Anda di halaman 1dari 72

BERLITURGI

DENGAN
PENUH SUKACITA
Membangun Formasio Liturgi Umat

Renungan Bulan Maria dan


Bulan Katekese Liturgi 2023

Penyusun:
E. Martasudjita, Pr.
A. Agus Widodo, Pr.
Y. Subali, Pr.
J. Kristanto, Pr.
FX. Sukendar Wignyosumarto, Pr.
Ig. Sukawalyana, Pr.
R. Budiharyana, Pr.
A.R. Yudono Suwondo, Pr.
P. Suratmin, Pr.
Y. Sunaryadi, Pr.
Y. Gunawan, Pr.
Ig. Fajar Kristianto, Pr.
Y. Warsito, Pr.
Bonifasius Dwi Yuniarto N., Pr.
Y. Dhani Puspantoro, Pr.
Y. Slamet Witokaryono, Pr.
H. Rony Suryo Nugroho, Pr.
Bernardus Himawan, Pr.
Antonius Hendri Atmoko, Pr.
Gregorius Prima Dedy Saputro, Pr.

Ilustrator:
Rm. B. Windyatmoko, MSF

Komisi Liturgi
Keuskupan Agung Semarang
2023
KATA PENGANTAR

Memasuki tahun 2023 kita bersama seluruh masyarakat


Indonesia dan dunia menghadapi berbagai tantangan
baru, seperti adaptasi baru setelah melewati pandemi
covid-19 ke endemi, ancaman resesi dunia, peperangan
antara Rusia dan Ukraina yang belum kelar, berbagai
bencana alam seperti di Turki-Suriah, ataupun khususnya
tahun politik 2023 di Indonesia. Menghadapi berbagai
tantangan tersebut orang dapat merasa kecil hati dan
khawatir. Tetapi kita tidak pernah boleh lupa bahwa
iman kita kepada Tuhan Yesus Kristus adalah sebuah
tanggapan atas Injil Yesus Kristus yang merupakan
kabar baik sebab Tuhan telah datang, menebus dan
menyelamatkan kita. Dunia ini bukan dunia yang serba
gelap dan seolah ditinggalkan Allah. Justru di sinilah
tempat dan peran liturgi begitu penting dan sentral dalam
kehidupan umat beriman.
Bertepatan dengan periode peringatan 60 tahun
Konsili Vatikan II (1962 - 1965), gelaran Gereja sinodal
yang diprakarsai Paus Fransiskus (2021 - 2023/2024),
Keuskupan Agung Semarang sedang menghidupi
ARDAS VIII “Tinggal dalam Kristus dan Berbuah”, dan
secara khusus tahun 2023 ini menyuarakan keyakinan
pastoral: “Tinggal dalam Kristus dan Berbuah: Bersatu
dan Bersinergi demi Indonesia Damai”. Secara khusus

iii
Paus Fransiskus telah menerbitkan Surat Apostolik
Desiderio Desideravi pada Hari Raya Santo Petrus dan
Santo Paulus tanggal 29 Juni 2022. Dalam surat apostolik
ini Sri Paus mengajak seluruh umat beriman untuk
menemukan keindahan dan kebenaran perayaan liturgi
dalam rangka formasio liturgi umat Allah. Mengingat
kedalamannya yang sangat kaya, Bulan Katekese Liturgi
(BKL) 2023 ini mengajak umat beriman di KAS atau di
mana pun untuk mendalami butir-butir penting dokumen
Desiderio Desideravi ini.
Paus Fransiskus berharap agar kita tidak hanya
merayakan liturgi secara biasa-biasa saja, begitu-begitu
saja tanpa pernah mengerti dan memahami kekayaan
keindahan dan kebenaran perayaan iman ini. Muara dari
pembelajaran yang diberikan Sri Paus ini akhirnya adalah
agar kita merayakan liturgi penuh dengan sukacita.
Kita memang perlu merayakan liturgi dengan sukacita
yang menimbulkan harapan dan semangat menghadapi
konteks zaman yang berubah-ubah dan tidak mudah
ini. Itulah sebabnya bahan BKL tahun 2023 ini berjudul
BERLITURGI DENGAN PENUH SUKACITA. Mem­
bangun Formasio Liturgi Umat. Formasi atau pendidikan
liturgi umat memang sangat kita perlukan agar kita
senantiasa merayakan liturgi dengan penuh sukacita
karena merasakan keindahan dan kesegaran iman yang
dirayakan.
Bulan Katekese Liturgi 2023 ini telah memasuki
tahun yang ke-43. Tema BKL senantiasa mengikuti
gerak Keuskupan Agung Semarang dan sekaligus Gereja

iv
universal, sambil tetap membumi di dalam kehidupan
masyarakat berbangsa dan bernegara di NKRI ini.
Semoga dengan katekese ini iman umat Katolik makin
diperdalam dan wawasan kita diperluas, dan kita semua
menemukan kekayaan keindahan dan kebenaran liturgi
sehingga sanggup merayakan liturgi dengan penuh
sukacita.
Seperti tahun-tahun lalu, renungan harian yang
ditawarkan di sini merupakan bahan renungan yang
dapat dibaca secara pribadi atau dibacakan dalam
acara doa bersama, khususnya doa Rosario keluarga
atau lingkungan. Diharapkan pula, seluruh keluarga
berkumpul bersama setiap malam untuk berdoa Rosario
dan merenungkan bahan BKL ini, agar hidup seluruh
anggota keluarga selalu dekat dengan Tuhan dan
diberkati dalam seluruh jalan. Bahan BKL ini memang
digunakan selama bulan Mei, yang menjadi bulan Maria,
tetapi umat juga dapat menggunakannya pada bulan
Oktober.
Beberapa catatan lain:
1. Renungan dibuat singkat dan berlangsung sekitar
5-6 menit saja.
2. Renungan terdiri atas pengalaman hidup sehari-hari,
pendalaman liturgi dan sabda Allah.
3. Renungan ini dapat dibacakan pada awal doa atau
di antara peristiwa-peristiwa atau pada akhir doa
Rosario, atau tempat lain yang sesuai. Pemimpin
bebas menentukan kapan renungan ini disampaikan.

v
4. Memang sangatlah baik, apabila dalam kelompok ada
kemungkinan waktu untuk sharing dan berdiskusi
mengenai isi buku ini.
Semoga bahan BKL 2023 semakin mendorong kita
untuk tetap tinggal dalam Kristus dan berbuah, terutama
mewujudkan Ardas VIII KAS, secara khusus menghidupi
pengalaman tinggal dalam Kristus dan Berbuah, sehingga
dapat bersatu dan bersinergi demi Indonesia Damai.
Semoga bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia
tetap dilindungi dan diberkati Tuhan pada tahun politik
2023 dan Pemilu pada tahun 2024 berlangsung aman,
damai, dan dalam semangat persatuan. Berkah Dalem.

Yogyakarta, 12 Februari 2023

Komisi Liturgi KAS

vi
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................. iii

Hari ke-1
SEMANGAT BELAJAR UNTUK
PEMBARUAN DIRI .......................................................................... 1
Hari ke-2
BERLITURGI DENGAN SUKACITA ............................... 3
Hari ke-3
KERINDUAN UNTUK BERJUMPA
DENGAN TUHAN ............................................................................. 5
Hari ke-4
EKARISTI:
PUNCAK KERINDUAN DAN PEMBERIAN
DIRI KRISTUS ....................................................................................... 7
Hari ke-5
LITURGI:
TEMPAT PERJUMPAAN DENGAN KRISTUS ...... 9
Hari ke-6
MISTERI PASKAH:
PUNCAK LITURGI DAN PERJUMPAAN
DENGAN KRISTUS .......................................................................... 11

vii
Hari ke-7
GEREJA SEBAGAI SATU TUBUH:
KRISTUSLAH KEPALA DAN KITA
ANGGOTA-ANGGOTA-NYA ................................................. 13
Hari ke-8
MERAYAKAN LITURGI
SECARA PENUH, SADAR, DAN AKTIF ..................... 15
Hari ke-9
LITURGI BERPUSAT PADA ALLAH,
BUKAN DIRI KITA SENDIRI .................................................. 17
Hari ke-10
LITURGI MEMBEBASKAN KITA
DARI SELERA DAN KEPENTINGAN PRIBADI .. 19
Hari ke-11
LITURGI MERAYAKAN KESELAMATAN
SEBAGAI KARYA ALLAH ......................................................... 21
Hari ke-12
LITURGI MEMBEBASKAN KITA
DARI KEDUNIAWIAN ROHANI ......................................... 23
Hari ke-13
LITURGI SEBAGAI PELAKSANAAN
TUGAS IMAMAT KRISTUS .................................................... 25
Hari ke-14
MENGAGUMI KEINDAHAN LITURGI ....................... 27
Hari ke-15
KEKAGUMAN PADA MISTERI PASKAH .................. 29

viii
Hari ke-16
MENGAGUMI DENGAN SEDERHANA .................... 31
Hari ke-17
MEMAHAMI SIMBOL DALAM LITURGI ............... 33
Hari ke-18
TANDA SALIB:
SIMBOL PENYERTAAN TUHAN ..................................... 35
Hari ke-19
LITURGI MERUPAKAN TINDAKAN
SELURUH GEREJA .......................................................................... 37
Hari ke-20
LITURGI MELAHIRKAN HIDUP BARU ................... 39
Hari ke-21
LITURGI MENGUNGKAPKAN
JATI DIRI GEREJA ............................................................................. 41
Hari ke-22
BERANI BERTANYA UNTUK
MENDALAMI MAKNA LITURGI ..................................... 43
Hari ke-23
KITA DIBENTUK OLEH LITURGI
YANG KITA RAYAKAN ............................................................... 45
Hari ke-24
LITURGI:
PEMULIAAN ALLAH, KESELAMATAN KITA ... 47
Hari ke-25
MERAWAT KEKAGUMAN DALAM LITURGI .... 49

ix
Hari ke-26
SENI MERAYAKAN IMAN ........................................................ 51
Hari ke-27
MENGHAYATI TATA GERAK
DALAM LITURGI .............................................................................. 53
Hari ke-28
LITURGI DAN SEMANGAT PENTAKOSTA .......... 55
Hari ke-29
JIWA ARS CELEBRANDI ............................................................ 57
Hari ke-30
ARS CELEBRANDI DALAM GERAK TUBUH ........ 59
Hari ke-31
ARS CELEBRANDI DALAM KATA .................................... 61

x
Hari ke-1

SEMANGAT BELAJAR
UNTUK PEMBARUAN DIRI

Sepulang dari sekolah siang itu, Dita melihat ayahnya,


Pak Rangga, yang sedang konsentrasi membaca buku
liturgi yang cukup tebal. “Pak, baca apa sih, kok serius
amat?” tanya Dita. “Ini, lho, baca buku liturgi. Bagus
banget, ternyata liturgi itu menarik dan berkembang terus
ya,” kata Pak Rangga sambil membalik-balik halaman
buku. Rambutnya yang sudah mulai memutih itu
diusapnya, lalu ia berkata kembali, “Dita pulang sekolah
ya, sana makan dulu, tadi ibumu masak ayam geprek
lho.” “Ya, makasih, Pak. Bapak itu sudah lansia, tetapi
kok semangat belajar Bapak tetap tinggi ya….?” tanya
Dita sambil melepas sepatu. “Wah yang namanya usia
itu boleh tua, tetapi terus belajar dan mengembangkan

