i
Kerygma pada Era Digital
& Masa Pandemi Covid-19
Oleh: RD. Agustinus Tri Budi Utomo
Diterbitkan oleh:
Majalah Jubileum
Lantai 2 Wisma Pastoran Hati Kudus Yesus
Jl. Mojopahit 38b
Surabaya
iv+128
14,8 cm x 21 cm
ii
Daftar Isi
iv
Prolog :
Siap Setiap Saat
2
RD. Agustinus Tri Budi Utomo saat memberikan sambutan dan ucapan
terima kasih, mewakili rekan-rekan Imam yang ditahbiskan pada hari
Selasa, 27 Agustus 1996 di Gedung Go Skate, Surabaya. (Dok.: RP.
Stephanus Rudi Sulistijo, CM.)
3
Sambutan dan Ucapan Terima Kasih
Tahbisan Imam Keuskupan Surabaya, 27 Agustus 1996
4
Bagian I
5
Kupu. Lambang transformasi diri. (Dok.: Modik)
6
Pertobatan Pastoral
pada Musyawarah Pastoral II Tahun 2019
7
Surabaya. Oleh karena itu, tahun 2020 menjadi tahun
‘mengumatkan’ (diseminasi) hasil Mupas II. Diharapkan semua
insan pastoral memahami apa yang telah dihasilkan dan
ditetapkan dalam Mupas II, mulai dari pengurus lingkungan dan
stasi, paroki, kevikepan dan komisi-komisi di Keuskupan
Surabaya. Tujuan komitmen pertobatan ini adalah menyatukan
gerak dalam menghidupi hasil Mupas II dengan “sehati sepikir,
dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari
kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia” (Filipi 2: 2-5).
Masa Adven pada tahun 2019 merupakan pembuka pintu
komitmen pertobatan 10 tahun ke depan. Oleh karena itu Komisi
Katekese menetapkan Tema Adven 2019 adalah Menyiapkan Jalan
Bagi Tuhan. Karena Adven sebagai tahun baru Gereja, maka Adven
2019 ini menjadi wujud konkrit awal dalam mewujudkan komitmen
pertobatan.
Pastoral
Istilah ‘pastoral’ dari kata ‘pastor’ artinya gembala. Pastoral
adalah pekerjaan gembala terhadap domba-dombanya. Dalam
Gereja Katolik istilah pastoral (penggembalaan) adalah istilah
kunci sudah sejak awal. Pada abad ke VI Paus Gregorius Agung
mengartikan pastoral sebagai ars artium regimen animarum (seni
memimpin jiwa-jiwa) yang menjadi tugas utama Uskup dan para
imam.
Yesus Kristus sejak awal mengingatkan dan
memerintahkan kepada Petrus, bahwa menggembalakan domba-
domba Tuhan adalah kelanjutkan dari mencintai Tuhan (Yohanes
21:14-17). Petrus tiga kali ditanyai oleh Tuhan secara bertahap,
suatu proses pembatinan yang dilakukan Tuhan kepada dirinya
hingga mewujud menjadi penghayatan yang menyertai
penggembalaan Petrus sepanjang hidupnya.
Penggembalaan jemaat adalah wujud aktual dari cinta
kepada Tuhan, sehingga Petrus menuliskan pada suratnya kepada
para gembala (penatua) di Asia Kecil bahwa “Gembalakanlah
kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa,
tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan
karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri.
Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas
mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu
9
menjadi teladan bagi kawanan domba itu. Maka kamu, apabila
Gembala Agung datang, kamu akan menerima mahkota kemuliaan
yang tidak dapat layu” (I Petrus 5:2-4).
Musyawarah Pastoral
Musyawarah Pastoral merupakan peristiwa Gereja yang
karenanya Uskup sebagai gembala di Keuskupan Surabaya berusaha
menangkap kehendak Allah bagi domba-domba-Nya selama sepuluh
tahun ke depan. Di wilayah Keuskupan Surabaya terdapat
sekitar160.000 ‘domba’ (jemaat) yang dipercayakan Allah untuk
digembalakan dalam perubahan arus jaman saat ini dan ke depan.
Melalui Mupas II, Uskup bersama Umat Allah dibawah bimbingan
Roh Kudus menegaskan arah penggembalaan bagi Gereja Keuskupan
Surabaya selama 10 tahun ke depan (2020-2030).
Ada beberapa usaha yang dilakukan demi menangkap
kehendak Allah: 1) Menegaskan kembali jati diri Gereja dan
perutusannya sebagai Persekutuan serta menggali hal apa yang
masih kurang diupayakan dalam reksa penggembalaan
Keuskupan Surabaya selama ini. 2) Menangkap tanda-tanda
jaman, menganalisa dan memperkirakan hal-hal apa saja yang
mempengaruhi keadaan masyarakat sepuluh tahun ke depan. 3)
Menangkap dan mengenali pendapat umat, khususnya para
fungsionaris pastoral di semua jenjang atas pelaksanaan pastoral
selama ini. 4) Menyimpulkan dan menentukan ke arah mana
penggembalaan Gereja ini diharapkan. 5) Merumuskan strategi
pastoral, yakni menentukan apa yang perlu direncanakan,
diadakan, diprioritaskan dan dilakukan agar apa yang dicita-
citakan dapat diwujudkan.
Pertobatan Pastoral
Melalui Surat Anjuran Evangelii Gaudium (EG), sebagaimana
dikutip dalam buku ke-3 hasil Mupas II (Program Strategis
Keuskupan Surabaya Tahun 2020-2030, halaman 7), Paus Fransiskus
menegaskan, “Tanpa kesetiaan Gereja pada panggilannya sendiri,
struktur baru manapun akan terbukti tidak efektif sehingga akan
hancur dalam waktu singkat” (EG 26).
10
Bagi Paus Fransiskus setiap pembaruan Gereja pada
hakikatnya suatu pewujudan kesetiaan kepada panggilannya, suatu
pilihan strategis yang dituntut oleh pertobatan pastoral karena
berorientasi pada misinya (EG 27). Mupas II adalah wujud kesetiaan
Gereja Keuskupan Surabaya di bawah penggembalaan Uskup yang
menegaskan arah, melanjutkan ziarah Gereja Kristus, menghadirkan
wajah dan misi-Nya bagi dunia saat ini.
Bersama diumumkannya hasil Mupas II, Mgr. Vincentius
Sutikno Wisaksono sebagai gembala utama mengajak seluruh umat
Katolik Keuskupan Surabaya, khususnya para fungsionaris
penggembalaan untuk mengarahkan seluruh kehendak, pikiran dan
hati untuk memahami, menyesuaikan diri serta menjalankan reksa
penggembalaan sesuai dengan Arah Dasar Keuskupan.
Untuk itu selama tahun 2020, kita bergerak untuk belajar
bersama, menyebarkan (diseminasi) dan menyusun peta perjalanan
(roadmap) penggembalan di semua jenjang dan lini penggembalaan.
12
Berakar Lingkungan,
Hadir di Tengah Masyarakat
Pilihan Strategis Pastoral 2020-2030
Pohon
Perjanjian lama juga sangat sering memaknai
pohon sebagai lambang dan tempat istimewa. Di bawah pohon-
pohon orang-orang Israel membuat pertemuan, mengadakan
pengadilan dan kongres rakyat (Hakim-Hakim 4:5; I Samuel 14:2;
22:6). Di dekat pohon-pohon tertentu mereka memilih tempat
13
untuk makam orang-orang penting (Kejadian 35:8; I Samuel
31:13; I Tawarikh 10:12). Misalnya pohon Tarbantin di dekat
Sikhem (Kejadian 12:6; 35:4), pohon Tarbantin yang ada di tugu
peringatan dekat Sikhem (Hakim-Hakim 9:6), pohon Tarbantin
peramal dekat Sikhem (Hakim-Hakim 9:37), di Betel (I Raja-Raja
13:14) dan di Yabesh (I Tawarikh 10:12).
Secara mitologis, pohon dimaknai secara simbolik seperti
pohon Kehidupan, pohon Pengertian Baik dan Jahat (Kejadian
2:9,17). Demikian pula tentang pohon Aras, pohon-pohon Tuhan
(Bilangan 24:6, Mazmur 104:16).
Bahkan pohon juga dipersonifikasikan atau digambarkan
sebagaimana manusia yang bisa bertepuk tangan (Yesaya 55:12),
bergembira (Mazmur 96:12), dan iri hati (Yehezkiel 31:9).
Gereja persekutuan secara fisik dan sosial merupakan
institusi tubuh Kristus yang didalamnya mengemban karisma dari
Allah Tritunggal, terutama perutusan untuk pengudusan,
pengajaran dan penggembalaan bagi sejarah manusia. Gereja
seumpama pohon yang ditanam, bertumbuh dan hidup di kebun
alam raya milik Tuhan, melewati aneka pergantian musim.
Buah
Dalam Kitab Suci, Buah dipergunakan dalam perlambangan
secara detil, istimewa, dan kaya. Sampai-sampai buah pertama
yang terbaik harus dipersembahkan untuk Allah.
Terkait proses yang diperlukan untuk buah, diantaranya
adalah; akibat dari pengolahan lahan (hasil tanah; Kejadian 4:3,
Mazmur 85:13), pemberian Allah (Kisah Para Rasul 14:17), hasil
pemeliharaan Allah untuk manusia (Maleakhi 3:11), akibat dari
tanah yang subur (Mazmur 107:34), dicurahi hujan dari langit
(Mazmur 104:13, Yakobus 5:18), dipengaruhi sinar matahari dan
bulan (Ulangan 33:14), sesuatu yang harus dinantikan dengan
sabar (Yakobus 5:7), dan dikirimkan sebagai hadiah (Kejadian
43:11).
Terkait ancaman dari luar yang mempengaruhi kualitas
buah: hama belalang (Ulangan 28:38,39; Yoel 1:4), murka Allah
14
(Yeremia 7:20; Matius 21:18-22, Markus 11:12-14;20-26),
penyakit (Yoel 1:12) dan Kekeringan (Hagai 1:10).
Tentang jenis kualitas buah: terbaik, lezat, telah lama
dipetik, baru saja dipetik, masak sebelum waktunya, elok
dipandang mata, dan buah yang tidak baik (Ulangan 33:14, Kidung
Agung 4:16; Yesaya 28:4, Yeremia 11:16, Matius 7:17).
Buah juga dipakai sebagai lambang: pertobatan (Matius
3:8), Pekerjaan Roh Kudus (Galatia 5 22-23, Efesus 5:9),
kebijaksanaan (Kidung Agung 2:3), percakapan manusia dan puji-
pujian (Amsal 12:14; 18:20, Ibrani 13:15), perbuatan baik dan
buruk manusia (Matius 7:17-18; 12:33, Filipi 4:17), ibadah (Amsal
11:30), bertambahnya orang yang menjadi percaya (Yohanes
4:36, Mazmur 72:16), pahala bagi orang kudus (Yesaya 3:10), dan
sebagainya.
