Anda di halaman 1dari 136

Kerygma pada Era Digital

& Masa Pandemi Covid-19

RD. Agustinus Tri Budi Utomo

i
Kerygma pada Era Digital
& Masa Pandemi Covid-19
Oleh: RD. Agustinus Tri Budi Utomo

Editor : Yung Setiadi


Grafis : Adrian Teja
Foto-Foto : Koleksi pribadi RD. Agustinus Tri Budi Utomo,
Majalah Jubileum
Karikatur : Koleksi pribadi RD. Agustinus Tri Budi Utomo
Transcriber : Silvanus Vondy Kumala,
Franzeska Putri Wheina Yubilea

Diterbitkan oleh:

Majalah Jubileum
Lantai 2 Wisma Pastoran Hati Kudus Yesus
Jl. Mojopahit 38b
Surabaya

iv+128
14,8 cm x 21 cm

Dicetak secara terbatas


Isi diluar tanggungjawab percetakan

Untuk kalangan sendiri

ii
Daftar Isi

Prolog. Siap Setiap Saat ........................................................................................ 1


Sambutan dan Ucapan Terima Kasih ……………………………………… 3

Bab I. Musyawarah Pastoral II Tahun 2019 dan Arah Dasar


Dasar Keuskupan Surabaya 2020-2030
Pertobatan Pastoral pada Musyawarah Pastoral II Tahun 2019 ....... 6
Berakar Lingkungan, Hadir di Tengah Masyarakat.
Pilihan Strategis Pastoral Tahun 2020-2030 .............................................. 12
Diseminasi Arah Dasar Keuskupan Surabaya 2020-2030 .................... 22
Kedewasaan Pastoral: Amor Pastoralis yang Meluap
dari Kedewasaan Iman ......................................................................................... 28

Bab II. Formatio yang Berjenjang dan Inklusif


Keniscayaan Pastoral Formatio Berjenjang ................................................ 38
Kilas Balik Terbentuknya Komisi Pastoral Difabel
Keuskupan Surabaya ............................................................................................. 42
Mbah Sungkem, Putri Anawim dari Kuasi Paroki Ngrambe ............... 50

Bab III. Berpastoral dalam Masa Pandemi Covid-19


Bahaya Larut Tanpa Komitmen dan Tanggung Jawab ........................... 56
Kebijakan Pastoral di Tengah Masa Pandemi Covid-19
sebagai Tantangan Komunikasi Iman ............................................................ 60
Menangkap Makna Paskah bagi Persekutuan Murid Kristus
di Tengah Pandemi Covid-19 ............................................................................. 66
Permasalahan dan Kebutuhan Ekonomi Umat
pada Masa Pandemi Covid-19 ............................................................................ 76
Anggur Baru di Kantong yang Baru. Sekolah Katolik
pada Masa Pandemi Covid-19 ............................................................................ 82

Bab IV. Kerygma dalam Ranah Digital


Kerygma dalam Ranah Digital ........................................................................... 90
Peran Komsos dalam Mengawal Hasil Musyawarah Pastoral II .......... 98
Pentingnya Penulisan dan Dokumentasi Kronik Paroki ......................... 106
Ulang Tahun Gereja Hati Kudus Yesus, Surabaya.
Sebenarnya 21 Juli atau 31 Juli? ........................................................................ 114

Epilog. Penjaga Alur Pastoral Keuskupan ................................................... 125


iii
“Supaya kasih yang Engkau berikan kepadaKu
ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka”
(Yohanes 17:2b)

iv
Prolog :
Siap Setiap Saat

Suatu ketika saya diajak oleh RD. Agustinus Tri Budi


Utomo (MoDik) untuk membesuk ayah dari Anita Anggawidjaja,
SH yang sedang sakit di RS Vincentius a Paulo (RKZ), Surabaya.
Ibu Anita ini adalah seorang notaris yang sering membantu
Keuskupan Surabaya dan, dia juga sebagai anggota Dewan
Keuangan Keuskupan Surabaya.
Saat di dalam mobil dari Katedral Hati Kudus Yesus (HKY)
menuju ke RKZ, saya bertanya, “MoDik, tugas yang harus
dilakukan ketika Romo menjadi Vikaris Jenderal (Vikjen) apa ya?”
Memang sebelumnya saya pernah membaca tentang tugas-tugas
Vikjen, yang saya dapat dari emailnya RD. Fransiskus Xaverius
Sukendar Wignyosumarta (Romo Kendar) yang waktu itu
menjabat sebagai Vikjen Keuskupan Agung Semarang. Juga dari
WA Group yang pernah dibuat oleh Modik, dalam kesempatan
temu Dewan Pastoral Keuskupan, tetapi saya ingin jawaban
langsung dari MoDik. “Menurutku sebenarnya, tugas Vikjen yang
saya refleksikan adalah selalu siap setiap saat ketika Bapa Uskup
membutuhkan,” jawab MoDik. “Kalau soal itu, menurutku
mudah,” pikir saya. Tetapi kok ternyata sulit bagi saya untuk
membuat konsep mendalam dan detil. Lain halnya dengan MoDik,
dia memang dianugerahi oleh Tuhan otak yang encer, meski
pelupa. Namun menurutku MoDik mempunyai memori yang baik.
Tentu timbul rasa syukur ketika Bapak Uskup mengutus Modik
sebagai Vikep Pastoral, sehingga dia bisa merangkai atau
menyambung alur dalam pelaksanaan Ardas. Ternyata hal
tersebut sungguh dilaksanakan dalam Mupas II tahun 2019.
Tanggal 27 Agustus 2021 ini MoDik bersama beberapa
teman seangkatan merayakan dua puluh lima tahun imamat.
Sebagai imam tentu sudah banyak hal yang dilakukan, baik di
Keuskupan Ketapang maupun di Keuskupan Surabaya.
1
Ketika saya sebagai bendahara Unio Indonesia pada tahun
1999 sampai 2005, saya seringkali bertemu Mgr. Blasius Pujo
Raharjo, Uskup Ketapang, karena beliau adalah penasehat Unio
Indonesia. Hampir setiap tahun selesai sidang tahunan para
Uskup pengurus Unio Indonesia bertemu. Saat seperti itulah
biasanya saya titip salam untuk MoDik. Mgr. Pujo Raharjo pun
mengatakan bahwa MoDik mempunyai potensi besar dalam ikut
membangun Keuskupan Kepatang. Semangatnya tinggi dalam
berpastoral, dan tentu menjadi teladan bagi para romo di sana.
Tentu secara pribadi MoDik selama dua puluh lima tahun
sebagai imam mempunyai banyak pengalaman menarik, terutama
pengalaman spiritual. Sharing pengalaman imamat selama dua
puluh lima tahun akan memperkaya imam-imam yang lainnya.
Selamat merayakan ulang tahun imamat ke-25 MoDik, dan
para Romo (seangkatan) lainnya. Ingat motto masing-masing dan
menghayati motto tersebut merupakan upaya dalam menghidupi
imamat.

RD. Yosef Eka Budi Susila


Vikaris Jenderal Keuskupan Surabaya

2
RD. Agustinus Tri Budi Utomo saat memberikan sambutan dan ucapan
terima kasih, mewakili rekan-rekan Imam yang ditahbiskan pada hari
Selasa, 27 Agustus 1996 di Gedung Go Skate, Surabaya. (Dok.: RP.
Stephanus Rudi Sulistijo, CM.)

3
Sambutan dan Ucapan Terima Kasih
Tahbisan Imam Keuskupan Surabaya, 27 Agustus 1996

Tahbisan imam kali ini memberikan arti baru bagi kami.


Kami mengucapkan terima kasih kepada yang telah melahirkan
kami, baik yang hadir di sini maupun yang sudah dipanggil
mendahului kami; terima kasih kepada saudara-saudara kami,
para guru atau pendidik dari TK hingga SMA, para pembina di
seminari tinggi dan semua orang yang terlibat dalam proses
perjalanan panggilan Imamat kami dan akhirnya hingga peristiwa
hari ini.
Juga perkenankanlah kami menyampaikan terima kasih
kepada seluruh panitia dari Keuskupan Surabaya, para donatur
yang telah memberikan dukungan hingga terlaksana acara
tahbisan yang meriah ini.
Dengan pelaksanaan acara yang rapi nan meriah, di tempat
yang tampaknya begitu duniawi sekarang terasa menjadi begitu
Ilahi dan agung. Dengan sound sytem dan pencahayaan yang yang
bagus, dekorasi bunga yang ditata sedemikian rupa. Semuanya
berkat kerja keras seluruh panitia, seksi liturgi, ibu-ibu konsumsi,
dan aparat keamanan.
Sebagai penutup, sekali lagi kami ucapkan terima kasih
kepada seluruh hadirin. Kedatangan hadirin yang meluap dan
semua menatap kami menjadi suatu tanda bahwa Allah pun akan
selalu melihat karya kami.

RD. Agustinus Tri Budi Utomo

4
Bagian I

Musyawarah Pastoral II Tahun 2019


dan Arah Dasar Dasar
Keuskupan Surabaya 2020-2030

5
Kupu. Lambang transformasi diri. (Dok.: Modik)

6
Pertobatan Pastoral
pada Musyawarah Pastoral II Tahun 2019

Sebelum pelaksanaan Musyawarah Pastoral (Mupas) II


Tahun 2019, yakni pada saat pertemuan Kuria Keuskupan dan
Koordinator Karya Pastoral untuk mendiskusikan hal minimnya
waktu yang disediakan bagi sosialisasi hasil Mupas tahun 2009,
Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono menetapkan adanya waktu
yang cukup bagi seluruh insan pastoral untuk memahami isi,
menyebarkan dan menginternalisasikan semangat baru yang
dibawa oleh hasil Mupas II. Bapak Uskup memutuskan, bahwa
tahun 2020 sebagai Tahun Pertobatan Murid-Murid Kristus.
Selama tahun 2020, segenap umat Katolik Keuskupan
Surabaya sebagai persekutuan murid-murid Kristus menyadari
jati diri dan perutusannya, bersama gembala kita ‘menari’
mengikuti irama baru yang dikidungkan oleh Arah Dasar
Keuskupan Surabaya (Ardas) dari hasil Mupas II. Secara khusus,
dijadwalkan selama satu tahun untuk mendiseminasikan hasil
Mupas bagi seluruh umat, khususnya bagi para insan pemangku
reksa pastoral di wilayah Keuskupan Surabaya.
Perubahan situasi dan kondisi penggembalaan sepuluh
tahun ke depan membutuhkan kesiapan dan pertobatan.
Sebagaimana diserukan oleh Bapak Uskup melalui Surat Gembala
pada awal tahun 2020, kita semua diajak untuk berani
mengadakan perubahan cara pikir sehingga terjadi perubahan
perilaku sesuai dengan cita-cita dan perutusan baru sepuluh
tahun ke depan.

Gerbang Pertobatan pada Masa Adven tahun 2019


Selama masa Adven, seiring dengan persiapan Natal 2019,
seluruh warga Gereja Keuskupan Surabaya menerima hasil Mupas
II sebagai komitmen pertobatan dan penunjuk arah
penggembalaan yang dikehendaki Tuhan Yesus bagi Keuskupan

7
Surabaya. Oleh karena itu, tahun 2020 menjadi tahun
‘mengumatkan’ (diseminasi) hasil Mupas II. Diharapkan semua
insan pastoral memahami apa yang telah dihasilkan dan
ditetapkan dalam Mupas II, mulai dari pengurus lingkungan dan
stasi, paroki, kevikepan dan komisi-komisi di Keuskupan
Surabaya. Tujuan komitmen pertobatan ini adalah menyatukan
gerak dalam menghidupi hasil Mupas II dengan “sehati sepikir,
dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari
kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia” (Filipi 2: 2-5).
Masa Adven pada tahun 2019 merupakan pembuka pintu
komitmen pertobatan 10 tahun ke depan. Oleh karena itu Komisi
Katekese menetapkan Tema Adven 2019 adalah Menyiapkan Jalan
Bagi Tuhan. Karena Adven sebagai tahun baru Gereja, maka Adven
2019 ini menjadi wujud konkrit awal dalam mewujudkan komitmen
pertobatan.

Tiga “Kuman” Penghambat Pertobatan


Tentu saja pertobatan bukanlah hal yang mudah diikuti.
Injil Matius mengisahkan peristiwa setelah murid-murid Yohanes
menanyakan tentang pekerjaan Kristus, bahwa Kerajaan Allah
sejak tampilnya Yohanes telah ‘diserong’ dan lebih lagi
penyerongnya hendak menguasainya.
Lebih lanjut Matius mencatat perumpamaan Yesus tentang
masyarakat (pasar) ‘angkatan’ jaman itu, yang juga relevan bagi
kita, angkatan jaman sekarang, “Kami meniup seruling bagimu,
tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi
kamu tidak berkabung” (Matius 11:17).
Pertobatan pada dasarnya suatu kesediaan berubah (cara
berpikir dan perbuatan) karena menanggapi perubahan demi
tujuan yang lebih baik. Di samping itu, pertobatan juga perubahan
karena menyadari dan mengakui akan kesalahan atau
kekurangannya. Yohanes setiap kali membaptis mengajak orang
mengarahkan diri dari cara hidup lama kepada kerajaan Allah
yang sudah mendekat (Matius 3:5).
Dalam budaya manusia ‘angkatan kini’ (kontemporer),
setidaknya dapat kita tenggarai tiga sikap penghambat
pertobatan: Pertama, blame. Menyalahkan siapapun yang
8
menyebabkan kegagalan, kesalahan dan kekurangannya. Sumber
kesalahan selalu pada orang lain ataupun keadaan di sekitarnya.
Pada umumnya mereka sudah puas dengan menemukan ‘kambing
hitam’ (scapegoat). Adanya kambing hitam menjadi pembenaran
untuk tidak berubah. Kedua, excuse. Selalu mencari alasan untuk
tidak berubah. Memang tidak menyalahkan pihak lain, tetapi
mereka selalu mempertahankan kenyamanan diri dengan
menyampaikan aneka alasan. Ketiga, denial. Tidak suka terhadap
kritik, koreksi dan pendapat baru. Mereka menganggap apa yang
sudah biasa (tradisi) diyakini atau dilakukan adalah yang paling
benar. Pendapat yang berbeda dengan dirinya dianggap salah dan
mengancam diri mereka.

Pastoral
Istilah ‘pastoral’ dari kata ‘pastor’ artinya gembala. Pastoral
adalah pekerjaan gembala terhadap domba-dombanya. Dalam
Gereja Katolik istilah pastoral (penggembalaan) adalah istilah
kunci sudah sejak awal. Pada abad ke VI Paus Gregorius Agung
mengartikan pastoral sebagai ars artium regimen animarum (seni
memimpin jiwa-jiwa) yang menjadi tugas utama Uskup dan para
imam.
Yesus Kristus sejak awal mengingatkan dan
memerintahkan kepada Petrus, bahwa menggembalakan domba-
domba Tuhan adalah kelanjutkan dari mencintai Tuhan (Yohanes
21:14-17). Petrus tiga kali ditanyai oleh Tuhan secara bertahap,
suatu proses pembatinan yang dilakukan Tuhan kepada dirinya
hingga mewujud menjadi penghayatan yang menyertai
penggembalaan Petrus sepanjang hidupnya.
Penggembalaan jemaat adalah wujud aktual dari cinta
kepada Tuhan, sehingga Petrus menuliskan pada suratnya kepada
para gembala (penatua) di Asia Kecil bahwa “Gembalakanlah
kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa,
tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan
karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri.
Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas
mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu

9
menjadi teladan bagi kawanan domba itu. Maka kamu, apabila
Gembala Agung datang, kamu akan menerima mahkota kemuliaan
yang tidak dapat layu” (I Petrus 5:2-4).

Musyawarah Pastoral
Musyawarah Pastoral merupakan peristiwa Gereja yang
karenanya Uskup sebagai gembala di Keuskupan Surabaya berusaha
menangkap kehendak Allah bagi domba-domba-Nya selama sepuluh
tahun ke depan. Di wilayah Keuskupan Surabaya terdapat
sekitar160.000 ‘domba’ (jemaat) yang dipercayakan Allah untuk
digembalakan dalam perubahan arus jaman saat ini dan ke depan.
Melalui Mupas II, Uskup bersama Umat Allah dibawah bimbingan
Roh Kudus menegaskan arah penggembalaan bagi Gereja Keuskupan
Surabaya selama 10 tahun ke depan (2020-2030).
Ada beberapa usaha yang dilakukan demi menangkap
kehendak Allah: 1) Menegaskan kembali jati diri Gereja dan
perutusannya sebagai Persekutuan serta menggali hal apa yang
masih kurang diupayakan dalam reksa penggembalaan
Keuskupan Surabaya selama ini. 2) Menangkap tanda-tanda
jaman, menganalisa dan memperkirakan hal-hal apa saja yang
mempengaruhi keadaan masyarakat sepuluh tahun ke depan. 3)
Menangkap dan mengenali pendapat umat, khususnya para
fungsionaris pastoral di semua jenjang atas pelaksanaan pastoral
selama ini. 4) Menyimpulkan dan menentukan ke arah mana
penggembalaan Gereja ini diharapkan. 5) Merumuskan strategi
pastoral, yakni menentukan apa yang perlu direncanakan,
diadakan, diprioritaskan dan dilakukan agar apa yang dicita-
citakan dapat diwujudkan.

Pertobatan Pastoral
Melalui Surat Anjuran Evangelii Gaudium (EG), sebagaimana
dikutip dalam buku ke-3 hasil Mupas II (Program Strategis
Keuskupan Surabaya Tahun 2020-2030, halaman 7), Paus Fransiskus
menegaskan, “Tanpa kesetiaan Gereja pada panggilannya sendiri,
struktur baru manapun akan terbukti tidak efektif sehingga akan
hancur dalam waktu singkat” (EG 26).

10
Bagi Paus Fransiskus setiap pembaruan Gereja pada
hakikatnya suatu pewujudan kesetiaan kepada panggilannya, suatu
pilihan strategis yang dituntut oleh pertobatan pastoral karena
berorientasi pada misinya (EG 27). Mupas II adalah wujud kesetiaan
Gereja Keuskupan Surabaya di bawah penggembalaan Uskup yang
menegaskan arah, melanjutkan ziarah Gereja Kristus, menghadirkan
wajah dan misi-Nya bagi dunia saat ini.
Bersama diumumkannya hasil Mupas II, Mgr. Vincentius
Sutikno Wisaksono sebagai gembala utama mengajak seluruh umat
Katolik Keuskupan Surabaya, khususnya para fungsionaris
penggembalaan untuk mengarahkan seluruh kehendak, pikiran dan
hati untuk memahami, menyesuaikan diri serta menjalankan reksa
penggembalaan sesuai dengan Arah Dasar Keuskupan.
Untuk itu selama tahun 2020, kita bergerak untuk belajar
bersama, menyebarkan (diseminasi) dan menyusun peta perjalanan
(roadmap) penggembalan di semua jenjang dan lini penggembalaan.

Artikel pernah diterbitkan pada rubrik Laporan Utama dalam


Majalah Jubileum edisi 235. Maret 2020.
11
Di perbukitan daerah Pacet, Mojokerto (Dok.: Modik)

12
Berakar Lingkungan,
Hadir di Tengah Masyarakat
Pilihan Strategis Pastoral 2020-2030

“Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh


harapannya pada Tuhan! Ia akan seperti pohon yang ditanam di
tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan
yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap
hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak
berhenti menghasilkan buah”
(Yeremia 17:7-8; bdk. Mazmur 1:3)

“Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang


baik, tetapi pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak
baik pula”
(Matius 7:17)

Jika Gereja dianalogikan sebagai pohon, maka berpastoral


dapat dianalogikan seperti menanam pohon. Yesus Kristus
menganalogikan pemeliharaan pohon untuk menghasilkan buah-
buah kekudusan, perbuatan, sikap, nilai kebaikan, kontribusi dan
dampak positif bagi pembangunan Kerajaan Allah. Masih dalam
analogi yang sama dalam hal pastoral, pilihan kebijakan
merupakan akar yang penting bagi pertumbuhan pohon, cabang,
daun, bunga, dan buah.

Pohon
Perjanjian lama juga sangat sering memaknai
pohon sebagai lambang dan tempat istimewa. Di bawah pohon-
pohon orang-orang Israel membuat pertemuan, mengadakan
pengadilan dan kongres rakyat (Hakim-Hakim 4:5; I Samuel 14:2;
22:6). Di dekat pohon-pohon tertentu mereka memilih tempat
13
untuk makam orang-orang penting (Kejadian 35:8; I Samuel
31:13; I Tawarikh 10:12). Misalnya pohon Tarbantin di dekat
Sikhem (Kejadian 12:6; 35:4), pohon Tarbantin yang ada di tugu
peringatan dekat Sikhem (Hakim-Hakim 9:6), pohon Tarbantin
peramal dekat Sikhem (Hakim-Hakim 9:37), di Betel (I Raja-Raja
13:14) dan di Yabesh (I Tawarikh 10:12).
Secara mitologis, pohon dimaknai secara simbolik seperti
pohon Kehidupan, pohon Pengertian Baik dan Jahat (Kejadian
2:9,17). Demikian pula tentang pohon Aras, pohon-pohon Tuhan
(Bilangan 24:6, Mazmur 104:16).
Bahkan pohon juga dipersonifikasikan atau digambarkan
sebagaimana manusia yang bisa bertepuk tangan (Yesaya 55:12),
bergembira (Mazmur 96:12), dan iri hati (Yehezkiel 31:9).
Gereja persekutuan secara fisik dan sosial merupakan
institusi tubuh Kristus yang didalamnya mengemban karisma dari
Allah Tritunggal, terutama perutusan untuk pengudusan,
pengajaran dan penggembalaan bagi sejarah manusia. Gereja
seumpama pohon yang ditanam, bertumbuh dan hidup di kebun
alam raya milik Tuhan, melewati aneka pergantian musim.

Buah
Dalam Kitab Suci, Buah dipergunakan dalam perlambangan
secara detil, istimewa, dan kaya. Sampai-sampai buah pertama
yang terbaik harus dipersembahkan untuk Allah.
Terkait proses yang diperlukan untuk buah, diantaranya
adalah; akibat dari pengolahan lahan (hasil tanah; Kejadian 4:3,
Mazmur 85:13), pemberian Allah (Kisah Para Rasul 14:17), hasil
pemeliharaan Allah untuk manusia (Maleakhi 3:11), akibat dari
tanah yang subur (Mazmur 107:34), dicurahi hujan dari langit
(Mazmur 104:13, Yakobus 5:18), dipengaruhi sinar matahari dan
bulan (Ulangan 33:14), sesuatu yang harus dinantikan dengan
sabar (Yakobus 5:7), dan dikirimkan sebagai hadiah (Kejadian
43:11).
Terkait ancaman dari luar yang mempengaruhi kualitas
buah: hama belalang (Ulangan 28:38,39; Yoel 1:4), murka Allah

14
(Yeremia 7:20; Matius 21:18-22, Markus 11:12-14;20-26),
penyakit (Yoel 1:12) dan Kekeringan (Hagai 1:10).
Tentang jenis kualitas buah: terbaik, lezat, telah lama
dipetik, baru saja dipetik, masak sebelum waktunya, elok
dipandang mata, dan buah yang tidak baik (Ulangan 33:14, Kidung
Agung 4:16; Yesaya 28:4, Yeremia 11:16, Matius 7:17).
Buah juga dipakai sebagai lambang: pertobatan (Matius
3:8), Pekerjaan Roh Kudus (Galatia 5 22-23, Efesus 5:9),
kebijaksanaan (Kidung Agung 2:3), percakapan manusia dan puji-
pujian (Amsal 12:14; 18:20, Ibrani 13:15), perbuatan baik dan
buruk manusia (Matius 7:17-18; 12:33, Filipi 4:17), ibadah (Amsal
11:30), bertambahnya orang yang menjadi percaya (Yohanes
4:36, Mazmur 72:16), pahala bagi orang kudus (Yesaya 3:10), dan
sebagainya.
Gereja pada hakekatnya adalah misi dan ada karena diutus
bagi dunia. Pohon yang baik mesti menghasilkan buah yang baik
bagi dunia. Kehadiran Gereja berdampak bagi penegakan dan
pembangunan Kerajaan Allah.