1
pengetahuan tetap penting, anakku,” jawab Pak Rangga
dengan semangat.
Pak Rangga adalah salah satu contoh orang tua
yang walaupun sudah masuk usia lansia, tetapi tetap
semangat untuk belajar. Tidak terasa, Konsili Vatikan II
juga sudah berusia 60 tahun. Dari usia manusia, Konsili
Vatikan II ini sudah masuk usia lansia, tetapi api dan
jiwa Konsili Vatikan II tetap hidup dan tidak pernah
tua, persis seperti semangat Pak Rangga yang ingin
terus berkembang. Dalam Konstitusi Liturgi, para Bapa
Konsili berkata, “KONSILI SUCI bermaksudkan untuk
makin meningkatkan kehidupan kristiani di antara umat
beriman…. Oleh karena itu, Konsili memandang sebagai
kewajibannya untuk secara istimewa mengusahakan juga
pembaruan dan pengembangan liturgi” (SC 1).
Apa yang dihidupi Pak Rangga dengan suka mem-
baca buku atau artikel tentang liturgi ataupun ajaran iman
Gereja lainnya itulah yang sebenarnya dikehendaki oleh
para Bapa Konsili Vatikan II, sejak 60 tahun yang lalu.
Gereja berkehendak untuk terus mengadakan pembaruan
dan pengembangan liturgi. Tetapi kehendak Gereja itu
tidak ada artinya kalau umatnya, termasuk kita ini, tidak
suka diajak maju untuk mau memperbarui diri dan ber-
kembang. Bulan Katekese Liturgi yang hari ini dimulai
mengajak kita untuk terus belajar dan mendalami liturgi
dengan penuh semangat. Paus Fransiskus yang mengajak
kita untuk bersinodal juga berkehendak agar kita terus
saling belajar, saling mendengarkan, saling memperbarui
diri dalam gerak bersama seluruh umat beriman di mana
pun.
2
Hari ke-2

BERLITURGI DENGAN SUKACITA

Hari Minggu pagi itu Tini dan Tanti berangkat ke gereja


bersama. Tetapi sepanjang jalan Tini yang kelas 2 SMA
ini menggerutu karena ayah mereka selalu menyuruh
agar mereka pergi ke gereja. Tanti kakaknya yang sudah
kuliah, sambil memboncengkan dengan motor, berkata,
“Tini, pergi ke gereja itu jangan hanya dilihat sebagai
kewajiban dari orang tua kita. Mbak kemarin bertemu
Frater yang mengatakan bahwa liturgi itu indah dan
menarik kalau kita tahu makna sebenarnya.” Begitu
nasihat Tanti, tetapi Tini tetap berwajah badmood, tidak
semangat dan apatis. Tini berkata dalam hati, “Ah liturgi
ya hanya begitu-begitu saja”.

3
Pandangan bahwa liturgi itu tidak menarik, hanya
begitu-begitu saja, hanya rutinitas, dan seterusnya,
sebagaimana dipikirkan Tini, merupakan pengalaman
banyak orang. Apa yang dikatakan Tanti kepada Tini
merupakan upaya yang baik untuk menyadarkan orang
seperti Tini, agar kita merayakan liturgi dengan sukacita.
Persis dalam rangka membantu kita untuk menemukan
sukacita dalam berliturgi itulah, Paus Fransiskus
menerbitkan Surat Apostolik Desiderio Desideravi
mengenai formasio liturgi umat Allah pada tanggal
29 Juni 2022. Dengan kutipan awal dari Lukas 22:25
“Aku sangat rindu makan Paskah ini bersama-sama
dengan kamu, sebelum Aku menderita,” Paus Fransiskus
mengingatkan bahwa Tuhan Yesus sudah lebih dahulu
merindukan untuk menjumpai kita dalam perayaan
liturgi.
Kita biasa sekali berpikir bahwa untuk dapat berliturgi
dengan penuh semangat, kita harus merindukan Tuhan.
Tentu itu betul, tetapi ternyata sebenarnya Tuhanlah
yang telah lebih dulu rindu menjumpai kita. Itulah alasan
sukacita kita berliturgi karena Tuhan selalu menunggu
kita untuk datang kepada-Nya. Dengan datang kepada
Tuhan yang telah merindukan kita itu, kita dapat tinggal
dalam Kristus dan berbuah. Berkat persatuan kita
dengan Kristus, kita akan dapat bersinergi dalam rangka
mewujudkan bersama semua orang yang berkehendak
baik bagi Indonesia yang damai.

4
Hari ke-3

KERINDUAN UNTUK BERJUMPA


DENGAN TUHAN

Dalam pertemuan lingkungan atau dalam berbagai ke-


sempatan lainnya, mungkin kita pernah mendengar ajakan
seperti ini: “Bapak, ibu, saudara, saudari, dan adik-adik
yang terkasih, kita mesti menumbuhkan kerinduan dalam
diri untuk bisa berjumpa dengan Tuhan. Kerinduan ini
menjadi syarat agar Tuhan berkenan hadir dan menjumpai
kita. Apabila kita tidak merindukan-Nya, tidak akan
mungkin terjadi perjumpaan antara kita dengan Tuhan.
Ia menunggu sampai kita merindukan, mencari Dia dan
berseru kepada-Nya.” Pernyataan seperti ini bisa jadi
membuat kita gelisah karena menimbulkan pemikiran:
“Sayalah yang mesti mencari Tuhan. Sayalah yang harus
pertama-tama merindukan-Nya.”
5
Pernyataan di atas tidaklah keliru, tetapi juga tidak
sepenuhnya tepat. Kita perlu mempersiapkan hati
agar Tuhan dapat hadir dalam diri kita. Namun, kita
harus ingat dan menyadari bahwa justru pertama-tama
Tuhanlah yang merindukan dan ingin dekat dengan
kita. Tuhan berinisiatif dan bergerak untuk mendekati
kita. “Aku sangat rindu makan Paskah ini bersama-sama
dengan kamu sebelum Aku menderita” (Luk. 22:15).
Ayat Kitab Suci ini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus
memiliki kerinduan yang membara untuk memberikan
diri-Nya kepada para murid dan kita semua. Yesus
menampakkan kerinduan dan rencana keselamatan
Allah sejak semula. “Dia merindukan kita jauh sebelum
kita menanggapi undangan-Nya” (Desiderio Desideravi
6).
Liturgi merupakan perayaan karya keselamatan
Allah yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus dalam Roh
Kudus. Dalam liturgi, kita berjumpa dengan Allah yang
sangat merindukan agar kita menanggapi undangan-
Nya. Oleh karena itu, marilah kita menyadari rahmat
yang dihadirkan di dalam liturgi. Marilah membangun
sikap yang sesuai ketika terlibat di dalam liturgi yaitu
menyambut dengan penuh syukur kerinduan Allah yang
ingin dekat dengan kita.

6
Hari ke-4

EKARISTI:
PUNCAK KERINDUAN DAN
PEMBERIAN DIRI KRISTUS

Ada umat yang pernah mengungkapkan isi hatinya


demikian: “Ada banyak sekali bentuk liturgi Gereja.
Namun Ekaristi tampaknya paling banyak diberi
perhatian oleh paroki, lingkungan, dan umat. Banyak
peristiwa penting sehari-hari disyukuri dan dimohon
dalam Perayaan Ekaristi. Saudara atau saudari yang
meninggal, juga didoakan dalam Misa peringatan arwah.
Kelahiran anak, kelulusan kuliah, kesembuhan, atau
ulang tahun perkawinan, juga didoakan dalam Perayaan
Ekaristi. Jadi, apa-apa dikaitkan dan dihadirkan di dalam
Perayaan Ekaristi. Namun saya sendiri belum mengerti

7
mengapa Ekaristi mendapatkan tempat yang penting dan
bahkan pokok dalam kehidupan umat beriman.”
Ungkapan dari salah satu umat tersebut bisa jadi
juga merupakan pengalaman dan pertanyaan kita. Mari
kita belajar dari apa yang disampaikan oleh Desiderio
Desideravi terkait dengan Ekaristi. Kerinduan Allah untuk
dekat dengan umat manusia dan karya keselamatan-
Nya, dilaksanakan oleh Yesus Kristus dalam Roh Kudus.
Karya keselamatan ini berpuncak pada peristiwa Paskah
yang meliputi sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus
Kristus. Yesus mengurbankan diri-Nya demi manusia.
Pengurbanan diri Yesus dalam peristiwa Paskah ini, kini
dihadirkan dan kita terima secara aktual dalam Perayaan
Ekaristi. “Lakukan ini sebagai kenangan akan Daku.”
Dikenangkan di sini artinya dihadirkan (bdk. Desiderio
Desideravi 9).
Marilah kita mensyukuri karya keselamatan Allah
yang terlaksana dalam diri Yesus Kristus ini. Lewat
pengurbanan-Nya yang meliputi sengsara, wafat, dan
kebangkitan Yesus Kristus, kita ditebus. Dalam Ekaristi,
pengurbanan diri Yesus Kristus ini secara istiwewa kita
terima dalam rupa roti dan anggur. Dengan demikian,
benar jika semua peristiwa hidup keseharian kita satukan
dan persembahkan dalam Ekaristi.

8
Hari ke-5

LITURGI:
TEMPAT PERJUMPA
DENGAN KRISTUS

“Ahhh…. bosen online terus, videocall, telepon. Ayo


ketemuan di kafe saja. Kita makan bersama di mall ini,”
begitu ungkapan banyak anak muda. Memang, saat
kita melakukan videocall dengan seseorang, kita bisa
mendengar suaranya, bisa melihat wajahnya, tetapi tidak
bisa bertemu langsung dengannya. Ada fasilitas videocall
atau telepon, tetapi manusia belum puas bila belum
bertemu langsung, menyentuh, berpegangan, berbicara,
menatap mata, mendengar dan merasakan embusan
napasnya. Inilah perjumpaan yang dirasakan lebih nyata.