Gereja pada hakekatnya adalah misi dan ada karena diutus
bagi dunia. Pohon yang baik mesti menghasilkan buah yang baik
bagi dunia. Kehadiran Gereja berdampak bagi penegakan dan
pembangunan Kerajaan Allah.
Ranting/cabang/carang
Para murid Yesus dilambangkan dalam Perjanjian Baru
sebagai ranting yang tak mungkin bisa hidup secara benar jikalau
tidak menempel, menyatu, dan tinggal dalam Tuhan. Yesus Kristus
pada suatu kesempatan menganalogikan diri-Nya sebagai pokok
pohon anggur, “Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Ku
pengusahanya. Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah,
dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya,
supaya ia lebih banyak berbuah. Kamu memang sudah bersih
karena firman yang telah Kukatakan kepadamu. Tinggallah di
dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak
dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada
pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu
tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah
ranting-rantingnya” (Yohanes 15: 1-8). Di sini dijelaskan suatu
konteks Perjanjian Lama bahwa Yesus merupakan penggenapan
15
dari segala harapan Israel tentang kebun anggur pilihan Allah
(bdk. Mazmur 80:9, Yesaya 5:1-7, Yeremia 2:21, Hosea 10:1).
Tekanan Injil Yohanes ketika menceritakan tentang pokok
dan ranting adalah mengenai kualitas pengenalan, relasi dan
kesatuan (intimitas) para murid dengan Kristus. Bersama dengan
itu terjadi proses pemurnian dan pemisahan karena iman dan
cinta yang mengalir antara ranting dan pokoknya. Seluruh
tindakan pastoral tiada lain untuk memfasilitasi bersatunya umat
dengan Tuhan. Program pastoral merupakan proses berjenjang
pendewasaan iman, harapan dan kasih umat.
Daun
Kitab Wahyu menyinggung daun sebagai lambang Injil
Kristus, daun yang bisa menyembuhkan penyakit dosa karena
pada daun itu terdapat obat dari Allah (Wahyu 22:2). Pada Kitab
Kejadian, daun digunakan sebagai penutup malu, aib dan
kedosaan (Kejadian 3:7). Namun dalam Injil disebutkan bahwa
daun yang lebat dan hijau belum tentu menjamin akan buah yang
baik. Maka baik Matius maupun Markus mencatat peristiwa
pengutukan pohon ara oleh Yesus.
Dalam hidup berparoki, banyaknya program, kegiatan dan
kemeriahan acara belum tentu menjadi jaminan bahwa akan
berbuah baik. Kalau perlu ‘ranting dan daun’ (jumlahnya aktivitas
pastoral) yang tidak baik mesti di potong dan dibersihkan supaya
menghasilkan buah yang baik bagi pengudusan diri dan
kesejahteraan masyarakat.
Filosofi akar
Sungguh menarik pelajaran yang dapat ditimba dari
kedalaman makna ‘akar’. Akar kebanyakan menjalar secara ajaib
di bawah permukaan tanah, tidak menonjol melebihi batang dan
daun. Bekerja siang dan malam untuk menopang kehidupan dan
pertumbuhan seluruh pohon. Sekurang-kurangnya, ada tujuh
fungsi akar:
1) Penopang tumbuh tegaknya tanaman agar kuat menahan
beban cabang dan beratnya daun,
16
2) Penyerap air dan hara (nutrisi organik/anorganik) dari
kesuburan tanah untuk disalurkan ke keseluruhan bagian dari
tanaman,
3) Penyimpan cadangan makanan dan air demi terjaminnya
kelangsungan hidup tanaman,
4) Dalam tumbuhan tertentu , disamping permukaan daun, akar
juga berfungsi fotosintesis yakni mengubah energi matahari
menjadi energi biokimia yang diperlukan tanaman untuk
membentuk karbohidrat. Hampir semua makhluk hidup di
bumi ini bergantung pada energi yang dihasilkan oleh
fotosintesis ini. Pasokan oksigen murni di atmosfir bumi
datang dari proses fotosintesis ini.
5) Fungsi respirasi, seperti nafas pada paru paru manusia.
6) Fungsi gerak. Tumbuhan sebenarnya tidak hanya tumbuh ke
atas dan membesar, namun dibawah permukaan tanah juga
bergerak ke dalam dan ke samping untuk mendapatkan
sumber air dan nutrisi (hara) dari tanah di sekitarnya.
7) Fungsi reproduksi. Selain dari bunga dan biji, akar beberapa
tumbuhan juga berfungsi duplikasi dan berkembang biak. Dari
akar bisa bertunas menjadi tumbuhan baru.
17
melindungi dan mengembangkan martabat suci panggilan
keluarga di tengah masyarakat. Keluarga adalah struktur
komuniter pertama dan paling mendasar bagi penyelamatan
‘ekologi manusiawi’.
18
panca tugas Gereja terjadi juga dalam setiap keluarga
kristiani. Keluarga bukan hanya dalam arti biologis (hubungan
darah dalam ikatan perkawinan) tetapi juga dalam arti
eklesiologis yakni himpunan pribadi pribadi dalam semangat
kekeluargaan, sebagai keluarga Umat Allah.
Lingkungan juga dapat kita sebut sebagai Komunitas Dasar
Gerejawi (Basic Ecclesial Community) karena Lingkungan ini
adalah sel dasar (di atas/sesudah keluarga) dimana gen hidup
Gereja secara lengkap tercermin dan terwujud secara konkrit.
19
memiliki relasi antar warga yang personal dan intensif.
Kehidupan persekutuan umat paroki ditentukan oleh
persekutuan warga lingkungan dan persekutuan antar komunitas
sesama lingkungan. Kuatnya relasi antar warga di lingkungan dan
antar lingkungan akan meneguhkan dan menopang persekutuan
paroki. Jadi lemahnya relasi antar warga lingkungan dan antar
komunitas lingkungan akan berdampak negatif pada komunitas
paroki.
Paroki adalah pohon dengan segala kelengkapannya,
seluruh nafas dan dinamika kehidupannya di topang dan dipasok
dari kontribusi bersama seluruh lingkungan (fungsi respiratif)
yang ada di wilayah paroki tersebut. Kemegahan paroki adalah
semu/palsu jikalau tidak ditopang oleh “kualitas nafas hidup yang
sehat” di lingkungan.
Kecilnya jumlah warga anggota lingkungan bukan
dimaksudkan untuk memperlemah kekuatan tetapi justru
meningkatkan kualitas relasi saling kenal, kepedulian, jangkauan
sentuh, dan penghargaan akan potensi karunia tiap pribadi untuk
ambil bagian dalam hidup menggereja. Setiap pribadi dan proses
kepenuhan hidup masing masing anggota terangkul dan
terselami.
Dengan meningkatnya jumlah anggota melebihi 40
keluarga, maka lingkungan bisa menjalankan fungsi reproduktif,
yakni segera menyiapkan diri terbentuknya lingkungan baru.
Demikian selanjutnya hingga tiba saatnya dapat berkembang
menjadi paroki baru.
Melalui dan oleh rahmat baptis, setiap warga Katolik diutus
sebagai saksi Kristus dengan menjadi garam dan terang bagi
dunia (masyarakat). Oleh karena itu lingkungan sebagai
persekutuan murid-murid Kristus selalu berjuang meresapi dan
menularkan nilai-nilai Injil bagi masyarakat di sekitarnya.
Lingkungan merupakan engsel hidup antara persekutuan
paroki dan keragaman masyarakat. Di dalam dan melalui
lingkungan, paroki hadir di tengah masyarakat. Kabar sukacita
Injil yang diresapi di lingkungan diterjemahkan menjadi
kesaksian hidup, keteladanan dan kepeloporan dalam
20
mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan alam lingkungan
hidup yang sehat dan lestari. Melalui warga lingkungan, Gereja
menjadi garam dan terang bagi masyarakat.
Pola strategi tahunan Keuskupan Surabaya dalam kerangka
10 tahun kedepan menjadi proses formasi berjenjang, yang
bergerak dari: Penguatan personal setiap murid Kristus –
Keluarga sebagai Gereja Rumah Tangga (ecclesia domestica) -
Penguatan jati diri dan perutusan komunitas lingkungan –
Pendewasaan paroki menuju Gereja yang hadir sebagai garam
dan terang masyarakat.
Dengan proses formasi seperti yang telah disebutkan di
atas, diharapkan Umat Katolik Keuskupan Surabaya dapat
menghidupi jati dirinya sebagai persekutuan sakramental dan
berkontribusi bagi pembangunan bangsa. Hadir dengan integritas
iman sebagai murid Kristus, bersatu dan bersama Kristus dalam
mewujudkan karya keselamatan secara tulus dan tanpa pamrih
demi terwujudnya kesejahteraan bersama (bonum
commune) yang berkeadilan dan cinta damai.
21
Diseminasi Ardas 2020-2030 untuk Kevikepan Kediri di Paroki Santa
Maria, Jombang. 17 Februari 2020. (Dok. Keuskupan Surabaya)
24
Sesuai mandat Uskup Surabaya, maka tahun 2020 sebagai
masa diseminasi awal pengumatan hasil dan spirit baru hasil
Mupas II. Secara serentak selama setahun setiap kevikepan,
paroki hingga Lingkungan menyediakan diri sebagai tanah yang
subur untuk menerima taburan benih pertobatan baru cara hidup
menggereja sebagaimana telah dipetik pada Mupas II.
Diseminasi merupakan proses penyebaran inovasi yang
terencana, terarah dan terkelola secara matang. Bukan asal
menyelesaikan kewajiban dalam batas waktu tertentu melainkan
proses terus menerus pembentukan kesadaran dan perubahan
perilaku (pembentukan habitus) dalam pengelolaan pastoral.
Proses Mupas II adalah proses penegasan arah bersama.
Oleh karena itu, tidak ada orang yang bisa dianggap sebagai ahli
yang telah mengetahui segala-galanya tentang hasil Mupas II. Bagi
kita semua, baik Uskup, semua imam, fungsionaris pastoral
paroki, dan lingkungan, hasil Mupas II adalah temuan baru, suatu
perintah baru, yang perlu kita siapkan bersama untuk
mewujudkannya. Suatu anggur yang baru yang memerlukan
kantong yang baru pula.