Ranting/cabang/carang
Para murid Yesus dilambangkan dalam Perjanjian Baru
sebagai ranting yang tak mungkin bisa hidup secara benar jikalau
tidak menempel, menyatu, dan tinggal dalam Tuhan. Yesus Kristus
pada suatu kesempatan menganalogikan diri-Nya sebagai pokok
pohon anggur, “Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Ku
pengusahanya. Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah,
dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya,
supaya ia lebih banyak berbuah. Kamu memang sudah bersih
karena firman yang telah Kukatakan kepadamu. Tinggallah di
dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak
dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada
pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu
tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah
ranting-rantingnya” (Yohanes 15: 1-8). Di sini dijelaskan suatu
konteks Perjanjian Lama bahwa Yesus merupakan penggenapan

15
dari segala harapan Israel tentang kebun anggur pilihan Allah
(bdk. Mazmur 80:9, Yesaya 5:1-7, Yeremia 2:21, Hosea 10:1).
Tekanan Injil Yohanes ketika menceritakan tentang pokok
dan ranting adalah mengenai kualitas pengenalan, relasi dan
kesatuan (intimitas) para murid dengan Kristus. Bersama dengan
itu terjadi proses pemurnian dan pemisahan karena iman dan
cinta yang mengalir antara ranting dan pokoknya. Seluruh
tindakan pastoral tiada lain untuk memfasilitasi bersatunya umat
dengan Tuhan. Program pastoral merupakan proses berjenjang
pendewasaan iman, harapan dan kasih umat.

Daun
Kitab Wahyu menyinggung daun sebagai lambang Injil
Kristus, daun yang bisa menyembuhkan penyakit dosa karena
pada daun itu terdapat obat dari Allah (Wahyu 22:2). Pada Kitab
Kejadian, daun digunakan sebagai penutup malu, aib dan
kedosaan (Kejadian 3:7). Namun dalam Injil disebutkan bahwa
daun yang lebat dan hijau belum tentu menjamin akan buah yang
baik. Maka baik Matius maupun Markus mencatat peristiwa
pengutukan pohon ara oleh Yesus.
Dalam hidup berparoki, banyaknya program, kegiatan dan
kemeriahan acara belum tentu menjadi jaminan bahwa akan
berbuah baik. Kalau perlu ‘ranting dan daun’ (jumlahnya aktivitas
pastoral) yang tidak baik mesti di potong dan dibersihkan supaya
menghasilkan buah yang baik bagi pengudusan diri dan
kesejahteraan masyarakat.

Filosofi akar
Sungguh menarik pelajaran yang dapat ditimba dari
kedalaman makna ‘akar’. Akar kebanyakan menjalar secara ajaib
di bawah permukaan tanah, tidak menonjol melebihi batang dan
daun. Bekerja siang dan malam untuk menopang kehidupan dan
pertumbuhan seluruh pohon. Sekurang-kurangnya, ada tujuh
fungsi akar:
1) Penopang tumbuh tegaknya tanaman agar kuat menahan
beban cabang dan beratnya daun,

16
2) Penyerap air dan hara (nutrisi organik/anorganik) dari
kesuburan tanah untuk disalurkan ke keseluruhan bagian dari
tanaman,
3) Penyimpan cadangan makanan dan air demi terjaminnya
kelangsungan hidup tanaman,
4) Dalam tumbuhan tertentu , disamping permukaan daun, akar
juga berfungsi fotosintesis yakni mengubah energi matahari
menjadi energi biokimia yang diperlukan tanaman untuk
membentuk karbohidrat. Hampir semua makhluk hidup di
bumi ini bergantung pada energi yang dihasilkan oleh
fotosintesis ini. Pasokan oksigen murni di atmosfir bumi
datang dari proses fotosintesis ini.
5) Fungsi respirasi, seperti nafas pada paru paru manusia.
6) Fungsi gerak. Tumbuhan sebenarnya tidak hanya tumbuh ke
atas dan membesar, namun dibawah permukaan tanah juga
bergerak ke dalam dan ke samping untuk mendapatkan
sumber air dan nutrisi (hara) dari tanah di sekitarnya.
7) Fungsi reproduksi. Selain dari bunga dan biji, akar beberapa
tumbuhan juga berfungsi duplikasi dan berkembang biak. Dari
akar bisa bertunas menjadi tumbuhan baru.

Keluarga sebagai Communio Personarum


Paus Yohanes Paulus II dalam Surat bagi para keluarga
Gratissimam Sane (no. 7) mengatakan bahwa keluarga adalah
komunitas fundamental masyarakat, komunitas pribadi-pribadi
yang cara keberadaannya dan hidup bersamanya sebagai
persekutuan (communio personarum). Keluarga adalah ruang
terpenting bagi pengakuan dan pengembangan martabat pribadi
manusia untuk mencapai kepenuhannya.
Tujuan Ilahi kepenuhan martabat pribadi dibentuk dan
dibina dalam keluarga sebagai komunitas kasih yang hidup.
Keluarga merupakan ‘rahim’ alih generasi bagi kelestarian spesies
umat manusia, lembaga sosial yang tak bisa dan tak boleh diganti.
Keluarga adalah ruang kudus kehidupan, pembentuk dan
penentu masyarakat. Pada lapis yang paling mendasar, pastoral
paroki tiada lain adalah tindakan Gereja dalam menjaga,

17
melindungi dan mengembangkan martabat suci panggilan
keluarga di tengah masyarakat. Keluarga adalah struktur
komuniter pertama dan paling mendasar bagi penyelamatan
‘ekologi manusiawi’.

Keluarga sebagai akar lingkungan


Frasa ‘lingkungan’ disini adalah istilah kegerejaan yang
terkait dengan himpunan yang menjadi bagian dari wilayah
teritorial Paroki. Jadi bukan dimaksudkan dengan ‘lingkungan
hidup’ dalam pengertian ekologi. Lingkungan dalam sejarahnya
pernah dinamai dengan istilah ‘kring’.
Dalam Pedoman Pastoral Pengurus Lingkungan (PPPL), di
jelaskan bahwa “Lingkungan adalah cara hidup menggereja
murid-murid Kristus dalam persekutuan teritorial berakar
keluarga dengan jumlah tertentu. Persekutuan para murid
Kristus ini menjadi bagian dari paroki, hidupnya berdekatan
dan menghayati imannya secara mendalam melalui pewartaan,
persekutuan, peribadatan, kesaksian, dan pelayanan masyarakat”
(PPPL pasal 1).
Seluruh pemaknaan akan simbolisme ‘akar’ di atas, dapat
kita pantulkan pada posisi keluarga sebagai akar penopang dan
pemberi kehidupan komunitas di atasnya. Panggilan Gereja dalam
pastoral lingkungan tidak boleh menyepelekan kedudukan
strategis pengudusan keluarga. Seluruh pastoral akan menjadi
pohon ara dengan daun lebat namun dikutuk oleh Tuhan karena
tidak berbuah bagi ‘kesejahteraan keluarga’.

Lingkungan sebagai Communio Familiarum dan Komunitas


Dasar Gerejawi
Posisi penting keluarga memiliki tempat utama dalam cara
hidup menggereja. Lingkungan sebagai persekutuan (communio)
pada dasarnya sebagai ‘keluarga’ yang lebih besar yang
didalamnya terdapat keluarg-keluarga. Lingkungan merupakan
persekutuan keluarga-keluarga (communio familiarum).
Keluarga dalam ajaran magisterium juga disebut sebagai
‘Gereja Rumah Tangga’ (ecclesia domestica). Karena pemenuhan

18
panca tugas Gereja terjadi juga dalam setiap keluarga
kristiani. Keluarga bukan hanya dalam arti biologis (hubungan
darah dalam ikatan perkawinan) tetapi juga dalam arti
eklesiologis yakni himpunan pribadi pribadi dalam semangat
kekeluargaan, sebagai keluarga Umat Allah.
Lingkungan juga dapat kita sebut sebagai Komunitas Dasar
Gerejawi (Basic Ecclesial Community) karena Lingkungan ini
adalah sel dasar (di atas/sesudah keluarga) dimana gen hidup
Gereja secara lengkap tercermin dan terwujud secara konkrit.

Paroki sebagai communion of communities


Melalui Baptis, setiap warga Katolik disatukan dalam
Gereja. Maka Gereja merupakan persekutuan murid-murid
Kristus. Persekutuan murid-murid Kristus berada dalam paroki
(Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik, kanon 515 artikel 1).
Komunitas paroki dibagi dalam komunitas-komunitas yang lebih
kecil dan kongkrit, yaitu lingkungan.
Paroki bukanlah persekutuan tersendiri diluar persekutuan
lingkungan. Seluruh program pastoral paroki tidak bisa sebagai
kegiatan lain diluar penggembalaan warga Lingkungan. Paroki
merupakan kesatuan dari lingkungan-lingkungan (communion of
communities).
Maka lingkungan sebagai persekutuan umat beriman,
masing-masing warganya saling memberikan semangat hidup,
saling menguatkan dan memberikan perlindungan serta saling
menumbuhkan dan mengembangkan iman satu sama lain. Oleh
karena itulah lingkungan sebagai komunitas orang beriman
menghidupi dan menghidupkan warga lingkungan.

Lingkungan sebagai akar paroki untuk hadir di tengah


masyarakat
Pilihan strategis Pastoral Keuskupan Surabaya untuk
sepuluh tahun kedepan (2020-2030) adalah pendewasaan
paroki berakar lingkungan yang hadir di tengah masyarakat.
Pertimbangan pilihan strategis tersebut adalah karena
persekutuan lingkungan (komunitas yang lebih kecil dan konkrit)

19
memiliki relasi antar warga yang personal dan intensif.
Kehidupan persekutuan umat paroki ditentukan oleh
persekutuan warga lingkungan dan persekutuan antar komunitas
sesama lingkungan. Kuatnya relasi antar warga di lingkungan dan
antar lingkungan akan meneguhkan dan menopang persekutuan
paroki. Jadi lemahnya relasi antar warga lingkungan dan antar
komunitas lingkungan akan berdampak negatif pada komunitas
paroki.
Paroki adalah pohon dengan segala kelengkapannya,
seluruh nafas dan dinamika kehidupannya di topang dan dipasok
dari kontribusi bersama seluruh lingkungan (fungsi respiratif)
yang ada di wilayah paroki tersebut. Kemegahan paroki adalah
semu/palsu jikalau tidak ditopang oleh “kualitas nafas hidup yang
sehat” di lingkungan.
Kecilnya jumlah warga anggota lingkungan bukan
dimaksudkan untuk memperlemah kekuatan tetapi justru
meningkatkan kualitas relasi saling kenal, kepedulian, jangkauan
sentuh, dan penghargaan akan potensi karunia tiap pribadi untuk
ambil bagian dalam hidup menggereja. Setiap pribadi dan proses
kepenuhan hidup masing masing anggota terangkul dan
terselami.
Dengan meningkatnya jumlah anggota melebihi 40
keluarga, maka lingkungan bisa menjalankan fungsi reproduktif,
yakni segera menyiapkan diri terbentuknya lingkungan baru.
Demikian selanjutnya hingga tiba saatnya dapat berkembang
menjadi paroki baru.
Melalui dan oleh rahmat baptis, setiap warga Katolik diutus
sebagai saksi Kristus dengan menjadi garam dan terang bagi
dunia (masyarakat). Oleh karena itu lingkungan sebagai
persekutuan murid-murid Kristus selalu berjuang meresapi dan
menularkan nilai-nilai Injil bagi masyarakat di sekitarnya.
Lingkungan merupakan engsel hidup antara persekutuan
paroki dan keragaman masyarakat. Di dalam dan melalui
lingkungan, paroki hadir di tengah masyarakat. Kabar sukacita
Injil yang diresapi di lingkungan diterjemahkan menjadi
kesaksian hidup, keteladanan dan kepeloporan dalam

20
mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan alam lingkungan
hidup yang sehat dan lestari. Melalui warga lingkungan, Gereja
menjadi garam dan terang bagi masyarakat.
Pola strategi tahunan Keuskupan Surabaya dalam kerangka
10 tahun kedepan menjadi proses formasi berjenjang, yang
bergerak dari: Penguatan personal setiap murid Kristus –
Keluarga sebagai Gereja Rumah Tangga (ecclesia domestica) -
Penguatan jati diri dan perutusan komunitas lingkungan –
Pendewasaan paroki menuju Gereja yang hadir sebagai garam
dan terang masyarakat.
Dengan proses formasi seperti yang telah disebutkan di
atas, diharapkan Umat Katolik Keuskupan Surabaya dapat
menghidupi jati dirinya sebagai persekutuan sakramental dan
berkontribusi bagi pembangunan bangsa. Hadir dengan integritas
iman sebagai murid Kristus, bersatu dan bersama Kristus dalam
mewujudkan karya keselamatan secara tulus dan tanpa pamrih
demi terwujudnya kesejahteraan bersama (bonum
commune) yang berkeadilan dan cinta damai.

Artikel pernah diterbitkan pada rubrik Laporan Utama dalam


Majalah Jubileum edisi 230. Oktober 2019.

21
Diseminasi Ardas 2020-2030 untuk Kevikepan Kediri di Paroki Santa
Maria, Jombang. 17 Februari 2020. (Dok. Keuskupan Surabaya)

Diseminasi Ardas 2020-2030 untuk Kevikepan Madiun di Paroki Santo


Cornelius, Madiun. 9 Februari 2020. (Dok. Keuskupan Surabaya)
22
Diseminasi Arah Dasar 2020-2030

Pada pertengahan tahun 2011, ketika


mengawali berlakunya Ardas (Arah Dasar) Keuskupan Surabaya
2009-2019, ditengarai oleh Kantor Koordinasi Pastoral tentang
kurangnya waktu “sosialisasi” hasil Mupas (Musyawarah
Pastoral) I. Sehingga pola perumpunan bidang pastoral sebagai
pewujudan jati diri Gereja sebagai persekutuan berjalan cukup
alot. Beberapa paroki kesulitan untuk adaptasi dengan
serempaknya keserempakan gerak pastoral dalam struktur
Dewan Pastoral Paroki.
Di akhir tahun 2018, ketika sedang mempersiapkan
skenario roadmap (peta jalan) pelaksanaan dan tindak lanjut
Mupas II Tahun 2019, disadari betapa pentingnya saat khusus
yang disediakan secara mencukupi untuk “sosialisasi” hasil
Mupas. Akhirnya pada awal September 2019, Bapak Uskup
memutuskan agar tahun 2020 dikhususkan sebagai masa
“sosialisasi” hasil Mupas II.
Selama ini kita terbiasa dengan istilah “sosialisasi” sebagai
tindakan pengumatan hasil Mupas II. Namun selama ini ternyata
berbagai pihak, bahkan di kalangan masyarakat umum, kurang
menyadari makna sebenarnya dari kata “sosialisasi”.

Sosialisasi atau Diseminasi?


Pada pertemuan tim Pusat Pastoral, 11 November 2019.
Saat menyusun rencana tindak lanjut pasca Mupas II, RD. Benny
Suwito, dosen Teologi Dogmatis dari Seminari Tinggi Providentia
Dei yang juga salah satu anggota tim Steering Committee Mupas
II, mengungkapkan kritiknya atas pemakaian istilah
sosialisasi secara ‘salah kaprah’.
Sosialisasi merupakan istilah sosiologis terkait proses
interaksi yang dimulai sejak lahir seiring dengan proses tumbuh
kembang kepribadian (pembentukan sikap dan perilaku) untuk
23
dapat diterima sebagai bagian dari kelompok suatu masyarakat
tertentu.
Sebagai makhluk sosial, kita senantiasa berinteraksi
dengan manusia lainnya. Dalam proses sosialisasi terjadi
internalisasi, adaptasi dan pembentukan peran sesuai norma-
norma sosial masyarakatnya. Lebih lagi, dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) di jelaskan bahwa pertama-tama
sosialisasi berarti usaha untuk mengubah milik perseorangan
menjadi milik umum.
Lebih lanjut, Romo Benny mengusulkan istilah yang lebih
tepat dalam rangka mengumatkan hasil Mupas II yakni memakai
istilah “diseminasi”. Secara umum diseminasi adalah proses
penyebaran informasi terhadap sekelompok target atau
individu tertentu agar memperoleh informasi, timbul kesadaran
baru, menerimanya, sehingga dapat memanfaatkan informasi
tersebut untuk dilakukan secara bersama. Tujuan diseminasi
adalah inovasi, dalam hal ini inovasi dalam cara hidup menggereja
dan cara penggembalaannya.
Istilah diseminasi berasal dari bahasa Latin disseminare
(dis+semen). Kata benda Semen artinya benih, dari kata kerja
serere–sevi-satus yang artinya menaburkan benih agar
bertumbuh menjadi tanaman baru yang lebih banyak dan
menghasilkan panenan. Dalam pemakaian umum, kata benih
merupakan analogi bagi: berita, informasi, ide atau suatu nilai.

Tahun 2020, saat memulai diseminasi hasil Mupas II


Buku pertama hasil Mupas II berisi Butir-Butir Cita-Cita
Ardas, yakni 48 butir gagasan yang tercantum dalam isi cita-cita
Arah Dasar Keuskupan Surabaya. Demikian juga tiga buku hasil
Mupas yang lain juga merupakan butir-butir yang dipetik selama
proses pramupas yang dapat dianalogikan dengan benih atau
biji untuk ditaburkan ke seluruh anggota Gereja Keuskupan
Surabaya, sebagai tanah yang subur, untuk dipahami. Diseminasi
bukanlah tindakan memaksa orang untuk menerima dan
melakukan tanpa memahami isi informasinya.

24
Sesuai mandat Uskup Surabaya, maka tahun 2020 sebagai
masa diseminasi awal pengumatan hasil dan spirit baru hasil
Mupas II. Secara serentak selama setahun setiap kevikepan,
paroki hingga Lingkungan menyediakan diri sebagai tanah yang
subur untuk menerima taburan benih pertobatan baru cara hidup
menggereja sebagaimana telah dipetik pada Mupas II.
Diseminasi merupakan proses penyebaran inovasi yang
terencana, terarah dan terkelola secara matang. Bukan asal
menyelesaikan kewajiban dalam batas waktu tertentu melainkan
proses terus menerus pembentukan kesadaran dan perubahan
perilaku (pembentukan habitus) dalam pengelolaan pastoral.
Proses Mupas II adalah proses penegasan arah bersama.
Oleh karena itu, tidak ada orang yang bisa dianggap sebagai ahli
yang telah mengetahui segala-galanya tentang hasil Mupas II. Bagi
kita semua, baik Uskup, semua imam, fungsionaris pastoral
paroki, dan lingkungan, hasil Mupas II adalah temuan baru, suatu
perintah baru, yang perlu kita siapkan bersama untuk
mewujudkannya. Suatu anggur yang baru yang memerlukan
kantong yang baru pula.
Dilain sisi, diseminasi juga bukan tugas segelintir orang
yang dianggap telah menguasai seluruh ‘jurus’. Kita semua
dipanggil untuk menyediakan diri dibimbing oleh Roh Kudus
untuk belajar bersama, mendalami, memahami, serta menerima
Ardas 2020-2030 sebagai hasil Mupas II menjadi perutusan kita
bersama untuk diimplementasikan secara bersama pula. Yang
jelas, kerangka pikiranan terwujud dalam empat buku hasil
Mupas. Empat buku tersebut masih berupa peta perjalanan. Masih
ada agenda berikutnya yang harus dikerjakan: 1) Informasi pokok
apa yang dipahami; 2) Rancangan metode diseminasi, tahap-
tahap jangkauan diseminasi, indikator keberhasilannya,
perangkat atau tim yang diperlukan, kerangka waktu, dan
seterusnya.

Peran penting Tim Diseminasi


Pertanyaan yang paling utama dan pertama kali diajukan
dalam proses diseminasi ini adalah: Siapa yang diharapkan

25
melaksanakan diseminasi ini? Mungkinkah ada satu tim yang
menyiapkan, mendalami dan berkeliling ke semua unit pastoral
sekeuskupan untuk melaksanakannya? Jika demikian, lebih lagi
kalau tim ini berkeliling di setiap paroki dan stakeholder pastoral
lainnya, maka dapat muncul pertanyaan: “Selesainya kapan?”
Dengan demikian ada sekian paroki menunggu giliran hingga
akhir tahun. Betapa tidak efektif serta minimnya pewujudan
tanggungjawab bersama.
Cara yang paling realistis adalah Pusat Pastoral membentuk
tim fasilitator proses diseminasi bersama tim-tim yang dibentuk
oleh tiap kevikepan, secara bersama mendalami, menyusun
materi, merancang strategi dan media pelaksanaan diseminasi
bagi seluruh paroki, komunitas, lembaga karya serta bagi forum
pastoral kategorial.
Tiga kali pertemuan para pastor paroki bersama
fungsionaris karya pastoral keuskupan atau temu pastores
disetiap tahun sungguh merupakan terobosan strategis dalam
melakukan proses diseminasi, pengawalan implementasi Ardas
hingga evaluasinya. Pertemuan pastores pertama pada Januari
2020 diharapkan dapat mewujudkan pembentukan tim
diseminasi Ardas tersebut. Sedangkan enam agenda pokok pada
triwulan pertama 2020 adalah:
• Pembentukan dan penguatan kapasitas Tim di Pusat Pastoral
Keuskupan (Puspas). Sasaran perutusan tim ini adalah
memberdayakan seluruh fungsionaris unit-unit pastoral yang
ada dalam Puspas dan memberdayakan Tim diseminasi
Kevikepan, termasuk di dalamnya strategi diseminasi dan
penguatan pengurus Lingkungan mengacu pada Pedoman
Pastoral Pengurus Lingkungan.
• Pembentukan dan penguatan kapasitas Tim Kevikepan.
Sasaran perutusan tim tingkat kevikepan ini adalah
diseminasi bagi setiap paroki serta pemberdayaan pengurus
Lingkungan sekevikepan masing-masing.
• Penggandaan dan distribusi 4 buku hasil Mupas berserta
media penunjang diseminasi hasil Mupas kepada semua
lapisan.

26
• Optimalisasi fungsi media komunikasi agar semakin luas
sasaran jangkauan, semakin inovatif dan semakin efektif
jalannya proses diseminasi.
• Pembumian gagasan secara inovatif, komunikatif dan
kontekstual terhadap: butir-butir isi cita-cita Ardas,
pengarusutamaan pilihan strategi pastoral pendewasaan
paroki berakar lingkungan yang hadir di tengah masyarakat,
kelengkapan yang diperlukan bagi penerapan Pedoman
Pastoral Pengurus Lingkungan serta aplikasi fokus tahunan
2021-2030 di dalam pengelolaan pastoral Paroki.
• Perancangan jadwal dan anggaran.

Penutup
Kesadaran akan rahmat baptis yang diteguhkan oleh
sakramen krisma, Roh Kudus mewujud dalam nyala cinta
yang terus menerus berkobar di setiap pribadi murid Kristus.
Nyala cinta yang mengobarkan rasa tanggungjawab bersama,
bahwa mandat resolusi hasil Mupas II diyakini bersama sebagai
perutusan Tuhan Yesus bagi Keuskupan Surabaya dalam
menapaki ziarahnya.
Diseminasi dan implementasi Ardas Keuskupan Surabaya
2020-2030 ini adalah tanggungjawab bersama secara manusiawi
sekaligus persekutuan rohani dalam menyempurnakan sukacita
penghayatan kemuridan kita. Seirama dengan nasihat Paulus
kepada jemaat di Filipi, jikalau reksa penggembalaan umat yang
dipercayakan Tuhan ini kita jalankan bersama, di dalam dan bagi
Kristus maka akan selalu ada penghiburan kasih dan persekutuan
Roh (bdk. Filipi 2:1).

Artikel pernah diterbitkan pada rubrik Laporan Utama dalam


Majalah Jubileum edisi 233. Januari 2020.