9
Perjumpaan dua orang yang saling merindukan
tentu akan berbeda dengan perjumpaan teman biasa.
Makin ada kedekatan hati dan perasaan, perjumpaan
itu akan makin kuat dirindukan dan dinanti-nantikan.
Perjumpaan dengan penantian kuat itu selalu ada unsur
lama dan baru. Dikatakan “lama” karena bertemu
dengan orang yang sama; “baru”, karena waktu, tempat,
penampilan, suasana, caranya baru. Perasaan rindu yang
kuat membuat orang kreatif, mencari “jalan lain dan
jalan baru”.
Misa online jelas tidak cukup. Itu seperti halnya
menonton atau videocall saja dengan Tuhan dan Rama
yang memimpin. Bagaimana pun juga Misa yang
diharapkan Gereja adalah Misa secara langsung di gereja,
saat kita berjumpa dengan Tuhan secara sakramental,
dalam rupa roti dan anggur, dan juga dengan semua
saudara kita yang lain. Perjumpaan dengan saudara
saudari seiman di gereja atau di kapel mampu
menghadirkan Kristus dalam diri kita: meneguhkan,
memberi semangat karena perjumpaan dan sapaan satu
sama lain. Mungkin juga ketika kita berjalan menuju atau
pulang dari gereja, kita bertemu Kristus yang hadir dalam
diri tukang becak, ojek online, sopir online, pengemis di
jalan, anak terlantar, orang jualan, dsb. Semua itu bisa
memberikan pengalaman sapaan dan kehadiran Kristus
bagi kita. Tunggu apa lagi. Mari, kita datang ke gereja
lagi, merayakan Ekaristi.

10
Hari ke-6

MISTERI PASKAH:
PUNCAK LITURGI DAN
PERJUMPAAN DENGAN KRISTUS

Sebelum latihan misdinar untuk tugas Misa Perayaan


Paskah, si kembar, Dhika dan Nanda, berdiskusi seru
di meja pingpong pastoran: “Perayaan Natal itu lebih
meriah dan menggembirakan, ya, Dhik,” kata Nanda,
“Sementara itu, kalau kita tugas Paskah, suasananya
sendu, perayaannya panjang dan lama. Kita juga susah
menghafal bagian untuk tugas kita.” Dhika menimpali,
“Makan-makannya juga sedikit kalau latihan persiapan
Pekan Suci, karena suasananya puasa dan pantang selama
40 hari Masa Prapaskah.”

11
Apa yang disampaikan oleh Dhika dan Nanda ini
kiranya mewakili ungkapan dan perasaan banyak umat
dalam memahami liturgi, khususnya berkaitan dengan
kemeriahan dan suasana yang terjadi. Padahal, inti semua
perayaan liturgi adalah menghadirkan secara hic et nunc
(di sini dan sekarang) Misteri Paskah, yaitu sengsara,
wafat, dan kebangkitan Tuhan Yesus. Perayaan Natal
yang biasa kita rayakan dengan meriah pun sebenarnya
mengalir ke muara yang pokok, yaitu perayaan Misteri
Paskah.
Setiap perayaan liturgi, terutama sakramen-sakramen,
selalu merupakan perayaan Misteri Paskah. Konstitusi
Liturgi artikel 6 menyebutkan bahwa sejak Pentakosta,
“Gereja tidak pernah lalai mengadakan pertemuan untuk
merayakan Misteri Paska.” Semua perayaan sakramen dan
liturgi selalu menghadirkan Misteri Paskah ini, sehingga
dengan begitu umat beriman memperoleh anugerah karya
penebusan Tuhan Yesus Kristus. Dalam Misteri Paskah,
wafat dan kebangkitan Kristus, kita didamaikan dengan
Allah Bapa dan ambil bagian dalam kehidupan ilahi-Nya
berkat persekutuan dengan Roh Kudus. “Dalam Ekaristi
dan semua sakramen kita mendapatkan jaminan akan
kemungkinan berjumpa dengan Tuhan Yesus Kristus dan
kuasa Misteri Paskah-Nya menjangkau kita” (Desiderio
Desideravi 11).

12
Hari ke-7

GEREJA SEBAGAI SATU TUBUH:


KRISTUSLAH KEPALA DAN KITA
ANGGOTA-ANGGOTANYA

Pandemi Covid-19 yang sudah melandai memungkinkan


umat merayakan ibadat, doa bersama, dan sakramen-
sakramen dengan cara berkumpul bersama. Paroki-
paroki telah membuka pelayanan Perayaan Ekaristi
mingguan dan harian. Kendati kehadiran umat belum
begitu maksimal, umat yang mengikuti Perayaan Ekaristi
mingguan sudah pulih seperti sebelum pandemi. Umat
yang hadir dan berkumpul bersama dalam Perayaan
Ekaristi ini merupakan perwujudan Gereja yang paling
nyata. Gereja tidak hanya dimengerti sebagai bangunan

13
gedung, melainkan kesatuan Umat Allah yang berkumpul
bersama. Oleh karena itu, ketika Perayaan Ekaristi
dilakukan secara online, muncul banyak diskusi dan
ketegangan. Sebab, Gereja yang sesungguhnya adalah
saat Umat Allah berkumpul terlebih untuk merayakan
sakramen.
Umat yang berkumpul dan merayakan ibadat atau
merayakan sakramen ini menampakkan Tubuh Mistik
Kristus. Masing-masing pribadi yang berkumpul men-
dasarkan diri pada iman yang sama, yaitu Kristus. Kristus
adalah Kepala dari Tubuh Mistik ini. Kristus selalu
mendampingi Gereja-Nya terutama dalam kegiatan-
kegiatan liturgis. Ia hadir dalam Kurban Ekaristi,
baik dalam pribadi pelayan, “karena yang sekarang
mempersembahkan diri melalui pelayanan imam sama
saja dengan Dia yang ketika itu mengurbankan Diri di
kayu salib, maupun terutama dalam (kedua) rupa Ekaristi.
Dengan kekuatan-Nya, Ia hadir dalam Sakramen-
sakramen sedemikian rupa. Akhirnya Ia hadir, sementara
Gereja memohon dan bermazmur karena Ia sendiri
berjanji: bila dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-
Ku, di situlah Aku berada di antara mereka” (SC 7).
Dengan demikian, kebersamaan dan kesatuan
umat yang berkumpul untuk berliturgi menjadi sangat
bermakna. Bukan hanya bermakna sosial karena di
situ orang-orang berkumpul, tetapi juga mempunyai
makna ekklesial karena di situlah mewujud secara nyata
kehadiran Gereja sebagai persekutuan umat beriman
sekaligus kesatuan kita semua, sebagai Tubuh Mistik
Kristus, dengan Kristus, Sang Kepala.
14
Hari ke-8

MERAYAKAN LITURGI SECARA


PENUH, SADAR, DAN AKTIF

Sudah kurang lebih 6 bulan ini, Bambang merasa


gelisah karena sudah beberapa kali mengikuti Perayaan
Ekaristi dan merasa ampang serta tidak memperoleh
sesuatu. Selidik punya selidik ternyata ia sering datang
terlambat ketika mengikuti Perayaan Ekaristi. Pernah ia
terlambat sampai 20 menit, pas bacaan Injil baru masuk
gereja. Ketika merayakan Ekaristi, Bambang pun sering
mengantuk karena malamnya begadang sampai subuh.
Kadang, ia tidak sempat mandi, dan dengan pakaian

15
seadanya langsung ke gereja. Ya masuk akallah kalau
Bambang selama ini merasa tidak memperoleh sesuatu
dari Perayaan Ekaristi yang diikutinya karena ia tidak
secara penuh, sadar, dan aktif dalam merayakannya.
Gereja sangat mengharapkan agar setiap umat ber-
iman ikut serta dalam perayaan-perayaan liturgi secara
penuh, sadar, dan aktif (SC 14). Merayakan Ekaristi
secara penuh berarti mengikuti Perayaan Ekaristi dari
awal sampai akhir, dari lagu perarakan masuk sampai
lagu perarakan keluar. Hati dan pikiran pun menyatu
untuk Misa. Merayakan Ekaristi secara sadar artinya
tahu, paham, dan mengerti apa yang dilakukan dan
diucapkan, apa yang dilihat dan didengarnya. Mudahnya,
kita mesti tahu, paham, dan mengerti maksudnya duduk,
berdiri, berlutut, menyembah. Kita juga harus tahu
artinya jawaban ‘amin’, ‘dan bersama rohmu’, ‘alleluia’.
Merayakan Ekaristi secara aktif maksudnya kita meng-
ikuti, berperan serta menurut bagiannya masing-masing,
dan bukan menonton. Ikutlah menyanyi, di saat harus
duduk, duduklah; di saat harus berdiri, berdirilah; di saat
harus menjawab ‘amin’, ya jawablah ‘amin’.
Bila kita sudah berusaha merayakan liturgi, khusus-
nya Ekaristi secara penuh, sadar, dan aktif, ada harapan
besar Perayaan Ekaristi akan berdaya makna, berdaya
ubah, dan berdaya buah. “Tinggal dalam Kristus
dan Berbuah” akan terwujud dengan mengupayakan
Perayaan Ekaristi yang dirayakan secara penuh, sadar,
dan aktif. Untuk semua itu perlu diadakan sekolah liturgi
bagi seluruh umat secara berkelanjutan.