Dilain sisi, diseminasi juga bukan tugas segelintir orang
yang dianggap telah menguasai seluruh ‘jurus’. Kita semua
dipanggil untuk menyediakan diri dibimbing oleh Roh Kudus
untuk belajar bersama, mendalami, memahami, serta menerima
Ardas 2020-2030 sebagai hasil Mupas II menjadi perutusan kita
bersama untuk diimplementasikan secara bersama pula. Yang
jelas, kerangka pikiranan terwujud dalam empat buku hasil
Mupas. Empat buku tersebut masih berupa peta perjalanan. Masih
ada agenda berikutnya yang harus dikerjakan: 1) Informasi pokok
apa yang dipahami; 2) Rancangan metode diseminasi, tahap-
tahap jangkauan diseminasi, indikator keberhasilannya,
perangkat atau tim yang diperlukan, kerangka waktu, dan
seterusnya.
25
melaksanakan diseminasi ini? Mungkinkah ada satu tim yang
menyiapkan, mendalami dan berkeliling ke semua unit pastoral
sekeuskupan untuk melaksanakannya? Jika demikian, lebih lagi
kalau tim ini berkeliling di setiap paroki dan stakeholder pastoral
lainnya, maka dapat muncul pertanyaan: “Selesainya kapan?”
Dengan demikian ada sekian paroki menunggu giliran hingga
akhir tahun. Betapa tidak efektif serta minimnya pewujudan
tanggungjawab bersama.
Cara yang paling realistis adalah Pusat Pastoral membentuk
tim fasilitator proses diseminasi bersama tim-tim yang dibentuk
oleh tiap kevikepan, secara bersama mendalami, menyusun
materi, merancang strategi dan media pelaksanaan diseminasi
bagi seluruh paroki, komunitas, lembaga karya serta bagi forum
pastoral kategorial.
Tiga kali pertemuan para pastor paroki bersama
fungsionaris karya pastoral keuskupan atau temu pastores
disetiap tahun sungguh merupakan terobosan strategis dalam
melakukan proses diseminasi, pengawalan implementasi Ardas
hingga evaluasinya. Pertemuan pastores pertama pada Januari
2020 diharapkan dapat mewujudkan pembentukan tim
diseminasi Ardas tersebut. Sedangkan enam agenda pokok pada
triwulan pertama 2020 adalah:
• Pembentukan dan penguatan kapasitas Tim di Pusat Pastoral
Keuskupan (Puspas). Sasaran perutusan tim ini adalah
memberdayakan seluruh fungsionaris unit-unit pastoral yang
ada dalam Puspas dan memberdayakan Tim diseminasi
Kevikepan, termasuk di dalamnya strategi diseminasi dan
penguatan pengurus Lingkungan mengacu pada Pedoman
Pastoral Pengurus Lingkungan.
• Pembentukan dan penguatan kapasitas Tim Kevikepan.
Sasaran perutusan tim tingkat kevikepan ini adalah
diseminasi bagi setiap paroki serta pemberdayaan pengurus
Lingkungan sekevikepan masing-masing.
• Penggandaan dan distribusi 4 buku hasil Mupas berserta
media penunjang diseminasi hasil Mupas kepada semua
lapisan.
26
• Optimalisasi fungsi media komunikasi agar semakin luas
sasaran jangkauan, semakin inovatif dan semakin efektif
jalannya proses diseminasi.
• Pembumian gagasan secara inovatif, komunikatif dan
kontekstual terhadap: butir-butir isi cita-cita Ardas,
pengarusutamaan pilihan strategi pastoral pendewasaan
paroki berakar lingkungan yang hadir di tengah masyarakat,
kelengkapan yang diperlukan bagi penerapan Pedoman
Pastoral Pengurus Lingkungan serta aplikasi fokus tahunan
2021-2030 di dalam pengelolaan pastoral Paroki.
• Perancangan jadwal dan anggaran.
Penutup
Kesadaran akan rahmat baptis yang diteguhkan oleh
sakramen krisma, Roh Kudus mewujud dalam nyala cinta
yang terus menerus berkobar di setiap pribadi murid Kristus.
Nyala cinta yang mengobarkan rasa tanggungjawab bersama,
bahwa mandat resolusi hasil Mupas II diyakini bersama sebagai
perutusan Tuhan Yesus bagi Keuskupan Surabaya dalam
menapaki ziarahnya.
Diseminasi dan implementasi Ardas Keuskupan Surabaya
2020-2030 ini adalah tanggungjawab bersama secara manusiawi
sekaligus persekutuan rohani dalam menyempurnakan sukacita
penghayatan kemuridan kita. Seirama dengan nasihat Paulus
kepada jemaat di Filipi, jikalau reksa penggembalaan umat yang
dipercayakan Tuhan ini kita jalankan bersama, di dalam dan bagi
Kristus maka akan selalu ada penghiburan kasih dan persekutuan
Roh (bdk. Filipi 2:1).
27
Sebuah karya foto dari Romo Didik.
28
Kedewasaan Pastoral.
Amor Pastoralis yang Meluap
dari Kedewasaan Iman
29
Amor Pastoralis
Seluruh rangkaian acara dibuka oleh Mgr. Vincentius
Sutikno Wisaksono, Uskup Surabaya. Dalam sambutannya, beliau
menyampaikan rasa terima kasih atas kesediaan para imam baru
membantu dalam reksa penggembalaan umat Allah di Keuskupan
Surabaya. Bapak Uskup mengungkapkan rasa gembira atas
respon antusias para imam dalam menanggapi undangan pada
pembekalan ini. Beliau berharap bahwa acara ini dapat
memperbaharui semangat ‘amor pastoralis’ (cinta akan
penggembalaan), bukan sekedar melihat imamat sebagai tugas,
beban ataupun jabatan.
Bapak Uskup menceritakan pengalaman memelihara
kambing dan domba ketika menjabat sebagai Rektor Seminari
Tinggi Giovanni. Sungguh berbeda perilaku kambing dan domba.
Oleh karenanya beliau sangat paham mengapa Tuhan Yesus
memakai ‘domba’ sebagai lambang dari para murid ataupun umat
Allah serta Imam sebagai ‘gembala’. Kambing cenderung tidak
taat, makanannya daun-daun yang tumbuh di cabang. Sedangkan
domba memakan rumput dan selalu tanggap terhadap suara
panggilan ataupun suara tongkat gembalanya.
Lebih lanjut, Bapa Uskup menegaskan bahwa pastoral
bukanlah melulu sebagai ilmu atau teori, melainkan suatu
keterlibatan seluruh diri imam yang digerakkan oleh dan lahir
dari ‘amor pastoralis’. Bagi orang yang mencintai maka akan
memiliki sikap batin yang antusias, kemantapan motivasi, dan
kemauan terus menerus menggali, mencari dan menemukan cara
‘memberi makan’ bagi domba-dombanya.
Berpastoral itu bukan berwacana, tetapi bekerja. Bekerja
dengan cinta itu pasti mau repot dalam menemukan metode,
program-program yang efektif untuk mengembangkan umat yang
digembalakannya. Petrus ditanya 3 kali mengenai hal ini, “Simon,
apakah kamu mencintai Aku?” dan atas jawaban cinta Petrus,
Tuhan Yesus mengutus untuk ”Gembalakanlah domba-dombaKu!”.
Ini soal menggembalakan dan memberi makan karena cinta.
Dalam pembukaan rekoleksi ini, Bapak Uskup mengajak
para imam untuk menikmati keindahan hidup bersama umat
30
dengan penuh sukacita, bukan terpaksa. Segala derita dalam
pastoral justru akan mendewasakan cinta seorang imam dengan
demikian akan mendewasakan cara berpastoralnya. Maka
berikanlah makanan yang ‘sejati’ kepada domba-domba yang
dipercayakan Tuhan kepada seorang pastor paroki.
Pada akhir sambutan, Bapa Uskup mengungkapkan janji,
sebelum pensiun akan berusaha mengunjungi 152 stasi yang ada
di pelosok jauh wilayah Keuskupan Surabaya. Beliau sudah
memulai tahun ini dengan mengunjungi stasi Jolosutro dan
beberapa stasi di Blitar Selatan. Demikian setiap tahun akan
dilanjutkan sambil membagikan Rosario kepada setiap umat yang
dijumpainya di stasi yang dikunjungi.
31
Cinta (amor pastoralis) akan melahirkan kreatifitas yang
kaya. Atas aneka problematika dan kebutuhan umat dan
masyarakat, selalu ditemukan ide-ide yang bermunculan dari
imajinasinya. Pada seorang imam yang mencintai imamatnya, Roh
Kudus diberi ruang berkarya secara optimal. Itulah yang dinamai
kharisma. Setiap imam memiliki kharisma pastoral asal mau
mencintai umatnya.
32
Suasana sesi sharing oleh Romo Eko Wiyono pada hari pertama
Rekoleksi Imam di Griya Samadhi Aloysi, Pacet, 10 Maret 2020.
33
hanya dapat diwujudkan dengan membangun kesaksian mulai
dari komunitas pastoran (bersama romo rekan), sekretariat,
ruang tamu dan ruang sakristi.
Romo Dwi Joko melalui dua materi yang disampaikannya,
menyentak kesadaran diri seorang romo paroki bahwa tindakan
penggembalaan paroki akan gagal atau menjadi palsu jika tidak
dilahirkan dari intimitas relasi dengan Tuhan melalui hidup doa
dan devosi yang setia. Dia mengingatkan bahwa kata ‘paroki’
berasal dari bahasa Yunani, ‘parokein’ yang artinya
‘pengembaraan’ atau ‘peziarahan’. Komunitas para murid Kristus
yang sedang berziarah menuju Kerajaan Allah. Dalam kesatuan
dengan kewibawaan uskupnya, seorang imam adalah seorang
peziarah yang ambil bagian dalam menggembalakan para
peziarah itu. Pelaku utama adalah Roh Kudus sendiri, yakni Roh
Bapa dan Putra. Kesatuan dengan Roh Kudus adalah jaminan
keotentikan perutusan seorang imam. Hanya dalam intimitas
dengan Roh Kudus maka pelayanan seorang imam akan menjadi
‘berpamor’ (faithfully) dan ‘berdampak’ (fruitfully).
Ars Celebrandi
Seorang imam adalah pelayan Perayaan Misteri Karya
keselamatan Allah. Demikianlah Romo Indra mengajak para Romo
kembali mengingat apa yang dijanjikan ketika tahbisan. Seorang
tertahbis selalu mengatakan ‘Ya’ untuk merayakan misteri Yesus
Kristus dengan hormat dan setia, sesuai dengan yang dikehendaki
Gereja, demi kemuliaan Allah dan pengudusan umat-Nya.