27
Sebuah karya foto dari Romo Didik.

28
Kedewasaan Pastoral.
Amor Pastoralis yang Meluap
dari Kedewasaan Iman

Selama 3 hari, tanggal 10-12 Maret 2020 di Griya Samadhi


Aloysi, Pacet, berlangsung rekoleksi dan pembekalan bagi 28
imam. Mereka adalah para imam yang baru berkarya di
Keuskupan Surabaya dan para imam yang pertama kali
mendapatkan SK sebagai Kepala Paroki di Keuskupan Surabaya.
Bagian rekoleksi diisi dengan mendengarkan dan
merefleksikan sharing perutusan dari 3 Romo Vikep: RD.
Skolastikus Agus Wibowo (Romo Bowo, Vikep Madiun), RP.
Agustinus Dodik Ristanto, CM (Romo Dodik, Vikep Surabaya
Utara) dan RD. Agustinus Eko Wiyono (Romo Eko Wiyono, Vikep
Blora).
Setelah refleksi pribadi, pada hari kedua para imam masuk
ke kelompok kecil untuk sharing satu sama lain. Rekoleksi ditutup
dengan sharing dalam kelompok besar.
Acara dilanjutkan sore hari dengan pembekalan materi
Hakikat Imam dalam Gereja Lokal dan Tugas Pastor Paroki
menurut Hukum Gereja dan Pedoman DPP-BGKP 2012 yang
disampaikan oleh RD. Antonius Padua Dwi Joko (Romo Dwi Joko).
Dilanjutkan pemaparan materi Imam sebagai Pelayan Liturgi oleh
RD. Yoseph Indra Kusuma (Romo Indra).
Pada hari ketiga pagi hari, saya selaku Vikaris Pastoral dan
RD. Alexius Kurdo Irianto (Koordinator KKP) mengajak para
imam mempelajari hasil Musyawarah Pastoral II tahun 2019.
Pada akhir acara, Romo Didik dan RD. Edward Paulus Suryandoko
(Romo Surya, Ekonom Keuskupan Surabaya) menyampaikan
topik Pengelolaan Harta Benda Gereja.

29
Amor Pastoralis
Seluruh rangkaian acara dibuka oleh Mgr. Vincentius
Sutikno Wisaksono, Uskup Surabaya. Dalam sambutannya, beliau
menyampaikan rasa terima kasih atas kesediaan para imam baru
membantu dalam reksa penggembalaan umat Allah di Keuskupan
Surabaya. Bapak Uskup mengungkapkan rasa gembira atas
respon antusias para imam dalam menanggapi undangan pada
pembekalan ini. Beliau berharap bahwa acara ini dapat
memperbaharui semangat ‘amor pastoralis’ (cinta akan
penggembalaan), bukan sekedar melihat imamat sebagai tugas,
beban ataupun jabatan.
Bapak Uskup menceritakan pengalaman memelihara
kambing dan domba ketika menjabat sebagai Rektor Seminari
Tinggi Giovanni. Sungguh berbeda perilaku kambing dan domba.
Oleh karenanya beliau sangat paham mengapa Tuhan Yesus
memakai ‘domba’ sebagai lambang dari para murid ataupun umat
Allah serta Imam sebagai ‘gembala’. Kambing cenderung tidak
taat, makanannya daun-daun yang tumbuh di cabang. Sedangkan
domba memakan rumput dan selalu tanggap terhadap suara
panggilan ataupun suara tongkat gembalanya.
Lebih lanjut, Bapa Uskup menegaskan bahwa pastoral
bukanlah melulu sebagai ilmu atau teori, melainkan suatu
keterlibatan seluruh diri imam yang digerakkan oleh dan lahir
dari ‘amor pastoralis’. Bagi orang yang mencintai maka akan
memiliki sikap batin yang antusias, kemantapan motivasi, dan
kemauan terus menerus menggali, mencari dan menemukan cara
‘memberi makan’ bagi domba-dombanya.
Berpastoral itu bukan berwacana, tetapi bekerja. Bekerja
dengan cinta itu pasti mau repot dalam menemukan metode,
program-program yang efektif untuk mengembangkan umat yang
digembalakannya. Petrus ditanya 3 kali mengenai hal ini, “Simon,
apakah kamu mencintai Aku?” dan atas jawaban cinta Petrus,
Tuhan Yesus mengutus untuk ”Gembalakanlah domba-dombaKu!”.
Ini soal menggembalakan dan memberi makan karena cinta.
Dalam pembukaan rekoleksi ini, Bapak Uskup mengajak
para imam untuk menikmati keindahan hidup bersama umat

30
dengan penuh sukacita, bukan terpaksa. Segala derita dalam
pastoral justru akan mendewasakan cinta seorang imam dengan
demikian akan mendewasakan cara berpastoralnya. Maka
berikanlah makanan yang ‘sejati’ kepada domba-domba yang
dipercayakan Tuhan kepada seorang pastor paroki.
Pada akhir sambutan, Bapa Uskup mengungkapkan janji,
sebelum pensiun akan berusaha mengunjungi 152 stasi yang ada
di pelosok jauh wilayah Keuskupan Surabaya. Beliau sudah
memulai tahun ini dengan mengunjungi stasi Jolosutro dan
beberapa stasi di Blitar Selatan. Demikian setiap tahun akan
dilanjutkan sambil membagikan Rosario kepada setiap umat yang
dijumpainya di stasi yang dikunjungi.

Bersumber pada Cinta


Kalimat Cita-Cita Ardas mengajak kita semua untuk
menghidupi Gereja sebagai persekutuan murid-murid Kristus
yang semakin dewasa dalam iman.
Tanda bahwa para murid Kristus yang terus menerus
mendewasakan iman mesti tertarik oleh daya magnet yang
memancar dari diri Yesus, lalu karenanya setiap hati dan budi
para anggota saling mendekat, saling mengikat dan saling empati.
Mereka membentuk dan mewujud sebagai persekutuan. Semakin
dewasa iman mereka semakin kuat memancarkan empati dan
kepedulian. Daya magnet itulah yang dinamai ‘Cinta’.
Keterbukaan dan kebersediaan yang semakin lebar dari hati dan
budi terhadap daya magnet Cinta dan Kehidupan Yesus itulah
yang dinamai ‘Iman’. Berpadunya Iman dan Cinta melahirkan
Pengharapan akan dunia yang lebih baik. Peristiwa itu yang
dinamai Kerajaan Sorga.
Sharing penghayatan pastoral dari 3 Romo Vikep
membuktikan, bahwa ketika seorang imam memahami hakikat
tahbisan imamat secara mendalam akan membuka tirai egonya
dan menyambut daya magnet Cinta Yesus ke dalam dirinya lalu
memancar kembali dari dirinya sebagai ‘amor pastoralis’ bagi
umat dan masyarakat di wilayah penggembalaannya.

31
Cinta (amor pastoralis) akan melahirkan kreatifitas yang
kaya. Atas aneka problematika dan kebutuhan umat dan
masyarakat, selalu ditemukan ide-ide yang bermunculan dari
imajinasinya. Pada seorang imam yang mencintai imamatnya, Roh
Kudus diberi ruang berkarya secara optimal. Itulah yang dinamai
kharisma. Setiap imam memiliki kharisma pastoral asal mau
mencintai umatnya.

Dua Ekspresi Cinta: Kreatifitas dan Tanggungjawab


Amor Pastoralis menghasilkan dua aliran sungai yang deras
dalam karya seorang imam bagi umatnya: kreatifitas yang
kontekstual dan rasa tanggungjawab. Romo Bowo dalam
menggembalakan umat di paroki Hilarius Klepu, Ponorogo
menemukan budaya lokal dan dunia pertanian serta tempat
ziarah Maria sebagai ruang membangun persekutuan, media
katekese dan dialog lintas iman. Rasa cinta pastoral mendorong
Romo Bowo melindungi ‘domba’ dari serangan ‘serigala’
Romo Dodik menemukan dasar pemaknaan misi sesuai
konteks sosio religius yang ditemukan di setiap tugas
perutusannya, khususnya di paroki Kristus Raja bahwa
ditemukannya Paroki sebagai rumah yang terbuka, teduh dan
penuh dengan sapaan atau relasi persaudaraan. Dengan demikian
dia merasa bertanggungjawab untuk pastoral paroki sebagai
program formasi iman dan secara setia mewujudkan paroki
sebagai sakramen keselamatan bagi semua orang. Di akhir
sharing-nya Romo Dodik merumuskan amor pastoralis dalam satu
kata Sumeleh sebagai akronim penghayatan spiritualitas
imamatnya sebagai seorang misionaris.

32
Suasana sesi sharing oleh Romo Eko Wiyono pada hari pertama
Rekoleksi Imam di Griya Samadhi Aloysi, Pacet, 10 Maret 2020.

Romo Eko Wiyono memicu kesadaran akan motivasi


pastoral Paroki dengan satu pertanyaan yang disepakati bersama
teman-teman seangkatan tahbisannya: “Untuk itulah kamu
ditahbiskan”. Kalimat ini menjadi mantra semacam tongkat musa
yang dipegang setiap kali menghadapi kendala dan sulitnya
mewujudkan amor pastoralis.
Setiap tempat perutusan selalu memiliki keunikannya
masing masing, tetapi Romo Eko Wiyono mendapati suatu
kebenaran yang hakiki tentang buah dari amor pastoralis, yakni
membimbing paroki menjadi ‘Gereja yang Hidup’. Konsep nilai-
nilai persekutuan diterjemahkan dalam keutamaan paguyuban
Jawa: rukun, bersatu, tidak bertengkar, tidak saling mendiamkan,
tidak ‘mutungan’ dan tidak mudah ‘mrothol’ di perjalanan. Dengan
demikian pastoral paroki (amor pastoralis) mewujud dalam rupa
tindakan yang terencana untuk mewujudkan persekutuan yang
hidup dan penuh kegembiraan.
Persekutuan dan kegembiraan menjadi 2 pilar bagi Gereja
yang hidup. Dari penghayatan semacam itu melahirkan ide kreatif
dalam mengelola jadwal yang dijalankan dengan setia. Romo Eko
Wiyono menyadari bahwa ‘Paroki sebagai Gereja yang Hidup’

33
hanya dapat diwujudkan dengan membangun kesaksian mulai
dari komunitas pastoran (bersama romo rekan), sekretariat,
ruang tamu dan ruang sakristi.
Romo Dwi Joko melalui dua materi yang disampaikannya,
menyentak kesadaran diri seorang romo paroki bahwa tindakan
penggembalaan paroki akan gagal atau menjadi palsu jika tidak
dilahirkan dari intimitas relasi dengan Tuhan melalui hidup doa
dan devosi yang setia. Dia mengingatkan bahwa kata ‘paroki’
berasal dari bahasa Yunani, ‘parokein’ yang artinya
‘pengembaraan’ atau ‘peziarahan’. Komunitas para murid Kristus
yang sedang berziarah menuju Kerajaan Allah. Dalam kesatuan
dengan kewibawaan uskupnya, seorang imam adalah seorang
peziarah yang ambil bagian dalam menggembalakan para
peziarah itu. Pelaku utama adalah Roh Kudus sendiri, yakni Roh
Bapa dan Putra. Kesatuan dengan Roh Kudus adalah jaminan
keotentikan perutusan seorang imam. Hanya dalam intimitas
dengan Roh Kudus maka pelayanan seorang imam akan menjadi
‘berpamor’ (faithfully) dan ‘berdampak’ (fruitfully).

Ars Celebrandi
Seorang imam adalah pelayan Perayaan Misteri Karya
keselamatan Allah. Demikianlah Romo Indra mengajak para Romo
kembali mengingat apa yang dijanjikan ketika tahbisan. Seorang
tertahbis selalu mengatakan ‘Ya’ untuk merayakan misteri Yesus
Kristus dengan hormat dan setia, sesuai dengan yang dikehendaki
Gereja, demi kemuliaan Allah dan pengudusan umat-Nya.
Disamping itu seorang tertahbis juga berjanji bersedia
untuk mewartakan Sabda Allah dengan cara yang pantas dan
bijaksana dalam memaklumkan Injil dan mengajarkan iman
Katolik. Oleh karenanya, seorang imam dengan bantuan Allah
sendiri makin hari makin dekat, erat dan intim mempersatukan
diri dengan Yesus Kristus, Sang Imam Agung. Bersama Yesus
seorang imam menyerahkan dirinya bagi Allah. Seorang imam
bermuara dari apa yang telah dijanjikan di hadapan Gereja,
bertanggungjawab atas pelaksanaan liturgi yang benar, indah dan
sakral itu serta bertanggungjawab untuk membina para petugas

34
liturgi. Seorang imam adalah pengurus utama perayaan rahasia-
rahasia Allah yang kaya akan tanda dan penuh dengan simbol
yang mendalam. Maka sikap pelayan liturgi adalah ‘merayakan’
bukan sekedar membaca atau menyelesaikan tugas. Liturgi adalah
suatu ‘seni merayakan’ (ars celebrandi).
Romo Indra mengajak para imam untuk terus menerus
belajar tentang pedoman liturgi. Kalau tidak belajar terus maka
akan ‘salah paham’ dibandingkan dengan umatnya. Umat
Surabaya ini sangat aktif dan punya kemauan partisipasi yang
tinggi, sangat mencintai dan menjunjung tinggi martabat Ekaristi,
bersemangat devosi dan mau dengan sukarela belajar dengan
serius tentang liturgi dan teologi.

DPP-BGKP, Dua Tangan Kasih Penggembalaan


Gereja menganggap perlu adanya DPP dan BGKP untuk
membantu pastornya dalam mewujudkan Arah Dasar (Ardas
Keuskupan). DPP dan BGKP serta fungsioaris Paroki bukanlah
pertama-tama jenjang karier atau sebagai pejabat dalam gereja
melainkan tim konsultatif yang membantu pastor Paroki dalam
mengembangkan persekutuan Murid-Murid Kristus agar semakin
dewasa dalam iman, guyub, penuh pelayanan dan misioner.
Mupas II menegaskan pilihan strategis cara hidup
menggereja di Keuskupan Surabaya ke depan dengan
pendewasaan Paroki yang berakar Lingkungan yang hadir di
tengah masyarakat. Seluruh kreatifitas dan amor pastoralis para
Romo tidak mungkin terpisah dari reksa penggembalaan Uskup.
Kita semua membantu uskup untuk mewujudkan arah
penggembalaannya. Dalam konteks ini saya dan Romo Kurdo
mengajak para imam, terutama yang baru datang di Keuskupan
Surabaya untuk belajar 4 buku hasil Mupas 2019.

Tanggungjawab Pengelolaan Harta Benda Gereja


Hidup Gereja memiliki unsur ‘tak kelihatan’ dan ‘kelihatan’.
Di tengah realitas dunia ini, Gereja sebagai pengemban Rencana
Keselamatan Allah (‘tak kelihatan’) juga memiliki wajah legal dan
manajerial. Karya Gereja dan fasilitas sarana-prasarana

35
penunjang keagamaan berada, bersinggungan, beririsan dengan
apa yang berlaku ditengah masyarakat dan negara. Semuanya
berhubungan dengan hal yang sangat sensitif, yakni pengelolaan
dan pertanggungjawaban atas penerimaan dan penggunaan harta
benda (unsur kelihatan). Maka kebenaran dan rahmat yang
dimandatkan melalui Gereja mesti dikelola dan
dipertanggungjawabkan secara sah dan benar di hadapan hukum
positif dan prinsip-prinsip manajemen yang umum.
Pada sesi terakhir, saya dan Romo Surya mengajak
bertobat bersama dalam hal menghayati amor pastoralis dalam
wujud tanggungjawab pengelolaan harta benda gereja. Kita
adalah para pengemban tanggungjawab penggembalaan sekian
lama telah banyak teledor atau abai terhadap tertib pengelolaan
harta benda gereja. Tanpa disadari kita telah melakukan dua ‘dosa
pastoral’.
‘Dosa pastoral’ pertama berawal dari rasa tanggungjawab
yang tinggi lalu gembala tergoda mengidentifikasikan dirinya
dengan kepemilikan harta-benda gereja, sehingga tidak
transparan, tidak jujur, kecenderungan menumpuk saldo sebagai
kebanggaan diri, kelekatan, rekening tersembunyi, rasionalisasi
atas penyelewengan ‘intensio dantis’ (Bahasa Latin, yang berarti
maksud pemberian), penggunaan harta gereja untuk kepentingan
pribadi, dan sebagainya. Akibatnya lupa bahwa para imam
sebenarnya berpartisipasi pada otoritas Uskup.
‘Dosa pastoral’ kedua, karena kurangnya pengetahuan atau
pengabaian atas tanggungjawab pengelolaan harta benda Gereja,
maka mengakibatkan pengeluaran biaya akibat keteledoran
pengelolaan (mis-used/mis-management) legalitas aset gereja.
Banyak bukti legal keabsahan aset terselip, hilang atau lalai
diurus. Semua bisa diatasi jika kita mulai membangun habitus
tertib administrasi pengelolaan harta benda gereja.

Artikel pernah diterbitkan pada rubrik Laporan Utama dalam


Majalah Jubileum edisi 236. April 2020.

36
Bagian II

Formatio yang Berjenjang dan Inklusif

37
Sebuah karya foto dari Romo Didik.

38
Keniscayaan Pastoral Formatio Berjenjang

Gereja pada hakekatnya adalah persekutuan pribadi-


pribadi. Sasaran utama pastoral adalah Umat Allah, yakni pribadi-
pribadi Kristiani yang bertumbuh dalam aneka jenjang usia, yang
tinggal dalam area teritorial ataupun komunitas kategorial.
Pastoral adalah tindakan Gereja yang dilakukan bagi pribadi-
pribadi demi terjadinya proses formasi iman dan pendewasaan
hidup menggereja/bermasyarakat secara berjenjang dan
berkelanjutan, demi terwujudnya rencana keselamatan Allah
dalam Kristus. Musyawarah Pastoral II memandatkan Bidang
Formasi sebagai basis formatio pastoral Umat Allah (Buku ke-3,
Bab IV, No.3).

Dua Dosa Pastoral


Selama berpuluh tahun program dan sikap pastoral Gereja
menganggap bidang-bidang pastoral (seksi-seksi/komisi-komisi)
sebagai setara dan terpisah-pisah.
Di wilayah pastoral Keuskupan Surabaya ditentukan
memakai pola pastoral 4 rumpun Bidang: Sumber, Formasi,
Kerasulan Khusus dan Kerasulan Umum. Setiap rumpun terdiri
beberapa komisi atau seksi. Setiap komisi atau seksi punya
maunya sendiri-sendiri. Punya rencana kegiatan dan anggaran
sendiri-sendiri. Masing-masing seksi bersaing atau tak terbangun
jembatan koordinasi antar mereka. Kita lupa bahwa semua
kegiatan pastoral adalah satu sinergi tindakan penggembalaan
bagi Umat Allah.
Sejatinya pusat dan subyek sasaran utama pastoral adalah
bidang formatio. Bidang formatio berurusan dengan orang,
manusianya, yaitu umat Allah. Tiga bidang lainnya adalah
predikat, tindakan dan media yang diperlukan bagi
perkembangan iman dan pertumbuhan hidup subyek. Namun
selama ini terjadi dua kesalahan fatal dalam pastoral, yaitu:
39
1) Tiga bidang selain Bidang Formasi tidak mempedulikan bidang
Formatio dalam perencanaan pastoralnya, melupakan bahwa
mereka seharusnya melayani bidang formatio.
2) Semua bidang, termasuk Bidang Formatio sendiri, melupakan
bahwa formatio iman bersifat berjenjang sekaligus
berkesinambungan. Pertumbuhan iman mulai sejak bayi lahir
hingga menjadi senior/lansia adalah proses pertumbuhan
yang berkesinambungan dan saling menopang/ melayani.
Ada satu hal yang menjadi keprihatinan Paus Fransiskus,
ketika pengelolaan Gereja terjatuh pada manajemen administratif
kantor sekretariat paroki. Jiwa pastoralnya diisi oleh klerikalisme
tertib administratif.

Pertobatan Pastoral
Musyawarah Pastoral II mengajak kita semua menyadari
kesalahan masa lalu kita dan membangun suatu habitus baru
dalam bersinergi pastoral. Kebiasaan baru yang sinergis tentu saja
tidaklah mudah. Hal yang paling sulit adalah menurunkan ego
pastoral. Seringkali setiap pengurus seksi/bidang, memiliki ego
yang tinggi, menempatkan diri sebagai tuan pemilik kegiatan.
Semua umat adalah objek yang melayani kegiatan yang
‘kutetapkan’. Ironisnya, umat-lah yang diminta membiayai
kegiatan tersebut. Sekarang sebelum merencanakan/merancang
program pastoral, duduk bersimpuh mendengarkan dahulu
informasi tentang: siapa yang hendak kita layani; ada
permasalahan apa dengan hidup dan imannya; menghadapi
tantangan apa saat ini; mereka ada dan tinggal di mana?
Betapa pentingnya sensus umat. Banyak hal seringkali
dianggap tidak ada, padahal sebenarnya ada. Masalahnya terletak
pada kita tidak punya data tentang hal yang mestinya kita layani.
Data umat sangat penting, terkait dengan dua hal utama:
Beberapa informasi dasar tentang siapa yang dilayani, dan siapa
saja yang dapat ditingkatkan kapasitasnya untuk dilibatkan
(diutus) dalam pelayanan.
Pastoral yang dibangun di atas misi formatio iman dan
kedewasaan hidup Kristiani adalah tindakan yang oleh Paulus

40
dalam suratnya kepada umat Galatia sebagai “tindakan iman yang
dilakukan melalui kasih” (bdk. Galatia 5:6). Pastoral bukan
sekedar tindakan manajerial namun lebih dari itu adalah
Tindakan Iman yang didorong oleh kasih dan karena percaya akan
kepastian jaminan dalam pengharapan janji Kerajaan Allah dalam
Yesus. Formatio berjenjang adalah penggembalaan karena kasih
(Amor Pastoralis).

Formatio Iman Bersifat Fundamental


Perjalanan setiap orang yang telah dibaptis, sejak
dipersiapkan yang dilanjutkan dengan mistagogi, pemeliharaan
pertumbuhan iman hingga menyelesaikan peziarahan kembali
menghadap Bapa di Sorga, bukanlah proses sekali jadi.
Perkembangan, pertumbuhan, dan semakin bermutu adalah
keniscayaan pembentukan iman/pribadi umat. Niscaya artinya
pasti, tidak bisa tidak, haruslah demikian. Memang demikianlah
hakikat peziarahan hidup manusia. Demikian juga
penggembalaan Umat Allah mengiringi peziarahan tersebut.
Formatio disamping sebagai keharusan yang pasti juga
merupakan tanggung jawab yang tak mungkin dikesampingkan
dari karunia imamat para gembala. Itulah ‘core business’ seorang
gembala jemaat, ambil bagian karya Roh Kudus dalam mendidik
dan membentuk Umat Allah. Formatio iman adalah tugas
tanggung jawab primer Gembala Gereja.

Formatio Iman Bersifat Eklesial


Tugas dan tanggung jawab formasi iman bukan berarti
hanya tugas para Gembala Umat saja (Uskup dan Pastor Paroki).
Setiap orang terbaptis dikaruniai rahmat yang diwujudkan dalam
tri tugas Kristus: Imam, Nabi dan Gembala. Setiap orang beriman
ambil bagian dalam pelayanan formasi iman. Maka Umat Allah
bukan sekedar formandi tetapi juga formator iman.

Artikel pernah diterbitkan pada rubrik Laporan Utama dalam


Majalah Jubileum edisi 243.November 2020.

41
F.X. David Wijaya dan Albert Wey, dua anggota komunitas PETRUS
(Persekutuan Ekaristi Tuna Rungu Surabaya) yang hadir pada
perhelatan Musyawarah Pastoral II mendapatkan sapaan secara khusus
dari Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono, Uskup Surabaya.