16
Hari ke-9

LITURGI BERPUSAT PADA ALLAH,


BUKAN DIRI KITA SENDIRI

Suatu hari, Pak Petrus, Kabid Liturgi Paroki Santo Paulus


Kwarasan, bersitegang dengan Rama Paroki perihal
konsep Misa yang akan dilaksanakan di Hari Paroki.
Rama Paroki ingin agar semua kebiasaaan dan adat di
wilayahnya ditampilkan dalam Misa Hari Ulang Tahun
Paroki yang akan dilaksanakan. Pak Kabid, tidak setuju
karena jika dibuat demikian akan ada risiko dan bahaya
bahwa Misa hanya akan menjadi ajang penampilan
kelompok-kelompok.
Perayaan liturgi, sebagaimana telah kita renungkan
pada hari-hari sebelumnya, merupakan perjumpaan de-
ngan Allah. Kardinal Robert Sarah, Prefek Kongregasi

17
Suci untuk Ibadat Ilahi dan Disiplin Sakramen Takhta
Suci Vatikan (2014-2021), dalam Konferensi Liturgi
Suci di London, 5 Juli 2016, mengatakan demikian:
“Saya ingin menegaskan fakta yang sangat penting:
Allah, dan bukan manusia, yang menjadi pusat liturgi
Katolik. Kita datang untuk menyembah Dia. Liturgi
bukan tentang Anda dan saya; liturgi bukanlah tempat
kita merayakan identitas kita, atau pencapaian, ataupun
pemuliaan, liturgi bukanlah tempat untuk mendukung
budaya dan kebiasaan religius lokal kita. Liturgi, pertama
dan terutama, adalah tentang Allah dan apa yang telah
Dia lakukan bagi kita.”
Seruan Bapa Suci Fransiskus dalam Desiderio
Desideravi artikel 16 mengajak Gereja untuk menemu-
kan kembali keindahan, kuasa, dan kebenaran Perayaan
Liturgi. Umat diajak untuk menjaga kemurnian liturgi
dari kepentingan-kepentingan tertentu yang malah
justru memerosotkan nilai dasariah liturgi itu sendiri
sebagaimana diuraikan Kardinal Sarah.

18
Hari ke-10

LITURGI MEMBEBASKAN KITA


DARI SELERA DAN KEPENTINGAN
PRIBADI

Yohanes dan Yakobus suatu saat berdiskusi tentang


Perayaan Ekaristi. Bagi Yohanes, Perayaan Ekaristi
terlalu kaku dan monoton. Lagu-lagunya juga kurang
njamani. Menurutnya, Ekaristi saat ini sama sekali tidak
memenuhi seleranya sebagai anak muda yang sangat
menyukai dangdut dan campursari. Yakobus, yang baru
saja membaca Desiderio Desideravi menjelaskan bahwa
liturgi “bukanlah tindakan individu tetapi tindakan

19
Gereja Kristus, tindakan keseluruhan umat beriman yang
bersatu dalam Kristus” (no. 19).
Memang, dewasa ini sering muncul adanya godaan
berbahaya yang oleh Paus Fransiskus disebut sebagai
gnostisisme yang mereduksi iman menjadi subjektivisme
yang “pada akhirnya membuat seseorang terpenjara
dalam pikiran dan perasaannya sendiri” (EG 94). Kalau
tidak hati-hati, kehidupan rohani dan liturgi pun bisa
dirasuki oleh racun gnostisisme ini. Orang berliturgi
dan menghayati hidup rohani hanya untuk memenuhi
selera pribadi. Bahkan, ada yang bersembunyi di balik
penampilan kesalehan dan kasih pada Gereja bukan
untuk mencari kemuliaan Allah, melainkan kemuliaan
dan kesejahteraan pribadi, sebagaimana dilakukan oleh
orang-orang Farisi (Yoh. 5:44).
Berhadapan dengan gnostisisme ini, perayaan
liturgi diharapkan mampu membebaskan kita dari
penjara selera dan kepentingan pribadi. Sebab, tindakan
liturgi bukanlah tindakan individu tetapi tindakan
Gereja Kristus, tindakan keseluruhan umat beriman
yang bersatu dalam Kristus. Liturgi tidak mengatakan
“aku” tetapi “kita”. Liturgi tidak meninggalkan kita
sendirian untuk mencari pengetahuan individu tentang
misteri Allah. Sebaliknya, liturgi membawa kita dengan
tangan, bersama-sama, sebagai satu persekutuan, untuk
membawa kita jauh ke dalam misteri yang diungkapkan
oleh Sabda dan tanda-tanda sakramental kepada kita.

20
Hari ke-11

LITURGI MERAYAKAN
KESELAMATAN
SEBAGAI KARYA ALLAH

Para rohaniwan, biarawan, dan biarawati yang sedang


menjalankan tugas belajar di Roma sering kali berdiskusi
tentang keprihatinan yang mereka alami. Mereka melihat
gereja-gereja yang makin sepi. Banyak orang, baik tua
maupun muda, tidak peduli lagi dengan Tuhan. Mereka
menduga bahwa saat ini, makin banyak orang yang
merasa tidak membutuhkan Tuhan. Mereka merasa
cukup dengan kemampuan sendiri. Dengan belajar
sungguh, mereka bisa lulus dengan hasil baik. Dengan
bekerja tekun, mereka bisa mencukupi kebutuhan hidup.

21
Diskusi tersebut menggambarkan situasi dunia saat
ini yang oleh Paus diidentifikasi telah terkena racun neo-
pelagianisme. Racun ini membuat orang hanya meng-
andalkan diri sendiri, percaya pada kekuatan mereka
sendiri, dan merasa lebih unggul daripada yang lain.
Mereka juga meyakini bahwa keselamatan pun dapat
diperoleh melalui usaha sendiri. Akibatnya, orang
menjadi tidak peduli lagi pada Tuhan dan sesama.
Jika neo-pelagianisme memabukkan kita dengan
anggapan bahwa keselamatan dapat diperoleh melalui
usaha kita sendiri, perayaan liturgi memurnikan kita
dengan menyatakan bahwa keselamatan adalah karunia
yang diterima dalam iman. Keikutsertaan kita dalam
Kurban Ekaristi bukanlah pencapaian kita sendiri,
seolah-olah karena itu kita bisa bermegah di hadapan
Tuhan atau di hadapan saudara-saudara kita. Awal setiap
perayaan mengingatkan kita akan “siapa saya”, meminta
saya untuk mengakui dosa saya dan mengundang
saya untuk memohon kepada Santa Maria yang selalu
perawan, para malaikat dan orang-orang kudus, dan
semua saudara dan saudari saya untuk berdoa bagi
saya kepada Tuhan, Allah kita. Tentu saja, kita tidak
layak untuk memasuki rumah-Nya; kita membutuhkan
rahmat-Nya untuk diselamatkan (Mat. 8:8). Oleh karena
itu, kita mesti bersikap rendah hati di hadapan Tuhan
dan sesama.

22
Hari ke-12

LITURGI MEMBEBASKAN KITA


DARI KEDUNIAWIAN ROHANI

Pujian dan tepuk tangan umat membahana dalam Misa


Natal kala itu sebagai bentuk apresiasi kepada Panitia
Natal Paroki Santo Thomas Sukamulya. Perayaan Natal
diselenggarakan secara meriah dan megah. Tata dekorasi
spektakuler, petugas liturgi cekatan, terlebih kor yang
mengiringi Misa dengan lagu-lagu berbahasa Inggris
dan Latin. Sayang dalam evaluasi pertanggungjawaban
Panitia Natal tersebut, 50% lebih biaya Perayaan Natal
dihabiskan untuk kebutuhan konsumsi, 30% untuk
keperluan liturgi, dan 20% untuk sewa perlengkapan
dan biaya keamanan. Yang memprihatinkan: tidak ada

23
dana sedikit pun yang disisihkan untuk aksi sosial/aksi
peduli bagi yang menderita. Bagaimana ini?
Liturgi merupakan perayaan iman akan Tuhan
yang telah membebaskan kita dari belenggu dosa
melalui kurban salib-Nya sebagai wujud kasih-Nya
yang paling besar. Justru karena liturgi itu merupakan
perayaan kasih Tuhan, liturgi selalu mendorong dengan
sendirinya perwujudan kasih kepada sesama, khususnya
yang menderita. Perayaan liturgi yang meriah mestinya
mendorong pada aksi kasih yang konkret secara sosial.
Dalam Dokumen Desiderio Desideravi 17-20,
Paus Fransiskus menyatakan liturgi sebagai
penawar racun keduniawian rohani. Dengan
berliturgi, manusia dihindarkan dari bayang-bayang
subjektivisme yang meng agungkan diri, ataupun
neo-pelagianisme yang beranggapan bahwa
keselamatan diperoleh melalui usaha manusia belaka.
Liturgi bukanlah pencarian keindahan ritual dengan
taat pada ritus atau merusak keindahan liturgi
dengan kreativitas yang berlebihan. Untuk itu
dibutuhkan sebuah formasio liturgi bagi semua
lapisan dalam Gereja, baik para imam, calon imam,
maupun semua umat Allah.

24
Hari ke-13

LITURGI SEBAGAI PELAKSANAAN


TUGAS IMAMAT KRISTUS

“Bimo..., Bimo, ayo ke gereja, ikut Misa!” teriak Devian


memanggil temannya. Bimo pun keluar dari rumahnya
dan menemui Devian. “Dev, aku tidak ikut Misa dulu
dech, …rasanya males!” Jawab Devian, “Lah, kamu
kayaknya sudah satu bulan ini tidak Misa, lho, Bim,
ada apa denganmu? Padahal kamu kan juara dalam
Tarcisius Cup Misdinar kemarin!” “Entahlah, Dev, aku
merasa males saja,” kilah Bimo. Sahut Devian, “Aduh
Bimo, kamu tuh yang paling jago menghafal tugas-tugas
misdinar, paling jago menghafal nama-nama peralatan
misa dan buku-buku misa, mengapa kamu begitu, Bim?”

25
Apa yang dialami Bimo barangkali juga dialami oleh
sebagian remaja atau orang muda Katolik zaman ini.
Kehilangan rasa kagum terhadap apa yang kita rayakan
dalam Ekaristi. Bisa jadi sebagian bisa menghafal tata
urutan Misa, tahu mengenai warna liturgi, buku misanya
yang mana, tapi semua itu hanya dipandang sebagai
upacara belaka. Ritual yang dilakukan tanpa penghayatan
makna. Upacara yang hanya dilakukan demi memenuhi
hukum kewajiban belaka.
Bapa Suci Fransiskus menegaskan bahwa setiap hari
kita dipanggil untuk menemukan kembali keindahan
dan kebenaran perayaan Kristiani yang kita rayakan
(Desiderio Desideravi 21). Perayaan Liturgi bukanlah
sekadar ritus atau upacara, tetapi merupakan perayaan
iman yang dengan banyak simbol ingin mewartakan
tindakan Kristus atas seluruh kehidupan kita. Paus
mengutip Konstitusi Liturgi artikel 7 yang menegaskan
kehadiran Kristus yang istimewa dalam setiap perayaan
liturgi. Dengan demikian, kita harus melihat setiap
perayaan liturgi dengan penuh kekaguman agar Roh
Kudus, yang membenamkan kita ke dalam Misteri
Paskah, mengubah setiap dimensi kehidupan kita dan
membuat kita makin serupa dengan Kristus. Kita menjadi
“kristus-kristus” lain yang hadir pada zaman ini. Dengan
demikian, dalam pendampingan orang muda atau remaja
pun jangan hanya berhenti pada hafalan-hafalan tentang
pernak-pernik liturgi semata, tetapi harus sampai kepada
makna dan penghayatan terhadap apa yang kita rayakan.