Disamping itu seorang tertahbis juga berjanji bersedia
untuk mewartakan Sabda Allah dengan cara yang pantas dan
bijaksana dalam memaklumkan Injil dan mengajarkan iman
Katolik. Oleh karenanya, seorang imam dengan bantuan Allah
sendiri makin hari makin dekat, erat dan intim mempersatukan
diri dengan Yesus Kristus, Sang Imam Agung. Bersama Yesus
seorang imam menyerahkan dirinya bagi Allah. Seorang imam
bermuara dari apa yang telah dijanjikan di hadapan Gereja,
bertanggungjawab atas pelaksanaan liturgi yang benar, indah dan
sakral itu serta bertanggungjawab untuk membina para petugas
34
liturgi. Seorang imam adalah pengurus utama perayaan rahasia-
rahasia Allah yang kaya akan tanda dan penuh dengan simbol
yang mendalam. Maka sikap pelayan liturgi adalah ‘merayakan’
bukan sekedar membaca atau menyelesaikan tugas. Liturgi adalah
suatu ‘seni merayakan’ (ars celebrandi).
Romo Indra mengajak para imam untuk terus menerus
belajar tentang pedoman liturgi. Kalau tidak belajar terus maka
akan ‘salah paham’ dibandingkan dengan umatnya. Umat
Surabaya ini sangat aktif dan punya kemauan partisipasi yang
tinggi, sangat mencintai dan menjunjung tinggi martabat Ekaristi,
bersemangat devosi dan mau dengan sukarela belajar dengan
serius tentang liturgi dan teologi.
35
penunjang keagamaan berada, bersinggungan, beririsan dengan
apa yang berlaku ditengah masyarakat dan negara. Semuanya
berhubungan dengan hal yang sangat sensitif, yakni pengelolaan
dan pertanggungjawaban atas penerimaan dan penggunaan harta
benda (unsur kelihatan). Maka kebenaran dan rahmat yang
dimandatkan melalui Gereja mesti dikelola dan
dipertanggungjawabkan secara sah dan benar di hadapan hukum
positif dan prinsip-prinsip manajemen yang umum.
Pada sesi terakhir, saya dan Romo Surya mengajak
bertobat bersama dalam hal menghayati amor pastoralis dalam
wujud tanggungjawab pengelolaan harta benda gereja. Kita
adalah para pengemban tanggungjawab penggembalaan sekian
lama telah banyak teledor atau abai terhadap tertib pengelolaan
harta benda gereja. Tanpa disadari kita telah melakukan dua ‘dosa
pastoral’.
‘Dosa pastoral’ pertama berawal dari rasa tanggungjawab
yang tinggi lalu gembala tergoda mengidentifikasikan dirinya
dengan kepemilikan harta-benda gereja, sehingga tidak
transparan, tidak jujur, kecenderungan menumpuk saldo sebagai
kebanggaan diri, kelekatan, rekening tersembunyi, rasionalisasi
atas penyelewengan ‘intensio dantis’ (Bahasa Latin, yang berarti
maksud pemberian), penggunaan harta gereja untuk kepentingan
pribadi, dan sebagainya. Akibatnya lupa bahwa para imam
sebenarnya berpartisipasi pada otoritas Uskup.
‘Dosa pastoral’ kedua, karena kurangnya pengetahuan atau
pengabaian atas tanggungjawab pengelolaan harta benda Gereja,
maka mengakibatkan pengeluaran biaya akibat keteledoran
pengelolaan (mis-used/mis-management) legalitas aset gereja.
Banyak bukti legal keabsahan aset terselip, hilang atau lalai
diurus. Semua bisa diatasi jika kita mulai membangun habitus
tertib administrasi pengelolaan harta benda gereja.
36
Bagian II
37
Sebuah karya foto dari Romo Didik.
38
Keniscayaan Pastoral Formatio Berjenjang
Pertobatan Pastoral
Musyawarah Pastoral II mengajak kita semua menyadari
kesalahan masa lalu kita dan membangun suatu habitus baru
dalam bersinergi pastoral. Kebiasaan baru yang sinergis tentu saja
tidaklah mudah. Hal yang paling sulit adalah menurunkan ego
pastoral. Seringkali setiap pengurus seksi/bidang, memiliki ego
yang tinggi, menempatkan diri sebagai tuan pemilik kegiatan.
Semua umat adalah objek yang melayani kegiatan yang
‘kutetapkan’. Ironisnya, umat-lah yang diminta membiayai
kegiatan tersebut. Sekarang sebelum merencanakan/merancang
program pastoral, duduk bersimpuh mendengarkan dahulu
informasi tentang: siapa yang hendak kita layani; ada
permasalahan apa dengan hidup dan imannya; menghadapi
tantangan apa saat ini; mereka ada dan tinggal di mana?
Betapa pentingnya sensus umat. Banyak hal seringkali
dianggap tidak ada, padahal sebenarnya ada. Masalahnya terletak
pada kita tidak punya data tentang hal yang mestinya kita layani.
Data umat sangat penting, terkait dengan dua hal utama:
Beberapa informasi dasar tentang siapa yang dilayani, dan siapa
saja yang dapat ditingkatkan kapasitasnya untuk dilibatkan
(diutus) dalam pelayanan.
Pastoral yang dibangun di atas misi formatio iman dan
kedewasaan hidup Kristiani adalah tindakan yang oleh Paulus
40
dalam suratnya kepada umat Galatia sebagai “tindakan iman yang
dilakukan melalui kasih” (bdk. Galatia 5:6). Pastoral bukan
sekedar tindakan manajerial namun lebih dari itu adalah
Tindakan Iman yang didorong oleh kasih dan karena percaya akan
kepastian jaminan dalam pengharapan janji Kerajaan Allah dalam
Yesus. Formatio berjenjang adalah penggembalaan karena kasih
(Amor Pastoralis).
41
F.X. David Wijaya dan Albert Wey, dua anggota komunitas PETRUS
(Persekutuan Ekaristi Tuna Rungu Surabaya) yang hadir pada
perhelatan Musyawarah Pastoral II mendapatkan sapaan secara khusus
dari Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono, Uskup Surabaya.
42
Kilas Balik Terbentuknya Komisi
Pastoral Difabel Keuskupan Surabaya
44
saya hanya bermodal hati untuk mereka. Pertemuan-pertemuan
dan misa bersama ADECO Surabaya mulai rutin diadakan di
Sidoarjo.
Pendampingan saya terhadap teman-teman tuli berjalan
hingga akhir tahun 2000. Sekitar awal 2001, saya mendapat tugas
perutusan di Ketapang, Kalimantan Barat, lalu Blora, Jawa Tengah.
Sejak saat itu, untuk sementara waktu ADECO Surabaya tidak ada
yang mendampingi.
Komunitas PETRUS
Pada tahun 2013, Misa dan pendampingan rohani ADECO
Surabaya dilayani oleh beberapa imam dan suster, baik dari
Congregatio Missionis (CM), Putra Maria Yosef, Putri Kasih dan
Alma. Pembina ADECO, Bernadeta Tumirah (Bu Tumir) dan Sr.
Wahyu Triningsih, PMY yang juga pengajar di Dena Upakara
memperkenalkan RP. Rafel Isharianto, CM kepada ADECO
Surabaya.
Misa perdana ADECO Surabaya diadakan di Paroki Santo
Vincentius A Paulo (SVAP), Jl. Widodaren, Surabaya. Tak lama
kemudian, misa ADECO Surabaya pindah ke Panti Asuhan Don
Bosco, Jl. Tidar, Surabaya bersama RP. Paulus Suparmono, CM.
Serngkali juga dibantu oleh RP. Ignatius Suparno, CM.
Seiring berjalannya waktu, seringkali yang hadir pada misa
ADECO bukan hanya alumni Dena Upakara dan Don Bosco saja,
melainkan dari SLB lain. Maka tercetuslah ide dari David
membuat komunitas tuna rungu Katolik bernama PETRUS.
Nama PETRUS terinspirasi dari sosok Bruder yang bernama
Petrus Hendrik dari Belanda yang pernah menjadi Pemimpin
Komunitas (PIKO) Bruder Caritas. Bagi David, Bruder Petrus
memberi inspirasi bagi para siswa. David juga memberikan ide
kepanjangan dari PETRUS, yaitu Persekutuan Ekaristi Tuna
Rungu Surabaya. Tanggal 19 Januari 2014, Komunitas PETRUS
didirikan dan diberkati oleh RP. Paulus Suparmono, CM di Paroki
SVAP, Surabaya.
45
Tanggal 9-11 Juni 2015, para Uskup dan Kuria Keuskupan
Regio Jawa mengadakan pertemuan di Keuskupan Purwokerto.
Pada hari terakhir para peserta menghadiri Perayaan 60 tahun
Karya Pendidikan Luar Biasa SLB B Karya Bakti, Wonosobo. Sore
hari sebelum acara dimulai, para Uskup dan rombongan peserta
Temu Karya diajak meninjau stan-stan pameran karya alumni
ADECO di sekitar tempat perayaan. Saya waktu itu selaku Vikaris
Jenderal Keuskupan Surabaya ikut diantara rombongan peserta.
Di stan ADECO Surabaya, saya bertemu kembali dengan F.X.
David Wijaya dan Widi Nugraha yang sedang memamerkan karya
mereka. David menjadi designer pakaian dan wedding gown,
sedangkan dan Widi Nugraha memamerkan batik Ngawi. Saya
pun memperkenalkan David pada Mgr. Vincentius Sutikno
Wisaksono, “Bapa Uskup, ini David yang sudah saya kenal sejak
tahun 1997. Sejak saya bermisi di Kalimantan sudah lebih dari 5
tahun vakum. Mereka merindukan adanya pendampingan lagi.”
Lalu Bapak Uskup menjawab, “Oke. Nanti teman-teman ini coba
datang ke keuskupan. Kita omong-omong.” Untuk beberapa saat
Romo Didik, bersama Uskup Surabaya, Mgr. Vincentius Sutikno
Wisaksono dan para anggota Kuria Keuskupan Surabaya
berkumpul di stan ADECO Surabaya.
Beberapa hari setelah mereka pulang ke Surabaya,
Komunitas PETRUS beraudiensi dengan Bapa Uskup di Wisma
Keuskupan Surabaya. Pada pertemuan itu, saya menjelaskan
tentang rencana diadakannya Expo Kelompok Kategorial
Keuskupan Surabaya yang akan diadakan 16-18 Oktober 2015 di
Convention Hall, Tunjungan Plaza 3, Surabaya. Saya meminta
David dan kawan-kawan juga membentuk komunitas kategorial
pelayanan umat tuna rungu di Surabaya. Selain nama komunitas,
mereka harus juga memiliki logo. Sejak saat itu saya mulai
mendampingi komunitas PETRUS. Mulai waktu itu pula umat
Katolik yang Tuli bisa mengikuti misa khusus di Kapel Keuskupan.
Pada tanggal 10 Juni 2019, Komisi Pastoral Difabel mulai
aktif. Pada perhelatan Musyawarah Pastoral, 18-20 Oktober 2019
lalu, David dan Albert Wey sebagai perwakilan Komunitas
PETRUS hadir sebagai peserta.