42
Kilas Balik Terbentuknya Komisi
Pastoral Difabel Keuskupan Surabaya

Mungkin selama ini kita menganggap bahwa semua umat


bisa mendengar, bisa melihat, dan tidak ada yang tunadaksa.
Sehinga waktu membangun gereja tidak dilengkapi dengan
fasilitas untuk umat difabel.
Pelayanan spiritual pada kaum difabel adalah salah satu isu
penting saat merancang strategi pastoral 10 tahun kedepan dalam
Musyawarah Pastoral (Mupas) II tahun 2019 lalu.
Dalam buku ketiga hasil Mupas II, di halaman 11 dan 65
disebutkan bahwa pastoral adalah undangan cinta Ilahi. Jadi
Tuhan mengundang semua orang, dari bayi sampai lansia, dari
yang normal sampai yang berkemampuan dan berkebutuhan
khusus. Semuanya berhak menerima pewartaan, mendapatkan
penggembalaan, dan memperoleh keselamatan kekal. Bisa
dikatakan, keberadaan Komisi Difabel dan Komisi Lansia
merupakan salah satu wujud pertobatan pastoral Keuskupan
Surabaya karena dulu reksa pastoral dirasa kurang
memperhatikan umat secara komprehensif.

SLB B Dena Upakara dan SLB B Don Bosco


Bagaimana saya dan teman-teman umat difabel bisa mulai
berinterksi seperti sekarang merupakan proses yang lama dan
panjang. Latar belakangnya bermula dari Wonosobo, Jawa
Tengah. Di sana ada 2 SLB B atau Sekolah Luar Biasa untuk murid-
murid tuna rungu. Untuk murid perempuan adalah SLB B Dena
Upakara dan SLB B Don Bosco untuk murid laki-laki. Siswa-siswi
kedua SLB ini berasal dari berbagai kota di Indonesia. Demikian
pula dengan lulusannya, tersebar di berbagai kota. Ada wadah
alumni kedua SLB B ini, namanya ADECO (Alumni Dena Upakara
dan Don Bosco). Alumni kedua sekolah tersebut yang berasal dari
Surabaya ternyata cukup banyak. Pada tanggal 5 Oktober 1998,
43
mereka membentuk ADECO Surabaya. Dulu, acara ADECO
Surabaya hanya berkumpul untuk reuni dan kegiatan umum
seperti arisan, jalan-jalan, dan sebagainya. Ada beberapa kali
mereka mengikuti misa untuk umat difabel di Keuskupan Agung
Semarang.
Di Dena Upakara dan Don Bosco, ada pendampingan rohani
yang baik bagi para murid. Setelah lulus, para alumni merasa
kesulitan mendapatkan pendampingan rohani. Misalnya saat
mengikuti misa, tentunya tidak bisa selalu duduk di depan untuk
melihat bahasa oralnya imam yang berkotbah.
Aspirasi akan pendampingan dan kegiatan rohani setelah
lulus itulah yang teman-teman ADECO sampaikan pada Sr.
Antony, PMY yang dulu pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah
Dena Upakara. Kemudian Sr. Antony meminta keponakannya,
Emerita Ardana yang sedang kuliah di jurusan Psikologi
Universitas Surabaya untuk mencarikan imam yang bersedia
mendampingi umat Katolik ADECO Surabaya dalam pembinaan
rohani.
Pada tahun 1997, saya dan Romo Nanglik (RD. Petrus
Canisius Edi Laksito) aktif di Komunitas Kemanusiaan, demikian
pula Emerita. Lalu Emerita menyampaikan pesan Sr. Antony pada
saya, “Romo, budhe susterku mencari pendamping untuk teman-
teman Tuli lulusan Wonosobo yang banyak tersebar di Jawa
Timur. Nah, mereka beberapa kali sudah berkumpul tapi tidak
ada yang mendampingi, baik yang beragama Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, dan Budha. Apakah romo bersedia
mendampingi?”. Seperti disambar petir, saya baru terpikir kalau
ada banyak umat yang difabel. Spontan saya jawab, “Iya, saya
bersedia” walau masih belum tahu apa-apa mengenai kaum
difabel.
Setelah Emerita menyampaikan kesanggupan saya,
kemudian Sr. Antony menyampaikan pada F.X. David Wijaya,
salah satu alumni ADECO. Tak lama kemudian Sr. Antony dan
David menemui saya di Paroki Santa Maria Anuntiata, Sidoarjo.
Sejak saat itu saya mulai mendampingi teman-teman Tuli
meskipun kesulitan untuk belajar bahasa isyarat. Wes, pokoknya

44
saya hanya bermodal hati untuk mereka. Pertemuan-pertemuan
dan misa bersama ADECO Surabaya mulai rutin diadakan di
Sidoarjo.
Pendampingan saya terhadap teman-teman tuli berjalan
hingga akhir tahun 2000. Sekitar awal 2001, saya mendapat tugas
perutusan di Ketapang, Kalimantan Barat, lalu Blora, Jawa Tengah.
Sejak saat itu, untuk sementara waktu ADECO Surabaya tidak ada
yang mendampingi.

Komunitas PETRUS
Pada tahun 2013, Misa dan pendampingan rohani ADECO
Surabaya dilayani oleh beberapa imam dan suster, baik dari
Congregatio Missionis (CM), Putra Maria Yosef, Putri Kasih dan
Alma. Pembina ADECO, Bernadeta Tumirah (Bu Tumir) dan Sr.
Wahyu Triningsih, PMY yang juga pengajar di Dena Upakara
memperkenalkan RP. Rafel Isharianto, CM kepada ADECO
Surabaya.
Misa perdana ADECO Surabaya diadakan di Paroki Santo
Vincentius A Paulo (SVAP), Jl. Widodaren, Surabaya. Tak lama
kemudian, misa ADECO Surabaya pindah ke Panti Asuhan Don
Bosco, Jl. Tidar, Surabaya bersama RP. Paulus Suparmono, CM.
Serngkali juga dibantu oleh RP. Ignatius Suparno, CM.
Seiring berjalannya waktu, seringkali yang hadir pada misa
ADECO bukan hanya alumni Dena Upakara dan Don Bosco saja,
melainkan dari SLB lain. Maka tercetuslah ide dari David
membuat komunitas tuna rungu Katolik bernama PETRUS.
Nama PETRUS terinspirasi dari sosok Bruder yang bernama
Petrus Hendrik dari Belanda yang pernah menjadi Pemimpin
Komunitas (PIKO) Bruder Caritas. Bagi David, Bruder Petrus
memberi inspirasi bagi para siswa. David juga memberikan ide
kepanjangan dari PETRUS, yaitu Persekutuan Ekaristi Tuna
Rungu Surabaya. Tanggal 19 Januari 2014, Komunitas PETRUS
didirikan dan diberkati oleh RP. Paulus Suparmono, CM di Paroki
SVAP, Surabaya.

Bertemu kembali di Temu Karya Para Uskup Regio Jawa 2015

45
Tanggal 9-11 Juni 2015, para Uskup dan Kuria Keuskupan
Regio Jawa mengadakan pertemuan di Keuskupan Purwokerto.
Pada hari terakhir para peserta menghadiri Perayaan 60 tahun
Karya Pendidikan Luar Biasa SLB B Karya Bakti, Wonosobo. Sore
hari sebelum acara dimulai, para Uskup dan rombongan peserta
Temu Karya diajak meninjau stan-stan pameran karya alumni
ADECO di sekitar tempat perayaan. Saya waktu itu selaku Vikaris
Jenderal Keuskupan Surabaya ikut diantara rombongan peserta.
Di stan ADECO Surabaya, saya bertemu kembali dengan F.X.
David Wijaya dan Widi Nugraha yang sedang memamerkan karya
mereka. David menjadi designer pakaian dan wedding gown,
sedangkan dan Widi Nugraha memamerkan batik Ngawi. Saya
pun memperkenalkan David pada Mgr. Vincentius Sutikno
Wisaksono, “Bapa Uskup, ini David yang sudah saya kenal sejak
tahun 1997. Sejak saya bermisi di Kalimantan sudah lebih dari 5
tahun vakum. Mereka merindukan adanya pendampingan lagi.”
Lalu Bapak Uskup menjawab, “Oke. Nanti teman-teman ini coba
datang ke keuskupan. Kita omong-omong.” Untuk beberapa saat
Romo Didik, bersama Uskup Surabaya, Mgr. Vincentius Sutikno
Wisaksono dan para anggota Kuria Keuskupan Surabaya
berkumpul di stan ADECO Surabaya.
Beberapa hari setelah mereka pulang ke Surabaya,
Komunitas PETRUS beraudiensi dengan Bapa Uskup di Wisma
Keuskupan Surabaya. Pada pertemuan itu, saya menjelaskan
tentang rencana diadakannya Expo Kelompok Kategorial
Keuskupan Surabaya yang akan diadakan 16-18 Oktober 2015 di
Convention Hall, Tunjungan Plaza 3, Surabaya. Saya meminta
David dan kawan-kawan juga membentuk komunitas kategorial
pelayanan umat tuna rungu di Surabaya. Selain nama komunitas,
mereka harus juga memiliki logo. Sejak saat itu saya mulai
mendampingi komunitas PETRUS. Mulai waktu itu pula umat
Katolik yang Tuli bisa mengikuti misa khusus di Kapel Keuskupan.
Pada tanggal 10 Juni 2019, Komisi Pastoral Difabel mulai
aktif. Pada perhelatan Musyawarah Pastoral, 18-20 Oktober 2019
lalu, David dan Albert Wey sebagai perwakilan Komunitas
PETRUS hadir sebagai peserta.

46
Seiring berjalannya waktu, Komisi Pastoral Difabel dan
Komunitas PETRUS semakin rutin bertemu, semakin aktif
berkegiatan, bahkan mengadakan karya sosial. Pada bulan
September 2020 lalu, mereka mampu menjadi host pada beberapa
pertemuan Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) Umat Tuli Se-
Keuskupan Regio Jawa.
Dengan adanya Pastoral Difabel, semoga mampu
menginspirasi institusi-institusi dan berbagai lembaga gereja
agar semakin mampu memberikan pelayanan secara inklusif pada
kaum difabel, baik umat Tuli, Buta, maupun tuna daksa.

47
Teman Tuli Memiliki Cara Komunikasi yang Unik

Josephine Kintan
Koordinator Umat Tuli Katolik Keuskupan Surabaya.
Mahasiswi Jurusan Teknologi Pangan
Universitas Widya Mandala, Surabaya

Istilah tuli, dalam konteks tidak mampu mendengar


memiliki konotasi kasar. Sedangkan istilah tuna rungu digunakan
dalam istilah kedokteran yang berarti indra pendengaran yang
rusak. Istilah yang tepat bagi kami adalah ‘Tuli’ (T dengan huruf
kapital/besar).
Mungkin selama ini, masyarakat menganggap teman-teman
Tuli adalah orang bodoh, tidak mampu berbicara, dan sebagainya.
Tuli merupakan kelompok minoritas yang memiliki identitas dan
budaya, pemikiran luas, dan kemampuan sebagaimana orang
pada umumnya. Tuli menangkap segalanya melalui visual atau
indra penglihatan.
Karena mengandalkan visual dengan bahasa isyarat dan
melihat gerak bibir. Jadi bila teman-teman pada umumnya
berbicara dengan cepat, kami cukup kesulitan mengikuti dan bisa
menyebabkan miskomunikasi. Sebagai contoh, pernah suatu
ketika ibu menyuruh saya mengambilkan SAPU. Karena beliau
berbicara terlalu cepat, saya salah mengerti dan mengambil
SABUN.
Tuli menjadi disabilitas bukan karena ketuliannya, tetapi
karena lingkungan yang tidak mempu memberikan aksesibilitas.
48
Inisiatif akan aksesibilitas ini harus berasal dari lingkungannnya
sehingga segala hambatan bagi teman-teman Tuli akan hilang dan
mereka bisa berpartisipasi sepenuhnya dalam masyarakat.
Berkaitan dengan pelayanan iman, selama ini teman-teman
Tuli dan teman-teman difabel lainnya ingin beribadah kepada
Tuhan dan mendalami iman. Tetapi tempat ibadah dan pelayanan
iman masih belum ramah difabel. Sewaktu Misa, Romo seringkali
kurang jelas dalam berbicara sewaktu khotbah. Pernah suatu
ketika karena saya tidak tahu Romo bicara apa, saya jadi
mengantuk, lalu ibu menegur saya karena hampir tertidur
sewaktu Misa. Saya pun menjawab, “Saya jadi mengantuk karena
tidak tahu Romo bicara apa.”
Pernah saya mengalami masa jadi malas untuk pergi ke
gereja, padahal saya pun ingin dekat dengan Tuhan, tapi waktu itu
belum mendapat akses ibadah dan pendalaman iman secara
memadai.
Berbicara tentang harapan, saya berharap agar teman-
teman Tuli dan teman-teman difabel lainnya juga dilibatkan
dalam membangun Gereja demi kemuliaan Allah.

Scan Me Scan Me

Kanal YouTube Instagram


Pastoral Difabel Pastoral Difabel
Keuskupan Surabaya Keuskupan Surabaya

Materi disampaikan pada program Ngopi Cakep, 26 September 2020


yang diproduksi Komisi Komsos Keuskupan Surabaya. Sebagian materi
dalam format teks pernah disampaikan oleh Melania Safirista Sofiarti
(Katekis Pastoral Difabel Pastoral Keuskupan Surabaya) pada artikel
berjudul Antara Adeco Surabaya, Petrus, dan Embrio Pastoral Difabel di
Laporan Utama Majalah Jubileum edisi 232. Desember 2020.

49
Mbah Sungkem (Dok.: Romo Didik)

50
Mbah Sungkem.
Putri Anawim dari Kuasi Paroki Ngrambe

Setiap orang Katolik di Stasi Ngrambe, bahkan dari stasi


sekitar seperti Ngroto, Sidomulyo, Jogorogo, Walikukun, dan
Ngrendeng, mengenal Mbah Sungkem. Para Romo yang pernah
berkarya di Paroki Ngawi, khususnya yang melayani Ngrambe
pasti mengetahuinya.
Apakah dia seorang tokoh Jemaat, public figure, ataukah
pengurus umat? Bukan! Ataukah dia seorang aktivis
keorganisasian? Juga bukan. Apakah dia penggerak kegiatan
sosial kemasyarakatan? Sekali lagi, bukan! Lalu dia itu siapa?
Setiap orang yang dimintai komentar tentang Mbah
Sungkem, selalu saja mereka memiliki kesan positif tentang Mbah
Sungkem. Tak sedikit orang yang mengakui bahwa hidup rohani
mereka diteguhkan dan dimotivasi oleh diri Mbah Sungkem.
Aura kerohanian dan kesederhanaan Mbah Sungkem seolah
menerangi dan menasihati setiap orang yang melihatnya meski
dalam sunyi-tanpa-kata hikmat. Jarang orang bercakap-cakap
dengan dia. Demikian juga Mbah Sungkem jarang sekali berbicara
banyak. Paling banyak satu kalimat yang didapat setiap orang
bertanya atau menggali info dari dia. Mbah Sungkem pribadi
sunyi, tak banyak bunyi. Orang kecil sederhana tak pandai wicara.
Jikalau orang ditanya, “Siapakah Mbah Sungkem?”
Jawaban yang kita peroleh hampir serempak sama: Seorang tua
berpakaian kumal, membawa tas, yang selalu hadir di setiap
peribadatan, misa ataupun kegiatan lingkungan paling tidak satu
sampai dua jam sebelum acara dimulai.
Saat misa harian di Gereja Kristus Raja, Ngrambe di mulai
jam 05.30, maka sudah pasti Mbah Sungkem duduk membungkuk
khusuk di bangku gereja sekitar deretan nomor tiga dari depan,
sejak pukul 04.00 dini hari. Dia berangkat dari rumah sekitar
51
pukul setengah tiga atau jam tiga pagi. Ketika hari masih gelap.
Sambil membawa lampu senter (kalau dulu membawa obor
bambu, sebelum diberi senter) tangan ringkihnya masih sempat
membawa beberapa utas hasil kebun
atau pisang hasil pekarangannya, untuk dicantolkan di pintu
rumah umat yang di laluinya, sebelum mereka semua bangun. Dia
berbagi dari kekurangannya.
Ketika dikenal lebih jauh, menurut kesaksian Paulus Budi
Hartono, Ketua bidang formasi Dewan Kuasi Paroki Ngrambe
yang rumahnya setiap pagi subuh di lewati Mbah Sungkem,
dikisahkan bahwa Mbah Sungkem adalah orang yang tidak pernah
mengeluh. Hidup penuh kepasrahan mengandalkan bantuan belas
kasih tetangga serta umat lingkungannya. Tidak pernah khawatir
akan kekurangan dan kelaparan ataupun sakit dan keamanan.
Hanya satu hal yang dia yakini, “Nderek Gusti Yesus mesti
slamet”(Ikut Tuhan Yesus pasti selamat).
Ketika diajukan pertanyaan nakal padanya, “Mbah kalau
diberi uang ratusan juta supaya tidak usah pergi ke gereja lagi,
apakah mau?” Dia hanya menggelengkan kepala sambil senyum.
Pergi ke gereja adalah hidupnya. Itulah devosinya. Itulah
keyakinannya yang tak bisa digoyahkan oleh apapun dan
siapapun. Tidak ada teologi yang rumit dalam benaknya. Diuji
dengan pertanyaan apapun, hanya satu jawaban yang keluar dari
mulutnya, lirih namun tegas, "Ikut Tuhan Yesus pasti selamat!"
Mbah Sungkem tidak tahu dengan aneka rumusan doa dan
aneka devosi. Meskipun di depan gereja ada gua Maria yang sering
dipakai orang berdoa, ternyata Mbah Sungkem belum pernah
berdoa di gua Maria. Ketika ditanya mengapa, dia menunjuk
dadanya dengan jarinya yang sudah keriput, “Ibu Maria dan
Tuhan Yesus ada di sini!” Ternyata hanya doa Bapa Kami, Salam
Maria, Kemuliaan dan Terpujilah saja yang dia tahu dan hafalkan.
Itulah yang terus dia ulangi di sepanjang jalan dari rumah hingga
ke gereja. Hanya doa itulah yang dia daraskan ketika duduk di
bangku gereja sambil mata terbuka memandang Salib dan
Tabernakel.

52
Karena pendengaran Mbah Sungkem sudah sangat
berkurang, itulah sebabnya dia tidak pernah tahu apa yang
dikhotbahkan oleh Romonya. Dia tidak terlalu dengar suara lagu
yang dinyanyikan paduan suara. Yang dia ketahui hanyalah apa
yang dikatakan Romo pasti baik, yang diajarkan para guru pasti
baik. Semua umat Katolik baik. Semua orang yang dia jumpai
adalah baik. Kalau diolok atau digoda orang diperjalanan, dia
hanya tersenyum. “Kalau aku baik, Yesus pasti menyelamatkan.”
Seringkali kalau ada giliran Doa Lingkungan atau
Pendalaman Iman di rumah warga, Mbah Sungkem selalu tahu
jadwalnya dan selalu sudah datang di depan rumah orang
tersebut, tak kurang dari satu jam sebelum acara di mulai. Duduk
khusuk menunduk, bibir komat kamit tanpa suara, mendaraskan
dalam hatinya doa Bapa Kami, Salam Maria, Kemuliaan dan
Terpujilah.
Tentang akhir hidup dan hidup setelah kematian, tak
pernah terbersit dalam pikiran Mbah Sungkem akan
kekhawatiran bagaimana kalau mati dan keinginan masuk surga.
Dia tidak mencemaskannya. Setiap dikejar dengan pertanyaan
tentang kematian atau bagaimana hidup kelak, dia
menggelengkan kepala. Lalu tersenyum. Lalu kembali keluar kata
mantra dari mulut keriputnya, ”Pokoknya, nderek Gusti Yesus
mesti slamet.”
Orang Katolik percaya akan Yesus Kristus atau Isa Almasih,
apakah artinya? Mbah Sungkem memiliki jawabannya: Percaya
dengan sepenuh hati, segenap jiwa dan kekuatan bahwa ikut
Yesus pasti selamat.
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama terdapat ungkapan
bahasa Ibrani ‘anawim’ untuk menggambarkan seorang miskin di
hadapan Allah, yang lemah bagi dunia tetapi selalu sumarah
kepada Tuhan di sepanjang hidupnya. Istilah ini diberikan kepada
sekelompok orang Israel yang kembali ke Yerusalem sesudah
masa pembuangan berakhir. Mereka disebut kelompok ‘anawim,’
dalam Bahasa Ibrani di zaman Perjanjian Lama berarti:
sekelompok ’orang miskin’ yang tetap setia kepada Allah
sekalipun berada di dalam kesulitan. Mereka ini adalah orang-

53
orang yang lemah lembut dan rendah hati, yang merupakan sisa-
sisa Israel yang setia kepada Allah, mereka adalah orang-orang
yang takut kehilangan penyertaan-Nya.
Kelompok anawim ini juga yang paling siap menerima
pewartaan Kabar Gembira Keselamatan yang disampaikan oleh
Yesus karena hati yang terbuka dalam Iman, Harapan dan Kasih
Allah.
Paus Emeritus Benediktus XVI pernah dalam sambutan
audiensi dengan begitu indah mengajarkan spiritualitas ‘anawim’,
bunyinya demikian: “Orang-orang beriman yang tidak hanya
mengakui diri mereka sebagai ‘miskin’ dalam arti terlepas dari
semua berhala kekayaan dan kekuasaan, tetapi juga dalam
kerendahan hati yang mendalam dari hati yang dikosongkan dari
godaan terhadap kebanggaan dan terbuka untuk kelimpahan
rahmat keselamatan Ilahi.”
Spiritualitas anawim ditunjukkan oleh Maria dalam
Magnificatnya, sebagai ungkapan dari mereka yang telah datang
untuk memahami bahwa hanya ada satu cara yang benar untuk
membuka diri untuk menerima kelimpahan karunia keselamatan
Allah yaitu dengan menawarkan hati yang penuh cinta pada
Tuhan, rendah hati, taat, dan percaya. Sudah lebih dari 25 tahun
umat Kuasi Paroki Ngrambe mengenal spiritualitas anawim yang
begitu nyata pada keseharian Mbah Sungkem.

Artikel pernah diterbitkan pada rubrik Cover Story dalam Majalah


Jubileum edisi 247. Maret 2020.

54
Bagian III

Berpastoral dalam Masa Pandemi


Covid-19

55
‘Retjo Pentung’ dan vandalisme di Jl. Medokan Semampir Indah,
Surabaya (Dok.: Romo Didik)

56
Bahaya Larut Tanpa Komitmen
dan Tanggung Jawab

Bahaya dan Larut tanpa Komitmen dan Tanggung Jawab


adalah salah satu kalimat yang terdapat dalam Instruksi
Pertobatan Pastoral Komunitas Paroki kepada Pelayanan Misi
Evangelisasi Gereja yang diterbitkan oleh Konggregasi Kepausan
untuk Para Imam pada tanggal 27 Juni 2020 yang lalu (no. 9).
Dokumen tersebut menjadi salah satu materi yang dibagikan pada
waktu rekoleksi pembaruan janji Imamat para imam Keuskupan
Surabaya.
Bagi Pusat Pastoral Keuskupan Surabaya, dokumen
kepausan tersebut menjadi penegasan bahwa apa yang dihasilkan
oleh Musyawarah Pastoral II tahun 2019 sudah di jalur yang benar
sebagaimana di kehendaki Gereja. Betapa tidak! Judul dokumen
saja sudah persis dengan tema tahunan 2020 sebagai Tahun
Pertobatan Pastoral. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengambil
beberapa poin inspiratif dari dokumen tersebut bagi menjawab
pertobatan pastoral kita ke depan.