26
Hari ke-14

MENGAGUMI KEINDAHAN LITURGI

Pada suatu hari Giovanni dan teman-teman OMK


diminta bertugas kor dalam Misa Pernikahan Ketua
OMK paroki mereka. Pernikahan dirayakan di sebuah
kapel kecil yang sangat antik dan indah. Kapel itu
dibangun pada zaman Belanda. Tanpa pengeras suara
(mikrofon) di tempat kor, suara mereka sudah terdengar
keras dan bagus. Tata ruang kapel itu sangat bagus. Kursi
kapel itu sangat nyaman dan ada tempat untuk berlutut
yang empuk.
“Wow, kapelnya bagus sekali. Tata akustiknya sangat
baik. Kursinya juga nyaman, entah untuk duduk ataupun

27
berlutut,” ujar Giovanni seusai Misa selesai. “Iya, ya.
Lantainya juga masih asli. Keramiknya indah. Ornamen
kapel juga bagus,” tambah Maria, pacarnya. “Menikah di
sini kayaknya asyik. Bagaimana jika kita menikah tahun
depan di kapel sini saja?” tanya Giovanni kepada Maria.
Maria pun menganggukkan kepala sebagai tanda setuju.
Sejak awal mula Gereja Katolik sangat menjunjung
tinggi keindahan dalam berliturgi. Keindahan dapat
membawa orang untuk beriman kepada Allah. Ada
begitu banyak sarana dan cara yang dikembangkan untuk
membantu umat dalam beribadah dan memuji Allah.
Uskup Auxilier Los Angeles (USA), Mgr. Robert Barron
pernah mengungkapkan, “Keindahan berperan besar
pada iman, baik keindahan gedung gereja, keindahan
gambar suci, keindahan seni religius, keindahan liturgi,
maupun keindahan nyanyian.”
Demikian pula, Paus Fransiskus dalam Desiderio
Desideravi mengajak kita semua untuk menemukan
kembali keindahan Liturgi Gereja (no. 22). Keindahan
yang ada perlu dijaga, dirawat, dan dihidupkan terus-
menerus dengan cara-cara yang kreatif pada zaman
sekarang ini. Dengan tegas, Beliau mengajak, “Mari
kita perjelas di sini: setiap aspek perayaan harus dijaga
dengan hati-hati (ruang, waktu, gerak tubuh, kata-kata,
perlengkapan liturgi, busana, lagu, musik…) dan setiap
rubrik yang harus menjadi hak umat; yaitu, Misteri
Paskah dirayakan menurut ritual yang ditetapkan
Gereja” (no. 23).

28
Hari ke-15

KEKAGUMAN
PADA MISTERI PASKAH

Dewi yang masih duduk di kelas IV SD dan sudah


mendaftarkan untuk mengikuti pelajaran Komuni
Pertama, bertanya pada Pak Budi, bapaknya, “Pak,
sesudah bunyi gong itu (maksudnya konsekrasi), kok
Rama selalu menyanyikan ‘Agunglah misteri iman
kita…’. Kenapa sih, Pak?” Pak Budi menjelaskan dengan
sabar, “Itu namanya nyanyian aklamasi anamnese.
Mengenangkan wafat, kebangkitan, dan kedatangan
Tuhan Yesus.” “Lho kok dikenangkan, memang kayak

29
ulang tahunku, Pak?” tanya Dewi. “Oh lebih dari itu.
Itunya namanya mengenangkan Misteri Paskah, artinya
Misteri Paskah itu hadir saat Misa itu.”
Pembicaraan Dewi dan bapaknya merupakan bentuk
katekese yang bagus untuk menarik pada kekaguman
akan Misteri Paskah. Paus Fransiskus berkata, “Keajaiban
pada rencana keselamatan Allah yang telah dinyatakan
pada kita dalam tindakan Paskah Yesus (lih. Ef. 1:3-
14), dan kuasa tindakan paskah ini terus menjangkau
kita dalam perayaan ‘misteri’ sakramen” (Desiderio
Desideravi 25). Berhadapan dengan keagungan Misteri
Paskah, Paus mengajak kita untuk terus-menerus
menumbuhkan kekaguman yang tepat, yang mengantar
kita untuk merasakan dan mengalami kehadiran Tuhan
yang menyelamatkan. Melalui kenangan akan Misteri
Paskah yang kita rayakan dengan penuh kekaguman,
kita sungguh-sungguh mengalami Kristus yang hadir dan
menyelamatkan.
Kehadiran Kristus dan karya penyelamatan-Nya
itu, dalam liturgi, tampak dalam aneka macam simbol.
Oleh karena itu, Paus juga mengajak kita untuk
menumbuhkan kekaguman pada aneka macam simbol
liturgi: “Kekaguman adalah bagian yang esensial dari
tindakan liturgi karena merupakan sikap orang-orang
yang tahu akan kekhasan tata gerak simbolis, sesuatu yang
menakjubkan bagi mereka yang mengalami kekuatan
simbol, yang tidak sekadar mengacu pada konsep abstrak
melainkan berkaitan dengan mengungkapkan maknanya
secara lebih konkret” (Desiderio Desideravi 26).

30
Hari ke-16

MENGAGUMI DENGAN SEDERHANA

Di aula pastoran, seorang Rama sedang ngobrol dengan


beberapa orang muda Katolik. Salah satu yang mereka
bahas adalah Ekaristi. Rama tersebut menanyakan,
bagian Ekaristi mana yang paling menyentuh mereka?
Krisna, salah seorang dari mereka, menjawab, “Rama,
saya selalu kagum dan tersentuh, saat mendaraskan doa
Persiapan Komuni. Ada rasa yang berbeda di hati. Saya
merasa berdosa dan tidak pantas, tetapi Tuhan tetap rela
datang kepada saya.” Kata-kata doa, “Tuhan, saya tidak
pantas Engkau datang kepada saya, tetapi bersabdalah
saja, maka saya akan sembuh,” bagi Krisna tidak hanya

31
menyentuh, tetapi juga sering terngiang saat doa-doa
pribadi, waktu sendiri, dan setelah Ekaristi selesai.

Rasa tersentuh dan kagum yang dirasakan Krisna


dapat dimaknai sebagai kekaguman di hadapan Misteri
Paskah. Ia membuka hati kepada Yesus yang hadir
dalam rupa Hosti Suci. Kata-kata sederhana tersebut
menghadirkan misteri iman yang teramat agung.
Dalam Desiderio Desideravi artikel 26, Paus Fransiskus
mengatakan bahwa, “Kekaguman adalah bagian esensial
dari tindakan liturgi karena merupakan sikap orang-
orang yang tahu akan kekhasan tata gerak simbolis,
sesuatu yang menakjubkan bagi mereka yang mengalami
kekuatan simbol.” Kekaguman menjadi pintu pembuka
bagi rahmat yang tercurah dan membuahkan pemaknaan
akan hidup yang lebih mendalam dan nyata.
Untuk menerima rahmat tersebut, kita diajak menjadi
pribadi yang sederhana. Kita meninggalkan prasangka,
rasa bebal, dan keras hati. Saat kita hadir dengan hati
yang tulus dan jujur, Tuhan menyapa kita lewat sabda,
simbol, dan tata gerak dalam Liturgi. Kesederhanaan
hati menjadi gerbang bagi kata-kata sederhana dalam
Ekaristi menjadi Rahmat yang luar biasa bagi hidup dan
perutusan kita.

32
Hari ke-17

MEMAHAMI SIMBOL
DALAM LITURGI

Keluarga Pak Joko selalu berangkat ke gereja bersama-


sama. Hari itu mereka duduk di baris depan sesuai arahan
petugas tata laksana. Dua anak Pak Joko, yang berusia 9
dan 14 tahun itu, duduk rapi diapit kedua orang tuanya.
Si bungsu, Dora, tampak antusias memperhatikan semua
hal yang dilihatnya. Dia tampak berbinar melihat lilin
dalam korona adven yang menyala, warnanya ungu dan
merah jambu. “Ma, Mama, lilinnya merah jambu kayak
punya adik di rumah,” Dora berbisik kepada ibunya yang
tersenyum lalu mengangguk.

33
Misa dimulai, anak-anak mengikuti dengan riang,
ikut berdoa dan menyanyi sebisanya. Sampai pada saat
persembahan, Doni melihat Rama mencuci tangan
dan mengelapnya dengan kain. “Yah, Ayah, itu kenapa
Rama cuci tangan lagi di altar? Dan nyucinya kok
cuma mencelupkan jari di mangkok kayak begitu,
bagaimana bisa bersih?” Ayahnya berbisik, “Iya, itu
beda sama cuci tangan kita tadi. Rama mencuci tangan
sebagai simbol membersihkan diri dari dosa, agar layak
mempersembahkan Tubuh Darah Kristus.” Doni
mengangguk paham, “O, begitu, ya, Yah.”
Liturgi memang penuh dengan simbol. Bahkan,
salah satu ciri liturgi adalah bersifat simbolis. Meskipun
ada banyak simbol ditampilkan yang bisa dipahami
dengan mudah, tetapi tidak semua pemahaman kita
benar, terkadang kita hanya menebak-nebak saja karena
mirip dengan kebiasaan kita sehari-hari, seperti lilin
merah jambu, atau Rama mencuci tangan tadi. Karena
itu, kita perlu mengerti dengan sungguh makna setiap
simbol yang ditampilkan agar kita dapat memaknai
setiap peristiwa dalam peribadatan liturgi secara benar
(Desiderio Desideravi 26). Dalam Ekaristi, semua simbol
yang digunakan merujuk pada kenangan akan Perjamuan
Paskah ketika Yesus hadir memberikan diri-Nya demi
keselamatan manusia. Kita diajak untuk peka melihat,
merasakan, dan memaknai simbol yang ada, agar semua
itu memberikan peneguhan serta menambah iman kita
akan misteri Allah sendiri.