46
Seiring berjalannya waktu, Komisi Pastoral Difabel dan
Komunitas PETRUS semakin rutin bertemu, semakin aktif
berkegiatan, bahkan mengadakan karya sosial. Pada bulan
September 2020 lalu, mereka mampu menjadi host pada beberapa
pertemuan Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) Umat Tuli Se-
Keuskupan Regio Jawa.
Dengan adanya Pastoral Difabel, semoga mampu
menginspirasi institusi-institusi dan berbagai lembaga gereja
agar semakin mampu memberikan pelayanan secara inklusif pada
kaum difabel, baik umat Tuli, Buta, maupun tuna daksa.
47
Teman Tuli Memiliki Cara Komunikasi yang Unik
Josephine Kintan
Koordinator Umat Tuli Katolik Keuskupan Surabaya.
Mahasiswi Jurusan Teknologi Pangan
Universitas Widya Mandala, Surabaya
Scan Me Scan Me
49
Mbah Sungkem (Dok.: Romo Didik)
50
Mbah Sungkem.
Putri Anawim dari Kuasi Paroki Ngrambe
52
Karena pendengaran Mbah Sungkem sudah sangat
berkurang, itulah sebabnya dia tidak pernah tahu apa yang
dikhotbahkan oleh Romonya. Dia tidak terlalu dengar suara lagu
yang dinyanyikan paduan suara. Yang dia ketahui hanyalah apa
yang dikatakan Romo pasti baik, yang diajarkan para guru pasti
baik. Semua umat Katolik baik. Semua orang yang dia jumpai
adalah baik. Kalau diolok atau digoda orang diperjalanan, dia
hanya tersenyum. “Kalau aku baik, Yesus pasti menyelamatkan.”
Seringkali kalau ada giliran Doa Lingkungan atau
Pendalaman Iman di rumah warga, Mbah Sungkem selalu tahu
jadwalnya dan selalu sudah datang di depan rumah orang
tersebut, tak kurang dari satu jam sebelum acara di mulai. Duduk
khusuk menunduk, bibir komat kamit tanpa suara, mendaraskan
dalam hatinya doa Bapa Kami, Salam Maria, Kemuliaan dan
Terpujilah.
Tentang akhir hidup dan hidup setelah kematian, tak
pernah terbersit dalam pikiran Mbah Sungkem akan
kekhawatiran bagaimana kalau mati dan keinginan masuk surga.
Dia tidak mencemaskannya. Setiap dikejar dengan pertanyaan
tentang kematian atau bagaimana hidup kelak, dia
menggelengkan kepala. Lalu tersenyum. Lalu kembali keluar kata
mantra dari mulut keriputnya, ”Pokoknya, nderek Gusti Yesus
mesti slamet.”
Orang Katolik percaya akan Yesus Kristus atau Isa Almasih,
apakah artinya? Mbah Sungkem memiliki jawabannya: Percaya
dengan sepenuh hati, segenap jiwa dan kekuatan bahwa ikut
Yesus pasti selamat.
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama terdapat ungkapan
bahasa Ibrani ‘anawim’ untuk menggambarkan seorang miskin di
hadapan Allah, yang lemah bagi dunia tetapi selalu sumarah
kepada Tuhan di sepanjang hidupnya. Istilah ini diberikan kepada
sekelompok orang Israel yang kembali ke Yerusalem sesudah
masa pembuangan berakhir. Mereka disebut kelompok ‘anawim,’
dalam Bahasa Ibrani di zaman Perjanjian Lama berarti:
sekelompok ’orang miskin’ yang tetap setia kepada Allah
sekalipun berada di dalam kesulitan. Mereka ini adalah orang-
53
orang yang lemah lembut dan rendah hati, yang merupakan sisa-
sisa Israel yang setia kepada Allah, mereka adalah orang-orang
yang takut kehilangan penyertaan-Nya.
Kelompok anawim ini juga yang paling siap menerima
pewartaan Kabar Gembira Keselamatan yang disampaikan oleh
Yesus karena hati yang terbuka dalam Iman, Harapan dan Kasih
Allah.
Paus Emeritus Benediktus XVI pernah dalam sambutan
audiensi dengan begitu indah mengajarkan spiritualitas ‘anawim’,
bunyinya demikian: “Orang-orang beriman yang tidak hanya
mengakui diri mereka sebagai ‘miskin’ dalam arti terlepas dari
semua berhala kekayaan dan kekuasaan, tetapi juga dalam
kerendahan hati yang mendalam dari hati yang dikosongkan dari
godaan terhadap kebanggaan dan terbuka untuk kelimpahan
rahmat keselamatan Ilahi.”
Spiritualitas anawim ditunjukkan oleh Maria dalam
Magnificatnya, sebagai ungkapan dari mereka yang telah datang
untuk memahami bahwa hanya ada satu cara yang benar untuk
membuka diri untuk menerima kelimpahan karunia keselamatan
Allah yaitu dengan menawarkan hati yang penuh cinta pada
Tuhan, rendah hati, taat, dan percaya. Sudah lebih dari 25 tahun
umat Kuasi Paroki Ngrambe mengenal spiritualitas anawim yang
begitu nyata pada keseharian Mbah Sungkem.
54
Bagian III
55
‘Retjo Pentung’ dan vandalisme di Jl. Medokan Semampir Indah,
Surabaya (Dok.: Romo Didik)
56
Bahaya Larut Tanpa Komitmen
dan Tanggung Jawab
58
dilakukan secara daring (live streaming, zoom meeting, dan
sebagainya).
Budaya digital telah merambah batas-batas eksistensi: di
satu sisi ruang gerak dan perjumpaan menjadi sangat terbatas,
namun di lain sisi kita sekaligus sedang hidup dalam ‘kampung
global dan plural’. Cara fikir dan pemahaman tentang diri sendiri,
sahabat dekat, kerabat, ungkapan cinta, solidaritas, relasi
kehangatan, paguyuban, komunitas, dan banyak hal lain, siap atau
tidak harus dimodifikasi. (no. 8) Mau tidak mau kita diajak masuk
pada awal sejarah akar terbentuknya Paroki: komunitas keluarga.
Gereja Paroki sebagai komunio masuk dalam konteks baru,
dimana hubungan teritorial (perjumpaan personal secara fisik)
menjadi tidak realistis (berbahaya).
59
Katedral Hati Kudus Yesus Surabaya (Dok.: Romo Didik)
60
Kebijakan Pastoral di Tengah Masa Pandemi
Covid-19 sebagai Tantangan Komunikasi Iman
61
1) Virus Corona memiliki cara dan media penyebaran tertentu
sehingga sungguh membahayakan bagi umat yang datang
berkumpul berdekatan di Gereja.
2) Hidup, keselamatan dan kesehatan manusia sungguh
dihormati dan dinilai sangat tinggi dibandingkan kehadiran
fisik di bangku gereja dalam peribadatan/Ekaristi selama
Pekan Suci.
3) Misteri perayaan dan perjumpaan dengan Tuhan dalam situasi
darurat bisa didapatkan tanpa perjumpaan fisik di gereja dan
tanpa kehadiran riil.
RD. Yakobus Budi Nuroto, RD. Yosef Eka Budi Susila, dan RD. Sabas
Kusnugroho dalam suatu Misa. (Dok.: Modik)
Selebrasi Mupas 20 Oktober 2019 bersama RD. Yosef Eka Budi Susila dan
Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono. (Dok.: Komsos KS)
64
seluruh umat untuk menyelam lebih dalam ke lubuk misteri
Pekan Suci ketika gebyar hingar bingar fasilitas dan media
perayaan dilucuti hingga telanjang.
Yesus di depan pengadilan dilucuti jubah dan bajunya
hingga hampir telanjang, supaya semua pihak dapat berjumpa
pada jati diri Yesus. Allah Bapa yang mencintai dan menebus
dunia. Semua juluran jari fisik dan tatapan indrawi dilumpuhkan
supaya jari dan indra iman yang bersih-jernih menyentuh luka-
luka Yesus. Seluruh harapan yang tulus dapat memasuki kubur
kosong, dan cinta tak bersyarat yang memampukan kita
menjumpai Yesus yang bangkit.
65
Mozaik Kapel Sekretariat Pemuda Katolik. Jl. Sam Ratulangi, Surabaya.
(Dok.: Romo Didik)
66
Menangkap Makna Paskah bagi Persekutuan Murid
Kristus di Tengah Pandemi Covid-19
67
kematian. Di kayu yang dipikulnya, semua organ gerak dipaku.
Seluruh kedagingan tak berkutik lagi. Yesus akhirnya mati.
Puncak bukan pada mati, masih ada kematian yang lebih
membunuh asa mereka, yakni ditemukannya kubur Yesus kosong.
Jenazah pun tak tersisa bagi upaya dan dukanya. Kubur kosong
pun berpindah mewujud nyata ke bawah pondasi pengharapan
mereka.
Seiring pandemi Covid-19 meningkat sebarannya, virus
yang tak kasat mata ini berubah wujud menjadi kekuatan raksasa
yang membuyarkan kerumunan manusia untuk masuk sembunyi
ke dalam rumahnya masing-masing dan ke ruang privat. Setiap
individu memandangi sesamanya dengan tatapan kekawatiran,
kewaspadaan, lalu menjaga jarak. Jarak yang sebelumnya sebagai
sifat cela berubah menjadi kewajiban (social & physical
distancing). Canda keakraban menguap senyap. Keseharian
dipenuhi sepi. Diliputi kabut yang tak kelihatan di mata mereka,
namun secara nyata menyergap dan membungkam nafas dengan
pengap berlapiskan rasa hambar. Di antara setiap pribadi para
Rasul terbentang jarak yang aneh dan asing.
Para rasul bersama-sama ada di satu rumah, namun sama-
sama merasa tak hadir. Mereka sama-sama mendaraskan Mazmur
dan berdoa, namun bunyi doa terasa hanya menggaung di dinding
rumah yang telah berubah menjadi dinding gua kubur kosong.
Ruang ibadah menjadi seperti kain kafan tergulung kosong tanpa
isi.
Thomas pun pergi meninggalkan ruang hambar itu.
Mengusir takut dan kesedihan, dituntun oleh pertanyaan iman
yang terus mendentam di hati dan akal budi, mengais-ngais arti
dan bukti.
Pada saat sulit macam ini, ruang kebersamaan dan ritual
keagamaan dinilai sebagai aksesoris sekunder. Ternyata arogansi
fatwa doktriner dipaksa oleh pandemi Covid-19 untuk terlucuti
dari kemutlakannya. Setiap religiusitas dan spiritualitas harus
keluar dari kerumunan sosial yang semu, keluar secara soliter
mengembara (jalan sendirian), menerobos gelapnya malam batin.