Mempertanyakan Hakekat Paroki dalam Konteks Sekarang


Paroki sebagai persekutuan Umat beriman memiliki sejarah
yang panjang. Dokumen ini mengingatkan apa yang diajarkan
Paus Yohanes Paulus II dalam dokumen Christifideles Laici 26.
Bahwa arti kata ‘paroki’ pada dasarnya adalah ‘rumah bagi
sekumpulan rumah’. Hal tersebut nampak pada surat Rasul
Paulus kepada jemaat di Roma, Korintus dan Filipi. Dari sana lahir
ungkapan Ecclesia Domestica (Gereja Rumah Tangga).
Namun dalam perjalanan sejarah, lebih lebih ketika Gereja
Katolik menjadi agama resmi kekaisaran Romawi, lalu
mendominasi Eropa dan hingga abad modern ini, paroki berubah
menjadi suatu organisasi semi duniawi yang bersifat massal,
klerikal dan administratif. Makna ‘rumah’ dan ‘rumah tangga/
57
keluarga’ semakin memudar dan terabaikan. Betapa Paroki telah
berubah menjadi ‘komunitas raksasa’, masif, anonim dan
administratif. Struktur Pastoral semakin kehilangan rasa ‘rumah
tangga dan keluarga’ demi efisiensi, efektifitas, manageable,
orderly dan control. Kegiatan-kegiatan organisatoris lebih
diutamakan dibandingkan dengan penyelamatan jiwa. Paroki
tinggal menjadi suatu ‘kantor pusat’ suatu wilayah teritori
tertentu yang ditandai dengan berdiri megahnya gedung gereja
pusat Paroki. Namun kehilangan makna ‘tanda kehadiran Tuhan
yang bangkit, penuh kasih dan menyelamatkan’ di tengah
umatnya yang begitu banyak.

Tantangan Pandemi Covid-19 dan Revolusi Digital


Pandemi Covid-19 telah memorak-porandakan kebiasaan
mapan, bentuk, ruang dan cara perjumpaan, ungkapan kedekatan
relasi serta metode pelayanan. Dengan adanya kemajuan
teknologi komunikasi dan internet, disatu sisi Gereja diuntungkan
dan difasilitasi, namun disisi lain pengelolaan pastoral secara
teritorial dihadapkan pada karakter khusus dunia baru. Imunitas
menjadi bahasa keselamatan dan kebenaran etis bagi perilaku
sosial manusia sejak tahun 2020 ini. Entah sampai kapan hal ini
akan berlalu.
Selama Pra-Mupas II, kita sama sekali tidak menduga akan
datangnya pandemi Covid ini. Selama tahun 2020, sebagai masa
Pusat Pastoral mendiseminasikan hasil Musyawarah Pastoral II,
terduduk lunglai. Kita terhenyak sadar, mesti melakukan
reformasi struktur dan intervensi pastoral sesuai dengan tanda-
tanda zaman yang sama sekali baru ini. Dokumen kepausan tadi
pun mengajak kita untuk terbuka dan rendah hati dituntun
kepada ‘reformasi struktur’, secara khusus mengenai pengelolaan
pastoral Paroki, yakni komunitas yang dihimpun disekitar meja
Sabda dan Ekaristi. (no. 6)

Reformasi Struktur Pastoral


Dengan peranan jasa teknologi digital ini , semua Misa,
pertemuan pastoral, koordinasi, pewartaan, dan banyak kegiatan

58
dilakukan secara daring (live streaming, zoom meeting, dan
sebagainya).
Budaya digital telah merambah batas-batas eksistensi: di
satu sisi ruang gerak dan perjumpaan menjadi sangat terbatas,
namun di lain sisi kita sekaligus sedang hidup dalam ‘kampung
global dan plural’. Cara fikir dan pemahaman tentang diri sendiri,
sahabat dekat, kerabat, ungkapan cinta, solidaritas, relasi
kehangatan, paguyuban, komunitas, dan banyak hal lain, siap atau
tidak harus dimodifikasi. (no. 8) Mau tidak mau kita diajak masuk
pada awal sejarah akar terbentuknya Paroki: komunitas keluarga.
Gereja Paroki sebagai komunio masuk dalam konteks baru,
dimana hubungan teritorial (perjumpaan personal secara fisik)
menjadi tidak realistis (berbahaya).

Larut versus Kreatif


Berubah memang sulit. Namun perubahan adalah bagian
hakiki sifat dinamika hukum kehidupan. Perubahan (metanoia)
adalah juga sifat hakiki sejarah keselamatan.
Gereja saat ini diajak oleh Roh Kudus untuk melakukan
disermen (penegasan rohani) melihat realitas baru dengan ‘mata
Allah’, dalam kacamata kesatuan gerak dan persekutuan. Seluruh
Umat Allah harus segera terlibat dalam membangun komitmen
untuk menerima undangan Roh mewujudkan proses
pembaharuan wajah Gereja. (no. 10).
Gereja Persekutuan Umat yang dinamai Paroki, sebagai
komunio, sedang masuk realitas seperti itu. Di mana relasi antar
anggotanya, antar pribadi, antar keluarga, antar komunitas kecil
akan berisiko larut dalam dunia virtual tanpa komitmen dan juga
tanpa tanggungjawab dalam mewujudkan komunio. Kita
ditantang dalam mendesain program pastoral 2021 ke depan
secara kreatif.

Artikel pernah diterbitkan pada rubrik Laporan Utama dalam


Majalah Jubileum edisi 242. Oktober 2020.

59
Katedral Hati Kudus Yesus Surabaya (Dok.: Romo Didik)

60
Kebijakan Pastoral di Tengah Masa Pandemi
Covid-19 sebagai Tantangan Komunikasi Iman

Saat kita semua dirundung pandemi Covid-19, pemerintah


mengumumkan/mengeluarkan kebijakan, ketentuan, keputusan
dan peraturan demi keselamatan penduduk dari akibat
penyebaran virus Corona. Demikian juga dengan pemimpin
agama, khususnya pimpinan Gereja, menindaklanjutinya dengan
menerbitkan ketentuan dan pedoman bagi umatnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan
arti ‘kebijakan’ sebagai ‘rangkaian konsep dan asas yang menjadi
garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan, dan cara bertindak’ atau suatu ‘garis haluan’ yang
di dalamnya tercantum pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau
maksud tertentu.

Kebijakan sebagai Proses Pengkomunikasian Pesan


Kebijakan dirumuskan dan diumumkan untuk
diberlakukan dan ditaati. Pemerintah atau seorang pemimpin
sebagai penanggungjawab kehidupan bersama pada suatu
wilayah atau organisasi membuat kebijakan karena dalam
keadaan (konteks) tertentu bermaksud mewujudkan kebaikan,
kesejahteraan, kesehatan, keselamatan bagi warganya. Melalui
kebijakan (peraturan/pedoman), pemerintah hendak
menyampaikan suatu ‘pesan’ untuk ditaati demi suatu tujuan
yang diyakini baik dan benar.
Gereja mengeluarkan kebijakan agar Misa dilaksanakan
secara online (live streaming) dari rumahnya masing-masing.
Gereja juga menerbitkan ketentuan serta petunjuk tata cara
mengikuti Ekaristi selama Pekan Suci. Di balik kebijakan tersebut
pemimpin Gereja juga menyampaikan beberapa pesan penting
kepada Umat, misalnya:

61
1) Virus Corona memiliki cara dan media penyebaran tertentu
sehingga sungguh membahayakan bagi umat yang datang
berkumpul berdekatan di Gereja.
2) Hidup, keselamatan dan kesehatan manusia sungguh
dihormati dan dinilai sangat tinggi dibandingkan kehadiran
fisik di bangku gereja dalam peribadatan/Ekaristi selama
Pekan Suci.
3) Misteri perayaan dan perjumpaan dengan Tuhan dalam situasi
darurat bisa didapatkan tanpa perjumpaan fisik di gereja dan
tanpa kehadiran riil.

RD. Yakobus Budi Nuroto, RD. Yosef Eka Budi Susila, dan RD. Sabas
Kusnugroho dalam suatu Misa. (Dok.: Modik)

Tiga Unsur dalam Rumusan Kebijakan


Sekaligus terdapat tiga unsur yang dihadirkan dalam suatu
kebijakan: teks, konteks dan preteks. Kebijakan dalam wujud
fisiknya berupa susunan kalimat (‘teks’) yang dirangkai
sedemikian rupa sehingga apa yang menjadi maksud dan pesan
(‘preteks’) dapat tersampaikan dan dipahami oleh penerima se-
persis mungkin dengan pembuat kebijakan. Kebijakan selalu
62
terlahir sebagai tanggapan terhadap keadaan, kondisi (‘konteks’)
tertentu yang hendak disikapi.
Redaksi kebahasaan (teks) kebijakan adalah media
pengomunikasian atas suatu prinsip dan nilai (‘preteks’) yang
hendak disampaikan bagi pendengar yang dijadikan sasaran
kebijakan. Teks tersebut menjadi sarana pengangkut pesan.
Namun yang dimaksudkan dengan ‘teks’ dalam proses
komunikasi tidak selalu berwujud kalimat verbal. Teks dapat pula
berwujud non verbal, misalnya seseorang atau pimpinan Gereja
diam tidak mengeluarkan ‘rumusan kebijakan’ pun juga di
persepsi sebagai penyampaian pesan.

Selebrasi Mupas 20 Oktober 2019 bersama RD. Yosef Eka Budi Susila dan
Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono. (Dok.: Komsos KS)

Preteks Kebijakan Pastoral


Pastoral berarti penggembalaan kawanan jemaat. Pastoral
merupakan serangkaian (suatu gugusan) kebijakan, pola
pengelolaan (manajemen) yang bersifat koordinatif, komunikatif
dan formatif. Tiga sifat yang saling terkait, terarah dan saling
mengandaikan.
63
Tindakan pastoral berwujud koordinasi bersama antar
gembala, antar jemaat dan antara umat dan gembala mereka.
Koordinasi tidak akan terjadi tanpa komunikasi. Isi dari
komunikasi sekaligus juga tujuan dari koordinasi adalah
pembinaan, pengembangan dan pembentukan watak kristiani
segenap anggota persekutuan jemaat sebagaimana Tuhan
maksudkan bagi Gereja. Maka ‘preteks’ kebijakan pastoral tiada
lain kehendak dan rencana Tuhan yang diimani oleh Gereja.
Teks kebijakan pastoral adalah media, sarana dan sekaligus
semacam ‘kendaraan pengangkut’ kehendak Tuhan yang
diantarkan (disampaikan) bagi seluruh Gereja dalam konteks
tertentu.

Internet dan Media Sosial sebagai ‘Kendaraan Baru’


Tantangan bahaya khas penyebaran virus Corona menjadi
konteks baru di tahun 2020 ini. Sebelumnya, komunikasi verbal
dalam perjumpaan fisik (kehadiran riil) menjadi ruang
penyampaian ‘pesan’ misteri liturgi yang unggul dan utama. Saat
ini Gereja ditantang untuk menemukan dan memanfaatkan media
baru, yakni Internet, menjadi kendaraan pengangkut pesan dan
maksud Allah dalam perayaan ekaristi dalam konteks social dan
physical distancing.
Lima belas tahun terakhir, kehadiran monitor TV atau layar
LCD proyektor menjadi perdebatan. Saat ini lebih ekstrim lagi,
Umat bukan sekedar di luar teras gereja yang terhubung oleh
kabel monitor untuk menangkap pesan, melainkan dari rumahnya
masing masing terhubung oleh sinyal internet. Jikalau kita semua
tidak menangkap esensi komunikasi iman, maka akan terjebak
dalam polemik artifisial dan berisiko kehilangan jejak pesan iman
yang disampaikan dalam wujud media baru ini.

Tantangan Komunikasi Iman


Umat dan para insan pastoral saat ini ditantang untuk lebih
‘duc in altum’ (menebarkan jala persepsi ke kedalaman dibalik
teks dan realitas ‘physical distancing’), menjadi lebih kontemplatif.
Fenomena bahaya penyebaran virus Corona saat ini menantang

64
seluruh umat untuk menyelam lebih dalam ke lubuk misteri
Pekan Suci ketika gebyar hingar bingar fasilitas dan media
perayaan dilucuti hingga telanjang.
Yesus di depan pengadilan dilucuti jubah dan bajunya
hingga hampir telanjang, supaya semua pihak dapat berjumpa
pada jati diri Yesus. Allah Bapa yang mencintai dan menebus
dunia. Semua juluran jari fisik dan tatapan indrawi dilumpuhkan
supaya jari dan indra iman yang bersih-jernih menyentuh luka-
luka Yesus. Seluruh harapan yang tulus dapat memasuki kubur
kosong, dan cinta tak bersyarat yang memampukan kita
menjumpai Yesus yang bangkit.

Artikel pernah diterbitkan pada rubrik Laporan Utama dalam


Majalah Jubileum edisi 237. Mei 2020.

65
Mozaik Kapel Sekretariat Pemuda Katolik. Jl. Sam Ratulangi, Surabaya.
(Dok.: Romo Didik)

66
Menangkap Makna Paskah bagi Persekutuan Murid
Kristus di Tengah Pandemi Covid-19

“Di pantai itu berkumpul Simon Petrus, Thomas yang disebut


Didimus, Natanael dari Kana yang di Galilea, anak-anak Zebedeus
dan dua orang murid-Nya yang lain. Kata Simon Petrus kepada
mereka: “Aku pergi menangkap ikan”. Kata mereka kepadanya:
“Kami pergi juga dengan engkau”. Mereka berangkat lalu naik ke
perahu, tetapi malam itu mereka tidak menangkap apa-apa”
(Yohanes 21:2-3)

Manusia adalah makhluk pencari dan penangkap makna.


Seperti nelayan bekerja menangkap ikan. Jikalau dalam
pengalaman keseharian terutama pada saat-saat gelap
kehidupannya tak menemukan makna, maka sangat mudah
seluruh jiwanya terjerat oleh keputusasaan dan kemarahan yang
menyeretnya pada jurang kesia-siaan tak berujung. Sebagaimana
ditulis oleh Romo James Martin, SJ dalam The New York Times
pada 22 Maret 2020, akhir-akhir ini perasaan kita dipenuhi rasa
panik, takut, cemas, marah, sedih, bingung dan putus asa. Bahkan
orang beragama tak sedikit yang bertanya, “Mengapa ini bisa
terjadi? Di manakah Tuhan pada saat ini? Mengapa orang baik
menderita?”

Covid-19 sedang Melucuti Jubah dan Aksesoris Persekutuan


Di hati para murid dan para pengikut Yesus bergulat aneka
perasaan ketika mereka melihat pakaian Yesus dilucuti. Yesus tak
berpakaian lagi, dipermalukan dan tampak sebagai sosok ringkih
tanpa aksesoris jubah kemegahan. Lebih hancur lagi hati mereka
ketika Yesus memikul salib menuju bukit tengkorak (Golgota).
Setiap langkah dan tetesan darah semakin mendekatkan pada

67
kematian. Di kayu yang dipikulnya, semua organ gerak dipaku.
Seluruh kedagingan tak berkutik lagi. Yesus akhirnya mati.
Puncak bukan pada mati, masih ada kematian yang lebih
membunuh asa mereka, yakni ditemukannya kubur Yesus kosong.
Jenazah pun tak tersisa bagi upaya dan dukanya. Kubur kosong
pun berpindah mewujud nyata ke bawah pondasi pengharapan
mereka.
Seiring pandemi Covid-19 meningkat sebarannya, virus
yang tak kasat mata ini berubah wujud menjadi kekuatan raksasa
yang membuyarkan kerumunan manusia untuk masuk sembunyi
ke dalam rumahnya masing-masing dan ke ruang privat. Setiap
individu memandangi sesamanya dengan tatapan kekawatiran,
kewaspadaan, lalu menjaga jarak. Jarak yang sebelumnya sebagai
sifat cela berubah menjadi kewajiban (social & physical
distancing). Canda keakraban menguap senyap. Keseharian
dipenuhi sepi. Diliputi kabut yang tak kelihatan di mata mereka,
namun secara nyata menyergap dan membungkam nafas dengan
pengap berlapiskan rasa hambar. Di antara setiap pribadi para
Rasul terbentang jarak yang aneh dan asing.
Para rasul bersama-sama ada di satu rumah, namun sama-
sama merasa tak hadir. Mereka sama-sama mendaraskan Mazmur
dan berdoa, namun bunyi doa terasa hanya menggaung di dinding
rumah yang telah berubah menjadi dinding gua kubur kosong.
Ruang ibadah menjadi seperti kain kafan tergulung kosong tanpa
isi.
Thomas pun pergi meninggalkan ruang hambar itu.
Mengusir takut dan kesedihan, dituntun oleh pertanyaan iman
yang terus mendentam di hati dan akal budi, mengais-ngais arti
dan bukti.
Pada saat sulit macam ini, ruang kebersamaan dan ritual
keagamaan dinilai sebagai aksesoris sekunder. Ternyata arogansi
fatwa doktriner dipaksa oleh pandemi Covid-19 untuk terlucuti
dari kemutlakannya. Setiap religiusitas dan spiritualitas harus
keluar dari kerumunan sosial yang semu, keluar secara soliter
mengembara (jalan sendirian), menerobos gelapnya malam batin.

68
Para rasul semalaman menebarkan jala, tetapi malam itu mereka
tak menangkap apa-apa.

Social Distancing: Menebarkan Jala di Sebelah Kanan,


Memurnikan Persekutuan
Pada saat para Rasul dengan semua pintu tertutup
mendaraskan Mazmur 22. Peristiwa pelucutan jubah Yesus di
tengah kerumunan pengadilan membayang secara nyata di hati
mereka masing-masing. Pada saat umat Katolik tak lagi bisa
menonton anak anak muda mendramakan kisah sengsara di
lapangan gereja parokinya, tak lagi bisa mendoakan jalan salib di
gerejanya.
Peristiwa perhentian kesepuluh, pakaian Yesus
ditanggalkan. Sesampai di puncak Golgota, para prajurit
menanggalkan pakaian Yesus dengan paksa. Mereka mengambil
pakaian Yesus lalu membaginya menjadi empat bagian, untuk
tiap-tiap prajurit satu bagian. Demikian juga jubah-Nya mereka
ambil. Jubah itu tidak terjahit, dari atas sampai kebawah hanya
satu tenunan. Karena itu mereka berkata seorang kepada yang
lain, “Janganlah kita membaginya menjadi beberapa potong, tetapi
baiklah kita membuang undi untuk menentukan siapa yang
mendapatkannya.” Maka genaplah yang ada tertulis dalam Kitab
Suci, “Mereka membagi-bagikan pakaian-ku di antara mereka dan
mereka membuang undi atas jubah-Ku“ (Yohanes 19:23-24;
Mazmur 22:19).
Yesus telah menjadi manusia yang paling hina. Diturunkan
derajatnya menjadi obyek tontonan yang dipermalukan. Gelar
sebagai Raja dan Anak Tuhan tak lagi terbukti selain sekedar
olokan teologis. Kerumunan orang sebagian besar menjadi juri
penilai, pengkritik, pencela dan penguasa. Jubah megah agama
telah menjadi undian di arena perdebatan teologis. Kebenaran
telah berubah sebagai keberuntungan yang dimenangkan oleh
penguasa dan praktisi premanisme teologis. Kemenangan yang
diperoleh bukan dengan kerendahan hati spiritual tetapi oleh
kebencian dan dendam. Darah yang mengucur di sekujur tubuh
ringkih Yesus malah memicu keberingasan. Ternyata ‘Tuhan yang

69
Disalahkan’ itu bukan di pakaian dan jubah. Masih ada yang harus
dilucuti: Tubuh-Nya.
Tubuh lemah direntang paksa dipakukan di kayu palang.
Tangan dan kakinya dipaku di kayu salib. Susunan hirarkis
organis tubuh tak lagi berfungsi selain seonggok himpunan organ
(‘orang’) yang tak lagi bisa digerakkan. Tangan kaku meregang
sakit tak lagi bisa menyentuh, memegang dan menunjuk. Kaki
gemetar kejang menyangga beban, tak lagi bisa untuk melangkah,
berlari ataupun menjalankan program kegiatan.
Di ruang tertutup, para Rasul melihat dengan jelas dalam
lubuk kesadarannya, bahwa ‘tubuh tersalib’ itu adalah kondisi
persekutuan mereka sendiri saat ini. Persekutuan selama ini
adalah sekumpulan orang yang bangga dengan Yesus. Penuh
kemegahan dan bangga, selalu menemukan kejutan-kejutan ajaib
karena banyak mendapati tontonan mujizat, kemeriahan
pembicaraan karena sama-sama membagikan kesuksesan dan
banyaknya massa yang berkumpul.
Persekutuan yang hidup merupakan banyaknya orang
terlibat dalam kegiatan yang meriah. Dikemas dalam hiburan
gemerlap karena ditunjang oleh tersedianya banyak dana.
Donatur berlomba menyumbang karena hebatnya marketing
rohani.
Para Rasul kini menjadi komunitas kecil yang di-lockdown
oleh rasa takut, malu, sedih dan disorientasi kolektif. Yang
menyatukan di antara mereka, bahwa nasib Yesus mewujud
dalam persekutuan mereka.
Sikap iman para murid oleh Yohanes penginjil
diumpamakan sebagai tindakan nelayan yang menebarkan jala.
Kubur kosong adalah semacam malam di danau Galilea yang tak
memberikan ikan seekorpun. Di tengah kehampaan dan gelapnya
pengharapan Yesus yang bangkit dijumpai setelah mereka
mengikuti perintah-Nya menebarkan jala di sebelah kanan
perahu, “Tebarkanlah jalamu ke sebelah kanan perahu, dan kamu
akan mendapat.” (Yohanes 21:6). Para Murid mengernyitkan dahi
bertanya ke dalam hati dan menggali ingatan akan Taurat,
“Mengapa di- ‘kanan’?”

70
Dalam Taurat lebih dari 200 kali memakai kata kanan
dalam berbagai ayat yang menunjuk pada apa yang benar
menurut perintah Allah: dalam kekuatan Allah, sesuai dengan
kehendak Allah, yang baik, benar dan mulia, dan sesuai nilai-nilai
kerajaan Allah. Dalam keadaan segelap, sehambar, sesulit, sesedih
dan sebuntu macam apapun berdirilah di atas iman, bersama
kekuatan Allah, tebarkan tindakan yang benar, baik dan mulia di
sebelah kegiatan rutinmu.

Paskah: Secercah Cahaya Harapan di Ujung Lorong Gelap


Iman
Kedatangan Maria Magdalena dan pemberitaan dua murid
dari Emmaus, terasa seperti petir yang menyobek tirai Bait Suci
Yerusalem, juga menyibak tirai yang sedang mengurung
persekutuan para Rasul.
Maria Magdalena bersaksi bahwa kedosaannya tak
diperhitungkan Tuhan justru ketika dia menangisi kedosaan dan
menceburkan diri pada kenangan diselamatkan Yesus. Secara
bertahap Tuhan sendiri menuntun Maria Magdalena keluar dari
kedukaan narsistik dan kesedihan egois. Maria Magdalena
disadarkan bahwa pada awalnya Tuhan tak lebih sebagai tukang
taman yang disuruh-suruh mengikuti keinginan egois dirinya.
Tuhan adalah penghibur yang disuruh bekerja disaat taman
hidupnya kering. Tuhan tak lebih sekedar instrumen
penghiburan. Komunitas dan persekutuan dianggap penuh berkat
jikalau men-supply penghiburan pada persekutuan. Dia dibimbing
oleh Tuhan meneliti dan menemukan apa sebenarnya yang dia
tangisi dan siapa sebenarnya yang dia cari. Maria Magdalena
disentuh pada nama jatidiri kemanusiaannya di hadapan Tuhan.
Maria bertemu dengan Yesus yang bangkit melampaui duka.
Penuh cahaya suka cita ilahi, Maria Magdalena bergegas menuju
persekutuan para Rasul untuk mewartakan pengalaman
Paskahnya.
Dua Murid dari Emmaus bersaksi bahwa Tuhan yang
‘bangkit’ juga membimbing secara bertahap. Tuhan yang bangkit
adalah Dia yang hadir dalam wujud sukacita karena mendalami

71
Kitab Suci dalam kebersamaan menempuh perjalanan. Suka Cita
Firman belum secara sempurna menembus hingga ‘pengalaman
perjumpaan, masih sebagai kehadiran sukacita yang menyertai
perjalanan.
Puncak perjumpaan dan kehadiran (praesentia realis)
dialami secara riil oleh mereka saat mereka bersekutu dan Yesus
memecah dan membagi-bagikan roti. Dua murid Emmaus
menunjukkan adanya cahaya di ujung lorong gelap iman ketika
persekutuan disatukan oleh Firman dan Ekaristi. Dua murid dari
Emmaus bergegas kembali ke Yerusalem, menuju kesatuan
dengan para Rasul untuk mewartakan pengalaman paskah
mereka.

