksana
en

umum, tata laksana penyebab gagal jantung, serta evaluasi dan


pm

pemantauan jangka panjang. Tata laksana umum terdiri dari pembatasan


/ke

aktivitas, tata laksana nutrisi yang adekuat, pemantauan kebutuhan


/04

cairan dan elektrolit, terapi oksigen, farmakoterapi, serta terapi


23

multimodalitas di unit rawat intensif.


20

D. Indikasi rawat jalan jika gagal jantung asimtomatik atau derajat ringan,
m/

sedangkan indikasi rawat inap jika gagal jantung derajat sedang, berat,
co

dan sangat berat. Pada gagal jantung sangat berat, anak sebaiknya
si.

dirawat di ruang rawat intensif.


ula

E. Tata laksana penyebab gagal jantung terdiri dari farmakoterapi spesifik


reg

dan tata laksana intervensi. Tata laksana intervensi dapat dilakukan


secara non-bedah atau bedah baik yang bersifat paliatif maupun definitif.
o
.inf
ww
//w
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id
- 160 -

F. Evaluasi dan pemantauan jangka panjang meliputi evaluasi rutin yang

l
tm
bersifat umum serta evaluasi dan pemantauan jangka panjang yang

l.h
bersifat spesifik berdasarkan masalah kardiak dan non-kardiak yang
ditemukan.

a
sion
-na
MENTERI KESEHATAN

an
REPUBLIK INDONESIA,

om
ed
ttd.

g-p
tan
BUDI G. SADIKIN

en
k-t
m
s-k
ke
en
pm
/ke
/04
23
20
m/
co
si.
ula
oreg
inf
.
ww
//w
ps:
htt

jdih.kemkes.go.id

Anda mungkin juga menyukai