34
Hari ke-18

TANDA SALIB:
SIMBOL PENYERTAAN TUHAN

Setelah mencetak gol ke gawang kiper tim nasional


Prancis pada gelaran Piala Dunia 2022, Lionel Messi
membuat tanda salib lalu menengadahkan tangan ke atas.
Di ajang olahraga lainnya, ada atlet yang membuat tanda
salib seusai bertanding meski menelan kekalahan. Tanda
salib bukan sekadar penanda identitas kekatolikan,
melainkan keyakinan bahwa mereka tidak berjuang
sendirian, tetapi dalam dan bersama Tuhan.
Hari ini Gereja merayakan Hari Raya Kenaikan
Tuhan. Namun, dengan naik ke surga, Tuhan tidak
meninggalkan kita sendirian. Sesuai dengan janji-Nya,
“Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman”

35
(Mat 28:20), Ia selalu hadir dan menyertai kita. Bahkan,
dengan naik ke surga, Yesus juga membawa kemanusiaan
kita bersama-Nya. Sebab, ketika berinkarnasi, Ia
mengenakan kemanusiaan kita, Ia menjadi sama dengan
kita dalam segala hal, kecuali dalam hal dosa (Ibr. 4:15),
dan sekali dikenakan, tidak pernah Ia tanggalkan lagi.
Dengan berinkarnasi, Ia menjadi sungguh Allah dan
singguh manusia. Demikian pula, ketika naik ke surga,
Ia tidak menanggalkan kemanusiaan-Nya. Ia naik ke
surga sebagai sungguh Allah dan sungguh manusia. Jadi,
Tuhan sungguh-sungguh dan selalu bersama kita.
Salah satu bentuk ungkapan iman akan penyertaan
Tuhan adalah melalui tanda salib. Dalam tradisi liturgi,
tanda salib merupakan pengungkapan iman akan salib
Kristus yang membawa penebusan dan keselamatan.
Melalui tanda salib, orang beriman diajak untuk
mengenang baptisannya dan memohon perlindungan
Kristus dari kuasa jahat. Kita patut bersyukur bahwa
tradisi baik sudah dilakukan oleh para orang tua yang
memberikan berkat tanda salib di dahi anak-anak mereka
saat hendak pergi berkegiatan maupun memintakan
berkat pada saat Misa bagi anak-anak yang belum
menerima Komuni. Semoga kita makin disadarkan akan
arti pentingnya membuat tanda salib dengan hormat dan
pantas, bukan sekadar sebagai bahan konten di media
sosial.

36
Hari ke-19

LITURGI MERUPAKAN
TINDAKAN SELURUH GEREJA

Dalam suatu kesempatan Misa di lingkungan yang


jauh dari paroki dengan umat yang sedikit, seorang
umat bertanya kepada Rama demikian, “Rama, karena
umatnya sedikit apakah bisa Misanya dipersingkat
saja sehingga lebih cepat selesai?” Rama itu kemudian
menjawab sambil tersenyum kecil, “Tidak ada yang
namanya dalam pesta hajatan kita datang lalu tiba-tiba
makan.” Semua lalu tertawa bersama.
Sekeping cerita singkat ini menggambarkan salah
satu situasi konkret bagaimana umat menghayati imannya
melalui perayaan liturgi. Umat yang sedikit merupakan

37
salah satu potret gereja di pelosok. Terkadang situasi ini
membuat umat cenderung menerima apa adanya dan
tidak mencari apa yang benar dalam konteks liturgi dan
pemahaman tentang Gereja itu sendiri. Yang penting bisa
jalan saja itu sudah baik.
Meskipun demikian, perlu untuk selalu disadari
bahwa perayaan liturgi itu selalu sama. Artinya, entah
perayaan itu dihadiri oleh umat yang sangat banyak,
dipimpin oleh Uskup, dan diadakan di gereja Katedral
yang megah, atau hanya dihadiri oleh sedikit umat,
dipimpin oleh Rama Paroki desa, dan diadakan di rumah
umat yang sangat sederhana, yang terjadi sama. Keduanya
sama-sama mengenangkan Misteri Paskah, yaitu kurban
salib dan kebangkitan Kristus yang mendatangkan
keselamatan manusia. Oleh karena itu, entah perayaan
itu meriah atau sederhana, semua harus dipersiapkan
dan dihayati dengan cara yang sama. Tidak pernah
dibenarkan bahwa karena hanya perayaan sederhana,
maka disiapkan dan dihayati ala kadarnya saja, apalagi
hanya mengikuti selera pribadi. Semua perayaan liturgi
bukanlah tindakan individu, tetapi tindakan seluruh
Gereja Kristus. Liturgi menjadikan kita sebagai satu
persekutuan, baik persekutuan dengan sesama umat
beriman maupun dengan Kristus.

38
Hari ke-20

LITURGI
MELAHIRKAN HIDUP BARU

Selesai Misa pagi, Ibu Sri segera mencari Rama untuk


bertanya, “Rama, mengapa Perayaan Ekaristi yang
sekarang banyak berdirinya? Mengapa juga TPE kita
harus berubah?” Rama Ignas, meski kaget diberondong
pertanyaan-pertanyaan tersebut, mengajak Ibu Sri ke
tempat yang teduh, dan sambil tersenyum menjelaskan
makna dari sikap-sikap dalam liturgi serta perlunya
kesatuan dalam hidup menggereja.
Perayaan Ekaristi merupakan kekayaan Gereja yang
hendak menunjukkan undangan kerinduan Allah kepada
kita untuk datang kepada-Nya. Yesus mewariskan

39
Perjamuan Paskah sebagai tanda perjanjian baru dalam
Tubuh dan Darah-Nya. Dalam misteri yang agung ini
kita diundang menanggapi kesempatan perjumpaan
dengan Allah melalui sikap-sikap, tata gerak, ucapan,
dan nyanyian yang pantas.
Liturgi yang dilakukan dengan baik sekaligus
membentuk kita dalam memahami kedalaman makna
akan cinta Allah kepada kita. Kita bukan lagi bergerak/
bersikap menurut selera/penghayatan pribadi, tetapi
dalam kebersamaan satu Tubuh Mistik Kristus. Dalam
setiap doa dan nyanyian kita menanggapi dan meng-
ungkapkan rasa syukur atas karunia rahmat keselamatan
dari Allah. Liturgi mendorong sikap hidup kita makin
selaras dan dekat pada kehendak-Nya. Marilah kita
makin menyadari setiap tata gerak dan doa yang kita
buat dalam berliturgi, selalu mendorong kita untuk
mewujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari.
Perayaan Ekaristi terus-menerus mendorong pada
kelahiran baru untuk sungguh-sungguh bertobat, meng-
ampuni, dan menjadi pelaku sabda.

40
Hari ke-21

LITURGI MENGUNGKAPKAN
JATI DIRI GEREJA

Seperti biasa, selesai Misa, Rama Paroki menjumpai umat


untuk sekadar menyapa atau bercerita ke sana kemari.
Ketika itu, ada salah satu umat yang bercerita, “Rama,
ada lho umat di paroki kita ini yang memiliki kesulitan
pendengaran. Mereka ini aktif ke gereja juga. Kira-kira,
apa ya yang bisa kita buat untuk memberikan perhatian
kepada mereka?” Rama tertegun dan merenung: Gereja
seperti apa yang bisa mereka rasakan secara nyata dan
konkret dalam liturgi?
Hari ini kita merayakan Hari Minggu Komunikasi
Sosial Sedunia ke-57. Gereja menghendaki agar semua

41
orang beriman dapat menggunakan media komunikasi
secara tepat sehingga membangkitkan kesegaran iman
umat dalam memperjuangkan keselamatan. Untuk
membantu orang yang kurang pendengarannya itu, Rama
Paroki di atas membagikan ringkasan homilinya melalui
sosmed yang dikelola oleh Komsos Paroki. Melalui usaha
kecil ini hendak ditampilkan sosok Gereja yang peduli
dan sekaligus berbela rasa dengan situasi yang dialami
oleh umat.
Penggunaan media digital secara tepat dapat menjadi
sarana “reformasi liturgi yang lahir dari Sacrosanctum
Concilium, sebuah dokumen yang mengungkapkan
realitas liturgi yang terkait erat dengan visi Gereja
yang digambarkan secara mengagumkan dalam Lumen
Gentium” (Desiderio Desideravi 31). Penggunaan yang
tepat akan membawa umat sampai pada perjumpaan
dengan Allah sendiri dalam liturgi. Sebaliknya, peng-
gunaan yang asal-asalan dan meninggalkan rasa perasaan
liturgi, justru akan mengalihkan pandangan umat dari
puncak liturgi itu sendiri. Kemajuan media komunikasi
tak terbendung. Mampukah kita memanfaatkannya
menjadi sarana menghadirkan wajah Gereja melalui
perayaan liturgi? Dibutuhkan usaha dan pembinaan
terus-menerus agar melalui upaya-upaya ini Gereja tidak
salah arah.

42
Hari ke-22

BERANI BERTANYA UNTUK


MENDALAMI MAKNA LITURGI

Pak Bejo dan Bu Mela tampak sedang berdiskusi seru


setelah bertugas sebagai prodiakon pada Misa pagi ini.
“Saat konsekrasi, seharusnya kita menyembah Tuhan
dengan tangan terkatup. Itu sudah tradisi sejak zaman
saya kecil,” kata Pak Bejo. “Bukan begitu! Pokoknya
saat konsekrasi, kita harus memandang Tubuh dan
Darah Kristus yang diangkat oleh imam,” sanggah Bu
Mela. Keduanya tidak sependapat mengenai tata gerak
yang dilakukan ketika imam mengangkat Tubuh dan
Darah Kristus saat konsekrasi. Pak Gembul yang sejak
tadi memperhatikan perdebatan mereka pun bertanya,
“Mengapa kita harus mengatupkan tangan atau

43
memandang Tubuh dan Darah Kristus saat konsekrasi?
Apa maknanya bagi kita?”
Kata ‘seharusnya’ atau ‘pokoknya’ kerap kali muncul
dalam diskusi mengenai tata gerak liturgi di kalangan
umat. Orang jatuh pada tindakan ritualistik yang tidak
terpahami. Liturgi pun dipersempit hanya pada perkara
tata gerak saja. Kita berdiri, berlutut, mengatupkan
tangan, membungkuk, atau melakukan tata gerak liturgi
tertentu tanpa kita pahami tujuan dan maknanya. Hanya
sejumlah kecil orang yang mau bertanya mengenai makna
yang terkandung di dalam tata gerak liturgi tertentu.
Pengetahuan mengenai makna teologis liturgi tidak
hanya menjadi konsumsi mereka yang secara khusus
belajar mengenai liturgi, tetapi juga dapat diakses oleh
setiap orang beriman. Harapannya, setiap orang beriman
dapat tumbuh dalam pengetahuan tentang makna teologis
liturgi (Desiderio Desideravi 35). Gereja sebagai Tubuh
Kristus adalah subjek yang merayakan Misteri Paskah
di dalam liturgi (Desiderio Desideravi 36). Pentinglah
bagi kita sebagai umat beriman memiliki kerendahan
hati anak kecil dan sikap terbuka bagi rasa kagum dalam
menghayati liturgi (Desiderio Desideravi 38).