Thomas yang keluar dari ruang Simulakrum


Para Rasul secara bertahap sadar bahwa selama ini Yesus
diharapkan seperti Hero-nya film Hollywood. Harusnya menjadi
pahlawan yang selalu menang dan orang-orang yang jahat tidak
boleh menang. Yesus adalah tokoh yang tidak boleh mati di salib.
Yesus seharusnya tidak bisa terluka, tidak tersentuh oleh siksaan.
Yesus mestinya tidak mungkin berseru, “Eli-eli lama sabakhtani”.
Pada umumnya para murid tidak bisa menerima Yesus yang
mengatakan bahwa Mesias harus menderita.
Dalam cara pandang yang sama, Gereja seharusnya menjadi
persekutuan orang-orang hero, sakti penuh keajaiban. Doanya
menjadi mantra penuh mujizat. Gereja menjadi kumpulan massa
besar yang penuh gebyar beribadah di tempat mewah dan
berkelas. Paroki adalah kumpulan ramai orang dengan kegiatan
massive berbiaya tinggi dan memberi kepuasan optimal kepada
jemaatnya. Bahwa banyak kali insan pastoral lupa bahwa ada
banyak orang yang menderita, lansia, difabel, susah dan miskin.
Ibadah sebagai infotainment, doa menjadi serangkaian nota
pemesanan konsumtif, kesalehan menjadi instrumentalisasi
Tuhan, dan pewartaan menjadi “Kristotainment” (Menjual Kristus
untuk mengumpulkan uang).
Thomas gundah, mencoba keluar dari kungkungan
persekutuan yang senyatanya terbelenggu ketakutan dan putus

72
asa tak tahan melawan kehampaan. Lantunan pujian syahdu yang
senyatanya simulasi pelarian dari individu-individu yang satu
sama lain merasa asing dengan kisah pilunya masing-masing.
Tuhan tak lebih dari kehampaan batin yang dijubahi penghiburan.
Yesus macam apa yang dipercayai mereka? Yesus yang
senyatanya apa adanya sebagaimana dikenali selama 3,5 tahun
ataukah Yesus yang diciptakan oleh angan-angan dan diharapkan
menjadi pahlawan? Thomas mengais semua ingatannya mencoba
menemukan tanda tentang Yesus yang sebenarnya. Kalau Yesus
memang benar bangkit keluar dari kubur kosong semestinya
adalah Yesus sebagaimana ada-Nya, Mesias yang menderita dan
tak malu menunjukkan luka. Bagi Thomas, penanda yang paling
dibutuhkan saat ini adalah luka-luka cinta-Nya sebagai petanda
kebangkitan-Nya.
Maka ketika murid-murid yang lain itu kepada Thomas,
“Kami telah melihat Tuhan!” Thomas tak begitu saja percaya
dengan kesaksian itu. Dia berkata kepada mereka: “Sebelum aku
melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku
mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan
tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan
percaya” (Yohanes 20:25). Yesus adalah Tuhan dan Guru yang
bangkit dan dia imani kalau dengan mata indrawinya menjumpai
luka karena cinta itu. Thomas tak mau dijebak oleh ‘simulakra’,
realitas semu (meminjam istilah Jean Beoudrillard) hasil simulasi
yang direproduksi oleh sikap eskapis (lari dari realitas ketakutan)
dan religiositas narsistik yang menggoda setiap pengikut Yesus.
Ketika Yesus menampakkan diri kepada Thomas, hanya dialah
yang sampai kepada pengakuan khusuk: “Ya Tuhanku dan
Allahku”.
Covid-19 memaksa Gereja merayakan Ekaristi, ruang
pengalaman realis praesentia (kehadiran secara nyata) dari Yesus
yang mati dan bangkit, bukan di gedung gereja melainkan secara
live streaming. Umat dalam persekutuan paling dasar (keluarga:
communio personarum) harus stay at home. Dijauhkan oleh social
distancing dari fisik gereja paroki mereka. Pengalaman baru ini
terjadi ketika Keuskupan Surabaya memulai implementasi Ardas

73
2020-2030, pada saat tahun ini sedang berniat melakukan
pertobatan. Tahun 2020 sebagai tahun pertobatan murid-murid
Kristus. Pandemi tahun ini bukan hanya cara bumi memulihkan
keseimbangan alam, namun juga bisa menjadi cara Roh Kudus
memulihkan persekutuan para murid Kristus agar terbebas dari
virus simulakra ritualisme dangkal dan menemukan kembali
‘realis praesentia’ yang sejati.

Persekutuan Murid-Murid Kristus yang Semakin Dewasa


dalam Iman
Sebagaimana Gereja awali dibentuk dan didewasakan
imannya oleh pengalaman Paskah, demikian juga di tahun 2020-
2021 ini Gereja Keuskupan Surabaya dan agama-agama pada
umumnya, bukan hanya terhenti pada keputusasaan dan
kekuatiran lebih-lebih kekuatiran finansial, namun didewasakan
iman mereka oleh pandemi Covid-19 ini. Gereja menjadi semakin
realistis dan misioner, pastoral menjadi sistem tata pengelolaan
program penggembalaan jemaat yang semakin kontekstual
(aktualisasi jati diri sesuai dengan konteks nyata umat), Ekaristi
semakin dihidupi secara lebih mendalam.
Ketika Yesus naik ke Sorga, para Rasul sudah disiapkan.
Yesus yang pergi bukan lagi melihatnya sebagai ‘kubur kosong’
tetapi suatu janji pasti bahwa Dia akan selalu hadir dan menyertai
sampai akhir jaman. Pengalaman Pentakosta adalah sebuah fakta
kelahiran Gereja sebagai Tubuh Yesus yang baru. Gereja dengan
mantap menyusuri waktu sebagai Sakramen Kristus bagi dunia.
Kisah Para Rasul memberitakan bagaimana proses pendewasaan
persekutuan
Gereja terjadi selanjutnya. “Mereka bertekun dalam
pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka
selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa, semua
orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala
kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada
dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-
bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan
masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka

74
berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan
roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-
sama dengan gembira dan dengan tulus hati sambil memuji Allah.
Mereka disukai semua orang dan tiap-tiap hari Tuhan menambah
jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan” (Kisah Para
Rasul 2:41-47).
Semoga umat Katolik Keuskupan Surabaya bersama
masyarakat di sekitarnya melewati pandemi Covid-19 sebagai
persekutuan murid-murid Kristus yang semakin dewasa imannya,
guyub, penuh pelayan dan misioner.

Artikel pernah diterbitkan pada rubrik Laporan Utama dalam


Majalah Jubileum edisi 238. Juni 2020.

75
Salah satu penjual ikan di Pasar Pabean (Dok.: Modik)

76
Permasalahan dan Kebutuhan Ekonomi Umat
pada Masa Pandemi Covid-19

Pastoral Gereja bukan sekedar berurusan dengan hal-hal


rohani/sorgawi ataupun hal-hal di dunia yang akan datang,
namun juga aneka aspek kehidupan konkrit keseharian,
khususnya tata ekonomi umat Allah. Untuk itulah Allah
menginkarnasi dalam diri Yesus karena peduli dengan hidup dan
sejarah konkrit manusia. Rencana keselamatan Allah bersifat
menyejarah, dengan kata lain membangun sejarah keselamatan
manusia dan dunianya secara holistik.
Dalam pola pastoral Keuskupan Surabaya nampak aneka
aspek kehidupan umat yang hendak dilayani dalam tata kelola
penggembalaan umat. Kita memahami ada 4 rumpun bidang
pastoral: Formatio, Sumber, Kerasulan Khusus, dan Kerasulan
Umum. Pelayanan sosial, ekonomi dan kemasyarakatan termasuk
dalam rumpun Kerasulan Umum.
Pada bulan Juni, tepatnya 24-29 Juni 2020, saya atas nama
Komisi Keluarga menyebarkan kuesioner lewat media Google
Form kepada umat. Maksud kuesioner tersebut adalah agar
Komisi Keluarga dan komisi lain yang terkait dapat memiliki
gambaran tentang ranking urutan permasalahan yang dialami
Keluarga Katolik di masa pandemi ini, sehingga menjadi dasar
bagi perencanaan program Komisi Keluarga dan komisi lain
secara tepat sasaran ke depan. Disamping itu untuk membantu
Uskup Surabaya memiliki gambaran/peta situasi umat saat ini.

77
Infografis hasil survei problem dan kebutuhan umat di masa pandemi
2020 (Sumber: KomKel)

Respon umat luar biasa antusias. Dalam 4 hari peredaran


Google Form, dapat terhimpun 2.345 responden. Ada 5 klaster
permasalahan yang terungkap dari aneka jawaban umat: a.
Ekonomi (1.038 jawaban); b. Konseling (343 jawaban); c. Rohani
(749 jawaban); d. Pembinaan/Pelatihan (189); e. Kesehatan (82
jawaban).

78
Infografis hasil survei problem dan kebutuhan ekonomi umat di masa
pandemi 2020 (Sumber: KomKel)

Problem dan kebutuhan ekonomi menempati ranking


pertama, yakni 1.038 jawaban. Hal ini mengungkapkan bahwa
pandemi Covid-19 sungguh berdampak secara ekonomi bagi umat
Katolik Keuskupan Surabaya. Kalau kita tilik jenis permasalahan
dan kebutuhan umat dibidang ekonomi secara lebih detil, dari
1.038 jawaban, ditemukan ada 7 jenis permasalahan/kebutuhan
ekonomi: Keuangan (333 jawaban), Sembako (293), Pekerjaan
(271), Bantuan Sosial Ekonomi Paroki (99), Biaya Pendidikan
(33), Platform media pemasaran/e-commerce (8).
Pandemi Covid-19 menyebabkan goncangan bagi
ketahanan ekonomi rumah tangga. Pemutusan Hubungan Kerja,
kehilangan sumber keuangan dalam keluarga dan kesulitan
pemasaran menjadi tragedi tanpa diketahui kapan berakhir.
Kemampuan ekonomik rumah tangga yang telah diandalkan
selama ini menghadapi bentuk dan jenis ancaman, rintangan,
gangguan, dan hambatan yang tidak dialami sebelumnya. Dengan
demikian pastoral pengembangan sosial ekonomi umat saat ini
juga menghadapi tantangan baru.
Tantangan dan sekaligus peluang baru dalam membangun
ketahanan ekonomi rumah tangga saat ini adalah “pasar yang
79
bersifat maya”. Kita semua saat ini terpaksa (dipercepat)
mengenali teknologi pemasaran baru yang bersifat digital.
Musyawarah Pastoral Keuskupan Surabaya 2019 telah
melihat tantangan strategis berbasis teknologi ini. Sebagaimana
dituliskan dalam buku hasil Mupas seri ke-3 bab II nomor 2
(halaman 12-14): Tanggap menyikapi tanda-tanda jaman. Pada
halaman 13, dituliskan demikian: “Ada dua kemungkinan arah
gerak tata ekonomi di masyarakat ke depan dimana gereja hidup
di dalamnya: jikalau apatis terhadap keadaan perekonomian di
Indonesia menjadi tidak terdistribusi secara adil di masyarakat
maka Gereja akan tidak relevan bagi pengembangan ekonomi
berkeadilan. Lambat laun Gereja akan terasing dan menjadi musuh
masyarakat berkemampuan ekonomi kecil. Namun jikalau Gereja
berpihak dan berkontribusi pada penguatan ekonomi bagi usaha
kecil dan menengah maka Gereja Katolik relevan bagi masyarakat".
Lebih lanjut, terkait kemajuan teknologi, dikatakan bahwa
“Perkembangan ilmu dan teknologi, khususnya teknologi
komunikasi, terjadi sangat cepat. Internet menjadi ruang baru
kehidupan sosial. Teknologi bisa menjadi pisau bermata dua:
membangun dan merusak tata hidup sosial manusia. Jikalau Gereja
gagap dan apatis terhadap kemajuan teknologi, maka akan
terkungkung dalam gua persembunyian seperti “lampu ditaruh di
bawah gantang”. Gereja menjadi tidak relevan bagi masyarakat
dunia jikalau tidak segera membarui komitmen dalam
memaksimalkan penggunaan teknologi (khususnya internet)
dalam program penggembalaan, pewartaan dan kesaksian
hidupnya”.
Meskipun dari survei di atas hanya ada 8 jawaban yang
mengingatkan kebutuhan adanya platform e-commerce bagi
usaha UMKM umat, namun mereka ini yang menangkap urgensi
dan strategisnya improvisasi pengembangan program
Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) ke ranah digital ke masa
depan.

Artikel pernah diterbitkan pada rubrik Laporan Utama dalam


Majalah Jubileum edisi 241. September 2020.

80
Bertemu Mbah Sinem di Wisata Watu Jonggol, Ngawi. (Dok.:Modik)

81
Karikatur tentang kondisi lembaga pendidikan Katolik. Dibuat pada
tahun 2007.

82
Anggur Baru di Kantong yang Baru.
Sekolah Katolik pada Masa Pandemi Covid-19

Pada masa kehidupan Yesus, anggur disimpan di dalam


kantong kulit binatang (umumnya kulit kambing). Sebuah
kantong kulit akan mengeras setelah dimasuki anggur, karena
anggur mengalami fermentasi.
Kantong kulit yang baru diperlukan karena bebas dari
semua bekas unsur fermentasi (sel-sel ragi yang sudah matang).
Apabila sari buah anggur yang baru dimasukkan ke dalam
kantong kulit yang lama, maka sari buah itu akan lebih cepat
meragi karena sudah ada sel-sel ragi di dalam kantong kulit yang
lama. Fermentasi yang terjadi dengan demikian akan merusak
baik sari anggur yang baru maupun kantong kulitnya (yang akan
pecah karena tekanan proses peragian).
Untuk menjaga agar sari buah anggur “tetap manis”, maka
sari buah tersebut harus dimasukkan ke dalam suatu wadah baru
yang tertutup rapat-rapat. Itulah sebabnya Tuhan Yesus memakai
pengalaman para pengolah anggur tersebut sebagaimana dicatat
oleh ketiga penulis Injil (Matius 9:17, Markus 2:22, Lukas 5:37-
39). “Anggur yang baru tidak diisikan ke dalam kantong kulit yang
tua, karena jika demikian kantong itu akan koyak sehingga anggur
itu terbuang dan kantong itupun hancur. Tetapi anggur yang baru
disimpan orang dalam kantong yang baru pula, dan dengan
demikian terpeliharalah kedua-duanya”.
Pendidikan menurut ajaran Gereja Katolik bersifat hakiki
bagi pertumbuhan karakter dan iman Kristiani, bukan sekedar
transfer ilmu pengetahuan.
Deklarasi Gravissimum Educationis mengingatkan
melimpahnya ‘anggur baru’ yang dihasilkan Konsili Vatikan II
sehingga sekolah Katolik meninggalkan kantong lama ‘sekolah
identik dengan lembaga’ menuju sekolah sebagai komunitas.
Sekolah adalah komunitas yang dibangun di antara orang tua,
83
anak dan guru. Sekolah sebagai kelanjutan relasi kasih dalam
keluarga. Sekolah Katolik mestinya menjadi ‘seminarium’
(persemaian) nilai-nilai Kristiani, mengajarkan kebijaksanaan,
mendorong para murid aktif menemukan dan mengembangkan
dirinya secara integral, menumbuhkan hasrat belajar sehingga
menemukan sukacita dalam proses belajar (senang belajar).
Dengan demikian di sekolah Katolik diharapkan setiap pribadi
bermartabat, meningkatkan kapasitas untuk sampai pada
pengetahuan akan kebenaran. Melalui setiap aktivitas di sekolah
perspektif religius diimplementasikan. Konsili Vatikan II
merindukan Sekolah Katolik sebagai komunitas terjadinya
integrasi iman, budaya dan kehidupan.

Tata letak baru ruang kelas di SMPK Santo Stanislaus, Surabaya. Meja kursi ditata
berjarak, sebagai persiapan jika kondisi new normal diberlakukan dan opsi
belajar dengan model tatap muka bisa berlangsung. (Dok.: Jubileum/Yung)

Pandemi Covid-19 menyentak dan menyadarkan dunia


pendidikan yang sekian lama terlelap dalam ‘kantong
kelembagaan’ yang mewujud dalam bentuk pola pengajaran
berdinding tembok gedung sekolah. Murid menjadi individu yang
tercerabut dari panggilan orang tua sebagai pendidik yang utama.
84
Cinta personal orang tua terhadap anak tergeser atau tergantikan
oleh kesanggupan orang tua menyetorkan biaya pendidikan yang
dituntut sekolah. Pengajaran di sekolah terbelit oleh sistem
kebijakan kekuasaan yang dikendalikan oleh kepentingan politik
dan ekonomi.
Di lain sisi, penyelenggara pendidikan terpaksa
mengorbankan visi ideal pendidikan karena harus memenangkan
kompetisi dan meningkatkan keuntungan finansial demi
mempertahankan life-cycle keberadaan lembaga (unit usaha)
yang dimilikinya. Katolisitas Sekolah Katolik tinggal tersisa
dengan adanya formalitas doa dan pelajaran agama yang semakin
tidak menumbuhkan pengenalan dan cinta akan Tuhan, tetapi
sekedar beban kurikulum dan tugas yang dibenci siswa.
Keganasan dan kecerdikan virus Corona memorak-
porandakan sekolah sebagai aktivitas berkumpul dan
berinteraksinya antara guru dan siswa di satu ruang. Covid-19
membobol ‘kantong lama’ gaya pendidikan sekolah saat ini.
Kantong lama ini tidak lagi relevan. Yang ngotot memakai kantong
lama akan menjadi sarang penyebaran Covid-19. Oleh karena itu,
pemerintah menetapkan kebijakan belajar dari rumah terhadap
semua jenjang pendidikan mulai pra-sekolah hingga pendidikan
tinggi, baik negeri maupun swasta.
Para penyelenggara ‘lembaga’ pendidikan, kecuali para
orang tua yang selama ini telah berani menerapkan pola
pendidikan anak secara ‘homeschooling’, tidak menyiapkan
sumber daya manusia -pendidik (guru), peserta didik, dan peran
orang tua- maka menjadi kelabakan.
Selama enam bulan ini, lembaga pendidikan yang sudah
‘nyaman’ dengan ‘kantong lama-nya' menjadi gagap atas
kemampuan para pendidik, sistem kurikulum yang sesuai,
ketersediaan sumber belajar, dukungan perangkat dan jaringan
yang stabil sehingga semua stakeholder pendidikan (baik dari
pendidik, peserta didik, maupun orang tua) bingung dan
mengeluh.

85
Aktivitas beberapa guru SD Yohanes Gabriel, Surabaya yang datang bergantian
ke sekolah. Mempersiapkan materi ajar dan mengajar via daring pada para
siswa. (Dok. Jubileum/Yung)

Banyak pendidik yang mengeluhkan terbatasnya


ketersediaan sarana teknologi. Kemampuan pengoperasian
maupun jaringan internet di beberapa wilayah/lokasi penugasan
yang terlalu berat/minimal namun dituntut segera melaksanakan
dengan waktu yang singkat.
Murid mengeluh banyak tugas merangkum dan menyalin dari
buku, pola belajar-mengajar masih kaku, guru cenderung beri
tugas terus-menerus tanpa pengajaran yang mencukupi,
keterbatasan kuota internet untuk mengkuti pembelajaran
daring, sebagian siswa tidak mempunyai gawai pribadi sehingga
kesulitan dalam mengikuti ujian daring.
Kemungkinan besar pandemi Covid-19 ini tidak akan
hilang dalam waktu singkat, bahkan WHO mengumumkan ada
potensi gelombang endemik baru. Di samping hidup keagamaan,
tiga sektor sosial yang paling mengalami dampaknya adalah
ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Ketiganya akan saling
mengait, tantangan besar akan kita hadapi bersama, baik secara
individu, komunitas, kelembagaan maupun pemerintah.
Keuskupan Surabaya, melalui Yayasan Yohanes Gabriel,
mengelola 154 sekolah. Secara umum, jumlah siswa turun tajam
sepuluh tahun terakhir. Seiring dengan penurunan jumlah siswa,
menurun pula kekuatan ekonomi untuk menopang biaya
operasional dan pengembangan sekolah. Sebagian besar sekolah
86
kita ada di luar kota Surabaya. Kaderisasi kepemimpinan
manajemen sekolah serta jumlah pengajar yang kompeten sulit
dipenuhi secara layak. Tingkat kepercayaan umat Katolik
terhadap persekolahan Katolik menurun.
Banyak pertanyaan besar, dan meskipun sungguh terasa
berat, mesti kita ajukan dalam rangka nasib pastoral dan
penyelenggaraan pendidikan Sekolah Katolik ke depan,
diantaranya:
• Apakah persekolahan Katolik milik Keuskupan masih relevan
dan signifikan?
• Jikalau masih signifikan, bagaimana caranya
mengembalikan/memulihkan idealisme dan Katolisitas
Sekolah Katolik sehingga menjadi bermanfaat bagi
pencerdasan kehidupan bangsa dan mewujudkan hakikat
pendidikan Katolik seperti yang diharapkan oleh Gereja?
• Jikalau masih relevan, bagaimana memulihkan kembali relasi
misioner antara sekolah Katolik dengan Gereja lokal?
• Bagaimana cara menopang dan menghidupi eksistensi, misi,
dan pengembangannya?
• Bagaimana cara mengembalikan kepercayaan masyarakat
terhadap sekolah Katolik?
• Bukankah faktor kunci keberhasilan mewujudkan misi sekolah
mesti ditunjang oleh penyiapan serta peningkatan kualitas
pengajar yang memiliki spiritualitas dan penghidupan yang
baik?
• Bagaimana mewujudkan visi Konsili terhadap sekolah sebagai
‘Komunitas’ bagi pembentukan integrasi iman, budaya dan
kehidupan yang bermartabat bagi setiap siswa serta
terpulihkannya relasi utuh antara Orang Tua, Sekolah,
Masyarakat dan Gereja dalam pengelolaan dan menghidupi
nilai-nilai Injil?

87
Sungguh mendesak diadakannya penegasan visi pendidikan
Katolik, tahap-tahap pengembalian ke rel hakekat sekolah Katolik,
solidaritas stakeholder dalam menopang penyelenggaraan
sekolah, pembenahan misi dan perumusan rencana strategis
Yayasan Yohanes Gabriel ke depan, lebih- lebih memperkirakan
skenario pola pembelajaran berbasis luring dan daring dalam
jangka pendek ini.

Artikel pernah diterbitkan pada rubrik Laporan Utama dalam


Majalah Jubileum edisi 240. Agustus 2020.

88
Bagian IV

Kerygma dalam Ranah Digital

89
RD. Alexius Kurdo Irianto saat taping sosialisasi Bahan Pendalaman
Iman 2021.

90
Kerygma dalam Ranah Digital

Kerygma (pewartaan) merupakan salah satu dari


Pancatugas Gereja selain Liturgia (Liturgi), Diakonia (pelayanan),
Martyria (kesaksian), dan Koinonia (persekutuan). Kerygma
adalah pewartaan awal kabar sukacita kepada masyarakat.
Pewartaan awal inilah yang menggugah orang untuk
menyerahkan diri pada keselamatan Allah melalui Putra-Nya.
Di antara Pancatugas Gereja tersebut, kerygma menduduki
nomor urut pertama (bdk. Kisah Para Rasul 2: 42-47). Pengajaran
para rasul adalah pelayanan utama pada jemaat perdana. Dari
pewartaan mengalir dan berbuah kepada aspekaspek lain dari
hidup Gereja awal.
Ada 5 alasan mengapa keryma mengawali kegiatan para
rasul: (1.) merupakan model perjumpaan Yesus yang selalu
mengajar, (2.) Merupakan perintah dalam perutusan (bdk. Matius
28:19-20), (3.) Dipraktekkan oleh Gereja perdana (bdk. Kisah Para
Rasul 2:42), dan (4.) Diperkuat dalam Surat-Surat Pastoral
(Paulus mendorong Timotius dan Titus untuk mengabdikan diri
pada pelayanan mewartakan dan mengajarkan Sabda Allah).(5)
Pewartaan merupakan media yang paling efektif
untuk mengantarkan dan menanamkan nilai Kerajaan Allah ke
dalam hati jemaat. Melalui kerygma Sang Sabda mengunjungi dan
menyelamatkan UmatNya.