68
Para rasul semalaman menebarkan jala, tetapi malam itu mereka
tak menangkap apa-apa.
69
Disalahkan’ itu bukan di pakaian dan jubah. Masih ada yang harus
dilucuti: Tubuh-Nya.
Tubuh lemah direntang paksa dipakukan di kayu palang.
Tangan dan kakinya dipaku di kayu salib. Susunan hirarkis
organis tubuh tak lagi berfungsi selain seonggok himpunan organ
(‘orang’) yang tak lagi bisa digerakkan. Tangan kaku meregang
sakit tak lagi bisa menyentuh, memegang dan menunjuk. Kaki
gemetar kejang menyangga beban, tak lagi bisa untuk melangkah,
berlari ataupun menjalankan program kegiatan.
Di ruang tertutup, para Rasul melihat dengan jelas dalam
lubuk kesadarannya, bahwa ‘tubuh tersalib’ itu adalah kondisi
persekutuan mereka sendiri saat ini. Persekutuan selama ini
adalah sekumpulan orang yang bangga dengan Yesus. Penuh
kemegahan dan bangga, selalu menemukan kejutan-kejutan ajaib
karena banyak mendapati tontonan mujizat, kemeriahan
pembicaraan karena sama-sama membagikan kesuksesan dan
banyaknya massa yang berkumpul.
Persekutuan yang hidup merupakan banyaknya orang
terlibat dalam kegiatan yang meriah. Dikemas dalam hiburan
gemerlap karena ditunjang oleh tersedianya banyak dana.
Donatur berlomba menyumbang karena hebatnya marketing
rohani.
Para Rasul kini menjadi komunitas kecil yang di-lockdown
oleh rasa takut, malu, sedih dan disorientasi kolektif. Yang
menyatukan di antara mereka, bahwa nasib Yesus mewujud
dalam persekutuan mereka.
Sikap iman para murid oleh Yohanes penginjil
diumpamakan sebagai tindakan nelayan yang menebarkan jala.
Kubur kosong adalah semacam malam di danau Galilea yang tak
memberikan ikan seekorpun. Di tengah kehampaan dan gelapnya
pengharapan Yesus yang bangkit dijumpai setelah mereka
mengikuti perintah-Nya menebarkan jala di sebelah kanan
perahu, “Tebarkanlah jalamu ke sebelah kanan perahu, dan kamu
akan mendapat.” (Yohanes 21:6). Para Murid mengernyitkan dahi
bertanya ke dalam hati dan menggali ingatan akan Taurat,
“Mengapa di- ‘kanan’?”
70
Dalam Taurat lebih dari 200 kali memakai kata kanan
dalam berbagai ayat yang menunjuk pada apa yang benar
menurut perintah Allah: dalam kekuatan Allah, sesuai dengan
kehendak Allah, yang baik, benar dan mulia, dan sesuai nilai-nilai
kerajaan Allah. Dalam keadaan segelap, sehambar, sesulit, sesedih
dan sebuntu macam apapun berdirilah di atas iman, bersama
kekuatan Allah, tebarkan tindakan yang benar, baik dan mulia di
sebelah kegiatan rutinmu.
71
Kitab Suci dalam kebersamaan menempuh perjalanan. Suka Cita
Firman belum secara sempurna menembus hingga ‘pengalaman
perjumpaan, masih sebagai kehadiran sukacita yang menyertai
perjalanan.
Puncak perjumpaan dan kehadiran (praesentia realis)
dialami secara riil oleh mereka saat mereka bersekutu dan Yesus
memecah dan membagi-bagikan roti. Dua murid Emmaus
menunjukkan adanya cahaya di ujung lorong gelap iman ketika
persekutuan disatukan oleh Firman dan Ekaristi. Dua murid dari
Emmaus bergegas kembali ke Yerusalem, menuju kesatuan
dengan para Rasul untuk mewartakan pengalaman paskah
mereka.
72
asa tak tahan melawan kehampaan. Lantunan pujian syahdu yang
senyatanya simulasi pelarian dari individu-individu yang satu
sama lain merasa asing dengan kisah pilunya masing-masing.
Tuhan tak lebih dari kehampaan batin yang dijubahi penghiburan.
Yesus macam apa yang dipercayai mereka? Yesus yang
senyatanya apa adanya sebagaimana dikenali selama 3,5 tahun
ataukah Yesus yang diciptakan oleh angan-angan dan diharapkan
menjadi pahlawan? Thomas mengais semua ingatannya mencoba
menemukan tanda tentang Yesus yang sebenarnya. Kalau Yesus
memang benar bangkit keluar dari kubur kosong semestinya
adalah Yesus sebagaimana ada-Nya, Mesias yang menderita dan
tak malu menunjukkan luka. Bagi Thomas, penanda yang paling
dibutuhkan saat ini adalah luka-luka cinta-Nya sebagai petanda
kebangkitan-Nya.
Maka ketika murid-murid yang lain itu kepada Thomas,
“Kami telah melihat Tuhan!” Thomas tak begitu saja percaya
dengan kesaksian itu. Dia berkata kepada mereka: “Sebelum aku
melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku
mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan
tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan
percaya” (Yohanes 20:25). Yesus adalah Tuhan dan Guru yang
bangkit dan dia imani kalau dengan mata indrawinya menjumpai
luka karena cinta itu. Thomas tak mau dijebak oleh ‘simulakra’,
realitas semu (meminjam istilah Jean Beoudrillard) hasil simulasi
yang direproduksi oleh sikap eskapis (lari dari realitas ketakutan)
dan religiositas narsistik yang menggoda setiap pengikut Yesus.
Ketika Yesus menampakkan diri kepada Thomas, hanya dialah
yang sampai kepada pengakuan khusuk: “Ya Tuhanku dan
Allahku”.
Covid-19 memaksa Gereja merayakan Ekaristi, ruang
pengalaman realis praesentia (kehadiran secara nyata) dari Yesus
yang mati dan bangkit, bukan di gedung gereja melainkan secara
live streaming. Umat dalam persekutuan paling dasar (keluarga:
communio personarum) harus stay at home. Dijauhkan oleh social
distancing dari fisik gereja paroki mereka. Pengalaman baru ini
terjadi ketika Keuskupan Surabaya memulai implementasi Ardas
73
2020-2030, pada saat tahun ini sedang berniat melakukan
pertobatan. Tahun 2020 sebagai tahun pertobatan murid-murid
Kristus. Pandemi tahun ini bukan hanya cara bumi memulihkan
keseimbangan alam, namun juga bisa menjadi cara Roh Kudus
memulihkan persekutuan para murid Kristus agar terbebas dari
virus simulakra ritualisme dangkal dan menemukan kembali
‘realis praesentia’ yang sejati.
74
berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan
roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-
sama dengan gembira dan dengan tulus hati sambil memuji Allah.
Mereka disukai semua orang dan tiap-tiap hari Tuhan menambah
jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan” (Kisah Para
Rasul 2:41-47).
Semoga umat Katolik Keuskupan Surabaya bersama
masyarakat di sekitarnya melewati pandemi Covid-19 sebagai
persekutuan murid-murid Kristus yang semakin dewasa imannya,
guyub, penuh pelayan dan misioner.
75
Salah satu penjual ikan di Pasar Pabean (Dok.: Modik)
76
Permasalahan dan Kebutuhan Ekonomi Umat
pada Masa Pandemi Covid-19
77
Infografis hasil survei problem dan kebutuhan umat di masa pandemi
2020 (Sumber: KomKel)
78
Infografis hasil survei problem dan kebutuhan ekonomi umat di masa
pandemi 2020 (Sumber: KomKel)
80
Bertemu Mbah Sinem di Wisata Watu Jonggol, Ngawi. (Dok.:Modik)
81
Karikatur tentang kondisi lembaga pendidikan Katolik. Dibuat pada
tahun 2007.
82
Anggur Baru di Kantong yang Baru.
Sekolah Katolik pada Masa Pandemi Covid-19
Tata letak baru ruang kelas di SMPK Santo Stanislaus, Surabaya. Meja kursi ditata
berjarak, sebagai persiapan jika kondisi new normal diberlakukan dan opsi
belajar dengan model tatap muka bisa berlangsung. (Dok.: Jubileum/Yung)
85
Aktivitas beberapa guru SD Yohanes Gabriel, Surabaya yang datang bergantian
ke sekolah. Mempersiapkan materi ajar dan mengajar via daring pada para
siswa. (Dok. Jubileum/Yung)
87
Sungguh mendesak diadakannya penegasan visi pendidikan
Katolik, tahap-tahap pengembalian ke rel hakekat sekolah Katolik,
solidaritas stakeholder dalam menopang penyelenggaraan
sekolah, pembenahan misi dan perumusan rencana strategis
Yayasan Yohanes Gabriel ke depan, lebih- lebih memperkirakan
skenario pola pembelajaran berbasis luring dan daring dalam
jangka pendek ini.
88
Bagian IV
89
RD. Alexius Kurdo Irianto saat taping sosialisasi Bahan Pendalaman
Iman 2021.
90
Kerygma dalam Ranah Digital
92
dengan pasar yang menjual aneka produk, dihuni manusia dengan
aneka latarbelakang, karakter, tujuan, suku, kepentingan, dan
budaya. “Aeropagus baru“ terjadi dalam era internet, sebuah
global village dimana kita bisa menemui banyak orang dalam
ruang digital tanpa keluar jalan kaki atau mengayuh sepeda.
Paus Yohanes Paulus II, pada tanggal 22 Februari 1990
merilis ensiklik Aetatis Novae yang menyebutkan bahwa era baru
mulai dimasuki. Dalam Redemptoris Missio no. 37 disebutkan
bahwa revolusi teknologi membuat Gereja tidak sekedar
menggunakan media digital sebagai sarana, melainkan harus
“mengintegrasikan pesan” dalam kebudayaan baru, cara-cara
baru, bahasa baru, teknik baru, dan psikologi baru. Sekarang
pertanyaannya, dengan era baru ini mengapa dan bagaimana
Gereja menggunakan media digital? Siapakah sasaran pewartaan
saat ini?
93
94
Kembali ke pertanyaan di atas, di mana posisi umat atau
sasaran pewartaan saat ini? Melihat 3 infografis di atas. Jumlah
95
penduduk di Indonesia pada tahun 2020 adalah 272,1 juta jiwa.
Pengguna internet sebanyak 175,4 juta. Artinya lebih dari 50%
penduduk adalah pengguna internet. Pengguna internet paling
banyak adalah masyarakat di bawah usia 34 tahun. Data ini
menyadarkan adanya ruang perjumpaan baru yang cukup
signifikan bagi pewartaan. Dapat kita simpulkan bahwa
pewartaan untuk segmen usia di bawah 34 tahun akan berjalan
efektif dan lebih masif jika disampaikan melalui internet.