44
Hari ke-23

KITA DIBENTUK OLEH LITURGI


YANG KITA RAYAKAN

Setahun terakhir ini, Pak Anton dan Bu Antik mengalami


perubahan hidup yang luar biasa. Mereka menjadi
lebih harmonis. Kalau sebelumnya cenderung sibuk
sendiri-sendiri, kini mereka saling berbagi cerita dan
pekerjaan. Mereka juga lebih murah hati untuk berbagi
kepada tetangga dan sanak saudara yang membutuhkan.
Mereka sudah bisa menerima kenyataan bahwa Tuhan
belum menganugerahi momongan, tanpa kehilangan
kasih sayang pada anak-anak. Dengan murah hati,
mereka membantu biaya pendidikan bagi keponakan-
keponakan yang ada di kampung. Ketika ditanya, apa
yang membuat mereka bersikap dan berbuat demikian,

45
mereka menjawab, “Kami diubah oleh Tuhan berkat
Ekaristi yang kami rayakan setiap hari.”
Dalam Desiderio Desideravi artikel 34, Paus
Fransiskus mengharapkan agar kita tidak hanya meng-
alami formasio terhadap liturgi, artinya memperdalam
pengetahuan kita tentang liturgi, tetapi juga mengalami
formasio oleh liturgi, artinya dibentuk oleh liturgi yang
kita rayakan. Paus menegaskan bahwa “Pengetahuan
yang berasal dari studi hanyalah langkah awal untuk
bisa masuk ke dalam misteri yang dirayakan,” (Desiderio
Desideravi 36). Oleh karena itu, kepada para imam,
Paus secara khusus mengingatkan pesan Bapa Uskup
ketika mentahbiskan mereka untuk menjadikan hidup
mereka selaras dengan misteri-misteri yang dirayakan.
Hal yang sama juga berlaku bagi kita semua: kita mesti
menyelaraskan hidup kita dengan misteri-misteri yang
kita rayakan. Lex orandi, lex credendi, lex vivendi: apa
yang kita doakan/rayakan, kita percayai, dan kita hidupi.
Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa liturgi
adalah sumber dan puncak seluruh kehidupan Kristiani
(SC 10). Oleh karena itu, Paus Fransiskus menegaskan
bahwa “Tidak ada aspek kehidupan gerejawi yang tidak
menemukan puncak dan sumbernya dalam Liturgi,”
(Desiderio Desideravi 37). Beliau juga mengutip ajaran
Santo Leo Agung yang mengatakan, “Partisipasi kita
dalam Tubuh dan Darah Kristus tidak memiliki tujuan
lain selain membuat kita menjadi seperti yang kita
makan” (Desiderio Desideravi 41).

46
Hari ke-24

LITURGI:
PEMULIAAN ALLAH,
KESELAMATAN KITA

Berbagai macam Perayaan Ekaristi dan liturgi lain mem-


butuhkan persiapan. Persiapan itu tidak semuanya sama.
Misalnya, persiapan yang dilakukan untuk Perayaan
Ekaristi Penahbisan Uskup, tentu akan berbeda dengan
Penahbisan Diakon atau Imam. Persiapan itu juga
berbeda antara Misa Perkawinan Pesta Perak dan Pesta
Emas; atau Misa Kaul Sementara dan Kaul Kekal. Begitu
pula perlu persiapan khusus saat Misa Requiem bagi
orang yang meninggal.

47
Apakah semua itu menambah kemuliaan Tuhan?
Apakah Misa sederhana dan meriah akan mengubah
rahmat Tuhan? Pakai paduan suara yang hebat atau
tingkat lingkungan kecil; pakai dekorasi dengan bunga-
bunga atau sekadar pot-pot tanaman: mengubah berkat
Tuhan kah? Kiranya tidak! Yesus berkali-kali mengatakan,
“Imanmu yang menyelamatkan.” Keterbukaan hati
dan memberi waktu untuk mempersiapkan diri, akan
berbeda bila kita datang tanpa persiapan, “asal datang,”
atau menggenapi hukum Gereja saja.
Namun, tidak dipungkiri bahwa suasana yang
megah dan mengesan mampu menghadirkan Tuhan.
Siapa yang hadir dan merayakannya bisa mengalami
keagungan dan kemuliaan Tuhan melalui perayaan yang
disiapkan dengan benar, baik, indah, dan meriah. Di sini
unsur persiapan merupakan hal penting. Selain itu, kita
yang hadir ikut ambil bagian secara sadar dan aktif (SC
14). Sadar artinya tahu apa yang kita buat; aktif artinya
ikut terlibat. Lebih lanjut Konstitusi Liturgi artikel 14
menyebutkan: “Keikutsertaan seperti itu dituntut oleh
liturgi sendiri, dan berdasarkan Baptis merupakan
hak serta kewajiban umat kristiani sebagai 'bangsa
terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, umat
kepunyaan Allah sendiri'” (1Ptr. 2:9; lih. 2:4-5). Mari
kita berpartisipasi dalam liturgi dengan hati,
memuliakan Tuhan dan keselamatan diri kita.
Tuhan memberkati.

48
Hari ke-25

MERAWAT KEKAGUMAN
DALAM LITURGI

Ketika mengikuti Misa hari Minggu di Paroki Santo


Paulus, pasutri Bernard-Chandra merasa kewalahan
menjawab pertanyaan-pertanyaan buah hati mereka yang
masih berumur 3 tahun. “Pa, Ma, bajunya Rama lucu
dan kayak superman, ya. Rama itu bisa terbang nggak,
Ma?” tanya Andrew. “Iya, Dik, baju Rama itu namanya
kasula. Rama nggak bisa terbang kayak superman,”
jawab mamanya. Pada saat ritus tobat, Andrew bertanya
lagi sambil mengusap wajahnya, “Wah seger ya, Ma.
Tadi wajah adik kecipratan air dari Rama. Itu air apa
ya, Ma, kok terasa asin?” “Itu tadi Rama memerciki kita

49
dengan air suci. Air suci itu air yang sudah dicampur
dengan garam lalu diberkati,” papar mamanya.
Dalam berliturgi kita memang perlu terus me-
ngembangkan kekaguman kita. Kekaguman menjadi tanda
awal yang sangat baik agar bisa mencintai dan menghayati
liturgi dengan baik dan benar. Seperti semangat anak
kecil, kita perlu memiliki sikap keterbukaan, kekaguman,
dan ketaatan pada liturgi Gereja. Dalam liturgi Gereja ada
banyak kekayaan simbol benda liturgi, tata gerak liturgi,
pakaian liturgi, dsb.
Paus Fransiskus mengingatkan kita semua mengenai
pentingnya pendidikan atau katekese berliturgi kepada
semua orang Katolik, mulai dari anak-anak sampai
dengan orang lanjut usia (Desiderio Desideravi 47).
Pendidikan liturgi diperlukan agar dapat diperoleh
sikap batin yang memungkinkan kita menggunakan dan
memahami simbol-simbol liturgi secara baik dan benar.
“Tidak banyak wacana yang dibutuhkan di sini.
Tidak perlu memahami segala sesuatu dalam gerakan itu.
Yang dibutuhkan adalah menjadi seperti anak kecil, baik
dalam menyerahkannya maupun dalam menerimanya.
Selebihnya adalah pekerjaan Roh Kudus. Dengan cara ini
kita diinisiasi ke dalam bahasa simbolik. Kita tidak bisa
membiarkan diri kita dirampok dari kekayaan seperti itu.
Saat tumbuh dewasa kita akan memiliki lebih banyak
cara untuk dapat memahami, tetapi selalu dengan syarat
tetap menjadi seperti anak kecil” (Desiderio Desideravi
47).

50
Hari ke-26

SENI MERAYAKAN IMAN

Setelah Ekaristi Malam Natal, seorang Rama menyapa


dan ngobrol dengan umat di selasar gereja. Mereka saling
mengucapkan Selamat Natal dan berbagi cerita. Salah
seorang umat bertutur, “Rama, Ekaristi tadi sungguh
menyentuh. Homili, kor, tata gerak petugas liturgi,
dan dekorasi gereja sungguh dipersiapkan. Semua itu
membuat saya makin khusyuk dalam berdoa. Saya
merasakan nyaman dalam berdoa dan hati saya menjadi
ayem.”
Tak dimungkiri bahwa keindahan dan keagungan
liturgi membawa umat makin mendalam dalam berdoa.
Tata gerak, suara, dan seluruh jalannya Ekaristi,

51
membuat umat merasa betah, nyaman, dan berdoa secara
mendalam. Umat makin mengalami perjumpaan dengan
Yesus Kristus melalui Sakramen Ekaristi. Akan tetapi,
jika Ekaristi dilakukan dengan asal-asalan, grusa­grusu,
dan tidak indah; umat pun akan merasa makin menjauh
dari kedekatan personal dengan Tuhan Yesus Kristus.
Sebaliknya, umat malah menggerutu, mengeluh, dan
tidak mendapatkan ketenteraman hati.
Seni Merayakan (ars celebrandi) adalah salah satu
cara untuk memelihara dan menumbuhkan pemahaman
vital tentang simbol-simbol liturgi. Seni merayakan
tidak dapat direduksi/dikurangi menjadi mekanisme
rubrik, apalagi dianggap sebagai kreativitas fantasi,
tanpa aturan. Ritus itu sendiri merupakan norma, dan
norma tidak pernah menjadi tujuan itu sendiri, tetapi
selalu melayani realitas yang lebih tinggi yang berarti
melindungi (Desiderio Desideravi 48). Seni merayakan
liturgi mencakup penghayatan rasa yang mendalam dan
terlibat penuh dalam misteri iman yang dirayakan.