Berbagai Ensiklik yang mengiringi perkembangan teknologi


informasi
Pewartaan merupakan aktivitas vital Gereja, dalam
mewujudkan mandat sakramental bagi dunia. Model pewartaan
pun seiring dengan perkembangan jaman. Pada tahun 1930-an
misalnya, pada saat itu dunia layar lebar sedang marak. Media
berupa film bioskop memiliki dampak positif maupun ekses
negatif. Hal itulah yang membangkitkan kesadaran pentingnya
91
film bioskop sebagai media pewartaan yang luar biasa. Tahun
1936, Paus Pius XII menerbitkan ensiklik Vigilanti Cura yang
menjelaskan pentingnya katekese, pengajaran pewartaan
penginjilan menggunakan sarana film. Hal itulah yang memacu
produksi film bioskop bergenre rohani di tahun-tahun setelahnya
seperti The Ten Commandments (rilis 1956), dan Jesus of Nazareth
(1977).
Pada tahun 1957, saat radio dan televisi mulai dinikmati
masyarakat. Paus Pius XII menerbitkan ensiklik Miranda Prorsus
yang membahas ladang pewartaan melalui sinema, televisi, dan
radio.
Memasuki tahun 1960, perkembangan media cetak yang
menyusul popularitas sinema, televisi, dan radio. Perkembangan
media menjadi tantangan sekaligus peluang pewartaan. Dalam
rangkaian Konsili Vatikan II, dirilis dokumen Inter Mirifica pada 4
Desember 1963 yang membahas integrasi media komunikasi
sosial dalam karya pastoral gereja.
Dalam dokumen Communio et Progressio yang dirilis 23 Mei
1971, Gereja memandang media komunikasi sebagai anugerah
Tuhan. Walau media komunikasi (lagi-lagi) memiliki efek negatif,
kita tidak bisa bersikap masa bodoh, tapi bagaimana
kita menggunakan secara positif sebagai media pewartaan.
Pada tanggal 8 Desember 1975, Paus Paulus VI
mengeluarkan anjuran apostolik Evangelii Nuntiandi. Pada
dokumen tersebut dijelaskan juga pentingnya penggunaan
berbagai media katekese.
Memasuki dekade 80-an, muncul revolusi baru dalam
teknologi komunikasi. Setelah diluncurkan satelit, TV kabel mulai
digunakan seiring teknologi serat optik. Disusul teknologi
komputer micro processor sehingga personal computer bentuknya
semakin compact dan digunakan banyak orang.
Kemajuan teknologi satelit, komputer, dan internet
mendorong semakin maraknya media komunikasi, Paus Yohanes
Paulus II, pada tahun 1990 menyebutnya sebagai “Aeropagus
baru”. Sebutan itu merupakan perumpamaan dari fenomena yang
di alami oleh Paulus saat berada di kota Athena di Aeropagus

92
dengan pasar yang menjual aneka produk, dihuni manusia dengan
aneka latarbelakang, karakter, tujuan, suku, kepentingan, dan
budaya. “Aeropagus baru“ terjadi dalam era internet, sebuah
global village dimana kita bisa menemui banyak orang dalam
ruang digital tanpa keluar jalan kaki atau mengayuh sepeda.
Paus Yohanes Paulus II, pada tanggal 22 Februari 1990
merilis ensiklik Aetatis Novae yang menyebutkan bahwa era baru
mulai dimasuki. Dalam Redemptoris Missio no. 37 disebutkan
bahwa revolusi teknologi membuat Gereja tidak sekedar
menggunakan media digital sebagai sarana, melainkan harus
“mengintegrasikan pesan” dalam kebudayaan baru, cara-cara
baru, bahasa baru, teknik baru, dan psikologi baru. Sekarang
pertanyaannya, dengan era baru ini mengapa dan bagaimana
Gereja menggunakan media digital? Siapakah sasaran pewartaan
saat ini?

Siapakah sasaran pewartaan dengan media digital?


Di mana umat berada, maka disana Gereja melayani. Itu
adalah prinsip pastoral dan tentu saja terutama dalam pewartaan.
Paus Fransiskus berpesan bahwa “Jadilah gembala yang berbau
lengus domba”. Itu berarti menjadi gembala yang memahami
situasi dan kondisi umatnya karena datang ke kandang di mana
domba berada. Sekarang di mana posisi umat atau sasaran
pewartaan saat ini? Sebelum melangkah lebih lanjut mengenai
konten. Ada baiknya kita perhatikan beberapa infografis berikut:

93
94
Kembali ke pertanyaan di atas, di mana posisi umat atau
sasaran pewartaan saat ini? Melihat 3 infografis di atas. Jumlah

95
penduduk di Indonesia pada tahun 2020 adalah 272,1 juta jiwa.
Pengguna internet sebanyak 175,4 juta. Artinya lebih dari 50%
penduduk adalah pengguna internet. Pengguna internet paling
banyak adalah masyarakat di bawah usia 34 tahun. Data ini
menyadarkan adanya ruang perjumpaan baru yang cukup
signifikan bagi pewartaan. Dapat kita simpulkan bahwa
pewartaan untuk segmen usia di bawah 34 tahun akan berjalan
efektif dan lebih masif jika disampaikan melalui internet.

Lalu dengan apa kita menjumpai mereka? Dari data yang


ada, media sosial yang banyak digunakan oleh masyarakat (baca:
umat) di urutan pertama adalah Youtube, 95% warga pengguna

96
internet di Indonesia ini membuka Youtube. Berturut-turut
berikutnya Whatsapp, Instagram, Facebook, dan Twitter. Youtube
menjadi sarana pewartaan baru yang mestinya kami
perhitungkan.
Ada hal penting yang harus kita pahami bahwa siapa yang
akan menerima pewartaan ini dan bagaimana konteks
kekiniannya. Agar apa yang kita sampaikan melalui media digital
itu bisa menyapa atau menyentuh pengalaman hidup orang dalam
konteks kekiniannya. Jangan sampai media digital justru
mengaburkan esensi kebenaran Ekaristi tersebut.
Situasi, pergulatan, dan pemahaman orang di era digital
saat ini sangat mempengaruhi pola rasa dan cara penangkapan
terhadap ajaran-ajaran iman yang di sampaikan kepada mereka.
Lebih dari itu tampilan visual grafis layar gawai/medsos memiliki
psikologinya sendiri yang terintegrasi dan mempengaruhi daya
pikat pengakses media. Konten yang berharga, benar dan agung
tak akan menarik dikunjungi jika tidak dikemas dalam visual
grafis yang asal-asalan.
Sebelum membuat konten pewartaan, disamping kita harus
menentukan siapa sasaran yang dituju secara spesifik juga tetap
menjaga esensi ajaran yang telah diwariskan berabad-abad ini
dalam kemasan visual grafis yang menarik bagi umat jaman ini.
Jangan sampai kita “memberikan mutiara kepada orang yang
tidak membutuhkannya”. Juga jangan sampai menawarkan
mutiara secara tidak menarik sehingga mutiara berharga, yakni
nilai-nilai Kerajaan Allah tak lagi diminati.

Artikel pernah diterbitkan pada rubrik Laporan Utama dalam


Majalah Jubileum edisi 247. Maret 2020.

97
98
Peran Komisi Komsos dalam Mengawal Hasil
Musyawarah Pastoral II Keuskupan Surabaya

Dalam proses Pra-Mupas II, tahun 2018-2019, Pusat


Pastoral Keuskupan Surabaya membuat berbagai riset, survey,
dan diskusi tentang reksa pastoral. Pada Pra-Mupas ketiga (20-22
Mei 2019), disimpulkan bahwa Gereja Katolik memiliki peran
signifikan, sebagai murid-murid Kristus, masih relevan terhadap
dunia, tidak ketinggalan jaman, tidak terasing dari perubahan
zaman.
Pada Buku 3 Mupas 2019 (Program Strategis Keuskupan
Surabaya), di halaman 12-13 disebutkan 6 faktor kunci
pendorong perubahan arus zaman untuk 10 tahun ke depan,
yaitu: Sosial, Teknologi, Ekonomi, Lingkungan Hidup, Politik, dan
Nilai. Dari sana didapatkan 3 pendorong utama yang
mempengaruhi signifikansi dan relevansi gereja ke depan, yaitu
Value, Ekonomi & Teknologi. Dalam 10 tahun ke depan, Komsos
memiliki peran vital untuk menunjang 3 faktor pendorong utama
tadi.
Mengenai Value, itu adalah nilai-nilai hakiki Injil dalam
mewujudkan perutusan Gereja bagi Dunia. Nilai-nilai katolisitas
yang terus diwartakan dan dihidupi umat Katolik.
Kedua, mengenai Ekonomi. Dalam 10 tahun kedepan, Gereja
akan ikut berperan mengembangkan perekonomian umat. Komisi
dan Seksi PSE (Pengembangan Sosial Ekonomi) sebagai fasilitator
di tingkat Keuskupan & Paroki akan dibantu oleh Komsos. Jadi
Komsos akan mendukung program PSE dalam mengembangkan
ekonomi umat, khususnya UKM. Nantinya, baik di Majalah
Jubileum, website keuskupan, media paroki, ada marketplace
seperti Tokopedia atau pasar e-commerce dari UKM umat paroki
se-keuskupan. Misalnya ada umat paroki yang memproduksi kopi,
usaha peternakan, petani organik, jual sayur, katering, dan
sebagainya. Nantinya kita buat database dan e-commerce,

99
sehingga terbangun jalur pemasaran dan antar umat bisa saling
membantu.
Sedangkan mengenai bagian Teknologi, perkembangan
teknologi komunikasi berlangsung cepat. Internet menjadi ruang
baru kehidupan sosial. Teknologi bisa menjadi pisau bermata dua,
bisa membangun dan mengembangkan hidup umat, tetapi juga
bisa merusak tatanan hidup sosial masyarakat. Apabila Gereja
bersikap masa bodoh, maka sama dengan membiarkan upaya
perusakan masyarakat. Gereja harus proaktif dalam membangun
masyarakat. Jika Gereja gagap dan apatis terhadap kemajuan
teknologi, maka akan terkungkung seperti lampu di bawah
gantang. Tidak relevan bagi anak-anak muda, generasi penerus,
dan masyarakat di sekitarnya. Gereja menjadi tidak relevan
dengan kebutuhan dan pengharapan dunia. Gereja harus
berperan secara nyata dalam solidaritas pengembangan ekonomi
yang berkeadilan bagi umat, bukan hanya sibuk di altar dengan
pendalaman iman.
Selama masa pandemi Covid-19, tampak anak-anak muda
Katolik mulai membuat konten katekese di berbagai kanal media
sosial seperti YouTube, Instagram, Facebook, dan sebagainya. Dari
sana harus mulai dipikirkan bagaimana agar Komsos turut
membangun sifat guyub di dalam gereja, serta
mengkomunikasikan pelayanan-pelayanan di paroki agar bisa
diketahui oleh umat. Pertemuan online semacam ini bisa
dibiasakan. Dengan memaksimalkan penggunaan teknologi
informasi, kita juga mengurangi resiko terpapar pandemi Covid-
19 sekaligus sebagai efisiensi. Dengan mengoptimalkan fungsi
teknologi informasi, kita bisa berkoordinasi dengan cepat.
Mengutip Bab 2.3 (hal. 15) pada Buku 3 Mupas 2019
tentang Pemanfaatan Perkembangan Teknologi Informasi dalam
Pewartaan dan Komunikasi Pastoral. Ada 3 penjelasan lebih lanjut
untuk poin c, d, dan e:
c. Komunikasi dan pelayanan (administrare) adalah semangat inti
Gereja sebagai persekutuan. Maka hendaknya di setiap unit
pastoral, khususnya di kantor sekretariat keuskupan dan paroki
serta unit-unit pastoral lain, sungguh diperhatikan mutu dan

100
fungsi peralatan yang ada demi peningkatan dan kelancaran
pelayanan.
Jadi anggota komsos juga harus peduli terhadap peralatan
dan perlengkapan di sekretariat parokinya. Misal komputernya
masih menggunakan disket, atau operating system-nya masih
menggunakan Windows 3.0 yang kalau nge-print 1 lembar bisa
memakan waktu lama. Hal itu membuat kita tidak bisa melakukan
pelayanan dengan baik. Membuat gereja tidak relevan. Maka dari
itu, daripada membuat program-program yang tidak jelas
juntrungannya, lebih baik meningkatkan fasilitas pelayanan di
garis depan ini.
d. Komisi Komsos membangun jejaring yang dinamis dengan seksi
komsos paroki dan divisi komunikasi di setiap unit pastoral
untuk mengadakan media komunikasi pastoral baik secara
cetak maupun digital.
Agar Komisi Komsos Keuskupan memiliki jejaring yang
aktif dan dinamis dengan Seksi Komsos Paroki, maka Komisi
Komsos mulai memperbarui database Seksi Komsos di Paroki,
mulai contact person, struktur organisasi, dan ada divisi apa saja
di dalamnya. Jadi misalnya ketika Bapa Uskup sedang berkunjung
ke Pacitan, tidak perlu kru Komisi Komsos pergi ke Pacitan, cukup
Komisi Komsos koordinasi dengan Seksi Komsos yang ada di
Ponorogo dan Pacitan. Seksi Komsos membuat reportase kegiatan
Bapa Uskup di sana, lalu reportase tersebut dimuat di website
Keuskupan dan Majalah Jubileum. Jika diperlukan, bisa diadakan
pelatihan jurnalistik (baik teks maupun foto) Seksi Komsos di
paroki, agar bisa terampil membuat reportase. Jika kru Komisi
Komsos tidak wira-wiri dari Surabaya ke kota lain, anggaran bisa
dihemat dan dialokasikan untuk pengembangan. Dengan
berjejaring, kita mengetahui kelebihan dan kekurangan masing-
masing paroki. Jadi bisa kolaborasi dan saling membantu. Habitus
sinergis dinamis seperti itu yang akan dibiasakan.
e. Di setiap unit pastoral didorong memiliki divisi komunikasi yang
dikelola secara serius oleh orang (admin) yang dikhususkan
untuk itu, sehingga isi (content) media komunikasi tetap terjaga
dan terbarui (update).

101
Seksi Komsos mempersiapkan supaya setiap seksi paroki
masing-masing ada divisi komunikasi. Seksi BIAK misalnya, ada
yang in-charge bagian komunikasi. Ada di jejaringnya Seksi
Komsos Paroki. Jadi jika BIAK sedang mengadakan kegiatan, tidak
harus Seksi Komsos Paroki yang datang meliput. Tapi divisi
komunikasinya BIAK yang berhubungan dengan Seksi Komsos
Paroki. Seksi Komsos lebih menjalankan fungsi sebagai fasilitator,
koordinator, dan penghubung dengan Komisi Komsos Keuskupan.
Nantinya Pusat Pastoral bisa cepat mengetahui apa saja program-
program pastoral di paroki-paroki.
Hal tersebut di atas konsepnya seperti smart city di DKI
Jakarta dimana gubernur bisa memonitor kondisi ibukota. Bapa
Uskup juga bisa mengetahui situasi setiap paroki. Di unit pastoral
seperti Paroki Regina Pacis-Magetan misalnya, ada sekolah dan
rumah retret. Seksi Komsos menginformasikan tentang rumah
retret, memberitakan kegiatan dan pencapaian apa saja di sekolah
Katolik. Satu hal yang juga menjadi catatan, mengapa sekolah-
sekolah Katolik selama 5-6 tahun ini merosot pamornya? Karena
gereja belum memfasilitasi sekolah-sekolah Katolik untuk
berkembang dan diketahui umat. Sekali lagi seperti itulah peran
peran penting Seksi Komsos.
Berkaitan dengan anggota divisi komunikasi, idealnya Seksi
Komsos mempunyai relawan yang menjadi admin di masing-
masing divisi dan di setiap Seksi Komsos ada divisi website. Bagi
relawan yang berminat bisa difasilitasi untuk belajar membuat
dan mengelolanya. Website tidak harus punya atau berdiri sendiri
karena sebenarnya (website) Keuskupan sudah menyediakan
space untuk website paroki. Jadi paroki tidak perlu mengeluarkan
anggaran untuk hosting. Di Pusat Pastoral ada administrator yang
menangani pengembangan website tiap paroki.
Di website www.keuskupansurabaya.org sedang
dipersiapkan untuk memfasilitasi website paroki, kelompok
kategorial, dan unit karya se-Keuskupan Surabaya. Jika dari
paroki bisa membangun website sendiri lebih bagus dan detail,
bisa ditautkan ke website keuskupan. Jadi jika ada orang mencari
informasi paroki, bisa masuk melalui website keuskupan.

102
Demikian pula dengan alamat sosial media masing-masing paroki,
bisa diketahui dari website paroki maupun keuskupan.
Selain divisi website, ada pula divisi media sosial. Ada
relawan atau admin yang menangani akun Instagram, Facebook,
dan YouTube paroki. Jika ada Seksi Komsos paroki merasa bisa
membuat atau mengelolanya, maka Komisi Komsos Keuskupan
bisa memfasilitasi pelatihannya.

Menjaring Relawan, Kaderisasi, dan Delegasi


Dalam satu kesempatan sharing, ada yang menyampaikan
“Wah, susah ini cari relawan Komsos”. Solusinya adalah
informasikan saja kesempatan pelayanan tersebut di papan
pengumuman dan sosial media paroki. Bisa juga diumumkan saat
akhir misa, “Dimohon kerelaan muda-mudi OMK yang
mempunyai minat pada bidang media sosial dan memiliki
pengetahuan tentang dunia internet untuk silahkan memberikan
diri dalam pelayanan komsos paroki. Hubungi... .” Saya pernah
mencoba di Paroki Santa Maria Annuntiata, Sidoarjo, beberapa
kali diumumkan rekrutmen relawan Komsos. Yang mendaftar
lebih dari 10. Ternyata banyak anak-anak muda yang berminat,
namun belum tersapa dan belum terlibat di dalam karya Komsos.
Ada salah satu channel YouTube yang cukup terkenal,
ternyata editornya anak OMK yang tidak dipakai oleh Seksi
Komsos di parokinya. Hal itu bisa terjadi jika pengurus hanya
ngelutek 3-4 orang tanpa mengeksplorasi dan mengenal dinamika
lingkungan sekitar.
Sekedar sharing, di Pusat Pastoral sendiri relawannya
bertambah banyak. Ada yang berminat belajar editing film, ada
yang belajar membuat website, ada yang ingin membuat program
pengembangan sensus. Hal ini bisa dikondisikan di paroki jika kita
tidak menjadi kelompok eksklusif yang menutup diri terhadap
potensipotensi yang ada di paroki dan sekelilingnya.
Kembali pada hal relawan tadi. Setelah terkumpul relawan,
langkah selanjutnya adalah kaderisasi. Membagikan pengetahuan
dan kemampuan dengan Program Literasi Komsos. Kita harus
menghindari one man show, apa-apa dikerjakan oleh 1 orang. Hal

103
itu yang menyebabkan banyak website paroki mati, banyak media
sosial paroki yang pasif dan tidak update. Padahal kalau di setiap
divisi ada 10 orang misalnya. Tugas meng-update dan upload bisa
dibagi, satu orang melakukannya seminggu sekali atau bahkan
lebih, sebulan sekali, sehingga menjadi ringan dan media selalu
ter-update. Nantinya seandainya beberapa tahun lagi kita sudah
tidak menjadi pengurus Komsos, media paroki yang berfungsi
sebagai sarana literasi pastoral dan literasi pengembangan iman
tetap berjalan.

Materi disampaikan secara verbal saat pertemuan via daring Komsos se-
Keuskupan Surabaya yang diadakan Kamis malam, 18 Juni 2020 dan
diterbitkan dalam bentuk teks pada rubrik Lintas Komisi dalam Majalah
Jubileum edisi 245. Januari 2021.

104
Sketsa Carlo Acutis buatan penulis. Carlo Acutis adalah Beato pertama dari
generasi milenial. Semasa hidup sering melakukan kegiatan amal dan
mengembangkan situs Miracolo Euraticristo (Mukjizat Ekaristi). Situs itu
berisi dokumentasi cerita mukjizat dan kejadian luar biasa yang terjadi
dalam lingkungan gereja di seluruh dunia sejak abad 10 hingga abad 21.
Meninggal tahun 2006 karena leukemia saat berumur 15 tahun, dan
ditobatkan sebagai beato oleh Paus Fransiskus pada tanggal 10 Oktober
2020.
105
106
Pentingnya Penulisan dan Dokumentasi
Kronik Paroki

Pada saat menulis sejarah paroki, saya merasa lebih mudah


mendapatkan data kegiatan pastoral era kolonial daripada data
kegiatan pastoral era digital. Ada habitus penulisan dan
pendokumentasian kronik pastoral yang perlu kita galakkan
kembali.
Di Pusat Dokumentasi Pastoral (Pusdokpas) Keuskupan
Surabaya disimpan buku-buku kronik dari tahun 1929 hingga
1972. Sesudah itu tidak ada pendokumentasian secara
berkelanjutan. Di Biara Ursulin, Surabaya ada buku catatan
peristiwa di biara dari tahun 1863 hingga 1985.
Dari buku catatan peristiwa di Biara Ursulin, saya bisa
mengetahui suasana saat terjadi pandemi Flu Spanyol di Surabaya
pada tahun 1919. Diceritakan bahwa penghuni biara pada saat itu
dalam kondisi cemas dan was-was, sebagaimana kondisi kita saat
ini ketika menghadapi pandemi Covid-19.
Dari buku kronik dan dokumentasi lainnya, saya
mendapatkan informasi seperti Gereja Maria Ratu Damai Stasi
Ujung di daerah Perak (Kompleks AL) yang dibangun tahun 1947,
dan gereja Kelahiran Santa Perawan Maria, Jl. Kepanjen, Surabaya
yang diperbaiki setelah terjadi kebakaran pada tahun 1950.