96
internet di Indonesia ini membuka Youtube. Berturut-turut
berikutnya Whatsapp, Instagram, Facebook, dan Twitter. Youtube
menjadi sarana pewartaan baru yang mestinya kami
perhitungkan.
Ada hal penting yang harus kita pahami bahwa siapa yang
akan menerima pewartaan ini dan bagaimana konteks
kekiniannya. Agar apa yang kita sampaikan melalui media digital
itu bisa menyapa atau menyentuh pengalaman hidup orang dalam
konteks kekiniannya. Jangan sampai media digital justru
mengaburkan esensi kebenaran Ekaristi tersebut.
Situasi, pergulatan, dan pemahaman orang di era digital
saat ini sangat mempengaruhi pola rasa dan cara penangkapan
terhadap ajaran-ajaran iman yang di sampaikan kepada mereka.
Lebih dari itu tampilan visual grafis layar gawai/medsos memiliki
psikologinya sendiri yang terintegrasi dan mempengaruhi daya
pikat pengakses media. Konten yang berharga, benar dan agung
tak akan menarik dikunjungi jika tidak dikemas dalam visual
grafis yang asal-asalan.
Sebelum membuat konten pewartaan, disamping kita harus
menentukan siapa sasaran yang dituju secara spesifik juga tetap
menjaga esensi ajaran yang telah diwariskan berabad-abad ini
dalam kemasan visual grafis yang menarik bagi umat jaman ini.
Jangan sampai kita “memberikan mutiara kepada orang yang
tidak membutuhkannya”. Juga jangan sampai menawarkan
mutiara secara tidak menarik sehingga mutiara berharga, yakni
nilai-nilai Kerajaan Allah tak lagi diminati.
97
98
Peran Komisi Komsos dalam Mengawal Hasil
Musyawarah Pastoral II Keuskupan Surabaya
99
sehingga terbangun jalur pemasaran dan antar umat bisa saling
membantu.
Sedangkan mengenai bagian Teknologi, perkembangan
teknologi komunikasi berlangsung cepat. Internet menjadi ruang
baru kehidupan sosial. Teknologi bisa menjadi pisau bermata dua,
bisa membangun dan mengembangkan hidup umat, tetapi juga
bisa merusak tatanan hidup sosial masyarakat. Apabila Gereja
bersikap masa bodoh, maka sama dengan membiarkan upaya
perusakan masyarakat. Gereja harus proaktif dalam membangun
masyarakat. Jika Gereja gagap dan apatis terhadap kemajuan
teknologi, maka akan terkungkung seperti lampu di bawah
gantang. Tidak relevan bagi anak-anak muda, generasi penerus,
dan masyarakat di sekitarnya. Gereja menjadi tidak relevan
dengan kebutuhan dan pengharapan dunia. Gereja harus
berperan secara nyata dalam solidaritas pengembangan ekonomi
yang berkeadilan bagi umat, bukan hanya sibuk di altar dengan
pendalaman iman.
Selama masa pandemi Covid-19, tampak anak-anak muda
Katolik mulai membuat konten katekese di berbagai kanal media
sosial seperti YouTube, Instagram, Facebook, dan sebagainya. Dari
sana harus mulai dipikirkan bagaimana agar Komsos turut
membangun sifat guyub di dalam gereja, serta
mengkomunikasikan pelayanan-pelayanan di paroki agar bisa
diketahui oleh umat. Pertemuan online semacam ini bisa
dibiasakan. Dengan memaksimalkan penggunaan teknologi
informasi, kita juga mengurangi resiko terpapar pandemi Covid-
19 sekaligus sebagai efisiensi. Dengan mengoptimalkan fungsi
teknologi informasi, kita bisa berkoordinasi dengan cepat.
Mengutip Bab 2.3 (hal. 15) pada Buku 3 Mupas 2019
tentang Pemanfaatan Perkembangan Teknologi Informasi dalam
Pewartaan dan Komunikasi Pastoral. Ada 3 penjelasan lebih lanjut
untuk poin c, d, dan e:
c. Komunikasi dan pelayanan (administrare) adalah semangat inti
Gereja sebagai persekutuan. Maka hendaknya di setiap unit
pastoral, khususnya di kantor sekretariat keuskupan dan paroki
serta unit-unit pastoral lain, sungguh diperhatikan mutu dan
100
fungsi peralatan yang ada demi peningkatan dan kelancaran
pelayanan.
Jadi anggota komsos juga harus peduli terhadap peralatan
dan perlengkapan di sekretariat parokinya. Misal komputernya
masih menggunakan disket, atau operating system-nya masih
menggunakan Windows 3.0 yang kalau nge-print 1 lembar bisa
memakan waktu lama. Hal itu membuat kita tidak bisa melakukan
pelayanan dengan baik. Membuat gereja tidak relevan. Maka dari
itu, daripada membuat program-program yang tidak jelas
juntrungannya, lebih baik meningkatkan fasilitas pelayanan di
garis depan ini.
d. Komisi Komsos membangun jejaring yang dinamis dengan seksi
komsos paroki dan divisi komunikasi di setiap unit pastoral
untuk mengadakan media komunikasi pastoral baik secara
cetak maupun digital.
Agar Komisi Komsos Keuskupan memiliki jejaring yang
aktif dan dinamis dengan Seksi Komsos Paroki, maka Komisi
Komsos mulai memperbarui database Seksi Komsos di Paroki,
mulai contact person, struktur organisasi, dan ada divisi apa saja
di dalamnya. Jadi misalnya ketika Bapa Uskup sedang berkunjung
ke Pacitan, tidak perlu kru Komisi Komsos pergi ke Pacitan, cukup
Komisi Komsos koordinasi dengan Seksi Komsos yang ada di
Ponorogo dan Pacitan. Seksi Komsos membuat reportase kegiatan
Bapa Uskup di sana, lalu reportase tersebut dimuat di website
Keuskupan dan Majalah Jubileum. Jika diperlukan, bisa diadakan
pelatihan jurnalistik (baik teks maupun foto) Seksi Komsos di
paroki, agar bisa terampil membuat reportase. Jika kru Komisi
Komsos tidak wira-wiri dari Surabaya ke kota lain, anggaran bisa
dihemat dan dialokasikan untuk pengembangan. Dengan
berjejaring, kita mengetahui kelebihan dan kekurangan masing-
masing paroki. Jadi bisa kolaborasi dan saling membantu. Habitus
sinergis dinamis seperti itu yang akan dibiasakan.
e. Di setiap unit pastoral didorong memiliki divisi komunikasi yang
dikelola secara serius oleh orang (admin) yang dikhususkan
untuk itu, sehingga isi (content) media komunikasi tetap terjaga
dan terbarui (update).
101
Seksi Komsos mempersiapkan supaya setiap seksi paroki
masing-masing ada divisi komunikasi. Seksi BIAK misalnya, ada
yang in-charge bagian komunikasi. Ada di jejaringnya Seksi
Komsos Paroki. Jadi jika BIAK sedang mengadakan kegiatan, tidak
harus Seksi Komsos Paroki yang datang meliput. Tapi divisi
komunikasinya BIAK yang berhubungan dengan Seksi Komsos
Paroki. Seksi Komsos lebih menjalankan fungsi sebagai fasilitator,
koordinator, dan penghubung dengan Komisi Komsos Keuskupan.
Nantinya Pusat Pastoral bisa cepat mengetahui apa saja program-
program pastoral di paroki-paroki.
Hal tersebut di atas konsepnya seperti smart city di DKI
Jakarta dimana gubernur bisa memonitor kondisi ibukota. Bapa
Uskup juga bisa mengetahui situasi setiap paroki. Di unit pastoral
seperti Paroki Regina Pacis-Magetan misalnya, ada sekolah dan
rumah retret. Seksi Komsos menginformasikan tentang rumah
retret, memberitakan kegiatan dan pencapaian apa saja di sekolah
Katolik. Satu hal yang juga menjadi catatan, mengapa sekolah-
sekolah Katolik selama 5-6 tahun ini merosot pamornya? Karena
gereja belum memfasilitasi sekolah-sekolah Katolik untuk
berkembang dan diketahui umat. Sekali lagi seperti itulah peran
peran penting Seksi Komsos.
Berkaitan dengan anggota divisi komunikasi, idealnya Seksi
Komsos mempunyai relawan yang menjadi admin di masing-
masing divisi dan di setiap Seksi Komsos ada divisi website. Bagi
relawan yang berminat bisa difasilitasi untuk belajar membuat
dan mengelolanya. Website tidak harus punya atau berdiri sendiri
karena sebenarnya (website) Keuskupan sudah menyediakan
space untuk website paroki. Jadi paroki tidak perlu mengeluarkan
anggaran untuk hosting. Di Pusat Pastoral ada administrator yang
menangani pengembangan website tiap paroki.
Di website www.keuskupansurabaya.org sedang
dipersiapkan untuk memfasilitasi website paroki, kelompok
kategorial, dan unit karya se-Keuskupan Surabaya. Jika dari
paroki bisa membangun website sendiri lebih bagus dan detail,
bisa ditautkan ke website keuskupan. Jadi jika ada orang mencari
informasi paroki, bisa masuk melalui website keuskupan.
102
Demikian pula dengan alamat sosial media masing-masing paroki,
bisa diketahui dari website paroki maupun keuskupan.
Selain divisi website, ada pula divisi media sosial. Ada
relawan atau admin yang menangani akun Instagram, Facebook,
dan YouTube paroki. Jika ada Seksi Komsos paroki merasa bisa
membuat atau mengelolanya, maka Komisi Komsos Keuskupan
bisa memfasilitasi pelatihannya.
103
itu yang menyebabkan banyak website paroki mati, banyak media
sosial paroki yang pasif dan tidak update. Padahal kalau di setiap
divisi ada 10 orang misalnya. Tugas meng-update dan upload bisa
dibagi, satu orang melakukannya seminggu sekali atau bahkan
lebih, sebulan sekali, sehingga menjadi ringan dan media selalu
ter-update. Nantinya seandainya beberapa tahun lagi kita sudah
tidak menjadi pengurus Komsos, media paroki yang berfungsi
sebagai sarana literasi pastoral dan literasi pengembangan iman
tetap berjalan.
Materi disampaikan secara verbal saat pertemuan via daring Komsos se-
Keuskupan Surabaya yang diadakan Kamis malam, 18 Juni 2020 dan
diterbitkan dalam bentuk teks pada rubrik Lintas Komisi dalam Majalah
Jubileum edisi 245. Januari 2021.