52
Hari ke-27

MENGHAYATI TATA GERAK


DALAM LITURGI

Seorang ibu mengikuti Misa dengan wajah cemberut dan


bersungut-sungut. Dengan berpegangan pada sandaran
kursi di depannya, dia mengikuti tata gerak selama Misa.
Ia berdiri dalam waktu cukup lama pada saat awal Misa
dan Doa Syukur Agung. Pada saat konsekrasi, dia juga
berlutut. Dia melihat ke sekelilingnya, dan di antara
umat ada beberapa orang yang tetap duduk saat yang lain
berdiri atau berlutut, dan mereka tampak tenang-tenang
saja. Hal itu tentu membuatnya makin geram. Dia melihat

53
ke dalam teks panduan Misa yang ditaruh di kursi, lalu
melihat adanya tulisan “Umat berdiri”, “Umat berlutut”.
Dia menggeleng-gelengkan kepala seraya mengomel
dalam hati, “Kenapa harus dituliskan kalau tidak ditaati?
Kenapa sih semuanya perlu diatur-atur begitu?”
Gereja, yaitu kita semua, adalah satu tubuh. Kita
ini bagian dari Tubuh Kristus yang satu dengan seluruh
umat yang lain. Oleh karena itu, ketika kita mengikuti
peribadatan atau perayaan liturgi tertentu, ada ketentuan
tata gerak yang perlu kita ikuti bersama-sama dengan
umat lainnya. Bukan hanya tata gerak, tetapi juga
tanggapan atas doa-doa, jawaban atas sapaan, dan
sebagainya. Semua itu dituliskan dalam panduan dan
disampaikan untuk dipahami dan dilaksanakan oleh
semua umat tanpa kecuali.
Mengikuti Perayaan Ekaristi dengan tertib dan
teratur sesuai dengan tata gerak dan tanggapan yang
direkomendasikan merupakan upaya kita untuk terlibat
aktif dalam peristiwa mengenangkan perayaan Paska
bersama Kristus. Dalam Desiderio Desideravi artikel 44
dikatakan bahwa keterlibatan kita dalam perayaan liturgi
dengan melaksanakan tata gerak yang sesuai dan aktif
menjawab sesuai tanggapan yang disediakan, merupakan
wujud keterlibatan aktif yang menampakkan penerimaan
dan kesiapan kita menerima kehadiran Kristus yang kita
rayakan.

54
Hari ke-28

LITURGI DAN SEMANGAT


PENTAKOSTA

Saat Misa pada Hari Raya Pentakosta, sesudah Bacaan


Kedua dan sebelum Alleluia, terdengar suara merdu dari
seorang solis yang menyanyikan Madah Pentakosta:
“Datanglah Roh Ilahi, dan terangilah kami, dengan sinar
surgawi. Datanglah sumber kasih, pelipur hati sedih,
pencipta tanpa pamrih….” Itulah sepenggal Madah
Pentakosta yang sungguh menyentuh hati dan kalbu.
Dalam liturgi, hanya ada 3 perayaan yang memberi
tempat ritus Sekuensia. Yang pertama adalah pada
Perayaan Paskah Pagi yang disebut sebagai Madah
Paskah (Victimae Paschali Laudes). Kemudian pada Hari

55
Raya Tubuh dan Darah Kristus, sering disebut sebagai
Madah Ekaristi (Lauda Sion Salvatorem). Yang ketiga
adalah Sekuensia Pentakosta yang sering disebut sebagai
Madah Pentakosta (Veni Sancte Spiritu).
Sekuensia Pentakosta memberi tempat yang kuat
akan peranan Roh Kudus dalam perayaan iman Gereja.
Tanpa Roh Kudus tidak ada perayaan iman. Adapun
yang membuat kita mampu mengerti dan juga mengimani
seluruh bagian perayaan liturgi adalah karena Roh
Kudus. Keagungan dan keindahan liturgi hanya akan
dirasakan dan dipahami kalau kita juga terbuka akan Roh
Kudus. Roh Pentakosta yang membuat banyak orang
yang lemah merasa dikuatkan dan dihibur, orang yang
berkeras hati merasa dilunakkan dan dicairkan hatinya.
Liturgi menjadi Pentakosta ketika yang gersang merasa
disirami, yang luka hati juga dipulihkan. Pendek kata
“hanya semangat Pentakosta-lah yang dapat memahami
manusia sebagai pribadi, terbuka untuk hubungan penuh
dengan Allah, dengan ciptaan, dan dengan saudara serta
saudarinya (Desiderio Desideravi 33).

56
Hari ke-29

JIWA ARS CELEBRANDI

Miguel dan Wani adalah dua orang misdinar yang


baru saja dilantik. Mereka masih perlu banyak berlatih
sebelum bertugas. Miguel terbiasa berjalan cepat,
sedangkan Wani cenderung berjalan lambat. Wani
selalu ketinggalan langkah saat latihan perarakan. “Ayo,
jalanlah lebih cepat!” kata Miguel kepada Wani. “Ah,
jalannya jangan cepat-cepat. Kakiku nggak sepanjang
kakimu!” kata Wani. Dengan bantuan pendamping
misdinar, mereka terus berlatih demi lancarnya Perayaan
Ekaristi.
Para petugas liturgi yang baru perlu berlatih keras
untuk menghafalkan tata gerak ataupun urutan yang ada

57
di dalam rubrik. Tujuannya adalah agar mereka dapat
menjalankan tugas dengan baik dan perayaan liturgi yang
sedemikian agung dapat berjalan dengan baik, benar,
dan indah. Pergulatan para petugas liturgi baru kerap
kali lebih pada hal-hal teknis: seberapa cepat misdinar
berjalan, seberapa tinggi prodiakon mengangkat sibori,
seberapa lebar imam merentangkan tangan, dsb. Perlu
jam terbang agar gerak yang terasa mekanis itu dapat
sungguh menjadi ekspresi dan menumbuhkan rasa di
dalam hati.
Paus Fransiskus, dalam Surat Apostolik Desiderio
Desideravi artikel 32, mengungkapkan bahwa seni
merayakan (ars celebrandi) bukanlah sesuatu yang dapat
diimprovisasi menurut selera pribadi. Sebagaimana seni,
ars celebrandi membutuhkan penerapan yang konsisten
dan dedikasi yang terus-menerus, agar apa yang kita
rayakan dapat menyampaikan seninya kepada kita.
Ars celebrandi bukan hanya perkara teknis, tetapi juga
mengandung inspirasi yang didapatkan melalui doa
yang konsisten. Maka, marilah kita suka berdoa pribadi
ataupun bersama setiap hari, apalagi sebelum bertugas,
agar seluruh perayaan kita menjadi hidup dan tampak
alami tetapi agung.

58
Hari ke-30

ARS CELEBRANDI
DALAM GERAK TUBUH

Setelah selesai gladi bersih untuk Perayaan Pesta


Pelindung Paroki ‘Hati Kudus Tuhan Yesus’, anak-
anak putra altar dan putri sakristi, juga para prodiakon
masih seru membicarakan tata gerak yang dilatihkan
oleh ceremoniarius. Kebanyakan anak tidak setuju
dengan saat hening dan saat berlutut yang cukup lama,
apalagi tidak mudah konsentrasi dalam tugas dengan
begitu banyaknya petugas liturgi yang lalu lalang tanpa
koordinasi.
Tata gerak dalam perayaan liturgi tidak hanya
berlaku bagi para petugas liturgi dengan imam yang
memimpin perayaan. Seluruh umat juga mesti ikut serta

59
dalam seluruh tata gerak yang berlaku. Para petugas dan
umat melakukan tata gerak tubuh sebagai ungkapan
keindahan serta keagungan liturgi yang dirayakan. Ada
saat umat berdiri seperti saat perarakan masuk semua
petugas liturgi, saat Injil dibacakan, atau saat pernyataan
Syahadat Iman Kepercayaan Katolik serta saat bagian
Prefasi dalam Doa Syukur Agung. Ada kesempatan
hening untuk menyadari kehadiran Tuhan dan
meresapkan ungkapan pertobatan serta saat menyambut
kehadiran-Nya baik dalam liturgi sabda maupun dalam
penyambutan Komuni. Berlutut atau membungkuk
hormat saat mendaraskan Syahadat pada bagian “yang
dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan
Maria”. Menyerukan aklamasi sebelum dan sesudah
Injil dengan lantang, juga aklamasi anamnese sebagai
ungkapan kepercayaan akan misteri agung penyelamatan;
wafat, kebangkitan Tuhan Yesus, serta kedatangan-Nya
kembali yang dinantikan.
Apabila umat bersama para petugas liturgi paham
akan indahnya makna dari tata gerak itu, maka perayaan
liturgi akan lebih bermakna dan membawa sukacita serta
keindahan dalam merayakannya, bukan sekadar capai
atau tidak suka.

60
Hari ke-31

ARS CELEBRANDI
DALAM KATA

Suatu saat, Rama Barto harus merayakan Ekaristi dalam


keadaan yang sangat capai karena padatnya acara. Pada
Minggu pagi, ia telah memimpin Misa di kapel stasi yang
cukup jauh. Sesudahnya, ia harus memimpin rapat Dewan
Pastoral Paroki. Jam 15.00 dia juga harus memimpin
Misa Pemberkatan Jenazah untuk umatnya di wilayah
yang jauh. Maka, ketika jam 19.00 ia memimpin Misa
di gereja paroki, ia sudah merasa sangat capai. Namun,
ia tetap membawakan Misa dengan penuh semangat. Ia

61
tetap menghayati dengan sungguh-sungguh semua kata
dan tindakan yang dibuat selama perayaan.
Setiap kali memimpin Ekaristi, di satu sisi, para
imam bertindak in persona Christi, menampilkan
sabda dan tindakan Kristus sendiri. Namun di sisi lain,
secara manusiawi mereka juga manusia biasa yang
pasti mengalami kerapuhan seperti rasa bosan, jenuh,
dan capai. Lalu bagaimana agar mereka tetap dapat
menghayati Perayaan Ekaristi yang dipimpinnya? Paus
Fransiskus, dalam Surat Apostolik Desiderio Desideravi
artikel 60 menyatakan: “imam terus-menerus dibentuk
oleh tindakan perayaan”. Beliau mengingatkan bahwa
imam dibentuk dengan memimpin melalui kata-kata dan
melalui gerakan yang diletakkan oleh liturgi pada bibir
dan tangannya.
Para imam, ketika memimpin Ekaristi, adalah sebuah
tanda Kristus yang hadir di altar. Ia memiliki karisma
yang mengalir dari rahmat imamat dan bersumber dari
Pribadi Yesus Kristus sendiri. Oleh karena itu, semua
tindakan, sikap, dan kata yang dibuat selama perayaan,
dilakukan dengan penuh penghayatan, tidak boleh asal-
asalan. Imam dituntut menghadirkan ars celebrandi
(keindahan dalam merayakan), termasuk dalam kata
atau doa yang ia lambungkan.

62

Anda mungkin juga menyukai