107
Buku-buku kronik paroki yang disimpan di Pusat Dokumentasi pastoral
(Pusdokpas) Keuskupan Surabaya.

Sebelum Musyawarah Pastoral II tahun 2019 lalu, salah satu


evaluasi yang disimpulkan adalah banyak peritiwa pastoral
penting di paroki kurang terdokumentasi dengan baik. Beberapa
contohnya: Bupati berkunjung ke pastoran dan bertemu dengan
kepala paroki, tidak ada catatannya; Gereja di lempari batu oleh
orang yang tidak bertangung jawab, tidak ada catatannya; Ada
aset gereja yang diserobot pihak lain, juga tidak ada catatannya.
Di sebagian besar paroki, buku induk kronik banyak yang
tidak berkelanjutan dan tidak di-update. Kalaupun ada catatan,
itu menjadi catatan pribadi pengurus yang tidak dilanjutkan ke
pengurus berikutnya. Seringkali catatan-catatan ini lepas dari
laporan pertanggung jawaban pergantian Dewan Pastoral Paroki
(DPP) dan Badan Gereja Katolik Paroki (BGKP). Demikian pula
108
pada seksi wilayah, ketua lingkungan, kepala sekolah, dan bahkan
romo kepala paroki. Hal ini menyebabkan romo kepala paroki dan
pengurus baru kurang tahu apa saja yang telah terjadi 3 tahun
sebelumnya sehingga tidak dapat dilakukan evaluasi secara tepat.
Pada saat ulang tahun paroki, selalu timbul kesulitan yang
sama untuk mendapatkan data untuk menyusun sejarah paroki.
Pernah terjadi peristiwa, ketika satu paroki menyusun sejarah
parokinya. Narasumber yang diwawancarai hanya satu (pihak)
dan kebetulan sedang bermusuhan dengan narasumber lain yang
seharusnya juga diwawancarai, tapi lolos karena sudah pindah ke
paroki lain. Ketika buku sejarah paroki itu terbit, narasumber lain
merasa nama diceritakan sebagai pihak yang memiliki kesalahan.
Kemudian pihak lain itu menggunakan pengacara untuk
menggugat ke Keuskupan Surabaya atas pencemaran nama baik.
Hal ini bisa terjadi karena tidak adanya pencatatan kronik paroki
secara komprehensif, dikonfirmasi dan diverifikasi ke banyak
pihak (cover both sides atau bahkan cover all sides).
Berkaitan dengan aset gereja. Hingga saat ini, riwayat
perolehan aset juga kurang terdokumentasi secara berkelanjutan.
Bulan Januari 2021 lalu saya mendapatkan laporan bahwa ada
kapel di suatu stasi akan dijual oleh ahli waris karena dulu
hibahnya tidak tercatat secara notaris. Akibatnya Keuskupan
Surabaya tidak punya bukti bahwa tanah tempat kapel berdiri itu
milik gereja dan sertifikatnya masih jadi satu dengan sertifikat
tanah milik orang yang berniat menghibahkan tanah tempat
berdirinya kapel tersebut.
Dengan adanya dokumentasi kronik satu paroki, apalagi
yang dipublikasikan, entah itu di Majalah Jubileum, website
paroki, dan sosial media, informasi-informasi tersebut bisa
menjadi pengetahuan dinamika antar paroki dan lingkungan.

Contoh kronik paroki


Kronik paroki merupakan berita peristiwa yang terjadi atau
kegiatan yang diadakan di paroki, yang dikemas sesuai dengan
kaidah jurnalistik sebagaimana berita di media massa.

109
Komponen atau elemen informasi dasar kronik adalah 5W
& 1 H: What, Who, When, Where, Why, dan How. Dalam bahasa
Indonesia-nya adalah ADIKSIMBA, yaitu: Apa, DI mana, Kapan,
SIapa, Mengapa, dan Bagaimana. Secara lebih jelas:
1) Peristiwa apa yang terjadi atau kegiatan yang dilakukan?
2) Di mana peristiwa atau kegiatan itu terjadi?
3) Kapan peristiwa atau kegiatan itu terjadi?
4) Di mana peristiwa atau kegiatan itu terjadi?
5) Siapa yang terlibat atau berada di dalam peristiwa atau
kegiatan itu?
6) Mengapa peristiwa itu terjadi atau mengapa kegiatan itu
diadakan?
7) Bagaimana peristiwa itu terjadi atau mengapa kegiatan itu
diadakan?

Contoh kronik paroki yang dimuat Tabloid Efata, Paroki Santo Yakobus,
Citraland, Surabaya. Disampaikan oleh Errol Jonathans dalam Semiloka
Membuat Kronik itu Mudah!.
110
Contoh lain kronik paroki yang disusun oleh Dr. F. X. Edie
Yusuf dari Paroki Santo Paulus, Nganjuk dan dimuat Majalah
Jubileum edisi 252, Agustus 2021:

Plt. Bupati dan Jajaran Muspida Nganjuk Tinjau


Vaksinasi Covid-19 di Paroki Santo Paulus

Dalam rangka mendukung program pemerintah untuk


mengatasi pandemi Covid-19, Paroki Santo Paulus, Nganjuk
bekerjasama dengan Satgas Covid-19 dan Dinas Kesehatan
Nganjuk, mengadakan vaksinasi di komplek gereja pada hari
Jumat, 18 Juni 2021. Kegiatan vaksinasi Covid-19 ini dihadiri
oleh Marhaen Djumadi, Plt. Bupati Nganjuk dan jajaran
Muspida Nganjuk.
Vaksinasi diberikan pada 322 orang, terdiri dari umat
Katolik dan masyarakat sekitar gereja. Kegiatan berlangsung
mulai jam 8 pagi hingga 3 sore. Vaksin yang diberikan adalah
dosis pertama Astrazeneca dan tim vaksinator berasal dari
Puskesmas Ngluyu, Kabupaten Nganjuk.
Untuk membantu kelancaran kegiatan, RD Christhophorus
Tri Kuncoro Yekti (Romo Cuncun), Romo Kepala Paroki Santo
Paulus, Nganjuk bersama Tim Kesehatan Paroki turut aktif di
lapangan. Tim Kesehatan Paroki yang turut berpartisipasi
adalah Dr. Chistanto Nugroho, SpAn; Dr. Ch. Erli Indrastuti,
SpPK; Dr. Felix Kencono, Dr. Lanny Trisnawati; Dr. Yahyu
Sasono, SpS; Dr. A. Y. Bambang Sentanu, SpOT; Dr. Cicielia
Novi; Drg. Emanuela Isdinar; Drg. Herlina; Istiati, Apt; Previ
Kuncoro, dan dikoordinir Dr F.X. Edie Yusuf.
Marhaen Djumadi memberi komentar bahwa kegiatan
vaksinasi ini berjalan tertib, tidak menimbulkan kerumunan,
disertai protokol kesehatan yang ketat, dan inklusif, tidak
hanya untuk umat Katolik saja.
Hingga kegiatan vaksinasi dosis pertama ini usai, tidak ada
Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI). Vaksinasi dosis kedua
akan dilaksanakan 12 minggu setelah vaksinasi dosis pertama.

111
Komponen atau elemen informasi dasar berita di atas
adalah:
1) What/Apa:
• Vaksinasi Covid-19 di Gereja Santo Paulus, Nganjuk
• Kunjungan Plt. Bupati dan jajaran Muspida ke Gereja Santo
Paulus, Nganjuk
2) Who/Siapa:
• Marhaen Djumadi, Plt. Bupati dan Jajaran Muspida Nganjuk
• Satgas Covid-19 dan Dinas Kesehatan Nganjuk
• Tim vaksinator yang berasal dari Puskesmas Ngluyu,
Kabupaten Nganjuk
• Penerima vaksinasi, 322 orang, terdiri dari umat Katolik
dan masyarakat sekitar gereja”
• RD Christhophorus Tri Kuncoro Yekti (Romo Cuncun),
Romo Kepala Paroki Santo Paulus, Nganjuk
• Tim Kesehatan Paroki: Dr. Chistanto Nugroho, SpAn; Dr. Ch.
Erli Indrastuti, SpPK; Dr. Felix Kencono, Dr. Lanny
Trisnawati; Dr. Yahyu Sasono, SpS; Dr. A. Y. Bambang
Sentanu, SpOT; Dr. Cicielia Novi; Drg. Emanuela Isdinar;
Drg. Herlina; Istiati, Apt; Previ Kuncoro. Dikoordinir Dr F.X.
Edie Yusuf
3) When/Kapan:
• Jumat, 18 Juni 2021. mulai jam 8 pagi hingga 3 sore
4) Where/Dimana
• Komplek Paroki Santo Paulus, Nganjuk
5) Why/Mengapa
• Mendukung program pemerintah untuk mengatasi
pandemi Covid-19
6) How/Bagaimana
• Bekerjasama dengan Satgas Covid-19 dan Dinas Kesehatan
Nganjuk, mengadakan vaksinasi (Aztrazeneca dosis 1)
• Protokol kesehatan yang ketat

112
E-Flyer Semiloka Membuat Kronik itu Mudah!

Sebagian materi disampaikan dalam Semiloka Penulisan Kronik


Paroki yang diadakan oleh Pusat Pastoral Keuskupan Surabaya
dan Majalah Jubileum, 3 Februari Juni 2020.
113
Gereja Katedral Hati Kudus Yesus di waktu malam. Diambil sekitar bulan
Juli 2021, menjelang peringatan ulang tahunnya yang ke-100. (Dok.
Modik)

114
Ulang Tahun Gereja Hati Kudus Yesus, Surabaya.
Sebenarnya 21 Juli atau 31 Juli?

“Historia vero testis temporum, lux veritatis, vita memoriae,


magistra vitae, nuntia vetustais”
Sejarah adalah saksi zaman, sinar kebenaran, kenangan hidup,
guru kehidupan, dan pesan dari masa silam

Marcus Tullius Cicero, 106 SM - 43 SM

Pada tanggal 21 Juli 2021 ini, Gereja Hati Kudus Yesus


(HKY), Surabaya memperingati ulang tahunnya ke-100. Tanggal
peringatan tersebut ditentukan berdasarkan saat pemberkatan
Gereja oleh Mgr. Luypen, SJ. Ada informasi berbeda diperoleh
Jubileum saat membuka arsip-arsip lama untuk penyusunan edisi
khusus 100 Tahun Gereja Katedral. Tercatat dalam beberapa
arsip, pemberkatan Gereja oleh Mrg. Luypen dilakukan pada hari
Minggu, 31 Juli 1921.
Beberapa arsip yang menunjukkan pemberkatan Gereja
HKY diadakan pada tanggal 31 Juli 1921 adalah:
1) De Geschiedenis der R.K. Kerk te Surabaja 1906-1931 yang
disusun oleh Romo J. Haest. Pada kalimat terakhir paragraf 2,
halaman 4 (lih. Gambar 1 dan 2), terjemahan dalam bahasa
Indonesianya, “Pemberkatan gereja tanggal 31 Juli 1921
dengan sangat hikmat dan dihadiri para pejabat oleh Mgr S.
Luypen, S.J., Uskup Apostolik Batavia”.
2) Notulen Kerk en Arm Bestuur 1918 -1921 yang ditulis oleh
Pengurus Gereja dan Amal Paroki (sekarang bernama Badan
Gereja Katolik Paroki). Pada notulensi rapat tanggal 4 Juli
1921, paragraf 4 (lih. Gambar 3), terjemahan Bahasa
Indonesianya adalah “Pemberkatan Gereja akan dilakukan

115
pada hari Minggu, 31 Juli 1921. Yang Mulia Mgr. Luypen
bersedia untuk melakukan upacara pemberkatannya”.
3) Koran Algemeen Handelsblad edisi 1 September 1921. Ditulis
pada salah satu berita dan terjemahan dalam bahasa
Indonesia-nya, “Gereja Katolik Roma yang baru. Pada tanggal
31 Juli, peresmian Gereja Hati Kudus yang baru berlangsung di
Surabaya. Dimulai dari koridor luar gedung, kemudian berjalan
memasuki gedung. Mgr. Luypen kemudian memimpin bagian
upacara pemberkatannya”.
4) Nieuw Soerabaia: De Geschiedenis van Indie's voornaamste
koopstad in de Eerste Kwarteeuw Sedert hare Instelling 1906-
1931 karya Goodfried Hariowald von Faber yang diterbitkan
NV. Boekhandel en Drukkerij H van Ingen, Soerabaia dan dirilis
tahun 1934. Pada halaman 363 terdapat foto Gereja Hati Kudus
Yesus (lih. Gambar 4) keterangannya dalam bahasa Indonesia
adalah “Gereja di ‘kota atas’, dibangun oleh M.H. Voets, setelah
dirancang oleh Het Bureau Hulswit-Fermont, dan diresmikan
pada tanggal 31 Juli 1921 oleh Z.D.H. Monsinyur S. Luypen S.J.,
Vikaris Apostolik Batavia”. Sebagai catatan, yang dimaksud
‘kota atas’ waktu itu adalah Surabaya bagian Selatan kota
seperti Gubeng, Ambengan, Keputran, Darmo dan Ketabang.
‘Kota atas’ difungsikan sebagai kawasan hunian orang-orang
Eropa, atau Belanda pada khususnya. Sedangkan ‘kota atas’
(benedenstad) adalah daerah Jembatan Merah dan sekitarnya
yang diperuntukkan sebagai sentra bisnis.
5) De Katholieke Gids no. 42. 26 Oktober 1934, pada paragraf 2
halaman 356 (lih. Gambar 5), disebutkan (dalam bahasa
Indonesia), “Pada tanggal 26 Oktober 1920, batu pertama
diletakkan oleh pendeta Fleerakers, dan gereja ditahbiskan
pada tanggal 31 Juli 1921 oleh Mgr. Luypen”.
6) Sejarah Suster Ursulin Biara Kepanjen/Darmo Tahun 1863-
1985, pada paragraf terakhir halaman 24 (lih. Gambar 6)
disebutkan, “Pentahbisan Gereja itu terjadi pada tanggal 31 Juli
1921. Hari 31 Juli untuk umat Katolik di Surabaya hari gembira,
karena Gereja yang bagus itu sudah diberkati dan seterusnya
menjadi Gereja utama di Surabaya”.

116
Gambar 1. Halaman 4 De Geschiedenis der R.K. Kerk te Surabaja 1906-
1931 (sumber: Pusat Dokumentasi Pastoral Keuskupan Surabaya)

117
Gambar 2. Kalimat terakhir pada paragraf 2, halaman 4 De Geschiedenis der R.K.
Kerk te Surabaja 1906-1931. Terjemahannya Bahasa Indonesianya:
“Pemberkatan gereja tanggal 31 Juli 1921 dgn sangat hikmat dan dihadiri para
pejabat oleh Mgr S. Luypen, S.J., Uskup Apostolik Batavia.”

Gambar 3. Bagian akhir halaman 3 dan bagian awal halaman 4 Notulen


Kerk en Arm Bestuur 1918 -1921. Terjemahan Bahasa Indonesianya
untuk dua baris terakhir halaman 74 dan satu baris pertama halaman
75: “Pemberkatan Gereja akan dilakukan pada hari Minggu, 31 Juli 1921.
Yang Mulia Mgr. Luypen bersedia untuk melakukan upacara
pemberkatannya” (sumber: Ruang Arsip Provinsialat CM)

118
Gambar 4. Halaman 363 buku Nieuw Soerabaia yang disusun Goodfried
Hariowald von Faber yang dirilis tahun 1934.

119
Gambar 5. De Katholieke Gids no. 42, 26 Oktober 1934, pada paragraf 2
halaman 356. Disebutkan bahwa: “Pada tanggal 26 Oktober 1920, batu
pertama diletakkan oleh pendeta Fleerakers, dan gereja ditahbiskan
pada tanggal 31 Juli 1921 oleh Mgr. Luypen” (sumber: Pusat
Dokumentasi Pastoral Keuskupan Surabaya).

120
Gambar 6. Halaman 24 pada buku catatan Sejarah Suster Ursulin Biara
Kepanjen/Darmo Tahun 1863-1985.

121
Saat Jubileum juga menelusuri arsip-arsip yang
menyebutkan bahwa pemberkatan Gereja dilakukan pada 21 Juli
1921, seperti yang diperingati hingga saat ini, data tersebut
ditemukan pada:
1) Panorama & Sejarah Keuskupan Surabaya yang diterbitkan
Sekretariat Keuskupan Surabaya pada akhir Desember 1999.
Pada paragraf pertama halaman 24 menyebutkan, “Gereja baru
dengan daya tampung 900 orang itu diberkati oleh Mgr.
Edmundus Sybrandus Luypen, SJ pada 21 Juli 1921. Jumlah umat
Katolik saat itu 2.000 orang”.
2) 82 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus Surabaya. Peduli Kasih yang
diterbitkan oleh Panitia HUT ke 82 Paroki HKY di tahun 2003.
Pada kalimat terakhir halaman 20 ditulis, “Pembangunan
gereja yang kedua yang bisa menampung umat sebanyak 900
orang ini akhirnya diberkati oleh Mgr. Luypen pada tanggal 21
Juli 1921 dan diberi nama Gereja Hati Kudus Yesus sekaligus
diberkati pula rumah pastoran sebanyak (berkapasitas -red.)
2000 orang”.
3) Sekilas Pandang Keuskupan Surabaya, yang disusun oleh KKI-
KKM Keuskupan Surabaya dan diterbitkan tanggal 17 Oktober
2008. Paragraf 2 halaman 78 menyebutkan, “Upacara
peletakan batu pertama pembangunan gereja Hati Kudus Yesus
oleh Rm. Fleerakkers, SJ. pada tanggal 11 Agustus 1920. Pada
tanggal 21 Juli 1921 gereja sekaligus rumah pasturan diberkati
oleh Mgr. Luypen dan diberi nama Gereja Hati Kudus”.

122
Gambar 7. Dari kiri ke kanan: Buku Panorama & Sejarah Keuskupan
Surabaya, 82 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus Surabaya. Peduli Kasih dan
Sekilas Pandang Keuskupan Surabaya.

Berbicara mengenai perbedaan tanggal, catatan peristiwa


peletakan batu pertama oleh Romo Fleerakkers, SJ pada tahun
1920 pun ada 2 versi; tanggal 11 Agustus dan 26 Oktober.
Dokumen yang menyebutkan peletakan pertama pada tanggal 11
Agustus adalah:
1) De Geschiedenis der R.K. Kerk te Surabaja 1906-1931
2) Berita Katedral Edisi Khusus no. 3, Juli 1987
3) Sekilas Pandang Keuskupan Surabaya
4) Sejarah Gereja Katolik Indonesia yang diterbitkan Bagian
Dokumentasi Penerangan Kantor Waligereja Indonesia pada
tahun 1974. Pada paragraf 4 halaman 951, “Mengenai
pembangunan gereja Hati Kudus batu pertamanya diletakkan
pada tanggal 11 Agustus 1920. Dalam bulan Juli 1921 gereja dan
pastoran diberkati”.
Sedangkan dokumen yang menyebutkan peletakan batu pertama
tanggal 26 Oktober 1920 adalah De Katholieke Gids no. 42. 26
Oktober 1934. Dalam Sejarah Suster Ursulin Biara
Kepanjen/Darmo Tahun 1863-1985, tertulis Oktober 1920 tanpa
menyertakan tanggal.
123
Dari ‘dualisme’ tanggal-tanggal peristiwa penting di atas,
ada suatu pelajaran yang diperoleh. Yaitu pentingnya penulisan
kronik paroki, yang disertai aspek akurasi pengutipan sumber
asli, dan kejelasan dalam penulisan tersebut. Apa yang kita tulis
sekarang, akan menjadi sejarah bagi masa depan dan panduan
bagi generasi berikutnya.

Artikel pernah diterbitkan pada rubrik Laporan Utama dalam


Majalah Jubileum edisi 251. Juli 2020. Disusun bersama Yung
Setiadi.

124
Epilog:
Penjaga Alur Pastoral Keuskupan

Setiap kali pertemuan Unio di Keuskupan Surabaya, baik


pertemuan rutin kelompok kecil maupun tahunan, manakala kita
mengadakan sesi diskusi atau sekedar sharing, biasanya
diperlukan pemberi kesimpulan. Serta-merta para romo akan
menyebut nama RD. Yosef Eka Budi Susila untuk memberi
kesimpulan. Namun, bila kita masih hangat-hangatnya berdiskusi
dan belum menemukan kata sepakat, atau mungkin malah diskusi
menyimpang, pada saat seperti ini biasanya para romo menyebut
nama Romo Didik sebagai “penjaga alur” diskusi yang bisa
mengarah pada ranah Arah Dasar (Ardas) Pastoral Keuskupan
Surabaya.
Upaya Redaksi Majalah Jubileum untuk mengumpulkan
tulisan Romo Didik atau lengkapnya RD. Agustinus Tri Budi
Utomo, Pemimpin Umum Majalah Jubileum dan Vikep Pastoral
Keuskupan Surabaya (2017 - sekarang) ini kiranya perlu
diapresiasi baik. Kado HUT Imamat ke-25 atau Pesta Perak
Imamat Romo Didik pada masa pandemi Covid-19 ini semoga
memberi kontribusi perkembangan Arah Pastoral Gereja Katolik
Indonesia, khususnya di Kesukupan Surabaya, untuk
mewujudkan cita-cita Gereja kita sebagai persekutuan murid-
murid Kristus yang semakin dewasa dalam iman, guyub, penuh
pelayanan dan misioner.
Sejenak saya terbawa oleh irama dan rangkaian syair lagu
Theme Song Musyawaran Pastoral (Mupas) II Tahun 2019
berjudul Serentak Maju yang digubah oleh RD. Agustinus Tri
Budi Utomo dan aransemen musiknya digarap rame-rame oleh
RD. Antonius Puri Anggoro dan RD. P.C. Edi Laksito:

125
Serentak Maju

Betapa kita bersyukur rahmat Baptis sekutukan kita


Para murid Kristus membangun Gereja, Tubuh Mistik-Nya
Betapa Allah Roh Kudus menyala di atas kepala kita
Gereja kudus Keuskupan Surabaya, menapaki ziarahnya

Gereja Katolik adalah Persekutuan


Murid-murid Kristus yang dewasa di dalam iman
Yang guyub rukun dan penuh pelayanan
Peziarah missioner tabor kasih dan perdamaian

Refren:
Serentak maju bersama Mupas
Tumbuhkan paroki berakar lingkungan
Menjadi berkat tuk masyarakat
Menjadi garam dan memancarkan terang
Berasas Pancasila membangun Indonesia.

Scan Me

Serentak Maju - Theme Song Lagu Mupas II

Getar-getar nada lagu tema Mupas II Tahun 2019


Keuskupan Surabaya yang digelar di Sasana Krida Jatijejer,
Trawas, Kabupaten Mojokerto ini memberi semangat
mewujudnyatakan buah cita-cita bersama: “Dengan Semangat
ARDAS, Gereja Katolik Keuskupan Surabaya mendewasakan
paroki berakar lingkungan, yang hadir di tengah masyarakat”.
Tetap Semangat!
126
Dalam buku Kerygma pada Era Digital & Masa Pandemi
Covid-19 ini kita bersama Romo Didik, Penjaga Alur Pastoral
Keuskupan Surabaya, mula-mula diajak mengalami “Pertobatan
Pastoral” sebelum menyusun “Pilihan Strategis Pastoral Tahun
2020-2030” dan kemudian “Diseminasi Arah Dasar Keuskupan
Surabaya 2020-2030”, seraya menyadari “Amor Pastoralis yang
Mengalir dari Kedewasaan Iman.” Langkah kedua, arah Formatio
Berjenjang dan Inklusif, serta refleksi Berpastoral dalam Masa
Pandemi Covid-19. Akhirnya mengaplikasikan “Kerygma dalam
Ranah Digital” bersama Komisi Komsos dalam rangka mengawal
hasil Mupas II.
Kita tidak boleh berdiam diri. Lagu tema Mupas II
mengajak kita untuk “Bergerak Serantak” mengawal Hasil Mupas
II sembari mensyukuri rahmat 25 Tahun Tahbisan Imamat Romo
Didik bersama rekan-rekan imam seangkatan. Amanat Perutusan
Tuhan Yesus Kristus kepada para rasul sebelum naik ke surga,
yakni: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Matius
28:19) semoga menambah semangat kita melangkah bersama
dalam perutusan. Sambil mengingat lagi motto tahbisan imamat
mereka: “Supaya kasih yang Engkau berikan kepada-Ku ada di
dalam mereka dan Aku di dalam mereka” (Yohanes 17:2b).
Bersama Paus Fransiskus dalam buku terbarunya, Let Us
Dream: The Path to A Better Future (2020), kita disemangati untuk
bermimpi dan beraksi. Bapa Suci menulis, “Inilah saatnya
memiliki impian besar, meninjau ulang prioritas-prioritas kita -
apa yang kita anggap bernilai, apa yang kita inginkan, apa yang
kita cari- dan berkomitmen untuk berperilaku dalam hidup
sehari-hari berdasarkan apa yang kita impikan.”
Happy 25th Anniversary Imamat RD. Agustinus Tri Budi
Utomo. Proficiat!

RD. Alphonsus Boedi Prasetijo


Pemimpin Redaksi Jubileum dan Ketua Komisi Komsos
Keuskupan Surabaya. Tinggal di Pastoran Santo Yusup,
Karangpilang, Surabaya.

127
“Aku percaya supaya mengerti,
Dan aku mengerti supaya percaya lebih baik”
(Santo Agustinus)

128

Anda mungkin juga menyukai