104
Sketsa Carlo Acutis buatan penulis. Carlo Acutis adalah Beato pertama dari
generasi milenial. Semasa hidup sering melakukan kegiatan amal dan
mengembangkan situs Miracolo Euraticristo (Mukjizat Ekaristi). Situs itu
berisi dokumentasi cerita mukjizat dan kejadian luar biasa yang terjadi
dalam lingkungan gereja di seluruh dunia sejak abad 10 hingga abad 21.
Meninggal tahun 2006 karena leukemia saat berumur 15 tahun, dan
ditobatkan sebagai beato oleh Paus Fransiskus pada tanggal 10 Oktober
2020.
105
106
Pentingnya Penulisan dan Dokumentasi
Kronik Paroki
107
Buku-buku kronik paroki yang disimpan di Pusat Dokumentasi pastoral
(Pusdokpas) Keuskupan Surabaya.
109
Komponen atau elemen informasi dasar kronik adalah 5W
& 1 H: What, Who, When, Where, Why, dan How. Dalam bahasa
Indonesia-nya adalah ADIKSIMBA, yaitu: Apa, DI mana, Kapan,
SIapa, Mengapa, dan Bagaimana. Secara lebih jelas:
1) Peristiwa apa yang terjadi atau kegiatan yang dilakukan?
2) Di mana peristiwa atau kegiatan itu terjadi?
3) Kapan peristiwa atau kegiatan itu terjadi?
4) Di mana peristiwa atau kegiatan itu terjadi?
5) Siapa yang terlibat atau berada di dalam peristiwa atau
kegiatan itu?
6) Mengapa peristiwa itu terjadi atau mengapa kegiatan itu
diadakan?
7) Bagaimana peristiwa itu terjadi atau mengapa kegiatan itu
diadakan?
Contoh kronik paroki yang dimuat Tabloid Efata, Paroki Santo Yakobus,
Citraland, Surabaya. Disampaikan oleh Errol Jonathans dalam Semiloka
Membuat Kronik itu Mudah!.
110
Contoh lain kronik paroki yang disusun oleh Dr. F. X. Edie
Yusuf dari Paroki Santo Paulus, Nganjuk dan dimuat Majalah
Jubileum edisi 252, Agustus 2021:
111
Komponen atau elemen informasi dasar berita di atas
adalah:
1) What/Apa:
• Vaksinasi Covid-19 di Gereja Santo Paulus, Nganjuk
• Kunjungan Plt. Bupati dan jajaran Muspida ke Gereja Santo
Paulus, Nganjuk
2) Who/Siapa:
• Marhaen Djumadi, Plt. Bupati dan Jajaran Muspida Nganjuk
• Satgas Covid-19 dan Dinas Kesehatan Nganjuk
• Tim vaksinator yang berasal dari Puskesmas Ngluyu,
Kabupaten Nganjuk
• Penerima vaksinasi, 322 orang, terdiri dari umat Katolik
dan masyarakat sekitar gereja”
• RD Christhophorus Tri Kuncoro Yekti (Romo Cuncun),
Romo Kepala Paroki Santo Paulus, Nganjuk
• Tim Kesehatan Paroki: Dr. Chistanto Nugroho, SpAn; Dr. Ch.
Erli Indrastuti, SpPK; Dr. Felix Kencono, Dr. Lanny
Trisnawati; Dr. Yahyu Sasono, SpS; Dr. A. Y. Bambang
Sentanu, SpOT; Dr. Cicielia Novi; Drg. Emanuela Isdinar;
Drg. Herlina; Istiati, Apt; Previ Kuncoro. Dikoordinir Dr F.X.
Edie Yusuf
3) When/Kapan:
• Jumat, 18 Juni 2021. mulai jam 8 pagi hingga 3 sore
4) Where/Dimana
• Komplek Paroki Santo Paulus, Nganjuk
5) Why/Mengapa
• Mendukung program pemerintah untuk mengatasi
pandemi Covid-19
6) How/Bagaimana
• Bekerjasama dengan Satgas Covid-19 dan Dinas Kesehatan
Nganjuk, mengadakan vaksinasi (Aztrazeneca dosis 1)
• Protokol kesehatan yang ketat
112
E-Flyer Semiloka Membuat Kronik itu Mudah!
114
Ulang Tahun Gereja Hati Kudus Yesus, Surabaya.
Sebenarnya 21 Juli atau 31 Juli?
115
pada hari Minggu, 31 Juli 1921. Yang Mulia Mgr. Luypen
bersedia untuk melakukan upacara pemberkatannya”.
3) Koran Algemeen Handelsblad edisi 1 September 1921. Ditulis
pada salah satu berita dan terjemahan dalam bahasa
Indonesia-nya, “Gereja Katolik Roma yang baru. Pada tanggal
31 Juli, peresmian Gereja Hati Kudus yang baru berlangsung di
Surabaya. Dimulai dari koridor luar gedung, kemudian berjalan
memasuki gedung. Mgr. Luypen kemudian memimpin bagian
upacara pemberkatannya”.
4) Nieuw Soerabaia: De Geschiedenis van Indie's voornaamste
koopstad in de Eerste Kwarteeuw Sedert hare Instelling 1906-
1931 karya Goodfried Hariowald von Faber yang diterbitkan
NV. Boekhandel en Drukkerij H van Ingen, Soerabaia dan dirilis
tahun 1934. Pada halaman 363 terdapat foto Gereja Hati Kudus
Yesus (lih. Gambar 4) keterangannya dalam bahasa Indonesia
adalah “Gereja di ‘kota atas’, dibangun oleh M.H. Voets, setelah
dirancang oleh Het Bureau Hulswit-Fermont, dan diresmikan
pada tanggal 31 Juli 1921 oleh Z.D.H. Monsinyur S. Luypen S.J.,
Vikaris Apostolik Batavia”. Sebagai catatan, yang dimaksud
‘kota atas’ waktu itu adalah Surabaya bagian Selatan kota
seperti Gubeng, Ambengan, Keputran, Darmo dan Ketabang.
‘Kota atas’ difungsikan sebagai kawasan hunian orang-orang
Eropa, atau Belanda pada khususnya. Sedangkan ‘kota atas’
(benedenstad) adalah daerah Jembatan Merah dan sekitarnya
yang diperuntukkan sebagai sentra bisnis.
5) De Katholieke Gids no. 42. 26 Oktober 1934, pada paragraf 2
halaman 356 (lih. Gambar 5), disebutkan (dalam bahasa
Indonesia), “Pada tanggal 26 Oktober 1920, batu pertama
diletakkan oleh pendeta Fleerakers, dan gereja ditahbiskan
pada tanggal 31 Juli 1921 oleh Mgr. Luypen”.
6) Sejarah Suster Ursulin Biara Kepanjen/Darmo Tahun 1863-
1985, pada paragraf terakhir halaman 24 (lih. Gambar 6)
disebutkan, “Pentahbisan Gereja itu terjadi pada tanggal 31 Juli
1921. Hari 31 Juli untuk umat Katolik di Surabaya hari gembira,
karena Gereja yang bagus itu sudah diberkati dan seterusnya
menjadi Gereja utama di Surabaya”.
116
Gambar 1. Halaman 4 De Geschiedenis der R.K. Kerk te Surabaja 1906-
1931 (sumber: Pusat Dokumentasi Pastoral Keuskupan Surabaya)
117
Gambar 2. Kalimat terakhir pada paragraf 2, halaman 4 De Geschiedenis der R.K.
Kerk te Surabaja 1906-1931. Terjemahannya Bahasa Indonesianya:
“Pemberkatan gereja tanggal 31 Juli 1921 dgn sangat hikmat dan dihadiri para
pejabat oleh Mgr S. Luypen, S.J., Uskup Apostolik Batavia.”
118
Gambar 4. Halaman 363 buku Nieuw Soerabaia yang disusun Goodfried
Hariowald von Faber yang dirilis tahun 1934.
119
Gambar 5. De Katholieke Gids no. 42, 26 Oktober 1934, pada paragraf 2
halaman 356. Disebutkan bahwa: “Pada tanggal 26 Oktober 1920, batu
pertama diletakkan oleh pendeta Fleerakers, dan gereja ditahbiskan
pada tanggal 31 Juli 1921 oleh Mgr. Luypen” (sumber: Pusat
Dokumentasi Pastoral Keuskupan Surabaya).
120
Gambar 6. Halaman 24 pada buku catatan Sejarah Suster Ursulin Biara
Kepanjen/Darmo Tahun 1863-1985.
121
Saat Jubileum juga menelusuri arsip-arsip yang
menyebutkan bahwa pemberkatan Gereja dilakukan pada 21 Juli
1921, seperti yang diperingati hingga saat ini, data tersebut
ditemukan pada:
1) Panorama & Sejarah Keuskupan Surabaya yang diterbitkan
Sekretariat Keuskupan Surabaya pada akhir Desember 1999.
Pada paragraf pertama halaman 24 menyebutkan, “Gereja baru
dengan daya tampung 900 orang itu diberkati oleh Mgr.
Edmundus Sybrandus Luypen, SJ pada 21 Juli 1921. Jumlah umat
Katolik saat itu 2.000 orang”.
2) 82 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus Surabaya. Peduli Kasih yang
diterbitkan oleh Panitia HUT ke 82 Paroki HKY di tahun 2003.
Pada kalimat terakhir halaman 20 ditulis, “Pembangunan
gereja yang kedua yang bisa menampung umat sebanyak 900
orang ini akhirnya diberkati oleh Mgr. Luypen pada tanggal 21
Juli 1921 dan diberi nama Gereja Hati Kudus Yesus sekaligus
diberkati pula rumah pastoran sebanyak (berkapasitas -red.)
2000 orang”.
3) Sekilas Pandang Keuskupan Surabaya, yang disusun oleh KKI-
KKM Keuskupan Surabaya dan diterbitkan tanggal 17 Oktober
2008. Paragraf 2 halaman 78 menyebutkan, “Upacara
peletakan batu pertama pembangunan gereja Hati Kudus Yesus
oleh Rm. Fleerakkers, SJ. pada tanggal 11 Agustus 1920. Pada
tanggal 21 Juli 1921 gereja sekaligus rumah pasturan diberkati
oleh Mgr. Luypen dan diberi nama Gereja Hati Kudus”.
122
Gambar 7. Dari kiri ke kanan: Buku Panorama & Sejarah Keuskupan
Surabaya, 82 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus Surabaya. Peduli Kasih dan
Sekilas Pandang Keuskupan Surabaya.
124
Epilog:
Penjaga Alur Pastoral Keuskupan
125
Serentak Maju
Refren:
Serentak maju bersama Mupas
Tumbuhkan paroki berakar lingkungan
Menjadi berkat tuk masyarakat
Menjadi garam dan memancarkan terang
Berasas Pancasila membangun Indonesia.
Scan Me
127
“Aku percaya supaya mengerti,
Dan aku mengerti supaya percaya lebih baik”
(Santo Agustinus)
128